KE PAYAKUMBUH
Kehadiran buku antologi puisi ini merupakan salah satu yang tidak terpisahkan dari
rangkaian kegiatan Payakumbuh Poetry Festival (PPF) 2020, yaitu sebuah Festival Puisi
yang seyogyanya dimunculkan di Kota Payakumbuh ini. Mulanya, dalam rancangan panitia,
serangkaian kegiatan mulai dari lomba cipta puisi, penerbitan buku, temu penyair, seminar
dan seni pertunjukan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Namun wabah Covid-
19 yang masih merebak, kegiatan tersebut kami sederhanakan. Maka sebagai ajang perdana,
dilaksanakan Lomba Cipta Puisi Payakumbuh Poetry Festival (Festival Puisi Payakumbuh)
2020.
Ide dari kegiatan ini berawal dari obrolan santai antara rekan-rekan sahabat di grup
WhatsApp Komunitas Tanah Rawa. Sebagaimana kita tahu, Tanah Rawa adalah Komunitas
Sastra dan Literasi yang berbasis di Kota Payakumbuh. Namun meskipun demikian ada juga
anggotanya yang melewati batas kota Payakumbuh, karena ada yang berdomisili di luar kota
Payakumbuh. Kebanyakan dari kami adalah ―penantang serius‖ yang mengikuti berbagai
event lomba cipta sastra; apakah itu puisi, cerpen, naskah drama esai dan sebagainya. Lalu
di antara kami ada yang memberi tantangan, bagaimana kalau kita, Komunitas Tanah Rawa
ini yang mengadakan lomba? Maka ide itu bergulir dan membulat dan utuh dilaksanakan.
Sehingga jadilah Lomba Cipta Puisi Payakumbuh Poetry Festival 2020 ini.
Dalam waktu yang sedikit singkat, pada awal bulan Desember 2020, perdana lomba
cipta puisi PPF2020 diumumkan, dan naskah mulai diterima oleh panitia. Temanya
―Tentang Payakumbuh‖, lebih luasnya tentang sejarah, seni budaya, wisata, kuliner, atau
lainnya, sepanjang mengungkapkan sesuatu hal tentang Payakumbuh-Luak Limo Puluh
Koto, karena bagaimanapun Kota Payakumbuh dan Kabupaten Lima Puluh Kota ada dua
wilayah yang sulit dipisahkan. Sekitar 500 karya yang masuk dari seluruh penjuru
nusantara. Namun sesuai ketentuan, 462 karya dinyatakan memenuhi syarat yang akan
dinilai oleh Dewan juri. Dewan Juri kegitan ini adalah penyair-penyair yang namanya sudah
tidak asing lagi di kancah sastra nasional: Heru Joni Putra, Adri Sandra, Irman Syah,
Yudilfan Habib dan Iyut Fitra.
Kegiatan ini tentunya dapat terlaksana atas semangat gotong-royong, kebersamaan
dan kekeluargaan dari segenap insan Tanah Rawa, sebutlah: Iyut Fitra, Adri Sandra, Irman
Syah, Oldie Putra, Feni Efendi, Yudilfan Habib, Okta Piliang, Ijot Goblin, Heru Joni Putra,
Putra Blinken, Dallu Awartha, Dellorie Ahada, Okto Muharman, Laura Tifani, Thendra BP,
Syukra Kaka, Ubai Dillah Al Anshori, Harnina, Ade Suhendra, Rovindo Maisya, Ilham
Yusardi dan banyak lagi.
Dalam rancangan kami Komunitas Tanah Rawa, kegiatan Payakumbuh Poetry
Festival dan penerbitan buku ini ini hendak dijadikan agenda rutin tahunan, yang bergulir
pada tahun-tahun berikutnya. Untuk itu, kami mohon dukungan dan doa dari semua pihak
agar ini bisa kami laksanakan nantinya.
Dengan segala keterbatasan dan juga kemampuan, tidak mengurangi niat kami
melakukan yang terbaik untuk penyelenggaraan kegiatan ini. Kesuksesan kegiatan dan
penerbitan buku ini tidak terlepas dari uluran tangan, bantuan materil dan moril dari para
donatur dari berbagai daerah yang namanya tidak sempat kami sebutkan satu persatu dalam
pengantar ini. Yang utama dari kami, atas bantuan dan sumbangan donatur kami ucapkan
terima kasih setulusnya. Semoga setiap perbuatan baik mendapatkan balasan yang setimpal
dari Tuhan. Aamiin. Salam Puisi tak henti-henti!
Ilham Yusardi
Ketua
Catatan Pertanggungjawaban Dewan Juri
Daftar Isi
Daftar Isi
Juara 1
Mahlil Bunaiya
Di Seberang Jembatan, Daun Jagung Menari-nari………………………………………..
Juara 2
Andreas Mazland
Padusi Jugun Ianfu yang Bermata di Kerampang………………………………………..
Juara 3
Ahmad Syauqi Sumbawi
Perempuan yang Diciptakan Dari batu……………………………………………………
50 Puisi Pilhan
A.Warits Rovi
Musim Berkuda Angin, Mengitari Payakumbuh………………………………………
A‘yat Khalili
Balada Batang Agam……………………………………………………………………
Aflaha Rizal
Ia Hanya Rawa-rawa……………………………………………………………………
Afri Meldam
Pagut Kabut Pagut Lumut………………………………………………………………
Alex R. Nainggolan
Lembah Harau…………………………………………………………………………..
