Masuknya agama Hindu Budha ke Indonesia secara pasti belum diketahui. Tetapi
pada tahun 400 M dipastikan agama Hindu Budha telah berkembang di Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan penemuan prasasti pada Yupa di Kalimantan Timur.
Prasasti tersebut menunjukkan bahwa telah berkembang kerajaan Kutai di
Kalimantan Timur. Dengan adanya kerajaan pada tahun 400 M, berarti agama Hindu
Budha masuk ke Indonesia sebelum tahun tersebut.
Kalian pasti sudah tidak asing dengan candi Borobudur maupun candi Prambanan.
Bangunan-bangunan bersejarah tersebut merupakan pengaruh kebudayaan Hindu-
Budha yang berkembang di Indonesia pada abad ke 5 hingga 15. Kedatangan
agama Hindu-Budha di Indonesia ini menimbulkan kontak budaya atau akulturasi
dengan budaya Indonesia.
Kepercayaan
Kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum dikenalnya agama Hindu-
Budha adalah kepercayaan yang bercorak animism dan dinamisme. Seiring
masuknya pengaruh Hindu-Budha maka masyarakat Indonesia pun mulai menganut
kedua agama tersebut.
Sistem Pemerintahan
Pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia mengubah sistem pemerintahan
yang ada di nusantara. Awalnya, sistem pemerintahan bercorak kesukuan dan
kerakyatan menjadi monarki dengan hirarki (tingkatan) yang jelas.
Kasta Brahmana merupakan kasta tertinggi yang terdiri dari para pendeta, pemuka
agama, dan guru. Kasta Ksatria merupakan kasta kedua tertinggi yang golongannya
terdiri dari raja, prajurit, dan bangsawan. Anggota Kasta Waisya merupakan para
pedagang, pengrajin, dan pegawai kelas menengah. Kasta Sudra ini merupakan
kasta terendah dalam agama Hindu. Anggotanya terdiri dari para petani, pembantu,
kuli, dan buruh kecil. Namun, selain empat kasta di atas, masih ada Kasta Paria
yang merupakan kasta paling rendah. Kasta ini terdiri dari orang yang dianggap
rendahan.
Teori Masuknya Islam ke Nusantara : Islam Telah Ada
di Nusantara Sejak Abad ke-7
http://www.ponpeshamka.com/2018/01/perkembangan-islam-di-indonesia-oleh.html
Buya Hamka menolak anggapan bahwa Islam dibawa oleh pedagang dari Gujarat
(India) sejak abad ke-13 Masehi. Sanggahan ini dikemukakan oleh tokoh asal
Sumatera Barat itu dalam “Seminar Sejarah Masuknya Agama Islam ke Indonesia”
di Medan pada 1963 (Yusran Rusydi, Buya Hamka: Pribadi dan Martabat, 2017).
Menurut Hamka, Islam sudah ada di Nusantara sejak abad ke-7 M atau tahun-tahun
awal Hijriah, dibawa oleh bangsa Arab, khususnya dari Mekkah. Hamka, seperti
dikutip dari A. Shihabuddin (2013:474) dalam Membongkar Kejumudan: Menjawab
Tuduhan-Tuduhan Salafi Wahhabi, disebutkan bahwa Gujarat hanya sebagai tempat
singgah bagi para pedagang Arab itu sebelum menuju ke Nusantara
Salah satu bukti yang diajukan Hamka adalah naskah kuno dari Cina yang
menyebutkan, sekelompok bangsa Arab telah bermukim di kawasan Pantai Barat
Sumatera (tepatnya di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara) pada 625 M
(Hamka, Sejarah Umat Islam, 1997). Di Barus, yang pernah dikuasai Kerajaan
Sriwijaya, juga ditemukan nisan kuno bertuliskan nama Syekh Rukunuddin, wafat
tahun 672 M.
Keyakinan Hamka tersebut dikuatkan oleh teori yang dikemukakan oleh T.W. Arnold
sebelumnya, berdasarkan sumber yang sama yaitu berita dari Cina. Arnold (1935)
dalam The Preaching of Islam menyebut bahwa ada seorang pembesar Arab yang
menjadi kepala daerah pendudukan bangsa Arab di Pantai Barat Sumatera pada
674 M .
Teori datangnya Islam ke Nusantara berasal dari Timur Tengah, meskipun tidak
hanya dari Mekkah, juga pernah dimunculkan. Crawfurd (1820), Keyzer (1859),
Niemann (1861), De Hollander (1861), dan P.J. Veth (1878), meyakini Islam datang
dari Hadramaut atau Yaman Selatan (Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, 2004).
Yang menjadi landasan atas teori ini adalah bahwa orang-orang Islam di Hadramaut
adalah pengikut mazhab Syafii, seperti halnya di Indonesia (Hermansyah &
Zulkhairi, Transformasi Syair Jauharat At-Tauhid di Nusantara, 2014). Selain itu, ada
pula yang menyebut Islam datang ke Nusantara dari Mesir dengan alasan serupa.
Teori Drews lalu dikembangkan, terutama oleh Hurgronje yang menyebut bahwa
Islam masuk ke Nusantara seiring terjalinnya relasi niaga antara kerajaan atau
masyarakat lokal dengan pedagang Gujarat dari India Selatan (Habib Mustopo,
Kebudayaan Islam di Jawa Timur, 2001).
Argumen Hurgronje ini didasarkan atas peranan orang-orang Gujarat yang telah
membuka hubungan dagang dengan bangsa lokal Indonesia sebelum para
pedagang dari Timur Tengah atau Arab. Menurutnya, yang pertamakali dimasuki
para saudagar muslim-Gujarat itu adalah wilayah Kesultanan Samudera Pasai di
Aceh.
Namun, teori ini dinilai kurang sahih karena memiliki banyak kelemahan. Selain
seperti kata Hamka, yakni bahwa India hanya menjadi persinggahan para pedagang
dari Arab, Gujarat pada abad ke-12 hingga 13 M masih merupakan wilayah Hindu.
Ajaran Islam yang kemudian masuk ke Gujarat pun berasal dari mazhab Hanafi,
bukan mazhab Syafii yang lebih lekat dengan muslim Nusantara.
Ajaran Islam sendiri berkembang di Cina pada masa Dinasti Tang (618-905 M),
dibawa oleh panglima muslim dari kekhalifahan di Madinah semasa era Khalifah
Ustman bin Affan, yakni Saad bin Abi Waqqash. Jean A. Berlie (2004) dalam buku
Islam in China menyebut relasi pertama antara orang-orang Islam dari Arab dengan
bangsa Cina terjadi pada 713 M.
Namun, teori ini juga diragukan. Relasi langsung Cina dengan Nusantara baru
terjadi antara abad 13-15 M (semisal terkait Panglima Cheng Ho, atau Raden Patah
dan beberapa orang Walisongo yang oleh Slamet Muljana [2005] dalam Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara disebut
keturunan Cina) meskipun hubungan dagang jarak jauhnya sudah ada sebelum itu.
Berkembang pula teori Persia dari Umar Amir Husen dan Hoesein Djajadiningrat.
Dikutip dari Reception Through Selection-Modification: Antropologi Hukum Islam di
Indonesia karya Abdurrahman Misno (2016), Djajadiningrat berpendapat bahwa
tradisi dan kebudayaan Islam di Indonesia memiliki persamaan dengan Persia (Iran),
semisal seni kaligrafi yang terpahat pada batu-batu nisan bercorak Islam di
Nusantara.
Contoh lain adalah tradisi peringatan 10 Muharam atau tradisi budaya Islam-Persia
yang juga mirip dengan tradisi serupa di Nusantara, yakni upacara Tabuik atau
Tabut di beberapa wilayah pesisir Sumatera (Abdurrachman Mas'ud, Dari Haramain
ke Nusantara, 2006).
Selain itu, seperti yang dinukil dari Jaih Mubarak (2008) dalam buku Sejarah
Peradaban Islam, ada kesamaan mazhab antara muslim Indonesia dan sebagian
wilayah Persia pada saat itu, yakni menganut mazhab Syafii. Namun, teori Persia ini
juga masih kalah kuat ketimbang teori Arab, dan akhirnya runtuh.
Teori Maritim dan Lainnya
Di samping teori-teori “besar” terkait klaim masuknya ajaran Islam ke Nusantara,
muncul pula sejumlah versi lainnya, termasuk teori Maritim. Ini mirip dengan salah
satu teori masuk dan berkembangnya ajaran Hindu-Buddha di Indonesia, yakni teori
Arus-Balik.
