Anda di halaman 1dari 150

SEKOLAH TINGGI AGAMA HINDU

SHANTIKA DHARMA MALANG

SIWA TATTWA
Malang 2023
PENGANTAR
Tattwa merupakan salah satu bagian pokok Agama Hindu disamping Susila dan upacara. Oleh karena itu
pemahaman terhadap tattwa amatlah perlu, karena merupakan bagian yangsangat mendasar.
Weda sebagai kitab suci agama Hindu merupakan sumber utama ajaran tattwa. Dalam
perkembangannya Weda melahirkan sekte-sekte seperti Brahmia, Waisnawa dan Siwa atau Saiwa. Lebih
lanjut sekte-sekte itu sendiri masih melahirkan sub sekte-sub sekte lagi.
Dalam perkembangannya di Indonesia agama Hindu lebih menampakkan sekte Siwa, walaupun
dalam sejarahnya aliran-aliran dalam sekte-sekle Siwa juga pernah berkembang di sini. Aliran-aliran atau
paksa-paksa itu akhirnya menyatu kembali dan hanya sisa-sisanya dapat dirasakan.
Siwa sangat dihormati dan menempati yang tertinggi dalam sekte Siwa, demikian pula Wisnu
menempati yang tertinggi dalam sekte Wisnu dan sangat dihormati pula. Dalam agama Hindu di
Indonesia semuanya mendapat penghormatan.
Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi Wasa dalam naskah-naskah tattwa umumnya
disebut Bhatara Siwa, oleh karena itu Siwa tattwa pada hakekatnya adalah Widhi Tattwa.
Siwa tattwa dalam buku ini diangkat dari berbagai sumber diharapkan dapat menjadi pedoman
mengajar. Sangat diyakini naskah ini belum lengkap, untuk kesempurnaannya tentulah perlu juga
mempelajari dari sumber-sumbernya yang asli, ataupun naskah-naskah lainnya.
Sumbang saran dari berbagai pihak sangat diharapkan, semoga naskah ini dapat menggugah,
dan semoga pikiran-pikiran yang baik datang dari segenap penjuru.

Penyusun

1. PENDAHULUAN
1.1 Pengertian Siwatattwa

Istilah Siwa tattwa terdiri dari kata Siwa dan tattwa. Kata Siwa merupakan sebutan atau gelar
yang . dipergunakan untuk menyebut nama Tuhan yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi
Wasa.Sedang kata "atwa" berasal dari kata "tat" dalam bahasa Sansekerta yang artinya "itu".
Menjadi kata tattwa yang dapat diterjemahkan dengan "hakekat, kebenaran atau kenyataan"
dalam bahasa Indonesia, Siwa tattwa mengandung pengertian kebenaran tentang Siwa atau
pengetahtan tentang kebenaran Siwa sebagai - TuhanYang MahaEsa.
Dalam lontar-lontar. di Bali kata tattwa inilah yang dipakai untuk menyatakan kebenaran itu.
Karena kebengran Itu dipandang dari segi yang berbeda-beda, maka kebenaran itupun ampak
berbeda-beda sesuai dengan dari segi mana memandangnya, walaupun kebenaran itu satu
adanya. demikian pula gambaran orang tentang Tuhan Yang Maha Esa juga bermacam-macam.
Dalam sraddha agama Hindu keyakinan terhadap kebenaran Tuhan Yang Maha Esa atau Sang “
Hyang Widhi Wasa disebut Widhi Tattwa, tentang atma disebut atma tatiwa. Tentang Siwa
sebagai gelar yang dipergunakan untuk menyebut Sang Hyang Widhi Wasa pada umumnya
dipergunakan nama Bhatara Siwa.

1.2 Sumber Ajaran Siwatattwa

Tuhan Yang Maha Esa menurut ajaran agama Hindu adalah Nirguna dan Saguna Brahman,
Transcendent dan Immanent, Personal dan Impersonal. Dalam prakteknya umat yang awam
menempuh jalan Bhakti dan Karma marga, memuja Tuhan yang personal, sebaliknya yang
memiliki pengetahuan dan kemampuan rohani yang lebih tinggi menempuh jalan Jnana Marga
dan Yoga memuja Tuhan yang Impersonal. Tentu akan ideal sekali apabila orang mampu
menempuh ketiga marga tersebut sekaligus secara seimbang, apalagi kalau disertai
pemahaman dan penghayatan Siwa Tattwa yang mendalam.
Sumber ajaran Siwa tattwa yang pertama adalah Weda. Kitab-kitab Sruti banyak memuat uraian
tentang Tuhan. Ajaran ketuhanan dalam agama Hindu disebut Brahma Widya. Dalam Brahma
Widya di bahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, ciptaannya, termasuk manusia dan alam
semesta. Dari Weda semua ajaran itu mengalir dan meresapi seluruh ajaran agama Hindu.
Dalam Weda, Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan berbagai nama, bahkan ribuan nama,
stahma sahasra nama, Wisnu sahasra nama demikian juga Siwa sahasra nama. Walaupun
disebut dengan sahasra nama pada hakekatnya Tuhan telap Maha Esa, seperti salam mantra-
mantra Weda berikut :
Indram, Mitram. Warunam, Agnim, ahur atho diwyah se suparno Garutman, ekam sad wipra
bahudha Wadantyaghim, Yamam, Matariswanam ahuh
(R9 Weda 1.164.46)
Artinya :
Mereka menyebut Indra, Mitra, Waruna, Agni dan Dia yang bercahaya, yaitu Garutman, yang
bersayap elok, Yang Maha Esa itu, oleh orang-orang bijaksana disebut dengan banyak nama,
seperti : Agni, Yama, Matariswan.

Tad Eva Agnis Tad Vayus Tad U Candramah, Tad eva Sukra
Tad Brahma Tad Apah Ca Sa Prajapatih.
(Yajur weda XXXII1)
Artinya :
Agni hanyalah itu, Aditya hanyalah itu, Wayu hanyalah itu. candra adalah Itu, Cahaya adalah Itu,
Brahma adalah Itu, Apah adalah Itu, Prajapati adalah Dia.

Yo ‘Savaditye Purusa So' Savaham .


(Yajur Weda XL.17)
Artinya :
Kekuatan yang menjadikan matahari bersinar itu adalah Aku yang tunggal.

Masih banyak mantra-mantra dalam kitab-kitab Weda yang membahas hakekat Tuhan
Yang Maha Esa. Dalam uraian Weda Yang Maha Esa itu selalu disebut dengan rama dewa-dewa
Sumber Siwa tattwa selanjutnya adalah kitab-kitab upanisad. Pada jaman dahulu usaha
untuk mempelajari Weda dilaksanakan di tempat-tempat pendidikan Hindu Kuna yang disebut
Sakha. Pada Sakha inilah masing-masing bagian mantra Weda Samhita itu dipelajari secara
intensif. Dari sakha-sakha inilah lahir kitab-kitab Upanisad. Tiap-tiap Weda memiliki kitab-kitab
Upanisad, sehingga kitab upanisad itu banyak jumlahnya.
Dalam Upanisad Tuhan Yang Maha Esa dibahas dalam dialog antara siswa-dan guru
spiritual dalam kelompok diskusi. Upanisad sendiri artinya duduk dibawah dekat guru (acarya).
Jadi upanisad memuat pokok-pokok ajaran guru Sejati untuk: siswanya atau sadhana, seperti
dalam mantra-mantra berikut :

Yo devo'gnam yo'psu visvam bhuvana mavivesa, Ya asadhisu yo


vanaspatisu tasmai devaya namonamah
(Sveta svatara Upanisad 41.17)

Artinya :
Sujud kepada Tuhan Yang Maha Esa yang ada dalam api, yang ada dalam air, yang meresapi
seluruh alam semesta yang ada Jalam pohon-pohon kayu.
Isavasyam idam sarvam yat kinca jagatyam jagat, tena
tyaktena bhunjitha magrdhah kasyasviddhanam
(isa Upanisadi1)
Artinya :
Sesungguhnya yang dialam ini, yang berjiwa ataupun tidak berjiwa dikendalikan oleh Isa
(Brahman), oleh karena itu orang hendaknya menerima apa yang perlu dan diperuntukkan
baginya dan tidak menginginkan milik orang lain.

Brahmavid apnoti param tad eva bhyukta satyam jnanam anantam Brahman, veda nihitam
guhayah parame vyman so'snute kaman vipascita iti. '
(Taittird Upanisad 2.1.1)
Artinya
Ia yang mengetahui Brahman sebagai Kebenaran, Pengetahuan dah tidak terbatas, Ia yang
tersembunyi di dalam rongga hati dan Ia yang sangat juuh di ruang angkasa. Ia yang terpenuhi
segala keinginannya dalam Kesatuan dengan Brahman, Ia yang maha mengetahui.

Demikiantah mantra upanisad ini menjelaskan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah
Brahman, "Nang Maha Benar, Maha Tahu, dan tidak ada sesualli apapun yang membatasi
kebesaran dan « kemahakuasaanNya.
Kitab-kitab Itihasa dan Purana uga memuat uraian-yraian enteng Siwa latiwa sesuai gaya
bahasa - masing-masing. Dalam itihasa misalnya kegaiban Tuhan Yang Maha'Esa digambarkan
seperti api dalam C kayu, bagaikan minyak dalam santan, Ia akan hadir disaat orang berbicara
tentang kebenaranNya dan lain sebagainya.
Kitab Purana merupakan "sejarah kuna" yang isinya mencefitakan tentang dewa-dewa,
raja-raja dan rsi-rsi pada jaman dahulu. Biasanya purana memuat cerita tentang Dewa Wisnu,
Vayu, Varaha, : Agni, Matsarya, Kurma, Vamana, Skanda dan lain-lalnnya. Purana juga
mengajarkan beberapa ilmu, seperti: upacara agama, filsafat hidup, tagu-lagu, tari-tarian,
drama, lukisan, pemerintahan | hak rakyat dan - sebagainya. Tentang dewa-dewa atau
ketuhanan misalnya :

Sa eva visvasya bhavan vidhatte


Guna prayahena vi bhaktaviryah
Svargadyaniho vita tha bhisandhir
Atmes varo tarkya sahasra saktih
(Srimad bhagavata 3.33.3)
Artinya :
Ya Tuhan Yang Maha Esa menciptalah engkau ke dunia ini dengan kekuasaan Mu, dengan aliran
guna Mu, satwam rajas dan tamas, Ya Tuhan Yang Maha Esa ribuan kekuasaanMu, Engkau
yang terbesar diantara yang lain.

Di Bali banyak dijumpai lontar-lontar tattwa yang membahas tentang Siwa tattwa, pada
umumnya menyebut Tuhan Yang Maha Esa dengan Bhatara Siwa. Teknik penyaiiannya pada
umumnya berbentuk , dialog antara guru spiritual dengan sisya nya, membahas lentang
hakekat Bhatara Siwa. Dalam Wrhaspati ! Tallwa misalnya tokoh guru spiritual di perankan oleh
Sang Hyang Iswara di puncak gunung Kailasa : dengan siswanya Bhagawan Wrhaspati yang
menanyakan tentang hakekat kebenaran Bhatara Siwa.

1.3 Ruang Lingkup Siwa Tattwa

Dari demikian banyaknya kitab-kitab dan lontar yang membahas tentang taltwa
menunjukkan bahwa ajaran Siwa tatwa menduduki tempat penting dan mencakup uraian yang
luas dalam ajaran agama Hindu. Dalam Siwa tattwa ini akan dibahas mulai dari Siwaisme di
Indonesia, dan aliran-alirannya, tentang ajaran Tanira yang dapat dikategorikan merupakan
bagian dari ajaran Siwa.
Uraian tentang ketuhanan mencakup hakekat Siwa sebagai Tuhan Yang Maha Esa dalam
tingkat Nirguna Brahman yang disebul Paramasiwa, Siwa dalam tingkat Saguna Branman yang
disebut Sadasiwa. Tatwa dan Siwa dalam tingkatan yang lebih rendah setelah terkena pengaruh
maya dan dikuasai oleh awidya disebul Siwatma tatwa. Dalam tingkat ini kesadaran aslinya
hilang la berwujud atma yang bersemayam dalam tiap makhluk hidup. Uraian tentang bhuwana
agung dan bhuwana alit, uraian tentang ajaran kelepasan yang membahas jalan bagi atma
untuk dapat kembali bersatu dengan sumbernya, diangkat dari lontar Bhuwana Kosa,
Wrhaspati tatwa, Tattwa jnana, Ganapati Tatiwa, Mahajnana, Buwana sangksepa dan lontar
Jnana Siddhanta.
Dalam kehidupan beragama Hindu di Indonesia di bahas tentang Siwa taltwa dalam
upakara-upakara, dalam tempat-tempat pemujaan dan dalam puja.yang bisa dipergunakan
pada saat-saat dilaksanakan upacara-upacara keagamaan.
Demikianlah ruang lingkup Siwa tattwa.

2. SIWAISME
2.1 Pengertia Siwaisme

Dalam Siwaisme Siwa diyakini sebagai Tuhan Yang Maha Esa' dan merupakan obyek
pemujaan yang .teringgi, Siwaisme merupakan-salah satu sekte yang terpenting dan yang
terbanyak pengaruhnya di Indonesia, Banyak warisan pemikiran dari sekte Ini seperti Gandi-
Candi besar peninggalan sejarah. Sekte Saiwa memiliki 28 kitab agama dan kamika agama yang
dianggap paling penting.
Selain kitab-kitab agama pegangan utama lainnya dalam sekte Saiwa ini adalah kitab-kitab
Weda? “Sruti dan juga Smrti (Dharma sastra). Agak berbeda dengan sekte-sekle lainnya, dalam
sekte Saiwa tiap agama dianggap mempunyai upagama seperti halnya upaweda untuk tiap-tiap
Weda (Sruti). Siwa merupakan pusat perhatian tertinggi, dan pada sekte ini tidak ada
perbedaan pengikut atas dasar warna apapun profesi, demikian juga tidak ada perbedaan
antara pengikut laki-laki dan perempuan, jadi setiap orang bebas mengikuti agama ini. Sebagai
akibat dari sistem social ini ajaran agama tidak menekankan pada catur warna, sehingga
siapapun dapat menjadi Pandita (Dwijati). Selain sekte Saiwa sekte-sekte lainnya yang besar
dalam Hindu adalah Waisnawa dan Brahmanisme. Antara sekte Waisnawa dengan sekte Siwa
sejak jaman dahulu terdapat persaingan, sehingga kadang kala tampak seperti pertentangan.. '
Persaingan yang sehat pada hakekatnya merupakan perlombaan, bukan pertentangan namun
merupakan usaha untuk meningkatkan kualitas spiritual. Dalam perkembangan kemudian sekte
Brahmanisme tidak menonjol.

2.2 Aliran Siwaisne

Dalam Hinduisme terdapat kebebasan yang luas. Berbagai type pemikiran dan temperamen
melahirkan berbagai keyakinan, tumbuh dan berkembang menjadi sekte-sekte. Hal ini wajar,
walaupun masing-masing Sekte menampilkan ciri-ciri penting yang berbeda. HinYuisme
mewadahi semuanya dan itu merupakan ajaran utama. Dalam Hinduisme juga tersedia tempat
bagi semua type roh dari yang terendah sampai yang tertinggi tingkatannya, demi'untuk
pertumbuhan dn evolusi mereka menuju kepada yang lebih sempurna.

Perbedaan bukanlah pertentangan, walaupun sumber berbagai keyakinan, karena sebagai


dinyatakan dalam Rgweda "Ekam Sat Wipra Bahuda Wadanii, kebenaran itu satu tetapi orang-
orang bijak menyebutnya dengan berbagal nama", Upanisad menyatakan bahwa semua jalan
menuju tujuan yang sama, bagaikan lembu dengan berbagai warna bulu tetapi semua
menghasilkan susu berwarna putih yang sama, Demikian juga Bhagawad gita menyatakan
sabda Sri Kresna : jalan manapun ditempuh manusia menuju kepadaKu semuanya Kuterima,
dari mana-mana mareka semua menuju jalanKu. Jadi Hinduisme menampung semua
perbedaan-perbedaan Itu.
Siwaisme sebagai salah satu sekle besar dalam Hindu juga mempunyai ciri sama,
didalamnya juga terdapat aliran-aliran. Secara garis besar terdanat dua aliran dalam Siwaisme.
yaitu Siwa Siddhanta yang berkembang di India bagian Selatan dan Siwa kasmira yang
berkeimbang terutama di Kasmir dan India bagian Utara, Aliran ini juga disebut pratibhijna.
Siwa Siddhanta yang berkembang di India bagian Selalan mempunyai beberapa sub lagi.

Brahmana smarta
Para brahmana dari Tamil Nadu memakai gelar Aiyer, mereka mengenakan 3 garis
mendatar dari Bhasma dan Wibhutl (abu suci) pada dahinya, mereka Ini disebut Smarta. Sekte
ini masih mempunyai sub sekte lagi, yaitu :
1. Wadama : Wada desa Wadama, Cola desa Wadama, dan Inji Wadama.
2. Brihatcaranam : Mazhalnatu Brikat caranam, Pazhamaneri Brikatcaranam,:
Milaghu Brihat caranam dan Kandra manika Brihat caranam.
3. Wathimar
4. Asta sahasram
5. Cdliya, dengan sebutan lain Pandimar dan adat Istiadat dari Tirucendur,
6. Gurukkal

Masih ada satu sub sekte dari wadama tidak diakui sebagal salah satu Jiantara mereka dan
kewajibannya adalah memuja di kuil-kuil. Mereka juga dikenal dengan nama Pattar di distrik
Madras bagian Selatan. Mereka Ini berbeda dengan Acraka yang merupakan milik dari salah
satu sekte tadi. Mereka Ini saling kawin.dengan golongan-golongan lain, namun bukan dari
golongan Guruhkal atau Pattar.

Brahmana Siwa dari Malabar, densan sub sekte:


1) Nambudiri
2) Muse
3) Embantini .

Brahmana dari Bengala, densan sub sekte :


1) Cakrawarti
2) Cunder
3) Roy
4) Ganguli
5) Coudhury
6) Biswa
7) Bagci
8) Majumdar
9) Bhattacanji

Brahmana Siwa karnataka dengan sub sekte :


1) Smarta
2 Hariga
3) Kota
4) Siwali
5) Tantri
6) Kandi
7) Padya

Telugu Smarta dengan sub sekte :


1) Murkinadhu
2) Welandu
3) Karanakammalu
4) Puduru Drawidi
5) Tlahanyam
6) Konasimadrawidi
7) Aruweda Niyopi,

Lingayat, mereka juga disebut Wirasalwa, dan banyak di jumpai di Mysore dan Kamataka,
mereka mengenakan sebuah Lingga Siwa yang diletakkan dalam sebuah katak perak kecil pada
lehernya.

Sekte Siwa lainya seperti : Akas mukhi, gudara, jangama, karalingi, nakhi, rukhara, sukhara,
urdhabahu dan ukkara.

Siwakasmira atau pratibhijna yang berkembang di India Utara berkembang sampai ke


wilayah-wilayah bekas kerajaan Kaniska sekitar awal tahun Masehi. Agama ini juga
berkembang meluas sampai kewilayah Tiongkok yang Selanjutnya bersamaan dengan
datangnya orang-orang China ke Indonesia menyebar pula ajaran agama ini di Indonesia. Ajaran
Siwa Siddhanta yang berkembang di India bagian selatan tenyata menyebar pula sampai ke
Indonesia.

2.3 Siwaisme di Indonesia


Untuk memahami Siwaisme di Indonesia, perlu dikaji perktimbangan agama Hindu di
wilayah ini dari jaman tertua sampai masa setelah kemerdekaan. Hal ini. pehting karena
sebagai diketahui sesuai fakta sejarah, bahwa Majapahit inilah yang dapat mewujudkan wilayah
nusantara yang menjadi cikal bakal wilayah Republik Indonesia. Runtuhnya kerajaan Majapahit
juga merupakan awal suramnya sejarah nusantara karena akan munculnya babakan baru, masa
penguasaan asing berupa penjajahan dan suramnya pengaruh Hindu di Indonesia. Setelah
jaman kemerdekaan hanya di Bali penduduknya yang terang-terangan menganut Hindu dan
berani mengaku hindu.
Maraknya pembinaan agama Hindu di Indonesia sejak putra-putra Bali karena berbagai
alasan banyak yang. bermukim di berbagai wilayah dan kota-kota di Indonesia. Suasana
kemerdekaan dan pengakuan hak-hak azasi merangsang keberanian periduduk di berbagai
wilayah untuk menyatakan diri Hindu yang sebelumnya dianygap menganut tradisi leluhur
warisan nenrk moyang. Muncullah pengakuan penduduk di berbagai wilayah di Jawa, yang
dulunya merasa sebagai penganut Butdha Jawi Wisnu dan lain-lain, penduduk Kalimantan
Tengah sebagai Hindu Kaharingan, demikian juga Tolotang di Sulawesi Selatan, kepulauan Kai,
pulau Buru dan lain sebagainya Dengan kondisi sepeiti itu Hindu di Indonesia mengacu kepada
Hindu di Bali.
Banyak teori tentang masuknya agama Hindu ke Indonesia, tetapi teori-teori itu belum ada
yang dapat menentukan dengan pasti kapan agama Hindu untuk pertama kalinya masuk ke
Indonesia.
Dalam sastra-sastra klasik India yang sampai saat ini 'masih digemari masyarakat terdapat
keterangan-keterangan tentang wilayah nusantara seperti dalam buku Aria Sastra karya
Kautilya Maha mentri kerajaan Maurya. Dinyatakan bahwa sejak 300 tahun sebelum Masehi
pada jaman pemerintahan dinasti Maurya pelaut-pelaut India sudah sering berlayar pada lautan
di sekitar pulau-pulau dan negaranegara Asia Tenggara sekarang ini. Negeri-negeri di sebelah
Timur laut teluk Benggala disebut negeri-negeri Swarna Dwipa, Kudiaka Dwipa dan lain-lain.
Tujuan mereka adalzh mencari barang-barang yang sulit di dapat seperti kayu cendana,
rempah-rempah dan bahan-bahan mentah lainnya.
Epos Ramayana bagian Kiskinda kanda banyak menguraikan daerah-daerah yang harus
dijelajahi para wanara untuk mencari Dewi Sita, diantaranya Wawa Dwipa, Brahma Rsi Ora
dipastikan pegunungan bromo dan Udaya Parwata adalah Gunung Agung di Bali. Jadi wilayah
nusantara sudah cukup lama dikenal. Tidak menutup kemungkinan pelautpelaut India itu juga
menyebarkan agama Hindu dengan berbagai sektenya.

Data-data sejarah peninggalan-peninggalan kerajaan-kerajaan masa lalu banyak di dapati


tersebar di berbagai wilayah Indonesia.. Ada kesepakatan berdasarkan data tertulis yang ada
dan dianggap tertua usianya adalah #prasasti batu 'berbentuk berupa peninggalan kerajaan
Kutai Kalimantan Timur yang diperkirakan dari tahun 400 Masehi sebagai awal berkembangnya
agama hindu di indonesia.
Dalam prasasti batu yang berbahasa Sansekerta itu ada tercantum kata Vaprakeswarayan
berasal dari kata "Vapraka" dan "Isvara", yang diartikan tempat suci untuk memuja Iswara.
Iswara adalah salah satu ista dewata atau manifestasi Tuhan, Siwa, Sadasiwa Dengan demikian
dapat dipastikan bahwa agama Hindu yang masuk ke Indonesia pada saat itu adalah Sekte Siwa.
Berbeda dengan Kutai di Kalimantan Timur, di Jawa Barat di erkiakan en aruh Hindu mula
pada abad kelima yang ditandal munculnya kerajaan Taruma yang meninggalkan tujuh buah
prasasti batu bertulis dengan menokohkan. wisnu sebagai pusat pemujaan yang diyakini
memberikan kemakmuran. Hal ini ditanda dengan gambar telapak kaki seperti telapak kaki
Wisnu pada prasasti dan penemuan arca Penunggu di cibuaya yang memakai atribut-atribut
Wisnu.
Pada prasasti Tukmas terdapat gambar-gam»-r yang menunjukkan atribut dewa-dewa Tri
Murti seperti Trisula, kendi dan cakra, juga terdapat gambar kapak. Trisula adalah atribut Siwa,
kendi atribut Brahma, cakra atribut Wisnu, dan kapak adalah atribut Ganesa atau Ganapati.
Dengan adanya atribut Ganesa, dapat dipastikan bahwa pada jaman itu yang dianut
adalahHindu sekte Siwa atau Siwaisme.
Lebih jelas lagi dalam prasasti Canggal yang berangka tahun 732 Masehi di keluarkan oleh
raja Sanjaya. Prasasti ini diantaranya menyatakan tentang pendirian lingga di bukit sthirangga
dengan tujuan ? untuk keselamatan seluruh rakyat. Walaupun lingganya sudah tidak ada tetapi
yoni sebagai dasar lingga masih tampak sampal sekarang. Lingga dan yoni adalah satu kesatuan
bangunan suci untuk memuja Siwa, Walau lingga juga melambangkan dewa-dewa Tri Murti
tetapi Siwalah yang paling menonjol.
Yang jelas-jelas menunjukkan sekte Siwa adalah Candi Prambanan yang oleh penduduk di
beri nama candi Loro jonggrang. Disinipun sesungguhnya dewa-dewa tri murti juga dihormati
tetapi Siwalah yang paling di tonjolkan. Arca dewa-dewa Tri Murti diletakkan dalam candinya
masing-masing. Candi induk Siwa terletak di tengah-tengah merupakan candi yang paling besar
dan mempunyai empat ruang.

1. ruang menghadap ke timur berisi patung siwa mahadewa


2. ruang menghadap ke selatan berisi patung siwa mahaguru
3. ruang menghadap ke barat berisi patung ganesa
4. ruang menghadap ke utara berisi patung pradnya paramita (durgha)

Dengan gambaran ini jelas sekali penonjolan Siwa pada candi Prambanan, walaupun dewa-
dewa Tri Murti juga dihormati.
Pada jaman kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa Timur ajaran Siwa terus berkembang
walaupun pada jaman itu agama Buddha juga berkembang bahkan tampak jada perpaduan
dengan agama Siwa. Pada jaman ini pula muncul dan suburnya kesusastraan agama, seperti
bhuwana kosa, Bhuwana sangksepa, Wrhaspati taltwa dan lain-lain yang mempergunakan
bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna. Buku-buku keagamaan ini bukanlah merupakan uraian
falsafah yang berdiri sendiri melainkan ajaran-ajaran untuk praktek yoga. Yoga adalah cara atau
jalan orang untuk berusaha bersatu kembali dengan zat yang Maha tinggi, zat yang mutlak.
Dengan praktek Dhyana dan Samadhi yaitu renungan terdapat Siwalingga yaitu Siwa yang
terdapat di alam semesta dan pada bagian tubuh terdalam pada badan manusia upaya
penyatuan kembali itu ditempuh.
Dari data yang ada di ketahui pula banyak kerajan-kerajaan hindu di jawa tengah dan jawa
timur yang erkembang pula agama budha dan juga sekte tantra yana. Bahkan terjadi perpaduan
antara agama budha dan agama siwa.
Selain dari data-data sejarah yang telah diketahui ceritera-ceritera rakyat dan tradisi yang
masih hidup subur dikalangan masyarakat pada berbagai suku juga menunjukkan
perkembangan agama Hindu di masa lalu. Bahkan tradisi-tradisi yang masih dihormati dan
dipatuhi, banyak menyadarkan mereka bahwa mereka sesungguhnya adalah penganut ajaran
Hindu.
Berdasarkan ceritera rakyat yang disampaikan dari mulut ke mulut oleh para tetua di pulau
Buru mereka yakin bahwa agama Hindu di daerah ini disebarkan langsung oleh pandita-pandita
dari India di jaman dulu. Selain berdasarkan ceritera-ceritera bahwa agama Hindu disebarkan
oleh orang-orang India, peninggalannya yang masih dapat diketahui adalah pengetahuan
penduduk tentang nama Rsi Agastya, dan Baradwaja, yang dalam agama Hindu dikenal sebagai
kelompok Sasta Rsi penerima wahyu, sedang penduduk mengenalnya sebagai tujuh orang suci.
Begitu pula penduduk mengenal agama Bhagawan Walmiki an termasuk sebasai adi kawya
menyusun epos Ramayana Penduduk juga mengenal simbol dari kain atau benang merah
putih dan hitam, warna merah dan hitam sebagai simbol penjaga manusia dan alam. Sedangkan
warna putih banyak dipakai dalam upacara pemujaan. Warna merah, hitam dan putih adalah
warna Trimurti, Brahma, Wisnu dan Siwa atau Iswara.
Di lingkungan umat Hindu di tanah Karo Sumatera Utara, sebelumnya keyakinan mereka
disebut Pebegu, Bebegu atau Pelebegu. Nama ini dapat dihubungkan dengan pama Bhagawan
Bhrgu, salah seorang Maharsi agama Hindu. Ada kemungkinan pada jamah dahulu di wilayah
Ini agama Hindu disebarkan oleh Bhagawan Bhrgu atau murid-muridnya.
Buku-buku keagamaan yang pada jaman kerajaan-kerajaan. Hindu banyak yang kini diwarisi
di Bali 'dalam bentu-bentuk lontar dan dirawat dengan baik. Demikian juga kesusastraan Jawa
Kuna hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat Bali.

Berdasarkan penelitian Prof.Dr. R. Garis diketahui bahwa! sekte-sekte yang berkembang di Bali
ialah Siwa siddhanta, Pasupata, Bhairawa Wesnawa, Buddha atau Sogata, Brahmana, Rsi, Sora
dan Ganapatya. Sekte-sekte itu disebut paksa, dan yang ada sekarang hanyalah Siwa
Siddhanta, sedangkan yang lainnya telah luluh dengan Siwa yang tampak hanya tanda-landanya
saja.
Paksa Pasusata adalah pemuja-pemuja lingga sebagai diketahul di Bali banyak dijumpai
lingga (phallus) dan kadang-kadang masih dalam bentuk yang amat alamiah. Lingga adalah
lambang Siwa, bahkan gunung sebagai sthana Siwa dalam manifestasi sebagai Giripati disebut
sebagai Linggacala atau inga gunung
Paksa Bhairawa adalah sub atau perkembangan dari Tantra yana. Tantra yana memusatkan
pemujaa pada sakti atau Dewi. Dalam paksa Bhairawa pusat pemujaan adalah Dewi Durga sakti
dari Siwa. Dewi Durga dikaitkan dengan dewi kematian (pralina) sehingga selalu dihubungkan
dengan Pura Dalem. Candika adalah nama Durga, di Bali masih tetap dipakai sebutan candi
sebagai pintu gerbang pura yang disebut Candi benlay. Istilah-istilah Tantris eserti mudra, nada,
windu, bija dan lan-laim masih tetap terpakai.
Paksa Wesnawa hampir tidak ada lagi dalam praktek keagamaan, namun demikian masih
dapat dirasakan, seperti sebulan nama Wisnu dalam pemujaan. Justru yang lebih menonjol
adalah sakti Wisnu yaitu Dewi Sri, yang dianggap Dewi kemakmuran sehingga diasosiasikan
dengan Dewi Padi karena padi dianggap wujud kemakmuran, Sri juga dirangkai dengan Sadhana
sehingga disebut Srisadhana wujudkan dalam bentuk patung dari uang kepeng, disesul juga
Rambut sadhana. Yang masih tetap berfungsi adalah Pandita Sengguhu yang jelas menunjukkan
ciri-ciri wisnu Wesnawa seperti penggunaan sangka-kala (sungu) kerang Wisnu, penggunaan
genta dalam bentuk cakra dengan lonceng-lonceng kecil. Pandita-pandita sungguhu ini
berberan dalam upacara-upacara keagamaan yang besar.
Paksa Boddha atau Sogata sangat berbeda densan Buddha yang ada di India, Srilanka atau
Thailand. Pandita Boddha statusnya sama dengan Pandita Siwa mantram-mantram yang
dipergunakan dalam upacara juga tidak banyak bedanya, hanya ada beberapa mantram yang
khas Buddha. Umatpun tidak membedakan Pandita Boddha dengan Pandita Siwa. Dalam
upacara-upacara besar Pandita Boddha dengan Pandita Siwa melakukan pemujaan bersama-
sama.
Paksa Brahmana atau Brahmanisme menurut bahasa Hindu disebut Smarta, tapi di
Indonesia sebutan ini tidak di kenal sama sekali dan paksa Brahmanisme Ini sama sekali sudah
tidak ada lagi bekas-bekasnya karena sepenuhnya sudah lebur kedalam Siwaisme.
Berbeda dengan sebutan dalam Weda ataupun kebiasaan dlindia di Indonesia sebutan Rsi
adalah untuk menunjukkan Pandita yarg berasal dari Warna Ksatriya. Mungkin Ini dapat
disamakan dengan rajarsi, Kenyataan antara Rsi dengan Pandita Siwa tidak ada perbedaan.
Paksa Sora adalah para pemuja surya, Sekarang Ini secara khusus lidak ada lagi kelompok-
kelompok Ini, karena sudah lebur ke dalam Siwaisme. Surya atau Raditya disebut Siwa raditya
dan pemujaannya merupakan bagian dalam tata cara Siwa dan tidak ada khusus panditanya.
Para Pandita Siwa setiap hari melaksanakan puja yang disebut Surya Sewana atau Suryarcana
Paksa Ganesa sebagai sekte tersendiri sudah tidak dapat ditemukan kemball, walaupun
banyak dapat dijumpal patung-patung ganesa dalam berbagai tempat. Ganesa atau Ganapati
merupakan penakluk mara bahaya (awighna-ghna), oleh karena itu dalain upacara-upacara
keselamatan atau menolak bala seperti "pangluk merana" selalu memakai "kober" bergambar
Ganesa. Tidak ada pemujaan khusus dilakukan terhadap Ganesa.
Dalam Weda Agni sangat sering disebut dan sangat menonjol. Upacara dengan sarana api
seperti Agni Hotra sangat menonjol. Di Indonesia khususnya bali penggunaan api selalu ada
tetapi upacara sejenis agni hotra tidak populer lagi, telah digantikan dengah api kecil dalam
bentuk "pedupaan" atau "api - takep" dan dupa. Penggunaan Dupa ini ada kemungkinan ada
hubungannya dengan orang-orang China yang sudah sejak lama datang ke Indonesia. Sebagai
diketahul Siwa kasmira yang berkembang di India bagian Utara juga menyebar sampai ke
Tiongkok, orang-orang Chin'a yang datang ke Indonesia membawa nila-nilai India itu. selain
dupa atau hio dalam bahasa China, penggunaan uang kepeng jelas-jelas menunjukkan
pengaruh china. Dalam seni tari yang juga Apakah dalam upacara keagamaan terdapat. suatu
tari sakral yang disebut "baris China”.
Lontar-lontar tutur atau Jontar-lontar tattwa hamoir semua memuat ajaran Siwa
Siddhanta. Lontar Bhuwana kosa yang di anggap tertua nyata-nyata memang naskah siwa
sidhanta dan lontar ini merupakan sumber dari lontar-lontar lainnya yang ditulis belakangan.
Dalam upacara-upacara atau praktek-praktek keagamaan, unsur-unsur sekte atau saksa
menyatu kembali dalam perpaduan yang harmonis dalam Siwa.
Jadi Hinduisme di Bali ciri-cirinya ialah berpengaruhnya berbagai unsur aliran-aliran sektaris
tetapi semuanya dalam paduan yang harmonis. Sekte-sekte dengan berbagai sub sektenya
pada dasarnya semua bersumber pada Weda, berkembang sedeinikian rupa meresap pada
berbagai unsur budaya akhirnya mengalir kembali menyatu dalam Siwaisme yang bercorak
Siddhanta.
alam Raja Purana Besakih terdapat keterangan tentang keterpaduan tersebut. Pada
lampiran 21a, diantaranya tercantum : Sang amuja Siwa Boddha, sengguhu, Dukuh Resi Siwa
Sogatha sami angayuni gawa amuja. Maksudnya ialah bahwa Pandita Siwa, Boddha, Sunguhu,
Dukuh, Resi, semua melaku an emu'aan men elesaikan usacara, terutama upacara-upacara
yang besar. Penerapan ajaran Hindu khususnya Siwaisme di Ba i menjadi model penerapan
agama Hindu di Indonesia dewasa ini,
Demikianlah Siwaisme di Indonesia merupakan perpaduan kembali dari berbagai sekte
yang pernah ada, pengaruh berbagai unsur dapat dirasakan pada saat upacara-upacara dan
praktek-praktek keagamaan.

3. TANTRA
3.1 Pengertian Tantra
Selain sekte Vaisnava dan Saiva ada lagi sekte agama Hindu yang disebul Tanira aiau
Tantrayana. Agama Tanira j ja disebut agama Sakta adalah kelompok pemuja sakti alau Dewi
Kelompok ini memusatkan perhauannya pada pemujaan terhadap sakti atau Dewi
Dalam berbagai kilab agama Tantra sangat menonjol, dialog entara Siwa dengan Parwatf,
oleh karena itu agama Tantra pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dengan agama Siwa, Sekle
Tantrayana sudah lama berkembang di Indonesia, dalam candi-candi: "peninggalan kerajaan
Hindu di Jawa banyak dijumpai perunjuk bahwa pembangunan candi Ilu sebagai penghormatan
kepada sakti atau Dewi sebagaimana cara pemujaan dalam agama Tantra,
Uralan-uraian tentang Tantrayana dapat dijumpal dalam beberapa kitab, diantaranya :
Maha . Nerwana Tantra, Kularnawa, Kulasara, Prapanchasara, Tanira raja, Rudra Yamala,
Brahma Yamala, | Wisnu Yamala, Todala Yamala dan lain-lainnya, Ada beberapa referensi yang
terkenal seperti : Iswara " Samhila, Ahirbudhnya Samhita, Sanat Kumara Samhita, Narada
Samhita, Pancharatra Samhita, Sapanda Pradipaka dan Mana Nirwana Tantra.

3.2 Pokok-pokok ajaran tantra

Siwa Tattwa dan Sakti Tattwa


Eksistensi kekal yang terting I dari Siwa disebut Siw Tm . mengatasi semua keadaan,
absolut a tak berciri, disebut juga Brahman yang agung atau Para Brahman, Sesungguhnya Ia
tanpa nama oleh karena itu disebut "Tat" (Itu) dan kemudian "TatSat" (ltu yang ada), Dalam
keadaan ini Ia dinyatakan nirguna, sehingga juga disebut Nire una Brahman.
Dalam proses berikutnya Siwa berkehendak sehingga timbullah Sakti Tattwa yang
merupakan - ' " kehendak dari Siwa. Pada tahap ini Siwa memiliki dua aspek, pertama Ia adalah
yang tertinggi, tanpa perubahan Satcit ananda, ,ans merupakan ara auw Nisk.. Siwa atau
Nirsuna Siw.. Kedua Ia adalah akti Tattwa an» merusakan assek dinamis dari Siwa atau
Brahman. Pada dasarnya kedua aspek itu tidak dapat dipisahkan, jadi iwa Tattwa tidak dapat
dipisahkan dengan Sakti Tattwa.
Niskala Brahman yang mula-mula asa asaa satu, arena,erte ensa , menadi sanyak (aham
bahu sam dan dalam sakil yang memanifestasikan diri demikian Brahman disebut apara 'e.i
rensa menjadilah Dia subyek dari pemujaan, dimeditasikan memiliki ciri-cirikatau atribut.
Bahkan bagi pikiran dan perasaan jiwa yang berjasad. Brahman itu memiliki jasad dan wujud,
Dia mewujudkan diri dalam bentuk para Dewa dan Dewi, dan juga berada di dalam pemuja
sendiri. PerwujudanNya ilu ialah perwujudan alam semesta raya, termasuk segalanya yang
berada di dalamnya.
Maya atau prakrtl ada di dalam kandungan Sakti, merupakan kandungan dari alam
semesta. .Maya merupn an potensi dari pada keadaan penghancuran dan dinamis dalam
penciptaan, Maya —tawankaka menjadi beberapa unsur material dan bagian-bagian fisik lain
dari makhluk-makhluk perasa di . bawah kekuasaan Sakti.
Sakti mewujudkan dirinya kepada dewa siwa, dalam sepuluh wujud sebagai dasa maha
widya, yaitu: kali, bagala mukti, china mastu, bhuwaneswari, matangi, sadasai, dhumawati,
tipurasundari, tar dan bhairawi.
Sakti mewujudkan dirinya sebagai Iccha Sakti, kehendakhya tercapai, Kriya Sakti,
mencapai segala karyanya «an ana a if mensuasal semua eni elahuan.!! Ia adalah Saraswati
(Brahma sakti dalam hubungan dengan Brahma, Laksmi Wisnu Sakti dal, m hubuhsan sensan
"Wisnu san aur tw Saki) dalam hubungan dengan Siwa. Keliga-tiganya disebut Tri Pura Sundari.

Warna dan Asrama


Terdapat empat kelompok warna yaitu Brahmana, ksatriya, Waisya dan Sudra, keempat-
empatnya dinyatakan lahir dari mulut, lengan, paha dan--.yi -rahma. Dalam Tantrayana
terdapat warna kelima, y-ilu Saman aan» merusakan szuradu-Gf:ari keemsat warna tadi. Dalam
semu'aan Tantra 'ana tidak membeda-bedakan warna (sarwa warna dhikaras chcna nairinang
yogya ewa cha).
dalam ajaran Hindu empat ta ap kehidupan atau asrama terdiri dari Brahmacari,
Grihastha, Wanapras »a san bi su a. #ra macai dup sebagai siswa dengan semua pantangannya,
Grihastha hidup berumah tangga, Wanaprasiha hidup sebagai pertapa, menghindari kehidupan
duniawi, Bhiksu atau Bhiksuka hidup sebagai pengembara mengabdi dharma.
menurut ajaran Tantrayana di jaman Kali yuga hanya terdapat dua asrama. yaitu
Grahastha dan Bhiksuka atau awadhuta, karena di jaman kali ini kodisi kehidupan, sifat-sifat,
kemampuan dan kekuatan manusia telah berubah, tidak mungkin untuk melakukan yang
pertama dan yang ketiga.

Zaman (yuga)

Keadaan manusia dan dunia di pengaruhi oleh peredaran waktu dalam satu mahayuga. Yuga
alau zaman merupakan pembagian waktu dari suatu kalpa alsu hari Brahma yang terdiri atas
4.329.000.000 tahun. Satu kalpa terbagi atas empat belas manwantara-dan setiap.manwantara
dibagi menjadi tujuh puluh satu maha yuga. Panjang waktu masiny-masing maha yuga ilu
4.320.000 tahun manusia. Maha yuga.terbagi menjadi empat yaitu Satya yuga, Treta yuga,
Dwapara yuga dan Kali yuga.

Jaman Salya yuga kehidupan penuh kebenaran dhiirma.. Panjang zamarvitu 4.800 tahun dewa
atau sama dengan 1.728.000 tahun manusia. Pada zaman ini dikatakan turun Awatara Wisnu,
yaitu Malsya, Kurma, Waraha, Nri singha dan Wamana. Pada zaman Treta kebenaran. m3rosot
seperempat bagian, panjang zaman ini 3.600 tahun dewa atau 1.296.010 tahun manusia. Umur
manusia mencapai 10.000 tahun, manusia mulai tercemar dosa. Pada zaman ini awatdta Wisnu
sebagai Parasu rama dan Rama. Zaman Dwapara kebenaran dharma sudah merosol
selengafinya, panjangnya 2.400 tahun dewa Atau 864.000 tahun manusia. Umur manusia
mencapai 1000 lahun'' Dosa dan dharma sama kuatnya menarik-narik manusia. Menurut
Wyasa, Anusthuba chaya dan Jaya dewa, awatara pada jaman ini adalah Bala Rama dan Krisna..
Pada zaman peralihan zaman ini dengan zarnan berikutnya yang lamanya 1000 lahun ajaran
Tantra diturunkan, karena ajaran Tantra selalu disebarkan pada permulaan zaman Kali.
Selanjulnya. zaman. Kali yuga yang dikatakan zaman sekarang ini, dharma dinyatakan tinggal
seperempatnya. Panjang zaman ini 1.200 tahun dewa atau 432.160 Idhun manusia. Menurut
Purana dan Tantra zanian ini penuh kekejaman manusia menjadi lemah dan penuh dengan
penyakit. Umur manusia sangal merosot yang terpanjang hanya mencapai 120 tahun atau 100
tahun. Pada zaman Kali ini turun Awatara Buddha dan yang terakhir adalah Kalki awatara. Pada
zaman Satya yuga hidup berpusat pada sumsum, pada zaman Treta hidup berpusat di tulang,
pada zaman dwapara hidup berpusat pada darah, dan pada zaman Kali hidup tergantung dari
makanan. Zaman berputar terus mendekati akhir dari satu kalpa, yaitu satu hari Brahrna.
Brahma melakukan yoga nidra'dialas Naga Sesha yang ananta (tidak berujung akhir) untuk
menunggu hari siang kembali, ketika alam semesta diciptakan baru kembali untuk kalpa
berikulnya. :

Pancha Kosha
Tubuh manusia dikataxan sebagai Brahmapura, atau istana Brahman karena Iswara
sendirl meresap kedalamnya sebagai js yang menghidupkan. Tubuh manusia terdiri atas lima
lapis atau kosha, yaitu : anna maya kosha, prana maya kosha, mano maya kosha winana mara
kosha, dan ananda maya kosa.
Anna-maya kosha adalah badan kasar ini yang "terdiri dari pisan makanan, terdiri atas
unsur. unsur tanah. air dan api, ketiga-tiganya berada pada cakra-cakra terbawah yaitu muda
dhara, swadisthana
dan Manipura chakra. Dua yang pertama menghasilkan makanan dan minumanan
dicernakan oleh pencernaan dan diubah menjadi badan makanan. Dalam tubuh i terdapat
organ-organ jasmani di samping kemampuan indriya. Juga lerdapat 6 kosha eksternal yaitu
rambut, darah dan daging yang semuanya berasal dari Ibu, sedangkan ulan« otot dan sumsum
berasal dari ayah.

Prana Maya Kosha merupakan lapisan kedua atau lapisan nas (prana) yang memanifestasikan l
dri di udara dan di "alam ruang (ether). unsur-unsurnya terlelak dj anahata dan wisuddha
chakra. Pada badan ini ada Sepuluh wayu (dasa wayu) sebagai energi hidup lima yang
terpenting yaitu srana, berwarna bening. seperli permata saphira. apana Warnanya seperti
awan malam,wyana berwarna seserti perak, Udara berwarna seserti api dan samana an
berwarna seperti susu itu semua adalah aspek dari prana dewata yang sesunggunya hanya satu
adanya. Kundalini adalah induk dari prana.

Manomaya, Wjnana dan Ananda Maya Kosha, merupakan badan yang lebih halus dari yang
dua terdahulu Mano maya kosna dan wijnana maya osha membentuk,jiwa antara karana yang
terdiri atas empat kesatuan yaitu jiwa kecerdasan. yang terdiri atas dua aspek aitu buddhi dan
manas, kesadaran ego (dhamkara) dan citta. Fungsi yang pertama digambarkan ole adanya
keragu-raguan sangkalpa .
wikalpalmaka (ketidak pastian dan kepastian), yang kedua mendorong timbulnya tekad
(nischaya karini) yang ketiga mendorong kesadaran keakuan (ego). keempat kesadaran jaga
yang. normal (abhimana) Anlah karana merupakan pengendali bagidasa.indriya yang digunakan
sebagai alat-alat untuk mengamatamati dunia luar. Kemampuan dasa indriya ilu terdapat dalam
antah karana. Oleh karena itu indriya selain berlungsi sebagai alat, juga memiliki kemampuan.
Fusat-pusat kemampuan itu terdapat di dua lapisan jwa terakhir dan pusatnya iu ialah di Ajna
chakra dan didalam daerah sedikit diatas chakra ini, tetapi dibawah Sahasrana chakra. Diatas
ajna chakra ditengah-tengah kepala, bermukim alma dari lapisan jiwa lerakhir yaitu lapisan
Ananda maya kosha. Badan jasmani yang kasar ilu disebut sthula sarira. Jasad .halus
disebut.'suksma sarira, atau lingga sarira dan karana sarira lerdiri alas dasa indriya, manas,
dhangkara, buddhi dan lima fungsi prana. Di dalam jasad halus inilah terletak pendorong
kelahiran kembali untuk mendapatkan badan kasar yang baru pada saat reinkarnasi.

