Anda di halaman 1dari 3

Ringkasan Novel Atheis

Agustus 30, 2013 awan sundiawan

Novel Athies

Novel Atheis dikarang orang oleh Achidat K. Mihardja diterbitkan Balai Pustaka
dengan cetakan pertama tahun 1949. Novel ini menggambarkan tokoh
Hasan yang penuh keragu-raguan, setengah-setengah dalam meyakini segala
sesuatu, ikut-ikutan dan sering tak yakin pada pendiriannya. Sang tokoh
berprilaku labil karena faktor lingkungan dan pergaulan yang tidak baik. Berawal
dari sakit hati menjalin cinta dengan kekasihnya, kemudian belajar meyakini
ajaran tertentu, lalu bertemu dengan teman-teman yang tidak punya agama dan
berprilaku bebas, dan berujung penyesalan terhadap orang tua. Mungkin itulah
sifat anak muda yang kejiwaanya belum stabil sehingga mudah terjerumus pada
hal-hal yang menghampirinya.

Untuk lebih jelasnya silakan baca novelnya dengan cermat, dan telah saya
rangkum isi novelnya seperti di bawah ini.

Hasan yang dilahirkan di desa Penyeredan, di besarkan dan didik dalam suasan
keagamaan Islam ortodoks. Ayah dan ibunya adalah penganut aliran terekat.
Sebagai teman bermain Hasan, orang tuanya memungut anak yatim, Fatimah.
Pendidikan ahlak yang sejak kecil diberikan orang tuanya, disertai pula dengan
cerita-cerita surga dan neraka, tentu saja sangat melekat di benak Hasan.
Keadaan itu terus berlangsung sampai Hasan pindah ke Bandung untuk
meneruskan sekolahnya di Mulo.

Selepas Mulo, Hasan bekerja di Jawatan Air Kotapraja, Bandung. Sementara itu,
Hasan sendiri sudah menjadi murid terekat yang dianut ayahnya.
Sesungguhnya, keterlibatan Hasan dengan aliran terekat itu, lebih di sebabakan
oleh keinginanya untuk melupakan Rukmini, gadis lulusan SKP yang menjadi
buah hati Hasan tetapi kemudian di kawini saudagar dari Jakarta. Hasan adalah
murid yang patuh mengikuti ajaran-ajaran gurunya. Dengan ajaran itu, Hasan
makin mengisolasikan diri dari lingkunganya. Pada saat demikian, tanpa diduga
datang Rusli, temannya waktu kecil, ke tempat Hasan bekerja. Perjumpaan yang
tak diduga itu, amat istimewa buat Hasan. Masalahnya, Rusli datang bersama
Kartini yang dalam pandangan Hasan, seperti duplikat Rukmini.

Sejak itu, kehidupan Hasan yang semula memandang dunia ini dengan
kacamata hitam- putih atau neraka-surga, mulai tergetar oleh tatakrama
yang di perliahatkan Rusli dan Kartini. Dalam pandangan Hasan, Rusli yang kafir
terlalu bebas. Demikian juga Kartini, janda muda bekas istri seorang rentenir
tua keturunan Arab, terlalu modern. Oleh karenanya, Hasan bertekad untuk
menyadarkan kedua orang itu.

Tekad Hasan porak-poranda. Menghadapi Rusli yang tahu banyak tentang


materialisme dialektika dan selalu bertumpu pada pemikiran rasional, Hasan tak
mampu berbuat banyak. Bahkan ahirnya, Rusli yang memberi khotbah
kepadanya. Kalau saja tidak ada Kartini yang selalu menggangu pikiranya,
tentulah Hasan akan menjauhi Rusli. Keakraban Hasan dengan Rusli dan
Kartini, secara perlahan namun tetap, makin menggoyahkan sendi-sendi
keimanan yang pernah di pegannya dengan kuat. Kemudian datang pula Anwar
yang anarkis, Hasan ahirnya benar-benar melepaskan keimanan. Tidak hanya
sampai di situ, akibat hubungan dengan Anwar pula Hasan menentang ayahnya.
Penantangan Hasan itu di pertegas lagi oleh keputusan Hasan untuk mengawini
Kartini. Maka lengkaplah jarak yang di tempuh Hasan; berpisah dari akar tradisi
dan putus hubungan dengan ayahnya. tekadku sekarang menuju ke suatu
tujuan yang pasti, yaitu kawin sekelas mungkin dengan Kartini (hlm. 175)

Kebahagiaan hudup rumah tangga Hasan dengan Kartini tidak berlangsung


lama. Anwar yang anarkis individualistis, menumbuhkan percik-percik bara di
hati Hasan. Dalam benak Hasan, Anwar-lah penyebab putusnya hubungan
dengan sang ayah. Anwar pula yang acap kali menggelitik kecemburuannya.
Betapapun, pandangan Anwar terhadap Kartini amat patut dicurigai, begitu
munurut Hasan.

