Anda di halaman 1dari 37

Daftar Isi

Kata Pengantar

I. Sejarah Agama Hindu.......................................................................................................2

II. Tujuan Agama Hindu.......................................................................................................4

III. Keyakinan dalam hindu..................................................................................................5

IV. Konsep Ketuhanan...........................................................................................................6

V. Karakteristik.....................................................................................................................11

VI. Filsafat Hindu...............................................................................................................12

VI. Konsep Hindu................................................................................................................14

VII.Hari Raya Agama HINDU...........................................................................................14

VIII. Dewa-Dewi Hindu......................................................................................................32

IX. Sistem Catur Warna (golongan masyarakat)...............................................................32

X. Pelaksanaan Ritual (yaja)............................................................................................33

XI. Sekte (aliran) dalam hindu...........................................................................................33

REFERENSI.......................................................................................................................36

1
I. Sejarah Agama Hindu

Asal Agama Hindu


Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya
berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima
wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai
sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang,
Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia

Perkembangan Agama Hindu


Govinda Das menjelaskan sejarah panjang agama hindu ke dalam 3 bagian besar yaitu :
a. Zaman Weda, yakni zaman sejak masuknya bangsa arya di punjab hingga timbulnya
agama budha (500 SM) zaman ini dibagi 3 yaitu:
Zaman Weda Purba, kurang lebih sejak 1500 SM kira kira sampai 1000 SM. Dimana
bangsa arya masih berada di punjab, daerah sungai indus atau shindu. bangsa Arya telah
memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu,
Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah
manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha
Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman
ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.
Zaman Brahmana, mulai tahun 1000 750 SM. Pada zaman ini imam imam atau
para brahmana telah menghasilkan kitab kitab yang berbeda dengan sebelumnya. Pada
Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan,
kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada
waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara"
beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan
upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu
Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.
Zaman Upanisad, yakni pada tahun 750 500 SM. Pada zaman ini peradaban mulai
berkembang, pusat peradaban berpindah dari punjab ke gangga. pada Jaman Upanisad,
yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih
meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia
alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah
agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran
filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana,
Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi
umum.
b. Zaman Agama Budha, sejak tahun 500 SM hingga kira kira tahun 300 M. Pada
zaman ini lahirlah agama Budha yang berlainan sekali dengan agama Weda (zaman
sebelumnya). Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama
"Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan
semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
c. Zaman Hindu, mulai tahun 300 M hingga sekarang. Agama Hindu zaman ini
memperoleh pengaruh dari agama budha dan agama sebelumnya.

Masuknya Agama Hindu ke Indonesia


Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui
dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi dengan
diketemukannya tujuh buah Yupa peninggalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari

1
tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu
yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya
oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan
yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Masuknya agama Hindu ke
Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah
Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan
Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur
kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga
berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti,
yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak.
Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa. Seorang
penjelajah Cina bernama Fa Hien berpendapat bahwa pada permulaan abad ke lima telah
menyaksikan masyarakat brahmana di pulau jawa. Dan tulisan tulisan dalam bahasa
sanskerta di dapat kira kira pada zaman itu.

Para Ahli.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.


Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa
masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang
dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).


Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para
pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka
mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya.
Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang
berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda).


Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran
agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang
dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Pada perkembangan selanjutnya berdiri kerajaan hindu di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari
peninggalan atau sisa kerajaan tersebut antaralain :
a. Peninggalan kerajaan kutai di kalimantan, dengan raja mulawarman sekitar tahun 400
M. Yaitu yupa.
b. Peninggalan kerajaan tarumanegara di bogor jawa barat, abad ke 5 yakni prasasti
Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak.
c. Prasasti canggal di jawa tengah yang berbahasa sanskerta dan huruf palawa. Prasasti
canggal dikeluarkan oleh raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 M).
d. Prasasti dinoyo di malang, jawa timur. Sekitar tahun 670 M. Berbahasa sanskerta dan
berbahasa jawa kuno, isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang
diadakan oleh raja Dea Simba pada tahun 760 M.
e. Kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah
Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan
pada jaman kerajaan Singosari.

1
f. Kerajaan majapahit, puncaknya pada tahun 1293 1528 M.
g. Candi candi yang bertebaran di jawa, seperti candi prambanan dll.
h. Peninggalan peninggalan agama hindu di bali. Kedatangan agama Hindu di Bali
diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-
prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar.
Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad
ke-8.

II. Tujuan Agama Hindu


Tujuan agama Hindu yang dirumuskan sejak Weda mulai diwahyukan adalah "Moksartham
Jagadhitaya ca iti Dharma", yang artinya bahwa agama (dharma) bertujuan untuk mencapai
kebahagiaan rohani dan kesejahteraan hidup jasmani atau kebahagiaan secara lahir dan
bathin. Tujuan ini secara rinci disebutkan di dalam Catur Purusa Artha, yaitu empat tujuan
hidup manusia, yakni

1. Dharma,
2. Artha,
3. Kama dan,
4. Moksa.

Dharma berarti kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai
kebahagiaan dan keselamatan. Artha adalah benda-benda atau materi yang dapat memenuhi
atau memuaskan kebutuhan hidup manusia. Kama artinya hawa nafsu, keinginan, juga berarti
kesenangan sedangkan Moksa berarti kebahagiaan yang tertinggi atau pelepasan.
Di dalam memenuhi segala nafsu dan keinginan harus berdasarkan atas kebajikan dan
kebenaran yang dapat menuntun setiap manusia di dalam mencapai kebahagiaan. Karena
seringkali manusia menjadi celaka atau sengsara dalam memenuhi nafsu atau kamanya bila
tidak berdasarkan atas dharma. Oleh karena itu dharma harus menjadi pengendali dalam
memenuhi tuntunan kama atas artha, sebagaimana disyaratkan di dalam Weda (S.S.12)
sebagai berikut:

Kamarthau Lipsmanastu
dharmam eweditaccaret,
na hi dhammadapetyarthah
kamo vapi kadacana.

Artinya:

Pada hakekatnya, jika artha dan kama dituntut, maka hendaknyalah dharma
dilakukan terlebih dahulu. Tidak dapat disangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha
dan kama itu nanti. Tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh
menyimpang dari dharma.

Jadi, Dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha, karena
dharmalah yang menuntun manusia untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Dengan
jalan dharma pula manusia dapat mencapai Sorga.

1
III. Keyakinan dalam hindu

Hindu seringkali dianggap sebagai agama yang beraliran politeisme karena memuja banyak
dewa, namun tidaklah sepenuhnya demikian. Dalam agama hindu, dewa bukanlah tuhan
tersendiri. Menurut umat hindu, tuhan itu maha esa tiada duanya. Dalam salah satu ajaran
filsafat hindu, adwaita wedanta menegaskan bahwa hanya ada satu kekuatan dan menjadi
sumber dari segala yang ada (brahman), yang memanifestasikan diri-nya kepada manusia
dalam beragam bentuk.

Dalam agama hindu ada lima keyakinan dan kepercayaan yang disebut dengan pancasradha.
Pancasradha merupakan keyakinan dasar umat hindu. Kelima keyakinan tersebut, yakni:

1. Widhi tattwa - percaya kepada tuhan yang maha esa dan segala aspeknya
2. Atma tattwa - percaya dengan adanya jiwa dalam setiap makhluk
3. Karmaphala tattwa - percaya dengan adanya hukum sebab-akibat dalam setiap
perbuatan
4. Punarbhava tattwa - percaya dengan adanya proses kelahiran kembali (reinkarnasi)
5. Moksa tattwa - percaya bahwa kebahagiaan tertinggi merupakan tujuan akhir
manusia
Widhi tattwa

OMKARA. Aksara suci bagi umat hindu yang melambangkan "brahman" atau "tuhan sang
pencipta".

Widhi tattwa
(Brahman)
Widhi tattwa merupakan konsep kepercayaan terdapat tuhan yang maha esa dalam pandangan
hinduisme. Agama hindu yang berlandaskan dharma menekankan ajarannya kepada umatnya
agar meyakini dan mengakui keberadaan tuhan yang maha esa. Dalam filsafat adwaita
wedanta dan dalam kitab weda, tuhan diyakini hanya satu namun orang bijaksana
menyebutnya dengan berbagai nama. Dalam agama hindu, tuhan disebut brahman. Filsafat
tersebut tidak mengakui bahwa dewa-dewi merupakan tuhan tersendiri atau makhluk yang
menyaingi derajat Tuhan.

Atma tattwa
(Atman)
Atma tattwa merupakan kepercayaan bahwa terdapat jiwa dalam setiap makhluk hidup.
Dalam ajaran hinduisme, jiwa yang terdapat dalam makhluk hidup merupakan percikan yang
berasal dari tuhan dan disebut atman. Jivatma bersifat abadi, namun karena terpengaruh oleh
badan manusia yang bersifat maya, maka jiwatma tidak mengetahui asalnya yang
sesungguhnya. Keadaan itu disebut awidya. Hal tersebut mengakibatkan jiwatma mengalami
proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi tersebut dapat diakhiri apabila
jivatma mencapai moksa.

Karmaphala
(Karmaphala)

1
Agama hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut karmaphala (karma = perbuatan;
phala = buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam ajaran karmaphala,
setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil, baik atau buruk. Ajaran karmaphala
sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena dalam ajaran karmaphala,
keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena hasil perbuatan manusia itu
sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup maupun apa yang ia lakukan pada
saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran tersebut, bisa dikatakan manusia
menentukan nasib yang akan ia jalani sementara tuhan yang menentukan kapan hasilnya
diberikan (baik semasa hidup maupun setelah reinkarnasi).

Punarbhawa
(samsara)
Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran
punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada
kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil perbuatannya
seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada kehidupan
selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar jiwa dapat
menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati. Proses
reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksa).

Moksa
(Moksa)
Varanasi di sungai gangga, sungai suci hindu. Varanasi menarik ribuan umat hindu setiap
tahun.
Dalam keyakinan umat hindu, moksa merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa sangat
tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi oleh
berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan moksa, jiwa
terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati suka-duka di dunia.
Oleh karena itu, moksa menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh umat hindu.

