Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS GEGURITAN

“TEDHAK SINTEN” DAN “OCEHANE


NAZARUDIN”
BERDASARKAN MODEL TEORI RIFFATERRE

DOSEN PENGAMPU
Drs. Aloysius Indratmo, M.Hum.

Disusun oleh :
Candra Iqbal Maulana
(B0121022)

SASTRA DAERAH
FAKULTAS ILMU
BUDAYA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan hidayah-Nya, saya
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ANALISIS GEGURITAN
“TEDHAK SINTEN” DAN “OCEHANE NAZARUDIN” BERDASARKAN MODEL
TEORI RIFFATERRE” dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Semiotika. Saya berharap
agar makalah ini bisa bermanfaat untuk menambah pengetahuan rekan-rekan mahasiswa
pada khususnya dan para pembaca umumnya tentang teori Riffaterre yang merupakan
salah satu bagian dari mata kuliah Semiotika.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Aloysius Indratmo, M.Hum.
Selaku dosen pengampu Mata Kuliah Semiotika. Ucapan terima kasih juga saya
sampaikan kepada semua pihak yang telah ikut membantu dalam proses penyelesaian
makalah ini.

Mudah-mudahan makalah sederhana yang telah berhasil saya susun ini bisa dengan
mudah dipahami oleh siapapun yang membacanya. Sebelumnya saya meminta maaf bila
mana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak lupa saya juga
berharap adanya masukan serta kritikan yang membangun dari pembaca demi terciptanya
makalah yang lebih baik lagi

Surakarta, 21 September 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Geguritan merupakan suatu karya sastra tradisional, Geguritan mempunyai sistem


konvensi sastra tertentu yang ketat. Geguritan dibentuk oleh pupuh, pupuh-pupuh tersebut
diikat oleh beberapa konvensi yang biasa disebut pada lingsa. Pada adalah banyaknya
bilangan suku kata dala satu kalimat atau carik (koma).. Pupuh yang popular di masyarakat
hanya 10, yaitu: Sinom, Pangkur, Ginada, Ginanti, Maskumambang, Durma, Mijil, Pucung,
Semarandana, Dandang (Agastia, 1980: 17-18).

Geguritan (berasal dari bahasa Jawa Tengahan, kata dasar: gurit, berarti "tatahan",
"coretan") merupakan bentuk puisi yang berkembang di kalangan penutur bahasa Jawa dan
Bali.

Geguritan berkembang dari tembang, sehingga dikenal beberapa bentuk geguritan


yang berbeda. Dalam bentuk yang awal, geguritan berwujud nyanyian yang memiliki sanjak
tertentu. Di Bali berkembang bentuk geguritan semacam ini. Pengertian geguritan di Jawa
telah berkembang menjadi sinonim dengan puisi bebas, yaitu puisi yang tidak mengikatkan
diri pada aturan metrum, sajak, serta lagu.

Geguritan atau dalam hal ini puisi Jawa modern mulai muncul pada tahun 1929 di
majalah Kajawen dengan terbitnya tiga buah judul geguritan. Pada tahun 1930–1940, terbit
tujuh buah karya lainnya. Puisi Jawa modern sempat terhenti pada awal zaman pendudukan
Jepang dan baru muncul kembali sesudah revolusi. Puisi Jawa modern ini dipelopori oleh R.
Intoyo dan Subagiyo Ilham Notodijoyo

Geguritan di daerah Jawa berkembang dari tembang, sehingga dikenal beberapa


bentuk tembang yang berbeda-beda. Pada awalnya, tembang berwujud nyanyian dan
memiliki sajak tertentu itu dibuat oleh para penyair untuk dipersembahkan kepada pemimpin
yang berkuasa. Inilah yang menyebabkan karya sastra Jawa klasik berbentuk puisi tersebut
bersifat anonim. Pada umumnya, penyair yang membuat tembang tidak ingin menonjolkan
dirinya dan karyanya dianggap milik bersama.

