Anda di halaman 1dari 161

Negeri Segala

Umpama

Puisi Pemenang, Puisi Pilihan, dan Puisi-puisi yang


Turut Merayakan
Payakumbuh Poetry Festival 2021
Pengantar Panitia

Alangkah bahagia ketika kami mampu menepati janji untuk kembali hadir pada
tahun ini. Dengan tema Tokoh dan Kota, Payakumbuh Poetry Festival 2021 telah
dikunjungi lebih kurang 250 judul puisi dari berbagai daerah di Indonesia. Puisi-puisi
tersebut seolah ragam warna-warni sudut pandang terhadap Payakumbuh Luhak Limo
Puluah. Puisi-puisi yang kemudian seolah-olah melukis selembar peta, apa dan siapa
Payakumbuh Luhak Limo Puluah? Dan kebahagiaan tersebut semakin ternikmati saat
puisi-puisi terbaik serta puisi-puisi pilihan terangkum dalam satu buku antologi.
Buku antologi ini adalah penanda terhadap apa yang kami janjikan tahun lalu,
bahwa dengan segenap daya upaya kami akan memperjuangkan keberlangsungan
Payakumbuh Poetry Festival ini setiap tahun, dengan harapan Payakumbuh Poetry
Festival mampu menjadi sebuah ruang kreatif, ruang kualitas penciptaan, ruang
silaturrahmi, serta ruang tempat merayakan puisi tanpa ada kata henti.
Judul buku ini terinspirasi dari sebuah judul puisi karya Safri Dani yang
kemudian sedikit dipiuh sesuai dengan apa yang kami inginkan dari keberadaan buku ini;
ternikmati dan terpahami. Buku antologi yang berisikan 5 puisi terbaik dan 50 puisi
pilihan ini kemudian kami tambahkan dengan 9 puisi para penyair di luar perlombaan
untuk ikut merayakan kebahagiaan perpuisian di Indonesia.
Dalam lembar ini pulalah kami ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarnya
kepada semua pihak yang dengan ikhlas telah membantu terlaksananya Payakumbuh
Poetry Festival 2021. Terutama kepada Bapak Riri Satria (Jakarta) yang telah
memberikan dukungan dan bantuan yang berarti sekali terhadap keberlangsungan
kegiatan ini. Juga kepada Bapak Supardi yang tak pernah lelah melecutkan motivasi di
setiap kreatifitas yang kami lakukan. Kemudian kepada Bapak, Ibu, Dunsanak, Handai
Taulan yang tidak bisa kami sebutkan satu-persatu yang telah berkontribusi banyak dan
tidak mungkin begitu saja kami lupakan. Dukungan dan bantuan yang diberikan telah
menjadi api semangat bagi kami untuk terus berbuat. Kami merasa berutang pada
dukungan dan bantuan tersebut, dan kami akan berupaya membayarnya dengan kegiatan-
kegiatan yang lebih baik untuk ke depannya.
Akhirnya kami mengucapkan, selamat menikmati buku antologi puisi ini, semoga
ada warna dan makna yang akan memperkaya dunia kesusasteraan di Indonesia.

Panitia Payakumbuh Poetry Festival 2021


Catatan Dewan Juri
Payakumbuh Poetry Festival 2021

Sebuah lomba dalam gelanggang perpuisian adalah usaha menyediakan suatu


keterbatasan bagi penyair, tapi keterbatasan itu justru dimaknai sebagai tantangan atas
kreativitas. Apa yang kita sebut sebagai ―tema lomba‖ jelas-jelas sebuah keterbatasan.
Namun, kita tentu bukan orang yang menderita alergi tingkat tinggi pada segala bentuk
pembatasan. Keterbatasan yang terkandung dalam suatu tema tentu saja tidak berasal dari
pembatasan yang ditujukan agar kita tidak bisa berbuat apa pun. Suatu tema, terutama bila
kita mau mencari dan menelusuri ruang gelap yang masih banyak di dalamnya, justru
selalu menyediakan hamparan yang sangat luas untuk ditaklukkan dan oleh karena itu
selalu ada tantangan-tantangan tak terduga untuk daya kreatif seorang penyair.
Tentu saja, tanpa adanya lomba, banyak penyair yang bisa menemukan atau
menciptakan tantangan sendiri dalam menulis puisi. Bahkan dapat dikatakan, dari
berbagai aspek, penyair-penyair kita tidak pernah kekurangan tantangan dalam berkarya.
Apalagi, selama penyair selalu menjaga ―kerisauan terhadap dunia yang dihidupinya‖
maka selama itu pula tantangan untuk berkarya senantiasa muncul. Hanya saja, dalam
suatu lomba, salah satu sifat utamanya, penyelenggara lomba menyediakan tantangan
untuk ditaklukkan bersama-sama, dengan cara masing-masing, dan tak jarang tema yang
disediakan itu merupakan semacam ―jalan pintas‖ untuk membawa kita ke salah satu
ruang gelap yang belum banyak disentuh selama ini.
Banyak lomba-lomba menulis atau sejenisnya di negeri kita ini, baik secara
langsung atau tidak, yang pada taraf tertentu turut mendorong para pesertanya menyadari
bahwa ternyata ada isu-isu tertentu yang belum terlalu dieksplorasi dalam khazanah sastra
kita. Tentu saja, hal seperti itu bisa terjadi karena ikhtiar dari penyelenggara lomba yang
mau bersusah-payah menelusuri isu apa saja yang belum banyak ditulis, bentuk apa saja
yang belum banyak diolah-kembangkan, dan hal-hal lain yang diyakini layak untuk
diajukan sebagai tantangan bagi para penyair.
Penyelenggara Payakumbuh Poetry Festival (PPF) di tahun 2021 ini menyediakan
tema ―Tokoh dan Kota‖, dalam hal ini Payakumbuh Luak Limo Puluah, sebagai tantangan
bagi penyair. Untuk berbicara tentang tokoh, termasuk yang mempunyai identifikasi
tertentu dengan suatu kota, puisi-puisi berjenis ―ode‖ merupakan bentuk paling umum
yang diterap-kembangkan oleh penyair, meskipun di saat yang sama bisa dikatakan
bahwa kita sebagai warga sastra Indonesia belum banyak ―mewarisi‖ capaian-capaian
terbaik dalam bentuk puisi penghormatan tersebut. Namun begitu, dalam mengajukan
tantangan tematik tersebut, penyelenggara PPF tetap tidak ingin berpegang-teguh pada
bentuk ode saja. Kemungkinan adanya bentuk selain ode, apa pun itu modus
penciptaannya, tetap dibuka seluas-luasnya.
Dewan Juri tahap akhir, yang terdiri dari Ahda Imran, Zelfeni Wimra, dan Heru
Joni Putra, menerima 150 naskah puisi. Jumlah ini merupakan hasil seleksi dari lebih
kurang 250 naskah yang masuk ke panitia dan diseleksi oleh dewan juri tahap awal yang
terdiri dari Okta Piliang, Ka Bati, dan Zurmailis. Jumlah ini jauh lebih sedikit bila
dibandingkan dengan penyelenggaraan tahun lalu yang setidaknya menerima 500 naskah
puisi. ―Tema tahun ini cukup berat,‖ demikian komentar beberapa pemirsa. Tema tahun
lalu hanya tentang Payakumbuh Luak Limo Puluah dan begitu banyak aspek yang bisa
direspon oleh peserta untuk menulis puisi. Ada yang menulis tentang tokoh, sejarah,
mitologi, dan seterusnya. Sedangkan tahun ini temanya lebih dibatasi pada perkara
―tokoh‖ saja. Dapat dipahami, penurunan jumlah peserta ini tentu tak dapat dihindari,
salah satunya, sebagai akibat dari ―beratnya‖ tema yang diajukan penyelenggara. Apalagi,
bagi peserta yang ingin ikut-serta tapi tidak terlalu akrab dengan tokoh-tokoh ―dari‖
Payakumbuh (sekalipun tidak sedikit tokoh-tokoh tersebut yang sudah jadi milik nasional
ataupun internasional), mereka tentu butuh ―persiapan‖ yang lebih ekstra untuk
menciptakan puisi sesuai tema, baik persiapan bahan dan hal-hal terkait dengan kerja-
kerja penciptaan lainnya.
Namun begitu, justru itulah yang membuat PPF tahun ini semakin menggairahkan.
Di satu sisi, penyelenggara berhasil mencari cara-cara yang berbeda untuk membuat
sesuatu yang sejak tadi kita sebut sebagai ―tantangan bagi kreativitas ― itu dan di sisi lain
dewan juri turut senang dengan berbagai usaha yang ditempuh para peserta untuk
menjawab tantangan tersebut dengan berbagai corak karya. Namun, dewan juri juga
menyadari bahwa senang saja tidak cukup. Selama proses penjurian, terutama pada tahap
akhir, memang lebih banyak ditemukan bentu-bentuk puisi ode, sekalipun penyelenggara
sudah membuka kemungkinan modus-modus penciptaan lainnya, baik yang masih
berusaha menunjukkan watak ode ataupun berusaha melepaskannya dengan suatu dan lain
cara. Sebagai bentuk paling lumrah, puisi-puisi ode yang ada dalam lomba ini pun tidak
sepenuhnya menunjukkan kejutan yang tak terduga. Akan tetapi, hal ini tidak berarti
bahwa tak ada harapan sama sekali. Meskipun dalam jumlah yang sedikit, dewan juri
masih patut berbesar hati atas karya-karya menarik yang menyita perhatian.
Dewan juri menemukan nama Tan Malaka, Chairil Anwar, dan Syech
Abdurrahman Al-Khalidi Batu Hampar sebagai tiga tokoh paling banyak direspons oleh
para penyair. Pada taraf tertentu, dewan juri menyadari bahwa dominasi tokoh-tokoh
tersebut tak terlepas dari nama besar mereka semenjak dahulu kala di bidang masing-
masing, yang tentu saja tidak hanya sebatas ruang lingkup Payakumbuh saja. Setidak-
tidaknya, tak hanya soal bagaimana ―data-data‖ tentang mereka lebih banyak dan lebih
mudah diakses oleh khalayak ramai bila misalnya dibandingkan dengan tokoh ―dari‖
Payakumbuh lainnya seperti Yusof Ishak, Syaiful Bahri, PK Ojong, dan sebagainya.
Tetapi juga soal kemunculan nama-nama mereka yang relatif tidak pernah luput dalam
berbagai wacana politik, budaya, dan agama di Indonesia semenjak dahulu sampai
sekarang. Ini tentu turut menjadi salah satu faktor penting yang membuat penyair dari
berbagai daerah di Indonesia dapat menciptakan kaitan tertentu dengan tema lomba kali
ini.
Selanjutnya, berikut beberapa gambaran umum proses penjurian tahap akhir.
Pertama, tidak ada satu naskah pun yang sama-sama terpilih oleh tiga juri tahap akhir.
Akhirnya ditemukan 9 naskah yang setidaknya dipilih oleh dua juri untuk diajukan
sebagai lima besar. Dari sejumlah naskah pilihan awal itu sebenarnya sudah ditemukan 5
karya terbaik. Tapi, sebuah lomba punya kebutuhan tertentu yang diartikulasikan sebagai
―tema‖ dan ini mau tidak mau sudah menjadi kesepakatan awal bahwa puisi-puisi terbaik
harus punya keterkaitan yang dapat diidentifikasi dengan tema ―tokoh dan kota‖
Payakumbuh Luak Limo Puluah.
Oleh sebab itu, karena sukarnya mengidentifikasi keterkaitan puisi-puisi tertentu
dengan suatu tokoh ―dari‖ Payakumbuh, maka beberapa puisi yang awalnya menjadi
bagian dari 5 terbaik itu pada gilirannya hanya bisa dimasukkan ke 50 pilihan saja. Dalam
hal ini, perlu kami tegaskan, perbedaan puisi terbaik dan puisi pilihan tidak sepenuhnya
karena ―kualitas‖ puisi A dari sudut pandang tertentu dianggap lebih baik dari puisi B,
tetapi juga karena pertimbangan-pertimbangan di luar itu, terutama soal keterkaitan erat
dengan tema. Dengan kata lain, bila kita ingin membayangkan alternatif lain: di luar
kebutuhan lomba ini, bisa saja komposisi itu berubah. Tapi lagi-lagi, dengan kerendahan
hati, lomba ini punya kebutuhannya sendiri, yang dengan suatu dan lain cara, menjadi
konteks yang sengaja dijaga.
Kedua, dewan juri tahap akhir kemudian mengajukan tawaran-tawaran naskah
yang dianggap layak untuk bersaing di posisi 5 terbaik. Dalam tahap ini, berbagai
pertimbangan dari setiap dewan juri pun diajukan dengan tarik-menarik yang tidak
kendor. Bagaimana pun juga, baik karya-karya yang sejak awal sudah diajukan untuk 5
terbaik atau yang diajukan kemudian, semuanya sama-sama punya persoalan instrinsik
masing-masing. Ini tentu perkara yang tidak mudah dan membutuhkan tarik-ulur yang
baik. Ada kelebihan yang menyenangkan dan ada kelemahan yang tidak sepenuhnya bisa
dimaklumi. Akhirnya, tetap harus ada kesepakatan bersama.
Dengan menerapkan berbagai pertimbangan, dewan juri memutuskan lima karya
terbaik, dalam susunan acak, yaitu Menjelang Sore ke Payakumbuh, Ziarah Stasiun
Payakumbuh, Dari Rahim Pajacombo, Langkah Silek Nan Ampek, dan Diktat. Dalam
memilih semua itu, yang tak dapat dihindari adalah perbandinganperbandingan yang
dilakukan dewan juri antar setiap puisi yang bercorak sama. Selain soal kepengrajinan
yang memang tidak merata di setiap karya terbaik, salah satu poin yang dipertimbangkan,
dalam puisi yang disebutkan pertama, yaitu adanya sudut pandang yang berbeda dari
puisi-puisi jenis serupa dalam lomba ini. Puisi ini tampak tidak neko-neko dengan secara
rendah hati dan terang-benderang menggunakan posisi ―melihat Payakumbuh dari luar‖.
Sedangkan puisi kedua dianggap berhasil menghadirkan bagaimana jalin-kelindan dan
lapis-berlapisnya elemen-elemen kultural (sejarah, mitos, memori, perkembangan
teknologi, makanan, bangunan, dst) yang membentuk suatu kota dan tentu saja
kompleksitas seperti itu turut mempengaruhi kurenah orang-orang, termasuk tokoh, di
dalamnya.
Pertimbangan yang diajukan untuk puisi yang disebutkan ketiga adalah iktiar
penyairnya untuk mencari cara untuk membuat suatu penghormatan atas Ibrahim Datuk
Tan Malaka tanpa menyebut-nyebut nama yang sudah familiar itu secara harfiah, yaitu
dengan cara menggunakan alusi terhadap nama yang sama di khazanah sejarah agama
monoteis dan tentu saja representasi tertentu yang mengerucut ke sosok pahlawan
nasional tersebut. Sedangkan puisi keempat cukup menyita perhatian karena isu silat yang
dihadirkannya dalam menghadirkan puisi untuk tokoh yang sangat dikenal dan punya
hubungan spesial dengan ulama lain di Payakumbuh ini, meskipun tidak persis berasal
dari wilayah ini. Penerapan isu silat tersebut tak hanya membuat puisi ini mencolok dari
jenis puisi serupa, tetapi juga cukup berhasil mendayagunakan kosakata silat yang telah
bersenyawa dengan tradisi surau Minangkabau itu. Terakhir, puisi kelima juga termasuk
puisi yang mencolok sendiri dibanding puisi yang mengangkat isu serupa, khususnya soal
permainan sudut pandang dan strategi teks yang ditempuh penyairnya dalam
membicarakan sosok seorang pemikir-pejuang. Dengan gaya sinisme yang terukur dan
penggunaan pola ―diktat‖ untuk memperkarakan ―diktat‖ itu sendiri, puisi ini dianggap
cukup berhasil menghadirkan ―semangat‖ dari gaya bahasa Tan Malaka dalam
menyampaikan pikiran-pikirannya.
Demikian catatan dari dewan juri tahap akhir. Semoga keberbagaian sudut
pandang, cara ucap, pemilihan isu, hingga perkara kepengrajinan yang turun-naik dalam
karya-karya terbaik ini cukup untuk mewakili serba-serbi ikhtiar para penyair menjawab
tantangan lomba ini. Karya terbaik pilihan ini adalah ikhtiar yang dilakukan dewan juri
dengan kapasitas paling maksimal sekaligus dengan keterbatasan dan kelemahan yang
pasti akan selalu menyertai, disadari atau tidak disadari, saat ini ataupun di kemudian hari.
Oleh sebab itu, terlepas dari persoalan karya mana yang terbaik dan karya mana yang
terpilih, pada giliranya kami berharap bahwa kita akan sampai pada kehendak bersama
kita: semoga puisi selalu menjadi jalur kita untuk saling memahami satu sama lain. Salam
puisi tak henti-henti.
Dewan Juri
Heru Joni Putra
Ahda Imran
Zelfeni Wimra
Zurmailis
Ka Bati
Okta Piliang
Daftar Isi

Pengantar Panitia Payakumbuh Poetry Festival 2021……………………………..


Catatan Dewan Juri Payakumbuh Poetry Festival 2021…………………………….

5 Puisi Terbaik Payakumbuh Poetry Festival 2021

A. Syauqi Sumbawi (Lamongan) / Dari Rahim Pajacombo………………………….


Damar Sewu (Kebumen) / Diktat………………………………………………………..
Hoerudin (Sukabumi) / Ziarah Stasiun Payakumbuh…………………………………..
M. Rifdal Ais Annafis (Sumenep) Menjelang Sore ke Payakumbuh…………………..
Nurham Abdul Wahab (Magetan) / Langkah Silek Nan Ampek: Syekh Kumango
Abdurrahman Al-Khalidi………………………………………………………………..

50 Puisi Pilihan Payakumbuh Poetry Festival 2021

A. Musabbih (Tegal) / Tan, Bagaimana Aku Harus Merandang……………………...


Ach. Firmansyah (Sidoarjo) / Ide-ide Malaka di Minangkabau………………………….
Alif Maulana (Padang ) / Auw Jong……………………………………………………..
Alvian Rivaldi Sutisna (Bekasi) / Memory Buya Zainuddin Hamidi……………………
Andini Nafsika (Padang Panjang) / Tengkuluk Merah …………………………………..
Andreas Mazland (Padang) / Pada Nisan yang Menyimpan Bau Mesiu…………………
Arif Hukmi (Makassar) / Apa yang Akan Kita Kenang dari Sebuah Peristiwa Ini, Tan…
Arif. P. Putra (Pesisir Selatan) / Sandiwara Rantau……………………………………….
A‟yat Khalili (Tanggerang Selatan) / Payakumbuh Tanah Airku………………………..
Ayu K Ardi (Payakumbuh) / Bong Ciam Pajacombo…………………………………….
Budhi Setyawan (Bekasi) / Mencari Chairil Anwar di Payakumbuh…………………….
Budi Saputra (Padang) / Melawat Tanah Asal……………………………………………
Dadang Ari Murtono (Mojokerto) / Jantung Nama, O, Jantung Kata……………………
Defika Irma Suryani (Lintau) / Maung Sago Bertuah…………………………………….
Decky Medani (Bandung) / Relung Surat VII…………………………………………….
Dhery Ane (Kupang) / Sungai yang Mencintaimu Sepanjang Musim……………………
Dian Hardiana (Bandung) / Kalah: Tan…………………………………………………..
Dian Rennuati (Palembang) / Kenangan Tentang Chairil…………………………………
Dian Rusdiana (Bekasi) / Pilar Cahaya di Surau Batuhampar……………………………
Ebi Lengkung (Sumenep) / Mengenang Kota dalam Potret ―Aku‖………………………..
Eddy Pranata PNP (Banyumas) / Di Rumah Bako, Aku Tak Mau Mampus Dikoyak-
koyak Sepi………………………………………………………………………………..
Emi Suy (Jakarta) / Catatan Sejarah Payakumbuh……………………………………….
Faisal Syahreza (Bandung) / Bibit Hidup Petani Senang…………………………………
Fatah Anshori (Lamongan) / Batu-batu di Jembatan Ratapan Ibu……………………….
Fatur Rahman (Pesisir Selatan) / Pemeran yang Hilang dari Alur Cerita…………………
Hudan Nur (Banjar Baru) / Syekh Kumango, Doa yang Mengelana dari Rumah Tua…..
Ida Bagus Uttarayana (Bandung) / ―Aku Mau, Kau?‖…………………………………..
Iis Singgih (Malang) / Doa Burung-burung Urban di Pohon Pinang…………………….
Iman Sembada (Depok) / Fragmen Tan Malaka………………………………………….
Ipoer Wangsa (Malang) / Setapak Jejak Kediri: Epos Sunyi Tan………………………..
Irzi (Tanggerang) / Blues untuk Datuk Tan Malaka……………………………………..
Jaka Junie (Malang) / Oda Pada Madilog……………………………………………….
Jemi Batin Tikal (Yogyakarta) / Tan dalam Tiga Ingatan………………………………..
Khodadad Azizi (Tanggerang Selatan) / Chairil dan Rumah Gadang……………………
Kurliyadi (Cirebon) / Epilog Surau Tua; Ode untuk Syekh Ibrahim Mufti………………
Mairi Nandarson (Batam) / PK Ojong: Dari Jalan Lundang……………………………..
M. Badri (Pekanbaru) / Di Tepi Batang Agam…………………………………………..
Meifrizal (Pasaman) / Si Jantan dari Pandam Gadang Mati di Kaki Gunung Wilis………
Moh. Ghufron Cholid (Madura) / Yang Hidup Berkali-kali: Chairil Anwar…………….
Muhammad Daffa (Surabaya) / Kesaksian Tarhim di Lidah Engku……………………..
Nenden Servia Sandora (Bandung) / Surat Impian di Atas Jendela yang Dingin: 1972…
Rafki Imani (Solok) / Sebab Tan Malaka…………………………………………………
Ramoun Apta (Jambi) / Bubur Hijau Gula Enau Pandan Wangi Kulit Manis Jahe Merah
Primadona Kita……………………………………………………………………………
Rissa Chria (Bekasi) / Etape Jembatan Ratapan Ibu Hingga ke Aie Tabik……………….
Rori Maidi Rusji (Padang) / Ingatan Masih Tinggal……………………………………..
Romy Sastra (Jakarta) / Fragmen Tubuhmu Payakumbuh………………………………
Safri Dani (Padang Pariaman) / Nagari Segala Umpama: Payaukumbuah………………
Wawan Kurniawan (Sulawesi Selatan) / Parade Suara Ingatan…………………………..
Wayan Jengki Sunarta (Denpasar) / Tan Malaka…………………………………………
Yeni Purnama Sari (Lima Puluh Kota) / Hampir Senja di Lembah Suliki………………

Penyair yang Turut Merayakan

Ahda Imran (Bandung) / Jalan Tan Malaka, Payakumbuh……………………………….