IV. Konsep Ketuhanan

Salah satu bentuk penerapan monoteisme hindu di indonesia adalah konsep padmasana,
sebuah tempat sembahyang hindu untuk memuja brahman atau "tuhan sang penguasa".

Seorang perempuan hindu bali sedang menempatkan sesaji di tempat suci keluarganya.

Kuil hindu di caldeira bromo, pegunungan tengger, jawa timur


Agama hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang
menunjukkan bahwa agama hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada
di dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh agama hindu
terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme,
monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai
adalah monoteisme (terutama dalam weda, agama hindu dharma dan adwaita wedanta),
sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang
diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat hindu pada

1
umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama hindu tidak
secara menyeluruh.

Monoteisme

Dalam agama hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep
tersebut dikenal sebagai filsafat adwaita wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya
konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, adwaita wedanta menganggap bahwa
tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama hindu, tuhan
dikenal dengan sebutan brahman.

Dalam keyakinan umat hindu, brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga
tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman
berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari
segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada
brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat
dan enggan untuk dipuja sebagai tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai
perantara tuhan kepada umatnya.

Filsafat adwaita wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan brahman, sang pencipta
alam semesta. Dalam keyakinan umat hindu, brahman hanya ada satu, tidak ada duanya,
namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya
yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran tuhan kemudian diwujudkan ke dalam beragam
bentuk dewa-dewi, seperti misalnya: wisnu, brahma, siwa, laksmi, parwati, saraswati, dan
lain-lain. Dalam agama hindu dharma (khususnya di bali), konsep ida sang hyang widhi wasa
merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang bali.

Panteisme

Dalam salah satu kitab hindu yakni upanishad, konsep yang ditekankan adalah panteisme.
Konsep tersebut menyatakan bahwa tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat
tinggal tertentu, melainkan tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan terdapat
dalam setiap benda apapun[10], ibarat garam pada air laut. Dalam agama hindu, konsep
panteisme disebut dengan istilah wyapi wyapaka. Kitab upanishad dari agama hindu
mengatakan bahwa tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada
di surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.

Ateisme

Artikel utama untuk bagian ini adalah: ateisme dalam hindu


Agama hindu diduga memiliki konsep ateisme (terdapat dalam ajaran samkhya) yang
dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari barat. Samkhya merupakan ajaran filsafat tertua
dalam agama hindu yang diduga menngandung sifat ateisme. Filsafat samkhya dianggap
tidak pernah membicarakan tuhan dan terciptanya dunia beserta isinya bukan karena tuhan,
melainkan karena pertemuan purusha dan prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak
berasal dan segala penyebab namun tidak memiliki penyebab[11]. Oleh karena itu menurut
filsafat samkhya, tuhan tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat ateisme dalam hindu
tersebut tidak ditemui dalam pelaksanaan agama hindu dharma di indonesia, namun ajaran
filsafat tersebut (samkhya) merupakan ajaran filsafat tertua di india. Ajaran ateisme dianggap
sebagai salah satu sekte oleh umat hindu dharma dan tidak pernah diajarkan di indonesia.

1
Konsep lainnya

Di samping mengenal konsep monoteisme, panteisme, dan ateisme yang terkenal, para
sarjana mengungkapkan bahwa terdapat konsep henoteisme, politeisme, dan monisme dalam
ajaran agama hindu yang luas. Ditinjau dari berbagai istilah itu, agama hindu paling banyak
menjadi objek penelitian yang hasilnya tidak menggambarkan kesatuan pendapat para
indolog sebagai akibat berbedanya sumber informasi. Agama hindu pada umumnya hanya
mengakui sebuah konsep saja, yakni monoteisme. Menurut pakar agama hindu, konsep
ketuhanan yang banyak terdapat dalam agama hindu hanyalah akibat dari sebuah pengamatan
yang sama dari para sarjana dan tidak melihat tubuh agama hindu secara menyeluruh[12].
Seperti misalnya, agama hindu dianggap memiliki konsep politeisme namun konsep
politeisme sangat tidak dianjurkan dalam agama hindu dharma dan bertentangan dengan
ajaran dalam weda.

Meskipun banyak pandangan dan konsep ketuhanan yang diamati dalam hindu, dan dengan
cara pelaksanaan yang berbeda-beda sebagaimana yang diajarkan dalam catur yoga, yaitu
empat jalan untuk mencapai tuhan, maka semuanya diperbolehkan. Mereka berpegang teguh
kepada sloka yang mengatakan:

jalan mana pun yang ditempuh manusia kepada-ku, semuanya aku terima dan aku
beri anugerah setimpal sesuai dengan penyerahan diri mereka. Semua orang
mencariku dengan berbagai jalan, wahai putera partha (arjuna)
(Pustaka suci)

Kuil Akshardham di new delhi, india adalah terbesar di dunia candi hindu
Ajaran agama dalam hindu didasarkan pada kitab suci atau susastra suci keagamaan yang
disusun dalam masa yang amat panjang dan berabad-abad, yang mana di dalamnya memuat
nilai-nilai spiritual keagamaan berikut dengan tuntunan dalam kehidupan di jalan dharma. Di
antara susastra suci tersebut, weda merupakan yang paling tua dan lengkap, yang diikuti
dengan upanishad sebagai susastra dasar yang sangat penting dalam mempelajari filsafat
hindu. Sastra lainnya yang menjadi landasan penting dalam ajaran hindu adalah tantra, agama
dan purana serta kedua itihasa (epos), yaitu ramayana dan mahabharata. Bhagawadgita
adalah ajaran yang dimuat dalam mahabharata, merupakan susastra yang dipelajari secara
luas, yang sering disebut sebagai ringkasan dari weda.

Hindu meliputi banyak aspek keagamaan, tradisi, tuntunan hidup, serta aliran/sekte. Umat
hindu meyakini akan kekuasaan yang maha esa, yang disebut dengan brahman dan memuja
brahma, wisnu atau siwa sebagai perwujudan brahman dalam menjalankan fungsi sebagai
pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta.

Secara umum, pustaka suci hindu dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok kitab sruti dan kelompok kitab smerti.

Sruti berarti "yang didengar" atau wahyu. Yang tergolong kitab sruti adalah kitab-kitab yang
ditulis berdasarkan wahyu tuhan, seperti misalnya weda, upanishad, dan bhagawadgita.
Dalam perkembangannya, weda dan upanishad terbagi lagi menjadi bagian yang lebih kecil,
seperti misalnya regweda dan isopanishad. Kitab weda berjumlah empat bagian sedangkan
kitab upanishad berjumlah sekitar 108 buah.

1
Smerti berarti "yang diingat" atau tradisi. Yang tergolong kitab smerti adalah kitab-kitab yang
tidak memuat wahyu tuhan, melainkan kitab yang ditulis berdasarkan pemikiran dan
renungan manusia, seperti misalnya kitab tentang ilmu astronomi, ekonomi, politik,
kepemimpinan, tata negara, hukum, sosiologi, dan sebagainya. Kitab-kitab smerti merupakan
penjabaran moral yang terdapat dalam kitab sruti.

Kitab regweda dalam aksara dewanagari dari abad ke-19.

Krishna Dwaipayana Wyasa, seorang maharesi yang mengklasifikasi kitab weda.


Weda

Artikel utama untuk bagian ini adalah: weda

Weda merupakan kitab suci yang menjadi sumber segala ajaran agama hindu. Weda
merupakan kitab suci tertua di dunia karena umurnya setua umur agama hindu. Weda
berasal dari bahasa sanskerta, yaitu dari kata vid yang berarti "tahu". Kata weda berarti
"pengetahuan". Para maha rsi yang menerima wahyu weda jumlahnya sangat banyak,
namun yang terkenal hanya tujuh saja yang disebut saptaresi.
Ketujuh maha rsi tersebut yakni:

1. Resi gritsamada
2. Resi wasista
3. Resi atri
4. Resi wiswamitra
5. Resi wamadewa
6. Resi bharadwaja
7. Resi kanwa

Ayat-ayat yang diturunkan oleh tuhan kepada para maha rsi tersebut tidak terjadi pada suatu
zaman yang sama dan tidak diturunkan di wilayah yang sama. Resi yang menerima wahyu
juga tidak hidup pada masa yang sama dan tidak berada di wilayah yang sama dengan resi
lainnya, sehingga ribuan ayat-ayat tersebut tersebar di seluruh wilayah india dari zaman ke
zaman, tidak pada suatu zaman saja. Agar ayat-ayat tersebut dapat dipelajari oleh generasi
seterusnya, maka disusunlah ayat-ayat tersebut secara sistematis ke dalam sebuah buku.
Usaha penyusunan ayat-ayat tersebut dilakukan oleh Bagawan Byasa atau Krishna
Dwaipayana Wyasa dengan dibantu oleh empat muridnya, yaitu:

1. Bagawan Pulaha,
2. Bagawan Jaimini,
3. Bagawan Wesampayana, Dan
4. Bagawan Sumantu.

Setelah penyusunan dilakukan, ayat-ayat tersebut dikumpulkan ke dalam sebuah kitab yang
kemudian disebut weda. Sesuai dengan isinya, weda terbagi menjadi empat, yaitu:

1. Regweda samhita
2. Ayurweda samhita

1
3. Samaweda samhita
4. Atharwaweda samhita

Keempat kitab tersebut disebut "Caturweda Samhita".


Selain keempat weda tersebut, bhagawadgita yang merupakan intisari ajaran weda disebut
sebagai "weda yang kelima".

Bhagawadgita

Bhagawadgita merupakan suatu bagian dari kitab bhismaparwa, yakni kitab keenam dari seri
astadasaparwa kitab mahabharata, yang berisi percakapan antara sri kresna dengan arjuna
menjelang bharatayuddha terjadi. Diceritakan bahwa arjuna dilanda perasaan takut akan
kemusnahan dinasti kuru jika bharatayuddha terjadi. Arjuna juga merasa lemah dan tidak tega
untuk membunuh saudara dan kerabatnya sendiri di medan perang. Dilanda oleh pergolakan
batin antara mana yang benar dan mana yang salah, arjuna bertanya kepada kresna yang
mengetahui dengan baik segala ajaran agama.

Kresna yang memilih menjadi kusir kereta arjuna menjelaskan dengan panjang lebar ajaran-
ajaran ketuhanan dan kewajiban seorang kesatria agar dapat membedakan antara yang baik
dengan yang salah. Ajaran tersebut kemudian dirangkum menjadi sebuah kitab filsafat yang
sangat terkenal yang bernama bhagawadgita.

Bhagawadgita terdiri dari delapan belas bab dan berisi 650 sloka. Setiap bab menguraikan
jawaban-jawaban yang diajukan oleh arjuna kepada kresna. Jawaban-jawaban tersebut
merupakan wejangan suci sekaligus pokok-pokok ajaran weda.

Purana

Purana adalah bagian dari kesusastraan hindu yang memuat mitologi, legenda, dan kisah-
kisah zaman dulu. Kata purana berarti "sejarah kuno" atau "cerita kuno". Penulisan kitab-
kitab purana diperkirakan dimulai sekitar tahun 500 sm. Terdapat delapan belas kitab purana
yang disebut mahapurana. Adapun kedelapan belas kitab tersebut yakni:
1. Matsyapurana
2. Wisnupurana
3. Bhagawatapurana
4. Warahapurana
5. Wamanapurana
6. Markandeyapurana
7. Bayupurana
8. Agnipurana
9. Naradapurana
10. Garudapurana
11. Linggapurana
12. Padmapurana
13. Skandapurana
14. Bhawisyapurana
15. Brahmapurana
16. Brahmandapurana
17. Brahmawaiwartapurana
18. Kurmapurana

1
Itihasa

Itihasa adalah suatu bagian dari kesusastraan hindu yang menceritakan kisah kepahlawanan
para raja dan kesatria hindu di masa lampau dan dikombinasikan dengan filsafat agama,
mitologi, dan cerita tentang makhluk supranatural, yang merupakan manifestasi kekuatan
brahman. Kitab itihasa disusun oleh para resi dan pujangga india masa lampau, seperti
misalnya resi walmiki dan resi byasa. Itihasa yang terkenal ada dua, yaitu ramayana dan
mahabharata.

Kitab lainnya

Selain kitab weda, bhagawadgita, upanishad, purana dan itihasa, agama hindu mengenal
berbagai kitab lainnya seperti misalnya: tantra, jyotisha, darsana, salwasutra, nitisastra, kalpa,
chanda, dan lain-lain. Kebanyakan kitab tersebut tergolong ke dalam kitab smerti karena
memuat ajaran astronomi, ilmu hukum, ilmu tata negara, ilmu sosial, ilmu kepemimpinan,
ilmu bangunan dan pertukangan, dan lain-lain.

Kitab tantra memuat tentang cara pemujaan masing-masing sekte dalam agama hindu. Kitab
tantra juga mengatur tentang pembangunan tempat suci hindu dan peletakkan arca. Kitab
nitisastra memuat ajaran kepemimpinan dan pedoman untuk menjadi seorang pemimpin yang
baik. Kitab jyotisha merupakan kitab yang memuat ajaran sistem astronomi tradisional hindu.
Kitab jyotisha berisi pedoman tentang benda langit dan peredarannya. Kitab jyotisha
digunakan untuk meramal dan memperkirakan datangnya suatu musim.

V. Karakteristik

Dalam agama hindu, seorang umat berkontemplasi tentang misteri brahman dan
mengungkapkannya melalui mitos yang jumlahnya tidak habis-habisnya dan melalui
penyelidikan filosofis. Mereka mencari kemerdekaan dari penderitaan manusia melalui
praktik-praktik askese atau meditasi yang mendalam, atau dengan mendekatkan diri kepada
tuhan melalui cinta kasih, bakti dan percaya (sradha).

Umat hindu juga menyebut agamanya sebagai sanatana dharma yang artinya dharma
(ahimsa) yang kekal abadi.

Menurut kepercayaan para penganutnya, ajaran hindu langsung diajarkan oleh tuhan sendiri,
yang turun atau menjelma ke dunia yang disebut awatara. Misalnya kresna, adalah
penjelmaan tuhan ke dunia pada zaman dwaparayuga, sekitar puluhan ribu tahun yang
lalu[14]. Ajaran kresna atau tuhan sendiri yang termuat dalam kitab bhagawadgita, adalah
kitab suci hindu yang utama. Bagi hindu, siapapun berhak dan memiliki kemampuan untuk
menerima ajaran suci atau wahyu dari tuhan asalkan dia telah mencapai kesadaran atau
pencerahan. Oleh sebab itu dalam agama hindu wahyu tuhan bukan hanya terbatas pada suatu
zaman atau untuk seseorang saja. Bahwa wahyu tuhan yang diturunkan dari waktu ke waktu
pada hakekatnya adalah sama, yaitu tentang kebenaran, kasih sayang, kedamaian, tentang
kebahagiaan yang kekal abadi, tentang hakekat akan diri manusia yang sebenarnya dan

1
tentang dari mana manusia lahir dan mau ke mana manusia akan pergi, atau apa tujuan yang
sebenarnya manusia hidup ke dunia.

VI. Filsafat Hindu

Terdapat dua kelompok filsafat india, yaitu astika dan nastika. Nastika merupakan kelompok
aliran yang tidak mengakui kitab weda, sedangkan kelompok astika sebaliknya. Dalam astika,
terdapat enam macam aliran filsafat. Keenam aliran filsafat tersebut yaitu: nyaya, waisasika,
samkhya, yoga, mimamsa, dan wedanta. Ajaran filsafat keenam aliran tersebut dikenal
sebagai filsafat hindu. Kelompok nastika umumnya kelompok yang lahir ketika hindu masih
berbentuk ajaran weda dan kitab weda belum tergenapi. Hindu baru muncul selah adanya
kelompok astika. Kedua kelompok tersebut antara astika dan nastika merupakan kelompok
yang sangat berbeda (nastika bukanlah hindu).

1
Filsafat India

NASTIKA ASTIKA

BUDHA JAINA CARWAKA

Kelompok Astika
yang ajarannya
bersumber
langsung kepada
Weda

WEDANTA MIMAMSA

ADWAITA DWAITA WISISTADWAITA

Kelompok Astika
yang ajarannya
tidak bersumber
langsung kepada
Weda

YOGA SAMKHYA WAISISEKA NYAYA

Keterangan:
Kotak Abu-Abu : SAD DARSANA 1
Terdapat enam astika (filsafat hindu) - institusi pendidikan filsafat ortodok yang memandang
weda sebagai dasar kemutlakan dalam pengajaran filsafat hindu - yaitu: nyya, vaisheshika,
sskhya, yoga, mmss (juga disebut dengan prva mmss), dan vednta (juga disebut
dengan uttara mmss) ke-enam sampradaya ini dikenal dengan istilah sad astika darshana
atau sad darshana. Diluar keenam astika diatas, terdapat juga nastika, pandangan heterodok
yang tidak mengakui otoritas dari weda, yaitu:

1. Buddha,
2. Jaina dan
3. Carvaka.

Meski demikian, ajaran filsafat ini biasanya dipelajari secara formal oleh para pakar,
pengaruh dari masing-masing astika ini dapat dilihat dari sastra-sastra hindu dan keyakinan
yang dipegang oleh pemeluknya dalam kehidupan sehari-hari.

VI. Konsep Hindu

Hindu memiliki beragam konsep keagamaan yang diterapkan sehari-hari. Konsep-konsep


tersebut meliputi pelaksanaan yaja, sistem catur warna (kasta), pemujaan terhadap dewa-
dewi, trihitakarana, dan lain-lain.

VII.Hari Raya Agama HINDU

Hari raya berdasarkan wewaran

1. Galungan - jatuh pada: buda, kliwon, dungulan


2. Kuningan - jatuh pada: saniscara, kliwon, kuningan
3. Saraswati - jatuh pada: saniscara, umanis, watugunung.
4. Pagerwesi - jatuh pada: Budha Kliwon Shinta

Hari raya berdasarkan kalender saka

1. Siwaratri
2. Nyepi

Hari Raya Galungan dan Kuningan

Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung.
Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa,
wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu
disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa
dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya
sama: manis.

1
Agak sulit untuk memastikan bagaimana asal-usul Hari Raya Galungan ini. Kapan
sebenarnya Galungan dirayakan pertamakali di Indonesia, terutama di Jawa dan di daerah
lain khususnya di Bali. Drs. I Gusti Agung Gede Putra (mantan Dirjen Bimas Hindu dan
Buddha Departemen Agama RI) memperkirakan, Galungan telah lama dirayakan umat Hindu
di Indonesia sebelum hari raya itu populer dirayakan di Pulau Bali. Dugaan ini didasarkan
pada lontar berbahasa Jawa Kuna yang bernama Kidung Panji Amalat Rasmi. Tetapi, kapan
tepatnya Galungan itu dirayakan di luar Bali dan apakah namanya juga sama Galungan,
masih belum terjawab dengan pasti.

Namun di Bali, ada sumber yang memberikan titik terang. Menurut lontar Purana Bali
Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon
Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:

Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804.
Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.

Artinya:
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu
Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali
bagaikan Indra Loka.

Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan
ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba entah apa dasar pertimbangannya
pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya
memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk
pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah
datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.

Ketika Sri Dhanadi mangkat dan digantikan Raja Sri Jayakasunu pada tahun 1126 Saka,
barulah Galungan dirayakan kembali, setelah sempat terlupakan kurang lebih selama 23
tahun. Keterangan ini bisa dilihat pada lontar Sri Jayakasunu. Dalam lontar tersebut
diceritakan bahwa Raja Sri Jayakasunu merasa heran mengapa raja dan pejabat-pejabat raja
sebelumnya selalu berumur pendek. Untuk mengetahui penyebabnya, Raja Sri Jayakasunu
mengadakan tapa brata dan samadhi di Bali yang terkenal dengan istilah Dewa Sraya
artinya mendekatkan diri pada Dewa. Dewa Sraya itu dilakukan di Pura Dalem Puri, tak jauh
dari Pura Besakih. Karena kesungguhannya melakukan tapa brata, Raja Sri Jayakasunu
mendapatkan pawisik atau "bisikan religius" dari Dewi Durgha, sakti dari Dewa Siwa. Dalam
pawisik itu Dewi Durgha menjelaskan kepada raja bahwa leluhurnya selalu berumur pendek
karena tidak lagi merayakan Galungan. Karena itu Dewi Durgha meminta kepada Raja Sri
Jayakasunu supaya kembali merayakan Galungan setiap Rabu Kliwon Dungulan sesuai
dengan tradisi yang pernah berlaku. Di samping itu disarankan pula supaya seluruh umat
Hindu memasang penjor pada hari Penampahan Galungan (sehari sebelum Galungan).
Disebutkan pula, inti pokok perayaan hari Penampahan Galungan adalah melaksanakan
byakala yaitu upacara yang bertujuan untuk melepaskan kekuatan negatif (Buta Kala) dari
diri manusia dan lingkungannya. Semenjak Raja Sri Jayakasunu mendapatkan bisikan
religius itu, Galungan dirayakan lagi dengan hikmat dan meriah oleh umat Hindu di Bali.

Makna Filosofis Galungan

1
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spiritual agar mampu
membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari adharma dan mana dari budhi atma
yaitu berupa suara kebenaran (dharma) dalam diri manusia.
Selain itu juga memberi kemampuan untuk membeda-bedakan kecendrungan keraksasaan
(asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad). Harus disadari bahwa hidup
yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai
kecenderungan keraksasaan.

Galungan adalah juga salah satu upacara agama Hindu untuk mengingatkan manusia secara
ritual dan spiritual agar selalu memenangkan Dewi Sampad untuk menegakkan dharma
melawan adharma. Dalam lontar Sunarigama, Galungan dan rincian upacaranya dijelaskan
dengan mendetail. Mengenai makna Galungan dalam lontar Sunarigama dijelaskan sebagai
berikut:

Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang
apadang maryakena sarwa byapaning idep

Artinya:

Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya


mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Jadi, inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendirian
yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri.
Sedangkan segala kekacauan pikiran itu (byaparaning idep) adalah wujud adharma. Dari
konsepsi lontar Sunarigama inilah didapatkan kesimpulan bahwa hakikat Galungan adalah
merayakan me-nangnya dharma melawan adharma.

Untuk memenangkan dharma itu ada serangkaian kegiatan yang dilakukan sebelum dan
setelah Galungan. Sebelum Galungan ada disebut Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Kata Jawa
di sini sama dengan Jaba, artinya luar. Sugihan Jawa bermakna menyucikan bhuana agung
(bumi ini) di luar dari manusia. Sugihan Jawa dirayakan pada hari Wrhaspati Wage Wuku
Sungsang, enam hari sebelum Galungan. Dalam lontar Sundarigama disebutkan bahwa pada
hari Sugihan Jawa itu merupakan Pasucian dewa kalinggania pamrastista batara kabeh
(Penyucian Dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).

Pelaksanaan upacara ini adalah dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara di
masing-masing tempat suci. Sedangkan pada hari Jumat Kliwon Wuku Sungsang disebutkan:
Kalinggania amretista raga tawulan (Oleh karenanya menyucikan badan jasmani masing-
masing). Karena itu Sugihan Bali disebutkan menyucikan diri sendiri. Kata bali dalam bahasa
Sansekerta berarti kekuatan yang ada di dalam diri. Dan itulah yang disucikan.

Pada Redite Paing Wuku Dungulan diceritakan Sang Kala Tiga Wisesa turun mengganggu
manusia. Karena itulah pada hari tersebut dianjurkan anyekung jana, artinya: mendiamkan
pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan. Dalam lontar itu juga disebutkan
nirmalakena (orang yang pikirannya selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan.

Pada hari Senin Pon Dungulan disebut Penyajaan Galungan. Pada hari ini orang yang paham
tentang yoga dan samadhi melakukan pemujaan. Dalam lontar disebutkan, "Pangastawaning
sang ngamong yoga samadhi." Pada hari Anggara Wage wuku Dungulan disebutkan

1
Penampahan Galungan. Pada hari inilah dianggap sebagai hari untuk mengalahkan Butha
Galungan dengan upacara pokok yaitu membuat banten byakala yang disebut pamyakala lara
melaradan. Umat kebanyakan pada hari ini menyembelih babi sebagai binatang korban.
Namun makna sesungguhnya adalah pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat
kebinatangan yang ada pada diri.

Demikian urutan upacara yang mendahului Galungan. Setelah hari raya Galungan yaitu hari
Kamis Umanis wuku Dungulan disebut Manis Galungan. Pada hari ini umat mengenang
betapa indahnya kemenangan dharma. Umat pada umumnya melam-piaskan kegembiraan
dengan mengunjungi tempat-tempat hiburan terutama panorama yang indah. Juga
mengunjungi sanak saudara sambil bergembira-ria.

Hari Raya Saraswati

Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari sekali menurut
kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis Watugunung.

Arti Kata Sarasvati

Kata Sarasvati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang artinya mengalir. Sarasvati
berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau kolam.

Sarasvati dalam Veda

Di dalam RgVeda, Sarasvati dipuji dan dipuja lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan.
Ia juga sering dihubungkan dengan pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga
dipuja bersamaan dengan Sarasvati.

Sarasvati dalam Susastra Hindu di Indonesia

Tentang Sarasvati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama
Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber
kajian adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu
banyak. Sarasvati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya
dengan menggunakan sarana banten (persembahan).

Apabila seorangpemangku melakukan pemujaan pada hari Sarasvati, ia mengucapkan dua


bait mantra berikut :

Om Sarasvati namas tubhyam, varade kama rupini, siddhirambha karisyami, siddhir


bhavantu mesada.

Pranamya sarya-devana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,, Sarasvati
(n) namamy aham.

(Sarasvati 1-2.)

1
Hanya Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan.
Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada.

Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap istri
yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia, karena
kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu.

Om Sarasvati namotubhyam
varade kama rupini,
siddhirambha karisyami
siddhir bhavantu mesada
(Sarasvatistava I)

Om Hyang Vidhi dalam wujud-MU sebagai dewi Sarasvati, pemberi berkah, wujud kasih
bagai seorang ibu sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan
selalu berhasil atas karuniaMu
Pendahuluan

Berbagai usaha atau jalan yang terbentang bagi Umat Hindu untuk mendekatkan dirinya
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa yang sesungguhnya
tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia, untuk kepentingan Bhakti, Tuhan Yang
Maha Esa digambarkan atau diwujudkan dalam alam pikiran dan materi sebagai Tuhan Yang
Berpribadi (personal God). Berbagai aspek kekuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa
dipuja dan diagungkan serta dimohon karunia-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan
umat manusia.

Makna Penggambaran Dewi Saraswati

Tubuh dan busana putih bersih dan berkilauan. Didalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan
bahwa warna putih merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika
dalam kapasitasnya sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan
dengan Sattvam-jnanam.

Caturbhuja : memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan
sastra), aksamala (tasbih) dan kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina (di
tangan kanan depan) melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul
nadamelodi (nada - brahman) berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta atau
musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang) melambangkan ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini manusaia tidak memiliki arti. kainnya yang putih
menunjukkanbahwa ilmu itu selalu putih, emngingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni
dan tidak tercela (Shakunthala, 1989: 38).

Vahana. sarasvati duduk diatas bunga teratai dengan kendaraan angsa atau merak. Angsa
adalah sejenis unggas yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan dan
spiritual. Angsa yang gemulai mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan
sekam dengan biji-bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa mampu
membedakan antara susu dengan air sebelum meminum yang pertama. Kendaraan yang lain
adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan (Shakunthala, 1989 : 38)..
Penutup

1
Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka Sarasvati di dalam Veda pada mulanya adalah dewi
Sungai yang diyakini amat suci. Dalam perkembangan selanjutnya, Sarasvati adalah dewi
Ucap, dewi yang memberikan inspirasi dan kahirnya ia dipuja sebagai dewi ilmu
pengetahuan.

Perwujudan Dewi Saraswati sebagai dewi yang cantik bertangan empat dengan berbagai
atribut yang dipegangnya mengandung makna simbolis bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah
sumber ilmu-pengetahuan, sumber wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab
suci Catur Veda dan lain-lain menunjukkan bahwa simbolis tersebut memiliki nilai yang
sangat tinggi dengan latar belakang filosofis yang sangat dalam.

Demikian semoga Ida Sang Hyang Widhi senantiasa memberikan waranugrahanya berupa
inspirasi, kejernihan pikiran serta kerahayuan yang didambakan oleh setiap orang.

Om Sarve sukhino bhavantu, sarve santu niramayah, sarve bhadrani pasyantu, ma kascid
duhkh bhag bhavet.

Artinya :

Ya Tuhan Yang maha Esa, anugrahkanlah semoga semuanya memperoleh keselamatan


dan kebahagiaan. Semoga semuanya memperoleh kedamaian. Semoga semuanya
memperoleh keutamaan dan semuanya terbebas dari segala duka dan penderitaan.

Hari Raya Pagerwesi

Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya
ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula
rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat
walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:

"Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing
ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring
bhuana kabeh."

Artinya:

Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru
yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala
yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.

Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau
rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:

Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara.


Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca 0Maha Bhuta, sewarna anut
urip gelarakena ring natar sanggah.

Artinya:

1
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja
Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada
labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima
warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat
persembahyangan).

Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para
pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga.

Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang
paling utama bagi para Purohita adalah "Sesayut Panca Lingga" sedangkan perlengkapannya
Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi
adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun
wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan
Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan.
Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten
pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi
umat kebanyakan.

Makna Filosofi

Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha
Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata
Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam
manifestasinya sebagai guru sejati.

Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa
menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru.
Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi
diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang
Maha Esa. Karena itu inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru
yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan
memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau
sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.

Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman
sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan "pager besi" untuk
melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga
bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk "ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa
tumuwuh."

Ngawerdhiaken artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang


terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan.

Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan.

Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu:

1. Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).

1
2. Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua hewan.

3. Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada


produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila
produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada
kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki
dharma.

Kehidupan tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh.
Moral manusia akan ambruk apabila manusia dilanda kemiskinan baik miskin moral maupun
miskin material. Hari raya Pagerwesi adalah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung
dan berbakti kepada Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu ciri
manusia bermoral tanpa kesombongan.

Mengembangkan pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari manusia dari


kemiskinan material. Karena itu tepatlah bila hari raya Pagerwesi dipandang sebagai hari
untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian dan
peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat masuk menguasai manusia. Yang menarik untuk
dipahami adalah Pagerwesi adalah hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang
purohita). Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang
Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang dapat menjangkau vibrasi
Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan beliaulah yang akan
melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita adalah adi guru loka
yaitu guru utama dari masyarakat. Sang Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma
dengan tapa brata.

Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:

Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia)
manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut satya.

Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak diselimuti oleh awan
kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi spiritual dari Brahman. Vibrasi
spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat
ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga.

Ngarga adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat
tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai
disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan betul-betul amat
suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga.
Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga
dianjurkan oleh lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus
melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang
Pramesti Guru.

Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima manifestasi Siwa
untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para
pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat.
Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga,
Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata "pageh" artinya

1
"pagar" atau "teguh" sedangkan "urip" artinya "hidup". "Pageh urip" artinya hidup yang teguh
atau hidup yang terlindungi. Kata "sesayut" berasal dari bahasa Jawa dari kata "ayu" artinya
selamat atau sejahtera.

Natab Sesayut artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas
sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini melambangkan
bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan beren-cana. Tidak bisa
suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi
yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi.

Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki
Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk memuja Resi Vyasa
berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang
menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang
mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian
diuraikan dalam kitab Brahma Purana.

Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan
mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi
Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini
sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.

Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama. Walmiki
Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana
sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra
yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku
kata suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh
Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai
adi guru loka yaitu maha gurunya alam semesta.

Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar
besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat.

Hari Raya Saraswati


Hari Raya Saraswati bagi umat Hindu di Indonesia dirayakan setiap 210 hari sekali menurut
kalender Jawa Bali, yakni pada setiap Saniscara Umanis Watugunung.

Arti Kata Sarasvati

Kata Sarasvati dalam bahasa Sanskerta dari urat kata Sr yang artinya mengalir. Sarasvati
berarti aliran air yang melimpah menuju danau atau kolam.

Sarasvati dalam Veda

Di dalam RgVeda, Sarasvati dipuji dan dipuja lebih dari delapan puluh re atau mantra pujaan.
Ia juga sering dihubungkan dengan pemujaan terhadap deva Visvedevah disamping juga
dipuja bersamaan dengan Sarasvati.

1
Sarasvati dalam Susastra Hindu di Indonesia

Tentang Sarasvati di Indonesia telah dikaji oleh Dr. C. Hooykaas dalam bukunya Agama
Tirtha, Five Studies in Hindu-Balinese Religion (1964) dan menggunakan acuan atau sumber
kajian adalah tiga jenis naskah, yaitu: Stuti, Tutur dan Kakavin yang jumlahnya tidak terlalu
banyak. Sarasvati di Bali dipuja dengan perantaraan stuti, stava atau stotra seperti halnya
dengan menggunakan sarana banten (persembahan).

Apabila seorangpemangku melakukan pemujaan pada hari Sarasvati, ia mengucapkan dua


bait mantra berikut :

Om Sarasvati namas tubhyam, varade kama rupini, siddhirambha karisyami, siddhir


bhavantu mesada.

Pranamya sarya-devana ca, Paramatmanam eva ca, rupa siddhi prayukta ya,, Sarasvati
(n) namamy aham.

(Sarasvati 1-2.)

Hanya Engkaulah yang menganugrahkan pengetahuan yang memberikan kebahagiaan.


Engkau pula yang penuh keutamaan dan Engkaulah yang menjadikan segala yang ada.

Engkau sesungguhnya permata yang sangat mulia, Engkau keutamaan dari setiap istri
yang mulia, Demikian pula tingkah laku seorang anak yang sangat mulia, karena
kemuliaan-Mu pula semua yang mulia menyatu.

Om Sarasvati namotubhyam
varade kama rupini,
siddhirambha karisyami
siddhir bhavantu mesada
(Sarasvatistava I)

Om Hyang Vidhi dalam wujud-MU sebagai dewi Sarasvati, pemberi berkah, wujud kasih
bagai seorang ibu sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan
selalu berhasil atas karuniaMu
Pendahuluan

Berbagai usaha atau jalan yang terbentang bagi Umat Hindu untuk mendekatkan dirinya
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa yang sesungguhnya
tidak tergambarkan dalam alam pikiran manusia, untuk kepentingan Bhakti, Tuhan Yang
Maha Esa digambarkan atau diwujudkan dalam alam pikiran dan materi sebagai Tuhan Yang
Berpribadi (personal God). Berbagai aspek kekuasaan dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa
dipuja dan diagungkan serta dimohon karunia-Nya untuk keselamatan dan kesejahteraan
umat manusia.

Makna Penggambaran Dewi Saraswati

Tubuh dan busana putih bersih dan berkilauan. Didalam Brahmavaivarta Purana dinyatakan
bahwa warna putih merupakan simbolis dari salah satu Tri Guna, yaitu Sattva-gunatmika

1
dalam kapasitasnya sebagai salah satu dari lima jenis Prakrti. Ilmu pengetahuan diidentikan
dengan Sattvam-jnanam.

Caturbhuja : memiliki 4 tangan, memegang vina (sejenis gitar), pustaka (kitab suci dan
sastra), aksamala (tasbih) dan kumbhaja (bunga teratai). Atribut ini melambangkan : vina (di
tangan kanan depan) melambangkan Rta (hukum alam) dan saat alam tercipta muncul
nadamelodi (nada - brahman) berupa Om. Suara Om adalah suara musik alam semesta atau
musik angkasa. Aksamala (di tangan kanan belakang) melambangkan ilmu pengetahuan dan
kebijaksanaan dan tanpa keduanya ini manusaia tidak memiliki arti. kainnya yang putih
menunjukkanbahwa ilmu itu selalu putih, emngingatkan kita terhadap nilai ilmu yang murni
dan tidak tercela (Shakunthala, 1989: 38).

Vahana. sarasvati duduk diatas bunga teratai dengan kendaraan angsa atau merak. Angsa
adalah sejenis unggas yang sangat cerdas dan dikatakan memiliki sifat kedewataan dan
spiritual. Angsa yang gemulai mengingatkan kita terhadap kemampuannya membedakan
sekam dengan biji-bijian dari kebenaran ilmu pengetahuan, seperti angsa mampu
membedakan antara susu dengan air sebelum meminum yang pertama. Kendaraan yang lain
adalh seekor burung merak yang melambangkan kebijaksanaan (Shakunthala, 1989 : 38)..
Penutup

Berdasarkan uraian-uraian diatas, maka Sarasvati di dalam Veda pada mulanya adalah dewi
Sungai yang diyakini amat suci. Dalam perkembangan selanjutnya, Sarasvati adalah dewi
Ucap, dewi yang memberikan inspirasi dan kahirnya ia dipuja sebagai dewi ilmu
pengetahuan.

Perwujudan Dewi Saraswati sebagai dewi yang cantik bertangan empat dengan berbagai
atribut yang dipegangnya mengandung makna simbolis bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah
sumber ilmu-pengetahuan, sumber wahyu Tuhan Yang Maha Esa yang terhimpun dalam kitab
suci Catur Veda dan lain-lain menunjukkan bahwa simbolis tersebut memiliki nilai yang
sangat tinggi dengan latar belakang filosofis yang sangat dalam.

Demikian semoga Ida Sang Hyang Widhi senantiasa memberikan waranugrahanya berupa
inspirasi, kejernihan pikiran serta kerahayuan yang didambakan oleh setiap orang.

Om Sarve sukhino bhavantu, sarve santu niramayah, sarve bhadrani pasyantu, ma kascid
duhkh bhag bhavet.

Ya Tuhan Yang maha Esa, anugrahkanlah semoga semuanya memperoleh keselamatan dan
kebahagiaan. Semoga semuanya memperoleh kedamaian. Semoga semuanya memperoleh
keutamaan dan semuanya terbebas dari segala duka dan penderitaan.

Siwaratri

Momen Introspeksi Diri

Sebagai malam perenungan, umat mestinya melakukan evaluasi atau introspeksi diri atas
perbuatan-perbuatan selama ini. Pada malam pemujaan Siwa ini umat mohon diberi tuntunan
agar keluar dari perbuatan dosa.

1
Sementara dalam konteks kekinian, tokoh Lubdaka dalam teks cerita Mpu Tanakung dinilai
telah mengalami ''reinkarnasi'' menjadi Lubdaka-Lubdaka kontemporer. Misalnya,
bereinkarnasi menjadi orang-orang yang ''memburu'' danau, gunung, loloan, laut dan hutan,
dengan tujuan mengeruk dan menumpuk keuntungan.

Lanjut Widana, perlakuan Lubdaka kontemporer melakukan eksploitasi terhadap kawasan


yang disucikan umat Hindu itu, sangatlah kontradiktif dengan praktik yadnya yang dilakukan
umat Hindu, seperti wana kerthi, samudera kerthi, danu kerthi dan giri kerthi. Yadnya itu
digelar dengan tujuan mencapai keharmonisan alam.

Pada saat Siwaratri inilah para Lubdaka kontemporer mesti melakukan introspeksi. Mudah-
mudahan setelah itu mereka tidak berambisi mencederai danau dan menambah dosa.

Malam Siwaratri merupakan momen introspeksi diri, guna menyadari perbuatan-perbuatan


dosa atau kekeliruan selama ini.

Dikatakannya, teks-teks atau purana yang menjadi landasan perayaan Siwaratri cukup
beragam seperti Padma Purana, Siwa Purana, Siwaratrikalpa dan sebagainya. Lewat kekawin
Siwaratrikalpa karya Mpu Tanakung, umat tampaknya lebih mudah memaknai esensi
Siwaratri.

Waktu pelaksanaan Siwaratri pun dipilih yakni waktu yang paling tepat -- panglong ping 14
sasih kapitu. Saat itulah umat melakukan brata Siwaratri seperti upawasa (puasa), monobrata
(diam) dan jagra (melek atau tak tidur semalam).

Surada menambahkan, umat manusia dalam perjalanan hidupnya tentu banyak memiliki
kekurangan. Karena itu hari suci Siwaratri ini merupakan momen yang tepat untuk
melakukan perenungan atau penyadaran diri. ''Apa yang telah dilakukan selama ini. Dari
introspeksi itu diharapkan terjadi peningkatan diri atau pembenahan-pembenahan untuk
mencapai suatu keharmonisan,'' ujarnya.

Sementara dalam buku ''Memahami Makna Siwaratri'', ada sejumlah sumber Sansekerta
memuat uraian tentang Siwaratri yaitu Siwa Purana, Skandapurana, Garuda Purana, dan
Padma Purana. Sementara sumber Jawa Kuno juga memuat tentang Siwararti yakni kekawin
Siwaratrikalpa -- yang dalam kehidupan masyarakat lebih dikenal dengan sebutan kakawin
Lubdaka karya Mpu Tanakung. Karya sastra kekawin ini ternyata bersumber dari Padma
Purana.

Melalui kekawin itu, Mpu Tanakung menceritakan kisah seorang papa, si Lubdaka, yang
karena melaksanakan brata Siwaratri pada malam Siwa yang suci, akhirnya mendapat
anugerah Batara Siwa. Melalui kekawin itu Mpu Tanakung sesungguhnya telah menguraikan
aspek-aspek filsafat agama, tata susila agama dan upacara agama menurut ajaran Siwa yang
dapat dipakai pedoman dalam kehidupan.

Siwaratri mengandung ajaran penyadaran diri manusia tentang dari mana semua makhluk ini
berasal, semua makhluk hidup berkembang dan kemudian ke mana mereka lebur. Selanjutnya
dengan akal sehat, sebagaimana disiratkan dalam kitab suci, menemukan dirinya sendiri
untuk menjawab apakah realitas tertinggi yang menjadi tujuan dan asal-muasal itu ada.
Siwaratri merupakan malam yang penuh kesucian (nirmala). Umat manusia memfokuskan

1
seluruh pikirannya kepada Siwa, penguasa jagat raya. Pelaksanaan brata Siwaratri dapat
dikatakan sebagai jalan pendakian menuju pembebasan. (lun)

Hari Raya Nyepi dan Tahun Saka

Weda Sruti merupakan sumber dari segala sumber ajaran Hindu. Weda Sruti berasal dari
Hyang Maha Suci/Tuhan Yang Maha Esa (divine origin). Mantra Weda Sruti tidak dapat
dipelajari oleh sembarang orang. Karena mantra-mantranya ada yang bersifat pratyaksa (yang
membahas obyek yang dapat diindra langsung oleh manusia), ada yang bersifat adhyatmika,
membahas aspek kejiwaan yang suci (atma) dan ada yang bersifat paroksa, yaitu yang
membahas aspek yang tidak dapat diketahui setelah disabdakan maknanya oleh Tuhan.
Tingkatan isi Weda yang demikian itu menyebabkan maharsi Hindu yang telah samyajnanam
membuat buku-buku untuk menyebarkan isi Weda Sruti agar mudah dicerna dan dipahami
oleh setiap orang yang hendak mempelajarinya. Kitab yang merupakan penjabaran Weda
Sruti ini adalah Upaveda, Vedangga, Itihasa dan Purana. Semua kitab ini tergolong tafsir
(human origin).

Salah satu unsur dari kelompok kitab Vedangga adalah Jyotesha. Kitab ini disusun kira-kira
12.000 tahun sebelum masehi yang merupakan periode modern Astronomi Hindu (India).
Dalam periode ini dibahas dalam lima kitab yang lebih sistimatis dan ilmiah yang disebut
kitab Panca Siddhanta yaitu: Surya Siddhanta, Paitamaha Siddhanta, Wasista Siddhanta,
Paulisa Siddhanta dan Romaka Siddhanta. Dari Penjelasan ringkas ini kita mendapat
gambaran bahwa astronomi Hindu sudah dikenal dalam kurun waktu yang cukup tua bahkan
berkembang serta mempengaruhi sistem astronomi Barat dan Timur.

Prof. Flunkett dalam bukunya Ancient Calenders and Constellations (1903) menulis bahwa
Rsi Garga memberikan pelajaran kepada orang-orang Yunani tentang astronomi di abad
pertama sebelum masehi. Lahirnya Tahun Saka di India jelas merupakan perwujudan dari
sistem astronomi Hindu tersebut di atas.

Eksistensi Tahun Saka di India merupakan tonggak sejarah yang menutup permusuhan antar
suku bangsa di India. Sebelum lahirnya Tahun Saka, suku bangsa di India dilanda
permusuhan yang berkepanjangan. Adapun suku-suku bangsa tersebut antara lain: Pahlawa,
Yuehchi, Yuwana, Malawa dan Saka. Suku-suku bangsa tersebut silih berganti naik tahta
menundukkan suku-suku yang lain. Suku bangsa Saka benar-benar bosan dengan keadaan
permusuhan itu. Arah perjuangannya kemudian dialihkan, dari perjuangan politik dan militer
untuk merebut kekuasaan menjadi perjuangan kebudayaan dan kesejahteraan. Karena
perjuangannya itu cukup berhasil, maka suku Bangsa Saka dan kebudayaannya benar-benar
memasyarakat.

Tahun 125 SM dinasti Kushana dari suku bangsa Yuehchi memegang tampuk kekuasaan di
India. Tampaknya, dinasti Kushana ini terketuk oleh perubahan arah perjuangan suku bangsa
Saka yang tidak lagi haus kekuasaan itu. Kekuasaan yang dipegangnya bukan dipakai untuk
menghancurkan suku bangsa lainnya, namun kekuasaan itu dipergunakan untuk merangkul
semua suku-suku bangsa yang ada di India dengan mengambil puncak-puncak kebudayaan
tiap-tiap suku menjadi kebudayaan kerajaan (negara).

Pada tahun 79 Masehi, Raja Kaniska I dari dinasti Kushana dan suku bangsa Yuehchi
mengangkat sistem kalender Saka menjadi kalender kerajaan. Semenjak itu, bangkitlah

1
toleransi antar suku bangsa di India untuk bersatu padu membangun masyarakat sejahtera
(Dharma Siddhi Yatra). Akibat toleransi dan persatuan itu, sistem kalender Saka semakin
berkembang mengikuti penyebaran agama Hindu.

Pada abad ke-4 Masehi agama Hindu telah berkembang di Indonesia Sistem penanggalan
Saka pun telah berkembang pula di Indonesia. Itu dibawa oleh seorang pendeta bangsa Saka
yang bergelar Aji Saka dari Kshatrapa Gujarat (India) yang mendarat di Kabupaten Rembang,
Jawa Tengah, pada tahun 456 Masehi.

Demikianlah awal mula perkembangan Tahun Saka di Indonesia. Pada zaman Majapahit,
Tahun Saka benar-benar telah eksis menjadi kalender kerajaan. Di Kerajaan Majapahit pada
setiap bulan Caitra (Maret), Tahun Saka diperingati dengan upacara keagamaan. Di alun-alun
Majapahit, berkumpu seluruh kepala desa, prajurit, para sarjana, Pendeta Siwa, Budha dan Sri
Baginda Raja. Topik yang dibahas dalam pertemuan itu adalah tentang peningkatan moral
masyarakat.

Perayaan Tahun Saka pada bulan Caitra ini dijelaskan dalam Kakawin Negara Kertagama
oleh Rakawi Prapanca pada Pupuh VIII, XII, LXXXV, LXXXVI - XCII. Di Bali, perayaan
Tahun Saka ini dirayakan dengan Hari Raya Nyepi berdasarkan petunjuk Lontar
Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala. Hari Raya Nyepi ini dirayakan pada Sasih
Kesanga setiap tahun. Biasanya jatuh pada bulan Maret atau awal bulan April. Beberapa hari
sebelum Nyepi, diadakan upacara Melasti atau Melis dan ini dilakukan sebelum upacara
Tawur Kesanga. Upacara Tawur Kesanga ini dilangsungkan pada tilem kesanga. Keesokan
harinya, pada tanggal apisan sasih kadasa dilaksanakan brata penyepian. Setelah Nyepi,
dilangsungkan Ngembak Geni dan kemudian umat melaksanakan Dharma Santi.

Tujuan Hidup

Muwujudkan kesejahteraan lahir batin atau jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama
Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan 4 tujuan hidup
yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha.
Empat tujuan hidup ini dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135.

Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yaja. Tuhan (Prajapati),
manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan
berdasarkan yaja. Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia harus beryaja
kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryaja kepada sesama. Tawur kesanga menurut
petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yaja. Yaja ini
dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan. Dalam
Sarasamuscaya 135 (terjemahan Nyoman Kajeng) disebutkan, untuk mewujudkan Catur
Warga, manusia harus menyejahterakan semua makhluk (Bhutahita).

"Matangnyan prihen tikang bhutahita haywa tan msih ring sarwa prani."

Artinya:

Oleh karenanya, usahakanlah kesejahteraan semua makhluk, jangan tidak menaruh belas
kasihan kepada semua makhluk.

1
"Apan ikang prana ngaranya, ya ika nimitang kapagehan ikang catur warga, mng
dharma, artha kama moksha."

Artinya:

Karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjaminnya dharma, artha, kama dan
moksha.

Di dalam Agastya Parwa ada disebutkan tentang rumusan Panca Yaja dan di antaranya
dijelaskan pula tujuan Butha Yaja sbb:

"Butha Yaja namanya tawur dan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan."

Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan, karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena
hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yaja) turunlah hujan, dan yaja lahir
karena kerja.

Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan,
manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang. Dengan demikian
jelaslah, tujuan Butha Yaja melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan
sarwaprani. Upacara Butha Yaja pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu
secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan.

Dalam lontar Eka Pratama dan Usana Bali disebutkan, Brahma berputra tiga orang yaitu:
Sang Siwa, Sang Budha dan Sang Bujangga. Ketiga putra beliau ini diberi tugas untuk
amrtista akasa, pawana, dan sarwaprani. Oleh karena itu, pada saat upacara Tawur Kesanga,
upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara
spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan
Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis. Tujuan upacara Melasti
dijelaskan dalam lontar Sanghyang Aji Swa-mandala sebagai berikut:

Anglukataken laraning jagat, paklesa letuhing bhuwana.

Artinya: Melenyapkan penderitaan masyarakat, melepaskan kepapaan dan kekotoran


alam.

Lontar Sundarigama menambahkan bahwa tujuan Melasti adalah:

Amet sarining amerta kamandalu ring telenging sagara.

Artinya: mengambil sari-sari air kehidupan (Amerta Ka-mandalu) di tengah-tengah


samudra.

Jadi tujuan Melasti adalah untuk menghilangkan segala kekotoran diri dan alam serta
mengambil sari-sari kehidupan di tengah Samudra. Samudra adalah lambang lautan
kehidupan yang penuh gelombang suka-duka. Dalam gelombang samudra kehi-dupan itulah,
kita mencari sari-sari kehidupan dunia.

Pada tanggal satu sasih kadasa, dilaksanakanlah brata penye-pian. Brata penyepian ini
dijelaskan dalam lontar Sundarigama sebagai berikut:

1
"....enjangnya nyepi amati geni, tan wenang sajadma anyambut karya sakalwirnya, ageni-
geni saparanya tan wenang, kalinganya wenang sang wruh ring tattwa gelarakena semadi
tama yoga ametitis kasunyatan."

Artinya: "....besoknya, Nyepi, tidak menyalakan api, semua orang tidak boleh melakukan
pekerjaan, berapi-api dan sejenisnya juga tak boleh, karenanya orang yang tahu hakikat
agama melak-sanakan samadhi tapa yoga menuju kesucian."

Jadi, brata penyepian dilakukan dengan tidak menyalakan api dan sejenisnya, tidak bekerja
terutama bagi umat kebanyakan. Sedangkan bagi mereka yang sudah tinggi rohaninya,
melakukan yoga tapa dan samadhi. Parisada Hindu Dharma Indonesia telah mengembangkan
menjadi catur brata penyepian untuk umat pada umumnya yaitu: amati geni, amati karya,
amati lelungan dan amati lelanguan. Inilah brata penyepian yang wajib dilakukan umat Hindu
pada umumnya. Sedangkan bagi umat yang telah memasuki pendidikan dan latihan yang
menjurus pada kerohanian, pada saat Nyepi seyogyannya melakukan tapa, yoga, samadhi.

Tujuan utama brata penyepian adalah untuk menguasai diri, menuju kesucian hidup agar
dapat melaksanakan dharma sebaik-baiknya menuju keseimbangan dharma, artha, kama dan
moksha.

Jika kita perhatikan tujuan filosofis Hari Raya Nyepi, tetap mengandung arti dan makna yang
relevan dengan tuntutan masa kini dan masa yang akan datang. Melestarikan alam sebagai
tujuan utama upacara Tawur Kesanga tentunya merupakan tuntutan hidup masa kini dan yang
akan datang. Bhuta Yaja (Tawur Kesanga) mempunyai arti dan makna untuk memotivasi
umat Hindu secara ritual dan spiritual agar alam senantiasa menjadi sumber kehidupan.

Tawur Kesanga juga berarti melepaskan sifat-sifat serakah yang melekat pada diri manusia.
Pengertian ini dilontarkan mengingat kata "tawur" berarti mengembalikan atau membayar.
Sebagaimana kita ketahui, manusia selalu mengambil sumber-sumber alam untuk
mempertahankan hidupnya. Perbuatan mengambil akan mengendap dalam jiwa atau dalam
karma wasana. Perbuatan mengambil perlu dimbangi dengan perbuatan memberi, yaitu
berupa persembahan dengan tulus ikhlas. Mengambil dan memberi perlu selalu dilakukan
agar karma wasana dalam jiwa menjadi seimbang. Ini berarti Tawur Kesanga bermakna
memotivasi ke-seimbangan jiwa. Nilai inilah tampaknya yang perlu ditanamkan dalam
merayakan pergantian Tahun Saka

Menyimak sejarah lahirnya, dari merayakan Tahun Saka kita memperoleh suatu nilai
kesadaran dan toleransi yang selalu dibutuhkan umat manusia di dunia ini, baik sekarang
maupun pada masa yang akan datang. Umat Hindu dalam zaman modern seka-rang ini adalah
seperti berenang di lautan perbedaan. Persamaan dan perbedaan merupakan kodrat.
Persamaan dan perbedaan pada zaman modern ini tampak semakin eksis dan bukan
merupakan sesuatu yang negatif. Persamaan dan perbedaan akan selalu positif apabila
manusia dapat memberikan proporsi dengan akal dan budi yang sehat. Brata penyepian
adalah untuk umat yang telah meng-khususkan diri dalam bidang kerohanian. Hal ini
dimaksudkan agar nilai-nilai Nyepi dapat dijangkau oleh seluruh umat Hindu dalam segala
tingkatannya. Karena agama diturunkan ke dunia bukan untuk satu lapisan masyarakat
tertentu.

1
Pelaksanaan Upacara

Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Pelaksanaan upacara
Melasti disebutkan dalam lontar Sundarigama seperti ini: "....manusa kabeh angaturaken
prakerti ring prawatek dewata."

Umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida
Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju
samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci. Upacara dilaksanakan dengan melakukan
persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima
dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa. Sebelum Ngrupuk atau
mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan.

Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India. Dalam
upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling
desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang
upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama
Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.

Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai
berikut: di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan
upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa
dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.

Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah).


Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding.
Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari
bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng
ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk
digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak. Di bawah sanggah
cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan
olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar.

Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal
gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala
lara malaradan di halaman rumah.

Upacara Bhuta Yaja di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada
tengah hari sekitar pukul 11.00 - 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan
rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah
tangga, yaitu melakukan upacara mecaru. Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada
saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur.
Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga
kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian. Sejak tahun 1980-an, umat mengusung
ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu
kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir
Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.

Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi.
Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu

1
merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak
untuk memeriahkan upacara ngrupuk. Karena tidak ada hubungannya dengan Hari Raya
Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda
itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan,
misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala.

Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak
mengganggu ketertiban dan kea-manan. Selain itu, ogoh-ogoh itu jangan sampai dibuat
dengan memaksakan diri hingga terkesan melakukan pemborosan. Karya seni itu dibuat agar
memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara. Ogoh-
ogoh yang dibuat siang malam oleh sejumlah warga banjar itu harus ditampilkan dengan
landasan konsep seni budaya yang tinggi dan dijiwai agama Hindu.

Nah, lalu bagaimana pelaksanaan Nyepi di luar Bali? Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali
dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama hari
raya yang jatuh setahun sekali itu. Artinya, pelaksanaan Nyepi di Jakarta misalnya, jelas tidak
bisa dilakukan seperti di Bali. Kalau di Bali, tak ada kendaraan yang diperkenankan keluar
(kecuali mendapat izin khusus), namun di Jakarta hal serupa jelas tidak bisa dilakukan.

Sebagaimana telah dikemukakan, brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada
menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:

1. Amati geni (tidak menyalakan api termasuk memasak). Itu berarti melakukan
upawasa (puasa).

2. Amati karya (tidak bekerja), menyepikan indria.

3. Amati lelungan (tidak bepergian).

4. Amati lelanguan (tidak mencari hiburan).

Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi.
Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas
hidup kita semakin meningkat. Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka
melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu.

Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih
dan daya nalar yang tiggi. Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri
dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju
jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu
dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.

Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam
agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya
berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan
pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan
persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah.
Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus
ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada

1
perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun
ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.

VIII. Dewa-Dewi Hindu

Artikel utama: dewa dalam konsep hinduisme


Dalam ajaran agama hindu, dewa adalah makhluk suci, makhluk supernatural, penghuni
surga, setara dengan malaikat, dan merupakan manifestasi dari tuhan yang maha esa. Kata
dewa berasal dari kata div yang berarti beresinar. Dalam kitab suci reg weda, weda
yang pertama, disebutkan adanya 33 dewa, yang mana ketiga puluh tiga dewa tersebut
merupakan manifestasi dari kemahakuasaan tuhan yang maha esa. Di antara dewa-dewi
dalam agama hindu, yang paling terkenal sebagai suatu konsep adalah Dewa Tri Murti, yaitu :

1. Brahm,
2. Wisnu,
3. iva.

Ktiga dewa tersebut dilambangkan dengan AUM (Brahma = A. Wisnu = U dan Sywa = M).
Pelafalan dari AUM kemudian menjadi OM, seperti OM Swastyastu atau OM Shanti, Shanti,
Shanti.

Dalam kitab-kitab weda dinyatakan bahwa para dewa tidak dapat bergerak bebas tanpa
kehendak tuhan. Para dewa juga tidak dapat menganugerahkan sesuatu tanpa kehendak tuhan.
Para dewa, sama seperti makhluk hidup yang lainnya, bergantung kepada kehendak tuhan.
Filsafat advaita (yang berarti: tidak ada duanya) menyatakan bahwa tidak ada yang setara
dengan tuhan dan para dewa hanyalah perantara antara beliau dengan umatnya.

IX. Sistem Catur Warna (golongan masyarakat)

Dalam agama hindu, dikenal istilah catur warna bukan sama sekali dan tidak sama dengan
kasta. Karena di dalam ajaran pustaka suci weda, tidak terdapat istilah kasta. Yang ada
hanyalah istilah catur warna. Dalam ajaran catur warna, masyarakat dibagi menjadi empat
golongan, yaitu:

1. Brhmana : golongan para pendeta, orang suci, pemuka agama dan rohaniwan
2. Ksatria : golongan para raja, adipati, patih, menteri, dan pejabat negara
3. Waisya : golongan para pekerja di bidang ekonomi
4. Sudra : golongan para pembantu ketiga golongan di atas

Menurut ajaran catur warna, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Jadi, status
seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu
profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu. Catur warna menekankan seseorang agar
melaksanakan kewajibannya dengan sebaik-baiknya. Keempat golongan sangat dianjurkan
untuk saling membantu agar mereka dapat memperoleh hak. Dalam sistem catur warna
1
terjadi suatu siklus memberi dan diberi jika keempat golongan saling memenuhi
kewajibannya.

X. Pelaksanaan Ritual (yaja)

Dalam ajaran hindu, yaja merupakan pengorbanan suci secara tulus ikhlas kepada tuhan
yang maha esa, kepada para leluhur, kepada sesama manusia, dan kepada alam semesta.
Biasanya diwujudkan dalam ritual yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan umat hindu.
Tujuan pengorbanan tersebut bermacam-macam, bisa untuk memohon keselamatan dunia,
keselamatan leluhur, maupun sebagai kewajiban seorang umat hindu. Bentuk pengorbanan
tersebut juga bermacam-macam, salah satunya yang terkenal adalah ngaben, yaitu ritual yang
ditujukan kepada leluhur (pitra yadnya).

XI. Sekte (aliran) dalam hindu

Jalan yang dipakai untuk menuju tuhan (hyang widhi) jalurnya beragam, dan kemudian
dikenallah para dewa. Dewa yang tertinggi dijadikan sarana untuk mencapai hyang widhi.
Aliran terbesar agama hindu saat ini adalah dari golongan sekte waisnawa yaitu menonjolkan
kasih sayang dan bersifat memelihara; yang kedua terbesar ialah sekte siwa sebagai pelebur
dan pengembali yang menjadi tiga sekte besar, yaitu sekte siwa, sekte sakti (durga ), dan
sekte ganesha, serta terdapat pula sekte siwa siddhanta yang merupakan aliran mayoritas
yang dijalani oleh masyarakat hindu bali, sekte bhairawa dan sekte - sekte yang lainnya. Yang
ketiga ialah sekte brahma sebagai pencipta yang menurunkan sekte agni, sekte rudra, sekte
yama, dan sekte indra. Sekte adalah jalan untuk mencapai tujuan hidup menurut agama hindu,
yaitu moksha (kembali kepada tuhan), dan pemeluk hindu dipersilahkan memilih sendiri
aliran yang mana menurutnya yang paling baik/bagus.

Toleransi umat hindu

Agama ini memiliki ciri khas sebagai salah satu agama yang paling toleran, yang mana di
dalam kitab weda dalam salah satu baitnya memuat kalimat berikut:

Alihaksara: ekam sat vipraaha bahudhaa vadanti


Cara baca dalam bahasa indonesia: ekam sat wiprah bahuda wadanti
Bahasa indonesia: "hanya ada satu kebenaran tetapi para orang pandai menyebut-nya
dengan banyak nama."
rg weda (buku i, gita clxiv, bait 46)

Dalam berbagai pustaka suci hindu, banyak terdapat sloka-sloka yang mencerminkan
toleransi dan sikap yang adil oleh tuhan. Umat hindu menghormati kebenaran dari mana pun
datangnya dan menganggap bahwa semua agama bertujuan sama, yaitu menuju tuhan, namun
dengan berbagai sudut pandang dan cara pelaksanaan yang berbeda. Hal itu diuraikan dalam
kitab suci mereka sebagai berikut:

Samo ham sarva-bhtesu na me dvesyo sti na priyah


Ye bhajanti tu mm bhakty mayi te tesu cpy aham
1
(bhagawadgita, ix:29)

Arti:

Aku tidak pernah iri dan selalu bersikap adil terhadap semua makhluk.
Bagi-ku tidak ada yang paling ku-benci dan tidak ada yang paling aku kasihi.
Tetapi yang berbakti kepada-ku, dia berada pada-ku dan aku bersamanya pula

Ye yath mm prapadyante tms tathaiva bhajmy aham,


Mama vartmnuvartante manusyh prtha sarvaah
(bhagawadgita, 4:11)

Arti:

Jalan mana pun yang ditempuh seseorang kepada-ku,


Aku memberinya anugerah setimpal. Semua orang mencari-ku
Dengan berbagai jalan, wahai putera partha (arjuna)

Yo yo ym ym tanum bhaktah raddhayrcitum icchati,


Tasya tasycalm raddhm tm eva vidadhmy aham
(bhagawadgita, 7:21)

Arti:

Kepercayaan apapun yang ingin dipeluk seseorang,


Aku perlakukan mereka sama dan
Ku-berikan berkah yang setimpal supaya ia lebih mantap

Meskipun ada yang menganggap dewa-dewi merupakan tuhan tersendiri, namun umat hindu
memandangnya sebagai cara pemujaan yang salah. Dalam kitab suci mereka, kepribadian
tuhan yang maha esa bersabda:

Ye py anya-devat-bhakt yajante raddhaynvith


Te pi mm eva kaunteya yajanty avidhi-prvakam
(bhagawadgita, ix:23)

Arti:

Orang-orang yang menyembah dewa-dewa dengan penuh keyakinannya


Sesungguhnya hanya menyembah-ku, tetapi mereka melakukannya
Dengan cara yang keliru, wahai putera kunti (arjuna)

1
Pemeluk agama hindu juga mengenal arti ahimsa dan "satya jayate anertam". Mereka
diharapkan tidak suka (tidak boleh) membunuh secara biadab tapi untuk kehidupan
pembunuhan dilakukan kepada binatang berbisa (nyamuk) untuk makanan sesuai
swadarmanya, dan diminta jujur dalam melakukan segala pikiran, perkataan, dan perbuatan.

REFERENSI

1
Materi referensi yang dicantumkan di bawah ini, kebanyakan berupa buku dan materi cetak
yang ditulis dalam bahasa inggris.

Basham, a.l., (ed.), "a cultural history of india", oxford univeresity press, 1999. Isbn 0-19-
563921-9

Bhaskarananda, swami, "the essentials of hinduism", viveka press, 1994. Isbn 1-884852-02-
5

Bhaskarananda, swami, "meditation: mind & patanjali's yoga", viveka press, 2001. Isbn 1-
884852-03-3

Bhaskarananda, swami, "ritualistic worship and its utility"

Bhatia v.p., "secularisation of a martyrdom", organiser, 11-11998.

Coulson, michael, "sanskrit: an introduction to the classical language ", hodder &
stoughton, 1992. Isbn 0-8442-3825-2

Bowes, pratima,"the hindu religious tradition: a philosophical approach", allied pub., 1976.
Isbn 0-7100-8668-7

Encarta, hinduism

Flood, gavin (ed.), "blackwell companion to hinduism", blackwell publishing, 2003. Isbn 0-
631-21535-2

Frawley, david, "hinduism and the clash of civilizations", voice of india, 2001. Isbn 81-
85990-72-7

Fox, michael allen, "deep vegetarianism", temple univeresity press, 1999. Isbn 1-56639-
705-7

Fuller, c.j., "the camphor flame", princeton univeresity press, 2004. Isbn 0-691-12048-x

Harshananda, swami, "a bird's eye view of the wedas" in "holy scriptures: a symposium on
the great scriptures of the world" (2d ed.). Isbn 81-7120-121-0

Klostermaier, k, "a survey of hinduism", suny press, 1994.

Mani, vettam, "puranic encyclopedia", motilal, delhi, 1998. Isbn 81-208-0597-6

Mcgregor, r.s., "the oxford hindi-english dictionary", oxford univeresity press, 5th ed.,
1999. Isbn 0-19-563846-8

Michaels, alex, "hinduism: past and present", princeton univeresity press, 2004. Isbn 0-691-
08953-1

Monier-williams, monier, "brahmanism and hinduism", new york, 1891.

1
Monier-williams, monier, "religious thought and life in india", oriental books reprint, 1974.

Monier-williams, monier, "monier-williams sanskrit dictionary", nataraj books, 2006, isbn


1-881338-58-4

Nikhilananda, swami, "the upanishads: a new translation", vol. I (5th ed) 1990. Isbn 0-
911206-15-9

Nikhilananda, swami (trans.), "gospel of sri ramakrishna", 1992. Isbn 0-911206-01-9

Oberlies, t, "die religion des rgweda", vienna 1998.

Osborne, e, "accessing r.e. Founders & leaders, buddhism, hinduism and sikhism teacher's
book mainstream.", folens limited, 2005.

Radhakrishnan, s. (trans.), "bhagavad gita", harper collins, 1995. Isbn 1-85538-457-4

Renou, louis, "the nature of hinduism", walker, 1964.

Rinehart, robin (ed.), "contemporary hinduism", 2004. Isbn 1-57607-905-8

Sargeant, winthrop, "introduction to 'the bhagavad gita' ", new york, 1984. Isbn 0-87395-
831-4

Sinha, h.p., "bharatiya darshan ki ruparekha" (features of indian philosophy). Motilal


banarasidas publ., 1993. Isbn 81-208-2144-0

Supreme court of india, "brahmachari siddheshwar shai v. State of west bengal".

Vivekananda, swami, "complete works of swami vivekananda". Isbn 81-85301-75-1

Vivekananda, swami, "vedanta, voice of freedom:, ed. Swami chetanananda , 1990. Isbn 0-
916356-63-9

Vivekananda, swami, "jnana yoga", kessinger publishing, 2005. Isbn 1-4254-8288-0

Werner, karel, "a popular dictionary of hinduism", curzon press, 1994. Isbn 0-7007-0279-2

Anda mungkin juga menyukai