Anda di halaman 1dari 18

NOVEL ATHEIS

Analisis Unsur Intrinsik Dan Unsur Ekstrinsik Novel “Atheis”


Karya Achdiat Kartamihardja
Analisis Unsur Intrinsik Dan Unsur Ekstrinsik Novel “Atheis”
Karya Achdiat Kartamihardja

Judul Novel : Atheis

Pengarang : Achdiat Karta Mihardja

Penerbit : PT Balai Pustaka

Tahun terbit : Cet. 11 Tahun 1990

Tebal Halaman: 308 halaman

Sinopsis :

Hasan adalah seorang pemuda yang berasal dari sebuah kampung di kota Bandung,
Kampung Panyeredan. Ayah dan ibunya tergolong orang yang sangat saleh. Sejak kecil hidupnya
ditempuh dengan ajaran agama Islam yang kuat. Iman Islamnya sangat tebal.

Setelah menjadi pemuda dewasa makin rajinlah Hasan melakukan perintah agama. Semua
tentang ajaran agama Islam makin menempel terus dalam hatinya. Sampai – sampai Hasan
menjadi seorang penganut agama Islam yang fanatik.
Hasan kemudian meninggalkan orang tuanya dan memulai kehidupan di kota Bandung dengan
tinggal bersama bibinya dan bekerja pada sebuah kantor pemerintah,sebagai penjual tiket kapal
di Kota Praja.

Di tempat penjualan tiket inilah Hasan bertemu orang – orang yang akhirnya mengubah
jalan hidupnya. Berawal dari pertemuannya dengan Rusli, temannya saat bersekolah di Sekolah
Rakyat. Suatu hari, Rusli mengajak untuk bertamu ke rumahnya, hingga pada akhirnya ia
bertemu dengan Kartini, yang merupakan saudara angkat Rusli, dan jatuh hati kepadanya. Hasan
jadi sering mampir ke tempat Rusli, dan mulailah Hasan masuk dalam pergaulan Rusli dan
Kartini, yang merupakan aktivis ideologi marxis.

Hasan yang dahulunya tetap mampu hidup sederhana di desanya walaupun berada di
tengah-tengah kemodernan kota Bandung, mulai berubah. Terutama menyangkut keimanan
yang selama ini sanggup dipegang teguh olehnya. Ia semakin sering berkumpul dalam forum-
forum diskusi marxis Rusli dan kawan-kawannya, ia juga semakin akrab dengan mereka,
perlahan Hasan meninggalkan gaya hidup lamanya. Tentu saja ideologi marxis sangat
bertentangan dengan pemahaman keagamaan Hasan. Walaupun pada awalnya Hasan pernah
berusaha keras melawan jalan pikiran kawan-kawan marxisnya dengan menyadarkan Rusli untuk
kembali ke jalan yang benar. Ia mendatangi Rusli, namun ternyata Hasan kalah berdebat dan ia
pun menyerah. ia terus bergabung dalam lingkunagan marxis itu dan terus terpengaruh. Suatu
saat ketika ia kembali ke rumah orang tuanya di Desa Panyeredan bersama Anwar (salah seorang
rekan marxisnya yang paling gila), ia berani berterus terang pada orang tuanya tentang
pemahaman keimanan barunya. Hingga pada akhirnya, orang tua Hasan marah besar dan
kemudian mengusirnya.

Sebenarnya Hasan tidak secara utuh mengikuti pemahaman yang diajarkan Rusli.
Keberadaan Kartinilah yang menjadi pendorong baginya untuk terus berada dalam komunitas
marxisme tersebut. Hingga akhirnya Hasan menikahi Kartini dan pada awal pernikahanya tentu
berjalan bahagia. Namun tak lama, Hasan dan Kartini mulai sering bertengkar, dan pertengkaran
ini pun berujungkan perpisahan. Penyebabnya adalah ketidaksukaan Hasan pada gaya hidup
modern Kartini. Ternyata masih ada sisa tentang ajaran-ajaran keimanan masalalu dihatinya. Dan
pertentangan pemikiran ini cukup menyiksa hari-hari Hasan. Ditambah penyakit TBC yang
menggerogotinya akibat kebiasaannya dahulu yang kurang memperhatikan kesehatannya karena
lebih mementingkan sembahyang.

