Anda di halaman 1dari 14

Kompas, 14 September 2008

KESUSASTRAAN
Puisi, Siapa Masih Peduli?

THOMDEAN / Kompas Images


Sabtu, 26 April 2008 | 01:20 WIB
Konon, penetapan 28 April - tanggal wafatnya penyair Angkatan 45, Chairil Anwar - sebagai Hari Puisi
Nasional masih menjadi perdebatan. Namun, bagi sejumlah penggiat seni dan sastra, bagaimanapun
bulan April tetap lekat dengan dunia puisi.

Tentu bukan tanpa alasan, wafatnya Chairil Anwar dijadikan momentum Hari Puisi Nasional. Dengan
tidak mengecilkan peran dan eksistensi penyair lainnya, mulai dari Amir Hamzah, Sitor Situmorang, WS
Rendra, Taufik Ismail, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, Sutardji Calzoum Bachri, Emha
Ainun Nadjib, Afrizal Malna, Joko Pinurbo, dan seterusnya, mesti diakui Chairil Anwar memiliki
kedudukan khusus dalam khazanah sastra (terutama puisi) di Indonesia.

Pada umumnya, sebagian pengamat berpendapat bahwa jasa terpenting Chairil Anwar adalah
”pendobrakannya” terhadap bahasa ungkap penyair angkatan sebelumnya (baca: Pujangga Baru).
Dengan penjelajahan bahasa yang intens, akhirnya ia temukan sebuah bahasa ungkap yang khas
dirinya: lugas, padat, tegas, langsung menghunjam ke jantung hati para pembaca karyanya. Hal inilah
yang menjadi tonggak penting perkembangan kesusastraan Indonesia sehingga HB Jassin menyebut
Chairil Anwar sebagai Pelopor Angkatan ’45.

Sebenarnya tidak hanya dari sisi sebagai penyair, kita bisa becermin pada sosok Chairil Anwar. Dari
pengakuan Sri Ajati, gadis yang namanya diabadikan dalam sajaknya, Senja di Pelabuhan Kecil, kita bisa
tahu Chairil adalah sosok yang di dalam hatinya selalu ada desakan-desakan untuk melahirkan sesuatu.
Atau dari surat ”Pernyataan Gelanggang” yang ia buat bersama Asrul Sani, yang penggalannya berbunyi:
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, …… tetapi lebih banyak
oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Dari sinilah sebenarnya peran Chairil Anwar tidak jauh berbeda dengan orang-orang yang berjasa
(pahlawan) pada masa itu. Namun, mengapa di bulan April ini kita lebih mengenal sosok RA Kartini?

Bisa jadi, bukan karena RA Kartini lebih ”hebat” daripada Chairil Anwar, tetapi lebih karena di zaman
yang serba pragmatis saat ini, keberadaan puisi sudah tak dipandang penting lagi. Ah, puisi! Siapa yang
masih peduli? Apakah di zaman yang serba susah di mana banyak orang kelaparan, puisi bisa
menggantikan nasi? Apa kegunaan puisi?

Sudah tentu jika titik berangkat kita seperti itu (pragmatisme hidup), puisi tak akan bisa menjawab.
Sebab, puisi adalah bahasa batin, ungkapan kejujuran, dan penghalus rasa. Ia akan terasa absurd jika
dihubungkan secara langsung dengan problem riil (perut) sehari-hari. Orang yang kelaparan tak akan
bisa menjadi kenyang hanya dengan membaca puisi.

Pun ungkapan terkenal dari John F Kennedy, ”bahwa jika politik bengkok, maka puisi yang akan
meluruskan”. Pernyataan mantan Presiden Amerika Serikat tersebut akan janggal jika kita terima secara
mentah apa adanya (tersurat).

Dulu, salah seorang anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa, almarhum KH Yusuf Muhammad,
sering membaca puisi saat sidang di parlemen mencapai titik buntu.

