Anda di halaman 1dari 4

Nama : Gilang Fadlurrahman

NIM : 2110722001

Resume : Kritik Sastra A (A1)

Kritik Sastra dan Masyarakat Sastra.

Istilah "kritik" (sastra) berawal dari bahasa Yunani crites, yang berarti "menghakimi", sama
halnya dengan kritik yang berasal dari krinein "menghakimi"; Criterion berarti “penilaian dasar” dan
Criticism berarti “hakim kasus” (Baribin, 1993). Pradotokusumo (2005) menjelaskan bahwa kritik
sastra dapat didefinisikan sebagai salah satu objek studi sastra (cabang sastra) yang menganalisis,
menafsirkan, dan mengevaluasi teks isi sastra sebagai karya seni, sedangkan Abrams (1981)
menjelaskan bahwa kritik sastra adalah cabang ilmu yang mempelajari perumusan, klasifikasi,
penjelasan, dan evaluasi karya sastra. Kata kritis dalam arti yang paling tajam adalah penghakiman,
dan dalam pengertian ini ia cenderung menyusun penggunaan istilah kita, bahkan ketika digunakan
dalam arti yang paling luas. Oleh karena itu, kritikus sastra pada awalnya dipandang sebagai seorang
ahli dengan keterampilan dan pendidikan khusus untuk menggarap sebuah karya seni sastra, yang
karyanya mengkaji kelebihan dan kekurangan serta mengemukakan pendapatnya (Pradopo, 2009).
Definisi kritik sastra, seperti yang sebelumnya, tidak mutlak, karena saat ini tidak ada kesepakatan
umum tentang makna sastra. Namun pada dasarnya kritik sastra adalah suatu kegiatan atau tindakan
untuk mencari dan menentukan nilai intrinsik karya sastra melalui sistem pemahaman dan interpretasi
kritis dalam bentuk tulisan. Atau kritik sastra adalah ilmu sastra untuk menilai karya sastra dengan
memberikan penilaian dan memutuskan apakah karya tersebut berkualitas yang dikritik atau tidak.
Kritik sastra sejati bukan hanya tentang menilai, masih ada aktivitas kritis.

Pembaca terkait dengan sastra yang dituju oleh pengarang ketika menciptakan karya
sastranya. Berkenaan dengan pembaca atau publik, Wellek dan Warren (1994) berpendapat bahwa
pembaca memegang peranan penting dalam dunia sastra. Karya atau aspek ilmiah. Tanpa pembaca,
fungsi sastra dalam karya menjadi tidak relevan. Oleh karena itu, karya tanpa pembaca tidak lebih dari
kumpulan manuskrip.Keberadaan karya sastra sampai kepada pembaca, tidak lepas dari keberadaan
penerbit atau media. Dapat dikatakan bahwa pembaca adalah rajanya produksi sastra. Dalam dunia
sastra, pengarang karya merupakan mata rantai bagi perkembangan dunia sastra bagi pembacanya.
Pembaca bebas menganalisis sebuah karya. Setiap pembaca memiliki pemahaman dan interpretasi
yang berbeda-beda, karena teks sastra merupakan kajian tentang interpretasi. Ada beberapa cara
memahami karya pembaca salah satunya dapat dilihat dari ekspresi pembaca. Betapa beragamnya
ekspresi membaca puisi, mirip dengan membaca puisi. Tentu saja memiliki variasi yang berbeda
tergantung pada pemahaman pembaca.Ada yang membacakan puisi dengan lantang penuh emosi dan
amarah, ada juga yang membaca pelan dengan ekspresi sedih dan berlinang air mata. Seperti dalam
genre prosa, pembaca mengeksplorasi konflik psikologis karakter dalam karya dan keadaan sosial
mereka, seolah-olah mereka terlibat dalam konflik yang muncul.Kehadiran pembaca membantu sastra
berkembang. Pada dasarnya setiap pembaca sebuah karya sastra telah berperan sebagai “kritikus”
karena pembaca dapat menilai apakah karya sastra yang dibacanya menarik atau tidak. Meski tidak
dalam bentuk tulisan, ilmiah atau tidak. -ilmiah. dunia sastra. Keberadaannya memberikan kontribusi
bagi perkembangan studi sastra. Studi sastra tidak lagi focus pada teks tetapi mampu mengeksplorasi
elemen eksternalnya (pembaca, penulis, dan elemen sosial di dalamnya).Selain itu, pembaca adalah
“juri” ketika menilai sebuah karya. Bayangkan jika tidak ada yang membaca sebuah karya sastra,
fungsi sastra tidak penting dalam karya tersebut. Menurut Wellek dan Warren (1994) ada tiga
klasifikasi dalam sosiologi sastra. Salah satunya adalah Sosiologi Pembaca dan Pengaruh Sosial
Karya Sastra, yang membahas tentang pengaruh karya sastra terhadap masyarakat, khususnya
pembacanya. dan sejauh mana pembaca komunitas dipengaruhi oleh literatur yang mereka baca.

