BAB II
PEMBAHASAN
b) Moekerji juga mengatakan bahwa golongan ksatria dari India lah yang
membawa pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Para
ksatria membangun koloni – koloni yang berkembang menjadi sebuah
kerajaan.
3) Hipotesis Brahmana
2. Kerajaan Tarumanegara
Sumber mengenai kerajaan Tarumanegara berasal dari tujuh buah
prasasti yang berbahasa sansekerta dan huruf pallawa. Prasasti tersebut adalah
prasasti Ciaruteun, Kebun Kopi, Jambu, Tugu, Pasar Awi, Muara Cianten, dan
Lebak. Seorang musafir Cina bernama Fa-Hsien pernah datang di Jawa pada tahun
414 M. Ia telah menyebut keberadaan kerajaan To-lo-mo atau Taruma di Pulau
Jawa. Kerajaan Tarumanegara diperkirakan berkembang pada abad V M. Raja
terbesar yang berkuasa adalah Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman
meliputi hampir seluruh Jawa Barat dengan pusat kekuasaan di daerah Bogor.
Raja pernah memerintahkan pembangunan irigasi dengan cara menggali sebuah
saluran panjang 6.112 tumbak (± 11 km). Saluran itu berfungsi untuk mencegah
bahaya banjir. Saluran ini selanjutnya disebut sebagai sungai Gomati.
3. Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan sriwijaya adalah salah satu kerajaan terbesar yang pernah
berjaya di Indonesia. Kerajaan ini mampu mengembangkan diri sebagai negara
maritim dengan menguasai lalu lintas pelayaran dan perdagangan
internasional.Keberadaan kerajaan ini diketahui melalui enam buah prasasti yang
menggunakan bahasa melayu kuno dan huruf pallawa, serta telah menggunakan
angka tahun saka. Prasasti tersebut adalah Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga
Batu, Kota Kapur dan Karang Berahi. Nama Sriwijaya juga terdapat dalam berita
Cina dan disebut Shih-lo-fo-shih atau Fo-shih. Sementara itu di berita Arab,
Sriwijaya disebut dengan Zabag atau Zabay atau dengan sebutan Sribuza. Seorang
pendeta Cina yang bernama I-Tsing sering dataang ke Sriwijaya sejak tahun 672
M. Ia menceritakan bahwa di Sriwijaya terdapat 1.000 orang pendeta yang
menguasai agama seperti di India. Berita dari Dinasti Sung juga menceritakan
tentang pengiriman utusan dari Sriwijaya tahun 971-992 M.
Raja pertama Sriwijaya adalah Dapunta Hyang Sri Jayanaga. Raja
yang terkenal dari kerajaan Sriwijaya adalah Balaputradewa. Ia memerintah
sekitar abad IX M. Sriwijaya merupakan pusat pendidikan dan penyebaran agama
Buddha di Asia Tenggara. Menurut berita I-Tsing, pada abad VIII M di Sriwijaya
terdapat 1.000 orang pendeta yang belajar agama Buddha di bawah bimbingan
Sakyakirti. Menurut prasasti Nalanda, para pemuda Sriwijaya juga mempelajari
agama Buddha dan ilmu lainnya di India. Kebudayaan Kerajaan Sriwijaya sangat
maju dan bisa dilihat dari peninggalan suci sepeti stupa, candi, atau patung/arca
Buddha seperti ditemukan di Jambi, Muara Takus, dan Gunung Tua (Padang
Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).
4. Mataram Kuno
Menurut Teori Van Bammalen, letak kerajaan ini berpindah-pindah,
hal ini disebabkan oleh 2 alasan, yaitu karena adanya bencana alam letusan
Gunung Merapi, dan karena adanya peperangan dalam perebutan kekuasaan.
Awalnya, pada abad ke-8 kerajaan ini terletak di daerah Jawa Tengah, kemudian
setelah Gunung Merapi meletus pada abad ke-10, kerajaan ini dipindahkan ke
Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Agama di kerajaan ini pun terbagi menjadi 2, yaitu
hindu pada Dinasti Sanjaya dan budha pada Dinasti Syailendra. Kerajaan
Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna. Raja Sanna kemudian digantikan oleh
keponakannya, Raja Sanjaya.
Setelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah
oleh putranya yang bernama Rakai Panangkaran. Raja Mataram Kuno setelah
Rakai Panangkaran adalah Rakai Warak, kemudian Rakai Warak digantikan oleh
Rakai Garung (Samaratungga). Di tengah-tengah pemerintahan kerajaan Mataram
Kuno, Datanglah keinginan Rakai Pikatan untuk menjadi penguasa tunggal
sebagai Dinasti Sanjaya. Persaingan antara Dinasti Sanjaya yang dipimpin Rakai
Pikatan dengan Dinasti Syailendra yang dipimpin Raja Samaratungga, membuat
cita-cita Rakai Pikatan untuk menjadi penguasa tunggal di Pulau Jawa terhalang.
Terjadi pertikaian antar kedua dinasti. Akhirnya pada abad ke-9 terjadi
penggabungan kedua dinasti melalui pernikahan politik antara Rakai Pikatan dari
Dinasti Sanjaya dengan Pramodawardhani dari Dinasti Syailendra. Namun,
pernikahan antara Rakai Pikatan dengan Pramodawardhani ternyata tidak
membuahkan kedamaian, malah justru membuat pertikaian antara Dinasti Sanjaya
dengan Dinasti Syailendra semakin sengit.
Akhirnya, Rakai Pikatan sebagai Dinasti Sanjaya berhasil menguasai
kerajaan sedangkan Pramodawardhani bersama anaknya, Balaputradewa
melarikan diri ke Palembang, Sumatra Selatan untuk kemudian mereka
menjalankan sebuah kerajaan bernama Kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan Prasasti
Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh
Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jadi pelaksana
pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih ini di antaranya adalah:
a. Ratu, Datu, Sri Maharaj
b. Rakryan Mahamantri I Hino
c. Mahamantri Halu & Mahamantri I Sirikan
d. Mahamantri Wko & Mahamantri Bawang
e. Rakryan Kanuruhan
Raja Mataram selanjutnya adalah Rakai Watuhumalang, kemudian
dilanjutkan oleh Dyah Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura
Dyah Balitung Dharmodaya Maha Dambhu sebagai Raja Mataram Kuno yang
sangat terkenal. Raja Balitung berhasil menyatukan kembali Kerajaan Mataram
Kuno dari ancaman perpecahan. Di masa pemerintahannya, Raja Balitung
menyempurnakan struktur pemerintahan dengan menambah susunan hierarki.
Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat penting, yaitu Rakryan I Hino
sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua pejabat lainnya.
Rakryan I Halu, dan Rakryan I Sirikan. Selain struktur pemerintahan
baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung. Prasasti yang juga dikenal
sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di Kerajaan Mataram
Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di Kerajaan Mataram
Kuno. Kerajaan Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum
akhirnya pusat kerajaan pindah ke Jawa Timur. Mpu Daksa, yang pada masa
pemerintahan Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, melakukan kudeta karena
merasa bahwa ia adalah keturunan asli Dinasti Sanjaya, kemudian Mpu Daksa
digantikan oleh menantunya, Sri Maharaja Tulodhong.
5. Kerajaan Singhasari
Keberadaan Kerajaan Singhasari didasarkan pada kitab
Negarakertagama karangan Mpu Prapanca yang menjelaskan raja-raja yang
memerintah di Singasari serta kitab Pararaton yang juga menceritakan keajaiban
Ken Arok. Ken Arok semula sebagai akuwu (bupati) di Tumapel menggantikan
Tunggul Ametung yang dibunuhnya karena tertarik kepada Ken Dedes isteri
Tunggul Ametung. Pada tahun 1222 M Ken Arok menyerang kediri sehingga
Kertajaya mengalami kekalahan pada pertempuran di desa Ganter.
Ken Arok menyatakan dirinya sebagai Raja Singasari dengan gelar Sri
Rangga Rajasa Bhattara Sang Amurwabhumi. Raja Singasari yang terkenal adalah
Kertanegara Karena di bawah pemerintahannya Singasari mencapai puncak
kebesarannya. Kertanegara bergelar Sri Maharajaderaja Sri Kertanegara
mempunyai gagaasan politik untuk memperluas wilayah kekuasannya,
menyingkirkan lawan-lawan politiknya, menumpas pemberontakan, menyatukan
agama Syiwa dan Buddha menjadi agama Tantrayana (Syiwa Buddha dipimpin
oleh Dharma Dyaksa), melakukan politik perkawinan, dan mengirim ekspedisi
Pamalayu tahun1275.
6. Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu terakhir dan terbesar di
Indonesia. Letaknya di Pulau Jawa. Pendirinya adalah Raden Wijaya yang sempat
melarikan diri ke Madura bersama istrinya saat terjadi Peristiwa Mahapralaya.
Kerajaan Majapahit, awalnya hanyalah sebuah desa kecil bernama Desa Tarik
yang merupakan pemberian Raja Jayakatwang dari Kediri. Raden Wijaya telah
dimaafkan dan dipercaya tidak bersalah atas kesalahan generasi atasnya.
Singkat cerita, pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000
buah kapal dengan 20.000 orang prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur dengan tujuan
untuk menyerang Raja Kertanegara yang telah merebut Kerajaan Melayu dan
menyatakan tidak mau tunduk pada Kaisar Kubilai Khan. Mereka tidak tau bahwa
Raja Kertanegara beserta Kerajaan Singhasari itu telah meninggal dan hancur
dikalahkan oleh Raja Jayakatwang dari Kediri. Mengetahui rencana penyerangan
dari Cina ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut kembali
Kerajaan Singhasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina dan menyerang
Raja Jayakatwang di Kediri.
Kerajaan Kediri tidak mampu menghadapi serangan, sehingga Raja
Jayakatwang berhasil dikalahkan. Kemenangan itu membuat pasukan Cina
bergembira dan berpesta pora. Mereka tidak menyangka ketika sedang berpesta
pora, pasukan Majapahit balik menyerang mereka. Akhirnya pasukan armada
Cina kalah, dan mereka segera kembali ke tanah airnya. Sejak saat itu Kerajaan
Majaphit mulai berkuasa. Pada tahun 1295, berturut-turut pecah pembrontakan
yang dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi.
Pembrontakan-pembrontakan itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada
tahun 1309 dan mendapat penghormatan di dua tempat, yaitu Candi Simping
(Sumberjati) dan Candi Artahpura. Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri
Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara menggantikannya sebagai Raja
Majapahit.
Pada awal pemerintahannya Jayanegara harus menghadapi sisa
pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain pembrontakan
Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal
(Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa
Bedager. Raja Jayanegara wafat tahun 1328 karena dibunuh oleh salah seorang
anggota dharmaoutra yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra
ia kemudian digantikan oleh adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar
Tribuanatunggadewi Jayawishnuwardhani.
Suaminya bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan
gelar Kertawerdhana. Dari kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa
pemberontakan di masa pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan
yang paling berbahaya adalah pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun
1331. Namun pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu
Gajah Mada bersumpah di hadapan Raja dan para pembesar kerajaan bahwa ia
tidak akan amukti palapa (memakan buah palapa), sebelum ia dapat menundukan
seluruh Nusantara di bawah naungan Majapahit.
Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang
diberi nama Hayam Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi
mengundurkan diri setelah berkuasa 22 tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada
tahun 1350, Hayam Wuruk dinobatkan sebagai raja Majapahit dan bergelar Sri
Rajasanagara dan Gajah Mada diangkat sebagai Patih Hamangkubumi. Dibawah
pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai
puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang sangat luas.
Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada Majapahit, namun ada satu
kerajaan kecil yang belum berhasil dikuasai kerajaan Majapahit, yaitu Kerajaan
Sunda Galuh. Raja Hayam Wuruk bersama Patih Gajah Mada berusaha untuk
menaklukan kerajaan tersebut.
Namun ketika itu Raja Hayam Wuruk terlanjur jatuh cinta pada putri
dari Kerajaan Sunda Galuh yang bernama Dyah Pitaloka. Raja Hayam Wuruk
bermaksud untuk menikahi Dyah Pitaloka. Ia mengundang keluarga besar
Kerajaan Sunda Galuh datang ke Kerajaan Majapahit untuk menikah dengan Dyah
Pitaloka. Ketika keluarga besar dari kerajaan Sunda Galuh tiba di Kerajaan
Majapahit, terjadi kesalahpahaman. Patih Gajah Mada mengira bahwa keluarga
besar Kerajaan Sunda Galuh ingin menyerang Kerajaan Majapahit, akhirnya Patih
Gajah Mada segera mengeluarkan pasukan dan membunuh semua anggota
keluarga Kerajaan Sunda Galuh. Hanya Dyah Pitaloka yang tidak dibunuh.
Melihat seluruh keluarganya tewas, Dyah Pitaloka pun akhirnya melakukan
belapati (bunuh diri) pada dirinya sendiri.
Raja Hayam wuruk yang mengetahui peristiwa kesalah pahaman
tersebut menjadi marah, terlebih ketika melihat calon istrinya mati karena bunuh
diri atas kesalahpahaman patihnya. Akhirnya, Raja Hayam Wuruk pun sakit, dan
meninggal karena sakit hati. Sejak kematian Raja Hayam Wuruk, maka Kerajaan
Majapahit mencapai masa kemunduran, perlahan-lahan kekuasaan Majapahit pun
runtuh. Pada salah satu versi cerita, dikisahkan Sang Patih, Gajah Mada pergi ke
sebuah gunung untuk berdiam diri dan menjadi pertapa karena merasa bersalah
pada rajanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendapat mengenai proses masuk dan berkembangnya kebudayaan Hindu-Budha di
Indonesia, yaitu hipotesis Waisya, Hipotesis Ksatria, Hipotesis Brahmana dan teori Arus
Balik. Masuk dan berkembangnya agama dan kebudayaan Hindu-Budha membawa pengaruh
besar di berbagai bidang. Kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha merupakan salah
satu bukti adanya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Setiap kerajaan dipimpin
oleh seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak dan turun-temurun. Kerajaan-kerajaan itu
antara lain : Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Sriwijaya, Mataram
Kuno, Kerajaan Singhasari, Kerajaan Majapahit. Masuknya kebudayaan India ke Indonesia
telah membawa pengaruh terhadap perkembangan kebudayaaan di Indonesia. Namun
kebudayaan asli Indonesia tidak begitu luntur. Kebudayaan yang datang dari India mengalami
proses penyesuaian dengan kebudayaan, maka terjadilah proses akulturasi kebudayaan.
B. Saran
Kebudayaan yang berkembang di Indoneisa pada tahap awal diyakini berasal dari
India. Pengaruh itu diduga mulai masuk pada awal abad masehi. Apabila kita
membandingkan peninggalan sejarah yang ada di Indonesia akan ditemukan kemiripan itu.
Sebelum kenal dengan kebudayaan India, bangunan yang kita miliki masih sangat sederhana.
Saat itu belum dikenal arsitektur bangunan seperti candi atau keraton. Tata kota di pusat
kerajaan juga dipengaruhi kebudayaan hindu. Demikian pula dalam hal kebudayaan yang lain
seperti peribadatan dan kesastraan.Kita harus menjaga kelestarian dan budaya-budaya yang
ditinggalkan agama Hindu-Budha.
DAFTAR PUSTAKA
Nasrudin Muh, Warsito S.W, Nursa’ban Muh, Mari Belajar IPS VII, Jakarta : Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2008
Iwan Setiawan dkk, Wawasan Sosial, Jakarta : Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional Indonesia, 2008
Rickflefs, M. C. Sejarah Indonesia Modern. Yogyaarta : Gajah Mada university
Press, 1998
Armia, “Makalah Kerajaan Hindu-Budha di
Indonesia”, http://armia11ips104.blogspot.com/2012/10/makalah-kerajaan-
hindu-budha-di.html, 18-09-2013.