Anda di halaman 1dari 28

BAB VI

GAMBARAN SOSIAL YANG TERCERMIN PADA NOVEL SUNARI

Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal balik yang rumit dari

faktor – faktor sosial dan cultural, serta karya sastra itu sendiri merupakan objek

cultural yang rumit. Karya sastra bukanlah suatu karya yang berarti sendiri

(Damono, 1978 :4). Pada hakikatnya karya sastra itu diciptakan oleh sastrawan

untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Sastrawan

(sebagai pencipta) itu sendiri adalah anggota masyarakat; ia terikat oleh status

sosial tertentu. Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai

medium; bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan

gambaran kehidupan; dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.

Kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antara masyarakat dengan

orang – seorang, antar manusia, dan antar peristiwa yang terjadi dalam bathin

seseorang. Peristiwa – peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering

menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau

masyarakat (Damono, 1978 :1).

Damono (1978 :2-3) menyatakan bahwa terdapat dua kecenderungan

utama dalam telaah sosiolohi sastra. Pertama sosiologi sastra yang pendekatannya

dimulai dari lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra dengan

faktor – faktor di luar sastra, seperti yang terbayang dalam karya sastra.

Pendekatan ini melihat faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada suatu
masa tertentu dan pada masyarakat tertentu. Pendekatan ini bergerak dari

sosiologi untuk lebih memahami faktor – faktor sosial yang terdapat di dalam

karya sastra. Kedua sosiologi sastra yang pendekatannya dimulai dari teks sastra

untuk menungkapkan faktor – faktor sosial yang ada di dalamnya. Pendekatan ini

mengutamakan teks sastra sebagai fenomena utama.

Wellek dan Warren (1990 : 84) mengungkapkan bahwa pengklasifikasian

kajian sosiologi sastra meliputi tiga hal, pertama pengarang yang

mempermasalahkan atau membahas tentang ststus sosial, ideologi, sosiologi dan

sebagainya yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra. Kedua,

sosiologi karya sastra yang mempermasalahkan unsur – unsur pembentuk suatu

karya sastra itu sendiri. Hal tersebut membahas hal yang menjadi pokok

permasalahan. Ketiga, sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dengan

pengaruh sosial karya sastra. Analisis sosiologi dalam penelitian ini adalah

analisis aspek – aspek sosial dalam teks dan kaitannya dengan kenyataan –

kenyataan di luar karya sastra itu sendiri. Pada novel Sunari ini terkandung

berbagai aspek sosial yang meliputi : (1) Aspek Sosiologis Pengarang; (2) Aspek

Sosiologis Karya Sastra; dan (3) Aspek Sosiologis Pembaca.

6.1 Gambaran Sosial yang Tercermin pada Novel Sunari


Mengkaji karya sastra dengan melihat unsur - unsur sosial yang tersirat

dan tersurat dalam teks dengan tidak melupakan pengarang sebagai kreator serta

masyarakat sebagai penikmat sastra. Sosiologi sastra adalah yaitu sebuah kajian

dalam sastra untuk menganalisis sebuah karya sastra untuk mngetahui unsur -

unsur sosial yang ada pada sebuah karya seorang pengarang karena karya sastra
menampilkan wajah kultur zamannya, tetapi lebih dari itu sifat - sifat sastra juga

ditentukan oleh masyarakatnya.

Aspek sosial yang akan diuraikan dalam pembahasan ini merupakan

pembahasan yang penting dalam menetapkan kerangka penilaian pemikiran aspek

– aspek sosial yang terkandung pada novel Sunari. Aspek – aspek sosial yang

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari situasi sosial masyarakat yang

tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat dan kemudian mampu memberi

corak yang beragam dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.

Berpijak dari teori yang dijabarkan oleh Wellek dan Warren (1990: 111)

yang membuat tiga klasifikasi mengenai sosiologi sastra yaitu (1) sosiologi

pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial dan lain - lain

yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya sastra, (2) sosiologi sastra

yang mempermasalahkan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok penelaahan

adalah apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya, dan

(3) sosiologi sastra yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya

sastra. Novel Sunari karya I Ketut Rida akan diulas dengan menggunakan kajian

sosiologi sastra.

6.1.1 Gambaran Masyarakat yang Tercermin pada Novel Sunari Karya I

Ketut Rida Ditinjau dari Aspek Sosiologis Pengarang

Karya sastra lahir dari kemajukan dan kompleksitas unsur budaya dalam

suatu masyarakat. Untuk itulah sosiologi hadir sebagai ilmu yang mempelajari
hubungan karya sastra dan masyarakatnya. Pengarang adalah masyarakat.

Masyarakat ialah kelompok orang yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah

tempat tinggal, atau yang mempunyai kepentingan sosial yang sama (Chaer,

2007 : 59) pengarang sebagai mahluk sosial tentu merupakan bagian dari

masyarakat. Pengarang tetap memerlukan proses interaksi sosial dalam prinsipnya

sebagai mahluk sosial.

Manusia dalam proses interaksi dengan sesamanya dan dengan alam

semesta tidak mungkin bersikap apatis. Manusia senantiasa menilai segala sesuatu

berdasarkan faktor dalam atas dasar norma – norma normatif yang merupakan

potensidan kecenderungan manusia. Manusia sebagai mahluk sosial, selalu

berinteraksi dengan sesamanya dapat diketahui melalui social science atau ilmu –

ilmu sosial seperti sosiologi, ekonomi, politik, antropologi, sejarah, psikologi,

geografi dan lain – lain (Ahmadi, 2009 :1).

Telaah yang dilakukan lebih banyak berkaitan dengan pengarang sebagai

penghasil karya sastra. Pengarang sebagai individu yang memilki ideologi, status

sosial, dan latar belakang sosial yang turut serta mempengaruhi hasil karyanya.