Suatu hari Hasan mengetahui bahwa di suatu hotel Anwar pernah berniat buruk pada
Kartini. Mengetahui hal itu, emosinya memuncak dan dengan gelap mata ia mencari Anwar yang
padahal saat itu tentara Jepang( Kusyu Heiho ) sedang beroperasi dan kemudian menuduhnya
sebagai mata-mata. Hasan pun mati oleh terjangan peluru tentara Jepang.

UNSUR INTRINSIK

Tema

Tema mayor novel ini adalah persoalan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, tentang
kehidupan agama seseorang yang setengah-setengah. Seperti dalam kutipan:
“Sesungguhnya, semua itu meminta cara. Meminta cara oleh karena hidup di dunia ini
berarti menyelenggarakan segala perhubungan lahir batin, antara kita sebagai manusia dengan
sesama makhluk kita dengan alam beserta pencintanya. Dan penyelenggaraan semua
perhubungan itu meminta cara. Cara yang sebaik – baiknya, seadil – adilnya, seindah –
indahnya, setepat – tepatnya, tapi pun sepraktis – praktisnya, dan semanfaat – manfaatnya bagi
kehidupan segenapnya.” (Atheis: 8)
Hal ini menggambarkan tentang kehidupan, hubungan antara manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya.

Sementara yang merupakan tema minor adalah masalah etika dan agama. Dalam novel ini
kita menemukan adanya pertentangan etika dan masalah agama antar tokoh-tokohnya. Goyahnya
kepercayaan yang dialami Hasan karena ucapan Rusli, ia menjadi lebih merasa sebagai atheis.
Kebimbangan si Hasan tampak pada kutipan berikut:

“Sejak malam Rabu itu, jadi empat hari yang lalu, aku seolah-olah terombang-ambing di antara
riang dan bimbang. Riang aku, apabila terkenang-kenang kepada Kartini yang sejak malam itu
makin mengikat hatiku saja. Tapi bimbanglah aku, apabila aku teringat-ingat kepada segala
pemandangan dan pendirian Rusli, yang sedikit banyaknya memengaruhi juga pikiran dan
pendirianku” (Atheis:114)
Kepercayaannya semakin goyah semenjak ia mulai kenal dengan Kartini, wanita yang
membuatnya jatuh hati. Hasan yang tadinya membatasi pergaulan dengan perempuan, merasa
kaget dengan kenyataan hidup bebas yang diperlihatkan Kartini yang kemudian dinikahinya
dengan harapan bisa mengembalikannya ke jalan yang benar. Harapan ini malah membuahkan
hal yang sebaliknya, ia sendiri tenggelam dalam ketidakbenaran.

Alur

Pada novel Atheis, Alur ceritanya adalah sebagai berikut :

Penyelesaian (Bagian I)

Kartini, Rusli, dan pengarang mendapatkan kabar kematian Hasan. Bagian ini sebenarnya
merupakan kelanjutan dari bagian XIV dan XV. Maksudnya adalah ketika Hasan
meninggalkan rumah dan mencari Anwar, kemudian Hasan malah ditembak mati oleh
tentara Jepang.
“Hasan telah meninggal dunia. Di mana ia dikubur? Entahlah. Kapan tewasnya?
Entahlah. Selaku orang sakit oleh seorang juru rawat, demikianlah Kartini ditopang dan
dibimbing oleh Rusli. Saya mengintil di sampingnya” (Atheis: 9)

Peleraian (Bagian II)

Bagian II merupakan kisah pertemuan antara pengarang dengan Hasan. Pada bagian ini
“aku” sebagai tokoh pengarang bukan Hasan.

“Baru satu bulan saya berkenalan dengan Hasan. Pada suatu malam datang lagi ia ke
rumahku” (Atheis: 12).

Bagian II juga bercerita tentang naskah Hasan

“Semalam-malaman itu saya baca naskah Hasan itu sampai tamat. Rupanya itu sebuah
Dichtung und Wahrheit dengan mengambil sebagai pokok lakom dan pengalaman Hasan
sendiri. Jadi semacam “autobiographical novel. Inilah naskahnya” (Atheis: 14)

Perkenalan (Bagian III)

Bagian ini merupakan isi naskah dari Hasan dimana pengarang mulai memperkenalkan
siapa dan dari mana tokoh utama Hasan dengan tokoh “Aku” sebagai Hasan.

“Di salah sebuah rumah setengah batu itulah tinggal orang tuaku, Raden Wiradikarta”
(Atheis: 15)

Untuk menemani Hasan, orang tuanya mengambil Fatimah menjadi anak pungut.