Chakra
Dalam tubuh manusia diketahui ada pusat-pusa! !aliwika yang dinamis disebut chakra,
yaitu . Muladhara, Swadhisthana, Manipura, Anahata, Wisudha dan Ajna Chakra. Diatas semua
itu terdapat
chakra rahasia yang disebut Manas chakra. . '

a. Muladhara Chakra
Merupakan chakra dasar terletak antara pangkal kemaiuan dan anus. Digambarkan
sebagai teratai berdaun empat dengan warna keemasan." Pada pusat palma ini terletak
Swayambhu lingga berwarna Coklat kasar. Chitrini nadi dilukiskan sebagai pipa dan lubang pada
ujungnya didasar lingga disebut Brahma dwara, melalui mana dewi naik keatas. Disana tinggal
Dewi Kundalini atau Kundalini Sakti yang digambarkan sebagai ular kobra tertidur melingkari
lingga."

b. Swadhisthana Chakra
Dilukiskan sebagai padma berdaun enam, terletak di tengah-tengah badan diatas
Muladhara di bawah pusar. Di padma in! bersihana dewata Wisnu, Laksmi dan Saraswali, di
depannya Rakini Sakti yang bertangan empat. |

C. Manipura Chakra
Yanipura c ara erletak di sekitar daerah pusar dengan gambaran sebagai padma berdaun
bunga sepuluh. Dalam sari bunga terdapat segi tiga sebagai mandala Agni. Pada sisi-sisi segitiga
terdapat tanda swastika kramat, Agni merah berlengan empat duduk diatas domba. Di
depannya berdiri Rudra dengan Saktinya.Bhadra Kali. '

d. Anahata Chakra
Anahata chakra berbentuk kembang padma berdaun bunga 'dua belas terletak disekitar
daerah jantung. Mandala segitiga dalam sari padma ini disebut Trikona Sakti, tempat
wanalingga yany disebut Narayana atau Hiranya garbha dan didekatnya terdapat, sthana Iswara
deAgan Saktinya Bhuwaneswari

e. Wisuddha Chakra:
Wisuddha chakra digambarkan sebagai padma & rdaun bunga &nam belas, 'berlempat
pada pangkal kerongkongan disebut juga Bharati sthana kedudukan «lewi yang menguasai
ucapan. Di dalam sari bunga terdapat segi liga, mandala dari Siwa Saki: yang mewujudan din
menjadi Ardhanareswara.

f. Ajna cakra
Ajna chakra juga dinamakn parama kula-dan miria sii “eni, cha dari sini tri nadi yaitu Ida,
Pingala dan Sushumna berpisah menuju tujuan masing-masing. Digambsrkan sebagai padma
berdaun bunga dua helai, terletak di sela-sela alis mata. Disini tattwa dari mah4 bhuta sudah
tidak adadan tatiwa halus dari jiwa sudah mulai muncul. Di dalam mandala segi tiga Yatam
bunga itu terdapat lingga yang bersinar-sinar (tejo maya) dalam bentuk: pranawa (pranawa
krifi). Para Siwa dalam hangsa rupa dengan Sakti Siddha Kali bersthana di sini. . Pada tiap sudut
segi tiga berdiri Brahma Wisnu dan Maheswara..

g. Manas Chakra
Manas chakra adalah chakra rahasia yang #erlelak diatas Ajna chakra. Digambarkan
dengan bunga padma berdaun enam, tempat kedudukan : sabda jnana, sparsajnana, rupa
jnana, aghrano, palabdhi, raso pabhoga dan swapna yaitu daya kemampuan menrlengar, rasa
sentuh, penglihatan, penciuman, rasa kecap dan tidur, atau ketiadaan semuanya itu.
Diatas dari ini terdapat lagi-chakra tersembunyi disebul Soma.chakra, berdaun bunga
enam belas, disebut juga 'enam belas kala. Diatas chakra itu terdapat nita hambha puri (padma
“anglayang dan rumah tanpa penyangga) yang oleh para yogi disana itu terlihat kegemilangan
Iswara. Diatasnya ini . terlihat pranawa bersinar seperti api.
Didekatnya terdapat Sahasrara Padma, kembansi zadma bersaun bunga seribu, di
dalamnya terdapat nirwana kalpa bersinar bagaikan Surya dan iebsh lembut-dari sehelai
rambut di pecah seribu. Inilah yang menjadi Ista Dewata bagi semuanya. Di dekat nirwana kalpa
terdapat Parama Nirwana Sakti lembut tak terhingga cemerlang bagai Surya, pengpta
tattwa.jnana.
Sahasrara padma memiliki semua jenis warna tergantung dengan muka menghadap
kebawah dari Brahma Randhra diatas semua chakra. Tempat ini disebut sebagai Siwasthana,
penganut Sakta atau Tantra menyebut Dewi Sthana.

Pancha Tattwa
Tantra membagi temperamen (bawa) manusia menjadi liga macam yaitu pashu bhawa,
wira bhawa dan Jiwya bhawa. - Pashu bhawa adalah karakter severli binalan , Wira bhawa
karakler manusia mberani dan Diw a bhawa karakler manusia seperti dewa, arlin a manusia ano
berbudi luhur. 2.mbasian ini dilakukan atas dasar berbas ai modifikasi sens aruh cuna terhadap
jiwa manusia.
Pengaruh tri guna yang menghasilkan keadaan ini bekerja di ling ungan fisik, karena itu
tecenderungan hewani memanifeslasikan diri menjadi tiya jenis tuhgsi fisik yaitu makan, minum
dan ubungan kelamin. Ketiga fungsi ini berkaitan dengan pancha tattwa atau yang secara
populer disebut lengan Pancha Makara (ima Mi yaitu Madya, Mangsa, Maisya, Mudra dan
Mailhuna. Madya artinya nnuman keras beralkohol, Mangsa artinya daging, Matsya artinya
iKan, Mudra arlinya gerak, terutama jerak Spirilual tangan, dan Maithuna diartikan kelamin.
Semua unsur Itu atau unsur penggantinya disucikan dengan tindakan dan upacara,
kemudian dengan lala cara: ritual empal unsur yang pertama dinikmati, setelah itu dilakukan
tata sadhana atau dilakukan secara simbolik.
Kaiwalya menyatakan bahwa minuman keras tidak lain dari ilmu: pengelahuan yang di
dapat dengan sadhana yang memabukkan karena melakukan vosa Para srahman dan pemuja di
tingkat itu hilans kesadarann a lerhadas dunia luar. Mangsa (daging) bukan daging hewan,
letapi semua perbuatan yang dilakukan harus diarahkan, dipersembahkan kehadapan Mam Aku
Yan Maha agung/Tuhan. Matsya ikan tidak lain dari pengetahuan taltwika yang dengan
kesadaran “tat twam asi” pemuja dapat merasakan Suka duka semua makhluk. Mudra adalah
perbuatan membebaskan diri Cari ikatan kejahatan yang berselera rendah. Malthuna adalah
pertemuan Sakti Kundalini dengan Siwa di dalam tubuh pemuja. Inilan persatuan tertinggi
lingkalannya bagi mereka yang telah mengendalikan semua dorongan nafsu.

Empat Tujuan Hidup


Dari berbagai jenis makhluk yang hidup di jagat raya ini semuanya mempunyai tujuan
hidup yang sama yailu mencari kebahagjaan. Kebahagiaan yang didapat itd berbeda-beda kadar
dan bentuknya karena cara-cara untuk mendapatkannya berbeda-beda pula. Semua bentuk
kebahagiaan itu bersumber dari Brahman, bahkan Brahman adalah kebahagiaan ilu sendiri,
kebahagiaan yang paling mutlak. Kenikmatan itu berbedabeda ada yang rendah sifatnya ada
yang inggi, ada yang sesaat, tahan lama, ada yang langgeng.
Orang yang: menempuh, prawitli marga mencari kesenangan dan kenikmatan dunia ini,
mendasatkan bhukti, aitu kenikmatan duniawi, sedangkan orang yang menempuh niwrilti'
marga mencari kesenansan ar lebih line si, tahan lama bahkan ans laneeene sersatuan abadi
denean sumber mula pertama memperoleh mukli, yaitu kebahagiaan yang kekal
Sebelum sampai kepada perlindungan yang kekal oleh Brahman yang perwujudannya
sendiri adalah Kebahagiaan Abadi (rasam hyewayam labdhwa anandi bhawati), baik manusia
maupun semua makhluk-makhluk lainnya sesungguhnya belum merasakan kebahagiaan sejali.
Kebahagiaan duniawi semu silatnya lidak,kekal dan cepat dapat berubah.
Kesempatan terbuka lebar untuk mendapatkan bhukti alau'imuk, bahkan kedua-duanya.
Bhukti alau kenikmatan duniawi dapat membawa menjauh dari Brahman" oleh karena 'itu
Tantra mengajarkan kalau tidak ingin hanyut menuju kemerosotan dari suksma menjadi sthula
(materi) maka pikiran dan perbualan haruslah dikendalikan dengan dharma. ”" . Wuan sertima
disebul Iri warsa terdasat «i jalan Wuawrilti yaitu dharma, artha dan kama, sedangkan tujuan
keempat merupakan tujuan yang sebenarnya dan terakhir disebut moksa.

a. Dharma
Dharma adalah prinsip-prinsip yang utuh dan kekal (sanatana) yang menyangga seluruh
alam Semesta ini menjadi satu kesatuan baik pada bagianbagiannya maupun pada
keseluruhannya, hidup atau mali. Bentuknya seperti hukum, adat istiadat Kebiasaan, kasih
sayang, kebenaran, keadilan, kewajiban, prestasi, moralitas dan agama. Semua Ini adalah
dharma dan dengan dharma ini semua makhluk dipertahankan dan diatur, Jadi dharma Itu
bukan merupakan aturan bikinan (artificial), tetapi merupakan kaidah (prinsip) untuk hidup
benar, Ciri-ciri dharma sama dengan cifi-cirl kebaikan, yaitu perilaku yang balik (achara). Melalui
perbuatan baik itu dharma'itu diwujudkan sehingga dicapailah kemashuran secukupnya di
dunia ini dan di alam-alam selanjutnya. Pa.a rsi menggunakan athara sebagai sumber dari
semua tapa. Dharma bukan sekedar prinsip-prinsip untuk kehidupan yang balk, tetapi juga
penerapan prinsip-prinsip Itu. Dengan melakukan perbuatan yang dilandasi oleh prinsip-prinsip
ilu, orangpun menjadi senang hidupnya di dunia ini, di surga, dan bahkan bisa mericapai
kebebasan mutlak. Dharma pun meliputi hasil dari perbuatan baik itu, dharma mengatur
pahalanya. Landasan sanatana dharma ialah revelasi (Shruti) seperti tercantum di dalam
Shastra-shastra, seperti Smriti, Purana dari Tantra. Di dalam Dewi Bhagawata Di nyatakan
bahwa di zaman Kah yuga Wisnu yang merasuk ke dalam diri wyasa menghimpun dan
mengklasifikasikan Weda menjadi bagian-bagiannya, dengan tujuan menyempumakan
manusia, karena di zaman Kali-itu manusia umurnya pendek, daya kecerdasannya'tidak
seberapa, tentu saja tidak akan menguasai seluruhnya. Dan dharma ini merupakan yang
pertama dari empal lengan penunjuk jalan (catur warga) bagi semu makhluk di ala semesta
raya.

b. kama
Kama ialah dorongan keinginan, seperti misalnya dorongafi keinginan untuk menikmati
kekayaan, kesuksesan, keluarga, kedudukan, atau bentuk-bentuk lain kesenangan untuk-sendiri
maupun untuk orang lain. Kama juga mendorong manusia untuk menikmati dan memilik hal-hal
yang bersifat besar dan mulia. jadi Kama niendorong untuk mendapatkan kepuasan hidup.
Keinginan atau ambisi untuk memiliki hal-hal sedemikian itu merupakan ciri betapa besarnya
jiwa itu. Keinginari: apakah tingkatnya tinggi atau rendah, haruslah diatur dan manusia
dikendalikan oleh dharma yang mengatur kehidupannya.

c. Artha
Artha (kekayaan) pengertiannya secara luas ialah sarana yang dibuluhkan untuk
menunjang kehidupan ini. Dalam pengertian biasa berarti makanen, minuman, uang, rumah,
lanah dan berbagai bentuk kekayaan yang lain, lebih lanjut itu juga berarti segala sesuatu yang
dapat memuaskan keinginan luhur, seperti kekaguman terhadap keindahan, pemujaan di mana
untuk itu pun artha diperlukan. Bantuan yang diberikan kepada orang lain, dalam bentuk apa
pun, ilu nun artha. Jadi tegasnya, artha itu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
memuaskan keinginan yang silatnya rendah atau tinggi. - Untuk kebahagiaan dan ketenteraman
hidup .ci dunia ini, dorongan keinginan ilu hendaknyalah dorongankeinginan yang baik,
dorongan yang mengakui bahwa manusia harus tunduk kepada dharma. Demikian pula halnya
dengan benda-benda yang dicari untuk memuaskan keinginan tersebut, bendabenda pemuas lu
harus pula dikendalikan oleh dharma.
Tiga kelompok yang pertama ini harus dihimpua dan dikembangkan dalam menempuh
jalan prawrilti marga. Dalam proses perjalanan bila telah sampai pada suatu tilik dimana sudah
tidak ada lagi keinginan, ia harus meninggalkan semuanya itu, latu meneruskan pefjalanan
menempuh niwrtti marga. Di dalam menempuh jalan niwrtti ini orang harus berusaha untuk
mencapai tujuan absolut, yaitu dengan sadar sepenuhnya kepada dharma, memahami
transformasi kama dan artha. Demikian perbualan dan langkah orang ilu menjadi benar dan
jelas serta menyatu tujuannya. etika sedang menempuh prawrtti marga, tiwarga harus dipunuk
juga dengan penuh keseimbangan, karena.orang yang keranjingan kepada salah Salu saja dari
unsur triwarga itu yang tidak dibenarkan (dharmrpartra komah samamewa sewyah yo
hyekasaktah sa jano jagha nyah).
d. Moksa
Dari keempat tujuan hidup itu moksa merusakan tu'uan ans tertinipi dan terakhir. Tiga
tujuan lann'a "an: disebut Iri warea tadi, masih dilisuti oleh berbasai bentuk ketidak kekalan,
seperti kelahiran, 'ehidusan, dan kematian bagaikan satu siklus yang lidak kenal akhip sampai
mencapai moksa.
Mukti berarti “membuka ikatan” alau membebaskan. Jiwa bebaskan dari ikalan samsara
ikatan dari eksistensi phenomenal ini sehingga dengan demikian menyatu dengan berbagai
tingkat kesempurnaan paramatma. Kebebasan sedemikian ilu hanya bisa didapatkan dengan
sarana pengetahuan spiritual (almajnana) dan tentu saja pengetahuan sedemikian itu harus
terlebih dahulu. dilandasi dengan kehidupan moral dan etika Ini bukan berarti moral dan etika
itu tidak penting, moral dan etika harus dinuliki tedebih dahulu. tetapi sampai lingkat kesadaran
tertehtu, moral ilu pun kehilangan keampuhan untuk melanjutkan rerjalanan mengju tujuan
yang terakhir ini. Mukti itu kaiwalya, tidak diikat oleh siapa pun. di sana kesadaran itu habis
seluruh energinya, lidak lagi diikat oleh perilaku yang dinilai baik at ujung terakhir prawriti
marga.
Mukti atau moksa di sebut ananda, dan ada empat tingkatan ananda, dimana masing-
masing tingkatan lebih sempurna dari pada lainnya. Tiap ananda disosiasikan tingkatanya
dengan kedudukan jiwa (atman) pada suatu tingkatan alam yang di sebut pada. Keempat
tingkatan ananda iti adalah :
 salokya samipya,sarupya,dan sayujya.
 Saloka artinya merasa hidup di alam yang sama dengan :dewa yang dipuja:
 Samipya merasa hidup dekat dengan dewa pujaan
 Sarupya Merasa memiliki bentuk dan kemampuan Illahi (Aishwaryya) yang sama
dengan dewa pujaan.
 Sayujya merasa luluh menyatu dengan dewa pujaan.
Kedudukan jiwa ilu tentu saja tergantung dari tingkat bhakti pemuja, lingkat pengetahuannya di
bidang kebhaktiannya itu, menggunakan sarana (palung. pratima, dan sebagainya) atau tidak.
'Memuja dewata sebagai pribadi yang memiliki ciri-ciri alau tidak. Empat kedudukan itu
merupakan akibat dari suatu perbuatan, karena itu bersifat tak kekal dan terkondisi
Mahanirwana atau Kaiwalya ataulmoksha sejali merupakan akibat dari nengelahuan spiritual
(jnana), dak terkondisi dan kekal. Srang yahg memahami Brahman, mens etahui bahwa seluruh-
tingkat alam ilu merupakan akibat dari suatu perbuatan dan karena itu tidak sempurna, dan
karena ilu dilinggalkan, dan den an menine salkan semuan a ilu idimencapai ananda tanpa
syarat yang mengatasi semuanya itu. Kaiwal a merusakan keadaari maha agung yang esa, tanpa
Ciri-ciri yang menurut Yoga Sutra energi kesadaran itu tidak terkena proses mosiikasi lagi,
energi itu habis dan kesadaran ilu menjadi kesadaran dalam wujud kesejatian dirinya yang
murni.
Kebebasan sedemikian Itu: juga bisa didapatkan ketika tubuh ini masih hidup, dalam hal
itu orang lu disebut mencapai jiwarr mukti. Jiwa itu sebenarnya-dalam kesejatiannya tidak
diusik dan diikat, namun kelihatannya jiwa ilu demikian, jadi apa yang kelihatan. itu bersifat
pengelabuan (illusory). Dalam kesejaiannya jiwa itu bebas, jadi sejak mula: pertama moksha itu
sudah dimiliki, tetapi sebagai akibat selubung maya, ia tidak menyadari keadaannya itu. la
masih harus berusaha menyingkap semua selubung itu dengan usaha dan pengetahuan dan
setelah usahanya itu berhasil, ia pun mencapai keadaan yang disebut yiwanmukti yang
Walaupun masih memiliki badan kasar tetapi ia terbebas dari segala ikatan yang mungkin akan
mengikatnya kembali kemudian. Kalau yang mencapai kesadaran sedemikian itu menurut
Nityanita tidak melihat perbedaan antara lumpur dan cendana, kawan dan lawan, rumah
tempat tinggal dan tanah kuburan, Ia sangat menyadari bahwa Brahman itu segala-galanya.
Paramatma dan jwalma itu satu dan terbebas dari semua ikatan. Ia jiwanmukti atau terbebas
ketika masih hidup.
Jadi moksa atau mukti dapat dicapai pada saat masih hidup di dunia ini disaat jiwa atau
atma masih menyatu dengan badan jasmani ini, atau dicapai pada saat alma telah melepaskan
diri dari ikatannya dengan badan jasmani ini. Untuk mencapai kelepasan ini baik pada waktu
masih hidup maaupun nanti setelah kematian jalan ulama yang harus ditempuh adalah yoga.

Yoga
Kata yoga berasal dari kata “yuj” berarti menghubungkan atau menyambungkan. Dari
Urat kata yuj lahir kata yoga yang dasat diartikan cura alay sar arana unluk menghubungkan
atau men ambun.kan dan yang dihubungkan atau disambungkan itu adalah jiwa (alma) dengan
Paramatma. Ty'uann ya adalah a-ar tercavai persatuan antara alma dengan par-malna, Yoga
juga dapat berarti latihan dan pelaksanaan untuk mencapai persatuan tersebut.
Yoga dapat dibagi menjadi dua kelompok beser yaitu hara Yoga ( hatastha vo-a) dan
samadhi yoga atau raja yoga. Halha yoga adalah sarana dasar untuk mencapai raa oga. Haha
yoga menangani roses fisik tertentu sebagai persiapan atau sebagai penunjang di alarm
mengendalikan gerak pikiran, dan hanya dengan pengendalian gerak pikiran Itu sejarah
penunggalan atau penyatuan ilu dapat dicapai. Dalam yoga penyatuan yany dimaksud adalah
penyatuan Kundalini Sakti dari Muladhara Cakra dengan "indhu di Sahasrara Cakra, setelah
melalui enam Cakia. Walaupun tidak semua proses hatha yoga diperlukan, namun dalam astan-
sa oa dimana samadhi mmetuwakan luruan lertin« si, .ifoses fisik seseri asana dan pranayama
juga diperlukan.

Dalam astangga yoga ditentukan ima cara luar yang disehut t Wahiranga untuk menundukkan
atau menguasai jasmani dan lingkungannya yaitu :
 Yama, yang pada dasarnya melakukan langkahlangkah pengendalian diri dalam
hubungan dengan orang atau makhluk lain seperti : tidak membunuh atau menyakiti
(ahimsa), menjunjung tinggi kesucian diri atau kesucian orang lain (Brahmacarya)
menggunakan akal budhi untuk menuju kebenaran (satya), tidak menginginkan .atau
merebut hak orang lain (asteya) dan hidup puas dengan apa adanya (aparigraha).
 Niyama, membina hubungan diri dengan Tuhan. dengan melakukan upaya-upaya
penyucian batin dengan melakukan -upagara keagamaan (sauca) menjaga
keseimbangan mental (santosa) mempelajari sastra suci (swadhyaya) menjaga.
kesejahteraan dengan pengendal: an diri (tapah) dan menyerahkan diri sepenuhnya
kepada Tuhan (Iswara pranidhana).
 Asana, melatih sikap-sikap duduk atau sikap-sikap tubuh dengan membiasakannya.
 Pranayama, mengatur napas dan peredaran energi melalui napas. Seorang yogi sangat
menyadari kepentingan dari prana itu dan mengatur napasnya demikian riipa agai prana
itu menunjang proses pemusatan pikiran.
 Pratyahara, usaha untuk mengendalikan pengindraan, sehingga alat-alat pengindraan itu
menghentikan hubungannya dengan dunia luar.

Lima hal ini menyangkut pengendalian fisik, yang prosesnya itu bersifat internal. Selanjutnya
lerdapal proses yang arahnya menuju kedalam (yoganyga) yang tujuan utamanya adalah untuk
mengendalikan pikiran, yaitu :
1. Dharana, perhatian di pusatkan untuk mengusahakan agar pikiran tidak bergelombang,
Chitta
diusahakan agar menjadi terang dengan menggunakan melode tertentu dalam proses
yoga.
2. Dhyana, pemusatan pikiran diteguhkan agar lelap terpusat. lerus menerus dan lertuju
kepada obyek
pemikiran yang dicita-citakan.
3. Samadhi, dalam hal ini disebut sawi kalpasamadhi. Sawikalpa samadhi ini merupakan
suatu pemusatan pikiran yang sangat mendalam terhadap alma, sedemikian mendalam
sehingga terjadi panunggalan tertinggi, sehingga tidak ada perbedaan sedikitpun antara
subyek dan obyek, yang berpikir dan yang dipikirkan yang mengetahui dan yang
diketahui. Keadaan manunggal semacam itu disebut nirwikalpa samadhi, menyatu
seutuhnya (lebur) dengan Paramalma. Dengan Wairagga (terbebas dari dorongan nafsu)
dan menjaga agar jiwa tetap dalam keadaannya tidak dimodifikasikan itu tujuan yoga
dicapai. Samadhi yoga ada enam jenisnya, yaitu :

 dhyana yoga samadhi yang dicapai dengan sambliawi mudja, yaitu setelah melakukan
meditasi terhadap Windhu Brahman dan menyadari atma (atma pralyaksa) lalu alma
disatukan dalam maha kasha.
 Nada Yoga dicapai dengan kechari mudra, urat (braenum) tidak dipotong dan lidah itu
dijulurkan keluar hingga ujungnya menyentuh sela-sela alis dan setelah itu ditarik
kembali, masuk kedalam mulut dengan cara terbalik, ujungnya menghadap kedalam.
 Rasananda yoga, dicapai dengan kumbaka, Sadhaka ditempat sunyi, menutup kedua
telinganya, lalu menarik nalas (puraka) dan kumbaka, sehingga mendengar bunyi nada
mulai dari seperti jangkerik, sampai seperti suara nekara. Dengan latihan-latihan teratur
dapat di dengar suara anahat dan dilihat jyotih dan manas di dalamnya yang Akhirnya
larut ke dalam Wisnu Yang Agung.
 Layasidhi yoga dicapai dengan melakukan yoni mudra Sadihaka membayangkan diri
sebagai Sakti, sedangkan Paramatma sebagai Purusa, dan rasakan diri sedang
melakukan penyatuan dengan Siwa dan nikmati rasa Anandam yang adalah "shringa
rasasa" dan rasa ilu berubah menjadi Anandam sejati atau Brahman.
 Bhakti yoga, meditasi dilakukan terhadap Ista Dewata dengan mengabarkan rasa bhakti,
hingga akhirnya air mata mengalir Ueras sebagai ciri rasa bahagia yang berlimpah,
keadaan ekstase dapat dicapai.
 Raja yoga dilaksanakan dengan bantuan manomurcacha kumbhaka. Jiwa (manas)
dibebaskan dari ikatannya dengan dunia seluruhnya, pikiran dipusatkan di sela-sela alis
ajna chakra, lakukan kumbhaka Dengan persatuan manas dengan alma dalam mana
jnani lalu melihat segalanya, ' dengan ini dicapai raja yoga samadhi.

3.3 Pengaruh Tantra Dalam Agama Hindu Di Indonesia

Sejarah perkembangan agama Hindu di Indonesia dimulai sejak awal-awal tahun: Masehi.
Berdasarkan-bukti-bukti peninggalan sejarah yang ditemukan di Kalimantan Timur, berupa Yupa
yaitu batu - bertulis dengan huruf Palawa dan bahasa Sansekerta dipastikan bahwa sekitar abad
ke 4, agama Hindu lelah mulai berkembang di Indonesia.
Pengaruh agama Hindu di Kutai ditinjau dari segi religi, menunjukkan Siwaistis, seperti
dinyatakan dalam yupa yang menyebutkan vahwa upacara dilaksanakan di Waprakeswara,
Suatu tempat suci yang berhubungan dengan Siwa atau Iswara. “.

Berdasarkan prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Purnawarman dapat diketahui


bahwa pada jamannya agama Hindu Sekte Wisnu atau Waisnawa telah berkembang di kerajaan
Taruma Jawa Barat. Hal ini dikukuhkan dengan prasasliprasasti batin yang bergambar lelapak
kaki yang dinyatakan sebagai telapak kaki yang mulia Wisnu.

Dalam candi-candi di Jawa juga ditemukan tandatanda bahwa candi tersebul diabadikan
pembangunannya untuk penghormatan kepada dewi, sebagai: perwujudan cara pemujaan
dalam bentuk sakta atau Tantrayana. - Tanda-tanda itu diantaranya dilemukan palung dewi
pada Candi seperti patung Durga dan lain sebagainya.
Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat tolerai lerhadab berkembangnya berbagai
agama merupakan kondisi yang amat memungkinkan berkembangnya berbagai agama. Selain
itu kondisi ini juga memungkinkan terjadinya perpaduan unsur agama seperti terjadi antara
Hindu dan Suddha di jaman kerajaan-kerajaan Hindu di Jawa.
Agama Hindu dengan berbagai sekte-sektenya telah berkembang di Indonesia, terutama
Saiwaisme yang sangat dominan. Walaupun demikian ternyata sagama Tantra atau Sakta juga
berkembang di sini. Bahkan kalau dicermati telah terjadi pengaruh terhadap ajaran Hindu. Hal
ini tentu mudah terjadi karena ajaran Tantrik alau Tantrayana pada asarnya bagian dari
Siwaisme.
Bahkan ajaran Tantrayana sendiri pada jaman kedatuan Airlangga berkembang
melahirkan aliran Bhairawa. Perkembangan lebih lanjut diketahui bahwa paham Bhairawa
tebaci dalam tiga aliran, yaitu :
1) Bhairawa Kala Cakra berkemban: di Jawa Timur terutama pada jaman Raja
Kertanegara dan juga di Sumartra :arat pada jaman Aditya Warman. Bhairawa
Kala Cakra lebih menampakkan karakter Buddhis.
2) Bhairawa Bhima berkemban. di sekitar Candi Sukuh dan Candi Ceta, beberapa
dasrah Jawa Timur dan sekitar desa Pejung di Bali yang terkenal dengan aza
Bhima di Pura Kibo Edan. Aliran ini lebih menampakkan karakter Siwaistis,
walaupun perkeimbangannya tidak banyak diketahui.
3) Bhairawa Heruka berkemban« disekitar Padang Lawas Aceh, aliran ini
menunjukkan pengaruh Tibet, dengan lambang patung manusia berkepala kuda,
merupakan ciri religi masyarakat Indonesia asli. Ciri-ciri umum dari aliran Tantra
yana dapat dilihat dari tanda-tanda patung simbulnya, yaltu :
 Patung dewi membawa mangkok berisi darah.
 Memegang pisau alau.pedang.
 Berdiri diatas rangkaian tengkorak atau mayat, dan ada pula yang berdiri diatas
seekor binatang.

Pengaruh ajaran Tantra dalam agama Hindu dapat detak dengan jelas, diantaranya
seperti , pada praktek-praktek upacara keagamaan yang dilaksanakan dalam kehidupan sehari-
hari oleh umat Hindu di Indonesia.
Dalam Pustaka Suci Weda misalnya dalam upacara-upacara pemujaan-ataupun yadnya
sarana upacara yang menonjol pada umumnya dalah Soma dan api. Dalam"Pustaka
Bhagawadgita IX sloka 26, sarana persembahan dinyatakan terdiri dari daun, kembang, buah
dah air. Kenyataan yang berkembang . sekarang bahkan seperti sudah dibakukan ialah dalam
setiap upacara agama selalu ada sarana upacara yang harus terdiri dari daging dan ikan. Yang
paling sederhana seperti "rerasmen yang mempergunakan kacang dan ikan, umumnya ikan asin
(sudang dalam bahasa Bali Yang lebih besar lagi banten “suci" mempergunakan daging bebek,
sedangkan banten “Bebangkit" mempergunakan "guling babi", - Yang paling menonjol adalah
dalam banten caru, yang kesemua sarananya harus dilengkapi dengan daging. Selain itu juga
tidak dapat ditinggalkan penggunaan minuman keras (beralkohol) yang selalu terdiri dari "arak
dan berem" sebagai pelengkap yang disebut "tetabuhan". Hal ini s.ma.seperti ajaran Tantra
Pancha Tattwa yang merumuskan persembahan dalam upacara dengan sarana Mad a, Mamsa,
Mattya, Mudra dan Mailhuna, Madya artinya minuman keras yang beralkohol, mamsa artinya
daging, matsya artinya ikan, mudra artinya gerak dan maithuna adalah sarana kenikmatan.
Mudra adalah gerakan tangan yang mengandung makna spiritual yang dalam “upacara
agama Hindu selalu dilakukan terutama oleh' Pandita (Pedanda, Sulinggih) yang Inemimpin
upacara.
Mantra-mantra pemujaan yang dipergunakan dalam memimpin upacara oleh para
Pandita khususnya di Bali maupun Indonesia banyak bercorak ajaran Tanira seperti pemujaan
atau mantra-manira yang dilujukan kepada para Dewi atau Sakti. Pura Dalem dan Pura Ulunsiwi
juga dibangun untuk pemujaan terhadap Sakti atau Dewi. Pura Dalem untuk memuja Dewi
Durga Sakti Siwa dan Pura Ulunsiwi untuk memuja Dewi Sri Sakti dari Wisnu.
Pada hari suci Saraswati khusus diadakan pemujaan ke hadapan Dewi Saraswali selaku
Dewi yang diyakini sebagai penguasa ilmu pengetahuan.
Beberapa stawa yang ditujukan kehadapan Dewi :

Stawa untukmemuja Bhatari Durga di Pura Dalem


Om Calur divya mahasakti,
Calur asrameBhatari Siva jagal pati devi
durga sarira devi

Artinya : Om Hyang: 'Widhi dalam wujudMu sebagai catur Dewi, yang memiliki kemahakuasaan,
, Engkau maha suci, Engkau dewi yang dipuja oleh empat lahap kehidupan manusia. adalah
sakti Sang Hyang Siwa, dewa dari seluruh dewa. Om Hyang Suci hamba memuja Mu dalam
wujud sebagai dewi Durga.

Stawa untuk memuja Dewi Saraswati


Om Pavakanah Saraswati Vajebhir vajinivati. Yaynani vasludhiya vasuh
artinya :
ya Tuhan Yang Maha Agung, Hyang Saraswati yang Mahasuci, Maha agung, mengaruniai
kecerdasan sebagai anugrahMu, Terimalah persembahan ini
Om Pra no devi Saraswati Vajebhir vajini vati Dhinam avinya vantu
artinya :
Ya Tuhan Saraswati yang Maha Agung dan Kuasa semoga Engkau yang merupakan sumber ilmu
pengetahuan memelihara kecerdasan kami.

Om Brahma Putri Maha Devi Brahmanya Brahma Vandini Sarasvati saya janam Prajanaya
Sarasvati
Om Sarasvati dipta ya namah
Artinya:
Ya Tuhan SaktiMu setan Maha Dewi dari Brahma, Pancaran Pradana dari Brahma, Saraswati
dewi kemampuan berpikir. Saraswati yang tak ada lara kebijaksanaanNya, Ya Dewi Saraswati
hamba menyembah pada Mu

Om Sarasvati namastubhyam Varade kama rupini Siddha rambha karisyami Siddhir bhavantu
me sada
Artinya:
Om Sang Hyang Saraswati dalam wujud Mu sebagai penganugrah berkah, terwujud dalam
bentuk yang sangat didambakan. Semogalah segala kegiatan yang hamba lakukan Selalu sukses
atas wara nugraha Mu.

3) Stawa untuk memuja Dewi Sri

Om Sridhana devika ramya


Sarva rupavati tatha
Sarva jnana maniscaiva
Sri sri devi namo stute
Artinya:
Oh Hyang Widhi Engkau hamba puja sebagai dewi Sri maha Cantik, dewi dari kahyangan yang
memiliki segala keindahan. Ia adalah benih yang maha mengetahui. O Hyang maha agung dewi
Sri hamba memujaMu.

4. AJARAN SIWA TATTWA DALAM LONTAR BHUWANA KOSA


4.1. Bentuk Dan Susunan Lontar Bhuwana Kosa

Dalam Piagam Tjampuan yang merupakan hasil dari dharma asrama para Sulinggih dan
para Walaka tahun 1961, diantaranya dinyatakan bahwa tattwa atau filsafat kerokhanian
dijunjung tinggi sebagai sastra agama. Diantara lontar -lontar tattwa atau tutur (bahasa Bali)
terdapat nama Bhuwana Kosa, lontar ini dipandang sebagai lontar tertua dan sumber lontar-
lontar lattwa lainnya yang bercorak Siwaistik.
Bhuwana Kosa terdiri atas 11 bab yang disebut dengan patalah memuat 487 buah sloka
berbentuk tanya jawab. Setiap sloka mempergunakan bahasa Sansekerta dan Jawa Kuna.
Jumlah slóka dalam setiap patalah berbeda-beda, perinciannya sebagai berikut:

I. Brahma Rahasyam Pretamah Patalah terdiri dari 33 buah sloka.


II. Brahma Rahasyam Dwitiyah Patala terdiri dari 20 buah sloka.
III. Brahma Rahasyam Triyah Patala terdiri dari 80 buah sloka.
IV. Bhuwana Kosa Catur Patalah terdiri dari 76 buah sloka.
V. Brahma Rahasya Panca Patalah terdiri dari 52 buah sloka.
VI. Jnana Siddhanta Pretamah Patalah terdiri dari 4 buah sloka..
VII. Brahma Mantra terdiri dari 30 buah sloka.
VIII. Jnana Sangksepa terdiri dari 40 buah sloka.
IX. Bhuwana Kosan Nawa Patalah terdiri dari 44 buah sloka.
X. Siddhanta Sastra Dasamah Patalah terdiri dari 35 buah sloka.
XI. Bhuwana Kosa, Siwopadesa Saniaptam terdiri dari 37 buah sloka.

Dari sebelas bab ini secara garis besar isi Bhuwana Kosa, dapat dikelompokkan menjadi dua
bagian. Bagian pertama memuat tentang Rahasia Brahma (Brahma Rahasyam), yaitu bagian
yang berisi percakapan antara Rsi Bhargawa dengan Bhatara Siwa, tentang Siwa yang sangat
rahasia. Bagian ini diuraikan dalam lima patalah yaitu dari patalah I sampai dengan patalal. V.
bagian kedua tentang Jnana Rahasyam (rahasia pengetahuan) berisi percakapan antara Bhatara
Siwa dengan Bhatari Uma dan Sang Kumara mengenai pengetahuan untuk memahami Siwa
yang bersifat sangat rahasia. Bagian ini diuraikan dalam 6 patalah yaitu dari patalah VI sampai
dengan patalah XI.

4.2. Ajaran Ketuhanan

dalam lontar Bhuwana Kosa Tuhan atau Sang Hyang Widhi Wasa disebut Bhatara Siwa.
Bhatara Siwa adalah Maha Esa, tanpa bentuk, tanpa warna, tak terpikirkan, tak tercampur, tak
bergerak, tak lerbatas, bersemayam dalam hati semua makhluk, tanpa awal, tanpa pertengahan
dan tanpa akhir serta kekal abadi.
la bersifat immanent dan transcendent. Bersifat immanent artinya la meresapi segala,
ada pada segala termasuk meresap pada pikiran dan indriya, dikatakan sira wyapaka. Bersifat
transcendent artinya la meliputi segala tetapi berada diluar batas kemampuan pikiran dan
indriya manusia. Meskipun la immanent dan transcendent, tetapi ia tidak dapat dilihat dengan
kasat mata, karena la bersifat abstrak dan sangat rahasia. Karena kerahasiaannya itu la
digambarkan sebagai api dalam kayu, bagaikan minyak tetapi la ada, sungguh sangat rahasia
adanya itu. dalam santan. Ia dinyatakan ada dimana-mana, ada pada yang ada semua ini,
walaupun la tidak tampak
Bhatara Siwa adalah asal dari segala yang ada ini, dinyatakan bahwa "sankeng
Bhatara Siwa sangkannya". Alam semesta (bhuwana agung) dengan segala isinya dan
manusia (bhuwana alit) adalah ciptaanNya juga. Semua ciptaanNya itu bersifat wujud mayaNya
yang bersifat tidak kekal, karena dapat Walaupun Bhatara Siwa bersifat tak terbatas
digambarkan juga secara terbatas, karena itu la sering disebut dengan nama yang berbeda-
beda seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Rudra sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sebagai Panca
Brahma la disebut Sadyajata, Brahma Dewa, Tat purusa, Aghora dan Isana. la pencipta,
pemelihara dan pelebur alam semesta.

a. Bhatara Siwa maha gaib, tanpa awal, tanpa pertengahan, tanpa akhir, amat suci.

1) Hredistam parwwa bhutanam


Pasyate jala cakra wat
Anadi madhyani dhanam
Siwangga dhya namo mretam.

Lwir Bhatara Siwa sira humungga ring hati parwwa mawak, tarpàdi, tarpamadhya, tar panta
langgeng hana nira, kadi jala cakra rupanira, sira ta katona de sang Yogiswara. (Bhuwana Kosa I.
1.4)
Artinya :
Keadaan Sang Hyang Siwa bersemayam di hati semua makhluk, tanpa awal, tanpa
pertengahan dan tanpa akhir. Keberadaan Beliau kekal berwujud seperti putaran air.
Demikianlah Beliau tampak oleh Sang Yogiswara.

2) Acalan ca layet sarwwam


Jagat sthawara janggamam
Wyapi hityam bhawo wira
Durjne yojna na walijitah
Lwir Bhatara Siwa hane ri ya. wyapaka nitya, menget sira tan cala, meweh sira ka wuh ana
dening nina jnanam sira tamar cala irikang jagat kabeh sthawara janggama rawaknya. (Bhuwana
Kosa 1.10)

Artinya :
Keberadaan Sang Hyang Siwa disana, selalu menyusupi segala, selalu 'sadar dan
tak bergerak, sulit diketahui oleh orang yang tidak berilmu pengetahuan, Beliaulah
menggerakkan seluruh dunia, baik tumbuh-tumbuhan maupun binatang.

3) Hre dante sumire wira


Panca warnna ma tah prabham
Rakta tri warnna masitam
Diptam spaika sannibham

Hana warna lima kwehnya, atisaya tejanya, munggwi tumpuk ning hati, malyang ta ya, lwirnya :
ikang rakta Aghora, ikang tri warnna, bang, putih, kresna ya Talpurusa, ikang hireng pada lawan
nilanjana ya Sadya, ikang kadi tejaning aaitya ya Bamadewa, ikang kadi manik spatika ya Isana,
nahan kramanya, ka wruhana ta kitang wira. (Bhuwana Kosa 1.17)

Artinya:
Ada lima jenis warna sangat luar biasa cahayanya, bertempat pada tumpuk hati sangat
bersih perinciannya sebagai berikut: merah, Aghara Dewanya, Yang tiga warna yaitu
merah, putih dan hitam Ttlpurusa Dewanya. Yang hitam seperti tengah mata Sadya
Dewanya; Yang seperti permata batu kristal Isana Dewanya. Demikian penjelasannya
hendaknya Anakda ketahui.

4) Tadante pari sang srestah


wisnu waktara mucyate
tasyantare parabha matram
suryya yute sama prabhah

Ikang Abyakta Wisnu ya, mijil sankeng witning hati, ritengab ning hati hana ta prabha pada
lawan suryya sayuta tejanya, Bama dewa wija ngkana, Ong Bang namah. (Bhuwana Kosa 1.26)

Artinya :
Yang Awyakta itu disebut Wisnu, yang leluar dari pangkal hati, ditengah-tengah hati ada
berupa sinar yang sama dengan sinar matahari sejuta. Itu manifestasi dari Bamadewa,
aksara sucinya Ong Bang
5) Param Brahma maha suksmam, santam parama nirmalam, wayawa matra sanyasya anggusta
pari manatah. Hana ta Param Brahma nga sira maha suksrna, santa parama nirmala sira,
sawayawa pra mana sangkaning anggusta. (Bhuwana Kosa 1.28)

Artinya :
Ada yang disebut Param Brahma, amat gaib dan amat suci, sangat gaib wujudnya
sebesar ibu jari.

b. Bhatara Siwa sumber segala dan tujuan kembalinya semua yang ada

1) Brahma sreg jayate lakam,


Wisnakce palaka stitam
Rudra twe sangharas cewam
Tri murttih nama ewa ca

Lwir Bhatara Siwa magawejagat, Brahma rupa siranpanresti jagat, Wisnu rupa siran pangraksa
jagat, Rudra rupa sira mralayaken rat, nahan tawale nira tiga bheda nama. (Bhuwana Kosa
III.76)

Artinya :
Penampakan Bhatara Siwa dalam menciptakan dunia ini adalah, Brahma wujudnya
waktu menciptakan dunia, Wisnu wujudnya waktu memelihara dunia ini, Rudra
wujudnya waktu mempralina dunia ini, demikianlah tiga wujudnya, hanya beda nama.

2) Ut patti bhagawan brahma


Sthiti Visnuh tathevaca
Pralina bhagavan ludra
Trayas trailaba saranah

Bhatara Brahma' siroatpatti, Bhatara Wisnu sira sthiti, Bhatara Rudra sira pralina, nahan
tang tiga pinaka sarana ring loka. (Bhuwana Kosa VII.25)

Artinya :
Bhatara Brahma adalah pencipta, Bhatara Wisnu adalah pemelihara, Bhatara Rudra
adalah pamralina. Demikianlah Dewa yang tiga itu sebagai pelindung.

Maya matram idham rupam


Jagat sthawara janggamam
Siwatma bhawate sarwwe
Siwa tattwa wwaliyate

Ikang jagat kabeh, sthawara janggamawaknya, maya swabhawanya, rupa Bhatara Siwa
sahananya ikang rat kabeh iwekasan lina mare sira. (Bhuwana Kosa III.79)

Artinya :
Seluruh jagat raya ini, tumbuh-tumbuhan, makhluk hidup mempunyai sifat lisbi,
semuanya itu adalah manifestasi Sang Hyang Siwa, seluruh alam raya ini akan lenyap
kembali kepada Beliau.

Yatottamam ili sarwwe


Jagat tattwa wwaliyate
Yatha sambhawate sarwwam
Tatra bhawate liyate

Sakweh ning jagat kabeh mijil sangkeng Bhatara Siwa ika, lina ring Bhatara Siwa ya. (Bhuwana
Kosa III.80)

Artinya :
beserta isinya muncul dari Sang Hyang Siwa dan lenyap juga kepada Sang Hyang Siwa.

c. Bhatara Siwa bersifat immanent dan transenden

a. Siwas sarwwa gatha suksmah


Bhutanam antariksawat
Acintya maha grehyante
Naindriyam pari grehyate

Bhatara Siwa sira wyapaka. sira suksmatar kneng angen-angen, kadyangga ning akasa sira, tan
kagrehita dening manah, mwang indriya. (Bhuwana Kosa II.17)

Artinya :
Sang Hyang Siwa ada dimana-mana, tetapi sangat halus ticlak dapat dibayangkan
(dipikirkan), Beliau bagaikan angkasa tidak terjangkau oleh pikiran dan panca indriya.

b. Kastu kasteya tha bahnih,


Suksmatwam upala bhyale,
Bhute-bhute Mahadewah
uksma geno upala bhyate
Sang Hyang apuy hane rikang kayu-kayu, ndalan katon, maka nimita suksmanira, yatha
kadyangganing akasa mangkana ta Bhatara Mahadewa, ari hana ring sarwa mawak, ndatan
kapangguh sira, maka nimita ng suksmanira. (Bhuwana Kosa II.18)

Artinya :
Api itu ada pada kayu tetapi tidak kelihatan karena sangat halusnya, itulah ibarat
angkasa. Demikianlah Sang Hyang Mahadewa, ada pada semua yang berwujud, tetapi
Beliau tidak tampak, karena halusnya.

c. Hari nimam manopaye


Loka bhawati pawakah
Jnana yogas tatopaye
Dwaya meke Maheswarah

Inupaya pwekang kayu, inguswan umijil tikang apuy ngke loka samangkara ta Bhatares wara an
kahidep nimitta jnana nira, yoga pangupayanta juga. (Bhuwana Kosa II.19)

Artinya :
Diusahakan untuk menggodok kayu itu, lalu keluarlah api di dunia ini demikian halnya
Sang Hyang Iswara, akan dapat dibayangkan dengan jalan mendalami yoga.

d. Bhatara Siwa berada di mana-mana


Tuhan atau Bhatara Siwa hadir di mana-mana, la bersifat w/api-wyapaka meresapi
segala, tidak ada sesuatu yang la tiada tempati.

1) Kaste kasteya tha bahnih,


Suksmatwam upala bhyate,
Bhute bhute Maha dewah,
Suksma gno upala bhyate.

Sang Hyang apuy. hane rikang kayu-kayu ndatan katon, maka nimita suksmanira, yatha
kadyangganing akasa, mangkana ta Bhatara Maha dewa, an hana ring sarwwa mawak, ndatan
kapangguh sira, maka nimite ng suksmanira. (Bhuwana Kosa II:18)

Artinya :
Api ada pada kayu tetapi tidak kelihatan, karena sangat halus, itulah ibarat angkasa.
Demikianlah Sang Hyang Mahadewa ada pada semua yang berwujud, tetapi Beliau tidak
tampak, karena kehalusan Beliau.

2) Etesam abhiyogatwa
Jogat deho bhijayate
Tatra tahasi na bhutah
Sa eko siwa tistati

Ika la kapasangan ikang tattwa Rudradi, ya ta pinaka sari raning jagat kabeh, kunang Bhatara
Siwa, sira wyapaka ring rat, sira wisesa, sira mungguh ring tattwa kabeh. (Bhuwana Kosa III.8)

Artinya :
Demikian rangkaian tattwa Rudra dan sebagainya, itu yang merupakan intisari bumi
seluruhnya. Sedangkan Sang Hyang Siwa meresap memenuhi bumi. Beliau sangat
utama, ada pada semua unsur (tatwa) itu.

e. Bhatara Siwa disebut dengan banyak nama


Berhubung kehadiran Nya di mana-mana, pada setiap tempat pada berbagai-bagai
aktifitas, maka natara Siwa disebut dengan berbagai nama pada berbagai tempat dan berbagai
aktifitas. Bhatara Siwa ing Esa mempunyai banyak nama.

1) Prattiwya sarwwa ekayam,


Salile bhawa sang smretah,
Kangeno pasupati jnayam.
Bayo ikanam ewasa

Nihan wibhaga bhatara umunggwirikang tatwa kabeh, sarwajna ngaranya yan andel ing pretiwi,
bhawa yan andel ing bayu. (Bhuwana Kosa III.9) ngarani ra, van andel ring toya, pasupati
ngaranira yana andel ing Sang Hyang Agni, Isana ngaranira

Artinya :
Begini gelar Bhatara yang berbeda-beda yang terdapat dalam semua unsur. Bergelar
sarwajnana bila pada pretiwi, Bhawa bila pada air, Pasupati bila pada api, Isana bila pada
bayu (angin).

2) Akase bhagawan bhamali.


Meha dewopi manasi,
Tan matra sthela ugreyah
Tejase rudra ucyate
Bhima ngaranira yan haneng akasa, kinahanan ta sira dening asta guna, Mahadewa ngaranira
yan haneng manah, tan pawak. Ugra ngaranira yan haneng panca tan matra, Rudra ngaranira
yan haneng teja, maka wak Ahangkara (Bhuwana Kosa III. 10)

Artinya :
Bergelar Bila pada angkasa bergelar Bhima, Beliau mempunyai delapan sifat yang
istimewa. Mahadewa bila pada pikiran, tanpa wujud. Bergelar Ugra pada panca tan
matra, bergelar Rudra bila pada cahaya, berwujudkan Ahangkara.