Deddy Arsya (Padang) / Dari Tarusan ke Indrapura………………………………………
Gus tf (Payakumbuh) / Kota Masa Kecil, Kota Mata Kail………………………………
Iyut Fitra (Payakumbuh) / Jalan Tan Malaka……………………………………………
Kiki Sulistyo (Lombok Barat) / Pusat Ampenan………………………………………..
Nirwan Dewanto (Jakarta) / Boogie Woogie……………………………………………
Raudal Tanjung Banua (Yogyakarta) / Lagu Lama Sebuah Kota………………………
Riri Satria (Jakarta) / Pada Sebuah Kafe Sudut Jalan di Payakumbuh…………………..
Warih Wisatsana (Denpasar) / Bersama Made Wianta ke Apuan………………………..

Biodata Penyair 5 Puisi Terbaik………………………………………………………….


Biodata Penyair 50 Puisi Pilihan…………………………………………………………
Biodata Penyair yang Turut Merayakan ……………………………………………..
5 Puisi Terbaik
A.Syauqi Sumbawi (Lamongan)

Dari Rahim Pajacombo

/1/
dari rahim pajocombo, akulah
yang dulu dilarungkan ke lautan
bersama kapal-kapal
menjangka setiap tanah
merasai segala cuaca
mengeja nasib manusia

dan ibrahim

yang dulu disandangkan padaku


dalam kisah perjalanan bersama bintang
bersama rembulan yang tanggal dan ajal
juga matahari yang mengabarkan amis keringat
sebelum karat

tapi, mimpiku tak pernah menjadi jalan wahyu


tak seperti kisah yang pernah kudengar
usai mengeja kitab suci, di surau
bersama pelita dan jelaga
tentang dia yang diperintah
menyembelih putranya
menyepuh cinta

tapi, jalanku membaca kauniyah


bersama fitrah manusia

/2/
dari rahim pajacombo, akulah
datuk yang ditaja dengan cita-cita
menjadi guru, pergi ke negeri belanda
dan pelajaran apakah yang bisa diajarkan
dari halaman sejarah
di hadapan penindasan
maka, izinkan aku pergi dari tanah nagari
tak seperti ibrahim yang mengembara
yang menyapa, kesadaran manusia
dari segala belenggu
fitrah itu

barangkali, kau teringat musa yang berlari


menjumpai tuhan di bukit tursina
dan kembali dengan risalah
pembebasan sebuah bangsa
yang terjajah, ratusan tahun usia

/3/
dari rahim pajacombo, akulah
yang dulu berlari, yang bersembunyi
yang tak lagi dikenali, kecuali nama-nama
seperti kisah legenda, kecuali lantang kata-kata

menjadi merdeka
adalah jalanku menjadi manusia
dari semua yang membelenggu
dari semua yang menindas
entah, bangsa
entah, kuasa
entah, siapa
Damar Sewu (Kebumen)

Diktat

Tuan-Tuan sekalian
Dengarkanlah, Tuan-Tuan
Akulah diktat atas perjalanan hidup Bapakku yang panjang
Aku tumbuh dari pemahaman bahwa Tuhan ada di dalam pergerakan
Dan iblis tidak pernah tertidur

Tuan-Tuan sekalian
Jangan pernah ragu untuk menghamba pada kekayaan dan kekuasaan
Bergeraklah Tuan-Tuan tanpa pemikiran-pemikiran kemanusiaan
Pemikiran-pemikiran kemanusiaan hanya akan menghambat jalan hidup Tuan-Tuan
Usah ragu,Tuan-Tuan
Kami punya sekantung maaf untuk semua kesalahan Tuan-Tuan
Menulislah tanpa memahami makna
Berbicaralah tanpa mendengar ratap kehidupan manusia
Menggonggonglah atas nama kebebasan berekspresi
Menjilatlah atas nama apresiasi seni
Inilah hakikat kebebasan yang sesungguhnya,Tuan-Tuan
Inilah licentia poetica!

Tuan-Tuan sekalian
Benahilah topeng wajah Tuan-Tuan
Tutupilah dengan segala keindahan Dengan politik balas budi Tuan-
Tuan
Dengan apapun!
Atas segala yang pernah Tuan-tuan rampas dari kehidupan kami
Agar kami kagum dan melambungkan hati Tuan-Tuan
Agar kami tak pernah lepas dari genggaman tangan Tuan-Tuan
Sibuklah menghiasi kata-kata
Karena memang hanya itu yang kami butuhkan
Kami tak butuh pendidikanTuan-Tuan!
Seekor merak hanya perlu indah untuk menarik perhatian para betina
Seekor merak tidak peduli pada nuri yang mati di sangkar besi
Tuan-Tuan sekalian
Lembutkanlah suara Tuan-Tuan
Tuan-Tuan bukan barisan para demonstran
Tuan-Tuan mesti menghemat suaraTuan-tuan
Demi topi,tongkat,dan kredibilitasTuan-Tuan
Gunakanlah bahasa-bahasa langit dan istilah Para Dewa yang membingungkan
Usah hiraukan suara mereka
Suara mereka tak ada hubungannya dengan baju Tuan-Tuan
Tuan-Tuan tak boleh asal bicara pada semua orang
Bukankah begitu tabiat orang-orang besar?
Tuan-Tuan sekalian
Garis dan warna kehidupan kita telah ditentukan
Dan aku datang sebagai penyambung lidah kehidupanTuan-Tuan
Maka pada hari ini aku sampaikan diktat dari perjalanan hidup Bapakku yang panjang
Berbahagialah Tuan-Tuan sekalian
Karena pembelajaran ini akan menghapus air mata Tuan-Tuan
Tidak ada penderitaan yang berhak Tuan-Tuan rasakan
Karena inilah wajah kehidupan Tuan-Tuan
Inilah wajah kehidupan kita semua
Bahwa bahagia di atas penderitaan orang lain adalah sebagian dari cinta!

***

"Di mana Bapakmu sekarang?" Dalam perjalanan mencari surganya yang hilang
"Bagaimana keadaannya?"
Sedang dalam masa berani berkelahi dengan siapa saja!

***

Tuan-Tuan, apa kalian melihat anakku?


"Bagaimana ciri-cirinya?"
Hidung, mulut, dan dagunya berwarna merah
"Ya, dia baru saja membabar perjalanan hidup Tuan."
Tuan-Tuan, usah dengar apa yang telah ia katakan
Dia memang Bengal dan suka sekali membual
Ia hanya suka kebebasan dan omong kosong kedaulatan
Ia tak suka tanam paksa
Ia tak suka tanah paksa
Ia tak suka kerja paksa
"Siapa nama anak Tuan?"
Tan Malaka, Tuan
Hoerudin (Sukabumi)

Ziarah Stasiun Payakumbuh

I– Hadirlah bagai mambang merah sehabis sepuluh teluh


menenung matamu menjelang subuh.
Di bangku penumpang, terhidang benang tujuh ragam,
secawan kemenyan dan kuku dendam.

II– Mak Itam, sejak peron sesak oleh sosok prajurit,


tangkai kemboja lengan petani tersayat kutuk Basirompak.
Kidung dari ladang membuai pelipis seorang masinis.
Radio mengabarkan Bung Adam hilang dirampas mambang hitam.

III– Di Parit Rantang jalur tambang kami memandang nisan


tahun-tahun sengsara. Senjakala,
dan jubah angin menyentuh gedung Dewan Banteng.

IV– Asap hitam lokomotif membubung lantas rebah di tubuh


tahanan perang. Serupa Sirompak guna-guna, ruap sedap malam
dari kebun membangunkan jiwamu untuk ikhtiar.

V– Maka, kami melanglang memakai terompah usang


dan mengurung lapar. Sementara pekasih biji kopi,
buluh perindu batu bara,
gendam akar palawija terus
diangkut ke luar pulau.

VI– Ke mana gerbong ini membawa kami; ke kuburan massal


tempat tengkorak berserak,
ke balai merah bengkarak ribuan ekor gagak?

VII– Sihir Sirompak menggeraikan rambut


arwah Puti Losuang Batu di atas kayu mati.
Sedang radio masih mengabarkan Bung Adam yang ditahan.
O, kami berlindung dari petunang cenayang
sebelum fajar menjelma beling menjelma runcing jarum.

VIII– Inilah liang lahad rel kereta api,


kesumat-keringat pekerja kontrak.
Bagai lentik jemari nasib yang menari,
kami pulang membawa melati sekuntum.

IX– Sibabau, waktu adalah benih, tubuh adalah tanah.


Sedap malam harum tembakau lubuk gerbong
melayang mengantar kami
ke retak saluang gasiang tangkurak tebing batu puncak bukit.

X– Sebab Stasiun Payakumbuh adalah ranjang silsilah,


maka tidurlah, Mak Itam, tidurlah…

2021
M. Rifdal Ais Annafis (Sumenep)

Menjelang Sore ke Payakumbuh

Dan benar setelah ini


kita bisa menenun waktu seperti sekelompok lebah utara
yang kembali tak memercayai bunga-bunga

Doa sederhana itu, setelah kau titipkan pada ketan dan gula enau
aku gigit kecil-kecil. Aromanya masih seperti dulu. Roh-roh mengelilingi:
Sebelum atau sesudah Festival Pacu Itik. Setelah mengukur kesedihan.
Setelah di dada kita, Josias Cornelis itu, melukis segala dendam.

Sebuah pohon yang tumbuh ketika perang Padri, menyimpan ini:


―Ada kekuatan ganjil pada distrik ini. Setelah Jepun dan Holland pergi.
Lalu kota tumbuh dengan curah hujan paling suci.‖

Apa yang kau ingat dari setiap Kanagarian selain rindu?

Kita masih di bandara Juanda, katamu.


Apa saja yang kau lamunkan, tetap katamu.

Tetapi kau tak heran, langit-langit Surabaya masih diam


dan kita malah menyeduh kopi di pojok kecil ruang tunggu sebelum pemberangkatan.
Kau tercekat. Matamu tepat menghunjam ke arahku. Kita sama-sama bergumam
―Khas Payakumbuh, khas Payakumbuh.‖

Ponsel berkali-kali berbunyi,


Maut memanggil-manggil
Tuhan yang asing bekerja dengan sederhana
Nurham Abdul Wahab (Magetan)

Langkah Silek Nan Ampek : Syekh Kumango Abdurrahman Al-Khalidi

1.

belum sempat aku mengelak


di depanku syekh berdiri tegak
aku mati langkah; langkah tuo
silek nan ampek merapah:

tubuhku pohon bergetar; sedari pucuk ke akar


hati jasad terpental; langkah hidup terkial-kial

aku pun hilang muka, mendongak congkak tak


langkah silek hewan di badan -- garak-garik, gelek,
kudo-kudo dan jurusan -- bacul, kuncup hati
ke punggung perempuan lari sembunyi

―balajalah malangkah, bia jurus nan buah


ndak malenceng dari jalan Allah," katanya

syekh kumango melafadzkan dzikir


lalu memberiku segumpal darah gigil:
hati!
alif-lam -- lam-ha
mim-ha -- mim-dal

2.

(syekh datang dari batu hampar, surau subarang


jauh langkah dibelajar, banyak negeri dilanglang )

langkah-langkahku luruh runtuh di situ


di langkah lafadz dzikir syekh kumango itu

dan di mata, langkah itu telah terpampang


satu demi satu
sedari tempat busuk kutu langau masa lalu
hingga isyarat cahaya rahasia Nan Satu
-- lelaluan naqsyabandiyah
sammaniyah khalidiyah --

menyelam alif-lam sedalam-dalam


membuka lam-ha senganga-nganga
menyibak mim-ha sekuak-kuak
melafal mim-dal sehapal-hapal

langkah kumango itu pun -- di dalam


alir darahku -- tumpat; menukar jejak
langkah hidup masa lalu dengan all new
dalam Nan Satu yang masih Hu

3.
-- kedua kaki tegak cagak sejajar
kedua tangan menghujam bak akar
langkah silek nan ampek dibelajar
wudhu disiap, kiblat dihadap --

bismillah alif-lam

telapak kaki kanan mengiris tanah


melengkung bak purnama setengah
kedua tangan seling selang di tengah
napas Allah lurus dihirup
napas jahiliyah hambus ditiup
pohon bergetar, sedari pucuk ke akar

bismillah lam-ha

telapak kaki kiri mengiris tanah


melengkung bak purnama setengah
kedua tangan salang silang di sajadah
napas Allah lurus dihirup
napas jahiliyah hambus ditiup
bungkah batu bergerak, dari asal beranjak

bismillah mim-ha, mengulang pinta


bismillah mim-dal, memanjang doa

syekh kumango pun mengulum senyum


dengus napas itu kesturi paling harum

-- kedua kaki tegak cagak sejajar


kedua tangan menghujam bak akar
langkah silek nan ampek dibelajar
wudhu disiap, kiblat dihadap --

bismillah langkah bismillah

MBoro, 2021
50 Puisi Pilihan
A.Musabbih (Tegal)

Tan, Bagaimana Aku Harus Merandang?

: Tan Malaka

Jalanan di kota terasa semakin panjang bercecabang


udara hitam berkelindan. Juga kebisingan.

Tan, bagaimana aku harus merandang?

Sebagaimana ibu, tungku-tungku telah menunggu


Tetapi kerbau, kelapa, rempah dan cabai apakah sudah kembali menyatu?

Di sini, jauh setelah kau pergi


Tidak ada lagi dapur
tempat di mana kau tekun
merandang sebuah republik yang mungkin telah hilang
Menyisakan aroma sangit tercium sampai langit

Tan, suara dari balik kubur memang akan terdengar lebih


keras daripada di atas bumi
Tapi di tanah berdarah ini tidak ada lagi yang menziarahi
jalanmu yang sunyi

2021
Ach. Firmansyah (Sidoarjo)

Ide-Ide Malaka Di Minangkabau


Buat Tan Malaka

Hanya dedaunan kering yang terbakar, malam menandai dirimu


di sudut terjauh, hanya tinggal napas yang bergelayutan memburu
kepala tanpa badan, mengunjungi nisan lantaran terlupakan

seumpama kita tak menulis, konsep-konsep revolusi ini bakal hilang


menjalani susah payahnya miskin dan kebodohan dalam
mengenali penguasa atas keisenganmu sepanjang penyamaran

di Minangkabau angin berhembus selalu meskipun dihalangi


dinding waktu, sesaat romansa pergi meninggalkan benih-benih
cinta jatuh di kedalaman hati seekor macan yang enggan
melepaskan cita-cita perjuangan

pada setiap ide-ide Malaka, jarak semakin menciut, satu demi satu pemikiran lunglai
masuk
ke hari senin yang menekan para buruh untuk menerima nasibnya, namun kau akan
melihatku menemanimu berkelindan menjadi aksi massa dari penjara ke penjara
memotong arus
kapitalis dengan berbagai cara.
Alif Maulana (Padang)

Auw Jong

: “Mengenang Petrus Kanisius Ojong”

Di kamar ada dipan berbantal buku


Bugenvil yang menari-nari kena angin limbubu
bukankah ini bunga yang menghantar kelahiranmu, Yong?

Bagaimana kau meninggalkan kota ini, Yong?


dengan secupak tembakau atau sesukat cengkih
dengan seikat emas suasa atau sekebat emas suta

Tidakkah engkau teragak pada Sago yang teduh, Yong?


pada riak anak sungai yang membentuk akar daun pandan
pada riuh angin yang menjalin jalur setapak menuju pulang

Yong, aku tidak ingin mendengar cerita perang


tak berkesudahan yang engkau peram dalam ingatan,
aku hanya ingin engkau kembali pulang ke lebuh lurus
yang berair jernih berikan jinak
kota kita yang telah lama engkau lengahkan

Kini kudengar engkau telah merantau jauh


ke negeri yang musykil terjelang oleh kami

Di kamar ada dipan berbantal buku


Anggrek bulan melantai-turun kena tempias
Alvian Rivaldi Sutisna (Bekasi)

Memori Buya Zainuddin Hamidy

Bunga yang tak pernah tertiup angin


mengisi sebuah ruangan yang begitu pekat
dengan menabur harum ke setiap sudut
yang terisi oleh berbagai bentuk tak terarah

Bunga itu berasal dari tanah Minang,


seringkali orang menyebutnya Angku Mudo
yang selalu berjuang menundukkan duri-duri
tajam di sekitarnya melalui Laskar Sabilillah

Bunga yang selalu mekar hingga membentuk


kebun bernama Ma‘had Islamy yang tak
pernah berubah walau terus dihantam bara api
yang semakin menyala pada masa ini

2021
Andini Nafsika (Padang Panjang)

Tengkuluk Merah

Seperti tali jemuran di belakang Rumah Gadang ini,


yang diikat erat antara dua pohon kelapa
kau juga terkebat pada tonggak yang berjauhan
kuat dan tak dapat dilerai

Sebelum mendekat, aku sudah melihatmu, Tuan


Kau tegak menyipi di pematang sawah,
berusaha menyerap udara dingin
sebab gelegak darahmu, terasa semakin panas
dan pikiranmu melintasi dataran tinggi,
Pandam Gadang yang bertuah

Jalanku panjang, menujumu


tapi, tak ada yang tahu cerita benarnya
Aku mengungkai setiap kisah yang tercatat
kusisipkan cerita manis agar seperti roman cinta
di perkampungan yang berudara dingin
terhalang silang sengketa, beradat dari ujung ke pangkal
Oh, betapa nikmat riwayat kita

Singkap saja tengkuluk merah ini, Tuan


kau akan temui lekuk berwarna jernih
dan sekelumit belukar yang dapat kau terabas
dengan mudah, juga tak serumit isi kepalamu
yang antara bebas dan kandas

Tapi ketahuilah, Tuan


tak mudah keluar dari dalam tengkuluk ini
sebab taka da penanda arah yang bernas
dan jalan keluar yang luas.
Andreas Mazland (Padang)

Pada Nisan yang Menyimpan Bau Mesiu

“Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur


suara saya akan lebih keras daripada
di atas bumi…”
(Tan Malaka)

pada ini nisan yang masih menyimpan bau mesiu


kami ingin mengadu padamu, sutan,
tentang nasib yang menghanyutkan kami ke arah tak tentu.
ke tempat yang membuat dada kami sesak-buntu;
seakan-akan garis yang terajah di pucuk tangan kami
adalah siluet batang sinamar yang tiada bertepi, tiada berhulu.

padahal dalam hidup, sutan,


urat yang kendur sudah kami tegang
nadi yang putus telah pula kami sambung berulang.
namun, ini negeri yang kau ciptakan berpuluh tahun silam
justru memperlakukan kami selayaknya tawanan perang.

bila kau tak percaya, cobalah tinjau kibaran


bendera lusuh nun tak henti-henti menyumpahi angin lalu
di sudut-sudut dukuh tempat engkau dilahirkan ini, sutan,
nan warna putihnya dinukil dari serat tulangmu yang patah
pun merahnya adalah nyala darahmu yang terserak di selenggang tanah

adakah kau mendengar suara orang yang sedang bertanya-tanya


tentang apa gunanya merdeka, sutan? sementara hari-hari terus
berlalu seumpama pencuri, sedangkan masa depan kurang-lebih
serupa kampung halaman yang jauh, lagi tak ingin kami kunjungi.
pada ini nisan yang memuat kronik dari ingatan masa lalu
berkabar juga kami padamu akhirnya, sutan, agar kau tahu bahwa
selepas kepergianmu, negeri ini dibesarkan dengan cinta palsu dan gelegar
suaramu, kini hanya tinggal rasian yang terhempas-hempas di ruang waktu.

Pandam Gadang, 2021


Arif Hukmi (Makassar)

Apa yang Akan Kita Kenang dari Sebuah Peristiwa Ini, Tan ?

peristiwa adalah ruang imajiner yang beberapa waktu memahat ingatan kita padanya. ia
menjadi simpul yang enggan beranjak dari relung terdalam. ia dekap yang melekat pada
kisah anak manusia, pada ingatan, pada pantai jauh yang riuh di sebuah minggu pagi yang
lengang, atau pada satu layar ke layar yang lain, pada satu tautan ke tautan yang lain.

ia api yang terus menyala, ia membakar dan menghangatkan segala yang dingin pada
jalan yang kau tempuh, dari satu persingahan ke dua persinggahan lain. ia memungut
keping-keping dari segala yang lemah di bagian lain pada diri kita.

lalu pada bagian manakah kau kini?


pada museum kota atau pada perpustakaan yang lusuh dan berdebu, atau pada tempat
yang dulu kau singgahi saat berjalan ke tengah atau pada buku-buku yang bersampul
merah nan marah atau kau tidak berada di mana-mana selain pada dirimu sendiri, tan?

Makassar, 2021
Arif. P. Putra (Pesisir Selatan)

Sandiwara Rantau
X Legaran untuk mamak/datuk/penghulu/rajo

I
kusen yang kau cat dari perjalanan itu adalah aku, tinggal—menempel bagai kayu langka
dari
hutan ulayat. tapi tampak motif yang tak selesai.

II
maka aku tanam serai dan ruku-ruku. lengkap dengan pandan yang tumbuh di atas
kuburanmu.
aku risau bila sewaktu-waktu lupa jalan rumah, dan kupilih tumbuhan sebagai pengingat.
tapi sebentar saja ia berisi, batangnya mulai dipatah. daunnya acap dimintai tanpa kau
jawab iya.

III
rumahmu yang lengkap dengan panggung ambruk adalah kenangan, dicat berpuluh rayap
dan
uir-uir. tapi sayang, kau benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. kecuali tinggal kaba usang
dari
lepau-lepau tak bernama.

di sana pula tumbuh berpuluh batang rumput ranji, berserak bagai tualang para kerabat
yang lupa
jalan pulang. tapi kau jangan marah, aku tau itu ilalang.

VI
kau pasti jengkel mendengar ranji itu. aku sengaja, biar kau mengutuk tanaman yang
tumbuh di
selahan ulayatmu. tempat kau berpetuah—berbusa meninggalkan tuah. tapi kali ini aku
tidak
sedang basabasi, sebab udara kian menyengat ketika kudekati kisah perjalananmu dari
kusen
dari seluruh tumbuhan yang sengaja aku tanam sebagai pengingat jalan. dari gorden-
gorden
kusam, sobek dan tak jelas mana benang mana jaring laba-laba.

V
aku tulis perjalananmu bukan karena kusen tak selesai itu. bukan pula karena ada yang
belum
lansai

VI
ini aku catat saat gerombolan kerbau menerobos semak halaman rumah, ia mulai
berkubang di
sana sat cuaca tidak lagi sempat diterka; cewang dan gabak mendusta.

orang-orang juga mulai lupa mana serai, mana ruku-ruku. pandan hanya menjadi remah-
remah
pesta pernikahan, sampai aku ikut lupa: mana pandan masak, mana pandan berduri.
aaiihh… sejak pincalang jadi pendayung, anak bagan pun serasa tungganai

VII
aku berjalan kian jauh dari rumah, dibuang sebagai perantau ke tanah rantau; kau darek,
aku
rantau. berlipat kepergian disematkan, menjadi sebutan orang buangan. tapi, adakah kau
ingat
orang-orang yang selamat dari nagari rantau?

karib kerabat yang masih menjenguk, menyiangi rumput ranji halaman rumahmu adalah
aku;
menyimpan berpuluh daun serai dan ruku-ruku, menyibak gorden kusam dari kusen karat,
berlapuk hujan, diruntuhi panas, tuahmu melesat, lenyap dari peradaban.

VIII
aku siangi ranji itu saat matahari tegak tali, ketika tubuhku membayang di atas
kuburanmu.
katanya, tuahmu akan melekat saat bayang-bayang melangkahi tanah sirah pandam
kuburan.
IX
yang aku bawa dari sana adalah lenguh doa-doa tengah malam, senyap dan tak pernah
mujarab.
sedang darimu, hanya tinggal kusen dekil tak terawat; lembab dan berlumut.

sial, tuahmu menua seperti tualang-tualang orang buangan. inikah pepatah simalaka:
berselimut kain sarung
ditarik ke atas kaki nampak
ditarik ke bawah kepala terbuka

X
kita layaknya almanak yang usang, kau telah ke haribaan—sedang aku menunggu antrian.
tapi, benarkah ada jalan ke sana. meski kereta yang kita tumpangi tidak pernah sama?

Pesesir Selatan, 2021


A‟yat Khalili (Tanggerang Selatan)

Payakumbuh, Tanah Airku


--a. damhoeri

dari mana harus kutulis dan ke mana kaki bakal


kubawa menawar nasib. kota hanya memberiku
mimpi kembara mencari kembali legenda yang belum
khatam kau susuri sepanjang daratan, padahal enggan
sudah aku menjadi pujangga
berjaga menandai peninggalan sejarah mengenang
yang mati seperti dirimu yang untung dipuja karena
penjara, tetapi malang dipandang karena sebelah.

betapa karib hidupmu dengan air, sungai mengalir dari kota


ke kota, rumah adat, bukit, ladang, lembah dan gunung
dari zamanmu ke zamanku, membawa kaummu
hidup di daratan hijau biru, keturunan dalam hening batu
yang datang
dari hidup baru, dari merah darah pujanggamu
yang pernah luruh. melingkari Harau, tempat air berdesau
atau lereng bujang merisau debar 1) seperti mudamu
membuang sial. tetapi kemapanan sudah jauh terburai
peradaban
sebab sunyi rebab pun mengambil alih bunyi
yang merana hari-hari. genderang waktu menuju silam,
sampai hati tidak lagi sumbang berpaling
seperti bunyi suling itu melebam dalam ingatan kaummu.

lagi pula, apa aku harus seperti dirimu?

hidup seperti bujang layu di rimbun Gunung Sago


bertahun-tahun bertapa mencari jalan puisi untuk
membangun nagari,
sampai tidak damai dengan zaman sendiri,
ketika bunyi lonceng kolonial mengendus lorong-lorong,
nasib pribumi kita seperti lunak dalam penjara besi
barangkali karena tangis orang-orang bawah yang sepi,
tangis para kuli kopi dan rempah melalui jalur-jalur
perdagangan benua atau air mata pujangga kotamu
yang telah lama mati menghamparkan peta serupa
duka purba yang terus bersuara. Padahal kau hanya
pujangga picisan! kata mereka yang dulu makan tinggal
terhidang seperti sudah tahu
hidup dari Gunung ke Gunung 2), atau seperti sudah
merasa kakinya berdarah-darah karena terompah usang
yang tak sudah dijahit 3)
lantaran melihat jerih payah nasib dengan nurani
dan dada sakit selama mengitari 3 perubahan masa yang
malang dan pahit.

bagaimana kau cari huruf-huruf puisi di lidah orang-


orang buta huruf sepanjang Payakumbuh,
bagaimana hidup dalam kesunyian yang dituduh
tetapi bukan sebagai tawanan Perang Padri, juga bukan
Nakoda Tenggang yang terdampar ke nagari Aie Tabik ini.
kadang dipuja seperti pahlawan karena dihukum,
kadang dicela karena jadi pujangga yang mengharu
sepanjang Harau yang terngiang panjang, juga alun bansi
yang pasi meminta pengorbanan.

tetapi aku hanya seorang guru yang terlanglang waktu,

kota dan tanah air, katamu, pernah menyimpan


gambaran sama membangun negeridalam cita-cita anak
yang tidak mampu lanjut sekolah
sejauh menapak jejak ke Deli Serdang dalam nasib
orang terbuang atau cerita anak rantau yang kembali
ke tanah kelahiran, sejauh zamanku yang tak lagi mengharu
ke zamanmu, di mana hanya bisa kutulis lagi puisi,
Payakumbuh, Tanah Airku.
apa aku akan dihukum kembali?
1 Desember 2021

1) Diambil dari puisi A. Damhoeri yang berjudul ―Harau‖ dalam buku ―Biografi A. Damhoeri dan
Karyanya‖, terbitan Pusat Pembinaan dan Pengembangan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Jakarta, 1995, halaman 35.
2) Dari Gunung ke Gunung adalah judul novel hasil gerilya A. Damhoeri selama ia aktif dengan
Barisan Penerangan Mobil Kewedanan Militer Payakumbuh Selatan.
3) Terompah Usang jang Tak Sudah Dijahit, novel A. Damhoeri, diterbitkan Balai Pustaka, Jakarta,
1953
Ayu K Ardi (Payakumbuh)

Bong Ciam Pajacombo


: Rabimar dan Dahniar

1/
aku menemukan hikayatmu gelisah di ruap malam
meriap dalam memori seorang lelaki*
sebab kisah yang berkelesah minta diteroka
serupa mazmur pencatat umur

nun sebelum lampu strongkeng menyala di rumah-rumah inlander


jauh sebelum televisi hitam putih paman buyung
menayangkan Dunia Dalam berita TVRI pukul dua puluh satu
para penghulu kehilangan hulu menggadai tanah ulayat bercetai-cetai
petitih Angku Palo Pajacombo tak lagi bergetih
anak kemenakan meretih tak hendak bersujud di bawah lutut

2/
Bong, Ciam suatu ketika
dua dada bergelora
menjelma jelata penjaja gambir dan lada
sementara pawang berkecumik menggumam doa tolak bala
hujan belum reda di tanah air kita

Bong, Ciam
membelu belai ular-ular bertaring baja
hingga liuk-latanya menuju arah yang sama
saat matahari bedengkang di puncak kepala
dua perempuan berlanyah menyusur riak Batang Agam
membagul senjata api dari barak kompeni
tersaruk menuju hilir
setiap detik adalah pertaruhan detak
3/
tahun-tahun menetas
tanah payau tumbuh menjadi kota sejuta pesona
dengan aneka tafsir warna dan cecap rasa
pun aku yang tak ingin melupa peristiwa
menziarahi riwayatmu dari bawah tugu*

Payakumbuh, Desember 2021

* Lelaki pencatat memori kolektif penulis buku Pajacombo, Feni Efendi


*Tugu Bela Negara taman Batang Agam, Kota Payakumbuh.
Budhi Setyawan (Bekasi)

Mencari Chairil Anwar di Payakumbuh

sebelum berteriak aku, apakah ia sempat ke gunung sago


atau sekedar ke ngarai, karena taka da pantai – hingga ia
pun tak ketemu pelabuhan kecil. waktu malam di
pegunungan – adakah ia yang berkejaran dengan masa
kecilnya. kemudian saat di ampangan atau di puncak,
bisa jadi ia menawar penerimaan. lalu di tempat landai,
akan menghibur diri dengan pacu itik, yang terus melaju
sampai ke titik, segala ikhwal pun jadi pelik. sementara
sapi-sapi bergerombol tak pernah merasa sepi, saat kabut
mulai susut, saat silsilah hendak dirunut. belum
tertangkap isyarat tentang yang ia bawa berlari. apakah
yang sebelumnya gurih berubah jadi pedih.

sebelum ia bilang cinta adalah bahaya yang lekas jadi


pudar, berapa kali ia patah hati, pada perempuan, pada
rimba kesunyian yang sembunyikan nasib masing
masing dan saling asing. apakah masygul seperti air
terjun, dengan sedikit goresan bulan di ambang gua
kemudian siapa yang mencatat rentang sawah, pohon
pohon kelapa atau tepian hutan yang demikian tentram.
inikah yang disebut dunia, tanpa golak dan laga, tak ada
drama. bukankah musim butuh gairah, menderu ke jalan
jalan, ke sepanjang riwayat. bukankah hidup butuh
ledakan ledakan, butuh kejutan, bergelut dalam arus
pusaran, dan bukan sama sekali menunda kekalahan.

sebelum menjadi sajak putih, barangkali ia mengatakan


tentang kesabaran. sendiri adalah separuh dari sia-sia,
iseng yang bercokol di urat usia. apakah setiap napas
akan mengalir ke ruang melankolia, seperti rima yang
diarahkan pada bunyi yang sama. barangkali tak sepadan,
pencarian atau pelarian, sedangkan di hadapan ada
perempatan jalan, mesti ke mana arah buruan dan sisa
kata. apakah hampa dan hanya menjadi fragmen
kenangan, menjelma suara malam. seperti ruang ruang
di rumah gadang, nganga yang tetap menyimpan rahasia:
cinta bermain di ranah luka dan tawa. tak membersit utas
jera, karena selalu melayang di variasi cuaca dan suasana.

kini di payakumbuh, ada yang terus bertumbuh:


nyala bahasa yang menubuh

Bekasi, 30 November 2021


Budi Saputra (Padang)

Melawat Tanah Asal


: Tan Malaka

“Alles was besteht ist wert, dass es zugruende geht”

(Segala sesuatu yang ada akan musnah)

Tapi terkecuali jejakmu. Jejak saripati usiamu bersama jalan


sunyi menuju rumah tua di Gunung Omeh, akan senantiasa
disambangi kaum-kaum peneroka dan sublim
tangan peneliti.

Bahwa aku ingin melawat tanah asalmu pada pagi buta.


Menyambangi los Pasar Ibuh beraroma rempah, rel kereta yang
lama terdiam serupa menhir, atau ruas jalan yang mengekalkan
namamu sebagai lintasan orang-orang mencairkan masa silam
dalam hiruk seminar.

Pagi di sini memang tak sedingin Harleem dan Moskow


pada musim dingin. Hanya orang-orang berjalan semestinya
menyeruput kawa daun, mencidu air wudhu
di surau-surau, dan butir embun di ladang berjubah
hujan tropis.

Selebihnya, tanah ini akan tetap menyimpan pita kenangan tentang


hantu kolonial, peristiwa Jembatan Ratapan Ibu, perkebunan
tembakau, atau kartu tanda penduduk primordial
di perut Manggani yang berurat emas.
Aku ingin melawat tanah asalmu pada pagi buta.
Menaiki kuda bendi, menyaksikan marosok, serta menggaris peta
riwayat orang-orang yang pernah mengharumkan tanah ini.

Aku pun membayangkan ranji silsilah dan jejak usiamu.


Di mana orang-orang memburumu bagai memburu rusa mongolia
yang menyimpan kelenjar kasturi yang harum di perutnya.

Jalan revolusi adalah jalan yang magis dan paripurn


Menyepi dari penjara ke penjara, hingga kelak hari depan
menjelma mural perjuangan di dinding abad, dan senantiasa
bergetar lebih keras oleh gema suaramu dari kubur
yang dipindahkan itu.

2021
Dadang Ari Murtono (Mojokerto)

Jantung Nama, O, Jantung Kata

Barangkali seseorang telah menafsir namamu, O


dalam risalah yang berat
sebab segala yang terlalu ringkas
kadang menanggung beban yang teramat panjang

seperti Fatihah dalam Quran


seperti Basmallah dalam Fatihah
seperti Ba‘ dalam Basmallah
seperti tanda titik dalam Ba‘

Barangkali kau tak ingin seseorang menafsir namamu, O


sebab kata-katabselalu mengandung derau dan ancaman
seperti Kitab Undang-Undang
seperti debat dalam ruang pengadilan
yang kau masuki, yang memasukimu

Karena itu, kadang-kadang, kau mengudar sejarah sendiri,


―Pada tahun 1963, nama terpendek di dunia adalah Mo
Dan ayahku yang jenaka, menginginkan nama yang lebih singkat dari itu.‖

Namun selalu ada yang tidak percaya


selalu ada yang meyakini pengarang telah mati
sementara kata-kata mencari hidup sendiri

Lantas mereka-reka jalan lain


mengorek jantung namamu
--menyigi huruf O bentuk lingkaran, atau angka 0
dalam tambo Payakumbuh
atau ayat, atau filsafat
atau sebuah novel tentang seeekor monyet yang ingin
Menikahi kaisar dangdut yang tak kau mengerti;
seperti mengais jantung kata dalam puisi
yang sesungguhnya sederhana dan tak hendak menanggung apa-apa
Defika Irma Suryani (Lintau)

Maung Sago Bertuah

Di tanah ini, jangan kau ungkap kehendakmu


Dipancing purnama di batang hidung
Pasang naik gelombang asam di dasar perut
Tumpah ruah ia di ujung bibir

Sekali lagi, jangan sekalipun kau sebut


apa-apa menyoal petuah ibi di dalam bilik
Masuk ke dalam daging si ujung sirai
Sebelum terbelah lailahaillallah di keningmu

Turunan ketujuh darah dalam tulang ayah


Menengadahkan tangan ia di kuali rendang uwo
Benang terhalus disalamkan datuak
Tertidur Maung Sago di kelambu Buyung Salapan

Lintau, 2021
Decky Medani (Bandung)

Relung Surat VII


(Kartu Pos, 26 Juli 2021) d/a Chairil Anwar Ambang

siang

Chairil,

Kubakar sajak-sajakku semua. Sesal aku, sesesalnya …, kepalaku tiap menit bertukar akal,

sehingga tak tahu aku apa aku sesalahnya….

Sedang merasakan dingin dari hujan di siang gulita ini, sepi itu terus ada dan memantik
kehangatan dari kertas yang terbakar. sekejap.

malam

Terbaca kegagapanku untuk menyurati sesuatu yang mencekik, semacam rindu yang

menanti setan.

Tak mesti pula setengah-setengah untuk berkesenian, betul.

Surat apalah yang sudah aku tulis tentang penghabisan, yang kutasbihkan sebagai sajak-
sajak eksperimental garis maya yang berusaha terwujud. Bertuju kepadamu sebagai
renungan seribu satu tahun untuk berterima kasih.
Aku katakan: ini luka penuh muka!

Decky Medani, dalam perjalanan


Di payakumbuh
Dhery Ane (Kupang)

Sungai yang Mencintaimu Sepanjang Musim

:Untuk Tan Malaka

/1/
ia seperti sungai mangkirai yang gemericik gemilang
yang rimbun matanya sigap dan pikirannya bening.
hatinya kemang lotus yang mekar, beraroma mimpi-mimpi
sedang hati kau teratai yang menggulung diri sendiri

ia seperti sungai mangkirai di sepanjang gelayut musim panas


setia mengalir serupa samudera yang perkasa.
ia deras yang mengeras lalu kandas jadi jawara
meski ingatanmu tentangnya kadang rapuh bagai kapas

ia seperti sungai mangkirai memecah titik embun dalam jarak nan jauh
pada tapak alirannya ia menjadi juru selamat bagi renta kebebasan.
di riuh kesepianmu, apa kau harus lupa pada jejak alirannya?
sedang cintanya kini semakin hangat mendekap ke seluruh semesta

/2/
bermuara dari rahim pandam gadang; ia mencintai dada anak-anak
yang kelaparan, petani yang memakai topi koran, dan buruh yang tempias
seperti debu di kaki para jenderal. di isak kedalamannya ia berharap
debu tak pantas memenuhi rongga nasib orang-orang kecil
yang tangkal, yang sangkal, di labirin waktu

mengalir sampai jauh ke negeri kincir angin hingga pulang ke hilir nusantara;
ia mencintai peluh yang berdarah sampai rindanglah sagala asih,
segala persih segala kinasih, demi republik yang jaya kemilau,
hingga kau menyebutnya kemerdekaan
dan kini anak cucumu bisa tentram dalam asri
sebab tulus dengan tasbih selalu diucapkan pada setiap tapak alirannya
yang besar akan tumbang. yang kecil kembali mendarah
yang tak adil akan binasa, yang merdeka patut dipuja
mana yang ia pilih adalah apa yang kau pahami dahulu
apa yang tak kau inginkan adalah mana yang ia kenal lebih dini

/3/

gunuang omeh adalah hari esok yang cemerlang


adalah kampung yang menanjung jiwa maha dahsyatnya
supaya ia terus mengalir pada tapal-tapal yang pilu
dengan hati yang karang dalam batang usia yang harus usai

sekarang yang tampak seperti seorang ibu dengan mata


yang selalu menampung kepedihan-kepedihannya,
dengan hati yang menggedap rintih peluhnya adalah kota
dengan nama paling sejarah; payakumbuh luhak limo puluah.

di kota itu, pada loronglorong jiwa yang legam


seberapa dalam namanya tertata di museum hatimu?
bila sudah kau ukur maka ia adalah sungai yang mencintaimu
penuh segenap dingin, segenap jernih, sepanjang musim

sudahkah ia mengalir hari ini dalam doa-doamu?

(Kupang, 2021)
Dian Hardiana (Bandung)

Kalah :Tan

Hari ini aku kalah


kalah yang tak pernah terbayangkan
sebelum menyadarinya, bahkan sebelum
belasan peluru senapan memberangkatkan.

Di tangan kiri, buku merah kugenggam.


Di dada kanan, saluang mengalun
mengiangkan kampung halaman.

Terlintas wajah mamak dari balik pintu


tatapannya menembus rimbun pohon rambutan.
Semut hitam menggigit kelopak mata sebelah kanan
semut merah membangun sarang
di dalam tubuhnya yang lengang.

Hari ini nasibku ditentukan kelebat angin


yang menusuk dari belakang.
Tak kusangka, Februari datang dalam bayang penyergapan.

Aku seperti seekor semut hanyut


bergantung pada rumput yang diayun-ayunkan gelombang.
Haruskah bertahan
ketika penghuni rumah terus melipat dengki dalam diri?

Kekalahan ini mungkin tak akan sampai padamu


meski jiwaku terburai, pecah ke segala penjuru
meski rumah yang kugambar di halaman
telah mengeras dalam benak setiap orang.

Bandung 2021
Dian Rennuati ( Palembang)

Kenangan Tentang Chairil

Ibu guru mengetuk-ngetuk meja. Bapak guru


membolak-balik buku. Aku khusyuk meski
pikiran berloncatan. Ini pertama kali harus kubaca
puisi dalam sebuah seremoni. Di balik dinding,
rombongan kelas enam riuh bermain lompat tali.

―Bagaimana kalau Aku?‘


―Tak cocok untuk anak Sekolah Dasar.‖
―Doa? Atau Sajak Kehidupan?‖
―Tapi kita tak sedang acara kerohanian. Kita butuh
sesuatu yang gagah dan bisa lantang
disuarakan.‖

Seorang tuan di dinding menatapku. Senyumnya


lebar, hitam putih tanpa prasangka. Aku tahu, dia
penyair yang bukunya sedang dipegang pak guru.
Yang tulisannya kini memenuhi mataku.

