Anda di halaman 1dari 6

Tokoh Seni Kidung

I KETUT DANA merupakan seniman asal Banjar Dinas Menanga Kangin, Desa Menanga,
Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem yang mulai aktif menekuni bidang sastra. Sejak
4 tahun lalu ia terjun di bidang seni dharmagita khususnya sekar alit, dan sekar madya. Dari
menekuni bidang tersebut, ia pernah meraih piagam penghargaan

Selain pernah meraih piagam penghargaan pengalaman dan kompetensinya dibidang


dharmagita membuat I KETUT DANA kerap diundang ketika ada upacara adat maupun
keagamaan.

Bagi I KETUT DANA seni sastra merupakan salah satu cara dalam mendalami pengetahuan-
pengetahuan yang berkaitan dengan spirit keagamaan. Di dalamnya banyak terkandung
sikap-sikap mental positf yang membentuk budi ataupun perilaku tentang pengetahuan akan
spirit agama. Sehingga seorang seniman yang mendalami sastra tentu kaya akan pengetahuan.

1. Defenisi Kidung
Ada idiom mengatakan “tak kenal maka tak sayang”, karena itu sebelum jauh membahas
tentang kidung ada baiknya penulis paparkan dahulu tentang apa sebenarnya defenisi dari
kidung?. Setelah kita mengetahui defenisinya barulah kita bisa menyelami lebih dalam apa
dan bagaimana kidung itu.
Terkait defenisi kidung, ada 2 ahli yang memberikan sumbangsih pendapat. Agastia (1994 :
8) menyatakan, kidung adalah karya sastra puisi yang mempunyai kaidah-kaidah tertentu.
Garis besar kaidah-kaidah bentuknya adalah mempunyai jumlah silabel tertentu dalam tiap
baitnya, dan dalam jumlah silabel tertentu dari bagian bait tersebut memakai bunyi tertentu
(misalnya bunyi a, i, u). Sekalipun kidung adalah kata Jawa asli, tapi isinya banyak
mengandung nilai-nilai ajaran agama Hindu. sastra kidung mempunyai kaitan erat dengan
musik Bali, serta berfungsi dalam kaitan upacara agama. Di lain sisi, Bandem (1983 : 31)
menyatakan bahwa kidung adalah jenis puisi yang menggunakan metric dan bahasa Jawa
Tengahan, yang biasa digunakan dalam lontar-lontar cerita Panji atau Malatdi Jawa. Namun
dalam perkembangannya setelah masuk ke Bali, kidung sering dimainkan bersama dengan
Istrumen dan lagu-lagu pokok kidung ditulis dalam lontar Tabuh-tabuh Gambang. Kidung
mempergunakan laras pelog 7 yang memakai 5 nada pokok dan 2 nada pemero. Hanya dalam
kidung di Bali terdapat modulasi yaitu perubahan tangga nada di tengah-tengah dan amat
banyak dipergunakannya nada pemero. Secara lebih spesifik, kidung di Bali memiliki
bagian-bagian sebagai berikut

Pangawit yaitu Pembuka


1. Pamawak yaitu bagian yang pendek
2. Panama yaitu bagian yang panjang
3. Pangawak yaitu bagian utama dari kidung

Dalam perkembangan selanjutnya, kidung diklasifikasikan masuk ke dalam sub ruang


lingkup sekar madya serta berada dalam lingkupan luas yaitu DharmagitaPengklasifikasian
ini tiada lain bertujuan untuk memudahkan dalam mempelajarinya berdasarkan beberapa
persamaan maupun perbedaan dengan nyanyian yang lainnya. . Pengklasifikasian ini
didasarkan pada kelompok umur maupun sulit ataupun tidaknya nyanyian itu dibuat
berdasarkan ketentuan tertentu. Misalnya, sekar rare, nyanyian yang diperuntukakan untuk
anak kecil/balita (rare). Sekar alit, nyanyian yang diperuntukan untuk anak kecil (6-12
tahun). Sekar Agung, nyanyian yang menggunakan aturan tertentu seperti wreta dan matra,
guru dan laghu serta menggunakan pemahaman yang lebih ketika kita ingin memahami
maksud dari bahasan yang ada dalam nyanyian tersebut (sekar agung), karena besar dan
sulitnya itulah mengapa adalah istilah “agung” yang melekat pada jenis nyanyian ini. Secara
garis besar semua nyanyian di Bali diklasifikasikan ke dalam Dharmagita

2. Sejarah Kidung
Karya sastra lahir dari proses kreatif seorang pengarang, disamping proses imajinatifnya.
Dalam kaitan dengan hal ini amat menarik mengapa seorang pengarang disebut sebagai sang
kawi, sang “pencipta”. Istilah kreatifitas sendiri berasal dari bahasa Inggris to create yang
dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan istilah mencipta yang berarti mengarang
atau membuat sesuatu yang berbeda bentuk, susunan atau gayanya daripada yang lazim
dikenal oleh orang banyak. Proses kreatif seorang kawiatau para kawi yang telah melahirkan
karya-karya sastra termasuk juga nyanyian ketuhanan yaitu kidung.

Apabila kita ingin melacak asal mula kidung yang ada di Bali mau tidak mau kita harus
menoleh ke sastra Jawa Kuna. Karena sastra Jawa Kuna merupakan asal mula sastra yang ada
di Bali. Prof. Dr. Poerbatjaraka dalam Agastia (1994 : 24) menyatakan, “Pulau Bali adalah
peti tempat menyimpan perbendaharaan sastra dan budaya lama”.Yang dimaksudkan “budaya
lama” oleh beliau adalah sastra-sastra Jawa Kuna. Sastra-sastra Jawa Kuna itu memiliki
kepustakaan dalam jumlah yang banyak dan beraneka, memiliki nilai yang sangat kaya dan
indah termasuk kidung di dalamnya. Lebih lanjut, Prof. Dr. Zoetmulder dalam Agastia
(1994 : 24) berdasarkan penelitiannya berasumsi bahwa sekitaran pertengahan abad ke-14
Bali masuk ke dalam lingkup pengaruh Hindu Jawa seperti terasa lewat berbagai pusat
kebudayaan dan religi. Sehingga sebagai suatu konsekuensi, bahwa semenjak saat itu Bali
harus dipandang sebagai suatu bagian dari dunia kebudayaan Hindu Jawa. Bahwa di pusat-
pusat kebudayaan dan keagamaan itu, bahasa Jawa hampir tidak dituturkan dan ditulis.
Sastra Jawa tidak hanya dimaklumi dan dipelajari tetapi juga ditiru dan dikembangkan.
Karya-karya baru yang ditulis yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna diciptakan. Maka
kesusastraan Bali, termasuk kidung di dalamnya tidak dapat memisahkan sejarahnya dengan
sejarah kasusastraan Jawa Kuna.

Agastia dalam bukunya yang berjudul “Kesusastraan Hindu Indonesia (Sebuah Pengantar)”
menyatakan, apabila kita ingin melacak dan memeriksa sastra kidung, maka pertama-tama
kita dikesankan oleh banyaknya cerita-cerita Panji yang sangat kental di dalamnya. Adalah
kidung Malat sebagai kidung terbesar dalam khasanah sastra kidungmemang mengolah cerita
Panji sebagai bahan ceritanya, di samping kidung–kidunglainnya yaitu Wangbang Wideya,
Waseng dan yang lain. Di lain pihak ada kidung–kidunghistoris yang cukup banyak dikenal
seperti kidung Harsawijaya, kidung Sunda, kidungSorandaka, kidung Ranggalawe, ada pula
kidung yang mengolah cerita binatang sebagaimana tertuang dalam Tantri Kamandaka
menjadi kidung Tantri Pisacaharana dan kidung Tantri Manduka Prakarana.

Prof. Zoetmulder sebagaimana dikutip oleh Agastia (1994 : 39) pernah menyatakan bahwa
bentuk kakawin dan bahasa Jawa Kuna merupakan saluran tradisional bagi kisah-kisah yang
berpangkal pada epos-epos India, tetapi bentuk kidung dan bahasa Jawa Tengahan secara
eksklusif dipakai untuk menyajikan kisah-kisah Panji. Tidak ada satu kakawin pun
menampilkan kisah Panji, sedangkan disisi lain kidung–kidung yang menyajikan sebuah tema
India, jarang sekali didapat. Walaupun demikian kita masih dapat membaca kidung Sudamala
dan Kidung Sri Tanjung, dua buah kidung kerakyatan yang cerita aslinya murni berasal dari
Jawa namun dewa-dewa dari mitologi India dan tokoh-tokoh Mahabrata muncul di dalamnya.
Yang lebih penting untuk dicatat di sini adalah kehadiran kisah perjalanan Bhima untuk
mencari tirtha pawitra atas perintah guru Drona, sebuah kisah yang masih sangat populer di
Jawa dewasa ini, ternyata kita dapati dalam bentuk kidung berjudul Dewaruci atauNawaruci.
Kidung ini memang lebih bersifat penuangan ajaran-ajaran kerohanian khususnya
pengetahuan esoteris ke dalam kerangka naratif dengan mengambil bentuk kidung. Masih ada
yang lain yang perlu di catat adalah kidung Korawasrama, sebuah karya yang mengungkap
hidupnya kembali kaum Korawa serta pelaksanaan tapanya. Dalam kidung ini, Korawa
bermaksud membalas dendam terhadap Pandawa, namun Pandawa tidak berhasil ditewaskan
olehnya karena mereka menegakkan kebenaran itu senantiasa dilindungi oleh para dewa.

3. Jenis-jenis Kidung
Kidung memang tidak bisa dilepaskan dari ritual yadnya, setiap upacara yadnyatertentu pasti
menggunakan gegendingan (kidung) tertentu pula. Wayan Budi Gautama dalam bukunya
yang berjudul “Kidung Panca Yadnya”, mengaitkan jenis-jenis kidungdengan prosesi yadnya
yang ada di Bali. Jenis-jenis kidung menurut Wayan Budi Gautama adalah sebagai berikut :

1. Kidung Dewa Yadnya digunakan ketika upacara Dewa Yadnya


2. Kidung Rsi Yadnya digunakan ketika upacara Rsi Yadnya
3. Kidung Manusa Yadnya digunakan ketika upacara Manusa Yadnya
4. Kidung Pitra Yadnya digunakan ketika upacara Pitra Yadnya
5. Kidung Bhuta Yadnya digunakan ketika upacara Bhuta Yadnya

4. Kidung, Nilai Religius dan Pelestarian Budaya Bali


Kidung begitu erat hubungannya dengan ritual keagamaan di Bali. Kidung dalam
pelaksanaannya selalu mengiringi dalam setiap upacara Panca Yadnya. Masyarakat Hindu
Bali percaya bahwa ritual-ritual keagamaan yang mereka jalani sarat akan nilai-nilai
ketuhanan (religius). Sebagaimana pula yadnya, karena kidung merupakan komponen dari
ritual yadnya, kidung juga sarat nilai religius magis. Yadnya yang tanpakidung dirasakan
kurang nilainya, seperti sayur tanpa garam. Dalam kepercayaan Hindu, setiap ritual yadnya
seyogyanya ada 5 komponen suara (bunyi) sakral yang harus mengiringi yadnya tersebut.
Suara (bunyi) tersebut adalah : kentongan (kulkul), gamelan (balaganjur), kidung, genta, dan
mantra. Donder (2007 : 35) dalam jurnal ilmiah “Pangkaja, Jurnal Agama Hindu Vol. VII.
No. 2”, menyatakan bahwa kelima bunyi-bunyian sakral tersebut ada dalam ritual yadnya
adalah bermaksud untuk melakukan super posisi gelombang-gelombang mikro dan makro
kosmos agar terhubung dengan kesadaran tuhan. Hal ini berarti bahwa setiap bagian kosmos
(alam semesta) dapat menghubungkan manusia dengan kesadaran tuhan sebagai penguasa
kesadaran kosmos.Masih menurut Donder, hal ini merupakan inti dan puncak kesadaran
manusia yang harus dicapai oleh setiap orang bila ingin dapat berkomunikasi dengan pikiran
alam semesta atau kesadaran kosmos.
Kidung adalah seni suara yang sakral. Lewat lantunan kidung oleh pengidung, ajaran-
ajaran ketuhanan ditranforsmasikan melalui suara yang indah dan mempesona. Kidung yang
tepat, dinyanyikan oleh pengidung yang ber-taksu mampu menggugah suasana hati bagi
orang yang mendengarkannya. Melalui pengidung ini, pendengar mampu dibawa “hanyut”
bersama suara kidung sesuai dengan keperuntukan kidung itu. Lewat alunannya, kidung
menuntun kita mengalir mengikuti riak-riak perasaan. Kidung juga mengajarkan kita peka
terhadap perasaan dan keadaan. Bagaimana seseorang bisa dibuat bulu romanya berdiri dan
hatinya hening damai ketika mendengar suara kidung warga sari pada saat pujawali?.
Bagaimana hati seseorang bisa ikut dibuat “nelangsa” ketika jenazah diturunkan hendak
dimandikan dengan alunan kidung wirama cewana girisa dari seorang pengidung?. Lalu,
bagaimana pula hati kita bisa ikut berbahagia, ketika mendengar kidung tunjung biru dalam
upacara pernikahan(pawiwahan)?. Kidung dalam alunan suara dan keadaan telah menjelma
menjadi”jembatan perasaan”. Semua itu, karena kidung tidak dibuat oleh orang sembarangan,
kidung dibuat oleh sang kawi, yang telah mantap dalam orah rasa dan seni yang disampaikan
lewat olah suara yang di dalamnya sarat nilai religius magis.
Kidung adalah warisan yang adiluhung yang memiliki nilai-nilai kearifan ajaran agama
Hindu. Nilai-nilai ini bersifat universal dan mengandung kebenaran yang abadi. Nilai-nilai
seperti ini sudah seharusnya ditransmisikan dan ditranformasikan dalam usaha membangun
budaya. Karena itu kidung–kidung yang di Bali perlu dilestarikan. Adapun pelestariannya
adalah melalui pesantian ataupun Utsawa Dharma Gita. Melalui jalan inilah diharapkan
kidung-kidung yang ada di Bali bisa tetap ajeg dari waktu ke waktu. Perhatian yang sungguh-
sungguh memang harus dilakukan terhadap kidung di Bali bukan semata-mata dalam usaha
kelestarian budaya tetapi juga dalam pengembangan budaya itu sendiri. Suatu saat, Prof. Dr.
Ida Bagus Mantra menyatakan “ada suatu dalil secara rohaniah menyatakan bahwa apabila
dalam suatu perubahan manusia dapat menguasai perubahan-perubahan itu, maka selamatlah
peradaban itu berjalan. Tetapi bila beban itu merupakan suatu kejutan dan manusia tidak
menguasainya maka hancurlah peradaban manusia”. Oleh karena itu, terkait dengan
pernyataan diatas, satu-satunya jalan bagi manusia untuk menghadapi hal itu ialah manusia
harus menegakkan kehidupan rohaninya, kehidupan agama dan sastra-sastra agama, termasuk
juga kidung di dalamnya sehingga ia utuh dalam menghadapi perubahan itu sendiri dan tetap
dapat berjalan dalam mengembangkan kreatifitasnya sebagai subjek untuk menjalankan tugas
dan kewajiaban umat yang beragama Hindu

Anda mungkin juga menyukai