4.3. Ajaran Tentang Alam Semesta

Dalam Bhuwana Kosa dinyatakan bahwa segala yang ada ini dari Bhatara Siwa asalnya,
sangkeng Bhatara Siwa sangkanya. Demikianlah alam semesta dengan segala isinya berasal
dariNya. Proses penciptaan alam semesta ini terjadi secara bertahap dari penciptaan Purusa
yang pertama kali oleh Bhatara Siwa sampai pada terciptanya prathiwi.
Mula-mula dari Bhatara Siwa lahir Purusa, kemudian dari purusa lahir sesuatu yang tidak
tampak (awyakta), dari awyakta lahir Budi, bersifat sattwam, ia sangat utama, dari Budi lahir
ahangkara mempunyai sifat rajah, dari ahangkara lahir lima benih kehidupan (panca tan matra)
yang mempunyai sifat lamas (kegelapan). Dari Panca tan matra lahirlah manah yang
berkegiatan berupa hasrat (keinginan). Dari manah lahirlah akasa, wujud lahirnya bermakna
suara, dari akasa lahirlah bayu (udara) sifat suaranya sentuhan. Dari bayu' lahir Agni (api)
bermakna suara dan rupa, clari Agni lahir Apah (air) bermakna suara, rupa dan rasa. Dari Apah
lahir pratiwi (bumi) mempunyai kodrati suara, sentuhan, rupa, rasa dan bau. Demikianlah
proses penciptaan alam semesta ini, semuanya bersumber pada Bhatara Siwa, seluruh proses
ini terjadi dalam dua belas langkah atau dua belas tattwa, selanjutnya Bhatara Siwa meresap
memenuhi bumi, ada pada semua tatwa itu.
Alam semesta dengan segala isinya disebut bhuwana agung, sedang badan manusia
disebut huwana alit. Bhuwana alit berada dalam bhuwana agung dan juga tercipta dari panca
maha bhuta. Dalam sastra-sastra Hindu bagian-bagian bhuwana alit dianalogikan dengan
bhuwana agung. Yang ada di huwana agung juga ada di bhuwana alit.

a. dari Bhatara Siwa lahir Purusa


Siwalma nirmalo Rudrah
Ksanto jiwati niskalah
Talap purusa ewasit
Bharupedam kala prabhuh

Bhatara Rudra satmya kalawan Bhatara Siwa, nirmala sira, sira ali niskala, sangkari Bhatara
Rudra, mijiltang Purusa Brahma Katatwanira, kadi tejaning aditya. sira ta prabhu. (Bhuwana
Kosa III.1)

Artinya :
Sang Rudra bersatu dengan Sang Hyang Siwa, beliau sangat suci sangat abstrak. Dari
Sang Hyang Rudra dengan panca indria, tak dapat dibayangkan, sangat sulit untuk
mengetahui Beliau, kebenaran Beliau adalah tamah tanpa kesadaran.

b. Dari Purusa lahir awyakta (sesuatu yang tidak tampak)


Awyaktang kresnam ewasit
Suksma nityam atindriyah
Acintya durlabhe jneya
Tamo bhutam acetanam

Sangke Sang Purusa, mijiltang awyakta, Wisnu tatwaria, lankawenang ginrahya dening indriya,
tan 111.2) -kawenang hinangen-angen meweh kawruhanira, tamo bhuta sira, lan pa cellana
sira. (Bhuwana Kosa

Artinya :
Dari Purusa lahirlah sesuatu yang tidak nampak (awyakta) sesungguhnya itu disebut
Wisnu, tidak dapat dijangkau dengan panca indria, tidak dapat dibayangkan, sangat sulit
untuk mengetahui Bėliau, keberadaan Beliau adalah tamah, tanpa kesadaran.

c. Dari awyakta lahir budhi, dari budhi lahir Ahangkara


Awyakta buddhi cewasit
Gori sattwam atah param
Tatas tejam idam asit
Rakta wama rajo mayam

Sangkaring Awyakta mijil Buddhi, kuning warnnanira satwa pinaka swabhawanira, Wisesa sira,
Sangkaring Buddhi mijil tang Ahangkara, bang warnanira, rajah pinaka swabhawanira.
(Bhuwana Kosa III.3)

Artinya :
Dari Awyakta lahirlah budi, warnanye kuning mempunyai sifat kebenaran (satwa) ia
sangat utama. Dari budi lahirlah Ahangkara warnanya merah, mempunyai sifat selalu
ingin (rajah).

d. Dari Ahangkara lahir panca tan matra, dari panca tan matra lahir manah
Tatastejas rewasit
Kresna warna tamo onayam
Sangkal patmana ewasit
Lin tatmanggana sambhawam

Sangkeng Ahangkara mijil tang Panca Tan Matra, Liteng warnanira, tamah pinaka
swabhawanya, sangkeng Panca tan matra, mijil tang manah, sangkalpa gawenya, manah kalpa,
ngamamilang maangen-angen swabhawanya, nahan dadinya, sangkalpa wikalpa. (Bhuwana
Kosa III.4)

Artinya :
kegelapan (tamah). Dari Ahangkara lahirlah lima benih kehidupan (Panca lan matra)
warnanya hitam mempunyai sifat Dari Pança tan matra lahirlah Manah, yang berkegiatan
bersifat, hasrat (keinginan). Manah kalpa berarti selalu menghitung-hitung dan berangan-angan
sifatnya. Itulah yang menimbulkan keinginan dan kebimbangan.

e. Dari manah lahir akasa, dari akasa lahir bayu


Tata akasam ewasit
Wyam sabdham alaksanam
Tatha bayur-iti sparsam
Sabda sparsa gunatmakam

Sangkeng manah metu akasa, wahya ya, sabda gunanya, sangkeng akasa metu bayu, sabda
sparsa gunanya. (Bhuwana Kosa III.5)

Artinya :
Dari manah lahirlah Akasa, wujud lahiriahnya bermakna suara, dari Akasa lahir bayu
(udara) sifatnya suara dan sentuhan.

f. Dari bayu lahir agni (api), dari api lahir apah (air)
Bay wagnis sambhatam manah
Sabda sparsa wirupawan
Rasa rupa sabda sparsa
Sabda wak salilatimakaḥ

Sangkeng bayu.metung Agni, sabda rupa gunanya, Sangkeng Agni metung Apah, sabda sparsa
rupa rasa gunanya. (Bhuwana Kosa III.6)

Artinya :
Dari bayu lahirlah Agni (api) bermakna suara dan rupa, dari Agni lahirlah Apah (air)
bermakna suara, rupa dan rasa.

g. Dari apah lahirlah pretiwi (tanah)


Sabda sparsa wirupakya, rasa gandhawati mahi, etad ulpatti na menam, dwa dasakyantu pan
cadha. Sangkaring apah metu pretiwi, sabda sparsa, rupa rasa gandha gunanya nahan tang
tatwa rwa wlas kweḥnya, Rudra, Purusa Awakta, Buddhi, Ahangkara, Panca tan matra, Manah
Akasa Bayu, Agni, Apah. Pretiwi, nahan ta Iwir nikang tatwa, Sa, Ba, Ta, A, I wijanya (Bhuwana
Kosa III.7)

Artinya:
Dari Apah lahirlah pretiwi (bumi) mempunyai kodrat suara, rupa, sentuhan, rasa dan
bau. Itulah dua belas tatvia, yaitu: Rudra, Purusa, Awyakla, Budi, Ahangkara, Panca tan
matra, Manah, Akasa (ether), Agni, Bayu,.Apah, dan Pretiwi, itulah perincian tatwa itu,
Aksara sucinya SA, BA, TA, A, I.

Demikianlah proses penciptaan alam semesta, mulai dari unsur yang paling halus (purusa) lahir
dari Bhatara Siwa, sampai proses yang paling kasar (pretiwi), selanjutnya Bhatara Siwa meresap
pada semua unsur.

1. Eksam abhi yoga twam


Jagat deho bhijayate
Tatra tatrasi na bhulah
Suko Siwa Tistali

Ika ta kapasangan ikang tatwa Rudradhi, ya te pinaka sariraning jagat kabeh, kunang Bhatara
Siwa sira wyapaka ringrat, sira wisesa, sira mungguh ring tatwa kabeh. (Bhuwana Kosa III.8)

Artinya :
Demikianlah rangkaian dan tatwa Rudra itu yang merupakan inti sari dari bumi
seluruhnya, sedangkan Sang Hyang Siwa meresap memenuhi bumi. Beliau sangal utama
ada pada semua tatwa itu.

2. Sarwe tatwe sariranam


Siwajnatwadi sarwatah
Tesu tesus amisrekan
Tat karanam iti smretam
Matangnyan mangkana, apan ikang satwa kabeh lingning tatwa, sangkeng Bhatara Siwa
sangkanya, sira pinaka sarira tatwaning satwa kabeh lingning tatwa, sangkeng Bhatara Siwa
sangkanya, sira pinaka sarira tatwaning satwa kabeh, apan sira karana ning dadi kabeh yata
katuturana de sang wruh ring tatwa. (Bhuwana Kosa III.67)

Artinya:
Apa sebab demikian, karena semua unsur-unsur pada hakekatnya berasal dari Sang
Hyang Siwa. Beliaulah menjadi inti jasad (unsur) dan Beliau pula yang menyebabkan
adanya semua yang ada. Hal itulah yang patut dihayati oleh orang yang tahu akan
hakikat hidup.

3. Katimah sarvato bhumih


Dravatvam sarvato jalam
Usnatvam sarvalo bahnih
Calitvam sarvato nilah

Ikang makas ng sarira, pithiwi ika, ikang drawa ng sanitaapah ika, ikang malah ning sara bayu
ika. (Bhuwana Kosa III.12)

Artinya :
Yang keras dalam badan itulah prthiwi, yang lain dalam badan itu adalah apah, dan yang
bergerak dalam badan itu adalah bayu.

SKEMA PROSES PENCIPTA


Zat unsur keidupan Tahapan pencipta benih alam Sifat
Bhatara siwa
Awyakta Tanah
Budhi Sattwam
Ahangkara rajas
Panca tan mantra Tamas
Manah Ingin, bimbang
Telingga, hidung, hati, dubur,
Akasa Suara
kelamin, tulang
Prana, apana, samana, udana,
Bayu Suara, sentuhan
byana
Mahageni, grhas patyagni,
Agni Suara, rupa
daksinagni
Darah, najis, air kemih,
Apah Suara, rupa, rasa
keringat, ludah, sumsum otak
Daging, tulang, otot, rambut,
bulu kaki, buah pinggang, Suara, sentuan, rupa, rasa,
pretiwi
paru-paru, jantung, hati, bau
limpa

Selain proses penciptaan Bhuwana Kosa juga menguraikan proses peleburan alam semesta
(pralaya). Prosesnya juga bertahap merupakan kebalikan dari proses penciptaan, diawali dari
unsur yang paling kasar. pretiwi, sampai kepada yang paling halus menuju Bhatara Sangkara,
seperti skema berikut:

Sang hyang sangkara


Purusa hakekat wujud dewata
Awyakta
Buddhi
Ahangkara hakekat yang wujud abstak
Panca tan manra
Manah
Akasa
Bayu
Agni wujud kehidupan segala yang hidup (bhotika)
Apah
Pretiwi

Apabila bhuwana alit dihubungkan dengan bhuwana agung maka tingkatan-tingkatan alam
dalam bhuwana agung akan ditemukan pada bagian-bagian tubuh manusia dari alam yang
paling bawah sampai dengan yang tertinggi yaitu alam kamoksan. Pada tiap-tiap bagian tubuh
manusia yang merupakan simbul alam semesta berstana dewa-dewa, yang tertinggi adalah
Sang Hyang Parama Nirbana Siwa, yang menjadi obyek dalam alam kamoksan. Tingkatan-
tingkatan alam dalam bhuwana Agung dan bhuwana Alit dapat digambarkan sebagai berikut:

Alam dalam bhuwana agung Letaknya dalam bhuwana alit dewanya


Ubun-ubun Sang hyang paramasiwa
Lubang kepala Sang yang nirbana siwa
Rongga kepala Sang hyang atyatma suka
Sang hyang parama siwa
Parama kewalya Kepala
sadasiwa
Kewalya Dahi Sang hyang parama siwa
Diantara kedua alis Sang hyang siwatman
Langit-langit Sang yang siwa tara
Leher Sang hyang siwa purusa
Satya loka Pangkal leher Rudra/mahadewa
Tapa loka Dadu Sang hyang brahma
Jnana loka Hati Wisnu
Maha loka perut Sang hyang yaksa prajapa
Indra loka pusar aghora

4.4. Ajaran Kelepasan,

Dalam Bhuwana Kosa tidak tercantum secara terinci tentang ajaran kelepasan atau
kemo demikian pula tentang ajaran yoga yang pada umumnya sebagai jalan untuk mencapai
kelepas Ajaran yang ada hanya menyatakan dengan kesempurnaanbatin dari orang yang
melakukan yog yogiswara, dapat menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa dan
mencapai alam sunya. sunya juga disebut nirbhana atau nirwana. Tentang ajaran yoga,
menurut Patanjali yoga suth delapan tahap disebut astangga yoga, berbeda dengan lontar-
lontar yang pada umumnya ada enam disebut sadangga yoga. Walaupun tampak berbeda pada
prinsipnya tetap sama, karena astangga maupun sadangga yoga puncaknya adalah samadhi
atau samadhi yoga. Dengan demikian Bhuwana Kosa memuat ajaran bahwa untuk mencapai
kelepasan orang harus mencapai tingkat sa yoga. Caranya dengan melaksanakan yoga,
melaksanakan pemusatan pikiran pada alam nirwana sifatnya sunya, agar dapat menyatu
dengan obyek samadhi, yaitu Sang Hyang Parame Siwa atau Hyang Parameswara, dengan
terlebih dahulu memahami hakekat Bhuwana agung dan Bhuwana alit.
Bhuwana agung dan bhuwana alit merupakan pengetahuan tentang rahasia hidup yang
Untuk mencapai kamoksan pengetahuan tentang rahasia bhuwana agung rahasia dan utama
bhuwana alit harus dikuasai, tanpa menguasai itu tidak ada kemungkinan untuk dapat
mencapai Nya.
Tidaklah mudah untuk dapat menguasai pengetahuan tersebut, ia harus dicari dengan
tekur teliti, dengan persyaratan yang berat seperti berikut

1. Memiliki kepribadian yang baik.


2. Memiliki tata karma.
3. Berpikir tenang.
4. Tidak minum minuman keras
5. Menghindari perbuatan nista.
6. Guru susrusa.
7. Tekun menjalankan brata.
8. Memiliki pengetahuan tentang Weda dan sastra lainnya.
9. Memiliki keyakinan yang kuat akan ajaran tersebut.
10. Penguasaan ajaran itu yang dapat dilakukan

Sloka-sloka dalam lontar Bhuwana Kosa yang berkaitan dengan ajaran yoga dalam upaya untuk
mencapai kelepasan, diantaranya seperti berikut ini:

Sva sarira maha yogi


Pasyate hrdayantare
Vakyante paramesvaram
Surya yulama saprabham

Nihan wuwus ni nghulun I kita sang Mahayogi, sira tumon Bhatara Parameswara, sateja lawan
tejaning aditya sayuta ngka ri sarira mwang ri halinira. (Bhuwana Kosa 1.3)

Artinya:
Begini penjelasanku kepadamu. Orang yang telah mencapai tingkat yoga tertinggi, ia
melihat Bhatará Parameswara yang sama dengan cahaya matahari sejuta di dalam
dirinya dan di dalam hatinya.

2. Manasya davyate vira


Ami bhute na caksu so
Hredi sthanela devi
Murdhanta ri niriksyate.

Ikang tang pada mangkana ya katon denta, maka karana manahta, mwang jnanante jitendriya,
ngka ri tumpuk hati, ring rahi tenghning hulu, mangkana wuwus ing hulum I kitang wira.
(Bhuwana Kosa 1.5)

Artinya :
Alam yang demikian itu akan tampak olehmu, dengan sarana pikiran dan pengetahuan
yang lepas dar indriya (nafsu) di sana pada lubuk hati, pada muka dan pada kepala.
Demikian penjelasanku padamu

3. Svaccham suksnam param sunyam


Sivang kevalya macyutam
Anamaya manidhanam
Hanadi madhyam antikam

Hana ta pada sunya malilang ta ya, wisesa ika, malit ya parama suksma, ya kewalya, nga, tar på
hilangan, tan padi tar pamadhya, tan panta, ya karana ning dadi kabeh, ya kalinanya. (Bhuwana
K 1.18)

Artinya :
Ada lagi alam kosong terang benderang, itu sangat utama, sangat halus dan sangat
rahasia bernama alam "kewalya" tanpa batas, tanpa awal dan tanpa
pertengahan dan tanpa akhir. Itu-se sumber makhluk dan itu juga pembinasaannya.

4. Etat parama nirbhanam


Aitat kevalya santikam
Paratma maha devam
Paramesvara sang jnakam

Ikang pada mangkana ya Parama Nirbhana, ya Kewalya pada, ya Paratma, ya Mahade


Parameswara ngaranira. (Bhuwana Kosa 1.20)

Artinya:
Alam yang demikian disebut alam maha sempurna (Parama nirbhana) itu juga disebut
alam murni (kewalya pada) juga disebut Paratma, juga disebut Maha dewa dan
Parameswara.

5. Bhomo muni varas srestah


Tvaccha bhemo vacah mawa
Sunyam atyanta kevalyam
Etan nerat mya sanggamam

Hana ta pada kevalya nga kepanggih aning nir angga. (Bhuwana Kosa V.4)

Artinya :
Ada alam yang sangat murni (kewalya) yang hanya dapat dijumpai oleh yang tanpa
wujud.

6. Dyayet mano maha sunyam,


Sivang kevalyam acyutam
Manah akasanam bhutam
Neratnyanti waset pada

Mangkana pwa ya angen-angen sang Pandita lekang pada sunya, ya Siwa nga, ya Kewalya, nga
tar paka hilangan, senakalaken dening manah ya wekasan, huwus pwa sira margen-angen ikang
pada senya unggwanira tekang kanirat myan sada kala. (Ehuwana Kosa V.11)

Artinya :
Demikianlah pula pikiran sang Pandita sampai pada alam sunya (hampa) itu disebut
Siwa, itu pula disebut Kewala, tanpa akhir ini diwujudkan dengan pikiran, sesudah
pikiran terpusat pada alam sunya itu, disitulah dipusatkan perihal pengosongan jiwa itu..

7. Anastha mapi bhuyistah


Dresta yantesu dharayet

Angen angene nira pwa ya katon ikang jyati hane daeem denira, raya sthah, nga, katon pwa ya,
dharana nira ya, maka nimitta dening yatna nira. (Bhuwana Kosa V.13)

Artinya :
Sesudah terbayang dalam pikiran, lalu tampaklah olehnya ada sinar didalamnya. Setelah
itu tampak olehnya, dengan tenang dipusatkannya pikirannya pada sinar itu.

8 Yatra yatra samu diksya


Tatra, tatre walala bhyate
Manah tyaktam sama gamyah
Tat sudham ati nispreham

Koton pwa ya ngkan kabeh denira pinangguh nira tekang manah atyanta suddha ya, pisaningu
kenaring hyum. (Bhuwana Kosa V 19)

Artinya :
Apabila telah tampak olehnya kesemuanya itu, maka ditemukanlah pikiran yang suci,
yang sangat mustahil dipengaruhi lagi oleh keinginan.
9. Tattva nirbhanam adhikyam.
Nirbhanam paramano padam.
Manoni papa nirbhanam.
Dasendriyan tatha kyatam

Wekasan pwa ya ta hana ta kamoksan atisaya wisesa, anşukanira la sang yogiswara, teka tang
manah nirdhana, an manghana hilang tekang manah, lawan Indriyanira mari mamikalpa.
(Bhuwana Kosa V.21)

Artinya :
Selanjutnya ada kebebasan sejati (kamaoksan) yang sangat utama yang dapat dicapai
oleh orang yang sangat sempurna yoganya. Bila telah demikian lenyaplah segala pikiran
dan keinginan yang menjadi penghalang.

10. Svayam utpatir akase.


Svayam indra dhanus sucih,
Bhur bhuvah svah maha janah
Tapas atyanta durdhvakam

Sarvam bhaktam param sunyam, nirbhanam paramam brajet

Ikang pada swayam ya wetu ring akasa, kadi wang kawa, ya suci ika, bhul loka bhuwah loka,
swah loka, maha loka, jana loka, tapo loka, satya loka, hana la taka I ruhur ika, ika tang loka
kabeh, ya ta kahaliwatan desang yogiswara, I wekasan pinangguh nira tang nirbhana pada,
lwirnya sunya wisesa ya. (Bhuwana Kosa 29)

Artinya :
Alam yang pada diri kita keluar di angkasa tampak bagaikan pelangi tetapi bening, Bhuh
laka Bhmwah loka, Swah loka, Maha loka, Jana loka, Japa loka, Satya loka, itu alam yang
ada di atas. Kesemua alam itu dilewati oleh orang yang telah sempurna yoganya. Pada
akhirnya dijumpailah alam nirwana itu, yang keadaannya sunya (hampa absolut).

Jadi pada alam Nirwana yang sifatnya sunya atau hampa absolut, sudah tidak ada lagi
wujud apapun, karena semua sudah menyatu dengan Parama Siwa, alau Parameswara, yang
hanya dapat dicapai oleh yang tanpa wujud pula.
Demikianlah ajaran kelepasan dalam Bhuwana Kosa
5. AJARAN SIWATATTWA DALAM LONTAR
WRHASPATI TATTWA

5.1. Bentuk Dan Susunan Lontar Wrhaspati Tattwa


Lontar Wrhaspati tattwa terdiri atas 74 pasal pendek-pendek, mempergunakan bahasa
Sansekerta dan Jawa Kuna. Bahasa Sansekertanya tersusun dalam bentuk sloka, sedang bahasa
Jawa Kunanya dalam bentuk bebas (gancaran) dimaksudkan sebagai terjemahan dan
penjelasan dari sloka yang berbahasa Sansekerta.
Wrhaspati tattwa berbentuk dialog antara seorang guru spiritual yaitu Sang Hyang Iswara
dengan seorang sisyanya (murid spiritual) yang bernama Bhagawan Wehaspati. Dikalakan
bahwa Sang Hyang Iswara bersthana di puncak gunung Kailasa, salah satu puncak dari
pegunungan Himalaya yang dianggap suci, sedangkan Bhagawan Wrhaspati adalah orang suci
yang merupakan guru loka (guru dunia) yang berkedudukan di sorga. Secara garis besar
keseluruhan isi Wrhaspati Taltwa menguraikan tentang ajaran Ketuhanan,
ajaran tentang alam semesta dan ajaran tentang kelepasan.

5.2. Ajaran Ketuhanan

Pada bagian awal dialog Bhagawan Wrehaspati menanyakan kepada Sang Hyang Maheswara
tentang ajaran kitab suci yang dilaksanakan oleh orang bijaksana yang menyebabkan adanya
kebingungan Sang Hyang Maheswara menjelaskan bahwa kebingungan itu disebabkan oleh
penafsiran yang keliru karena terbatasnya kemampuan pengamatan manusia. Kekeliruan itu
melahirkan pernyataan yang salah Tentang kebenaran, sehingga tampak seperti kebingungan.
Sang Hyang Maheswara menggambarkan bagaikan sekelompok orang buta yang meraba gajah,
hanya mampu menghasilkan pengetahuan tentang gajah sebalas yang dapat dirabanya saja,
sehingga lahirlah pernyataan kebenaran tentang gajah yang beraneka mcam. Lahirnya
pernyataan tentang kebenaran yang beraneka macam pertanda adanya kebingungan.

Hana wuta samoha. amalaku winarah wruh ring liman, saka ri swikaranyan wruna.
amalaku la ya ginamelaken denikang wwang manon
liman, udan kapwa dudu ginamelnya sowang-sowang, hana anggameli
hulu, kadi kumbha liman lingnya, waneh anggameli talça, kadi hirir liman
lingnya, waneh anggameli galing, kadi kakayu binubut liman lingnya,
waneh anggameli galing, kadi kakayu binubut linian lingnya, anggameling
weteng. kadi lambung liman lingnya, waneh anggamell suku, kadi tudung
liman lingnya, asing alah ginamelnya salah-siki ngkapa, nda tar wruh ri
sadrsya ning liman, ri pangadenya pindakaranya, amběknya nayanya, tan
wruh apan wulal, saginamelya juga kawruhanya, tandwa kadyangga ning
andhatattwa, an tar wruh ri sadrsya ning liman, niangkana tikang janma,
wyamoha ngaranya, ya pinakapetengnya, wuta kalinganya, twas nikang
tattwa kaharan awayawa ning liman, yangken hulu gading tulalai weteng
suku iku, ikang sastra lawan aji, akweh pwa kawyapakan sang hyang
wisesa, ya ta matangyan ika mangde bhranta wulangun ta ya, pali tandak-
landaki, tan wruh ring lor lawan kidul, tan wruh ring kurang lawan lewih,
tan wruh ring lungha lawan taka, ikang jnana mangkena, yeke bhranta
ngaranya, tan paniddhaken prayojana, mangkana ling Bhatara.
(Wrhaspati Tattwa 4)

Artinya:
Beberapa orang bula bersama-sama ingin mengetahui bentuk gajah.
Karena lidak melihat dan tidak mendapat gambaran yang lengkap tentang
gajah itu, mereka saling menyalahkan. Gambaran mereka tentang gajah
itu kacau (samoha). Mereka ingin sekali mengetahui gajah. Oleh karena
itu mereka mohon agar diberi kesempatan meraba gajah itu. Tetapi
masing-masing meraba bagian yang berbeda dari gajah itu. Yang
meraba kepala mengatakan bahwa gajah seperti periuk (kumbha), yang
lain meraba telinga, ia mengatakan bahwa gajah seperti nyiru, (hirir = Skt.
Surpa ?) Lainnya lagi meraba gadingnya, ia mengatakan gajah seperti
liang bengkok. Ada yang meraba belalai, dan mengatakan gajah seperti
ular. Yang meraba perut mengatakan gajah seperti lereng gunung
(lambung?). Gajah seperti belut, kata yang meraba ekor gajah. Dan
yang meraba kaki mengatakan gajah seperti pilar (tudung ?). Setiap
orang menyentuh bagian yang berbeda-beda dari badan gajah itu, maka
oleh karena itu mereka tidak mendapat pengetahuan yang lengkap
tentang gajah; tentang tinggi, besar badan, keinginan dan kelakuannya.
Meraka tidak tahu karena mereka buta. Yang diketahui hanya bagian
yang disentuhnya. Kenyataan seperti itu dan apa yang dialami oleh orang
buta itu juga terjadi pada manusia. Itulah yang dinamakan kebingungan
(wyamoha). Mereka dalam kegelapan, mereka dalam kebutaan. Nilai
kebenaran dinyatakan oleh anggota badan gajah seperti kepala, gading,
belalai, perut, kaki dan ekor. Itulah Kitab Suci dan pengetahuan. Wisesa
yang ada pada mereka ada bermacam-macam, yang menyebabkan
terjadinya kebingungan dan kekacauan. la lari ke sana-kemari. Ia tidak
mana utara dan mana selatan. Ja tidak tahu yang berharga dan yang
tidak berarti (?), atau yang rendah dan yang tinggi, atau yang hina dan yang terhormat,
atau yang datang dan yang pergi. Itulah yang diketahuinya. Itu yang disebut
kebingungan (bhranta). la tidak mencapai tujuannya. Demikianlah sabda Maheswara.
Ajaran ketuhanan dalam Wrhaspati tattwa mulai dengan pemahaman dua kenyataan
tertinggi yang disebut Cetana dan Acetana. Cetana adalah unsur kesadaran dan Acetana
adalah unsur ketidak sadaran.
Kedua unsur ini bersifat maha halus dan merupakan sumber dari segala yang ada.
Cetana itu ada tiga jenisnya disebut Cetana Telu yaitu Parama Siwa Tattwa, Sada Siwa
Tattwa
dan Siwa Tattwa. Ketiganya ini sesungguhnya adalah Sang Hyang Widhi Wasa sendiri
yang telah
mengalami perbedaan tingkat kesadaran. Parama Siwa mempunyai tingkat kesadaran
lertinggi, Sada Siwa menengah dan Siwa yang terendah. Tinggi rendahnya lingkat
kesadaran itu ditentukan,oleh kual lemahnya pengaruh Maya. Parama Siwa dengan
kesadaran terting sesungguhnya tidak terpengaruh oleh Maya. Sada Siwa mendapat
pengaruh sedang-sedang saja, sedangkan Siwa mendapat pengaruh yang paling kuat,
bahkan boleh dikatakan telah diliputi oleh Maya.

Ndar Iwir nikang tattwa kawruhananta, celana lawan acetana, celana


ngaranya jnanaswabhawa wruh tan keneng lupa, nityomideng sadakala,
tan kawaranan, ya sinangguh cetana ngaranya, apetana ngaranya ikang
tanpa jnana, kadyangga ning watu, ya sinangguh acetana ngaranya !
Atemu pwekang celana lawan acetana, ya la mangdadyaken sarwataltwa,
wirnya, pradhanalattwa trigunataltwa, buddhitattwa, ahangkarataliwa,
bahyendriyatattwa, karmendriyatattwa, pancamahabhutatattwa, nahan
yang sarwataliwa ngaranya, ya ta kawruhananta temen-temen, nihan
laksananya pajarangkweri kita, telu pralyeka ring celana, 'Iwirnya,
Paramasiwatatiwa, Sadasiwatattwa, Siwatattwa, nahan yang celana telu
ngaranya mapalenan.
(Wrhaspali Tattwa 6)

Artinya:
Kenyataan yang tertinggi melipuli dua hal : sadar (celana) dan tidak sadar
(acetana). Kedua unsur ini ada pada semua lattwa dan untuk
mendapatkannya diperlukan usaha yang sungguh-sungguh.
Dua hal itulah yang harus engkau ketahui, yaitu celána dan acelana. Ce
tana berarti pengetahuan (jnanaswabhawa), tidak terpengaruhi oleh
ketidak-sadaran, dan bersifat abadi (nitya), artinya tetap kokoh, lidak
dapat disembunyikan. Itulah yang disebut celana. Acelana artinya tanpa
pengetahuan, ibarat batu. Itulah yang dinamakan acetana.
Apabila cetana dan acetana bertemu maka akan lahirlah seluruh tattwa,
yaitu taltwa asal (pradhanatattwa), triguna tattwa, buddhitattwa,
ahangkaratallwa, tattwa indra luar, (Bahyendriya) karmendryalattwa,
pancamahabuthataltwa. Semua itu dinamakan sarwatallwa. Engkau
sering benar-benar mengerti semuanya.. Sekarang baiklah akan
kuajarkan kepadamu sifat-sifat tattwa itu. Ada liga bentuk cetana :
Paramasiwatattwa, Sadasiwalattwa, dan Siwatattwa. Itulah ketiga bentuk
cetana, dan sekarang akan kujelaskan tentang Paramasiwalattwa itu.
Sang Hyang Widhi dalam wujud Parama Siwa dengan kesadaran tertinggi sama sekali
tidak
dipengaruhi oleh unsur Maya, oleh karena itu disebut "Nirguna Brahman", artinya
Brahman yang tidak dipengaruhi oleh guna (sifat). Wujud dari Parama Siwa adalah
sunya, sunyi sepi, suci mumi, kekal abadi dan tanpa aktivitas..

Aprameya Bhatarą, lanpangen-angenan, apa hetu, ri kadadinya n ananta,


tan pahingan, anirdesyam, tan patuduhan, ri kadadinya n-lan palaksana,
anaupamyam, lalan papada, ri kadadinya n tan hana pada nira juga,
anamayam, tatan keneng lara, ri kadadinya n alilang, suksma ta sira, ri
kadadinya n lan wenang inupalabdhi, wyapaka la sira sarwagata,
kahibekan tikang rat denira, sahananya kabeh, nityomideng sadakala, ri
kadadinya n tan polah, umideng sadakala, awyayam, tatan palwang, ri
kadadinya n paripurna. Iswara ta sira, Iswara ngaranya ri kadadinya n
prabhu la sıra sira ta pramana lan kapramanan, nahan yang
Paramasiwalattwa ngaranya.
(Wrhaspati Taltwa 7-10)

Artinya:
Iswara tidak dapat diukur, tidak berciri, tidak dapat dibandingkan, tidak
tercemar, lidak nampak, ada di mana-inana, abadi, tetap dan tidak
berkurang (7), la lidak dapat diukur dalam arti tanpa akhir. la lidak berciri
karena ia tidak mempunyai ciri. Ia tidak dapat dibandingkan, karena tidak
ada yang lain seperti Dia. Ja tidak tercemar, karena ia tidak bernoda (8).
la tidak tampak karena ia tidak bisa dilihat. la ada di mana-mana; karena
ia ada dalam segala benda. la abadi karena ia tidak berbentuk. Ia tetap
karena la tidak bergerak (9).
la tidak berkurang karena ia tetap utuh. la telap tenang. Siwatattwa ini
meliputi seluruhnya (10).

Tuhan adalah tidak dapat dibayangkan apremaya. Mengapa demikian?


Karena bersifat ananta yaitu tidak terbatas. Ani-desya artinya tidak dapat
diberi batasan karena ia mempunyai ciri. Anaupamya artinya tidak dapat
dibandingkan, karena tidak ada yang menyamainya. Anamaya artinya
tidak dapat kena penyakit atau sakit, karena la suci la suksma karena la
tidak dilihal. la sarwagala karena la ada dalam segalanya, la memenuhi
seluruh jagat raya. la tetap, yaitu la selalu tenang, karena la tidak punya
asal mula. la dhruwa yaitu kokoh, karena la tidal bergerak, tetap stabil.
la awyaya yaitu la tidak pernah berkurang, karena la selalu utuh. la
adalah Iswara. la disebut Iswara karena la sebagai Guru. Ia mengatur
seluruhnya, namun tidak diatur (oleh siapa-siapa). Inilah yang dinamakan
Paramasiwalattwa.
Selanjutnya Parama Siwa mulai terpengaruh oleh Maya, kesadarannya terkena sifat guna. Pada
Tahap seperti ini la mulai terpengaruh oleh sakti, guna dan swabhawa, yang merupakan hukum
kemahakuasaan Sang Hyang Widhi Sada Siwa. la memiliki kekuatan untuk memenuhi segala
bulkan dengan bunga teratai yang merupakan sthana Nya, disebut Padmasana. Kehendaknya
yang digambarkan sebagai perwujudan mantra yang disimbulkan dengan aksara suci
(wijaksana) AUM atau Dengan sakti, guna dan swabhawanya, la aktif dengan segala ciptaan-
ciptaanNya, oleh karena itudisebut "Saguna Brabman"
Brahman yang Saguna dinyatakan memiliki empat kemahakuasaan yang disebut Cadu sakti,
yaitu:
Wibhu sakti, yaitu kekuatan meresap, Maha ada.
Prabhu sakti, yaitu Maha kuasa.
Jnana sakti, yaitu Maha tahu.
Kriya sakti, yaitu Maha pencipta.

Sawyaparah, Bhatara Sadasiwa sira, hana padmasana pinaka


pahungguhanira, aparan ikang padmasana ngaranya sakti mira, sakti
ngaranya, wibhusakti, prabhusakti, jnanasakti, kriyasakti, nahan yang
cadusakti.
(Wrhaspati Tattwa 11-13)
Artinya:
Sadasiwa aktif, berguna, bersinar, terdiri dari unsur kesadaran,
mempunyai kedudukan dan sifat-sifat. Ia memenuhi segalanya. la dipuja
karena tanpa bentuk.la maha pencipta, pelebur, pengasih, bersinar, abadi, maha lahu,
dan ada
di mana-mana.Bagi orang yang tak punya tempat berlindung, la merupakan saudara, ibu
la merupakan penawar dari segala rasa sakit dan dan ayah. membebaskan manusia dari
ikatan tumimbal lahir. padmasana. Sawyaparah, demikian Sang Hyang Sadasiwa. la
duduk di alas
Apakah padmasana itu ? Padmasana itu adalah kekuatannya (sakti). Beliau memiliki
empat kekuatan: kekuatan meresap (wibhusakti), Prabhusakti, kekuatan Ilmu
pengetahuan (jnanasakti), dan kekuatan perbuatan (kryasakti). Empat kekuatan itulah
yang beliau miliki.
la juga memiliki sifat guna yang disebut : Durasrawana, artinya kemampuan mendengar
suara Jauh maupun dekat, Durasarwajna artinya mampu mengetahui segala apa yang
terjadi di tempat yang jauh maupun dekat, dan Duradarsana, yaitu mampu melihat
segalanya, yang jauh maupun dekal.

Ada lagi kekuatan Nya yang disebut asta iswarya, yaitu delapan sifat, meliputi:
1.Anima artinya bersifat halus yang maha halus..
2. Laghima artinya bersifat ringan yang maha ringan.
3. Mahima artinya bersifat serba maha, sangat dihormati.
4. Prapti artinya dapat mencapai segala-galanya.
5. Prakamya artinya dapat mencapai segala kehendaknya.
6. Isitwa artinya maha esa.
7. Wasitwa artinya maha kuasa dapat mengendalikan para dewa.
8. Yatra kama wasa yitwa artinya segala kehendaknya tidak ada yang dapat membantah.
Hana anima ngaranya, hana laghima ngaranya, hana mahima ngaranya,
hana prapti ngaranya, hana prakamya ngaranya, hana isitwa ngaranya,
hana wasitwa ngaranya, hana yatrakamawasayitwa ngaranya.
Nihan tang anima ngaranya.
Artinya:
Anima, laghima, prapti, prakamya, isitwa, wasitwa, dan
yatrakamawasayitwa (itulah delapan aiswarya atau kekuatan gaib).

Penjelasan anima adalah sebagai berikut :


Awak nira ikang aganal, yateka matemahan malit, alit ngaranya, wenang
umajnanani ikang ajnana, masuk metu kadi raray masilurup ing wwai,
mangkanatah sang yogiswaran pasuk metw ing prthiwi, tan kawaranan
laku nira, yang pamangguh gunung watu magong terus de nira tan
pawuri, an hilang tikawak nira, yeka anima ngaranya.
Artinya:
Badan, seperti yang diinginkan, meninggalkan wujud kasarnya, dan
menjadi sangat halus....... Maka dinamakan anima.
(Bacaan bagian ketiga tidak tepat)
Badan kasarnya berubah menjadi sangat halus. Halus artinya bahwa ia
mampu datang dan pergi tanpa diketahui oleh orang yang tak
berpengetahuan, seperti anak kecil masuk dalam air. Begitu pula seorang
yogiswara masuk dan keluar dari tanah. Tidak ada yang menghalangi
dalam geraknya. la mampu menembus gunung atau batu besar. Tidak
ada tempat yang tertinggal. Badannya lenyap begitu saja. Inilah yang
disebut anima (amat halus).
Berikut penjelasan tentang laghima:
Abwat nikawak nira ri tambayanya, wekasan hadangan kadi kapuk, yata
matangyan sweccha ika sang yogiswara, asing saparanira dadi, yan
maring swarga, mareng saptadwipa, mareng saptapatala, dadi kumuliling,
I heng ning andabhuwana, wasita sakahyun ira pinaranira, yeka laghima
ngaranya.
Nihan tang mahima ngaranya.
Artinya:

Apa yang dahulu berat seketika menjadi ringan seperti kapas: itulah
laghima.
Badan yang dahulu berat tiba-tiba menjadi sangat ringan seperti kapas.
Oleh karena itu yogiswara melakukan apa yang dikehendaki. Semua
mungkin baginya, apakah pergi ke surga, ke tujuh alam, atau ketujuh
buana. Juga mungkin berkeliling dalam jagat raya ini. la mempunyai
kekuatan untuk pergi kemanapun ia suka. Itulah yang disebut laghima
(amat ringan).

Berikut penjelasan tentang mahima :


Umahas sira ring desantara, pinuja ta sira sinambah wineh sarwabhoga,
wineh bhojana, apan aprabhrti, yeka mahima ngaranya.
Nihan tang prapti ngaranya.
Artinya:
Kemana saja ia bisa pergi sesuka hatinya, di sana ia bisa tinggal sesuka
hatinya. Dan karena di mana-mana ia dihormati ia dinamakan mahima.
la berkeliling ke berbagai tempat. Di tempat itu la disambut, dihormati,
dan diberi segala yang menyenangkan, makanan dan hadiah. Itulah yang
dinamakan mahima.

Berikut penjelasan tentang prapti :


Asing sakahyun ira sang yogiswara, irikang sarwawastu teka juga tarpinet
tan pininta, yan apa siran ahyun ing sarwawastu, yan teka ning papupulan
ikang karmawasana, makaphala sukha ri sira, irika ta yan bhukti ikang
sukha, sangka ri gya niran hentya phala ning karma, ya ta matangyan
malemahan sahasradeha, sewu ikawak nira kapwa mamuktya ng swarga,
salwiranikang bhinukti nira, yan anakbi rahayu mwang bhoga upabhoga
paribhoga, telas pweka bhinukti nira, wisata sira, tan kabadha dening
phala nikang gawe hayu, yeka prapti ngaranya.
Nihan tang prakamya ngaranya.
Artinya:
Segala sesuatu yang diinginkan oleh yogiswara, ia dapatkan tanpa
mencari dan meminla. Apa saja ia inginkan, bahkan sejumlah besar
karmawasana, ia berhasil mendapatkan untuk kebahagiaannya.
Bila ia memperoleh kebahagiaan ini, untuk segera menghentikar.
karmaphala, ia merubah dirinya menjadi sahasradeha yaitu ia mempunyai
seribu badan untuk menikmati surga. la menikmati segala-galanya,
umpamanya wanita cantik yang ada di sana, bhoga, upabhoga, dan
paribhoga.
Bila ia telah selesai menikmati semua itu ia merasa kenyang (?wisata), ia
tidak memikul beban karmapala. Itulah yang disebut prapti.
Berikut penjelasan tentang prakamya :

Yatheccha sang yogi wara, asing sakahyun ira rupa hira, yan hyang, yan
manusa, yan tiryak, kapwa ikan dadi nira, pinakatemahanira, yeka
prakamya ngaranya.
Nihan lang isitwa ngaranya.

Artinya:
Jika wujud itu diciplakan oleh dirinya sendiri dan juga dicapai oleh dirinya
sendin; maka karena wujud itu diciptakan sekehendak hatinya, ia disebut
prakamya.
Yalheccha yogiswara, yaitu wujud apa saja la inginkan, apakah Tuhan,
manusia, alau binalang, wujud itu diberikan kepadanya dan berfungsi-
sebagai wadahnya. Itulah yang dinamakan prakamya.
Berikut penjelasan isitwa:
Yapwan lumaka mameng-mameng mareng. Kahyangan, wenang siran
umadeh sang hyang Brahma Wusnw-Indra-Surya ri kahyangan ira,
nguniweh ikang watek dewata kabeh, apan Bhatara mahulun hana ri sang
yogiswara aral. ya ta matangyan wenang praimana irkang dewafa kabeh,
yeka isitwa ngaranya.
Nihan lang wasitwa ngaranya.
Artinya:
Bahwa ia selalu pergi ke alam Brahma, Wisnu Indra dan Surya untuk
berbakti kepada Dewa-dewa, ini dinamakan isitwa.
Bila ia pergi ke surga untuk menyenangkan hatinya ia mempunyai
kekuasaan untuk menundukkan Brahma, Wisnu, Indra dan Surya di
surga, jangankan para Dewa, karena Tuhan, raja, ada dalam yogiswara.
Oleh karena itu yogiswara mempunyai kekuasaan untuk mengendalikan
semua Dewa. Itulah yang disebut isitwa.

Berikut ponjelasan wasitwa:


Wenang siromatus ikang dewata kabeh, yapwan tan pamintuhu ni su
yeka wasitwa ngaranya.
Nihan tang yatrakamawasayitwa ngaranya
Artinya:
la mempunyai kekuasaan untuk memberi perintah kepada para Dewa dan
untuk menyerang mereka, jika mereka tidak patuh, karena ia yang
memiliki seluruh jagat raya ini. Itulah wasitwa

Berikut penjelasan tentang yatrakamawasayitwa:


irika la siran mangka tawak nira, dumanda kang dewa manusa tiryak
asing langghana ri sira, yeka yatrakaniawasayitwa ngaranya. Nahan
yang astaiswarya ngaranya, anung phala ning kayoisiuran ika kabeh,
Yapwan tiksna samadhi nira sang yogiswara, gesang pwekan laltwa, sor
ning pradhanatattwa, katekan ing triguna tathwa, kaladan dening samadhi
nire, kapanggih tang upasarga ning triguna de nira, yataka umawesa sang
yogiswara, sakala magawe wighna hwirnya, hana si darsana ngaranya,
hana si srawana ngaranya, hana si boddhawya ngaranya, hana si gandha
ngaranya si darsana ngaranya hana kadi rupa ning duwata kalon ni kala
ning yoga, si erawana ngaranya hana la sabda suksma karengo, kadi
manganugrahani kasiddhyan rasanya di kala ning yoga, prajna dumadak
wruh ry artha ning aji tapwan pangaji ya, si boddhawya ngaranya, hana ta

Artinya:
Yatrakamawasayitwa adalah keinginan untuk memiliki wujud.
Wujudnya sedemikian rupa sehingga ia dapat menghukum Dewa-dewa,
manusia dan binatang, siapa saja yang melanggarnya.
Itulah yang
dinamakan yatrakamawasayitwa. Inilah delapan aiswarya, semua itu
adalah akibat dari sifat yogiswara.
Jika konsentrasi yogiswara itu sangat kual, musnahlah tattwa di bawah
pradhanatattwa sampai kepada tattwa tiga guna. Semua itu telah ditelan
oleh api samadhinya. Ia menghadapi rintangan tiga guna. Rintangan itu
luluh dalam yogiswara. Semua menciptakan rintangan. Rintangan itu
adalah; dharsana, srawana, boddhawya dan gandha. Dharsana artinya
melihat wujud Dewa (dewata) pada saat melakukan yoga: Srawana
artinya mendengar suara halus yang memberi kesan seolah-olah telah
tercapai kesempurnaan pada saat melakukan yoga. Selanjutnya
pencapaian pengetahuan yang sangat luas pada saat melakukan yoga,
suatu kekuatan bathin yang dengan tiba-tiba diperolel: sehingga mampu
mengetahui arti kitab-kitab suci yang belum dipelajari. Ini yang disebut
Boddhawya. Bau harum seperti raja yang memakai wangi-wangian
masuk hidung saat melakukan yoga. Ini dinamakan gandha.
Semuanya itu merupakan rintangan lattwa.
Pada tingkat Siwatma Tattwa, sakli, guna dan swabhawanya sudah berkurang karena sudah
dipengaruhi oleh Maya, karena itu disebut juga Maya sira faltwa. Sesuai dengan tingkat
pengaruh mayaterhadap Sivatma tattwa, maka Siwalma Tattwa dapat dibedakan menjadi
delapan tingkat, disebut"Astawidyasana", yaitu delapan tingkat pengetahuan yang terdiri dari
Ananta, Suksma, Siwatama,Ekarudra, Ekanetra, Trimurti, Sri Kantha, dan Sikhandi.Bilamana
pengaruh Maya sudah demikian besamya terhadap Siwatma Tattwa, sehinggakesadaran aslinya
hilang dan sifatnya menjadi awidya, serta terpecah-pecah dan menjiv'ai semua makhluk hidup
termasuk manusia maka ia disebut "Atma" atau "Jiwatma". Kekuatan Tuhan dengan Krya
saktinya menggerakkan Maya attwa dan timbullah Pradhana tattwa yang merupakan
perwujudan maya yang hampa yaitu alam tidak sadar.

I sor nikang Sadasiwatattwa Mayasirastattwa ngaranya, unggwan sang


hvang astawidyasma, Ananta, Suksma, Siwatama, Ekarudra. Ekanetra,
Trimurti. Srikaniha, Sikhandi, sang hyang Ananta sira kinon Bhatara
umyapaka ikang bhuwana lawan jagat, api tuwi manglepasaken atma
wyapara waneh, yapwan huwus wyapara pakon Bhatara, irika ta yan
mokta sang hyang Ananta, sang hyang Suksma gumanti Ananta,
Siwatama gumanti Suksma, Ekarudra gumanti Şiwatama, Ekanetra
gumanti Ekarudra. Trimurti gumanti Ekanetra, Srikantha gumanti Trimurti,
Sikhandi gumanti Srikantha.
Srikanthaku teki, Srikantha ngaranku kinon maweh aji ring brahman la,
pinahan pwaku ring ragi de Bhatara kama gelengku ri sang hyang Kama,
matanyan dineleng ya ring drstiwisa, syuh pwekawak sang hyang
Kamadewa, bhasmibhuta, matemahan awu, ndan ikang raga kawekas iry
aku, ya la matangyan makarabi ibunta Bhatari Uma anpakanak sang
Sanatkumara, nahan tattwa nira sang hyang anaku sang Wrhaspati, ikang
Rudra I sor ya inalapku piningruhurakenku, sira gumanti ya Sikhandi,
nahan yang Mayasirastattwa ngaranya, I sör nikang Mayasirastattwa,
yatika Mayatattwa ngaranya, Mayataftwa ngaranya, sunya tawak ny
acetana. pada lawan Siwatattwa, ndan acetana swabhawanya, ya ta
somya sangkeng Siwatattwa, winyapakaken pwa ya dening Siwatattwa,
cetana swabhawanya, utaproła pweka dening Siwatattwa, mamyapaka
ikang uta wibhuh ring awak nikang Maya, ikang prota mangekadesa,
ikang Siwatattwa prota swabhawanya ring Maya, ya ta matangyan
koparenggan mala, mala ngaraning acetana apan ikang Siwafaltwa
sedeng sphatikawarna, nirmala malilang aho mahening,pinakaswabhawanyancetana,
koparenggan pwa ya dening acetana,hilang ta sakti nira Sakti ngaranya ikang sarwajna
lawan sarwakanta, maripweka Siwalattwa, sarwajna sarwakaryakarta, ya la sinangguh
atma ngaranya, celana lengeng-lengeng ngaranya, akweh pwekang almatattwa, ya ta
matangyan sesok tang Mayalaltwa, kadyangga ning umah ning tawwan, matap
matumpang-tumpangan, ikang Maya yangkena umah ning tawwan, ikang
atma yangken anak ning tawwan, adhomukha tumungkul ngaranya, mulat
I sor juga tikang atma, tan wruh irikang lattwa I ruhurnya, inulahaken
pwekang Mayatattwa dening sakil Bhalara, metu tang pradhanatattwa,
ganal-ganal ning Maya sunya fawak ny acetana, pinatemuwaken
pwekang atmalaltwa lawan ikang pradhanatatiwa de Bhatara, hilang
malupa ikang atma acetana, apan tan pajnana, mawyapakeng
pradhanalattwa, ika la maweh lupa ring atma, ya ta pradhanatattwa
ngaranya, inulahaken pwekang pradhanataftwa dening kriyasakti Bhatara,
an pakanak tang trigunatattwa, trigunatattwa, ngaranya sattwa rajah
tamah.
(Wrhaspati Tattwa 14)
Artinya:
Yang lebih rendah dari sadasiwalattwa ialah Mayasirastattwa yang
merupakan tempat astawidyasana (delapan tempat pengetahuan) :
Ananta, Suksma, Siwatama, Ekarudra, Ekanetra, Trimurti, Srikantha, dan
Sikhandi. Ananta yang suci diperintahkan oleh Tuhan untuk menembus
dunia (bhuwana) dan angkasa (jagat) serta untuk meningkatkan atman.
Suksma 'yang suci menggantikan Ananta, Siwatama menggantikan
Suksma, Ekarudra menggantikan Siwatama, Ekanetra menggantikan
Ekarudra, Trimurti menggantikan Ekanetra, Srikantha menggantikan
Trimurti, Sikhandi menggantikan Srikantha. Aku inilah Srikantha. Aku
bernama Srikantha ketika Aku menerima perintah untuk mengajarkan
pengetahuan spiritual kepada jagat. Aku dipanah oleh Dewa Asmara
(Bhatara Kama) dengan panah cinta. Maka Aku marah kepadanya. Oleh
karena itu Aku memandang dia dengan mataku yang berbisa dan
hancurlah badan Bhatara Kama, hingga menjadi abu. Namun api cinta
tetap menyala dalam sanubariku, maka aku ambil ibumu, Bhatari Uma
sebagai istri. la melahirkan Sanatkumara. Inilah tattwa astawidyasana
yang suci, ar.akku Wrhaspati. Rudra ada di tingkat yang lebih rendah. Aku
ambil dan aku tingkatkan dia. la menggantikan Sikhandi. Inilah
Mayasirastattwa. Di bawah Mayasirastattwa adalah Mayataltwa.
Mayatattwa melambangkan kehampaan dan merupakan perwujudan
ketidaksadaran. la sama dengan Siwatallwa, tetapi ia bersifat tidak sadar.
la lebih rendah daripada Siwatattwa. la ditembus olen Siwataliwa yang
merupakan alam sadar. Ia dijalin (uta) dan diikat (prota) oleh Siwatattwa.
Disebut uta karena ia ditembus oleh badan maya. Disebut prota karena ia
diikat oleh badan maya. Alam Siwatattwa terjalin dalam maya (prota).
Oleh sebab itulah ia kena mala. Mala artinya ketidak sadaran. Siwatattwa
bersifat bening tanpa noda, terang, suci dan jelas. Jika ia dinodai oleh
ketidak sadaran, Kekuatannya (sakti) akan hilang. Sakti berarti tahu
segala-galanya dan mengerjakan segala-galanya. Jika Siwatattwa tidak
maha tahu dan maha pencipta, ia disebut atman yang artinya kesadaran
yang telah mabuk. Atmatattwa itu sangat luas. Maka itulah Mayatattwa
sangat padat seperti tawon yang berjejal-jejal dalam sarangnya. Maya
dapat diibaratkan sarang tawon. Atman diibaratkah tawon muda yang
bergantung, muka merighadap ke bawah (adhomukha). Atman
menghadap ke bawah tanpa mengetahui tattwa ada diatasnya.
Kekuatan Tuhanlah yang menggerakkan Mayataltwa dan timbullah
Pradhanatattwa, yang merupakan perwujudan maya yang hampa, yaitu
Tuhan menggabungkan Atmatattwa danalam tidak sadar.Pradhanantattwa. Atman
lenyap dan menjadi tidak sadar. la menjadiacetana karena ia tidak merasa dimasuki oleh
Pradhanatatwa. Itulah yangmenyebabkan ketidak-sadaran atman. Sedangkan
Pradhanatattwadigerakkan oleh kekuatan Tuhan (kriyasakli) dan melahirkan Triguna,
yaitu Sattwa, Rajah dan Tamah.
Meskipun Atma merupakan bagian dari Sang Hyang Widhi (Siwa) namun karena besarnya
pengaruh awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh maya. (Pradhana tattwa) maka la tidak lagi
dapat menyadari asalnya. Inilah yang menyebabkan atma berada dalam lingkaran sorga neraka
samsara secara berulang ulang.
Atma akan dapat bersatu kembali kepada asalnya (Siwa) apabila lelah mampu
mengembalikankesadaran sesuai dengan kesadaran aslinya. Hal itu dapat tercapai apabila
semuanya sudah dapat diselaraskan dengan ajaran Catur Iswarya, Panca yama brata, Panca
Niyama brata, dan Asta Sidhi. Apabila dalam segala karmanya masih bertentangan dengan
ajara-ajaran tadi, maka atma akan tetap berada dalam lingkaran samsara, reinkarnasi,
menjelma dengan lahir kembali berulang-ulang.
Bentuk atau wujud reinkarnasi atma itu amat banyak tergantung pada wasananya atma
itu masing-masing pada saat penjelmaannya terdahulu. Menurut Wrhaspali tattwa salah satu
ber.tuk reinkarnasi yang,paling jelek adalah "sthawara janggama", bentuk reinkarnasi seperti
inilah yang merupakan suatupenderitaan yang luar biasa berat yang harus diakhiri.
Demikianlah secara ringkas ajaran ketuhanan dalam lantar Wrhaspati Tallwa.

5.3. Ajaran Tentang Alam Semesta


Wrhaspati Tattwa tidak merinci ajaran tentang alam semesta, hanya ada uraian singkat
yangberkaitan dengan penciptaan alam semesta pada pasal 33 tentang asta siddhi. Pada bagian
ini terdapat keterangan demikian : "sangka ring ahangkara si bhutadi metu tang panca tan
matra", artinya dari bhutadi ahangkara melahirkan panca tan matra, yaitu sabda tan matra,
sparsa tan matra, rupa lan matra, rasa tan matra, dan gandha lan matra
Keterangan selanjutnya menyatakan bahwa "sangkeng Panca tan matra metu tang
panca mahabhuta, akasa metu saking sabda tan matra, wayu metu sangkeng sparsa tan matra,
teja metu sangkengrupa tan matra, apah metu sangkeng rasa tan matra, pithiwi metų sangkeng
ganda tan matra, nahan tangpanca maha bhuta ngaranya salalu pratyaksa katon kagamer",
artinya.: dari lima tan matra timbul lima

maha bhula, ether (akasa) timbul dari sabda tan matra, angin (wayu) timbul dari sparsa tan
matra, cahaya(leja) timbul dari rupa tan matra, air (apah) timbul dari rasa lan matra, tanah
(prthiwi) dari gandha tan matra, inilah lima mahabhuta semua nyala, yaitu dapat dilihat dan
diraba.
Unsur-unsur panca maha bhuta tergolong unsur bawah, dari panca maha bhulalah
kemudian timbul berbagai bentuk benda alam semesta, termasuk tumbuh-tumbuhan, binatang,
maupun manusia.Badan manusia dinyatakan sebagai Bhuwana alit sedangkan semesta disebut
Bhuwana agung.
Sangkaning buddhi metu tang ahangkara, telu prakaranya, Iwirnya
sattwika, rajasa tamasa, nahan bhedanya, si walkita yeka saltwika, si
talijasa yeka rajah. si bhutadi yeka tamah, sangka ring ahangkara (si
waikrta] metu tang manah lawan desendriya, wirnya, srotra, twak,
caksuh, jihwa, ghrana, wak, pani, pada, payu, upastha, sangka, ring.
ahangkara si bhutadi metu tang pancatanmatra, ikang ahangkara si
talijasa, yeka umilu mametwaken karyanikang ahangkara si waikrta lawan
si bhutadi, apan makaswabhawa mangulahaken.
Aparan sinangguh Pancalanmalra ngaranya, nyapan tahankwa linganta,
nihan nyang 'sabda. sparsa, rupa, rasa, gandha, wyaktinya, tutupana
talinganta. hana sabda karengo, litlit nikang sabda karengo, yeka
sabdatanmatra ngaranya, hana ta haning maderes, litlit nika rumesep ing
kulit kahidepanya. yeka sparsàlanmalra ngaranya, hana ta sandhyawela
ngaranya huwus sumurup sang hyang Adhitya hana la leja nira kawekas,
litlit nikang teja katon, yeka rupatanimatra ngaranya, rasatanmatra
ngaranya ikang pinangan mapahit mamanis kunang, litlit nikang rasa
rinasan kawekas ing lidah lan wwang hilang. hana sesanya kari, ycka
rasatanmatra ngaranya, gandhatanmatra garanya hana ta candana
tinunu, litlit ning gandhanya inambung, yeka gandhatanmatra ngaranya,
samangkana pancatanmatra ngaranya.
Sangkeng Pancatanmatra metu tang pancamahabhuta. akasa metu
sangkeng sabdatanmatra, wayu metu sangkeng sparsatanmatra, teja
metu sangkeng rupatanmatra, apah metu sangkeng rasatanmatra, prthiwi
metu sangkeng gandhatanmatra, nahan yang pancamahabhuta ngaranya,
salala pratyaksa katon kagamel, ndah yeka hingan ing tattwa I sor, nahan
swabhawa ning tattwa kabeh, kapwa umyapaka tattwa I sornya, ikang
tattwa I sor tan wenang ya umyapakerikang tattwa I ruhurnya, ikang
prthiwitattwa ya patimbunan ing tattwa kabeh, sabda guna ning akasa,
s, arsa guna ning wayu, rupa guna ning teja rasa guna ning akasa, sparsa
guna ning wayu, rupa guna ning teja rasa guna ning apah, gandha guna
ning prthiwi. Kunang ikang rasa, tem prakara nika, wirnya, lawana, amla
katuka, tikta, kasaya, madhura, lawana ngaranya asin, amla ngaranya
asem, katuka ngaranya pedes kasaya ngaranya sepet, madhura
ngaranya manis, tikta ngaranya pahit, nahan tang, sadrasa ngaranya.
Guna ning prthiwi gandha, nwa Iwir ning gandha, abo mwang awangi.
Ikang sadrasa, ya teka pinangan ininum dening laki laki lawan anekbi, ya
ta mangdadiaken hurip lawan sarira, sari nikang sarira, ya ta mutemahan
kama ring laki-laki, sukla ngaranya waneh, swanita ring anakebi, matemu
pwekang sukla, wanita ngakenang padmanaci madhya ning satkosa,
yatika kinahanan ing hurip, salwir ning makasuklaswanita, yan wwang yan
tiryak, salwir ing rupa ning kawitanyatah tinurunya, yan makweh ikang
swanita sangke sukla, yeka temahan wadwan, kunang yan pada kwehnya
ikang suklaswanita, yatika janmantarapurusa ngaranya keli walawadi hara
temaltanya, ikang suklatemahan ya tahulan, odwad, sum-sum, ikang
swanita dadi daging, rudhira, carma, telu sakeng laki laki, telu sakeng
amakebi, yeka sinangguh sarkosa ngaranya.
Ikang sabdatanmatra dadi talinga, pinakapangrengo pakenanya, ikang
sparsatanmatra dadi kulit, pinakapangrasa panastis pakenanya, ikang
rupatanmatra dadi mata, pinakapanon pakenanya, ikang rasatanmatra
dadi hilal, pinakapangrasa pakenanya yan pamukti sadrasa, ika
gandhatanmatra dadi hirung, pinakapangambung gandhabo awangi
pakenanya, yatika pancabuddhindriya ngaranya, apan yeka pinakagolaka
ning indriyeka sampun ingujar ngumi, srotrendriya munggwingtalinga,
pinakakarana ning atman pangrengo sabda pakenanya, ikang Iwagindriya
munggwing kulit, pinakakarana ning alman panghidep panastis
pakenanya, ikang caksurindriya munggwing mata, pinakakarana ning
atman panon rupa warna pakenanya, ikang jihwehdriya munggwing ilat,
pinakakarana ning atman pangrase sadrasa, ikang ghranendriya
munggwing irung, pinakakarana ning atman pangambung gandhabo
awangi, ikang wagindriya munggw ing tutuk pinakakarana ning atman
pasabda pekenanya, ikang panindriya munggw ing tangan,
pinakakakarananing atman panggamel-gamel pakenanyan, ikang
padendriya munggwing suku, yeka pinakakarana ning atman lumaku
pakenanya, ikang paywindriya munggw ing silil, pinakakarana ning atman
pangising angentut pakenanya, ikang upasthendriya munggw ing purus
bhaga, pinakakarana ning alman pangeyeh mwang ametwaken
suklaswanita pakenanya, nahan ta krama ning dasendriya haneng sarira.
Sumahur bhagawan Wrhaspati, ling nira, umapa leki de Bhatara
majaraken indriya, umungguh lawan inunggwan, apan ri hana nikang
golaka ya ta nimitta ning atman panggrhita ng wisaya.
Sumahur Bhatara ling nira, yogya ika denta matakwan kamu ng
Wrhaspati, kadi pramanatekang golaka ning atma, nyang talinga tan
wenang mangrengo sabda yan tan hana ng srotrendriya, wyaktinya n
aluli, hana talinganya lawan lyangnya, kathamapi tarparengo sabda, yan
tan hana ng srotrendriya, mangkana ng mata kasahanang caksuh, yan
kasaputan putih-putih, nguniweh ri tan pesyanya, mapeka tarpanon,
mangkana ng lumpuh keli prakaranya tan wenang ika ri wisayanya, yan
tan hana ng indriyanya, katon pweka kabeh denta kamu ng Wrhaspati, ya
la matangyan lyan tang indriya lawan golaka, ikang manah yeka ratu ning
indriya sumangkalpa ikang wisaya, apan wit nikang indriya, manangkalpa
ngaranya umastw ikang wisaya, ginrhita ning indriya, yeka gawe ning
manah, ikang indriya kabeh tan angga rakwa tan wehen ing wisayanya,
apan enak ning manandang mamangan manginum, enak ning
malakyarabi, enak ning mangrengo tabeh-tabehan, "kidung gupit-gupitan,
ya la dumeh sang hyang atma jenek ing sarira, apan sira mamukti rika
kabeh.
(Wrhaspati Tattwa 33)
Artinya:
Buddhi melahirkan ahangkara, yang terdiri atas tiga jenis yaitu sattwika,
rajasa, dan lamasa. Ketiga sifat ini mempunyai bentuk (nama) lain -
waikrla, taijasa, dan bhutadi. Waikrta ahangkara menimbulkan pikiran
dan sepuluh indra. Indra terdiri dari telinga, kulit, mata, lidah, hidung,
suara, tangan, kaki, pelepasan, dan alat kelamin. Bhutadi ahangkara
melahirkan lima tanmalra. Taijasa ahangkara membantu mengaktifkan
waikrta dan bhutadi ahangkara, karena tugasnya adalah untuk
menggerakkan.
Apakah yang disebut lima tanmatra? Lima tanmatra itu adalah sabda,
sparsa, rupa, rasa dan gandha. Adapun penjelasannya sebagai berikut.
Bila telinga kita tutup, terdengar suara. Suara ini sangat halus dan
disebut sabdatanmatra. Ada angin yang kuat. Kulit dapat merasakan
yang halus disebut sparsatanmatra. Pada petang hari, matahari telah
terbenam. cahaya masih ada dan kelihatan. Ini disebut rupatanmatra.
Rasatanmatra artinya bila orang makan makanan yang pahit atau manis,
rasa yang masih melekat pada lidah tidak hilang seketika. Rasa itu masih
tetap ada. Ini dinamakan rasatanmatra. Gandhatanmatra artinya bila
membakar cendana, tercium bau wangi. Ini dinamakan gandhatanmatra.
Demikianlah penjelasan lima tanmatra itu.
Dari lima tanmatra timbul lima mahabhuta. Ether (akasa) timbul dari
sabdatanmatra. Angin (wayu) timbul dari sparsatanmatra. Cahaya (loja)
dari rupatanmatra. Air (apah) dari rasatanmatra. Tanah (pratiwi) dari
gandhatanmatra. Inilah lima mahabhula. Semuanya praktyasa, yaitu
dapat dilihat dan diraba. Itulah unsur-unsur yang terdapat di bagian
bawah. Itulah dasar dari semua tattwa. la memasuki unsur-unsur bawah.
Unsur-unsur yang ada di bawah tidak dapat memasuki unsur-unsur yang
ada di atasnya. Unsur tanah mengandung semua unsur yang lain; suara
adalah kualitas ether, sentuhan kualitas angin, bentuk kualitas cahaya,
rasa kualitas air, dan bau kualitas tanah.
Rasa terdiri dari enam jenis yaitu lawana, amla, katuka, tikta, kasaya,
mathura. Lawana artinya asin. Amla artinya asam. Katuka artinya
pedas. Kasaya artinya sepet. Mathura artinya manis. Tikta artinya pahit.
Demikianlah enam rasa itu. Kualitas tanah adalah bau. Ada dua macam
bau yang baik dan buruk.
Keenam rasa itu dimakan dan diminum oleh pria dan wanita. la
menjadikan hidup dan badan. Intisari badan, pada pria disebui sperma,
dinamakan sukla, dan darah (sonila) pada wanita. Sperma pria dan
sonita (indung telur) wanita bertemu dalam padmanadi yang ada di
tengah-tengah satkosa. Hidup ada di dalamnya. Setiap sperma dan
indung telur, pada manusia atau hewan, dibentuk menjadi wujud
induknya. Apabila sperma lebih banyak dari pada indung telur lahir bayi
laki-laki. Bila indung telur lebih banyak dari pada sperma, bentuk bayi
perempuan. Jika kedua-duanya sama, banyak, lahir bayi
janmantarapurusa atau bayi kasim. Sperma menjadi tulang, urat dan
sum-sum. Indung telur menjadi daging, darah, dan kulit. Tiga berasal
dari laki-laki dan tiga berasal dari perempuan. Inilah yang dinamkan
satkosa.
Sabdatanmatra menjadi telinga yang mendengar segala yang terbentuk..
Sparsa tanmatra menjadi kulit yang merasa panas dan dingin.
Rupatanmatra menjadi mata yang dapat melihat. Rasatanmatra menjadi
lidah yang dapat merasakan segala yang dirnakan, la menikmati keenam
rasa. Gandhatanmatra menjadi hidung yang dapat mencium bau yang
jelek dan baik. inilah lima buddhindriya (lima alat indra). Ini yang
membentuk bagian-bagian (golaka) indra yang dijelaskan sebelumnya.
Indra pendengaran (srotrendriya) berada di telinga la menjadi alat atman
untuk mendengar bunyi. Indra peraba (twagindriya) ada di kulit. la
adalah alat atman untuk merasakan panas dan dingin. Indra penglihatan
(caksurindriya) ada di mata. la menjadi alat alman untuk melihat bentuk
dan warna, Indra perasa (jihwendriya) ada di lidah, la menjadi alat atman
untuk merasakan enam rasa. Indra penciuman (ghranendriya) ada di
hidung. la menjadi alat atman untuk mencium bau yang baik dan yang
buruk. Indra ucap (wagindriya) ada di mulut, sebagai alat atman
mengeluarkan bunyi. Indra pegang (panindriya) ada di tangan, sebagai
alat atman untuk memegang. Indra gerak (padendriya) ada di kaki,
sebagai alat atman untuk bergerak. Indra pelepas (pavywindriya) ada di
dubur, sebagai alat atman untuk mengeluarkan kotoran dan buang angin.
Indra pembiak (upasthendriya) ada pada kelamin laki-laki dan perempuan,
sebagai alat atman untuk mengeluarkan air seni, dan mengeluarkan
sperma dan darah. Ilulah susunan sepuluh indra dalam badan.
Bhagawan Wrhaspati berkata: Mengapa indra-indra yang Paduka
jelaskan itu mempunyai dua segi, isi dan tempal? Dengan adanya alal-
alat (golaka), maka atman mampu menangkap segala sesuatu.
Maheswara menjawab: O, Wrhaspali, pertanyaanmu itu benar. Alat-alat
(golaka) atman itu hanya merupakan alat pengindra (pramena).
Ketahuilah, telinga tidak dapat mendengar bunyi jika tidak ada indra
pendengaran. Contohnya jelas pada orang yang luli. Telinga itu
berlubang, namun ia tidak bisa mendengar karena tidak adanya indra
pendengaran. Begitupula dengan mata, ia tidak akan dapat melihat, bila
tertutup oleh katarak putih. Apalagi jika tidak ada bola mata dalam rongga
mata. Mengapa ia tidak dapat melihat apa-apa? Jika demikian ia tidak
punya kekuatan, tidak dapat menangkap benda, jika indra itu tidak ada.
Engkau dapat melihat semua itu, O Wrhaspati. Jadi itulah bedanya
antara indra, dan tempatnya. Pikiran menguasai indra-indra itu. la
mengarahkan indra kepada obyeknya. Ia merupakan akar indra-indra itu.
Sangkalpa artinya penerimaan obyek yang telah ditangkap oleh indra.
Itulah tugas pikiran. Indra tidak merasa senang bila tidak dapat
menangkap obyeknya. la merasa senang jika dapat pakaian, makanan
dan minuman. la senang jika mendapat suami dan istri, senang
mendengar gamelan, kidung dan syair gupit-gupitan.
Atmanmendapatkan kesenangan dalam badan karena dapat menikmati
semuanya itu.

5.4. Ajaran Kelepasan


Seperti telah dijelaskan bahwa atma akan dapat bersatu kembali pada asalnya (Siwa)
apabilalelah mampu meigembalikan kesadaran sesuai dengan kesadaran aslinya Apabila sudah
demikian atma akan manunggal kembali dengan asalnya, inilah yang disebut mencapai
kelepasan atau moksa, lepas dar lingkaran samsara. Dengan penjelmaan atma sebagai manusia,
ia terlibat dalam kehidupan manusia, dalam berbagai kegiatan yang membawa suka ataupun
duka, dalam perbuatan baik maupun buruk. La menerima dan memberi hasil-hasil kegiatan
kehidupan itu, apakah hasil-hasil baik atau buruk. Hasil-hasi itu mengendap, membungkus atma
dan membawa atma ke sorga atau ke neraka. Hasil-hasil yang mengendap itu disebut karma
wasana yang menentukan nasib dan kelahiran seseorang. Ada orang yang lahir sejak kecil
bahagia, ada yang sengsara, ada kelahiran dewa, daitya; raksasa dan sebagainya. Kepribadian
seseorangpun juga dipengaruhi oleh karma wasana yang sudah dibawanya sejak dahulu.
Dengan adanya karma wasana maka alma hanyul dalam lingkaran kelahiran berulang-ulang,
inilah yang disebut samsara.

Atma mengalami samsara karena pada setiap kelahiran selalu dipengaruhi oleh triguna.
Pikiranlahıyang selalu dipengaruhi oleh triguna ini Triguna terdiri dari sattwa, rajah dan
tamah.

Ikang citta mahangan mawa, yeka satiwa ngaranya ikang maderes


molah, yeka rajah ngaranya, ikang abwat peteng yeka tamah ngaranya.
(Wrhaspali Taltwa 15)
Artinya:
Saltwa bersifat terang dan benar. rajah berubah-ubah. Talnah berat dan
kabur. Ketiga sifat itulah yang mewarnai pikiran. Pikiran yang terang dan
jernih disebut saltwa, pikiran yang selalu berubah-ubah disebut rajah, dan
pikiran yang berat dan keruh disebut tamah.

Setiap perbuatan dalam kehidupan ini apapun bentuknya lidak terlepas dari pengaruh pikiran.
Karena pikiran selalu dipengaruhi oleh saltwa, rajah dan farah, maka perbuatanpun pada
hakekatnya juga dipengaruhi oleh sattwa, rajah dan tamah pula.
Pikiran yang dipengaruhi oleh guna sailwa disebut pikin salwika, pada umumnya adalah pikiran
yang cenderung baik.

Ikang ambek duga-duga didha, masota ya wruh fa ya ri palenan ing wastu


lawan maryada, wruh la yeng Iswara faltwa, widayada ya, wamamis ta ya
denyan pametwaken wuwusanya, mahalep pindakara ta waknya. yeka
laksana ning cilla sallwika.
Artinya:
Kejujuran, kebenaran, kebebasan, kelembutan, kekuatan, keagungan,
kelangkasan, kehalusan dan keindahan adalah sifat-sifat pikiran sallwika.
Pikiran jujur dan teguh dapat membedakan antara benda dan balas-
batasnya, memiliki pengetahuan tentang Iswara tattwa, pandai
menunjukkan. kelembutan dalam bicara, memiliki bentuk badan yang
indah, merupakan sifat pikiran saltwika.
Pikiran yang dipengaruhi oleh guna rajah disebut pikiran rajasa atau rajasika, pada umumnya
adalah pikiran yang cenderung aktif, kejam, ceroboh dan sebagainya.

Ikang ambek krora, lawan ikang ulah krodha katatakul, darpa ta ya


sahasika ya, panasbharan lobha, capalahasta, capalapada, wakcapala,
tan hana kasihnya, paleh-paleh masiga, yaka laksana ning citla si rajah
ngaranya.
Nihan tang tamah ngaranya.
(Wrhaspati Tallwa 18)
Artinya:
Kekejaman, keangkuhan, kekerasan, kegarangan, keserakahan, ketidak-
mantapan, kebengisan dan kecerobohan adalah sifat-sifat rajasa.
Hati bersifat bengis, perilaku penuh amarah dan menakutkan, angkuh dan
suka kekerasan. la garang dan serakah. Tangan, lidah dan kaki lidak
tenang. Tidak ada yang dicintai. la ceroboh dan kurang hati-hati. Itulah
sifat-sifat pikiran rajasa.

Pikiran yang dipengaruhi oleh guna lamah disebut pikiran lama sa atau lamasika, pada
umumnya adalah pikiran yang cenderung malas, pengecut dan sebagainya.
Ikang ambek wedi-wedi, luhya pangemeh wuk turu, bwat angdwa-dwa. angelem amati-mati,
paleh-paleh, putek hali, abwat wulatnya, yeka citta si tamah ngaranya.

Artinya :

Ikang citta sattwa rajah tamah ngaranya, yalika umiket sang hyang atmia, nihan phalanya l
(Wrhaspati Tattwa 19)

Kemalasan, sifat pengecut, kelesuan, pembunuh, kesembronoan, Yesedihan, kebisuan, sifat


merugikan, keterlibatan merupakan sifat-sifat pikiran tamasa.
Pikiran ini dihinggapi oleh rasa takut, lelah, tidak suci, suka mengantuk, cenderung untuk
berkata bohong, ingin membunuh, tidak hati-hati dan murung. Muka tampak kasar. Pikiran
yang demikian disebut tamasa. Ketiga citta ini, sattwa, rajah dan tamah meliputi atman.

Setiap orang dipenuhi oleh ketiga guna ini dalam badan yang berbeda-beda sehingga setiap
orang tampak berbeda prilakunya, pengaruh ketiga guna itu dapat digambarkan demikian :

Yan pada gongya katelu, ikang saltwa rajah tamah. ya ta matangyan pangjanma manusa,
apan pada wineh ring kahyunya, ikang saltwa rajah tamah, agawaya hala ling nikang
rajah, matangguh ikang sattwa, luhya lemeh ling nikang tamah, manglakwaken ikang
rajah, mangawaya hayır ling nikang sattwa lawan rajah, kabwatan denikang lamah,
mangkana ganti-ganti nikang triguna, ya ta matangyan tan hana kadadi denikang atma
ring agawe hala hayu, yapwan kadadi pwekang gawe hala hayu dening atma, ya la
matangyan pangjanma manusa, ya ta iningetaken de Bhatara Widhi, apan sira
pinakaparcaya Bhatara ring subhasubhakarma ning janma.
(Wrhaspati Tattwa 22)

Artinya :
Pikiran yang dipengaruhi oleh tiga sifat..... [Syair dalam bahasa Sansekerta tidak jelas.]
Apabila ketiga unsur itu sama, maka kita akan lahir sebagai manusia, karena ketiga
unsur itu memenuhi keinginan, masing-masing Rajah berkata : "Saya mau berbuat
jahat". Sattwa menghalangi. Tamah berkata : "Saya capai dan tidak ingin
berbuat apa-apa". Rajah membuat kita bergerak. Sattwa bersama Rajah berkata:
"Saya ingin berbuat baik". Mereka dicegah oleh tamah. Demikian kerja
ketiga sifat itu silih berganti. Karena itu atman tidak berbuat baik maupun buruk. Namun
apabila atman tidak berbuat baik dan buruk (karena pengaruh ketiga sifat itu), kita akan
lahir sebagai manusia. Sang Hyang Widhi telah memperhatikan. Antara surga dan
neraka merupakan tempat persucian atnan. Apapun yang dikerjakan dalam kelahiran
sebagai manusia, Sang Hyang Widhi memperhatikannya, oleh karena la menjadi saksi
dari segala perbuatan manusia, baik maupun buruk.

Menikmati hidup senang dan bahagia atau susah dan sengsara, demikian pula kelak di akhirat
menikmati serga atau neraka semuanya berawal dari pikiran.

Ikang citta hetu nikang atman pamukti swarga, citta hutu ning alma tibeng neraka. citta
helu nimittanyan pangdadi tiyak, città hetu nyan pangjanma manusa. citta hetu nyan
pamanggihaken kamoksan mwang kalepasan, nirmittanya nihar:
(Wrhaspati Tattwa 16)
Artinya :
Ketenangan surga dan neraka, eksistensi hewan dan wujud manusia, semua ini
dihasilkan oleh kekuatan pikiran, pikiran yang menyebabkan atman menikmati moksa,
pikiran pula yang menyebabkan lahir sebagai manusia, pikiran yang menyebabkan
mencapai moksa dan pembebasan.

Kalau pikiran tamasa yang sangat kuat dapat membuka jalan menuju moksa, karena pikiran
rajasa yang sangat kuat, pikiran hanya diliputi amarah, sedangkan kalau pikiran tamasa yang
sangat kuat maka pengaruhnya adalah pikiran menjadi lesu dan kebingungan.

Yan sattwika ikang citta, ya hetu ning atman pamanggihaken kamoksan. apan ya nirmala,
dumeh ya gumawayaken rasa ning agama lawan wekas ning guru.
(Wrhaspati Tattwa 20)

Artinya :
Pikiran sattwika yang sangat kuat tidak tercemar, seperti ether atau Paramatma baik
seperti angkasa dan membuka jalan menuju moksa. Pikiran saltwika menyebabkan alman
mencapai moksa karena ia suci. lalah yang menyebabkan terlaksananya ajaran agama dan
ajaran para guru.

Yapwan citta si rajah magong, krodha kewala, sakti pwa ring gawe hala, j'a ta ning
atma tibeng naraka, salwir nikang sangsara hinidepnya.
(Wrhaspati Tattwa 25).

Artinya :
Bila pengaruh rajasa sangat kuat, pikiran hanya diliputi amaran dan sebagainya. Jika
pikiran dipengaruhi oleh rajah, maka kekuatan amarahlah yang bekerja dalam melakukan
perbuatan jahat. Hal inilah yang menyebabkan atman masuk neraka dan mendapat segala
macam siksaan.

Yapwan tamah maging ring citta, ya hetu ning atma maremahan tiryak; lima prakara
ning tiryak; Iwirnya, pasu, mrga, paksi, sarisrpa, mina, kanemnya sthawara, pasu
ngaranya ingwan-ingwan ing wanwa, sapi, kebo, sawna, wok saprakara. Mrga ngaraning
sattwa haneng.wana, singha, mong, kidang saprakara ring alas, paksi ngaranya salwir ing
manuk mor, hayam, itik saprakara, sarisrpa ngaranyà salwir ing alaku-laku dadanya,
wedit, lintah, ula, welut saprakara. Mina ngaranya salwir ing haneng wway, iwak Iwah
samudra, ityewamadi magoing ademit saprakara, sasing lumaku-laku ya janggama
ngaranya, nahan temahan ing atma yan magong tamahnya, ya tan dadi ikang
dharmasadhana denya, anpangdadi ta ya janggama, ya ta matangyan maremahan kayu-
kayu kapingnemnya janma, matangyan sthawara odwad, rondon, dukut saprakara ning
tan kilip, tarmolah ring unggwanya juga, yeka sthawara ngaranya, ikang kumilip ya
janggama ngaranya, nahan temahan ing atma yan agong citta si tamah.
Sangka ring triguna metu tang budhi, makweh prakara ning buddhi, nihan lwirnya,
dharma, jnana, wairagya, asiwarya, ndan hana ta baliknya, adharma, ajnana, awairagya,
anaiswarya, nihan lang pancawiparyaya ngaranya, hana ta tustungaranya, hana ta
astasiddhi ngaranya, nahan ta wrtti ning buddhi ngaranya.
(Wrhaspati Tattwa 24)

Artinya :
Jika pengaruh lamasa yang sangat kuat, maka pikiran menjadi lesu dan kebingungan.
Pengaruh tamasa terhadap pikiran, menyebabkan atman lahir menjadi hewan. Ada lima
jenis hewan, yaitu: ternak, binatang buas, burung, binatang melata dan ikan. Jenis yang
keenam diluar hewan adalah tumbuh-tumbuhan. Ternak adalah hewan yang dipelihara
dirumah seperti sapi, kerbau, anjing, babi dan sebagainya. Binatang buas adalah
binatang yang hidup di hutan seperti harimau, singa dan lain-lain. Burung adalah semua
jenis burung yang bisa terbang, seperti ayam, itik dan lain- lain. Binatang melala adalah
semua jenis binalang yang merayap seperti ulár, lintah, belut dan sebagainya. Ikan
adalah jenis binatang air seperti ikan di sungai dan laut, besar atau kecil. Semua yang
bergerak ini disebut janggama. Alman berwujud binatang apabila dipengaruhi oleh
tamah. Bila dalam kelahirannya sebagai janggarna ia tidak melaksanakan dharma, maka
dalam kelahiran yang keenam ia menjadi tumbuhan. Hidup sthawara (tak bergerak)
meliputi pohon, yang merambat, pohon berdaun, rumput dan sebagainya. Pohon-pohon
itu tidak berpindah dan keadaan ini disebut sthawara, yang bergerak disebut janggama.
Inilah perwujudan atman yang dipengaruhi oleh lamah.Dari ketiga guna ini timbul budhi,
ada beberapa jenis budhi, yaitu dharma, jnana, wairagya, aiswarya. Lawannya adalah:
adharma, ajnana, awairagya, dan anaiswarya, itulah panca wiparyaya namanya. Ada
lusti namanya dan asta siddhi, semua ini berpengaruh terhadap buddhi.

Demikianlah kuatnya pengaruh triguna terhadap pikiran, hanya pikiran sattwika yang
sangat kuat yang dapat mengantarkan untuk menuju moksa mencapai kelepasan. Oleh pikiran
sattw.kalah yang paling berpengaruh terhadap atman, agar atman bebas dari ikatan samsara.
Untuk mengakhiri lingkaran samsara, Wrhaspati Tattwa mengajarkan agar setiap orang
menyadari hakekat ketuhanan dalam dirinya. Untuk mencapai kesadaran ini orang harus:
1. Mempelajari segala Tattwa (Jnana bhyudreka)
2. Tidak tenggelam dalam kesenangan hawa nafsu (indriya yoga marga).
3. Tidak mengikatkan diri pada pahala-pahala perbuatan baik atau buruk (tresna dosa ksaya)

Jnana bhya drekato moksa


Indriya yoga margatah
Tresna dosa ksaya scaiva
Prapyate karana trayam

Artinya :
Tiga rinciannya usaha yang patul dikerjakan oleh orang yang ingin mendapatkan
kelepasan yaitu: Jnana bhyudreka artinya mengetahui semua tattwa, indriya yoga marga
artinya tidak asyik tenggelam dalam kenikmatan hawa nafsu, dan tresna dosa ksaya
yaitu melenyapkan buah perbuatan baik dan buruk, ketiganya itulah yang harus
dikerjakan.

Selain itu Wrhaspali Tattwa mengajarkan jalan yoga dengan selalu memusatkan pikiran pada
Dia melalui enam tahapan yang disebut Sadangga yoga. Yoga didasari dan dibangun oleh dasa
sila, sepuluh prilaku yang baik.

Ajaran yoga dalam Whaspati Tattwa disebut Sadangga yoga yaitu seperti uraian dalam pasal 53

Pratyaharas tatha dhyanam Pranayamasca dharanam Tarkasca iva samadhis ca Sadangga


yoga ucyate

Nahan tang sadangga yoga ngaranya, ika ta şadhaning sang mahyun umangguhakena
Sang Hyang Wisesa denika, hana prathyara yoga ngaranya, hana dhyana yoga ngaranya
hana pranayama yoga ngaranya, hana dharaną.yoga ngaranya, hana tarka yoga
ngaranya, hana samadhi yoga, nahan lang sadangga ngaranya.

Artinya :
Adapun yang disebut sadangga yoga yaitu alat bagi orang yang ingin menemukan Sang
Hyang Wisesa, Ada yang disebut pralhyahara yoga, ada yang disebut dhyana yoga, ada
pranayama yoga, ada dharana yoga, ada yang disebut tarka yoga, dan ada yang disebut
samadhi yoga. Itulah yang disebut Sadangga yoga.

1. Pratyahara yoga
Indriyani ndriyarthe bhyah Visaya bhyah prayatnatah Jnatena manasah rtya.. Pratyaharo
nigadyate

Ikang indriya kabeh winatek sangkeng wisayanya, Ikang citta buddhi manah tan wineh aparan
paran, kenemitaken citta malilang yeka pratyahara yoga ngaranya (Wrhaspati Tattwa 54)

Artinya : Seluruh indriya ditarik dari obyeknya, sedangkan citta, buddhi dan manah tidak
diberikan mengembara, dijaga oleh cilla yang suci, ilulah yang disebut pratyahara yoga.

2. Dhyana yoga

Nirdvandvan nirvikaranca, Nisanta macalam tatha


Yadrupam dhyayate nityam
Tad dhyana miti kathyate
(Wrhaspali Tattwa 55)

Ikang jnana tan pangrwa-rwa, tatan wikara enak hereng-heneng nira, umideng sada tan
kawaranan, yeka dhyana yoga ngaranya

Artinya :

Pikiran yang tidak mendua, tidak berubah tetap suci tenang senantiasa tidak terhalang. itulah
yang disebut dhyana yoga.

3. Pranayama yoga
Pindhyaya sarva dvarani, vayurantrani grhyate murdhanam vayuno bhidya. pranayama
nigadyale

Ikang sarwa dware kabeh yateka tutupana, matam irung tutuk telinga ikang wayu huwus
inisep ngunin rumuhun yateka winelwaken maha wareng wun wunan. kunang yapwan
tan abhyasa ikang wayu mahawane ngkana, dedi ya winetwaken mahawan aneng irung,
ndan saka sadidik dening mawtwaken wayu, yaleka pranayama yoga ngaranya.

Artinya :
Tutup semua lubang yang ada pada tubuh, seperti mala, hidung, mulut, telinga, udara
yang telah diisap tadi, dikeluarkan melalui ubun-ubun. Bila tidak terbiasa mengeluarkan
udara melalui jalan itu, dapat dikeluarkan melalui hidung, namun dengan cara perlahan-
lahan udara dikeluarkan, itulah yang disebut pranayama yoga.

4. Dharana yoga

Om karam hrdaye sthapya Tattvaline svatmakam


Om karah sam dhito yasma
Dharanam vai nigadyate
(Wrhaspati Tattwa, 57)

Hana Om hara sabda umingwing hali yatika dharanam, yapwan hilang ika nara karenga
rikalaning yoga, yeka Siwalma ngaranya suyawak bhatara Siwa, yan mangkana yeka dharana
yoga ngaranya

Artinya :
Ada suara Om kara terletak di hati, itulah yang harus dikuasai, bila hilang dan tidak
terdengar lagi dikala melakukan yoga itulah yang disebut Siwatma, Sunya badannya
Bhatara Siwa bila demikian itulah yang disebut dharana yoga.

5. Tarka yoga

Akasa iva tadrupam Akasah santatam dhruvam


Nissabdah tarka yetyam
Sa tarka ili kathyate
(Wrhaspati Tattwa 58)

Kadi akasa rakwa Sang Hyang Paramartha ndan ta palekanira lawan akasa, tan hana sabda
risera. ya ta kalinganing para martha papadanira lawan awang-awang malilang juga, yeka tarka
yoga ngaranya

Artinya :
Sang Hyang Paramartha bagaikan langit, tetapi ada perbedaannya dengan langit, tidak
ada suara padanya, itulah sesungguhnya Sang Hyang Paramartha, Persamaannya
dengan langil adalah sama-sama bersih adanya. Itulah Tarka yoga.

6. Samadhi yoga

Nirupeksam nirakalpam Nihsprhe santa savyayam Alinggam cinta yet nityam


Samadhistena kathyate

Ikang jnana lan papeksa lan pangalpana tan hana kaharepnira, tan hana sinadhyanira, alilang
tan kawaranan juga, tatan paka hilangan. tatan pawastu ikang cetana, apan mari humidep sira
ikang sarira luput sakeng catur kalpana.

Catur kalpana ngaranya, wruh lawan kina wruhan pangawruh lawan manga wruhi, nahan yang
catur kalpana ngaranya ika ta tar hana ri sang yogaswara yeka samadhi yoga ngaranya

(Wrhaspati Tattwa 59)

Artinya :
Pikiran yang tidak tercela tidak lemah tidak ada yang dikehendakinya, tidak ada
diharapkannya, suci tidak terhalang, tidak dapat dihancurkan, setana seperti itu adalah
tanpa aspek, karena tidak lagi ia merasakan badan bebas dari catur kalpana.

Catur Kalpana berarti tahu dan diketahui, pengetahuan dan mengetahui, itulah yang disebut
catur kalpana, semua itu tidak ada pada sang yogiswara, itulah yang disebut samadhi yoga.
Demikianlah ajaran tentang kelepasan, apabila mampu melaksanakan sadangga yoga
dengan tekun, diharapkan mencapai kelepasan, bebas dari lingkaran samsara.
6. AJARAN SIWATATTWA DALAM LONTAR TATTWA JNANA
6.1. Bentuk Dan Susunan Lontar Tattwa Jnana
Lontar Tattwa Jnana sepenuhnyamempergunakan bahasa Jawa Kuna yang disusun dalam
bentuk sastra bebas (gancaran). Pada bagian permulaan terdapat pesan bahwa Tattwa Jnana
perlu diperhatikan. oleh para abdi dharma yang ingin bebas dari kesengsaraan penjelmaan dan
ingin kembali ke asal. Terdapat pula keterangan bahwa Tattwa Jnana merupakan dasar dari
semua tattwa. Keseluruhan isinya disusun dalam delapan bagian sebagai berikut:
 Tentang Cetana dan Acelana, Parama Siwa Tattwa, Sada Siwa Tallwa dan Atmika Tallwa.
 Tentang Bhatara Dharma mengembangkan Celananya, kemudian melahirkan Cilta
Sattwam Raja Tamah.
 Tentang asal usul dan sifat-sifat Ahangkara yang telahirkan Dasa Indriya, Panca lan
matra dan Panca Maha Bhuta.
 Pengertian tentang Sapla Loka, Sapta Patala, perbedaan peranannya dengan Wiswa,
serta pengertian Satwam Rajah Tamah.
 Tentang punarbhawa Sang Hyang Atma beserta sifat-sifat dan ciri-cirinya.
 Tentang perwujudan Sang Hyang Atma dalam badan manusia, mendapat pengaruh dari
Panca Maha Bhuta, hubungannya dengan Sad Rasa, Panca lan malra, Sapta Buana, Sapla
Parwala. Sapla Arnawa, Sapta Dwipa dan Sepuluh nadi.
 Tentang pengertian Wayu, Panca Alma, Dasendriya, lempat Sang Hyang Tri Purusa di
dalam badan dan tempat Panca Resi, Dowala dan Widya dara Widyadari Gandharwa
Gandharwi.
 Pengertian tentang Brala, Tapa, Yoga, Samadhi serta pengertian Prayoga sandhi.
6.2. Ajaran Ketuhanan
Lontar Tattwa Jnana memulai uraiannya dengan menjelaskan Celana dan Acetana, dua
unsuruniversal yang ada di alam raya ini. Cetana adalah unsur kesadaran yang disebut Siwa
Tattwa, sifatnya mengetahui, ingat, ingat akan kesadaran yang tidak pernah berubah menjadi
lupa. Sedangkan Acetana adalah unsur ketidak sadaran yang juga disebut Maya Tattwa,
memiliki sifat-sifat lupa, bingung, tak memiliki kesadaran, (tan pajnana, tan pacetana). Celana
atau Siwa tattwa ada tiga tingkatannya, disebut Parama Siwa Tattwa, Sadasiwa Tattwa dan
Almika Tattwa.
Celana acetana, cetana ngaranya jnana wruh menget, ring futur tan pabalik lupa,
acetana
ngaranya ikang lupa wyamoha lan kahanan tutur. Ikang celana lawan acelana, yeka
sinanggah siwalattwa lawan mayalattwa, ikang celana yeka siwatatiwa ikang acetana
yeka mayalaltwa, padha lilnya mwang suksmanya, kunang kasor nikang mayalaliwa
dering siwatattwa, tan pacetana, lan ya pinakawaknya, awang-awang uwung-uwung, lan
pagamongan, lupa wiparita, swabhawa nikang mayatattwa. Tutur prakasa pwa
swabhawa
nikang siwalaltwa, ikang sinangguh siwalattwa, liga prabhedanya Iwirnya,
paramasiwatallwa, sadasiwatattwa, atmikatattwa.
(Taitwa Jnana 2)
Artinya:
Cetana, Acelana Cetana ialah jnana yaitu mengetahui, ingal, ingat akan kesadaran
Celanak berubah inenjadi lupa. Acelana ialah: iupa, bingung tak memiliki kesadaran
Celana dan Acetana itulah yang disebut Siwatattwa, Celana adalah Siwalallwa dan
Acetana adalah Mayalattwa Sama-sama kecil dan halusnya. Mayatattwa lebih rendah
dari Siwatattwa. Mayatattwa tidak memiliki celana, tidak memiliki jnana, hanya lupa
tidakmemiliki kesadaran. Ketiadaan sebagai badannya, kosong bebas tiada yang
merintangi.Lupa tak ingat apapun, demikianlah sifat-sifat Mayatattwa. Siwatattwa
mempunyai sifat-sifat sadar jernih bercahaya. Yang disebut Siwatattwa ada tiga
macamnya, yaitu :Paramasiwalattwa, Sadasiwatattwa, Almikatallwa.

Paramasiwalattwa adalah Bhalara Siwa dalam keadaan tanpa bentuk, tidak bergerak, lidlak
guncang, tidak pergi, tidak mengalir, tidak ada asal, tidak ada yang dituju, tidak berawal, tidak
berakhir.hanya lelap tak bergerak, tenang, lanpa gerak, diam dan kekal (kasthityan bhatara ring
niskala).

Paramasiwatattwa ngaranya kasthityan bhatara ring niskala, tan polah, tan limbak, tan
laku, tan hili, tan pasangkan, lan paparan, tan pawitan, tan pawkasan kewala sthiti,
umideng, humneng langgeng juga sira, ibek lang. ral de hira, kakasut kahmu kawyapaka
kabeh kang sapta bhuwana de nira, sapla patala sundhul wuntu sasek pnuh lyab kang
jagat de nira, tan kawenang linongan, lan kawenang tinambehan, niskarya nisprayojana
juga sira, tan para wyapara ring hala-hayu, nihuninga la sira ika kabeh, mwang tan
hanangatitanagata wartamana ri sira, tan kahletan sira dening kala, rahina sada juga
sira,
tanpakahilangan lana juga sira, nahan laksana bhatara paramasiwatattwa, yeka
kasthityan
bhatara ring niskala ika, sira ta bhalara paramasiwatattwa ngaranira.
(Tallwa Jnana 3)
Artinya:
Paramasiwalallwa ialah Bhatara dalam keadaan tanpa bentuk, tidak bergerak, lidak
guncang, tidak pergi, tidak mengalir, tidak ada asal, tidak ada yang dituju, tidak berawal,
tidak berakhir, hanya telap lak bergerak tenang tanpa gerak. Diam dan kekal. Seluruh
alam semesta ini dipenuhinya, diliputi, disangga, disusupi seluruh sapla bhuwana ini
oleh-
Nya. Sapta-patala disusupi sepenuh-penuhnya, tiada ruang yang terisi, penuh terisi alam
semesta ini olehnya. Tidak dapat dikurangi, tidak dapat ditambahi. Tanpa karya, juga
tanpa ujuan. Tidak dapat diganggu oleh perbuatan baik ataupun buruk. Tak dapat
dikenal keseluruhannya. Dan la tidak mengenal masa lalu, masa yang akan datang dan
masa kini. Tidak dirintangi oleh waktu, selalu siang tidak sesuatu yang hilang pada-Nya.
la kekal abadi. Demikianlah sifat-sifat Bhatara Paramasiwalattwa. Itulah keberadaan
Bhatara di alam niskala. Ialah Bhatara Paramasiwatattwa.
Sadasiwa tattwa bersifal wyapara, adalah Bhatara Siwa yang sudah tersentuh oleh sarwajna,
dan sarwa kartha, serba tahu dan serba karya. Sthana Bhatara Sada Siwa adalah bunga teratai
atau padmasana, memiliki Cadhu sakli yaitu empat kekuasaan, yaitu Jnana sakti, Wibhu sakti,
Prabhu sakti dan Krya sakti. Jnana sakli artin maha tahu, dengan kekuasaan Dura darsana
mampu melihal yang jarak jauh maupun dekat, Dura srawana mampu mendengar suara yang
jauh maupun dekat, Duratmaka mengetahui segala perbuatan jauh maupun dekat. Wibhu sakli
artinya tidak ada kekurangan Nya diseluruh alam semesta ini. Prabhu sakti ialah tak dapat
dirintangi segala kehendakNya. Krya sakti ialah menciptakan seluruh alam semesta ini baik yang
nyata (sakala) maupun yang tidak nyata (niskala). disebut Bhatara Adipramana, Bhatara
Jagatnatha, Bhatara Karana, Bhatara Parameswara, Bhatara Guru, tetapi la sendiri tidak
diciptakan. Bhatara Mahulun, Bhatara Wasawasitwa, la berkuasa untuk mengadakan maupun
untuk meniadakan. Sarwwajna

Nihan sadasiwalattwa ngaranira, wyapara ta bhatara sadasiwalattwa, wyapara ngaranya


kinahanan sira dening sarwwajna mwang sarwwąkaryakarta sira,
sarwwakaryakartą ngaranya, anampih, hana padmasana palungguhan bhatara,
cadhusakti ngaranya, Iwirnya jnanasakti, wibhusakti, prabhusakti, kriyasakti, nahan tang
sinanggah cadhusakli ngaranya, jnanasakti ngaranya tiga prabhedanya iwirnya:

memenuhi alam semesta. la menjadi roh (atma) setiap makhluk tanpa pilih kasih bagaikan
matahari yang secara adil menyinari segala yang ada.
Nihan tang sinangguh atmikatattwa ngaranya, bhatara sadasiwa kunang laksananira,
utaprota, uta ngaranya kadyangganing-apuy hana ringeseyen, suksma juga kang-apuy
hana ring kayu pring mangkana ta bhatara sadasiwalaftwa, an wyapaka ring
mayatattwa,
lan katon tan kinawruhan, sira wibhu humibeking mayatattwa, prota ngaranya
kadyangganing manik sphatika, ahening, amaya-maya rusalilang, lan kawaranan, dadi
masalin warna ikang manik, sinaput de nikang warna rakta ring mayalattwa, tan katon
tan kinawruhan, sira wibhuhumibeking mayatattwa, sinaput de nikang warna raktanya
jugekang manik, makanimitta, pasahakna ikang manjk, lawan warna, ndan irika mulih
rupa nikahning, ikang warna raktanya nguni, hana ri kawaknya jugeka wkasan. Kadi
mangkana la bhatara sadasiwatattwa, an wyapaka cumetanekang mayalaltwa, mala pwa
swabhawa nikang mayatattwa, yata sinangguh kaparengga, karaktan mala ngaranya,
matangnyan kadi hilang kahidepannya, sakti bhatara wkasam, kintu taha apan spatiko
pama, ktang bhatara sada siwa tattwa tan wenang cinam puran, tuhuh cetana Ingelnge
mari sarwajna, mari sarwa karya karta, tuhun makawah tutur matra juga Rang cetana
wkasan, ndan sira ta sinangguh ta atmika tattwa ngaranira, sira ta sang hyanig atma
wisesa ngaranira, sira ta bhatara Dharma ngaranira, sira ta humibeking rat kabeh, sira ta
pinaka hariping rat kabeh, sarwa janma kabeh, nahan papadhanira kadyangga nira sang
hiyang aditya, tunggal sira tka wyapara ring abhyantara tuhim tejanira juga lumra mahas
ing desa-desa humibeking rai kabeh. Mangkana ta bhalara Dharma tuhun hana ring
niskala, juga sira mawakikang turya pada.
(Tattwa Jnana 5)
Artinya:
Inilah yang disebut dengan Atmikatattwa. Bhatara Sadasiwalattwa dengan ciri-cirinya
utaprota. Uta ialah sebagai halnya api yang berada dalam kayu api, api dalam kayu
bambu itu tidak tampak. Demikianlah halnya Bhatara Sadasiwatattwa yang menyusupi
mayatattwa. Tak tampak tak ketahuan. Ia mengembang memenuhi mayatattwa. Prota
ialah seperti halnya permata sphalika, bening jernih berkilauan, terang tidak dilipuli
apapun. Lalu ia dilekatl warna, maka berubahlah warna permata itu, ditutupi oleh warna
yang melekat pada mayalattwa. Karena ditutupi oleh warna yang melekat pada permata
itu. Pisahkanlah permata itu dengan warna itu. Pada waktu itulah permata itu kembali
pada warnanya yang bening. Warna yang melekat ladi akhirnya akan kembali pada
wujudnya semula. Demikianlah halnya Bhatara Sadasiwalaltwa, yang menyusupi
memberikan kesadaran pada mayalallwa. Sifal mayalattwa itu kotor (mala). Itulah yang
dipandang dihiasi dan dilekali oleh kotor (mla). Itulah sebabnya seperti hilang sakti
Bhatara akhirnya, namun tidak demikian. Karena bagaikan permata sphatika Bhatara
Sadasiwatattwa, tidak dapal dikotori, hanya saja cetananya yang terlekalı oleh mala,
dihiasi dan diselimuti oleh mayatattwa. Akhirnya cetana itu menjadi tidak aktif, tidak lagi
sarwajna, tidak lagi sarwakaryakarta. kesadarannya amat kecil.Pada akhirnya benar-
benar celana itu Maka la disebut Atmikataltwa, Sanghyang Atmawisesa, Bhatara
Dharma yang memenuhi alam semesta. Ialah jiwanya alam semesta, jiwa semua
makhluk. Demikianlah persamaannya sebagai matahari! Satu ia aktif dalam dirinya
sendiri, namun cahayanya menyebar memenuhi arah semua tempat, memenuhi alam
semesta yang menyinari yang baik dan yang buruk, yang berbau busuk dan yang berbau
harum. Cahayanya itu yang menyinari baik dan buruk Banyaklah kegialan cahaya
matahari, terhadap yang baik dan terhadap yang buruk, terhadap rupa dan warna.
Demikianlah Sanghyang Aditya. Sanghyang Aditya mengasihi semuanya itu walaupun ia
berada dalam dirinya sendiri. Demikianlah juga Bhatara Dharma, walaupun la ada di
alam

duradarssana, durasrawana, duratmaka. Duradarssana ngaranya tumoning-adoh-


aparek,
durasrawana ngaranya rumengo sabda hadohaparek, duratmaka ngaranya wruh
ringambek ningadoh-aparek, nahan tang sinangguh jnanasakti ngaranya. Wibhusakti
ngaranya tan hana katunanira irikang rat kabeh. Prabhusakti ngaranya tan kalangghanan
ri sakecca nira. Kriyasakti ngaranya sira humanakikang rat kabeh, nguniweh ikang watek
dewata kabeh, kadyangganing brahma, wisnu, iswara pancarsi, saptarsi, dewarsi, indra,
yama, waruna, kubera, wesrawana, widyadhara, gandharwa, danawa, daitya, raksasa,
bhutayaksa, bhutadengen, bhutakala, bhutapisaca, nguniweh ikang bhuwana, prethiwi,
apah, teja, wayu, akasa, candra, aditya, taragana, yeka gawe bhatara sadasiwatattwa
ringsakala, sanghyang sastra, agama, aji, wedhya, tarkka, wyakarana, ganita, ya tika
gawebhatara sadasiwatattwa, an sira pramana irikang rat kabeh, sira maka drewya
irikangsakala niskala, sira ta bhatara adipramana ngaranira, sira ta bhatara jagatnatha
ngaranira,sira ta bhatara makarana ngaranira, sira ta bhatara parameswara ngaranira,
sira ta,bhatara mahulun ngaranira, sira ta bhatara maguru ngaranira, sira ta mangaran
bhatarawasa wasitwa, ika ta kabeh, siragawe tan ginawe, sira la wenang manghanaken
wenangmanghilangken, tan hana luwihana keswaryya nira, sira ta bhatara guru ning
guru, nahanta laksana bhatara sadasiwa.
(Tattwa Jnana 4)
Artinya:
Inilah Sadasiwatattwa namanya. Bhatara Sadasiwatatiwa bersifat wyapara. Wyapara
artinya la dipenuhi oleh sarwajna (serba tahu) dan sarwakaryakarta (serba kerja).
Sarwajna sarwakaryakartha ialah padmasana sebagai tempat duduk bhatara, yang
disebut Cadhusakti, yaitu: Jnanasakti, Wibhusakti, Prabhusakti, Kryasakti, itulah yang
disebut Cadhusakti. Jnanasakli tiga jenisnya, yaitu: duradarsana, durasrawana,
duratmaka. Duradarsana ialah melihal yang jauh dan yang dekat. Durasrawana ialah.
mendengar suara yang jauh dan yang dekat. Duratmaka ialah mengetahui perbuatan
yang jauh dan yang dekat. Itulah yang disebut dengan jnanasakti. Wibhusakti ialah tak
ada kekurangan-Nya di seluruh alam semesta ini. Prabhusakti ialah tak dapat dirintangi
segala yang dikehendaki-Nya. Kriyasakti ialah mengadakan seluruh alam semesta ini,
terlebih-lebih para dewata semuanya, seperti Brahma, Wisnu, Iswara, Pancarsi, Saptarsi,
Dewarsi, Indra, Yama Waruna, Kubera, Wesrawana, Widyadhara, Gandhawara, Danawa,
Daitya, Raksasa, Bhutayaksa, Bhutadengen, Bhutakala, Bhutapisaca, demikian pula alam
ini, prthiwi (tanah), apah (air), teja (cahaya), wayu (udara), akasa (ether), bulan,
matahari,
planet, itulah semua karya Bhatara Sadasiwatattwa di alam niskala. Adapun karya
Bhatara Sadasiwatattwa di alam sakala lalah Sanghyang Sastra, Agama, ilmu
pengetahuan mantra (waidya), ilmu logika (tarka), ilmu tata bahasa (wyakarana), ilmu
hitung (ganita). Demikianlah karya Bhatara Sadasiwatattwa. la berkuasa penuh alas
seluruh alam ini. Ialah yang memiliki alam sakala dan niskala. Ialah Bhatara Adipramana
namanya, Bhatara Jagatnatha, Bhatara Karana, Bhatara Parameswara, Bhatara guru,
Bhatara Mahulun, Bhatara Wasawasitwa.
la menciptakan, namun la sendiri tidak
diciptakan. Ialah yang berkuasa untuk mengadakan dan meniadakan. Tidak ada yang
dapat mengalahkan kekuasaannya. Ialah Bhatara Gurunya guru. Demikianlah sifat-sifat
Bhatara Sadasiwatattwa.

Atmika tattwa ialah Bhatara Sada siwa taltwa yang sudah "uta prata" dalam mayatattwa. Uta
artinya la meresap secara galb dalam mayatattwa bagalkan api dalam kayu. Prota artinya la
berkeadaan bagaikan permata bening jernih berkilauan, cemerlang dalam Maya tattwa. Karena
la dibungkus oleh Mayatattwa mengakibatkan hilangnya sifat sarwajna, sarwakaryakartha, dan
Cadusakti, berarti tidak aktifnya sifat cetana. la disebut Atmika lattwa, Sang Hyang Atma Wisesa
atau Bhatara Dharma yang niskala, yang berbadan turyapada. Hanya cetana Nyalah yang
menyebar memenuhi alam semesta. Berubah menjadi semakin besar, menjadi jiwa semua
makhluk. Maya itulah yang dipandang cetana yang memberi kesadaran.
Atma adalah Bhatara Sadasiwa yang utaprata, walaupun pada hakekatnya la adalah
cetar dengan kesadaran murni, tetapi karena diliputi maya maka keadaannya sangat memudar.
Bhatai Sadasiwa yang mulanya sarwajna sarwakarya karta menjadi tidak demikian lagi, itulah
keadaan atm. setelah atma bertemu dengan badan ia lahir di dunia sebagai manusia atau
makhluk lain menikmati sul dan duka.
Upatyakna pwa sira ring jama samangke, sang hyang atma mangjanma ring prethiwi,
umandel ring bhuwana sarira, wyapaka pwa sira ring sad rasa, sarining panca maha.
bhuta, prethiwi, apah, teja, wayu, akasa.
(Tattwa Jnana 46)
Artinya:
Demikianlah ia dilahirkan dalam wujud manusia seperti ini, yaitu sang hyang atma lahir
di
bumi tinggal dalam badan jasmani, menyusup dalam sadrasa (enam rasa) yang
merupakan sari-sari dari panca maha bhula (lima unsur dasar) yaitu: tanah, air, cahaya,
angin dan udara. Karena ada keinginan dari Bhalara Dharma untuk melihat benda yang
nyata (wastu sakala) mak. dipertemukanlah Sang Hyang Atma dengan Pradhana Tattwa,
yaitu anak dari Mayatattwa. Atma adala perwujudan tutur (tutur prakasa pwawak sang
hyang atma) yang bersifat sadar dan Pradhana adalal perwujudan dari lupa
(ketidaksadaran). Bertemunya tutur dengan lupa (ikang tutur matemu lawan lupa
disebut Pradhana purusa. Ketika bertemunya Pradhana dengan Purusa itulah
melahirkan Citta dan Guna Citta adalah wujud kasarnya Purusa dan Guna lahir dari
pradhana. Guna ada tiga jenis, yaitu Sattwa Rajah dan Tamah, disebut Triguna. Guna ini
berpengaruh terhadap Citta sehingga disebut Citta sallwa citta rajah dan citta tamah.

Nihan prastanan bhatara dharma, amung mredyaken cetana nira, bhatara mahulun sira
mahyun manon wastu sakala, ya la matangnyan inicca nita ta sanghyang alma.
pinatemwakenira lawan pradhanatattwa, ngaranya anakning mayatattwa. ya ta
matangnya lupa wiparita swabhawa nikang pradhanatáttwa, turu ngaranya ring manusa,
lupa pwawak ning pradhanatattwa, tutur prakasa pwawak sanghyang atma, ikang tutur
matmu lawan lupa, ya ta sinangguh pradhana-purusa ngaranya, ri pamanggih ikang
pradhana lawan purusa, ika ta yang panak citta lawan guna, citta ngaranya ganal ning
purusa, ikang guna tiga prabhedanya, mapalenan Iwirnya, sattwa, rajah, tamah, yeka
sinangguh tri guna ngaranya, ya ta pinaka guna dening citta, nahan tang citta, sattwa,
citta
rajah, citta tamah.
(Tattwa Jnana 6)
Artinya:
Inilah perihal Bhatara Dharma yang mengembangkan cetananya. Bhatara Mahulun ingin
melihat benda yang nyata. Maka itulah diberikannya Sanghyang Atma,
dipertemukannya dengan Pradhanataltwa. Pradhanatattwa lupa tak ingat apapun, Bagi
manusia dinamaka tidur. Lupalah yang menjadi badan Pradhanatattwa. Badan
Sanghyang Alma adalah ingat selalu. Bertemunya ingat-lupa. Itulah yang disebut
Pradhana-Purusa. Ketika bertemunya Pradhana dengan Purusa itulah melahirkan Citta
dan Guna. Citta adalah wujud kasarnya Purusa. Guna adalah hasil. Pradhanatattwa yang
diberi kesadaran oleh Purusa. Adapun Guna itu ada tiga jenisnya yang berbeda-beda,
yaitu : Sattwa, Rajah, Tamah. Itulah yang disebut Triguna yang dipakai sebagai guna
(kwalitas) oleh Citta. Demikianlah citta Saltwa, citta rajah, citta tamah.

Citta saltwa melahirkan sifat-sifal seperti pikiran terang, bijaksana, tahu dan dapat
membedakan antara baik buruk benar dan salah, sehingga menghasilkan perbuatan yang selalu
menuju kebaikan. Citta rajah menyebabkan goncang, bergerak cepat, tergesa-gesa, panas hati,
congkak, iri hati, usil, cepal lersinggung pada hal-hal yang tidak baik. Sedang Cilta tamas
memberikan rasa berat, enggan, malas, kotor, dingin, suka makan, mengantuk, penidur, dungu,
iri hati, dan lain-lain perbuatan yang pada umuninya pasif.

6.3. Ajaran Tentang Alam Semesta


Dalam sastra-sastra banyak ajaran tentang terjadinya alam semesta ini, misalnya dalam
upanisaddinyatakan bahwa alam semesta dari Brahman, dalam Rg Veda pada Purusa Sukla
alam semestadinyatakan lahir dari Purusa. Calam lontar-lontar lattwa umumnya alam semesta
dinyatakan lahir dariBhatara Siwa. Lonlar Tattwa Jnana memulai uraian tentang penciptaan
alam semesta ini dengan memaparkan tentang timbulnya lima unsur halus dari Ahangkara yang
disebut tan matra. Kelima unsur halus ditu disebut sabda tan malra, sparsa tan malra, rupa tan
matra, gandha lan matra dan rasa tan Kelima unsur halus inilah yang kemudian akan menjadi
bibit dari unsur-unsur yang timbul matra kemudian.
Kunang ikang ahangkara si bhuladi. yekagawe pancalannatra, Iwirnya, sabdatanmatra,
sparsatanmatra, rupatanmatra. gandhatanmatra, rasatanmalra. Sabdalanmalra-
ngaranya,
tutupi talinganta kalih, hana sabda karengo, lit nikang sabda, yeka sabdatanmatra
ngaranya. Sparsatanmatra ngaranya, hana wayu madres, barat prahara kunang, maren
pwekang wayu, lit nikang sumiliruneseping kulit, yeka sparsatanmatra ngaranya.
Rupatanmatra ngaranya, duwegi kalasandya, sumurup sanghyang aditya kulwan, hana
ta
lejanira kawkas matramatra, lit nikang tejà, yeka rupatanmatra ngaranya. Rasatanmatra
ngaranya, kadi anganing amangen sadrasa, llas pwamangan, hana la ya sesanya matra
kawkas ring lidah, lit nikang rasa, yeka rasa tanmatra garanya. Gandhatanmatra
ngaranya, kadyangganingambung wangi-wangi, candanagaru kunang, lungha lang wasa
kweh rika, hana la ya sesa nikang gandha ring irung, ya ta hambung rinasan, ling nikang
gandha, yeka gandhatanmatra ngaranya.
(Tattwa Jnana 13)
Artinya:
Adapun ahangkara si bhutadi ialah yang menyebabkan adanya pancalanmatra, yaitu :
sabdatanmatra, rupatanmatra, rasatanmatra, gandhatanmatra. Yang disebut
sabdatanmatra namanya.
Sabdatanmatra ialah: tutuplah kedua telingamu, ada terdengar suara. Halusnya suara
itu,
Sparsalanmatra ialah ada angin deras maupun angin taufan, setelah berhenti angin itu.
Yang halus mengalir yang meresap ke dalam kulit itulah sparsatanmatra namanya.
Rupatanmatra ialah ketika waktu senja, matahari terbenam di barai. Ada cahayanya
yang tertinggal remang-remang. Halusnya cahaya itu rupatanmatra namanya.
Rasatanmatra ialah seperti halnya makan sadrasa (rasa yang enam). Setelah habis
makan, ada masih rasa berbekas pada lidah. Halusnya rasa itulah rasatanmalra
namanya.
Gandhalanmatra ialah: sebagai halnya bau wangi cendana maupun majagau. Hilanglah
dirasakan. benda-benda wangi itu semuanya. Ada sisa-sisa bau itu pada hidung, itulah
yang dicium Halusnya bau itu gandhatanmatra namanya.

Dari Panca tan matra ini kemudian muncul lima unsur alam yang disebut Panca Maha Bhuta,
yaitu pretiwi, apah, teja, bayu, dan akasa, yang akan berproses lebih lanjut.
Sangka ring pancatanmatra, mtu tang pancamahabhuta, akasa mtu saking
sabdatanmatra, hawang-awang huwung-uwung, tar pagamongan, maweh awan
laksananya, sabda pinaka gunanya, wayu metu saking sparsatanmatra, riwut pata barat
prahara, angulahaken laksananya, sparsa pinaka gunanya. Teja mtu sakaring
rupatanmatra, prakasa pada apanas pinaka laksananya ruta pinaka gunanya. Apah mtu
sakaring, rasatanmatra, amles laksananya, sadrasa pinaka gunanya. Pithiwi mtu saking
gandhatanmatra, akasa ganal laksananya, gandha pinaka gunanya, ikang gandha tiga
prabhedanya, surabhi, asurabhi sa gandha sadharanah, surabhi nga, awangi, asurabhi,
nga, abo, sa ca gandha sadharanah, ikang tanawangi tanabo, nga, nahan ta laksana
nikang prethiwi, yeka pamkasing tattwa ganal, ikang prthiwi, apah, teja, wayu, akasa ya
ta
ginawe bhuwana de bhatara, arddha ruhur sumindhuhur tatumpang-tumpangan
laksananya, Ikang akasa munggwing ruhur, tumut tang wayu, ya'ta matangnyan
gunaning
wayu sabda, sparsa, akasa, wayu, teja, ya ta matangnyan tiga gunaning teja sabda,
sparsa, rupa. Akasa, wayu, teja, apah, ya ta matanghyan pat gunaning apah sabda,
sparsa, rupa sadrasa. Alasa, wayu, teja, apah, prthiwi, ya ta matangnyan lima guna ning
prethiwi sabda, sparsa, rupa, sadrasa, gandha.
(Tattwa Jnana 14)
Artinya:
Dari pancatanmatra, lahirlah pancamahabhuta. Akasa lahir dari sabdatanmatra. Seperti
langit yang kosong tidak ada yang merintangi apa-apa. Memberikan jalan, demikian
sifatnya, sabda sebagai guna (kualitas)nya. Wayu lahir dari sparsatanmátra. Angin ribut,
angin taufan, sifatnya menggerakkan. Sparsa sebagai guna (kualitas)nya. Teja lahir dari
rupatanmatra. Bersinar terang benderang. Panas sebagai sifatnya. Rupa sebagai
gunanya. Apah lahir dari rasatanmatra. Menyerap membasahi sifatnya. Sadrasa sebagai
gunanya. Prthiwi lahir dari gandhatanmatra. Angkasa yang kasar sifatnya. Gandha
sebagai gunanya. Gandha itu ada tiga jenisnya, yaitu: surabhi, asurabhi dan
gandhasadharanah ialah bau wangi. Asurabhi ialah bau busuk. Dan gandhasadharanah
ialah bau yang tidak wangi dan juga tidak busuk. Demikianlah sifat prthiwi. Itulah intisari
unsur kasar. Prthiwi, apah, teja, wayu, akasa itulah. dijadikan bhuwana oleh bhatara.
Makin ke atas semakin tinggi keadaannya bertingkat-tingkat. Tattwa yang lebih di atas
dijadikan guna oleh tattwa yang dibawahnya. Demikianlah keadaannya. Angkasa
bertempat di atas bersama wayu. Maka itulah ada dua "guna" wayu yaitu: sanda dan
sparsa. Akasa, wayu, teja, itulah sebabnya ada tiga "guna"nya teja, yaitu :-sabda, sparsa,
upa. Akasa, wayu, teja, apah, sebabnya empat "guna" apah, yaitu : sabda, sparsa,
rupa, sadrasa. Akasa, wayu, apah, prthiwi, itulah sebabnya ada lima "guna" prthiwi,
yaitu : sabda, sparsa, rupa, rasa, gandha.

Setelah timbul Panca maha bhuta selanjutnya muncul benda-benda alam semesta. Alam yang
diciptakan oleh Bhatara dapat dibedakan menjadi sapta loka, yaitu tujuh alam atas dan sapta
patala yaitu tujuh alam bawah. Sapta loka terdiri dari Bhur loka, Bhwah loka, Swah loka, Tapa
loka, Janaloka, Maha loka, dan Satya loka, sedang sapta Patala terdiri dari patala, witala, nitala,
mahatala, sutala, tala-tala dan rasa tala.
Dibawah sapta patala terdapat balagadarba, yaitu alam mahaneraka. Kalagnirudra yaitu
api yang senantiasa menyala berkobar-kobar menjadi dasar maha neraka terletak di bawah bala
gadarba. Pada gunung Malaya achidara, gunung Trisungga, gunung Windhya dan gunung
Mahameru. Bhur loka tempat tertimbunnya semua unsur. Disini terdapat Sapia Parwata yaitu
tujuh gunung antara lain Juga terdapat tujuh samudra (sapta arnawa) yaitu lautan tuak, lautan
gula tebu, lautan garam,mlautan minyak; lautan madu, lautan susu dan lautan santan. Juga
terdapat tijuh pulau (sapta dwipa) yaitu pulau Jambu, pulau Kusa, pulau Sangka, pulau Samali,
pulau Gonodha, pulau Paskara dan pulau Kronca.
Nahan laksana nikang pancamahabhuta, an pawor guna, ginawe andabhuwana de
bhatara, Iwirnya, saptaloka, pamkas munggwing ruhur, tumut tang sapta patala
mungguh i
sor, bhuwana sarira ngaranya, satyalcka munggwing ruhur, i sornya mahaloka, i sornya
janaloka, i sornya tapaloka, i sornya swarloka, i somya bhuwarloka, i sorya bhurloka.
Ndan ikang bhur loka patimbunaing tattwa kabeh, ngka ri bhurloka saptaparwata,
saptarnnawa sarwa tattwa, saptadwipa, dasawayu, dasendriya, ngkana pwa samoha
ngka
bhurloka ika kabeh. Ikang saptaparwata, prethiwi raketnya ngke bhuwanantara. Ikang
saptarnnawa, apah raketnya ngke bhuwanantara. Ikang saptadwipa, teja raketnya ngke
bhuwanantara. Ikang asawayu raketnya ngke bhuwanantara. Ikang dasendriya, akasa
raketnya ngke bhuvanantara. Nahan laksana nikang sarwa tattwa, pasamoha ring bhur
loka. Nihan tang saptapatala ngaranya, patala, wetala, nitala, mahatala, sutala, talatala,
rasatala, i sor ning saptapatala, balagadarba máhanaraka, i sorning mahanaraka, ngkana
ta nggwan sangkalagnirudra, apuy dumilah sadakala, satus iwu yojana dilahnya
mangalad-alad, sanghyang kalagnirudra, apuy pinaka dasaring saptapatala, mangkana
laksananing andabhuwana, kapwa matumpang tumpangan, kadi tala ning tawwan, ikang
tattwa ganal, samangkana kwehnya, gawe nikany ahangkara sibhutadi mula nika.
(Tattwa Jnana 15)
Artinya:
Demikianlah keadaan pancamahabhuta itu, yang bercampur dengan guna, dijadikan
andabhuwana oleh bhatara, yaitu saptaloka, bertempat di puncak yang tertinggi.
Kemudian saptapatala bertempat di puncak yang tertinggi. Kemudian saptapatala
bertempat di bawah, bhuwana, sarira namanya. Satyaloka bertempat paling di atas,
kemudian berturut-turut di bawahnya ialah mahaloka, janaloka, tapaloka, swarloka,
bhuwarloka, bhurloka.
Adapun bhurloka itu adalah tempat berkumpulnya semua tattwa. Pada bhurloka
terdapat :
saptaparwata, saptarnawa, saptadwipa, dasabayu, dasendriya. Semuanya itu berada di
bhurloka.
Saptaparwata itu menyatu dengan prthiwi di sini di dunia. Saptadwipa, menyatu dengan
cahaya di dunia ini. Dasawayu, menyatu dengan wayu di dunia ini. Dasendriya, menyatu
dengan akasa di dunia ini pula. Demikianlah sifat-sifat segala tattwa di bhurloka. Inilah
yang lisebut saptapatala patala, witala, nitala, mahatala, sutala, tala-tala, rasatala. Di
bawah saptapatala adalah balagadarba yaitu mahaneraka. Dibawah mahaneraka, di
sanalah tempat sang kalagnirudra, yaitu api yang senantiasa menyala, 100.000 yojana,
jauh nyalanya berkobar-kobar. Sanghyang kalagnirudra, adalah api yang menjadi dasar
saptapatala. Demikianlah keadaan andabhuwana, bertingkat-tingkat sebagai rumah
lebah. Demikianlah banyaknya tattwa (elemen) kasar ahangkara si bhutadi pada
mulanya.

Setelah alam semesta tercipta, Bhatára Siwa menyusupinya, kemudian dengan krya saktinya
menciptakan manusia. Ketika atma berhubungan dengan ahangkara timbullah panca tan matra,
panca yang disebut panca atma. mahabhuta dan manah. Dihubungkan dengan manah
menyebabkan atma dapat dibedakan menjadi lima
Seseorang yang ditempati oleh Bhatara Siwa akan memiliki "atma wisesa", berbeda
dengan binatang karena tidak memiliki atma wisesa, binatang hanya bayu, sabda, idep, yang
juga ada pada manusia, dan diberi kesadaran oleh atma dalam kadar yang berbeda-beda sesuai
dengan subha-asubha karmanya. Atma yang berada pada alam Jagra dan Tunya luput dari
pengaruh subha-asubha karma itu, sedangkan atma yang berada pada alam susupta terkena
pengaruh subha-asubha karma sehingga harus mengalami proses kelahiran karena selalu
diombang-ambingkan oleh alam pikiran.
Alam Tunya dan Turyanta pada dijangkau oleh pikiran karena kehalusannya, tetapi dapa
ditentukan melalui Tri Pramana. Alam turyanta hanya dapat dibayangkan dengan agama
pramana. demikian :
Sapta bhuwana adalah tujuh lapis alam dari buhloka keatas, dalam tubuh manusia
rinciannya
Sapta bhuwana ngaranya. Bhurloka wefeng, bhuwah loka hati, swarloka dada, tapaloka
gulu, jana loka ilat, mahaloka irung, satya loka mata, nahan sinangguh sapta bhuwana
ngaranya.
(Tattwa Jnana 49)
Artinya:
Sapta bhuwana ialah : bhurloka adalah perut, bhuwarloka adalah hati, swarloka adalah
dada, tapaloka adalah kepala, janarloka ialah lidah, maharloka adalah hidung dan satya
loka adalah mata. Itulah yang disebut Sapta bhuwana
Sapta patala adalah tujuh lapis alam mulai dari patala kebawah, dalam tubuh manusia
rinciannya
demikian :
Sapta patala ngaranya, patala silit, witalapupu, nitala tud, mahatala wtis, sutak
paglangan
ing suku, tala-tala wahakang ing talampakan, rasa tala lepa-lepanya I sor, nahan tang
sinangguh sapta patela ngaranya.
(Tattwa Jnana 50)
Artinya:
Sapta patala ialah: patala adalah dubur, witala adalah paha, nitala adalah lutut,
mahatala
adalah betis, sutala adalah pergelangan kaki, tala-tala adalah telapak kaki, rasa tala
adalah telapaknya yang dibawah. Demikianlah yang disebut sapta patala.

Nihan tang sinagguh andabhuwana ngáranya ring sartra, ikang janma mangke
mandeltang sapta parwata, gumilak lumimbak tang saptarnawa, lemeng sumneng tang
saptadwipa, miri tang dasawayu ring nadi.
(Taltwa Jnana 51)
Artinya:
Demikianlah yang disebut andabhuwana dalam badan yang tetap diam itulah
saptaparwata; yang kocak bergerak mengalir itulah sapta arnawa; yang samar-samar
berselang-seling itulah saptadwipa; yang menghembus itulah dasa wayu dalam
pembuluh
tubuh.
Saptaparwata ngaranya, wungsilan gunung malyawan, palit-alitan gunung nisadha, limpa
gunung gandhamadana, paru-paru gunung malayamahidhara, ampru gunung trisrengga,
hati gunung windhya, pusuh-pusuh gunung mahameru, nahan sinangguh saptaparwata
ngaranya.
(Tattwa Jnana 52)

Artinya:
Saptaparwata ialah: buah pelir adalah Gunung Malyawan, pelir adalah Gunung Nisada,
limpa adalah Gunung Gandhamadana, paru-paru adalah Gunung Malayamahidhara, empedu
adalah Gunung Trisrengga, hati adalah Gunung Windhya, jantung adalah Gunung
Mahameru. Itulah yang disebut saptaparwata.

Saptarnawa ngaranya, mutra tasik tok, rah tasik kilang, aringet tasikasin, gajih tasik minyak, idu
tasik madhu, sumsum tasik susu, utek tasik pehan, nahan sinangguh saptarnawa ngaranya.
(Tattwa Jnana 53)

Artinya :
Sapta arnawa ialah ; air kemih adalah lautan tuak, darah adalah lautan gula tebu,
keringat adalah lautan garam, lemak adalah lautan minyak, air liur adalah lautan madu,
sumsum adalah lautan susu, otak adalah lautan santan. Itulah yang disebut sapta
arnawa.

Saptadwipa ngaranya, tahulan jambudwipa, hotok kusadwipa, daging sankadwipa, kulit


salmalidwipa, gulu gomedhadwipa, kukus puskaridwipa, untu kroncadwipa..
(Tattwa Jnana 54)
Artinya : Saptadwipa adalah tulang adalah pulau jambu, otot adalah pulau Kusa, daging adalah
pulau Sanka, kulit adalah pulau Salmali, bulu adalah pulau Gomedha, sendawa adalah pulau
Puskara dan gigi adalah pulau Kronca.
Nadi ngaranya, lyangning holot, bungkahnya, isorning nadi, minduhur ta ya tkeng puser, hana
ta pangumalang kwehnya sewu pitung puluh ro, hana ta ya nadi wisesa kwehnya sapuluh,
lwirnya : ida, pingala, susumna, gandhari, hasti, jihwa, pusa, alambhusa, kuhuh, sankhini.
(Tattwa Jnana 55)

Artinya :
Nadi adalah lubangnya otot, dasarnya adalah di bawah pusar, naik sampai ke puser. Diantara
dua tempat itu terdapat 1072 nadi. Nadi yang utama banyaknya 10 yaitu : ida, pingala,
susumna, gandhari, asti, jihwa, pusa, alambusa, kuhuh, sangkhini.

Ida ngarnaya, ikang nadi tengen, awaning skul wruh sma lunglangan tkeng let. Pingala
ngaranya ikang nadi kiwa, awaning wey wruh sma lunglangan tkeng huyuh-uyuhan.
Susumna ngaranya ikang nadi tengah, lawaning wayu amatlu, Gandhari ngaranya
pasimpanganing nadi, lawaning wayu maring tutuk, maring mata, maring irung, maring
talinga, mari wunwunan, hasti ngaranya, pasimpanganing nadi, lawaning wayu tkeng
pusuh-pusuh, pusa ngaranya pasimpanganing nadi, lawaning wayu tkeng paru-paru,
alambusa ngaranya pasimanganing nadi, lawaning wayu tkeng hati, lawan-ampru, kuhuh
ngaranya pasimpanganing nadi, lawaning wayu tkeng limpa, sankhini ngaranya
pasimpanganing nadi, lawaning wayu tkeng wungsilan rnwang tkeng palit-alitan, nahan
tang sinangguh dasanadi ngaranya.
(Tattwa Jnana 56)
Artinya :
Ida adalah nadi di sebelah kanan, tempat makanan lewat terus masuk meresap sampai ke sekat
rongga badan (?). Pingala ialah nadi di sebelah kiri, tempat air lewat terus masuk meresap ke
dalam kandung kemih. Sumsumna adalah nadi di tengah, tempat angin lewat melaju sampai ke
kepala, ke mata, ke hidung, ke telinga ke ubun-ubun. Asti adalah cabang nadi, tempat angin
lewat menuju semua persendian, terus masuk meresap sampai ke kulit, bulu badan. Jihwa
adalah cabang nadi, tempat angin lewat sampai ke jantung. Pusa adalah cabang nadi tempat
angin lewat menuju sampai ke paru-paru. Alambhusa ialah cabang nadi tempat angin lewat
menuju sampai ke limpa. Sangkhini ialah cabang nadi, tempat angin lewat menuju sampai ke
buah pelir dan batang pelir. Itulah yang disebut 10 nadi.

Kunang araning wayu wuwusen, lwirnya : prana, apana, samana, udana, wyana. Wayu si
prana hanang pusuh-pusuhi dada linganya, umadi manglakwan wayu kabeh, pinaka
jiwa, pinakoswasa pakenanya. Apana ngaranya, ikang wayu haneng huyuh-huyuhan,
umawasari pinangan-inginum matemahan kamaratih, ampasnya dadi tahi uyung, sari
ning inambung, matmahan rehakumbel. Udana ngaranya, ikang wayu haneng wuwunan,
angulahaken mata, lawan tutuk paknanya. Wyana ngaranya, ikang wayu haneng
sarwasandhi, angulahaken sarira mwang humawas täha pati paknanya. Samana
ngaranya, ikang wayu haneng hati, umawasarining pinangan inginum, matemahan rah
daging ampru, ika sinangguh panca wayu ngaranya. Sapuluhnya nihan, Iwirnya naga,
kurma, krkara, dewadafta, dananjaya, wayu si naga, magawe wateb, ikang wayu si
kurma, magawe kter, kluting sarira, ikang wayu si dewadatta, magawe ngob paknanya,
ikang wayu si krkara, magwe wahin paknanya, ikang wayu, si dhananjaya pinaka sabda
paknanya. Nihan sinangguh dasawayu, kintu sawelas kweh nikang wayu, gawenya juga
sapuluh, yeka nimittanya sinangguh dasawayu.
(Jnana Tattwa 57)

Artinya :
Mari kita ceriterakan yang disebut wayu yaitu: prana, apaña, samana, udana dan wyana. Wayu
yang bernama prana berada di dalam jantung hingga di dada batasnya yang menjadi sumber
gerak semua wayu, sebagai jiwanya. Gunanya ialah sebagai nafas. Apana ialah wayu yang ada
dalam kandung kemih, mengedarkan sari-sari makanan yang dimakan dan diminum, yang
menjadi sperma dan ova. Ampasnya menjadi berak dan air kencing. Sari-sari yang dibaui
menjadi dahak dan ingus. Udana ialah wayu yang berada di ubun-ubun, menggerakkan mata
dan mulut tujuannya. Wyana ialah wayu yang berada pada semua persendian, menggerakkan
badan dan mengamati umur tua dan kematian. Samana ialah wayu yang berada dalam hati,
mengedarkan apa-apa yang dimakan dan yang diminum, menjadi darah, daging, empedu. Itulah
yang disebut pancawayu. Berjumlah sampai sepuluh adalah demikian naga, kurma, krkara,
dewadatta menyebabkan menguap. Wayu krkara menyebabkan orang bersin. Wayu
dhananjaya sebagai suara tujuannya Itulah yang disebut dasawayu, tetapi sebelas banyaknya
wayu itu, kerjanya saja sepuluh Itulah sebabnya disebul Jasawayu.

Tubuh manusia dibangun oleh intisari zat makanan yang disebut sadrasa, yang pada dasarnya
bersumber pada Panca maha bhuta. Tubuh ini disebut alam kecil atau bhuwana alit, yang
sebenarnya merupakan tiruan dari bhuwana agung, alam besar. Oleh karena itu sapta
bhuwana, sapta patalam sapta parwala, sapta arnawa, sapta dwipa dalam bhuwana agung ada
pula pada bagian-bagian tubuh manusia. Sungai-sungai di bhuwana agung diwujudkan dengan
nadi clalam tubuh yang jumlahnya sangat banyak. Dalam tubuh juga terdapat wayu yang
merupakan tenaga penggerak tubuh, kesemuanya ini dihidupkan oleh atma.
Tubuh ini didiami oleh atma, juga dewa-dewa menempati bagian-bagian tubuh manusia
seperti : Brahma menempati hati, Wisnu menempati empedu, Iswara menempati jantung dan
lain sebagainya. Panca resi, dewaresi, saptaresi, para dewata, gandharwa, pisoca turut pula
menempati tubuh manusia. Kesemuanya itu turut memberi warna pada sifat-sifat manusia.

Tlas mangkana, humandel sangatma lawolawo, Iwirnya, atma, paratma, antaratma, suksmatma,
niratma. Atma ikang hidep munggwing hali, pinaka pangangen-angen paknanya. Paratma Ikang
hidep munggwing mata, pinaka pakon pakananya. Antaraatma ikang hidep munggwing
wunwunan, pinaka pantara ning tanhi lawan turu paknanya. Suksmatma ikang hidep
munggwing talinga, pinaka pangrengo paknanya. Niratma ikang hidep munggwing kulit, pinaka
pangidep panas tis paknanya. Nahan yang sinangguh pancatma ngaranya, hidep katunggalanya,
tumambeh tang daşendriya Iwirnya, srotendriya
hanang karma, ya karana ning, atma pangrengo sabda hala hayu. Twangindriya haneng kulit, ya
karana ning alma manghidep panas tis, mangrasain sinandang hana sálembut. Cakswindriya
haneng mala, ya karana ning atma manon rupawarna. Jihwendriya haneng lidah, ya nimitta ning
atma mangrasa sadrasa. Ghranendriya hanengirung, ya karana ning atma mangambung
gandha, abo, lawan awangi. Wagindriya haneng tutuk, ya karana ning atma panabda, amastuni
hana lawan tan hana. Panindriya haneng tangan, ya karana ning atma manggamel. Padendriya
haneng suku, ye karana ning atma lumaku. Paywindriya haneng let, ya karana ning atma
mangentut, mangising. Upastendriya haneng bhaga purus, ya karana ning atma masukla-
swanita, nahan raketnikang dasendriya ring bhuwane sarira tumambeh tang buddhi manah
ahangkara, ikang buddhi, ya pinaka sadhana ning atma pangen-angen. Ikang manah yeka pinaka
sadhana atma pamikalap, mangrupaka. Ikang ahangkara, ya pinaka sadhana ning atma pangaku
drebhya, mwang pinaka sadhana ning atma palekasaken kriya phalu hala hayu. Ikang buddhi
manah ahangkara lawan dasendriya, ya sinangguh trayodasa karana ngaranya, tumambeh tang
triguna, sattwa, rajah, tamah.
(Tattwa Jnana 58)

Artinya :
Setelah itu sanghyang atma dengan gembira yaitu atrna, paratma, antaratma, suksmatma dan
niratma. Atma ialah idep (pikiran) yang berada dalam hati. Gunanya untuk berfikir. Paratma
ialah pikiran yang berada pada atma. Gunanya untuk melihat. Antaratma ialah pikiran yang
berada di ubun-ubun, gunanya sebagai antara di antara jaga dan tidur. Suksmatma 'ialah
pikiran yang berada pada telinga. Gunanya untuk mendengar. Niratma ialah pikiran yang
berada pada kulit Gunanya untuk merasakan rasa panas dan dingin. Demikianlah yang disebut
pancatma namanya. Kesatuannya ialah dalam pikiran. Dasendriya menambahkan lagi yaitu
srotendriya pada telinga, yang menyebabkan atma mendengar kata-kata yang baik dan buruk.
Twagindriya pada kulit, yang menyebabkan atma merasakan panas dan dingin, merasakan apa
yang di pakai apakah lembut. Cakswindriya pada mata, yang menyebabkan atma melihat rupa
dan warna. Jihwendriya pada lidah yang menyebabkan atma mengecap sadrasa (enam rasa).
Ghranendriya pada hidung, yang menyebabkan atma dapat membau, bau busuk dan bau
wangi. Wagindriya pada mulut yang menyebabkan atma dapat memastikan yang ada atau tidak
ada. Panindriya pada tangan, yang menyebabkan atma dapat memegang. Padendriya pada kaki
yang menyebabkan atma dapat berjalan. Paywindriya pada dubur, yang menyebabkan atma
dapat kentut dan buang air besar. Upasthendriya pada alat kelamin perempuan dan laki yang
menyebabkan atma dapat melakukan persetubuhan. Demikianlah lekatnya dasendriya dalam
badan jasmani, ditambah buddhi, manah dan ahangkara. Buddhi adalah sarana atma berpikir.
Manah adalah sarana atma membayang-bayangkan, membayangkan wujudnya. Ahangkara
adalah sarana atma mengaku bermilik dan sebagainya sarana atma mempersiapkan tindakan
yang baik dan buruk. Buddhi, manah ahangkara dan dasendriya disebut trayodasakarana (tiga
belas penyebab) di tambah tiiguna yaitu sattwa, rajah dan tamah.

Sanghyang tri purusa, purwaning umandel, brahma ring hati, wisnu ring ampru, iswara ring
pusuh-pusuh. Andel ning pancarsi nihan, sang kursika ring kulit puhun wulu, sang garga hana
ring rah daging, sang metri ring wuduk, ring hotot, sang kurusya ring tahulan, ring sumsum,
sang pretanjala ring tumpuk ning sarira. Andel ning dewarsi nihan, sanghyang maheswara ring
wungsilan, sanghyang rudra ring daleman, sanghyang sankara ring limpa, sanghyang sambhu
ring unduh-unduhan, sanghyang sadasiwa ringuyuh-uyuhan, sanghyang paramasiwa ring dada.
Andel ning saptarsi nihan, aditya ring mata tengen, soma ring mata kiwa, anggara ring talinga
tengen, budha ring talinga kiwa, wrehaspati ring irung tengen, sukra ring irung kiwa, saniscara
ring tutuk. Andel ning dewata nihan, hyang indra ring dada, hyang yama ring tangan tengen,
hyang waruna ring walakang, hyang kuberaring tangan kiwa, hyang wesrawana ring madhya.
Andelning widyadhara, gandharwa nihan, citrasena pinaka kawanin, citranggada pinaka
kasuran, citrasa pinaka kadhiran, gandharwa pinaka santa, pinaka trpti, pinaka ramya, pinaka
harsa, pinaka wijah, pinaka kalangon, nahan andelning sattwa. Andelning rajah nihan, dhanawa
pinaka krora, pinaka capala, pinaka sahasa, nahan andelning rajah. Andelning tamah nihan,
bhuta yaksa pinaka lawa, pinakanglih, pinaka wlakeng. Bhuta dengen pinakanghela, pinakalesu,
pinakalara, Bhutakala pinaka wareng, pinakamtah, pinaka were, Bhutapisaca pinaka luhya
pinaka Imeh, pinaka kalusa, pinakarip, pinaka turu, pinaka punggung, nahan andelning tamah.
Andelning pada nihan, ikang jagrapada, yeka nimittaning atma matangi matutura mangke ring
manusa. Ikang suptapada, yeka nimittaning atma maturu. Ikang swapnapada, yeka nimittaning
alma angipi, mangampelu mangke ring manusa, nahan andelningpada.

Artinya :
Sanghyang tripurusa, yang mula-mula bertempat tinggal yaitu Brahma pada hati, Wisnu pada
empedu, Iswara pada jantung. Tempat pancarsi demikian : Sang Kusika pada kulit, bulu badan;
Sang Garga pada darah dan daging; Sang maitri pada lemak, pada otot Sang Kurusya pada
tulang, pada sumsum; Sang Pretanjala pada otot daging (?); Tempat dewarsi demikian
Sanghyang Maheswara pada buah pelir; Sanghyang Rudra pada jeroan; Sanghyang sarikara
pada limpa; Sanghyang Sambhu pada bagian dari hati; Sanghyang Sadasiwa pada kandung
kemih; Sanghyang Paramasiwa pada dada. Tempat Saptarsi demikian : Aditya pada mala kanan;
Soma pada mata kiri; Anggara pada telinga kanan; Budha pada telinga kiri; Wrhaspati pada
hidung kanan; Sukra pada hidung kiri, Saniscara pada mulut. Tempat dewala demikian Hyang
Indra pada dada; Hyang Yama pada tangan kanan; Hyang Waruna pada punggung; Hyang
Kubera pada tangan kiri; Hyang Waisrawana pada pinggang; Tempat widyadhara : gandharwa
demikian : Citrasena sebagai keteguhan hati. Gandharwa adalah sebagai: ketenangan,
kepuasan, keindahan, kerelaan, kegirangan, kelangenan. Itulah tempatnya sattwa. Tempat
rajah demikian : danawa sebagai kekerasan, kecepatan, panas yang keras; daitya sebagai
kemarahan, kebencian, kesedihan. Raksasa sebagai kebingungan, penipuan, iri, kelancangan,
kekuasaan. Itulah tempatnya rajah. Tempat tamah demikian : Bhutayaksa sebagai lapar,
kelelahan dan haus. Bhutadengen sebagai keletihan, kelesuan, sakit. Bhuta sebagai kenyang,
amat kenyang, mabuk. Bhutapisaca sebagai lemah, enggan, kotor, kantuk, tidur, bodoh. Itulah
tempat tamah. Tempat "pada" demikian : Jagrapada, menyebabkan atma bangun
dan tidur pada diri manusia. Suptapada menyebabkan atma tidur. Swapnapada menyebabkan
atma dapat mimpi, mengigau pada diri manusia. Demikianlah tempat pada.

Pradhana tattwa adalah badan atma pada tubuh manusia yang disebut ambek, sedang tubuh
itu sendiri disebut angga. Bersatunya angga dengan ambek disebut angga pradhana. Ambeklah
yang menimbulkan suka-duka balk dan buruk, yang berpengaruh atau berakibat pada
terjadinya kelepasan atau moksa dan kelahiran kembali.
Demikianlah uraian lontar Tattwa Jnana tentang alam semesta. prosesnya mulai dari yang
paling merupakan bagian dari alam semesta itu.. sampai terciptanya yang paling kasar seperti
benda-benda alam semesta, termasuk manusia yang

6.4. Ajaran Kelepasan

Dalam lontar Tattwa Jnana dinyatakan bahwa pikiran (ambek) adalah wujud sanghyang alma
dalam diri manusia (yeka pinaka wak sang hyang atma, ambek ngaranya, mangke ring manusa).
Dari pikiran (ambek) jugalah timbulnya baik dan buruk suka dan duka yang dirasakan oleh
manusia. Dari pikiran juga timbulnya rasa menikmati obyek kenikmatan melalui dasendriya,
yang dapat berakibat pikiran meresap ke dalam obyek kenikmatan. Oleh karena itu dasendriya
harus ditarik kembali ke dalam pikiran, Ambek dikembalikan kedalam pramana, pramana ke
dalam dharma wisesa, dharma wisesa kedalam anta wisesa, anta wisesa ke dalam ananta
wisesa. Mengembalikan ke dalam anta wisesa caranya dengan melaksanakan prayoga sandhi,
yaitu asana, pranayama, pratyahara, dharana, tarka dan samadhi. Prayoga sandhi tidak dapat
dilaksanakan tanpa tuntunan samyagjnana (pengetahuan yang benar). samyagjnana tidak akan
diperoleh tanpa bhumi brata (brata dunia). Tapa brata dan samadhi. Jadi dengan bhumi brata,
tapa, yoga dan samadhi sebagai periuntun samyagjnana, dengan perantaraan prayoga sandhi
maka dia yang demikian itulah yang dapat mewujudkan keutamaan ketuhanan.