Teori Maritim meyakini bahwa penyebaran Islam di Nusantara dimotori oleh orang
lokal sendiri yang ulung dalam bidang pelayaran dan perdagangan. Mereka berlayar
ke negeri-negeri yang jauh, termasuk ke wilayah asal Islam atau negeri yang sudah
menganut Islam, berinteraksi dengan orang-orang di sana, dan kembali ke tanah air
dengan membawa ajaran Islam yang kemudian disebarkan.
Sejarawan asal Pakistan, N.A. Baloch, mempertegas argumen itu dengan menyebut
bahwa para pelaut dan pedagang asli Nusantara bersinggungan langsung dengan
para saudagar muslim, terutama yang datang dari Timur Tengah, khususnya Arab.
Masih ada pula sekelumit teori lainnya, seperti dari Mesir atau Turki. Namun
argumen dan bukti-bukti yang dipaparkan tidak cukup kuat sehingga terpatahkan.
Atau, teori-teori lain itu biasanya tetap bermuara pada peran kaum pedagang dari
Arab yang diyakini memiliki andil paling sentral dalam upaya masuknya ajaran Islam
ke Indonesia.
Metode Penyebaran Agama Islam di Nusantara
Dalam sejarahnya, penyebaran Agama Islam di Indonesia berlangsung secara cepat. Ajaran
yang memuat nilai Akidah atau ketakwaan pada Allah SWT, Akhlak, Adab, penuh
kedamaian, dan kesetaraan antar manusia menarik minat masyarakat Indonesia untuk
menerima dan memeluk agama Islam.
Terdapat beberapa metode penyebaran pengaruh Islam di Indonesia sehingga bisa tersebar
dan perkembangannya pesat di nusantara, antara lain melalui metode perdagangan, saluran
perkawinan, pendidikan, politik dan seni budaya.
Perdagangan
Saluran yang digunakan dalam proses Islamisasi di Indonesia pada awalnya melalui
perdagangan dari para pedagang Arab, Persia, maupun Gujarat. Hal ini sesuai dengan
perkembangan lalu lintas pelayaran dan perdagangan dunia yang ramai mulai abad ke 7
sampai 16 masehi.
Tidak hanya melakukan transaksi niaga, para pedagang dari Arab, Persia dan Gujarat
mengenalkan ajaran dan nilai-nilai Islam kepada mitranya dari Indonesia lalu kepada
masyarakat sekitar. Sebagai pedagang, mereka bisa bergaul luwes dengan semua orang,
sehingga suasana pelabuhan yang ramai menjadi kesempatan baik untuk mengenalkan ajaran
Islam.
Perkawinan
Perkawinan merupakan salah satu cara penyebaran Islam di Indonesia. Pedagang muslim
yang menetap ada yang menikah dengan putri raja atau putri bangsawan setempat, karena
kedudukan pedagang ini terhormat di mata masyarakat. Pihak pedagang mensyaratkan pihak
calon istri untuk mengucapkan kalimat syahadat terlebih dahulu sehingga anak-anak hasil
pernikahan mereka pun menganut agama Islam yang dianut orang tuanya.
Perkawinan dengan putri kalangan bangsawan dan kerajaan juga membawa pengaruh lebih
kuat dalam penyebaran Islam karena perkawinan yang membuahkan keluarga muslim yang
saleh mempengaruhi istana untuk mendukung penyebaran Islam. Bahkan, semakin banyak
kalangan keluarga istana memeluk Islam dan lambat laut kerajaan yang tadinya bercorak
Hindu-Budha perlahan menjadi bercorak Islam.
Politik
penyebaran Islam di Nusantara, tidak terlepas dari dukungan yang kuat dari para Sultan. Di
pulau Jawa, misalnya kesultanan Demak, merupakan pusat dakwah dan menjadi pelindung
perkembangan Islam. Begitu juga raja-raja lainnya di seluruh Nusantara. Raja Gowa-Tallo di
Sulawesi selatan melakukan hal yang sama sebagaimana yang dilakukan oleh Demak di
Jawa. Dan para Sultan di seluruh Nusantara melakukan komunikasi, bahu membahu dan
tolong menolong dalam melindungi dakwah Islam di Nusantara.
Gambar : Penampilan Wayang Kulit
Seni Budaya
Penyebaran Islam melalui kesenian berupa wayang, satra, dan berbagai kesenian lainnya.
Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Walisongo untuk
menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik
kepada ajaran-ajaran Islam sekalipun pada awalnya mereka tertarik karena media kesenian
itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang.