Anda di halaman 1dari 16

JEJAK-JEJAK PERADABAN HINDU-BUDDHA DI NUSANTARA

Titi Surti Nastiti


Pusat Arkeologi Nasional, Jl. Condet Pejaten No. 4, Jakarta Selatan 12510
tsnastiti@yahoo.com

Abstrak. Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara ditandai dengan munculnya kerajaan-kerajaan


kuna di Indonesia pada abad ke-4-5 M. dan berakhir pada awal abad ke-16 M. Adapun maksud dan
tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengetahui peradaban Hindu-Buddha secara komperhensif
di Nusantara, berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan oleh Pusat Arkeologi
Nasional dan Balai-balai Arkeologi di seluruh Indonesia, sejauh yang dapat dijangkau oleh
penulis. Metode yang dipakai lebih kepada pengumpulan data dari penelitian-penelitian yang
pernah dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai-balai Arkeologinya, ditelaah, dan
dibuat suatu ikhtisar yang menggambarkan jejak-jejak peradaban Hindu-Buddha di Nusantara.
Hasil kajian memperlihatkan adanya berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa Hindu-
AR

Buddha yang mendukung maju-mundurnya suatu peradaban seperti aspek sosial, politik, ekonomi,
agama, kesenian (sastra, arsitektur, arca), ilmu pengetahuan dan teknologi, serta aspek tata ruang
tempat di mana masyarakat itu hidup.

Kata kunci: Peradaban, Peradaban Hindu-Buddha, Kerajaan-kerajaan kuna, Nusantara.

Abstract. Traces of Hindu-Buddhist Civilization In The Indonesian Archipelago. The Hindu-


KE

Buddhist civilization in the Indonesian Archipelago was marked by the emergence of ancient
kingdoms in Indonesia in 4th–5th Centuries CE up to early 16th Century CE. The aim and purpose
of this article is to identify comprehensively the Hindu-Buddhist civilization in the Indonesian
Archipelago based on researches carried out by the National Centre of Archaeology and its
Archaeological Offices all over the archipelago, as far as the author can reach. The methods being
used are collecting data from the researches to be studied, and making a recapitulation that shows
N

traces of Hindu-Buddhist civilization in the Indonesian Archipelago. The results reveal various
aspects of community life during the Hindu-Buddhist period that influenced the growth or fall of
a civilization, such as aspects of social, political, economic, religion, art (literature/humanities,
AS
architecture, and iconography), knowledge and science, as well as the spatial organization where
the communities lived.

Keywords: Civilization, Hindu-Buddhist civilization, Ancient kingdoms, Nusantara.

1. Pendahuluan Weda1, tetapi pada umumnya Mūlawarman


Munculnya peradaban Nusantara dan Purṇ nawarman dianggap sebagai penganut
yang dipengaruhi budaya India dimulai agama Hindu. Agaknya pendapat ini bertumpu
dengan ditemukannya prasasti-prasasti raja pada sejarah perkembangan agama Hindu yang
Mūlawarman dari kerajaan Kutei, Kalimantan merupakan kelanjutan atau pembaharuan dari
Timur dari abad ke-4 M. dan prasasti- agama Weda2.
prasasti raja Purṇ nawarman dari kerajaan 1 Mūlawarman adalah penganut ajaran Weda yang
Tārumanāgara dari pertengahan abad ke-5 memuja Wiṣ ṇ u (Santiko 1989:1-6; Djafar 2010a:127) dan
Purṇ nawarman adalah penganut ajaran Weda yang memuja
M. Meskipun dalam prasasti-prasastinya Mihtra-Sūrya (Moens 1940: 92; Poesponegoro dan
memperlihatkan adanya anasir-anasir agama Notosusanto 2008:63-64).
Agama Weda yang mulai muncul pada tahun 1500 S.M.
adalah kepercayaan yang bersumber kepada kitab-kitab Weda

Naskah diterima tanggal 11 Maret 2014, disetujui tanggal 23 Maret 2014

35
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

Śrīwijaya dari abad ke-7 M. Sejak datangnya


ke Indonesia peradaban Hindu-Buddha
berkembang dengan pesat sampai awal abad
ke-16 Masehi (Nastiti 2010:106).

2. Ruang Lingkup
Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara
dapat dibagi dalam peradaban-peradaban yang
terdapat di kerajaan-kerajaan kuno yang pernah
Foto 1. ada di Indonesia, yaitu kerajaan Śrīwijaya di
Sumatera Bagian Selatan dan Jambi; Malayu
dan Panai di Sumatera Timur dan Sumatera
Berdasarkan sumber tertulis, agama Utara; Matarām Kuna di Jawa Tengah dan
Hindu mulai terlihat pada prasasti Tuk Mas Jawa Timur; Sunda di Jawa Barat; Kaḍ iri,
AR

yang ditemukan di Desa Lebak, Kecamatan Singhasāri, dan Majapahit di Jawa Timur;
Grabag, Magelang, Jawa Tengah, di lereng Singhamandawa di Bali; dan Dompu di Nusa
Gunung Merbabu yang diperkirakan berasal Tenggara Barat (Nastiti 2010:106).
dari pertengahan abad ke-7 M. (Krom 1931:103; Setiap peradaban di wilayah-wilayah
de Casparis 1975:23-4)3. Di atas tulisan yang yang berbeda tersebut, lahir, tumbuh, dan runtuh
ditulis dalam aksara Pallawa dan berbahasa pada zaman yang berbeda pula. Pada masa
KE

Sanskerta tersebut, dipahatkan bermacam- tertentu di suatu wilayah, baik secara geografis
macam lakṣ ana dewa-dewa Hindu (Brahmā, maupun politis, mencapai puncaknya dan di
Wiṣ ṇ u, Śiwa) seperti cakra, triśūla,gada, pedang wilayah lainnya malah sedang mengalami
pendek (kadhga), kendi (kamaṇ ḍ alu), kapak kemunduran. Misalnya pada saat kerajaan
(paraśu), sangkha, dan empat bunga padma4. Tārumanāgara mulai pudar kejayaannya,
N

Peradaban Buddha datang ke Indonesia dalam Śrīwijaya mulai tumbuh dan berkembang.
waktu yang hampir bersamaan, yaitu dengan Akan tetapi mundurnya atau runtuhnya suatu
ditemukannya prasasti-prasasti dari kerajaan peradaban, tidak berarti musnah secara total
AS

karena ada juga peradaban yang mempunyai


dan Brāhmaṇ a. Bentuk pemujaannya masih kathenoisme,
yaitu dewa yang dipuja berganti-ganti sesuai dengan kesinambungan dengan peradaban sebelumnya
kebutuhan si pemuja. Jadi dari 33 dewa yang dikenal dalam
agama weda, si pemuja hanya memuja satu dewa terpenting
seperti peradaban Matarām Kuna, Kaḍ iri,
menurut kepentingan si pemuja. Agama Hindu baru Singhasāri, dan Majapahit (Nastiti 2010:106).
muncul kemudian, sekitar tahun 1000 S.M., sebagai hasil
pembaharuan dari agama Weda yang terdesak oleh agama Untuk mengetahui jejak-jejak
Buddha dan Jaina. Agama Hindu ini masih menganggap peradaban Hindu-Buddha di Nusantara secara
kitab Weda sebagai kitab sucinya, disamping kitab suci
lainnya yaitu kitab Puraṇ a. Dewa yang dipuja adalah Trimūrti komperhensif perlu dikaji berbagai aspek
(Brahmā, Wiṣ ṇ u, Śiwa) (Santiko 1989:7).
3 Sebelumnya H. Kern (1917:204) memperkirakan prasasti
kehidupan masyarakat yang mendukung maju-
Tuk Mas berasal dari sekitar 500 M. Akan tetapi pendapatnya mundurnya suatu peradaban seperti aspek
dibantah oleh N.J. Krom (1931:103) dan J.G. de Casparis
(1975:24) yang menyebutkan bahwa prasasti Tuk Mas sosial, politik, ekonomi (mata pencaharian,
berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 M. perdagangan), agama, kesenian (seni sastra,
4 Krom (1931:102-103) menyebutkan lakṣ ana-lakṣ ana yang
digambarkan dalam prasasti Tuk Mas menunjuk kepada arsitektur, seni arca, ragam hias), ilmu
Dewa Śiwa. Menurut hemat saya, lakṣ ana-lakṣ ana tersebut
di atas menunjuk kepada Dewa Trimūrti, karena apabila
pengetahuan dan teknologi, serta aspek tata
mengacu pada lakṣ ana-lakṣ ana yang menjadi ciri dewa ruang tempat di mana masyarakat itu hidup.
tertentu seperti yang ditulis oleh J.E. van Lohuizen-de Leeuw
beberapa lakṣ ana yang dipakai oleh Dewa Brahmā juga Penelitian-penelitian yang dilakukan
dipakai oleh Dewa Wiṣ ṇ u, seperti cakra dan padma; lakṣ ana oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai-balai
Dewa Wiṣ ṇ u sama dengan Dewa Śiwa seperti sangkha dan
gada (van Lohuizen-de Leeuw 1976:46, 273-4, 342-3). Arkeologi, dapat dikelompokkan ke dalam

36
Titi Surti Nastiti, Jejak-Jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara

beberapa aspek, yaitu pemukiman, agama, tersebar hampir di seluruh Indonesia Bagian
kesenian (arsitektur, seni arca, dan ragam hias), Barat dan Indonesia Bagian Tengah,sedangkan
lingkungan, ekonomi (mata pencaharian dan di wilayah Indonesia Bagian Timur hampir
perdagangan). tidak ditemukan buktinya (Nastiti 2010:108).
Berdasarkan hasil survei di Sumatera
2.1 Agama Utara, dapat diketahui bahwa di sepanjang
Bukti tertua adanya pengaruh agama DAS Barumun dan Batang Pane serta DAS
Hindu di Indonesia adalah prasasti-prasasti Batang Angkola dan Batang Gadis sampai ke
yang dikeluarkan oleh raja Mūlawarman Kabupaten Pakpak Barat dan Kabupaten Dairi
dan Purṇ nawarman, akan tetapi baru prasasti ditemukan indikasi kehadiran pengaruh agama
Tuk Mas (pertengahan abad ke-7 M.) yang Hindu-Buddha (Soedewo 2009:6). Demikian
memperlihatkan unsur-unsur agama Hindu. pula di kawasan Danau Ranau yang masuk ke
Sementara agama Buddha dapat dilihat dari dalam tiga provinsi, yaitu Bengkulu, Lampung,
prasasti-prasasti masa Śrīwijaya dari abad ke- dan Sumatera Selatan memperlihatkan adanya
AR

7 M. Tetapi bila mengacu pada laporan tinggalan arkeologis dari masa Hindu-Buddha
perjalanan Fa-hsien5, maka pengaruh agama berupa reruntuhan candi berdenah persegi
Buddha seharusnya lebih tua dari abad ke-7 panjang yang disebut dengan Candi Jepara.
M. Selain itu dari penelitian Hasan Djafar Candi Jepara diperkirakan berasal dari abad
mengenai aksara “ikal” prasasti Pasir Awi, ke-9 M. (Siregar 2009). Di Pulau Maya yang
Bogor, yang dikeluarkan oleh Purṇ nawarman terletak di wilayah Kecamatan Maya-Karimata,
KE

sekitar abad 5 M., ternyata bukan aksara Kabupaten Kayong Utara, Kalimantan Barat,
“ikal”, melainkan daun pohon Boddhi yang tepatnya di Situs Gunung Totek ditemukan
dikenal sebagai lambang agama Buddha arca Wiṣ ṇ u, Nandi, fragmen dewa-dewi, serta
(Djafar 2010b). Dengan demikian dapat dinding batu berpahat dua stupa (Herwanto
disebutkan bahwa agama Hindu dan Buddha 2009).
N

datang ke Indonesia pada waktu hampir Berdasarkan temuan-temuan arkeologis


bersamaan. Adanya pengaruh agama Hindu yang berasal dari masa Hindu-Buddha di
dan Buddha ini dapat dilihat dari tinggalan- wilayah-wilayah tersebut dapat diasumsikan
AS

tinggalan arkeologis, baik berupa bangunan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah
suci, arca, lingga-yoni, dan sebagainya. itu telah ada yang memeluk agama Hindu
Selain data artefaktual, data tekstual berupa atau Buddha. Akan tetapi sampai sejauh mana
prasasti, teks-teks sastra, dan teks-teks pengaruh agama Hindu-Buddha di wilayah-
hukum menunjukkan, bahwa agama Hindu- wilayah tersebut masih belum diketahui secara
Buddha telah menjadi bagian dari kehidupan pasti, karena pada umumnya penelitian di
masyarakat Nusantara, terutama Nusantara wilayah-wilayah tersebut masih berupa survei
Bagian Barat. yang bertujuan untuk melihat sebaran tinggalan
Sejak saat itu, agama Hindu-Buddha dari masa Hindu-Buddha.
berkembang dengan pesat, yang bisa dilihat dari
bukti-bukti arkeologis maupun bukti tekstual. 2.2 Kesenian
Berdasarkan penelitian-penelitian yang Unsur-unsur yang dapat diteliti dari
dilakukan, baik ekskavasi maupun survei maka peninggalan arkeologis yang berhubungan
dapat diketahui bahwa agama Hindu-Buddha dengan agama seperti bangunan suci dan arca-
Fa-hsien ialah seorang pendeta Cina yang datang ke Jawa
arca dewa, selain unsur agamanya itu sendiri
pada abad ke-5 M. menyebutkan bahwa di Tarumanagara dapat juga ditinjau dari unsur-unsur kesenian
telah ada penganut agama Buddha meskipun jumlahnya tidak
banyak (Poesponegoro dan Notosusanto 2008:64). seperti arsitektur, ragam hias, dan

37
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

seni arca yang dapat memperlihatkan suatu Wasan Watu Nginte. Di selatan candi terdapat
langgam/gaya seni arsitektur, ragam hias, dan sebuah kolam terbuat dari batu padas, dan
seni arca di suatu kawasan. tengah kolam terdapat batur yang diperkirakan
sebagai tempat lingga-yoni (Bagus 2009:6-9).
2.2.1 Arsitektur Di samping itu terdapat bangunan-
Candi-candi yang menjadi obyek bangunan suci di sepanjang aliran Sungai Wos
penelitian meliputi candi-candi yang berada berupa pura, candi, dan pertapaan. Di pura-
di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa pura yang terdapat di sepanjang Sungai Wos
Tengah, dan Jawa Timur. Adapun candi-candi (Pura Gunung Lebah, Pura Sakenan-Ubud,
yang diteliti di DIY ialah Candi Kedulan, Candi Pura Penataran Agung-Jukut Paku) banyak
Sambisari, Candi Kadisoka, Candi Morangan, menyimpan arca-arca dewa agama Hindu-
Candi Mantup, Candi Ijo, dan Candi Gampingan. Budha, lingga-yoni, dwarapala, dan lain-lain.
Candi-candi di Jawa Tengah adalah Candi Losari, Adapun tinggalan arkeologis yang ditemukan
Candi Lawang di lereng timur Merapi, Candi adalah pertapaan Campuan-Ubud yang
AR

Bulus (Tegal), Candi Kuwung (Blora); dan di berjumlah 3 buah, ceruk pertapaan Jukut Paku
Jawa Timur adalah kompleks candi yang terletak berjumlah 4 buah, kemudian Candi Jukut Paku
di Situs Tondowongso (Kediri) Kompleks Candi yang diapit oleh tiga ceruk (Badra 2009:4-9).
Sawentar II (Kidul) (Blitar), Candi Sanggar di Di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara
lereng Gunung Bromo (Pasuruan), dan Candi Barat ditemukan struktur bangunan yang
Tegalrandu (Lumajang) (Nastiti 2010:109). diperkirakan bangunan suci agama Hindu yang
KE