Chairil berpuisi selamanya di waktu muda.


Aku membacanya di usia lebih muda.
Aku anak perempuan berbaju putih, yang berpuisi
Karawang Bekasi di halaman kantor bupati.

(Desember 2021)
Dian Rusdiana (Bekasi)

PILAR CAHAYA DI SURAU BATUHAMPAR


: Syekh Abdurrahman Al Khalidi

berada di antara jejak kota Batuhampar


seperti membangun kisah
tentang sebuah surau tua
kulambungkan ingatan
pada seorang mursyid tarekat
yang mengajarkan jalan zuhud

pintu-pintu tirakat
melantunkan alif hingga ya
kitab-kitab kehidupan yang berjajar
selalu menanti untuk dibaca
di sudut sudut ruang tertulis kearifan
tentang sebuah sabda

tiang-tiang hakikat berdiri kokoh


menyimpan ayat-ayat langit
lantai-lantai hikayat tersusun rapi
membentuk sebuah shaf
dinding zikir terus bergema
mengiringi rakaat usia

angin berkaca pada cuaca


mengekalkan sejarah
dalam lipatan zaman
Allahu hu hu
terucap dalam wahyu
menyatu dalam atma
menjadi pilar cahaya
dengan nyala doa

2021
Ebi Lengkung (Sumenep)

Mengenang Kota dalam Potret “Aku”

I: potret aku

dalam foto itu terdapat api


yang masih hangat di sini
setelah puisi, sesudah
gairah abadi dalam darahnya

karena ia orangnya tak dapat tahan


maka pecahkan langit sajakmu
yang masih beku
memantun dalam kalbu
saat terik bahasa masih kaku
baru menemukan tetek ibu

dari kota ini ia belajar mengaji dan berdiri


menyesap tanah jalanan, kolam
dan sepi yang ditempelkan di dinding rumah gadang
ikan-ikan berenang
sajak cinta dan keringat anak-anak terpinggirkan

bahasa tukang becak adalah kemurnian


di bawah kuasa
yang masih jauh dan belum selesai diperhitungkan

II: antar kota antar sajak

hidup memang menawarkan perih, Ida.


kita mesti berlari memburu napas sendiri
di simpang-simpang
di gerbong remang dan tempat
kedewasaan
belum lagi keluarga terpecah
gelas yang pernah disuguhkan ayah
sudah di lain rumah

kini tibalah aku


di hadapanmu melepas rayu
saat kendali perang
kita tak dapat kuasai jalannya

namun tuhan maha jelas dan luas menakar


hidup 26 tahun dari gelora
baik di luar seni maupun dalam seni
tetaplah kita berkobar

III: surau rauf

surau rauf, dan sebuah puisimu menggema


kepasrahan bagi jalan pulang
abadi dalam benak (sajak)
yang tak pernah jinak dan mengelak
sekali tapak ke tanah lahir juang tertanam
bukan kematian menusuk kalbu
hanya kepergianmu menerima segala apa

dari rumah gadang


kutulis kenyataan di Nagari Taeh enam bulan
dari nenek yang abadi pada dua baris puisi
sudahlah selesai memperhitungkan dunia
setelah bapak kawin lagi

tapi seorang ibu mesti lahir


dari tangan anaknya sendiri yang jalang
di kota, atau pada penyakit yang diderita menikam
sampai sisa penghabisan
Eddy Pranata PNP (Banyumas)

Di Rumah Bako, Aku Tak Mau Mampus


Dikoyak-koyak Sepi

- Kepada Chairil Anwar

Gerimis meluka senja


Doa-doa sederhana diapungkan
Di rumah bako Parik Dalam

: ―Aku tak mau jadi abu di atas tungku


Pembakaran ranting dan kayu sejarah
Aku mau jadi matahari selalu menyala
Di atas gonjong rumah gadang!‖

Sunyi dan sajak mengekalkan cinta


Pada segala hal tentang
Perjalanan dan kesetiaan

: "Pertarungan ini harus dirayakan


agar jiwa karang walau tak ada dendang"

Hingga ngilu paling sembilu


Hingga lebur detak waktu

Abadi dalam kata

Baris-baris sajak
Menjerat dan mengurung
O. Jiwa cahaya
Jiwa langit
Dan segala yang membuat tangis bahagia
Baris-baris sajak
yang tersusun dari kristal keringat dan air mata
Di rumah bako Parik Dalam
Yang kian menua-rapuh
Sarat pernik sejarah jingga
Ini hidup senantiasa berbagi; cahaya dan api

: ―Duduk meraut sajak, tegak mengukur jarak‖

Langit kuning kemerahan

Bola mata mengerjap, o, berkaca-kaca,


air mata kian banyak menggenang
Membasahi baris-baris sajak

Rapuh anak tangga rumah gadang


Senyap halaman yang luas

Serunai dan salung timpa-bertimpa


Perih memecah langit
Angin berderu dari bukit ke lembah
Terendam-rendam tidak basah
Terapung-apung tidak hanyut

Aku menjelma musafir


Tak jarang kehilangan diri
Meraba-raba dada
Kosong

: "Aku serahkan mati-hidup


untuk yang maha-sajak!"

Tak peduli haus-lapar


mengikuti bisik hati-jiwa
Selalu ada harap rindu
pada sepasang mata
Sajak yang tajam

Di rumah bako, aku tak mau mampus


Dikoyak-koyak sepi.

Jaspinka, 24 November 2021


Emi Suy (Jakarta)

Catatan Sejarah Payakumbuh

ketika orang-orang mengais sunyi


anganku mendayung rindu
dari sungai batang agam
sampai jembatan ratapan ibu
di tubuh kota payakumbuh
kenangan pernah patah
namun selalu tumbuh
meski usia semakin renta
semua tercatat
sejarah berkata-kata
tentang surau dagang rao-rao

ada yang berjalan


dengan tubuh dan mata menyala
menatap sepi membuncah
berhamburan di rumah gadang
merekam sejarah diawetkan musim
mata gerimis di tengah terik hari
terkenang cerita kapten tantawi
gugur dalam peristiwa situjuh batur

menghitung detak talempong


yang ditabuh di payakumbuh
orang-orang mencari jejak kumpeni
aku mencari aroma kopi sisa-sisa perang padri
Tapi tak ada

orang-orang merawat rindu


menyesapi masa lampau
pada sepiring botiah dan galamai
di kedai kopi ingatan mendayung
mengarungi kenangan dilipat zaman
setiap mata menangkap benda bicara

―akulah penanda masa silam‖


―aku merekam sejarah diawetkan ribuan musim‖
―hingga matahari tumbuh dingin di atas rumah tan malaka,
dan bintang-bintang menjadi tua
di sepanjang batang sinama‖

usia boleh menua namun kenangan tidak


suara-suara itu menjadi layar tancap,
menayangkan luka pernah ditimba berabad-abad lama
terekam kekejaman belanda para pejuang yang tertangkap

digiring berbaris di bibir jembatan


diluncurkannya timah besi,
tubuh mereka roboh, jatuh dan terhanyut di batang agam
lipatan-lipatan sejarah tersimpan, payakumbuh tak akan tertimbun zaman

Jakarta, November 2021


Faisal Syahreza (Bandung)

Bibit Hidup Petani Senang


: Syahrul Yondri

"Dia kirim pedas ke lidah orang-orang di Jawa


agar suatu hari mereka tahu, jadi Guru SD-- tak cukup memandangi
bangku-bangku
jadi montir elektronik, sudah serumit-rumitnya kerja-- masih saja pailit
dan jadi tukang: otot dan tangan kasar tetap dijauhi hidup senang."

Yon menebar pecahan cermin dan kertas foil di ladang Lamposi


lahan dalam kepala masa kecilnya pernah dikelilingi tebat
di mana permukaannya airnya memainkan kilap cahaya
jadi kini, dia undang itu matahari memantul darii bawah batang-batang cabenya.

Yon tidak mau punya musim panen jangka pendek saja


ditambahi lagi malas kalau ngurusin kutu kebo yang gerogoti
urat daun cabenya, bikin kerdil dan cepat busuk
seperti sepasuk petugas administrasi, betah mandek di gang meja
kantoran, bikin ribet saja.

Yon punya nyali, punya harga diri mau mati jadi petani
lebih mulia 'kan terpanggang daripada kasak-kusuk sembunyi di ketiak kota
pilih sewa ladang punya orang-- nanti juga kebeli kok, keganti
jadi rumah sepetak, bonus dapat mobil suzuki.

Tidak apa, banyak tidak percaya sama dia punya bibit tanam
Yon suka coba pake plastik mulsa perak berikutnya
biar dari jauh-jauh, itu tanah dataran miliknya menggilap
tahu rasa, orang-orang lihat buah merah panjang menjuntai
mirip ceking lidah api menggapai-gapai tanah ujungnya
biar sekalian bungkuk badan batang pohonnya.
Satu rumpun pake arah baris Utara Selatan, Yon sikat pake kompos
dua kali lipat dari jerami padi, taik sapi sama trikoderma
musim panen minggu pertama, panjang-panjang itu cabe dia punya
lebih panjang dari gantar cita-cita yang orang lainnya idam
sebatas PNS, pegawai kantoran sama pengusaha.

Yon mengira-ngira, jarak mahatari dengan bumi di dataran miliknya


sama seperti tidak pastinya antara selera milik lidah pedas
minta tambah nasi atau lauknya;
sudut dari mana matahari datang ke harinya
pintu nasibnya dulu atau mesti jendela takdir yang dibuka;
panjang hari dari terbit sampai terbenamnya matahari—
Yon mematutkannya kenapa timbul-tenggelam harap
anak-anak yang ogah jadi petani; serta berapa kandung gas aerosol
dan awan di atmosfer dia punya tempat tinggal?

Yon sangka akumulasi suhu panas lebih mudah diterima


daripada tumpukan kecewa, terpinggir di muka-muka keras
dan langgam menolak ia punya tawaran di gerbang kota
saat segenggam bibit cabe kopay kalah oleh gelar
dan para penjual tikar acara hiburan.

Kini, Yon sudah punya muka cerah dan bawa panggul itu nama
bibit unggul buat hidup petani senang!
Makin panjang rezeki, makin merah berahi itu buah
bikin jauh dari wajah kecut-kusam.

Itu dia, Yon, bikin masa petik membentang sampai 27 kali


di belasan minggu punya para petani
rupanya harga makin nambah centi makin gagah di pasarnya nanti.

Terima kasih, Yon berujar dalam diri yang hibuk bolak-balik


di panggung miliknya sendiri
sertifikat rupanya bukan dari kertas atau cap dari pak wali
tapi didapat dari penangkaran bibit buat hidup bahagia
selingkar para petani yang rela tubuhnya
bau rabuk dari mandi peluh radiasi Lamposi.

2021
Fatah Anshori (Lamongan)

Batu-Batu Di Jembatan Ratapan Ibu

buat: Tuanku Imam Bonjol (1772 – 1864)

tuanku,
kini sudah tak ada
--batu-batu
di jembatan ratapan ibu
tak lagi sekelabu
dulu, ketika kami digiring
dan diburu

air mata masa lalu


hanya milik hantu-hantu
yang bersarang
di hulu

...

desing peluru di seluruh


penjuru, sepanjang
badan jembatan tak kunjung
lengang di telinga-telinga
kami, yang dihujani gelisah

tak akan lenyap meski


senyap batu bata telah
akrab dengan roda-roda

--kendaraan kota
kami masih di sana
bersama patung batu wanita
yang menangis sejak para
belanda menembaki kami
puluhan tubuh jatuh
di aliran batang agam yang
kian legam oleh geram
kita yang:

... tak berumah makam

akan selalu melayang


--bergumam
sepanjang siang dan malam

melihat payakumbuh dari jauh


adalah separuh tubuh
yang tak kunjung berlabuh

kami hanya ruh dan aib:


yang terselip di batu-batu yang
raib dari jembatan ratapan ibu.

tuanku!

2021
Fatur Rahman (Pesisir Selatan)

Pemeran yang Hilang dari Alur Cerita


: TAN MALAKA

negara adalah panggung yang merahasiakan sandiwara.

bersama beberapa aktor yang lain kau dihapus dari alur cerita
sebab kau tidak memerankan adegan dengan baik
juga sering tak mengacuhkan nasihat sutradara.

barangkali, kau tidak sama sekali membaca naskah


yang telah dibikin sedemikian rupa
hingga kau dicoret dari pemeran utama
untuk pertunjukan selanjutnya

di panggung ini, kau aktor yang gagal


mewujudkan peran yang mereka inginkan

kisah kau tamat dalam narasi yang baru


dianggap sebagai pengkhianat, sebelum mati ditembus peluru

negara adalah panggung yang merahasiakan sandiwara

selama beberapa dasawarsa setelah kematian,


orang-orang membawa sebongkah tanah
--dari jawa ke sumatera—sebagai hantaran sebuah pesta

Padang 2021
Hudan Nur (Banjar Baru)

Syekh Kumango, Doa yang Mengelana, dan Rumah Tua

Ha/
bismillah. Kun! izinkan aku masuk, mengetuk salam mengantarkan kepulangan pada diri
yang enggan mencari.

aku mengelanai doadoa, kutiup hio yang terlanjur nyala di dada. ke mana harus kubeli
rasa haus mencari, sementara jiwajiwa sempoyongan, fadilatfadilat kata berserakan di
usia? akukah diri yang jejaknya tak seluas nusantara? o… langkah yang mereras!

antara daundaun yang luruh di Surau Tuo


aku menjelma pucuk daun ranum yang gegas.
tak ada alamat mukim
serambi jala
namanama berguguran
waktu berkelindan, diri entah menggengam perigi. pulangkan usia ke bilik senja,
menunggu senyum anakanak di rumahrumah tak berpintu.

Na/
ya tuan Alam Basifat, engkaukah kekasih waktu yang dikabarkan hari?

Ca/
Batu Hampar membacakan aku sebaris alegori, baitbait seperti pepohonan depan suraumu
yang saling berpagutan. reranting semakin berhampiran.

o, sampai juakah aku menikmati larik transfigurasi yang meruang di seluruh rindu. biar
distorsi diri bisa berkecambah ke eskalasi, biar diri tak murung sembunyi.

Ra/
sampailah aku pada laman klasik
kubuka almanak tua,
tanggaltanggal menumpang lewat dalam genangan,
ingatan yang bergelombang.

o… Insan Kamil penerang jalan rompang, meneroka gerantang ke tubir zaman. kau
bopong Tarikat Sammaniyah, menukil pelawang. takzim Minangkabau mengelanai
waktu. zirah Silek Kumango yang tak habishabis diulang ingatan. ah, kaukah tabir
kembang yang dikejar limbang?

Ka/
izinkan aku menyeru langit, meminta berkah sangkala. gigir doa yang kedinginan dalam
setangkup kepastian.

Da/
o… jasa yang berpulang. ke punca hidup yang maha hidup, kau tumbuhkan kebaikan
yang berbelasbelas. diri menali diri, menemu kasih abadi di antara. Adakah jalan yang
bersilang? bila malam telah lumus dalam prakiraan musim?

Ta/
ya rahman… katakata mendedah alif ke dalam
kurebahkan cerita lewat lamun menunggu mata terpejam

kau di titik Hira menempuh hempasan musim


kisahkisah terpejam
aku menenun balam-balam di kejauhan

Banjarbaru, 2021
Ida Bagus Uttarayana (Bandung)

“Aku Mau, Kau?”

i/
Kau pun menjadi jalang
Berlari-lari
Menyala-nyala
Bersama apimu yang tak karuan
Meneriaki setiap orang di tepian
―Siapa yang paling jalang di sepanjang jalan ini?‖
Serumu menderu-deru
Lantangmu pada dinding-dimding ibukota yang menyelimutimu
Suara merayap menyusur kulit, menyusur rongga
Udara panas terseok dibentur kobarmu,
sukacitamu
ii/
Kau masih berlari
masih menyala
menghampiri tiap celah
kuasa Kau masih tak
percaya bahwa
Orang-orang masih berjalan lambat
Tepat di belakangmu, menunduk
Sedangkan dirimu mendongkak,
mengoyak
Kau
pelihara
merah
pada mata
pada darah
Dadamu berdebar sedemikian hingga
Menggores sayup sore jingga
Sampai kapan kelana?

iii/
Kau tetap
belari
tetap
menyala
tapi sunyi
tapi papa
“Aku tak bisa dikebiri!”
Isakmu dalam sepi dan nelangsa

Mulai menghitung dinginnya malam


Daging dan tulang tak lagi
bersemayam hanya berteman
rintik jentik
detik pelik
pekik
Kau ringkuk, menggumam kikuk,
“Aku mau hidup seribu tahun lagi”
Lalu mati
Iis Singgih (Malang)

Doa Burung-Burung Urban Di Pohon Pinang


: Mengenang Nakhoda Bayan

"bernyanyilah ia di sebuah pulau


dalam hening guguran daun pinang"

pada cuaca yang selalu pagi


langkahnya membercak di tanah
bersama waktu yang larut
di detak gerak jarum kompas

dari sebuah pintu ia berangkat


bentangkan layar menuju selatan
diiringi takzim doa para tetua
:terendap rela dalam hati

kesiur angin petang mendorong kapalnya menepi


di jingga senja dermaga Semenanjung Malaya
yang lengang dan sunyi

Sang Nakhoda Bayan


dengan sisa mimpi semalam
membangun bahtera menjadi sebuah kota
untuk sesiapa saja yang ingin singgah
menumbuhkan harapan
dan di kampung perantau
tak ada satu malam pun
terlewat tanpa cerita
tentang hujan
matahari
dan laut

lantas, dari musim ke musim


tahun-tahun benderang
berkisah tentangnya
sebuah keterasingan
yang dengan cepat meringkas segala nyeri
ke dalam angan masa depan
menanam benih harap
di sebuah tempat yang begitu cerlang

"di rahim waktu, burung-burung urban hinggap di pohon-pohon pinang,


bertadarus di pucuk-pucuk sunyi dengan doa yang sangat panjang,
mendekap erat sebuah mimpi"

Ruang Kata, 01 Desember 2021


Iman Sembada (Depok)

Fragmen Tan Malaka

"Ingatlah bahwa dari dalam kubur, suara saya


akan lebih keras daripada di atas bumi." (Tan
Malaka)

Di dalam kamar, rindu begitu garing dan gering


Seperti cuaca di luar jendela. Aku melihat
Sebuah kereta yang pernah berjalan dalam
Pikiranmu. Kereta tua berbau batu bara

Kata-kata yang kau susun dalam buku


Revolusi tak pernah padam. Kata-kata
Yang membuat jalan kemerdekaan. Aku
Cari lagi namamu di bawah kibaran bendera

Mungkin sudah kau ikhlaskan namamu


Bakal dilupakan. Berpuluh tahun jasadmu
Dikubur di kaki Gunung Wilis, angin dan debu
Masih berhamburan di luar jendela

Hanya tanah makammu yang bisa dibawa


Pulang ke kampung halaman. Telah kau
Lampaui benua-benua demi cita-cita
Revolusi dan bayangan negara kaya rempah

Kini, sunyi adalah pakaian kotor yang teronggok


Di sudut kamarku. Tak kupedulikan lagi
Kekuasaan yang dibisikkan detak jam
Di tengah berisik kipas angin butut itu

Di dalam kamar, rindu begitu garing dan gering


Seperti letusan senapan tentara bangsamu
Yang mengakhiri hidupmu. Bangsamu dipayungi
Sejarah perang saudara yang panjang

Kata-katamu tersusun menjadi kisah-kisah


Revolusi. Tapi aku melihat orang-orang telah
Membuat partai-partai baru, ingin menciptakan
Seorang presiden dari seminar politik yang busuk

Matahari melayang, membiarkan cinta


Berlalu dari setiap gugusan awan. Aku
Dengar lagi suara kereta yang pernah berjalan
Dalam pikiranmu, parau seperti kemarau

Depok, 12 November 2019-2021


Ipoer Wangsa (Malang)

Setapak Jejak Kediri :


Epos Sunyi Tan

kaki bukit surau tinggi


jagat menjejak kalimatullah

ibu adalah pertiwi adalah bumi, dialah ilmu


cahaya langit membahanakannya
menikam tubuh bumi, keluhuran jadi prasasti

ke seberang di tanah jawi


tujuan membangun negeri
lalu,
setapak jejak terhenti mati
terkubur diri di kediri

―tak kan bunyi lebih lantang dari sunyi‖

separuh bumi setengah umur mengilhami


kerja, berpikir, kerja tak usai
candu revolusi tak kenal kompromi

merah darahmu di beningnya air sungai


awan putih di atas jalan setapak selo panggung
jejak terhenti, nyawa lepas dari jasad
bebas, seperti cita citamu
merdeka 100 persen atau mati bersulam melati

Malang, Oktober 2021


Irzi (Tanggerang)

Blues Buat Datuk Tan Malaka

Cuma itu, batu nisan|


Kenal akrab dengan si pemilik
Nama terpahat karat & jasad tertutup rapat

Di kedalaman tanah merah


Yang barangkali bila dulu beliau tak mati
Dieksekusi, pasti jadi bapak sah ini republik

Cuma itu, suara parau


Lirih merintih seiring tubuh rubuh terbunuh
Oleh peluru serdadu—pemeluk teguh azan subuh

Di sebuah desa di Kediri—masih tanah air sendiri


Apa sebab beliau orang kiri, lantas pantas
Diperlakukan sebegitu keji seperti Trotsky?

Cuma itu, api kontrarevolusi


Membakar hangus tiap inci tubuh
Sang telatah revolusi hingga nyaris jadi abu

Sebab jeruji besi dari penjara ke penjara


Benar-benar tak mampu membungkam alam
Pikiran materialisme, dialektika & logika—cinta yang beliau punya.

