Ditengah lesunya minat masyarakat terhadap kesusastraan, khususnya puisi,
serta sedikitnya orang yang “rela” menjadi penyair, terbitnya antologi puisi “18+” (Delapan Belas Plus) karya Faaizi L. Kaelan memang sangat melegakan hati. Paling tidak antologi ini bisa menjadi sebuah akses bagi perenungan dan pelarian dari hiruk – pikuk kehidupan sehari – hari yang jumawa. Antologi ini sekaligus menjadi sebuah ucapan syukur bahwa sebenarnya sastra tidak benar – benar “in memoriam.” Dalam kata pengantarnya, penulis menyodorkan sebuah pertanyaan, sekaligus juga mewakili pertanyaan mereka yang tidak tahu dan/atau tidak peduli dengan puisi, “Apakah gunanya menghabiskan waktu berjam – jam untuk menulis puisi…?” Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh penulisnya, “…karena suka – suka saja. Saya memilih puisi sebagai media berekspresi…” (hal.5). Benar, puisi adalah sebuah media untuk berekspresi, sama seperti misalnya lukisan yang merupakan ekspresi pelukis, foto bagi fotografer dan lain sebagainya. Pemilihan judul 18+, (Delapan belas Plus) merupakan ide penulisnya dalam mengabadikan momentum historis perjalanan kepenyairannya. Delapan belas adalah usia penulis antologi ini ketika mulai menulis puisi secara serius, yaitu ketika ia duduk di kelas 2 Aliyah (setara SMU) (hal.6). Judul bukunya, “18+”, sekaligus menjadi puisi pembuka dalam antologi ini, //Delapan belas tahun kemudian/ hidup menemukan gairah// (hal.19). Sebagai sosok santri Madura yang sarat dengan tradisi pesantren, pengetahuannya terhadap hal – hal yang berbau sekular merupakan sesuatu yang luar biasa. Tema serta diksi yang ada dalam antologi ini juga menjadi sebuah bukti bahwa sebagai santri, penulisnya adalah seorang yang berpendidikan, terbuka, moderat dan bergaul dengan berbagai kalangan secara luas. Puisi – puisinya tidak membelenggu eksistensinya sebagai manusia, namun mengalir lugas dalam kata – kata yang terkesan nge-pop dan funky. Untuk itu puisinya dengan mudah dipahami, baik oleh mereka yang mempunyai latar belakang kesastraan maupun tidak sama sekali. Sama seperti kebanyakan penyair, penulis antologi ini mencoba untuk mengajak pembacanya merenung tentang kehidupan. Ajakan itu tidak disampaikan secara agitatif dan meledak – ledak malah justru sebaliknya lembut, rendah hati dan cenderung pesimis. Misalnya dalam Palestina: //Dan kini, tinggallah belasungkawa yang basi/ mengalun perih tak tertakar/ maka lagukan himne tangis/ lewat kesempitan cinta yang terjual// (hal.44). Rasa solidaritas, keprihatinan dan kesedihannya sebagai seorang muslim dalam melihat penderitaan rakyat Palestina tidak diekspresikan secara menggebu – gebu, marah dan penuh kebencian. Ada semacam “himbauan” untuk mengembalikan segala persoalan kepada Tuhan melalui bathin manusia yang tulus ikhlas, tanpa embel – embel kepentingan. Kegundahan dan kemuakan penulis terhadap realitas yang artifisial disampaikannya secara santun. Salah satunya adalah rasa muak terhadap orang yang selalu mengobral janji namun tak pernah ditepati dan menjajakan kata namun tanpa makna, //:dalam hal bicara,/ musik lebih fasih ketimbang kata – kata/ Da Vinci menyulap Monalisa/ mata terbelalak, hati berdecak/ : satu lukisan, seribu kata jumlahnya// Kataku kosong, kataku sunyi/ kata berkutat dalam wacana/ ke manakah * Sebagian besar isi tulisan ini merupakan rangkuman pembicaraan penulis dalam bedah buku “Antologi Seratus Puisi (18+)” di Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga” Yogyakarta. 15 Juni 2003. perginya makna?// (hal.123). Konser amal musik bertajuk World Peace Music Award yang di gelar di Garuda Wisnu Kencana Bali, pada tanggal 14/06, seolah – olah mengamini syair ini. Dalam dunia yang serba nir orang baik, penulis mengekspresikannya secara sederhana dan penuh kerendahan hati, //Untuk menjadi orang baik – baik/ tak perlu kau gebukin// Untuk menjadi orang baik – baik/ tak perlu dana miliaran/ tapi cukup dengan sepotong keberanian/ untuk didengki/ dan siap untuk disakiti// (hal.130). Ajakan untuk melihat diri sendiri sebagai sosok manusia yang utuh menjadi tema utama antologi ini, termasuk didalamnya bagaimana kita berpikir dan berperilaku menuju kepada segala hal yang baik dengan maksud agar umat manusia mampu menjadikan dunia yang sudah terlanjur rusak dan kejam ini, (digambarkan dalam Antropologi Abad XXI), menjadi tempat yang lebih nyaman untuk hidup. Antologi ini ditutup dengan ajakan untuk berdoa bagi dunia dan bagi Indonesia tercinta ini, //Untuk menggapai kedamaian/ dunia melahirkan alegori, tamsil dan teladan/ maka dibuatlah Indonesia/ bagi kedermawanan sebuah negara donor darah/ : Aceh, Timor, Banyuwangi// Mari kita berdoa;/ atas nama kedamaian/ jangan lagi dunia/memperebutkan air mata// (hal.146). Secara keseluruhan tema dan gaya dalam antologi puisi ini tidak sepenuhnya baru dan berbeda dengan antologi puisi yang ditulis oleh penyair terdahulu, namun menjadi berbeda ketika antologi ini hadir ditengah – tengah masyarakat yang pragmatis dan cenderung anarkis. Antologi puisi ini mampu menjadi penyejuk.