Anda di halaman 1dari 14

PUNAKAWANKONSEPDANPERANNYADALAMMASYARAKATJAWAKUNO:KAJIAN

ARSITEKTURDANSASTERA

AgusArisMunandar

DepartemenArkeologi,FakultasIlmuPengetahuanBudayaUniversitasIndonesia

Masa Jawa Kuno adalah periode ketika Bahasa Jawa Kuno masih digunakan secara meluas dalam
masyarakat,danpadamasaituagamayangberkembangdalammasyarakatadalahHinduaiva,Buddha
Mahyana, dan pemujaan terhadap arwah leluhur masih tetap dikenal. Berdasarkan peninggalan
arkeologisnyayangmasihbertahanhinggakini,masaituberkembangantaraabadke8hinggaabadke
15 M. Masyarakat Jawa Kuno sebenarnya dapat dibedakan menjadi dua periode, pembagian itu
didasarkankepadalokasipusatpusatkerajaanyangberkembangpadamasasezaman.MasaJawaKuno
antara abad ke810 sering disebut zaman Jawa Tengah, karena pusat kerajaan yang menghasilkan
kebudayaan penting terdapat di Jawa bagian tengah. Adapun antara abad ke1115 M sering disebut
zaman Jawa Timur, karena pusatpusat kerajaan penggerak kemajuan peradaban terletak di wilayah
Jawabagiantimur.

Berdasarkan bendabenda arkeologis yang bertahan hingga dewasa ini, kedua zaman tersebut
meninggalkan bentuk artefak yang berbeda wujudnya, cirinya, gaya seni, dan teknik pembuatannya.
Sehinggadapatdinyatakanbahwatelahterjadiperkembangankebudayaanyangterpisahantarazaman
Jawa Tengah dan zaman Jawa Timur, walaupun dalam masa itu agama Hindu dan Buddha masih
berkembang dengan semarak dalam masyarakat. Tentu saja tidak seluruh aspek kebudayaan zaman
Jawa Tengah berbeda dengan zaman Jawa Timur, sebab tetap terdapat aspekaspek kebudayaan yang
sama,tetapbertahandanmengalamikesinambunganantarakeduazamantersebut.

Masyarakat Jawa Kuno menurut J.G.de Casparis tidak melaksanakan pembagian kasta seketat
pembagiankastadiIndia.Berdasarkanhasilkajiannyaterhadapprasastidansumbertertulislainnyadari
masaJawaKunoDeCasparismembagimasyarakatJawaKunokedalam3golongan,yaitu:
1. Golonganpendudukdesapadaumumnyayangmerupakanbagianterbesardarimasyarakat.
2. Golongankeratonadalahmerekayangtinggaldikedatonrajaraja,parapejabattinggidankaum
keluarganyayanghiduptergantungkepadakebijakanrajadanistana
3. Golonganagamawan,merekaadalahparapendeta,brahmana,bhiksuyangtinggaldilingkungan
bangunan suci, viharavihara, serta para pegawai rendahan lainnya yang menyokong aktivitas
bangunansuci,vihara,atautempattempatpendidikanagamalainnya(DeCasparis1954:56).

Dalam suasana penggolongan seperti itulah masyarakat Jawa Kuno berkembang dengan berlandaskan
konsep agama Hindu dan Buddha. Dalam agama Hindu memang dikenal adanya caturwarna, namun
dalam kenyataannya di lingkungan masyarakat Jawa kuno caturwarna itu tidak dilaksanakan.
Masyarakat Jawa Kuno agaknya lebih menyukai suasana egaliter yang diajarkan dalam agama Buddha,
dengandemikiantelahterjadiperimbanganantaraperananHindudanBuddhasecarabaik.

Apabila diperhatikan dalam penggambaran relief cerita Mahakarmmavibhangga, Lalitavistara, dan


Gandavyuha di Borobudur, dan juga relief cerita Ramayana di percandian Prambanan; terlihat ketiga
golongan tersebut bergaul dengan baik. Dalam beberapa adegan terlihat suasana di lingkungan
bangsawan yang dihadiri oleh kelompok agamawan, dan juga sejumlah rakyat biasa di samping sang
bangsawan sendiri. Ada pula kelompok rakyat yang sedang mendengarkan ajaran yang diberikan oleh
seorang pendeta, atau pendeta yang sedang dihadap oleh tokoh bangsawan. Apabila saja
penggambaran relief di candicandi Jawa sebenarnya representasi dari suasana kehidupan masyarakat
JawaKunosendiri,makapenggambarantersebutmenunjukkanbahwatidakadapembatasanpergaulan
antara ketiga golongan tersebut. Mereka bergaul akrab sesuai dengan aturan sosial yang berkembang
padamasanya.Apabilaadaperselisihanmakayangdigambarkanadalahrakyatkebanyakanyangsedang
berkelahi atau saling mengganggu antara sesamanya, sebagaimana yang digambarkan dalam relief
Mahkarmmavibhangga

Berdasarkan adanya pergaulan yang akrab itulah maka mulailah muncul hubungan yang saling
memerlukan antara orangorang dari dua golongan yang berbeda. Misalnya antara pendeta dan kaum
bangsawan, dan antara rakyat dengan pendeta. Hubungan yang jelas banyak terjadi dan tentunya
cukup lumrah adalah antara rakyat biasa dengan kaum bangsawan. Hubungan antara dua pihak inilah
yang selanjutnya dapat diasumsikan menjadi salah satu argumen munculnya tradisi punakawan dalam
masyarakatJawa.

II
DalamkehidupanprasejarahdiNusantarayangberhasildirekonstruksikembali,dapatdiketahuibahwa
di antara banyak pencapaian sosialbudaya yang telah diraih oleh nenek moyang bangsa Indonesia
adalah dalam hal penataan masyarakat. Masyarakat prasejarah (baca: protosejarah) dalam zaman
perundagian di Asia Tenggara termasuk Indonesia, agaknya telah mengenal adanya pembagian 3
golongan dalam masyarakat. Penggolongan itu adalah (a) sang primus interpares yang sedang menjadi
ketua suku/kepala kampung beserta keluarganya, (b) kelompok shaman/dukun/orang yang dituakan
besertakeluarganya,dan(c)rakyatkebanyakanyangbeberapadiantaranyahidupdisekitarsangprimus
interpares. Seorang primus interpares dipilih berdasarkan berbagai kelebihannya, kemudian dia dapat
menjadi pemimpin kelompoknya setelah para pesaingnya tidak ada yang mampu menyamai dirinya.
Sang pemimpin itulah yang kemudian harus memerintah kampungnya dengan baik, memupuk
kharismanya sehingga warganya tetap menghormati dirinya selama menjabat ketua kampung ataupun
setelah dia meninggal. Arwahnya dipuja di waktuwaktu tertentu di tempattempat suci dalam bentuk
punden berundak yang dilengkapi batubatu tegak. Punden sakral beserta menhirmenhir lambang
persemayaman leluhur tersebut biasanya ditemukan di dataran tinggi, pegunungan, atau di puncak
puncak perbukitan. Mulailah terjadi aktivitas pemujaan yang dilakukan masyarakat terhadap arwah
nenekmoyang(ancestorworship)yangmenjadibentukreligiasliNusantara.

