Anda di halaman 1dari 24

1

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Hasil Penelitian yang Relevan

Pada penelitian sebelumnya pernah dilakukan penelitian yang menggunakan

kajian sosiologi sastra. Kajian tersebut berkaitan tentang gaya hidup. Penelitian

tersebut dilakukan Fatma pada tahun 2008 dengan judul “Refleksi Gaya Hidup

dan Sikap Hidup Remaja dalam Tiga Novel Remaja Seperti Bintang (Regina

Feby, 2005), Impian Moira (Dewie Sekar, 2005), dan Cowok Nyebelin Banget!

(Tryanee, 2006)”. Tujuan dari penelitian tersebut yaitu (1) Mengungkap gambaran

gaya hidup remaja, yang tercermin dalam tiga novel remaja. (2) Mengungkap

gambaran sikap hidup remaja dalam menghadapi persoalan hidup sehari-hari,

yang tercermin dalam tiga novel remaja. Adapun unsur yang dteliti adalah dari

segi tokoh akan ditemukan ciri dan karakter, serta penggambaran watak tokoh

baik dari segi fisik maupun kejiwaan/mental. Dari segi alur ditemukan

serangkaian peristiwa/kejadian yang diketahui dari beberapa masalah yang

berhubungan dengan remaja. Sedangkan dari latar dapat diketahui berbagai

macam tempat yang menjadi kebiasaan atau tempat yang melatari terjadinya

berbagai masalah/kejadian.

Putri pada tahun 2011 juga melakukan penelitian yang mirip dengan judul

penelitian “Budaya Materialis dalam Novel Mr. Maybe”. Tujuan dari penelitian

ini yaitu untuk memberikan gambaran tentang budaya materialis yang terdapat

di dalam masyarakat kelas menengah keatas pada novel Mr. Maybe. Penelitian

ini

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


2

memberikan gambaran tentang keberadaan konteks sosial dan historis dari teks-

teks dalam novel Mr. Maybe menunjukkan bahwa Materialisme sebagai anak

budaya gaya hidup. Selain itu novel ini sejelasnya mengungkap sindiran

terhadap penyakit materialis yang hadir di kehidupan masyarakat kelas

dominan.

Penelitian ini memiliki perbedaan dengan kedua penelitian tersebut.

Perbedaannya terdapat pada tujuan, adapun tujuannya adalah dapat

mendeskripsikan gaya hidup hedonis dan relasi gaya hidup tersebut dengan gaya

hidup hedonis yang ada pada kehidupan nyata di masyarakat. Hasil yang akan

diperoleh dari penelitian ini yaitu penggambaran gaya hidup hedonis setiap

tokoh meliputi: 1) Agresifitas dan anarkisme, 2) Vandalisme dan Grafity, 3)

Pola hidup konsumtif, dan 4) Geng. Kemudian penggambaran gaya hidup

hedonis tersebut dihubungkan dengan realitas yang terjadi dimasyarakat.

Peneliti menarik simpulan bahwa penelitian ini perlu diadakan karena dalam

penelitian sebelumnya belum pernah diulas mengenai aspek gaya hidup hedonis

dan hubungannya dengan kehidupan nyata di masyarakat. Jadi, penelitian

dengan judul “Gaya Hidup Hedonis dalam Novel Dan Hujan pun Berhenti

Karya Farida Susanty”, layak untuk diteliti karena belum ada yang meneliti dan

penelitian ini murni hasil penelitian saya sendiri.

B. Landasan Teori

1. Struktur Karya Sastra

Menurut Noor (2007:78), struktur adalah keseluruhan relasi antara

berbagai unsur sebuah teks. Unsur-unsur tersebut merupakan satu kesatuan

yang

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


3

pembangun sebuah karya sastra. Unsur-unsur tersebut juga merupakan sebuah

rangkaian yang tidak dapat dipisahkan.

Karya sastra sebagai sebuah struktur merupakan sebuah bangunan yang

terdiri atas berbagai unsur yang satu sama lainnya saling berkaitan (Sangidu,

2004:16). Karena itu, apabila terjadi perubahan pada salah satu unsur struktur,

mengakibatkan hubungan antarstruktur akan berubah. Unsur-unsur dalam karya

sastra tersebut saling mempengaruhi satu sama lain sehingga memiliki kaitan yang

erat.

Suatu struktur mempunyai tiga sifat, yaitu totalitas, transformasi, dan

otoregulasi (Sangidu, 2004:15). Struktur novel merupakan totalitas, karena

novel yang dibangun dari sejumlah unsur akan saling berhubungan dan saling

menentukan sehingga novel tersebut menjadi suatu karya yang bemakna hidup.

Karya sastra terbagi menjadi dua unsur yaitu unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu

sendiri, unsur itu meliputi alur (plot), tokoh dan penokohan, dan gaya bahasa

(Nurgiantoro dalam Syafiruddin, 2011 dalam http://www.syafir.com). Sedangkan

unsur ekstrinsik yaitu unsur yang membangun dari luar karya sastra. Unsur-

unsur karya sastra prosa meliputi tema, alur, penokohan, latar, tegangan dan

padahan, suasana, pusat pengisahan, serta gaya bahasa (Sangidu, 2004:17).

Unsur-unsur tersebut merupakan unsur intrinsik dari sebuah karya sastra. Dalam

penelitian ini, unsur-unsur intriksik yang berkaitan dengan hedonisme antara

lain:

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


4

a. Penokohan

Tokoh cerita (character), menurut Abraham (dalam Nurgiyantoro,

2010:165) adalah orang (-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau

drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan

tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam

tindakan.

Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku dalam sebuah karya

sastra. Pelaku dapat diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, dan

lingkungan tempat tinggal (Sumarjo dalam Syafiruddin, 2011 dalam

http://www.syafir.com). Pada sebuah karya sastra fiksi, karakter seorang tokoh

dapat diketahui pula dari cara berbicara. Selain itu, dari adanya karakter tersebut

dapat menunjukkan mengenai gaya hidup (life style).

Walaupun tokoh cerita “hanya” merupakan tokoh ciptaan pengarang, ia

haruslah merupakan seorang tokoh yang hidup secara wajar, sewajar sebagaimana

kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging yang mempunyai pikiran

dan perasaan (Nurgiyantoro, 2010:167). Untuk itu, tokoh dalam sebuah cerita

harus menggambarkan realitas kehidupan masyarakat sehingga mudah diterima

oleh pembacanya. Apabila suatu tokoh bersikap dan bertindak lain dari

penggambaran sebelumnya, hal tersebut merupakan sebuah kejutan, tetapi harus

dipertanggungjawabkan dari segi plot.

b. Latar

Dalam karya sastra, setting bukan hanya berfungsi sebagai latar yang

bersifat fisikal untuk membantu suatu cerita menjadi logis. Ia juga memiliki

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


5

fungsi psikologis sehingga setting pun mampu menuansakan makna tertentu

serta mampu menciptakan suasana tertentu yang menggerakkan emosi atau

aspek kejiwaan pembacanya (Aminuddin, 1995:67). Setting tidak hanya

menggambarkan terjadinya sebuah peristiwa, tetapi setting juga dapat

menggambarkan suasana tokoh dalam sebuah karya sastra.

Setting adalah latar peristiwa dalam karya fiksi, baik berupa tempat,

waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis

(Aminuddin, 1995:67). Latar tempat merupakan latar yang mengacu pada

tempat terjadinya suatu peristiwa dalam karya sastra. Latar waktu merupakan

latar yang mengacu pada waktu terjadinya sebuah peristiwa. Latar peristiwa

merupakan latar yanng mengacu terjadinya sebuah peristiwa atau yang lebih

dikenal sebagai latar suasana.

Setting menurut Sumarjo (dalam Syafiruddin, 2011 dalam

http://www.syafir.com) setting merupakan latar yang membantu kejelasan jalan

cerita. Setting ini meliputi waktu, tempat, sosial budaya.

Menurut Abraham (dalam Nurgiyantoro 2010:216) Latar atau setting yang

disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan

waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang

diceritakan.

Jadi setting yaitu latar peristiwa dalam karya fiksi yang membantu kejelasan

jalan cerita, baik berupa tempat, waktu, maupun peristiwa, serta memiliki fungsi

fisikal dan fungsi psikologis.

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


6

Perbedaan setting secara fisikal dan psikologis yaitu (1) setting yang bersifat

fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya kota jakarta, daerah pedesaan, pasar,

sekolahan dan lain-lain, serta benda-benda dalam lingkungan tertentu yang tidak

menuansakan makna apa-apa, sedangkan setting psikologis adalah setting

berupa lingkungan tertentu yang mampu menuansakan suatu makna serta

mampu mengajuk emosi pembaca. (2) Setting fisikal hanya terbatas pada

sesuatu yang bersifat fisik, sedangkan setting psikologis dapat berupa suasana

maupun sikap serta jalan pikiran suatu lingkungan masyarakat tertentu. (3)

Untuk memahami setting yang bersifat fisikal, pembaca cukup melihat dariapa

yang tersurat, sedangkan pemahaman terhadap setting yang bersifat psikologis

membutuhkan adanya penghayatan dan penafsiran (Aminuddin, 1995:68-69).

Menurut Nurgiyantoro (2010:227), unsur latar dibedakan ke dalam tiga

unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-

masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara

sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan

yang lainnya.

1) Latar Tempat

Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan

dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2010:227). Untuk melukiskan sebuah

tempat dalam karya sastra, haruslah dapat mencerminkan keadaan geografis

yang sesungguhnya. Masing-masing tempat memiliki karakteristik yang

berbeda-beda. Apabila terjadi perbedaan pendeskripsian tempat di dalam novel

dengan realitasnya, terutama jika pembaca mengetahuinya. Hal tersebut akan

membuat

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


7

karya tersebut kurang diyakini. Pendeskripsian tempat yang teliti dan realistis

ini penting dilakukan, agar pembaca terkesan dan seolah-olah hal yang

diceritakan sungguh-sungguh terjadi.

2) Latar Waktu

Latar ini berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-

peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2010:230).

Masalah kapan terjadinya sebuah peristiwa dalam novel, biasanya dihubungkan

dengan waktu faktual. Waktu tersebut dapat dikaitkan dengan peristiwa yang

terjadi di masyarakat. Persepsi pembaca mengenai waktu tersebut kemudian

dibawa ke dalam suasana cerita. Sehingga pembaca dapat memahami dan

menikmati cerita tersebut dan kemudian dapat dihubungkan dengan realitas

kehidupan masyarakat. Adanya persamaan perkembangan waktu tersebut juga

dimanfaatkan untuk mengesankan pembaca seoah-olah peristiwa tersebut

sungguh-sungguh terjadi.

3) Latar Sosial

Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku

kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi

(Nurgiyantoro, 2010:233). Latar sosial mencakup kebiasaan hidup, adat istiadat,

tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan bersikap. Latar sosial

tidak dapat dipisahkan dengan latar tempat. Untuk mendeskripsikan latar tempat

yang lebih fungsional harus disertai deksripsi latar sosial yaitu tingkah laku

kehidupan sosial masyarakat di tempat yang bersangkutan.

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


8

2. Gaya Hidup Hedonis

Gaya hidup merupakan gambaran nilai moral orang tersebut dalam

masyarakat di sekitarnya. Gaya hidup berkaitan erat dengan perkembangan zaman

dan teknologi. Semakin bertambahnya zaman dan semakin canggihnya

teknologi, maka semakin berkembang luas pula penerapan gaya hidup oleh

manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Wijonarko (2006 dalam http://www.jakartaconsulting.com) menyatakan

bahwa, gaya hidup adalah frame of reference yang dipakai seseorang dalam

bertingkah laku dan konsekuensinya akan membentuk pola perilaku tertentu.

Menurut Sugono (2008:449) gaya adalah kesanggupan untuk berbuat. Dan

Hidup adalah mengalami keadaan dengan cara yg tertentu (Sugono, 2008: 543).

Jadi gaya hidup yaitu suatu kesanggupan atau sikap untuk mengalami suatu

keadaan dengan cara tertentu.

Gaya hidup juga menunjukkan bagaimana orang mengatur kehidupan

pribadinya, kehidupan masyarakat, perilaku di depan umum, dan upaya

membedakan statusnya dari orang lain melalui lambang-lambang sosial. Gaya

hidup atau life style dapat diartikan juga sebagai segala sesuatu yang memiliki

karakteristik, kekhususan, dan tata cara dalam kehidupan suatu masyarakat

tertentu. Gaya hidup itu sendiri merupakan pola hidup seseorang yang dinyatakan

dalam kegiatan, minat dan pendapatnya dalam membelanjakan uangnya dan

bagaimana mengalokasikan waktu. Gaya hidup mencerminkan keseluruhan

pribadi yang berinteraksi dengan lingkungan.

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


9

Tetapi gaya hidup sering disalahgunakan oleh sebagian besar remaja.

Apalagi para remaja yang berada dalam kota Metropolitan. Mereka cenderung

bergaya hidup dengan mengikuti mode masa kini. Tentu saja, mode yang

mereka tiru adalah mode dari orang Barat. Jika mereka dapat memfilter dengan

baik dan tepat, maka pengaruhnya juga akan positif. Namun sebaliknya, jika

tidak pintar dalam memfilter mode dari orang Barat tersebut, maka mereka akan

terpengaruh negatif bagi mereka sendiri.

Hedonis yaitu filsuf yang berpendirian bahwa tujuan hidup manusia yang

terutama ialah memperoleh kesenangan (Sugono, 2008:531). Bagi para

penganut paham ini, bersenang-senang, dan berpesta merupakan tujuan utama

hidup. Mereka beranggapan hidup ini hanya sekali, untuk itu mereka ingin

menikmati hidup. Menurut pandangan mereka, hidup dijalani dengan sebebas-

bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas.

Menurut Mangunhardjana (2004:90), dalam bahasa Yunani kata untuk

kenikmatan adalah hedone. Dari kata itu terbentuklah istilah “hedonisme”.

Hedonisme merupakan suatu paham yang berpegang bahwa kenikmatan,

khususnya kenikmatan pribadi, merupakan nilai hidup tertinggi dan tujuan

utama serta terakhir hidup manusia. Dengan frekuensi, kadar, dan bentuk yang

berbeda. Kata nikmat ada beberapa macam dan tingkatanya sehingga isi dan

artinya juga ada beberapa macam dan tingkat. Bagi orang sensual, kenikmatan

terbatas pada kenikmatan indrawi. Bagi ilmuan, kenikmatan utama adalah

perkara intelektual. Bagi para pencita benda, kenikmatan puncaknya pada

kenikmatan estetis. Tetapi

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


10

dalam konteks gaya hidup hedonis, kenikmatan dunia (kesenangan dunia)

merupakan hal yang paling diutamakan.

Jadi dapat disimpulkan bahwa gaya hidup hedonis yaitu gaya hidup manusia

yang hanya mengutamakan kesenangan. Manusia yang menganut gaya hidup

hedonis, merupakan manusia yang hanya mengutamakan kesenangan. Mereka

mengabaikan dampak-dampak yang ditimbulkan oleh gaya hidup hedonis.

Faham hedonis sendiri berarti suatu pemikiran yang menjadikan tujuan

utama dalam hidup yaitu kesenangan materi. Kesenangan yang memuaskan jiwa

dan batin setiap manusia. Manusia harus bisa memilih keinginannya agar dapat

mencapai kepuasan yang mendalam. Hedonisme yang hanya mencari

kenikmatan materi demi kepuasan jiwa tidaklah sempurna sampai seseorang

terjauh dari kehidupan spiritual yang dianggap mengekang manusia.

Hedonis merupakan dampak dari modernisasi, modernisasi itu sendiri

diawali oleh industrialisasi. Secara implisit modernisasi merupakan proses

penghilangan nilai-nilai tradisional. Modernisasi mencakup segala aspek,

termasuk di dalamya terdapat aspek ekonomi. Menurut Abraham (1991:5),

modernisasi dalam bidang ekonomi ini ditandai oleh tingginya tingkat konsumsi

dan standar hidup, revolusi teknologi, intensitas modal yang makin besar dan

organisasi birokrasi yang rasional, disamakan dengan modernisasi ekonomi.

School (1984:1) juga mengungkapkan bahwa, di bidang ekonomi, modernisasi

berarti tumbuhnya kompleks industri yang besar-besar, di mana produksi

barang- barang konsumsi dan barang-barang sarana produksi diadakan secara

masal. Hal

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


11

tersebut secara tidak langsung mendorong kaum hedonis untuk berperilaku

konsumtif.

Sebagian besar masyarakat Indonesia telah menganut faham hedonis.

Hedonis menjadi sebuah gaya hidup baru yang menarik bagi para pengikutnya.

Hedonis telah memberikan dampak positif maupun negatif, dampak positif dari

hedonis yaitu masyarakat dapat mengenal teknologi yang lebih maju dan dapat

memanfaatkannya seoptimal mungkin. Sedangkan dampak negatif yang

ditimbulkan yaitu akulturasi. Gaya hidup hedonis memiliki beberapa bentuk

antara lain:

a. Agresivitas dan Anarkisme

Perubahan sosial masyarakat Indonesia yang terjadi dalam beberapa

dekade terakhir cukup dramatis, yaitu perubahan masyarakat dari satu kondisi

ekstrem ke kondisi ekstrem yang lainnya. Hal tersebut merujuk dari kondisi

hanyut dalam kemewahan, gaya hidup, dan konsumerisme menuju kondisi lain

yang ektrem berupa agresivitas dan anarkisme. Dua titik kondisi ektrem tersebut

berlangsung dalam rentang waktu relatif singkat. Modernisasi dan pembangunan

secara tidak langsung telah berpengaruh pada bangsa Indonesia sehingga telah

kehilangan sesuatu yang sangat penting yaitu akal sehat dan kontrol diri. Mereka

membiarkan diri mereka tenggelam dalam dua ekstremitas sekaligus (ektremitas

kemewahan dan kekerasan) tanpa bisa mengendalikan diri (Zaprulkhan, 2012

dalam http://cetak.bangkapos.com).

Berdasarkan teori umum dalam psikologi sosial, agresivitas adalah bentuk

dari frustasi individu yaitu kondisi kejiwaan yang muncul ketika

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


12

sesuatu/seseorang merintangi tujuan individu tersebut (Halim, 2008:81).

Agresivitas dapat muncul dalam bentuk verbal maupun fisikal. Dalam tingkat

yang paling tidak melukai, agresivitas mucul dalam bentuk gosip dan yang

paling parah adalah penyerangan fisik yang dapat menimbulkan kematian.

Namun demikian, agresivitas dalam bentuk verbal bukan berarti tidak mampu

melukai, bahkan sering kali agresivitas verbal dapat membunuh karakter orang

lain. Makian, kata-kata kasar dan hinaan adalah hal-hal yang dapat membuat

seseorang terluka dan efeknya jauh lebih menyakitkan dan akan lama menetap

dalam ingatan seseorang daripada terkena lemparan batu atau pukulan.

Merujuk kepada agresivitas antar kelompok, sebagaimana sering terihat

dalam perang antarwarga Jakarta, pada tingkat yang paling kronis perang tidak

hanya terjadi antara warga dengan warga, tetapi sudah melebar menjadi warga

melawan pelajar. Dalam hal ini, perilaku agresif sudah menjadi perilaku yang

anarkis, yaitu yang sengaja diakukan dengan sadar sebagai perilaku perlawanan

terhadap sistem/keadaan akibat frustasi yang terus-menerus. Puncak terparah

dari tindakan anarkis dapat terlihat pada berbagai kerusuhan skala kota.

Agresifitas harus dipahami sebagai bagian dari karakter sosial yang

dibentuk secara kultural, berupa nilai-nilai yang ditanamkan pada masyarakat

(Zaprulkhan, 2012 dalam http://cetak.bangkapos.com). Hal tersebut menunjukkan

bahwa agresifitas tidak dapat dipisahkan dari kondisi sosial masyarakat dengan

segala bentuk konflik, pertentangan, serta perubahan yang ada di dalamnya.

Masyarakat berperan penting dalam pembentukan aksi-aksi agresifitas.

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


13

Baudrillard (2009:234) mengungkapkan bahwa, persoalan yang

sebenarnya dari kekerasan muncul di tempat lain. Yaitu persoalan kekerasaan

riil, tidak terkontrol, yang disebabkan kelimpahruahan dan jaminan sosial, sekali

waktu mencapai batas tertentu. Hal tersebut menunjukkan bahwa gaya hidup

hedonis yang terjadi di masyarakat, gaya hidup hedonis dapat menimbulkan

kecemburuan sosial dalam masyarakat khususnya dikalangan komunitas hedonis

itu sendiri. Dimana kecemburuan sosial tersebut dapat melahirkan gosip-gosip

yang kemudian berkembang menjadi isu. Isu-isu tersebut apabila mendapat

tanggapan serius dari masyarakat dapat berdampak pada tindakan anarkis.

b. Grafiti dan vandalisme

Di samping potensinya dalam revitalisasi ekonomi dan budaya lokal,

secara akademis sering kali mural yang berbentuk grafiti oleh para ahli

psikologi lingkungan dikelompokkan ke dalam kategori budaya yang tidak

diinginkan dan dilihat sebagai aktivitas yang bersifat subversif dan dipraktikkan

oleh individu dengan mentalitas kriminal dan kurang menghormati orang lain

serta sering merusak fasilitas publik dan properti pribadi. Dengan kata lain,

grafiti secara visual mengancam kecantikan, kebersihan, dan keselamatan kota,

serta secara simbolis justru mengancam aktivitas budaya (Halim, 2008:105)

Walaupun grafiti sebuah bentuk seni memiliki dimensi estetis yang positif

penting bagi kita untuk mengenali asosiasi grafiti dengan karakteristik yang

bersifat merusak seperti vandalisme (corat-coret) properti orang lain. Praktik

antipenindasan melalui grafiti dapat ditafsirkan sebagai gejala pembalasan sosial

atau pembalasan politis ketika warga tidak mampu memberikan dan

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


14

mengutarakan agenda yang jelas atas hak mereka. Fiske (dalam Halim,

2008:106) mengatakan bahwa, istiah grafiti sendiri asalnya dari lingkungan

penguasa, tetapi ditafsirkan lain oleh masyarakat jelata, suatu nomenklatur

otoritarian yang mendefinisikan grafiti sebagai penanda-penanda ilegal pada

dinding-dinding kota. Grafiti dimasukkan sebagai kejahatan sebagai sebuah

bentuk pelanggaran terhadap undang-undang. Warga tidak diizinkan merusak

dan mencorat-coret properti istana karena tidak elok dilihat. Para pemilik

properti memandang grafiti sebagai ilegal, amoral dan merusak pemandangan.

Zukin (dalam Halim, 2008:106) mengatakan, menurut mereka hal itu

menandakan adanya aktivitas kriminal dan menandai kehadiran dari sebuah

kedengkian dan permusuhan, serta menganggu estetika kapitalisme yang bersih

dan teratur untuk mempromosikan konsumerisme.

Namun demikian, banyak juga vandal (penulis grafiti) yang masih muda

bahkan tidak menuliskan apa yang menjadi keinginan mereka pada karya

grafitinya, ironisnya mereka tidak tahu tujuan mereka membuat grafiti. Bagi

mereka suatu kesenangan dan tindakan spontan. Banyak ahli psikologi lingkungan

berpendapat hal tersebut terkait dengan motivasi untuk menandai wilayah,

namun hal ini juga tidak sepenuhnya benar. Sebab sering kali dilakukan hanya

sekedar menumpahkan ekspresi kesenangan jiwa saja. Bahkan, kadangkala hanya

menjadi ajang kontes popularitas di mana seseorang atau sekelompok berusaha

ingin lebih menonjol dari yang lain. Jadi grafiti hanya sekadar alat pemuas diri

(self- satisfaction), sama halnya ketika kita ingin dilihat lebih baik oleh orang

lain.

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


15

Grafiti dan vandalisme memiliki perbedaan yaitu seni grafiti biasanya selalu

dikerjakan dengan serius, rapi, indah, tematis, dan membutuhkan waktu

pengerjaan serta keahlian tersendiri. Juga yang paling penting bisa terlepas dari

beban-beban dogmatis dari komunitas tertentu. Kecuali sebagai bentuk ekspresi

batin kreatornya saja (Mulyadie, 2010 dalam http://irvanmulyadie.blogspot.com).

Sedangkan aksi vandalisme tidak mempunyai aturan main yang jelas.

Mereka secara sporadis mencoreng moreng dinding-dinding perkotaan dengan

niatan untuk menunjukan identitas, atau semacam unjuk gigi kepada kawan dan

lawan-lawannya mengenai keberadaan komunitasnya (Mulyadie, 2010 dalam

http://irvanmulyadie.blogspot.com). Didalam aksinya, coretan-coretan tersebut

hanya berupa logo, nama atau slogan komunitasnya yang dituangkan

sembarangan.

Akibatnya, selain merugikan berbagai pihak dengan kesan kumuh yang

ditimbulkan, juga dapat mengganggu ketertiban, keamanan dan kenyamanan

masyarakat. Sebab berawal dari aksi vandalisme inilah seringkali memicu

adanya aksi anarkis.

c. Pola Hidup Konsumtif

Konsumtivisme merupakan faham untuk hidup secara konsumtif, orang

yang konsumtif dapat dikatakan tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau

kegunaan ketika membeli barang melainkan mempertimbangkan prestise yang

melekat pada barang tersebut. Oleh karena itu, arti kata konsumtif (consumtive)

adalah boros atau perilaku yang boros, yang mengonsumsi barang atau jasa secara

berlebihan. Dalam arti luas konsumtif adalah perilaku konsumsi yang berlebihan

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


16

(boros), lebih mendahulukan keinginan daripada kebutuhan, serta tidak ada

skala prioritas atau juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-

mewah.

Ritzer (2008:373) mengungkapkan bahwa, alat konsumsi dan fungsi mereka

sepertinya cukup ramah, bahkan sangat positif. Tetapi, dilihat lebih dalam, alat

konsumsi merupakan alat dengan keramahan dalam artian mudah untuk

digunakan dan memudahkan pekerjaan, bukan ramah yang dapat menggiring

dan merangsang konsumen untuk mengonsumsi menurut cara yang sangat

menguntungkan bagi pabrik dan penjual. Misalnya shopping mall dan adanya

katalog yang membujuk para konsumen untuk membeli barang yang tidak

dibutuhkan. Jaringan TV shopping dan cybermall yang menayangkan produk-

produknya membujuk para konsumen untuk membelanjakan uangnya lebih

daripada semestinya dan bahkan membeli barang-barang yang tidak diperlukan.

Ritzer (2008:374) juga mengungkapkan bahwa, alat konsumsi baru ini dan

lainnya memungkinkan masyarakat melakukan sesuatu yang tidak pernah

dilakukan sebelumnya, bahkan alat konsumsi juga mendesak mereka secara

finansial, psikologi, materi untuk membeli lebih daripada yang mereka

perlukan; membelanjakan uang lebih dari yang seharusnya.

Kodrat manusia memang tidak pernah puas dengan segala sesuatu yang

telah dimilikinya, maka sangat mudah membuat mereka menjadi konsumtif

dengan berbagi pilihan dan kemudahan yang ditawarkan. Pola hidup konsumtif ini

juga dipengaruhi oleh tuntutan dari gaya hidup baru yang mementingkan

penampilan fisik sebagai saripati dan nilai utamanya. Maka tidak heran bila warga

kota menjadi begitu terobsesi dengan hal-hal yang mengharuskan mereka lebih.

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


17

Baudrillard (2009:XIX) mengungkapkam bahwa konsumsi yang

berlebihan dan tidak bergunalah yang memungkinkan orang dan masyarakat

merasa bahwa mereka ada, bahwa mereka sepenuhnya hidup. Masyarakat konsumsi

beranggapan bahwa hasil-hasil produksi merupakan segalanya yang mampu

membuat mereka sepenuhnya hidup. Mereka mengagungkan hasil-hasil

produksi sebagai pahlawan produksi, yaitu sebagai penyelamat hidup mereka

untuk terus bertindak konsumtif.

Ironisnya, pola hidup konsumtif ini juga telah mulai ditawarkan kepada

anak-anak yang masih belia dengan menyediakan berbagai permainan

ketangkasan dimana orang tua harus mengeluarkan puluhan ribu rupiah sekali

main. Gaya hidup remaja metropolitan telah membuat mereka menjadi generasi

yang sering berkeliaran. Hal ini tentu tidak lepas dari pengaruh globalisasi baik

melalui media cetak maupun elektronik yang menampilkan gaya hidup dunia

barat menjadi sebuah gaya hidup global dengan sebuah pesan bahwa jika

mereka tidak melakukan apa yang dilakukan oleh anak-anak seusia mereka

maka mereka akan ketinggalan zaman.

Salah satu contoh pola hidup konsumtif yaitu pesta minuman keras. Willis

(2008:158) mengatakan bahwa, negara-negara Barat sudah menjadikan

minuman beralkohol sebagai minuman budaya. Artinya setiap orang dewasa

boleh meminumnya, misalnya di pesta, di night club, dan terutama jika

mengalami stress maka mereka lari pada alkohol, sebagai penenang jiwanya.

Padahal belum terbukti bahwa alkohol dapat menenangkan jiwa manusia.

Paling-paling saat dia

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


18

mabuk maka penderitaan jiwanya terlupakan untuk sementara. Setelah dia sadar

dari mabuknya, maka sudah pasti masalah kesulitan hidup akan kembali terasa.

d. Geng

Geng adalah kelompok atau gerombolan remaja yang terkenal karena

kesamaan latar belakang sosial, sekolah, daerah dan sebagainya (Sugono,

2008:471). Bermacam-macam jenis geng di lingkungan sekitar, misalnya geng

motor, geng punk, dan lain sebagainya. Ideologi yang sama dan sifat yang sama

melatarbeakangi terbentuknya sebuah geng dengan alasan kenyamanan bersama

dengan teman yang memiliki kesamaan nasib, daerah, sifat atau bahkan hobi.

Geng dianggap negatif oleh masyarakat karena melihat fakta-fakta yang ada

dalam masyarakat bahwa geng sering berbuah keonaran. Hal tersebut seperti yang

diungkapkan Willis (2008:66) bahwa, saat ini geng remaja telah menjurus

kepada hal-hal negatif, seperti perkelahian massal, minuman keras, memakai

narkoba, melakukan kejahatan seks, dan perampokan. Contoh geng yang sempat

menjadi sorotan yaitu geng nero, geng yang telah berbuat keonaran di

masyarakat hingga beberapa anggotanya harus ditangkap dan dipenjara.

Kaitanya dengan gaya hidup hedonis, banyak remaja yang membentuk

komunitas atau geng sebagai media bersenang-senang seperti berpesta.

Gaya hidup hedonis secara umum tidak bisa dilepaskan dengan budaya

populer yang menyertai dinamika kehidupan remaja, termasuk dunia sastranya.

Dominic Strinati (dalam Dewojati 2010:17) memberikan gambaran bahwa batasan

populer adalah pengalaman populer biasanya lahir karena budaya konsumsi

yang didukung oleh teknologi informasi mutakhir. Jika kesenian tradisional

muncul dan

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


19

bertahan karena kehendak rakyat, kesenian lahir karena kehendak bangsa, seni

populer ini lahir dan bertahan lebih karena kehendak media. Media dan

konsumsi tersebut telah menggeser ikatan sosial yang semula mementingkan

aspek moral dan kognisi dengan ikatan etika.

Kondisi modern jelas mempengaruhi kepribadian manusia (Sztompka,

2007:89). Kondisi modern yang dimaksud adalah gaya hidup modern yang

kemudian memicu masyarakat untuk bertindak konsumtif. Tindakan tersebut

dapat menimbulkan paham hedonis. Tidak hanya dalam masyarakat, dalam

dunia sastra pun paham-paham hedonis sedang menjadi tema hangat sehingga

banyak novel yang mengangkat tema tersebut.

3. Relasi Sastra dengan Masyarakat

Karya sastra sebagai karya seni bersifat kreatif, artinya sebagai hasil

ciptaan manusia yang berupa karya bahasa yang bersifat estetik (dalam arti seni),

hasilnya berupa karya sastra, misalnya novel, puisi, cerita pendek, drama, dan

lain-lain (Noor 2007:9).

Luxemburg (1992:5) mengatakan bahwa sastra merupakan sebuah ciptaan,

sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan

sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam.

Menurutnya, sastra adalah sebuah karya kreatif yang diciptakan dengan

meneruskan karya orang lain. Luxemburg (1992:9) juga menyatakan bahwa,

sastra adalah sebuah nama yang dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah

hasil tertentu dalam suatu lingkungan kebudayaan. Dalam hal ini, alasan tertentu

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


20

dan sejumlah hasil tertentu yang dimaksud yaitu suatu hal yang berkaitan

dengan karya sastra.

Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Wellek Werren,

1995:3). Kegiatan yang dimaksudkan oleh Wellek Warren adalah kegiatan

untuk menghasilkan sebuah karya seni yang kreatif.

Untuk itu, dapat disimpulkan bahwa sastra yaitu hasil kegiatan yang

bersifat kreatif melalui bahasa yang diciptakan bukan pertama, melainkan

penerus dari karya sebelumnya. Karya sastra yang diciptakan merupakan hasil

imajinasi seseorang yang mendapatkan inspirasi dari karya sebelumnya. Karya

sastra tersebut dituangkan melalui bahasa-bahasa yang indah.

Sastra dapat dipadang sebagai suatu gejala sosial (Sangidu, 2004:41). Sastra

yang diciptakan oleh pengarang pada waktu tertentu, merupakan penggambaran

situasi sosial pada masa itu. Sastra tidak hanya merekam kenyataan yang ada

dalam masyarakat, tetapi merekam dan melukiskan kenyataan keseluruhannya.

Karena itu, pengarang yang melukiskan kenyataan dalam keseluruhannya tidak

dapat mengabaikan begitu saja dengan masalah tersebut. Karya sastra

merupakan tanggapan penciptanya terhadap realita sosial yang dihadapinya.

Sastra berisi pengalaman-pengalaman subjektif penciptanya, pengalaman

subjektif seseorang (fakta individual atau libidinal), dan pengalaman

sekelompok masyarakat (fakta sosial).

Dari tanggapan pengarang terhadap dunia sekelilingnya (realitas sosial)

yang diwujudkan dalam bentuk sastra, maka dapat dikatakan bahwa karya sastra

merupakan pembayangan atau pencerminan realitas sosial. Karya sastra yang

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


21

dihasilkan oleh pengarang merupakan sastra yang kompleks, karena ia berada

dalam jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat. Pengarang

melahirkan karya sastra yang berwujud novel atau lainnya merupakan manifes

sosial. Manifestasi sosial yang berwujud karya sastra tidaklah lahir dengan cara

sederhana, tetapi ia lahir dengan cara pengarang melakukan analisis data-data

yang ada dalam kehidupan masyarakat terlebih dahulu, menginterprestasikan,

mencoba menetapkan tanda-tanda penting, dan kemudian mengubahnya dalam

bentuk tulisan (karya sastra). Dengan demikian, yang harus diperhatikan oleh

pengarang adalah karya sastra harus dilahirkan dari sebuah observasi yang

rasional dan pengalaman pengarang dari sebuah realitas sosial.

Seorang pengarang yang berkualitas tentu dapat melihat perkembangan

masyarakat secara keseluruhan sehingga persepsinya terhadap realitas sosial

yang telah dituangkan dalam bentuk karya sastra merupakan sastra yang sangat

kompleks sehingga perlu ditafsirkan dengan cermat dan hati-hati. Dengan kata

lain, sastra adaah bagian dari masyarakat yang dihasilkan oleh pengarang yang

adalah anggota masyarakat. Oleh karena itu, latar belakang sosial pengaranglah

yang perlu diperhatikan apabila sastra dinilai sebagai cerminan masyarakat.

Karya sastra mewakili kehidupan, kehidupan adalah kenyataan sosial yang

dalam diri sastrawan dapat menjadi objek penciptaan karya sastra (Noor,

2007:49). Untuk itu karya sastra yang diciptakan bersifat sosial, yaitu norma-

norma yang dapat tumbuh dalam masyarakat.

Pengarang merupakan anggota masyarakat, ia mempunyai hak penuh

untuk mengharapkan kebebasan berbicara, melontarkan gagasan, memandang

setiap

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


22

persoalan serta menentukan cara berkreasi sesuai dengan konsepnya.

Sebaliknya, masyarakat juga mempunyai alasan untuk mengharap tanggung

jawab sosial pengarang. Mungkin berupa kritik atau protes terhadap situasi dan

kondisi sosial tertentu yang tidak dikehendaki oleh masyarakat. Pengarang

merasa perlu bertanggung jawab terhadap kehidupan masyarakatnya. Persoalan

penderitaan dan dilema masyarakat adalah miliknya. Oleh sebab itu, problem

masyarakat sebenarnya juga problem karya sastra, karena karya sastra tidak

hanya berfaedah bagi perseorangan tetapi juga berfungsi sosial.

Karya sastra yang cenderung memantulkan keadaan masyarakat, mau

tidak mau akan menjadi saksi zaman (Endraswara, 2008:89). Dalam kaitan ini,

sebenarnya pengarang berupaya mendokumentasikan zaman dan sekaligus

sebagai alat komunikasi antar pengarang dan pembacanya. Pengarang sebagai

seorang zender (pengirim pesan) akan menyampaikan berita zaman lewat

cermin dalam teks kepada ontvanger (penerima pesan). Berarti bahwa karya

sastra sekaligus merupakan alat komunikasi yang jitu.

Damono (1979:4) mengatakan bahwa, sastra sebagai cermin masyarakat:

sampai sejauh mana sastra dapat dianggap sebagai mencerminkan keadaan

masyarakat. Pengarang harus berusaha untuk menampilkan keadaan sosial

masyarakat secermat mungkin, agar sastra yang dihasilkan dapat mencerminkan

situsi dan kondisi masyarakat pada masa tersebut. Selain itu, pandangan sosial

pengarang harus diperhitungkan apabila kita menilai karya sastra sebagai

cerminan.

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


23

Sastrawan dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat: seni tidak hanya

meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya (Wellek Werren, 1995: 120).

Kehidupan masyarakat banyak yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh hasil ciptaan

seorang pengarang. Masyarakat banyak yang meniru gaya hidup tokoh-tokoh

tersebut seperti gaya hidup mewah atau hedonis, gaya hidup konsumtif, bahkan

bunuh diri yang sering digambakan dalam novel. Selain itu pengarang juga

sering kali terpengaruh dengan adanya fenomena-fenomena yang terjadi dalam

masyarakat zaman sekarang. Dengan latar belakang sebuah fenomena,

pengarang terdorong untuk menciptakan sebuah karya sastra.

Berbeda dengan pendapat-pendapat mengenai sastra sebagai cerminan

masyarakat yang diungkapkan oleh beberapa ahli sosiologi diatas. Faruk

(2010:47) mengungkapkan bahwa gambaran mengenai manusia-manusia itu,

relasi-relasi itu dan juga ruang dan waktu itu, lebih dipahami sebagai hasil

rekaan belaka dari pengarang karya sastra sebagai individu, bukan sebagai

sesuatu yang mengacu pada dunia sosial yang nyata. Hal tersebut merupakan

hasil imajinasi pengarang, kalaupun dunia sosial yang tergambar dianggap

mengacu pada kenyataan, kenyataan yang diacu bukanlah kenyataan sosial,

melainkan kenyataan batiniah pengarangnya.

Sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu langsung berkaitan

dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu (Luxemburg, 1992:23).

Pengarang menyesuaikan dirinya selaku seorang warga masyarakat pada zaman

itu, dan berinteraksi dengan pembaca yang juga merupakan warga masyarakat

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012


24

tersebut. Karya sastra hasil ciptaan pengarang, dapat diterima atau tidak oleh

pembaca tergantung kualitas karya sastra tersebut.

Gaya Hidup Hedonis..., Winda Dwi Hudhana, FKIP UMP, 2012

Anda mungkin juga menyukai