Ideologi, status sosial, dan latar belakang sosial pengarang berpengaruh besar

terhadap hasil karyanya karena secara manusiawi ideologi, status sosial, dan latar

belakang sosial akan mempengaruhi setiap tindakan manusia. Ketiga hal inilah

yang sering kali menjadikan setiap pengarang memiliki ciri khas pada hasil

karyanya.
Pengarang dalam hal ini dipandang sebagai bagian dari masyarakat, lebih

tepatnya unsur pembangun masyarakat. Berpijak pada hal itu, tentunya terjadi

interaksi timbal balik antara anggota masyarakat, yaitu pengarang dengan

masyarakat yang lainnya. Interaksi sosial para pengarang ini memiliki tendensi

yang mempengaruhi pola pikirnya dalam rangka memandang permasalahan yang

dihadapinya. Pengarang secara sosiologis adalah seorang yang sederhana, namun

kemampuan menyerap unsur – unsur kehidupan yang ada disekelilingnya, serta

mampu menuangkan hasil dari pikirannya menjadi sebuah karya seni yang sangat

luar biasa mampu memberikan makna dan nasehat – nasehat bagi kepentingan

masyarakat secara umum. Berdasarkan biografi pengarang, dalam karya sastra ini

nampak jelas pengarang ingin memberikan gambaran secara umum kepada

masyarakat bahwa sejatinya kehidupan sosial masyarakat di jaman sekarang tidak

berbeda dengan karya sastra yang dibuatnya. Bahkan yang terjadi saat ini jauh

lebih mengkhawatirkan dari cerita yang sudah ditulis oleh pengarang.

Wilayah yang menjadi kajian sosiologi pengarang antara lain adalah; (1)

status sosial pengarang, (2) ideologi sosial pengarang, (3) latar belakang sosial

budaya pengarang, (4) posisi sosial pengarang dalam masyarakat, (5) masyarakat

pembaca yang dituju, (6) mata pencaharian sastrawan (dasar ekonomi produksi

sastra), dan (7) profesionalisme dalam kepengarangan.

1. Status sosial

Status sosial sering kali disebut sebagai kedudukan atau posisi, peringkat

seseorang dalam kelompok masyarakatnya. Status dengan status sosial sering


diartikan sendiri - sendiri. Status diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang

dalam suatu kelompok sosial. Status sosial adalah tempat seseorang secara umum

dalam masyarakatnya berhubungan dengan orang - orang lain dalam arti

lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak - hak serta kewajibannya.

Pengarang novel Sunari yaitu I Ketut Rida adalah seorang guru SD. I

Ketut Rida kecil sangat senang mendengarkan satua – satua Bali yang diceritakan

oleh dadong (nenek). Ketika terciptanya novel – novel ataupun cerita – cerita

berbahasa Bali ini muncul karena beliau merasa sedih melihat kemampuan

berbahasa Bali anak – anak yang sudah sangat kurang sekali. Banyak cerita

berbahasa Bali yang sudah ditulis oleh beliau. Sehingga pemerintah mengapresiasi

karyanya dengan melibatkan novel Sunari dalam

Arti penting hadiah sastra Rancage terhadap kehidupan sastra Bali modern

bisa dirumuskan Dalam beberapa point. Pertama, hadiah sastra Rancage ini

memberikan motivasi penulis untuk berkarya, baik bagi penulis ‘tua’ maupun

‘pendatang baru’. Motivasi menulis untuk mendapat hadiah sastra tidak harus

dilihat secara negatif apalagi sastra Bali modern memiliki predikat masa lalu

sebagai ‘sastra sayembara’. Mencipta untuk mengikuti sebuah sayembara

merupakan hal positif bagi penulis untuk menghasilkan karya terbaiknya. Bagi

pembaca, hadirnya karya yang baik adalah hal yang ideal.

2. Ideologi Sosial Pengarang


Ideologi memiliki pengertian sebagai himpunan dari nilai, ide, norma,

kepercayaan, dan keyakinan yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang

yang menjadi dasar dalam menentukan sikap terhadap kejadian atau problem yang

mereka hadapi. Dalam kaitannya dengan kajian sastra, pengertian ideologi ini

seringkali disamakan dengan pandangan dunia (world view) yaitu kompleks yang

menyeluruh dari gagasan - gagasan, aspirasi - aspirasi, dan perasaan - perasaan

yang menghubungkan secara bersama - sama anggota suatu kelompok sosial

tertentu dan mempertentangkannya dengan kelompok sosial lainya (Goldmann,

1977:17). Karena ideologi ini dimiliki oleh suatu kelompok sosial, maka sering

disebut juga sebagai ideologi sosial. Dalam pandangan sosiologi pengarang,

ideologi sosial yang dianut seorang pengarang akan mempengaruhi bagaimana dia

memahami dan mengevaluasi masalah sosial yang terjadi di sekitarnya.

3. Latar Belakang Sosial Budaya Pengarang

Latar belakang sosial budaya pengarang adalah masyarakat dan kondisi

sosial budaya dari mana pengarang dilahirkan, tinggal, dan berkarya. Latar

belakang tersebut, secara langsung maupun tidak langsung akan memiliki

hubungan dengan karya sastra yang dihasilkannya. Sebagai manusia dan makhuk

sosial, pengarang akan dibentuk oleh masyarakatnya. Dia akan belajar dari apa

yang ada di sekitarnya.

4. Posisi Sosial Sastrawan dalam Masyarakat

Posisi sosial sastrawan berkaitan dengan kedudukan dan peran sosial

seorang sastrawan dalam masyarakat. Di samping sebagai sastrawan,


bagaimanakah kedudukan sosial dan perannya dalam masyarakat atau apakah

seorang sastrawan itu, orang yang memiliki kedudukan dan peran sosial cukup

penting.