Konflik 1 (Bagian IV-V)


Hasan berjumpa dengan sahabat lamanya, Rusli dan Kartini, yang menurutnya mereka
telah melenceng dari agama (atheis). Hasan bertekad untuk menyadarkan kedua orang
itu, perdebatan pun tidak terhindarkan.

“Keluarlah kata-kata dari mulutku sebagai pembukaan untuk memukul Rusli dengan
agama.” (Atheis: 83)

Konflik 2 (Bagian VI-V)

Tekad Hasan gagal. Hasan tak mampu berbuat banyak. Pendapat Rusli mampu
mempengaruhi Hasan. Pikiran dan hati Hasan juga terus mengarah pada Kartini. Makin
hari makin bertambah teman Rusli yang dikenal Hasan antara lain Anwar yang juga
atheis.

“Kalau menurut saya” sambung Anwar, “Tuhan itu adalah aku sendiri” (Atheis: 138)

Hasan tidak menyukai sikap Anwar saat mereka bertemu.

Konflik 3 (Bagian VI-VIII)

Hasan ahirnya benar-benar terjerumus pada pergaulan atheis. Ia mulai tertarik pada
omongan Rusli tentang ajaran marxisme.

“Dan apa salahnya, kalau mereka sudah pernah mengemukakan pendapat, bahwa
Tuhan itu madat, kenapa sekarang aku harus hiraukan benar, kalau mereka
berpendapat, bahwa Tuhan itu teknik.”(Atheis: 153)
Hasan tidak mampu lagi membendung cintanya kepada Kartini. Hasan sudah
meninggalkan solat, tidak berpuasa, bahkan tidak segan-segan mengusir peminta-minta.

“ Sembayang hanya kadang-kadang saja lagi kulakukan, yaitu apabila aku merasa berat
tertimpa oleh tekanan kesedihan yang tak terpikul lagi oleh batinku. Puasa sama sekalu
sudah kupandang sebagai perbuatan yang sesat.” (Atheis: 168)

Konflik 4 (Bagian IX-XI)

Hasan pulang kampung dan berdebat dengan ayahnya.

“Betapa tidak bijaksananya aku bercekcokan dengan ayah tadi malam. Sesungguhnya
serasa remuk jiwaku kini” (Atheis: 206)

Ayahnya mengetahui bahwa anaknya tidak patuh lagi terhadap orang tua dan ajaran
agama, lalu mengambil keputusan untuk memutuskan hubungan dengan putranya.

Pada bagian XI diceritakan Hasan yang telah menikahi Kartini.

“Kami kawin dengan sangat sederhana” (Atheis: 216)

Konflik 5 (Bagian XII)

Kartini menemukan surat-surat yang membuatnya tidak percaya terhadap Hasan. Rumah
tangga Hasan penuh dengan pertengkaran.

“Surat itulah pangkal perselisihan dan percekcokan yang terus menerus antara kami.
Pangkal mula neraka yang sekarang sedang membakar aku.” (Atheis: 220)
Klimaks (Bagian XII-XIII)

Hasan bertengkar hebat dengan Kartini hingga Kartini dipukuli olehnya.

“Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor
harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya. Tar!Tar! Kutempeleng Kartini”
(Atheis: 228)

Penyelesaian (Bagian XIV, XV, dan I)

Mengetahui ayahnya meninggal, Hasan mulai sadar untuk kembali ke jalan yang benar.

“Bagaimana hendak kutebus dosaku? Bagaimana hendak kubuktikan kesalahan hatiku


terhadap segala perbuatanku terhadap ayahku itu? Bagaimana…?” (Atheis: 292)

Pada bagian ini juga diceritakan Kartini yang pergi meninggalkan rumah tanpa
sepengetahuan Hasan.

“Sore itu, setelah berkelahi dengan Hasan, Kartini dengan bersedih hati lalu
meninggalkan rumahnya. Hasan lagi ke belakang, ketika Kartini menyelinap diam-diam
meninggalkan rumahnya” (Atheis: 262)

Saat itu, tanpa sengaja, ia mengetahui bahwa Kartini pernah ke penginapan bersama
Anwar. Hasan pun mencari Anwar dan ingin melabraknya. Tanpa memperdulikan tanda
bahaya tentara Jepang, ia pun tertembak karena disangka mata-mata.Akhirnya, ia jatuh
tersungkur berlumuran darah, pahanya sebelah kiri tertembus peluru.

“Ia bergegas terus. Dalam gelap gulita. Tiba-tiba.. Tar!Tar!Tar! Hasan jatuh
tersungkur. Peluru senapan menembus daging pahanya sebelah kiri” (Atheis: 308)
Penyelesaian kemudian dipotong dan diletakkan pada bagian I.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa novel Atheis beralur mundur atau flash back.
Pada dasarnya bab pertama adalah bab penutup sebagai penyambung dari bab terakhir. Kematian
hasan dan penyesalan kartini adalah kesimpulan cerita secara keseluruhan.

Latar

Latar meliputi latar tempat, waktu, dan suasana.

Latar tempat

Begitu banyak latar tempat terjadinya peristiwa yang digambarkan dalam novel ini.
Seperti Kampung Panyeredan, Kota Garut, Bandung, Rumah Bibi Hasan, Rumah Rusli,
Bioskop, Kantor Kotapraja, Kuburan Garawangsa, dan penginapan. Berikut kutipan
untuk memperjelas:

Kampung Panyeredan

Pengarang menggambarkan kehidupan yang sederhana dan dihuni oleh orang-orang


yang sederhana pula.

“... yang segar dan subur tumbuhnya berkat tanah dan hawayang nyaman dan sejuk.
Kampung Panyeredan namanya. Kampung ini terdiri dari kurang dua ratus rumah
besar kecil” (Atheis: 14)

Kota Garut
Kota Garut merupakan tempat dimana orang tua Hasan tinggal.

“Di lereng gunung Telaga Boda di tengah-tengah pergunungan Priangan yang


indah, terletak sebuah kampung, bersembunyi di balik hijau pohon-pohon jeruk
Garut... ” (Atheis: 14)

Kota Bandung

Bukti bahwa latar tempat peristiwa berada di Kota Bandung adalah:

“Seperti kebanyakan rumah di kota dingin seperti Bandung, serambi muka ditutup
dengan kaca” (Atheis: 42)

Latar waktu

Latar waktu cerita ini terjadi dari tahun 1940an ketika Belanda dan Jepang menduduki
Indonesia. Sampai massa menjelang proklamasi. Hal ini dibuktikan dari tanggal
pernikahan Hasan dan Kartini yaitu tanggal 12 Februari 1941.

“Kuhitung dengan jari: Februari, Maret … tiga tahun setengah kira-kira sejak 12
Februari 1941. Sejak aku kawin dengan Kartini. Banyak sekali kejadian dalam tempo
kurang lebih 40 bulan itu” (Atheis: 217)

Selain itu, saat Hasan dibunuh oleh tentara Jepang karena dianggap mata- mata
membuktikan tahun 1940an dimana Jepang menduduki Indonesia.

Selain itu juga terdapat latar waktu lainnya :

Sore hari

Sore hari saat Hasan pergi ke rumah Rusli.

“ Agak panas sore ini” kata Rusli. “ (Atheis: 49)

Hasan berada di stasiun, ia hendak pulang ke rumahnya di Tegallega.


“Matahari sedang mengundurkan diri, pelan dan hati-hati seperti pencuri yang
hendak menghilang ke dalam gelap”(Atheis: 277).

Malam Hari

Saat Hasan ke rumah “Aku” (Pengarang)

“Pada suatu malam datang lagi ia ke rumahku. Seperti biasanya pada malam hari,
ia memakai mantel gabardin hijau tua yang tertutup lehernya” (Atheis: 12)

Saat Anwar menginap di rumah Hasan.

“Malam itu, setelah kenyang makan, Anwar lantas bermohon diri hendak mencari
bantalnya” (Atheis: 182).

Latar Suasana

Menyedihkan

Kartini menangis karena menyesal dan sedih atas kepergian Hasan.

“ Bercucuran air matanya. Ia seakan-akan berpijak di atas dunia yang tidak


dikenalnya lagi. Hampa, kosong, serba kabur seperti di dalam mimpi” (Atheis: 9)

Hasan menyesal karena telah membuat ayahnya semakin kecewa karena faham
barunya.

“... bahwa selama itu ia telah membikin ayahnya menderita berat, berhubung
dengan perselisihan faham yang mengenai kepercayaan agamanya itu” (Atheis:
287)

Menegangkan

Saat pasukan Jepang menyatakan keadaan bahaya, seluruh penduduk menjadi takut
dan khawatir.
“Seorang keibodan berteriak-teriak sambil lari ke sana ke mari dengan corong
pengeras suara. Rrrrtt, lampu-lampu semuanya padam. Orang-orang berlarian
mencari perlindungan” (Atheis: 307)

Menakutkan

Saat Hasan dan Anwar berjalan menyusuri kuburan Garawangsa, mereka berbincang
mengenai ketahyulan pada malam jumat atau malam selasa.

“Malam jumat? Sekarang malam apa?” (Atheis: 194).

Mengharukan

Saat Hasan berpisah dengan Rukmini karena tidak direstui orang tuanya.

“Lambat laun kami itu diikat oleh tali cinta. Tapi alangkah malangnya bagi kami,
karena orang tuanya sama sekali tidak setuju dengan percintaan kami itu” (Atheis:
61)

Romantis

Saat Hasan dan Kartini jatuh cinta.

“Aku sangat gugup. Dan ketenangan yang terbaca pada muka Rusli malah membikin
aku tambah gugup saja. Kulihat Kartini, ia memandang dengan lembut kepadaku”
(Atheis: 129)

Penokohan

Tokoh Protagonis

Yang merupakan tokoh protagonis adalah sebagai berikut:

Hasan (Tokoh utama laki-laki)

i.1 Sederhana, lugu


“Seperti namanya pula, rupa dan tampang Hasan pun biasa saja, sederhana.”
(Atheis: 12).

Watak tokoh digambarkan langsung oleh pengarang.

i.2 Kurang teguh pendirian

“Dia seorang pencari. Dan sebagai seorang pencari, maka ia selalu terombang –
ambing dalam kebimbangan dan kesangsian. Kesan ia bukan seorang pencari yang
baik.” ( Atheis: 12 )

Watak tokoh digambarkan langsung oleh pengarang.

1.3 Cara berpikir belum matang dan dewasa, imannya belum mantap

“Keras aku mengucapkan nama Tuhan itu pada tiap kali aku berubah sikap. Keras-
keras, supaya bisa mengatasi suara hati dan pikiran. Keras-keras pula nama Tuhan
itu kuucapkan dalam hati. Tapi tak lama kemudian melantur-lantur lagi pikiran itu.
Sekarang malah makin simpang siur, makin kacau rasanya” (Atheis: 97)

Watak tokoh digambarkan dengan perilaku tokoh. Tampak Hasan yang berpikiran
bahwa dengan mengucapkan nama Tuhan dengan keras keras maka ia akan dapat
mengatasi kekacauan pikirannya.

1.4 Fanatik terhadap agama


“ … berpuasa tujuh hari tujuh malam. Hasan kemudian menyelesaikan ritualnya
mandi di kali Cikapundang selama 40 kali, satu malam dan sembahyang Isya sampai
shubuh.” (Atheis: 33)

Watak tokoh digambarkan melalui perilaku tokoh yang mengikuti aliran agama diluar
ajaran secara wajar.

Tokoh Antagonis

Yang merupakan tokoh antagonis adalah sebagai berikut:

Kartini (Tokoh utama wanita)

i.1 Wanita yang modern dan bebas

“...kalau ia yang sudah mengicip-icip pelajaran dan didikan modern sedikit,dikit,


kemuda setelah ia lepas dari penjara timur kolot itu segera menempuh cara hidup
yang kebarat-baratan” (Atheis: 46)

Watak tokoh digambarkan secara langsung oleh pengarang.

i.2 Wanita yang berideologi tegas dan radikal. Etikanya menurut feodal/ burjuis, ia
seorang Atheis.

“…Ia seolah-olah seorang wanita yang sudah pecat imannya. Memang, ia pun sudah
pecat imannya, tapi dari etika feodal dan etika borjuis. Itu benar! Bukan begitu
bung?” (Atheis: 47)

Watak tokoh digambarkan melalui dialog dari tokoh lain, yaitu melalui percakapan
antara Rusli dan Hasan.

Anwar

ii.1 Cakap dan ramah


“Ia pemuda yang cakap rupanya. Kulitnya kuning seperti kulit orang Cina dan
matanya pun agak sipit.” (Atheis: 133)

Watak tokoh digambarkan langsung oleh pengarang dengan memperhatikan


penampilannya.

ii.2 Periang

“Sambil tertawa ia berjabatan dengan kami” (Atheis: 133)

Watak tokoh digambarkan melalui tindakan tokoh.

ii.3 Seorang yang kasar

“Satu kali aku pernah menempeleng seorang bujanganku” (Atheis:135)

Watak tokoh digambarkan melalui dialog tokoh itu dengan tokoh lain.

ii.4 Seorang yang tidak percaya adanya Tuhan

“Kalau menurut saya, Tuhan itu adalah aku sendiri” (Atheis:138)

Watak tokoh digambarkan melalui dialog tokoh itu sendiri.