Pengertian geguritan di Jawa kemudian berkembang dan memiliki sinonim puisi


bebas, yaitu puisi yang tidak mengikatkan diri kepada aturan metrum, sajak, dan lagu.
Sebagaimana disebutkan oleh Suyami dan para peneliti lain (2002) dalam buku Geguritan
Tradisional dalam Sastra Jawa, geguritan bahasa Jawa adalah karya sastra Jawa yang berjenis
puisi. Puisi Jawa sendiri dapat dibedakan menjadi dua, yaitu puisi Jawa tradisional dan puisi
Jawa modern.
Puisi Jawa tradisional yang berbentuk tembang mempunyai jenis yang cukup banyak
dan dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu puisi tembang macapat, puisi tembang
tengahan, dan puisi tembang gedhe. Puisi Jawa tradisional dapat berupa parikan, guritan,
singir, dan tembang dolanan.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana analisis geguritan TEDHAK SINTEN berdasarkan teori Semiotika


Riffaterre?
2. Bagaimana analisis geguritan OCEHANE NAZARUDIN berdasarkan teori
Semiotika Riffaterre?

1.3 Tujuan

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:


Untuk mengetahui analisis penerapan teori model Riffaterre pada geguritan/puisi Jawa
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sajian Data

Geguritan 1

Tedhak Sinten
Dhening: Kartika
Lemah kang kokpidak sajak ora tindak-tindak
Setya tuhu kokidak-idak
Ora nate sambat kepara semanak
Nanging tangan sikil galak
Sajak kurang grapyak
Bisane amung ngrusak
Lemah, …..
Mbokmenawa ana kang salah
Anggone padha polah
Ngupadi tukon uyah
Kamangka
Wejange simbah tan bakal owah
Marang sanak kadang putu wayah
Supaya tetep manembah
Gusti Kang Maha Mirah
Tedhak siten
Ing ngendi kowe saiki?
Menawa turu, tangia aja wedi
Akeh kadang ora ngerti
Dalan tumuju bali
Kaya kang kajanji
Sadurunge mudhun ing siti
Wernane jadah kang diidak
Sajak durung mapan kepenak
Ana ati kang jenak
Nggegem paugerane kanthi kebak
Dalan wis ambyar kasampyuk gumerlape wedhak
Kang ambune wangi nyegrak
Siti, …..
Muga-muga tetep legawa ati
Dadya punjering rejeki
Marang kang sregep ngupadi
Ngebekti mring Gusti
Hamemayu hayuning bawana
Katetepi pinangka janji

Geguritan 2

Ocehane Nazarudin
Dening : Romaluatis
Adate manungsa yen krungu manuk ngoceh
Ing wayah esuk , rikala sang bagaskarangulet
Mbukak mripat babar cahya ruhing urip
Ati krasa ayem , tentrem , ngucap syukur
Mring ngarsane gusthi kang Akarya jagad
Swarane manuk oceh – ocehan kang rame mawurahan
Mbageake kabeh titah ing Alam donya
Gawe seneng, gawe ayem , gawe tentrem, gawe bungah
Ora gawe menungsa padha congkrah , pada dredah…
Ocehane si peksi pancen ngemu wewadi
Si prenjak nggawa sasmita tekane kanca
Si kuthut nggawa pratandha mulya
Si bence nggawa pratandha durjana
Si gagak nggawa pratandha pecating nyawa
Mula Si peksi larang regane…..
Saiki ora mung manuk oceh – ocehan kang
Nggawa sasmitakang larang regane…
Ocehane Si Nazarudin luwih – luwih kebak wewadi
Ora mung nggawa sasmita
Nanging uga bisa gawe oncating nyawa
Nggawe kuceming ati
Malah uga ora ana kang sorak mardika….!!!
Amarga ……
Ocehane Nazarudin regane bisa
Samilyar ? satrilyun utawa sahahahahaaaaaaaaa!?!
Ora kepetung dosane……..
2.2 Analisis Data
 Analisis geguritan 1
“Tedhak sinten” karya Kartika menggunakan model Michael Riffaterre, sebagai berikut:

A. Ketidak langsungan Ekspresi Dalam ketidak langsungan ekspresi ini diakibatkan oleh tiga
hal yaitu:
1. Penggantian Arti (Displacing Of Meaning)
Gaya bahasa atau majas yang digunakan dalam geguritan ini adalah gaya Bahasa simbolik,
yaitu gaya bahasa yang menyamakan sepatah kata dengan kata atau nama benda lain, terdapat
pada baris pertama :Lemah kang kokpidak sajak ora tindak-tindak. Maksud dari barisini
ialah. Dan juga pada baris keempat: Kana kene gawe dosa, merupakan majas sinisme yakni
gaya bahasa yang mengungkapkan sindiran secara kasar dan umumnya digunakan untuk
mengkritik atau mencemooh sesuatu baik berupa ide/maksud/rencana

2.Penyimpangan Arti (Distorsing Of Meaning)


Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:148) penyimpangan arti terjadi biladalam sajak ada
ambiguitas, kontradiksi ataupun nonsense. Dalam geguritam 1 yang berjudul “Prahara”, tidak
ada hal-hal tersebut. Karena pengarang lebih banyak menggunakan ungkapan langsung
berupa sindiran sehingga terkesan sinis ataupun sarkastik.

3.Penciptaan Arti (Creating Of Meaning)


Penciptaan arti dipengaruhi oleh sajak (rima), enjambemen, dan tipografi. Dalam geguritan 1
hanya terdiri dari satu bait yang mana satu bait tersebut mempunyai 15 baris. Baris pertama
sampai dengan baris kedelapan bersajak a-a-a-a-a-a-a, sedangkan baris kesembilan sampai
dengan baris terakhir bersajakan b-a-b-b-a-a-b-a. Pada geguritan 1 tidak terdapat
enjambemen. Sedangkan tipografi geguritan 1 dibuat rata kiri

B. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik


1.Pembacaan Heuritik
Pembacaan heuritik, pada dasarnya merupakan interpretasi tahap pertama, yang bergerak dari
awal ke akhir teks sastra, dari atas ke bawah mengikuti rangkaian sintagmatik. Pembacaan
tahap pertama akan menghasilkan serangkaian arti yang bersifat heterogen. Judul geguritan
“Prahara” mengandung arti “Prahara”. Dalam geguritan ini, pembacaan heuritik sebagai
berikut:
Anyeping hawa ngrasuk (ing njero) Sukma
Lonjaking prahara (saya) ngambra-ambra
Dukita kasandhang (ing ati) manungsa
Kana kene (mung ) gawe dosa
(marai) Gusti duka
Kabeh (padha) kalipyan
Bandha donya (wis) nutupi netra (manungsa)
Bareng katerak (karo) prahara
Lagi eling marang Kang Maha Murbeng Dumadi
(Gusti) Kang nyedyani sabarang
Manungsa tanpa rasa nrima ati
Ndonga kok cethil
Wayah rina wengi (mung ) ngoyak bandha
Lali marang Kang Maha Kuwasa
Elinga (yen) sawanci-wanci
Sukma(mu) oncat saka angga
2. Pembacaan Hermeneutik
Setelah pembacaan heuristik, selanjutnya pada tahap kedua yaitu pembacaan hermeneutik,
agar ditemukan makna geguritan secara keseluruhan. Judul geguritan “Prahara” ini
menandakan arti suatu keadaan, dimana keadaan itu sedang kacau balau penuh dengan
kejahatan. Jika diuraikan artinya per baris, menjadi berikut ini:

Dinginnya udara merasuk ke dalam jiwa. Kekacauan mulai meningkat dan menyebar luas.
Perasaan susah menyerbu hati manusia. Kesana kemari membuat dosa. Sehingga Tuhan
marah. Semua orang menjadi lupa. Harta dunia sudah menutupi mata mereka. Setelah
ditimpa kemalangan. Baru ingat kepada sang Penciptanya. Yang sudah memberikan segala
hal di dunia. Setelah diberi segalanya, manusia tidak merasa harus berterima kasih. Sekedar
berdoa saja tidak dilakukan. Siang malam hanya mengejar harta dunia. Lupa kepada Yang
Maha Kuasa. Ingatlah suatu saat nanti. Nyawamu akan pergi meninggalkan tubuhmu.