5. Masyarakat Pembaca yang Dituju

Sebagai anggota masyarakat, dalam menulis karya sastranya sastrawan

tidak dapat mengabaikan masyarakat pembaca yang dituju. Agar karyanya dapat

diterima masyarakat, maka sastrawan harus mempertimbangkan isi dan bahasa

yang dipakai. Memang dalam berkarya sastrawan tidak tergantung sepenuhnya

atau menuruti secara pasif selera pelindung (patron) atau publiknya, tetapi ada

kemungkinan justru sastrawanlah yang menciptakan publiknya.

Dalam hubungannya dengan masyarakat, sastrawan dipengaruhi dan

mempengaruhi masyarakatnya. Seni (sastra) dalam hal ini tidak hanya meniru

kehidupan, tetapi juga membentuknya. Pemberian nama anak dalam masyarakat

Jawa, misalnya banyak mengambil inspirasi dari nama tokoh-tokoh wayang atau

dongeng, seperti Yudhistira, Bima, Harjuna, Sadewa, Nakula, Larasati,

Shakuntala, Kresna, Panji, Candrakirana menunjukkan adanya pengaruh sastra

bagi kegidupan nyata.

6. Mata Pencaharian Pengarang dan Profesionalisme Pengarang

Tidak semua sastrawan bermata pencaharian dari aktivitas menulis semata-

mata. Dalam hubungannya dengan hal ini, Watt (dalam Damono, 1979:3)

mengemukakan bagaimana seorang pengarang mendapatkan mata


pencahariannya? Apakah dia mendapatkannya dari pengayom (patron), atau dari

masyarakat secara langsung, atau dari kerja rangkap.

7. Profesionalisme dalam Kepengarangan

Profesionalisme dalam kepengarangan adalah sejauh mana sastrawan

menganggap pekerjaannya sebagai suatu profesi.

Novel bahasa Bali yang berjudul Sunari dikarang oleh sastrawan Bali

yang bernama I Ketut Rida. Wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan

beliau di kediamannya yang beralamat di Desa Sulang, Klungkung (tanggal)

menceritakan bahwa dirinya mengarang novel yang berjudul Sunari ini merasa

miris melihat keberadaan bahasa Bali yang sangat kurang diminati oleh kalangan

remaja pada masa itu, itulah sebabnya ia terketuk untuk menulis cerita berbahasa

Bali dengan isi cerita yang dekat dengan kegiatan sehari – hari yang dilakukan

oleh anak – anak remaja dengan gaya bahasa yang mudah dimengerti. Tujuannya

menggunakan bahasa yang ringan dang dengan kisah yang menarik yaitu tentang

pergaulan remaja. Adapun kutipan wawancara yang dilakukan secara langsung

dengan pengarang novel Sunari ini adalah sebagai berikut.

“Saya merasa miris melihat anak – anak Bali yang tidak bisa berbahasa
Bali. Bahasa Bali pada tahun 80 sudah mulai ditinggalkan. Maka dari itu
saya merasa tertantang untuk menulis novel berbahasa Bali dengan gaya
bahasa yang menarik dan menggunakan bahasa Bali yang mudah
dimengerti. Selain itu juga karena dorongan dari teman – teman yang ingin
agar saya menulis lagi. Padahal saya tidak punya mesin tik. Saya sampai
meminjam mesin tik di kantor untuk menulis. Sebelumnya saya tulis dulu
di kertas dobel folio sebelum saya ketik menggunakan mesin tik”.

Ketut Rida berharap novel karyanya akan diminati oleh anak – anak.

Dalam novelnya, Ketut Rida menceritakan tentang kebiasaan anak remaja pada

masa itu. Dipilihnya tema tentang pergaulan remaja karena tema tersebut yang

cukup pantas menggambarkan keadaan desanya pada masa itu. Ia menceritakan

kalau di desanya sering ditemukan mayat bayi, mungkin karena banyak yang

melakukan hubungan gelap sehingga menghasilkan buah cinta yang tidak

diharapkan, maka untuk menutupi aibnya dibuanglah anak yang tidak berdosa

tersebut. Seperti wawancara yang dilakukan dengan pengarang yaitu sebagai

berikut.

“Remaja – remaja pada tahun 1980-an pergaulannya tidak jauh berbeda


keadaannya dengan sekarang. Hanya saja sekarang sudah lebih parah
karena adanya teknologi yang semakin canggih sehingga banyak yang
menyalahgunakan teknologi. Banyak akses yang tidak pantas untuk
ditonton sudah bisa dibuka oleh anak – anak di bawah umur. Kalau dulu
jika ada yang membuang bayi hasil hubungan gelap, tidak terlalu di
expose. Kalau sekarang kan banyak yang tahu karena pasti dibagikan di
media – media sosial”.

Dalam novel karyanya, I Ketut Rida juga menggambarkan kebiasaan

perempuan Bali yang setiap harinya membuat sarana persembahyangan. Biasanya

ibu dan anak perempuannya yang bersama – sama mejejaitan, lalu yang laki – laki

membantu dengan mencarikan bahan – bahan yang lainnya. Misalnya mencarikan

janur, bunga, dan yang lainnya untuk keperluan persembahyangan.

“Kita sebagai orang Bali yang terbiasa membuat sarana persembahyangan


sendiri juga saya ceritakan di dalam novel. Supaya terlihat kebudayaannya
orang Bali yang tidak bisa terlepas dari kerjasama antara anggota
keluarganya”.

I Ketut Rida juga merasa sedih melihat anak – anak remaja yang tidak bisa

memposisikan diri sebagai seorang anak dengan semua kewajibannya membantu

orang tua. Lebih mementingkan bermain bersama teman – teman. Tidak

menghiraukan orang tua yang sedang bekerja. Setidaknya membersihkan rumah

atau membantu memasak, hal – hal yang mudah dan bisa meringankan beban

orangtua. Kutipan wawancarany adalah sebagai berikut.

“Anak – anak yang rajin dan membantu orang tua sudah jarang sekali
ditemukan. Kebanyakan yang hanya menyenangkan diri sendiri. Keluar
masuk rumah seenaknya. Terkadang rumah hanya dijadikan tempat untuk
beristirahat saja. Tempat persinggahan untuk makan, mandi dan melepas
lelah. Orang tua sudah sering menasehati tapi hanya sekali di dengar,
setelah itu dilupakan lagi”.

Kebiasaan – kebiasaan masyarakat Bali juga diceritakan sebagai ciri khas

masyarakat Bali. Misalnya ketika pulang dari bekerja, masyarakatnya berbondong

– bondong berjalan berdampingan bersama anak istrinya

6.1.2 Gambaran Masyarakat yang Tercermin pada Novel Sunari Karya I

Ketut Rida Ditinjau dari Aspek Sosiologis Karya Sastra

Karya sastra merupakan sebuah lembaga sosial yang diciptakan oleh

seorang pengarang. Damono (2003 : 2-10) mengungkapkan, karya sastra dapat

dilihat dari segi sosiologi dengan mempertimbangkan segi – segi kemasyarakatan,

menyangkut manusia dengan lingkungannya, struktur masyarakat, lembaga, dan

proses sosial. Diungkapkan lebih lanjut bahwa dalam ilmu sastra apabila sastra
dikaitkan dengan struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan

lain – lain maka dapat digunakan sosioligi sastra sebagai pendekatan

pengajiannya.

Ratna (2013 : 2-3) mengungkapkan bahwa dalam sosiologi sastra, sastra

dipahami dengan mempertimbangkan aspek – aspek kemasyarakatannya. Di

samping itu, dicari juga hubungan karya sastra dengan masyarakat yang

melatarbelakanginya, serta ditemukan kaitan langsung antara karya sastra dengan

masyarakat. Kenyataan sosial yang ada dalam karya sastra dengan masyarakat.

Kenyataan sosial yang ada dalam karya sastra merupakan olahan pengarang.

Adapun kenyataan sosial dapat berupa problem – problem sosial yang dihadapi

oleh manusia. Problem – problem sosial beupa kepincangan – kepincangan yang

terjadi dalam masyarakat tergantug dari sistem nilai sosial tersebut. Itu semua

disajikan oleh pengarang melalui tokoh – tokohnya.

Damono (2009 : 4), mengungkapkan bahwa sastra merupakan tanggapan

evaluatif terhadap kehidupan; sebagai semacam cermin, sastra memantulkan

kehidupan setelah menilai dan memperbaikinya. Pengarang menciptakan sastra

sebab membutuhkan citraan dan rekaan yang bisa mencerminkan hal yang tidak

diketahui di dunia nyata. Sebagai hasil imajinatif, selain sebagai hiburan yang

menyenangkan, karya sastra juga berguna untuk menambah pengalaman bathin

bagi pembacanya.

Sosiologi merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia

dalam masyarakat, studi mengenai lembaga sosial dan proses – proses sosial.
Sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat

dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya dan mengapa masyarakat itu bertahan

hidup. Lewat penelitian yang ketat mengenai lembaga – lembaga sosial, agama,

ekonomi, politik, dan keluarga yang secara bersama – sama membentuk apa yang

disebut sebagai struktur sosial, sosiologi dikatakan memperoleh gambaran

mengenai cara – cara manusia menyesuaikan dirinya dan ditentukan oleh

masyarakat – masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialisasi,

proses belajar secara kultural, yang dengannya individu – individu dialokasikan

dan menerima peranan – peranan tertentu dalam struktur sosial itu (Swingewood

dalam Faruk, 2015 : 1). Aspek sosiologi dalam karya sastra tentunya juga

mencerminkan masyarakat dan ideologi – ideologi yang berkembang di dalamnya.

Beberapa aspek sosiologi sesungguhnya dapat diketahui jika memposisikan karya

sastra sebagai produk sosial. Analisis ini turut mendukung pandangan tersebut

sehingga dalam proses pembacaan, didapat beberapa aspek sosiologi dalam karya

sastra terutama novel Sunari. Adapun beberapa aspek sosiologi karya sastra dalam

novel Sunari.

6.1.3 Gambaran Masyarakat yang Tercermin pada Novel Sunari Karya I

Ketut Rida Ditinjau dari Aspek Sosiologis Pembaca

Sastra merupakan suatu pengungkapan pikiran yang imajinatif sebagai

cermin dari kehidupan manusia dan masyarakat yang dituangkan melalui bahasa

yang indah yang mempunyai nilai positif terhadap kehidupan manusia. Persoalan

– persoalan sosial yang seringkali tersirat dalam berbagai karya sastra merupakan
tanggapan sastrawan terhadap fenomena sosial beserta kompleksitas permasalahan

yang ada di sekitarnya.

Kenyataan sosial yang ada dalam karya sastra merupakan olahan

pengarang. Adapun kenyataan sosial dapat berupa problem – problem sosial yang

dihadapi oleh manusia. Semua hal tersebut disajikan oleh pegarang melalui tokoh

– tokohnya. Begitu pula dalam sastra berbentuk novel. Novel merupakan

karangan berbentuk prosa. Susunan ceritanya panjang mengandung rangkaian

kehidupan manusia dengan alam sekitarnya.dibutuhkan dua unsur yang saling

berkaitan dalam penciptaan novel. Unsur tersebut terpadu dalam sebuah

keserasian yang melahirkan nilai – nilai yang bermakna. Makna – makna tersebut

dapat digali dari sudut pandang pembaca berdasarkan sosiologi sastra.

Realitas sastra adalah kenyataan imajinatif. Oleh sebab itu, peneliti akan

memasuki lewat kesadaran sosial. Getaran sosial dianggap memiliki realitas yang

tidak mungkin tercabut dari akar sosial. Semua sastra yang baik adalah sangat

relevan bagi masyarakat beserta masalahnya, tetapi relevansi ini hanya dapat

dipahami lewat cara – cara tak langsung. Pendapat ini mengajak kita agar hati –

hati memahami sastra. Sastra ada kalanya menyampaikan sikap moral dan

ideologi sosial secara halus. Moralitas sosial dan ideologi tak terpisahkan dari

hidup manusia.

Permasalahan sosiologi pembaca dapat dilihat berdasarkan beberapa

pendapat informan. Informan dalam hal ini memegang peranan penting, karena

informan yang akan menanggapi pergulatan estetik pengarang kemudian


menilainya setelah membaca karyanya. Persoalan penilaian estetik pada umumnya

melahirkan konsep – konsep teoretis tentang sastra yang baik, sastra yang bernilai,

atau sastra yang historis. Estetika tidak boleh lepas dalam pemahaman sosiologi

sastra. Estetika adalah pembangun keindahan, lewat jalur simbolik, sastra

menebarkan aroma realitas sosial. Persoalan pencapaian realitas mengarah pada

upaya tiap – tiap konsep sosial sastra memposisikan sastra sebagai realitas, baik

secara psikologis, sosiologis, politis, ekonomis dan historis.

1. Pembaca

Pembaca merupakan audiens yang dituju oleh pengarang dalam

menciptakan karya sastranya. Dalam hubungannya dengan masyarakat pembaca

atau publiknya, seorang sastrawan tidak hanya mengikuti selera publiknya atau

pelindungnya, tetapi juga dapat menciptakan publiknya.

2. Dampak dan fungsi sosial karya sastra

Setelah sampai kepada pembaca, karya sastra akan dibaca, dihayati, dan

dinikmati pembaca. Horatius (dalam Teeuw, 1988:183) telah mengemukakan

tugas dan fungsi seorang penyair dalam masyarakat, yaitu dulce et utile (berguna

dan memberi nikmat atau sekaligus mengatakan hal - hal yang enak dan berfaedah

untuk kehidupan. Apa yang dikemukakan oleh Horatius tersebut kemudian

menjadi dasar perkembangan teori pragmatik, sosiologi pembaca, dan resepsi

sastra.

6.2 Implementasi Karya Sastra Novel Sunari dalam Masyarakat Bali

Kekinian
Di era globalisasi saat ini, semua sudah semakin canggih. Dimulai dari

teknologi sampai dengan pendidikan sudah mengalami perkembangan yang pesat.

Akan tetapi dengan berkembangnya semua hal tersebut, tidak diiringi juga dengan

moral yang baik dari para masyarakat khususnya para remaja. Para orang tua

menyekolahkan anaknya dengan harapan agar anaknya bisa memimpin diri

sendiri, dalam artian bisa menentukan mana yang baik dan mana yang tidak baik.

Orang tua masa kini sudah tidak lagi mengekang anaknya dalam pergaulan.

Sebagian besar orang tua memberikan kebebasan kepada anaknya, terlebih lagi

jika anak mengatasnamakan kegiatan sekolah untuk mendapat izin keluar dari

orang tuanya, maka orang tua akan mempercayainya.

Hal tersebut yang menyebabkan semakin bebas dan tidak terkontrolnya

pergaulan para remaja. Keluar rumah seenaknya dengan alasan mengikuti

kegiatan di sekolah sehingga melalaikan kewajibannya sebagai seorang anak yaitu

membantu orang tua. Seperti yang diceritakan pada novel Sunari yaitu ketika Luh

Sunari akan pergi dari rumah dengan alasan ada kegiatan di sekolahnya sehingga

ia tidak bisa membantu ibunya membuat sarana persembahyangan. Adapun

kutipannya adalah sebagai berikut.

“Ngudiang ento, tulungin meme ngalih bunga, apang dadi canange
tanding malu. Mani bakalan repot pesan”. 
“I Ketut tunden, tiang tusing nyidaang. Sing nawang ujian suba paek
lakar mlajah kumah timpale”, pasaut pianake saking kamar.
Terjemahan :
“Sedang   apa   itu,   tolong   bantu   Ibu   mencari   bunga,   supaya   bisa
membuat canang. Besok pasti akan repot sekali”.
“Suruh Ketut saja, saya tidak bisa. Tidak tahu ujian sudah dekat, saya
akan belajar ke rumah teman”, jawab Luh Sunari dari kamar.
“Men, ngudiang bakal tunden nyai”, Pan Sunari masaur. “yadiapin
tusing ngudiang ­ ngudiang, apang danan tuara inget tekenin gaginan
jumah apa buin madewek luh, peragat selar – seler cara anak truna”.
Terjemahan :

“Lalu ia akan kamu suruh apa”, Ayah Sunari menjawab. “Meskipun


tidak mengerjakan apa, setidaknya ingat dengan kewajiban di rumah
apalagi seorang perempuan, selalu keluar seperti laki – laki remaja”.

Jika berbicara dengan orang tua, tidak ada rasa sopan sedikitpun.

Menjawab dengan nada yang sinis, tidak menjelaskan dengan baik sehingga

terlihat tidak menghormati orang tua. Begitu juga dengan adiknya Ketut Jagra

yang juga tidak memperdulikan ibunya yang meminta tolong dan nasehat yang

diberikan oleh ayahnya. Kutipannya sebagai berikut.

“I Ketut tusing jumah, kija kaden lakuna. Kene repot, tusing dadi
suud rainan buin ka umah timpale?” 
“Bah meme, sajaan tusing nawang anak lakar mauji”.
Terjemahan :
“Si Ketut tidak ada di rumah, entah pergi kemana dia. Saat ini repot
sekali, apa tidak bisa setelah hari raya ke rumah teman?”
“Duh Ibu, tidak tahu orang mau ujian”.

