Anda di halaman 1dari 127

LURUS JALAN

KE PAYAKUMBUH

Puisi pemenang dan puisi pilihan


Payakumbuh Poetry Festival 2020
Pengantar Panitia Payakumbuh Poetry Festival 2020

Kehadiran buku antologi puisi ini merupakan salah satu yang tidak terpisahkan dari
rangkaian kegiatan Payakumbuh Poetry Festival (PPF) 2020, yaitu sebuah Festival Puisi
yang seyogyanya dimunculkan di Kota Payakumbuh ini. Mulanya, dalam rancangan panitia,
serangkaian kegiatan mulai dari lomba cipta puisi, penerbitan buku, temu penyair, seminar
dan seni pertunjukan menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Namun wabah Covid-
19 yang masih merebak, kegiatan tersebut kami sederhanakan. Maka sebagai ajang perdana,
dilaksanakan Lomba Cipta Puisi Payakumbuh Poetry Festival (Festival Puisi Payakumbuh)
2020.
Ide dari kegiatan ini berawal dari obrolan santai antara rekan-rekan sahabat di grup
WhatsApp Komunitas Tanah Rawa. Sebagaimana kita tahu, Tanah Rawa adalah Komunitas
Sastra dan Literasi yang berbasis di Kota Payakumbuh. Namun meskipun demikian ada juga
anggotanya yang melewati batas kota Payakumbuh, karena ada yang berdomisili di luar kota
Payakumbuh. Kebanyakan dari kami adalah ―penantang serius‖ yang mengikuti berbagai
event lomba cipta sastra; apakah itu puisi, cerpen, naskah drama esai dan sebagainya. Lalu
di antara kami ada yang memberi tantangan, bagaimana kalau kita, Komunitas Tanah Rawa
ini yang mengadakan lomba? Maka ide itu bergulir dan membulat dan utuh dilaksanakan.
Sehingga jadilah Lomba Cipta Puisi Payakumbuh Poetry Festival 2020 ini.
Dalam waktu yang sedikit singkat, pada awal bulan Desember 2020, perdana lomba
cipta puisi PPF2020 diumumkan, dan naskah mulai diterima oleh panitia. Temanya
―Tentang Payakumbuh‖, lebih luasnya tentang sejarah, seni budaya, wisata, kuliner, atau
lainnya, sepanjang mengungkapkan sesuatu hal tentang Payakumbuh-Luak Limo Puluh
Koto, karena bagaimanapun Kota Payakumbuh dan Kabupaten Lima Puluh Kota ada dua
wilayah yang sulit dipisahkan. Sekitar 500 karya yang masuk dari seluruh penjuru
nusantara. Namun sesuai ketentuan, 462 karya dinyatakan memenuhi syarat yang akan
dinilai oleh Dewan juri. Dewan Juri kegitan ini adalah penyair-penyair yang namanya sudah
tidak asing lagi di kancah sastra nasional: Heru Joni Putra, Adri Sandra, Irman Syah,
Yudilfan Habib dan Iyut Fitra.
Kegiatan ini tentunya dapat terlaksana atas semangat gotong-royong, kebersamaan
dan kekeluargaan dari segenap insan Tanah Rawa, sebutlah: Iyut Fitra, Adri Sandra, Irman
Syah, Oldie Putra, Feni Efendi, Yudilfan Habib, Okta Piliang, Ijot Goblin, Heru Joni Putra,
Putra Blinken, Dallu Awartha, Dellorie Ahada, Okto Muharman, Laura Tifani, Thendra BP,
Syukra Kaka, Ubai Dillah Al Anshori, Harnina, Ade Suhendra, Rovindo Maisya, Ilham
Yusardi dan banyak lagi.
Dalam rancangan kami Komunitas Tanah Rawa, kegiatan Payakumbuh Poetry
Festival dan penerbitan buku ini ini hendak dijadikan agenda rutin tahunan, yang bergulir
pada tahun-tahun berikutnya. Untuk itu, kami mohon dukungan dan doa dari semua pihak
agar ini bisa kami laksanakan nantinya.
Dengan segala keterbatasan dan juga kemampuan, tidak mengurangi niat kami
melakukan yang terbaik untuk penyelenggaraan kegiatan ini. Kesuksesan kegiatan dan
penerbitan buku ini tidak terlepas dari uluran tangan, bantuan materil dan moril dari para
donatur dari berbagai daerah yang namanya tidak sempat kami sebutkan satu persatu dalam
pengantar ini. Yang utama dari kami, atas bantuan dan sumbangan donatur kami ucapkan
terima kasih setulusnya. Semoga setiap perbuatan baik mendapatkan balasan yang setimpal
dari Tuhan. Aamiin. Salam Puisi tak henti-henti!

Payakumbuh, 30 Desember 2020

Panitia Payakumbuh Poetry Festival 2020

Ilham Yusardi
Ketua
Catatan Pertanggungjawaban Dewan Juri
Daftar Isi

Pengantar Panitia Payakumbuh Poetry Festival 2020…………………………………


Catatan Pertanggungjawaban Dewan Juri……………………………………………

Daftar Isi

Juara 1
Mahlil Bunaiya
Di Seberang Jembatan, Daun Jagung Menari-nari………………………………………..
Juara 2
Andreas Mazland
Padusi Jugun Ianfu yang Bermata di Kerampang………………………………………..
Juara 3
Ahmad Syauqi Sumbawi
Perempuan yang Diciptakan Dari batu……………………………………………………

50 Puisi Pilhan

A.Warits Rovi
Musim Berkuda Angin, Mengitari Payakumbuh………………………………………
A‘yat Khalili
Balada Batang Agam……………………………………………………………………
Aflaha Rizal
Ia Hanya Rawa-rawa……………………………………………………………………
Afri Meldam
Pagut Kabut Pagut Lumut………………………………………………………………
Alex R. Nainggolan
Lembah Harau…………………………………………………………………………..
Alif Raung Firdaus
Apakah Kotamu Juga Seperti Kotaku?...........................................................................
Alvian Rivaldi Sutisna
Suara Dari Bawah Jembatan Ratapan Ibu………………………………………………
Ani Tri Setiyati
Perempuan Bertikuluk Beludru Merah yang Gemetar di Atas Tanah Pusaka………….
Arif P. Putra
Meneroka…………………………………………………………………………………
Asril Koto
Memo Buat Pemangku Kota……………………………………………………………..
Boy Riza Utama
Litografi Payakumbuh……………………………………………………………………
Budhi Setyawan
Dari Jalan Tan Malaka Payakumbuh…………………………………………………….
Budi Saputra
Payakumbuh, Narasi Sebening Batu Pualam…………………………………………….
Delvi Yandra
Lagu Luka Batu Balang………………………………………………………………….
Eddy Pranata PNP
Catatan Kecil Seorang Musafir di Kota Para Penyair…………………………………….
Faris Al Faisal
Pajakoemboh 1883-1889………………………………………………………………….
Halim Bahriz
Riuh Payakumbuh…………………………………………………………………………
Hoerudin
Jembatan Ratapan Ibu…………………………………………………………………….
Hudan Nur
Tambo Nagari Aie Tabik………………………………………………………………….
Ikhsan Risfandi Zetry Imimy
Rindu (Payakumbuh, Saluang dan Talempong)………………………………………….
Ilhan Ardiansyah Saragih
Si Bungsu Payakumbuh……………………………………………………………………
Isbedy Stiawan ZS
Di Ampangan………………………………………………………………………………
Itov Sakha
Akulah Payokumbuah……………………………………………………………………..
Jemi Batin Tikal
Rindu Mendarah daging…………………………………………………………………..
Kurnia Effendi
Negeri Para Penyair…………………………………………………………………………
M. Habib Syafa‘at
Memorabilia Kota Setelah Badai……………………………………………………………
M. Rifdal Ais Annafis
Payakumbuh Mengepung di Kanal Prinsengracht………………………………………….
Meifrizal
Payakumbuh Dalam Puisi…………………………………………………………………..
Milatul Maftah
Kontemplasi Kemarau………………………………………………………………………
Muhamad Irfan
Ke Hilir ke Mudik………………………………………………………………………….
Muhammad Badrun
Ritus Bukik Bulek Taram………………………………………………………………….
Muhammad Ibrahim Ilyas
Senandung Rawa…………………………………………………………………………..
Nanang R. Supriyatin
Solilokui, Kembali Aku ke Payau Nan Kumbuah…………………………………………
Nanda Satriawan
Kota Biru Ini……………………………………………………………………………….
Ni Made Rai Sri Artini
Tubuh dan Kebayamu Kini Sembunyi dalam Detak Jarum Jam………………………….
Norham Abdul Wahab
Luka di Mata Perempuan Tua………………………………………………………………
Novi Nur Islami
Jembatan Ratapan Ibu………………………………………………………………………
Ragdi F. Daye
Tak Ada yang Lebih Asing………………………………………………………………….
Rahmat Ali
Bermain Sepak Tekong……………………………………………………………………..
Rara Handayani
Pasar Ibuh, Ketika Hujan Luruh…………………………………………………………….
Rezqie M.A. Atmanegara
Montase Tuah Payau Nan Kumbuah………………………………………………………..
Rini Intama
Lelaki yang Menulis Tentang Tanahnya…………………………………………………….
Riri Satria
Jejak Silsilah yang Hilang di Payakumbuh…………………………………………….
Robi Akbar
Saluang Sirompak………………………………………………………………………
Roby Satria
Si Babau…………………………………………………………………………………
Tegar Ryadi
Ratap Ikan Jinak…………………………………………………………………………
Wayan Jengki Sunarta
Di Payakumbuh Aku Mencarimu……………………………………………………….
Wirda Adelia
Pesan Dari Belantara Lembah Harau…………………………………………………..
Wirja Taufan
Ngalau Indah…………………………………………………………………………..
Zen KR. Halil
Di Kaki Payakumbuh, Sujudlah Seluruh puisi………………………………………….

Biodata Penyair
Payakumbuh Poetry Festival 2020……………………………………………………..
Juara 1
Mahlil Bunaiya

di seberang jembatan, daun jagung menari-nari

aku ziarahi patung nisan tak bernama itu


hening. kecuali desau daunan jagung
menari-nari, seakan mengaminkan doa tolak bala
dari lirih kicauan burung penjaga makam
mengokang dada dengan cakar telanjang

―sebagai apa kau datang?‖


terdengar suara sapa
bukan dari burung-burung yang terbang berpencar
serupa gugusan nasib mengulur hari tak berkesudahan
mengerangi tubuh yang ditandu langit
payau berkumbuh
menghanyutkan jasad ke muara berarus biru

―aku datang sebagai pendoa yang kesepian.


pendoa yang kehilangan kekasihnya berkali-kali.
berkali-kali.‖

lengkung bendungan jembatan tua menulis riwayat kenang


tentang bapak beranak banyak, juga diam saja
mereka pernah menjinakkan ngilu gigitan tungau di ketiak peradaban
bersama derai ratapan ibu

―lalu, kepada siapa doa itu akan kau kirim?‖

ke hilir jembatan, arus lunak mengalir ke


denyut urat nadi kota
hamparan ulayat datuk lima puluh
tenang
lengang

―aku berkirim doa penghapus segala ratapan!‖

sementara desir angin menyelinap


di kuduk gunung sago
aku biarkan tubuhku larut dalam suara ratib surau suluk
bergumul di pusar genangan benih
yang lumat dalam kunyahan buah doa

―ratapan siapa yang ingin kau hapus?‖

batang agam terus membuahi rahim laut


awan masih mengandung anak hujan

―ratap itu belum usai, kan, bu?


sungguh, yang ingin kuhapus,
bukan ratapan siapa-siapa
tapi ratapanku sendiri,"

di seberang jembatan
di sepetak ladang yang memanjang
daun jagung masih menari-nari

Yogyakarta
2020
Juara 2
Andreas Mazland

Padusi Jugun Ianfu yang Bermata di Kerampang

Dalam barak pelacuran yang panas berdengkang ini


kau selalu saja menghabiskan hari
berdebat dengan Tu(h)an perihal hidup yang
mengencingi kepalamu berkali-kali

Dari lembah-lembah yang tegak memagari


Payakumbuah jauh sebelum sejarah
dibatukan pada pelepah pinang:

Kauselalu melihat Tu(h)an dalam dirimu:


Tu(h)an yang memerintah, memaksa
membentak dan menghantuk kepalamu
hingga tersimpuh, sujud
dan jatuh dalam genangan darah

Tapi setelah semuanya berjalan satu tahun


kaurilakan saja lagi kepalamu dikencingi
Tu(h)an dan tentaranya yang datang
dari tempat di mana matahari terbit sebesar kiambang

Lantaran telah kauhibahkan dirimu sepenuhnya menjadi


mata-mata tentara yang bekerja untuk Jakarta,
meski pusaka paling tinggi yang berada sekian depa
di atas mata kakimu tergadai pada serdadu pembawa bala;
meski kausadar nantinya akan mati dan dihapus
oleh zaman tanpa dikenang sebagai padusi berjasa

Pada subuh sehabis matamu kaupindah ke kerampang


dan sebelum itik keluar dari peraduan;
Kaududuk mengunjur menghela napas
di bibir titian tinggalan Belanda
tempat di mana nantinya para ibu meratap kerana
milyaran tetes darah laki dan bujang mereka
dibawa arus menuju muara

Seakan menunggu kabar kekalahan Dai Nippon,


kauterus duduk di tengah aliran Batang Agam
yang acap dilalui potongan-potongan ayat suci;
sambil membenturkan khayalmu yang telah meloncat
ke masa setelah Nippon tumbang pada sebuah tiang

Pekanbaru, 2020
Juara 3
Ahmad Syauqi Sumbawi

PEREMPUAN YANG DICIPTAKAN DARI BATU

aku, perempuan diciptakan dari batu


tanganku menunjuk bukan mengutuk
si malin kundang durhaka telah terkubur
pada senja, ketika nasi sudah menjadi bubur
meleleh di kantong kepala, membasah
jadi kisah, jadi legenda

maka, jangan ragu mendekat padaku


ibu hanya sekali mengutuk jadi batu
bersama sisa sesal mengendap di bawah lidah
tak ada lagi kata-kata bertuah
tersimpan dalam waktu, milikmu

seperti chairil, mengutuk kata-kata


seributahun lamanya, terpahat di dinding
bersama kerak lumut, waktu yang rambut
untuk kaubaca ketika jadwal kunjung tiba

kami cuma tulang-tulang berserakan


kenang-kenanglah, kami, katanya
simpuh di kakiku, seperti minta restu
pada malam dingin menekan paru-paru

aku, perempuan diciptakan dari batu


tak punya sedu sedan itu, kering bergema
di sekujur badan, usai ratapan sepanjang bantaran
di pagi yang kelu, menyaksikan barisan diterjang peluru
dari jembatan, jatuh dalam pelukan batang agam
yang mengalir sepanjang usia
sungai dengan air yang sama, sejak dulu
benih-benih selalu tumbuh, sungai gambaran surga
tempat si buyung bermain dan berenang ke seberang
sebelum disucikan dan dilarung ke lautan

dari segumpal darah, lahir bersama darah kelahiran


anak-anak selalu diharapkan, berdarah sebagai
manusia, meneteskan darah untuk manusia seperti
doa dan mantera yang pernah diaminkan sebelum
dan setelah ibu, berkorban selalu

maka mendekatlah, lebih kepada ibu


sertakan pula, aku berdiri di bawah lengkung pelangi
dalam kamera handphone, untuk kaubuka usai sunyi
mengenal diri sendiri, bersama waktu yang menelan

aku, perempuan diciptakan dari batu


rahimku mengandung bayi itu, peristiwa dan cerita
keindahan dan kepedihan bercampur di taman waktu
untuk kaubaca di sela derai tawa dalam ikatan manusia
juga gemericik menyimpan darah dan airmata

belajar dari sejarah, aku mendengar suara-suara


bahwa tidak ada yang lebih menakutkan selain terlupakan
sepanjang waktu, terabaikan oleh sepasang remaja
asyik menggenapkan bayangan gelap, rumput malam

kenang-kenanglah, aku
selalu menunjuk jembatan waktu
darah dan airsusu masih melekat padamu
juga doa dan mantera, yang diaminkan para tetua
seluruh nagari, untuk kau tumbuh menjadi payakumbuh
Catatan:

nasi sudah menjadi bubur, sebuah peribahasa terkenal dalam bahasa Indonesia

kami cuma tulang-tulang berserakan/ kenang-kenanglah, kami// tertulis di bagian depan


monumen Jembatan Ratapan Ibu, yang merupakan kutipan dari puisi ―Krawang-
Bekasi” karya Chairil Anwar.

sedu-sedan itu, sebuah ungkapan yang dikutip dari puisi “Aku” karya Chairil Anwar.
50 Puisi Pilihan
A. Warits Rovi

MUSIM BERKUDA ANGIN, MENGITARI PAYAKUMBUH

Siang tadi, aku mengawini tanahmu, sebelum matahari memenuhi


panggilan ufuk, sorak di arena pacu itiak membekas bait nawala patra
pada liris sampir awan tipis yang melintasi tujuh nagari. Itik-itik
berbulu cokelat klimis itu telah terbang lurus ke dalam takar impian
yang garis hinggapnya ditentukan moyang di hari silam. Di sayapnya
berdenyut kehidupan, dan di paruhnya terperam matahari zaman yang
akan datang. Sekali ia terbang, pantas diberi tepuk tangan jauh, lurus,
memaram kultus dan ritus.