Bersamaan dengan itu, perasaan berdosa Hasan terhadap ayahnya,


bagaimanapun tidak lepas sama sekali. Lebih dari itu, kenangan masa kecil,
terutama dongeng tentang siksa-siksa neraka, semakin menghantui dirinya. Ia
dikejar kegelisahan, ketakutan, dan perasaan berdosa. Dengan sendirinya,
semua itu tambah meruwetkan kehidupan rumah tangganya. Sampai pada
puncaknya, Hasan dan Kartini menggambil keputusan langkah dramatis: cerai!
Maka, berakhirlah kehidupan rumah tangga Hasan Kartini.

Di pihak Hasan, keputusan itu ternyata tidaklah membawa ketenangan bagi


jiwanya. Ketakutan, kecemasan dan bayangan siksaan neraka terus saja
menghantui. Ia makin gelisah. Rasa bersalah, berdosa, menyesal, takut,
khawatir, dan macam-macam tekanan batin, tambah akrab dengan jalan pikiran
serta makin menggerogoti kesehatan fisiknya. Sudah jatuh, tertimpa tangga
pula, begitulah nasib yang dialami Hasan. Saat ia menderita tekanan batin yang
hebat, ayahnya meninggal. Hal yang memberatkan Hasan sebenaranya bukan
semata-mata soal kematian, melainkan kenyataan bahwa permintaan maafnya
ditolak ayahnya, justru menjelang orang tua itu mengembuskan napasnya yang
terakhir.

Sementara perasaan Hasan hanyut dalam kegalauan yang tak kunjung reda,
selama itu pulaa berusaha mencari kebenaran yang nyata mengenai
keimanannya. Sejumlah teori yang pernah di kemukakan Rusli dan Anwar,
dirasakannya semakin menyesatkan, terlebih lagi pandangan-pandangan Anwar.
Maka, Hasan tidak dapat berbuat lain dari berusaha membalas dendam kepada
Anwar, biang keladinya. Semua itu akibat tingkah polah Anwar, ia pula harus
menanggung akibatnya. Demikian dendam Hasan makin menggumpal. Atas
keputusan ini, akhirnya Hasan, tanpa menghiraukan keadaan sekelilingnya,
keluar mencari Anwar. Semakin keras nafsunya untuk membuat perhitungan
terhadap Anwar, semakin bergegas pula langkah kakinya. Pada saat yang
bersamaan, gaung sirene tanda bahaya udara meraung-raung memecahkan
kegelapan malam. Namun, Hasan tak peduli. Ia terus melangkah; dan langkah
itu berhenti ketika Hasan merasakan sebuah peluru menembus dadanya. Badan
yang lemah itu berguling-guling sebentar di atas aspal, bermandi darah.
Kemudian dengan bibir bergegas berkata Allahu Akbar, tak bergerak lagi
(hlm. 248).

***

Info tambahan tentang novel Atheis

1. Penelitian terhadap novel ini yang sudah dipublikasikan, antara lain, Boen
S. Oemar jati (1962), Roman Atheis: Sebuah pembicaraan, Subagio
Sastrowardoyo, Pendekatan kepada Roman Atheis dalam Sastra Hindia
Belanda dan Kita (1983, dan Kusdiratin, dkk.,
2. Pada tahun 1969, Atheis memperoleh hadiah tahunan pemerintah dan
tahun 1972, R.J.Maguire menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris.
Dalam edisi bahasa Melayu, novel ini mengalami cetak ulang ke-3 tahun
1970 dan hingga kini masih terus di cetak ulang.
3. Pada tahun 1974, Sjuman Djaya mengangkat cerita ini ke dalam film
dengan judul yang sama; pemeran utamanya Deddy Sutomo.

Anda mungkin juga menyukai