“Tut tulungun malu meme ngalih bunga!”.
Ketut Jagra tan masaur saantukan ipun sampun rauh ring rurunge
malaib makta layangan sareng timpal ­ timpalnyane. 
“Ne mara ya, ngelah panak tusing andelang ngudiang. Pragat melali
teken melayangan”, Men Sunari ngremon tan wenten nulungin.
Terjemahan :
“Tut, tolong bantu ibu mencari bunga!”
Ketut Jagra tidak menyahut karena dia sudah menuju ke jalan raya
membawa layang – layang bersama teman – temannya.
“Beginilah,   punya   anak   tidak   bisa   diandalkan.   Kerjanya   hanya
bermain dan bermain layang – layang”, Ibu Sunari menggerutu tidak
ada yang membantu.

“Yening malayangan eda anake ka likad ­ likade. Pamula ­ mulaan
liu   di   umane,   buina   sungga   liu   makacakan   sedeng   tangarin.
Katungkul   nengeng   beten   tuara   bakat   ajinang.   Dokter   nongos   ­
nongos bakat abaang pipis”. Pitutur reramane nenten seleg kapiragi,
santukan I Ketut laju ka kamar magentos panganggo.
Terjemahan :
“Kalau bermain layang – layang jangan di tempat yang berbahaya.
Banyak tanaman di sawah, apalagi  banyak duri di sana yang harus
diwaspadai.   Terlalu   asik   bermain,   tidak   memperhatikan   keadaan   di
bawah. Nanti doter yang sedang bersantai kita beri uang”. Kata orang
tuanya tidak didengar dengan baik, karena Ketut sudah pergi menuju
kamar untuk berganti pakaian.

Dalam   novel  Sunari  juga   diceritakan   bahwa   Luh   Sunari   selalu   keluar

bersama teman laki – lakinya, jarang sekali keluar bersama teman perempuannya.

Pulang   terlalu   larut,   sehingga   menimbulkan   kekhawatiran   dari   kedua   orang

tuanya. Kutipannya sebagai berikut.

“Suba orain tiang tusing runguange. Buina pagedinne setata ngajak anak
muani ­ muani dogen. Kapah ngajak timpal ­ timpalne peturu luh”.
Terjemahan :
“Sudah   saya   beritahu   tetapi   tidak   dihiraukan.   Apalagi   keluarnya   selalu
mengajak teman laki – laki saja. Jarang sekali mengajak teman sesama
perempuannya”.
Pada novel Sunari juga diceritakan bahwa Sunari dan adiknya tidak saling
membantu. Kutipannya sebagai berikut.

“Mbok, tindesang dadua, Mbok!”
“Da ngulgul. Mbok imang latihan drama. Neh, iba – iba plajahin. Suba
kelih   nu   matindesang”,   tumuli   panindesane   kagenahang.   Raris   ipun
gegeson makta panganggo ngranjing ka kamar.
“Beh, Mbok dadua dogen, sing kasep sing” I Ketut Jagra ngidih olas.
“Orahin repot, Mbok lakar luas jani”.
“Buin pidan Mbok nunden iang tusing nyak apa”, I Ketut ngremon tur
ngambil panindesan, tumuli nindes padewekan.

Terjemahan :

“Kak, tolong seterikakan dua!”
“Jangan   mengganggu.   Kakak   mau   latihan   drama.   Nih,   belajar   sendiri.
Sudah besar masih minta diseterikakan”, sambil meletakkan seterikanya.
Lalu ia bergegas membawa pakaiannya ke dalam kamar.
“Ya, dua saja kak, tidak akan terlambat kok”, Ketut Jagra memohon.
“Sudah dibilang repot, kakak akan pergi sekarang”.
“Kalau   nanti   kakak   menyuruh   saya,   saya   tidak   akan   mau”,   Ketut
menggerutu sambil mengambil seterikaan, dan menyeterika sendiri.

Pada saat ini, kebebasan bergaul pada remaja sudah sampai pada tingkat

yang sangat menghawatirkan. Para remaja dengan bebas bergaul dengan lawan

jenis. Sering kali di jumpai di tempat umum, mereka berangkulan mesra tanpa

menyadari masyarakat sekitarnya. Mereka yang sudah mengenal istilah pacar dari

awal masa remaja. Pacar, bagi mereka adalah bentuk gengsi yang membanggakan.

Akibatnya, remaja jaman sekarang sering sekali bersaing untuk mendapatkan

pacar.

Generasi muda sekarang ini menjadi bahan pembicaraan oleh semua

kalangan masyarakat, karena generasi muda adalah generasi penerus bangsa yang

nantinya sebagai pemegang nasib bangsa ini, maka generasi mudalah yang

menentukan semua apa yang dicita-citakan bangsa dan Negara ini. Generasi muda
adalah tulang punggung bangsa, yang diharapkan di masa depan mampu

meneruskan tongkat estafet kepemimpinan bangsa ini agar lebih baik.

Pergaulan bebas adalah salah bentuk perilaku menyimpang yang melewati

batas dari kewajiban, tuntutan, aturan, syarat, dan perasaan malu. atau pergaulan

bebas dapat diartikan sebagai perilaku menyimpang yang melanggar norma agama

maupun norma kesusilaan. Pengertian Pergaulan Bebas diambil karna arti dari

Pergaulan dan bebas. Pengertian pergaulan adalah merupakan proses interaksi

antara individu atau individu dengan kelompok. Sedangkan bebas adalah terlepas

dari kewajiban, aturan, tuntutan, norma agama dan norma kesusilaan. Pergaulan

berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian seorang individu baik pergaulan

positif atau negatif.

Ada banyak sebab remaja melakukan pergaulan bebas. Penyebab tiap

remaja mungkin berbeda tetapi semuanya berakar dari penyebab utama yaitu

kurangnya pegangan hidup remaja dalam hal keyakinan/agama dan

ketidakstabilan emosi remaja. Hal tersebut menyebabkanperilaku yang tidak

terkendali, seperti pergaulan bebas. Berikut ini di antara penyebab

maraknyapergaulan bebas di Indonesia:

- Sikap mental yang tidak sehat

Sikap mental yang tidak sehat membuat banyaknya remaja merasa bangga

terhadap pergaulanyang sebenarnya merupakan pergaulan yang tidak

sepantasnya, tetapi mereka tidak memahamikarena daya pemahaman yang

lemah. Dimana ketidakstabilan emosi yang dipacu denganpenganiayaan


emosi seperti pembentukan kepribadian yang tidak sewajarnya

dikarenakantindakan keluarga ataupun orang tua yang menolak, acuh tak

acuh, menghukum, mengolok-olok,memaksakan kehendak, dan

mengajarkan yang salah tanpa dibekali dasar keimanan yang kuatbagi

anak, yang nantinya akan membuat mereka merasa tidak nyaman dengan

hidup yangmereka biasa jalani sehingga pelarian dari hal tersebut adalah

hal berdampak negatif, contohnyadengan adanya pergaulan bebas.


- Pelampiasan rasa kecewa

Yaitu ketika seorang remaja mengalami tekanan dikarenakan

kekecewaannya terhadap orangtua yang bersifat otoriter ataupun terlalu

membebaskan, sekolah yang memberikan tekanan terus menerus (baik dari

segi prestasi untuk remaja yang sering gagal maupun dikarenakan

peraturanyang terlalu mengikat), lingkungan masyarakat yang

memberikan masalah dalam sosialisasi,sehingga menjadikan remaja sangat

labil dalam mengatur emosi, dan mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif

di sekelilingnya, terutama pergaulan bebas dikarenakan rasa tidak nyaman

dalam lingkungan hidupnya.


- Kegagalan remaja menyerap norma dan pendidikan agama

Hal ini disebabkan karena norma-norma yang ada sudah tergeser oleh

modernisasi yang sebenarnya adalah westernisasi dan bisa juga karena

factor keluarga yang kurang memberikan pendidikan agama, sehingga

begitu lemahnya iman seorang remaja yang menjadikan mereka gampang

terpengaruh oleh pergaulan bebas dalam lingkungannya tersebut.


- Teman dan Komunitas Tempat Tinggal yang Kurang Baik

Masa remaja adalah masa dimana suatu anak masih mencari jati diri
mereka yang sebenarnya, masa ini masa yang sangat rentan dan harus

terus di control oleh para orang tua kepada anak mereka. Remaja yang

tidak dapat memilih teman dan lingkungan yang baik serta orangtua yang

tidak memberi arahan dengan siapa dan di komunitas mana remaja harus

bergaul. Karena remaja yang tidak bisa mempelajari dan membedakan

tingkah laku yang dapat diterima dengan yang tidak dapat diterima akan

terseret pada perilaku ‘nakal’. Begitupun bagi mereka yang telah

mengetahui perbedaan dua tingkah laku tersebut, namun tidak bisa

mengembangkan kontrol diri untuk bertingkah laku sesuai


Faktor Penyebab Pergaulan Bebas :
Hal yang terjadi dalam pergaulan bebas banyak bertolak belakang

dengan atran-aturan dan norma-norma dalam etika pergaulan, hal ini

didasari atau disebabkan dari banyak faktor-faktor penyebab pergaulan

bebas antara lain sebagai berikut :


1. Rendahnya Tarah Pendidikan Keluarga

Rendahnya tarah pendidikan keluarga yang berpengaruh besar sebagai

penyebab terjadinya pergaulan bebas. Contohnya, keluarga mengisinkan

sang anak untuk berpacaran dan ditambah tanpa adanya pengawasan yang

menyebabkan anak terjerumus dalam pergaulan bebas.

2. Keadan Keluarga Yang Tidak Stabil (Broken Home)

Keadaan keluaga sangat berpengaruh pada tingkah laku atau

perkembangan psikil remaja yang mana keadaan orang tua yang tidak

harmonis yang membuat perkembangan psikis anak terganggu dan anak

cenderung kesenangan diluar untuk merasa senang, dan melupakan hal


yang terjadi di keluarganya karena orang tua tidak memberi kasih sayang,

sehingga sang anak mencari kesenangan diluar berbuntut pada pergaulan

bebas.

3. Orang Tua yang Kurang Memperhatikan

Tidak diperhatikan oleh orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya

sehingga anak kurang mendapat perhatian sehingga sang anak bebas dalam

beraktivitas.

4. Lingkungan Setempat Kurang Baik

Lingkungan sekitar merupakan faktor pembentuk keperibadian seseorang,

jika dilingkungan tersebut merupakan lingkungan yang kurang kondusif

maka sang anak akan terjerumus ke dalam pergaulan bebas dimana kitak

ketahui bahwa perkembangan seseorang lebih ditentukan pada lingkungan

dari pada keluarga.

5. Kurang Berhati-Hati Dalam Berteman

Teman dapat menuntun kita ke arah yang positif dan negatif dimana

sebagian besar pergaulan bebas terjadi karena berteman dengan orang

yang tidak baik.

6. Keadaan Ekonomi Keluarga

Keluarga ekonomi yang rendah, membuat anak tidak dapat bersekolah dan

biasanya banyak pula yang putus sekolah yang membuat pergaulan anak tersebut
dengan remaja yang senasip yang membuat perilaku sang anak menjadi tambah

parah.

7. Kurangnya Kesadaran Remaja

Kurangnya kesadaran remaja terjadi merupakan implikasi dari kurangnya

pengetahuan remaja tersebut akan dampak pergaulan bebas.

8. Adanya Teknologi Informasi (Internet)

Dari adanya internet memudahkan untuk mengakses jenis macam budaya yang

tidak sesuai dengan norma ketimuran.

Akibat Pergaulan/Dampak Pergaulan Bebas

Terjadinya pergaulan bebas memberikan pengaruh besar baik bagi diri sendiri,

orang tua, masyarakat dan juga negara, pengaruh-pengaruh tersebut dari dampak

yang ditimbulkan dari pergaulan bebas antara lain sebagai berikut:

1.Bahaya dari pergaulan bebas adalah seks bebas. Seks bebas adalah dua orang

yang berhubungan suami istri tanpa ikatan pernikahan sampai dengan kehamilan

diluar nikah yang tentu saja memalukan diri sendiri, orang tua, masyarakat, dan

Indonesia dengan adat ketimuran.

2.Ketergantungan Obat. Dari ajakan teman karena pikiran yang masih labil

menggiringnya mengkonsumsi obat terlarang sampai membuat ketagihan dengan

ketergantungan obat-obat terlarang hingga berlebihan dan berdampak overdosis


yang diakhiri dengan kematian.

Menurunnya tingkat kesehatan. Pergaulan bebas dapat menimbulkan berbagai

penyakit seperti HIV AIDS dan banyaknya yang menggugurkan kandungan yang

tentu saja membahayakan kesehatannya serta mengkonsumsi obat-obat terlarang

yang semua hal tersebut dapat menurunkan kesehatan.

3.Meningkatkan Kriminalitas. Bahaya pergaulan bebas yang satu ini dapat terjadi

karena jika pencadu narkoba tidak lagi memiliki uang untuk membeli maka jalan

keluar yang cepat adalah dengan melakukan tindakan kriminalitas.

4.Meregangkan Hubungan Keluarga. Pergaulan bebas dapat meregangkan

hubungan antara keluarga karena beberapa penyebab yang biasanya karena emosi

meledak-ledak dan bahkan sampai rasa hormat kepada orang tua akan dapat

hilang.

Menyebarkan Penyakit. Pergaulan bebas yang akrap dengan seks bebas, dan

narkoba membuat berbagai penyakit dapat menyerang orang-orang sekitar yang

tidak bersalah.

5.Menurunnya Prestasi. Seorang dengan pergaulan bebas lebih cenderung

bersenang-senang dan dapat menghilangkan konsentrasi belajar akibat dari

minuman keras dan narkoba.

6.Berdosa. Pergaulan bebas sudah tentu akan mendapat dosa yang belum rasakan
selagi masih hidup, namun saat kematian menjemput yang dihantarkan kepada

balasan atas doa-dosa yang pernah diperbuat yaitu ke neraka.

Cara Mengatasi Pergaulan Bebas

Masalah apapun dapat diatasi, baik itu pergaulan bebas hal ini dapat diatasi, dan

dicegah dengan solusi-solusi penanganan dan pencegahan pergaulan bebas dengan

beberapa cara antara lain sebagai berikut :

1. Memperbaiki Cara Pandang

Bersikap optimis dan hidup dalam kenyataan untuk mendidik anak-anak untuk

berusaha dan menerima hasil usaha walaupun tak sesuai dengan apa yang

dinginkan sehingga apabila hasilnya mengecewakan dapat menanggapi dengan

positif.

2. Jujur Pada Diri Sendiri

Menyadari dan mengetahui apa yang terbaik untuk dirinya sehingga tidak

menganiyaya emosi dan diri mereka sendiri.

3. Menanamkan Nilai Ketimuran

Nilai ketimuran atau nilai keislaman sangat penting dalam membentuk

kepribadian seseorang dengan meningkatkan keimanan sebagai pegangan atau

perisai untuk berpikir ke pergaulan bebas.


4. Menjaga Keseimbangan Pola Hidup

Maksudnya adalah dengan manajemen waktu, emosi dan energi agar selalu

berpikir positif dengan kegiatan ositif setiap hari.

5. Banyak Beraktivitas Secara Positif

Dengan banyak aktivitas positif maka tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal

negatif.

6. Berpikir Masa Depan

Berpikir masa depan adalah agar dapat menyusun langkah-langkahnya dalam

menggapai masa depan yang ia cita-citakan yang dia impikan agar tidak menjadi

seorang yang hampa tanpa harapan dan tanpa cita-cita.

7. Mengurangi Menonton Televisi

Televisi menjadi sumber informasi yang mendidik, Namun kenyataannya bertolak

belakang, karena kebanyakan televisi hanya menyiarkan hiburan-hiburan dengan

nilai-nilai gaya hidup bebas.

8. Selalu Membaca Buku

Membaca buku memberikan kita wawasan luas baik itu wawasan dalam pelajaran

di sekolah maupun wawasan akan kehidupan yang baik dan mengetahui lebih

cepat hal-hal yang tidak baik dan tidak boleh dilakukan.


9. Berkomunikasi dengan Baik

Dengan berkomunikasi dengan baik kita dapat berhubungan baik dengan

masyarakat dan membuat masyarakat tahu akan diri dan tidak mengajak kepada

hal yang negatif karena lingkungan atau masyarakat tidak akan mengganggu.

10. Sosialisasi Bahaya Pergaulan Bebas

Dengan sosialisasi akan bahaya pergaulan bebas membuat masyarakat terutama

para remaja mengetahui bahaya yang ditimbulkan dari pergaulan bebas sebagai

langkah pencegahan.

11. Menegakkan Aturan Hukum

Dengan penegakan aturan hukum memberikan efek jera kepada pergaulan bebas

dan sebagai benteng terakhir untuk menyelamatkan generasi muda anak bangsa

Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai