Anung Tedjowirawan
Perpusnas Press
2020
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Perancang Sampul
Citrani Eka Lamda Nur
Diterbitkan oleh
Perpusnas Press, anggota Ikapi
Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta 10430
Telp: (021) 3922749 eks.429
Fax: 021-3103554
Email: press@perpusnas.go.id
Website: http://press.perpusnas.go.id
perpusnas.press
perpusnas.press
@perpusnas_press
ii
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Sambutan
iii
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Jakarta, 2019
Ttd
iv
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya penyusunan buku ini. Buku ini merupakan revisi dari tesis penulis
sebagai salah satu syarat guna memperoleh derajat Master of Art dalam Ilmu
Sastra di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Adapun
tesis penulis tersebut berjudul Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana
karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-
Genealogi.
Buku ini dapat penulis selesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., Rektor Universitas Gadjah Mada di Tahun
2013.
2. Prof. Dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D., Wakil Rektor Bidang
Akademik Universitas Gadjah Mada di Tahun 2013.
3. Dr. Ida Rochani Adi, S.U. Dekan dan Dr. Amir Ma'ruf, M.Hum. Wakil Dekan
I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Tahun 2012.
4. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, MA., Dekan dan Dr. Wening Udasmoro,
M.Hum., DEA., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta di Tahun 2013 - 2016.
5. Prof. Dr. Faruk, S.U., Pengelola S2 Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
6. Prof. Dr. Marsono, S.U. selaku Dosen Pembimbing Tesis.
7. Seluruh keluarga, Asri Larasati (istri), Dhananjaya Sajjana Adhiwijña dan
Adhana Kusuma Anindyajati (anak-anak) yang telah memberikan perhatian
sepenuhnya kepada penulis dalam menyusun draf buku ini.
Atas segala budi baik di atas, semoga Tuhan Yang Maha Pemurah
melimpahkan karunia-Nya.
Penulis sangat berharap untuk dapat menerbitkan buku yang bersumber
dari tesis ini, namun tidaklah mudah bagi para penerbit untuk bisa menerima
karya ilmiah murni, tanpa mempertimbangan dari segi bisnis. Oleh sebab itu
perlu ada Lembaga-Lembaga Pemerintah maupun Swasta yang nonprofit yang
bersedia menerbitkan karya-karya berkualitas dari para peneliti ilmiah murni
tersebut. Kehadiran dan kesediaan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia
v
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Penulis
Anung Tedjowirawan
vi
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Daftar Isi
Sambutan.......................................................................................................iii
Kata Pengantar .............................................................................................v
Daftar Isi ......................................................................................................vi
BAB I Pendahuluan.....................................................................................1
A. Latar Belakang dan Masalah..................................................................1
B. Tujuan Penelitian....................................................................................9
C. Landasan Teori.......................................................................................9
D. Metode Penelitian1.................................................................................11
vii
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Daftar Pustaka...............................................................................................239
Indeks............................................................................................................249
viii
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Bab I
Pendahuluan
1
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Hana pwa ya mangke wuwusěn, ikang kāla tan hanā ditya candra nakṣatra
bāywākāҫādika, pralaya ri wěkas ning sanghārakalpa, prāpta mwang
sargakāla pratiniyata mijil saprakāranya ngūni, īccā sang hyang tinūtnyān
hana kātěkān ҫabda sanghāradharma, sang hyang Ҫangkara aṭah kāraṇanyān
hana lāwan bhaṭārī dehārdha, kāraṇa nira mapīsan lāwan baṭāra Trinetra
sira, an munggwi ng Kaīlāҫaҫikhara sadṛҫa utungga siddha pratiṣṭa, sākṣāt
maṇḍalam sabhuwana īkā tang parhyangan sthāna sang hyang.
Sang hyang Ҫṛī Deweҫwara sira ta Ṣaḍgaṇa mwang bhaṭārī karěngwan ing
pūrwaka ning kathā, pūrwastatra ri sīrān pangājña Ҫrī Dharmawangҫa
Těguh Anantawīkramattunggadewa, prabhu pinakagawayakěn prākṛṭa
parwa, tan sangkeng wruh mangartha sarasa ning ҫloka padartha.
(Juynboll, 1906: 1-2; Widyatmanta, 1968: 1-2).
2
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Kini ada yang diceritakan, ketika tiada matahari, bulan, bintang, angin
(karena) langit pun belum juga terbentang, lengkapkan jaman kekosongan
itu, tibalah jaman penciptaan, ditakdirkan berbagai macam makhluk
menjelma, senanglah dewa karena diturut, terlaksana segala sabdanya.
Sang Hyang Ҫangkara (Ҫiwa) bersama-sama dengan Bathari (Parwati)
menciptakan segala sesuatu. Pada mulanya Bathara Trinetra (Ҫiwa) berdua
dengan Bathari, bertempat di puncak Gunung Kaīlāҫa, seakan-akan mereka
terbaik, tersempurna, sungguh-sungguh menguasai dunia, menjadilah
tempat itu suci sebagai istana dewa.
Sang Hyang Ҫṛī Deweҫwara, yaitu Bathara Ṣaḍgaṇa (Ҫiwa) dengan Bathari
tersebut dalam permulaan cerita, sebagai kidung pujaan pertama terhadapnya,
atas perintah Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa, yaitu
seorang raja yang kepadanya dipersembahkan parwa umum (sederhana),
tidak karena mampunya memberi arti segala isi ҫloka dan pokok ceritanya.
(Widyatmanta, 1968: 1-2)
3
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
382-383; Wiryamartana, 1980: 2). Pada tahun 1978 Sri Mulyono menyajikan
ringkasan ’’Běbuka’’, tetapi terdapat kekeliruan-kekeliruan di dalamnya, terutama
mengenai penamaan kitab-kitab (sěrat-sěrat) yang merupakan bagian dari Sěrat
Pustakaraja Purwa di atas.
Sěrat Pustakaraja seperti dikemukakan di atas mencakup baik Sěrat
Pustakaraja Purwa maupun Sěrat Pustakaraja Puwara, atau meliputi Sěrat
Pustakaraja Purwa, Sěrat Pustakaraja Madya, Sěrat Pustakaraja Antara, dan
Sěrat Pustakaraja Wasana. Teks-teks (sěrat-sěrat) yang besar itu ternyata sangat
berlimpah, seperti termuat dalam katalogus susunan Nancy K. Florida Vol. I, II, III
dan IV (1981, 2012), Nikolaus Girardet (1983), dan T.E. Behrend Jilid IV (1989).
Penelitian atas Sěrat Pustakaraja memang pernah dilakukan di antaranya
oleh Berg (1938, 1974); Poerbatjaraka (1957); Pigeaud Vol. I (1967); Sri
Mulyono (1975, 1989); dan Kuntara Wiryamartana (1980). Meskipun demikian
penelitian terhadap Sěrat Pustakaraja beserta teks-teks bagian darinya boleh
dikatakan masih sangat sedikit. Hal itu juga diakui sendiri oleh Berg bahwa pihak
Barat belum memberikan banyak perhatian terhadap Sěrat Pustakaraja tersebut.
Mengingat hal itu, maka penelitian terhadap Sěrat Pustakaraja dan sěrat-sěrat
yang menjadi bagian darinya perlu dilakukan.
Dalam penelitian ini bahan utamanya adalah Sěrat Darmasarana koleksi
Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta Nomor 152 A dan Sěrat Darmasarana II
Nomor 94 (808.543). Pemilihan Sěrat Darmasarana ini didasarkan pada keinginan
untuk mengetahui bagaimana struktur, resepsi, tanggapan, sambutan pujangga istana
Surakarta, yaitu R. Ng. Ranggawarsita dalam mengemukakan tokoh Darmasarana
(Parīkṣit) yang hanya secara singkat diuraikan dalam Ādiparwa (Zoetmulder, 1958:
92-97; Juynboll, 1906: 48-53), Bhāratayuddha (Sutjipto Wirjosuparto, 1968: 355-
356), maupun Prasthānikaparwa (Ketut Nila, 1979: 27; Zoetmulder, 1995: 157).
Di samping itu juga ingin diketahui bagaimana cara R. Ng. Ranggawarsita di dalam
merangkai genealogis dalam rangka penciptaan Sěrat Darmasarana di atas.
Dalam kesastraan Jawa Kuna, Parikesit (Parīkṣit) adalah putra Raden
Abimanyu (Abhimanyu) dengan Dewi Utari (Uttarī), putri dari Wirata (Wirāṭa),
cucu Arjuna. Sebenarnya, Parikesit telah tewas oleh panah Brahmaśeirah
milik Aswatama (Aśwatthāmā) sewaktu masih dalam kandungan Utari, tetapi
karena Kresna (Kṛṣṇa) mencintainya ia dihidupkan kembali dan diramal akan
menurunkan keluarga Pandawa (Zoetmulder, 1983: 332; Sutjipto Wirjosuparto,
1968: 355). Sebelum para Pandawa (Pāṇdawa) mengundurkan diri meninggalkan
Ngastina (Hāstina) dalam persiapannya kembali ke surga, Parikesit ditunjuk dan
dinobatkan menjadi raja Ngastina menggantikan Maharaja Yudhistira (Yudhiṣṭhira)
(Zoetmulder, 1995: 157; Ketut Nila, 1979: 27). Uraian tentang penokohan Parikesit
yang sangat singkat dalam naratif kesastraan Jawa Kuna itu ternyata sangat berbeda
apabila dibandingkan dengan pemunculan tokoh tersebut di dalam kesastraan Jawa
Baru (Klasik), baik dalam hal variasi penamaannya maupun struktur naratifnya.
Dalam kesastraan Jawa Baru, Prabu Parikesit memiliki gelar lain, yaitu
4
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
5
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Surakarta nomor 153 (Nancy Vol. IV, 1981: 162) memiliki versi antara lain Sĕrat
Purwa, Angka 12, Sĕrat Yudayana (Pustakaraja Madya) nomor D 102 d, Sĕrat
Pustakaraja Purwa, Angka 12, Sĕrat Yudayana (Pustakaraja Madya) nomor D 124,
dan Prabu Yudayana (Pustakaraja Puwara) nomor D 98. Naskah-naskah tersebut
koleksi Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta (Nancy Vol. II,
1981: 11-126). Selain Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana nomor 154
B (Nancy Vol. IV, 1981: 163) masih ada versi lain di antaranya: Sĕrat Pustakaraja
Puwara: Sĕrat Budhayana I nomor 154 A, Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat
Budhayana II nomor 154 C, Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana III nomor
154 D, Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana IV nomor 154 E, dan Sĕrat
Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana V nomor 154 F. Naskah-naskah tersebut
pun koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta (Nancy Vol. IV, 1981: 180-184).
Versi Sĕrat Sariwahana (Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Sariwahana) nomor
154 G (Nancy Vol. IV, 1981: 164) adalah Sĕrat Pustakaraja Madya, Sariwahana
nomor D 129 koleksi Perpustakaan Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta
(Nancy Vol. II, 1981: 14) dan Sĕrat Pustakaraja Madya Sariwahana (Dalěman:
Sĕrat Pustakaraja, Jilid IV, (--) nyariyosakěn Prabu Sariwahana aněngkarakěn
para rayi (---) nomor D 211, juga dalam koleksi perpustakaan yang sama (Nancy
Vol. III, 1981: 497). Adapun versi Sĕrat Purusangkara (Sĕrat Pustakaraja Puwara:
Sĕrat Purusangkara) nomor 155 koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta
(Nancy Vol. IV, 1981: 165) antara lain: Sĕrat Pustakaraja Madya Jilid VI nomor
139 Na, dan Sĕrat Pustakaraja Madya, Prabu Astradarma nomor 265 Na, dan
Sĕrat Pustakaraja Madya, Prabu Purusangkara nomor M 470/XII. Ketiga naskah
tersebut koleksi Perpustakaan Sanapustaka, Karaton Surakarta (Nancy Vol. I,
1981: 266-281). Selain ketiga naskah di atas, Perpustakaan Reksapustaka Pura
Mangkunegaran Surakarta juga menyimpan Sĕrat Pustakaraja Madya, Kělěmipun
ing Nagari Ywangastina nomor D 128 (Nancy Vol. II, 1981: 15).
Pemilihan Sĕrat Yudayana nomor 153, Sĕrat Budhayana nomor 154 B,
Sĕrat Sariwahana nomor 154 G, dan Sĕrat Purusangkara nomor 155 koleksi
Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, seperti dikemukakan di atas (Nancy Vol.
IV, 1981: 162-195) pun berdasarkan beberapa pertimbangan. Apabila dibandingkan
dengan naskah-naskah versi darinya, maka naskah-naskah di atas relatif lengkap,
jelas penurunannya, cukup tua usianya, serta sesuai dengan teks-teks (sĕrat-
sĕrat) dalam konstruksi Sĕrat Pustakaraja Purwa maupun Sĕrat Pustakaraja
Puwara, khususnya bagian awal (Sĕrat Pustakaraja Madya). Meskipun demikian
untuk menentukan naskah-naskah yang terpilih di atas adalah yang paling tua dan
terpercaya, kiranya masih diperlukan penelitian yang lebih luas dan mendalam.
Mengingat naskah bagian Sĕrat Pustakaraja yang berlimpah tersebut banyak
yang belum diketahui siapa penyalinnya dan kapan waktu penyalinannya.
Dari uraian di atas ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan. Pertama,
seberapa jauh Mahābhārata Sanskerta dan Mahābhārata dalam kesastraan Jawa
Kuna dapat dilacak jejak-jejaknya ke dalam Sěrat Pustakaraja dalam kesastraan
6
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
7
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
B. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah:
8
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
C. Landasan Teori
Dalam penelitian ini akan digunakan teori strukturalisme, resepsi, dan
genealogi. Pandangan strukturalisme dikemukakan oleh Fokkema, bahwa sebuah
karya sastra bukanlah kumpulan sarana-sarana semata, melainkan merupakan
sebuah keseluruhan yang tersusun rapi dan terbentuk dari faktor-faktor kepentingan
yang bermacam-macam. Sastra adalah sebuah sistem yang bercirikan saling
bergantungan elemen-elemennya. Analisis struktural memandang karya sastra
sebagai keseluruhan yang bulat yang bagian-bagiannya saling berhubungan, dan
saling berhubungan itu menimbulkan makna (Rachmat Djoko Pradopo, 1979: 10;
Asia Padmapuspita, 1980: 6; Umar Yunus 1981: 17). Dengan analisis struktural
unsur-unsur sastra tetap berupa bagian keseluruhan yang bulat, tidak hanya sekedar
berupa framen-fragmen yang terpisah-pisah. Strukturalisme mementingkan
adanya relasi elemen-elemen formal yang memperlihatkan hubungan yang logis
(Ehrmann (ed.), 1970: ix), atau kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok
gejala (Luxemburg, dkk., 1984: 36). Pendekatan struktural (obyektif) adalah salah
satu dari empat pendekatan yang dikemukakan Abrams (1976: 3-29), di samping
pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik yang dipandang Teeuw mempunyai
empat kelemahan, meskipun demikian tetap merupakan tugas prioritas dalam
penelitian sastra (Teeuw, 1983: 61).
Untuk dapat merebut makna karya sastra secara penuh, maka pendekatan
struktural perlu dipadukan dengan pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik
berusaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda dan
menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra itu
bermakna (Rachmat Djoko Pradopo, 1987: 123). Semiotik adalah ilmu tentang
9
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
tanda (Ehrmann (ed.), 1970: ix). Tanda yang dipelajari semiologi (semiotik) adalah
tanda yang dipahami masyarakat. Tanda itu mencakup tiga macam, yakni: ikon,
indeks, dan simbol (Hawkes, 1978: 128). Semiotik sastra adalah ilmu sastra yang
sungguh-sungguh mencoba menemukan konvensi-konvensi yang memungkinkan
adanya makna, atau berusaha mencari ciri-ciri kode yang memungkinkan
menjadikan komunikasi sastra (Culler, 1981: 37; Teeuw, 1988: 143). Untuk
mengetahui bahwa suatu karya sastra merupakan resepsi atau sambutan dari suatu
karya sastra pendahulunya, maka sebelumnya perlu dilakukan interteks antara
teks yang menjadi hipogramnya dan teks yang menjadi turunannya (sadurannya).
Menurut Teeuw, intertekstualitas pada prinsipnya adalah bahwa setiap teks sastra
dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Tidak ada sebuah
teks yang benar-benar mandiri tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh dalam
penciptaannya (Teeuw, 1984: 145). Dalam pengertian ini adanya contoh, teladan
dan kerangka bukan harus diikuti sepenuhnya dalam penciptaan teks baru tanpa
adanya suatu penyimpangan. Sebab penyimpangan dan transformasi dari model
teks yang sudah ada itu memainkan peranan yang penting. Pemberontakan
atau penyimpangan mengandaikan sesuatu yang disimpangi serta pemahaman
atas teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang
mendahuluinya (Teeuw, 1984: 146). Julia Kristeva mengatakan pula bahwa
hakikat intertekstualitas adalah adanya atau kehadiran suatu teks pada suatu teks
lainnya (Umar Junus, 1985: 87). Di sini kehadiran teks diperlukan pula adanya
proses pemahaman dan pemaknaan serta beberapa interpretasi yang dilekatkan
padanya (Umar Junus, 1985: 88). Kehadiran suatu teks dalam suatu teks lain
sedikit banyak akan memberikan warna tertentu kepada teks itu.
Dalam pandangan Teeuw, teks adalah ’dokumen bahasa’ yang tersedia
untuk dibaca oleh pembaca (Teeuw, 1986: 16). Dalam teori satra khususnya
strukturalisme terdapat pandangan bahwa teks karya sastra adalah sesuatu yang
konstan dan mantap serta mempunyai struktur yang utuh dan bulat (Teeuw, 1988:
250-252; Wiryamartana, 1990: 9). Dalam kenyataan sejarah teks, nampak bahwa
teks manapun juga cenderung berubah dan tidak stabil wujudnya sepanjang masa.
Teks memang memiliki kemantapan tertentu dan perlu dibaca serta ditafsirkan
menurut keutuhan strukturnya dan kebulatan makna intrinsiknya. Namun
demikian berkat sifat dan potensinya teks juga terbuka untuk perubahan berkat
pembacaan dan penafsiran dari pihak pembaca. Dalam rangka resepsi atau
sambutan pembaca maka perubahan teks itu dapat dilihat dalam berbagai bentuk,
khususnya dalam penyalinan, penyaduran dan penerjemahan (Teeuw, 1988:
214; Wiryamartana, 1990: 9-10). Dalam transformasi teks dapatlah dikenali
tanggapan penciptanya atas teks yang dibacanya terdahulu. Jadi dalam penelitian
yang berpusat pada teks ini, pembaca bukanlah pembaca aktual, seperti dalam
resepsi yang bersifat eksperimental, melainkan pembaca yang ada dibalik teks
yang diciptakannya (Teeuw, 1988: 208-210; Wiryamartana, 1990: 10). Dalam
penelitian yang terarah pada resepsi sastra, maka penyalinan, penyaduran dapat
10
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
D. Metode Penelitian
Medode adalah suatu jalan peneliti untuk membuktikan dugaan seorang
peneliti atas asumsi-asumsi yang timbul dalam pikirannya selama peneliti
mengadakan suatu penelitian. Dalam penelitian ini metode penelitian yang
digunakan adalah: 1) Metode kepustakaan; 2) Pengumpulan data (bahan-bahan)
penelitian; 3) Menentukan metode analisis yaitu analisis struktural, resepsi dan
genealogi. Adapun ketiga metode penelitian tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Metode kepustakaan
Metode kepustakaan digunakan untuk mencari dan menentukan bahan-
bahan penelitian. Dalam hal ini pemanfaatan berbagai katalog diperlukan,
11
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
12
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
13
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Bab II
Tinjauan Umum dalam Sěrat Pustakaraja
Karya R. Ng. Ranggawarsita Abad XIX
14
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
1. Sěrat Mahaparwa
Sěrat Mahaparwa menceritakan kejadian antara tahun Ҫaka
(Suryasangkala) 1-100 atau tahun 1-103 (Candrasangkala), Sěrat Mahaparwa
tersebut dibagi menjadi 2 sěrat (kitab) yaitu:
a. Sěrat Purwapada
Cerita dalam Sěrat Purwapada dimulai dari Empu (Mpu) Sangkala
(Ajisaka) dari tanah Hindu pindah dan menetap di Pulau Jawa. Cerita
selanjutnya adalah mengenai manusia pertama yang mendiami Pulau Jawa
sebagai cikal bakal. Sebelum peristiwa tersebut telah datang pula ke Pulau
Jawa, yaitu Sang Hyang Siwah dan para dewa, mereka melihat sebuah
pulau panjang yang penuh tanaman jawawut. Karena itu pulau tersebut
dinamakan: Jawa. Sěrat Purwapada ditulis oleh Mpu Satya di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 851 atau terhitung tahun Candrasangkala 877.
b. Sěrat Sabaloka
Cerita dalam Sěrat Sabaloka menceritakan tentang cucu-cucu
penghuni Pulau Jawa sampai adanya wabah kematian yang kemudian
sirna oleh kekuasaan para dewa. Sěrat Sabaloka disusun oleh Mpu
Soda di Mamenang pada tahun Suryasangkala 851 atau terhitung tahun
Candrasangkala 877.
2. Sěrat Mahadéwa
Sěrat Mahadéwa menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
101-200 atau tahun Candrasangkala 104-206. Sěrat Mahadéwa dibagi
menjadi 2 sěrat, yaitu:
a. Sěrat Dewa Buddha
Cerita dalam Sěrat Dewa Buddha dimulai dari Sang Hyang Syiwa
menjadi raja pertama di Pulau Jawa di daerah Medhangkamulan dengan
gelar Sri Paduka Maha Raja Dewa Buddha sampai pindah ke Gunung
Mahendra (Lawu), di sana baginda memberikan pengadilan kepada
semua manusia maupun hewan. Sěrat Dewa Buddha ditulis oleh Mpu
Padma di Mamenang pada tahun Suryasangkala 851 atau terhitung tahun
Candrasangkala 877.
b. Sěrat Déwa Raja
Cerita dalam Sěrat Déwa Raja dimulai dari raja-raja putra Sang
Hyang Guru, Brahma, Wisnu dan Indra sampai ’’mukswa’’-nya. Sěrat Déwa
Raja disusun oleh Mpu Sahasra di Mamenang pada tahun Suryasangkala
851 atau terhitung tahun Candrasangkala 877.
3. Sěrat Maharěsi
Sěrat Maharěsi menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala 201-300
atau tahun Candrasangkala 207-309. Sěrat Maharěsi dibagi menjadi 2 sěrat,
yaitu:
15
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
4. Sěrat Maharaja
Sěrat Maharaja menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
301-400 atau tahun Candrasangkala 310-412). Sěrat Maharaja dibagi menjadi
4 sěrat yaitu:
a. Sěrat Raja Kanwa
Cerita dalam Sěrat Raja Kanwa dimulai dari Sang Nata Prabu
Pukukuhan di Purwacarita dengan gelar Sang Maha Raja Kanwa sampai
dengan adiknya menjadi raja juga di Gilingwesi bergelar Prabu Hiranya
Rudra atau Prabu Heryana Rudra. Sěrat Raja Kanwa disusun oleh Mpu
Wisaka di Mamenang pada tahun Suryasangkala 852 atau terhitung tahun
Candrasangkala 878.
b. Sěrat Palindriya
Cerita dalam Sěrat Palindriya dimulai dari Sang Nata Bagawan
Wrahaspati dengan gelar Prabu Palindriya sampai dengan cerita Prabu
Sitawaka di Gilingwesi. Sěrat Palindriya disusun oleh Mpu Sunda
di Mamenang pada tahun Suryasangkala 852 atau terhitung tahun
Candrasangkala 878.
c. Sěrat Silacala
Cerita dalam Sěrat Silacala adalah tentang Prabu Silacala di
Gilingwesi dengan gelar Prabu Watu Gunung yang kemudian kawin dengan
ibunya sendiri. Sěrat Silacala disusun oleh Mpu Artati di Mamenang pada
tahun Suryasangkala 852 atau terhitung tahun Candrasangkala 878.
d. Sěrat Sumanantaka
Cerita dalam Sěrat Sumanantaka adalah tentang Sang Hyang Wisnu
sewaktu menjadi dukun sampai menaklukkan Prabu Watu Gunung. Sěrat
Sumanantaka disusun oleh Mpu Monaguna di Mamenang pada tahun
16
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
5. Sěrat Maharata
Sěrat Maharata menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
401-500 atau tahun Candrasangkala 413-515. Sěrat Maharata dibagi menjadi
5 cerita kejadian, yaitu:
a. Sěrat Dyitayana
Cerita dalam Sěrat Dyitayana adalah tentang Sang Hyang Brahma
dengan Sang Hyang Wisnu menggantikan kedudukan Prabu Watu
Gunung dengan gelar Prabu Brahmanaraja dan Prabu Wisnupati sampai
dengan keduanya menyerahkan kekuasaannya kepada putra-putranya.
Sěrat Dyitayana disusun oleh Mpu Raganata di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
b. Sěrat Tritarata
Cerita dalam Sěrat Tritarata adalah mengenai tiga kerajaan yaitu
Gilingwesi, Purwacarita dan Wiratha, sampai tahta kerajaan diserahkan
kepada putra-putranya. Sěrat Tritarata disusun oleh Mpu Saloka
di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun
Candrasangkala 879.
c. Sěrat Sindhula
Cerita dalam Sěrat Sindhula adalah mengenai putra Prabu Watu
Gunung di Medangkamulan dengan gelar Prabu Maharaja Sindhula
sampai dengan kerajaan yang diperintah oleh putranya dengan gelar Prabu
Cingkaradewa. Sěrat Sindhula disusun oleh Mpu Saddhara di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
d. Sěrat Rukmawati
Cerita dalam Sěrat Rukmawati adalah mengenai Dewi Rukmawati,
putri Sang Hyang Anantaboga di dalam meramal dan menolong dengan
sarana (persyaratannya) kepada siapa saja yang meminta pertolongan
kepadanya. Sěrat Rukmawati disusun oleh Mpu Sindura di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
e. Sěrat Sri Sadana
Cerita dalam Sěrat Sri Sadana adalah mengenai putra Sri Maharaja
Punggung di Purwacarita yang bernama Dewi Sri dan Raden Saddhana
sampai dengan muksanya menjadi bidadara-bidadari. Sěrat Sri Saddhana
disusun oleh Mpu Kalangwan di Mamenang pada tahun Suryasangkala
853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
17
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
6. Sěrat Mahatantra
Sěrat Mahatantra menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
501-600 atau tahun Candrasangkala 516-618. Sěrat Mahatantra dibagi
menjadi 5 cerita kejadian, yaitu:
a. Sěrat Sri Kala
Cerita dalam Sěrat Sri Kala adalah mengenai Prabu Sri Kala di
Purwacarita sewaktu menaklukkan Prabu Parikenan di Gilingwesi hingga
gugur sampai dengan Prabu Sri Kala ditaklukkan kembali oleh Kerajaan
Wiratha. Sěrat Sri Kala disusun oleh Mpu Baraddhi di Mamenang pada
tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
b. Sěrat Raja Watara
Cerita dalam Sěrat Raja Watara adalah mengenai para raja yang
memerintah di Kerajaan Wiratha mulai dari Prabu Basupati, Basuketi
sampai dengan pemerintahan Prabu Basukeswara. Sěrat Raja Watara
disusun oleh Mpu Tatha Kasandi di Mamenang pada tahun Suryasangkala
853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
c. Sěrat Cita Kaprawa
Cerita dalam Sěrat Cita Kaprawa adalah mengenai Resi
Manumayasa di Martawu sampai muksa. Sěrat Cita Kaprawa disusun
oleh Mpu Jangga II di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau
terhitung tahun Candrasangkala 879.
d. Sěrat Ariawanda
Cerita dalam Sěrat Ariawanda adalah mengenai adik Prabu Basuketi
yang bernama Prabu Basuketu, menggantikan kedudukan kakaknya di
Kerjaan Wiratha sampai dengan Prabu Basuketi pulang dari pertapaan.
Sěrat Ariawanda disusun oleh Mpu Panuluh di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
e. Sěrat Para Patra
Cerita dalam Sěrat Para Patra adalah mengenai Bagawan Palasara
meminta pada Dewa untuk mengetahui siapa yang menurunkannya
sampai dengan penggubahannya atas Sěrat Jitabsara dan Sěrat Jidsaka.
Sěrat Para Patra disusun oleh Mpu Yogiswara di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
7. Sěrat Mahaputra
Sěrat Mahaputra menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
601-700 atau tahun Candrasangkala 617-721 yang dibagi menjadi 8 cerita
kejadian, yaitu:
a. Sěrat Mahandya Purwa
Cerita dalam Sěrat Mahandya Purwa adalah mengenai Bagawan
Palasara bertemu dengan Dewi Matswaganda (Durgandini). Kemudian
18
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
19
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
8. Sěrat Mahadarma
Sěrat Mahadarma menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
701-800 atau tahun Candrasangkala 722-824. Sěrat Mahadarma dibagi
menjadi 8 cerita kejadian, yaitu:
a. Sěrat Kuramaka
Cerita dalam Sěrat Kuramaka adalah mengenai Prabu Suyudhana
menjadi raja di Kerajaan Astina sampai Alap-alapan Dursilawati (kehilangan
Dursilawati). Sěrat Kuramaka disusun oleh Mpu Muywa di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
b. Sěrat Smaradahana
Cerita dalam Sěrat Smaradahana adalah mengenai Balai Sigala-
gala sampai Pandawa mengabdi ke Kerajaan Wiratha. Sěrat Smaradahana
disusun oleh Mpu Salukat di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853
atau terhitung tahun Candrasangkala 879. Akan tetapi karena Mpu Salukat
kemudian wafat, kemudian dilanjutkan oleh Mpu Kamajaya di Mamenang,
tetapi karena beliau pun juga wafat, akhirnya dilanjutkan oleh Mpu Jangga
II di Mamenang.
c. Sěrat Ambaralaya
Cerita dalam Sěrat Ambaralaya adalah mengenai Kartawiyoga
maling sampai Kakrasana dinobatkan menjadi raja di Mandura dengan
nama Prabu Baladewa. Sěrat Ambaralaya disusun oleh Mpu Purusadaka
di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun
Candrasangkala 879.
d. Sěrat Kridha Krěsna
Cerita dalam Sěrat Kridha Krěsna adalah mengenai perkawinan
Narayana dengan dengan Dewi Jembawati. Sěrat Kridha Krěsna disusun
oleh Mpu Jaruyawa di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau
terhitung tahun Candrasangkala 879.
e. Sěrat Kunjana Karna
Cerita dalam Sěrat Kunjanakarna adalah mengenai Prabu Karna
menjadi raja di Ngawangga menggantikan Prabu Kunjanakarna, anak
Bagawan Stuna Karna raja Pandita Raksasa yang bertukar ‘’parji’’ dengan
Dewi Srikandhi. Sěrat tersebut juga menceritakan Prabu Yudhisthira
kawin dengan Dewi Drupadi putri Prabu Drupada di Pancalaradya.
Sěrat Kunjanakarna disusun oleh Mpu Mudra di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
20
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
21
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
22
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Prabu Dewa Ketut. Di sana Mpu Artati melanjutkan penulisan Sĕrat Pustakaraja
Puwara sampai selesai. Adapun Sĕrat Pustakaraja Puwara dibagi menjadi enam
kelompok cerita, yaitu:
1. Sěrat Mahaparma
Sěrat Mahaparma menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
801-900 atau tahun Candrasangkala 825-927. Sěrat Mahaparma dibagi
menjadi 6 cerita, yaitu:
a. Sěrat Budhayana
Cerita dalam Sěrat Budhayana adalah mengenai Prabu Gendrayana
meninggalkan Kerajaan Astina dan menjadi raja di Mamenang sampai
muksa. Sěrat Budhayana disusun oleh Mpu Mandara di Pengging. Mpu
Mandara adalah putra Mpu Salukat di Mamenang. Adapun penggubahan
Sěrat Budhayana pada tahun Suryasangkala 919 atau terhitung tahun
Candrasangkala 947.
b. Sěrat Sariwahana
Cerita dalam Sěrat Sariwahana dimulai dari Prabu Yudayaka
(Arya Prabu Bambang Sudarsana) di Kerajaan Astina (Ngastina) pindah
ke Desa Yawa yang kemudian disebut Yawastina atau Sradmastina yang
artinya ’Astina baru’ sampai menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya
yang bernama Prabu Sariwahana. Sěrat Sariwahana disusun oleh Mpu
Sindungkara di Pengging pada tahun Suryasangkala 919 atau terhitung
tahun Candrasangkala 947.
c. Sěrat Purusangkara
Cerita dalam Sěrat Purusangkara adalah mengenai Prabu
Purusangkara di Yawastina kawin dengan putri dari Mamenang sampai
negara Yawastina ditenggelamkan menjadi samodra. Sěrat Purusangkara
disusun oleh Mpu Sindungkara di Pengging pada tahun Suryasangkala 920
atau terhitung tahun Candrasangkala 948.
d. Sěrat Partakaraja
Cerita dalam Sěrat Partakaraja adalah mengenai Prabu Widhayana di
Mamenang dengan gelar Sri Batara Prabu Jayabaya sampai menyerahkan
tahta kerajaannya kepada putranya yang bergelar Prabu Jayaamijaya.
Sěrat Partakaraja disusun oleh Mpu Saddha di Pengging pada tahun
Suryasangkala 919 atau terhitung tahun Candrasangkala 947.
e. Sěrat Ajidarma
Cerita dalam Sěrat Ajidarma adalah mengenai putra Prabu
Purusangkara yang menjadi raja di Malawapati dengan gelar Prabu
Anglingdarma atau Ksatradarma sampai muksa. Sěrat Ajidarma disusun
oleh Mpu Wisana di Pengging pada tahun Suryasangkala 919 atau terhitung
tahun Candrasangkala 947.
23
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
f. Sěrat Ajipamasa
Cerita dalam Sěrat Ajipamasa adalah mengenai Prabu Kusumawicitra
di Mamenang setelah menakhlukkan seluruh tanah Jawa kemudian bergelar
Prabu Ajipamasa. Dalam Sěrat Ajipamasa ini Prabu Kusumawicitra
terkenal mengubah nama-nama gunung yang telah ada, misalnya Gunung
Kandha menjadi Gunung Kendheng; Gunung Mahera menjadi Gunung
Anyar; Gunung Jombo menjadi Gunung Banyak; Gunung Parasata
menjadi Gunung Prawata; Gunung Nilandusa menjadi Gunung Wilis;
Gunung Mestri menjadi Gunung Pendhem; Gunung Udarati menjadi
Gunung Arjuna; Gunung Antaga menjadi Gunung Enget; Gunung Aswata
menjadi Gunung Pandhang; Gunung Mahendra menjadi Gunung Lawu;
Gunung Candramuka menjadi Gunung Marawu (Mababu/ Merbabu);
Gunung Candrageni menjadi Gunung Marapi (Merapi), Gunung Soddha
menjadi Gunung Sumbing; Gunung Saddhara menjadi Gunung Sundara;
Gunung Gora menjadi Gunung Agung; Gunung Mambramuka menjadi
Gunung Wataulu dan seterusnya sampai akhirnya Prabu Ajipamasa dari
Mamenang pindah ke Pengging. Sěrat Ajipamasa disusun oleh Mpu
Udaka di Pengging pada tahun Suryasangkala 919 atau terhitung tahun
Candrasangkala 947.
2. Sěrat Maharaka
Sěrat Maharaka menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
901-1000 atau terhitung tahun Candrasangkala 928-1030. Sěrat Maharaka
dibagi menjadi 4 cerita, yaitu:
a. Sěrat Witaradya
Cerita dalam Sěrat Witaradya adalah mengenai Prabu Kusumawicitra/
Prabu Ajipamasa menjadi raja di Pengging sampai menyerahkan tahta
kerajaannya kepada putranya Prabu Citrasoma. Sěrat Witaradya disusun
oleh Mpu Wilasaya di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1010
atau terhitung tahun Candrasangkala 1041.
b. Sěrat Purwanyana
Cerita dalam Sěrat Purwanyana adalah mengenai Prabu Pancadriya
di Pengging sampai muksanya. Sěrat Purwanyana disusun oleh Mpu
Wilasaya di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1010 atau
terhitung tahun Candrasangkala 1041.
c. Sěrat Bandawasa
Cerita dalam Sěrat Bandawasa adalah mengenai Prabu Anglingdriya
di Pengging perang dengan Prabu Baka di Prambanan sampai Prabu Baka
gugur oleh Raden Bandung Bandawasa (cucu raja Pengging) sampai
kemudian Prabu Anglingdriya muksa. Sěrat Bandawasa disusun oleh Mpu
Windudaka di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1010 atau
terhitung tahun Candrasangkala 1041.
24
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
d. Sěrat Dewatacěngkar
Cerita dalam Sěrat Dewatacěngkar adalah mengenai Prabu
Dewatacengkar di Medhangkamulan sampai muksa. Sěrat Dewatacěngkar
disusun oleh Mpu Madura di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala
1010 atau terhitung tahun Candrasangkala 1041.
3. Sěrat Mahaprana
Sěrat Mahaprana menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
1001-1100 atau terhitung tahun Candrasangkala 1031-1133. Sěrat Mahaprana
dibagi menjadi 5 cerita, yaitu:
a. Sěrat Widhayaka
Cerita dalam Sěrat Widhayaka adalah mengenai Prabu Widhayaka
di Medhangkamulan, dimulai ketika masih mengembara sampai dengan
menjadi raja dan kemudian digantikan oleh putra dari Pengging yang
bernama Prabu Swelacala. Sěrat Widhayaka disusun oleh Mpu Madura di
Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1047 atau terhitung tahun
Candrasangkala 1079.
b. Sěrat Danèswara
Cerita dalam Sěrat Danèswara adalah mengenai putra Prabu
Dewatacengkar yang bernama Prabu Daneswara menjadi raja di
Medhangkamulan dengan gelar Prabu Sri Mahapunggung sampai digantikan
oleh putranya Prabu Swelacala/ Jaka Kandhuyu dengan gelar Prabu Sri
Mahapunggung II. Sěrat Danèswara disusun oleh Mpu Madukara (putra
Mpu Madura) di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1048 atau
terhitung tahun Candrasangkala 1080.
c. Sěrat Jayalěngkara
Cerita dalam Sěrat Jayalěngkara adalah mengenai Prabu Sri
Mahapunggung II sampai menyerahkan tahta kerajaannya kepada putranya
yang bernama Prabu Kandhiawan atau Prabu Jayalengkara dan akhirnya
kerajaan Medhangkamulan rusak. Sěrat Jayalěngkara disusun oleh Resi
Wiratmaka seorang brahmana di Jenggala atas kehendak Prabu Panji
Suryawisesa. Di dalam menggubah karya ini Resi Wiratmaka mengambil
cerita dari Mpu Wilasaya. Adapun penggubahan Sěrat Jayalěngkara pada
tahun Suryasangkala 1116 atau terhitung tahun Candrasangkala 1140.
d. Sěrat Darmakusuma
Cerita dalam Sěrat Darmakusuma adalah mengenai Prabu
Darmakusuma di Pengging yang kemudian pindah ke Bojonegoro di
daerah Kedhu sampai dengan wafatnya di Gunung Gumelem, ia digantikan
oleh putranya yang bernama Prabu Darmaraja. Sěrat Darmakusuma
disusun oleh Resi Wiratmaka seorang Brahmana dari Janggala pada tahun
Suryasangkala 1117 atau terhitung tahun Candrasangkala 1151.
25
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
26
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
5. Sěrat Mahakara
Sěrat Mahakara menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
1201-1300 atau terhitung tahun Candrasangkala 1237-1339. Sěrat Mahakara
dibagi menjadi 3 cerita, yaitu:
a. Sěrat Mundhingsari
Cerita dalam Sěrat Mundhingsari yaitu mengenai Prabu
Mundhingsari kalah perang melawan Majapahit. Sěrat Mundhingsari
disusun oleh Mpu Paraita di Majapahit atas kehendak Prabu Bratana.
Penyusunannya pada tahun Suryasangkala 1259 atau terhitung tahun
Candrasangkala 1297.
b. Sěrat Raja Purwaka
Cerita dalam Sěrat Raja Purwaka yaitu mengenai Prabu Bratana
di Majapahit sampai wafatnya sehingga digantikan oleh putranya yang
bernama Prabu Bra Kumara. Sěrat Raja Purwaka disusun oleh Mpu Paraita
di Majapahit atas kehendak Prabu Brawijaya I. Penyusunannya pada tahun
Suryasangkala 1269 atau terhitung tahun Candrasangkala 1307.
c. Sěrat Mahakara
Cerita dalam Sěrat Mahakara yaitu mengenai Prabu Brawijaya
I sampai dengan Prabu Brawijaya III di Majapahit. Sěrat Mahakara
disusun oleh Mpu Artati di Majapahit atas kehendak Prabu Brawijaya
I. Penyusunannya pada tahun Suryasangkala 1398 atau terhitung tahun
Candrasangkala 1440.
6. Sěrat Mahapara
Sěrat Mahapara menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
1301-1400 atau terhitung tahun Candrasangkala 1340-1442. Sěrat
Mahapara menceritakan Prabu Brawijaya IV sampai dengan Prabu
Brawijaya V sesudah itu menceritakan tentang Kerajaan Demak yang
disebut Sěrat Walisana. Sěrat Mahapara disusun oleh Mpu Artati
di Majapahit pada tahun Suryasangkala 1398 atau terhitung tahun
Candrasangkala 1440.
27
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Déwa, Maha Rĕsi, dan sebagainya, itu sebenarnya tidak ada dan tak pernah ada
(Poerbatjaraka, 1957: 186).
C.C. Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (“Javaansche
Geschiedschrijving”, dalam “Geschiedenis van Nederlands Indie, 1938)
mengakui bahwa pihak barat belum memberikan perhatian yang berarti terhadap
Pustakaraja. Namun diakui bahwa R. Ng. Ranggawarsita mempunyai pergaulan
dengan ahli-ahli ilmu bahasa dan kebudayaan Jawa yang berkebangsaan barat.
Selanjutnya dalam pernyataannya dikatakan bahwa R. Ng. Ranggawarsita dalam
menulis karyanya menempuh jalan baru dan untuk memperoleh bahan-bahan
ia menggali sumber-sumber baru. Akhirnya dalam tulisannya tersebut R. Ng.
Ranggawarsita (ternyata) mencurahkan amat banyak perhatian untuk menentukan
tarikh dari peristiwa-peristiwa yang dibukukannya, maka ia selalu memberikan
dua tarikh, yang satu menurut tahun Syamsiah dan yang satu lagi menurut
tahun Komariyah. Karena itu bukanlah mustahil bahwa R. Ng. Ranggawarsita
bermaksud untuk menulis sejarah menurut tanggapan barat dan bahwasannya
usahanya tersebut tidak berhasil, hal ini tidaklah penting. Apabila R. Ng.
Ranggawarsita bermaksud mencari nama sebagai ahli sejarah yang pertama
yang beraliran modern, maka kiranya kita harus membedakan karyanya dengan
karya rekan-rekannya yang dahulu. Oleh karena yang disebut belakangan ini (R.
Ng. Ranggawarsita) bukanlah orang-orang yang mempelajari ilmu pengetahuan
sejarah, akan tetapi pendeta-pendeta magi sastra, pujangga dalam arti yang asli
“manusia ular”. Di sini C.C. Berg hanya dapat mengemukakan tidak lebih dari
perkiraan-perkiraannya (Berg, 1974: 87).
28
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Jayabaya. Apabila mendasarkan diri pada Sĕrat Jangka Jayabaya dan Sĕrat
Pranitiradya, maka usia Pulau Jawa sampai dengan kiamat kubro adalah 2100
tahun (menurut Suryasĕngkala, tahun matahari) atau selama 2163 tahun (menurut
Candrasĕngkala, tahun rembulan), yang dibagi menjadi tiga jaman besar (Tri
Kali). Setiap jaman besar dibagi menjadi tujuh jaman kecil (Saptama Kala) yang
masing-masing berusia 100 tahun, yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Jaman Kali Swara, meliputi: a. Jaman Kala Kukila; b. Jaman Kala Buddha; c.
Jaman Kala Brama; d. Jaman Kala Tirta; e. Jaman Kala Rwabara; f. Jaman
Kala Rwabawa; dan g. Jaman Kala Purwa.
2. Jaman Kali Yoga, meliputi: a. Jaman Kala Brata; b. Jaman Kala Dwara; c.
Jaman Kala Dwapara; d. Jaman Kala Praniti; e. Jaman Kala Tĕtĕka; f. Jaman
Kala Wisésa dan g. Jaman Kala Wisaya.
3. Jaman Kali Sangara, meliputi: a. Jaman Kala Jangga; b. Jaman Kala Sakti;
c. Jaman Kala Jaya; d. Jaman Kalabĕndu; e. Jaman Kalasuba; f. Jaman Kala
Sumbaga; dan g. Jaman Kala Surata.
(Andjar Any, 1979: 81; Tedjowirawan, 2006: 135-136)
29
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
30
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
31
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
32
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
33
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
lainnya. Bahasa adalah sistem tanda yang pertama, sedangkan sastra adalah
sistem tanda yang kedua. Berbagai cerita seringkali menjadi simbol atau lambang
peristiwa tertentu yang telah terjadi. Jika diteliti secara mendalam, maka teks-teks
sumber Wayang Madya penuh simbol, baik penokohannya maupun peristiwa-
peristiwa di dalamnya.
Apabila dilihat dari penokohannya, Sĕrat Darmasarana memusatkan
penceritaannya pada Prabu Darmasarana (Prabu Dipayana ataupun juga bernama
Prabu Parikesit), selain Prabu Yudayana dan sekilas Raden Gendrayana.
Berbeda dengan Sĕrat Yudayana yang menitikberatkan penceritaannya pada
Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana, dan Arya Prabu Bambang Sudarsana.
Prabu Jayapurusa atau Prabu Widhayaka (Narayana) diceritakan dalam Sĕrat
Gĕndrayana, Sĕrat Budhayana, Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Lampahan Jayapurusa,
Sĕrat Mayangkara, maupun Sĕrat Purusangkara. Adapun tokoh Prabu Ajipamasa
(Prabu Kusumawicitra) diceritakan dalam Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat Witaradya.
Tokoh Prabu Parikṣīt (Parikesit) atau Prabu Darmasarana jelas adalah
tokoh yang terdapat dalam tradisi Mahābhārata. Dalam tradisi Mahābhārata,
maharaja Janamejaya adalah putra Parikṣīt, sedangkan dalam tradisi kesastraan
Jawa, Prabu Yudayana adalah putra Prabu Parikesit. Oleh karena itu, Prabu
Yudayana dapat dapat disamakan dengan maharaja Janamejaya.
Apabila diperhatikan secara seksama cerita penumpasan ular yang
dilakukan oleh Prabu Yudayana dan pasukannya yang termuat dalam Sĕrat
Darmasarana II dan Sĕrat Yudayana, sebenarnya merupakan sambutan
dan transformasi cerita serupa dalam Ādiparwa. Dalam Ādiparwa tersebut,
pengorbanan ular yang dilakukan maharaja Janamejaya disebabkan karena
ayahandanya, yakni Parikṣīt tewas karena gigitan naga Takṣaka. Akan tetapi,
pengorbanan terhadap Takṣaka itu tidak sempurna sebab maharaja Janamejaya
mengabulkan permohonan Āstīka (anak seorang Brahmin yang bernama Jaratkaru)
untuk mengakhiri upacara korban Takṣaka. Dalam Sĕrat Darmasaran II dan Sĕrat
Yudayana dikemukakan bahwa justru Prabu Dipayana sendirilah yang meminta
pada Taksaka Raja agar menggigitnya, sebagai balasan baginya karena ia pernah
melukai Taksaka Raja, sewaktu menjadi binggěl ‘gelang kaki’ Resi Ardhawalika,
penjelmaan Sang Hyang Besuki. Taksaka Raja hanya menjilat ujung kaki baginda
yang kemudian membaca mantra untuk mencapai kelepasan (muksa). Peristiwa
tersebut menimbulkan salah sangka bagi Prabu Yudayana yang mengira bahwa
mangkatnya ayahandanya disebabkan Taksaka Raja semata sehingga baginda
murka dan memerintahkan menumpas semua ular di manapun. Pengorbanan
ular itu pun tidak sempurna karena akhirnya Prabu Yudayana justru tergiur oleh
kecantikan Dewi Sarini (anak Naga Raja Sarana, pelindung naga yang baik).
Dari uraian di atas, sekali lagi dapat dikatakan bahwa Prabu Yudayana
dapat disamakan dengan maharaja Janamejaya sebab keduanya dikatakan putra
Prabu Parikesit (Parikṣīt). Bagaimana seandainya Prabu Yudayana dihadapkan
dengan Udayana, bangsawan Bali yang diperkirakan ayah Erlangga (Airlangga)?
34
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Dalam tradisi Bali, nama raja Udayana berkaitan erat dengan kata udaya
yang berarti ‘matahari terbit’ (Wojowasito, 1977) sehingga mengisyaratkan seorang
raja yang mengembangkan kekuasaannya di daerah Udayana Perwata, yang
menurut perkiraan Pandit Shastri adalah Gunung Agung di Bali (Shastri, 1963).
Moens dalam De Stamboom van Airlangga mengatakan bahwa sesungguhnya ada
dua Udayana. Pertama, ayah Udayana di depan dan dimakamkan di pemandian
Jala Tunda di Jawa Timur pada tahun 899 Ç, sedangkan yang kedua, Udayana ayah
Udayana di depan dan dimakamkan di Banyu Weka (Shastri, 1963). Berdasarkan
prasasti Calcuta atau prasasti Penanggungan, ayah Airlangga, yakni Udayana
(Sang Ratu Maruhani Çri Dharmodayana Warmadewa) dan istrinya, yakni Sang
Ratu Luhur Çri Gunapriyadharmapatni adalah mereka yang mengeluarkan prasasti
di Bali. Udayana mempunyai tiga orang putra, yang pertama adalah Airlangga
yang kemudian menjadi raja di Jawa Timur, kedua adalah Marakata dan ketiga
adalah Anak Bungsu (Shastri, 1963).
Sebenarnya selain kedua Udayana di atas, Bosch menemukan adanya
Udayana (Udayadityawarman I) yang berasal dan berkuasa di Champa (Kamboja)
selama setahun (1001-1002 M). Ia kemudian melarikan diri dan diperkirakan ke
Jawa. Mengingat bahwa pada tahun 911 Ç atau tahun 989 M Udayana Warmadewa
sudah berada di Bali dan bersama istrinya Gunapriyadharmapatni mengeluarkan
sejumlah prasasti, maka Udayana temuan Bosch sudah pasti menunjuk pada
Udayana yang lain (Shastri, 1963).
Penamaan tokoh Yudayana dalam Sĕrat Darmasarana, tampaknya
diambil dari nama Udayana, raja Bali itu. Meskipun perlu pula dipertimbangkan
nama Yudayana berasal dari kata yuda ‘perang, peperangan’ (Prawiroatmojo,
1981) sebab dalam kenyataannya Prabu Yudayana banyak melakukan peperangan,
seperti dilukiskan dalam Sĕrat Yudayana. Pengenalan pujangga pencipta Sĕrat
Darmasarana dan Sĕrat Yudayana, yakni R. Ng. Ranggawarsita akan Udayana
dapatlah diterima. Mengingat R. Ng. Ranggawarsita adalah seorang pujangga
Jawa yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang sangat luas. Baik yang
diperolehnya dengan mempelajari sejumlah literatur atau pun yang didapatkannya
sewaktu melakukan pengembaraan untuk menimba dan menambah ilmu ke
berbagai perguruan di Jawa dan Bali. Bahkan, dalam perjalanannya pulang
kembali ke Surakarta, R. Ng. Ranggawarsita memperoleh hadiah dari Ki Ajar
Sidalaku di Tabanan Bali berupa kropak yang berisikan sejumlah cerita, antara
lain: Bima Suci, Bratayuda, dan Darmasarana (Andjar Any, 1980).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tampilnya Prabu
Yudayana dalam Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana tersebut dimaksudkannya
untuk meresepsi (menyambut) maharaja Janamejaya dalam tradisi Mahābhārata.
Selain itu, Prabu Yudayana dipakai untuk menyambut dan mengesahkan Udayana
raja Bali sebagai seseorang yang menurunkan raja-raja di Jawa. Dalam hal ini,
R. Ng. Ranggawarsita mencoba menghubungkan tokoh-tojoh dalam tradisi
35
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Mahābhārata dan tradisi Bali ke dalam tradisi Jawa. Pandangan ini akan lebih
kuat apabila tokoh-tokoh dalam SĕratDarmasarana dan Sĕrat Yudayana dikaitkan
dengan teks-teks sumber Wayang Madya yang lain.
Dalam Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana diterangkan bahwa Prabu
Gendrayana adalah putra Prabu Yudayana. Berdasarkan tradisi Bali, Airlangga
adalah putra Udayana. Udayana kiranya dapat disamakan dengan Prabu Yudayana.
Dalam Sĕrat Yudayana dijelaskan bahwa Brahmana Kresnawasu dari Ngawu-awu
berkunjung ke Ngastina menghadap Prabu Gendrayana dan meramalkan bahwa
putra baginda kelak titisan Sang Hyang Wisnu Murti. Dia bernama Prabu Aji
Jayabaya dan akan menguasai tanah Jawa. Banyak raja ada di bawah kekuasaannya.
Dia sakti tanpa tanding meskipun seribu kesaktian para resi, brahmana, dan ajar
disatukan. Dalam Sĕrat Lampahan Jayapurusa dikemukakan bahwa Prabu
Jayapurusa raja di Widarba putra Prabu Gendrayana (Mangkunegara IV, 1914).
Di sisi lain, Airlangga menurunkan Jayabaya. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan
bahwa Prabu Gendrayana dapatlah disamakan dengan Erlangga (Airlangga).
Apabila diperhatikan secara seksama, antara sejarah kehidupan Prabu
Gendrayana dan Airlangga pun ada kemiripannya. Prabu Gendrayana banyak
melakukan kesalahan semasa menjalankan pemerintahannya sehingga Sang
Hyang Narada atas perintah Sang Hyang Girinata memerintahkan Prabu
Gendrayana menyerahkan tahta Ngastina kepada adiknya, yakni Arya Prabu
Bambang Sudarsana. Ia kemudian menyingkir dan membangun tempat tinggal
baru di Menang. Di sana baginda berjumpa dengan Resi Budha yang kemudian
memberinya hadiah kerajaan Widarba. Di kerajaan Widarba itulah Prabu
Gendrayana memerintah sambil melakukan tapa brata memohon pengampunan
dewa. Hal itu dipaparkan dalam Sĕrat Budhayana. Di sisi lain, Airlangga pun
harus juga bersembunyi di sebuah pertapaan di Jawa karena kerajaan Jawa
Timur yang didirikan oleh Sindok runtuh, dan raja yang pada waktu itu berkuasa,
yakni Dharmawangsa Teguh Anantawikrama meninggal (Zoetmulder, 1983). Di
pertapaan yang diperkirakan di Wanagiri itulah Airlangga mendapat pengetahuan
tentang Weda-weda dan kesusastraan berkat didikan yang diterimanya dari para
brahmana (Shastri, 1963). Kemudian Airlangga dimohon menjadi raja dan setelah
dinobatkan ia berupaya untuk memulihkan wangsa Sindok (Zoetmulder, 1983).
Jadi, persamaan keduanya adalah masing-masing terpaksa harus meninggalkan
kerajaannya sekalipun alasannya berlainan.
Beberapa faktor yang menjadikan sifat Prabu Gendrayana tidak baik
sehingga harus meninggalkan kerajaan Ngastina, tampaknya di antaranya
berkaitan dengan sistem penamaan. Nama Gendrayana sudah barang tentu karena
ia putra Dewi Gendrawati dari kerajaan Gandara. Dalam hal ini terdapat persamaan
konsonan pada kata “gandara” dengan “gěndra” (kata dasar Gendrawati). Di
samping itu, kata Gendrawati sudah barang tentu berasal dari kata “gěndra” yang
berarti ‘ramé marga ana prakara sing ngĕgètaké’ atau ‘ramai karena ada perkara
yang mengejutkan’ (Poerwadarminta, 1939). Baik Dewi Gendrawati maupun
36
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
37
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
dicapai oleh pemilik nama itu atas para musuhnya. Prabu Jayabaya diperkirakan
pernah melakukan peperangan dan memenangkannya melawan sudaranya sendiri
yang bernama Jayasaba, menurut tradisi Bali (Zoetmulder, tanpa tahun). Oleh
sebab itu, Prabu Jayabaya (Jayabhaya) memerintahkan kepada Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh untuk menyusun Kakawin Bhāratayuddha sebagai pembebasan
dosa-dosanya. Peperangan Prabu Jayapurusa melawan saudaranya, yakni Prabu
Sariwahana, seperti dilukiskan dalam Sĕrat Sariwahana dan Sĕrat Lampahan
Jayapurusa, kiranya merupakan sindiran peristiwa peperangan kerajaan Kediri
dan Panjalu (Tedjowirawan, 1990).
Dalam masyarakat Jawa, Prabu Jayabaya sebagai titisan Sang Hyang
Wisnu dipandang memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Prabu Jayabaya adalah
seorang raja besar yang adil lagi bijaksana, ahli dalam tata pemerintahan, ahli
seni sastra, yang selalu jaya di medan perang, dan ia pun juga seorang peramal
ulung. Oleh sebab itu, sebagai peringatan baginya, di desa Menang, Pagu, Kediri
didirikanlah monumen spiritual yang megah bernama Pusat Wilayah Petilasan
Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo (Yudoyono, 1984).
Dari uraian di atas, sekali lagi dapat dikatakan bahwa ada persamaan
beberapa tokoh dalam teks-teks sumber Wayang Madya dengan raja-raja
Jawa. Dalam hal ini tokoh Prabu Yudayana dapat disamakan dengan maharaja
Janamejaya dalam tradisi Māhabhārata, dan dapat pula disamakan dengan
Udayana, ayah Erlangga (Airlangga) dalam tradisi Bali. Tokoh Prabu Gendrayana
dapat disamakan dengan Erlangga dan tokoh Prabu Jayapurusa dapat disamakan
dengan Prabu Jayabaya (Jayabhaya) raja Kediri. Dalam hal ini, ada usaha dari
R. Ng. Ranggawarsita untuk menghubungkan antara tradisi Māhabhārata, tradisi
Bali, dan tradisi Jawa.
38
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
serta Sĕrat Mayangkara, Mpu Saddha dalam Sĕrat Partakaraja, Mpu Wisana
dalam Sĕrat Ajidarma, Mpu Udaka dalam Sĕrat Ajipamasa, Mpu Wilasaya
dalam Sĕrat Witaradya dan Sĕrat Purwanyana, Mpu Windudaka dalam Sĕrat
Bandawasa, Mpu Madura dalam Sĕrat Dewatacĕngkar dan Sĕrat Widayaka, dan
Mpu Madukara dalam Sĕrat Danĕswara itu?
Sangat menarik apabila kita coba mengamati dan menguraikan arti kata
nama pujangga-pujangga di atas, mungkin akan dapat membantu mengungkapkan
motivasi dan peristiwa dibalik penempatan pujangga-pujangga di atas. Penamaan
Mpu Tapawangkeng dalam Sěrat Darmasarana di atas, secara etimologis berasal
dari kata ’tapa’ dan ’wangkĕng’. Kata ’tapa’ berarti ’cĕgah, luwé, bosĕn’ (Winter,
1880: 197) atau ’tapa, bertapa’ (Prawiroatmodjo, 1981: 237) dan ’wangkĕng’
yang tidak dijumpai dalam sejumlah kamus, tetapi dalam bahasa Jawa dialek
Temanggung berarti ’kuat (keras) dalam pendirian’. Dengan demikian, arti kata
tapawangkĕng berarti ’yang kuat (keras) dalam bertapa’.
Kata kalangwan, nama pujangga pencipta Sĕrat Yudayana, selain berarti
’kalangan atau terhalang, tempat mengadu hewan, gelanggang’ (Winter, 1880:
146), sudah barang tentu berkaitan dengan kata kalangön ’keindahan’, di samping
berarti ’pengalaman, estetik, pencarian keindahan, keindahan alam, atau terpesona
oleh keindahan’ (Zoetmulder, 1995: 568-569) atau ’pemandangan yang indah,
tempat yang menyenangkan’ (Wojowasito, 1977). Kemudian kata mandara, nama
pengarang Sĕrat Budhayana, selain berarti ’berhias, bersolek’ (Prawiroatmodjo,
1981: 328; Poerwadarminta, 1939: 289) agar menjadi cantik atau indah tampaknya
berkaitan pula dengan Gunung Mandara (gunung mitologik) yang terdapat dalam
tradisi Mahābhārata bagian pertama, yakni Ādiparwa (Zoetmulder, 1958; 1995:
643). Kata sindungkara, nama pujangga Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Purusangkara
maupun Sĕrat Mayangkara berasal dari kata sindu yang berarti ’air, sungai’
(Winter, 1880: 209; Prawiroatmodjo, 1981: 196; Poerwadarminta, 1939: 563).
Dalam buku Rangsang Tuban (Padmosusastro, 1908) yang memiliki keistimewaan
yakni penamaan penokohan serta lokasi penceritaannya mengandung unsur air, di
dalamnya pun tampil nama Prabu Sindupati sebagai raja di Tuban. Di dalam Sĕrat
Darmasarana, muncul Bathara Sindungkara, Dewa Buaya yang memberikan ilmu
kepada Prabu Darmasarana (Prabu Dipayana) agar dapat menguasai binatang
air. Di samping itu, apabila diperhatikan di sebelah barat jalan Sindunegaran
di Bumija Yogyakarta, terdapat sungai Kaliwinanga yang nantinya bermuara
di Laut Selatan. Boleh jadi, kata sindu di atas diambil dari bahasa Jawa Kuna
sindhu yang juga berarti ’air, sungai, laut’ (Zoetmulder, 1995: 1.094). Kata
saddha, nama pujangga Sĕrat Partakaraja berarti ’musim yang ke-12 sekitar
bulan Mei-Juni’ (Poerwadarminta, 1939: 537; Prawiroatmodjo, 1981: 156). Kata
wisana, nama pujangga Sĕrat Ajidarma berarti ’akhir, penghabisan, kesudahan’
(Poerwadarminta, 1939: 665). Kata udaka, nama pengarang Sĕrat Ajipamasa,
berkaitan pula dengan air atau mata air (Winter, 1880: 23; Prawiroatmodjo, 1981:
288; Poerwadarminta, 1939: 434; Zoetmulder, 1995: 1.316). Kata wilasaya, nama
39
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
40
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
banyak terdapat mata air dan pemandian serta terletak di kaki Gunung Merapi-
Merbabu. Penentuan daerah tersebut yakni Pengging, sebenarnya secara tersirat
dan tersurat telah dikemukakan dalam Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Purusangkara,
Sĕrat Mayangkara, Sĕrat Partakaraja, Sĕrat Ajidarma, Sĕrat Ajipamasa, yang
keenamnya dikatakan disusun oleh Mpu Sindungkara, Mpu Saddha, Mpu Wisna,
Mpu Udaka, yang di dalam mitologisnya bertempat tinggal di daerah Pengging.
Di samping itu jika dicermati secara seksama di dalam teks-teks seperti Sĕrat
Witaradya, Sĕrat Purwanyana, Sĕrat Bandawasa, maka tokoh-tokoh utama yang
dikemukakan di dalamnya pun adalah para raja yang memerintah dan berkuasa di
Kerajaan Pengging.
Dari uraian di atas menimbulkan persoalan, siapakah sebenarnya pujangga
yang dimaksud? Apakah R. Ng. Yasadipura I atau R. Ng. Yasadipura II, dua
pujangga termashur Kerajaan Surakarta dan pelopor ”renaissance” (kebangkitan
kembali) kesastraan Jawa, dan yang keduanya memang dimakamkan di Pengging?
Namun apabila diperhatikan secara seksama penulis Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat
Witaradya, sekalipun di dalamnya dikatakan bahwa Mpu Udaka menyusun Sĕrat
Ajipamasa dan Mpu Wilasaya menyusun Sĕrat Witaradya, akan tetapi hal itu
meragukan pula. Sebab berdasarkan dua penempatan sandiasma (nama tersamar
yang biasanya terdapat dalam sebuah tembang), yakni di awal pupuh dan di awal
baris maka Sĕrat Ajipamasa adalah karya R. Ng. Ranggawarsita, atau secara
lengkapnya yakni: Rahadyan Hangabèhi Ranggawarsita Nayaka Dalĕm Wadya
Kaliwon Pujangga Guru Basa Krama Saha Juru Pamardi Parama Kawi Ing
Nagari Surakarta Hadiningrat.
Apabila mendasarkan diri pada penguasaan materi penciptaan, ketepatan
kosa katanya, kelebihan pengolahan kalimatnya serta gaya penulisannya, secara
sepintas sudah menunjukkan bahwa Sĕrat Darmasarana, Sĕrat Yudayana,
Sĕrat Budhayana (Sĕrat Gĕndrayana), Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Purusangkara,
Sĕrat Partakaraja, Sĕrat Ajidarma, Sĕrat Ajipamasa, Sĕrat Witaradya, Sĕrat
Purwanyana, Sĕrat Bandawasa, Sĕrat Dewatacĕngkar, Sĕrat Widayaka maupun
Sĕrat Danèswara disusun oleh pujangga yang sama yakni R. Ng. Ranggawarsita.
R. Ng. Ranggawarsita adalah seorang pujangga yang sangat mahir menyusun
karya sastra bertĕmbang, tetapi ia pun diakui oleh Ras (1985) sebagai seorang
penulis prosa yang bermutu, meskipun masih dalam kawasan sastra klasik.
Dari uraian di atas menimbulkan pertanyaan, mengapa penamaan
Tapawangkeng, Kalangwan, Mandara, Sindhungkara, Udaka, Wilasaya,
Windudaka, Madura, Madukara dapat menunjukkan daerah Pengging, Banyudana,
Boyolali dan R. Ng. Ranggawarsita? Dalam hal ini jawabannya bahwa R. Ng.
Ranggawarsita sengaja memitoskan, mengangkat serta menempatkan daerah
Pengging seolah-olah sebagai pusat tata pemerintahan atas Tanah Jawa sesudah
Kediri, meskipun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Hal itu dilakukan R.
Ng. Ranggawarsita sebagai tanda bukti bakti cintanya pada leluhurnya antara
lain, yakni: Pangeran Handayaningrat dan Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet, Jaka
41
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Tingkir) yang berasal dari Pengging, maupun kakeknya yakni R. Ng. Yasadipura
I dan R. Ng. Yasadipura II yang dimakamkan pula di Pengging.
Teks-teks sumber Wayang Madya beserta nama-nama pujangga imajinasi
(fantasi) di dalamnya secara struktural (keseluruhan) menunjukkan ciri penulisan
yang sangat khas. Gejala-gejala (fenomena-fenomena) penulisan seperti itu betul-
betul langka dan hampir tidak terdapat dalam sejarah penulisan kesastraan Jawa.
Apabila pendekatan ’etimologis sandhi’ (yang justru lahir karena adanya
penulisan teks-teks sumber Wayang Madya yang sangat khas di atas adalah
langkah yang benar di dalam membedah dibalik nama pujangga-pujangga
imajinasi di atas, maka kiranya pendekatan ini dapat dipertimbangkan untuk
memahami sebagian pembaharuan dalam tradisi penulisan kesastraan Jawa yang
dikemukakan oleh pujangga besar R. Ng. Ranggawarsita.
42
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Bab III
Deskripsi dan Sinopsis Sěrat Darmasarana
Koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta
Nomor 152 A dan Nomor 94 (808.543)
43
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
larik dalam setiap halamannya. Karena kadang-kadang jumlah larik dalam setiap
halamannya 38, 39, 40 atau 42. Di samping itu, tidak ada keterangan naskah Sěrat
Darmasarana kode nomor berapakah yang ditransliterasi tersebut. Dalam hal ini
masih dibutuhkan penelitian yang seksama dalam mendalam atas naskah-naskah
Sěrat Darmasarana di atas.
Baik naskah Sěrat Darmasarana maupun Sěrat Darmasarana II
berbentuk prosa, sehingga aturan metrik (sanjak Macapat) seperti jumlah larik
(baris) dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu larik maupun jatuhnya bunyi
tertentu dalam satu larik tidak digunakan. Demikian pula mengenai penggunaan
tanda baca, misalnya titik, boleh dikatakan tanda titik tersebut jarang dipergunakan
kecuali sebagai penunjuk pergantian alinea. Dengan demikian kalimat-kalimat
disusun sangat panjang, bahkan kadang-kadang sampai beberapa halaman, hanya
ditandai koma bilamana perlu. Sudah barang tentu hal ini harus disadari bahwa
pada saat penulisan atau pun penyalinan naskah tersebut belum begitu banyak
tata aturan penulisan seperti sekarang ini. Tanda baca yang berlaku pada jaman
dahulu sering tidak lagi sesuai dengan jaman sekarang, mengingat tata aturan
penulisan senantiasa mengalami perubahan dari jaman ke jaman.
Naskah Sěrat Darmasarana maupun Sěrat Darmasarana II disusun
dengan mempergunakan bahasa Jawa Baru ragam campuran, yakni ragam bahasa
Jawa Krama dan ragam bahasa Jawa Ngoko, selain itu juga bahasa Mantra atau
bahasa yang sering diucapkan oleh dewa, seperti misalnya: Horěh mrětasa
namaswaha yang tersurat pada Sěrat Darmasarana halaman 10 dan Hong
běgět-běgět ’ingat-ingat’ yang tersurat pada halaman 114. Ragam Bahasa Jawa
Ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara pembicara (O1) terhadap lawan
bicara (O2). Dalam arti pembicara tidak merasa segan terhadap lawan bicara agar
suasana pembicaraan terasa akrab (Soepomo Poedjosoedarmo, dkk., 1979: 14).
Ragam Bahasa Jawa Krama (Inggil) adalah ragam bahasa Jawa untuk mereka
yang berdarah bangsawan atau mereka yang mempunyai derajat camat, pengulu,
lurah, pendeta, kiai dan sebagainya (Soepomo Poedjosoedarmo, dkk., 1979: 18).
Dalam Sěrat Darmasarana ini, ragam Bahasa Jawa Krama yang dipakai
lebih mengarah ke Bahasa Jawa Krama Inggil, sedangkan ragam Bahasa Jawa
Ngoko dipakai dalam dialog dewa kepada raja dan patih; dialog raja kepada
para penggawa atau rakyat, atau dialog para pejabat tinggi dan rendah kepada
rakyat. Meskipun demikian, dewa, raja atau para penguasa tidak meninggalkan
batas-batas kesopanan. Adapun ragam Bahasa Mantra diucapkan dewa kepada
raja, atau diucapkan raja untuk memohon pertolongan dewa. Penggunaan ragam
Bahasa Jawa Krama dalam Sěrat Darmasarana tidak banyak berbeda dengan
ragam Bahasa Jawa Krama yang dipergunakan dalam Sěrat Yudayana, Sěrat
Budhayana, Sěrat Prabu Gěndrayana, Sěrat Sariwahana, Sěrat Ajidarma, Sěrat
Mayangkara, Sěrat Purusangkara dan lain sebagainya. Hal itu tidaklah aneh bila
mengingat pujangga penggubah sejumlah sěrat tersebut sama dan hidup dalam
kalangan istana Surakarta.
44
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
(Dhuh dewa yang berbelas kasih kepada raja hamba, semoga dimaafkan
sang raja, agar sang raja memberi maaf kepada kedua putranya yang pergi,
keduanya hendaknya saling menyadari (ingat), jangan sampai terlanjur).
Bahasa Mantra lainnya diajarkan oleh Dewi Sri kepada Buyut Warahas
(Muksala) dan istrinya Ken Martani (Pitengan) untuk menghilangkan ’bubuk
bang’ yang terdapat dalam padi yang disimpan di lumbung. Mantra tersebut
berbunyi:
Suta mwang arta: yyan sidya saraya niti; Yyan tan prasidya; yati
kasatru durniti. Nging hayyaniswěka sataté kagupayati; myang yyani
narta munakěn sdya tan stiti, těgěsipun: Suta kaliyan arta, yèn kalěrěsan
dados kanthi těměn, nanging lamun botěn gadhah anak, punika tansah
anglalayungi manah. Lamun tanpa arta, murungakěn sědya botěn lana.
(Ranggawarsita dalam Kamajaya, 1994: 91-92).
45
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
46
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
sudah masuk cukup jauh ke dalam Sěrat Yudayana, yakni pada halaman 49.
Dengan demikian sekilas tampak bahwa isi Sěrat Darmasarana II diambilkan
dari Sěrat Darmasarana halaman 197 sampai halaman 316, ditambah Sěrat
Yudayana sampai dengan halaman 49. Jadi sebenarnya tanpa melibatkan Sěrat
Darmasarana II, naskah Sěrat Darmasarana koleksi Perpustakaan Radya Pustaka
Surakarta nomor 152 A sudah cukup mewakili Sěrat Darmasarana. Akan tetapi
berhubung keduanya menggunakan nama yang sama yakni Sěrat Darmasarana
maka kedua sěrat di atas tetap menjadi bahan utama penelitian ini.
(Sěrat Darmasarana, cerita dalam kitab ini tentang Paduka raja Prabu
Parikesit di Ngastina, sampai dengan muksanya Baginda. Digubah oleh
Mpu Tapawangkeng di Mamenang, penggubahannya bertepatan pada
tahun Suryasangkala 855, terhitung tahun Candrasangkala bertepatan
881)
47
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Dari kutipan di atas, Sěrat Darmasarana ditulis oleh Kiai Wangsa Prajaka
pada tahun 1825 J atau 26 Februari 1896 (Nancy K. Florida Vol. IV, 1981: 161).
Siapakah sebenarnya nama Mpu Tapawangkeng dalam Sěrat Darmasarana
tersebut? Dalam kesastraan Jawa, nama Mpu Tapawangkeng paling tidak terdapat
dalam kitab Tantu Panggĕlaran, Pararaton, Sĕrat Pustakaraja (terutama di
48
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
dalam Sĕrat Sri Saddhana, Sĕrat Karimataya dan dan Sĕrat Darmasarana).
Dalam Tantu Panggĕlaran diceritakan, bahwa Mpu Tapawangkeng atau Sameget
Baganjing berhutang laksa-laksa dan berjanji akan membayar hutangnya kalau
matahari sudah condong ke barat. Oleh karena ia tidak mempunyai uang, maka
matahari dihentikan peredarannya. Sang Prabu yang pada waktu itu sedang
berpuasa menjadi kelaparan karenanya dan menanyakan penyebab perjalanan
matahari berhenti. Setelah diketahui penyebabnya, maka Sang Prabu memberikan
uang pada Sameget Baganjing untuk melunasi hutang-hutangnya dan matahari
pun terbenam (Poerbatjaraka, 1957).
Dalam teks Pararaton atau Katuturanira Kèn Angrok diterangkan:
Dari kutipan di atas diceritakan bahwa Angrok (Ken Arok) yang dianggap
pada suatu ketika dengan rela hati menawarkan dirinya untuk dipergunakan sebagai
”korban pembangunan” kepada seorang pertapa bernama Mpu Tapawangkeng.
Angrok adalah putra Dewa Brahma, yang dilahirkan dari Ndok, seorang wanita
yang baru menikah di sebuah ladang terbuka (Brandes, 1920: 3-4; Berg, 1974: 15).
Dalam Sĕrat Sri Saddhana (termasuk kelompok Sĕrat Maharata, bagian
Sĕrat Pustakaraja Purwa) yang dikatakan gubahan Mpu Kalangwan pada tahun
Suryasangkala 853 atau tahun Candrasangkala 879 juga muncul tokoh Buyut
Wangkeng dari Medhangwantu. Buyut Wangkeng dilukiskan sebagai seorang
buyut yang terkenal sakti, perguruannya disegani oleh sesama perguruan. Sewaktu
49
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Dewi Sri dalam kejaran Ditya Kalandaru, maka oleh Buyut Raddhima, Dewi Sri
dibawa berlindung pada Buyut Wangkeng. Pada waktu Ditya Kalandaru dan para
raksasa menyerang Medhangwantu maka terjadilah pertempuran yang sangat
sengit. Dengan kesaktiannya Ditya Kalandaru menciptakan kabut yang dingin,
Buyut Wangkeng dan pengikutnya menggigil kedinginan sehingga mereka
dengan mudah ditangkap dan diikat pada pohon. Namun Buyut Wangkeng
kemudian matěk Aji Bawana Mantra sehingga Ditya Kalandaru dan pasukannya
menjadi kabur (buta) matanya. Sewaktu Ditya Kalandaru di dalam perjalanannya
membentur batu penutup sebuah goa maka Ditya Kalandaru yang marah
kemudian menebak batu tersebut sehingga hancur berantakan. Burung raksasa
Wilmuka yang selama tiga hari terjebak terkurung dalam goa tersebut berhasil
keluar. Sebagai tanda terima kasih, maka mata Ditya Kalandaru dan pasukannya
yang buta itu dapat disembuhkan oleh burung Wilmuka dengan sabetan bulu
sayapnya (Ranggawarsita dalam Kamajaya, 1994: 47-52). Adapun dalam Sĕrat
Karimataya maupun Sĕrat Darmasarana disebutkan bahwa Mpu Tapawangkeng
adalah pencipta kedua teks tersebut.
Dalam usaha menentukan Sěrat Darmasarana adalah karya R. Ng.
Ranggawarsita, maka sěrat tersebut haruslah ditempatkan sebagai bagian dari
Sěrat Pustakaraja. Sěrat Pustakaraja adalah maha karya R. Ng. Ranggawarsita.
Pustakaraja yang berarti ’kitab pedoman raja dan induk segala kitab kisah Jawa’
(Kuntara, 1980: 4) dibagi menjadi:
a. Pustakaraja Purwa, meliputi kisah selama 800 tahun (1-800 S/ 1-824 C)
b. Pustakaraja Puwara, meliputi kisah selama 600 tahun (801-1400 S/ 825-1442
C)
50
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
51
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
uraian di atas, sekali lagi dapat dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana disusun oleh
R. Ng. Ranggawarsita.
52
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
agar baginda berdiri di tengah halaman, menghadap empat penjuru mata angin
sambil mengucapkan mantra. Setelah hal itu dilakukan tiba-tiba melayanglah
sepasang besi, yakni Besi Srikandhi yang sudah berbentuk arca Dewi Uma dan
Besi Gurita dalam bentuk arca Sang Hyang Girinata. Sepasang arca itu kemudian
ditempatkan di sanggar pemujaan, seiring lenyapnya malapetaka yang menimpa
Kerajaan Ngastina.
Pada suatu hari, Prabu Dipayana, Patih Dwara, Patih Danurwedha dan
pengawal kerajaan Ngastina bercengkrama berburu di pagrogolan hutan Palasara.
Di sana, Patih Dwara bertemu Ken Suyati. Prabu Dipayana merasa gembira
sekaligus bersedih hati menyaksikan ketrampilan, kehebatan dan kesaktian
pasukannya di dalam menangkap berbagai macam binatang buruan. Pada malam
harinya, raja secara diam-diam pergi meninggalkan pesanggrahan bermaksud
memohon kesaktian dewa. Patih Dwara yang kemudian mengetahui hal tersebut
meminta Ken Suyati menyamar sebagai Prabu Dipayana dan memerintahkan
pasukan Ngastina untuk menunggu kembalinya Patih Dwara, seandainya ia
besok mencari Baginda. Keesokan harinya, dengan berpura-pura mengejar
seekor kijang, Patih Dwara meninggalkan pesanggrahan. Perjalanan Patih Dwara
sampai di pertapaan Tirta Awarna di Gunung Manikmaya. Bagawan Sidhiwacana
mempersilahkan Patih Dwara agar menunggu raja di pertapaan tersebut.
Dalam pengembaraannya, Prabu Dipayana berjumpa dengan Resi
Ardhawalika serta meruwatnya kembali menjadi Sang Hyang Basuki. Sang Hyang
Basuki kemudian memberikan pelajaran penawar bisa ular, ilmu untuk menguasai
binatang melata serta memberikan gelar Prabu Yudhiswara. Kemudian Prabu
Dipayana bertemu dan meruwat Resi Mragapati menjadi Sang Hyang Gana. Sang
Hyang Gana memberikan pelajaran ilmu untuk menguasai berbagai binatang serta
memberi gelar Prabu Dipayana, Prabu Mahabrata. Selanjutnya Prabu Dipayana
bertemu dan meruwat burung garuda menjadi Sang Hyang Sambo. Sang Hyang
Sambo mengajarkan cara menguasai bangsa burung serta memberinya gelar Prabu
Darmasarana. Kemudian Prabu Dipayana bertemu dengan Sarabisa, pimpinan
utusan Prabu Sayakesthi, raja Mukabumi yang bermaksud menyampaikan
surat padanya. Akan tetapi, Prabu Dipayana menolaknya, sehingga terjadilah
pertempuran dan Sarabisa tewas. Sesampainya di hutan Bramaniyara di Kerajaan
Gilingwesi, Prabu Dipayana berjumpa dan meruwat taksaka “naga” penjelmaan
Dewi Swanyana sewaktu mau menelan Prabu Praswapati raja Gilingwesi. Dewi
Swanyana memberikan pelajaran kepada Prabu Dipayana mengenai olah asmara,
antara lain: asmara gama, asmara nala, asmara tantra, asmara tura, asmara
nadha dan asmara turida. Prabu Praswapati mempersilahkan Prabu Dipayana
singgah di Kerajaan Gilingwesi. Di sana, ia menceritakan hubungan persahabatan
antara leluhur Prabu Praswapati dengan para Pandawa serta mengawinkan Prabu
Dipayana dengan Dewi Sritatayi.
Dalam pada itu, Prabu Sayakesthi raja Mukabumi mengembara mencari
Prabu Dipayana untuk dikawinkan dengan Dewi Niyata. Prabu Sayakesthi
53
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
54
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
55
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
56
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
57
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Niyodi dengan Raden Supadma, putra Patih Dwara serta mengangkatnya menjadi
penggawa bergelar Arya Supadma.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana memanggil Raden Yudayana dan
memerintahkannya mengembara berguru mencari ilmu. Sepeninggal Raden
Yudayana bersama pengiringnya yaitu Mahas dan Badhagas, maka keempat
adiknya yakni: Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan
Raden Warabasata menyusul kakaknya itu, tetapi mereka berselisih jalan.
Dalam perjalanan ke Gunung Manikmaya, Raden Yudayana tersesat di
jalan. Sesampainya di hutan Tibrasara, Raden Yudayana berjumpa dan meruwat
seekor harimau dan seekor naga penjelmaan Sang Hyang Kamajaya dan Dewi
Ratih. Sang Hyang Kamajaya kemudian menganugerahkan panah Sarotama
serta mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan jaya kawijayan ’kesaktian’.
Selanjutnya, Raden Yudayana berjumpa dengan Dewi Gendrawati, putri Prabu
Gandaprawa (raja Gandara). Setelah Raden Yudayana membunuh Swagotara,
putra Srubisana yang menculik Dewi Gendrawati, ia mengantarkan putri tersebut
ke Gandara. Sesampainya kembali di Gandara, Prabu Gandaprawa bermaksud
mengawinkan Dewi Gendrawati dengan Raden Yudayana. Pada waktu itu, Prabu
Gandaprawa pun menceritakan silsilah leluhurnya serta kutukan Dewi Anggandari
yang menjadi salah satu penyebab timbulnya Perang Baratayuda. Kemudian Raden
Yudayana pergi ke Gunung Manikmaya berguru pada Resi Sidhikara. Di sana
ia mendapatkan pelajaran ilmu jaya kawijayan, guna kasantikan ’ketrampilan’,
ketangkasan berperang, dan ilmu kesempurnaan.
Dalam pada itu, perjalanan Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden
Prawasata, dan Raden Warabasata pun tersesat. Mereka sampai di pertapaan
Gunung Sadhara dan bermaksud mau berguru kepada Dhang Hyang Suwela. Dhang
Hyang Suwela baru bersedia menjadi guru mereka setelah keempat putra Ngastina
tersebut dapat membunuh Resi Sidhikara di Gunung Manikmaya. Keempat putra
Ngastina pun segera ke Manikmaya sambil mengamuk dan membunuh para murid
Resi Sidhikara. Raden Yudayana segera menjumpai dan menyadarkan keempat
adiknya itu bahwa mereka telah diperdaya musuh. Resi Sidhikara pun kemudian
mengajarkan berbagai ilmu kepada keempat adik Raden Yudayana. Setelah selesai,
mereka bermaksud menuntut balas dengan menyerbu ke Gunung Sadhara sehingga
banyak siswa Dhang Hyang Suwela yang terbunuh. Sewaktu Dhang Hyang Suwela
mau melarikan diri dari tangan Resi Sidhikara, ia tewas terkena panah Sarotama
yang dilepaskan Raden Yudayana. Kemudian Raden Yudayana bersama adik-
adiknya serta Resi Sidhikara pulang kembali ke Ngastina.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana memerintahkan Patih Dwara menunjuk
penggawanya untuk pergi ke Gandara melamar Dewi Gendrawati untuk Raden
Yudayana. Lamaran raja diterima. Beberapa hari kemudian datang menghadap
baginda para pimpinan dari pengikut lima agama, yakni: Sambo, Brahma, Indra,
Bayu, dan Wisnu. Mereka mengeluhkan campur tangan para pengikut agama Kala,
agar melanggar tata aturan kelima agama tersebut. Kemudian Prabu Dipayana
58
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
memanggil pimpinan dan pengikut agama Kala serta menetapkan tata aturan yang
harus dipatuhi keenam golongan agama tersebut.
Dalam pada itu, Prabu Gandaprawa menghadap Prabu Dipayana
mengantarkan Dewi Gendrawati. Beberapa waktu kemudian, Raden Yudayana
dikawinkan dengan Dewi Gendrawati, sedangkan Raden Ramayana dengan
Dewi Supadmi. Sepekan kemudian, putra Patih Danurwedha dikawinkan dengan
putri Arya Warsaka. Arya Danurja kawin dengan Dewi Warsiki, sedangkan Arya
Sindurjo kawin dengan Dewi Sulastri. Beberapa waktu kemudian Prabu Dipayana
mengawinkan Raden Ramaprawa dengan Dewi Widhawati; Dewi Prawati kawin
dengan Arya Karsula (putra Arya Warsaka); Raden Prawasata kawin dengan
Dewi Satyawati (putri Patih Danurwedha); Raden Warabasata kawin dengan
Dewi Sukesti (putri Arya Kestu).
Pada suatu ketika, empat puluh hari dari perkawinan mereka Dewi
Gendrawati melahirkan putra bernama Raden Gendrayana. Sewaktu menimang-
nimang cucunya itu, Prabu Gandaprawa menyatakan bahwa Raden Gendrayana
adalah penjelmaan Trimurti, yakni keturunan Prabu Brahmaniyuta (Prabu
Brahmanaraja), putra Sang Hyang Brahma (Raja Gilingwesi); keturunan Raden
Srigati (Prabu Sri Mahapunggung), putra Sang Hyang Wisnu (Raja Purwacarita),
dan keturunan Raden Srinanda (Prabu Basurata) putra Sang Hyang Wisnu (raja
Wirata). Kemudian Prabu Gandaprawa meriwayatkan leluhurnya sampai lahirnya
Raden Gendrayana. Prabu Dipayana pun memerintahkan Mpu Kawiswara untuk
membacakan riwayat hidup leluhurnya berdasarkan kitab Jitapsara yang menjadi
pegangan raja. Adapun riwayat tersebut dimulai dari Raden Kaniyasa (Resi
Manumanasa), Resi Sakutrem, Bathara Sakri, Resi Parasara, Bagawan Abyasa,
Prabu Pandhudewanata, dan para Pandhawa. Diceritakan pula kisah perselisihan
Resi Parasara dengan Prabu Santanu (raja Ngastina) sampai diserahkannya
Kerajaan Ngastina ke tangan Resi Parasara. Resi Parasara kemudian menyerahkan
Kerajaan Ngastina kepada Begawan Abyasa sampai akhirnya Kerajaan Ngastina
jatuh ke tangan Prabu Dipayana. Prabu Dipayana kemudian berputra Raden
Yudayana, dan Raden Yudayana kemudian berputra Raden Gendrayana.
Pada suatu ketika, Patih Dwara menghadap Prabu Dipayana sambil
membawa Ki Sarana dan Ki Saruna yang berselisih memperebutkan Sami. Dengan
bantuan Saraseja, Prabu Dipayana menjatuhkan hukuman kepada Ki Saruna, Sami,
dan Ki Tandha Palaswa serta mengangkat Ki Sarana menggantikan kedudukan Ki
Tandha Palaswa. Berdasarkan kejadian itu, Prabu Dipayana memberikan ajaran
pada Patih Dwara mengenai wong ’orang’: cacana, cacaya, cacara dan cacala.
Prabu Dipayana pun menguraikan lima hal yang menjadi pangkal perselisihan dan
pertengkaran, yakni: 1. berebut istri, 2. berebut bumi/ tanah, 3. berebut rukmi
’emas’, 4. berebut ilmu pengetahuan serta, 5. berebut keluhuran. Kelima hal itu
disebut panca bakah. Di samping itu, ada lima senjata atau alat untuk bertengkar,
yakni: 1. tubuh/ badan, 2. mulut/ perkataan, 3. lemparan, 4. pemukul/ pukulan,
dan 5. besi/ senjata tajam.
59
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
60
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
61
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Bab IV
Analisis Struktur Sěrat Darmasarana
A. Judul
Pemberian judul sebuah karya sastra seringkali tidak dapat dilepaskan
dengan tema atau pokok pikiran yang terkandung dalam karya sastra yang
bersangkutan. Judul dapat menyiratkan isi bahkan merupakan kunci penafsiran
seluruhnya bagi karya tersebut (Sulastin Sutrisno, 1983: 129). Dari judul, maka
rahasia isi buku itu tercermin. Demikian pula halnya pemberian judul Sěrat
Darmasarana yang dikatakan karya Empu Tapawangkeng ini.
Judul Darmasarana ini diangkat dari salah satu tokoh yang paling menonjol
dalam kitab tersebut. Darmasarana adalah sebuah sebutan bagi Prabu Dipayana
atau Prabu Parikesit raja di kerajaan Ngastina (Hāstina). Ia adalah putra Raden
Abimanyu (Abhimanyu) dengan Dewi Utari (Uttarī) putri dari Wirata (Wirāṭa),
cucu Arjuna. Sebenarnya Parikesit (Parīkṣit) telah tewas oleh panah Brahmaśirah
milik Aśwatthāmā sewaktu dalam kandungan Utari (Uttarī), tetapi karena Kresna
(Kṛṣṇa) mencintainya ia dihidupkan kembali dan diramal akan menurunkan
keluarga Pandawa (Zoetmulder, 1983: 332; Sutjipto Wirjosuparto, 1968: 355).
Sebelum para Pandawa mengundurkan diri meninggalkan Ngastina (Hāstina)
dalam persiapannya kembali ke sorga, Parikesit ditunjuk dan dinobatkan menjadi
raja Ngastina menggantikan maharaja Yudhistira (Yudhiṣṭhira) (Nila, 1979: 27).
Penamaan seseorang acapkali diharapkan agar orang yang menyandang
nama tersebut akan berwatak dan bertingkah laku seperti arti nama miliknya. Arti
nama seseorang diharapkan dapat membawa berkah dan memberikan tuntunan
baik bagi pemiliknya. Dapat juga, nama seseorang diakibatkan atau ditentukan
oleh perilaku pemilik nama itu. Dengan demikian, mungkin ia sebenarnya sudah
memiliki nama, tetapi karena perbuatannya ia memperoleh nama baru.
Demikian pula halnya dengan tokoh Prabu Darmasarana, yang sebetulnya
sudah memiliki nama lain, yakni: Prabu Parikesit atau Prabu Dipayana. Nama
Parīkṣit (Parikshit) atau Parikesit berasal dari bahasa Sansekerta parikshit yang
oleh Macdonell diberi arti ’dwelling around (Agni), extending around (du., heaven
and earth)’ (Macdonell, 1979: 154). Boleh jadi penamaan Parikesit (Parīkṣit)
berkaitan erat dengan cinta kasih Kresna (Kṛṣṇa) yang menghidupkan kembali bayi
dalam kandungan Utari (Uttarī) yang sudah tewas karena panah api Brahmaśirah
milik Aswatama (Aśwatthāmā), seperti telah terurai di atas. Adapun nama Prabu
Dipayana, karena ia (Parikesit) memakai nama piutnya, yakni Kresnadipayana
(Kresnadwipayana), nama lain Abyasa (Hardjowirogo, 1982: 215).
62
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Epiteta, yakni kata atau frasa yang ditambahkan pada nama seseorang atau
sesuatu untuk memberikan sifat khasnya (Panuti Sudjiman (ed)., 1984: 27) untuk
tokoh Prabu Parikesit (Prabu Dipayana) telah tersurat dalam Sěrat Darmasarana
halaman 13-21. Diceritakan di dalamnya, bahwa sewaktu Prabu Dipayana dan
pengiringnya bercengkrama berburu binatang hutan di pagrogolan ’pesnggrahan’
hutan Palasara, ia merasa sangat gembira menyaksikan ketrampilan, kecakapan,
kehebatan serta kesaktian pasukannya dalam menangkap berbagai macam
binatang buruan. Sebaliknya, ia pun merasa kecewa karena ia sendiri belum
memiliki kesaktian yang memadai sebagai seorang raja besar. Oleh karena itu,
pada malam harinya, secara diam-diam baginda meninggalkan pesanggrahan
bermaksud mengembara memohon kesaktian kepada dewa (halaman 13).
Dalam pengembaraannya, Prabu Dipayana berjumpa dengan Resi
Ardhawalika serta meruwatnya kembali menjadi Sang Hyang Basuki. Kemudian
Sang Hyang Basuki memberinya nama atau gelar (julukan) Prabu Yudhiswara.
Selanjutnya Prabi Dipayana bertemu dan meruwat Resi Mregapati menjelma
menjadi Sang Hyang Gana, yang kemudian memberinya julukan Prabu Mahabrata.
Kemudian dalam pengembaraan selanjutnya, Prabu Dipayana bertemu dan
meruwat burung garuda menjadi Sang Hyang Sambo yang memberinya gelar
(julukan) Prabu Darmasarana (halaman 18-21).
Dengan demikian, nama (judul) Darmasarana dalam sěrat ini diangkat
dari peristiwa peruwatan Prabu Dipayana terhadap Sang Hyang Sambo dalam
perwujudannya sebagai burung garuda. Penamaan Darmasarana kemungkinan
disebabkan peranan Prabu Dipayana yang menonjol sebagai sarana, wahana atau
jalan kebaikan (keutamaan) kembali. Sebenarnya pada mulanya, Prabu Dipayana
sendiri tidaklah bermaksud demikian. Ia membunuh Resi Ardhawalika, Resi
Mregapatidan burung garuda karena ia tersinggung dan marah, martabatnya
direndahkan serta perjalanan pengembaraannya dihambat dan dihalangi.
Dalam hal ini secara tidak sengaja justru perbuatannya itu sebuah darma yang
membebaskan mereka dari kutuk dan cela.
Ada satu pertanyaan yang timbul mengapa sěrat tersebut berjudul
Darmasarana, bukanYudhiswara atau pun Mahabrata? Dalam hal ini, kemungkinan
sekali unsur darma memang sangat ditonjolkan dalam Sěrat Darmasarana ini
serta dalam teks-teks (sěrat-sěrat) sumber Wayang Madya lainnya. Memang
darma yang dilakukan Prabu Dipayana bukan hanya terbatas pada pembebasan
kutuk para dewa seperti terurai di depan, tetapi dalam masa pemerintahannya
yang lama, Prabu Dipayana banyak melakukan darma ’kebaikan/ keutamaan’.
Kata darma bukan hanya dipakai sebagai judul sěrat ini (Darmasarana), tetapi
kata tersebut dipakai pula sebagai judul beberapa teks sumber Wayang Madya
lainnya, misalnya: Sěrat Ajidarma dan Sěrat Anglingdarma.
Sosok darma ’kebaikan/ keutamaan’ yang menonjol pada pribadi Prabu
Dipayana, sudah barang tentu tidak terlepas dari tetesan pribadi leluhurnya
para Pandawa (Pāṇḍawa) yang semasa hidupnya termashur sebagai pengemban
63
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
dan pengabdi darma kesatria. Dalam hal ini dapatlah dikatakan, bahwa Prabu
Dipayana adalah cucu Prabu Yudhistira (Yudhiṣṭhira), meskipun ia cucu langsung
Arjuna. Prabu Yudhistira memiliki nama lain Prabu Darmakusuma, karena
ia titisan (putra) Batara Darma (Dewa Keadilan). Oleh karena itulah Prabu
Darmakusuma berwatak sabar, ikhlas, percaya atas kekuasaan Tuhan (Dewa),
tekun dalam agama, tahu membalas guna, dan selalu bertindak adil dan jujur
(Suwandono, dkk., tanpa tahun: 527). Boleh jadi penamaan Prabu Darmasarana
pun dikaitkan dengan Prabu Darmakusuma (Yudhistira). Hal ini sangat beralasan
mengingat Prabu Darmasarana (Parikesit) yang diangkat menjadi raja Ngastina
(Hāstina) menggantikan Prabu Darmakusuma.
Dengan demikian, bagian atau peristiwa kecil yang dipaparkan dalam
suatu karya sastra dapat saja diangkat sebagai nama (judul) sebuah karya sastra.
Jadi tidak selalu harus berdasarkan tokoh atau peristiwa besar yang mendominasi
karya sastra yang bersangkutan. Apabila diperhatikan atau diperbandingkan
dengan sejumlah karya sastra sejenis (Sěrat Yudayana dan teks-teks Sumber
Wayang Madya), maka penamaan Sěrat Darmasarana tersebut terasa lain,
menyimpang dari kebiasaan. Sebab tampilnya Prabu Dipayana dengan nama
lain yakni: Prabu Darmasarana hanya sesaat, yakni untuk menandai peristiwa
peruwatan Prabu Dipayana atas Sang Hyang Sambo (halaman 21). Adapun
penggunaan nama tokoh yang disebut-sebut dan tetap mendominasi keseluruhan
Sěrat Darmasarana tetap Prabu Dipayana.
Dalam teks-teks (sěrat-sěrat), yakni: Sěrat Yudayana, Sěrat Gěndrayana,
Sěrat Sariwahana, Sěrat Mayangkara, Sěrat Purusangkara, Sěrat Anglingdarma,
dan Sěrat Ajipamasa, tokoh-tokoh yang mendominasi keseluruhan cerita adalah
tokoh-tokoh yang diangkat menjadi judul sěrat-sěrat di atas, yakni: Prabu
Yudayana, Prabu Gendrayana, Prabu Sariwahana, Sang Maharsi Mayangkara,
Prabu Purusangkara, Prabu Anglingdarma, dan Prabu Ajipamasa (Kusumawicitra).
Terlepas dari persoalan di atas, epiteta ‘julukan’ Prabu Dipayana
(Prabu Parikesit), yakni: Prabu Yudhiswara, Prabu Mahabrata maupun Prabu
Darmasarana kiranya dapat disumbangkan sebagai pelengkap epiteta Prabu
Parikesit yang luput dari perhatian Suwandono, dkk. dalam Ensiklopedi Wayang
Purwa I (Compendium) (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 321-323).
B. Tema
Tema merupakan sebuah arti pusat atau ide pusat yang terdapat dalam
cerita (Stanton, 1965: 19). Tema adalah gagasan, ide atau pikiran utama di dalam
karya sastra yang terungkap atau pun tidak (Panuti Sudjiman, (ed), 1984: 74).
Tema adalah sesuatu yang menduduki tempat yang khas dalam pikiran pengarang
dan membutuhkan penyelesaian (Oemarjati, 1962: 54). Tema merupakan tujuan
cerita (Mochtar Lubis, 1960: 14). Riris K. Sarumpaet, Aoh K. Hadimadja maupun
Jakob Sumardjo memberikan batasan pengertian yang hampir sama. Menurut
mereka, tema adalah masalah yang menjadi pokok persoalan (Sarumpaet,
64
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
1977: 59; Hadimadja, 1981: 34) atau pokok pembicaraan dalam sebuah karya
(cerita) (Jakob Sumardjo, 1984: 57). Tema memang merupakan persoalan bagi
pengarang, karena tema membayangkan pandangan batin dunia hidup atau cita-
cita pengarang, bagaimana pengarang melihat persoalan yang kadang-kadang
disertai dengan pemecahan persoalan sekali (Lukman Ali, (ed), 1966). Pemecahan
persoalan ini menurut Saleh Saad diistilahkan sebagai amanat. Pernyataan Saleh
Saad itu sesuai dengan pendapat Edmar H. Jones Jr., bahwa tema adalah pesan
atau moral cerita (Asia Padmapuspita, 1980: 13).
Memperhatikan pengertian tema yang diberikan para ahli teori di atas,
saya cenderung sependapat dengan pengertian tema yang telah dikemukakan oleh
Robert Stanton, bahwa tema adalah arti pusat atau ide pusat yang terdapat dalam
cerita.
Tema atau pokok pikiran yang menduduki tempat utama dalam Sěrat
Darmasarana ini adalah bahwa darma (dharma) adalah sarana, alat atau jalan
bagi seseorang memperoleh kebaikan (keutamaan). Hal itu sesuai dengan
judul sěrat tersebut serta seperti yang telah diperlihatkan oleh Prabu Dipayana
atau Prabu Parikesit. Perilaku dan perbuatan-perbuatan darma (dharma) Prabu
Dipayana dapat dijadikan teladan (cermin) bagi manusia (masyarakat pembaca)
untuk melakukan perbuatan serupa dalam mencapai kemuliaan dan kesempurnaan
hidupnya.
Tema Sěrat Darmasarana, seperti telah dipaparkan di atas dapat pula
diamati dari judul sěrat itu sendiri, yakni: Darmasarana. Mengingat tema adalah
ide pusat atau arti pusat yang terdapat dalam suatu karya sastra dan dari judul, maka
keseluruhan karya sastra dapat ditafsirkan. Tema Sěrat Darmasarana tersebut
diantaranya didukung oleh berbagai peristiwa yang dialami Prabu Dipayana dalam
perjalanan pengembaraannya di dalam mencari kesaktian dan ilmu pengetahuan
sebagai bekal baginya di dalam mengendalikan tata pemerintahannya. Bekal
berbagai ilmu pengetahuan itu diperolehnya baik dari Sang Hyang Basuki, Sang
Hyang Gana, Sang Hyang Sambo, dan Dewi Swanyana (halaman 18-23). Di
samping itu, Prabu Dipayana (Prabu Parikesit) juga memperoleh berbagai ilmu
pengetahuan baik yang bersifat jiwani maupun badani, diantaranya dari Bathara
Sindungkara (halaman 35), Bagawan Sidhiwacana (halaman 47), Bagawan
Sukandha (halaman 55) maupun Arpasa, seorang anak kecil penjelmaan Sang
Hyang Udipati (guru) (halaman 106-114).
Dengan berbekal berbagai ilmu pengetahuan itulah, maka Prabu Dipayana
hampir selalu berhasil dalam menyelesaikan perselisihan dan memecahkan
masalah yang dihadapi rakyatnya. Berbagai persoalan dan peristiwa yang dialami
rakyatnya itu seringkali justru menjadikan ilham baginya (Prabu Dipayana)
untuk merumuskan serta menciptakan ilmu pengetahuan baru, baik dalam hal
tata pemerintahan, hukum, sifat-sifat manusia maupun pangkal perselisihan
(pertengkaran). Sudah barang tentu, semua itu tidak terlepas dari peranan Sang
Hyang Girinata (Guru), selaku penguasa tertinggi alam semesta, atau pun Sang
65
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Hyang Narada yang setiap waktu turun ke bumi membantu kesulitan Prabu
Dipayana.
Dalam Sěrat Darmasarana ini, Prabu Dipayana menunjukkan kebesaran
dirinya, kematangan jiwanya (seiring bertambahnya usia), sehingga menjadikan
dirinya pantas menggantikan kedudukan Prabu Damakusuma (Prabu Yudhistira)
sebagai raja Ngastina. Ia juga murah hati, tahu balas budi, tidak merasa segan
memberikan santunan kepada prajurit atau keturunannya yang gugur di medan
laga dalam membela negara. Prabu Dipayana dapat menetapkan atau memutuskan
peradilan seadil-adilnya. Siapapun yang berjasa diberinya hadiah, sedangkan
yang bersalah dihukum. Berat ringannya hukuman tergantung dari besar kecilnya
kesalahan yang dibuat rakyatnya. Di samping itu, sebagai seorang raja yang
pemurah, pemaaf lagi bijaksana, maka tidaklah segan-segannya Prabu Dipayana
memberikan pengampunan terhadap mereka yang menyadari kesalahannya.
Bahkan tidak jarang Prabu Dipayana justru memberikan hadiah, sebagai penebus
perasaan kecewa rakyatnya, meskipun sebenarnya mereka bersalah. Di akhir
kehidupannya, Prabu Dipayana meminta kepada rakyatnya yang pernah merasa
dirugikan, disakiti (dilukai) agar membalasnya. Sampai kemudian Taksaka Raja
datang menghadap dan menjilat ujung kaki baginda, yang dipakainya sebagai
sarana mencapai muksa.
Keutamaan watak Prabu Dipayana di atas (uraian terinci pada subbab
berikutnya), disatu sisi merupakan buah yang berlipat dari darma ‘kebaikan’ yang
ditanam dan di sisi lain adalah hasil kesungguhan usahanya untuk menjadi raja
yang berkepribadian sempurna. Sebagai seorang raja, ia pantas menjadi cermin
dan panutan rakyat.
Dari uraian di atas, sekali lagi dapatlah dikatakan, bahwa tema Sěrat
Darmasarana adalah darma ‘kebaikan’ adalah sarana, alat atau jalan mencapai
keutamaan. Dengan berbuat darma seseorang akan memperoleh darma
yang berlipat ganda. Hal itu sengaja dikemukakan pujangga pencipta Sěrat
Darmasarana, sebab ia merasa memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral
untuk ikut membentuk kepribadian, baik terhadap raja, bangsawan maupun
rakyat, sesuai dengan konsepsi Jawa.
Apabila diperhatikan dengan seksama, disamping tema di atas, ada tema
lain Sěrat Darmasarana yang tersembunyi dan baru dapat diungkapkan dengan
jelas, seandainya secara struktural dihubungkan dengan Sěrat Pustakaraja,
khususnya Sěrat Pustakaraja Purwa bagian akhir dan teks-teks sumber Wayang
Madya, misalnya: Sěrat Yudayana, Sěrat Budhayana, Sěrat Sariwahana, Sěrat
Pursangkara, Sěrat Ajipamasa maupun Sěrat Witaradya. Tema sěrat-sěrat di
atas adalah bahwa pujangga Jawa (R. Ng. Ranggawarsita) ingin mendudukkan
raja-raja Jawa Mataram sebagai keturunan dewa yang mewakili kekuasaannya di
bumi (ambawani bawana). Dalam hal ini pujangga bermaksud untuk mengangkat
derajat raja dan membenarkan tindakan penguasaannya atas rakyatnya. Raja
memang bukanlah keturunan orang kebanyakan, karenanya harus dipatuhi
66
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
67
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
68
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
69
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
70
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
yèn kang agung kèpi, dadya sumandhing aguling dangu-dangu Dewi Niyata
guling sayěkti, sruning arip salamining brangta ing supěna cěgah dhahar
guling (halaman 34).
(Dewi Niyata bersedia tetapi hatinya ragu-ragu jangan-jangan bukan
yang diimpikannya, sesampainya di peraduan dilihatinya yang (sedang) tidur,
Dewi Niyata tidak khawatir, bahwa (ia) yang sangat diimpikannya, jadinya ia
(Dewi Niyata) tidur bersanding, lama-kelamaan Dewi Niyata tertidur sungguh,
(sebab) sangat mengantuk, selama jatuh hati kepada yang diimpikannya itu
(ia) mencegah tidur dan makan)
Mimpi yang sama dialami Endhang Sikandhi, putri Bagawan Sukandha
dari Gua Siluman, seperti tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 48 yang
berbunyi:
Prabu Dipayana tatanya karanané ngulati ratu ing Ngastina. Ditya
sěpuh wawarti duk ginuběl ing sutané èstri nama Endhang Sikandhi, wit
milané supěna dadi garwané ratu ing Ngastina, satanginé mothah ing rama
kinèn angulati pinamběngan tan kěni aněmahana ngupaya priyangga, marma
tinurutan ing wěkasan pinanggih (halaman 48).
(Prabu Dipayana bertanya mengapa mencari raja di Ngastina. Raksasa
tua itu memberitakan ketika berulangkali diminta oleh putrinya bernama
Endhang Sikandhi, karena (ia) bermimin menjadi istri raja di Ngastina,
sewaktu bangun merajuk ayahnya disuruhnya untuk mencari dihalangi tidak
mau (sebab) akhirnya (akan) mencari sendiri, karena itu dituruti dan akhirnya
bertemu)
Prabu Dipayana juga merupakan seorang raja muda yang pemberani,
tidak mengenal takut, seandainya belum mengetahui kehebatan musuhnya
terlebih dahulu. Hal itu dibuktikannya, sewaktu Prabu Dipayana berjumpa
dengan pendeta (pertapa) bermahkota dan berhiaskan ular, maka langsung saja
dibunuh dengan tiada mengenal takut. Kemudian Prabu Dipayana bertemu
dengan pertapa yang sedang dihadap oleh segenap binatang buruan hutan, ia
pun segera menyerang dan membunuhnya. Ketika Prabu Dipayana bertemu
dengan seekor burung garuda yang besar, maka langsung saja dipanah hingga
terbunuh. Sewaktu Prabu Dipayana berjumpa dengan seekor ular yang mau
menerkam seseorang (Prabu Praswapati), ia pun dengan berani memanah dan
membunuh ular tersebut. Prabu Dipayana pun tidak merasa takut sewaktu
harus berhadapan dengan Srubisana yang mendendam leluhurnya, meskipun
akhirnya ia kalah dalam pertempuran yang sengit itu. Prabu Dipayana juga
dengan berani melawan Prabu Sayakesthi maupun Bagawan Sukandha (yang
kemudian keduanya menjadi mertuanya), meskipun akhirnya harus kalah.
Dengan kesaktiannya, Prabu Dipayana membunuh Prabu Niradhakawaca yang
menyerang Ngastina, sewaktu ia dan pengiringnya mengadakan perburuan di
hutan Palasara.
71
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
72
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
73
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
74
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
75
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
76
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
77
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
78
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
melainkan karena gigitan Taksaka Raja. Oleh karena itu ia sangat bersedih hati
sekaligus murka kepada Taksaka Raja. Patih Dwara dan Patih Danurwedha
berusaha menjelaskan bahwa praduga baginda tidak benar. Prabu Dipayana
adalah seorang raja yang mumpuni olah batin, seperti tersurat dalam Sěrat
Darmasarana II halaman 54-55 yang berbunyi:
Aturipun Patih Dwara lan Patih Danurwédha: ”Dhuh pukulun kados
botěn makatěn kangjěng déwaji, punapa ingkang cinipta ing karsa lamun
dados margining kasampurnan, ucap-ucapipun linangkung wontěna běbaya
sakěthinéya sampun waskitha botěn kèrub malah ngiruba warnining dirgama
wau, kadosta rama paduka saèstunipun sampun limpad anglimputi warni,
kados botěn kéguh dhatěng pangiruban pukulun, punapa kirang wuwulangipun
éyang-éyang paduka buyut Pandhawanira nguni saèstu sampun tumpěk wontěn
rama paduka sadaya (halaman 54-55).
(Patih Dwara dan Patih Danurwedha berkata: ”Duh paduka tuanku
jadi bukanlah demikian, apa yang dicipta dikehendaki apabila menjadi jalan
kesempurnaan, kata orang pandai meskipun ada seratus ribu bahaya apabila
sudah awas tidak turut terbawa bahkan menguasai segala macam jalan sesat
(buruk) tadi, seperti halnya ayahanda paduka tuanku sesungguhnya sudah ahli
meliputi segala hal, seperti(nya) tetap hatinya akan pengaruh (sesat) tuanku,
apakah kurang pelajaran (yang diberikan oleh) nenenda Pandawa dahulu
sungguh sudah tertumpah habis dalam (diri) ayahanda paduka)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa secara fisik Prabu Dipayana
adalah seorang raja yang tampan lagi sakti, sehingga banyak dirindukan
gadis-gadis. Di samping itu Prabu Dipayana pemberani, tidak mengenal takut.
Secara psikis, Prabu Dipayana memiliki watak yang bertanggung jawab akan
keselamatan dan kesejahteraan rakyat Ngastina. Ia mau mawas diri akan
segala kekurangannya dan mempunyai kemauan untuk meningkatkan diri,
baik dalam hal kesaktian maupun ilmu pengetahuan. Meskipun demikian,
sebagai seorang raja muda ia memiliki sifat yang tergesa-gesa, tidak sabar
dalam bertindak, mudah tersinggung, marah, ringan tangan, sombong, angkuh,
tinggi hati, suka memandang rendah derajat orang lain, tidak mudah terbujuk
dan tergoda, tetapi ia pun kemudian juga mudah berubah pikiran karena belas
kasihnya. Sifat tersebut berubah sejalan bertambahnya usia. Prabu Dipayana
semakin memiliki tanggung jawab, adil, bijaksana, pengasih, pemaaf,
pengampun, pemurah, tahu balas budi, toleran dan berjiwa (batin) matang.
79
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
80
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
81
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
82
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
83
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
dewa bergelar Bathara Dwara. Meskipun demikian rasa pengabdian dan cinta
kasihnya tidak luntur, sebab seperti yang diceritakan dalam Sěrat Yudayana,
maka Patih Dwara pun masih selalu menolong Prabu Yudayana sewaktu dalam
menghadapi bahaya.
Patih Dwara pun memiliki watak rendah hati, meskipun sebenarnya
ia seorang pejabat tinggi istana Ngastina. Sikap rendah hati Patih Dwara
itu tampak sewaktu mencari Prabu Dipayana, ia menyamar sebagai Raden
Cara, seorang kerabat istana Ngastina. Meskipun pada dasarnya Patih Dwara
seorang yang rendah hati, tetapi sekali waktu ia pun dapat bersikap angkuh
serta memandang rendah orang lain. Hal ini ditunjukkannya sewaktu ia
dan Prabu Dipayana berjumpa dengan pendeta raksasa Bagawan Sukandha
yang berkeinginan keras akan mengambil baginda sebagai menantu. Prabu
Dipayana menolak karena menduga putri Bagawan Sukandha seorang raksasi.
Selanjutnya Bagawan Sukandha menerangkan, bahwa ia kekasih dewa,
istrinya bidadari (Dewi Nawangsasi) dan putrinya cantik jelita. Mendengar
keterangan tersebut, Prabu Dipayana dan Patih Dwara mentertawakannya.
Tokoh penting Patih Dwara, seperti telah disinggung di depan memiliki
sikap adil lagi bijaksana, berpandangan luas, menguasai berbagai ilmu
pengetahuan maupun ilmu kesempurnaan (kebatinan). sikap tersebut antara
lain ditunjukkannya sewaktu memberikan pandangan dan ikut menyelesaikan
pengadilan Prabu Dipayana atas rakyatnya yang berselisih. Pada suatu ketika
terjadi perselisihan antara Kaesuksraya bersama anaknya Si Sangkara melawan
keluarga Winisaka. Akhirnya Kaesuksraya dan Si Sangkara dinyatakan
bersalah. Dalam kasus tersebut, Patih Dwara memberikan pandangan berupa
seloka yang berbunyi: Asing akarunyapuharangmasi yang berarti: Sing
awělas atěmahan lalis ’seseorang yang menaruh kasihan (kepada orang lain),
tetapi justru menyebabkan kesengsaraan’. Perasaan belas kasih seseorang
kepada orang lain, seringkali justru dapat membawa kesulitan, kecelakaan
pada orang tersebut. Hal itu dialami oleh Kaesuksraya, karena belas kasih
pada anaknya yakni Si Sangakra, maka ia tetap membela kasusnya, meskipun
anaknya bersalah. Akhirnya Kaesuksraya harus kehilangan harta bendanya
untuk menyelamatkan kedudukannya sebagai pemuka di desa Gigili. Dengan
pengetahuannya yang luas, maka Patih Dwara pun memberikan sumabangan
pikirannya, bahwa dalam kehidupan rumah tangga yang wajar, terasa pengaruh
laki-laki lebih kuat dari wanita. Demikian pula Patih Dwara pun memberikan
sumbangan pemikiran pada Prabu Dipayana sewaktu memberikan pengadilan
perselisihan antara Ki Sarana, Ki Saruna dan Sami.
Patih Dwara adalah kekasih dewa, sehingga ia seringkali mendapat
wangsit ’ilham, bisikan’ darinya, baik lewat mimpi maupun besi arca Srikandhi.
Misalnya wangsit yang diterima Patih Dwara sewaktu Prabu Dipayana pergi
meninggalkan pesanggrahan di hutan Palasara. Bisikan dewa tersebut tersurat
dalam Sěrat Darmasarana halaman 13-14 yang berbunyi:
84
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
85
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
86
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
dalam semua kitab suci yang menjadi ilmu pengetahuan nenenda para Pandawa
dahulu sudah dipunyai (dan) dikuasai dalam ilmu pengetahuan nenenda
Arya Bima, oleh karena kakang Danurwedha itu cucunya, barangkali masih
ada (pengetahuan yang) tersisa meskipun sedikit (dalam) ilmu pengetahuan
kakang Danurwedha, rupa-rupanya dapat menjelaskan, ilmu pengetahuan
yang banyak itu, Arya Dwara, Resi Gurundaya, Resi Gurunadi serta Prabu
Gandaprawa semua mengatakan menyetujui kehendak raja .... ”
87
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
88
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
89
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
90
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
91
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
92
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
dalam pertempuran tersebut. Hal itu tersurat dalam Sěrat Yudayana halaman
132-133 yang berbunyi:
Arya Drawaya miwah Dèwi Drawiyani anadhahi těmah prang ramé
salěběting pura abosah basih pangamukipun, dangu-dangu Dèwi Drawiyani
pějah déning Patih Danurwédha, Arya Drawaya lajěng ngamuk punggung
nirbaya nirwikara, para punggawa miwah para prajurit ing Ngastina
kathah kang pějah, Patih Supadma miwah Arya Prabu sakawan tuwin
punggawa satunggal Arya Karsula kalih Arya Sanjata, tiga Arya Sadrastha
sami pějah kasambuting rana, Patih Danurwédha sigra ngamuk punggung
pupulih ramé sami ngaběn kasěktèn kadigdayan (botěn) wontěn kang
kuciwa, sami prawiranya kalih, dangu-dangu Patih Danurwédha kasoran
kénging sinawat ing tomara, botěn tumama nanging sampun rumaos yèn
marganing kamuksanipun lajěng anyipta pangracuting rahsa pangukuding
jagad kinumpulakěn amrih sampurna tanpa lara lajěng sirna sami sanalika
(halaman 132-133).
(Arya Drawaya dan Dewi Drawiyani melawan akhirnya (terjadilah)
peperangan yang ramai di dalam istana porak-poranda (karena) amukannya,
lama-kelamaan Dewi Drawiyani tewas oleh Patih Danurwedha, kemudian
Arya Drawaya mengamuk (dengan) sangat nekat, tidak (mengenal) takut,
tabah hati, banyak para penggawa dan prajurit Ngastina yang gugur, Patih
Supadma dan keempat Arya Prabu (Ramayana, Ramaprawa, Prawasta dan
Warabasata), serta penggawa: 1. Arya Karsula, 2. Arya Sanjata, 3. Arya
Sadrastha bersama-sama gugur dalam peperangan, segera Patih Danurwedha
mengamuk (dengan) sangat nekat menuntut balas ramai keduanya mengadu
kesaktian dan kedigdayaan (kekebalan) keduanya (tidak) ada yang kurang
sempurna, keduanya sama-sama berani, lama-kelamaan Patih Danurwedha
kalah dilempar tombak kena, tidak tembus (masuk), tetapi (Patih Danurwedha)
sudah merasa bahwa (hal) ini (adalah) jalan (baginya) muksa kemudian (ia)
mencipta penyatuan (dan) dihimpunnya rahasia meninggalkan dunia agar
sempurna tanpa sakit selanjutnya seketika lenyap)
Demikianlah sepintas penokohan dan perwatakan Raden Ramayana,
Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden Warabasata yang dapat
diuraikan dalam buku ini.
93
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
menggempur Wiratha. Hanya saja Arjuna memohon dengan hormat agar Dewi
Utari kelak dikawinkan dengan putranya, yakni Angkawijaya (Abimanyu) yang
pada masa itu masih dalam kandungan Dewi Wara Sumbadra (Suwandono,
dkk., tanpa tahun: 470). Pernyataan itu pun masih perlu diteliti lebih lanjut,
benarkah Abimanyu memang belum lahir sewaktu Arjuna membantu Wiratha
(Wirata). Mengingat waktu peristiwa dalam Wirataparwa di atas, tampaknya
tidak terlalu lama dengan Baratayuda (Bhāratayuddha), dimana Abimanyu
mengambil bagian dalam perang besar tersebut.
Apabila kembali pada persoalan semula, dalam pewayangan diceritakan
pula bahwa Dewi Utari dikaruniai dewa Wahyu Hidayat, sedangkan Abimanyu
ditempati Wahyu Cakraningrat. Oleh karena itu, mereka ditetapkan dewa
sebagai jodoh, serta dikodratkan menurunkan raja-raja besar (Suwondo, dkk.,
tanpa tahun: 469-470). Dewi Utari mempunyai watak dan sifat halus dan
wingit ’sedih, susah’.
Selain watak dan sifat di atas, dalam Sěrat Darmasarana dilukiskan
pula watak Dewi Utari yang penyabar, terbuka, pengasih, penyayang, setia
bakti pada suami serta rela berkorban. Keterbukaan Dewi Utari, misalnya
ditunjukkannya dengan memberikan kebebasan pada putranya Prabu Dipayana
untuk memilih pasangan hidupnya. Ia mau menerima para gadis pilihan
putranya itu serta merestui perkawinannya. Terhadap para menantu dan para
besannya, Dewi Utari menaruh belas kasih sayang. Dewi Utari pun memiliki
naluri yang tajam dalam menangkap kemauan putranya. Ketika Dewi Utari
menangkap dibalik air muka Prabu Dipayana yang menaruh hati kepada Dewi
Grendi, putri Resi Gurundaya, maka ia segera melamar putri tersebut untuk
putranya.
Dewi Utari adalah seorang istri yang setia dan bakti kepada suami,
seperti telah disinggung di atas, akan tetapi ia rela berkorban untuk kepentingan
yang lebih besar (negara). Sewaktu Arya Abimanyu gugur di medan laga
dalam perang Baratayuda, maka yang diijinkan melakukan bela pati mengikuti
suami adalah Dewi Siti Sundari. Dewi Utari mendapat amanat mengasuh dan
mendampingi Parikesit, putranya yang masih kecil. Dewa sudah mengkodratkan
Parikesit sebagai pewaris kerajaan Ngastina dan akan menurunkan raja-raja
besar. Oleh karena itu dengan rela hati Dewi Utari menunda keinginannya
berkumpul dengan suaminya itu. Akan tetapi saat itu pun akhirnya tiba. Dewi
Nawangsasi, istri Resi Gurunadi bermaksud muksa untuk berkumpul kembali
dengan para bidadari lainnya dalam pesta pora di kedewataan. Tak seorang pun
mampu mencegahnya, sekalipun Prabu Dipayana, menantunya. Bahkan dengan
kuasanya secara menakjubkan ia memperlihatkan keindahan, kemegahan serta
kemuliaan sorga. Dewi Utari tergiur untuk mengikuti Dewi Nawangsasi agar
segera berkumpul kembali dengan suaminya Arya Abimanyu dan Dewi Siti
Sundari. Akhirnya secara bersama-sama Dewi Utari, Prabu Dipayana, Dewi
Nawangsasi, Resi Gurunadi dan Resi Gurundaya bersama istri muksa.
94
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
(8) Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Ken Satapa, Endhang Sikandhi dan Dewi
Grendi
Dewi Sritatayi adalah putri Prabu Praswapati, raja di Gilingwesi; Dewi
Niyata putri Prabu Sayakesthi, raja di Mukabumi; Ken Satapa putri Bagawan
Sidhiwacana di pertapaan Tirta Awarna di Gunung Manikmaya; Endhang
Sikandhi putri Bagawan Sukandha di Gua Siluman dan Dewi Grendi putri
Resi Gurundaya di Gunung Nirma.
Para wanita yang tergila-gila pada Prabu Dipayana dan kemudian menjadi
istrinya adalah para wanita yang cantik-cantik. Dalam pengembaraannya itu,
sebenarnya Prabu Dipayana bukannya bermaksud mencari istri, melainkan
mencari ilmu pengetahuan dan kesaktian sebagai bekal baginya di dalam
memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Ngastina. Ternyata justru di sela-
sela perjalanan pengembaraannya itu, secara diam-diam Prabu Dipayana
dirindukan dan diimpikan oleh banyak gadis. Baik mereka putri raja, pendeta
atau pun bagawan. Pada mulanya Prabu Dipayana tidak percaya atas
kecantikan mereka dan berkeinginan menolaknya. Hanya saja setelah baginda
melihat kejelitaan mereka, ia pun menaruh belas kasih dan jatuh hati, serta
bersedia menikahinya. Ketertarikan Prabu Dipayana kepada Dewi Sritatayi
di antaranya tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 29 yang berbunyi:
Mangkana Prabu Dipayana aningali Dèwi Sritatayi langkung kasmaran
(halaman 29).
(Demikian Prabu Dipayana melihat Dewi Sritatayi kemudian demikian
jatuh cinta)
Kutipan di atas mengisyaratkan, bahwa Prabu Dipayana (yang semula
menolak dikawinkan dengan putri Kerajaan Gilingwesi itu) setelah melihat
Dewi Sritatayi kemudian jatuh hati padanya.
Dewi Niyata, putri Prabu Sayakesthi raja di Mukabumi pun dilukiskan
sangat jelita, sehingga membuat Prabu Dipayana jatuh hati pula kepadanya.
Hal itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 33 yang berbunyi:
Yata Prabu Sayakèsthi sampun angracut sisirěpipun wimanasara.
Prabu Dipayana anglilir langkung kagyat dènira saré wontěn ing ngriku,
sarta sinandhing pawèstri langkung éndah. Prabu Dipayana sruning ngungun
pitung pandurat datan angandika, dangu-dangu Prabu Dipayana aningali kang
sumandhing dahat kasmaran. Dèwi Niyata ingaras astanira kagyat wungu
lajěng lěnggah, sarya mingsěg-mingsěg karuna (halaman 33).
(Kemudian Prabu Sayakesthi sudah melepaskan sirap wimanasara
’pengabaran, pengekesan’ atau ’aji untuk menawarkan kesaktian musuh’.
Prabu Dipayana tersadar (dan) sangat terkejut karena tidur di situ, serta
bersanding dengan wanita yang sangat jelita, Prabu Dipayana karena sangat
heran (sehingga) beberapa lama tidak berkata, lama-kelamaan Prabu Dipayana
melihat yang bersanding (dengannya, sehingga menjadikannya) demikian
cinta (padanya). Tangan Dewi Niyata diciumnya (menjadikannya) terkejut
95
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
96
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
97
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
98
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
99
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
dkk, dalam buku susunannya itu. Baik dalam keterangannya tentang tokoh
Nirbita II atau pun Niwatakawaca (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 302-303).
Prabu Nirakadhakawaca, seperti halnya Prabu Kismaka adalah seorang
raja yang pemberani dan sakti. Ia pun berwatak keras, setia, cinta bakti pada
orangtua, tetapi juga licik terhadap musuhnya. Watak cinta, setia bakti pada
orangtuanya itu ditunjukkannya sewaktu berusaha menuntut balas dendam
kepada keturunan Pandawa. Hal itu disebabkan Arjunalah yang membunuh
leluhurnya, yakni Prabu Niwatakawaca dalam peperangan. Oleh karena itu,
dikerahkannya pasukan Ima-imantaka untuk menyerbu Kerajaan Ngastina,
yang pada waktu itu sedang ditinggal rajanya, yakni Prabu Dipayana ke
pesanggrahan di hutan Palasara. Keberanian, keperwiraan serta kesaktian
Prabu Niradhakawaca itu antara lain ditunjukkannya sewaktu ia dikeroyok
pasukan Ngastina dalam pertempurannya yang licik melawan Bagawan
Baladewa. Hal itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 59, 60, dan 61
yang berbunyi:
Yata Prabu Niradhakawaca uninga yèn punggawané kathah kang
kasambut ing ayuda lajěng ngamuk punggung sura tan taha, singa kang
katarajang mawur kang kacandhak pějah. Wadya durandara sasésaning kang
matyèng rana samya mawur asasaran rěbut paran sowang-sowang. Prabu
Niradhakawaca saya liwung pangamuké pinarbutan déning Arya Syuhbrastha
campuhing prang gěnti kalindhih, dangu-dangu Arya Syuhbrastha
kapracondhang léna kasambut ing ngadilaga, nulya Arya Kèstu mangsah
pupulih, pinapagakěn déning Prabu Niradhakawaca Arya Kèstu kalindhih
pějah ing rana (halaman 59-60).
(Kemudian Prabu Niradhakawaca mengetahui bahwa banyak
penggawanya yang gugur dalam peperangan kemudian mengamuk dengan
nekat berani (dengan) tidak hati-hati, siapa pun juga yang ditempuh
berhamburan, yang tertangkap mati. Bala tentara yang tersisa dari kematian di
medan perang saling berhamburan (bercerai-berai) lintang-pukang (mencari)
pengungsiannya sendiri-sendiri. Prabu Niradhakawaca semakin mengamuk
diperebutkan (dikeroyok) oleh Arya Syuhbrastha dalam pertempurannya yang
saling kalah-mengalahkan, lama-kelamaan Arya Syuhbrastha kalah gugur di
medan peperangan, kemudian Arya Kestu maju menuntut balas, disambut oleh
Prabu Niradhakawaca Arya Kestu kalah gugur di peperangan)
Yata Prabu Niradhakawaca lajĕng anyipta naraca bala, tĕgĕsipun
’bala danawa alit-alit’ anggili tanpa étangan sami angrubut maring
Bagawan Baladéwa. Samana Bagawan Baladéwa mijil ingkang kakarsana,
atĕmah anaga pasa, tĕgĕsipun ’sarpa mandi’, kumĕrut tanpa étangan sami
amangsa naraca bala gusis, Prabu Niradhakawaca lajĕng anyipta garudha
mahambira, tĕgĕsipun ’pĕksi garudha ingkang langkung prawira’, kumĕrab
tanpa étangan sami amangsa taksaka tĕlas punang sarpa. Bagawan Baladéwa
lajĕng anyipta angin pancawora tarik, tĕgĕsipun ’angin agĕng saking lèr
100
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
kidul wétan kilèn miwah ing tĕngah’, sami mijil saking Nanggala, punang
garudha sinranging maruta sirna tan karuwan (halaman 60-61).
(Kemudian Prabu Niradhakawaca mencipta naraca bala, artinya
bala tentara raksasa ’kecil-kecil’ terus-menerus tiada henti-hentinya tanpa
hitungan semua melawan beramai-ramai kepada Bagawan Baladewa.
Ketika itu Bagawan Baladewa tertarik hatinya (untuk) mengeluarkan naga
pasa, artinya ’ular berbisa’, berduyun-duyun banyak sekali untuk menelan
naraca bala sehingga habis. Kemudian Prabu Niradhakawaca mencipta
garudha mahambira, artinya ’burung garuda yang sangat berani’, kelihatan
banyak sekali dan berdesak-desakan tak terhitung untuk mematuki memakan
ular sehingga ular habis. Kemudian Bagawan Baladewa mencipta angin
pancawora tarik, artinya ’angin besar dari utara selatan timur barat dan dari
tengah’ yang keluar dari Nanggala, garuda ditempuh angin lenyap tanpa bekas.
Uraian di atas menunjukkan keberanian, keperwiraan serta kesaktian
Prabu Niradhakawaca ketika melawan Bagawan Baladewa. Dalam hal ini,
ternyata Bagawan Baladewa lebih sakti karena memiliki Nanggala. Oleh
karena itu, Prabu Niradhakawaca yang cerdik dan licik berusaha merebut
Nanggala dari tangan Bagawan Baladewa, dengan menciptakan panah pědhut
’kabut’. Bagawan Baladewa menangkalnya dengan menciptakan panah api
yang menerangi kembali medan pertempuran. Hal itu tersurat dalam Sěrat
Darmasarana halaman 61-62 yang berbunyi:
Mangkana Prabu Niradhakawaca langkung kagawokan uninga
kasĕktèné Bagawan Baladéwa, miwah prabawaning Nanggala, pandalihira
kasĕktèning Bagawan Baladéwa saking prabawaning Nanggala, dadya
ambudi sarana kĕnané kang Nanggala. Samana lajĕng anyipta sangu
brastra tĕgĕsipun ’panah pĕpĕdhut’ tumanduk maring Bagawan Baladéwa
nalika katampĕking pĕpĕdhut Bagawan Baladéwa tan uningèng lor kidul
miwah Arya Dyastara tuwin wadya ing Ngastina sami pating carotho. Prabu
Niradhakawaca lajĕng marĕpĕki maring Bagawan Baladéwa arsa angrĕbat
Nanggala, dèrèng kongsi karĕbat kasĕlak Bagawan Baladéwa anyipta astra
bahni, tĕgĕsipun ’jĕmparing latu’, mijil saking Nanggala murub angkara-
kara, amadhingi sapayudan. Prabu Niradhakawaca, kawĕlèh lajĕng mundur
masi lurupan linud ingungsir déning Arya Dyastara kongsi praptèng jawi
kitha (halaman 61-62).
(Demikianlah Prabu Niradhakawaca sangat takjub mengetahui kesaktian
Bagawan Baladewa, serta kesaktian Nanggala, (ia) menyangka (bahwa)
kesaktian Bagawan Baladewa berasal dari kesaktian Nanggala, karenanya
(ia) berupaya mendapatkan Nanggala itu. Ketika itu kemudian (ia) mencipta
sangu brastha artinya ’panah kabut’ mengenai pada Bagawan Baladewa
ketika ketiup kabut itu Bagawan Baladewa (menjadi) tidak mengetahui (arah)
utara selatan dan Arya Dyastara serta prajurit Ngastina bersama-sama kurang
terang penglihatannya. Kemudian Prabu Niradhakawaca mendekati Bagawan
101
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
102
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
103
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
104
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Radèn sakawan saya duka těmah dadya prang ramé, para siswa kalindhih
kathah kang pějah. Dhang Hyang Suwéla sigra tutulung pinapagakěn déning
Rěsi Sidhikara, dadya prang ramé samya mijilakěn pangabaran warni-warni.
Dangu-dangu Dhang Hyang Suwéla kasoran prabawanira, dadya oncat masi
lurupan arsa anyidra, Radèn Yudayana awas paningalira lajěng angayat
Sarotama luměpas tumamèng Dhang Hyang Suwéla pějah kuwanda muksa
(halaman 156).
105
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
106
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
tidak sepenuhnya berhasil, sebab baginda sudah terkena bisa yang keras itu.
Kemudian Prabu Yudayana sakit keras dan sesampainya kembali di istana
baginda mangkat (Sěrat Yudayana halaman 101-106). Dengan demikian pada
akhirnya Dhang Hyang Suwela berhasil membalas dendam kepada Raden
(Prabu) Yudayana yang dahulu membunuhnya di pertapaannya di Gunung
Sadhara (Sěrat Darmasarana halaman 156).
Dari uraian di atas, di samping Dhang Hyang Suwela memiliki sifat dan
watak yang buruk, akan tetapi terhadap para murid dan abdinya ia menaruh
cinta kasih dan tanggung jawab atas keselamatan mereka. Oleh karena itu,
terhadap gurunya (Dhang Hyang Suwela) mereka pun mau menuntut bela
serta rela berkorban. Hal itu seperti ditunjukkan Endhang Upadi yang mau
mengabdi kepada Prabu Yudayana agar dapat meracuninya, akan tetapi
digagalkan Patih Dwara (Sěrat Darmasarana II halaman 74; Sěrat Yudayana
halaman 36-38). Demikian pula halnya motivasi penyerbuan Prabu Waradhaya
raja Kerajaan Madhendha ke Ngastina itu pun karena ia mau menuntut bela
atas gugurnya gurunya, yakni Dhang Hyang Suwela. Meskipun akhirnya
penyerbuan tersebut berhasil ditumpas Prabu Yudayana dengan permata
sakti Agniyara persembahan saudagar Sarwa (Sěrat Yudayana halaman 70-
74). Prabu Dyumanata raja Madhili, putra Prabu Waradhaya yang kemudian
mendengar gugurnya ayahandanya itu segera pula menyerbu ke Ngastina,
akan tetapi ia dan pasukannya pun dihancurleburkan oleh Prabu Yudayana
dengan permata sakti tersebut (Sěrat Yudayana halaman 79-80).
Demikian penokohan dan perwatakan Dhang Hyang Suwela yang dapat
diuraikan dalam penelitian ini.
107
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
108
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
109
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
menolak tuduhan permaisuri bahwa dirinya telah kawin lagi. Baginda merasa
belum saatnya memberitahukan hal itu kepada permaisuri, sehingga ia selalu
membujuk permaisuri agar mau mengerti, akan tetapi Dewi Gendrawati
justru mencaci maki Prabu Yudayana seraya menyerahkan Raden Gendrayana
serta meminta Baginda mengembalikan dirinya ke Gandara. Prabu Yudayana
akhirnya murka dan memerintahkan Patih Supadma dan Patih Danurwedha
bersama pengawalnya mengantar Dewi Gendrawati pulang kembali kepada
ayahandanya, Prabu Gandaprawa di Gandara. Hal itu tersurat dalam Sěrat
Yudayana halaman 56-58 yang suntingan singkatnya berbunyi:
Mangkana Dèwi Gěndrawati sarěng ing antawis dintěn amiyarsa
pawarta yèn ingkang raka nata dénira énggal-énggal tědhak dhatěng Wukir
Manikmaya punika krama angsal Dèwi Sadu, sutaning Rěsi Sidhikara, malah
ing mangké Dèwi Sadu kawarti sampun ambobot sěpuh. Kala samantěn
Dèwi Gěndrawati langkung runtik ing galih cipta tinungkulakěn dadya
matur tatanya dhatěng ingkang raka nata yěkti doranipun dénira angsal
pawartos makatěn wau. Prabu Yudayana taksih kumbi sarya angarih-
arih amrih tan dadya rěngat nadyan ing bénjang walèha yèn sampun ragi
sarèh sawatawis, ananging Dèwi Gěndrawati botěn sagěd měndha ing rèh
patakènipun tansah aměksa-měksa, dangu-dangu Prabu Yudayana walèh
yèn èstu krama angsal sutanipun ingkang paman Rěsi Sidhikara ingkang
anama Dèwi Sadu, marmanipun botěn wawarah sami sanalika déné tan
nědya ingangkah garwa děstun amung pangrěmbé kéwala. Ing ngriku Dèwi
Gěndrawati dupi sampun jinatosan déning raka nata yèn èstu krama, sang
rětna sangsaya sru runtikipun lajěng anguman-uman dhatěng ingkang raka
nata, sarta sakrama-krama wuwusipun tan mawi riringa. Prabu Yudayana
taksih sarèh kéwala sarya tansah angandika asmu maladriyaning garwa,
supadya lilih aywa kadurus ing duduka, ananging Dèwi Gěndrawati datan
lilih déning pangrapu basa, malah sangsaya asru panguwus-uwusipun sarta
minta lumampah kaantukěna maring Gandara kéwala, sampun boten rěna
wontěn nagari ing Ngastina. Dèwi Gěndrawati sasampunipun matur makatěn
lajěng angaturakěn putranipun ingkang nama Radèn Gěndrayana. Ing ngriku
Prabu Yudayana dupi ingkang putra Radèn Gěndrayana kaaturakěn langkung
kagyat těmahan mijil dudukanipun tan sipi, cipta sampun botěn darbé sih
marma dhatěng ing garwa. Sang nata sigra anuduh pawongan kakalih kinèn
animbali Patih Supadma lawan Patih Danurwédha sakancanipun tuwin para
ari nata sakawan pisan sami dhinawuhan manjing pura énggal-énggalan ....
(halaman 56-58).
(Demikianlah setelah beberapa hari Dewi Gendrawati mendengar
berita bahwa sebenarnya suaminya segera berkunjung ke Gunung Manikmaya
itu karena kawin dengan Dewi Sadu, putri Resi Sidhikara, bahkan sekarang
(menurut) berita Dewi Sadu sudah hamil tua. Pada waktu itu Dewi Gendrawati
sangat sakit hatinya merasa dikesampingkan karena itu bertanya kepada
110
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
111
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
112
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
samirana sumilir mawa ganda amrik arum angambar yayah ganda wida jěbad
kasturi. Nuntěn sirnaning pěpětěng kantun gandaning arum-arum angambar
ngěběki sanagari. Prabu Gěndrayana sawadya balanipun langkung suka
sukur ing déwa (halaman 241).
(Kemudian usungan mayat (jenasah) dibakar di tengah alun-alun, api
menyala-nyala seperti menggapai angkasa, bersamaan suara para Brahmana
dan para Pendeta berdoa (untuk) sempurnanya muksa, seiring padamnya api
usungan mayat sudah musna, seketika gelap-gulita disertai hujan gerimis dari
angkasa terdengar suara menderum-derum (menggelegar) memenuhi dunia
(sebagai) tanda bahwa kesempurnaannya (kematiannya) diterima, tidak berapa
lama bertiuplah angin sepoi-sepoi basa membawa bebauan harum semerbak
seperti bebauan minyak kasai. Lalu hilanglah kegelapan tinggal bebauan
harum semerbak memenuhi seluruh negara. Prabu Gendrayana bersama bala
tentaranya sangat bergembira (dan) bersyukur kepada dewa ....)
Kutipan di atas menunjukkan, bahwa sekalipun Dewi Gendrawati
memiliki sifat dan watak kurang baik, akan tetapi pada saat wafatnya
memperoleh kemuliaan. Kemuliaan Dewi Gendrawati tersebut sudah barang
tentu tidak terlepas dari doa para Brahmana dan para Pendeta serta perubahan
sifat dan wataknya yang kurang baik menjadi baik. Perubahan yang terjadi
itupun tidak terlepas dari bertambahnya usia serta kematangan jiwanya. Dewi
Gendrawati tidak lagi seperti dulu, tetapi sudah dapat menyadari dirinya
sebagai permaisuri raja yang besar.
Demikianlah penokohan dan perwatakan Dewi Gendrawati yang dapat
diungkapkan dalam Sěrat Darmasarana, Sěrat Darmasarana II dan Sěrat
Yudayana.
D. Hubungan Antartokoh
Dalam pembicaraan antartokoh di atas, sedikit banyak telah disinggung
hubungan tokoh utama Prabu Dipayana (Prabu Darmasarana atau Prabu
Parikesit) dengan tokoh-tokoh lainnya. Meskipun demikian, agar lebih jelas
dalam pembicaran ini akan dikemukakan secara khusus sifat hubungan
tokoh utama Prabu Dipayana dengan keempatbelas tokoh lainnya yang dapat
dipaparkan sebagai berikut:
1. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Yudayana adalah hubungan
antara ayah dan anak. Prabu Yudayana adalah putra Prabu Dipayana
dengan Ken Satapa atau Dewi Tapen. Prabu Yudayana sangat hormat
dan bakti pada ayahandanya, segala perintah ayahandanya dipatuhi,
sehingga dialah yang menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai
raja di Ngastina. Akan tetapi sifat baktinya itu berlebihan sehinga
menjadikannya kurang bijaksana dalam bertindak dan mengambil
keputusan. Hal itu seperti yang diperlihatkannya sewaktu Prabu Yudayana
memimpin pasukan Ngastina menumpas para naga sebagai balas dendam
113
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
114
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
115
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
116
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
10. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Satyaki adalah hubungan antara
cucu dengan nenendanya. Prabu Satyaki (Setyaki, Sencaki) adalah putra
Prabu Setyajid (Ugrasena) raja negara Lesanpura dengan Dewi Sini
(Wresini) (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 396). Jadi Prabu Satyaki adalah
saudara sepupu Prabu Kresna, di samping saudara ipar, mengingat Prabu
Kresna kawin dengan Dewi Setyaboma, saudara tua Satyaki (Suwandono,
dkk., tanpa tahun: 462). Prabu Kresna adalah saudara sepupu dan saudara
ipar Raden Arjuna. Jadi dapat dikatakan pula bahwa Prabu Satyaki
adalah nenenda Prabu Dipayana (Parikesit). Dalam Sěrat Darmasarana
memang kurang disinggung hubungan antara Prabu Dipayana dan Prabu
Satyaki secara langsung. Dalam arti mereka berjumpa dan berdialog,
akan tetapi sewaktu Prabu Dipayana mengirim Patih Danurwedha, Arya
Hermata, Arya Satmata, Arya Sanjata, Arya Subata dan pasukan Ngastina
ke Dwarawati, mereka bersamaan waktunya dengan Prabu Satyaki
dan pasukan Lesanpura yang berkunjung pula ke Dwarawati. Pasukan
Dwarawati, Ngastina serta Lesanpura bahu membahu menahan serbuan
Prabu Kismaka dari Tarajutiksna, akan tetapi dalam pertempurannya
melawan Prabu Kismaka, Prabu Satyaki mati bersama (sampyuh). Prabu
Dipayana dan kerabat istana Ngastina sangat berduka atas gugurnya
Prabu Satyaki. Kemudian Prabu Dipayana memanggil Arya Sanga-sanga
(putra Prabu Satyaki) dan mengangkatnya menggantikan kedudukan
ayahandanya menjadi raja di Lesanpura bergelar Prabu Sanga-sanga.
Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan penokohan Satyaki dalam
Mausalaparwa (bagian keenambelas Mahābhārata). Karena dalam
Mausalaparwa dipaparkan bahwa Satyaki mangkat bukan karena
bertempur dan mati bersama dengan Prabu Kismaka raja Tarajutiksna di
Dwarawati, melainkan karena dikeroyok oleh para Bhoja dan Andhakasa
(Andhaka) di Prabhasa (Ketut Nila, 1979: 11-12). Peristiwa itu terjadi
sebelum Kresna dan para Pandawa kembali ke alam kekal dan Parīkṣit
(Dipayana) diangkat menjadi maharaja di Hāstinapura. Hubungan Parīkṣit
dan Satyaki pun lebih tidak tampak dibandingkan yang terungkap dalam
Sěrat Darmasarana.
11. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dhang Hyang Suwela adalah musuh.
Permusuhan keduanya tersebut bermula dari permusuhan Dhang Hyang
Suwela dengan Bagawan Sidhiwacana dan Resi Sidhikara. Sebenarnya
Dhang Hyang Suwela telah melamar Endhang Drawati untuk putranya,
yakni Wawasi Duryajaya, akan tetapi kemudian Sang Wiku Mudra
menerima lamaran Bagawan Sidhiwacana untuk putranya bernama Resi
Sidhikara. Akhirnya Resi Sidhikara dikawinkan dengan Endhang Drawati.
Kemudian Dhang Hyang Suwela yang marah mengirimkan jalěgi ’hantu
bertubuh api’ dan berhasil membunuh Bagawan Sidhiwacana dan Sang
Wiku Mudra yang sedang lengah. Prabu Dipayana menjadi sangat murka
atas wafatnya mertuanya itu, sehingga mengirimkan Patih Danurwedha,
117
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
118
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
E. Plot
Plot, penokohan serta setting (latar) adalah elemen utama yang menjadi
dasar penentu pembentuk struktur cerita. Ada beberapa pendapat mengenai batasan
pengertian alur atau plot. Wellek mengatakan bahwa plot adalah struktur, tetapi
struktur dari banyak struktur (Wellek, 1981: 108). Robert Stanton memberikan
batasan pengertian plot adalah seluruh rangkaian peristiwa-peristiwa (Stanton,
1965: 14), akan tetapi penceritaan peristiwa yang menekankan sebab musabab,
seperti kata E. M. Forster (Forster, 1971: 93) hal itu seperti pengertian plot yang
diberikan oleh Danziger, bahwa plot merupakan rangkaian kisah tentang peristiwa
119
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
yang bersebab dijalin dengan melibatkan konflik atau masalah yang pada akhirnya
diberikan peleraian (Mohd Thani Ahmad, 1975: 25).
Dari batasan pengertian plot di atas, saya sependapat dengan E. M.
Forster maupun Boen S. Oemaryati yang menyatakan bahwa plot pada hakikatnya
merupakan susunan kejadian-kejadian dalam cerita yang disusun secara logis,
dan rangkaian kejadian itu saling terjalin dalam hubungan kausalitas (Oemaryati,
1962: 94).
W. H. Hudson membagi plot 2 jenis dalam novel, yakni: Pertama, novel
yang menggunakan plot longgar (loose plot). Dalam hal ini, peristiwa dijalin
dengan jalan peranan hero dalam cerita itu membawa peristiwa demi peristiwa.
Kedua, novel yang menggunakan plot erat atau organis. Plot erat menjalinkan
peristiwa-peristiwa di dalamnya dengan begitu rupa sehingga merupakan satu
kesatuan dalam cerita (Yahaya Ismail, 1967: 54).
Pembagian plot yang dikemukakan oleh W. H. Hudson itu tentu saja
berdasarkan dari segi kualitasnya. Karena plot dapat pula dibagi dalam 2 jenis
berdasarkan kuantitasnya, yakni plot tunggal dan plot ganda. Plot tunggal
seandainya dalam cerita tertentu menampilkan satu masalah yang menjadi titik
pusat pembicaraan. Sedangkan plot ganda seandainya cerita itu menampilkan dua
masalah atau lebih yang dijadikan pusat pembicaraan.
Berdasarkan rentetan peristiwa yang terjalin maka plot dapat pula dibagi
dalam 3 bagian, yakni: 1) Plot lurus, 2) Plot sorot balik (flashback), dan 3) Plot
campuran. Dinamakan plot lurus jika rentetan peristiwa satu dengan peristiwa
yang lain nampak runtut, tidak meloncat-loncat, misalnya peristiwa A disusul
peristiwa B, C, dan D, dan seterusnya. Dinamakan plot sorot balik (flashback) jika
peristiwa satu dengan peristiwa lain terjalin tidak berurutan, misalnya peristiwa
D baru kemudian disusul peristiwa A, B, C dan seterusnya. Dinamakan plot
campuran jika dalam suatu cerita terdapat 2 macam alur, yaitu alur lurus dan arus
flashback.
Berdasarkan pemecahan atau penyelesaian akhir cerita, plot dapat dibagi
menjadi 2, yakni plot terbuka dan plot tertutup. Plot terbuka seandainya pengarang
menampilkan cerita berakhir dengan klimaks, sehingga pembaca ditinggalkan
untuk menentukan sendiri apa yang diduga mungkin akan menjadi pemecahan
cerita. Sedangkan plot tertutup seandainya pengarang mengambil kesimpulan
bagi pembaca (Padmapuspita, 1980: 20-21).
Plot, trap atau dramatic conflic dalam setiap cerita biasanya dapat dibagi
menjadi 5 bagian: 1) Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan),
2) Generating circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak),
3) Rising action (keadaan mulai memuncak), 4) Climax (peristiwa-peristiwa
mencapai puncaknya), 5) Denouement (pengarang memberikan pemecahan soal
dari semua peristiwa) (Mochtar Lubis, 1981: 17).
Dalam Sěrat Darmasarana jika segi kualitas plot diterapkan maka dapat
dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana tergolong karya sastra yang beralur longgar.
120
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Sebab, jalinan peristiwa satu dengan peristiwa lain nampak tidak erat berkaitan.
Meskipun jalinan peristiwa-peristiwa saling kait-mengkait, namun seringkali suatu
kesenjangan muncul serta membuat jarak tiap-tiap peristiwa. Kesenjangan itu
berupa degresi-degresi atau uraian-uraian, baik cerita-cerita maupun yang bersifat
ajaran, misalnya: 1) Cerita tentang hubungan persahabatan antara leluhur Prabu
Praswapati dengan para Pandhawa (Pāṇḍawa); 2) Cerita Bagawan Sidhiwacana
tentang silsilah dirinya; 3) Cerita ketika pengawas Prabu Dipayana mengumpulkan
binatang buruan, tiba-tiba terdengarlah tangisan samsam ’rusa’, seperti manusia
yang khawatir akan berpisah dengan orangtuanya, yang ternyata penjelmaan Resi
Gurunadi, Dewi Nawangsasi dan Dewi Maera; 4) Cerita tentang Resi Gurunadi
dengan Padopaya, gadis Milak serta Brahmana Kaehanala sampai ia terkutuk
menjadi samsam ’rusa’; 5) Cerita Kaesuksraya pemuka desa Gigili bersama anaknya
Si Sangkara serta keluarga Winasaka; 6) Cerita perselisihan antara Tambingu
dengan Patriata yang memperebutkan Arca Gana; 7) Cerita Prabu Gandaprawa
tentang silsilah leluhurnya serta kutukan Dewi Anggandari (Gendari) yang menjadi
penyebab timbulnya Perang Baratayuda; 8) Cerita tentang Ki Sarana dan Ki Saruna
yang berselisih memperebutkan Sami; 9) Ajaran Arpasa (Sang Hyang Udipati)
secara simbolik tentang kebijaksanaan seorang raja dalam mengendalikan negara;
10) Ajaran tentang cacana, cacaya, cacara, dan cacala maupun ajaran tentang
Panca Bakah (penyebab perselisihan atau pertengkaran); 11) Ajaran tentang Panca
Pratama ’lima keutamaan’ dan Panca Guna ’lima kelebihan atau kepandaian’.
Jadi jelaslah bahwa banyak sekali cerita selingan yang tampil dalam Sěrat
Darmasarana. Munculnya cerita selingan memang diperlukan dalam sebuah
cerita untuk membangkitkan ketegangan atau suspence. Justru ketegangan inilah
yang menentukan seberapa jauh kadar bobot sebuah karya sastra. Namun haruslah
diakui bahwa pentingnya cerita selingan sebagai penguat kebolehan keberhasilan
karya sastra hendaknya ada batasnya. Dengan kata lain, janganlah cerita selingan
itu terlalu banyak ditampilkan dalam sebuah karya sastra. Karena hal itu bukannya
semakin menambah serasi selarasnya sebuah karya sastra tertentu, tetapi acapkali
justru menimbulkan gangguan bagi pembaca di dalam mencoba menikmati dan
mencerna jalan serta jalinan cerita. Pembaca yang dalam keadaan serius mencoba
merebut makna karya sastra itu terpaksa harus selalu terpecah perhatiannya karena
banyaknya cerita selingan yang tampil. Sěrat Darmasarana khususnya maupun
teks-teks Pustakaraja Madya lainnya tidaklah terhindar dari masalah itu.
Seandainya segi kuantitas plot diterapkan dalam Sěrat Darmasarana ini,
maka dapat dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana memiliki alur tunggal, karena
pusat pengisahan dan pembicaraan ada pada diri tokoh sentral, yakni Prabu
Dipayana atau Prabu Parikesit. Meskipun ada cerita mengenai Raden Yudayana
(putra Prabu Dipayana) yang cukup menonjol serta banyak sekali terdapat cerita-
cerita yang terangkat ke dalam Sěrat Darmasarana ini, namun pada hakikatnya
semua cerita tersebut kembali berpusat pada Prabu Dipayana sebagai tokoh
utamanya. Tampilnya cerita-cerita maupun tokoh-tokoh lain akan berfungsi
121
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
semakin memberikan kesan kuat betapa Prabu Dipayana menduduki tempat yang
sangat penting dalam Sěrat Darmasarana ini. Karena sebenarnya dapat dikatakan
bahwa tampilnya cerita-cerita dan para tokoh pembantu tersebut tidak akan
terlepaskan kehadirannya dengan tokoh sentral. Dengan kata lain tokoh-tokoh
pembantu dengan peristiwa-peristiwa lain merupakan penguat bagi fungsi tokoh
sentral Prabu Dipayana. Hadirnya cerita-cerita lain merupakan mata rantai dalam
membentuk keutuhan dan kebulatan karya sastra Sěrat Darmasarana, dengan
demikian dapat dikatakan sekali lagi bahwa Sěrat Darmasarana ini mempunyai
alur tunggal dipandang dari segi kuantitas plotnya.
Berdasarkan rentetan peristiwa yang terjalin maka alur atau plot Sěrat
Darmasarana tergolong plot campuran, karena di dalamnya terdapat perpaduan
alur lurus dengan alur sorot balik (flashback). Pada awal mulanya, alur Sěrat
Darmasarana berjalan lurus, tetapi pada suatu bagian tertentu alur tersebut
menuju ke alur sorot balik. Banyaknya alur sorot balik ini maka sekali lagi dapat
dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana mempergunakan plot campuran, sebab di
dalamnya mengandung dua macam alur sekaligus, yakni alur lurus dan flashback.
Berdasarkan pemecahan penyelesaian akhir cerita, dapat dikatakan
bahwa Sěrat Darmasarana mempergunakan plot terbuka, karena pada akhir cerita
karya sastra itu nampak bahwa pengarang belum memberikan penyelesaian akhir
terhadap sejumlah persoalan. Adanya plot terbuka tersebut mungkin pujangga R.
Ng. Ranggawarsita menawarkan pemecahan akhir cerita itu kepada para pembaca
sebagai penyambut karya sastra. Akan tetapi sebenarnya kalau dicermati secara
cermat tampilnya plot terbuka itu sebagai penanda akan adanya suatu cerita
sesudahnya. Hal itu jelas sekali terlihat karena setelah Sěrat Darmasarana
selesai ditulis, maka tampil Sěrat Yudayana yang merupakan kelanjutan dari
Sěrat Darmasarana, dengan menampilkan tokoh sentral Prabu Yudayana yang
didalam Sěrat Darmasarana belum menjadi tokoh sentralnya. Dengan demikian,
plot terbuka tersebut sebagai persiapan bagi pujangga R. Ng. Ranggawarsita
dalam menampilkan Sěrat Yudayana. Pantas pula diingat dan diperhatikan bahwa
di dalam Sěrat Yudayana tidak banyak terjadi pergeseran, baik dalam setting
maupun situasinya. Hanya memang di dalam Sěrat Yudayana terjadi peristiwa
yang mencekam yaitu ketika Prabu Yudayana melakukan penyerbuan ke tempat-
tempat yang diduga dihuni oleh para naga, sebagai balasan kepada Taksaka Raja
yang dikiranya menggigit ayahandanya (Prabu Dipayana, Parikesit) hingga
mangkat (muksa).
Berdasarkan uraian di atas, maka sekali lagi dapat ditentukan bahwa Sěrat
Darmasarana mempergunakan plot terbuka, apabila dipandang dari pemecahan
penyelesaian akhir cerita.
Apabila pembagian struktur cerita Mochtar Lubis maupun Barnet
diterapkan pada Sěrat Darmasarana maka dapat diuraikan struktur cerita
Darmasarana ini sebagai berikut:
122
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
123
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
124
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
125
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
126
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
127
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Pada suatu ketika, empat puluh hari dari perkawinan mereka Dewi
Gendrawati melahirkan putra bernama Raden Gendrayana. Sewaktu
menimang-nimang cucunya itu, Prabu Gandaprawa menyatakan bahwa Raden
Gendrayana adalah penjelmaan Trimurti, yakni keturunan Prabu Brahmaniyuta
(Prabu Brahmanaraja), putra Sang Hyang Brahma (Raja Gilingwesi); keturunan
Raden Srigati (Prabu Sri Mahapunggung), putra Sang Hyang Wisnu (Raja
Purwacarita), dan keturunan Raden Srinanda (Prabu Basurata) putra Sang Hyang
Wisnu (raja Wirata). Kemudian Prabu Gandaprawa meriwayatkan leluhurnya
sampai lahirnya Raden Gendrayana. Prabu Dipayana pun memerintahkan
Mpu Kawiswara untuk membacakan riwayat hidup leluhurnya berdasarkan
kitab Jitapsara yang menjadi pegangan raja. Adapun riwayat tersebut dimulai
dari Raden Kaniyasa (Resi Manumanasa), Resi Sakutrem, Bathara Sakri, Resi
Parasara, Bagawan Abyasa, Prabu Pandhudewanata, dan para Pandhawa.
Diceritakan pula kisah perselisihan Resi Parasara dengan Prabu Santanu (raja
Ngastina) sampai diserahkannya Kerajaan Ngastina ke tangan Resi Parasara.
Resi Parasara kemudian menyerahkan Kerajaan Ngastina kepada Begawan
Abyasa sampai akhirnya Kerajaan Ngastina jatuh ke tangan Prabu Dipayana.
Prabu Dipayana kemudian berputra Raden Yudayana, dan Raden Yudayana
kemudian berputra Raden Gendrayana.
Pada bagian denouement cerita diakhiri sewaktu Prabu Dipayana
menyetujui keinginan Dewi Nawangsasi dan Dewi Uttari untuk muksa kembali
ke surga. Akhirnya keinginan Dewi Nawangsasi dan Dewi Uttari tersebut
diikuti oleh Prabu Dipayana beserta istri-istrinya, Resi Gurundaya dan Resi
Gurunadi bersama istri-istri mereka. Pada waktu itu Prabu Dipayana kemudian
memerintahkan Patih Dwara dan Patih Danurwedha agar memberitahukan
kepada rakyat Ngastina bahwa mereka yang merasa telah disakiti dan
dilukai oleh baginda berhak membalas. Pada waktu itu, Taksaka Raja datang
menghadap dan melaporkan bahwa dia dahulu telah terluka oleh keris Prabu
Dipayana sewaktu baginda menikam Resi Ardhawalika, penjelmaan Sang
Hyang Basuki. Prabu Dipayana kemudian memaksa Taksaka Raja agar
membalasnya. Akhirnya, Taksaka Raja hanya menjilat ibu jari kaki baginda
yang bersamaan telah merasuk sukma. Prabu Dipayana muksa, seiring dengan
lenyapnya Taksaka Raja. Dewi Utari, para istri Baginda, Resi Gurunadi, dan
Resi Gurundaya bersama istri mereka pun segera menyusul baginda muksa.
Terdengarlah ledakan dahsyat memenuhi angkasa disertai hujan bunga
semerbak wangi menandai peristiwa itu. Ketegangan mulai meningkat lagi
dengan ditandai bahwa ketika Prabu Yudayana yang sangat berduka tersebut
berubah menjadi murka pada Taksaka Raja yang diduganya sebagai penyebab
baginda mangkat.
128
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
129
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
130
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
131
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Akan tetapi Prabu Dipayana menolaknya. Pada saat itulah Srubisana datang.
Dengan terpaksa Prabu Dipayana meminta bantuan Bagawan Sukandha
dengan imbalan memenuhi keinginan sang pendeta. Srubisana dibinasakan,
tetapi Prabu Dipayana bermaksud ingkar janji. Dengan kesaktiannya,
Bagawan Sukandha membimbing Prabu Dipayana dan Patih Dwara datang
ke pertapaan di Goa Siluman. Setting kemudian beralih ke pertapaan di Goa
Siluman. Di sana Prabu Dipayana dikawinkan dengan Endhang Sikandhi
serta diberinya berbagai macam kesaktian. Beberapa hari kemudian, Prabu
Dipayana dan Patih Dwara mohon diri kembali ke pesanggrahan. Setting
kemudian kembali ke pesanggrahan (pagrogolan). Di sana sewaktu pengawal
Prabu Dipayana mengumpulkan binatang buruan tiba-tiba terdengarlah
tangisan sangsam ’rusa’ seperti manusia yang khawatir akan berpisah
dengan orang tuanya. Ia menyatakan pula bahwa menurut ramalan ia dan
orang tuanya akan teruwat kembali di Kerajaan Ngastina. Prabu Dipayana
terharu dan memerintahkan Patih Dwara, Patih Danurwedha dan pasukannya
mencari induk rusa tersebut.
Lokasi kejadian kemudian beralih ke kerajaan Ngastina. Diceritakan di
dalamnya bahwa sepeninggal Prabu Dipayana, maka kerajaan Ngastina diserbu
Prabu Niradhakawaca raja Ima-imantaka. Prabu Niradhakawaca adalah anak
Prabu Niladatikawaca, cucu Prabu Niwatakawaca. Dalam pertempuran yang
hebat tersebut banyak perwira Ngastina maupun Ima-imantaka yang tewas.
Dalam pertempuran yang sangat dahsyat dan licik, Prabu Niradhakawaca
berhasil membunuh Bagawan Baladewa. Dewi Utari, Arya Dyastara dan
pasukan Ngastina, kemudian meninggalkan istana menyusul Prabu Dipayana
ke pesanggrahan di hutan Palasara.
Lokasi kejadian kemudian berpindah ke hutan Palasara. Di sana Prabu
Dipayana berjumpa dengan keempat istrinya yang diantar oleh mertua-
mertuanya serta adik iparnya (Wawasi Sidhikara). Di hutan Palasara itu pula
kemudian turunlah Sang Hyang Narada memberitahu dan memerintahkan
Prabu Dipayana meminta bantuan Resi Gurundaya di Gunung Nirma untuk
mengalahkan Prabu Niradhakawaca. Lokasi kejadian kemudian beralih ke
Gunung Nirma. Tidak berapa lama sesampainya Prabu Dipayana bersama
pasukannya di Gunung Nirma, datanglah pasukan Prabu Niradhakawaca. Dalam
pertempuran yang dahsyat, Bagawan Sukandha berhasil membinasakan Patih
Kalandhakara, akan tetapi ia akhirnya terbunuh oleh Prabu Niradhakawaca. Resi
Gurundaya segera mengheningkan cipta untuk mengeluarkan Bĕsi Adnyana
dari dadanya dan besi itu kemudian kembali sambil membawa Bĕsi Aji yang
keluar dari pucuk lidah Prabu Niradhakawaca. Prabu Niradhakawaca berhasil
membunuh Darmagopa (Gilingwesi), Citrakapa, Kulata (Mukabumi), Puthut
Srengga (Manikmaya), Tutuka, Salesaya, Kotya (Ngastina). Akhirnya, Prabu
Dipayana menghancurkan Prabu Niradhakawaca dan pasukannya. Setelah
peperangan selesai, Dewi Utari yang mengetahui bahwa Prabu Dipayana
132
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
133
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
134
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
135
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
136
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
dibiarkan bersikap secara wajar. Berbeda sekali dengan metode orang ketiga
objective atau orang ketiga terbatas. Metode orang ketiga ini membiarkan
para tokoh bertindak dan berpikir sendiri. Di sini pengarang hanya memberi
pandangannya secara terbatas, dan biasanya hanya pada tokoh utama saja.
Metode ini memberi kebebasan penuh kepada para tokohnya, karena para
tokoh dibiarkan bertindak dan hidup sendiri (Sri Widati Pradopo, dkk., 1982:
28-29).
Seperti halnya kebanyakan novel tradisional, metode cerita yang dipakai
dalam Sěrat Darmasarana ini menggunakan metode cerita orang ketiga atau
dalang. Di sini R. Ng. Ranggawarsita, pengarang sěrat tersebut, seolah-olah
tahu isi hati para tokoh yang ditampilkannya. Cara R. Ng. Ranggawarsita
menampilkan para tokohnya, ia langsung menyebut namanya saja, seperti
Prabu Dipayana (Parikesit, Yudhiswara, Mahabrata) atau di dalam menyebut
Prabu Yudayana, Prabu Pandhudewanata, Prabu Satyaki, Prabu Satyaka, Prabu
Bomanarakaswara, Prabu Kismaka, Prabu Sanga-sanga, Prabu Niradhakawaca,
Prabu Sayakesthi, Prabu Gandaprawa, Prabu Udara, Prabu Santanu. R. Ng.
Ranggawarsita juga menyebut langsung para patih seperti misalnya: Patih
Dwara, Patih Danurwedha, Patih Udakarya. Pengarang juga menyebutkan para
dewa dengan: Sang Hyang Udipati, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Girinata,
Sang Hyang Narada, Sang Hyang Basuki, Sang Hyang Gana, Sang Hyang
Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kamajaya,
Sang Hyang Kala. Kadang-kadang ia menyebut langsung misalnya: Bagawan
Abyasa, Bagawan Baladewa, Bagawan Sidhiwacana, Resi Sakutrem, Resi
Parasara, Resi Sidhikara, Resi Gurundaya, Resi Gurunadi. Pengarang menyebut
para putri bangsawan dengan sebutan: Dewi Utari, Dewi Siti Sundari, Dewi
Nawangsasi, Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi Satapa, Dewi Sikandhi, Dewi
Grendi, Dewi Suyati, Dewi Maera, Dewi Gentang, Dewi Impun, Dewi Tapen,
Dewi Puyengan, Dewi Dangan, Dewi Tejowati, Dewi Sadu. Kadang-kadang
pengarang menyebutkan tokoh yang berkedudukan sebagai perwira dengan
sebutan misalnya Arya Dyastara, Arya Swuhbrastha, Arya Tanbara, Arya
Saromba, Arya Hermata, Arya Satmata, Arya Kestu, Arya Saksa, Arya Warsaka,
Arya Sanjata, Arya Subata, Arya Sasara, dan Arya Sarata.
Dengan metode dalang ini pengarang dapat lebih bebas mengemukakan
dan menguraikan jalinan cerita beserta sifat-sifat para tokohnya tanpa berusaha
untuk memihak salah satu tokohnya. Kemungkinan sekali dalam memilih
metode dia atau dalang ini karena Sěrat Darmasarana khususnya dan teks-
teks Pustakaraja Madya umumnya menampakkan diri sebagai bagian dalam
berbagai kitab sumber penulisan lakon pentas wayang (Purwa dan Madya).
Tidak dapat disangkal bahwa Sěrat Darmasarana ini adalah kitab sumber
Wayang Purwa di bagian awal, sedangkan pada bagian akhir dapat dimasukkan
ke dalam kitab sumber Wayang Madya.
137
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
H. Motif
Motif adalah unsur-unsur teks seperti perbuatan, pernyataan yang
mengungkapkan batin, perasaan, tingkah laku atau adegan lingkungan yang
penting. Motif merupakan penggerak atau pendorong cerita ke arah peristiwa
atau perbuatan berikut (Sulastin Sutrisna, 1979: 151).
Motif yang terdapat dalam Sěrat Darmasarana yang dapat
diketengahkan di antaranya: wangsit ‘ilham’, mimpi, cinta dan perkawinan,
peperangan, pusaka bertuah, penyamaran, peruwatan. Adapun motif-motif
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Wangsit ’ilham’
Motif wangsit ’ilham’ dalam Sěrat Darmasarana ini mencakup 5
hal, yakni:
a) Wangsit ’ilham’ yang diterima Prabu Dipayana bahwa di kerajaan
Ngastina turun hujan darah dengan derasnya, yang menandakan
peristiwa berdarah yang akan menimpa kerajaan Ngastina. Ilham
tersebut menjadi kenyataan, karena ketika Prabu Dipayana
meninggalkan kerajaan Ngastina untuk bercengkrama di pagrogolan,
dan kemudian mengembara, maka kerajaan Ngastina diserbu oleh
Prabu Niradhakawaca dari kerajaan Ima-imantaka. Dalam serbuan
yang dahsyat tersebut Bagawan Baladewa gugur dan muksa.
b) Wangsit ’ilham’ yang diterima oleh Prabu Dipayana. Diceritakan
bahwa suatu ketika kerajaan Ngastina ditimpa wabah penyakit yang
mengakibatkan rakyat kerajaan Ngastina meninggal. Pada waktu itu
Prabu Dipayana mendapat ilham agar Baginda pada tengah malam
berdiri di tengah halaman, menghadap empat penjuru mata angin sambil
mengucapkan mantra. Setelah hal itu dilakukan tiba-tiba melayanglah
sepasang besi yaitu Běsi Sikandhi yang sudah berbentuk Arca Dewi
Uma dan Běsi Gurita dalam bentuk Arca Sang Hyang Girinata.
Sepasang arca tersebut kemudian ditempatkan di sanggar pemujaan,
seiring lenyapnya malapetaka yang menimpa kerajaan Ngastina.
c) Wangsit ’ilham’ atau ramalan yang diterima oleh seekor samsam
’rusa’. Dikemukakan dalam Sěrat Darmasarana bahwa sewaktu
Prabu Dipayana kembali lagi ke pagrogolan, Baginda memerintahkan
pengawalnya untuk mengumpulkan binatang buruan. Pada waktu itulah
terdengar tangisan samsam, seperti tangisan manusia yang khawatir
akan berpisah dengan orangtuanya. Samsam tersebut menyatakan
bahwa menurut wangsit dan ramalan yang diterimanya bahwa ia dan
orangtuanya akan teruwat kembali di kerajaan Ngastina. Oleh karena
itu Prabu Dipayana yang terharu mendengar tangisan itu segera
memerintahkan Patih Dwara, Patih Danurwedha dan pasukannya
untuk mencari induk rusa tersebut.
138
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
2. Mimpi
Di dalam Sěrat Rukmawati (termasuk kelompok Sěrat Maharata
bagian Sěrat Pustakaraja Purwa) yang disusun oleh Empu Sindhula di
Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau tahun Candrasangkala
879, di antaranya dikemukakan tentang penjelasan arti mimpi yang
diuraikan oleh Resi Paninda kepada Resi Wisama. Menurut Resi
Paninda bahwa mimpi atau impian itu terdiri dari empat macam: a)
katěmu saka ing pipiridan, b) katěmu saka ing tuturutan, c) katěmu
saka ing wawangsulan, d) katěmu saka ing sěsěmonan. Adapun yang
dimaksud dengan katěmu saka ing pipiridan itu misalnya seseorang
bermimpi melihat nyala api. Dalam kenyataannya, ia kemudian menjadi
marah, karena api itu dapat disamakan, atau melambangkan kemarahan
dan semacamnya. Mimpi atau impian yang berdasarkan katěmu saka
ing tuturutan itu seperti halnya orang yang bermimpi buang air besar,
kenyataannya yang didapatinya nanti ia akan kehilangan, karena
keluarnya kotoran itu kelanjutannya hilang/ kehilangan. Maksud mimpi/
impian yang berdasarkan katěmu saka ing wawangsulan itu seperti
orang yang bermimpi sedih, yang didapatinya nanti akan menemui
kegembiraan (kesenangan), karena kesedihan itu kebalikannya adalah
gembira. Adapun maksud mimpi yang berdasarkan katěmu saka ing
sěsěmonan itu seperti orang yang bermimpi rumahnya roboh, dalam
139
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
140
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
141
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
142
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
143
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
4. Peperangan
Motif peperangan banyak terjadi dalam Sěrat Darmasarana,
baik peperangan itu secara kecil-kecilan maupun meningkat pada
pertempuran besar yang melibatkan dan menyeret kerajaan besar beserta
sekutu-sekutunya. Adapun motif peperangan yang terdapat dalam Sěrat
Darmasarana ini antara lain:
a. Peperangan kerajaan Dwarawati melawan kerajaan Tarajutiksna.
Dalam peperangan tersebut kerajaan Dwarawati terdesak sehingga
Prabu Satyaka mengutus Patih Udakarya untuk meminta bantuan
ke Ngastina. Di tengah pertempuran tersebut Prabu Satyaki raja
Selanpura datang dan bergabung dengan pasukan Dwarawati dan
Ngastina. Dalam pertempuran tersebut, Prabu Kismaka (Tarajutiksna)
mati bersama-sama dengan Prabu Satyaki.
b. Peperangan Prabu Dipayana (sewaktu dalam pengembaraan) melawan
Sarabisa, utusan Prabu Sayakesthi raja Mukabumi. Sebenarnya
Sarabisa bermaksud menyampaikan surat padanya, tetapi Prabu
Dipayana menolaknya, sehingga terjadilah pertempuran dan Sarabisa
tewas, pasukannya cerai berai.
c. Peperangan Prabu Dipayana melawan Prabu Sayakesthi yang
menyamar sebagai Buyut Medhangprawa. Dalam pertempuran
itu Prabu Sayakesthi mengalahkan Prabu Dipayana dengan Aji
Wimanasara. Selanjutnya Prabu Dipayana dibawa Prabu Sayakesthi
ke kerajaan Mukabumi dan kemudian dikawinkan dengan putrinya,
Dewi Niyata.
d. Peperangan Prabu Dipayana melawan Srubisana, anak Lembusana
yang gugur dalam perang Baratayuda. Dalam pertempuran itu Prabu
Dipayana kalah, tubuhnya dibuang dan jatuh di pertapaan Tirta
Awarna.
e. Peperangan Prabu Dipayana dan Patih Dwara melawan Bagawan
Sukandha, yang menginginkan agar supaya Prabu Dipayana menjadi
menantunya. Dalam pertempuran itu Prabu Dipayana dan Patih
Dwara kalah.
f. Peperangan Srubisana melawan Bagawan Sukandha (dari pertapaan
Goa Siluman). Peperangan tersebut terjadi karena Sang Bagawan
dimintai bantuan Prabu Dipayana sebagai syarat Baginda bersedia
untuk dikawinkan dengan Dewi Sikandhi. Dalam pertempuran
tersebut Srubisana tewas, tubuhnya hancur lebur menjadi debu. Prabu
Dipayana kemudian dibawa Bagawan Sukandha dan dikawinkan
dengan putrinya, Dewi Sikandhi.
g. Peperangan antara kerajaan Ngastina melawan Ima-imantaka,
peperangan tersebut terjadi ketika Prabu Dipayana meninggalkan
kerajaan untuk mengembara berguru mencari ilmu. Dalam pertempuran
144
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
5. Pusaka bertuah
Prabu Dipayana memiliki beberapa pusaka bertuah. Pusaka-pusaka
tersebut berasal dari anugerah dewa. Pusaka bertuah tersebut bermacam
ragam baik jenis maupun bentuknya, semuanya memiliki kelebihan dan
keistimewaannya sendiri. Dengan memiliki pusaka bertuah tersebut,
sedikit banyak menambah kewibawaan serta daya kesaktian raja. Adapun
pusaka-pusaka bertuah tersebut antara lain:
a. Arca Dewi Durga dan Sang Hyang Girinata
Pada suatu ketika Prabu Dipayana memanggil Mpu Brangtadi
sambil menyerahkan Besi Srikandhi agar dibuat senjata. Akan tetapi
sewaktu besi tersebut ditempa, tiba-tiba musnah, kemudian Prabu
Dipayana memberikan lagi Besi Gurita. Akan tetapi sewaktu ditempa
besi itu pun lenyap. Kemudian terjadilah malapetaka hebat yang
melanda kerajaan Ngastina. Setelah Prabu Dipayana menjalankan
petunjuk dewa dalam rangka mengakhiri malapetaka tersebut, maka
tiba-tiba melayanglah sepasang besi, yaitu Besi Srikandhi yang sudah
berbentuk arca Dewi Uma dan Besi Gurita dalam bentuk Arca Sang
Hyang Girinata. Sepasang arca itu kemudian ditempatkan di sanggar
pemujaan, seiring lenyapnya mahapetaka yang melanda kerajaan
Ngastina.
Di dalam Sĕrat Yudayana, Sĕrat Budhayana dan Sĕrat Prabu
Gĕndrayana dilukiskan bahwa arca Dewi Durga (yang dapat berbicara
dan menangis) tersebut banyak memberikan petunjuk kepada Patih
Dwara untuk menghadapi musuh besar Prabu Yudayana yaitu Dhang
Hyang Suwela. Dhang Hyang Suwela dan sekutunya dengan menyamar
berbagai bentuk selalu berusaha keras untuk membunuh Prabu
145
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Yudayana tetapi selalu digagalkan oleh Patih Dwara atas petunjuk arca
Dewi Durga. Demikian pula arca Dewi Durga juga selalu memberi
petunjuk kepada Arya Prabu Bambang Sudarsana dalam rangka
melindungi keselamatan kakandanya yaitu Prabu Gendrayana. Sebab
roh Dhang Hyang Suwela dan sekutunya tetap terus berusaha mencari
kelengahan Prabu Gendrayana untuk dibunuhnya. Berbagai macam
usaha roh Dhang Hyang Suwela untuk membunuh Prabu Gendrayana
tersebut selalu digagalkan oleh Arya Prabu Bambang Sudarsana atas
petunjuk arca Dewi Durga.
b. Cundhamani
Cundhamani adalah senjata Dananjaya atau Arjuna yang
dianugerahkan oleh Sang Hyang Girinata kepada Prabu Dipayana
sebagai pengganti nanggala milik Bagawan Baladewa yang sudah
diambil kembali oleh dewa. Cundhamani memiliki keistimewaan
dapat meruwat mereka yang cacat dan sengsara. Cundhamani tersebut
kemudian dipakai Prabu Dipayana untuk meruwat ketiga samsam ’rusa’
sehingga menjelma kembali menjadi Resi Gurunadi, Dewi Nawangsasi
dan Dewi Maera.
c. Nanggala
Nanggala adalah senjata yang sangat sakti milik Bagawan
Baladewa. Senjata tersebut dipakai Bagawan Baladewa untuk
menghadapi para penyerbu ke kerajaan Ngastina. Dengan senjata
sakti Nanggala maka segala kesaktian Prabu Niradhakawaca dapat
dipunahkan. Ketika Prabu Niradhakawaca yang cerdik dan licik
berusaha merebut Nanggala dari tangan Bagawan Baladewa dengan
menciptakan panah pĕdhut ’kabut’, maka Bagawan Baladewa dengan
Nanggalanya menangkalnya dengan menciptakan panah api yang
menerangi kembali medan pertempuran. Namun akhirnya Nanggala
dapat direbut oleh Prabu Niradhakawaca yang menyamar sebagai Arya
Dyastara.
d. Sarotama
Panah Sarotama pada mulanya merupakan senjata Arjuna, akan
tetapi dalam Sĕrat Darmasarana ini panah Sarotama dianugerahkan
oleh Sang Hyang Kamajaya kepada Raden Yudayana. Hal ini
dimaksudkannya sebagai balas jasa Raden Yudayana yang telah meruwat
Sang Hyang Kamajaya dari bentuknya sebagai seekor harimau. Dengan
panah sakti Sarotama itu pula Raden Yudayana membunuh Dhang
Hyang Suwela.
e. Bĕsi Adnyana dan Bĕsi Aji
Bĕsi Adnyana adalah senjata sakti milik Resi Gurundaya,
sedangkan Bĕsi Aji adalah senjata sakti milik Prabu Niradhakawaca.
Ketika Prabu Niradhakawaca menyerang pertapaan Gunung Nirma,
146
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
6. Penyamaran
Di dalam Sĕrat Darmasarana motif penyamaran yang dilakukan
oleh para tokohnya tidak begitu banyak. Motif penyamaran yang menonjol
di dalam sĕrat tersebut antara lain:
a. Ken Suyati, putri Bagawan Sidhiwacana ketika diketemukan oleh Patih
Dwara, maka ia diminta untuk menyamar sebagai Prabu Dipayana
yang secara diam-diam meninggalkan pagrogolan. Ia diminta menanti
sampai Prabu Dipayana kembali ke pagrogolan, sementara Patih Dwara
sendiri bermaksud menyusul Sang Prabu.
b. Prabu Dipayana di dalam pengembaraannya untuk mencari ilmu dan
kesaktian dari dewa, ia menyamar sebagai Raden Suwarna.
c. Patih Dwara di dalam pengembaraannya untuk menyusul Prabu
Dipayana maka ia menyamar sebagai Raden Cara.
d. Sang Hyang Basuki sewaktu mengemban perintah Sang Hyang Girinata
untuk menjumpai Prabu Dipayana, ia menyamar sebagai seorang
pertapa yang bertutupkan kepala ular, memakai gelang ular, memakai
gelang kaki (binggĕl) ular dan menamakan diri Resi Ardhawalika.
e. Sang Hyang Gana yang juga mengemban perintah Sang Hyang Girinata
untuk menjumpai Prabu Dipayana sebagaimana Sang Hyang Basuki,
maka ia menyamar sebagai seorang pertapa yang berdiri di atas banteng
dan dihadap oleh segala macam binatang buruan dan menamakan diri
sebagai Resi Mregapati.
f. Prabu Sayakesthi sewaktu mencari Prabu Dipayana maka ia menyamar
sebagai bubuyut di Medhangprawa.
147
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
7. Peruwatan
Dalam cerita-cerita Jawa Kuna didapatkan kata ruwat dan kata
rumuwat artinya membuat tak kuasa, menghapuskan (kutukan, kemalangan,
dan lain sebagainya), membebaskan. Dalam kitab Kuñjarakarṇa
diketemukan kalimat: pamalaku rinuwat mala nyantěn i nghulun ’minta
dihapuskan noda adik hamba’. Kata ruwat juga terdapat dalam beberapa
kelompok kata, misalnya: amrih ruwata ning papa ’berusaha bebas
dari kesengsaraan’; ko Gana mangruwaté iryaku ’kamu Gana, hendak
membebaskan saya’; rumuwat sapapa ning rama réna ’membebaskan
segala kesengsaraan ayah dan ibu’. Yang diruwat atau dibebaskan yaitu
papa ’kesengsaraan’, mala ’dosa’, dan lain-lain, juga rimang ’kesedihan,
kesusahan’, kalěngka ’noda, kejahatan’, wirangrwang ’kebingungan,
kekusutan’ dan sebagainya.
Dalam cerita Hariwangśa, Sumanasāntaka, Korawaçrama,
Calwanarang, Nawaruci dan Sudamala digunakan kata lukat yang juga
berarti ’menghapus, membebaskan, membersihkan, wipe out, release’.
Misalnya dalam kalimat: Kunang iki papa ni nghulun agöng ring apa
n lukata ’Adapun ini, kesengsaraan hamba besar, bagaimana akan
menghapuskannya’; sang Pāṇḍawa nglukatèng sira, mañjing ring garbané
mangké ’sang Pandawa akan melepaskan kamu, (aku) masuk dalam
perutnya nanti’; lukat ni kapalang nikang sukṛta marga ni kapalang i dénta
déwati ’pembebasan terhalang oleh perbuatan baik, sebagai sebab bagimu
terhalang dewati’ (Subalidinata, dkk., 1985: 11-12).
Di dalam Sĕrat Darmasarana motif peruwatan ini erat berkaitan
dengan motif penyamaran. Motif peruwatan yang dilakukan oleh tokoh
utama Prabu Dipayana antara lain:
a. Peruwatan Prabu Dipayana terhadap Resi Ardhawalika untuk kembali
ke wujudnya semula yaitu Sang Hyang Basuki. Sang Hyang Basuki
kemudian memberikan pelajaran tentang penawar bisa ular, ilmu untuk
menguasai binatang melata serta memberikan gelar kepada Prabu
Dipayana sebagai Prabu Yudhiswara.
b. Peruwatan Prabu Dipayana terhadap Resi Mregapati untuk kembali
ke wujudnya semula sebagai Sang Hyang Gana. Sang Hyang Gana
kemudian memberikan berbagai macam kesaktian serta pelajaran
tentang ilmu untuk menguasai berbagai binatang buruan serta memberi
gelar Prabu Dipayana sebagai Prabu Mahabrata.
c. Peruwatan Prabu Dipayana terhadap burung Garuda yang menghadang
menutupi jalan yang akan dilaluinya di dalam pengembaraan. Prabu
148
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa antara motif satu dan
lainnya sering berkaitan. Misalnya motif ilham berkaitan dengan motif
cinta dan perkawinan maupun motif peperangan. Motif pusaka bertuah
berkaitan dengan motif peruwatan atau motif peperangan serta motif cinta
dan perkawinan. Motif peruwatan adakalanya berkaitan dengan motif cinta
dan perkawinan. Motif penyamaran adakalanya berkaitan dengan motif
peperangan serta motif cinta dan perkawinan. Dengan demikian motif-
motif tersebut tidak selalu berdiri sendiri terlepas dari motif-motif lainnya.
149
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Bab V
Sěrat Darmasarana sebagai Resepsi Ādiparwa,
Mosalaparwa Dan Prasthānikaparwa
150
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
(Para Naga tidak mau menuruti perintah ibunya, karena perbuatan yang
demikian tidaklah pantas. Marahlah Sang Kadru tidak dipatuhi kata-
katanya, dikutuklah anak-anaknya: ′′Sarpa satre wartamāne pāwako
wah pradhakṣyati, sungguh kejam kamu para Naga tidak memenuhi
permintaanku, kelak kamu akan menemui kesengsaraan, dimakan api
ketika korban ular yang dilangsungkan oleh Maharaja Janamejaya′′.
Demikianlah kutuk Sang Kadru pada para Naga anaknya, terdengarlah
kutuk itu oleh Bhatara Brahma yang menjadi saksi atas kutuk tersebut)
(Widyatmanta, 1968: 50).
151
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Hana sira ratu sang Parīkṣit ngaran ira, anak sang Abhimanyu
patěmu-tangan lāwan sang Uttari, pinakaçiṣya bhagawan Kṛṣa,
paripūrṇa ring bahudewa.
Gowindapriyaḥ saṁyuktaḥ, prasiddha kāsih bhaṭāra Kṛṣṇa,
hinurip nirān kěneng hrû sang Açwatthāma, ri sěděng ira haneng jěro
wětěng sang Uttarī. Mijil ta ya winastwan mahuripa de bhaṭāra Kṛṣṇa,
iningu de mahārāja Yudhiṣṭhira. Sira ta sumilih ratu ri Hāstinapura, ri
lunghā sang Pāṇḍawā nusup ing alas muwah.
Ṣaṣtiwarṣāny apālayat, lawan nira siniwi němang puluh tahun.
Yathā Pāṇdur mahābāhuḥ, ndān kadi mahārājā Pāṇdu sira sakta
ring guṇāburu. Asiṅg wukir alas paran irāmet mṛga. Hana pwa kidang
tinût nira, anghel ta sira denya.
Kṣutpipāsāçramāturah, ahyun anginuma wwe sira. Hana sira
wiku kapangguh ing těgal ri těpi ning āçrama, ri panghwanan ing lěmbu.
I sěḍěng sang ṛṣi amangan wěrěh ing watsa, sira ta tinanān ing paran
ikang kidang. Ndātan sahur ike sang ṛṣi, apan sěḍěng nira monabrata,
pangaran ira mpu bhagawān Samīti. Saka ri krodha sang nātha Parīkṣit
tan sinahuran patakwan ira, hana ta wangke ning ulā dělěs, ya ta cinukat
nira ri tungtung ing laras nira, kinalungakěn ing gulā bhagawān Samīti.
Huměněng atah sang wiku. I tělas nira mahārāja Parīkṣit mangkana,
mulih ta sira ring kadaṭwan ira. Hana tānak bhagawān Samīthi saka
ring lěmbu, sang Çṛnggī ngaran ira, yatārtha masungu sira, ndān ugra
tapa siddhimantra sira, wěnang mahas mareng kadewatān, nityakāla
manangkil ing bhaṭāra Brahmā. Kunang ike sang Çṛnggī ngaran ira
makaswabhāwa göng krodha. Sira ta inujaran sang Kṛṣa:
’’Dwijaputra! anak ning brāhmana!’’
Ndātan sangke gělěng nira, ndān makadon guywa-guywan
denirāngling:
’’Mā Çṛnggin garwito bhawa. Kamung Çṛnggī! haywa kita garwa
dahat, awěrö dening guṇanta, tan wruh těměn kari kita ring kopaçaman.
152
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
153
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
154
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
155
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
156
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
mengakhiri kutuk tersebut. Sang Ṛṣi kemudian menyuruh muridnya yang bernama
Aghoramuka ke Kerajaan untuk memberitahukan kepada Mahārāja Parīkṣit
akan kutukan Sang Çṛnggī dan memohon agar Baginda datang ke pertapaannya
untuk mengakhiri kutuk tersebut. Akan tetapi, Mahārāja Parīkṣit merasa malu
apabila minta berakhirnya kutuk tersebut. Karena itu hanya penjagaan diri saja
yang dilakukannya. Mahārāja Parīkṣit kemudian berdiam di sebuah menara yang
sangat tinggi yang dibentengi di empat arahnya serta dijaga oleh para Brahmana
yang sempurna mantranya dan dukun-dukun ahli tentang bisa (naga). Semuanya
dengan hati-hati melindungi menara tersebut. Pada hari yang ketujuh Bhagawān
Kāçyapa (bukan ayah Sang Garuda) pergi ke istana bermaksud memberi
pertolongan kepada Mahārāja Parīkṣit. Adapun maksudnya mengobati Sang
Mahārāja supaya ia dianugerahi emas dan manikam. Di tengah jalan ia berjumpa
dengan Naga Takṣaka dan ditanya tentang tujuan perjalanannya. Dengan jujur
Bhagawān Kāçyapa menyatakan bahwa ia akan menghadap Mahārāja Parīkṣit
untuk membantu menyembuhkan Mahārāja dari gigitan Naga Takṣaka. Takṣaka
pun kemudian menyatakan bahwa dialah yang akan menggigit Mahārāja Parīkṣit,
dan ia ingin mengetahui kesaktian mantra Bhagawān Kāçyapa.
Ada pohon beringin yang sangat rimbun dan ada seorang yang sedang
memotong kayu, oleh Bhagawān Kāçyapa disuruh Naga Takṣaka menggigitnya
dengan bisa apinya. Pohon beringin pun terbakar, demikian pula orang yang
memanjat beserta kapaknya pun terbakar menjadi abu. Abu tersebut kemudian
dikumpulkan oleh Bhagawān Kāçyapa dan dimantrainya dengan penawar bisa
ular anugerah Sang Hyang Brahmā kepadanya. Pohon beringin pun sempurna
seperti sediakala, demikian pula orang yang memanjat beserta kapaknya. Naga
Takṣaka yang khawatir menyaksikan kesaktian Bhagawān Kāçyapa akhirnya
menyuruh Sang Bhagawān untuk pulang saja dengan diberi emas dan manikam.
Naga Takṣaka selanjutnya pergi ke Hāstinapura dan menyaksikan perlindungan
yang sangat ketat beserta para Brahmana yang sempurna mantranya di dalam
melindungi menara tempat tinggal Sang Maharaja. Naga Takṣaka kemudian
menyamar sebagai ulat jambu yang dibawa oleh saudara Naga Takṣaka yang
menyamar sebagai seorang brahmana yang berpura-pura membawa buah
jambu tersebut untuk dihaturkan kepada Sri Mahārāja. Sang Mahārāja yang
tidak merasa khawatir atas kedatangan Sang Brahmana itupun menerima buah
jambu tersebut. Setelah Sang Brahmana pulang ke pertapaannya dan pada
saat matahari sudah terbenam Sang Mahārāja yang merasa telah terlepas dari
bahaya kemudian mengambil jambu tersebut. Sang Mahārāja melihat seekor
ulat jambu hitam berkilauan matanya tampak membelalak, merah warnanya.
Kemudian terluncurlah ucapan penghinaannya bahwa apakah ulat tersebut
sebagai penyebab kematiannya. Demikian ejekan Mahārāja Parīkṣit, ulat tersebut
seolah-olah mendapat perintah untuk kembali kepada wujud aslinya yaitu Naga
Takṣaka. Leher Mahārāja Parīkṣit digigitnya sehingga seluruh tubuhnya menjadi
abu. Takṣaka pun kemudian melayang ke angkasa pulang ke tempat para naga.
157
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
”Anaku sang Uttangka, hana sira ratu mahārāja Poṣya ngaran ira, sang
prabhu ring Ayodhyānagari. Hana ta strī nira sang Sawitrī ngaran ira; sira
mabuṣaṇāditya kuṇḍala, manikottama ning sarwaratna. Ikang kuṇḍala
sarikā ta kahyun i nghulun, apan çuci maṇīkang ratna. Hingananta těkā
ngke irikang caturdiwasa, patang wěngi kawěkas. Yatikā kahyunku yan
tuhu gurubhakti.” (Juynboll, 1906: 16; Widyatmanta, 1968: 22-23).
158
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
159
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
160
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
tĕkeng narakaloka, ikang inĕnahakĕn tinalyan ira. Yan tikĕl ikang pĕtung
pagantungan ira, hana ta tikus sawiji tamolah i kuwung nikang pĕtung
ri pinggir ing jurang, pratidina manigit wuku nikang wīraṇastamba.
Ya ta katon de sang Jaratkāru, marabas ta ya luh nirān tumon iriya,
makanimitta kāruṇya ning citta, syuh drawa hati nira de nira sang
anungsang gumantung i tungtung ning pĕtung tinalyan suku nira; mogha
sang Jaratkāru ināweṣa sang pitara, tāpasarûpa, kadi weṣa ning wiku,
majaṭādhara, mawalkala, ndātan sayogya sira manghiḍĕpa sangsāra
kṛtasangsāra nirāhāra sākṣāt rwan gumantung kakingan dening
lahrû, mahayunan tĕkap ing hangin madĕrĕs, tarpamangan sadākāla.
Anmangkana lwir sang pitara.
’’Ke bhawanto ’walambante wīraṇastambam āçritāḥ?’’
Ling sang Jaratkāru: ’’Aparan ta rahadyan sanghulun kabeh,
ginantung ri pĕtung sawulih, meh tikĕla deni panigit ing tikus, ikang
jurang ri soraya tan kinawruhan jĕro nika. Ya tikāngde larāngĕrĕsi
manah ni nghulun, moghāwĕlas ahyun tumulunge kita, tāpasaḥ kṛta
balena, nghulun kĕtā magawe tapa sangka raray, amahakĕn tanggung ni
tapa ni nghulun, sasar pakṣa nikā, de ni wĕlasku umulati kasangsāranta.
Yan pira kari paweha phala ni tapa ni nghulun, yatanyan kita muliheng
swarga maryānghiḍĕpa sangsāra? Athawā saparpatan yan satĕngah
kunang paweha mami samārgantāmanggiha ng swarga juga.’’
Nāhan ta ling sang Jaratkāru, karĕngö ta ujar nira de ning pitara.
Sumahur ta sira, mahatīs kadi sinirām ning amṛta manah nira: ’’Tapawrata
karma wayam. Sanghulun tinananta ya kawarah krama ni nghulun kabeh,
umarambham kṛtam karma santānam prekṣayetrato, kunang tāpan
pĕgat wangça mami. Nahan ta hetu mami apĕgat sangkeng pitṛloka,
magantungan pĕtung sawulih, kāngkĕn tibeng narakaloka; tatwa nikang
pĕtung sawulih, hana wangça mami sasiki, Jaratkāru ngaranya, ndān
mokṣa wih ta ya, mahyun luputeng sarwajanmabandhana, tātanpastrȋ,
ya çukla brahmacārī. Yatikā māwakangku, ikang wȋraṇastamba,
mapan ikang brata samādhi .... ri sang gṛhasthāçrama. Yadin pĕgata ni
wangçanya ikang kapungguh, phalanya nanā, witan ikang suka kagawe
de mami, makādi niyama warabrata. Yatikā wartamāna mangke ri tan
pawangça mami, naraḥ duṣkṛtino yathā, tātan hana pahi mami lawan
ikang agawe pāpakarma, si manghiḍĕp sangsāra. Kunang yan kita
tuhwāsih ikang wiku Jaratkāru ngaranya pintakāsihi ta ya kon mānaka,
yatanyan kami muliha mareng pitṛloka. Ya winarahakĕn ta kami yan
panghiḍĕp sangsāra, yatanyan wĕlasāmbĕknya!’’
Mangkana ling sang pitara, mangkin marabas luh sang
Jaratkāru, kadi hiniris twas nirān tumon i sang bapa manghiḍĕp
duḥkāntara: ’’Nghulun iki sang Jaratkāru ngaranku, ikang wangçanta
lobha ring tapa, mahyun ing kabrahmacaryan; winaling ni nghulun tan
161
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
162
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
tatkāla ni gawe nireng lagi, apan yan angantya patanghya nira, wiṣama
ta sirāgalaka, āpan wědi nirān sepa kāla ning pūjā, nityakarma nireng
bhaṭāra hiḍěp nira.” Winungu nira ta sang swāmi:
”Om mpungku mahābrāhmaṇa, atanghya ta rahadyan
sanghulun! Sandhyākāla mangke mpu ngkulun, pagawayan sanghulun
nityakarma. Nāhan tang kěmbang umaḍang saha gandhākṣata.”
Mangkana ling nirāněhěr musapi muka sang swāmi, matanghi ta
sang Jaratkāru; krodha sumirat söng ning locana, mabāng wadana nira,
sangke göng ni gělěng nira. Ling nira:
”Dhik duṣṭanāginī! atyanta sampenyu kamung nāginī pinakastrī,
wěnanguyu mawara ri paturū ni nghulun. Ayukto maryādaḥ strīnām,
tanyogya maryāda ning strī kadi kamu. Tasmāt aryakna ko dengku
mangke.”
Nāhan ta wuwus nirātehěr tuminggal i sang strī. Yatna ta sang
nāginī, malayū měkul suku sang swāmi:
”Oṁ mpungku, kṣamākna ta maněh rahadyan sanghulun! Tan
sangkeng awamāna ni nghulun, yan pamungu ri rahadyan sanghulun.
Kewalāmengěti rahadyan sanghulun ri pamūjāntāngkěn sandhyā. Salah
pwa ya, matang yan paněmbah pinakanghulun. Yan yogya maluya ...
mpu ḍang hyang! Yan huwus pinakanghulun mānak, ikang lumuputakna
kaḍang ni nghulun, ring yajña sarpa, samangka ta rahadyan sanghulun
gumawaya tapa muwah.”
Nāhan ta ling sang nāginī upaminta kāsih. Sumahur sang
Jaratkāru: ”Atyanta kěnoh ning ulah sang nāginī, mengět kita ri kapūjā
sang hyang těkap ni nghulun, tatkāla ning sandhyākāla. Kuněng tamatan
wěnangkw angowahi ri ujar ni nghulun, ikang tuminggalakna kita. Tatan
adwā sojar ing kadi kami. Kunang kaharěpteku, haywa ta kita sangçaya!
Asti, hana ikānakta. Yatikomaritrāṇana kita dlāha, ri těkā ning yajña
sarpa. Pahalěbā ta manahta!”
Atěhěr lunghā ta sang Jaratkāru, tan wěnang sinayutan sira.
Kāri ta sang nāginī; mājar i sang Bāsuki, an lunghā sang swāmi.
Mājarakěn sawuwus ira sang Jaratkāru, mwang mājar i hana ning isi ni
wětěng nira. Harṣa ta sang Bāsuki ruměngö. Alawas pwekang kāla, mijil
ta rare laki-laki paripūrṇāwayawa. Inaranan ta sang Āstīka, āpan ”asti”
ling sang bapa ngūni. Pinahayu pwa de sang Bāsuki, sinangaskāra kadi
pasangaskāra ning brāhmaṇaparikrama, iniwö inupawīta. Ri wijil sang
Āstīka, samangkana ta sang pitara gumantung i tungtung ing pětung,
měsat mulih mareng pitṛoka, mukti phala ni tapa nira ngūni, makādīkang
warabrata. Matuha pwa sang Āstīka, wěnang mangadhyāya weda. Wineh
ta sira mangajya sarwaçāstra, umāmpil ing Bhṛgupakṣa sira. Mangkana
kacaritan sang Āstīka. Sira ta nimitta ning nāga Takṣaka luput ing
sarpayajña mahārāja Janamejaya.” (Juynboll, 1906: 24-29; Zoetmulder,
163
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
164
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
kasihan hamba melihat dan hamba akan menolong, tāpasaḥ kṛta balena,
bukankah hamba sudah bertapa sejak kecil, bukankah yang demikian ini
tidak menganggap benar akan tapa hamba sebagai tanggungan, berdosalah
itu, karena hamba melihat kesengsaraan Tuanku. Bila akan memberi
penghargaan akan tapa hamba, supaya Tuan hamba pulang ke sorga untuk
tidak mengetahui kesengsaraan? Atau hamba serahkan seperempat atau
separuhnya saja untuk dapat Tuanku pulang ke sorga’’. Demikian seru Sang
Jaratkāru, terdengarlah oleh leluhurnya. Menjawablah ia, hatinya menjadi
segar bagaikan disiram dengan amṛta, jawabnya: ’’Tapawrata karma
wayam, saya ini engkau tanyai, saya akan katakan keadaan saya semuanya,
umarambham kṛtam karma santānam prekṣayetrato, karena keturunan
kami ini putus. Itulah sebabnya saya pisah dari dunia leluhur, bergantungan
di buluh petung ini, seakan-akan sudah masuk neraka, nyatanya sebatang
buluh saja. Ada seorang keturunan saya bernama Jaratkāru, ia muksa (pergi)
untuk ingin melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tiada beristri, karena
menjadi seorang brahmacari sejak masih kecil. Itulah yang menyebabkan
saya berada di buluh ini, karena bertapa samadinya .... kepada asrama sang
pertapa. Jikalau putus keturunannya, tiadalah ada buah dari tapanya, karena
pada mulanya senanglah saya, lebih-lebih memilih bratanya. Demikian
yang baru terjadi sekarang, akan ketidak ada keturunan saya, naraḥ
duṣkṛtino yathā, tak ada bedanya saya dengan seorang yang menjalankan
perbuatan hina, seorang yang sudah semestinya mendapat sengsara. Kalau
kiranya engkau belas kasihan kepaada saya, pintalah kasihnya Sang Wiku
Jaratkāru supaya suka berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat
para leluhur. Katakanlah bahwa saya menderita sengsara, supaya belas
kasihan jugalah ia’’.
Demikianlah kata leluhur itu, maka berlinang-linanglah air mata
Sang Jaratkāru bagaikan tersayat hatinya melihat leluhurnya menderita
susah, kemudian katanya: ’’Saya inilah yang bernama Jaratkāru, seorang
keturunanmu yang gemar tapa, bertekad menjadi brahmacari, kiranya
tiada sekarang juga penderitaanmu berakhir, sebab selalu sempurnalah
tapa yang berlangsung. Adapun kalau itu menjadi jalanmu untuk kembali
ke sorga, janganlah kamu semua khawatir, saya akan menghentikan
kebrahmacarian saya, mencari anak istri. Adapun yang saya kehendaki
istri yang namanya sama dengan nama saya, supaya tiada bertentangan
dalam perkawinan saya. Kalau saya sudah beranak akan menjadi
brahmacari lagi, senangkanlah hatimu”.
Demikianlah kata Sang Jaratkāru, pergilah ia mencari istri yang
senama dengan dia. Pada waktu itu Mahāraja Janamejaya masih mempelai
baru, mengambil permaisuri Sang Bhāmuṣṭimān. Pada waktu itulah ia
Sang Jaratkāru) pergi, semua penjuru sudah dimasukinya, tetapi tiada
didapat istri yang senama dengan dia, tiada tahu apa yang akan dikerjakan,
165
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
166
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
167
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
(Tidak tahu yang akan mereka perbuat. Ada yang berbelitan dengan
temannya, ada yang terbalik, ada yang berdiri, ada yang muda, ada yang
tua, tiada urung mati jatuh ke dalam api yang selalu menyala-nyala bagaikan
disiram dengan minyak karena lemak para naga. Tungku korban tak
memerlukan lagi kayu bakar, tetapi badan para nagalah sebagai kayu yang
jatuh ke dalam api yang menyala-nyala. Oleh karena itu sekarang nyala api
semakin menjadi-jadi, baunya sangit sampai di tempat naga (Nāgaloka).
168
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Nāga Takṣaka yang menjadi sasaran utama korban api tersebut lalu pergi
minta perlindungan pada Hyang Indra. Akan tetapi karena semakin diperhebatnya
mantra para Brahmana maka badan Hyang Indra sendiri seperti ditarik-tarik,
karena naga Takṣaka memegang tepi pakaiannya kuat-kuat. Hyang Indra yang
takut jangan-jangan dirinya sendiri masuk ke dalam tungku api korban itu segera
meninggalkan Sang Takṣaka. Takṣaka pun melayang di angkasa dalam ketakutan
yang sangat, badannya lemas, teriakannya keras bagaikan guntur (kadi gĕrĕh
çabdanya mangohan).
Pada saat-saat itulah Āstīka diminta oleh Sang Hyang Basuki untuk
menghadap Mahārāja Janamejaya untuk mengakhiri korban ular tersebut.
Dengan memuji-muji dan merayu tentang kesempurnaan korban ular tersebut
serta keutamaan Mahārāja Janamejaya maka Baginda terkena hatinya dan akan
mengabulkan semua permohonan Āstīka. Āstīka pun menggunakan kesempatan
tersebut untuk mohon dihentikannya korban api tersebut karena ia sangat kasihan
melihat saudara-saudaranya.
Di dalam Ādiparwa permohonan Āstīka kepada Mahārāja Janamejaya
agar Sarpayajña (Sarpasattra) tersebut dihentikan dapat dilihat pada kutipan
berikut:
Sājñā haji, atyanta paripūrṇa nikang yajña çrī mahārāja, sākṣāt somasya
yajno’pi. Sākṣāt yajña sang hyang Soma, Baruṇasya yajnah, kadi
yajña sang hyang Baruṇa samanya waneh, těkwan sang pinakasadāsya
nikang yajña, bhagawān Kṛṣṇa Dwaipāyana, pinakatasik ning Weda
sira, tan hanāmaḍani wruh nireng haji. Kunang çrī mahārāja Kṛṣṇa
sarwaguṇopetaḥ, sākṣāt bhaṭāra Kṛṣṇa kita, kinahanan ing sarwaguṇa.
”Rāmo yathāstraçāstrawit, bhaṭāra Rāma paḍanta waneh, wruh ta
mangaji sarwāstra.
”Duṣprekṣaṇīyaṁç ça Bhagīrathopamaṁ balaṁ. Sākṣāt mahārāja
Bhagīratha kapawitranta, tātan wěnang tininghalan. Sangkṣepanya,
mahārāja juga wiçwāṣa ning stuti kabeh.”
An-mangkana ling sang Āstīka, kākarṣaṇa ta manah mahārāja
Janamejaya, mogha sira matwang ri sira, ling nira:
”Nāyaṁ bālaḥ sthawiro yaṁ mato me mahāmuni.”
”Ike sang brāhmaṇa měnggěp wāla, tātan rare sira, atuhā ri
hiḍěp ni nghulun, apan de nirānguccāraṇa wedamantra, mwang
sarwamantraçāstrajna ta sira, māsih ta nghulun i sira, mahyun
kami mawehana anugraha sakahyuna nira.” (Juynboll, 1906: 56-57;
Zoetmulder, 1958: 108-109; Widyatmanta, 1968: 78-79)
169
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Adapun anugerah yang diminta Āstīka kepada para naga adalah bahwa
kalau ada seorang yang selalu menceritakan cerita ini (Āstīka) janganlah para
naga mengancam keselamatan jiwa orang tersebut.
Meskipun upacara korban ular sudah selesai, tetapi ular naga yang mati
terbakar api itu tak terbilang jumlahnya. Hal ini tampak pada kutipan berikut:
170
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Dari kutipan di atas menggambarkan bahwa jumlah nāga yang mati tak
terbilang banyaknya, beribu-ribu, beberapa wurda jumlahnya. Mereka adalah
anak-anak Takṣaka, Airawata, Korawya, Dhṛtrāstra, semua sangat sakti. Ada yang
panjangnya 1 yojana, 2 yojana, ada yang berkepala 7, ada yang berkepala 3 atau
berkepala 5. Ada yang 100 ekor jatuh bersama-sama, ada yang 1000 ekor jatuh
bersama-sama, karenanya tidaklah terhitung (Juynboll, 1906: 59; Widyatmanta,
1968: 81-82).
171
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
172
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
dan bermaksud mau berguru kepada Dhang Hyang Suwela. Dhang Hyang
Suwela baru bersedia menjadi guru mereka setelah putra Ngastina itu membunuh
Resi Sidhikara di Gunung Manikmaya. Keempat putra Ngastina pun segera ke
Manikmaya sambil mengamuk dan membunuh para murid Resi Sidhikara. Raden
Yudayana segera menjumpai dan menyadarkan keempat adiknya itu bahwa mereka
telah diperdaya musuh. Rĕsi Sidhikara pun kemudian mengajarkan berbagai
ilmu kepada keempat adik Raden Yudayana. Setelah selesai, mereka bermaksud
menuntut balas dengan menyerbu Gunung Sadhara sehingga banyak siswa Dhang
Hyang Suwela terbunuh. Sewaktu Dhang Hyang Suwela mau melarikan diri dari
tangan Resi Sidhikara, ia tewas terkena panah Sarotama yang dilepaskan Raden
Yudayana. Kemudian Raden Yudayana bersama adik-adiknya serta Resi Sidhikara
pulang kembali ke Ngastina.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana mengawinkan Raden Yudayana
dengan Dewi Gendrawati. Empat puluh hari dari perkawinan mereka Dewi
Gendrawati melahirkan putra bernama Raden Gendrayana. Sewaktu menimang-
nimang cucunya itu, Prabu Gandaprawa menyatakan bahwa Raden Gendrayana
adalah penjelmaan Trimurti, yakni keturunan Prabu Brahmaniyuta (Prabu
Brahmanaraja), putra Sang Hyang Brahma (Raja Gilingwesi); keturunan Raden
Srigati (Prabu Sri Mahapunggung), putra Sang Hyang Wisnu (Raja Purwacarita),
dan keturunan Raden Srinanda (Prabu Basurata) putra Sang Hyang Wisnu (raja
Wirata). Prabu Gandaprawa kemudian meriwayatkan leluhurnya sampai lahirnya
Raden Gendrayana. Prabu Dipayana pun memerintahkan Empu Kawiswara untuk
membacakan riwayat hidup leluhurnya berdasarkan kitab Jitapsara yang menjadi
pegangan raja. Adapun riwayat tersebut dimulai dari Raden Kaniyasa (Rĕsi
Manumanasa), Resi Sakutrem, Bathara Sakri, Resi Parasara, Bagawan Abyasa,
Prabu Pandhudewanata, dan para Pandhawa. Diceritakan pula kisah perselisihan
Resi Parasara dengan Prabu Santanu (raja Ngastina) sampai diserahkannya
kerajaan Ngastina kepada Resi Parasara. Resi Parasara kemudian menyerahkan
kerajaan Ngastina kepada Begawan Abyasa sampai akhirnya kerajaan Ngastina
diwariskan kepada Prabu Dipayana. Prabu Dipayana kemudian berputra Raden
Yudayana, dan Raden Yudayana kemudian berputra Raden Gendrayana.
Pada suatu ketika, Resi Gurunadi menghadap Prabu Dipayana dan
melaporkan bahwa istrinya Dewi Nawangsasi bermaksud muksa. Maksud Dewi
Nawangsasi itu tidak dapat dicegah, bahkan ia pun menceritakan kemegahan serta
kemuliaan surga kepada Baginda. Ia bermaksud ikut menari bersama para bidadari
lainnya dalam pesta pora di kadewatan. Dewi Utari tergiur untuk mengikuti
keinginan Dewi Nawangsasi agar ia segera berkumpul dengan suaminya Arya
Abimanyu dan Siti Sundari. Akhirnya, Prabu Dipayana, Resi Gurunadi dan Resi
Gurundaya bersama istri-istri mereka bermaksud muksa bersama-sama.
Di dalam Sěrat Darmasarana, keinginan Dewi Nawangsasi untuk muksa
yang kemudian diikuti oleh Dewi Utari, Prabu Dipayana, Resi Gurunadi dan Resi
Gurundaya bersama istri-istrinya, seperti dikemukakan di atas dapat dilihat pada
173
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
kutipan berikut:
Dèwi Nawangsasi lajěng umatur ring nata malih sarya karya samudana
amrih suka pirěnanipun Prabu Dipayana miwah Dèwi Utari. Aturipun:
”Dhuh pukulun ing sayěktosipun atur kawula ing paduka saking kumacèlu
kula umarěk ing rama paduka tuwin éyang-éyang paduka sadaya. Ing
taun punika sami sinéwaka para déwa, bathara, jawata wontěn ing
swarga, sarta sakalangkung sami mukti wibawanipun saksat Sang Hyang
Suksmakawěkas, lěnggah ing ngamparan kancana tinatur rěngga ing nawa
rětna, anjěněngi para déwa ingkang sami lénggotbawa.” Prabu Dipayana
amangsuli kayungyun arsa uninga ing tandhanipun. Dèwi Nawangsasi
matur sandika. Nuntěn Prabu Dipayana ingaturan tuměnga ing akasa, Sang
Nata tan lěnggana, lajěng tuměnga. Yata kawasaning widadari dènnya
karya pamangsuling tingal sami sanalika datan kawistara. Kala samantěn
Prabu Dipayana sarěng tuměnga ing ngawiyat lajěng uninga dhatěng
ingkang éyang-éyang miwah ingkang rama, sami pinarak ing ngamparan
kancana, pinatik ing sosotya mulya ingayap para déwa, katingal kadi
satataning arsa suka-suka wontěn ing swarga, tuwin ingkang ibu Dèwi
Utari miwah ingkang wontěn ing ngarsa nata inggih sami tumut tuměnga
aningali ing ngawiyat. Sadaya sami angungun asmu suka, dènira para
luluhuripun sami kapanggih mulya. Ing ngriku Dèwi Utari sarěng uninga
dhatěng ingkang raka Sang Arya Abimanyu katingal lěnggah ngamparan
kancana sarimbit lawan Dèwi Siti Sundari, těmah karanta-ranta dadya
mundhut lilah dhatěng ingkang putra yèn arsa tumut muksa dhatěng
Sang Dèwi Nawangsasi. Prabu Dipayana sangsaya ribět ing galihipun,
dènnya lagya angamběngi karsanipun Dèwi Nawangsasi dèrèng kandhěg
ing mangké kawěwahan ingkang ibu dawuh arsa muksa, marma sangsaya
sangět ing sungkawanipun. Rèhning ajrih angamběngana ing karsanipun
ingkang ibu, dangu-dangu pinupus papasthèning Déwa, malah lajěng
apirěmbagan kaliyan Rěsi Gurunadi miwah Rěsi Gurundaya, yèn Sang Nata
tumutur kamuksaning ibu. Sang Rěsi kalih matur nuhun badhé andhèrèk
muksa pisan. Yata Patih Dwara, Patih Danurwédha (Danurwénda) sami
matur amamběngi ing karsa nata, ananging sampun botěn kénging, nuhun
lilah badhé andhèrèk muksa, botěn kalilan. Kyana patih kakalih langkung
ajrih těmah tumungkul sarya karuna. (Sěrat Darmasarana hal. 273-275;
Sěrat Darmasarana II hal. 34-35)
(Dewi Nawangsasi kemudian berkata lagi kepada raja dengan manis agar
membuat senang Prabu Dipayana serta Dewi Utari. Katanya:” Duh Pukulun
(Tuanku) sesungguhnya kata hamba kepada Paduka itu hanya ingin sekali
hamba untuk menghadap ayahanda Paduka serta eyang-eyang Tuanku.
Pada tahun ini semua para Dewa, Batara, Jawata pada menghadap di sorga,
174
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Patih Dwara matur ing nata: ”Dhuh pukulun, mugi kauningana ing
jěng padukéndra. Kala éyang-éyang paduka ing nguni, dumugi éyang
paduka nata Pandhawa, punika saběn badhé muksa mawi miděr-miděr
dhatěng sajawining nagari, sinambi araraosan salwiring Sastrajéndra
175
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
176
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
177
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
178
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
179
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
membalas melukai, jangan ada yang khawatir (ragu-ragu), karena itu sudah
menjadi kehendak saya pribadi′′. Patih Dwara dan Patih Danurwedha
dan kawan-kawannya (penggawa) sangat heran karena mendengar
sabda Raja yang demikian itu. Lama-kelamaan keduanya menyerahkan
hidup matinya sebab tidak memperoleh kemurkaan Raja yang tanpa
sebab. : ′′Meskipun demikian Pukulun, sesungguhnya semuanya tidak
sekali-kali memiliki pikiran pilu sedikitpun, tidak lain selamanya
semua hanya akan senang berbakti”. Prabu Dipayana memerintahkan
dengan memaksa-maksa (untuk membalas). Sang Nayakawaktra (Patih)
berkata: ′′Duh Pukulun, apabila memang demikian yang menjadi
kehendak Paduka, baiklah. Akan tetapi karena sudah kejadian dahulu
peribahasanya “mengira belum tentu”, pembalasannya itu ya diam saja,
ada di dalam hati saja, karena itu sama-sama mendapatkan (adil) ′′.
Prabu Dipayana setuju (pendapat) itu. Pada waktu itu ada cobaan dari
Hyang Suksmakawekas, untuk mencoba kesentosaan Raja yang utama.
Tiba-tiba ada ular tanpa diketahui datangnya menghadap di hadapan
Raja, sikapnya seperti menghormat agar disapa. Prabu Dipayana dan
semua bala tentara sangat terkejut (dan) menyisih, ketika akan dipaksa
(diserang), Sang Taksaka berkata meminta belas kasihan: ′′Duh-duh Sang
Kismara Nata, yang sungguh menjadi pedoman (pegangan) perlindungan
seisi jagad, hendaknya jangan menduga saya bukan binatang jahat,
tidak bermaksud akan berpikiran berbuat lalim (aniaya), hanya ingin
sekali menyembah memuji muksanya ayahanda Paduka Raja saja. Prabu
Yudayana bersama bala tentaranya berhenti (menahan diri). Prabu
Dipayana sangat heran sewaktu mendengar kata-kata Sang Raja Ular
tersebut sehingga sabdanya keras kepada putranya (Prabu Yudayana):
′′Duh-duh anakku kaki prabu, jangan kamu menyiksa pada ular tersebut,
hai rakyatku yang dapat berbicara, yang berwujud ular, apakah sebabnya
engkau dengan perilaku salah tanpa tata krama, memaksakan diri
menghadap kepadaku, jika ada keperluan penting ayolah katakan jangan
ragu-ragu.′′ Kata Sang Ular (Naga): ′′Duh Pukulun yang berwatak suci,
sakti, pengampun dan berbelas kasih serta yang waskitha terhadap semua
makhluk, Alasan hamba sangat ingin menghadap ke hadapan Paduka
Raja ini, hamba bukan ular biasa, hendaknya diketahui bahwa hamba ini
meskipun jauh masih keturunan Sang Hyang Anantaboga, nama hamba
dari sebutan yang diberikan orang-orang adalah Taksaka Raja. Adapun
yang menjadi keinginan hamba yang terburu-buru menghadap Pukulun,
karena hamba mendengar sabda (perintah) keutamaan Paduka, bahwa
siapapun yang dianiaya boleh membalas menganiaya, siapa yang disakiti
boleh membalas menyakiti, hal inilah yang menjadikan hati hamba,
apabila hamba menuruti perintah karena sabda Paduka yang demikian
itu bagaimana perwujudannya (pelaksanaannya), dan lagi hamba tidak
180
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
sekali-kali punya pikiran yang demikian itu. Papa kesengsaraan apa yang
akan hamba jalani, kematian apa yang akan hamba temui, adapun yang
menjadi sebab hamba berkata demikian itu hanya untuk diketahui oleh
Paduka saja. Apabila sudah diketahui sudah seperti hamba membalas,
demikianlah pada permulaannya dahulu. Sang Hyang Basuki menyamar
sebagai pendeta, bertapa di Gunung Agra, Paduka Raja menjadi marah
karena Pendeta mengenakan mahkota dan gelang tangan berupa ular,
dengan menamakan diri Resi Ardhawalika, kemudian Paduka seperti
dibuang Dewa meninggalkan pagrogolan, sesampainya di Gunung
Agra, Paduka marah, Resi Ardhawalika tersebut kemudian Paduka tikam
pinggangnya sehingga tewas, selanjutnya segala ular kembali berwujud
Sang Hyang Basuki. Setelah memberi pelajaran kepada Paduka Raja,
Sang Hyang Basuki kemudian lenyap kembali ke kahyangan, adapun ular
yang menjadi gelang kaki Resi Ardhawalika dahulu sebenarnya hamba
Pukulun, bahkan ketika ditikam dengan keris Paduka kepada Sang Resi
Ardhawalika sampai merembet (menyerempet) pethit (ekor) hamba,
seketika terpotong sedikit pucuknya, sampai sekarang masih terpotong
Pukulun. Akan tetapi sama sekali tidak menjadi pemikiran hamba, bahkan
hamba akan memberikan saran yang baik kepada Paduka tuanku. Dari
jalannya (sebabnya), hamba dapat bahagia kembali ke keadaan kematian
hamba dari Paduka.′′
Pada waktu itu Prabu Dipayana teringat dalam hatinya, kemudian berkata
seraya meminta belas kasih, kata Prabu Dipayana: ′′Hai saudaraku,
Taksaka Raja, saya meminta maaf karena dahulu saya tidak tahu.
Karena sebagai watak orang muda, sehingga tidak mengetahui sopan
santun, segala pengetahuan tentang keutamaan, karena itu saya minta
maaf, karena menurut perasaan saya sepertinya saya sudah membuat
kamu sakit, karena itu sebaiknya engkau membalas kepada saya jangan
ragu-ragu, karena sudah tidak ada lagi rintangan, dan jangan khawatir,
karena hal itu sudah menjadi kehendakku sendiri.′′ Pada waktu itu
Sang Taksaka Raja tidak mau (membalas), akan tetapi dipaksa-paksa,
akhirnya menuruti: ′′Duh Pukulun Kanjeng Dewaji yang waskitha atas
letak penglihatan, kalau demikian yang menjadi kehendak Paduka hamba
akan melaksanakan apa yang ditakdirkan (dipastikan) oleh dewa, akan
tetapi karena hanya terserempet pucuk pethit saya sedikit jadi hamba
mohon ijin untuk menjilat pucuk jemari kaki Paduka, sehingga sebanding
Pukulun. Menurut perasaan hamba bangsa manusia itu yang menjadi
kekuatan tubuhnya ya hanya pada kakinya, sedangkan bagi bangsa ular
yang menjadi kekuatan ada di pethitnya, karena itu kata hamba tadi sudah
sebanding Pukulun.′′
181
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
182
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
bersamaan dengan Baginda. Resi Gurunadi dan Resi Gurundaya bersama istri
mereka pun segera menyusul Baginda muksa. Pada waktu itulah terdengar
ledakan yang dahsyat memenuhi angkasa disertai hujan bunga semerbak wangi
menandai peristiwa tersebut. Prabu Yudayana sangat berduka dan menduga bahwa
Taksaka Rajalah yang menyebabkan ayahandanya mangkat. Tidak berapa lama
kemudian turunlah hujan bunga yang harum semerbak wangi dari langit seakan
seperti menghibur kesedihan Prabu Yudayana yang ditinggalkan. Hujan bunga
tersebut sekaligus untuk menandai diterimanya kemuksaan Prabu Dipayana
beserta keluarga
183
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
184
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
185
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
186
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
suka lajěng dhawuh kinèn samakta malih nuntěn badhé tédhak wana
Lagra, déné kang dadya gagamaning yuda lawan taksaka aja nganti
kekurangan apa déné para ěmpu para pandhita lawan wadyaningsun
para punggawa kabèh aywa kurang pangati-ati kaya kang wus kalakon.
Patih Dwara lan Patih Danurwédha matur sandika lajěng bibaran.
Prabu Yudanaya kondur angadhaton, pangéndra mantri kakalih
sakancanipun para punggawa mantri sami mantuk sowang-sowangan.
Sarěng énjingipun para punggawa mantri sampun sami kapatah déning
Patih Dwara lan patih Danurwédha miwah matah para rěsi pandhita
kalawan para ěmpu ingkang badhé umiring dhatěng wana Lagra sarta
ananggěnah wadya ingkang kantun těngga praja ing pungkur. Botěn
kacariyosakěn ing tingkahing siyaga utawi antawising laminipun dènnya
ngrukti pirantosipun, sasampunipun samapta kramaning lumampah
Prabu Yudayana budhal saha bala gumuruh samarga-marga agung
amějahi taksaka, gung alit saurutipun ing wana utawi ing jujurang
miwah ing wukir-wukir, para sarpa sami kasangsaya těmah tutumpěsan
miwah para pandhita těmah angěmpakakěn mantra kagunan panyirěping
taksaka, ananging botěn kacariyosakěn tingkahipun, dènnya aměmějahi
taksaka ing samarga-marga, sarěng dumugi ing wana Ladra lajěng
ngobrak-abrik saisining wana, sato-sato sami asarsaran ngungsi
wana miwah jujurang wukir-wukir ajrih parěk lawan wadya bala ing
Ngastina, ananging sagunging sato sami kinèndělakěn kémawon amung
para taksaka ingkang winisésa těmah lěbur tutumpěsan datan mangga
sésa Prabu Yudayana aningali sirnaning taksaka salěběting wana Lagra
langkung sukaning galih, lajěng andhawuhakěn kinèn sami angiras
amběbědhag sato wana. Patih Dwara sakancanipun matur sandika
lajěng gěntos atumandang ambubujěng sato wana, ananging botěn
patos angsal kathah awit sampun sami bibar ngungsi těbih saking wana
ing Lagra. (Sěrat Darmasarana II hal. 59-60; Sěrat Yudayana hal. 8-10)
187
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
188
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
189
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
bahwa lelaki tersebut penguasa kerajaan itu. Dengan terus terang Prabu Yudayana
mengatakan, bahwa ia sampai di kerajaan itu karena mengejar seorang putri
yang menghilang ke dalam istana. Lelaki itu menyatakan bahwa dia adalah ayah
gadis yang dikejar raja. Prabu Yudayana dipersilakan memasuki istana serta
dipertemukan dengan Retna Naga Sarini. Ternyata sang putri pun jatuh hati pada
Baginda. Oleh sebab itu Prabu Yudayana dikawinkan dengan Dewi Sarini.
Prabu Yudayana hidup berbahagia bersama istrinya Dewi Sarini.
Akan tetapi, setelah tiga bulan berselang menurutnya, ia teringat kepada para
pengawalnya yang dahulu ditinggalkannya di tengah hutan. Oleh sebab itu
ia bermaksud mencari dan kembali ke kerajaan Ngastina. Kemudian Prabu
Yudayana menyampaikan keinginannya itu kepada istri serta mertuanya. Mertua
raja mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah Naga Raja Sarana penguasa kerajaan
siluman di daerah Gunung Mahendra. Prabu Yudayana sangat terkejut mendengar
pengakuan itu. Kedatangan Prabu Yudayana ke kerajaan siluman memang
dikehendaki Naga Raja Sarana. Raja Ngastina itu dinilai telah melanggar hukum.
Seharusnya sebagai seorang raja yang besar akan menjaga dan melindungi rakyat
serta semua yang berdiam di wilayahnya, bukan justru menghancurkan mereka
yang belum pasti melakukan kesalahan, seperti yang diperbuat raja terhadap
para naga. Para naga, seperti juga manusia terdiri atas dua golongan, yakni
ada golongan naga yang jahat dan golongan naga yang baik. Oleh karena itu,
pemusnahan atas naga tidak boleh secara membabi buta. Toh dalam kenyataannya,
bahwa naga jahat Taksaka Raja telah muksa. Karenanya, penumpasan para naga
tidak selayaknya dilanjutkan. Sebagai pelindung naga golongan baik, maka
Naga Raja Sarana tidak rela apabila anak buahnya dibinasakan. Oleh karena itu,
jika Prabu Yudayana terus melakukan penumpasan naga harus melawan Naga
Raja Sarana dahulu. Kemudian Naga Raja Sarana memperlihatkan kesaktiannya
dengan bertriwikrama sambil menantang bertanding mengadu kesaktian Prabu
Yudayana. Prabu Yudayana sangat takjub menyaksikan kesaktian Naga Raja
Sarana. Dengan penyesalannya yang mendalam, Prabu Yudayana memohon maaf
kepada mertuanya serta berjanji untuk menghentikan penumpasan para naga. Di
dalam Sěrat Darmasarana II maupun di dalam Sěrat Yudayana, Nagaraja Sarana
ketika mengingatkan Prabu Yudayana akan tindakannya yang tidak bijaksana serta
peringatannya sewaktu menyadarkan kembali Prabu Yudayana untuk kembali ke
jalan yang utama, seperti dikemukakan di atas dapat dilihat pada kutipan berikut:
190
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
saèstu pun bapa ngaturi panjěněngan paduka malih. Kalih déné pun
bapa samangké walèh dhatěng panjěněngan paduka, sajatosipun
paduka punika ngambah jaman walikan. Milanipun kalampahan
dumugi ngriki, dhasar kula ingkang ngaturi panjěněngan paduka
sarta kapasang yoga dados mantu kula, saèstu botěn mawi subasita
anggèn kula badhé ngaturi pémut dhatěng jěng paduka, rèhning
panjěněnganipun anggèr ratu binathara anyakrawati, aměngku
jagat raya, těka badhé nglanturakěn karsa ingkang botěn prayogi,
dados sangět pangowěl kula, dhatěng panjěněngan paduka, liripun
pěpéling kula makatěn anggèr, punapa wontěn panjěněnganipun
nata binathara karsa ngrisak wěwěngkonipun piyambak, mangka
ingkang sami kagěm para nata ing kina-kina babasan nguripakěn
tiyang kapidana ing pati, hambungahakěn wong kasusahan, paring
těkěn tiyang kalunyon, paring tědha tiyang kaluwèn, paring minum
tiyang kasatan, makatěn ingkang sampun kalampahan ing nguni-uni,
punapa botěn awoning awon kados pamběganipun Prabu Duryudana
ing Ngastina nguni, kawarti kadangipun satus sami amběg angkara
murka sadaya, prandosipun taksih anindakakěn papakěming aměngku
praja, ingkang nglampahakěn dadana dhěndha, punika wajibing
nata binathara. Ingkang makatěn punika, saèstunipun ingkang
botěn kasamaran ingkang dhatěng kahawoning tiyang saé, mangka
panjěněngan paduka punika kula wawas saking těbihan, botěn
pisan-pisan anglabětana pamběgan ingkang kados makatěn wau,
kadosta panjěněngan paduka karsa anumpěsi sakathahing taksaka,
punika saking pangraos kula botěn prayogi, mangka sésaning jagat
punika botěn městhi sami amběg murka sadaya, saèstunipun wontěn
ingkang awon sédiyanipun, wontěn ingkang saé ciptanipun, sami
minta harjaning jaman. Samantěn ugi bangsa manungsa inggih
botěn sanès pamběganipun kadosta bangsa kula taksaka, ingkang
kalěpatan dhatěng paduka, amung satunggal Sang Nagaraja Taksaka
ing Taksakasila piyambak, dumèh kadaměl jalaran kamuksanipun
rama paduka nguni, punapa panjěněngan anumutakěn ingkang
tan dosa, ingkang saupami wontěn bangsa manungsa nandang
dosa pějah satunggal, punapa inggih manungsa pinějahan sadaya.
Manawi botěn makatěn běbasan pilih asih těmbungipun. Ing
salěrěsipun anggèr, sanajan katumut-tumutna dosanipun Sang Raja
Taksaka nguni inggih namung Taksakasila kémawon, sědhěngan
makatěna patraping pangadilan, těka botěn prayogi, awit botěn
wontěn pidana rarambatan, yèn botěn sami ngawaki pribadi, utawi
ingkang angraosakěn kang dados sarana, ingkang saupami, wontěn
ratuning taksaka ingkang langkung sura sěkti, mandraguna tur
191
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
192
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
193
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
dalam Ādiparwa naratif Mahārāja Parīkṣit adalah hanya sebagian kecil saja dari
naratif Ādiparwa yang sangat luas. Sebab naratif dalam Ādiparwa dimulai dari
cerita mengenai Bhagawān Çonaka (Śonaka) membuat korban di hutan Nemiṣa
sampai cerita Sang Hyang Agni membakar hutan Khāṇḍawa. Adapun cerita-cerita
penting yang terdapat dalam Ādiparwa dapat dipaparkan sebagai berikut:
1) Bhagawān Çonaka (Śonaka) membuat korban di hutan Nemiṣa
2) Ugraҫrawā menceritakan Mahārāja Janamejaya membuat korban di
Kurukṣetra
3) Cerita Posya
4) Bhagāwān Çonaka menanyakan silsilah leluhurnya kepada Ugraҫrawā
5) Cerita Āstīka, lahirnya Nāga, Garuḍa dan terkeburnya lautan Arṇawa
6) Cerita Garuḍa
7) Para Nāga berunding
8) Mahārāja Parīkṣit
9) Banyaknya Nāga yang mati
10) Cerita raja Basuparicāra
11) Cerita Bhagawān Parāҫara
12) Para dewa menjelma menjadi manusia
13) Cerita Mahārāja Duҫwānta
14) Keturunan Sang Hyang Soma
15) Keturunan Pūru
16) Cerita Mahārāja Çāntanu
17) Cerita penjelmaan Sang Hyang Yama
18) Cerita Dhṛṣṭarāstra, Pāṇḍu dan Widura
19) Cerita Korawa lahir
20) Pāṇḍawa lahir
21) Pāṇḍawa dan Korawa dalam asuhan Bhīṣma
22) Cerita Dhang Hyang Kṛpa
23) Cerita Droṇa
24) Kesengsaraan para Pāṇḍawa
25) Sayembara Dropadi
26) Penjelmaan Bathara Indra
27) Pāṇḍawa memperoleh kerajaan
28) Para Pāṇḍawa di Indraprastha
29) Arjuna diam di hutan
30) Perkawinan Arjuna dengan Subhadrā
31) Abhimanyu lahir
32) Sang Hyang Agni membakar hutan Khāṇḍawa
(Padija, 1973: 42-116)
194
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
195
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
196
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
197
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
198
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
199
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
200
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
karena itu dalam penelitian ini tanggapan pembaca dimengerti sebagai sisi lain dari
perubahan atau penciptaan teks. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pengamatan
itu terlibatlah peranan peneliti sebagai pembaca dan penafsir teks. Dalam rangka
resepsi sastra peneliti merupakan mata terakhir dalam rantai sejarah, yang ikut
dalam proses penilaian selaku pembaca (Teeuw, 1988: 200).
Apabila dicermati secara seksama di dalam Mahābhārata Sanskerta
maupun Mahābhārata Jawa Kuna dengan bagian-bagian parwanya maka apabila
diperbandingkan dengan Sĕrat Pustakaraja beserta kontruksi teksnya, dapatlah
dipahami apabila Sri Mulyana menyatakan bahwa Sĕrat Pustakaraja adalah
Mahābhārata versi Indonesia (Jawa). Sudah barang tentu di dalam mengadaptasi,
menginovasi, mentransformasikan Mahābhārata Jawa Kuna tersebut penulis
Sĕrat Pustakaraja yaitu R. Ng. Ranggawarsita sengaja menyesuaikan dengan
alam pikiran Jawa dan maksud tujuan penulisannya.
Di dalam Ādiparwa sendiri disamping terdapatnya Sarpayajña yang
dilakukan Mahārāja Janamejaya maka isi cerita di dalamnya sangat kompleks,
kurang lebih 32 topik seperti dikemukakan pada Bab VI.8. Dari ke 32 topik di atas
maka di dalam Sĕrat Pustakaraja R. Ng. Ranggawarsita menanggapi (meresepsi)
ke dalam 21 topik yang kemudian di dalam pewayangan dikenal 21 lakon. Ke
21 lakon pewayangan yang bersumberkan Ādiparwa tersebut yaitu: 1) Lakon
Angruna-Angruni; 2) Lakon Sakri Lair; 3) Lakon Sakri Rabi; 4) Lakon Palasara
Lair; 5) Lakon Palasara Rabi; 6) Lakon Abiyasa Maděg Ratu; 7) Lakon Pandhu
Lair; 8) Lakon Narasoma; 9) Lakon Bima Bungkus; 10) Lakon Bambang Sucitra;
11) Lakon Pandhu Mékrat; 12) Lakon Kumbayana; 13) Lakon Balé Sagala-gala;
14) Lakon Pandhawa Babad; 15) Lakon Karna Maling; 16) Lakon Jayadrata
Rabi; 17) Lakon Sayěmbara Gandamana; 18) Lakon Parta Krama; 19) Lakon
Gathutkaca Lair; 20) Lakon Angkawijaya Lair; 21) Lakon Parikěsit Grogol (Padija,
1973: 118-137). Teks-teks naratif dari tokoh-tokoh di atas yang di dalam Ādiparwa
diuraikan secara singkat tersebut di dalam teks Jawa Baru diresepsi menjadi teks
yang cukup panjang dan kemudian dijadikan sebagai sumber lakon wayang seperti
dikemukakan di atas. Di dalam Sĕrat Darmasarana sendiri, lakon wayang yang
sangat jelas dapat ditelusuri adalah lakon Parikěsit Grogol.
Apabila dicermati secara seksama dalam subbab-subbab pada bab VI
seperti telah dikemukakan di atas, maka nampaklah bahwa Sĕrat Darmasarana
adalah sebagian resepsi, sambutan, tanggapan pujangga R. Ng. Ranggawarsita atas
Ādiparwa, Mosalaparwa dan melanjutkan naratif di dalam Prasthānikaparwa.
Bukti-bukti ini dapat dikemukakan diantaranya sebagai berikut:
Di dalam Ādiparwa, struktur naratif Mahārāja Parīkṣit digigit Takṣaka dan
prosesi Sarpayajña yang dilakukan oleh Mahārāja Janamejaya yang dikemukakan
secara singkat ternyata di dalam Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana
dikemukakan secara panjang lebar oleh R. Ng. Ranggawarsita. Kalau di dalam
naratif Mahārāja Parīkṣit maupun prosesi Sarpayajña Mahārāja Janamejaya
hanya ditampilkan beberapa tokoh saja, akan tetapi di dalam Sĕrat Darmasarana
201
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
tokoh-tokoh yang ditampilkan sangat banyak, sekitar 435 tokoh. Dalam kuantitas
teksnya pun seperti telah dikemukakan di atas Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat
Darmasarana II mencapai tidak kurang dari 367 halaman, jauh lebih banyak
dibandingkan yang ditemukan di dalam Ādiparwa.
Jika dilihat dari perbandingan mangkatnya Mahārāja Parīkṣit karena
digigit Takṣaka seperti diuraikan pada Bab VI.8, maka hasil tanggapan pembaca
R. Ng. Ranggawarsita adalah muksanya Prabu Parikesit bukannya digigit oleh
Taksaka, melainkan hanya dijilat ujung ibujari kakinya oleh Taksaka Raja, yang
bersama-sama menggunakan sarana tersebut untuk muksa. Kalau di dalam
Ādiparwa mangkatnya Mahārāja Parīkṣit hanya sendirian, maka di dalam
Sěrat Darmasarana dijelaskan bahwa beliau muksa karena ingin mengiringi
ibundanya yaitu Dewi Utari yang ingin segera berkumpul dengan suaminya, Arya
Abimanyu. Jika di dalam Ādiparwa ketika Mahārāja Parīkṣit tersebut mangkat,
pada waktu itu Janamejaya masih kanak-kanak, maka dalam Sěrat Darmasarana
dikemukakan sewaktu Prabu Parikesit muksa, Prabu Yudayana sudah dewasa dan
sudah menduduki tahta menggantikan ayahandanya.
Di dalam Ādiparwa prosesi Sarpayajña yang dilakukan oleh Mahārāja
Janamejaya seperti diuraikan pada Bab VI.5, maka memperoleh tanggapan dari
R. Ng. Ranggawarsita berupa Sarpayajña yang dilakukan oleh Prabu Yudayana
seperti diuraikan pada Bab VI.7. Tanggapan R. Ng. Ranggawarsita atas peristiwa
tersebut dilakukan dengan latar belakang dan cara yang berbeda dibandingkan
yang terdapat di dalam Ādiparwa, sebab kalau di dalam Ādiparwa, Sarpayajña
yang dilakukan dengan cara membuat tungku api korban, sedangkan di dalam Sěrat
Darmasarana II dan Sěrat Yudayana, Sarpayajña tersebut dilakukan dengan cara
melakukan penyerbuan ke tempat-tempat yang diduga dihuni oleh banyak naga
(ular). Berakhirnya Sarpayajña di kedua teks tersebut juga dikemukakan berbeda.
Apabila di dalam Ādiparwa, Sarpayajña tersebut dihentikan oleh Mahārāja
Janamejaya karena hormatnya dan kasihnya kepada Brahmana Āstīka, maka di
dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana penghentian Sarpayajña tersebut
dihentikan Prabu Yudayana karena dia tergiur oleh kecantikan naga kencana, Dewi
Sarini, serta ketidakmampuannya melawan mertuanya, Naga Raja Sarana. Di
sini juga terdapat perbedaan, kalau di dalam Ādiparwa disebutkan bahwa Āstīka
adalah brahmana laki-laki (mijil ta raré laki-laki paripūrṇāwayawa. Inaranan ta
sang Āstīka, āpan ”asti” ling sang bapa ngūni), sedangkan Dewi Sarini jelas
seorang putri naga. Meskipun demikian persamaan keduanya menampakkan diri
sebagai keluarga naga.
Dilihat dari sudut penokohannya juga, di dalam Sěrat Darmasarana
tampil tokoh pembantu yang peranannya juga sangat penting, misalnya Bagawan
Baladewa dan Satyaki. Tanggapan dan sambutan yang dikemukakan R. Ng.
Ranggawarsita atas kedua tokoh tersebut ternyata menunjukkan perbedaan yang
sangat besar apabila dibandingkan dengan penampilan mereka dalam Mahābhārata
khususnya dalam Mosalaparwa (Parwa ke-16 dalam Mahābhārata).
202
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
203
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
kepalanya beribu-ribu, dan bertubuh sebesar gunung. Mata naga yang dahsyat
tersebut merah menyala-nyala. Sewaktu bergerak menuju lautan maka dewa laut,
para naga, dan dewa-dewa sungai menyambutnya. Mereka yang menyambut roh
suci Baladewa di antaranya adalah Karkotaka, Wasuki, Takshaka, Prithusrawa,
Waruna, Kunjara, Misri, Sankha, Kumuda, Pundarika, roh suci Dhristarashtra,
Hrada, Kratha, Sitikantha, Chakramanda, Atishanda, naga-naga utama bergelar
Durmukha dan Amwarisha. Mereka mempersembahkan Arghya, air pencuci kaki
dan upacara-upacara lain serta memuja naga dahsyat tersebut (Nila, 1979: 13-14;
Zoetmulder, 1958: 116).
Peristiwa mangkatnya Baladewa yang menakjubkan di dalam
Mosalaparwa di atas sekaligus menunjukkan ketinggian kedudukan serta
keutamaan Baladewa sebagai penjelmaan roh suci naga yang luar biasa. Peristiwa
gugurnya Bagawan Baladewa serta sambutan dan penghormatan para dewa
yang luar biasa di dalam Sĕrat Darmasarana tidaklah sedahsyat serta seagung
pelukisan kembalinya roh suci Baladewa (Rama) seperti yang dipaparkan dalam
Mosalaparwa. Namun, di dalam Mosalaparwa tidak ditemukan bukti-bukti
yang cukup kuat untuk mengatakan keterlibatan Baladewa dalam pemerintahan
Parīkṣit. Apabila dalam Mosalaparwa dikemukakan bahwa Baladewa lebih
dahulu muksa dibandingkan dengan Kresna (Krishna) dan para Pandhawa, maka
dalam Sĕrat Darmasarana sebaliknya. Bagawan Baladewa mangkat (muksa)
jauh lebih kemudian dibandingkan dengan Kresna maupun para Pandhawa.
Dalam Mahābhārata, gugurnya Satyaki pun terdapat dalam Mosalaparwa.
Dikemukakan di dalamnya bahwa Samba, Sarana, dan kelompok kesatria bangsa
Wrishni (Wresni) mencoba mengelabuhi para Brahmana dengan pertanyaan yang
bersifat menghina. Mereka mengarak Samba yang menyamar sebagai wanita
hamil ke hadapan para Brahmana dan memintanya menebak secara tepat apa yang
akan dilahirkan dari kandungannya itu. Para Brahmana menjadi sangat marah
dan keluarlah kutukannya yang sangat dahsyat bahwa Samba akan melahirkan
sebuah tongkat besi (bom) yang akan meledak menghancurkan bangsa-bangsa
Wrishni dan Andhakasa (Nila, 1979: 7-8; Zoetmulder; 1958: 112). Pada saat
gejala-gejala yang menunjukkan kehancuran bangsa-bangsa Wrishni dan Yadawa
semakin menghebat, maka rakyat Wrishni pun semakin liar, semuanya dikuasai
nafsu. Mereka berani meminum minuman keras dan bermabuk-mabukan di
hadapan Kresna (Kṛṣṇa). Dalam keadaan mabuk, Yuyudhana menertawakan dan
menghina Kritawarman (Kartamarma) atas perbuatan rendahnya membunuh
putra-putra Draupadi serta Dhrishtadyumna maupun Sikhandin (Srikandi) yang
sedang tidur. Kritawarman pun membalas hinaan itu dengan mencela kecurangan
Satyaki sewaktu membunuh Bhurisrawa yang tidak lagi bersenjata, yang telah
meninggalkan medan pertempuran dan sedang duduk mengatur nafas untuk
memulihkan tenaga. Satyaki menjadi sangat marah, sehingga menerjang dan
memenggal kepala Kritawarman di hadapan Kresna. Ketika melihat itu, para
Bhoja dan Andhakasa pun menjadi marah dan menerjang Satyaki dari segala
204
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
205
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
206
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
207
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Bab VI
Genealogi dalam Sĕrat Darmasarana
208
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
209
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Genealogi I
Dipayana (Parikesit), Yudayana dan Gendrayana
Manumanasa
Sakutrem
Sakri
Palasara
Abiasa (Abiyasa)
Pandu
Arjuna
Abimanyu
Parikesit
Udayana (Yudayana)
Gendrayana
211
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Manumanasa
Sakutrem
Sakri
Palasara
Abiasa
Pandu
Arjuna
Abimanyu
Parikesit
Udayana
Gendrayana
Jayabaya
Jayamijaya
Jayamisena
Kusumawicitra
Citrasoma
212
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Pancadriya
Anglingdriya
Genealogi III
Dewi Sritatayi dan Dewi Niyata
Dari genealogi III di atas dapat dikatakan bahwa Bagawan Selaraja dari
Medhang Surukan memiliki dua orang putra yaitu Wasi Jalasengara dari Medhang
Wangi – Medhang Surukan dan Puthut Sarodaka dari Medhang Sari – Medhang
Surukan. Wasi Jalasengara kemudian kawin dengan Endang Suki dan melahirkan
Prabu Praswapati di Gilingwesi. Dalam perkawinannya dengan Dewi Srini Prabu
Praswapati memiliki dua orang putra yaitu Dewi Sritatayi dan Raden Sri Prawata.
Dewi Sritatayi kemudian kawin dengan Prabu Dipayana dan melahirkan Dewi
Tamioyi. Sementara itu dalam perkawinannya dengan Endang Suksakati, Puthut
Sarodaka berputra Prabu Sayakesthi di Purwacarita yang kemudian pindah ke
213
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Muka Bumi. Prabu Sayakesthi kemudian kawin dengan Dewi Rarasati dan
melahirkan Dewi Niyata. Dewi Niyata kemudian kawin dengan Prabu Dipayana
dan melahirkan Dewi Yodi. Dengan demikian sebenarnya antara Dewi Sritatayi
dengan Dewi Niyata masih tergolong saudara karena sama-sama keturunan dari
Bagawan Selaraja di Medhang Surukan.
Genealogi IV
Bagawan Sidhiwacana
214
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
215
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
216
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Nawangsasi yang kemudian juga kawin dengan Resi Gurunadi melahirkan Dewi
Maera yang kemudian menikah dengan Patih Danurwedha.
217
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Genealogi VII
Prabu Gandaprawa (Gandara)
218
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Genealogi VIII
219
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
yang menurunkan para kawi. Dhang Hyang Dhangascarya berputra dua yaitu
Sang Wiku Purusa Tunggal di Aswata dan Dhang Hyang Antagajalu. Sang Wiku
Purusa Tunggal berputra Sang Wiku Kumbala Guru. Sang Wiku Kumbala Guru
berputra Sang Wiku Mudra. Sang Wiku Mudra kawin dengan Endang Mastura
dan melahirkan Endang Drawasi. Endang Drawasi kawin dengan Resi Sidhikara
melahirkan Dewi Sadu. Dewi Sadu kawin dengan Prabu Yudayana melahirkan
Arya Prabu Bambang Sudarsana (Prabu Yudayaka). Arya Prabu Bambang
Sudarsana kawin dengan Dewi Padmasari dan melahirkan Prabu Sariwahana.
Prabu Sariwahana (Yawastina) berputra empat yaitu Prabu Ajidarma (Yawastina),
Prabu Purusangkara (Yawastina), Raden Jayakirana dan Raden Jayakusuma. Prabu
Purusangkara kawin dengan Dewi Pramesthi (putri Prabu Jayabaya) dan berputra
Prabu Anglingdarma. Prabu Anglingdarma berputra Prabu Anglingkusuma. Prabu
Anglingkusuma berputra Prabu Gandakusuma.
220
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
2. Zaman Kali Yoga meliputi: a) Zaman Kala Brata, b) Zaman Kala Dwara,
c) Zaman Kala Dwapara, d) Zaman Kala Praniti, e) Zaman Kala Tetaka, f)
Zaman Kala Wisesa, dan g) Zaman Kala Wisaya.
3. Zaman Kali Sangara meliputi: a) Zaman Kala Jangga, b) Zaman Kala Sakti,
c) Zaman Kala Jaya, d) Zaman Kala Bendu, e) Zaman Kala Suba, f) Zaman
Kala Sumbaga, g) Zaman Kala Surata.
(Andjar Any, 1979: 81)
Dalam Sĕrat Darmasarana, para tokoh yang menduduki posisi penting
adalah Prabu Parikesit (Dipayana) dan Prabu Yudayana, sedangkan Raden
Gendrayana masih kanak-kanak. Baru kemudian dalam Sĕrat Yudayana, Sĕrat
Budhayana atau pun juga dalam Sĕrat Gĕndrayana peranan Prabu Gendrayana
sangat menonjol. Apabila ketiga tokoh tersebut disesuaikan (disejajarkan) dengan
pembagian zaman beserta para raja yang memerintah berdasarkan uraian di
dalam Sĕrat Pranitiradya tersebut, ketiganya sama-sama memerintah di kerajaan
Ngastina pada zaman Kala Brata (zaman pertama dari Zaman Kali Yoga), kecuali
Prabu Gendrayana yang selain memerintah di Ngastina pada Zaman Kala Dwara
(801-900). Adapun secara lengkap para raja di kerajaan Ngastina pada zaman itu
dapat diperinci sebagai berikut:
Zaman Kala Brata:
Tahun 705 rajanya Prabu Suyudana, bertahta 29 tahun
Tahun 734 rajanya Prabu Yudhistira, bertahta 5 tahun
Tahun 739 rajanya Prabu Parikesit (Dipayana), bertahta 37 tahun
Tahun 772 rajanya Prabu Yudayana, bertahta 15 tahun.
Tahun 785 rajanya Prabu Gendrayana. Setelah tahun ke 800, pindah
ke Mamenang, bertahta seluruhnya 20 tahun.
(Andjar Any, 1979: 93-94).
Dalam Sĕrat Budhayana, Sĕrat Gĕndrayana (Prabu Gĕndrayana)
diceritakan, bahwa Arya Prabu Bambang Sudarsana ditunjuk dewa menggantikan
kedudukan Prabu Gendrayana di Ngastina. Ia mulai memerintah tahun 814 dan
sudah masuk pada zaman Kala Dwara. Oleh karena itu, seperti dikemukakan
di depan, maka Prabu Gendrayana memerintah dalam dua zaman, yakni zaman
Kala Brata dan Kala Dwara. Mengingat setiap zaman kecil berusia 100 tahun.
Zaman Kala Brata mulai tahun 701-800 dan zaman Kala Dwara mulai tahun
801-900.
Dari uraian di atas, maka banyak raja Jawa yang memerintah dalam
periode Mataram (kuna) dikesampingkan, misalnya: Rakai Panunggalan (780 M
- 800 M), Rakai Warak (800 M - 819 M), Rakai Garung (819 M - 838 M), Rakai
Pikatan (850 M - 856 M), dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (856 M - 886 M)
(Sri Mulyono, 1989: 297). Pada masa itulah, menurut Sĕrat Pranitiradya, justru
masa pemerintahan raja-raja di Ngastina, antara lain Prabu Suyudana (705 S/ 783
M), Prabu Yudhistira (734 S/ 812 M), Prabu Parikesit (Dipayana) (739 S/ 817
M), Prabu Yudayana (772 S/ 850 M), dan Prabu Gendrayana (785 S/ 863 M).
221
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Demikian pula seandainya para raja dalam Sĕrat Darmasarana, Sĕrat Yudayana,
sejumlah teks Pustakaraja Madya, maupun Sĕrat Pranitiradya disejajarkan
dengan para raja berdasarkan hasil penelitian sejarah Jawa berpendidikan Barat,
maka akan timbul berbagai macam ketidaksesuaian (anakronisme).
Berbagai ketidaksesuaian (kejanggalan) penulisan sejarah Jawa bangsa
pribumi (R. Ng. Ranggawarsita) di atas, haruslah dilihat dari kapasitasnya
sebagai seorang pujangga serta tugas-tugas yang diembannya. Ia memang bukan
bermaksud menulis sejarah Jawa berdasarkan kriteria penulisan sejarah Jawa
berpendidikan Barat. Penulisan Sĕrat Darmasarana, Sĕrat Yudayana dan teks-
teks Pustakaraja Madya sudah barang tentu tidak terlepas dari maksud penulisan
Sĕrat Pustakaraja Purwa, sebab sĕrat-sĕrat tersebut merupakan bagian darinya.
Apalagi rupanya salah satu maksud penulisan Sĕrat Pustakaraja Purwa karya
pujangga R. Ng. Ranggawarsita tersebut adalah “suatu penulisan baru” mengenai
sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita Mahābhārata versi Indonesia)
yang salah satu maksud tujuannya adalah untuk mendidik anak cucu dengan
mengajarkan sejarah kepahlawanan leluhurnya. Selain itu, yang terpenting
dari segala uraian atau karya-karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita adalah
menempatkan “Jatining Panĕmbah”, yaitu memberikan penerangan bahwa dewa-
dewa (para jawata) yang diartikan nenek moyang orang Jawa itu bukanlah Tuhan
Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, tetapi hanya sebagai titah biasa (Sri Mulyono,
1989: 202).
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam kaitannya dengan
Sĕrat Pustakaraja, Sĕrat Darmasarana, Sĕrat Yudayana dan teks-teks Pustakaraja
Madya (sumber Wayang Madya) lainnya ikut mengisi kekosongan “sejarah Jawa”
yang sebelum periode kerajaan Mataram Kuna terasa kabur (gelap). Dari “sejarah
Jawa” yang ditulisnya, R.Ng. Ranggawarsita bermaksud ikut mendudukkan
para dewa, para Pandawa serta raja-raja Kediri, Singasari dan Majapahit sebagai
leluhur para raja Mataram.
222
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
223
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
'
224
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Bab VII
Ringkasan dan Kesimpulan
A. Ringkasan
225
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
d. Sĕrat Maha Krama, terdiri atas: a. Sĕrat Surya Wisésa; b. Sĕrat Raja
Sundha; c. Sĕrat Madu Sudhana; d. Sĕrat Panca Prabanggana.
e. Sĕrat Maha Kara, terdiri atas: a. Sĕrat Mundhingsari; b. Sĕrat Raja
Purwaka; c. Sĕrat Maha Kara.
f. Sĕrat Maha Para.
3. Dalam mitologinya Sěrat Pustakaraja Purwa mulai disusun adalah ketika Sang
Hyang Naradha dan Bathara Panyarikan datang ke Daha (Kediri, Menang)
menjumpai Prabu Jayabhaya dan memerintahkan Sang Raja untuk menceritakan
semua peristiwa di bumi Jawa. Kitab tersebut nantinya disesuaikan dengan
catatan para dewa, yang kemudian dicocokkan lagi dengan isi kitab Jitapsara
susunan Bagawan Palasara menurut petunjuk Dewi Rukmawati, putri Sang
Hyang Anantaboga. Adapun Sěrat Pustakaraja Puwara disusun oleh mpu-
mpu di kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya IV yang
berisi raja-raja di Mamenang sampai Prabu Brawijaya V. Sěrat Pustakaraja
Puwara kemudian disusun oleh Mpu Artati pada tahun 1398 (Suryasangkala)
atau tahun 1440 (Candrasangkala). Penyelesaian penulisan Sěrat Pustakaraja
Puwara tersebut dilakukan di Bali karena setelah kerajaan Majapahit runtuh
maka Mpu Artati melarikan diri ke Bali dan mengabdi kepada Prabu Dewa
Ketut.
4. Sěrat Pustakaraja khususnya Sěrat Pustakaraja Purwa adalah hasil saduran
kembali cerita Mahābhārata (Jawa Kuna) dengan berbagai adaptasi dan
inovasi. Sěrat Pustakaraja Purwa seringkali dikatakan sebagai suatu
penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang. Sěrat Pustakaraja
adalah kitab pedoman bagi seorang Raja (pakĕmipun panjĕnĕngan Nata).
Pustakaraja dapat pula diartikan ’Rajanya Kitab’, karena menjadi kitab yang
terkemuka dan menjadi induk segala kitab cerita Jawa (Sěrat Raja, amargi
dados tĕtunggul tuwin dados baboning sěrat cariyos Jawi).
5. Wayang Madya adalah salah satu jenis pertunjukan wayang yang diciptakan
oleh Sri Mangkunegara IV berdasarkan Sěrat Pustakaraja Madya dan Sěrat
Witaradya karya R. Ng. Ranggawarsita. Bentuk Wayang Madya adalah
paduan antara Wayang Kulit (Purwa) dengan Wayang Gĕdhog. Bagian atas
sampai tengah mengambil bentuk Wayang Purwa sedangkan bagian tengah ke
bawah mengambil bentuk Wayang Gĕdhog. Sumber Wayang Madya menjadi
jembatan yang menghubungkan antara sumber Wayang Purwa dan sumber
Wayang Gĕdhog. Jika Wayang Purwa mengambil cerita dewa-dewa sampai
keluarga Pandawa dan Wayang Gĕdhog mengambil cerita Panji dari Jenggala
dengan putri Kediri (Candrakirana), maka Wayang Madya mengambil cerita
para cucu Pandawa sampai menjelang Panji. Jadi cerita sejak peristiwa
wafatnya Prabu Yudayana sampai masa Prabu Jayalengkara naik tahta tahun
785 Ç – 1.052 Ç (863 M – 1.130 M).
6. Sumber lakon Wayang Madya dapat diambil dari teks-teks Wayang Madya
yang meliputi: 1) Sěrat Darmasarana, 2) Sěrat Yudayana, 3) Sěrat Budhayana,
226
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
227
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
228
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
229
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
20. Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Ken Satapa, Endhang Sikandhi, dan Dewi
Grendi, secara fisik digambarkan sebagai wanita-wanita yang berparas cantik
jelita. Kecuali Ken Satapa yang sebelum diruwat Sang Hyang Narada berparas
buruk. Di samping itu, mereka memiliki watak yang keras dalam menggapai
cita-cita (untuk menjadi istri Prabu Dipayana). Mereka pun berwatak rela
berkorban, cinta, setia serta bakti pada suami, sehingga Prabu Dipayana pun
sangat mencintai mereka.
21. Prabu Kismaka digambarkan sebagai seorang raja yang pemberani (tidak kenal
takut) dan sangat sakti. Ia pun memiliki watak yang setia dan bakti kepada
orangtua, meskipun terkesan berlebihan.
22. Prabu Niradhakawaca memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan
Prabu Kismaka. Ia pun seorang raja yang pemberani dan sakti. Di samping itu
ia berwatak keras, setia, cinta bakti pada orangtua, tetapi terhadap musuhnya
ia licik. Oleh karena itu kematiannya pun diperdaya pula sebagai buah
perbuatannya.
23. Prabu (Arya) Satyaki secara fisik badannya kecil berisi, pandangannya tajam
menembus dan menakutkan, kepalan tangannya sangat kuat dan sanggup
memecahkan kepala musuhnya. Prabu Satyaki adalah prajurit yang pilih
tanding semasa mudanya. Ia senang menyepi dan bertapa guna mendapatkan
kesaktian. Ia pun memiliki watak adil, jujur, pemberani, keras dan nekad.
24. Dhang Hyang Suwela adalah pendeta yang sangat sakti, menguasai berbagai
macam mantra serta dapat menjelma menjadi berbagai bentuk. Ia pun seorang
pendeta yang licik, penuh tipu daya lagi pendendam. Meskipun demikian
terhadap murid-muridnya ia memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi.
25. Taksaka Raja adalah raja naga kekasih dewa. Ia memiliki watak jujur, senang
berterus terang, tetapi kurang memiliki wawasan luas serta perhitungan yang
matang terhadap akibat perbuatannya. Dalam Ādiparwa, terdapat tokoh
Takṣaka yang memiliki kedudukan tinggi di antara para naga, selain itu ia pun
bersahabatkan dengan Hyang Indra. Tokoh Takṣaka digambarkan memiliki sifat
dan watak yang tidak baik. Ia cerdik (licik), senang mengganggu kepentingan
orang lain, penurut, sekalipun harus berbuat jahat.
26. Dewi Gendrawati secara fisik digambarkan sebagai wanita yang cantik jelita,
akan tetapi secara psikis ia memiliki sifat dan watak yang kurang baik. Ia
kurang menaruh hormat pada orangtua, kurang hati-hati dalam berbicara
dan bertindak, kurang teliti dalam melihat persoalan, kurang mendengarkan
nasihat-nasihat baik orang lain, tergesa-gesa dalam memutuskan masalah
tanpa pertimbangan baik atau buruk, senang membuat keributan serta senang
membuat laporan palsu. Meskipun demikan setelah sifat dan watak Dewi
Gendrawati berubah baik sejalan dengan bertambahnya usia, serta karena doa
pada brahmana dan para pendeta, maka disaat wafatnya Dewi Gendrawati
ditandai dengan tanda-tanda kemuliaan.
27. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Yudayana adalah hubungan antara
230
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
ayah dan anak. Prabu Yudayana adalah putra Prabu Dipayana yang lahir
dari Dewi Tapen (Ken Satapa). Hubungan Prabu Dipayana dengan Patih
Dwara dan Patih Danurwedha adalah hubungan sesama saudara. Di samping
itu juga hubungan antara atasan dan bawahan (antara raja dengan kedua
patihnya) serta hubungan antara sesama saudara ipar. Hubungan Prabu
Dipayana dengan Bagawan Baladewa adalah hubungan antara cucu dengan
kakeknya, sebab Raden Arjuna (Dananjana) adalah saudara sepupu Bagawan
Baladewa. Hubungan Prabu Dipayana dengan Raden Ramayana, Raden
Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden Warabasata adalah hubungan
antara ayah dengan putra-putranya. Raden Ramayana dan Raden Prawasata
adalah putra Prabu Dipayana dengan Dewi Puyengan (Endhang Sikandhi),
sedangkan Raden Ramaprawa dan Raden Warabasata adalah putra Prabu
Dipayana dengan Dewi Dangan (Dewi Grendi).
28. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Utari adalah hubungan antara anak
dengan ibundanya. Prabu Dipayana adalah putra Raden (Arya) Abimanyu
dengan Dewi Utari. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Sritatayi, Dewi
Niyata, Ken Satapa, Endhang Sikandhi dan Dewi Grendi adalah hubungan
antara suami dengan istrinya. Setelah menjadi istri Prabu Dipayana mereka
diubah namanya. Dewi Sritatayi menjadi Dewi Gentang, Dewi Niyata menjadi
Dewi Impun, Ken Satapa menjadi Dewi Tapen, Endhang Sikandhi menjadi
Dewi Puyengan dan Dewi Grendi menjadi Dewi Dangan.
29. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Kismaka adalah musuh, sebab
Prabu Kismaka menyerbu ke Dwarawati yang pada waktu itu diperintah
Prabu Satyaka, kerabat Prabu Dipayana. Hubungan Prabu Dipayana dengan
Prabu Niradhakawaca adalah musuh. Oleh karena raja Ima-imantaka tersebut
menyerbu kerajaan Ngastina sewaktu Prabu Dipayana bercengkrama ke hutan
Palasara. Prabu Niradhakawaca berhasil membunuh banyak kerabat istana
Ngastina, tetapi ia pun akhirnya dihancurkan Prabu Dipayana.
30. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Satyaki adalah hubungan antara
cucu dengan kakeknya. Prabu Satyaki adalah saudara sepupu Raden Arjuna,
kakek Prabu Dipayana. Sekalipun demikian, hubungan langsung keduanya,
baik dalam Sěrat Darmasarana maupun dalam Ādiparwa kurang tampak.
31. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dhang Hyang Suwela adalah musuh.
Permusuhan keduanya tersebut timbul karena Prabu Dipayana membela
Bagawan Sidhiwacana (mertuanya) maupun Resi Sidhikara (saudara iparnya)
yang bermusuhan melawan Dhang Hyang Suwela. Hubungan Prabu Dipayana
dengan Taksaka Raja adalah bahwa Taksaka Raja pernah secara tidak sengaja
terluka oleh keris Prabu Dipayana. Baik Prabu Dipayana maupun Taksaka
Raja saling memanfaatkan hubungan keduanya sebagai sarana muksa, karena
keduanya muksa bersamaan. Berbeda dengan hubungan Mahārāja Parīkṣit
dengan Takṣaka yang dikemukakan dalam Ādiparwa. Dalam Ādiparwa,
231
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
232
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
35. Metode cerita yang dipakai dalam Sěrat Darmasarana ini menggunakan
metode cerita orang ketiga atau dalang. Di sini R. Ng. Ranggawarsita
sebagai pengarang sěrat tersebut seolah-olah tahu isi hati para tokoh yang
ditampilkannya. Pengarang dapat lebih bebas mengemukakan dan menguraikan
jalinan cerita beserta sifat-sifat para tokohnya tanpa berusaha untuk memihak
salah satu tokohnya.
36. Motif yang terdapat dalam Sěrat Darmasarana meliputi: wangsit ’ilham’,
mimpi, cinta dan perkawinan, peperangan, pusaka bertuah, penyamaran,
peruwatan.
a. Motif wangsit ’ilham’ diperoleh Prabu Dipayana sewaktu kerajaan
Ngastina akan diserbu Prabu Niradhakawaca dari Ima-imantaka maupun
ketika kerajaan Ngastina akan tertimpa wabah penyakit. Wangsit yang
diperoleh Prabu Dipayana lainnya adalah agar Raja memohon bantuan
Resi Gurundaya untuk mengalahkan Prabu Niradhakawaca. Wangsit
lainnya diperoleh seekor sam-sam ’rusa’ bahwa mereka akan teruwat di
Ngastina. Di samping itu wangsit juga diperoleh Resi Sidhikara tentang
jodohnya yakni Endang Drawasi.
b. Motif mimpi terutama diperoleh oleh Dewi Niyata dan Endang Sikandhi
bahwa keduanya nanti bersuamikan Prabu Dipayana.
c. Motif cinta dan perkawinan tercermin dalam kisah cinta antara Prabu
Dipayana dengan kelima istrinya yaitu Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi
Sikandhi, Dewi Satapa, dan Dewi Grendi. Motif cinta dan perkawinan
yang menonjol selanjutnya ialah antara Raden Yudayana dengan Dewi
Gendrawati, Patih Dwara dengan Ken Suyati, Resi Sidhikara dengan
Endang Drawasi.
d. Motif peperangan tampak pada peperangan antara Prabu Dipayana
melawan Sarabisa (utusan Prabu Sayakesthi), Prabu Dipayana melawan
Prabu Sayakesthi (Buyut Medhangprawa), Prabu Dipayana melawan
Srubisana, Prabu Dipayana melawan Bagawan Sukandha, Prabu Dipayana
melawan Prabu Niradhakawaca. Motif peperangan lainnya tampak pada
peperangan kerajaan Dwarawati melawan Tarajutiksna, peperangan
kerajaan Ngastina melawan kerajaan Ima-imantaka, peperangan
Srubisana melawan Bagawan Sukandha, peperangan Resi Sidhikara yang
dibantu Raden Yudayana dan keempat saudaranya melawan Dang Hyang
Suwela dan para muridnya.
e. Motif pusaka bertuah tampak pada arca Dewi Durga dan Sang Hyang
Girinata, Cundamani (yang diberikan kepada Prabu Dipayana), Nanggala
(milik Bagawan Baladewa), Sarotama (yang diterima Raden Yudayana),
Bĕsi Adnyana (milik Resi Gurundaya) dan Bĕsi Aji (milik Prabu
Niradhakawaca), Musthika Kumara (yang diterima Prabu Yudayana dari
Naga Raja Sarana).
233
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
234
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
itu boleh membalasnya. Sampai pada akhirnya datanglah Taksaka Raja yang
menyatakan terus terang bahwa ia pernah terluka pethitnya oleh keris Baginda
sewaktu menjadi binggĕl ’gelang kaki’ Resi Ardhawalika (penjelmaan Sang
Hyang Basuki). Baginda kemudian mempersilahkan Taksaka Raja untuk
menggigitnya sebagai balasannya, namun setelah dipaksa Taksaka Raja hanya
menjilat ibujari kaki Baginda yang dipakainya sebagai sarana muksa.
40. Di dalam Ādiparwa yang melangsungkan Sarpayajña atau Sarpa Satra (korban
api ular) adalah Mahārāja Janamejaya di Hāstinapura. Sarpayajña tersebut
disebabkan pertama, kutuk Kadrū kepada para naga anaknya (termasuk
Takṣaka) karena semula menolak perintah ibunya untuk memerciki dengan
bisa ekor kuda Uçcaihçrawā agar berwarna hitam (kṛṣṇacāmara). Kedua,
dendam Uttangka kepada Takṣaka karena ia pernah diganggunya sewaktu
pulang dari Ayodya sambil membawa anting-anting matahari yang dimintanya
dari Sāwitrī (permaisuri Mahārāja Posya). Di dalam Sěrat Darmasarana II
dan Sěrat Yudayana yang melangsungkan Sarpayajña adalah Prabu Yudayana
di Ngastina (putra Prabu Parikesit), yang disebabkan karena dendam dan
kemarahan Prabu Yudayana terhadap Taksaka Raja yang diduganya sebagai
sebab ayahandanya (Prabu Parikesit) mangkat.
41. Di dalam Ādiparwa diuraikan mengenai perkawinan Jaratkāru dengan
Nāginī Jaratkāru sampai lahirnya Āstīka. Kelahiran Āstīka tersebut untuk
membebaskan para leluhur Jaratkāru yang sangat menderita karena tergantung
pada seutas tali yang menuju ke neraka, namun bagi keluarga naga, kelahiran
Āstīka adalah untuk membebaskan mereka dari kepunahan akibat korban api
ular Mahārāja Janamejaya. Di dalam Sěrat Darmasarana II maupun Sěrat
Yudayana tidak terdapat naratif tentang Brahmana Jaratkāru, Nāginī Jaratkāru,
maupun putranya, Āstīka. Hanya di dalam Sěrat Yudayana muncul tokoh
Dewi Sarini, putri Naga Raja Sarana (pelindung para naga) yang tinggal di
Gunung Mahendra.
42. Di dalam Ādiparwa prosesi Sarpayajña dengan cara membuat tungku korban
seluas 2 yojana yang diukur oleh Sang Brahmana serta dimantrai dengan mantra
sakti. Adapun di dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana Sarpayajña
tersebut dilakukan dengan cara menyerbu ke tempat-tempat yang diduga
dihuni para naga, misalnya: Taksakasila, hutan Lagra, hutan Gadamadana,
di sekitar Gunung Candrageni (Merapi) dan Gunung Mahendra (Lawu). Di
dalam Ādiparwa maupun dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana
sama-sama dijelaskan bahwa para naga yang mati tidak terhingga jumlahnya.
Hanya di dalam Ādiparwa Sarpayajña tersebut jauh lebih mencekam dan
mengerikan. Berbagai macam jenis para naga yang berbelitan dengan saudara-
saudaranya secara bersama-sama tersedot masuk ke dalam tungku api korban.
Di dalam Ādiparwa maupun Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana maka
Sarpayajña tersebut tidak sempurna. Di dalam Ādiparwa Sarpayajña itu
dihentikan karena permintaan Āstīka kepada Mahārāja Janamejaya. Adapun di
235
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
236
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
B. Kesimpulan
Sejak penelitian dan penerbitan bagian-bagian Mahābhārata dalam
kesastraan Jawa Kuna oleh A.A. Fokker, H.H. Juynboll, Hazeu, H. Kern,
Gunning, Gonda, RM. Ng. Poerbatjaraka serta P.J. Zoetmulder, maka penelitian
Mahābhārata Jawa Kuna semakin menyusut. Demikian pula sejak RM. Ng.
Poerbatjaraka, C.C. Berg, Th. G. Pigeaud, J. Kats maupun Slamet Mulyono,
maka penelitian yang serius terhadap Sĕrat Pustakaraja semakin sedikit. Karena
itu katalogus susunan Nancy K. Florida yang berjudul Javanese Language
Manuscripts of Surakarta, Central Java: A Preliminary Descriptive Catalogue
Vol. I-IV (1981) yang di dalamnya membicarakan Sĕrat Pustakaraja dan bagian-
bagian dari sĕrat tersebut menjadi sangat penting.
Penelitian atau studi tentang Mahābhārata Sanskerta dan Mahābhārata
dalam kesastraan Jawa Kuna serta pelacakan jejak-jejaknya ke dalam Sĕrat
Pustakaraja dapat dikatakan hampir tidak ada lagi. Penelitian dalam kawasan
ini terjadi kekosongan seperti yang dikemukakan Ign. Kuntara Wiryamartana,
S.J. Padahal studi di kawasan ini (Sĕrat Pustakaraja) memberikan lapangan
yang sangat luas bagi ilmuwan-ilmuwan Jawa untuk mengadakan penelitian
diantaranya dari sisi religi, mitologi, pedagogi, psikologi, hukum, kepemimpinan,
lingkungan hidup maupun sistem pertanian dan lain sebagainya.
Bagian-bagian yang terdapat di dalam Sĕrat Pustakaraja banyak yang
merupakan hasil resepsi, adaptasi, inovasi, transformasi dari Mahābhārata dalam
kesastraan Jawa Kuna. Teks-teks dalam Sĕrat Pustakaraja tersebut misalnya
kelompok Sĕrat Maha Tantra, terdiri atas: a. Sĕrat Sri Kala; b. Sĕrat Raja Watara;
c. Sĕrat Cita Kaprawa; d. Sĕrat Ariawanda; e. Sĕrat Para Patra, kelompok Sĕrat
Maha Putra, terdiri atas: a. Sĕrat Mahandya Purwa; b. Sĕrat Suktinawyasa; c.
Sĕrat Darma Sagara; d. Sĕrat Gorawangsa; e. Sĕrat Kumbayana; f. Sĕrat Wandha
Laksana; g. Sĕrat Darma Mukta; h. Sĕrat Drĕta Nagara maupun kelompok Sĕrat
Maha Dharma, terdiri atas: a. Sĕrat Kuramaka; b. Sĕrat Smara Dahana; c. Sĕrat
Ambaralaya; d. Sĕrat Kridha Krĕsna; e. Sĕrat Kunjana Karna; f. Sĕrat Kunjana
Krĕsna; g. Sĕrat Partayagnya; h. Sĕrat Manik Harja Purwaka; i. Sĕrat Sapanti
Parta; j. Sĕrat Dĕwa Ruci; k. Sĕrat Parta Wiwaha/Mintaraga; Sĕrat Yudanaraga;
m. Sĕrat Purobaya; n. Sĕrat Bomantara; o. Sĕrat Bomantaka; p. Sĕrat Bratayuda;
237
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
238
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1976. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical
Tradition. New York: Oxford University Press.
Ali, Lukman (ed.) 1967. Bahasa dan Kesusastraan Indonesia sebagai Cermin
Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung.
Andri Astanto. 2011. Kresna-Arjuna Bawarasa Karya Mangunsalaga (Analisis
Struktural dan Amanat) (Skripsi Sarjana). Yogyakarta: Jurusan Sastra
Nusantara, Prodi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada.
Any, Andjar. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita & Sabdapalon.
Semarang: Aneka.
_______. 1980. Raden Ngabehi Ranggawarsita Apa yang Terjadi? Semarang:
Aneka.
Bale Pustaka. 1939. Babad Tanah Jawi Jilid I. Betawi Sentrem, Bale Pustaka.
Behrend, T.E., dkk. 1989. Katalogus Naskah-naskah Museum Sonobudoyo.
Yogyakarta: The Ford Foundation.
_______. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I Museum.
Sonobudaya Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata.
Brandes, J.L.A. 1920. Pararaton (Ken Arok) Of Het Boek der koningen van
Tumapĕl en van Majapahit uitgegeven en toegelicht Tweede druk bewerkt
door N.J. Krom. VBG. 62.
Brandon, James R. (ed.). 1970. On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow
Plays. Cambridge, Massachusetts, Harvard University Press.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the
Study of Literature. London and Henley, Routledge and Kegan Paul.
_______. 1981. The Persuit of Sign, Semiotics, Literature, Deconstruction.
London, Routledge and Kegan Paul.
______. 1980. ‘’Jejer Kalenggahaning Pujangga Ing Kasusastran Jawi’’
(Makalah). Yogyakarta.
Drewes, G.W.J. 1974. ‘’Ranggawarsita, the Pustakaraja Madya and the Wayang
Madya’’ dalam Oriens Extremus. Wiesbaden, Kommissionsverlag
Harrassowitz.
_______. 1975. The Romance of King Anglingdarma in Javanese Literature. The
Hague, Nederland, Martinus Nijhoff.
Faruk, H.T. 1982. Strukturalisme dalam Sosiologi Kesusastraan. Yogyakarta:
KMSI Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.
Florida, Nancy K. 1981. Javanese Language Manuscripts of Surakarta, Central
Java: A Preliminary Descriptive Catalogue Vol. I-IV. Ithaca, New York,
Cornell University.
239
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Forster, E.M. 1971. Aspects of the Novel. Victoria: Pinguin Book Australia Ltd.
Gericke, J.F.C. en T. Roorda. 1901. Javaansch – Nederlandsche Hanwoordenboek,
2 Jilid. Leiden, Johannes Muller, E.J. Brill.
Girardet, Nikolaus. 1983. Descriptive Catalogue of The Javanese Manuscripts
and Printed Books in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta.
Wiesbaden, Franz Steiner Verlag GMBH.
Groenendael, Victoria M. Clara van. 1987. Wayang Theatre in Indonesia and
Annotated Bibliography. Leiden, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-
en Volkenkunde.
Hadimadja, Aoh K. 1978. Seni Mengarang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hadisuparto, Soepardi (Pengalih Huruf). 2007. Sĕrat Prabu Gĕndrayana II (46
B). Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Hardjowirogo. 1982. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka.
Harsja W. Bachtiar. 1973. ’’Pendidikan Calon-calon Ahli Sastra Daerah dan
Pertumbuhan Kebudayaan Nasional’’ (Makalah). Yogyakarta: Lembaga
Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional.
Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. London: Methun.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca, New York,
Cornell University Press.
Juynboll, H.H. 1906. Ādiparwa Oudjavaansch Prozageschrift Uitgegeven’S
Gravenhage, Martinus Nijhoff.
_______. 1923. Oudjavaansch-Nederlandsch-Woordenlijst. Leiden: E.J. Brill.
Kamadjaja. 1964. Zaman Edan. Jogjakarta: U.P. Indonesia.
Karyarujita, R.Ng. 1981. Sĕrat Paramayoga: Sĕrat Kalĕmpaking Piwulang, Alih
Aksara dan Alih Bahasa oleh Moelyono Sastronaryatmo. Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud.
Kats, J. 1924. ’’Wayang Madya’’ dalam Poesaka Djawi II. Java-Instituut.
Kriswanto, Agung dan Komari. 2008. Udayana (Editor: Nindyo Noegraha),
Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Lubis, Mochtar. 1960. Tehnik Mengarang. Djakarta: Balai Pustaka.
Luxemburg, J. van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dick Hartoko.
Jakarta: Gramedia.
Macdonell, Arthur Anthony. 1979. A Practical Sanskrit Dictionary With
Transliteration, Accentuation and Etymological Analysis Throughout.
Oxford University Press.
Mangkunegara IV. 1914. Lampahan Jayapurusa.
Mangunsalaga, Mulyono Sastronaryatmo dan Sudibya Z. Hadisutjipto. 1987.
Kresna-Arjuna Bawarasa. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah Depdikbud.
Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagāwadgīta. Denpasar: Parisada Hindu Dharma
Pusat.
240
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
241
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
242
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
243
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
244
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
245
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
246
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Naskah
Sěrat Ajipamasa
Naskah B 6a. Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran.
Naskah PBA 248. Yogyakarta: Museum Sanabudaya.
Naskah Br 577 dan K. B. G. 93. Jakarta: Museum Nasional.
Sěrat Budhayana
Naskah 154 B. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Sěrat Darmasarana
Naskah 152 A. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Sěrat Gěndrayana
Naskah 157. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Sĕrat Prabu Gĕndrayana I
Naskah 46 A. Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Sĕrat Prabu Gĕndrayana II
Naskah 46 B. Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Sěrat Purusangkara
Naskah 155. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Sěrat Sariwahana
Naskah 154 G. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Naskah Hs. Th. P. NR. 344. Jakarta: Biro Naskah Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
247
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Sěrat Yudayana
Naskah 153. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Naskah Hs. Th. P. NR. 268. Jakarta: Biro Naskah Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.
248
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
Indeks
A
Ādiparwa 6, 8, 9, 11, 14, 16, 42, 47, 117, 128, 129, 162, 164, 170, 172, 179,
181, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 219, 242, 244, 246,
247, 248, 250, 253, 261
Āstīka 6, 42, 129, 162, 172, 175, 179, 181, 182, 206, 210, 211, 214, 247, 248,
261
B
Bagawan Baladewa 5, 59, 62, 63, 77, 78, 96, 97, 98, 109, 110, 111, 114, 124,
125, 126, 133, 135, 136, 139, 142, 143, 148, 149, 156, 157, 158, 184,
207, 214, 215, 216, 241, 243, 246, 261
Bagawan Sidhiwacana 60, 61, 62, 63, 64, 73, 77, 104, 105, 106, 114, 124, 127,
128, 131, 134, 135, 136, 137, 141, 142, 144, 148, 150, 153, 154, 159,
223, 226, 227, 244, 249, 261
Bhagawān Kāҫyapa 162, 207, 246, 261
Bhagawān Kṛṣa 207, 247, 261
Bhagawān Samīti 168, 207, 246, 247, 261
Bhagawān Waiҫampāyana 9, 261
Bhagawān Ҫonaka 8, 261
C
Çṛnggī 164, 165, 166, 168, 207, 244, 247, 261
D
Dewi Dangan (Dewi Grendi) 99, 125, 243, 261
Dewi Durga 156, 157, 246, 261
Dewi Grendi 6, 62, 63, 77, 99, 103, 104, 106, 107, 125, 126, 136, 143, 148,
152, 184, 230, 242, 243, 245, 261
Dewi Niyata 6, 61, 63, 77, 78, 79, 104, 105, 107, 125, 126, 141, 143, 144, 148,
151, 152, 155, 183, 184, 223, 225, 226, 242, 243, 245, 249, 261
Dewi Puyengan (Endhang Sikandhi) 125, 243, 261
Dewi Sarini 42, 201, 210, 211, 214, 248, 261
Dewi Satapa 61, 63, 142, 143, 148, 152, 153, 154, 184, 245, 261
Dewi Sikandhi 63, 98, 107, 136, 143, 148, 152, 153, 156, 184, 245, 261
Dewi Sritatayi 6, 61, 63, 77, 78, 104, 105, 107, 125, 126, 135, 141, 143, 144,
148, 152, 183, 184, 223, 225, 226, 242, 243, 245, 249, 261
Dewi Utari 6, 11, 62, 68, 69, 70, 77, 78, 102, 103, 107, 125, 135, 136, 139, 142,
143, 146, 148, 185, 186, 187, 194, 214, 242, 243, 247, 261
Dhang Hyang Suwela 64, 65, 66, 77, 78, 86, 89, 90, 92, 93, 94, 99, 100, 114,
115, 116, 117, 119, 125, 127, 128, 136, 137, 144, 145, 150, 154, 156, 157,
158, 159, 184, 207, 242, 244, 261
249
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Dwarawati 28, 59, 63, 64, 69, 91, 108, 112, 114, 126, 127, 133, 139, 140, 155,
183, 199, 218, 243, 245, 246, 261
E
Endang Drawasi 227, 232, 245, 246, 262
Endhang Sikandhi 61, 63, 77, 78, 79, 104, 106, 107, 124, 125, 126, 136, 142,
151, 242, 243, 261, 262
G
Gandara 44, 65, 66, 88, 89, 90, 118, 119, 120, 121, 129, 137, 138, 144, 145,
154, 184, 223, 230, 245, 249, 262
Garuda 60, 71, 79, 82, 110, 134, 183, 240, 262
Gilingwesi 23, 24, 25, 60, 61, 62, 67, 82, 104, 129, 134, 135, 136, 138, 141,
143, 145, 152, 156, 161, 183, 185, 225, 245, 262
Gunung Candrageni 31, 201, 211, 248, 262
Gunung Mahendra 22, 31, 90, 158, 201, 202, 210, 211, 248, 262
H
Hāstinapura 125, 127, 164, 166, 168, 169, 179, 208, 247, 262
hutan Gadamadana 199, 200, 201, 248, 262
hutan Lagra 198, 199, 248, 262
hutan Palasara 59, 60, 62, 71, 80, 91, 93, 94, 97, 109, 124, 126, 133, 134, 135,
142, 143, 149, 243, 245, 262
I
Ima-imantaka 62, 97, 109, 124, 126, 135, 142, 149, 156, 215, 219, 243, 245,
246, 262
istana Ngastina 65, 92, 100, 101, 117, 122, 127, 128, 137, 243, 262
J
Jaratkāru 129, 163, 167, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 209, 210,
247, 248, 262, 263
K
Kadrū 6, 117, 162, 163, 170, 208, 209, 247, 262
Ken Satapa 6, 61, 77, 78, 83, 84, 104, 105, 106, 107, 123, 124, 125, 126, 142,
183, 227, 242, 243, 262
Kerajaan Ngastina 60, 62, 67, 97, 101, 104, 107, 109, 119, 124, 133, 134, 135,
136, 138, 140, 142, 143, 262
Kṛṣṇa 8, 11, 70, 164, 168, 181, 215, 216, 217, 218, 262
Kṛṣṇa Dvaīpayana Vyāsa 8, 181, 262
kuda Uçcaihçrawā 162, 163, 208, 247, 262
250
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
L
Lesanpura 59, 63, 65, 108, 112, 126, 127, 133, 137, 140, 144, 218, 245, 262
M
Madura 32, 33, 46, 49, 58, 59, 65, 140, 239, 240, 245, 258, 262
Mahābhārata 8, 9, 10, 13, 16, 41, 43, 47, 96, 98, 113, 117, 127, 205, 213, 214,
215, 216, 234, 236, 238, 239, 249, 250, 258, 262
Māhāraja Janamejaya 8, 9, 262
Mahārāja Posya 247, 262
Muka Bumi 226, 245, 262
N
Naga Raja Sarana 42, 90, 117, 158, 201, 202, 204, 210, 211, 214, 246, 248, 263
Nāginī Jaratkāru 174, 178, 180, 210, 247, 248, 263
P
Pāṇḍawa 8, 9, 10, 72, 131, 160, 168, 206, 219, 263
Parīkṣit 6, 8, 9, 11, 70, 125, 127, 128, 129, 162, 164, 165, 166, 167, 168, 169,
171, 179, 205, 206, 207, 208, 209, 213, 214, 216, 244, 246, 247, 250, 263
Patih Danurwedha 5, 53, 59, 60, 62, 63, 64, 66, 69, 77, 78, 86, 87, 91, 94, 95,
100, 101, 102, 108, 114, 119, 121, 124, 126, 127, 128, 133, 134, 135, 136,
137, 138, 139, 140, 142, 144, 147, 149, 155, 187, 188, 191, 195, 196,
201, 204, 207, 210, 228, 229, 230, 241, 243, 263
Patih Dwara 5, 44, 53, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 77, 78, 84, 86, 87,
90, 91, 92, 93, 94, 95, 100, 101, 105, 115, 116, 119, 123, 124, 128, 133,
134, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 144, 145, 147, 149, 151, 152, 153,
154, 155, 156, 157, 159, 186, 187, 188, 191, 194, 195, 196, 197, 198,
199, 200, 201, 204, 207, 210, 219, 227, 241, 243, 246, 263
Prabu (Arya) Satyaki 112, 242, 263
Prabu Dipayana 5, 12, 41, 42, 47, 53, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69,
70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
91, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 112,
114, 117, 119, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 135,
136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149,
151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 183, 184, 185,
186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 199, 207,
208, 209, 212, 219, 221, 222, 223, 226, 227, 228, 230, 234, 235, 236,
240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 249, 263
Prabu Kismaka 6, 59, 77, 78, 107, 108, 109, 113, 126, 127, 133, 139, 140, 147,
155, 183, 207, 218, 242, 243, 263
Prabu Niradhakawaca 6, 62, 63, 77, 78, 79, 97, 107, 109, 110, 111, 112, 124,
126, 135, 136, 142, 143, 147, 149, 153, 156, 158, 183, 184, 207, 215,
219, 242, 243, 245, 246, 263
251
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
Prabu Satyaka 59, 63, 64, 108, 126, 133, 139, 140, 147, 155, 183, 218, 243, 263
Prabu Yudayana 5, 13, 30, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 53, 69, 72, 75, 77, 78, 87,
88, 90, 91, 92, 93, 94, 99, 100, 101, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 121,
123, 128, 129, 132, 139, 147, 157, 158, 159, 188, 189, 191, 192, 194,
195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 208, 209, 210, 211, 212,
214, 221, 222, 223, 224, 225, 230, 232, 233, 234, 235, 236, 239, 241,
243, 244, 246, 247, 248, 249, 263
Purwacarita 23, 24, 25, 40, 67, 75, 129, 138, 145, 185, 226, 228, 245, 263
R
Raden Arjuna 28, 123, 124, 127, 224, 243, 244, 263
Raden (Arya) Abimanyu 243, 263
Raden Prawasata 65, 66, 77, 98, 99, 100, 102, 114, 115, 125, 137, 138, 144,
145, 147, 184, 228, 241, 243, 263
Raden Ramaprawa 6, 63, 65, 66, 77, 98, 99, 100, 102, 114, 115, 125, 137, 138,
144, 145, 147, 155, 184, 230, 241, 243, 264
Raden Warabasata 6, 65, 66, 77, 98, 99, 100, 102, 114, 115, 125, 137, 138, 144,
145, 147, 184, 230, 241, 243, 264
Resi Gurundaya 62, 63, 68, 69, 77, 95, 99, 103, 104, 106, 107, 112, 125, 126,
135, 136, 138, 139, 143, 146, 148, 149, 153, 158, 185, 187, 194, 207,
223, 230, 245, 246, 247, 249, 264
Resi Sidhikara 64, 66, 77, 86, 88, 89, 90, 99, 100, 114, 115, 116, 119, 120, 121,
122, 127, 128, 136, 137, 144, 145, 148, 150, 152, 154, 156, 184, 185,
195, 207, 227, 232, 244, 245, 246, 264
S
Sang Hyang Girinata 43, 45, 60, 61, 63, 73, 77, 80, 83, 134, 136, 140, 142, 143,
147, 149, 153, 156, 157, 159, 246, 264
Sang Hyang Sambo 60, 71, 72, 73, 77, 82, 134, 141, 148, 160, 161, 183, 207,
240, 246, 264
Sang Ugraҫrawā 8, 9, 264
Sarpayajña 6, 162, 181, 195, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 247, 248, 264
T
Takṣaka 6, 8, 9, 42, 117, 118, 128, 129, 162, 165, 166, 167, 168, 169, 171, 172,
175, 176, 179, 180, 181, 182, 183, 207, 208, 209, 211, 213, 214, 215, 242,
244, 246, 247, 264
Taksaka Raja 6, 42, 69, 74, 77, 78, 86, 87, 90, 117, 118, 123, 128, 129, 133,
139, 146, 190, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 202, 207, 208, 209, 210, 211,
212, 214, 242, 244, 247, 264
Taksakasila 117, 128, 146, 196, 197, 198, 199, 203, 210, 211, 245, 248, 264
Tarajutiksna 59, 107, 113, 126, 127, 133, 139, 140, 155, 183, 218, 245, 246, 264
252
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi
U
Uttangka 6, 162, 170, 171, 172, 179, 209, 247, 264
W
Wiratha 24, 25, 27, 102, 103, 129, 229, 245, 264
253
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –
254
Penerbit
PERPUSNAS PRESS
Jl. Salemba Raya No. 28A Jakarta
hp://press.perpusnas.go.id