Denah candi-candi Hindu tersebut yang terletak di Situs Dorobata. Disamping itu, di
pada umumnya terdiri dari candi induk dan Situs Warukali yang letaknya sekitar 500 meter
candi perwara yang umumnya berjumlah tiga, di sebelah baratdaya Dorobata, ditemukan
meskipun ada beberapa candi yang sudah tidak struktur dan sebaran bata yang jenisnya sama
bisa diketahui lagi denahnya karena belum dengan yang ditemukan di Situs Dorobata
N

selesai diteliti atau ketika ditemukan sudah (Ambarawati 2009).


tidak utuh lagi. Di antara semua candi yang Di Sumatera Utara, candi yang diteliti
telah disebutkan, yang menarik adalah denah adalah Candi Simangambat, di Kompleks
AS

keletakan Kompleks Candi Ijo. Kompleks Candi Percandian Simangambat. Candi Simangambat
Ijo yang terdiri dari enam kelompok bangunan berukuran 4 x 4 meter dengan pintu candi di
candi, candi utama dengan ketiga perwaranya sisi timur, terbuat dari bata di bagian dalam dan
terletak di teras tertinggi (Nastiti 2010:110). batu pasir (sand stone) di bagian luar (Taim
Di Bali, bangunan-bangunan suci yang 2009:7). Candi Simangambat merupakan satu-
terletak di Kabupaten Gianyar yang diteliti satunya candi di Sumatera yang arsitekturnya
yaitu di Kompleks Candi Brahmā di Situs mirip dengan candi-candi di Yogyakarta
Wasan dan bangunan-bangunan suci yang dan Jawa Tengah, sehingga candi ini diduga
terdapat di sepanjang Sungai Wos. Hasil dibangun sejaman dengan candi-candi di
penelitian yang dilakukan pada tahun 1986- Jawa Tengah, yaitu sekitar abad ke- 9-10
2008 berhasil merekonstruksi Candi Brahmā M. (Susetyo 2009:4). Meskipun bangunan-
yang terletak di atas sebuah batur dengan bangunan suci di Padang Lawas pada umumnya
denah persegi panjang. Disebut Candi Brahmā berlatar Buddha Tantrayāna dan Wajrayāna,
karena diperkirakan di ruang utamanya tetapi ternyata ada ada beberapa bangunan
ditempatkan Dewa Brahmā berkepala empat suci yang berlatar agama Hindu seperti
yang ditemukan di Situs Wasan yang sekarang Simangambat, Bonan Dolok, dan Porlak Dolok
ditempatkan di pelinggih terbuka di Pura (Schnitger 1937:14-15, 17; Taim 2009:10).

38
Titi Surti Nastiti, Jejak-Jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara

Sementara candi-candi di Sumatera Hindu-Buddha ini juga dilakukan penelitian


Barat sebagian besar berlatar agama Buddha. ikonografi untuk mengetahui dewa-dewi dari
Pada umumnya, candi-candi tersebut baik yang agama Hindu dan Buddha yang ditemukan di
berlatar agama Hindu maupun agama Buddha daerah Malang serta di Situs Tiro dan Situs
dibuat dari bata. Candi-candi di Sumatera Barat Tondowongso, Kediri yang baru ditemukan
terutama ditemukan di Kabupaten Pasaman pada awal tahun 2007.
dan Kabupaten Dharmasraya. Beberapa candi Berdasarkan hasil pengamatan arca-
seperti di Kompleks Candi Tanjung Medan arca secara ikonografis, dapat disimpulkan
terletak di Jorong Petok, Kenagarian Panti, bahwa arca-arca dari masa Kaḍ iri merupakan
Kecamatan Pasaman terdapat enam buah masa peralihan antara Jawa Tengah dan
candi berlatar agama Buddha Tantrayāna. Jawa Timur dan mencapai puncaknya pada
Selain itu di beberapa wilayah di Kecamatan masa Singhasāri. Arca-arca gaya “Kaḍ iri”
Rao didapatkan runtuhan-runtuhan candi yang diwakili oleh arca-arca dari Situs Tiro dan
diduga berlatar agama Buddha (Nastiti 2013). Situs Tondowongso yang menunjukkan corak
AR

khusus. Gaya seninya sudah menunjukan gaya


Jawa Timur tetapi lebih “sederhana” dari gaya
seni Singhasāri. Berdasarkan hasil penelitian
sebelumnya diketahui bahwa arca Singhasāri
mempunyai rumpun teratai yang keluar dari
bonggolnya, akan tetapi arca dari Situs Tiro
KE

dan Situs Tondowongso belum memakai “ciri


Singhasāri” (Soekatno et al. 2008).
Untuk membuat analogi dalam teknik
Foto 2. pembuatan arca, Balai Arkeologi Yogyakarta
Di Kabupaten Dharmasraya, setidaknya melakukan kajian etnoarkeologi di Kabupaten
N

ada dua kompleks percandian, yaitu Kompleks Magelang (Desa Prumpung, Taman Agung,
Percandian Pulau Sawah terletak di Kenagarian dan Ngadiretno, Kecamatan Muntilan),
Siguntur, Kecamatan Sitiung, Kabupaten Jawa Tengah dan Kabupaten Mojokerto
AS

Dharmasraya yang berada di DAS Batanghari. (Desa Bejijong. Kecamatan Trowulan), Jawa
Di areal ini ditemukan sekitar 11 munggu Timur. Adapun yang diteliti adalah teknologi
yang cenderung sejajar barat-timur. Dari ke- pembuatan arca dewa-dewi Hindu-Buddha,
11 munggu itu yang telah dipugar baru dua baik arca batu yang dibuat oleh seniman di
candi, yaitu Candi Pulau Sawah I dan Candi Kecamatan Muntilan, Magelang maupun arca
Pulau Sawah II. Kompleks lainnya adalah logam yang dibuat di Kecamatan Trowulan.
Kompleks Percandian Padang Roco yang Arca yang dibuat di Kecamatan Muntilan
terletak di Jorong Sei Lansek, Kenagarian adalah arca batu yang bahannya diambil di
Siguntur, Kecamatan Sitiung. Disamping lereng barat Gunung Merapi, sedang arca
kedua kompleks percandian tersebut, terdapat yang dibuat di Kecamatan Trowulan adalah
Candi Bukik Awang Maombiak yang terletak arca logam. Kesimpulan dari hasil penelitian
di Jorong Siguntur Atas, Kenagarian Siguntur, ini, baik di Kecamatan Muntilan maupun di
Kecamatan Sitiung (Nastiti 2013). Kecamatan Trowulan, ialah seniman pembuat
arca meskipun dalam membuat arca sesuai
2.2.2 Seni Arca dengan nilai-nilai seni dan keindahan, tetapi
Selain bangunan suci yang diteliti baik seniman pembuat arca batu maupun
dari segi arsitektur, dalam penelitian masa logam sudah tidak mempunyai hubungan

39
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

emosional dengan arca yang dibuatnya di Candi Simangambat memakai beberapa


(Lelono et al. 2009:8-9). batu yang dipahat sendiri-sendiri, kemudian
Tidak adanya hubungan emosional digabung menjadi satu (Susetyo 2009:15;
maupun kepercayaan antara si seniman Nastiti 2010: 112-113).
dengan arca yang dibuatnya, maka arca yang
dibuat lebih ditekankan pada unsur keindahan 2.3 Tata Ruang
semata. Alasan itulah mengapa arca-arca yang Salah satu aspek dari tata ruang dalam
dibuat mereka tidak sesuai dengan kaidah masyarakat adalah pemukiman. Sampai saat ini
ikonometri, karena mungkin si seniman tidak pola pemukiman yang sudah diketahui adalah
memahami bahwa ada ukuran-ukuran tertentu pemukiman yang linier yaitu pemukiman
yang harus diikuti oleh seorang pembuat arca yang mengikuti aliran sungai, pemukiman
yang disesuaikan dengan kedudukan dewa- yang berada di tepi pantai, dan pemukiman
dewi baik dari agama Hindu maupun Buddha. yang berada di pedalaman. Dari pola-pola
Selain itu karena mereka membuat arca juga pemukiman itu pun harus dibedakan lagi
AR

berdasarkan pesanan, maka terdapat variasi pemukiman penduduk desa, kota, kalangan
dan bentuk arca yang tidak sesuai lagi dengan keagamaan, dan sebagainya yang mempunyai
kaidah-kaidah ikonografi Hindu-Buddha pola tersendiri. Dari penelitian mengenai
(Nastiti 2010:112). pemukiman diharapkan dapat diketahui
bagaimana masyarakat pada masa Jawa Kuna
2.2.3 Ragam Hias mengatur tata ruang yang sesuai dengan konsep
KE

Penelitian candi-candi di DIY dan Jawa yang mereka punyai. Misalnya bagaimana
Tengah menemukan adanya ragam hias kala pengaturan tata ruang untuk rumah tempat
yang berahang dan tanpa rahang, raut wajahnya tinggal penduduk biasa dan kaum elit, tempat
ada yang demonis dan ada yang tidak, seperti peribadatan, pasar, dan sebagainya yang
yang ditemukan di Candi Kedulan. Selain itu, terdapat di kota sebagai pusat pemerintahan dan
N

hiasan kala yang mempunyai rahang bawah bagaimana pula pengaturan tata ruang di daerah
terdapat pula di Candi Ijo dan Candi Sojiwan pinggiran yang jauh dari pusat pemerintahan.
(Susetyo 2005). Padahal apabila mengikuti Dari hasil penelitian pemukiman masa
AS

pendapat Satyawati Suleiman ragam hias kepala Hindu-Buddha diketahui adanya situs-situs
kala yang mempunyai rahang adalah ciri ragam pemukiman yang terletak di pedalaman sampai
hias Jawa Timur (Nastiti 2010:112). pada pemukiman penduduk yang terletak di
Dalam pada itu ragam hias yang berupa daerah aliran sungai. Sebagai contoh adalah
kala makara di Candi Simangambat bentuknya situs-situs pemukiman yang pada Situs
mirip dengan kala makara pada candi-candi di Nglempong, Situs Trowulan, dan Situs Cangak.
DIY dan Jawa Tengah. Kemiripan tersebut tidak Hasil penelitian di Situs Nglempong, Desa Tirto,
hanya pada kala makara, akan tetapi juga pada Kecamatan Salam mengindikasikan adanya
batu-batu candi yang mempunyai ragam hias
dengan motif “gana dan pilar”. Persamaan kala
makara Candi Simangambat dengan kala makara
dari candi-candi Jawa Tengah sama-sama dibuat
dalam relief tinggi, meskipun hasilnya berbeda
karena menggunakan jenis batu yang berbeda.
Teknik yang dipakai pun berbeda dengan teknik
yang dipakai di candi-candi Jawa Tengah dan Foto 3. Pecahan tembikar impor dengan hiasan burung
Padang Lawas yang menggunakan monolit, phoenix dan penyangga dari abad ke-10 M.

40
Titi Surti Nastiti, Jejak-Jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara

pemukiman dari masa Matarām Kuna. Di Saluran air tidak hanya ditemukan di
situs ini ditemukan alat-alat rumah tangga dari Situs Nglempong, di Situs Cangak yang terletak
keramik dan tembikar. Keramik yang ditemukan di hutan jati milik KPH Tapen, Mojokerto,
didominasi oleh keramik Cina dari Dinasti Jawa Timur yang berbatasan Dusun Cangak,
Tang-5 Dinasti (abad 8-10 M.). Indikasi lainnya Desa Sumbernongko, Kecamatan Ngusikan,
yang memperlihatkan bahwa situs ini situs Jombang. Di situs ini ditemukan saluran air
pemukiman adalah ditemukannya saluran air yang dibuat dari bata yang tingginya sekitar
yang terbuat dari batu (Nastiti et al. 2007:44-45). 1 meter dan lebar 1 meter. Lantai saluran air
Sayangnya, situs ini sudah rusak oleh penggali tersebut dikeraskan dengan bubuk bata merah.
bata yang telah menggali sampai virgin soil. Panjang saluran yang bisa diketahui sekitar
Hal yang sama juga dialami di 16 meter. Saluran ini diperkirakan berasal
Situs Trowulan di mana penelitian harus dari masa raja Airlangga dari abad ke-11 M.
berlomba-lomba dengan pembuat bata yang (Nastiti et al. 2012:133).
menghancurkan data-data penting yang dapat Penelitian permukiman dari masa
AR

dipakai untuk merekonstruksi kehidupan Hindu-Buddha yang bisa dikatakan


masyarakat pada masa Majapahit. Meskipun spektakuler adalah penelitian Balai
demikian, penelitian di Situs Trowulan lebih Arkeologi Yogyakarta di Situs Liyangan
baik karena setidaknya masih ada data yang di Dusun Liyangan, Kelurahan Purbasari,
diharapkan dapat membuat gambaran mengenai Ngadirejo, Kabupaten Temanggung. Situs ini
tata kota Majapahit beserta sisa aktivitas merupakan permukiman dari masa Matarām
KE

masyarakatnya dalam skala mikro dan semi- Kuno (9-10 M.) yang memiliki area hunian,
makro (Eriawati 2009:13-15). Menarik untuk area peribadatan dengan latar keagamaan
diungkapkan adalah adanya struktur bangunan agama Hindu, area pertanian, dan area
di dekat Candi Brahu yang diperkirakan dari perbengkelan. Area hunian ditandai dengan
abad ke-10 M. di Trowulan yang selama ini ditemukanya sisa rumah kayu, peralatan
N

selalu dihubungkan dengan ibukota Majapahit. rumah tangga dari keramik, tembikar,
Keberadaan struktur itu didukung temuan- logam, dan batu. Area peribadatan Hindu
temuan berupa pecahan keramik dari abad ke- ditandai oleh Candi Hindu, bangunan batur,
AS

10 M. dan pecahan tembikar impor. Tembikar dan peralatan peribadatan berupa genta
impor dari Cina berupa wadah dengan hiasan perunggu dan arca. Area pertanian ditandai
burung phoenix seperti yang ditemukan pada oleh sebaran yoni di bagian atas situs,
hiasan, keramik Dinasti 5 Dinasti dan penyangga peralatan pertanian dari logam, dan sisa padi
wadah dari Thailand sejenis yang ditemukan di yang hangus terbakar oleh materi vulkanik
kapal karam Cirebon (Eriawati et al. 2012). (Riyanto 2014).

Foto 4. Saluran air di Situs Nglempong dari batu yang tertutup (kiri), dan saluran air yang di setiap sisinya diperkuat
oleh batu-batu andesit berbentuk bulat (kanan)

41
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

2.4 Ekonomi
2.4.1Mata Pencaharian
Berdasarkan sumber tertulis diketahui
bahwa profesi masyarakat pada masa Hindu-
Buddha sebagai mata pencaharian untuk
memenuhi kabutuhan hidupnya adalah sebagai
pegawai kerajaan (baik di tingkat desa, watak,
maupun pusat), petani, pengrajin, pedagang,
nelayan, dan lain-lain.
Dalam menunjang pembuktian jenis-
Foto 5. Talud papan batu dan komponen sisa rumah jenis mata pencaharian apa saja yang dilakukan
(Sumber: Sugeng Riyanto 2010) oleh masyarakat masa Hindu-Buddha salah
Penelitian-penelitian pemukiman di Situs satunya adalah dengan kajian etnoarkeologi.
Percandian Bumiayu dan Situs Muara Jambi di Kajian etnoarkeologi yang dilakukan oleh
AR

Sumatera, kemudian penelitian pemukiman Balai Arkeologi Yogyakarta adalah untuk


dari masa Singhasāri di Jawa masih merupakan mengetahui letak kampung dan kehidupan
penelitian tahap awal. Berdasarkan penelitian- nelayan masa Majapahit. Untuk keperluan
penelitian di situs-situs tersebut tampaknya tersebut maka dilakukan penelitian etnografi
masih diperlukan penelitian-penelitian lanjutan di beberapa kecamatan yang terletak muara
yang lebih terarah sehingga dapat mengetahui Bengawan Solo di Kabupaten Gresik, yaitu
KE

karakteristik dari pemukiman tersebut di Kecamatan Ujung Pangkah, Kecamatan


atau melihat apakah pemukiman tersebut Bungah, Kecamatan Panceng, dan Kecamatan
mempunyai pola tertentu. Manyar. Kesimpulan dari penelitian
Dari situs-situs pemukiman yang telah etnoarkeologi ini ialah bahwa terdapat dua
diteliti, ada hal yang perlu mendapat perhatian kelompok masyarakat nelayan yang masing-
N

yaitu adanya situs-situs pemukiman yang masing mempunyai peran dan fungsi yang
terletak di tepi sungai. Atas dasar hasil survei dan berbeda. Kelompok pertama adalah nelayan
ekskavasi di situs-situs tersebut dapat diketahui pesisir yang melakukan pekerjaan di laut
AS

bahwa pemukiman yang paling padat berada di bebas untuk mencari ikan dan mengangkut
sepanjang DAS Lematang. Sementara itu, dari barang, dan kelompok kedua adalah nelayan
penelitian yang dilakukan di DAS Bengawan muara yang berprofesi sebagai tukang satang/
Solo diketahui adanya desa-desa perdikan di tambang (Lelono et al. 2009:10; Sulistyarto
tepi Sungai Bengawan Solo. Adanya masyarakat et al. 2009:4).
yang tinggal di tepi sungai, sangat menarik Adanya profesi sebagai tukang tambang,
untuk diteliti karena salah satu pola pemukiman tidak hanya ditemukan dikalangan nelayan,
adalah linier mengikuti aliran sungai. Adanya tetapi juga tukang tambang di sepanjang
pemukiman di tepi sungai ditunjang oleh prasasti aliran sungai. Banyak tukang-tukang tambang
Tlaŋ (903 M.) dan prasasti Canggu (1358 M.) yang ditemukan di sepanjang Sungai Brantas
yang menyebutkan adanya desa-desa yang dan Bengawan Solo. Tambangan yang ada di
membuat tempat-tempat penyeberangan untuk Jawa Tengah dan Jawa Timur, mereka tidak
menghubungkan desa satu dengan desa lainnya. hanya melayani penumpang antar desa saja,
Hal itu menunjukkan adanya masyarakat yang akan tetapi antar kecamatan, antar kabupaten,
bermukim di kedua tepi sungai itu, dan mungkin dan antar provinsi. Misalnya tukang tambang
tidak hanya di tepi sungai, tetapi juga sampai yang melayani penumpang Desa Megaluh,
jauh ke pedalaman (Nastiti 2010:115). Desa Dawuan, Desa Begendeng, Desa Tambak

42
Titi Surti Nastiti, Jejak-Jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara

(Kecamatan Megaluh, Kabupaten Jombang) penelitian mengenai perdagangan dilakukan


yang akan menyeberang ke Desa Gembang di DAS sungai, seperti yang dilakukan di
Bunder (Kecamatan Plandaan, Kabupaten DAS Bengawan Solo (Jawa Tengah) dan DAS
Jombang) dan Desa Munung (Kecamatan Barumun (Sumatera Utara).
Jati Kalen, Kabupaten Nganjuk). Tukang Bengawan Solo yang sampai sekarang
tambang melayani penumpang dari dan ke masih merupakan urat nadi kehidupan
Desa Ngloram, Blora, Jawa Tengah ke Desa masyarakat. Salah satu tempat tambangan dari
Nogong, Bojonegoro, Jawa Timur. masa Matarām Kuna yang disebutkan dalam
prasasti Tlaŋ adalah Desa Paparahuan yang
diidentifikasikan dengan daerah di Dusun
Jatirejo. Pada masa lalu sangat mungkin sekali
sebagai tempat tambangan atau dipakai sebagai
sarana transportasi dalam perdagangan. Para
pedagang yang membawa barang dagangan
AR

dari satu desa ke desa yang lain yang terletak


berseberangan dapat memakai jasa tambangan.
Foto 6. Perahu yang melayani penumpang Desa
Selain untuk tempat tambangan, Bengawan
Ngloram, Blora, Jawa Tengah dan Desa Solo dipakai sebagai alat transportasi desa-
Nogong, Bojonegoro, Jawa Timur
desa yang berada di pinggir sungai. Melihat
Pengrajin tembikar juga sering dijadikan lebarnya Bengawan Solo dan anak-anak
KE

objek studi etnoarkeologi. Salah satu contoh sungai Bengawan Solo ada yang cukup
adalah studi etnografi yang dilakukan di Desa lebar untuk dilayari sangat memungkinkan
Tondowulan, Kecamatan Plandaan, Jombang. digunakan sebagai jalur-jalur perdagangan
Pembuat tembikar secara turun temurun adalah yang mengangkut barang-barang komoditi
perempuan, sementara laki-laki membantu dari satu tempat ke tempat lain. Meskipun
N

untuk mengambil tanah dan membakar dari hasil pengamatan geologis, tidak semua
tembikar yang sudah jadi. Setiap perempuan anak-anak Bengawan Solo dapat dipakai
membuat tembikar dengan jenis yang berbeda. sebagai jalur transportasi atau sebagai tempat
AS

Misalnya ada yang khusus membuat anglo atau tambangan seperti Kali Platar, Kali Salak,
cobek, tetapi ada juga yang membuat wadah Kali Aras, dan Kali Walikan. Hal tersebut
seperti padasan, pasu, atau gentong. membuat disebabkan karena sungai tersebut tidak cukup
Tembikar yang dihasilkan pada umumnya alat- lebar untuk dilayari. Selain lebar sungai yang
alat rumah tangga yang dipakai sehari-hari, tidak mendukung, juga banyaknya singkapan-
seperti anglo, cobek, gentong, pasu, padasan, singkapan dan boulder batuan di dasar sungai
pot. Kadang-kadang membuat benda lainnya (Nastiti et al. 2008:85).
sesuai dengan pesanan. Menurut keterangan Hasil survei di wilayah DAS Barumun
penduduk setempat, sekarang hampir tidak menunjukkan bahwa keramik di bagian hulu
ada anak perempuan yang mau melanjutkan lebih tua (9-13 M.) dengan bagian hilir lebih
pekerjaan membuat tembikar (Nastiti et al. muda (18-20 M.). Hal ini menarik mengingat
2011:100). semestinya bagian hilir lebih awal dijangkau
dalam perdagangan inter-regional mengingat
2.4.2 Perdagangan bahwa keramik berasal dari luar Nusantara
Jalur sungai mempunyai peranan maka seharusnya ditemukan di bagian hilir
yang tidak kecil dalam perdagangan. Oleh sebagai pintu masuk barang-barang komoditi
karena itu tidak mengherankan apabila dalam impor. Kronologis situs berserta temuannya

43
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

yang lebih tua di wilayah hulu memberikan yang menyatakan bahwa pohon ini hanya
asumsi bahwa masuknya pengaruh luar bukan terdapat di pekarangan-pekarangan candi
masuk dari daerah pantai melalui sungai tetapi yang terdapat di kompleks percandian Padang
melalui jalan darat (Taim 2006). Lawas ternyata tidak benar, karena pohon
balaka hidup di daerah lain dengan nama yang
2.5 Lingkungan berbeda.
Penelitian mengenai adaptasi manusia
terhadap lingkungan dilakukan di antaranya 3. Pembahasan
untuk menjawab untuk mengungkapkan Ruang lingkup penelitian-penelitian
keadaan lingkungan vegetasi situs. Salah yang dilakukan oleh Pusat Arkeologi Nasional
satunya adalah penelitian yang dilakukan dan Balai-balai Arkeologi-nya hampir
Kabupaten Padang Lawas dan Mandailing meliputi seluruh aspek yang dapat menunjang
Natal.Penelitian ini bertujuan untuk untuk berlangsungnya suatu peradaban. Namun
menjawab asumsi bahwa tumbuhan balaka demikian, penelitian yang dilakukan lebih
AR

dianggap sebagai tumbuhan yang hanya cenderung kepada penelitian mengenai agama,
dapat hidup di halaman percandian Padang baik ditinjau dari latar belakang keagamaan,
Lawas saja. Dari hasil penelitian selain arsitektur, ragam seni, dan ikonografi.
dapat mengidentifikasi lingkungan vegetasi Dari hasil penelitian dalam beberapa
kompleks percandian Padang Lawas seperti tahun terakhir, beberapa hal mengenai ciri-ciri
lingkungan percandian ini berada dalam arsitektur candi-candi periode Jawa Tengah
KE

hutan hujan tropik dataran rendah dengan dan Jawa Timur kiranya perlu ditinjau ulang
tingkat keragaman jenis famili tumbuhan kembali. Demikian juga pada Candi Kedulan
yang tinggi, dan salah satunya ialah famili yang merupakan candi periode Jawa Tengah,
Euphorbiaceae. Selain itu juga diketahui berdasarkan penelitian ini diketahui bahwa
bahwa pohon balaka (Phylanthus emlica) hiasan kala yang terdapat di Candi Kedulan ada
N

ternyata tidak hanya tumbuh di Kompleks yang dengan rahang bawah dan tanpa rahang
Percandian Padang Lawas saja seperti yang bawah, raut wajahnya ada yang demonis dan
selama ini dipercayai penduduk sekitar ada yang tidak. Kala dengan rahang bawah
AS

kompleks itu, tetapi juga bisa tumbuh di juga ditemui di Candi Ijo dan Candi Sojiwan.
hutan-hutan tropik dataran rendah di Asia Pengembangan tata letak candi ditemukan
Tenggara. Di Indonesia tumbuhan tersebut juga pada Candi Ijo. Kompleks Candi Ijo
tersebar di berbagai daerah meskipun terdiri dari enam kelompok bangunan candi
mempunyai nama yang berbeda-beda, seperti yang semuanya berjumlah 17 buah, pada
balaka (Minangkabau), malaka (Jawa Barat), teras tertinggi terdapat candi utama yang
kemloko (Jawa), mlakah (Madura dan Bali), juga mempunyai pola satu candi induk
dan karsinta (Flores) (Arfian 2009:15-16). dengan tiga candi perwara. Penempatan candi
Pohon balaka merupakan tumbuhan utama pada teras tertinggi yang biasanya
yang sangat bermanfaat bagi manusia karena dijumpai pada candi-candi masa Jawa Timur
semua bagian dari tumbuhan ini, mulai dari ternyata dijumpai pada Candi Ijo. Akan tetapi
akar sampai buah dapat dimanfaatkan sebagai mengingat penelitian lebih banyak dilakukan
obat. Apakah pohon balaka ini telah digunakan di Jawa Tengah, untuk memperkuat argumen
sebagai obat oleh masyarakat yang hidup pada bahwa perbedaan antara candi-candi di Jawa
masa lalu belum dapat dibuktikan. Tetapi Tengah dan Jawa Timur harus ditinjau ulang,
dari hasil penelitian ini, minimal sudah dapat sebaiknya penelitian tentang candi-candi ini
menjawab kepercayaan penduduk setempat dilakukan juga di Jawa Timur.

44
Titi Surti Nastiti, Jejak-Jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara

Berbeda dengan bangunan-bangunan antara Candi Simangambat dan candi-candi


suci yang diteliti di Jawa Tengah dan Jawa di DIY dan Jawa Tengah belum diketahui.
Timur, bangunan suci di Bali yang diteliti Mungkin untuk mengungkapkan permasalahan
lebih banyak ditemukan di sepanjang aliran ini perlu dihubungkan dengan keadaan politik
sungai. Dari hasil penelitian dapat diketahui pada masa itu di Nusantara. Dengan demikian
adanya tinggalan-tinggalan arkeologis bisa ditarik benang merah antar kedua kerajaan
baik yang berupa candi maupun pertapaan di wilayah itu (Nastiti 2010:121).
di sepanjang aliran Sungai Wos tidaklah Penelitian pemukiman yang telah
mengherankan mengingat banyak bangunan- diteliti oleh Pusat Arkeologi Nasional dan
bangunan suci di Bali yang dibangun di atas Balai-balai Arkeologi meliputi pemukiman
tebing di pinggir sungai, seperti di sepanjang yang berada di pedalaman dan pemukiman
Sungai Pakerisan (Candi Gunung Kawi, Candi yang berada di tepi sungai dan di tepi pantai.
Krobokan, Candi Tegal Linggah, dan Goa Penelitian pemukiman ini sangat penting untuk
Garba) dan Sungai Petanu (Candi Tatiapi dan mengetahui bagaimana masyarakat pada masa
AR

Goa Gajah). Hal yang serupa dijumpai pula lalu membuat konsep tata ruang tempat mereka
dengan tinggalan arkeologis yang ditemukan tinggal. Salah satunya adalah penelitian
di Padang Lawas yang banyak ditemukan di mengenai tata ruang yang diterapkan oleh
dekat DAS Batang Angkola dan Batang Gadis. masyarakat masa lalu adalah Situs Liyangan
Demikian pula candi-candi yang ditemukan dan Situs Trowulan. Sampai saat ini, Situs
di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat Trowulan merupakan situs pemukiman yang
KE

banyak ditemukan di DAS Batanghari, seperti paling besar yang ditemukan pada masa
Kompleks Percandian Pulau Sawah, Kompleks peradaban Hindu-Buddha, yang dimulai dari
Percandian Padang Roco, dan Candi Bukik masa raja Siṇ ḍ ok dari abad ke-10 M. sampai
Awang Mangombiak. masa Majapahit. Sementara Situs Liyangan
Keberadaan bangunan-bangunan suci merupakan contoh permukiman pada abad ke-
N

yang terletak di pinggir sungai sesuai dengan 10 M. dan mungkin sebelumnya yang paling
kitab Mānasāra Śilpāśastra yang memuat lengkap yang ditemukan sampai saat ini.
aturan-aturan pembangunan bangunan suci di Dari penelitian-penelitian mengenai
AS

India. Dalam kitab itu disebutkan bahwa letak Kerajaan Majapahit yang dilakukan di Situs
bangunan suci harus berdekatan dengan air Trowulan diharapkan dapat merekonstruksi
karena air dapat dipakai untuk membersihkan, tata ruang kota Majapahit. Selain itu juga
menyucikan, dan menyuburkan (Kramrisch dengan mengadakan penelitian-penelitian
1946), bahkan menurut Silpaprakāsa harus lainnya di wilayah pinggiran Majapahit,
dihindari pembangunan bangunan suci yang diharapkan dapat pula menggambarkan tata
tidak berdekatan dengan air (Boner dan Sarma ruang yang ada di wilayah negara bagian6 dan
1966:10). desa pada masa Majapahit. Bagaimanapun
Beberapa hal yang perlu mendapat Majapahit harus dilihat dalam konteks yang
catatan dari penelitian arsitektur candi adalah lebih luas, karena pada dasarnya kota yang
hasil penelitian Candi Simangambat, Padang merupakan daerah inti yang menjadi pusat
Lawas, baik dari segi arsitektur maupun ragam pemerintahan tidak dipisahkan dengan
hias (kala makara, “gana”, dan “pilar“) dapat wilayah-wilayah penyangga yang berada di
diketahui bahwa Candi Simangambat mirip sekitarnya. Seperti disebutkan oleh Sjoberg
dengan candi-candi di DIY dan Jawa Tengah (1965), bahwa pola ruang yang berupa
dibandingkan dengan candi-candi di Padang
6 Pada masa Majapahit setiap negara bagian dikepalai oleh
Lawas lainnya. Tetapi bagaimana hubungan seorang bhatara i yang disingkat menjadi bhra i atau bhre.

45
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

lingkaran telah lama ada. Dalam kota-kota ada juga jalur transportasi yang melintas sungai
pra-industri, tercermin adanya pola pusat seperti yang disebutkan dalam prasasti Tlaŋ
dan pinggiran (center and periphery). Puncak (903 M.) dan prasasti Canggu (1358 M.) (Nastiti
kekuasaan berada di tengah ruang kota yang 2010:122).
menjadi pengendali dan semakin jauh dari Perdagangan merupakan kajian yang
tengah kota semakin rendah kekuasaannya. menarik untuk diteliti. Tentunya sangat banyak
Oleh karena itu, untuk mengetahui kerajaan faktor-faktor dari perdagangan ini yang dapat
Majapahit yang lebih komperhensif, lebih baik diteliti misalnya dari jenis-jenis komoditi yang
jika penelitian mengenai kerajaan Majapahit berkaitan dengan produksi, jenis-jenis komoditi,
tidak hanya di Trowulan, akan tetapi juga distribusi yang erat kaitannya dengan jalur-jalur
wilayah-wilayah lainnya yang masih termasuk transportasi. Penelitian di DAS Bengawan
wilayah kekuasaan Majapahit, baik yang ada Solo memperlihatkan bahwa jalur sungai
di wilayah pusat maupun di wilayah pinggiran sangat penting sebagai jalur perdagangan,
(Nastiti 2010:121-122). meskipun tidak semua anak-anak sungai yang
AR

Demikian pula dengan penelitian- mengalir ke pedalaman dapat diarungi. Selain


penelitian yang dilakukan di Situs Liyangan jalur transportasi yang membawa barang-
diharapkan dapat menggambarkan bagaimana barang komoditi dari pedalaman ke pesisir
tata ruang pada masa Matarām Kuna. Apakah atau sebaliknya, sungai pun dipakai sebagai
tata ruang di Situs Liyangan ini adalah tata alat transportasi penduduk di dua sisi sungai.
ruang pada tataran wanua (desa), watak, ataukah Perdagangan pun bisa terjadi, setelah pedagang
KE

kerajaan, masih belum jelas. Baskoro dan dari desaApergi ke desa B dengan menyeberangi
Sugeng Riyanto (2008) pada awal penelitiannya sungai dan melanjutkannya ke desa-desa lain
menyebutkan bahwa Situs Liyangan adalah untuk berdagang (Nastiti 2010:122).
sebuah pedusunan masa Matarām Kuna. Akan Apabila sudah dapat mengetahui sistem-
tetapi, jika melihat temuan-temuan di situs ini, sistem tersebut maka kita bisa mendapatkan
N

Situs Liyangan bukanlah sebuah dusun, paling pola perdagangan. Penelitian yang dilakukan di
tidak adalah tata ruang pada tingkatan watak. DAS Barumun yang mencari pola perdagangan
Penelitian yang bermuara pada ekonomi belum tercapai. Seperti telah disebutkan
AS

dapat dibagi atas mata pencaharian yang bahwa untuk mengetahui pola perdagangan
dalam hal ini adalah studi etnoarkeologi memerlukan data yang lebih lengkap mengenai
menghasilkan pengetahuan tentang mata pemukiman-pemukiman, baik yang di sekitar
pencaharian penduduk di tepi pantai, yaitu aliran DAS Sungai Barumun atau pemukiman
sebagai nelayan dan tukang tambang, dan juga yang berada di pedalaman (hinterland). Selain
pengetahuan mengenai kehidupan pengrajin itu juga diperlukan menjawab masalah-
tembikar. Sebenarnya studi etnoarkeologi ini masalah yang berkaitan dengan perdagangan
dapat diperluas dengan mencoba menggali mata yaitu barang-barang komoditi apa saja yang
pencaharian-mata pencaharian yang disebutkan diperdagangkan, apakah barang-barang
dalam prasasti seperti pembuat garam atau komoditi itu hasil produksi daerah pantai atau
pembuat ikan asin, dan sebagainya. Dari pedalaman, bagaimana sistem distribusi, jalur
hasil penelitian di DAS Solo dapat diketahui transportasi yang dipakai apakah memakai
bahwa tidak semua anak sungai dapat dilayari jalur darat atau sungai, dan sebagainya.
karena faktor geologis. Dengan demikian tidak Hasil survei di wilayah DAS Barumun yang
semua anak-anak sungai DAS Solo yang dapat menunjukkan bahwa keramik di bagian hulu
dijadikan jalur perdagangan. Tetapi selain jalur lebih tua (9-13 M.) dengan bagian hilir lebih
transportasi dari pedalaman ke pantai/pesisir muda (18-20 M.), sehingga dapat diasumsikan

46
Titi Surti Nastiti, Jejak-Jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara

bahwa pengaruh luar tidak melalui pantai dan karena itu, untuk mendapatkan hasil yang lebih
sungai akan tetapi memakai jalur darat (Nastiti maksimal, pada penelitian-penelitian dimasa
2010:122-123). mendatang perlu dicoba menerapkan model
Adanya perdagangan yang melalui penelitian yang lebih komperhensif dengan
sungai disebutkan dalam prasasti Kamalagyan. memakai skema besar. Dengan demikian hasil-
Dalam prasasti disebutkan para saudagar hilir hasil penelitian peradaban masa Hindu-Buddha
mudik di Sungai Brantas untuk berniaga. Sisa- merupakan isian dari skema besar tersebut.
sisa komoditi dari hasil perdangan dan Seperti diketahui, untuk mencapai
pertukaran adalah keramik dan tembikar yang tujuan arkeologi, yaitu menyusun sejarah
ditemukan hampir di seluruh situs penelitian. kebudayaan, merekonstruksi cara-cara hidup
Selama ini banyak yang menganggap tembikar manusia masa lalu, dan menggambarkan proses
adalah buatan lokal, akan tetapi dari hasil budaya (Binford 1972:80-89) merupakan
penelitian di Trowulan ternyata ada juga pekerjaan yang tidak pernah selesai karena
tembikar impor dari Thailand Cina. selama ditemukan data arkeologi yang baru
AR

Penelitian lingkungan vegetasi juga berarti menambah, melengkapi, atau bahkan


penting dilakukan untuk melihat alasan merubah rekonstruksi sejarah yang sudah ada
mengapa tanaman di lingkungan situs berubah (Nastiti 2010:123).
dari habitatnya. Sebagai contoh adalah hutan
hujan tropik dataran rendah yang terdapat
di Kabupaten Jombang karena mengalami
KE

gangguan manusia yang mengalihfungsikan


lahan sebagai areal pemukiman, perladangan, *****
perkebunan, dan persawahan, mengakibatkan
terjadinya lingkungan-lingkungan vegetasi
baru di dalam lingkungan vegetasi utamanya
N

(lingkungan vegetasi hutan hujan tropik


dataran rendah) menjadi lingkungan vegetasi Daftar Pustaka
terbuka (Nastiti et al. 2012:21-22). Dengan Ambarawati, Ayu. 2009. “Peradaban Hindu
AS

mengadakan penelitian mengenai lingkungan di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara


vegetasi di situs-situs arkeologi diharapkan Barat”, makalah dalam EHPA di Bali
dapat mengetahui tumbuhan-tumbuhan apa tangal 2-5 November 2009.
saja yang berada di lingkungan situs, alasan Arfian. 2009. “Lingkungan Vegetasi Situs
mengapa tumbuhan-tumbuhan tertentu yang Percandian Padang Lawas dan
Tumbuhan Balaka”, makalah dalam
ditanam sekitar situs, apakah alasannya hanya EHPA di Bali tangal 2-5 November
untuk memperindah candi, untuk obat, ataukah 2009.
pohon itu dianggap pohon suci, dan lain-lain. Binford, L. 1972. An Archaeological
Hal yang paling penting dalam penelitian Perspective. New York: Seminar Press.
ini adalah apabila dari penelitian ini bisa Boner, Alice dan Sadasiva Rath Sarma. 1966.
mengidentifikasi tanaman-tanaman apa saja Śilprakāsa. Leiden: E.J. Brill.
yang ditanam pada masa lalu. de Casparis, J.G. 1975. Indonesian
Paleography. Leiden: E.J. Brill.
4. Penutup Badra, I Wayan. 2009. “Beberapa Tinggalan
Arkeologi di Sepanjang Sungai Wos,
Penelitian-penelitian yang dilakukan
Kecamatan Ubud, Kabupaten Gianyar”,
oleh Pusat Arkeologi Nasional dan Balai- makalah dalam EHPA di Bali tangal 2-5
balai Arkeologi masih bersifat sporadis. Oleh November 2009.

47
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

Bagus, A.A. Gde. 2009. “Komplek Candi Indian Religion, Volume V. Leiden; E.J.
Brahma di Situs Wasan Gianyar”, Brill.
makalah dalam EHPA di Bali tangal 2-5 Moens, J.L. “Was Pūrṇ awarman van Tāruma
November 2009. een Saura”, TBG 80:78-109.
Djafar, Hasan. 2010a. Kompleks Percandian
Nastiti, Titi Surti et al. 2007. “Matarām Kuna
Batujaya. Rekonstruksi Sejarah
sebagai Pusat Peradaban: Suatu Kajian
Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa
Pemukiman”, Laporan Penelitian
Barat. Jakarta: Penerbit Kiblat Buku
Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Utama.
Pengembangan Arkeologi Nasional.
---------. 2010b. “Prasasti Pasir Awi Lambang
---------. 2008. “Identifikasi Desa-desa Perdikan
Kebuddhaan”. Jakarta: Program Studi
dan Jalur Transportasi Bengawan
Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu
Solo Abad X di DAS Bengawan Solo,
Pendidikan dan Pengetahuan Sosial
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah”,
Universitas Indraprasta – PGRI.
Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta:
DT, Baskoro dan Sugeng Riyanto. Pusat Penelitian dan Pengembangan
2008. “Pedusunan Masa Matarām Arkeologi Nasional.
Kuna di Liyangan Temanggung”,
AR

---------. 2010. “Peradaban Hindu-Buddha


w w w . a r k e o l o gi j a w a . c o m/ i n d e x .
di Nusantara”, Arkeologi Indonesia
php?action=publikasi.detail...id=255.
dalam Lintasan Zaman. Jakarta: Pusat
Eriawati, Yusmaini. 2009. “Sektor Sentonorejo Penelitian dan Pengembangan Arkeologi
III Situs Trowulan: Pemukiman Para Nasional.
Kaum Elit Kerabat Majapahit (Hasil
---------. 2011. “Pemukiman Masa Matarām
Penelitian Tahun 2007-2009)”, makalah
Kuna di Kabupaten Jombang, Provinsi
KE

dalam EHPA di Bali tanggal 2-5


Jawa Timur”, Laporan Penelitian
November 2009.
Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan
Eriawati Yusmaini et al. 2012. “Kawasan Pengembangan Arkeologi Nasional.
Bejijong – Situs Trowulan, Mojokerto.
---------. 2012. “Penelitian Arkeologi Masa
Permukinan Buddhis Pra Majapahit”,
Klasik di Kabupaten Jombang”. Jakarta-
LPA Pusat Arkeologi Nasional.
Jombang: Pusat Arkeologi Nasional
N

Herwanto, Eko. 2009. “Pulau Maya dan bekerjasama denganPemerintah Daerah


Hubungannya dengan Segitiga Kabupaten Jombang.
Sumatera-Jawa-Kalimantan pada Masa
---------. 2013. “Distribusi Wilayah Kekuasaan
Klasik”, makalah dalam EHPA di Bali
AS
Adityawarman Abad 14-15 Masehi di
tangal 2-5 November 2009.
Kecamatan Rao, Kabupaten Pasaman,
Kern, H. 1917. “Het Sanskrit-inscriptie van Sumatera Barat”, LPA Puslitbang
Tuk Mas (Dakawu res. Kedu; ± 500 Arkenas.
A.D.)”, Verspreide Geschriften, VII.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho
s’Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Notosusanto (ed.). 2008. Sejarah
Kramrisch, Stella. 1946. The Hindu Temple. Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai
Calcutta: University of Calcutta. Pustaka. Edisi Pemutakhiran.
Krom, N.J. 1931. Hindoe-Javaansche Riyanto, Sugeng. 2014. “Kampung Kuno
Geschiedenis. Tweede herziene druk. Liyangan. Hasil Penelitian Tahap demi
‘s-Gravenhage, Martinus Nijhoff. Tahap”, Mozaik Kebudayaan Indonesia.
Belum terbit.
Lelono, T.M. Hari et al. 2009. “Kecenderungan
Penelitian Arkeologi Masa Hindu- Santiko, Hariani. 1989. “Waprakeswara:
Buddha di Balai Arkeologi Yogyakarta Tempat Bersaji Pemeluk Agama
Tahun 2005-2009”, makalah dalam Weda?”, Amerta, No. 11: 1-8.
EHPA di Bali tangal 2-5 November
Schnitger, F.M. 1937. The Archaeology of
2009.
Hindoo Sumatra. Leiden: E.J. Brill.
van Lohuizen-de Leeuw, J.E. 1976. “Studies
Sjoberg, Gideon. 1965. The Preindustrial City:
in South Asian Culture”, dalam Gösta
Past and Present. New York: Free Press.
Liebert Iconographic Dictionary of the

48
Titi Surti Nastiti, Jejak-Jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara

Siregar, Sondang M. 2009. “Pola Persebaran Susetyo, Sukawati et al. “Perkembangan Agama
Situs-situs Hindu/Buddha di Kawasan Hindu-Budha di Jawa Tengah Abad Ke
Danau Ranau”, makalah dalam EHPA di 8-10 Masehi. Studi Kasus Candi Kedulan”,
Bali tangal 2-5 November 2009. Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta:
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Soedewo, Ery. 2009. “Persebaran Peradaban
Arkeologi Nasional.
Hindu-Buddha di Sumatera Bagian
Utara. Suatu Tinjauan Arkeolinguistik ---------. 2009. “Kala Makara Candi
Jejak Peradaban Hindu-Buddha dalam Simangambat. Tinjauan Gaya Seni dan
Kebudayaan Batak”, makalah dalam Teknologi”, makalah dalam EHPA di Bali
EHPA di Bali tangal 2-5 November tangal 2-5 November 2009.
2009.
Taim, Eka Asih Putrina et al. 2006. “Pola
Soekatno, Endang Sri Hardiati et al. 2008. Perdagangan di DAS Barumun, Propinsi
“Penelitian Ikonografi Masa Kadiri- Sumatera Utara”, Laporan Penelitian
Singhasari di Wilayah Kabupaten Kediri Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian dan
dan Malang, Provinsi Jawa Timur”, Pengembangan Arkeologi Nasional.
Laporan Penelitian Arkeologi. Jakarta: ---------. 2008. “Permukiman Kompleks Candi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Muaro Jambi, Provinsi Jambi”, LPA
AR

Arkeologi Nasional. Puslitbang Arkenas.


Soekmono, R. 1994. Pengantar Sejarah ---------. 2009. “Candi Simangambat, Candi
Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Hindu di Sumatera Utara, makalah dalam
Penerbit Kanisius. Cetakan kesepuluh. EHPA di Bali tangal 2-5 November 2009.
Suleiman, Satyawati. 1986. “Local Genius pada
Masa Klasik”, dalam Ayatrohaédi (ed.)
KE

Kepribadian Budaya Bangsa (Local


Genius):152- 85. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sulistyarto, Priyatno Hadi et al. 2009. “Penelitian
dan Pengembangan Bidang Kajian
Arkeologi Maritim di Balai Arkeologi
Yogyakarta”, makalah dalam EHPA di
Bali tanggal 2-5 November 2009.
N
AS

49
KALPATARU, Majalah Arkeologi Vol. 23 No. 1, Mei 2014: 1-80

AR
KE
N
AS

50

Anda mungkin juga menyukai