Rusli

iii.1 Nakal, bandel, dan bebas

“Hanya dalam dua hal kami tidak pernah bersama-sama, yaitu kalau Rusli berbuat
nakal, dan apabila aku sembahyang.” ( Atheis: 38 )
Watak tokoh digambarkan langsung oleh pengarang.
iii.2 Seseorang yang dapat menghargai orang lain dan sopan

“Tentu saja saudara Hasan tidak akan membiarkan pendapat saya itu. Itu saya dapat
mengerti dan hargai, dan memang...” ( Atheis: 99 )

iii.3 Pandai mempengaruhi orang lain dan seorang atheis

“Ah. Mengapa saudara berkata begitu? Itu pikiran kolot. Tuhan tidak ada saudara!”
(Atheis: 86)

Watak tokoh digambarkan melalui dialog tokoh itu sendiri dengan Hasan.

Tokoh Tambahan

Raden Wiradikarta : sangat saleh dan alim, tegas (Atheis: 15)

Ibu Hasan : solehah dan alim, penyayang (Atheis: 20)

Haji Dahlan : penasehat yang baik (Atheis: 17)

Kiyai Mahmud : guru tarekat yang baik, bijak (Atheis: 19)

Fatimah : baik, rajin, penurut, pemalu (Atheis:178)

Bibi Hasan : baik, rajin beribadat, sabar (Atheis: 59)

Mimi : baik, jujur, selalu ingin tahu (Atheis:127)

Ibu Kartini : serakah (Atheis: 47)

Pak Artasan : penakut, percaya hal mistik (Atheis:189)

Bung Parta : pandai, percaya diri (Atheis: 149)

Sudut Pandang

Sudut pandang orang pertama pelaku sampingan


Dalam novel ini pengarang menempatkan dirinya sebagai pencerita, dimana di beberapa
bagian dalam novel ( Bagian I, II, dan bab XIII ), pengarang ikut masuk di dalam cerita
tersebut. Tokoh “Aku” merupakan pengarang yang mengamati tokoh utama (Hasan). Hal
ini berarti pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama pelaku sampingan.

“Persis pukul tiga malam, saya tamat membaca naskah Hasan itu. Entah karena sudah
lewat waktunya, entah karena ….”(Atheis, 240)

Sudut pandang orang pertama pelaku utama

Sementara pada bagian III-XII, tokoh “Aku” bukan lagi sebagai pengarang, melainkan
sebagai tokoh “Hasan”. Hal ini berdasarkan naskah yang ditulis oleh Hasan sendiri, yang
kemudian menjadi bagian dari cerita didalam novel tersebut.

“Rupanya ceritanya itu sebuah Dichtung und Wahrheit dengan mengambil sebagai
pokok lakon dan pengalaman Hasan sendiri. Jadi semacam autobiographical novel.
Inilah naskahnya” (Atheis: 14)

Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada bagian III-XII novel Atheis menggunakan
sudut pandang orang pertama pelaku utama. Berikut contoh kutipan saat Hasan
bertengkar hebat dengan Kartini:

“Baru saja pintu itu setengah terbuka, aku sudah menubruk ke dalam seperti seekor
harimau yang sudah lapar mau menyergap mangsanya. Tar!Tar! Kutempeleng Kartini”
(Atheis: 228)

Sudut pandang orang ketiga

Pada bagian XIV-XV menggunakan sudut pandang yang berbeda. Pengarang sengaja
menjelaskannya pada bagian XIII:
“Kedua: stijl ‘aku’ yang dipakai dalam naskah itu akan saya ubah menjadi stijl
‘dia’saja” (Atheis: 261)

Hal ini menjelaskan bahwa tokoh “aku” (pengarang) akan membuat suatu naskah
mengenai Hasan, namun ia tidak mengambil peran dalam naskah itu. Berikut salah satu
kutipan naskahnya:

“Akan tetapi kepada siapakah ia harus menebus dosanya, harus menyatakan sesalnya,
apabila orang terhadap siapa ia berbuat dosa itu sudah tidak lagi, sudah meninggal
dunia?” (Atheis: 7)

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengarang menggunakan sudut


pandang orang ketiga pad bagian XIV - X.

Anda mungkin juga menyukai