Anda di halaman 1dari 11

MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 34, Nomor 3, September 2019

p 417-427
P- ISSN 0854-3461, E-ISSN 2541-0407

Liturgi Sakralisasi Barong-Rangda:


Eksplorasi Teo-Filosofis Estetik Mistik Bali

Komang Indra Wirawan

Program Setudi Seni Drama Tari dan Musik, FPBS IKIP PGRI Bali
Jl. Seroja No.57, Tonja , Kec Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali 805235

indrawirawan84@gmail.com

Barong-Rangda selalu hadir dalam praktik-praktik beragama Hindu di Bali. Sosok yang dicitrakan sebagai
Hyang Siwa dan Hyang Bhatari Uma selalu dihubungkan dengan dunia mistik, dan Rangda selalu dikait-
kan dengan tokoh Calonarang bernama Datengdirah, yakni janda Girah dalam lotar Calonarang. Dalam ke-
percayaan masyarakat Hindu di Bali, Rangda adalah perwujudan dari Hyang Bhatari Durga sakti Bhatara
Siwa dan sebagai penguasa kuburan yang dihubungkan dengan hal-hal yang menakutkan. Demikian pula
Barong selalu dilekatkan dengan murthi Siwa dalam perwujudannya sebagai Banaspati Raja. Menariknya
Barong-Rangda bukan saja dipahami sebagai simbol suci, tetapi dihayati dalam penghayatan yang beragam.
Menariknya, sosok Barong-Rangda juga ditarikan oleh orang khusus yang disebut nyolahang Barong-Rangda
atau menarikan sosok Barong-Rangda dalam ruang ritual dan pentas kesenian sakral. Berdasarkan hal terse-
but, menarik untuk mengkaji liturgi sakralisasi Barong-Rangda, sehingga menemukan beberapa makna di
dalamnya.

Kata kunci : sakralisasi, barong-rangda, teo-filosofis mistik bali

Barong-Rangda Sacralization Liturgy:


Bali Mystical Estetic Philosophical Exploration

Barong-Rangda is always present in Hindu practices in Bali. The figures imaged as Hyang Siwa and Hyang
Bhatari Uma are always associated with the mystical world, and Rangda is always associated with a Calona-
rang figure named Datengdirah, the widow of Girah in the Calonarang lotar. In the belief of the Hindu com-
munity in Bali, Rangda is the embodiment of the Hyang Bhatari Durga Sakti Bhatara Siwa and as the ruler of
the grave that is associated with scary things. Likewise, Barong is always attached to the Shiva murthi in its
manifestation as the King Banaspati. Interestingly Barong-Rangda is not only understood as a sacred symbol,
but is lived in a variety of appreciation. Interestingly, the figure of the Barong-Rangda is also danced by a
special person called the nyonganang Barong-Rangda or dances the figure of the Barong-Rangda in the ritual
space and sacred arts stage. Based on this, it is interesting to study the liturgy of the Barong-Rangda sacraliza-
tion, so as to find some meaning in it.

Keywords: sacralization, barong-rangda, mystical theo-philosophical bali

Proses Review : 1 - 20 Agustus 2019, Dinyatakan Lolos: 22 Agustus 2019

417
Komang Indra Wirawan (Liturgi Sakralisasi Barong-Rangda...) Volume 34, Nomor 3, September 2019

PENDAHULUAN (3) pengumpulan data melalui studi dokumen, yaitu meng-


umpulkan data yang terkait dengan penelitian, baik dari
Terdapat beragam rupa aktivitas budaya yang menyatu buku, dan sumber lainnya yang sejenis. Teknik analisis
dengan berbagai sendi kehidupan dalam lingkungan sosial datanya digunakan analisis deskriptif.
masyarakat Hindu di Bali. Aktivitas budaya tersebut mer-
upakan ekspresi jiwa sebagai bentuk responnya terhadap ANALISIS DAN INTERPRETASI DATA
alam lingkungan tempat hidupnya maupun sebagai bentuk
respon terhadap pengalaman hidupnya. Oleh sebab itu, di Pengertian Barong dan Rangda
setiap daerah memiliki kekhasan budaya sesuai dengan Ada banyak diskripsi yang menjelaskan tentang Barong.
potensi alam maupun potensi SDM (baca: Sumber Daya Namun demikian dalam kajian ini Barong yang dimaksud-
Manusia) masing-masing daerah bersangkutan. Dari berb- kan adalah “Suatu bentuk perwujudan atau sosok Ban-
agai rupa aktivitas budaya masyarakat Hindu di Bali terse- aspati Raja, yaitu wujud binatang gaib dengan kekuatan
but, salah satu di antaranya adalah aktivitas berkesenian magis sebagai penjelmaan Dewa Siwa saat menghan-
(sakral-nonsakral) yang terdiri dari seni tari, seni rupa, seni curkan berbagai penyakit dan marabahaya.” Dengan de-
lukis, seni suara, seni musik, seni sastra, dan sebagainya. mikian, pengertian Barong disini adalah lebih kepada pen-
Dan, diantara banyak ragam kesenian yang ditemukan di gertian filosofis (tattwa Hindu) yang ada dalam teks-teks
Kota Denpasar terdapat kesenian Barong-Rangda, baik lontar yang menjelaskan tentang Barong dan Rangda. De-
sakral dan non sakral yang keberadaannya tersebar di be- mikian pula, Barong bukan lagi dipahami sebagai “bina-
berapa desa di Kota Denpasar. tang beruang” tetapi binatang gaib yang diwujudkan oleh
tetua kita seperti apa yang kita lihat sekarang. Binatang
Kesenian Barong-Rangda tersebar di seluruh desa pakra- gaib, tentunya memiliki kelebihan-kelebihan yang digam-
man di Bali, tetapi tidak semua desa pakraman ataupun barkan dalam bentuk menyeramkan dan dipercaya memi-
pura memiliki kesenian Barong-Rangda. Hal ini disebab- liki kekuatan-kekuatan yang luar biasa (magis) sehingga
kan terdapat berbagai alasan mengapa suatu pura mas- masyarakat Bali meyakini sosoknya sebagai yang sakral
yarakatnya nyungsung tapakan Barong-Rangda, sementa- (tenget).
ra di pura yang lain tidak ditemukan tapakan ini. Setiap
tapakan Barong-Rangda di sebuah pura selanjutnya pada Sedangkan Rangda disebutkan dalam uraian Gautama
kesempatan-kesempatan tertentu dipentaskan sebagai kes- dan Sariani (2009:527), yakni: (1) janda; (2) peran dalam
enian sakral. Itu juga alasannya mengapa Barong-Rangda cerita Calonarang sebagai janda tukang sihir dari Girah
disebutkan sebagai aktivitas berkesenian (budaya), meski- dengan mengenakan topeng yang menyeramkan, mata be-
pun pada nantinya Barong-Rangda tidak semata-mata sar melotot, taring besar-besar, rambut putih terurai lidah
sebagai sebuah wujud kesenian, tetapi lebih jauh lagi ia panjang, serta kuku panjang. Sementara itu Mardiwarsito
merupakan implementasi teologi (ajaran ketuhanan) dari (1986:463) dalam kamus Jawa Kuno menyebutkan “ran-
agama Hindu, baik menyangkut sisi filosofis (hakikat) da” berarti janda. Hal ini dipertegas oleh Segara (2000:20)
keagamaan maupun psikologi (aspek kejiwaan/emosi) yang menyebutkan istilah Rangda adalah bahasa Bali alus
keagamaan. Tentang hal itu akan dibahas pembahasan se- untuk penyebutan janda dari kalangan Tri Wangsa di Bali
lanjutnya. (Brahmana, Ksatrya, Wesya), sedangkan janda dari kalan-
gan Sudra Wangsa dikenal dengan sebutan balu/walu.
METODE PENELITIAN
Pada kalangan masyarakat umum di Bali istilah Rangda
Metode penelitian dalam tulisan ilmiah ini menggunakan lebih dekat pada pengertian sosok tokoh berperingai jahat
metode kualitatif dengan pendekatan deskripsi teologis yang mempraktikkan ilmu hitam untuk menghancurkan
dan filsafat seni. Connolly (2002:312) menjelaskan bah- masyarakat. Persepsi ini muncul karena masyarakat leb-
wasanya pendekatan teologi memfokuskan pada sejum- ih akrab dengan pementasan seni drama Calonarang yang
lah konsep, khususnya didasarkan pada ide theos-logos, menempatkan Rangda sebagai tokoh antagonis di dalamn-
studi atau pengetahuan tentang Tuhan. Adapun Bandem ya. Rangda dalam cerita Calonarang ini adalah figur janda
(1996:62) menjelaskan bahwa pendekatan teo-esteti- dari Raja Girah, sebuah wilayah kecil di Kerajaan Kediri,
ka Hindu (baca: seni sakral; seni wali, dan seni bebali) Jawa. Namun melihat kenyataan bahwa Rangda di Bali
seni pementasan di Bali yang sangat dekat dengan kajian tidak semata-mata berfungsi sebagai peranti berkesenian,
keindahan merupakan media menurunkan kekuatan yang tetapi lebih penting fungsinya sebagai peranti keagamaan
gaib dalam wujud seni, dan semua itu ada nilai filsafatin- (arcanam/tapakan), maka perlu ditemukan pengertian
ya. Sumber data dalam penelitian ini menggunakan sum- yang lebih tepat menyangkut keberadaan Rangda tersebut.
ber primer dan skunder. Selanjutnya teknik pengumpulan Untuk keperluan tersebut, selain mengacu pada Lontar
data dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik: Siwa Tattwa di atas, terdapat juga penyebutan Barong dan
(1) observasi partisipan, yakni peneliti terlibat dalam pe- Rangda dalam Lontar Usadha Taru Pramana sebagaima-
nelitian dan kajian; (2) wawancara yang digunakan adalah na disebutkan bahwa ketika Sang Hyang Siwa mengalami
wawancara tidak terstruktur atau wawancara mendalam; sakit keras atau gering yang parah, untuk itu Sang Hyang