GambaranmasyarakatsepertiitulahyangterjadiketikakebudayaanHinduBuddhapertamakalimasuk
dari India ke Nusantara, terutama ke Jawa. Maka pengaruh budaya tersebut dapat dengan mudah
diterima dalam masyarakat, dan akhirnya terbentuklah 3 golongan masyarakat Jawa Kuno yang terdiri
dari, (a) rakyat kebanyakan, (b) raja dan kaum keluarganya, dan (c) para pendeta. Penggolongan itu
agaknyamerupakanpenerusantradisipenataanmasyarakatprakebudayaanIndia,olehkarenaitudapat
dipahami bahwa kasta/warna hanya dikenal sebagai konsep saja, tetapi bukan dijalankan dalam
prakteknya.
PRIMUS INTERPARES & Keluarga
(Raja & Keluarganya)
TETUA/SHAMAN/PENDETA RAKYAT KEBANYAKAN
HUBUNGANANTARAPEMIMPIN,RAKYATDANSHAMANDALAMMASYARAKAT
TRADISIONALNUSANTARASEBELUMDATANGNYAPENGARUHINDIA

Selanjutnya tidak adanya pembagian kasta yang ketat dalam masyarakat Jawa Kuno mungkin dapat
dijelaskan juga melalui kenyataan bahwa proses penyebaran agama Hindu dan Buddha Jawa terjadi
dalam waktu yang hampir bersamaan. Penyebaran itu terjadi pada sekitar awal tarikh Masehi, bahwa
Hindu mengajarkan adanya pembagian kasta bahkan diupayakan dilaksanakan secara ketat, sedangkan
agama Buddha justru sebaliknya membebaskan para pemeluknya dari kekangan kasta. Agama Buddha
memang dikembangkan untuk melepaskan ikatan kasta yang dipandang sangat membelenggu
masyarakatpemelukagamaVedaBrahmanamasaitudiIndia.MasyarakatIndiakunosebelumkelahiran
agama Buddha terbagi ke dalam pembagian golongangolongan berdasarkan kelahirannya, yaitu kaum
brahmana, ksatrya, vaisya, dan sudra. Bahkan terdapat 3 golongan rendah yang di India berada di luar
rasArya,yaituparia,candala,dantuccha.AgamaBuddhameniadakansemuapembagiangolonganitu,
menafikan ras Arya atau pun bukan Arya, sehingga Buddha cepat sekali berkembang di tanah
kelahirannyapadamasakehidupanSiddhartadanbeberapaabadsesudahnya.Demikianlahmasyarakat
JawaKunoantaraabadke815Mmengenalkeduaagamaitudenganbaik,buktibuktiarkeologisdan
sumber susastra justru menghala ke arah kesejajaran atau perpaduan yang harmonis antara kedua
agama. Maka sistem kasta dalam masyarakat Jawa Kuno hanyalah konsep yang tidak dilaksanakan
denganbaik.

Dalam suasana yang cair tersebut maka anggota setiap golongan dalam masyarakat Jawa Kuno dapat
bergaul dengan akrab antara sesamanya. Keadaan seperti itu merupakan sesuatu yang langka terjadi
dalam kebudayaan India yang setia mengembangkan agama Hindu. Lain halnya dalam agama Buddha
bahwa banyak sumber tertulis yang menyatakan bahwa seseorang atau sekelompok orang dari
golongan tertentu yang dianggap lebih rendah dapat bergaul dekat dengan orangorang dari golongan
lainnya yang kedudukannya lebih tinggi. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa di lingkungan masyarakat
JawaKunosepertiitulahmuncultokohtokohpengiringksatryayangberasaldarikalanganrakyatbiasa.
MisalnyatokohAirlanggayangmasihmudaremaja,berusiasekitar16tahunketikaiaharusmengungsi
beserta para pengiringnya ke hutan Wanagiri. Hal itu terjadi akibat kerajaan Dharmmawangsa Tguh
mengalami pralaya akibat serangan Haji Wurawari. Dalam pengungsiannya itu Airlangga harus hidup,
mentaati dan melaksanakan kehidupan para pertapa, dan juga mengenakan valkaladhara (penutup
tubuhdarikulitkayu).SelamahidupbersamaparapertapaituAirlanggamelatihdiridalamhaljasmani
danrohani,antaralainmelaksanakanyoga,untukmemusatkanpikiranagardapatmencapaicitacitanya
mempersatukankembalikerajaannya(DeCasparis1958:12).

Dalam prasasti Pucangan (963 Saka/1401 M) dinyatakan bahwa selama ia mengungsi dan tinggal di
dalam hutan selalu ditemani oleh abdinya yang setia bernama Narottama. Sebagian prasasti Pucangan
menyatakan:
Maka ia kemudian tinggal di hutan di lereng gunung bertemankan para pertapa yang suci
kelakuannya,diikutiolehseoranghambanyayangamatsetiabernamaNarottama.Dialahabdi
yangteramatteguhdalamkesetiaan,mengikutirajakemanasajaiapergitanpamauberpisah,
ikutberpakaiankulitkayu,danmakanapasajayangdimakanolehparapertapayangtinggaldi
hutan(Sumadio1984:176).

Apa yang dikemukakan dalam prasasti Pucangan tersebut sejauh ini merupakan bukti tertulis pertama
yang menyebutkan adanya seorang hamba yang mengikuti kemanapun tuannya pergi. Agaknya hal itu
memang merupakan peristiwa sejarah, ketika Airlangga sedang dalam keadaan merana, terusir dari
kedaton Dharmmawangsa Tguh, tidak mempunyai pelindung dan terluntalunta di pertapaan
pertapaan,iaselaludidampingiolehNarottama(artisebenarnyamanusiautama)seoranghambanya.
KelaktokohinimenjabatsebagaiRakryanKanuruhanPuNarottamadanrekannyaRakryanKuninganPu
Niti mengiringi Airlangga untuk menghancurkan Haji Wurawari. Airlangga beserta bala tentaranya
menyerbuWurawaridaridaerahMagehan(Magetan?)dalamtahun1032M(Sumadio1984:179).

Mungkinsajadalammasasebelumnya,artinyadalamerakerajaanMataramKunodiJawabagiantengah
terdapatpulaseorangrajaatauksatryayangmempunyaipengiringsetiapula,namunbelumditemukan
buktiotentikhinggasekarang.DalamprasastiWuatanTija(802aka/880M)terdapatberitayangdapat
ditafsirkanadanyaperananpendudukDesaWuatanTijayangmembantumenyelamatkankeluargaraja.
DalamprasastidiuraikanbahwaparapejabatdanpendudukWuatanTijaberhasilmenyelamatkananak
Sri Maharaja Rake Lokapala yang bernama Dyah Bhumijaya. Sebelumnya Dyah Bhumijaya diculik
bersamaibunya,yaituRakyanManakolehadikibunya(pamanDyahBhumijaya)yangbernamaRakryan
Landhayan. Rakyan Manak berhasil kabur di daerah Tangar, tetapi ia membakar diri di daerah Taas.
Mungkin pasukan raja terus mengejar para penculik tersebut dibantu oleh para penduduk setempat,
sehingga pada suatu ketika penduduk Desa Wuatan Tija berhasil mengalahkan Rakryan Landhayan,
membebaskan Dyah Bhumijaya dan membawa kembali kepada ayahandanya sang raja. Raja sangat
bersuka cita dan akhirnya membebaskan wilayah Wuatan Tija yang semula termasuk Samgat Wintri,
menjadi daerah mandiri dan pimpinannya diserahkan kepada Dyah Bhumijaya (Sumadio 1984: 133
134). Berdasarkan berita tersebut dapat diketahui telah ada hubungan yang akrab antara rakyat jelata
yangtinggaldiDesaWuatanTijadengankeluargaraja.BahkanpendudukWuatanTijaberhakmengatur
pemerintahannyasendiridantidaklagiberadadibawahkekuasaanpenguasalain,DyahBhumijayayang
kemungkinanmasihremajadiangkatmenjadipelindungdariDesaWuatanTija.

Beritaberita prasasti lainnya ketika pusat Kerajaan Mataram masih berada di wilayah Jawa bagian
tengah tidak banyak yang menjelaskan adanya hubungan yang akrab antara kaum kerabat raja dengan
pendudukbiasa.Apabilaberkenaandenganpendudukkebanyakan,makayangdisebutkanadalahberita
tentang interaksi antara penduduk desa dengan para pejabat kerajaan, misalnya tentang pelaksanaan
hukum, pembayaran hutang, atau pembukaan lahan baru untuk ladang atau perumahan. Tradisi yang
memunculkan adanya peranan seseorang pengiring setia pada seorang tuan yang kemudian disebut
denganPunakawan,sangatmungkinbaruterjadisetelahmasapemerintahanAirlangga(abadke11M).
PrasastiPucanganmenyebutkandenganjelasadanyahubunganantaraksatrya(Airlangga)danseorang
pengiring/pengawalnya yang setia (Narottama). Pola hubungan seperti ini sangat mungkin tidak hanya
terjadi pada zaman Airlangga saja, bisa saja dalam masa sebelumnya telah ada hubungan tuan dan
pengiringnya,hanyasajatidakadaberitatertulisapapunsehinggasukarmencaribuktibuktinya.

Walaupun dalam pemahatan relief cerita di Candi Borobudur dan Prambanan terlihat adanya
pembagiangolongan,antarakaumagamawan,kaumbangsawanksatrya,danrakyatkebanyakan,tetap
tidak dapat diketahui telah hadir tokoh punakawan di sana. Memang dalam kisah Lalitavistara
disebutkan adanya pengiring Siddharta Gautama yang setia bernama Channa, namun si pengiring itu
benarbenarhanyapengiringbelakasesuaidengankisahkehidupanSiddharta.Channatidakmempunyai
perananlagi,setelahmenemaniSiddhartamelihat4peristiwabesardanmembantumelarikandiridari
istana Kapilavastu. Dapat saja disebut bahwa hubungan SiddhartaChanna itu telah ada dalam masa
Mataram Kuno di wilayah Jawa bagian tengah, namun hubungan itu berbeda dengan pola Airlangga
NarottamayangjauhlebihterasabudayaJawaKunonya.

Dalam prasasti MulaMalurung yang berangka tahun 1177 aka (1255 M) yang dikeluarkan oleh
Nararyya Smi ning Rat atau Wisnuwardhana, dinyatakan adanya pejabat tinggi yang bernama Sang
Pranaraja yang mengabdi kepada beberapa orang raja Singhasari, termasuk kepada Wisnuwardhana.
Sang Pranaraja telah mengabdi kepada raja Guning Bhaya yang menurut Prasasti MulaMalurung
merupakan raja ke4 Singhasari. Pengabdian itu diteruskan dalam masa pemerintahan raja Toh Jaya
yangmenjadirajake5SinghasarimendahuluNararyyaSminingrat.AtasjasajasanyaituSangPranaraja
dianugerahi tanah sima MulaMalurung untuk dirinya dan anak keturunannya hingga akhir zaman
(Munandar1984).

UraiansejarahselanjutnyaterdapatdalamkitabPararaton,dinyatakanperihaladanyahubunganakrab
dansalingmendukungantaraksatryadenganparapengiringnyaterjadidalamerakeruntuhanSinghasari
dan masa awal pembangunan Majapahit. Dalam masa yang penuh perjuangan tersebut antara tahun
12921293, Raden Wijaya dengan temantemannya menyelamatkan diri dari kejaran dan serangan
bala tentara Kadiri yang dipimpin Jayakatwang. Raden Wijaya dan kawankawannya bahu membahu
melawan orangorang Kadiri, hingga salah seorang temannya yang bernama Gajah Pagon terkena
tombakdipahanyadandirawatolehorangorangDesaPandakan.RadenWijayamengungsikeMadura,
dan atas saran Arya Wiraraja, Raden Wijaya dan kawankawan meminta izin Jayakatwang untuk
membuka pesanggrahan di hutan Trik. Pararaton pun kemudian menjelaskan bahwa keberuntungan
beradadipihakRadenWijaya,iaberhasilmengalahkanJayaktwangdiKadiriberkatbantuanbalatentara
MongolyangdikirimKubhilaiKhanuntukmenghukumrajaJawa.Majapahitberdiridiakhirabadke13,
Raden Wijaya menjadi raja pertamanya dengan gelar Sri Maharaja Krtarajasa Jayawarddhana (1293
1309M).

Satu contoh lagi yang popular perihal pengabdian para pengawal raja terhadap tuannya adalah Gajah
Mada dan pasukan Bhayangkaranya yang menjaga keselamatan Jayanagara dalam peristiwa
pemberontakanKuti.Mengenaihaliniakandibahaspadabagianberikutdarikajianini.Dengandemikian
terdapat beberapa contoh hubungan antara ksatrya dan pengiringnya dalam masa Jawa Kuno yang
sangatmungkinmenjadidasaruntukmelahirkanpunakawan.

III
AdalahMpuPanuluhyangpertamakalimenyebutkanadanyatokohPunakawanpengiringksatryadalam
karya sastra Jawa Kuno. Dalam karyanya yang berjudul Gatotkacaraya, Mpu Panuluh menambahkan
tokohtokoh pengiring ksatrya (Abimanyu) yang sebelumnya tidak pernah dikenal dalam epik
Mahbharata atau Ramayana India. Dalam Gatotkacaraya peranan Punakawan masih kaku, hanya
embelembel belaka, tokohtokoh yang tampil tanpa peran penting alias tokoh figuran saja (Mulyana
1979: 227). Bahkan ada yang menyatakan bahwa hadirnya tokoh Punakawan dalam kakawin
Gatotkacaraya itu merupakan sisipan dalam masa kemudian ketika kakawin itu disalin ulang di Bali
(Wieringa 2000: 25558). Walaupun demikian P.J.Zoetmulder masih ragu untuk menyatakan bahwa
kakawin Gatotkacaraya digubah bukan dalam masanya, masa Kerajaan Kadiri (1985: 149 dan 366).
Mengenai nama punakawan yang pertama kali disebutkan dalam karya sastra tersebut dinyatakan
dalamGatotkacarayatersebutterdapatdalampupuh10:7bsebagaiberikut:
ngkanllanpudapudaywarapartaputra
PuntaPrasantadumulursiralenJurudyah
raginpanonryakanikelsapatahningadyah
wrninggurundayalypsahalisgumincang

Terjemahan pada pupuh ini memang masih belum dapat dikatakan memuaskan, karena masih terjadi
perbedaan tafsiran dari para ahli yang menelitinya. Sutjipto Wirjosuparto pernah menerjemahkan
pupuhtersebutkedalambahasaIndonesiakemudianterjemahanitudiinggriskanolehEdwinWieringa
adalahsebagaiberikut:
ThentheworldfamousAbhimanyutookabathinthesea
FollowedbySirPrasantaandJurudyah
Overcomebylove,Abhimanyuorderedthewaveswhichhadbrokenhishairband[tostop]
Aflightofswallowsattractedattention,andwasonlyvisibleasbigasraisedeyebrows.

DalampadaituWieringamenerjemahkanpupuh10.7bitumenjadi:
ThenPartasson[Abimanyu]amusedhimselfwithpaddling[inthewater]
AccompaniedbyPunta,Prasantaaswellasthejurudyah
He [Abimanyu] was overcome by love as he saw how the curves of the waves resembled the
ladys[KsitiSundaris]chignon.
Andhowenchanting,likeherflirtatiouslook,theflightoftheswiftswas(2000:249).

Kajian ini tidak akan melibatkan diri lebih lanjut terhadap perbedaan terjemahan pupuhpupuh dalam
Gatotkacaraya, karena hal itu ranah filologi. Hanya saja yang perlu diungkapkan adalah perihal nama
punakawan yang pertama kali disebutkan dalam karya sastra Jawa Kuno. Menurut Sutjipto
Wirjosuparto,namaituadalahPrasantadanJurudyah,sedangkanmenurutWieringakeduapunakawan
Abimanyu itu ialah Punta dan Prasanta. Adapun juru dyah adalah nama jabatan, sebagaimana yang
dijumpai dalam istilah juru kurung, juru jalir, juru pawohan, dan lainlain. Jadi istilah juru dyah dalam
Gatotkacaraya bukan nama diri seseorang, melainkan nama jabatan yang bertugas untuk mengasuh
dyah,remajaputraatauputridarigolonganbangsawa(Wieringa2000:252).
Berdasarkan kajian arkeologi penggambaran punakawan pertama kali adalah berupa relief yang
dipahatkan pertama kali di dinding Candi Jago, Malang. Sebagaimana diketahui menurut kitab
Ngaraktgama dan Pararaton, nama asli candi itu adalah Jajaghu sebagai tempat pendharmaan raja
Singhasari Wisnuwarddhana (12481268 M). Berdasarkan tinjauan ikonografis dan arsitektur terdapat
hal yang menarik di candi tersebut. Arcaarca dewa yang didapatkan di candi itu bergaya seni keluarga
Singhasari, namun bentuk bangunannya khas bangunan suci era Majapahit. Jadi agaknya candi itu
pernah mengalami perombakan dan perbaikan dalam zaman Majapahit, walaupun aslinya didirikan
dalameraSinghasaripadasekitar12tahunsetelahkematianWisnuwarddhana,jadicandiitudibangun
dalam tahun 1280 M (Bernet Kempers 1959: 84). Pada masa pemerintahan Ratu
Tribhuwanottunggadewi,candiitumengalamiperombakanyangdilakukanolehAdityawarman,kerabat
sang ratu berdarah Sumatra. Hal itu dapat diketahui berkat adanya prasasti batu yang berangka tahun
1343 M yang dipahatkan pada arca Manjusri dari Candi Jago menyebutkan nama Adityawarman
(Hardjowardojo 1966: 17). Dengan adanya berita tersebut dapat dipahami jika arsitektur Candi Jago
merupakan bangunan terasteras bertingkat, tubuh candi berada di teras teratas (ke3), dan sekarang
atapnya sudah tiada lagi. Sangat mungkin atap candi itu dahulu berbentuk tumpang ganjil makin
mengecilkepuncak,terbuatdaribahanyangmudahrusak(atapbentukprasadha).

ArcautamacandiituadalahAmoghapasa(bentukTantrisdariAvalokitesvara)yangsekarangkepalanya
telahterpenggal,namunmasihberadadihalamancandi.Amoghapasadilengkapidengan4pengiring,2
bersifat santa adalah Sudhanakumara dan yamatara, dan 2 lagi bersifat ugra, yaitu Bhkuti dan
Hayagriva. Semua arca tersebut diapit oleh sepasang kembang teratai (di kanankiri tokoh) yang
langsung ke luar dari bonggolnya. Jika ada arcaarca yang dilengkapi dengan sepasang teratai yang
keluar dari bonggolnya, maka arcaarca itu mengacu kepada penghormatan keluarga raja Singhasari.
Adapun jika ada arcaarca dewa dalam bentuk perwujudan yang di kanankirinya diapit oleh sepasang
terataiyangkeluardaridalamvas,guciatautempayan,arcaarcaitumenunjukkangayaseniMajapahit
dalam abad ke1415 M. Maka dapat dimengerti jika arca induk Amoghapasa di Candi Jago berwujud
Amoghapasa yang diapit sepasang teratai yang keluar dari bonggolnya, arca itu memang
menggambarkanWisnuwarddhanasalahseorangrajaSinghasari.

PadadindingterasterasCandiJagodipahatireliefcerita,sebagaimanadiketahuikakicanditerdiridari3
terasberundak,padadindingkakicanditerasIdipahatireliefceritaTantriKamandaka,terasIIdipahati
ceritaKunjarakarna,terasIIIdipahatireliefParthayajadanArjunawiwaha;adapunpadadindingtubuh
candiyanghanyatersisabagiandepannyamasihterlihatadanyapotonganreliefceritaKresnayana.

Relief yang dipahatkan di dinding Candi Jago, jelas merupakan relief gaya Majapahit. Gaya pemahatan
relief cerita di Candi Jago sama dengan gaya relief yang ditemukan di candicandi Majapahit lainnya,
seperti di Candi Tegawangi, Surawana, Ngrimbi, Kepurbakalaan LXV (Candi Kendalisada) di
Penanggungan, dan Candi Sukuh. Gaya yang sangat dominan adalah bahwa figurfigur tokoh selalu
digambarkan pipih seperti wayang kulit, dari pandangan samping (profil), adanya efek perspektif, dan
pengulangan adegandi bingkaiyangsama.Padabeberapapanil reliefdi canditertentuhampirseluruh
panil diisi dengan bermacam adegan dan ornamen (misalnya di Candi Jago), tetapi pada candicandi
yanglebihmuda,misalnyadiCandiSukuh,panilpaniltersebuttetapdibiarkankosongtidakpenuhsesak
denganbermacamornamen.

Tokohtokoh punakawan pertama kali diketahui wujudnya dalam cerita Parthayaja yang dipahatkan
pada dinding teras III sisi utara Candi Jago. Tokohtokoh Punakawan itu lalu tetap ditampilkan dalam
reliefceritaArjunawiwahayangmenyambungadeganadeganParthayajadisisitimurdanselatanteras
III. Dalam salah satu panil relief di candi itu digambarkan adanya adegan Yudhistira yang sedang main
dadu dengan Suyudana di suatu bangunan bale terbuka tanpa dinding. Di belakang Yudhistira terdapat
NakulaatauSadewatidakbegitujelas,diluarbangunanbaledibelakangYudhistiraberdirilahBimadan
Arjunayangsedangmemperhatikanparapemaindadu.DalampadaituSuyudanaditemaniolehseorang
Kaurawa, dan di luar bangunan bale di belakang mereka berdiri pula para Kaurawa lainnya. Hal yang
menarik adalah terdapatnya figurfigur punakawan yang sedang duduk di tanah di bagian bawah bale.
Terdapat 2 tokoh punakawan di bagian kanan yang mengiring para Pandawa dan 2 tokoh punakawan
lainnyadibawahtokohtokohKaurawa,mungkinparapunakawanpihakKaurawa.

KehadiranpunakawanjugaterusdijumpaidiCandiJagodalamadeganadegankisahArjunawiwahayang
merupakan kelanjutan dari Parthayajna. Kedua punakawan dalam adegan relief cerita Arjunawiwaha
selalu berkesan dinamis, baik pada waktu Arjuna sedang bermalam di pertapaan Dewayani, ataupun
ketikasedangberadadalamhutanlebatdengansegalapenderitaannya.Ciripenggambaranpunakawan
pertamakalidalambentukreliefantaralainadalah,
a. perawakandigambarkanpendekgemukgempal
b. tanpabusanaatashanyamengenakankain
c. rambutnyadikuncirdipuncakkepalamereka
d. digambarkansecaradinamisdenganberbagaiaktivitas

Dalam masa agak kemudian dari Candi Jago terdapat penggambaran relief punakawan di Candi
Surawana dan Tegawangi, keduanya di Kadiri berasal dari paruh ke2 abad ke14. Tokoh punakawan di
Candi Surawana dipahatkan pada adeganadegan relief cerita Arjunawiwaha, pada adegan relief cerita
lainnya seperti Sri Tanjung, BhubuksahGagangaking dan Panji tidak ditemukan penggambaran
Punakawan. Sedangkan di Candi Tegawangi dipahatkan dalam adegan cerita Sudhamala. Punakawan
dalamkisahArjunawiwahacandiSurawanadigambarkandenganciri:
a. gemuknamuntidakterlalupendek
b. mengenakan kain saja atau pakaian dari kulit kayu, sesuai dengan jalan cerita bahwa mereka
ikuthidupselayaknyapertapadihutansebagaimanaMintaraga
c. rambutnya tidak dikuncir, melainkan digambarkan lebih tebal dan diikat tali di bagian atas
dahinya.
d. digambarkansecaradinamisdenganberbagaiaktivitas

AdapundiCandiTegawangitokohpunakawandigambarkankuranglebihsamadenganparapunakawan
pada umumnya yang ditampilkan dalam pahatan relief di candicandi Majapahit. Hal yang menarik
adalahadanyapanilpanilreliefyangmenggambarkanberbagaiadeganseharihariataukisahnyabelum
dikenal di bagian kaki CandiNgrimbi, Jombang.Di candiitu digambarkan tokohtokohpendek,gemuk,
berbusana sederhana yang sedang melakukan berbagai aktivitas, misalnya sedang memegangi payung
bagi tokoh yang ada di depannya, menggerus di cobek, memancing katak, dan lainnya. Di bagian kaki
candi Surawana pun terdapat berbagai aktivitas seharihari masyarakat desa yang tokohtokohnya
digambarkandalamwujudpendek,gemuk,ataukurus,padapokoknyatidakdigambarkantampanatau
cantik.

Berdasarkan relief di bagian kaki Candi Ngrimbi dan Surawana tersebut dapat diketahui bahwa
penggambaran tokohtokoh yang pendek, gemuk, wajah lucu, dan busana sederhana tidak selalu
punakawan, melainkan para pemahat relief hendak menggambarkan para penduduk desa umumnya
dalam masa Majapahit. Adapun para punakawan dalam relief yang digambarkan sama dengan
penduduk desa sejatinya hendak menyatakan bahwa punakawanpunakawan itu berasal dari kalangan
bawah, dari penduduk desa biasa yang kemudian hidup di lingkungan istana karena menjadi para
pengiringkaumbangsawan.

Masihbanyakpenggambaranbermacambentuktokohpunakawandalamreliefcandi,misalnyadiCandi
MiriGambar(awalabadke15)dalamkisahPanji,Kepurbakalaan.XXII(CandiGajah)danKep.LXV(Candi
Kendalisada) di situs Gunung Penanggungan, Candi Sukuh dan Ceta di lereng Gunung Wilis.
Penggambaran Punakawan dalam relief semakin menjadijadi dalam masa akhir Majapahit, temuan
berdasarkan data arkeologis itu agaknya mendapat dukungan dari penulisan karya sastra keagamaan
sezamanyangakandibahaspadabagianberikutdarikajianini.

IV
Ketika seorang ksatrya sedang melakukan perjalanan untuk melaksanakan tugas atau mencari jati
dirinya, ia sebenarnya tidak melakukannya sendiri, melainkan ditemani oleh kekuatan yang berada di
luar dirinya. Kekuatan lain itu dalam Hinduisme di Jawa dikenal dengan nama istadewata (dewata
pribadi).Seseorangdalamkehidupannyadapatselalumengadakanpemujaankepadatokohdewa/dewi
tertentu sesuai yang dikehendakinya. Dewa yang selalu berada di dalam hati sanubarinya itulah yang
dijuluki istadewata. Dalam berbagai kesempatan, apabila seseorang itu sangat terdesak dan
memerlukan bantuan , maka tampillah dewa pribadi itu menolongnya. Setelah orang itu meninggal ia
kemudian oleh sanak kerabatnya diarcakan dalam bentuk arca yang menggambarkan dewa pujaan
pribadinya. Dalam era Majapahit arcaarca seperti itu banyak dibuat dan dinamakan dengan arca
perwujudanseseorangyangtelahmeninggal.

Mungkin sekali Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana) memuja secara pribadi 2 tokoh dewa secara
bersamaan, yaitu iwa dan Wisnu. Oleh karena itu tokoh Raden Wijaya diarcakan dalam wujud Hari
Hara di percandian Sumber Jati (Simping), di Blitar. Begitupun raja Anusapati dari Singhasari, ia sangat
mungkin sebagai pemuja Siwa yang setia, sebab dalam kitab Pararaton dinyatakan bahwa Anusapati
didharmakandiKidal(CandiKidalsekarang,dekatMalang)dalamwujudarcaiwaMahdewa.

Kembali kepada para ksatrya yang berkelana, selain ia ditemani oleh dewa pribadinya yang
bersemayam dalam hatinya, sesuai dengan ajaran agama Hindu atau Buddha, maka secara konkret
dalam pengisahan Jawa Kuno didampingi pula oleh tokohtokoh sakti namun berpenampilan lucu,
sederhana,atauagaktidaksempurnatubuhnya,itulahyangdinamakandenganJuruDyahsebagaimana
yang dimaksudkan dalam kakawin Gatotkacaraya. Tokohtokoh demikian bukan berasal dari konsep
India, melainkan dari konsep asli Nusantara. Mereka itulah yang dahulu dalam masa praHindu
dipandang sebagai shaman, kokolot, sesepuh, atau istilah lainnya yang mempunyai banyak fungsi bagi
ksatrya pengembara. Merekalah yang tahu seluk beluk perjalanan di desa, hutan, dan wilayah karena
mereka orang asli Jawa. Merekalah yang tahu berbagai bangunan angker yang bertuah peninggalan
leluhur (kabuyutan) di luar bangunan candicandi yang waktu itu sedang umum dikenal. Dengan
kesaktian yang diperoleh dari leluhurnya mereka mampu mengalahkan kejahatan yang dapat
mengganggu perjalanan, mereka tidak memuja dewadewa India melainkan melanjutkan tradisi
pemujaan kepada leluhur (ancestor worship), bahkan mereka jika perlu sanggup mengalahkan dewa
dewaIndiaitusendiri,apabilaadaoknumdewayangberbuatsalah.

Dalam kitab Tantu Pangglaran yang digubah dalam awal abad ke16 M, nyata sekali bahwa peranan
dewadewaIndiasudahberkurang,bahkankedudukannyasemakindirendahkandibawahparapendeta
dan nenek moyang orang Jawa sendiri. Kisah Tantu Pangglaran tentang pemindahan Gunung
Mahmeru dari Jambhudwipa ke Jawadwipa sebenarnya dapat dipandang sebagai index (bagian dari
tanda yang menunjukkan sesuatu). Bahwa Tanah India sudah tidak lagi memiliki dewa, mereka telah
pindahbermukimdiJawabersamaandengandipindahnyaMahamerumenjadigununggunungdiJawa,
tubuhnyamenjadiSumeru(Semeru)danpuncaknyamenjadiGunungPawitra(Penanggungan).

Pada bagian lain dari Tantu Pangglaran dinyatakan bahwa Mpu TapaWangkeng ketika di Daha ia
menjabat sebagai Samget Baganjing. Ia pagi harinya berhutang minuman laksa, dan berjanji akan
dibayarkanpadawaktusetelahtengahhari,namunMpuTapaWangkengtidakmempunyaiuanguntuk
membayarnya,makadengankesaktiannyaditahanlahSangHyangiwahaditya(matahari)untuktetapdi
tengahhari,tidakberanjaksedikitpunkearahbaratuntukturun.DalampadaituSangPrabhudiDaha
sedang berpuasa, ia akan berbuka puasa apabila matahari telah tenggelam. Setelah ditunggutunggu
mataharitidakjugatenggelamnamunhariterussiangterangbenderang,iasudahsangatlapardanmau
berbuka puasa. Raja lalu mengutus bawahannya untuk menanyakan masalah itu kepada Mpu Tapa
WangkengsebagaiSamgetBaganjing.

Mpu TapaWangkeng malu menceritakan ikhwalnya kepada utusan raja, namun setelah dijelaskan
bahwa raja sedang berpuasa dan akan berbuka jika matahari tenggelam, sementara matahari belum
jugatenggelam.MpuTapaWangkengakhirnyamenyatakanbahwaiaberhutanguanguntukmembayar
minumanlaksa,namunkarenaiatidakmempunyaiuangmakamatahariditahannyaagartetapbersinar
pada tengah hari. Utusan segera kembali ke raja dan menceritakan tentang hutang Mpu Tapa
Wangkeng,makarajapunsegeramemberiuangkepadasangMpuuntukmembayarhutangnya.Setelah
itu Mpu TapaWangkeng melepaskan matahari dari posisinya di tengah hari, dan hari pun segera senja
(Nurhajarini1999:127128).

ApayangdiuraikandalamkisahitusecaratidaklangsunghendakmenyatakanbahwakedudukanDewa
SiwaAditya(Siwasebagaipenguasamatahari)lebihrendahdariMpuTapaWangkeng,sebabsangMpu
mampu menghentikan perjalanan dewa India itu karena masalah hutang saja. Adanya kedudukan
bahwa dewadewa India lebih rendah kesaktiannya daripada para pendeta pribumi Jawa dijumpai
kembalidalamkisahTantuPangglaranlainnyasebagaiberikut:
Adalah Mpu Barang dari Jawa yang berkelana sampai Jambhudwipa, sesampainya di Tanah India ia
melihat banyak brahmana sedang melakukan pemujaan kepada Dewa HariCandana (Wisnu). Mpu
Barang hanya berdiri saja memperhatikan para brahmana tersebut. Lalu oleh mereka Mpu Barang
disuruh duduk untuk melakukan pemujaan juga, karena Bhattara HariCandana yang menciptakan
kesejahteraan alam semesta. Jawab Mpu Barang: Almh kami manambaha, apan ngulun brahma
Jawa (Saya tidak mau menyembahnya, karena saya brahma dari Jawa). Para brahmana India lalu
menyatakan:
Brahma kapwa kita; lah panambah, brahma Jawa! (Kita samasama brahmana, maka
menyembahlahhaibrahmanaJawa!).

Mpu Barang tetap menjawab Almh kami manambaha (Saya tidak mau menyembahnya). Akhirnya
para brahmana India menangkap Mpu Barang, ia dipaksa berlutut dan tangannya diarahkan
menyembaharcaHariCandana.Seketikaitujugaterjadigempabumi,danpecahlaharcaHariCandana,
parabrahmanaketakutanpucatmelihatkesaktianMpuBarang(Nurhajarini1999:124125).

Sekali lagi diperlihatkan bahwa tokoh orang Jawa, yaitu Mpu Barang dinyatakan lebih ungul dari pada
para brahmana Jambhudwipa, bahkan dari dewa mereka. Arca dewa HariCandana yang merupakan
ikon dari kekuatan penciptaan dan kesejahteraan pun pecah ketika disembah oleh Mpu Barang. Tantu
Pangglaran kemudian semakin memperjelas bahwa pendetapendeta Jawa asli sebenarnya yang
menurunkan para pemeluk agama dari India tersebut. Diuraikan dalam Tantu Pangglaran sebagai
berikut:
Tersebutlah Mpu Mahpalyat. Kembalilah dia ke Nusa Jawa (semula dia bertempat di Nusa
Kambangan).DibelahlahtubuhnyajadilahaiwaSogatabernamaMpuBarangdanMpuWaluh
Bang. Mpu Barang menjadi ewapaksa, Mpu Waluh Bang menjadi Sogatapaksa. Seketika
tibalah ia di Nusa Jawa bertempatlah ia di Girah. Mpu Barang dan Mpu Waluh Bang
mengadakanpertapaandiHanggirah(Nurhajarini1999:118).

Jadi menurut Tantu Penggelaran ajaran aiwaSogata sebenarnya adalah pecahan dari tubuh Mpu
Mahpalyat. Apabila demikian siapa sebenarnya Mpu Mahpalyat yang melahirkan ajaran Saiwa
Sogata?,sungguhmerupakanpertanyaanyangmasihsukardijawab,tentunyatokohitulebihtinggidari
dewadewaHinduSaiwadanBuddhaMahyanayangberasaldariIndia.

Kitab Tantu Panggelaran jelas mengajarkan bahwa kedudukan dewadewa India jauh lebih rendah dari
pada para Mpu dan pendeta Jawa sendiri. Mpu Mahapalyat, Mpu Barang, Mpu Waluh Bang, Mpu
Tapawangkeng, Mpu Kalotan, Mpu TapaPalet, dan berbagai Mpu lainnya adalah orangorang pribumi
yang saktisakti. Apabila disindirsindir para dewa India saja kalah oleh kesaktian mereka, lalu sejatinya
para Mpu digjaya itu sebenarnya beragama apa? Para ahli telah mengungkapkan bahwa pada masa
akhir Majapahit telah terjadi revitalisasi religi Jawa praIndia, hal itu tercermin baik dalam ajaran
keagamaandalamberbagaikaryasastraataupun dalambentukfisikpeninggalanarkeologi.Pernyataan
bahwa terdapat pemujaan kepada dzat yang lebih tinggi dari dewadewa India sebenarnya hendak
menyatakan ada kekuatan superhuman being asli Jawa, itulah leluhur orang Jawa. Dzat tertinggi itu
kemudiandiseurdenganberbagainama,antaralainSangHyangTaya,SangHyangManon,SangHyang
Tunggal, Sang Hyang Wenang dan sebagainya. Dalam tantu Panggelaran dinyatakan bahwa para raja
(golongan ksatrya) selalu berkonsultasi dan meminta tolong kepada para Mpu yang sakti tersebut.
Dalam hal ini terlihat bahwa para Mpu yang mewakili pemujaan kepada leluhur orang Jawa kerap kali
menjadiacuandanpemberinasehatrajarajayangberkuasa.

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa kitab Tantu Panggelaran dalam lingkup kebudayaan Jawa
kuno dan kitab Sang Hyang Siksakanda ngKaresyan dalam lingkup budaya Sunda Kuna, keduanya
mengajarkanadanyadzatlainyanglebihtinggidaripadadewadewaIndia.Halyangmenarikadalahpara
pemujaleluhuryangbukankonsepsireligiIndiaituadalahparapendetapribumi,merekaparaMpuyang
acapkalimenjadipenasehatraja.

V
Kemunculan punakawan dalam kebudayaan Jawa ternyata mempunyai jalur yang rumit dan kompleks.
Kehadirannyatidakbisadijelaskansecaragamblangdenganhanyamengacukepadasatuperistiwasaja,
akan tetapi melalui berbagai peristiwa sejarah yang pernah terjadi. Kehadiran punakawan harus
dijabarkan melalui beberapa argumen yang saling dukung mendukung, sehingga konsep Punakawan
menjadimilikkhaskebudayaanJawa,bukanberasaldariIndia.

Berdasarkan sumbersumber sejarah yang dapat diketahui dalam masyarakat Jawa Kuno ketika agama
HinduBuddha masih berkembang, terdapat beberapa model hubungan antara ksatrya dengan para
pengiringnya. Mungkin berdasarkan beberapa model itulah berangsurangsur diciptakan tokohtokoh
punakawandenganberbagaikarakterbaiknyayangterusdikenalhinggazamanperkembanganIslamdi
Jawadandalamkesenianwayanghinggasekarangini.Modelhubunganituantaralainsebagaiberikut:

ModelI:HubunganantaraPangeranSiddhartadanChanna
Dalam model ini figur Channa benarbenar sebagai seorang pengiring dan hamba (pelayan) yang tidak
terlalu banyak memegang peranan, kecuali ketika Siddharta masih hidup di lingkungan istana
Kapilavastu.

ModelII:HubunganantaraDyahBumijayadenganpendudukWuatanTija
Ciri dari model hubungan ini adalah adanya bantuan dari masyarakat desa terhadap keluarga
bangsawan anak raja. Sang raja kemudian menganugerahi penduduk Desa Wuatan Tija sebagai daerah
bebas yang tidak menjadi wilayah kekuasaan penguasa manapun bahkan langsung di bawah
pengawasananakrajayangbersangkutan.

ModelIII:HubunganantaraAirlanggadanNarottama
Dalammodeliniterjadihubunganyanglebihluasdanakrabantaraksatryadenganpengiringnya.Gejala
pemunculan figur dan peranan punakawan telah tampil dalam diri Narottama yang selalu menemani
tuannya, Airlangga. Ketika Airlangga terluntalunta dalam usia 16 tahun, Narottama telah mempunyai
banyak perang dan cukup mengesankan sebagai pengiring. Ia adalah teman seperjuangan, pengawal,
penjaga, penasehat, pembela setia, ikut hidup menderita dalam hutan, selalu mendukung Airlangga
untuk selalu melakukan pemujaan kepada dewadewa dan hyang, dan pada akhirnya setelah Airlangga
sukses menjadi raja, ia diangkat menjadi pejabat tinggi kerajaan Airlangga dengan gelar Rakryn
KanuruhanPuNarottama.

ModelIV:MasaSinghasari:SangPranarajayangsetiakepadarajarajaSinghasari
Berita Prasasti MulaMalurung (tahun 1177 aka (1255 M) dikeluarkan oleh raja Wisnuwarddhana.
Prasasti ini yang antara lain menceritakan tentang pengabdian Sang Pranaraja seorang pengiring raja
yang sangat berjasa kepada beberapa raja Singhasari, sehingga Nararyya Smi ning Rat
(Wisnuwarddhana) berkenan menganugerahkan desa Mula dan Malurung sebagai sima kepada sang
Pranaraja. Model ini menjelaskan tentang pengabdian setia seorang pejabat tinggi kerajaan yang
akhirnyamendapatanugerahtanahSima.

ModelVRadenWijayadenganparapengiringnya
DalamPararatondiuraikanbahwaKrtarajajasaJayawardhanarajapertamaMajapahitsebelummenjadi
penguasa ia berjuang melarikan diri dari istana Singhasari yang diserang oleh pasukan Jayakatwang.
Dalam pelarian, pengungsian ke Madura dan perlawanan terhadap Kadiri yang dirajai Jayakatwang,
RadenWijayadibantuolehparapengiringdanpengawalsetianya,antaralainSora,Nambi,Ranggalawe,
GajahPagon,PedangdanDangdi.ModelinimemperlihatkanhubunganyangbegitudekatantaraRaden
Wijaya dan para pengiring sahabatnya. Mereka benarbenar tulus tidak mengharapkan anugerah
apapundemimenyelamatkancalonpenerustahtadaridinastiRajasa.

ModelVI:JayanagaradenganparapengawalBhayangkara
Kembali Pararaton menguraikan bahwa raja Jayanagara berhasil diungsikan ke Desa Badander pada
waktu terjadi pemberontakan besar yang mengancam istana dipimpin oleh Ra Kuti. Gajah Mada yang
menjadi bekel pasukan Bhayangkara beserta temantemannya yang berjumlah 16 orang yang sedang
tugas jaga, malam hari mengawal raja untuk menyingkir dari Majapahit ke Badander, yang dalam
prasastidesaitudisebutTuhanyaru.Dalamdalammodeliniterlihatadanyahubunganyangresmiantara
raja dengan pasukan Bhayangkara yang dipimpin Gajah Mada. Sangat mungkin gagasan dibentuknya
pasukan Bhayangkara didasarkan kepada para pengiring dan teman setia Raden Wijaya yang setia
mengawaltokohtersebuthinggaberhasilmendirikanMajapahit.

Berdasarkan data yang telah diuraikan dapat diasumsikan bahwa model yang dapat dapat dijadikan
referensidalamhalkemunculanpunakawandalamkebudayaanJawaKunoadalahModelIII(Airlangga
Narottama)danModelV(RadenWijayaparapengiring).Dalamkeduamodelituditampilkanketulusan
para pengiring ksatrya, walaupun dalam keadaan sengsara dalam pengungsian, mereka tetap berjuang
bersamasama temannya. Bersamaan dengan peristiwa sejarah tentang adanya hubungan antara
ksatryapengiring, terdapat upaya untuk mulai mengabadikan peranan punakawan dalam bentuk karya
sastradanjugareliefcandi.

MungkinsekaliPenyebutannamanamaPunakawanpertamakalidalamkakawinGatotkacasrayaterjadi
setelahmunculfigurNarottamayangmenjadipengawaldantemansetiaAirlangga,agaknyahalseperti
itu telah menjadi model yang baik dalam hubungan antara raja atau kaum bangsawan dengan para
pengiring dan pengasuh mereka yang berasal dari kalangan rakyat biasa. Maka tidak mengherankan
apabila Mpu Panuluh mencoba menghadirkan tokohtokoh Punakawan dalam karya sastra yang
digubahnya. Munculnya penyebutan punakawan pertama kali dalam Gatotkacaraya gubahan Mpu
Panuluh dalam abad ke12, dengan nama Punta dan Prasanta mereka merupakan para pengasuh para
remajakeluargarajayangdisebutdenganjabatanJuruDyah(Wieringa2000:252).

AdapunPemahatanfigurpunakawanpertamakalinyadalambentukreliefdiCandiJago,sangatmungkin
didasarkankepadahubunganRadenWijayadenganparapengiringnyadiakhirabadke13M.Walaupun
candi itu didedikasikan bagi raja Wisnuwarddhana, namun relief dan bangunan Candi Jago telah
mengalami pemugaran dalam zaman Majapahit oleh Mpu Aditya (Adityawarman). Dalam bentuk relief
punakawan digambarkan dengan figur yang lucu, pendek gemuk, kepala besar dan ukurannya selalu
lebih rendah dari ksatrya yang diiringinya. Hal itu menunjukkan bahwa kedudukan para punakawan
sebenarnya dari kalangan rakyat biasa. Dalam masa selanjutnya banyak candi Majapahit yang dihias
dengantokohPunakawan.

Pada akhirnya dapat dikemukakan bahwa walaupun punakawan itu digambarkan dengan perawakan
yang jelek tidak tidak tampan, memang mempunyai maksud tertentu, bahwa mereka adalah orang
orangdesa,pribumiasli.SejalandenganisikitabTantuPanggelaranbahwawalaupunparapendetaJawa
itu orang desa, bukan dari kalangan brahmana sebagaimana para pendeta istana, namun kesaktian
mereka jauh lebih tinggi dari pada dewadewa Hindu dari India. Mereka tidak memuja Trimurti,
melainkan suatu konsep yang lebih tinggi dari itu, dinamakan dengan berbagai epithet seperti Sang
Hyang Wenang dan Sang Hyang Taya. Itulah pemujaan leluhur asli Jawa yang bukan dewadewa India.
Dalam pengertian itulah maka mengemuka tafsiran bahwa para punakawan itu sebenarnya adalah
representasinenekmoyangorangJawaasli.Parapunakawanituberasaldaridesa(ataunegaradaerah)
yang tidak sepenuhnya memeluk agama Hindu atau Buddha sebagaimana kalangan istana, mereka
adalahparapemujaleluhurJawaasli,bahkandalamberbagaikesempatanmerekadapatmenghadirkan
kekuatan leluhur itu dalam dirinya dan mengalahkan kekuatan dewadewa atau brahmana yang setia
melaksanakanritualHinduatauBuddha.

Berdasarkan kajian singkat ini pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa Punakawan itu mempunyai
beberapa peranan dan fungsi istimewa, Semula peranan dan fungsi itu dilaksanakan secara berbeda
beda oleh para pengiring ksatrya yang berasal dari pedesaan. Dalam perkembangan selanjutnya
berbagaiperanan,fungsi,dantugaspunakawanitukemudiandiintegrasikanmenjadisatusajapadadiri
para punakawan, terutama punakawan utama yang mulai berkembang dalam masa perkembangan
agama Islam di Jawa. Sehingga para peneliti tentang punakawan menyebutkan sekurangnya ada 7
fungsi punakawan terhadap ksatrya seperti (a) penasehat, (b) penyemangat, (c) penyelamat, (d)
peredam amarah, (e) teman perjalanan, (f) penyembuh sakit, dan (g) penghibur tuannya (Mulyono
1982: 69). Apa yang disimpulkan tentang fungsi punakawan itu telah dilacak argumentasinya dalam
makalah ini. Mungkin pelacakan argumentasi itu benar, namun bisa juga keliru, kajian di masa
mendatangyangakanlebihmenyempurnakannya.

DAFTARPUSTAKA

BernetKempers,A.J.,1959.AncientIndonesianArt.Amsterdam:C.P.J.vanDerPeet.

De Casparis, J.G., 1954. Sedikit tentang Golongangolongan di dalam Masjarakat Djawa Kuno, dalam
Amerta: Warna Warta Kepurbakalaan No.2. Djakarta: Dinas Purbakala Republik Indonesia. Halaman
4447.

,1958.Airlangga.PidatodiutjapkanpadaperesmianpenerimaandjabatanGuruBesar
dalam mata peladjaran Sedjarah Indonesia Lama dan Bahasa Sanskerta pada Perguruan Tinggi
Pendidikan Guru Universitas Airlangga di Malang jang diadakan di Malang pada hari Saptu Tgl.26
April1958.Surabaja:PenerbitanUniversitas.

Hadiprayitno, Kasidi, 2009. Filsafat Keindahan: Suluk Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta.
Pemahaman Konsep Suluk Sebagai Jalan ke Arah Keluhuran Budi dan Moraliras Bangsa. Jogjakarta:
Bagaskara.

Hardjowardojo, Pitono R.,1966. Adityawarman: Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Abad XIV.
Djakarta:Bhratara.

Sumadio,Bambang,1984.SejarahNasionalIndonesiaII:JamanKuno.Jakarta:BalaiPustaka.

Mulyana,Slamet,1979.NagarakrtagamadanTafsirSejarahnya.Jakarta:Bharata.

Mulyono,Sri,1982.ApadanSiapaSemar.SeriPustakaWayang8.Jakarta:GunungAgung.

Munandar, Agus Aris, 1984. Beberapa Data Historis dari Prasasti Mula Malung. Skripsi Sarjana Sastra,
FakultasSastraUniversitasIndonesia,Jakarta.

Nurhajarini, Dwi Ratna, 1999 (Ketua tim penerjemah). Kajian Mitos dan Nilai Budaya dalam Tantu
Panggelaran.Jakarta:DepartemenPendidikandanKebudayaanRI.

Wieringa, Edwin, 2000. Mpu Panuluhs puzzling Panakawans: Do clownservants feature in the Old
JavanesekakawinGatotkacaraya,BulletinoftheSchoolofOrientalandAfricanStudies,Universityof
London.Volume63.No.2:246260.London:CambridgeUniversityPress.

Wirjosuparto, Sutjito, 1960. Kakawin Gatotkacasraya: Tjerita Lakon dalam Bahasa Kawi. Disertasi
UniversitasIndonesia,Jakarta.

Zoetmulder,W.P.,1985.Kalangwan:SastraJawaKunoSelayangPandang.Jakarta:Djambatan.

Anda mungkin juga menyukai