Anda di halaman 1dari 24

RichadianaKadarismanKartakusuma

Kepercayaan Pribumi (Agama Asli) di


Nusantara sebagai
Reaktualisasi Kepribadian Budaya (Ibu) Nenek
Moyang
(Berdasarkan Beberapa Data Arkeologis)

Oleh:
Richadiana Kadarisman Kartakusuma M.Hum
(Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional)

1. Manggala
Membicarakan kepercayaan pribumi dan permasalahannya bertaut salah satu isi
dari wujud kebudayaan. Karena kepercayaan adalah sistem religi yang bersifat inti dari
semua kebudayaan di seluruh belahan bumi, baik yang kecil, terisolasi, sederhana,
maupun besar, kompleks dan maju. Noerhadi Magetsari (l980/1981) menuturkan:

... dilihat dari bekas-bekas penghidupan yang ditinggalkan


manusia, kita lihat bahwa bagian terbesar dari peninggalan
berupa kehidupan keagamaan. Untuk keperluan
keagamaannya manusia tidak segan-segan untuk melukis
dinding yang 5-7 meter tingginya, dalam keadaan
kegelapgulitaan gua, mendirikan bangunan bangunan besar
yang kalau dilihat dari teknologi modernpun sangat sukar
untuk melaksanakannya. Sebaliknya peninggalan dan
kehidupan sehari-hari sedikit sekali bekasnya....1

Demikian Chr. Dowson (cf., Noerhadi Magetsari l982: 498) menyatakan:

... we cannot understand the inner form of a society, unless


we understand the religion; we cannot understand its
cultural achievements unless we understand the religion
beliefs that lie behind them. But, in all ages creative works
of a culture are due to a religious inspiration and dedicated
to religious end.... 2

Ungkapan-ungkapan para sarjana tersebut mencerminkan betapa pentingnya


unsur kepercayan yang tidak semata dirujuk keagamaan semata, tetapi lebih dari itu yakni
1
Noerhadi Magetsari Kemungkinan Agama sebagai Alat Pendekatan dalam Penelitian Arkeologi, Makalah pada
Pertemuan Ilmiah Arkeologi (PIA I), Cibulan, 21-25 Februari 1977. Pusat Penenelitian Purbakala dan Peninggalan
Nasional. Jakarta 1980..
2
Noerhadi Magetsari, Tathagata di Jawa pada Abad Sembilan. Disertasi FSUI. 1982.

1
RichadianaKadarismanKartakusuma

simbol kepribadian yang menjadi jiwa dan menjiwai kebudayaan. Berbicara kebudayaan
tanpa lebih dulu memahami sistem kepercayaan (religious belief) akan menjadi sia-sia
belaka. Ke dalam pengertian tegas, kepercayaan adalah suksma yang menghidupi
kebudayaan dan embrio yang melahirkan kepribadian suatu bangsa. Kepercayaan tidak
sekedar agama (part) melainkan seluruh bagian partwhole yang merupakan sistem di
dalam kepribadian yang bertahta dalam kebudayaan individu atau kelompok masyarakat.
Dari paradigma arkeologi, unsur kepercayaan dipelajari melalui warisan aktivitas
budaya masa lalu berupa record mencakupi data tekstual (memuat tulisan) dan
kontekstual (tanpa tulisan). Sesuai tujuan, tulisan memaparkan tangguhnya kepribadian
nenek moyang Nusantara juga upaya merenungkan, memahami dan mengerti nilai dan
makna kepribadian budaya bangsa baik yang tersurat maupun tersirat. Sebab untuk
melangkah ke depan, manusia hendaknya mengevaluasi peristiwa yang pernah terjadi,
sejalan takdir sebagai bangsa dimana kita berada, berasal dari mana. Layaknya ungkapan
the past is the key to the present menyiratkan bahwa masa lalu adalah akar masa kini, dan
masa kini adalah penentu masa depan.
Pertama dibicarakan pengertian kepercayaan, inti yang menjiwai kebudayaan;
saling menunjang dengan data warisan aktivitas budaya nenek moyang Nusantara sesuai
dengan kepentingan. Data tekstual maupun kontekstual yang ditampilkan bertaut dengan
isi ajaran (tekstual) dijalin sedemikian rupa saling menunjang dan saling menerangkan.
Secara lebih khusus Majhapahit pada periode menuju akhir (abad ke XIV Masehi) akan
lebih nampak mewarnai di sini, masa yang menandai puncak kejayaan kebangkitan
kepercayaan pribumi berkaitan dengan gejala millenarisme.
millenarisme Disamping itu, Sunda, pada
periode kontemporer (dengan Majhapahit) sebagian besar warisan aktivitas budayanya
(kontekstual) secara universal mencirikan corak-corak keagamaan asli pribumi. Di Tatar
Sunda, corak budaya Megalitik sangat terasa kental kehadirannya sebagai kontinuitas
yang berlanjut sejak awal kehadirannya hingga ke periode Klasik (Hindu-Buda) dan
inovasi Islam. Kedua, menampilkan bukti-bukti hasil pengalaman yang menjadi
kepribadian nenekmoyang Nusantara dan yang diambil menjadi percontoh utama Bali.
Mengapa Bali? Karena masyarakat Bali (selain Kanekes) dengan keberadaannya kini
tetap melangsungkan unsur kepercayaan asli pribumi, di dalam selubung Hindu-
Dharmanya.

2. Sambandha
2.1. Kebangkitan Kepercayaan Asli: Suatu Reaktualisasi
Kepercayaan asli pernah diungkapkan Rachmat Soebagyo (l981:1) dengan istilah
agama asli yaitu ... kerochanian yang khas dari satuan suku

2
RichadianaKadarismanKartakusuma

atau bangsa yang timbul dan tumbuh secara spontan


bersama sukubangsa itu sendiri .... 3
Ungkapan itu memberikan pengertian bahwa kepercayaan asli tumbuh
berkembang sejak awal bangsa Nusantara hadir di bumi, bahkan sebelum bertandang
inovasi Hindu-Buda yang mengembangkan SiwaBuda, jauh sebelum kehadiran inovasi
Islam. Perkembangan selanjutnya kepercayaan asli pribumi bangkit kian pesat pada abad
ke XV Masehi dan mempengaruhi Siwa-Buda yang diadaptasi menjadi agama negara
absolut (kerajaan), khususnya di wilayah-wilayah yang dipengaruhi Hindu-Buda
(Nusantara barat).
Kebangkitan kepercayaan asli menyebabkan Siwa-Buda mengalami perubahan
dan kemunduran total. Pemerintah kerajaan berusaha memperkokoh kedudukan Siwa-
Buda sebagai agama negara dengan menyebarluaskan ciri-ciri Siwa dengan harapan
masyarakat mengingat kembali ke agama negara tersebut.
Beberapa prasasti masa Majapahit, diantaranya prasasti Samirono (1370 Saka
1438 Masehi); Prasasti Palemaran (1371 Saka/1439 Masehi); Prasasti Tamyajeng (1380
Saka/1448 Masehi), memuat keterangan tentang upaya untuk memperkokoh kedudukan
agama Siwa-Buda dengan cara menghadirkan Puruhita (pendeta istana yang bertugas
sebagai penasehat keagamaan); mengangkat salah satu ciri perwujudan Dewa Siwa yaitu
arca lingga atau phallus (Soekarto 1983: 176-180; Hasan Djafar 1986: 254-256).4
Rupanya, upaya memperkokoh kedudukan agama Siwa nampak tidak mampu
mem-bendung bangkitnya kepercayaan asli pribumi. Faktor kebangkitan kepercayaan asli
adalah situasi dan kondisi sosial politik kerajaan yang mengalami kegoncangan. Di satu
pihak kegoncangan dari dalam yang diwarnai perang saudara berlarut-larut; di lain pihak
adalah hadirnya inovasi Islam di Jawa sebagai ideologi baru. 5
Ancaman kehadiran Islam (ideologi baru) abad ke XV Masehi diungkapkan di
dalam beberapa sumber, diantaranya dicatat oleh Tome Pirez (Cortesao 1944:197) yang
menyebutkan masa pemerintahan Sri Jayadewata (Pakwan Pajajaran) di pantai utara
(antara lain Cimanuk-Cirebon) Tatar Sunda banyak berdiam orang-orang Islam, namun
sejauh itu pengaruhnya belum sampai ke ibukota. Karyasastra Carita Parahiyangan yang
disalin abad ke XVI Masehi (Atja l968) memberitakan bahwa saat itu situasi kerajaan
aman tentram tidak terganggu musuh gangal (= kasar/ laskar/ tentara) dan musuh alit
(= halus/ideologi).6
3
Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan & Cipta Loka Caraka.
4
Hasan Djafar, Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan Pada Masa Majhapahit Pertemuan Ilmiah Arkeolgi
(PIA) IV: buku IV. Jakarta:Pusat penielitian Arkeologi Nasional. 1986: M.M.Soekarto K.Atmodjo, Sekeping Data
Prasasti Gunung Waringin (Bali) dan Samirono (Jawa), Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi (REHPA) I.
Jakarta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
5
Yang disebut Jawa di sini dimaksudkan Pulau Jawa tanpa batasan geografis Jawa Barat, Jaw Tengah dan Jawa
Timur.
6
Ayatrohaedi, Masyarakat Sunda Sebelum Islam: Data Naskah. Laporan penelitian untuk Lembaga Penelitian
Universitas Indonesia, Depok 1987; Ayatrohaedi Sanghyang Siksa Kanda ng Karesian, di dalam Subagio

3
RichadianaKadarismanKartakusuma

Rupanya pengaruh Islam di Majapahit- (kontemporer dengan Pakwan Pajajaran)


lebih gencar. Majapahit sebagai negara teokratis agraris maritim, kekuasaannya
mencakup hingga wilayah pantai utara sebagai kota-kota pelabuhan telah dipengaruhi dan
memeluk agama baru tersebut, akibatnya banyak yang negara-negara daerah yang
dipimpin oleh bhratara melepaskan diri membentuk kekuasaan sebagai negara Islam.
Lambat laun mempengaruhi pedalaman tempat dimana terletak pusat kerajaan.
Islamisasi dan kondisi sosial-politik menyebabkan timbul gerakan millenarisme
di dalam tubuh dan lapisan masyarakat ketika itu. Millenarisme adalah konsep keinginan
untuk mendatangkan yuga (era) atau negara sempurna dengan pranata yang baik, karena
pranata yang berlaku saat itu dianggap berada dalam kondisi buruk (Daud Aris Tanudirjo
1986). Gerakan millenarisme memperoleh tanggapan positif segenap masyarakat yang
sebagian besar penganut kepercayaan asli, sehingga memperkokoh kedudukan dan
memperluas sayap pengaruhnya di tengah maraknya Siwa Buda.
Demikianlah kepercayaan asli pribumi yang berkembang sebelum agama Siwa-
Buda itu, memiliki konsep bahwa alam semesta didiami mahluk-mahluk halus dan roh-
roh. Selain itu alam dianggap memiliki kekuatan yang melebihi kekuatan manusia atau
adikodrati. Karena itu manusia di bumi selalu berusaha menjalin hubungan dengan
kekuatan yang berada di luar dirinya, agar diberi kesejahteraan dan kesuburan. Usaha dan
tujuan tersebut dicapai melalui simbol dan lambang, karena simbol dan lambang akan
mempermudah pemahaman dan penggambaran sesuatu yang adikodrati. Simbol dan
lambang di sini berfungsi sebagai pengikat solidaritas individu/kelompok penganut
kepercayaan suatu religi (Koentjaraningrat 1986; Noerid Haloei Radam 2001). 7
Anggapan adanya mahluk halus dan roh merupakan unsur keyakinan, mencakup
konsepsi tentang dewa, roh, baik dan roh jahat serta konsepsi tentang kosmos (jagat alit
dan jagat ageung). Konsep-konsep spiritual yang menyebabkan timbulnya keinginan dan
usaha manusia mengadakan hubungan jagat semesta. Dengan landasan pemikiran selalu
terjalin hubungan yang selaras antara unsur-unsur mendatangkan kesejahteraan dan
kemakmuran. Seiring dengan itu hadir upacara-upacara khusus yang ditujukan kepada
pemujaan arwah nenek moyang (nenekmoyang yang telah didewakan). Kepercayaan ini
tidak sekedar menyebar dan meluas pada pribumi bangsa Nusantara juga di Asia
Tenggara (a.l. Burma, Laos,Vietnam) (Groslier 1961).8

Sastrowardoyo dkk. penyunting, Anthology of Asean Literatures: Pre-Islamic Literature of Indonesia: 435-85. Ttp:
The Asean Committee on Culture and lnformation
7
Koentjaraningrat Peranan Local Genius dalam Akulturasi, di dalam Ayatrohaedi, penyunting., Kepribadian
Budaya Bangsa (Local Genius),
Genius) Jakarta Pustaka Jaya. Sejarah
ejarah Teori Antropologi I.
I 1986 Jakarta: UI Press; Noerid
Haloei Radam Religi Orang Bukit. Suatu Lukisan Struktur dan Fungsi dalam Kehidupan Sosial-Ekonomi.
Sosial-Ekonomi. 2001
Yogyakarta: Yayasan Semesta.
8
Bernard Philippe Grosslier, INDOCINA: Persilangan Kebudayaan. Seri Terjemahan Arkeologi no. 6. KPG
(Kepustakaan Populer Gramedia) Ecole Francaise dExtreme Orient Pusat Penelitian Arkeologi Forum Jakarta
Paris. 2002.

4
RichadianaKadarismanKartakusuma

Gejala millenarisne pada masa Majhapahit akhir (abad ke XIV Masehi)


merupakan puncak yang menandai kebangkitan kepercayaan asli pribumi yang
sebenarnya sejak awal secara tersirat senantiasa menjiwai konsep religi hingga masa
berkembangnya Siwa-Buda pada masa Klasik. Diantaranya adanya perbedaan fungsi
bangunan suci yang disebut candi, antara India dan Nusantara (Soekmono l977);
berkembangnya kepercayaan bahwa raja keturunan langsung nenek moyang yang telah
didewakan (diperdewa). 9
Menurut konsep kepercayaan pribumi, tempat manusia melangsungkan kehidupan
berbudaya disebut buana panca tengah. Sejalan fungsi kedudukannya di jagat semesta
akan senantiasa dipengaruhi tenaga atau kekuatan bersumber pada penjuru mata angin,
bintang, bulan dan planet. Kesejahteraan dan kemakmuran terselenggara manakala
terjadi kesejajaran antara mikrokosmos dan makrokosmos (Heine Geldern 1967).10
Refleksi konsep kosmologi tampak pada susunan bangunan dan benda-benda
yang dianggap suci. Tatanannya disesuaikan dengan susunan jagat semesta, antara lain
orientasi bangunan yang diarahkan ke penjuru mata angin. Dalam konsep ini berlaku
anggapan bahwa matahari sebagai tata surya memiliki kekuatan magis yang senantiasa
dipancarkan ke seluruh penjuru mata angin jagat semesta. Karena itu arah matahari terbit
dipercaya memiliki potensi besar sebagai sumber kehidupan; sedangkan arah matahari
terbenam dianggap arah kematian dan berkurangnya kekuatan.
Konsep itu diungkapkan di dalam menentukan orientasi penguburan. Orientasi si
mati yang diarahkan ke timur-barat atau barat-timur, sesuai anggapan bahwa arah tersebut
merupakan arah magis. Di dalam peristiwa penguburan menempatkan kepala si mati di
timur merupakan refleksi dari anggapan arah timur merupakan asal nenek moyang. Agar
orang yang telah meninggal itu diharapkan dapat kembali ke tempat asal; sedangkan
penguburan dengan menempatkan kepala si mati di barat sesuai anggapan bahwa barat
adalah benar-benar arah kematian (Quaritch Wales l953).11
Pemujaan kepada gunung sama halnya dengan kultus kepada matahari. Gunung
direfleksikan terhadap susunan bangunan dan atau orientasi penguburan si mati. Tatanan
atau susunan bangunan dengan konsep pemujaan dewa gunung itu sebenarnya telah
diawali sejak budaya (tradisi) megalitik. Pada umumnya bangunan yang didirikan
ditujukan sebagai sarana atau media pemujaan arwah nenek moyang. Selaras inti
kepercayaan tentang adanya hubungan antara yang hidup dan yang mati, terutama adanya
pengaruh kuat dari yang telah mati terhadap kesejahteraaan dan kesuburan kehidupan
manusia di bumi. Jasad seseorang yang telah mati dipusatkan pada bangunan batu

9
Soekmono, Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi. Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
10
R. von Heine Geldern, The Cosmological Foundation of South-East Asian Architectur Journal of The Historic
Society, Singapore.
11
H.G.Quaritch Wales, The Mountain of God, Study in Early Religion and Kingship. London: Bernard Quaritch, ltd

5
RichadianaKadarismanKartakusuma

kemudian dijadikan medium pemujaan tahta kedatangan serta lambang si mati (Quaritch
Wales 1953). 12
Gunung merupakan unsur yang didewakan adalah the Mountain of God seperti
halnya anggapan terhadap adanya keturunan Dewa Matahari Children of the Sun
pada tradisi budaya Megalitik. Simbol-simbol yang merupakan unsur pemujaan ini
berlaku universal pada masanya namun pilihan utama bergantung kepada kondisi dan
situasi lingkungan kebudayaan. Orientasi bangunan dengan konsep puncak gunung
(Chtonis)
Chtonis) senarai tujuan dan harapan memperoleh kesejahteraan dan kesuburan. Gunung
dipandang simbol tahta persemayaman nenek moyang (Sanghiyang Acalapati). Acalapati).
Penempatannya diarah-kan ke puncak gunung, atau langsung diletakkan pada tubuh
gunung (imposisi) sementara bangunan dimodifikasi seakan-akan menyandar ke tubuh
gunung (replika).
Contoh paling menarik adalah mempopulerkan lingga juga surya majhapahit
seperti terdapat pada kompleks Candi Panataran, Candi Rimbi, dan Candi Jabung. Namun
konsep tertua penerapan Dewa Matahari sebenarnya telah ada sejak Kerajaan Kutei (abad
ke- V Masehi) di Kalimantan Timur. Salah satu prasasti yang dipahatkan pada tonggak
kurban (Yupa)
Yupa) oleh Mulawarman menyebut
m bahwa: ... sang maharaja
Kundungga yang amat mulia mempunyai putra yang
mashur, yang seperti Angsuman (Dewa Matahari).... .
Membuktikan tokoh Kundungga belum memeluk Hindu karena nama Kundungga tidak
pernah ada di dalam peradaban Hindu (Poerbatjaraka l951: 10). Sedangkan putranya
(Aswawarman) disimbolkan sebagai Angsuman (epithet Veda Kuno) Kuno yang disebut
Suryya merupakan bentuk antropomorfis matahari yang senantiasa menyinari semesta
kehidupan bumi.13
Sejumlah besar sisa aktivitas budaya di gunung Pananggungan, gunung Arjuna
dan Tambakwatu (Pasuruan) adalah saksi berkembangnya kebangkitan unsur
kepercayaan asli tersebut dengan ciri gaya seni yang jauh berbeda dengan masa-masa
sebelumnya (Majhapahit akhir milenerisme). Antara lain pemahatan arca-arca yang
tidak proporsional, hiasan-hiasan berbentuk kurawal, arca-arca tanpa mahkota dengan
mata bulat tanpa kain, membawa senjata (tertentu), tubuh gemuk dengan perut dan pantat
besar (Atmosudiro l984: 24). Ciri dan cara penggarapan arca dengan ragam hias yang
tidak proporsional itu mengesankan bahwa sang seniman telah meletakkan elemen-
elemen naturalis, kesengajaan
kesengajaan yang dilatari kepercayaan asli dengan lebih
mengutamakan unsur simbolis daripada ketepatan anatomis, dimaksudkan agar nilai

12
Idem catatan no 10
13
B.Ch.Chhabra, Three More Yupa Inscriptions of King Mulawarmman from Kutei, East Borneo, TBG LXXXIII.
1949: 37-74; J.Gonda, The Ritual Function and Significance of Grasses in The Religion of The Veda. North
Holland Publishing Company Amsterdam New York. 1985; R.M.Ng. Poerbatjaraka, Agastya in Den Archipel,
l951.

6
RichadianaKadarismanKartakusuma

magis lebih menonjol daripada nilai keindahannya. Gejala yang dapat disejajarkan
kepada dengan landasan pemikiran seniman pra-Hindu tentang anggapan arca merupakan
personifikasi nenek moyang yang telah meninggal dunia diupayakan berkesan statis
sesuai kondisi yang telah meninggal (Atmosudiro 1984:24).
Sejumlah prasasti (batu) di kecamatan Senduro (Lumajang) patut dicurigai
sebagai indikasi reaktualisasi kepercayaan pribumi yang ternyata tidak pernah punah
ditengah-tengah era memuncaknya inovasi Hindu Buda. Hasil dari telaah M.M.Sukarto
K.Atmodjo (l980) membuktikan hal itu.14 Ia menegaskan bahwa 20 keping prasasti batu
yang tersebar di desa Pasru Jambe (Senduro, Lumajang) merujuk tahun Saka 1381 (1459
Masehi) adalah semasa dengan masa pemerintahan Bhre Wengker (Hyang Purwawisesa:
mertua Hayam wuruk).
Prasasti-prasasti itu menerangkan tentang ajaran susila di dalam upaya membina
kehidupan keluarga yang tentram bagaikan keselarasan antara bumi dan langit,
diungkapkan ke dalam kalimat kadi boting ngakasa lawan pertiwi papak kabuktiha.
Unsur pokok yang dipuja bukanlah dewa Hindu melainkan (h)yang mami yang
memberikan restu bagi kehidupan dunia dan akhirat. Dengan kata lain Sang Nawakrnda
adalah pendeta yang tapabrata (meditasi/samadi) di dukuh Munggir, Pasrujambe guna
mencapai kesatuan (pangesthu) Yang Mami hingga akhir kehidupan.
Peristiwa ini memperkuat bukti bahwa abad ke XIV Masehi merupakan puncak
kebangkitan (reaktualisasi) kepercayaan asli pribumi, ditopang oleh gejala mesianik.
Dimana pusat-pusat keagamaan dengan memuja tokoh tertentu yang dianggap mampu
menyelamat-kan dunia dan berkembang terutama pada masa Majhapahit akhir. Gejala
lain yang ditujukan untuk memperoleh kaleupasan, karenanya upacara ruwatan menjadi
sangat penting.
Gejala Mesinaik atau milenarisme timbul sebagai akibat ajaran resi (Wanaprastha
dan Sanyasin) seiring mulai gencarnya pengaruh Islam, yang pada gilirannya justru
memperkuat bangkitnya kepercayaan asli. Kehidupan spiritual yang berlangsung di
dalam lingkungan-lingkungan sunyi terpencil, semacam padepokan seperti di alam
pewayangan (?) dengan menampilkan tokoh utama Bhima sebagai simbol utama ruwat
dan kalepasan. Oleh Prijohutomo (l934;cf. Santiko l990:123) dijuluki Pahlawan
Keagamaan. Kegiatan yang ber-kenaan dengan unsur kepercayaan pribumi (lokal) yakni
landasan kayakinan atas bersatunya Kawula Gusti/Suksma diri dengan Sang Maha
Suksma bagai peristiwa tokoh Bhima tatkala ke luar dari dirinya, setelah mendapat
wejangan Dewaruci dan kembali kepada saudara-saudaranya.15

14
MM.Sukarto K.Atmodjo, Mengungkap Masalah Pembacaan Prasasti Pasru Jambe Di Dalam Berkala
Arkeologi. B. Ark VII (1). Maret l986: 39-57.
39-57 Balai Arkeologi Yogyakarta
15
Hariani Santiko, HARIHARA: Kumpulan Tulisan Tentang Agama Veda dan Hindu di Indonesia Abad IV XVI
Masehi. April 2005. Universitas Indonesia.

7
RichadianaKadarismanKartakusuma

Unsur kepepercayaan pribumi yang direprentasikan ke dalam konsep kaleupasan


tersebut mengindikasikan unsur kesuburan yang telah ada dan dianut sejak masa
prasejarah, diaktualisasi melalui simbol-simbol alam yang dipersonifikasi ke dalam
wujud-wujud tertentu, khususnya yang akrab dikenal di dalam lingkungan
kebudayaannya. Kondisi keagamaan seperti ini sangat menggejala menjelang abad ke
XIV Masehi, sebenarnya bukan sesuatu yang baru hadir atau yang dihadirkan
kembali. Melainkan telah berlangsung sejak awal kehidupan prasejarah hingga
meruaknya inovasi Asing (terutama India dan Islam) (Ossenbruggen 1975). Dihiasi
maraknya kegiatan keagamaan di tempat-tempat sunyi dan tersembunyi, jauh dari
keramaian, memilih letak di puncak-puncak gunung dan dataran tinggi yang sulit dicapai.
Tempat-tempat yang disebut padepokan keagamaan, yang dipimpin dan dikelola
langsung para pemuka keagamaan disebut Mandala Kadewagurwan.16
Padepokan-padepokan semacam itu juga ditemukan di berbagai tempat lainnya
a.l. diberitakan di dalam prasasti batu bukit Gunung Namil (kecamatan Sutajayan, Blitar),
tahun 1328 Masehi menceritakan tentang kaleupasan akhir. Diceritakan bahwa seorang
Ra Kaki (pendeta) dan sekalian murid-muridnya melaksanakan tapa brata guna mencapai
kaleupasan (hatapa racut); Sejumlah warisan aktivitas budaya di lereng barat gunung
Lawu, antara lain di Matesih, Candi Sukuh, Candi Ceta dan Candi Planggatan (1437
Saka/1479 Masehi) dan Punden Cemoro Bulus; sejumlah prasasti di Pasru Jambe
menyebutkan Sang Nawakrnda (9 wadah) (Soekarto K. Atmodjo l986: 250-250).17
Semuanya merupakan bukti gejala reaktualisasi, gerakan kembali pada kesadaran
murni penyatuan diri dengan sang pencipta yang disimbolkan dengan menghadirkan
unsur-unsur kepribadian asli. Sang pemula yang telah menyebabkan diriya menjadi
bangsa di bumi Nusantara. Bangunan-bangunan pada masa ini hadir dengan keunikannya
sendiri, semuanya adalah cermin kaleupasan, persatuan langit dan bumi melalui simbol
laki-laki dan wanita sebagai keselarasan dan kebahagiaan abadi. Bangunan teras
berundak dilengkapi simbol corak binatang yang dianggap lambang udara/ langit
(kelelawar), bumi (chtonis: gajah, bulus/kura-kura), air (mimi lan minthuna), adalah
unsur pancamahabhuta (aakasa/angkasa/
kasa langit, bayu/angin,
bayu agni/api,
agni apah/air,
apah prtiwi
/bumi) di dalam diri manusia (buana alit/ mikro-kosmos) sebagai replika jagat semesta
(buana ageung/makrokosmos). Guna mencapai kaleupasan yang sempurna itu, maka
buana alit/manusia harus selaras dengan dipersatukan kepada buana ageung / alam
semesta.18

16
Hariani Santiko, Mandala (Kadewaguruan) Pada Masyarakat Majapahit Masalah-Masalah Arkeologi Serta
Hubungan Dengan Situs Trowulan, Buku Acuan Perkuliahan IFSA 1991-1993 (Indonesian Field School of
Archaeology, Trowulan l991-l993),
l991-l993), Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan The Ford Foundation, l996. Halaman
143-152.
17
Digoreskan pada 3 prasasti Pasru Jambe sbb: (1) i saka 1381 (2) sang nawakrnda (3) (gambar yantra)
18
Periksa MM.Sukarto K.Atmodjo, Punden Cemoro Bulus di Lereng Gunung Lawu, di dalam Pertemuan Ilmiah
Arkeologi III,
III Ciloto, 23-28 Mei 1983: 325-337.

8
RichadianaKadarismanKartakusuma

Kehidupan keagamaan abad ke-XIV Masehi mempertegas hubungan


konvensional keagamaan dan kepercayaan lingkungan alam dan roh nenekmoyang
sebagai representasi mental yang telah sejak awal pernah berlaku. Sebagaimana refleksi
filosofis yang tumbuh berkembang di alam pemikiran dan pandangan mistis orang Jawa
terhadap dunia. Orang Jawa membedakan jagad gedhe (makrokosmos) dan jagad cilik
(mikrokosmos). Jagad gedhe merupakan paradigma jagad cilik, manusia sebagai jagad
cilik mempunyai dua aspek yaitu jasmani/lahir dan rohani/batin. Segi lahir
melambangkan daya-daya kekacauan (chaos) sedangkan segi batin melambangkan daya-
daya keteraturan yang berhubungan dengan hakikat kosmis tertinggi dan moralitas.
Aspek rohani dianggap unggul, lebih benar dan lebih esensial yang merupakan asal dan
tujuan manusia. Segi rohani berhubungan dengan kebaikan dan lahir dihubungkan
dengan kejahatan. 19
Tercermin dalam mitologi Jawa, Ramayana dan Mahabharata, memandang hidup
ini layaknya perang (palagan, juritan) antara kebaikan dan kejahatan. Orang harus
berusaha mengalahkan unsur-unsur lahir seperti emosi, dorongan nafsu, pemikiran
duniawi. Makna dari pengertiannya adalah memurnikan aspek batiniah dan bersatu
kembali ke hakikat yang tertinggi (manunggal ing kawula gusti). Mencapai kesatuan
dengan hakikat tertinggi yakni mengusahakan keteraturan yaitu keselarasan dengan
segala pengada (jagad gedhe), yakni kesatuan antara pencipta dan ciptaan, hamba dan
tuan, sangkan dan paran.20
Perlu digarisbawahi bahwa reaktualisasi kepercayaan pribumi menjelang abad ke
XIV Masehi merupakan cara khas masyarakat Jawa, di dalam upaya menghadapi realitas
perubahan jaman dengan mencari identitas dan ekspresi budaya yang khas Nusantara.
Kepercayaan pribumi dipandang reaksi positif, bukan sekedar pelarian dari realitas
semata yang menekan hadirnya unsur-unsur luar (inovasi asing), bukan juga protes
terhadap agama-agama resmi yang dogmatis dan formal. Namun upaya filter dari
kepribadian Jawa dan atau sebagai mechanical defense terhadap kian gencarnya inovasi
asing (terutama ideologi baru).
2.2. Dinamika Kepribadian Nenek Moyang Nusantara
Sejak masa Prasejarah masyarakat Nusantara telah mampu membuat arca-arca
dan bangunan-bangunan besar, maka tidak sukar jikalau mendirikan candi atau kuil.
Lagipula telah dibuktikan bahwa bentuk dan wujud candi di India tidak ada yang
merupakan prototype bangunan candi di Nusantara. Candi-candi India memiliki ruangan-
ruangan luas, sedangkan bangunan-bangunan candi di Nusantara ruangan-ruangannya
sempit dan secara konseptual fungsi candi pun sangat berbeda.
19
F.X.Mudji Sutrisno, Paham Moral Sasongko Jati, Selecta Jelajah Hakikat Pemikiran Timur. Seri Filsafat
Driyarkara:4.
Driyarkara:4 Jakarta PT.Gramedia Pustaka Utama. 1993: 135-152.
20
J.Kuntara Wiryamartana, Usaha Refleksi Alam Pemikiran Jawa, Capita Selecta Jelajah Hakikat Pemikiran
Timur. Seri Filsafat Driyarkara:4.
Driyarkara:4 Jakarta PT.Gramedia Pustaka Utama. 1993: 117-124.

9
RichadianaKadarismanKartakusuma

Di Nusantara, candi dibangun ditujukan untuk menghormati nenek moyang


(leluhur) (pendharmmaan) dengan diberi bentuk dewa (si mati yang telah diperdewa).
Representasi tersebut didasarkan kepercayaan asli pribumi, dimana arca perwujudan
berbentuk monolith yang disebut menhir itu ditransformasi busana dan istilah baru
lingga- serta ditempatkan di ruang pusat candi tidak lain adalah kelanjutan (continuity)
atau bentuk lain dari konsep menhir tersebut.
Konsep dewa di India adalah superhuman being dalam kaitan antara sang
pencipta dan yang dicipta. Maka candi dalam konsep India bahwa candi-candi benar-
benar untuk para dewa. Di Nusantara, dewa dilandasi kepercayaan yang berkembang
masa prasejarah, dewa hanya istilah wadah sejalan konsep yang melatari menhir (batu
tegak) dalam kebudayaan megalitik semata-mata simbol tempat persemayaman (sthana)
sementara roh nenekmoyang. Demikian pula Candi Borobudur merupakan bangunan
perpaduan punden berundak tradisi budaya megalitik (zigurat) dan stupa dari Indianism,
Bangunan Budha Mantrayana yang sangat megah ini merupakan representasi ajaran
agama (keagamaan) yang tertera di dalam karyacipta agung cendekiawan Nusantara,
Sanghyang Kamahayanikan, abad IX Masehi. Karyasastra bilingual (dua bahasa)
Sanskerta dan Jawa Kuno, dirumuskan dan disusun cerdik-cendekiawan dari kaum
agamawan Indonesia.21 Termasuk kesempurnaan menata dan menempatkan relief-relief
pada dinding-dinding bangunan dengan paduan harmonis melalui jalinan
Mahakarmmawibhangga, Jatakamala, Awadanajataka, Lalitawistara -Gandawyuha.
Tiada lain merupakan petunjuk tahap-tahap Paramitayana-Mantrayana direpresentasikan
melalui lima arca Tathagata, pencapaian tingkatan-tingkatan kebudhaan yang
melambang-kan Dharmacakramudra.
Maka Borobudur yang berbentuk zigurat adalah mandala atau kosmos, bangunan
berundak makin keatas makin kecil hakekatnya adalah replika gunung, perlambangan
tahta persemayaman nenek-moyang (Kamulan Parahiyangan). Karena itu Prasasti
Kayumwungan (746 Saka/ 824 Masehi); prasasti Plaosan Lor (764 Saka/ 842 Masehi)
menyebut Borobudur sebagai kamulan i bhumi sambhara, tempat- ka-mula-an atau sang
mula-mula (sang awal) yakni arwah leluhur nan abadi di alam kalanggengan. Menurut
hukum tatabahasa, istilah kamulan berasal dari ka-mula-an dengan kata dasar mula
artinya umbi (beuti), dalam arti seluas-luasnya sang pemula atau leluhur, rumuhun. Tiada
bedanya sedikitpun dengan istilah buyut-Kabuyutan yang dikenal sejak awal oleh
penganut Sunda Wiwitan.
Masyarakat Nusantara masa pra-Hindu kerap dipandang animis, ternyata
sangat bertentangan dengan studi-studi kebudayaan (etnis) yang membuktikan secara
jelas. Suku-suku yang hidup di pedalaman Nusantara ternyata telah lebih awal melandasi
dirinya mengenal dewa-dewa di lingkungan organisasi yang teratur. Seperti kelompok
21
J.G.de Casparis (l950), Inscripties uit de Cailendra-tijd,
, Prasasti Indonesia I. Bandung: A.C.Nix.

10
RichadianaKadarismanKartakusuma

masyarakat Toraja menyeru Boeriro, istilah asli Toraja menyebut dewa yang berbentuk
raksasa dan dipercaya sebagai tokoh sakral yang memberikan api kehidupan dan
makanan. Simbol kepercayaan serupa yang juga berkembang di kawasan kepulauan
Pasifik (a.l. Hawaii). Termasuk arca-arca berbentuk dinamis di Nusantara yang kerap
dipertautkan dengan pengaruh Hindu itu sebenarnya asli pribumi, yang kehadirannya
merupakan proses kontinuitas unsur kepercayaan sejak masa Prasejarah.
Sejumlah prasasti Sri Vijaya yang bersifat imprecation formula (persumpahan)
selalu diawali seruan kepada Tandrun Luah atau Tandang Luah, dewa yang diyakini
melindungi dan menjadi saksi atas sumpah dan segala perbuatan manusia. Demikian pula
sejumlah prasasti bertema sima pada masa Mataram Kuno (Jawa Tengah da Jawa Timur)
tentang upacara peresmian sebidang tanah, sawah, kebun, rawa dan lain-lainnya yang
menjadi bagian bumi menjadi perdikan (otonom). Disertai sumpah, laknat dan kutukan
dalam upaya mentahbiskan peristiwa upacara dengan menyeru roh-roh leluhur, roh raja-
raja sebelumnya. Roh-roh para pendahulu yang diyakini secara langsung melindungi
dengan merasuk ke dalam jiwa. Salah satu ungkapan seruan itu dimuat dalam prasasti
Mantyasih (829 Saka/ 907 Masehi): ...sakwaihta Rumuhun Rahyangta i Mdang i Bumi
Mataram...umasuki ning ngwang kita kabaih disusul dewa-dewa yang sebenarnya
merupakan personifikasi gejala-gejala alam kemudian bahasanya telah dibusanai dengan
di-Sanskerta-kan. Seruan atas dewa-dewa lokal sebagai saksi dalam upaya mensyahkan
segala aspek dan gerak kehidupan hampir selalu dimuat dalam prasasti-prasasti yang
bertema sima.
Segala sesuatu berkaitan dengan gejala perubahan atas lingkungan alam
khususnya, objek utama upacara peresmian sima disimbolkan oleh bentuk lumpang batu
(lisung) diberi honorefic prefic (ungkapan hormat) sanghyang watukulumpang
simbolisasi persatuan bumi-pertiwi (mandala) atau mikrokosmos dan pasangannya
berupa gandik disebut Sanghyang Teas (halu) tiada lain adalah lambang jagat semesta,
makrokosmos. 22
Dikenalnya masyarakat berlapis Nusantara, caturwarna, (kasta) dianggap
pengaruh Hindu-Buda (India). Tetapi Soejono (l974) membuktikan bahwa sebelum
kedatangan orang-orang India, Indonesia merupakan stratified society, kenyataan ini
antara lain dibuktikan hasil analisis sistem penguburan di Bali. Beragam sistem
penguburan antara lain kubur tempayan, dalam sarkopagus tanpa wadah. Keragaman
bekal kubur tersebut adalah fakta yang menegaskan telah dikenalnya keragaman dalam
susunan masyarakat.23
22
Sumpah dan kutukan yang dimuat dalam prasasti-prasasti bertema sima pertama kali ditemukan di dalam prasasti
Tru Tpusan II yang dikeluarkan atas perintah Sri Kahulunan (764 Saka). Walaupun lutukannya sangat singkat
berbeda dengan prasasti-prasasti masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Ba;litung. Periksa J.G. de Casparis,
Prasasti Indonesia I,
I, 1950:75. Bandung: Masa Baru.
23
R.P.Soejono (l977), Sistem-sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Bali Disertasi Universitas
Indonesia.

11
RichadianaKadarismanKartakusuma

Kelompok lebih tinggi dikuburkan dalam tempayan (sarkopagus) disertai bekal


kubur yang banyak dan beranekaragam, sedang-kan masyarakat umum dikuburkan tanpa
wadah. Soejono membuktikan bahwa Gilimanuk (Bali) adalah situs nekropolis yang telah
mengenal aktivitas dan kelompok pedagang. Kelompok inilah yang pada saat hadir
inovasi Hindu-Budha (India) kemudian dinamai atau diberi istilah baru dari pengaruh
India (Sanskerta) dengan istilah ksatrya, waisya, brahmana dan sudra.
Menurut R.von Heine Geldern (l982) 24 kota dan kerajaan-kerajaan di Nusantara
dan Asia Tenggara disusun berdasarkan konsep Hindu-Budha (India):pusat dunia
dikelilingi tujuh benua dan tujuh lautan yang membentuk cincin dengan dasar kota dan
kerajaan tiada lain adalah replika kosmos susunannya pun meniru kosmos. Anehnya,
kota-kota awal di Asia Tenggara justru berpola segiempat, bukan seperti cincin. Namun
menurut William Alkire (cf. John Miksic 1982) orang Austronesia (non-Hindu) telah
memiliki konsep kosmos dengan bentuk segiempat yang didasarkan pengetahuan
astronomi yang kini tersisa di Mikronesia, tampak konsep Austronesia asli inilah yang
mendasari dan melandasi susunan kota dan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara. 25
Salah satu kelompok etnis Nusantara yang tetap setia memeluk kepercayan Asli
yang tampil mencolok adalah Bali dan Kanekes. Meskipun Bali mengakui diri agama
Hindu Dharmma namun konsep tatanan kosmisnya merupakan hasil pemikiran local
development :
1. Atita Nagata Warttamana: setiap perubahan yang
terjadi terjalin erat antara masa masa lampau, kini dan
masa yang akan datang;
2. Desa- Kala Patra desa-kala-patra: setiap perubahan
disesuaikan dengan lingkungan/ tempat (desa), waktu
(kala) dan suasana/keadaan (patra);
3. Tri Hita Karana: setiap perubahan perkembangan
berpegang kepada pokok yang tiga (tri), hita (baik),
karana (sebab), faktor pawongan (manusia),
pallemahan (tanah dan lingkungan hunian),
parhyangan (candi atau bangunan suci). 26

Pengaruh India dalam bidang kesenian dan bahasa juga nampak tidak lebih dari
sebatas kulit, dijelaskan oleh Stutterheim, seorang sejarahwan (berkebangsaan Belanda),

24
R.von Heine Geldern (1982), Konsepsi Tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara.
Tenggara Rajawali Press
25
John N. Miksic (l982), Perubahan Kebudayaan dan Kronologi Arkeologi di Indonesia, Makalah dalam
Ceramah Himpunan Mahasiswa Arkeologi UGM.
26
Periksa M.M.Soekarto Kartoatmodjo (l986), Pengertia Local Genius dan Relevansinya dalam
Modernisasidalam Ayatrohaedi (Peny.), Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.

12
RichadianaKadarismanKartakusuma

ketika meneliti epic Ramayana Indonesia membuktikan, meski ceritanya pengaruh India
namun nyata betapa dominan unsur-unsur cerita rakyat Nusantara di dalamnya.
Ramayana epic antara lain ditemukan dalam pahatan relief-relief candi
Prambanan, isinya adalah riwayat hidup raja yang di-dharmmakan di sana (Rakai
Pikatan). Begitu pula relief Ramayana dan Mahabharata yang dipahatkan pada candi-
candi di Jawa Timur meng-gambarkan Arjuna yang dianggap sebagai Mintaraga, bahkan
Pandawa diidentifikasi sebagai nenek-moyang raja-raja Jawa (Koentjaraningrat l963). 27
Sejarah mencatat bahwa senisastra yang menjadi sumber inspirasi atas pemahatan
relief-relief pada bangunanbangunan suci di Jawa Tengah dan Jawa Timur digubah para
pujangga pribumi. Sebagaimana kegeniusan seorang Mpu Kanwa meramu dan
menggubah bagian-bagian dari kakawin Mahabharata dan Arjunabhigama, di Nusantara
dikenal dengan Parthayajnya Wirataparwan dan Niwatakawacaparwa selanjutnya
menjadi karyasastra baru yang hadir dan tampil sebagai Arjunawiwaha.
Sejak awal masyarakat kepulauan Indonesia telah memiliki dan mengenal alat
komunikasi, lingua-franca, yakni bahasa kwun-lun (Kunlun). Jenis bahasa pergaulan
antar bangsa atau bahasa Malayu yang diwarnai interferensi bahasa Sanskerta dan
berkembang di dalam perbendaharaan bahasa Malayu pergaulan. Membuktikan bahwa
tatkala munculnya prasasti pertama, masyarakat Nusantara sebenarnya telah melek baca
tulis bahkan memahami bahasa-bahasa international (a.l. Sanskerta). Tentu saja tulisan-
tulisan yang dikenal waktu itu dan digoreskan pada bahan-bahan yang sangat mudah
lapuk (ron [/daun]Tal, bambu, kulit kayu) kenyataan bahwa etnis Batak, Aceh juga etnis-
etnis lain di Nusantara memiliki sistem aksara sendiri yang berbeda dengan gaya aksara
India.
Sebelum dapat menulis dan membaca mereka sudah mengenal sistem organisasi,
dimana seorang pemimpin didampingi pendeta, upacara-upacara dalam sistem
kepercayaan, dukun dalam soal magi dan obat-obatan, pasukan tentara, arsitek rumah,
kapal dengan para pandai atau ahli cor logam, pemahat, petani dan nelayan yang telah
menghasil-kan komoditi pangan. Ketika terjadi kontak dengan kebudayaan India, raja,
pemimpin dan sebagian kecil masyarakat memakai busana atau dandanan baru dengan
istilah-istilah Sanskrta (India), seakan-akan didominasi kebudayaan India, kenyataannya
sama sekali tidaklah demikian.
Raja-raja bergelar abhisekanama (nama tahbis) bahasa Sanskrta melalui
serangkaian upacara dengan bantuan para brahmana tiada lain demi wibawa dan gengsi
internasional bagi kawan maupun lawan, tetap saja sifat kesakralannya dianggap
memiliki kekuatan sakti mana yang dikenal di dalam kebudayaan Austronesia, sebagai

27
Koentjaraningrat (l963) Guna Antropologi untuk Historiografi Indonesias, Majalah Ilmu-Ilmu Sastra
Indonesia (MISI), Indonesian Journal of Cultural Studies, Djilid I, No.1. Diterbitkan oleh Penerbit Bhratara dalam
Kerdjasama Ikatan Sardjana Sastra Indonesia.

13
RichadianaKadarismanKartakusuma

induk pasukan kebudayaan Nusantara yang juga berlandaskan pada keyakinan bahwa
pemimpin masyarakat adalah keturunan langsung nenekmoyang pertama yang
menghadirkan individu/kelompok yang bersangkutan serta dianggap hidup sebagai dewa
di dunia roh.
Pangkal kepercayaan berkembangnya konsepsi rajadewa dalam kerajaan-kerajaan
Indonesia tipe kedua adalah bentuk pemerintahan yang berlandaskan kebudayaan agraris.
Pada masa Hindu religi asli berpusat pada pemujaan roh nenek moyang dan kepercayaan
pimpinan kelompok masyarakat merupakan keturunan langsung nenekmoyang yang telah
menjadi roh disebut penjelmaan dewa. Konsepsi yang dilandasi fungsi sosial-politik
untuk mengkukuhkan dan memantapkan karismatik dari kekuasaan raja berdasarkan
agama. karena dalam wadah itulah ekonomi lebih mendapatkan peluang berkembang.
Di kawasan Lebak (Banten, Jawa Barat), terdapat sejumlah situs yang bercorak
(tradisi) megalitik juga terdapat prasasti (insitu) di tepi Ci Danghiyang, digoreskan pada
bongkah batu alam beraksara Pallava dan bahasa Sanskrta menyatakan bahwa kawasan
ini berada dalam kekuasaan Purnawarman penguasa kerajaan Taruma sebagai panji
segala raja-raja. Simbol-simbol yang dipuja oleh masyarakat pribumi tersebut
didudukkan sebagai dewa keluarga dan dewa resmi kerajaan. Sikap kerajaan sebagai
pelindung kepercayaan pribumi tiada lain ditujukan memperkokoh kekuasaan dan
kedudukan sebagai penguasa dengan pemerintahan yang sah. Dalam kebudayaan Jawa
dan Bali mengenal Tirtha (Toya) Amerta (air kehidupan) yang di India disebut
Bhimasena as giver of fertility and rain. Di Indonesia Bima adalah justru tokoh utama di
dalam cerita Dewaruci yang justru mencari air kehidupan dengan berbagai istilah seperti
tirta nirmala, tirta kamandalu, toya pawitra, toya marta, banyu panguripan, atau
amrtanjiwani.
Kronogram pada masa Gupta (IV-VII Masehi) tidak lebih dari deretan kata-kata
tanpa memiliki arti tertentu. Di Indonesia kronogram menjadi sengkalan yang terdiri dari
kata-kata tetapi disusun sedemikian rupa berupa untaian kalimat yang indah dan luwes
serta langsung memaknai peristiwa yang terjadi. Salah satu contoh, pada tahun 1250 Saka
(1328 M) ketika raja Jayanagara wafat dibunuh oleh dokter bedahnya yang bernama
Tanca, dan Tanca lantas dibunuh oleh Gajah Mada pada tahun bhasmi [angka 0] bhuta
[angka 5] nangani [angka 2] ratu [angka 1] (hancur lebur siapa berani membunuh
penguasa/raja); keruntuhan dan kehancuran kerajaan Majapahit pada tahun 1400 Saka
(1487 Masehi) diungkapkan dalam kronogram sirna [0] ilang [0] kerta [4] ning bhumi
[1] (hilang lenyap makmur negara); juga kubur panjang di Gresik berbunyi kaya[3]
wulan [1] putri [3] iku [1] (= kecantikan putri itu bagaikan bulan) lambang wafatnya
putri Cerme pada tahun 1313 Saka (1391 Masehi).
Tradisi sengkalan berlanjut hingga pengaruh Islam dalam tulisan bahasa Arab dan
Sunda (dialek Banten) untuk memperingati pemindahan meriam Demak (Ki Jimat) ke

14
RichadianaKadarismanKartakusuma

Banten (Ki Amuk) akibat ul khair salawat al iman (pangkal kebaikan adalah
keselamatan iman) lambang angka tahun 1450 Saka (1528/1529 Masehi).28
Islam yang hadir setelah India juga ternyata hanya berfungsi sebagai pembungkus
(busana) luar dari kebudayaan asli. Dikenalnya sistem pemakaman pada bukit atau
bangunan berundak pada beberapa makam Islam mencerminkan konsep keagamaan
Nusantara asli yang merupakan sinkretisme ajaran asli dengan ajaran Islam. Dalam ajaran
Islam tidak diperkenan-kan membuat hiasan pola mahluk hidup, tetapi ternyata di
Indonesia pola hiasan banyak ditemukan hiasan-hiasan pada makam meski telah dalam
bentuk stilir.
Proses akulturasi menunjukkan bahwa kepribadian masyarakat bangsa Indonesia
tetap berperan, kebudayaan dari luar tidaklah ditelan menta-mentah tetapi diserap guna
memperkaya kebudayaan asli. Proses penyerapan yang berlangsung di dalam peristiwa
akulturasi tersebut justru memancarkan daya gerak (stimulus-response) atas kebudayaan
pra-Hindu di dalam local development (modernisasi lokal), guna menguatkan dan
mendandani (busana) konsep-konsep yang telah ada sebelumnya. Kekuatan atas
kemandirian kreativitas sejak paling awal telah tampil mencolok, diantara pengaruh India
yang seakan-akan nampak kental memperlihatkan adanya ciri pemikiran pribumi yang
tidak berubah, pemakaian tarikh Saka dari India pada prasasti-prasasti di Nusantara
ternyata dilengkapi sejumlah unsur-unsur pertanggalann pribumi (unsur stempat)
kemudian dipertahankan hingga masa-masa sesudahnya. Sistem pertanggalan yang tidak
sama dan tidak dikenal di India. 29
Dalam hal ini sarjana Belanda F.D.K.Bosch (1952), menyatakan kekagumannya
bahwa kesiapan mental (self determination) masyarakat Nusantara dilandasi kemampuan
untuk menerima dan sekaligus mencernanya secara selektif terhadap unsur asing itu.
Budaya yang dihasilkan semata merupakan dayacipta dari kemampuan luar biasa para
cendekiawan Indonesia dalam usaha merumuskan serta merealisasikannya sesuai bentuk
dan sifat citarasa kepribadian Nusantara. Sejarah membuktikan, penyerapan substansi-
substansi baru atau asing terhadap kebudayaan di kawasan Asia Tenggara telah
menghasilkan ekspresi budaya dengan karakter kepribadian bangsanya yang mandiri.
Keanekaragaman ekpresi budaya yang berpegang pada prinsip-prinsip dasar
sebagai filter pertahanan kuat bagi warisan budaya yang telah dimiliki. Pengaruh asing
tidak pernah menggusur tatanan kebudayaan asli pribumi melainkan kian mengakar kuat
dan tidak kehilangan identitasnya. Dengan kata lain, unsur-unsur (inovasi) asing tersebut
tidak membawa perubahan kebudayaan kwalitatif (morphogenesis), melainkan
28
K.C.Kruq (1889), De Geschiedenis van Heilige Kanon te Banten, TBG 78; M.M.Soekarto K Atmodjo(1983),
Arti Air Penghidupan dalam Masyarakat Jawa, Proyek Javanologi 2 dan (l983), Short Notes on Agricultural
Data from Ancient Balinese Inscriptions, The Fourth Indonesia-Dutch History Conference,
Conference Yogyakarta, Juli 24-29.
29
Edi Sedyawati (1977), Tarumanagara: Penafsiran Budaya, dalam HM.Joesoef dan TA.Soebrata Wiriamihardja
(Penyunting), Laporan Diskusi Panel: Menggali Kembali Sejarah Kebudayaan Tarumanagara Sebagai
Sumbangsih Universitas Tarumanagara Kepada Nusa dan Bangsa. UPT. Universitas Tarumanagara.

15
RichadianaKadarismanKartakusuma

kwantitatif (morphostatis). Sekedar memperkaya kebudayaan asli pribumi yang memiliki


landasan dan kemampuian nilai terbuka selektif, sehingga hasil yang nampak merupakan
adalah bukti yang menandai bahwa bangsa pribumi Nusantara pernah saling berinteraksi
dengan bangsa lain.30

2.3.Kepercayaan Asli Pribumi: Semesta Pemahaman Kesadaran Manusia Terhadap


Diri
Keseluruhan faset kebudayaan yang dipaparkan itu erat hubungannya dengan
sikap dan kemandirian yang membentuk kepribadian bangsa. Semua materi kepercayaan
asli pribumi terkandung dalam kebudayaan, diperoleh manusia Nusantara secara sadar
lewat proses pengalaman belajar. Dalam kegiatan belajar inilah pengalaman yang
diperoleh diteruskan dari dan oleh generasi satu ke generasi dan dari waktu ke waktu.
Ajaran leluhur Nusantara yang melandasi secara universal serta diungkapkan kepada
pemahaman manusia serta hubungannya dengan sang pencipta. Jika ditinjau berdasarkan
warisan aktivitas budaya record ajaran nenek moyang tersebut meliputi pemahaman
konsep keselarasan mandala atau kosmis. 31 Baik dalam kehidupan manusia maupun
dalam hubungannya dengan jagat semesta yang direduksi ke dalam tiga jagat yang
menentukan dan menaungi kehidupan manusia.
Dari berbagai data yang ada yang masih terealisasi utuh (jika tidak boleh disebut
sempurna) hingga kini tertanam dalam jiwa masyarakat Kanekes yaitu konsep Tri Tangtu
di bumi. Tangtu berasal dari kata tangtu merujuk kata benang, cakal-bakal the
propagator of race, menurut pemahaman Urang Kanekes sendiri, Tangtu adalah tentu,
pasti, selaras tempat, pasti juga pustaka karena ada istilah guru tangtu, maka istilah
Tangtu merujuk tempat, cikal bakal, pokok atau pangkal keturunan dan pendiri
kehidupan.32 Dalam keropak 630 (XXVI) disebutkan: Ini tri tangu di bumi, bayu
kita pinaka prebu, sabda pinaka rama, hedap kita pinaka resi; ya tri tangtu di bumi, ya
kangken pineguh ning bwana ngaranna (=Inilah tiga Tangtu di bumi, wibawa kita
seperti raja, ucap kita seperti rama, tekad kita seperti resi, tri tangtu di bumi sebagai
peneguh dunia (Atja & Saleh Danasasmita 1981:22,28); Demikian pula Kropak 632
(Lembar III): jagat
jagat daranan di sang rama, jagat kreta di sang resi, jagat palangka di

30
P. Bellwood, Man Conquest of the Pacific. Auckland: Collins. 1978; K.Butzer, Environment and Archaeology.
Chicago: Aldin. 1971.
31
Istilah Mandala digunakan menyebut bentuk pola bangunan candi Borobudur (A.J.Bernet Kempers 1975),
padepokan ke-agamaan Mandala Kadewagurwan (Soekmono 1974; Hariani Santiko 1996: 143-152;2005:126
139). Pengucapan atau spelling artikulasi Sunda (juga Jawa) atas kata mandara merujuk arti a sacred mountain,
istilah kerap ditemukan di dalam sumber-sumber kuno (terutama masa Klasik). Termasuk konsep Tantu
Pangglaran yang merupakan kisah terjadinya penciptaan kosmis Pulau Jawa oleh para dewa dengan pusat gunung
tertinggi yang disebut Mahameru.
32
Saleh Danasasmita dan Anis Djatisunda (l986), Kehidupan Masyarakat Kanekes, Bagian Proyek Penelitian
Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi). Direktorat Jendral Kebudayaan. Bandung Dep.Dik.Bud.

16
RichadianaKadarismanKartakusuma

sang prabu
prabu (semesta bimbingan tanggung jawab sang rama, semesta kesejahteraan
tanggungjawab sang resi, semesta tahta tanggung jawab sang raja). 33
Konsep Tri Tangtu adalah konsep tiga jagat (bumi) juga diterapkan pada
bangunan suci yang senantiasa terdiri dari bagian luar, dalam dan pusat (ditengah atau
tertinggi sesuai replika gunung). Tri yang melambangkan tiga semesta jagat yakni jagat
bawah, jagat tengah dan jagat atas senarai dengan buwah loka , bhurloka dan swahloka;
juga jaba luar, jaba tengah dan jaba jero (jeroan). Tiap semesta jagat dianggap
personifikasi nenekmoyang yang dilambangkan sebagai IBU sesuai sifatnya senantiasa
melindungi, memelihara dan menaungi kehidupan manusia, maka dikenal ambu rarang
(bawah), ambu tengah (bumi atau buana panca tengah) dan ambu ruhur (atas).
Konsep pengertian yang melahirkan kultus pemujaan kepada dewi Ibu, pemujaan
yang dikenal di hampir belahan dunia yang berpangkal kepada kesuburan Suatu
pemujaan yang hadir diawali oleh perasaan takjub, heran dan ketidakpahaman proses
terjadinya peristiwa alam terutama asal mula kehidupan jagatraya,kekuatan melahirkan
dan yang mencipta segala sesuatu yang ada bumi.
Pemujaan kepada dewi Ibu khususnya dianut oleh masyarakat bercocok-tanam
dan mencapai puncaknya pada sekitar 5000-4000 sM. Di wilayah-wilayah yang
masyarakat nya bercocok tanam, ditemukan berbagai perwujudan kepada dewi Ibu
berupa arca-arca wanita dipuja bersama-sama pasangannya (laki-laki) yang prinsipnya
meski Dewi Ibu menduduki pemujaan lebih penting namun di dalam proses kelahiran
peran laki-laki tidak dapat diabaikan, sejak itulah dewi Ibu tampil bersama dengan
pasangannya.
Pemujaan dewi Ibu sebagai pokok pemujaan juga dikenal di Nusantara adalah
juga hubungannya dengan dewi kesuburan, mother of fertility dituangkan secara teratur
ke dalam kaidah-kaidah, norma-norma, dan ketentuan-kentetuan pokok sebagai pedoman
kehidupan masyarakat agraris dengan mengutamakan mata pencaharian bercocok tanam.
Dewi Ibu sebagai unsur yang dipuja dipercaya melahirkan segala sesuatu di bumi
menyebabkan pemujaan kepadanya lebih ditekankan pada anatomi berkaitan erat dengan
peran melahirkan yakni payudara, perut dan genital, selanjutnya berkembang menjadi
bagian aspek-aspek yang paling dipuja. Payudara sebagai lambang pelindung, pemelihara
sumber kehidupan dan penguasa tanam tanaman yang dibutuhkan manusia khususnya
biji-bijian dan umbi-umbian. Sebaliknya pula ia juga berhak penuh atas kehidupan
manusia dan kelak akan mengambilnya kembali ke dalam pelukannya.
Sejalan pengertian bahwa segala sesuatu yang ada di jagat semesta ini akan
kembali ke tanah, perut (kandungan) Ibu. Demikian maka genital adalah simbol Dewi Ibu
sebagai yang mencipta, memelihara, payudara adalah simbol yang melindungi; perut
adalah simbol dari kematian (perut) ke dalam pengertian bahwa Ibu adalah penguasa
33
Ibid catatan 29

17
RichadianaKadarismanKartakusuma

dunia bawah dan dunia atas (bawah dan permukaan tanah). Pemahaman ini menimbulkan
konsep bahwa dewi Ibu memiliki dua sifat saling bertentangan (unsur positif dan unsur
negatif).
Ibu adalah lambang dari aspek melahirkan dan aspek mencipta. Aspek melahirkan
dihadirkan dengan menonjolkan kesatuan anatomi terutama berperan tatkala seorang ibu
melahirkan yakni payudara, perut dan pinggul. Bahkan digambarkan dengan ukuran
sangat berlebihan sehingga wujud dewi ibu digambarkan mirip wanita hamil. Bagian-
bagian yang dianggap kurang berperan dalam kelahiran tidak begitu ditampakkan maka
simbol dewi Ibu sengaja dibuat tanpa kepala.
Aspek mencipta disimbolkan dengan bentuk perempuan dengan sikap jongkok,
bagian genital dilambangkan dengan bentuk segitiga. Bahkan di dalam wujud natural,
kadangkala disertai bayi yang sedang keluar dari rahim [ada kalanya juga tidak], dewi
dengan pasangannya; aspek pemelihara dan pelindung diwujudkan dalam bentuk ragam
hias pilin berganda [payudara]. Betapapun pentingnya aspek-aspek lain dan tanpa berarti
meng-abaikan anatomi lainnya namun, payudara, perut, genital merupakan unsur paling
pokok karena organ ini yang paling berfungsi tatkala melahirkan dan mencipta.34
Oleh karena itu Ibu juga dipersonifikasi sebagai unsur alam yang terutama tanah
dan air, karena kedua unsur ini tidak pernah lepas saat melahirkan dengan kata lain juga
mencipta mahluk di jagat semesta. Dewi Ibu yang tidak hanya diyakini sebagai
pelindung, pemelihara dan unsur kesuburan yang menyediakan segala keperluan manusia
di bumi, juga berhak atas kehidupan yang telah diberikan kepada manusia juga
meraihnya kembali ke pangkuannya (kematian).
Ibu sebagai simbol yang memberi dan mensejahterakan kehidupan bumi dan
segala kandungan isinya inilah yang menyebabkannya dihadirkan serta dan dipercaya
berbagai religi asli pribumi. Konsep kepercayaan yang secara nyata mampu men-
terjemahkan pesan dan isyarat kebesaran semesta sebagai mayang sagara
pamulangan.
Perlu digarisbawahi gambaran bentuk-bentuk yang dipuja ke dalam berbagai
aspek-aspeknya dan diberikan sesuai konsep pemahaman budaya dan keyakinan atau
sistem religi lingkungan biofisik komunitas bersangkutan.
Bagaimana mempraktekkan dan menyelami ajaran nenek moyang, mungkin Situs
Kawali di Ciamis, Jawa Barat, perlu ditampilkan sebagai yang paling mewakili dan
paling tegas mengumandangkan ajaran leluhur dengan pokok pemujaan kepada Hiyang.
Telah diketahui bahwa di Nusantara barat umumnya, dan Pulau Jawa khususnya,
sebagian besar warisan aktivitas budaya yang ditemukan berupa punden berundak,
terbanyak ditemukan di Jawa Barat. Senarai perjalanan religious belief-nya Sunda
Wiwitan, bangunan suci pusat upacara pemujaannya merupakan kontinuitas tradisi
34
Hariani Santiko (1992), Bhatari Durga.
Durga Disertasi: FSUI .

18
RichadianaKadarismanKartakusuma

budaya megalitik seperti diberitakan di dalam berbagai sumber tertulis dengan istilah
khas yakni Kabuyutan. Karena pokok pemujaan Sunda Wiwitan adalah buyut yang
diperdewa bertahta di Kabuyutan dengan sebutan hormat Sang Hiyang. Dapat dikatakan
bahwa hampir seluruh Kabuyutan Tatar Sunda menampilkan tatanan corak tradisi
Megalitik yang sangat pekat.
Situs Kawali merupakan simbol yang melambangkan kemenangan dan
keberhasilan seseorang dalam menjalani kehidupan di bumi menuju ke alam arwah yang
dilakukan oleh Prebu Raja Wastu (/Kancana) atau Prabu Sili[hwa]wangi II. Raja yang
terkenal sangat agung perilakunya selama hidup ini menitipkan jejak tapanya (Situs
Kawali) kepada generasi yang akan datang (nu pandeuri) agar tetap dipelihara dengan
baik agar ajarannya yang berupa pengalaman keagamaanya menyatu dengan leluhur
dapat diselami bagi yang berkehendak mengikutinya.
Pengalaman keagamaan yang ditempuh adalah bagaimana cara menang dari
cobaan-cobaan hidup dengan senantiasa menerapkan kebaikan dan kebenaran (pakena
keureuta bener, pakena gawe rahayu pakeun nanjeur na juritan pakeun heubeul jaya
dina buana) demi kebahagiaan dan kemakmuran bersama. Menjauhkan diri dari perilaku
semena-mena (haywa diponah-ponah), menghindari bicara yang tidak pantas (haywa
dicawuh-cawuh), memelihara dan menjaga lingkungan kehidupan dengan tekun dan giat
bekerja (bhaga neker bhaga angger), tetapi juga tanpa mengeksploitasi dan merusak
sumber daya kehidupan itu sendiri (bhaga nincak bhaga rempag).
Seluruh ajaran berupa pengalaman kehidupan dan keagamaannnya itu, digoreskan
ke dalam bentuk prasasti, juga dipahatkan gambar melambangkan tubuh manusia dengan
segala kelengkapannya (anggana). Pahatan gambar itu merupakan simbol yang
direpresentasi kotak berjumlah 5 yang disusun vertikal sebagai reduksi simbol dasaindrya
(pancabudhi dan pancakarma); dan kotak berjumlah 9 disusun horizontal sebagai
kelengkapan indrya berupa pelepasannya (Sunda: cungap) tiap-tiap organ indriya. Kotak
9 inilah yang terpenting yang di dalam berbagai ajaran asli pribumi dikenal bayu
sasanga, sang nawakrnda, nawagraha yang menyebabkan manusia kerap dilambangkan
sebagai kota dengan sembilan gerbang.
Disamping gambar kotak dipahatkan juga sepasang telapak kaki dan sebuah
tangan kiri. Jika kita berada pada batu anggana itu mau tidak mau seseorang harus
bersikap dan berposisi jongkok dan langsung mengamati gambar pahatan tersebut. Sikap
posisi yang mengingatkan pada posisi sang IBU tatkala melahirkan anak manusia, dan
ternyata pula salah satu diantara warisan aktivitas budaya di Kawali terdapat batu
berbentuk segitiga (juga merupakan lambang genital), disebut Batu Pangeunteungan
(karena selalu betisi air sehingga seseorang yang menengok ke dalamnya memantulkan
dirinya layaknya sebuah cermin). Simbol yang tiada lain merujuk kepada istilah bhaga
(organ rahim) atau hiranya-garbha sedangkan posisi jongkok merupakan simbol

19
RichadianaKadarismanKartakusuma

perilaku (tindakan berpola) seseorang yang tengah melihat rahim Sang Ibu yang juga
sinonim dengan arwah leluhur, karuhun, rumuhun yang menyatu di dalam istilah
Hiyang.35
Situs Kawali adalah aktivitas tersurat yang menyiratkan tugas kehidupan manusia
mempertapakan diri dan lingkungan (bumi) hingga kelak pulang. Manusia adalah diri
yang senantiasa bercermin ke dalam dirinya (ngeunteung). Senarai konsep ajaran asli
pribumi yang telah dikenal sejak paling awal dari sang mula (sang wiwitan). Memper-
tapakan diri dan dirinya diungkapkan kalimat bati peureu tinggal nu atis tina rasa.
Artinya menghilangkan setiap kotoran tubuh yang melekat pada fisik (waruga) dan jiwa
(raraga). Bagaikan melepas karat pada besi, mengendapkan lumpur (lanau, leutak) ke
dasar sungai atau danau kandungan keruh perlahan-lahan naik ke permukaan, kian lama
kian jernih, bening tanpa rasa (tawar).36
Keterbatasan manusia sebagai mahluk hidup dijembatani dengan memulai sesuatu
yang terbatas, lambat laun pengabdiannya menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Di dalam
mengkonsentrasikan pikiran terhadap sesuatu yang terbatas diperlukan suatu obyek yang
dapat ditangkap. karena arwah leluhur (Hiyang) berada di dalam semesta yang tidak
terbatas (roh yang abstrak). Diciptalah sarana konkrit untuk bertolak menuju ke yang
tanpa batas dan tanpa bentuk, terpahatkan pada menhir Batu Panyandungan sanghiyang
Lingga Hiyang. Agar yang tiada wujud (Hiyang) mampu dibayangkan maka dibuatlah
lambang berupa batu tegak (tonggak) yang kini disebut menhir sebagai wimba, bingba
di Kawali berupa menhir Batu Panyandaan berpahat tulisan Sanghiyang Lingga Bingba.
37

Hubungan sanghiyang lingga hiyang dengan sanghiyang lingga bingba dijelaskan


sebagaimana seseorang melakukan konsentrasi kepada Sang Pencipta, dalam
kepercayaan asli pribumi secara universal dingerti penyatuan diri kepada arwah leluhur
sangkan paran ing dumadi.
Dua menhir batu yang telah ditetapkan Batu Panyandaan, Batu Panyandungan,
dihadirkan bukan untuk disembah bendanya, melainkan membantu pikiran terkonsentrasi
kepada makna yang tertinggi yakni Hiyang, yang abstrak universal yang mengatasi
segalanya (totalitas). Demikian juga Batu Anggana berpahatkan kotak 5 dan 9 lambang
tubuh kota dengan sembilan gerbang merupakan inti perilaku manusia.
Situs Kawali merupakan salah satu dari sejumlah besar situs-situs bercorak tradisi
Megalitik di Nusantara dengan pokok pemujaan kepada leluhur (Hiyang) yang diimposisi

35
Richadiana Kartakusuma Situs Kabuyutan Kawali di Ciamis, Jawa Barat: Ajaran Sunda Di Dalam Tatanan
Tradisi Megalitik dalam Ajip Rosidi et.al Konferensi Internasional Budaya Sunda (KIBS) Jilid I (Prosiding).
Yayasan Kebudayaan Rancage. 2001 (cetakan 2006); Rasionalisasi Ideologi Sunda Wiwitan (Kabuyutan):
Penyatuan Diri Urang Sunda Kepada Gunung Sebagai Lambang Semesta (Kosmis), Berkala Arkeologi, Sub
Tema : Arkeologi Mengungkap Masa Lalu. Tahun XXVI Edisi No1, Mei 2006.
36
Ibid no 32
37
Ibid no 32

20
RichadianaKadarismanKartakusuma

sesuai tatanan semesta (alam) yang ditempatinya, karenanya sebagian besar bentuk
warisan aktivitas budayanya hadir sangat alami, selaras jagat semesta. Tidak meng-
eksploitasi sumber daya alam atau merubah dan memodifikasi yang disediakan alam
sejak semula diberikan oleh Sang Pencipta. Di Tatar Sunda (juga Nusantara Timur dan
beberapa tempat lain) situs-situs bercorak tradisi Megalitik, simbol-simbolnya ada yang
tetap dilanjutkan, ada pula yang ditambahkan dengan unsur yang baru dikenal masa
kemudian. Namun dasarnya sebagian besar situs-situs itu merupakan continuity sejak
awal hingga ke masa selanjutnya (nu pandeuri).38
Selaras laku tapa Sasongkojati senantiasa mengatur badan (waruga) selaras
dengan kesucian suksma (raraga), alat manusia sebagai mahluk ganda. Laku tapa bukan
pelarian dari dunia ramai, melainkan sarana untuk mengatasi hawa nafsu. Tetapi bukan
mematikan badan jasmani, melainkan merawatnya dengan jalan mengendalikan diri,
konsep dikuasainya jasmani, sikap dan perasaan terhadap sesama diharapkan berubah
juga. Laku tapa hakekatnya adalah jalan mempersiapakan diri dengan cara menghayati
(verstehen),empati kesempurnaan hidup.
Dari kaca mata normatif pokok ajaran Sasongko jati adalah anjuran bagaimana
hidup manusia bahagia. Tujuan kebahagian akan tercapai apabila manusia telah kepada
sangkan parannya, karena kebahagiaan terletak pada kesatuan manusia dengan
Tuhannya. Karena itu kebahagiaan dicapai manakala manusia menyadari hakekat dirinya
sebagai suksma atau roh suci. Sadar akan keilahiannya yang asal yang mengatur
suksma dan badannya. Menyadari bahwa manusia berada dalam keterikatan dan
kekacauan hawa nafsu dilakukan dengan hasta sila dan laku tapa yakni jalan moral
pengatur tindakan manusia menuju kesatuan manusia dengan Tuhan (Muji Soetrisno
1993: 117). 39
Kebudayaan Megalitik di Bali hingga sekarang tetap memiliki peranan penting
dalam kehidupan keagamaan masyarakat Bali yang peninggalan-peninggalannya
mengandung nilai kesucian yang masih dipuja. Diantaranya stone altar (menhir
berbentuk tiang batu pemujaan) yang terletak di desa Tenganan Pegringsingan dan desa
Penebel di Gelgel; Teras piramik (teras berundak) merupakan bangunan suci
masysarakat di Bali pada bagian pundennya ditahtakan (arca) menhir, ditemukan antara
lain di desa Sembiran, Penebel juga Gelgel; Sarkofagus (peti batu si mati) hingga kini
terbanyak ditemukan di Bali dan kelanjutan sarkofags kini masih tetap di dalam
hubungan dengan tempat penyimpanan si mati pada saat upacara Ngaben, sarkofagus
dibuat dari bahan kayu berfungsi sebagai tempat penyimpanan si mati; termasuk upacara
menghormati gunung sebagai tahta persemayaman roh (leluhur). Oleh karena itu Gunung

38
Ibid 32
39
R.Goris, Bali, Atlas Kebudayaan, Cult and Customs. 1953; Ancient History of Bali, 1965.

21
RichadianaKadarismanKartakusuma

Agung dipandang gunung paling suci (mahameru) dan menjadi simbol meru pada
bangunan-bangunan suci di Bali.
Inti ajaran Hindu Dharma berdasarkan lima keyakinan yakni Panca Sraddha
sebagai kontinuitas kepercayaan masa pra-Hindu. Kepercayaan terhadap yang tertinggi
disebut Sang Hyang Widhi Wasa diberi istilah Dewa; aspek-apek kemahakuasaannya atau
unsur-unsur alam yang dipersonifikasi juga diberi istilah baru, yaitu Dewa Indra (unsur
kekuatan air), Dewa Agni (unsur kekuatan api), Dewa Marutha (unsur kekuatan angin).
Unsur-unsur kekuatan alam yang selanjutnya dikenal di dalam Trimurti, menjadi Dewa
Brahma (api), Dewa Wisnu (air) dan Dewa Iswara (angin); sedangkan unsur Matahari
dipuja dengan istilah Siwa-Raditya.
Kepercayaan terhadap roh (arwah leluhur) menjadi atman, disamping ada
stulasarira (badan kasar), seseorang meninggal, atman meninggalkan stulasarira. Agar
atman bersatu dengan sumber yang asal (brahman), dilakukan upacara Ngaben dan
disempurnakan dengan upacara memukur, selanjutnya disemayamkan di sanggah
pemrajan (tempat suci keluarga) di-sebut sanggah kemulan.
Tradisi ngaluang yaitu jika seorang bayi lahir dan mencapai usia 12 (kepus
pungsed), pihak keluarga akan bertandang ke balian (dukun) untuk menanyakan siapakah
leuhurnya yag menumadi (menjelma, menitis) kepada sang bayi. Suatu petunjuk lekatnya
unsur kepercayaan asli tentang rebirth (kelahiran kembali) yang diungkapkan pada
berbagai temuan dalam peti sarkofagus. Si mati di dalamnya diposisikan dengan sikap
berlipat kedua tangan dan kakinya ke depan perut dengan kepala merunduk ke samping.
Posisi ini melmbangkan bahwa si mati kembali ke dalam kandungan (perut) sang ibu dan
kelak akan dilahirkan kembali.
Berakarnya kepercayaan asli di Bali tercermin dalam kegiatan upacara kesuburan
dengan upacara kurban kerbau sebagai simbol bumi (tanah leluhur) yang pada tradisi
Megalitik diiringi dengan didirikannya bangunan-bangunan suci. Kerbau dipandang
simbol magis dapat mengusir kekuatan jahat dan kendaraan bagi arwah nenekmoyang itu
di Bali diperingati dalam upacara titi mamah juga dalam upacara Ngaben sebagaimana
tampil di dalam sesajennya selalu disediakan kulit kerbau, kepala dan kaki yang masih
utuh. Hal itu dimaksudkan sebagai simbol jembatan atma si mati sebelum dinaikkan ke
balai-balai untuk dihanyutkan ke laut.40
Kiranya semua perilaku yan tercermin dalam adat istiadat, tradisi baik yang
bertali langsung denga keagamaan maupun sehari-hari, hakekatnya cerminan
KEPRIBADIAN menghormati nenek moyang, melanjutkan warisan tradisi SANG IBU
(leluhur, karuhun, rumuhun)nya Hiyang- sesuai menurut pengalaman pengetahuannya

40
Parisadha Hindu Dharma, Upadesa, Tentang Adjaran-adjaran Agama Hindu. 1968; I Made Sutaba Hiasan
Tanduk Kerbau Pada Bale Agung Di Desa Manikliyu, Kintamani Disajikan pada Seminar Sejarah Nasional II di
Jogyakarta.

22
RichadianaKadarismanKartakusuma

masing-masing. Implikasi perilaku itu semata-mata adalah cermin dari pemahaman diri
dengan tetap menjalin keselarasan, keseimbangan jiwa (unsensorable mesage) dan badan
(sensorable message) kepada leluhurnya langsung.

3. Pamungkas
Secara universal ajaran leluhur yang terpatri sangat dalam sebagai kepercayaan
asli pribumi menerapkan kebijaksanaan tingkah dan perilaku bagaimana manusia dapat
mencapai kebahagiaan secara universal:

1. bagaimana menafsirkan peristiwa dan kondisi hidup


bermasyarakat. Hidup di dunia hanyalah cerminan
kekuatan dominan di dalam kosmos. Apabila daya
keteraturan dominan, maka masyarakat manusia
tentram dan aman, teratur juga makmur, namun
sebaliknya bilama yang dominan adalah daya
kekacauan maka masyarakat manusia pun menjadi
kacau;
2. keteraturan bergantung kepada keadaaan suksma
(jiwa) atau rohani, batin manusia. Apabila manusia
tenang dan teratur, hidup masyarakat manusia akan
teratur. Sebalik-nya jikalau jiwa, suksma atau batin
manusia dikuasai nafsu dan pamrih maka kehidupan
masyarakat manusia juga menjadi kacau;
3. pada dasarnya manusia sendiri yang merupakan kunci
keteraturan atau kekacauan, sebab daya-daya itu
sendiri bersifat netral, maka tugas moral setiap
manusia untuk selalu mengusahakan ketertiban dan
keharmonisan.

Inilah jasa tertinggi ajaran luhur nenek moyang Nusantara, kepribadian luhur
dengan kemandirian sesungguhnya tertanam dalam kepercayaan pribumi Nusantara.
Layaknya batu karang tertanam di dasar lautan, abadi, tangguh tak bergeming dengan
kasih sayang dan menyangga samudra kehidupan para keturunannya. Yang diungkapkan
secara tersurat dan tersurat. Ajaran tersurat berupa warisan aktivitas berupa data tekstual
dan kontekstual yang nampak sebagai warisan aktivitas budaya arkeologi, yang dapat
diraba, dan dilihat secata fisik. Sedangkan ajaran tersirat adalah makna (meaning) yang
terkandung sebagai nilai kepribadian yang menjadi landasan kekuatan kepribadian, dan
tampak nyata bagi siapa yang hendak mengenal dan menyelaminya.

23
RichadianaKadarismanKartakusuma

Di dalam proses membersihkan diri manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan


tertentu, intelektualitas dan kadar kemampuan yang bereda-beda. Di dalam rangka
menuju pencapaian kesatuan dirinya kepada Sang Pencipta manusia diberi jalan sesuai
kemampuan-nya dengan cara mengerti bahwa manusia memiliki kodrat hidup sebagai
mahluk ganda terdiri dari badan kasar (waruga/wadah) dan badan halus (raraga/isi).
Karena itu dalam menjalani kehidupannya juga memperoleh pengetahuan sejak lahir,
dewasa, tua dan mati termasuk pengetahuan dijalani sesuai kepercayaannya.
Kepercayaan asli pribumi adalah warisan nenekmoyang yang menyiratkan ajaran
tentang filsafat moral yang direaktualisasi secara nyata pada abad ke XIV Masehi. Sistem
kepercayaaan yang bertumpu pada kesadaran murni tentang hakekat diri manusia sesuai
kebudayaannya. Demikianlah bahwa kebudayaan masa lalu bereksistensi di masa kini;
kebudayaan kini disampaikan ke masa datang; kesadaran bahwa mengikat waktu. Suatu
pemahaman tentang eksistensi manusia sebagai mahluk sosial selalu mengaktivitaskan
diri. Layaknya tanaman mengikatkan diri dengan akar-akarnya, hewan mengikat diri ke
dalam ruang, hanya manusia yang mampu mengikat menghubungkan bentuk, waktu dan
ruang melalui kebudayaan.
Cag- Peun

Tlas Sinurat Ing Bintaro


Ing Masehiwarsa 2008, Tithi Dasami, Somawara, Bhadrawadamasa

24

Anda mungkin juga menyukai