418
Volume 34, Nomor 3, September 2019 MUDRA Jurnal Seni Budaya

Siwa menyuruh Dewi Uma mencari obat ke madyapada. puncak lingga menjadi burung layang-layang. Dalam
Dalam pencarian obat untuk Dewa Siwa, Dewi Uma ber- pencariannya ke dasar bumi itulah Wisnu bertemu
tanya pada setiap pohon dan rumput-rumputan (sarwa taru dengan Dewi Wasundari dan lahirlah Bhoma sebagai
dan sarwa lata). Kesemua pohon dan rumput itu dapat lambang kesuburan.
menjawab dengan baik, karena masing-masing sudah ada 3. Barong Macan, yakni Barong dengan wajah atau tope-
penghuninya, selanjutnya menerangkan khasiatnya mas- ngnya berwujud kepala harimau. Barong ini dikaitkan
ing-masing mulai dari akar, kulit, sampai dengan daunnya. dengan cerita Tantri. Terdapat hanya di beberapa desa
Tepatlah pada tengah hari (kali tepet) sampailah Bhatari saja di Bali dan sering dipentaskan saat ngelawang
Uma di Setra Gandamayu, pada sebuah pohon besar, yai- hari raya Galungan-Kuningan.
tu: Taru Rangdu, di sana beliau mengadakan tanya jawab 4. Barong Asu, yakni berasal dari asu, yakni kata alus
tentang manfaat khasiat pohon tersebut. Kebetulan pada bahasa Bali yang berarti anjing. Wajah topeng Barong
waktu itu merupakan hari yang terlarang oleh Sang Kala ini memang menyerupai kepala anjing dan juga di-
Banaspati Raja, karena pada saat itu yang menghuni pohon sakralkan. Pementasannya pun dilaksanakan dengan
tersebut sedang tidur nyenyak. ngelawang saat Galungan-Kuningan.
5. Barong Gajah, yakni Barong dengan kepala
Jenis-Jenis Barong dan Rangda menyerupai gajah. Dipertunjukkan saat rangkaian
Keberadaan Barong dan Rangda tidak memiliki ben- hari raya Galungan-Kuningan.
tuk fisik yang baku, tetapi disesuaikan dengan ekspresi 6. Barong Sampi. Barong ini juga langka hanya terdapat
keindahan yang muncul dari tiap jiwa-jiwa pemuja yang di desa tertentu saja. Digunakan ngelawang saat Ga-
berkehendak mempersembahkan karyanya semata-ma- lungan-Kuningan.
ta atas alasan bhakti. Itu pula alasannya mengapa di Bali 7. Barong Singa. Hanya terdapat di Kabupaten Buleleng
dikenal beberapa bentuk Barong dan Rangda. Adapun berfungsi sebagai penolak bala.
bentuk-bentuk Barong yang ada dari berbagai sumber se- 8. Barong Landung. Barong ini tidak berwujud bina-
bagai berikut. tang, tetapi berwujud manusia laki-laki dan perem-
puan. Kata landung dalam bahasa Bali berarti tinggi,
1. Barong Ket sering juga disebut dengan Barong Ket- karena memang wujud barong ini, baik yang laki-laki
ket, Barong rentet, Barong Ketet. Jenis Barong ini maupun yang perempuan fostur tubuhnya tinggi.Di-
merupakan penggambaran Banaspati Raja, yang mainkan seperti ondel-ondel Betawi dan dipentaskan
berarti pelindung hutan atau pohon-pohonan. Ben- saat-saat tertentu sebagai penolak bala, baik saat hari
tuknya merupakan kombinasi dari singa, macan, sapi raya Galungan-Kuningan maupun hari lain yang di-
atau beruang yang memiliki kekuatan magis. Jenis anggap perlu.
Barong ini menyebar merata di seluruh Bali dan bi- 9. Barong Brutuk. Barong ini hanya terdapat di Desa
asanya selalu berpasangan dengan Rangda. Di India Trunyan, Kabupaten Bangli. Topeng ini juga tidak
terdapat binatang suci yang mirip Barong Ket yang menyerupai binatang dan dimainkan oleh satu orang
bernama Sarabha. Sarabha artinya pembunuh, bina- saja. Barong ini memiliki topeng raksasa sebagai per-
tang mitos yang memiliki mata yang lebar (melotot) wujudan Dewa Pancering Jagat. Barong Brutuk ber-
dan 8 kaki, yaitu 4 buah kaki normal dan 4 kaki lain- pasangan laki-laki dan perempuan, tetapi semuanya
nya melengkung ke atas yang menyerang dan mem- dimainkan oleh laki-laki dengan bersenjatakan cemeti
bunuh singa-singa.Sarabha adalah penjelmaan Dewa dan tanpa gamelan pengiring. Bulu-bulu Barong Bru-
Siwa untuk membunuh Narasimha, yaitu penjelmaan tuk terbuat dari kraras (daun pisang kering). Dipertun-
Wisnu untuk menghabisi raksasa Hiranyakashipu. jukkan saat hari-hari tertentu saja dan puncak pertun-
Ceritanya adalah, setelah mengalahkan Hiranyaka- jukan ditandai dengan bertemuanya Barong Brutuk
shipu, Narasimha tetap mengembara di bumi den- laki-laki dan perempuan sebagai simbol terjadinya
gan galaknya menghancurkan segala sesuatu. Men- kesuburan.
yaksikan keadaan ini para dewa memohon bantuan 10. Barong Blas-blasan atau disebut juga Barong Ked-
Siwa. Siwa kemudian turun ke dunia menjadi Sarabha ingkling dan Nongkling. Barong ini terdiri dari ban-
dan memotong tubuh Narasimha sehingga Dewa yak wujud umumnya bertopeng para tokoh dalam pe-
Wisnu dapat terbebas dari ikatan reinkarnasinya dan wayangan Ramayana. Biasanya dipentaskan dengan
kembali ke Vaikunthaloka. ngelawang dengan diiringi gamelan batel, bebaron-
2. Barong Bangkal adalah babi yang umurnya sudah gan.
tua dengan tubuh besar dan taring panjang. Bangkal 11. Barong Gegombrangan. Jenis Barong ini sudah san-
dianggap sebagai binatang mitos yang dihubungkan gat jarang dijumpai. Kata gombrang artinya rambut
dengan kelahiran Bhoma. Figur ini dihubungkan yang terurai. Mungkin Barong ini adalah Barong Me-
dengan kisah pertarungan Wisnu dan Brahma untuk medi yang masih terdapat di beberapa desa di Bali.
mencari ujung bawah dan atas Lingga Siwa. Wisnu 12. Barong Sae. Diduga Barong ini kena pengaruh China
mencari pangkal lingga turun ke dasar bumi menja- dengan topeng berwajah macan atau kelelawar.
di babi, sementara Brahma melesat ke atas mencari 13. Barong Jaran, yaitu Barong dengan topeng

419
Komang Indra Wirawan (Liturgi Sakralisasi Barong-Rangda...) Volume 34, Nomor 3, September 2019

menyerupai kepala kuda.


14. Barong Manjangan, yaitu Barong dengan topeng
menyerupai kepala rusa atau menjangan.
15. Barong Dawang-Dawang. Merupakan variasi dari
Barong Landung di daerah Tabanan, topengnya ber-
wujud seram dan berukuran besar. Di Desa Muncan,
Karangasem, Dawang-Dawang (untuk yang laki-la-
ki) dan Dudong (untuk yang perempuan) digunakan
sebagai pelengkap ngaben, yakni mengiringi wadah
ke setra bersamaan dengan petulangan berupa sapi, Gambar 1. Prosesi Ngayut Dalam Prosesi Pembuatan Barong
singa, gajahmina. Sementara itu di Denpasar tidak dan Rangda (Sumber: Gases Bali,2018)
terdapat Dawang-Dawang, tetapi yang ada adalah
Ogoh-Ogoh yang dikaitkan dengan upacara Nyepi dimana harus dicari bahan tapel Barong dan Rangda yang
dengan wajah topeng menyerupai bhutakala. akan dibuat. Kalau petunjuk gaib tersebut menyebutkan
bahwa bahan kayu tapel harus dicari di arah kaja kangin
Sementara itu untuk Rangda biasanya tidak saja dibedakan dari tempat pura, maka masyarakat harus menemukan po-
atas dasar bentuk wajah topengnya, melainkan dibedakan hon pule, kepuh, kepah (sesuai petunjuk) ke arah tersebut
dari warna topeng. Sedikitnya terdapat dua jenis Rang- sampai kayu dimaksud ditemukan, apabila kayu dimak-
da yang dibedakan atas warnanya, yaitu Ratu Ayu untuk sudkan sudah ketemu, maka dilanjutkan dengan mohon
topeng Rangda dengan cat putih, dan Ratu Mas dengan cat izin kepada pemilik kayu serta permohonan secara gaib.
topeng berwarna merah. Tidak di setiap desa Rangda ratu Dari proses ini sering muncul ikatan gaib antara Barong
Ayu dan Ratu Mas ini berpasangan, dimana adakalanya ha- dan Rangda yang baru dibuat dengan tempat dimana kayu
nya terdapat Rangda Ratu Ayu saja yang berpasangan den- tersebut diperoleh. Ikatan ini terutama terjadi apabila kayu
gan Barong, demikian juga hanya terdapat Rangda Ratu bahan tapel tersebut diperoleh di wewidangan (areal)
Mas saja juga bersanding dengan Barong. Sedangkan dari pura tententu atau setra sebuah desa adat. Ikatan gaib dari
segi bentuknya Rangda sulit dibedakan karena semuan- Barong dan Rangda dengan tempat bahan tapel itu diper-
ya mirip, hanya saja pembedaan tersebut didasarkan atas oleh biasanya ditandai dengan dihadirkannya Barong dan
gaya topeng oleh seniman pembuatnya atau style pema- Rangda tersebut pada setiap pujawali (upacara agama Hin-
hatnya. Untuk kategori bentuk, topeng Rangda dibedakan: du) di pura tempat bahan tapel itu didapat. Ikatan simbolik
(a) Bentuk Nyinga, yaitu topeng dengan sedikit menon- ini tentu membawa ikatan sosial juga antara masyarakat
jol ke depan menyerupai singa. Ekspresi topeng style ini penyungsung Barong dan Rangda yang baru dibuat itu
biasanya harus berkesan galak dan buas; (b) Bentuk Nyl- dengan masyarakat tempat dimana bahan tapel tersebut
eme, yaitu apabila bentuk topeng Rangda ini dengan wa- diperoleh.
jah menyerupai wajah manusia, melebar dan tidak terlalu
menonjol. Ekspresi yang ditampilkan oleh topeng bentuk 2) Ngepel Kayu
ini adalah ketenangan, angker berwibawa; (c) Bentuk Rak- Ngepel Kayu adalah proses pemotongan kayu bahan tapel
sasa, bentuk ini yang penting menyeramkan sebagaimana di pohon yang masih berdiri kokoh, mengingat bahan tapel
bayangan orang tentang raksasa yang menakutkan, dan Barong dan Rangda tidak boleh berasal dari pohon yang
umumnya topeng Rangda bentuk ini yang banyak terdapat sudah tumbang ataupun sudah mati walaupun masih berdi-
di masyarakat. Selanjutnya ada gaya atau pakem Rangda ri. Diperlukan teknik khusus untuk memotong bahan tapel
yang berbeda-beda di masing-masing daerah tergantung agar pohon induk tidak ikut roboh saar diambil sebagian
pada desa, kala, patra dan mewacara. kayunya. Ngepel kayu pun memilih hari dewasa ayu, bi-
asanya dilakukan pada saat Tilem dengan terlebih dahulu
Membuat Barong dan Rangda yang Mataksu memohon izin kepada dewaning taru bersarana banten Pa-
Tahapan pembuatan tapel (topeng) Barong dan Rangda: jati yang berisikan Pras, Ajuman soda, dan Daksina leng-
1) Nyanjan kap dengan pesucian dan segehan cacah.
Proses ini adalah tahap awal pembuatan Barong dan Rang-
da dengan didahului matur piuning (mempermaklumkan Sebuah metode bisa ditempuh apabila berkehendak Bar-
ke hadapan Ida Bhatara) di pura tempat dimana nantinya ong dan Rangda yang akan dibuat tidak terikat secara so-
Barong dan Rangda tersebut disthanakan sebagai pratima. sial-ritual dengan tempat dimana bahan kayunya diambil.
Nyanjan ini biasanya disertai dengan pertanda gaib beru- Apabila kedua pihak sepakat, yaitu antara pemohon kayu
pa adanya pemangku yang kerasukan Ida Bhatara untuk bahan tapel dan pemilik kayu pule, kepuh, kepah, dll bah-
memberi petunjuk mengenai direstui tidaknya pembuatan wa Barong dan Rangda yang akan dibuat dari bahan terse-
atau perbaikan (kalau sebelumnya sudah ada) Barong mau- but nantinya tidak harus dihadirkan (katangkilang) pada
pun Rangda. Hasil dari proses Nyanjan di setiap tempat setiap piodalan di pura tempat kayu itu dimohon (pemilik
tentu berbeda-beda, tetapi ada kalanya petunjuk Ida Bha- kayu), maka untuk memutuskan ikatan niskala dari unsur
tara lewat Nyanjan itu sangat terinci, seperti menunjukkan kegaiban dapat dilakukan dengan cara membawa poton-

420
Volume 34, Nomor 3, September 2019 MUDRA Jurnal Seni Budaya

gan kayu seteleh dipotong dari batangnya ke segara (laut). tapakan.


Dengan mengikatkan tali pada potongan kayu tersebut,
bahan tersebut dilemparkan ke laut sebagai simbolik di- Barong dan Rangda yang bisa disebut Barong dan Rang-
hanyutkan, tetapi talinya tetap dipegang sehingga poton- da adalah yang bentuk fisiknya sudah selesai dan rampung
gan bahan tapel itu tidak hanyut sungguhan. Menurut melewati proses sakralisasi lewat upacara Ngereh di se-
kepercayaan Hindu segara adalah di bawah kekuasaan tra. Jadi, sebelum melalui proses upacara tersebut meski-
Hyang Baruna sehingga segala sesuatu yang sudah berada pun benda tersebut sudah berwujud Barong dan Rangda,
di lautan menjadi kekuasaannya. Setelah potongan kayu maka status benda itu hanya sebagai “Barong Barongan”
mengapung di air selanjutnya dilakukan upacara permo- dan “Rangda-Rangdaan” atau imitasi Barong dan Rangda
honan ke hadapan Bhatara Baruna, agar berkenan men- dan tidak dapat difungsikan sebagai tapakan Ida Bhatara.
ganugerahkan kayu segara itu untuk dijadikan pelawatan Khusus untuk proses pembuatan fisik Barong dan Rangda
Barong dan Rangda oleh masyarakat. Setelah prosesi itu dapat diuraikan sebagaimana di bawah ini:
bahan tapel tersebut dibawa pulang dan secara niskala su-
dah memutus hubungan dengan tempat dimana potongan a) Pengumpulan Bahan
kayu itu didapat sehingga kelak di kemudian hari tidak ada Semua jenis bahan yang diperlukan meliputi kayu, rambut,
keharusan nangkilang tapakan tersebut ke tempat bahan kain, hiasan, maupun sarana pendukung lain dikumpulkan
pembuatnya dulu dicari, tetapi cukup turut dihadirkan apa- dalam suatu tempat tertentu agar mudah penggarapannya
bila dikehendaki secara sukarela. dan menyesuaikan (harmonisasi) ukuran dari tiap bagian
Barong dan Rangda.
3) Membuat Barong dan Rangda
Saat Ngepel kayu tersebut krama desa atau penyungsung b) Pengolahan Kayu
pura yang akan menggunakan Barong dan Rangda tersebut Kayu bahan tapel hendaknya diolah terlebih dahulu sebe-
turut datang mendak (menjemput) bahan tersebut disertai lum digarap. Kayu bahan sebaiknya direbus dahulu (pun-
gamelan baleganjur (meski tidak harus demikian) kemu- pun) dalam air mendidih. Beberapa kalangan menjadikan
dian potongan kayu kapundut (digotong) pulang dengan proses ini sebagai deteksi bahan Rangda, yaitu apabila air
berjalan kaki. Bahan tapel terlebih dahulu kalinggihang hasil rebusan yang satu lebih bening dengan yang lain,
(ditempatkan terlebih dahulu di pura tempat dimana Bar- maka yang air rebusannya lebih bening dijadikan bahan
ong-Rangda tersebut akan dijadikan sungsungan untuk Rangda Ratu Ayu (cat putih), dan yang air rebusannya
diberi wastra (pakaian) dan upacara matur piuning se- warna kemerahan dijadikan bahan Rangda Ratu Mas atau
bagaimana mestinya. Kemudian apabila sudah tiba waktu bahan tapel Barong. Setelah perebusan cukup, maka kayu
mulai pengukiran tapel tersebut, bahan kayu dibawa ke ru- diangin-anginkan dan dilanjutkan dengan pengeringan
mah undagi. Pahatan pertama adakalanya dilakukan oleh hingga bahan siap diukir. Tingkat kekeringan kayu pun ha-
sulinggih sebelum digarap oleh undagi. rus pas untuk menghindari terjadinya pengerutan setelah
tapel diukir akibat kadar airnya masih tinggi.
Waktu (kala) merupakan hal yang sangat penting dalam c) Makalin (Membuat Bakal Tapel)
pembuatan sebuah pratima yang nantinya diharapkan dapat kayu yang sudah siap digarap mulai dibentuk dengan
mataksu. Pembuatan benda-benda sakral harus dibuat den- menggarap bakal atau sket globalnya. Biasanya dilakukan
gan proses sakral pula, di antaranya pemilihan waktu yang dengan membuat guratan atau sisiran-sisiran kasar yang
dianggap keramat, pembuatnya dalam keadaan suci (tidak mengarah pada bentuk dasar dari wajah Barong dan Rang-
cuntaka), dibuat di tempat yang sudah disakralisasi, dan da. Proses ini disebut makalin atau membentuk wujud
seterusnya. Saat yang ideal untuk Ngepel atau memotong kasar, kalau dalam bangunan fase ini adalah proses mem-
kayu bahan tapel Barong dan Rangda ialah ketika jatuh buat fondasi. Tahap ini merupakan merekayasa desain awal
pada sasih Kasa dan Karo, dan Sada. Pada ketiga sasih sehingga setelah terbentuk bakal maka undagi (tukang
ini kayu berada dalam kondisi yang baik tingkat keker- pahat) sudah bisa memperkirakan dimana tempat-tempat
ingannya sehingga memudahkan untuk diukir. Pada sasih untuk memahat mata, hidung, pipi maupun yang lain. Hal
ini pohon-pohonan tidak sedang menyerap makanan (air) ini dilakukan agar terdapat keserasian posisi atau anatomi
sehingga pori-pori kayu cenderung tertutup. Keadaan ini wajah tapel agar memudahkan pemahatan berikutnya.
menciptakan kayu menjadi tahan lama dan tidak mudah
lapuk. Sementara itu hari yang baik untuk memulai pem- d) Memahat (ngukir tapel)
buatannya (mengukir tapel) adalah pada Kajeng Kliwon Setelah pembuatan bakal atau bentuk dasar rampung,
karena hari itu dianggap sakral (keramat) dimana Dewa maka dilanjutkan untuk pemahatan sesuai desain dasar
Siwa disebutkan tengah beryoga pada hari tersebut. Oleh yang ada. Setiap undagi Barong dan Rangda memiliki
karena itu saat Kajeng Kliwon akan memiliki kekuatan pengetahuan tentang alat-alat pahatnya. Setiap alat memi-
atau daya sakti yang ampuh untuk membuat Barong atau- liki fungsi masing-masing sehingga pemahat tinggal me-
pun Rangda. Sebagaimana yang berlaku dalam tradisi makai sesuai corak pahatan yang akan dibuat.
Hindu di Bali, hari Pasah hendaknya dihindari untuk ke-
giatan-kegiatan penting termasuk pembuatan tapel untuk Seorang undagi Barong dan Rangda adalah seorang

421
Komang Indra Wirawan (Liturgi Sakralisasi Barong-Rangda...) Volume 34, Nomor 3, September 2019

pamangku, yaitu pemangku undagi yang berarti yang ber-


sangkutan sudah melalui proses pawintenan pamangku
sebagai ritual penyucian diri. Sebagai seorang Pamangku
Undagi, setiap melakukan proses pemahatan maupun pros-
es pembuatan lainnya, maka undagi tersebut pun terlebih
dahulu menyucikan dirinya. Hal ini bertujuan agar tapel
Barong dan Rangda yang dihasilkan benar-benar meman-
carkan vibrasi kesucian yang kuat atau mecaya (bercahaya
spiritual). Konsentrasi si pemahat tapel Barong dan Rang-
da untuk tapakan Ida Bhatara adalah tindakan tapa seo-
rang seniman untuk menghasilkan produk yang bermutu
sebagaimana halnya mpu keris melakukan konsentrasi dan Gambar 2. Finising Pembuatan Barong di Gases Bali
mencurahkan batinnya pada karya yang dibuatnya. Hal ini (Sumber: Gases Bali,2018)
bertujuan untuk menghasilkan karya yang mataksu.
Mal yang sudah selesai di-prada dengan mempergunakan
d) Proses Pengecatan prada gede. Kemudian pemasangan wastra, Angkep pala,
Setelah tapel selesai diukir diakhiri dengan proses men- ditempatkan di bagian depan keranjang belakang dan di
ghaluskan (ngamplas), maka tahap berikutnya adalah bagian belakang keranjang depan. Kemudian, gelungan
pengecatan. Pengecatan disesuaikan dengan kebutuhan di atas keranjang depan. Garuda mungkur di belakang
dan warna pilihan. Diawali dengan penutupan pori-pori atas keranjang depan. Berikutnya, ekor di bagian belakang
kayu dengan plamir dan sejenisnya. Berikutnya pemolesan atas. Ampok-ampok di bagian samping keranjang depan
cat dasar dan terakhir pemolesan cat dengan detail warna dan belakang. Badong di bagian depan keranjang depan.
menurut bagian-bagian yang dicat. Pada saat pengecat-
an Barong-Rangda ada beberapa jenis warna yang digu- f) Finishing
nakan, dan Barong maupun Rangda yang berkualitas baik Pengerjaan akhir adalah finishing, yaitu memeriksa secara
adalah menggunakan warna alami. Misalnya warna putih keseluruhan hasil rakitan Barong maupun Rangda. Dalam
dibuat dari tulang, merah dengan kayu tiga gancu, warna finishing ini bisa dilakukan suatu tes percobaan atau dipa-
hitam dengan areng pohon pinus dan warna alami lainnya. kai seperti saat akan dimainkan. Setelah diperagakan akan
Belakangan ini sangat jarang menggunakan warna alami terasa enak atau tidaknya atau ada hal-hal lain yang perlu
karena prosesnya sangat lama, tetapi kualitas warna tetap dibenahi. Jika semua sudah dianggap baik maka Barong
dijaga agar tahan lama dan alami sehingga Barong-Rangda maupun Rangda sudah siap digunakan dan untuk selanjut-
Nampak hidup dan matkasu. nya dilakukan prosesi penyucian (sakralisasi).

e) Pembuatan Perlengkapan Lain Dengan selesainya pembentukan fisik Barong dan Rangda
Selain proses penggarapan tapel, saat bersamaan juga berarti sudah siap disakralisasi untuk menyucikan tapak
disiapkan perlengkapan lain, seperti membuat kerang- tersebut dan memohonkan kekuatan gaib agar berkenan
ka Barong dan Rangda. Kerangka dibuat dengan bahan bersthana pada tapakan. Prosesi sakralisasi Barong dan
baku bambu tali (Tiing tali) yang sudah dihaluskan dan Rangda berlangsung beberapa tahapan dan cukup rumit
dibelah sesuai dengan kebutuhan. Keranjang Barong ter- sehingga hanya sedikit orang yang memiliki kemahiran di
diri dari keranjang pundut, yaitu dua buah keranjang yang bidang ini. Hal ini mengingat setelah Barong dan Rang-
dianyam dengan rotan dan bambu tali. Lebar keranjang da itu berada dalam keadaan suci (sakral), maka hal itu
kira-kira satu meter persegi ditempatkan di bagian depan pun belum cukup memenuhi syarat untuk dijadikan prati-
dan yang lain di bagian belakang. Bagian depan berbentuk ma atau pralingga Ida Bhatara. Ada tahap terakhir yang
setengah lingkaran, dan bagian belakang setengah ling- harus di tempuh, yaitu pengisian jiwa atau roh dewata
karan lengkap dengan rotan besar sebagai pangkal ekor yang dimohonkan hadir dan berstahanya padanya. Taha-
Barong. Perlengkapan lainnya adalah tangga tali, sunan pan pengisian atau penghidupan Barong dan Rangda agar
yang dipasang di bagian tengah atas keranjang, di depan dijiwai oleh kekuatan suci kedewataan ini disebut upacara
dan belakang, keduanya dipasangi sunan sebagai penyang- Ngereh, pelaksanaannya disebut Ngerehang Barong dan
ga Barong dan Rangda jika ditarikan sebagai tempat kepa- Rangda. Hanya Barong dan Rangda yang sudah melewati
la pemundut. Selanjutnya bulu Barong dipasang dengan prosesi penyucian dapat dilakukan upacara Ngereh.
mempergunakan tali dan praksok serta rambut Kuda yang
sudah diikat dengan mempergunakan tangga tali. Kemu- Sakralisasi Barong dan Rangda
dian, di bagian depan dipasang bulu dengan warna hitam Barong maupun Rangda yang sudah selesai dibuat mer-
yang terbuat dari ijuk. Kemudian di bagian ekor dipas- upakan barang seni yang dalam konteks religiusitas masih
angkan bulu Burung Merak sebanyak sembilan helai bulu tergolong benda profan (non sakral), sehingga tidak memi-
ekor. Pada bagian ekor Barong juga dipasang genta kecil liki makna atau simbolik apapun selain sebuah citra seni.
sebagai lonceng. Cangkokan kaca, ini ditempel di ukiran Oleh karena Barong maupun Rangda tersebut akan digu-

422
Volume 34, Nomor 3, September 2019 MUDRA Jurnal Seni Budaya

nakan sebagai simbol keagamaan maka perlu diadakan perasaan dan berpikiran buruk, berburuk sangka kepada
proses transit atau pemindahan predikat dan kualitas dari orang lain, (2) Mithia Wacana, yaitu berkata sombong,
wujud profan menuju sakral. Sebagai manusia religius angkuh, tidak menepati janji, (3) Mithia laksana, yaitu
alam tidak pernah hanya sesuatu yang alami; alam selalu berbuat tidak sopan, kurang ajar, hingga merugikan orang
penuh dengan yang religius. Hal ini mudah untuk dipaha- lain. Sedangkan Tri Mala Paksa terdiri dari: (1) Kasmala,
mi karena kosmos merupakan ciptaan ilahi; berasal dari yaitu perbuatan yang hina dan kotor, (2) Mada, yaitu per-
kekuasaan dewa-dewa, dunia dipenuhi oleh kesakralan. kataan, pembicaraan yang dusta dan kotor, (3) Moha, yaitu
pikiran dan perasaan yang curang dan angkuh.
Sakralisasi benda simbol keagamaan Hindu di Bali, dalam
hal ini Barong dan Rangda dilakukan melalui upacara yad- Melasti ke segara ini yang didukung oleh berbagai sa-
nya. Secara etimologi kata yadnya merupakan bahasa San- rana banten yang diperlukan sebagai sarana simbolis un-
skerta, yaitu berasal dari urat kata yaj yang berarti pengor- tuk memohon tirtha dari segara untuk dipercikkan pada
banan dengan penuh cinta kasih. Bersumber dari akar kata Barong dan Rangda serta umat pengiring. Selanjutnya
tersebut kemudian berkembang menjadi beberapa istilah, perlu juga dijelaskan, bahwa melasti dapat dilakukan pula
antara lain yajna, yajus, dan yajamana. Kata yadnya itu sebelum pensakralisasian dan sesudah prosesi pensakral-
sendiri berarti pemujaan, persembahan atau korban suci. isasian. Sebelum proses pemasupatian melakukan melasti
Kata yajus artinya aturan-aturan tentang yadnya, sedang- adalah tujuannya sama, yakni penyucian karena Barong
kan yajamana merupakan salah satu unsur dari yang dise- dan Rangda pasti dibuat oleh Undagi sehingga perlu
but tri manggalaning yadnya, yaitu tiga unsur penting da- disucikan terlebih dahulu dari segala kekotoran setelah
lam pelaksanaan yadnya yang terdiri dari tiga unsur, yaitu dikerjakan. Tujuan melasti setelah pamasupatian memiliki
(1) orang yang memimpin upacara tersebut (pemuput); (2) makna yang sama juga, bahwa setelah terlahir maka perlu
orang yang membuat sesajen (tapini yajna); dan (3) orang Ida Bhatara disucikan kembali.
yang melaksanakan yajna atau sang yajamana. Selaian itu,
yang memimpin upacara sakralisasi juga dapat dilakukan b) Melaspas
oleh orang yang sudah mawinten seperti pemangku unda- Tahapan proses sakralisasi berikutnya adalah melaspas
gi, pemangku desa, dan sejenisnya. Terlebih pemangku Barong dan Rangda. Mlaspas berasal dari kata “paspas”.
yang sudah ngiringang Dalem sudah pasti memiliki kual- Mendapat infik “el” menjadi pelaspas, merupakan kata
ifikasi dalam hal tersebut. Sebab dalam konteks sakral- kerja aktif yang artinya pembersihan atau penyucian. Lalu
isasi atau ngerehang dan mesuci peran pemimpin upacara disengaukan menjadi “melaspas” atau mlaspas, melakukan
sangat penting. Oleh karena itu, orang-orang yang sudah pekerjaan (aktif) untuk membersihkan atau menyucikan.
memiliki taksu dalem sangat berhak melakukan prosesi Jadi Melaspas artinya penyucian atau “sakralisasi sebuah
tersebut, sebab bise, dadi dan patut sangat perlu diperha- bangunan yang akan difungsikan. Mlaspas maksudnya
tikan dengan baik. Adapun upacara yadnya dalam proses melepaskan segala ikatan dari bahan-bahan Barong dan
sakralisasi Barong dan Rangda ini terdiri dari berbagai Rangda dengan asal-muasal bahan tersebut. Seperti mele-
tahapan antara lain: paskan ikatan atau keterkaitan tapel denga asal kayu, bam-
boo, kain, benang, dan lainnya, sehingga ada penegasan
a) Melasti ke Segara sejak upacara melaspas tersebut kayu tapel tersebut bukan
Pertama-tama Barong dan Rangda dibawa ke segara un- lagi sepotong kayu pule, tetapi sudah berubah status men-
tuk melakukan penyucian atau disebut melasti. Ritual me- jadi Barong dan Rangda. Demikian juga bahan-bahan lain-
lasti bermakna menghanyutkan leteh di bhuana alit dan nya tidak lagi berpredikat sebagai bamboo tiying tali, bulu
bhuana agung dan kemudian memohon saripati amrtha jaran, dan sebagainya, tetapi sudah menjadi kesatuan utuh
di telenging segara. Dalam kaitannya dengan sakralisasi wujud Barong dan Rangda.
Barong dan Rangda, upacara melasti ke segara bermaksud
menghanyutkan “kekotoran” yang terdapat pada Barong Adapun rangkaian Melaspas adalah (a) Mecaru Panca-
dan Rangda yang berasal dari proses pembuatan yang ten- sata. Pada saat melaspas acara mecaru atau memberi-
tu saja menyebabkan banyak kecemaran secara spiritual, kan persembahan kepada bhutakala agar menjadi saumya
demikian juga bahan-bahan Barong dan Rangda beserta (tenang dan lembut) dengan harapan segala sesuatu
perlengkapannya yang berasal dari berbagai tempat yang yang akan dilakukan selanjutnya dirasakan terbebas dari
mungkin saja mengandung berbagai “kekotoran”, maka godaan-godaan dari kekuatan bhutakala. Mecaru ini up-
dimohonkan kepada Hyang Baruna sebagai penguasa lau- aya memuliakan semua tingkatan roh, bhutakala, dengen,
tan untuk meleburnya. Selain itu melasti dalam rangkaian durga, bregala-bregali, pisaca, dan lain-lain agar menjadi
upacara sakralisasi ini bertujuan menghanyutkan kekoto- meningkat derajatnya menjadi sifat kedewataan dan mem-
ran batin krama desa yang akan melangsungkan upacara berikan vibrasi positif pada manusia. Mecaru Pancasata
penyucian Barong dan Rangda sehingga proses sakralisasi yaitu pengorbanan binatang berupa ayam yang terdiri dari
dapat berjalan lancar dan diliputi aura kesucian. Kekoto- lima ekor ayam dengan jenis warna mulai dari warna putih
ran batin tersebut berupa Tri Mala dan Tri Mala Paksa. untuk nyomya bhuta di arah timur, ayam warna merah
Tri Mala terdiri dari: (1) Mithia Hrdaya, yaitu selalu ber- untuk nyomnya bhuta di arah selatan, ayam kuning untuk

423
Komang Indra Wirawan (Liturgi Sakralisasi Barong-Rangda...) Volume 34, Nomor 3, September 2019

nyomya bhuta di arah barat, ayam hitam untuk nyomnya upacara memakuh bermakna mengokohkan keberadaan
bhuta di arah utara, dan ayam brumbun sebagai pusat pen- Barong dan Rangda secara spiritual agar kehadirannya di
gider-ider (poros mata angin) untuk nyomnya semua jenis tengah-tengah masyarakat penyungsung dapat ajeg atau
bhuta di arah atas dan bawah; (b) Membersihkan dengan kokoh, baik secara fisik maupun secara spiritual. Selain itu
Sarana Banten. Setelah pecaruan, maka tahapan melas- memakuh ini sebagai simbolisasi bahwa Barong maupun
pas selanjutnya adalah melakukan penyucian Barong dan Rangda sudah selesai dibuat sebagai simbol tugas akh-
Rangda dengan sarana banten. Adapun berbagai banten ir dari undagi atau tukang yang sesungguhnya dilakukan
yang dipakai pada ritual ini diantaranya adalah (1) Banten oleh orang suci, namun karena orang suci (sulinggih) atau
Bayakaonan. Banten ini merupakan sarana upacara pem- orang yang ditunjuk ketika nyanjaan tidak ahli memahat
bersihan yang khusus untuk membersihkan bagian bawah tapel, maka meminta bantuan orang lain. Pada memakuh
pada Barong maupun Rangda. Hal ini dilakukan meng- dilakukan pertanggungjawaban secara niskala untuk ber-
ingat Barong Maupun Rangda sudah dianggap sebagai saksi bahwa yang membuat Barong dan Rangda itu ada-
bentuk binatang yang hidup sebagai wahana atau alat lah orang suci. Sulinggih atau orang yang ditunjuk untuk
yang akan dihidupkan maka Barong maupun Rangda su- memahat tapel itu saat nyanjaan sesuai petunjuk gaib,
dah mewakili wujud yang sesungguhnya dan selanjutnya tetapi oleh karena keterbatasannya tidak mampu membuat
setelah dibersihkan bagian bawahnya yaitu telapak kakin- tapel dan mewakilkan kepada ahlinya, maka saat upaca-
ya sudah siap untuk dibersihkan pada bagian tengah yaitu ra memakuh orang yang ditunjuk secara niskala tersebut
dengan sarana banten selanjutnya; (2) Banten Tatebasan memegang alat pertukangan sebagai simbol melakukan
Durmanggala. Banten ini digunakan untuk melanjutkan pengerjaan akhir Barong dan Rangda sebagai tanda yang
pembersihan tubuh Barong maupun Rangda pada bagian bersangkutan adalah pihak yang bertanggung jawab dalam
tengah ke bawah, yaitu di bawah leher dan selanjutnya proses pembuatan Barong dan Rangda itu.
menurun ke bawah sebagai simbol menghilangkan segala
kadurmanggalaan atau segala kesalahan yang dibuat baik d) Mapengurip-urip
sengaja maupun tidak disengaja sehingga segalanya men- Kegiatan selanjutnya yang dilakukan setelah memakuh
jadi baik adanya dan selanjutnya diteruskan dengan sarana adalah mepengurip-urip atau memberi simbol kehidupan
pembersiahan berikutnya; (3) Banten Tatebasan Prayascit- pada Barong dan Rangda. Sarana dalam acara ini ada
ta. Sarana banten ini digunakan khusus dalam fungsinya berbagai macam seperti warna merah darah, warna kun-
untuk menetralisir segala kedukaan atau kesedihan yang ing dari kunyit, warna putih dari kapur dan warna hitam.
terjadi akibat proses pembuatan Barong maupun Rangda Masing-masing warna dioleskan pada bagian dari Barong
yang memakan waktu begitu lama. Selama proses penger- maupun Rangda sebagai simbolisasi kelengkapan atas
jaan tersebut tentu terdapat berbagai permasalahan yang unsur warna yang seharusnya dimiliki oleh benda yang
dimunculkan dan dengan banten Prayascitta dimohonkan akan dihidupkan dengan sarana banten selayaknya badan
kekuatan dewata melenyapkan kedukaan tersebut dan be- manusia yang juga memiliki unsur warna macam lima.
rubah menjadi galang apadang (riang gembira). Banten Dengan ritual ini sudah dianggap melengkapi segala unsur
ini dipakai untuk membersihkan seluruh tubuh Barong yang diperlukan untuk terbentuknya suatu badan atau tu-
maupun Rangda dari kepala sampai kakinya; (4) Banten buh atau Linggih Bhatara berupa Barong maupun Linggih
Pangulapan.Sarana banten Pangulapan ini ditujukan un- Bhatari berupa Rangda yang selanjutnya siap ditempati
tuk menyempurnakan berbagai kekurangan pada Barong suatu unsur niskala yaitu kekuatan dewata.
maupun Rangda baik pada saat dibuat maupun saat akhir
pembuatan sehingga siap menerima roh atau tapakan yang e) Mepasupati
akan menempatinya.; (5) Lis Balegading. Rangkain se- Pasupati adalah nama lain dari Sang Hyang Siwa. Menurut
lanjutnya yaitu memberikan pembersihan dengan simbol kamus Sanskerta (Surada, 2007: 206) pasupati artinya
Lis atau senjata dewa-dewa serta memberikan Bale atau seorang pengembala; gembala; Dewa Siwa. Dengan de-
rumah kencana/emas yang disimbolkan dengan bentuk mikian, upacara mepasupati maksudnya adalah sebuah rit-
rumah yang terbuat dari janur kuning dari daun kelapa ga- ual untuk memohon kepada Tuhan yang dalam manifes-
ding. Jika banten ini sudah diberikan menandakan bahwa tasinya sebagai Sang Hyang Siwa untuk berkenan menjadi
rangkaian pembersihan sudah lengkap dan dianggap Bar- pengendali atau memberikan kekuatan terhadap Barong
ong maupun Rangda sudah siap untuk menerima kehadiran dan Rangda. Pada Lontar Pemlaspas Pamasupatian Bar-
roh dewata atau kekuatan sakti yang akan menempatinya. ong-Rangda (koleksi Pusat Dokumentasi Porvinsi Bali,
1998) diuraikan tentang proses penyucian yang dilakukan
C) Memakuh oleh pandita. Disebutkan sebelum muput upacara, pandita
Setelah rangkaian pembersihan dilakukan seperti dinatas, berkumur dan membersihkan kaki yang mempergunakan
selanjutnya diadakan ritual pemakuhan. Memakuh artinya mantra. Kalau dihitung maka akan ada sebelas tahapan
melakukan kegiatan “Makuh.” Makuh berasal dari kata hingga sampai pada tahapan Dipa Kangga. Setelah itu,
“bakuh” yang artinya kuat, atau kokoh. Mendapat anu- akan dilanjutkan dengan: (1) Nyiratang Tirtha Siwatamba,
suara M, membentuk kata kerja aktif, yakni menjadikan mantra Siwa Surya dengan dua kalpika yang diletakkan di
“kokoh” atau “kuat” secara spiritual. Dengan demikian sebelah Siwamba. Kemudian dilanjutkan dengan nuntun

424
Volume 34, Nomor 3, September 2019 MUDRA Jurnal Seni Budaya

Barong dan Rangda dengan jalan mengambil bunga tun- terjadi gempa (bumi) bergoncang seakan-akan robek
jung dan mengucapkan mantra yang terkait dengan upaca- oleh tindakan kakinya
ra pasupati. (2) Membuat Taksu Barong dan Rangda. (3)
Nyiratang toya siwamba pada Rangda lingga bunga, dan Gautama dan Sariani (2009:527) menyebutkan Rangda
dilemparkan jatuh pada Rangda, dan dilanjutkan dengan memiliki arti: (1) janda; (2) peran dalam cerita Calona-
air cendana dan beras. (4) Menyembah dengan sarana bun- rang sebagai janda tukang sihir dari girah dengan men-
ga dari bawah ke atas, ngayabang dupa dan menaburkan genakan topeng yang menyeramkan, mata besar melotot,
bunga kembali. Pada upacara tersebut digunakan kalpika taring besar-besar, rambut putih terurai lidah panjang, ser-
sebanyak dua buah simbolik dari Sang Hyang Siwa dan ta kuku panjang. Sementara itu Mardiwarsito (1986:463)
Sang Hyang Surya yang memberikan jiwa dan saksi pada dalam kamus Jawa Kuno menyebutkan “randa” berar-
upacara tersebut. Kalpika merupakan sebuah perwujudan ti janda. Hal ini dipertegas oleh Segara (2000:20) yang
lingga Siwa terkecil yang terbuat dari bunga jepun dan menyebutkan istilah Rangda adalah bahasa Bali alus un-
daun kayu Arjuna. Berdasarkan teologi Siwa, Sang Hyang tuk penyebutan janda dari kalangan Tri Wangsa di Bali
Siwa berstana di dalam kalpika dan Sang Hyang Surya (Brahmana, Ksatrya, Wesya), sedangkan janda dari ka-
dinyatakan sebagai murid dari Sang Hyang Siwa yang pal- langan Sudra Wangsa dikenal dengan sebutan balu/walu.
ing mahir dalam ilmu pengetahuan. Pada kalangan masyarakat umum di Bali istilah Rangda
lebih dekat pada pengertian sosok tokoh berperingai jahat
Makna Teo-Filosofis Barong-Rangda yang mempraktikkan ilmu hitam untuk menghancurkan
Barong sebagai Banaspati Raja adalah wujud Kalarudra, masyarakat. Persepsi ini muncul karena masyarakat leb-
yaitu Siwa yang tengah bertiwikrama. Tiwikrama adalah ih akrab dengan pementasan seni drama Calonarang yang
mengubah diri menjadi luar biasa hebat untuk mengata- menempatkan Rangda sebagai tokoh antagonis di dalamn-
si berbagai bentuk penghalang dan rintangan. Tampilan ya. Rangda dalam cerita Calonarang ini adalah figur janda
Barong mesolah (menari) yang menunjukkan wujud tri- dari Raja Girah, sebuah wilayah kecil di Kerajaan Kediri,
wikrama Siwa adalah saat Barong menari sambil ngeretek Jawa. Namun melihat kenyataan bahwa Rangda di Bali
(rahang gemertak) mempermainkan kedua rahangnya se- tidak semata-mata berfungsi sebagai peranti berkesenian,
hingga antara barisan gigi atas dan bawah saling beradu tetapi lebih penting fungsinya sebagai peranti keagamaan
menimbulkan suara menakutkan. Demikian juga kaki-ka- (arcanam/tapakan), maka perlu ditemukan pengertian
kinya keteb-keteb (menjejak dengan keras-keras) pertiwi yang lebih tepat menyangkut keberadaan Rangda tersebut.
(bumi) hingga menyebabkan gempa bumi dan para asura Untuk keperluan tersebut, selain mengacu pada Lontar
lari ketakutan. Pada kakawin Smaradahana pupuh VIII: Siwa Tattwa di atas, terdapat juga penyebutan Barong dan
7-10 melukiskan triwikrama Siwa sebagai berikut. Rangda dalam Lontar Usadha Taru Pramana sebagaima-
a. Dewa Siwa yang Agung bangkit dengan marah, na disebutkan bahwa ketika Sang Hyang Siwa mengalami
b. Seperti dengan sendirinya ia segera mengambil ben- sakit keras atau gering yang parah. Untuk itu Sang Hyang
tuk triwikrama Siwa menyuruh Dewi Uma mencari obat ke madyapada.
c. Dengan garang dan mengerikan ia menempatkan di- Dalam pencarian obat untuk Dewa Siwa, Dewi Uma ber-
rinya di tengah-tengah angkasa (bahkan) raksasa di- tanya pada setiap pohon dan rumput-rumputan (sarwa taru
antara raksasa setengah menatapnya dengan takut dan dan sarwa lata). Kesemua pohon dan rumput itu dapat
gemetaran menjawab dengan baik, karena masing-masing sudah ada
d. Ia mengembangkan dirinya dalam bentuk Rudra den- penghuninya, selanjutnya menerangkan khasiatnya mas-
gan kepala 5 yang tak terukur ing-masing mulai dari akar, kulit, sampai dengan daunnya.
e. rambut kusut yang menakutkan,berkilauan dan rapat Tepatlah pada tengah hari (kali tepet) sampailah Bhatari
f. seperti mega -mega pada waktu kehancuran, berikal Uma di Setra Gandamayu, pada sebuah pohon besar, yai-
kemerah-merahan tu: Taru Rangdu, di sana beliau mengadakan tanya jawab
g. dengan menakutkan (ia menjulurkan seribu lengannya tentang manfaat khasiat pohon tersebut. Kebetulan pada
ke segala arah) waktu itu merupakan hari yang terlarang oleh Sang Kala
h. Matanya seperti bulan-bulan dan matahari-matahari Banaspati Raja, karena pada saat itu yang menghuni pohon
yang berderet dengan bentuk setengah lingkaran dan tersebut sedang tidur nyenyak.
dalam seperti gua lubang hidungnya (lebar) dan da-
lam seperti gua Mendengar suara ribut-ribut dan pada waktu yang salah
i. Mulutnya dengan taring-taring tajam seperti (pintu (nyalah masa), maka Sang Banaspati Raja bangun dari ti-
gerbang) kematian oleh gemertak giginya menjadi durnya karena merasa wajib nadah atau memangsa orang
halilintar dan badai yang tiada putus-putusnya yang ada di hadapanya seraya ia menyerang Bhatari Uma
j. Ia seperti gunung (dengan lengan-lengan) dan ka- dengan sengitnya sehingga pertempuran pun tidak terelak-
ki-kaki pada kedua sisinya kan. Dalam mempertahankan diri lalu Dewi Uma terpaksa
k. Bulu-bulu badannya yang bergantungan dari tubuhn- merubah diri (Nyuti Rupa) kembali menjadi Dewi Durga
ya bisa disamakan dengan senja hari yang amat menyeramkan, untuk menandingi kesaktian
l. Pada tiap bidang tanah tempat ia meletakkan kakinya Sang Banaspati Raja. Adu kesaktian antara keduanya

425
Komang Indra Wirawan (Liturgi Sakralisasi Barong-Rangda...) Volume 34, Nomor 3, September 2019

menyebabkan Sang Banaspati Raja mengalami kekalahan


karena beliau berhadapan dengan penguasa maut. Oleh
karena itu pantaslah Sang Banaspati Raja dikalahkan.
Sang Banaspati Raja dalam pertempuran itu melarikan
diri, karena mendapatkan pukulan yang dahsyat dari Dewi
Durga. Melihat tuannya dikalahkan oleh Dewi Durga,
maka rakyat Sang Banaspati Raja yang terdiri atas mah-
luk alus amatlah marah dan dengan serta-merta menyerang
Dewi Durga bertubi-tubi. Akan tetapi setiap pasukan yang
terdiri dari wong samar tersebut berhadapan dengan Sang
Dewi Durga mengalami kekalahan hanya wibawa dan
kengerian memandang wajah Bhatari Durga. Akhirnya
Sang Banaspati Raja mengubah dirinya menjadi binatang
yang sangat sakti dengan suara gemerincing dikakinya dan
bertempur dengan Dewi Durga (Yudabakti, 2007:48-50). Gambar 3. Rangda Adalah Wujud dari Bhatari Durga Dalam
Aspeknya Sedang Murka/Marah
Berdasarkan penegasan dalam Siwa Tattwa maupun Lon- (Sumber: Gases Bali,2016)
tar Usadha Taru Premana, Rangda secara tegas disebut-
kan sebagai penjelmaan Dewi Uma/Dewi Durga di bumi. Jelas sekarang,” diacungkanlah jari telunjuknya
Bilamana sebelumnya wujud Barong dinyatakan sebagai Segera (Huma) berubah menjadi Durga//8//
penjelmaan Dewa Siwa, maka sangat tepat kalau Rangda Itu adalah hasil perbuatannya sendiri (seperti)
adalah perwujudan Dewi Durga sebagai Saktinya (pas- Orang mandi membasahi dirinya. Terlaksanalah kutukan-
angan) Dewa Siwa. Dengan demikian, untuk menempat- nya:
kan Rangda dalam khasanah budaya Hindu (Bali), maka Segeralah kamu menjadi Durga,
penyebutan istilah janda untuk Rangda kurang mewakili Namamu adalah Ra Nini//9//
makna yang disandangnya. Oleh sebab itu dalam tulisan Seperti kapur (tercampur) dengan kunyit,
ini istilah Rangda yang dimaksud akan mengacu pada Lon- Rambutnya lengket tak berantara, berwarna merah,
tar Siwa Tattwa dan Lontar Usada Taru Premana, bahwa Gimbal, berlilit-lilit, tubuhnya tinggi besar//10//
“Rangda adalah perwujudan Dewi Durga di bumi bergelar Matanya seperti matahari kembar, mulut seperti gua
Hyang Bherawi dengan ciri-ciri wajah seram menakutkan, terbuka.
rambut terurai panjang, mata melotot, lidah menjulur pan- Taring runcing, hidung lebar menganga seperti sumur
jang, dan kuku panjang.” Definisi tersebut lebih dapat me- Lihatlah tubuhnya//11//
wakili kehadiran Rangda dalam fungsinya sebagai peranti Badannya bertotol-totol. Menjerit berteriaklah ia
keagamaan maupun sebagai peranti kesenian. minta diruwat, maka berkatalah Batara Guru:
“Tidak bersih dari dosa kamu sekarang.”//12//
Wujud Durga yang seram juga ditegaskan dalam Ki-
dung Sudamala, sebagaimana terjemahannya (Santiko, Gambaran Durga dalam Kidung Sudamala menyerupai
1992:185) sebagai berikut: bentuk Rangda di Bali, yaitu rambut kusut merah kusam,
mata melotot lebar, taring tajam dan mulut lebar dan
Sang Hyang Tunggal adalah dewa utama, berkenaan dengan makna atribut Rangda. Hal ini semakin
Tidak dapat dipungkiri bahwa Sri Huma (Uma) berlaku menegaskan bahwa wujud Rangda di Bali adalah bentuk
Serong, yang mewakili Durga, dan bukan penggambaran seorang
berani membagi sirih dan bedaknya, janda ataupun yang lain. Olehnya, berkenaan dengan pen-
karena itu ia dikutuk oleh Sang Hyang Guru//4// gertian Rangda sekiranya tepat merujuk pada teks-teks
Sang Hyang Guru adalah dewa yang berkuasa, sastra tertentu sehingga dapat diketemukan landasan yang
Berbadankan alam semesta, kuat tentang pengertian Rangda. Sebagaimana disebutkan
Tahulah ia segala-galanya yang tidak diketahui oleh dalam teks lontar Siwa Tattwa, Usadha Taru Premana,
manusia, bahwa Rangda adalah manifes dari Dewi Durga, yakni
Ia pun tidak terlihat karena memiliki sifat: tiada//5// sakti dari Dewa Siwa. Dengan demikian, penggambaran
Adapun yang diceritakan sekarang, Sang Hyang Rangda adalah berdasarkan atas cerita-cerita dalam lontar
Tunggal (dan) Sang Hyang Visesa telah memberi tersebut yang menggambarkan sosok Dewi Durga yang
kepada Hyang Guru seluruh tingkah laku Sri Huma, menyeramkan.
Sang Hyang Guru sakit hatinya//6//
Karena itu tahulah ia bahwa istrinya berdosa, SIMPULAN
Karena pernah melayani Hyang Brahma, Guru
Sangatlah marah//7// Berdasarkan atas uraian tersebut di atas, dapat disim-
Dicaci makilah Batari Huma, katanya: Sudahlah pulkan bahwasanya keberadaan Barong-Rangda sangat

426
Volume 34, Nomor 3, September 2019 MUDRA Jurnal Seni Budaya

penting dalam kehidupan sosio-religius masyarakat Bali, Yudhiantara, Kadek, dan Chandika Sila Ulati Devi, 2003.
sebab dapat memunculkan taksu. Barong-Rangda sakral Rahasya Pemujaan Sakti Durga Bhairawi Meditasi,
yang dapat memunculkan taksu tentunya bukan dibuat Mantra dan Hakekat Devi Dasa Mahavidya. Surabaya:
sembarangan, tetapi dibuat berdasarkan atas sumber sas- Paramita.
tra sebagaimana ada liturgi atau tahapan yang teliti, seh-
ingga Barong-Rangda dapat metaksu. Kemudian, makan Tim Pengkajian Naskah Lontar Siwagama, 2002. Kajian
teo-filosfis Barong berhubungan dengan konsep pemurthi- Naskah Lontar Siwagama. Denpasar: Dinas Kebudayaan
an Sang Hyang Banaspati Raja dan Rangda adalah aspek Propinsi Bali.
Bhatari Uma yang sedang krura atau murka.
Tim Penterjemah, 1986. Usana Bali Usana Jawa Teks
DAFTAR RUJUKAN dan Terjemahan. Denpasar: Dinas Pendidikan dan Kebu-
dayaan Propinsi daerah Tingkat I Bali.
Agus, Bustanuddin, 2007. Agama dalam Kehidupan Ma-
nusia Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Bandana, I Gede Wayan Soken, 2009. Ritual Tolak Bala


Masyarakat Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.

Darma Putra, S.H., A.A. Ngr., 2002. Ajaran-Ajaran Sepir-


itual Pengendalian Diri. Denpasar: CV. Kayumas Agung.

Dibia, I Wayan. 2004. Pragina; Penari, Aktor dan Pelaku


Seni Pertunjukan Bali. Malang: Sava Media.

Eliade, Mircea, 2002. Sakral dan Profan. Yogyakarta: Fa-


jar Pustaka Baru.

Krishna, Anand, 2015. Bhagavad Gita Bagi Orang Mod-


ern. Jakarta: Kompas Gramedia.

Kutha Ratna, Nyoman, 2007. Estetika Sastra dan Budaya.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pendit, Nyoman S., 1991. Bhagavadgita. TT: Yayasan


Dharma Sarathi.

Riana, Jro Mangku I Ketut, “Geguritan Sudamala dan


Candi Sudamala dalam Perbandingan,” dalam Poestaka
No. 5 Tahun XIV, Februari 2003. Denpasar: Fakultas Sas-
tra Universitas Udayana.

Santiko, Hariani, 1992. Bhatari Durga. Depok: Fakultas


Sastra Universitas Indonesia.

Segara, S.Ag., Nyoman Yoga., 2000. Barong dan Rangda.


Surabaya: Paramita.

Titib, I Made, 2000. Teologi & Simbol dalam Agama Hin-


du. Surabaya: Paramita.

Titib, I Made, 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis


Kehidupan.Surabaya: Paramita.

427

Anda mungkin juga menyukai