2021
Jaka Junie (Malang)

Oda Pada Madilog

Rumah Gonjong Limo tua, darah muda dan tak berpintu


tak juga berjendela untuk angin resah
hidup. Apatah hidup
Pada suatu hari, engkau cemas, tak seorang pun yang cakap berpikiran lurus
Tentang orang sebagian besar hidupnya meyakini logika pengaruh roh dan gaib
Pada suatu hari, mereka juga cemas, engkau bertanya, tapi rumahmu tak berjendela,
rumahmu tak pernah
kedatangan tamu sebab engkau sudah tak menghendaki sebuah pintu
Pada suatu hari, engkau dan mereka sepakat, taka da Tuan rumah yang mau berunding
dengan kebenaran lain yang menjarah rumahnya.

Rumah Gonjong Limo tua. Di Payakumbuh Luhak Limo Puluh


Enam tiang sepi gelaran resepsi

Oktober 2021
Jemi Batin Tikal (Yogyakarta)

Tan dalam Tiga Ingatan

Membayangkan Tan Kembali

jalan-jalan lengang
sepi pecah di tengah kota
hanya angin, hanya angin
berbisik dari ujung sunyi

di langit, segala pijar cahaya redup


menjelang subuh di Payakumbuh
berkisar langkah antara gedung-gedung
dan rumah yang telah menutup diri

di luar sana, dalam pelukan embun


jejak kakinya menyisakan tanda
kata-kata menyelinap ke semua penjuru
masuk ke celah-celah lubang angin
hinggap pada mimpi orang tidur

Pengembaraan Tan

dari bara api perang Paderi


Tan terlahir ke dunia yang sepi
dunia yang nanti memberinya nyeri

kakinya menebas batas,


melintas wilayah dari sunyi ke sunyi
berlindung dalam sebaris nama

hari-hari menumpuk
hidup diburu matahari
mengatur siasat sembunyi
dari jejak sendiri

perpisahan adalah bentangan benang nasib


matamu lindap memandang langkahku
yang pergi dalam senyap

***

orang-orang terburu menuju panggung


menyembunyikan Tan ke balik punggung

negara berubah jadi genangan darah


puisi-puisi tergeletak mati, mayat yang tak diakui
cuma jadi deretan daftar merah yang tercemar

sebuah buku yang dicurigai


merangkum ingatan dari masa silam
tak henti mengajukan pertanyaan dan gugatan
keraguan dan keyakinan menyeruak
dari halaman-halaman buram
menuding sejarah satu arah yang melukai
urat nadi anak kandung sendiri

***

dari hidup yang sebentar


ada denyar yang diwariskan
meski samar dalam selembar
catatan sejarah
wajahnya memudar dalam pendar
lampu ruang tamu negara

setelah gema suara di udara


sejenak adalah retak
tubuh tergeletak
angin tiba-tiba jadi resah
membayangkan sebutir peluru
begitu mencintai dadanya

Tan, menanggung nasib sepi sendiri


disisihkan namanya dalam malam
dalam sebungkus kain hitam
berlumur amis darah

Tan: Ingatan & Pertanyaan Menjelang Kematian

ingin kukenang sebentar kota kita


yang terus tumbuh merayapi bukit
dan lembah-lembah
kota yang senantiasa dipeluk angin dingin
kota yang dirangkum gunung-gunung

jika aku lekas bergegas


apakah kau masih menerima?

daun-daun terlepas dari tangkai


bagai derai tangis
apakah airmatamu senantiasa basah
bagi kering kisahku?

di Suliki masihkah ada yang menanti


seperti masa lampau yang terangkum
dalam lapau-lapau?

mungkinkah ada yang mengenang


di desa Pandan Gadang
yang tersuruk jauh?

sungai Sinamar masihkah merekam


hal-hal samar
dalam hitam ingatan orang-orang?
***

jika nanti kau telah mengerti


tak usah lagi mencari
masing-masing langkah
memiliki arah sendiri
hari-hari yang pergi
tak bisa kita hindari

Payakumbuh, sejumlah lampu putih


menyala di kejauhan luar jendela
tapi, ada saatsaat yang tidak kita pahami
hari-hari berkelebat
malam terasa lambat
udara mampat

menekan-nekan dada

negara boleh terus berbicara


namun teruslah berlalu
melewati jalan-jalan lengang
sebab sepi lebih fasih dan jujur
membicarakan nasib kita

hidup bukan hanya selembar kertas


yang disembunyikan di laci negara
tak boleh ada yang membaca

2021
Khodadad Azizi (Tanggerang Selatan)

Chairil dan Rumah Gadang

Sepasang kaki terpancang menembus rerumput liar


Di hadapan sepasang kaki itu tegak rumah bergonjong empat, usang tak
terurus.
Di dinding serba rongak dihabisi musim, terpampang papan bertuliskan:

“Insyaallah di sini akan dibangun gedung pustaka dan monumen Chairil


Anwar”

Tulisan yang mati terbunuh sengketa, tidak diperiyakan, pun diperbukankan;


bertahun terbiar tanpa haluan.
Dipatutinya betul tulisan itu hingga habis hari, namun sorot matanya terpaku
pada Insyaallah yang mengaburkan kata-kata setelah itu.
Sepasang kaki itu pun memasuki rumah
Tak ditemukannya susunan buku, jejeran rak, atau segala hal yang dapat
membuat ini rumah dinamai gedung pustaka.
Yang tampak hanya bengkalai-bengkalai yang kian hari kian ditenggelamkan
dahaga orang terminum air laut.

Ciputat, 2021
Kurliyadi (Cirebon)
Epilog Surau Tuo Taram : Ode untuk Syekh Ibrahim Mufti

Alquran tulisan tangan tetap utuh di rumah suku bodi


Hujan tiba di luak limopuluah ; seperti dadu nasib
Menggambar gema waktu mengerami fatihah di paruh musim
Berarak ke timur bersama burung kutilang
Mendoakan yang tiada menjadi ada di jorong balaicubadak

Surau tua aroma pandan wangi di langit taram


Menerjemahkan ihwal lafad hijaiah
Sebagai tanda baca kehidupan masih semadi
Dalam kantung doa para pendatang saban hari
Dengan bukik bulek di belakang surau tanda kuasa tuhan
Terus berambut panjang terurai
Sebagai tanda dan pesan cahaya di titik 27 rajab
Bahwa pagi harinya telah ada kuburan baru dan beraroma surga

Silsilah mencatat tubuhmu bukan darah tanah asli


Datang dari timur palestina sebagai cara menyebar agama
Menulis gelisah pena dan ayat suci, membaca rumus keimanan
Dalam keramat kejadian yang ditulis sejarah tak terduga

Taram yang tanahnya gersang telah basah rimbun muasal air Saat tongkat berjalan ke timur
Dibiarkannya tetap menancap sampai sebuah ramalan datang atas wasiat
Bernama kapalo banda tempat orang-orang mengamini peristiwa
Di mana mata air bermuara atas izin tuhan
Yang terus memancarkan tiupan safaat
Didatangkannya sosok malaikat yang kusebut syekh
Lahir besar di tanah payakumbuh
Di mana matahari dan rembulan bersinar atas gema salawat
Yang terus berkumandang dari toa tua
Tempat mengaji anak-anak taram untuk terus melanjutkan apa yang disebut keyakinan

2021
Mairi Nandarson (Batam)

PK Ojong: Dari Jalan Lundang

dari jalan Lundang


jejak yang tak tampak
ia berseru tanpa ragu
memadam api sanjung
merajam kiblat sang guru
menolak silsilah ratu
di ranah yang terjajah

„wegmet de koningin!‟
(enyahkan sang ratu) *1

dari Batang Tabik


jejaknya tak akan hilang
tak takut diadang risau
tak tenggelam dalam kekurangan
lantang mengusik guru kolonial

u weet niet wat armoede is


(tuan tidak tahu artinya miskin)

jalan Lundang aadalah awal


laju ilmunya sampai ke Padang
bermuara sampai ibukota
menjadi guru berbagi ilmu

namanya Auw Jong Peng Koen


nama yang asing di Payakumbuh
tapi tidak bagi Yap Thian Hien
dia sahabat pejuang kemanusiaan itu
namanya Andreas Auwjong Peng Koen
mungkin tidak banyak yang kenal namanya
tapi tidak dengan Arif Budiman
aktifis demokrasi 66 yang jadi sahabatnya

dia Petrus Kanisius Ojong


dia PK Ojong
dia yang mahir berbahasa Belanda
dia yang tak bisa lepas dari logat Padang-nya

di Payakumbuh
di tanah kelahirannya
namanya kini (mungkin) entah siapa
koran Kompas yang datang siang
adalah warisannya

dia tidak pulang


tulisannya sampai di jalan Lundang

Batam.28.10.2021

*1 = buku PK Ojong: hidup Sederhana Berpikir Mulia


M. Badri (Pekanbaru)

Di Tepi Batang Agam

Sebuah prasasti di depan bangunan tua bercerita,


Pada Selasa 30 Nopember 1954, Bung ada di Pajakumbuh
Barangkali naik padati dari Bukittinggi
Melewati banyak tikungan, bukit dan ngarai

Apakah Bung singgah di Batang Agam?


Ah, mungkin air sedang mengering
Sekering air mata para ibu yang membatu di jembatan
Meratapi anaknya yang dibedil serdadu
Terkubur lumpur dan hanyut di balik perdu

Di tepi Batang Agam, anak-anak menari meniup batang padi Menunggui si binuang
menghirup wangi daun tembakau
Mereka berharap, dari bangunan tua yang Bung resmikan itu
Lahir para pejuang yang berperang di sawah dan ladang-ladang
Melawan gulma dan hama yang terus menghisap keringat petani
Hingga nikmat biji kopi yang ditanam sendiri
Hanya tercecap dalam mimpi

Bung, jangan lupa singgah di Batuhampar


Berziarah berzikir di surau tua
Surau yang gemanya sampai Semenanjung Malaka
Di surau itu, berhulu silsilah yang mengalir ke tubuhmu

Sebelum kembali ke Bukittinggi


Mampirlah sejenak ke tepi Batang Agam
Di dangau kita nikmati gelamai, harum tembakau, seduhan kawa
Sambil memandang puncak Sago dari pematang

November 2021
Meifrizal (Pasaman)

Si Jantan dari Pandam Gadang


Mati di Kaki Gunung Wilis

(Tan Malaka)

Aku, Sutan Ibrahim


si rantau dari pedalaman sumatera
bermula dari Rasad dan Rangkayo Sinah bercinta
akulah orok dengan tangis merdeka

siapa aku
aku yang besar dengan angin perbukitan
sembahyang dan mengaji
layang-layang dan jurus silat
akulah si minang dengan pepatah petitih
akulah si adat
Ibrahim Datuk Tan Malaka
tak berkubang dalam peluk hangat wanita
bebas, merdeka
akulah si elang
melenggang dari kampung ke antah barantah
menyelusup seperti jurus silat
menyeruak dengan pemahaman
mana Karl Marx, mana Lenin

Aku, Ibrahim Datuk Tan Malaka


dengan rajah tangan tak terbaca
dari musim durian ke musim dingin Eropa
dari telanjang dada ke derita
inilah hidup!
Aku, Ibrahim Datuk Tan Malaka
dalam sakit dan parasaian
sudah kenyang rindu dan sengsara
Aku, Sutan Ibrahim
terkenang negeri
tak milik sendiri
jiwa menggelegak
mereka kapitalis! mereka penjajah!
Revolusi!
semua harus disentil
semua harus dicolek
semua harus dibangunkan
maka mulailah
mengetuk, menggedor, mendobrak
saudara, jangan menunggu!
Jangan biarkan klenik dan memedi mengungkung kepala
ini sudah tiga setengah abad, sudah lama!

namun rajah tangan tak terbaca


si rantau dari pedalaman Sumatera
dengan angan-angan besar di kepala
ini tak bisa dibiarkan, kata penguasa
jadilah aku, Sutan Ibrahim
berlari di balik bayang-bayang
mengikut angin dari kota ke kota
dari benua ke benua
dari penjara ke penjara

sekian tahun lama


barangkali mereka menganggap
Aku, Ibrahim Datuk Tan Malaka
sudah bercampur-campur dengan tanah
sudah tak ada
kini aku kembali
dengan gelegak di dada
namun mereka duduk berhadap-hadapan di meja
bersitegang dalam irama kata
jangan berunding dengan pencuri yang masuk ke rumah
ini sudah tiga setengah abad, sudah lama!
ahai…
pantang bagiku
Aku, Ibrahim Datuk Tan Malaka
si jantan dari Pandam Gadang
mati di kaki Gunung Wilis
ditembak tak berharga

Merdeka!

(Lubuk Sikaping, 30.11.2021)


Moh. Ghufron Cholid (Madura)

Yang Hidup Berkali-kali

: Chairil Anwar

Dalam puisi
Kau hidup berkali-kali
Tak pernah benar-benar mati

Sedang di Karet
Segala tentangmu begitu khidmat
Mengecup langit rahmat

Torjunan, 1 Dsember 2021


Muhammad Daffa (Surabaya)

Kesaksian Tarhim di Lidah Engku

1
Di lidahmu, kami masihlah tarhim yang putih
Melengking dengan segenap dalih

Kami masuki sebuah kota


Diracik dari rahim petuah

Menemu para datuk


Membumikan wasilah
Di Luhak Limo Puluah

Surau-surau menghilir senandung zikir


Dituntun ruh Fatihah
Bermukim di basah lidah

2
Hanya di lidahmu, kami tekun menimba kaji
Berulang khatam mengaji sunyi

Biarkan kami terus melengking dengan segenap dalih


Sebuhul doa yang mengakar di basah lidah Berkaum-kaum orang datang
Meminta seribu satu kunci
Menuju sorga

Berharap wangsit-wangsit ilahiah


Menjulur tulah
Ke sekalian mereka
Kaum yang dilupa kitab-kitab

3
Di lidahmu, kami masihlah tarhim yang putih
Melengking dengan segenap dalih
Berkaum-kaum orang datang

Meminta seribu satu kunci


Menuju sorga

Sorga yang manakah? tanyamu

Sorga yang memahat Tuhan


Di basah lidah

Ataukah sorga yang menghilir


Kepada Seru Sekalian Raya?

Jangan percayakan apa pun


Kepada mereka, Engku

Sebab Luhak Limo Puluah


Telanjur menyumpahmu
Dalam kelakar setia

“Jangan pernah membagi seribu kunci sorga


Dan ruh Fatihah, bermastautin di basah lidah

Tubuhmu bakal lampus termakan kecut sumpah!”

Surabaya, Oktober 2021


Nenden Servia Sandora (Bandung)

Surat Impian di atas Jendela yang Dingin


: 1972

Di sudut sunyi kota Gadang


seorang perempuan beringsut dengan kakinya
menggusur kebodohan anak-anak perempuan
yang kumal terikat adat leluhur
dan berkata,

“Perempuan tak bisa menyamai lelaki


biarlah tanpa sekolah!”

Tak surut sedikit pun langkahnya


perempuan itu tetap mengayuh dayung
berlayar menyeberangi kelok sungai
menyembunyikan kesedihan di balik
semburat cahaya senja melawan arus
yang perlahan memadam-karamkan

Banyak riuh di kepalanya soal pengetahuan yang redup


hilang termakan cahayanya oleh ketakutan
yang lelap nan gelap.

Lantang ia berkata dan getar suaranya terdengar


hening dalam larik-larik catatan tajam, menghantam
dan menyentuh hati yang lama termangu pula beku
oleh adat-adat yang melingkar-mengikat

Perempuan itu—membebaskan diri


Menuliskan surat-surat impian di tepi jendela yang dingin
diselimuti kemilau embun yang menggugur
tanda janji pada kota Gadang telah terkubur

Suaranya terbang menembus dinding adat


dan merambatkan getaran samar
yang mempertentangkan ke manakah
anak-anak perempuan kumal ini harus kembali
menetaskan setetes mimpi yang ragu-ragu.

Dalam akhir hayatnya


terbaringlah ia dengan segenggam ragam pena
dan kertas-kertas lusuh yang bertuliskan
sebaris sajak sendu

Menyelesaikan remang dan gelap belenggu pendidikan


selesailah ia—dan damai terbaring
telungkup berpeluk tanah-tanah penuh sajak.

Bandung, 27 November 2021


Rafki Imani (Solok)

Sebab Tan Malaka

―Angin di ujung pelarian itu


seperti peluru yang terus memburu
kemana jejak kakimu menuju…‖

Tak akan hilang dari ingatanku


ada revolusi tumbuh dalam tubuh
lalu mati tanpa dikubur
karena alasan yang sangat ngawur

Tapi kau bukanlah utusan tuhan


yang dengan mudah memaafkan kolonial
sebab dengan intuisi yang utuh, yang terus kau tumpuk
di keras kepalamu itu, kau telah menjadi hantu bagi
bangsamu sendiri!

Seperti kebanyakan cara berpikir orang


kau adalah korban sebuah kesombongan
membuatmu terdampar pada situasi yang sakit

―Revolusi itu adalah cita-cita, meski harus


terbangun dengan darah di kepala.‖

Aku tahu, kau hanya perlu berjalan dan berlari


tapi pelarian itu adalah angin dengan tatanan peluru
yang telah menyudutkanmu kepada sebuah ungkapan:
―Revolusi adalah pemberontakan!‖
Ramoun Apta (Jambi)

Bubur Hijau Gula Enau Pandan Wangi Kulit Manis Jahe Merah Primadona Kita

Aku remas parut daging kelapa


Menggunakan kisut jemari tanganku.

Ampas terhempas,
Santan cerai
Mengucur pelan
Ke dalam periuk buburku.

Aku rebus ia
Bersama biji-biji genit kacang hijau,

Aku kebat aromanya


Dengan helai-helai daun pandan wangi
Dari rawa-rawa terbiar paling tepi,

Aku bumbui ia
Dengan batok merah enau gula
Yang selalu jadi primadona
Di Negeri Tua Lima Puluh Kota.

Aku jerat uapnya dengan sedikit kulit manis


Yang dikupas dari kuduk bukit dataran tinggi
Agar tercipta sedikit lagu harmoni
Pada ia yang terjebak dalam kenangan.

Aku pelihara geletup didih air


Dengan api jinak dari tungku bakar
Seperti memelihara panjang janggut
Di antara bibir cawan gelas kopi.

Lalu aku tambahkan seruas jahe merah


Yang telah aku panggang di atas bara
Harapku padanya, semoga kelak tercipta
Kaldu yang membangkitkan gairah
Di batang hasrat para pecinta.

Lima menit kemudian


Bubur pun matang.
Uapnya melambung
Bagai merapuhkan sarang laba-laba.
Aromanya membumbung
Bagai menjatuhkan air selera
Di runcing gigi pengendara sepeda.

Seorang lelaki berwajah bringas


Seperti habis menenggak minuman keras
Datang kepadaku seraya berkata,
―Sudah sejak tadi aku tunggu masak bubur ini.
Kata orang, bubur paling lezat di daerah ini,
Hanya akan aku temui di kedai ini!‖ katanya,
Sembari menunjuk papan merek ‗sabar menanti‘.

Lalu aku jawab, ―Bubur ini belum matang sempurna,


Biji-bijinya masih hijau muda, terasa pahit dan keras.
Sedangkan santannya masih berwarna daging durian muda,
Karena belum selesai dirempah.
Silakan tuan pindah ke kedai seberang jalan saja,
Di sana buburnya lebih menggugah selera
Sebab ada campuran daging durian tembaga.‖ Kataku berdusta.
Aku memang tak pernah sudi menerima ia di sini
Sebab ia tidak pernah membayar makan
Persis orang dungu yang meminta buku gratis
Kepada penyair yang buku puisinya baru terbit.

Tapi lelaki itu kembali berkata,


―Aku sudah kenal semua siasat berdusta.
Dan hidungku sudah hapal
Segala macam aroma makanan siap hidang.
Perkataanmu seperti lidah bercabang dua,
Satu berkait di akar rotan, satu bersilat di tangkai buah.
Sedang yang keluar dari bibirmu beraroma nanas terluka.
Begini saja, kalau bubur ini tidak kau hidang segera
Aku pastikan besok sebelum terbit matahari
Kedai ini akan habis terbakar api.‖ Katanya.

―Tidakkah kau teringat tragedi


Terbakarnya kedai kopi di sebelah
ini?‖ Ujar lelaki itu menegaskan.

Aku keduk bubur itu dari perut periuk,


Aku tuang ke dalam mangkuk ayam,
Aku sajikan di atas meja panjang,
Aku dampingi ia dengan sebungkus roti tawar.

Aku biarkan ia menyantap


bubur itu Seperti membiarkan
masa lalu Sirna di belakang punggung.

Selesai makan, lelaki itu berujar,


―Sungguh nikmat rasa bubur ini.
Bubur kacang hijau berkuah kental ini,
Berpadu dengan sobekan-sobekan roti tawar ini,
Membuatku betah sarapan di kedai ini!‖

Kulit kacang hijau yang terselip di sela gigi taring itu


Seakan menyiratkan nasibku.

Maret 2020-November 2021


Rissa Chria (Bekasi)
Etape Jembatan Ratapan Ibu Hingga Aie Tabik

Ada nama Chairil Anwar


Ada sajak yang terbaca
Pada tembok-tembok tua
Di antara lelang canda tawa
Dan percikan kepedihan purba

Perih menjadi kesumat di dada


Di tengah arus yang mengalir deras
Satu-satu jasad jatuh setelah peluru
Menikam pembuluh darah dann jantung
Lelehan air mata mengusung duka
Melewati Batang Agam hingga Aie Tabik

Mari baca sejarah kota kita


Agar jumawa rasa merunduk tunduk
Siapalah kita hingga disebut pahlawan membela
Kemerdekaan bukan lagi menjadi maklumat
Kita menjadi hak yang mesti dirawat tak hanya diruwat

Di sana Payakumbuh menabuh pantun


Petani bernyanyi di sepanjang pematang
Gadis-gadis berkulit halus
Menanam biji mawar dan kamboja
Di dagu dan lesung pipinya

Ini bukan cerita semusim


Sebuah etape yang menghubungkan
Antara waktu ke tujuan
Bukan lagi jarak yang membentang
Semua terkemas dalam simpul kenangan
Mengantar cerita kini dan masa depan

Cibinong, 29.12.2021
Rori Maidi Rusji (Padang)

Ingatan Masih Tinggal,

“Pasa Kabau” Masa Lampau

Saban hari kau tak pernah lengang,


Oleh pekak sorak kernet bus,
Oleh gerutu agen penumpang ketika tidak mendapat persenan,
Oleh rayuan anak kedai yang berjejer sepanjang lapak pinggir terminal.

Bus antar kota dalam provinsi berkelindan dari simpang benteng,


Dentuman klakson bersahutan dengan lacur supir,
Suara canang penjual es potong berkeliling,
Kau beri kehidupan untuk orang-orang berderai,
Walau sekedar penutup umpat tukang becak.

Tawa anak kos basah ketika permulaan bulan tiba,


Mereka tumpah ke ―pasa kabau‖
Menjemput pesan dari kampung halaman,
Mengambil hasil ladang dari dalam mobil.

Sampai senja menjelang,


Suara lidi tukang sapu menyuruh pulang,
Lantunan azan masjid memberi kenang,
Sepanjang jalan dari ―pasa kabau‖ ke simpang benteng.

27 November 2021
Romy Sastra (Jakarta)

Fragmen Tubuhmu Payakumbuh

tubuh menjulang rawa bergoyang adalah partitur kaba bersilang sejarah purba. si tukang madah
menguak sunyi torehkan epik-epik liris menuju perjalanan waktu. kemajuan payakumbuh
tumbuh berbakti pemuda-pemudi tinggalkan negeri menyauk bako di tanah tak bersako
bertualang. jejak sebentuk tiang-tiang pancang berpanggung atas perjuangan, seiring kultur
adiluhung subur di bumi minang: ya, payakumbuh

pada bingkai sejarahmu, nama berhias di catatan tambo, lingga pahlawan disematkan di tugu
kota, ornamen pejuang itu memanggul senjata dengan sebatang bambu runcing menukik memekik bisu
dari kesaksian pertempuran "situjuah batua jasad takubuah" aroma darahmu anyir
menghilir mengalir pada bibir generasi membangun bangsa ini: indonesia

lebam mata berkubang lumpur pada tutur leluhur, engkau yang kesepian menyapaku. sebab
pikuk menyuram di taman-taman sembunyi kota berdongeng. sedangkan detak jantung
berpalung bertarannum di nisan atas nama pahlawan. ya, engkau gugur pejuang, dan generasi
yang terbangun menyingkap tabir pahlawan. betapa seranah sejarah sebagai pelita menuju
payakumbuh bertuah setumpuk galamai berdansa di lidah, luka dukamu seroja: payakumbuh,
denai bermadah

membaca tubuh tugu payakumbuh di atas kesetiaanmu pada laju republik berdiri tak berkabut,
dan gunung-gunung di sana menutup pandangan sandal jepit menatap purnama di malam hari,
mata taklah kesandung mengejar teknologi mengajarkan futuristik

aku runduk diam merenungi sejarah silam, payakumbuh sedari dulu dan kini telah menjadi kota
kosmopolitan

Jakarta, 23 November 2021


Safri Dani (Padang Pariaman)

Nagari Segala Umpama: Payaukumbuah

aku dibesarkan di pedalaman sumatera


tempat di mana puisi dirajut dari pangkal sampai ke pucuknya
pada renggang tanjung merah kesumba itulah
kampung halaman yang saban hari aku dendangkan berada

tapi kini di rantau yang asing dan sunyi


jiwaku menjelma lumut suliki yang mencari-cari jalan kembali
tapi tidak juga aku temukan, kecuali hanya dalam mimpi

meskipun nasibku berdeai dipecah alun,


namun aku akan terus berkisah sampai mati
tentang jazirah gadang tempat di mana pagi menolak petang

aku tumbuh di pedalaman pulau perca


taratak di mana segala rinduku bermuara ke sana
di antara rumpang lembah purba itulah nagari
segala umpama yang aku langgamkan bersila

nagari yang sudah lama aku lengahkan


lantaran galodo gadang menggulung nasibku
menjauhi tempat di mana lamun bersilang
demi mencari untung berbilang di rantau orang

Kapalo Koto, 2021


Wawan Kurniawan (Sulawesi Selatan)

Parade Suara Ingatan

“Ingatlah! Bahwa dari alam kubur,


suara saya akan lebih keras
daripada dari atas bumi” --Tan
Malaka

1/
Dalam teduh hutan, kita rayakan jiwa yang tetap bernyawa
tubuh daun kering jatuh memecah sepi jiwa
kala angina musim menghembuskan rahasia dengan pelan
setelah bersiap membuka perjalanan yang lain

Jika di barat atau di timur, batas-batas berkuasa dengan gegabah


kau angkat topimu selagi orang-orang mati
memaksamu mendekap api yang hendak membakar
mereka: tapi kematian lebih akrab dalam takdir getir milikmu.

Namamu telah menjelma mantra yang mujarab:


Elias Fuaentes, Estahislau Rivera, Alisio Rivera,
Hasan Gozali, Ossorio, Tan Ming Sion,
Tan Hoseng, Ilyas Hussein, Ong Soong Lee
menyalahkan kebenaran yang kian berani

2/
Yang terhampar melawan hampa
adalah kepunyaan segala suara yang hendak
merayakan kehilangan dengan bersiap melawan
dan kau bicara, dalam ingatan banyak orang yang mencari
kita ingin menjadi nasib yang berharga
sebab di muka bumi ini, kesialan tampak terjaga
menyerang kerapuhan yang terikat di jantung
tapi tidak menyentuh ingatan yang mengenal pulang

Saat hari mulai dipenuhi penyesalan dan kekalahan


kita berderap bersama menuju ke dalam ingatan
dari milikmu yang terus bersuara menyapa
bertanya, “apa lagi yang tersisa selain kebenaran
yang berani?”

2021
Wayan Jengki Sunarta (Denpasar)

Tan Malaka

di Suliki
pohon besar itu berakar
pohon menjulang
bermimpi cahaya
merdeka

gema talempong dari rumah tua


menuntun matahari muda
menyusuri jalan sunyi
hingga tiba di arah kiri bumi

di negeri tulip cintanya bersemi


di antara dera pleuritis
dan godaan marxisme

ia mengembara
dalam belantara kata
merangkai alenia demi alenia
menyusun buku demi buku
menggaungkan pemberontakan

di suatu hutan rahasia


pada suatu masa yang kelam
di februari yang basah
jauh dari Suliki
jauh dari Payakumbuh
jauh dari dongeng ibu
jauh dari rumah gadang
jauh dari lengking pilu saluang
pohon besar itu rubuh
ditebang paksa penguasa
dunia akan rindu padanya
rindu pada jiwa yang merdeka
rindu pada buku-buku apinya
yang menggelorakan perlawanan

2021
Yeni Purnama Sari (Lima Puluh Kota)

Hampir Senja di Lembah Suliki

: Tan Malaka yang tak bisa pulang

Jalan berkelok dan mendaki


hampir senja di Lembah Suliki
udara membawa harum porak limau orang Gunung Omeh
lambai nyiur dan tangkai padi menarikan kesunyian
sepanjang setapak kecil membelah bukit barisan
di seberang rumah gadang Tuan Datuk
cahaya saga jatuh menimpa gonjong nan lima julang
biliknya menyimpan tangis kelahiran engkau
tuah Datuk menjaga kampung dalam harum marwah
di pangkal jenjang batu itukah, Datuk?
mande Sinah berdiri geram
rotan pelecut tergenggam di tangan
menanti Ibra kecil pulang sehabis bermain lempar limau
yang menjelma riuh perang batu
dalam keriangan kekanak tak mengenal waktu
di musim yang lain
barangkali mande Sinah hanya duduk membatu di muka
pintu sembari memintal doa bagi si anak bujang
telah ia masuki sesungguhnya perang
setelah perang-perang kekanak itu
telah mande relakan jalan juang dipilih si datuk muda
maka berlayarlah kapal itu dari Batavia
menyapa deru ombak Padang sembari menabur bunga perpisahan
jalan sunyi mana yang Datuk tempuh, ke arah mana rantau diperjauh?
jarak kian merentang
jeruji ditanam pada setiap simpang
rupanya hakikat kemerdekaan yang Datuk perjuangkan
mesti dibayar dengan kehilangan kemerdekaan si badan diri
jelang kapal nasib berlayar jauh menuju pembuangan
adakah dada engkau ngilu menanggung debar rindu kepulangan?
debar bagai debur ombak Padang berdentam menghantam keras batu karang
seteguh prinsip yang Datuk kundang
jalan berlekuk dan mendaki
malam jatuh di Lembah Suliki
sempurnalah sunyi perjalanan ini
―O, lembah tempat tali pusarku berkubur!
Engkau tengokkah dalam tubuhku?
jalan beribu simpang
melingkar sepanjang batang usiaku
usia menumbuh dalam detak sunyi perjalanan jauh
aku begitu mencintai engkau
mencintai gemercak batang air
mengalirkan riang masa kecilku ke muara segala rindu
tapi, kenapa tak satu jua jalan ini menuju padamu?‖

Sungai Penuh, 2021


Puisi-puisi yang Turut Merayakan
Payakumbuh Poetry Festival 2021
Ahda Imran

Jalan Tan Malaka, Payakumbuh

Lurus jalan menuju Suliki


di ujungnya persimpangan—
Koto Tangah dan Koto Tinggi
keduanya menuju ke dalam lembah
Pegunungan, rimba raya, deretan
pohon pinus, ladang-ladang kopi
dan tembakau

Liuk jalan
dan pendakian

Ini jalan orang dulu..

Jalan lurus panjang


Gerbang menuju kerajaan gunung
Orang dulu pergi keluar, membawa
jantung seekor burung. Pergi ke musim
yang lain, ke negeri di mana dunia
bisa disebutkan dengan berbagai
nama

Surau dan lepau tepi jalan. Balai adat,


rumah lama dengan parabola, satu dua kedai
penjual handphone. Dari depan, udara dingin
menyongsong. Bau lengang dari jenjang rumah
dan sayup suara menyeru—

Bila pulang?

Lurus jalan menuju Suliki


di ujungnya persimpangan

Ini jalan orang dulu…


Deddy Arsya

Dari Tarusan ke Indrapura

-- Fatris MF

Ke selatan lagi, Is, lebih ke selatan


pincalang dari batang lansana
tersadai di pantai landai
pada teluk dangkal
mirip lengkung
perawas mengkal
tanyakan di situ:

"ada di sini datuk


bergelar raja
tak ada kerajaan tak ada istana
tapi mau dihimbau sebagai baginda?"

mulutmu, Kalera!
racun biawak purba
menguar asin garam
pantai barat
panas berhama,

eh, engku, engku


engkukah orangnya?
sahaya mencari berhari
seorang pandai besi
lihai melebur mahkota
jadi gerendel palka.

Ke selatan lagi, Is, terus ke selatan


ombak melamun
sehabis pulun
cari tahu di situ:
"di mana kebun-kebun lada
lubang-lubang emas & suasa
yang 1300 banyaknya?"

telah menguap harumnya


telah pudar kuning-kilaunya

"kalau begitu lalu


di mana ladang-ladang kapas
itu yang disebut dulu
sebagai pengantinya?"

bunga-bunganya diterbangkan
angin lebih jauh ke pedalaman
jadi baju dan celana
penutup badan
telanjang
para bujang
& gadis-gadis kalian.

Ke selatan lagi, Is, masih lanjut ke selatan


umpankan heran: "ada di sini galangan?"

untuk perahu-perahu kecil


penarik pukat dan bagan?

"bukan, bukan
ya Tuhan!
ini kan kesultanan
beri aku sesuatu nama
bagi bengkel kuno kalian
sebisanya akan kutuliskan
di majalah jalan-jalan:

"Dari sini kapal-kapal besar


dengan layar-layar lebar
berasal
sekelilingnya kecubung api
dikirim semua ke Malaka
memerangi Peranggi!"

Aduh, Dinda
dasar kau, Siampa!
kau jadikan masalalu kami
sekam-duri
tak tertelan lagi.
Gus tf

Kota Masa Kecil,


Kota Mata Kail

Kota masa kecil, sungai masa lalu


di bibir merah bergincu kita bertemu.
Ayun mata kail, desau dan bambu,
di binal kikik malam risau ibuku.

Sungai masa kecil, ayun masa lalu,


di binal kikik malam kita bertemu.
Desau mata kail, kota daun bambu,
di bibir merah bergincu risau ibuku.

Desau masa kecil, kota masa lalu,


di bibir merah bergincu kita bertemu.
Sungai mata kail, ayun daun bambu,
di binal kikik malam risau ibuku.

Ayun masa kecil, desau masa lalu,


di binal kikik malam kita bertemu.
Kota mata kail, sungai daun bambu,
di bibir merah bergincu risau ibuku.

Payakumbuh, 2001
Iyut Fitra

Jalan Tan Malaka

entah sejak bila aku diberi nama tan malaka, kata plang nama jalan itu
dari simpang bunian ia bayangkan sebuah perjalanan panjang ke pandam gadang
pada satu kalender ketika tabungan demi tabungan diiurkan
maka sungai yang dilintasi akan bersaksi
batu-batu siap sebagai penarung. duri sikejut terhampar kembang kuncup
ditujulah bukittingi setelah kereta meninggalkan stasiun suliki
lalu sepanjang itu buku-buku berceceran
sepanjang itu pula berbagai ilmu dilipatkan
kamar kos. trotoar menuju kampus
hari-hari yang panjang. noni-noni bermantel dingin melintas riang
pertempuran dan kemerdekaan
sampai pada lagu-lagu orang diburu. aku hanya mendengar kisah itu

lalu mengapa namaku tan malaka, bukankah itu sebuah nama yang angkuh?
tanya plang nama jalan itu, kepada sejarah yang berbaris
sejarah yang kadang dicurigai juga. warnanya barangkali merah
di sebelahnya kandang oto gagak hitam dan sinar riau menyimpan gelak
melihat beban yang dipikul plang itu
kadang ada yang lewat seraya bermata sabak
kadang ada sekedar berfoto lalu menulis entah apa
kadang ada yang bermata sabak itu berfoto sambil hormat sembunyi-sembunyi
mengenang atau berbasa-basi

mestikah namamu ellias fuentes, estahislau rivera, alisio rivera


sebagaimana cerita-cerita revolusi itu
atau ilyas husein, ong song lee, tan ming sion, hasan gozali?
tanya sebuah spanduk usang yang terbentang membelah jalan
satu talinya lepas tergujai-gujai. huruf yang tertera pun sudah tergerajai
serupa nama-nama asing yang ia sebut dengan terbata

plang jalan itu bergeming


menatap jauh sejauh pandang ke pandam gadang
sebuah rumah tua, kolam, dan surau. tak ada buku-buku itu di sana
selain barisan lengang di antara tebing dan lembah
seolah segala sesuatu tak pernah ada
oto dan onda lalu begitu saja. meninggalkan bising dan desing
kenangan bunyi peluru

sungguh berat menyandang namamu, tan, kata plang itu


Kiki Sulistyo

Pusat Ampenan

apabila sungai itu ular, ia tak mematukmu


ia cuma menatap gerak-gerak lurus di jalan
ia cuma menatap keras besi jembatan
kau dengar riak jantungnya, hangat
dan mengandung kegelapan

lain kayuh lain arah ditempuh, melingkar


pikiranmu, keruh oleh tuba lampu-lampu
setiap diri menajam duri, menumbuhkan
kejahatan di laut terpencil

di sana asal sungai, di sana asal tanah


tanpa bangunan dan tamu-tamu.

apabila waktu-waktumu sungai, ia tak


mengalir. ia cuma menatap dengan
mata orang mati. ia cuma menutup
semua jalan menuju yang sudah lalu

serupa pintu-pintu toko yang terbuka


tapi tak menjual apa-apa.

(2021)
Nirwan Dewanto

Boogie Woogie

--untuk Umar Kayam

Di Broadway, hanya di Broadway

langit bisa menggirangkan diri

dengan merah, semu merah,

merah Mao, merah Marilyn Monroe,

meski di setiap sudut surai salju

mengintai hendak memberkati

ungu magnolia musim semi,

hitam legam seragam polisi,

kuning taksi dan sepatu Armani,

kuning kunang-kunang tak tahu diri.

Tapi di Broadway, hanya di Broadway

sungguh merah tak pernah sampai

ke surga, betapapun ia meninggi

melampaui puncak menara tertinggi,

menjinjing jantung paling murni,

jantung tercuci kuas Balladan Boccioni.

Di Broadway, hanya di Broadway

merah terkalung tenang ke leherku

(leher kadal gandrung Ragajampi)

sebelum memecah memanjang

seperti akanan, ketika gelombang

jingga memecah pasukan pemadam api,

kelabu membajak lidah para padri,

hijau terampas dari mata Lorca dan Marti.

Tapi di Broadway, hanya di Broadway


langit seperti berbentuk huruf Y

sebelum si lelaki rapi dari Amsterdam,

lelaki lencir kelam seperti daun pandan

(kuhapus namanya di sakuku: Mondriaan)

membentangkan putih, putih semata,

putih seluas sabana senjakala,

dan membariskan tujuh juta noktah

ke atasnya, tegak lurus silang-bersilang

seperti tujuh puluh salib tanpa pokok,

seperti simpang semua jalan New York,

noktah kuning kelabu biru merah,

kuning kunang-kunang tahu diri,

kelabu kaus kaki Januari,

biru dahi kereta bawah tanah,

merah tabah seperti duka nyonya

sebab terlalu lama ia bersandiwara

di Broadway, hanya di Broadway.

(2007)
Raudal Tanjung Banua

Lagu Lama Sebuah Kota


: Bukittinggi

Lalu menggalu lagu itu


di atas jenjang 40.
“Sakit sebesar biji bayam
Sakit serasa „kan membunuh!”*

Lalu lumut gelincirkan ingatan


Ke tebing ngarai yang akrabi
kematian.

Kulihat berbendi-bendi orang pergi


diberangkatkan ke tepi ngarai yang sama
Berbendi-bendi orang kembali
membawa rasa kehilangan yang sama
dalam diri.

Seperti amsal kota ini


Dibangun dari menara sekaligus terowongan
bawah tanah
Di mana keindahan dan kecemasan
jadi panorama yang sukar dilukiskan.

―Inikah gerangan derita sakitku, wahai Andam?


Sakit selalu menikam-nikam!‖

Tak ada jawaban. Bahkan jam gadang itu berdentang


tanpa pesan rindu-dendam. Hanya langit berarak awan
bagai lukisan keberangkatan, bersiap turun
hingga ke batas jurang ketiadaan.

Saat itu kukira langit teleng atau runtuh


Kiranya awan yang menggejuju
mencipta panorama kegaiban.

/Bukittinggi-Yogyakarta, 2003-2013

* Diambil dari lirik sebuah lagu klasik Minang, ―Malereng Tabiang‖ ciptaan Aji Sutan
Sati dipopulerkan pertama kali oleh Elly Kasim.
Riri Satria

Pada Sebuah Kafe Sudut Jalan di Payakumbuh

Payakumbuh, kau sudah berubah!


Sekarang bersolek di waktu malam
Aroma kopi dipeluk lampu-lampu kafe dan jalanan
Sudah belasan kafé kulewati
- bahkan mungkin puluhan!
- sejak Jalan Soekarno Hatta sampai Jalan Sudirman
- pasti ada yang terlewat dari hitunganku

Ada diksi yang berubah di kota ini


Kata-kata bertebaran penuh cahaya
- sampai tengah malam
Menjadi denyut puisi yang mulai susah kupahami

Aku menatap secangkir kopi hangat


yang sejak tadi menemaniku memahami puisi baru
- tentang malam di kota ini yang menghangat
- tentang gairah baru ekonomi yang terus menggeliat
- tentang warna-warni wacana sosial yang semakin hebat
Aku penasaran – adakah wajah-wajah yang semakin pucat?
Atau kata-kata tak terucap karena tercekat?
Entahlah

Malam semakin pekat


Sepi perlahan mulai merayap
Namun aku masih tak mempu - memahamimu seutuhnya
Payakumbuh – kota yang menusuk pikiranku
Ke mana puisimu akan berujung?
Menantang sang waktu - yang melaju tanpa permisi
Pada sebuah kafe di sudut jalan
Aku membacamu – lalu jadi puisi

Di tengah denyut kehidupan siang dan kerlip cahaya malam


- di tanah pejuang Tan Malaka
- di tengah puisi Chairil Anwar
Kutitipkan sepotong sejarah hidup
Jangan sampai kau hilangkan

(Desember 2021)
Warih Wisatsana

Bersama Made Wianta ke Apuan

Tiga tikungan lagi


tak kunjung sampai
kampung halaman

Begitulah berkali kita bertanya


ke barat atau ke timur melipur umur
Berulang menimbang peruntungan
di tiap tikungan, akankah diri sampai
atau selesai sebelum hari usai?

Hujan lalu menderas pada kanvas


digenangi cahaya dan bias warna
di mana malam tertidur
dalam napas lembut anakmu
Wajah terkasih yang terus membayang
pada kaca kereta yang laju lintas bangsa
pada grafiti hampa segala dinding kota

Kau siaga Terjaga

menoreh kata disekap lamunan


meluapkan apa saja dingin angan
di sembarang rupa igau risau penumpang
penerbangan dini hari
di ketinggian tak bertepi
Menyaksikan bukan bulan merah separuh
tetapi langit yang seolah terbelah
sebuah jendela melayang di udara
Kota demi kota membiru
hijau atau kelabu
melintasi garis
batas cemas batas napas
nun di kejauhan bawah sana

Teringat nasehat
bila kelak sesat
kehilangan alamat sahabat
bagai pohonan heninglah sejenak
dengar ricik air bening masa kanak

Seketika kau terbayang jalan pulang


ibu menunggu di tepi waktu
kenangan riang kawan sepermainan di pematang
tabuh gamelan semalaman di pura kawitan
bersisian pengharapan masa depan
dalam alunan panggilan
bagi tiket terakhir
pesawat terakhir

Pada lengang kanvasmu ini


ada perempuan penyendiri
membaca buku berkali hingga dini
menenggelam diri dalam baris puisi
memikirkan pikiran merasakan perasaan

Ya, tiga tikungan lagi


ke kanan adakah jalan masa depan
ke kiri sungguhkah tiba di buntu hari

Berdoa atau berdiam saja


dunia tak merasa kehilangan kita

Plawa, 2021
Biodata Penyair 5 Puisi Terbaik
Payakumbuh Poetry Festival 2021
A. Syauqi Sumbawi
Menulis cerpen, puisi, novel, esai, kritik, dan lain-lain. Sebagian karyanya dipublikasikan di
beberapa media massa. Juga terkumpul dalam antologi bersama.
Bukunya yang telah terbit, yaitu Dunia Kecil; Panggung & Omong Kosong (novel, 2007),
Waktu; Di Pesisir Utara (novel, 2008), 9: sebuah novel (2020). #2 (cerpen, 2006, 2020),
Limapuluh (puisi, 2020), Wajah Puisi dalam Literasi (Catatan Kesan Makalah Bedah Buku,
Perpusda Lamongan, 2021), Tuhan dan Manusia-Abdun (Esai/kritik Sastra, 2021), Empatpuluh
(Novel, 2022) dan C. Snouck Hurgronje dan Wajah Islam di Indonesia (2022).
Beberapa karyanya pernah meraih penghargaan, seperti KSI Award 2013 untuk sayembara
kritik buku puisi, Juara I dan III Lomba Cipta Puisi Surabaya Memori 2014 dan 2015, Juara III
dalam lomba cipta puisi Payakumbuh Poetry Festival 2020, dan lain-lain.
Bukunya, Tuhan dan Manusia-Abdun mendapat perhargaan Anugerah Sutasoma 2021 Balai
Bahasa Jawa Timur untuk kategori buku esai/kritik sastra terbaik. Buku puisinya Waktu Pintu
Batu (dalam persiapan terbit 2022), pernah terpilih sebagai salah satu pemenang dalam
Sayembara Manuskrip Buku Puisi Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) 2021.

Damar Sewu
Lahir di desa kecil, di Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah, pada 27 Januari 1997. Mulai gemar
membaca sejak tahun 2013 kala bertemu Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Mulai
menekuni dunia tulis-menulis sejak tahun 2021. Puisinya yang berjudul "Anak-anak Aksara"
menjadi juara 1 dalam event yang diadakan oleh 20 grup literasi facebook.

Hoerudin
Penulis beralamat di Babakan Bandung, Kelurahan Nanggeleng Citamiang, Kota Sukabumi,
Jawa Barat

M. Rifdal Ais Annafis


Lahir di Sumenep, 16 Februari 2001. Bergiat di Prosa Pend. Bahasa & Sastra Indonesia
Universitas PGRI Yogyakarta. Buku kumpulan puisinya, Artefak Kota-kota di Kepala (2021)
dulunya aktif di Ponpes Annuqayah. Tulisannya terpublikasi di pelbagai media.
Nurham Abdul Wahab
Beralamat di Magetan, Jawa Timur
Biodata Penyair 50 Puisi Pilihan
Payakumbuh Poetry Festival 2021
A. Musabbih
Lahir di Tegal, 09 September 1986. Alumni Sastra Indonesia Universitas Negeri Yogyakarta.
Pernah mengikuti beberapa sayembara menulis puisi dan meraih beberapa penghargaan; Juara
Harapan lomba cipta Puisi Nasional ―Sejuta Puisi untuk Palestina‖ (2021), Juara I lomba cipta
puisi Hari Kartini se-Jawa di Universitas Pancasakti Tegal 2020, juara II cipta puisi Festival
Sastra Jawa Tengah 2019, Puisi Terbaik lomba menulis puisi nasional Leon Agusta Institute
(Padang, 2014), juara II lomba cipta puisi nasional Batu Bedil Award (Lampung, 2011), juara II
lomba cipta puisi Semarak Bulan Bahasa (UNTIRTA, Banten 2009), juara III lomba cipta puisi
FLP Yogyakarta (Yogya, 2007), dan beberapa nominasi.

Ach. Firmansyah
Ach. Firmansyah, jebrol di Sidoarjo. Lahir tahun 2000.
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya.

Alif Maulana
Lahir di Padang, 9 Agustus 1995. Menulis puisi dan esai. Bergiat di Kalera Sastra. Berdomisili di
Kuranji, Pauh IX, Padang.

Alvian Rivaldi
Lahir di Bekasi tahun 1998 merupakan seorang mahasiswa Sekolah Pascasarjana Uhamka. Ia
mengawali karier kepenulisan saat mengikuti serangkaian kegiatan di komunitas Bemsika saat
kuliah S-1 di Unsika. Puisinya masuk ke dalam antologi Seni & Pandemi (2020), Lurus Jalan ke
Payakumbuh (2020), Kartini Menurut Saya (2021), Situs dan Artefak (2021), Jakarta dan Betawi
(2021) Dari Negeri Poci 11 (2021), Neng Ning Nung Nang (2021) dan lain-lain.

Andini Nafsika
Beralamat di Jalan Sutan Syahrir No 33, Kelurahan Silaiang Bawah,
Kota Padang Panjang. (Kantor SMPN 2 Padang Panjang)
Andreas Mazland
Lahir di Banda Aceh 21 Juni 1997. Menulis esai budaya, cerpen dan puisi. Bergiat di Lapak
Baca Pojok Harapan, sebuah komunitas literasi di Kota Padang.

Arif Hukmi
Lahir di Bombana, Sulawesi Tenggara, 10 Desember 1994 adalah alumni Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Universitas Islam Makassar. Kini melanjutkan studi di Program Studi Magister
Pendidikan Bahasa, Pascasarjana Universitas Negeri Makassar. Menulis Buku Puisi Suhu Udara
(Guepedia, 2020).

Arif. P. Putra
berasal dari Koto Baru, Surantih Pesisir Selatan. Sekarang menetap di Padang. Aktif bersama
Serikat Marewai, sebuah komunitas yang bergiat dibidang kebudayaan; tradisi dan sejarah lokal
di Pesisir Selatan. Alamat: Perumahan Bayamas, kel. Tabiang banda gadang, Nanggalo, Padang.
Blok Permata IV, No. 11.

A’yat Khalili
Menulis karya fiksi dan nonfiksi. Pernah meraih penghargaan Pusat Bahasa Jakarta 2006,
penghargaan Taman Budaya Jawa Timur 2006. Kini tinggal di Jalan Sektor 16 Sudirman Jaya,
Ciledug, tanggerang Selatan.

Ayu K Ardi
Guru dan penulis berdarah Jawa Tengah kelahiran Bandung. Masih menjadi guru honorer sejak
2006. Saat ini berdomisili di Kota Payakumbuh, Sumatra Barat. Puisinya dimuat di media massa
lokal dan nasional. Tercatat pula dalam berbagai antologi berkurasi sejak 2016 sampai sekarang.
Ia bergiat di komunitas Forum Penyair Indonesia (FPI), Penyair Perempuan Indonesia (PPI),
Sastra Sumbar, Zona Literasi Sumbar, Kelas Menulis Daring (KMD), Kelas Puisi Bekasi (KPB).

Budhi Setyawan
Lahir di Purworejo 9 Agustus1969. Buku puisi terbarunya Mazhab Sunyi (2019). Mengelola
komunitas Forum Sastra Bekasi (FSB) dan Kelas Puisi Bekasi (KPB), serta tergabung di
Komunitas Sastra Kemenkeu (KSK) dan Komunitas Sastra Semanggi. Bekerja sebagai dosen di
kampus PKN STAN Tangerang Selatan. Saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

Budi Saputra
Lahir di Padang, 20 April 1990. Menulis cerpen, puisi, esai, feature, dan resensi di berbagai
media massa. Diundang pada Ubud Writers and Readers Festival 2012, Pertemuan Penyair
Nusantara (PPN) 5 Palembang (2011), dan PPN 6 Jambi (2012).

Dadang Ari Murtono


Lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Ia bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam
kelompok suka jalan. Ia juga menerbitkan sejumlah buku antara lain, Ludruk Kedua, Samaran,
Jalan Lain ke Majapahit, Cara Kerja Ingatan, dan Cerita dari Brang Wetan.

Defika Irma Suryani


Lahir dan dibesarkan di Lintau. Ia merupakan alumni Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Andalas. Selama berkuliah, ia aktif berkegiatan di Humas Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Andalas sebagai reporter fakultas. Saat ini ia aktif berkegiatan di Komunitas
Sudut Baca Lintau. Tulisan nya telah dimuat di beberapa media diantaranya Harian Haluan,
Harian Medan Pos, Harian Babel Pos, Padangkita.com, pojok seni, dan web resmi Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Andalas.

Decky Medani
Tumbuh di KP. Ciparay Hlir, Bandung Selatan, 1999. Bergiat di ASAS UPI, kelompokintrovert
dan Perkara Hidup Productions.

Dhery Ane
Bernama lengkap Aloisius Hestronius Deri. Adalah seorang mahasiswa Ilmu Filsafat Universitas
Katolik Widya Mandira Kupang, NTT. Ia menulis puisi, artikel, dan opini. Artikel, opini, dan
puisinya tersebar di sejumlah media onlline, jurnal sastra, majalah puisi, dan buletin sastra. Juga
tergabung dalam lebih dari sepuluh antologi seperti di antaranya Menenun Rinai Hujan
Bersama Sapardi Djoko Damano (2019), Semesta Jiwa (2020), Antologi Sepeda dan Buku
(2021) pilihan karya dalam festival gowes literasi Sumatera Utara, antologi nomine terbaik
sayembara nasional solusi buku Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian (2021). Kini, bergiat di
Komunitas Sastra Filokalia Kupang.

Dian Hardiana

Pernah bergiat di Arena Studi Apresiasi sastra (ASAS UPI). Buku puisi pertamanya berjudul
Menghadaplah Kepadaku (buruan & co, 2020). Tinggal dan bekerja di Bandung

Dian Rennuati
Adalah seorang ibu dari 3 putra dan putri. Alumni Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
ini menetap di Palembang dan aktif bergiat di Forum Lingkar Pena Sumatera Selatan. Karyanya
berupa cerpen, kisah inspiratif dan puisi terangkum di puluhan buku antologi bersama, yang
terbaru di tahun 2021 adalah antologi puisi Jazirah 8: Ombak, Camar dan Kerinduan. Buku
puisinya "Perempuan Selalu Ingat" terbit tahun 2018.

Dian Rusdiana
Lahir di Jakarta, 14 September 1978. Tergabung dalam komunitas Forum Sastra Bekasi (FSB)
dan Kelas Puisi Bekasi (KPB). Buku puisinya Perisai Bumi (2020). Beberapa puisinya sempat
dimuat di Majalah Horison, koran Indopos, dan beberapa buku antologi bersama. Saat ini tinggal
di Bekasi, Jawa Barat, Indonesia.

Ebi Lengkung
Lahir dan tinggal di Sumenep. Alumni komunitas Tikar Merah Surabaya. Aktivitas setiap
harinya mengajar, berladang dan memandang laut. Buku puisi pertamanya berjudul Siul Sapi
Betina, 2015.

Eddy Pranata PNP


Ketua Jaspinka— Jaringan Sastra Pinggir Kali, Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia. Buku puisi
terbarunya TEMBILANG (2021, SIP Publising Purwokerto).
Emi Suy
Lahir di Magetan, Jawa Timur, 2 Februari 1979, adalah aktivis sosial serta salah seorang
pendiri komunitas Jejak Langkah. Lebih dikenal kiprahnya dalam dunia sastra Indonesia
sebagai salah satu perempuan penyair di Indonesia saat ini. Ia adalah salah seorang
pendiri Jagat Sastra Milenia, dan sampai saat ini sudah menerbitkan empat buku kumpulan
puisi tunggal, yaitu Tirakat Padam Api (2011), serta trilogi Sunyi yang terdiri dari Alarm Sunyi
(2017), Ayat Sunyi (2018), serta Api Sunyi (2020). Buku Ayat Sunyi terpilih menjadi Juara
Harapan III Buku Terbaik Perpustakaan Nasional RI Kategori Buku Puisi tahun 2019,
sedangkan buku Api Sunyi masuk nominasi 25 besar Sayembara Buku Puisi diselenggarakan
Yayasan Hari Puisi Indonesia tahun 2020. Emi juga penerima Basa-Basi Award pada tahun
2019 dari penerbit Basa-Basi karena prestasi buku puisinya Ayat Sunyi.

Faisal Syahreza
Lahir di Cianjur 3 Mei 1987. Buku puisinya Hikayat Pemanen Kentang (2011) dan Partitur
Hujan (2014). Menulis puisi, cerpen, novel, skenario dan naskah drama-- bekerja serta tinggal di
Bandung.

Fatah Anshori
Lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Bukunya yang telah terbit Ilalang di Kemarau Panjang
(2015), Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang
Niscaya (Frase Pinggir, 2021). Cerpen dan puisinya telah dimuat beberapa media online,
Majalah Suluk (DK Jatim), dan pernah terpilih sebagai Penulis Cerpen Unggulan Litera.co
(2018). Bergiat di Guneman Sastra, Songgolangit Creative Space dan KOSTELA.

Fatur Rahman
Lahir dan besar di Bayang, Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah
Universitas Andalas. Puisi dan tulisan lainnya hanya dimuat di beberapa media cetak saja.
Hudan Nur
Lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 23 November. Menulis puisi, cerpen, esai, dan
artikel ilmiah. Pernah menjadi delegasi Indonesia sebagai alumnus MASTERA (Majelis Sastra
se-Asia Tenggara): puisi tahun 2007 (satu-satunya yang pernah ikut ajang ini dari Kalimantan
Selatan di bidang puisi).
Menerima Penghargaan Sastra dari Gubernur Kalimantan Selatan 2012 dan Wali kota
Banjarbaru 2017. Menulis manuskrip Si Lajang (puisi: 2002), Tragedi 3 November (puisi:
2003), Menuba Laut (puisi: 2016), Enigma (kumcer: 2019), Galuh Kemuning (Cerita Anak:
2019), Jannani (Amsal Banjarbaru di Simpang Waktu) menjadi salah satu Buku Puisi Terpuji
Anugerah Hari Puisi Indonesia Yayasan Hari Puisi 2019. Bersama Ali Syamsudin Arsi dan
Ariffin Noor Hasby menulis buku 50 Tahun Sastra Banjarbaru (Sejarah dan Jejak
Komunitas), Analekta Esai-esai Sastra (2020), aghh… (Nukilan Spektrum Jiwa-jiwa
Kembara) kolaborasinya bersama tiga penulis Banua Ananda Perdana Anwar, Gusti M. Setya A.
Iman, dan HE. Benyamine (2020), IRAI (komik, cerita bergambar) yang digarap bersama
ilustrator Mika August dan penyelaras Herdi Naya Oktawanna.

Ida Bagus Uttarayana


Lahir di Singaraja, 24 Maret 1996. Menghabiskan Masa kecilnya di Madiun. Sekarang
berdomisili di bandung. Bersama beberapa kawan mendirikan Teater Titik Universitas Telkom
pada tahun 2014. Sekarang aktif di Teater samana, sebuah kelompok teater independen yang
diprakarsaia tahun 2019. Beberapa puisinya termuat di media daring seperti Penakota.id.
Puisinya yang berjudul ―Pada Malam yang Tinggal separuh‖ terpilih dan dimuat dalam buku
antologi Narasi baru, festival Literasi tanggerang Selatan 2018. Pada tahun 2021 puisinya yang
berjudul ―Di Pasar Ria‖ diterbitkan dalam sebuah antologi puisi oleh Jaringan Perempuan
Indonesia Timur.

Iis Singgih
Iis Singgih tinggal di kota Malang. Seorang ibu rumah tangga yang memiliki hobi menulis dan
berpuisi. Tergabung dalam komunitas KEPUL dan Competer Indonesia, saat ini sedang bergiat
di kelas puisi binaan penyair Demak Mohammad Iskandar.
Iman Sembada
Lahir di Nglejok, sebuah dusun kecil yang terletak di wilayah Purwodadi, Kabupaten Grobogan,
Jawa Tengah, pada 4 Mei 1976. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerita pendek. Karya-
karyanya dipublikasikan di media massa lokal dan nasional. Puisinya terkumpul dalam berbagai
antologi puisi bersama, antara lain Resonansi Indonesia (2000), Senandung Wareng di Ujung
Benteng (2005), Komunitas Sastra Indonesia: Catatan Perjalanan (2008), Kado Sang Terdakwa
(2011), Jejak Tak Berpasar (2015), Tifa Nusantara 2 (2015), Matahari Cinta Samudera Kata
(2016), Gelombang Puisi Maritim (2016), Pasie Karam (2016), Jejak Kata (2017), Puisi untuk
Perdamaian Dunia (2017), Cimanuk, Ketika Burung-Burung Kini Telah Pergi (2017),
Buitenzorg (2017), Senyuman Lembah Ijen (2018), Monolog di Penjara (2018), Jejak Sajak di
Batu Runciang (2018), Perjumpaan (2019), Cincin Api (2019), Sesapa Mesra Selinting Cinta
(2019), Bisik Langit Pasak Bumi (2020), dan lain-lain. Antologi puisi tunggalnya Airmata Suku
Bangsa (2004), Perempuan Bulan Ranjang (2016), dan Orang Jawa di Suriname (2019). Kini ia
bermukim di Kota Depok, Jawa Barat.

Ipoer Wangsa
Lahir di Jakarta 21 Maret. Beralamat di Sumber Manjing Kulon RT 10 RW 03, Pagak,
Kabupaten Malang Jawa Timur.

Irzi
Lahir di Jakarta, 13 November. Puisi-puisinya dimuat di beberapa laman sastra digital serta
beberapa Antologi Puisi Nasional. Buku puisi pertamanya Ruang Bicara, 2019. Saat ini bergiat
di Komunitas Kelas Puisi Bekasi (KPB) dan Komunitas Budaya BetawiKita.

Jaka Junie
Lahir di Surabaya, 6 Juni 1984. Kini berdomisili di Kab Malang. Bergiat pada Komunitas
Belantara Sastra dan Komunitas Kumpulan Karya Sendiri. Menulis dwilogi Sajak Sapardian,
"Negeri Senja" dan "Jangan Tidur Malam Ini Puisiku".
Jemi Batin Tikal
Beralamat di Jl. Harjuna, Jomegatan Rt. )2 Ngestiharjo, Kec. Kasihan, Bantul, Daerah Istimewa
Yogyakarta 55182.

Khodadad Azizi
Lahir di Solok, Sumatera Barat, 16 Desember 1998. Tengah menyelesaikan jenjang pendidikan
S-1 di Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Mulai menekuni puisi sejak
akhir tahun 2018, beberapa puisi telah terbit dalam bentuk buku antologi bersama. Bergiat di
Solok Literasi, suatu komunitas di Solok yang bergerak di ruang-ruang literasi, tak terkecuali
puisi.

Kurliyadi
Kurliyadi kelahiran kepulauan Giligenting Sumenep Madura, Alumni Pondok Pesantren
Mathali‘ul Anwar pangarangan sumenep. Menulis cerpen dan sajak. Beberapa karyanya
ditayangkan di berbagai media massa. Beberapa puisi di event antologi bersamanya terkumpul
dalam antologi Dialog Taneyan Lanjhang ( Majlis Sastra Madura 2012 ) Mengabadikan
Keajaiban Dekapan Hangat Kasih Sayang Ibu ( JPIN 2012 )Indonesia Dalam Titik 13 ( Lintas
Penyair Indonesia, 2013 ) Jejak Sajak di Mahakam( art.lanjong foundation, 2013 ) Kepada
Bekasi ( Forum Sastra Bekasi 2014 ) Solo Dalam Puisi ( Festival Sastra Solo 2014 ) Tifa
Nusantara ( TKSN 2014 ) Goresan-goresan Indah Makna Kasih Ayah Bunda ( 2014 ) Senarai
Diksi ( Pena House 2014 ) LumbungPuisi Sastrawan Indonesia ( Jilid II 2014 ) Jalan Cahaya
Jilid II ( KSI 2014) Jaket Kuning Sukirnanto ( KSI 2014) Sang Peneroka (Gambang Yogyakarta
2014 ) Lentera Sastra II ( Antologi puisi lima negara 2014 ) Merangkai Damai ( APPN,
Nittramaya 2015 ) Dalam Remang Kumengejar Mimpi (KOMCIBA, Pena House 2015) Saksi
Bekasi ( Forum Sastra Bekasi 2015 ) Sajak Puncak ( Forum Sastra Bekasi 2015) Nun ( INDO
POS 2015 ) dll. Sekarang aktif di forum Kelas Puisi Bekasi. Buku kumpulan puisinya ―saatnya
menulis puisi untuk daerah tubuhmu dan sekitarnya (poiesis 2021) menjadi salah satu nominasi
dalam rangka hari puisi indonesia 2021.
Mairi Nandarson
lahir dan besar di Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Aktif menulis
sejak sekolah di KMS, DSKS Mingguan Canang, Harian Singgalang, Harian Haluan. Selain
menulis puisi juga aktif menulis cerpen dan menggambar kartun di media daerah dan nasional, di
antaranya Aneka Yess, The Djakarta Post, Tabloid Bola dan Tabloid Nova. Pernah tinggal di
Palembang, namuns sejak 2003 menetap di Batam, Kepri dan bekerja di Harian Tribun Batam
Sejumlah karya puisi masuk buku kumpulan puisi bersama antara lain 'Puisi 1999 Sumatra Barat'
(Dewan Kesenian Sumatera Barat/1999), 'Bung Hatta Dalam Puisi' (KSP Padang/2003). Ada
juga kumpulan cerpen Kejutan Sebelum Ramadhan – 2013 ( NulisBuku/2013), kumpulan Cerpen
bersama 'Sepenggal Rindu Dibatas Waktu (Palagan Press 2015).

M. Badri
Lahir di Blitar 13 Maret 1981 tapi sudah lama bermukim di Pekanbaru. Menulis cerpen dan
puisi di sejumlah media massa dan antologi bersama. Buku kumpulan cerpen tunggalnya yang
sudah terbit Malam Api (2007). Buku kumpulan puisinya Grafiti Bukit Puisi (2012) menjadi
pemenang buku pilihan Anugerah Kebudayaan Sagang pada 2012.

Meifrizal
Lahir dan menetap di Lubuk Sikaping, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Kumpulan puisi
tunggalnya: Sihir Waktu (2016), Kisah Sebelum Tidur (2016),Burung yang Lepas dari sangkar
Seperti Angan yang Tamasya ke Bintang-bintang (2017), Sajak Langit, Sepi + Maut, Sedikit
Cinta dan Perempuan (2018)

Moh. Ghufron Cholid


Lahir di Bangkalan, 7 Januari 1986 M, tamat SDN Blega 03 (1999), tamat SLTPN 01 Blega
(2002), alumni TMI Al-Amien Prenduan (2006). Pendiri Pesantren Penyair Nusantara di FB,
Sanggar Sastra Al-Amien (SSA) memiliki peran besar dalam karir ke penulisannya, sampai
beberapa acara sastra berskala nasional maupun internasional pun diikuti. Menulis baginya
sarana menyegarkan ingatan dan menebar cinta serta lewat menulis bisa bertualang untuk lebih
mengenal indah semesta ciptaanNya. Menulis puisi, cerpen, pantun dan esai serta menulis.
Karya-karyanya tersebar di berbagai media baik di dalam maupun luar negeri seperti Mingguan
Malaysia, New Sabah Times, Mingguan Wanita Malaysia, Mingguan WartaPerdana, Utusan
Borneo, Tunas Cipta, Daily Ekspres, Bali Post, Majalah Horison, Majalah QALAM, Majalah
QA, Majalah Sabili dll. Buku puisinya Kamar Hati (Shell-Jagat Tempurung, 2012), Menemukan
Allah (Pena House, 2016), Surga yang Dilahirkan (FAM Publishing, 2019) dan Bekal Termahal
Seorang Istri (FAM Publishing, 2019). Penerima Anugerah Kedua Hescom2015 Vlog dan
Rubaiyat (5 Desember 2015) di Malaysia.

Muhammad Daffa
Kelahiran Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 1999. Menulis puisi sejak pertengahan tahun 2015.
Puisi-puisinya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan majalah, antara lain: Koran Tempo,
Majalah Mata Puisi, Majalah Sastra Kandaga, Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Radar
Tasikmalaya, dan Harian Rakyat Sultra. Mahasiswa jurusan Sastra Indonesia, Universitas
Airlangga, Surabaya. Bergiat di Kelas Puisi Bekasi(KPB).

Nenden Servia Sandora


Lahir di Bandung pada 20 Mei 2000. Ia merupakan salah satu mahasiswa di Universitas Islam
Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Berbagai aktivitas kebahasaan dan kesusastraan kerap
dilakoninya, mulai dari menjadi Duta Bahasa Jawa Barat, menulis naskah puisi teatrikal,
membuat aplikasi AKSARA (Apresiasi Nilai Kebahasaan dan Kesusastraan melalui Karya
Sastra), mengikuti ajang perlombaan menulis karya sastra dan lainnya. Kegemarannya pada
menulis membuat ia melahirkan satu Novel debutnya berjudul ―Garis Akhir‖. Baginya, menulis
adalah anugerah untuk mencurahkan berbagai pemikiran dan perasaan.

Rafki Imani
Rafki Imani, tinggal di Kota Padang dan dosen di Fakultas Teknik UPI YPTK Padang.

Ramoun Apta
Lahir di Muarabungo, Jambi 26 Oktober 1991. Karya-karya pernah dimuat di berbagai media
massa dan buku kumpulan puisi bersama. Buku puisi tunggal yang telah terbit berjudul,
‗Pedagang Batu Mustika di Pasar Raya‘. Selain menulis puisi, karya yang lain berupa cerpen dan
esai. Salah satu pendiri Komunitas Seniman Bungo (KSB) di Kabupaten Bungo. Beberapa kali
menjadi juri lomba Baca Puisi dan Musikalisasi se-Provinsi Jambi. Kini menetap dan bekerja di
Kota Jambi.

Rissa Churia
Adalah penyair yang saat ini tinggal dan menetap di Bekasi, Jawa Barat. Karyanya diterbitkan
dalam buku kumpulan puisi tunggal, yaitu : ―Harum Haramain‖ (2016), ―Perempuan Wetan‖
(2017), ―Blakasuta Liku Luka Perang Saudara‖(2019), ―Matahari Senja di Bumi Osing‖ (2020).
Puisi Rissa juga dimuat di berbagai media cetak, antara lain : Jawa Pos, Radar Banyuwangi,
Radar Bekasi, BMR Fox Kotamobagu,Pemuisi Malaysia, dan lain lain.
Selain itu puisinya juga sudah dimuat di lebih 90 kumpulan puisi bersama, Rissa aktif sebagai
pengurus Komunitas Jagat Sastra Miledia (JSM), Pengurus Istana Puisi, dan aktif mengikuti
berbagai Festival sastra dan tampil membaca puisi, antara lain : Women of Words Poetry Slam
Ubud Writers and Readers Festival (2017 dan 2019), Pertemuan Penyair Nusantara di Singapura
(2017),Pertemuan Penyair dan Akademisi di Universitas Sultan Azlan Syah Negeri Perak (2017),
Penyair Nusantara di Malaysia (2018), Pertemuan Penyair Ziarah Karyawan Nusantara di
Jandabaik-Malaysia (2019), dan lain lain.

Rori Maidi Rusji


Lahir 1988 di Muaro Paiti. Kecamatan Kapur IX - Kabupaten Limapuluh kota. Buku kumpulan
puisi tunggal pertama berjudul ―Nyanyian Pupang‖ penerbit Purata 2021. Aktif menulis puisi,
naskah teater dan juga cerpen sejak tahun 2006. Beberapa puisi dan cerpen sudah dimuat di
berbagai media online dan dibukukan dalam antologi bersama.Sekarang berkesibukan di media
online www.marewai.com.

Romy Sastra
Lahir di Kubang, Bayang, Pesisir Selatan, Sumatra Barat, berdomisili di Jakarta. Aktif di
komunitas Jagat Sastra Milenia/JSM, ikut membina Sastra Bumi Mandeh/SBM Pesisir Selatan,
serta membina komunitas PenaPadu/GAPADU Malaysia, juga aktif di komunitas Ziarah
Karyawan Nusantara/ZKN tiga negara, Indonesia, Malaysia, Singapura. Romy Sastra dalam
kesehariannya berniaga, menerbitkan buku kumpulan puisi tunggal "Tarian Angin" Agustus
2019. Di antara karya Romy Sastra yang lain saat ini tergabung di 50 lebih buku antologi puisi
bersama. Ikut menghadiri Temu Penyair Dunia Konpen Kelantan Malaysia 2018. Nama Romy
Sastra terdapat di buku "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" diterbitkan oleh Yayasan Hari Puisi
Indonesia/HPI 2019.

Safri Dani
Lahir di Koto Tabang, 02 Desember 1995. Menulis essai dan puisi. Bergiat di Lapak Baca Pojok
Harapan. Sebuah komunitas literasi di Kota Padang.

Wawan Kurniawan
Menulis puisi, cerpen, esai dan menerjemahkan beberapa karya. Menerbitkan buku puisi
pertamanya yang berjudul ―Persinggahan Perangai Sepi (2013‖. Serta diundang sebagai penulis
Indonesia Timur di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2015. Buku puisi kedua
terbit Januari 2017 dengan judul ―Sajak Penghuni Surga‖ oleh Penerbit Basabasi. Buku esainya
terbit Februari 2017 dengan judul ―Sepi Manusia Topeng‖ oleh Penerbit Nala Cipta Litera.
Kumpulan Cerita Pendek pertamanya terbit Maret 2021 dengan judul ―Aku Mengeong‖ oleh
Penerbit Indonesia Tera.

Wayan Jengki Sunarta


Lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Lulusan Antropologi Budaya, Fakultas Sastra, Universitas
Udayana. Pernah kuliah Seni Lukis di ISI Denpasar. Mulai menulis puisi sejak awal 1990-an.
Kemudian merambah ke penulisan prosa liris, cerpen, feature, esai/artikel seni budaya,
kritik/ulasan seni rupa, dan novel.
Tulisan-tulisannya dimuat di berbagai media massa lokal dan nasional. Buku-buku sastranya
yang telah terbit adalah Jumantara (puisi; Pustaka Ekspresi, 2021), Solilokui (puisi; Pustaka
Ekspresi, 2020), Amor Fati (puisi; Pustaka Ekspresi, 2019), Petualang Sabang (puisi; Pustaka
Ekspresi, 2018), Senandung Sabang (catatan perjalanan; Badan Bahasa, 2017), Montase (puisi;
Pustaka Ekspresi, 2016), Magening (novel; Kakilangit Kencana, 2015), Perempuan yang
Mengawini Keris (cerpen; Jalasutra, 2011), Pekarangan Tubuhku (puisi; Bejana, 2010), Impian
Usai (puisi; Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (puisi; Bukupop, 2007), Cakra Punarbhawa
(cerpen; Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (cerpen; Grasindo, 2005), Pada Lingkar
Putingmu (puisi; Bukupop, 2005). Tahun 2021, buku puisinya, Jumantara, menjadi Buku Puisi
Terbaik Hari Puisi Indonesia.

Yeni Purnama sari


Lahir 22 Agustus di Kota Kopi Sungai Penuh, Propinsi Jambi. Alumni UIN Imam Bonjol
Padang. Semasa kuliah, aktif di Lembaga Pers Mahasiswa Suara Kampus, Teater Imambonjol,
dan Mantagi Akustik. Sempat menjadi wartawan pada salah satu portal berita di Sumbar,
sebelum akhirnya memilih menjadi penulis lepas. Sesekali ia tetap menulis karya jurnalistik
berupa feature pada blog pribadinya: yenipurnama.wordpress.com
Karyanya berupa cerpen, puisi, dan esai dimuat di berbagai media cetak maupun daring. Buku
puisi perdananya "Berumah di Kesunyian" segera diterbitkan oleh Penerbit JBS. Bila pulang ke
Payakumbuh, ia berdomisili di Nagari Sitanang, Kecamatan Lareh Sago Halaban, Kabupaten
Lima Puluh Kota.
Biodata Penyair yang Turut Merayakan
Payakumbuh Poetry Festival 2021
Ahda Imran
Lahir 10 Agustus 1966 di Kanagarian Baruhgunung, Sumatera Barat. Menulis puisi, cerpan,
novel, drama, dan esai. Antologi tunggalnya yang telah terbit, Dunia Perkawinan (1999) dan
Penunggang Kuda Negeri Malam (2008), Rusa Berbulu Merah (2014). Karya monolognya yang
sudah dipentanskan, “Inggit” dan “Tan Malaka”: Saya Rusa Berbulu Merah, juga “Monolog
Empat Perempuan” yang ditulis bersama Gunawan Maryanto dan Djenar Maesa Ayu.

Deddy Arsya
Lahir dan menghabiskan masa kecil di Bayang, Pantai Barat Sumatera. Menulis sajak, cerita
pendek, cerita anak, tinjauan buku dan film, esai-esai kesejarahan dan seni budaya di berbagai
Koran, majalah dan jurnal. Buku pertamanya Odong-odong Fort de Kock merupakan nominasi 5
besar Khatulistiwa Literary Award 2013 dan terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik tahun 2013
versi Majalah TEMPO. Penyair Revolusioner merupakan nominasi 5 besar Kusala sastra
Khatulistiwa 2017, sedangkan Mendisiplinkan Kawula Jajahan memperoleh Wisran Hadi Award
tahun 2019. Sementara Khotbah Si Bisu terpilih sebagai Buku Sastra Terbaik tahun 2019 versi
Majalah TEMPO. Lainnya sebuah buku prosa berjudul Rajab Syamsudin Penabuh Dulang dan
sebuah kumpulan esai sejarah dan sastra berjudul Celana Pendek dan Cerita Pendek. Yang
termutakhir: sebuah kitab setengah lelucon berjudul Ustad x. & Simalanca: Lelucon-lelucon
Pahit.

Gus tf
Lahir 13 Agustus 1965 di Payakumbuh. Buku puisinya yang telah terbit adalah Sangkar Daging:
sajak-sajak 1980-1995 (1997), Daging Akar: sajak-sajak 1996-2000 (2005), Akar Berpilin:
Sajak-sajak 2001-2007 (2009), Susi: sajak-sajak 2008-2013.

Iyut Fitra
Lahir dan menetap di Payakumbuh. Buku puisinya Lelaki dan Tangkai Sapu (2017) meraih
Penghargaan Sastra Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tahun 2020.
Kiki Sulistyo
Lahir di Ampenan, Lombok. Telah menghasilkan tujuh buku kumpulan puisi, serta tiga buku
kumpulan cerpen. Mendapat penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa (2017) dan Buku Puisi
Terbaik Tempo (2018). Ia mengelola Komunitas Akarpohon, di Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Nirwan Dewanto
Penyair, esais, editor dan curator. Buku puisinya Jantung Lebah Ratu (2008) dan Buli-Buli Lima
Kaki (2010), telah memperoleh Hadiah sastra Khatulistiwa. Ia juga menulis ulasan tentang
berbagai jenis karya seni dan masalah dalam kesenian. Sebagian esai itu terkumpul dalam buku
kumpualan esai Senjakala Kebudayaan (edisi baru, 2017), Satu Setengah Mata-Mata (2016), dan
Kaki Kata (2020). Dua bukunya Buku Merah (2017) dan Buku Jingga (2018) adalah karya fiksi
–bisa disebut sebagai puisi prosa—yang mengiolah secara ―dekonstruktif‖ aneka karakter dan
motif dari Ramayana dan Mahabrata—dua epik Jawa-Hindu. Buku Jingga terpilih sebagai Fiksi
Terbaik 2018 oleh Majalah Tempo untuk ketajamannya melakukan ―satire dan akrobatik dari
sumber-sumber kuna‖ dan ―bentuknya yang menerobos batas antara puisi, fiksi dan non fiksi‖

Raudal Tanjung Banua


Lahir di Lansano, Kenagarian Taratak, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 19 Januari
1975. Pernah menjadi koresponden Harian Haluan dan Harian Semangat, Padang, untuk
akhirnya merantau ke Denpasar, Bali, bergabung dengan Sanggar Minum Kopi dan intens belajar
pada penyair Umbu Landu Paranggi. Setelah itu ia hijrah ke Yogyakarta.
Karyanya berupa puisi, cerpen, esei dan catatan perjalanan dipublikasikan di berbagai surat kabar
dan majalah yang terbit di sejumlah kota di Tanah Air, di samping terhimpun dalam antologi
bersama dan pemenang lomba. Bukunya adalah: Pulau Cinta di Peta Buta (Jendela, 2003-
kumpulan cerpen), Ziarah bagi yang Hidup (Mahatari, 2004-kumpulan cerpen), Parang Tak
Berulu (Gramedia, 2005-kumpulan cerpen), Gugusan Mata Ibu (Bentang Pustaka, 2005-
kumpulan puisi), Api Bawah Tanah (Akar Indonesia, 2013-puisi), Kota-Kota Kecil yang
Diangan dan Kujumpai (Akar Indonesia, 2019-cerpen) dan Cerita-Cerita Kecil yang Sedih dan
Menakjubkan (Akar Indonesia, 2020-cerpen).
Ia pernah mengelola sejumlah event sastra, di antaranya Festival Kesenian Yogyakarta, Kongres
Cerpen Indonesia, Festival Musik Puisi Indonesia dan Temu Sastrawan Indonesia. Karya-
karyanya menjadi pemenang/nomine dalam sejumlah lomba cipta sastra nasional. Ia memperoleh
penghargaan Sih Award 2005 dari Jurnal Puisi, Anugrah Sastra Horison 2005, MASTERA 2007
(untuk buku Gugusan Mata Ibu) di Kualalumpur, dan Anugerah Cerpen Terbaik Kompas 2018.
Kini ia mengelola Komunitas Rumahlebah dan Lembaga AKAR Indonesia yang pernah
menerbitkan Jurnal Cerpen Indonesia dan rumahlebah ruangpuisi di Yogyakarta.

Riri Satria
Seorang pengamat ekonomi digital dan kreatif, sekaligus pencinta puisi, lahir di Padang,
Sumatera Barat 14 Mei 1970, saat ini tinggal di kawasan Cibubur, Kabupaten Bogor. Sehari-hari
ia adalah adalah CEO pada Value Alignment Advisory Group, dosen Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Indonesia, komisaris di sebuah BUMN, ketua komunitas Jagat Sastra Milenia (JSM)
serta pimpinan umum Sastramedia.com. Puisinya sudah diterbitkan dalam tiga buku puisi
tunggal, yaitu ―Jendela‖ (2016), ―Winter in Paris‖ (2017), serta ―Siluet, Senja, dan Jingga‖
(2019) di samping lebih dari 50 buku kumpulan puisi bersama penyair lainnya. Buku puisi
terbarunya ―Alienasi‖ akan diterbitkan pada tahun 2022. Selain menulis puisi, Riri juga menulis
berbagai catatan singkat sampai esai yang serius, yang dibukukan ke dalam buku trilogi
―Proposisi Teman Ngopi‖ (2021) terdiri tiga buku ―Ekonomi, Bisnis, dan Era Digital‖,
―Pendidikan dan Pengembangan Diri‖, serta ―Sastra dan Masa Depan Puisi‖. Saat ini Riri banyak
melakukan penelitian tentang dampak perkembangan algoritma dan teknologi digital terhadap
dunia perpuisian dan kepenyairan. Riri juga menyakini bahwa persamaan matematika, algoritma
dan program computer, serta puisi, memiliki satu kesamaan, yaitu mendeskripsikan fenomena
kompleks dengan symbol-simbol yang sederhana. Riri adalah Sarjana Ilmu Komputer lulusan
Universitas Indonesia dan menempuh program Doktor di Paris School of Business, Paris,
Prancis.

Warih Wisatsana
Penyair, esais, kurator. Aktif pula sebagai kurator festival sastra dan seni rupa. Selama 10 tahun
sebagai Kepala Pengelola sekaligus Kurator lembaga kebudayaan Bentara Budaya Bali. Puisi,
cerpen, dan tinjauan seninya dimuat di Kompas, Majalah Horizon, Kalam, Tempo, Bali Post,
Tribun Bali, Le Banian, Jentayu, majalah ESENSI terbitan Badan Bahasa, juga Majalah
KULTUR (Kemendikbud), dll. Meraih Taraju Award, Borobudur Award, Bung Hatta Award,
Kelautan Award, SIH Award, dan pada tahun 2020 menerima Anugerah Bali Jani Nugraha dari
Pemerintah Provinsi Bali.
Puisinya diterjemahkan dalam bahasa Belanda, Italia, Inggris, Jerman, Portugal, dan Perancis.
Buku kumpulan puisi tunggalnya; Ikan Terbang Tak Berkawan (Kompas, 2003), May Fire and
Other Poems (Tiga Bahasa, Lontar, 2015), Batu Ibu (KPG, 2019) meraih Lima Besar Kusala
Sastra Khatulistiwa 2018 dan Buku Puisi Rekomendasi Tempo 2018, Kota Kita (Sahaja Sehati,
2018) merupakan Lima Besar Buku Puisi Pilihan Anugerah Hari Puisi 2018. Kelananya di Paris
dibukukan dalam Rantau dan Renung II (KPG dan Forum Jakarta – Paris, 2002) bersama 20
seniman dan budayawan lainnya, antara lain: Toeti Heraty, Sitor Situmorang, Rahayu
Supanggah, Slamet Abdul Syukur, dll.
Diundang sebagai pembicara dan membaca karya pada festival nasional dan internasional,
semisal; Istiqlal International Poetry Reading (1995), Pesta Sastra Utan Kayu Internasional
Literary Biennale (2003 dan 2009), Winternachten Den Haag (1997), Inalco Paris (1998), Ubud
Writers and Readers Festival, Printemps des Poetes (Indonesia-Perancis), Surabaya Festival
Internasional, Poetry and Sincerity (Festival Puisi Internasional Dewan Kesenian Jakarta),
Jakarta International Literary Festival (JILF) dll.

Anda mungkin juga menyukai