Kunang pradhanatattwa, yeka pinakawak sanghyang atma, ambek ngaranya, mangke ring
manusa, ikangambek, yeka pinakambek sanghyangalma, mangke ring nianusa, pinaka atma
hana ring sarira samangke, anga pwa ngaraning sarira, ambek pwa ngaraning pradhanatattwa,
ikangambek lawan sarira, yeka sinangguh anga pradhana, ngaranya mangke ring manusa, ya
karana ning ambek pasamoha ning halahayu, metu sakeng ambek jugang-ahala-hayu, sukha-
dukha bhinukti dening manusa, mijil sangkeng ambek juga yan pamisaya, maka sadhana
dasendriya, maka dwara ikang dasa marga, mahastaya ringandabhuwana, mamisaya, menget,
pwa ya sang nipunatattwa, mangkana kramanya, ya ta matangnyan ikang dasendriya wateken
sawisayanya, ulihakna maringambek, ikangambek, waluyakna pramana, sanghyang pramana.
muwaha dharma wisesa, muwaha antawisesa, antawisesa, waluyakna antawisesa upama
dening umaluyakna sira ring antawisesa, ya donikang prayogasandhi, kinawruhan de sang
yogiswara, ikang tang prayogasandhi, tan wenang ya tan pakasuluh sanghyang jnana, para ta
dening kumawruhakna prayogasandhi, ya tan paka nimitta samyagjnana, ya yatah- tan
panakakna juga kawisesan bhalara, ikang samyagjnana, tan panangeka ya tan pakabhumibrata,
tapa, yoga, samadhi, sangksepanya, makabhumi brata, tapa, yoga, samadhi, maka suluh
samyagjnana, maka sadhana prayogasandhi, sira juga sang wenang tumkani kawisesan bhatara.
(Tattwa Jnana 60)

Artinya :
Ada pun pradhanatattwa merupakan badan sanghyang atma atau, dalam diri manusia, ambek
(pikiran) namanya. Ambek itulah dijadikan wujud sanghyang atma pada diri manusia, sebagai
atma yang berada dalam badan. Anga namanya badan itu, ambek namanya pradhanatattwa itu.
Ambek dan badan itu disebut angapradhana pada diri manusia, yang menyebabkan ambek
menyatu dengan apa yang disebut baik dan buruk. Dari ambek jugalah timbulnya baik dan
buruk itu, suka dan duka yang dirasakan oleh manusia. Dari ambek juga timbulnya rasa
menikmati obyek kenikmatan melalui dasendriya, berpintukan dasamarga. Ambek pun meresap
ke dalam dunia kenikmatan. Maka sadarlah sang nipunatattwa (orang yang mengetahui
hakekat) akan hal itu. Itulah sebabnya maka dasendriya hendaknya ditarik dari obyek keinginan,
kembalikan ke dalam ambek. dikembalikan ke dalam pramana, pramana kembalikan ke dalam
dharmawisesa, dharmawisesa ke dalam anta wisesa, anta wisesa kembalikan ke dalam
anantawisesa. Bagaimanakah cara mengembalikannya ke dalam anantawisesa? Hal itu adalah
merupakan tujuan prayogasandhi yang diketahui oleh sangyogiswara. Prayogasandhi itu
tidak dapat dilaksanakan tanpa tuntunan samyagjnana (pengetahuan yang benar). Bagaimana
caranya mengetahui prayogasandhi itu ? Tanpa dengan samyagjnana, maka kawisesanya
(keutamaannya) tidak akan ada. Samyaginana itu tidak akan diperoleh tanpa bhumi brata (brata
dunia), tapa, yoga, dan samadhi. Kesimpulannya dengan bhumibrata, tapa, yoga dan samadhi
sebagai penuntun (suluh) samyagjnana, dengan perantaraan prayogasandhi maka dia yang
demikian itulah yang dapat mewujudkan keutamaan ketuhanan.
Kelepasan dapat dicapai dengan jalan melaksanakan samadhi. Untuk sampai pada
samadhi harus dilaksanakan prayoga sandhi, yaitu usaha dengan melaksanakan asana,
pranayama, pratyahara dharana, dhyana, tarka, dan samadhi:

Nihan kang prayogasandhi, kengetakna prayogasandhi ngaranya, upaya Iwirnya, asana,


pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, tarka, samadhi, makapusapus-ika kabeh. sandhi
ngaranya, ikang celana juga wehen prakasa mangekalwa, tan parowa ngadeg hemeng tan
padem, mawaking caturdhyana, caturdhyana ngaranya, Iwirnya, tisthan, bhojan, gacchan,
suptan; tisthan bhatara malungguh, bhojan, bhatara mangan gacchan, bhatara lumaku; suptan,
bhatara maturu, sangksepanya, bhatara juga katuturakna, sapolah bhawaning wang, apan ikang
tutur ngaranya, yeka pasariran bhatara mangke ring sakala. Muwah hana tasana ngaranya,
Iwirnya, padmasana, wajrasana, payangkasana, swastikasana, widyasana. dandasana. Nahan
ikang asana, nem prabhedanya tunggal- awaknya, ya la pilihana palungguhana, sang
mangabhyasa prayogasandhi, telas pwa sira malungguh, ya ta sıra umimpenaken sanghyang
urip, paten ringekacitta, tlas kempenan sanghyang urip, mapranayama ta sira, hana wayu
pamaseh ngaranya Iwirnya, recaka. puraka, kumbhaka, recaka ngaranya, wetwaknekang wayu
rumuhun sangkeng tutuk. hentikna, muwah lengen kuncinen, patguhen, saklaringangunci,
mwah isepen ikang wayu, yeka puraka ngaranya, kumbhaka ngaranya. ri tlasanya ngisep kang
wayu, pgengen, kuncinen patguhen, sahulihing-angunci, wijilakna ring netradwara, yapwan
tanabhyasa. wijilakna ring irung. mahalona kayeki numbek, ping pitu diwasaning angunci,
yananghel ta hararyana, tuhun ikang kunci haywa tumular, donikang pranayama, ginawayaken
ring tduhaning rajah, tamah, ri prakasaning sattwa, nguniweh haywa ning sarira towi, muwuh
hana ta kunci lyan sakerika, lan pametwaken wayu, sangksepanya, humneng juga, ndan wuwus
ika recaka, kumbhaka ika rumuhun, ya ta nyan gawayakna ikang kunci rahasya, sangksepanya,
ikang cetana juga wehen prakasa, andelakna ring kadalipuspa, yapwan- enak-andel nira ngkana,
karengo ikang hati saheneb, trus tekeng ring antahkarana, ndah yatika sinagguh mamyaken
pranasandhi la jati, ngaranya, yeka pujajati ngaranya,sembah hyang-alit, yapwan mangkana
fiksna deningasamadhi, wyakta hilang ikang wayu ganal, mati lina ri sangkanya, apan tan
cinetana dening atma, nahan marga kunci rahasya ngaranya.
(Tattwa Jnana 62)

Artinya :
Inilah prayogasandhi, hendaknya diingat. Prayogasandhi artinya usaha, yaitu: asana,
pranayama, pratyahara, dharana, dhyana, tarka, samadhi. Ikatan semua itu sandhi namanya.
Hendaknya cetana saja dibiarkan bersinar menyatu, tegak berdiri tanpa mendua, tenang tanpa
lehyap, berbadankan catur dliyana. Yang disebut catu: dhyana ialah tisthan, bhojan, gacchan
dan suptan.
Tisthan artinya bhatara duduk. Bhojan artinya bhatara makan. Gacchan artinya bhalara pergl.
Suptan artinya bhatara tidur. Kesimpulannya nendaknya bhataralah yang diingat dalam segala
gerak prilaku orang, sebab yang disebut ingat itu adalah perwujudan bhalara dalam diri yang
nyata ini. Dan ada asana namanya, yaitu padmasana, wajrasana, payangkasana, swastikasana,
widyasana, dandasana. Demikianlah asana itu, nam jenisnya, namun hakekatnya satu. Itulah
hendaknya dipilih oleh orang yang melatih prayogasandhi ketika ia hendak duduk. Setelah
duduk, ia menyimpan sanghyang urip, usahakanlah supaya menyatu. Setelah sanghyang urip
tersimpan, maka ia melakukan pranayama. Ada wayu (angin) pembasuh yaitu recaka, puraka
dan kumbaka. Recaka ialah keluarkan napas lebih dahulu dari mulut. Diamkan dan usahakan
kunci, tahan sekuat tenaga mengunci. Kemudian hiruplah nafas kembali, yang demikian puraka
namanya. Kumbhaka ialah setelah menghirup nafas, tahan, kunci kuat-kuat. Setelah dapat
menguncinya hembuskan keluar melalui netradwara (pintu mata). Bila belum terlatih,
keluarkanlah melalui hidung, pelan-pelan jangan tergesa-gesa. Laksanakan tujuh kali
menguncinya. Bila payah hentikanlah. Sungguh-sungguhlah menguncinya, menyatu. Tujuan
pranayama itu ialah menjadikan rajah dan tamas teduh ke dalam terangnya sattwa dan jangan
hanya pada jasmani saja. Dan ada lagi kunci lain dari itu, yaitu tidak menghembuskan nafas
keluar. Pendeknya diam saja..
Mari kita ceriterakan recaka, kumbhaka lebih dahulu, agar diusahakan kunci rahasya.
Pendeknya.cetana saja dibiarkan bercahaya terang, dudukkan pada kadalipuspa (bunga pisang).
Bila sudah ditempatkan di sana, akan terdengar hati-hati yang teduh, terus sampai ke
antahkarana. Itulah yang disebut memuja pranasandhilajati, yaitu pujajati sembah hyang
suksma. Bila sudah demikian maka melaksanakan samadhi itu sudah tajam, benar-benar
hilanglah wayu (nafas) yang kasar, mati lenyap ke asalnya, sebab atma itu tak dapat dipikirkan.
Demikianlah jalan kunci rahasia itu.

Adapun enam tahapan yoga yang harus dilaksanakan untuk sampai pada tahap samadhi adalah
prathyahara yoga, dhyana yoga, pranayama yoga, dharana yoga, tarka yoga dan samadhi yoga.
Tiap-tiap- tahap harus dilatih dengan tekun, untuk melanjutkan pada tahap berikutnya hingga
tahap yang terakhir yaitu samadhi.

1. Prathyahara yoga
Muwah hana ta pratyaharayoga ngaranya, ikang indriya kabeh wateken sakeng wisayanya,
kinempeling citta buddhi manah, tan winch maparan-paran kinempeling cittalila, yeka
pratyaharayoga ngaranya.
(Tattwa Jnana 63)
Artinya :
Dan ada pratyaharayoga namanya. Semua indriya tarik dari obyek kenikmatannya, kumpulkan
dalam cita, buddhi dan manah. Janganlah biarkan ia pergi ke sana ke mari, pusatkan ia pada
pikiran yang tak terganggu apapun. Yang demikian itulah prathyaharayoga namanya.

2. Dhyana yoga
Ikang jnana tanpa parwa, tanpa wikara, enak ikang hnang-hningnya, umideng tan kaparanan,
yeka dhyana yoga ngaranya.
(Tattwa Jnana 63)
Artinya :
Batin yang tidak mendua, tidak berubah ubah, jernih, dengan enaknya, dengan teguh tanpa
ditutup apa-apa, yang demikian itulah dhyana yoga namanya.

3. Pranayama yoga
Tutup ikang, dwara kabeh, irung, tutuk, talinga, wayu rumuhun isepen, we'ren ikang;
wuwuwnan, kunang tanpabhyasa ikang wayu winehadalan ngkana, dadi adalanengirung, halon
wtuning wayu, yeka pranayama yoga ngaranya.
(Tattwa Jnana 63)

Artinya :
Tutuplah semua pintu yaitu hidung, mulut, telinga. Tariklah terlebih dahulu nafas, keluarkan
melalui ubun-ubun. bila belum biasa nafas dibiarkan berlalu disitu, boleh melalui hidung.
Keluarkan nafas itu pelan-pelan. Yang demikian pranayama namanya.

4. Dharana yoga
Hana ongkara sabda mungguh ring hati, yateka dharanan, ya panghilang ikang karengo, ri kala
ning yoga, yateka sunya ngaranya, siwatmawak bhatara siea yan mangkana. Yalika dharana
yoga ngaranya.
Artinya :
Ada Om kara sabda bertempat dalam hati, hendaklah itu dipegang kuat-kuat. Itulah yang
menghilangkan apa yang di dengar pada waktu Siwa berwujud Siwatma. Yang demikian itulah
dharana yoga namanya.

5. Tarka yoga
Ada kasa rakwa sanghyang paramartha, ndan pahenanira sakengakasa, tan hana sabda ri sira,
ya ta kalinganing paramartha. palenanira sakengawang awang, padha nirekang- alilang. yeka
tarkayoga ngaranya.
(Tallwa Jnana 63)
Artinya :
Sanghyang Paramartha (hakekat yang tertinggi) adalah konon angkasa, bedanya dengan
angkasa ialah tidak ada suara padanya. Demikianlah hakekal' paramartha itu, bedanya
dengan awang-awang. Persamaannya ialah sama-sama jernih. Yang demikian itulah tarkayoga
namanya.
6. Samadhi yoga
Ikang jnana tan pangupeksa, tan pangalupa, tanana kaharep nira, lanana sinadhya nira
mahilang, tan kahilangan, tan kaparanan, tanpawastu ikang cetana, apan mari humidep ikang
sarira, luput sakeng catur kalpana, yeka samadhi yoga aga.
(Tattwa Jnana 63)
Artinya :
Batin yang tidak lalai, tidak lupa, tidak mengharap apa-apa, tidak ada sesuatu yang ingin
dicapai, jernih tanpa ada yang hilang, tidak ditutupi apa-apa, sehingga kesadaran itu tidak itulah
yang dinamakan samadhi yoga. ada kesulitan, karena tidak lagi memikirkan badan jasmaninya,
bebas dari catur kalpana

Itulah ajaran tentang enam tahap yoga sebagai cara atau jalan untuk mencapai kelepasan. Sikap
dan perilaku hidup susila yang diajarkan oleh agama sangal mendukung tercapainya kelepasan
sebagai tujuan hidup.
7. AJARAN SIWA TATTWA DALAM LONTAR GANAPATI
TATTWA
7.1. Bentuk Dan Susunan Lontar Ganapati Tattwa
Lontar Ganapati tattwa mempergunakan bahasa Jawa Kuna yang pada beberapa bagian
diselingi bahasa Sansekerta. Bentuk yang dipakai adalah sastra bebas (gancaran) berisi tentang
percakapan antara Bhatara Siwa dengan Bhatara Gana. Bhatara Siwa sebagai Mahaguru,
menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Bhatara Gana yang ingin mendapat pengetahuan
tentang kebenaran terutama yang menyangkut sumber ciptaan yang ada serta proses
kembalinya kepada asalnya.
Secara keseluruhan isi lontar Ganapati tattwa terbagi atas 9 bagian sebagai berikut
1. Petunjuk Bhatara Siwa dan Dewi Uma kepada Bhatara Ganapati.
2. Sang Hyang Slwatma menciptakan alam semesta.
3. Hubungan gaib/rahasya dari Sang Hyang Siwatma.
4. Sadangga yoga, jalan untuk mencapai kelepasan.
5. Catur Dasak sara.
6. Lahirnya Tri Aksara, Dasak sara, dan Catur dasak sara.
7. Pengetahuan tentang Sang Hyang Bheda Jnana.
8. Proses kembalinya Sang Roh ke Dasangulasthana.
9. Panglukatan Sang Ganapati, sarana upakara beserta mantranya.

7.2. Ajaran Ketuhanan


Pada mulanya dilukiskan bahwa dunia ini kosong tidak ada apa-apa, tidak ada bumi, tidak ada
langit, tidak ada ilmu pengetahuan dan sebagainya. Yang ada hanyalah Tuhan Yang Maha Esa
dalam keadaan nirguna, Sukha Acintya, yaitu maha bahagia yang tidak terpikirkan.
Kemudian terjadilah evolusi dari Sang Hyang Sukha; Acintya, muncullah Sang Hyang
Jnana Wisesa yaitu pengetahuan yang mulia. la berbadankan alam semesta, tetapi tidak
ternoda, tidak terpengaruh oleh apapun, tak terjangkau karena ia berkeadaan Wisesa, Maha
Kuasa. Ia disebut juga Sang Hyang Jagat Karana, karena memiliki ilmu pengetahuan dan sebagai
penyebab dunia atau alam semesta dengan segala isinya. Disinilah la menampilkan diri dalam
aspek sadguna.
Nihan Sang Hyang Paramopadesa, kala ning tan hana bhuana, tan hanawang-awang
uwung-uwung, tan ana sunyanirwana, tan ana jnana. tan ana ng wisesa, tan ana ika
kabeh, kang wanten samana pangeran, awak nirwana, tan sukha dening sunya, tan awak
sunya, tan sukha dening nirwana tan awak nirwana, tan sukha dening jnana, tan awak
jnana, tan sukha dening wisesa, tan awak wisesa, kewala paramasukha tawak nira, tan
pantara, tan madhya, tan parupa, tan pawarna, tan pasana, tan !engit tan kena
winuwus, tan sukha dening sabda, tan pawak sabda, tan sukha dening hidep, tan awak
hidep, kewala sukha acintya sarira, sakeng sukha acintya mijil Sang Hyang Jnanawisesa,
tan keneng sara-hana, apan mawak jnana tan kawisesan, apan mawak wisesa, tan
keneng sunya, apan mawak nirwana, tan keneng nirwana, apan mawak nirwana, tan
keneng sarasa ning bhuana, apan mawak bhuana, tan keneng sarwasuksma, apan
mawak suksma. Mangkana Sang Hyang Jnanawisesa, inaranam Sang Hyang Jagatkarana.
(Ganapati Tallwa 51, 53. 6)

Artinya :
Inilah pengetahuan utama, tatkala ada bumi, langit tak ada Sunyanirvana (Sorga), tak
ada pengetahuan, tak ada kekuasaan apapun. Pokoknya semua itu tak ada. Yang ada
dahulu Pangeran, badan kesengan yang utama, ketiadasenangan oleh kekosongan,
tetapi tiada badan kosong, ketiadasenangan oleh sorga, tetapi tiada badan Sorga,
ketiadasenangan oleh pengetahuan tetapi tiada badan pengetahuan,
ketiadasenangan.oleh kekuasaan sesuatu, tetapi tiada badan kekuasaan. Yang ada
hanyalah kesenangan utama pada diri-Nya sendiri, tiada berantara, tiada pertengahan,
tiada berbentuk, tiada jenis, liada bertempat, keadaannya susah untuk dikatakan, (la)
tiada senang oleh suara, tiada badan suara, tiada senang oleh pikiran, (karena ia) tiada
badan pikiran. (la) adalah kesenangan yang berbadan tak terbayangkanı. Dari
kesenangan yang tak terbayangkan (sukha acintyà) muncullah ilmu pengetahuan utama,
tak terkena oleh segala yang hina karena pengetahuan itu tak terkuasakan, karena
pengetahuan itu berbadankan penguasa. la tak terkena oleh kosong karena la berbadan
kosong. la tak terkena Sorga karena ia berbadan Sorga. la tak terkena oleh sifat-sifat
dunia karena la adalah berbadankan dunia. la tak terkena oleh hal-hal yang gaib karena
sesungguhnya la berbadan galb. Demikianlah pengetahuan utama itu (Jnanawisesa)
yang disebut Sang Hyang Jagalkarana.

Kemudian timbul keinginan untuk menyaksikan keadaanNya sendiri dalam keadaan sakala-
niskala, itulah sebabnya beliau menciptakan diri yang berkeadaan nyata (paras) dan yang
berkeadaan tidak nyata (para) dan sunia sebagai bayangannya sendiri. Sang Hyang Jagat Karana
bersemayam dalam sunia. Dari sanalah Beliau mengadakan ciplaan-ciptaan Nya secara
berturut-turut seperti: pertama muncul nirwana (alam sorga), dari nirwana lahir Omkara
Suddha, dari Omkara suddha lahir suara Windu Prana Suci yang di dalamnya terdapat Nada
Prana Jnana Siddha.

Mangke Sang Hyang Jagatkarana, ayun lumona ri awak iraganal, amuktya ri sarira nira,
sakala-niskala, hetunyan akarya paras-para, paras nga sakala, para nga niskala ndya ta
lwirnyan, makarya sira sunya pinakasthana ning kelir nira, tan kawruhana dening
pakarya nira, ri huwus Sang Hyang Jagatkarana, makasthana ring sunya mijil tang karya
nira, ndya ta lwirnya, mijil karihin ikang nirwana, sakeng nirwana mijil Omkarasuddha,
sakeng Omkarasuddha amuter swara mijil biduprana suddhaspatika warna I jeronya
mesi nadaprana jnanasuddha, rupa kadi pupul ing aditya candra lintang, diptanya,
mangkana bindu prana nadaprana mijil saking Omkarasuddha.
(Ganapati Tattwa 51.53.7)
Artinya :
Sekarang sang Hyang Jagatkarana ingin memandang keadaan dirinya yang besar,
menguasakan dirinya atas sifat yang tak nyata dan yang nyata. Itulah sebabnya la
menciptakan paras para. Paras adalah wujud real, dan para adalah wujud abstrak. Apa
umpamanya ? la menciptakan Nya itu susah untuk diketahui. dunia Sunya (kosong)
sebagai tempat tirainya (dirinya) dimana ciptaan- Setelah Sang Hyang Jagatkarana
berstana pada alam Sunya, kemudian muncullah ciptaannya yang lain seperti pertama
muncul Nirwana (alam sorga). Dari Omkarasuddha yang menguasai suara lahir Bindu
Prana yang memiliki bentuk hablur suci. Di dalam Omkarasuddha Nada Prana
Jnanasuddna yang wujudnya bagaikan kumpulan nyala malahari; bulan dan bintang.
Demikianlah Bindu Prana dan Nada prana muncul dari Omkarasuddha.

Kemudian dari Windu lahir Panca Dewata atau Panca Dewatma yang terdiri dari : Brahma,
Wisnu, Rudra, Iswara dan Sang Hyang Sada Siwa. Para dewata inilah yang akan menjadi sumber
ciptaan selanjutnya.
Iswara Uwala anakka Sang Ganapati pireng wakena pawarah kami ri kita, ikang sabda
sunia sakeng Om kara mijil bindu, kade embun hana ri agra ning kusa, kasenwan Rawi,
mahening kadi dhupa diptan nira mabhia akara-kara sakeng bindu matandhan Panca
Daiwatma, Brahma, Wisnu, Rudra, Kami mwang Sang Hyang Sadasiwa, Mangkana
nakku, maka wijilan ing Daiwatma
(Ganapati Tattwa 1.2)

Artinya :
Iswara bersabda, Putraku Sang Ganapati, perhatikanlah wejangan Ku ini, yakni sabda spiritual
(gaib) dari Om kara muncul Windu bagaikan embun yang berada diujung rumput, disinari
matahari bening bagaikan ahupa, sinarnya terang cemerlang berkilauan. Dari Windu itu
muncullah Fanca Daiwatma yaitu: Brahma, Wisnu, Rudra, Kami (Daku) dan Sang Hyang
Sadasiwa. Demikian putraku keadaannya Daiwatma itu.

Dari kelima dewa tersebut. maka Brahma, Wisnu dan Siwalah yang dipandang sebagai badan
perwujudan Tuhan itu sendiri Sedangkan Tuhan Yang Maha Esa (Siwa) yang tidak terpikirkan
dan Acintya dilukiskan berada dalam balin atau hali yang suci yang disebut guhya laya.

Hrdaye suksma bhulam ca


Sivas tisthati nityalah.
Tato jneyah sivah smitah
(Ganapati Tattwa 22)

Mangkana suksmaning hati suksma, umungguh ta Bhatara Siwa, kinawruhan ta ya dening jnana
katuturan ira Bhatara Siwa lana.

Artinya :
Demikianlah kegaibannya hati yang mulia bertemulah Bhatara Siwa, dapatlah Beliau diketahui
oleh batin (kebijaksanaan) yang senantiasa sungguh meyakini adanya Bhatara Siwa.

Hrdyastham Sada sivam krdayante guhyalayam sunyali sunyam cintaye param kaivalyam ucyale,
Ring hrodaya kahanan Bhatara lana, ring wehasning hati yata sinangguh guhyalaya ngaranya,
alyanta suksmanya, sunya ring sunya, alit saking allt, ya Parama kaivalya nisreyasa, ngaran, tan
kahanan dening suka duhka.
(Ganapati Tattwa 2.3)

Artinya :
Tahta Sadasiwa di hall berada pada lubang hali berpikir yang langsung sesucl-sucinya. Itulah
yang disebut Parama kaivalya (maha mulia). keadaan Bhatara selalu di dalam hati di tengahnya
hali itulah yang disebut guhyalaya, amat sangat mullanya sesuci-suciny: sekecil-kecilnya Untuk
memuja Beliau yang sangat gaib adalah dengan mempergunakan catur dasak sara yaitu empat
belas aksara suci : Sang. Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, Mang
Om.

Catur dasaksarah puspair vikasitah sugandhi bhih, hradayapade nyastam hi yajami satatam
siwam

Ngkana ring antah hradaya kahanan Bhatara Siwa pujanta sira salata maka sarana Sang Hyang
Catur dasaksara, kayeki Iwimnya, sam, bam, tam, am, im, nam, mam, sim, wam, yam, am, uin,
main, Om, sira ta Sang Hyang Catur dasaksara, kaharan puspa sumekar, suyandha mawangi
nirantara, ya ta pamujanta nitya sada kala.
(Ganapati Tattwa 24)

Artinya :
Untuk Caturdasaksara yang bagaikan bunga dengan keharuman tanpa surutnya, beliau bertahta
di hati, yang senantiasa daku sembah seperti Siwa. Disana pada hulu hati keadaan Bhatara
Siwa, pujalah Beliau senantiasa dengan sarana Sang Hyang Caturdasaksara bersimbolik seperti
ini. Sang, Bang, Tang, Ang, Ing, Nang, Mang, Sing, Wang, Yang, Ang, Ung, Mang, Om. Itulah
Beliau Sang Hyang Caturdasaksara, diumpamakan sebagai bunga yang mekar, harum semerbak
tiada selingan, demikianlah pemujaanmu yang tekun setiap waktu.

Selanjutnya setelah terwujud badan manusia, Sang Hyang Jagat Karana menciptakan alma yang
lahir dari diri Nya dan kemudian tinggal dalam badan manusia.

7.3. Ajaran Tentang Alam Semesta

Dalam lontar Ganapati Tattwa tentang penciptaan alam semesta di bahas sejak awal dalam
keadaan alam semesta masih kosong tidak ada apa-apa. Diawali dengan munculnya Panca
Daiwat ma dari Bindu (Windu). Kemudian dari Panca Daiwatma inilah muncul unsur-unsur yang
paling halus yang disebut Panca Tan matra, yaitu :

1. dari Brahma lahir gandha tan matra


2. dari Wisnu lahir rasa tan matra
3. dari Rudra lahir rupa tan matra
4. dari Iswara lahir sparsa tan matra
5. dari Sadasiwa lahir sabda tan matra.

Kemudian kelima unsur Panca Tan matra ini masing-masing berpsoses, berkembang, ke dalam
wujud yang lebih konkrit, seperti :

1. Sabda tan matra menjadi akasa berwarna bersih dan bening.


2. Sparsa tan matra menjadi bayu yang berwarna putih.
3. Rupa tan matra menjadi teja berwarna putih, merah dan hitam.
4. Rasa tan maira menjadi apah, berwarna hitam.
5. Gandha tan matra menjadi pertiwi berwarna kuning.

Unsur-unsur ini masih terus berproses. Pada tahap perkembangan selanjutnya barulah sampai
pada tingkatan bentuk ang yata.seperti:

1. Dari pertiwi lahir tanah atau bumi.

2. Dari teja lahir matahari, bulan dan bintang.


3.Dari apah lahir air.
4. Dari bayu lahir angin.
5. Dari akasa lahir suara.

Sampai pada tahap ini terciptalah alam semesta. Setelah alam semesta tercipta barulah
kemudian kemudian timbul tumbuh-tumbuhan dan semua jenis binatang. Tumbuh-tumbuhan
berawal dari yang paling sederhana seperti tumbuhan bersel satu, meningkat pada jenis lumut-
lumutan, rumput-rumputan, perdu sampai pada jenis pohon-pohonan. Setelah tercipta
tumbuh-tumbuhan disusul dengan terciptanya binatang, juga mulai dari yang paling sederhana,
yang bertelur, hidup dalam air, sampai kemudian tercipta hewan-hewan biasa.

Iswara uwaca, anaku Sang Ganapati, mangke pireng wakena pawarah Kami,
umajarakena ri katattwan ing bhuana, saking Panca Daiwatma mijil Panca Tanmatra,
Iwirnya sakeng Brahma mijil gandha, sakeng Wisnu mijil rasa, sakeng Rudra mijil rupa,
sakeng Kami mijil Sparsa, sakeng Hyang Sadasiwa mijil sabda, mwah sakeng sabda mijil
akasa kayeki rupanyanira- `ya, warna kadi suddhasphatika. Sakeng sparsa mijil wayu,
kayeki rupa nira wi, sweta a warna, sakeng rupa mijil teja, kayeki rupa nira ni, warna
sweta, bang, ireng, sakeng rasa mijil apah, kayeki rupa nira omaye, krsna warna nira,
sakeng gandha mijil prthiwi, kayeki rupa nira Om, warna pita, nakaraksaranya,
sastraning hurip Omkara, mwah anaku Sang Ganapati, sakeng prthiwi mijil bhumi,
sakeng apah mijil wai, sakeng teja tang aditya, candra, lintang, sakeng wayu mijil tang
angin, sakeng akasa mijil swara. sakeng bhuwana mijil tang sthawara, trna, taru, lata,
gulma, twaksara. Mwang janggama, pasu, mina, aghnya, mangkana lwiraning bhuana.
(Ganapati Tattwa 1.4)
Artinya :
Iswara bersabda, "Puteraku Sang Ganapati, kini perhatikanlah penjelasanku
mengenai hakikat alam semesta. Dari Panca Daiwatma lahir Panca Tanmatra, yaitu: dari
Brahma lahir bau, dari Wisnu muncul unsur kenikmatan, dari Rudra timbul
mode/bentuk, dari Daku (Iswara) keluar unsur rabaan, dári Sang Hyang Sadasiwa
nada/suara. Lagi pula dari sabda timbul ethet, seperti YA ini rupanya, berwarna
bagaikan mutiara bening; dari sparsa muncul angin, begini rupanya WI, berwarna putih;
dari rupa keluar sinar, seperti NI ini modenya, berwarna putih- merah-hitam, dari rasa
lahir zat cair, berupa O-MA-YE; hitam warnanya; dari gandha timbul tanah, bermode
bagaikan OM, warna kuning, NA bentuk hurufnya, berkode spirituil Omkara. Puteraku
Sang Ganapati; dari perthiwi terwujudlah bumi, berkat apah muncul air; karena teja
tercipta matahari, bulan dan bintang: karena wahyu adalah angin; dari akasa lahirlah
bunyl/suara; berkat alam semesta lahirlah tumbuh-tumbuhan seperti: rumput pohon
kayu, tanaman melata, serba kulit, kelopak dan inti serta segala makhluk yaitu:
binatang/ternak, burung, ikan makhluk halus demikianlah keadaannya alam semesta itu.

Kemudian Panca Dewata berperan sebagai penjaga melindungi ctptaanNya yang sudah mengis
seluruh alam semesta dengan menempati berbagai penjuru alam.

1. Brahma bertempat di ufuk selatan menjaga bumi.


2. Wisnu bertempat di ufuk utara menjaga air.
3. Rudra menempati ufuk barat menjaga matahari, bulan dan bintang.
4. Iswara bertempat di ufuk timur menjaga udara.
5. Sadasiwa bertempat di tengah-tengah menjaga eiher (akasa).

Manusia dinyatakan sebagai bhuwana alit, juga merupakan bagian dari alam semesta. Sebagai
bagian dari alam semesta manusia berada di dalam bhuwana agung. Proses penciptaan
bhuwana alit tidak jauh berbeda dengan proses penciptaan bhuwana agurig, sama-sama
diciptakan oleh Panca Dewata:

1. Brahma dan Wisnu sama-sama menciptakan tubuh dengan sarana tanah dan air.
2. Rudra menciptakan mata dengan sarana teja.
3. Iswara menciptakan nafas dengan sarana bayu.
4. Sada siwa menciptakan suara dengan sarana akasa.

Selelah tubuh dengan kelengkapannya terbentuk barulah alma menjelmadalam kehidupan


manusia. Setelah itu Panca Dewata mulai menempati bagian-bagian tubuh menusia untuk
menjaganya- dan menumbuhkan kesadaran serta menjiwai bagian-bagian tubuh tersebut :
1. Brahma menempati muladara.
2. Wisnu n enempati nabhi (puser)
3. Rudra menempati hali.
4. Iswara menempati leher.
5. Sadasiwa menempati ujung lidah.

Iswara uwaca kaki anaku Sang Ganadhipa, mangke pirengwakena pawarah Kami ni kita,
ri kahanan ing daiwatma ring sarira, apan tunggal ikang janma kalawan bhuana,
yajanma, ya bhuana. Apa ta Iwirnyan, yapwan ing bhuana Brahmakayangan ing uttara.
rumaksa bhumi. Wisnu akayangan ing uttara, rumaksa jala. Rudrakayangan ing pascima,
rumaksa Surya, Candra. Lintang. Kami akayangan ing purwa, rumaksa wayu. Sang Hyang
Sadasiwa akayangan ing madhya rumaksakasa, mwah yapwan ing jadma, Brahma
mangasthana ring irung. mangulahaken gandha, Wisnu mangasthana ring nabhi,
mangraksa sarira, ababahan ring jihwa, mangulahaken rasa, Rudra mangasthana ring
hati, mangraksa jagra, ababahan ring tutuk, mangulahaken sabda, Sang Hyang Sadasiwa
mangasthana ring jihwagra, mangraksa sarwajnana, ababahan ring karna,
mangulahaken swara. Mangkana Iwirning
Daiwatma ring sarira mwah ring bhuanagung.
(Ganapati Tattwa 1.8)
Artinya :
Iswara bersabda, "Duhai puteraku Sang Ganapati, kini perhatikanlah penjelasanku
padamu, mengenal status/keadaannya Daiwatma pada tubuh jasmani; sebab adanya manusia
itu dengan alam semesta adalah tunggal, la manusia, diapun juga alam semesta: Seperti halnya
pada alam semesta, Brahma berstatus di selatan, memelihara tanah/bumi; Wisnu berstatus di
utara memelihara zat cair/air; Rudra berstatus di barat,mengendalikan matahari, bulan dan
bintang; Daku (Iswara) berstatus di timur mengatur udara/angin; Sang Hyang Sadasiwa
berstatus di tengah, memelihara ether/nawe, memelihara badan jasmani, berhubungan dengan
lidah, memerlukan unsur kepuasan (rasa); Rudra berstatus di hati, mengatur kesadaran/tekad,
berhubungan dengan pandangan mata, menentukan pikiran; Daku (Iswara) berstatus di
kerongkongan/throat, mengendalikan ketiduran berhubungan pada mulut, mengatur nada
suara, Sang Hyang Sadasiwa berstatus di ujung lidah menguasai segala pengetahuan,
berhubungan dengan telinga, meneliti keadaan suara. Demikian statusnya Daiwatma itu
masing-masing dalam tubuh jasmani dan alam semesta.

Setelah manusia tercipta dalam perkembangan selanjutnya manusia bergerak menjadi


sarana penciptaan manusia selanjutnya, sebagai alat melalui sanggama. Sedangkan benih
manusia disebut rupa suksma yang keadaannya abstrak dan gaib. Rupa suksma Ini menjadi
sukla yang mempunyai warna seperti manik putih kekuning-kuningan. Sedangkan swanita
keluar dari Pradhana Tattwa keduanya kemudian bercampur pada saat sanggama dan
selanjutnya berkembang dalam rahim wanita (ibu). Disanalah ia terbentuk dan berkembang
sehingga mencapai wujud yang sebenarnya. Dalam rahim terjadi perkembangan sehingga
kemudian lahir, keluar dari rahim dilukiskan sebagai berikut:

1. Pada saat baru berumur 1 bulan berwujud seperti buik.


2. Setelah berumur tiga bulan berwujud gumpalan darah.
3. Pada saat berumur 4 bulan menjadi Siwa lingga, berlubang dibagian tengahnya berisi Om
kara dan suksma rupa.
4. Pada waktu berumur lima bulan menjadi Mayareka.
5. Pada waktu umur enam bulan menjadi seperti api.
6. Ketika berumur tujuh bulan berubah menjadi seperti ulat dalam kepompong yang disebut
gading.
7. Pada saat berumur delapan bulan menjadi anak gading disertai dengan nafas yang keluar dari
Om kara, juga tulang, kuku dan rambut.
8. Waktu umur sepuluh bulan si jabang bayi lahir keluar dari rahim dan perut ibu.

Lwir ning krama patemahanya, saular matemahan wereh, matemahan kadi mepehan
kinele warnanya, tigang ulan tang mepehan Iwir hantiga tunggal, warna rakta
matemahan rah, petang ulan ikang anda mateinahan Siwalingga, gorowong maring
madhya kinahanan dening Omkara mwang suksmarupa, limang ulan tang Siwalingga
matemahan mayarekha, nem ulan tang mayarekha matemahan agni, pitung ulan tang
agni matemahan kadi anak gading, ulung ulan, tang anak gading mijil tang usawa sakeng
Omkara, pareng balung, kuku, rambut, genep pwa sapuluh ulan yoganya, tandwa mijil
sakeng garbha ning ibunya, mangkana kvirnya kaki Sang Ganapati.

Artinya :
Adapun proses pertumbuhannya, yakni sesudah sebulan menjadi cair (wereh), rupanya seperti
mpehan (lendir/gelah), yang bening warnanya: setelah tiga bulan lendir itu berbentuk seperti
telur butiran, berwarna merah menjadi darah : sesudah empat bulan telur itu menjadi
Siwalingga (simbolis Siwa) berlubang di tengah, berisikan Omkara dan Suksmarupa: waktu
enam bulan Mayarakha setelah lima bulan Siwalingga itu menjadi Mayarekha (unsur materi):
itu menjadi agni dalam (bertemperatur/panas: sesudah tujuh bulan agni itu berwujud seperti
anak gading: dalam delapan bulan pada anak gadling itu muncul Uswasa berasal dari Omkara,
beserta tulang kuku, rambut: setelah genap sepuluh bulan perpaduannya, seketika lahir dari
kandungan ibunya demikianlah halnya anakku Sang Ganapati.

Yang menghidupi sejak dari dalam rahim berwujud janin sampai dengan lahir dan
menjelang kematian namanya berbeda-beda sesuai dengan tingkat perkembangannya, namun
sesungguhnya hakekatnya sama:

1. Pada waktu masih dalam rahim dijiwai oleh Suksma rupa.


2. Setelah mencapai usia sepuh bulan dijiwai oleh Sunia.
3. Setelah lahir dijiwai oleh Nirwana.
4. Setelah dapat menyebut nama ibu-ayah ia dihidupi oleh jiwa.
5. Pada saat ia telah dewasa dihidupi oleh Alma.

Iswara uwaca, Om, anaku Sang Ganadhipa, yapwan kitapti kinawruha haywa
sangsayanaku, mangke Kami awarah a kita, ri katattwan ikang sinengguh Siwalingga.
Siwa ingararanan Omkara, lingga ingaranan suklaswanita, sama paket panjahit Siwa
kalawan lingga, mawor tan pawor, pinakoripnya suksmarupa, teka pwa ri kalaning
wijilnya nirwana mang uripi, wruh pwa anambat bapebu, hilang tikang nirwana, mijil
jiwa manguripi, yapwan huwus ing alma hilang tikang jiwa. mijil atma manguripi, ya la
sama kaorip ngaranya.
(Ganapati Tattwa 15)
Artinya :
Iswara bersabda, Oh puteraku Sang Ganapati, berhubung engkau ingin mengetahui, janganlah
khawatir anakku, kini daku beritahukan padamu mengenai falsafah yang dimaksud Siwalingga;
Siwa disebut Omkara. Lingga dimaksud Sukla Swanita (sperma masculine-feminine) sama-sama
lekat berkaitan Siwa dan Lingga itu. Bersenyawa tanpa pemandu, yang menjadi
penghidupannya adalah Suksmarupa (badan halus), setelah tiba saatnya sepuluh bulan. Sunya
yang menghidupinya, dan pada waktu lahirnya Nirwana yang menghidupinya, sesudah tahu
memanggil ibu-bapa hilanglah Nirwana itu, muncullah jiwa yang menghidupinya; setelah tua
dan hilang jiwa itu, muncullah Atma yang menghidupinya; demikianlah yang dimaksud sistem
yang menghidupkan adanya.

Tentang bagian-bagin tubuh manusia dinyatakanı, bahwa semuanya berasal dari Sang Hyang
Omkara suddha. Omkara suddha juga disebut ekaksara (eka aksara).

Mwah Sang Hyang Omkarasudha Pranawajnana mijiaken mantra Weda japa pinaka
sarira ning para, para nga manusya ikang kinarya binduprana, nday ta Iwirnya, ikang
mijil karihin binduprana pinaka karas, nadaprana pinaka lanah mijil aksara, nday ta
lwirnya, ka kha ga gha nga, matemahan getih. Sakeng ka kha ga gha nga mijil ca cha ja
jha nya, matemahan daging, makempel kadi danganan ing koris. Sakeng ca cha ja jha
nya mijil ta tha, da dha na mijil ta tha da dha na, malemahan yatra ning hood, sakeng ta
tha da dha na mijil pa pha ba bha ma, matemahan gatra ning asthi. Sakeng pa pha ba
bha ma mijil ya ra la wa mijil sa sa sa ha, matemahan huntek, mangkana temahan ing
ekaksara, kadi Siwalingga rupanya.
(Ganapali Tattwa 51.53.8)

Artinya
Sang Hyang Omkarasuddha Pranawajnana melahirkan mantra Weda dan doa-doa sebagai
badannya Para. Para artinya manusia yang dibuatkan Bindu Prana, seperti pertama-tama lahir
Bindu Prana sebagai karas, Nada Prana sebagai tanah kemudian lahir huruf seperti: Ka Kha Ga
Gha, Nga, menjadi darah. Dari aksara Ka Kha Ga Gha lahir aksara Ca Cha Ja Jha Na, menjadi
daging. Dari aksara Om Cha Ja Jha Na lahir aksara Ta Tha Da Dha Na menjadi kulit badan. Dari
aksara Ta Tha Da Dha Na lahir Ta Tha Da Dha Na menjadi gelagah. Dari Ta Tha Da Dha Na lahir
Pa Pha Ba Bha Ma menjadi tulang. Dari Pa Pha Ba Bha Ma lahir Ya Ra La Wa menjadi sumsum.
Dari Ya Ra La Wa lahir Sa Sa Sa Ha menjadi otak. Itulah jadinya aksara tunggal itu (Om), seperti
Siwalingga vujudnya.

Saking ekaksara mijil tiktaksara, nday ta lwirnya, a a matemahan sirah, II matemahan


rahi, u u. matemahan cangkem, r r matemahan mata, Ir Ir matemahan irung, e ai
matemahan talinga, o au matemahan kantha mwang gulu, mwah panggrancahaning
aksara ing sor. Ka matemahan cantik, kha matemahan muladhara, ga matemahan
babokongan, gha matemahan payu, nga matemahan upastha, Ca matemahan pupu
mwang jejengku, cha matemahan welis mwang wiluta, -ja matemahan. pahogelang
mwang bhujapada, jha matemahan telapakan; nya matemahan jeriji mwang bulu puhun
kuku, mwang wakikang ring madhya. Ta matemahan nabhi, tha matemahan ungsilan, da
malemahan dalem ing guhya, dha matemahan limpa, na matemahan panguritan. Ta
matemahan lamungsir, tha matemahan luhur, da matemahan adon-adon, dha
matemahan jajaringan, na matemahan hati, Ra matemahan susu, pha matemahan
walekang, ba matemahan tutud, bha matemahan bahu hasha, ma matemahan tutud,
bha matemahan bahu hasha, ma matemahan paparu. Ya matemahan kantha, ira
matemahan talu, la matemahan hilat, wa matemahan cantik. Sa matemahan lambe
luhur mwang pipi sa matemahan jihwagra, sa matemahan rambe sor mwang wehang,
ha matemahan hati nadi mwang suratadhipala tekeng bulu rambut, mangkana Iwir ing
pranawajnana.
(Ganapati Tattwa 51.53.9)

Artinya :
Dari Ekaksara (OM) juga lahir Tiktaksara antara lain A A menjadi kepala; I I menjadi dahi; U U
menjadi mulut; R R menjadi mata; IR IR menjadihidung; C Al menjadi telinga; O AU
menjadilehur (lohor atas dan Johor bawah), dan aksara-aksara di bawah. KA menjadi pangkal
lidah; KHAN menjadi muladara; GA menjadi perut bawah; GHA menjadi kemaluan; CA menjadi
paha dan jejengku; CHA menjadi betis dan wiluta; JA menjadi pahogelag dan bhujapada; JHA
menjadi telapak kaki; NA menjadi jari kaki, bulu jari kaki dan kuku. Sedangkan yang ditengah
(aksara-aksara pada badan bagian tengah) TA menjadi pusat; THA menjadi ungsilan; DA menjadi
bagian dalam bagian yang rahasia; DHA menjadi limpa; NGA menjadi panguripan; TA menjadi
lemungsir; THA menjadi luhur; DA menjadi adon-adon; DHA menjadi jejaringan; NA
menjadi hati; PA menjadi susu; PHA menjadi welengkang; BA menjadi tutud; BHA menjadi
tangan tulang dan kuku serta menjadi paru-paru. YA menjadi leher; RA menjadi talula dan dahu;
WA menjadi pangkal lidah; SA menjadi rahang bawah dan atas. HA menjadi hati pembuluh
darah dan tulisan di kepala sampai dengan bulu kepala (rambut). Itulah yang menjadi
manusia,ciptaan Sang Hyang Omkarasuddha Pranawajnana.

Ri huwus ing matemahan para, Sang Hyang Jagatkarana mwah sira makaryatma mijil
sakeng sarira nira, mangasthanaken ing para, ndya ta Iwir nira, Brahma mangasthana
ring muladhara, pita warna nira, rumaksa getih. Wisnu mangasthana ring nabhi, kresna
warna nira, rumaksa daging. Rudra mangasthana ring hati rakta warna hira, rumaksa
kulit. Iswara mangasthana ring kantha, sweta warna nira, rumaksa hodod. Sadasiwa
mangasthana ring jihwagra, suddhasphatika warna, rumaksa balung bulu rambut,
mangkana lwir ning atma mangasthana ring para. Mangkana Iwiring matemahan para
pakarya nira Sang Hyang Omkarasuddha pranawajnana.
(Ganapati Tattwa 51.53.10)

Artinya :
Setelah berwujud manusia, kemudian Sang Hyang Jagatkarana menciptakan.atma yang lahir
dari diri-Nya tinggal pada badan manusia, umpamanya : Sang Hyang Brahma dipuja pada
muladhara, kuning warna beliau menjaga darah. Wisnu dipuja pada puser, hitam warnanya,
menjadi daging (otot). Rudra dipuja pada leher, putih warnanya, tugasnya menjaga gelagah.
Sadasiwa dipuja pada ujung lidah, hablur suci warnanya, menjaga tulang dan rambut. Itulah roh
yang berada pada manusia.

7.4. Ajaran Tentang Kelepasan


Dalam dialog antara Bhatara Siwa dengan Ganapati tentang ajaran kelepasa, diawali
oleh Ganapati dengan pertanyaan tentang proses hilangnya hidup ini hingga batas sasarannya
yang terakhir. Bhatara Guru menjelaskan bahwa proses hilangnya hidup yaitu kembalinya atma
kepada sumbernya melalui suatu proses yaitu pada saat kematian terjadilah proses
pengendalian secara berjenjang seperti berikut :

1. Atma kembali kepada jiwa.


2. Jiwa kembali kepada Nirwana.
3. Nirwana kembali kepada Sunia.
4. Sunia lenyap menjadi Suksma Rupa.
5. Suksma Rupa kembali pada Sang Hyang Ngamutmenga.
6. Sang Hyang Ngamutmenga kembali kepada Niskala, yang merupakan tujuan tertinggi.

Iswara uwaca, udhuh anaku Sang Ganapati, atyanta mahabhara patakwanananta ri Kami,
aluhur ndatan pahingan, ajero ndatan katutungan, denta tumakwani guna, mangke den enak
pwa kita ng rasanana, Kami apawarahanaku, ilang ning atma, mantuk mareng jiwa, ilang ning
anaku, umantuk mareng sunya, ilang ning sunya, mantuk mareng suksmarupa, ilang ning
sukmarupa, umantuk mareng Sang
Hyang Ngamut Mnga, sthana nira ring agraning akasa, hilang Sang
Hyang Ngamut Mnga, mantuk mareng sarining niskala.
(Ganapati Tattwa 1.17)

Artinya :
Iswara bersabda, "Aduh puteraku Sang Ganapati, sungguh amat hebat pertanyaanmu
padaku, menanjak tinggi tiada batasnya, mendalam tanpa tersusulkan, engkau menanyakan
yang bermanfaat, kini hendaknya baik- baiklah memperhatikannya, Daku memberi penjelasan
pada puteraku hilangnya Atma kembali ke Jiwa, hilangnya Jiwa kembali ke Nirwana, hilangnya
Nirwana itu kembali ke Sunya, hilangnya Sunya kembali ke Suksmarupa, hilangnya Suksmapura
kembali ke Sang Hyang Ngamut Mnga, beristana di puncak angkasa (ether), hilang Sang Hyang
Ngamut Mnga kembali ke intisarinya kegaiban (niskala).

Tujuan dari kelahiran adalah untuk mengembalikan atma agar bersatu dengan sumbernya
sehingga tidak lagi mengalami kelahiran kembali. Apabila atına sudah bersatu kembali dengan
sumberny. dikatakan atma telah mencapai kelepasan atau moksa.
Ganapati Tattwa menguraikan tentang kelepasan demikian yang berasal dari Sunya akan
kembai kepada Parama sunya, yaitu apabila atma (sang roh yang mempribadi) kembali
menyatu dengan Sang Hyang Parama Siwa Tattwa.

Nadi calana margas ca punarbhava iti smrtah, marga calana nadi muktah
paramakevalah. Sina jnanatrayam jagrat tathaiva calana bhavet. Sadasivasya yo margah
nadi-calana-samsmrtam marga-calana-nadi paramasya mi samşmrtah. Iti Sang Hyang
Sadubhranti kamoktan, Sang Hyang Wyudbhranti kapunarbhawan, ndan hana ta.
mantra parania pamegat ri sira, tryaksara sahita krama nira, yapwan atejeg denta
lumaksana ika. kapangguh Sang Hyang Wyudbranlį katemu kunang akweh
paratengeranya, tunggal pradhanaken, ndya ta Iwirnya, yan mangrengo kila sabda ning
patinta, haywa ta kapalan dentanggege, kanistrsnanta. haywa wyapara, yapwan ahenak
denta, samangkana ta Sang Hyang Atma mesat. maka marga Sang Hyang Pranawa
anerus tekeng dwadasangulasthana. sira ta sinangguh niskala, pada Bhatara Paramasiwa
ika, mesat pwa sira sakeng rika, ya ta kamoksan nga. (Ganapati Tattwa 45-47)

Artinya :
Keberadaan Sang Hyang Sadhubhranti kelepasan, Sang Hyang Wyudbhranti disuruh menjelma
ke dunia, kemudian ada mantra pemisahnya. Hendaknya Tri Aksara itu teguh dilaksanakan
olehmu (pasti) Sang Hyang Wyudbhranti ketemu. Banyak pertandanya, tetapi satu maksudnya,
umpamanya apabila engkau mendengar suara Ardhacandra Bindu Nada sekaranglah tiba
saatnya kematianmu, janganlah engkau ragu-ragu, lepaskan segala kesetiaannu dan hubungan
dengan keluargamu lalu tutup pangkal nadi (pangkal peredaran darah), ineban (kerongkongan)
dan semua lubang yang ada pada badan sambil melakukan pemusatan batin, dan pengaturan
nafas artinya tutuplah pikiranmu. Janganlah berbuat sesuatu, apabila engkau bisa
melaksanakannya dengan baik maka Sang Roh yang bersemayam pada dirimu akan
meninggalkan badanmu. Sebagai jalan Sang Hyang Pranawa (Sang Roh Yang Mempribadi =
Atma) nenuju

Dwadasangulasthana (tempat yang terletak jauh di atas 12 (jari) tingkatan), yang disebut
tempat tak terlihat (niskala), tempat Bhatara Paramasiwa. Terbanglah ia Sang Roh Yang
Mempribadi dari sana (Sang Diri), itulah yang disebut moksa.
Dvadasangulasamsthanad vimuktah paramah Sivah, sunyam eva param khyatam
jnalavyo moksas ca tatah. Anantara ri huwus niran mukta sakeng dwadasangulasthana,
sayogya ta Sang Hyang Atma malemahan Paramasiwa Tattwa, mari matemahan-atma,
apa la lwir niran mangkana. sunya kawalnya, ya malwi paramasunya, ya ta matangnyan
kawruhakena kramanya de sang mahyun ing kamoksan, nahan sadhananung kapanggiha
Sang Hyang Mahajnana.
(Ganapati Tattwa 48)

Artinya :
Tak lama kemudian setelah Sang Roh Yang Memprit adi terbang dari Dwadasangulasthana,
patutlah Sang Roh Yang Mempribadi menjadi Paramasiwa Tattwa, kembali sebagai Roh (Roh
Yang Maha Agung), apa sebabnya demikian? Yang berasal dari Sunya akan lembali pada
Paramasunya. Itulah sebabnya ketahuilah kelakuan ilu oleh orang yang ingin mencapai
kebebasan. Itulah sarananya untuk menemukan pengetahuan ulama.

Nihan kalepasan ira Sang Hyang Siwa, ya la kawruhäkena kahananira, Sang Hyang Siwa
sira mungguh ri netra, aku ning kadi mas sinanghilang warna nira, sira la pinakatma ning
panon. Sira Sang Hyang Pramana siia mungguh ring tungtung ing irung, kalawan agra
ning jihwa, warna nira bhiru, sira la pinakatma ning tutur. Sang Hyang Jnana mungguh
ring bongkol ing papusuh, warna nira putih tanpamala, sira ta pinakadewatma ning
menget, mwah yapwan hana tengeran ing kapatin, tunggalakena Sang Hyang` Siwa
kalawan Sang Hyang Pramana, mwang Sang Hyang Jnana, mangkana dalam ira Sang
Hyang Siwa.
(Ganapati Tattwa 51.53.4)

Artinya :
Adapun kelepasan Sang Hyang Siwa, ketahuilah keberadaannya. Sang Hyang Siwa beliau berada
pada mata, warnanya kuning bagaikan emas yang dicuci, la adalah sebagai jiwa penglihatan.
Sang Hyang Pramana berada pada ujung hidung dan ujung lidah, warnanya biru, la sebagai jiwa
pengucapan. Sang Hyang Jnana berstana pada pangkal jantung, warnanya putih bersih. Ia
adalah sebagai jiwa ingatan. Kemudian ada tanda-tanda jika tiba saatnya kematian, saat itu
satukanlah Sang Hyang Siwa dengan Sang Hyang Pramana dan Sang Hyang Jnana. Itulah jalan
Sang Hyang Siwa.

Mwah yan katekan ing kapatin, aja tan karasanana lunga nira, Sang Hyang Siwatma sah saking
sarira, aja weha dalanana babahan sanga, ndya ta ngaran babahan sanga, ring luhur 7, ring sor
2, kanistha dalam ika nga. Yan adalah ring Siwadwara, madhya nga, kunang ikang marga
uttama, dalam.ira Sang Hyang Siwatma, ring tungtung ing sabda, sela ning hidep nga ring
kaketeg, yan teka ring kalepasan, aja ngangen sarira dewek, mwang anak rabi mwah kasukhan,
ikang tiga atemiah siji. ya ta tutakena marga tungtung ning sabda, sela ning hide, Itu kalepasan
Sang Bhujanggasiwa, haywa wera rahasya dahat, tan siddha phalanya.
(Ganapati Tattwa 51.53.5)

Artinya :
Jika tiba saatnya kematian, janganlah tiada dirasakan kepergian Sang Roh Yang
Mempribadi tatkala terpisah darl Sang Diri. Janganlah Sang Roh diberi jalan keluar
melalui jalan 9 lubang. Mana yang disebut jalan 9 lubang antara lain: di atas ada 7 jalan
(mata = 2, telinga = 2, hidung = 2, dan mulut = 1). Di bawah ada dua jalan (kemaluan = 1,
dubur = 1). Kesembilan jalan itu disebut Nista. Apabila Sang Roh meninggalkan Sang Diri
melalui Siwadwara (ubun-ubun) disebut jalan menengah. Sedangkan jalan utama
apabila Sang Roh melalui ujung, suara (sabda) meninggalkan Sang Diri yaitu melalui
celah-celah pikiran. Artinya pada denyutan jantung. Apabila tiba saat berpisahnya Sang
Roh dari Sang Diri janganlah memikirkan badanmu lagi, jangan ingat anak isteri dan
jangan memikirkan kemewahan dunia, ketiganya (Sang Hyang Siwa, Sang Hyang
Pramana dan Sang Hyang Jnana) pusatkan jadikan satu arah, ikutilah jalan ujung suara
yaitu celah-celah pikiran itu. Inilah kebebasan Sang Roh Yang Mempribadi menuju ke
Sang Roh Yang Maha Agung, Sang Bujangga dan Siwa. Janganlah hal ini disebarkan,
karena sangat rahasia, karena tidak akan berhasil jadinya:

Untuk mencapai itu Ganapali Taltwa mengajarkan enam tahap yoga yang disebut Sadangga
yoga.

Pratya-haras talha dhyanam pranayamo tham dharanam, tarkas caiva samadhis tu sadanggan iti
kathyate.

Niham tang sadangga yoga ngaran nira. kaweruhanantanaku Sang Ganapati. Iwirnya
prathyarakara yoga, dhyana yoga, pranayama yoga. dharana yoga. tarka yoga, samadhi yoga.
(Ganapati Tattwa 3)

Artinya :
Pratyahara dhyana, pranayama, Dharana, dan juga Tarka beserta samadhi inilah yang disebut
Sadangga yoga.
Sadangga yoga nilah yang penting kau ketahui selalu putra ku Sang Ganapati yaitu Prathyahara
yoga, Dhyana yoga, Pranayama yoga. Dharana yoga. Tarka yoga, dan Samadhi.yoga.

1. Prathyahara yoga

Indriyani ndri yanindri yarthe bhye visaye bhyo hiyatnatah, santena manasaddhrtya pratyaharo
nigadyale.
Pratyahara yoga ngaranya, ikang sarwendriya winatek haywa wineh ri wisayanya, kinanpli citta
pahomalilang yapwan enak pwa hana heningnya, mari wisayanya yatika prathyahara yoga
ngaranya.
(Ganapati Tattwa 4)

Artinya :
Segala tujuan kepuasan hawa nafsu yang dapat dikendalikan dengan ketenangan pikiran yang
teguh, itulah yang dinyatakan pratyahara.
Pratyahara yoga artinya, segala hubungan hawa nafsu itu terkadang, tiada dibebaskan
pemuasannya, dikendalikan dengan kesadaran iman suci yang teguh, meskipun kurang mesra
namun ada juga kejernihannya, surutnya pemuasan nafsu, itulah yang disebut pratyahara yoga.

2. Dhyana yoga
Nirdvandvam nirvikara ca nissaktam acalam tattwa, yad rupam dhyayate nityam tad dhyanam
itu kathyale.
Dhyana yoga ngaranya kang ambek lan parwarwana lan wikarana chak pwa hnang-hningnya.
nirancala, umideng lan kawaranan, eka citta nusmarana pinaka laksananya yeka dhyana yoga
ngaranya.
(Ganapati Tattwa 5)

Artinya :
Dhyana yoga artinya sistem pemikiran yang tiada mendua, tanpa perubahan selalu tenang
didalam suka dukanya tiada pernah gelisah tetap teguh tanpa terpengaruhi kesadaran
pernikiran yang manunggal itulah jadi prilakunya, demikianlah yang dimaksud dhyana yoga.

3. Pranayama yoga
Pidaya sarvadvarani, vayum vayunodhidya pranayamo nigadyale.
bahil prayacchali, murdhanam
Pranayama yoga ngaranya, tutupanang dwara kabeh mata, irung, kapo, tutuk, ndan ikang wayu
rumuhun isepan wetwakena haneng wunwunan kunang yapwan wuwusdharaka wineh metu
mareng irung kalih, ndan pahalon ikang wayu, yeka prana yama yoga ngaranya.
(Ganapati Tattwa 6)

Artinya :
Pranayama yoga artinya, tutuplah segala lubang mata telinga hidung dan mulut namun terlebih
dahulu isaplah udara konsentrasi, hembuskan pada ubun-ubun bila sudah terasa tegang penuh
terkendali biarkanlah keluar melalui lubang hidung secara perlahan-lahan itulah yang disebut
konsentrasi pengetahuan napas (pranayama yoga)

4. Dharana yoga
Om karam hradaye stapya tattvaline, sivalmakam sunyatmana ca srusti dharanam ili kathyate.
Dharana yoga ngaranya, Om kara pranawa hana ri hradaya, yateka dharanan pegengen, ikang
niswasa, yapwan hilangmari karengo kalaning yoga, yeka sunya siwat ma kawak Bhatara yeka
dharana yoga ngaranya.
(Ganapati Tattwa 7)

Artinya :
Dharana yoga berarti secara spiritualnya sebagai simbolik bahwa Omkara itu ada di hati, yaitu
sebagai pusat pengendalian pengaruh unsur jasmaniah, bila tenang tiada lagi terdengar sesuatu
dalam saat beryoga, maka dalam status bagi nilah Bhalara (atma) dalam perwujud
Sunyasiwatma (manunggal) dengan sumber jiwa Alam semesta (Sadasiwa). Demikianlah yang
dimaksud Dharana yoga.
5. Tarka yoga
Cittam akasavac chuddham nakasam eva talvatah, paramartham tu nih sabdam, tarka yoga
vidhiyate.
(Ganapati Tattwa 8)
Tarka yoga ngaranya, kadi akasa rekwa sang Hyang Paramartha ndatam hana kagatih apan tan
hana sabda, iya yeka lingganing para martha, palman ira sakeng awang-awang tuhun pada nira
ri malilang, yeka tarka yoga ngaranya

Artinya :
Tarka yoga artinya bagaikan langit/angkasa pikiran suci (Paramartha) itu, yang tiada
terpengaruhi sesuatu, sebab tak ada unsur suara padanya, begitulah simbulnya Paramartha,
yang berlainan dengan angkasa udara, walaupun persamaannya sungguh serba jernih,
demikianlah yang disebut tarka yoga.

6. Samadhi yoga
Nirupeksam nirlaksanam nira lambhan, nihsprham, niravaranam nihsadhyam, samadhistan
nigadhyale.
Samadhi yoga ngaranya ikang jnana tan pangupeksa tai pangalpana, tan pangkwana, tan hana
kahyun iriya, tan hana sadhya nira, malilang tan kawaranan, yeka samadhi yoga ngaranya.
(Ganapati Tattwa 9)

Artinya :
Samadhi yoga artinya batin yang tidak lalai tiada berharap, tanpa keakuan, tiada sesuatu yang
di inginkannya, fak ada yang diperlukan. tenang tiada terpengaruh, itulah yang dinamakan
samadni yoga.
Seorang yogi dalam melakukan pemujaan melalui yoganya, ia mewujudkan Swalingga (atma
lingga) dalam dirinya, disamping lingga yang sudah ada diluar dirinya. Tubuhnya sendiri
dipandang sebagai kahyangan dewata, sebagai sadhana untuk mencapai kelepasan. Pada saat
atma meninggalkan tubuh, jalan terbaik adalah melalui sela-sela pikiran sehingga atma
mencapai tujuan tertinggi.

Ada dua kemungkinan yang akan dicapai oleh atma dalami kelepasan, yaitu :
1 Mencapai Sadhudhranti yang akan mengantarkannya pada Kamoksan, hal ini dapat
tercapai apabila petunjuk-petunjuk yang telah diberikan dilaksanakan dengan teguh.
Bila mencapai ini
atma tidak akan terlahirkan kembali.
2. Mencapai Wyudhbhranti yang akan mengantarkan atma pada kelahiran kembali, bila
semua petunjuk tidak dilaksanakan dengan teguh.

Kelepasan atau kamoksan adalah ajaran kerohanian yang sangat tinggi dan bersifat sangat
abstrak, oleh karena itu ia harus dipahami melalui pengenalan Sang Hyang Bheda Jnana dengan
baik. Keyakinan terhadap ajaran tersebut, mampu mengendalikan indriya patuh dan bhakti
kepada guru, teguh dan tekun melaksanakan ajaran dharma, serta berlaku suci lahir batin,
sebagai landasan hidup, inilah yang akan mengantarkan seseorang pada pencapaian kelepasan
atau kamoksan.
8. AJARAN SIWA TATTWA DALAM LONTAR MAHA JNANA
8.1. Bentuk Dan Susunan Lontar Mahajnana

Lontar Maha jnana juga disebut Sang Hyang Jnana terdiri dari 87 pasal mempergunakan bahwa
Sansekerta dan Bahasa Jawa Kuna. Sloka-slokanya disusun dalam bahasa Sansekerta, sedang
bahasa Jawa Kuna dimaksudkan sebagai terjemahan dan penjelasan di susun dalam bentuk
sastra bebas (goncangan).
Bentuk penyajiannya adalah dialog, merupakan pendekapan antara Bhatara Guru yang
berperan. sebagai guru rohani yang menjelaskan ajaran tentang Bhatara Siwa dengan Sang
Kumara yang berperan sebagai siswa kerohanian yang selalu bertanya kepada Bhatara Guru
mengenai hakekat tertinggi tentang Bhatara Siwa. Ajaran dalam lontar MahaJnana bersifat
Siwaistik..
Inti ajarannya adalah mengenai cara untuk mencapai kelepasan bersatu dengan Sang
Pencipta. oleh karena di dalam menjelaskan ajarannya Sang Hyang Maha Jnana
mengungkapkan rahasia tentang diri manusia dalam hubungan dengan dewa-dewa dan alam
semesta. Ajaran ini mutlak perlu dipahami bila seseorang menginginkan untuk mencapai
kelepasan (ika ta ka wruhana de sang mahyum kalepasan).

8.2. Ajaran Ketuhanan

Dalam lontar Maha Jnana Tuhan Yang Maha Esa dikenal dengan nama Bhatara Siwa. Tentang
ajaran ketuhanan Maha Jnana mulai dengan menguraikan bahwa dalam wujud yang murni,
tanpa sifal, tanpa awal, tanpa akhir, tanpa bentuk disebut' Parama Siwa. Dalam tahap ini
la tidak dapat dibayangkan . tidak dapat dipikirkan. Kemudian atas kehendakNya, la mulai
dirasuki sifat-sifat prakriti, kemudian disebut Sada Siwa, la mulai mempunyai kemauan atau
Sakti, dan mulai dengan penciptaan, la maha pencipta, Maha tahu, Maha ada, dan Maha
mengetahui. Pada tahap ini, la juga disebut "Saguna Brahman". Pada tahapan
berikutnya, sakti, guna, dan swabhawanya sudah sangat berkurang, karena pengaruh maya
sudah sangat besar, la disebut Siwatma Tattwa. disebut Siwatma Tattwa. Pada tingkatan ini la
merupakan atma yang menghidupkan setiap makhluk penghuni alam semesta dan la
terkungkung oleh badan jasmani.
Selama pengaruh maya demikian besarnya terhadap siwatma yang menyebabkan
kesadaran aslinya hilang dan sifatnya menjadi "awidya" selama itu la tetap
terkungkung. Meskipun atma merupakan bagian dari Sang Hyang Widhi (Siwa) namun karena
adanya, belenggu awidya yang ditimbulkan oleh pengaruh maya, maka la tidak lagi dapat
menyadari asalnya. Hal ini menyebabkan atma ada dalam lingkaran sorga-neraka-samsara
berulang-ulang.
Hanya apabila kesadaran Nya telah kembali seperti semula dan sifat-sifatnya telah
murni kembali atma dapat bersatu dengan sumbernya. Bilamana dalam segala karmanya masih
tetap terbelenggu oleh sifat-sifat maya selama itu atma akan berada dalam lingkaran samsara
dan reinkarnasi.

8.3. Ajaran Tentang Alam Semesta

Mengenai alam semesta lontar Mahajnana menyatukan bahwa semua unsur alam berasal dari
Siwa. Berawal dari unsur yang paling halus kemudian berproses memunculkan unsur-unsur
yang lebih besar. Berpangkal pada unsur Panca Maha Bhuta proses penciptaan alam semesta
berlanjut dengan terciptanya benda-benda alank selanjutnya tumbuh-tumbuhan, binatang,
kemudian manusia.
Tentang tubuh manusia di dalam Mahajnana dijelaskan bahwa sepuluh indriya
(dasendriya) yang ada dalam diri manusia bersifat tidur, diam, tidak ada gerak, sedangkan lima
unsur tenaga hidup (panca wayu) dan teja memiliki sifat jaga. penuh dengan gerak.
Pradhana dilukiskan sebagai malam hari, purusa sebagai matahari yang terbit pada
waktu malam hari, sedangkan atma dilukiskan sebagai kebijaksanaan.
Pradhana juga dilukiskan sebagai seorang anak laki-laki, Triguna sebagai anak yang tiga
orang, intelek dan pikiran dilukiskan sebagai gala yang dua buah. Dasendriya diibaratkan
sebagai sepuluh ekor lembu, sedangkan pangkalnya hati dan jantung dilukiskan sebagai sawah.
Prakerti dilukiskan sebagai ibu, Purusa adalah bapak, dharma dan adharma adalah dua
orang pencuri, intelek dan pikiran sebagai brahmana yang dua orang, daser.driya sebagai
keraton dan badan sebagai benua (pulau).
Badan diibaratkan sebagai angkasa, pikiran sebagai bunga, Omkara sebagai api dalam
air, semua pembuluh dan otot diibaratkan sebagai sungai.
Badan Panca Mahabhuta adalah malam hari dasendriya sebagai matahari yang dianggap
sebagai kesadaran atma, Dasendriya juga dianggap sebagai kereta, Purusa sebagai sais, dharma
dan adharma sebagai tali kekang dan pradhana sebagai badan kerela.
Wisnu sebagai kereta, Brahma sebagai kerbau, Iswara sebagai sais dan Siwa berada di
lengahnya kereta sebagai jiwa semuanya.
Sang Hyang Maha Jnana juga memaparkan tentang rahasia diri manusia terkait dengan
alam, dewa-dewa, letaknya dalam tubuh, warna dan sebagainya seperti berikut :
Bagian tubuh warna alam dewanya
Puser Putih Jagra pada Brahma
Hati Seperti matahari Swapana pada Wisnu
Pangkal hati Seperti bulan Susupta pada Rudra
Pangkal
Kristal Turya pada Maheswara
kerongkongan
Dahi Seperti perak Turyanta pada Mahadewa
Paha Seperti emas Kewalya pada Isana
kepala Tak tentu Parama kewalya paramasiwa

8.4. Ajaran Kelepasan

Tentang kelepasan atau kamoksan dalam Maha jnana dinyatakan bahwa dapat dicapai apabila
atma mencapai alam parama kewalya. Oleh karena itu alam parama kewalya yang merupakan
sthana Paramasiwa adajah tujuan setiap orang yang menginginkan kebebasan dari proses
telrnimbal lahir (maya kejanma sangsara) setelah mencapai kematian, karena ia adalah inti dari
kelepasan.
Untuk dapat mencapai alam itu maka seorang yogi (atau siapapun) hendaknya
mempersembahkan semua keinginannya, kemarahannya, kelobaanya, keirihatiannya, kepada
Bhatara Brahma. Segala persembahan itu akan dibalur oleh Bhatara Brahma dengan api Sang
Hyang Omkara agar terbebas dari pengaruh semua mala.
Selanjutnya melakukan pemujaan dan pemusatan pikiran yang tiada henti-hentinya kepada
Bhatara Siwa melalui swalingga atau atma lingga yang ada di luar diri, disertai dengan selalu
mengucapkan mantra "Om, Sa, Ba, Ta, A, I" atau "Om namah siva ya".
Pada saat mengalami kematian akan sampai kepadaNya dialam parama kewalya.
9. AJARAN SIWA TATTWA DALAM LONTAR BHUWANA SANG
KSEPA
9.1. Bentuk Dan Susunan Lontar Bhuwana Sang Ksepa

Lontar Bhuwana sangksepa berbentuk dialog,, isinya berisi tanya jawab antara guru spiritual
dengan sisyanya. Dalam lontar ini yang tampil sebagai guru spiritual adalah Bhatara Siwa,
sedangkan sisyanya adalah Bhatara Kumara yang selalu bertanya tentang hakekat kebenaran
Bhatara Siwa.
Bahasa yang dipakai adalah bahasa Sansekerta dalam bentuk sloka dan bahasa Jawa
Kuna dalam bentuk tulisan bebas (gancaran) yang merupakan terjemahan dan penjelasan dari
sloka-sloka yang berbahasa Sansekerta.
Dalam bukunya yang berjudul "sekte-sekte di Bali" (judul asli tulisan ini
adalah : Secten of Bali, mededelingen kirtya L.v.d. Tuuk no.3 hlm. 37-54) yang merupakan
terjemahan dari karya Prof. Dr. R. Goris pada halaman 12 dinyatakan bahwa Bhuwana Kosa
merupakan tulisan atau naskah yang paling tua di Bali. Kemudian pada halaman 13 terdapat
keterangan bahwa maskan-naskah yang terbit kemudian kebanyakan mengambil bahannya dari
naskah Bhuwana kosa, seperti Bhuwana sangksepa, Tattwa sang Hyang Mahajnana dan lain-
lain. Dalam beberapa tulisan tangan Bhuwania sangksepa didahului dengan sebagian syair-syair
Sansekerta yang dapat dihubungkan dengan Bhuwana kosa bab VIII yang berjudul Jnana
sangksepa.
Bhuwana sang ksepa sendiri juga merupakan sumber dari tulisan-tulisan yang kemudian
terbil seperti : Dharmawisesa dan Sabda pralina. Sebagaimana juga diketahui, sesudah karya-
karya lua ini menyusul tulisan-tulisan yang kebanyakan disebut kelepasan, dimana bahannya
berasal dari sumber- sumber lama diolah dalam bentuk baru, lanpa sloka berbahasa
Sansekerta.

9.2. Ajaran Ketuhanan

Ajaran ketuhanan atau Siwa tattwa jnana dalam berbagai lontar tutur (tattwa) pada dasarnya
tidak jauh berbeda. Pertama Tuhan Yang Maha Tinggi, lanpa sifat, tanpa wujud, tidak
terjangkau alam pikiran, lanpa aktifitas disebut Parama Siwa. Kedua Parama Siwa mulai terkena
sifat maya atau guna, sehingga la mulai aktif, mempunyai Sakti dan prabhawa sehingga disebut
Saguna Brahman atau Sada Siwa. Parama Siwa yang masih bersifat murni tanpa aktifitas disebut
Nirguna Brahman. Ketiga Sadasiwa semakin banyak terpengaruh oleh maya, pada saat la
diliputi oleh maya sehingga kesadaran nuraninya hilang karena la diliputi oleh awidya dan
kesadarannya terpecah menjadi amat banyak berwujud alma yang menghidupkan setiap
makhluk.
Dalam lontar Bhuwana Sang ksepa Tuhan Yang Maha Esa disebut Bhatara Siwa. Sebagai
Yang Maha Tinggi la tanpa wujud tanpa akhir.

Anta suksma ne akarah, saewa parama smretah. Sang Hyang Parama Siwa sıra wekasan,
suksma tar pawak, matangyan katuturana Sang Hyang Parama Siwa de sang widhwar.
Artinya :
ng Hyang Parama Siwa merupakan puncak akhir tanpa wujud. Oleh karena itu Sang Hyang
Parama Siwa patut selalu di ingat oleh para Pandita.

Siwas siwotamo jneyah. siwacchiwa taram smretam, siwat sada siwat dewi parama
siwam abhayam. Sang Hyang Siwatama Iwih sira sakeng Hyang Siwa. Sang Hyang Siwa
tara Iwih sira sakeng Sang Hyang Siwatama, Sang Hyang Sada Siwa sira Iwih sake

Artinya :
Sang Hyang Siwatara. Sang Hyang Parama Siwa Iwih sangke Sang Hyang Sadasiwa tan paka
surudan sira.
Sang Hyang Sivatama lebih mulia dari Sang Hyang Siwa, Sang Hyang Siwatara lebih mulia dari
Sang Hyang Siwatama, Sang Hyang Sada Siwa lebih mulia dari Sang Hyang Siwatama, Sang
Hyang Parama Siwa lebih tinggi dari Sang Hyang. Sada Siwa, la tanpa akhir.

Demikianlah hakekat dari Parama Siwa, tanpa wujud tanpa akhir, lebih tinggi dari Sada Siwa. la
adalah nirguna Brahman.
Sada Siwa lebih rendah dari Parama Siwa, la adalah Parama Siwa yang telah terpengaruh
maya alau guna. Oleh karena itu la saguna Brahman, dengan sifat aktif sesuai guna atau
saktinya. la menguasai seluruh alam semesta. Pada pengider-ider la dilukiskan memenuhi
seluruh arah mata angin, bahkan nadir dan zenith juga. Bhatara Siwa berada di tengah-tengah
sebagai sentrum alam semesta sedangkan pada setiap arah mata angin la mempunyai nama
sendiri-sendiri, warna dan senjata. Nama- nama, warna dan senjata itu adalah sebagai berikut:

la purvantu vijneyah,
Agneye tu mahesvarah,
Brahmapi daksina jneyah,
Nairityam rudra evaca.
Pascimantu mahadevah,
Vayabhyam sangkarastalha,
Visnu uttara vijneyah,
Airsanyam sanibhur evaca.

Adohara itu jneyah,


Madhyo capi sadasivah,
Urde paramas ivapi,
Iti devo pratisthitah.

Dharma kalauca mrtyunca,


Krodha visva kamastatha,
Pratistha marato udah.

Ika ta dewata magawe idep ring purwa, mahesora ring agneya, brahma ring daksina, rudra ring
neriti, mahadewa ring pascima, sangkara ring bayabya, wisnu ring uttara, Sambhu ring ersanya.
siwatma ring urda, dharma yantara ring purwa lawan agneya, kala yantara ring agneya lawan
daksina, mretya yantara ning dalsina lawan neriti, krodha yantara ning neriti lawan pascima,
Wisnu yantaraning pascima lawan bayabya, kama yantara ning bayabya lawan uttara, pasupati
ri antara ning uttara lawan ersanya, satya ri antara ning ersanya lawan purwa.
(Bhuwana Sangksepa ¡1-14)

Artinya:
Demikianlah dewata yang membuat hidup dalam hati, Isa di Timur, Mahesara di Tenggara,
Brahma di Selatan, Rudra di Barat daya, Mahadewa di Barat, Sangkara di Baratlaut, Wisnu di
Utara, Sambu di Timur laut, Siwatma di bawah, Sadasiwa di tengah. Parama siwa di atas,
Dharma diantara timur dengan tenggara, Kala di antara tenggara dengan selatan, Metya
diantara selatan dengan Barat daya, Krodha diantara Baral daya dengan barat. Wisnu diantara
barat dengan barat laut, Kama diantara barat laut dengan utara, Pasupati diantara utara
dengan timur laut, Satya diantara timur laut dengan timur.

Siwatma tattwa adalah Sadasiwa yang telah terkena pengaruh maya, demikian kuat pengaruh
maya itu sehingga la dikuasal awidya dan kesadaran murninya hilang, kesadarannya
berkembang menjadi sangat banyk berwujud atma yang menghidupkan setiap makhluk.
Wujud atma itu amat banyaknya sebanyak wujud Sang Hyang Siwa sendiri.

Dewa uwaca Atmani Siwa rupami, rupa Bhatara Siwa ika anekante waranane, mangkana
rupanira tan tunggal, jyoto mayani dwiyani, teja pinakawaknya nityasa, sang sarani
pretak- pretak sangsara ya mapakenan ta ya.

Artinya :
Bhatara bersabda, wujud atma seperti banyaknya wujud Sang Hyang Siwa, demikianlah banyak
wujudnya atma itu. la selalu berwujud sinar terkena sengsara yang beraneka ragam.

Demikianlah ajaran ketuhanan dalam Bhuwana sangksepa, Parama Siwa yang tertinggi, tanpa
wujud tanpa akhir, Sada Siwa tengah-tengah, aktif menguasai alam semesta dengan berbagai
namaNya, Siwatma sebagai atma dalam makhluk hidup, terkena sengsara beraneka ragam.

9.3. Ajaran Tentang Alam Semesta

Bhatara Siwa adalah asal dari semua yang ada ini, alam semesta (bhuwana agung) dengan
segala isinya dan manusia (bhuwana alil) adalah ciptaanNya. Semua ciptaanNya itu merupakan
wujud mayanya yang sifatnya tidak kekal karena akan mengalami kehancuran. Pada saat
mengalami Kehancuran semua ciptaanNya itu akan kembali kepadaNya, karena la adalah asal
dan tujuan dari semua yang ada ini: Dari padaNya berasal kepadaNya ia akan kembali.
Proses penciptaan itu terjadi perlahan-lahan dan bertahap, dari yang paling halus
sampai pada lahap yang paling kasar, sedangkan proses peleburan semua ciptaanNya juga
terjadi perlahan-lahan dan bertahap dari unsur yang paling kasar sampai kepada unsur yang
paling halus kembali menuju pada Bhatara, sebagai sumbernya yang paling awal.
Tingkatan-tingkatan alam dalam bhuwana agung dan dalam bhuwana alit apabila
dihubungkan dengan tubuh manusia akan ditemukan pada bagian-bagian badan manusia itu
dari alam yang paling bawah sampai dengan yang tertinggi yaitu alam kamoksan. Alam
kamoksan adalah sunya sthananya Sang Hyang Siwatama atau Parama Siwa.

Salwam param suksmam, sudam siwa tamam smretam, Siwa Siwa, Sira Siwatama. Niskalah
niskalo dewa, sunyat sunya tarah parah. Sira ta sunya sakeng sunya, kalinganya wisesa sunya
sira.

Artinya :
la adalah Siwa, la Siwatama, lá dialam sunya dari yang sunya, jelasnya la adalah sunya yang
mutlak.

9.4. Ajaran Kelepasan

Tentang ajaran kelepasan dinyatakan bahwa bila orang arif bijaksana mengetahui wujud Sang
Hyang Siwa. ia akan kembali ke alam Parama Siwa yang disebut Para.na Suka itu disebut hakikat
Sang Hyang Siwa Tattwa. Orang yang mengetahui wujud Sang Hyang Siwa adalah orang yang
memiliki Jnana.

Idam Jnanam maha dewi, sarwa tattwa wisesitam, rakasyan durlabhancapi. swarggadam moksa
dan tatha. Ikang Jnana Bhatari wisesaning sarwa tattwa kabeh ika, mwah eweh ika
katemwanya, karananing swargga moksa.

Artinya :
Yang bernama Jnana Batari, mengungguli semua ta!twa dan sangat sulit untuk menguasainya ia
menyebabkan mendapat sorga maupun neraka.

Pengetahuan tentang, hakekat Sang Hyang Siwa disebut juga Sang Hyang Jnana Bhatari.
Pengetahuan itu meliputi pengetahuan tentang hakekat Sang Hyang Siwa dan hakekat
wijaksara Pranawa yang selalu diucapkan.

Manda pani widhanca, prawisya srawayet wudhah, tri ganam puluse sanam, guno laksanam
ewaca. Ndya ta wak nikang jnana warahakna nihan, ikang trigana ya, lawan Tal purusa, mwang
Isana, trigana ngaranya, Sadya, Bama, Aghara, Kunang ikang Tatpurusa windu ika, ikang Isana
nada.

Artinya :
Bagaimana bentuk pengetahuan yang patut diajarkan itu? Begini : Tri Gana, Tatpurusa, dan
Isana. Yang disebut Trigana yaitu: Sadya Bama Aghara, Yang disebut Tatpurusa ialah: Windu dan
Yang dikatakan Isana ialah Nada.

Windu dan nanda adalah bagian dari Omkara atau Pranawa, bilamana Sang Hyang Pranawa itu
telah menjadi kata hatinya, maka mereka akan memenuhi kebebasan.

Pinhitam pranawam proktam, Windu nadena bhunitam, yojna twa na punarjanma,


niraksaram tatha ksanat. Palemunika kabeh, ya ta sinangguh pranawaksara, kinahananta
ya dening windu nada, ya ta kawruhana desang maha pandita, wruh pwasira rika, tatan
waluya ng janma sira muwah, tar patemahan, mwang ta: kawastu dening rat kabeh. Etat
twam swarggam e wa ca. Sang Hyang Pranawa sira swargga. Etat inanam japeccewa. Ika
ta Sang Hyang Pranawa, kawruhana de sang Pandita, jasakna nira sira. Yojna twa yadi
muktat we. Pinaka japa nira Sang Hyang Pranawa, lepas ta sira.

Artinya :
Perpaduan dari semua itu disebut suku kata suci Pranawa (Omkara) dilengkapi oleh Windu dan
Nada. Itu patut diketahui oleh para Pandita besar. Bila mereka telah mengetahui hal itu, maka
mereka itu tidak akan menjelma kembali, atau tanpa penjelmaan dan tidak terpengaruh oleh
kesadaran dunia fana ini. Etat twam sakalam jnaam, Sang Hyang Pranawa adalah wujud nyata
dari pengetahuan itu. Etat twam swarggam ewaca, Sang Hyang Pranawa juga disebut surgawi.
Etat jnanam jaeccewa Sang Pranawa patut diketahui oleh para Pandita, diucapkan dalam hati.
Bila Sang Hyang Pranawa itu telah menjadi kata hatinya, maka mereka akan menemui
kebebasan.

Sang Hyang Pranawa diucapkan dalam hati maksudnya ialah berjapa dengan
mengucapkan Omkara terus menerus. Berjapa dengan mengucapkan Pranawa pada hakekatnya
ialah melakukan meditasi dengan obyek Omkara (Sang Hyang Widhi Wasa, atau Bhatara Siwa).
Bila Omkara sudah menjadi kata hati artinya Om kara telah membatin, meditasi lelah sampai
pada alam samadhi. Orang yang telah mencapai alam samadhi dapat mencapai kebebasan.
10. AJARAN SIWA TATTWA DALAM LONTAR JNANA
SIDDHANTA
10.1. Bentuk Dan Susunan Lontar Jnana Siddhanta

Lontar jnana siddhanta mempergunakan bahasa Sansekerta dan bahasa Jawa Kuna. Bahasa
Sansekertanya tersusun dalam sloka sedangkan bahasa Jawa Kuna yang merupakan
terjemahannya yang juga sekaligus sebagai penjelasan berbentuk sastra bebas (gancaran).
Naskahnya dalam bentuk lontar lerdiri atas 64 lembar dan ditulisi tolak balik, empat baris pada
tiap halaman.
Keseluruhan naskah Jnana Siddhanta terdiri atas 27 bab, mencakup suatu ajaran yang amat
luas, yang pada intinya menguraikan ajaran tentang mencapai kelepasan (moksa) menyatunya
alma dengan sumbernya.
Bab 1 menguraikan tentang Catur Viphala yaitu empat tingkat pembebasan yang disebut
nihsprha, nirbana, niskala dan nirasrasya.
Bab 2 tentang Prayoga sandhi yaitu upaya mencapai kelepasan dengan ajaran yoga, atau
penyatuan dengan melaksanakan yoga dalam tidur.
Bab 3 tentang Sang Hyang Pranavajnana Kamoksan menguraikan tentang anatomi Om
kara, dan kedudukannya pada tubuh manusia, dalam hubungan dengan kelepasan.
Bab 4 tentang Sang Hyang PranavaTridevi, menguraikan tentang Om kara dihubungkan
dengan sakti dari Iswara, Visnu dan Brahma yaitu Umapati, Sridevi dan Sarasvati.
Bab 5 tentang Sang Hyang Kahuwusan Jati Visesa, tentang tiga jalan bagi pandita (orang
bijak) menuju pada peleburan (kapralinan) yaitu jalan Nistha, jalan Madhya dan jalan Uttama.
Bab 6 tentang Nirmala jnana sastra menguraikan perihal Selama Sang Hyang Maha Ada
(Sang Hyang Mahaw) tidak ingat dengan kodrat Nya yang sejati yaitu bahwa tubuhnya adalah
Pramana Visesa, selama itu la ditakdirkan oleh kelahiran sehingga menjadi manusia dan terus-
menerus ada dalam semua makhluk hidup.
Bab 7 tentang Panca Para Martha, menguraikan tentang lima jalan utama bagi orang
bijaksana (pandita, yogi) untuk tidak menuju pada kelahiran kembali. Tempat pembebasan itu
adalah melalui puser, jantung, tenggorokan, langit-langit mulut dan hidung.
Bab 8 tentang Sang Hyang Naisthika Jnana, menguraikan tentang rahasia Siwa (Siwa
Tattwa) sebagai pengetahuan sangat utama, pemahaman tentang pengetahuan ini dapat
mengantar pada kelepasan.
Bab 9 tentang Sang Hyang Maha Vindu menguraikan, tentang Sang Hyang Maha Vindu
sebagai Maha Esa namun menjadi para dan apara yang bersifat sakala dan niskala.
Bab 10 tentang Sang Hyang Omkara, menguraikan tentang tujuh tingkat atma dalam
kaitan dengan Sapta dewata.
Bab 11 tentang Sang Hyang Panca Wimsati, menguraikan tentang dua puluh lima unsur
yang lahirdari Omkara.
Bab 12 tentang Sang Hyang Dasalma, Sang Hyang Vindu Prakriya, menguraikan tentang
berbagai wujud dari Omkara seperti : Dvipana, Brahmangga, Siwangga dan Amrta Kundalini.
Bab 13 tentang Pancatma, menguraikan tentang Pancatma dalam tubuh sebagai Panca
bayu yaitu atma, paratma, antaratma, paramatma, dan nisatma.
Bab 14 tentang Sang Hyang Upadesa samuha, menguraikan tentang Sang Hyang
Tryatma sebagai Svasa, Nihsvasa dan Samyoga.
Bab 15 tentang Sadangga yoga, menguraikan yoga sebagai jalan mencapai kelepasan,
yaitu prathyahara yoga, Dhyana yoga, Pranayama yoga, Dharana yoga, Tarka yoga dan Samadhi
yoga.
Bab 16 tentang Sang Hyang Atma Lingga-Linggod bhava menguraikan tentang pemujaan
melalui atmalingga yaitu atma sebagai lingga dan lingga di luar diri.
Bab 17 tentang Utpatti Sthiti Pralina Sang Hyang Pranawa menguraikan tentang Omkara
sebagai sumber penciptaan, pemeliharaan dan peleburan.
Bab 18 tentang Catur dasaksara pinda, Utpati Sthiti dan Pralina; menguraikan tentang
pemujaan dengan empat belas Wijaksara suci terhadap Pencipta, Pemelihara dan Pemralina.
Bab 19 tentang Sang Hyang Bheda Jnana, menguraikan tentang wujud para dewata pada
tubuh manusia dihubungkan dengan upaya mencapai kelepasan.
Bab 20 tentang Sang Hyang Maha Jnana, menguralkan tentang pengetahuan utama
yang dicapai dalam kelepasan yaitu Sang Hyang Sadyat kranti mencapai moksa dan Sang Hyang
Vyut kranti mencapai kelahiran kembali.
Bab 21 tentang Sang Hyang Benem Vunkal, menguraikan tentang Sang Hyang Alma
mencapai Parama sunya di dalam diri sendiri dengan pranayama dan pengosongan diri.
Bab 22 tentang Pranayama Sang Ksipta Puja, menguraikan tentang Pranayama.
Bab 23 tentang Sang Hyang Kaka Hangsa, menguraikan tentang Sada siwa dan simbul angsa.
Bab 24 tentang Sang Hyang Tirtha, Sapta Samudja, Sapta Patala, menguraikan tentang
Sapta Tirta, Sapta Samudra dan Sapta Patala yang ada dalam tubuh.
Bab 25 tentang Sang Hyang Siwa Siddhanta, menguraikan tentang ajaran suci Siwa
Siddhanta.
Bab 26 tenang Utpatti Shiti Pralina Sang Hyang Vindu Abhyantara yang menguraikan
tentang Bhatara Siwa mengajarkan ajaran suci Siddhanta kepada Dewi Uma dan Bhatara
Kumara.

Bab 27 tentang Jnana Siddhanta yang menguraikan bahwa orang memahami ajaran suci
Siddhanta langsung menjadi dewasa secara spiritual dan mencapai tujuan terakhir (siddha
anta).
10.2. Ajaran Ketuhanan

Dalam lontar Jnana Siddhan'a Tuhan disebut Bhatara Siwa, Beliau Maha Esa (sa eko,
ekasva). Beliau dipahami sebagai hakekat Siwa yang sejati, sebagal yang satu-satunya saja, tidak
dua tidak pula tiga. la tidak jauh tidak pula dekat. Ia tidak ada pada permulaan, tengah maupun
akhir. la tidak dapat musnah, maha sempurna, tanpa tubuh, nirajnanam, teramal kecil, sukar
ditangkap karena sangat halus, lanpa batas. Ia merupakan kekuasaan tertinggi.

Siva tattwam param guhyam


Siva jnana anopamam
Avijneya tidur grahyam
Niscitam moksa karanam

Kalinganya Dang acarya nipama sira majaraken Sang Hyang Siwa tattwa samksipta, maka
doa katuturaning Bhatara Siwa dening mandatsaka. Apan atyanta durgrahya ning Siwa
tattwa mwang Siwa jnana. Guhya sangkeng guhya tan kawenang kinawruhan dening
apunggung. Eweh sangkung eweh. Kalinganya, atyanta kottamaning Siwajnana
ngaranira. Tan hana padanira. Apan karananing kamoksan apan kapangguhaning siwa
tattwa tinut kapangguhaning Siwa jnana, tinuting. kapangguhan panekan-ekan Bhatara.
Sang ksepanya : atyanta temen sang wruhing panekan-ekan Bhatara Siwa.
(Jnana Siddhanta 8.1)

Artinya :
Hakekat Siwa yang sesungguhnya (Siwa tattwa) merupakan sesuatu yang amat rahasia
(param guhyam) dan pengetahuan tentang Siwa (Siva jnana) tidak ada bandingannya.
Amat sukar memahaminya dan pengetahuan ini menghilangkan pengaruh keinginan
(niscitam) mengantar menuju moksa (moksa karanam).

Guru suci (dang acarya) yang tidak ada tandingannya mengajarkan tatttwa Sang Hyang Siwa
Sejati (Sang Hyang Siwa Tattwa) secara singkat sehingga mereka yang pikirannya lambanpun
dapat mengenal Bhatara Siwa karana Tattwa Siwa yang Sejati dan Pengetahuan tentang Siwa
amat sukar dapat dipahami. Ini merupakan rahasia dari rahasia, mustahil dapat diketahui oleh
orang yang bodoh. Ini merupakan kesukaran dari kesukaran.

Artinya :
Pengetahuan tentang Siwa adalah pengetahuan yang amat utama namanya. Tidak ada
yang menyamai oleh karena pengetahuan yang menyebabkan dapat mencapai
kamoksan. Karena dicapainya Bhatara Siwa, berarti diikuti dengan didapatnya
pengetahuan tentang Bhatara Siwa, ikut juga diketahui tentang, keesaan Bhatara Siwa
Kesimpulannya amat hebatlah (atyanta temen) orang yang mengetahui keesaan Bhatara
Siwa.

Na duram na sannipa stham, na mulante na madhya me sakala niskalam tyaktva,


drsyate jnana caksusa
(Jnana siddhanta 8.4)

Artinya :
la tidak jauh, la tidak dekat, la tidak ada pada permulaan, pada akhir atau ditengah,
Sakala dan Niskala sifatnya, hanya dapat dipandang dengan mata pengetahuan.

Avyayam paripurnam ca. na sariram nira jnanam Anadrsyam anopamam,,vyoma nirmala


sanibham
(Jnana Siddhanta 8.5)

Artinya :
la tidak dapat musnah dan la Maha sempurna tanpa tubuh kosong, nirajnanam, la tak
tampak, tak dapat dibandingkan, la serupa dengan langit tanpa noda.

Suksma nantapi durgrahyam, na layema ca nirbhavam Paramosapi tad dhruvam,


sadadhikaram Isvaram
(Jnana siddhanta 8.6)

Artinya :
ia teramat kecil, sukar ditangkap, karena sangat halus, la tanpa batas, la merupakan
kekuasaan tertinggi, Isvara.

la yang Esa sering dipandang lebih dari satu (aneka-aneko) karena bercirikan empat,
yaitu : sthula, suksma, para dan sunya. Sthula artinya beliau dibayangkan tampak dalam
sabdanya, sabda maya artinya dituturkan dalam bentuk mantra. Suksma artinya Beliau
dibayangkan terjelma dalam cita maya. Cita maya artinya isi dari pikiran yang terwujud dalam
pengetahuan. Para artinya Beliau dibayangkan terjelma dalam citta wirahita. Citta wirahita
artinya ditinggalkan oleh akal budhi. Sunya artinya Beliau dipandang sebagai citta rahitantya,
tidak memiliki ciri-ciri apapun.

Sa eko Bhagawan Sarvah, Siwa karana-karanam


Aneko viditah sarvah, catur.vidhasya karanam
makalaksanang Siwa tattwa. Kalinganya : Ekatvanekatva svalaksana Bhatarą Ekatva
ngaranya, kahidep Ndan tunggal tan rwa tiga kahidepanira. Manekalaksana Siwa karana
juga, tan pa pra bheda. Aneka ngaranya kahidepan Bhatara malaksana calurdha.
Caturdha ngaranya laksananiran sthula suksma para sunya.
(Jnana Siddhanta 8.2)

Artinya:
Ciri-ciri Siwa adalah Esa dan Aneka. Eka artinya bahwa oleh akal budi dipahami sebagai
sesuatu yang cirinya ialah hakekat Siwa yang sejati (Siwa Tattwa). Dan ia dipandang
sebagai Esa (eka) bukan dua atau tiga. Satu-satunya ciri adalah Siwa Karana saja tanpa
adanya perbedaan. Aneka berarti bahwa la dipandang sebagai bercirikan empat.
Caturdha namanya meliputi: sthula, suksma, para dan sunya.

Sthula sabda mayam praktam, suksmam citta mayam bhavet. Param citta virahitam,
citta Tyakta Tisunyata. Kahidepanira. Santyanta sira. Sira wnang wekasning
amuwustattwa. Sira Mahanantha ngaranya. Bhatara Siwa ngaranira. Akweh bwat ajinira.

Kalinganya:
Sthula ngaranya kahidepan Bhatara makalaksanang sabda maya. Sabda maya ngaranya
innccarana makawak mantra. Gauripati sira Iswara. Wyapaka ning sorteka ring Pasupati Siwa.
Inuccarana Om Wijanira.
Suksma ngaranya kahidepan Bhatara malawak cilla maya. Cilta maya ngaranya
inanusmarana makawak jnana. Siwa sabda sira, Gayatri sira. Sira wyapaka ring ruhur, makawak
Brahmanga. Siwanga sira Om wijanira.
Para ngaranya kahidepan Bhatara makawak citta wirahila. Citta wirahita ngaranya,
katingalaning jnana, katingalaning jnana ngaranya tan panusmarana. umeneng juga. Parama
Siwa sira, nihswara sira turyapada ngaranira Om wijanira. Sunya ngaranira, kahidepan Bhatara
citta rahitantya. Citta rahitantya ngaranya nirlaksana katuturan Bhatara. Nirlaksana ngaranya
tunang citta, tunang tutur, tunang budhi, tunang abhipraya. Kaiwalya sunya kara.
Kahidepanira. Santyanta sira. Sira wnang wekasning amuwustattwa. Sira Mahanantha
ngaranya. Bhatara Siwa ngaranira. Akweh bwat ajinira.
(Jnana Siddhanta 8.3)

Artinya;
Sthula namanya berarti bahwa Bhatara Siwa dibayangkan sebagai nampak di dalam
sabda maya. Sabda maya namanya karena la dituturkan dalam bentuk mantra, la merupakan
Gauripati, la Iswara, kernudian la masuk lebih dalam lagi dan turut menjadi Pasupati Siwa, la
diucapkan dengan Om sebagai wijaksaranya.
Suksma berarti bahwa Bhatara Siwa dibayangkan sebagai terjelma di dalam cittamaya.
Cittamaya namanya la merupakan isi pikiran dan terwujud dalam pengetahuan, la merupakan
Siwa sada, la merupakan Gayatri, la masuk dan menuju keatas menjelmakan diri dalam tubuh
Brahma, la merupaka tubuh Siwa. Wijaksaranya adalah Om.
Para namanya karena Bhatara Siwa dibayangkan sebagai terjelma dalam cilla wirahita.
Citt wirahita artinya ditinggalkan oleh akal budhi. Ditinggalkan akal budi berarti tidak
memberikan peganga Turyapada, Om wijaksaranya pada pikiran, berdiam diri. la sama dengan
Paramasiwa, ia merupakan pengeluaran nafas, ia dinamakan turya pada, om wijaksaranya.
dalam tubuh makhluk hidup. Dan selama itu pula ia terkena kotoran, noda, siklus
kelahiran kembali, hidup dan mati kejahatan dan kesalahan.
Itulah keadaan Bhatara Siwa selama berwujud alma. Hanya kalau kesadaranNya yang
sejati sudah didapat kembali barulah la akan kembali pada sifatnya semula. Itulah hakekat atma
tattwa.
Demikianlah ajaran ketuhanan dalam Jnana Siddhanta yang menyatakan bahwa Tuhan
Yang Maha Esa adalh Bhatara Siwa yang menjadi sumber dari segala yang ada.

10.3. Ajaran Tentang Alam Semesta

Tentang alam semesta Jnana siddhanta menyatakan bahwa semuanya lahir dari Bhatara
Siwa yang digambarkan dengan Om kara. Om kara terdiri dari A kara, U kara dan Ma kara. Dari
A kara lahir Panca tan matra dan selanjutnya Panca Maha Bhuta.

Pithivyadi gaganantam Panca bhutam iti smrtam Sabdadi gandha paryanthan tarmaham iti
kathyate

Panca maha bhuta ngaranya: prthivi, apah, teja, bayu, akasa tan malra ngaranya : sabda, sparsa,
rupa, sabda, sparsa, rupa, rasa, gandha, Ika tang panca maha bhuta mwang panca tan matra. Ya
pinaka awakning A kara bhuta lima tan matra lima, sapuluh pin danya sira padhanta nira kabeh
(Jnana Siddhanta 11.3)

Artinya :
Panca maha bhula namanya ialah: Bumi, air, cahaya, angin, dan angkasa. Yang
dinamakan Panca tan matra adalah sabda (bunyi), sparsa (sentuhan), rupa (bentuk), rasa (rasa),
dan gandha (bau). Itulah kelima unsur panca maha bhuta dan panca tan matra. Mereka
merupakan tubuh dari A kara, panca maha bhuta dan panca tan matra, sepuluh manifestasinya
bersama-sama, semua unsur itu merupakan pancaran dari suara A kara.

Dinyatakan bahwa alam semesta terbagi menjadi tujuh lapis keatas disebut Sapta loka dan
tujuh lapis kebawah disebut sapta patala. Sapta loka terdiri dari Bhur loka, Bhuwah loka, Swar
loka, Mahar loka, Jana loka, Tapa loka dan Satya loka sedangkan Sapta patala adalah: Tala,
Sutala, Nitala, Santala, Atala, Waitala, dan Patala. Dibawahnya merupakan tempat Bala Gadarba
yaitu Maha neraka, tempat Sang Kala Gni Rudra, yaitu api yang menyala-nyala dengan amat
besarnya.
Penciptaan tubuh manusia oleh Bhatara Siwa digambarkan sebagai sebuah misteri
karena sulit dipahami dengan akal. Tubuh manusia dapat digambarkan sebagai miniatur dari
dunia yang besar (bhuwana agung) karena itu disebut bhuwana alit (alam kecil). Dikatakan
miniatur bhuwana agung karena apa yang ada pada bhuwana agung ada juga dalam tubuh
manusia. Misalnya dalam bhuwana agung terdapat Sapta Tirta, Sapta Samudra, Sapta patala,
itu juga terdapat dalam tubuh manusia.

Dalam Jnana Siddhanta Sapta loka disebut juga sapta bhuwana, yaitu

Bhurlokasca bhuvarloka svarlokasca lathai va ca.


Maharlika janalokas tapah salyas ca saptadha.
Nihan ta vyaktinya Sang Hyang Siddhanta sapta bhuvana, bhurloka, bhuvarloka, svarloka.
maharloka, janaloka. tapoloka satya loka. Nahan ta Iwirnira sapta bhuvana

Sunya berarti Bhatara Siwa dipandang sebagai citta rahitantya. Citta rahitantya namanya karena
Bhatara Siwa merupakan apa yang disebut tidak memiliki ciri-ciri apapun. Tidak memiliki ciri
apapun karena kosong, pikiran kosong, akal budi kosong, ajaran kosong, maksud-maksud
kosong. Idenya ialah kesunyian bercirikan Sunya. la santyatita. Ia berkuasa mengatasi
pengungkapan kenyataan (tattwa), la disebut Mahanatha (raja agung), la disebut Bhatara Siwa.
Amat banyak ilmu pengetahuan tentang Nya.

Bhatara Siwa adalah sumber segala yang ada, termasuk dewa-dewi dan manusia yang
diciptakan melalui pemecahan diri Sang Hyang Mahavindu menjadi para dan apara dengan
sarana saktinya yang lerdiri atas dasa sakti, nava sakti, asta sakti, panca sakti dan tri sakti.

Jneya eko mahavinduh, sa punar dvi vidho bhavet,


Para paro vibhagena. sakala niskalas tatha
(Jnana Siddhanta 9:1)
Artinya:
Sang Hyang Mahavindu adalah Esa. kemudian menjadi dua dengan memecah diri,
menjadi para dan apara dengan sifat šakala dan niskala.

Punah pancavidho vinduh. panca sakti vyavasthiteh,


Ekadha niskalo vinduh caturdha sakalo parah
(Jnana siddhanta 9.2)

artinya:
Sang Hyang Maha vindu dengan sarana Panca sakti, Yang Esa adalah yang niskala, yang sakala
bersifat empat.

Dasa sakti Bhatara Siwa adalah: Parama pari purnante, parama nandarata, parama pari
drptata, arama druva nadita, parama cintyala, parama suddhata, parama nandata, parama
sambhiti, paramal sarala, dan parama sivatwa.
Nawa Sakti Siwa ialah: Bami, Jyesthi. Raudri, Kala, kalawibrani, Balawibirani, Bala
pramathani, anva bhuta damani, Manonmani.
Asta sakti Siwa ialah: Jnanani, Malani, Sargesthani, Watani, Anugrahani, Prasodani,
Prawodani, en Mohani
Panca sakti Siwa ialah: yugapat, darsanam, yugapat srawanam, yugapat mananam,
yugapat manam, maha sarwa jnata (sekaligus melihat, mendengar, berpikir, mengetahui serta
pengetahuan ung tentang segala sesuatu).
Tri sakti Siwa adalah: yugapat manojavitwam, yugapat hamans pitwam, yugapat awikara
keutamaan yang tak dapat diubah). armitwam (kecepatan dalam mengamati, kemampuan
untuk, mengenakan setiap wujud sekehendaknya
Saguna, disebut Sadasiwa tattwa. Demikianlah keadaan Bhatara Siwa dalam wujudnya
sebagai Sadasiwa dengan sifat-sifat Nya
Selama la tidak ingat akan kodratnya yang sejati selama itu Bhatara akan berada dalam
tubuh

Yawat pwa Sang Hyang Mahan tan atutur ing jatiniran makwak Pramana Wisesa,, kasaputan
dening jan maniran dadi manusa, ta wat sira tumolah haneng janma kabeh. Nityasa ta sira
humidep mala, klesa, samsara, papa pataka.

Artinya :
Selama Yang Maha Ada (Sang Hyang Mahan). tidak ingat akan kodratnya yang sejati yaitu
tubuhnya merupakan Pramana Wisesa, dan ditaklukkan oleh kelahiranNya sehingga menjadi
manusia, sebagai atma la terus menerus berada

(Jnana Siddhanta 26.5)


Artinya:
Beginilah penampakan Sang Hyang Siddhanta dalam tujuh alam itu : Bhurloka,
Bhuwarloka, Swarloka, Maharloka, Janaloka, Tapoloka, Satyaloka..

Talam caiva sutalam ca nitalamca tad waca,


Santalam, caiva vitalam patalam saptadha smitah.

(Jnana Siddhanta 24.4)


Artinya:
Tala, sutala dan nitala serta atala, santala dan juga waitala dan palala. itulah dinamakan
tujuh neraka.

Narmada caiva Sindhusca, Ganga caiva, sarasvati.


Siravati, Nadi Srestha. Nadi tejtham ca sapta dha

(Jnana Siddhanta 24.1)


Artinya:
Tujuh air suci adalah Narmada, Sindhu, Gangga, Saraswati, Airawati, Nadi srestha dan
Nadi Tistha.

Lavana ksira dadhikah, sarpis caksur apoparam,


Sura svada-kalah saptah samudrah parikirtitah.

(Jnana Siddhanta 24.2)


Artinya:
Air asin, susu, susu asam, mentega yang jernih serta cairan tebu, alkohol, endapan tebu
yang digiling, semua itu masyur sebagai tujuh samudra.

Sapra loka dalam tubuh manusia adalah: bhurloka pada kaki kanan, bhuwarloka pada
kaki kiri, Swarloka pada alat kelamin, maharloka pada tangan kanan, janaloką pada
tangan kiri, tapaloka pada raut muka, dan satya loka dalam kepala.

Yang dinamakan sapla patala dalam tubuh adalah: tala adalah langit-langit, sutala
adalah akal budi (budhi), nitala adalah batin (manas), santala adalah ego (ahamkara), alala
adalah puser, waitala adalah alat kelamain, dan patala adalah dubur. Patala juga dianggap
neraka.
Saraswati adalah lidah, Airawati adalah hidung, dan Nadi srestha adalah telinga. Air suci
Narmada pada batin (manas), Sindu adalah akal budi, Gangga pada pangkal tenggorokan,
Keringat adalah samudra air asin, sumsum adalah samudra susu, daging adalah samudra
susu asam, dan darah adalah samudra perasan lebu, air seni adalah samudra alkohol, dan gula
merupakan samudra yang sama dengan lidah.
Selain digambarkan sebagai miniatur bhuwana agung tubuh manusia juga dilukiskan
sebagai lambang Om kara, yang juga disebut pranawa, Wiswa, Ghasa, Ekaksara, Tumburu
tryaksara angga.
Bagian tubuh yang melambangkan Om kara adalah :

Dalam tubuh Simbul Tubuh bagian dalam simbul


Dada O kara Paru-paru O kara
Lengan Ardha-candra Limpa Srdhacandra
Kepala Vindu Jantung Vindu
rambut Nada Empedu Nada
ati Matra

Demikianlah uraian tentang alam semesta yang meliputi tentang bhuwana agung dan
bhuwana alit. Alam besar atau bhuwana agung meliputi seluruhnya sedang bhuwana alit adalah
tubuh manusia yang merupakan miniatur alam besar sekaligus juga merupakan bagian dari
alam besar itu.

10.4. Ajaran Tentang Kelepasan

Dalam Jnana siddhanta kelepasan atau kamoksan adalah bila telah tercapai
kemanunggalan, bersatu dengan Bhatara Siwa dengan cara pemusatan pikiran. Untuk mencapai
ini orang harus melakukan pemusatan pikiran, Bhataralah sebagai obyek pemusalan pikiran itu.
Ada beberapa cara pemusatan pikiran pada Bhatara yang harus dilaksanakan dengan
teguh hati:
1. Segala tingkah laku hendaknya hanya Bhatara Siwa sebagai obyek sasarannya.
2. Pikiran hendaknya hanya memikirkan Bhalara Siwa
3. Pendengaran hendaknya hanya mendengarkan Bhatara Siwa saja.
4. Penglihatan hendaknya hanya Bhatara Siwalah yang selalu dipandang
5. Pembicaraan hendak hanya Bhatara Siwalah yang dibicarakan
6. Kedipan mata hendaknya hanya ditujukan kepada Bhatara Siwa.
7. Jadikanlah hanya Bhatara Siwa sebagai nafsu.

Ketujuh pemusatan pikiran ini disebut sapta budyangga maya. Apabila ketujuh
pemusatan pikiran itu berhasil ditunggalkan disebut ekatara parama (ketunggalan tertinggi)
Pada saat ketunggalan tertinggi terjadi maka tidak ada lagi yang dirasakan, yang ada hanya rasa
wisesa, wulat wisesa, wulah wisesa. Bila itu tercapai terjadilah kelepasan itu.
Ada tiga jalan utama yang dapat ditempuh pada saat terjadi peleburan. Ketiga jalan itu
ialah :
1. melalui ubun-ubun (nistha).
2. melalui ujung hidung (madhya)
3. melalui mulut (uttama).

Ketiga jalan ini mengantarkan kepada kelepasan yang menyebabkan tidak akan
dilahirkan kembali mencapai parama kewalya. sebagai manusia, menyatu dengan Sang
Pencipta, asalkan orang telah menguasai niskala jnana dan Agar mampu memusatkan pikiran
mencapai ekatara parama (ketunggalan tertinggi) haruslah dilatih melaksanakan prayoga
sandhi, melaksanakan yoga. Ada enam tahap yoga yang disebut Sadangga yoga, yaitu
prathyakara yoga, dhyana yoga, 'pranayama yoga, dharana yoga, tarka yoga dan
Samadhi yoga.

1. Prathyahara yoga
Indriyanindriyarthebhyo.
Visayebhyah prayatnatal
Santena manasahitya
Prathyaharo nigadhyate

Prathyara yoga ngaranya. ikang sarwendriya winatek haywa winehring wisayanya, kinem peling
citta maho malilang. enak pwa hmang-hmingnya. Mari wisaya yeka prathyara yoga ngaranya.
(Jnana siddhanta 15.2)

Artinya :
Yang dinamakan Prathyahara yoga ialah semua indriya hendaknya ditarik dan tidak
diserahkan kepada kekuatan panca indra. Indriya itu hendaknya dipusatkan di dalam
batin yang hening. yang murniannya menyenangkan, sedangkan indriya-indriya itu tidak
aktif lagi. Itulah yang dinamakan prathyahara yoga.

2. Dhyana yoga
nirdvandwam nirvikaram ca
nisaktam acalam latha,
yad dhruvam dhayate nityam
tad dhyanam itu kathyale

dhyana ngaranya ikang ambek lan parwar-wara, tan wikara, enak hnang-hring nya umidung tan
kawaranan ekacilla anusmarana pinaka laksananya, yaka dhyana yoga ngaranya
(Únana Siddhanta 15.3)

Artinya :
Yang dinamakan dhyana ialah batin hendaknya tak terbagikar, tak berubah dalam.
kemurniannya, menyenangkan, tak dapat digerak tetapi teguh lak terhalang, sedangkan
cirinya yang khas yaitu dalam konsentrasinya eka Citta, itulah yang dinamakan dhyana
yoga.

3. Pranayama yoga
pidhitva sarva dvarani
bayus vahyam prayacchati
mudhanam bayu no bhidya
prana yamo nigadyate

prana yama ngaranya, tutupanang dwara kabeh mata, irung, kapo, tutuk. Ndan ikang bayu
rumuhun isep, wetwakena ring wunwunan. Kunang yan tan dharaka, ngaranya. dadi wineh
mawahana ring irung, pahalon ikang bayu. Yeka pranayama
(Jnana Siddhanta 15.4)

Artinya :
Inilah yang dinamakan pranayama, tutuplah semua lubang mata, hidung, mulut dan
telinga. Sesudahnya nafas harap dihirup dan dikeluarkan melalui ubun-ubun. Tetapi bila
ini tidak dapat ditahan, boleh juga nafas dikeluarkan lewat hidung perlahan-lahan. Inilah
yang dinamakan pranayama yoga.

4. Dharana yoga
Omkaram hradaye sthapya
Tato linam sivatmakam
Sunyatma srutaye nasti
Dharanam iti kashyate

Dharana yoga ngaranya, Om kara pranawa hana ring kradaya, yetaka dharanam yapwan hilang
mari karengo rikalaning yoga, yateka sunya Siwatma kawak Bhatara, Yeka dharana yoga
ngaranya
(Jnana Siddhanta 15.5)

Artinya :
Inilah yang dinamakan dharana yoga, wijaksara Om yang suci ditempatkan di dalam
jantung. Batin hendaklah dipusatkan di sana. Bila ia lenyap dan tak di dengar lagi pada
saat yoga dilaksanakah, maka ia menjadi sunya, Siwatina yang terwujud oleh Bhatara,
itulah yang dinamakan Dharana yoga.

5. Tarka yoga
cittam akasa vac chuddham
nakasam eva tallvalah
paramarthat tu nih sabdam
tarka yogo, bhidhiyate

tarka yoga ngaranya kadi akasa rakwa Sang Hyang Paramartha. Ndatan akusa wih, apan tan
hana sabda iriya. Yeka kalinganing para martha palenira sakeng awang-awang tuhun
papadangira ring malilang yeka tarka yoga ngaranya
(Jnana Siddhanta 15.6)

Artinya :
Yang dinamakan Tarka yoga ialah memang Sang Hyang Paramartha itu bagaikan langit
tetapi sebetulnya bukan langit, karena tak terdapat suara didalamnya. Itulah arti .
Paramartha, berbeda dengan cakrawala sekalipun terangnya sama. Itulah yang
dinamakan Tarka yoga.

6. Samadhi yoga
nirupeksam nihkalpanam
niralam bana nihsprham
niravaranam nih sadhyam
samadhis tu nigadhyate

samadhi yoga ngaranya, ikang jnana tan pangupeksa tan pangalpana, tan
panakwa, tan hana kayun iriya, tan hana sadhyanira, malilang tan kawaranan. Yeka samadhi
yoga ngaranya, ling bhatara
(Jnana Siddhanta 15.7)

Artinya :
Inilah yang dinamakan samadhi yoga batin tidak cemas, tidak mempunyai konsep-konsep, tidak
memiliki sesuatu, tidak ada keinginan, tak ada obyek, jernih tanpa halangan. Itulah yang
dinamakan samadhi yoga sabda Bhatara.

Demikianlah uraian tentang Sad angga yoga, enam tahapan yoga sebagai jalan menuju
kelepasan. Apabila tahapan-tahapan yoga ini dilaksanakan dengan teguh, diyakini dapat
mengantarkan mencapai kelepasan, tidak lagi terkena lingkaran kelahiran kembali.
Secara garis besar tahap-tahap pencapaian kelepasan ada empat, disebut Catur Viphala
terdiri dari nihsprha, nirbana, niskala dan nirasraya. Catur Viphala mengandung pengertian
empat tingkat peniadaan keterikatan. Kata phala artinya pahala, atau hasil perbuatan yang
pada umumnya mengikat atau membelenggu manusia. Dalam pencarian. kelepasan ini semua
pahala-pahala yang mengikat dan membelenggu sang atma secara bertahap dikurangi atau
ditiadakan sampai akhirnya benar-benar terlepas dari segala ikatan.
Nihsprha ngaranya tan hana kasadhya nira, artinya nihsprha itu adalah tingkatan dimana
tidak ada lagi sesuatu yang diinginkan. atau sesuatu yang disayangi. Nirbana ngaranya tan
pasanira tan hana sadhya, artinya nirbana ialah seseorang sudah tidak berbadan, dan tidak ada
sesuatu yang disayangi, diingini atau dicintai. Niskala ngaranya pasamuhan ing sarwwa taya, tan
kaŝuduhan tan parupa warna, tan paḥamenan, artinya niskala ialah bertemu atau berkumpul
dengan Yang Suba Tidak Ada, yang tanpa ciri, tanpa bentuk maupun warna, dan tanpa sisa.
Ateher rnisra ring awak Bhatara, ya tika nirasraya ngaranya, artinya lebur dalam tubuh Bhatara
itu nirasraya namanya.
Pada tingkat niskala dikatakan atma baru mencapai tempat tinggal pada kaki Bhattara,
maksudnya sudah bersatu tetapi masih terpisah atau masih ada yang memisahkan. Apabila
sudah sampai pada tingkat nirasraya barulah atma lebur menyatu dengan Bhatara, tidak ada
jarak, tidak ada pemisah dan tidak dapat dibedakan, inilah pencapaian tingkat tertinggi dan
sempurna.
Dalam hubungan pemusatan pikiran menuju Sunya loka atma mengalami tujuh bentuk
tingkat keadaan yang disebut Sapta atma.

Atma caivantaratma ca paramatma niratmakam, Atyama niskalatma sunyatma sapta bhedakam


(Jnana Siddhanta10.4)

Artinya :
Sapta atma mempunyai tujuh bentuk, yaitu: atma, antaratma, paramatma, niratma,
atyatma, niskalatma dan sunyatma.

Sapta atma berkaitan langsung dengan Sapta devata yang terdiri dari Brahma, Wisnu,
Iswara, O, Ardhacandra, 'Windu dan Nada. Mahadewa, Rudra, Sadasiwa dan
Paramasiwa, dengan sapta aksara sebagai wijaksaranya yaitu A, U, MA,
Ketujuh Dewata dengan Wijaksaranya bertempat dalam tubuh manusia sebagai berikut :
Brahma diantara kedua alis, Sadasiwa pada tangan dan Parama siwa pada kepala. pada pusar,
Wisnu pada jantung, Iswara pada tenggorokan, Mahadewa pada ketujuh lubang, Rudra

Brahma visnvisvaro jneyo, Mahadewasca Rudrakah, Sada sivah Param sarva ity ete sapta
devata.
(Jnana Siddhanta 10.5)
Artinya :
Brahma, Wisnu, Iswara, Mahadewa, Rudra, Sadasiwa dan Paraina siwa, mereka dikenal
sebagai Sapta dewata.

Akaras cokaras caiva, makara okara evaca. Ardhacandrako, Vindus ca nadas tu sapta dha
smrtah.
(Jnana Siddhanta 10.6)
Artinya :
A kara U kara Ma kara dan O kara, Ardha candra, Windu (Bindu) dan Nada, semua
berjumlah tujuh merupakan wijaksara dari Sapta dewata.

Nabhi kradaye kanthe ca, sapta dvare bhruma dhye ca, Panidesè ca murdhni tu ity ete
saptadha smrtah.
(Jnana Siddhanta 10.7)
Artinya :
Ketujuh tempatnya dalam tubuh adalah sebagai berikut: pusar, jantung, tenggorokan,
ketujuh lubang, diantara dua alis, tangan dan kepala itulah ketujuh tempatnya dalam
tubuh.
Ketujuh tempat dalam tubuh ini merupakan tempat pemusatan (konsentrasi) yang
terdiri dari tujuh tahap, disebut sapta pada yang terdiri dari : jagra pada, swapna pada,
susupta pada, turya pada, turyanta pada, kaiwalya stha dan phram Brahma.

Jagra svapna susuptani, turya turyantam eva ca, Kaivalya stham Parambrahma ity ete
sapta dha smrtah.
(Jnana Siddhanta 10.8)
Artinya :
Ketujuh tahap suci bagi konsentrasi adalah sebagai berikut: jagra pada, swapna pada,
susupta pada, turya pada, turyanta pada, kaiwalya pada dan param brahma, demikianlah
ketujuh tahap konsentrasi juga disebut Sang Hyang Parambrahma.

Brahma adalah atma tempatnya di pusar, berwarna merah dan berlengan empat, la menikmati
keadaan jaga (jagra) dialah pencipta dunia dan berwujud A (ANG) dalam Wijaksaranya. Wisnu
adalah antaratma bertempat tinggal pada jantung, berwarna biru hitam, la menikmati tahap
swapna, hara dunia ini: dan berwujud U (UNG) dalam wijaksaranya. Iswara adalah paramatma
tinggal dalam tenggorokan warnanya putih menikmati tahap susupta (tidur nyenyak) pelebur
dunia, berwujud MA (MANG) dalam wijaksaranya. Mahadewa adalah niratma menempati
ketujuh lubang pada tubuh berwarna kuning menikmati tahap turya penyebab dunia (jagad
artha) berwujud O dalam wijaksaranya. Sang Hyang Rudra adalah atyatma menempati sela alis
berwarna seperti matahari, menikmati tahap turyanta pada, parama bhakta dan parama karana
berwujud ardha candra (bulan sabit) wijaksaranya. Sang Hyang Sadasiwa kaiwalyapada tanpa
aksara berwujud Windu. adalah niskalatma bertempat pada pani (batas dahi) lepas dari segala
sifat (bhawaksepa), menikmati tahap
aksara berwujud windu.
Sang Hyang Paramasiwa adalah sunyatma menempati kepala, la tidak aktii tahap
Paramabrahma berwujud (maha sunya). (Brahma Tetinggi) berwujud Nada (gema suara). Nada
atau gema suara sesungguhnya sudah tidak berwujud (maha sunya).
Dengan Sadangga yoga sebagai sadhana atma menapak secara bertanap dalam
pemusatan sunyatma lebur pada Paramasiwa, itulah alam kelepasan murni. pikiran dari tahap
jagra pada menuju tahap tertinggi yaitu lahap Parambrahma dimana atma mencapai
sunyatman lebur pada paramasiwa, itulah alam kelepasan murni.

Tempat di Alam/sapta
Sapta atman Sapta dewata wujud Warna
tubuh pada
Sunyatman Siwa parama Kepala Nada Tidak aktif Parambrahma
Kaiwalya
Niskalatman Sadasiwa Pahi Windu Tanpa sifat
pada
Warna Turyanta
Atyayma Rudra Tengah alis Ardha candra
matahari pada
Ketujuh
Niratma Mahadewa O Kuning Turya pada
lubang
Paramatman Isara Tengorokan MA Putih Susupta pada
Ntaratman Wisnu Jantung U Hitam Swapna pada
atman Brahma puser A merah Jagra pada

Seperti digambarkan dalam ikhtisar ini, pemusatan pikiran dimulai dari tahap jagrapada,
keadaan dar berjaga sepenuhnya menempati alam yang lebih halus swapnapada, meningkat
terus sampai pada arambrahma yang terhalus (tanpa wujud, maha sunya) sebagai tingkat yang
tertinggi. Demikian pula ma memasuki tingkatan semakin tinggi antaratma, demikian
seterusnya sampai pada tingkat sunyatma, lak berwujud, karena lebur dengan Parama siwa,
alam kelepasan tertinggi.
Demikianlah diantaranya tahap-tahap pencapaian kelepasan dalam ajaran Jnana
Siddhanta, engetahuan yang sangat pelik dan sulit dicapai, karenanya sangat memerlukan
ketekunan dan menanaman rasa bhakti.
11. SIWA TATTWA DALAM KEHIDUPAN BERAGAMA HINDU DI
INDONESIA
11.1 Siwa Tattwa Dalam Upakara-Upakara

Dalam Pustaka Bhagavad gita Bab III Sloka 10 terdapal uraian tentang yadnya demikian :

SAHAYAJNAH PRAJAH SRISHTVA


PURO VACHA PRAJAPATIH
ANENA PRASA VISHYA DHVAM
ESHA VO STVISHTA KAMADHUK

Artinya :
Dahulu kala Prajapati menciptakan manusia bersama bakti persembahannya dan
berkata dengan ini engkau akan berkembang biak dan biarlan ini jadi sapi perahanmu.

Dalam keterangan sloka ini ada tiga hal penting yang tidak dapat dipisahkan yaitu
pertama Prajapati (Tuhan, Sang Hyang Widhi Wasa) beryadnya menciptakan manusia dan alam
semesta. Kedua praja yaitu manusia yang diciptakan harus beryadnya kepada Tuhan dan alam
lingkungannya, dan ketiga Kamadhuk lambang alam semesta yang memberikan kemakmuran
dan kesejahteraan kepada manusia sebagai wujud yadnyanya kepada manusia.
Jadi sloka ini menggambarkan bahwa kesejahteraan dan kebahagiaan hidup dapat
terwujuc apabila ada keharmonisan antara manusia dengan Tuhannya, antara manusia dengan
alam sekitarnya dan antara manusia dengan manusia sesamanya. Inilah yang menjadi landasan
utama dalam penyelenggaraan upacara agama Hindu.
Dalam upayanya untuk mengharmoniskan hubungannya dengan Tuhan, Sang Hyang
Widhi Wasa. umat Hindu menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan, mulai dari
persembahyangan, upacara pujawali di pura, perayaan hari-hari raya keagamaan dan lain
sebagainya.
Selain sebagai sarana mendekaikan diri kehadapan Tuhah, upacara keagamaan juga
bermakna sebagai upaya meningkatkan kesucian diri. Bhagawan Sri Satya Narayana
menyatakan bahwa untuk penyucian diri perlu ada lima unsur dalam upacara-upacara
keagamaan, yaitu: mantra, yantra, tantra. yajna dan yoga. Mantra adalah doa-doa yang harus
diucapkan dalam upacara baik oleh peserta upacara maupun oleh pemimpin upacara itu
sendiri, sesuai dengan kedudukan masing-masing. Yantra adalah simbul-simbul keagamaan
yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk meningkatkan kesucian. Tantra adalah
kekuatan suci dalam diri yang dibangkitkan sesuai dengan petunjuk kitab-kitab suci. Yadnya
adalah pengabdian tulus ikhlas atas dasar kesadaran untuk dipersembahkan. Sedangkan Yoga
adalah upaya pengendalian gelombang-gelombang pikiran untuk berhubungan dengan Tuhan.
Disamping simbul-simbul keagamaan yang diyakini mempunyai kekuatan spiritual untuk
meningkatkan kesucian adapula banten atau sesajen yang juga disebut upakara. Bahkan dalam
lontar Yadnya Prakreti dijelaskan bahwa banten atau upakara adalah lambang dari tiga unsur
yang disebutkan dalam Bhagawadgita Bab III seloka 10 tadi. Banten melambangkan Sang Hyang
Widhi Wasa dengan segala manifestasinya, banten juga melambangkan manusia baik jasmani
maupun rohani, selain itu banten juga lambang alam semesta. Jadi banten adalah visualisasi
dari filsafat agama Hindu.
Filsafat agama yang begitu tinggi. tentu tidak mudah dipahami oleh semua umat,
terutama yang dimunculkan sehingga lebih mudah untuk dipahami. kemampuan intelektualnya
masih rendah. Melalui simbul-simbul dalam banten filsafat agama itu
Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan. Yang Maha Esa atau Bhatara Siwa dalam bahasa
masyarakat sehari-hari adalah Maha abstrak, amat sulit dapat dibayangkan bahwa Yang Maha
Esa itu adalah Pencipta, Pemelihara dan Pamralina alam semesta. Sebagai Pencipta diberi gelar
Brahma, sebagai Pemelihara diberi gelar Wisnu dan sebagai Pemralina diberi gelar Siwa, ketiga-
tiganya adalah Yang MahaEsa.
Untuk memudahkan pemahaman ini, wujud Tuhan yang abstrak itu diwujudkan dalam
sesajen yang sangat sederhana yang disebut "porosan". Bahannya adalah daun
sirih, pinang dan kapur, dirangkai menjadi satu. Daun sirih lambang Wisnu, Pinang lambang
Bhatara Brahma dan kapur adalah lambang Bhatara Siwa. Ketiganya adalah Yang Maha Esa itu,
diwujudkan dengan dirangkai menjadi satu.
Porosan yang bentuknya sederhana itu selalu terdapat dalam banten-banten lainnya
yang lebih besar dan lebih rumit. Hal itu menggambarkan bahwa hakekat Siwa yang abstrak itu
meresapi seluruh aspek kehidupan umatnya, artinya apapun yang dilakukan dalam hidup ini
haruslah demi bhakti kehadapan Siwa.
Lebih besar daripada porosan ada sarana sembahyang yang disebut kewangen. Kata
kewangen berasal dari kata yang artinya harum, jadi kewangen itu artinya keharuman. Sebagai
sarana untuk memuja Sang Hyang Widhi kewangen bermakna untuk mengharumkan nama
Sang Hyang Widhi. Menurut lontar Brahdhara Upanisad, kewangen adalah lambang Sang Hyang
Widhi Wasa. Kewangen dibuat dari daun pisang berbentuk kojong, dilengkapi dengan daun-
daunan (pelawa) dan hiasan puncaknya digunakan dari janur berbentuk dan disertai bunga. Di
dalam kojong umumnya diisi uang kepeng dua buah. Sebagai sarana sembahyag kewangen diisi
"porosan silih asih" yang terdiri dari dua lembar daun sirih diisi kapur serta pinang,
sedemikian rupa kalau dilipat atau digulung sebagain tampak perut dan sebagian lagi tampak
punggung daun sirih itu. Dalam sarana sembahyang kewangen dipergunakan sebagai sarana
memuja Sang Hyang Widhi Wasa sebagai anugrah dalam wujud Ardhanareswari seperti dalam
puja pengantarnya. Dan bahan-bahan yang dipergunakan untuk membuatnya jelas sekali
bahwa kewangen menggambarkan Siwa dalam wijaksara Omkara. Omkara adalah Ekaksara
lambang Sang Hyang Widhi Wasa atau Bhatara Siwa
Banten pesaksi yang ditempatkan di Sanggar Tawang adalah simbolis kehadiran dari
Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Siwa Raditya. Sanggar Tawang dengan banten pesaksi
umumnya dipergunakan pada sual melaksanakan suatu yadnya atau kegialan besar lainnya
dalam keagamaan. Siwa Raditya adalah saksi agung dalam jagat raya ini, kepadanya umat
memohon persaksian dan penerangan dalam melaksanakan hajatnya.
Banten Dewa Rawi yang dipersembahkan di Sanggar Tawang atau Tempat Suci lainnya
adalah lambang dari Lingga yoni atau Purusa Pradana. Purusa Pradana adalah prabawa Siwa
dalam kedudukan sebagai Sada Siwa, yang menggambarkan Siwa bersama SaktiNya.
Banten Catur menggambarkan empat kemahakuasaan Tuhan, Cadu Sakti, yaitu Wibhu
Sakti, artinya Maha Ada, Prabhu Sakti Maha Kuasa, Jnana Sakti Maha Tahu dan Kriya Sakti Maha
Pencipta. Ada juga yang disebut banten Gana, adalah lambang dari Ganapati, yang dikenal
sebagai Putra Siwa, yang berfungsi sebagai Dewa Wijnana, artinya Dewa Kebijaksanaan
pembasmi semua hambatan dan ancaman untuk mencapai tujuan hidup. Dewa Gana
digambarkan berlangan empat memegang mangkok yang berisi tirtha amrta, yaitu air
kehidupan yang sangat didambakan oleh setiap manusia. Tangan lainnya memegang cakupan
lontar, lambang ilmu pengetahuan, tangan lainnya lagi memegang kapak sebagai lambang
teknologi untuk mengerjakan sesuatu. Tangan lainnya memegang potongan gadingnya sebagai
senjata. Jadi atribut Ganapati menggambarkan bahwa orang harus mempergunakan ilmu
pengetahuan dan teknologi sebagai senjata untuk mendapatkan tirtha amrla dalam kehidupan.
Dalam upacara yang lebih besar biasanya dipersembahkan juga "Dangsil atau
Gayalı" melengkapi banten-banten lainnya. Dangsil alau Gayah adalah menggambarkan
para Dewa dalam mengendalikan alam semesta. Sang Hyang Widhi Wasa dengan ista
dewatanya menduduki setiap kiblat dengan Siwa di tengah-tengah. Bentuk ini biasa disebut
Pengider-ider Dewata Nawa Sangga. Dalam Dangsil atau Gayah senjata masing-masing dewata
di tempatkan sesuai Hiblatnya lengkap dengan Urip Bhuwananya. Wisnu senjatanya Cakra
dengan urip 4 menempati arah utara. Sang Hyang Sambhu senjatanya Trisula dengan urip 6
menempati arah Timur, Laut. Iswara dengan senjata Bajra dan urip 5 menempati kiblat Timur,
Mahesara (Maheswara) dengan senjata Dupa dan urip 8 menempati arah Tenggara. Brahma
senjatanya Gada dengan urip 9 menempati arah Selatan, Rudra senjatanya Moksala dengan
urip 3 menempati arah Barat Daya. Mahadewa senjatanya Nagapasa dengan urip 7 menempati
arah Barat, dan Sangkara senjatanya Angkus dengan urip 1 menempati arah Barat Laut,
sedangkan Siwa senjatanya Padma dengan urip 8 berkedudukan di tengah-tengah. Dangsil atau
Gayah menggambarkan pemujaan kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa dengan isla dewatanya
dalam mengendalikan dan menjaga keharmonisan alam semesta. Penggunaan simbul-simbul
Sang Hyang Widhi (Siwa) dalam upakara upacara Caru tampak lebih jelas lagi sebagaimana
gambaran para Dewata dalam masing-masing kiblatNya.
Penggunaan atribul-atribut atau simbul-simbul Sang Hyang Wirlhi Wasa dalam berbagai
upakara atau banten dapat dipergunakan sebagai sarana untuk memperdalam penghayatan
terhadap Nya sekaligus menimbulkan dan memantapkan rasa bakti umat.

11.2. Siwa Tattwa Dalam Tempat-Tempat Pemujaan


Tempat-tempat pemujaan bagi umat Hindu mempunyai nama. bentuk dan jenis yang
berbeda- beda. Sanggah pamerajan adalah tempat pemujaan milik keluarga terutama di Bali,
lebih besar dari itu umumnya disebut pura, ada juga yang menyebut kuil, Candi atau mandira.
Bentuknya juga berbeda-beda, ada lingga yoni, ada meru, ada candi dan pura seperti yang
dapat dilihat di pulau Bali. Apapun bentuknya semua dibangun dengan tata cara tertentu dan
setiap bentuk mempunyai arti dan makna tersendiri.
Dalam naskah-naskah lama yang umumnya berbahasa Jawa Kuna, tempat-tempat
pemujaan Hindu itu disebut parhyangan, ada juga yang menyebut dengan istilah Chetiya. Istilah
pura yang populer sekarang ini timbul belakangan.
Bentuk-bentuk bangunan pemujaan scperli dewasa ini adalah perkembangan bentuk
yang sangal. sederhana. Perkembangan bentuk bangunan ini menyesuaikan dengan
perkembangan kebudayaan umal manusia, yang juga tersentuh oleh perkembangan ilmu
pengetanuan dan teknologi.
Pembangunan pura untuk tempat pemujaan selalu berpedoman pada tuntunan kitab
suci. umumnya menerapkan konsepsi ketuhanan yang bersumber pada ajaran Weda.
Secara garis besar konsepsi ketuhanan daiam Weda, pertama disebut Parama Siwa
Tattwa. kedua Sada Siwa Tattwa dan ketiga Siwa Tallwa. Disebut Paraina Siwa adalah Tuhan
atau Siwa dalam kesadaran tertinggi. sama sekali tidak terjamah oleh belenggu maya, karena
itu la disebut "Nirguna Brahman". Ia adalah perwujudan sepi, suniya, suci murni,
tidak bersifal, kekal abadi tanpa aktifitas, tidak terjangkau oleh pikiran sehingga sering disebut
Sang Hyang Acintya, yang artinya "Yang Tidak Terpikirkan Disebut Sadasiwa adalah Siwa
yang kesadarannya muali tersentuh Maya, pada saat seperti itu la mulai terpengaruh oleh Sakti,
Guna dan Swabhawa, memiliki kemampuan untuk memenuhi kehendaknya. la menjadi Yang
Maha Ada, Maha Tahu, Maha Kuasa dan Maha Pencipta, yang disebut Cadu Sakti. la
digambarkan sebagai perwujudan mantra yang disimbulkan dengan aksara Om (AUM). la mulai
dikenal sebagai Brahma, Wisnu, Siwa, Iswara, Mahadewa dan sebagainya.
Disebut Siwa Tattwa alau Siwalma Tattwa karena pada tingkatan ini sakti, guna dan
swabhawanya sudah sangat berkurang karena pengaruh maya sangat kuat. Apabila
kesadarannya sudah terpecah- pecah karena kesadaran aslinya hilang, la terpengaruh dan
dikuasai oleh "awidya" la disebut Atma yang menjiwai makhluk hidup termasuk
manusia. Ia hanya dapat kembali lagi bersatu pada sumbernya apabila kesadarannya sudah
murni kembali, ini memerlukan proses yang panjang.
Konsepsi ketuhanan ini diterapkan pada bangunan tempat-tempat pemujaan, dari
bentuk yang paling sederhana sampai pada bentuk Padmasana yang sudah umum dikenal
dewasa ini.
Lingga merupakan bangunan pemujaan yang dipergunakan memuja Sang Hyang Widhi
dalam manifestasinya sebagai Siwa. Penggunaan lingga sebagai tempat pemujaan diperkirakan
sekitar abad ke 3, sesuai dengan prasasti Canggal yang terdapat di Jawa Tengah. Lingga dengan
dasar yoni merupakan ambang Puruşa dan Pradana. Dari segi bentuknya lingga melambangkan
Tri Murti, Siwa diberi edudukan paling alas, pada bagian yang bulat panjang, karena itu bagian
ini disebut Siwa Bhoga. Pada agian tengah bentuknya segi delapan kedudukan Wisnu, oleh
karena itu bagian ini disebut Wisnu Bhoga.
Sedangkan bagian bawahnya persegi empat, kedudukan Brahma, bagian ini disebut
Brahma Bhoga. Dibawahnya lagi bagian yang disebut yoni sebagai dasarnya adalah lambang
Pradana: Demikianlah lingga dan yoni secara keseluruhan adalah merupakan lambang Purusa
dan Pradana.
Dewasa ini bangunan Pura banyak mempergunakan Padmasana sebagai bangunan
utama. Bentuk bangunan Padmasana ini populer setelah Pulau Bali kedatangan Dang Hyang
Dwijendra, seorang pandita dari Jawa Timur. Sebelumnya bangunan Padmasana belum dikenal,
tempat pemujaan kebanyakan berbentuk Gedong.
Kalau. diperhatikan dengan cermal atribut-atribut pada padmasana yang menonjol
adalah pada bagian bawah terdapat kura-kura besar yang diliit oleh naga-naga, bagian ini
disebut Badawang Nala atau Kurmaraja, pada bagian paling atas yang berbentuk seperti
sandaran kursi terdapat relief yang disebut Acintya. Dibawahnya terdapat bagian yang seperti
tempat duduk bentuknya segi empat.

Dalam Pustaka
Acintya artinya tidak terpikirkan karena tidak terjangkau oleh pikiran manusia, sebutan
ini adalah untuk Siwa dalam kedudukan sebagai Parama Siwa. Parama Siwa adalah Siwa dalam
kesadaran ertinggi, belum terpengaruh oleh maya, tanpa sifat, tanpa bentuk, tanpa aktifitas
disebut Nirguna, tidak erjangkau oleh pikiran manusia oleh karena itu terlepas dari obyek,
pemujaan. 3hagawadgita VIII.9 dinyatakan sebagai "dhataram achintyarupan"
artinya "pemelihara yang wujudnya idak terlukiskan". Jadi bagian-bagian dari
padmasana yang disebut "ulon" oleh para undagi merupakan bagian untuk
menempatkan Parama Siwa dengan gelar Sang Hyang Acintya.
Dibawahnya pada bagian yang berbentuk segi empat menggambarkan Cadu Sakti empat
kemaha uasaan Siwa, Wibhu Sakti, Prabhu Sakti, Jnana Sakti dan Kriya Sakti. Pada tingkatan ini
Siwa disebut Saguna Brahman" atau Sadasiva Dalam Wrhaspati Tattwa dilukiskan
"Sawyaparah Bhatara Sadasiwa ana padmasana pahunggu hanira artinya: sangal gaib
Bhatara Sadasiwa ada padmasana sebagai empat duduknya. Padmasana artinya tempat duduk
kembang padma atau teratai dilukiskan dengan eratai berdaun bunga delapan sebagai simbul
dari astaaiswarya, yaitu: anima, laghima, mahima, prapli, rakamya, isitwa, wasitwa. dan jatra
kamawasayitwa, sebagai delapan sifat kemahakuasaanNya.
Bagian paling bawah adalah menggambarkan alam bawah atau Bhurloka tempat hidup
segala acam jenis makhluk termasuk manusia. Badawang Nala alau Kurnaraja yang dibefil oleh
naga dapat bayangkan sebagai permukaan bumi dengan segala isinya termasuk sungai-sungai
maupun gunung- unung, hutan dengan segala isinya, yang merayap di bumi maupun yang
terbang di udara. Di dalam hilah Siwatma berwujud Atma yang menghidupkan tiap makhluk
hidup. Pada kenyataannya bagian ini ibentuk dengan berbagai bentuk simbul tentang
kehidupan dunia yang sangat beraneka rupa.
Ada beberapa macam bentuk padmasana diantaranya ada yang disebut "Padma
Bhuwana" seperti ang terdapat di Pura Penataran Agung Besakih di Bali, tiga bangunan
padma berjajar dibawahnya enjadi satu, sehingga sering juga disebut padmatiga. Padma
bhuwana seperti di Besakih ini adalah thana bagi Parama siwa, Sada siwa dan Siwa. Jadi jelas
sekali penerapan konsep Siwa tattwa dalam angunan ini.
Di Bali banyak dapat dijumpai jenis dan bentuk pura sebagai tempat pemujaan. Ada
pura yang sebut kahyangan tiga, yaitu Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Kalau dicermati
ketiga tempat emujaan itu adalah untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasinya
sebagai Brahma Maha encipta, Wisnu Maha Pemelihara dan Siwa Maha Pralaya. Disamping
sebagai tempat pemujaan pura- emberdayaan masyarakat. ura ini juga dapat berfungsi sosial
kemasyarakatan misalnya untuk pembinaan meningkatkan dan Pura Catur Loka pala adalah
melambangkan Cadu Sakti atau Catur Sakti empat-kemahakuasaan uhan, yaitu Withu sakti,
Prabhu sakli, Jnana sakti, dan Krya sakti, yang diproyeksikan menjadi empal ura, yaitu : Pura
Lempuyang, Pura Batukaru, Pura Puncak Mangu dan Pura Andakasa.
Pada tiap keluarga di Bali umumnya ada tempat pemujaan yang disebut Shanggah
Kamulan empat ini adalah tempat menghormati para leluhur yang rohnya sudah diupacarakan
"dwa pratisthaada setiap makhluk hidup terdapat atma yang pada hakekatnya adalah
kesadaran Siwa yang terbelenggu inggah kamulan karena oleh keturunannya disetarakan
dengan sidha dewata. vidya. Dalam proses menuju kembali pada sumbernya ada kalanya atma
tersebut disthanakan pada
Puja asla maha bhaya menyebut nama-nama arah mala angin, nama dewa, warna dan
senja pada setiap arah mala angin dan suksmanira yaitu "halusnya" dalam badan
manusia. Senjata-senjata da suksmanira dalam badan adalah sebagai berikut ini

Timur senjatanya bajra, halusnya berada pada papusuh (jantung).


Tenggara senjatanya dhupa, halusnya berada pada paru-paru.
Selatan senjata danda, halusnya berada pada hati.

Barat daya senjalanya khadga, halusnya berada pada usus.


Barat senjatanya naga pasa, halusnya berada pada ungsilan, ginjal.
Barat laut senjatanya dhwaja, halusnya berada pada palillitan.
Utara senjatanya gada, halusnya berada pada tikta.
Timur laut senjatanya Trisula, halusnya berada pada tutud.
Di tengah-tengah bawah senjatanya Cakra sudarsana, halusnya berada pada pusar.
Di tengah-tengah senjatanya pustaka.

Demikianlah puja asta maha bhaya memaparkan tentang pengider-ider. Konsepsi


Bhatara Siwa lalam ider-ider juga ada yang digubah dalam kidung dalam prosa-prosa baik
berbahasa Jawa maupun bahasa Bali.

DAFTAR PUSTAKA

1. Made Titib 1948 Veda Sabda Suci pedoman praktis kehidupan,


Per Paramita, Surabaya
2. I Made Titib 1989 Ketuhanan dalam Weda, Yayasan Panti Asuhan
Dharma jati Denpasar
3. Arthur Avalon Maha Nirwana Tantra Upada Sastra, Denpasar
Penerjemah K. Nila 1997
4. 1 Gusti Ngurah Rai Mirsha, dkk 1994 Bhuwana Kosa, alih aksara dan alih bahasa
Upada Sa Denpasar
5. I.G.A.G. Putra dan Wayan Sadia 1988 Wrhaspati Tattwa, Yayasan Dharma Sarathi,
Jakarta
6. I Gde Sura, dkk Tatwa Jnana, Paramita, Surabaya
1990
7. I Gusti Ngurah Rai Mirsha, dkk 1995 Ganapati Tattwa, Kajian Teks dan
Terjemahannya, Up Sastra, Denpasar
8. Haryati Soebadio 1985 Jnana Siddhanta, Penerbit Djambatan, Jakarta
9. 1 Gde Sura, dkk 1998 Siwa Tattwa, Pemerintah Daerah Tingkat I Bali
10. I Gde Pudja 1983 Theologi, hindu (Brahma Widya), Proyek
Penerang Bimbingan dan Dakwah / Khutbah
Agama Hindu d Buddha Dep. Agama RI, Jakarta
11. Catur Yadnya, Pemda Tingkat I Bali, Denpasar
1990
12. Ketut Wiana 1993 Manikgeni, Jakarta Bagaimana Umat Hindu
Menghayati Tuhan, PT. Pustaka Manikgeni,
Jakarta
13. Ketut Wiana 1999 Arti dan Fungsi Sarana
Persembahyangan, Yayasan Wisma
Karma, Jakarta
14. Ketut Wiana 1995 Yajna dan Bhakti Dari Sudut Pandang Hindu, PT.
Pustaka Manikgeni Jakarta.
15. R.M. Ng. Purbatjaraka Kebudayaan Indonesia (Riwayat Indonesia),
Badan Pembina Perguruan Tinggi (Maha Widya
Bhawana) Institu Hindu Dharma, Denpasar,
1968
R. Garis
Sekte-Sekte di Bali, Bhratara, Jakarta, 1974

Anda mungkin juga menyukai