Alif Raung Firdaus
Apakah Kotamu Juga Seperti Kotaku?...........................................................................
Alvian Rivaldi Sutisna
Suara Dari Bawah Jembatan Ratapan Ibu………………………………………………
Ani Tri Setiyati
Perempuan Bertikuluk Beludru Merah yang Gemetar di Atas Tanah Pusaka………….
Arif P. Putra
Meneroka…………………………………………………………………………………
Asril Koto
Memo Buat Pemangku Kota……………………………………………………………..
Boy Riza Utama
Litografi Payakumbuh……………………………………………………………………
Budhi Setyawan
Dari Jalan Tan Malaka Payakumbuh…………………………………………………….
Budi Saputra
Payakumbuh, Narasi Sebening Batu Pualam…………………………………………….
Delvi Yandra
Lagu Luka Batu Balang………………………………………………………………….
Eddy Pranata PNP
Catatan Kecil Seorang Musafir di Kota Para Penyair…………………………………….
Faris Al Faisal
Pajakoemboh 1883-1889………………………………………………………………….
Halim Bahriz
Riuh Payakumbuh…………………………………………………………………………
Hoerudin
Jembatan Ratapan Ibu…………………………………………………………………….
Hudan Nur
Tambo Nagari Aie Tabik………………………………………………………………….
Ikhsan Risfandi Zetry Imimy
Rindu (Payakumbuh, Saluang dan Talempong)………………………………………….
Ilhan Ardiansyah Saragih
Si Bungsu Payakumbuh……………………………………………………………………
Isbedy Stiawan ZS
Di Ampangan………………………………………………………………………………
Itov Sakha
Akulah Payokumbuah……………………………………………………………………..
Jemi Batin Tikal
Rindu Mendarah daging…………………………………………………………………..
Kurnia Effendi
Negeri Para Penyair…………………………………………………………………………
M. Habib Syafa‘at
Memorabilia Kota Setelah Badai……………………………………………………………
M. Rifdal Ais Annafis
Payakumbuh Mengepung di Kanal Prinsengracht………………………………………….
Meifrizal
Payakumbuh Dalam Puisi…………………………………………………………………..
Milatul Maftah
Kontemplasi Kemarau………………………………………………………………………
Muhamad Irfan
Ke Hilir ke Mudik………………………………………………………………………….
Muhammad Badrun
Ritus Bukik Bulek Taram………………………………………………………………….
Muhammad Ibrahim Ilyas
Senandung Rawa…………………………………………………………………………..
Nanang R. Supriyatin
Solilokui, Kembali Aku ke Payau Nan Kumbuah…………………………………………
Nanda Satriawan
Kota Biru Ini……………………………………………………………………………….
Ni Made Rai Sri Artini
Tubuh dan Kebayamu Kini Sembunyi dalam Detak Jarum Jam………………………….
Norham Abdul Wahab
Luka di Mata Perempuan Tua………………………………………………………………
Novi Nur Islami
Jembatan Ratapan Ibu………………………………………………………………………
Ragdi F. Daye
Tak Ada yang Lebih Asing………………………………………………………………….
Rahmat Ali
Bermain Sepak Tekong……………………………………………………………………..
Rara Handayani
Pasar Ibuh, Ketika Hujan Luruh…………………………………………………………….
Rezqie M.A. Atmanegara
Montase Tuah Payau Nan Kumbuah………………………………………………………..
Rini Intama
Lelaki yang Menulis Tentang Tanahnya…………………………………………………….
Riri Satria
Jejak Silsilah yang Hilang di Payakumbuh…………………………………………….
Robi Akbar
Saluang Sirompak………………………………………………………………………
Roby Satria
Si Babau…………………………………………………………………………………
Tegar Ryadi
Ratap Ikan Jinak…………………………………………………………………………
Wayan Jengki Sunarta
Di Payakumbuh Aku Mencarimu……………………………………………………….
Wirda Adelia
Pesan Dari Belantara Lembah Harau…………………………………………………..
Wirja Taufan
Ngalau Indah…………………………………………………………………………..
Zen KR. Halil
Di Kaki Payakumbuh, Sujudlah Seluruh puisi………………………………………….
Biodata Penyair
Payakumbuh Poetry Festival 2020……………………………………………………..
Juara 1
Mahlil Bunaiya
di seberang jembatan
di sepetak ladang yang memanjang
daun jagung masih menari-nari
Yogyakarta
2020
Juara 2
Andreas Mazland
Pekanbaru, 2020
Juara 3
Ahmad Syauqi Sumbawi
kenang-kenanglah, aku
selalu menunjuk jembatan waktu
darah dan airsusu masih melekat padamu
juga doa dan mantera, yang diaminkan para tetua
seluruh nagari, untuk kau tumbuh menjadi payakumbuh
Catatan:
nasi sudah menjadi bubur, sebuah peribahasa terkenal dalam bahasa Indonesia
sedu-sedan itu, sebuah ungkapan yang dikutip dari puisi “Aku” karya Chairil Anwar.
50 Puisi Pilihan
A. Warits Rovi
1/
2/
4/
5/
Masih banyak tempat yang bisa kusinggahi, demi menyapih benih rindu
dari tubuh Payakumbuh, tapi sementara, itulah yang bisa kuceritakan,
sebagai jalan lapang yang membentang, supaya kau juga bisa
bertandang, melihat Payakumbuh dengan mata yang cerlang.
