PENDAHULUAN
sebagai tolok ukur untuk melihat perkembangan dan pencapaian estetis cerpencerpen pada periode itu. Nirwan Dewanto dalam salah satu situs blog
(http://www.cerpen_pilihan_kompas.com) menyatakan bahwa pada periode
tersebut Kompas menjadi media yang cukup penting dalam membahas
pertumbuhan cerpen. Pada periode selanjutnya, Kompas menjadi media bagi para
penulis yang banyak memberikan pengaruh pada pertumbuhan cerpen, seperti
Seno Gumira Ajidarma, Putu Wijaya, Radhar Panca Dahana, Danarto, Djenar
Maesa Ayu, Puthut EA dan Agus Noor.
Agus Noor adalah salah satu penulis yang banyak menyumbang
karyanya pada Kompas. Agus Noor merupakan cerpenis penting dalam khazanah
sastra kontemporer Indonesia yang telah menulis banyak prosa, cerpen, naskah
lakon (monolog dan teater) juga skenario sinetron dengan gaya parodi dan
terkadang satir. Beberapa buku kumpulan cerpen yang telah ditulis Agus Noor
yaitu Bapak Presiden yang Terhormat (1999), Memorabilia (2000), Selingkuh Itu
Indah (2001), Rendezvous (Kisah Cinta yang Tak Setia) (2004), Matinya Toekang
Kritik (2006), dan Potongan Cerita di Kartu Pos (2006). Karya-karya Agus Noor
yang berupa cerpen banyak terhimpun dalam beberapa media cetak, antara lain
Lampor (Cerpen Pilihan Kompas, 1994), Kitab Cerpen Horison Sastra Indonesia
(Majalah Horison dan The Ford Foundation, 2002), Jl. Asmaradana (Cerpen
Pilihan Kompas, 2005), Pemburu ke Tapoetik (Majelis Sastra Asia Tenggara dan
Pusat Bahasa, 2005), Pembisik (Cerpen-cerpen terbaik Republika), 20 Cerpen
Indonesia Terbaik 2008 (Buku Pena Kencana), dan Ripin (Cerpen Kompas
Pilihan, 2007).
Paling Indah di Dunia dijadikan sebagai judul buku kumpulan cerpen oleh Agus
Noor sehingga membuat cerpen ini tampak begitu penting kedudukannya.
Cerpen yang berjudul Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia
mengandung retorika Agus Noor yang dominan pada gaya bahasa personifikasi.
Personifikasi adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati
atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat
kemanusiaan. Personifikasi merupakan suatu corak khusus dari metafora, yang
mengiaskan benda-benda mati bertindak, berbuat, berbicara seperti manusia
(Keraf, 2000:140). Gaya bahasa personifikasi dalam cerpen ini digunakan untuk
menceritakan perilaku tokoh utama, yaitu sepotong bibir. Melalui gaya bahasa
personifikasi, Perilaku sepotong bibir dalam cerpen diketahui merujuk pada suatu
tokoh penguasa. Selain itu, dominasi gaya bahasa personifikasi dalam cerpen
Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia dimaksudkan untuk menimbulkan kesankesan parodi. Kesan parodi bertujuan sebagai ungkapan sindiran atas politik dan
kekuasaan pemimpin Indonesia. Kesan-kesan parodi dalam cerpen ini
digabungkan oleh Agus Noor dengan memunculkan sebuah estetika kekerasan.
Perlu diketahui bahwa gaya bercerita Agus Noor memiliki ciri khas pada ceritacerita yang mengandung estetika kekerasan dalam setiap karya-karyanya.
Kata estetika (Soemanto, 1999: 1-15) memiliki arti kepekaan terhadap
seni dan keindahan. Kata kekerasan memiliki arti perbuatan seseorang atau
kelompok orang yang menyebabkan kerusakan fisik pada orang lain. Secara
umum, pengertian estetika kekerasan adalah kepekaan terhadap keindahan
perilaku yang menyebabkan kerusakan. Konvensi estetika kekerasan memiliki
akar yang cukup lama dalam sastra Indonesia. Sejak Rendra, bahkan Chairil
Anwar sebelumnya telah menggunakan hal-hal yang menjijikan sebagai simbol
estetika kekerasan dalam karya-karyanya. Pada cerpen-cerpen Agus Noor, Hal-hal
yang menjijikkan berkedudukan sebagai foreground, bahkan sebagai pusat
perhatian. Dalam cerpenSepotong Bibir Paling Indah di dunia, hal-hal yang
berupa darah dan penyiksaan dibuat menjadi sesuatu yang menarik minat
pembaca untuk menikmati cerita. Estetika kekerasan dalam cerpen tersebut
merupakan estetika kekerasan yang bersifat simbolis. Batasan estetika kekerasan
secara simbolis dalam cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di dunia adalah
eksplorasi pada ungkapan penyiksaan, seperti bibir yang dipotong, bekas sayatan,
dan darah yang diceritakan dengan menggunakan diksi.
Keistimewaan lain dari cerpen ini, yaitu ditemukan adanya inisial SGA
yang merujuk pada nama Seno Gumira Ajidharma sehingga diyakini bahwa
cerpen ini merupakan bentuk apresiasi penuh terhadap karya Seno Gumira
Ajidarma. Hal ini dibuktikan dengan munculnya tokoh pada cerpen Sepotong
Bibir Paling Indah di Dunia yang terinspirasi oleh tokoh kumpulan cerpen
Sepotong Senja Untuk Pacarku dan Dunia Sukab karya Seno Gumira Ajidharma.
Tokoh-tokoh tersebut adalah Sukab, Alina, dan Maneka. Dalam teks cerpen
Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, tokoh baru dimunculkan dan
disandingkan dengan tokoh-tokoh inspirasi SGA. Tokoh baru tersebut adalah
sepotong bibir yang merujuk pada tokoh penguasa. Tokoh penguasa tersebut
direpresentasikan sebagai penguasa yang memiliki politik dan kekuasan.
untuk
mempengaruhi
kebijakan
umum
(pemerintah)
baik
(Budiman, 1999:108), simbol merupakan salah satu jenis tanda yang bersifat
arbitrer dan konvensional. Berdasarkan pengertian ini, simbol merupakan
ekuivalen dari pengertian Saussure tentang tanda. Tanda (simbol) yang banyak
terdapat dalam cerpen diungkapkan maknanya menggunakan teori-teori yang
berhubungan dengan analisis tanda. Simbol-simbol tersebut merupakan sarana
dalam menciptakan cerita yang dramatis dan memiliki nilai estetis mengenai
permasalahan politik dan kekuasaan dalam cerpen ini.
Untuk itu, dalam penelitian ini digunakan teori semiotik. Teori semiotik
Roland Barthes dipilih sebagai objek formal dalam penelitian ini. Teori tersebut
dipilih untuk menganalisis cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karena
menjangkau secara detail keragaman makna yang terdapat dalam teks dengan
memotong teks menjadi beberapa leksia sehingga tidak ada satu pun tanda yang
terlewat dalam proses menganalisis cerpen tersebut.
leksia politik dan kekuasaan cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia dan
devagasi keragaman makna politik dan kekuasaan cerpen Sepotong Bibir Paling
Indah di Dunia dengan menggunakan teori semiotik lima kode Roland barthes.
Penggunaan teori tersebut secara garis besar yaitu untuk mengetahui tafsir dari
keragaman makna politik dan kekuasaan yang ingin diungkapkan dalam cerpen
ini. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah sebagai sumbangan wawasan kepada
pembaca untuk memahami ataupun menerapkan teori dan metode semiotik lima
kode Roland Barthes dalam melakukan penafsiran terhadap teks sastra.
Penelitian kedua adalah skripsi milik Rayi Purikawati Suhari Putri dari
jurusan Sastra Indonesia UNAIR pada tahun 2012. Penelitian ini berjudul
Fantastik Marvellous dan Pengembangan Makna Kelima Cerpen Sepotong Bibir
Paling Indah di Dunia Karya Agus Noor yang meneliti hubungan antar teks dan
struktur fantastik yang meliputi narator, tokoh dan waktu serta kejadian-kejadian
aneh dalam cerpen Sepotong Bibir paling Indah di Dunia karya Agus Noor.
Penelitian tersebut menggunakan analisis teori hermeneutik yaitu teknik
pembacaan berulang-ulang. Selain kedua penelitian itu, tidak ada penelitian
khusus terhadap cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia karya Agus Noor
dengan menggunakan teori lima kode Barthes (http://www.unair.ac.id).
Penelitian lain terhadap karya Agus Noor adalah skripsi milik Inayatur
Rosidah
jurusan
Sastra
Indonesia
UNAIR
pada
tahun
2012
10
pada tahun 2009 dengan menggunakan teori Michel Foucault. Tulisan ini
merupakan pembahasan cerpen Agus Noor Tiga Cerita Satu Tema. Cerpen
tersebut adalah salah satu cerpen yang termuat dalam kumpulan cerpen berjudul
Potongan Cerita di Kartu Pos (2006). Artikel ini membahas mengenai relasi
kekuasaan melalui analisis wacana yang didasarkan kepada relasi pengetahuan
dan kekuasaan Michel Foucault. Artikel yang kedua ditulis oleh Prof. Dr. Bakdi
Soemanto, S.U. berjudul Perhaps Only Those Horrible Thing Would Be Of
Memorabilia. Artikel ini membicarakan tentang estetika kekerasan Agus Noor
dalam lima belas cerpennya yang terdapat pada buku kumpulan cerpen
Memorabilia (2000) (http://cabiklurik.blogspot.com).
Banyak penelitian lain dengan menggunakan kajian teori yang sama yaitu
teori semiotik Roland Barthes. Beberapa penelitian menggunakan teori semiotik
Roland Barthes sebagai alat analisis adalah penelitian skripsi milik Rahmad
Widada (UGM, 1999) berjudul Menyimak Suara-Suara terpendam: Analisis
Semiotika Roland Barthesian Cerpen Dilarang Menyanyi Di Kamar Mandi.
Skripsi tersebut meneliti konsep intertekstualitas teks dan melakukan penafsiran
atas makna dan gaya parodi yang dihadirkan oleh pengarang dalam cerpen
tersebut, yaitu berasal dari ideologi seni dan politik totalitarianisme.
Skripsi Bambang Barohmad (UGM, 2004) yang berjudul Keberagaman
Makna Dalam Cerpen Kematian Paman Gober Karya Seno Gumira Ajidharma:
Analisis
Semiotika
Roland
Barthes.
Hasil
penelitian
tersebut
adalah
11
12
Warung Kopi memiliki narasi yang tersembunyi dalam teks dan tema besar
sebagai pusat penceritaan yaitu kritik terhadap pemerintah.
Thesis milik Sunahrowi (UGM, 2008) mahasiswa program pascasarjana
yang berjudul Individualitas dan Absurditas Manusia Dalam Roman Ltranger
Karya Albert Camus: Kajian Semiotika Roland Barthes. Penelitian ini bermaksud
mengkaji
sisi
individualitas
dan
absurditas
manusia
dalam
kehidupan
Ltranger.
Ltranger
sebagai
13
semiotik lima kode Roland Barthes. Selain itu, cerpen ini memuat penciptaan
tentang ide dan beberapa gagasan baru Agus Noor melalui teks cerpen yang
diperbaharuinya dari teks cerpen lama karya SGA. Melalui simbol-simbol yang
terdapat dalam ciri dan karakteristik bahasanya, cerpen ini merupakan cerpen
yang tepat untuk dianalisis dengan menggunakan teori semiotik Roland Barthes.
Penelitian ini tidak mencantumkan sebuah analisis interteks karena penelitian
cerpen tersebut lebih memusatkan pada ragam simbol. Meskipun setiap teks pada
dasarnya adalah interteks, akan tetapi teks-teks lain hadir dalam kadar yang
beragam. Hal tersebut terjadi karena bahasa selalu memiliki sifat yang
konvensional. Keragaman makna di dalam karya sastra merupakan suatu kualitas
yang dibangun karena ketidakterbatasan sistem bahasa. Oleh karena itu, karya
sastra memiliki kecenderungan untuk mempunyai banyak penafsiran (Barthes,
1990:3).
Penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh mahasiswa dengan
menggunakan teori semiotika lima kode Roland Barthes sebagian besar memiliki
tujuan untuk mengungkap makna yang terdapat dalam teks objek kajian. Hasil
penelitian-penelitian tersebut
menitikberatkan
pada simbol,
makna, dan
intertekstualitas sehingga analisisnya tidak tertuju terhadap tema besar teks. Pada
penelitian Keragaman Makna Politik dan Kekuasaan Cerpen Sepotong Bibir
paling Indah di Dunia Karya Agus Noor: Kajian Semiotik Roland Barthes,
penelitian lebih mengarah pada simbol-simbol politik dan kekuasaan Indonesia
yang terkandung dalam teks. Politik dan kekuasaaan merupakan sebuah
penyederhanaan dari analisis keragaman makna yang telah dilakukan.
14
15
teks sastra dengan cara mencari dan membagi leksia. Leksia tersebut merupakan
satuan-satuan analisis yang dihasilkan dengan memenggal teks.
Barthes (1990:7) menjabarkan bahwa pada tingkat denotasi, bahasa
menghadirkan kovensi atau kode-kode sosial yang bersifat eksplisit. Kode-kode
sosial yang bersifat eksplisit ini adalah kode yang makna tandanya akan segera
tampak ke permukaan berdasarkan relasi penanda dan petandanya. Sebaliknya,
pada sistem konotasi, bahasa menghadirkan kode-kode yang makna tandanya
bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya memiliki muatan makna-makna
tersembunyi (Barthes, 1990:78).
1.Penanda
Bahasa
2. Petanda
Tanda
I. PENANDA
II.
PETANDA
III. TANDA
Gambar Model hubungan sistem tanda tingkat I dan II
Dari skema di atas dapat dilihat bahwa dalam sistem tanda bahasa
(language) sebagai sistem semiotik tingkat pertama, terdapat hubungan atara
penanda (signifier) dan petanda (signified) yang kemudian menghasilkan sistem
tanda (sign) yang bermakna. Barthes mengungkapkan (1990:113) secara semiotik
makna tersembunyi dicirikan oleh hadirnya sebuah tataran kewacanaan. Hal ini
disebut dengan sistem semiotik tingkat dua, terdiri dari penanda (signifier) dan
petanda (signified) yang membentuk sistem tanda.
16
1.5.1 Leksia
Dalam menganalisis teks dengan teori semiotik Roland Barthes, tahap
pertama yang dilakukan ialah pemenggalan teks. Pemenggalan teks dilakukan
untuk menentukan leksia. Leksia (lexia) merupakan satuan-satuan analisis yang
dihasilkan dengan cara memenggal teks (Barthes 1990:13). Leksia-leksia ini
merupakan satuan pembacaan (units of reading) dengan panjang pendek
bervariasi dan pemenggalan tersebut bersifat arbitrer.
Barthes (1975:13) mengakui bahwa pemenggalan tersebut tidak
mengimplikasikan tanggung jawab metodologis. Pemenggalan teks lebih banyak
didasarkan pada kepekaan dan pengalaman peneliti. Ia mengemukakan bahwa
leksia hendaknya merupakan penggalan terbagus, yaitu penggalan yang
memungkinkan suatu penggalian makna. Setiap leksia rata-rata akan mengandung
tiga sampai lima kode. Selanjutnya leksia-leksia tersebut dihubungkan dengan
lima kode umum. Di bawah lima kode inilah seluruh penanda tekstual
dihubungkan (Barthes, 1975:19).
Sepotong bagian teks merupakan sebuah leksia dan memiliki fungsi khas
bila dibandingkan dengan potongan-potongan teks lain di sekitarnya apabila
diisolasikan. Sebuah leksia bisa berupa apa saja, kadang berupa satu-dua patah
kata, kelompok kata, beberapa kalimat, dan paragraf. Pemenggalan sebuah teks
didasarkan pada kepekaan dan sensasi pengalaman penafsir ketika membaca
sebuah teks (Culler, 2003:140). Namun, menurut Zaimar (1991:33) kriteria
pemenggalan teks mengacu pada kriteria. Kriteria-kriteria tersebut adalah:
17
18
19
(4) Jebakan, merupakan istilah untuk kode yang memberikan jawaban yang
salah atau menyesatkan.
(5) Penundaan, adalah istilah untuk kode yang menunda kemunculan jawaban.
(6) Jawaban sebagian, istilah untuk kode yang secara tidak utuh memberikan
jawaban.
(7) Jawaban sepenuhnya, merupakan isilah untuk kode yang memberikan
jawaban secara keseluruhan.
(b) Kode aksi atau kode proaretik (AKS) adalah kode yang mengatur alur sebuah
cerita. Kode ini menjamin bahwa sebuah teks adalah cerita yang memiliki
serangkaian aksi yang saling berkaitan satu sama lain. Analis yang baik
dituntut untuk mampu memberikan nama yang representatif bagi rangkaian
aksi-aksi itu. Kemunculan sebuah rangkaian aksi naratif berkaitan erat dengan
proses penamaan yang bersifat empiris dan rasional (Barthes, 1990:18-19).
Kode ini merupakan kode yang didasarkan atas kemampuan analis untuk
menentukan akibat dari suatu tindakan secara rasional dan tindakan yang
berimplikasi pada logika perilaku manusia. Tindakan-tindakan yang
menimbulkan dampak masing-masing memiliki suatu nama generik
tersendiri.
(c) Kode simbolis (SIM) merupakan penanda teks yang mampu membawa
pembaca untuk memasuki dunia lambang-lambang berikut maknanya.
Lambang-lambang dalam wilayah simbolis ini mempunyai banyak makna
(multivalence) yang dapat saling bertukar posisi (reversibility). Kode
20
simbolik merupakan kode yang mengatur aspek bawah sadar dari tanda dan
merupakan psikoanalisis (Barthes, 1990:19).
(d) Kode semantik (SEM) atau konotasi, merupakan kode yang memanfaatkan
berbagai isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh
penanda-penanda tertentu. Kode ini merupakan penanda yang mengacu pada
gambaran-gambaran mengenai kondisi psikologis tokoh, suasana atmosferik
suatu tempat atau objek tertentu (Barthes, 1990:19). Kode semik merupakan
penanda bagi dunia konotasi yang didalamnya mengalir kesan atau rasa
tertentu. Pada tataran tertentu kode konotatif ini mirip dengan apa yang
disebut sebagai tema atau struktur tematik.
(e) Kode referensial (REF) adalah kode yang membentuk suara-suara kolektif
anonim dari pertanda yang berasal dari berbagai ragam pengalaman manusia
dan tradisi. Dalam pengertian luas, kode referensial adalah penanda-penanda
yang merujuk
pada
seperangkat
referensi/pengetahuan
umum
yang
21
kemudian
menjabarkan
leksia-leksia
yang
telah
dikelompokkan tersebut.
5. Mengidentifikasi kode-kode yang terkandung dalam masing-masing
leksia. Leksia sendiri merupakan penggalan yang benar-benar signifikan
22
bagi sebuah narasi, ada kalanya sebuah leksia dapat diperoleh dengan
mempertimbangkan penanda-penanda formal yang memberi jeda atau
batas antar bagian dalam teks. Leksia juga dapat membuat pembaca
mengerti keseluruhan isi cerita atau tema. Sebuah tema akan memberi
kekuatan dan menegaskan kebersatuan kejadian-kejadian yang sedang
diceritakan sekaligus mengisahkan kehidupan dalam konteksnya yang
paling umum (Stanton, 2007:7).
6. Menafsirkan keragaman makna yang terdapat dalam keseluruhan teks
dengan menggunakan teori lima kode. Satuan analisis yang telah
ditafsirkan kemudian disebut sebagai devagasi.
7. Menarik kesimpulan dari hasil analisis yang telah dilakukan.