KERAJAAN HINDU-BUDHA
DI INDONESIA
Disusun oleh :
Zahratul Almaqia
Winda Putri Andini
Nabila Uswatun Hasanah
Mardatila
Juntera
Muhammad Salim Abdullah
1. Teori Waisya
Teori ini, dikemukakan oleh N. J. Krom, didasarkan pada alasan bahwa motivasi
terbesar datangnya bangsa India ke Indonesia adalah untuk berdagang. Golongan terbesar
yang datang ke Indonesia adalah para pedagang India (kasta waisya). Mereka bermukim
di Indonesia, bahkan menikah dengan orang Indonesia. Selanjutnya, mereka aktif
melakukan hubungan sosial, tidak saja dengan masyarakat Indonesia secara umum, tetapi
juga dengan pemimpin kelompok masyarakat. Lewat interaksi itu, mereka menyebarkan
dan memperkenalkan agama dan kebudayaan.
Teori waisya diragukan kebenarannya. Jika para pedagang yang berperan terhadap
penyebaran kebudayaan, pusat-pusat kebudayaan mestinya hanya terdapat di wilayah
perdagangan, seperti di pelabuhan atau di pusat kota yang ada di dekatnya.
Kenyataannya, pengaruh kebudayaan Hindu ini banyak terdapat di wilayah pedalaman,
dibuktikan dengan adanya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu di pedalaman Pulau Jawa.
2. Teori Kesatria
Menurut teori yang dikemukakan F. D. K Bosch dan J. L. Moens ini, pada masa
lampau, di India, sering terjadi perang antargolongan. Para prajurit yang kalah atau jenuh
menghadapi perang lantas meninggalkan India. Rupanya, di antara mereka, ada pula yang
sampai ke wilayah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian berusaha mendirikan koloni-
koloni baru sebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu pula, terjadi proses penyebaran
agama dan budaya Kelemahan teori ini adalah tidak adanya bukti tertulis bahwa pernah
terjadi kolonisasi oleh para kesatria India.
3. Teori Brahmana
Menurut teori yang dikemukakan J. C. Van Leur ini, para undangan mereka
kekuasaan brahmana datang dari India ke Indonesia atas pemimpin suku dalam rangka
melegitimasi sehingga setaraf dengan raja-raja di India. Teori ini pada pengamatan
terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan. Kerajaan bercorak Hindu di Indonesia, terutama
prasast kerajaan berbahasa Sanskerta dan huruf Pakiwa.
Teori ini pun diragukan kebenarannya. Alasannya, kendati benar hanya para
brahmana yang dapat membaca dan menguasai Weda, para pendeta Hindu itu pantang
menyeberangi lautan.
4. Teori Arus Balik
Menurut teori yang dikemukakan oleh G. Coedes ini, berkembangnya pengaruh
dan kebudayaan India ini dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia
mempunyai kepentingan untuk datang dan berkunjung ke India, seperti mempelajari
agama Hindu dan Buddha. Sekembalinya dari India, mereka membawa pengetahuan
tentang agama dan kebudayaan di India.
Banyak orang lebih meyakini teori arus balik masih memerlukan banyak bukti
lagi untuk memperkuat kebenarannya.
Sementara itu, sekitar abad V, agama Buddha mulai dikenal di Indonesia. Pada
akhir abad V, seorang biksu Buddha dari India mendarat di sebuah kerajaan di Pulau
Jawa, tepatnya di Jawa Tengah sekarang. Pada akhir abad VII, I Tsing, peziarah Buddha
dari Tiongkok, berkunjung ke Pulau Sumatra, kala itu disebut Swarnabhumi, tepatnya di
Kerajaan Sriwijaya. Ia menemukan bahwa ajaran Buddha diterima luas oleh rakyat,
dengan Sriwijaya sebagai pusat penting pembelajaran ajaran buddha.
B. Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia
1. Kerajaan Salakanagara
Keberadaan Salakanagara yang tertulis di dalam naskah Wangsakerta
menyebutkan seseorang yang bernama Dewawarman, yang ternyata merupakan seorang
utusan dari Maharaja Pallawa dari India. Sebagai utusan raja, Dewawarman telah banyak
mengunjungi kerajaan-kerajaan lain, seperti di sejumlah kerajaan di wilayah Tiongkok
dan Abbasiyah (Mesopotamia). Ketika berkunjung ke Nusantara, sampailah ia di perairan
laut sekitar Teluk Lada, yang berdekatan dengan wilayah Salakanagara. Saat itu, ia
melihat sekelompok bajak laut yang sedang mengganggu kegiatan perdagangan
antarnegeri di wilayah tersebut. Dewawarman kemudian bersama-sama dengan
pasukannya berhasil menumpas para bajak laut tersebut. Keberadaan dari para bajak laut
Ini sekaligus menjadi bukti bahwa pada masa sekitar abad 1 Masehi di wilayah tersebut
telah berlangsung aktivitas kemaritiman dan perdagangan antarpulau.
Dewawarman kemudian menjadikan dirinya sebagai raja pertama di Salakanagara
dan memerintah pada 130-168 M, dengan Teluk Lada (Pandeglang, Banten) yang menjadi
pusat kerajaan.Pada 150 M, Ptolomeus dari Yunani menyebut nama Argyre dalam salah
satu peta dunia, yang kemudian merujuk pada Salakanagara. Setelah Dewawarman wafat
pada 168 M, Salakanagara selanjutnya diperintah oleh keturunannya. Pada saat
Dewawarman VII memerintah, diberitakan kerajaan ini berada dalam masa kejayaannya.
Kerajaan Salakanagara mengalami keruntuhan pada 362 M yang diperkirakan sebagai
akibat serangan dari Kerajaan Tarumanegara. Yang rajanya sebenarnya masih merupakan
keturunan Raja Dewawarman juga.
2. Kerajaan Kutai
3. Kerajaan Tarumanagara
Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan
Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad VII-XVI) pernah
berdiri di wilayah barat Pulau Jawa, meliputi Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan
sebagian Jawa Tengah sekarang. Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian
selatan Pulau Sumatra. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat
sekarang.
5. Kerajaan Sriwijaya
a. Lokasi dan Sumber Sejarah
Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari (maritim) bercorak Buddha yang
pernah berdiri di Pulau Sumatra dan memberi banyak pengaruh di Nusantara. Daerah
kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand selatan, Semenanjung Malaya,
Sumatra, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya”
atau “gemilang”, dan wijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama
Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gilang-gemilang”. Meskipun dikenal kuat secara
ekonomi dan militer, nyaris tidak ada bukti yang menunjukkan letak persis kerajaan ini di
Sumatra.
Berdasarkan tulisan pada Prasasti Ligor (775 M), disebutkan raja Sriwijaya,
Dharmasetu, mendirikan pelabuhan di Semenanjung Melayu di dekat Ligor. La juga
membangun sejumlah bangunan suci agama Buddha.
Masyarakat Sriwijaya sebagian besar hidup dari perdagangan dan pelayaran.
Letaknya strategis, yaitu berada di jalur perdagangan antara India dan Tiongkok. Hal ini
menjadi salah satu faktor Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan maritim yang penting
di Sumatra, bahkan menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok.
Hasil bumi yang diperdagangkan, antara lain kemenyan, lada, damar, penyu, dan barang-
barang logam, seperti emas dan perak, dan gading gajah. Orang Arab bahkan menyebut
aneka komoditas lain, seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala, kapulaga, gading,
emas, dan timah. Sementara itu, pedagang asing menukar barang-barang tersebut dengan
keramik, kain katun, dan sutra.
Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya. Dalam rangka menjaga
monopoli perdagangan, Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar
pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala
Sriwijaya. Ligor, Tanah Genting Kra, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Sunda, misalnya,
berhasil ditaklukkan dan menjadi kerajaan-kerajaan bawahan (vasal) Sriwijaya. Dengan
banyaknya kerajaan bawahan, Sriwijaya menikmati banyak upeti. Pada akhir abad IX,
Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara,
seperti Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting Kra (wilayah
Thailand dan Myanmar)Alhasil, aman dan makmur.
Rakyatnya hidup dengan Kerajaan ini mencapai zaman keemasan di bawah Raja
Balaputradewa yang berkuasa sekitar pertengahan abad IX (850-an M). Raja ini menjalin
hubungan dengan kerajaan-kerajaan di India (Benggala dan Colamandala dan kekaisaran
Tiongkok.
6. Kerajaan Kalingga
Pada tahun 664 M, di Ho-ling datang seorang pendeta Tiongkok yang bermaksud
menerjemahkan kitab suci agama Buddha. Sesampainya di sana, ia mendapat bantuan
dari pendeta Ho-ling bernama Janabadhra. Hal ini menunjukkan kerajaan ini memiliki
peran penting dalam pengembangan agama Buddha.
7. Kerajaan Mataram
Sumber sejarah tentang kerajaan ini adalah PrasastinParadah (943 M) dan Prasasti
Anjukladang (973 M). Keduanya menyebutkan nama ibu kota Kerajaan Medang, yakni
Watugaluh, sekarang sebuah desa di dekat Jombang di tepi aliran Sungai Brantas.
Kerajaan bercorak Hindu ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram. Pada abad X,
kerajaan ini dipindahkan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana
Wikramadharmottunggadewa alias Mpu Sindok ke Jawa Timur; karena itu, disebut juga
Kerajaan Medang periode Jawa Timur.
Pada tahun 1016 M, kerajaan ini mengalami pralaya atau malapetaka. Ketika pesta
pernikahan antara putri Dharmawangsa dan Airlangga (hasil pernikahan Mahendradatta
dengan Raja Udayana dari Bali) sedang berlangsung, tiba-tiba Kota Watan diserbu Raja
Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang Desa Ngloram, Cepu, Blora), sekutu
Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa dan seluruh anggota keluarga
istana tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (Wanagiri) ditemani
pembantu setianya, Mpu Narotama. Di sana, ia menjalani hidup sebagai pertapa. Tidak
lama kemudian, Airlangga dinobatkan sebagai raja oleh para pendeta pada tahun 1019 M
dan membangun pusat kerajaan di Kahuripan, Sidoarjo (kelak dipindahkan lagi ke Daha,
Kediri). Namun, wilayah kekuasaannya tidak seluas saat mertuanya berkuasa karena
sebagian wilayah tidak mau tunduk lagi kepada Airlangga. Dengan demikian, sejak tahun
1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya Seiring melemahnya Sriwijaya.
Langkah pertama yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk
menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas Pulau Jawa. Hal ini terwujud pada
tahun 1037. Semua wilayah Kerajaan Medang tunduk kepada Airlangga Selanjutnya, ia
memberi kedudukan (posisi) kepada setiap Srang yang berjasa terhadap kerajaan. Lebih
dari itu, ia dikenal sangat memperhatikan rakyat. Selama masa pemerintahannya
Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa pada 1035 M. Arjunkarya-karya sastra
berkembang, di antaranya kitab arjunawiwaha yang di tulis mpu kanwa pada 1035
M.Agama yang berkembang pada masa pemerintahan Airlangga adalah agama Hindu
beraliran Wisnu. Airlangga memang di anggap sebagai titisan dewa wisnu. Pada masa
pemerintahan nya berkembang banyak aliran keagamaan, seperti Hindu aliran Siwa dan
Buddhak Airlangga menolerir eksistensi semua aliran itu.
9. Kerajaan Kediri
Wilayah Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta Sungai Brantas
dengan pelabuhan meliputi Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Adapun wilayah Kediri
meliputi Kediri dan Madiun sekarang.
Kerajaan Kediri adalah kerajaan agraris dengan raja pertama Sri Samarawijaya,
yang kemudian digantikan oleh (secara berturut-turut) Sri Jayawarsa dan Bameswara.
Tidak ada catatan tertulis terutama tentang kedua nama terakhir ini.
Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur yang
didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan
berada di daerah Singasari, Malang. Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan
Singasari adalah Tumapel. Menurut Nagarakertagaman ketika pertama kali didirikan
tahun 1222, ibu kota KerajaanTumapel bernama Kutaraja. Nama Singasari yang
merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama TumapelNama
Tumapel juga muncul dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.
Raden Wijaya menghargai semua orang yang berjas terhadapnya dengan memberi
mereka kedudukan dalam pemerintahannya atau kekuasaan di daerah tertentu di
Majapahit.
Pengganti Raden Wijaya adalah Jayanegara (memerintah 1309-1328 M) yang
pada waktu itu masih berusia sekitar 15 tahun. Berbeda dari ayahnya, Jayanegara tidak
memiliki kecakapan memerintah, sehingga ia mendapat julukan “Kala Gemet” yang
berarti lemah dan jahat. Pemerintahan Jayanegara diwarnai banyak pemberontakan. Dari
seluruh pemberontakan tersebut, pemberontakan oleh salah seorang kepercayaan dan
penasihat raja (disebut golongan Dharmaputra) bernama Ra Kuti disebut-sebut sebagai
yang terbesar karena hampir berhasil menggulingkan Majapahit. Namun, Gajah Mada,
yang saat itu menjadi bhayangkara (sebutan untuk pasukan pengawal raja) berhasil
memadamkannya. Ia menyelamatkan Jayanegara dengan mengungsikannya sementara ke
sebuah desa bernama Badander. Jayanegara akhirnya meninggal akibat operasi (penyakit)
oleh seorang tabib bernama Tancha yang menaruh dendam terhadap Jayanegara. Tancha
kemudian dibunuh oleh Gajah Mada.