Ia Hanya Rawa-Rawa
2020
Afri Meldam
lumut sehijau payau itu ada di bola mata kami, katamu pula
di sana kami tumbuhkan bentang padang rumput dan pepohonan
juga sungai-sungai tempat ikan-ikan jinak menanti sungkupan jala
udang tak kami biarkan di balik batu, mereka berenang ke tepian
BKS 2020
Alex R. Nainggolan
Lembah Harau
di sebuah sabana. hijau yang masih sempat ditempuh mata. dijaga dua bukit perkasa, gemuruh
angin yang meliukkan dedaun. dengan akar yang masih melingkar di lebat hutan. menembus
batu-batu granit. melupakan sakit dari longsor, sebelum setiap jerit panggil-memanggil.
muasal sebuah nama dari teriakan panjang yang menggema. setelah ini parau akan silau. maka
sepanjang lembah harau adalah jejak dari akar payau. para pelancong yang menyimpan bayangan
rumput dan daun di setiap kilap batang yang menggeliat.
di sebuah hari yang gigil. dengan lambaian perdu dan daun yang acap memanggil. engkau akan
tiba pada ujung langkah, di tempat yang lembab tanah dari peta lama.
lembah harau
sejauh igau
akan kenangan payau
beternak di cekung mata
penuh pukau
kemilau cahaya
hijau
di sebuah sabana. hijau yang tak pupus dalam kemarau. tak jauh dari sini, engkau mungkin akan
bisa mandi dan berjumpa bidadari di sasarah bunta. berharap ia lupa selendang dan tak pulang ke
langit. dingin air yang menembus celah batu. seperti mengulum ingatanmu. meranggas bersama
cadas cahaya, dari getar matahari yang memancar sepanjang luruh air jatuh. menempuh rindumu.
2020
Alif Raung Firdaus
Aku
Menyulam pikiran dan menanam nisan abstrak
untuk diriku
Di jembatan ini
Bisakah kita membuka gerbang yang sudah terbakar habis?
Dalam bayangan seperti yang kau rasakan hari ini
2020
Ani Tri Setiyati
tetapi, sungguh, awan di langit berarak hitam, kabut turun mengurung kota
dada perempuan bertikuluak beludru merah itu bagai jaring sarang laba-laba
begitu rapuh— nyaris seluruh keinginannya terpental ke dinding ngalau
dan ia masih tertungkus lumus sebagai bundo kanduang yang gemetar
di atas tanah pusaka.
Darmakradenan, 2020
Arif P. Putra
Meneroka
... halaban
I
adakah tumpangan menuju lumbung kopi
dari halaban meneroka
mengirap seperti pipit di tengah sawah
bermukim dari perjalanan yang ganjil
III
meneroka
apa yang telah dibawa dari perjalanan panjang
tumpangan ke lumbung kopi
atau hanya sebuah pelesiran dari rombongan ganjil
mencari tempat suruk
hanya untuk melihat para tualang datang
menebas semak, menjadikan pusat perjalanan orang asing
untuk dicatat,
sekarang mereka butuh perjalanan singkat
tapi lebih rumit
lebih sulit dari meneroka
sayap patah, mengirap tak sanggup pula
dimanakah jembatan ratapan ibu?
:selain sejarah kelam dan kekuasaan,
selebihnya hanya tinggal teriakan lemang panggang
IV
apa yang ditunggui ibu di jembatan
sampai tangis tak terdengar
sampai yang tinggal pameo orang-orang rantau pulang
―ka rantau madang di hulu, babuah babungo balun.
marantau bujang dahulu, di kampuang paguno balun‖
lalu yang tinggal hanya kenangan;
halaban dan lumbung kopi
doa dari ibu-ibu kehilangan ratapan
tapi, benarkah ada tumpungan dari halaban
ke lumbung kopi lewat jalur ratapan ibu?
Padang, 2020
Asril Koto
tapi sudahlah
sejarah tak pernah patah dari
tangkainya ia akan terus berbuah
batang kopi dan palawija terus tumbuh di
mataku buat hari depan anak-anak tanah rawa
di desember ini
separo abab umur kotaku:payakumbuh 1970-2020
Litografi Payakumbuh
Dengan litografi:
(2020)
Budhi Setyawan
1/
di kota payakumbuh
memanjang utas jalan
dari pangkal sejarah yang temaram
menuju ke ujung
dari pangkal senyap
sejarah yangdalam pikiran
temaram
kita dengan sehimpunan dialektika
2/
masih ada pertanyaan membentur
batu batu besar yang rapat dipasang rezim
di rute riwayat itu pun berdiri patung patung
penjaga yang teramat bodoh dan seram
1
yang harus disuarakan
agar makin berbiak jalan
lempang narasi kemakmuran
dan tak hanya menghuni dunia dongeng
yang makin rombeng
3/
dari jalan tan malaka payakumbuh
demi kemerdekaan sepenuhnya
tetap nyaring kata kata
tetap hidup degup guru bangsa
yang menulis riwayat keberanian
selalu tegak menantang
dan terus bertumbuh
dalam kesetiaan orang-orang yang mencintai kota ini. sejak republik berdiri,
sejak sejarah berlari dalam paripurna jisim abad mengurai lembar-lembar
peristiwa dalam cuaca tropis kodrati. siang dan malam bagai alir tiga
sungai dilintasi segala komoditi,
tungkai-tungkai sapi disiram matahari musim yang meninggi,
logam dan koin bagai penutup limun yang direguk manis
saripatinya, sepuh kilau emas di pasar
yang mulai kumandang, serta tapak ladam kuda berlari
memikul jejak nasib 24 jam berputar dalam alamat dagang dan lurus
jalan ke terminal tempat orang-orang membaca deret
keberangkatan dan kepulangan.
dari yang awal mula dihuni oleh tiga orang belaka, maka kota ini bermekaran
bagai mekar putik jambu. dari pahitnya masa kolonial, orang-orang telah
membuang gulungan kain buruk diganti menjadi mahkota
dan jubah usia yang seputih kafan, seputih kapas, seputih cinta yang tumbuh
di sepanjang ladang-ladang keniscayaan.
sebuah stasiun yang jisim nadinya menjelma sebuah toko,
mengisahkan riwayatnya dalam lembar harian pagi dan catatan
perjalanan tentang kereta uap payakumbuh - limbanang
yang melenguh, biji kopi, ternak kuda, dan kandungan emas di manggani.
di luarnya, jalan raya tumbuh seperti kebun-kebun yang dituai hasilnya
atau bongkah emas yang dipikul keledai-keledai dalam panjang perjalanan.
2020
Delvi Yandra
2020
Eddy Pranata PNP
Dengan mata musafir, ia melihat bercak darah di lekuk-sudut kota para penyair-- telah
mengering, menguap menjadi baris-baris puisi berkeringat wangi. ―Aku ulurkan tangan-hati
untuk segala jubah bernama kebajikan, bagi seluruh bentuk ketulusan dan keikhlasan,‖
desisnya. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mulai meleleh di tengkuk. Setelah menarik
napas dalam panjang dilarungkannya semua masa lalu jingga ke deras sungai Batang Agam.
Matahari pecah menebar cahaya sepanjang jembatan Ratapan Ibu. Orang-orang berharap
cemas di sekitar taman seraya menghirup baris-baris puisi berkeringat wangi dengan sukacita.
Seperti orang-orang di kota para penyair; gerak darahnya selalu menyala, kuat dan tak
pernah menyerah sepahit-segetir apa pun bertarung karang-karang hidup, ia; seorang musafir
yang dadanya putih dan lapang ingin menjadi manusia rendah hati, setia dan takluk pada
keagungan Tuhan, selebihnya memang terkadang hanya angin menderu menggugurkan
dedaunan mengering dari ranting lapuk, menggetarkan dinding perih dan sunyi.
Dan dalam diam amat tenang, ia renda kata-kata, dengan segala rentak, petak-petak sawah
menghijau, bukit-bukit di atasnya lengkung pelangi, sesekali angin berkesiur menerpa geriap
marwah kota para penyair: lekuk-sudut kota menggeliat. Bertabur cahaya kata. Dan ahai--
aroma mawar putih mekar. Sedangkan di sepanjang bukit, hutan-hutan, ngalau, kepak dan
suara burung mengabarkan kedamaian turun dari langit kasihNya.
Masuklah ke dalam mata musafir yang selalu berkaca-kaca karena cinta dan rindu. Ia
senantiasa berdiri tegak di jalan lurus. Ia ingin menjadi pohon rindang buat sang pejalan di
terik siang. Ia telah menyimpan batu-jiwa terlalu berat, satu demi satu remukkan, enyahkan,
agar kesunyian-keperihan hilang. Ia, o ternganga, menatap langit kota serupa bentangan
surga. Ia berjalan berderap menarik-narik buhul nasib yang kian erat meneguhkan hari-hari;
bergulat berpulun doa.
Kota para penyair, o, tali yang melilit di seluruh pohon kehidupan adalah semangat cita-cita
yang bisa kaulihat sebagai tangan-puisi menjulur dari langit ke bumi menjuntai penuh kasih.
Kota para penyair, berdenyut sepanjang tiktok waktu mengeras menjadi tajam pisau
menikam-nikam jingga punggung sejarah. Kota para penyair, sisa kantuk di cangkir kopi
telah beku, dan ia, musafir itu sering hanya ingin menikmati embun yang mulai menguap
dengan doa paling sederhana.
―Tuhan beri aku kekuatan sampai ke puncak tangga; kebahagiaan dan cinta kasih abadi!‖
Mata itu mengerjap, sunyi bergemeretap, di tapal-tapal batas telah tumbuh bunga-bunga,
telah mekar baris-baris puisi berkeringat dan wangi. Orang-orang telah menata hati
mencermati setiap dendang kehidupan.
―Bung, apa aku bisa tersesat di kota ini? Terpasung di terjal jalan kepenyairan? Hingga
remuk-tepung kata-kataku. Mengucur darah!‖
Ia terus melangkah, menerabas hujan lebat. Kota basah. Mata musafir itu lama kosong. Tiba-
tiba dadanya berguncang, darahnya mendidih; ia ingin sekali bertepuk kenang dengan Adri
Sandra, Gus tf., dan Iyut Fitra. Ciaaah!
Jaspinka, 2020
Faris Al Faisal
Pajakoembah 1883-1889
Indramayu, 2020
Halim Bahriz
Riuh Payakumbuh
Di Payakumbuh,
kuntum sedap malam
telah luruh.
Masih ada aroma napasmu, pahlawan,
di antara susunan batu merah
dan jalanan yang basah.
Di sini
aku tahu aku cuma perlu menjaga,
cuma perlu mencintai.
Seorang nenek tampak tengah bercakap
dengan suaminya
di samping patung seorang ibu
yang tengah meratap.
Dan angin menepi di sudut nagari.
Dan lampu-lampu mulai berpijar.
Kurindukan Napar.
Firdaus bagi pecinta.
Sebab gerimis tak kunjung tuntas.
Bertutur tentang Bukit Barisan,
tentang utara sebuah kota.
1
Kulayangkan pandang
ke arus sungai Batang Agam.
1840 telah berlalu jauh.
Jemari petani kini memanen syukur di
sawah di ladang.
2020
Hudan Nur
kami belajar mengitung gerimis yang luruh di genangan air mata. kelaluan masa
yang melindas kenangan, aku duduk bukan untuk menghapus ingatan. aku
membaca wajah hari yang pernah singgah, aku membaca gudang kata – kehidupan
yang membaiat nadirnya bagi luhak limo puluah.
batu-batu mengecup azalnya. aku saksikan gaun lumut yang tak sempat kau
kenakan menjadi zirah, kesaksian yang nun. akulah perempuan baya, yang terus
menjahit artefak nagari. batu-batu tumbuh di kepalaku, hujan menyiramnya jadi
rumbai-rumbai sajak. memeram rindu yang berembun.
kami larung cerita di sungai batang agam, aku tulis janji-janji manula lewat kapal
kertas di batang lampasi. aku hanyutkan segala rasa, masa lalu nagari kuartal sepi
yang gigir menubir di batang sinama.
kau tahu? akulah yang menjunjung kesetiaan batu-batu pada waktu. agar rindu
selalu membiru.
di waktu lampau
Pak Gaek pernah bertamasya
mengajakku serta
berkendara Charade tua.
barangkali alunannya
tak lebih lihai
dari Flute Dave Valentin
pula tak membelu-belai
dari Klarinet Herbie Mann
2020
Ilham Ardiansyah Saragih
Si Bungsu Payakumbuh
:Kercut Penunggu Rawa
Harau,
Riuh-riuh terjun menghabisi tanah keras.
Pekik-pekik air terdengar, mencacah diri kemana-mana.
Gemuruhnya berlarian di atas bukit, Terdengar juga semuanya.
Sampai kisanak hapal kicaunya, bergrilya jatuh dari pundak Tuan batu.
Masih segelintir dari ribuan anak nakal macam dia.
Harau! Teriak saja Harau!
Sempena.
Di belakang rawa-rawa.
Lalang-lalang asik bercerita dengan rumput liar.
Kepada katak-katak ribut, mahkluk-mahluk rawa.
Mereka habiskan petang seraya tertawa.
Aneh, nama mereka disebut-sebut.
Rawa-rawa itu kena sebut.
Rumput-rumput itu juga kena sebut.
Mereka yang beranak-pinak di jadikan nama oleh penguasa dataran rendah.
DI AMPANGAN:
IHWAL KENANGAN
di ampangan
kita berhujanhujan
tapi, di ampangan
kita berhujanhujan
tubuhku gigil
bibirmu kelu,
kupinjamkan baju tebal
―bawakan obat
untuk menggetarkan
bibirku,‖ pintamu
di ampangan orangorang
menjelma jadi hujan
datang dari langit
menuju ngarai
ke hutan hitam
setelah senja
hujan habis
orangorang riang
selalu kau pilih di sebelahku
ingin merayakan tarian
ingin menghabisi lamang
17 Desember 2020
Itov Sakha
AKULAH PAYOKUMBUAH
merayap-bertumbuh
selembut binar bumi kepada petani
selembut hasrat hara kepada pembuluh
sesuka payau bagi kumbuah
sehangat sahabat taragak segelas kawa
mande! betul amak-abak, sesekali
mereka meracik nyali
seperti adegan roman, berjalin
pelik, tandas. atau seperti irama cadas entah randai
sebab lekas berhangat-manis bak galamai
--- tagang bajelo-jelo, kandua
badantiang-dantiang
lenguh nikmat
merona di puncak majas
ke palung jantung1
Ibu.
Yogyakarta-Bangka, 2020
Jakarta, 2020
M. Habib Syafa’at
Sedang kita, Noviantini –kau seperti perempuan lain dalam balut Tingkuluak-
memanjangkan nasib sebagai pemeluk dosa-dosa ekspansi kolonial yang
dipercaya tetua kampung untuk mengambangkan nyawa-nyawa imigran Eropa
tapi sayang, identitas murni membungkukkan punggung pecah dalam kepala
Sumenep, 2020
Meifrizal
penurunan ini
kita mau ke mana?
kabut, di bawah juga berkabut?
dari Bukittinggi ke Payakumbuh
sepanjang kenangan, kolonial dan peradaban
inilah kota batiah dan galamai
kota lembah dan ngalau
perbukitan dan gunung
dendang
―uni, tolong dendangkan kisah kami
biar dingin malam menyelusupkan ke dalam mimpi
kisah gigilan hidup dan tangis kami
kisah cinta dan perantauan
kisah rindu kami‖
kota ini
32 kilometer dari Bukittinggi
aroma kuliner nan aduhai
randang talua pangek cubadak
itiak lado hijau
tambuah ciek!
dari tiga penghuni pertama
dari Pariangan rombongan pengelana
Payakumbuh kota tua
Gunung Sago saksi mata
―Sijobang, mana Sijobang
mana Anggun Nan Tongga Magek Jabang‖
(21.12.2020)
*bait pertama dari lagu ―Ayam Den Lapeh‖ ciptaan Nurseha dan melodi oleh Abdul
Hamid (dari berbagai sumber)
Milatul Maftah
Kontemplasi Kemarau
/1/
Debur ombak selatan membawamu bertualang pada jagat raya di genggamanku. Sesekali kau
intip lembah dan sungai yang mengalir di dadaku, membawamu jauh melintasi hutan yang
melilit tubuhku.
Sementara pagi membaptis pelangi, di kolong langit, bocah berambut ikal meramu do‘a untuk
semesta, menabur mantra sebelum menikmati mentari di ujung cakrawala. Sembari menikam
hujan di bawah pohon randu, tubuhnya menjelma Semeru
―sampai kapan kudekap ilalang dan bara, mengulum matahari yang memar dan senja yang
hampir terbakar?‖
Teriaknya pada semesta.
/2/
Langit timur bergegas gelap ketika musim menjadi gelisah dan senja hanya pasrah menatap
lembah-lembah yang menjelma lorong-lorong asap, sesak nan pengap. Menjelma liang-liang
luka, ceruk busuk tempat mereka mengeruk tahta.
Kau susuri rawa-rawa yang tak lagi lembab, menghabiskan waktu bersama kenangan,
menabung sisa-sisa air mata di sepanjang bukit lalang dengan bocah-bocah yang merimbun
dibalik mendung.
―Inilah semesta tujuh lapis yang kubuat dari lumpur dan abu tubuhku‖
Bisikku mengeja sempena alam.
/3/
Akulah rahim paling sunyi tempat para Ksatria menabur benih
Agar pulau-pulau garam tetap mengkristal abadi sepanjang perih mentari.
Kini kenari-kenari enggan jilati tubuhku yang Raflesia
Tersebab dadaku yang dahulu rindang telah kerontang,
Tersebab air mataku yang dulu adalah kehidupan bagi hijau rerumputan
kini menjelma luapan samudera kecemasan.
Ah, Tuhan. Hijaukan kembali dadaku yang kemarau.
Muhamad Irfan
Ke Hilir ke Mudik
Ke hilir, ke mudik
berdarah kematian 40 malam ia
siraja ‗kan diseraya
tengah malam berbunyi kesunyian
di bawah puncak bulan, di hening bukit barisan saru
segala yang di ujung tanjung sekalian sati ditiupkan
buluh yang seruas
tengkorak kepala diputar di rentangan benang
didendangkan puan yang si miang-miang rimba.
O, tuan:
badanku lemah bingkai
arwah pergi dari badan
bertemu malah
ke obatnya, tuan!
Pariaman,2020
Muhammad Badrun
angin subuh menguar dan terhampar di atap rumah orang-orang tanah nagari. seperti
kepulan tanak nasi yang diaduk oleh tangan seorang ibu di pucuk periuk, halimun
mengambang turun tipis dan melandai menuju lubuk rawa yang lama berhiatus dan
seperti alimunan bukit yang diam: ia debamkan kutukan menuju karam terdalam.
sungai menjulur seperti tubuh ular, yang heningnya menyimpan ribuan mantra dan
pesona, lalu orang-orang dililit sanggama percumbuan hingga gelinjang ke puncak
batas cakrawala. o, kaki bukit sepenuh wingit, buncah udara nyalangkan mata. pun
berkelok-kelok lebuh bagi perantau yang lelah bertaruh.
sepinggan manis paniaram racik tangan tetua, cukup bagi bekal bermain gadis-gadis di
lereng ngalau. sesekali lepas penat berkuai suara di riak air, dan memutarlah tubuh
bianglala sampai petang tampak magenta. sedang bujang-bujang membawa pulang
tangkapan ikan, dari pengail yang lama menggigil.
dalam temaram, dalam pecah sebuah malam, sebongkah bukit menaruh ribuan awan di
kepalanya, segala yang mengular ia tarik agar tak sasar, segala yang limbung ia simpan
dalam palung lambung membumbung. tubuh tinggi dan terjal adalah hikayat yang
poyang: sebagai babad tanah ramai peziarah.
(2020)
Muhammad Ibrahim Ilyas
SENANDUNG RAWA
Ibu meratap dan kurun menyekapnya: kau dan aku adalah labuh yang bersilang itu.
Jembatan senja menyeret tangis ibu sejak ibuah ke labuah baru, menyeberangi aroma
kari mami, lalu secangkir kopi di singgah depan toko buku yang sekarang sunyi.
Alangkah isaknya kenangan. Malam akan selalu lebih merdu karena sedu, entah
kapan kau mengatakan itu.
Biarkan saja langkah kau dan aku menjejak koto nan gadang, bunian, padangtangah
atau situjuah: basicontiak atau menyudahi malam sandiwara sepanjang pondok batu
bata dan ladang pepaya. Ya? Kau dengar sayat siung sampelong? Ingat dinihari dalam
kayuh sepeda karena rindu akan melilit ketukan kotak korek api, gaung talempong
dan sayup pupuik batang padi. Hep ta! Tepuk galembongmu, kali ini tak cukup waktu
untuk ke guguak, pandam gadang atau sungai rimbang.
Ayo, jangan berhenti menjejak. Kau tak akan ketemu chairil, tan, syafruddin atau
jamaludin. Nama-nama sudah menjadi baju baru, bisa dicuci, dijemur dan disetrika
lalu boleh kau pakai mana suka atau gaya mana. Kau bisa menyebutnya sebagai
sejarah, persona kepentingan atau sekadar bualan pacar lama. Begitu pula wadah
tempurung kawa atau cawan nira. Isi saja! Kau dan aku bisa meminumnya,
berbincang tentang dusta, sastra atau debat kusir tak berkuda.
Sejumlah impian sudah ditanam: situs dan artefak penanda, banyak menhir dan ribuan
makam tak bernama, menubuhkan impian cita-cita dan prasangka, melampaui
keakanan paya dan rawa. Memang baik kau dan aku tak usah bicara hari dulu, lembah
harau sudah diabaikan kupu-kupu, bareh randang dan galamai dihapus dari menuku.
Tembakau? Beliung asapnya masih di udara karena sabai belum selesai bengkalai.
Rawa kau dan aku akan memadatkan peradaban ini.
Ibu meratap dan kurun menyekapnya: kau dan aku tetaplah labuh yang bersilang,
mengalir tak henti, walau tak jadi puisi jadi.
191220
Nanang R. Supriyatin
MBoro, 2020
Novi Nur Islami
(2020)
Rahmat Ali
2020
Rezqie M. A. Atmanegara
1.
menapak di halaman lama penuh lebat rawa-rawa
semak mensiang menjalari subur tanah ulayat
cikal bakal menganyam riwayat kota masa depan
dalam penyatuan nama Payau dan Kumbuah
tersebutlah tanah bertuah Payau Nan Kumbuah
di dataran tinggi bukit Barisan dan hamparan kaki gunung Sago
:lidah bersambung lidah mengukir lekat sebutan Payakumbuh
2.
di ngarai-ngarai berselimut lembah
menggema lirih rintih Saluang Sirompak
bersama derai daun pohonan kopi dan rimba andalas
nyanyi burung-burung kuau raja di senandung Sampelong
metamorfosis kehijauan gunung dan batu perbukitan
gradasi panorama lukisan alam dari tangan Sang Kuasa
rindu semakin sembilu di lintasan Jembatan Kelok Sembilan
angin menuntun langkah ziarahku
khidmat memasuki rumah Tan Malaka
kuraba ornamen berpahatkan 1936 silam
usia bangunan tua itu menyimpan sesakan sejarah
saksi hidup pejuang yang bertaruh tumpah darah
demi segala harkat tanah kelahiran yang terus bertumbuh
membaca peninggalan pra sejarah di Nagari Maek-Nagari Seribu Menhir
mengingatkanku betapa agung nenek moyang di masa peradaban
memahat batu di lingkaran batas berpagar bukit dan aliran sungai
3.
betapa harum gurihnya Rendang Talua
menggugah selera lezat rempah tanah Payakumbuh
sambil menamatkan menulis tiap sendi bumi Batiah
adalah ketakmungkinan yang menderas dalam sajakku
sebab kian kumasuki ranahmu, karam aku dalam ketakjuban
di alir tiga ruas sungai: Batang Agam, Limpasi dan Sinama
mengalurkan narasi panjang montase tuah Payu Nan Kumbuah
2020
Rini Intama
LELAKI YANG MENULIS TENTANG TANAHNYA
SALUANG SIROMPAK
1/
Apa yang melintas di atas batang agam. Batu-batu. Perjalanan. Waktu dan kenangan
tentang
ratapan ibu. Upik. Ini kali bukan sejarah yang jatuh dan hanyut terbawa deras arus
batang
agam. Tetapi malam dan gelap tangis penyesalanmu yang akan beguguran atas namaku.
Angin. Gelombang irama yang pekat sekarang berembus menujumu. Waktu akan
terdengar
seperti lolongan anjing gunung. Seperti gaung puting beliung. Tetapi, apa yang akan
terdengar lebih keras selain degup jantung lelaki ketika menyatakan cintanya? Apa yang
akan
lebih keras terdengar selain gemuruh jiwa yang seolah jatuh ketika cintanya tak
berbalas?
Lalu sunyi berjalan menyeret kekecewaan di punggungnya. Seperti kabut yang turun ke
kaki-kaki bukit barisan. Dalam dinginnya ada luka yang berpesan.
2/
Setelah hari yang menyakitkan itu, akhirnya ia tahu bagaimana rasanya bertepuk dengan
sebelah tangan saja dan ia juga tahu, mengapa sepi selalu memantulkan nyeri dan sakit
hati
ke dalam dirinya. Sambil menatap langit ia embuskan malam. Kegelapan dan dingin di
Kanagarian Taeh Barueh ke palung jiwanya. Saluang sirompak. Dari celah bibirnya,
getar
angin merasuk ke lubang suara. Membentur dinding buluh. Ke lubang-lubang nada yang
lahir
dari lima kematian, tempat ruh-ruh simambang bersemayam. Jari-jarinya menarikan
irama
yang pekat dan sekarat. Mengiringi malam dan mantra-mantra yang dibasahi kegelapan.
Yang tumbuh dari luka yang telanjur menjadi tanda.
3/
Simambang hitam. Simambang sirah. Simambang tungga. Simambang barantai.
Simambang
putiah. Sampaikan isyarat magis cintaku. Pukul hatinya yang batu. Biar luluh ia padaku.
Ruh-ruh penunggu lubang nada. Suaranya seperti suara ribuan burung hantu yang turun
dari
bukit barisan ke lima puluh kota. Dituntunnya dendam cinta yang tak berbalas itu
sebagai
gendam. Getaran angin. Nada-nada yang pekat dan sekarat. Padang kesunyian. Malam
menghampar gelap. Geletar putar gasiang tangkurak. Dendang pawang dan rimbun
bayangan
serupa kebun. Hanya ngungun. Cahaya api dan perasaan sakit hati. Tumbuh di dadanya.
4/
Perempuan. Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya. Ia terlihat gelisah dan ketakutan. Ia
merasa
sangat kehilangan dan kesepian. Suara-suara. Ia dengar suara gasiang tengkurak.
Saluang
sirompak. Nada-nada yang lahir dari lima kematian dan suara seseorang membisik dan
terus
memanggil-manggil namanya. Tetapi entah siapa. Ini adalah malam dengan suara-suara
yang
mengerikan. Lelaki yang seperti gelas pecah. Bayangannya menjadi serpihan dalam
ingatan.
Langit sengit dan bakaran kemenyan begitu pahit.
Bangkalan 2020
Roby Satria
Si Babau
Dalam serumpun bambu, aku cari sebatang
mengambil seruas yang dapat dipotong
berjarak sejari dari masing-masing buku.
Dalam hari lalu akan berlubang empat mata malang
Maka tangggunglah
sakit yang bukan demam.
Sepanjang hari menghempas-hempaskan badan tak kenal lebam
memanjat dinding dengan igau tak kunjung redam.
Payakumbuh, 2020
Tegar Ryadi
RATAP IKAN JINAK
aku mencarimu
di hamparan kaki Gunung Sago
di antara tiga batang sungai:
Agam, Lampasi, Sinama
(2020)
Wirda Adelia
berontak-rontak!
Ingatan masa lampau tentang Lembah
Harau menerpa umurku yang ke-tujuh
mendiami kepala dan tubuh
NGALAU INDAH
Medan, 2020
Zen KR. Halil
di kakimu, Payakumbuh
berbagai nasib membentang sepanjang
Jembatan Ratapan Ibu.
sedang aku, hanya bisa menyaksikan
Tuhan menari di antara bunyi Talempong dan Saluang.
Yogyakarta, 2020
BIODATA PENYAIR
PAYAKUMBUH POETRY FESTIVAL 2020
JUARA I
di seberang jembatan, daun jagung menari-nari
Mahlil Bunaiya. Lahir di Batang Silasiah, kabupaten Agam, Sumatra Barat, 09 Juni 1995.
Sedang Menyelesaikan Studi Magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
JUARA II
Padusi Jugun Ianfu yang Bermata di Kerampang
Andreas Mazland. Lahir di Banda Aceh, 21 Juni 1997. Menulis essai budaya, cerpen, dan puisi.
Bergiat di Lapak Baca Pojok Harapan, sebuah komunitas literasi di Kota Padang. Alamat: Jl.
Pendidikan Perum Yepupa Indah, Sidomulyo Barat, Tampan, Pekanbaru, Riau
JUARA III
Perempuan Yang Diciptakan Dari Batu
Ahmad Syauqi Sumbawi. Sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen,
puisi, novel, esai, kritik, dll. Alamat : Dusun Juwet, Desa Doyomulyo, Kembangbahu,
Lamongan, Jawa Timur
50 PUISI PILIHAN
*Diurutkan berdasarkan Alfabet Nama Penulis
3. Ia Hanya Rawa-Rawa
Aflaha Rizal. Lahir di Bogor, 26 Agustus 1997. Buku puisi terbarunya Kenangan Tidak
Terbuka (Kuncup, 2019). Berdomisili di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
9. Meneroka
Arif P. Putra. Berasal dari Surantih, Kab. Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Buku
tunggalnya yang telah terbit “Suara Limbubu” (JBS, Yogyakarta 2018) dan sebuah novel
“Binga” (Purata publishing, 2019). - Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
10. Memo Buat Pemangku Kota
Asril Koto. Lahir dan bermukim di Padang, Sumatera Barat. Ia berkerja sebagai
wartawan. Buku puisi terbaru berjudul Jalan Lain (2020). Sedekah Air Mata (2007)
adalah buku puisi pertamanya yang diterbitkan Dewan Kesenian Sumatera Barat.
22. Di Ampangan
Isbedy Stiawan ZS. Lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap
di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Buku
puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa
Kemendikbud RI (2020) dan Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020
Yayasan Hari Puisi Indonesia.
35. Tubuh dan Kebayamu Kini Sembunyi dalam Detak Jarum Jam
Ni Made Rai Sri Artini. Lahir di Badung 17 November 1978. Kini pun berdomisili di
Kab.Badung, Bali.
36. Luka Di Mata Perempuan Tua
Norham Abdul Wahab. Alumni Fakultas Sastra (Sekarang FIB) UGM Yogyakarta ini
lahir di Bengkalis, Riau, pada hari Kamis, 15 September. Buku kumpulan cerpennya
“Ulat Perempuan Musa Rupat” diterbitkan Yayasan Sagang Intermedia Pekanbaru.
Buku puisi tunggalnya “Preman Simpang” (Taresi Publisher, Jakarta, Juni 2018) terpilih
sebagai ―Buku Puisi Terpuji Anugerah HPI 2018‖. Buku puisi tunggalnya “Tuah Uzlah”
(TareBooks, Jakarta, Juni 2019) terpilih sebagai ―Buku Puisi Terpuji Anugerah HPI
2019‖. Buku puisi terbarunya “Gila Bayang” ((TareBooks, Jakarta, Juni 2020). Sekarang
bermastautin di Desa TeMBoro, Kec. Karas, Kab. Magetan, Jawa Timur.