Teras Budaya Jalan Raya Lenteng Agung Timur gang. Zakaria no. 80 Jakarta Selatan. Telp/fax: 02132221011 E-mail:remmynovaris@gmail.com ISBN 978-602-98705-2-7 Cetakan Pertama Mei 2012
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rachmatNya jualah, akhirnya Kumpulan Puisi Syarifuddin Arifin ini bisa terbit. Sebenarnya sudah cukup lama juga kita mengenal penyair ini, dan puisi-puisinya dalam Kumpulan Puisi NGARAI, 1980 diterbitkan Kolase Kliq Jakarta, dengan pengantar/endorsmen oleh Dami N. Toda, mendapat perhatian beberapa pengamat seperti Korry Layun Rampan, Wahyu Wibowo, Adek Alwi, Hendri Ch. Bangun dll. Tulisannya sering kita jumpai di media cetak (majalah dan suratkabar) terbitan Padang dan Jakarta. Tak lama setelah itu, ia pindah ke Padang bersamaan dengan menurunnya produktifitasnya, hanya sesekali memperlihatkan bayangan lalu hilang lagi. Ternyata penyair satu ini lebih suka memublikasikan karya tulisnya di daerah, meski sesekali ia tampak hadir di pentas teater dan sastra di berbagai kota. Setahun lalu, melalui telepon, kami menawarkan agar sajak-sajaknya bisa diterbitkan Teras Budaya Jakarta, bersama penyair asal Jawa, Hardho Sayoko Spb. Ke dua penyair dengan latarbelakang budaya yang berbeda ini, sudah saling mengenal, sesama aktif di Bengkel Sastra Ibukota (BSI). Sebagai penerbit buku-buku sastra, kami melihat ke dua penyair ini layak disandingkan mewakili Sumatra dan Jawa, selain tentu keduanya seangkatan. Tapi, gagal dan kami hanya menerbitkan buku puisi tunggal Hardho Sayoko Spb, Penyair Negeri Rembulan (2011), yang telah diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin TIM Jakarta. Tidak adil rasanya, bila sejumlah sajak-sajak Syarifuddin Arifin (belakangan terlihat cukup produktif) hanya karena teknis dan lain hal, lantas kami dari pihak Teras Budaya Jakarta, mengabaikannya begitu saja. Namun karena keterbatasan kami di sana-sini, dan semakin menumpuknya
vi
order penerbitan dari kawan-kawan berbagai daerah, akhirnya dengan segala upaya kumpulan sajak MALING KONDANG Syarifuddin Arifin ini muncul sebagai hasil produksi/penerbitan ke 19 Teras Budaya Jakarta. Terimakasih. Penerbit Teras Budaya Jakarta
vii
(penyandingan kata) secara tidak umum, namun kemudian malah menjadikan sajaknya khas, misalnya ia menyebut seketat peluk (umumnya, misalnya, sehangat peluk). Kolokialisme If ternyata juga tetap mewarnai Maling Kondang yang sedang Anda pegang ini. Dan, ini, sah saja mengingat If berasal dari budaya Minang, yang memang sarat dengan kolokialisme pantunnya. Sebagai penyair yang saya sebutkan telah tiba di dunia estetika kepenyairannya, kolokialisme If itu dapat kita nikmati melalui sajak-sajaknya, seperti Padang Panjang, Padang Pariaman, Padang Luar, Padang Bauk, atau Padang Bulan. Akan tetapi, kolokialisme If itu tidak dapat lagi dikembalikan kepada bentuk umumnya, atau tidak mungkin lagi diperdebatkan melalui perspektif sastra yang strukturalistik. Pasalnya, sebagai cerminan estetika kepenyairannya, sadar atau tidak ia telah melampaui pagar-pagar strukturalistik itu sendiri, sehingga makna-makna sajaknya yang datang kepada kita harus dipahami secara fenomenologis. Ungkapan-ungkapan fenomenologisnya, seperti tikungan tajam di mata pedang (umumnya, misalnya, tikungan jalan), darah membeku di rantau jauh (umumnya, misalnya, darah membeku di pembuluhnya), padi ditumbuk ke Thailand (umumnya, misalnya, padi ditumbuk di lumpangnya), atau kenikmatan duri (umumnya, misalnya, kenikmatan makanan lezat), membuktikan penyair ini teguh dalam gayanya, sehingga estetika kepenyairannya pun dapat terlihat dengan jelas. Bacalah beberapa sub judul dari Sajak-sajak Mengurai Padang di bawah ini. Padang Panjang tikungan tajam di mata pedang turunan terjal licin selayang
ix
Padang Bauk darah membeku di rantau jauh lidah rang minang tetap tersepuh
Padang Bulan garuda nyasar hinggap di sini sepantun si pungguk melepas birahi
Padang Sawah padi ditumbuk ke thailand kincir menangis terabaikan Di dalam Maling Kondang, sajak yang lantas dijadikan nama kumpulan puisinya ini, If memotret korupsi melalui kolokialisme ia tunggangi pelangi ke negeri apsari (umumnya, misalnya, ia tunggangi kuda itu). Si ia lirik di dalam sajak itu oleh penyairnya difenomenologiskan sebagai upaya pembasmian korupsi di negeri ini yang ternyata sekadar
wacana belaka. Itu sebabnya, If menegaskan bahwa korupsi pada dasarnya; mengalahkan penderitaan rakyat dari musibah yang mereka dapat Penegasan ini memang berkesan nyinyir, cerewet, dan naif, namun kalau kita perhatikan pelesetan tautologisnya dari Malinkundang menjadi Maling Kondang, kita akan segera sadar bahwa If hendak mengajak kita berpikir secara fenomenologis bahwa maling pun bisa kondang, sejajar dengan kekondangan anggota DPR, presiden, gubernur, bupati/ walikota, atau artis. Ajakan If ini setidaknya mengingatkan saya pada pendapat Wittgenstein bahwa pada dasarnya suatu ungkapan bahasa adalah cerminan dari kecerdasan manusia dalam memengaruhi manusia-manusia lain. Inilah yang enak dari If, sebagaimana saya tanyakan pada awal tulisan, karena If berupaya keras (bukti dari intelektualitas kepenyairannya) memengaruhi kita dengan memelesetkan Malinkundang menjadi Maling Kondang. If, sebagaimana telah saya singgung pula, memang telah tiba di dunia estetika kepenyairannya; dunia yang soul mate-nya selama ini. Anda tentu penasaran hendak segera membaca sajaksajak If. Bacalah. Akan tetapi, membaca Maling Kondang, hemat saya, janganlah seperti Goenawan Mohammad yang mengaku dirinya seperti si Malinkundang di dalam kepenyairannya. Membaca sajak-sajak If ibarat menumpang kapal laut yang selalu berlayar, karena If adalah layar pada kapal laut itu sendiri yang terus-menerus terkembang. Jakarta, 25 April 2012 Dr. Wahyu Wibowo adalah dekan pada Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional, Jakarta.
xi
Identitas Budaya dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang karya Syarifuddin Arifin
Oleh, Cunong Nunuk Suraja Pengajar Intercultutal Communication di FKIP Universitas Ibn Khaldun Bogor Seno Gumira Ajidarma (2008) dalam Kentut Kosmopolitan mencatat bahwa heterogenitas bukanlah satusatunya penyebab yang membedakan kebudayaan urban yang mudah disiasati karena masyarakatya yang homogen. ... dalam homogenitasnya pun setiap anggota masyarakat tidak mungkin menjadi individu yang sama dan sebangun dengan yang lain, sehingga berbagai bentuk klasifikasi, perbedaan masih mungkin dilakukan. Sebaliknya, justru dalam kebudayaan urban, iklim industri memberlangsungkan homogenisasi. Hal ini juga sejalan dengan tesis Chris Barker (2003) yang dikutip Ignatius Haryanto dalam Menimbang Kembali Imperialisme Kultural dalam Konteks Globalisasi Kebudayaan Awal Abad Ke 21 di buku Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan suntingan Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar Putranto bahwa imperialisme kultural ini berasal dari tesis tentang homogenisasi budaya yang dalam proses globalisasi dari kapitalisme konsumtif menghasilkan hilangnya keragaman dalam budaya. ... imperialisme kultural adalah hasil dari kesatuan proses ekonomi dan budaya yang merupakan bagian dari kapitalisme global. Globalisasi telah menghilangkan indentitas karena homogenisasi yang dimaui kapitalisme global yang merembet pada perubahan budaya yang oleh Seno Gumira Ajidarma (2008) ditandai dengan komunitas-isme yang menggeser sukuisme sehingga seorang lelaki Minang bisa merasa kurang sreg mendengar khotbah tentang berbagai adat suku dari para ninik-mamak yang datang dari kampung. Hal ini tampak dari
xii
sebagian besar sajak yang terkumpul dalam Maling Kondang yang tentunya akan merujuk pada kearifan budaya lokal Minang, tercermin dalam legenda Malinkundang yang berhasil dalam merantau dan pulang menolak kehadiran ibu kandungnya. Lalu karena murka si ibu kemudian mengutuknya jadi batu yang tersisa pada bait: setajam apapun lidah politikus / membatu hati bak Malinkundang. Perhatikan usaha penyair mencairkan indentitasnya menuju ke budaya global dengan parodi puisi berikut: MALING KONDANG duduk di atas angin bermandikan gemawan melesat menembus langit nyangkut di bahu matahari berberita ke bilik tetangga, berdecak kagum ia tunggangi pelangi ke negeri apsari bersahut media saling menyebut saling debat dan beropini kemurkaanpun mekar jadi dendam hingga melaut ludah dalam mulut rupiah ia kebiri, memperkosa ibu pertiwi tak ada yang bias menyentuhnya mentari kan menjilat dan memanggang duduk di kursi angin ia semakin kondang menjadi maling di negerinya sendiri katanya bukan korupsi, tapi komisi setajam apapun lidah politikus membatu hati bak Malinkundang debatdengan pakar sekaligus media berberita berulang-ulang
xiii
mengalahkan penderitaan rakyat dari musibah yang mereka dapat (Padang, 2010) Penyair mencoba memotret dengan kosa kata yang dicomot keindonesiaannya seperti maling, kondang dan nyangkut. Kosa kata yang muncul karena rembesan budaya lokal pada perkembangan bahasa nasional. Sajak yang lain yang mencoba mengunggah budaya lokal mengglobal adalah sajak Putri Raja di Sarang Penyamun *) (Halaman: 49) Sajak yang sudah diduga merupakan sikap parodi satire ini memang cukup manjur untuk mengolah kegalauan atas keadaan negeri yang sudah dipotret dalam sajak Maling Kondang. Pembalikan logika cerita yang sudah tersiar sebelumnya menjadikan sajak ini seperti sengaja menghilangkan indentitas budaya lokal yang tentunya akan lebih kental dengan pepatah petitih yang sementara ini dianggap nenek cerewet seperti yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma (2008) dalam Kentut Kosmopolitan. penyair memang cukup jeli dalam mengglobalkan kearifan budaya dengan sudut pandang yang diperbarui dan dengan sisipan kosa kata yang mengindonesia maupun menginternasional seperti libido, sadis, spa, sperma, sertifikat, cek, bilyet, borjuis, selebritis, ngompol, kere, asongan, abdidalem, dan kentongan, Ada sajak penyair ini yang mengolah kearifan lokal yang sangat jitu yakni Ayam Beranak Itik (halaman: 42). Jika ditilik, sesungguhnya hampir semua sajak-sajak Syarifuddin Arifin dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang ini bernada getir dan satire, terutama selalu mengaitkan dengan pola kehidupan politik- budaya Indoneia saat ini. Maka tak pelak kalau anak itik yang dibesarkan ayam pun mampu meleter:
xiv
berkoteklah sampai berbusa mulutmu, aku akan terus menyeruput lunau yang tak bisa kau kais dengan cekermu (Sajak; Ayam Beranak Itik, hal. 42) Syarifuddin Arifin juga tak lupa mencoba mengglobal dengan gaya puisi haiku Jepang yang terkenal, walau tak juga melupakan warisan tradisinya pantun dan gurindam (simak Haiku: Galau (hal 70) dan Mengurai Padang (hal 54) seperti paparan Nirwan Dewanto dalam temu sastra di Bogor pada acara memperingati kedikdayaan Chairil Anwar yang sajaksajaknya ditilik lebih membumi, walau dalam kadar tradisi lanjutan: Saya telah menekankan Chairil Anwar sebagai penerus tradisi persajakan sebelumnya;... Di titik ini saya hedak menekankan bahwa sajak bebas pun sebuah konvensi, khususnya konvensi dalam khazanah puisi moderen se dunia, dan dengan ini Chairil Anwar menyatukan dengan sastra dunia se zamannya. Dengan kata lain, sajak bebas pun adalah hasil disiplin yang tersendiri. Pun dalam khazanah kita, Chairil Anwar bukan orang pertama yang mengerjakan sajak bebas; sejumlah penyair Pujangga Baru seperti Roestam Effendi. J. E. Tatengkeng dan Amir Hamzah pun sudah melakukannya. Daftar Pustaka: Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar Putranto. tanpa tahun. Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan.Depok: Penerbit Koekoesan Nirwan Dewanto. makalah di Forum Sastra Bogor, 28 April 2012, Situasi Chairil Anwar. belum dipublikasikan. Seno Gumira Ajidarma. 2008. Kentut Kosmopolitan. Depok: Penerbit Koekoesan
xv
UCAPAN TERIMAKASIH
Tanpa bantuan dalam bentuk ide/pemikiran, dukungan moral, tenaga, dana, perkoncoan maka Kumpulan Puisi: MALING KONDANG ini tidak akan pernah terbit. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terimakasih kepada: Padang: Rusli Marzuki Saria, Darman Moenir, Hasanuddin WS, Nasrul Azwar, Sastri Yunizarti Bakry, Yusrizal KW, Hermawan, Mahatma Muhammad, Muhammad Ibrahim Ilyas, Halvika Padma. Jakarta: Sjafrial Arifin, Sastri Sunarti Sweeney, Wahyu Wibowo, Adek Alwi, Remmy Novaris DM. Semarang: Heru Emka (alm). Wonosobo: Ika Setyana Wirawati. Bogor: Cunong Nunuk Suraja. Aceh: LK. Ara, Hermansyah Adnan, Said Mahiddin Muhammad. Prawang Riau: Maman Yuherman. Pekanbaru: Herisman Is. Batam: Yus Marni. Malaysia: Dato SN. Ahmad Khamal Abdullah-Kemala (Kuala Lumpur). Belanda: Suryadi Sunuri (Leiden). Hongkong: Dianing Rizkie.Utami Teater Nan Tumpah Padang, Taman Budaya Sumbar, Teras Budaya Jakarta, Kelompok Studi Sastra Bianglala, Dapur Sastra Jakarta, Nusantara Melayu Raya (NUMERA) Malaysia (Syarifuddin Arifin)
xvi
DAFTAR ISI Pengantar ..... Membaca Syarifuddin Arifin oleh Dr. Wahyu Wibowo Identitas Budaya dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang karya Syarifuddin Arifin oleh Cunong Nunuk Suraja Ucapan Terimakasih .... Daftar Isi .. Lembah Anai Biduk Berlalu ... Bayi pun Menipu Tajin Perkawinan Renta . Kenikmatan Duri .. Mencangkul Api Setangkai Amsal Bom ... Bus . Lapangan Segi Tiga ... Bukan Padi Buahnya . Kerinduan yang Pecah .. Ah, Itu Bukan Bunga Terjebak ke Dalam Kancah .. Lalu Kita Menari .. Petaka Pataka Bedil Serumpun Bambu Murka yang Mendesak . Rindu yang Terbang . Gelombang Dalam Peratap Mayat ... Rindu Benalu Kontradiksi .. Bengkalai Utopia .. Gonjong Patah Dua .. Terrtikam Bayangan . Sepantun Daun Ubi .. Rindu yang Terbelah Cinta Kartika ............. xvii v vii xi xv xvii 1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12 13 14 16 17 18 19 20 21 22 24 25 26 27 28 29 31 32 33
Dan, Malam di Kamar Kembali Sepi Menggenggam Jejak . Ketika Bumi Menggeliat ... Apa yang Lebih Sejuk ....... Astaghfirullah .................... Maling Kondang ................ Bulan yang Lain ................ Beginilah Jadinya .............. Ayam Beranak Itik ............ Ngilu .................................. Kepinding *) .................... Batu Dalang ...................... Aku Nyaris Lupa, Kekasih! .. Dendamlah Angin .............. Sumpah Seperinduan ......... Putri Raja di Sarang Penyamun *) Ketika Ibu Pergi ................. Debu .................................. Mengurai Padang .. Di Pintu Komatkamit ........ Tekateki Purba ................... Lagu Sesuka ...................... Tali Tiga Sepilin ................ Di Negeri Pelacur yang Pekak .. Zikir Kalbu Aroma Malam Tersebab Benalu Haiku: Galau .. Komisi di Secangkir Kopi . Hamil Tikus ... Mata Siapa dalam Bayangan? ... Aku Bukan Merampok .. Takut Taktik .. Demi Setetes Embun . Menyepak Siang Berkemaslah! . Syarifuddin Arifin (Curiculum Vitae) ... xviii
34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 51 53 54 59 61 63 64 65 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
Syarifuddin Arifin
Lembah Anai
rel kereta api meringkuk dingin sejumlah kera menggaruk perutnya kudengar pekikmu sambil meronta dan jembatan besi yang diam termangu mencatat kemesraan yang tertunda; bibirmu mengatup ketakutan! air terjun memercikkan embun melumutkan bebatuan meriak kenangan masa kecilku lembah yang hijau dan terowongan menembus bukit batucadas aku menyimpan kengerian; memeluk buntalan di pangkuan! inilah lembah pertama yang kukenal lembah anai yang rimbun meniupkan embun membawaku terbang ke masa lalu keperawanan hutan dirampas begitu saja kera-kera itu berloncatan dari satu pohon ke pohan lainnya berayun lalu mencibirku menadahkan tangan mungilnya; di hulu air mengeruh sampai ke hilir!
(Lembahanai, 2001)
Biduk Berlalu
tak ada yang berkayuh hari ini tapi biduk itu meluncur jua menikam jejak yang tertinggal berlalu begitu saja menyeret danau kenangan menyeret nasib petani ikan muara yang diam menyuburkan encenggondok menimbun permukaan air biduk membelah lalu bertaut lagi menghilangkan riaknya menghilangkan gambarnya tak sedayung mendusta waktu memburam gambar diamkan riak nasib berkuyup masa lalu biduk lewat kiambang beranjak biduk pincalang mengumandang irama sumbang di mana-mana mendendangkan menidurkan lalu terbenam ke dalam mimpi terngiang-ngiang di tengah padang keramba menyisakan ikan lekang
(Maninjau, 2001)
2
Syarifuddin Arifin
Bayi pun Menipu Tajin apa yang kita inginkan dari sebuah pesta? haus dan lapar telah ia sempurnakan orang-orang berjingkrak, lalu tertidur pulas dan bermimpi tentang demokrasi versi negeri ini berapa banyak mereka yang kita laparkan lalu menipu bayi dengan kempeng atau dot dan bayi-bayipun menipu kita dengan tajin busung lapar, rawan gizi membawa keranda lalu diarak ke sebuah upacara mematikan potensi yang bernas dan membuangnya ke laut lepas ada senyum yang tak kita inginkan mayat terapung-apung dibelai gelombang dan terdengar pernyataan; semuanya tersalurkan! angin laut membawa kabar sambil menyelam mencari keajaiban dan tertidur selama-lamanya selama-lamanya
(Padang, 2001)
Perkawinan Renta
ketika renta kawin lagi cincin belah rotannya retak ditimpa airmata (Padang, 2002)
Syarifuddin Arifin
Kenikmatan Duri
aku tahu kalau hidup perlu kemudi tapi pendayungku cuma satu kau pun tahu kemudiku penuh duri tapi duri itulah kenikmatan semu kita tahu pelayaran hidup ini menuju ke sebuah titik tapi mengapa titik menjadi pasir di pantai? kita memerlukan kemudi hanya satu, tanpa duri, tanpa pasir tapi ombak mengasahnya sepanjang hari membiarkan cinta digores birahi kenapa kau berteriak menahan perih sambil mengelus-elus borok sendiri?
(Padang, 2002)
Mencangkul Api
begitu letih keringat mengaliri semangat membakar, berbuihbuih monoton, lalu memaksa dedaun melambaikan tangannya tanpa setiup pun angin yang mampu mengatur ritme pernafasan yang semakin sesak ini bagaikan gendrang bertalu terus mendambun-dambun dada yang keropos ini lalu bergolaklah api, melambai-lambaikan cangkul di mata yang memerah dan menulis di selembar angin yang terbang mengawan membawa kabar tentang ketakmengertian orang-orang berteriak parau, aku mencekik adrenalin yang tumpah, membenamkan api sampai air bernyanyi pada suhu lebih seratusdrajat; glokglukglokglukglokgluk dan api terus melambai mencangkul; cangkul yang dalam, sampai berderingan air mengabarkan uapnya
(Jakarta, 2002)
Syarifuddin Arifin
Setangkai Amsal
amsal tak lagi disukai tapi ia selalu datang dan tak pernah mau pergi meski sejumlah tanda-tanda telah ia tawarkan untuk dimaknai amsal dituding sebagai biang yang menjadikan semua gatal dan suka berandai-andai melihat angin yang melesat tajam menyayat sembilu lalu memberondong bagai anak panah lepas dari busurnya menancapkan keyakinan di balik ketakadilan lalu amsal digugurkan dari pohonnya yang rindang daun yang mengering bermain dengan angin begitu asyik membuat bola-bola lalu mengerucut pada tangkai yang tak sudi amsal menangkap beribu makna, lalu menebarnya pada tanda-tanda dan mencabut keyakinan yang tertancap pada ketaksukaan
Bom
begitu indah goyang pinggul penyanyi dangdut itu orang-orang menghentak, meliuk bagai layangan di udara mengalun bersama cuaca yang benderang (tak terduga di belakang angin yang bertiup santun seekor harimau terbang memangsa semua kegembiraan itu) betapa sulitnya menyusun strategi menepis gabak yang menutupi mataangin delapan penjuru telah diracik kesengsaraan mengintai setiap jejak jejak siapa yang bukan alif? (sejumlah langkah terantuk di balik spanduk lalu angin kelabu membelai kisah cinta terbaru sejumlah sumpah diterbangkan angin ke pangkuan gabak yang legam jatuh di hulu sungai mengabarkan keperihan sampai ke muara) bau belerang aroma dan parfum bagi sebuah perjuangan bagai seekor onta menarik langkah di teriknya padang pasir menghela nasib harimau bagaikan kucing yang dibuntingi tikus (tapi kucing meringkuk dalam asbak menyatukan abu rokok yang menyulut dada setiap anak bangsa yang mengaum lewat radio dan televisi mencari punggung siapa yang bungkuk di antara kita) merdeka ! dan meledaklah kegembiraan itu
8
Syarifuddin Arifin
di atas penderitaan kita masihkah goyang sumbang itu mampu menyatukan kanak-kanak di lapangan merdeka, sementara kita berpesta dengan ketakutan?
(Padang, 17/8-2003)
Bus
setelah memetik bunga di halte itu, aku meloncat masuk ke dalam perut bus dan menikmati aroma beraneka warna tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarku setelah layu, aku pun singgah di halte berikutnya entah berapa stopan bus yang kusinggahi dan meninggalkan bekas pada setiap tangkai bunga di sekitarnya. banyak kota dan ribuan kilometer telah mengantarku dari satu terminal ke terminal lain, dan anehnya aku tak pernah tahu bus-bus yang telah memabukkanku di sepanjang perjalanan hidup ini. tapi jalanan itu menggerincing bagai rantai ditarik musik sumbang dan berkali-kali aku meleleh memekikkan persatuan, bersipongang dari barat ke timur dari kanan kuucapkan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh lalu menoleh ke kiri dari dalam beraneka bus aku belajar memahaminya
10
Syarifuddin Arifin
Di Lapangan Segitiga
di lapangan segitiga kita bertarung; di dua sudut empatlima kau pancang bambu dua buku lalu di sudut sembilanpuluh kau kibarkan pusaka ibuku kau membentang kain panjang dan memaksa aku menulis puisi di atas tubuhmu kencang sangat merumputlah sapi sambil mendengus benderamu berkibar lagi mengklepak-klepak tertiup angin aku suka bambu dua buku di setiap sudut itu, katamu lalu bambu itupun aku makan menggelepar di lapangan segitiga kulihat sebaris bebek pulang petang menjatuhkan telornya begitu saja senyummu mengantarkan puisiku entah ke mana
(Sawahlunto, 2003)
11
12
Syarifuddin Arifin
(Padang, 2004)
13
Syarifuddin Arifin
memakan melumat siapa saja pahit si bunga pahit mekar sepanjang jalanan menuju istana menuju surga (Jakarta, 2004)
15
16
Syarifuddin Arifin
17
Petaka Pataka
maka berkibarlah panji-panji beraneka warna mengalahkan pelangi yang melengkung di kala senja menanam tebu di bibirnya bak seulas jeruk manis sepantun durian matang mengirim haus dan lapar pada aroma dan kuning emasnya lalu bersipacu pataka itu saling patah mematahkan dan petakapun datang menghanyutkan sukma menimbun pelangi senja menguapkan segala aroma dan, menyisakan kegelisahan di sesama kita. (Depok, 2004)
18
Syarifuddin Arifin
19
(Padang, 2005)
20
Syarifuddin Arifin
(Padang, 2005)
21
Gelombang Dalam
bangun pagi angin membadai berdesir dada ini, lalu mengaum tak terkendali terlalu banyak yang harus dicerna, segelas air dingin telah membasahi kerongkongan, dan seketika mengamuk bagaikan gelombang dahsyat yang akan menyungkup sebuah pulau orang-orang berlari mengejar ketinggian, gelombang berada dalam tubuhku sementara sepasang remaja menciptakan surga, berurai airmata menggeliat bagaikan seonggok ulat yang menggelepar kekenyangan hingga gelombang dahsyat itu menenggelamkan keyakinan mereka lalu jalan terhuyung bak gempa meluluhlantakkan sebuah kota lari kemana? gempa di dada kita berdentum hingga menanggalkan keyakinan di gugusan bukit barisan, kusaksikan bunga bermekaran menebar aroma kehidupan dan suara unggas memadu irama keceriaan pagi mentari sepenggalan, tapi kota jadi sepi dan kerinduan terabaikan begitu saja tak ada yang tahu, siapa yang dipilih Nuh naik ke kapalnya yang bersandar perkasa di dada gunung sebuah kapal nongkrong di perkampungan jadi tontonan tanpa airmata
22
Syarifuddin Arifin
kisah itu kini menjadi konsumsi kita sebuah kenyataan telah meremas kemanusiaan gelombang dalam, paling dalam berdetak di dada dan darah tak pernah berhenti mengalir menyaksikan penanggalan lepas satu per satu menikmati siang dan malam silih berganti sambil melafaskan keagunganNya kenapa kita masih saja tak membaca? fenomena alam adalah guru, pemikul dosa muridnya yang kini jadi koruptor dan penguasa tak berhiba diamlah gelombang dahsyat, berhentilah mendambun dada yang keropos ini. asma Allah yang dipekikkan dari menara masjid, tetap saja jadi penanda waktu, menggarap bumi hingga keringat berdarah-darah lalu menggelombang menghanyutkan keyakinan dan gempa yang dahsyat telah melepaskan jantung-hati kita Nuh pun berkayuh mengikuti zaman, penumpangnya penuh keceriaan selagi tak mampu melumpuhkan gempa di dada maka muntah itu tetap saja kumuh amis dan menjijikan.
23
Peratap Mayat
demikianlah, perempuan itu akan selalu meratapi mayat setiap pelayat datang, ia buraikan airmata berloki-loki dilantunkannya lagu sedih sambil terus menggapai dan menggapai tersingkap kain di betisnya putih bak umbi memeluk dan mengguncang jenazah bagai membangunkan anak yang selalu menggeliat setiap bangun pagi setiap pelayat menghampiri mayat ia kembali meratap menguras airmata mendendangkan kebaikan almarhum menangisi nasib peruntungan meliukkan kaki dan tangan menyesali bahkan mengutuk kematian menyerapahi penyobek kafan mempradugai air pemandian ratap dan tangisnya membasahi jalan menuju kuburan bagai mabuk alkohol ia merayapi tanah gembur galian sambil terus berpantun bergurindam berkulindan menyergap pengusung keranda dengan kesedihan demikianlah, ia meratap menangisi setiap ada yang pergi memeras airmata parapelayat memendungkan suasana di mana-mana, ke mana-mana, ia akan selalu begitu menyiasati irama sumbang tentang kematian dan, ketika perempuan itu meninggal tak ada yang meratapi mayatnya tak ada yang menangisi jenazahnya tak ada yang melantunkan dendang sedih tak ada yang menyesali kematiannya tak ada airmata (Padang, 2006)
24
Syarifuddin Arifin
Rindu Benalu
bagaikan benalu yang menghisap tempatnya berpijak, meregangkan cambium yang tahan segala cuaca, kau berteriak dari atas podium lalu memecah atmosfir kehidupan negeri ini menarik neraca angka kemiskinan lalu merangkak ke negeri lain meminta (memohon) bantuan atas segala bencana tapi bencana demi bencana, silih berganti datang menimpa tanpa air mata, karena airmata telah menghanyutkan kerinduan pembunuh benalu yang diam-diam mencakar dan mencabik kemanusiaan kita Tuhan! campakkan mereka ke nerakamu, karena selalu merindukan benalu di atas penderitaan kami
(Padang, 2006)
25
Kontradiksi
di hutan belantaraku tumbuh pohon emas mencuat tinggi bagaikan monas subur merimbun memuncratkan gas di jakarta kotaku sawah dan ladang mengering gajah terduduk kehilangan gading migran menumpuk diiming-iming (Jakarta, 2007)
26
Syarifuddin Arifin
Bengkalai Utopia
masih saja bengkalai itu tegak kokoh berpuluh tahun berhujan dan berpanas tanpa lumut dan ulat-ulat kecil yang biasa menggerogotinya lalu setetes minyak telah mengharumkan semua tanpa aroma kimia yang didatangkan dari italia tanpa keinginan spionase yang menelisik sebuah kejanggalan kita menikmatinya menahan kepedihan yang kian mendalam dagu lebah menjuntai di bawah bibir sepanjang waktu menabung manisan lalu seulas senyum madu menikam jantung hati kaum papa siapa yang berani menginjak lebah yang mendengung di bawah dagu itu? bengkalai itu semakin kokoh tetap saja menjadi monumen kemiskinan di negeri penampung airmata dari ratusan juta warganya negeri yang kaya raya busung lapar penyakitnya berpuluh tahun menanti utopia!
(Padang, 2007)
27
(Padang, 2007)
28
Syarifuddin Arifin
Tertikam Bayangan
gelanggang apakah ini, cahayanya membias wewarna saling silang menusuk kebahagiaan tak pernah melepaskan diri dari kerinduan malam yang ditimbun embun, pentilasi tak berdaun warna apa yang begitu kuat untuk sebuah kenikmatan atau saling mengintai kemisterian cinta ada bayangan dalam kolam, menciptakan narchisus dan mencekiknya pada kepuasan pribadi wah! siapa yang terbunuh akibat kekuasaan yang mengalir begitu deras mengungkung arus membiarkannya hanyut bersama mimpi semakin abadi sebungkah batu yang dibelai malingkundang karena debur ombak membeku di dadanya dada gunung angkuh, longsor ditraktor lalu cinta berpasir-pasir hanyut ke hilir mengalahkan semua kelembutan rembulan sampai hari ini masih saja menjebak padahal kita telah mencatat pohon di tubir itu tumbang dan pekik peri perpisau-pisau narchisus muncul sambil bersolek tanpa kaca (tak membanding) akankah berlama-lama perenggut kenikmatan membunuh cinta
29
yang Kau terbarkan ? di ranjang berlian malinkundang dan narchisus meletakkan beban pelan-pelan lalu menyatu, anginpun berhembus. (Padang, 2007)
30
Syarifuddin Arifin
31
(Padang, 2008)
32
Syarifuddin Arifin
Cinta Kartika
(pada mak Rosnani Sulong) mengalir mulus drama siri itu, kumaki dan kumaki lelakiku mengerling kartika di hospital mendarahi turunan danau maninjau airnya menyebarkan cinta berbunga-bunga ke semenanjung ini menyekat di pembuluh pembukuan bambu ketemu saudara sepesukuan lalu pada bibir yang sama lelakiku berontak; tahan libidomu sayang! diayun riak gelombang selat melaka memerihkan mata hati ini kartika bercinta kulakonkan di tanah melayu putus nyambung ke muara bertaut pantai sumatra dan pulau-pulau kartika meniupkan angin kembara, aku rindu mak; lakonmu semerbak ke mana-mana!
(Kualalumpur, 2008)
33
34
Syarifuddin Arifin
Menggenggam Jejak
berlari di kegelapan malam sambil menghapus jejak aku menggenggamnya dalam kecemasan membaca langkah-langkah sumbang yang tercecer di sepanjang jalanan berlanyah, dilunyah telapak kaki yang kekar dan angker, berbungkus sepatu kekuasaan tak ada kecemasan selain menyimpan jejak para politisi karena kekuasaan bisa saja bertindak lalu membakar jejak yang kugenggam menghanguskan catatan kelam tentang negeri yang menyimpan dendam di malam yang sepi dan lengang kucoba membaca jejak mereka kutemui telapak kaki sumbang mendenyut kuat rasa curiga sederap langkah mereka tersusun rapi dalam sistem yang diundangkan mengumpul jejak dalam hujan angin meniupkan pelan-pelan lalu mengabur sampai ke tujuan kita tetap saja mendekam membaca dalam kelam (Padang, Mei 2008)
35
36
Syarifuddin Arifin
37
Astaghfirullah!
astaghfirullah! tanpa mimpi-mimpi berguncanglah tempat kami berpijak lalu dalam sekejab tangan kekar itu mengulur dari keluasan laut dan mencengkram bagaikan gagak menggunggung mangsa meninggalkan luka yang menganga tak berdarah pekik pilu pun menjadi sepi, tak bersuara, dan airmata mencair menghanyutkan ribuan jasad manusia kenapa Kau pilih negeri ini? bagaikan lidah raksasa menjulur amis baunya menjilati negeri kami lalu: Kun! maka menjadi rata semua cinta jadi laut bersama kekuasaanMu tanpa sekalipun bermimpi tiba-tiba diujudkan kenyataan ini sesaat kemudian pun jadi bisu lalu histeris melidahkan asmaMu sungguh, Engkaulah Kepercayaan Teguh yang melenyapkan bermilyar dendam hingga tak lapar, meski sawah jadi padang ilalang sampai tak haus, karena keringat tlah mengikis miang lenyaplah semua kerabat, bersusun mayat di lapangan astaghfirullah! selain keperihan nyata tak bertanda dalam mimpi cobaan Kau kirimkan, melumpuhkan keangkuhan kami di pundak ini, hinggap seribu hercules, tertatih memikul bumi astaghfirullah! (Padang, 0ktober 2009)
38
Syarifuddin Arifin
Maling Kondang
duduk di atas angin ia semakin kondang melesat menembus langit nyangkut di bahu matahari berberita ke bilik tetangga, berdecak kagum ia tunggangi pelangi ke negeri apsari bersahut media saling menyebut saling debat dan beropini kemurkaanpun mekar jadi dendam hingga melaut ludah dalam mulut rupiah ia kebiri, memperkosa ibu pertiwi tak ada yang bisa menyentuhnya mentari menjilat dan hangus terpanggang duduk di kursi angin ia semakin kondang menjadi maling di negerinya sendiri katanya bukan korupi, tapi komisi setajam apapun lidah politikus membatu hati bak Malinkundang debat dengan pakar sekali gus media berberita berulang-ulang mengalahkan penderitaan rakyat dari musibah yang mereka dapat
(Padang, 2010)
39
40
Syarifuddin Arifin
Beginilah Jadinya
gemericik air terasa sumbang di kamar mandi itu tiba-tiba mengalirkan darah ke segala arah mengusik tidurku yang tak nyenyak suara itu semakin riuh mendebarkan seluruh bagai gendrang ditabuh tak henti menjelang subuh bertalu-talu, menggemuruh semakin sumbang semakin garang (Padang, 2010)
41
(Padang, 2010)
42
Syarifuddin Arifin
Ngilu
dada ibunya kempes si bayi mengisap jari (Padang, 2010)
43
Kepinding *)
kepinding itu bersarang di huluhatiku lalu mereka beranakpinak menggerogoti hati dan jantung bahkan ikut mengatur denyut nadi ini bagi kepinding menghisap darah segar tujuan hidupnya meski bila tertangkap ia akan mati ditindih gigi atau kuku maka aku pun berubah menjadi kepinding segala niat di hati dihisapnya aku jadi sunsang! mematuk saudara sendiri dihina dicerca dibicarakan di mana-mana berbuah bibir di lepau-lepau makin disebut makin kondang dan, diam-diam kubangun istana dari sumpah serapah mereka
44
Syarifuddin Arifin
Batu Dalang
dalang yang cerewet itu tiba-tiba jadi pendiam seperti malinkundang seperti malinkundang? lalu sang dalang bercerita pada batu batu pun manggut-manggut dalam diam sejak itu sang dalang memecat dirinya sebagai pengisah dalam pewayangan lalu jadi batu 'tak ada yang lebih beruntung dari batu meski dibenci ia tetap diperlukan sampai hari ini' ia pun membatu! (Padang, 2011)
45
46
Syarifuddin Arifin
Dendamlah Angin
tiba-tiba Kau melintas begitu saja! gabak menggelombang menerkam awan membawa kabar tentang kelaparan langit menjelma gagak hitam hujanpun jatuh menyungkup malam siapa mengibas bencana? semakin dendamlah angin kepanasan membujuk gemawan angsa berpatuk emas menyisir siang membakar mentari menggalang gulita tak sekunangpun siapa berbibir kina? meringkuklah parapapa di abu kepalan mencatat musibah di perut piala pas meninggalkan jejak kemiskinan berperi kelak dirawikan dalam kepedihan berjibun tiba-tiba Kau melintas begitu saja!
(Padang, 2011)
47
Sumpah Seperinduan
bersumpahlah untuk sebuah keyakinan lalu pegang teguh sampai turun temurun tumpah ruahkan darah seiliran yang telah membeku bertahun-tahun darah itu kini mencair dalam aortaku mengalir dari kakek turun ke rahim bunda lalu anak-anak bertutur sampai ke cucu berbangsa-bangsa satukan bahasa tapi di tanah ini, telapak kaki meleleh kepanasan berteriak parau dalam ketakmengertian meringis ditindas saudara seperinduan hanyutlah sumpah di air sepeminuman (Padang, 28 0ktober 2011)
48
Syarifuddin Arifin
49
sulit dipercaya; kentonganpun bertalu-talu sampai ke pelosok desa menggema ke tengah sawah dan ladang menggaung sampai ke puncak gunung, lalu mereka pun berduyun datang ke istana membawa buahtangan; pisang, sayurmayur, rambutan, ketela, jagung, kentang, padi, telor, ikan bahkan ternak kambing, ayam dan bebek. Para buruh, kere membentangkan tikar dan memasang tenda, bergotongroyong. Tak satupun kado berpita emas, tak ada yang memberi bpkb kendaraan mewah, tak ada penyerahan sertifikat tanah atau rumah, tak ada cek bilyet bernilai milyaran rupiah, tak ada kapal pesiar untuk berbulan madu, tak ada tetamu borjuis atau selebritis, tak ada sepatu mengkilat, tak ada jas dan dasi. sulit dipercaya; kalau hari ini, banyak yang merindukannya
(Padang, Nov 2011) *) diilhami dari roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisyahbana
50
Syarifuddin Arifin
3. gabak menggumam di langit seperti disilet, disayat-sayat aku menangisi kealpaan aku memendam penyesalan terpaku di kuburan tanahnya terasa hangat hujan menimbunku bertubi-tubi bertubi-tubi! (Padang, selepas magrib, 8 Nov 2011)
52
Syarifuddin Arifin
Debu
bila terusik debu akan mengepul dan terbang bagai serombongan merpati mengaburkan jendela, memerihkan mata kita menghirupnya dalam-dalam, lalu batuk-batuk menumpuk di huluhati, mendesak pernafasan mendahak ke mana-mana menebarkan virus ke mana-mana menggerus paru-paru kita batuk melantun ke mana-mana terantuk ke dinding kaca menggaung ke istana mengetuk hati penguasa membulalang memerahkan mata adrenalinnya mendesak: heuk heuk heuk! menumpuklah debu menghitamkan hati menggelapkan nurani sapu-sapu pun ditimbun debu semua berkas berdebu merayap bersama angin, menimbun konstitusi mengaburkan tatakrama, mendebu komisi mengaburkan segalanya, tanpa nurani tak ion sedebu pun bertiup tak debu penghalang hidup (Padang, 2011)
53
Mengurai Padang
Padang Panjang tikungan tajam di mata pedang turunan terjal licin selayang
Padang Bauk darah membeku di rantau jauh lidah rang minang tetap tersepuh
Padang Bulan garuda nyasar hinggap di sini sepantun si pungguk melepas birahi
54
Syarifuddin Arifin
Padang Kata-kata beribu kata terucap di sini berjuta makna kehilangan arti
Padang Ilalang pipit terperangkap bau padi tikus beranakpinak ngisap umbi
Padang Alai sesayup gumam zikir ketipak indang bersahutan serunai mendayu di kuburan
Padang Rumput masih saja merumput seperti bandot anak-anak menyepak bola para bandot mengutil rumput hijau rebutan kursi bergelanggang kursinya melayang-layang seperti bola, ditendang, diterjang
Padang Ranggas harimau mengurai kerisik singa rindu diterkam monyet padangpun meranggas penuh kolesterol dendam kehijauan
56
Syarifuddin Arifin
Padang Jelatang di padang jelatang telah dibangun tiga pilar penyangga negeri; executif, legislatif, dan yudikatif yang berurusan dengan ke tiga pilar ini pasti akan gatal kena miangnya lalu menular pada rakyat jelata miskin, lapar, bodoh, dan menderita asyik menggaruk-garuk ketiak, pantat, bahkan jongkok menggaruk selangkangan, perut dan mengurut dada.
Padang Pasir berlari ke tengah padang diguyur hujan berpasir-pasir gunungpun berpindah menyungkup oase tak air keringatpun jadi
Padang Simpang di persimpangan ini anak dagang membagi matahari, bulan dan bintang-bintang lalu dibawa pulang untuk tunangan tersayang yang akan menyimpan botol pusaka usang
57
di tengah padang mereka berkumpul menghitung untung dagang menghitung nasib yang lekang
Padang Karbala di sini adam dan hawa menurunkan anak cucunya bergelambir cairan ketuban yang anyir dan najis itu lalu menyeruak ke seluruh daratan menyemak seluruh larangan menggunungkan dosa lalu berdoa dan berdoa subhanallah! (Padang, 11-12)
58
Syarifuddin Arifin
Di Pintu Komatkamit
apapun kepercayaannya melacurkan tubuh atau jabatan tetap saja dipinggirkan tapi penguasa itu, dan wanita itu berbusa-busa mulut dan selangkangnya berdendang dan menari menikmati kesengsaraan negeri ini seakan merekalah tuhan yang menentukan siapa yang makan atau puasa hari ini lalu tuhan itu berguling di ranjang kapuk kasurnya berburai dan mereka mandi rupiah berderai-derai sampai buah dada wanita itu jatuh menimpa zakar pasangannya meleleh darah dari mata mereka dan sperma penguasa itu merangkak menangisi rahim tak bermalu menangisi rahim tak berpintu lalu membusuk terbungkuk-bungkuk terbatuk-batuk tak ada yang membezuk orang-orang pun mengutuk
59
(Padang, 2012)
60
Syarifuddin Arifin
Tekateki Purba
satu bejana berdinding emas, tak berpintu tak berjendela ratusan butir berlian hitam berserakan di dalamnya istana merinding panas, siapa tahu ada kudeta menangis selir dibungkam, gerangan apa kiranya? batiak membusuk membungkus tubuhnya! dua kalau pergi menghadap pulang ketika pulang seperti hendak pergi perian bambu kehilangan miang darah berdesir, apakah yang terjadi? tenggorokan gatal sejak di tapian tiga ke rumah baru sangatlah ramai setelah itu sombongnya setengah mati membakar kemenyan berbunga rampai menebarkan wewangian, tebaklah ini. ustano dirancang dari singgasana empat di luar; anti pecah, anti basah, anti bakar, anti demo di dalam; sembunyi di telapak kaki adakah bayangan di kelelahan bunda berhujan berpanas ia terus mendaki
61
ngeri menebak bayangan sendiri! lima duduk di batu sebulan lamanya membelah badan makanya hidup ah, lima tahun, kapan berkoteknya?
(Padang, 2012)
62
Syarifuddin Arifin
Lagu Sesuka
sesampan sekayuh biduk melenguh sapi dalam rendang sebadan setubuh duduk mengaduh kursi dalam ruang menangis kursi dalam gedung pantat pemiliknya penuh duri mengais rejeki mengadu muncung aparat seenaknya kalau korupsi naik naik ke puncak gunung tinggi sangat tinggi sekali saling menghujat dalam gedung rakyatpun muak jadi benci
(Padang, 2012).
63
(Padang, 2012)
64
Syarifuddin Arifin
sementara wanita malam yang tak pernah tidur dibanting dan ditindih sejumlah uang dihamburkan ke kasur siangnya mereka dinista sampai hancur di negeri yang laknat para pelacur menghancurkan pelacur para wanita penghibur dijadikan umpan lalu bau alkohol dan asap rokok menyungkup mereka dibuai narkotika memungut mimpi, menciptakan surga rakyat menderita di tikar neraka di negeri para badak yang pekak tak mempan sindiran pantun atau sajak wanita malam, berhentilah melapak biarkan mereka saling teriak-teriak lalu anak negeri kan bergolak amarah rakyat menggelegak Tuhan, musnahkanlah negeri para pelacur penghisap darah dan nanah! tenggelamkan ke dalam apsariMu (Padang, 2012)
66
Syarifuddin Arifin
Zikir Kalbu
digores kuku perihku malu-malu geli dan ngilu kuraih awan membisu perawan menjeritkan kenangan menjauh tuhan dari zikir tertahan akupun terban (Padang, 2012)
67
Aroma Malam
tanpa wanita itu, malam ini seperti jamban bau tak sedap samasekali bagaikan pianggang mengerumuni cahaya lalu menebarkan penyakit berbunga-bunga di lembaran duit
tetap saja tak wajar sekadar menghamburkan hasil kongkalingkong uang haram pembeli yang haram mengiris-iris hati lalu asap rokokpun mengepul bau alkohol menebar sampai ke selangkangan mereka rahim siapa yang berteriak histeris ! tak sudi disinggahi berkali-kali kumbangkah atau kupu-kupukah yang menyelam sambil menghisap sari? seperti juga kita terkadang lupa memisahkan halal dan haram bau keringat dingin kumbang dan kupu-kupu membungkus sayapnya di balik jeritan ketaksukaan (Padang, 2012)
68
Syarifuddin Arifin
Tersebab Benalu
membusuk kayu cendawan mekar berpayung api mengepulkan asap menggabak langit menipu mentari panas menggigit kekuasaan terik! tarik menarik kayu melapuk apipun makin garang habis semuanya maka tumbuhlah benalu di antara kita saling memangsa (Padang, 2012)
69
Haiku: Galau
jaring terurai dipeluknya bayangan mengharap gabah ** suara badai gelisahkan nelayan tak pernah kalah *** jatah si miskin obat-obat generik macam kerikil **** anak perawan bergaya di jalanan cari pembalut (Padang, 2012)
70
Syarifuddin Arifin
(Padang, 010312)
71
Hamil Tikus
hamil? kata sabay terlonjak dan memeluk istrinya akhirnya istriku hamil, dia tidak mandul, lanjutnya dan ia kabarkan pada setiap orang diam-diam sperma tikus nyangkut di rahim istrinya. perutnya membusung bagaikan zeplin tersandar di dinding ngarai suatu pagi, tiba-tiba perut itu kempes kau taruh di mana bayi kita, sayang? dengan senyum, sang istri menunjuk lemari "kembar 45, mencericit seperti tikus," jelasnya dan berloncatanlah tikus-tikus itu ke pangkuannya; papa, papa gendong aku ya aku makan mata papa aku suka hidung papa telinga papa gurih bibir dan lidah papa tak bertulang sabay terkapar di depan lemari yang menyimpan rahasia hidupnya "jangan habisin papa, nak amat lirih suaranya (Padang, 2012)
72
Syarifuddin Arifin
73
(Aceh, 2012)
74
Syarifuddin Arifin
Takut Taktik
tak sekam memendam jua, tak api berasap jua, tak kayu membara jua, tak ragu gelisah jua tak panas membakar jua, tak lidah memfitnah jua, tak suara memekik jua, tak datang hadir jua, tak peluk dirangkul jua, tak lari dikejar jua, tak diam gelisah jua, tak libat disangkal jua tak lepas ditangkap jua, tak lihat nampak jua, tak korup dicurigai jua, tak maling dijatahi jua, tak jabat disalami jua, tak ikut disertai jua, tak debat meradang jua, tak demo membangga jua, tak kutak katik jua, tak mandi basah jua, tak dengar tahu jua, tak pikir pintar jua, tak ngerti politik jua, tak obat generik jua. takut taktik mengutakatik penyakit politik penuh intrik ! (Padang, 28 Maret 2012)
75
76
Syarifuddin Arifin
Menyepak Siang
orang-orang menyepak siang bulan sumbing tersenyum matahari malu merah pipinya gemintang mengerdip menunggu zaman meraihnya menanti bahu tak berdosa
(Aceh, 2012)
77
Berkemaslah!
di denyut nadi kuusai sajadah sampai remuk redam seakan terban ruh dari zikir yang khusu aku melayang jauh menembus langit menguak rahasiaMu lalu mengigau dan menggelepar sendiri! angin dan cahaya saling ingkar janji merenggangkan atmosfir hingga berpendar suara adzan mentari di ubun menancapkan panasnya keluasan membiru mengiangi telinga ini darah nyamuk yang membeku di sajadah kudengar suaranya; segera, berkemaslah! subhanallah! (Padang, 2012)
78
Syarifuddin Arifin
SYARIFUDDIN ARIFIN; Lahir di Jakarta, 1 Juni 1956. Berpendidikan: ST-KIP, Sumbar, jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia. Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen (1981) di Cibogo, Bogor oleh Majalah Sastra Horison & Majalah Kebudayaan Basis.Tulisanya dimuat di beberapa media cetak (majalah dan koran) Jakarta dan Padang, juga di Majalah Sastra Horison. Salah seorang penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Pernah di BUMI (Teater,Sastera dan Senirupa), pengasuh/sutradara di Teater Jenjang dan Teater Flamboyan Padang, mendirikan Sanggar Penulisan MASA Padang (1984), mantan pengurus Dewan Kesenian Padang dan Sumbar. Telah melakukan perjalanan sastra & budaya dan jurnalistik ke Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Buku Puisi: Ngarai (1980) diterbitkan Kolase Kliq Jakarta. Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998) ditebitkan Taman Budaya Sumbar, dan Maling Kondang (2012) terbitan Tersa Budaya Jakarta. Beberapa antologi bersama, al. Sembilan (1979) oleh Kolase Kliq Jakarta, Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995) oleh Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Parade Karya Sastra se Sumatera-Jawa (1995) oleh Forum Sastra Bengkulu, Hawa (1996) oleh Studio Sangkaduo Padang, Penyair Sumatera Barat (1999) oleh Dewan Kesenian Sumbar), Parade Penyair Sumatera (2000) Panitia Pameran dan Pergelaran Seni se Sumatera (PSS) Jambi, Suara-suara dari Pinggiran (2012) oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala.
79
Kumpulan Cerpen al, Bermula dari Debu (1986) oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat (HMSSB), G a m a n g (1989) oleh Sanggar Sastra MASA dan Taman Budaya Sumbar. Novel/cerbung al. Untuk Sebuah Cinta (2000) dimuat Harian Umum Haluan Padang, Sarjana Sate (2001) dan Anak Angin di Celah Awan Jingga (2002) Mingguan Sumbar Ekspres Padang. Memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 oleh PWI Sumbar, memenangkan Sayembara Penulisan Kritik Sastra,1984 oleh FPBS IKIP Padang, memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang, 1985, memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara, 1984. Pemenang Lomba Penulisan Kritik Seni Pertunjukan oleh Deputy Seni-Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,2003. Setelah memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen-Cerbung Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir dimuat sebagai cerbung di Majalah Wanita Kartini, 2004. Beberapakali mengikuti/peserta pada Pertemuan Sastrawan Nusantara, al, di Jakarta (1979), Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999). Kongres Kesenian di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres PAPPRI di Puncak Jawa Barat (2002) Selain itu ia juga pekerja teater dan pemain film/sinetron.-
------------------
80
Syarifuddin Arifin
81