Anda di halaman 1dari 96

Maling Kondang Kumpulan Puisi Syarifuddin Arifin Disain Sampul Yusrizal KW Tataletak Tim Visigraf Foto Herisman Is Penerbit

Teras Budaya Jalan Raya Lenteng Agung Timur gang. Zakaria no. 80 Jakarta Selatan. Telp/fax: 02132221011 E-mail:remmynovaris@gmail.com ISBN 978-602-98705-2-7 Cetakan Pertama Mei 2012

Copyright dilindungi oleh Undang-undang No. 19 tahun 2002

PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rachmatNya jualah, akhirnya Kumpulan Puisi Syarifuddin Arifin ini bisa terbit. Sebenarnya sudah cukup lama juga kita mengenal penyair ini, dan puisi-puisinya dalam Kumpulan Puisi NGARAI, 1980 diterbitkan Kolase Kliq Jakarta, dengan pengantar/endorsmen oleh Dami N. Toda, mendapat perhatian beberapa pengamat seperti Korry Layun Rampan, Wahyu Wibowo, Adek Alwi, Hendri Ch. Bangun dll. Tulisannya sering kita jumpai di media cetak (majalah dan suratkabar) terbitan Padang dan Jakarta. Tak lama setelah itu, ia pindah ke Padang bersamaan dengan menurunnya produktifitasnya, hanya sesekali memperlihatkan bayangan lalu hilang lagi. Ternyata penyair satu ini lebih suka memublikasikan karya tulisnya di daerah, meski sesekali ia tampak hadir di pentas teater dan sastra di berbagai kota. Setahun lalu, melalui telepon, kami menawarkan agar sajak-sajaknya bisa diterbitkan Teras Budaya Jakarta, bersama penyair asal Jawa, Hardho Sayoko Spb. Ke dua penyair dengan latarbelakang budaya yang berbeda ini, sudah saling mengenal, sesama aktif di Bengkel Sastra Ibukota (BSI). Sebagai penerbit buku-buku sastra, kami melihat ke dua penyair ini layak disandingkan mewakili Sumatra dan Jawa, selain tentu keduanya seangkatan. Tapi, gagal dan kami hanya menerbitkan buku puisi tunggal Hardho Sayoko Spb, Penyair Negeri Rembulan (2011), yang telah diluncurkan di Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin TIM Jakarta. Tidak adil rasanya, bila sejumlah sajak-sajak Syarifuddin Arifin (belakangan terlihat cukup produktif) hanya karena teknis dan lain hal, lantas kami dari pihak Teras Budaya Jakarta, mengabaikannya begitu saja. Namun karena keterbatasan kami di sana-sini, dan semakin menumpuknya
vi

order penerbitan dari kawan-kawan berbagai daerah, akhirnya dengan segala upaya kumpulan sajak MALING KONDANG Syarifuddin Arifin ini muncul sebagai hasil produksi/penerbitan ke 19 Teras Budaya Jakarta. Terimakasih. Penerbit Teras Budaya Jakarta

vii

Membaca Syarifuddin Arifin : Layar yang Terus Terkembang


Oleh: Dr. Wahyu Wibowo Apa yang enak dari sajak-sajak Syarifuddin Arifin? Sebutan Maling Kondang saja, alih-alih Malinkundang, agaknya cukup membuktikan bahwa penyair ini telah tiba di dunia estetika kepenyairannya; dunia yang menjadi hidupnya selama ini. If panggilan sayang saya kepada Syarifuddin Arifin adalah penyair yang numpang lahir di Jakarta ini, asli berdarah Minang dan kebetulan tinggal di Padang, Sumbar. Kebetulan yang saya maksudkan berkelindan dengan tata permainan bahasa sajak-sajaknya yang memang kental dengan aroma seni dan sastra Minang, yang semua orang tahu mengandung nilai-nilai aksiologi yang bukan main tingginya sehubungan dengan kekuatan tradisi budayanya. Bagi saya, If pun bukan penyair baru, karena kami pernah berinteraksi amat intens sejak 1980-an dalam sebuah wadah pencurahan kreasi penyair muda Jakarta bernama Bengkel Sastra Ibukota (BSI). Di BSI itulah berkumpul sejumlah nama penyair (yang ketika itu masih muda), yang entah mengapa terus saja menulis puisi walau kemudian memiliki profesi yang berbeda-beda, seperti Kurniawan Junaedhie, Adek Alwi, Hendry Ch. Bangun, Pipiet Senja, Salimi Ahmad, Remmy Novaris, Azwina Aziz Miraza (almarhumah), Lazuardi Adi Sage (alm), Rismuji Rahardjo, Rahardi Zakaria dan sejumlah nama lain. Sebagai penyair, ketika itu If sudah memperlihatkan akar estetika kepenyairannya, yang selaras dengan semangat keperantauannya, yakni Minang. Saya ingat betul hal ini, dan mungkin amat paham, karena saya pernah membahas kumpulan puisinya, Ngarai (1980), di BSI. Saya tegaskan ketika itu bahwa If gemar melakukan kolokialisme
viii

(penyandingan kata) secara tidak umum, namun kemudian malah menjadikan sajaknya khas, misalnya ia menyebut seketat peluk (umumnya, misalnya, sehangat peluk). Kolokialisme If ternyata juga tetap mewarnai Maling Kondang yang sedang Anda pegang ini. Dan, ini, sah saja mengingat If berasal dari budaya Minang, yang memang sarat dengan kolokialisme pantunnya. Sebagai penyair yang saya sebutkan telah tiba di dunia estetika kepenyairannya, kolokialisme If itu dapat kita nikmati melalui sajak-sajaknya, seperti Padang Panjang, Padang Pariaman, Padang Luar, Padang Bauk, atau Padang Bulan. Akan tetapi, kolokialisme If itu tidak dapat lagi dikembalikan kepada bentuk umumnya, atau tidak mungkin lagi diperdebatkan melalui perspektif sastra yang strukturalistik. Pasalnya, sebagai cerminan estetika kepenyairannya, sadar atau tidak ia telah melampaui pagar-pagar strukturalistik itu sendiri, sehingga makna-makna sajaknya yang datang kepada kita harus dipahami secara fenomenologis. Ungkapan-ungkapan fenomenologisnya, seperti tikungan tajam di mata pedang (umumnya, misalnya, tikungan jalan), darah membeku di rantau jauh (umumnya, misalnya, darah membeku di pembuluhnya), padi ditumbuk ke Thailand (umumnya, misalnya, padi ditumbuk di lumpangnya), atau kenikmatan duri (umumnya, misalnya, kenikmatan makanan lezat), membuktikan penyair ini teguh dalam gayanya, sehingga estetika kepenyairannya pun dapat terlihat dengan jelas. Bacalah beberapa sub judul dari Sajak-sajak Mengurai Padang di bawah ini. Padang Panjang tikungan tajam di mata pedang turunan terjal licin selayang

ix

Padang Pariaman ke laut diayun gelombang ke darat disepoi dagang

Padang Luar berdiri di pintu dapur memandang gunung para leluhur

Padang Bauk darah membeku di rantau jauh lidah rang minang tetap tersepuh

Padang Bulan garuda nyasar hinggap di sini sepantun si pungguk melepas birahi

Padang Sawah padi ditumbuk ke thailand kincir menangis terabaikan Di dalam Maling Kondang, sajak yang lantas dijadikan nama kumpulan puisinya ini, If memotret korupsi melalui kolokialisme ia tunggangi pelangi ke negeri apsari (umumnya, misalnya, ia tunggangi kuda itu). Si ia lirik di dalam sajak itu oleh penyairnya difenomenologiskan sebagai upaya pembasmian korupsi di negeri ini yang ternyata sekadar

wacana belaka. Itu sebabnya, If menegaskan bahwa korupsi pada dasarnya; mengalahkan penderitaan rakyat dari musibah yang mereka dapat Penegasan ini memang berkesan nyinyir, cerewet, dan naif, namun kalau kita perhatikan pelesetan tautologisnya dari Malinkundang menjadi Maling Kondang, kita akan segera sadar bahwa If hendak mengajak kita berpikir secara fenomenologis bahwa maling pun bisa kondang, sejajar dengan kekondangan anggota DPR, presiden, gubernur, bupati/ walikota, atau artis. Ajakan If ini setidaknya mengingatkan saya pada pendapat Wittgenstein bahwa pada dasarnya suatu ungkapan bahasa adalah cerminan dari kecerdasan manusia dalam memengaruhi manusia-manusia lain. Inilah yang enak dari If, sebagaimana saya tanyakan pada awal tulisan, karena If berupaya keras (bukti dari intelektualitas kepenyairannya) memengaruhi kita dengan memelesetkan Malinkundang menjadi Maling Kondang. If, sebagaimana telah saya singgung pula, memang telah tiba di dunia estetika kepenyairannya; dunia yang soul mate-nya selama ini. Anda tentu penasaran hendak segera membaca sajaksajak If. Bacalah. Akan tetapi, membaca Maling Kondang, hemat saya, janganlah seperti Goenawan Mohammad yang mengaku dirinya seperti si Malinkundang di dalam kepenyairannya. Membaca sajak-sajak If ibarat menumpang kapal laut yang selalu berlayar, karena If adalah layar pada kapal laut itu sendiri yang terus-menerus terkembang. Jakarta, 25 April 2012 Dr. Wahyu Wibowo adalah dekan pada Fakultas Bahasa dan Sastra, Universitas Nasional, Jakarta.

