Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS STRUKTURALISME GENETIK GOLDMANN PADA NOVEL

PERTEMUAN DUA HATI KARYA N.H DINI

Yulia Mona Lisa


(2110721023)
Dosen Pembimbing: Dr. Zurmailis, S.S., M.Hum
Porgram Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas
Yuliamonalisa7@gmail.com

ABSTRAK
Penelitian ini membahas mengenai analisis strukturalisme genetik novel Pertemuan Dua Hati
karya N.H Dini. Penelitian ini menggunakan teori Lucian Goldmann. Teori ini digunakan
dalam analisis fakta kemanusiaan dan subjek kolektif yang ada dalam novel. Penelitian ini
menggunakan analisis isi dengan fokus analisis naratif dan deskriptif dalam novel. Fakta
kemanusiaan yang direpresentasikan dan dideskripsikan dalam novel yaitu aktivitas sosial dan
pengaruh psikologis yang terdapat pada tokoh utama. Aktivitas sosial dominan
mengartikulasikan problem sosial yang terjadi didalam kehidupan Bu Suci dan Waskito.
Penagruh psikologis pada tokoh Waskito dalam novel ini ditunjukkan dengan perilaku dan
watak yang dimilikinya sehinga teman-teman di sekolah sangat takut padanya. Fakta
kemanusiaan juga membahas tentan respons para tokoh terkait perubahan yang terjadi terhadap
prilaku Waskito. Dua respons paling dominan adalah para tokoh melakukan asimilasi dan
separasi. Subjek kolektif dalam novel ini direpresentasikan dan dideskripsikan dengan kelas
pejuang yang mengupayakan perubahan, khususnya terkait dengan merubah cara bersikap dan
berperilaku Waskito terhadap orang-orang disekitarnya.
Kata kunci: fakta kemanusiaan, aktivitas sosial, aktivitas politik, subjek kolektif

ABSTRACK
This research discusses the analysis of genetic structuralism in the novel Empat Dua Hati by
N.H Dini. This research uses Lucian Goldmann's theory. This theory is used in the analysis of
humanity and collective subjects in the novel. This research uses content analysis with a focus
on narrative and descriptive analysis in the novel. The facts of humanity that are represented
and described in the novel are social activities and psychological influences on the main
characters. Dominant social activities articulate social problems that occur in the lives of Bu
Suci and Waskito. The psychological influence on the character Waskito in this novel is shown
by his behavior and character so that his friends at school are very afraid of him. Humanitarian
facts also discuss the responses of the figures regarding the changes that have occurred in
Waskito's behavior. The two most dominant responses are the characters' assimilation and
separation. The collective subject in this novel is represented and described as a class of
warriors who strive for change, especially in relation to changing Waskito's way of thinking
and behaving towards the people around him.
Key words: humanitarian facts, social activity, political activity, collective subject
PENDAHULUAN
Sastra merupakan karya imajiatif yang menggambarkan kehidupan bermasyarakat.
Sastra dapat dinikmati, dipahami, dimanfaatkan pada kalangan masyarakat. Seorang pengarang
merupakan anggota masyarakat. Sudah sepantasnya apabila ia mengamati dengan cermat apa
yang terjadi di sekitarnya, sudah sepantasnya pula apabila ada berbagai hal timpang yang
dituliskannya sebagai tanda simpati dan protes (Damono, 2002:145). Sastra dan realitas sosial
merupakan dua entitas yang selalu terkait. Keterkaitan keduanya bisa dalam bentuk kausalitas.
Hubungan ini sangat kuat sehingga satu narasi sastra dipandang sebagai refleksi dari struktur
sosial seorang pengarang. Nurgiyantoro (2010:3) menyatakan bahwa novel bukan semata-mata
karya fiktif, akan tetapi novel terlahir melalui proses imajiner. Novel membicarakan kehidupan
lingkungan masyarakatyang berupa gambaran suatu kehidupan bermasyarakat. Kehidupan yang
digambarkan oleh pengarang dalam karya sastra (novel) adalah kehidupan rekaan pengarang,
walaupun tampak seperti sebuah realita kehidupan.Oleh sebab itu, kehidupan yang
digambarkan oleh pengarang merupakan sebuah karya fiktif pada umunya berisi tentang
kehidupan sehari-hari.

Georg Lukacs (via Kleden, 2004: 9) menjelaskan bahwa sastra dalam fungsinya dapat
berperan sebagai refleksi realitas sosial melalui teknik mimesis. Refleksi ini mengandung
respons dan reaksi aktif terhadap realitas sosial yang direpresentasikannya. Hal ini
ditambahkan oleh Kuntowijoyo (2006: 171) yang menjelaskan objek karya sastra adalah
realitas. Dengan realitas ini, pengarang dapat diterjemahkan dalam dua aras. Aras pertama,
pengarang mencoba menerjemahkan peristiwa dalam bahas imajiner dengan maksud
memahami peristiwa tersebut. Aras kedua adalah karya sastra dianggap menjadi sarana ideal
dalam penyampaian atau tanggapan pengarang sebagai responsnya dalam memahami atau
memaknai realitas sosial.

Lucian Goldmann merupakan tokoh yang mengembangkan pendekatan strukturalisme


genetik dalam kajian sastra. Dengan pendekatan ini, Goldmann mengklasifikasikan karya sastra
dalam dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah pemosisian karya sastra sebagai
ekspresi pandangan dunia secara imajiner. Sudut pandang kedua memosisikan karya sastra
sebagai artikulasi pandangan dunia pengarang dengan penciptaan tokoh, objek, dan relasi-relasi
imajiner (Faruk, 1999: 17). Terkait strukturalisme genetik, Goldmann menawarkan dua konsep,
yaitu fakta kemanusiaan dan subjektif kolektif.

Fakta kemanusiaan adalah segala bentuk aktivitas verbal maupun fisik yang berusaha
dipahami ilmu pengetahuan. Hal ini meliputi kegiatan sosial tertentu, kegiatan politik, budaya,
seni, dan lain-lainnya. Faruk (2012: 57) menjelaskan bahwa fakta kemanusiaan ini terdiri dari
dua bagian, yaitu fakta individual dan fakta sosial. Analisis kali ini difokuskan pada fakta
sosial. Selain fakta kemanusiaan, Goldmann juga menjelaskan konsep subjek kolektif. Subjek
kolektif adalah konsep yang digunakan untuk melihat aspek historis yang menjadi dasar
penciptaan karya oleh pengarang. Pengarang sangat jelas merupakan bagian dari masyarakat.
Hal inilah yang membuat pengarang tidak bisa bebas nilai. Imajinasi dan kreativitas maupun
pendapat individu diikat oleh keberadaan kolektif masyarakatnya. Dengan kata lain, kesadaran
yang terbangun dalam suatu karya sastra merupakan kesadaran sosial ataupun kesadaran kelas
(Pawling, 1984: 29).

Sastra adalah refleksi dari suatu realitas sosial. Karya sastra yang dianalisis adalah
novel Pertemuan Dua Hati karya N.H Dini. Novel ini menarasikan problematika yang dialami
oleh Bu Suci dan Waskito. Masalah-masalah sosial diantara kedua tokoh tersebut yang mana
Bu Suci mengalami masalah keluarga yaitu anaknya yang mengalami suatu penyakit yang sulit
disembuhkan dan tokoh Waskito yang memiliki perilkau yang tifak baik didalam
kehidupannya. Sehingga Bu Suci dihadaplan dengan dua masalah sekaligus yaitu ketegaran
seorang ibu dalam merawat anaknya yang sedang sakit dan seorang guru yang sedang berupaya
menyelamatkan seorang siswa agar tidak dikeluarkan dari sekolah. Dengan kata lain, struktur
yang terepresentasikan dalam karya sastra pun memiliki relasinya dengan struktur realitas.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif degan menerapkan analisis isi
(content analysis) . Ratna (2004: 49) menjelaskan bahwa analisis isi adalah tafsiran yang
dominan fokusnya adalah isi karya sastra (isi pesan). Dalam pembahasannya, Hijmans
menambahkan (dalam Neuendorf, 2002: 5) ada beberapa domain utama dalam analisis ini,
yaitu analisis retorik, analisis naratif, analisis wacana, analisis struktural, analisis interpretatif,
analisis percakapan, analisis kritis, dan analisis normatif. Penelitian ini mengunakan analisis
naratif.

Wellek dan Warren (1989) mengklasifikasikan dua pendekatan dalam analisis karya
sastra. Pendekatan pertama adalah pendekatan yang memfokuskan pada struktur karya sastra
(intrinsik), sedangkan pendekatan kedua memfokuskan pada struktur di luar karya sastra
tersebut (ekstrinsik). Pendekatan ekstrinsik adalah analisis yang digunakan dengan
mempertimbangkan relasi karya sastra dengan pengarang, latar belakang masyarakat, dan
pembaca (Damono, 2002: 10—12). Penulis akan melakukan analisis naratif lalu merelasikan
karya sastra dengan unsur ekstrinsik yang akan difokuskan pada fakta sosial dan subjek
kolektif.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Novel ini menceritakan tentang kisah Bu Suci sebagai seorang ibu yang tangguh dan
kuat dan seorang guru yan bertanggung jawab akan tugasnya terlebih lagi dalam merubah
perilaku Waskito menjadi lebih baik lagi. Isi novel ini adalah Bu Suci adalah seorang guru SD
di Purwodadi yang mana telah mengajar selamanya 10 tahun. Ia mempunyai dua orang anak
dan suaminya bekerja di sebuah perusahaan di kota. Pada bagian awal cerita yaitu penulis
menceritakan tentang kisah bu suci dan bagaimana proses perpindahan rumah yang dialaminya
karena mengikuti suaminya yang mengalami perpindahan tugas. Setiap suaminya dipindahkan
tugas maka ia juga akan melakukan pindah rumah juga yang awalnya dari purwodadi pindah ke
Semarang. Perpindahan itu juga menyebabkan harus menyesuaikan kondisi dan lingkungan.
Tidak hanya itu bu suci harus melihat bagaimana kondisi rumah dan lingkungan tempat ia
tinggal apakah nyaman untuk anak-anak nya. Setelah pindah ke Semarang, bu suci mulai
mengalami beberapa masalah. Awalnya anak keduanya yang sakit yaitu demam tinggi dan suka
rewel, tapi untungnya bu suci di bantu uwaknya untuk mengasuh anak-anaknya.

Mulai lah ada anggapan dari para tetangga yang mendengar kerewelan anaknya, yang
mengira bahwa rumah yang didiami oleh bu suci ada penunggunya. Dan mulai menawarkan
beberapa dukun yang ahli dalam mengusir makhluk halus, mulai dari sekitar tempat tinggal
sampai keluar daerah yang ditawarkan tetangga itu. Tapi bu suci tidak menghiraukannya dan
segera membawa anaknya ke rumah sakit dan setelah dibawa ke rumah sakit anaknya ditangani
oleh dokter dan diberi resep obat, dan penyakit anak bus suci mulai ada perkembangan yang
baik. Sebelum anaknya sakit bu suci, sebenarnya sudah mencari lowongan menjadi guru dan
sudah diterima juga menjadi pengajar di salah satu SD di dekat rumahnya.

Hari pertama menagajar Bu Suci saling memperkenalkan diri dengan siswanya dan
mengabsen kehadiran. Pada hari itu ada 3 orang anak yang tidak masuk sekolah, salah satu
diantara ketiganya adalah Waskito. Setelah beberapa hari mengajar, Waskito belum juga
masuk. Bu Suci akhirnya menanyakan kepada murid-muridnya tentang kabarnya Waskito.
Namun tidak seorang pun yang menjawab, mereka menunjukkan wajah yang ragu-ragu akan
menjawab. Setelah beberapa kali bertanya akhirnya ada seorang murid yang memulai
menjawab nya. Mereka mengatakan bahwa Waskito adalah murid yang nakal dan jahat.
Menurut beberapa guru yang pernah mengajar di kelas tersebut mengatakan bahwa Waskito
adalh murid yang sukar dan suka marah-marah yang tidak jelas alasannya.

Setelah mendengar penjelasan dari guru-guru itu, Bu Suci mengirim surat kepada
Nenek Waskito yang mana ingin bermaksud berkunjung ke rumah nenek tersebut. Pada sore
hari Bu Suci mengunjungi Rumah Nenek Waskito. Dari Neneknya, dia memperoleh banyak
informasi tentang Waskito. Bahwa Waskito pernah tidak mendapatkan kasih sayang seprti
layaknya anak-anak yang lain. Yang menfapat perhatian lebih dari orang tuanya. Dia juga
pernah dipukul oleh Ayahnya karena dia membolos. Selama berada di Rumah Orang Tuanya
dia tidak pernah di tegur, diberi tahu mana yang baik dan buruk. Tetapi selama tinggal di
Rumah Neneknya, Waskito bersikap manis, sopan, sering mengerjakan tugas rumah, masuk
Sekolah secara teratur. Hasilnya Waskito menjadi murid yang pandai. Rapornya menunjukan
kemajuan. Namun, Orang Tuanya mengambilnya kembali. Karena mendapat aduan dari
pembantunya mengira bahwa Waskito diperlakukan layaknya seorang pekerja.

Tidak hanya menangani masalah Waskito, Bu Suci juga harus menangi maslaah
penyakit anaknya, menurut Dokter Perusahaan anak keduanya harus dibawa ke Dokter
Syaraf/Neurolog. Berhari-hari Bu Suci dan anaknya mondar-mandir Rumah Sakit untuk
menjalani serangkaian pemeriksaan anaknya. Hasilnya, ternyata anaknya menderita
penyakit Ayan/Sawan/Epilepsi. Setelah anaknya sembuh, Bu Suci mengunjungi Nenek
Waskito untuk kedua kalinya. Neneknya menceritakan bahwa kini Waskito tinggal
bersama budenya. Pada suatu hari Waskito masuk Sekolah. Di hari itu Bu Suci meminta
beberapa orang siswanya untuk berpindah tempat duduk. Ia juga meminta Waskito untuk
pindah namun Waskito tidak mau. Suatu hari Sekolah melaksanakan pelajaran turun ke
Lapangan. Guru-guru dan murid- murid mengunjungi Pabrik Makanan. Terlihat, Waskito
aktif bertanya tentang mesin pembuat makanan. Bu Suci membentuk kelompok-kelompok
di Kelasnya. Setiap kelompok diberi tugas untuk membuat bejana berhubungan. Ternyata
hasil karya kelompok Waskito yang paling sempurna.
Pada hari berikutnya, Bu Suci memberikan tugas kelompok membuat Kebun
Binatang. Tak di sangka-sankga karya kelompok Waskito yang paling bagus. Selama tiga
bulan keadaan tenang, Waskito tidak membuat onar. Pada waktu istirahat, Waskito
mengamuk. Guru-guru mengusulkan agar Waskito dikeluarkan dari Sekolah. Bu Suci
mempertahankan muridnya tersebut. Dia meminta waktu satu bulan kepada Kepala Sekolah
untuk mendidik dan memberi nasehat Waskito tentang perlakukan yang biak, jika selama
sebulan Waskito tidak juga berubah maka sebagai gantinya Bu Suci rela dikeluarkan dari
sekolah, dan Kepala Sekolah pun mengabulkan permintaannya.

Sejak kejadian itu, pada waktu istirahat Bu Suci lebih sering berada di Kelas. Bu
Suci pun mengobrol Waskito. Bu Suci merasa lebih dekat dengan muridnya tersebut. Bu
Suci megajarkan Waskito hal apa yang seharusnya dikerjakan dan tidak boleh dikerjakan.
Alhasil rapor Waskito berikutnya berisi angka-angka yang baik. Waskito tidak pernah
mengacau seperti yang dilakukan tempo hari. Bu Suci pun menepati janjinya untuk
mengajak Waskito memancing. Waskito ikut memancing sepuas hatinya di Purwodadi
bersama keluarga Bu Suci. Pada akhir tahun pelajaran, Waskito naik kelas. Budenya datang
ke Sekolah berterimakasih kepada Kepala Sekolah, guru-guru terutama kepada Bu Suci.
Atas keuletannya, Waskito menjadi murid yang lebih dari biasa (pandai). Dan hal tersebut
membuat nenek Waskito menjadi terharu dan bangga sekali karena cucunya bisa menjadi
pribadi yang lebih baik lagi.

A. Analisis Fakta Kemanusiaan

1. Fakta Kemanusiaan aktivitas sosial

Pada bagian ini akan dianalisis fakta kemanusiaan yang berupa aktivitas sosial. Representasi
persoalan sosial dalam analisis ini ditempatkan sebagai fakta kemanusiaan. Novel ini merupakan
representasi kegelisahan sosial yang dialami Bu Suci terhadap masalah yang dialaminya yaitu
penyakit anaknya dan mengahadapi perilaku yang kurang baik dari salah seorang siswanya.

Perubahan pertama adalah keluarga Bu Suci yang pindah ke tempat lain yaitu Kota Semarang.
Karena merupakan seorang guru maka selama di Semarang ia juga mengajar di salah satu sekolah
disana. Namun ia mendapatkan kesulitan karena perbedaan kurikulum dalam mengajar. Berikut
bukti kutipannya:
“Sejak tahun 1975 dikeluarkan kurikulum baru. Ternyata pelaksanaannya dimulai tahun 1976.
Ketika tinggal di purwodadi, aku mengikuti kurikulum lama. Kepala sekolah menunjukkan
programnya. Dilihat sekilas, nampak lebih luas dan padat. Murid-murid diminta lebih aktif. Buku-
buku pegangan ditambah dengan pilihan lain, tergantung prakarsa gurunya. Kewajiban kepala
sekolah meneliti nilai pilihan buku tambahan tersebut.”
Hal ini menjadi representasi bagi seorang guru yang mana tidak menemukan kurikulum
yang sama dengan tempat mengajarnya yang baru. Terutama bagi Bu Suci, seorang guru di
sekolah kecil di sebuah desa, dan sekarang pindah mengajar ke sekolah di sebuah kota maka
akan menemukan beberapa perbedaan. Namun hal tersebut akan dipelajari Bu Suci, dengan
bimbingan dari kepala sekolahnya. Ternyata permasalahan yang dialami Bu Suci tidak
masalah kurikulum saja, permasalahan di lingkungan baru tempat tinggalnya pun ikut
bermasalah. Terumata pada saat anak kedua Bu Suci mengalami demam tinggi yang tak
kunjung turun yang menyebabkan anak tersebut menjadi rewel. Hal ini bisa terlihat dalam
kutipan berikut:

“Tetangga yang barangkali terganggu oleh rengekannya berbisik kepada tetangga lain, diteruskan
ke tetangga lain pula. Dari sebelah rumah ke rumah satunya, akhirnya sampai ketelinga uwakku.
Konon anakku tidak cocok dengan “penjaga” rumah kami. Jelasnya para tetangga mengira bahwa
di rumah kami tinggal ada makhluk halus yang menggoda anakku.”
Hal ini menjadi representadi keidupan masyarakat disekeliling kita karena mereka
menganggap jika seseorang mengalami sesuatu dirumah yang baru dihuni itu pertanda bahwa
penghuni rumah tidak cocok dengan mereka. Dan sesuai dengan kutipan diatas yang
menyatakan hal sama, menyuruh Bu Suci untuk mencari orang pintar bahkan mereka sudah
merekomendasikan orang pintar mana saja yang bisa mengobati hal itu. Tetapi Bu Suci tidak
percaya akan hal itu, ia beranggapan bahwa ini sebuah penyakit biasa karena perubahan
suasana dan kondisi yang harus disesuaikan dengan tubuh anaknya. Dan Bu Suci hanya
membawa anaknya berobat ke sebuah rumah sakit yang biaya pengobatannya ditanggung oleh
perusahaan suaminya.

Bagian berikutnya tokoh Bu Suci mulai mengajar disekolah tempat ia mengajar, namun
dia lagi-laigi dihadapkan dengan masalah sosial lagi antara murid-muridnya. Ada seorang
murid yang tidak hadir dan ternyata murid tersebut terkenal dengan nakal dan kejahatannya.
Tapi menurut Bu Suci melihat tersebut aneh sekali. Berikut kutipannya:

“O, ya?” tenang aku menahan nada dan isi kalimatku. “Mengapa? karena Waskito suka bergurau?
Membikin keributan?”
Oh, tidak! Bukan bergurau! Kalau itu kami suka juga!”
“dia jahat! Jahat sekali, Bu!”tambahan itu terdengar dari arah murid perempuan yang sama
Dari kutipan diatas, alasan Bu Suci mendengar perkataan salah seorang muridnya aneh
karena ia belum pernah melihat dan membuktikan sendiri kejahatan yang dilakukan dan
menurutnya tidak adak seorang murid yang jahat tanpa sebab apapun. Seua tingkah laku
manusia selalu ada penyabab terjadinya. Namun murid yang lain membuktikan bahwa murid
yang jahat itu dulu pernah bersekolah di sekolah lain, karena perilaku yang tidak baik ia
dikeluarkan dari sekolahnya yang lama, berikut kutipannya:

Dulu dia pernah dikeluarkan sekolah lain," kata Raharjo. "Dari sekolah mana?" tanyaku.
"Sekolah swasta, Bu."
"Bukan!" bantah murid lain, "SD negeri juga, tapi di kota." "Sekolah swasta, betu!" murid lain
membenarkan ketua kelas. "Memang SD swasta," Raharjo menjelaskan lagi. "Neneknya yang
memasukkan dia di sana. Tetapi karena sering membolos, lalu dikeluarkan.
Tidak hanya itu bukti berikutnya juga dijelaskan lagi oleh seorang muridnya, bahawa
kejahatan murid itu juga dibenarkan sendirinya bahwa jika penyakit itu suka kambuh
sendirinya. Dan jika penyakitnya kambuh maka ia akan mengamuk dan melepar apa saja yang
ada didekatnya bahkan ia bisa melukai teman didekatnya. Berikut kutipannya:

"Waskito sendiri yang mengatakannya. Setiap dia kambuh menjadi bengis, selalu berteriak-teriak.
Macam-macam yang dikatakan. Yang sering diulang-ulang: Seperti barang. Nih, begini, dilempar
ke sana kemari. Dititipkan! Apa itu! Persetan! Aku tidak perlu kalian semua!"

Ternyata setelah murid itu atau namanya Waskito masuk kembali kesekolah. Bu Suci
melihat dengan sendirinya kejadian itu, namun menurut Bu Suci perilaku dan perbuatan anak
itu menjadi tanggungjawabnya karena ia yang menjadi Guru disana yang bertugas merubah
akhlak yang buruk menjadi yang baik, berikut kutipannya:

Kalau dia keluar dari sekolah kami, persoalan akan selesai. Itu lebih mudah. Tetapi waktu itu, dia
masih terdaftar dalam kelas yang menjadi tanggung jawabku. Delapan ataukah sembilan hari dia
tidak masuk? Kewajiban kami sebagai pengasuh dan pendidik ialah mencari berita.
Dari kutipan diatas Bu Suci berusaha merubah dan membuat Waskito menjadi murid
yang tidak jahat dan sukar lagi. Namun suatu ketika Waskito membuat kesalahn lagi yang
menyebabkan paga majelis guru bersepakat untuk mengeluarkannya dari sekolah. Dan lagi-lagi
Bu Suci menyelamatkan Waskito dengan mempertaruhkan pekerjaannya jikaW Waskito tidak
berubah maka ia siap dikeluarkan dari sekolah dan tidak mengajar lagi. Berikut kutipannya:

Dengan susah payah aku mempertahankan muridku. Para reka yang menginginkan pengeluaran
Waskito ternyata lebih banyak dari yang mendukungku. Tetapi aku bersitahan. "Berilah saya waktu
sebulan lagi," itulah permintaanku dalam rapat.
"Sebulan!" seru seorang guru, suaranya jengkel. "Sementara itu. sebelum waktu satu bulan habis,
barangkali besok atau tiga hari lagi dia membakar kelas Anda! Membakar sekolah kita!"
Ada kutipan lain yang menyatakan bahwa peran seorang ibu dan seorang guru sangat
penting sekali, sehingga tokoh Bu Suci selalu memikirkan hal tersebut berulang kali antara
penyakit anaknya dan masalah yang dialami oleh Waskito di sekolah. Berikut kutipannya:

Semuanya serba teka-teki. Serba mengkhawatir kan. Urusan murid sukar belum selesai, bahkan
baru mulai akan kuusahakan menolongnya. Kini Tuhan memberiku percobaan lain. Keluargaku
terlibat, dan aku harus memilih. Manakah yang lebih penting?

Dengan melihat kutipan dan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa menjadi seorang
ibu dan seorang tenaga pendidik atau guru memiliki tanggung jawab yang besar. Dengan waktu
yang terbagi-bagi antara keluarga dan pekerjaan. Namun karakter Bu Suci mengungkapkan
tidak ada yang tidak mungkin sekali berusaha pasti akan menemukan jalannya. Dengan
demikian karakter seperti Bu Suci sebenarnya ada kita jumpai dikehidupan, namun kebanyakan
tidak terlihat saja.

2. Fakta Kemanusiaan aktivitas psikologis tokoh Waskito

Bagian pertama yang mengunkapkan tentang fakta kemanusiaan aktivitas psikologis


tokoh Waskito yaitu ia merupakan anak yang berhati lembut namun akibat salah didikan dan
kurangnya kasih sayang dari kedua orangtuanya menyebabkan dia menjadi anak yan keras
dan kasar. Tidak hanya itu akibat anak terlalu dimanja dan banyak larangan maka akan
membuat anak memiliki sifat dan karakter yang kurang baik. Hal ini dapat dibuktikan
dengan kutipan berikut:
Waskito sudah terlanjur tidak mendapatkan kata-kata manis atau bujukan, dia mungkin harus
dipukul. Ah, kalau Anda melihat dia di rumah mereka, Jeng! Tidak pernah ditegur, tidak pernah
diberitahu mana yang baik dan mana yang jelek.
Dari kutipan diatas dapat terlihat bahwa ketika Waskito melakukan sesuatu yang tidak
baik dia tidak pernah mendapat nasehat dan teguran darai orangtuanya. Apapun kesalahan yang
dilakukannya tidak pernah disalahkan oleh orangtuanya. Akibatnya Waskito menjadi seorang
anak yang pemarah dan tidak bertanggung jawab. Karena didalam keluarga Waskito yang
paling berhak atas keputusan anak dan haknya adalah orangtua, tetapi mereka juga tidak
memberikan kebebasan untuk anak memiliki haknya sendiri dan hal itu membuat anak menjadi
terkekang dan memiliki sifat yang keras. Berikut kutipannya:

Dalam kasus Waskito, si anaklah yang menjadi korban. Justru karena orang menganggapnya
sebagai anak, maka orang tua yang memutuskan segala-galanya. Bapak dan ibunya tidak memiliki
kebijaksanaan buat mengakui bahwa anak itu juga bisa berpikir dan berkehendak sendiri. Padahal
anak itulah yang menjadi pusat. Dia terlibat, menjadi pokok persengketaan namun bisa berbalik
menjadi asal perdamaian. Dan dia yang paling terkena, menanggung akibat perpindahan kebiasaan
dari satu rumah ke rumah lain.
Jadi pada kutipan diatas terlihatlah bahwa kesalahan aktivitas psikologis yang dialami
oleh Waskito disebabkan oleh faktor keluarga terutama kedua orantuanya yang tidak pernah
memberikan nasehat mana yang baik dan mana yang buruk kepdanya. Tidak hanya itu
mungkin Waskito tidak mendapatkan apa yang namanya keluarga dan perdamaian didalam
rumahnya dan kurangnya kasih sayang dari kedua orangtua menyebabkan ia menjadi anak yang
keras dan pemarah.

B. Subjek Kolektif

Analisis subjek kolektif adalah analisis yang memfokuskan dengan kelas sosial.
Analisis ini akan difungsikan untuk memperlihatkan jenis subjek kolektif yang diwakili atau
ditawarkan oleh pengarang. Dalam novel ini pengarang memfokuskan subjek konfliknya
kepada Bu Suci dan Waskito. Serta bagaimana cara Bu Suci dalam menanggapi dan
menyelesaikan permasalahan yang ada terutama dengan masalah perilaku dan karakter
buruk Waskito. Langkah yang pertama dilakukan oleh Bu Suci adalah menyakinkan hati
murid-murid dikelasnya bahwa Waskito sebenarnya orang yang baik, berikut kutipannya:

Kucoba membuka hati anak-anak didikku agar rela menerima Waskito jika dia kembali ke
sekolah. Bersama mereka aku mencari dan meneliti sebab-sebab mengapa Waskito paling
membenci murid yang bernama Wahyudi dan tiga atau empat anak tertentu. Kutanyai kebiasaan-
kebiasaan mereka setiap hari, dari waktu masuk hingga pulang. Bagaimana dan naik apa,
bersama siapa mereka datang dan berangkat kembali ke rumah masing-masing

Hal pertama yang dilakukan Bu Suci adalah menyakinkan hati seluruh siswanya
kemudian memulai mendekatkan diri kepada siswanya agar seluruhnya terbuka keadanya.
Sehingga Bu Suci mengetahui masing-masing karakter dari siswanya. Kemudian Bu Suci
baru menemukan kenapa Waskito memiliki karakter yang keras dan pemarah, karena ia
merasa cemburu dengan teman-temanya. Karena ketika pergi dan pulang sekolah mereka
selalu diantar dan dijemput oleh ayah mereka, sedangkan Waskito diantar supirnya. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa Waskito kurang mendaopatkan kasih sayang dari
ayahnya. Berikut kutipannya:
Dan naluriku untuk kesekian kalinya memastikan bahwa itulah yang menyebabkan Waskito selalu
geram terhadap anak-anak tertentu di kelasku. Di antara berpuluh anak didikku, hanya merekalah
yang diantar oleh ayah mereka! Bahkan kadang-kadang juga dijemput ketika pulang. Waskito tidak
mau menerima kenyataan bahwa anak-anak lain memiliki bapak yang memperhatikan. Yang
menyisihkan waktu, sampai-sampai membawa mereka di belakang kendaraan roda dua hingga pintu
sekolah. Sedangkan dia, Waskito, yang mempunyai ayah seorang insinyur dan berkendaraan sedan,
mengapa tidak pernah pergi ke sekolah bersamanya? Waskito dan adik-adiknya selalu dititipkan
kepada sopir.
Dengan telah menemukan dimana letak masalah yang dialami Waskito, Bu Suci
mencoba mendekatinya dan selalu membujuk serta menasehatinya lkan hal-hal buruk yang
dilakukannya. Langkah berikutnya yang dilakukan Bu Suci adalah mencari tahu hal-hal apa
saja yang disukai oleh Waskito. Salah satunya adalah memancing. Untuk membuat Waskito
rajin belajar dan menjadi lebih baik lagi, Bu Suci berjanji kepada Waskito apabila ia naiak
kelas maka Bu Suci akan mengajaknya pergi memancing di desanya. Berikut bukti kutipannya:

“Kalau kamu naik kelas, kelak kubawa ke kota kecil kami. Di sana masih ada sungai yang berair
jernih. Ikannya banyak sekali! Kita bersama-sama memancing. Keluargaku juga suka makan ikan
hasil jerih payah sendiri!"
Jadi dengan perjanjian itu, Waskito menjadi rajin belajar dan nilai dirapornya mulai
membaik. Dan tiba waktunya Bu Suci menepati janjinya untuk membawa Waskito pergi
memancing di desanya. Tidak hanya itu, Bu Suci juga berniat untuk membuat Waskito merasa
disayangi dan diterima dikelurga lain. Seperti kutipan berikut ini:

Setelah berunding dengan suami, pada suatu siang, Waskito kubawa pulang. Bu De-nya sepakat
membiarkan kemenakan itu tinggal hingga sore hersama keluargaku. Aku ingin memperlihatkan
kepada murid itu bahwa dia diterima dengan hati tulus di rumah orang lain. Waktu itulah baru aku
ingat bahwa dia mencintai binatang. Dulu neneknya bercerita tentang Waskito dan burung
parkitnya.
Dengan usaha yang dilakukan Bu Suci itu bia membuat Waskito menjadi lebih baik lagi
dan keluarga Waskito sangat berterimakasih atas usaha yang dilakukan Bu Suci dalam
merubah sifat Waskito mejadi lebih baik lagi. Karena menurut Bu Suci ia mempunyai tanggung
jawab yang sangat besar yang tidak hanya dalam mendidik anak-anaknya, namun juga
mendidik murid-muridnya disekolah.

KESIMPULAN

Analisis strukuralisme genetik dalam novel Pertemuan Dua Hti karya N.H. Dini
yang memiliki dua aspek kajian. Kajian pertama adalah fakta kemanusiaan. Novel ini
cukup dominan memiliki fakta kemanusiaan dalam bentuk aktivitas sosial dan aktivitas
penyebab psikologis tokoh Waskito. Aktivitas sosial merepresentasikan masalah kehidupan
Bu Suci dalam menghadapi penyakit anaknya dan terlbih lagi dalam menanggapi dan
menyelesaikan masalah disekolah temapt ia mengajar yaitu merubah sifat buruk dari
seorang siswanya yang bernama Waskito. Fakta kemanusiaan yang berisi aktivitas
penyebab psikologis tokoh Waskito mendeskripsikan penyebab bagaimana tokoh Waskito
memiliki karakter yang sukar, keras, pemarah dan tidak bertanggung jawab.

Kajian kedua memfokuskan pada subjek kolektif. Kajian ini memfokuskan pada
tokoh Bu Suci yang memiliki karakter yang tegar, tegas dan baik. Karakter Bu Suci itu
dapat terlihat dari cara Bu Suci menghadapi dan menyelesaikan setiap masalahnya. Hal itu
juga terlihat dari usaha dan pengorbanan Bu Suci, tetapi ia tidak pernah mencampurkan
antara masalah urusan keluarga dan masalah pekerjaannya. Ia berpikir bahwa sebagai
orangtua ia memiliki tanggung jawab dalam mendidik anaknya dan disamping itu sebagai
seorang guru ia memiliki tanggung jawab dalam mendidik siswanya sampai berhasil.

DAFTAR PUSTAKA
Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta : Pusat
Bahasa.
Faruk, HT. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Goldmann, L. 1980. Essays on Method in the Sociology of literature. Amerika Serikat :
Telos Press
Wellek, R & Austin Warren. 1989. Teori Kesusasteraan. Jakarta: Gramedi

Anda mungkin juga menyukai