com
Proses dan waktu kapan masuknya agama Hindu dan Buddha ke Indonesia sampai
sekarang masih menjadi perdebatan di antara para sejarawan. Setidaknya terdapat empat
pendapat, yang masing-masing pendapat sesungguhnya saling menguatkan. Adapun
pendapat-pendapat tentang masuknya Hindu-Buddha ke Indonesia adalah sebagai berikut:
Teori Brahmana
Teori Waisya
Teori Ksatria
Teori Arus Balik, mengatakan bahwa yang telah berperan dalam menyebarkan Hindu
di Indonesia adalah orang Indonesia sendiri. Mereka adalah orang yang pernah
berkunjung ke India untuk mempelajari agama Hindu dan Buddha. Di pengembaraan
mereka mendirikan sebuah organisasi yang sering disebut sanggha. Setelah kembali di
Indonesia, akhirnya mereka menyebarkan kembali ajaran yang telah mereka dapatkan
di India. Pendapat ini dikemukakan oleh F.D.K. Bosch.
Sikap aktif selektif diterapkan bangsa Indonesia terhadap kebudayaan dari luar, artinya
kebudayaan asing yang masuk ke Indonesia diseleksi dan disesuikan dengan kepribadian
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, setelah agama dan kebudayaan Hindu–Buddha masuk ke
Indonsia terjadilah akulturasi. Perwujudan akulturasi antara kebudayaan Hindu–Buddha
dengan kebudayaan Indonesia, antara lain sebagai berikut.
Seni Bangunan
Wujud akulturasi seni bangunan terlihat pada bangunan candi, salah satu contohnya
adalah Candi Borobudur yang merupakan perpaduan kebudayaan Buddha yang
berupa patung dan stupa dengan kebudayaan asli Indonesia, yakni punden berundak
(budaya Megalithikum). Untuk penjelasan lebih lengkap, silahkan baca artikel tentang
Candi (Pengertian, Karakteristik, Pengelompokan), di sini.
Sistem Pemerintahan
Di bidang pemerintahan dengan masuknya pengaruh Hindu maka muncul pemerintahan yang
dipegang oleh raja. Semula pemimpinnya adalah kepala suku yang dianggap mempunyai
kelebihan dibandingkan warga lainnya(primus interpares). Raja tidak lagi sebagai wakil dari
nenek moyang, tetapi sebagai penjilmaan dewa di dunia sehingga muncul kultus "dewa raja".
Sistem Kalender
Masyarakat Indonesia telah mengenal astronomi sebelum datangnya pengaruh Hindu–
Buddha. Pada waktu itu astronomi dipergunakan untuk kepentingan praktis. Misalnya,
dengan melihat letak rasi (kelompok) bintang tertentu dapat ditentukan arah mata angin pada
waktu berlayar dan tahu kapan mereka harus melakukan aktivitas pertanian. Berdasaran letak
bintang dapat diketahui musim-musim yang ada, antara lain musim kemarau, musim labuh,
musim hujan, dan musim mareng. Jadi di Indonesia telah mengenal sistem kalender yang
berpedoman pada pranatamangsa, misalnya mangsa Kasa (kesatu) dan mangsa Karo (kedua).
Kebudayaan Hindu–Buddha yang masuk ke Indonesia telah memiliki perhitungan kalender,
yang disebut kalender Saka dengan perhitungan 1 tahun Saka terdiri atas 365 hari. Menurut
perhitungan tahun Saka, selisih tahun Saka dengan tahun Masehi adalah 78 tahun.
Sistem Kepercayaan
Nenek moyang bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan menyembah roh nenek moyang
(animisme) juga dinamisme dan totemisme. Namun, setelah pengaruh Hindu– Buddha masuk
terjadilah akulturasi sistem kepercayaan sehingga muncul agama Hindu dan Buddha.
Pergeseran fungsi candi. Misalnya fungsi candi di India sebagai tempat pemujaan, sedangkan
di Indonesia candi di samping tempat pemujaan juga ada yang difungsikan sebagai makam
(biasanya raja/pembesar kerajaan).
Filsafat
Akulturasi filsafat Hindu Indonesia menimbulkan filsafat Hindu Jawa. Misalnya, tempat yang
makin tinggi makin suci sebab merupakan tempat bersemayam para dewa. Itulah sebabnya
raja-raja Jawa (Surakarta dan Yogyakarta) setelah meninggal dimakamkan di tempat-tempat
yang tinggi, seperti Giri Bangun, Giri Layu (Surakarta), dan Imogiri (Yogyakarta).
Setelah kita mempelajari masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu–Buddha
di Indonesia, marilah sekarang kita pelajari kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya
serta hukum di Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan bercorak Hindu atau Buddha.
Lahirnya kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Buddha merupakan salah satu perubahan
yang penting dengan masuknya pengaruh tradisi Hindu-Buddha di Indonesia. Kerajaan-
Kerajaan Hindu-Budha yang terdapat di Indonesia antara lain:
1. Kerajaan Kutai
2. Kerajaan Tarumanegara
3. Kerajaan Mataram Kuno
4. Kerajaan Mataram Kuno Dinasti Isana
5. Kerajaan Sriwijaya
6. Kerajaan Singasari
7. Kerajaan Kediri
8. Kerajaan Majaphait
9. Kerajaan Sunda
10. Kerajaan Bali
Letak Kerajaan Kutai berada di hulu sungai Mahakam, Kalimantan Timur yang merupakan
Kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Ditemukannya tujuh buah batu tulis yang disebut Yupa
yang mana ditulis dengan huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta tersebut diperkirakan
berasal dari tahun 400 M (abad ke-5). Prasasti Yupa tersebut merupakan prasasti tertua yang
menyatakan telah beridirinya suatu Kerajaan Hindu tertua yaitu Kerajaan Kutai.
Tidak banyak informasi mengenai Kerajaan Kutai. Hanya 7 buah prasasti Yupa terseubt lah
sumbernya. Penggunaan nama Kerajaan Kutai sendiri ditentukan oleh para ahli sejarah
dengan mengambil nama dari tempat ditemukannya prasasti Yupa tersebut.
BACA JUGA:
- Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia
- Sejarah Kerajaan Sriwijaya
- Sejarah Kerajaan Majapahit
Yupa adalah tugu batu yang berfungsi sebagai tugu peringatan yang dibuat oleh para
Brahmana atas kedermawanan Raja Mulawarman. Dituliskan bahwa Raja Mulawarman, Raja
yang baik dan kuat yang merupakan anak dari Aswawarman dan merupakan cucu dari Raja
Kudungga, telah memberikan 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana.
Dari prasati tersebut didapat bawah Kerajaan Kutai pertama kali didirikan oleh Kudungga
kemudian dilanjutkan oleh anaknya Aswawarman dan mencapai puncak kejayaan pada masa
Mulawarman (Anak Aswawarman). Menurut para ahli sejarah nama Kudungga merupakan
nama asli pribumi yang belum tepengaruh oleh kebudayaan Hindu. Namun anaknya,
Aswawarman diduga telah memeluk agama Hindu atas dasar kata 'warman' pada namnya
yang merupakan kata yang berasal dari bahasa Sanskerta.
Kerajaan Kutai berakhir saat Raja Kutai yang bernama Maharaja Dharma Setia tewas dalam
peperangan melawan Aji Pangeran Sinum Panji yang merupakan Raja dari Kerajaan Kutai
Kartanegara. Kerajaan Kutai dan Kerajaan Kutai Kartanegara merupakan dua buah kerajaan
yang berbeda. Kerajaan Kutai Kartanegara berdiri pada abad ke-13 di Kutai Lama.
Terdapatnya dua kerajaan yang berada di sungai Mahakam tersebut menimbulkan friksi
diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadi peperangan diantara kedua Kerajaan tersebut.
Berikut di bawah ini merupakan daftar raja-raja yang pernah memimpin Kerjaan Kutai,
diantaranya adalah sebagai berikut:
Melihat bahwa letak Kerajaan Kutai pada jalur perdagangan dan pelayaran antara Barat dan
Timur, maka aktivitas perdagangan menjadi mata pencaharian yang utama. Rakyat Kutai
sudah aktif terlibat dalam perdagangan internasional, dan tentu saja mereka berdagang pula
sampai ke perairan Laut Jawa dan Indonesia Timur untuk mencari barang-barang dagangan
yang laku di pasaran Internasional.
Dalam hal kebudayaan sendiri ditemukan dalam salah satu prasasti Yupa menyebutkan suatu
tempat suci dengan nama "Wapakeswara" (tempat pemujaan Dewa Siwa). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa masyarakat Kutai memeluk agama Siwa.
Semoga artikel tersebut di atas tentang Sejarah Kerajaan Kutai bisa bermanfaat bagi sobat.
Tidak lupa kami sampaikan apa bila ada kesalahan baik berupa penulisan maupun
pembahasan, mohon kiranya kritik dan saran dari sobat semua untuk kemajuan bersama.
Terima kasih ^^
Berdirinya Kerajaan Tarumanagara masih dipertanyakan oleh para ahli sejarah. Satu-satunya
sumber sejarah yang secara lengkap membahas mengenai Kerajaan Tarumanagara adalah
Naskah Wangsakerta. Naskah Wangsakerta tersebut masih menjadi perdebatan diantara para
sejarawan tentang keaslian isinya.
Menurut Naskah Wangsakerta, pada abad ke-4 Masehi, pulau dan beberapa wilayah
Nusantara lainnya didatangi oleh sejumlah pengungsi dari India yang mencari perlindungan
akibat terjadinya peperangan besar di sana. Para pengungsi itu umumnya berasal dari daerah
Kerajaan Palawa dan Calankayana di India, pihak yang kalah dalam peperangan melawan
Kerajaan Samudragupta (India).
Salah satu dari rombongan pengungsi Calankayana dipimpin oleh seorang Maharesi yang
bernama Jayasingawarman. Setelah mendapatkan persetujuan dari raja yang berkuasa di barat
Jawa (Dewawarman VIII, raja Salakanagara), maka Jayasingawarman membuka tempat
pemukiman baru di dekat sungai Citarum. Pemukimannya oleh Jayasingawarman diberi
nama Tarumadesya (desa Taruma).
Sepuluh tahun kemudian desa ini banyak didatangi oleh penduduk dari desa lain, sehingga
Tarumadesya menjadi besar. Akhirnya dari wilayah setingkat desa berkembang menjadi
setingkat kota (Nagara). Semakin hari, kota ini semakin menunjukan perkembangan yang
pesat, karena itulah Jayasingawarman kemudian membentuk sebuah Kerajaan yang bernama
Tarumanagara.
BACA JUGA:
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Kediri
B. Kejayaan Kerajaan Tarumanagara
Raja ke-12 Tarumanagara, Linggawarman, memiliki dua orang putri. Putri pertamanya
bernama Dewi Manasih yang kemudian menikah dengan Tarusbawa dan Sobakencana yang
kemudian menjadi isteri Dapunta Hyang Sri Jayanasa, pendiri Kerajaan Sriwijaya. Tangku
kepemimpian Kerajaan Tarumanegara pun jatuh pada suami Manasih yaitu Tarusbawa. Pada
masa kepemerintahan Tarusbawa, pusat kerajaan Tarumanagara ke kerajaanya sendiri yaitu
Kerajaan Sunda (Kerajaan bawahan Tarumanagara) dan kemudian mengganti Kerajaan
Tarumanagara menjadi Kerajaan Sunda.
Prasasti Ciareteun
Selain dari prasasti, terdapat juga suber-sumber lain yang berasal dari Cina, diantarnya:
1. Berita dari Fa-Hien, seorang musafir Cina (pendeta Budha) yang terdampar di Yepoti
(Yawadhipa/Jawa) tepatnya Tolomo (Taruma) pada tahun 414. Dalam catatannya di
sebutkan rakyat Tolomo sedikit sekali memeluk Budha yang banyak di jumpainya
adalah Brahmana dan Animisme.
2. Berita dari Dinasti Soui yang menyatakan bahwa pada tahun 528 dan 535 datang
utusan dari negeri Tolomo (Taruma) yang terletak disebelah selatan.
3. Berita dari Dinasti Tang Muda yang menyebutkan tahun 666 dan tahun 669 M datang
utusan dari Tolomo.
Selama berdirinya Kerajaan Tarumanagara dari abad ke-4 sampai abad ke-7 Masehi, kerajaan
tersebut pernah dipimpin oleh 12 orang raja, diantaranya:
Kehidupan perekonomian masyarakat Tarumanegara adalah pertanian dan peternakan. Hal ini
dapat diketahui dari isi Prasasti Tugu yakni tentang pembangunan atau penggalian saluran
Gomati yang panjangnya 6112 tombak (12 km) selesai dikerjakan dalam waktu 21 hari.
Masyarakat Kerajaan Tarumanagara juga berprofesi sebagai pedagang mengingat letaknya
yang strategis berada di dekat selat sunda.
Pembangunan/penggalian itu mempunyai arti ekonomis bagi rakyat, karena dapat digunakan
sebagai sarana pengairan dan pencegahan banjir. Selain penggalian saluran Gomati dalam
prasasti Tugu juga disebutkan penggalian saluran Candrabhaga. Dengan demikian rakyat
akan hidup makmur, aman, dan sejahtera.
Dari segi kebudayaan sendiri, Kerajaan Tarumanagara bisa dikatakan kebudayaan mereka
sudah tinggi. Terbukti dengan penggalian sungai untuk mencegah banjir dan sebagai saluran
irigasi untuk kepentingan pertanian. Terlihat pula dari teknik dan cara penulisan huruf-huruf
pada prasasti yang ditemukan, menjadi bukti kebudayaan masyarakat pada saat itu tergolong
sudah maju.
Kapan tepatnya berdirinya Kerajaan Mataram Kuno masih belum jelas, namun menurut
Prasasti Mantyasih (907) menyebutkan Raja pertama Kerajaan Mataram Kuno adalah
Sanjaya. Sanjaya sendiri mengeluarkan Prasasti Canggal (732) tanpa menyebut jelas apa
nama kerajaannya. Dalam prasasti itu, Sanjaya menyebutkan terdapat raja yang memerintah
di pulau Jawa sebelum dirinya. Raja tersebut bernama Sanna atau yang dikenal dengan
Bratasena yang merupakan raja dari Kerajaan Galuh yang memisahkan diri dari Kerajaan
Sunda (akhir dari Kerajaan Tarumanegara).
Kekuasaan Sanna digulingkan dari tahta Kerajaan Galuh oleh Purbasora dan kemudian
melarikan diri ke Kerjaan Sunda untuk memperoleh perlindungan dari Tarusbawa, Raja
Sunda. Tarusbawa kemudian mengambil Sanjaya yang merupakan keponakan dari Sanna
sebagai menantunya. Setelah naik tahta, Sanjaya pun berniat untuk menguasai Kerajaan
Galuh kembali. Setelah berhasil menguasai Kerajaan Sunda, Galuh dan Kalingga, Sanjaya
memutuskan untuk membuat kerajaan baru yaitu Kerajaan Mataram Kuno.
Dari prasasti yang dikeluarkan oleh Sanjaya pada yaitu Prasasti Canggal, bisa dipastikan
Kerajaan Mataram Kuno telah berdiri dan berkembang sejak abad ke-7 dengan rajanya yang
pertama adalah Sanjaya dengan gelar Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya.
Hancurnya Kerajaan Mataram Kuno dipicu permusuhan antara Jawa dan Sumatra yang
dimulai saat pengusiaran Balaputradewa oleh Rakai Pikatan. Balaputradewa yang kemudian
menjadi Raka Sriwijaya menyimpan dendam terhadap Rakai Pikatan. Perselisihan antara
kedua raja ini berkembang menjadi permusuhan turun-temurun pada generasi selanjutnya.
Selain itu, Medang dan Sriwijaya juga bersaing untuk menguasai lalu lintas perdagangan di
Asia Tenggara.
Rasa permusuhan Wangsa Sailendra terhadap Jawa terus berlanjut bahkan ketika Wangsa
Isana berkuasa. Sewaktu Mpu Sindok memulai periode Jawa Timur, pasukan Sriwijaya
datang menyerangnya. Pertempuran terjadi di daerah Anjukladang (sekarang Nganjuk, Jawa
Timur) yang dimenangkan oleh pihak Mpu Sindok.
Runtuhnya Kerajaan Mataram ketika Raja Dharmawangsa Teguh yang merupakan cicit Mpu
Sindok memimpin. Waktu itu permusuhan antara Mataram Kuno dan Sriwijaya sedang
memanas. Tercatat Sriwijaya pernah menggempur Mataram Kuno tetapi pertempuran
tersebut dimenangkan oleh Dharmawangsa. Dharmawangsa juga pernah melayangkan
serangan ke ibu kota Sriwijaya. Pada tahun 1006 (atau 1016) Dharmawangsa lengah. Ketika
ia mengadakan pesta perkawinan putrinya, istana Medang di Wwatan diserbu oleh Aji
Wurawari dari Lwaram yang diperkirakan sebagai sekutu Kerajaan Sriwijaya. Dalam
peristiwa tersebut, Dharmawangsa tewas.
BACA JUGA:
- Sejarah Kerajaan Sriwijaya
- Sejarah Kerajaan Majapahit
- Sejarah Kerajaan Singasari
Terdapat dua sumber utama yang menunjukan berdirnya Kerajaan Mataram Kuno, yaiut
berbentuk Prasasti dan Candi-candi yang dapat kita temui samapi sekarang ini. Adapun untuk
Prasasti, Kerajaan Mataram Kuno meninggalkan beberapa prasasti, diantaranya:
Selama berdiri, Kerajaan Mataram Kuno pernah dipimpin oleh raja-raja dinataranya sebagai
berikut:
Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian. Kondisi alam bumi Mataram yang
tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan aktivitas perekonominan dengan pesat.
Bumi Mataram diperintah oleh dua dinasti, yakni Dinasti Sanjaya dan Dinasti Syailendra.
Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara dengan hasil
budayanya berupa candi-candi seperti Gedong Songo dan Dieng. Dinasti Syailendra
beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan, dan hasil budayanya dengan
mendirikan candi-candi seperti candi Borobudur, Mendut, dan Pawon.
Semula terjadi perebutan kekuasan namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi
perkawinan antara Pikatan (Sanjaya) yang beragama Hindu dengan Pramodhawardhani
(Syailendra) yang beragama Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingn
secara damai.
A. Kehidupan Politik (Mataram Dinasti Isana)
Pemindahan kekuasaan ke Jawa Timur dilakukan oleh raja Empu Sendok, dan membentuk
dinasti baru yakni Isana. Nama Isana diambil dari gelar resmi Empu Sendok yakni Sri
Maharaja Rake Hino Sri Isanawikramatunggadewa. Wilayah kekuasaan Empu Sendok
meliputi Nganjuk di sebelah barat, Pasuruan di timur, Surabaya di utara dan Malang di
selatan. Empu Sendok memegang pemerintahan dari tahun 929–947 dengan pusat
pemerintahannya di Watugaluh. Ia memerintah dengan adil dan bijaksana dengan melakukan
berbagai usaha untuk kemakmuran rakyat. Di antaranya ialah membuat bendungan-
bendungan untuk perairan, dan memberikan hadiah-hadiah tanah untuk pemeliharaan
bangunan-bangunan suci. Di samping itu juga memerintahkan untuk mengubah sebuah kitab
agama Buddha aliran Tantrayana yang diberi judul Sang Hyang Kamahayanikan.
Setelah Empu Sendok meninggal kemudian digantikan oleh putrinya yang bernama Sri
Isanatunggawijaya. Putri ini kawin dengan Lokapala, dari pernikahannya lahirlah seorang
putra yang bernama Makutawangsawardana yang meneruskan takhta ibunya. Setelah
Makutawangsawardana meninggal yang menggantikan ialah Dharmawangsa (990–1016).
Dalam pemerintahannya ia berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyatnya yang hidup dari
pertanian dan perdagangan. Pada saat itu pusat perdagangan di Indonesia dikuasai oleh
Sriwijaya, maka Dharmawangsa berusaha untuk menyerang Sriwijaya dengan tujuan untuk
mengusai daerah Sriwijaya bagian selatan (Selat Sunda). Akan tetapi, selang beberapa tahun
kemudian Sriwijaya bangkit mengadakan serangan balasan. Dalam hal ini Sriwijaya
mengadakan kerja sama dengan kerajaan Worawari (kerajaan asal di Jawa). Serangan
Worawari sangat tepat, yakni ketika Dharmawangsa melangsungkan upacara pernikahan
putrinya dengan Airlangga (1016). Dharmawangsa beserta seluruh pembesar istana
mengalami pralaya, tetapi Airlangga berhasil meloloskan diri beserta pengiringnya yang setia
Narotama, menuju hutan Wonogiri diringi juga oleh para pendeta.
Selama tiga tahun (1016-1019) Airlangga digembleng lahir dan batin oleh para pendeta. Atas
tuntutan rakyat dan pendeta, Airlangga bersedia menjadi raja menggantikan Dharmawangsa.
Pada tahun 1019, Airlangga dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Maharaja Rake Halu
Lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramatunggadewa. Tugas Airlangga ialah
menyatukan kembali daerah kekuasaan semasa Dharmawangsa dan usaha ini dapat berhasil
dengan baik. Ibukota kerajaan pada tahun 1031 di Wutan Mas, kemudian dipindahkan ke
Kahuripan pada tahun 1037. Selanjutnya Airlangga melakukan pembangunan di segala
bidang demi kemakmuran rakyatnya.
Pada tahun 1042 Airlangga mengundurkan diri dari takhta dan menjadi seorang petapa
dengan nama Jatinindra atau Resi Jatayu. Sebelumnya Airlangga menobatkan putrinya, Sri
Sanggramawijaya namun menolak dan ia juga menjadi seorang petapa dengan nama Dewi
Kili Suci. Akhirnya kerajaan dibagi menjadi dua yakni Jenggala dengan ibukota Kahuripan
dan Panjalu yang dikenal dengan nama Kediri. Jenggala diperintah oleh Gorasakan,
sedangkan Kediri oleh Samarawijaya ( keduanya terlahir dari selir).
Secara keseluruhan, Kerajaan Mataram (Dinasti Isana) dipimpin oleh raja-raja sebagai
berikut:
1. Empu Sindok (929-947) dengan gelar Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana
Wikramadharmattunggadewa
2. Sri Isanatunggawijaya (Putri Empu Sindok)
3. Makutwangsawardhana (Anak dari pernikahan Sri Isanatunggawijaya dengan Raja
Lokapala)
4. Dharmawangsa (991-1016) dengan gelar Sri Dharmawangsa Teguh
Anantawikramatunggadewa
5. Airlangga dengan gelar Sri Maharaja Rakai Halu Lokeswara Dharmawangsa
Airlangga Anantawikramottunggadewa
Prasasti Anjuk Ladang, salah satu peninggalan di masa pemerintahan empu sindok.
B. Kehidupan Ekonomi
Mpu Sindok memerintah dengan bijaksana. Hal ini bisa dilihat dari usahausaha yang ia
lakukan, seperti Mpu Sindok banyak membangun bendungan dan memberikan hadiah-hadiah
tanah untuk pemeliharaan bangunan suci untuk meningkatkan kehidupan rakyatnya. Begitu
pula pada masa pemerintahan Airlangga, ia berusaha memperbaiki Pelabuhan Hujung Galuh
di muara Sungai Berantas dengan memberi tanggul-tanggul untuk mencegah banjir.
Sementara itu dibidang sastra, pada masa pemerintahannya telah tercipta satu hasil karya
sastra yang terkenal, yaitu karya Mpu Kanwa yang berhasil menyusun kitab Arjuna Wiwaha.
Pada masa Kerajaan Kediri banyak informasi dari sumber kronik Cina yang menyatakan
tentang Kediri yang menyebutkan Kediri banyak menghasilkan beras, perdagangan yang
ramai di Kediri dengan barang yang diperdagangkan seperti emas, perak, gading, kayu
cendana, dan pinang. Dari keterangan tersebut, kita dapat menilai bahwa masyarakat pada
umumnya hidup dari pertanian dan perdagangan.
C. Kehidupan Sosial Budaya
Dalam bidang toleransi dan sastra, Mpu Sindok mengi inkan penyusunan kitab Sanghyang
Kamahayamikan (Kitab Suci Agama Buddha), padahal Mpu Sindok sendiri beragama Hindu.
Pada masa pemerintahan Airlangga tercipta karya sastra Arjunawiwaha yang dikarang oleh
Mpu Kanwa. Begitu pula seni wayang berkembang dengan baik, ceritanya diambil dari karya
sastra Ramayana dan Mahabharata yang ditulis ulang dan dipadukan dengan budaya Jawa.
Raja Airlangga merupakan raja yang peduli pada keadaan masyarakatnya. Hal itu terbukti
dengan dibuatnya tanggul-tanggul dan waduk di beberapa bagian di Sungai Berantas untuk
mengatasi masalah banjir. Pada masa Airlangga banyak dihasilkan karya-karya sastra, hal
tersebut salah satunya disebabkan oleh kebijakan raja yang melindungi para seniman,
sastrawan dan para pujangga, sehingga mereka dengan bebas dapat mengembangkan
kreativitas yang mereka miliki.
Pada kronik-kronik Cina tercatat beberapa hal penting tentang Kediri yaitu:
1. Rakyat Kediri pada umumnya telah memiliki tempat tinggal yang baik, layak huni
dan tertata dengan rapi, serta rakyat telah mampu untuk berpakaian dengan baik.
2. Hukuman di Kediri terdapat dua macam yaitu denda dan hukuman mati bagi
perampok.
3. Kalau sakit rakyat tidak mencari obat, tetapi cukup dengan memuja para dewa.
Tidak banyak bukti sejarah yang menerangkan kapan berdirinya Kerajaan Sriwijaya. Bukti
tertua datangnya dari berita Cina yaitu pada tahun 682 M terdapat seorang pendeta Tiongkok
bernama I-Tsing yang ingin belajar agama Budha di India, singgah terlebih dahulu di
Sriwijaya untuk mendalami bahasa Sanskerta selama 6 Bulan. Tercatat juga Kerajaan
Sriwijaya pada saat itu dipimpin oleh Dapunta Hyang.
Selain berita dari luar, terdapat juga beberapa prasasti peninggalan Kerajaan Sriwijaya,
diantaranya adalah prasasti Kedukan Bukit (605S/683M) di Palembang. Isi dari prasasti
terseubt adalah Dapunta Hyang mengadakan ekspansi 8 hari dengan membawa 20.000
tentara, kemudian berhasil menaklukkan dan menguasai beberapa daerah. Dengan
kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur. Dari kedua bukti tertua di atas bisa disimpulkan
Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ke-7 dengan raja pertamanya adalah Dapunta Hyang.
Masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya berada pada abad 9-10 Masehi dimana Kerajaan Sriwijaya
menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara. Sriwijaya telah melakukan
kolonisasi di hampir seluruh kerajaan-kerajaan Asia Tenggara, antara lain: Sumatera, Jawa,
Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Dominasi atas Selat
Malaka dan Selat Sunda, menjadikan Sriwijaya sebagai pengendali rute perdagangan rempah
dan perdagangan lokal yang mengenakan bea dan cukai atas setiap kapal yang lewat.
Sriwijaya mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang
melayani pasar Tiongkok, dan India.
BACA JUGA:
- Kerajaan Singasari
- Kerajaan Majapahit
- Kerajaan Mataram
C. Keruntuhan Sriwijaya
1. Pada tahun 1017 dan 1025, Rajendra Chola I, soerang dari dinasti Cholda di
Koromande, India Selatan. Dari dua serangan tersebut membuat luluh lantah armada
perang Sriwijaya dan membuat perdagangan di wilayah Asia-tenggara jatuh pada Raja
Chola. Namun Kerajaan Sriwijaya masih berdiri.
2. Melemahnya kekuatan militer Sriwijaya, membuat beberapa daerah taklukannya
melepaskan diri sampai muncul Dharmasraya dan Pagaruyung sebagai kekuatan baru
yang kemudian menguasai kembali wilayah jajahan Sriwijaya mulai dari kawasan
Semenanjung Malaya, Sumatera, sampai Jawa bagian barat.
3. Melemahnya Sriwijaya juga diakibatkan oleh faktor ekonomi. Para pedagang yang
melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang karena
daerha-daerah strategis yang dulu merupakan daerah taklukan Sriwijaya jatuh ke
tangan raja-raja sekitarnya.
4. Munculnya kerajaan-kerajaan yang kuat seperti Dharmasraya yang sampai menguasai
Sriwijaya seutuhnya serta Kerajaan Singhasari yang tercatat melakukan sebuah
ekspedisi yang bernama ekspedisi Pamalayu.
Kerajaan Sriwijaya pun akhirnya runtuh di tangan Kerajaan Majapahit pada abad ke-13.
Salah Satu Penginggalan Kerajaan Sriwijaya
D. Sumber-sumber Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Ada dua jenis sumber sejarah yang menggambarkan keberadaan Kerajaan Sriwijaya, yaitu
Sumber berita asing dan prasasti.
Sumber Prasasti
Selain dari sumber berita asing, keberadaan Kerajaan Sriwijaya juga tercatat pada prasasti-
prasasti yang pernah ditinggalkan, diantaranya:
E. Raja-raja Sriwijaya
Dari abad ke-7 sampai ke-13 Masehi, Kerajaan Sriwijaya pernah di pimpin oleh raja-raja di
bawah ini, yaitu:
Letak Sriwijaya sangat strategis di jalur perdagangan antara India-Cina. Di samping itu juga
berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi perdagangan di Asia Tenggara,
menjadikan Sriwijaya berhasil menguasai perdagangan nasional dan internasional.
Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka mempunyai arti penting terhadap perkembangan
Sriwijaya sebagai negara maritim, sebab banyak kapal-kapal asing yang singgah untuk
menambah air minum, perbekalan makanan dan melakukan aktivitas perdagangan.
Dalam bidang kebudayaan khususnya keagamaan, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama
Buddha yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang berkembang di
Sriwijaya ialah Agama Buddha Mahayana, salah satu tokohnya ialah Dharmakirti. Para
peziarah agama Buddha dalam pelayaran ke India ada yang singgah dan tinggal di Sriwijaya.
Di antaranya ialah I'tsing.
A. Kehidupan Politik
Kehidupan politik pada masa Kerajaan Singasari dapat kita lihat dari raja-raja yang pernah
memimipinya. Berikut ini adalah raja-raja yang pernah memimpin Kerajaan Singasari.
Pendiri Kerajaan Singasari ialah Ken Arok yang menjadi Raja Singasari dengan gelar Sri
Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi. Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari
menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra
(Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227). Pada tahun
1227 Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok
dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa– Buddha.
2. Anusapati (1227–1248).
Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati.
Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan
pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam.
Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken
Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam
sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa ( tempat kediamanan Tohjoyo) untuk
mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya,
secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan
langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan
di Candi Kidal.
3) Tohjoyo (1248)
Dengan meninggalnya Anusapati maka takhta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo.
Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang
bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa
Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian
menduduki singgasana.
4) Ranggawuni (1248–1268)
Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 dengan gelar Sri Jaya
Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi
kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan
Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari.
Pada tahun 1254, Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai
yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan
Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau
Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.
5) Kertanegara (1268–-1292).
Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk
menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri
Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang
mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk
dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot
dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide
dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja.
Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara
mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang
berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan mengirimkan patung
Amogapasa ke Dharmasraya atas perintah raja Kertanegara. Tujuannya untuk menguasai
Selat Malaka. Selain itu juga menaklukkan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan
Barat) dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja
Champa, dengan tujuan untuk menahan perluasan kekuasaan Kublai Khan dari Dinasti
Mongol. Kublai Khan menuntut rajaraja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya
sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai utusannya yang bernama
Mengki. Tindakan Kertanegara ini membuat Kublai Khan marah besar dan bermaksud
menghukumnya dengan mengirikan pasukannya ke Jawa.
Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol,
maka Jayakatwang menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Jayakatwang adalah
keturunan Kertajaya - Raja terakhir Kerajaan Kediri. Serangan dilancarakan oleh
Jayakatwang dari dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah
selatan merupakan pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh
Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan
para pembesar istana. Kertanagera beserta pembesarpembesar istana tewas dalam serangan
tersebut. Raden Wijaya (menantu Kertanegara) berhasil menyelamatkan diri dan menuju
Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja (Buapati
Sumenep). Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan
mengabdi kepada Jayakatwang serta diberikan sebidang tanah yang bernama Tanah Terik
yang nantinya menjadi asal usul Kerajaan Majapahit.
Dengan gugurnya Kertanegara pada tahun 1292, Kerajaan Singasari dikuasai oleh
Jayakatwang. Ini berarti berakhirlah kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang
dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa-Buddha (Bairawa) di Candi
Singasari. Sedangkan arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog, yang sekarang
berada di Taman Simpang, Surabaya.
B. Kehidupan Ekonomi
Tidak banyak sumber prasasti dan berita dari negeri asing yang dapat memberi keterangan
secara jelas kehidupan perekonomian rakyat Singasari. Akan tetapi, berdasarkan analisis
bahwa pusat Kerajaan Singasari berada di sekitar Lembah Sungai Brantas dapat diduga
bahwa rakyat Singasari banyak menggantungkan kehidupan pada sektor pertanian. Keadaan
itu juga didukung oleh hasil bumi yang melimpah sehingga menyebabkan Raja Kertanegara
memperluas wilayah terutama tempat-tempat yang strategis untuk lalu lintas perdagangan.
Keberadaan Sungai Brantas dapat juga digunakan sebagai sarana lalu lintas perdagangan dari
wilayah pedalaman dengan dunia luar. Dengan demikian, perdagangan juga menjadi andalan
bagi pengembangan perekonomian Kerajaan Singasari.
C. Kehidupan Sosial-Budaya
Peninggalan kebudayaan Kerajaan Singasari, antara lain berupa prasasti, candi, dan patung.
Candi peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Candi Jago, Candi Kidal, dan Candi
Singasari. Adapun patung-patung yang berhasil ditemukan sebagai hasil kebudayaan
Kerajaan Singasari, antara lain Patung Ken Dedes sebagai Dewi Prajnaparamita lambang
dewi kesuburan dan Patung Kertanegara sebagai Amoghapasa.
Rakyat Singasari mengalami pasang surut kehidupan sejak zaman Ken Arok sampai masa
pemerintahan Wisnuwardhana. Pada masa-masa pemerintahan Ken Arok, kehidupan sosial
masyarakat sangat terjamin. Kemakmuran dan keteraturan kehidupan sosial masyarakat
Singasari kemungkinan yang menyebabkan para brahmana meminta perlindungan kepada
Ken Arok ataskekejaman rajanya.
Akan tetapi, pada masa pemerintahan Anusapati kehidupan masyarakat mulai terabaikan. Hal
itu disebabkan raja sangat gemar menyabung ayam hingga melupakan pembangunan
kerajaan.
Dengan kerja keras dan usaha yang tidak henti-henti, cita-cita Kertanegara ingin menyatukan
seluruh wilayah Nusantara di bawah naungan Singasari tercapai juga walaupun belum
sempurna. Daerah kekuasaannya, meliputi Jawa, Madura, Bali, Nusa Tenggara, Melayu,
Semenanjung Malaka, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.
A. Kehidupan Politik
Keadaan politik pemerintahan dan keadaan masyarakat di Kediri ini dicatat dalam berita dari
Cina, yaitu dalam kitab Ling-Wai-tai-ta yang ditulis oleh Chou K’u-fei pada tahun 1178 dan
pada kitab Chu-fan-chi yang disusun oleh Chaujukua pada tahun 1225. Kitab itu melukiskan
keadaan pemerintahan dan masyarakat zaman Kediri. Kitab itu menggambarkan masa
pemerintahan Kediri termasuk stabil dan pergantian takhta berjalan lancar tanpa
menimbulkan perang saudara. Di dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh tiga
orang putranya dan empat pejabat kerajaan (rakryan), ditambah 300 pejabat sipil
(administrasi) dan 1.000 pegawai rendahan. Prajuritnya berjumlah 30.000 orang dengan
mendapat gaji dari kerajaan. Raja berpakaian sutra, memakai sepatu kulit, perhiasan emas,
dan rambutnya disanggul ke atas. Jika bepergian, raja naik gajah atau kereta dengan dikawal
oleh 500–700 prajurit. Pemerintah sangat memperhatikan keadaan pertanian, peternakan, dan
perdagangan. Pencuri dan perampok jika tertangkap dihukum mati.
Setelah 58 tahun mengalami masa suram, Kerajaan Panjalu (Kediri) bangkit lagi sekitar tahun
1116. Raja yang memerintah, antara lain sebagai berikut.
Raja Bameswara pertama adalah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Bameswara Sakalabhuwana
Sarwwaniwaryya Wiryya Parakrama Digjayattunggadewa. Hal itu disebutkan pada Prasasti
Pandlegan I yang berangka tahun 1038 Saka (1116 Masehi).
Prasasti lainnya adalah Prasasti Karang Reja berangka tahun 1056 Saka (1136 Masehi), tetapi
tidak jelas siapa yang mengeluarkannya. Apakah dikeluarkan oleh Bameswara atau
Jayabaya? Lencana kerajaan yang digunakan adalah tengkorak bertaring di atas bulan sabit
yang disebut Candrakapala. Bameswara diperkirakan memerintah hingga tahun 1134 M.
2. Raja Jayabaya
Pengganti Raja Bameswara adalah Jayabaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara
Madhusudana Wataranindita Parakrama Digjayottunggadewanama Jayabhayalancana. Ia
memerintah pada tahun 1057 Saka (1135 M).
Salah satu prasastinya yang menarik adalah Prasasti Talan berangka tahun 1508 Saka (1136
M) yang berisi pemindahan Prasasti Ripta (tahun 961 Saka) menjadi Prasasti Dinggopala oleh
Raja Jayabaya. Dalam prasasti itu, ia disebutkan sebagai penjelmaan Dewa Wisnu.
Lencana kerajaan yang dipakai adalah Narasingha, tetapi pada Prasasti Talan disebutkan
pemakaian lencana Garuda Mukha. Pada Prasasti Hantang (1057 Saka) atau 1135 M
dituliskan kata pangjalu jayati, artinya panjalu menang berperang atas Jenggala dan sekaligus
untuk menunjukkan bahwa Jayabaya adalah pewaris takhta kerajaan yang sah dari Airlangga.
3. Raja Sarweswara
Pengganti Raja Jayabaya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardhanawatara
Wijayagrajasama Singhanadaniwaryyawiryya Parakrama Digjayattunggadewanama.
Sarweswara memerintah tahun 1159 hingga 1169. Lencana kerajaan yang digunakan adalah
Ganesha.
4. Sri Aryyeswara
Raja Sarweswara kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Aryyeswara
Madhusudanawatararijamukha. Masa pemerintahan Raja Sri Aryyeswara hanya sampai tahun
1181 dan digantikan oleh Sri Maharaja Sri Kroncarryadipa Handabhuwanapalaka
Parakramanindita Digjayattunggaduwanama Sri Gandra.
5. Sri Gandra
Pada masa pemerintahan Sri Gandra dikenal jabatan senapati sarwajala (laksamana laut).
Dengan jabatan itu, diduga Kediri mempunyai armada laut yang kuat. Di samping itu, juga
dikenal pejabat yang menggunakan nama-nama binatang, misalnya Kebo Salawah, Lembu
Agra, Gajah Kuning, dan Macan Putih.
6. Kameswara
7. Kertajaya
Setelah Kameswara mangkat, raja yang memerintah Kediri adalah Kertajaya atau Srengga.
Gelar Kertajaya ialah Sri Maharaja Sarweswara Triwikramataranindita Srenggalancana
Digjayattunggadewanama. Kertajaya adalah raja terakhir yang memerintah Kediri. Kertajaya
memerintah Kediri tahun 1185–1222.
Pada masa pemerintahannya, Kertajaya sering berselisih pendapat dengan para brahmana.
Para brahmana kemudian minta perlindungan kepada Ken Arok. Kesempatan emas itu
digunakan Ken Arok untuk memberontak raja. Oleh karena itu, terjadilah pertempuran hebat
di Ganter. Dalam pertempuran itu, Ken Arok berhasil mengalahkan Raja Kertajaya. Dengan
berakhirnya masa pemerintahan Kertajaya, berakhir pula masa pemerintahan Kerajaan Kediri
sebagai kelanjutan Dinasti Isana yang didirikan oleh Empu Sindok.
Patung Airlangga Menaiki Garuda
B. Kehidupan Ekonomi
Kediri merupakan kerajaan agraris dan maritim. Masyarakat yang hidup di daerah pedalaman
bermata pencaharian sebagai petani. Hasil pertanian di daerah pedalaman Kerajaan Kediri
sangat melimpah karena didukung oleh kondisi tanah yang subur. Hasil pertanian yang
melimpah memberikan kemakmuran bagi rakyat.
Masyarakat yang berada di daerah pesisir hidup dari perdagangan dan pelayaran. Pada masa
itu perdagangan dan pelayaran berkembang pesat. Para pedagang Kediri sudah melakukan
hubungan dagang dengan Maluku dan Sriwijaya.
Pada masa itu, mata uang yang terbuat dari emas dan campuran antara perak, timah, dan
tembaga sudah digunakan. Hubungan antara daerah pedalaman dan daerah pesisir sudah
berjalan cukup lancar. Sungai Brantas banyak digunakan untuk lalu lintas perdagangan antara
daerah pedalaman dan daerah pesisir.
Kondisi masyarakat Kediri sudah teratur. Penduduknya sudah memakai kain sampai di bawah
lutut, rambut diurai, serta rumahnya bersih dan rapi. Dalam perkawinan, keluarga pengantin
wanita menerima maskawin berupa emas. Orang-orang yang sakit memohon kesembuhan
kepada dewa dan Buddha.
Perhatian raja terhadap rakyatnya sangat tinggi. Hal itu dibuktikan pada kitab Lubdaka yang
berisi tentang kehidupan sosial masyarakat pada saat itu. Tinggi rendahnya martabat
seseorang bukan berdasarkan pangkat dan harta bendanya, tetapi berdasarkan moral dan
tingkah lakunya. Raja juga sangat menghargai dan menghormati hak-hak rakyatnya.
Akibatnya, rakyat dapat leluasa menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Pada zaman Kediri karya sastra berkembang pesat. Banyak karya sastra yang dihasilkan.
Pada masa pemerintahan Jayabaya, raja pernah memerintahkan kepada Empu Sedah untuk
mengubah kitab Bharatayuda ke dalam bahasa Jawa Kuno. Karena tidak selesai, pekerjaan itu
dilanjutkan oleh Empu Panuluh. Dalam kitab itu, nama Jayabaya disebut beberapa kali
sebagai sanjungan kepada rajanya. Kitab itu berangka tahun dalam bentuk candrasangkala,
sangakuda suddha candrama (1079 Saka atau 1157 M). Selain itu, Empu Panuluh juga
menulis kitab Gatutkacasraya dan Hariwangsa.
Pada masa pemerintahan Kameswara juga ditulis karya sastra, antara lain sebagai berikut.
1. Kitab Wertasancaya, yang berisi petunjuk tentang cara membuat syair yang baik.
Kitab itu ditulis oleh Empu Tan Akung.
2. Kitab Smaradhahana, berupa kakawin yang digubah oleh Empu Dharmaja. Kitab itu
berisi pujian kepada raja sebagai seorang titisan Dewa Kama. Kitab itu juga
menyebutkan bahwa nama ibu kota kerajaannya adalah Dahana.
3. Kitab Lubdaka, ditulis oleh Empu Tan Akung. Kitab itu berisi kisah Lubdaka sebagai
seorang pemburu yang mestinya masuk neraka. Karena pemujaannya yang istimewa,
ia ditolong dewa dan rohnya diangkat ke surga.
Selain karya sastra tersebut, masih ada karya sastra lain yang ditulis pada zaman Kediri,
antara lain sebagai berikut.
1. Kitab Kresnayana karangan Empu Triguna yang berisi riwayat Kresna sebagai anak
nakal, tetapi dikasihi setiap orang karena suka menolong dan sakti. Kresna akhirnya
menikah dengan Dewi Rukmini.
2. Kitab Samanasantaka karangan Empu Managuna yang mengisahkan Bidadari Harini
yang terkena kutuk Begawan Trenawindu.
Adakalanya cerita itu dijumpai dalam bentuk relief pada suatu candi. Misalnya, cerita
Kresnayana dijumpai pada relief Candi Jago bersama relief Parthayajna dan Kunjarakarna.
A. Kehidupan Politik
Kehidupan politik yang terjadi di Kerajaan Majapahit dapat dilihat pada masa pemerintahan
raja-raja berikut ini.
Para pengikut Raden Wijaya yang setia dan berjasa dalam mendirikan kerajaan Majapahit,
diberi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Tetapi ada saja yang tidak puas dengan
kedudukan yang diperolehnya. Hal ini menimbulkan pemberontakan di sana-sini.
Pemberontakan pertama terjadi pada tahun 1295 yang dilakukan oleh Rangga Lawe
(Parangga Lawe) Bupati Tuban. Rangga Lawe memberontak karena tidak puas terhadap
kebijaksanaan Kertarajasa yang dirasa kurang adil. Kedudukan Patih Majapahit seharusnya
diberikan kepadanya. Namun, oleh Kertarajasa kedudukan itu telah diberikan kepada Nambi
(anak Wiraraja). Pemberontakan Rangga Lawe dapat ditumpas dan ia tewas oleh Kebo
Anabrang. Lembu Sora, sahabat Rangga Lawe, karena tidak tahan melihat kematiannya,
kemudian membunuh Kebo Anabrang. Peristiwa itu dijadikan alasan Mahapatih yang
mempunyai ambisi politik besar di Majapahit menyusun strategi agar raja bersedia
menghukum tindakan Lembu Sora. Lembu Sora membangkang perintah raja dan
mengadakan pemberontakan pada tahun 1298–1300. Lembu Sora gugur bersama sahabatnya,
Jurudemung dan Gajah Biru.
Susunan pemerintahan Raden Wiajaya tidak banyak berbeda dengan pemerintahan Singasari.
Raja dibantu oleh tiga orang mahamenteri (i hino, i sirikan, dan i halu) dan dua orang pejabat
lagi, yaitu rakryan rangga dan rakryan tumenggung. Pada tahun 1309 Raden Wiajay wafat
dan didharmakan di Simping dengan Arca Syiwa dan di Antahpura (di kota Majapahit)
dengan arca perwujudannya berbentuk Harihara (penjelmaan Wisnu dan Syiwa).
Setelah Raden Wiajaya mangkat, digantikan putranya yang bernama Kala Gemet dengan
gelar Sri Jayanegara. Kala Gemet sudah diangkat sebagai raja muda (kumararaja) sejak
ayahnya masih memerintah (1296). Ternyata, Jayanagara adalah raja yang lemah. Oleh
karena itu, pada masa pemerintahannya terus dirongrong oleh sejumlah pemberontakan.
Pada tahun 1316 timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Nambi yang menjabat Rakryan
Patih Majapahit. Nambi memusatkan kekuatannya di daerah Lumajang dan Pajarakan.
Pemberontakan Nambi mendapat dukungan dari ayahnya (Wiraraja). Raja Jayanegara atas
nasihat Mahapati memerintahkan Lumajang dan Pajarakan digempur sampai hancur.
Terjadilah pertempuran sengit dan Nambi pun gugur.
Keadaan belum pulih, terjadi lagi pemberontakan Semi pada tahun 1318. Setahun kemudian
(1319) terjadi pemberontakan Kuti. Semi dan Kuti adalah dua orang dari tujuh
dharmmaputra. Pemberontakan inilah yang paling berbahaya karena Kuti berhasil menduduki
ibu kota Kerajaan Majapahit. Jayanegara terpaksa melarikan diri dan mengungsi ke Badander
di bawah perlindungan pasukan Bayangkara yang dipimpin oleh Gajah Mada.
Setelah raja dalam keadaan aman, Gajah Mada kembali ke Majapahit untuk melakukan
pendekatan kepada rakyat. Ternyata masih banyak rakyat yang memihak raja dan Gajah
Mada pun berhasil menanamkan rasa kebencian kepada Kuti. Dengan strategi yang jitu,
Gajah Mada mengadakan serangan secara tiba-tiba ke pusat kerajaan. Pasukan Kuti dapat
dihancurkan dan Kuti tewas dalam pertempuran itu. Setelah keadaan benar-benar aman,
Jayanegara pulang ke ibu kota untuk meneruskan pemerintahannya. Karena jasanya yang
besar, Gajah Mada diangkat menjadi Patih Kahuripan. Dua tahun berikutnya, ia diangkat
menjadi Patih Daha menggantikan Arya Tilan (1321).
Pada tahun 1328 terjadilah musibah yang mengejutkan. Raja Jayanegara dibunuh oleh Tanca
(seorang tabib kerajaan). Tanca kemudian dibunuh oleh Gajah Mada. Peristiwa itu disebut
Patanca. Jayanegara didharmakan di Candi Srenggapura di Kapopongan.
Raja Jayanegara tidak berputra sehingga ketika baginda mangkat, takhta kerajaan diduduki
oleh adik perempuannya dari ibu berbeda (Gayatri) yang bernama Bhre Kahuripan. Ia
dinobatkan menjadi Raja Majapahit dengan gelar Tribhuwanatunggadewi
Jayawisnuwarddhani. Selama memerintah, Tribhuwanatunggadewi didampingi suaminya
yang bernama Cakradhara atau Cakreswara yang menjadi raja di Singasari (Bhre Singasari)
dengan gelar Kertawardhana. Berkat bantuan dan saran dari Patih Gajah Mada,
pemerintahannya dapat berjalan lancar walaupun masih timbul pemberontakan.
Pada tahun 1331 timbul pemberontakan Sadeng dan Keta di daerah Besuki, tetapi dapat
dihancurkan oleh pasukan Gajah Mada. Karena jasanya itu, Gajah Mada naik pangkat lagi
dari Patih Daha menjadi Mahapatih Majapahit menggantikan Pu Naga. Setelah diangkat
menjadi Mahapatih Majapahit, dalam suatu persidangan besar yang dihadiri oleh para menteri
dan pejabat negara lainnya, Gajah Mada mengucapkan sumpah untuk menyatukan Nusantara
di bawah naungan Majapahit. Sumpahnya itu dikenal dengan nama Sumpah Palapa. Palapa
berarti garam atau rempah-rempah yang dapat melezatkan berbagai masakan. Oleh karena
itu, sumpah itu dapat diartikan bahwa Gajah Mada tidak akan makan palapa (hidup enak)
sebelum berhasil menyatukan Nusantara.
Semula banyak pejabat negara yang menertawakannya, tetapi Gajah Mada sudah bertekad
baja, bersemangat membara, dan maju terus pantang mundur. Gajah Mada mempersiapkan
segala sesuatunya untuk mewujudkan sumpahnya, seperti prajurit pilihan, persenjataan, dan
armada laut yang kuat. Setelah persiapannya matang, tentara Majapahit sedikit demi sedikit
bergerak menyerang untuk menaklukkan wilayah kerajaan lain.
Pada tahun 1334 Bali berhasil ditaklukkan oleh Gajah Mada yang dibantu oleh Laksamana
Nala dan Adityawarman. Adityawarman adalah seorang pejabat Majapahit keturunan Melayu
dan berkedudukan sebagai werdhamantri dengan gelar Arya Dewaraja Pu Aditya. Setelah
penaklukkan Bali, satu demi satu daerah di Sumatra, Semenanjung Malaka, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian (Papua) bagian barat berhasil ditundukkan dan
mengakui kekuasaan Majapahit. Tugas besar itu tercapai pada masa pemerintahan Raja
Hayam Wuruk. Agar pengakuan kekuasaan Majapahit di Sumatra kekal, Adityawarman
diangkat menjadi raja di Melayu menggantikan Mauliwarmadewa (1343). Adityawarman
segera menata kembali struktur pemerintahan dan meluaskan daerah kekuasaannya hingga
Pagarruyung–Minangkabau. Setelah itu, Adityawarman memindahkan pusat kerajaan dari
Jambi ke Pagarruyung. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375.
Hayam Wuruk setelah naik takhta bergelar Sri Rajasanagara dan dikenal pula dengan nama
Bhre Hyang Wekasing Sukha. Ketika Tribhuwanatunggadewi masih memerintah, Hayam
Wuruk telah dinobatkan menjadi rajamuda (kumararaja) dan mendapat daerah Jiwana sebagai
wilayah kekuasaannya. Dalam memerintah Majapahit, Hayam Wuruk didampingi oleh Gajah
Mada sebagai patih hamangkubumi.
Hayam Wuruk adalah raja yang cakap dan didampingi oleh patih yang gagah berani pula.
Pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk inilah Majapahit mencapai puncak kebesaran.
Wilayah kekuasaannya hampir seluas negara Indonesia sekarang. Bahkan, pengaruhnya
terasa sampai ke luar Nusantara, yaitu sampai ke Thailand (Campa), Indocina, dan Filipina
Selatan. Dengan kenyataan itu, berarti Sumpah Palapa Gajah Mada benar-benar terwujud
sehingga seluruh pembesar kerajaan selalu hormat kepadanya. Kecuali sebagai seorang
negarawan dan jenderal perang, Gajah Mada juga ahli hukum. Ia berhasil menyusun kitab
Kutaramanawa yang digunakan sebagai dasar hukum di Majapahit.
Pada saat pemerintahan Raja Hayam Wuruk, ada satu daerah di Pulau Jawa yang belum
tunduk kepada Majapahit, yaitu Kerajaan Sunda di Jawa Barat. Kerajaan Sunda itu diperintah
oleh Sri Baduga Maharaja. Gajah Mada ingin menundukkan secara diplomatis dan
kekeluargaan. Kebetulan pada tahun 1357 Raja Hayam Wuruk bermaksud meminang putri
Sri Baduga yang bernama Dyah Pitaloka untuk dijadikan permaisuri. Lamaran itu
diterimanya. Dyah Pitaloka dengan diantarkan oleh Sri Baduga beserta prajuritnya berangkat
ke Majapahit. Akan tetapi, ketika sampai di Bubat, Gajah Mada menghentikan rombongan
pengantin. Gajah Mada menghendaki agar putri Kerajaan Sunda itu dipersembahkan kepada
Hayam Wuruk sebagai tanda tunduk Raja Sunda kepada Majapahit. Tentu saja maksud Gajah
Mada itu ditentang oleh raja dan kaum bangsawan Sunda. Akibatnya, terjadilah pertempuran
sengit yang tidak seimbang. Sri Baduga beserta para pengikutnya gugur, Dyah Pitaloka
bunuh diri di tempat itu juga. Peristiwa itu terkenal dengan nama Perang Bubat.
Setelah Raja Hayam Wuruk mangkat, terjadilah perebutan kekuasaan di antara putra-putri
Hayam Wuruk. Kemelut politik pertama meletus pada tahun 1401. Seorang raja daerah dari
bagian timur, yaitu Bhre Wirabhumi memberontak terhadap Raja Wikramawardhana. Raja
Wikramawardhana adalah suami Kusumawardhani yang berhak mewarisi takhta kerajaan
ayahnya (Hayam Wuruk), sedangkan Bhre Wirabhumi adalah putra Hayam Wuruk dari selir.
Dalam kitab Pararaton, pertikaian antarkeluarga itu disebut Perang Paregreg. Pasukan Bhre
Wirabhumi dapat dihancurkan dan ia terbunuh oleh Raden Gajah.
Wikramawardhana wafat pada tahun 1429 dan digantikan oleh putrinya yang bernama Suhita.
Penobatan Suhita menjadi Raja Majapahit dimaksudkan untuk meredakan pertikaian keluarga
tersebut. Namun, benih balas dendam sudah telanjur tertanam pada keluarga Bhre
Wirabhumi. Akibatnya, pada tahun 1433 Raden Gajah dibunuh karena dipersalahkan telah
membunuh Bhre Wirabhumi. Hal itu menunjukkan bahwa pertikaian antarkeluarga Majapahit
terus berlangsung.
Sepeninggal Kertawijaya, pemerintahan Majapahit dipegang oleh Bhre Pamotan dengan gelar
Sri Rajawarddhana. Rajawarddhana juga disebut Sang Sinagara. Dalam kitab Pararaton
disebutkan bahwa ia berkedudukan di Keling, Kahuripan. Ini lebih dikuatkan lagi oleh
Prasasti Waringin Pitu yang dikeluarkan oleh Kertawijaya (1447).
Berkembangnya agama Islam di pesisir utara Jawa yang kemudian diikuti berdirinya
Kerajaan Demak mempercepat kemunduran Kerajaan Majapahit. Raja dan pejabat penting
Demak adalah keturunan Raja Majapahit yang sudah masuk Islam. Mereka masih
menyimpan dendam nenek moyangnya sehingga Majapahit berusaha dihancurkan. Peristiwa
itu terjadi pada tahun 1518–1521. Penyerangan Demak terhadap Majapahit itu dipimpin oleh
Adipati Unus (cucu Bhre Kertabhumi).
B. Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh rakyat dan pemerintah Kerajaan Majapahit adalah
sebagai berikut.
1. Di Pulau Jawa dititikberatkan pada sektor pertanian rakyat yang banyak menghasilkan
bahan makanan.
2. Di luar Jawa, terutama bagian timur (Maluku), dititikberatkan pada tanaman rempah-
rempah dan tanaman perdagangan lainnya.
3. Di sepanjang sungai-sungai besar berkembang kegiatan perdagangan yang
menghubungkan daerah pantai dan pedalaman.
4. Di kota-kota pelabuhan, seperti Tuban, Gresik, Sedayu, Ujung Galuh, Canggu, dan
Surabaya, dikembangkan perdagangan antarpulau dan dengan luar negeri, seperti
Cina, Campa, dan India.
5. Dari kota-kota pelabuhan, pemerintah menerima bea cukai, sedangkan dari raja-raja
daerah pemerintah menerima pajak dan upeti dalam jumlah yang cukup besar.
Perekonomian yang maju ini membuat rakyat hidup sejahtera dan keluarga raja beserta para
pejabat negara lebih makmur lagi.
C. Kehidupan Sosial-Budaya
Kehidupan sosial masa Majapahit aman, damai, dan tenteram. Dalam kitab Negarakrtagama
disebutkan bahwa Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah untuk
mengetahui sejauh mana kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Perlindungan terhadap
rakyat sangat diperhatikan. Demikian juga peradilan, dilaksanakan secara ketat; siapa yang
bersalah dihukum tanpa pandang bulu.
Dalam kondisi kehidupan yang aman dan teratur maka suatu masyarakat akan mampu
menghasilkan karya-karya budaya yang bermutu tinggi. Hasil budaya Majapahit dapat
dibedakan sebagai berikut.
1. Candi
Banyak candi peninggalan Majapahit, seperti Candi Penataran (di Blitar), Candi Brahu, Candi
Bentar (Waringin Lawang), Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, dan bangunan-bangunan kuno
lainnya, seperti Segaran dan Makam Troloyo (di Trowulan).
2. Kesusanteran
Zaman Majapahit bidang sastra sangat berkembang. Hasil sastranya dapat dibagi menjadi
zaman Majapahit Awal dan Majapahit Akhir.
Akibat sumber-sumber sejarah yang sangat terbatas, aspek kehidupan politik tentang
Kerajaan Sunda/Pajajaran hanya sedikit saja yang diketahui. Aspek kehidupan politik yang
diketahui terbatas pada perpindahan pusat pemerintahan dan pergantian takhta raja. Secara
berurutan pusat-pusat kerajaan itu adalah Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan
Pajajaran.
1. Kerajaan Galuh
Sejarah di Jawa Barat setelah Tarumanegara tidak banyak diketahui. Kegelapan itu sedikit
tersingkap oleh Prasasti Canggal yang ditemukan di Gunung Wukir, Jawa Tengah berangka
tahun 732 M. Prasasti Canggal dibuat oleh Sanjaya sebagai tanda kebesaran dan
kemenangannya. Prasasti Canggal menyebutkan bahwa Sanjaya adalah anak Sanaha, saudara
perempuan Raja Sanna. Dalam kitab Carita Parahyangan juga disebutkan nama Sanjaya.
Menurut versi kitab Carita Parahyangan, Sanjaya adalah anak Raja Sena yang berkuasa di
Kerajaan Galuh.
Sena adalah anak Mandiminyak dari hasil hubungan gelap dengan Pwah Rababu, istri
Rahyang Sempakwaja yang merupakan kakak sulung Mandiminyak, sebagai Raja Galuh.
Diduga karena raja tidak mempunyai putra mahkota, setelah Mandiminyak mangkat, Sena
diangkat menjadi raja. Raja Sena berkuasa selama tujuh tahun. Suatu ketika Raja Sena
diserang oleh Rahyang Purbasora (saudara seibu) dan mengalami kekalahan. Akibatnya, Raja
Sena diasingkan ke Gunung Merapi beserta keluarganya. Di sinilah anaknya lahir dan diberi
nama Sanjaya. Setelah dewasa, Sanjaya mencari perlindungan kepada saudara tua ayahnya di
Denuh. Akhirnya, Sanjaya berhasil mengalahkan Purbasora, kemudian naik takhta di
Kerajaan Galuh.
Menurut naskah Kropak 406, Sanjaya disebut sebagai Harisdarma yang menjadi menantu
Raja Tarusbawa (Tohaan di Sunda). Sanjaya kemudian diangkat menjadi raja menggantikan
Tarusbawa. Di Jawa Barat, selain Kerajaan Galuh masih ada pusat kerajaan lain, yaitu
Kerajaan Kuningan yang diperintah oleh Sang Sowokarma. Agama yang berkembang pada
masa Kerajaan Galuh adalah Hindu Syiwa. Hal itu dinyatakan dengan jelas pada Prasasti
Canggal. Raja Galuh juga menganut Sewabakti ring Batara Upati (upati = utpata = nama lain
dari Dewa Yama yang identik dengan Syiwa).
Nama Sunda muncul lagi pada Prasasti Sahyang Tapak yang ditemukan di Pancalikan dan
Bantarmuncang daerah Cibadak, Sukabumi. Prasasti itu berangka tahun 952 Saka (1030 M),
berbahasa Jawa Kuno dengan huruf Kawi. Nama tokoh yang disebut adalah Maharaja Sri
Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabhuwanaman-daleswaranindita
Haro Gowardhana Wikramottunggadewa, sedangkan daerah kekuasaannya disebut Prahajyan
Sunda.
Prasasti Sanghyang Tapak, antara lain menyebutkan bahwa pada tahun 1030 Jayabhupati
membuat daerah larangan di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan itu berupa
sebagian sungai yang siapa pun dilarang mandi dan menangkap ikan di dalamnya. Siapa pun
yang melanggar larangan akan terkena kutukan yang mengerikan, misalnya akan terbelah
kepalanya, terminum darahnya, atau terpotong-potong ususnya.
Berdasarkan gelarnya yang menunjukkan persamaan dengan gelar Airlangga di Jawa Timur
dan masa pemerintahannya pun bersamaan, ada dugaan bahwa di antara kedua kerajaan
tersebut ada hubungan atau pengaruh. Akan tetapi, Jayabhupati berulang kali menyatakan
bahwa dirinya adalah haji ri Sunda (raja di Sunda). Jadi, Jayabhupati bukan raja bawahan
Airlangga. Sementara itu, perihal kutukan bukanlah sesuatu yang biasa terdapat pada prasasti
yang berbahasa Sunda sehingga kemungkinan Jayabhupati bukan orang Sunda asli.
Agama yang dianut Sri Jayabhupati adalah Hindu Waisnawa. Ini ditunjukkan oleh gelarnya
(Wisnumurti). Gelar ini ternyata sama pula dengan agama yang dianut Raja Airlangga.
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa agama resmi yang dianut penduduk Jawa pada
awal abad ke-11 adalah Hindu Waisnawa.
Pada zaman pemerintahan siapa pusat Kerajaan Sunda mulai berada di Kawali tidak diketahui
secara pasti. Akan tetapi, menurut prasasti di Astanagede (Kawali), diketahui bahwa setidak-
tidaknya pada masa pemerintahan Rahyang Niskala Wastu Kancana pusat kerajaan sudah
berada di situ. Istananya bernama Surawisesa. Raja telah membuat selokan di sekeliling
keraton dan mendirikan perkampungan untuk rakyatnya.
Menurut kitab Pararaton, pada tahun 1357 Masehi terjadi peristiwa Pasundan–Bubat atau
Perang Bubat, yaitu peperangan antara Sunda dan Majapahit. Pada masa itu Sunda diperintah
oleh Prabu Sri Baduga Maharaja (ayah Wastu Kancana) dan Majapahit diperintah oleh Raja
Hayam Wuruk. Pada pertempuran itu Prabu Maharaja gugur. Ketika Perang Bubat terjadi,
Wastu Kancana masih kecil sehingga pemerintahannya untuk sementara diserahkan kepada
pengasuhnya, yaitu Hyang Bunisora. Ia menjalankan pemerintahan selama 14 tahun (1357–
1371).
Wastu Kancana setelah dewasa menerima kembali tampuk pemerintahan dari Hyang
Bunisora. Wastu Kancana memerintah cukup lama (1371–1471) karena masyarakat
mendukungnya. Wastu Kancana didukung masyarakat karena selalu menjalankan agama
dengan baik dan sangat memperhatikan kesejahteraan rakyatnya. Setelah mangkat, Raja
Wastu Kancana dimakamkan di Nusalarang.
Penggantinya adalah putranya sendiri, Tohaan di Galuh atau Rahyang Ningrat Kancana. Raja
Rahyang Ningrat Kancana memerintah hanya tujuh tahun (1471–1478). Pemerintahan Raja
Rahyang Ningrat Kancana berakhir karena salah tindak, yaitu mencintai wanita terlarang dari
luar. Setelah mangkat, raja itu dimakamkan di Gunung Tiga.
Jatuhnya Sunda Kelapa, pelabuhan terbesar Kerajaan Sunda ke tangan pasukan Islam pada
tahun 1527 menyebabkan terputusnya hubungan antara Portugis dan Kerajaan Sunda.
Keadaan itu ikut melemahkan pertahanan Sunda sehingga satu demi satu pantainya jatuh ke
tangan musuh. Keadaan makin buruk karena Prabu Ratudewanata lebih berkonsentrasi
sebagai pendeta dan kurang memperhatikan kesejahteraan rakyat. Adapun penggantinya,
Sang Ratu Saksi yang memerintah tahun 1443–1551 adalah raja yang kejam dan gemar
“main wanita”. Demikian pula penggantinya, Tohaan di Majaya yang memerintah tahun
1551–1567, suka memperindah istana, berfoya-foya, dan mabuk-mabukan. Oleh karena itu,
pada masa pemerintahan Raja Nuisya Mulya Kerajaan Sunda sudah tidak mungkin
dipertahankan lagi dan akhirnya jatuh ke tangan orang-orang Islam. Sejak tahun 1579
tamatlah riwayat Kerajaan Sunda di Jawa Barat.
B. Kehidupan Ekonomi
Pada masa kekuasaan raja-raja Sunda, kehidupan sosial ekonomi masyarakat cukup
mendapatkan perhatian. Meskipun pusat kekuasan Kerajaan Sunda berada di pedalaman,
namun hubungan dagang dengan daerah atau bangsa lain berjalan baik. Kerajaan Sunda
memiliki pelabuhanpelabuhan penting, seperti Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda
kelapa, dan Cimanuk. Di kota-kota pelabuhan tersebut diperdagangkan lada, beras, sayur-
sayuran, buah-buahan, dan hewan piaraan.
C. Kehidupan Sosial-Budaya
3. Kelompok Ekonomi
Hasil budaya masyarakat Kerajaan Sunda yang lain berupa karya sastra, baik tulis maupun
lisan. Bentuk sastra tulis, misalnya Carita Parahyangan; sedangkan bentuk satra lisan berupa
pantun, seperti Haturwangi dan Siliwangi.
A. Kehidupan Politik
Berita tertua mengenai Bali bersumber dari Bali sendiri, yakni berupa beberapa buah cap
kecil dari tanah liat yang berukuran 2,5 cm yang ditemukan di Pejeng, Bali. Cap-cap itu
dibuat pada abad ke-8 M. Adapun prasasti tertua di Bali berangka tahun 882 M,
memberitakan perintah membuat pertapaan dan pasanggrahan di Bukit Cintamani. Di dalam
prasasti tersebut tidak ditulis nama raja yang memerintah pada masa itu. Demikian juga
prasasti yang berangka tahun 911 M, yang isinya memberikan izin kepada penduduk Desa
Turunan untuk membangun tempat suci bagi pemujaan Bhattara Da Tonta.
Munculnya Kerajaan Bali dapat diketahui dari prasasti Blancong (Sanur) yang berangka
tahun 914 M. Prasasti tersebut ditulis dengan huruf Pranagari dan Kawi, sedang bahasanya
ialah Bali kuno dan Sanskerta. Raja Bali yang pertama ialah Kesari Warmadewa. Ia bertakhta
di istana Singhadwala dan ialah raja yang mendirikan Dinasti Warmadewa. Dua tahun
kemudian, Kesari Warmadwa digantikan oleh Ugrasena (915-942). Raja Ugrasena bertakhta
di istana Singhamandawa. Masa pemeritahannya sezaman dengan pemerintahan Empu
Sendok dari keluarga Isana di Jawa Timur (Baca: Kerajaan Mataram Dinasti Isana). Raja
Ugrasena meninggalkan 9 prasasti, yang umumnya berisi tentang pembebasan pajak untuk
daerah-daerah tertentu.
Raja yang memerintah setelah Ugrasena adalah Aji Tabanendra Warmadewa ( 955-967). Raja
ini memerintah bersama-sama permaisurinya yang bernama Sri Subadrika Dharmadewi.
Pengganti berikutnya ialah Jaya singha Warmadewa (968-975). Raja ini membangun sebuah
pemandian dari sebuah mata air yang ada di Desa Manukaya. Pemandian itu disebut Tirtha
Empul yang terletak di dekat Tampaksiring.
Raja Jayasingha digantikan oleh Janasadhu Warmadewa (975-983). Pada tahun 983 muncul
seorang raja wanita yang bernama Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Pengganti Sri Wijaya
Mahadewi ialah Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama permaisurinya, yaitu
Gunapriya Dharmapatni yang lebih dikenal sebagai Mahendradatta. Udayana memerintah
bersama permaisurinya sampai tahun 1001 M, sebab pada tahun itu Mahendradatta
meninggal. Udayana meneruskan pemerintahannya sampai tahun 1011 M.
Raja Bali selanjutnya adalah Udayana. Berdasarkan namanya Udayana diduga merupakan
raja yang besar wibawa dan pengaruhnya. Udayana berarti “penyampai wahyu”, seperti
matahari yang memberikan sinar terang kepada umat manusia. Udayana menikah dengan
Mahendradatta (ada yang menyebutnya Sri Gunaprya Darmapatni), saudara perempuan
Darmawangsa Teguh dari Medang Kamulan di Jawa Timur. Perkawinan mereka
membuahkan beberapa putra: Airlangga, Marakata, dan Anak Wungsu. Airlangga sebagai
anak sulung menikahi salah seorang puteri Raja Darmawangsa Teguh (Airlangga mengawini
sepupunya sendiri). Setelah Dharmawangsa tewas akibat pemberontakan Wura-wuri,
Airlangga mengambil alih kekuasaan Medang Kamulan dan memindahkan ibukota ke
Kahuripan.
Setelah meninggal Udayana dimakamkan di Banuwka, ia digantikan oleh puteranya,
Dharmawangsa Marakata. Marakata wafat pada tahun 1025 M dan dimakamkan di Camara di
kaki Gunung Agung. Sedangkan ibunya, Mahendradatta, wafat pada tahun 1010 dan
dimakamkan di Burwan dekat Gianyar yang diarcakan sebagai Dewi Durga.
Sepeninggal Marakata, takhta Bali dipegang oleh Anak Wungsu, adiknya. Anak Wungsu
mulai memerintah pada 1049. Selama pemerintahannya, ia meninggalkan 28 buah prasasti, di
antaranya Prasasti Gua Gajah, Gunung Penulisan, dan Sangit. Menurut pemberitaan prasasti-
prasasti tersebut, Anak Wungsu dicintai rakyatnya dan dianggap penjelmaan Dewa Wisnu. Ia
memerintah selama 28 tahun, sampai tahun 1077, dan wafat pada tahun 1080 M dan
dimakamkan di Candi Padas Tampaksiring.
Anak Wungsu kemudian digantikan oleh Sri Maharaja Walaprabu yang diduga memerintah
tahun 1079-1088. Berbeda dengan raja-raja Bali sebelumnya yang memakai gelar Sang Ratu
atau Paduka Haji, Walaprau malah menggunakan gelar Sri Maharaja yang berbau Sansekerta.
Raja yang terkenal dari Bali adalah Jayapangus yang berkuasa dari tahun 1177 hingga 1181.
Sebanyak 35 prasasti tentang Jayapangus telah ditemukan. Dalam menjalankan roda
pemerintahannya, Jayapangus dibantu oleh dua orang permasyurinya, yaitu Sri Prameswari
Indujaketana dan Sri Mahadewi Sasangkajacinhna. Kitab yang digunakan sebagai hukum
adalah Manawakamandaka, yang sering disebut pula Manawasasana Dharma.
Raja Bali yang terakhir adalah Paduka Bhatara Parameswara Sri Hyang ning Hyang
Adedewalancana (1260-1324). Tahaun 1282, Bali diserang oleh raja Singasari, Kretanegara.
Setelah itu Bali berada dalan kekuasaan Majapahit. Pada masa runtuhnya Majapahit banyak
bangsawan, pendeta, pedagang, seniman, dan rakyat lainnya yang pindah ke Bali untuk
menghindari islamisasi di Jawa. Maka dari itu, hingga sekarang mayoritas penduduk Bali
penganut Hindu sebagai pengaruh Majapahit yang Hindu.
B. Kehidupan Ekonomi
Kegiatan ekonomi masyarakat Bali dititikberatkan pada sektor pertanian. Hal itu didasarkan
pada beberapa prasasti Bali yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bercocok
tanam. Beberapa istilah itu, antara lain sawah, parlak (sawah kering), kebwan (kebun), gaga
(ladang), dan kasuwakan (irigasi).
Di luar kegiatan pertanian pada masyarakat Bali juga ditemukan kehidupan sebagai berikut.
Mereka mempunyai kepandaian membuat kerajaan perhiasan dari bahan emas dan
perak, membuat peralatan rumah tangga, alat-alat pertanian, dan senjata.
2. Undagi
3. Pedagang
Pedagang pada masa Bali Kuno dibedakan atas pedagang laki-laki (wanigrama) dan
pedagang perempuan (wanigrami). Mereka sudah melakukan perdagangan antarpulau
(Prasasti Banwa Bharu).
C. Kehidupan Sosial-Budaya
Struktur masyarakat yang berkembang pada masa Kerajaan Bali Kuno didasarkan pada hal
sebagai berikut.
Sesuai dengan kebudayaan Hindu di India, pada awal perkembangan Hindu di Bali
sistem kemasyarakatannya juga dibedakan dalam beberapa kasta. Namun, untuk
masyarakat yang berada di luar kasta disebut budak atau njaba.
Pewarisan harta benda dalam suatu keluarga dibedakan atas anak laki-laki dan anak
perempuan. Anak laki-laki memiliki hak waris lebih besar dibandingkan anak
perempuan.
3. Sistem Kesenian
Kesenian yang berkembang pada masyarakat Bali Kuno dibedakan atas sistem
kesenian keraton dan sistem kesenian rakyat.
Masyarakat Bali Kuno meskipun sangat terbuka dalam menerima pengaruh dari luar,
mereka tetap mempertahankan tradisi kepercayaan nenek moyangnya. Dengan
demikian, di Bali dikenal ada penganut agama Hindu, Buddha, dan kepercayaan
animisme.