Anda di halaman 1dari 14

IPS-SEJARAH

KERAJAAN HINDU-BUDHA
DI INDONESIA

Disusun oleh :
Zahratul Almaqia
Winda Putri Andini
Nabila Uswatun Hasanah
Mardatila
Juntera
Muhammad Salim Abdullah

MAN BARITO UTARA


2023/2024
KERAJAAN HINDU-BUDDHA DI
INDONESIA

A. Masuknya Agama dan Kebudayaan Hindu


dan Buddha di Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan yang letaknya strategis karena berada di jalur
pelayaran yang menghubungkan negara- negara Barat dan Timur. Berlabuhnya kapal-
kapal dagang berbagai bangsa membuat masyarakat Indonesia tidak dapat menghindar
dari pengaruh luar.
Hubungan dagang antara Indonesia dan India terjadi sejak tahun 1 M. Hubungan
perdagangan ini diikuti pula oleh hubungan kebudayaan, seperti agama, sistem
pemerintahan, sosial, dan budaya sehingga terjadi percampuran kebudayaan di antara dua
bangsa tersebut. Hubungan itu membuat bangsa Indonesia mengenal agama Hindu dan
Buddha.
Berikut beberapa teori (hipotesis) terkait proses masuknya agama dan kebudayaan
Hindu dan Buddha ke Indonesia.

1. Teori Waisya
Teori ini, dikemukakan oleh N. J. Krom, didasarkan pada alasan bahwa motivasi
terbesar datangnya bangsa India ke Indonesia adalah untuk berdagang. Golongan terbesar
yang datang ke Indonesia adalah para pedagang India (kasta waisya). Mereka bermukim
di Indonesia, bahkan menikah dengan orang Indonesia. Selanjutnya, mereka aktif
melakukan hubungan sosial, tidak saja dengan masyarakat Indonesia secara umum, tetapi
juga dengan pemimpin kelompok masyarakat. Lewat interaksi itu, mereka menyebarkan
dan memperkenalkan agama dan kebudayaan.
Teori waisya diragukan kebenarannya. Jika para pedagang yang berperan terhadap
penyebaran kebudayaan, pusat-pusat kebudayaan mestinya hanya terdapat di wilayah
perdagangan, seperti di pelabuhan atau di pusat kota yang ada di dekatnya.
Kenyataannya, pengaruh kebudayaan Hindu ini banyak terdapat di wilayah pedalaman,
dibuktikan dengan adanya kerajaan-kerajaan bercorak Hindu di pedalaman Pulau Jawa.
2. Teori Kesatria
Menurut teori yang dikemukakan F. D. K Bosch dan J. L. Moens ini, pada masa
lampau, di India, sering terjadi perang antargolongan. Para prajurit yang kalah atau jenuh
menghadapi perang lantas meninggalkan India. Rupanya, di antara mereka, ada pula yang
sampai ke wilayah Indonesia. Mereka inilah yang kemudian berusaha mendirikan koloni-
koloni baru sebagai tempat tinggalnya. Di tempat itu pula, terjadi proses penyebaran
agama dan budaya Kelemahan teori ini adalah tidak adanya bukti tertulis bahwa pernah
terjadi kolonisasi oleh para kesatria India.
3. Teori Brahmana
Menurut teori yang dikemukakan J. C. Van Leur ini, para undangan mereka
kekuasaan brahmana datang dari India ke Indonesia atas pemimpin suku dalam rangka
melegitimasi sehingga setaraf dengan raja-raja di India. Teori ini pada pengamatan
terhadap sisa-sisa peninggalan kerajaan. Kerajaan bercorak Hindu di Indonesia, terutama
prasast kerajaan berbahasa Sanskerta dan huruf Pakiwa.
Teori ini pun diragukan kebenarannya. Alasannya, kendati benar hanya para
brahmana yang dapat membaca dan menguasai Weda, para pendeta Hindu itu pantang
menyeberangi lautan.
4. Teori Arus Balik
Menurut teori yang dikemukakan oleh G. Coedes ini, berkembangnya pengaruh
dan kebudayaan India ini dilakukan oleh bangsa Indonesia sendiri. Bangsa Indonesia
mempunyai kepentingan untuk datang dan berkunjung ke India, seperti mempelajari
agama Hindu dan Buddha. Sekembalinya dari India, mereka membawa pengetahuan
tentang agama dan kebudayaan di India.
Banyak orang lebih meyakini teori arus balik masih memerlukan banyak bukti
lagi untuk memperkuat kebenarannya.
Sementara itu, sekitar abad V, agama Buddha mulai dikenal di Indonesia. Pada
akhir abad V, seorang biksu Buddha dari India mendarat di sebuah kerajaan di Pulau
Jawa, tepatnya di Jawa Tengah sekarang. Pada akhir abad VII, I Tsing, peziarah Buddha
dari Tiongkok, berkunjung ke Pulau Sumatra, kala itu disebut Swarnabhumi, tepatnya di
Kerajaan Sriwijaya. Ia menemukan bahwa ajaran Buddha diterima luas oleh rakyat,
dengan Sriwijaya sebagai pusat penting pembelajaran ajaran buddha.

B. Kerajaan-Kerajaan Hindu-Buddha di
Indonesia
1. Kerajaan Salakanagara
Keberadaan Salakanagara yang tertulis di dalam naskah Wangsakerta
menyebutkan seseorang yang bernama Dewawarman, yang ternyata merupakan seorang
utusan dari Maharaja Pallawa dari India. Sebagai utusan raja, Dewawarman telah banyak
mengunjungi kerajaan-kerajaan lain, seperti di sejumlah kerajaan di wilayah Tiongkok
dan Abbasiyah (Mesopotamia). Ketika berkunjung ke Nusantara, sampailah ia di perairan
laut sekitar Teluk Lada, yang berdekatan dengan wilayah Salakanagara. Saat itu, ia
melihat sekelompok bajak laut yang sedang mengganggu kegiatan perdagangan
antarnegeri di wilayah tersebut. Dewawarman kemudian bersama-sama dengan
pasukannya berhasil menumpas para bajak laut tersebut. Keberadaan dari para bajak laut
Ini sekaligus menjadi bukti bahwa pada masa sekitar abad 1 Masehi di wilayah tersebut
telah berlangsung aktivitas kemaritiman dan perdagangan antarpulau.
Dewawarman kemudian menjadikan dirinya sebagai raja pertama di Salakanagara
dan memerintah pada 130-168 M, dengan Teluk Lada (Pandeglang, Banten) yang menjadi
pusat kerajaan.Pada 150 M, Ptolomeus dari Yunani menyebut nama Argyre dalam salah
satu peta dunia, yang kemudian merujuk pada Salakanagara. Setelah Dewawarman wafat
pada 168 M, Salakanagara selanjutnya diperintah oleh keturunannya. Pada saat
Dewawarman VII memerintah, diberitakan kerajaan ini berada dalam masa kejayaannya.
Kerajaan Salakanagara mengalami keruntuhan pada 362 M yang diperkirakan sebagai
akibat serangan dari Kerajaan Tarumanegara. Yang rajanya sebenarnya masih merupakan
keturunan Raja Dewawarman juga.

2. Kerajaan Kutai

a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Kutai (Kutai Martadipura) merupakan salah


satu kerajaan Hindu tertua di Indonesia. Berdiri
sekitar abad IV, kerajaan ini berlokasi di daerah
Kutai, Kalimantan Timur. Pusat pemerintahannya
diperkirakan di hulu Sungai Mahakam dengan
wilayah kekuasaan meliputi hampir seluruh wilayah
Kalimantan Timur.
Bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini
adalah temuan prasasti yang ditulis di atas tujuh buah
Yupa (tugu batu). Prasasti tersebut ditemukan antara tahun 1879 dan 1940 di daerah hulu
Sungai Mahakam.
Dari salah satu Yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan
Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya dicatat dalam Yupa karena
kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Prasasti-
prasasti tersebut tidak memiliki angka tahun. Namun, gaya bahasa dan ciri tulisan dalam
prasasti tersebut banyak digunakan di India sekitar abad IV.

b. Keadaan Masyarakat dan Kehidupan Sosial-Budaya


Dari letaknya yang tidak jauh dari pantai, Kutai . kemungkinan besar menjadi
tempat singgah kapal-kapal dagang India yang akan berlayar ke Tiongkok dengan melalui
Makassar dan Filipina.
Pada masa Kerajaan Kutai pula, mulai dikenal kebiasaan menulis di atas batu. Hal
ini keberlanjutan dari tradisi megalitik yang sudah ada sebelum masuknya pengaruh
Hindu, yaitu dalam bentuk menhir dan punden berundak. Hal ini dilakukan sebab di India
tidak ditemukan kebiasaan menulis di atas tugu batu. Di sini tampak terjadi percampuran
antara kebudayaan Hindu dan kebudayaan asli yang telah berkembang pada zaman
praaksara.
Kerajaan Kutai (bercorak Hindu) berakhir saat Raja Kutai Maharaja Dharma Setia
tewas di tangan Raja Kutai Kartanegara ke-13, yaitu Aji Pangeran Anum Panji Mendapa
(kerajaan Islam).

3. Kerajaan Tarumanagara

a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Kerajaan Hindu tertua lainnya adalah Kerajaan Tarumanagara. Letaknya di


wilayah Jawa Barat sekarang. Hal ini dibuktikan dengan adanya sejumlah prasasti di
kawasan sekitar Bogor (Prasasti Ciaruteun, Prasasti Kebon Kopi, Jambu, Pasir Awi, dan
Prasasti Muara Cianten), Prasasti Tugu di Cilincing (Jakarta Utara), dan Prasasti
Cidanghiang di Desa Lebak, Banten.
Kata taruma berasal dari kata tarum yang berarti nila. Sampai sekarang, nama ini
masih dapat kita jumpai sebagai nama sungai, yaitu Sungai Citarum. Raja yang
memerintah bernama Purnawarman. Sama dengan raja-raja di Kutai, Purnawarman
adalah asli orang Indonesia yang menggunakan nama India dan memeluk Hindu. Menurut
Prasasti Tugu, wilayah kekuasaannya meliputi hampir seluruh Jawa Barat, yaitu
membentang dari Banten, Jakarta, Bogor, hingga Cirebon.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Gambaran kondisi sosial-politik Kerajaan Tarumanagara didapat melalui tinggalan


prasasti-prasasti. Dalam Prasasti Ciaruteun atau Prasasti Ciampea terdapat cap telapak
kaki yang melambangkan kekuasaan atau penaklukan raja atas daerah tempat
ditemukannya prasasti tersebut. Raja Purnawarman diibaratkan Dewa Wisnu (dewa
pemelihara alam semesta), yang menunjukkan pada masa itu rakyat menganggap Raja
Purnawarman sebagai pemelihara dan pelindung rakyat. Tulisan ini juga menggambarkan
pemerintahan di Kerajaan Tarumanagara telah menerapkan konsep dewa raja: raja yang
memerintah disamakan dengan Dewa Wisnu.

4. Kerajaan Pajajaran (Sunda)


a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Pakuan Pajajaran atau Pakuan (Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan
Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama beberapa abad (abad VII-XVI) pernah
berdiri di wilayah barat Pulau Jawa, meliputi Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat, dan
sebagian Jawa Tengah sekarang. Kerajaan ini bahkan pernah menguasai wilayah bagian
selatan Pulau Sumatra. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di wilayah Bogor, Jawa Barat
sekarang.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Menurut Carita Parahyangan, Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada


tahun 669 (591 Saka). Sebelum berdiri sebagai kerajaan yang mandiri, Sunda merupakan
bawahan Tarumanagara. Raja Tarumanagara yang terakhir, Sri Maharaja Linggawarman
(memerintah 666-669 , memiliki dua anak, semuanya perempuan. Dewi Manasiha putri
sulungnya, menikah dengan Tarusbawa dari Sunda (Kerajaan bawahan Tarumanagara),
sedangkan yang kedua, Sobakancana, menikah dengan Dapunta Hyang Sri Janayasa,
teana, menikah dengan an Linggawarman meninggal, kekuasaan Tarumanagara turun
kepada menantunya, Tarusbawa. Hal ini menyebabkan penguasa Galuh, juga kerajaan
bawahan Tarumanagara, bernama Wretikandayun (612-702) memberontak, melepaskan
diri dari Tarumanagara serta mendirikan Kerajaamelepaskan ng mandiri. Tarusbawa juga
menginginkan Kerajaan Tarumanagara, dan selanjutnya memindanjutkan, at kekuasaan ke
Sunda, di hulu Sungai Cipakandahkan pupat Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane
berdekandalanan berjajar, dekat sedangkan Tarumanagara merupakan kerajaan
bawahannya. Sunda dan Galuh ini berbat men, dengan batas kerajaan adalah Sungai
Citarum (Sunda di sebelah barat, Galuh di sebelah timur). Pada masa pemerintahan
Sanna, raja ketiga Galuh, saudara Seibu sa masa pemerin turbasora melakukan kudeta.
Sanna meminta bantuan Tarusbawa, sahabat baiknya. Atas bantuan Tarusbawa, Sanjaya
berhasil merebut kembali takhta di Galuh. Hubungan baik ini berlanjut menjadi hubungan
kekeluargaan: putra Sanna, Sanjaya, menikahi putri Tarusbawa. Sepeninggal Tarusbawa,
Sanjaya menyatukan kembali Sunda dan Galuh. Ketika ia kembali ke Mataram untuk
meneruskan takhta ibunya (Sanaha), Sanjaya menyerahkan Sunda dan Galuh kepada
seorang putranya.
Dalam Prasasti Sang Hyang Tapak yang ditemukan di daerah Cibadak, Sukabumi,
Jawa Barat (berangka tahun 1030 M) yang menggunakan bahasa Jawa Kuno dan huruf
Kawi, disebutkan seorang raja bernama Maharaja Sri Jayabhupati dan berkuasa di
Prahajyan Sunda. Prahajyan Sunda di sini adalah sebutan lain untuk Kerajaan Sunda atau
Pajajaran, bukan sebuah kerajaan sendiri. Prasasti ini menyebutkan adanya pemujaan
terhadap tapak kaki. Terlihat juga bahwa Raja Jayabhupati memeluk agama Hindu aliran
Siwa.

5. Kerajaan Sriwijaya
a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Sriwijaya adalah salah satu kemaharajaan bahari (maritim) bercorak Buddha yang
pernah berdiri di Pulau Sumatra dan memberi banyak pengaruh di Nusantara. Daerah
kekuasaannya membentang dari Kamboja, Thailand selatan, Semenanjung Malaya,
Sumatra, Jawa, dan pesisir Kalimantan. Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya”
atau “gemilang”, dan wijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan”, maka nama
Sriwijaya bermakna “kemenangan yang gilang-gemilang”. Meskipun dikenal kuat secara
ekonomi dan militer, nyaris tidak ada bukti yang menunjukkan letak persis kerajaan ini di
Sumatra.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Berdasarkan tulisan pada Prasasti Ligor (775 M), disebutkan raja Sriwijaya,
Dharmasetu, mendirikan pelabuhan di Semenanjung Melayu di dekat Ligor. La juga
membangun sejumlah bangunan suci agama Buddha.
Masyarakat Sriwijaya sebagian besar hidup dari perdagangan dan pelayaran.
Letaknya strategis, yaitu berada di jalur perdagangan antara India dan Tiongkok. Hal ini
menjadi salah satu faktor Sriwijaya berkembang menjadi kerajaan maritim yang penting
di Sumatra, bahkan menjadi pengendali jalur perdagangan antara India dan Tiongkok.
Hasil bumi yang diperdagangkan, antara lain kemenyan, lada, damar, penyu, dan barang-
barang logam, seperti emas dan perak, dan gading gajah. Orang Arab bahkan menyebut
aneka komoditas lain, seperti kapur barus, kayu gaharu, cengkih, pala, kapulaga, gading,
emas, dan timah. Sementara itu, pedagang asing menukar barang-barang tersebut dengan
keramik, kain katun, dan sutra.
Sriwijaya harus terus menjaga dominasi perdagangannya. Dalam rangka menjaga
monopoli perdagangan, Sriwijaya menggelar ekspedisi militer untuk menaklukkan bandar
pelabuhan pesaing di kawasan sekitarnya dan menyerap mereka ke dalam mandala
Sriwijaya. Ligor, Tanah Genting Kra, Kelantan, Pahang, Jambi, dan Sunda, misalnya,
berhasil ditaklukkan dan menjadi kerajaan-kerajaan bawahan (vasal) Sriwijaya. Dengan
banyaknya kerajaan bawahan, Sriwijaya menikmati banyak upeti. Pada akhir abad IX,
Kerajaan Sriwijaya telah berhasil menguasai seluruh jalur perdagangan di Asia Tenggara,
seperti Selat Sunda, Selat Malaka, Selat Karimata, dan Tanah Genting Kra (wilayah
Thailand dan Myanmar)Alhasil, aman dan makmur.
Rakyatnya hidup dengan Kerajaan ini mencapai zaman keemasan di bawah Raja
Balaputradewa yang berkuasa sekitar pertengahan abad IX (850-an M). Raja ini menjalin
hubungan dengan kerajaan-kerajaan di India (Benggala dan Colamandala dan kekaisaran
Tiongkok.

6. Kerajaan Kalingga

a. Lokasi dan Sumber Sejarah


Kalingga adalah kerajaan bercorak Buddha di Jawa Tengah yang berdiri sekitar
abad VII. Nama “Kalingga berasal dari sebuah nama kerajaan yang terdapat di wilayah
India selatan. Lokerajaan yang diperdebatkan, kemungkinan di sekitar Blora dan Cepu
(Jawa Tengah).
Sumber sejarah kerajaan ini kebanyakan diperoleh dari sumber Tiongkok, tradisi
atau kisah setempat, dan naskah Carita Parahyangan kisah disusun berabad-abad
kemudian. Sumberan yang manuskrip Tiongkok ditulis pada masa Dinasti Tang, oleh I
Tsing yang menyebut kerajaan ini dengan nama Ho-ling (Kalingga) dan berlokasi di Cho-
po (Jawa). Di dalam catatan itu, disebutkan, misalnya, hal hal sebagai berikut.

1) Kalingga terletak di Jawa, tepatnya di Laut Selatan. Kerajaan ini berada di


antara Kamboja di sebelah utara, Bali di sebelah timur, dan Sumatra di sebelah
barat.
2) Ibu kota kerajaan pada waktu itu dikelilingi benteng yang terbuat dari tonggak
kayu.
3) Raja tinggal di istana kerajaan yang tersusun atas bangunan bertingkat yang
besar, mempunyai atap dari daun aren, serta singgasana dari gading gajah.
4) Penduduknya pandai membuat arak dari nira pohon kelapa.
5) Selain gading gajah dan cula, kerajaan ini menghasilkan banyak barang
tambang berupa perak dan emas.

Pada tahun 664 M, di Ho-ling datang seorang pendeta Tiongkok yang bermaksud
menerjemahkan kitab suci agama Buddha. Sesampainya di sana, ia mendapat bantuan
dari pendeta Ho-ling bernama Janabadhra. Hal ini menunjukkan kerajaan ini memiliki
peran penting dalam pengembangan agama Buddha.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Dapat diceritakan tentang kehidupan sosial-politik kerajaan an karena


keterbatasan sumber sejarah, tidak banyak yang Ini Berita Tiongkok hanya menyebutkan
kerajaan ini memiliki hasil bumi yang sangat laku diperdagangkan, seperti emas, perak,
cula badak, dan gading gajah. Disebutkan juga pada 674 M, Kerajaan ini dipimpin
seorang ratu bernama Sima yang memerintah dengan keras tetapi adil. Di bawah
pemerintahannya, rakyat hidup aman dan makmur.
Konon, sepeninggal Sima, Kalingga terbagi dua, yaitu Kalingga utara (dikenal
dengan nama Bumi Mataram) di bawah Sanaha (cucu Ratu Sima) dan Kalingga selatan
(Bumi Sambara) di bawah Dewasinga. Sanaha menikah dengan Bratasenawa atau Sanna
(raja ketiga Kerajaan Galuh), yang melahirkan Sanjaya. Sanjaya kelak menikahi putri
Dewasinga bernama Dewi Sudiwara yang melahirkan Rakai Panangkaran, raja kedua
Kerajaan Medang/Mataram Kuno.

7. Kerajaan Mataram

a. Lokasi dan Sumber Sejarah


Kerajaan Mataram (Mataram Kuno atau Mataram Hindu atau Kerajaan Medang
periode Jawa Tengah) adalah kelanjutan dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah sekitar
abad VIII, yang kemudian pindah ke Jawa Timur pada abad X. Sebutan “Mataram Kuno”
atau “Mataram Hindu” adalah untuk membedakannya dengan Kerajaan Mataram Islam
yang berdiri pada abad XVI. Kerajaan Mataram ini runtuh pada awal abad XI.
Kerajaan ini berlokasi di pedalaman Jawa Tengah, di sekitar daerah yang banyak
dialiri sungai, seperti Sungai Progo, Bogowonto, dan Bengawan Solo. Daerah ini juga
dikelilingi oleh pegunungan.
Sumber tertulis tentang kerajaan ini adalah Prasasti Canggal (732 M) dan Prasasti
Mantyasih. Keduanya menyebutkan seorang raja bernama Sanjaya memeluk agama Siwa
(Hindu). La membangun kuil pemujaan kepada Siwa yang berbentuk candi dengan hiasan
patung lembu. Kuil ini dipercaya sebagai kendaraan Dewa Siwa. Prasasti Canggal juga
menyebutkan beberapa hal, seperti pendirian sebuah lingga (pusat pemerintahan) di Desa
Kuntjarakunya oleh Raja Sanjaya, kondisi ekonomi Jawa yang kaya akan padi dan emas
(Jawadwipa), dan asal-usul Sanjaya. Menurut prasasti ini, Jawa mula-mula diperintah
oleh Raja Sanna (beristrikan Sanaha), raja ketiga Kerajaan Galuh. La memerintah dengan
bijaksana dalam waktu cukup lama. Setelah meninggal, ia digantikan oleh putranya
bernama Sanjaya. Sanjaya menciptakan pemerintahan yang aman, makmur, dan sentosa la
kemudian dianggap sebagai pendiri Dinasti (Wangsa) Sanjaya dan berkuasa di Kerajaan
Mataram dalam kurun waktu yang panjang.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Pengganti Sanjaya adalah Rakai Panangkaran. Kuat dugaan pada masa


pemerintahan Rakai Panangkaran inilah Dinasti Syailendra dari Sumatra (Kerajaan
Sriwijaya) menguasai Mataram dan menjadikan raja-raja dari Dinasti Sanjaya sebagai raja
bawahan Sriwijaya. Ada tiga sumber sejarah yang menguatkan hal ini.
Pertama, Prasasti Kalasan (Jawa) yang berangka tahun 778 M. Prasasti ini
menyebutkan Rakai Panangkaran mendapat perintah dari Maharaja Wisnu, raja dari
Dinasti Syailendra (Sriwijaya), untuk mendirikan Candi Kalasan (candi Buddha).
Diperkirakan Dinasti Syailendra menguasai Dinasti Sanjaya sekitar tahun itu. Dalam
prasasti itu, Rakai Panangkaran disebut sebagai Sailendrawangsatilaka atau “permata
Wangsa Sailendra”. Kuat dugaan, kendati telah menguasai Dinasti Sanjaya, Dinasti
(Wangsa) Syailendra tetap memperlakukan Dinasti Sanjaya dengan rasa hormat dan
memberi mereka kedudukan atau posisi penting di istana.
Kedua, Prasasti Kota Kapur (Sumatra)Berdasarkan prasasti ini, Sriwijaya telah
menguasai bagian selatan Sumatra, Pulau Bangka dan Belitung, hingga Lampung.
Prasasti ini juga menyebutkan Sri Jayanasa (Dapunta Hyang) telah melancarkan ekspedisi
militer untuk menghukum “Bhumi. Jawa” karena “Bhumi Jawa tidak mau tunduk pada
Sriwijaya”. “Bhumi Jawa” yang dimaksud adalah Kerajaan Tarumanagara. Kemungkinan
besar Kerajaan Mataram ikut dikuasai, dan menjadikan Rakai Panangkaran sebagai raja
bawahan Sriwijaya (Dinasti Syailendra).
Ketiga, menurut analisis atas Prasasti Mantyasih, dalam masa pemerintahannya,
Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi-candi, seperti Candi Sewu, Plaosan, dan
Kalasan. Dilihat dari struktur bangunannya, candi-candi tersebut bercorak agama Buddha.
Buddha adalah agama yang dianut di Kerajaan Sriwijaya. Kuat dugaan, Rakai
Panangkaran pindah ke agama Buddha ketika Mataram dikuasai Dinasti Syailendra
(Sriwijaya). Kendati demikian, di bawah Dinasti Syailendra, toleransi beragama di
Mataram tetap terjaga. Bangunan-bangunan candi menunjukkan hal tersebut. Contohnya,
candi-candi di wilayah Jawa Tengah bagian utara bercorak Hindu, sedangkan candi di
wilayah Jawa Tengah bagian selatan bercorak Buddha.
Menurut Prasasti Kelurah (782 M), sepeninggal Rakai Panangkaran, Mataram
diperintah oleh Raja Dharanindra atau Raja Indra (memerintah 782-812 M) dari Wangsa
Syailendra. Setelah Dharanindra, kekuasaan diwariskan kepada Raja Samaragrawira.
8. Kerajaan Medang Kamulan

a. Lokasi dan sumber sejarah

Sumber sejarah tentang kerajaan ini adalah PrasastinParadah (943 M) dan Prasasti
Anjukladang (973 M). Keduanya menyebutkan nama ibu kota Kerajaan Medang, yakni
Watugaluh, sekarang sebuah desa di dekat Jombang di tepi aliran Sungai Brantas.
Kerajaan bercorak Hindu ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram. Pada abad X,
kerajaan ini dipindahkan oleh Sri Maharaja Rakai Hino Sri Isana
Wikramadharmottunggadewa alias Mpu Sindok ke Jawa Timur; karena itu, disebut juga
Kerajaan Medang periode Jawa Timur.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Pada tahun 1016 M, kerajaan ini mengalami pralaya atau malapetaka. Ketika pesta
pernikahan antara putri Dharmawangsa dan Airlangga (hasil pernikahan Mahendradatta
dengan Raja Udayana dari Bali) sedang berlangsung, tiba-tiba Kota Watan diserbu Raja
Wurawari yang berasal dari Lwaram (sekarang Desa Ngloram, Cepu, Blora), sekutu
Kerajaan Sriwijaya. Dalam serangan itu, Dharmawangsa dan seluruh anggota keluarga
istana tewas, sedangkan Airlangga lolos ke hutan pegunungan (Wanagiri) ditemani
pembantu setianya, Mpu Narotama. Di sana, ia menjalani hidup sebagai pertapa. Tidak
lama kemudian, Airlangga dinobatkan sebagai raja oleh para pendeta pada tahun 1019 M
dan membangun pusat kerajaan di Kahuripan, Sidoarjo (kelak dipindahkan lagi ke Daha,
Kediri). Namun, wilayah kekuasaannya tidak seluas saat mertuanya berkuasa karena
sebagian wilayah tidak mau tunduk lagi kepada Airlangga. Dengan demikian, sejak tahun
1025, Airlangga memperluas kekuasaan dan pengaruhnya Seiring melemahnya Sriwijaya.
Langkah pertama yang dilakukan Airlangga adalah menyusun kekuatan untuk
menegakkan kembali kekuasaan Wangsa Isyana atas Pulau Jawa. Hal ini terwujud pada
tahun 1037. Semua wilayah Kerajaan Medang tunduk kepada Airlangga Selanjutnya, ia
memberi kedudukan (posisi) kepada setiap Srang yang berjasa terhadap kerajaan. Lebih
dari itu, ia dikenal sangat memperhatikan rakyat. Selama masa pemerintahannya
Arjunawiwaha yang ditulis Mpu Kanwa pada 1035 M. Arjunkarya-karya sastra
berkembang, di antaranya kitab arjunawiwaha yang di tulis mpu kanwa pada 1035
M.Agama yang berkembang pada masa pemerintahan Airlangga adalah agama Hindu
beraliran Wisnu. Airlangga memang di anggap sebagai titisan dewa wisnu. Pada masa
pemerintahan nya berkembang banyak aliran keagamaan, seperti Hindu aliran Siwa dan
Buddhak Airlangga menolerir eksistensi semua aliran itu.

9. Kerajaan Kediri

a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Wilayah Kerajaan Jenggala meliputi daerah Malang dan delta Sungai Brantas
dengan pelabuhan meliputi Surabaya, Rembang, dan Pasuruan. Adapun wilayah Kediri
meliputi Kediri dan Madiun sekarang.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Kerajaan Kediri adalah kerajaan agraris dengan raja pertama Sri Samarawijaya,
yang kemudian digantikan oleh (secara berturut-turut) Sri Jayawarsa dan Bameswara.
Tidak ada catatan tertulis terutama tentang kedua nama terakhir ini.

10. Kerajaan Singasari (Tumapel)

a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Kerajaan Singasari adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur yang
didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan
berada di daerah Singasari, Malang. Berdasarkan Prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan
Singasari adalah Tumapel. Menurut Nagarakertagaman ketika pertama kali didirikan
tahun 1222, ibu kota KerajaanTumapel bernama Kutaraja. Nama Singasari yang
merupakan nama ibu kota kemudian justru lebih terkenal daripada nama TumapelNama
Tumapel juga muncul dalam kronik Tiongkok dari Dinasti Yuan dengan ejaan Tu-ma-pan.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan.

Kejayaan Singasari mencapai puncak kejayaan pada masa kepemimpinan putra


Ranggawuni bernama Kertanagara (memerintah 1268-1292). Pada masa pemerintahan
Kertanagara, armada laut Singasari semakin kuat dan disegani kerajaan- kerajaan di Asia
Tenggara. Armada laut yang kuat menjadikan Singasari berhasil melakukan ekspedisi
(penaklukan militer) dan/atau kerja sama dengan kerajaan-kerajaan lain di Asia Tenggara
yang berdampak pada kemajuan di bidang ekonomi. Hal itu tidak terlepas dari visi politik
Kertanagara, yaitu hingga ke Nusantara (seluruh kerajaan di Asia Tenggara) atau yang
lebih dikenal dengan politik Cakrawala Mandala Dwipantara (secara harfiah berarti
perluasan Nusantara dengan memandang ke luar Pulau Jawa). Kertanagara diberitakan
tidak segan-segan memecat para pejabat tingginya jika menentang kebijakan politiknya
tersebut, salah satunya arya wiraraja yang disingkirkan menjadi bupati
Sumenep(Madura).

11. Kerajaan Majapahit

a. Lokasi dan Sumber Sejarah

Pusat Kerajaan Majapahit diperkirakan di daerah Trowulan sekarang, 10 km


sebelah barat daya Kota Mojoke Trowulan Timur. Hal ini didasarkan temuan artefak
berupa kerto, Jawa Tian fondasi bangunan, pintu gapura, candi, saluran air bak tiang-tiang
rumah.
Tanggal pasti berdirinya Kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya
sebagai raja (memerintah 1293-1309 M), yaitu 10 November 1293.
Sumber utama para sejarawan mengenai Kerajaan Majapahit adalah Pararaton
(Kitab Raja-raja) dan Nagarakertagama. Pararaton tidak hanya menceritakan Ken Arok,
tetapi juga memuat sejarah ringkas lahirnya Majapahit. Sementara itu, Nagarakertagama
merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa keemasan Majapahit di bawah
Hayam Wuruk. Apa yang terjadi setelah masa itu tidak banyak yang tahu. Beberapa
prasasti dalam bahasa Jawa Kuno ataupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-
negara lain juga membantu menyingkapkan sejarah Majapahit.

b. Kondisi Sosial-Politik Kerajaan

Raden Wijaya menghargai semua orang yang berjas terhadapnya dengan memberi
mereka kedudukan dalam pemerintahannya atau kekuasaan di daerah tertentu di
Majapahit.
Pengganti Raden Wijaya adalah Jayanegara (memerintah 1309-1328 M) yang
pada waktu itu masih berusia sekitar 15 tahun. Berbeda dari ayahnya, Jayanegara tidak
memiliki kecakapan memerintah, sehingga ia mendapat julukan “Kala Gemet” yang
berarti lemah dan jahat. Pemerintahan Jayanegara diwarnai banyak pemberontakan. Dari
seluruh pemberontakan tersebut, pemberontakan oleh salah seorang kepercayaan dan
penasihat raja (disebut golongan Dharmaputra) bernama Ra Kuti disebut-sebut sebagai
yang terbesar karena hampir berhasil menggulingkan Majapahit. Namun, Gajah Mada,
yang saat itu menjadi bhayangkara (sebutan untuk pasukan pengawal raja) berhasil
memadamkannya. Ia menyelamatkan Jayanegara dengan mengungsikannya sementara ke
sebuah desa bernama Badander. Jayanegara akhirnya meninggal akibat operasi (penyakit)
oleh seorang tabib bernama Tancha yang menaruh dendam terhadap Jayanegara. Tancha
kemudian dibunuh oleh Gajah Mada.

12. Kerajaan Bali

a. Lokasi dan Sumber Sejarah


Prasasti Bali yang tertua berangka tahun 882 M. Isinya adalah tentang pemberian
izin kepada para biksu agama Buddha untuk membuat pertapaan di Bukit
Cintamani(Kintamani). Dalam prasasti ini tidak disebutkan nama raja, tetapi disebut nama
kerajaannya, yaitu Singhamandawa. Dalam kitab Carita parahyangan disebutkan Kerajaan
Bali pernah diserbu Kerajaan Mataram (di bawah Raja Dyah Balitung) pada 730
Hubungan antara penerus Malayah Balitung) Bali memang dekat: Airlangga (raja
Mataram) adalah putra hasil perkawinan Raja Dharma Udayana Warmadewa (Bali) dan
Ratu Mahendradatta (putri Raja Dharmawangsa dari Mataram). Setelah peristiwa pralaya,
Airlangga menggantikan Dharmawangsa menjadi raja.

b. Keadaan Sosial-Politik Kerajaan

Informasi tentang raja-raja yang memerintah Bali ditemukan melalui Prasasti


Sanur (913 M). Prasasti yang ditulis dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Bali Kung in
dibuat oleh raja pertama Bali, Sri Kesarimarwadewa. Di dalamnya disebutkan Raja
Ugrasena (memerintah 915-942 M) yang sezaman dengan pemerintahan Mpu Sindok
(Medang Kamulan). Pada masa pemerintahannya, Ugrasema Medang beberapa kebijakan,
di antaranya membebaskan beberapa dest dari kewajiban membayar pajak karena desa-
desa menjadi penghasil kayu untuk kebutuhan kerajaan. Raja setelah Ugrasena adalah
Tabendra Warmadewa. Ia membangun pemandian Tirta Empul di Tampak Siring. Raja
setelah Tabendra Warmadewa berturut-turut adalah Jayasingha Warmadewa, Jayasadhu
Marwadewa, Sri Maharaja Sriwijaya Mahadewi, dan Dharma Udayana Warmadewa
(yang menikahi Mahendradatta dan melahirkan Airlangga).
Pada masa pemerintahan Udayana, tampak sekali kuatnya pengaruh Jawa di Bali
karena hampir seluruh prasasti ditulis dalam bahasa Jawa Kuno atau bahasa Kawi.

C. Berakhirnya Kerajaan-Kerajaan Hindu-


Buddha
Bagaimana akhir zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia? Pada
akhir abad XIII, seiring berkembang pesatnya pengaruh Islam dari Timur Tengah,
kerajaan- kerajaan Islam mulai berdiri di Sumatra dan agama Islam segera menyebar ke
Jawa dan Semenanjung Malaya lewat penaklukan dan penyebaran sistematis oleh
sekelompok ulama yang dikenal dengan sebutan wali sanga. Akibatnya, pengaruh agama
dan kebudayaan Hindu dan Buddha menurun sehingga pada akhir abad XV Islam menjadi
agama yang dominan di Nusantara dan Semenanjung Malaya. Agama Buddha
diperkenalkan kembali ke Nusantara hanya pada abad XIX, dengan kedatangan pedagang
dan orang-orang Tiongkok, Srilanka, dan imigran Buddha lainnya.

Anda mungkin juga menyukai