xi

Identitas Budaya dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang karya Syarifuddin Arifin
Oleh, Cunong Nunuk Suraja Pengajar Intercultutal Communication di FKIP Universitas Ibn Khaldun Bogor Seno Gumira Ajidarma (2008) dalam Kentut Kosmopolitan mencatat bahwa heterogenitas bukanlah satusatunya penyebab yang membedakan kebudayaan urban yang mudah disiasati karena masyarakatya yang homogen. ... dalam homogenitasnya pun setiap anggota masyarakat tidak mungkin menjadi individu yang sama dan sebangun dengan yang lain, sehingga berbagai bentuk klasifikasi, perbedaan masih mungkin dilakukan. Sebaliknya, justru dalam kebudayaan urban, iklim industri memberlangsungkan homogenisasi. Hal ini juga sejalan dengan tesis Chris Barker (2003) yang dikutip Ignatius Haryanto dalam Menimbang Kembali Imperialisme Kultural dalam Konteks Globalisasi Kebudayaan Awal Abad Ke 21 di buku Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan suntingan Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar Putranto bahwa imperialisme kultural ini berasal dari tesis tentang homogenisasi budaya yang dalam proses globalisasi dari kapitalisme konsumtif menghasilkan hilangnya keragaman dalam budaya. ... imperialisme kultural adalah hasil dari kesatuan proses ekonomi dan budaya yang merupakan bagian dari kapitalisme global. Globalisasi telah menghilangkan indentitas karena homogenisasi yang dimaui kapitalisme global yang merembet pada perubahan budaya yang oleh Seno Gumira Ajidarma (2008) ditandai dengan komunitas-isme yang menggeser sukuisme sehingga seorang lelaki Minang bisa merasa kurang sreg mendengar khotbah tentang berbagai adat suku dari para ninik-mamak yang datang dari kampung. Hal ini tampak dari
xii

sebagian besar sajak yang terkumpul dalam Maling Kondang yang tentunya akan merujuk pada kearifan budaya lokal Minang, tercermin dalam legenda Malinkundang yang berhasil dalam merantau dan pulang menolak kehadiran ibu kandungnya. Lalu karena murka si ibu kemudian mengutuknya jadi batu yang tersisa pada bait: setajam apapun lidah politikus / membatu hati bak Malinkundang. Perhatikan usaha penyair mencairkan indentitasnya menuju ke budaya global dengan parodi puisi berikut: MALING KONDANG duduk di atas angin bermandikan gemawan melesat menembus langit nyangkut di bahu matahari berberita ke bilik tetangga, berdecak kagum ia tunggangi pelangi ke negeri apsari bersahut media saling menyebut saling debat dan beropini kemurkaanpun mekar jadi dendam hingga melaut ludah dalam mulut rupiah ia kebiri, memperkosa ibu pertiwi tak ada yang bias menyentuhnya mentari kan menjilat dan memanggang duduk di kursi angin ia semakin kondang menjadi maling di negerinya sendiri katanya bukan korupsi, tapi komisi setajam apapun lidah politikus membatu hati bak Malinkundang debatdengan pakar sekaligus media berberita berulang-ulang
xiii

mengalahkan penderitaan rakyat dari musibah yang mereka dapat (Padang, 2010) Penyair mencoba memotret dengan kosa kata yang dicomot keindonesiaannya seperti maling, kondang dan nyangkut. Kosa kata yang muncul karena rembesan budaya lokal pada perkembangan bahasa nasional. Sajak yang lain yang mencoba mengunggah budaya lokal mengglobal adalah sajak Putri Raja di Sarang Penyamun *) (Halaman: 49) Sajak yang sudah diduga merupakan sikap parodi satire ini memang cukup manjur untuk mengolah kegalauan atas keadaan negeri yang sudah dipotret dalam sajak Maling Kondang. Pembalikan logika cerita yang sudah tersiar sebelumnya menjadikan sajak ini seperti sengaja menghilangkan indentitas budaya lokal yang tentunya akan lebih kental dengan pepatah petitih yang sementara ini dianggap nenek cerewet seperti yang disampaikan Seno Gumira Ajidarma (2008) dalam Kentut Kosmopolitan. penyair memang cukup jeli dalam mengglobalkan kearifan budaya dengan sudut pandang yang diperbarui dan dengan sisipan kosa kata yang mengindonesia maupun menginternasional seperti libido, sadis, spa, sperma, sertifikat, cek, bilyet, borjuis, selebritis, ngompol, kere, asongan, abdidalem, dan kentongan, Ada sajak penyair ini yang mengolah kearifan lokal yang sangat jitu yakni Ayam Beranak Itik (halaman: 42). Jika ditilik, sesungguhnya hampir semua sajak-sajak Syarifuddin Arifin dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang ini bernada getir dan satire, terutama selalu mengaitkan dengan pola kehidupan politik- budaya Indoneia saat ini. Maka tak pelak kalau anak itik yang dibesarkan ayam pun mampu meleter:

xiv

berkoteklah sampai berbusa mulutmu, aku akan terus menyeruput lunau yang tak bisa kau kais dengan cekermu (Sajak; Ayam Beranak Itik, hal. 42) Syarifuddin Arifin juga tak lupa mencoba mengglobal dengan gaya puisi haiku Jepang yang terkenal, walau tak juga melupakan warisan tradisinya pantun dan gurindam (simak Haiku: Galau (hal 70) dan Mengurai Padang (hal 54) seperti paparan Nirwan Dewanto dalam temu sastra di Bogor pada acara memperingati kedikdayaan Chairil Anwar yang sajaksajaknya ditilik lebih membumi, walau dalam kadar tradisi lanjutan: Saya telah menekankan Chairil Anwar sebagai penerus tradisi persajakan sebelumnya;... Di titik ini saya hedak menekankan bahwa sajak bebas pun sebuah konvensi, khususnya konvensi dalam khazanah puisi moderen se dunia, dan dengan ini Chairil Anwar menyatukan dengan sastra dunia se zamannya. Dengan kata lain, sajak bebas pun adalah hasil disiplin yang tersendiri. Pun dalam khazanah kita, Chairil Anwar bukan orang pertama yang mengerjakan sajak bebas; sejumlah penyair Pujangga Baru seperti Roestam Effendi. J. E. Tatengkeng dan Amir Hamzah pun sudah melakukannya. Daftar Pustaka: Mudji Sutrisno, In Bene dan Hendar Putranto. tanpa tahun. Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-teori Besar Kebudayaan.Depok: Penerbit Koekoesan Nirwan Dewanto. makalah di Forum Sastra Bogor, 28 April 2012, Situasi Chairil Anwar. belum dipublikasikan. Seno Gumira Ajidarma. 2008. Kentut Kosmopolitan. Depok: Penerbit Koekoesan

xv

UCAPAN TERIMAKASIH
Tanpa bantuan dalam bentuk ide/pemikiran, dukungan moral, tenaga, dana, perkoncoan maka Kumpulan Puisi: MALING KONDANG ini tidak akan pernah terbit. Untuk itu, dengan segala kerendahan hati, saya mengucapkan terimakasih kepada: Padang: Rusli Marzuki Saria, Darman Moenir, Hasanuddin WS, Nasrul Azwar, Sastri Yunizarti Bakry, Yusrizal KW, Hermawan, Mahatma Muhammad, Muhammad Ibrahim Ilyas, Halvika Padma. Jakarta: Sjafrial Arifin, Sastri Sunarti Sweeney, Wahyu Wibowo, Adek Alwi, Remmy Novaris DM. Semarang: Heru Emka (alm). Wonosobo: Ika Setyana Wirawati. Bogor: Cunong Nunuk Suraja. Aceh: LK. Ara, Hermansyah Adnan, Said Mahiddin Muhammad. Prawang Riau: Maman Yuherman. Pekanbaru: Herisman Is. Batam: Yus Marni. Malaysia: Dato SN. Ahmad Khamal Abdullah-Kemala (Kuala Lumpur). Belanda: Suryadi Sunuri (Leiden). Hongkong: Dianing Rizkie.Utami Teater Nan Tumpah Padang, Taman Budaya Sumbar, Teras Budaya Jakarta, Kelompok Studi Sastra Bianglala, Dapur Sastra Jakarta, Nusantara Melayu Raya (NUMERA) Malaysia (Syarifuddin Arifin)

xvi

DAFTAR ISI Pengantar ..... Membaca Syarifuddin Arifin oleh Dr. Wahyu Wibowo Identitas Budaya dalam Kumpulan Puisi Maling Kondang karya Syarifuddin Arifin oleh Cunong Nunuk Suraja Ucapan Terimakasih .... Daftar Isi .. Lembah Anai Biduk Berlalu ... Bayi pun Menipu Tajin Perkawinan Renta . Kenikmatan Duri .. Mencangkul Api Setangkai Amsal Bom ... Bus . Lapangan Segi Tiga ... Bukan Padi Buahnya . Kerinduan yang Pecah .. Ah, Itu Bukan Bunga Terjebak ke Dalam Kancah .. Lalu Kita Menari .. Petaka Pataka Bedil Serumpun Bambu Murka yang Mendesak . Rindu yang Terbang . Gelombang Dalam Peratap Mayat ... Rindu Benalu Kontradiksi .. Bengkalai Utopia .. Gonjong Patah Dua .. Terrtikam Bayangan . Sepantun Daun Ubi .. Rindu yang Terbelah Cinta Kartika ............. xvii v vii xi xv xvii 1 2 3 4 5 6 7 8 10 11 12 13 14 16 17 18 19 20 21 22 24 25 26 27 28 29 31 32 33

Dan, Malam di Kamar Kembali Sepi Menggenggam Jejak . Ketika Bumi Menggeliat ... Apa yang Lebih Sejuk ....... Astaghfirullah .................... Maling Kondang ................ Bulan yang Lain ................ Beginilah Jadinya .............. Ayam Beranak Itik ............ Ngilu .................................. Kepinding *) .................... Batu Dalang ...................... Aku Nyaris Lupa, Kekasih! .. Dendamlah Angin .............. Sumpah Seperinduan ......... Putri Raja di Sarang Penyamun *) Ketika Ibu Pergi ................. Debu .................................. Mengurai Padang .. Di Pintu Komatkamit ........ Tekateki Purba ................... Lagu Sesuka ...................... Tali Tiga Sepilin ................ Di Negeri Pelacur yang Pekak .. Zikir Kalbu Aroma Malam Tersebab Benalu Haiku: Galau .. Komisi di Secangkir Kopi . Hamil Tikus ... Mata Siapa dalam Bayangan? ... Aku Bukan Merampok .. Takut Taktik .. Demi Setetes Embun . Menyepak Siang Berkemaslah! . Syarifuddin Arifin (Curiculum Vitae) ... xviii

34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 51 53 54 59 61 63 64 65 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79

Syarifuddin Arifin

Lembah Anai
rel kereta api meringkuk dingin sejumlah kera menggaruk perutnya kudengar pekikmu sambil meronta dan jembatan besi yang diam termangu mencatat kemesraan yang tertunda; bibirmu mengatup ketakutan! air terjun memercikkan embun melumutkan bebatuan meriak kenangan masa kecilku lembah yang hijau dan terowongan menembus bukit batucadas aku menyimpan kengerian; memeluk buntalan di pangkuan! inilah lembah pertama yang kukenal lembah anai yang rimbun meniupkan embun membawaku terbang ke masa lalu keperawanan hutan dirampas begitu saja kera-kera itu berloncatan dari satu pohon ke pohan lainnya berayun lalu mencibirku menadahkan tangan mungilnya; di hulu air mengeruh sampai ke hilir!

(Lembahanai, 2001)

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Biduk Berlalu
tak ada yang berkayuh hari ini tapi biduk itu meluncur jua menikam jejak yang tertinggal berlalu begitu saja menyeret danau kenangan menyeret nasib petani ikan muara yang diam menyuburkan encenggondok menimbun permukaan air biduk membelah lalu bertaut lagi menghilangkan riaknya menghilangkan gambarnya tak sedayung mendusta waktu memburam gambar diamkan riak nasib berkuyup masa lalu biduk lewat kiambang beranjak biduk pincalang mengumandang irama sumbang di mana-mana mendendangkan menidurkan lalu terbenam ke dalam mimpi terngiang-ngiang di tengah padang keramba menyisakan ikan lekang

(Maninjau, 2001)
2

Syarifuddin Arifin

Bayi pun Menipu Tajin apa yang kita inginkan dari sebuah pesta? haus dan lapar telah ia sempurnakan orang-orang berjingkrak, lalu tertidur pulas dan bermimpi tentang demokrasi versi negeri ini berapa banyak mereka yang kita laparkan lalu menipu bayi dengan kempeng atau dot dan bayi-bayipun menipu kita dengan tajin busung lapar, rawan gizi membawa keranda lalu diarak ke sebuah upacara mematikan potensi yang bernas dan membuangnya ke laut lepas ada senyum yang tak kita inginkan mayat terapung-apung dibelai gelombang dan terdengar pernyataan; semuanya tersalurkan! angin laut membawa kabar sambil menyelam mencari keajaiban dan tertidur selama-lamanya selama-lamanya

(Padang, 2001)

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Perkawinan Renta
ketika renta kawin lagi cincin belah rotannya retak ditimpa airmata (Padang, 2002)

Syarifuddin Arifin

Kenikmatan Duri
aku tahu kalau hidup perlu kemudi tapi pendayungku cuma satu kau pun tahu kemudiku penuh duri tapi duri itulah kenikmatan semu kita tahu pelayaran hidup ini menuju ke sebuah titik tapi mengapa titik menjadi pasir di pantai? kita memerlukan kemudi hanya satu, tanpa duri, tanpa pasir tapi ombak mengasahnya sepanjang hari membiarkan cinta digores birahi kenapa kau berteriak menahan perih sambil mengelus-elus borok sendiri?

(Padang, 2002)

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Mencangkul Api
begitu letih keringat mengaliri semangat membakar, berbuihbuih monoton, lalu memaksa dedaun melambaikan tangannya tanpa setiup pun angin yang mampu mengatur ritme pernafasan yang semakin sesak ini bagaikan gendrang bertalu terus mendambun-dambun dada yang keropos ini lalu bergolaklah api, melambai-lambaikan cangkul di mata yang memerah dan menulis di selembar angin yang terbang mengawan membawa kabar tentang ketakmengertian orang-orang berteriak parau, aku mencekik adrenalin yang tumpah, membenamkan api sampai air bernyanyi pada suhu lebih seratusdrajat; glokglukglokglukglokgluk dan api terus melambai mencangkul; cangkul yang dalam, sampai berderingan air mengabarkan uapnya

(Jakarta, 2002)

Syarifuddin Arifin

Setangkai Amsal
amsal tak lagi disukai tapi ia selalu datang dan tak pernah mau pergi meski sejumlah tanda-tanda telah ia tawarkan untuk dimaknai amsal dituding sebagai biang yang menjadikan semua gatal dan suka berandai-andai melihat angin yang melesat tajam menyayat sembilu lalu memberondong bagai anak panah lepas dari busurnya menancapkan keyakinan di balik ketakadilan lalu amsal digugurkan dari pohonnya yang rindang daun yang mengering bermain dengan angin begitu asyik membuat bola-bola lalu mengerucut pada tangkai yang tak sudi amsal menangkap beribu makna, lalu menebarnya pada tanda-tanda dan mencabut keyakinan yang tertancap pada ketaksukaan

(Padang, Sept 2002)

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Bom
begitu indah goyang pinggul penyanyi dangdut itu orang-orang menghentak, meliuk bagai layangan di udara mengalun bersama cuaca yang benderang (tak terduga di belakang angin yang bertiup santun seekor harimau terbang memangsa semua kegembiraan itu) betapa sulitnya menyusun strategi menepis gabak yang menutupi mataangin delapan penjuru telah diracik kesengsaraan mengintai setiap jejak jejak siapa yang bukan alif? (sejumlah langkah terantuk di balik spanduk lalu angin kelabu membelai kisah cinta terbaru sejumlah sumpah diterbangkan angin ke pangkuan gabak yang legam jatuh di hulu sungai mengabarkan keperihan sampai ke muara) bau belerang aroma dan parfum bagi sebuah perjuangan bagai seekor onta menarik langkah di teriknya padang pasir menghela nasib harimau bagaikan kucing yang dibuntingi tikus (tapi kucing meringkuk dalam asbak menyatukan abu rokok yang menyulut dada setiap anak bangsa yang mengaum lewat radio dan televisi mencari punggung siapa yang bungkuk di antara kita) merdeka ! dan meledaklah kegembiraan itu
8

Syarifuddin Arifin

di atas penderitaan kita masihkah goyang sumbang itu mampu menyatukan kanak-kanak di lapangan merdeka, sementara kita berpesta dengan ketakutan?

(Padang, 17/8-2003)

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Bus
setelah memetik bunga di halte itu, aku meloncat masuk ke dalam perut bus dan menikmati aroma beraneka warna tanpa menghiraukan orang-orang di sekitarku setelah layu, aku pun singgah di halte berikutnya entah berapa stopan bus yang kusinggahi dan meninggalkan bekas pada setiap tangkai bunga di sekitarnya. banyak kota dan ribuan kilometer telah mengantarku dari satu terminal ke terminal lain, dan anehnya aku tak pernah tahu bus-bus yang telah memabukkanku di sepanjang perjalanan hidup ini. tapi jalanan itu menggerincing bagai rantai ditarik musik sumbang dan berkali-kali aku meleleh memekikkan persatuan, bersipongang dari barat ke timur dari kanan kuucapkan assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh lalu menoleh ke kiri dari dalam beraneka bus aku belajar memahaminya

(Padang, Juni, 2003)

10

Syarifuddin Arifin

Di Lapangan Segitiga
di lapangan segitiga kita bertarung; di dua sudut empatlima kau pancang bambu dua buku lalu di sudut sembilanpuluh kau kibarkan pusaka ibuku kau membentang kain panjang dan memaksa aku menulis puisi di atas tubuhmu kencang sangat merumputlah sapi sambil mendengus benderamu berkibar lagi mengklepak-klepak tertiup angin aku suka bambu dua buku di setiap sudut itu, katamu lalu bambu itupun aku makan menggelepar di lapangan segitiga kulihat sebaris bebek pulang petang menjatuhkan telornya begitu saja senyummu mengantarkan puisiku entah ke mana

(Sawahlunto, 2003)

11

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Bukan Padi Buahnya


bukan padi buahnya, merunduk padang ilalang aku jadi kenyang pada lapar yang sempurna terdengar provokasi, intrik, yel-yel serombongan pipit mematuk-matuk ilalang mengalahkan keperihan kehidupan, bersarang di balik perdu irigasi mengering, bendungan di mata ini tak kunjung bobol juga di tengah padang, spanduk terbentang ada seikat padi dalam gambarnya ; Bila menang semua akan kenyang tapi seekor biawak dalam semakpun tak suka bau kerisik yang anyir. diam-diam ia menyergap sepasang puyuh yang asyik berkayuh menyisir silet di ujung ilalang sawah membungkuk disepoi bayu berserpihan bunga rumput kekenyangan jadi lapar yang sempurna pemilihan umum menimbun dusta sejumlah proposal bertebaran bagaikan sawah menuai lapar mata ini semakin perih di tusuk ilalang kekuasaan semakin terik! (Padang 2004)

12

Syarifuddin Arifin

Kerinduan yang Pecah


semakin sulit dimengerti, kerinduan menjelma bagaikan seekor monyet yang meloncat dari satu dahan ke dahan lainnya lalu mematah ranting yang rapuh. apa yang terjadi di kamar percintaan kita? asap itu bergumul melawan angin yang berkesiur lalu memecah pada atmosfir lain membentur sebuah kaca tipis yang menyimpan utopia siapa yang bercinta dalam gelas anti sentuhan itu? berlari membawa piala kosong ingin menuangkan kerinduan tapi awan berarak dan menjatuhkan hujan bagaikan pasir menimbun gunung siapa yang mengais airmata menjulangi langit? mampukah kita menggapai sebelum kulit ini mengelupas sebelum pecah berderai-derai lalu monyet-monyet itu memamah sambil mengalai? (semakin banyak yang kehausan, semakin membludak yang merindukan kasihsayang, semakin tinggi angka kemiskinan, semakin jauh fatamorgana, semakin meregang jantung dan hati.)

(Padang, 2004)

13

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Ah, Itu Bukan Bunga


ah, itu bukan bunga ia tumbuh di sepanjang jalanan menuju kampung halaman mengangguk digoyang semilir menanti sunsang dari hilir tapi ia berkabar di televisi tentang bunga mekar warna-warni ah, itu bukan bunga kembangkanlah kembang di sepanjang jalanan bagai pawai anak sekolahan mengibarkan misteri anak negeri berhujan berpanas menanti siriga-riga layu alangkah pahitnya ah, itu bukan bunga yang melantunkan desau dedaunnya membentur dinding gedung-gedung kaca menebarkan sari di lelangkah mangsanya memeluk dan mencekik lewat aroma menebar senyum berjuta janji di bibirnya silet berbungkus tebu mengirim derita perih bak sembilu ah, itu bukan bunga jangan berharap banyak sarinya racun kembaran tuba digiringnya kita bak kerbau dihalaunya kita bagaikan bebek ia bergerak sunsang atas kuasa
14

Syarifuddin Arifin

memakan melumat siapa saja pahit si bunga pahit mekar sepanjang jalanan menuju istana menuju surga (Jakarta, 2004)

15

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Terjebak ke Dalam Kancah


ini bukan mimpi; mandi hujan, lalu main siram-siraman di langit sana menggelantung bertandan harapan tiba-tiba gabak memburu dan menerkam mentari disungkup kelambu buram aku menggigil, kota jadi gulita ini bukan impian; makan bersama, semeja dengan mereka mulut siapa berkuah darah ? bagai rendang melenguhkan sapi bergulung di perut ini, lalu muntah perih menggelepar kepedasan ini bukan kenangan; melenggang di pasar lengang ribuan jejak tak bertuan menggenggam bintang jatuh berderai dari pundak partai terjebak ke dalam kancah berkuah lanyah (Padang, 1996 Jakarta, Agustus 2004)

16

Syarifuddin Arifin

Lalu Kita Menari


meluncur sejumlah galon, muncrat dari tanah menyusubsidi kemiskinan, mendesak kerongkongan berduyun pasir menampung di telapak tangan siapa yang mampu membunuh kesengsaraan? sementara kebodohan semakin dininabobokkan bau beras menyengak kumbang setiap hari mengorek jendela rumah mereka daftarkan segera semua hutang primer bengkakkan kaki mendesak kartu miskin yang bertahun lamanya kau rindukan itu lalu kita menari di atas kebangkrutan negeri ini (Padang, 2004)

17

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Petaka Pataka
maka berkibarlah panji-panji beraneka warna mengalahkan pelangi yang melengkung di kala senja menanam tebu di bibirnya bak seulas jeruk manis sepantun durian matang mengirim haus dan lapar pada aroma dan kuning emasnya lalu bersipacu pataka itu saling patah mematahkan dan petakapun datang menghanyutkan sukma menimbun pelangi senja menguapkan segala aroma dan, menyisakan kegelisahan di sesama kita. (Depok, 2004)

18

Syarifuddin Arifin

Bedil Serumpun Bambu


beberapa bedil berdiri saling bersandar larasnya menganga menghadang langit asap tipis bau mesiu menghembuskan keringat tuannya mengerang menahan perih miang bambu pekik serine dan derap sepatu sumbang di denyut dada seikat bambu runcing mengetatkan buku-buku bau anyir darah membeku bertiup dalam sejarah mengaliri dendam menyeringai menantang bedil melepas ikatan siapa penguasa mentari? di negeri rimbun subur tanahnya bulan meniupkan ketenangan batin tapi matahari menjaring gelisah meski bambu bermiang itu memeluk bedil yang mendongak saling menganga; - menanti mangsa! (Aceh, 2004)

19

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Murka yang Mendesak


kemurkaan mendesak di dada ini ketika penari yang meliuk itu tercekik pinggangnya saudaraku memburu kekuasaan saling menindas, saling menghina; akulah yang maha benar! kemurkaan yang lama mendekam begitu sulit menerjemahkannya membuang rupiah di gedung mewah memecah nikmatMu saudaraku membeli bibir orang-orang gagu lalu menyewa lidah si bisu dengan senyum kau suburkan penderitaan ini

(Padang, 2005)

20

Syarifuddin Arifin

Rindu yang Terbang


sia-sialah bila masih saja terbang melingkar lalu sayappun patah, jatuh tersungkur dan terinjak pecah jadi noda sementara yang lain meronta kesakitan, berteriak pilu; miskin, miskin, miskin lapar, lapar, lapar, dingin, dingin, dingin, sabar, sabar, sabar. ke laut berenang rindu, ke langit terbang rindu, ke darat meradang rindu siapa yang tak ingin melayang menyapu awan, menyelami keindahan karang dan terjepit di antara reranting kayu pencipta dollar? angka kemiskinan terus bertambah, tumbuh subur bak cendawan mereka yang lapar terus dimamah, penawar kolesterol dan lemak di badan dingin semakin akrab, semakin nyeri tulang belulang disapu lembut gemawan lalu terkapar menahan perih, dengan penuh kesabaran kaupun terbang melayang meninggalkan jejak dalam proposal kemiskinan duh!

(Padang, 2005)

21

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Gelombang Dalam
bangun pagi angin membadai berdesir dada ini, lalu mengaum tak terkendali terlalu banyak yang harus dicerna, segelas air dingin telah membasahi kerongkongan, dan seketika mengamuk bagaikan gelombang dahsyat yang akan menyungkup sebuah pulau orang-orang berlari mengejar ketinggian, gelombang berada dalam tubuhku sementara sepasang remaja menciptakan surga, berurai airmata menggeliat bagaikan seonggok ulat yang menggelepar kekenyangan hingga gelombang dahsyat itu menenggelamkan keyakinan mereka lalu jalan terhuyung bak gempa meluluhlantakkan sebuah kota lari kemana? gempa di dada kita berdentum hingga menanggalkan keyakinan di gugusan bukit barisan, kusaksikan bunga bermekaran menebar aroma kehidupan dan suara unggas memadu irama keceriaan pagi mentari sepenggalan, tapi kota jadi sepi dan kerinduan terabaikan begitu saja tak ada yang tahu, siapa yang dipilih Nuh naik ke kapalnya yang bersandar perkasa di dada gunung sebuah kapal nongkrong di perkampungan jadi tontonan tanpa airmata
22

Syarifuddin Arifin

kisah itu kini menjadi konsumsi kita sebuah kenyataan telah meremas kemanusiaan gelombang dalam, paling dalam berdetak di dada dan darah tak pernah berhenti mengalir menyaksikan penanggalan lepas satu per satu menikmati siang dan malam silih berganti sambil melafaskan keagunganNya kenapa kita masih saja tak membaca? fenomena alam adalah guru, pemikul dosa muridnya yang kini jadi koruptor dan penguasa tak berhiba diamlah gelombang dahsyat, berhentilah mendambun dada yang keropos ini. asma Allah yang dipekikkan dari menara masjid, tetap saja jadi penanda waktu, menggarap bumi hingga keringat berdarah-darah lalu menggelombang menghanyutkan keyakinan dan gempa yang dahsyat telah melepaskan jantung-hati kita Nuh pun berkayuh mengikuti zaman, penumpangnya penuh keceriaan selagi tak mampu melumpuhkan gempa di dada maka muntah itu tetap saja kumuh amis dan menjijikan.

(Padang- Aceh- Padang, 2005 - direvisi 2010)

23

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Peratap Mayat
demikianlah, perempuan itu akan selalu meratapi mayat setiap pelayat datang, ia buraikan airmata berloki-loki dilantunkannya lagu sedih sambil terus menggapai dan menggapai tersingkap kain di betisnya putih bak umbi memeluk dan mengguncang jenazah bagai membangunkan anak yang selalu menggeliat setiap bangun pagi setiap pelayat menghampiri mayat ia kembali meratap menguras airmata mendendangkan kebaikan almarhum menangisi nasib peruntungan meliukkan kaki dan tangan menyesali bahkan mengutuk kematian menyerapahi penyobek kafan mempradugai air pemandian ratap dan tangisnya membasahi jalan menuju kuburan bagai mabuk alkohol ia merayapi tanah gembur galian sambil terus berpantun bergurindam berkulindan menyergap pengusung keranda dengan kesedihan demikianlah, ia meratap menangisi setiap ada yang pergi memeras airmata parapelayat memendungkan suasana di mana-mana, ke mana-mana, ia akan selalu begitu menyiasati irama sumbang tentang kematian dan, ketika perempuan itu meninggal tak ada yang meratapi mayatnya tak ada yang menangisi jenazahnya tak ada yang melantunkan dendang sedih tak ada yang menyesali kematiannya tak ada airmata (Padang, 2006)
24

Syarifuddin Arifin

Rindu Benalu
bagaikan benalu yang menghisap tempatnya berpijak, meregangkan cambium yang tahan segala cuaca, kau berteriak dari atas podium lalu memecah atmosfir kehidupan negeri ini menarik neraca angka kemiskinan lalu merangkak ke negeri lain meminta (memohon) bantuan atas segala bencana tapi bencana demi bencana, silih berganti datang menimpa tanpa air mata, karena airmata telah menghanyutkan kerinduan pembunuh benalu yang diam-diam mencakar dan mencabik kemanusiaan kita Tuhan! campakkan mereka ke nerakamu, karena selalu merindukan benalu di atas penderitaan kami

(Padang, 2006)

25

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Kontradiksi
di hutan belantaraku tumbuh pohon emas mencuat tinggi bagaikan monas subur merimbun memuncratkan gas di jakarta kotaku sawah dan ladang mengering gajah terduduk kehilangan gading migran menumpuk diiming-iming (Jakarta, 2007)

26

Syarifuddin Arifin

Bengkalai Utopia
masih saja bengkalai itu tegak kokoh berpuluh tahun berhujan dan berpanas tanpa lumut dan ulat-ulat kecil yang biasa menggerogotinya lalu setetes minyak telah mengharumkan semua tanpa aroma kimia yang didatangkan dari italia tanpa keinginan spionase yang menelisik sebuah kejanggalan kita menikmatinya menahan kepedihan yang kian mendalam dagu lebah menjuntai di bawah bibir sepanjang waktu menabung manisan lalu seulas senyum madu menikam jantung hati kaum papa siapa yang berani menginjak lebah yang mendengung di bawah dagu itu? bengkalai itu semakin kokoh tetap saja menjadi monumen kemiskinan di negeri penampung airmata dari ratusan juta warganya negeri yang kaya raya busung lapar penyakitnya berpuluh tahun menanti utopia!

(Padang, 2007)
27

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Gonjong Patah Dua


dara siapa yang tersenyum manja setelah meluruhkan kasai dari mukanya? mendongak ke barat sana membiarkan lanyah-lanyah mengeringi dadanya meliuk bagaikan penari India pusarnya bertindik berlian mengerdip nanar datuk ulah kemenakannya rumahgadang dikerubuti anai-anai gonjongnya yang dulu kekar menantang angin kini tampak terkulai, letih menanti penyangga penghulupun hanyut ke muara mengharungi lautan menjaring untung dari jauh ia terpana melihat api melambai lalu debu di tunggul kayu yang melapuk itu pun ditiup angin melimbubu ke mana si anak dara yang setia menanti? bersipongang anjing melolong tengahhari ibu terbaring lemah; gonjongnya patah!

(Padang, 2007)

28

Syarifuddin Arifin

Tertikam Bayangan
gelanggang apakah ini, cahayanya membias wewarna saling silang menusuk kebahagiaan tak pernah melepaskan diri dari kerinduan malam yang ditimbun embun, pentilasi tak berdaun warna apa yang begitu kuat untuk sebuah kenikmatan atau saling mengintai kemisterian cinta ada bayangan dalam kolam, menciptakan narchisus dan mencekiknya pada kepuasan pribadi wah! siapa yang terbunuh akibat kekuasaan yang mengalir begitu deras mengungkung arus membiarkannya hanyut bersama mimpi semakin abadi sebungkah batu yang dibelai malingkundang karena debur ombak membeku di dadanya dada gunung angkuh, longsor ditraktor lalu cinta berpasir-pasir hanyut ke hilir mengalahkan semua kelembutan rembulan sampai hari ini masih saja menjebak padahal kita telah mencatat pohon di tubir itu tumbang dan pekik peri perpisau-pisau narchisus muncul sambil bersolek tanpa kaca (tak membanding) akankah berlama-lama perenggut kenikmatan membunuh cinta
29

Kumpulan Puisi Maling Kondang

yang Kau terbarkan ? di ranjang berlian malinkundang dan narchisus meletakkan beban pelan-pelan lalu menyatu, anginpun berhembus. (Padang, 2007)

30

Syarifuddin Arifin

Sepantun Daun Ubi


sepantun daun ubi tak berpucuk di mulut bandot kau telanjangi ibu pertiwi berbungkus dedaun anekdot tak ada topeng aku merunduk terantuk kerikil si batu aji keringat dingin menguap di tengkuk aku nanar menantang mentari tersenyum juga sambil mengutuk lalu saling mengangguk basabasi bertamu ke rumah tetangga nampaklah kacaunya kamarku sepantun daun ubi kambing dan aku (Kualalumpur, Des 2007)

31

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Rindu yang Terbelah


ketika di dada ini menyala kesumat anak negeri rindu yang lama terpendam tiba-tiba membelah saling mencakar wajahnya saling mengasah lidah melebihi silet mengasah kuku mencengkram kekuasaan sampai berderik-derik lalu rindu menjelma bagai seribu jarum menusuk belulang, menghisap perih derita anak negeri yang membatin terbelenggu dalam tubuhnya kenapa diam dalam zikir jadi tak sempurna ? kurasakan salju ketika di dada ini menyala kesumat membelah rindu yang berderingan jatuh bagaikan kristal

(Padang, 2008)

32

Syarifuddin Arifin

Cinta Kartika
(pada mak Rosnani Sulong) mengalir mulus drama siri itu, kumaki dan kumaki lelakiku mengerling kartika di hospital mendarahi turunan danau maninjau airnya menyebarkan cinta berbunga-bunga ke semenanjung ini menyekat di pembuluh pembukuan bambu ketemu saudara sepesukuan lalu pada bibir yang sama lelakiku berontak; tahan libidomu sayang! diayun riak gelombang selat melaka memerihkan mata hati ini kartika bercinta kulakonkan di tanah melayu putus nyambung ke muara bertaut pantai sumatra dan pulau-pulau kartika meniupkan angin kembara, aku rindu mak; lakonmu semerbak ke mana-mana!

(Kualalumpur, 2008)

33

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Dan Malam di Kamar Kembali Sepi


dibelainya angin itu, lalu iapun menghirup kesegaran dengan sempurna dadanya mengembang, menebarkan aroma kehidupan sambil meliukkan tubuh bagai penari, ia melenggok di setiap ruang dan malam, di kamar kembali sepi sendiri! telah ia reguk nurani, dan menyampakkan kelelahan yang sangsai ia pungut pujapuji dalam keterpurukan harga diri menabung sijil berlembar-lembar, berhelai-helai kepuasan selalu menggedor dan menggedor egonya hingga semua gapai menjadi sayup-sayup sampai, ditiup angin ke segala penjuru yang ia kejar berlelehan telapak kaki di jejak penuh lanyah sambil terus memintal jaring pada garis-garis cahaya mentari dan malam, di kamar kembali sepi sendiri! menjelang pagi, dijengkalnya ranjang dengan jari, dan fajar menjilati embun dijegalnya dengan kaca melantun pada bayangan yang ia benci diam-diam ia pungut panas mentari sepanjang siang, membakar hangus perintangnya pada catatan kusam negeri ini dan malam, di kamar kembali sepi sendiri! (Bukittinggi, 2008)

34

Syarifuddin Arifin

Menggenggam Jejak
berlari di kegelapan malam sambil menghapus jejak aku menggenggamnya dalam kecemasan membaca langkah-langkah sumbang yang tercecer di sepanjang jalanan berlanyah, dilunyah telapak kaki yang kekar dan angker, berbungkus sepatu kekuasaan tak ada kecemasan selain menyimpan jejak para politisi karena kekuasaan bisa saja bertindak lalu membakar jejak yang kugenggam menghanguskan catatan kelam tentang negeri yang menyimpan dendam di malam yang sepi dan lengang kucoba membaca jejak mereka kutemui telapak kaki sumbang mendenyut kuat rasa curiga sederap langkah mereka tersusun rapi dalam sistem yang diundangkan mengumpul jejak dalam hujan angin meniupkan pelan-pelan lalu mengabur sampai ke tujuan kita tetap saja mendekam membaca dalam kelam (Padang, Mei 2008)

35

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Ketika Bumi Menggeliat


semalaman hujan mengguyur kotaku setelah tanah tempat kami berpijak menggeliat dan merontokkan segalanya Kau mengirim dingin pada anak-anak yang berselimutkan dedaunan kegelapan semakin gulita! inikah kepahitan empedu yang kami rindukan dariMu? lalu suara tangis melepas mereka yang pergi tiba-tiba dengan tangkas israil melaksanakan tugasnya aku menggigil, mengaktifkan kamera; hitam dan bayangan tak menentu keangkuhan teknologi pun terkulai lemah tak berdaya lautpun tersenyum, dan berbisik mesra; tak ada lidah ombak yang akan menerkam kalian! tapi semua orang berlari menjauhi pantai mengejar kaki gunung yang lunglai. gempa itu, merubah kotaku bagaikan nenek yang nyinyir (Padang, 2009)

36

Syarifuddin Arifin

Apa yang Lebih Sejuk


apa yang lebih sejuk dari seketat peluk kau terbenam dalam selimut dan membiarkanku bersujud sore tadi pohon mahoni berbaris di sepanjang jalan bermandikan gerimis dan ketika itulah kita terpasah membiarkan tubuh berbasah-basah di lobby Garden International Hotel kita terpuruk ke dalam irama sumbang lalu diam-diam kau menanggalkan mantel di luar kulihat masa bergerak mengambang akankah besok pagi gerimis berhenti atau daun mahoni berguguran di sepanjang jalan bila kita menyelesaikan kecintaan negeri ini langit tak akan menerima asap mengepul, hitam dan teriak-teriak itu, majalah, koran dan televisi semakin mengetatkan peluk kita apa yang lebih sejuk? Tuhan, kekuasaan dan cinta mengapa sulit untuk dipisahkan? (Medan-Padang, 2009)

37

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Astaghfirullah!
astaghfirullah! tanpa mimpi-mimpi berguncanglah tempat kami berpijak lalu dalam sekejab tangan kekar itu mengulur dari keluasan laut dan mencengkram bagaikan gagak menggunggung mangsa meninggalkan luka yang menganga tak berdarah pekik pilu pun menjadi sepi, tak bersuara, dan airmata mencair menghanyutkan ribuan jasad manusia kenapa Kau pilih negeri ini? bagaikan lidah raksasa menjulur amis baunya menjilati negeri kami lalu: Kun! maka menjadi rata semua cinta jadi laut bersama kekuasaanMu tanpa sekalipun bermimpi tiba-tiba diujudkan kenyataan ini sesaat kemudian pun jadi bisu lalu histeris melidahkan asmaMu sungguh, Engkaulah Kepercayaan Teguh yang melenyapkan bermilyar dendam hingga tak lapar, meski sawah jadi padang ilalang sampai tak haus, karena keringat tlah mengikis miang lenyaplah semua kerabat, bersusun mayat di lapangan astaghfirullah! selain keperihan nyata tak bertanda dalam mimpi cobaan Kau kirimkan, melumpuhkan keangkuhan kami di pundak ini, hinggap seribu hercules, tertatih memikul bumi astaghfirullah! (Padang, 0ktober 2009)
38

Syarifuddin Arifin

Maling Kondang
duduk di atas angin ia semakin kondang melesat menembus langit nyangkut di bahu matahari berberita ke bilik tetangga, berdecak kagum ia tunggangi pelangi ke negeri apsari bersahut media saling menyebut saling debat dan beropini kemurkaanpun mekar jadi dendam hingga melaut ludah dalam mulut rupiah ia kebiri, memperkosa ibu pertiwi tak ada yang bisa menyentuhnya mentari menjilat dan hangus terpanggang duduk di kursi angin ia semakin kondang menjadi maling di negerinya sendiri katanya bukan korupi, tapi komisi setajam apapun lidah politikus membatu hati bak Malinkundang debat dengan pakar sekali gus media berberita berulang-ulang mengalahkan penderitaan rakyat dari musibah yang mereka dapat

(Padang, 2010)

39

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Bulan yang Lain


bulan yang lain kaca susu tengah malam ; tanda jasa mencibir pahlawan tua ragu jadi bisu (Padang, 2010)

40

Syarifuddin Arifin

Beginilah Jadinya
gemericik air terasa sumbang di kamar mandi itu tiba-tiba mengalirkan darah ke segala arah mengusik tidurku yang tak nyenyak suara itu semakin riuh mendebarkan seluruh bagai gendrang ditabuh tak henti menjelang subuh bertalu-talu, menggemuruh semakin sumbang semakin garang (Padang, 2010)

41

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Ayam Beranak Itik


induk ayam heran melihat anaknya yang cacad berpatuk pepat dan berkulit tipis di antara jejarinya jangan bermain di tepi kolam kalau jatuh kalian akan tenggelam, induk ayam berkotek memberi nasehat tapi si anak malah menertawakan induknya sambil berkwekkwekkwek ia menjawab aku bukan ayam seperti kau, ibu lautan hanya sedalam dadaku setelah besar itik mengembangkan sayapnya terbang jauh menembus angkasa hinggap di bulan dan memetik bintang berenang menuju pulau-pulau mengumpulkan kekayaan memperkosa ayam, saudara ibu pengeramannya berkoteklah sampai berbusa mulutmu aku akan terus menyeruput lunau yang tak bisa kau kais dengan cekermu tantangnya induk ayam tak menjawab sambil memicingkan mata menahan perih pantatnya yang lecet menderita berak kapur di usia tua

(Padang, 2010)

42

Syarifuddin Arifin

Ngilu
dada ibunya kempes si bayi mengisap jari (Padang, 2010)

43

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Kepinding *)
kepinding itu bersarang di huluhatiku lalu mereka beranakpinak menggerogoti hati dan jantung bahkan ikut mengatur denyut nadi ini bagi kepinding menghisap darah segar tujuan hidupnya meski bila tertangkap ia akan mati ditindih gigi atau kuku maka aku pun berubah menjadi kepinding segala niat di hati dihisapnya aku jadi sunsang! mematuk saudara sendiri dihina dicerca dibicarakan di mana-mana berbuah bibir di lepau-lepau makin disebut makin kondang dan, diam-diam kubangun istana dari sumpah serapah mereka

(Padang, 2010) *) Kepinding = Kutubusuk

44

Syarifuddin Arifin

Batu Dalang
dalang yang cerewet itu tiba-tiba jadi pendiam seperti malinkundang seperti malinkundang? lalu sang dalang bercerita pada batu batu pun manggut-manggut dalam diam sejak itu sang dalang memecat dirinya sebagai pengisah dalam pewayangan lalu jadi batu 'tak ada yang lebih beruntung dari batu meski dibenci ia tetap diperlukan sampai hari ini' ia pun membatu! (Padang, 2011)

45

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Aku Nyaris Lupa, Kekasih!


Berlabuh juga percintaan kita yang terjalin begitu lama limapuluh lima tahun sudah tanpa kecupan, tanpa kerlingan tapi keinginan memelukmu menyergap di setiap waktu selama darah mengalir di aorta denyut nadi tak pernah berhenti melangkah juga aku, ngembara mencariMu ke langit, ke relung bumi Kekasih! sujudku terbata-bata kenapa Kau perkenalkan aksara itu hingga aku nyaris lupa percintaan kita. (Padang, 2011)

46

Syarifuddin Arifin

Dendamlah Angin
tiba-tiba Kau melintas begitu saja! gabak menggelombang menerkam awan membawa kabar tentang kelaparan langit menjelma gagak hitam hujanpun jatuh menyungkup malam siapa mengibas bencana? semakin dendamlah angin kepanasan membujuk gemawan angsa berpatuk emas menyisir siang membakar mentari menggalang gulita tak sekunangpun siapa berbibir kina? meringkuklah parapapa di abu kepalan mencatat musibah di perut piala pas meninggalkan jejak kemiskinan berperi kelak dirawikan dalam kepedihan berjibun tiba-tiba Kau melintas begitu saja!

(Padang, 2011)

47

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Sumpah Seperinduan
bersumpahlah untuk sebuah keyakinan lalu pegang teguh sampai turun temurun tumpah ruahkan darah seiliran yang telah membeku bertahun-tahun darah itu kini mencair dalam aortaku mengalir dari kakek turun ke rahim bunda lalu anak-anak bertutur sampai ke cucu berbangsa-bangsa satukan bahasa tapi di tanah ini, telapak kaki meleleh kepanasan berteriak parau dalam ketakmengertian meringis ditindas saudara seperinduan hanyutlah sumpah di air sepeminuman (Padang, 28 0ktober 2011)

48

Syarifuddin Arifin

Putri Raja di Sarang Penyamun*)


sulit dipercaya; penyamun itu menyandra sang putri, setelah merampok dan membunuh raja. tinggal di sebuah gubuk dalam hutan tanpa libido, tak tersentuh, terpelihara bagaikan pualam. sang putri merasa tenang hidup bersama penyamun yang berwajah sangar, sadis dan suka menyendiri itu. aku suka diculik begini, dipenjara di tengah hutan, jauh dari spekulasi, kebohongan, pengasah lidah menyembilu, katanya. sulit dipercaya; seorang dubalang ingin mempertaruhkan nyawa, menjemput sang putri dan membawanya ke istana tanpa pamrih, sementara tunangannya asyik di spa bersama beberapa gadis telanjang yang membangkitkan libidonya. kalian akan kuberi kebun sawit seluas mata memandang, bila singgahsana berada di tanganku, katanya, lalu dayang-dayang itu ngompol bersama dan berebut meneguk sperma majikannya. sulit dipercaya; penyamun dan dubalang berada di halaman istana sambil memikul keranda yang dihiasi dedaunan dan kembang hutan, di dalamnya sang putri berkonde emas berpakaian mengkilat bermanik-manik tiba-tiba berteriak memerintahkan semua petinggi kerajaan memberi hormat dan sujud pada penyamun dan dubalang. tak ada pesta di gedung mewah, hari ini kita merayakan kematian ayahanda si raja laknat dengan mengundang semua petani, buruh, para kere di bawah jembatan, sopir, pedagang asongan, para abdidalem dan semua rakyat jelata, katanya.

49

Kumpulan Puisi Maling Kondang

sulit dipercaya; kentonganpun bertalu-talu sampai ke pelosok desa menggema ke tengah sawah dan ladang menggaung sampai ke puncak gunung, lalu mereka pun berduyun datang ke istana membawa buahtangan; pisang, sayurmayur, rambutan, ketela, jagung, kentang, padi, telor, ikan bahkan ternak kambing, ayam dan bebek. Para buruh, kere membentangkan tikar dan memasang tenda, bergotongroyong. Tak satupun kado berpita emas, tak ada yang memberi bpkb kendaraan mewah, tak ada penyerahan sertifikat tanah atau rumah, tak ada cek bilyet bernilai milyaran rupiah, tak ada kapal pesiar untuk berbulan madu, tak ada tetamu borjuis atau selebritis, tak ada sepatu mengkilat, tak ada jas dan dasi. sulit dipercaya; kalau hari ini, banyak yang merindukannya

(Padang, Nov 2011) *) diilhami dari roman Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisyahbana

50

Syarifuddin Arifin

Ketika Ibu Pergi


1. telepon genggam ini, membantingku berkali-kali lalu menggelepar, merayap di lantai bagaikan bayi kelaparan, menangis menarik susu ibunya yang kering selluler itu mengabarkan; ibu telah pergi! (Banda Aceh, pagi 8 November 2011) 2. setua ini, beristri, beranak dan bercucu masih saja tak sempat menghitung berapa langkah yang telah kuayunkan untuk mencapai pipi ibu yang keriput lalu senyumnya membekukan airmata mencairkan keikhlasan melepas ibu keharibaanNya berzikir dan aku terus berzikir; orang-orang lalulalang, suara gebalau mendorong koper, menjinjing tas lalu announcement dari dinding peron bandara kekhusukanku pecah berpendar suara ibu menghiba penerbangan tertunda hujan membaurkan airmata duh! (Polonia, selepas ashar, 8 November 2011)
51

Kumpulan Puisi Maling Kondang

3. gabak menggumam di langit seperti disilet, disayat-sayat aku menangisi kealpaan aku memendam penyesalan terpaku di kuburan tanahnya terasa hangat hujan menimbunku bertubi-tubi bertubi-tubi! (Padang, selepas magrib, 8 Nov 2011)

52

Syarifuddin Arifin

Debu
bila terusik debu akan mengepul dan terbang bagai serombongan merpati mengaburkan jendela, memerihkan mata kita menghirupnya dalam-dalam, lalu batuk-batuk menumpuk di huluhati, mendesak pernafasan mendahak ke mana-mana menebarkan virus ke mana-mana menggerus paru-paru kita batuk melantun ke mana-mana terantuk ke dinding kaca menggaung ke istana mengetuk hati penguasa membulalang memerahkan mata adrenalinnya mendesak: heuk heuk heuk! menumpuklah debu menghitamkan hati menggelapkan nurani sapu-sapu pun ditimbun debu semua berkas berdebu merayap bersama angin, menimbun konstitusi mengaburkan tatakrama, mendebu komisi mengaburkan segalanya, tanpa nurani tak ion sedebu pun bertiup tak debu penghalang hidup (Padang, 2011)

53

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Mengurai Padang

Padang Panjang tikungan tajam di mata pedang turunan terjal licin selayang

Padang Pariaman ke laut diayun gelombang ke darat disepoi dagang

Padang Luar berdiri di pintu dapur memandang gunung para leluhur

Padang Bauk darah membeku di rantau jauh lidah rang minang tetap tersepuh

Padang Bulan garuda nyasar hinggap di sini sepantun si pungguk melepas birahi

54

Syarifuddin Arifin

Padang Kata-kata beribu kata terucap di sini berjuta makna kehilangan arti

Padang Sawah padi ditumbuk ke Thailand kincir menangis terabaikan

Padang Ilalang pipit terperangkap bau padi tikus beranakpinak ngisap umbi

Padang Genting genting tak akan putus putus rahim berjela-jela

Padang Serai aneka bumbu dedaunan masakan padang di gerai-gerai

Padang Luas sebebas kuda berlari kemiskinan riang menari


55

Kumpulan Puisi Maling Kondang

koruptor meluaskan diri

Padang Alai sesayup gumam zikir ketipak indang bersahutan serunai mendayu di kuburan

Padang Rumput masih saja merumput seperti bandot anak-anak menyepak bola para bandot mengutil rumput hijau rebutan kursi bergelanggang kursinya melayang-layang seperti bola, ditendang, diterjang

Padang Ranggas harimau mengurai kerisik singa rindu diterkam monyet padangpun meranggas penuh kolesterol dendam kehijauan
56

Syarifuddin Arifin

Padang Jelatang di padang jelatang telah dibangun tiga pilar penyangga negeri; executif, legislatif, dan yudikatif yang berurusan dengan ke tiga pilar ini pasti akan gatal kena miangnya lalu menular pada rakyat jelata miskin, lapar, bodoh, dan menderita asyik menggaruk-garuk ketiak, pantat, bahkan jongkok menggaruk selangkangan, perut dan mengurut dada.

Padang Pasir berlari ke tengah padang diguyur hujan berpasir-pasir gunungpun berpindah menyungkup oase tak air keringatpun jadi

Padang Simpang di persimpangan ini anak dagang membagi matahari, bulan dan bintang-bintang lalu dibawa pulang untuk tunangan tersayang yang akan menyimpan botol pusaka usang
57

Kumpulan Puisi Maling Kondang

di tengah padang mereka berkumpul menghitung untung dagang menghitung nasib yang lekang

Padang Karbala di sini adam dan hawa menurunkan anak cucunya bergelambir cairan ketuban yang anyir dan najis itu lalu menyeruak ke seluruh daratan menyemak seluruh larangan menggunungkan dosa lalu berdoa dan berdoa subhanallah! (Padang, 11-12)

58

Syarifuddin Arifin

Di Pintu Komatkamit
apapun kepercayaannya melacurkan tubuh atau jabatan tetap saja dipinggirkan tapi penguasa itu, dan wanita itu berbusa-busa mulut dan selangkangnya berdendang dan menari menikmati kesengsaraan negeri ini seakan merekalah tuhan yang menentukan siapa yang makan atau puasa hari ini lalu tuhan itu berguling di ranjang kapuk kasurnya berburai dan mereka mandi rupiah berderai-derai sampai buah dada wanita itu jatuh menimpa zakar pasangannya meleleh darah dari mata mereka dan sperma penguasa itu merangkak menangisi rahim tak bermalu menangisi rahim tak berpintu lalu membusuk terbungkuk-bungkuk terbatuk-batuk tak ada yang membezuk orang-orang pun mengutuk

59

Kumpulan Puisi Maling Kondang

maka terbengkalailah surga wanita itu di pintu komatkamitnya

(Padang, 2012)

60

Syarifuddin Arifin

Tekateki Purba
satu bejana berdinding emas, tak berpintu tak berjendela ratusan butir berlian hitam berserakan di dalamnya istana merinding panas, siapa tahu ada kudeta menangis selir dibungkam, gerangan apa kiranya? batiak membusuk membungkus tubuhnya! dua kalau pergi menghadap pulang ketika pulang seperti hendak pergi perian bambu kehilangan miang darah berdesir, apakah yang terjadi? tenggorokan gatal sejak di tapian tiga ke rumah baru sangatlah ramai setelah itu sombongnya setengah mati membakar kemenyan berbunga rampai menebarkan wewangian, tebaklah ini. ustano dirancang dari singgasana empat di luar; anti pecah, anti basah, anti bakar, anti demo di dalam; sembunyi di telapak kaki adakah bayangan di kelelahan bunda berhujan berpanas ia terus mendaki
61

Kumpulan Puisi Maling Kondang

ngeri menebak bayangan sendiri! lima duduk di batu sebulan lamanya membelah badan makanya hidup ah, lima tahun, kapan berkoteknya?

(Padang, 2012)

62

Syarifuddin Arifin

Lagu Sesuka
sesampan sekayuh biduk melenguh sapi dalam rendang sebadan setubuh duduk mengaduh kursi dalam ruang menangis kursi dalam gedung pantat pemiliknya penuh duri mengais rejeki mengadu muncung aparat seenaknya kalau korupsi naik naik ke puncak gunung tinggi sangat tinggi sekali saling menghujat dalam gedung rakyatpun muak jadi benci

(Padang, 2012).

63

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Tali Tiga Sepilin


dua anak, bersaudara terperangkap di sarang burung tempua berimajinasi; memintal tali tiga warna, lalu menjalinnya hitam, merah dan kuning burung tempua mematuk adrenalinnya entah apa salahnya hakimpun kehilangan palu sarang burung tempua tergantung tinggi dan; dar der dor! jantung ke dua anak itu berhenti berdenyut dan; dur dir daur didaur ulang serapi mungkin tapi tetap saja tidak mungkin

(Padang, 2012)

64

Syarifuddin Arifin

Di Negeri Pelacur yang Pekak


setelah melacurkan kebijakan mereka menikmatinya dengan membungkus sistem begitu rapi seperti mengarungkan kucing lalu menerima komisi dari gedung-gedung kedap suara penentu nasib anak negeri lalu mereka berteriak; pelacuran harus dibasmi! ya, ya. kita menyukainya diam-diam bila terbuka dianggap tabu, tak bermalu bukankah kita bangsa yang beradab? menjunjung tinggi nilai kemanusiaan maka berpandai-pandailah bak tikus mengerek mangsa membeli kekuasaan lalu menista rakyat sendiri di negeri para pelacur darah dan nanah menjadi halal intelektualitas haruslah terukur mengasah lidah melebihi sembilu yang jalan sendiri akan tersungkur diranjau sepanjang jalan pemegang kebijakan semakin makmur menyelusup mulus di antara kepentingan lalu meludahi konstituen sendiri
65

Kumpulan Puisi Maling Kondang

sementara wanita malam yang tak pernah tidur dibanting dan ditindih sejumlah uang dihamburkan ke kasur siangnya mereka dinista sampai hancur di negeri yang laknat para pelacur menghancurkan pelacur para wanita penghibur dijadikan umpan lalu bau alkohol dan asap rokok menyungkup mereka dibuai narkotika memungut mimpi, menciptakan surga rakyat menderita di tikar neraka di negeri para badak yang pekak tak mempan sindiran pantun atau sajak wanita malam, berhentilah melapak biarkan mereka saling teriak-teriak lalu anak negeri kan bergolak amarah rakyat menggelegak Tuhan, musnahkanlah negeri para pelacur penghisap darah dan nanah! tenggelamkan ke dalam apsariMu (Padang, 2012)

66

Syarifuddin Arifin

Zikir Kalbu
digores kuku perihku malu-malu geli dan ngilu kuraih awan membisu perawan menjeritkan kenangan menjauh tuhan dari zikir tertahan akupun terban (Padang, 2012)

67

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Aroma Malam
tanpa wanita itu, malam ini seperti jamban bau tak sedap samasekali bagaikan pianggang mengerumuni cahaya lalu menebarkan penyakit berbunga-bunga di lembaran duit

tetap saja tak wajar sekadar menghamburkan hasil kongkalingkong uang haram pembeli yang haram mengiris-iris hati lalu asap rokokpun mengepul bau alkohol menebar sampai ke selangkangan mereka rahim siapa yang berteriak histeris ! tak sudi disinggahi berkali-kali kumbangkah atau kupu-kupukah yang menyelam sambil menghisap sari? seperti juga kita terkadang lupa memisahkan halal dan haram bau keringat dingin kumbang dan kupu-kupu membungkus sayapnya di balik jeritan ketaksukaan (Padang, 2012)
68

Syarifuddin Arifin

Tersebab Benalu
membusuk kayu cendawan mekar berpayung api mengepulkan asap menggabak langit menipu mentari panas menggigit kekuasaan terik! tarik menarik kayu melapuk apipun makin garang habis semuanya maka tumbuhlah benalu di antara kita saling memangsa (Padang, 2012)

69

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Haiku: Galau
jaring terurai dipeluknya bayangan mengharap gabah ** suara badai gelisahkan nelayan tak pernah kalah *** jatah si miskin obat-obat generik macam kerikil **** anak perawan bergaya di jalanan cari pembalut (Padang, 2012)

70

Syarifuddin Arifin

Komisi di Secangkir Kopi


mobil esemka kebanyakan emisi pakar bertengkar, emosi kerangka mobil membenam motivasi pun dikebiri mencari komisi di secangkir kopi ditenggelamkannya nalar menjerat upeti mencari kerja sogok menyogok payah membanting tulang

(Padang, 010312)

71

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Hamil Tikus
hamil? kata sabay terlonjak dan memeluk istrinya akhirnya istriku hamil, dia tidak mandul, lanjutnya dan ia kabarkan pada setiap orang diam-diam sperma tikus nyangkut di rahim istrinya. perutnya membusung bagaikan zeplin tersandar di dinding ngarai suatu pagi, tiba-tiba perut itu kempes kau taruh di mana bayi kita, sayang? dengan senyum, sang istri menunjuk lemari "kembar 45, mencericit seperti tikus," jelasnya dan berloncatanlah tikus-tikus itu ke pangkuannya; papa, papa gendong aku ya aku makan mata papa aku suka hidung papa telinga papa gurih bibir dan lidah papa tak bertulang sabay terkapar di depan lemari yang menyimpan rahasia hidupnya "jangan habisin papa, nak amat lirih suaranya (Padang, 2012)

72

Syarifuddin Arifin

Mata Siapa dalam Bayangan?


ada bayangan melesat begitu saja aku terlambung dalam bola dan menggelinding ke sudut waktu; ah! sudahkah masa pensiun menyapa? lalu melantun-lantunlah gelisah ini menanti lelah dalam kurun ada mata dalam bayangan seperti mengerdip di percikan air membasuh gurat memberat di wajahku tengadah ke langit seperti mencari bayangan siapa dalam mata yang memerah ini (Padang, 2012)

73

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Aku Bukan Merampok


angin itu, ya, ya menyelusup masuk ke dalam tubuh ini, diamdiam keluar lagi lewat dubur setelah mengilhami semua ampas di perut yang semakin membuncit ini dengan aroma yang mengasyikkan. biarkan orang-orang memencet hidungnya, sementara aku semakin asyik menikmati angin, yang menyemangati keinginanku menutup hidung di tengah gebalaunya angin yang berkesiur sangat menguntungkan karena aku akan memompakannya ke ladang imaji yang diam-diam menjadi kenyataan dengan kekayaan melimpah. aku bukan merampok dari tangan-tangan yang makin lunglai, menderita dan sesak nafasnya akibat tak tahan menghirup udara di sekitarnya "tuhan, berkahi aku kentut yang lebih busuk lagi, agar orangorang tak suka dan hambaMu akan merdeka di negeri yang menjijikkan ini"

(Aceh, 2012)

74

Syarifuddin Arifin

Takut Taktik
tak sekam memendam jua, tak api berasap jua, tak kayu membara jua, tak ragu gelisah jua tak panas membakar jua, tak lidah memfitnah jua, tak suara memekik jua, tak datang hadir jua, tak peluk dirangkul jua, tak lari dikejar jua, tak diam gelisah jua, tak libat disangkal jua tak lepas ditangkap jua, tak lihat nampak jua, tak korup dicurigai jua, tak maling dijatahi jua, tak jabat disalami jua, tak ikut disertai jua, tak debat meradang jua, tak demo membangga jua, tak kutak katik jua, tak mandi basah jua, tak dengar tahu jua, tak pikir pintar jua, tak ngerti politik jua, tak obat generik jua. takut taktik mengutakatik penyakit politik penuh intrik ! (Padang, 28 Maret 2012)

75

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Demi Setetes Embun


tak henti-hentinya mentari memancarkan terik dan panas menyeruak sampai malam adrenalin pun sulit dikendalikan sampai parau memekikkan ketaksukaan kursi itu bergoyang tak juga tumbang cuaca tak menentu merubah atmosfir sekehendaknya; di sesubuh ini, berkeringat juga tanpa basa-basi diterkamnya embun yang asyik mencium ujung daun meski nyamuk telah tertidur di balik gordein dan tumpukan berkas demonstran itu tetap saja mengasah lidah demi setetes embun demi selembar daun (Padang, 2012)

76

Syarifuddin Arifin

Menyepak Siang
orang-orang menyepak siang bulan sumbing tersenyum matahari malu merah pipinya gemintang mengerdip menunggu zaman meraihnya menanti bahu tak berdosa

(Aceh, 2012)

77

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Berkemaslah!
di denyut nadi kuusai sajadah sampai remuk redam seakan terban ruh dari zikir yang khusu aku melayang jauh menembus langit menguak rahasiaMu lalu mengigau dan menggelepar sendiri! angin dan cahaya saling ingkar janji merenggangkan atmosfir hingga berpendar suara adzan mentari di ubun menancapkan panasnya keluasan membiru mengiangi telinga ini darah nyamuk yang membeku di sajadah kudengar suaranya; segera, berkemaslah! subhanallah! (Padang, 2012)

78

Syarifuddin Arifin

SYARIFUDDIN ARIFIN; Lahir di Jakarta, 1 Juni 1956. Berpendidikan: ST-KIP, Sumbar, jurusan Sastra dan Bahasa Indonesia. Akademi Ilmu Komunikasi (AIK) Padang. Mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen (1981) di Cibogo, Bogor oleh Majalah Sastra Horison & Majalah Kebudayaan Basis.Tulisanya dimuat di beberapa media cetak (majalah dan koran) Jakarta dan Padang, juga di Majalah Sastra Horison. Salah seorang penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Pernah di BUMI (Teater,Sastera dan Senirupa), pengasuh/sutradara di Teater Jenjang dan Teater Flamboyan Padang, mendirikan Sanggar Penulisan MASA Padang (1984), mantan pengurus Dewan Kesenian Padang dan Sumbar. Telah melakukan perjalanan sastra & budaya dan jurnalistik ke Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Buku Puisi: Ngarai (1980) diterbitkan Kolase Kliq Jakarta. Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998) ditebitkan Taman Budaya Sumbar, dan Maling Kondang (2012) terbitan Tersa Budaya Jakarta. Beberapa antologi bersama, al. Sembilan (1979) oleh Kolase Kliq Jakarta, Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995) oleh Taman Budaya Jawa Tengah, Surakarta, Parade Karya Sastra se Sumatera-Jawa (1995) oleh Forum Sastra Bengkulu, Hawa (1996) oleh Studio Sangkaduo Padang, Penyair Sumatera Barat (1999) oleh Dewan Kesenian Sumbar), Parade Penyair Sumatera (2000) Panitia Pameran dan Pergelaran Seni se Sumatera (PSS) Jambi, Suara-suara dari Pinggiran (2012) oleh Kelompok Studi Sastra Bianglala.

79

Kumpulan Puisi Maling Kondang

Kumpulan Cerpen al, Bermula dari Debu (1986) oleh Himpunan Mahasiswa Sastra Sumatera Barat (HMSSB), G a m a n g (1989) oleh Sanggar Sastra MASA dan Taman Budaya Sumbar. Novel/cerbung al. Untuk Sebuah Cinta (2000) dimuat Harian Umum Haluan Padang, Sarjana Sate (2001) dan Anak Angin di Celah Awan Jingga (2002) Mingguan Sumbar Ekspres Padang. Memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 oleh PWI Sumbar, memenangkan Sayembara Penulisan Kritik Sastra,1984 oleh FPBS IKIP Padang, memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang, 1985, memenangkan Sayembara Penulisan Naskah Sandiwara, 1984. Pemenang Lomba Penulisan Kritik Seni Pertunjukan oleh Deputy Seni-Budaya, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,2003. Setelah memenangkan Sayembara Penulisan Cerpen-Cerbung Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir dimuat sebagai cerbung di Majalah Wanita Kartini, 2004. Beberapakali mengikuti/peserta pada Pertemuan Sastrawan Nusantara, al, di Jakarta (1979), Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999). Kongres Kesenian di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres PAPPRI di Puncak Jawa Barat (2002) Selain itu ia juga pekerja teater dan pemain film/sinetron.-

------------------

80

Syarifuddin Arifin

81

Anda mungkin juga menyukai