Sesudah menonton pacu itiak, kuajak hati berwisata, dengan berkuda


angin ke delapan arah, merupa tilas para leluhur di mata yang lamur,
supaya bentang segala terang, dan dua kaki bertemu sebenar-benarnya
jalan di arah yang tak bersimpang:

1/

Lembah Harau—padang rumput hijau terhampar jadi cermin zaman


yang menampung raut langit, bulan, dan matahari. Udara segar
mengepung penjuru saat waktu tak lingsir kecuali setelah mewartakan
pengantin air terjun dan sungai-sungai kecil yang liuknya seperti tangan
yang mencari-cari kuntum melati di celah segala sepi.

2/

Kelok Sembilan—ruas jalan berkelok-kelok itu menyempurnakan


simetri bayangan hidupmu yang melulu lurus pada bagian tak terurus.
Kiranya pada setiap kelokan, kau temukan makna lain sebuah keelokan.
3/

Ngalau Indah—di sini, beberapa mulut gua memanggilmu untuk masuk


ke dalam, seperti kembali ke rahim ibu dalam keteduhan sepetak ruang
berkulit stalagtit dan stalagmit. Lekukannya adalah telapak tangan
terbuka, untuk menerima riwayat jejak kakimu dari rantau yang jauh.
Sedang singgahmu adalah setakar lumat bumbu; penyedap hidup yang

dirawikan batu-batu gong berkerucut dan berongga kepada angin


peliput segala ingin.

4/

Bukit Batu Manda—lembah hijau menanjak, barang sebait berlalulah


burung-burung kecil menggurit kicau rupa sajak, yang dialamatkan
kepada leher batang rumput dan batu-batu, betapa rindu itu semu tapi
membatu. Sepanjang waktu, sejalin dialog senyap kerap berlangsung
dengan tebing batu unik di puncak bukit, sebab antara yang jauh dan
yang dekat, di balik lembar-lembar daun kedunya terikat, sebagai
sapuan waktu yang melukis wajah Payakumbuh dengan embun
mengkilat.

5/

Jembatan Ratapan Ibu—jembatan yang membelah tubuh sungai Batang


Agam ini, tekun menganyam kenangan hari silam, lewat riak rangkak
air, yang menyampankan cerita-cerita dari hulu ke hilir; tahun 1818
pemerintah Hindia Belanda membangunnya dari kepingan tulang para
pemuda, dalam tanam paksa, sebelum jasad mereka ditanam di sini,
memeluk ibu pertiwi dengan bekas luka tembak yang abadi jadi rahim
sejarah; menganga kepada telinga masa, untuk didengar, untuk ditakar
sebagai bahan ajar mengenai pohon yang kuat memeluk akar.

Masih banyak tempat yang bisa kusinggahi, demi menyapih benih rindu
dari tubuh Payakumbuh, tapi sementara, itulah yang bisa kuceritakan,
sebagai jalan lapang yang membentang, supaya kau juga bisa
bertandang, melihat Payakumbuh dengan mata yang cerlang.

Rumah Ibel, 2020


A’yat Khalili

Balada Batang Agam

dari matamu, aku melihat air mengalir sepanjang kenang


di mata ibumu mencari nadi hidup yang membatu dari masa lalu
menjalari setiap tapak berserak, di mana rintih pasir,
ranggas matahari mengirim cahaya lara bagi padi-padi
juga burung-burung yang berdiam di lingkar muara,
menjerit dipendar hari, alun yang lama terkubur
di lereng-lereng gunung dan rawa-rawa yang terus bersemi
bersilang haluan dengan darat dan aroma alam
juga kecipak alir sepanjang tanah lahir

tak pernah kutahu siapa yang lebih dulu menangis


di pinggiran sungai, ibumu atau ibuku
yang melantun deras air mata demi membasuh mayat laki
atau bujangnya dahulu supaya darahnya mengalir bersih
sepanjang alirnya nirwana menghilir di batang arau,
biar bisa dijumpai ruhnya di rumah gadang
tetapi siapa yang tahu perempuan tua itu sudah meliuk
bersama akar, batu-batu dan prasasti yang berdebu

ia yang dulu mendendang randai seiring bunga padi


tumbuh berkembang di punggung tulangmu
yang terbelenggu perbudakan. ia yang mengantarmu ke Aie Tabik,
Gadut, Halaban, Situjuh, Taeh dan nagari-nagari
di Luhak Limapuluh Kota, tetapi siapa yang peduli dirimu
ikut merengkuh nasib tanah bagai ranum buah kopi
yang rela disembelih, dibawa pergi tuan-tuan kompeni
sepanjang abad berlari, di mana harum darahmu
sebagai pribumi diteguk dan diminum jadi saripati

tersedu ia sepanjang muara, mengabarkan seberapa keras derita sengsara


malang di lembah, tumpah di hutan dan sawah
kala ia bersaksi anak-anaknya ditembaki mati hidup-hidup

di jalan, di jembatan ini, jauh sebelum kini aku hanya bisa


melawat hikayat yang kian samar-samat bersekarat
antara menjadi petani dan pedagang,
antara berkalang tanah sendiri atau terlanglang
ke bumi orang, sementara anak-anakmu yang lain
tenggelam di tuak dan rantau, berderap sahut dengan roda-roda
ke persimpangan, merajuti kota, membangun rumah, udara
pohon dan manusia baru, menembus dingin Gunung Sago
bertabuh riuh talempong tanpa ingat ratap ibu pilu memanggil
barangkali mereka masih candu botiah dan galamai
seperti rindu ibu menyusuimu dahulu.

tetapi ibu hanya perempuan biasa, jika anakmu bertanya


suatu hari, bilang saja, bahwa ibu sudah lama menunggumu
dengan ratap abadi di Sungai Batang Agam itu.

Madura, 22 Desember 2020


Aflaha Rizal

Ia Hanya Rawa-Rawa

Ia hanya rawa-rawa, sebelum lahir tempat tinggalmu


yang penuh hijau itu. Kau melihat mata anak-anak
kecil setiap hari yang jauh dari derita, selain bahagia
yang penuh seperti balon udara terbang di udara, di
antara langit yang jauh dari mendung sebelum usia
dewasa datang.

Ia hanya rawa-rawa, sebelum seseorang menemukan


nama tempat untuk orang-orang yang hidup dan
tinggal juga mati kemudian sebagai ladang terakhir.

Telah ditumbuhi sebagian tanaman Actinoscirpus


grossus, anyam-anyaman tempat kau bercerita.

Ia hanya rawa-rawa yang penuh waktu, ketika kau


menemukan diriku yang karat sekali lagi, setelah
perkabungan derita dan masa lalu itu.

Ia hanya rawa-rawa, yang menjelma kenangan di


kepalamu: kenangan penyesalan yang tak mampu
kembali, setelah berkali-kali kau lukai tempat
sejarah ini.

2020
Afri Meldam

Pagut Kabut Pagut Lumut

Kami orang lembah berpayau, katamu, datang dari kaki gunung


yang paginya sorenya malamnya selalu dipagut selimut kabut
lalu kami berjalan ke kaki gunung yang lain, mendirikan kampung
meneroka belukar yang mengakar ke jantung tanah berlumut

lumut sehijau payau itu ada di bola mata kami, katamu pula
di sana kami tumbuhkan bentang padang rumput dan pepohonan
juga sungai-sungai tempat ikan-ikan jinak menanti sungkupan jala
udang tak kami biarkan di balik batu, mereka berenang ke tepian

tepian yang mengantar langkah ke rantau, tempat berpulang buncah risau

risau yang menyilau, yang senantiasa menjadikan kami kanak-kanak


meringkuk di dekapan ibu sembari menyimak cerita-cerita bapak
tentang lima puluh orang yang berjalan dari kaki Marapi
tentang lima orang yang menyisir jauh ke Kampar Kiri

kota kecil kami tumbuh menjangkau langit, katamu lagi


menjulang di atas kabut yang memagut Gunung Sago
dan di kedua bola mata kami yang sehijau lumut Suliki
rumput, pohon, dan sungai bercabang di gedung-gedung kokoh

masihkah tepian kami di sana, tanyamu ragu


ataukah sudah dipindahkan oleh orang lalu?

BKS 2020
Alex R. Nainggolan

Lembah Harau

di sebuah sabana. hijau yang masih sempat ditempuh mata. dijaga dua bukit perkasa, gemuruh
angin yang meliukkan dedaun. dengan akar yang masih melingkar di lebat hutan. menembus
batu-batu granit. melupakan sakit dari longsor, sebelum setiap jerit panggil-memanggil.
muasal sebuah nama dari teriakan panjang yang menggema. setelah ini parau akan silau. maka
sepanjang lembah harau adalah jejak dari akar payau. para pelancong yang menyimpan bayangan
rumput dan daun di setiap kilap batang yang menggeliat.

di sebuah hari yang gigil. dengan lambaian perdu dan daun yang acap memanggil. engkau akan
tiba pada ujung langkah, di tempat yang lembab tanah dari peta lama.

lembah harau
sejauh igau
akan kenangan payau
beternak di cekung mata
penuh pukau
kemilau cahaya
hijau

di sebuah sabana. hijau yang tak pupus dalam kemarau. tak jauh dari sini, engkau mungkin akan
bisa mandi dan berjumpa bidadari di sasarah bunta. berharap ia lupa selendang dan tak pulang ke
langit. dingin air yang menembus celah batu. seperti mengulum ingatanmu. meranggas bersama
cadas cahaya, dari getar matahari yang memancar sepanjang luruh air jatuh. menempuh rindumu.

2020
Alif Raung Firdaus

Apakah Kotamu juga Seperti Kotaku?

Aku datang dengan jari telunjuk


meraba barisan bukit berkabut
dan jejak tualang para datuak
dalam 3.4 Mbps yang melipat jarak
ke dalam satu kedipan mata

jejak yang pernah dikuduskan


dalam Tambo dan ingatan Lubuak Sati
tentang 50 kaum yang menyusuri sungai
sepanjang Pariangan hingga Padang Siontah
ada yang hilang dan yang tak kembali
yang berpencar dan yang bertahan
sisanya mengikat buhul di kaki bukit
menunggu matahari terbit
lalu menghampar kota di kaki Sago
bersama Tigo Niniak
yang masyhur dalam sabda datuak
jejak yang menjadi Rahim bagi kotamu:
Payakumbuh, dan segala romansa
Yang lamat-lamat kuamati dari jauh

apakah kotamu juga seperti kotaku?

2.262 km dari kotamu,


Kotaku timbul-tenggelam dalam
Gelombang musim dan simpang-siur cuaca
Sejarah telah mengelupas di jalan raya
Maraton festival menyalakan merkuri
Di puncak malam. Seperti tidur
Yang tak pernah tenang. Bencana
Hanya alarm untuk tetap berjaga dalam
Kerja keras yang panjang: mengeruk bukit,
Mananam gedung, dan mengubur sejarah
Di kotaku, yang tersisa hanya perayaan
Tahunan untuk mengenang yang mati
Dan melupakan yang pernah terjadi

apakah kotamu juga seperti kotaku?

Aku melihat Payakumbuh


Dari layar kecil yang digemari
Para pelancong yang malas
Dari hiburan televisi yang mengobral
Brosur wisata dari barisan makam moyang
Dari puisi Iyut Fitra yang lumer di kepala
Sembari membuat perhitungan
Dengan dompet dan kesempatan
Untuk sebuah tualang panjang
Yang kelak akan mengantarku
ke dekapan kotamu
Entah sekadar menyapa,
Menawarkan nasib, atau memburu
Cerita yang belum kukhatamkan

Lalu merancang kenangan di bukit


Yang menyulap kotamu menjadi lukisan:
Ampangan, dalam keheningan tidur
Gunung Sago; kota yang sibuk
Merayakan hidup dengan khusyuk
Di kaki-kaki kekar jembatan Kelok Sembilan;
Tebing yang menyembunyikan matahari
Di Lembah Harau, atau sekadar berjumpa
Bertukar puisi dan cerita tentang hidup
Yang selalu tergesa-gesa di pagi hari
Dan terkapar lelah di malam hari

seperti kabar tentang kota-kota asing


yang jauh dari hiruk-pikuk negara
menyulam nasibnya sendiri
dalam nyanyian para peziarah
dan perantau yang tabah
dibayangi pulang dan pelukan rumah

Apakah kotamu juga seperti kotaku?

Bondowoso, 20 Desember 2020


Alvian Rivaldi Sutisna

SUARA DARI BAWAH


JEMBATAN RATAPAN IBU

Setiap hari adalah hari ibu. Merangkai gerimis yang


turun dari bawah pelipis matamu saat aku jatuh ke
sungai seusai dentuman pada tubuhku yang tipis
sambil mengangkat batu untuk hari ini

Aku
Menyulam pikiran dan menanam nisan abstrak
untuk diriku

Di jembatan ini
Bisakah kita membuka gerbang yang sudah terbakar habis?
Dalam bayangan seperti yang kau rasakan hari ini

2020
Ani Tri Setiyati

Perempuan Bertikuluak Beludru Merah yang


Gemetar di Atas Tanah Pusaka

di sudut barat kota, di bangunan tua yang sebagian runtuh


di dinding sebagian berlumut masih bisa terlihat sisa
lukisan mural, grafiti dan coretan tanpa makna, lalu
gerimis turun, angin menggoyang rumput yang tumbuh
di sebagian dinding dan atap bangunan tak terurus itu

―waktu bagai membeku, kenangan getir menguar!‖

gerimis kian lebat, seorang perempuan bertikuluak beludru merah


berjalan basah ke timur ke tengah kota, ia simpan tangis paling perih
dan sunyi, bertahun-tahun ia tenggelamkan air mata
ke kedalaman masalalu jingga

: ―kota bisa membuat kita tidak bahagia, kata-kata retak duka


aku berikan seluruh jiwa-raga untuk yang maha kasih!‖

dari tengah kota perempuan paruh baya bertikuluak beludru merah


berbalik jalan ke barat, gerimis mulai reda, matahari senja tepat jatuh
di tugu adipura, ia berdiri gemetar, di tangan kirinya ia genggam
tambo nagari aia tabek, nagari tertua payakumbuh
: ratusan bahkan ribuan nyawa melayang dari atas jembatan ratapan ibu
ke deras sungai batang agam karena si jahanam penjajah belanda
sugai itu merah darah
jeritan mak-mak melengking-lengking bagai menyundul-nyundul langit

: ―aku bangga jadi orang batiah, satu hilang dua terbilang


kalau tak berhasil biar nyawa melayang!‖
perempuan itu berdiri tegak persis di bawah tugu adipura
matanya menyala, kedua tangannya direntangkan ke atas

: ―mangaji dari alif, babilang dari aso, mancancang balandasan


malompek basitumpu!‖ teriaknya

orang-orang yang melewati tugu itu takjub dan terkesima

perempuan bertikuluak beludru merah itu tiba-tiba merasakan alir


darahnya panas jantungnya berdebar kencang, ia ingin tidak menjadi
burung dalam sangkar
hidup dengan seluruh harta pusaka bersama orang sumando dan anak pisang
namun ia terkadang juga hasrat menjelma siti manggopoh,
atau rohana kudus, rahmah el yunusiah, rasuna said, zakiyah daradjat,
syamsiah abbas, inyiak upiak palatiang!

tetapi, sungguh, awan di langit berarak hitam, kabut turun mengurung kota
dada perempuan bertikuluak beludru merah itu bagai jaring sarang laba-laba
begitu rapuh— nyaris seluruh keinginannya terpental ke dinding ngalau
dan ia masih tertungkus lumus sebagai bundo kanduang yang gemetar
di atas tanah pusaka.

Darmakradenan, 2020
Arif P. Putra

Meneroka

... halaban

adakah jalan menuju halaban


selain isak dan teriakan;
yang menembus sunyi
membawa tualang tak pulang

dimana ia tak ingat lagi lemang panggang


–didiang api kesemuan

adakah jalan menuju halaban


selain rimba raya penuh sesak suara bedil
dan anyir pepohonan
dari bebatuan lembab berlumut

I
adakah tumpangan menuju lumbung kopi
dari halaban meneroka
mengirap seperti pipit di tengah sawah
bermukim dari perjalanan yang ganjil

benarkah pesan dari firasat


menjajal puluhan jembatan
yang pada akhirnya menyilau doa
di jembatan ratapan ibu
dialah petualang yang ganjil
telah mengirap, berkubang dengan sekian perjalanan
menembus jalan-jalan gamang
dari gerilyawan tak bernama
dari orang-orang yang ikut meneroka

III
meneroka
apa yang telah dibawa dari perjalanan panjang
tumpangan ke lumbung kopi
atau hanya sebuah pelesiran dari rombongan ganjil
mencari tempat suruk
hanya untuk melihat para tualang datang
menebas semak, menjadikan pusat perjalanan orang asing

untuk dicatat,
sekarang mereka butuh perjalanan singkat
tapi lebih rumit
lebih sulit dari meneroka
sayap patah, mengirap tak sanggup pula
dimanakah jembatan ratapan ibu?
:selain sejarah kelam dan kekuasaan,
selebihnya hanya tinggal teriakan lemang panggang

IV
apa yang ditunggui ibu di jembatan
sampai tangis tak terdengar
sampai yang tinggal pameo orang-orang rantau pulang
―ka rantau madang di hulu, babuah babungo balun.
marantau bujang dahulu, di kampuang paguno balun‖
lalu yang tinggal hanya kenangan;
halaban dan lumbung kopi
doa dari ibu-ibu kehilangan ratapan
tapi, benarkah ada tumpungan dari halaban
ke lumbung kopi lewat jalur ratapan ibu?

Padang, 2020
Asril Koto

Memo Buat Pemangku Kota

setelah berabab-abab kompeni hengkang


jadi raja jadi algojo di hamparan gunung sago
kubaca sejarah yang ditulis dengan dawat
luntur kesedihan kubalut sendiri
jasad-jasad leluhur tak bernisan
terkubur di luar lobang lahat

tapi sudahlah
sejarah tak pernah patah dari
tangkainya ia akan terus berbuah
batang kopi dan palawija terus tumbuh di
mataku buat hari depan anak-anak tanah rawa

di desember ini
separo abab umur kotaku:payakumbuh 1970-2020

kepada pucuk pada batang kota telah kutulis


memo yang menempel di dinding hari:
bangunan purba dan stasiun tua itu jangan
biarkan menjadi museum dalam kepalaku
dan jangan diamkan seorang turis tercengang dalam ingatanku
ia ingin memborong replika patung
yang tegak lugu tak jauh dari batang
agam tapi seseorang pemandu di situ
membisu
teruslah membangun
aku tak mau batang agam meluap di pipiku
aku tak mau gambar jembatan merah raib dari dinding sekolah

aku juga tak tega


bahwa peluit kereta terngiang
haru di telinga kaum luhak
limapuluh kota
biar ia melaju menuju harau setelah jeda di tepi batang
tabik aku tak ingin
orang-orang lalu bertamasya dalam pikiranku
Boy Riza Utama

Litografi Payakumbuh

— untuk Iyut Fitra

Sebuah kota, empat jam dari sini


Telah mengirimkan getar dan denyut puisi
Menyertai keluh seseorang di kedai nasi

―Kalian melancong ke Bukittinggi


Cuma klakson, asap, dan debu
Tertinggal pada kami‖

— Inilah kota yang kaucintai

Dengan litografi:

Gadis kecil menawarkan botiah Saat


sekali aku singgah—ayahnya Memikul
bungkusan galamai dan kipang
Membuatku teringat kalimat Ipie

―Padi tumbuh tak berisik ...‖

— Ini kota yang juga kucintai

Sampai tiba kesunyian ini:


Bentangan sawah kulalui
Menjelang sebuah rumah gadang
Di tepi alir parit-parit panjang
Kuhela segala yang pergi dan menghilang
Jalan pun lurus
Seperti berujung ke Aie Tabik
Basah tanah
Aku terkenang pacu itiak
Dan di atas bukit-bukit purba
Tebaran hijau
Antara mega, sekeping surga
Meruapkan aroma Harau

Sedang sejarah mengambang di udara


Untuk kuhirup dan kulepaskan
Ke dalam kata-kata

Angin akan segera pula menggusur senja


Lalu malam menghamparkan karpet hitam
Dengan manik-manik peraknya

— Sayang sekali kau tak bersamaku


Di sana

Sebelum aku maklum:


Demikianlah jarak yang direntangkan
Oleh hulu kepada muara

— Kita pun di antaranya


Antara rindu dan bersua

(2020)
Budhi Setyawan

Dari Jalan Tan Malaka Payakumbuh

1/
di kota payakumbuh
memanjang utas jalan
dari pangkal sejarah yang temaram
menuju ke ujung
dari pangkal senyap
sejarah yangdalam pikiran
temaram
kita dengan sehimpunan dialektika

2/
masih ada pertanyaan membentur
batu batu besar yang rapat dipasang rezim
di rute riwayat itu pun berdiri patung patung
penjaga yang teramat bodoh dan seram

seperti hendak meraibkan sebuah nama


tentang ia yang diasuh angin gunung sago
dengan hamparan hutan dan sawah wajah negeri
melatari masa kanak yang rajin mengaji
bermain silat dan sepakbola
menandai getar kemudaan
diturut nada yang terbit dari sebuah biola
seperti gesekan pohon pohon bambu
yang menggeliatkan nyanyi pilu

lihat di ufuk timur langit merah


fajar pagi bangunkan kesadaran bumi
yang kerap lelap diselimuti sisa cerita
remah melankolia masa lalu belaka
bagaimanapun
kita tetap mencari pintu terbuka
bagai arus logika

1
yang harus disuarakan
agar makin berbiak jalan
lempang narasi kemakmuran
dan tak hanya menghuni dunia dongeng
yang makin rombeng

pun ada yang mesti dibicarakan


semacam pertemuan musyawarah rakyat
untuk membaca alamat di masa depan
dan tak hanya pasrah terduduk kelam
di bawah bayang bayang negeri pendiam

bukankah tak ada kata putus bagi gerilya


karena musim musim akan mencatat
setiap golak dan letup perlawanan
akan ungsikan keluh rengek lembek
yang seperti bubur bayi basi

tak ditabukan politik


karena setiap gerak adalah tarian panjang
menetaskan bara yang menyala di ingatan
dan menjadi warna peradaban

dan orang orang mesti pandai berhitung


untuk menjadi ahli ekonomi
dalam kehidupan masing masing

lalu akhirnya kita mengeja


lalu akhirnya kita mengeja
bahwa dari penjara ke penjara
adalah kisah yang membebaskan
sukma untuk membaca isyarat zaman

ke ranah ranah yang menyimpan kegelisahan


hingga sebuah senapan kalap, dor
mengalirlah harum darah martir
revolusi yang memangsa anaknya sendiri

3/
dari jalan tan malaka payakumbuh
demi kemerdekaan sepenuhnya
tetap nyaring kata kata
tetap hidup degup guru bangsa
yang menulis riwayat keberanian
selalu tegak menantang
dan terus bertumbuh

Bekasi, 21 Desember 2020


Budi Saputra

Payakumbuh, Narasi Sebening Batu Pualam

ceritakanlah padaku tentang runtuhan senja merah di jembatan ini,


di tempat yang penuh kenangan ini. sebab di tubuhmu, begitu banyak
menyimpan cinta dan luka tentang hari-hari yang penuh
sekam merah dan siasat perang disiram matahari musim yang nisbi.
ceritakanlah tentang rumah-rumah terbakar, tentang pemuda
yang diberi rokok signet setelah penembakan, tentang tiga puluh
syuhada koto nan gadang, atau tentang nasib zulkarnaini yang berhasil
menyelamatkan diri.

ceritakanlah padaku tentang runtuhan senja merah di tempat yang penuh


kenangan ini. atau ceritakanlah tentang hari-hari lain yang terbuat dari
alunan saluang sirompak, sampelong, dan butiran peluh almanak
yang luruh di sepanjang jalanan kota dan rel yang membujur panjang.

dalam kesetiaan orang-orang yang mencintai kota ini. sejak republik berdiri,
sejak sejarah berlari dalam paripurna jisim abad mengurai lembar-lembar
peristiwa dalam cuaca tropis kodrati. siang dan malam bagai alir tiga
sungai dilintasi segala komoditi,
tungkai-tungkai sapi disiram matahari musim yang meninggi,
logam dan koin bagai penutup limun yang direguk manis
saripatinya, sepuh kilau emas di pasar
yang mulai kumandang, serta tapak ladam kuda berlari
memikul jejak nasib 24 jam berputar dalam alamat dagang dan lurus
jalan ke terminal tempat orang-orang membaca deret
keberangkatan dan kepulangan.

ceritakanlah padaku tentang runtuhan senja merah di tempat yang penuh


kenangan ini. dari belukar peristiwa situjuh dan batang agam yang kekal
mengisahkan ratapan ibu, tarikh itu berkilauan bagai
emas dan merjan dalam tarian cahaya musim berpendaran dalam sejuta
nyanyian, dan dendang panjang orang-orang memikul gulungan
almanak yang bagai berlari dari sehamparan tanah ditumbuhi
gambir dan tembakau.

ceritakanlah tentang bait-bait perpisahan seorang pahlawan di situjuh batur


atau tentang gugurnya kapten tantawi pada subuh hari.
seraya membayangkan orang-orang membacakan bait itu dengan khidmat
dan berteriak panjang dalam tikungan musim dibakar matahari setelah
bertahun-tahun mencintai kota ini.

―payakumbuh dalam potret senja merah, adalah hari-hari yang terbentang


bagai tikar yang digelar dengan racik rempah tersaji.
adalah hari-hari yang sebening batu pualam. dan adalah hari-hari
yang seharum kapur barus dibawa angin dan matahari ke pintu-pintu
kedalaman sejarah diri.‖

dari yang awal mula dihuni oleh tiga orang belaka, maka kota ini bermekaran
bagai mekar putik jambu. dari pahitnya masa kolonial, orang-orang telah
membuang gulungan kain buruk diganti menjadi mahkota
dan jubah usia yang seputih kafan, seputih kapas, seputih cinta yang tumbuh
di sepanjang ladang-ladang keniscayaan.
sebuah stasiun yang jisim nadinya menjelma sebuah toko,
mengisahkan riwayatnya dalam lembar harian pagi dan catatan
perjalanan tentang kereta uap payakumbuh - limbanang
yang melenguh, biji kopi, ternak kuda, dan kandungan emas di manggani.
di luarnya, jalan raya tumbuh seperti kebun-kebun yang dituai hasilnya
atau bongkah emas yang dipikul keledai-keledai dalam panjang perjalanan.

dan di kota ini, siapakah yang berjalan sebagai peramu kata-kata


berkilauan di setiap sudut jalan yang diterangi oleh bohlam pada permulaan
malam hari?
rumah jagal dan toko HM (Anno 1917) masih berdiri kokoh di nunang.
begitu juga rumah gadang kapten tantawi di balai jaring masih berdiri
dalam dekapan orang-orang suku bendang. betapa sejarah terus
merawat dirinya dalam keindahan dan kesederhanaan arsitektur yang
disusun rapi dalam 50 tahun usia kota ini.

ceritakanlah padaku tentang runtuhan senja merah di jembatan ini,


di tempat yang penuh kenangan ini. dalam letih hari berpeluh
dibakar matahari, orang-orang berpapasan membelah jalanan kota dengan
deret toko menyuguhkan aroma harum kopi.
burung-burung berpulangan ke sarang dengan lanskap jubah langit
jingga beserta angin berembus memasuki pintu kontemplasi diri.
sementara di jembatan ini, patung seorang ibu tak pernah henti
menatap keniscayaan alir batang agam
dalam kisah pilu menyayat hati.

2020
Delvi Yandra

LAGU LUKA BATU BALANG

di batang sinama, lagu lama terdengar lagi


dari tukang dendang batu balang
setelah tujuh kali melayari sungai:
titian gantung lapuk, musim habis digisa anai-anai
sariak dan sungkai bertemu disulut api

kopi tandas, pojak sudah sepi seluruh

aku ingat lagi orang-orang pilubang membiarkan angin lalu


di sela tebing, di antara nyanyi gadis-gadis limbuku
dengan ketawa-gurih diperam di sebalik bibir

di angin itu pula sejarah dipiuhkan ke telinga


menyelamatkan lembar demi lembar masa lalu menganga
lewat kerisik pohon di beranda, dari getar kawat-kawat jemuran

aku rindu jerit mesin di heler


lenguh kerbau mandi berkubang
juga sekumpulan anak mendaki bukik bulek

aku ingin tenggelam berkecimpung di kapalo banda


menaiki bendi pasar taram sambil memborong lada
mendengar dongeng-dongeng lama dari atas tilam

aku pernah berdoa di depan bofet pergaulan dengan selera patah


meski nama jalan di kota ini sudah jauh bertualang
ke kota lain; tempat yang bahkan seorang manula belum pernah ke sana
tetapi tukang dendang itu seperti menggores waktu
mengantarkan masa lalu sampai ke pintu
seraya menyiram luka baru:

bau lapik buruk, rumah ditinggalkan dan tersuruk


surau dan rantau bercerai di tanjung pati

lagu lunas, luka sudah perih seluruh

2020
Eddy Pranata PNP

Catatan Kecil Seorang Musafir di Kota Para Penyair

Dengan mata musafir, ia melihat bercak darah di lekuk-sudut kota para penyair-- telah
mengering, menguap menjadi baris-baris puisi berkeringat wangi. ―Aku ulurkan tangan-hati
untuk segala jubah bernama kebajikan, bagi seluruh bentuk ketulusan dan keikhlasan,‖
desisnya. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mulai meleleh di tengkuk. Setelah menarik
napas dalam panjang dilarungkannya semua masa lalu jingga ke deras sungai Batang Agam.
Matahari pecah menebar cahaya sepanjang jembatan Ratapan Ibu. Orang-orang berharap
cemas di sekitar taman seraya menghirup baris-baris puisi berkeringat wangi dengan sukacita.

Seperti orang-orang di kota para penyair; gerak darahnya selalu menyala, kuat dan tak
pernah menyerah sepahit-segetir apa pun bertarung karang-karang hidup, ia; seorang musafir
yang dadanya putih dan lapang ingin menjadi manusia rendah hati, setia dan takluk pada
keagungan Tuhan, selebihnya memang terkadang hanya angin menderu menggugurkan
dedaunan mengering dari ranting lapuk, menggetarkan dinding perih dan sunyi.

Dan dalam diam amat tenang, ia renda kata-kata, dengan segala rentak, petak-petak sawah
menghijau, bukit-bukit di atasnya lengkung pelangi, sesekali angin berkesiur menerpa geriap
marwah kota para penyair: lekuk-sudut kota menggeliat. Bertabur cahaya kata. Dan ahai--
aroma mawar putih mekar. Sedangkan di sepanjang bukit, hutan-hutan, ngalau, kepak dan
suara burung mengabarkan kedamaian turun dari langit kasihNya.

Masuklah ke dalam mata musafir yang selalu berkaca-kaca karena cinta dan rindu. Ia
senantiasa berdiri tegak di jalan lurus. Ia ingin menjadi pohon rindang buat sang pejalan di
terik siang. Ia telah menyimpan batu-jiwa terlalu berat, satu demi satu remukkan, enyahkan,
agar kesunyian-keperihan hilang. Ia, o ternganga, menatap langit kota serupa bentangan
surga. Ia berjalan berderap menarik-narik buhul nasib yang kian erat meneguhkan hari-hari;
bergulat berpulun doa.

Kota para penyair, o, tali yang melilit di seluruh pohon kehidupan adalah semangat cita-cita
yang bisa kaulihat sebagai tangan-puisi menjulur dari langit ke bumi menjuntai penuh kasih.
Kota para penyair, berdenyut sepanjang tiktok waktu mengeras menjadi tajam pisau
menikam-nikam jingga punggung sejarah. Kota para penyair, sisa kantuk di cangkir kopi
telah beku, dan ia, musafir itu sering hanya ingin menikmati embun yang mulai menguap
dengan doa paling sederhana.

―Tuhan beri aku kekuatan sampai ke puncak tangga; kebahagiaan dan cinta kasih abadi!‖

Mata itu mengerjap, sunyi bergemeretap, di tapal-tapal batas telah tumbuh bunga-bunga,
telah mekar baris-baris puisi berkeringat dan wangi. Orang-orang telah menata hati
mencermati setiap dendang kehidupan.

―Bung, apa aku bisa tersesat di kota ini? Terpasung di terjal jalan kepenyairan? Hingga
remuk-tepung kata-kataku. Mengucur darah!‖

Ia terus melangkah, menerabas hujan lebat. Kota basah. Mata musafir itu lama kosong. Tiba-
tiba dadanya berguncang, darahnya mendidih; ia ingin sekali bertepuk kenang dengan Adri
Sandra, Gus tf., dan Iyut Fitra. Ciaaah!

Jaspinka, 2020
Faris Al Faisal

Pajakoembah 1883-1889

: Josias Cornelis Rappard

Di Pajakoembah, telah tumbuh jejeran pohon


dan sebuah jalan menghubungkan sejarahnya yang panjang
ke lembah, ke bukit, bumi dan langit
tempat-tempat yang menyimpan kenang
pada sebuah masa dan zaman
menjadi lanskap terbentang
dan itulah kekasih, itulah kekasih

Seperti di dalam galeri, terlempar kepada imaji


ada momen yang tercipta
seperti sebuah dekapan
jantung berdenyut dan kehidupan berlangsung di sana
lelaki-lelaki itu menceritakan musim yang hilang
sambil mengingat kisah-kisah dari benua
hanya sepenggal keterasingan

Barangkali masih tersedia waktu


menyusuri jalan berbatu dan merawat ingatan
dari semua bahaya
dari setiap perjalanan
bagaimana menyimpan gambaran yang berjejal di kepala
menyerupai depot kopi dan jejak rel kereta
terbujur dengan serenade dan nyanyian padri yang pergi

Dalam senyap, dalam sebuah mimpi

Indramayu, 2020
Halim Bahriz

Riuh Payakumbuh

Sejarah mencatat, selepas tahun 1840 yang suram itu


— ketika sebuah jembatan disulap jadi altar bagi ajal
: berapa jasad yang terjungkal, kepala ditetak biji senapan
atau adakah isyarat gaib pada angin, sebab gelagat cuaca
yang tiba-tiba menjadi lain, sebab mungkin, para tetua
tengah memerah khasiat doa, memohon wibawa tulah
diperlihatkan kepada jagal-jagal kolonial.

Atau seberapakah banyak jumlah anak dan perempuan


melimpahi bahu sungai dengan tangis, menyaksikan arus
menyeret tubuh-tubuh mati sambil menyulih butir pelor
menjadi bulir biji tasbih.

Namun di tempat yang sama, jelang dua abad sesudahnya


— seraya menatap awan ditunggang-ayunkan monsun benua
: bujang-gadis tidak lagi mengenang denyut Batang Agam.
Umpama lidah aspal dan sinyal ponsel menziarahi pintu
dan jendela-jendela gadang, kamera selfie dan ampujari
menyihir mereka jadi inlander bagi diri sendiri.

Patung mandeh terampai di tepi riuh Payakumbuh tanpa


isak, tanpa ratapan yang memperoleh pendengar
meskipun orang-orang berterjunan ke ruas-ruas jalan
dengan kepala yang berputar-putar serupa tuning radio;
menggaris malam-malam vertigo, meninggalkan kelakar
di dekat maghrib — dan semua pagi membimbing belia
tumbuh seperti insomnia sajak yang merantau ke arah
igauan disjoki di lantai dansa-dansi atau pulang
ke dalam dekap mimpi-mimpi kedaluarsa.

Antara galamai dan rendang talua, tatkala selayu daun jatuh


menggoyang segenang lamunan sebuah kota, ada bekas
sebaring tanah rawa kembali berlanyah; sebab sejarah
hantu-hantu yang berjajar di tepi-tepi jalan, menuang tangis
seraya menyaksikan deras arus menyeret jasad-jasad hidup.
Hoerudin

Jembatan Ratapan Ibu

Di Payakumbuh,
kuntum sedap malam
telah luruh.
Masih ada aroma napasmu, pahlawan,
di antara susunan batu merah
dan jalanan yang basah.

Di sini
aku tahu aku cuma perlu menjaga,
cuma perlu mencintai.
Seorang nenek tampak tengah bercakap
dengan suaminya
di samping patung seorang ibu
yang tengah meratap.
Dan angin menepi di sudut nagari.
Dan lampu-lampu mulai berpijar.

Kurindukan Napar.
Firdaus bagi pecinta.
Sebab gerimis tak kunjung tuntas.
Bertutur tentang Bukit Barisan,
tentang utara sebuah kota.

Pahlawan, hujan pergi


meninggalkan tubuhku yang nyaris beku
oleh dingin yang menghambur.
Aku menunggumu tiba
dari ranting-ranting surga.
Masih menyimak
percakapan seorang nenek
dengan suaminya
yang mungkin telah linglung.

1
Kulayangkan pandang
ke arus sungai Batang Agam.
1840 telah berlalu jauh.
Jemari petani kini memanen syukur di
sawah di ladang.

Biji hujan membawa ruap hutan dan


genitri ke tubuhku yang renta. Pahlawan,
pada musim
yang bersulih benih kabut

di Payakumbuh ini, jiwaku direntangkan di atas


zaman yang mengalir.
Menjadi penghubung matamu
dengan seorang anak kecil
yang bermain di kaki Gunung Sago.

2020
Hudan Nur

TAMBO NAGARI AIE TABIK

batu-batu mengkremasi dirinya dalam dinginnya ingatan. kun! jadilah pelarian


waktu lewat jembatan ratapan ibu. aku pernah mengulum hujan, menanti nagari
menebus memoar masa yang lingsir dari kutukan waktu.

kami belajar mengitung gerimis yang luruh di genangan air mata. kelaluan masa
yang melindas kenangan, aku duduk bukan untuk menghapus ingatan. aku
membaca wajah hari yang pernah singgah, aku membaca gudang kata – kehidupan
yang membaiat nadirnya bagi luhak limo puluah.

batu-batu mengecup azalnya. aku saksikan gaun lumut yang tak sempat kau
kenakan menjadi zirah, kesaksian yang nun. akulah perempuan baya, yang terus
menjahit artefak nagari. batu-batu tumbuh di kepalaku, hujan menyiramnya jadi
rumbai-rumbai sajak. memeram rindu yang berembun.

kami larung cerita di sungai batang agam, aku tulis janji-janji manula lewat kapal
kertas di batang lampasi. aku hanyutkan segala rasa, masa lalu nagari kuartal sepi
yang gigir menubir di batang sinama.

kau tahu? akulah yang menjunjung kesetiaan batu-batu pada waktu. agar rindu
selalu membiru.

Banjarbaru, 22 Desember 2020


Ikhsan Risfandi Zetry Iminy

Rindu (Payakumbuh, Saluang dan Talempong)

Rinduku pada Payakumbuh


ialah sendu dan hamdu yang lama tumbuh.

di waktu lampau
Pak Gaek pernah bertamasya
mengajakku serta
berkendara Charade tua.

dari kampung Payung Sekaki


di kaki gunung Talang
dengan hati gemirang
hendak bertandang ke Lima Puluh Kota.

Pak Gaek amat tahu


kegandrunganku pada musik nyata adanya
maka ia membawaku ke daerah Taeh.

"Kau suka musik bukan?"


"sengaja aku ke sini agar kau tahu bahwa"
di gelanggang ini, sebentar lagi
ada musisi pemelihara tradisi
beberapa jejaka akan meniupkan
dendang Saluang Sirompak
diiringi oleh ritmik dentang Talempong

barangkali alunannya
tak lebih lihai
dari Flute Dave Valentin
pula tak membelu-belai
dari Klarinet Herbie Mann

tapi bagi kami, suara magis


pentanada Saluang dan dentang Talempong
ialah mantra mujarab penawar
rindu kami pada nagari,
kampung yang kata orang jauh di mata.

"Den suruah sirayo setan, jagokan adiak den tidua,"


terlantun santun lewat sukat 3/4
membuai jiwa dengan ciamik
membelai raga dengan dinamik.

Rinduku pada Payakumbuh


ialah sendu dan hamdu yang lama tumbuh.
akan selalu tertanam dengan kukuh
hingga akhir hayat, maut merubuhkan tubuh.

2020
Ilham Ardiansyah Saragih

Si Bungsu Payakumbuh
:Kercut Penunggu Rawa

Harau,
Riuh-riuh terjun menghabisi tanah keras.
Pekik-pekik air terdengar, mencacah diri kemana-mana.
Gemuruhnya berlarian di atas bukit, Terdengar juga semuanya.
Sampai kisanak hapal kicaunya, bergrilya jatuh dari pundak Tuan batu.
Masih segelintir dari ribuan anak nakal macam dia.
Harau! Teriak saja Harau!
Sempena.

Petuah-petuah asik bercerita kepada anak-anak ingusan macam kita.


Kata mereka tanah ini dahulu adalah penguasa, Afdeeling.
Dahulu tanah ini pusat sosial masyarakat.
Si bungsu yang begitu kuat.
Bangga mereka belajar angkuh.

Rumah-rumah bertanduk itu juga tertawa, pintu-pintunya terbuka.


Jedela yang tak terhitung terbuka.
Fajar bertamu mengisi seisi ruang dalam tubuhnya.
Sampai bergetar kaki-kakinya.

Di belakang rawa-rawa.
Lalang-lalang asik bercerita dengan rumput liar.
Kepada katak-katak ribut, mahkluk-mahluk rawa.
Mereka habiskan petang seraya tertawa.
Aneh, nama mereka disebut-sebut.
Rawa-rawa itu kena sebut.
Rumput-rumput itu juga kena sebut.
Mereka yang beranak-pinak di jadikan nama oleh penguasa dataran rendah.

Musim hujan di rawa tanah datar.


Mereka lahir menjadi sebuah tanah dengan sejuta kenangan.
Bungsu dari 3 bersaudara.
Kota kecil dengan sejuta nuansa.
Payakumbuh.
Puisi dari tinta yang tengah rindu.

Berastagi, 9 Desember 2020


Isbedy Stiawan ZS

DI AMPANGAN:
IHWAL KENANGAN

di ampangan
kita berhujanhujan

senja jatuh bagai halimun


kita daki ke dekat awan
orangorang jalan bersisian
ingin sampai juga pada hujan

di kepala para ibu segala sajian


para uni menenteng lamang
— masih dalam batuang —
dipersembahkan untuk tuan
yang telah diundang

dan aku, hanya memandangmu


rambut sebahu senyum merah dadu
melangkah di sebelah
membelah riuh
menghitung setiap yang galau

di bumi payakumbuh, kekasih,


kita hapus segala selisih
kita junjung petitih
―hapuslah itu sedih,
hapus.‖
kau datang ke sini karena rindu
kuundang pada malam
yang sudah kulupa nama hari

tapi, di ampangan
kita berhujanhujan
tubuhku gigil
bibirmu kelu,
kupinjamkan baju tebal

―bawakan obat
untuk menggetarkan
bibirku,‖ pintamu

di ampangan orangorang
menjelma jadi hujan
datang dari langit
menuju ngarai
ke hutan hitam

sampai malam bergelantung


di antara jakun, parasmu
meliuk dalam anganku
ingin pula menari, mencintai

sampai kuyup ini bibir


hingga jadi batu
: seonggok tubuh di pantai

―aku bukan malin


dalam kaba itu.‖
―aku bukan istri lelaki
yang dikutuk jadi batu
sebab aku kesepian
maka datang padamu
— menyerah pelukan
dan kecupan — hujan,‖
balasmu,

setelah senja
hujan habis
orangorang riang
selalu kau pilih di sebelahku
ingin merayakan tarian
ingin menghabisi lamang

―bawakan aku keripik sanjai


pedasnya akan membawaku
padamu, jemarimu, piipimu,
ampangan yang membuatku
tak mau pulang. ingin selalu
berhujanhujan denganmu.‖

di bukit yang lain


kau dengarkah ratap;
―bertemu lagi di sini
Cinta!‖

ya, ihwal kenangan


sangat mengekal

17 Desember 2020
Itov Sakha

AKULAH PAYOKUMBUAH

selayak dalam roman, sebutlah payokumbuah


: alur nasib berkelok, berlembah
sejak leluhur meneroka rimba
dan semula kelahiran orok, derit
pintu surau, hingga gelak-olok terbit
di antara payau, batuang dan julang nyiur
tidakkah --- di jantung kisah dan bibir kota
kaubasuh marka diri dari guyur
sejarah, kampung-rantau, dan cinta

hikayatku seperti berbaitbait puisi


mewadah: nikmat-derita dipapar,
direguk dari tuah bunda. matahari-bulan
di balik sasak bugih berjarak adat, petuah mengisi
o dara dusun-nagari! pisah-lepas jantan diantar
ke cakrawala. bunyi-rima diaduk beruntaian
tidakkah --- di gelanggang atau lingkar hayat
kau menikmat pahit manis secawan makna
walau pedar kesunyian menyayat?

serupa rahasia yang tersipu


o datuk dari taeh baruah
ninik dari situjuah limo nagari
hingga kilau mutiara dalam buntalan itu
:“...kami sudah coba apa yang kami bisa
tapi kerja belum selesai...”*
masihkah kau keluhkan
segenap tonggak dan panji
yang lesat dari rahimku?
daundaun tua gugur di tapal bekas stasiun
seiring lafas musikal senjakala. namun
riang gestur tubuh malam dikoyak satir-
pilu dari sayup saluang yang kesepian di
hulu
o bila tunas usia dilantak tabir kanal
algoritma, dan laju roda karnaval
--- sampai pasi layu jiwa kekasihmu
: siapa melupa denting dawai-Nya
demi sinyal-gawai degup bertalu

akulah payokumbuah, serupa esai


yang belum usai. sejak canda kekanak,
bermain pelepah pinang dan riak sungai
--- aianyo joniah, ikannyo jinak,
buayo daguak putiah penjaganyo
: alir dan endap imajinasi puitik-prosa
gerak massa bagai anyaman lapiak
menggeliat di seluk Ibuh. menderas peluh
dari dusun ke nagari, ke kota

merayap-bertumbuh
selembut binar bumi kepada petani
selembut hasrat hara kepada pembuluh
sesuka payau bagi kumbuah
sehangat sahabat taragak segelas kawa
mande! betul amak-abak, sesekali
mereka meracik nyali
seperti adegan roman, berjalin
pelik, tandas. atau seperti irama cadas entah randai
sebab lekas berhangat-manis bak galamai
--- tagang bajelo-jelo, kandua
badantiang-dantiang
lenguh nikmat
merona di puncak majas

serupa jembatan, akulah payokumbuah


: rentang silam dan arah masa depan
tiga batang membelah. semula nagari aie tabik
dan sirih bersusun, enduslah bau kudapan
batiah. pangek cubadak, gulai paluik tersaji
setulus alam, ini jiwa menyambutmu, duhai
--- anggang nan datang dari lauik, tabang
sarato jo mangkuto, seelok liyan adat
dipakai baru, jikok kain dipakai usang

selaras-harmonis di puncak majas


akulah payokumbuah
sesungguh kaunyalakan suluh
pada empat arah mata angin
semistis aksara dan ritmis pena
--- tak hentihenti.
aku
mengabadi. kecuali bila tambo,
gonjong rumah atau rakrak buku

: sudah beku pias dalam kalam-Mu

20122020, Tugu Sastra Siantar

(*) Penggalan dari sajak Krawang Bekasi, Chairil Anwar.


Jemi Batin Tikal

Rindu Mendarah Daging


: Kepada Ibu yang Menunggu

Aku akan pergi


memunggungi sayu wajahmu
langkah dan keinginan tak bisa ditebak
arahnya
ingatan perlahan memudar
kota berwarna sepia
kenangan: satu-satunya jembatan
menuju masa lalu.

Kesedihan tumbuh di dada


mata serta bahumu
yang karib dengan maut
kedua lenganmu yang luput
tak bisa menahan segala
banyak hal telah terenggut.

Kemudian hanya suara


tersisa
berulang dan gamang
memukuli dada
aku pun paham
sepi merundung
di tahun-tahun murung.
Bahasa mengental
dalam sunyi kekal
semua yang memiliki nama
kuburan bagi makna dan peristiwa.

Aku akan pergi


kembali adalah hal lain lagi
tak ingin mengulang jalan sama
selanjutnya persinggahan
tertinggal jejak
di punggung Bukit Barisan
sebagai sejarah
noktah darah.

Menanti, teruslah menanti


sepanjang lengang sungai
rindu yang dikirim selalu
pada riak-riak air dan batu
terlepas jatuh
ke kedalaman Batang Agam.

Pada lekuk liuk dan sudut penjuru angin


Payakumbuh mulai tumbuh
melintas
membayang wajah
menghunjamkan pilu

ke palung jantung1
Ibu.

Yogyakarta-Bangka, 2020

1 Untuk mengenang para Ibu yang menunggu di ―Jembatan Ratapan Ibu‖


Kurnia Effendi

Negeri Para Penyair

Di sini darahmu bermula, Jalang!


Di rumah gadang Suku Sipisang
Terus mendaki sejak Padangpanjang
Melewati kaning Bukit nan Tinggi

Biarlah yang tua dan lesi ini


Mencari pusaka dari tuah puisi
Aku nyalang menjadi saksi bagi yang mati
Namun sesungguhnya kami menumpang
Hidup – merebut udara – dari namamu

Ketika selembar radiogram diterbitkan, sebentang


Lahan diluaskan. O, syair sihir para penyair
Patah tumbuah hilang baganti
Payokumbuah tak hilang pun berganti

Pada sore yang likat saat suhu 26 derajat


Tiga arus sungai bercerita dari rahim hulu:
―Akar Nagari Ale Tabik, jalinlah rotan
handai tolan,‖ ujar Batang Agam memulai.
―Selalu dirundung rindu jembatan ratapan
Ibu,‖ sedu Batang Lampasi melanjutkan.
―Seduhlah kopi tak secangkir-dua, sebukit
Sekalian alam,‖ janji Batang Sinama di akhir kisah.

Dan kami duduk di hadapan paniaram, botiah,


beserta galamai, disela martabak tolua
Sejak azan zuhri hingga ashri yang sendu
Bak saluang ditiup napas muazin – senandung
Tauhid masjid tuo Koto nan Ompek

Angin pun menderu dari Lembah Harau


Telinga dan jiwa saling menampung haru
Ah, sajak tak lagi jinak bermain lompat petak
Mana kata siapa luka luput dari pena?
Namun tak putus lahir para penyair
Mengikut takdir mata air ke hilir

Ingatlah selalu detak nadimu, Jalang!


Senantiasa memutar balik zaman
Meminang Minang di kaki Bukit Sago
Satu rusuk dari tubuh yang terbaring panjang
Di alas Andalas penuh tilas

Uluk salamku ke Puncak Simarajo


Pada setiap rantau dan saban kesepian
Ziarah kami merjan yang terbantun pantun
Ditulis tak habis dibaca tak renta

Jakarta, 2020
M. Habib Syafa’at

Memorabilia Kota setelah Badai

Kami datang setelah banjir. Setelah hilir berpenghuni


Setelah badai mereda. Setelah tenggelam para arwah Kami
meratap menggugat malam-malam persembahan Menunggangi
kota ini dengan hentakan kaki pendekar Randai Sempoyongan
dibuai seribu tangan leluhur Nagari Seribu Menhir hilang dalam
lalu-lalang kerumunan roh nenek moyang
Ketika pagi datang, akan kembali dibangitkan peristiwa kami
dari secangkir Batang Agam. Sebagai upeti kecil
bagi kematian. Kami telah menjadi kenangan terpantang
Hanya dikisahkan ketika sungai memoar kelam menerjang
kokoh tubuh Ratapan Ibu. Banjir garung darah juang
pada kilauan merah tubuh biji-biji kawa. Pagi ini
mungkin kami hanya kesementaraan. Mencuri waktumu
hanya untuk memberikannya kembali padamu di lain hari
Seperti lahir, dan mati, lalu hidup kembali
Atau, mungkin kami telah mencuri kesementaraan itu
Ketika mabuk digelonggong peristiwa, lalu
Menggaibkannya di atap Rumah Tan Malaka, berharap
sejarah kota bisa menjadi putih kembali
Mungkin tak akan ditemui lagi dalang pendatang perang
sebab kami telah lebih dulu membawa pelarian luka panjang
para Syuhada ke kota ini. Setelah pengorbanan diperah
hanya akan ada bungaran sari getah bayi. Setelah tumbuh pepatah
petitih. Nama anak cucu kami akan ikut menua dan tumbuh

Menjadi markah kejayaan Payakumbuh


M. Rifdal Ais Annafis

Payakumbuh Mengapung di Kanal Prinsengracht

Kembali aku temukan pinggiran Prinsengracht di dekat


bibirmu, Noviantini selepas ruh-ruh menggambar nama kecil Dutch Golden
Age dengan kaku
lalu jembatan yang menyusun pertanyaan, dibangun. Nagari Aie Tabik
seperti besi-besi dingin Noordekerk yang ragu: tak memercayai doa-doa
(Kota-kota kecil menyangga arah angin, terhubung lewat batu-batu
yang mengekalkan jarak mencium aroma kedap pernikahan kita)
Maka sejauh tanah asing –setidaknya untuk kami- Luhak Limo Puluah
mencuri hasrat orang-orang Kanagarian Koto Nan godang dari lembah-lembah
atau mungkin bagian-bagian kecil bukit Barisan, bunga-bunga menduga bahwa
kami adalah sepasang kaki gunung Sago yang kabutnya mengaburkan janji lama
: sepasang usia tertaut tradisi-tradisi moyang Melayu

Kemudian setelah hari-hari mengelupas


Payakumbuh sebagai arsitektur murni Nusa-antara dihanyutkan dengan kapal
tenang membelah anggun Prinsengracht menuju bagian kiri Anne Frank House
sebuah tempat eksekusi benda-benda kuno dari permintaan kekal wisatawan

Sedang kita, Noviantini –kau seperti perempuan lain dalam balut Tingkuluak-
memanjangkan nasib sebagai pemeluk dosa-dosa ekspansi kolonial yang
dipercaya tetua kampung untuk mengambangkan nyawa-nyawa imigran Eropa
tapi sayang, identitas murni membungkukkan punggung pecah dalam kepala

Lalu, -sebaik baik pasang kekasih- kau membicarakan kerlap-kerlip lampu


di daratan paling tenang Amsterdam kota, membayangkan memetik satu
untuk memerangi kesumat dendam di sekujur tanah Kanagarian sana.
―Ah, Biarkan aku mencintaimu perempuan Payakumbuh
Sejauh kota-kota dalam balut doa rendang sebelum perjamuan.‖

Sumenep, 2020
Meifrizal

Payakumbuh Dalam Puisi

Luruihlah jalan Payakumbuah


Babelok jalan ka Andaleh
Dima hati indak ka rusuah
Ayam den lapeh, ai ai.. ayam den lapeh*

penurunan ini
kita mau ke mana?
kabut, di bawah juga berkabut?
dari Bukittinggi ke Payakumbuh
sepanjang kenangan, kolonial dan peradaban
inilah kota batiah dan galamai
kota lembah dan ngalau
perbukitan dan gunung
dendang
―uni, tolong dendangkan kisah kami
biar dingin malam menyelusupkan ke dalam mimpi
kisah gigilan hidup dan tangis kami
kisah cinta dan perantauan
kisah rindu kami‖

kota ini
32 kilometer dari Bukittinggi
aroma kuliner nan aduhai
randang talua pangek cubadak
itiak lado hijau
tambuah ciek!
dari tiga penghuni pertama
dari Pariangan rombongan pengelana
Payakumbuh kota tua
Gunung Sago saksi mata
―Sijobang, mana Sijobang
mana Anggun Nan Tongga Magek Jabang‖

Payakumbuh kota nan ramah


kota yang tumbuh dari sejarah
sejarah para tetua
aianyo janiah ikannyo jinak
―Tuan, Tuan mau ke mana?‖

(21.12.2020)

*bait pertama dari lagu ―Ayam Den Lapeh‖ ciptaan Nurseha dan melodi oleh Abdul
Hamid (dari berbagai sumber)
Milatul Maftah

Kontemplasi Kemarau

/1/
Debur ombak selatan membawamu bertualang pada jagat raya di genggamanku. Sesekali kau
intip lembah dan sungai yang mengalir di dadaku, membawamu jauh melintasi hutan yang
melilit tubuhku.

Sementara pagi membaptis pelangi, di kolong langit, bocah berambut ikal meramu do‘a untuk
semesta, menabur mantra sebelum menikmati mentari di ujung cakrawala. Sembari menikam
hujan di bawah pohon randu, tubuhnya menjelma Semeru
―sampai kapan kudekap ilalang dan bara, mengulum matahari yang memar dan senja yang
hampir terbakar?‖
Teriaknya pada semesta.

/2/
Langit timur bergegas gelap ketika musim menjadi gelisah dan senja hanya pasrah menatap
lembah-lembah yang menjelma lorong-lorong asap, sesak nan pengap. Menjelma liang-liang
luka, ceruk busuk tempat mereka mengeruk tahta.
Kau susuri rawa-rawa yang tak lagi lembab, menghabiskan waktu bersama kenangan,
menabung sisa-sisa air mata di sepanjang bukit lalang dengan bocah-bocah yang merimbun
dibalik mendung.
―Inilah semesta tujuh lapis yang kubuat dari lumpur dan abu tubuhku‖
Bisikku mengeja sempena alam.

/3/
Akulah rahim paling sunyi tempat para Ksatria menabur benih
Agar pulau-pulau garam tetap mengkristal abadi sepanjang perih mentari.
Kini kenari-kenari enggan jilati tubuhku yang Raflesia
Tersebab dadaku yang dahulu rindang telah kerontang,
Tersebab air mataku yang dulu adalah kehidupan bagi hijau rerumputan
kini menjelma luapan samudera kecemasan.
Ah, Tuhan. Hijaukan kembali dadaku yang kemarau.
Muhamad Irfan

Ke Hilir ke Mudik

Ke hilir, ke mudik
berdarah kematian 40 malam ia
siraja ‗kan diseraya
tengah malam berbunyi kesunyian
di bawah puncak bulan, di hening bukit barisan saru
segala yang di ujung tanjung sekalian sati ditiupkan
buluh yang seruas
tengkorak kepala diputar di rentangan benang
didendangkan puan yang si miang-miang rimba.

Hu, u. Hu, u. Hu, u uik.

Sijuntai malam, sijuntai bulan


berjuntai-juntai datang kini-kini
juntai nan dipanggilkan dari sekalian munggu
bukit-bukit berpancung putus
koyaklah kafan dalam pusara
jaga malah engkau mambang hitam, mambang putih, mambang merah.

Angin berhembus, darah tersirap, rambut terkibas


semak bergoyang-goyang, tiupan kian melengking ke jantung sunyi gasing
mendengus-dengus
dendang mengisak-ngisak.

Sentakkan ia dalam tidurnya, maka bantal pelepas tangisnya


sandarkan ia di dinding yang menggadang, maka merasuk ke dalam teluh kasih tak
rompak di darat, di air jadi tuba
tiba di tanah hilang akal, tiba di angin jadi rasian
bawa malah puan kemari.
Hu, u. Hu, u. Hu, u uik.

O, tuan:
badanku lemah bingkai
arwah pergi dari badan
bertemu malah
ke obatnya, tuan!

bantal malam, selendang siang


meraung badan tak terpakaikan lagi
telentang-telungkup meronta gamang
mambang masuk membelenggu relung hati.

Kupetik-petik daun si pulut-pulut


pengganti si dingin obat di kepala
terngiang-ngiang ucap bibir puan bercarut marut
sansai ingatan tiada berila.

Puan jua kataku


tiadakah puan seperti perempuan yang digambarkan lembutnya bidadari?
eloklah puan tidak menggapai langit tinggi
jika kepak sayap akan berpatah haru.

Hu, u. Hu, u. Hu, u uik.

Pariaman,2020
Muhammad Badrun

Ritus Bukik Bulek Taram

angin subuh menguar dan terhampar di atap rumah orang-orang tanah nagari. seperti
kepulan tanak nasi yang diaduk oleh tangan seorang ibu di pucuk periuk, halimun
mengambang turun tipis dan melandai menuju lubuk rawa yang lama berhiatus dan
seperti alimunan bukit yang diam: ia debamkan kutukan menuju karam terdalam.

segerombol belibis mengitari perbukitan, mengajak kekanak mereka memetik ilham


dari kedua sayap yang membentang, melesat ke tabir senja dan istirah di tubuh rawa.
mata belibis merekam jejak air deras mengalir ke kebisuan yang beku, hingga tampak
kecipak ikan-ikan yang berlepas dari rahim telur setelah ribuan musim menjadi samadi,
memetik hasil bagi perjamuan malam dalam sarang yang hangat.

sungai menjulur seperti tubuh ular, yang heningnya menyimpan ribuan mantra dan
pesona, lalu orang-orang dililit sanggama percumbuan hingga gelinjang ke puncak
batas cakrawala. o, kaki bukit sepenuh wingit, buncah udara nyalangkan mata. pun
berkelok-kelok lebuh bagi perantau yang lelah bertaruh.

sepinggan manis paniaram racik tangan tetua, cukup bagi bekal bermain gadis-gadis di
lereng ngalau. sesekali lepas penat berkuai suara di riak air, dan memutarlah tubuh
bianglala sampai petang tampak magenta. sedang bujang-bujang membawa pulang
tangkapan ikan, dari pengail yang lama menggigil.

dalam temaram, dalam pecah sebuah malam, sebongkah bukit menaruh ribuan awan di
kepalanya, segala yang mengular ia tarik agar tak sasar, segala yang limbung ia simpan
dalam palung lambung membumbung. tubuh tinggi dan terjal adalah hikayat yang
poyang: sebagai babad tanah ramai peziarah.

(2020)
Muhammad Ibrahim Ilyas

SENANDUNG RAWA

Ibu meratap dan kurun menyekapnya: kau dan aku adalah labuh yang bersilang itu.
Jembatan senja menyeret tangis ibu sejak ibuah ke labuah baru, menyeberangi aroma
kari mami, lalu secangkir kopi di singgah depan toko buku yang sekarang sunyi.
Alangkah isaknya kenangan. Malam akan selalu lebih merdu karena sedu, entah
kapan kau mengatakan itu.

Biarkan saja langkah kau dan aku menjejak koto nan gadang, bunian, padangtangah
atau situjuah: basicontiak atau menyudahi malam sandiwara sepanjang pondok batu
bata dan ladang pepaya. Ya? Kau dengar sayat siung sampelong? Ingat dinihari dalam
kayuh sepeda karena rindu akan melilit ketukan kotak korek api, gaung talempong
dan sayup pupuik batang padi. Hep ta! Tepuk galembongmu, kali ini tak cukup waktu
untuk ke guguak, pandam gadang atau sungai rimbang.

Ayo, jangan berhenti menjejak. Kau tak akan ketemu chairil, tan, syafruddin atau
jamaludin. Nama-nama sudah menjadi baju baru, bisa dicuci, dijemur dan disetrika
lalu boleh kau pakai mana suka atau gaya mana. Kau bisa menyebutnya sebagai
sejarah, persona kepentingan atau sekadar bualan pacar lama. Begitu pula wadah
tempurung kawa atau cawan nira. Isi saja! Kau dan aku bisa meminumnya,
berbincang tentang dusta, sastra atau debat kusir tak berkuda.

Sejumlah impian sudah ditanam: situs dan artefak penanda, banyak menhir dan ribuan
makam tak bernama, menubuhkan impian cita-cita dan prasangka, melampaui
keakanan paya dan rawa. Memang baik kau dan aku tak usah bicara hari dulu, lembah
harau sudah diabaikan kupu-kupu, bareh randang dan galamai dihapus dari menuku.
Tembakau? Beliung asapnya masih di udara karena sabai belum selesai bengkalai.
Rawa kau dan aku akan memadatkan peradaban ini.

Ibu meratap dan kurun menyekapnya: kau dan aku tetaplah labuh yang bersilang,
mengalir tak henti, walau tak jadi puisi jadi.

191220
Nanang R. Supriyatin

SOLILOKUI, KEMBALI AKU KE PAYAU NAN KUMBUAH

Uda dan Uni merantau ke kota-kota


Membawa cinta nenek moyang mereka
Mereka yang terasing di kota
Menyambangi Payau Nan Kumbuah
Karena ada jejak-jejak kultur, kuliner serta kuasa ilahi di sana

―Aku memilih pergi ke kota hanya untuk melihat sebuah patung


yang berdiri tegak, tanpa tahu siapa pembuatnya.‖

―Mozaik terasing dari serpihan kaca yang kemudian berlumut,


menempel di dinding-dinding ialah jelmaan dari nenek moyangku
yang ribuan tahun berkelana dan mati tanpa nama.‖

―Adakah noktah bercerita tentang batu-batu dan kerikil dengan kalimat


syair Madah Kelana?‖

Berkata seorang pematung yang memahat tubuhnya, di tengah kota:

―Ijinkan aku hidup mengakar di antara relief dalam tubuh batu-batu


yang terus tumbuh di antara rumah tradisi -- dalam kelam ruh dan
cahaya kota…‖

Maka berceritalah patung-patung itu dalam kebisuan kota


Di antara Lembah Harau, bebukitan, Jembatan Ratapan Ibu, serta
Kedai Nasi Nanak.

Mata Uda dan mata Uni menatap jauh ke tanah leluhur


Tempat yang selalu abadi bagi tubuhnya yang kian renta.

Jakarta, 12 Desember 2020


Nanda Satriawan

Kota Biru ini

Tak pernah terlintas walau semili


Aku akan bercengkrama dengan kota ini
Kota dimana kebahagiaan menggelayut di setiap tempat
Kota dimana kemakmuran berlari kencang menembus sekat

Disini di kota ini


Bukit barisan duduk indah mengitari
Kokoh tersenyum menjaga kota ini
Batang agam mengalir lembut
Bersamaan dengan batang lampasi dan batang sinama menyambut

Di sini di kota ini


Tak pernah ada kesedihan
Satu gigitan beras ketan dicampur gula aren yang mereka sebut galamai
merontokkan habis seluruh kesedihan
Tersapu hanyut tak berbekas
Tak berbekas karena dalam setiap gigitan
kalian siap berdamai dengan kesedihan

Di sini di kota ini


Bulir bulir ketenangan terajut indah
Bulir ketenangan orang-orang yang taat
Taat kepada Tuhannya
Ketika panggilan Tuhan itu menyeruak
Berbondong orang-orang melayani Tuhan mereka
Bergegas menuju rumah Tuhan
Apalagi yang membuat tenang selain menomor satukan Tuhan?
Kutemukan hal-hal hebat dikota ini
Kujumpai moment-moment menakjubkan
Di sini di kota ini
Payakumbuh orang-orang menamai
Kota Biru aku suka menyebutnya
Ni Made Rai Sri Artini

Tubuh dan Kebayamu Kini Sembunyi dalam Detak Jarum Jam

Dan kau datang


Melintas selembut angin
Kala gurih batiah lebur dalam liur Kau
datang dari bulan-bulan keramat Menyalak
lebih keras dari deru mesin-mesin

Lalu aku menandak menari


dalam gurih manis yang tak tertahankan
Keping demi keping batiah lebur
Seperti tubuhmu yang lebur dalam genang kenang
Bercumbu dengan lara bara

Kini di sudut Kota Payakumbuh


Aku duduk kembali menikmati kepingan batiah
Hikmat seperti menikmati hosti
Sebuah mimpi telah selesai
Karena aku merayakanmu, khusuk
Di celah waktu yang retak
Lalu tangan-tangan gerimis mengoyak rinduku
Yang telah menjelujur rapi di rahim kotamu

Untuk kesekian kalinya senja jatuh


Mengerang, serupa butiran beras ketan
Mengerang digerus segugus gigi
Kau bukan Drupadi lagi
Yang setia pada janji
Dan aku bukan Yakub yang sedang menanti Rahel
Telah aku susuri kota dan bayangmu
Mengabarkan bahwa ini telah cukup
Sebuah dongeng telah rampung di meja saji

Telah kuputuskan merayakan deru sunyi,


Kering asin,
Manis dan gurih, sendiri
Sebab tubuh dan kebayamu kini sembunyi
Dalam detak jarum jam

( Tegaljaya, Desember 2020 )


Norham Abdul Wahab

Luka di Mata Perempuan Tua


: kepada payakumbuh

ia bak perempuan tua renta yang kini membenci


kepergian; kebanggaan lelaki warisan
mengais-ngais tanah titipan negeri dengan kuku
jemari sendiri; berdarah dan kesakitan

payakumbuhkukah yang terisak di sempadan


aei tabik, di ujung jembatan ratapan ibu itu?

di matanya, ujung jembatan ratap itu, ada tujuh larik sayat


luka enam telah kering, terpejam dan lebam:
amis darah pejuang yang hanyut di batang agam
alunan saluang senandung bundo saban malam
satu masih sisakan darah, sempat menetes ke tanah:
randai padang alai, siasah cinduo mato nan lihai
airmata yang membuntingkan butir padi di sawah

“tapi, anak kemanakan masih saja pergi, tuan


mata ini tak kuat lagi melihat; akan membuat kata-kata
semakin terluka; kitab-kitab berdebu dan meratap.
stasiun keberangkatan itu penuh sesak, berdesak-desak
mereka berlari berlomba menuju kilau fatamorgana
jalan pulang itu semakin lindap, tak tampak di mata”

hei, bukankah kalian telah mencium harum asap


danguang-danguang dari rahim bundo kanduang?
di telapak kaki perempuan tua renta itulah jalan pulang,
lebar terbentang
walau berselemak berkubang kucah lumpur dan debu,
ia suci, tak perlu syahadat dan wudhu lagi

MBoro, 2020
Novi Nur Islami

Jembatan ; Ratapan Ibu

Jalan yang menghubungkan antara kenang dan rindu


Membentang di atas air mata ibu
Bagaimana tidak,
Di bawahnya mengalir darah
Harumnya menyemerbak di kelopak dada

Peluru-peluru kecil hingga yang tak beraturan ukurannya


Menyaksikan luruhnya hati yang sedang memperjuangkan doa
Eksekusi gugurnya cinta semakin menguatkan dasar luka
Duka yang meriapkan angkuh di kepala bala tentara

Satu kali tembakan meringkus banyak tawa


Meniadakan bising menjadi diam tak berkala
Tak ada yang meretas senyum
Hanya isak arus di mata ibu makin mengubun

Sumenep, 06 Desember 2020


Ragdi F. Daye

Tak Ada yang Lebih Asing

Kau mengenangnya ditemani lagu-lagu patah hati


dan segelas latte macchiato di sudut lengang kafe
yang desain interiornya lebih suram daripada kesepian.

Orang-orang di sekelilingmu membungkus diri


dengan balon tembus pandang yang tak bisa dijangkau.

Tak ada yang lebih asing daripada menyediakan diri sendiri


menjadi siluet eksotis untuk dinikmati para pelancong
yang lupa di mana telapak kakinya pernah berpijak.

Menjadi tirai tingkap yang dilukisi kisah romantik


heroik masa lalu agar memorabilia menjadi sempurna
untuk dijajakan ke ujung paling pikuk dunia.

Mengenakan berlapis-lapis baju musim dingin


di bayang-bayang tebing legam yang menyembunyikan
cokelat tanah kulit tropismu, tawa canggung tertahanmu.

Tak ada yang lebih pedih, Ipie, selain mati


tanpa makam untuk ditaburi rampai oleh kekasih.

(2020)
Rahmat Ali

BERMAIN SEPAK TEKONG

Tong, tong, tong


Teriak anak-anak main sepak tekong
Ramai-ramai gembira di tengah hari bolong
Panik dan amat guguplah penjaga kaleng kosong
Para penendang tak perduli terus lari teramat sombong
Meremehkan yang kalah di belakang dalam kondisi terhoyong
Kaca para sopir, tukang becak, pengendara truk dan kusir andong
Marah memaki-maki sedangkan anak-anak terus tendang kaleng kosong
Sesuai aturan penjaga di lingkaran seharusnya sangat waspada
Diintip anak-anak lawan main di persembunian yang ada
Begitu penjaga lengah muncullah dengan tiba-tiba
Ke lingkaran tempat tekong yang tak terjaga
Luncur bebas tertendang ke jalan raya
Kerontang-kerontang tak terhingga
Penjaga dipercundang merana
Keringat semena-mena
Lawan tertawa
Tekong makin terpental lagi tak terduga
Tangis penjaga melolong-lolong takkan ditolong
Itu ganjarannya berani-berani ikut main sepak tekong
Penjaga kelelahan pingsan di tengah kerumunan penonton
Walau ditertawa-tawa si penjaga sangat malu sedih luar biasa!

JAKARTA 11 DESEMBER 2020


Rara Handayani

pasar ibuh, ketika hujan luruh

lima jam sudah hujan memukul-mukul atap pasar


entah bila akan mereda derainya
segerobak tunda nasib dibentang;
ikan-ikan, tomat, bawang, kentang, ubi, cabe, lengkuas
kunyit, jahe, sayur-temayur ini, juga yang lainnya tak kunjung terjual
berhentilah laratku

periuk danguang-danguang menggelegak di seberang


pekat aromanya menusuk-nusuk hidung
membuat lapar merengek-rengek di perut

oh mataku diberangus kantuk, dingin menjalar


sambil mengunyah batiah kurapatkan kaki naik ke atas papan
di bawah meja lapak, menghidari becek

tak dinyana, seorang ibu datang membeli beberapa ikat pakis


sekaligus bumbu-bumbunya untuk direndang bersama jengkol
kuhitung belanjaan ibu itu sekitar 85ribuan

―mahal sekali harga-harga sekarang!‖ keluhnya

―krisis melanda, negara dililit utang, pandemi mewabah


kita pun berketuntang melipat-lipat uang dan meng-eratkan ikat pinggang,‖
timpalku, seraya mengeluarkan beberapa lembar uang kembalian ibu itu
ia pun berlalu sambil memayung diri di sela hujan
menenteng kantong-kantong asoy belanjaan
hujan menggenang ini
sudah tak mengherankan lagi bagiku
apalagi ini bulan penghujung tahun
serupa munajat tak sampai
melinang kolam mataku, menyabak
merayan dalam lamunan pasi

kutelan-telan air ludah dalam sesak dada


memikirkan hujan tak jua reda
onggok dagangan seperti mencemooh ke arahku
hati guncang tersebab jual-beli masih sedikit
sementara angsuran bank sudah menunggak
biaya paket internet sekolah daring mendesak

harapan dikuyup hujan


merebat tubuh dalam gugu
bagai berdiri dekat ranting berduri
terjerembab laksana sangsam

sambil memandangi kendaraan melintas-lintas


di sepanjang trotoar ahmad yani
kusesap guyur nasib dalam bait penantian
dan kutampung-tampung bulir peluh menetes
seraya memandang langit ibuh yang bocor
kusumpal kembali asa dalam tadah doa

kata orang, rejeki tak berpintu

2020
Rezqie M. A. Atmanegara

MONTASE TUAH PAYU NAN KUMBUAH

1.
menapak di halaman lama penuh lebat rawa-rawa
semak mensiang menjalari subur tanah ulayat
cikal bakal menganyam riwayat kota masa depan
dalam penyatuan nama Payau dan Kumbuah
tersebutlah tanah bertuah Payau Nan Kumbuah
di dataran tinggi bukit Barisan dan hamparan kaki gunung Sago
:lidah bersambung lidah mengukir lekat sebutan Payakumbuh

tertetes darah purba sepanjang Jembatan Ratapan Ibu


lewat tangan kolonial Hindia-Belanda di Perang Padri
menyusun rencana membangun tubuh Payakumbuh
dari kerut tanah tertua: Nagari Aie Tabik nan elok
Luhak Limo Puluah menuju masa sekarang
masih kukuh melintasi duri tajam zaman
dalam polesan pembangunan kotamu
terus bersolek elok di ranah minang
:di kaki marwah Sumatra Barat

2.
di ngarai-ngarai berselimut lembah
menggema lirih rintih Saluang Sirompak
bersama derai daun pohonan kopi dan rimba andalas
nyanyi burung-burung kuau raja di senandung Sampelong
metamorfosis kehijauan gunung dan batu perbukitan
gradasi panorama lukisan alam dari tangan Sang Kuasa
rindu semakin sembilu di lintasan Jembatan Kelok Sembilan
angin menuntun langkah ziarahku
khidmat memasuki rumah Tan Malaka
kuraba ornamen berpahatkan 1936 silam
usia bangunan tua itu menyimpan sesakan sejarah
saksi hidup pejuang yang bertaruh tumpah darah
demi segala harkat tanah kelahiran yang terus bertumbuh
membaca peninggalan pra sejarah di Nagari Maek-Nagari Seribu Menhir
mengingatkanku betapa agung nenek moyang di masa peradaban
memahat batu di lingkaran batas berpagar bukit dan aliran sungai

kutengadah garis matahari dari celah tebing


berdesau gemuruh sejuk air terjun Lubuak Bulan
meruntuhi sekujurku yang kuyup dalam hening takjub
bagai petapa aku menyusuri lorong goa Ngalau Indah
pada tajam stalaktit dan tunjam stalagmit meruncing sunyi
menembus dinding batin dalam dialog batu dan kepak kelelawar
mengaji pada risalah keheningan di ketiak rimba yang lembab
menawarkan harum hutan perawan di pedalaman Payakumbuh

ketika matahari hampir rebah sepenggalah


kubasuh sekujur raga, kubilas kedalaman jiwa
bermandi sucikan diri di percik mata air Aia Baba Halaban aku
laksana terlahir kembali seperti seorang bayi yang merah
memecah tangis pertama dari garba bunda diturunkan ke tanahmu
hingga kelak pecah tangis terakhir menyatu terkubur di balik tanah Payakumbuh

3.
betapa harum gurihnya Rendang Talua
menggugah selera lezat rempah tanah Payakumbuh
sambil menamatkan menulis tiap sendi bumi Batiah
adalah ketakmungkinan yang menderas dalam sajakku
sebab kian kumasuki ranahmu, karam aku dalam ketakjuban
di alir tiga ruas sungai: Batang Agam, Limpasi dan Sinama
mengalurkan narasi panjang montase tuah Payu Nan Kumbuah

maka kini kucium tanah bertuah Payakumbuh


tanda hormat pada ranah Minang berberkah
hikayat Payakumbuh tercengkram dalam jejakku
tak terhapus meski seribu debur ombak menderu
tak kan hilang walau selaksa angin menggerutu
di sinilah Payakumbuh bertabik dan berseru:
―darahmu mengalir dari batang sungaiku
tulangmu tumbuh dari akar rawaku
maka dari tanahkulah segala
permulaan kehidupan”

2020
Rini Intama
LELAKI YANG MENULIS TENTANG TANAHNYA

Aku akan kembali ke payakumbuh


Menemuinya dan menyalakan tungku api
Dari kenangan dan mitologi mantra
Di kaki gunung sago, tanah yang landai

Sejak aku dan dia jadi anakanak


Yang dibesarkan angin hutan
Tetabuhan gendang, tarian rantak
Dan pesan tuhan di adaik basandi syarak

Terbaca angin dari lima kayu jua


Hingga menaikkan kuda kuda
Dan menegakkan tiang rumah
Tempat kelahiran dan semua muasal

Sayup kudengar senandung saluang membuka pagi

Aku akan kembali ke payakumbuh


Setelah percakapan tentang limapuluh kota
Tertinggal di balik bukit dan lembah harau
Dinding dinding batu membeku

Kupahatkan kata sebagai takdir pulang


Melewati pintu pintu waktu
Menetapkan harapan
Membungkam rindu

Aku akan kembali ke payakumbuh


Setelah kuingat pesan ibu, pergilah ke rantau
Menunggu sungai mengalir dan tubuhmu jadi mawar
Tapi jangan lupakan ihwal tanah ini
Petuah saluang dendang
Dan jembatan ratapan ibu, itulah doa suci
Di atas sungai batang agam berair jernih
Dan ikan ikan menunggu matahari bersembunyi di balik batu

Kenangan itu ada di detak jantungku


Dialah lelaki yang melukis tanah kelahiran
Di antara kerumunan cahaya
Berjalan di kesunyian

Dia tak ingin jadi malin kundang


Atau jadi batu batu yang menangis
Maka kulihat, dia menari di atas tanah basah
Tempat pohon pohon tumbuh dari tangan ibu

Aku akan kembali ke payakumbuh


Setelah kucium harum sejarah
Di sudut sudut kota, di ujung ujung jalan
Di sebuah pintu masa silam

Seluruh catatan jadi bintang


Saat kolonial terlibat perang padri
Saat tanah ini menyimpan hasil kopi
Saat di kota ini ada nagari tertua, aie tabik

Di mana semua ingatan tersimpan


Sementara dari langit, hujan menggenangi sawah sawah
Ya akulah perempuan yang pulang ke payakumbuh
Menemui lelaki yang menulis tentang tanahnya
Tentang kampung, tangkai sapu, sungai, bunga bunga
Dan ribuan burung terbang menembus langit

Tgr, 12 Desember 2020


Riri Satria

JEJAK SILSILAH YANG HILANG DI PAYAKUMBUH


: untuk Nenek Siti Amanah

Ketika adat menentang


sebuah janji sacral bernama cinta
maka tekad dikuatkan, doa dimunajatkan
kaki dilangkahkan, harapan pun digantungkan
kepada Langit Singgasana Yang Maha Kuasa
berangkatlah pergi merantau
pengantin baru Idris Sutan Mentari dan Siti Amanah
tinggalkan desa di tepi pantai tanah Pesisir Selatan
ketika almanak menunjukkan tahun 1930
menelusuru Staatsspoorwegen ter Sumatra’s Westkust
lewat Kayutanam, Padang Panjang, Bukittinggi, dan Baso
Payakumbuh pun jadi akhir tujuan

Rupanya di bumi Luhak Limo Puluah


berkah dari Langit pun turun
kebulatan tekad dan kekuatan doa
diijabah oleh Yang Maha Kuasa
pasar payakumbuh menjadi saksi sejarah
anugrah manggaleh mandapek di tanah rantau
satu-persatu anak-anak lahir
keluarga pun sejahtera penuh bahagia
bahkan ketika berangkat dewasa
si anak bungsu pun pamit tinggalkan Indonesia
tahun 1961 menuju negeri seberang untuk menuntut ilmu
Setelah anak bungsu kembali dari jauh
membawa gelar bergengsi
dari sebuah universitas di tanah Amerika
penyakit membuat Siti Amanah tidak bisa lama berbangga
ia pun berpulang menghadap Sang Khalik
ketika tahun 1966 baru berjalan beberapa bulan

Tanah rantau pun menjadi tempat peristirahatan terakhir


di Pakan Taranak dekat rel kereta api tua di Payakumbuh
semua kisah itu pun berakhir
satu-persatu anak-anak pergi
menempuh jalannya masing-masing
meninggalkan hiruk-pikuk Pasar Payakumbuh
yang penuh cerita tentang perjuangan dan cinta

Makam itu lalu berteman sunyi


jauh dari tanah Pesisir Selatan
tempat asal-usul yang selalu terbayang
oleh Siti Amanah sepanjang ingatan

Dua tahun berselang


Idris Sutan Mentari pun wafat
dimakamkan di kota Padang
tak mendampingi Siti Amanah di Luhak Limo Puluah

Makam Siti Amanah jadi penanda


jejak silsilah leluhur di Payakumbuh
dulu ketika kecil aku pernah bersimpuh
di samping makam turut mendoakan
semoga Nenek berbahagia di sisi-Nya
sosok yang tak pernah kukenal
bahkan aku pun tak tahu wajahmu
Tahun berganti tahun
lama tak kuziarahi makam itu
ternyata makam itu sudah hilang
mungkin tergusur, mungkin dipindahkan
mungkin juga karena tak ada keluarga lagi di sana
serta semua mungkin yang lain
entahlah!

Dua tahun yang lalu aku kembali mengunjungi Payakumbuh


enam tahun setelah anak bungsu Siti Amanah --Papaku—berpulang
lagi, aku cari makam itu, namun tak kunjung ketemu
akhirnya, di sebuah rel kereta api tua di Payakumbuh
kumunajatkan doa untukmu, Nek

Hilang sudah jejak silsilah keluarga di Luhak Limo Puluah


namun pintaku kepada Sang Pemilik Kehidupan
semoga puisi ini membuat semuanya abadi

(Bogor, Desember 2020)


Robi Akbar

SALUANG SIROMPAK

1/
Apa yang melintas di atas batang agam. Batu-batu. Perjalanan. Waktu dan kenangan
tentang
ratapan ibu. Upik. Ini kali bukan sejarah yang jatuh dan hanyut terbawa deras arus
batang
agam. Tetapi malam dan gelap tangis penyesalanmu yang akan beguguran atas namaku.
Angin. Gelombang irama yang pekat sekarang berembus menujumu. Waktu akan
terdengar
seperti lolongan anjing gunung. Seperti gaung puting beliung. Tetapi, apa yang akan
terdengar lebih keras selain degup jantung lelaki ketika menyatakan cintanya? Apa yang
akan
lebih keras terdengar selain gemuruh jiwa yang seolah jatuh ketika cintanya tak
berbalas?
Lalu sunyi berjalan menyeret kekecewaan di punggungnya. Seperti kabut yang turun ke
kaki-kaki bukit barisan. Dalam dinginnya ada luka yang berpesan.

2/
Setelah hari yang menyakitkan itu, akhirnya ia tahu bagaimana rasanya bertepuk dengan
sebelah tangan saja dan ia juga tahu, mengapa sepi selalu memantulkan nyeri dan sakit
hati
ke dalam dirinya. Sambil menatap langit ia embuskan malam. Kegelapan dan dingin di
Kanagarian Taeh Barueh ke palung jiwanya. Saluang sirompak. Dari celah bibirnya,
getar
angin merasuk ke lubang suara. Membentur dinding buluh. Ke lubang-lubang nada yang
lahir
dari lima kematian, tempat ruh-ruh simambang bersemayam. Jari-jarinya menarikan
irama
yang pekat dan sekarat. Mengiringi malam dan mantra-mantra yang dibasahi kegelapan.
Yang tumbuh dari luka yang telanjur menjadi tanda.
3/
Simambang hitam. Simambang sirah. Simambang tungga. Simambang barantai.
Simambang
putiah. Sampaikan isyarat magis cintaku. Pukul hatinya yang batu. Biar luluh ia padaku.
Ruh-ruh penunggu lubang nada. Suaranya seperti suara ribuan burung hantu yang turun
dari
bukit barisan ke lima puluh kota. Dituntunnya dendam cinta yang tak berbalas itu
sebagai
gendam. Getaran angin. Nada-nada yang pekat dan sekarat. Padang kesunyian. Malam
menghampar gelap. Geletar putar gasiang tangkurak. Dendang pawang dan rimbun
bayangan
serupa kebun. Hanya ngungun. Cahaya api dan perasaan sakit hati. Tumbuh di dadanya.

4/
Perempuan. Tiba-tiba ia terbangun dari tidurnya. Ia terlihat gelisah dan ketakutan. Ia
merasa
sangat kehilangan dan kesepian. Suara-suara. Ia dengar suara gasiang tengkurak.
Saluang
sirompak. Nada-nada yang lahir dari lima kematian dan suara seseorang membisik dan
terus
memanggil-manggil namanya. Tetapi entah siapa. Ini adalah malam dengan suara-suara
yang
mengerikan. Lelaki yang seperti gelas pecah. Bayangannya menjadi serpihan dalam
ingatan.
Langit sengit dan bakaran kemenyan begitu pahit.

Bangkalan 2020
Roby Satria

Si Babau
Dalam serumpun bambu, aku cari sebatang
mengambil seruas yang dapat dipotong
berjarak sejari dari masing-masing buku.
Dalam hari lalu akan berlubang empat mata malang

menatap ke arahmu putih dan hitam kedua mambang.


Di tujuh tanjung menghadap mata angin mereka berumah
dan yang ke delapan kepadamu tepat mengarah
tepat ketika lembab bunyi saluang membubung.

Sebab telah kau ulang itu kisah Puti Lesung Batu


ulah tamak mata pada segala yang rancak
lidah yang lunak dibuat berlaku galak
pandai menyebut yang tak patut.

Maka tangggunglah
sakit yang bukan demam.
Sepanjang hari menghempas-hempaskan badan tak kenal lebam
memanjat dinding dengan igau tak kunjung redam.

Kemana hendak kau beroleh tawar?


Meski mengarungi samudera seperti orang-orang berkulit putih
tercium aroma cengkih dan pala
tapi rerau tak hilang di air gila.

Sebab amuk dendang berakar di tubuh angin


tak dapat ditangkal hanya dengan laut yang asin.
Dan alamat berbalik selalu tertuju padaku.
Sebab dijantungmu telah berdiam siang dan malam
putih dan hitam kedua mambang
tiap detaknya namaku mereka tanam.
“Babau, Babau!”

Payakumbuh, 2020
Tegar Ryadi
RATAP IKAN JINAK

Sebelum perantauan menjelma balai-balai sunyi


kampung-kampung berpacuan melulur derik jangkrik
kubawakan kau setumpuk isak ikan-ikan jinak
ratap tak berkesudahan, riak teramat dalam
sepanjang deras si Batang Agam.

Pada hidup yang menghilir pasti ke mudik ini


kesetian dan pengorbanan tetap saja milik peruntungan
derita serempak melenggangkan langkah lurus dengan derana
meski duka-duka telah lama dikutuk menjadi ikan-ikan
jinak, berenang bebas diantara pudur harapan semalam.

Oh ikan-ikan jinak, duka-duka lama


sebelum kembali ke persemaian ranji turunan
ajarkanlah cara berkabung paling sungkawa
bukan lagi dengan patung serupa mandeh yang menunjuk
tanpa mengerti untuk apa menurunkan tangan
setelah sekian riak dan desau bertukar musimnya.

Sebab di sini sepuluh jari tangan dan kaki


tak lagi cukup menghitung jiwa-jiwa lepas
dari tubuh-tubuh yang dibawa ke arus sungai pembantain
serupa rimah-rimah gelamai, batih dan rendang telur kita tinggal dedak
ditaburkan dari atas jembatan Ibuh paling sudut
ketika langit membiru dan bumi benar-benar terasa sejuk.

Agar tenang, agar ikut mengenang!


Wayan Jengki Sunarta

Di Payakumbuh Aku Mencarimu

aku mencarimu
di hamparan kaki Gunung Sago
di antara tiga batang sungai:
Agam, Lampasi, Sinama

aku dengar gaung suaramu


menggema dari dinding bangunan Belanda
berbaur cengkerama warga beragam suku
dan hiruk pikuk niaga kota tua

di Nagari Aie Tabik aku berjumpa jembatan batu


sayup-sayup kudengar ratap ibu begitu pilu
seperti lengking saluang dari Rumah Gadang
mengenang Batang Agam memerah
oleh darah kusuma bangsa

di Payakumbuh aku mencarimu


apa kau masih merantau
mengapa tiada pulang jelang Lebaran
aku rindu bersenda gurau di lapau
sembari menghitung jumlah uban
atau sisa uang di saku baju

betapa aku rindu gurih batiah seperti


rinduku pada gadis Minang yang dulu
menyuguhkan kopi untukku sembari
berdendang tentang sawah
dan ladang subur membentang
kapan kau tuturkan lagi tambo itu
tentang kisah para leluhur lampau
berkelindan ceritamu di negeri rantau

kapan lagi kau mainkan saluangmu


hingga berlinang air mata haru
mengenang kenakalan masa bocahmu
dan kampung halaman
yang lama kau tinggalkan

(2020)
Wirda Adelia

PESAN DARI BELANTARA LEMBAH HARAU

Selalu ada yang berkata

pada naluri; binatang di dalam diri

selalu ada yang siap mencakar dan membidik

pada siapa yang melawan riwayat lembah-lembah itu

Mata yang menyalang-nyalang seakan memberi


kabar dan senantiasa melahirkan gemetar
juga kibasan ekor yang tak kunjung
selesai menyimpan misteri; tentang siapa
yang menjejakkan kaki pertama kali

Oh, Inyiak Balang, sunyi bercerita sepanjang malam


perihal sang dewi yang semadi di antara dahan-
dahan bersamaan membentur-benturkan amarah
atas apa yang terjarah

Ada sesuatu yang masuk ke dalam kepala


yang perlahan turun ke dalam rongga
dada dan berteriak-teriak membunyikan
sesak pada tubuh yang sebegitu bengkak,
Seperti induk sapi

yang kehilangan naluri;

berontak-rontak!
Ingatan masa lampau tentang Lembah
Harau menerpa umurku yang ke-tujuh
mendiami kepala dan tubuh

Tangerang, 22 Desember 2020


Wirja Taufan

NGALAU INDAH

Ngalau begitu indah


Aroma hijau rerumputan, pohon dan bunga-bunga
Memberi udara segar di bawah matahari dan hujan
Menyalakan setiap mata, setiap jiwa
Menghangatkan kehidupan sepanjang bukit
dan lembah-lembah
Dengan cinta dan keindahan

Ada puluhan anak tangga yang menyimpan


ribuan jejak kaki. Ada batu-batu cadas runcing
menggantung di langit-langit
Ada Batu Gong, Batu Gajah, Batu Jamur, Batu Kelambu,
Batu Ibu Menangis, Batu Penganten, Batu Kursi,
Batu Payung dan Batu Kampar
Bercerita tentang legenda yang tak pernah hilang
Memurnikan sejarah para leluhur
Di labirin dan misteri, berabad-abad dan ribuan tahun

Tak ada ratapan tanah di situ


Kelelawar dan burung-burung mencium
langit-langit gua. Suara angin dan aroma bunga
memelukmu. Di bawah matahari, di bawah Sago,
Merapi dan Singgalang

Ngalau begitu indah


Aurora dan langit tak habis saling berciuman
Menghiasi bukit dan lembah-lembah
Di tengah genangan jejak kaki yang
meninggalkan warisannya Mitos,
legenda dan fenomena budaya Terus
hidup tak berujung

Aku akan terus mengenangmu, Ngalau yang begitu indah


Membacakan semua kisahmu kepada semua orang
Dalam hidup yang harus terus diperjuangkan

Medan, 2020
Zen KR. Halil

Di Kaki Payakumbuh, Sujudlah Seluruh Puisi

melebatlah segenap harap dalam benak.


Ketika aku tak pernah mampu membaca
anatomi tubuhmu, dan
segala warnamu, masih gelap di mataku.

di kakimu, Payakumbuh
berbagai nasib membentang sepanjang
Jembatan Ratapan Ibu.
sedang aku, hanya bisa menyaksikan
Tuhan menari di antara bunyi Talempong dan Saluang.

berkali aku membayangkan kau adalah


surga. senyummu hijau sawah
matamu kumbuah yang subur di setiap rawa.
tanganmu tarian angin sepanjang jalan antara
Malintang dan Singgalang.

adakah aku hanya mampu


mencicipi gelamai, batiah, bareh
randang dalam puisiku?
sedang kata-kata selalu dan terlalu kerdil
membacamu. majas-majas terlalu dangkal
mengibaratkanmu.
dan tahulah
bahwa di kakimu, Payakumbuh
sujudlah seluruh puisi, terkaparlah sajakku ini.

Yogyakarta, 2020
BIODATA PENYAIR
PAYAKUMBUH POETRY FESTIVAL 2020
JUARA I
di seberang jembatan, daun jagung menari-nari
Mahlil Bunaiya. Lahir di Batang Silasiah, kabupaten Agam, Sumatra Barat, 09 Juni 1995.
Sedang Menyelesaikan Studi Magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

JUARA II
Padusi Jugun Ianfu yang Bermata di Kerampang
Andreas Mazland. Lahir di Banda Aceh, 21 Juni 1997. Menulis essai budaya, cerpen, dan puisi.
Bergiat di Lapak Baca Pojok Harapan, sebuah komunitas literasi di Kota Padang. Alamat: Jl.
Pendidikan Perum Yepupa Indah, Sidomulyo Barat, Tampan, Pekanbaru, Riau

JUARA III
Perempuan Yang Diciptakan Dari Batu
Ahmad Syauqi Sumbawi. Sastrawan kelahiran Lamongan 28 April 1980. Menulis cerpen,
puisi, novel, esai, kritik, dll. Alamat : Dusun Juwet, Desa Doyomulyo, Kembangbahu,
Lamongan, Jawa Timur
50 PUISI PILIHAN
*Diurutkan berdasarkan Alfabet Nama Penulis

1. Musim Berkuda Angin, Mengitari Payakumbuh


A. Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Bukunya yang telah terbit
“Dukun Carok dan Tongkat Kayu” (Basabasi Yogyakarta, 2018), ―Kesunyian
Melahirkanku Sebagai Lelaki‖ (Basabasi Yogyakarta, 2020). Kini tinggal di Sumenep
Madura.

2. Balada Batang Agam


A’yat Khalili. Menulis karya fiksi dan nonfiksi. Pernah meraih penghargaan Pusat
Bahasa Jakarta, 2006, penghargaan Taman Budaya Jawa Timur 2006. Sekarang tinggal di
Jl. Sektor 16, Sudimara Jaya, Ciledug, Tangerang Selatan.

3. Ia Hanya Rawa-Rawa
Aflaha Rizal. Lahir di Bogor, 26 Agustus 1997. Buku puisi terbarunya Kenangan Tidak
Terbuka (Kuncup, 2019). Berdomisili di Cibinong, Bogor, Jawa Barat.

4. Pagut Kabut Pagut Lumut


Afri Meldam. Lahir dan besar di Sumpur Kudus, Sumatra Barat. Menulis cerpen dan
puisi. Buku kumpulan cerpennya, Hikayat Bujang Jilatang, terbit pada 2015. Noveletnya
yang berjudul ―Di Palung Terdalam Surga‖ bisa dibaca di Pitu Loka (2019). Kini tinggal
di Bekasi, Jawa Barat.
5. Lembah Harau
Alex R. Nainggolan. Lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bukunya yang telah terbit Rumah
Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang
Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen,
Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016). Kini
berdomisili Kota Tangerang, Banten.

6. Apakah Kotamu juga Seperti Kotaku?


Alif Raung Firdaus. Karya-karyanya pernah dimuat di berbagai media dan beberapa
antologi bersama. Tinggal di desa Sukosari, Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.-
Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur.

7. Suara Dari Bawah Jembatan Ratapan Ibu


Alvian Rivaldi Sutisna. Beralamat di Lemahabang Desa Karangmukti Kecamatan
Karangbahagia Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat.

8. Perempuan Bertikuluak Beludru Merah yang Gemetar di Atas Tanah Pusaka


Ani Tri Setiyati. Seorang guru penggemar sastra. Lahir 5 Desember 1966 di Banyumas,
Jawa Tengah. Puisinya terhimpuan dalam Antologi Pisi EIDETIK 2. Kini beralamat: SD
Negeri 3 Darmakradenan, Ajibarang, Banyumas, Jawa Tengah.

9. Meneroka
Arif P. Putra. Berasal dari Surantih, Kab. Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Buku
tunggalnya yang telah terbit “Suara Limbubu” (JBS, Yogyakarta 2018) dan sebuah novel
“Binga” (Purata publishing, 2019). - Pesisir Selatan, Sumatera Barat.
10. Memo Buat Pemangku Kota
Asril Koto. Lahir dan bermukim di Padang, Sumatera Barat. Ia berkerja sebagai
wartawan. Buku puisi terbaru berjudul Jalan Lain (2020). Sedekah Air Mata (2007)
adalah buku puisi pertamanya yang diterbitkan Dewan Kesenian Sumatera Barat.

11. Litografi Payakumbuh


Boy Riza Utama. Penulis beralamat di jalan Bupati, Perumahan Mutiara Desa Tarai
Bangun, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau.

12. Dari Jalan Tan Malaka Payakumbuh


Budhi Setyawan. Lahir di Purworejo 9 Agustus 1969. Mengelola Forum Sastra Bekasi
(FSB) dan Kelas Puisi Bekasi (KPB), serta ikut bergabung di komunitas Sastra Reboan
dan Komunitas Sastra Kemenkeu (KSK). Buku puisi terbarunya Mazhab Sunyi (2019).
Bekerja sebagai dosen. Saat ini tinggal di Bekasi, Jawa Barat.

13. Payakumbuh, Narasi Sebening Batu Pualam


Budi Saputra. Penulis beralamat di Alai Timur Kota Padang, Sumatera Barat

14. Lagu Luka Batu Balang


Delvi Yandra. lahir di Palangki 10 Desember 1986. Pernah menjadi jurnalis di Harian
Haluan. Karya tersebar di berbagai antologi bersama, seperti dalam Akar Anak Tebu
(Pusakata Publishing; 2012), Lelaki Tua dengan Tato di Dadanya (Leutikaprio; 2013),
Ayat-ayat Selat Sakat (Yayasan Sagang Pekanbaru, 2013). Alamat: Kampung Melati,
Tanah Putih Tanjung Melawan, Kab Rohil, Riau.
15. Catatan Kecil Seorang Musafir di Kota Para Penyair
Eddy Pranata PNP. Beralamat di Cirebah Desa Cihonje, Kec. Gumelar,
Kab. Banyumas, Jawa Tengah. Penulis adalah Ketua Jaspina (Jaringan Sastra
Pinggir Kali) Cirebah, Banyumas Barat, Indonesia.

16. Pajakoembah 1883-1889


Faris Al Faisal. Lahir dan berdikari d(ar)i Indramayu, Jawa Barat, Indonesia. Bergiat di
Komite Sastra, Dewan Kesenian Indramayu (DKI) dan Lembaga Kebudayaan Indramayu
(LKI). Namanya masuk buku ―Apa dan Siapa Penyair Indonesia‖ Yayasan Hari Puisi.
Buku puisi keduanya ―Dari Lubuk Cimanuk ke Muara Kerinduan ke Laut Impian”
penerbit Rumah Pustaka (2018).

17. Riuh Payakumbuh


Halim Bahriz. Lahir dan tinggal di Lumajang, Jawa Timur. Dua naskah teaternya
diganjar Rawayan Awards 2017 oleh Dewan Kesenian Jakarta. Pada tahun 2018, ia
terseleksi untuk program Residensi Penulis Indonesia dan Seniman Mengajar. Debut
buku puisinya: Igauan Seismograf―yang terbit pada penghujung 2018, masuk daftar
panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2019.

18. Jembatan Ratapan Ibu


Hoerudin. Penulis beralamat di Babakan Bandung, Kelurahan Nanggeleng Kecamatan
Citamiang, Kota Sukabumi, Jawa Barat.

19. Tambo Nagari Aie Tabik


Hudan Nur. Penulis lahir 23 November 1985, dan berdomisili di Banjarbaru Utara,
Kalimantan Selatan.
20. Rindu (Payakumbuh, Saluang dan Talempong)
Ikhsan Risfandi Zetry Iminy (IRZI), Lahir di Jakarta, 13 November 1985. Buku
puisinya yang telah terbit Ruang Bicara (2019). Kini berdomisili di Kota Tangerang,
Banten.

21. Si Bungsu Payakumbuh


Ilham Ardiansyah Saragih. Lahir di Sawit Seberang, 24 April 2001. Kini berdomisili di
Medan, Sumatera Utara.

22. Di Ampangan
Isbedy Stiawan ZS. Lahir di Tanjungkarang, Lampung, dan sampai kini masih menetap
di kota kelahirannya. Ia menulis puisi, cerpen, dan esai juga karya jurnalistik. Buku
puisinya, Kini Aku Sudah Jadi Batu! masuk 5 besar Badan Pengembangan Bahasa
Kemendikbud RI (2020) dan Tausiyah Ibu masuk 25 nomine Sayembara Buku Puisi 2020
Yayasan Hari Puisi Indonesia.

23. Akulah Payokumbuah


Itov Sakha/Muhammad Thaib. Lahir di Medan, 12 Juni. Pendiri dan bergiat di
Komunitas Tugu Sastra Siantar. Tanah Air Demorasis adalah tajuk buku puisi
pertamanya. Sekarang berdomisili di Simalungun.

24. Rindu Mendarah Daging


Jemi Batin Tikal. Nama pena dari Jemi Ilham. Saat ini tinggal di Bangka Belitung.
Bergiat di komunitas sastra Jejak Imaji.
25. Negeri Para Penyair
Kurnia Effendi. Adalah Redaktur Majalah Sastra dan Gaya Hidup "MAJAS". Menulis
sejak remaja, dan kini dikenal sebagai sastrawan yang sangat produktif. Bukunya antara
lain Senapan Cinta, Bercinta di Bawah Bulan, Aura Negeri Cinta, dan Kincir Api.
Tinggal di Pondok Bambu, Jakarta Timur.

26. Memorabilia Kota setelah Badai


M. Habib Syafa’at. Lahir pada tanggal 01 November tahun 1995 di Bojonegoro, Jawa
Timur. Seorang alumnus Universitas Negeri Surabaya Jurusan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Saat ini sedang aktif mengajar Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Kalitidu,
Bojonegoro, Jawa Timur.

27. Payakumbuh Mengapung di Kanal Prinsengracht


M. Rifdal Ais Annafis. Lahir di Sumenep, Madura 16 Pebruari 2001. berdomisili
Sumenep Madura, Jawa Timur.

28. Payakumbuh Dalam Puisi


Meifrizal. Lahir dan menetap di Lubuksikaping, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat.
Kumpulan puisi tunggalnya: Sihir Waktu (2016); Kisah Sebelum Tidur (2016); Burung
yang Lepas dari Sangkar Seperti Angan yang Tamasya ke Bintang-Bintang(2017); Sajak
Langit, Sepi + Maut, Sedikit Cinta dan Perempuan(2018).

29. Kontemplasi Kemarau


Milatul Maftah. Lahir di Jember. 13 April 1999. Kini tinggal di Dusun Krajan, Desa
Wonojati Kecamatan Jenggawah, Jember, Jawa Timur.
30. Ke Hilir ke Mudik
Muhamad Irfan. Lahir di Sunur Barat, 26 September 1995. Kini menetap di Pariaman,
Sumatera Barat.

31. Ritus Bukik Bulek Taram


Muhammad Badrun. Lahir di Banyumas 4 Juni 1994. Berdmosili di
Darmakradenan,Kec. Ajibarang, Kab. Banyumas, Prov. Jawa Tengah.

32. Senandung Rawa


Muhammad Ibrahim Ilyas. Memenangkan sejumlah sayembara
penulisan puisi, esai dan naskah drama. Kumpulan puisi tunggalnya Ziarah Kemerdekaan
(2015) dan Syair Dalam Sekam (2017). Buku dramanya Dalam Tubuh Waktu, tiga lakon
Muhammad Ibrahim Ilyas, mendapatkan Anugrah Sastra Indonesia 2017 dari Badan
Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

33. Solilokui, Kembali Aku Ke Payau Nan Kumbuah


Nanang R. Supriyatin. Penulis kelahiran Jakarta, 6 Agustus. Menulis puisi, cerita
pendek dan esai sastra sejak tahun 1980-an. Sampai saat ini sudah terbit sekitar 8 antologi
puisi tunggal. Berdomisili di Jakarta Pusat.

34. Kota Biru ini


Nanda Satriawan/Tadh Hiyah. Lahir di Padang Sidempuan 29 Sepetember 1995. Kini
menetap di Kel. Sungai Durian Kec. Lamposi Tigo Nagori Kota, Sumatera Barat.

35. Tubuh dan Kebayamu Kini Sembunyi dalam Detak Jarum Jam
Ni Made Rai Sri Artini. Lahir di Badung 17 November 1978. Kini pun berdomisili di
Kab.Badung, Bali.
36. Luka Di Mata Perempuan Tua
Norham Abdul Wahab. Alumni Fakultas Sastra (Sekarang FIB) UGM Yogyakarta ini
lahir di Bengkalis, Riau, pada hari Kamis, 15 September. Buku kumpulan cerpennya
“Ulat Perempuan Musa Rupat” diterbitkan Yayasan Sagang Intermedia Pekanbaru.
Buku puisi tunggalnya “Preman Simpang” (Taresi Publisher, Jakarta, Juni 2018) terpilih
sebagai ―Buku Puisi Terpuji Anugerah HPI 2018‖. Buku puisi tunggalnya “Tuah Uzlah”
(TareBooks, Jakarta, Juni 2019) terpilih sebagai ―Buku Puisi Terpuji Anugerah HPI
2019‖. Buku puisi terbarunya “Gila Bayang” ((TareBooks, Jakarta, Juni 2020). Sekarang
bermastautin di Desa TeMBoro, Kec. Karas, Kab. Magetan, Jawa Timur.

37. Jembatan; Ratapan Ibu


Novi Nur Islami. Mahasiswa IAIN Madura. Berdomisili di Sumenep, Madura, Jawa
Timur.

38. Tak Ada yang Lebih Asing


Ragdi F. Daye. Menulis puisi dan cerita pendek. Bukunya yang telah terbit Perempuan
Bawang dan Lelaki Kayu (2010) Rumah yang Menggigil (2016), dan Esok yang Selalu
Kemarin (2019). Pernah diundang mengikuti Ubud Writers and Readers Festival 2011.
Sekarang tinggal di Padang, Sumatra Barat.

39. Bermain Sepak Tekong


Rahmat Ali. Lahir di Jakarta 29 Juni 1939. Kini menetap di Jakarta Selatan, DKI.

40. Pasar Ibuh, Ketika Hujan Luruh


Rara Handayani. Lahir di Maninjau 30 Mei 1989. Alumnus Sastra Inggris Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Bung Hatta ini pernah menjadi wartawan di Harian Haluan.
Cerpennya termaktub dalam Antologi Bersama Cerita Setelah Keramaian (Badan
Perpustakaan dan Kearsipan Sumatera Barat, 2009). Puisinya dibukukan dalam antologi
Masa Depan Koin (Wadaskelir Publisher, 2020). Kini ia menetap di Tanjung Melawan,
Provinsi Riau.

41. Montase Tuah Payau Nan Kumbuah


Rezqie M. A. Atmanegara. Lahir di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan, Pada 5
Juni. Biografinya masuk dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia (2017) dan
Leksikon Penyair Kalimantan Selatan 1930-2020 (2020). Pembina Sanggar Buluh
Marindu. Menerima Hadiah Seni Sastra dari Walikota Banjarbaru (2015).

42. Lelaki Yang Menulis Tentang Tanahnya


Rini Intama. Penulis kelahiran Garut 21 Februari 1965 ini sekarang menetap di
Tangerang , Banten.

43. Jejak Silsilah Yang Hilang Di Payakumbuh


Riri Satria. Lahir di Padang, Sumatera Barat 14 Mei 1970, saat ini berdomisili di Bogor,
Jawa Barat, adalah salah seorang pendiri komunitas Jagat Sastra Milenia. Puisinya
diterbitkan dalam tiga buku puisi tunggal, yaitu ‗Jendela‘ (2016). Sebuah kumpulan puisi
berbahasa Inggris Winter in Paris (2017) yang diluncurkan pada Ubud Writers and
Readers Festival 2017 di Ubud, Bali, serta Siluet, Senja, dan Jingga (2019). Namanya
terdapat dalam buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia yang diterbitkan oleh Yayasan
Hari Puisi Indonesia (2018).

44. Saluang Sirompak


Robi Akbar. Kelahiran Bandar Lampung 03 Oktober 1978. Migrasi Kenangan adalah
buku kumpulan puisi tunggal pertama yang penerbit basabasi Yogjakarta 2018. Sekarang
tinggal di Bangkalan, Madura, Jawa Timur.
45. Si Babau
Roby Satria. Lahir di Payakumbuh 1995. Menulis puisi, cerpen, cerita rakyat, dan esai.
Beberapa karyanya terbit di media massa. Kini menetap di Kab. Lima Puluh Kota,
Sumatera Barat.

46. Ratap Ikan Jinak


Tegar Ryadi. Lahir di kota Duri, 16 Juni 1998. Mahasiswa Jurusan Sejarah FIB
Universitas Andalas. Sembari berusaha menamatkan kuliah, saat ini juga sedang aktif
dibeberapa kegiatan komunitas Rak Buku Kota Biru di kota Payakumbuh. Alamat :
Sarilamak, Kec Harau, Kab. Limapuluh Kota.

47. Di Payakumbuh Aku Mencarimu


Wayan Jengki Sunarta. Lahir di Denpasar, Bali, 22 Juni 1975. Buku-buku sastranya
yang telah terbit adalah Solilokui (puisi; Pustaka Ekspresi, 2020), Amor Fati (puisi;
Pustaka Ekspresi, 2019), Petualang Sabang (puisi; Pustaka Ekspresi, 2018), Senandung
Sabang (catatan perjalanan; Badan Bahasa, 2017), Montase (puisi; Pustaka Ekspresi,
2016), Magening (novel; Kakilangit Kencana, 2015), Perempuan yang Mengawini Keris
(cerpen; Jalasutra, 2011), Pekarangan Tubuhku (puisi; Bejana, 2010), Impian Usai (puisi;
Kubu Sastra, 2007), Malam Cinta (puisi; Bukupop, 2007), Cakra Punarbhawa (cerpen;
Gramedia, 2005), Purnama di Atas Pura (cerpen; Grasindo, 2005), Pada Lingkar
Putingmu (puisi; Bukupop, 2005). Kini dia bergiat di Jatijagat Kampung Puisi di
Denpasar.

48. Pesan Dari Belantara Lembah Harau


Wirda Adelia. Wirda Adelia. Lahir di Tangerang, 30 Agustus 2002. Berdomisili Kota
Tangerang, Prov Banten. Sedang menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
49. Ngalau Indah
Wirja Taufan. Lahir di Medan, 15 September 1961, dengan nama Suryadi Firdaus.
Tercatat dalam buku Leksikon Susastra Indonesia oleh Korrie Layun Rampan (Balai
Pustaka, 2000), Apa Dan Siapa Penyair Indonesia (Hari Puisi Indonesia 2017 dan 2018).
Buku puisi terbarunya Bunga, Kupu-kupu, Mimpi dan Kerinduan (Imaji Indonesia, Juni
2020). Menetap di Medan Sumatera Utara.

50. di Kaki Payakumbuh, Sujudlah Seluruh Puisi


Zen KR. Halil. Bernama asli Zainul Kurama adalah seorang karyawan kafe di Jogja
yang juga berproses di Garawiksa Institute Yogyakarta. Sejumlah karyanya pernah
dimuat diberbagai media, pernah menjuarai berbagai lomba lokal dan nasional.
Berdomisili di Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai