Anda di halaman 1dari 27

SILAKAN PERSIAPKAN UNTUK UAS KAGALUHAN DENGAN MATERI ADA

SEBAGIAN PADA SAAT UTS DAN MATERI TENTANG NILAI FILOSOFIS


KAGALUHAN DALAM BIDANG PEMERINTAHAN SAMPAI NILAI FILOSOFIS
DALAM BIDANG TEKNOLOGI, TERIMAKASIH.

NILAI-NILAI FILOSOFIS KAGALUHAN DALAM BIDANG AGAMA

Orang Sunda tumbuh sepanjang perjalanan sejarahnya dari dulu hingga sekarang
dalam rangka lemah cai (tanah air)-nya yang kini umumnya dikenal sebagai Jawa Barat.
Sebagai kelompok masyarakat budaya yang telah ada dari masa silam dan mampu bertahan
hingga kini, kiranya masyarakat Sunda memiliki pandangan hidupnya sendiri, yang mana itu
masyarakat Sunda dapat hidup dalam kemandiriannya termasuk dalam perjalanan sejarah,
budaya sampai agama.
Data tentang perjalanan sampai pandangan hidup orang Sunda bisa digali dari berbagai
sumber, di antaranya :
a) karya sastra Sunda
b) Tradisi lisan dan tradisi tertulis orang Sunda
c) Folklor lisan
d) Informan pangkal
e) Masyarakat pendukungnya

I. Sistem Keagamaan Masa Kerajaan


Dalam berbagai keterangan naskah-naskah kuno sunda dan para juru pantun, ada yang
disebut dengan Brahmesta atau Brahmana. Disebutkan bahwa tingkatan seorang Brahmana
dalam urusan kenegaraan berada di bawah Lengser dan di bawah Raja. Jadi, dalam urusan
keduniawian, Pandita Agung Brahmesta tingkatannya ada di bawah Lengser dan Raja.
Pandita Agung Brahmesta memiliki kekuasaan tertinggi dalam hal keagamaan, dan
bertanggung jawab dalam hal keselamatan umum, terutama keselamatan rakyat.
Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pemuka agama, Pandita Agung dibantu oleh
Pangiring Pandita, yaitu pandita-pandita yang sehari-harinya membantu Brahmesta dalam
menjalankan kewajibannya. Berapa jumlahnya pangiring pandita tidak ditentukan, namun ada
golongan-golongan pandita yang termasuk dalam Pangiring Pandita. Golongan-golongan
tersebut adalah :
1. Marak Angsah (Marakanca) ; mereka bertugas melayani Brahmesta dalam setiap upacara
keagamaan
2. Ganidri ; bertugas mengurus api/perapian dalam setiap upacara-upacara agama
3. Puratih ; bertugas menerima dan mengatur sesajen yang dipersembahkan oleh rakyat
dalam waktu upacara keagamaan.
Dalam kesehariannya, Brahmesta dan pangiring-pangiringnya yang disebutkan tadi, tidak
diperbolehkan campur gaul/bergaul dengan masyarakat, kecuali dalam waktu-waktu
dilaksanakannya upacara keagamaan. Hal tersebut dimaksudkan agar Brahmesta dan para
pandita lainnya tidak kehilangan “komara” kapanditaanana (tidak kehilangan kehormatan
sebagai pemuka agama).

II. Agama Pada Masa Kerajaan


Dalam pembahasan mengenai agama, sering timbul pertanyaan : “Apa Agama yang
dianut oleh urang Galuh atau urang Sunda pada masa kerajaan?”, Beragam jawaban dan
praduga bermunculan. Ada yang menduga Agama Hindu, ada juga yang menyebut agama
kepercayaan lainnya.
Dalam sebuah keterangan terdapat ungkapan demikian : “Ceuk anu nyaraho mah, agama
Padjadjaran teh nyaeta anu disebut Agama Sunda”. Dalam Agama Sunda yang diutamakan
dan diagungkan adalah adanya “Sanghyang Tunggal” anu nunggal ngan sahiji, anu muhung
di ayana nya ayana tanpa rupa, tanpa wujud, henteu kaambeu-ambeu acan”. Konsep ini
mengandung filosofis yang sangat dalam, jika kita pahami lebih dalam, agama yang dianut
mengajarkan konsep “keTAUHIDan atau bersifat monoteisme, yakni dengan meyakini
adanya Sang Pencipta, Tunggal, artinya hanya satu. Hanya terletak pada perbedaan
nama/sebutan saja.jika kita merunut proses penyebaran agama di Nusantara, khususnya di
Pulau Jawa, agama Islam yang intinya mengusung konsep/ajaran TAUHID, baru masuk dan
menyebar sekitar abad ke 6 Masehi. Itu artinya dalam perjalanan sejarah Kerajaan Galuh
sampai Kerajaan Pajajaran, terjadi adanya tahapan pergantian kepercayaan yang berubah dan
bercorak, Zaman PraHindu – Hindu dan Islam.

A. Menurut Naskah Kuno Sanghyang Siksa Kandang Karesian


Sanghyang Siksa Kandang Karesian adalah naskah berhuruf dan berbahasa Sunda kuno
yang berangka tahun 1518 Masehi, yang telah di alih aksarakan kepada huruf Latin dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Atja dan Drs. Saleh Danasasmita,
terbitan Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat, Bandung , 1981.
Dengan memperhatikan tahun disusunnya naskah dapatlah diketahui bahwa masyarakat
pendukungnya ialah orang Sunda yang hidup pada zaman Kerajaan Sunda – Galuh –
Pajajaran. Disebutkan dalam naskah “Ngagelarkeun Sanghyang Siksa Kandang Karesian, ini
Sanghyang Dasakreta, kundangeun urang reya” (mengarang Sanghyang Siksa Kandang
Karesian yang juga disebut Sanghyang Dasakreta untuk dijadikan pegangan kita semua).
Dengan demikian jelaslah bahwa isi ajaran yang terkandung di dalam naskah itu merupakan
pegangan hidup masyarakat waktu itu. Pegangan hidup yang bersifat normatif yang dijiwai
oleh sikap hidup saat itu atau mengakibatkan timbulnya sikap hidup pada masyarakat Sunda
kemudian.
Dalam hal-hal yang bersifat kepercayaan pun, tampak adanya perpaduan anatara Hindu
dan PraHindu. Contoh yang sangat menonjol dalam hal ini ialah urutan peringkat dewata
bakti ka hyang (dewa berbakti kepada Hyang). Dengan memperhatikan kenyataan itu
jelaslah bahwa Hyang yang merupakan asli Sunda (umumnya di Indonesia) menempati
peringkat paling tinggi, di atas dewa yang berasal dari agama Hindu. Adapun yang
menyangkut keagamaan di dalam naskah Sanghyang Siksa Kandang Kresian ini disebutkan
juga bahwa benda dan tempatyang dianggap suci itu ialah rumah adat, kabuyutan, dan tempat
peribadatan lainnya seperti candi, kuil, arca dan lingga.

B. Naskah Kuno Carita Pantun Lutung Kasarumg


Naskah Carita Pantun Lutung Kasarung adalah lakon pantun Sunda yang dianggap
paling terkenal dan kuno, teks asli ditulis dalam huruf Jawa oleh Argasasmita, yang disimpan
di Museum Nasional, Jakarta. Tahun 1910 C.M. Pleyte mempublikasikan Lutung Kasarung
dalam VBG, jilid LVIII.
F.S. Eringa membuat disertasi mengenai lakon pantun ini tahun 1949. Adapun sumber
data untuk penulisan tentang pandangan hidup orang Sunda ini adalah teks Lutung Kasarung
dari karya F.S. Eringa dalam Verhandelingen van het Koninklijk Institut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde, deel VII :Loetoeng Kasaroeng, een mythologisch verhaal uit West-Java, ‘s-
Gravenhage : Martinus Nijhooff, 1949.
Cerita Lutung Kasarung sudah dikenal orang Sunda di banyak tempat di Jawa Barat,
sampai pun pada orang Baduy di Banten Selatan. Dalam bagan cerita yang serupa Lutung
Kasarung terdapat di Bogor, Majalengka, Ciamis, Kuningan. Cerita pantun ini telah dikenal
di tatar wilayah Jawa Barat dalam pengaruh Hindu dan Pra-Hindu (sebelum abad ke – 16
Masehi) dan bahkan mungkin sekali semasa zaman Kerajaan Sunda – Galuh – Pajajaran. F.S.
Eringa mengemukakan ; . . . de kern een initiatiemythe is, die in niew verband staat met de
rijstbouw encultus (Eringa, 1949 ; 14), sehingga sebagaimana padi merupakan tanaman
utama kelompok masyarakat Sunda, lakon pantun ini tentunya dikenal di berbagai tempat di
Jawa Barat. Bagi tukang Pantun adalah pamali (Tabu) melakonkannya pada sembarangan
waktu, seperti dituturkan oleh Bupati Cianjur dan Bupati Ciamis waktu itu, dan dalam
seremoni orang Baduy yang menuturkan lakon Ciung Wanara dan Lutung Kasarung (Eringa,
1949 ; 15-16).
Cerita Lutung Kasarung ini sangat penting bagi masyarakat Sunda pada zaman dulu,
didalamnya terkandung simbol ajaran-ajaran kepercayaan masyarakat dulu dan penting dalam
mite inisiasi penanaman padi, serta upacara rasa syukur ke alam yang bersimbol sosok
Sanghyang Dewi Sri, dari sinilah lahir berbagai tradisi budaya yang disakralkan masyarakat
Sunda dulu seperti Leuit dan berbagai aturan yang di tabu kan (pamali) yang berhubungan
dengan padi.
Pandangan hidup tentang masyarakat Sunda dengan Tuhan dalam lakon carita pantun
Lutung Kasarung ini dikemukakan dalam awal cerita dengan adanya lantunan ‘Rajah

Bul ngukus mendung ka manggung,


Ka manggung neda papayung,
Ka dewata neda hampura
Ka pohaci neda suci

Neda panjang pangampura


Rek ngusik-ngusik nu keur calik
Ngobah-ngobah nu keur tapa

Terjemahan :

Mengepullah asap ke atas,


Ke atas minta perlindungan,
Kepada dewata mohon maaf,
Kepada pohaci mohon kesucian.

Mohon maaf yang terus menerus


Sebab akan mengusik yang sedang bersemayam,
Menggoda yang sedang bertapa.
Para pelaku dan setiap orang khusunya masyarakat Sunda punya cara tertentu dalam
berhubungan dengan Tuhan, pada lakon ini yaitu dengan membakar (besar kemungkinan
bukan kemenyan, tetapi batang padi atau sapu pare sesuai dengan jenis tanaman utama,
biasanya berasap putih membumbung ke atas) batang padi. Asap putih yang membumbung
tinggi ke langit itulah yang dijadikan pertanda kepercayaan bahwa disana ada Sang Kuasa
yang paling tertinggi. Kata yang menunjukan dunia khusus Tuhan dan karuhun adalah adanya
kata manggung, artinya yang berdiam di tempat tertinggi bahkan diatas para dewa.

C. Naskah-naskah dan Sastra Lisan para juru Pantun dan Sesepuh


Banyak sekali sastra lisan dan tulis karya-karya para juru pantun dan para sesepuh
budaya Sunda contohnya seperti “Sawer Panganten” yang terdapat dalam Yus Rusyana.
1971. Bagbagan Puisi Sawer Sunda. Di dalam pustaka ini terdapat pembahasan dan teks puisi
sawer yang dihimpun dari sumber-sumber lisan dan tertulis. Ataupun sastra-sastra lisan yang
berada di masyarakat Sunda dari abad ke 16 (periode Islam) yang sampai sekarang sudah
tersebar dan sering kita jumpai di berbagai tempat di Jawa Barat, yang isinya mempunyai
makna dalam.
Contohnya seperti dalam tradisi Sawer Pangantin selalu dimulai dengan permintaan ijin
kepada Tuhan serta bersyukur kepada-Nya.

Kalayan asma pangeran


Nu maha asih tur heman
Mugi ieu janten jalan
Kenging hidayah pangeran.

Abdi ayeuna ngawitan


Nyawer anu pangantenan
Pamugi urang sadaya
Dipasihan panangtayungan

Sim kuring nya muji syukur


Ka Allah nu robbun ghofur
Oge ka Nabi nu mashur
Muhammad nu jadi rosul.
Terjemahan :

Dengan nama Tuhan


Yang maha pengasih dan penyayang
Semoga ini menjadi jalan
Untuk memperoleh hidayah Tuhan

Saya sekarang mulai


Me-nyawer bai pengantin
Mudah-mudahan kita semua
Diberi perlindungan.

Saya memuji syukur


Kepada Allah yang robbun ghofur
Begitu pula kepada Nabi yang mashur
Muhammad yang menjadi rasul.

Dalam bagian itu dijelaskan bahwa masyarakat Sunda dalam melaksanakan budaya
tradisi selalu tidak lupa akan Tuhannya dalam ungkapan rasa syukur dalam berbagai
kehidupannya.
Setelah memperhatikan data-data dan sumber-sumber diatas yang berhubungan dengan
keagamaan, maka tampak berkesinambungan sikap hidup orang Sunda dari masa ke masa
tentang ketuhanan. Peralihan agama dari Pra-Hindu – Hindu – Islam, semata-mata harus
dilihat dari segi sikap hidup bermasyarakat yang konsisten terhadap adanya kekuasaan Tuhan
yang Maha Kuasa. Jadi bisa disimpulkan dari keseluruhan data bahwa pandang hidup
masyarakat sunda dari masa ke masa di dalamnya tersimpul adanya :
 Kepercayaan kepada adanya Tuhan
 Kepercayaan bahwa tuhan itu Maha Esa
 Keterangan tentang sifat dan kekuasaan Tuhan
 Kewajiban manusia terhadap Tuhan ; dan
 Tuntunan kebajikan kepada manusia
Dibawah ini adalah beberapa filosofis dan peribahasa Sunda yang di dalamnya terdapat
nilai-nilai luhung tentang Manusia dengan Tuhan diantaranya :

1. Mulih ka jati mulang ka asal


Terjemahan :
kembali ke sejati pulang ke asal.
Makna :
Setiap mahluk itu dari Tuhan dan akan kembali ke kepada Tuhan
2. Dihin pinasti anyar pinanggih
Terjemahan :
Sejak dahulu ditentukan, baru sekarang dijumpai
Makna :
Segala hal yang dialami sekarang sesungguhnya sudah ditentukan dahulu. Agar orang
senantiasa percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan.
3. Nimu luang tina burang
Terjemahan :
Mendapat pengalaman dari kejadian/musibah
Makna :
Mendapat pengalaman atau pengetahuan pada waktu mendapat kecelakaan/ musibah.
Agar orang tidak berputus asa atau kecewa jika ditimpa kemalangan karena dibalik itu
ada hikmah yang bisa dipetik bagi kehidupan.
4. Kedhongana kuncinana, wong mati mangsa wurunga.
Terjemahan :
Di gedung yang dikunci pun orang mati mustahil tidak jadi
Makna :
Walau bagaimanapun setiap mahluk tidak akan luput dari kematian
5. Buaya mangap batang liwat.
Terjemahan :
Buaya menganga bangkai lewat.
Makna :
Memperoleh sesuatu yang sangat diharapkan dengan tak terduga-duga
6. Eling tan pangling, rinasuk jaja tumeheng pati.
Terjemahan :
Ingat tidak akan kesamaran, masuk ke dalam dada sampai mati.
Makna :
Keyakinan yang teguh yang akan terus dipegang sampai mati.
7. Kudu tungkul ka jukut, tanggah ka sadapan
Terjemahan :
Harus menunduk ke rumput , menengadah ke sadapan
Makna :
Selalu pasrah melaksanakan kewajiban dan tidak menghiraukan hal lain
8. Ulah beunghar memeh boga
Terjemahan :
Jangan berlagak kaya sebelum memiliki apa-apa
Makna :
Jangan berlaku dan berbuat seperti orang kaya, padahal diri sendiri belum punya apa-
apa, tapi harus bersyukur apa adanya.

Daftar Pustaka
Atja, Drs. & Drs. Saleh Danasasmita. 1981. Sanghyang Siksa Kandang Karesian. Bandung:
Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat.
Eringa, F.S. 1949. Loetoeng Kasaroeng een Mythologisch Verhaal uit West-Java. ‘S-
Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Rusyana, Yus. 1971. Bagbagan Puisi Sawer Sunda. Bandung: Proyek Penelitian Pantun dan
Folklore Sunda.
Warnaen, Prof. Dr.Suwarsih & Tim. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda Seperti
Tercermin dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi) Direktorat Jenderal Kebudayaan
Departemen Pendidikan daan Kebudayaan Bandung.
KAGALUHAN DALAM BIDANG MULTIDIMENSINONAL DALAM
BIDANG TEKNOLOGI

Dalam mempelajari materi materi Kagaluhan membutuhkan pendekatan multi


dimensional untuk memahami lebih dalam tentang Kagaluhan. Diantara beberapa pendekatan
multi dimensional tersebut adalah sudut pandnang dari bidang teknologi. Sudut pandang
eknologi merupakan salasatu aspek penting yang harus di terapkan dalam mengkaji
Kagaluhan.
Teknologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang keterampilan
dalam menciptakan alat, metode pengolahan, dan ekstraksi benda, untuk membantu
menyelesaikan berbagai permasalahan dan pekerjaan manusia sehari-hari. Ada juga yang
menyebutkan bahwa arti teknologi adalah semua sarana dan prasarana yang diciptakan oleh
manusia untuk menyediakan berbagai barang yang dibutuhkan bagi keberlangsungan dan
kenyamanan hidup manusia itu sendiri. Secara etimologis, kata “teknologi” berasal dari
bahasa Yunani, yaitu “technologia” dimana kata tech berarti keahlian dan logia berarti
pengetahuan. Dulunya makna teknologi hanya terbatas pada benda-benda yang memiliki
wujud, misalnya mesin dan peralatan. Namun makna teknologi mengalami perluasan dan
tidak hanya terbatas pada benda berwujud saja tapi juga benda yang tidak berwujud, misalnya
metode, ilmu pengetahuan, software, dan lain-lain, sehingga pengertian teknologi adalah
suatu cara, proses, alat, mesin, kegiatan ataupun gagasan yang dibuat untuk mempermudah
berbagai kegiatan manusia. Ada tiga hal yang harus di pahami untuk mngkaji sudut pandang
dalam Kagaluhan, terutama dalam teknologi. Tiga hal tersebut yaitu :

 Yang dulu ada, sekarang masih ada


 Yang dulu ada, sekarang sudah tidak ada
 Yang dulu tidak ada, sekarang malah ada

Tiga kalimat di atas yang akan menunjukan bahwa hasil cipta karya teknologi tersebut
asli dari hasil kearifan lokal. Kemudian apakah masyarakat sekarang masih menggunakannya
atau tidak. Juga untuk mengetahui apakah teknologi tersebut hasil akulturasi, atau teknologi
dari eksitu ( budaya luar ) yang masuk ke wilayah insitu ( budaya local ). Dari situlah kita
bisa mengenali dan memahami teknologi tersbut.
Begitupun yang berlaku pada masa lampau tepatnya pada masa kerajaan Galuh. Pada
masa itu teknologi sudah ada, namun di kala itu teknologi masih berbentuk sederhana.
Semakin tua peradaban maka semakin sederhana pula teknologi gunakan. Tetapi esensial
teknologi tersebut masih sama sampai jaman sekarang. Bisa di katakana tenologi jaman
sekararang merupakan pengembangan dari teknologi yang ada pada masa lampau. Bentuk
dan ciri teknologi jaman dahulu ada yang masih bisa di cirikan sampai masa sekarang. Ciri
dari bentuk teknologi kita bisa kategorikan dalam dua kategori utama, yaitu ciri tnggalan
teknologi benda dan ciri tinggaalan teknologi tak benda. Oleh karena itu dari dua hal tersebut
akan di jelaskan untuk bisa memahami lebih dalam lagi

 Ciri Tinggalan Teknologi Benda

Ciri tinggalan teknologi berupa benda merupakan sebuah bentuk teknologi yang
dibuat manusia dalam bentuk alat, bangunan, ruang (selain bangunan), dan sebagainya yang
mempunyai nilai fungsi dan guna. Perkembangan teknologi berupa benda tersebut dari waktu
ke waktu terus berkembang mengikuti kemajuan teknologi itu sendiri. Selain berkembang
sebagai fungsi dan guna, teknologi benda tersebut di sesuaikan dengan kondisi setempat yang
berlaku. Diantara kondisi setempat yang mempengaruhi teknologi tersebut yaitu kondisi
kontur alam, sosial/manusia, letak geografis, iklim dan potensi sumber daya alamnya. Bisa
dikatakan orang pegunungan dan orang pesisir akan berbeda dalam menerapkan teknologi
tersebut, karena mereka harus menyesuaikan dengan potensi – potensi yang ada.

Pada masa kerajaan Galuh masyarakatnya sudah mengenal teknologi dalam bentuk
benda, terutama pada masyarakat Galuh yang bertempat tinggal di dataran tinggi dan dataran
rendah. Teknologi yang di aplikassikannya sangat beragam sesuai dengan kebutuhan dan
potensi. Masyarakat pada umumnya mengaplikasikan teknologi tersebut dalam betuk alat –
alat yang membantu dalam kegiatan sehari hari, adapun beberapa contoh teknologi berupa
benda yang di gunakan masyarakat Galuh pada masanya hinga ada yang sampai jaman
sekarang. Beberapa contoh tersebut yaitu :

 Ulekan

Cobek (jawa) / Cowet (sunda) adalah teknologi berbentuk benda dari jaman dahulu
hingga sampai sekarang masih ada. Benda tersebut merupakan hsil cipta manusia daalam
teknologi berbentuk benda. Fungsi sepasang benda tersebut adalah alat yang telah digunakan
sejak zaman purbakala untuk menumbuk, menggiling, melumat, mengulek, dan mencampur
bahan-bahan tertentu (misalnya bumbu dapur, rempah-rempah, jamu, atau obat-obatan).
Perkembangan teknologinya dari dulu hingga sekarang tidak berubah secara signifikan.
Fungsinya juga masih sama, dan masih tetap di gunakan.
Batu Lumpang Batu Pipisan

Batu lumpang dan batu pipisan merupakan alat pelumat dan juga alat tumbuk yang di
gunakan pada masa megalitikum (pra sejarah ) hingga pada jaman klasik (masa sejarah). Alat
ini di gunakan masyarakat jaman dahulu untuk menumbuk makanan, obat obatan , dll. Pada
jaman modern sekarang masih ada masyarakat yang masih menggunakan alat tumbuk
tradisional. Walaupun bentuk dan bahan nyapun beragam, ada yang dari batu, kayu, juga
tanah liat. Kelebihan dari alat tersebut yaitu jika makanan, bumbu masak, rempah – rempah
yang di tumbuk di alat tersebut maka hasilnya tidak akan mengurangi rasa dan kualitasnya.
Walau kelemahannya kurang praktis di banding alat modern sekarang atau pelumat
elektronik (blander). Sampai sekarang hamper setiap rumah pasti ada yang masih menyimpan
dan menggunakan benda tersebut. Contoh gambar ulekan jaman sekarang :

Ulekan terbuat dari kayu Ulekan terbuat dari batu

 Karinding

Karinding merupakan salah satu alat musik tradisional Indonesia yang cara
memainkannya disentil oleh ujung telunjuk sambil ditempel di diantara bibir, mengarah ke
rongga mulut . Alat musik ini termasuk dalam jenis lamelafon atau idiofon. Biasanya dibuat
dari bahan pelepah aren atau dari bambu. Dalam penyebutannya Karinding
(Sunda), Rinding (Jawa), juga masih sajenis dengan génggong (Bali), serta kuriding dari
(Kalimantan Selatan). Alat ini di gunakan untuk menggelar upacara – upacara adat juga
pengiring music yang bernuansa sakral. Biasanya karinding digunakan juga oleh para petani
untuk menunggui padi di sawah. Ketika karinding di bunyikan, akan menghasilkan
gelombang suara yang dapat mengganggu serangga dan satwa yang memukiki kepekaan
gelombang sonar, secara tidak langsung karinding bisa berfungsi juga sebagai alat pengusir
hama. Selain alat musik, alat ini juga sering di pakai untuk media komunikasi, biasanya ada
nada nada tertentu dalam menabuh karinding dengan fungsi dan peruntukannya. Nada – nada
tersebut atau di sebut juga pirigan (Sunda) diantaranya tonggeret, gogondangan / tutunggulan,
rereogan, dan iring-iringan. Sampai sekarang alat music tersebut masih tetap ada, bahkan ada
beberapa generesasi muda yang tergabung dalam grup band modern sering
mengkolaborasikan alat musik tersebut. Contoh gambar karinding :

Karinding terbuat dari pelepah aren Karinding terbuat dari bambu


 Kentongan

Jaman sekarang alat komunikasi sudah terbilang canggih, bahkan cenderung ke


digital. Tetapi apapun bentuk alat komunikasi tersebut esentsial fungsi dan gunanya sama.
Alat tersebut merupakan alat untuk menyampaikan informasi kepada penerima informasi
yang di tuju. Begitupun dengan kentongan atau di sebut juga kohkol (Sunda), kentongan
merupakan alat komunikasi tradisional yang sudah ada pada masa kerajaan Galuh. Guna
kentongan merupakan alat komunikasi jarak jauh yang berfungsi untuk menyampaikan
informasi kepada penerimanya. Penerima informasi tersebut bisa berupa indifidu
( perorangan ) atau masal ( masyarakat umum ). Informasi yang di sampaikan bisa berupa
informasi darurat/bahaya, penanda waktu, dan lainnya. Arti pesan dari informasi yang di
sampaikan dapat di cirikan dari kerukan dan ritme dari penggunaan kentongan tersebut.
Memaninkan alat tersebut dengan cara di pukul. Bahkan ada prasasti jaman kerajaan galuh
yang tertuang dalam bentuk kentongan. Prasati tersebut di temukn di daerah Sadapaingan
masuk di wilayah Kawali, jadi prasasti tersebut di namakan Prasasti Sadapaingan. Prasasti
tersebut sekarang di simpan di Museum Nasional Jakarta. Sampai sekarang beberapa
masyarakat masyarakat masih menggunakan kentongan, biasanya terdapat di Pos Ronda,
bahkan kentongan menjadi saksi sejarah penyebaran Agama Islam di Tatar Galuh. Ini contoh
gambar dari beberapa kentongan.

Prasasti Sadapaingan Kentongan ronda Kentongan bedug di mesjid

Selain tiga benda di atas, masih banyak lagi berupa tinggalan teknologi berbentuk
benda yang dapat di buat oleh masyarakat Galuh pada masa lampau. Ada yang masih tetap
digunakan pada masa sekarang, ada yang beralih fungsi atau hanya beberapa orang yang
menggunakan, ada pula yang punah di lekang jaman.
 Ciri Tniggalan Teknologi Tak Benda

Ciri tinggalan teknologi berupa tak benda merupakan sebuah bentuk teknologi yang
dibuat manusia dalam bentuk pengetahuan, kebiasaan, dan kemampuan yang mempunyai
nilai fungsi dan guna. Perkembangan teknologi berupa tak benda tersebut dari waktu ke
waktu terus berkembang mengikuti kemajuan teknologi itu sendiri. Selain berkembang
sebagai fungsi dan guna, teknologi tak benda tersebut di sesuaikan dengan kondisi setempat
yang berlaku. Diantara kondisi setempat yang mempengaruhi teknologi tersebut yaitu kondisi
kontur alam, sosial/manusia, letak geografis, iklim dan potensi sumber daya alamnya. Bisa
dikatakan orang pegunungan dan orang pesisir akan berbeda dalam menerapkan teknologi
tersebut, karena mereka harus menyesuaikan dengan potensi – potensi yang ada.

Pada masa kerajaan Galuh masyarakatnya sudah mengenal teknologi dalam bentuk
tak benda, terutama pada masyarakat Galuh yang bertempat tinggal di dataran tinggi dan
dataran rendah. Teknologi yang di aplikassikannya sangat beragam sesuai dengan kebutuhan
dan potensi. Masyarakat pada umumnya mengaplikasikan teknologi tersebut dalam bentuk
pengetahuan, kebiasaan, dan kemampuan yang membantu dalam kegiatan sehari hari, adapun
beberapa contoh teknologi berupa tak benda yang di gunakan masyarakat Galuh pada
masanya hinga ada yang sampai jaman sekarang. Beberapa contoh tersebut yaitu :

 Konsep Waktu atau Penanggalan

Konsep waktu atau penanggalan merupakan bentuk tektologi yang tercipta dari
pengetahuan, kemampuan yang tercipta dari kebiasaan dan pengalaman. Konsep waktu dan
penanggalam merpakan hal yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat Galuh dari
jaman dahulu sampai jaman sekaran. Banyak sekali rangam kegiatan masyarakat yang tak
lepas dari waktu dan penanggalan. Bahkan hampir semua aktifitas selalu berkaitan dengan
waktu dan penanggalan. Dalam masarakat Galuh ada konsep pemilahan waktu dan
penanggalan di kenal denang Panata Mangsa. Biasanya panata mangsa di aplikasikan dalam
bentuk kolenjer. Adapun bukti dari tinggalan arkeologi yang mengaplikasikan kolenjer di
dalamnya. Tinggalan arkeologi tersebut adalah salasatu prasati yang ada di Astana Gede
Kawali, tepatnya prasasti Kawali V. Pada pasati kawali V terdapat garis kotak – kotak
berjumlah 45 buah kotak (5 baris dan 9 baris), juga terdapat sepasang telapak kaki dan satu
telapak tangan. Selain itu adapula tulisan yang di tulis dalam aksara dan bahasa sunda kuna
yang berbunyi ANANA/A GANA yang artinya tersendiri. Ini adalah gambar dari prasasti
kawali V:
Prasasti Kawali V

Kolenjer sudah di gunakan pada masyarakat Galuh terdahulu, bahkan sampai sekarang.
Inilah yang menjadi awal terbentuknya Kalender yang di gunakan pada masyarakat jaman
sekarang. Masyarakat Galuh mempunyai cara atau teknologi tersendiri dalam menentukan
tanggal dan waktu yang di terapkan. Ada dua cara yang dipakai , yaitu sistem Candrakala dan
Suryakala. Penjelasan dua konsep tersebut yaitu :

1. Suryakala

Suryakala merupakan salasatu dari metode tolak ukur penanggagalan. Surya artinya
matahari dan kala artinya waktu. Jadi bisa di simpulkan konsep atau metode yang di pakai
adalah penentuan waktu berdasarkan peputaran matahari. Perhitungan waktu dengan metode
suryakala biasanya sering di pakai untuk menentukan jam, hari, minggu, bulan dan tahun.
Metode ini menghasilkan nama – waktu / jam, hari, bulan, tahun. Perhitungan waktu
Suryakala biasanya di hitung dari mulai terbit matahari sampai terbenamnya matahari
( hitungan siang )

Hitungan waktu dalam satuan jam di masyarakat Galuh

Selain hitungan bersekala jam ada pula nama nama hari dalam bahasa sunda dikenal
dengan Saptawara atau tujuh nama hari diantaranya yaitu :

 Radite/dite = Ahad / Minggu


 Soma = Senen / Senin
 Anggara = Salasa / Selasa
 Buda = Rebo / Rabu
 Respati / wrehaspati = Kemis / Kamis
 Sukra = Juma'ah / Jum'at
 Tumpek = Saptu / Sabtu

Selain hitungan bersekala hari ada pula nama nama bulan, juga tahun, yang di pakai
oleh masyarakat Galuh pada umumnya. Perkembangan metode perhitungan waktu dengan
tolak ukur matahari sampai sekarang masih di pakai. Perkembangannya sekarang di sebut
dengan kalender masehi yang biasa di pakai oleh kita sehari – hari atau dalam Islam di sebut
dengan kalender Syamsiah.

2. Candrakala

Candrakala merupakan salasatu dari metode tolak ukur penghitungan waktu. Candra
artinya bulan dan kala artinya waktu. Jadi bisa di simpulkan konsep atau metode yang di
pakai adalah penentuan waktu berdasarkan peputaran bulan. Dalam islam di sebut juga
dengan system atau metode Komariah yang prodaknya berupa kalender Hijriah. Perhitungan
waktu dengan metode candrakala biasanya sering di pakai untuk menentukan musim, arah
mata angina atau navigasi. Perhitungan waktu Candrakala biasanya di hitung dari mulai
terbenam matahari sampai terbit matahari ( hitungan malam ). Pada masyarakat galuh di
dataran tinggi, biasanya mereka menggunakan metode ini umtuk menentukan tanggal musim
untuk bercocok tanam. Biasanya ini berkaitan dengan curah hujan. Awal dari akan di
mulainya musim tanam biasanya suka di awali dengan upacara adat. Ada beberapa nama
upacara adat di setiap daerah, tetapi pada umumnya menamakan Sidekah Bumi / Hajat Bumi.
Adapun nama – nama musin berdasarkan metode perhitungan candrakala yaitu :

 Kasa (ke-1) : Mulai tanggal 22/23 Juni – 2/3 Agustus ditandai dengan mulai
menanam palawija.
 Karo (ke-2) : Dari tanggal 2/3 Agustus – 25/26 Agustus ditandai dengan
musim
pohon randu berdaun muda dan menanam palawija untuk kedua
kalinya.
 Katiga (ke-3) : Dari tanggal 25/26 Agustus – 18/19 September ditandai dengan
musim umbi-umbian bertunas dan panen palawija.
 Kapat (ke-4) : Dari tanggal 18/19 September – 13/14 Oktober ditandai dengan
musim sumur-sumur kering, pohon randu berbuah dan musim
menanam pisang.
 Kalima (ke-5) : Dari tanggal 13/14 Oktober – 9/10 Nopember ditandai dengan
musim mulai turun hujan, pohon asam berdaun muda, dan
kunyit
pun berdaun muda.
 Kanem (ke-6) : Dari tanggal 9/10 Nopember – 22/23 Desember ditandai
dengan
musim buah-buahan mulai menua dan musim menggarap
sawah.
 Kapitu (ke-7) : Dari tanggal 22/23 Desember – 3/4 Pebruari ditandai dengan
musim banjir dan angin kencang serta musim menanam padi.
 Kawalu (ke-8) : Dari tanggal 3/4 Pebruari – 1/2 Maret ditandai dengan musim
padi
mulai berisi dan banyak ulat.
 Kasanga (ke-9) : Dari tanggal 1/2 Maret – 26/27 Maret ditandai dengan padi
sudah
merata berisi dan serangga turaes banyak bersuara.
 Kasadasa (ke-10) : Dari tanggal 26/27 Maret – 19/20 April ditandai dengan musim
padi mulai berbuah hijau, burung-burung membuat sarang dan
musim paliwija di tanah darat.

 Desta (ke-11) : Dari tanggal 19/20 April – 12/13 Mei ditandai dengan masih
ada
waktu untuk berpalawija, burung-burung memberi makan anak
anaknya.
 Sada (ke-12) : Dari tanggal 12/13 Mei – 22/23 Juni di tandai dengan
selesainya
panen padi dan udara pagi sudah dingin sekali.

Adapun masyarakat Galuh yang tnggal di dataran rendah, tepatnya di wilayah pesisir.
Pada umumnya masyarakat di pesisir bermata pencaharian sebagai nelayan yang lekat sekali
hubungannya dengan laut. Dalam menggunakan metode candrakala, mereka bisa
mengaplikasikanya dalam system navigasi, atau arah pelayaran. Selain itu keadaan laut juga
dapat tergambar dalam metode canndrakala, terutama arus laut, musim angina, pasang surut
air laut yang semuanya berpengaruh pada aktivitas kesehariannya salam berlayar mencari
ikan.

Hingga saat ini esensial dari teknologi konsep waktu dan penanggalan masih di pakai.
Terutama dalam pengaplikasian dua metode tadi yaitu Suryakala / Matahari dan Candrakala /
Bulan. Pada masa sekrang metode dan bentuk alatnya sudah modern tetapi konsep dasarnya
tidak berubah dari jaman dahulu.

 Konsep Tataruang

Konsep tataruang atau tata wilayah merupakan unsur penting dalam mengelola suatu
Negara, begitu pula dalam sebuah kerajaan. Fungsi dari tataruang sangatlah penting
terutamadalam keberlangsungan kerajaan. Kerajaan Galuh pada masalalu sudah mempunyai
teknologi dalam mengolah kerajaannya, terutama dalam menyusun tataruang. Tataruang di
bentuk supaya fungsi, guna dan potensi suatupilayah disa di maksimalkan dan di manfaatkan
dalam jangka waktu yang panjang. Ada beberapa data yang bisa membuktikan bahwa
masyarakat Galuh pada masa lampau sudah mengetahui tentang teknologi tataruang. Diantara
data yang bisa menggamparkan teknologi tersebut adalah tinggalan arkeologi. Tinggalan
arkeologi tersebut adalah salastu prasasti di Kawali, tepatnya prasasti Kawali I.
Prasasti Kawali I

Tulisan yang tertulis di bagian muka batu adalah:

1. nihan tapa kawa-


2. li nu sang hyang mulia tapa bha-
3. gya parĕbu raja wastu
4. mangadĕg di kuta ka-
5. wali nu mahayuna kadatuan
6. sura wisesa nu marigi sa-
7. kuliling dayĕh. nu najur sakala
8. desa aja manu panderi pakĕna
9. gawe ring hayu pakĕn hebel ja
10.ya dina buana

Yang artinya adalah : inilah jejak (tapak) (di) Kawali (dari) tapa dia Yang Mulia
Prabu Raja Wastu (yang) mendirikan pertahanan (bertahta di) Kawali, yang telah
memperindah kedaton Surawisesa, yang membuat parit pertahanan di sekeliling wilayah
kerajaan, yang memakmurkan seluruh pemukiman. Kepada yang akan datang, hendaknya
menerapkan keselamatan sebagai landasan kemenangan hidup di dunia.

Tulisan yang tertulis di bagian tepi sisi batu adalah :

1. hayua diponah-ponah
2. hayua dicawuh-cawuh
3. inya neker inya angger
4. inya ninycak inya rempag

Yang artinya adalah : Jangan dimusnahkan, Jangan semena-mena, Ia dihormati ia


tetap, Ia menginjak ia roboh.

Makna yang terkandung dalam isi dari prasasti itu adalah, seorang raja yang sudah
menata atau membuat sebuah tataruang sebuah kerajaan demi kesejahteraan masyarakatnya.
Disana terdapat beberapa kalimat yang menuangkut sebuah parit yang mengelilingi keraton.
Funsi parit sangat luas, bisa sebagai sarana pertahanan keratin yang berfungsi sebagai
benteng ataupun fungsi dalam mendorong kesejahteraan rakyatnya, untuk kemakmuran
(biasanya berkaitan dengan pertanian). Adapun tulisan yang mengungkapkan, jangan di
musnahkan, jangan semena – mena, yang menghormati akan tetap dan yang melanggar akan
celaka.
Kesimpulan yang tertulis diatas merupakan hal yang penting dalam merawat dan
mengelola tata ruang dalam suatu kerajaan atau Negara. Kemudian aturan tersebut harus di
taati untuk kesejahteraan dan yang melanggar akan mendapat konsekwensi.

Selain tinggalan arkeologi berupa prasasti, adapun tinggalan berupa naskah kuna yang
di tulis dengan hurup sunda dalam bahasa sunda kuno. Naskah tersebut bernama naskah
Waruga Lemah. Isi dari Naskah Waruga Lemah adalah pengetahuan tentang pola pemukiman
(kampung, wilayah kota, dan umbul) masyarakat Sunda pada masa lalu ini, tertera dalam tiga
lempir daun lontar berukuran 28,5 x 2,8 cm., yang mengandung 4 baris tulisan tiap
lempirnya. Naskah WL kini tersimpan di Perpustakaan Nasional RI (PNRI) dengan nomor
koleksi L 622 Peti 88.

Naskah Waruga Lemah

Adapn beberapa isi dari naskah tersebut mengenai konsep tataruang wilayah pemukiman
di tatar Galuh dalam naskah Waruga Lemah. Ari beberapa catatan dalam naskah tersebut
diantaranya ada 18 yang tercantum yaitu :

1. Talaga Hangsa. Topografi tanah condong ke kiri. Topografi jenis ini tergolong baik,
karena mendatangkan kasih sayang orang lain.
2. Banyu Metu. Topografi tanah condong ke belakang. Termasuk topografi tanah yang
kurang baik, karena menyebabkan kanénéh ‘kesayangan, apa yang disayangi’ tidak akan
menjadi.
3. Purba Tapa. Topografi tanah condong ke depan. Termasuk topografi yang kurang baik,
karena senantiasa kehilangan simpati (rasa suka) orang lain.
4. Ambek Pataka. Topografi tanah condong ke kanan. Termasuk topografi yang kurang baik
karena menyebabkan orang lain menyakiti hati.
5. Tanah yang ngalingga manik. Secara harfiah, ngalingga manik berarti ‘membentuk
puncak permata’. Mungkin dapat diartikan topografi tanah yang membentuk puncak
dengan lahan pemukiman berada di puncaknya. Termasuk topografi tanah yang baik,
karena menjadikan penduduknya diperhatikan oleh dewata. Pada tanah seperti inilah
Bujangga Manik, seorang peziarah/petualang Sunda abad 16, mengakhiri kehidupannya.
Dalam catatannya Bujangga Manik (baris 1404-1406), rahib kelana / pejiarah / sang
petualang ini berharap menemukan tanah kabuyutan, yaitu tanah yang menyerupai
puncak permata (ngalingga manik).
6. Singha Purusa. Topografi tanah (lahan) memotong pasir, berada di antara puncak dan
kaki bukit. Termasuk topografi tanah yang baik, karena mendatangkan kemenangan
dalam berperang.
7. Sri Madayung. Topografi tanah berada di antara dua aliran sungai, yaitu sungai kecil di
sebelah kiri dan sungai besar di sebelah kanan. Termasuk topografi tanah yang kurang
baik, karena menyebabkan dimadu oleh perempuan.
8. Sumara Dadaya. Topografi tanah datar. Mungkin sama dengan istilah topografi Sunda
sekarang galudra ngupuk (Ensiklopedi Sunda, 2000:227). Termasuk topografi lahan yang
cukup baik, karena menyebabkan rama, sebagai salah satu dari trias penguasa masyarakat
Sunda kuna selain rama dan resi, senantiasa datang berkunjung.
9. Luak Maturun. Topografi tanah berceruk karena di tengah wilayah terdapat lembah,
mungkin menyerupai luak yang turun dari pohonnya. Termasuk topografi tanah yang
tidak baik, karena menjadikan penduduknya banyak mendapat penderitaan. Dalam
Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian, istilah luak maturun termasuk salah satu
formasi perang.
10. Wilayah melipat. Tidak disebutkan istilah untuk topografi ini. Termasuk topografi
wilayah pemukiman yang kurang baik karena menyebabkan berkurangnya kekayaan.
11. Tunggang Laya. Topografi wilayah pemukiman menghadap laut. Termasuk topografi
yang kurang baik, karena menyebabkan penduduknya mati tersambar petir.
12. Mrega Hideng. Wilayah bekas kuburan. Termasuk wilayah pemukiman yang kurang baik,
karena mengakibatkan wilayahnya kurang memiliki wibawa.
13. Jagal Bahu. Tanah menganga (terpisah) sehingga terdapat celah yang memisahkan
wilayah pemukiman. Termasuk topografi tanah yang kurang baik, karena mengakibatkan
wilayahnya kurang memiliki wibawa.
14. Talaga Kahudanan. Wilayah pemukiman membelah sungai. Termasuk topografi
pemukiman yang kurang baik, karena penduduknya dapat mati karena senjata orang lain
dalam peperangan.
15. Wilayah membelakangi bukit atau gunung. Tidak terdapat istilah untuk topografi ini.
Termasuk topografi wilayah yang kurang baik, karena akan merusak hubungan keluarga.
16. Si Bareubeu. Topografi wilayah berada di bawah aliran sungai (katunjang ku cai).
Termasuk topografi lahan yang kurang baik, karena akan dihukum oleh dewata.
17. Kampung dikelilingi oleh rumah. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang kurang
baik karena penduduknya akan menjadi rakyat jelata (budak).
18. Bekas tempat kotor (picarian) dikelilingi oleh rumah. Tidak terdapat istilah khusus di
dalam teks untuk jenis topografi ini. Termasuk topografi wilayah pemukiman yang
kurang baik, karena akan mendatangkan kesusahan.

Selain dalam naskah Waruga Lemah, adapun konsep tataruang yang tercantum dalam
naskah Siksa Kanda Ng Karesian. Naskah Siksa Kandan Ng Karesianmerupakan merupakan
salasatu naskah sunda kuno yang penting dalam kajian sejarah Sunda. Beberapa catatan yang
tercantum dalam naskah Siksa Kanda Ng Kaersian, mengenai konsep tataruang adalah :
Naskah Siksa Kanda Ng Karesian

“Mala ning lemah ngara(n)na: sodong, saronggé, cadas gantung, mu(ng)kal patégang,
lebak, rancak, kebakan badak, catang nu(ng)gang, catang nonggéng, garunggungan,
garenggengan, lemah sahar, dangdang wariyan, hunyur, lemah laki, pitunahan céléng,
kalo(m)béran, jaryan, seuma; sawatek lemah kasingsal.”

Yang artinya adalah : Yang disebut tanah-tanah yang kotor ialah: sodong, saronggé,
cadas gantung, mungkal patégang, lebak, rancak, kebakan badak, catang nunggang, catang
nonggéng, garunggungan, garenggengan, lemah sahar, dangdang warian, hunyur, lemah laki,
pitunahan céléng, kalombéran, jaryan, kuburan; golongan tanah terbuang.

Adapun dalam papgon sunda / peribahasa yang isinya mengnai konsep tata ruang atau
tata wilayah yaitu :

Gunung kaian
Gawir awian
Cinyusu rumatan
Pasir talunan
Lebak caian
Sampalan kebonan
Walungan rawatan
Legok balongan
Daratan sawahan
Situ pulasaraeun
Lembur uruseun
Basisir jagaeun.

Artinya :

Gunung harus ditanami pohon tegakan ( pungsi konservasi)


Tebingan / tanah kemiringan curam harus di tanami bambu ( untuk mencegah longsor)
Mata air harus di lestarikan
Bukit ditanami beragam pepohonan besar
Lembahan harus dijaga airnya
Bagian tanah kosong di manfaatkan untuk kebun
Sungai harus di pelihara
Sekungan di buat kolam
Telaga harus di rawat
Negara harus di urus
Pantai dan laut harus di jaga

Kosep tersebut biasanya di kenal dengan istilah zonasi berdasarkan konsep Patanjala
yang berkaitan dengan teknologi tataruang atau tata wilayah sesuai peruntukannya. Biasanya
terbagi pada zona inti (konservasi), zona penyangga, zona pengembang (produksi)

Gambaran konsep patanjala

Istilah tersebut mengandung makna bahwa ada aturan aturan tertentu untuk
membangun tataruang yang harus berdasakan nilai ekologi, geologi, dan topografi. Sehingga
seorang raja dan masyarakatnya tidak akan salah dalam mengelola atau membuat system tata
ruang yang akan membawa pada kesejahteraan. Ketika konsep tataruang di langgar maka
akan terjadi dampak dari kesalahannya. Hal tersebut samai sekarang masih di pakai dalam
penentuan konseop tataruan sebagaimana potensi lingkungan dan alam yang ada dalam
kemasan moderen tetapi esensial yang masih tetap sama.

 Konsep Social dan Ekonomi

Sosial ekonomi merupakan kedudukan atau posisi seseorang dalam


kelompok masyarakat yang ditentukan oleh jenis aktivitas ekonomi, pendidikan serta
pendapatan. Dalam pembahasannya sosial dan ekonomi sering menjadi objek pembahasan
yang berbeda. Dalam konsep sosiologi manusia sering disebut dengan makhluk sosial yang
artinya manusia tidak dapat hidup wajar tanpa adanya bantuan dari orang lain, sehingga
arti sosial sering diartikan sebagai hal yang berkanaan dengan masyarakat.

Begitupun masyarakat Galuh pada masalampau sudah mengenal teknologi dari


konsep ekonomi dan social. Ada beberapa contoh teknologi dari konsep social dan ekonomi
yang ada di masyarakat galuh dan sunda pada umumnya. Biasanya teknologi tersebut sudah
jarang yang menggunakannya atau mengaplkasikannya, kareana terbwa oleh perkembangan
dan kemajuan jaman. Contoh – contoh tersebut adalah :
1. Sisitem Transaksi

Suasana pasar tradisional

Barter merupakan system transaksi yang dipakai pada masa lampau. System ini
merupakan teknologi transaksi yang berlaku pada masa itu. Masyarakat galu pada umumnya
memakai system ini ketika bertransaksi. Ada kelebihan dan kekurangan dalam system barter.
Beberapa kelebihan dalam system barter diantaranya :

 Tidak ada yang di rugikan pada kedua pihak yang bertransaksi. Hal tersebut di
karenakan sebelum terjadinya barter ada sesepakatan terlebih dahulu dari dua pihak
yang bertransaksi. Jadi apapun bentuk dan jenis barangnya, jikalau terjadi
kesepakatan tidak aka nada uang kerugian.
 System ini tidak di pengaruhi oleh faktor external, atau system ini berlaku di daerah
setempat / regional. Negara dan daerah lain mempunyai potensi kecil untuk
mempengaruhi kegiatan dalam pengalikasian system tersebut. Berbeda dengan halnya
nilai uang yang di pengaruhi asing ( kurs dolar ).

Beberapa kekurangan dalam system barter diantaranya :

 Benda kurang praktis, atau alat tukar sulit untuk di bawa kemana mana dalam waktu
yang tak tentu. Biasanya terkendala pada alat tukar bararang dari hasil alam yang
sifatnya mudah rusak atau bususk.

Pada masa sekarang masih ada beberapa masyarakat yang masih memakai system ini,
terutaman di beberapa masyarakat yang tinggal jauh dari peradaban. Masyarakat tersebut
biasanya adalah masyarakat kampong ada. Beberapa kampong adat yang sebagian
masyarakatnya masih mengunakan system tersebut yaitu Masyarakat Adata Baduy Dalam.

2. Sistem Penyimpanan

Menyimpan atau dalam bahasa sekarang di sebut pula menabung, sudah di kenal oleh
masyarakat Galuh jaman dahulu. Bedanya jaman sekarang dengan jaman dahulu adalah objek
yang di simpannya. Bentuk system tersebut bisa kita jumpai di kampung – kampong adat. Di
beberapa kampung adat ada yang di kenal dengan Leuit. Leuit atau Lumbung padi merupakan
tempat/gudang menyimpan padi kering setelah dijemur. Posisi leuit biasanya terpisah dari
rumah atau bangunan tersendiri. Ukuran dan banyaknya leuit bisa mencirikan status social
dari orang pemilik leuit tersebut. Kemudian leuit ada yang di miliki secara individual
( kasatuan / perorangan ), juga ada yang di miliki secara komunal ( bersama ).

Ada beberapa jenis leuit dengan nama – namanya tersendiri. Hal tersebut di pengaruhi
oleh fungsi dan guna leuit tersebut. Diantara leuit tersebut adalah leuit si Jimat. Leit si Jimat
merupakan jenis leuit yang di miliki secara komunal ( bersama ). Di satu kampung adat pasti
terdapat satu Leuit si Jimat. Leit tersebut biasanya terletak tidak jauh dari Imah Gede. Imah
gede merupakan rumah kepala adat juga rumah uang sering dijadikan ruangan pertemuan
masyarakat adat. Leit si Jimat merupakan leuit komunal yang bisa di gunakan oleh
masyarakat adat dengan dasar aturan adat. Leuit ini biasanya menyimpan beberapa jenis padi
local yang akan di gunakan untuk bibit / benih padi kembali untuk masa tanam yang
berkelanjutan. Padi yang di simpan di leuit ini usianya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan
tahun. Ada bebereapa perbedaan dari leuit tersebut, bisa di lihat dari gambar ini :

Leuit Si Jimat Leuit Kasatuan / Perorangan


Jika kita membaca referensi tentang leuit, atau dalam istilah sunda ada yang dikatakan
“Leuit Salawe Jajar” adalah satu konsep atau system ketahanan pangan masyarakat sunda.
Pada waktu itu masyarakat tidak di perbolehkan menjual padi atau membarter padi dengan
apapun karena padi adalah kebutuhan pokok yang merupakan kebutuhan utama untuk hidup.
Jadi dengan menjual padi, sama saja dengan menjual kehidupan dan membiarkan hidupnya
sengsara dengan kekurangan pangan. Ternyata leluhur kita adau masyarakat Galuh pada
umumnya lebih hebat dalam berfikir danlebih terkonsep dibandingkan dengan kehidupan saat
ini yang katanya lebih moderen, sehingga melupakan nilai – nilai kearifan lokal yang jelas
jauh lebih bernilai untuk kehidupan.

 Konsep Gaya hidup

Gaya hidup merupakan gambaran tingkah laku, pola dan cara hidup yang ditunjukkan
sebagaimana aktivitas seseorang, minat dan ketertarikan serta apa yang mereka pikirkan
tentang diri mereka sendiri sehingga membedakan statusnya dari orang lain dan lingkungan
melalui lambang-lambang sosial yang mereka miliki. Begitupun pada masyarakat Galuh pada
jaman dulu. Masyarakat terdahulu sudah memiliki gaya hidup yang mengandung unsur
teknologi, walaupun dalam kemasan sederhana. Beberapa contoh konsep gaya hidup yang
mereka terapkan adalah di bidang kesehatan.

Banyak sekali ragam gaya hidup masyarakat Galuh pada masa lalu dari mulai
kesehatan, cara pengobatan, dan lain lain. Ada hal yang menarik dalam konsep gaya hidup
pada masyarakat gauh terdahulu, yitu dalam kesehatan dan pengobatan. Teknologi kesehatan
dan pengobatan sebetulnya sudah di kenal oleh masyarakat dulu, bahkan nilai nilai dari unsur
tersebut masih di terapkan hingga jaman sekarang. Pada umumnya nilai yang di terapkan di
jaman sekarang itu sudah berbentuk moderen tetapi nilai esensialnya sama. Bahkan konsep
teknologi kesehatan dan pengobatan tidak sedikit yang di kemas melalui tradisi lisan. Tradisi
lisan tersebut bisa berbentuk pamali (atau pantrangan ) yang tersebar di masyarakat. Pamali
tidak selalu hanya mengandung muatan mitos, tetapi dalam pamali ada pula yang
mengandung nilai ilmiah. Salasatu contoh pamali yang mengandung nilai ilmiah adalah :

“Budak leutik teu menang kaluar ti imah dina wanci sareup na, pamali bisi aya
sandekala” artinya : seorang anak kecil dilarang keluar rumah pada waktu perpindahan siang
ke malam, pamali nanti ada sandekala

Simpulan dari kutipan diatas adalah anak kecil tidak boleh keluar rumah pada waktu
sore menjelang malam, karena di waku tersebut merupakan waktu dimana terjadi perubahan
suhu udara, juga keadaan alam (cuaca). Ketika anak kecil dengan kondisi system imun yang
rendah maka, dia akan rentan terkena penyakit. Efek atau kecil yang menimpa anak kecil
keluar rumah atau di ruangan pada waktu itu adalah demam. Demam tersebut biasanya terjadi
ketika system kekebalan tubun anak tidak mampu beradaptasi dengan perubahan suhu dan
cuaca. Biasanya orang tua dulu mengatakan demam tersebut dengan nama “
kasambet/kasibat”. Kemudian sandekala, sandekala di tafsirkan sebagai sosok jahat yang di
takuti anak – anak. Padahal arti dari sandekala adalah perobahan waktu, tepatnya dari siang
ke malam. Hal tersebut di kemas oleh orangtua dahulu di buat supaya anak takut dan
menuruti pepatah orang tua.

Selain nilai nilai edukasi yang mengandung unsur teknologi dengan kemasan
sastralisan adapula teknologi kesehatan dalam bentuk praktisi kesehatan dan metode –
metode kesehatan yang di terapkannya. Diantaranya yaitu Maraji/Mabeurang/atau bidan
tradisional. Maraji memiliki keahlian khusus dalam penanganan kesehatan khususnya pada
orang yang mengandung, melahirkan, dan perawatan bayi. Mereka yang memiliki keahlian di
bidang tersebut mempunyai kemampuan merawat, mengobati dan mengobservasi seseorang
yang sedang dalam masa mengandung, proses melahirkan, bahkan perawatan paska
melahirkan (pada ibu dan anaknya). Mereka tahu dan paham akan obat – obatan yang harus
di pakai, vitamin bahkan observasi usia kehamilan yang sedang mengandung. Selain itu bayi
yang sudah lahirpun dia mampu untuk merawat dari sisi kesehatannya, walau semua hal
dilakukan secara tradisional. Beberapa metode yang di lakunan maraji ada pula yang di
kemas dengan nilai tradisi atau upacara adat. Ada beberapa upacara adat yang suka di
laksanakan diantaranya empat bulanan, tujuh bulanan, tradisi pasca kelahiran, juga pada
seorang bayi dinamakan Puputan, ketika luka pangkal ari – ari bayi kering. Adapun contoh
dari foto profesi maraji, atau bisa di katakana bidan tradisisonal :
Seorang maraji menimbang bayi Seorang maraji merawat ibu hamil

Adapun beberapa tinggalan arkeologi yang mempunyai sejarah local yang ada
kaitannya dengan teknologi kesehatan. Tinggalan tersebut yaitu batu Panyandaan, menurut
sejarah local masyarakat, baru tersebut di pakai bersandar untuk istirahat oleh ibu dari ciung
wanara, ketika proses pesalinan. Batu tersebut berada di situs Karangkamuluan

Batu panyandaan di situs Karangkamulian

Selain maraji ada juga yang di sebut dengan mantri atau bengkong, sealin ahli di
bidang kesehatan bengkong ini juga ahli di bidang oprasi (sunat). Bengkong juga faham akan
obat – obatan herbal yang harus di pakai untuk mengobati beberapa penyakit, juga untuk
menjaga keseatan. Salasatu metode yang di pakai oleh bengkong sebelum menjalankan sunat,
biasanya bengkong menyuruh orang yang akan di sunat untuk berendam di cikahuripan / air
alami (bisa berupa situ, mata air, dll) pada waktu dini hari (subuh) dengan waktu tertentu.
Tujuan berendam merupakan metode bius tradisional, agar bisa meminimalisir rasa sakit
ketika sunat. Selain sisi medis, sunat di anjurkan bagi para laki dari sisi agama dan budaya.
Terbukti di masyarakt kampong adat baduy, masih melaksanakan sunat pada masyarakat laki
– laki.
Bengkong sedang melaksakan tugasnya Prosesi sunat di kampung adat Baduy

Selain praktisi atau orang yang mempunyai kemampuan, adapun beberapa


pengetahuan yang di miliki oleh masyarakat Galuh. Beberapa bentuk hasil cipta karya
tersebut diantaranya obat – obatan herbal. Obat obatan herbal sudah ada pada masa lalu, dan
di gunakan oleh masyarakat. Beberapa obat – obatan sersebut di gunakan untuk obat dalam
(dimakan) dan luar (tidak dimakan). Pengobatan tradisional sudah tercantum dalam naskah
Sunda kuno abad XVI M, yakni Kropak 421 Mantera Aji Cakra yang berisi mantra
penangkal, Darmapamulih (mantra pengobatan), serta Kropak 409 ‘Soeloek Kidoengan
Tetoelak Bilahi’. Naskah tersebut perupakan data penuat bahwa metode pengobatan
tradisional sudah di jalankan pada masa lampau. Berikut ini adalah beberapa contoh obat
obatan herbal yang sampai sekarang masih di pakai :

Beberapa jenis rempah yang sering di pakai untuk obat dalam dan luar
Obat-obatan tersebut merupakan hasil cipta dan karya dari masyarakat terdahulu,
dengan mengandalkan kemampuan dan memanfaatkan ptensi alami. Dengan karakter daerah
tatar Galuh yang memiliki sebagian besar hutan tropis, alasan inilah yang membuat potensi
rempah – rempah yang bisa di jadikan obat sangat melimpah. Prodak olahan yang tercipta
dari ramuan tanaman herbal tersebut di sebut dengan jamu. Beberapa yang mencirikan obat –
obatan tradisional tersebut di pakai di kerajaan , dan sampai jaman runtuhnya kerajaan. Di
buktikan dengan rata rata peluang orang jaman dulu untuk berumur panjang sangat besar
karena pola hidup sehatnya, dari makanan, aktifitas, dan obat tradisional yang ditambah
kondisi lingkungan yang masih terjaga. Kemudian para putri-putri keraton mempunyai kulit
sehat dan bersih, karena mereka memakai treatmen atau perawatan kulitnya dengan
menggunakan cara dan bahan tradisional.

Selain teknologi dalam empat konsep di atas, masih banyak lagi berupa tinggalan
teknologi tak benda yang dapat di buat oleh masyarakat Galuh pada masa lampau. Ada yang
masih tetap digunakan pada masa sekarang, ada yang beralih fungsi atau hanya beberapa
orang yang menggunakan, ada pula yang punah di lekang jaman. Itulah beberapa teknologi
yang di pakai dan di gunakan oleh masyarakat Galuh pada masa lampau, yang kini ada yang
masih tetap ada da nada yang sudah punah. Dari sinilah kita bisa menggunakan pendekatan
sudut pandang multi dimensional untuk memilah, memilih, dan mengkaji nilai-nliai apa saja
yang terkandung dalam Kagaluhan di bidang teknologi.

Anda mungkin juga menyukai