Pengenalan puisi pada ranah kehidupan praktis, misalnya politik, seperti yang dilakukan KH Yusuf
Muhammad di atas, tentu tidak untuk menyelesaikan masalah secara langsung.

Perdebatan di gedung wakil rakyat akan terus berjalan alot meski seribu puisi dikumandangkan. Korupsi
juga masih jalan terus meski puisi dihadirkan. Namun, paling tidak, pada saat ”kesadaran kemanusiaan”
kita genting, batin kita diketuk, kejujuran digugah, dan kehalusan rasa dibangkitkan. Maka, kiranya hanya
orang yang tak beradab yang menganggap puisi tak penting. Dan, seperti dikatakan HB Jassin, hanya
koran bar-bar yang tak memberi ruang (rubrik) kepada puisi.

Sudah pasti kita akan tersinggung jika dianggap tak beradab. Sakit hati dipandang sebagai bangsa bar-
bar. Namun, kita tak risi sedikit pun jika dinilai sebagai orang (bangsa) yang tak mengenal puisi. Padahal,
puisi adalah salah satu jalan menuju kita beradab dan bermartabat.

Ini berarti, dalam persepsi masyarakat, belum ada korelasi yang positif antara keberadaan puisi dan
keberadaban sebuah bangsa. Mengapa?

Tak dianggap penting

Mengapa masih saja keberadaan puisi tak dianggap penting? Berapa persen dari pembaca surat kabar
yang menyempatkan dirinya membaca (atau sekadar melihat sekejap) rubrik puisi? Dan berapa persen
dari masyarakat yang hobi membeli buku tiap bulan menyisihkan uangnya guna membeli buku-buku
puisi?
Dari sini kritik terhadap keberadaan puisi wajar dilontarkan. Salah satu jawaban yang paling mungkin
dikemukakan adalah muatan puisi tak relevan dengan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, puisi
(beserta penyairnya) hanya asyik menikmati dunianya sendiri. Isi puisi tak lagi membumi dan menyentuh
realita kehidupan.

Benarkah puisi yang kini berseliweran di media massa tak lagi menyentuh dan membumi? Sebagian dari
kita mungkin menjawab ya. Sebab, pascajaya-jayanya WS Rendra, Emha Ainun Nadjib, atau Wiji Thukul
yang mengusung ”puisi sosial”, kini terasa sulit ditemui puisi sosial yang dapat diandalkan, puisi sosial
yang menggetarkan.

Kebanyakan puisi yang kini hadir relatif hanya bertutur dan bergumam pada diri sendiri. Kalau puisi-puisi
yang tercipta tak lagi membumi, siapa yang masih peduli pada puisi tentu akan bisa dengan mudah
dihitung dengan jari.

Dari sinilah sejatinya, para penyair dituntut untuk terus-menerus intens menggauli hidup dan menjelajah
bahasa ungkap supaya karyanya membumi. Dan yang perlu dicatat: setiap episode zaman tentu
membutuhkan kecerdikan tersendiri untuk menghasilkan sebuah puisi yang ”bisa diterima” publik. Maka
teruslah berkarya, berkreasi, mengetuk batin, menggugah kejujuran, menghaluskan rasa. Tanpa henti,
tanpa henti. Hingga hilang pedih peri….

Marwanto Sastrawan, Bergiat di Komunitas Lumbung Aksara (LA), Kulon Progo, Yogyakarta
Kesusastraan
Jejak Involusi Petani dalam Puisi

KOMPAS/ANDREAS MARYOTO / Kompas Images


Majalah Poedjangga Baroe (1933-1942) merupakan majalah yang
banyak memuat puisi dengan tema sawah dan petani. Adapun buku
berjudul Am Rande des Reisfelds atau dalam bahasa Indonesia berjudul
Pinggir Sawah (kanan) merupakan antologi puisi yang diterbitkan dalam
bahasa Jerman dan Indonesia.
Sabtu, 19 April 2008 | 02:08 WIB
ANDREAS MARYOTO

Keindahan sawah dan keriangan petani tinggal kenangan. Ungkapan-ungkapan sentimentil tentang
keelokan kampung halaman dengan sawah yang membentang, gunung yang membiru, dan air yang
jernih adalah cerita masa lalu. Pemandangan yang indah telah berganti dengan penderitaan petani.

Kini kehidupan petani yang susah yang sebenarnya ada. Setidaknya puisi menjadi cerminan itu. Ketika
pejabat masih mengatakan petani sejahtera, puisi telah menyatakan keadaan yang sebenarnya. Ketika
data-data produksi padi disodorkan meningkat, puisi telah menyodorkan kabar sesungguhnya tentang
derita dan bencana petani. Puisi sesungguhnya berbicara lebih dari sekadar angka-angka.

Adalah angkatan Pujangga Baru (1930-1942) yang boleh dibilang meletakkan alam sebagai sumber
inspirasi puisi dalam kesusastraan modern Indonesia. Ketika gaya pantun dan syair mulai ditinggalkan,
puisi romantis yang dipelopori angkatan Pujangga Baru menjadi roh baru dalam dunia kesusastraan kala
itu.

Angkatan ini dengan kegelisahan zamannya mengangkat tema-tema romantis, di antaranya tentang
kampung halaman. Angkatan Pujangga Baru dipengaruhi oleh Angkatan 1980 di Belanda yang beraliran
romantisme. Meski demikian, Prof Ahmad Samin Siregar dari Fakultas Sastra Universitas Sumatera
Utara mengatakan, aliran romantisme masuk ke Indonesia sekitar 30 tahun setelah aliran itu berkembang
di Belanda. Siregar mengatakan, puisi-puisi zaman Pujangga Baru memang diwarnai dengan kerinduan
terhadap tanah kelahiran dan kampung halaman.
Sutan Takdir Alisjahbana dalam artikel bersambung berjudul Poeisi Indonesia Zaman Baroe di dalam
Majalah Poedjangga Baroe, 7 Januari 1935, menyebutkan, ”Dalam seni segala masa amat pentinglah
perhoeboengan antara manoesia dengan alam sekelilingnja. Sebabnja lain dari pada soember inspirasi,
alam jang pelbagai ragam itoe bagi ahli seni adalah teladan jang tiada habis-habisnja”.

Sawah dan petani sudah pasti menjadi konteks yang tepat ketika berbicara mengenai alam dalam sastra
Indonesia kala itu. Beberapa penulis puisi dengan karya-karyanya yang menyinggung panorama sawah
dan kehidupan petani, antara lain penulis dengan inisial Mozasa (kemungkinan Zain Saidi, koresponden
Poedjangga Baroe di Kisaran, Sumut) dengan judul Amanat. Pada bait ketiga berbunyi, ”hanja sekedjap
akoe berpaling/menoleh tanah indah beraloer/dengan mata berair dan silau/serta kening berkeroet
maroet/bingkah-bingkah tanah jang besar/tipis soembing dibongkar soengkal/berserak rata gemboer
berkilat/gemerlapan mengoeat gairat”.

S Yudho (inisial dari S Yudhodipuro, koresponden Poedjangga Baroe di Yogyakarta) pada bait empat
sampai enam puisi berjudul Fadjar menulis, ”di sawah padi mengaloen diajoen/ Sepoi, menggerosok
rimboen di keboen/ di saat sepi// koetindjau emboen di daoen berkilau/ba’ nilam disinar seroja menjilau/di
pagi hari//Mendengar akoe peladang berlagoe/ Menoedjoe ke sawah tjangkoel dibahoe/Bersenang hati”.

Sawah

Sanusi Pane menulis puisi dengan judul Sawah dan Menumbuk Padi. Ia menjadi sastrawan Pujangga
Baru yang banyak mengungkap keindahan panorama sawah dengan kalimat-kalimat yang indah. Sanusi
Pane melihat alam selalu gembira dan merupakan sumber inspirasi yang tak pernah habis.

Tema-tema sawah dan pertanian kembali berlanjut setelah perang kemerdekaan. Trisno Sumardjo pada
24 Desember 1951 menulis puisi dengan judul Pinggir Sawah. Salah satu baitnya berbunyi, ”dalam
bayangan daun mendesau/hati mengaji hikmat yang sedap/alangkah sukur bekerja di sini di tengah
rahmat kaum petani/dan di medan kehijauan terlaksana bahagia/manusia pertama di permulaan zaman”.
Judul puisi ini menjadi judul antologi puisi dwi bahasa Indonesia-Jerman yang berisi kumpulan para
sastrawan Indonesia. Buku ini diterbitkan tahun 1990.

Pada tahun 1958 sepulang dari Eropa, Ramadhan KH menerbitkan kumpulan puisi berjudul Priangan si
Jelita. Meski tidak menyebut sawah, ia menggambarkan tanah kelahirannya begitu indah. Panorama
hijau yang ada di Cianjur-Bandung memesonanya. Inilah konteks ketika Priangan si Jelita ditulis.

Ajib Rosidi dalam Hanya dalam Puisi menulis, ”kulempar pandang ke luar/sawah-sawah dan gunung-
gunung/lalu sajak-sajak tumbuh/dari setiap butir peluh/para petani yang terbungkuk sejak pagi/melalui
hari-hari keras nan Sunyi.

Subagio Sastrowardojo menulis puisi dengan judul Nawang Wulan (yang Melindungi Bumi dan Padi).
Pada bait ketiga puisi itu berbunyi, ”tapi jaga anak yang menangis tengah malam minta susu/tapi jaga
ladang yang baru sehari digaru/anak minta ditimang/ladang minta digenang/lalu panggil aku turun di
teratakmu”.
Romantisme

Hingga pada masa setelah itu kita masih bisa merasakan romantisme kehidupan petani dan panorama
sawah. Sudah pasti aliran romantisme tidak hanya di puisi, tetapi juga pada seni lainnya.

Akan tetapi, belakangan, puisi-puisi yang ada mulai menyadarkan kita pada keadaan petani
sesungguhnya. Tema-tema romantika sawah dan petani makin jarang. Yang muncul adalah tema-tema
realisme sosial.

Banyak penulis yang gelisah dengan kehidupan petani. Sawah tidak lagi menarik. Kalau toh ada yang
mendayu-dayu memuji keelokan sawah, tetap saja puisi mereka menyelipkan hal yang getir. Puja-puji
bentang alam nan hijau tidak ada lagi dalam puisi-puisi yang ada pada masa sekarang.

Nanang Suryadi menulis puisi berjudul Pamflet Banten Selatan yang dalam salah satu baitnya tertulis,
”hanya berkilometer dari Jakarta/kemiskinan nampak pada wajah saudara yang tak pernah menemukan
pendidikan/apa yang kau bayangkan pada ladang dan sawah yang tak bisa mensejahterakan.

Di salah satu situs internet, ada nama Sanak Lembang Alam menulis puisi dengan judul Ketika. Bait
ketiga berbunyi, ”Air, dimana-mana air melimpah meruah membanjiri lembah/Dan sawah berpuluh,
beratus, beribu hektar sawah, kang Cecep/Semua tenggelam ditelan air bah yang sangat dahsyat/Padi
yang baru setinggi betis mulai akan berisi umbut/Handam karam tak berdaya, kang Cecep/Tambak
udang dan ikan bandeng hilang lenyap tak berbekas”.

Sebuah antologi puisi berjudul Bebegig (1998) penuh dengan keresahan di sawah. Puisi Asep GP
berjudul Tembang berbunyi, ”aku dengar sayup-sayup/kodok-kodok menembang/minta hujan/suaranya
tersangkut di tenggorokan//sungai/aswah/di belakang rumah/Kering//Ikan-ikan menggelepar
lemas/Kodok-kodok menembang minta hujan.

Ada juga puisi Tias Tatanka yang berjudul Orang-orangan Sawah yang berbunyi, ”Orang-orang sawah
tak ada lagi/belantara sawah petak-petak padi/mengusir burung-burung/mengusir kantuk petani/mengusik
angina-angin//tak ada cerita kencil di badanmu/tak ada topi petani menakuti burung/tak ada rentang
tangan kaku/tak ada gubuk/tak ada orang-orangan di sawahku”.

Puisi Tias lainnya berjudul Petani Tertawa Karena Buncit Perutnya makin menyiratkan kegetiran yang
mendalam. Ia menulis, ”petani tertawa buncit perutnya bergoyang/isinya angin dan air mata/desaku
kekeringan air mata mata air tak bisa keluar/sawahku hanyut diterpa angin/burung-burung pindah tak
punya sarang/gembala melego seruling kerja jadi buruh di kota/petani tertawa anaknya tak sekolah/ikut
kerja adalah nomor satu/yang penting ada duitnya/untuk beli beras yang ditanam sendiri/beli gula yang
tak bisa dinikmati rasa manisnya/tak ada daging karena sapi tak punya/ayam-ayam hilang ditelan
serigala/serigala ada di seluruh penjuru desa/anak-anak tak kenal orang-orangan sawah/petani tertawa
melihat orang kota/pakai dasi mengelilingi desa/tertawa tanahnya diincar/”lha, itu artinya tanah saya
diharagi mahal!”//(meski tak tahu nanti pindah ke mana).
Kemerosotan petani memang benar-benar sudah terjadi seperti dalam puisi-puisi belakangan ini. Proses
itu akan terus terjadi hingga banyak petani mati bila keadaan ini dibiarkan begitu saja.

Puisi telah menjadi cermin kegelisahan itu. Kemerosotan alias involusi petani memang nyata di sekitar
kita
Sapardi Mencari Sunyi
Minggu, 23 Maret 2008 | 01:45 WIB

Ilham Khoiri

Sapardi Djoko Damono adalah penyair terkemuka Indonesia yang dikenal dengan puisi-puisi liris. Apakah
rumah seniman ini juga bernuansa ”liris”, sebagaimana karakter karya sastranya?

Sebenarnya tidak selalu ada kaitan langsung antara pilihan kesenian dan bentuk rumah seorang penyair.
Namun, jika dirunut pelan-pelan, ternyata dua hal itu akhirnya bisa juga bersambungan. Setidaknya,
dalam beberapa hal, rumah Sapardi pun cukup mendukung suasana ”liris” itu.

Bagaimana bisa? Coba tengok rumah Sapardi di Kompleks Perumahan Dosen Universitas Indonesia (UI)
di kawasan Ciputat, Tangerang, Banten. Di sinilah penyair ini tinggal sehari-hari.

Pohon mangga besar menandai halaman depan rumah yang berada di bagian belakang kompleks
perumahan dosen di dekat sempadan Setu Gintung itu. Tak ada perombakan radikal terhadap bangunan.
Tampilannya masih mengikuti desain asli rumah dosen yang bersahaja di atas lahan seluas 400-an meter
persegi.

Luas bangunannya berapa, Pak? ”Aduh, sebentar,” tukas Sapardi. Dia lantas menghitung petakan-
petakan tegel putih sambil melongok ke sekitar. ”Kira-kira 200-an meter persegilah.”

Sapardi semestinya cukup lelah, Rabu (19/3) malam itu. Kegiatannya seharian itu padat. Pagi hari, dia
mengajar di Universitas Diponegoro, Semarang. Dari sana, dia langsung terbang ke UI Depok, juga untuk
memberi kuliah. Sore hari sampai maghrib, dia tampil lagi sebagai pembicara dalam diskusi sastra di
Bentara Budaya Jakarta.

Meski capek, guru besar dan mantan Dekan Fakultas Sastra UI itu tetap bersemangat saat diajak
ngobrol. Kebugaran yang dijaga baik-baik jelas menutupi usianya yang sudah 68 tahun. Oh ya, Kamis
(20/3) lalu, dia baru berulang tahun. Sapardi lahir di Solo, 20 Maret 1940.

Bersahaja

Kembali ke soal rumah, ”kelirisan” tempat tinggal Sapardi itu pertama-tama terasa dari
kebersahajaannya. Suasana itu terbangun dari kelapangan dan kesederhanaan perabot. Hampir tidak
ada barang mewah dan besar—apalagi yang berukir-ukir njelimet—yang menyesaki ruangan. Perabot
yang hadir benar-benar fungsional, jauh dari kesan berhias-hias.

”Banyak barang bikin sumpek,” papar Sapardi.

Ruang tamu diisi meja dan beberapa kursi. Satu-satunya benda yang mencolok dalam ruang tamu—yang
tidak disekat sampai batas dinding belakang itu—adalah rak buku. Rak yang berdiri di belakang kursi
tamu itu berukuran sekitar 2,5 meter x 2,5 meter. Tumpukan berbagai buku di kotak-kotak kayu itu
tampak menonjol.

Di depan rak, ada ”bale-bale” kayu kecil yang dibuat seperti undakan yang meninggi sekitar 30 sentimeter
di atas lantai dasar. Di atas hamparan papan yang dilapisi karpet kuning itu, Sapardi sering membaca
buku, menulis, memeriksa hasil kerja mahasiswa, atau tiduran sekenanya.

”Rak dan papan inilah salah satu tambahan penting dalam rumah ini,” katanya.

Selain di ruang tamu, ada dua rak buku lagi, masing-masing diletakkan di kamar belakang dan di kamar
santai di dekat kamar mandi. Kamar tidur Sapardi sendiri berada di bagian tengah, berukuran sekitar 3
meter x 4 meter. Ruangan ini dilengkapi meja kerja, meja hias bercermin, serta beberapa lemari pakaian.

”Semua ruangan di rumah ini jadi tempat kerja saya. Saya tak bisa kerja terus di satu tempat. Saya suka
pindah-pindah waktu menulis, kadang di meja makan, kamar, atau di atas papan kayu. Itulah enaknya
punya laptop,” katanya sambil tersenyum.

Biasanya, penyair itu bekerja sambil ditemani lantunan musik jazz yang dihidupkan dari laptop atau dari
VCD player. Banyak jenis jazz yang disukainya, seperti Bob James, Chet Baker, A Coustic Alchemy, atau
George Benson. Saat mau tidur pun, dia masih gemar mendengar jazz dari walkman.

Sunyi

Apa yang dicari Sapardi dari kebersahajaan rumah itu? ”Ruang-ruang yang longgar membuat hati lega.
Tetapi, yang paling penting, saya memperoleh suasana tenang, sunyi,” katanya.

Sunyi yang diidamkan itu memang mengental dalam rumah tersebut. Pertama-tama, karena Sapardi
tinggal sendirian di situ. Jadi, tak ada suara anak-anak atau keriuhan rumah tangga sehari-hari. Hanya
sesekali, sahabat datang bertandang.

Kedua, dia sangat menjaga suasana itu. Bahkan, demi ketenangan, dia tidak memasang televisi dan tak
langganan koran. ”Televisi itu mengganggu, siksaan. Bunyinya tak bisa dihindari, menguber kita terus.
Sementara berita di koran kan umumnya buruk- buruk, hanya bikin marah saja!”

Kesendirian itu bukan tanpa risiko. Pernah, tahun 1998, setelah tiga tahun tinggal sendirian rumah itu,
Sapardi jatuh sakit. ”Jantung saya rasanya ’duk, duk, duk’. Saya panggil taksi untuk mengantar ke dokter.
Akhirnya saya dirawat tiga hari di rumah sakit,” katanya.
Namun, setelah sembuh, dan lewat beberapa tahun kemudian, Sapardi tak kapok untuk kembali mencari
sunyi dengan menyendiri ke rumah ini.

Lalu, apa sejatinya makna kesunyian bagi penyair ini? ”Sunyi itu menyentuh. Dalam sunyi, saya bisa
dengarkan bunyi-bunyi yang paling lembut, termasuk bunyi dari tubuh sendiri,” katanya.

Untuk mencapai momen itu, dia kerap tidur sore-sore agar bisa bangun dini hari, sekitar pukul 03.00.
Saat itulah dia menemukan rentang waktu yang paling sublim, yang merangsangnya menulis karya
sastra (puisi, esai, atau cerita) sampai subuh.

Dari senyap yang mengundang permenungan itulah sebagian puisi Sapardi lahir. Kalangan sastra
menyebut karyanya sebagai puisi liris, yaitu puisi yang memproses perkembangan pikiran dan perasaan
yang subtil. Subtil, karena diksi-nya tajam, halus, dan rumit, tetapi tak kentara.

Simak saja puisi Sapardi berjudul Aku Ingin yang sangat terkenal itu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:/dengan kata yang tak sempat diucapkan/kayu kepada api
yang menjadikannya abu.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:/dengan isyarat yang tak sempat disampaikan/awan kepada
hujan yang menjadikannya tiada.
Puisi STA, Fenomen Penting
Sejarah Sastra Indonesia

Dok. Keluarga
Sutan Takdir Alisjahbana
Selasa, 25 Maret 2008 | 21:30 WIB

JAKARTA, SELASA - Pemikiran-pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana di bidang bahasa dan


sastra, menjadi diskusi panjang di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (25/3). Sastrawan
Goenawan Mohamad dengan telaahan teks yang mendalam tentang STA Sebuah Prosa,
mengatakan "puisi baru" yang dirayakan Takdir sebagai salah satu fenomen penting dalam
sejarah sastra Indonesia.

"Takdir menganggap sebuah puisi identik dengan 'perasaan yang berduyun-duyun ke luar dengan
sendirinya tiada tertahan-tahan'. Praktis tak ada penapis apapun antara apa yang bergejolak
dalam diri sang penyair dan bahasa yang tersusun dalam puisinya; tak ada mediasi yang mungkin
melahirkan distorsi, memencongkan transparansi," ungkapnya.

Paradigma puisi yang diperkenalkan Takdir tidak mempunyai jejak yang panjang. "Puisi baru"
yang dirayakan Takdi ternyata ditinggalkan para penyair Indonesia setelah berkembang hanya
dalam waktu sekitar 10 tahun. Dan itu terjadi di sebuah kondisi pascakolonial yang meneruskan
semangat modernitas tahun 1930-an.

Menurut Goenawan, kesan bahwa puisi dari masa Takdir adalah tanggapan hiperbolik tentang
realitas dan hasrat estetik yang melimpah ruah, memang tak dapat dielakkan, jika kita ikuti
kesimpulan Takdir tentang "sifat khusus puisi Indonesia yang baru". Sifak itu ditandai dengan
tiga kata: "ekspresionisma, lyrik dan romantik". Pendeknya, "bersimaharajalelanya perasaan dan
fantasi".

"Takdir tak melihat kemungkinan lain: bunyi dalam puisi juga bisa menyabot pemaknaan--satu
hal yang dalam puisi Sutardji Calzoum Bachri lebih dipertegas," tandasnya. Sajak "Pot" Sutardji,
misalnya, adalah deretan fonem --sebagai satuan akustik-- yang mengganggu kepastian makna
leksikal.
Satuan akustik dalam sajak bahkan bisa hadir tanpa motivasi semantik sama sekali, seperti dalam
"puisi bunyi" yang muncul di Prancis di tahun 1950-an dari eksperimen Francois Dufrene,
Bernard Heidsiek, dan Henri Chopin.
Puisi Chairil Anwar Perkaya Bahasa Indonesia
Selasa, 15 April 2008 | 20:32 WIB

JAKARTA, SELASA - Puisi-puisi karya Chairil Anwar tidak hanya membangkitkan semangat
kebangsaan, tetapi juga memperkaya bahasa Indonesia. Lewat puisi-puisinya, Chairil Anwar
telah mencengkeramkan pengaruhnya dalam dunia pendidikan, yang menjadikan anak-anak
sekolah senang berpuisi, mencintai puisi, mencintai sastra, mencintai Indonesia.

Demikian antara lain benang merah yang mengemuka dalam diskusi Seri Tokoh Sejarah
Berbicara dengan tema "Mengusung Semangat Kebangsaan dengan Puisi-puisi Chairil Anwar",
Selasa (15/4) di Gedung The Habibie Center, Kemang Selatan, Jakarta. Pembicara ahli sastra
dari Universitas Indonesia Maman S Mahayana, budayawan Taufiq Ismail, dan anak Chairil
Anwar, Evawani Alissa Chairil Anwar.

Maman mengatakan, Chairil Anwar dalam perjalanan hidupnya yang pendek (26 Juli 1922 - 28
April 1949), berhasil menanamkan pohon kreativitas yang hingga kini masih terus berkembang-
berbuah. Pohon kreativitas berupa sejumlah puisi dan esai-esainya itu sampai sekarang masih
terus berbunga-berbuah, sangat mungkin lantaran Chairil Anwar sendiri menanamnya sebagai
sikap hidup. Dan itu diperlihatkannya dalam wujud perbuatan.

"Hampir semua buah karya Chairil Anwar laksana merepresentasikan sikap hidup, gagasan, dan
perbuatannya. Sikap hidup Chairil Anwar yang paling banyak disoroti para pengamat sastra
adalah hasrat mencipta yang didasari oleh semangat kebebasan, tanpa sekat isme, konvensi, dan
segala bentuk pemasungan kreatif, " ungkapnya.

Maman berpendapat, gagasan Chairil Anwar, baik yang diwujudkan dalam sejumlah puisi,
maupun dalam esai-esainya yang menegaskan sikap hidup dan pandangannya tentang
kesusastraan dan kebudayaan Indonesia, ternyata begitu inspiring yang kemudian tidak hanya
mempengaruhi teman-teman sesama sastrawan, tetapi juga sesama seniman.

Untuk puisi, sebagaimana banyak disinggung para peneliti sastra Indonesia, Chairil Anwar telah
menanamkan tonggak penting dalam sastra Indonesia atau dalam menghidupkan bahasa
Indonesia sebagai bahasa kesusastraan. Taufiq Ismail yang mengaku mengenal Chairil Anwar
melalui orang-orang terdekatnya seperti Gadis Rasyid, Dian Tamaela, dan HB Jassin, mengaku
sejak SMA sudah membaca seluruh karya Chairil Anwar (ada 74 puisi) berulang kali.

"Saya meniru intensitasnya, tetapi tidak dengan memakai kata-kata yang pernah digunakan
Chairil Anwar. Dari 74 puisi Chairil yang saya baca, saya suka sekali puisi Senja di Pelabuhan
Kecil. Ini puisi percintaan yang dibuat paling indah dengan bahasa Indonesia," katanya.

Menurut Taufiq, yang membacakan puisi Senja di Pelabuhan Kecil menjelang diskusi ditutup,
tenaga dan energi dari puisi-puisi Chairil Anwar itu luar biasa dan sampai sekarang masih
bertahan. Dari 74 puisi Chairil, ada enam puisi yang sangat pekat dengan semangat kebangsaan,
seperti Diponegoro, Siap Sedia, Kerawang-Bekasi, dan Persetujuan dengan Bung Karno.

Anda mungkin juga menyukai