Pengalaman Dan Imajinasi Dalam Kritik Sastra.

Pengalaman dan imajinasi merupakan dua elemen pokok dalam sastra, khususnya puisi. Oleh
karenanya layak mendapatkan perhatian khusus dari setiap orang yang hendak berurusan dengan
puisi. “Pengalaman” yang dimaksudkan disini ialah “pengalaman poetik”, yakni penghayatan kreatif
yang melahirkan karya. Untuk itulah daya imajinasi memainkan peranan pokok, sebab imajinasi
menjadikan pengalaman tidak hanya sempurna dan nyata bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang
lain. Pembaca selalu dihadapkan pada dua kenyataan dalam menikmati puisi. Pertama adalah
kenyataan “dunia” sajak yang dihadapinya dan kedua, kenyataan “dunia” hidupnya. Dengan
demikian, arti sajak berada dalam hubungan antara kedua dunia tersebut. Pertama, untuk mendekatkan
dunianya pada dunia sajak diperlukan kerelaan melupakan dunianya. Kedua, mengkaryakan daya
imajinasinya sebagai manusia. Apabila sikapnya telah terbuka, imajinasinya dengan sendirinya akan
luas terbuka pula.

Dalam hal ini kiranya layak disayangkan bahwa buku bimbingan pemahaman dan penghayatan puisi
masih sedikit jumlahnya. Di antara yang sedikit ini kita temukan buku berjudul Beberapa Gagasan
dalam Bidang Kritik Sastra Moderen, yang ditulis dan diterbitkan oleh pengarangnya sendiri –penyair
dan sarjana sastra Rachmat Djoko Pradopo-. Dalam buku tersebut, dituangkan beberapa contoh
analisis sajak Sitor Sitomorang yang berjudul Chathedrale de Chartress. Untuk jelasnya, di bawah ini
akan kami kutipkan beberapa baris yang bersangkutan.
Dalam bagian ‘lapis arti’ antara lain ditulis sebagai berikut

“Kisah cinta” = kisah percintaan antar penyair dan kekasihnya.


“Di Pekan Kembang” = di tempat wanita-wanita ‘P’ menjual dirinya, ungkapan ini untuk
memperhalus relitas yang kasar menjadi lebih sopan, supaya sesuai dengan suasana
khusyuk berdoa (sembahyang)
“Di pagi buta” = pada waktu pagi yang gelap, di sini untuk melambangkan orang-orang
pada waktu dalam kebutaan, tidak dapat membedakan baik dan buruk, karena lupa.
“Di musim bunga” = pada waktu para wanita ‘P’ bersolek menjajakan diri
“Mata remang” = orang samar-samar penglihatannya karena terbius oleh bawa nafsunya
tak dapat melihat perbuatan yang buruk dan baik

Keterangan di atas dibuat atas bait ke-6 “Chathedrale de Chartress” yang berbunyi,

Demikianlah kisah cinta kami

Yang bermula dipekan kembang

Di pagi buta sekitar Notre Dame de Paris

Di musim bunga dan mata remang

Mengapa “dipekan kembang” adalah di tempat wanita-wanita ‘P’? apakah interpretasi ini
didasarkan atas kenyataan di Yogyakarta, di mana “Pasar Kembang” identik dengan perkampungan
perempuan lacur? Dan mengapa pula “dimusim bunga” diartikan “waktu para wanita ‘P’ bersolek
menjajakan diri”? apakah ini juga karena pengaruh “dunia” Yogyakarta? ‘Kembang’ atau bunga
diperjualbelikan dengan sangat laris. Bunga mempunyai arti tersendiri dalam kehidupan dan hati
orang Eropa, denga adanya sebutan musim bunga bagi salah satu daru empat musim yang mereka
miliki tiap tahunnya. ‘Musim bunga’ atau springs (Inggris) dan printemps (Prancis) adalah mahkota
yang muncul dari bumi setelah musim dingin. Musim bunga yang sering disebut musim semi adalah
gairah hidup baru dari alam yang sebelumnya tertidur lelap dalam kedinginan. Untuk menangkap arti
ungkapan-unkapan macam itu tidak dituntut daya imajinasi luar biasa bagi orang yang pernah hidup
di dunia yang menjadi konteks sajak tersebut. Justru bagi mereka yang tidak atau belum pernah hidup
di dunia konteks sajak itu dituntutlah kerelaan belajar, mencari informasi, sikap terbuka, dan daya
imajinasi yang besar. Dan justru inilah yang menjadi persoalan bagi para pembaca sastra, sebab
mereka sering tidak hanya berbeda tetapi bahkan bertentangan dengan dunia penyair dan puisinya.
Uraian dalam diktat itu, masih pada bab yang sama, antara lain diteruskan dengan ‘norma yang
keempat’. “Di samping seorang Kristen ia (penyair) penganut filsafat eksistensialisme, ternyata dari
ucapannya:

“ah, Tuhan, tak bisa lagi kita bertemu

Sajak dalam doa bersama kumpulan umat”

Betulkah Sitor dapat digolongkan seorang penganut eksistensialisme yang berarti? Apakah sajak
“Chathedral de Chartress” harus dibaca dalam konteks eksistensialisme Prancis? Ataukah ada
kemungkinan lain berdasarkan pengalaman insaniah manusia di negeri asing? Seorang Kristen kalau
tidak dapat berdoa dalam dan bersama umat, tidaklah berarti ia seorang eksistensialisme. Rasa
tertinggal atau terasing di tengah umat ini akan semakin besar apabila orang itu dilanda rasa rindu
pada orang yang dicintainya, entah itu kerabat, keluarga, atau negeri bersama adat istiadatnya.
Apalagi kalau dalam rasa rindu tersebut orang merasa telah melakukan dosa yang tak dapat dikatakan
pada orang lain. Kalau mau diadukan pada Tuhan di tengah jemaat itu rasanya tidak mungkin, sebab
rasanya dengan upacara yang berlangsung dalam bahasa Inggris atau Perancis itu, Tuhan sedang sibuk
mendengarkan doa umat dan tidak sempat mendengar doanya yang dalam bahasa Batak, Jawa, atau
Indonesia.

Dengan mengajukan contoh-contoh di atas, penulis ingin menunjukkan bahwa mengerti,


menikmati, apalagi menilai sajak tidaklah mudah. Hal ini akan sangat berbeda apabila penyair
menghadirkan konteks di luar dunia kita sendiri. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kelemahan
daya imajinasi penikmat pribadi. Sebagaimana halnya penyair dapat menimba pengalaman poetiknya
dari pengalaman factual, maka pembaca pun dapat menimba pengalaman estetiknya dari pengalaman
factual. Pada dasarnya, pembaca sendirilah yang menentukan mampu tidaknya membaca dan
menikmati sebuah puisi. Untuk menjadi pembaca yang baik, orang bukannya harus menggulati buku
teori melainkan harus berani langsung menggulati dengan sepenuhnya daya, syukur kalau dapat
secara mesra, karya-karya sastra dengan menggunakan seluruh daya-daya insaniahnya. Pengalaman
kitalah yang akhirnya akan membina daya imajinasi yang sangat diperlukan untuk mengerti,
menikmati, menilai puisi. Maka justru pengalaman membaca puisi inilah yang harus dibentuk dan
dibina dalam pengajaran puisi, kalau para pelajar dan mahasiswa memang diharapakn dapat mengerti,
menikmati, dan menilai puisi secara bertanggung jawab.

Anda mungkin juga menyukai