Jika diambil makna secara keseluruhan, bahwasannya geguritan ini berisi tentang
kekecewaan pengarang terhadap sikap manusia di dunia, yang hanya mengejar kesenangan
dunia saja. Tetapi tidak memikirkan bahwasannya hidup di dunia hanya sementara. Jika
sudah mati, penyesalan akan menyelimuti diri mereka.

C. Model, Varian-Varian, dan Matriks

Model dari geguritan “Prahara” ini adalah Lonjaking prahara ngambra-ambra, baris yang
menggambarkan awal mula kegelisahan yang dihadapi pengarang. Karena semakin hari
keadaan disekitarnya semakin memburuk. Bentuk model “Lonjaking prahara ngambra-
ambra” ekuivalen dengan baris-baris sajak yang terdapat pada geguritan “Prahara” berikut
ini:

Lonjaking prahara ngambra-ambra


Dukita kasandhang manungsa
Kana kene gawe dosa
Gusti duka
Kabeh kalipyan
Bandha donya nutupi netra

Baris-baris sajak di atas melukiskan akibat dari kelalaian manusia untuk tetap beribadah
kepada Tuhannya. Apapun situasi yang dialaminya, seharusnya tetap melakukan
kewajibannya menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Model
“Lonjaking prahara ngambra-ambra” diekspansi ke dalam wujud varian-varianyang
menyebar ke seluruh sajak, yaitu (1) kana kene gawe dosa, (2) ngoyak bandha.

Varian pertama, “kana kene gawe dosa”, merupakan penyataan untuk menyindir terlalu fokus
dalam bekerja tanpa memperdulikan ibadah, hal itu tetap saja mendatangkan dosa dan
merupakan perbuatan yang sia-sia. Varian ini divisualisasikan dalam baris-baris sajak berikut.

Kana kene gawe dosa


Gusti duka
Kabeh kalipyan
Varian pertama ini menggambarkan jika terlalu banyak melakukan perbuatan dosa tentu saja
akan mendatangkan kemurkaan dari Tuhan. Varian kedua “ngoyakdonya”, merupakan
perwujudan dari sifat manusia yang tidak mengenal waktu hanya untuk mencari kesenangan
dunia. Varian kedua divisualisasikan dalam baris-baris sajak berikut:

Wayah rina wengi ngoyak bandha


Lali marang Kang Maha Kuwasa
Elinga sawanci-wanci
Sukma oncat saka angga

Varian kedua menggambarkan bahwasannya terlalu memfokuskan salah satunya saja tanpa
adanya keseimbangan dari keduanya (dunia dan akhirat) itu merupakan tindakan yangsia-sia.
Setelah diketahui model dan varian-variannya, matriks geguritan “Prahara” ini dapat
ditentukan, yaitu “kegelisahan melihat keadaan moral dunia semakin buruk”. Berdasarkan
proses pembacaan, masalah pokoknya dapat ditentukan sebagai berikut: Seiring berjalannya
waktu kejahatan dari bentuk apapun semakin merajalela. Yang paling berbahaya adalah
ketika lupa kepada sang Pencipta, yang sudah memberikan segala kebutuhan untuk
ciptaannya.

 Analisis geguritan 2

“Tangis Tengah Wana” karya Sri Rahayu Yustina


Berikut analisis geguritan 2 menggunakan model Riffaterre yaitu:

a. Ketidak langsungan ekspresi Dalam tahap ini ekspresi tidak langsung diakibatkan oleh 3
hal yaitu:
1.Penggantian makna (Distorting Of Meaning )

Gaya bahasa atau majas yang mengawali geguritan “Tangis Tengah Wana” ini adalah majas
Antitetis, yaitu mamadukan pasangan kata yang artinya bertentangan. Seperti pada bait
pertama: Ana swara tanpa rupa. Kemudian terdapat majas simile pada bait kesembilan dan
kesepuluh: Tumapaking sikil iki, Kaya nglarani bumi.Yang terakhir majas personifikasi
terdapat pada bait keempat belas dan lima belas: Wit gedhe ambruk tanpa daya Nanging isih
nyuwara sora

.2.Penyimpangan makna (Displacing Of Meaning )

Dalam geguritan “Tangis Tengah Wana” tidak terdapat ambiguitas, kontradiksi, dan
nonsense.

3.Penciptaan makna (Creating Of Meaning )

Geguritan “Tangis Tengah Wana” hanya terdiri dari satu bait dengan 16 baris didalamnya.
Memiliki rima a-a-a-a-b-b-b-b-c-c-c-c-a-a-a-a. Meskipun dibuat saling sambung-
menyambung antar barisnya, tetapi pengarang tidak membuatnya enjambemen. Seakan-akan
kalimat itu berdiri sendiri. Tipografi dalam geguritan ini dibuat rata kiri.

b. Pembacaan heuritik dan hermeneutic


1.Pembacaan heuritik
Pembacaan heuritik ini diambil dari arti kamus karena prinsipnya pembacaan heuritik ini
adalah pembacaan karya sastra (geguritan) berdasarkan system kebahasaan. Berikut
pembacaan heuritik pada geguritan “Tangis Tengah Wana”

Ana swara (nanging ) tanpa rupa


Nelangsa ngaru-ara
Ngundhamana (jeneng ) manungsa
Nalika aku liwat (ing ) tengah wana
Tak ambakake kupingku
Tak remake mripatku
Swara (sing ) sansaya (dirungokake saya) ngreridhu
(Swara) Nggrantes (iku nggawe) ngeres ing atiku
Tumapaking sikil iki
Kaya nglarani bumi
Lambe ndemimil wedi
Nyuwun pangayomaning (marang ) Gusti
Byaaar, ketok mata
Wit (sing ) gedhe ambruk tanpa daya
Nanging isih (bisa) nyuwara sora
Iki (kabeh merga) pokalmu, manungsa

2.Pembacaan hermeneutik
Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan semiotic tingkat kedua
atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan ini merupakan pembacaan ulang (retroaktif)
sesudah pembacaan heuritik dengan memberikan konvensi sastranya. Pembacaan
hermeneutik, judul geguritan “Tangis Tengah Wana” menggambarkan suasana sedih yang
sangat mendalam, hal ini ditulis dengan kata “Tangis”. Sedangkan “Tengah Wana”,
menggambarkan tengah hutan yang manadapata diartikan sebagai daerah yang sunyi atau
sepi. Di dalam geguritan ini digambarkan suasana ketika malam hari. Hal ini lebih menambah
suasana sedih itu sendiri. Jika diuraikan per barisnya menjadi seperti berikut:

Ada suara tetapi tak ada wujudnya. Sedih mengharu-biru. Disebut-sebutnya nama manusia.
Ketika aku lewat di tengah hutan. Ku tajamkan telingaku. Kututup mataku. Suara semakin
terdengar memilukan. Suara kesedihan itu membuat tidak nyaman hatiku. Jejak langkah kaki
ini. Seperti membuat bumi kesakitan.Bibir bergetar ketakutan. Meminta perlindungan kepada
Tuhan. Byaaar terlihat oleh mata. Pohon besar tumbang tanpa daya. Tetapi seakan masih bisa
berteriak. Ini semua karena ulahmu, manusia.

Jika diambil makna secara keseluruhan, bahwasannya geguritan ini berisi tentang kesedihan
pengarang melihat hutan sekarang ini. Pengarang menggunakan pohon yang seakan-akan
berteriak menyalahkan manusia, karena tidak bertanggung jawab dengan alam. Suasana
kesedihan sangat terasa dalam geguritan ini.

c.Model,Varian-Varian,danMatriks
Model dari geguritan “Tangis Tengah Wana” adalah nelangsa ngaru-ara, baris yang
mengawali suasana kesedihan yang amat sangat. Ketika si aku melewati tengah hutan,
suasana sedih terasa semakin kuat. Bentuk model “nelangsa ngaru-ara” ekuivalen dengan
baris-baris sajak yang terdapat pada geguritan “Tangis Tengah Wana” berikut ini:
Ana swara tanpa rupa
Nelangsa ngaru-ara
Ngundhamana manungsa
Nalika aku liwat tengah wana
Tak ambakake kupingku
Tak remake mripatku
Swara sansaya ngreridhu
Nggrantes ngeres ing atiku

Baris-baris sajak di atas melukiskan bagaimana suasana kesedihan itu sangatterasa. Ketika si
aku menajamkan telinga, dan menutup matanya. Seakan-akan hatinya juga merasakan
kesedihan itu. Model “nelangsa ngaru-ara”diekspansi ke dalam wujudvarian-varian yang
menyebar ke seluruh sajak, yaitu (1) swara saya ngreridhu dan (2) isihnyuwara sora.
Varian pertama, “swara saya ngreridhu”, merupakan perwujudan dari rasa kesedihan itu
sendiri. Di dukung oleh keadaan hutan yang sunyi membuat si aku merasakan kegelisahan di
hatinya. Varian ini divisualisasikan dengan sajak-sajak berikut

Swara sansaya ngreridhu


Nggrantes ngeres ing atiku
Tumapaking sikil iki
Kaya nglarani bumi
Lambe ndemimil wedi

Varian pertama ini menggambarkan sangat sensitifnya hati si aku, karena setelah si aku
merasakan kesedihan hutan di sekitarnya. Seakan-akan sedikit langkah dari si aku akan
menyakiti hutan. Varian kedua, “isih nyuwara sora”, merupakan perwujudan dari suara hutan
yang si aku dengar. Varian ini divisualisasikan dengan sajak-sajak berikut.

Byaaar, ketok mata


Wit gedhe ambruk tanpa daya
Nanging isih nyuwara sora
Iki pokalmu, manungsa

Varian ini menggambarkan bahwa si aku ketika berjalan di tengah hutan tiba-tiba pohon di
depannya tumbang. Semakin sedihlah si aku melihat pohon tumbang itu, dan seolah si aku
mendengar ratapan kesedihan si pohon yang menyalahkan manusia karena sudah bertindak
semena-mena terhadap hutan dan isinya. Setelah diketahui model dan varian-variannya,
matriks geguritan “Tangis Tengah Wana” ini dapat ditentukan, yaitu “ratapan alam dan
perasaan marah untuk manusia. Berdasarkan proses pembacaan,masalah pokoknya dapat
ditentukan sebagai berikut: Kesedihan ratapan hutan yang tidak dapat diungkapkan, hanya
dapat dipendam sendiri

d. Hipogram: Hubungan Intertekstualitas

Setelah dibahas model, varian-varian, dan matriks, berikut ini akan dibahashubungan
intertekstualitas. Dalam konsep Semiotika Riffaterre, geguritan biasanya baru bermakna
penuh dalam hubungannya (pertentangannya) dengan geguritan lain. Oleh karena itu, perlu
dicari hubungan intertekstualitasnya. Geguritan “Prahara” dan “Tangis Tengah Warna”
mempunyai pengarang yang sama. Dan jika ditelaah kembali isinya juga hampir sama.
Seakan geguritan “Prahara” dan “Tangis Tengah Wana” saling berhubungan. “Tangis Tengah
Warna”, bagaikan dampak asal mulanya “Prahara”. Karena dari tindakan buruk manusia
terhadap hutan, Tuhan akan marah dengan memberikan bencana kepada manusia.

BAB III

PENUTUPAN

Kesimpulan Dari dua analisis geguritan di atas dapat diambil kesimpulan, pengarang ketika
membuatsuatu geguritan pasti memuat simbol-simbol yang tersembunyi untuk diungkapkan.
Sehingga sebagai pembaca kita harus bisa menerjemahkan simbol-simbol itu
sendiri.Pengarang ingin mengungkapkan sesuatu dengan cara menyamarkannya sebagai
majas.

Anda mungkin juga menyukai