Anda di halaman 1dari 264

Kajian

Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana


Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita Di Abad XIX:
Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Anung Tedjowirawan

Perpusnas Press

2020
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia


Data Katalog dalam Terbitan (KDT)

Sĕrat Pustakaraja Purwa:


Sĕrat Darmasarana Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita di Abad XIX:
Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi (Kajian)
Oleh: Anung Tedjowirawan-Jakarta: Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, 2019
262 hlm. ; 16x23 cm,--(Seri Naskah Kuno Nusantara)
1. Manuskrip. I. Anung Tedjowirawan. II Perpustakaan
Nasional. III. Seri
E-ISBN : 978-623-7871-17-0 (pdf)

Editor Isi & Bahasa


Tim Editor

Perancang Sampul
Citrani Eka Lamda Nur

Tata Letak Buku


Yanri Roslana

Diterbitkan oleh
Perpusnas Press, anggota Ikapi
Jl. Salemba Raya 28 A, Jakarta 10430
Telp: (021) 3922749 eks.429
Fax: 021-3103554
Email: press@perpusnas.go.id
Website: http://press.perpusnas.go.id
perpusnas.press
perpusnas.press
@perpusnas_press

ii
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Sambutan

UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, mendefinisikan naskah


kuno sebagai dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan
cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting
bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan. Dibanding benda cagar
budaya lainnya, naskah kuno memang lebih rentan rusak, baik akibat kelembaban
udara dan air (high humidity and water), dirusak binatang pengerat (harmful
insects, rats, and rodents), ketidakpedulian, bencana alam, kebakaran, pencurian,
maupun karena diperjual-belikan oleh khalayak umum.
Naskah kuno mengandung berbagai informasi penting yang harus
diungkap dan disampaikan kepada masyarakat. Tetapi, naskah kuno yang ada
di Nusantara biasanya ditulis dalam aksara non-Latin dan bahasa daerah atau
bahasa Asing (Arab, Cina, Sanskerta, Belanda, Inggris, Portugis, Prancis). Hal
ini menjadi kesulitan tersendiri dalam memahami naskah. Salah satu cara untuk
mengungkap dan menyampaikan informasi yang terkandung di dalam naskah
kepada masyarakat adalah melalui penelitian filologi. Saat ini penelitian naskah
kuno masih sangat minim.
Sejalan dengan rencana strategis Perpustakaan Nasional untuk
menjalankan fungsinya sebagai perpustakaan pusat penelitian juga pusat
pelestarian pernaskahan Nusantara, maka kegiatan alih-aksara, alih-bahasa,
saduran dan kajian naskah kuno berbasis kompetisi perlu dilakukan sebagai upaya
akselerasi percepatan penelitian naskah kuno yang berkualitas, memenuhi standar
penelitian filologis, serta mudah diakses oleh masyarakat. Dengan demikian,
Perpustakaan Nasional menjadi lembaga yang berkontribusi besar terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia, khususnya di bidang pernaskahan.
Kegiatan ini wajib dilaksanakan Perpustakaan Nasional, karena
merupakan amanat Undang-Undang No.43 tahun 2007 Pasal 7 ayat 1 butir d
yang mewajibkan Pemerintah untuk menjamin ketersediaan keragaman koleksi
perpustakaan melalui terjemahan (translasi), alih aksara (transliterasi), alih suara
ke tulisan (transkripsi), dan alih media (transmedia), juga Pasal 7 ayat 1 butir

iii
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

f yang berbunyi “Pemerintah berkewajiban meningkatan kualitas dan kuantitas


koleksi perpustakaan”.
Sejak tahun 2015, seiring dengan peningkatan target dalam indikator
kinerja di Perpustakaan Nasional, kegiatan alih- aksara, terjemahan, saduran
dan kajian terus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Pada
tahun 2019, Perpustakaan Nasional menargetkan 150 judul penerbitan bagi
hasil-hasil karya tulis tersebut. Untuk meningkatkan kuantitas sekaligus kualitas
hasil penelitian filologis, maka kegiatan Alih Aksara, Alih Bahasa, Saduran, dan
Kajiam Naskah Kuno Nusantara Berbasis Kompetisi ini dilakukan.
Kegiatan ini dapat terlaksana berkat kontribusi karya para filolog dan
sastrawan. Oleh karena itu, Perpustakaan Nasional mengucapkan terima kasih
sebanyak-banyaknya kepada para filolog dan sastrawan yang telah mengirimkan
karya-karya terbaiknya. Secara khusus, Perpustakaan Nasional juga mengucapkan
terima kasih kepada Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) yang sejak
awal terlibat dalam proses panjang seleksi naskah, penyuntingan, proofreading,
sampai buku ini dapat terbit dan dibaca oleh masyarakat.
Besar harapan kami semoga fasilitasi terhadap karya tulis Alih Aksara,
Alih Bahasa, Saduran, dan Kajian Naskah Nusantara Berbasis Kompetisi ini
dapat meningkatkan kualitas penerbitan dan mendapatkan apresiasi positif dari
masyarakat, serta bermanfaat dalam upaya menggali kearifan lokal budaya
Indonesia.

Jakarta, 2019

Ttd

Deputi Bidang Pengembangan


Bahan Pustaka dan Jasa Informasi

iv
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
selesainya penyusunan buku ini. Buku ini merupakan revisi dari tesis penulis
sebagai salah satu syarat guna memperoleh derajat Master of Art dalam Ilmu
Sastra di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Adapun
tesis penulis tersebut berjudul Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana
karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-
Genealogi.
Buku ini dapat penulis selesaikan berkat bantuan dari berbagai pihak.
Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Pratikno, M.Soc.Sc., Rektor Universitas Gadjah Mada di Tahun
2013.
2. Prof. Dr. Iwan Dwiprahasto, M.Med.Sc., Ph.D., Wakil Rektor Bidang
Akademik Universitas Gadjah Mada di Tahun 2013.
3. Dr. Ida Rochani Adi, S.U. Dekan dan Dr. Amir Ma'ruf, M.Hum. Wakil Dekan
I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta di Tahun 2012.
4. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, MA., Dekan dan Dr. Wening Udasmoro,
M.Hum., DEA., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada Yogyakarta di Tahun 2013 - 2016.
5. Prof. Dr. Faruk, S.U., Pengelola S2 Sastra Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
6. Prof. Dr. Marsono, S.U. selaku Dosen Pembimbing Tesis.
7. Seluruh keluarga, Asri Larasati (istri), Dhananjaya Sajjana Adhiwijña dan
Adhana Kusuma Anindyajati (anak-anak) yang telah memberikan perhatian
sepenuhnya kepada penulis dalam menyusun draf buku ini.
Atas segala budi baik di atas, semoga Tuhan Yang Maha Pemurah
melimpahkan karunia-Nya.
Penulis sangat berharap untuk dapat menerbitkan buku yang bersumber
dari tesis ini, namun tidaklah mudah bagi para penerbit untuk bisa menerima
karya ilmiah murni, tanpa mempertimbangan dari segi bisnis. Oleh sebab itu
perlu ada Lembaga-Lembaga Pemerintah maupun Swasta yang nonprofit yang
bersedia menerbitkan karya-karya berkualitas dari para peneliti ilmiah murni
tersebut. Kehadiran dan kesediaan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

v
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) untuk


menerbitkan buku ini telah berperan sangat penting dalam rangka mencerdaskan
anak bangsa Indonesia. Sudah sepatutnya saya memberikan apresiasi yang tinggi
dan mengucapkan terima kasih banyak kepada kedua lembaga ini.
Penulis berharap buku ini dapat disumbangkan pada pengembangan
Sastra Jawa khususnya dan kebudayaan Indonesia pada umumnya.

Penulis

Anung Tedjowirawan

vi
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Daftar Isi

Sambutan.......................................................................................................iii
Kata Pengantar .............................................................................................v
Daftar Isi ......................................................................................................vi

BAB I Pendahuluan.....................................................................................1
A. Latar Belakang dan Masalah..................................................................1
B. Tujuan Penelitian....................................................................................9
C. Landasan Teori.......................................................................................9
D. Metode Penelitian1.................................................................................11

BAB II Tinjauan Umum Dalam Sěrat Pustakaraja


Karya R. Ng. Ranggawarsita Abad XIX.........................................14
A. Pengertian Pustakaraja dan Konstruksi Teksnya......................................14
B. Pengertian Wayang Madya, Relasi dan Konstruksi Teksnya..................30
C. Lakon-lakon dalam Pertunjukan Wayang Madya...................................33
D. Persamaan Beberapa Tokoh dalam Teks-teks Wayang
Madya dengan Raja-raja Jawa................................................................34
E. Mitologi Pengging Dibalik Penamaan Pujangga-Pujangga
Imajinasi ................................................................................................39

BAB III Deskripsi Dan Sinopsis Sěrat Darmasarana


Koleksi Perpustakaan Radya Pustaka
Surakarta Nomor 152 A dan Nomor 94 (808.543)........................43
A. Deskripsi Naskah Sěrat Darmasarana Nomor 152 A dan
Nomor 94 (808.543)...............................................................................43
B. Penulis dan Saat Penulisan Sěrat Darmasarana....................................47
C. Sinopsis Sěrat Darmasarana Koleksi Perpustakaan Radya
Pustaka Surakarta Nomor 152 A dan Nomor 94 (808.543)....................52

BAB IV Struktur Sěrat Darmasarana.........................................................62


A. Judul ......................................................................................................62
B. Tema ......................................................................................................64
C. Penokohan dan Perwatakan....................................................................68
D. Hubungan Antartokoh............................................................................113
E. Plot .........................................................................................................119
F. Lokasi Kejadian/ Latar (Setting)............................................................129
G. Titik Pandang (Point of View)................................................................136
H. Motif ......................................................................................................138

vii
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

BAB V Sěrat Darmasarana Sebagai Resepsi Ādiparwa,


Mosalaparwa Dan Prasthānikaparwa............................................150
A. Kutuk Kadrū kepada Para Naga Anaknya..............................................150
B. Mahārāja Parīkṣit Digigit Naga Takṣaka................................................152
C. Pertentangan Takṣaka dan Uttangka.......................................................158
D. Lahirnya Āstīka, Pembebas Kepunahan Para Naga...............................160
E. Prosesi Sarpayajña Mahārāja Janamejaya.............................................167
F. Mangkatnya Prabu Parikesit (Darmasarana) dalam
Sěrat Darmasarana................................................................................171
G. Sarpayajña dalam Sěrat Yudayana.........................................................183
H. Perbandingan Mangkatnya Maharaja Parīkṣit dalam
Ādiparwa dengan Prabu Parikesit dalam
Sěrat Darmasarana................................................................................193
I. Perbandingan Sarpayajña dalam Ādiparwa dengan
Sěrat Yudayana.......................................................................................196
J. Sěrat Darmasarana sebagai resepsi Ādiparwa, Mosalaparwa
dan Prasthānikaparwa...........................................................................200

BAB VI Genealogi dalam Sĕrat Darmasarana............................................208


A. Genealogi sebagai Legitimasi Kekuasaan..............................................208
B. Genealogi (Silsilah) Nenek Moyang Raja-raja Mataram
Susunan Brandes....................................................................................209
C. Genealogi dalam Sěrat Darmasarana....................................................210
D. Persesuaian Sěrat Pranitiradya dengan Ramalan Jayabaya...................220
E. Mitisisasi dan Historisasi dalam Tradisi Historiografi Jawa..................222

BAB VII Ringkasan dan Kesimpulan...........................................................225

Daftar Pustaka...............................................................................................239

Indeks............................................................................................................249

viii
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Bab I
Pendahuluan

A. Latar Belakang dan Masalah


Di dalam kesastraan dunia, Mahābhārata adalah karya Kṛṣṇa Dvaīpayana
Vyāsa dari India yang diwariskan untuk seluruh umat manusia. Mahabharata,
dalam mitologinya dicipta melalui proses pertumbuhan yang panjang, yaitu
selama 800 tahun, dari tahun 400 tahun sebelum Masehi hingga 400 tahun sesudah
Masehi. Seperti halnya Ramayana, maka Mahabharata termasuk Ithihasa, yaitu
kitab suci Veda yang kelima, melengkapi kitab suci Catur Veda Samhita, yaitu:
Rg-Veda, Samaveda, Yayurveda, dan Atharwaveda (Padmapuspita, 1979: 1-2).
Mahābhārata digubah ke dalam suatu kitab oleh Bhagawān Byāsa (Vyāsa)
pada waktu wafatnya Sang Dhṛṣtārāstra, Wīdura dan Sañjaya di pertapaan (ya
tika īnīkět ring ҫāstra de Bhagawān Byāsa. Kāla nīrān gumawayakěn parwa,
ri pāti Sang Dhṛṣtārāstra, Wīdura, Sañjaya ring patapan). Kitab tersebut
dinamakan Mahābhārata karena berisikan peperangan antara Korawa melawan
Pāṇḍawa dan penyusunannya dalam waktu 3 (tiga) tahun (ngaran īkang ҫāstra,
Mahābhārata upākyāna ngaran īkā, ikang aji, pinaka padārtha paprang sang
Korawa Pāṇḍawa, lawas nira magawe ҫāstra tělung tahun) (Juynboll, 1906: 4-6;
Siman Widyatmanto, 1968: 6).
Mahābhārata disebut juga Aṣṭhadasaparwa karena di dalamnya
memuat delapan belas (18) parwa yang meliputi: 1. Ādiparwa, 2. Sabhāparwa,
3. Āraṇyakaparwa (Wanaparwa), 4. Wirāṭaparwa, 5. Udyogaparwa, 6.
Bhīsmaparwa, 7. Droṇaparwa, 8. Karṇaparwa, 9. Ҫalyaparwa, 10. Gadāparwa, 11.
Sauptikaparwa, 12. Strīpralāpaparwa, 13. Ҫāntīkaparwa, 14. Aҫwamedhaparwa,
15. Aҫramawāsāparwa, 16. Mosalaparwa, 17. Prasthānīkaparwa dan 18.
Swargārohaṇaparwa (Juynboll, 1906: 4; Siman Widyatmanto, 1968: 6-7). Namun
ke 18 (delapan belas) parwa tersebut belum semuanya disadur ke dalam bahasa
Jawa Kuna kecuali di antaranya: 1. Ādiparwa, 2. Āraṇyakaparwa (Wanaparwa),
3. Wirāṭaparwa, 4. Udyogaparwa, 5. Bhīsmaparwa, 6. Strīpralāpaparwa, 7.
Ҫāntīkaparwa, 8. Aҫwamedhaparwa, 9. Aҫramawāsāparwa, 10. Mosalaparwa,
11. Prasthānīkaparwa dan 12. Swargārohaṇaparwa.
Teks Mahābhārata dimulai dari cerita Sang Ugraҫrawā ketika
mengunjungi Bhagawān Ҫonaka (Saunaka) yang sedang melangsungkan korban
di hutan Nemiṣa. Sang Ugraҫrawā adalah putra Sang Romaharṣana. Ia sudah
mempelajari dengan sempurna buku-buku Brahmaṇdapurāna dan Aṣṭādaҫaparwa
(Mahābhārata) yang diberikan oleh gurunya yaitu Bhagawān Byāsa. Pada
waktu itu Sang Ugraҫrawā baru saja melihat korban ular (sarpa saṭṭra) yang
dilangsungkan oleh Māhāraja Janamejaya. Akan tetapi urunglah (gagal) korban itu
karena naga Takṣaka yang menggigit orang tuanya (Sang Māhāraja Parīkṣit) tidak

1
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

mati meskipun ular-ular kebanyakan habis masuk ke dalam tungku pengorbanan.


Ketika diketahuinya akan ketidaksampurnaan korban itu bersedihlah Māhāraja
Janamejaya, karena itu dituturkan sebuah cerita oleh Bhagawān Waiҫampāyana
untuknya. Sang Bhagawān inilah yang melipur kesedihan Sri Māhāraja. Sang
Ugraҫrawā turut mendengarkan cerita itu, namanya Aṣṭādaҫaparwa, pokok isinya
peperangan Korawa melawan Pāṇḍawa di Kurukṣetra. Itulah yang diceritakan
oleh Bhagawān Waiҫampāyana. Hal ini seperti yang dikemukakan di dalam
Ādiparwa seperti pada kutipan berikut:

Bhujangga mpu umilu manonton yajña sarpa, gawe Māhāraja Janamejaya,


ndātan sīddhakang yajña sarpa, apan tan mātīkang nāga Takṣaka, īkang
sumahut ī wwang atūhanīra, sira Maharaja Parīkṣit, tuhun īkang nāga
sāmanya pějah, tumibā ring kuṇḍa. Ī sěḍangnyikā tan siddhekang yajña,
manastāpa sira Māhāraja Janamejaya, matang yan sira pinacaritākěn de
Bhagawān Waiҫampāyana. Sira ta manglālane prihati nira Ҫrī Maharaja.
Umilu ta bhujangga mpu ruměngö carita nira, ngaran ing carita:
Aṣṭādaҫaparwa, gawe Bhagawān Byāsa, maka padārtha paprang sang
Korawa Pāṇḍawa ring Kurukṣetra maṇḍala, cinaritākěn de Bhagawān
Waiҫampāyana (Juynboll, 1906: 1-2; Widyatmanta, 1968: 2-3).

Mahābhārata di dalam kesastraan Jawa Kuna diyakini pertama kali


ditulis pada masa Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa. Hal
ini kiranya berkaitan dengan pernyataan di dalam Ādiparwa, sebab Ādiparwa
diawali dengan suatu tindak bhakti terhadap Dewa Siwa bersama istrinya, karena
persatuan mereka yang mistis di atas puncak Gunung Kailāҫa, mereka telah
menciptakan kembali segala sesuatu setelah seluruh dunia dihancurkan. Kini
Siwa memakai nama Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa
(Zoetmulder, 1983: 115). Di dalam Ādiparwa dikatakan:

Hana pwa ya mangke wuwusěn, ikang kāla tan hanā ditya candra nakṣatra
bāywākāҫādika, pralaya ri wěkas ning sanghārakalpa, prāpta mwang
sargakāla pratiniyata mijil saprakāranya ngūni, īccā sang hyang tinūtnyān
hana kātěkān ҫabda sanghāradharma, sang hyang Ҫangkara aṭah kāraṇanyān
hana lāwan bhaṭārī dehārdha, kāraṇa nira mapīsan lāwan baṭāra Trinetra
sira, an munggwi ng Kaīlāҫaҫikhara sadṛҫa utungga siddha pratiṣṭa, sākṣāt
maṇḍalam sabhuwana īkā tang parhyangan sthāna sang hyang.

Sang hyang Ҫṛī Deweҫwara sira ta Ṣaḍgaṇa mwang bhaṭārī karěngwan ing
pūrwaka ning kathā, pūrwastatra ri sīrān pangājña Ҫrī Dharmawangҫa
Těguh Anantawīkramattunggadewa, prabhu pinakagawayakěn prākṛṭa
parwa, tan sangkeng wruh mangartha sarasa ning ҫloka padartha.
(Juynboll, 1906: 1-2; Widyatmanta, 1968: 1-2).

2
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Kini ada yang diceritakan, ketika tiada matahari, bulan, bintang, angin
(karena) langit pun belum juga terbentang, lengkapkan jaman kekosongan
itu, tibalah jaman penciptaan, ditakdirkan berbagai macam makhluk
menjelma, senanglah dewa karena diturut, terlaksana segala sabdanya.
Sang Hyang Ҫangkara (Ҫiwa) bersama-sama dengan Bathari (Parwati)
menciptakan segala sesuatu. Pada mulanya Bathara Trinetra (Ҫiwa) berdua
dengan Bathari, bertempat di puncak Gunung Kaīlāҫa, seakan-akan mereka
terbaik, tersempurna, sungguh-sungguh menguasai dunia, menjadilah
tempat itu suci sebagai istana dewa.

Sang Hyang Ҫṛī Deweҫwara, yaitu Bathara Ṣaḍgaṇa (Ҫiwa) dengan Bathari
tersebut dalam permulaan cerita, sebagai kidung pujaan pertama terhadapnya,
atas perintah Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa, yaitu
seorang raja yang kepadanya dipersembahkan parwa umum (sederhana),
tidak karena mampunya memberi arti segala isi ҫloka dan pokok ceritanya.
(Widyatmanta, 1968: 1-2)

Mahābhārata yang isinya menceritakan kisah Pāṇḍawa dan Korawa


tersebut di tanah Jawa dijadikan lakon Wayang Purwa dengan banyak perubahan
serta tambahannya (Poerbatjaraka dan Hadidjaja, 1957: x). Namun di dalam
kesastraan Jawa Kuna dan Jawa Pertengahan kisah kelanjutan Mahābhārata
tersebut tidak begitu banyak, kecuali di dalam Korawaçrama (Swelengrebel,
1936), Kakawin Udayana (Kriswanto dan Komari, 2008: 2-3) maupun Kidung
Sri Tanjung (Prijono, 1938).
Dalam kesastraan Jawa Baru terutama oleh pujangga R.Ng.
Ranggawarsita, cerita dalam Mahābhārata Jawa Kuna yang digubah pada masa
pemerintahan Ҫrī Dharmawangҫa Těguh Anantawīkramattunggadewa tersebut
disadur kembali dengan berbagai adaptasi dan inovasi seperti yang tampak dalam
Kitáb Pustakaraja Purwa. Kitáb Pustakaraja Purwa, seringkali dikatakan sebagai
suatu penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita
Mahābhārata versi Indonesia) (Mulyono, 1989: 202).
Sěrat Pustakaraja Purwa telah diterbitkan beberapa kali dengan huruf
Jawa dalam 9 jilid oleh H. Bunning, Yogyakarta (cetakan I tahun 1884, cetakan IV
tahun 1939). Di Surakarta pernah terbit kitab berjudul Sěrat Pustakaraja dalam
8 jilid (tahun 1904–1908), tetapi isinya Sěrat Pustakaraja Madya (Uhlenbeck,
1964: 164; Wiryamartana, 1980: 1). Apabila seluruh rencana Sěrat Pustakaraja
seperti yang termuat dalam ’’Běbuka’’ telah selesai seluruhnya ditulis oleh R. Ng.
Ranggawarsita, maka baru sebagian saja dari Sěrat Pustakaraja itu diterbitkan.
Ringkasan isi dari 5 jilid Sěrat Pustakaraja (Yogyakarta, tahun 1884-1892) telah
dibuat oleh Poerwasoewignya dan Wirawangsa (tahun 1920). Di perpustakaan
Universitas Leiden Belanda terdapat ringkasan isi dari 9 jilid Sěrat Pustakaraja
Purwa (LOr 6485) yang dibuat oleh Suradipura untuk Dr. Hazeu (Pigeaud, 1968:

3
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

382-383; Wiryamartana, 1980: 2). Pada tahun 1978 Sri Mulyono menyajikan
ringkasan ’’Běbuka’’, tetapi terdapat kekeliruan-kekeliruan di dalamnya, terutama
mengenai penamaan kitab-kitab (sěrat-sěrat) yang merupakan bagian dari Sěrat
Pustakaraja Purwa di atas.
Sěrat Pustakaraja seperti dikemukakan di atas mencakup baik Sěrat
Pustakaraja Purwa maupun Sěrat Pustakaraja Puwara, atau meliputi Sěrat
Pustakaraja Purwa, Sěrat Pustakaraja Madya, Sěrat Pustakaraja Antara, dan
Sěrat Pustakaraja Wasana. Teks-teks (sěrat-sěrat) yang besar itu ternyata sangat
berlimpah, seperti termuat dalam katalogus susunan Nancy K. Florida Vol. I, II, III
dan IV (1981, 2012), Nikolaus Girardet (1983), dan T.E. Behrend Jilid IV (1989).
Penelitian atas Sěrat Pustakaraja memang pernah dilakukan di antaranya
oleh Berg (1938, 1974); Poerbatjaraka (1957); Pigeaud Vol. I (1967); Sri
Mulyono (1975, 1989); dan Kuntara Wiryamartana (1980). Meskipun demikian
penelitian terhadap Sěrat Pustakaraja beserta teks-teks bagian darinya boleh
dikatakan masih sangat sedikit. Hal itu juga diakui sendiri oleh Berg bahwa pihak
Barat belum memberikan banyak perhatian terhadap Sěrat Pustakaraja tersebut.
Mengingat hal itu, maka penelitian terhadap Sěrat Pustakaraja dan sěrat-sěrat
yang menjadi bagian darinya perlu dilakukan.
Dalam penelitian ini bahan utamanya adalah Sěrat Darmasarana koleksi
Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta Nomor 152 A dan Sěrat Darmasarana II
Nomor 94 (808.543). Pemilihan Sěrat Darmasarana ini didasarkan pada keinginan
untuk mengetahui bagaimana struktur, resepsi, tanggapan, sambutan pujangga istana
Surakarta, yaitu R. Ng. Ranggawarsita dalam mengemukakan tokoh Darmasarana
(Parīkṣit) yang hanya secara singkat diuraikan dalam Ādiparwa (Zoetmulder, 1958:
92-97; Juynboll, 1906: 48-53), Bhāratayuddha (Sutjipto Wirjosuparto, 1968: 355-
356), maupun Prasthānikaparwa (Ketut Nila, 1979: 27; Zoetmulder, 1995: 157).
Di samping itu juga ingin diketahui bagaimana cara R. Ng. Ranggawarsita di dalam
merangkai genealogis dalam rangka penciptaan Sěrat Darmasarana di atas.
Dalam kesastraan Jawa Kuna, Parikesit (Parīkṣit) adalah putra Raden
Abimanyu (Abhimanyu) dengan Dewi Utari (Uttarī), putri dari Wirata (Wirāṭa),
cucu Arjuna. Sebenarnya, Parikesit telah tewas oleh panah Brahmaśeirah
milik Aswatama (Aśwatthāmā) sewaktu masih dalam kandungan Utari, tetapi
karena Kresna (Kṛṣṇa) mencintainya ia dihidupkan kembali dan diramal akan
menurunkan keluarga Pandawa (Zoetmulder, 1983: 332; Sutjipto Wirjosuparto,
1968: 355). Sebelum para Pandawa (Pāṇdawa) mengundurkan diri meninggalkan
Ngastina (Hāstina) dalam persiapannya kembali ke surga, Parikesit ditunjuk dan
dinobatkan menjadi raja Ngastina menggantikan Maharaja Yudhistira (Yudhiṣṭhira)
(Zoetmulder, 1995: 157; Ketut Nila, 1979: 27). Uraian tentang penokohan Parikesit
yang sangat singkat dalam naratif kesastraan Jawa Kuna itu ternyata sangat berbeda
apabila dibandingkan dengan pemunculan tokoh tersebut di dalam kesastraan Jawa
Baru (Klasik), baik dalam hal variasi penamaannya maupun struktur naratifnya.
Dalam kesastraan Jawa Baru, Prabu Parikesit memiliki gelar lain, yaitu

4
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Prabu Dipayana, Prabu Yudhiswara, Prabu Mahabrata, dan Prabu Darmasarana. Di


samping itu di dalam kesastraan Jawa Baru (Klasik), naratif yang mengemukakan
tokoh Parikesit selain terdapat dalam Sĕrat Darmasarana, juga muncul di dalam
karya sastra lainnya, misalnya Sĕrat Pustakaraja Madya Jilid I Nomor 138 Na,
Sĕrat Pustakaraja Madya Jilid II Nomor 168 Na, Sĕrat Pustakaraja Madya Jili1d
III Nomor 170 Na, Sĕrat Karimataya I Nomor 151 Na, Sĕrat Pustakaraja Madya
Kasĕkarakĕn (Sĕrat Karimataya II) Nomor 151 Na-B, dan Sĕrat Pustakaraja
Madya (Sĕrat Karimataya III) Nomor 151 Na-C. Naskah-naskah tersebut
tersimpan di Perpustakaan Sanapustaka, Kasunanan Surakarta (Nancy Vol. 1, 1981:
261-296). Naskah-naskah yang tersimpan di Perpustakaan Reksapustaka, Pura
Mangkunegaran, Surakarta antara lain: Sĕrat Pustakaraja Madya: Wirabartana
Nomor D 130, Sĕrat Pustakaraja Wédha (Pustakaraja Parikĕsit) Nomor D 106,
Sĕrat Karimataya Nomor D 24 (Nancy Vol. II, 1981: 121-130), Sĕrat Parikĕsit
Grogol Nomor D 103 dan Sĕrat Pustakaraja Parikĕsit Nomor D 108 (Nancy
Vol. III, 1981: 493-495). Adapun yang tersimpan di Perpustakaan Radya Pustaka
Surakarta antara lain: Sĕrat Pustakaraja Madya (No. XV) Nomor 202 N, Sérat
Pustakaraja Puwara (Sĕrat Danèswara II) Nomor 154 B, dan Sĕrat Pustakaraja
Puwara nomor 206 (Nancy Vol. IV, 1981: 159-169). Selain itu, di Perpustakaan
Museum Sanabudaya Yogyakarta juga tersimpan naskah Prabu Parikĕsit Nomor
PB A 55 (Behrend Jilid IV B, 1989: 268).
Pemilihan Sĕrat Darmasarana koleksi Perpustakaan Radya Pustaka
Surakarta nomor 152 A sebagai bahan utama analisis juga berdasarkan atas
pertimbangan, bahwa Sĕrat Darmasarana di atas dapat dikatakan relatif
lengkap, jelas penurunnya, dan cukup tua usianya. Selain itu Sĕrat Darmasarana
tersebut sesuai dengan konstruksi teks-teks (sĕrat- sĕrat) yang termasuk dalam
Sĕrat Pustakaraja Purwa, khususnya pada bagian Sĕrat Mahadarma (R. Ng.
Ranggawarsita, 1939; Sri Mulyono, 1989: 195-197). Dalam hubungannya
dengan Sĕrat Darmasarana, teks-teks Pustakaraja Purwa dan Pustakaraja
Puwara (sumber Wayang Madya) yang dipilih adalah Sĕrat Yudayana atau Sĕrat
Pustakaraja Puwara: Sĕrat Yudayana bernomor 153, Sĕrat Budhayana (Sĕrat
Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana) nomor 154 B, Sĕrat Sariwahana (Sĕrat
Pustakaraja Puwara: Sĕrat Sariwahana) nomor 154 G, dan Sĕrat Purusangkara
(Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Purusangkara) nomor 155. Naskah-naskah di
atas adalah koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta (Nancy Vol. IV, 1981:
162-165). Adapun Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat Witaradya yang dipilih sebagai
penguat analisis adalah Sĕrat Ajipamasa terbitan Albert Rusche, Surakarta (1896)
dan Sĕrat Witaradya terbitan Albert Rusche, Surakarta (1908) dan Departemen P
& K, Jakarta (1979). Meskipun demikian Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat Witaradya
yang berupa naskah pun tidak diabaikan.
Sebenarnya selain naskah-naskah di atas, masih ada beberapa versi
naskah yang tersimpan di beberapa perpustakaan. Misalnya Sĕrat Yudayana
(Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Yudayana) koleksi Perpustakaan Radya Pustaka

5
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Surakarta nomor 153 (Nancy Vol. IV, 1981: 162) memiliki versi antara lain Sĕrat
Purwa, Angka 12, Sĕrat Yudayana (Pustakaraja Madya) nomor D 102 d, Sĕrat
Pustakaraja Purwa, Angka 12, Sĕrat Yudayana (Pustakaraja Madya) nomor D 124,
dan Prabu Yudayana (Pustakaraja Puwara) nomor D 98. Naskah-naskah tersebut
koleksi Perpustakaan Reksapustaka Pura Mangkunegaran Surakarta (Nancy Vol. II,
1981: 11-126). Selain Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana nomor 154
B (Nancy Vol. IV, 1981: 163) masih ada versi lain di antaranya: Sĕrat Pustakaraja
Puwara: Sĕrat Budhayana I nomor 154 A, Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat
Budhayana II nomor 154 C, Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana III nomor
154 D, Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana IV nomor 154 E, dan Sĕrat
Pustakaraja Puwara: Sĕrat Budhayana V nomor 154 F. Naskah-naskah tersebut
pun koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta (Nancy Vol. IV, 1981: 180-184).
Versi Sĕrat Sariwahana (Sĕrat Pustakaraja Puwara: Sĕrat Sariwahana) nomor
154 G (Nancy Vol. IV, 1981: 164) adalah Sĕrat Pustakaraja Madya, Sariwahana
nomor D 129 koleksi Perpustakaan Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta
(Nancy Vol. II, 1981: 14) dan Sĕrat Pustakaraja Madya Sariwahana (Dalěman:
Sĕrat Pustakaraja, Jilid IV, (--) nyariyosakěn Prabu Sariwahana aněngkarakěn
para rayi (---) nomor D 211, juga dalam koleksi perpustakaan yang sama (Nancy
Vol. III, 1981: 497). Adapun versi Sĕrat Purusangkara (Sĕrat Pustakaraja Puwara:
Sĕrat Purusangkara) nomor 155 koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta
(Nancy Vol. IV, 1981: 165) antara lain: Sĕrat Pustakaraja Madya Jilid VI nomor
139 Na, dan Sĕrat Pustakaraja Madya, Prabu Astradarma nomor 265 Na, dan
Sĕrat Pustakaraja Madya, Prabu Purusangkara nomor M 470/XII. Ketiga naskah
tersebut koleksi Perpustakaan Sanapustaka, Karaton Surakarta (Nancy Vol. I,
1981: 266-281). Selain ketiga naskah di atas, Perpustakaan Reksapustaka Pura
Mangkunegaran Surakarta juga menyimpan Sĕrat Pustakaraja Madya, Kělěmipun
ing Nagari Ywangastina nomor D 128 (Nancy Vol. II, 1981: 15).
Pemilihan Sĕrat Yudayana nomor 153, Sĕrat Budhayana nomor 154 B,
Sĕrat Sariwahana nomor 154 G, dan Sĕrat Purusangkara nomor 155 koleksi
Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta, seperti dikemukakan di atas (Nancy Vol.
IV, 1981: 162-195) pun berdasarkan beberapa pertimbangan. Apabila dibandingkan
dengan naskah-naskah versi darinya, maka naskah-naskah di atas relatif lengkap,
jelas penurunannya, cukup tua usianya, serta sesuai dengan teks-teks (sĕrat-
sĕrat) dalam konstruksi Sĕrat Pustakaraja Purwa maupun Sĕrat Pustakaraja
Puwara, khususnya bagian awal (Sĕrat Pustakaraja Madya). Meskipun demikian
untuk menentukan naskah-naskah yang terpilih di atas adalah yang paling tua dan
terpercaya, kiranya masih diperlukan penelitian yang lebih luas dan mendalam.
Mengingat naskah bagian Sĕrat Pustakaraja yang berlimpah tersebut banyak
yang belum diketahui siapa penyalinnya dan kapan waktu penyalinannya.
Dari uraian di atas ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan. Pertama,
seberapa jauh Mahābhārata Sanskerta dan Mahābhārata dalam kesastraan Jawa
Kuna dapat dilacak jejak-jejaknya ke dalam Sěrat Pustakaraja dalam kesastraan

6
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Jawa Baru (renaissance) di Keraton Kasunanan Surakarta. Kedua, bagaimanakah


struktur Sĕrat Darmasarana yang meliputi: judul, tema, penokohan dan
perwatakan, hubungan antar tokoh, plot, lokasi penceritaan (setting), titik pandang
(point of view), dan motifnya. Ketiga, bagaimanakah pujangga pencipta Sĕrat
Darmasarana dalam meresepsi Ādiparwa, Mosalaparwa dan Prasthānikaparwa.
Keempat, bagaimanakah pujangga pencipta Sĕrat Darmasarana dalam merangkai
dan menciptakan genealogi sebagai dasar penciptaan Sĕrat Darmasarana tersebut.
Penelitian terhadap Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana pada
khususnya dan Sěrat Pustakaraja pada umumnya belum banyak dilakukan. Para
peneliti yang pernah melakukan penelitian mengenai Sěrat Pustakaraja antara
lain adalah R. M. Ng. Poerbatjaraka, C. C. Berg, Pigeaud, Sri Mulyono, Kuntara
Wiryamartana, Nancy K. Florida, maupun Manu Jayaatmaja Widyaseputra.
Pandangan para ahli di atas terhadap Sěrat Pustakaraja adakalanya saling
bertentangan. R. M. Ng. Poerbatjaraka misalnya, mengatakan bahwa Sěrat
Pustakaraja sebagian besar hanya berisi ’omong kosong’ dari R. Ng.
Ranggawarsita. Poerbatjaraka juga mengatakan bahwa yang disebut di dalam
kitab Pustakaraja seperti kitab-kitab Maha Parwa, Purwa Pada, Sabaloka, Maha
Déwa, Maha Rěsi dan sebagainya itu sebenarnya tidak ada dan tidak pernah ada
(Poerbatjaraka, 1957: 186). C.C. Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (“Javaansche
Geschiedschrijving”) mengakui bahwa pihak barat belum memberikan perhatian
yang berarti terhadap Pustakaraja. Namun diakui bahwa R.Ng. Ranggawarsita
mempunyai pergaulan dengan ahli-ahli ilmu bahasa dan kebudayaan Jawa
yang berkebangsaan barat. Selanjutnya dalam pernyataannya dikatakan bahwa
R.Ng. Ranggawarsita dalam menulis karyanya menempuh jalan baru dan untuk
memperoleh bahan-bahan ia menggali sumber-sumber baru. Akhirnya dalam
tulisannya tersebut R.Ng. Ranggawarsita (ternyata) mencurahkan amat banyak
perhatian untuk menentukan tarikh dari peristiwa-peristiwa yang dibukukannya,
maka ia selalu memberikan dua tarikh, yang satu menurut tahun Syamsiah dan
yang satu lagi menurut tahun Komariyah. Karena itu bukanlah mustahil bahwa
R.Ng. Ranggawarsita bermaksud untuk menulis sejarah menurut tanggapan
barat dan bahwasanya usahanya tersebut tidak berhasil, hal ini tidaklah penting.
Apabila R.Ng. Ranggawarsita bermaksud mencari nama sebagai ahli sejarah yang
pertama yang beraliran modern, maka kiranya kita harus membedakan karyanya
dengan karya rekan-rekannya yang dahulu.
Lain lagi pernyataan dari Pigeaud yang menempatkan kitab Pustakaraja
sebagai karya monumental (Pigeaud, 1967). Pigeaud dalam Literature of Java
Volume I (1967) menyatakan bahwa kitab-kitab Ranggawarsita mengenai mitologi
dan sejarah kuna yang disebut Pustakaraja sangat mengesankan pembacanya.
Peristiwa-peristiwa dalam mitos dan kisah epik tersebut diberi tarikh secara
kronologis menurut tahun matahari dan tahun rembulan berdasarkan penemuan
Ranggawarsita sendiri. Dengan demikian Pustakaraja memberi kesan terpercaya
secara historis yang sesungguhnya tidak demikian. Lebih jauh Pigeaud menyatakan

7
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

bahwa kronik Ranggawarsita mengenai penciptaan, kosmogoni, mitos dan kisah-


kisah epik mirip dengan karya-karya sastra yang serupa dari bangsa-bangsa lain.
Gagasannya untuk memberi tarikh pada semua cerita yang sepintas lalu nampak
’omong kosong’ harus dipandang sebagai konsekuensi kepercayaannya yang
sungguh Jawa akan tertib yang meliputi segalanya yang juga mesti dinampakkan
dalam mitos dan sejarah kuna (Pigeaud, 1967: 170; Wiryamartana, 1980: 2-3).
Menurut pendapat Sri Mulyono, Sĕrat Pustakaraja, khususnya Sĕrat
Pustakaraja Purwa adalah hasil saduran kembali cerita dalam Mahābharāta
dengan berbagai adaptasi dan inovasi. Sĕrat Pustakaraja Purwa seringkali
dikatakan sebagai suatu penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang
(penulisan cerita Mahābharāta versi Indonesia) (Mulyono, 1989: 202). Sĕrat
Pustakaraja isinya sudah menyimpang dan berbeda jauh dengan Ramāyāna
maupun Mahābharāta. Di samping itu salah satu maksud tujuan disusunnya
Sĕrat Pustakaraja adalah untuk mendidik anak cucu dengan mengajarkan sejarah
kepahlawanan leluhurnya (Mulyono, 1989: 202; Wiryamartana, 1980: 2).
Nancy K. Florida seorang peneliti dari Cornell University, Amerika
Serikat telah mencurahkan pikirannya untuk meneliti Sĕrat Pustakaraja dan teks-
teks yang merupakan bagian darinya seperti yang termuat di dalam katalognya
yang sangat penting berjudul Javanese Language Manuscripts of Surakarta,
Central Java: A Preliminary Descriptive Catalogue Vol. I-IV (1981).
Manu Jayaatmaja Widyaseputra dalam beberapa makalahnya
membicarakan Sěrat Ajipamasa yang merupakan karya yang sangat penting di
antara teks-teks bagian dari Sěrat Pustakaraja. Tulisan-tulisan Manu Jayaatmaja
Widyaseputra yang sangat berharga tersebut diantaranya adalah: 1) Lokasamgraha
dalam Visi Ranggawarsita: Sebuah Kebijakan Lokal tentang Ekologi seperti
digambarkan dalam Sěrat Ajipamasa dan Sěrat Witaradya (2005); 2) Bhāṣa
dan Māyā dari Mamenang: Kusumawicitra dalam Perspektif Historis dan Mitis
Tradisi Pura Mangkunegaran Tahun 1853-1881 (2008); 3) Kusumawicitra:
Arjunanandana di Pura Maŋkuněgaran menurut Sěrat Ajipamasa (2012).
Meskipun penelitian atas Serat Pustakaraja dan bagian-bagian teksnya
sudah dilakukan, namun dapat dikatakan bahwa penelitian terhadap Sěrat
Pustakaraja masih mengalami kekosongan, karena disebabkan sedikitnya para
sarjana sastra Jawa yang menaruh minat pada teks Pustakaraja tersebut. Mengingat
cakupan ilmu pengetahuan di dalam Sěrat Pustakaraja tersebut demikian luas,
maka diharapkan sarjana-sarjana sastra Jawa khususnya merasa terpanggil untuk
turut menggali ilmu pengetahuan yang luas tersebut dan menyebarluaskannya ke
tengah masyarakat.

B. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan pokok masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
tujuan penelitian ini adalah:

8
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

1. Mengungkap dan menjelaskan Mahābhārata Sanskerta, Mahābhārata dalam


kesastraan Jawa Kuna serta melacak jejak-jejak kedua Mahābhārata tersebut
ke dalam Sěrat Pustakaraja dalam kesastraan Jawa Baru (renaissance) di
Keraton Kasunanan Surakarta;
2. Mengungkap dan menjelaskan struktur Sĕrat Darmasarana yang meliputi:
judul, tema, penokohan dan perwatakan, hubungan antar tokoh, plot, lokasi
penceritaan (setting), titik pandang (point of view), dan motifnya;
3. Mengungkap dan menjelaskan bahwa Sĕrat Darmasarana sebagai resepsi
Ādiparwa, Mosalaparwa dan Prasthānikaparwa;
4. Mengungkap dan menjelaskan rangkaian genealogi dalam rangka penciptaan
Sĕrat Darmasarana.

Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang


berarti bagi apresiasi Sastra Daerah, khususnya Jawa yang boleh dikata masih
sedikit. Penelitian ini pun diharapkan dapat memperkenalkan serta memperluas
cakrawala tentang sumber penulisan lakon Wayang Purwa dan Wayang Madya
yang masih tergolong langka.

C. Landasan Teori
Dalam penelitian ini akan digunakan teori strukturalisme, resepsi, dan
genealogi. Pandangan strukturalisme dikemukakan oleh Fokkema, bahwa sebuah
karya sastra bukanlah kumpulan sarana-sarana semata, melainkan merupakan
sebuah keseluruhan yang tersusun rapi dan terbentuk dari faktor-faktor kepentingan
yang bermacam-macam. Sastra adalah sebuah sistem yang bercirikan saling
bergantungan elemen-elemennya. Analisis struktural memandang karya sastra
sebagai keseluruhan yang bulat yang bagian-bagiannya saling berhubungan, dan
saling berhubungan itu menimbulkan makna (Rachmat Djoko Pradopo, 1979: 10;
Asia Padmapuspita, 1980: 6; Umar Yunus 1981: 17). Dengan analisis struktural
unsur-unsur sastra tetap berupa bagian keseluruhan yang bulat, tidak hanya sekedar
berupa framen-fragmen yang terpisah-pisah. Strukturalisme mementingkan
adanya relasi elemen-elemen formal yang memperlihatkan hubungan yang logis
(Ehrmann (ed.), 1970: ix), atau kaitan-kaitan tetap antara kelompok-kelompok
gejala (Luxemburg, dkk., 1984: 36). Pendekatan struktural (obyektif) adalah salah
satu dari empat pendekatan yang dikemukakan Abrams (1976: 3-29), di samping
pendekatan mimetik, ekspresif, dan pragmatik yang dipandang Teeuw mempunyai
empat kelemahan, meskipun demikian tetap merupakan tugas prioritas dalam
penelitian sastra (Teeuw, 1983: 61).
Untuk dapat merebut makna karya sastra secara penuh, maka pendekatan
struktural perlu dipadukan dengan pendekatan semiotik. Pendekatan semiotik
berusaha untuk menganalisis karya sastra sebagai suatu sistem tanda dan
menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra itu
bermakna (Rachmat Djoko Pradopo, 1987: 123). Semiotik adalah ilmu tentang

9
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

tanda (Ehrmann (ed.), 1970: ix). Tanda yang dipelajari semiologi (semiotik) adalah
tanda yang dipahami masyarakat. Tanda itu mencakup tiga macam, yakni: ikon,
indeks, dan simbol (Hawkes, 1978: 128). Semiotik sastra adalah ilmu sastra yang
sungguh-sungguh mencoba menemukan konvensi-konvensi yang memungkinkan
adanya makna, atau berusaha mencari ciri-ciri kode yang memungkinkan
menjadikan komunikasi sastra (Culler, 1981: 37; Teeuw, 1988: 143). Untuk
mengetahui bahwa suatu karya sastra merupakan resepsi atau sambutan dari suatu
karya sastra pendahulunya, maka sebelumnya perlu dilakukan interteks antara
teks yang menjadi hipogramnya dan teks yang menjadi turunannya (sadurannya).
Menurut Teeuw, intertekstualitas pada prinsipnya adalah bahwa setiap teks sastra
dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain. Tidak ada sebuah
teks yang benar-benar mandiri tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh dalam
penciptaannya (Teeuw, 1984: 145). Dalam pengertian ini adanya contoh, teladan
dan kerangka bukan harus diikuti sepenuhnya dalam penciptaan teks baru tanpa
adanya suatu penyimpangan. Sebab penyimpangan dan transformasi dari model
teks yang sudah ada itu memainkan peranan yang penting. Pemberontakan
atau penyimpangan mengandaikan sesuatu yang disimpangi serta pemahaman
atas teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang
mendahuluinya (Teeuw, 1984: 146). Julia Kristeva mengatakan pula bahwa
hakikat intertekstualitas adalah adanya atau kehadiran suatu teks pada suatu teks
lainnya (Umar Junus, 1985: 87). Di sini kehadiran teks diperlukan pula adanya
proses pemahaman dan pemaknaan serta beberapa interpretasi yang dilekatkan
padanya (Umar Junus, 1985: 88). Kehadiran suatu teks dalam suatu teks lain
sedikit banyak akan memberikan warna tertentu kepada teks itu.
Dalam pandangan Teeuw, teks adalah ’dokumen bahasa’ yang tersedia
untuk dibaca oleh pembaca (Teeuw, 1986: 16). Dalam teori satra khususnya
strukturalisme terdapat pandangan bahwa teks karya sastra adalah sesuatu yang
konstan dan mantap serta mempunyai struktur yang utuh dan bulat (Teeuw, 1988:
250-252; Wiryamartana, 1990: 9). Dalam kenyataan sejarah teks, nampak bahwa
teks manapun juga cenderung berubah dan tidak stabil wujudnya sepanjang masa.
Teks memang memiliki kemantapan tertentu dan perlu dibaca serta ditafsirkan
menurut keutuhan strukturnya dan kebulatan makna intrinsiknya. Namun
demikian berkat sifat dan potensinya teks juga terbuka untuk perubahan berkat
pembacaan dan penafsiran dari pihak pembaca. Dalam rangka resepsi atau
sambutan pembaca maka perubahan teks itu dapat dilihat dalam berbagai bentuk,
khususnya dalam penyalinan, penyaduran dan penerjemahan (Teeuw, 1988:
214; Wiryamartana, 1990: 9-10). Dalam transformasi teks dapatlah dikenali
tanggapan penciptanya atas teks yang dibacanya terdahulu. Jadi dalam penelitian
yang berpusat pada teks ini, pembaca bukanlah pembaca aktual, seperti dalam
resepsi yang bersifat eksperimental, melainkan pembaca yang ada dibalik teks
yang diciptakannya (Teeuw, 1988: 208-210; Wiryamartana, 1990: 10). Dalam
penelitian yang terarah pada resepsi sastra, maka penyalinan, penyaduran dapat

10
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

dipandang sebagai pembaca kreatif yang berkat tanggapannya sekaligus menjadi


pencipta teks. Disitulah terjadinya transformasi teks. Suatu teks dibaca, dipahami,
dan ditafsirkan. Hasil pembacaan, pemahaman dan penafsiran itu diwujudkan
menjadi teks baru, entah sama, entah berlainan bahasa, jenis dan fungsinya
(Teeuw, 1988: 266-274; Wiryamartana, 1990: 10).
Dalam transformasi teks itu dapatlah dikenali tanggapan penciptanya
atas teks yang dibacanya terdahulu. Dengan demikian dalam penelitian yang
berpusat pada teks, pembaca bukanlah pembaca aktual, seperti dalam penelitian
resepsi yang bersifat eksperimental, melainkan pembaca yang ada dibalik teks
yang diciptakannya (Teeuw, 1988: 208-210; Wiryamartana, 1990: 10). Oleh
karena itu tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pengamatan itu terlibatlah peranan
peneliti sebagai pembaca dan penafsir teks. Dalam rangka resepsi sastra peneliti
merupakan mata terakhir dalam rantai sejarah, yang ikut dalam proses penilaian
selaku pembaca (Teeuw, 1988: 200; Wiryamartana, 1990: 10).
Genealogi (genealogy) adalah garis keturunan manusia dalam hubungan
keluarga sedarah. Melacak kedudukan nenek moyang melalui kerangka
genealogis dipandang sangat penting dalam budaya Jawa. Naratif yang berupa
genealogi dapat membantu melegitimasi kekuasaan seorang raja. Jika dipahami
dari sudut kekerabatan, maka genealogi sebenarnya merupakan perwujudan dari
pemujaan nenek moyang, yang mempunyai peran penting dalam tradisi kehidupan
ritual orang Jawa. Dengan pemujaan nenek moyang, maka akan diperoleh
kedamaian hidup dan kesejahteraan darinya, karena nenek moyang memberi
perlindungan kepada keturunannya. Keberadaan nenek moyang melengkapi dan
juga memperlihatkan kekuasaan raja, sehingga boleh dikatakan bahwa nenek
moyang menjadi pasangan raja. Pasangan raja dan nenek moyang sebenarnya
menunjukkan keadaan yang tersembunyi dari terpusatnya kekuasaan. Pandangan
yang ideal tentang kekuatan sebagai potensi, memandang bahwa pemusatan yang
dimanifestasikan dalam hirarki individu-individu yang disatukan secara sengaja
memperlihatkan kepatuhannya pada raja yang menjadi pelindung (Keeler dalam
Widyaseputra, 2001: 49-50).

D. Metode Penelitian
Medode adalah suatu jalan peneliti untuk membuktikan dugaan seorang
peneliti atas asumsi-asumsi yang timbul dalam pikirannya selama peneliti
mengadakan suatu penelitian. Dalam penelitian ini metode penelitian yang
digunakan adalah: 1) Metode kepustakaan; 2) Pengumpulan data (bahan-bahan)
penelitian; 3) Menentukan metode analisis yaitu analisis struktural, resepsi dan
genealogi. Adapun ketiga metode penelitian tersebut dapat diuraikan sebagai
berikut:
1. Metode kepustakaan
Metode kepustakaan digunakan untuk mencari dan menentukan bahan-
bahan penelitian. Dalam hal ini pemanfaatan berbagai katalog diperlukan,

11
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

baik katalog susunan Nancy K. Florida (1981), Nikolaus Girarded (1983),


Behrend (1989) untuk menjadi panduan di dalam pencarian bahan-bahan
utama penelitian. Dari petunjuk ketiga katalog di atas, maka pencarian bahan
penelitian dilakukan ke berbagai perpustakaan, di antaranya ke Perpustakaan
Museum Sanabudaya (Yogyakarta), Perpustakaan Pura Pakualaman
(Yogyakarta), Perpustakaan Museum Radya Pustaka (Surakarta), Perpustakaan
Reksapustaka Pura Mangkunegaran (Surakarta).

2. Pengumpulan data (bahan-bahan) penelitian


Bahan-bahan penelitian yang sudah diketahui dimana bahan tersebut
disimpan kemudian difotocopy. Akan tetapi bahan-bahan penelitian yang tidak
dapat difotocopy karena dikhawatirkan akan menjadi rusak maka ditranskripsi.
Bahan penelitian yang sudah ditransripsi tersebut kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, langkah berikutnya adalah diinterpretasikan makna
dari teks-teks tersebut.

3. Menentukan metode analisis yaitu analisis struktural, resepsi dan genealogi


Dalam analisis struktural karya sastra dipandang sebagai keseluruhan
yang bulat, yang bagian-bagiannya saling bergantungan, dan saling berhubungan
itu menimbulkan makna. Analisisnya akan mencerminkan kebulatan karya
sastra. Karya sastra sendiri bukanlah merupakan hasil penambahan atau
pemupukan unsur-unsur, melainkan hasil dari faktor-faktor yang merupakan
unsur-unsur pembentuk struktur karya sastra yang menyusun bahan menjadi
sebuah keseluruhan atau kebulatan. Analisis struktural akan memperlihatkan
bagian sebagai bagian dan memperlihatkan pengertian keseluruhan sebagai
keseluruhan. Pengertian keseluruhan di sini bukannya pengertian keseluruhan
yang tak teranalisis seperti dikemukakan oleh Arief Budiman dan Goenawan
Mohammad, yang mendasarkan diri pada metode Ganzheit (Faruk, 1982: 2),
melainkan pengertian keseluruhan yang teranalisis seperti yang dikatakan oleh
Redfield. Keseluruhan yang teranalisis itu merupakan keseluruhan baru yang
diketemukan dari keseluruhan yang tak teranalisis.
Setelah analisis struktural dilakukan kemudian dilanjutkan dengan
analisis resepsi. Dalam teori resepsi sastra sebuah teks dipandang memiliki
sifat terbuka untuk perubahan berkat pembacaan dan penafsiran dari pihak
pembaca. Dalam rangka resepsi atau sambutan pembaca, maka perubahan teks
itu dapat dilihat dari berbagai bentuk khususnya dalam penyalinan, penyaduran
dan penerjemahan (Teeuw, 1988: 214; Wiryamartana, 1990: 10). Dalam
penelitian yang mengarah pada resepsi sastra maka penyalinan, penyaduran
dapat dipandang sebagai pembaca kreatif yang berkat tanggapannya sekaligus
menjadi pencipta teks. Di situlah terjadinya transformasi teks. Dalam
transformasi teks itu dapatlah dikenali tanggapan penciptanya atas teks yang
dibacanya terdahulu.

12
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Setelah analisis resepsi dilakukan, kemudian diteruskan analisis


genealogi. Hal ini dilakukan karena teks Sěrat Darmasarana banyak
mengandung unsur-unsur silsilah (genealogi). Adapun pengertian genealogi,
seperti telah dikemukakan di atas adalah garis keturunan manusia dalam
hubungan keluarga sedarah. Melacak kedudukan nenek moyang melalui
kerangka genealogis dipandang sangat penting dalam budaya Jawa. Naratif
yang berupa genealogi dapat membantu melegitimasi kekuasaan seorang raja.
Jika dipahami dari sudut kekerabatan, maka genealogi sebenarnya merupakan
perwujudan dari pemujaan nenek moyang, yang mempunyai peran penting
dalam tradisi kehidupan ritual orang Jawa. Dengan pemujaan nenek moyang,
maka akan diperoleh kedamaian hidup dan kesejahteraan darinya, karena
nenek moyang memberi perlindungan kepada keturunannya. Keberadaan
nenek moyang melengkapi dan juga memperlihatkan kekuasaan raja, sehingga
boleh dikatakan bahwa nenek moyang menjadi pasangan raja. Pasangan raja
dan nenek moyang sebenarnya menunjukkan keadaan yang tersembunyi dari
terpusatnya kekuasaan. Pandangan yang ideal tentang kekuatan sebagai potensi,
memandang bahwa pemusatan yang dimanifestasikan dalam hirarki individu-
individu yang disatukan secara sengaja memperlihatkan kepatuhannya pada
raja yang menjadi pelindung (Keeler dalam Widyaseputra, 2001: 49-50).
Dari berbagai metode yang diterapkan, diharapkan makna Sěrat
Darmasarana secara optimal dapat direbut.

13
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Bab II
Tinjauan Umum dalam Sěrat Pustakaraja
Karya R. Ng. Ranggawarsita Abad XIX

Sĕrat Pustakaraja adalah mahakarya pujangga R. Ng. Ranggawarsita


yang menceritakan, mengungkapkan hampir segala sisi kehidupan manusia, baik
religi, mitologi, legenda, simbolisme, hagiografi, mimpi, cinta, karma, perebutan
kekuasaan, ilham, hukum, tata pemerintahan negara, filsafat, adat istiadat, sosial
kemasyarakatan, strategi perang, ajaran pemimpin negara dan abdi negara dan lain
sebagainya. Namun pembicaraan dalam bab ini hanya akan dibatasi mengenai: 1)
Pengertian Pustakaraja dan Konstruksi Teksnya; 2) Pengertian Wayang Madya,
Relasi dan Konstruksi Teksnya; 3) Lakon-lakon dalam Pertunjukan Wayang
Madya; 4) Persamaan Beberapa Tokoh dalam Teks-Teks Wayang Madya dengan
Raja-Raja Jawa; 5) Mitologi Pengging Dibalik Penamaan Pujangga-pujangga
Imajinasi. Adapun kelima subbab di atas dapat dikemukakan sebagai berikut:

A. Pengertian Pustakaraja dan Konstruksi Teksnya


Pujangga besar R. Ng. Ranggawarsita mencipta sekitar 70 buah karya yang
mencakup berbagai bidang, baik filsafat, babad, jangka, primbon, sejarah, silsilah,
pendidikan, ilmu pengetahuan alam, ilmu pengetahuan bahasa, perkamusan,
pedalangan, maupun karawitan. Di antara sejumlah karyanya itu, ada empat
buah karyanya yang terbaik, yakni: Sĕrat Pustakaraja, Sĕrat Ajipamasa, Sĕrat
Witaradya, dan Sĕrat Cĕmporèt (Darusuprapta, 1981).
Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai Sĕrat Pustakaraja sebuah
karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita yang paling terkemuka. Sĕrat Pustakaraja
dapat dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Sĕrat Pustakaraja Purwa yang menceritakan
kejadian masa 800 tahun. Tahun Ҫaka 1-800 (78-88 M). Dalam masa ini
yang diceritakan adalah Wayang Purwa. 2. Sĕrat Pustakaraja Puwara yang
menceritakan kejadian selama 600 tahun, yaitu antara tahun Ҫaka 800-1.400
(878-1478 M). Dalam masa ini yang diceritakan lakon-lakon sesudah Wayang
Purwa sampai dengan Prabu Brawijaya IV di Majapahit.
Adapun yang menceritakan Sĕrat Pustakaraja Purwa ialah Prabu
Sri Bathara Jayabaya, yaitu pada waktu Sang Hyang Narada bersama Bathara
Panyarikan turun ke Mamenang untuk menceritakan semua peristiwa di bumi
Jawa. Adapun pencipta Sĕrat Pustakaraja Puwara adalah Prabu Brawijaya V.
Baik Sĕrat Pustakaraja Purwa maupun Sĕrat Pustakaraja Puwara masih dibagi
ke dalam kelompok besar dan masing-masing kelompok besar tersebut terdiri
atas kitab-kitab yang saling berkelanjutan. Adapun gambaran perincian Sĕrat
Pustakaraja Purwa dan Sĕrat Pustakaraja Puwara dapat dikemukakan sebagai
berikut: 1. Sĕrat Pustakaraja Purwa dapat dibagi menjadi 8 kelompok besar,
yaitu:

14
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

1. Sěrat Mahaparwa
Sěrat Mahaparwa menceritakan kejadian antara tahun Ҫaka
(Suryasangkala) 1-100 atau tahun 1-103 (Candrasangkala), Sěrat Mahaparwa
tersebut dibagi menjadi 2 sěrat (kitab) yaitu:
a. Sěrat Purwapada
Cerita dalam Sěrat Purwapada dimulai dari Empu (Mpu) Sangkala
(Ajisaka) dari tanah Hindu pindah dan menetap di Pulau Jawa. Cerita
selanjutnya adalah mengenai manusia pertama yang mendiami Pulau Jawa
sebagai cikal bakal. Sebelum peristiwa tersebut telah datang pula ke Pulau
Jawa, yaitu Sang Hyang Siwah dan para dewa, mereka melihat sebuah
pulau panjang yang penuh tanaman jawawut. Karena itu pulau tersebut
dinamakan: Jawa. Sěrat Purwapada ditulis oleh Mpu Satya di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 851 atau terhitung tahun Candrasangkala 877.
b. Sěrat Sabaloka
Cerita dalam Sěrat Sabaloka menceritakan tentang cucu-cucu
penghuni Pulau Jawa sampai adanya wabah kematian yang kemudian
sirna oleh kekuasaan para dewa. Sěrat Sabaloka disusun oleh Mpu
Soda di Mamenang pada tahun Suryasangkala 851 atau terhitung tahun
Candrasangkala 877.

2. Sěrat Mahadéwa
Sěrat Mahadéwa menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
101-200 atau tahun Candrasangkala 104-206. Sěrat Mahadéwa dibagi
menjadi 2 sěrat, yaitu:
a. Sěrat Dewa Buddha
Cerita dalam Sěrat Dewa Buddha dimulai dari Sang Hyang Syiwa
menjadi raja pertama di Pulau Jawa di daerah Medhangkamulan dengan
gelar Sri Paduka Maha Raja Dewa Buddha sampai pindah ke Gunung
Mahendra (Lawu), di sana baginda memberikan pengadilan kepada
semua manusia maupun hewan. Sěrat Dewa Buddha ditulis oleh Mpu
Padma di Mamenang pada tahun Suryasangkala 851 atau terhitung tahun
Candrasangkala 877.
b. Sěrat Déwa Raja
Cerita dalam Sěrat Déwa Raja dimulai dari raja-raja putra Sang
Hyang Guru, Brahma, Wisnu dan Indra sampai ’’mukswa’’-nya. Sěrat Déwa
Raja disusun oleh Mpu Sahasra di Mamenang pada tahun Suryasangkala
851 atau terhitung tahun Candrasangkala 877.

3. Sěrat Maharěsi
Sěrat Maharěsi menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala 201-300
atau tahun Candrasangkala 207-309. Sěrat Maharěsi dibagi menjadi 2 sěrat,
yaitu:

15
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

a. Sěrat Rěsi Kala


Cerita dalam Sěrat Rěsi Kala dimulai sewaktu Sang Hyang Syiwa
menjadi raja di Medhangsiwanda dengan gelar Sri Maharaja Balya
sampai dengan cerita Bathara Kala berada di Medhangkamulan dengan
gelar Sri Maharaja Berawa. Sěrat Rěsi Kala disusun oleh Mpu Bahubajra
di Mamenang pada tahun Suryasangkala 851 atau terhitung tahun
Candrasangkala 877.
b. Sěrat Buddha Krěsna
Cerita dalam Sěrat Buddha Krěsna dimulai dari Sang Hyang Wisnu
di Medhangkamulan yang kemudian berganti Purwacarita dengan gelar
Sri Maharaja Buddha Kresna sampai dengan cerita Sang Hyang Rudra
di Gilingaya atau Gilingwesi dengan gelar Maharaja Dewa Esa. Sěrat
Buddha Krěsna disusun oleh Mpu Kundhala di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 852 atau terhitung tahun Candrasangkala 878.

4. Sěrat Maharaja
Sěrat Maharaja menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
301-400 atau tahun Candrasangkala 310-412). Sěrat Maharaja dibagi menjadi
4 sěrat yaitu:
a. Sěrat Raja Kanwa
Cerita dalam Sěrat Raja Kanwa dimulai dari Sang Nata Prabu
Pukukuhan di Purwacarita dengan gelar Sang Maha Raja Kanwa sampai
dengan adiknya menjadi raja juga di Gilingwesi bergelar Prabu Hiranya
Rudra atau Prabu Heryana Rudra. Sěrat Raja Kanwa disusun oleh Mpu
Wisaka di Mamenang pada tahun Suryasangkala 852 atau terhitung tahun
Candrasangkala 878.
b. Sěrat Palindriya
Cerita dalam Sěrat Palindriya dimulai dari Sang Nata Bagawan
Wrahaspati dengan gelar Prabu Palindriya sampai dengan cerita Prabu
Sitawaka di Gilingwesi. Sěrat Palindriya disusun oleh Mpu Sunda
di Mamenang pada tahun Suryasangkala 852 atau terhitung tahun
Candrasangkala 878.
c. Sěrat Silacala
Cerita dalam Sěrat Silacala adalah tentang Prabu Silacala di
Gilingwesi dengan gelar Prabu Watu Gunung yang kemudian kawin dengan
ibunya sendiri. Sěrat Silacala disusun oleh Mpu Artati di Mamenang pada
tahun Suryasangkala 852 atau terhitung tahun Candrasangkala 878.
d. Sěrat Sumanantaka
Cerita dalam Sěrat Sumanantaka adalah tentang Sang Hyang Wisnu
sewaktu menjadi dukun sampai menaklukkan Prabu Watu Gunung. Sěrat
Sumanantaka disusun oleh Mpu Monaguna di Mamenang pada tahun

16
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Suryasangkala 852 atau terhitung tahun Candrasangkala 878. Akan


tetapi ketika penyusunan Sěrat Sumanantaka tersebut belum selesai,
Mpu Monaguna wafat karena tenggelam dalam air (bah) sehingga
penggubahannya diselesaikan oleh Mpu Yogiswara di Mamenang.

5. Sěrat Maharata
Sěrat Maharata menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
401-500 atau tahun Candrasangkala 413-515. Sěrat Maharata dibagi menjadi
5 cerita kejadian, yaitu:
a. Sěrat Dyitayana
Cerita dalam Sěrat Dyitayana adalah tentang Sang Hyang Brahma
dengan Sang Hyang Wisnu menggantikan kedudukan Prabu Watu
Gunung dengan gelar Prabu Brahmanaraja dan Prabu Wisnupati sampai
dengan keduanya menyerahkan kekuasaannya kepada putra-putranya.
Sěrat Dyitayana disusun oleh Mpu Raganata di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
b. Sěrat Tritarata
Cerita dalam Sěrat Tritarata adalah mengenai tiga kerajaan yaitu
Gilingwesi, Purwacarita dan Wiratha, sampai tahta kerajaan diserahkan
kepada putra-putranya. Sěrat Tritarata disusun oleh Mpu Saloka
di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun
Candrasangkala 879.
c. Sěrat Sindhula
Cerita dalam Sěrat Sindhula adalah mengenai putra Prabu Watu
Gunung di Medangkamulan dengan gelar Prabu Maharaja Sindhula
sampai dengan kerajaan yang diperintah oleh putranya dengan gelar Prabu
Cingkaradewa. Sěrat Sindhula disusun oleh Mpu Saddhara di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
d. Sěrat Rukmawati
Cerita dalam Sěrat Rukmawati adalah mengenai Dewi Rukmawati,
putri Sang Hyang Anantaboga di dalam meramal dan menolong dengan
sarana (persyaratannya) kepada siapa saja yang meminta pertolongan
kepadanya. Sěrat Rukmawati disusun oleh Mpu Sindura di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
e. Sěrat Sri Sadana
Cerita dalam Sěrat Sri Sadana adalah mengenai putra Sri Maharaja
Punggung di Purwacarita yang bernama Dewi Sri dan Raden Saddhana
sampai dengan muksanya menjadi bidadara-bidadari. Sěrat Sri Saddhana
disusun oleh Mpu Kalangwan di Mamenang pada tahun Suryasangkala
853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.

17
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

6. Sěrat Mahatantra
Sěrat Mahatantra menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
501-600 atau tahun Candrasangkala 516-618. Sěrat Mahatantra dibagi
menjadi 5 cerita kejadian, yaitu:
a. Sěrat Sri Kala
Cerita dalam Sěrat Sri Kala adalah mengenai Prabu Sri Kala di
Purwacarita sewaktu menaklukkan Prabu Parikenan di Gilingwesi hingga
gugur sampai dengan Prabu Sri Kala ditaklukkan kembali oleh Kerajaan
Wiratha. Sěrat Sri Kala disusun oleh Mpu Baraddhi di Mamenang pada
tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
b. Sěrat Raja Watara
Cerita dalam Sěrat Raja Watara adalah mengenai para raja yang
memerintah di Kerajaan Wiratha mulai dari Prabu Basupati, Basuketi
sampai dengan pemerintahan Prabu Basukeswara. Sěrat Raja Watara
disusun oleh Mpu Tatha Kasandi di Mamenang pada tahun Suryasangkala
853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
c. Sěrat Cita Kaprawa
Cerita dalam Sěrat Cita Kaprawa adalah mengenai Resi
Manumayasa di Martawu sampai muksa. Sěrat Cita Kaprawa disusun
oleh Mpu Jangga II di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau
terhitung tahun Candrasangkala 879.
d. Sěrat Ariawanda
Cerita dalam Sěrat Ariawanda adalah mengenai adik Prabu Basuketi
yang bernama Prabu Basuketu, menggantikan kedudukan kakaknya di
Kerjaan Wiratha sampai dengan Prabu Basuketi pulang dari pertapaan.
Sěrat Ariawanda disusun oleh Mpu Panuluh di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
e. Sěrat Para Patra
Cerita dalam Sěrat Para Patra adalah mengenai Bagawan Palasara
meminta pada Dewa untuk mengetahui siapa yang menurunkannya
sampai dengan penggubahannya atas Sěrat Jitabsara dan Sěrat Jidsaka.
Sěrat Para Patra disusun oleh Mpu Yogiswara di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.

7. Sěrat Mahaputra
Sěrat Mahaputra menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
601-700 atau tahun Candrasangkala 617-721 yang dibagi menjadi 8 cerita
kejadian, yaitu:
a. Sěrat Mahandya Purwa
Cerita dalam Sěrat Mahandya Purwa adalah mengenai Bagawan
Palasara bertemu dengan Dewi Matswaganda (Durgandini). Kemudian

18
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Bagawan Palasara menjadi raja di Astina dengan gelar Prabu Dwipakeswara


sampai cerita Resi Santanu menjadi penasehatnya. Sěrat Mahandya Purwa
disusun oleh Mpu Tapawangkeng di Mamenang pada tahun Suryasangkala
853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
b. Sěrat Suktinawyasa
Cerita dalam Sěrat Suktinawyasa adalah mengenai Prabu Sri
Kresnadwipayana memerintah Kerajaan Astina sampai ia bertapa di
Saptarengga dengan gelar Resi Abiyasa. Sěrat Suktinawyasa disusun
oleh Mpu Widdhayaka di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau
terhitung tahun Candrasangkala 879.
c. Sěrat Darmasagara
Cerita dalam Sěrat Darmasagara adalah mengenai Prabu Pandu
Dewanata menjadi raja di Kerajaan Astina sampai kawin dengan Dewi
Kunthi. Sěrat Darmasagara disusun oleh Mpu Wira di Mamenang pada
tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
d. Sěrat Gorawangsa
Cerita dalam Sěrat Gorawangsa adalah mengenai Dewi Mahira istri
Prabu Basudewa di Mandura bermain asmara dengan Prabu Gorawangsa
dan melahirkan anak bernama Arya Kangsa sampai kemudian Kangsa
menjadi anak angkat Raden Ugrasena. Sěrat Gorawangsa disusun oleh
Mpu Barandang di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau
terhitung tahun Candrasangkala 879.
e. Sěrat Kumbayana
Cerita dalam Sěrat Kumbayana adalah mengenai Bambang
Kumbayana dari Atas Angin sampai menjadi Dhang Hyang Durna
di Kerajaan Astina. Sěrat Kumbayana disusun oleh Mpu Braradya
di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun
Candrasangkala 879.
f. Sěrat Wandha Laksana
Cerita dalam Sěrat Wandha Laksana adalah mengenai lahirnya
Bhima (Bhima bungkus) sampai dengan ruwatnya. Sěrat Wandha Laksana
disusun oleh Mpu Ragarunting di Mamenang pada tahun Suryasangkala
853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
g. Sěrat Darma Mukta
Cerita dalam Sěrat Darma Mukta adalah mengenai perkawinan Arya
Widura, Arya Rukma dan Arya Ugrasena. Sěrat Darma Mukta disusun oleh
Mpu Mayangga di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung
tahun Candrasangkala 879.
h. Sěrat Dréta Nagara
Cerita dalam Sěrat Dréta Nagara adalah mengenai pengangkatan
Prabu Drestarastra mewakili Pandawa menjadi raja di Kerajaan Astina

19
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

sampai Prabu Drestarastra menyerahkan kekuasaannya kepada putra-


putranya. Sěrat Dréta Nagara disusun oleh Mpu Wijatmaka di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.

8. Sěrat Mahadarma
Sěrat Mahadarma menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
701-800 atau tahun Candrasangkala 722-824. Sěrat Mahadarma dibagi
menjadi 8 cerita kejadian, yaitu:
a. Sěrat Kuramaka
Cerita dalam Sěrat Kuramaka adalah mengenai Prabu Suyudhana
menjadi raja di Kerajaan Astina sampai Alap-alapan Dursilawati (kehilangan
Dursilawati). Sěrat Kuramaka disusun oleh Mpu Muywa di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
b. Sěrat Smaradahana
Cerita dalam Sěrat Smaradahana adalah mengenai Balai Sigala-
gala sampai Pandawa mengabdi ke Kerajaan Wiratha. Sěrat Smaradahana
disusun oleh Mpu Salukat di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853
atau terhitung tahun Candrasangkala 879. Akan tetapi karena Mpu Salukat
kemudian wafat, kemudian dilanjutkan oleh Mpu Kamajaya di Mamenang,
tetapi karena beliau pun juga wafat, akhirnya dilanjutkan oleh Mpu Jangga
II di Mamenang.
c. Sěrat Ambaralaya
Cerita dalam Sěrat Ambaralaya adalah mengenai Kartawiyoga
maling sampai Kakrasana dinobatkan menjadi raja di Mandura dengan
nama Prabu Baladewa. Sěrat Ambaralaya disusun oleh Mpu Purusadaka
di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun
Candrasangkala 879.
d. Sěrat Kridha Krěsna
Cerita dalam Sěrat Kridha Krěsna adalah mengenai perkawinan
Narayana dengan dengan Dewi Jembawati. Sěrat Kridha Krěsna disusun
oleh Mpu Jaruyawa di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau
terhitung tahun Candrasangkala 879.
e. Sěrat Kunjana Karna
Cerita dalam Sěrat Kunjanakarna adalah mengenai Prabu Karna
menjadi raja di Ngawangga menggantikan Prabu Kunjanakarna, anak
Bagawan Stuna Karna raja Pandita Raksasa yang bertukar ‘’parji’’ dengan
Dewi Srikandhi. Sěrat tersebut juga menceritakan Prabu Yudhisthira
kawin dengan Dewi Drupadi putri Prabu Drupada di Pancalaradya.
Sěrat Kunjanakarna disusun oleh Mpu Mudra di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.

20
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

f. Sěrat Kunjana Krěsna


Cerita dalam Sěrat Kunjana Krěsna adalah mengenai Kresna menjadi
raja di Dwarawati menggantikan raja raksasa yang bernama Prabu Kunjana
Kresna. Sěrat Kunjana Krěsna disusun oleh Mpu Mudila di Mamenang
pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
g. Sěrat Partayagnya
Cerita dalam Sěrat Partayagnya adalah mengenai Raden Arjuna
berguru kepada Dhang Hyang Durna. Sěrat Partayagnya disusun oleh Mpu
Wijatmaka di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung
tahun Candrasangkala 879.
h. Sěrat Manik Harja Purwaka
Cerita dalam Sěrat Manik Harja Purwaka adalah mengenai ketika
Arjuna ditenggelamkan di air bah oleh Kurawa. Kemudian Arjuna diambil
menantu oleh Sang Hyang Baruna, kawin dengan Dewi Manik Harja. Sěrat
Manik Harja Purwaka disusun oleh Mpu Widhayaka di Mamenang pada
tahun Suryasangkala 853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
i. Sěrat Sapanti Parta
Cerita dalam Sěrat Sapanti Parta adalah mengenai Parta Krama
(Arjuna Krama) dengan Dewi Sembadra dan Dewi Srikandhi. Sěrat Sapanti
Parta disusun oleh Mpu Kanwa di Mamenang pada tahun Suryasangkala
853 atau terhitung tahun Candrasangkala 879.
j. Sěrat Déwi Ruci
Cerita dalam Sěrat Déwi Ruci adalah mengenai Bima berguru
dengan Dhang Hyang Durna. Sěrat Déwi Ruci disusun oleh Mpu
Widhayaka di Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau terhitung
tahun Candrasangkala 879.
k. Sěrat Parta Wiwaha/ Mintaraga
Cerita dalam Sěrat Parta Wiwaha/ Mintaraga yaitu mengenai
ketika Arjuna bertapa di Indrakila sampai dikawinkan dengan para
bidadari di Suralaya. Sěrat Parta Wiwaha/ Mintaraga disusun oleh Mpu
Kanwa di Mamenang pada tahun Suryasangkala 854 atau terhitung tahun
Candrasangkala 880.
l. Sěrat Yudanagara
Cerita dalam Sěrat Yudanagara adalah mengenai Sri Batara Kresna
mencipta kerajaan di hutan dengan gelar Prabu Yudakala Kresna sampai
Prabu Matswapati mengawinkan putra-putranya. Sěrat Yudanagara
disusun oleh Mpu Widhayaka di Mamenang pada tahun Suryasangkala
855 atau terhitung tahun Candrasangkala 881.
m. Sěrat Purobaya
Cerita dalam Sěrat Purobaya adalah mengenai lahirnya Gathutkaca
sampai dinobatkan menjadi raja di Pringgadani dengan gelar Prabu

21
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Purobaya. Sěrat Purobaya disusun oleh Mpu Panuluh di Mamenang pada


tahun Suryasangkala 855 atau terhitung tahun Candrasangkala 881.
n. Sěrat Bomantara
Cerita dalam Sěrat Bomantara adalah mengenai raja Raksasa
Traju Tiksna ingin menaklukkan Suralaya sampai ia tewas dan digantikan
oleh Sitija putra Sri Kresna. Sěrat Bomantara disusun oleh Mpu Tathaka
Sandi di Mamenang pada tahun Suryasangkala 855 atau terhitung tahun
Candrasangkala 881.
o. Sěrat Bomantaka
Cerita dalam Sěrat Bomantaka adalah mengenai perang besar antara
Prabu Bomaputra dengan Sri Kresna. Sěrat Bomantaka disusun oleh Mpu
Bodhaguna di Mamenang pada tahun Suryasangkala 855 atau terhitung
tahun Candrasangkala 881.
p. Sěrat Bratayuda
Cerita dalam Sěrat Bratayuda adalah mengenai perang besar
antara Pandawa dan Kurawa sampai Pandawa memenangkan peperangan.
Sěrat Bratayuda disusun oleh Mpu Sedhah di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 855 atau terhitung tahun Candrasangkala 881, dilanjutkan
oleh Mpu Panuluh di Mamenang.
q. Sěrat Kirimataya
Cerita dalam Sěrat Kirimataya adalah mengenai muksanya
Bagawan Abiyasa dan Pandawa. Sěrat Kirimataya disusun oleh Mpu
Panuluh dan Mpu Wangkeng di Mamenang pada tahun Suryasangkala 855
atau terhitung tahun Candrasangkala 881.
r. Sěrat Darmasarana
Cerita dalam Sěrat Darmasarana yaitu mengenai Prabu Parikesit
menjadi raja di Kerajaan Astina sampai muksa. Sěrat Darmasarana
disusun oleh Mpu Tapawangkeng di Mamenang pada tahun Suryasangkala
855 atau terhitung tahun Candrasangkala 881.
s. Sěrat Yudayana
Cerita dalam Sěrat Yudayana adalah mengenai Prabu Yudayana
menggantikan raja di Kerajaan Astina kemudian digantikan oleh putranya
yaitu Prabu Gendrayana sampai akhirnya meninggalkan kerajaan Astina.
Sěrat Yudayana disusun oleh Mpu Kalangwan di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 855 atau terhitung tahun Candrasangkala 881.

Sĕrat Pustakaraja Puwara disusun oleh empu-empu di Kerajaan


Majapahit pada waktu pemerintahan Prabu Brawijaya V yang berisi cerita raja-
raja di Mamenang sampai Prabu Brawijaya V. Kitab-kitab (sĕrat- sĕrat) ini
ditulis oleh Mpu Artati pada tahun Suryasangkala 1398 atau terhitung tahun
Candrasangkala 1440. Akan tetapi belum sampai selesai penulisannya, Kerajaan
Mahapahit runtuh dan Mpu Artati melarikan diri ke Bali dan mengabdi kepada

22
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Prabu Dewa Ketut. Di sana Mpu Artati melanjutkan penulisan Sĕrat Pustakaraja
Puwara sampai selesai. Adapun Sĕrat Pustakaraja Puwara dibagi menjadi enam
kelompok cerita, yaitu:

1. Sěrat Mahaparma
Sěrat Mahaparma menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
801-900 atau tahun Candrasangkala 825-927. Sěrat Mahaparma dibagi
menjadi 6 cerita, yaitu:
a. Sěrat Budhayana
Cerita dalam Sěrat Budhayana adalah mengenai Prabu Gendrayana
meninggalkan Kerajaan Astina dan menjadi raja di Mamenang sampai
muksa. Sěrat Budhayana disusun oleh Mpu Mandara di Pengging. Mpu
Mandara adalah putra Mpu Salukat di Mamenang. Adapun penggubahan
Sěrat Budhayana pada tahun Suryasangkala 919 atau terhitung tahun
Candrasangkala 947.
b. Sěrat Sariwahana
Cerita dalam Sěrat Sariwahana dimulai dari Prabu Yudayaka
(Arya Prabu Bambang Sudarsana) di Kerajaan Astina (Ngastina) pindah
ke Desa Yawa yang kemudian disebut Yawastina atau Sradmastina yang
artinya ’Astina baru’ sampai menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya
yang bernama Prabu Sariwahana. Sěrat Sariwahana disusun oleh Mpu
Sindungkara di Pengging pada tahun Suryasangkala 919 atau terhitung
tahun Candrasangkala 947.
c. Sěrat Purusangkara
Cerita dalam Sěrat Purusangkara adalah mengenai Prabu
Purusangkara di Yawastina kawin dengan putri dari Mamenang sampai
negara Yawastina ditenggelamkan menjadi samodra. Sěrat Purusangkara
disusun oleh Mpu Sindungkara di Pengging pada tahun Suryasangkala 920
atau terhitung tahun Candrasangkala 948.
d. Sěrat Partakaraja
Cerita dalam Sěrat Partakaraja adalah mengenai Prabu Widhayana di
Mamenang dengan gelar Sri Batara Prabu Jayabaya sampai menyerahkan
tahta kerajaannya kepada putranya yang bergelar Prabu Jayaamijaya.
Sěrat Partakaraja disusun oleh Mpu Saddha di Pengging pada tahun
Suryasangkala 919 atau terhitung tahun Candrasangkala 947.
e. Sěrat Ajidarma
Cerita dalam Sěrat Ajidarma adalah mengenai putra Prabu
Purusangkara yang menjadi raja di Malawapati dengan gelar Prabu
Anglingdarma atau Ksatradarma sampai muksa. Sěrat Ajidarma disusun
oleh Mpu Wisana di Pengging pada tahun Suryasangkala 919 atau terhitung
tahun Candrasangkala 947.

23
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

f. Sěrat Ajipamasa
Cerita dalam Sěrat Ajipamasa adalah mengenai Prabu Kusumawicitra
di Mamenang setelah menakhlukkan seluruh tanah Jawa kemudian bergelar
Prabu Ajipamasa. Dalam Sěrat Ajipamasa ini Prabu Kusumawicitra
terkenal mengubah nama-nama gunung yang telah ada, misalnya Gunung
Kandha menjadi Gunung Kendheng; Gunung Mahera menjadi Gunung
Anyar; Gunung Jombo menjadi Gunung Banyak; Gunung Parasata
menjadi Gunung Prawata; Gunung Nilandusa menjadi Gunung Wilis;
Gunung Mestri menjadi Gunung Pendhem; Gunung Udarati menjadi
Gunung Arjuna; Gunung Antaga menjadi Gunung Enget; Gunung Aswata
menjadi Gunung Pandhang; Gunung Mahendra menjadi Gunung Lawu;
Gunung Candramuka menjadi Gunung Marawu (Mababu/ Merbabu);
Gunung Candrageni menjadi Gunung Marapi (Merapi), Gunung Soddha
menjadi Gunung Sumbing; Gunung Saddhara menjadi Gunung Sundara;
Gunung Gora menjadi Gunung Agung; Gunung Mambramuka menjadi
Gunung Wataulu dan seterusnya sampai akhirnya Prabu Ajipamasa dari
Mamenang pindah ke Pengging. Sěrat Ajipamasa disusun oleh Mpu
Udaka di Pengging pada tahun Suryasangkala 919 atau terhitung tahun
Candrasangkala 947.

2. Sěrat Maharaka
Sěrat Maharaka menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
901-1000 atau terhitung tahun Candrasangkala 928-1030. Sěrat Maharaka
dibagi menjadi 4 cerita, yaitu:
a. Sěrat Witaradya
Cerita dalam Sěrat Witaradya adalah mengenai Prabu Kusumawicitra/
Prabu Ajipamasa menjadi raja di Pengging sampai menyerahkan tahta
kerajaannya kepada putranya Prabu Citrasoma. Sěrat Witaradya disusun
oleh Mpu Wilasaya di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1010
atau terhitung tahun Candrasangkala 1041.
b. Sěrat Purwanyana
Cerita dalam Sěrat Purwanyana adalah mengenai Prabu Pancadriya
di Pengging sampai muksanya. Sěrat Purwanyana disusun oleh Mpu
Wilasaya di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1010 atau
terhitung tahun Candrasangkala 1041.
c. Sěrat Bandawasa
Cerita dalam Sěrat Bandawasa adalah mengenai Prabu Anglingdriya
di Pengging perang dengan Prabu Baka di Prambanan sampai Prabu Baka
gugur oleh Raden Bandung Bandawasa (cucu raja Pengging) sampai
kemudian Prabu Anglingdriya muksa. Sěrat Bandawasa disusun oleh Mpu
Windudaka di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1010 atau
terhitung tahun Candrasangkala 1041.

24
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

d. Sěrat Dewatacěngkar
Cerita dalam Sěrat Dewatacěngkar adalah mengenai Prabu
Dewatacengkar di Medhangkamulan sampai muksa. Sěrat Dewatacěngkar
disusun oleh Mpu Madura di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala
1010 atau terhitung tahun Candrasangkala 1041.

3. Sěrat Mahaprana
Sěrat Mahaprana menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
1001-1100 atau terhitung tahun Candrasangkala 1031-1133. Sěrat Mahaprana
dibagi menjadi 5 cerita, yaitu:
a. Sěrat Widhayaka
Cerita dalam Sěrat Widhayaka adalah mengenai Prabu Widhayaka
di Medhangkamulan, dimulai ketika masih mengembara sampai dengan
menjadi raja dan kemudian digantikan oleh putra dari Pengging yang
bernama Prabu Swelacala. Sěrat Widhayaka disusun oleh Mpu Madura di
Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1047 atau terhitung tahun
Candrasangkala 1079.
b. Sěrat Danèswara
Cerita dalam Sěrat Danèswara adalah mengenai putra Prabu
Dewatacengkar yang bernama Prabu Daneswara menjadi raja di
Medhangkamulan dengan gelar Prabu Sri Mahapunggung sampai digantikan
oleh putranya Prabu Swelacala/ Jaka Kandhuyu dengan gelar Prabu Sri
Mahapunggung II. Sěrat Danèswara disusun oleh Mpu Madukara (putra
Mpu Madura) di Medhangkamulan pada tahun Suryasangkala 1048 atau
terhitung tahun Candrasangkala 1080.
c. Sěrat Jayalěngkara
Cerita dalam Sěrat Jayalěngkara adalah mengenai Prabu Sri
Mahapunggung II sampai menyerahkan tahta kerajaannya kepada putranya
yang bernama Prabu Kandhiawan atau Prabu Jayalengkara dan akhirnya
kerajaan Medhangkamulan rusak. Sěrat Jayalěngkara disusun oleh Resi
Wiratmaka seorang brahmana di Jenggala atas kehendak Prabu Panji
Suryawisesa. Di dalam menggubah karya ini Resi Wiratmaka mengambil
cerita dari Mpu Wilasaya. Adapun penggubahan Sěrat Jayalěngkara pada
tahun Suryasangkala 1116 atau terhitung tahun Candrasangkala 1140.
d. Sěrat Darmakusuma
Cerita dalam Sěrat Darmakusuma adalah mengenai Prabu
Darmakusuma di Pengging yang kemudian pindah ke Bojonegoro di
daerah Kedhu sampai dengan wafatnya di Gunung Gumelem, ia digantikan
oleh putranya yang bernama Prabu Darmaraja. Sěrat Darmakusuma
disusun oleh Resi Wiratmaka seorang Brahmana dari Janggala pada tahun
Suryasangkala 1117 atau terhitung tahun Candrasangkala 1151.

25
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

e. Sěrat Catur Pandaka


Cerita dalam Sěrat Catur Pandaka adalah mengenai empat kerajaan
yaitu: Jenggala, Kediri, Ngurawan dan Singasari sampai kemudian
digantikan oleh putra-putranya. Sěrat Catur Pandaka disusun oleh Resi
Wiratmaka di Jenggala pada tahun Suryasangkala 1118 atau terhitung
tahun Candrasangkala 1152.
4. Sěrat Mahakrama
Sěrat Mahakrama menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
1101-1200 atau terhitung tahun Candrasangkala 1134-1236. Sěrat Mahakrama
dibagi menjadi 5 cerita, yaitu:
a. Sěrat Suryawisésa
Cerita dalam Sěrat Suryawisésa yaitu mengenai Prabu Panji
Inukartapati di Jenggala yang bergelar Prabu Suryawisesa sampai
menyerahkan tahta kerajaannya kepada putranya yang bernama Raden
Kudalalean dengan gelar Prabu Surya Amiluhur sampai akhirnya kerajaan
Jenggala tenggelam. Prabu Surya Amiluhur pergi ke arah barat ke Gunung
Walaulu. Sěrat Surya Wisésa disusun oleh Mpu Widura di Galuh atas
kehendak Prabu Banjaransari, penyusunannya pada tahun Suryasangkala
1163 atau terhitung tahun Candrasangkala 1198.
b. Sěrat Raja Sundha
Cerita dalam Sěrat Raja Sundha yaitu mengenai Prabu Surya
Amiluhur di Pajajaran yang kemudian bergelar Prabu Panji Maesa
Tandreman sampai Prabu Banjaransari muksa di Galuh. Sěrat Raja
Sundha disusun oleh Mpu Adilangu di Pajajaran atas kehendak Prabu
Mundhingsari, penyusunannya pada tahun Suryasangkala 1194 atau
terhitung tahun Candrasangkala 1230.
c. Sěrat Madu Sudhana
Cerita dalam Sěrat Madu Sudhana yaitu mengenai Prabu Madu
Sudhana di Pengging perang dengan putranya bernama Prabu Madu
Kusuma di Samapura. Akhirnya Prabu Madu Kusuma gugur, jenazahnya
dibakar di Gunung Andong. Sěrat Madu Sudhana disusun oleh Resi Panca
Prabanggana atas petunjuk Ajar Suwela. Penyusunannya pada tahun
Suryasangkala 1187 atau terhitung tahun Candrasangkala 1223.
d. Sěrat Panca Prabanggana
Cerita dalam Sěrat Panca Prabanggana yaitu mengenai Resi
Prabanggana di Gunung Suwela sebelum beliau tinggal di Pajajaran sampai
dengan Prabu Darmastuti putra Prabu Dewanjali di Pengging. Sěrat Panca
Prabanggana disusun oleh Mpu Artati di Majapahit atas kehendak Prabu
Bratana. Penyusunannya pada tahun Suryasangkala 1258 atau terhitung
tahun Candrasangkala 1296.

26
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

5. Sěrat Mahakara
Sěrat Mahakara menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
1201-1300 atau terhitung tahun Candrasangkala 1237-1339. Sěrat Mahakara
dibagi menjadi 3 cerita, yaitu:
a. Sěrat Mundhingsari
Cerita dalam Sěrat Mundhingsari yaitu mengenai Prabu
Mundhingsari kalah perang melawan Majapahit. Sěrat Mundhingsari
disusun oleh Mpu Paraita di Majapahit atas kehendak Prabu Bratana.
Penyusunannya pada tahun Suryasangkala 1259 atau terhitung tahun
Candrasangkala 1297.
b. Sěrat Raja Purwaka
Cerita dalam Sěrat Raja Purwaka yaitu mengenai Prabu Bratana
di Majapahit sampai wafatnya sehingga digantikan oleh putranya yang
bernama Prabu Bra Kumara. Sěrat Raja Purwaka disusun oleh Mpu Paraita
di Majapahit atas kehendak Prabu Brawijaya I. Penyusunannya pada tahun
Suryasangkala 1269 atau terhitung tahun Candrasangkala 1307.
c. Sěrat Mahakara
Cerita dalam Sěrat Mahakara yaitu mengenai Prabu Brawijaya
I sampai dengan Prabu Brawijaya III di Majapahit. Sěrat Mahakara
disusun oleh Mpu Artati di Majapahit atas kehendak Prabu Brawijaya
I. Penyusunannya pada tahun Suryasangkala 1398 atau terhitung tahun
Candrasangkala 1440.
6. Sěrat Mahapara
Sěrat Mahapara menceritakan kejadian antara tahun Suryasangkala
1301-1400 atau terhitung tahun Candrasangkala 1340-1442. Sěrat
Mahapara menceritakan Prabu Brawijaya IV sampai dengan Prabu
Brawijaya V sesudah itu menceritakan tentang Kerajaan Demak yang
disebut Sěrat Walisana. Sěrat Mahapara disusun oleh Mpu Artati
di Majapahit pada tahun Suryasangkala 1398 atau terhitung tahun
Candrasangkala 1440.

(Ranggawarsita, 1938: 10-46; Sri Mulyono, 1989: 191-200)

Dalam Kepustakaan Jawa (1957), Poerbatjaraka menilai bahwa Kitab


(Sĕrat) Pustakaraja itu pada pokoknya terjadi dari kitab-kitab lakon wayang,
berdasarkan pendengaran R. Ng. Ranggawarsita tentang cerita-cerita dari
temannya, dan dongeng-dongeng yang pada waktu itu sudah ada. Semuanya itu
diubah dan ditambah oleh R. Ng. Ranggawarsita menurut kehendak hatinya. Lebih
jauh Poerbatjaraka menyatakan bahwa walau bagaimana pun juga keadaannya,
dengan pendek kitab Pustakaraja itu sebagian besar hanya berisi “omong kosong”
belaka daripada R.Ng. Ranggawarsita. Kitab-kitab yang disebut di dalam Kitab
Pustakaraja itu seperti kitab-kitab Maha Parwa, Purwa Pada, Sabaloka, Maha

27
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Déwa, Maha Rĕsi, dan sebagainya, itu sebenarnya tidak ada dan tak pernah ada
(Poerbatjaraka, 1957: 186).
C.C. Berg dalam Penulisan Sejarah Jawa (“Javaansche
Geschiedschrijving”, dalam “Geschiedenis van Nederlands Indie, 1938)
mengakui bahwa pihak barat belum memberikan perhatian yang berarti terhadap
Pustakaraja. Namun diakui bahwa R. Ng. Ranggawarsita mempunyai pergaulan
dengan ahli-ahli ilmu bahasa dan kebudayaan Jawa yang berkebangsaan barat.
Selanjutnya dalam pernyataannya dikatakan bahwa R. Ng. Ranggawarsita dalam
menulis karyanya menempuh jalan baru dan untuk memperoleh bahan-bahan
ia menggali sumber-sumber baru. Akhirnya dalam tulisannya tersebut R. Ng.
Ranggawarsita (ternyata) mencurahkan amat banyak perhatian untuk menentukan
tarikh dari peristiwa-peristiwa yang dibukukannya, maka ia selalu memberikan
dua tarikh, yang satu menurut tahun Syamsiah dan yang satu lagi menurut
tahun Komariyah. Karena itu bukanlah mustahil bahwa R. Ng. Ranggawarsita
bermaksud untuk menulis sejarah menurut tanggapan barat dan bahwasannya
usahanya tersebut tidak berhasil, hal ini tidaklah penting. Apabila R. Ng.
Ranggawarsita bermaksud mencari nama sebagai ahli sejarah yang pertama
yang beraliran modern, maka kiranya kita harus membedakan karyanya dengan
karya rekan-rekannya yang dahulu. Oleh karena yang disebut belakangan ini (R.
Ng. Ranggawarsita) bukanlah orang-orang yang mempelajari ilmu pengetahuan
sejarah, akan tetapi pendeta-pendeta magi sastra, pujangga dalam arti yang asli
“manusia ular”. Di sini C.C. Berg hanya dapat mengemukakan tidak lebih dari
perkiraan-perkiraannya (Berg, 1974: 87).

Pigeaud dalam Literature of Java Volume I (1967) menyatakan “Rangga


Warsita’s books on mythology and ancient history, which he called
Pustaka Raja, Books of Kings, impress the reader in a remarkable way.
The events of myth and epic history are dated consecutively according to
a chronology, solar and lunar years, of Rangga Warsita’s own invention,
and so the Pustaka Raja makes an impression of being historically reliable,
which it is not. Rangga Warsita’s chronicles of creation, cosmogony,
myth and epics have parallels in the literatures of other peoples. His, at
first sight preposterous, idea of dating all tales is to be considered as a
consequence of his thoroughly Javanese belief in an all pervading Order,
which should also be made visible in myth and ancient history” (Pigeaud,
1967: 170).

Untuk memahami jalan pikiran pujangga R.Ng. Ranggawarsita di dalam


Sĕrat Pustakaraja dan kitab-kitab di dalamnya kiranya kita perlu memahami Sĕrat
Jangka Jayabaya dan Sĕrat Pranitiradya yang berisikan keterangan raja-raja
yang bertahta disesuaikan dengan pembagian jaman di dalam jangka (ramalan)

28
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Jayabaya. Apabila mendasarkan diri pada Sĕrat Jangka Jayabaya dan Sĕrat
Pranitiradya, maka usia Pulau Jawa sampai dengan kiamat kubro adalah 2100
tahun (menurut Suryasĕngkala, tahun matahari) atau selama 2163 tahun (menurut
Candrasĕngkala, tahun rembulan), yang dibagi menjadi tiga jaman besar (Tri
Kali). Setiap jaman besar dibagi menjadi tujuh jaman kecil (Saptama Kala) yang
masing-masing berusia 100 tahun, yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Jaman Kali Swara, meliputi: a. Jaman Kala Kukila; b. Jaman Kala Buddha; c.
Jaman Kala Brama; d. Jaman Kala Tirta; e. Jaman Kala Rwabara; f. Jaman
Kala Rwabawa; dan g. Jaman Kala Purwa.
2. Jaman Kali Yoga, meliputi: a. Jaman Kala Brata; b. Jaman Kala Dwara; c.
Jaman Kala Dwapara; d. Jaman Kala Praniti; e. Jaman Kala Tĕtĕka; f. Jaman
Kala Wisésa dan g. Jaman Kala Wisaya.
3. Jaman Kali Sangara, meliputi: a. Jaman Kala Jangga; b. Jaman Kala Sakti;
c. Jaman Kala Jaya; d. Jaman Kalabĕndu; e. Jaman Kalasuba; f. Jaman Kala
Sumbaga; dan g. Jaman Kala Surata.
(Andjar Any, 1979: 81; Tedjowirawan, 2006: 135-136)

Menurut Sri Mulyono, Sĕrat Pustakaraja, khususnya Sĕrat Pustakaraja


Purwa adalah hasil saduran kembali cerita dalam Mahābharāta dengan berbagai
adaptasi dan inovasi. Sĕrat Pustakaraja Purwa seringkali dikatakan sebagai
suatu penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita
Mahābharāta versi Indonesia (Mulyono, 1989: 202). Sĕrat Pustakaraja isinya
sudah menyimpang dan berbeda jauh dengan Ramāyāna maupun Mahābharāta.
Keanehan dalam Sĕrat Pustakaraja tersebut justru sering dinilai “sangat
menakjubkan” sehingga para sarjana berkesimpulan bahwa kitab tersebut adalah
wishfull thinking pujangga R.Ng. Ranggawarsita sendiri. Di samping itu salah
satu maksud tujuan disusunnya Sĕrat Pustakaraja adalah untuk mendidik anak
cucu dengan mengajarkan sejarah kepahlawanan leluhurnya. Selain itu yang
terpenting dari segala uraian karya-karya pujangga R.Ng. Ranggawarsita (Sĕrat
Pustakaraja) adalah menempatkan “Jatining Panembah”, yaitu memberikan
penerangan bahwa dewa-dewa (para Jawata) yang diartikan nenek moyang orang
Jawa itu bukanlah Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, tetapi hanya sebagai
titah biasa (Mulyono, 1989: 202; Wiryamartana, 1980: 2).

B. Pengertian Wayang Madya, Relasi dan Konstruksi Teksnya


Dalam sejarahnya Wayang Madya adalah ciptaan Sri Mangkunegara IV.
Adapun proses sejarah kelahiran Wayang Madya tersebut adalah sebagai berikut:
Pada suatu ketika pujangga besar R. Ng. Ranggawarsita datang menghadap Sri
Mangkunegara IV sambil mempersembahkan dua buah karyanya yakni Sĕrat
Pustakaraja Madya dan Sĕrat Witaradya. Kedua buah buku tersebut menceritakan
riwayat Prabu Kusumawicitra atau Prabu Ajipamasa yang bertahta di Mamenang
(Kediri), dan yang kemudian memindahkan kerajannya ke Pengging Witaradya.

29
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Sesudah membaca isinya, Sri Mangkunegara IV sampai berkenan hatinya.


Sebab kedua buku tersebut berisikan sejarah yang bersambungan dengan cerita
Panji. Apabila ditarik ke atas, dapat bertemu dengan Sĕrat Pustakaraja Purwa
yang berisi riwayat dewa-dewa sampai riwayat para Pandawa di akhir perang
Baratayuda.
Karena itulah Sri Mangkunegara IV bermaksud membuat wayang yang
dapat menyambung jaman Purwa dengan jaman Jenggala. Sewaktu R. Ng.
Ranggawarsita menghadap Sri Mangkunegara IV, maka terjadilah percakapan
yang kurang lebih sebagai berikut:

Kangjeng Gusti : ’’Paman Rangga sesudah membaca karangan


Paman, saya merasa tertarik. Apabila isi diwujudkan
wayang, apakah setuju?’’
R. Ng. Ranggawarsita : ’’Setuju sekali, apabila ada pikiran demikian,
Kangjeng Gusti.’’
Kangjeng Gusti : ’’Setelah saya pikir, akhir cerita Wayang Purwa
tidak dapat bersambung dengan permulaan cerita
Panji. Alangkah baik bila Sěrat Witaradya dan
Sěrat Pustakaraja Madya menjadi sambungan dari
cerita Bratayuda sampai cerita Panji. Lebih baik
lagi diadakan wayangnya.’’
R. Ng. Ranggawarsita : ’’Ya, Gusti. Hamba setuju sekali.’’
Kangjeng Gusti : ’’Tentang wayang penyambung adalah seperti
berikut: Di Mangkunegara sudah ada Wayang
Gědhog dan Wayang Purwa. Cara pembikinan
ialah dari tengah ke atas mengambil wujud Wayang
Gědhog, maka disebut tengah-tengahan, Wayang
Purwa dan Wayang Gědhog dapat bersambung
ceritanya, saya sebut Wayang Madya.’’
(Sayid, 1981: 33-34)

Demikianlah sejarah lahirnya Wayang Madya. Dengan demikian


dapat dikatakan bahwa Wayang Madya adalah ciptaan Sri Mangkunegara IV
berdasarkan beberapa karya R. Ng. Ranggawarsita yaitu Sěrat Witaradya dan
Sěrat Pustakaraja Madya.
Sudah sangat banyak sekali hasil penelitian mengenai seni pertunjukan
wayang di Indonesia, baik yang dilakukan oleh para peneliti bangsa barat maupun
para peneliti bangsa Indonesia sendiri. Bukan hanya terbatas sejumlah wayang
di Jawa, tetapi juga di luar Jawa. Hasil penelitian peneliti pertunjukan wayang
itu oleh Victoria M. Clara van Groenendael disusun dalam bentuk bibliografi
beranotasi dalam bukunya yang berjudul Wayang Theater in Indonesia an
Annotated Bibliography (1987).

30
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Kebanyakan peneliti seni pertunjukan wayang membicarakan Wayang


Purwa (kulit) atau yang berkaitan dengannya. Mengenai Wayang Wong, dapat
dibaca disertasi Sudarsana dengan judul Wayang Wong, The Stated Ritual Dance
Drama In The Court of Yogyakarta (1984). Akan tetapi, bagaimanakah perhatian
yang diberikan sejumlah ahli terhadap Wayang Madya, sungguh sangat sedikit.
Wayang Madya memang tidak sepopuler Wayang Purwa, sehingga
penelitian terhadapnya pun relatif sedikit. Namun, sebenarnya sudah ada tulisan
khusus yang membahas Wayang Madya, meskipun sangat singkat. Misalnya,
tulisan J. Kats yang berjudul Wayang Madya termuat dalam Poesaka Djawi II,
Java Institut (1924), kemudian G.W.J. Drewes menulis “Ranggawarsita, The
Pustakaraja Madya and The Wayang Madya” dalam Oriens Extremus (1974)
maupun The Romance of King Anglingdarma in Javanese Literature (1975);
Claire Holt dalam bukunya Art in Indonesia: Continuities and Change (1967);
James R. Brandon, ed., dalam bukunya On Thrones of Gold: Three Javanese
Shadow Plays (1970); Tim ahli Museum Sonobudoyo menyusun brosur Pameran
Wayang Madya Koleksi Museum Sonobudoyo Yogyakarta (1985). Sementara
Pigeaud (1967) memberi uraian tentang Wayang Madya sebagai berikut:

The Wayang Madya plays … were written by order of Prince


Mangkunegara IV of Surakarta. Probably Tanda Kusuma was the author
of most of them. They should fill the gap in time existing in the Surakarta
scholars’ opinion between the end of the Pandawa cycle and the beginning
of the gĕdhog cycle. A set of wayang puppets, in some respects different
from those belonging to the other cycles, were made at the Prince’s order.
The Wayang Madya never become popular, though, even in Surakarta.
The idea of filling the gap by means of a Wayang Madya appealed also
to other Javanese playwrights, namely the obscure authors of popular
Yogyakarta plays mentioned by Moens’s informants. The Mangkunegaran
Wayang Madya pakem was published in the thirties by Bale Pustaka in
Batavia (Pigeaud, 1967: 250-251; Behrend, 1990: 151).

Dari kitab-kitab di atas dapatlah dikatakan bahwa bentuk Wayang Madya
adalah perpaduan antara Wayang Purwa (Kulit) dengan Wayang Gĕdhog. Bagian
atas sampai tengah mengambil bentuk Wayang Purwa, sedangkan bagian tengah
ke bawah mengambil bentuk Wayang Gĕdhog (Sayid, 1981: 34). Sumber bahan
Wayang Madya pun menjadi jembatan yang menghubungkan bahan lakon kedua
tradisi wayang tersebut. Jika Wayang Purwa mengambil cerita dewa-dewa sampai
keluarga Pandawa dan Wayang Gĕdhog mengambil cerita Panji dari Jenggala dengan
puteri Kediri (Uhlenbeck, 1964: 140-141), maka Wayang Madya mengambil cerita
para cucu Pandawa sampai menjelang Panji (Brandon, 1970: 8-9). Dapat pula cerita
sejak peristiwa wafatnya Prabu Yudayana sampai masa Prabu Jayalengkara naik
tahta tahun 785 Ç – 1052 Ç (863 M – 1130 M) (Kats, 1924).

31
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Lain lagi dengan pendapat Tim Museum Sonobudoyo Yogyakarta,


bahwa Wayang Madya adalah semua jenis wayang yang diciptakan sesudah
adanya Wayang Purwa sampai jaman berakhirnya masa penjajahan Belanda di
Indonesia pada tahun 1945, yang lakon ceritanya bersumberkan dari Babad Tanah
Jawa. Wayang Madya, menurutnya meliputi: baik Wayang Gĕdhog, Wayang
Klithik, Wayang Ménak (Golèk Ménak), maupun Wayang Dupara. Pendapat Tim
Museum Sonobudoyo tersebut berlandaskan pendapat J. Kats dan K.G.R.A.A
Mangkunegara IV, dan nampaknya pendapat ini pun didasari adanya sejumlah
Sĕrat Pustakaraja, baik Sĕrat Pustakaraja Purwa, Sĕrat Pustakaraja Madya,
Sĕrat Pustakaraja Antara, dan Sĕrat Pustakaraja Wasana.
Berdasarkan sejarah kelahirannya, semula bahan lakon Wayang Madya
adalah Sĕrat Pustakaraja Madya dan Sĕrat Witaradya. Namun, mengingat
Wayang Madya menceritakan peristiwa setelah Prabu Parikesit (Dipayana)
sampai periode Kediri (Victoria M. Clara van Groenendael, 1987: 8), maka
bahan lakon Wayang Madya dapat diperluas dan diperkaya dengan sumber
bahan lain, misalnya: Sĕrat Darmasarana, Sĕrat Yudayana, Sĕrat Sariwahana,
Sĕrat Purusangkara, Sĕrat Partakaraja, Sĕrat Ajidharma, Sĕrat Ajipamasa,
Sĕrat Witaradya, Sĕrat Purwanyana, Sĕrat Bandawasa, Sĕrat Déwatacèngkar,
Sĕrat Widayaka maupun Sĕrat Danèswara. Bahkan dapat diperkaya dengan
sejumlah teks yang merupakan versi dan variasi di sekitar teks-teks Pustakaraja
Madya di atas. Misalnya: Pustakaraja Madya I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX,
XIV, XVII, Sĕrat Mayangkara, Sĕrat Radèn Darmamaya Jumĕnĕng Nata ing
Sĕgantĕn Kidul; Sĕrat Astradarma; Sĕrat Madya (Sang Aprabu Yudayaka
ing Kĕdiri); Sĕrat Mèrusupadma; Sĕrat Pustakaraja VII, IX, X, XII, XIII, XV;
Pakĕm Madya I, Pakĕm Madya Warna-Warni II, Pakĕm Madya Warna-Warni
III, Pancaddriya, Pancaddriya (Kintaka Maharana), Prabu Gĕndrayana, Prabu
Yudayaka, Prabu Yudayana I; Pustakaraja Madya VI (Jumĕnĕngipun Prabu
Gĕndrayana Ing Purwacarita), Pustakaraja Puwara (Sĕrat Jayabaya), Pakĕm
Ringgit Madya 22 Lampahan; Budhayana, Budhayana I, II, III, IV, dan V; Sĕrat
Budhayana (Sariwahana); Sĕrat Madnyanaparta; Sĕrat Pakem Ringgit Purwa;
Pakĕm Wayang Purwa; Punika Sĕrat Lampahan Ringgit Purwa; Sĕrat Pakĕm
Ringgit Purwa, Sĕrat Pakem Ringgit Purwa (Jilid II); Yudayana Jumĕnĕng Ratu;
Pĕthikan Sĕrat Pakĕm Ringgit Madya Lampahan Jayaamijaya (Nancy K. Florida
Vol. I, II, III, dan IV; Girardet, 1983; dan Behrend, 1990; Tedjowirawan, 1995: 2).
Dari uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan Sĕrat
Darmasarana adalah terletak pada bagian akhir dari urutan teks-teks di dalam
Sĕrat Pustakaraja Purwa dan terletak pada bagian awal di dalam urutan teks-teks
Wayang Madya (Pustakaraja Madya).

C. Lakon-Lakon dalam Pertunjukan Wayang Madya


Dari sĕrat-sĕrat (teks-teks) Pustakaraja Madya yang mengandung lakon
Wayang Madya, antara lain: Sĕrat Pakĕm Madya yang memuat lakon, yakni: 1. Sri

32
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Gĕndrayana Murca, 2. Sudarsana Sraya, 3. Yaksa Kumara, 4. Sudarsana Pidana,


5. Babad Mamĕnang (Pĕlĕm Lalijiwa), 6. Pĕlĕm Ciptarasa, 7. Téjalĕngkara
Muksa, 8. Kijing Nirmala, 9. Tribagna, 10. Sora Acana, 11. Lintang Karahaton,
12. Narpati Brata, 13. Narpa Swala, 14. Ajidarma, 15. Anglingdarma Lahir, 16.
Narasinga Murca, 17. Simakombang (Simawulung), 18. Kitiran Mancawarna,
19. Sari Baswara (Dèwi Sĕtyawati Lĕmbu Tumangan), 20. Kidang Mas, 21. Putra
Nirmala (Girardet, 1983: 285-286).
Sĕrat Pakĕm Madya Warna-Warni II memuat lakon: 1. Candha Sangara,
2. Kĕdhap Wisésa, 3. Sénaraja Wiwaha, 4. Madrim Sraya, 5. Méndha Sraya, 6.
Madrim Puhara, 7. Wasindrajala, 8. Kandhali Séta, 9. Paksi Jiwa Yaksa, 10.
Banéjapati, 11. Kapi Kaladéwa (Girardet, 1983: 288-289).
Sĕrat Pakĕm Madya Warna-Warni III memuat lakon: 1. Masturi Murca,
2. Sĕtya Ubaya, 3. Pancawarna, 4. Triupaya, 5. Anglingdarma Muksana, 6. Prabu
Gandakusuma, 7. Kalawisaya, 8. Dwiraja Puwara, 9. Éndhang Daruki, 10.
Cakranggana-Cakranggini, 11. Manik Astagina, 12. Cundhamani, 13. Cundhaka
Jantur, 14. Mantri Nirmala, 15. Nurtyakanwa, 16. Trimulyajati, 17. Tirtapidana,
18. Jaka Pupon Antuk Rara Tĕmon, 19. Sĕndhang Banaspati (Girardet, 1983:
289-291).
Sĕrat Pakĕm Madya IV, memuat lakon: 1. Kĕstupati, 2. Martakilaya,
3. Citrawati Murca, 4. Èsthi Hérbanggi, 5. Bagawan Sri Pamasa Muksa, 6.
Éndrapati, 7. Babad Prambanan, 8. Darmakala, 9. Dewi Tara Murca, 10. Sĕndhang
Gandamana, 11. Babad Wana Ngamarta, 12. Kidang Kĕncana, 13. Karkati
Kĕncana, 14. Radèn Déwandaru Murca, 15. Margana Sraya, 16. Pancadnyana
Murca, 17. Sapta Prandana, 18. Déwaraja Balila, 19. Sĕkar Wijayakusuma, 20.
Narpéndra Wukir Patarangan (Girardet, 1989: 286-288).
Lakon-lakon Wayang Madya yang termuat dalam keempat kitab/ sĕrat,
yakni: Sĕrat Pakĕm Madya, Sĕrat Pakĕm Madya Warna-Warni II, Sĕrat Pakĕm
Madya Warna-Warni III, dan Sĕrat Pakĕm Madya IV. Seperti dikemukakan di atas
sebenarnya dapat dikembalikan ke dalam Sĕrat Yudayana, Sĕrat Gĕndrayana,
Sĕrat Budhayana, Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Purusangkara, Sĕrat Mayangkara,
Sĕrat Partakaraja, Sĕrat Ajidarma, Sĕrat Ajipamasa, Sĕrat Witaradya, Sĕrat
Purwanyana, Sĕrat Bandawasa, Sĕrat Déwatacèngkar, Sĕrat Widayaka, dan Sĕrat
Danèswara (Tedjowirawan, 2005). Dengan demikian sejumlah lakon Wayang
Madya di atas merupakan ambilan yang diperkaya dan dikembangkan penulisnya
dari sĕrat-sĕrat di atas.

D. Persamaan Beberapa Tokoh dalam Teks-Teks Wayang Madya dengan


Raja-Raja Jawa
Teks-teks sumber Wayang Madya adalah mahakarya yang mengandung
berbagai macam corak, baik epik, romantik, didaktik, maupun kronik, dan
didukung unsur-unsur pembentuk cerita, misalnya: mite, legende, simbolisme,
mimpi, cinta, karma, peruwatan, perebutan kekuasaan, ilham, hukum, dan lain-

33
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

lainnya. Bahasa adalah sistem tanda yang pertama, sedangkan sastra adalah
sistem tanda yang kedua. Berbagai cerita seringkali menjadi simbol atau lambang
peristiwa tertentu yang telah terjadi. Jika diteliti secara mendalam, maka teks-teks
sumber Wayang Madya penuh simbol, baik penokohannya maupun peristiwa-
peristiwa di dalamnya.
Apabila dilihat dari penokohannya, Sĕrat Darmasarana memusatkan
penceritaannya pada Prabu Darmasarana (Prabu Dipayana ataupun juga bernama
Prabu Parikesit), selain Prabu Yudayana dan sekilas Raden Gendrayana.
Berbeda dengan Sĕrat Yudayana yang menitikberatkan penceritaannya pada
Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana, dan Arya Prabu Bambang Sudarsana.
Prabu Jayapurusa atau Prabu Widhayaka (Narayana) diceritakan dalam Sĕrat
Gĕndrayana, Sĕrat Budhayana, Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Lampahan Jayapurusa,
Sĕrat Mayangkara, maupun Sĕrat Purusangkara. Adapun tokoh Prabu Ajipamasa
(Prabu Kusumawicitra) diceritakan dalam Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat Witaradya.
Tokoh Prabu Parikṣīt (Parikesit) atau Prabu Darmasarana jelas adalah
tokoh yang terdapat dalam tradisi Mahābhārata. Dalam tradisi Mahābhārata,
maharaja Janamejaya adalah putra Parikṣīt, sedangkan dalam tradisi kesastraan
Jawa, Prabu Yudayana adalah putra Prabu Parikesit. Oleh karena itu, Prabu
Yudayana dapat dapat disamakan dengan maharaja Janamejaya.
Apabila diperhatikan secara seksama cerita penumpasan ular yang
dilakukan oleh Prabu Yudayana dan pasukannya yang termuat dalam Sĕrat
Darmasarana II dan Sĕrat Yudayana, sebenarnya merupakan sambutan
dan transformasi cerita serupa dalam Ādiparwa. Dalam Ādiparwa tersebut,
pengorbanan ular yang dilakukan maharaja Janamejaya disebabkan karena
ayahandanya, yakni Parikṣīt tewas karena gigitan naga Takṣaka. Akan tetapi,
pengorbanan terhadap Takṣaka itu tidak sempurna sebab maharaja Janamejaya
mengabulkan permohonan Āstīka (anak seorang Brahmin yang bernama Jaratkaru)
untuk mengakhiri upacara korban Takṣaka. Dalam Sĕrat Darmasaran II dan Sĕrat
Yudayana dikemukakan bahwa justru Prabu Dipayana sendirilah yang meminta
pada Taksaka Raja agar menggigitnya, sebagai balasan baginya karena ia pernah
melukai Taksaka Raja, sewaktu menjadi binggěl ‘gelang kaki’ Resi Ardhawalika,
penjelmaan Sang Hyang Besuki. Taksaka Raja hanya menjilat ujung kaki baginda
yang kemudian membaca mantra untuk mencapai kelepasan (muksa). Peristiwa
tersebut menimbulkan salah sangka bagi Prabu Yudayana yang mengira bahwa
mangkatnya ayahandanya disebabkan Taksaka Raja semata sehingga baginda
murka dan memerintahkan menumpas semua ular di manapun. Pengorbanan
ular itu pun tidak sempurna karena akhirnya Prabu Yudayana justru tergiur oleh
kecantikan Dewi Sarini (anak Naga Raja Sarana, pelindung naga yang baik).
Dari uraian di atas, sekali lagi dapat dikatakan bahwa Prabu Yudayana
dapat disamakan dengan maharaja Janamejaya sebab keduanya dikatakan putra
Prabu Parikesit (Parikṣīt). Bagaimana seandainya Prabu Yudayana dihadapkan
dengan Udayana, bangsawan Bali yang diperkirakan ayah Erlangga (Airlangga)?

34
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Dalam tradisi Bali, nama raja Udayana berkaitan erat dengan kata udaya
yang berarti ‘matahari terbit’ (Wojowasito, 1977) sehingga mengisyaratkan seorang
raja yang mengembangkan kekuasaannya di daerah Udayana Perwata, yang
menurut perkiraan Pandit Shastri adalah Gunung Agung di Bali (Shastri, 1963).
Moens dalam De Stamboom van Airlangga mengatakan bahwa sesungguhnya ada
dua Udayana. Pertama, ayah Udayana di depan dan dimakamkan di pemandian
Jala Tunda di Jawa Timur pada tahun 899 Ç, sedangkan yang kedua, Udayana ayah
Udayana di depan dan dimakamkan di Banyu Weka (Shastri, 1963). Berdasarkan
prasasti Calcuta atau prasasti Penanggungan, ayah Airlangga, yakni Udayana
(Sang Ratu Maruhani Çri Dharmodayana Warmadewa) dan istrinya, yakni Sang
Ratu Luhur Çri Gunapriyadharmapatni adalah mereka yang mengeluarkan prasasti
di Bali. Udayana mempunyai tiga orang putra, yang pertama adalah Airlangga
yang kemudian menjadi raja di Jawa Timur, kedua adalah Marakata dan ketiga
adalah Anak Bungsu (Shastri, 1963).
Sebenarnya selain kedua Udayana di atas, Bosch menemukan adanya
Udayana (Udayadityawarman I) yang berasal dan berkuasa di Champa (Kamboja)
selama setahun (1001-1002 M). Ia kemudian melarikan diri dan diperkirakan ke
Jawa. Mengingat bahwa pada tahun 911 Ç atau tahun 989 M Udayana Warmadewa
sudah berada di Bali dan bersama istrinya Gunapriyadharmapatni mengeluarkan
sejumlah prasasti, maka Udayana temuan Bosch sudah pasti menunjuk pada
Udayana yang lain (Shastri, 1963).
Penamaan tokoh Yudayana dalam Sĕrat Darmasarana, tampaknya
diambil dari nama Udayana, raja Bali itu. Meskipun perlu pula dipertimbangkan
nama Yudayana berasal dari kata yuda ‘perang, peperangan’ (Prawiroatmojo,
1981) sebab dalam kenyataannya Prabu Yudayana banyak melakukan peperangan,
seperti dilukiskan dalam Sĕrat Yudayana. Pengenalan pujangga pencipta Sĕrat
Darmasarana dan Sĕrat Yudayana, yakni R. Ng. Ranggawarsita akan Udayana
dapatlah diterima. Mengingat R. Ng. Ranggawarsita adalah seorang pujangga
Jawa yang memiliki wawasan ilmu pengetahuan yang sangat luas. Baik yang
diperolehnya dengan mempelajari sejumlah literatur atau pun yang didapatkannya
sewaktu melakukan pengembaraan untuk menimba dan menambah ilmu ke
berbagai perguruan di Jawa dan Bali. Bahkan, dalam perjalanannya pulang
kembali ke Surakarta, R. Ng. Ranggawarsita memperoleh hadiah dari Ki Ajar
Sidalaku di Tabanan Bali berupa kropak yang berisikan sejumlah cerita, antara
lain: Bima Suci, Bratayuda, dan Darmasarana (Andjar Any, 1980).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tampilnya Prabu
Yudayana dalam Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana tersebut dimaksudkannya
untuk meresepsi (menyambut) maharaja Janamejaya dalam tradisi Mahābhārata.
Selain itu, Prabu Yudayana dipakai untuk menyambut dan mengesahkan Udayana
raja Bali sebagai seseorang yang menurunkan raja-raja di Jawa. Dalam hal ini,
R. Ng. Ranggawarsita mencoba menghubungkan tokoh-tojoh dalam tradisi

35
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Mahābhārata dan tradisi Bali ke dalam tradisi Jawa. Pandangan ini akan lebih
kuat apabila tokoh-tokoh dalam SĕratDarmasarana dan Sĕrat Yudayana dikaitkan
dengan teks-teks sumber Wayang Madya yang lain.
Dalam Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana diterangkan bahwa Prabu
Gendrayana adalah putra Prabu Yudayana. Berdasarkan tradisi Bali, Airlangga
adalah putra Udayana. Udayana kiranya dapat disamakan dengan Prabu Yudayana.
Dalam Sĕrat Yudayana dijelaskan bahwa Brahmana Kresnawasu dari Ngawu-awu
berkunjung ke Ngastina menghadap Prabu Gendrayana dan meramalkan bahwa
putra baginda kelak titisan Sang Hyang Wisnu Murti. Dia bernama Prabu Aji
Jayabaya dan akan menguasai tanah Jawa. Banyak raja ada di bawah kekuasaannya.
Dia sakti tanpa tanding meskipun seribu kesaktian para resi, brahmana, dan ajar
disatukan. Dalam Sĕrat Lampahan Jayapurusa dikemukakan bahwa Prabu
Jayapurusa raja di Widarba putra Prabu Gendrayana (Mangkunegara IV, 1914).
Di sisi lain, Airlangga menurunkan Jayabaya. Oleh karena itu, dapatlah dikatakan
bahwa Prabu Gendrayana dapatlah disamakan dengan Erlangga (Airlangga).
Apabila diperhatikan secara seksama, antara sejarah kehidupan Prabu
Gendrayana dan Airlangga pun ada kemiripannya. Prabu Gendrayana banyak
melakukan kesalahan semasa menjalankan pemerintahannya sehingga Sang
Hyang Narada atas perintah Sang Hyang Girinata memerintahkan Prabu
Gendrayana menyerahkan tahta Ngastina kepada adiknya, yakni Arya Prabu
Bambang Sudarsana. Ia kemudian menyingkir dan membangun tempat tinggal
baru di Menang. Di sana baginda berjumpa dengan Resi Budha yang kemudian
memberinya hadiah kerajaan Widarba. Di kerajaan Widarba itulah Prabu
Gendrayana memerintah sambil melakukan tapa brata memohon pengampunan
dewa. Hal itu dipaparkan dalam Sĕrat Budhayana. Di sisi lain, Airlangga pun
harus juga bersembunyi di sebuah pertapaan di Jawa karena kerajaan Jawa
Timur yang didirikan oleh Sindok runtuh, dan raja yang pada waktu itu berkuasa,
yakni Dharmawangsa Teguh Anantawikrama meninggal (Zoetmulder, 1983). Di
pertapaan yang diperkirakan di Wanagiri itulah Airlangga mendapat pengetahuan
tentang Weda-weda dan kesusastraan berkat didikan yang diterimanya dari para
brahmana (Shastri, 1963). Kemudian Airlangga dimohon menjadi raja dan setelah
dinobatkan ia berupaya untuk memulihkan wangsa Sindok (Zoetmulder, 1983).
Jadi, persamaan keduanya adalah masing-masing terpaksa harus meninggalkan
kerajaannya sekalipun alasannya berlainan.
Beberapa faktor yang menjadikan sifat Prabu Gendrayana tidak baik
sehingga harus meninggalkan kerajaan Ngastina, tampaknya di antaranya
berkaitan dengan sistem penamaan. Nama Gendrayana sudah barang tentu karena
ia putra Dewi Gendrawati dari kerajaan Gandara. Dalam hal ini terdapat persamaan
konsonan pada kata “gandara” dengan “gěndra” (kata dasar Gendrawati). Di
samping itu, kata Gendrawati sudah barang tentu berasal dari kata “gěndra” yang
berarti ‘ramé marga ana prakara sing ngĕgètaké’ atau ‘ramai karena ada perkara
yang mengejutkan’ (Poerwadarminta, 1939). Baik Dewi Gendrawati maupun

36
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Prabu Gendrayana memang berulangkali membikin keributan serta melakukan


kesalahan sehingga akhirnya memperoleh hukuman. Dewi Gendrawati secara
sembarangan menuduh Patih Dwara mau menodai dirinya sehingga ia menjatuhkan
perintah untuk mematahkan kedua pergelangan tangan patih yang penuh bakti
tersebut. Pada akhirnya, ketika ia mencaci maki Prabu Yudayana suaminya karena
menyunting Dewi Sadu, maka ia terpaksa meninggalkan kerajaannya di Ngastina
kembali ke Gandara. Kejahatan-kejahatan yang diperlihatkan Dewi Gendrawati
maupun Prabu Gendrayana, tampaknya tidak terlepas dari perilaku leluhurnya,
yakni Arya Sangkuni.
Tokoh lain yang sangat menonjol dalam teks-teks sumber Wayang
Madya yang telah dikemukakan di atas adalah Prabu Jayapurusa, yang muncul
dalam Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Lampahan Jayapurusa, Sĕrat Mayangkara,
maupun Sĕrat Purusangkara. Dalam Sĕrat Gĕndrayana dan Sĕrat Budhayana,
tokoh tersebut tampil dengan nama lain, yakni Raden Narayana yang setelah
menjadi raja bergelar Prabu Widhayaka. Dalam hal ini, Prabu Jayapurusa (Raden
Narayana) adalah nama lain atau dapat disamakan dengan Prabu Jayabaya raja
Kediri (Drewes, 1974).
Dalam Sĕrat Darmasarana, Prabu Aji Jayabaya adalah raja pelindung
yang memerintahkan Empu Tapawangkeng menyusun sĕrat tersebut. Jadi,
Jayabaya belum tampil dalam keseluruhan cerita. Dalam Sĕrat Yudayana pun
Prabu Aji Jayabaya diramalkan Brahmana Kresnawasu sebagai titisan Sang
Hyang Wisnu Murti dan ia sebagai putra Prabu Gendrayana yang kelak lahir.
Kelahiran Narayana, nama kecil Prabu Jayabaya dilukiskan, baik dalam Sĕrat
Gendrayana (hal. 51-53) maupun dalam Sĕrat Budhayana (hal. 68-71). Dilukiskan
di dalam kedua sĕrat tersebut bahwa menjelang Jayabaya lahir terjadi huru-hara
di Suralaya. Kemudian Sang Hyang Girinata, Sang Hyang Narada, disertai para
dewa dan bidadari turun untuk menyaksikan serta merestui kelahiran bayi titisan
Sang Hyang Wisnu tersebut. Kelahiran Jayabaya bersamaan dengan lahirnya putri
Patih Sutiksna yang menjadi titisan Dewi Sri. Sang Hyang Girinata memberi nama
putra Prabu Gendrayana itu Narayana, sedangkan putri Patih Sutiksna diberinya
nama Dewi Sutiksnawati. Mereka ditetapkan menjadi jodoh. Dijelaskan lebih
jauh pada bagian Sĕrat Gendrayana bahwa setelah Prabu Gendrayana muksa
bersama kerajaan Widarba yang dibawanya gaib, maka Prabu Yudayaka (Arya
Prabu Bambang Sudarsana) mengukuhkan Narayana menggantikan ayahandanya
dan diberinya gelar Prabu Widhayaka. Jadi, penamaan Prabu Jayapurusa untuk
menyebut Prabu Aji Jayabaya, seperti telah disinggung di depan, termuat terutama
pada Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Lampahan Jayapurusa, Sĕrat Mayangkara, maupun
Sĕrat Purusangkara.
Penyamaan Jayapurusa dengan Jayabaya, selain dapat dicari dari sumber
Serat Lampahan Jayapurusa, dapat pula diamati lewat arti kedua kata di atas. Kata
jayapurusa, berarti ‘manusia yang jaya’, sedangkan kata jayabaya berarti ‘menang
dalam bahaya’. Jadi keduanya mengandung arti jaya ‘menang’. Kemenangan yang

37
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

dicapai oleh pemilik nama itu atas para musuhnya. Prabu Jayabaya diperkirakan
pernah melakukan peperangan dan memenangkannya melawan sudaranya sendiri
yang bernama Jayasaba, menurut tradisi Bali (Zoetmulder, tanpa tahun). Oleh
sebab itu, Prabu Jayabaya (Jayabhaya) memerintahkan kepada Mpu Sedah dan
Mpu Panuluh untuk menyusun Kakawin Bhāratayuddha sebagai pembebasan
dosa-dosanya. Peperangan Prabu Jayapurusa melawan saudaranya, yakni Prabu
Sariwahana, seperti dilukiskan dalam Sĕrat Sariwahana dan Sĕrat Lampahan
Jayapurusa, kiranya merupakan sindiran peristiwa peperangan kerajaan Kediri
dan Panjalu (Tedjowirawan, 1990).
Dalam masyarakat Jawa, Prabu Jayabaya sebagai titisan Sang Hyang
Wisnu dipandang memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Prabu Jayabaya adalah
seorang raja besar yang adil lagi bijaksana, ahli dalam tata pemerintahan, ahli
seni sastra, yang selalu jaya di medan perang, dan ia pun juga seorang peramal
ulung. Oleh sebab itu, sebagai peringatan baginya, di desa Menang, Pagu, Kediri
didirikanlah monumen spiritual yang megah bernama Pusat Wilayah Petilasan
Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo (Yudoyono, 1984).
Dari uraian di atas, sekali lagi dapat dikatakan bahwa ada persamaan
beberapa tokoh dalam teks-teks sumber Wayang Madya dengan raja-raja
Jawa. Dalam hal ini tokoh Prabu Yudayana dapat disamakan dengan maharaja
Janamejaya dalam tradisi Māhabhārata, dan dapat pula disamakan dengan
Udayana, ayah Erlangga (Airlangga) dalam tradisi Bali. Tokoh Prabu Gendrayana
dapat disamakan dengan Erlangga dan tokoh Prabu Jayapurusa dapat disamakan
dengan Prabu Jayabaya (Jayabhaya) raja Kediri. Dalam hal ini, ada usaha dari
R. Ng. Ranggawarsita untuk menghubungkan antara tradisi Māhabhārata, tradisi
Bali, dan tradisi Jawa.

E. Mitologi Pengging Dibalik Penamaan Pujangga-Pujangga Imajinasi


Nama mpu-pujangga pencipta teks-teks Wayang Madya di atas (subbab
2) sebenarnya bukanlah pengarang sesungguhnya. Mereka hanyalah pujangga-
pujangga imajinasi (fantasi) saja yang sengaja dikemukakan sebagai sarana bagi
pujangga penciptanya untuk mengungkapkan kerendahan hatinya sekaligus
bersembunyi dibalik karya sastra ciptaanya. Sebab dalam kenyataannya dalam
tradisi penulisan kesastraan Jawa, baik kesastraan Jawa Kuna, kesastraan Jawa
Pertengahan, maupun kesastraan Jawa Baru tidak dijumpai sejumlah mpu-
pujangga penyusun teks-teks di atas. Apabila Sĕrat Darmasarana dan teks-teks
sumber Wayang Madya tersebut terciptanya pada abad IX dan X seperti tersurat
di dalamnya (kecuali Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat Witaradya), sudah barang tentu
bahasa Jawa yang dipergunakannya adalah bahasa Jawa Kuna, bukan bahasa
Jawa Baru zaman Surakarta.
Siapakah sebenarnya nama Mpu Tapawangkeng dalam Sĕrat
Darmasarana, Mpu Kalangwan dalam Sĕrat Yudayana, Mpu Mandara dalam Sĕrat
Budhayana, Mpu Sindungkara dalam Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Purusangkara

38
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

serta Sĕrat Mayangkara, Mpu Saddha dalam Sĕrat Partakaraja, Mpu Wisana
dalam Sĕrat Ajidarma, Mpu Udaka dalam Sĕrat Ajipamasa, Mpu Wilasaya
dalam Sĕrat Witaradya dan Sĕrat Purwanyana, Mpu Windudaka dalam Sĕrat
Bandawasa, Mpu Madura dalam Sĕrat Dewatacĕngkar dan Sĕrat Widayaka, dan
Mpu Madukara dalam Sĕrat Danĕswara itu?
Sangat menarik apabila kita coba mengamati dan menguraikan arti kata
nama pujangga-pujangga di atas, mungkin akan dapat membantu mengungkapkan
motivasi dan peristiwa dibalik penempatan pujangga-pujangga di atas. Penamaan
Mpu Tapawangkeng dalam Sěrat Darmasarana di atas, secara etimologis berasal
dari kata ’tapa’ dan ’wangkĕng’. Kata ’tapa’ berarti ’cĕgah, luwé, bosĕn’ (Winter,
1880: 197) atau ’tapa, bertapa’ (Prawiroatmodjo, 1981: 237) dan ’wangkĕng’
yang tidak dijumpai dalam sejumlah kamus, tetapi dalam bahasa Jawa dialek
Temanggung berarti ’kuat (keras) dalam pendirian’. Dengan demikian, arti kata
tapawangkĕng berarti ’yang kuat (keras) dalam bertapa’.
Kata kalangwan, nama pujangga pencipta Sĕrat Yudayana, selain berarti
’kalangan atau terhalang, tempat mengadu hewan, gelanggang’ (Winter, 1880:
146), sudah barang tentu berkaitan dengan kata kalangön ’keindahan’, di samping
berarti ’pengalaman, estetik, pencarian keindahan, keindahan alam, atau terpesona
oleh keindahan’ (Zoetmulder, 1995: 568-569) atau ’pemandangan yang indah,
tempat yang menyenangkan’ (Wojowasito, 1977). Kemudian kata mandara, nama
pengarang Sĕrat Budhayana, selain berarti ’berhias, bersolek’ (Prawiroatmodjo,
1981: 328; Poerwadarminta, 1939: 289) agar menjadi cantik atau indah tampaknya
berkaitan pula dengan Gunung Mandara (gunung mitologik) yang terdapat dalam
tradisi Mahābhārata bagian pertama, yakni Ādiparwa (Zoetmulder, 1958; 1995:
643). Kata sindungkara, nama pujangga Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Purusangkara
maupun Sĕrat Mayangkara berasal dari kata sindu yang berarti ’air, sungai’
(Winter, 1880: 209; Prawiroatmodjo, 1981: 196; Poerwadarminta, 1939: 563).
Dalam buku Rangsang Tuban (Padmosusastro, 1908) yang memiliki keistimewaan
yakni penamaan penokohan serta lokasi penceritaannya mengandung unsur air, di
dalamnya pun tampil nama Prabu Sindupati sebagai raja di Tuban. Di dalam Sĕrat
Darmasarana, muncul Bathara Sindungkara, Dewa Buaya yang memberikan ilmu
kepada Prabu Darmasarana (Prabu Dipayana) agar dapat menguasai binatang
air. Di samping itu, apabila diperhatikan di sebelah barat jalan Sindunegaran
di Bumija Yogyakarta, terdapat sungai Kaliwinanga yang nantinya bermuara
di Laut Selatan. Boleh jadi, kata sindu di atas diambil dari bahasa Jawa Kuna
sindhu yang juga berarti ’air, sungai, laut’ (Zoetmulder, 1995: 1.094). Kata
saddha, nama pujangga Sĕrat Partakaraja berarti ’musim yang ke-12 sekitar
bulan Mei-Juni’ (Poerwadarminta, 1939: 537; Prawiroatmodjo, 1981: 156). Kata
wisana, nama pujangga Sĕrat Ajidarma berarti ’akhir, penghabisan, kesudahan’
(Poerwadarminta, 1939: 665). Kata udaka, nama pengarang Sĕrat Ajipamasa,
berkaitan pula dengan air atau mata air (Winter, 1880: 23; Prawiroatmodjo, 1981:
288; Poerwadarminta, 1939: 434; Zoetmulder, 1995: 1.316). Kata wilasaya, nama

39
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

pujangga Sĕrat Witaradya dan Sĕrat Purwanyana kemungkinan berkaitan erat


dengan kata wilasa yang berarti ’bersenang-senang, menghibur hati, bermain-
main, permainan’ (Prawiroatmodjo, 1981: 321; Poerwadarminta, 1939: 663;
Zoetmulder, 1995: 1.434). Salah satu tempat untuk bermain-main dan bersenang-
senang adalah di mata air atau pemandian. Kemudian kata widayaka berarti wong
kang mranata, wong pinter (Poerwadarminta, 1939: 661) atau yang berhubungan
dengan pertapa atau orang pandai. Dalam bahasa Jawa Kuna kata widhāyaka
berarti memerintahkan, melaksanakan, mengarahkan, menguasai, sangat kuat,
menjadi ulung, ahli-pandai (Zoetmulder, 1995: 1.427).
Kata windudaka, nama pujangga Sĕrat Bandawasa sudah barang tentu
berkaitan dengan kata windu dan udaka. Kata windu berarti ’bibir (lambé)
tembok sumur di sebelah atas’ (Poerwadarminta, 1939: 664; Prawiroatmodjo,
1981: 322). Sedangkan kata udaka berkaitan dengan air atau mata air seperti telah
dikemukakan di atas. Kata madura, nama pujangga pencipta Sĕrat Dewatacèngkar
dan Sĕrat Widayaka kemungkinan berkaitan dengan kata madu yang berarti
banyuning kĕmbang kang rasané lĕgi, air madu (lebah). Kata madukara berarti
lebah (Poerwadarminta, 1939: 284; Prawiroatmodjo, 1981: 321). Dalam bahasa
Jawa Kuna kata madhu berarti ’madu, minuman madu, air gula’. Adapun kata
madhukara berarti ’pembuatan madu (kumbang-lebah)’ (Zoetmulder, 1995: 625).
Kata madhukara, nama penggubah Sĕrat Danèswara berarti ’pembuat madu,
lebah’ seperti telah dikemukakan di atas.
Teks-teks sumber Wayang Madya di atas, satu dengan lainnya saling
berkaitan dan mempunyai nafas yang sama. Mungkin pujangga penciptanya
memang sengaja menyajikan karyanya itu untuk tidak dibaca dan dipahami sendiri-
sendiri atau terpisah, melainkan secara struktural (keseluruhan). Pemisahan
teks-teks di atas ke dalam judul-judul yang berbeda, sekalipun berurutan serta
berkaitan, mungkin dimaksudkan agar cerita di dalamnya tidak terlalu panjang,
sehingga tidak melelahkan dan membosankan bagi pembaca.
Sebenarnya untuk mendalami Sĕrat Darmasarana misalnya, maka
pemahaman terhadap teks-teks sumber Wayang Madya lainnya perlu pula
dilakukan. Demikian pula sebaliknya, pemahaman terhadap Sĕrat Darmasarana
akan sangat membantu serta mempermudah pemahaman terhadap teks-teks
sumber Wayang Madya lainnya, mengingat teks yang satu dan yang lainnya tidak
terpisahkan. Sangatlah menarik apabila mencoba mengambil langkah yang sama di
dalam rangka mengungkapkan siapa sesungguhnya pujangga pencipta teks-teks di
atas. Apabila kita mencoba berimajinasi dengan mengkaitkan dan menggabungkan
arti nama-nama pujangga di atas secara etimologis, sungguh tidak disangka
diperoleh hasil yang menyenangkan. Pengertian baru hasil gabungan (hubungan,
sandi) arti nama-nama pujangga di atas, yakni: Seorang yang kuat dalam tapa,
yang gemar berolah keindahan, yang (bertempat tinggal) di daerah air (mata
air) (di kaki) gunung (Merapi-Merbabu). Daerah yang dimaksud di atas, sudah
jelas menunjuk daerah Pengging, Banyudana, Boyolali. Memang daerah tersebut

40
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

banyak terdapat mata air dan pemandian serta terletak di kaki Gunung Merapi-
Merbabu. Penentuan daerah tersebut yakni Pengging, sebenarnya secara tersirat
dan tersurat telah dikemukakan dalam Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Purusangkara,
Sĕrat Mayangkara, Sĕrat Partakaraja, Sĕrat Ajidarma, Sĕrat Ajipamasa, yang
keenamnya dikatakan disusun oleh Mpu Sindungkara, Mpu Saddha, Mpu Wisna,
Mpu Udaka, yang di dalam mitologisnya bertempat tinggal di daerah Pengging.
Di samping itu jika dicermati secara seksama di dalam teks-teks seperti Sĕrat
Witaradya, Sĕrat Purwanyana, Sĕrat Bandawasa, maka tokoh-tokoh utama yang
dikemukakan di dalamnya pun adalah para raja yang memerintah dan berkuasa di
Kerajaan Pengging.
Dari uraian di atas menimbulkan persoalan, siapakah sebenarnya pujangga
yang dimaksud? Apakah R. Ng. Yasadipura I atau R. Ng. Yasadipura II, dua
pujangga termashur Kerajaan Surakarta dan pelopor ”renaissance” (kebangkitan
kembali) kesastraan Jawa, dan yang keduanya memang dimakamkan di Pengging?
Namun apabila diperhatikan secara seksama penulis Sĕrat Ajipamasa dan Sĕrat
Witaradya, sekalipun di dalamnya dikatakan bahwa Mpu Udaka menyusun Sĕrat
Ajipamasa dan Mpu Wilasaya menyusun Sĕrat Witaradya, akan tetapi hal itu
meragukan pula. Sebab berdasarkan dua penempatan sandiasma (nama tersamar
yang biasanya terdapat dalam sebuah tembang), yakni di awal pupuh dan di awal
baris maka Sĕrat Ajipamasa adalah karya R. Ng. Ranggawarsita, atau secara
lengkapnya yakni: Rahadyan Hangabèhi Ranggawarsita Nayaka Dalĕm Wadya
Kaliwon Pujangga Guru Basa Krama Saha Juru Pamardi Parama Kawi Ing
Nagari Surakarta Hadiningrat.
Apabila mendasarkan diri pada penguasaan materi penciptaan, ketepatan
kosa katanya, kelebihan pengolahan kalimatnya serta gaya penulisannya, secara
sepintas sudah menunjukkan bahwa Sĕrat Darmasarana, Sĕrat Yudayana,
Sĕrat Budhayana (Sĕrat Gĕndrayana), Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Purusangkara,
Sĕrat Partakaraja, Sĕrat Ajidarma, Sĕrat Ajipamasa, Sĕrat Witaradya, Sĕrat
Purwanyana, Sĕrat Bandawasa, Sĕrat Dewatacĕngkar, Sĕrat Widayaka maupun
Sĕrat Danèswara disusun oleh pujangga yang sama yakni R. Ng. Ranggawarsita.
R. Ng. Ranggawarsita adalah seorang pujangga yang sangat mahir menyusun
karya sastra bertĕmbang, tetapi ia pun diakui oleh Ras (1985) sebagai seorang
penulis prosa yang bermutu, meskipun masih dalam kawasan sastra klasik.
Dari uraian di atas menimbulkan pertanyaan, mengapa penamaan
Tapawangkeng, Kalangwan, Mandara, Sindhungkara, Udaka, Wilasaya,
Windudaka, Madura, Madukara dapat menunjukkan daerah Pengging, Banyudana,
Boyolali dan R. Ng. Ranggawarsita? Dalam hal ini jawabannya bahwa R. Ng.
Ranggawarsita sengaja memitoskan, mengangkat serta menempatkan daerah
Pengging seolah-olah sebagai pusat tata pemerintahan atas Tanah Jawa sesudah
Kediri, meskipun dalam kenyataannya tidaklah demikian. Hal itu dilakukan R.
Ng. Ranggawarsita sebagai tanda bukti bakti cintanya pada leluhurnya antara
lain, yakni: Pangeran Handayaningrat dan Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet, Jaka

41
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Tingkir) yang berasal dari Pengging, maupun kakeknya yakni R. Ng. Yasadipura
I dan R. Ng. Yasadipura II yang dimakamkan pula di Pengging.
Teks-teks sumber Wayang Madya beserta nama-nama pujangga imajinasi
(fantasi) di dalamnya secara struktural (keseluruhan) menunjukkan ciri penulisan
yang sangat khas. Gejala-gejala (fenomena-fenomena) penulisan seperti itu betul-
betul langka dan hampir tidak terdapat dalam sejarah penulisan kesastraan Jawa.
Apabila pendekatan ’etimologis sandhi’ (yang justru lahir karena adanya
penulisan teks-teks sumber Wayang Madya yang sangat khas di atas adalah
langkah yang benar di dalam membedah dibalik nama pujangga-pujangga
imajinasi di atas, maka kiranya pendekatan ini dapat dipertimbangkan untuk
memahami sebagian pembaharuan dalam tradisi penulisan kesastraan Jawa yang
dikemukakan oleh pujangga besar R. Ng. Ranggawarsita.

42
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Bab III
Deskripsi dan Sinopsis Sěrat Darmasarana
Koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta
Nomor 152 A dan Nomor 94 (808.543)

A. Deskripsi Naskah Sěrat Darmasarana Nomor 152 A dan Nomor 94


(808.543)
Sěrat Darmasarana yang dipakai dalam penelitian ini adalah naskah
Sěrat Darmasarana koleksi Perpustakaan Radya Pustaka Surakarta nomor 152 A.
Naskah Sěrat Darmasarana atau Sěrat Pustakaraja Purwa: Sěrat Darmasarana
(Nancy Vol. IV, 1981: 161) tersebut berukuran 20,2 x 32 cm, bagian teks: 14
x 24 cm, jumlah larik (baris) dalam tiap halaman 22, jumlah halaman naskah
316 ditambah dua halaman pembuka. Halaman pertama menerangkan judul
sěrat, penulis dan saat penulisan. Halaman kedua menguraikan judul sěrat dan
keterangan bahwa sěrat tersebut termasuk kelompok Sěrat Mahadarma serta
termasuk bagian dalam Sěrat Pustakaraja Purwa. Dikemukakan pula lama waktu
peristiwa yang diceritakan, baik menurut perhitungan tahun Suryasangkala dan
Candrasangkala. Naskah Sěrat Darmasarana nomor 152 A ini ditulis dengan
huruf Jawa. Bentuk tulisan persegi ramping agak condong (miring). Tulisan baik,
terang, teratur dan mudah dibaca. Naskah masih dalam keadaan baik. Selain
jumlah halamannya lengkap, hampir tidak terdapat halaman robek atau hilang
seperti yang sering terdapat dalam sejumlah naskah.
Di samping naskah Sěrat Darmasarana nomor 152 A di atas, dipakai juga
teks Sěrat Darmasarana II yang telah ditransliterasikan dan sudah berupa ketikan.
Sěrat Darmasarana II tersebut juga disimpan di Perpustakaan Radya Pustaka
Surakarta dengan kode nomor 94 (808.543). Di samping Sěrat Darmasarana
II dengan kode nomor 94 (808.543), seperti telah dikemukakan di atas (Bab I)
terdapat pula Sěrat Darmasarana II dengan kode 95 (808.543), maupun nomor
96 (808.543), yang isinya sama karena ketiga sěrat di atas merupakan tembusan
dari satu ketikan yang sama.
Jumlah halaman Sěrat Darmasarana II tersebut 80 lembar ditambah 4
halaman pembuka. Halaman pertama berisikan judul Sěrat Darmasarana II serta
stempel Yayasan Paheman Radya Pustaka Surakarta. Halaman kedua berisikan
ucapan terima kasih dan ucapan persembahan kepada Bapak Moenadi, selaku
Gubernur/ Kdh. Propinsi Jawa Tengah oleh Panitia Pengalihaksaraan Jawa ke
Latin serangkaian buku-buku karya Pujangga-pujangga Indonesia. Halaman
ketiga, berisikan pendahuluan (purwaka) oleh Yayasan Paheman Radya Pustaka
Surakarta. Halaman keempat, berisikan stempel Yayasan Paheman Radya
Pustaka Surakarta. Sěrat Darmasarana II nomor 94 (808.543) yang sudah
ditransliterasikan ke dalam huruf latin dan diketik tersebut di sana-sini masih
tampak kurang rapi, kurang teliti serta tidak konsisten dalam menyusun jumlah

43
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

larik dalam setiap halamannya. Karena kadang-kadang jumlah larik dalam setiap
halamannya 38, 39, 40 atau 42. Di samping itu, tidak ada keterangan naskah Sěrat
Darmasarana kode nomor berapakah yang ditransliterasi tersebut. Dalam hal ini
masih dibutuhkan penelitian yang seksama dalam mendalam atas naskah-naskah
Sěrat Darmasarana di atas.
Baik naskah Sěrat Darmasarana maupun Sěrat Darmasarana II
berbentuk prosa, sehingga aturan metrik (sanjak Macapat) seperti jumlah larik
(baris) dalam satu bait, jumlah suku kata dalam satu larik maupun jatuhnya bunyi
tertentu dalam satu larik tidak digunakan. Demikian pula mengenai penggunaan
tanda baca, misalnya titik, boleh dikatakan tanda titik tersebut jarang dipergunakan
kecuali sebagai penunjuk pergantian alinea. Dengan demikian kalimat-kalimat
disusun sangat panjang, bahkan kadang-kadang sampai beberapa halaman, hanya
ditandai koma bilamana perlu. Sudah barang tentu hal ini harus disadari bahwa
pada saat penulisan atau pun penyalinan naskah tersebut belum begitu banyak
tata aturan penulisan seperti sekarang ini. Tanda baca yang berlaku pada jaman
dahulu sering tidak lagi sesuai dengan jaman sekarang, mengingat tata aturan
penulisan senantiasa mengalami perubahan dari jaman ke jaman.
Naskah Sěrat Darmasarana maupun Sěrat Darmasarana II disusun
dengan mempergunakan bahasa Jawa Baru ragam campuran, yakni ragam bahasa
Jawa Krama dan ragam bahasa Jawa Ngoko, selain itu juga bahasa Mantra atau
bahasa yang sering diucapkan oleh dewa, seperti misalnya: Horěh mrětasa
namaswaha yang tersurat pada Sěrat Darmasarana halaman 10 dan Hong
běgět-běgět ’ingat-ingat’ yang tersurat pada halaman 114. Ragam Bahasa Jawa
Ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara pembicara (O1) terhadap lawan
bicara (O2). Dalam arti pembicara tidak merasa segan terhadap lawan bicara agar
suasana pembicaraan terasa akrab (Soepomo Poedjosoedarmo, dkk., 1979: 14).
Ragam Bahasa Jawa Krama (Inggil) adalah ragam bahasa Jawa untuk mereka
yang berdarah bangsawan atau mereka yang mempunyai derajat camat, pengulu,
lurah, pendeta, kiai dan sebagainya (Soepomo Poedjosoedarmo, dkk., 1979: 18).
Dalam Sěrat Darmasarana ini, ragam Bahasa Jawa Krama yang dipakai
lebih mengarah ke Bahasa Jawa Krama Inggil, sedangkan ragam Bahasa Jawa
Ngoko dipakai dalam dialog dewa kepada raja dan patih; dialog raja kepada
para penggawa atau rakyat, atau dialog para pejabat tinggi dan rendah kepada
rakyat. Meskipun demikian, dewa, raja atau para penguasa tidak meninggalkan
batas-batas kesopanan. Adapun ragam Bahasa Mantra diucapkan dewa kepada
raja, atau diucapkan raja untuk memohon pertolongan dewa. Penggunaan ragam
Bahasa Jawa Krama dalam Sěrat Darmasarana tidak banyak berbeda dengan
ragam Bahasa Jawa Krama yang dipergunakan dalam Sěrat Yudayana, Sěrat
Budhayana, Sěrat Prabu Gěndrayana, Sěrat Sariwahana, Sěrat Ajidarma, Sěrat
Mayangkara, Sěrat Purusangkara dan lain sebagainya. Hal itu tidaklah aneh bila
mengingat pujangga penggubah sejumlah sěrat tersebut sama dan hidup dalam
kalangan istana Surakarta.

44
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Adapun penggunaan bahasa Mantra di dalam Sěrat Darmasarana


dapat dikatakan sedikit. Namun di dalam keseluruhan Sěrat Pustakaraja maka
penggunaan bahasa Mantra tersebut banyak dijumpai. Misalnya di dalam Sěrat
Sri Saddhana (yang termasuk dalam kelompok Sěrat Darmasarana Maharata,
bagian Sěrat Pustakaraja) gubahan Mpu Kalangwan di Mamenang pada tahun
Suryasangkala 853 atau tahun Candrasangkala 879. Di dalam Sěrat Sri Saddhana
tersebut terdapat bahasa Mantra misalnya yang diucapkan oleh Buyut Raddhima
ketika ikut merasakan kesedihan Dewi Sri karena terpisah dari saudaranya Raden
Sri Saddhana. Doa yang diucapkan Buyut Raddhima berbunyi:

Hyong yangi kadarddèng pangěmpwa sulun suwawi sira ngakup pamèng


wong kang lalun, rika dwi syan padhè muta ywa kapilun, těgěsipun: Dhuh
déwa ingkang asih ing ratu kawula, mugi-mugi angapuntěna dhatěng
sang ratu, supados sang ratu angapuntěna dhatěng putra anglalu ing
kalih-kalihipun sami èmuta, sampun kalajeng-lajěng (Ranggawarsita
dalam Kamajaya, 1994: 46).

(Dhuh dewa yang berbelas kasih kepada raja hamba, semoga dimaafkan
sang raja, agar sang raja memberi maaf kepada kedua putranya yang pergi,
keduanya hendaknya saling menyadari (ingat), jangan sampai terlanjur).

Bahasa Mantra lainnya diajarkan oleh Dewi Sri kepada Buyut Warahas
(Muksala) dan istrinya Ken Martani (Pitengan) untuk menghilangkan ’bubuk
bang’ yang terdapat dalam padi yang disimpan di lumbung. Mantra tersebut
berbunyi:

Hong palacat murca ruwat kalasuha; hong sri manděl magurěn


tělamaswaha. (Ranggawarsita dalam Kamajaya, 1994: 49).

Bahasa Mantra (dewa) lainnya yang tertulis melingkari sebuah arca


kencana yang berbentuk Sang Hyang Jagadnata yang duduk di atas Padmasana,
yang ditemukan oleh Prabu Cingkaradewa di Medangkamulan. Prabu
Cingkaradewa adalah putra Sri Maharaja Sindhula atau Raja Gotaka, cucu Prabu
Watugunung. Adapun tulisan tersebut berbunyi:

Suta mwang arta: yyan sidya saraya niti; Yyan tan prasidya; yati
kasatru durniti. Nging hayyaniswěka sataté kagupayati; myang yyani
narta munakěn sdya tan stiti, těgěsipun: Suta kaliyan arta, yèn kalěrěsan
dados kanthi těměn, nanging lamun botěn gadhah anak, punika tansah
anglalayungi manah. Lamun tanpa arta, murungakěn sědya botěn lana.
(Ranggawarsita dalam Kamajaya, 1994: 91-92).

45
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

(Anak dan uang, jika kebetulan menjadi teman yang sungguh-sungguh,


tetapi apabila tidak mempunyai anak, hal ini selalu membuat hati sedih
(menyedihkan hati). Apabila tanpa uang, menyebabkan keinginan tidak
abadi).

Adanya dua Sěrat Darmasarana, yakni Sěrat Darmasarana dan Sěrat


Darmasarana II menimbulkan persoalan, sebab sebenarnya keduanya dapat
dipisahkan satu sama lain. Antara Sěrat Darmasarana dan Sěrat Darmasarana II
tidak terjalin hubungan yang lurus. Dalam arti Sěrat Darmasarana II tidak langsung
merupakan kelanjutan dari Sěrat Darmasarana. Hubungan Sěrat Darmasarana
dan Sěrat Darmasarana II mirip dengan hubungan Sěrat Darmasarana II dengan
Sěrat Yudayana, atau hubungan antara Sěrat Yudayana dengan Sěrat Budhayana
(Sěrat Prabu Gěndrayana). Demikian pula mirip hubungan Sěrat Sariwahana
dengan Sěrat Mayangkara, dan hubungan Sěrat Mayangkara dengan Sěrat
Purusangkara. Hubungan sěrat-sěrat di atas bersifat diakronis berlapis.
Sěrat-sěrat di atas, yakni Sěrat Yudayana atau Sěrat Pustakaraja Puwara:
Sěrat Yudayana bernomor 153 (Nancy K. Florida Vol. IV, 1981: 162). Dalam
Sěrat Pustakaraja, Sěrat Yudayana termasuk dalam Sěrat Pustakaraja Purwa,
bukan Sěrat Pustakaraja Puwara (Sri Mulyono, 1989: 197). Adapun Sěrat
Budhayana (Sěrat Pustakaraja Puwara: Sěrat Budhayana) bernomor 154 B,
Sěrat Sariwahana (Sěrat Pustakaraja Puwara: Sěrat Sariwahana) bernomor 154
G, dan Sěrat Purusangkara (Sěrat Pustakaraja Puwara: Sěrat Purusangkara)
bernomor 155. Naskah-naskah di atas adalah koleksi Perpustakaan Radya Pustaka
Surakarta (Nancy K. Florida Vol. IV, 1981: 163-165).
Sěrat Darmasarana II nomor 94 (808.543) yang sudah ditransliterasikan
di atas sekilas tampak sebagai sěrat (kitab) untuk menghubungkan antara Sěrat
Darmasarana dengan Sěrat Yudayana. Hal itu tampak pada bagian awal Sěrat
Darmasarana II yang menceritakan perselisihan yang terjadi antara Ki Sarana
dengan Ki Saruna dalam memperebutkan Sami, wanita yang sebenarnya telah
menjadi istri Ki Sarana. Dalam perselisihan itu Ki Saruna dibantu oleh Tanda
Palaswa. Sami diaku sebagai istri Ki Saruna setelah ia memperdayanya dengan
mantra. Cerita tersebut sebenarnya sudah terdapat dalam Sěrat Darmasarana
pada halaman 197 dan seterusnya. Bagian akhir Sěrat Darmasarana menceritakan
peristiwa pembakaran jenasah, selanjutnya diteruskan dengan labuhan abu
jenasah Prabu Dipayana ke sungai. Kemudian Prabu Yudayana memberikan
anugerah kepada Patih Dwara, Patih Danurwedha serta penggawanya yang
telah menjalankan perintah raja. Cerita di atas pun dikemukakan kembali
dalam Sěrat Darmasarana II pada halaman 55 dan 56. Demikian pula dalam
Sěrat Darmasarana II bagian akhir yang menceritakan muksanya Patih Dwara,
karena hukuman yang dijatuhkan 1Prabu Yudayana atas hasutan permaisuri Dewi
Gendrawati yang salah sangka akan kebenaran serta kesetiaan yang diperlihatkan
Patih Dwara. Cerita pada bagian akhir Sěrat Darmasarana II tersebut ternyata

46
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

sudah masuk cukup jauh ke dalam Sěrat Yudayana, yakni pada halaman 49.
Dengan demikian sekilas tampak bahwa isi Sěrat Darmasarana II diambilkan
dari Sěrat Darmasarana halaman 197 sampai halaman 316, ditambah Sěrat
Yudayana sampai dengan halaman 49. Jadi sebenarnya tanpa melibatkan Sěrat
Darmasarana II, naskah Sěrat Darmasarana koleksi Perpustakaan Radya Pustaka
Surakarta nomor 152 A sudah cukup mewakili Sěrat Darmasarana. Akan tetapi
berhubung keduanya menggunakan nama yang sama yakni Sěrat Darmasarana
maka kedua sěrat di atas tetap menjadi bahan utama penelitian ini.

B. Penulis dan Saat Penulisan Sěrat Darmasarana


Para peneliti kesastraan Jawa, antara lain: Kamajaya (1964: 196); Suripan
Sadi Hutama (Andjar Any, 1980: 72); Andjar Any (1980: 114); Darusuprapta
(1981) maupun Haryana Harjawiyana (1984: 142) menempatkan Sěrat
Darmasarana sebagai karya R. Ng. Ranggawarsita. Di dalam Sěrat Pustakaraja,
diterangkan:

Sěrat Darmasarana, wiyosipun punika cariyos panjěněnganipun Nata


Parikěsit ing Ngastina, ngantos dumugi ing pamuksanipun. Kaanggit
déning Mpu Tapawangkěng ing Maměnang, panganggitipun anuju ing
taun Suryasangkala: 855, kaétang ing taun Candrasangkala amarěngi:
881 (Ranggawarsita, 1938: 18).

(Sěrat Darmasarana, cerita dalam kitab ini tentang Paduka raja Prabu
Parikesit di Ngastina, sampai dengan muksanya Baginda. Digubah oleh
Mpu Tapawangkeng di Mamenang, penggubahannya bertepatan pada
tahun Suryasangkala 855, terhitung tahun Candrasangkala bertepatan
881)

Di samping menggubah Sěrat Darmasarana, sebelumnya Mpu


Tapawangkeng bersama-sama Mpu Panuluh menggubah Sěrat Karimataya
juga pada tahun Suryasangkala 855 atau terhitung tahun Candrasangkala 881
(Ranggawarsita, 1938: 17).
Dalam Sěrat Darmasarana sendiri juga dikemukakan, bahwa pengarang
sěrat tersebut adalah Mpu Tapawangkeng, atas perintah Prabu Aji Jayabaya raja
Kediri. Penggubahan sěrat itu pada tahun Suryasangkala 855 atau terhitung tahun
Candrasangkala 881. Hal itu tersurat pada halaman 1 naskah yang berbunyi:

Punika gancaranipun cariyosing Sěrat Darmasarana, kaanggit déning


Empu Tapawangkěng, saking karsanipun Prabu Aji Jayabaya nata
binathara ing Kadiri panganggitipun anuju ing taun Suryasangkala
855, kaétang ing taun Candrasangkala amarěngi 881. Měnggah ingkang
dados bubukanipun kapratélakakěn ingkang kasěbut ing pupungkasaning

47
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Sěrat Karimataya, salěbětipun Sěrat Mahadarma, urut-urutaning Sěrat


Pustakaraja Purwa ....

(Inilah cerita prosa Sěrat Darmasarana, disusun oleh Mpu Tapawangkeng,


atas kehendak Prabu Aji Jayabaya raja yang bagaikan dewa di kerajaan
Kadiri, penggubahannya bertepatan tahun 855 Suryasangkala, terhitung
tahun 881 menurut Candrasangkala. Adapun yang menjadi pembuka
dikemukakannya pada bagian akhir Sěrat Karimataya, yang termasuk
dalam Sěrat Mahadarma, lanjutan dari Sěrat Pustakaraja Purwa .... )

Kutipan di atas sangat menarik perhatian untuk dicermati. Satu hal


yang perlu dipertanyakan, apakah benar Sěrat Darmasarana disusun oleh Empu
Tapawangkeng atas kehendak Prabu Aji Jayabaya? Sejauh pengamatan dan
penelitian yang pernah dilakukan oleh kami (peneliti) tidak diketemukan nama
Mpu Tapawangkeng semasa pemerintahan Prabu Jayabaya. Para pujangga yang
menggubah karya sastra besar pada masa pemerintahan raja Jayabaya antara
lain adalah Mpu Panuluh yang menyusun Kakawin Hariwangśa, Kakawin
Gaṭotkacāśraya dan bersama Empu Seḍah menyusun Kakawin Bhāratayuddha
(Zoetmulder, 1983: 317-368). Jadi sangat mungkin Mpu Tapawangkeng adalah
bukan nama sebenarnya dari pencipta Sěrat Darmasarana tersebut. Mengingat
penyamaran seringkali muncul pada pribadi seorang pujangga, seperti penyamaran
Dharmādhyakṣa Kasogatan Ḍang Ācārya Nadendra sebagai Prapañca sewaktu
menyusun Kakawin Nāgarakṛtāgama (Slamet Mulyana, 1979: 242).

Pada halaman tambahan naskah Sěrat Darmasarana diterangkan:

Punika ingkang nyěrat Kiyai Wangsa Prajaka, Abdi Dalěm Jajar


Anggandhèk Kiwa, rampunging panyěrat marěngi ing dintěn Rěbo Paing
Wuku Wuyé, tanggal kaping 12 wulan Ramlan taun Wawu, angka 1825.

(Yang menulis Kiai Wangsa Prajaka, Abdi Dalem Jajar Anggandhek


Kiwa, selesai ditulis pada hari Rabu Paing Wuku Wuye, tanggal 12, bulan
Ramlan tahun Wawu 1825).

Dari kutipan di atas, Sěrat Darmasarana ditulis oleh Kiai Wangsa Prajaka
pada tahun 1825 J atau 26 Februari 1896 (Nancy K. Florida Vol. IV, 1981: 161).
Siapakah sebenarnya nama Mpu Tapawangkeng dalam Sěrat Darmasarana
tersebut? Dalam kesastraan Jawa, nama Mpu Tapawangkeng paling tidak terdapat
dalam kitab Tantu Panggĕlaran, Pararaton, Sĕrat Pustakaraja (terutama di

48
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

dalam Sĕrat Sri Saddhana, Sĕrat Karimataya dan dan Sĕrat Darmasarana).
Dalam Tantu Panggĕlaran diceritakan, bahwa Mpu Tapawangkeng atau Sameget
Baganjing berhutang laksa-laksa dan berjanji akan membayar hutangnya kalau
matahari sudah condong ke barat. Oleh karena ia tidak mempunyai uang, maka
matahari dihentikan peredarannya. Sang Prabu yang pada waktu itu sedang
berpuasa menjadi kelaparan karenanya dan menanyakan penyebab perjalanan
matahari berhenti. Setelah diketahui penyebabnya, maka Sang Prabu memberikan
uang pada Sameget Baganjing untuk melunasi hutang-hutangnya dan matahari
pun terbenam (Poerbatjaraka, 1957).
Dalam teks Pararaton atau Katuturanira Kèn Angrok diterangkan:

Nihan katuturanira ken Angrok. Mulanira duk dinadekěn manuṣa, hana


anakira rangḍyaning Jiput, lumaku tan rahayu aměgati apusira pinaka
pamañcananing hyang Sukṣma; sah sira saking Jiput, angungsi sira
ring maṇḍaleng Bulalak. Parabira sang abatur ing Bulalak sira mpu
Tapawangkěng, agawe gopuraning aҫramanira, pinalampahan wěḍus
bang sapalaki dening hyanging lawang. Lingira Tapawangkěng: ’’Nora
olihing apěningan dadi agaweya papapātakaning awak, yan amatimatia
janma, norana ta amutusakěna papalakoning caru wěḍus bang ika’’.
Dadi ta sang aměgati apus angling, asanggup makacaruaning lawangira
mpu Tapawangkěng, satya ta sira, asanggup panakacaru, marganira
muliha maring Wiṣṇubhuwana tumitisa mareng wibhāwajanma, mareng
madhyapada muwah, mangkana pamalakunira. Irika ta duk inastwan
tumitisa denira mpu Tapawangkěng tinut i rasaning kapraliṇanira, amukti
ta sira pitung maṇḍala. Ri huwusnira praliṇa irika ta sira pinakacaru
denira mpu Tapawangkěng. Tělasira mangkana mūr ta sira maring
Wiṣṇubhuwana, tan liñok ing rasaning sangkětanira sang pinakacaru
amalaku ta sira titisakěna ri wetaning Kawi (Brandes, 1920: 3-4).

Dari kutipan di atas diceritakan bahwa Angrok (Ken Arok) yang dianggap
pada suatu ketika dengan rela hati menawarkan dirinya untuk dipergunakan sebagai
”korban pembangunan” kepada seorang pertapa bernama Mpu Tapawangkeng.
Angrok adalah putra Dewa Brahma, yang dilahirkan dari Ndok, seorang wanita
yang baru menikah di sebuah ladang terbuka (Brandes, 1920: 3-4; Berg, 1974: 15).
Dalam Sĕrat Sri Saddhana (termasuk kelompok Sĕrat Maharata, bagian
Sĕrat Pustakaraja Purwa) yang dikatakan gubahan Mpu Kalangwan pada tahun
Suryasangkala 853 atau tahun Candrasangkala 879 juga muncul tokoh Buyut
Wangkeng dari Medhangwantu. Buyut Wangkeng dilukiskan sebagai seorang
buyut yang terkenal sakti, perguruannya disegani oleh sesama perguruan. Sewaktu

49
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Dewi Sri dalam kejaran Ditya Kalandaru, maka oleh Buyut Raddhima, Dewi Sri
dibawa berlindung pada Buyut Wangkeng. Pada waktu Ditya Kalandaru dan para
raksasa menyerang Medhangwantu maka terjadilah pertempuran yang sangat
sengit. Dengan kesaktiannya Ditya Kalandaru menciptakan kabut yang dingin,
Buyut Wangkeng dan pengikutnya menggigil kedinginan sehingga mereka
dengan mudah ditangkap dan diikat pada pohon. Namun Buyut Wangkeng
kemudian matěk Aji Bawana Mantra sehingga Ditya Kalandaru dan pasukannya
menjadi kabur (buta) matanya. Sewaktu Ditya Kalandaru di dalam perjalanannya
membentur batu penutup sebuah goa maka Ditya Kalandaru yang marah
kemudian menebak batu tersebut sehingga hancur berantakan. Burung raksasa
Wilmuka yang selama tiga hari terjebak terkurung dalam goa tersebut berhasil
keluar. Sebagai tanda terima kasih, maka mata Ditya Kalandaru dan pasukannya
yang buta itu dapat disembuhkan oleh burung Wilmuka dengan sabetan bulu
sayapnya (Ranggawarsita dalam Kamajaya, 1994: 47-52). Adapun dalam Sĕrat
Karimataya maupun Sĕrat Darmasarana disebutkan bahwa Mpu Tapawangkeng
adalah pencipta kedua teks tersebut.
Dalam usaha menentukan Sěrat Darmasarana adalah karya R. Ng.
Ranggawarsita, maka sěrat tersebut haruslah ditempatkan sebagai bagian dari
Sěrat Pustakaraja. Sěrat Pustakaraja adalah maha karya R. Ng. Ranggawarsita.
Pustakaraja yang berarti ’kitab pedoman raja dan induk segala kitab kisah Jawa’
(Kuntara, 1980: 4) dibagi menjadi:
a. Pustakaraja Purwa, meliputi kisah selama 800 tahun (1-800 S/ 1-824 C)
b. Pustakaraja Puwara, meliputi kisah selama 600 tahun (801-1400 S/ 825-1442
C)

Sěrat Pustakaraja Purwa meliputi:


1. Sěrat Mahaparwa : 2 kitab
2. Sěrat Mahaděwa : 2 kitab
3. Sěrat Maharěsi : 2 kitab
4. Sěrat Maharaja : 4 kitab
5. Sěrat Maharata : 5 kitab
6. Sěrat Mahatantra : 5 kitab
7. Sěrat Mahapatra : 8 kitab
8. Sěrat Mahadarma : 19 kitab

Sěrat Pustakaraja Puwara meliputi:


1. Sěrat Mahaparma : 6 kitab
2. Sěrat Maharaka : 4 kitab
3. Sěrat Mahaprana : 5 kitab
4. Sěrat Mahakrama : 4 kitab
5. Sěrat Mahakara : 2 kitab dan 1 kumpulan catatan para mpu
6. Sěrat Mahapara : 1 kumpulan catatan para mpu
(Sri Mulyana, 1989: 191-200; Kuntara Wiryamartana, 1980: 4-6).

50
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Dalam daftar susunan Sěrat Pustakaraja maka Sěrat Darmasarana dan


Sěrat Yudayana termasuk dalam Sěrat Mahadarma bagian Sěrat Pustakaraja
Purwa. Sěrat Budhayana, Sěrat Sariwahana, Sěrat Purusangkara, Sěrat
Partakaraja, Sěrat Ajidarma serta Sěrat Ajipamasa termasuk Sěrat Mahaparma,
bagian Sěrat Pustakaraja Puwara. Adapun serat Witaradya termasuk dalam Sěrat
Maharaka, bagian Sěrat Pustakaraja Puwara (Sri Mulyana, 1989: 195-198).
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana yang disusun pada
pertengahan abad XIX (Nancy K. Florida IV, 1981: 161) adalah karya R. Ng.
Ranggawarsita. Yang menjadi masalah adalah adakah sumber yang dijadikan
dasar penggubahan Sěrat Darmasarana jaman Surakarta tersebut, misalnya
sebuah Kakawin atau Kidung Darmasarana. Mengingat dalam perjalanan pulang
kembali ke Surakarta dari pengembaraannya di Bali, R. Ng. Ranggawarsita
memperoleh hadiah dari Ajar Sidalaku berupa kropak yang berisikan sejumlah
cerita, antara lain: Bimasuci, Bratayuda, dan Darmasarana (Andjar Any, 1980:
37).
Nama Mpu Tapawangkeng dalam Sěrat Karimataya dan Sěrat
Darmasarana, Mpu Kalangwan dalam Sěrat Yudayana, Mpu Mandara
dalam Sěrat Budhayana, Mpu Sindungkara dalam Sěrat Sariwahana, Sěrat
Purusangkara, dan Sěrat Mayangkara, Mpu Saddha dalam Sěrat Partakaraja,
Mpu Wisana dalam Sěrat Ajidarma, Mpu Udaka dalam Sěrat Ajipamasa serta
Mpu Wilasaya dalam Sěrat Witaradya dan Sěrat Purwanyana, Mpu Windudaka
dalam Sěrat Bandawasa, Mpu Madura dalam Sěrat Déwatacěngkar, dan Sěrat
Widayaka, serta Mpu Madukara dalam Sěrat Danèswara, seperti dikemukakan
di atas kiranya bukanlah nama sebenarnya pencipta sěrat-sěrat di atas. Di dalam
Sěrat Ajipamasa dan Sěrat Witaradya, sekalipun di dalamnya dikatakan bahwa
Mpu Udaka menyusun Sěrat Ajipamasa dan Mpu Wilasaya menyusun Sěrat
Witaradya, akan tetapi hal itu pun meragukan pula. Mengingat berdasarkan
dua penempatan sandiasma yakni di awal pupuh dan di awal baris, seperti
telah dikemukakan di atas (Bab II), maka Sěrat Ajipamasa adalah karya R. Ng.
Ranggawarsita. Demikian pula dari ketiga penempatan sandiasma, yakni di awal
pupuh, di awal bait dan di awal baris yang terdapat dalam Sěrat Witaradya pun
menunjukkan karya R. Ng. Ranggawarsita. Apabila dicermati secara seksama
sandiasma di dalam Sěrat Witaradya yang terdapat pada awal baris pertama
pada bait I pupuh I menunjukkan Raden Ngabehi Ranggawarsita. Kemudian
sandiasma yang terletak pada awal bait mulai bait I sampai XXXIX masih
dalam pupuh I di dalam Sěrat Witaradya tersebut menyiratkan nama: Rahadyan
Hangabèhi Ranggawarsita Kaliwon Pujangga Saha Guru Basa Krama Parama
Kawi Ing Nagari Surakarta Hadiningrat.
Apabila mendasarkan diri pada penguasaan materi penciptaan secara
sepintas sudah menunjukkan bahwa Sěrat Darmasarana, Sěrat Budhayana, Sěrat
Sariwahana, Sěrat Purusangkara, Sěrat Mayangkara, Sěrat Ajipamasa, dan Sěrat
Witaradya disusun oleh pujangga yang sama yakni R. Ng. Ranggawarsita. Dari

51
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

uraian di atas, sekali lagi dapat dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana disusun oleh
R. Ng. Ranggawarsita.

C. Sinopsis Sěrat Darmasarana Koleksi Perpustakaan Radya Pustaka


Surakarta Nomor 152 A dan Nomor 94 (808.543)
Pada suatu hari, Prabu Dipayana di kerajaan Ngastina dihadap Bagawan
Baladewa, Arya Swuhbrastha, Patih Dwara, Patih Danurwedha, Arya Dyastara,
Arya Tanbara, Arya Hermata, Arya Satmata, Arya Kestu, Arya Saksa, Arya
Warsaka, Arya Saromba, Arya Sanjata, Arya Subata, Arya Sasara, dan Arya
Sarata. Dalam persidangan tersebut, Prabu Dipayana bermaksud bercengkrama
berburu ke hutan dan memerintahkan Patih Dwara memilih tempat untuk
membuat pagrogolan ‘tempat yang dipagari untuk berburu kijang menjangan’.
Dengan diiringkan Arya Kestu, Arya Saromba, Arya Sasara, dan Arya Sarata,
Patih Dwara menuju ke hutan Palasara untuk membuat pagrogolan.
Pada waktu itu, Prabu Satyaka, raja Dwarawati mendapat serbuan Prabu
Kismaka, putra mendiang Prabu Bomanarakaswara raja di Tarajutiksna. Prabu
Satyaka terdesak dan memerintahkan Patih Udakarya untuk meminta bantuan
ke Ngastina. Prabu Dipayana pun kemudian memerintahkan Patih Danurwedha,
Arya Hermata, Arya Satmata, Arya Sanjata, dan Arya Subata bersama pasukan
Ngastina membantu Prabu Satyaka. Di tengah pertempuran itu, Prabu Satyaki
raja Lesanpura datang dan bergabung dengan pasukan Dwarawati dan Ngastina.
Dalam pertempuran yang dahsyat itu, penggawa raksasa Tarajutiksna yang gugur
adalah Padodara, Pancadrasthi, Swahana, Rohita dan Abirata. Penggawa manusia
yang gugur adalah Suwirya, Suparta dan Astranisa. Patih Wirabatana mengamuk
dan membunuh Arya Satmata, tetapi ia pun segera dibinasakan Prabu Satyaki.
Prabu Kismaka membunuh Arya Hermata, tetapi ia mati bersama-sama ‘sampyuh’
dengan Prabu Satyaki. Arya Antariya kemudian menyerahkan diri.
Prabu Dipayana mengangkat Arya Antariya, putra mendiang Prabu
Bomantara memerintah kerajaan Tarajutiksna, tetapi masih di bawah kekuasaan
Prabu Satyaka. Prabu Dipayana pun memanggil Arya Sanga-sanga, putra Prabu
Satyaki dan mengangkatnya menggantikan kedudukan ayahandanya menjadi raja
di Lesanpura. Di samping itu, Prabu Dipayana mengangkat adik Prabu Udara di
Madura, yaitu: Raden Sewana menggantikan Arya Hermata dan diberinya gelar
Arya Sewana serta Raden Sarsana menggantikan Arya Satmata dan diberinya gelar
Arya Sarsana. Dalam pada itu, Patih Dwara dan pembantu-pembantunya menghadap
raja untuk melaporkan bahwa pesanggrahan dan pagrogolan sudah siap.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana memanggil Mpu Brangtadi sambil
menyerahkan Besi Srikandhi agar dibuat senjata untuk berburu. Akan tetapi,
sewaktu besi tersebut ditempa, tiba-tiba musnah. Kemudian Prabu Dipayana
memberikan lagi Besi Gurita. Akan tetapi sewaktu ditempa, besi itu pun lenyap.
Sesudah itu, datanglah malapetaka yang hebat melanda kerajaan Ngastina.
Dalam keprihatinannya, Prabu Dipayana mendapat wangsit ‘ilham, bisikan’

52
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

agar baginda berdiri di tengah halaman, menghadap empat penjuru mata angin
sambil mengucapkan mantra. Setelah hal itu dilakukan tiba-tiba melayanglah
sepasang besi, yakni Besi Srikandhi yang sudah berbentuk arca Dewi Uma dan
Besi Gurita dalam bentuk arca Sang Hyang Girinata. Sepasang arca itu kemudian
ditempatkan di sanggar pemujaan, seiring lenyapnya malapetaka yang menimpa
Kerajaan Ngastina.
Pada suatu hari, Prabu Dipayana, Patih Dwara, Patih Danurwedha dan
pengawal kerajaan Ngastina bercengkrama berburu di pagrogolan hutan Palasara.
Di sana, Patih Dwara bertemu Ken Suyati. Prabu Dipayana merasa gembira
sekaligus bersedih hati menyaksikan ketrampilan, kehebatan dan kesaktian
pasukannya di dalam menangkap berbagai macam binatang buruan. Pada malam
harinya, raja secara diam-diam pergi meninggalkan pesanggrahan bermaksud
memohon kesaktian dewa. Patih Dwara yang kemudian mengetahui hal tersebut
meminta Ken Suyati menyamar sebagai Prabu Dipayana dan memerintahkan
pasukan Ngastina untuk menunggu kembalinya Patih Dwara, seandainya ia
besok mencari Baginda. Keesokan harinya, dengan berpura-pura mengejar
seekor kijang, Patih Dwara meninggalkan pesanggrahan. Perjalanan Patih Dwara
sampai di pertapaan Tirta Awarna di Gunung Manikmaya. Bagawan Sidhiwacana
mempersilahkan Patih Dwara agar menunggu raja di pertapaan tersebut.
Dalam pengembaraannya, Prabu Dipayana berjumpa dengan Resi
Ardhawalika serta meruwatnya kembali menjadi Sang Hyang Basuki. Sang Hyang
Basuki kemudian memberikan pelajaran penawar bisa ular, ilmu untuk menguasai
binatang melata serta memberikan gelar Prabu Yudhiswara. Kemudian Prabu
Dipayana bertemu dan meruwat Resi Mragapati menjadi Sang Hyang Gana. Sang
Hyang Gana memberikan pelajaran ilmu untuk menguasai berbagai binatang serta
memberi gelar Prabu Dipayana, Prabu Mahabrata. Selanjutnya Prabu Dipayana
bertemu dan meruwat burung garuda menjadi Sang Hyang Sambo. Sang Hyang
Sambo mengajarkan cara menguasai bangsa burung serta memberinya gelar Prabu
Darmasarana. Kemudian Prabu Dipayana bertemu dengan Sarabisa, pimpinan
utusan Prabu Sayakesthi, raja Mukabumi yang bermaksud menyampaikan
surat padanya. Akan tetapi, Prabu Dipayana menolaknya, sehingga terjadilah
pertempuran dan Sarabisa tewas. Sesampainya di hutan Bramaniyara di Kerajaan
Gilingwesi, Prabu Dipayana berjumpa dan meruwat taksaka “naga” penjelmaan
Dewi Swanyana sewaktu mau menelan Prabu Praswapati raja Gilingwesi. Dewi
Swanyana memberikan pelajaran kepada Prabu Dipayana mengenai olah asmara,
antara lain: asmara gama, asmara nala, asmara tantra, asmara tura, asmara
nadha dan asmara turida. Prabu Praswapati mempersilahkan Prabu Dipayana
singgah di Kerajaan Gilingwesi. Di sana, ia menceritakan hubungan persahabatan
antara leluhur Prabu Praswapati dengan para Pandawa serta mengawinkan Prabu
Dipayana dengan Dewi Sritatayi.
Dalam pada itu, Prabu Sayakesthi raja Mukabumi mengembara mencari
Prabu Dipayana untuk dikawinkan dengan Dewi Niyata. Prabu Sayakesthi

53
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

berhasil berjumpa dengan Prabu Dipayana yang secara diam-diam meninggalkan


Gilingwasi serta membawanya ke Mukabumi. Di sana, Prabu Dipayana
dikawinkan dengan Dewi Niyata, tetapi ia pun segera meninggalkan istrinya
itu. Sesampainya di bengawan Lowaya, Prabu Dipayana dibawa seekor buaya
menghadap Bathara Sindungkara, putra Sang Hyang Ganggastana. Bathara
Sindungkara memperingatkan baginda akan bahaya di perjalanannya nanti serta
mengajarkan cara menguasai berbagai binatang air. Sesampainya di hutan Citura,
di kaki Gunung Cingkara, Prabu Dipayana berjumpa dengan raksasa Srubisana,
putra Lembusana yang gugur dalam perang Baratayuda. Dalam pertempuran yang
terjadi, Prabu Dipayana kalah, tubuhnya dibuang dan jatuh di pertapaan Tirta
Awarna. Di sana raja berjumpa dengan Patih Dwara. Kemudian diketahuinya
bahwa Ken Suyati adalah putri Bagawan Sidhiwacana. Tiada berapa lama
turunlah Sang Hyang Narada mengemban perintah Sang Hyang Girinata untuk
meruwat Ken Satapa agar menjadi gadis jelita serta memerintahkan agar Ken
Suyati yang tengah menyamar sebagai Prabu Dipayana dipanggil kembali ke Tirta
Awarna. Bagawan Sidhiwacana menceritakan silsilah dirinya serta menerangkan
bahwa keturunannya nanti ada yang menjadi tempat bersatunya Sang Hyang
Wisnu dengan Sang Hyang Panyarikan. Beberapa hari setelah perkawinan Prabu
Dipayana dengan Dewi Satapa dan perkawinan Patih Dwara dengan Ken Suyati,
maka mereka segera kembali ke pagrogolan dengan meninggalkan istri mereka.
Sesampainya mereka di hutan Pringgadarya, mereka bertemu dengan pendeta
raksasa bernama Bagawan Sukandha yang bermaksud mengambil menantu Prabu
Dipayana. Akan tetapi Prabu Dipayana menolaknya. Pada saat itulah Srubisana
datang. Dengan terpaksa Prabu Dipayana meminta bantuan Bagawan Sukandha
dengan imbalan memenuhi keinginan sang pendeta. Srubisana dibinasakan,
tetapi Prabu Dipayana bermaksud ingkar janji. Dengan kesaktiannya, Bagawan
Sukandha membimbing Prabu Dipayana dan Patih Dwara datang ke pertapaan di
Goa Siluman. Di sana Prabu Dipayana dikawinkan dengan Endhang Sikandhi serta
diberinya berbagai macam kesaktian. Beberapa hari kemudian, Prabu Dipayana
dan Patih Dwara mohon diri kembali ke pesanggrahan. Sewaktu pengawal
Prabu Dipayana mengumpulkan binatang buruan tiba-tiba terdengarlah tangisan
sangsam ’rusa’ seperti manusia yang khawatir akan berpisah dengan orang tuanya.
Ia menyatakan pula bahwa menurut ramalan ia dan orang tuanya akan teruwat
kembali di Kerajaan Ngastina. Prabu Dipayana terharu dan memerintahkan Patih
Dwara, Patih Danurwedha dan pasukannya mencari induk rusa tersebut.
Dalam pada itu, sepeninggal Prabu Dipayana, Kerajaan Ngastina diserbu
Prabu Niradhakawaca raja Ima-imantaka. Prabu Niradhakawaca adalah anak Prabu
Niladatikawaca, cucu Prabu Niwatakawaca. Dalam pertempuran itu penggawa
raksasa Ima-imantaka yang gugur adalah: Kakartata, Akralkara, Subangkara,
Caksusrawa, Bagrasaka, Kardhawaktra, Triwimoha, Mahakuhaka, Bahimurakura,
Bayurota, Banasangsa, Salimuka, Dhandhabajra. Penggawa Ngastina yang gugur
adalah: Arya Swuhbrastha, Arya Kestu. Dalam pertempuran yang sangat dahsyat

54
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

dan licik, Prabu Niradhakawaca berhasil membunuh Bagawan Baladewa. Dewi


Utari, Arya Dyastara dan pasukan Ngastina meninggalkan istana menyusul Prabu
Dipayana ke pesanggrahan hutan Palasara.
Dalam pada itu, para pengawal Ngastina berhasil menemukan induk jantan-
betina rusa aneh itu. Tiada berapa lama datanglah Dewi Utari dan pengawalnya
melaporkan jatuhnya kerajaan Ngastina atas serangan musuh.
Sementara itu, Prabu Praswapati raja Mukabumi, Prabu Sayakesthi raja
Gilingwesi, Bagawan Sukandha di Goa Siluman serta Bagawan Sidhiwacana di
Tirta Awarna didesak putri-putri mereka agar menyusulkan mereka ke Ngastina.
Di perbatasan hutan Palasara, Prabu Dipayana berjumpa dengan keempat istri,
mertua serta adik iparnya (Wawasi Sidhikara). Kemudian turunlah Sang Hyang
Narada memberitahu dan memerintahkan Prabu Dipayana meminta bantuan
Resi Gurundaya di Gunung Nirma untuk mengalahkan Prabu Niradhakawaca.
Tidak berapa lama sesampainya Prabu Dipayana bersama pasukannya di Gunung
Nirma, datanglah pasukan Prabu Niradhakawaca. Dalam pertempuran yang
dahsyat, Bagawan Sukandha berhasil membinasakan Patih Kalandhakara, akan
tetapi ia akhirnya terbunuh oleh Prabu Niradhakawaca. Resi Gurundaya segera
mengheningkan cipta untuk mengeluarkan Bĕsi Adnyana dari dadanya dan besi
itu kemudian kembali sambil membawa Bĕsi Aji yang keluar dari pucuk lidah
Prabu Niradhakawaca. Prabu Niradhakawaca berhasil membunuh Darmagopa
(Gilingwesi), Citrakapa, Kulata (Mukabumi), Puthut Srengga (Manikmaya),
Tutuka, Salesaya, Kotya (Ngastina). Akhirnya, Prabu Dipayana menghancurkan
Prabu Niradhakawaca dan pasukannya. Setelah peperangan selesai, Dewi Utari
yang mengetahui bahwa Prabu Dipayana tertarik pada Dewi Grendi, putri
Resi Gurundaya bermaksud mengawinkan mereka di Kerajaan Ngastina. Atas
permintaan Dewi Utari, Resi Gurundaya menceritakan silsilah dirinya.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana mengadakan persidangan dan
memutuskan mengadakan sayembara mencari hilangnya Nanggala dari tangan
Prabu Niradhakawaca. Pada saat itulah Sang Hyang Narada turun mengemban
perintah Sang Hyang Girinata untuk memberitahukan baginda, bahwa Nanggala
milik Bagawan Baladewa itu sudah diambil kembali oleh dewa. Sang Hyang
Girinata memberikan anugerah Cundhamani, senjata Dananjaya sebagai
pengganti. Cundhamani memiliki keistimewaan dapat meruwat mereka yang
cacat dan sengsara. Kemudian Taramba menghadap raja melaporkan keluhan
ketiga rusa aneh dan mencurigakan tersebut. Resi Gurundaya berdesir hatinya dan
mengusulkan meruwat ketiga rusa yang diperkirakan penjelmaan keluarga saudara
tuanya, yakni Resi Gurunadi. Prabu Dipayana segera meruwat ketiga rusa itu
sehingga menjelma kembali menjadi Resi Gurunadi, Dewi Nawangsasi dan Dewi
Maera. Dewi Nawangsasi ternyata juga ibu Dewi Sikandhi, sebelum menjadi istri
Resi Gurunadi. Resi Gurunadi menceritakan pada Baginda, tentang hubungannya
dengan Padopaya, gadis Milak serta Brahmana Kaehanala sampai akhirnya ia dan
keluarganya terkutuk menjadi rusa. Dewi Nawangsasi pun menceritakan awal

55
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

mula yang menjadi penyebab ia meninggalkan Bagawan Sukandha dan putrinya


Endhang Sikandhi. Resi Gurundaya kemudian mengusulkan pada Baginda agar
memberikan Dewi Maera untuk Patih Danurwedha.
Pada suatu ketika, Arya Sewana menghadap Prabu Udara dan Prabu
Sanga-sanga di Lesanpura, sedangkan Arya Sarsana menghadap Prabu Satyaka
di Dwarawati. Mereka mengemban perintah Prabu Dipayana memberitahukan
gugurnya Bagawan Baladewa serta memanggil ketika raja tersebut menghadap
ke Ngastina.
Prabu Dipayana memerintahkan pula pada Wasi Sidhikara ke pertapaan
Tirta Awarna memboyong Bagawan Sidhiwacana ke kerajaan. Di samping
itu, baginda pun memerintahkan Patih Dwara dan Patih Danurwedha untuk
mengumpulkan para pejabat tinggi dan rendah, baik dari dalam maupun luar
istana serta para pertapa. Tiada lama kemudian, Prabu Dipayana melangsungkan
perkawinannya dengan Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi Satapa, Dewi
Sikandhi dan Dewi Grendi. Sementara itu Patih Dwara kawin dengan Dewi
Suyati, sedangkan Patih Danurwedha kawin dengan Dewi Maera. Selanjutnya
Dewi Sritatayi diubah namanya menjadi Dewi Gentang; Dewi Niyata menjadi
Dewi Impun; Dewi Satapa menjadi Dewi Tapen; Dewi Sikandhi menjadi Dewi
Puyengan serta Dewi Grendi menjadi Dewi Dangan.
Pada suatu ketika, para istri Prabu Dipayana itu melahirkan putra. Dewi
Gentang berputra Dewi Tamioyi; Dewi Impun berputra Dewi Yodi; Dewi Tapen
berputra Raden Yudayana; Dewi Puyengan berputra Raden Ramayana sedangkan
Dewi Dangan berputra Raden Ramaprawa. Tidak lama kemudian, Dewi Gentang
dan Dewi Impun wafat karena sakit. Jenasah mereka dihanyutkan di bengawan
Logangga. Dalam perjalanannya kembali ke kerajaan, Prabi Dipayana dan
rombongan berjumpa dengan Padopaya yang tengah menunggui tiga buah arca.
Atas saran Resi Gurunadi, Prabu Dipayana meruwat ketiga arca itu, sehingga
menjelma kembali menjadi Kaehanala bersama istri serta Milak. Kemudian
Prabu Dipayana mengawinkan Padopaya dengan Milak dan mengangkatnya
menjadi penggawa.
Pada suatu hari, sewaktu Prabu Dipayana mengadakan persidangan,
datanglah Sang Hyang Udipati menyamar sebagai Arpasa. Ia mengajarkan secara
simbolik tentang kebijaksanaan seorang raja dalam mengendalikan negara. Di
samping itu, Arpasa mengingatkan raja akan berbagai persoalan yang terjadi
di empat tempat yang perlu segera diselesaikan. Sepeninggal Arpasa, Prabu
Dipayana memerintahkan memanggil Kaesuksraya pemuka desa Gigili bersama
anaknya Si Sangkara serta keluarga Winisaka. Prabu Dipayana menghukum
buang Si Sangkara bersama istri mendiang Winisaka. Kaesuksraya diperintahkan
memberikan harta benda miliknya kepada keluarga Winisaka. Kemudian Prabu
Dipayana memerintahkan memanggil Umbul Wilasaya bersama ketiga istri
mendiang Gihawya yakni: Ruruh, Panirin, dan Mestri. Prabu Dipayana membantu
membagi warisan Gihawya kepada ketiga istrinya itu. Selanjutnya Prabu Dipayana

56
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

memerintahkan memanggil Sukarna dari desa Sakri dan Buyut Sayundrawa.


Prabu Dipayana mengambil dan mengangkat Sayundrewa sebagai tukang cerita.
Kemudian Prabu Dipayana memanggil dan menyelesaikan perselisihan antara
Tambingu dengan Patriata yang memperebutkan arca Gana. Setelah itu, Raden
Susatya, putra Dwarawati diiringkan Patih Udakarya, penggawa Sasmaka dan
Wiralata menghadap Prabu Dipayana untuk melaporkan mangkatnya Prabu
Satyaka dan Dewi Tejawati serta tewasnya rakyat Dwarawati karena wabah
penyakit.
Dalam pada itu, Bagawan Sidhiwacana kembali ke Manikmaya, Resi
Sidhikara melaporkan bahwa ia menerima wangsit ’ilham’ dewa tentang jodohnya,
yakni Endhang Drawasi, putri Sang Wiku Mudra di pertapaan Gunung Aswata.
Begawan Sidhiwacana mengajak Resi Sidhikara melamar Endhang Drawasi, Sang
Wiku Mudra menerima lamaran saudaranya itu, tetapi meminta perlindungan dari
kemarahan Dhang Hyang Suwela, pertapa sakti di Gunung Pulagra. Resi Sidhikara
segera dikawinkan dengan Endhang Drawasi. Beberapa hari dari perkawinan itu,
datanglah jalěgi ’hantu bertubuh api’ yang dikirim Dhang Hyang Suwela untuk
membunuh Bagawan Sidhiwacana dan Sang Wiku Mudra yang tengah terlena
dalam tukar ilmu pengetahuan kesempurnaan. Akhirnya jalěgi tersebut berhasil
dilumpuhkan oleh Resi Sidhikara dan menjelma menjadi seekor tikus. Jenasah
Bagawan Sidhiwacana dan Sang Wiku Mudra dibakar, abunya dibawa ke Ngastina.
Prabu Dipayana sangat murka dan segera memerintahkan Prabu Sanga-sanga,
Patih Danurwedha, Arya Tambara, Arya Saromba bersama pasukan Ngastina
menghancurkan pertapaan Aswata. Dalam pertempuran itu, Wawasi Duryajaya,
putra Dhang Hyang Suwela tewas, Dhang Hyang Suwela segera membunuh Prabu
Sanga-sanga dan kemudian melarikan diri. Prabu Dipayana dan kerabat istana
Ngastina bersedih hati. Baginda memerintahkan Patih Dwara memanggil Dewi
Kawathi dan Raden Abantara ke Lesanpura. Sesampainya kembali di Ngastina,
Prabu Dipayana memberitahu mereka bahwa Prabu Sanga-sanga telah gugur.
Pada suatu hari, Sang Hyang Narada turun mengemban perintah Sang
Hyang Jagatgirinata agar Prabu Dipayana mengumpulkan dan menempatkan
tujuh bangsa (golongan) ke dalam golongan mereka masing-masing. Ketujuh
golongan tersebut adalah: Satria, Brahmana, Wasya, Danuja, Daneswara, Sudra
dan Raksasa. Pada waktu itu pulalah Dewi Tapen melahirkan Dewi Prawasti;
Dewi Puyengan berputra Raden Prawasata dan Dewi Dangan berputra Raden
Warabasata.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana bersama pengiring berkeliling
kerajaan. Baginda berjumpa dengan Kapwa dan Palastha dan menyelesaikan
perselisihan mereka mengenai sewa menyewa kebun.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana mengawinkan Dewi Tamioyi
dengan Raden Wiraka, putra Prabu Udara raja Madura. Kemudian Prabu Udara
meletakkan jabatan dan menjadi bagawan, Raden Wiraka menggantikannya
menjadi raja Madura. Setahun kemudian, Prabu Dipayana mengawinkan Dewi

57
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Niyodi dengan Raden Supadma, putra Patih Dwara serta mengangkatnya menjadi
penggawa bergelar Arya Supadma.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana memanggil Raden Yudayana dan
memerintahkannya mengembara berguru mencari ilmu. Sepeninggal Raden
Yudayana bersama pengiringnya yaitu Mahas dan Badhagas, maka keempat
adiknya yakni: Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan
Raden Warabasata menyusul kakaknya itu, tetapi mereka berselisih jalan.
Dalam perjalanan ke Gunung Manikmaya, Raden Yudayana tersesat di
jalan. Sesampainya di hutan Tibrasara, Raden Yudayana berjumpa dan meruwat
seekor harimau dan seekor naga penjelmaan Sang Hyang Kamajaya dan Dewi
Ratih. Sang Hyang Kamajaya kemudian menganugerahkan panah Sarotama
serta mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan jaya kawijayan ’kesaktian’.
Selanjutnya, Raden Yudayana berjumpa dengan Dewi Gendrawati, putri Prabu
Gandaprawa (raja Gandara). Setelah Raden Yudayana membunuh Swagotara,
putra Srubisana yang menculik Dewi Gendrawati, ia mengantarkan putri tersebut
ke Gandara. Sesampainya kembali di Gandara, Prabu Gandaprawa bermaksud
mengawinkan Dewi Gendrawati dengan Raden Yudayana. Pada waktu itu, Prabu
Gandaprawa pun menceritakan silsilah leluhurnya serta kutukan Dewi Anggandari
yang menjadi salah satu penyebab timbulnya Perang Baratayuda. Kemudian Raden
Yudayana pergi ke Gunung Manikmaya berguru pada Resi Sidhikara. Di sana
ia mendapatkan pelajaran ilmu jaya kawijayan, guna kasantikan ’ketrampilan’,
ketangkasan berperang, dan ilmu kesempurnaan.
Dalam pada itu, perjalanan Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden
Prawasata, dan Raden Warabasata pun tersesat. Mereka sampai di pertapaan
Gunung Sadhara dan bermaksud mau berguru kepada Dhang Hyang Suwela. Dhang
Hyang Suwela baru bersedia menjadi guru mereka setelah keempat putra Ngastina
tersebut dapat membunuh Resi Sidhikara di Gunung Manikmaya. Keempat putra
Ngastina pun segera ke Manikmaya sambil mengamuk dan membunuh para murid
Resi Sidhikara. Raden Yudayana segera menjumpai dan menyadarkan keempat
adiknya itu bahwa mereka telah diperdaya musuh. Resi Sidhikara pun kemudian
mengajarkan berbagai ilmu kepada keempat adik Raden Yudayana. Setelah selesai,
mereka bermaksud menuntut balas dengan menyerbu ke Gunung Sadhara sehingga
banyak siswa Dhang Hyang Suwela yang terbunuh. Sewaktu Dhang Hyang Suwela
mau melarikan diri dari tangan Resi Sidhikara, ia tewas terkena panah Sarotama
yang dilepaskan Raden Yudayana. Kemudian Raden Yudayana bersama adik-
adiknya serta Resi Sidhikara pulang kembali ke Ngastina.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana memerintahkan Patih Dwara menunjuk
penggawanya untuk pergi ke Gandara melamar Dewi Gendrawati untuk Raden
Yudayana. Lamaran raja diterima. Beberapa hari kemudian datang menghadap
baginda para pimpinan dari pengikut lima agama, yakni: Sambo, Brahma, Indra,
Bayu, dan Wisnu. Mereka mengeluhkan campur tangan para pengikut agama Kala,
agar melanggar tata aturan kelima agama tersebut. Kemudian Prabu Dipayana

58
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

memanggil pimpinan dan pengikut agama Kala serta menetapkan tata aturan yang
harus dipatuhi keenam golongan agama tersebut.
Dalam pada itu, Prabu Gandaprawa menghadap Prabu Dipayana
mengantarkan Dewi Gendrawati. Beberapa waktu kemudian, Raden Yudayana
dikawinkan dengan Dewi Gendrawati, sedangkan Raden Ramayana dengan
Dewi Supadmi. Sepekan kemudian, putra Patih Danurwedha dikawinkan dengan
putri Arya Warsaka. Arya Danurja kawin dengan Dewi Warsiki, sedangkan Arya
Sindurjo kawin dengan Dewi Sulastri. Beberapa waktu kemudian Prabu Dipayana
mengawinkan Raden Ramaprawa dengan Dewi Widhawati; Dewi Prawati kawin
dengan Arya Karsula (putra Arya Warsaka); Raden Prawasata kawin dengan
Dewi Satyawati (putri Patih Danurwedha); Raden Warabasata kawin dengan
Dewi Sukesti (putri Arya Kestu).
Pada suatu ketika, empat puluh hari dari perkawinan mereka Dewi
Gendrawati melahirkan putra bernama Raden Gendrayana. Sewaktu menimang-
nimang cucunya itu, Prabu Gandaprawa menyatakan bahwa Raden Gendrayana
adalah penjelmaan Trimurti, yakni keturunan Prabu Brahmaniyuta (Prabu
Brahmanaraja), putra Sang Hyang Brahma (Raja Gilingwesi); keturunan Raden
Srigati (Prabu Sri Mahapunggung), putra Sang Hyang Wisnu (Raja Purwacarita),
dan keturunan Raden Srinanda (Prabu Basurata) putra Sang Hyang Wisnu (raja
Wirata). Kemudian Prabu Gandaprawa meriwayatkan leluhurnya sampai lahirnya
Raden Gendrayana. Prabu Dipayana pun memerintahkan Mpu Kawiswara untuk
membacakan riwayat hidup leluhurnya berdasarkan kitab Jitapsara yang menjadi
pegangan raja. Adapun riwayat tersebut dimulai dari Raden Kaniyasa (Resi
Manumanasa), Resi Sakutrem, Bathara Sakri, Resi Parasara, Bagawan Abyasa,
Prabu Pandhudewanata, dan para Pandhawa. Diceritakan pula kisah perselisihan
Resi Parasara dengan Prabu Santanu (raja Ngastina) sampai diserahkannya
Kerajaan Ngastina ke tangan Resi Parasara. Resi Parasara kemudian menyerahkan
Kerajaan Ngastina kepada Begawan Abyasa sampai akhirnya Kerajaan Ngastina
jatuh ke tangan Prabu Dipayana. Prabu Dipayana kemudian berputra Raden
Yudayana, dan Raden Yudayana kemudian berputra Raden Gendrayana.
Pada suatu ketika, Patih Dwara menghadap Prabu Dipayana sambil
membawa Ki Sarana dan Ki Saruna yang berselisih memperebutkan Sami. Dengan
bantuan Saraseja, Prabu Dipayana menjatuhkan hukuman kepada Ki Saruna, Sami,
dan Ki Tandha Palaswa serta mengangkat Ki Sarana menggantikan kedudukan Ki
Tandha Palaswa. Berdasarkan kejadian itu, Prabu Dipayana memberikan ajaran
pada Patih Dwara mengenai wong ’orang’: cacana, cacaya, cacara dan cacala.
Prabu Dipayana pun menguraikan lima hal yang menjadi pangkal perselisihan dan
pertengkaran, yakni: 1. berebut istri, 2. berebut bumi/ tanah, 3. berebut rukmi
’emas’, 4. berebut ilmu pengetahuan serta, 5. berebut keluhuran. Kelima hal itu
disebut panca bakah. Di samping itu, ada lima senjata atau alat untuk bertengkar,
yakni: 1. tubuh/ badan, 2. mulut/ perkataan, 3. lemparan, 4. pemukul/ pukulan,
dan 5. besi/ senjata tajam.

59
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Pada suatu ketika, Patih Dwara membawa Karsula menghadap Prabu


Dipayana untuk menyampaikan peristiwa terbunuhnya Rata, karena takut pada
permainan Saradha sebagai harimau jadi-jadian. Prabu Dipayana menjatuhkan
hukuman dengan membuang Saradha ke hutan selama setahun, sedangkan Ki
Kucila diangkat sebagai ketua perburu.
Pada suatu hari, Raden Sri Prawata, putra Gilingwesi dan mantri muka
’perdana mentri’ Mukabumi menghadap Prabu Dipayana untuk melaporkan
bahwa Prabu Praswapati dan Prabu Sayakesthi mangkat. Kemudian Prabu
Dipayana mengangkat Raden Sri Prawata menjadi raja di Gilingwesi bergelar
Prabu Sri Prawata.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana bersama pengiringnya berkeliling
menjelajah wilayah kerajaan Ngastina. Sesampainya di desa Padhangyangan,
Prabu Dipayana menjumpai kelima anak mendiang Ki Kerata yang berselisih
memperebutkan sebuah anak panah warisan ayahnya. Buyut Lota membawa
kelima anak Ki Kerata, yakni: Lepra, Kandha, Wandra, Gulma, dan Wisaka
menghadap baginda. Prabu Dipayana meminta panah tersebut dan mengangkat
mereka menjadi penggawa dibawah perintah Ki Kucila. Kemudian Prabu
Dipayana meminjamkan panah tersebut kepada kelima anak Ki Kerata berganti-
ganti masing-masing selama sebulan.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana melihat seberkas sinar di sebelah
tenggara kerajaan, maka ia segera memerintahkan Arya Parsaka untuk
menyelidikinya. Sesampainya di desa Kawarakan, Arya Parsaka berjumpa dengan
Dang Hyang Marica (dari Sumatra) dan Kiai Sangkara yang sedang menunggui
Sangkaya, anaknya yang bertapa pendam. Kemudian Dang Hyang Marica
menceritakan awal mulanya ia ke Jawa dan berjumpa dengan Kiai Sangkara
bersama anaknya Sangkaya. Setelah Sangkaya dikeluarkan, Arya Parsaka
membawa Sangkaya, Dhang Hyang Marica serta Kiai Sangkara menghadap
raja. Prabu Dipayana mengangkat Sangkaya menjadi warga pěnamping ’polisi/
pegawai desa’ Kawarakan dan sekitarnya. Umbul Kiai Sangkara sebagai patihnya
serta Dhang Hyang Marica sebagai brahmananya.
Pada suatu ketika, Patih Dwara membawa Ki Darma menghadap Prabu
Dipayana dan melaporkan bahwa Ki Darma kecurian emas 7,5 tail. Setelah
mengadakan pelacakan, maka Prabu Dipayana menjatuhkan mereka yang terlibat
dalam pencurian emas itu, yakni: Ki Santang, Ki Lodra, Ki Milak, Ki Nanggul,
Ki Cara, Ki Dora, Ki Supana dan Ki Loba.
Pada suatu ketika, Umbul Kalisara bersama Kiai Sara menghadap Prabu
Dipayana melaporkan perselisihan Dibisana (seorang undhagi ’tukang kayu’),
Brahmana Satya dan saudagar Nangkoda memperebutkan seorang wanita. Setelah
mendengar kesaksian mereka, Prabu Dipayana memutuskan bahwa Ken Surpadi
menjadi istri Nangkoda, Dibisana bertindak sebagai orangtua serta Brahmana
Satya sebagai pengasuh wanita itu.

60
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Pada suatu ketika, Resi Gurunadi menghadap Prabu Dipayana dan


melaporkan bahwa istrinya yaitu Dewi Nawangsasi bermaksud muksa. Ia
memohon kepada baginda agar berusaha menggagalkan rencana istrinya itu. Dewi
Nawangsasi kemudian menceritakan kepada baginda tentang kemegahan serta
kemuliaan surga. Ia bermaksud ikut menari bersama para bidadari lainnya dalam
pesta pora di kadewatan. Dewi Utari justru tergiur untuk mengikuti keinginan Dewi
Nawangsasi agar ia segera berkumpul dengan suaminya yaitu Raden Abimanyu dan
Dewi Siti Sundari. Bahkan Prabu Dipayana, Resi Gurunadi dan Resi Gurundaya
bermaksud sama yaitu ingin muksa bersama istri-istri mereka. Prabu Dipayana
kemudian mengangkat Raden Yudayana menggantikan kedudukannya sebagai raja
di Ngastina. Atas saran Patih Dwara, sebelum muksa Prabu Dipayana, Patih Dwara,
Patih Danurwedha, Resi Gurunadi, dan Resi Gurundaya berkeliling menjelajah
wilayah Kerajaan Ngastina, seperti yang pernah dilakukan leluhur mereka para
Pandawa. Dalam perjalanan mereka itu tak henti-hentinya raja memberi dana
kepada rakyatnya serta berbincang-bincang, dan bertukar pikiran tentang ilmu
kesempurnaan. Di pesisir Laut Selatan, Prabu Dipayana bersama rombongan
melihat dan menikmati Bunga Wijayakusuma peninggalan Prabu Kresna, raja
Dwarawati. Sesampainya kembali di kerajaan, Prabu Dipayana banyak mengajarkan
ilmu tentang tata pemerintahan negara kepada putranya, Prabu Yudayana serta Patih
Dwara dan Patih Danurwedha. Ajaran Prabu Dipayana tersebut antara lain meliputi
(a) Panca Pratama ‘ilmu keutamaan’ seorang raja yaitu: 1) Mulat ’awas, hati-hati’.
2) Lila ’rela (hati)’, 3) Miluta ’memikat, membujuk’, 4) Malidarma ’pemaaf’, dan 5)
Palimarma ’belas kasih’ dan (b) Panca Guna ’lima kelebihan (kepandaian)’ sebagai
bekal mengabdi yang mencakup: 1) Rumĕksa ’menjaga’, 2) Rumanti ’bersiap,
bersedia’, 3) Rumasuk ’merasuk ke dalam’, 4) Rumĕsĕp, rumakĕt ’menyenangkan
(bagi pandangan atau memiliki perasaan yang erat di dalam persahabatan)’, dan 5)
Rumangsa ’merasa’.
Pada suatu ketika, setelah perlengkapan upacara muksa siap, maka
Prabu Dipayana memerintahkan Patih Dwara dan Patih Danurwedha agar
memberitahukan kepada rakyat Ngastina bahwa mereka yang merasa telah disakiti
dan dilukai oleh baginda berhak membalas. Pada waktu itu, Taksaka Raja datang
menghadap dan melaporkan bahwa dia dahulu telah terluka oleh keris Prabu
Dipayana sewaktu baginda menikam Resi Ardhawalika, penjelmaan Sang Hyang
Basuki. Prabu Dipayana kemudian memaksa Taksaka Raja agar membalasnya.
Akhirnya, Taksaka Raja hanya menjilat ibu jari kaki baginda yang bersamaan
telah merasuk sukma. Prabu Dipayana muksa, seiring dengan lenyapnya Taksaka
Raja. Dewi Utari, para istri Baginda, Resi Gurunadi, dan Resi Gurundaya bersama
istri mereka pun segera menyusul baginda muksa. Terdengarlah ledakan dahsyat
memenuhi angkasa disertai hujan bunga semerbak wangi menandai peristiwa itu.
Prabu Yudayana sangat berduka dan berubah menjadi murka pada Taksaka Raja
yang diduganya sebagai penyebab baginda mangkat.

61
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Bab IV
Analisis Struktur Sěrat Darmasarana

Pada bab ini diketengahkan analisis bagian struktur Sěrat Darmasarana


yang meliputi: judul, tema, penokohan dan perwatakan, hubungan tokoh utama
dengan para tokoh penting lainnya, plot, lokasi kejadian/ latar (setting), titik
pandang (point of view), motif.

A. Judul
Pemberian judul sebuah karya sastra seringkali tidak dapat dilepaskan
dengan tema atau pokok pikiran yang terkandung dalam karya sastra yang
bersangkutan. Judul dapat menyiratkan isi bahkan merupakan kunci penafsiran
seluruhnya bagi karya tersebut (Sulastin Sutrisno, 1983: 129). Dari judul, maka
rahasia isi buku itu tercermin. Demikian pula halnya pemberian judul Sěrat
Darmasarana yang dikatakan karya Empu Tapawangkeng ini.
Judul Darmasarana ini diangkat dari salah satu tokoh yang paling menonjol
dalam kitab tersebut. Darmasarana adalah sebuah sebutan bagi Prabu Dipayana
atau Prabu Parikesit raja di kerajaan Ngastina (Hāstina). Ia adalah putra Raden
Abimanyu (Abhimanyu) dengan Dewi Utari (Uttarī) putri dari Wirata (Wirāṭa),
cucu Arjuna. Sebenarnya Parikesit (Parīkṣit) telah tewas oleh panah Brahmaśirah
milik Aśwatthāmā sewaktu dalam kandungan Utari (Uttarī), tetapi karena Kresna
(Kṛṣṇa) mencintainya ia dihidupkan kembali dan diramal akan menurunkan
keluarga Pandawa (Zoetmulder, 1983: 332; Sutjipto Wirjosuparto, 1968: 355).
Sebelum para Pandawa mengundurkan diri meninggalkan Ngastina (Hāstina)
dalam persiapannya kembali ke sorga, Parikesit ditunjuk dan dinobatkan menjadi
raja Ngastina menggantikan maharaja Yudhistira (Yudhiṣṭhira) (Nila, 1979: 27).
Penamaan seseorang acapkali diharapkan agar orang yang menyandang
nama tersebut akan berwatak dan bertingkah laku seperti arti nama miliknya. Arti
nama seseorang diharapkan dapat membawa berkah dan memberikan tuntunan
baik bagi pemiliknya. Dapat juga, nama seseorang diakibatkan atau ditentukan
oleh perilaku pemilik nama itu. Dengan demikian, mungkin ia sebenarnya sudah
memiliki nama, tetapi karena perbuatannya ia memperoleh nama baru.
Demikian pula halnya dengan tokoh Prabu Darmasarana, yang sebetulnya
sudah memiliki nama lain, yakni: Prabu Parikesit atau Prabu Dipayana. Nama
Parīkṣit (Parikshit) atau Parikesit berasal dari bahasa Sansekerta parikshit yang
oleh Macdonell diberi arti ’dwelling around (Agni), extending around (du., heaven
and earth)’ (Macdonell, 1979: 154). Boleh jadi penamaan Parikesit (Parīkṣit)
berkaitan erat dengan cinta kasih Kresna (Kṛṣṇa) yang menghidupkan kembali bayi
dalam kandungan Utari (Uttarī) yang sudah tewas karena panah api Brahmaśirah
milik Aswatama (Aśwatthāmā), seperti telah terurai di atas. Adapun nama Prabu
Dipayana, karena ia (Parikesit) memakai nama piutnya, yakni Kresnadipayana
(Kresnadwipayana), nama lain Abyasa (Hardjowirogo, 1982: 215).

62
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Epiteta, yakni kata atau frasa yang ditambahkan pada nama seseorang atau
sesuatu untuk memberikan sifat khasnya (Panuti Sudjiman (ed)., 1984: 27) untuk
tokoh Prabu Parikesit (Prabu Dipayana) telah tersurat dalam Sěrat Darmasarana
halaman 13-21. Diceritakan di dalamnya, bahwa sewaktu Prabu Dipayana dan
pengiringnya bercengkrama berburu binatang hutan di pagrogolan ’pesnggrahan’
hutan Palasara, ia merasa sangat gembira menyaksikan ketrampilan, kecakapan,
kehebatan serta kesaktian pasukannya dalam menangkap berbagai macam
binatang buruan. Sebaliknya, ia pun merasa kecewa karena ia sendiri belum
memiliki kesaktian yang memadai sebagai seorang raja besar. Oleh karena itu,
pada malam harinya, secara diam-diam baginda meninggalkan pesanggrahan
bermaksud mengembara memohon kesaktian kepada dewa (halaman 13).
Dalam pengembaraannya, Prabu Dipayana berjumpa dengan Resi
Ardhawalika serta meruwatnya kembali menjadi Sang Hyang Basuki. Kemudian
Sang Hyang Basuki memberinya nama atau gelar (julukan) Prabu Yudhiswara.
Selanjutnya Prabi Dipayana bertemu dan meruwat Resi Mregapati menjelma
menjadi Sang Hyang Gana, yang kemudian memberinya julukan Prabu Mahabrata.
Kemudian dalam pengembaraan selanjutnya, Prabu Dipayana bertemu dan
meruwat burung garuda menjadi Sang Hyang Sambo yang memberinya gelar
(julukan) Prabu Darmasarana (halaman 18-21).
Dengan demikian, nama (judul) Darmasarana dalam sěrat ini diangkat
dari peristiwa peruwatan Prabu Dipayana terhadap Sang Hyang Sambo dalam
perwujudannya sebagai burung garuda. Penamaan Darmasarana kemungkinan
disebabkan peranan Prabu Dipayana yang menonjol sebagai sarana, wahana atau
jalan kebaikan (keutamaan) kembali. Sebenarnya pada mulanya, Prabu Dipayana
sendiri tidaklah bermaksud demikian. Ia membunuh Resi Ardhawalika, Resi
Mregapatidan burung garuda karena ia tersinggung dan marah, martabatnya
direndahkan serta perjalanan pengembaraannya dihambat dan dihalangi.
Dalam hal ini secara tidak sengaja justru perbuatannya itu sebuah darma yang
membebaskan mereka dari kutuk dan cela.
Ada satu pertanyaan yang timbul mengapa sěrat tersebut berjudul
Darmasarana, bukanYudhiswara atau pun Mahabrata? Dalam hal ini, kemungkinan
sekali unsur darma memang sangat ditonjolkan dalam Sěrat Darmasarana ini
serta dalam teks-teks (sěrat-sěrat) sumber Wayang Madya lainnya. Memang
darma yang dilakukan Prabu Dipayana bukan hanya terbatas pada pembebasan
kutuk para dewa seperti terurai di depan, tetapi dalam masa pemerintahannya
yang lama, Prabu Dipayana banyak melakukan darma ’kebaikan/ keutamaan’.
Kata darma bukan hanya dipakai sebagai judul sěrat ini (Darmasarana), tetapi
kata tersebut dipakai pula sebagai judul beberapa teks sumber Wayang Madya
lainnya, misalnya: Sěrat Ajidarma dan Sěrat Anglingdarma.
Sosok darma ’kebaikan/ keutamaan’ yang menonjol pada pribadi Prabu
Dipayana, sudah barang tentu tidak terlepas dari tetesan pribadi leluhurnya
para Pandawa (Pāṇḍawa) yang semasa hidupnya termashur sebagai pengemban

63
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

dan pengabdi darma kesatria. Dalam hal ini dapatlah dikatakan, bahwa Prabu
Dipayana adalah cucu Prabu Yudhistira (Yudhiṣṭhira), meskipun ia cucu langsung
Arjuna. Prabu Yudhistira memiliki nama lain Prabu Darmakusuma, karena
ia titisan (putra) Batara Darma (Dewa Keadilan). Oleh karena itulah Prabu
Darmakusuma berwatak sabar, ikhlas, percaya atas kekuasaan Tuhan (Dewa),
tekun dalam agama, tahu membalas guna, dan selalu bertindak adil dan jujur
(Suwandono, dkk., tanpa tahun: 527). Boleh jadi penamaan Prabu Darmasarana
pun dikaitkan dengan Prabu Darmakusuma (Yudhistira). Hal ini sangat beralasan
mengingat Prabu Darmasarana (Parikesit) yang diangkat menjadi raja Ngastina
(Hāstina) menggantikan Prabu Darmakusuma.
Dengan demikian, bagian atau peristiwa kecil yang dipaparkan dalam
suatu karya sastra dapat saja diangkat sebagai nama (judul) sebuah karya sastra.
Jadi tidak selalu harus berdasarkan tokoh atau peristiwa besar yang mendominasi
karya sastra yang bersangkutan. Apabila diperhatikan atau diperbandingkan
dengan sejumlah karya sastra sejenis (Sěrat Yudayana dan teks-teks Sumber
Wayang Madya), maka penamaan Sěrat Darmasarana tersebut terasa lain,
menyimpang dari kebiasaan. Sebab tampilnya Prabu Dipayana dengan nama
lain yakni: Prabu Darmasarana hanya sesaat, yakni untuk menandai peristiwa
peruwatan Prabu Dipayana atas Sang Hyang Sambo (halaman 21). Adapun
penggunaan nama tokoh yang disebut-sebut dan tetap mendominasi keseluruhan
Sěrat Darmasarana tetap Prabu Dipayana.
Dalam teks-teks (sěrat-sěrat), yakni: Sěrat Yudayana, Sěrat Gěndrayana,
Sěrat Sariwahana, Sěrat Mayangkara, Sěrat Purusangkara, Sěrat Anglingdarma,
dan Sěrat Ajipamasa, tokoh-tokoh yang mendominasi keseluruhan cerita adalah
tokoh-tokoh yang diangkat menjadi judul sěrat-sěrat di atas, yakni: Prabu
Yudayana, Prabu Gendrayana, Prabu Sariwahana, Sang Maharsi Mayangkara,
Prabu Purusangkara, Prabu Anglingdarma, dan Prabu Ajipamasa (Kusumawicitra).
Terlepas dari persoalan di atas, epiteta ‘julukan’ Prabu Dipayana
(Prabu Parikesit), yakni: Prabu Yudhiswara, Prabu Mahabrata maupun Prabu
Darmasarana kiranya dapat disumbangkan sebagai pelengkap epiteta Prabu
Parikesit yang luput dari perhatian Suwandono, dkk. dalam Ensiklopedi Wayang
Purwa I (Compendium) (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 321-323).

B. Tema
Tema merupakan sebuah arti pusat atau ide pusat yang terdapat dalam
cerita (Stanton, 1965: 19). Tema adalah gagasan, ide atau pikiran utama di dalam
karya sastra yang terungkap atau pun tidak (Panuti Sudjiman, (ed), 1984: 74).
Tema adalah sesuatu yang menduduki tempat yang khas dalam pikiran pengarang
dan membutuhkan penyelesaian (Oemarjati, 1962: 54). Tema merupakan tujuan
cerita (Mochtar Lubis, 1960: 14). Riris K. Sarumpaet, Aoh K. Hadimadja maupun
Jakob Sumardjo memberikan batasan pengertian yang hampir sama. Menurut
mereka, tema adalah masalah yang menjadi pokok persoalan (Sarumpaet,

64
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

1977: 59; Hadimadja, 1981: 34) atau pokok pembicaraan dalam sebuah karya
(cerita) (Jakob Sumardjo, 1984: 57). Tema memang merupakan persoalan bagi
pengarang, karena tema membayangkan pandangan batin dunia hidup atau cita-
cita pengarang, bagaimana pengarang melihat persoalan yang kadang-kadang
disertai dengan pemecahan persoalan sekali (Lukman Ali, (ed), 1966). Pemecahan
persoalan ini menurut Saleh Saad diistilahkan sebagai amanat. Pernyataan Saleh
Saad itu sesuai dengan pendapat Edmar H. Jones Jr., bahwa tema adalah pesan
atau moral cerita (Asia Padmapuspita, 1980: 13).
Memperhatikan pengertian tema yang diberikan para ahli teori di atas,
saya cenderung sependapat dengan pengertian tema yang telah dikemukakan oleh
Robert Stanton, bahwa tema adalah arti pusat atau ide pusat yang terdapat dalam
cerita.
Tema atau pokok pikiran yang menduduki tempat utama dalam Sěrat
Darmasarana ini adalah bahwa darma (dharma) adalah sarana, alat atau jalan
bagi seseorang memperoleh kebaikan (keutamaan). Hal itu sesuai dengan
judul sěrat tersebut serta seperti yang telah diperlihatkan oleh Prabu Dipayana
atau Prabu Parikesit. Perilaku dan perbuatan-perbuatan darma (dharma) Prabu
Dipayana dapat dijadikan teladan (cermin) bagi manusia (masyarakat pembaca)
untuk melakukan perbuatan serupa dalam mencapai kemuliaan dan kesempurnaan
hidupnya.
Tema Sěrat Darmasarana, seperti telah dipaparkan di atas dapat pula
diamati dari judul sěrat itu sendiri, yakni: Darmasarana. Mengingat tema adalah
ide pusat atau arti pusat yang terdapat dalam suatu karya sastra dan dari judul, maka
keseluruhan karya sastra dapat ditafsirkan. Tema Sěrat Darmasarana tersebut
diantaranya didukung oleh berbagai peristiwa yang dialami Prabu Dipayana dalam
perjalanan pengembaraannya di dalam mencari kesaktian dan ilmu pengetahuan
sebagai bekal baginya di dalam mengendalikan tata pemerintahannya. Bekal
berbagai ilmu pengetahuan itu diperolehnya baik dari Sang Hyang Basuki, Sang
Hyang Gana, Sang Hyang Sambo, dan Dewi Swanyana (halaman 18-23). Di
samping itu, Prabu Dipayana (Prabu Parikesit) juga memperoleh berbagai ilmu
pengetahuan baik yang bersifat jiwani maupun badani, diantaranya dari Bathara
Sindungkara (halaman 35), Bagawan Sidhiwacana (halaman 47), Bagawan
Sukandha (halaman 55) maupun Arpasa, seorang anak kecil penjelmaan Sang
Hyang Udipati (guru) (halaman 106-114).
Dengan berbekal berbagai ilmu pengetahuan itulah, maka Prabu Dipayana
hampir selalu berhasil dalam menyelesaikan perselisihan dan memecahkan
masalah yang dihadapi rakyatnya. Berbagai persoalan dan peristiwa yang dialami
rakyatnya itu seringkali justru menjadikan ilham baginya (Prabu Dipayana)
untuk merumuskan serta menciptakan ilmu pengetahuan baru, baik dalam hal
tata pemerintahan, hukum, sifat-sifat manusia maupun pangkal perselisihan
(pertengkaran). Sudah barang tentu, semua itu tidak terlepas dari peranan Sang
Hyang Girinata (Guru), selaku penguasa tertinggi alam semesta, atau pun Sang

65
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Hyang Narada yang setiap waktu turun ke bumi membantu kesulitan Prabu
Dipayana.
Dalam Sěrat Darmasarana ini, Prabu Dipayana menunjukkan kebesaran
dirinya, kematangan jiwanya (seiring bertambahnya usia), sehingga menjadikan
dirinya pantas menggantikan kedudukan Prabu Damakusuma (Prabu Yudhistira)
sebagai raja Ngastina. Ia juga murah hati, tahu balas budi, tidak merasa segan
memberikan santunan kepada prajurit atau keturunannya yang gugur di medan
laga dalam membela negara. Prabu Dipayana dapat menetapkan atau memutuskan
peradilan seadil-adilnya. Siapapun yang berjasa diberinya hadiah, sedangkan
yang bersalah dihukum. Berat ringannya hukuman tergantung dari besar kecilnya
kesalahan yang dibuat rakyatnya. Di samping itu, sebagai seorang raja yang
pemurah, pemaaf lagi bijaksana, maka tidaklah segan-segannya Prabu Dipayana
memberikan pengampunan terhadap mereka yang menyadari kesalahannya.
Bahkan tidak jarang Prabu Dipayana justru memberikan hadiah, sebagai penebus
perasaan kecewa rakyatnya, meskipun sebenarnya mereka bersalah. Di akhir
kehidupannya, Prabu Dipayana meminta kepada rakyatnya yang pernah merasa
dirugikan, disakiti (dilukai) agar membalasnya. Sampai kemudian Taksaka Raja
datang menghadap dan menjilat ujung kaki baginda, yang dipakainya sebagai
sarana mencapai muksa.
Keutamaan watak Prabu Dipayana di atas (uraian terinci pada subbab
berikutnya), disatu sisi merupakan buah yang berlipat dari darma ‘kebaikan’ yang
ditanam dan di sisi lain adalah hasil kesungguhan usahanya untuk menjadi raja
yang berkepribadian sempurna. Sebagai seorang raja, ia pantas menjadi cermin
dan panutan rakyat.
Dari uraian di atas, sekali lagi dapatlah dikatakan, bahwa tema Sěrat
Darmasarana adalah darma ‘kebaikan’ adalah sarana, alat atau jalan mencapai
keutamaan. Dengan berbuat darma seseorang akan memperoleh darma
yang berlipat ganda. Hal itu sengaja dikemukakan pujangga pencipta Sěrat
Darmasarana, sebab ia merasa memiliki kewajiban dan tanggung jawab moral
untuk ikut membentuk kepribadian, baik terhadap raja, bangsawan maupun
rakyat, sesuai dengan konsepsi Jawa.
Apabila diperhatikan dengan seksama, disamping tema di atas, ada tema
lain Sěrat Darmasarana yang tersembunyi dan baru dapat diungkapkan dengan
jelas, seandainya secara struktural dihubungkan dengan Sěrat Pustakaraja,
khususnya Sěrat Pustakaraja Purwa bagian akhir dan teks-teks sumber Wayang
Madya, misalnya: Sěrat Yudayana, Sěrat Budhayana, Sěrat Sariwahana, Sěrat
Pursangkara, Sěrat Ajipamasa maupun Sěrat Witaradya. Tema sěrat-sěrat di
atas adalah bahwa pujangga Jawa (R. Ng. Ranggawarsita) ingin mendudukkan
raja-raja Jawa Mataram sebagai keturunan dewa yang mewakili kekuasaannya di
bumi (ambawani bawana). Dalam hal ini pujangga bermaksud untuk mengangkat
derajat raja dan membenarkan tindakan penguasaannya atas rakyatnya. Raja
memang bukanlah keturunan orang kebanyakan, karenanya harus dipatuhi

66
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

segala perintahnya. Di samping itu, pujangga (R. Ng. Ranggawarsita) mencoba


menyatakan seolah-olah memang terdapat benang merah yang menghubungkan
para dewa dan para Pandawa (dalam mitologi pewayangan) dengan para raja
Mataram.
Sejauh yang telah dikemukakan para peneliti, lewat pemahaman bahasa
Jawa Kuna, sistem tata kehidupan di Jawa (Indonesia) baru dikenal mulai abad
9, dengan diketemukannya prasasti (piagam) Sukabumi pada 25 Maret 804 M
(Zoetmulder, 1983: 3-4). Dari sumber-sumber lain, misalnya dari Cina (karya
sastra abad ke 6 susunan Kao Sêng Chuan), dapatlah dikatakan bahwa di Jawa
pada abad ke 5, kehidupan pengajaran keagamaan (syair Buddha) sudah ada
(Zoetmulder, 1983: 6-7). Selebihnya kita kurang memperoleh gambaran yang
jelas tentang kehidupan kerajaan-kerajaan di Jawa (Indonesia).
Dalam kurun waktu yang terentang panjang dan sulit diungkapkan
itulah, R. Ng. Ranggawarsita bermaksud menyajikan sebuah gambaran sejarah
kehidupan kerajaan-kerajaan Jawa yang tidak selalu dapat diyakini kebenarannya.
Meskipun dalam hal ini pun penyusunan beberapa karya R. Ng. Ranggawarsita,
yakni: Sěrat Paramayoga, Sěrat Jitapsara, dan Sěrat Pustakaraja berdasarkan
sumber-sumber yang telah ada antara lain: Sěrat Kandha dan Babad Tanah Jawi.
Apabila mendasarkan diri pada Sěrat Darmasarana, Sěrat Yudayana
dan teks-teks sumber Wayang Madya lainnya, maka perjalanan sejarah kerajaan-
kerajaan Jawa adalah mulai dari Ngastina (Hāstina, Yawastina) (Prabu Dipayana/
Parikesit, Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana, Prabu Yudayaka (Arya Prabu
Bambang Sudarsana), dan Prabu Sariwahana) --- Malawapati (Prabu Sariwahana)
--- Mamenang (Widarba, Kadiri) (Prabu Jayapurusa/ Jayabaya) --- Malawapati/
Bojanagara (Prabu Anglingdarma dan Prabu Anglingkusuma) --- Mamenang
(Kadiri) (Prabu Kusumawicitra/ Ajipamasa) --- Pengging Witaradya (Prabu
Ajipamasa, Prabu Citrasoma, Prabu Pancaddriya, Prabu Anglingdriya, dan
Prabu Darmamaya). Sebenarnya sebelum kerajaan Ngastina di atas, dalam Sěrat
Pranitiradya (Andjar Any, 1979: 91-93) sudah banyak muncul kerajaan lain,
misalnya: kerajaan Medang Kamulan, Medang Prawa sampai Ngastina, akan
tetapi berdasarkan kriteria peneliti sejarah Jawa berpendidikan Barat, derajat
kepastian kebenarannya sudah barang tentu sangat tipis.
Apabila pembicaraan ini kembali ke persoalan semula, seandainya
mendasarkan diri pada Sěrat Pranitiradya (Andjar Any, 1979: 91-93) dan Babad
Tanah Jawi (Galuh-Mataram) (Soewito Santosa, 1970), maka perjalanan sejarah
kerajaan Jawa sesudah Pengging berlanjut ke Medang Kamulan (Purwacarita).
Kemudian bergeser ke Majapura, selanjutnya ke Pengging --- Jenggala --- Kadiri
--- Singasari --- Jenggala --- Pajajaran --- Pengging --- Majapahit --- Demak ---
Pajang --- dan seterusnya. Adapun apabila mendasarkan diri pada sejumlah prasasti
(piagam), maka perjalanan sejarah kerajaan Jawa dapat direkonstruksikan bahwa
setelah Mataram Kuna berlanjut ke Kahuripan, kemudian Kadiri --- Singasari ---
Kadiri --- Majapahit --- Demak --- Pajang --- Mataram --- dan seterusnya.

67
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Dari uraian di atas, tampaklah bahwa gambaran penulisan sejarah Jawa


bangsa pribumi (R. Ng. Ranggawarsita) ternyata cukup beragam dan rumit,
meskipun seringkali dianggap hanya khayalan, fantasi dan omong kosong
belaka. Data sejarah dalam sejumlah prasasti (piagam) yang diketemukan dan
dikemukakan para ahli, sebenarnya hanya catatan (peringatan) peristiwa yang
penting-penting saja. Jadi hanya merupakan titik kecil dari suatu peristiwa sejarah
secara keseluruhan. Data sejarah selengkapnya, meskipun dibumbui atau diramu
dengan unsur rekaan dan keindahan, banyak ditulis dalam sejumlah karya jenis
babad. Karya-karya berjenis babad, dipandang secara sejarah, sudah barang tentu
memiliki derajat kepastian (kebenaran) lebih besar dibandingkan dengan Sěrat
Darmasarana, Sěrat Yudayana dan teks-teks sumber Wayang Madya lainnya.
Dari pembicaraan di atas, sekali lagi dapat disimpulkan, bahwa tema lain
Sěrat Darmasarana yang tersirat (dalam hubungannya dengan Sěrat Yudayana
dan teks-teks sumber Wayang Madya) adalah pujangga penciptanya (R. Ng.
Ranggawarsita) bermaksud mengisi kekosongan sejarah Jawa, yang sebelum
periode kerajaan Mataram Kuna terasa kabur (gelap). Di samping itu, pujangga
R. Ng. Ranggawarsita bermaksud membuat sejarah yang menghubungkan jaman
Purwa (dewa-dewa sampai Pandawa) dengan jaman Jenggala (Panji). Ia ingin pula
menundukkan bahwa para dewa dan Pandawa sebagai leluhur (nenek moyang)
para raja Mataram, meskipun tidak selalu berdasarkan keyakinanya.

C. Penokohan dan Perwatakan


Dalam karya sastra, kehadiran tokoh memegang peranan penting, sebab
tokoh adalah sarana bagi pengarang untuk membentuk (menjalin) peristiwa-
peristiwa serta mengarahkan jalan cerita menuju suatu tujuan (Sri Widati Pradapa,
dkk., 1982: 104).
Dalam karya sastra ada dua jenis tokoh, yaitu tokoh utama dan tokoh
bawahan (Stanton, 1965: 17). Pendapat lain mengatakan ada tiga jenis tokoh yang
diklasifikasikan dengan pola: tokoh utama, tokoh kedua, dan tokoh pelengkap.
Ada juga dengan pola: tokoh primer, tokoh sekunder, dan tokoh komplementer,
atau pola: protagonis, antagonis, dan tritagonis (Made Suarsa, 1987: 4). Dalam
fiksi, tokoh utama (primer) dengan tokoh kedua (sekunder) tidak selamanya
bertentangan. Lain halnya dengan drama yang menonjolkan konflik.
Kehadiran tokoh selalu diikuti penampilan watak tokoh, yang kadang-
kadang dikemukakan secara jelas, tetapi ada kalanya samar-samar. Bentuk
watak tokoh adalah gambaran watak dasar atau watak asli tokoh berikut
perkembangannya (Sri Widati Pradapa, dkk., 1982: 106).
E.M. Forster membagi bentuk watak tokoh menjadi dua, yakni: watak
datar (flat character) dan watak bulat (round character) (Forster, 1971: 75).
Watak datar adalah watak yang terbentuk berdasarkan gagasan saja tanpa diberi
kepribadiannya secara terperinci. Watak bulat adalah watak yang bersiat rumit,
baik dalam perangai maupun motivasinya.

68
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Perwatakan pada dasarnya adalah lukisan (image) seseorang yang


dipandang memiliki tiga segi (dimensi), baik segi fisik (fisiologi), psikis (psikologi),
dan sosiologis. Segi fisik, pengarang melukiskan watak pelaku, misalnya: umur,
raut muka, rambut, bibir, hidung, bentuk kepala, warna kulit, pakaian dan cacat
tubuh. Segi psikis, pengarang melukiskan watak pelaku melalui pelukisan
gejala-gelaja pikiran, perasaan dan kemauan pelaku. Dengan jalan ini, pembaca
dapat mengetahui bagaimaan watak pelaku. Dalam segi sosiologis, pengarang
melukiskan watak pelaku melalui pelukisan lingkungan hidup masyarakat (Asia
Padmapuspita, 1980: 16).
Ada beberapa metode pengarang dalam melukiskan watak tokoh, yakni:
metode langsung, metode tidak langsung atau metode campuran antara keduanya.
Metode langsung (analitik), yakni pengarang secara langsung melukiskan watak
pelaku, baik secara fisik maupun psikis. Metode tidak langsung (dramatik), yakni
pengarang melukiskan pelaku secara tidak langsung (Asia Padmapuspita, 1980:
16). Dalam hal ini, ada lima buah cara dramatik pelukisan watak tidak langsung.
Pertama, pengarang melukiskan keadaan tempat atau lingkungan pelaku. Kedua,
pengarang melukiskan jalan pikiran pelaku atau yang terlintas dalam ingatannya.
Dengan demikian memberi penerangan tentang diri pelaku. Ketiga, pengarang
melukiskan perbuatan dan reaksi pelaku utama terhadap sekitarnya. Keempat,
pengarang melukiskan reaksi pelaku lain terhadap pelaku utama. Kelima,
pengarang menyajikan percakapan pelaku-pelaku lain terhadap pelaku utama
(Mochtar Lubis, 1960: 18; Asia Padmapuspita, 1980: 16).
Dalam Sěrat Darmasarana ini, pujangga R. Ng. Ranggawarsita, yang
dalam teksnya sendiri dikatakan karangan Empu Tapawangkeng, menampilkan
banyak sekali tokoh, sekitar 435 yang dikemukakan secara sangat terinci. Empat
puluh (40) tokoh diantaranya memiliki nama lebih dari satu. Adapun tokoh-tokohn
yang menduduki posisi penting selain Prabu Dipayana atau Prabu Darmasarana,
diantaranya adalah: Prabu Yudayana, Patih Dwara, Patih Danurwedha, Prabu
Gandaprawa, Resi Gurundaya, Resi Gurunadi, Sang Hyang Girinata, Sang Hyang
Narada, Bagawan Sidhiwacana, Resi Sidhikara, Bagawan Baladewa, Prabu
Satyaki, Prabu Sayakesthi, Prabu Praswapati, Prabu Sanga-sanga, Bagawan
Sukandha, Dhang Hyang Suwela, Taksaka Raja, Raden Gendrayana, Raden
Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, Raden Warabasata, Prabu
Niradhakawaca, Prabu Kismaka, Dewi Utari, Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Ken
Satapa, Ken Suyati, Endhang Sikandhi, Dewi Grendi, Dewi Nawangsasi, Dewi
Gendrawati, Raden Supadma, Sang Hyang Kamajaya, Sang Hyang Basuki, dan
Sang Hyang Sambo. Selain para tokoh di depan, sebagian besar tokoh yang
tampil dalam Sěrat Darmasarana hanya dikemukakan pengarang secara selintas,
lewat penceritaan dan silsilah leluhur para tokoh penting yang sedang berdialog.
Dalam penelitian ini akan dikemukakan bentuk watak tokoh yang
menonjol dalam Sěrat Darmasarana yang meliputi: 1) Prabu Dipayana (Prabu
Darmasarana), 2) Prabu Yudayana, 3) Patih Dwara, 4) Patih Danurwedha, 5)

69
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Bagawan Baladewa, 6) Raden Ramayana, 7) Dewi Utari, 8) Dewi Sritatayi, Dewi


Niyata, Ken Satapa, Endhang Sikandhi, dan Dewi Grendï, 9) Prabu Kismaka, 10)
Prabu Niradhakawaca, 11) Prabu Satyaki, 12) Dhang Hyang Suwela, 13) Taksaka
Raja, dan 17) Dewi Gendrawati. Dalam pemaparan perwatakan para tokoh di atas
sengaja akan dikemukakan secara praktis, tetapi diharapkan mencapai sasaran.

(1) Prabu Dipayana (Prabu Darmasarana)


Secara fisik, semasa muda, Prabu Dipayana digambarkan sebagai raja
muda yang tampan lagi sakti, sehingga membuat banyak orang terkenang-
kenang padanya. Hal itu dikemukakan dalam Sěrat Darmasarana halaman 30
dan 31 yang berbunyi:
Wauta lampahé Prabu Dipayana kadi kinuncang ing déwa kalunta-
lunta kongsi praptèng paminggiring nagari ing Mukabumi. Sěmana dadya
tongtonaning wong déning pěkiké, Prabu Dipayana dadya panjang kidung
saěnggèn-ěnggèn angampiraké (halaman 30).
(Diceritakan perjalanan Prabu Dipayana seperti dilemparkan dewa,
tersesat hingga jauh sampai di tepi negara Mukabumi. Ketika itu jadi tontonan
orang karena ketampanannya, Prabu Dipayana jadi buah percakapan di mana-
mana (orang) mempersilakan singgah)
--- manawi parěng kula mirěng saking panjang kidunging tiyang kathah,
yèn paminggiring nagari ing mangké wontěn satriya lalana langkung pěkik
sarta sudibya sěkti, nanging dèrèng wontěn kang suměrěp ing pinangka tuwin
namanipun, sěbuting kathah amung kawastanan Radèn Suwarna kimawon,
punika manawi trahing ngawirya prayogi kadhaupěna lan putra padukéndra,
kasěngadèkakěn ratu ing Ngastina (halaman 31)
--- apabila diperkenankan hamba mendengar buah percakapan banyak
orang, bahwa di tepi negara kini ada satria berkelana yang sangat tampan dan
sangat sakti, tetapi belum ada orang yang mengetahui asal-usul dan namanya,
banyak orang hanya menyebut Raden Suwarna, seandainya (dia) keturunan
bangsawan pantas dikawinkan dengan putri tuanku (baginda), (kita) katakan
raja di Ngastina.
Ketampanan Prabu Dipayana membuat banyak gadis, baik putri raja
maupun putri bagawan tergila-gila padanya. Bahkan mereka bermimpi sudah
bersanding dengan baginda. Hal itu seperti dialami baik oleh Dewi Niyata,
putri Prabu Sayekesthi maupun Endhang Sikandhi, putri Bagawan Sukandha.
Keduanya mendesak ayahandanya agar mencari dan membawa Prabu Dipayana
untuknya. Setelah Prabu Dipayana dapat dibawa dan ditidurkan di peraduan
putrinya, maka Dewi Niyata mencoba meneliti benarkah pria tampan itu adalah
raja Ngastina yang pernah diimpikan menjadi suaminya. Hal itu tersurat dalam
Sěrat Darmasarana halaman 34 yang berbunyi:
Dewi Niyata tan lěnggana nanging tyas widhag-widhig manawa dudu
kang kèpi, praptèng paprěman tiningalan kang aguling Dèwi Niyata tan samar

70
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

yèn kang agung kèpi, dadya sumandhing aguling dangu-dangu Dewi Niyata
guling sayěkti, sruning arip salamining brangta ing supěna cěgah dhahar
guling (halaman 34).
(Dewi Niyata bersedia tetapi hatinya ragu-ragu jangan-jangan bukan
yang diimpikannya, sesampainya di peraduan dilihatinya yang (sedang) tidur,
Dewi Niyata tidak khawatir, bahwa (ia) yang sangat diimpikannya, jadinya ia
(Dewi Niyata) tidur bersanding, lama-kelamaan Dewi Niyata tertidur sungguh,
(sebab) sangat mengantuk, selama jatuh hati kepada yang diimpikannya itu
(ia) mencegah tidur dan makan)
Mimpi yang sama dialami Endhang Sikandhi, putri Bagawan Sukandha
dari Gua Siluman, seperti tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 48 yang
berbunyi:
Prabu Dipayana tatanya karanané ngulati ratu ing Ngastina. Ditya
sěpuh wawarti duk ginuběl ing sutané èstri nama Endhang Sikandhi, wit
milané supěna dadi garwané ratu ing Ngastina, satanginé mothah ing rama
kinèn angulati pinamběngan tan kěni aněmahana ngupaya priyangga, marma
tinurutan ing wěkasan pinanggih (halaman 48).
(Prabu Dipayana bertanya mengapa mencari raja di Ngastina. Raksasa
tua itu memberitakan ketika berulangkali diminta oleh putrinya bernama
Endhang Sikandhi, karena (ia) bermimin menjadi istri raja di Ngastina,
sewaktu bangun merajuk ayahnya disuruhnya untuk mencari dihalangi tidak
mau (sebab) akhirnya (akan) mencari sendiri, karena itu dituruti dan akhirnya
bertemu)
Prabu Dipayana juga merupakan seorang raja muda yang pemberani,
tidak mengenal takut, seandainya belum mengetahui kehebatan musuhnya
terlebih dahulu. Hal itu dibuktikannya, sewaktu Prabu Dipayana berjumpa
dengan pendeta (pertapa) bermahkota dan berhiaskan ular, maka langsung saja
dibunuh dengan tiada mengenal takut. Kemudian Prabu Dipayana bertemu
dengan pertapa yang sedang dihadap oleh segenap binatang buruan hutan, ia
pun segera menyerang dan membunuhnya. Ketika Prabu Dipayana bertemu
dengan seekor burung garuda yang besar, maka langsung saja dipanah hingga
terbunuh. Sewaktu Prabu Dipayana berjumpa dengan seekor ular yang mau
menerkam seseorang (Prabu Praswapati), ia pun dengan berani memanah dan
membunuh ular tersebut. Prabu Dipayana pun tidak merasa takut sewaktu
harus berhadapan dengan Srubisana yang mendendam leluhurnya, meskipun
akhirnya ia kalah dalam pertempuran yang sengit itu. Prabu Dipayana juga
dengan berani melawan Prabu Sayakesthi maupun Bagawan Sukandha (yang
kemudian keduanya menjadi mertuanya), meskipun akhirnya harus kalah.
Dengan kesaktiannya, Prabu Dipayana membunuh Prabu Niradhakawaca yang
menyerang Ngastina, sewaktu ia dan pengiringnya mengadakan perburuan di
hutan Palasara.

71
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Keberanian yang ditunjukkan oleh Prabu Dipayana itu disebabkan


karena ia memiliki kesaktian yang senantiasa terus bertambah. Hampir
semua musuh yang dikalahkannya kebanyakan adalah penjelmaan dewa yang
tampaknya memang sengaja dipersiapkan oleh Sang Hyang Girinata. Hal itu
wajar diberikan Sang Hyang Girinata, karena Prabu Dipayana dipandangnya
pantas sebagai wakil dewa di bumi. Prabu Dipayana adalah cucu Prabu
Yudhistira yang akhirnya mewariskan tahta kerajaan Ngastina kepadanya.
Berbagai kesaktian yang diberikan kepada Prabu Dipayana pun sudah barang
tentu tidak terlepas dari balas budi para dewa kepada keturunan para Pandawa
yang semasa hidupnya banyak berjasa bagi kedamaian Suralaya.
Secara psikis, tokoh sentral Prabu Dipayana dilukiskan sebagai seorang
raja Ngastina yang memiliki tanggung jawab yang besar atas keselamatan
dan kesejahteraan rakyatnya. Sewaktu kerajaan Ngastina dilanda api tulah
penyakit, hingga kematian tak terhitung, Prabu Dipayana sangat bersedih hati.
Lama baginda tidak keluar di balai penghadapan dan setiap malam tidur di
cucuran atap, seperti tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 10, yang
berbunyi:
---- duk samana nagari ing Ngastina botěn antawis lami lajěng
kadhatěngan sasalad pagring agěng, papati tanpa étungan, Prabu Dipayana
langkung sungkawa kongsi lami tan miyos sinéwaka, saběn dalu anggung saré
naritis (halaman 10).
(---- pada waktu itu, tiada berapa lama kemudian kerajaan Ngastina
diserang wabah penyakit tulah api yang hebat, kematian tak terhitung, Prabu
Dipayana sangat bersedih hati sehingga lama tidak keluar di balai penghadapan,
setiap malam senantiasa tidur di cucuran atap)
Pada akhirnya malapetaka yang melanda kerajaan Ngastina hilang
setelah Prabu Dipayana menjalankan petunjuk dewa lewat wangsit ’ilham,
bisikan’ yang diterimanya. Hal itu bertepatan dengan kembalinya besi
Srikandhi dan besi Gurita, yang dahulu sewaktu ditempa musna dan kini telah
kembali dan berubah bentuknya menjadi arca Dewi Uma dan arca Sang Hyang
Girinata.
Prabu Dipayana adalah seorang raja yang mau mawas diri atas
segala kekurangan serta sekaligus sosok raja yang haus kesaktian dan ilmu
pengetahuan. Ketika Prabu Dipayana menyaksikan para penggawanya
menunjukkan keberanian serta kemahirannya menangkap berbagai macam
binatang hutan yang ditempatkan di hutann Palasara, maka Prabu Dipayana
merasa gembira. Karena ternyata para penggawanya berani dan sakti-sakti.
Pada pihak lain ia pun merasa bersedih hati bahwa dirinya belum memiliki
kesaktian yang memadai. Oleh karena itu, baginda kemudian meloloskan diri
malam itu juga untuk memohon kesaktian pada dewa. Hal itu tersurat dalam
Sěrat Darmasarana halaman 13 yang berbunyi:

72
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Mangkana Prabu Dipayana kagagas-gagas ing galih déné wadyané


samya sěkti-sěkti, panjěněnganira dèrèng darbé kasěktèn, mila ing dalu saya
karanta-ranta tansah kagagas ing galih lajěng lolos saking pasanggrahan
tanpa rowang sědyarsa něnědhèng déwa darbéya kasěktèn (halaman 13).
(Demikianlah Prabu Dipayana berpikir dalam hati sebab bala tentaranya
sakti-sakti, (sementara) dia sendiri belum memiliki kesaktian, oleh karena
itu malam hari itu juga semakin terasa kesedihan hatinya selalu dipikirkan,
kemudian meloloskan diri dari pesanggrahan tanpa pengiring bermaksud
memohon pada dewa agar memiliki kesaktian)
Secara psikis, semasa muda pun Prabu Dipayana memiliki sifat yang
tergesa-gesa, tidak sabar dalam bertindak, mudah tersinggung dan turun
tangan, sombong, angkuh, tinggi hati (punya harga diri yang berlebihan),
sering memandang rendah derajat orang lain, tidak mudah terbujuk dan
tergoda, tetapi ia pun juga mudah berubah pikiran dan berbelas kasih.
Sifat dan watak Prabu Dipayana di atas tampak terutama pada Sěrat
Darmasarana halaman 18, 19, 21, 24, 32, 39, 40, 48, dan 49 yang berbunyi:
Praptèng wana pringga darya aningali téja anèng luhuring wukir
sigra pinaranan kang amawa téja wau wong amara tapa ngaděg akěthu sarpa
agěgělang sarpa, praptèng ngarsané sang tapa Prabu Dipayana langsung
duka, dènnya sang tapa maksih ngaděg kéwala, tan anyapa tan angurmati,
sruning duka Prabu Dipayana anarik curiga sang tapa ginoco pějah kuwanda
sirna, tan antara katon Sang Hyang Basuki, Prabu Dipayana uninga yèn ana
jawata lajěng marak suměmbah ing pada (halaman 18).
(Sesampainya di hutan yang berbahaya melihat sinar di atas gunung
segera didekati yang bersinar tersebut adalah seorang pertapa yang berdiri
berikat kepala (dan) bergelang ular, sesampainya di depan pertapa itu Prabu
Dipayana sangat murka, karena sang pendeta masih tetap berdiri, tidak
menyapa tidak (pula) menghormati, karena sangat murkanya Prabu Dipayana
menarik keris sang pendeta ditusuk mati tubuhnya lenyap, tidak berapa lama
tampak Sang Hyang Basuki, Prabu Dipayana melihat ada dewa kemudian
menghadap menyembah mencium kaki)
--- Prabu Dipayana tumurun saking wukir aningali wontěn wong
ngaděg ancik-ancik gigiring andaka, sarta dèn ayap sakathahing buron
wana, kawistara kadi wong atatapa, dupi Prabu Dipayana cělak dèn awé,
Prabu Dipayana dukèng tyas cipta ingěsorakěn, sang tapa pinanah kěni tan
antara malih warna Sang Hyang Gana. Prabu Dipayana uniga langkung ajrih
rumasa ing kalěpatanira, lajěng marak suměmbah ing pada (halaman 19).
(--- Prabu Dipayana turun dari gunung melihat ada seorang yang
berdiri bertumpu punggung banteng serta dihadap sejumlah binatang buruan
hutan, tampak seperti pertapa, ketika Prabu Dipayana dekat dipanggil, Prabu
Dipayana murka (dalam) hatinya merasa direndahkan, sang pertapa dipanah
kena tidak berapa lama berubah rupa Sang Hyang Gana. Prabu Dipayana

73
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

mengetahui (menjadikannya) sangat takut (sebab) merasa akan kesalahannya,


kemudian (ia) menghadap (dan) menyembah mencium kaki (pertapa))
Dua pengalaman yang dialami Prabu Dipayana itu tampaknya dapat
sedikit mengubah perilakunya untuk tidak terlalu memiliki harga diri yang
berlebihan. Oleh karena itu, sewaktu baginda berjumpa dengan seekor
burung garuda yang menghalangi jalannya, ia tidak terlalu merasa murka
meskipun kemudian membunuhnya. Burung garuda musna menjelma
menjadi Sang Hyang Sambo. Perubahan perilaku Prabu Dipayana itu ternyata
tidak berlangsung lama, sebab sewaktu ia berjumpa dengan Sarabisa, utusan
Prabu Sayakesthi raja Mukabumi yang mau datang ke Ngastina menghadap
dan menyerahkan surat padanya, Prabu Dipayana merasa tersinggung serta
merendahkannya. Hal itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 21 yang
berbunyi:
Sarabisa lajěng ngambil sěrat arsa dèn aturakěn Prabu Dipayana
tan arsa nampèni. Aturing Sarabisa yèn padukéndra tan arsa nampèni sěrat
sumangga kula běkta dhumatěng ing Mukabumi kéwala. Kula aturakěn ing
ratu kula. Prabu Dipayana lěnggana. Mangkana andikanira: Ingsun tan
kabawah tan kaparéntah ing ratunira (halaman 21).
Kemudian Sarabisa mengambil surat akan diserahkan kepada Prabu
Dipayana tidak mau menerima. Sarabisa berkata: Apabila tuanku tidak mau
menerima surat ini marilah hamba bawa saja ke Mukabumi. Hamba haturkan
kepada raja hamba. Prabu Dipayana menolak. Demikianlah katanya: ”Aku
tidak di bawah (kekuasaan) tidak (pula) diperintah rajamu.”
Prabu Dipayana juga memperlihatkan keangkuhan serta
kesombongannya kepada Prabu Praswapati raja Gilingwesi yang ditolongnya
dari sergapan ular penjelmaan Dewi Swanyana. Ia menolak sewaktu Prabu
Praswapati mau memeluknya. Bahkan sewaktu Prabu Praswapati bermaksud
membalas kebaikan padanya, seperti janjinya Prabu Dipayana justru tersenyum
seraya meludah. Hal itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 24 yang
berbunyi:
--- ing mangké parěng botěn parěng panjěněngan paduka kula aturi
dhatěng griya kula, anjěněngana kang dados punagi kula rèhning wontěn
běbasan punika, wong kapotangan iku wajib anahura, Prabu Dipayana
mèsěm sarya riyak, sang anis baya uninga ing sěmunipun Prabu Dipayana
yèn lěnggana (halaman 24).
(--- sekarang mau tidak mau tuanku hamba mohon datang ke rumah
hamba untuk mengakhiri nazar hamba oleh karena ada perumpamaan orang
berhutang itu berkewajiban menyahur, Prabu Dipayana tersenyum seraya
meludah, orang yang luput dari bahaya itu (Prabu Praswapati) mengetahui air
muka Prabu Dipayana bahwa (ia) enggan (tidak mau))
Prabu Dipayana yang memiliki harga diri yang berlebihan, tinggi
hati itu pun seringkali menjadi salah sangka atas kemauan baik orang lain

74
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

terhadapnya. Ketika ia berjumpa dengan Prabu Sayakesthi raja Mukabumi


yang bermaksud mau mengawinkan dirinya dengan putrinya, Prabu Dipayana
justru merasa tersinggung, murka dan mencaci maki raja tersebut. Prabu
Dipayana menginginkan apabila Prabu Sayakesthi sungguh-sungguh
hendaknya putrinya diantar ka kerajaan Ngastina. Bukannya Prabu Dipayana
yang harus datang, sekalipun ia sudah berada di wilayah kerajaan Mukabumi.
Hal itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 32 yang berbunyi:
Prabu Dipayana ngakěn ratu ing Ngastina, Prabu Sayakèsthi duk
myarsa gumuyu suka lajěng walèh ing nama, Prabu Dipayana ingacaran
luměbèng kitha, arsa dhinaupakěn lan putriné, Prabu Dipayana salah cipta
rumaos rinèn, karsané yèn Prabu Sayakèsthi těměn-těměn sayěkti putriné
dèn aturěna maring Ngastina, Prabu Sayakèsthi pěksané déné kaparěngan
Prabu Dipayana wus anèng tanahé ing Mukabumi, Prabu Dipayana saya
duka anguman-uman wit mulaning punakawan dadining mukti awěkasan lali
(halaman 32).
(Prabu Dipayana mengaku raja di Ngastina, sewaktu mendengar itu
Prabu Sayakesthi tertawa gembira kemudian berterus terang akan (tentang)
namanya, Prabu Dipayana dipersilakan masuk kerajaan hendak dikawinkan
dengan putrinya, Prabu Dipayana salah cipta (sangka) merasa diperintah,
menurutnya jika Prabu Sayakesthi bersungguh-sungguh niscaya hendaknya
putrinya diserahkan ke Ngastina, Prabu Sayakesthi memaksa sebab kebetulan
Prabu Dipayana sudah berada di tanah Mukabumi, Prabu Dipayana semakin
murka menempelak (mencaci maki) bahwasannya asal mulanya (Prabu
Sayakesthi) (seorang) abdi setelah (berkedudukan tinggi) akhirnya (menjadi)
lupa).
Dalam perjalanan pengembaraannya, sesampainya di pertapaan
Tirta Awarna, atas perintah Sang Hyang Girinata, Sang Hyang Narada mau
mengawinkan Prabu Dipayana dengan Ken Satapa. Prabu Dipayana merasa
berkeberatan atas putusan dewa tersebut, walaupun tak terucapkan. Keberatan
dan kesedihan hati Prabu Dipayana itu terungkap dalam Sěrat Darmasarana
halaman 39-40 yang berbunyi:
Mangkana Prabu Dipayana amiyarsa asmu tan rěnèng tyas dènnya
badhé dhinaupakěn lan Kèn Satapa, Prabu Dipayana kawistarèng nitya
angěmu sungkawa (halaman 39-40)
(Demikianlah Prabu Dipayana tidak senang hatinya mendengar
akan dikawinkan dengan Ken Satapa, tampak (sinar) mata Prabu Dipayana
mengandung duka)
Demikian pula sewaktu Bagawan Sukandha berhasil menjumpai
Prabu Dipayana dan bermaksud mengambilnya sebagai menantu, maka
Prabu Dipayana menolak dan merendahkannya. Menurut perkiraannya, putri
Bagawan Sukandha adalah seorang raksasi, seperti ayahnya. Hal itu tersurat
dalam Sěrat Darmasarana halaman 48 dan 49 yang berbunyi:

75
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Prabu Dipayana ingaturakěn maring wismaning ditya sěpuh nanging


lěnggana, ciptané sutaning ditya sayěkti mětu ditya. Ditya sěpuh wus anduga
yèn dènnya tan arsa Prabu Dipayana dipun nyana sutané warni rasěksi,
lajěng wawarti yèn sutané warna manungsa ayu, Prabu Dipayana riyak sarta
angésahi (halaman 48).
(Prabu Dipayana dipersilakan ke rumah raksasa tua (itu) tetapi tidak
mau, pikirnya anak raksasa tentu lahir raksasa. Raksasa tua sudah menduga
bahwa Prabu Dipayana tidak mau karena dikira anaknya berupa raksasi,
kemudian memberitahukan bahwa anaknya adalah wanita cantik, Prabu
Dipayana meludah seraya menjauhi)
--- ditya sěpuh tut wuri sarya muwus: ”Dhuh sang raja ing Ngastina,
sampun kaduk galih abéla tampi, sanadyan kula ditya dédé sawiyah danawa,
taksih ditya pipiliyan tur anglampahi kapandhitan nama kula Bagawan
Sukandha, kang amartapèng Guwa Siluman kang tansah mumuja dhatěng
Sang Hyang Jagadpratingkah, anuwunakěn karaharjaningrat sadaya, para
déwa sadaya sami asih dhatěng kawula, ing saběn dintěn saé sami anědhaki
paring kalěwihan warni-warni, malah kula kaparingan bojo widadari nama
Dèwi Nawangsasi, kula lajěng jinulukan Gathayu dhatěng para déwa,
těgěsipun ’wadhahing kasaénan’. Prabu Dipayana miwah Patih Dwara sami
gumujěng miyarsakakěn wuwusipun Bagawan Sukandha (halaman 48-49).
(--- raksasa tua mengikuti di belakangnya seraya berkata: ”Duh sang
raja Ngastina, janganlah terlampau salah terima, meskipun hamba raksasa
bukanlah raksasa sembarangan, masih termasuk raksasa pilihan dan lagi
menjalankan kependetaan nama hamba Bagawan Sukandha, yang bertapa di
Gua Siluman yang senantiasa memuja kepada Sang Hyang Jagadpratingkah,
memintakan kesejahteraan (bagi) dunia semua, para dewa (menaruh) kasih
kepada hamba, setiap hari baik mereka mengunjungi (dan) memberikan
bermacam-macam kelebihan, bahkan hamba dianugerahi istri bidadari
bernama Dewi Nawangsasi, kemudian hamba diberi gelar Gathayu oleh para
dewa, yang artinya ’tempat kebaikan’. Prabu Dipayana dan Patih Dwara
tertawa mendengar perkataan Bagawan Sukandha, ....)
Segala sifat dan watak Prabu Dipayana di atas, kiranya adalah wajar,
sebab selain ia memang masih muda, tetapi di pihak lain sebenarnya juga
bukan lantaran kesalahannya semata. Prabu Praswapati, Prabu Sayakesthi
maupun Bagawan Sukandha seringkali memaksakan kehendaknya karena
desakan putri-putri mereka yang sangat menginginkan Prabu Dipayana
menjadi suaminya. Kesombongan, kecongkakan serta harga diri yang
berlebihan itu juga menunjukkan bahwa Prabu Dipayana tidak mudah tergerak
atau terperosok kepada sesuatu yang belum pasti kebenarannya. Meskipun
demikian di sisi lain Prabu Dipayana pun menunjukkan sebagai seorang
raja yang bersifat belas kasih. Sewaktu melihat calon-calon istrinya yang

76
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

memang cantik-cantik dan mendengar keluh kesah mereka, maka keakuan


dan keangkuhan hatinya runtuh. Ia menaruh belas kasih kepada mereka dan
bersedia mengawininya. Meskipun demikian setelah dirasa cukup berkumpul
dengan istrinya, maka Prabu Dipayana rela meninggalkan istri-istrinya untuk
sementara, demi tanggung jawabnya sebagai seorang raja.
Sejalan bertambahnya usia, dalam mengendalikan tata pemerintahannya,
Prabu Dipayana semakin menunjukkan sebagai raja yang adil bijaksana,
bertanggung jawab, pengasih, pemaaf, pengampun, pemurah, tahu balas
budi (jasa), toleran (solider) dan juga jiwanya sangat matang dalam olah
batin. Semua itu banyak diperoleh Prabu Dipayana dalam pengembaraannya
mencari kesaktian dan ilmu pengetahuan. Ia memperoleh berbagai pelajaran
dari para dewa maupun para pendeta. Keadilan dan kebijaksanaan Prabu
Dipayana ditunjukkannya sewaktu menyelesaikan perselisihan Kaesuksraya
bersama anaknya Si Sangkara di satu pihak melawan keluarga Winisaka. Prabu
Dipayana juga secara adil menyelesaikan persoalan Sukarna dengan Buyut
Sayundrawa; Tambingu dengan Patriata maupun memecahkan persoalan yang
terjadi antara ketiga janda Gihawya yang berebut harta warisan.
Dalam menyelesaikan perselisihan rakyatnya, kadang-kadang Prabu
Dipayana tidak selalu menghukum mereka yang bersalah selagi tidak
merugikan hak mereka yang benar. Tujuan raja adalah mengembalikan hak
mereka yang benar, tetapi seringkali Prabu Dipayana justru memberikan harta
bendanya sebagai pengganti pihak yang kecewa dan berbuat salah. Dengan
demikian Prabu Dipayana dapat mendudukkan mana yang benar mana yang
salah, tanpa harus merugikan salah satu pihak. Hanya saja seandainya raja
tidak memperoleh jalan lain yang terbaik, maka kekerasan dan hukuman mesti
dijatuhkan kepada mereka yang berbuat salah.
Prabu Dipayana adalah tipe raja yang tahu menghargai jasa para bawahan
(tentaranya). Prabu Dipayana selalu berusaha memberikan kedudukan kepada
putra atau perwira raja bawahan yang gugur di medan tugas atau meninggal
karena sakit. Dengan demikian selalu terjalin hubungan baik antara raja dengan
para bawahan. Prabu Dipayana adalah seorang raja yang bersifat teliti, hati-
hati, waspada, dan sangat memperhatikan kehidupan rakyatnya. Setiap waktu
ia dan pengiringnya berkeliling melihat-lihat wilayah kerajaannya. Dalam
kesempatan yang demikian, ia sering menyelesaikan perselisihan dan persoalan
yang dihadapi rakyatnya. Prabu Dipayana pun memiliki atensi dan toleransi
antar sesama umat beragama. Misalnya pemecahannya atas perselisihan yang
terjadi diantara lima golongan beragama, yakni: Sambo, Brahma, Endra, Bayu
dan Wisnu dengan pengikut agama Kala yang melanggar peraturan.
Prabu Dipayana pun tipe seorang raja yang berwatak tegas serta
memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap saudara-saudaranya maupun
para raja bawahan yang kebanyakan masih mempunyai hubungan darah

77
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

dengannya. Misalnya ketegasan sikap yang diambil Prabu Dipayana dengan


mengirimkan bala tentara Ngastina untuk membantu Resi Sidhikara dalam
pertentangannya melawan Dhang Hyang Suwela beserta pengikutnya.
Secara psikis pun Prabu Dipayana memiliki kematangan jiwa yang
selalu diolah menuju kesempurnaan, terutama menjelang muksanya.
Menjelang muksanya itulah Prabu Dipayana mengikuti saran Patih Dwara
untuk meniru laku leluhurnya, yakni para Pandawa. Dalam persiapannya
kembali ke sorga, seperti diceritakan dalam Mahaprasthānikaparwa, para
Pandawa melakukan perjalanan suci seraya berpuasa, melakukan yoga dan
berpantang dengan sangat kerasnya (Ketut Nila, 1979: 28). Dalam perjalanan
sucinya pun, Prabu Dipayana bersama pengiringnya banyak melakukan darma,
membagi-bagi dana pada pendeta, memperbaiki dan membangun kembali
tempat suci (pertapaan) yang rusak. Disela-sela kelelahannya, mereka bertukar
ilmu kesempurnaan agar dalam muksanya nanti tidak salah arah. Dalam hal
ini, Prabu Dipayana dengan rendah hati dan bijaksana memersilakan Patih
Danurwedha untuk membentangkan ilmunya. Patih Danurwedha dipandang
memiliki ilmu kesempurnaan lebih tinggi, karena dia pewaris ilmu eyangnya,
Raden Werkodara seorang satria utama dan pendeta yang sempurna.
Keutamaan, keluhuran budi serta kesempurnaan jiwa Prabu Dipayana
semakin tampak, ketika ia mengumpulkan rakyatnya. Dengan rela hati ia
meminta dan mempersilakan rakyatnya yang merasa pernah disakiti atau
dilukai agar membalasnya. Sampai akhirnya dewa mengujinya dengan
datangnya Taksaka Raja yang memberitakan pada baginda bahwa ia pernah
terluka oleh ujung keris baginda sewaktu menjadi binggěl ’gelang kaki’
Resi Ardhawalika, penjelmaan Sang Hyang Basuki. Dengan terpaksa karena
dipaksa Taksaka Raja menjilat ujung kuku kaki yang oleh Prabu Dipayana
dipakai sebagai sarana mencapai muksa.
Secara sosiologis pun dilukiskan Prabu Dipayana memiliki
kesempurnaan jiwa (batin). Hal itu tampak dengan adanya tanda bahwa
usaha muksa Prabu Dipayana diterima dewa, seperti tersurat dalam Sěrat
Darmasaraan II halaman 54 yang berbunyi:
Dupi lipur sawatawis katon tandhaning katarima kamuksané nata
linuwih, prapta punang warsa sěkar adrěs mawa ganda arum amrik angambar
kadi angěngimur sang kataman kung amrih lipuring duhkita (halaman 54).
(Setelah terhibur sementara tampak pertanda bahwa muksa Prabu
Dipayana yang utama diterima, dengan turunnya hujan bunga yang deras
dengan bau harum semerbak menyebar seperti menghibur (mereka) yang
dilanda sedih agar reda dukanya ....)
Kesempurnaan batin (jiwa) Prabu Dipayana tampak pula pada dialog
Patih Dwara dan Patih Danurwedha dengan Prabu Yudayana, Prabu Yudayana
menduga bahwa mangkatnya ayahandanya bukan karena keinginan sendiri,

78
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

melainkan karena gigitan Taksaka Raja. Oleh karena itu ia sangat bersedih hati
sekaligus murka kepada Taksaka Raja. Patih Dwara dan Patih Danurwedha
berusaha menjelaskan bahwa praduga baginda tidak benar. Prabu Dipayana
adalah seorang raja yang mumpuni olah batin, seperti tersurat dalam Sěrat
Darmasarana II halaman 54-55 yang berbunyi:
Aturipun Patih Dwara lan Patih Danurwédha: ”Dhuh pukulun kados
botěn makatěn kangjěng déwaji, punapa ingkang cinipta ing karsa lamun
dados margining kasampurnan, ucap-ucapipun linangkung wontěna běbaya
sakěthinéya sampun waskitha botěn kèrub malah ngiruba warnining dirgama
wau, kadosta rama paduka saèstunipun sampun limpad anglimputi warni,
kados botěn kéguh dhatěng pangiruban pukulun, punapa kirang wuwulangipun
éyang-éyang paduka buyut Pandhawanira nguni saèstu sampun tumpěk wontěn
rama paduka sadaya (halaman 54-55).
(Patih Dwara dan Patih Danurwedha berkata: ”Duh paduka tuanku
jadi bukanlah demikian, apa yang dicipta dikehendaki apabila menjadi jalan
kesempurnaan, kata orang pandai meskipun ada seratus ribu bahaya apabila
sudah awas tidak turut terbawa bahkan menguasai segala macam jalan sesat
(buruk) tadi, seperti halnya ayahanda paduka tuanku sesungguhnya sudah ahli
meliputi segala hal, seperti(nya) tetap hatinya akan pengaruh (sesat) tuanku,
apakah kurang pelajaran (yang diberikan oleh) nenenda Pandawa dahulu
sungguh sudah tertumpah habis dalam (diri) ayahanda paduka)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa secara fisik Prabu Dipayana
adalah seorang raja yang tampan lagi sakti, sehingga banyak dirindukan
gadis-gadis. Di samping itu Prabu Dipayana pemberani, tidak mengenal takut.
Secara psikis, Prabu Dipayana memiliki watak yang bertanggung jawab akan
keselamatan dan kesejahteraan rakyat Ngastina. Ia mau mawas diri akan
segala kekurangannya dan mempunyai kemauan untuk meningkatkan diri,
baik dalam hal kesaktian maupun ilmu pengetahuan. Meskipun demikian,
sebagai seorang raja muda ia memiliki sifat yang tergesa-gesa, tidak sabar
dalam bertindak, mudah tersinggung, marah, ringan tangan, sombong, angkuh,
tinggi hati, suka memandang rendah derajat orang lain, tidak mudah terbujuk
dan tergoda, tetapi ia pun kemudian juga mudah berubah pikiran karena belas
kasihnya. Sifat tersebut berubah sejalan bertambahnya usia. Prabu Dipayana
semakin memiliki tanggung jawab, adil, bijaksana, pengasih, pemaaf,
pengampun, pemurah, tahu balas budi, toleran dan berjiwa (batin) matang.

(2) Prabu Yudayana


Raden Yudayana yang kemudian nantinya bergelar Prabu Yudayana
adalah seorang satria yang tampan dan sakti. Ketampanan Prabu Yudayana
(Raden Yudayana) tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 143 yang
berbunyi:

79
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Dangu-dangu awas paningalira yèn ana satriya bagus nulya pinaranan


sarwi tinakènan ngakěn raja putra ing Ngastina nama Radèn Yudayana
(halaman 143).
(Lama-kelamaan awas penglihatannya bahwa ada seorang satria
tampan, kemudian didekati dan ditanyai berterus terang sebagai putra raja di
Ngastina bernama Raden Yudayana)
Raden Yudayana pun merupakan anak yang patuh pada perintah
ayahandanya (Prabu Dipayana) yang memerintahkan padanya untuk pergi
berguru pada pamannya, Resi Sidhikara di Manikmaya. Oleh karena
sebagai calon raja besar harus membekali dirinya dengan berbagai macam
ilmu pengetahuan maupun kesaktian. Dengan senang hati Raden Yudayana
menjalankan perintah ayahandanya, karena pada dasarnya ia pun gemar
mengembara dan haus ilmu pengetahuan. Sekalipun dalam perjalanannya ke
gunung Manikmaya, ia tersesat sampai di hutan Tibrasara. Di sana ia berjumpa
dengan seekor harimau dan seekor ular serta meruwatnya kembali menjadi
Sang Hyang Kamajaya dan Dewi Ratih. Dari mereka Raden Yudayana
mendapat berbagai ilmu kanuragan, aji jaya kawijayan serta panah sakti
Sarotama, peninggalan Arjuna.
Raden Yudayana pun memiliki watak ringan hati untuk menolong
orang lain yang sedang dilanda kesedihan. Diantara pertolongan tersebut
ditunjukkannya sewaktu membebaskan Dewi Gendrawati dari tangan
Swagotara yang menculiknya dari Gandara. Dengan panah sakti Sarotama,
Swagotara dibunuh dan Dewi Gendrawati diantar kembali kepada
ayahandanya, Prabu Gandaprawa. Selain senang menolong, Raden Yudayana
pun memiliki watak jujur dan berterus terang. Kejujuran, kepolosan watak
Raden Yudayana yang ditunjukkannya sekaligus menimbulkan kelucuan.
Setelah berhasil membunuh Swagotara, maka Raden Yudayana mengambil
rambut dan taring raksasa tersebut sebagai bukti baginya, bahwa ia bukan
orang yang menculik Dewi Gendrawati. Kejujuran dan kepolosan watak
Raden Yudayana itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 145 dan
147 yang berbunyi:
Radèn Yudayana tan lěnggana, nulya wangsul dhatěng gèn wangkéning
ditya, amèt tandha siyung kalih siki lan késwa, wangsulé maring guwa
tinanyan maring Dewi Gěndrawati, karantěnipun punapa déné amběkta
siyung lan késwa, Radèn Yudayana anahuri arsa kinarya tandha, manawi
kaduparakakěn ing ramanta nata (halaman 145).
(Raden Yudayana bersedia (kemudian) kembali ke tempat bangkai
raksasa (untuk) mengambil dua taring dan rambut, sesampainya kembali ke
gua Dewi Gendrawati bertanya sebabnya membawa taring dan rambut. Raden
Yudayana menjawab akan dipergunakannya sebagai tanda (bukti), apabila
ayahanda (Dewi Gendrawati) menyangsikannya)

80
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Raden Yudayana andhěku, lajěng angambil késwa lan jatha, arsa


dèn aturakěn Prabu Gandaprawa dupi uninga gumujěng suka sarya
ngandika: ”Dhuh anggèr sang raja putra, mugi sampun sumělang ing galih,
tandha punika tandha punapa, alah tandha déné yěkti, yěktinipun anakmas
amanggihakěn anak kula pun Gěndrawati, městhinipun kula sampun pitados
saha sangět ing panuhun kanthi suka sukur.” (halaman 147).
(Raden Yudayana duduk menunduk, kemudian mengambil rambut dan
taring hendak diserahkan (pada) Prabu Gandaprawa (yang) ketika melihatnya
tertawa gembira serata berkat: ”Duh anggèr sang raja putra, hendaklah jangan
cemas di hati, tanda itu tanda apa, (apakah) tanda bahwa benar, nyatanya (toh)
anak mas menemukan anak saya Gendrawati, mestinya saya sudah percaya
dan (menyampaikan) banyak terima kasih serta mengucapkan puji syukur.”)
Setelah beberapa waktu tinggal di kerajaan Gandara, maka Raden
Yudayana melanjutkan perjalanannya pergi ke pertapaan Tirta Awarna di
Gunung Manikmaya untuk berguru kepada Resi Sidhikara. Ia mendapatkan
berbagai macam kesaktian dan ilmu kesempurnaan. Oleh karena itu, sewaktu
timbul kembali pertentangan antara Resi Sidhikara melawan Dhang Hyang
Suwela, ia melibatkan diri dan berhasil membunuh Dhang Hyang Suwela
dengan panah sakti Sarotama. Akan tetapi kematian Dhang Hyang Suwela
ternyata tidak menghentikan pertentangannya melawan Resi Sidhikara dan
keluarga Ngastina. Sebab roh Dhang Hyang Suwela selalu menjelma dalam
rupa lain dan senantiasa mencari kesempatan untuk dapat membunuh Raden
Yudayana.
Selain perwatakan Raden Yudayana di atas, ia pun memiliki watak yang
tidak sabar, kurang bijaksana dan berpandangan luas serta sering mengabaikan
nasihat orang tua. Ia pun mudah marah, gampang terpengaruh, tidak teliti dan
memiliki rasa bakti (pada orang tua) yang berlebihan. Hal itu terjadi ketika
hatinya terguncang atas mangkatnya ayahandanya, Prabu Dipayana. Ia menduga
bahwa mangkatnya ayahandanya bukan karena usaha muksa, melainkan karena
gigitan Taksaka Raja. Oleh karena itu ia mau membunuh Taksaka Raja dan
menumpas semua ular di manapun. Sampai akhirnya dalam penyerbuannya ke
daerah Gunung Mahendra, Raden Yudayana (Prabu Yudayana) berjumpa dengan
Naga Raja Sarana, pelindung naga yang baik. Naga Raja Sarana menyadarkan
Prabu Yudayana bahwa penumpasan naga adalah tindakan yang tidak terpuji dan
jauh dari sikap maharaja yang adil bijaksana. Raden Yudayana yang kemudian
bergelar Prabu Yudayana juga tipe raja yang memiliki tanggung jawab dan sangat
kasih pada pasukannya. Meskipun ia sudah hidup bahagia dengan istrinya Retna
Naga Sarini di alam gaib, tetapi ia merelakan kebahagiaannya itu untuk kembali
berkumpul dengan pasukannya yang kebingungan mencarinya.
Sekalipun pada dasarnya Raden Yudayana memiliki watak jujur,
tetapi adakalanya ia pun berbohong. Misalnya sewaktu ia berkunjung pada

81
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

pamannya Resi Sidhikara di Gunung Manikmaya, ia tertarik pada Dewi


Sadu, putri pamannya itu. Kemudian secara diam-diam ia kawin dengan
Dewi Sadu. Ia semula menolak tuduhan istrinya (Dewi Gendrawati) bahwa
ia sudah kawin lagi dengan Dewi Sadu di Gunung Manikmaya. Akhirnya atas
desakan istrinya, Prabu Yudayana mengakui terus terang. Keterusterangan
Prabu Yudayana menimbulkan pertentangan dengan istrinya yang berakibat
ia pulang kembali ke Gandara. Sampai akhirnya Prabu Gandaprawa beserta
permaisuri menyadarkan putrinya dan mengantarkannya kembali ke Ngastina
untuk berkumpul kembali dengan Prabu Yudayana, suaminya.
Prabu Yudayana pun berwatak mudah percaya pada keterangan istrinya
tanpa menelitinya terlebih dahulu apakah itu benar ataukah salah. Ketidaktelitian
dan sifat tergesa-gesa Prabu Yudayana menggores sejarah hitam dalam tata
pemerintahannya di Ngastina. Patih Dwara yang banyak berjasa bagi tegaknya
kerajaan Ngastina, dan yang secara diam-diam selalu menyelamatkan keluarga
raja dari usaha pembunuhan roh Dhang Hyang Suwela justru dihukum, kedua
pergelangan tangannya dipatahkan. Akhirnya Prabu Yudayana menyadari
kesalahannya dan ketika mau memeluk Patih Dwara telah terlambat, sebab
Patih Dwara segera muksa setelah terlebih dahulu memulihkan kembali kedua
pergelangan tangannya yang patah.
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Raden (Prabu) Yudayana
seorang yang tampan, sakti, dan berani. Di samping itu ia memiliki watak
patuh, hormat pada orang tua, gemar mengembara, haus ilmu pengetahuan
dan kesaktian, suka menolong orang lain, pengasih, bertanggung jawab pada
rakyatnya, jujur (terus terang), polos. Akan tetapi di samping itu adakalanya
ia pun mudah percaya pada laporan palsu, mudah tergoda (terpikat) wanita
cantik, mudah tersinggung dan marah, kurang teliti dan hati-hati serta kurang
adil bijaksana dalam mengendalikan tata pemerintahan. Watak negatif Prabu
Yudayana di atas sudah barang tentu tidak terlepas dari usianya yang masih
muda.

(3) Patih Dwara


Patih Dwara adalah putra Raden Samba dengan Dewi Sugatawati, jadi
cucu Sri Batara Kresna raja Dwarawati (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 154).
Tokoh Patih Dwara digambarkan sebagai seorang patih yang tampan, berani
lagi sakti. Selain itu ia pun dilukiskan sebagai patih yang setia bakti pada raja,
patuh, taat pada perintah, bertanggung jawab, suka memberikan pertolongan,
rendah hati, utama, luhur budi, adil lagi bijaksana, berpandangan luas,
menguasai berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu kesempurnaan (kebatinan).
Selain itu ia pun menjadi kekasih dewa dan nantinya, seperti diceritakan dalam
Sěrat Yudayana, setelah wafat Patih Dwara menjadi Bathara Dwara.
Patih Dwara, seperti diuraikan di atas adalah seorang patih yang
setia bakti dan patuh pada perintah raja, bukan hanya semasa pemerintahan

82
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Prabu Dipayana, tetapi juga semasa pemerintahan Prabu Yudayana. Semua


itu terutama ditunjukkan Patih Dwara ketika menjalankan perintah raja untuk
membangun pagrogolan di hutan Palasara sebagai arena raja bercengkrama
serta berburu binatang hutan. Patih Dwara pula yang berusaha menyusul
hilangnya Prabu Dipayana dari pagrogolan, ketika secara diam-diam pergi
mengembara memohon kesaktian pada dewa. Setelah Patih Dwara berhasil
berjumpa dengan Prabu Dipayana di pertapaan Tirta Awarna, maka ia pun
menyertai baginda serta membantunya melawan raksasa Srubisana, meskipun
harus kalah. Oleh karena bakti cintanya pada baginda, maka Patih Dwara
beserta Patih Danurwedha memberikan pertimbangan agar baginda melakukan
perjalanan suci seperti yang pernah dilakukan nenenda para Pandawa
menjelang muksa. Hal itu dilakukan, sebab Prabu Dipayana bersama ibunda,
permaisuri serta kerabat isatana mau melakukan hal yang sama (muksa),
sehingga diharapkan tidak salah arah. Dalam hal ini, Patih Dwara bersama
Patih Danurwedha ikut pula menyertai perjalanan suci baginda, meskipun
keduanya tetap memenuhi amanat raja untuk mendampingi pemerintahan
Prabu Yudayana yang belum matang jiwanya.
Dalam masa pemerintahan Prabu Yudayana, Patih Dwara dan Patih
Danurwedha berulangkali memberikan berbagai macam nasihat yang berharga
serta mencegah tindakan raja yang salah. Akan tetapi sebagai seorang patih
yang patuh pada perintah raja, maka ia pun dengan berat hati mengerjakan
perintah raja tersebut, sekalipun bertentangan dengan suara hatinya. Di
antaranya Patih Dwara menyertai perjalanan Prabu Yudayana menumpas ular
ke mana pun.
Sewaktu Prabu Yudayana berkunjung ke Gunung Manikmaya dan
kawin dengan Dewi Sadu, Patih Dwara justru menghadapi cobaan yang sangat
berat. Berulangkali roh Dhang Hyang Suwela menjelma dalam rupa lain
dan berusaha membunuh Prabu Yudayana yang diduganya ada di kerajaan.
Dengan bantuan petunjuk Arca Sikandhi, Patih Dwara selalu berhasil
dalam menggagalkan usaha pembunuhan itu. Sampai akhirnya ketika Patih
Dwara membunuh ular penjelmaan roh Dhang Hyang Suwela di peraduan
permaisuri, maka Dewi Gendrawati terbangun dan menuduh Patih Dwara
bermaksud merusak kehormatannya. Dengan rela hati tanpa melawan, Patih
Dwara ditangkap dan dipenjarakan. Kemudian Patih Dwara dihukum, kedua
pergelangan tangannya dipatahkan. Sewaktu Prabu Yudayana kembali ke
Ngastina dan mendengar laporan palsu permaisuri, maka bangkitlah murkanya.
Ketika mau dijatuhi hukuman, maka Patih Dwara memohon pada baginda
agar menerima dan membuka pěthi yang berisikan barang bukti serta catatan
tentang berbagai peristiwa yang terjadi di kerajaan Ngastina sepeninggal
baginda. Prabu Yudayana terguncang hatinya, akan tetapi ketika akan memeluk
pamannya, Patih Dwara telah merasuk sukma setelah memulihkan kembali
kedua pergelangan tangannya yang dipatahkan itu. Patih Dwara menjadi

83
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

dewa bergelar Bathara Dwara. Meskipun demikian rasa pengabdian dan cinta
kasihnya tidak luntur, sebab seperti yang diceritakan dalam Sěrat Yudayana,
maka Patih Dwara pun masih selalu menolong Prabu Yudayana sewaktu dalam
menghadapi bahaya.
Patih Dwara pun memiliki watak rendah hati, meskipun sebenarnya
ia seorang pejabat tinggi istana Ngastina. Sikap rendah hati Patih Dwara
itu tampak sewaktu mencari Prabu Dipayana, ia menyamar sebagai Raden
Cara, seorang kerabat istana Ngastina. Meskipun pada dasarnya Patih Dwara
seorang yang rendah hati, tetapi sekali waktu ia pun dapat bersikap angkuh
serta memandang rendah orang lain. Hal ini ditunjukkannya sewaktu ia
dan Prabu Dipayana berjumpa dengan pendeta raksasa Bagawan Sukandha
yang berkeinginan keras akan mengambil baginda sebagai menantu. Prabu
Dipayana menolak karena menduga putri Bagawan Sukandha seorang raksasi.
Selanjutnya Bagawan Sukandha menerangkan, bahwa ia kekasih dewa,
istrinya bidadari (Dewi Nawangsasi) dan putrinya cantik jelita. Mendengar
keterangan tersebut, Prabu Dipayana dan Patih Dwara mentertawakannya.
Tokoh penting Patih Dwara, seperti telah disinggung di depan memiliki
sikap adil lagi bijaksana, berpandangan luas, menguasai berbagai ilmu
pengetahuan maupun ilmu kesempurnaan (kebatinan). sikap tersebut antara
lain ditunjukkannya sewaktu memberikan pandangan dan ikut menyelesaikan
pengadilan Prabu Dipayana atas rakyatnya yang berselisih. Pada suatu ketika
terjadi perselisihan antara Kaesuksraya bersama anaknya Si Sangkara melawan
keluarga Winisaka. Akhirnya Kaesuksraya dan Si Sangkara dinyatakan
bersalah. Dalam kasus tersebut, Patih Dwara memberikan pandangan berupa
seloka yang berbunyi: Asing akarunyapuharangmasi yang berarti: Sing
awělas atěmahan lalis ’seseorang yang menaruh kasihan (kepada orang lain),
tetapi justru menyebabkan kesengsaraan’. Perasaan belas kasih seseorang
kepada orang lain, seringkali justru dapat membawa kesulitan, kecelakaan
pada orang tersebut. Hal itu dialami oleh Kaesuksraya, karena belas kasih
pada anaknya yakni Si Sangakra, maka ia tetap membela kasusnya, meskipun
anaknya bersalah. Akhirnya Kaesuksraya harus kehilangan harta bendanya
untuk menyelamatkan kedudukannya sebagai pemuka di desa Gigili. Dengan
pengetahuannya yang luas, maka Patih Dwara pun memberikan sumabangan
pikirannya, bahwa dalam kehidupan rumah tangga yang wajar, terasa pengaruh
laki-laki lebih kuat dari wanita. Demikian pula Patih Dwara pun memberikan
sumbangan pemikiran pada Prabu Dipayana sewaktu memberikan pengadilan
perselisihan antara Ki Sarana, Ki Saruna dan Sami.
Patih Dwara adalah kekasih dewa, sehingga ia seringkali mendapat
wangsit ’ilham, bisikan’ darinya, baik lewat mimpi maupun besi arca Srikandhi.
Misalnya wangsit yang diterima Patih Dwara sewaktu Prabu Dipayana pergi
meninggalkan pesanggrahan di hutan Palasara. Bisikan dewa tersebut tersurat
dalam Sěrat Darmasarana halaman 13-14 yang berbunyi:

84
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Sinigěg ingkang lamampah gantya winursita mangkana Patih Dwara


duk néndra sakědhap kadhawahan sasmitaning déwa wontěn wangsit amelingi
karsanira, yèn ratuné lunga nis tambuh kang sinédya (halaman 13-14).
(Tidak diceritakan yang pergi (Prabu Dipayana), yang diceriakan
berganti demikianlah ketika Patih Dwara sejenak tidur menerima isyarat dewa
dan ilham (yang) maksudnya memberi pesan (memberitahu), bahwa rajanya
pergi tak diketahui yang dituju).
Selain ilham yang diterima Patih Dwara di atas, ia pun berulangkali
menerima pemberitahuan dari besi arca Srikandhi. Dari pemberitahuan
tersebut, Patih Dwara banyak berhasil menggagalkan usaha pembunuhan
penjelaman roh Dhang Hyang Suwela atas Prabu Yudayana yang tidak ada
di istana. Sampai akhirnya tuduhan dan hukuman yang dijatuhkan permaisuri
Dewi Gendrawati menjadi sarana bagi Patih Dwara mencapai muksa.
Berbagai bisikan dan pemberitahuan dewa di atas mengisyarakatkan
Patih Dwara sebagai kekasih dewa, sekaligus menunjukkan keutamaan
wataknya.

(4) Patih Danurwedha


Tokoh penting dalam Sěrat Darmasarana, setelah Prabu Dipayana,
Prabu Yudayana, Patih Dwara adalah Patih Danurwedha. Patih Danurwedha
(Danurwenda) adalah putra Raden Antareja (Anantaraja) dengan Dewi Ganggi,
putri Prabu Ganggapranawa raja dari negara Tasikgangga (Suwandono, dkk.,
tanpa tahun: 118). Dengan demikian ia adalah cucu Arya Werkodara.
Penyebutan Patih Dwara hampir selalu diikuti Patih Danurwedha, jadi
hubungan keduanya sangat dekat. Kedua patih tersebut selalu bahu membahu
dalam mengabdi maupun mendampingi pemerintahan Prabu Dipayana
(Parikesit) sampai Prabu Yudayana. Hanya bedanya, apabila dalam Sěrat
Darmasarana II dan Sěrat Yudayana muksanya Patih Dwara karena kasus
tuduhan Dewi Gendrawati, maka mangkatnya Patih Danurwedha karena
pertempurannya melawan Arya Drawaya (Anung Tedjowirawan, 186: 48).
Perwatakan Patih Danurwedha hampir sama dengan perwatakan Patih
Dwara. Ia pun seorang patih yang setia dan bakti pada raja, patuh pada perintah,
bertanggung jawab, luhur budi, adil lagi bijaksana, berpandangan luas,
menguasai berbagai macam ilmu pengetahuan terutama ilmu kesempurnaan
(kebatinan). Peranan dan keterlibatannya dalam tata pemerintahan di kerajaan
Ngastina, maka setiap kali Prabu Dipayana mengadakan pengadilan pada
rakyatnya yang berselisih, ia hampir selalu dimintai pertimbangan dan
penilaiannya. Di antara pandangan yang diberikannya adalah dalam kasus
perselisihan Ki Sarana, Ki Saruna dan Sami. Hanya ketika Prabu Dipayana
pergi meninggalkan pesanggrahan di hutan Palasara dan Patih Dwara secara
diam-diam menyusul baginda, maka Patih Danurwedha bersama bala
tentaranya tetap ada di pesanggarahan sampai baginda kembali. Sewaktu Prabu

85
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Yudayana berkunjung ke pertapaan Tirwa Awarna di Gunung Manikmaya


dan di sana baginda kawin dengan Dewi Sadu, putri pamannya, maka Patih
Dwaralah yang selalu menyelamatkan keluarga raja dari usaha balas dendam
roh Dhang Hyang Suwela. Dalam hal ini, Patih Danurwedha tidak banyak
melibatkan diri, karena Patih Dwara melakukannya secara diam-diam. Akan
tetapi meskipun demikian, hampir setiap peristiwa penting yang dihadapi
Prabu Dipayana, maka Patih Danurwedha dan Patih Dwara membantu
baginda. Oleh karena cinta bakti serta kesetiaan Patih Danurwedha terhadap
raja sangat besar, maka sebaliknya Prabu Dipayana pun menaruh kasih dan
memperhatikan Patih Danurwedha. Hal itu ditunjukkannya, sewaktu Prabu
Dipayana meminta kepada Resi Gurunadi agar memberikan Dewi Maera,
putrinya untuk dikawinkan dengan Patih Danurwedha.
Dalam ilmu kesempurnaan dilukiskan bahwa Patih Danurwedha
memiliki kelebihan dari yang lain, misalnya: Prabu Dipayana, Prabu
Gandaprawa, Patih Dwara, Resi Gurunadi maupun Resi Gurundaya. Patih
Danurwedha, seperti telah disinggung di atas adalah putra Raden Antareja,
cucu Arya Werkodara. Dari kakeknya Arya Werkodara itulah Patih
Danurwedha menerima dan mewarisi ilmu kesempurnaan (kebatinan) yang
sangat tinggi. Dalam ilmu kesempurnaan Patih Danurwedha diakui Prabu
Dipayana menjelang muksanya dengan meminta kepada Patih Danurwedha
untuk membentangkan ilmunya itu, baik kepada dirinya (Prabu Dipayana)
maupun kepada Prabu Gandaprawa, Patih Dwara, Resi Gurunadi serta Resi
Gurundaya. Hal itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana II halaman 42 yang
berbunyi:

--- pangandikanipun Prabu Dipayana: ”Lah iya běněr yayi Prabu


wajibé wong mardi kawruhé iku. Iya wajib angawruhana ing kanyataané, yèn
datan mangkana kasěbut tiwas-tiwas tan wus tiwasing pamawas wěkasané
kětiwasan, ananging saměngko pun kakang karya susulih marang kakang
Danurwédha kéwala, marma mangkono yayi kang kocap layang wédha
kabèh-kabèh kang dadya kawruhing éyang nata Pandhawa nguni wus
kawěngku kalimputan déning kawruhé njěng éyang Arya Bima, rèhning
kakang Danurwédha iku wayahé mbok manawa ana kècèrané těka sathithik
kawruh kakang Danurwédha, kaya-kaya bisa angělèki, kawruhé kang akèh-
akèh iki, Arya Dwara lawan Rěsi Gurundaya miwah Rěsi Gurunadi tuwin
Prabu Gandaprawa samya matur mangayubagya karsa nata” (halaman 42).

(--- kata Prabu Dipayana: ”Benar dinda Prabu orang berkewajiban


melatih ilmu pengetahuan (seperti) itu, wajib mengetahui kenyataannya, jika
tidak demikian disebut celaka tidak urung celaka (gagal) penglihatannya
akhirnya celaka, akan tetapi sekarang kakanda meminta kepada kakang
Danurwedha saja sebagai pengganti, sebab demikian dinda yang tersebut

86
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

dalam semua kitab suci yang menjadi ilmu pengetahuan nenenda para Pandawa
dahulu sudah dipunyai (dan) dikuasai dalam ilmu pengetahuan nenenda
Arya Bima, oleh karena kakang Danurwedha itu cucunya, barangkali masih
ada (pengetahuan yang) tersisa meskipun sedikit (dalam) ilmu pengetahuan
kakang Danurwedha, rupa-rupanya dapat menjelaskan, ilmu pengetahuan
yang banyak itu, Arya Dwara, Resi Gurundaya, Resi Gurunadi serta Prabu
Gandaprawa semua mengatakan menyetujui kehendak raja .... ”

Demikianlah sepintas perwatakan Patih Danurwedha yang dapat


diungkapkan dalam penelitian ini.

(5) Bagawan Baladewa


Tokoh penting dalam Sěrat Darmasarana, selain keempat tokoh yang
telah diuraikan perwatakannya di atas adalah Bagawan Baladewa. Bagawan
Baladewa, semasa mudanya bernama Kakrasana dan bersama kedua adiknya
yakni Narayana dan Lara Ireng (Wara Sumbadra) diungsikan dan diasuh oleh
Antagopa (Antagupa) – Nyai Sagopi di Widarakandha (Widarakandhang)
(Suwandono, dkk., tanpa tahun: 33-34). Setelah Kakrasana menggantikan
kedudukan ayahandanya Prabu Basudewa di Kerajaan Mandura, ia bergelar
Prabu Baladewa. Kemudian Prabu Baladewa dalam usianya yang lanjut
lebih dikenal dengan nama Wasi Jaladara dan berkedudukan di pertapaan
Grojogansewu (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 56-57). Penyebutan Baladewa
dengan Wasi Jaladara di atas, kiranya masih perlu diteliti lebih lanjut.
Apakah penamaan Wasi Jaladara mengisyaratkan ketika Baladewa masih
muda (Kakrasana) dan berguru kepada Dewa Brahma, ataukah benar ketika
Baladewa sudah berusia lanjut. Terlepas dari itu nama wasi memang berarti
’pendeta pertapa’ (Prawiroatmojo, 1981: 312).
Apabila penokohan Bagawan Baladewa dalam Sěrat Darmasarana
dibandingkan dengan Baladewa dalam Mausalaparwa (bagian kelimabelas
dalam Mahābhārata) terdapat perbedaan yang besar, terutama mengenai
wafatnya. Diceritakan dalam Mausalaparwa (Mosalaparwa), bahwa setelah
keluarga Wrishni dan Andhaka (Andhakasa dalam tradisi Bali) musnah karena
saling bunuh, maka Rama (Baladewa) dan Kresna (Wasudewa, Kesawa)
mempersiapkan diri kembali ke sorga. Namun terlebih dahulu Kresna (Krishna)
menghadap ayahandanya untuk memohon diri serta menitipkan para istrinya
untuk sementara sampai Dhananjaya (Arjuna) datang menjaganya. Sesampainya
kembali ke tempat Baladewa (Rama), Kresna masih dapat menyaksikan
Baladewa duduk bersandar di tempat semula serta terserap ke dalam yoga
yang sangat dalam. Kemudian dari dalam rongga mulutnya keluar seekor ular
yang luar biasa. Kulitnya putih cemerlang, kepalanya beribu-ribu dan bertubuh
sebesar gunung. Mata naga yang dahsyat tersebut merah menyala-nyala.
Sewaktu bergerak menuju lautan, maka dewa laut, para naga, dan dewa-dewa

87
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

sungai menyambutnya. Mereka yang menyambut roh suci Baladewa (Rama) di


antaranya adalah Karkotaka, Wasuki, Takshaka, Prithusrawa, Waruna, Kunjara,
Misri, Sankha, Kumda, Pundarika, roh suci Dhristarashtra, Hrada, Kratha,
Sitikantha, Chakramanda, Atishanda, naga-naga utama bergelar Durmukha dan
Amwarisha. Mereka mempersembahkan Arghya, air pencuci kaki dan upacara-
upacara lain serta memuja naga dahsyat tersebut (Ketut Nila, 1979: 13-14).
Peristiwa mangkatnya Baladewa (Rama) yang menakjubkan, seperti
diuraikan dalam Mausalaparwa di atas, sekaligus menunjukkan ketinggian
kedudukan serta keutamaan Baladewa. Baladewa adalah penjelmaan roh
suci naga yang luar biasa. Oleh karena itu, Baladewa memiliki keberanian,
kesaktian, kejujuran, kewibawaan serta tanggung jawab, meskipun adakalanya
terkesan kurang bijaksana dan mudah diperdaya.
Dalam Sěrat Darmasarana digambarkan bahwa pada waktu itu Bagawan
Baladewa sudah tua renta, tetapi masih memiliki berbagai macam kesaktian. Di
samping itu dapat dilukiskan bahwa Bagawan Baladewa berwatak pemberani,
jujur, setia, bertanggung jawab serta rela berkorban demi kepentingan negara
(Ngastina). Hal itu ditunjukkannya sewaktu Kerajaan Ngastina mendapat
serbuan Prabu Niradhakawaca dari Ima-imantaka ketika Prabu Dipayana
masih ada di pesanggrahan hutan Palasara. Dengan penuh tanggung jawab akan
keselamatan Kerajaan Ngastina, maka Bagawan Baladewa yang telah tua renta
tersebut turut serta menahan serangan musuh. Dengan senjata sakti Nanggala,
maka segala kesaktian Prabu Niradhakawaca dapat dipunahkan. Kemudian
Prabu Niradhakawaca dengan licik memperdaya Bagawan Baladewa, dengan
menyamar sebagai Arya Dyastara (yang mengejarnya) meminjam Nanggala
dengan dalih mengusir musuh. Sebenarnya hati Bagawan Baladewa merasa
berdesir serta cemas, akan tetapi karena belas kasihnya kepada Arya Dyastara
(cucunya), maka senjata Nanggala miliknya diberikan. Peristiwa tersebut
tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 62-63 yang berbunyi:
Sanalika sampun salin warna Arya Dyastara, nulya lumĕbèng jro kitha
malih tanana kang uninga, laju marĕk maring Bagawan Baladéwa anuwun
Nanggala badhé kinarya angungsir mĕngsah. Bagawan Baladéwa kasamaran
ananging karaos kumĕpyuring galih, pangandikanira: “Kaya paran kulup yèn
ingsun pisaha lan Nanggala, dahat sandéyaning tyas ingsun.” Aturipun kang
amimindha Arya Dyastara: “Dhuh uwa amung sakĕdhap kimawon ingkang
supados mĕngsah punika lajĕnga kawusipun.” Bagawan Baladéwa kakĕnan
ing pasang cipta, dilalah yèn sampun praptèng jangji, wasana Nanggala
pinaringakĕn wus tinampèn.
(Seketika sudah beralih rupa Arya Dyastara, kemudian memasuki dalam
kota menghadap Bagawan Baladewa meminta Nanggala akan dipergunakan
untuk mengusir musuh. Bagawan Baladewa tidak mengetahui akan tetapi
terasa hatinya berdesir, katanya: “Bagaimanakah buyung (cucu) apabila aku

88
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

berpisah dengan Nanggala, hatiku sangat was-was,” Kata yang menyerupai


Arya Dyastara, “Duh uwa hanya sebentar saja agar supaya musuh itu segera
jera.” Bagawan Baladewa terharu hatinya dipikirkan, kebetulan jika sudah
sampai pada batas hidup, akhirnya Nanggala diberikan sudah diterima).
Setelah Bagawan Baladewa menyadari kelengahannya bahwa dirinya
diperdaya Prabu Niradhakawaca musuhnya, maka ia berupaya merebut
kembali senjata Nanggalanya. Akan tetapi kemudian Prabu Niradhakawaca
mencipta angin ribut bercampur kabut. Bagawan Baladewa yang sudah tua
renta itu tidak tahan, sehingga menggigil kedinginan, akhirnya gugur dan
muksa. Hal itu menimbulkan huru-hara, guruh-bergemuruh halilintar meledak
sambar-menyambar. Dari langit para dewa menghujaninya dengan bebauan
harum semerbak menyebar wangi. Peristiwa luar biasa tersebut tersurat dalam
Sĕrat Darmasarana halaman 63 yang berbunyi:
Samana Bagawan Baladéwa katrajang ing ampuhing rèhning sĕpuh
dadya tan tahan tĕmah andharodhog katisĕn wĕkasan dhoko, dangu-dangu
séda layon muksa, lajĕng andhatĕngakĕn gara-gara gĕtĕr patĕr dhèdhèt
érawati guntur kĕtug kilat thathit aliwĕran para déwa gumuruh sami
angudanakĕn wangi-wangi sumawur saking ngawiyat.... (halaman 63)
(Ketika itu Bagawan Baladewa ditempuh ampuhan ‘angin ribut
bercampur kabut’ oleh karena (sudah) tua jadi tidak tahan yang akhirnya
menggigil kedinginan akhirnya jatuh tidak berdaya. Lama-kelamaan gugur
jenazah muksa, kemudian mendatangkan (menimbulkan) huru-hara petir
guruh kilat (halilintar) berputaran (sambar-menyambar), para dewa beramai-
ramai menghujaninya dengan bebauan yang harum semerbak (menyebar)
wangi dari langit …. )
Peristiwa gugurnya Bagawan Baladewa serta sambutan dan
penghormatan para dewa yang luar biasa di atas, sekaligus menunjukkan
pula ketinggian kedudukan serta keutamaan perwatakan Bagawan
Baladewa. Meskipun dalam hal ini tidaklah sedahsyat serta seagung
pelukisan kembalinya roh suci Rama (Baladewa), seperti dipaparkan dalam
Mosalaparwa. Seandainya mendasarkan diri pada Mahābhārata, khususnya
Mosalaparwa, maka tampak penampilan Bagawan Baladewa dalam Sĕrat
Darmasarana tersebut jauh menyimpang. Dalam Musalaparwa tidak
diketemukan bukti-bukti yang cukup kuat untuk mengatakan keterlibatan
Rama (Bagawan Baladewa) dalam tata pemerintahan Prabu Parikesit (Prabu
Dipayana), seperti sudah disinggung di atas, Apabila dalam Mosalaparwa
dikemukakan bahwa Rama lebih dahulu muksa dibandingkan dengan Kresna
(Krishna) dan para Pandawa, maka dalam Sĕrat Darmasarana sebaliknya.
Rama (Bagawan Baladewa) muksa jauh lebih kemudian dibandingkan
dengan Kresna maupun para Pandawa.

89
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

(6) Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden


Warabasata
Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden
Warabasata adalah putra Prabu Dipayana. Raden Ramayana dan Raden
Prawasata adalah putra Prabu Dipayana dengan Dewi Puyengan (Dewi
Sikandhi), sedangkan Raden Ramaprawa dan Raden Warabasata (Warabasanta)
adalah putra Prabu Dipayana dengan Dewi Dangan (Dewi Grendi). Keempat
putra Prabu Dipayana tersebut adalah adik Raden Yudayana yang kemudian
bergelar Prabu Yudayana.
Dalam Sěrat Darmasarana dilukiskan, bahwa keempat putra Prabu
Dipayana (Prabu Parikesit) tersebut secara fisik tampan, air mukanya
bercahaya, membuat takjub mereka yang melihat. Hal itu tersurat dalam Sěrat
Darmasarana halaman 153 yang berbunyi:
Yata sawěg éca dènnya paguněman kasaru praptanira satriya sakawan
dumrojog tanpa larapan. Dhang Hyang Suwéla myang para siswa samya
ébat mulat pěkiking sang wau prapta miwah cahya kukuwungnya ngasorakěn
raras rěsmining asrama .... (halaman 153).
(Pada waktu mereka asyik berbincang-bincang tiba-tiba datang
empat satria tanpa memberitahu. Dhang Hyang Suwela bersama-sama para
muridnya takjub melihat ketampanan para satria yang datang yang cahaya
tejanya mengalahkan laras indahnya asrama ....)
Selain keempat satria Ngastina di atas dilukiskan berparas tampan,
mereka pun memiliki kesaktian. Pembawaan kesaktian mereka sudah barang
tentu tidak terlepas dari titisan/ tetesan kesaktian nenendanya. Sebab Raden
Ramayana dan Raden Prawasata adalah putra Dewi Sikandi, putri Bagawan
Sukandha, sedangkan Raden Ramaprawa dan Raden Warabasata (Warabasanta)
adalah putra Dewi Grendi, putri Resi Gurundaya. Baik Bagawan Sukandha
maupun Resi Gurundaya adalah pendeta terpilih dan kekasih dewa.
Di samping ketampanan dan kesaktian yang dimiliki keempat adik Raden
Yudayana tersebut, mereka pun memiliki watak senang mengembara mencari
ilmu pengetahuan dan kesaktian, pemberani, tak mengenal rasa takut, jujur,
polos, rela berkorban, dan konsekuen. Meskipun demikian karena kemudaan
dan kurangnya pengalaman dalam pengembaraannya, mereka pun mudah
ditipu dan diperdaya. Hal itu tampak ketika Prabu Dipayana memerintahkan
putranya, Raden Yudayana untuk mencari dan berguru pada seseorang
yang pandai segala ilmu, maka keempat adik Raden Yudayana tersebut
segera menyusulnya. Hanya sayang atas kehendak dewa, mereka berselisih
jalan. Dalam pengembaraannya itu, Raden Ramayana, Raden Ramaprawa,
Raden Prawasata dan Raden Warabasata tergoda akan adanya pendeta sakti
di pertapan Gunung Sadhara. Keempat satria tersebut segera menuju ke
pertapaan Gunung Sadhara bermaksud berguru pada Dhang Hyang Suwela.

90
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Setelah mengetahui bahwa keempat satria tersebut putra Prabu Dipayana


di Ngastina, maka sebelum diangkat menjadi muridnya, terlebih dahulu
Dhang Hyang Suwela meminta mereka untuk membunuh Resi Sidhikara di
pertapaan Gunung Manikmaya yang dianggap sebagai penghalang baginya
sebagai upah sang guru. Keempat adik Raden Yudayana yang masih polos dan
belum berpengalaman itu tidak mengetaiu bahwa mereka ditipu. Sebenarnya
Resi Sidhikara adalah pamannya, karena ia saudara ipar ayahandanya Prabu
Dipayana. Sesampainya di pertapaan Gunung Manikmaya, maka mereka
segera mengamuk, sehingga banyak murid Resi Sidhikara terbunuh. Raden
Yudayana segera menghentikan amukan keempat adiknya tersebut serta
menyadarkan mereka telah diperdaya. Kemudian Raden Ramayana, Raden
Ramaprawa, Raden Prawasata dan Raden Warabasata diberi pelajaran oleh
Resi Sidhikara tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kesaktian sampai
putus. Setelah itu, mereka mohon diri kembali ke Gunung Sadhara bermaksud
menuntut balas atas tipu daya pendeta tersebut. Sesampainya kembali di
Gunung Sadhara, keempat satria Ngastina tersebut mengamuk dan banyak
membunuh musuh. Sewaktu Dhang Hyang Suwela bermaksud membantu
muridnya, Resi Sidhikara menghadangnya, sehingga terjadi pertempuran yang
dahsyat. Ketika Dhang Hyang Suwela terdesak dan bermaksud melarikan diri,
Raden Yudayana membunuhnya dengan panah sakti Sarotama.
Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden
Warabasata pun termasuk satria yang mencintai kebenaran dan berusaha
membelanya, sekalipun harus melawan kakaknya, yakni Prabu Yudayana.
Ketika Prabu Yudayana ada di pertapaan Tirwa Awarna di Gunung Manikmaya
dan bercintaan dengan istrinya yang baru, yakni Dewi Sadu, maka roh Dhang
Hyang Suwela selalu berusaha membunuh baginda yang diduganya ada di dalam
istana. Patih Dwaralah yang senantiasa menggagalkan usaha pembunuhan
tersebut, akan tetapi justru permaisuri Dewi Gendrawati menuduhnya
bermaksud merusak kehormatannya. Oleh karena itu, Patih Dwara ditangkap,
dipenjarakan serta dipatahkan kedua pergelangan tangannya (halaman 99-
101). Hal itu menimbulkan ketidaksenangan serta kemarahan kerabat istana
Ngastina. Oleh karena itu, seandainya baginda kembali ke istana dan nantinya
mau menghukum Patih Dwara dan Patih Danurwedha, karena laporan palsu
permaisuri, maka mereka bersepakat bermaksud mengamuk. Hal itu tersurat
dalam Sěrat Darmasarana II halaman 78 serta Sěrat Yudayana halaman 45-46
yang berbunyi:
Ewadèntěn (ing) bénjing (manawi) (yèn) Prabu Yudayana (rawuh)
(kondur) sa(ng)king Wukir Manikmaya, mangka Patih Danurwédha/
Danurwénda katumutakěn (sa)dosanipun Patih Dwara (dènira) (dènya)
dora botěn (matur) utusan (dhatěng Wukir Manikmaya) sayěkti, ciptanipun
Patih Danurwédha/ Danurwénda miwah para ari nata tuwin (sagung)

91
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

para punggawa (suka) sadaya sumědya (sami) (a)soroh amuk anglabuhi


Patih Dwara, sarta kakintěn (yèn) nagari Ngastina mangsa dadosa untutan
(halaman 78; halaman 45-46).
(Meskipun jika nanti Prabu Yudayana kembali dari Gunung Manikmaya,
padahal Patih Danurwedha diikutsertakan dalam dosa Patih Dwara, oleh
karena (ia) berdusta tidak sungguh-sungguh mengirim utusan (ke Gunung
Manikmaya), Patih Danurwedha dan para adik baginda serta para penggawa
semua berpikir bermaksud mengamuk membela Patih Dwara serta (mereka)
mengira jika negara Ngastina mustahil (tidak) akan hancur)
Kutipan di atas menunjukkan pula ketidakbijaksanaan Prabu Yudayana
(karena pengaruh permaisuri Dewi Gendrawati) sekaligus juga menunjukkan
cinta bakti Patih Danurwedha, keempat adik baginda serta para penggawa
Ngastina kepada Patih Dwara.
Watak pemberani karena benar dan rela berkorban demi kepentingan
negara, tetap pula ditunjukkan oleh keempat satria Ngastina di atas sampai akhir
kehidupannya. Memang gugurnya keempat satria tersebut tidak tersurat dalam
Sěrat Darmasarana, melainkan tersurat dalam Sěrat Yudayana. Diceritakan di
dalamnya (halaman 119-133), sewaktu Prabu Gendrayana bersama permaisuri
Dewi Padmawati meninggalkan istana Ngastina dan berselisih jalan, maka
terjadi peristiwa menyedihkan sepeninggal baginda. Dalam perjalanan
pengembaraannya itu, Prabu Gendrayana berjumpa dengan Arya Drawaya,
putra Prabu Drawilaka di Kerajaan Nusakambana. Kepada Prabu Gendrayana
yang menyamar sebagai dewa, Arya Drawaya mengatakan mau menculik dan
memperistri Dewi Padmawati. Oleh karena itu Prabu Gendrayana mengubah
wajah Arya Drawaya seperti dirinya. Dipihak lain Dewi Padmawati berjumpa
dengan Dewi Drawiyani (adik Arya Drawaya) yang menginginkan Prabu
Gendrayana menjadi suaminya. Oleh karena itu, seperti halnya Prabu
Gendrayana, maka Dewi Padmawati pun mengubah rupa Dewi Drawiyani
seperti dirinya. Kemudian Prabu Gendrayana dan Dewi Padmawati palsu
bertemu di Kerajaan Ngastina. Mereka bercintaan sepuas-puasnya, sehingga
Dewi Padmawati palsu mengandung. Ketika ia mengidam dan menyantap
gěcok ’lauk daging mentah yang dicincang’, maka Dewi Padmawati palsu
berubah rupa parasnya kembali menjadi raksasi. Prabu Gendrayana palsu
yang merasa diperdaya itu pun menjadi marah, sehingga wajahnya berubah
pula menjadi raksasa. Kemudian Arya Drawaya dan adiknya, yakni Dewi
Drawiyani mengamuk di dalam istana. Dalam pertempurannya melawan
para pejabat istana Ngastina, Dewi Drawiyani terbunuh. Sebaliknya di pihak
Kerajaan Ngastina, Patih Danurwedha, Patih Supadma, Arya Prabu Ramayana,
Arya Prabu Ramaprawa, Arya Prabu Prawasata, Arya Prabu Warabasata, Arya
Karsula, Arya Sanjata, Arya Sadrastha serta banyak perwira pun gugur pula

92
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

dalam pertempuran tersebut. Hal itu tersurat dalam Sěrat Yudayana halaman
132-133 yang berbunyi:
Arya Drawaya miwah Dèwi Drawiyani anadhahi těmah prang ramé
salěběting pura abosah basih pangamukipun, dangu-dangu Dèwi Drawiyani
pějah déning Patih Danurwédha, Arya Drawaya lajěng ngamuk punggung
nirbaya nirwikara, para punggawa miwah para prajurit ing Ngastina
kathah kang pějah, Patih Supadma miwah Arya Prabu sakawan tuwin
punggawa satunggal Arya Karsula kalih Arya Sanjata, tiga Arya Sadrastha
sami pějah kasambuting rana, Patih Danurwédha sigra ngamuk punggung
pupulih ramé sami ngaběn kasěktèn kadigdayan (botěn) wontěn kang
kuciwa, sami prawiranya kalih, dangu-dangu Patih Danurwédha kasoran
kénging sinawat ing tomara, botěn tumama nanging sampun rumaos yèn
marganing kamuksanipun lajěng anyipta pangracuting rahsa pangukuding
jagad kinumpulakěn amrih sampurna tanpa lara lajěng sirna sami sanalika
(halaman 132-133).
(Arya Drawaya dan Dewi Drawiyani melawan akhirnya (terjadilah)
peperangan yang ramai di dalam istana porak-poranda (karena) amukannya,
lama-kelamaan Dewi Drawiyani tewas oleh Patih Danurwedha, kemudian
Arya Drawaya mengamuk (dengan) sangat nekat, tidak (mengenal) takut,
tabah hati, banyak para penggawa dan prajurit Ngastina yang gugur, Patih
Supadma dan keempat Arya Prabu (Ramayana, Ramaprawa, Prawasta dan
Warabasata), serta penggawa: 1. Arya Karsula, 2. Arya Sanjata, 3. Arya
Sadrastha bersama-sama gugur dalam peperangan, segera Patih Danurwedha
mengamuk (dengan) sangat nekat menuntut balas ramai keduanya mengadu
kesaktian dan kedigdayaan (kekebalan) keduanya (tidak) ada yang kurang
sempurna, keduanya sama-sama berani, lama-kelamaan Patih Danurwedha
kalah dilempar tombak kena, tidak tembus (masuk), tetapi (Patih Danurwedha)
sudah merasa bahwa (hal) ini (adalah) jalan (baginya) muksa kemudian (ia)
mencipta penyatuan (dan) dihimpunnya rahasia meninggalkan dunia agar
sempurna tanpa sakit selanjutnya seketika lenyap)
Demikianlah sepintas penokohan dan perwatakan Raden Ramayana,
Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden Warabasata yang dapat
diuraikan dalam buku ini.

(7) Dewi Utari


Dewi Utari (Uttarī) adalah putri Dewi Rekatawati dengan Prabu
Matswapati raja negara Wiratha (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 469). Pada
mulanya oleh Prabu Matswapati, Dewi Utari dianugerahkan kepada Arjuna,
sebagai balasan baginya sebab berhasil menyelamatkan putra mahkota, Arya
Sangka serta berhasil menahan serbuan Prabu Trigarta dan Kaurawa yang

93
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

menggempur Wiratha. Hanya saja Arjuna memohon dengan hormat agar Dewi
Utari kelak dikawinkan dengan putranya, yakni Angkawijaya (Abimanyu) yang
pada masa itu masih dalam kandungan Dewi Wara Sumbadra (Suwandono,
dkk., tanpa tahun: 470). Pernyataan itu pun masih perlu diteliti lebih lanjut,
benarkah Abimanyu memang belum lahir sewaktu Arjuna membantu Wiratha
(Wirata). Mengingat waktu peristiwa dalam Wirataparwa di atas, tampaknya
tidak terlalu lama dengan Baratayuda (Bhāratayuddha), dimana Abimanyu
mengambil bagian dalam perang besar tersebut.
Apabila kembali pada persoalan semula, dalam pewayangan diceritakan
pula bahwa Dewi Utari dikaruniai dewa Wahyu Hidayat, sedangkan Abimanyu
ditempati Wahyu Cakraningrat. Oleh karena itu, mereka ditetapkan dewa
sebagai jodoh, serta dikodratkan menurunkan raja-raja besar (Suwondo, dkk.,
tanpa tahun: 469-470). Dewi Utari mempunyai watak dan sifat halus dan
wingit ’sedih, susah’.
Selain watak dan sifat di atas, dalam Sěrat Darmasarana dilukiskan
pula watak Dewi Utari yang penyabar, terbuka, pengasih, penyayang, setia
bakti pada suami serta rela berkorban. Keterbukaan Dewi Utari, misalnya
ditunjukkannya dengan memberikan kebebasan pada putranya Prabu Dipayana
untuk memilih pasangan hidupnya. Ia mau menerima para gadis pilihan
putranya itu serta merestui perkawinannya. Terhadap para menantu dan para
besannya, Dewi Utari menaruh belas kasih sayang. Dewi Utari pun memiliki
naluri yang tajam dalam menangkap kemauan putranya. Ketika Dewi Utari
menangkap dibalik air muka Prabu Dipayana yang menaruh hati kepada Dewi
Grendi, putri Resi Gurundaya, maka ia segera melamar putri tersebut untuk
putranya.
Dewi Utari adalah seorang istri yang setia dan bakti kepada suami,
seperti telah disinggung di atas, akan tetapi ia rela berkorban untuk kepentingan
yang lebih besar (negara). Sewaktu Arya Abimanyu gugur di medan laga
dalam perang Baratayuda, maka yang diijinkan melakukan bela pati mengikuti
suami adalah Dewi Siti Sundari. Dewi Utari mendapat amanat mengasuh dan
mendampingi Parikesit, putranya yang masih kecil. Dewa sudah mengkodratkan
Parikesit sebagai pewaris kerajaan Ngastina dan akan menurunkan raja-raja
besar. Oleh karena itu dengan rela hati Dewi Utari menunda keinginannya
berkumpul dengan suaminya itu. Akan tetapi saat itu pun akhirnya tiba. Dewi
Nawangsasi, istri Resi Gurunadi bermaksud muksa untuk berkumpul kembali
dengan para bidadari lainnya dalam pesta pora di kedewataan. Tak seorang pun
mampu mencegahnya, sekalipun Prabu Dipayana, menantunya. Bahkan dengan
kuasanya secara menakjubkan ia memperlihatkan keindahan, kemegahan serta
kemuliaan sorga. Dewi Utari tergiur untuk mengikuti Dewi Nawangsasi agar
segera berkumpul kembali dengan suaminya Arya Abimanyu dan Dewi Siti
Sundari. Akhirnya secara bersama-sama Dewi Utari, Prabu Dipayana, Dewi
Nawangsasi, Resi Gurunadi dan Resi Gurundaya bersama istri muksa.

94
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

(8) Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Ken Satapa, Endhang Sikandhi dan Dewi
Grendi
Dewi Sritatayi adalah putri Prabu Praswapati, raja di Gilingwesi; Dewi
Niyata putri Prabu Sayakesthi, raja di Mukabumi; Ken Satapa putri Bagawan
Sidhiwacana di pertapaan Tirta Awarna di Gunung Manikmaya; Endhang
Sikandhi putri Bagawan Sukandha di Gua Siluman dan Dewi Grendi putri
Resi Gurundaya di Gunung Nirma.
Para wanita yang tergila-gila pada Prabu Dipayana dan kemudian menjadi
istrinya adalah para wanita yang cantik-cantik. Dalam pengembaraannya itu,
sebenarnya Prabu Dipayana bukannya bermaksud mencari istri, melainkan
mencari ilmu pengetahuan dan kesaktian sebagai bekal baginya di dalam
memegang tampuk kekuasaan Kerajaan Ngastina. Ternyata justru di sela-
sela perjalanan pengembaraannya itu, secara diam-diam Prabu Dipayana
dirindukan dan diimpikan oleh banyak gadis. Baik mereka putri raja, pendeta
atau pun bagawan. Pada mulanya Prabu Dipayana tidak percaya atas
kecantikan mereka dan berkeinginan menolaknya. Hanya saja setelah baginda
melihat kejelitaan mereka, ia pun menaruh belas kasih dan jatuh hati, serta
bersedia menikahinya. Ketertarikan Prabu Dipayana kepada Dewi Sritatayi
di antaranya tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 29 yang berbunyi:
Mangkana Prabu Dipayana aningali Dèwi Sritatayi langkung kasmaran
(halaman 29).
(Demikian Prabu Dipayana melihat Dewi Sritatayi kemudian demikian
jatuh cinta)
Kutipan di atas mengisyaratkan, bahwa Prabu Dipayana (yang semula
menolak dikawinkan dengan putri Kerajaan Gilingwesi itu) setelah melihat
Dewi Sritatayi kemudian jatuh hati padanya.
Dewi Niyata, putri Prabu Sayakesthi raja di Mukabumi pun dilukiskan
sangat jelita, sehingga membuat Prabu Dipayana jatuh hati pula kepadanya.
Hal itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 33 yang berbunyi:
Yata Prabu Sayakèsthi sampun angracut sisirěpipun wimanasara.
Prabu Dipayana anglilir langkung kagyat dènira saré wontěn ing ngriku,
sarta sinandhing pawèstri langkung éndah. Prabu Dipayana sruning ngungun
pitung pandurat datan angandika, dangu-dangu Prabu Dipayana aningali kang
sumandhing dahat kasmaran. Dèwi Niyata ingaras astanira kagyat wungu
lajěng lěnggah, sarya mingsěg-mingsěg karuna (halaman 33).
(Kemudian Prabu Sayakesthi sudah melepaskan sirap wimanasara
’pengabaran, pengekesan’ atau ’aji untuk menawarkan kesaktian musuh’.
Prabu Dipayana tersadar (dan) sangat terkejut karena tidur di situ, serta
bersanding dengan wanita yang sangat jelita, Prabu Dipayana karena sangat
heran (sehingga) beberapa lama tidak berkata, lama-kelamaan Prabu Dipayana
melihat yang bersanding (dengannya, sehingga menjadikannya) demikian
cinta (padanya). Tangan Dewi Niyata diciumnya (menjadikannya) terkejut

95
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

bangun lalu duduk, seraya menangis tersedu-sedu)


Berbeda dengan Dewi Sritatayi dan Dewi Niyata, maka Ken Satapa,
putri Bagawan Sidhiwacana semula berparas buruk. Akan tetapi perilakunya
lucu, sehingga menjadikan Prabu Dipayana yang melihatnya menahan tawa.
Hal itu berbeda dengan kakaknya yakni Ken Suyati yang berparas sangat
cantik, seperti tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 39 yang berbunyi:
--- Kèn Satapa gědrag-gědrug lajěng sarěngkot luměbět ing wisma,
Prabu Dipayana aningali maring Kèn Satapa badhé gumujěng nanging dèn
ampět wit saking awoning warni, pipi kalungsur janggut nyanthang bathuk
banyak solahé sarěngkat-sarěngkot, Patih Dwara pangunguning tyas déné
Kèn Satapa sangět siwahé lan Kèn Suyati, kang ayu luwih ayu kang ala luwih
ala (halaman 39)
(--- Ken Satapa menghentak-hentakkan kakinya lalu (dengan) segan-
segan masuk ke dalam rumah, Prabu Dipayana yang melihat Ken Satapa
(demikian itu) mau tertawa tetapi ditahan, sebab buruknya paras, pipinya
menurun dagunya menanggul dahinya seperti angsa perilakunya segan-segan,
dalam hatinya Patih Dwara merasa heran, yang cantik demikian cantik yang
jelek demikian jelek)
Pada waktu itu turunlah Sang Hyang Narada mengemban amanat
Sang Hyang Jagad Girinata memerintahkan agar Prabu Dipayana dikawinkan
dengan Ken Satapa dan Patih Dwara dengan Ken Suyati. Prabu Dipayana
merasa keberatan atas keputusan tersebut, tetapi Sang Hyang Narada yang
mengetahui hal itu kemudian mengubah Ken Satapa menjadi gadis yang jelita.
Hal itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 40 yang berbunyi:
Bagawan Sidhiwacana uninga ing sěmunipun Prabu Dipayana yèn
awrat, dadya matur maring Hyang Naradha, dhuh pukulun kados punapa
kanthanipun anak kula pun Satapa kakarsakakěn dados garwaning ratu, wit
warni langkung awon sayěkti mangsa kanggéya, Hyang Naradha gumujěng
sarya ngandika, Hyang Girinata léwih kawasa, lah mara undangěn maréné
anakira Si Satapa, Bagawan Sidhiwacana lajéng animbali kang putra Kèn
Satapa, wijiling saking wisma, Bagawan Sidhiwacana kagyat déné ana
pawèstri maksih kěnya langkung éndah warnanira, Kèn Satapa wus lěnggah,
Hyang Naradha angandika maring Bagawan Sidhiwacana, lah duluněn iku
dadiné anakira Si Satapa, karsané Hyang Utipati wus angracut rupané kang
ala, dadi rupa ayu, Bagawan Sidhiwacana langkung suka sukur (halaman 40).
(Bagawan Sidhiwacana mengetahui air muka Prabu Dipayana
bahwa berkeberatan, karenanya berkata kepada Hyang Naradha: ”Duh
pukulun bagaimanakah jadinya anak hamba Satapa dikehendaki menjadi
istri raja, karena parasnya sangat buruk sungguh mustahil dipakai, Hyang
Naradha tertawa seraya berkata: ”Hyang Girinata lebih berkuasa, nah
panggilah kemari anakmu Si Satapa”. Kemudian Bagawan Sidhiwacana
memanggil putrinya Ken Satapa, (yang kemudian) keluar dari rumahnya,

96
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Bagawan Sidhiwacana terperanjat sebab ada wanita masih gadis sangat


jelita parasnya, Ken Satapa sudah duduk, Hyang Naradha berkata kepada
Bagawan Sidhiwacana: ”Nah lihatlah itulah jadinya anakmu Si Satapa, atas
kehendak Hyang Utipati sudah melepaskan parasnya yang buruk menjadi
cantik parasnya”, Bagawan Sidhiwacana sangat bersyukur.
Pada mulanya Ken Suyati pun tidak menduga bahwa gadis cantik
tersebut adiknya, Ken Satapa. Setelah mengetahuinya, maka dipeluknya
adiknya itu, seperti tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 42 yang
berbunyi:
Yata Kèn Suyati mangkya uniga yèn kang warna ayu punika kang rayi
Kèn Satapa, lajěng rinangkul kang rayi nungkěmi pada, ing nalika punika
Prabu Dipayana langkung kagawokan aningali Kèn Suyati lan Kèn Satapa,
dènya sami ing warna ayu-ayu tanana kuciwa, pasanging pamulu anglěběgi
.... (halaman 42).
(Kemudian setelah Ken Suyati mengetahui bahwa yang berparas cantik
itu Ken Satapa adiknya, lalu dipeluk adiknya menjunjung kaki, pada waktu
itu Prabu Dipayana sangat takjub melihat Ken Suyati dan Ken Satapa, bahwa
keduanya berparas cantik tiada cacat, rupa air mukanya serupa)
Tokoh Endhang Sikandhi, putri Bagawan Sukandha di Gua Siluman
pun dilukiskan sangat jelita, sehingga Prabu Dipayana yang semula menolak
menjadi terpikat. Bahkan baginda pernah menduga bahwa Endhang Sikandhi
pastilah seorang raksasi, sebab Bagawan Sukandha adalah pendeta raksasa,
sakalipun kekasih dewa. Sebenarnya seandainya Endhang Sikandhi
cantik adalah wajar, sebab ibunya adalah seorang bidadari bernama Dewi
Nawangsasi. Pelukisan kecantikan Endhang Sikandhi tersebut tersurat dalam
Sěrat Darmasarana halaman 53-54 yang berbunyi:
Prabu Dipayana kampitèng tyas angungun déné ditya anak-anak
manungsa tur ayu éndah, ing ngriku Prabu Dipayana jroning tyas kakěnan ing
larasmara dahat sakědhap-sakědhap aningali lawanging gědhong pagulingan
(halaman 53-54).
(Prabu Dipayana terguncang hatinya heran sebab raksasa beranakkan
manusia lagi cantik jelita, pada waktu itu dalam hati Prabu Dipayana demikian
jatuh cinta, sebentar-sebentar melihat ke pintu kamar tidur)
Istri Prabu Dipayana yang lain, yakni Dewi Grendi, putri Resi
Gurundaya di pertapaan Gunung Nirma hanya dilukiskan sekilas. Meskipun
demikian mengingat Prabu Dipayana tertarik dan jatuh cinta padanya, dapatlah
dipastikan Dewi Grendi pun seorang gadis yang cantik jelita. Ketertarikan
Prabu Dipayana padanya itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 76
yang berbunyi:
Yata Prabu Dipayana tansah aningali maring Dèwi Grěndi, Rěsi
Gurundaya wus anduga ing sěmunira Prabu Dipayana yèn kasmaran maring
putranira, dadya matur asasmita maring Dèwi Utari, yèn kaparěnga kula

97
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

punika badhé anuntumakěn daging arěnggang (halaman 76)


(Pada waktu itu Prabu Dipayana senantiasa melihat Dewi Grendi, Resi
Gurundaya sudah menduga dalam air muka Prabu Dipayana demikian jatuh
cinta kepada putrinya, karenanya (Resi Gurundaya) berkata secara isyarat
kepada Dewi Utari: ”Bila diperkenankan hamba mau mengumpulkan kembali
daging yang renggang.”)
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, secara fisik para istri Prabu
Dipayana, yakni: Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Endhang Sikandhi, Ken Satapa
maupun Dewi Grendi adalah gadis yang cantik jelita. Mereka bersama-sama
merindukan dan memimpikan menjadi istri Prabu Dipayana yang tampan
lagi sakti. Kecuali dengan Dewi Grendi, sebab terhadapnya Prabu Dipayana
lebih aktif (punya inisiatif). Dalam arti semula yang menaruh hati adalah
Prabu Dipayana, bukan sebaliknya seperti ditunjukkan para istri baginda di
atas. Dalam hal ini, motivasi dibalik ketertarikan Prabu Dipayana terhadap
Dewi Grendi sudah barang tentu ada. Prabu Dipayana mau membahagiakan
Dewi Grendi, sebagai balasan atas jasa Resi Gurundaya yang membantunya
membinasakan Prabu Niradhakawaca yang pernah menyerang Kerajaan
Ngastina.
Setelah Prabu Dipayana melangsungkan perkawinannya kembali
dengan kelima istrinya itu di Ngastina, selanjutnya Dewi Sritatayi diubah
namanya menjadi Dewi Gentang; Dewi Niyata menjadi Dewi Impun; Ken
Satapa menjadi Dewi Tapen; Dewi Sikandhi menjadi Dewi Puyengan serta
Dewi Grendi menjadi Dewi Dangan. Tidak lama kemudian, Dewi Gentang
dan Dewi Impun wafat karena sakit. Jenasah mereka dibakar dan kemudian
dilabuh di Bengawan Logangga (Sěrat Darmasarana halaman 99-103).
Di samping secara fisik kelima istri Prabu Dipayana tersebut cantik
jelita, maka secara psikis pun mereka memiliki watak yang keras dalam
menggapai cita-cita (menjadi istri Prabu Dipayana). Selain itu, mereka pun
berwatak rela berkorban, cinta, setia serta bakti kepada suami, sehingga Prabu
Dipayana pun sangat kasih pada mereka.

(9) Prabu Kismaka


Prabu Kismaka adalah raja Tarajutiksna, putra mendiang Prabu
Bomanarakaswara (Sěrat Darmasarana halaman 3). Dari Sěrat Darmasarana
ini pun dapat digambarkan bahwa Prabu Kismaka seorang raja yang berani
(tidak kenal takut) dan sangat sakti. Di samping itu ia pun memiliki watak
yang setia dan bakti kepada orang tua, meskipun berkesan berlebihan. Prabu
Kismaka ingin menuntut balas kepada anak keturunan Prabu Kresna. Oleh
karena itu, ia memerintahkan pasukannya menyerang Kerajaan Dwarawati.
Dalam penyerbuan itu, Prabu Satyaka terdesak, sehingga memerintahkan
Patih Udakarya untuk meminta bantuan ke Ngastina. Prabu Dipayana
mengirimkan Patih Danurwedha, Arya Hermata, Arya Satmata, Arya Sanjata,

98
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Arya Subata bersama pasukan Ngastina. Di tengah pertempuran itu, Prabu


Satyaki raja Lesanpura pun datang dan bergabung dengan pasukan Dwarawati
dan Ngastina.
Kesaktian Prabu Kismaka itu ditunjukkannya sewaktu berhasil
membunuh Arya Hermata dan Wiratma, akan tetapi pada akhirnya ia pun mati
sampyuh ’mati bersama’ dengan Prabu Satyaki. Keberanian dan kesaktian
Prabu Kismaka itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 6 yang
berbunyi:
Yata Prabu Kismaka uninga yèn patihé pějah lajěng ngamuk punggung
sura tan taha, singa kang katarajang mawur, kang kacandhak pějah, Arya
Hermata, punggawa ing Dwarawati nama Wiratma pějah, Prabu Kismaka
saya liwung pangamuké, pinarbutan déning Prabu Satyaki, Prabu Satyaka,
Patih Danurwédha lan sagunging punggawèng Ngastina ing Dwarawati ing
Lésanpura, Prabu Kismaka kiněpung kinandhang-kandhang sarta ingudanan
warastra, tan kéwran mamrih kiwul dangu-dangu sangsaya rinumpěk pinarěk,
Prabu Kismaka angěsuk wani, sěmana kang tiněmpuh nuju Prabu Satyaki,
campuhing prang kuwěl awěkasan léna sampyuh kuwanda sami muksa, ....
(halaman 6).
(Kemudian Prabu Kismaka mengetahui bahwa patihnya mati kemudian
mengamuk dengan nekat berani (dengan) tidak hati-hati, siapa pun jua yang
ditempuh berhamburan, yang tertangkap mati, Arya Hermata, penggawa
Dwarawati bernama Wiratma gugur, Prabu Kismaka semakin mengamuk,
diperebutkan (dikeroyok) oleh Prabu Satyaki, Prabu Satyaka, Patih Danurwedha
serta segenap penggawa Ngastina, Dwarawati (maupun) Lesanpura, Prabu
Kismaka dikepung dipagar-pagari serta dihujani senjata (panah), (tetapi)
tidak sulit dalam bertahan lama-kelamaan semakin dipersempit didekati
(arenanya), Prabu Kismaka mendesak dengan berani, pada ketika itu yang
ditempuh kebetulan Prabu Satyaki, dalam bertempurnya bergumul akhirnya
mati sampyuh ’mati bersama’ jenasah sama-sama muksa, ....)
Demikianlah penokohan dan perwatakan Prabu Kismaka yang dapat
diungkapkan dalam Sěrat Darmasarana ini. Tokoh Prabu Kismaka di atas
kiranya dapat dipertimbangkan untuk melengkapi para tokoh wayang yang
masih luput dalam pengamatan Suwandono, dkk., dalam bukunya yang
berjudul Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compendium), terutama dalam
uraiannya mengenai silsilah Bomanarakasura (halaman 96-97) atau Sitija
(halaman 403-406).

(10) Prabu Niradhakawaca


Prabu Nirakadhakawaca adalah raja Kerajaan Ima-imantaka. Ia adalah
putra Prabu Niladatikawaca, cucu Prabu Niwatakawaca (Sěrat Darmasarana
halaman 590). Prabu Nirakadhakawaca dan Prabu Niladatikawaca pun tidak
terdapat dalam deretan para tokoh wayang yang dipaparkan oleh Suwandono,

99
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

dkk, dalam buku susunannya itu. Baik dalam keterangannya tentang tokoh
Nirbita II atau pun Niwatakawaca (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 302-303).
Prabu Nirakadhakawaca, seperti halnya Prabu Kismaka adalah seorang
raja yang pemberani dan sakti. Ia pun berwatak keras, setia, cinta bakti pada
orangtua, tetapi juga licik terhadap musuhnya. Watak cinta, setia bakti pada
orangtuanya itu ditunjukkannya sewaktu berusaha menuntut balas dendam
kepada keturunan Pandawa. Hal itu disebabkan Arjunalah yang membunuh
leluhurnya, yakni Prabu Niwatakawaca dalam peperangan. Oleh karena itu,
dikerahkannya pasukan Ima-imantaka untuk menyerbu Kerajaan Ngastina,
yang pada waktu itu sedang ditinggal rajanya, yakni Prabu Dipayana ke
pesanggrahan di hutan Palasara. Keberanian, keperwiraan serta kesaktian
Prabu Niradhakawaca itu antara lain ditunjukkannya sewaktu ia dikeroyok
pasukan Ngastina dalam pertempurannya yang licik melawan Bagawan
Baladewa. Hal itu tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 59, 60, dan 61
yang berbunyi:
Yata Prabu Niradhakawaca uninga yèn punggawané kathah kang
kasambut ing ayuda lajěng ngamuk punggung sura tan taha, singa kang
katarajang mawur kang kacandhak pějah. Wadya durandara sasésaning kang
matyèng rana samya mawur asasaran rěbut paran sowang-sowang. Prabu
Niradhakawaca saya liwung pangamuké pinarbutan déning Arya Syuhbrastha
campuhing prang gěnti kalindhih, dangu-dangu Arya Syuhbrastha
kapracondhang léna kasambut ing ngadilaga, nulya Arya Kèstu mangsah
pupulih, pinapagakěn déning Prabu Niradhakawaca Arya Kèstu kalindhih
pějah ing rana (halaman 59-60).
(Kemudian Prabu Niradhakawaca mengetahui bahwa banyak
penggawanya yang gugur dalam peperangan kemudian mengamuk dengan
nekat berani (dengan) tidak hati-hati, siapa pun juga yang ditempuh
berhamburan, yang tertangkap mati. Bala tentara yang tersisa dari kematian di
medan perang saling berhamburan (bercerai-berai) lintang-pukang (mencari)
pengungsiannya sendiri-sendiri. Prabu Niradhakawaca semakin mengamuk
diperebutkan (dikeroyok) oleh Arya Syuhbrastha dalam pertempurannya yang
saling kalah-mengalahkan, lama-kelamaan Arya Syuhbrastha kalah gugur di
medan peperangan, kemudian Arya Kestu maju menuntut balas, disambut oleh
Prabu Niradhakawaca Arya Kestu kalah gugur di peperangan)
Yata Prabu Niradhakawaca lajĕng anyipta naraca bala, tĕgĕsipun
’bala danawa alit-alit’ anggili tanpa étangan sami angrubut maring
Bagawan Baladéwa. Samana Bagawan Baladéwa mijil ingkang kakarsana,
atĕmah anaga pasa, tĕgĕsipun ’sarpa mandi’, kumĕrut tanpa étangan sami
amangsa naraca bala gusis, Prabu Niradhakawaca lajĕng anyipta garudha
mahambira, tĕgĕsipun ’pĕksi garudha ingkang langkung prawira’, kumĕrab
tanpa étangan sami amangsa taksaka tĕlas punang sarpa. Bagawan Baladéwa
lajĕng anyipta angin pancawora tarik, tĕgĕsipun ’angin agĕng saking lèr

100
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

kidul wétan kilèn miwah ing tĕngah’, sami mijil saking Nanggala, punang
garudha sinranging maruta sirna tan karuwan (halaman 60-61).
(Kemudian Prabu Niradhakawaca mencipta naraca bala, artinya
bala tentara raksasa ’kecil-kecil’ terus-menerus tiada henti-hentinya tanpa
hitungan semua melawan beramai-ramai kepada Bagawan Baladewa.
Ketika itu Bagawan Baladewa tertarik hatinya (untuk) mengeluarkan naga
pasa, artinya ’ular berbisa’, berduyun-duyun banyak sekali untuk menelan
naraca bala sehingga habis. Kemudian Prabu Niradhakawaca mencipta
garudha mahambira, artinya ’burung garuda yang sangat berani’, kelihatan
banyak sekali dan berdesak-desakan tak terhitung untuk mematuki memakan
ular sehingga ular habis. Kemudian Bagawan Baladewa mencipta angin
pancawora tarik, artinya ’angin besar dari utara selatan timur barat dan dari
tengah’ yang keluar dari Nanggala, garuda ditempuh angin lenyap tanpa bekas.
Uraian di atas menunjukkan keberanian, keperwiraan serta kesaktian
Prabu Niradhakawaca ketika melawan Bagawan Baladewa. Dalam hal ini,
ternyata Bagawan Baladewa lebih sakti karena memiliki Nanggala. Oleh
karena itu, Prabu Niradhakawaca yang cerdik dan licik berusaha merebut
Nanggala dari tangan Bagawan Baladewa, dengan menciptakan panah pědhut
’kabut’. Bagawan Baladewa menangkalnya dengan menciptakan panah api
yang menerangi kembali medan pertempuran. Hal itu tersurat dalam Sěrat
Darmasarana halaman 61-62 yang berbunyi:
Mangkana Prabu Niradhakawaca langkung kagawokan uninga
kasĕktèné Bagawan Baladéwa, miwah prabawaning Nanggala, pandalihira
kasĕktèning Bagawan Baladéwa saking prabawaning Nanggala, dadya
ambudi sarana kĕnané kang Nanggala. Samana lajĕng anyipta sangu
brastra tĕgĕsipun ’panah pĕpĕdhut’ tumanduk maring Bagawan Baladéwa
nalika katampĕking pĕpĕdhut Bagawan Baladéwa tan uningèng lor kidul
miwah Arya Dyastara tuwin wadya ing Ngastina sami pating carotho. Prabu
Niradhakawaca lajĕng marĕpĕki maring Bagawan Baladéwa arsa angrĕbat
Nanggala, dèrèng kongsi karĕbat kasĕlak Bagawan Baladéwa anyipta astra
bahni, tĕgĕsipun ’jĕmparing latu’, mijil saking Nanggala murub angkara-
kara, amadhingi sapayudan. Prabu Niradhakawaca, kawĕlèh lajĕng mundur
masi lurupan linud ingungsir déning Arya Dyastara kongsi praptèng jawi
kitha (halaman 61-62).
(Demikianlah Prabu Niradhakawaca sangat takjub mengetahui kesaktian
Bagawan Baladewa, serta kesaktian Nanggala, (ia) menyangka (bahwa)
kesaktian Bagawan Baladewa berasal dari kesaktian Nanggala, karenanya
(ia) berupaya mendapatkan Nanggala itu. Ketika itu kemudian (ia) mencipta
sangu brastha artinya ’panah kabut’ mengenai pada Bagawan Baladewa
ketika ketiup kabut itu Bagawan Baladewa (menjadi) tidak mengetahui (arah)
utara selatan dan Arya Dyastara serta prajurit Ngastina bersama-sama kurang
terang penglihatannya. Kemudian Prabu Niradhakawaca mendekati Bagawan

101
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Baladewa mau merebut Nanggala, belum sampai terebut segera Bagawan


Baladewa mencipta astra bahni, artinya ’panah api’, keluar dari Nanggala
menyala-nyala, menerangi seluruh medan peperangan. Prabu Niradhakawaca
(yang) tampak akan kebohongannya (kelicikannya) itu kemudian mundur
meskipun (terus) diburu diusir oleh Arya Dyastara sampai tiba di luar kota.
Setelah mengetahui bahwa yang mengejar adalah Arya Dyastara, maka
kemudian Prabu Niradhakawaca kembali lagi ke kota dengan menyamar
sebagai Arya Dyastara. Prabu Niradhakawaca berhasil memperdaya Bagawan
Baladewa yang lengah itu, sehingga senjata Nanggala diberikan kepadanya
(Sěrat Darmasarana halaman 62). Kemudian Prabu Niradhakawaca mencipta
angin ribut bercampur kabut dan menempuh Bagawan Baladewa yang sudah
tua renta itu, sehingga menggigil kedinginan. Bagawan Baladewa jatuh tidak
berdaya, akhirnya gugur dan muksa (Sěrat Darmasarana hal. 63).
Dengan senjata Nanggala milik Bagawan Baladewa yang berhasil
direbutnya itu menjadikan Prabu Niradhakawaca semakin sakti dan berani. Hal
itu tampak di antaranya pada pertempurannya melawan Bagawan Sukandha
yang berhasil dibunuhnya, seperti tersurat dalam Sĕrat Darmasarana halaman
72-73 yang berbunyi:

Yata Prabu Niradhakawaca, uninga lajĕng angantĕp prang, ramé


gĕnti kalindhih, sami atandhing kasaktèn tanana kuciwa, dangu-
dangu Bagawan Sukandha kapracondhang kénging Nanggala
ambruk, Prabu Niradhakawaca marĕpĕki asusumbar. Bagawan
Sukandha sasambat kinèn matènana, lajĕng ginĕbug ing Nanggala
maring Prabu Niradhakawaca. Dangu-dangu Bagawan Sukandha
pĕjah kuwanda muksa. (halaman 72-73)

Kemudian Prabu Niradhakawaca mengetahui lalu berketetapan perang,


ramai saling kalah-mengalahkan, saling bertanding kesaktian tidak ada yang
kurang sempurna, lama-kelamaan Bagawan Sukandha kalah terkena Nanggala
jatuh. Prabu Niradhakawaca mendekati memekis. Bagawan Sukandha
bersambat (pada Prabu Niradhakawaca untuk) disuruh membunuhnya,
kemudian dipukulah dengan Nanggala oleh Prabu Niradhakawaca. Lama-
kelamaan Bagawan Sukandha gugur jenazah muksa.
Kesaktian Prabu Niradhakawaca yang luar biasa tersebut disebabkan ia
memiliki pusaka Besi Aji yang terletak di pangkal lidahnya. Selama pusaka
itu masih ada, maka ia tidak dapat dikalahkan. Oleh karena itu Sang Hyang
Naradha turun memberitahukan kepada Prabu Dipayana agar meminta bantuan
kepada Resi Gurundaya di pertapaan Gunung Nirma. Dengan kesaktiannya
Resi Gurundaya mengeluarkan Besi Adnyana dari dadanya. Kemudian pusaka
tersebut berhasil menarik Besi Aji dari pangkal lidah Prabu Niradhakawaca.
Meskipun demikian Prabu Niradhakawaca yang tidak menyadari bahwa

102
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

kekuatan kesaktiannya terambil, tetap mengamuk dengan hebat dan


membunuh banyak musuh. Sampai akhirnya Prabu Dipayana mengeluarkan
segenap kesaktiannya dan menghancurleburkan Prabu Niradhakawaca
bersama pasukannya. Hal itu tersurat dalam Sĕrat Darmasarana halaman 75
yang berbunyi:
Yata Prabu Dipayana sigra amijilakĕn sagunging kasĕktènira,
tumandhuk maring mĕngsah. Ing ngriku Prabu Niradhakawaca sawadya
balanipun samya pĕjah kuwanda sumyur samawur kadi lĕbu katiyuping angin,
Nanggala sumĕbut datan karuwan (halaman 75)
Kemudian Prabu Dipayana segera mengeluarkan semua kesaktiannya,
mengenai pada musuh. Ketika itu Prabu Niradhakawaca bersama prajuritnya
semua tewas tubuh (mereka) hancur berhamburan seperti debu tertiup angin,
Nanggala melesat entah ke mana.
Demikianlah sepintas penokohan dan perwatakan Prabu Niradhakawaca
yang dapat diuraikan dari Sěrat Darmasarana.

(11) Prabu Satyaki


Prabu Satyaki (Setyaki, Sencaki) adalah putra Prabu Setyajid (Ugrasena)
raja negara Lesanpura dengan Dewi Sini (Wresini), putri Prabu Sanaprabawa
(Suwandono, dkk., tanpa tahun: 396).
Secara fisik, Prabu (Arya) Satyaki badannya kecil berisi, pandangannya
tajam menembus dan menakutkan, kepalan tangannya sangat kuat dan
sanggup memecahkan kepala musuhnya. Ia disebut juga Arya Wresniwira,
sebab ia memang seorang perwira dari suku Wresni. Ia pun mendapat julukan
Garbaruci, karena badan (garba)nya memang kecil (ruci). Ia dimasyhurkan
pula dengan gelar Banteng Dwarawati (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 396).
Sejak remaja Arya Satyaki bercita-cita menjadi prajurit yang pilih
tanding. Ia senang menyepi dan bertapa guna mendapatkan kesaktian. Dalam
segala hal Arya Satyaki bertindak serba adil, jujur, apabila bicara singkat dan
tegas. Arya Satyaki memiliki watak pemberani, keras dan nekat (Suwandono,
dkk., tanpa tahun: 396-398).
Akhir hidup Arya Satyaki terdapat dalam cerita Mausalaparwa
(Mosalaparwa), yakni bagian keenambelas kitab Mahābhārata. Diceritakan
di dalamnya, Samba, Sarana dan kelompok kesatria bangsa Wrishni (Wresni)
mencoba mengelabui para Brahmana dengan pertanyaan yang bersifat
menghina. Mereka mengarak Samba yang menyamar sebagai wanita hamil
ke hadapan para Brahmana dan memintanya menebak secara tepat apa yang
akan dilahirkan dari kandungannya itu. Para Brahmana menjadi sangat
marah dan keluarlah kutukannya yang sangat dahsyat, bahwa Samba akan
melahirkan sebuah bom besi yang akan meledak menghancurkan bangsa-
bangsa Wrishni dan Andhakasa (Ketut Nila, 1979: 7-8). Pada saat gejala-
gejala yang menunjukkan kehancuran bangsa-bangsa Wrishni dan Yadawa

103
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

semakin menghebat, maka rakyat Wrishni pun semakin liar, sekaliannya


dikuasai nafsu. Mereka berani meminum-minuman keras dan bermabuk-
mabukan di hadapan Kresna (Krishna). Dalam keadaan mabuk Yuyudhana
menertawakan dan menghina Kritawarman (Kartamarma) atas perbuatan
rendahnya membunuh putra-putra Draupadi serta Dhrishtadyumna maupun
Sikhandin (Srikandi) yang sedang tidur. Kritawarman pun membalas hinaan
itu dengan mencela kecurangan Satyaki sewaktu membunuh Baurisrawa
(Burisrawa) yang tidak lagi bersenjata, yang telah meninggalkan medan
pertempuran dan sedang duduk mengatur nafas untuk memulihkan tenaga.
Satyaki menjadi sangat marah, sehingga menerjang dan memenggal kepala
Kritawarman di hadapan Kresna (Krishna). Melihat itu para Bhoja dan
Andhakasa pun menjadi marah dan menerjang Satyaki dari segala jurusan.
Putra Rukmini segera membantu Satyaki. Mereka bertempur bahu-membahu
dengan gagahnya melawan para penyerbu, sampai akhirnya keduanya tewas
di hadapan Kresna sendiri (Ketut Nila, 1979: 11-12).
Apabila akhir kehidupan Satyaki dalam kitab Mosalaparwa seperti
uraian di atas dibandingkan dengan akhir kehidupan Satyaki (Prabu Satyaki)
yang tersurat dalam Sĕrat Darmasarana (halaman 6), ternyata terdapat
perbedaan yang jauh. Prabu Satyaki bukan tewas karena keroyokan para
Bhoja dan Andhakasa, melainkan tewas dalam pertempurannya melawan
Prabu Kismaka raja Tarajutiksna. Meskipun ketika itu Prabu Satyaki sudah
berusia lanjut, tetapi masih mengisyaratkan sebagai seorang prajurit yang pilih
tanding lagi pemberani. Selain itu, jika berpegang pada Mosalaparwa, maka
pada saat Satyaki tewas lebih dahulu daripada Kresna maupun para Pandawa.
Akan tetapi hal itu berkebalikan dengan keterangan yang tersurat dalam
Sĕrat Darmasarana. Seperti halnya Bagawan Baladewa, maka saat tewas
(gugurnya) Prabu Satyaki pun jauh lebih kemudian dibandingkan dengan
Kresna maupun para Pandawa, dan bukan pula di Prabhasa (Mosalaparwa),
melainkan di kerajaan Dwarawati (Sĕrat Darmasarana).

(12) Dhang Hyang Suwela


Tokoh penting dalam Sěrat Darmasarana lainnya adalah Dhang Hyang
Suwela. Ia adalah putra Aswatama, cucu Drona (Durna) (Sěrat Darmasarana
halaman 123), akan tetapi tokoh ini pun juga belum terdapat dalam Ensiklopedi
Wayang Purwa I (Compendium) susunan Suwandono, dkk., baik dalam
pembahasannya mengenai tokoh Aswatama (halaman 48-51) maupun tokoh
Drona (Durna) (halaman 133-136).
Dalam Sěrat Darmasarana dikemukakan pula bahwa Dhang Hyang
Suwela adalah seorang pendeta dari Gunung Pulagra. Ia berputra Wawasi
Duryajaya dan memiliki banyak murid. Dhang Hyang Suwela adalah pendeta
yang sangat sakti, menguasai berbagai macam mantra serta dapat menjelma

104
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

menjadi berbagai bentuk. Ia mewarisi darah pendeta nenendanya, karena ia


cucu Drona, pendeta utama kerajaan Hāstina (Ngastina). Dhang Hyang Suwela
memiliki watak yang kurang baik. Ia mewarisi sifat dan watak Aswatama,
ayahandanya yang licik lagi pendendam yang terutama ditujukan kepada
keluarga raja Ngastina, khususnya semasa pemerintahan Prabu Yudayana.
Permusuhan yang terjadi dan berkepanjangan antara Dhang Hyang
Suwela melawan Prabu Dipayana maupun Prabu Yudayana, sebenarnya
bermula dari permusuhannya melawan Bagawan Sidhiwacana maupun Resi
Sidhikara. Dhang Hyang Suwela sudah melamar Endhang Drawati, putri
Sang Wiku Mudra untuk putranya Wawasi Duryajaya. Lamaran tersebut
terpaksa diterima karena Sang Wiku Mudra takut apabila menolaknya,
akan tetapi akhirnya Endhang Drawati dikawinkan dengan Resi Sidhikara.
Dhang Hyang Suwela menjadi marah karena terhina, sehingga mengirimkan
jalěgi ’hantu bertubuh api’ dan berhasil membunuh Bagawan Sidhiwacana
dan Sang Wiku Mudra yang sedang lengah, akan tetapi jalěgi itu pun dapat
dilumpuhkan oleh Resi Sidhikara. Prabu Dipayana menjadi sangat murka atas
gugurnya mertuanya (Bagawan Sidhiwacana), sehingga mengirimkan Prabu
Sanga-sanga dan Patih Danurwedha bersama pasukan Ngastina menggempur
pertapaan di Gunung Pulagra itu. Dalam pertempuran yang terjadi Wawasi
Duryajaya tewas, sebaliknya Prabu Sanga-sanga pun gugur. Peristiwa
tersebut menggoreskan perasaan dendam yang mendalam dalam diri Dhang
Hyang Suwela terhadap keluarga raja Ngastina. Karena itu sewaktu Raden
Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata maupun Raden Warabasata
datang padanya untuk berguru ilmu kesaktian, maka Dhang Hyang Suwela
memanfaatkannya dengan meminta kepada mereka membunuh Resi Sidhikara
sebagai upah dan bakti pada sang guru, akan tetapi Raden Yudayana berhasil
menyadarkan keempat adiknya itu, bahwa mereka diperdaya musuh. Setelah
Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata maupun Raden
Warabasata mendapat pelajaran ilmu kesaktian sampai putus dari Resi
Sidhikara, maka mereka bermaksud kembali ke Gunung Sadhara (Pulagra)
untuk menuntut balas. Dalam pertempuran yang kemudian terjadi lagi, Dhang
Hyang Suwela terbunuh oleh Raden Yudayana. Hal itu tersurat dalam Sěrat
Darmasarana halaman 156 yang berbunyi:

Radèn sakawan saya duka těmah dadya prang ramé, para siswa kalindhih
kathah kang pějah. Dhang Hyang Suwéla sigra tutulung pinapagakěn déning
Rěsi Sidhikara, dadya prang ramé samya mijilakěn pangabaran warni-warni.
Dangu-dangu Dhang Hyang Suwéla kasoran prabawanira, dadya oncat masi
lurupan arsa anyidra, Radèn Yudayana awas paningalira lajěng angayat
Sarotama luměpas tumamèng Dhang Hyang Suwéla pějah kuwanda muksa
(halaman 156).

105
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

(Keempat satria (Ngastina) semakin marah akhirnya terjadilah


peperangan yang ramai, para siswa (murid) kalah banyak yang tewas. Dhang
Hyang Suwela segera membantu (tetapi) disambut oleh Resi Sidhikara,
(sehingga) terjadilah peperangan yang ramai (keduanya saling) mengeluarkan
bermacam-macam aji-aji (kesaktian). Lama-kelamaan Dhang Hyang
Suwela kalah sakti, sehingga secara diam-diam melepaskan diri meskipun
hendak memperdaya, Raden Yudayana waspada penglihatannya kemudian
merentangkan busur Sarotama terlepas mengenai Dhang Hyang Suwela tewas
jenasah muksa)

Dari kutipan di atas menunjukkan pula, bahwa sekalipun Dhang Hyang


Suwela seorang pendeta yang licik, penuh tipu daya lagi pendendam, tetapi
terhadap murid-muridnya ia memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi.
Permusuhan Dhang Hyang Suwela melawan keluarga raja Ngastina
terus berlanjut sekalipun pendeta sakti tersebut telah tewas. Dalam Sěrat
Darmasarana II maupun Sěrat Yudayana dikemukakan berbagai usaha
pembunuhan oleh roh Dhang Hyang Suwela terhadap Prabu Yudayana, tetapi
berulangkali pula digagalkan Patih Dwara dengan bantuan petunjuk arca Resi
Srikandhi. Meskipun demikian pada akhirnya, Patih Dwara muksa karena
peristiwa usaha pembunuhan roh Dhang Hyang Suwela yang menjelma menjadi
seekor naga di peraduan permaisuri Dewi Gendrawati (Sěrat Darmasarana II
halaman 73-80; Sěrat Yudayana halaman 34-49). Selain Patih Dwara muksa,
maka usaha pembunuhan roh Dhang Hyang Suwela terhadap Prabu Yudayana
terutama terungkap dalam Sěrat Yudayana. Dalam usahanya membunuh Prabu
Yudayana antara lain roh Dhang Hyang Suwela menjelma menjadi těluh braja
’sebangsa bintang beralih’, akan tetapi berhasil dilumpuhkan Resi Sidhikara
(Sěrat Yudayana halaman 65-66). Sewaktu roh Dhang Hyang Suwela menjelma
menjadi buaya putih dan mau membunuh Prabu Yudayana dan pengawalnya
di laut Silugangga, maka Patih (Bathara) Dwara menjelma menjadi ikan
Kaluyu untuk menyelamatkan baginda (Sěrat Yudayana halaman 95-97).
Meskipun demikian setelah hal itu terjadi berulangkali akhirnya Patih Dwara
pun tidak berhasil sepenuhnya menyelamatkan baginda dari kematian. Ketika
Prabu Yudayana berburu ke hutan Wagiswara, ia terpisah dari pengawalnya.
Ketika baginda merasa haus, tidak ada air minum, karena sumber-sumber
mata air kering. Tiba-tiba Prabu Yudayana melihat air jernih menetes dari
atas pohon dan kemudian ia menampungnya dengan sehelai daun, akan tetapi
sewaktu mau diminumnya, tiba-tiba disambar seekor ayam hutan berwarna
putih hingga tumpah. Hal itu berulang tiga kali. Prabu Yudayana menjadi
murka dan melepaskan anak panah, sehingga ayam hutan putih tersebut
menjelma menjadi Bathara (Patih) Dwara. Patih Dwara menjelaskan pada
baginda, bahwa air jernih yang mau diminumnya adalah bisa naga penjelmaan
roh Dhang Hyang Suwela yang siap membunuhnya. Pertolongan Patih Dwara

106
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

tidak sepenuhnya berhasil, sebab baginda sudah terkena bisa yang keras itu.
Kemudian Prabu Yudayana sakit keras dan sesampainya kembali di istana
baginda mangkat (Sěrat Yudayana halaman 101-106). Dengan demikian pada
akhirnya Dhang Hyang Suwela berhasil membalas dendam kepada Raden
(Prabu) Yudayana yang dahulu membunuhnya di pertapaannya di Gunung
Sadhara (Sěrat Darmasarana halaman 156).
Dari uraian di atas, di samping Dhang Hyang Suwela memiliki sifat dan
watak yang buruk, akan tetapi terhadap para murid dan abdinya ia menaruh
cinta kasih dan tanggung jawab atas keselamatan mereka. Oleh karena itu,
terhadap gurunya (Dhang Hyang Suwela) mereka pun mau menuntut bela
serta rela berkorban. Hal itu seperti ditunjukkan Endhang Upadi yang mau
mengabdi kepada Prabu Yudayana agar dapat meracuninya, akan tetapi
digagalkan Patih Dwara (Sěrat Darmasarana II halaman 74; Sěrat Yudayana
halaman 36-38). Demikian pula halnya motivasi penyerbuan Prabu Waradhaya
raja Kerajaan Madhendha ke Ngastina itu pun karena ia mau menuntut bela
atas gugurnya gurunya, yakni Dhang Hyang Suwela. Meskipun akhirnya
penyerbuan tersebut berhasil ditumpas Prabu Yudayana dengan permata
sakti Agniyara persembahan saudagar Sarwa (Sěrat Yudayana halaman 70-
74). Prabu Dyumanata raja Madhili, putra Prabu Waradhaya yang kemudian
mendengar gugurnya ayahandanya itu segera pula menyerbu ke Ngastina,
akan tetapi ia dan pasukannya pun dihancurleburkan oleh Prabu Yudayana
dengan permata sakti tersebut (Sěrat Yudayana halaman 79-80).
Demikian penokohan dan perwatakan Dhang Hyang Suwela yang dapat
diuraikan dalam penelitian ini.

(13) Taksaka Raja


Tokoh penting dalam Sĕrat Darmasarana lainnya adalah Taksaka Raja
dari Taksakasila. Dia hanya tampil sepintas tetapi menimbulkan peristiwa
besar. Diceritakan dalam Sĕrat Darmasarana II bagian akhir bahwa menjelang
muksa Prabu Dipayana mengumpulkan rakyatnya dan memberitakan bahwa
bagi mereka yang pernah disakiti dan dilukai Baginda agar membalasnya.
Taksaka Raja kemudian menghadap dan melaporkan bahwa dia telah terluka
oleh keris Prabu Dipayana sewaktu Baginda menikam Resi Ardhawalika,
penjelmaan Sang Hyang Basuki. Prabu Dipayana kemudian memaksa Taksaka
Raja agar membalasnya, dan ia melakukannya hanya dengan menjilat ujung
(ibu jari) kaki Baginda yang dipakainya sebagai sarana muksa. Peristiwa
tersebut menimbulkan kemurkaan Prabu Yudayana untuk membalas dendam
kepada Taksaka Raja dan para ular di mana pun untuk dimusnahkan, sampai
akhirnya Baginda disadarkan oleh Naga Raja Sarana (mertuanya) akan
perbuatannya yang tidak terpuji. Menurut Naga Raja Sarana, seperti halnya
manusia, naga pun terdiri atas dua golongan, yaitu naga golongan jahat dan
naga golongan baik.

107
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Dari Sĕrat Darmasarana II ini dapat dikatakan bahwa Taksaka Raja


adalah naga kekasih dewa, karena dia pernah menjadi binggĕl ‘gelang kaki’
Resi Ardhawalika. Taksaka Raja memiliki watak jujur, senang berterus terang,
akan tetapi ia kurang memiliki perhitungan yang matang. Ketika ia menjilat
ujung kaki Baginda atas perintahnya, ia hanya memandang keutamaan dan
kebijaksanaan Baginda tanpa memperhitungkan bagaimana reaksi yang timbul
di kalangan kerabat istana Ngastina terlebih lagi Prabu Yudayana yang masih
muda. Akibat perbuatan Taksaka Raja, maka Prabu Yudayana memerintahkan
pasukannya menumpas semua ular (naga), bukan hanya di Taksakasila saja,
melainkan juga ke daerah-daerah lain. Prabu Yudayana sendiri akhirnya
menelan buah perbuatannya, sebab Baginda pun kelak mangkat karena bisa
naga penjelmaan roh Dhang Hyang Suwela (Sěrat Yudayana halaman 106).
Penampilan tokoh Taksaka Raja dalam Sĕrat Darmasarana II dan Sĕrat
Yudayana di atas, sudah barang tentu merupakan sambutan (resepsi) atas
tokoh Takṣaka (Takshaka) dalam Ādiparwa (bagian pertama Mahābhārata).
Takṣaka adalah anak Kadrū dengan Bagawan Kaçyapa. Ia memiliki saudara,
antara lain Anantabhoga dan Sang Bāsuki, semuanya sangat sakti (Siman
Widyatmanta, 1968: 42; Zoetmulder, 1958: 98; Juynboll, 1906: 30). Takçaka
memiliki kedudukan tinggi di antara para naga. Selain itu, ia pun bersahabat
dengan Hyang Indra (Siman Widyatmanta, 1968: 79). Ketika roh suci
Rama (Baladewa) kembali ke laut, Takṣaka termasuk di antara mereka yang
menyambut (Ketut Nila, 1979: 14; Zoetmulder, 1958: 116).
Demikianlah penokohan dan perwatakan Taksaka Raja yang dapat
diuraikan dalam penelitian ini.

(14) Dewi Gendrawati


Dewi Gendrawati adalah putra Prabu Gandaprawa, raja Gandara dengan
dewi Pragiwaka (Sěrat Darmasarana halaman 145). Dewi Pragiwaka juga
masih luput dalam pengamatan Suwandono, dkk., sewaktu memaparkan tokoh
Gandaprawa (Gandraprawa), Gendrawati maupun Gendrayana (Suwandono,
dkk., tanpa tahun: 180-181).
Dewi Gendrawati dilukiskan sebagai gadis yang sangat cantik, seperti
tersurat dalam Sěrat Darmasarana halaman 142 yang berbunyi:

Yata lampahé Radèn Yudayana sarěng andungkap praptèng ampéyaning


wukir. Samana amiyarsa swaraning karuna alantik-lantik tiniling-tilingakěn
kadya swaraning wanudya, nulya pinarpěkan prěnahing tangis wau kapanggih
wanudya maksih kěnya langkung ayu éndah tanpa kuciwa, nanging sangět
risak sariranipun wontěn salěbětin guwa tanpa rowang dahat kawlasarsa
(halaman 142).

108
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

(Kemudian perjalanan Raden Yudayana hampir sampai di kaki gunung,


Ketika itu (ia) mendengar suara tangis yang keras sekali didengarkan baik-baik
seperti suara wanita, segera didekati arah suara tangis itu dijumpainya wanita
masih gadis yang sangat cantik tanpa cacat, tetapi sangat rusak badannya
berada di dalam gua tanpa kawan sangat (menimbulkan) belas kasihan)

Kutipan di atas menceritakan sewaktu Dewi Gendrawati diculik


Swagotara dan mau dijadikan istrinya, akan tetapi Raden Yudayana berhasil
membebaskan serta mengantarkannya kembali ke Gandara. Pada akhirnya
Dewi Gendrawati dikawinkan dengan Raden Yudayana dan dari perkawinannya
itu melahirkan Raden Gendrayana.
Secara fisik memang Dewi Gendrawati wanita yang cantik, tetapi
secara psikis ia memiliki sifat dan watak yang kurang baik. Ia kurang menaruh
hormat pada orang tua; kurang hati-hati dalam berbicara dan bertindak; kurang
teliti dalam melihat persoalan; kurang mendengarkan nasihat baik orang lain;
tergesa-gesa dalam memutuskan masalah tanpa pertimbangan baik atau buruk;
senang membuat keributan serta senang membuat laporan palsu. Sifat dan
watak Dewi Gendrawati di atas, terutama ditunjukkannya dalam menghadapi
kasus Patih Dwara. Patih Dwara yang banyak berjasa bagi tegaknya Kerajaan
Ngastina, dan yang secara diam-diam selalu menyelamatkan keluarga raja dari
usaha pembunuhan roh Dhang Hyang Suwela malah dijatuhi hukuman (Sěrat
Darmasarana II halaman 77; Sěrat Yudayana halaman 43). Dewi Gendrawati
secara sembarangan menuduh Patih Dwara mau menodai dirinya, sehingga ia
menjatuhkan perintah untuk mematahkan kedua pergelangan tangan patih yang
penuh bakti tersebut. Oleh Patih Dwara kejadian (peristiwa) tersebut dipakai
sebagai sarana baginya untuk mencapai muksa menyusul Prabu Dipayana.
Di samping sifat dan watak Dewi Gendrawati di atas, maka sebagai
permaisuri Prabu Yudayana, ia pun kurang baik. Memang Dewi Gendrawati
setia, tetapi berlebihan sehingga ada kesan Prabu Yudayana hanya miliknya
sendiri. Ia tidak rela kalau ada wanita lain dalam kehidupan suaminya, tanpa
memperhitungkan bahwa Prabu Yudayana seorang maharaja yang sangat
layak beristri lebih dari satu. Sewaktu Patih Dwara di Ngastina berjuang
untuk menyelamatkan keluarga raja dari ancaman roh Dhang Hyang Suwela,
maka Prabu Yudayana yang sedang berada di pertapaan Tirta Awarna
di Gunung Manikmaya tersebut menjalin cinta dan kawin dengan Dewi
Sadu, putri pamannya Resi Sidhikara. Akan tetapi Prabu Yudayana selalu
merahasiakannya sampai akhirnya Dewi Gendrawati mendengar kabar bahwa
Prabu Yudayana telah menikah dengan Dewi Sadu. Hati Dewi Gendrawati
menjadi gundah dan ketidaksenangan permaisuri semakin memuncak,
sehingga terjadilah pertengkaran dengan raja. Pada mulanya Prabu Yudayana

109
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

menolak tuduhan permaisuri bahwa dirinya telah kawin lagi. Baginda merasa
belum saatnya memberitahukan hal itu kepada permaisuri, sehingga ia selalu
membujuk permaisuri agar mau mengerti, akan tetapi Dewi Gendrawati
justru mencaci maki Prabu Yudayana seraya menyerahkan Raden Gendrayana
serta meminta Baginda mengembalikan dirinya ke Gandara. Prabu Yudayana
akhirnya murka dan memerintahkan Patih Supadma dan Patih Danurwedha
bersama pengawalnya mengantar Dewi Gendrawati pulang kembali kepada
ayahandanya, Prabu Gandaprawa di Gandara. Hal itu tersurat dalam Sěrat
Yudayana halaman 56-58 yang suntingan singkatnya berbunyi:
Mangkana Dèwi Gěndrawati sarěng ing antawis dintěn amiyarsa
pawarta yèn ingkang raka nata dénira énggal-énggal tědhak dhatěng Wukir
Manikmaya punika krama angsal Dèwi Sadu, sutaning Rěsi Sidhikara, malah
ing mangké Dèwi Sadu kawarti sampun ambobot sěpuh. Kala samantěn
Dèwi Gěndrawati langkung runtik ing galih cipta tinungkulakěn dadya
matur tatanya dhatěng ingkang raka nata yěkti doranipun dénira angsal
pawartos makatěn wau. Prabu Yudayana taksih kumbi sarya angarih-
arih amrih tan dadya rěngat nadyan ing bénjang walèha yèn sampun ragi
sarèh sawatawis, ananging Dèwi Gěndrawati botěn sagěd měndha ing rèh
patakènipun tansah aměksa-měksa, dangu-dangu Prabu Yudayana walèh
yèn èstu krama angsal sutanipun ingkang paman Rěsi Sidhikara ingkang
anama Dèwi Sadu, marmanipun botěn wawarah sami sanalika déné tan
nědya ingangkah garwa děstun amung pangrěmbé kéwala. Ing ngriku Dèwi
Gěndrawati dupi sampun jinatosan déning raka nata yèn èstu krama, sang
rětna sangsaya sru runtikipun lajěng anguman-uman dhatěng ingkang raka
nata, sarta sakrama-krama wuwusipun tan mawi riringa. Prabu Yudayana
taksih sarèh kéwala sarya tansah angandika asmu maladriyaning garwa,
supadya lilih aywa kadurus ing duduka, ananging Dèwi Gěndrawati datan
lilih déning pangrapu basa, malah sangsaya asru panguwus-uwusipun sarta
minta lumampah kaantukěna maring Gandara kéwala, sampun boten rěna
wontěn nagari ing Ngastina. Dèwi Gěndrawati sasampunipun matur makatěn
lajěng angaturakěn putranipun ingkang nama Radèn Gěndrayana. Ing ngriku
Prabu Yudayana dupi ingkang putra Radèn Gěndrayana kaaturakěn langkung
kagyat těmahan mijil dudukanipun tan sipi, cipta sampun botěn darbé sih
marma dhatěng ing garwa. Sang nata sigra anuduh pawongan kakalih kinèn
animbali Patih Supadma lawan Patih Danurwédha sakancanipun tuwin para
ari nata sakawan pisan sami dhinawuhan manjing pura énggal-énggalan ....
(halaman 56-58).
(Demikianlah setelah beberapa hari Dewi Gendrawati mendengar
berita bahwa sebenarnya suaminya segera berkunjung ke Gunung Manikmaya
itu karena kawin dengan Dewi Sadu, putri Resi Sidhikara, bahkan sekarang
(menurut) berita Dewi Sadu sudah hamil tua. Pada waktu itu Dewi Gendrawati
sangat sakit hatinya merasa dikesampingkan karena itu bertanya kepada

110
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

suaminya benar tidaknya berita yang diperolehnya demikian itu. Prabu


Yudayana masih mungkir seraya menghibur agar tidak menjadikannya sakit
hati, meskipun kelak akan berterus terang apabila sudah agak sedikit tenang,
akan tetapi Dewi Gendrawati tidak dapat mereda dalam bertanya selalu
memaksa-maksa, lama-kelamaan Prabu Yudayana berterus terang bahwa
benar (ia) kawin dengan putri pamannya Resi Sidhikara yang bernama Dewi
Sadu, karenanya seketika ia tidak memberitahukan (hal itu) sebab (ia) tidak
bermaksud menjadikannya sebagai istri sesungguhnya (permaisuri) melainkan
hanya sebagai selir saja. Ketika itu sewaktu Dewi Gendrawati sudah diberitahu
oleh suaminya bahwa (baginda) benar-benar kawin, sang retna semakin sakit
hatinya kemudian menempelak (mencaci maki) (suaminya) Sang Nata, serta
dengan semau-maunya berkata tanpa hati-hati (dipikirkan). Prabu Yudayana
masih bersabar saja seraya senantiasa berkata semu menghibur hati istrinya,
agar supaya reda jangan berlanjut dalam amarahnya, akan tetapi Dewi
Gendrawati tidak mereda oleh bujukan kata-kata, bahkan semakin keras dalam
berkata serta minta diantarkan kembali saja ke Gandara, (karena) sudah tidak
senang tinggal di Negara Ngastina. Sesudah berkata demikian kemudian Dewi
Gendrawati menyerahkan putranya yang bernama Raden Gendrayana. Ketika
itu, sewaktu putranya Raden Gendrayana diserahkan Prabu Yudayana sangat
terkejut akhirnya timbul murkanya yang amat sangat, ciptanya (pikirannya)
sudah tidak mempunyai rasa cinta kasih sayang kepada istrinya (lagi). Sang
nata segera menugaskan kedua abdi perempuannya disuruhnya memanggil
Patih Supadma dan Patih Danurwedha bersama prajuritnya serta sekaligus
keempat adiknya bersama-sama (untuk) segera masuk ke dalam istana)
Prabu Gandaprawa sangat berduka karena kelakuan putrinya yang tidak
pantas itu. Dewi Gendrawati tidak menyadari bahwa dirinya sebagai putri raja
bawahan (kecil) tetapi berani mengimbangi kemurkaan raja. Sepeninggal
Patih Supadma, Patih Danurwedha bersama rombongan, maka beberapa
waktu kemudian Prabu Gandaprawa memberikan nasihat tentang kedudukan
dan tugas seorang istri kepada suami. Dewi Gendrawati pun akhirnya merasa
bersalah serta rindu kepada putranya, Raden Gendrayana. Kemudian dengan
diantar Prabu Gandaprawa, Dewi Gendrawati kembali ke istana dan Prabu
Yudayana gembira menyambut kedatangannya (Sěrat Yudayana halaman 59-
64).
Segala sifat dan watak Dewi Gendrawati yang tidak terpuji, seperti
terurai di atas kiranya tidak terlepas dari tetesan darah leluhurnya yakni
Arya Sangkuni (Sakuni). Arya Sangkuni adalah saudara muda Gandharī, ibu
keluarga Korawa yang berwatak jahat. Di samping itu, dari sistem penamaan
pun perwatakan Dewi Gendrawati yang tak terpuji itu pun sudah dapat
terungkap. Nama gěndrawati sudah barang tentu berasal dari kata gěndra
’ramé marga ana prakara sing ngěgètaké’ atau ramai karena ada perkara
yang mengejutkan (Poerwadarminta, 1939: 143). Memang Dewi Gendrawati

111
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

berulangkali membikin keributan serta melakukan kesalahan, sehingga


akhirnya memperoleh hukuman.
Dalam Sěrat Darmasarana memang tidak dipaparkan bagaimana
akhir kehidupan Dewi Gendrawati, akan tetapi apabila melangkah lebih jauh
dalam Sěrat Yudayana, maka hal itu terungkapkan. Diceritakan di dalam
Sěrat Yudayana, bahwa pada bulan Wisaka, dalam tahun Kilaka (tahun 794
S atau tahun 819 C) Dewi Gendrawati, ibunda Prabu Gendrayana menderita
sakit keras. Berbagai macam obat telah diberikan, tetapi tak satu pun yang
bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Sewaktu diduga ajal permaisuri
menjelang, maka Prabu Gendrayana menginginkan kehadiran Resi Sidhikara
di Manikmaya untuk mencoba menyembuhkan penyakit permaisuri.
Kemudian atas saran Patih Sutiksna, Prabu Gendrayana menugaskan Pisaca-
Pisaci (sepasang kurcaci) untuk menyampaikan keinginan baginda itu.
Dalam sekejap Pisaca-Pisaci sampai ke Gunung Manikmaya dan membawa
Resi Sidhikara ke Ngastina (Sěrat Yudayana halaman 235-237; Anung
Tedjowirawan, 1986: 64-65). Sesampainya Resi Sidhikara di istana Ngastina,
ternyata Dewi Gendrawati sudah wafat. Hal itu tersurat dalam Sěrat Yudayana
halaman 237 yang berbunyi:

Yata amangsuli cariyos sapěngkěripun Sang Pisaca-Pisaci nguni


Prabu Gěndrayana lajěng luměbět ing dalěm pura kaliyan ingkang éyang
tuwin ingkang sami sumiwi sadaya, sawěg lumampah kapěthuk dutanipun
sang pramèswari, angaturi uninga yen ingkang ibu Dèwi Gěndrawati kalajěng
sédanipun. Ing ngriku Prabu Gěndrayana langkung sungkawa sigra lumajěng
.... (halaman 237).
(Kemudian diceritakan kembali sepeninggal Sang Pisaca-Pisaci
(sepasang kurcaci) dahulu kemudian Prabu Gendrayana masuk ke dalam istana
bersama nenenda (Prabu Gandaprawa) serta mereka semua yang menghadap,
selagi berjalan berjumpa utusan sang permaisuri, memberitahukan bahwa
ibunda Dewi Gendrawati terlanjur wafat. Pada ketika itu Prabu Gendrayana
sangat sedih (dan) segera berlari ....)
Prabu Gendrayana, kerabat istana serta rakyat Ngastina sangat berduka
atas wafatnya sang permaisuri Dewi Gendrawati. Jenasah Dewi Gendrawati
segera dibersihkan dan akhirnya dibakar di tengah alun-alun. Kemudian
turunlah tanda-tanda kemuliaan serta kesempuranaan pembakaran jenasah itu,
seperti tersurat dalam Sěrat Yudayana halaman 241 yang berbunyi:
Yata punang pantésawa lajěng binasmi wontěn samadyaning alun-
alun, dahana murub ngalad-alad kadya sundhul ing akasa, parěng swaraning
para Brahmana lawan para Pandhita, amumuji sampurnaning kamuksan,
sasirěping latu punang pantésawa sampun sirna, sanalika pětěng dhědhět
aliměngan miwah udan riris-riris ing ngawiyat kapyarsa swara juměgur
angaběki jagad tandha yèn katarima kasampurnanipun, datan antara prapta

112
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

samirana sumilir mawa ganda amrik arum angambar yayah ganda wida jěbad
kasturi. Nuntěn sirnaning pěpětěng kantun gandaning arum-arum angambar
ngěběki sanagari. Prabu Gěndrayana sawadya balanipun langkung suka
sukur ing déwa (halaman 241).
(Kemudian usungan mayat (jenasah) dibakar di tengah alun-alun, api
menyala-nyala seperti menggapai angkasa, bersamaan suara para Brahmana
dan para Pendeta berdoa (untuk) sempurnanya muksa, seiring padamnya api
usungan mayat sudah musna, seketika gelap-gulita disertai hujan gerimis dari
angkasa terdengar suara menderum-derum (menggelegar) memenuhi dunia
(sebagai) tanda bahwa kesempurnaannya (kematiannya) diterima, tidak berapa
lama bertiuplah angin sepoi-sepoi basa membawa bebauan harum semerbak
seperti bebauan minyak kasai. Lalu hilanglah kegelapan tinggal bebauan
harum semerbak memenuhi seluruh negara. Prabu Gendrayana bersama bala
tentaranya sangat bergembira (dan) bersyukur kepada dewa ....)
Kutipan di atas menunjukkan, bahwa sekalipun Dewi Gendrawati
memiliki sifat dan watak kurang baik, akan tetapi pada saat wafatnya
memperoleh kemuliaan. Kemuliaan Dewi Gendrawati tersebut sudah barang
tentu tidak terlepas dari doa para Brahmana dan para Pendeta serta perubahan
sifat dan wataknya yang kurang baik menjadi baik. Perubahan yang terjadi
itupun tidak terlepas dari bertambahnya usia serta kematangan jiwanya. Dewi
Gendrawati tidak lagi seperti dulu, tetapi sudah dapat menyadari dirinya
sebagai permaisuri raja yang besar.
Demikianlah penokohan dan perwatakan Dewi Gendrawati yang dapat
diungkapkan dalam Sěrat Darmasarana, Sěrat Darmasarana II dan Sěrat
Yudayana.

D. Hubungan Antartokoh
Dalam pembicaraan antartokoh di atas, sedikit banyak telah disinggung
hubungan tokoh utama Prabu Dipayana (Prabu Darmasarana atau Prabu
Parikesit) dengan tokoh-tokoh lainnya. Meskipun demikian, agar lebih jelas
dalam pembicaran ini akan dikemukakan secara khusus sifat hubungan
tokoh utama Prabu Dipayana dengan keempatbelas tokoh lainnya yang dapat
dipaparkan sebagai berikut:
1. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Yudayana adalah hubungan
antara ayah dan anak. Prabu Yudayana adalah putra Prabu Dipayana
dengan Ken Satapa atau Dewi Tapen. Prabu Yudayana sangat hormat
dan bakti pada ayahandanya, segala perintah ayahandanya dipatuhi,
sehingga dialah yang menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai
raja di Ngastina. Akan tetapi sifat baktinya itu berlebihan sehinga
menjadikannya kurang bijaksana dalam bertindak dan mengambil
keputusan. Hal itu seperti yang diperlihatkannya sewaktu Prabu Yudayana
memimpin pasukan Ngastina menumpas para naga sebagai balas dendam

113
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

atas mangkatnya Prabu Dipayana yang diduganya karena gigitan Taksaka


Raja.
2. Hubungan Prabu Dipayana dengan Patih Dwara, selain bersifat sesama
saudara juga hubungan antara atasan dengan bawahannya. Prabu
Dipayana adalah putra Raden Abimanyu, cucu Raden Arjuna, sedangkan
Patih Dwara adalah putra Raden Samba, cucu Prabu Kresna. Jadi
keduanya bersaudara, mengingat Raden Arjuna dan Prabu Kresna adalah
saudara sepupu. Raden Dwara diangkat menjadi patih di Ngastina semasa
pemerintahan Prabu Dipayana (Parikesit) dan dimaksudkan sebagai
pengingat jasa-jasa Prabu Kresna terhadap Pandawa (Suwandono, dkk.,
tanpa tahun: 154). Di samping itu, Prabu Dipayana adalah adik ipar Patih
Dwara, sebab Prabu Dipayana kawin dengan Ken Satapa, sedangkan Patih
Dwara kawin dengan Ken Suyati. Ken Satapa adalah adik Ken Suyati dan
keduanya adalah putri Bagawan Sidhiwacana di pertapaan Tirta Awarna
di Gunung Manikmaya. Patih Dwara sangat setia dan bakti kepada Prabu
Dipayana.
3. Hubungan Prabu Dipayana dengan Patih Danurwedha sama dengan
hubungan Prabu Dipayana dengan Patih Dwara. Selain sesama bersaudara
juga hubungan antara atasan dengan bawahan. Patih Danurwedha adalah
putra Raden Anantaraja (Antareja) dengan Dewi Ganggi, jadi ia cucu
Raden Werkodara (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 118). Raden Arjuna
adalah adik Raden Werkodara. Karena itu Patih Danurwedha memiliki
darah yang lebih tua dibandingkan dengan Prabu Dipayana. Raden
Danurwedha dilantik manjadi patih jawi di Kerajaan Ngastina semasa
pemerintahan Prabu Parikesit (Dipayana) karena jasa ayahandanya yang
rela serta keikhlasannya menjadi tawur (korban) untuk kemenangan
Pandawa dalam perang Baratayuda (Suwandono, dkk., tanpa tahun:
118). Selain itu, Prabu Dipayana adalah saudara ipar Patih Danurweda.
Sebab Prabu Dipayana kawin dengan Endhang Sikandhi, putri Bagawan
Sukandha dari Gua Siluman, sedangkan Patih Danurwedha kawin dengan
Dewi Maera, putri Resi Gurunadi. Keduanya terlahir dari ibu yang sama,
yakni Dewi Nawangsasi. Sebelum Dewi Nawangsasi dianugerahkan
kepada Resi Gurunadi dan melahirkan Dewi Maera, terlebih dahulu ia
dianugerahkan kepada Bagawan Sukandha dan melahirkan Endhang
Sikandhi. Dalam menjalankan kewajibannya sebagai patih di Ngastina,
Patih Danurwedha menunjukkan bakti, kesetiaan serta patuh pada
perintah rajanya yakni Prabu Dipayana.
4. Hubungan Prabu Dipayana dengan Bagawan Baladewa adalah antara
cucu dengan nenendanya. Bagawan Baladewa adalah saudara sepupu
Raden Arjuna. Jadi dapatlah dikatakan pula bahwa Bagawan Baladewa
nenenda Prabu Dipayana (Parikesit). Dalam Sěrat Darmasarana ini
Bagawan Baladewa menjadi pelindung raja (bhūmipāla) serta tulang

114
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

punggung kekuatan Ngastina. Sewaktu Prabu Dipayana bercengkrama di


hutan Palasara dan dilanjutkan pengembaraannya dalam rangka mencari
ilmu pengetahuan dan kesaktian, maka Kerajaan Ngastina diserbu oleh
Prabu Niradhakawaca dari Kerajaan Ima-imantaka, maka Bagawan
Baladewa yang menjadi tulang punggung kekuatan Kerajaan Ngastina
dalam menahan serbuan musuh tersebut. Dalam pertempurannya yang
dahsyat melawan Prabu Niradhakawaca, Bagawan Baladewa dapat
diperdaya sehingga akhirnya gugur. Hal itu berbeda jika dibandingkan
dengan penokohan Rama (Baladewa) dalam Mausalaparwa. Hubungan
antara Rama dengan Parīkṣit kurang tampak, bahkan hampir tidak
ada. Dalam Mausalaparwa diceritakan, sewaktu roh Suci Rama secara
menakjubkan kembali ke lautan (Ketut Nila, 1979: 13-14), maka pada
waktu itu Kerajaan Hāstina masih diperintah oleh Maharaja Yudhiṣṭhira
(Ketut Nila, 1979: 7). Baru dalam Mahaprasthānikaparwa Maharaja
Yudhiṣṭhira menobatkan Parīkṣit (Parikshit) menjadi raja di Hāstinapura
menggantikan dirinya, sebab Maharaja Yudhiṣṭhira bersama saudara-
saudaranya mau mempersiapkan diri untuk kembali ke alam kekal (Ketut
Nila, 1979: 27). Jadi sewaktu penobatan Parīkṣit, maka Rama (Baladewa)
telah muksa. Dengan demikian hubungan dekat antara Prabu Dipayana
(Parīkṣit) dengan Bagawan Baladewa (Rama), kiranya hanya terdapat
dalam tradisi Jawa, bukan dalam tradisi India.
5. Hubungan Prabu Dipayana dengan Raden Ramayana, Raden Ramaprawa,
Raden Prawasata dan Raden Warabasata adalah hubungan antara ayah
dengan anak-anaknya. Raden Ramayana dan Raden Prawasata adalah
putra Prabu Dipayana dengan Dewi Puyengan (Endhang Sikandhi),
sedangkan Raden Ramaprawa dan Raden Warabasata (Warabasanta)
adalah putra Prabu Dipayana dengan Dewi Dangan (Dewi Grendi).
Keempat putra Prabu Dipayana tersebut adalah adik Raden Yudayana
yang terlahir dari Ken Satapa (Dewi Tapen). Keempat satria Ngastina
tersebut sangat berbakti dan patuh pada orangtuanya. Mereka pun haus
ilmu pengetahuan dan kesaktian. Ketika Prabu Dipayana memerintahkan
Raden Yudayana untuk mengembara mencari guru yang mumpuni
’pandai dalam segala ilmu’, maka keempat adik Raden Yudayana tersebut
menyusulnya. Meskipun akhirnya mereka berselisih jalan, dan karena
masih muda serta kurangnya pengalaman mereka justru dapat diperdaya
musuh (Dhang Hyang Suwela).
6. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Utari adalah antara anak
dengan ibunya. Dewi Utarilah yang mendampingi pemerintahan Prabu
Dipayana di Ngastina, sebab Raden Abimanyu sudah gugur dalam perang
Baratayuda dan Dewi Siti Sundari bela pati mendampingi suaminya.
Prabu Dipayana sangat menghormati dan berbakti kepada ibundanya itu,
sebaliknya Dewi Utari pun sangat menyayangi putranya. Pada akhirnya

115
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Prabu Dipayana, Dewi Utari, Dewi Nawangsasi, Resi Gurunadi maupun


Resi Gurundaya dan istrinya bersama-sama muksa.
7. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Ken
Satapa, Endhang Sikandhi dan Dewi Grendi adalah suami istri. Pada
mulanya Prabu Dipayana merasa berkeberatan dikawinkan dengan mereka,
kecuali dengan Dewi Grendi, sebab dalam perjalanan pengembaraannya,
Prabu Dipayana bukanlah bermaksud mencari istri, tetapi mencari
ilmu pengetahuan dan kesaktian, mengingat baginda belum memiliki
kesaktian yang memadai sebagai seorang maharaja. Akan tetapi ternyata
diam-diam Prabu Dipayana mengetahui keprihatinan serta kejelitaan
mereka, akhirnya baginda berbelas kasih dan bersedia menikahinya.
Setelah pesta perkawinan dilangsungkan, maka para istri Prabu Dipayana
tersebut diubah namanya. Dewi Sritatayi menjadi Dewi Gentang; Dewi
Niyata menjadi Dewi Impun; Ken Satapa menjadi Dewi Tapen; Endhang
Sikandhi menjadi Dewi Puyengan dan Dewi Grendi menjadi Dewi
Dangan. Prabu Dipayana sangat mencintai serta mengasihi istri-istrinya,
sebaliknya para istrinya pun sangat setia dan bakti pada suaminya. Hanya
saja tidak beberapa lama dari perkawinannya itu, Dewi Gentang dan
Dewi Impun wafat karena sakit.
8. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Kismaka raja Tarajutiksna
adalah musuh. Prabi Kismaka, putra mendiang Prabu Bomanarakaswara
menyerbu Kerajaan Dwarawati yang pada ketika itu diperintah oleh
Prabu Satyaka (putra Samba). Pasukan Dwarawati terdesak, sehingga
Prabu Satyaka meminta bantuan ke Ngastina. Prabu Dipayana
mengirimkan pasukan Ngastina di bawah pimpinan Patih Danurwedha,
Arya Hermata, Arya Satmata, Arya Sanjata, dan Arya Subata. Dengan
bantuan dari kerajaan Ngastina itu, maka Prabu Kismaka dan pasukannya
dapat dihancurkan. Akan tetapi Arya Satmata dan Arya Hermata gugur.
Demnikian pula halnya Prabu Satyaki raja Lesanpura yang kebetulan
berkunjung ke Dwarawati.
9. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Niradhakawaca adalah musuh.
Pada waktu Prabu Dipayana bercengkrama di hutan Palasara yang
kemudian dilanjutkan perjalanan pengembaraan mencari ilmu pengetahuan
dan kesaktian, maka Prabu Niradhakawaca raja Ima-imantaka, cucu Prabu
Niwatakawaca menyerbu Ngastina. Dalam pertempuran yang dahsyat,
Prabu Niradhakawaca berhasil membunuh Arya Syuhbrastha, Arya Kestu
serta Bagawan Baladewa. Bahkan dalam pertempuran yang kemudian
berlanjut di Gunung Nirma, Prabu Niradhakawaca berhasil membunuh
Bagawan Sukandha serta perwira kerajaan dan pemuka pertapaan sekutu
Prabu Dipayana. Setelah Resi Gurundaya mengambil Besi Aji dari
pangkal lidah Prabu Niradhakawaca yang menjadi pusat kesaktian raja
tersebut, maka akhirnya Prabu Dipayana dapat menghancurleburkan
Prabu Niradhakawaca bersama pasukannya.

116
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

10. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Satyaki adalah hubungan antara
cucu dengan nenendanya. Prabu Satyaki (Setyaki, Sencaki) adalah putra
Prabu Setyajid (Ugrasena) raja negara Lesanpura dengan Dewi Sini
(Wresini) (Suwandono, dkk., tanpa tahun: 396). Jadi Prabu Satyaki adalah
saudara sepupu Prabu Kresna, di samping saudara ipar, mengingat Prabu
Kresna kawin dengan Dewi Setyaboma, saudara tua Satyaki (Suwandono,
dkk., tanpa tahun: 462). Prabu Kresna adalah saudara sepupu dan saudara
ipar Raden Arjuna. Jadi dapat dikatakan pula bahwa Prabu Satyaki
adalah nenenda Prabu Dipayana (Parikesit). Dalam Sěrat Darmasarana
memang kurang disinggung hubungan antara Prabu Dipayana dan Prabu
Satyaki secara langsung. Dalam arti mereka berjumpa dan berdialog,
akan tetapi sewaktu Prabu Dipayana mengirim Patih Danurwedha, Arya
Hermata, Arya Satmata, Arya Sanjata, Arya Subata dan pasukan Ngastina
ke Dwarawati, mereka bersamaan waktunya dengan Prabu Satyaki
dan pasukan Lesanpura yang berkunjung pula ke Dwarawati. Pasukan
Dwarawati, Ngastina serta Lesanpura bahu membahu menahan serbuan
Prabu Kismaka dari Tarajutiksna, akan tetapi dalam pertempurannya
melawan Prabu Kismaka, Prabu Satyaki mati bersama (sampyuh). Prabu
Dipayana dan kerabat istana Ngastina sangat berduka atas gugurnya
Prabu Satyaki. Kemudian Prabu Dipayana memanggil Arya Sanga-sanga
(putra Prabu Satyaki) dan mengangkatnya menggantikan kedudukan
ayahandanya menjadi raja di Lesanpura bergelar Prabu Sanga-sanga.
Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan penokohan Satyaki dalam
Mausalaparwa (bagian keenambelas Mahābhārata). Karena dalam
Mausalaparwa dipaparkan bahwa Satyaki mangkat bukan karena
bertempur dan mati bersama dengan Prabu Kismaka raja Tarajutiksna di
Dwarawati, melainkan karena dikeroyok oleh para Bhoja dan Andhakasa
(Andhaka) di Prabhasa (Ketut Nila, 1979: 11-12). Peristiwa itu terjadi
sebelum Kresna dan para Pandawa kembali ke alam kekal dan Parīkṣit
(Dipayana) diangkat menjadi maharaja di Hāstinapura. Hubungan Parīkṣit
dan Satyaki pun lebih tidak tampak dibandingkan yang terungkap dalam
Sěrat Darmasarana.
11. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dhang Hyang Suwela adalah musuh.
Permusuhan keduanya tersebut bermula dari permusuhan Dhang Hyang
Suwela dengan Bagawan Sidhiwacana dan Resi Sidhikara. Sebenarnya
Dhang Hyang Suwela telah melamar Endhang Drawati untuk putranya,
yakni Wawasi Duryajaya, akan tetapi kemudian Sang Wiku Mudra
menerima lamaran Bagawan Sidhiwacana untuk putranya bernama Resi
Sidhikara. Akhirnya Resi Sidhikara dikawinkan dengan Endhang Drawati.
Kemudian Dhang Hyang Suwela yang marah mengirimkan jalěgi ’hantu
bertubuh api’ dan berhasil membunuh Bagawan Sidhiwacana dan Sang
Wiku Mudra yang sedang lengah. Prabu Dipayana menjadi sangat murka
atas wafatnya mertuanya itu, sehingga mengirimkan Patih Danurwedha,

117
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Prabu Sanga-sanga bersama pasukan Ngastina menghancurkan pertapaan


Gunung Pulagra. Dalam pertempuran tersebut Wawasi Duryajaya tewas,
sebaliknya Prabu Sanga-sanga pun gugur. Pada akhirnya Dhang Hyang
Suwela dapat dibunuh oleh Raden Yudayana di pertapaan Gunung
Sadhara. Meskipun Dhang Hyang Suwela telah tewas, akan tetapi
permusuhannya melawan keluarga Ngastina, khususnya dengan Prabu
Yudayana terus berlanjut. Berbagai macam usaha dilakukan oleh roh
Dhang Hyang Suwela untuk membunuh Prabu Yudayana, di antaranya
dengan menjelma menjadi kera putih, naga, těluh braja ’sebangsa
bintang beralih’, dan buaya putih. Segala usaha pembunuhan roh Dhang
Hyang Suwela tersebut selalu digagalkan oleh Patih Dwara maupun
Resi Sidhikara. Sampai akhirnya dengan menjelma menjadi seekor naga
kembali, roh Dhang Hyang Suwela berhasil meracuni Prabu Yudayana
dengan bisanya yang sangat keras sehingga Sang Prabu sakit keras dan
akhirnya mangkat. Dengan demikian permusuhan Prabu Dipayana
dengan Dhang Hyang Suwela, karena ia membela mertuanya (Bagawan
Sidhiwacana) maupun saudara iparnya (Resi Sidhikara). Permusuhan
tersebut akhirnya melibatkan pula kerabat istana Ngastina.
12. Hubungan Prabu Dipayana dengan Taksaka Raja tidak begitu buruk.
Taksaka Raja adalah raja naga dari Taksakasila. Diceritakan dalam
Sěrat Darmasarana, ketika Prabu Dipayana mengembara mencari ilmu
pengetahuan dan kesaktian, maka baginda berjumpa dan membunuh Resi
Ardhawalika, penjelmaan Sang Hyang Basuki. Pada waktu itulah Taksaka
Raja menjadi binggěl ’gelang kaki’ Resi Ardhawalika dan terkena keris
baginda. Pada waktu Prabu Dipayana mau muksa, ia mengumpulkan
rakyatnya dan meminta mereka yang pernah disakiti dan dilukai agar
membalasnya. Kemudian datanglah Taksaka Raja dan menceritakan
bahwa dirinya pernah terluka oleh keris baginda, sewaktu menjadi
binggěl Resi Ardhawalika. Mendengar itu, Prabu Dipayana memaksa-
maksa Taksaka Raja agar membalasnya. Taksaka Raja pun akhirnya
bersedia menjilat ujung kaki baginda yang dipakainya sebagai sarana
mencapai muksa. Lain halnya dengan hubungan permusuhan maharaja
Parīkṣit dengan Takṣaka (anak Kadrû dengan Bagawan Kaçyapa), seperti
dikemukakan dalam Ādiparwa. Takṣaka (Takshaka) memenuhi perintah
Sang Çrnggī untuk menggigit maharaja Parīkṣit pada hari ketujuh dari
kutuknya. Padahal maharaja Parīkṣit tidak bersalah pada Takṣaka,
melainkan bersalah pada Bagawan Sāmiti, ayah Sang Çrnggī. Apabila
dalam Serat Darmasarana Prabu Dipayana dengan rendah hati memaksa-
maksa Taksaka Raja untuk membalas atas sakit tubuhnya, maka dalam
Ādiparwa sikap maharaja Parīkṣit sebaliknya. Diceritakan di dalam
Ādiparwa, bahwa maharaja Parīkṣit menyangka telah terbebas dari
bahaya kutuk sang ṛṣi (Çrnggī), karena itu ia mengambil sebuah jambu
persembahan Brahmana pertapa yang menarik hatinya. Maharaja Parīkṣit

118
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

melihat ulat di buah jambu yang hitam berkilauan, matanya tampak


membelalak merah. Maharaja Parīkṣit mentertawakan dan menghina
ulat tersebut dengan mengatakan bahwa dia adalah Takṣaka yang akan
menggigit dan menyebabkan kematiannya. Penghinaan tersebut seolah-
olah merupakan perintah bagi Takṣaka untuk berubah rupa kembali
menjadi naga Takṣaka. Leher maharaja Parīkṣit digigitnya, sehingga
seluruh tubuhnya menjadi abu (Siman Widyatmanta, 1968: 73-74).
Akan tetapi sekalipun demikian, akibat yang ditimbulkannya tetap sama
saja. Sebab pada akhirnya Prabu Yudayana (dalam Sěrat Darmasarana
dan Sěrat Yudayana) maupun maharaja Janamejaya (dalam Ādiparwa)
yang murka, melakukan penumpasan (pengorbanan) ular (naga) di
mana pun. Hanya bedanya, sewaktu penumpasan ular Prabu Yudayana
dilakukan, maka Taksaka Raja telah muksa bersamaan waktunya dengan
Prabu Dipayana. Adapun ketika pengorbanan ular maharaja Janamejaya
dilakukan Takṣaka luput dari maut karena mendapat perlindungan dari
Āstīka, pendeta yang utama, anak Jaratkāru.
13. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Gendrawati adalah hubungan
antara mertua dengan menantu, sebab putra Prabu Dipayana, yakni Raden
Yudayana kawin dengan Dewi Gendrawati, putri Prabu Gandaprawa raja
Gandara. Dari perkawinan Raden Yudayana dengan Dewi Gendrawati itu
kemudian melahirkan Raden Gendrayana. Di antara para menantu Prabu
Dipayana, Dewi Gendrawati menduduki posisi lebih tinggi dari yang lain,
karena ia adalah istri Raden Yudayana yang kemudian menggantikan
kedudukannya sebagai raja di Ngastina. Seperti sudah disinggung di
atas, dari rahim Dewi Gendrawati lahirlah Raden Gendrayana, Raden
Gendrayana adalah penjelmaan Trimurti, yakni: keturunan Prabu
Brahmanaraja (raja Gilingwesi); keturunan Prabu Sri Mahapunggung
(raja Purwacarita) dan keturunan Prabu Basurata (raja Wiratha). Adapun
dari perkawinan Prabu Gendrayana dengan Dewi Padmawati kelak
melahirkan Narayana (Prabu Jayapurusa atau Prabu Jayabaya) yang
nantinya pun akan menurunkan raja-raja Jawa.
Demikian hubungan antartokoh yang dapat diungkapkan dalam Sěrat
Darmasarana ini.

E. Plot
Plot, penokohan serta setting (latar) adalah elemen utama yang menjadi
dasar penentu pembentuk struktur cerita. Ada beberapa pendapat mengenai batasan
pengertian alur atau plot. Wellek mengatakan bahwa plot adalah struktur, tetapi
struktur dari banyak struktur (Wellek, 1981: 108). Robert Stanton memberikan
batasan pengertian plot adalah seluruh rangkaian peristiwa-peristiwa (Stanton,
1965: 14), akan tetapi penceritaan peristiwa yang menekankan sebab musabab,
seperti kata E. M. Forster (Forster, 1971: 93) hal itu seperti pengertian plot yang
diberikan oleh Danziger, bahwa plot merupakan rangkaian kisah tentang peristiwa

119
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

yang bersebab dijalin dengan melibatkan konflik atau masalah yang pada akhirnya
diberikan peleraian (Mohd Thani Ahmad, 1975: 25).
Dari batasan pengertian plot di atas, saya sependapat dengan E. M.
Forster maupun Boen S. Oemaryati yang menyatakan bahwa plot pada hakikatnya
merupakan susunan kejadian-kejadian dalam cerita yang disusun secara logis,
dan rangkaian kejadian itu saling terjalin dalam hubungan kausalitas (Oemaryati,
1962: 94).
W. H. Hudson membagi plot 2 jenis dalam novel, yakni: Pertama, novel
yang menggunakan plot longgar (loose plot). Dalam hal ini, peristiwa dijalin
dengan jalan peranan hero dalam cerita itu membawa peristiwa demi peristiwa.
Kedua, novel yang menggunakan plot erat atau organis. Plot erat menjalinkan
peristiwa-peristiwa di dalamnya dengan begitu rupa sehingga merupakan satu
kesatuan dalam cerita (Yahaya Ismail, 1967: 54).
Pembagian plot yang dikemukakan oleh W. H. Hudson itu tentu saja
berdasarkan dari segi kualitasnya. Karena plot dapat pula dibagi dalam 2 jenis
berdasarkan kuantitasnya, yakni plot tunggal dan plot ganda. Plot tunggal
seandainya dalam cerita tertentu menampilkan satu masalah yang menjadi titik
pusat pembicaraan. Sedangkan plot ganda seandainya cerita itu menampilkan dua
masalah atau lebih yang dijadikan pusat pembicaraan.
Berdasarkan rentetan peristiwa yang terjalin maka plot dapat pula dibagi
dalam 3 bagian, yakni: 1) Plot lurus, 2) Plot sorot balik (flashback), dan 3) Plot
campuran. Dinamakan plot lurus jika rentetan peristiwa satu dengan peristiwa
yang lain nampak runtut, tidak meloncat-loncat, misalnya peristiwa A disusul
peristiwa B, C, dan D, dan seterusnya. Dinamakan plot sorot balik (flashback) jika
peristiwa satu dengan peristiwa lain terjalin tidak berurutan, misalnya peristiwa
D baru kemudian disusul peristiwa A, B, C dan seterusnya. Dinamakan plot
campuran jika dalam suatu cerita terdapat 2 macam alur, yaitu alur lurus dan arus
flashback.
Berdasarkan pemecahan atau penyelesaian akhir cerita, plot dapat dibagi
menjadi 2, yakni plot terbuka dan plot tertutup. Plot terbuka seandainya pengarang
menampilkan cerita berakhir dengan klimaks, sehingga pembaca ditinggalkan
untuk menentukan sendiri apa yang diduga mungkin akan menjadi pemecahan
cerita. Sedangkan plot tertutup seandainya pengarang mengambil kesimpulan
bagi pembaca (Padmapuspita, 1980: 20-21).
Plot, trap atau dramatic conflic dalam setiap cerita biasanya dapat dibagi
menjadi 5 bagian: 1) Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan),
2) Generating circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak),
3) Rising action (keadaan mulai memuncak), 4) Climax (peristiwa-peristiwa
mencapai puncaknya), 5) Denouement (pengarang memberikan pemecahan soal
dari semua peristiwa) (Mochtar Lubis, 1981: 17).
Dalam Sěrat Darmasarana jika segi kualitas plot diterapkan maka dapat
dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana tergolong karya sastra yang beralur longgar.

120
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Sebab, jalinan peristiwa satu dengan peristiwa lain nampak tidak erat berkaitan.
Meskipun jalinan peristiwa-peristiwa saling kait-mengkait, namun seringkali suatu
kesenjangan muncul serta membuat jarak tiap-tiap peristiwa. Kesenjangan itu
berupa degresi-degresi atau uraian-uraian, baik cerita-cerita maupun yang bersifat
ajaran, misalnya: 1) Cerita tentang hubungan persahabatan antara leluhur Prabu
Praswapati dengan para Pandhawa (Pāṇḍawa); 2) Cerita Bagawan Sidhiwacana
tentang silsilah dirinya; 3) Cerita ketika pengawas Prabu Dipayana mengumpulkan
binatang buruan, tiba-tiba terdengarlah tangisan samsam ’rusa’, seperti manusia
yang khawatir akan berpisah dengan orangtuanya, yang ternyata penjelmaan Resi
Gurunadi, Dewi Nawangsasi dan Dewi Maera; 4) Cerita tentang Resi Gurunadi
dengan Padopaya, gadis Milak serta Brahmana Kaehanala sampai ia terkutuk
menjadi samsam ’rusa’; 5) Cerita Kaesuksraya pemuka desa Gigili bersama anaknya
Si Sangkara serta keluarga Winasaka; 6) Cerita perselisihan antara Tambingu
dengan Patriata yang memperebutkan Arca Gana; 7) Cerita Prabu Gandaprawa
tentang silsilah leluhurnya serta kutukan Dewi Anggandari (Gendari) yang menjadi
penyebab timbulnya Perang Baratayuda; 8) Cerita tentang Ki Sarana dan Ki Saruna
yang berselisih memperebutkan Sami; 9) Ajaran Arpasa (Sang Hyang Udipati)
secara simbolik tentang kebijaksanaan seorang raja dalam mengendalikan negara;
10) Ajaran tentang cacana, cacaya, cacara, dan cacala maupun ajaran tentang
Panca Bakah (penyebab perselisihan atau pertengkaran); 11) Ajaran tentang Panca
Pratama ’lima keutamaan’ dan Panca Guna ’lima kelebihan atau kepandaian’.
Jadi jelaslah bahwa banyak sekali cerita selingan yang tampil dalam Sěrat
Darmasarana. Munculnya cerita selingan memang diperlukan dalam sebuah
cerita untuk membangkitkan ketegangan atau suspence. Justru ketegangan inilah
yang menentukan seberapa jauh kadar bobot sebuah karya sastra. Namun haruslah
diakui bahwa pentingnya cerita selingan sebagai penguat kebolehan keberhasilan
karya sastra hendaknya ada batasnya. Dengan kata lain, janganlah cerita selingan
itu terlalu banyak ditampilkan dalam sebuah karya sastra. Karena hal itu bukannya
semakin menambah serasi selarasnya sebuah karya sastra tertentu, tetapi acapkali
justru menimbulkan gangguan bagi pembaca di dalam mencoba menikmati dan
mencerna jalan serta jalinan cerita. Pembaca yang dalam keadaan serius mencoba
merebut makna karya sastra itu terpaksa harus selalu terpecah perhatiannya karena
banyaknya cerita selingan yang tampil. Sěrat Darmasarana khususnya maupun
teks-teks Pustakaraja Madya lainnya tidaklah terhindar dari masalah itu.
Seandainya segi kuantitas plot diterapkan dalam Sěrat Darmasarana ini,
maka dapat dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana memiliki alur tunggal, karena
pusat pengisahan dan pembicaraan ada pada diri tokoh sentral, yakni Prabu
Dipayana atau Prabu Parikesit. Meskipun ada cerita mengenai Raden Yudayana
(putra Prabu Dipayana) yang cukup menonjol serta banyak sekali terdapat cerita-
cerita yang terangkat ke dalam Sěrat Darmasarana ini, namun pada hakikatnya
semua cerita tersebut kembali berpusat pada Prabu Dipayana sebagai tokoh
utamanya. Tampilnya cerita-cerita maupun tokoh-tokoh lain akan berfungsi

121
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

semakin memberikan kesan kuat betapa Prabu Dipayana menduduki tempat yang
sangat penting dalam Sěrat Darmasarana ini. Karena sebenarnya dapat dikatakan
bahwa tampilnya cerita-cerita dan para tokoh pembantu tersebut tidak akan
terlepaskan kehadirannya dengan tokoh sentral. Dengan kata lain tokoh-tokoh
pembantu dengan peristiwa-peristiwa lain merupakan penguat bagi fungsi tokoh
sentral Prabu Dipayana. Hadirnya cerita-cerita lain merupakan mata rantai dalam
membentuk keutuhan dan kebulatan karya sastra Sěrat Darmasarana, dengan
demikian dapat dikatakan sekali lagi bahwa Sěrat Darmasarana ini mempunyai
alur tunggal dipandang dari segi kuantitas plotnya.
Berdasarkan rentetan peristiwa yang terjalin maka alur atau plot Sěrat
Darmasarana tergolong plot campuran, karena di dalamnya terdapat perpaduan
alur lurus dengan alur sorot balik (flashback). Pada awal mulanya, alur Sěrat
Darmasarana berjalan lurus, tetapi pada suatu bagian tertentu alur tersebut
menuju ke alur sorot balik. Banyaknya alur sorot balik ini maka sekali lagi dapat
dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana mempergunakan plot campuran, sebab di
dalamnya mengandung dua macam alur sekaligus, yakni alur lurus dan flashback.
Berdasarkan pemecahan penyelesaian akhir cerita, dapat dikatakan
bahwa Sěrat Darmasarana mempergunakan plot terbuka, karena pada akhir cerita
karya sastra itu nampak bahwa pengarang belum memberikan penyelesaian akhir
terhadap sejumlah persoalan. Adanya plot terbuka tersebut mungkin pujangga R.
Ng. Ranggawarsita menawarkan pemecahan akhir cerita itu kepada para pembaca
sebagai penyambut karya sastra. Akan tetapi sebenarnya kalau dicermati secara
cermat tampilnya plot terbuka itu sebagai penanda akan adanya suatu cerita
sesudahnya. Hal itu jelas sekali terlihat karena setelah Sěrat Darmasarana
selesai ditulis, maka tampil Sěrat Yudayana yang merupakan kelanjutan dari
Sěrat Darmasarana, dengan menampilkan tokoh sentral Prabu Yudayana yang
didalam Sěrat Darmasarana belum menjadi tokoh sentralnya. Dengan demikian,
plot terbuka tersebut sebagai persiapan bagi pujangga R. Ng. Ranggawarsita
dalam menampilkan Sěrat Yudayana. Pantas pula diingat dan diperhatikan bahwa
di dalam Sěrat Yudayana tidak banyak terjadi pergeseran, baik dalam setting
maupun situasinya. Hanya memang di dalam Sěrat Yudayana terjadi peristiwa
yang mencekam yaitu ketika Prabu Yudayana melakukan penyerbuan ke tempat-
tempat yang diduga dihuni oleh para naga, sebagai balasan kepada Taksaka Raja
yang dikiranya menggigit ayahandanya (Prabu Dipayana, Parikesit) hingga
mangkat (muksa).
Berdasarkan uraian di atas, maka sekali lagi dapat ditentukan bahwa Sěrat
Darmasarana mempergunakan plot terbuka, apabila dipandang dari pemecahan
penyelesaian akhir cerita.
Apabila pembagian struktur cerita Mochtar Lubis maupun Barnet
diterapkan pada Sěrat Darmasarana maka dapat diuraikan struktur cerita
Darmasarana ini sebagai berikut:

122
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

1. Situation (pengarang mulai melukiskan suatu keadaan)


Pada bagian ini menguraikan sewaktu Prabu Dipayana di Kerajaan
Ngastina mengadakan persidangan dihadap Bagawan Baladewa, Arya
Swuhbrastha, Patih Dwara, Patih Danurwedha, Arya Dyastara, Arya Tanbara,
Arya Hermata, Arya Satmata, Arya Kestu, Arya Saksa, Arya Warsaka, Arya
Saromba, Arya Sanjata, Arya Subata, Arya Sasara, dan Arya Sarata. Dalam
persidangan tersebut, Prabu Dipayana bermaksud bercengkrama berburu
ke hutan dan memerintahkan Patih Dwara memilih tempat untuk membuat
pagrogolan ‘tempat yang dipagari untuk berburu kijang menjangan’. Dengan
diiringkan Arya Kestu, Arya Saromba, Arya Sasara, dan Arya Sarata, Patih
Dwara menuju ke hutan Palasara untuk membuat pagrogolan.
Cerita selanjutnya menceritakan ketika Prabu Satyaka, raja Dwarawati
mendapat serbuan Prabu Kismaka, putra mendiang Prabu Bomanarakaswara
raja di Tarajutiksna. Prabu Satyaka terdesak dan memerintahkan Patih
Udakarya untuk meminta bantuan ke Ngastina. Prabu Dipayana pun kemudian
memerintahkan Patih Danurwedha, Arya Hermata, Arya Satmata, Arya Sanjata,
dan Arya Subata bersama pasukan Ngastina membantu Prabu Satyaka. Di
tengah pertempuran itu, Prabu Satyaki raja Lesanpura datang dan bergabung
dengan pasukan Dwarawati dan Ngastina. Dalam pertempuran yang dahsyat
itu, penggawa raksasa Tarajutiksna yang gugur adalah Padodara, Pancadrasthi,
Swahana, Rohita dan Abirata. Penggawa manusia yang gugur adalah Suwirya,
Suparta dan Astranisa. Patih Wirabatana mengamuk dan membunuh Arya
Satmata, tetapi ia pun segera dibinasakan Prabu Satyaki. Prabu Kismaka
membunuh Arya Hermata, tetapi ia mati bersama-sama ’sampyuh’ dengan
Prabu Satyaki. Arya Antariya kemudian menyerahkan diri.
Pada bagian situation ini diakhiri dengan cerita Prabu Dipayana
memanggil Mpu Brangtadi sambil menyerahkan Besi Srikandhi agar dibuat
senjata untuk berburu. Akan tetapi, sewaktu besi tersebut ditempa, tiba-tiba
musnah. Kemudian Prabu Dipayana memberikan lagi Besi Gurita. Akan tetapi
sewaktu ditempa, besi itu pun lenyap. Sesudah itu, datanglah malapetaka yang
hebat melanda kerajaan Ngastina. Dalam keprihatinannya, Prabu Dipayana
mendapat wangsit ‘ilham, bisikan’ agar baginda berdiri di tengah halaman,
menghadap empat penjuru mata angin sambil mengucapkan mantra. Setelah
hal itu dilakukan tiba-tiba melayanglah sepasang besi, yakni Besi Srikandhi
yang sudah berbentuk arca Dewi Uma dan Besi Gurita dalam bentuk arca
Sang Hyang Girinata. Sepasang arca itu kemudian ditempatkan di sanggar
pemujaan, seiring lenyapnya malapetaka yang menimpa Kerajaan Ngastina.

2. Generating circumstances (peristiwa yang bersangkut paut mulai bergerak)


Bagian ini dimulai sewaktu Prabu Dipayana, Patih Dwara, Patih
Danurwedha dan pengawal kerajaan Ngastina bercengkrama berburu di
pagrogolan hutan Palasara. Di sana, Patih Dwara bertemu Ken Suyati.

123
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Prabu Dipayana merasa gembira sekaligus bersedih hati menyaksikan


ketrampilan, kehebatan dan kesaktian pasukannya di dalam menangkap
berbagai macam binatang buruan. Pada malam harinya, raja secara diam-diam
pergi meninggalkan pesanggrahan bermaksud memohon kesaktian dewa.
Patih Dwara yang kemudian mengetahui hal tersebut meminta Ken Suyati
menyamar sebagai Prabu Dipayana dan memerintahkan pasukan Ngastina
untuk menunggu kembalinya Patih Dwara, seandainya ia besok mencari
Baginda. Keesokan harinya, dengan berpura-pura mengejar seekor kijang,
Patih Dwara meninggalkan pesanggrahan. Perjalanan Patih Dwara sampai
di pertapaan Tirta Awarna di Gunung Manikmaya. Bagawan Sidhiwacana
mempersilahkan Patih Dwara agar menunggu raja di pertapaan tersebut.
Dalam pengembaraannya, Prabu Dipayana berjumpa dengan Resi
Ardhawalika serta meruwatnya kembali menjadi Sang Hyang Basuki. Sang
Hyang Basuki kemudian memberikan pelajaran penawar bisa ular, ilmu
untuk menguasai binatang melata serta memberikan gelar Prabu Yudhiswara.
Kemudian Prabu Dipayana bertemu dan meruwat Resi Mragapati menjadi
Sang Hyang Gana. Sang Hyang Gana memberikan pelajaran ilmu untuk
menguasai berbagai binatang serta memberi gelar Prabu Dipayana, Prabu
Mahabrata. Selanjutnya Prabu Dipayana bertemu dan meruwat burung garuda
menjadi Sang Hyang Sambo. Sang Hyang Sambo mengajarkan cara menguasai
bangsa burung serta memberinya gelar Prabu Darmasarana. Kemudian Prabu
Dipayana bertemu dengan Sarabisa, pimpinan utusan Prabu Sayakesthi, raja
Mukabumi yang bermaksud menyampaikan surat padanya. Akan tetapi, Prabu
Dipayana menolaknya, sehingga terjadilah pertempuran dan Sarabisa tewas.
Sesampainya di hutan Bramaniyara di Kerajaan Gilingwesi, Prabu Dipayana
berjumpa dan meruwat taksaka “naga” penjelmaan Dewi Swanyana sewaktu
mau menelan Prabu Praswapati raja Gilingwesi. Dewi Swanyana memberikan
pelajaran kepada Prabu Dipayana mengenai olah asmara, antara lain: asmara
gama, asmara nala, asmara tantra, asmara tura, asmara nadha dan asmara
turida. Prabu Praswapati mempersilahkan Prabu Dipayana singgah di Kerajaan
Gilingwesi. Di sana, ia menceritakan hubungan persahabatan antara leluhur
Prabu Praswapati dengan para Pandawa serta mengawinkan Prabu Dipayana
dengan Dewi Sritatayi.
Pada bagian generating circumstances ini diakhiri dengan sewaktu
pengawal Prabu Dipayana mengumpulkan binatang buruan tiba-tiba
terdengarlah tangisan sangsam ’rusa’ seperti manusia yang khawatir akan
berpisah dengan orang tuanya. Ia menyatakan pula bahwa menurut ramalan ia
dan orang tuanya akan teruwat kembali di Kerajaan Ngastina. Prabu Dipayana
terharu dan memerintahkan Patih Dwara, Patih Danurwedha dan pasukannya
mencari induk rusa tersebut.

124
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

3. Rising action (keadaan mulai memuncak)


Bagian ini dimulai ketika Prabu Dipayana meninggalkan Kerajaan
Ngastina, maka tiba-tiba Prabu Niradhakawaca, raja Ima-imantaka menyerbu
kerajaan Ngastina. Prabu Niradhakawaca adalah anak Prabu Niladatikawaca,
cucu Prabu Niwatakawaca. Dalam pertempuran itu penggawa raksasa Ima-
imantaka yang gugur adalah: Kakartata, Akralkara, Subangkara, Caksusrawa,
Bagrasaka, Kardhawaktra, Triwimoha, Mahakuhaka, Bahimurakura, Bayurota,
Banasangsa, Salimuka, Dhandhabajra. Penggawa Ngastina yang gugur adalah:
Arya Swuhbrastha, Arya Kestu. Dalam pertempuran yang sangat dahsyat dan
licik, Prabu Niradhakawaca berhasil membunuh Bagawan Baladewa. Dewi
Utari, Arya Dyastara dan pasukan Ngastina meninggalkan istana menyusul
Prabu Dipayana ke pesanggrahan hutan Palasara.
Dalam pada itu, para pengawal Ngastina berhasil menemukan induk
jantan-betina rusa aneh itu. Tiada berapa lama datanglah Dewi Utari dan
pengawalnya melaporkan jatuhnya kerajaan Ngastina atas serangan musuh.
Sementara itu, Prabu Praswapati raja Mukabumi, Prabu Sayakesthi raja
Gilingwesi, Bagawan Sukandha di Goa Siluman serta Bagawan Sidhiwacana
di Tirta Awarna didesak putri-putri mereka agar menyusulkan mereka ke
Ngastina. Di perbatasan hutan Palasara, Prabu Dipayana berjumpa dengan
keempat istri, mertua serta adik iparnya (Wawasi Sidhikara).
Bagian rising action tersebut diakhiri dengan cerita Sang Hyang
Narada memberitahu dan memerintahkan Prabu Dipayana untuk meminta
bantuan pada Resi Gurundaya di Gunung Nirma untuk mengalahkan Prabu
Niradhakawaca.

4. Climax (peristiwa-peristiwa mencapai puncaknya)


Bagian ini dimulai ketika Prabu Dipayana dan pasukannya tiba di
Gunung Nirma. Tidak berapa lama kemudian Prabu Niradhakawaca dan
pasukannya menyerang ke Gunung Nirma. Dalam pertempuran yang dahsyat,
Bagawan Sukandha berhasil membinasakan Patih Kalandhakara, akan tetapi
ia akhirnya terbunuh oleh Prabu Niradhakawaca. Resi Gurundaya segera
mengheningkan cipta untuk mengeluarkan Bĕsi Adnyana dari dadanya dan
besi itu kemudian kembali sambil membawa Bĕsi Aji yang keluar dari pucuk
lidah Prabu Niradhakawaca. Prabu Niradhakawaca berhasil membunuh
Darmagopa (Gilingwesi), Citrakapa, Kulata (Mukabumi), Puthut Srengga
(Manikmaya), Tutuka, Salesaya, Kotya (Ngastina). Akhirnya, Prabu Dipayana
menghancurkan Prabu Niradhakawaca dan pasukannya. Ketegangan mulai
menurun yaitu ketika menceritakan setelah peperangan selesai, Dewi Utari
yang mengetahui bahwa Prabu Dipayana tertarik pada Dewi Grendi, putri
Resi Gurundaya bermaksud mengawinkan mereka di Kerajaan Ngastina. Atas
permintaan Dewi Utari, Resi Gurundaya menceritakan silsilah dirinya.

125
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Ketegangan mulai sedikit menanjak pada waktu menceritakan Prabu


Dipayana mengadakan persidangan dan memutuskan mengadakan sayembara
mencari hilangnya Nanggala dari tangan Prabu Niradhakawaca. Pada saat
itulah Sang Hyang Narada turun mengemban perintah Sang Hyang Girinata
untuk memberitahukan baginda, bahwa Nanggala milik Bagawan Baladewa
itu sudah diambil kembali oleh dewa. Sang Hyang Girinata memberikan
anugerah Cundhamani, senjata Dananjaya sebagai pengganti. Cundhamani
memiliki keistimewaan dapat meruwat mereka yang cacat dan sengsara.
Ketegangan mulai menurun dengan cerita sewaktu Taramba
menghadap raja melaporkan keluhan ketiga rusa aneh dan mencurigakan
tersebut. Resi Gurundaya berdesir hatinya dan mengusulkan meruwat ketiga
rusa yang diperkirakan penjelmaan keluarga saudara tuanya, yakni Resi
Gurunadi. Prabu Dipayana segera meruwat ketiga rusa itu sehingga menjelma
kembali menjadi Resi Gurunadi, Dewi Nawangsasi dan Dewi Maera. Dewi
Nawangsasi ternyata juga ibu Dewi Sikandhi, sebelum menjadi istri Resi
Gurunadi. Resi Gurunadi menceritakan pada Baginda, tentang hubungannya
dengan Padopaya, gadis Milak serta Brahmana Kaehanala sampai akhirnya ia
dan keluarganya terkutuk menjadi rusa. Dewi Nawangsasi pun menceritakan
awal mula yang menjadi penyebab ia meninggalkan Bagawan Sukandha dan
putrinya Endhang Sikandhi. Resi Gurundaya kemudian mengusulkan pada
Baginda agar memberikan Dewi Maera untuk Patih Danurwedha.
Ketegangan mulai memuncak kembali yaitu pada bagian pertentangan
antara Bagawan Sidhiwacana dan Resi Sidhikara dari pertapaan Gunung
Manikmaya melawan Dhang Hyang Suwela dan putranya Wawasi Duryajaya
dari pertapaan Gunung Pulagra. Mereka memperebutkan Endhang Drawasi
putri Sang Wiku Mudra dari pertapaan Gunung Aswata. Sebenarnya Endhang
Drawasi sudah dilamar oleh Dhang Hyang Suwela untuk putranya Wawasi
Duryajaya. Akan tetapi akhirnya Sang Wiku Mudra menerima lamaran
Bagawan Sidhiwacana untuk mengawinkan Resi Sidhikara dengan Endhang
Drawasi. Ketegangan menjadi memuncak sewaktu Dhang Hyang Suwela
mengirim jalěgi ’hantu bertubuh api’, Bagawan Sidhiwacana dan Sang Wiku
Mudra yang tengah terlena dalam tukar ilmu pengetahuan kesempurnaan
tersebut akhirnya tewas. Jalěgi kemudian berhasil dilumpuhkan oleh Resi
Sidhikara sehingga menjelma menjadi seekor tikus. Kematian Bagawan
Sidhiwacana (mertua Prabu Dipayana) tersebut membuat Baginda murka dan
segera memerintahkan Prabu Sanga-sanga, Patih Danurwedha, Arya Tambara,
Arya Saromba bersama pasukan Ngastina menghancurkan pertapaan Aswata.
Dalam pertempuran itu, Wawasi Duryajaya, putra Dhang Hyang Suwela tewas,
Dhang Hyang Suwela segera membunuh Prabu Sanga-sanga dan kemudian
melarikan diri. Prabu Dipayana dan kerabat istana Ngastina bersedih hati.
Baginda memerintahkan Patih Dwara memanggil Dewi Kawathi dan Raden
Abantara ke Lesanpura. Sesampainya kembali di Ngastina, Prabu Dipayana

126
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

memberitahu mereka bahwa Prabu Sanga-sanga telah gugur.


Pada bagian klimaks ini diakhiri dengan permusuhan yang berlanjut
antara Raden Yudayana melawan Dhang Hyang Suwela. Sewaktu Prabu
Dipayana memanggil Raden Yudayana dan memerintahkan mengembara
berguru mencari ilmu, maka keempat adiknya yaitu Raden Ramayana, Raden
Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden Warabasata menyusul kakaknya
itu, tetapi mereka berselisih jalan. Dalam pengembaraannya tersebut, Raden
Yudayana berjumpa dengan seekor harimau dan seekor naga penjelmaan Sang
Hyang Kamajaya dan Dewi Ratih. Sang Kamajaya kemudian menganugerahkan
panah Sarotama serta mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan jaya
kawijayan ’kesaktian’, selanjutnya Raden Yudayana juga berjumpa dengan
Dewi Gendrawati, putri Prabu Gandaprawa (raja Gandara), yang kemudian
menjadi istrinya. Sementara itu keempat adik Raden Yudayana yaitu Raden
Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden Warabasata
sampai ke pertapaan Gunung Sadhara dan bermaksud berguru kepada Dhang
Hyang Suwela, tetapi mereka akan diterima apabila berhasil membunuh Resi
Sidhikara di Gunung Manikmaya. Ketika keempat putra Ngastina tersebut
menuju Gunung Manikmaya dan mengamuk membunuh para murid Resi
Sidhikara, maka Raden Yudayana menyadarkan keempat adiknya itu bahwa
mereka telah diperdaya musuh. Setelah Resi Sidhikara mengajarkan berbagai
ilmu kepada keempat adik Raden Yudayana, maka mereka bermaksud
menuntut balas dengan menyerbu ke Gunung Sadhara, sehingga banyak siswa
Dhang Hyang Suwela yang terbunuh. Sewaktu Dhang Hyang Suwela mau
melarikan diri dari tangan Resi Sidhikara, ia tewas terkena panah Sarotama
yang dilepaskan Raden Yudayana.

5. Denouement (pengarang memberikan pemecahan soal dari semua peristiwa)


Bagian denouement (pemecahan peristiwa) dalam Sěrat Darmasarana
ini dimulai ketika Prabu Dipayana memerintahkan Patih Dwara menunjuk
penggawanya untuk pergi ke Gandara melamar Dewi Gendrawati untuk
Raden Yudayana. Selanjutnya Prabu Dipayana menetapkan tata aturan yang
harus dipatuhi oleh keenam golongan agama, yaitu Sambo, Brahma, Indra,
Bayu, Wisnu dan Kala.
Beberapa waktu kemudian Prabu Dipayana mengawinkan Raden
Yudayana dengan Dewi Gendrawati, sedangkan Raden Ramayana dengan Dewi
Supadmi. Sepekan kemudian, putra Patih Danurwedha dikawinkan dengan
putri Arya Warsaka. Arya Danurja kawin dengan Dewi Warsiki, sedangkan
Arya Sindurjo kawin dengan Dewi Sulastri. Beberapa waktu kemudian Prabu
Dipayana mengawinkan Raden Ramaprawa dengan Dewi Widhawati, Dewi
Prawati kawin dengan Arya Karsula (putra Arya Warsaka), Raden Prawasata
kawin dengan Dewi Satyawati (putri Patih Danurwedha), Raden Warabasata
kawin dengan Dewi Sukesti (putri Arya Kestu).

127
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Pada suatu ketika, empat puluh hari dari perkawinan mereka Dewi
Gendrawati melahirkan putra bernama Raden Gendrayana. Sewaktu
menimang-nimang cucunya itu, Prabu Gandaprawa menyatakan bahwa Raden
Gendrayana adalah penjelmaan Trimurti, yakni keturunan Prabu Brahmaniyuta
(Prabu Brahmanaraja), putra Sang Hyang Brahma (Raja Gilingwesi); keturunan
Raden Srigati (Prabu Sri Mahapunggung), putra Sang Hyang Wisnu (Raja
Purwacarita), dan keturunan Raden Srinanda (Prabu Basurata) putra Sang Hyang
Wisnu (raja Wirata). Kemudian Prabu Gandaprawa meriwayatkan leluhurnya
sampai lahirnya Raden Gendrayana. Prabu Dipayana pun memerintahkan
Mpu Kawiswara untuk membacakan riwayat hidup leluhurnya berdasarkan
kitab Jitapsara yang menjadi pegangan raja. Adapun riwayat tersebut dimulai
dari Raden Kaniyasa (Resi Manumanasa), Resi Sakutrem, Bathara Sakri, Resi
Parasara, Bagawan Abyasa, Prabu Pandhudewanata, dan para Pandhawa.
Diceritakan pula kisah perselisihan Resi Parasara dengan Prabu Santanu (raja
Ngastina) sampai diserahkannya Kerajaan Ngastina ke tangan Resi Parasara.
Resi Parasara kemudian menyerahkan Kerajaan Ngastina kepada Begawan
Abyasa sampai akhirnya Kerajaan Ngastina jatuh ke tangan Prabu Dipayana.
Prabu Dipayana kemudian berputra Raden Yudayana, dan Raden Yudayana
kemudian berputra Raden Gendrayana.
Pada bagian denouement cerita diakhiri sewaktu Prabu Dipayana
menyetujui keinginan Dewi Nawangsasi dan Dewi Uttari untuk muksa kembali
ke surga. Akhirnya keinginan Dewi Nawangsasi dan Dewi Uttari tersebut
diikuti oleh Prabu Dipayana beserta istri-istrinya, Resi Gurundaya dan Resi
Gurunadi bersama istri-istri mereka. Pada waktu itu Prabu Dipayana kemudian
memerintahkan Patih Dwara dan Patih Danurwedha agar memberitahukan
kepada rakyat Ngastina bahwa mereka yang merasa telah disakiti dan
dilukai oleh baginda berhak membalas. Pada waktu itu, Taksaka Raja datang
menghadap dan melaporkan bahwa dia dahulu telah terluka oleh keris Prabu
Dipayana sewaktu baginda menikam Resi Ardhawalika, penjelmaan Sang
Hyang Basuki. Prabu Dipayana kemudian memaksa Taksaka Raja agar
membalasnya. Akhirnya, Taksaka Raja hanya menjilat ibu jari kaki baginda
yang bersamaan telah merasuk sukma. Prabu Dipayana muksa, seiring dengan
lenyapnya Taksaka Raja. Dewi Utari, para istri Baginda, Resi Gurunadi, dan
Resi Gurundaya bersama istri mereka pun segera menyusul baginda muksa.
Terdengarlah ledakan dahsyat memenuhi angkasa disertai hujan bunga
semerbak wangi menandai peristiwa itu. Ketegangan mulai meningkat lagi
dengan ditandai bahwa ketika Prabu Yudayana yang sangat berduka tersebut
berubah menjadi murka pada Taksaka Raja yang diduganya sebagai penyebab
baginda mangkat.

128
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

F. Lokasi Kejadian/Latar (Setting)


Setting (latar) adalah lingkungan peristiwa-peristiwa, dunia paling
dekat peristiwa-peristiwa itu terjadi (Stanton, 1965: 18). Bagi Abrams, latar
adalah lokasi, waktu historis, situasi sosial yang melatarbelakangi kejadian
(Abrams, 1981: 175). Setting ialah deskripsi literer yang membedakan dari
narasi (Wellek, 1981: 110). Setting dapat pula merupakan pelukisan alam,
keseluruhan keadaan yang dirasa.
Dengan demikian setting bukan hanya sekedar tempat bermain sebuah
kejadian (lokasi), melainkan juga harus bisa membangun suasana tertentu,
membangun karakter-karakter serta membangun tema tertentu (Jakob Sumarja,
1981: 57). Setting bisa berfungsi menyokong alur dan penokohan (Saleh Saad,
1967: 125).
Lokasi tempat kejadian dalam Sěrat Darmasarana ini cukup banyak,
namun lebih banyak berkisar di lingkungan istana, hutan-hutan maupun
pertapaan-pertapaan. Titik tolak setting atau lokasi kejadian mula-mula sekali
di kerajaan Ngastina. Di sana Prabu Dipayana didampingi Bagawan Baladewa
mengadakan persidangan yang dihadiri oleh para perwira. Dalam persidangan
tersebut, Prabu Dipayana bermaksud bercengkrama berburu ke hutan dan
memerintahkan Patih Dwara memilih tempat untuk membuat pagrogolan
’tempat yang dipagari untuk berburu kijang menjangan’.
Kemudian setting bergeser ke kerajaan Dwarawati, sewaktu
menceritakan Prabu Satyaka raja Dwarawati mendapat serbuan dari Prabu
Kismaka, putra mendiang Prabu Bomanarakaswara raja di Tarajutiksna.
Prabu Satyaka yang terdesak kemudian memerintahkan Patih Udakarya untuk
meminta bantuan ke Ngastina.
Setting kembali ke Ngastina. Di sana Prabu Dipayana menerima
kedatangan patih Udakarya, Baginda kemudian memerintahkan Patih
Danurwedha, Arya Hermata, Arya Satmata, Arya Sanjata, dan Arya Subata
bersama pasukan Ngastina membantu Prabu Satyaka.
Setting kembali lagi ke Kerajaan Dwarawati. Di sana, di tengah
pertempuran itu, Prabu Satyaki raja Lesanpura datang dan bergabung dengan
pasukan Dwarawati dan Ngastina. Dalam pertempuran yang dahsyat itu,
banyak penggawa raksasa Tarajutiksna maupun penggawa kerajaan Dwarawati
yang tewas. Dalam pertempuran itu akhirnya Prabu Kismaka mati bersama-
sama ’sampyuh’ dengan Prabu Satyaki. Adapun Arya Antarya kemudian
menyerahkan diri.
Selanjutnya setting kembali ke kerajaan Ngastina. Di sana Prabu
Dipayana mengangkat Arya Antariya, putra mendiang Prabu Bomantara untuk
memerintah di kerajaan Tarajutiksna, tetapi masih di bawah kekuasaan Prabu
Satyaka. Prabu Dipayana pun memanggil Arya Sanga-sanga, putra Prabu

129
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Satyaki dan mengangkatnya menggantikan kedudukan ayahandanya menjadi


raja di Lesanpura. Di samping itu, Prabu Dipayana mengangkat adik Prabu
Udara di Madura, yaitu: Raden Sewana menggantikan Arya Hermata dan
diberinya gelar Arya Sewana serta Raden Sarsana menggantikan Arya Satmata
dan diberinya gelar Arya Sarsana. Dalam pada itu, Patih Dwara dan pembantu-
pembantunya menghadap raja untuk melaporkan bahwa pesanggrahan dan
pagrogolan sudah siap.
Diceritakan juga bahwa Prabu Dipayana memanggil Mpu Brangtadi
sambil menyerahkan Besi Srikandhi agar dibuat senjata untuk berburu. Akan
tetapi, sewaktu besi tersebut ditempa, tiba-tiba musnah. Kemudian Prabu
Dipayana memberikan lagi Besi Gurita. Akan tetapi sewaktu ditempa, besi itu
pun lenyap. Sesudah itu, datanglah malapetaka yang hebat melanda kerajaan
Ngastina. Dalam keprihatinannya, Prabu Dipayana mendapat wangsit ‘ilham,
bisikan’ agar baginda berdiri di tengah halaman, menghadap empat penjuru
mata angin sambil mengucapkan mantra. Setelah hal itu dilakukan tiba-tiba
melayanglah sepasang besi, yakni Besi Srikandhi yang sudah berbentuk arca
Dewi Uma dan Besi Gurita dalam bentuk arca Sang Hyang Girinata. Sepasang
arca itu kemudian ditempatkan di sanggar pemujaan, seiring lenyapnya
malapetaka yang menimpa Kerajaan Ngastina.
Lokasi kejadian kemudian berpindah ke Hutan Palasarak, di sana Prabu
Dipayana bercengkrama berburu di pagrogolan. Di pagrogolan itu pula Patih
Dwara bertemu dengan Ken Suyati. Prabu Dipayana merasa gembira sekaligus
bersedih hati menyaksikan ketrampilan, kehebatan dan kesaktian pasukannya
di dalam menangkap berbagai macam binatang buruan. Pada malam harinya,
raja secara diam-diam pergi meninggalkan pesanggrahan bermaksud memohon
kesaktian dewa. Patih Dwara yang kemudian mengetahui hal tersebut
meminta Ken Suyati menyamar sebagai Prabu Dipayana dan memerintahkan
pasukan Ngastina untuk menunggu kembalinya Patih Dwara, seandainya ia
besok mencari Baginda. Keesokan harinya, dengan berpura-pura mengejar
seekor kijang, Patih Dwara meninggalkan pesanggrahan. Perjalanan Patih
Dwara sampai di pertapaan Tirta Awarna di Gunung Manikmaya. Bagawan
Sidhiwacana mempersilahkan Patih Dwara agar menunggu raja di pertapaan
tersebut.
Selanjutnya setting beralih ke tempat-tempat yang menjadi lokasi
pengembaraan Prabu Dipayana. Di dalam pengembaraan tersebut Prabu
Dipayana berjumpa dengan Resi Ardhawalika (Sang Hyang Basuki), Resi
Mragapati (Sang Hyang Gana), burung Garuda (Sang Hyang Sambo). Para
dewa tersebut setelah diruwat kembali oleh Prabu Dipayana memberikan
berbagai macam ilmu kepada Prabu Dipayana serta memberinya gelar untuk
Prabu Dipayana, di antaranya: Prabu Yudhiswara, Prabu Mahabrata, Prabu
Darmasarana. Prabu Dipayana kemudian bertemu dengan Sarabisa, pimpinan

130
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

utusan Prabu Sayakesthi, raja Mukabumi yang bermaksud menyampaikan


surat padanya. Akan tetapi, Prabu Dipayana menolaknya, sehingga terjadilah
pertempuran dan Sarabisa tewas.
Lokasi kejadian selanjutnya berpindah ke hutan Bramaniyara di
Kerajaan Gilingwesi, di sana Prabu Dipayana berjumpa dan meruwat
taksaka “naga” penjelmaan Dewi Swanyana sewaktu mau menelan Prabu
Praswapati raja Gilingwesi. Dewi Swanyana memberikan pelajaran kepada
Prabu Dipayana mengenai olah asmara, antara lain: asmara gama, asmara
nala, asmara tantra, asmara tura, asmara nadha dan asmara turida. Prabu
Praswapati mempersilahkan Prabu Dipayana singgah di Kerajaan Gilingwesi.
Lokasi kejadian kemudian beralih ke kerajaan Gilingwesi. Di sana, Prabu
Praswapati menceritakan hubungan persahabatan antara leluhurnya dengan
para Pandawa serta mengawinkan Prabu Dipayana dengan Dewi Sritatayi.
Lokasi kejadian berpindah ke kerajaan Mukabumi. Prabu Sayakesthi
raja Mukabumi diminta oleh putrinya Dewi Niyata untuk mencari Prabu
Dipayana. Prabu Sayakesthi berhasil berjumpa dengan Prabu Dipayana yang
secara diam-diam meninggalkan Gilingwesi serta membawanya ke Mukabumi.
Di sana, Prabu Dipayana dikawinkan dengan Dewi Niyata, tetapi ia pun segera
meninggalkan istrinya itu. Selanjutnya setting berpindah ke bengawan Lowaya,
Prabu Dipayana dibawa seekor buaya menghadap Bathara Sindungkara, putra
Sang Hyang Ganggastana. Bathara Sindungkara memperingatkan baginda
akan bahaya di perjalanannya nanti serta mengajarkan cara menguasai berbagai
binatang air. Selanjutnya setting berpindah ke hutan Citura di kaki Gunung
Cingkara. Di sana Prabu Dipayana berjumpa dengan raksasa Srubisana, putra
Lembusana yang gugur dalam perang Baratayuda. Dalam pertempuran yang
terjadi, Prabu Dipayana kalah, tubuhnya dibuang dan jatuh di pertapaan Tirta
Awarna. Selanjutnya setting beralih ke pertapaan Tirta Awarna. Di sana Prabu
Dipayana berjumpa dengan Patih Dwara. Kemudian diketahuinya bahwa Ken
Suyati adalah putri Bagawan Sidhiwacana. Tiada berapa lama turunlah Sang
Hyang Narada mengemban perintah Sang Hyang Girinata untuk meruwat Ken
Satapa agar menjadi gadis jelita serta memerintahkan agar Ken Suyati yang
tengah menyamar sebagai Prabu Dipayana dipanggil kembali ke Tirta Awarna.
Bagawan Sidhiwacana menceritakan silsilah dirinya serta menerangkan bahwa
keturunannya nanti ada yang menjadi tempat bersatunya Sang Hyang Wisnu
dengan Sang Hyang Panyarikan. Beberapa hari setelah perkawinan Prabu
Dipayana dengan Dewi Satapa dan perkawinan Patih Dwara dengan Ken
Suyati, maka mereka segera kembali ke pagrogolan dengan meninggalkan
istri mereka.
Setting kemudian berpindah ke hutan Pringgadarya. Di sana Prabu
Dipayana dan Patih Dwara bertemu dengan pendeta raksasa bernama
Bagawan Sukandha yang bermaksud mengambil menantu Prabu Dipayana.

131
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Akan tetapi Prabu Dipayana menolaknya. Pada saat itulah Srubisana datang.
Dengan terpaksa Prabu Dipayana meminta bantuan Bagawan Sukandha
dengan imbalan memenuhi keinginan sang pendeta. Srubisana dibinasakan,
tetapi Prabu Dipayana bermaksud ingkar janji. Dengan kesaktiannya,
Bagawan Sukandha membimbing Prabu Dipayana dan Patih Dwara datang
ke pertapaan di Goa Siluman. Setting kemudian beralih ke pertapaan di Goa
Siluman. Di sana Prabu Dipayana dikawinkan dengan Endhang Sikandhi
serta diberinya berbagai macam kesaktian. Beberapa hari kemudian, Prabu
Dipayana dan Patih Dwara mohon diri kembali ke pesanggrahan. Setting
kemudian kembali ke pesanggrahan (pagrogolan). Di sana sewaktu pengawal
Prabu Dipayana mengumpulkan binatang buruan tiba-tiba terdengarlah
tangisan sangsam ’rusa’ seperti manusia yang khawatir akan berpisah
dengan orang tuanya. Ia menyatakan pula bahwa menurut ramalan ia dan
orang tuanya akan teruwat kembali di Kerajaan Ngastina. Prabu Dipayana
terharu dan memerintahkan Patih Dwara, Patih Danurwedha dan pasukannya
mencari induk rusa tersebut.
Lokasi kejadian kemudian beralih ke kerajaan Ngastina. Diceritakan di
dalamnya bahwa sepeninggal Prabu Dipayana, maka kerajaan Ngastina diserbu
Prabu Niradhakawaca raja Ima-imantaka. Prabu Niradhakawaca adalah anak
Prabu Niladatikawaca, cucu Prabu Niwatakawaca. Dalam pertempuran yang
hebat tersebut banyak perwira Ngastina maupun Ima-imantaka yang tewas.
Dalam pertempuran yang sangat dahsyat dan licik, Prabu Niradhakawaca
berhasil membunuh Bagawan Baladewa. Dewi Utari, Arya Dyastara dan
pasukan Ngastina, kemudian meninggalkan istana menyusul Prabu Dipayana
ke pesanggrahan di hutan Palasara.
Lokasi kejadian kemudian berpindah ke hutan Palasara. Di sana Prabu
Dipayana berjumpa dengan keempat istrinya yang diantar oleh mertua-
mertuanya serta adik iparnya (Wawasi Sidhikara). Di hutan Palasara itu pula
kemudian turunlah Sang Hyang Narada memberitahu dan memerintahkan
Prabu Dipayana meminta bantuan Resi Gurundaya di Gunung Nirma untuk
mengalahkan Prabu Niradhakawaca. Lokasi kejadian kemudian beralih ke
Gunung Nirma. Tidak berapa lama sesampainya Prabu Dipayana bersama
pasukannya di Gunung Nirma, datanglah pasukan Prabu Niradhakawaca. Dalam
pertempuran yang dahsyat, Bagawan Sukandha berhasil membinasakan Patih
Kalandhakara, akan tetapi ia akhirnya terbunuh oleh Prabu Niradhakawaca. Resi
Gurundaya segera mengheningkan cipta untuk mengeluarkan Bĕsi Adnyana
dari dadanya dan besi itu kemudian kembali sambil membawa Bĕsi Aji yang
keluar dari pucuk lidah Prabu Niradhakawaca. Prabu Niradhakawaca berhasil
membunuh Darmagopa (Gilingwesi), Citrakapa, Kulata (Mukabumi), Puthut
Srengga (Manikmaya), Tutuka, Salesaya, Kotya (Ngastina). Akhirnya, Prabu
Dipayana menghancurkan Prabu Niradhakawaca dan pasukannya. Setelah
peperangan selesai, Dewi Utari yang mengetahui bahwa Prabu Dipayana

132
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

tertarik pada Dewi Grendi, putri Resi Gurundaya bermaksud mengawinkan


mereka di Kerajaan Ngastina. Atas permintaan Dewi Utari, Resi Gurundaya
menceritakan silsilah dirinya.
Lokasi kejadian kemudian kembali ke kerajaan Ngastina. Di sana Prabu
Dipayana mengadakan persidangan dan memutuskan mengadakan sayembara
mencari hilangnya Nanggala dari tangan Prabu Niradhakawaca. Pada saat
itulah Sang Hyang Narada turun mengemban perintah Sang Hyang Girinata
untuk memberitahukan baginda, bahwa Nanggala milik Bagawan Baladewa
itu sudah diambil kembali oleh dewa. Sebagai gantinya Sang Hyang Girinata
memberikan anugerah Cundhamani, senjata Dananjaya. Senjata Cundhamani
memiliki keistimewaan yaitu dapat meruwat mereka yang cacat dan sengsara.
Kemudian Taramba menghadap raja melaporkan keluhan ketiga rusa aneh dan
mencurigakan tersebut. Resi Gurundaya mengusulkan pada Prabu Dipayana
untuk meruwat ketiga rusa tersebut yang ternyata kemudian menjelma kembali
menjadi Resi Gurunadi (saudara tua Resi Gurundaya), Dewi Nawangsasi dan
Dewi Maera. Dewi Nawangsasi ternyata juga ibu Dewi Sikandhi, sebelum
menjadi istri Resi Gurunadi. Di kerajaan Ngastina tersebut banyak peristiwa
yang terjadi yang berkaitan dengan Resi Gurunadi, Dewi Nawangsasi, Dewi
Maera, Padupaya, gadis Milak, Brahmana Kaehanala dan lain sebagainya. Di
kerajaan Ngastina itu pula Prabu Dipayana melangsungkan perkawinannya
dengan Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi Satapa, Dewi Sikandhi dan
Dewi Grendi serta kemudian mengubah nama istri-istrinya. Beberapa waktu
kemudian Prabu Dipayana memiliki putra dan putri dari istri-istrinya. Namun
salah seorang istrinya yaitu Dewi Sritatayi (Dewi Gentang) dan Dewi Niyata
(Dewi Impun) sakit dan akhirnya wafat. Pada suatu ketika Prabu Dipayana
mendapatkan peringatan dan pelajaran dari Sang Hyang Udipati yang
menyamar sebagai Arpasa agar Baginda segera mengatasi berbagai persoalan
yang terjadi di wilayah kerajaannya. Prabu Dipayana juga memutuskan
berbagai persoalan yang timbul diantara rakyatnya.
Setting kemudian berpindah ke Gunung Manikmaya. Di sana Bagawan
Sidhiwacana bermaksud mengajak Resi Sidhikara untuk melamar Endhang
Drawasi, putri Sang Wiku Mudra di pertapaan Gunung Aswata. Setting
selanjutnya berpindah ke pertapaan Gunung Aswata. Di Gunung Aswata itu
pula Bagawan Sidhiwacana dan Sang Wiku Mudra tewas karena jalěgi ’hantu
bertubuh api’ yang dikirim Dhang Hyang Suwela. Lokasi kejadian kemudian
berpindah ke kerajaan Ngastina. Prabu Dipayana yang sangat murka atas
tewasnya Bagawan Sidhiwacana (mertuanya) segera memerintahkan Prabu
Sanga-sanga, Patih Danurwedha, Arya Tambara, Arya Saromba bersama
pasukan Ngastina menghancurkan pertapaan Gunung Pulagra. Lokasi
kejadian kemudian beralih ke Gunung Pulagra. Di sana pasukan Ngastina
menyerbu pertapaan Gunung Pulagra. Di dalam pertempuran tersebut Wawasi
Duryajaya, putra Dhang Hyang Suwela tewas, namun Dhang Hyang Suwela

133
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

melarikan diri setelah sebelumnya berhasil membunuh Prabu Sanga-sanga.


Lokasi kejadian kemudian kembali ke Ngastina. Prabu Dipayana sangat sedih
atas gugurnya Prabu Sanga-sanga. Baginda kemudian memerintahkan Patih
Dwara memanggil Dewi Kawathi dan Raden Abantara ke Lesanpura. Di sana
Prabu Dipayana memberitahukan bahwa Prabu Sanga-sanga telah gugur.
Prabu Dipayana mengumpulkan dan menempatkan tujuh bangsa ke dalam
golongan mereka masing-masing, ketujuh golongan tersebut adalah: Satria,
Brahmana, Wasya, Danuja, Daneswara, Sudra dan Raksasa. Prabu Dipayana
juga menyelesaikan berbagai perselisihan mengenai sewa-menyewa kebun
diantara para rakyatnya. Setelah Prabu Dipayana mengatasi berbagai persoalan
yang timbul di wilayah kerajaannya, maka pada suatu ketika Prabu Dipayana
memanggil Raden Yudayana dan memerintahkannya untuk mengembara
berguru mencari ilmu. Keempat adiknya yaitu Raden Ramayana, Raden
Ramaprawa, Raden Prawasata dan Raden Warabasata bermaksud menyusul
kakaknya, tetapi mereka berselisih jalan. Lokasi kejadian selanjutnya
berpindah ke hutan Tibrasara. Di sana Raden Yudayana berjumpa dan
meruwat seekor harimau dan seekor naga penjelmaan Sang Hyang Kamajaya
dan Dewi Ratih. Sang Hyang Kamajaya kemudian menganugerahkan panah
Sarotama serta mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan jaya kawijayan.
Dalam pengembaraan itu pula Raden Yudayana berhasil membebaskan Dewi
Gendrawati, putri Prabu Gandaprawa, raja Gandara, setelah Raden Yudayana
membunuh Swagotara, putra Srubisana. Lokasi kejadian kemudian beralih ke
kerajaan Gandara. Raden Yudayana mengantarkan Dewi Gendrawati, Prabu
Gandaprawa bermaksud mengawinkan keduanya. Setting selanjutnya beralih
ke Gunung Manikmaya. Raden Yudayana berguru pada Resi Sidhikara. Ia
menerima pelajaran ilmu jaya kawijayan, guna kasantikan ’ketrampilan
ketangkasan berperang dan ilmu kesempurnaan’. Setting kemudian berpindah
ke Gunung Sadhara. Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata
dan Raden Warabasata bermaksud berguru kepada Dhang Hyang Suwela,
tetapi mereka diperintahkan dahulu membunuh Resi Sidhikara di Gunung
Manikmaya. Setting kemudian kembali ke Gunung Manikmaya. Di sana
keempat adik Raden Yudayana tersebut mengamuk dan membunuh para murid
Resi Sidhikara. Akhirnya Raden Yudayana menyadarkan keempat adiknya itu,
bahwa mereka telah diperdaya musuh. Setelah Resi Sidhikara mengajarkan
berbagai ilmu kepada keempat adik Raden Yudayana, maka mereka bermakud
menuntut balas. Lokasi kejadian kembali ke Gunung Sadhara. Di sana Raden
Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata dan Raden Warabasata
mengamuk sehingga banyak siswa Dhang Hyang Suwela yang terbunuh. Dalam
pertempuran tersebut akhirnya Dhang Hyang Suwela tewas terkena panah
Sarotama yang dilepaskan Raden Yudayana. Lokasi kejadian kemudian kembali
ke Ngastina. Prabu Dipayana memerintahkan Patih Dwara untuk menunjuk

134
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

penggawanya pergi ke Gandara melamar Dewi Gendrawati untuk Raden


Yudayana. Banyak peristiwa yang terjadi di kerajaan Ngastina. Diantaranya
Prabu Dipayana mengatasi perselisihan yang timbul di antara pengikut agama
Kala dengan pengikut agama Sambo, Brahma, Indra, Bayu, dan Wisnu. Prabu
Dipayana juga mengawinkan putra-putrinya dengan putra para pembesar
kerajaan Ngastina. Beberapa waktu kemudian Dewi Gendrawati melahirkan
putra bernama Raden Gendrayana. Sewaktu menimang-nimang cucunya itu,
Prabu Gandaprawa menyatakan bahwa Raden Gendrayana adalah penjelmaan
Trimurti, yakni keturunan Prabu Brahmaniyuta (Prabu Brahmanaraja), putra
Sang Hyang Brahma (Raja Gilingwesi); keturunan Raden Srigati (Prabu Sri
Mahapunggung), putra Sang Hyang Wisnu (Raja Purwacarita), dan keturunan
Raden Srinanda (Prabu Basurata) putra Sang Hyang Wisnu (raja Wirata).
Banyak peristiwa perselisihan yang terjadi di wilayah kerajaan Ngastina tetapi
semuanya dapat diselesaikan oleh Prabu Dipayana. Setelah Prabu Dipayana
mengangkat Raden Sri Prawata (putra Gilingwesi) menjadi raja di Gilingwesi
bergelar Prabu Sri Prawata, maka Baginda bersama pengiringnya berkeliling
menjelajah wilayah kerajaan Ngastina. Lokasi kejadian kemudian berpindah
ke Desa Padhangyangan, Prabu Dipayana menyelesaikan perselisihan
yang timbul diantara kelima anak Ki Kerata tentang sebuah anak panah
warisan ayahnya. Lokasi kejadian kemudian bergeser ke Desa Kawarakan.
Setelah Prabu Dipayana mengatasi persoalan di sana, maka Prabu Dipayana
mengangkat Sangkaya menjadi warga pěnamping ’polisi/ pegawai desa’
di Kawarakan dan sekitarnya. Sementara itu Umbul Kiai Sangkara sebagai
patihnya serta Dhang Hyang Marica sebagai brahmananya. Prabu Dipayana
juga memutuskan perkara perselisihan antara Dibisana (seorang undhagi
’tukang kayu’), Brahmana Satya dan saudagar Nangkoda yang memperebutkan
Ken Surpadi. Setting selanjutnya kembali ke kerajaan Ngastina. Di sana Prabu
Dipayana bermaksud mencegah keinginan Dewi Nawangsasi untuk kembali
ke surga. Akan tetapi keinginan tersebut tidak dapat dicegah, bahkan ketika
Dewi Nawangsasi memperlihatkan keindahan dan kebahagiaan di surga, maka
Dewi Utari bermaksud mengikuti Dewi Nawangsasi dengan harapan dapat
segera berkumpul dengan suaminya yaitu Arya Abimanyu dengan Dewi Siti
Sundari. Pada akhirnya Prabu Dipayana pun bermaksud mengiringi ibundanya
untuk kembali ke surga dengan disertai istri-istrinya. Resi Gurundaya dan Resi
Gurunadi bersama istri-istrinya pun akan mengikuti Baginda muksa. Prabu
Dipayana kemudian mengangkat putranya Raden Yudayana untuk menjadi
raja di Ngastina. Tidak lupa Prabu Dipayana memberi pelajaran antara lain
meliputi Panca Pratama ‘lima keutamaan’, dan Panca Guna ‘lima kelebihan
(kepandaian)’. Ketika segala perlengkapan untuk muksa siap, Prabu Dipayana
mengumpulkan semua rakyatnya dan bersabda bahwa siapapun yang pernah
disakiti baik secara fisik maupun psikis boleh membalasnya. Pada waktu

135
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

itulah Taksaka Raja dari Taksakasila datang dan memberitahukan Baginda


bahwa ia pernah terserempet petitnya sewaktu Prabu Dipayana menikam
Resi Ardhawalika (penjelmaan Sang Hyang Basuki). Pada waktu itu Prabu
Dipayana meminta agar Taksaka Raja membalasnya. Karena dipaksa Prabu
Dipayana, maka Taksaka Raja hanya menjilat ujung ibujari kaki Prabu
Dipayana yang dipergunakannya sebagai sarana muksa. Sebaliknya Taksaka
Raja pun menggunakan kesempatan itu untuk bersama-sama muksa dengan
Prabu Dipayana.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa setting atau lokasi kejadian
dalam Sěrat Darmasarana ini bukan hanya berkisar dari kerajaan yang satu ke
kerajaan yang lain. Karena selain setting berkisar di istana maka setting juga
bergerak atau menunjuk ke tempat-tempat lain, misalnya: di padepokan atau
pertapaan-pertapaan, hutan, gunung maupun sungai atau bengawan. Selain
itu dapat dikatakan bahwa setting bukan hanya ada dalam dunia nyata, akan
tetapi seringkali menunjuk pula pada dunia gaib, misalnya alam surga, alam
dunia siluman (kahyangan Nagaraja Sarana) di dalam Sěrat Darmasarana II.
Dengan demikian nyata pula bahwa setting atau lokasi kejadian dalam Sěrat
Darmasarana ini sangat lengkap dan kompleks.
Setting yang terurai di atas lebih banyak dititikberatkan pada setting
yang mengiringi terutama tokoh utama, yaitu Prabu Dipayana atau Parikesit.
Selain setting yang mengiringi tokoh utama, juga masih ada setting lain yang
berkaitan dengan tokoh pembantu, misalnya Raden Yudayana dan keempat
adiknya yaitu Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata dan
Raden Warabasata, sewaktu mereka mengembara menyusul kakaknya dalam
rangka mencari ilmu.
Demikianlah setting, latar atau lokasi kejadian yang dapat diungkapkan
dalam Sěrat Darmasarana.

G. Titik Pandang (Point of View)


Pada dasarnya titik pandang, sudut pandang atau pusat pengisahan
tersebut terbagi dalam dua jenis metode, yaitu metode orang pertama atau
metode ‘’aku’’ atau Ich-Er-Zahlung dan metode orang ketiga atau omaniscient
author (Wellek dan Austin Warren, 1966: 222; Sri Widati Pradopo, dkk., 1982:
28). Metode orang pertama ini, pengarang dapat sebagai pelaku utama dan ada
pula yang hanya sebagai orang pertama bawahan. Selanjutnya Rene Wellek
dan Austin Warren memperinci metode orang ketiga menjadi dua. Pertama,
ialah orang yang ketiga mahatahu atau metode romantic-ironic, dan kedua,
metode objective. Metode ini disebut juga sebagai metode dalang, karena
metode ini tidak membiarkan para tokoh bertindak dan berbicara sendiri.
Pengaranglah yang mahatahu tentang diri tokoh dan apa yang akan terjadi.
Jadi pengarang bertindak selaku seorang dalang, sedangkan para tokoh tidak

136
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

dibiarkan bersikap secara wajar. Berbeda sekali dengan metode orang ketiga
objective atau orang ketiga terbatas. Metode orang ketiga ini membiarkan
para tokoh bertindak dan berpikir sendiri. Di sini pengarang hanya memberi
pandangannya secara terbatas, dan biasanya hanya pada tokoh utama saja.
Metode ini memberi kebebasan penuh kepada para tokohnya, karena para
tokoh dibiarkan bertindak dan hidup sendiri (Sri Widati Pradopo, dkk., 1982:
28-29).
Seperti halnya kebanyakan novel tradisional, metode cerita yang dipakai
dalam Sěrat Darmasarana ini menggunakan metode cerita orang ketiga atau
dalang. Di sini R. Ng. Ranggawarsita, pengarang sěrat tersebut, seolah-olah
tahu isi hati para tokoh yang ditampilkannya. Cara R. Ng. Ranggawarsita
menampilkan para tokohnya, ia langsung menyebut namanya saja, seperti
Prabu Dipayana (Parikesit, Yudhiswara, Mahabrata) atau di dalam menyebut
Prabu Yudayana, Prabu Pandhudewanata, Prabu Satyaki, Prabu Satyaka, Prabu
Bomanarakaswara, Prabu Kismaka, Prabu Sanga-sanga, Prabu Niradhakawaca,
Prabu Sayakesthi, Prabu Gandaprawa, Prabu Udara, Prabu Santanu. R. Ng.
Ranggawarsita juga menyebut langsung para patih seperti misalnya: Patih
Dwara, Patih Danurwedha, Patih Udakarya. Pengarang juga menyebutkan para
dewa dengan: Sang Hyang Udipati, Sang Hyang Guru, Sang Hyang Girinata,
Sang Hyang Narada, Sang Hyang Basuki, Sang Hyang Gana, Sang Hyang
Sambo, Sang Hyang Brahma, Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Kamajaya,
Sang Hyang Kala. Kadang-kadang ia menyebut langsung misalnya: Bagawan
Abyasa, Bagawan Baladewa, Bagawan Sidhiwacana, Resi Sakutrem, Resi
Parasara, Resi Sidhikara, Resi Gurundaya, Resi Gurunadi. Pengarang menyebut
para putri bangsawan dengan sebutan: Dewi Utari, Dewi Siti Sundari, Dewi
Nawangsasi, Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi Satapa, Dewi Sikandhi, Dewi
Grendi, Dewi Suyati, Dewi Maera, Dewi Gentang, Dewi Impun, Dewi Tapen,
Dewi Puyengan, Dewi Dangan, Dewi Tejowati, Dewi Sadu. Kadang-kadang
pengarang menyebutkan tokoh yang berkedudukan sebagai perwira dengan
sebutan misalnya Arya Dyastara, Arya Swuhbrastha, Arya Tanbara, Arya
Saromba, Arya Hermata, Arya Satmata, Arya Kestu, Arya Saksa, Arya Warsaka,
Arya Sanjata, Arya Subata, Arya Sasara, dan Arya Sarata.
Dengan metode dalang ini pengarang dapat lebih bebas mengemukakan
dan menguraikan jalinan cerita beserta sifat-sifat para tokohnya tanpa berusaha
untuk memihak salah satu tokohnya. Kemungkinan sekali dalam memilih
metode dia atau dalang ini karena Sěrat Darmasarana khususnya dan teks-
teks Pustakaraja Madya umumnya menampakkan diri sebagai bagian dalam
berbagai kitab sumber penulisan lakon pentas wayang (Purwa dan Madya).
Tidak dapat disangkal bahwa Sěrat Darmasarana ini adalah kitab sumber
Wayang Purwa di bagian awal, sedangkan pada bagian akhir dapat dimasukkan
ke dalam kitab sumber Wayang Madya.

137
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

H. Motif
Motif adalah unsur-unsur teks seperti perbuatan, pernyataan yang
mengungkapkan batin, perasaan, tingkah laku atau adegan lingkungan yang
penting. Motif merupakan penggerak atau pendorong cerita ke arah peristiwa
atau perbuatan berikut (Sulastin Sutrisna, 1979: 151).
Motif yang terdapat dalam Sěrat Darmasarana yang dapat
diketengahkan di antaranya: wangsit ‘ilham’, mimpi, cinta dan perkawinan,
peperangan, pusaka bertuah, penyamaran, peruwatan. Adapun motif-motif
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Wangsit ’ilham’
Motif wangsit ’ilham’ dalam Sěrat Darmasarana ini mencakup 5
hal, yakni:
a) Wangsit ’ilham’ yang diterima Prabu Dipayana bahwa di kerajaan
Ngastina turun hujan darah dengan derasnya, yang menandakan
peristiwa berdarah yang akan menimpa kerajaan Ngastina. Ilham
tersebut menjadi kenyataan, karena ketika Prabu Dipayana
meninggalkan kerajaan Ngastina untuk bercengkrama di pagrogolan,
dan kemudian mengembara, maka kerajaan Ngastina diserbu oleh
Prabu Niradhakawaca dari kerajaan Ima-imantaka. Dalam serbuan
yang dahsyat tersebut Bagawan Baladewa gugur dan muksa.
b) Wangsit ’ilham’ yang diterima oleh Prabu Dipayana. Diceritakan
bahwa suatu ketika kerajaan Ngastina ditimpa wabah penyakit yang
mengakibatkan rakyat kerajaan Ngastina meninggal. Pada waktu itu
Prabu Dipayana mendapat ilham agar Baginda pada tengah malam
berdiri di tengah halaman, menghadap empat penjuru mata angin sambil
mengucapkan mantra. Setelah hal itu dilakukan tiba-tiba melayanglah
sepasang besi yaitu Běsi Sikandhi yang sudah berbentuk Arca Dewi
Uma dan Běsi Gurita dalam bentuk Arca Sang Hyang Girinata.
Sepasang arca tersebut kemudian ditempatkan di sanggar pemujaan,
seiring lenyapnya malapetaka yang menimpa kerajaan Ngastina.
c) Wangsit ’ilham’ atau ramalan yang diterima oleh seekor samsam
’rusa’. Dikemukakan dalam Sěrat Darmasarana bahwa sewaktu
Prabu Dipayana kembali lagi ke pagrogolan, Baginda memerintahkan
pengawalnya untuk mengumpulkan binatang buruan. Pada waktu itulah
terdengar tangisan samsam, seperti tangisan manusia yang khawatir
akan berpisah dengan orangtuanya. Samsam tersebut menyatakan
bahwa menurut wangsit dan ramalan yang diterimanya bahwa ia dan
orangtuanya akan teruwat kembali di kerajaan Ngastina. Oleh karena
itu Prabu Dipayana yang terharu mendengar tangisan itu segera
memerintahkan Patih Dwara, Patih Danurwedha dan pasukannya
untuk mencari induk rusa tersebut.

138
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

d) Wangsit ’ilham’ yang diterima Prabu Dipayana sewaktu berada di


hutan Palasara, setelah kembali dari pengembaraan (pertapaan Goa
Siluman). Pada waktu itu Sang Hyang Narada turun memberitahu dan
memerintahkan Prabu Dipayana untuk meminta bantuan kepada Resi
Gurundaya di Gunung Nirma untuk mengalahkan Prabu Niradhakawaca.
Sesampainya di pertapaan Gunung Nirma, maka Resi Gurundaya pun
bersedia membantu Prabu Dipayana. Tidak berapa lama datanglah
Prabu Niradhakawaca dan pasukannya menyerang pertapaan Gunung
Nirma. Resi Gurundaya pun kemudian mengeluarkan Běsi Adnyana
dari dalam dadanya dan besi itu kemudian kembali sambil membawa
Běsi Aji dari pucuk lidah Prabu Niradhakawaca. Dengan keluarnya
Běsi Aji tersebut, maka hilanglah kesaktian Prabu Niradhakawaca,
sehingga akhirnya dapat dikalahkan oleh Prabu Dipayana.
e) Wangsit ’ilham’ dewa yang diterima oleh Resi Sidhikara tentang
jodohnya, yakni Endhang Drawasi, putri Sang Wiku Mudra dari
pertapaan Gunung Aswata. Karena ilham yang diterima oleh putranya
tersebut maka Bagawan Sidhiwacana kemudian mengajak Resi
Sidhikara melamar Endhang Drawasi. Sang Wiku Mudra menerima
lamaran saudaranya itu, tetapi ia minta perlindungan dari kemarahan
Dhang Hyang Suwela, pertapa sakti dari Gunung Pulagra.

2. Mimpi
Di dalam Sěrat Rukmawati (termasuk kelompok Sěrat Maharata
bagian Sěrat Pustakaraja Purwa) yang disusun oleh Empu Sindhula di
Mamenang pada tahun Suryasangkala 853 atau tahun Candrasangkala
879, di antaranya dikemukakan tentang penjelasan arti mimpi yang
diuraikan oleh Resi Paninda kepada Resi Wisama. Menurut Resi
Paninda bahwa mimpi atau impian itu terdiri dari empat macam: a)
katěmu saka ing pipiridan, b) katěmu saka ing tuturutan, c) katěmu
saka ing wawangsulan, d) katěmu saka ing sěsěmonan. Adapun yang
dimaksud dengan katěmu saka ing pipiridan itu misalnya seseorang
bermimpi melihat nyala api. Dalam kenyataannya, ia kemudian menjadi
marah, karena api itu dapat disamakan, atau melambangkan kemarahan
dan semacamnya. Mimpi atau impian yang berdasarkan katěmu saka
ing tuturutan itu seperti halnya orang yang bermimpi buang air besar,
kenyataannya yang didapatinya nanti ia akan kehilangan, karena
keluarnya kotoran itu kelanjutannya hilang/ kehilangan. Maksud mimpi/
impian yang berdasarkan katěmu saka ing wawangsulan itu seperti
orang yang bermimpi sedih, yang didapatinya nanti akan menemui
kegembiraan (kesenangan), karena kesedihan itu kebalikannya adalah
gembira. Adapun maksud mimpi yang berdasarkan katěmu saka ing
sěsěmonan itu seperti orang yang bermimpi rumahnya roboh, dalam

139
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

kenyataannya nanti ia akan mengalami kematian istrinya, suaminya


atau keluarganya. Impian yang berdasarkan sěsěmonan itu adalah
mimpinya orang yang dalam keadaan wajar (tidak mengalami sesuatu),
artinya orang yang tidak mengalami kesedihan serta tidak sedang sakit.
Mimpi yang berdasarkan katěmu saka ing wawangsulan itu adalah
mimpinya orang yang kecapaian. Mimpi yang berdasarkan katěmu
saka ing tuturutan itu mimpinya orang yang sakit. Adapun mimpi
yang berdasarkan katěmu saka ing pipiridan itu mimpinya orang yang
sedang sedih.
Mimpi juga dapat dibagi menjadi empat, yaitu: a) mimpi kang
kawasita, b) mimpi kang kacakrabawa, c) Mimpi kang kadaradasih, dan
d) mimpi kang kadarsana (Ranggawarsita, 1994: 12-13). Motif mimpi
yang terdapat dalam Sěrat Darmasarana ini tidak begitu banyak. Di
dalam sěrat tersebut dikemukakan bahwa Dewi Niyata bermimpi bahwa
ia menjadi istri Prabu Dipayana. Karena itu ia minta kepada ayahnya
yaitu Prabu Praswapati untuk mencari Prabu Dipayana untuk dijadikan
suaminya. Mimpi Dewi Niyata tersebut terwujud karena akhirnya Prabu
Dipayana dapat ditemukan oleh Prabu Praswapati dan kemudian keduanya
dikawinkan. Mimpi yang lainnya dialami oleh Endhang Sikandhi. Seperti
halnya Dewi Niyata, maka Endhang Sikandhi pun bermimpi bahwa ia
menjadi istri Prabu Dipayana. Oleh karena itu ia meminta kepada ayahnya
yaitu Bagawan Sukandha untuk mencari Prabu Dipayana. Setelah Bagawan
Sukandha membantu Prabu Dipayana dan Patih Dwara membunuh
Srubisana, maka dengan kesaktiannya Prabu Dipayana dibimbing secara
gaib untuk menuju ke Goa Siluman dan akhirnya dikawinkan dengan
putrinya yaitu Endhang Sikandhi.

3. Cinta dan perkawinan


Cinta adalah getaran rasa, gejolak jiwa yang tercipta dan terlontar
dari hati yang tulus. Di dalam etimologinya, kata cinta berasal dari bahasa
Sanskerta dari cintā yang berarti ’pikiran, perhatian’ (Zoetmulder dan
Robson, 1995: 175). Adapun kata cita juga berasal dari bahasa Sanskerta
citta yang berarti pikiran, maksud; hati, budi (Zoetmulder dan Robson,
1995: 177). Baik kata cinta maupun cita adalah sesuatu yang dipikirkan.
Di dalam Sěrat Sumanantaka (termasuk dalam kelompok Sěrat
Maharata, bagian Sěrat Pustakaraja Purwa) diuraikan mengenai
pengertian cinta. Dikemukakan di dalamnya bahwa ketika Prabu Selacala
(Watugunung) akan mencumbui istrinya, yaitu Dewi Sinta (ibunya sendiri),
maka Dewi Sinta ingin mengetahui perasaan dan kedalaman cinta Prabu
Selacala terhadapnya. Dewi Sinta kemudian mengemukakan arti dari cinta
seperti tertuang dalam dialognya dengan Prabu Selacala seperti kutipan
berikut:

140
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

‘’Dhuh guru laki kawula, kang sětuhu ambawangi bawana, mugi


dipun saranta ing karsa, dèn aririh ing pamrih, jasad kawula
punika sintĕn ingkang andarbéya kajawi amung panjěněngan
paduka, ananging kawula kumědah badhé suměrěp ing
kayěktosanipun sih katrěsnan paduka dhumatěng kawula. Manawi
paduka satuhu trěsna, kawarti: sajatosipun trěsna punika rila,
dununging rila anglilani paminta, anglĕgani karsaning wanudya.
Mila kawula badhé ambabana ing panjĕnĕngan paduka pukulun.’’
(Ranggawarsita dalam Kamajaya, 1993: 74).
(‘’Duh suamiku yang sungguh menguasai dunia, semoga dapat
bersabar di dalam kehendak, perlahan-lahan dalam maksud, tubuh
hamba ini siapa yang memiliki selain hanya Paduka, akan tetapi
hamba ingin sekali mengetahui kesungguhan cinta kasih Paduka
terhadap hamba. Apabila Paduka sungguh cinta, konon ‘’sejatinya
cinta itu adalah rela, tempatnya rela itu adalah merelakan
(mengijinkan) permintaan, memenuhi keinginan wanita’’. Karena
itu hamba akan meminta (sesuatu) pada Paduka Pukulun’’).

Sesungguhnya cinta itu adalah rela, tempatnya rela adalah merelakan


(mengijinkan) permintaan, memenuhi keinginan wanita. Adapun
permintaan Dewi Sinta kepada Prabu Selacala (Watugunung) adalah agar
supaya Prabu Selacala menikah lagi dengan tujuh bidadari surga, yaitu:
Dewi Supraba, Dewi Gotama, Dewi Warsiki, Dewi Surendra, Dewi
Gagarmayang, Dewi Irim-irim dan Dewi Tunjungbiru (Ranggawarsita
dalam Kamajaya, 1993: 74).
Di dalam Sěrat Darmasarana, motif cinta tersebut terdapat dalam
kisah cinta antara Prabu Dipayana dan kelima istrinya, Raden Yudayana
dengan Dewi Gendrawati, Patih Dwara dengan Ken Suyati, Resi Sidhikara
dengan Endhang Drawasi. Adapun motif cinta dan perkawinan di atas
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Cinta Prabu Dipayana dengan Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi
Sikandhi, Dewi Satapa dan Dewi Grendi. Perjumpaan dan percintaan
Prabu Dipayana dengan Dewi Sritatayi bermula dari pertolongan
Prabu Dipayana kepada Prabu Praswapati (raja Gilingwesi) sewaktu
mau ditelan oleh Naga deformasi dari Dewi Swanyana. Prabu
Praswapati kemudian mempersilahkan Prabu Dipayana untuk singgah
ke kerajaannya di Gilingwesi. Di sana Prabu Dipayana jatuh cinta
kepada Dewi Sritatayi, putri Prabu Praswapati, sehingga keduanya
dikawinkan.
Perjumpaan dan percintaan Prabu Dipayana dengan Dewi
Niyata bermula ketika Dewi Niyata bermimpi telah menjadi istri Prabu
Dipayana (raja Ngastina). Dewi Niyata kemudian meminta kepada

141
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

ayahnya, yaitu Prabu Sayakesthi untuk mencari dan membawa Prabu


Dipayana ke Mukabumi. Prabu Sayakesthi berhasil berjumpa dengan
Prabu Dipayana dan dengan kesaktiannya berhasil membawa Prabu
Dipayana (yang secara diam-diam meninggalkan kerajaan Gilingwesi)
ke kerajaan Mukabumi. Prabu Dipayana yang melihat kecantikan
Dewi Niyata menjadi jatuh hati, keduanya pun kemudian dikawinkan.
Perjumpaan Prabu Dipayana dengan Dewi Satapa terjadi ketika
Prabu Dipayana dibuang jauh oleh Srubisana (putra Lembusana) dan
jatuh di pertapaan Tirta Awarna. Di sana Prabu Dipayana bertemu
dengan Dewi Satapa (putri Bagawan Sidhiwacana). Pada waktu
itulah turunlah Sang Hyang Narada mengemban perintah Sang Hyang
Girinata agar meruwat Dewi Satapa supaya menjadi cantik jelita, agar
Prabu Dipayana mau menerimanya sebagai istri. Setelah Dewi Satapa
diruwat menjadi cantik jelita, ia kemudian dikawinkan dengan Prabu
Dipayana.
Perjumpaan Prabu Dipayana dengan Dewi Sikandhi, putri
Bagawan Sukandha juga dimulai ketika Dewi Sikandhi bermimpi telah
menjadi istri Prabu Dipayana. Oleh karena itu Dewi Sikandhi meminta
kepada ayahnya untuk mencari dan membawa Prabu Dipayana ke Goa
Siluman. Bagawan Sukandha berhasil menjumpai Prabu Dipayana dan
memintanya agar supaya berkenan dikawinkan dengan putrinya. Prabu
Dipayana bersedia, akan tetapi Sang Raja terlebih dahulu meminta
agar supaya Bagawan Sukandha membunuh Srubisana (yang dahulu
pernah mengalahkannya). Bagawan Sukandha berhasil membunuh
Srubisana, akan tetapi Prabu Dipayana bermaksud ingkar janji. Oleh
karena itu dengan kesaktiannya, Bagawan Sukandha menghirup agar
supaya Prabu Dipayana dan Patih Dwara tanpa disadarinya menuju
ke Goa Siluman. Setelah Prabu Dipayana melihat kecantikan Dewi
Sikandhi, ia jatuh hati dan keduanya kemudian dikawinkan.
Perjumpaan Prabu Dipayana dengan Dewi Grendhi (putri
Resi Gurundaya) adalah ketika Prabu Dipayana mengemban
perintah Sang Hyang Narada untuk pergi dan meminta bantuan
kepada Resi Gurundaya (di Gunung Nirma) untuk mengalahkan
Prabu Niradhakawaca (cucu Prabu Niwatakawaca) di kerajaan Ima-
Imantaka. Resi Gurundaya kemudian mengeluarkan Bĕsi Adnyana dari
dalam dadanya dan besi tersebut kembali sambil membawa Bĕsi Aji
yang keluar dari pucuk lidah Prabu Niradhakawaca. Prabu Dipayana
akhirnya berhasil membunuh Prabu Niradhakawaca, yang sudah
kehilangan sebagian besar kesaktiannya. Dewi Uttari yang rupanya
mengetahui bahwa putranya (Prabu Dipayana) menaruh hati kepada
Dewi Grendhi, akhirnya mengawinkan keduanya.

142
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

b. Cinta dan perkawinan Raden Yudayana dengan Dewi Gendrawati


Perjumpaan Raden Yudayana dengan Dewi Gendrawati terjadi
ketika Raden Yudayana membebaskan Dewi Gendrawati (putri Prabu
Gandaprawa dari kerajaan Gandara) dari penculikan yang dilakukan
oleh Swagotara, putra Srubisana. Dengan kesaktian yang diperolehnya
dari Sang Hyang Kamajaya (yang diruwat dari wujudnya sebagai
harimau) maka Raden Yudayana berhasil membunuh Swagotara.
Raden Yudayana kemudian mengantarkan Dewi Gendrawati kepada
ayahandanya. Pada akhirnya Raden Yudayana dikawinkan dengan
Dewi Gendrawati.
c. Cinta dan perkawinan Patih Dwara dengan Ken Suyati
Perjumpaan Patih Dwara dengan Ken Suyati berawal di
pagrogolan sewaktu Prabu Dipayana menghilang dalam rangka
mencari ilmu dan memohon kesaktian dari dewa. Pada waktu itu
Patih Dwara meminta agar supaya Ken Suyati menyamar sebagai
Prabu Dipayana, karena Patih Dwara sendiri akan menyusul mencari
Baginda. Perjumpaan Patih Dwara dan Ken Suyati selanjutnya terjadi
di pertapaan Tirta Awarna di Gunung Manikmaya. Ken Suyati ternyata
adalah putri Bagawan Sidhiwacana seperti halnya Dewi Satapa. Di
pertapaan Tirta Awarna itulah Sang Hyang Narada memerintahkan
memanggil Ken Suyati (yang menyamar sebagai Prabu Dipayana)
untuk kembali ke Tirta Awarna. Patih Dwara kemudian mengawinkan
Ken Suyati dengan Patih Dwara.
d. Cinta dan perkawinan Resi Sidhikara dengan Endhang Drawasi
Perkawinan Resi Sidhikara dengan Endhang Drawasi berawal
dari ilham dewa yang diterima oleh Resi Sidhikara bahwa jodohnya
adalah Endhang Drawasi, putri Sang Wiku Mudra dari pertapaan
Gunung Aswata. Bagawan Sidhiwacana kemudian mengajak Resi
Sidhikara untuk melamar Endhang Drawasi. Setelah lamaran tersebut
diterima, akhirnya keduanya dikawinkan. Akan tetapi perkawinan
tersebut menimbulkan amarah Dhang Hyang Suwela (pertapa sakti
dari Gunung Pulagra) yang menghendaki Endhang Drawasi untuk
dikawinkan dengan putranya yaitu Wawasi Duryajaya. Pada suatu
malam Dhang Hyang Suwela mengirim jalĕgi ’hantu bertubuh api’
dan berhasil membunuh Bagawan Sidhiwacana dan Sang Wiku Mudra
yang tengah lengah terlena dalam tukar ilmu kesempurnaan.
Motif perkawinan lainnya di dalam Sěrat Darmasarana di
antaranya adalah perkawinan antara Patih Danurwedha dengan Dewi
Maera (putri Resi Gurunadi) dengan Dewi Nawangsasi. Motif perkawinan
lainnya adalah perkawinan Raden Ramayana dengan Dewi Supadmi; Arya
Danurja dengan Dewi Warsiki; Arya Sindurja dengan Dewi Sulastri; dan
Raden Ramaprawa dengan Dewi Widhawati.

143
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

4. Peperangan
Motif peperangan banyak terjadi dalam Sěrat Darmasarana,
baik peperangan itu secara kecil-kecilan maupun meningkat pada
pertempuran besar yang melibatkan dan menyeret kerajaan besar beserta
sekutu-sekutunya. Adapun motif peperangan yang terdapat dalam Sěrat
Darmasarana ini antara lain:
a. Peperangan kerajaan Dwarawati melawan kerajaan Tarajutiksna.
Dalam peperangan tersebut kerajaan Dwarawati terdesak sehingga
Prabu Satyaka mengutus Patih Udakarya untuk meminta bantuan
ke Ngastina. Di tengah pertempuran tersebut Prabu Satyaki raja
Selanpura datang dan bergabung dengan pasukan Dwarawati dan
Ngastina. Dalam pertempuran tersebut, Prabu Kismaka (Tarajutiksna)
mati bersama-sama dengan Prabu Satyaki.
b. Peperangan Prabu Dipayana (sewaktu dalam pengembaraan) melawan
Sarabisa, utusan Prabu Sayakesthi raja Mukabumi. Sebenarnya
Sarabisa bermaksud menyampaikan surat padanya, tetapi Prabu
Dipayana menolaknya, sehingga terjadilah pertempuran dan Sarabisa
tewas, pasukannya cerai berai.
c. Peperangan Prabu Dipayana melawan Prabu Sayakesthi yang
menyamar sebagai Buyut Medhangprawa. Dalam pertempuran
itu Prabu Sayakesthi mengalahkan Prabu Dipayana dengan Aji
Wimanasara. Selanjutnya Prabu Dipayana dibawa Prabu Sayakesthi
ke kerajaan Mukabumi dan kemudian dikawinkan dengan putrinya,
Dewi Niyata.
d. Peperangan Prabu Dipayana melawan Srubisana, anak Lembusana
yang gugur dalam perang Baratayuda. Dalam pertempuran itu Prabu
Dipayana kalah, tubuhnya dibuang dan jatuh di pertapaan Tirta
Awarna.
e. Peperangan Prabu Dipayana dan Patih Dwara melawan Bagawan
Sukandha, yang menginginkan agar supaya Prabu Dipayana menjadi
menantunya. Dalam pertempuran itu Prabu Dipayana dan Patih
Dwara kalah.
f. Peperangan Srubisana melawan Bagawan Sukandha (dari pertapaan
Goa Siluman). Peperangan tersebut terjadi karena Sang Bagawan
dimintai bantuan Prabu Dipayana sebagai syarat Baginda bersedia
untuk dikawinkan dengan Dewi Sikandhi. Dalam pertempuran
tersebut Srubisana tewas, tubuhnya hancur lebur menjadi debu. Prabu
Dipayana kemudian dibawa Bagawan Sukandha dan dikawinkan
dengan putrinya, Dewi Sikandhi.
g. Peperangan antara kerajaan Ngastina melawan Ima-imantaka,
peperangan tersebut terjadi ketika Prabu Dipayana meninggalkan
kerajaan untuk mengembara berguru mencari ilmu. Dalam pertempuran

144
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

itu Bagawan Baladewa, Arya Syuhbrastha dan Arya Kestu gugur. Di


pihak Ima-imantaka banyak punggawa kerajaan tersebut yang juga
tewas.
h. Peperangan kembali antara pasukan gabungan kerajaan Ngastina,
Mukabumi, Gilingwesi dibantu Bagawan Sukandha dan para putut
pertapaan Manikmaya melawan Prabu Niradhakawaca dari Ima-
imantaka yang berlangsung di Gunung Nirma. Dalam pertempuran
dahsyat tersebut banyak perwira kerajaan Gilingwesi, Mukabumi,
Ngastina yang gugur. Akhirnya Prabu Dipayana menghancurkan Prabu
Niradhakawaca, setelah sebagian besar kesaktiannya dihilangkan.
i. Peperangan Resi Sidhikara yang dibantu Raden Yudayana dan
keempat saudaranya melawan Dhang Hyang Suwela bersama para
putut. Peperangan tersebut terjadi karena memperebutkan Endhang
Drawasi, putri Sang Wiku Mudra. Dalam pertempuran tersebut Dhang
Hyang Suwela tewas oleh panah Sarotama Raden Yudayana.

5. Pusaka bertuah
Prabu Dipayana memiliki beberapa pusaka bertuah. Pusaka-pusaka
tersebut berasal dari anugerah dewa. Pusaka bertuah tersebut bermacam
ragam baik jenis maupun bentuknya, semuanya memiliki kelebihan dan
keistimewaannya sendiri. Dengan memiliki pusaka bertuah tersebut,
sedikit banyak menambah kewibawaan serta daya kesaktian raja. Adapun
pusaka-pusaka bertuah tersebut antara lain:
a. Arca Dewi Durga dan Sang Hyang Girinata
Pada suatu ketika Prabu Dipayana memanggil Mpu Brangtadi
sambil menyerahkan Besi Srikandhi agar dibuat senjata. Akan tetapi
sewaktu besi tersebut ditempa, tiba-tiba musnah, kemudian Prabu
Dipayana memberikan lagi Besi Gurita. Akan tetapi sewaktu ditempa
besi itu pun lenyap. Kemudian terjadilah malapetaka hebat yang
melanda kerajaan Ngastina. Setelah Prabu Dipayana menjalankan
petunjuk dewa dalam rangka mengakhiri malapetaka tersebut, maka
tiba-tiba melayanglah sepasang besi, yaitu Besi Srikandhi yang sudah
berbentuk arca Dewi Uma dan Besi Gurita dalam bentuk Arca Sang
Hyang Girinata. Sepasang arca itu kemudian ditempatkan di sanggar
pemujaan, seiring lenyapnya mahapetaka yang melanda kerajaan
Ngastina.
Di dalam Sĕrat Yudayana, Sĕrat Budhayana dan Sĕrat Prabu
Gĕndrayana dilukiskan bahwa arca Dewi Durga (yang dapat berbicara
dan menangis) tersebut banyak memberikan petunjuk kepada Patih
Dwara untuk menghadapi musuh besar Prabu Yudayana yaitu Dhang
Hyang Suwela. Dhang Hyang Suwela dan sekutunya dengan menyamar
berbagai bentuk selalu berusaha keras untuk membunuh Prabu

145
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Yudayana tetapi selalu digagalkan oleh Patih Dwara atas petunjuk arca
Dewi Durga. Demikian pula arca Dewi Durga juga selalu memberi
petunjuk kepada Arya Prabu Bambang Sudarsana dalam rangka
melindungi keselamatan kakandanya yaitu Prabu Gendrayana. Sebab
roh Dhang Hyang Suwela dan sekutunya tetap terus berusaha mencari
kelengahan Prabu Gendrayana untuk dibunuhnya. Berbagai macam
usaha roh Dhang Hyang Suwela untuk membunuh Prabu Gendrayana
tersebut selalu digagalkan oleh Arya Prabu Bambang Sudarsana atas
petunjuk arca Dewi Durga.
b. Cundhamani
Cundhamani adalah senjata Dananjaya atau Arjuna yang
dianugerahkan oleh Sang Hyang Girinata kepada Prabu Dipayana
sebagai pengganti nanggala milik Bagawan Baladewa yang sudah
diambil kembali oleh dewa. Cundhamani memiliki keistimewaan
dapat meruwat mereka yang cacat dan sengsara. Cundhamani tersebut
kemudian dipakai Prabu Dipayana untuk meruwat ketiga samsam ’rusa’
sehingga menjelma kembali menjadi Resi Gurunadi, Dewi Nawangsasi
dan Dewi Maera.
c. Nanggala
Nanggala adalah senjata yang sangat sakti milik Bagawan
Baladewa. Senjata tersebut dipakai Bagawan Baladewa untuk
menghadapi para penyerbu ke kerajaan Ngastina. Dengan senjata
sakti Nanggala maka segala kesaktian Prabu Niradhakawaca dapat
dipunahkan. Ketika Prabu Niradhakawaca yang cerdik dan licik
berusaha merebut Nanggala dari tangan Bagawan Baladewa dengan
menciptakan panah pĕdhut ’kabut’, maka Bagawan Baladewa dengan
Nanggalanya menangkalnya dengan menciptakan panah api yang
menerangi kembali medan pertempuran. Namun akhirnya Nanggala
dapat direbut oleh Prabu Niradhakawaca yang menyamar sebagai Arya
Dyastara.
d. Sarotama
Panah Sarotama pada mulanya merupakan senjata Arjuna, akan
tetapi dalam Sĕrat Darmasarana ini panah Sarotama dianugerahkan
oleh Sang Hyang Kamajaya kepada Raden Yudayana. Hal ini
dimaksudkannya sebagai balas jasa Raden Yudayana yang telah meruwat
Sang Hyang Kamajaya dari bentuknya sebagai seekor harimau. Dengan
panah sakti Sarotama itu pula Raden Yudayana membunuh Dhang
Hyang Suwela.
e. Bĕsi Adnyana dan Bĕsi Aji
Bĕsi Adnyana adalah senjata sakti milik Resi Gurundaya,
sedangkan Bĕsi Aji adalah senjata sakti milik Prabu Niradhakawaca.
Ketika Prabu Niradhakawaca menyerang pertapaan Gunung Nirma,

146
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

karena Prabu Dipayana berada di sana, maka Resi Gurundaya segera


mengheningkan cipta untuk mengeluarkan Bĕsi Adnyana dari dadanya.
Bĕsi Adnyana tersebut kemudian kembali sambil membawa Bĕsi Aji
yang keluar dari pucuk lidah Prabu Niradhakawaca. Dengan keluarnya
Bĕsi Aji tersebut, maka sebenarnya sebagian besar kesaktian Prabu
Niradhakawaca telah hilang, sehingga ia dengan mudah dihancurkan
Prabu Dipayana.
f. Musthika Kumara
Musthika Kumara adalah mustika sakti yang diberikan oleh
Naga Raja Sarana (dari kerajaan Siluman di Gunung Mahendra) kepada
Prabu Yudayana. Musthika Kumara mempunyai daya kekuatan dapat
menangkal bisa naga. Musthika Kumara ini diberikan kepada Prabu
Yudayana setelah Baginda menyadari kekeliruannya dan bersedia untuk
menghentikan penumpasan para naga. Meskipun Prabu Yudayana sudah
memiliki Musthika Kumara, namun pada akhirnya Baginda mangkat
karena terkena bisa naga penjelmaan roh Dhang Hyang Suwela.

6. Penyamaran
Di dalam Sĕrat Darmasarana motif penyamaran yang dilakukan
oleh para tokohnya tidak begitu banyak. Motif penyamaran yang menonjol
di dalam sĕrat tersebut antara lain:
a. Ken Suyati, putri Bagawan Sidhiwacana ketika diketemukan oleh Patih
Dwara, maka ia diminta untuk menyamar sebagai Prabu Dipayana
yang secara diam-diam meninggalkan pagrogolan. Ia diminta menanti
sampai Prabu Dipayana kembali ke pagrogolan, sementara Patih Dwara
sendiri bermaksud menyusul Sang Prabu.
b. Prabu Dipayana di dalam pengembaraannya untuk mencari ilmu dan
kesaktian dari dewa, ia menyamar sebagai Raden Suwarna.
c. Patih Dwara di dalam pengembaraannya untuk menyusul Prabu
Dipayana maka ia menyamar sebagai Raden Cara.
d. Sang Hyang Basuki sewaktu mengemban perintah Sang Hyang Girinata
untuk menjumpai Prabu Dipayana, ia menyamar sebagai seorang
pertapa yang bertutupkan kepala ular, memakai gelang ular, memakai
gelang kaki (binggĕl) ular dan menamakan diri Resi Ardhawalika.
e. Sang Hyang Gana yang juga mengemban perintah Sang Hyang Girinata
untuk menjumpai Prabu Dipayana sebagaimana Sang Hyang Basuki,
maka ia menyamar sebagai seorang pertapa yang berdiri di atas banteng
dan dihadap oleh segala macam binatang buruan dan menamakan diri
sebagai Resi Mregapati.
f. Prabu Sayakesthi sewaktu mencari Prabu Dipayana maka ia menyamar
sebagai bubuyut di Medhangprawa.

147
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

g. Sang Hyang Udipati sewaktu mengajarkan secara simbolik tentang


kebijaksanaan seorang raja dalam mengendalikan negara, maka ia
menyamar sebagai Arpasa.

7. Peruwatan
Dalam cerita-cerita Jawa Kuna didapatkan kata ruwat dan kata
rumuwat artinya membuat tak kuasa, menghapuskan (kutukan, kemalangan,
dan lain sebagainya), membebaskan. Dalam kitab Kuñjarakarṇa
diketemukan kalimat: pamalaku rinuwat mala nyantěn i nghulun ’minta
dihapuskan noda adik hamba’. Kata ruwat juga terdapat dalam beberapa
kelompok kata, misalnya: amrih ruwata ning papa ’berusaha bebas
dari kesengsaraan’; ko Gana mangruwaté iryaku ’kamu Gana, hendak
membebaskan saya’; rumuwat sapapa ning rama réna ’membebaskan
segala kesengsaraan ayah dan ibu’. Yang diruwat atau dibebaskan yaitu
papa ’kesengsaraan’, mala ’dosa’, dan lain-lain, juga rimang ’kesedihan,
kesusahan’, kalěngka ’noda, kejahatan’, wirangrwang ’kebingungan,
kekusutan’ dan sebagainya.
Dalam cerita Hariwangśa, Sumanasāntaka, Korawaçrama,
Calwanarang, Nawaruci dan Sudamala digunakan kata lukat yang juga
berarti ’menghapus, membebaskan, membersihkan, wipe out, release’.
Misalnya dalam kalimat: Kunang iki papa ni nghulun agöng ring apa
n lukata ’Adapun ini, kesengsaraan hamba besar, bagaimana akan
menghapuskannya’; sang Pāṇḍawa nglukatèng sira, mañjing ring garbané
mangké ’sang Pandawa akan melepaskan kamu, (aku) masuk dalam
perutnya nanti’; lukat ni kapalang nikang sukṛta marga ni kapalang i dénta
déwati ’pembebasan terhalang oleh perbuatan baik, sebagai sebab bagimu
terhalang dewati’ (Subalidinata, dkk., 1985: 11-12).
Di dalam Sĕrat Darmasarana motif peruwatan ini erat berkaitan
dengan motif penyamaran. Motif peruwatan yang dilakukan oleh tokoh
utama Prabu Dipayana antara lain:
a. Peruwatan Prabu Dipayana terhadap Resi Ardhawalika untuk kembali
ke wujudnya semula yaitu Sang Hyang Basuki. Sang Hyang Basuki
kemudian memberikan pelajaran tentang penawar bisa ular, ilmu untuk
menguasai binatang melata serta memberikan gelar kepada Prabu
Dipayana sebagai Prabu Yudhiswara.
b. Peruwatan Prabu Dipayana terhadap Resi Mregapati untuk kembali
ke wujudnya semula sebagai Sang Hyang Gana. Sang Hyang Gana
kemudian memberikan berbagai macam kesaktian serta pelajaran
tentang ilmu untuk menguasai berbagai binatang buruan serta memberi
gelar Prabu Dipayana sebagai Prabu Mahabrata.
c. Peruwatan Prabu Dipayana terhadap burung Garuda yang menghadang
menutupi jalan yang akan dilaluinya di dalam pengembaraan. Prabu

148
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Dipayana dengan panahnya kemudian meruwat burung Garuda tersebut


kembali ke wujudnya semula sebagai Sang Hyang Sambo. Sang Hyang
Sambo kemudian mengajarkan cara menguasai bangsa burung serta
memberinya gelar pada Prabu Dipayana sebagai Prabu Darmasarana.
d. Peruwatan Prabu Dipayana terhadap seekor taksaka (naga) yang hampir
menelan Prabu Praswapati, raja Gilingwesi. Dengan panahnya, Prabu
Dipayana meruwat taksaka tersebut kembali ke wujudnya semula
sebagai Dewi Swanyana (istri Sang Hyang Sambo). Dewi Swanyana
kemudian memberikan pelajaran kepada Prabu Dipayana mengenai
olah asmara, antara lain Asmara Gama, Asmara Nala, Asmara Tantra,
Asmara Tura, Asmara Nadha dan Asmara Turida.
e. Peruwatan Prabu Dipayana terhadap ketiga samsam ’rusa’ dengan
senjata Cundhamani, sehingga ketiganya kembali ke wujudnya semula
sebagai Resi Gurunadi, Dewi Nawangsasi dan Dewi Maera.
f. Peruwatan Prabu Dipayana (atas saran Resi Gurunadi) terhadap ketiga
arca sehingga menjelma kembali menjadi Kaehanala bersama istri serta
Milak. Prabu Dipayana kemudian mengawinkan Padopaya dengan
Milak dan mengangkatnya menjadi penggawa.

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa antara motif satu dan
lainnya sering berkaitan. Misalnya motif ilham berkaitan dengan motif
cinta dan perkawinan maupun motif peperangan. Motif pusaka bertuah
berkaitan dengan motif peruwatan atau motif peperangan serta motif cinta
dan perkawinan. Motif peruwatan adakalanya berkaitan dengan motif cinta
dan perkawinan. Motif penyamaran adakalanya berkaitan dengan motif
peperangan serta motif cinta dan perkawinan. Dengan demikian motif-
motif tersebut tidak selalu berdiri sendiri terlepas dari motif-motif lainnya.

149
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Bab V
Sěrat Darmasarana sebagai Resepsi Ādiparwa,
Mosalaparwa Dan Prasthānikaparwa

Dalam bab ini akan dikemukakan tentang: 1) Kutuk Kadrū kepada


para Naga anaknya; 2) Maharaja Parīkṣit digigit Naga Takṣaka; 3) Pertentangan
Takṣaka dan Uttangka; 4) Lahirnya Āstīka, pembebas kepunahan para Naga;
5) Prosesi Sarpayajña Mahārāja Janamejaya; 6) Mangkatnya Prabu Parikesit
(Darmasarana) dalam Sěrat Darmasarana; 7) Sarpayajña dalam Sěrat Yudayana;
8) Perbandingan mangkatnya Maharaja Parīkṣit dalam Ādiparwa dengan Prabu
Parikesit dalam Sěrat Darmasarana; 9) Perbandingan Sarpayajña dalam
Ādiparwa dengan Sěrat Yudayana; 10) Sěrat Darmasarana sebagai resepsi
Ādiparwa, Mosalapawa dan Prasthānikaparwa. Adapun kesepuluh subbab di
atas dapat diuraikan sebagai berikut:

A. Kutuk Kadrū kepada Para Naga Anaknya


Dalam Ādiparwa diceritakan bahwa pada waktu para dewa dan golongan
daitya bersama-sama mengebur Laut Kṣīra dengan Gunung Mandara dalam
rangka mencari Amṛta, maka dari pengeburan itu keluarlah: Minyak dari air susu,
kemudian keluar pula Ardhacandra, Batari Çrī, Dewi Lakṣmi, Kuda Uçcaihçrawā,
Kastubhamaṇi dan Dhanwantari yang membawa Çwetakamaṇḍalu tempat Amṛta
(Juynboll, 1906: 35-36; Zoetmulder, 1958: 99-100; Widyatmanta, 1968: 50).
Pada waktu keluarnya kuda Uçcaihçrawā itu terdengarlah juga oleh Sang Kadrū
dan Sang Winātā (kedua istri Bhagawān Kāҫyapa). Sang Kadrū mendengar
bahwa kuda Uçcaihçrawā berbulu putih, ekornya berwarna hitam, sedangkan
Sang Winātā mendengar bahwa bulu kuda Uçcaihçrawā tersebut berwarna putih
semuanya. Keduanya saling mempertahankan kebenarannya. Karena itu untuk
membuktikan siapa yang benar maka keduanya bertaruh dan siapa yang kalah
akan menjadi budak yang lain. Ketika pertaruhan ini diberitakan kepada para
Naga anak-anak Kadrū, para Naga menyatakan bahwa ibunya Sang Kadrū kalah,
karena bulu kuda Uçcaihçrawā putih semuanya. Kemudian Sang Kadrū minta
kasihan kepada anak-anaknya agar memerciki (menyirati) ekor kuda Uçcaihçrawā
dengan bisa supaya menjadi hitam. Namun para Naga tidak mau karena perbuatan
yang demikian tidaklah pantas. Karena penolakan para Naga anaknya itulah maka
Sang Kadrū menjadi marah dan keluarlah kutukannya yang dahsyat kepada para
Naga anaknya.

Ndātan anggā īkang nāga ri pakon sang ibu


apan tan yogya ng ulah mangkana, krodha

150
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

ta SangKadrū tan pinisinggih sawuwus nira,


çināpa niratānak nira
“Sarpa satre wartamāne pāwako wah pradhakṣyati,
aťyanta niṣţuranta kamung nāga sapinta-kāsihku,
tasmād duhka panggihĕnyu, panganĕn ing apuy
ta ko kāla ning yajňa sarpa gawe Mahārāja Janamejaya
Nāhan çapa Sang Kadrū ry anak nireng nāga, karĕngö
ta panāpa nira de bhaṭāra Brahmā, inanumoda de nira
ng çapatha
(Juynboll, 1906:35-36; Zoetmulder, 1958: 99-100; Widyatmanta,
1968: 50).

(Para Naga tidak mau menuruti perintah ibunya, karena perbuatan yang
demikian tidaklah pantas. Marahlah Sang Kadru tidak dipatuhi kata-
katanya, dikutuklah anak-anaknya: ′′Sarpa satre wartamāne pāwako
wah pradhakṣyati, sungguh kejam kamu para Naga tidak memenuhi
permintaanku, kelak kamu akan menemui kesengsaraan, dimakan api
ketika korban ular yang dilangsungkan oleh Maharaja Janamejaya′′.
Demikianlah kutuk Sang Kadru pada para Naga anaknya, terdengarlah
kutuk itu oleh Bhatara Brahma yang menjadi saksi atas kutuk tersebut)
(Widyatmanta, 1968: 50).

Demikianlah kutuk dahsyat Sang Kadrū kepada para Naga anaknya,


karena mereka menolak perintah ibunya untuk memerciki dengan bisa ekor
kuda Uçcaihçrawā agar berwarna hitam (kṛṣṇacāmara). Para naga akhirnya mau
juga menyirati ekor kuda Uçcaihçrawā dengan bisa sehingga berwarna hitam.
Akibatnya, Winatā kalah bertaruh dengan Kadrū yang kemudian menjadikannya
sebagai budak, sampai akhirnya anaknya, Garuda, membebaskannya (Juynboll,
1906: 45; Zoetmulder, 1958: 91; Widyatmanta, 1968: 53-63).
Kutuk Sang Kadrū tersebut seakan memang sudah ditakdirkan. Hal
itu membuat para nāga gundah gulana, putus asa, dan bersedih hati. Dalam
persidangan para nāga yang dipimpin oleh Sang Hyang Bāsuki maka pendapat
Ailapatra, anak Kadrū yang bungsu yang disetujui. Menurutnya bahwa Bathara
Brahmā menyatakan bahwa yang menyebabkan kutuk Sang Kadrū adalah karena
seluruh dunia sangat gaduh oleh ular, karena mereka setiap kali menggigit sebagai
sasaran bisanya. Karena itu para nāga semua sepantasnya mati pada korban ular,
kecuali ular yang baik budinya (dharmeṣṭi), yang akan terhindar dari korban ular
tersebut. Adapun yang menyebabkan mereka terhindar dari korban ular tersebut
adalah seorang Brahmana bernama Jaratkāru, putra seorang wiku Yayawarabrata.
Ia beristri Nāgini (Nāgini Jayatkāru). Anak mereka itulah yang melepaskan dari
korban ular.

151
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Pendapat Ailapatra tersebut disetujui oleh Sang Hyang Bāsuki. Ia


kemudian menjaga baik Nāgini adiknya dan kemudian diberi nama Jaratkāru.
Ketika Sang Hyang Bāsuki menghadap Bathara Brahmā untuk menanyakan
caranya terlepas dari korban ular, maka Bathara Brahmā membenarkan apa yang
didengar dan dikatakan oleh Ailapatra (Juynboll, 1906: 46-48; Widyatmanta,
1968: 64-67).

B. Mahārāja ParīkṢit Digigit Naga TakṢaka


Dalam Ādiparwa naratif Mahārāja Parīkṣit hanya diuraikan secara singkat
seperti berikut:

Hana sira ratu sang Parīkṣit ngaran ira, anak sang Abhimanyu
patěmu-tangan lāwan sang Uttari, pinakaçiṣya bhagawan Kṛṣa,
paripūrṇa ring bahudewa.
Gowindapriyaḥ saṁyuktaḥ, prasiddha kāsih bhaṭāra Kṛṣṇa,
hinurip nirān kěneng hrû sang Açwatthāma, ri sěděng ira haneng jěro
wětěng sang Uttarī. Mijil ta ya winastwan mahuripa de bhaṭāra Kṛṣṇa,
iningu de mahārāja Yudhiṣṭhira. Sira ta sumilih ratu ri Hāstinapura, ri
lunghā sang Pāṇḍawā nusup ing alas muwah.
Ṣaṣtiwarṣāny apālayat, lawan nira siniwi němang puluh tahun.
Yathā Pāṇdur mahābāhuḥ, ndān kadi mahārājā Pāṇdu sira sakta
ring guṇāburu. Asiṅg wukir alas paran irāmet mṛga. Hana pwa kidang
tinût nira, anghel ta sira denya.
Kṣutpipāsāçramāturah, ahyun anginuma wwe sira. Hana sira
wiku kapangguh ing těgal ri těpi ning āçrama, ri panghwanan ing lěmbu.
I sěḍěng sang ṛṣi amangan wěrěh ing watsa, sira ta tinanān ing paran
ikang kidang. Ndātan sahur ike sang ṛṣi, apan sěḍěng nira monabrata,
pangaran ira mpu bhagawān Samīti. Saka ri krodha sang nātha Parīkṣit
tan sinahuran patakwan ira, hana ta wangke ning ulā dělěs, ya ta cinukat
nira ri tungtung ing laras nira, kinalungakěn ing gulā bhagawān Samīti.
Huměněng atah sang wiku. I tělas nira mahārāja Parīkṣit mangkana,
mulih ta sira ring kadaṭwan ira. Hana tānak bhagawān Samīthi saka
ring lěmbu, sang Çṛnggī ngaran ira, yatārtha masungu sira, ndān ugra
tapa siddhimantra sira, wěnang mahas mareng kadewatān, nityakāla
manangkil ing bhaṭāra Brahmā. Kunang ike sang Çṛnggī ngaran ira
makaswabhāwa göng krodha. Sira ta inujaran sang Kṛṣa:
’’Dwijaputra! anak ning brāhmana!’’
Ndātan sangke gělěng nira, ndān makadon guywa-guywan
denirāngling:
’’Mā Çṛnggin garwito bhawa. Kamung Çṛnggī! haywa kita garwa
dahat, awěrö dening guṇanta, tan wruh těměn kari kita ring kopaçaman.

152
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Pituḥ kaṇṭhe ’pidundubhī’. Sabarin mahārāja Parīkṣit sang ratu ri


Hāstinapura kumalung-kalung iri sira yayata ulā dělěs māti, tathāpinya
tan agalak sira; hana ta sira mangke kumalungakěn ulā ri gulā nira;
mangkana tolahanta, tumirwa bapa!
Ya ta ling sang Kṛṣa. Krodha ta sang Çṛnggī ruměngö wuwus sang
Kṛṣa.
Kopasaṁraktanayana. Molah tānak-anak ing mata nira, sumirat
abāng dening galak, matang yan sirābangun gělěng. Něhěr mojar i sang
Kṛṣa:
’’Paçya me tapaso balam. Ai kamung Kṛṣa! tinghali çakti ni
tapangku harah ikang ratu Parīkṣit pawarahte kami, kumalung-kalung
iri bapangku ulā tan hana doṣa nira, awamāna ta sira ring wiku. Hana ta
nāga Takṣaka ngaranya.
Martawyaṁ saptarātreṇa. Mogha ḍatěnga ni ṣāpangku rikang we
pitung wěngi sumahuta ng ratu Parīkṣit.
Mangkana ta ling sang Çṛnggī manapathani. Mulih ta sira, katěmu
sang bapa tamolah ring gopracāra kahanan ire ngūni, kunang wangke
nikang ulā sěḍěng awûk ri gulû nira. Makrak ta sang Çṛnggī tumangis i
sira bapa. Atěhěr umalap iri wangkay nikang ulā, ling nira:
’’Çrutwemāṁ dharṣanāṁ tāta. Uḍû bapa ni nghulun ruměngö
tāku ry awamāna nikang ratu Parīkṣit ri kita, pawarah sang Krsa ri kami,
tělas pwa nghulun çumāpa panganěn ing nāga Takṣaka, irikang pitung
wěngi wěkas, doṣanyān kumalung-kalung i kita ring ula.
Mangkana ling sang Çṛnggī. Sumahur ta sira bapa, kahaḍang
māri monabrata sira, de ning lara nira çināpa sang prabhu:
’’Naiṣa dharmas tapaswinām. Haywa mangkana kitānaku! tan
dharma sing wiku kětā krodha ngaranya, kewala kopaçaman mûlya ring
wwang kadi kita ngaranya. Haywa tānaku krodha, yadyapi ring wwang
samanya tuwi, těkwan sangprabhu sira ta makabhûmi iking patapanta,
alas nira marikeking alas pametanta kěmbang samidha, we nira ikang
banu ininumta, sira rumaksa kita gumawe tapa, matang yang tan
hanāngawara; siddhi pwa mantranta, syapa tānung makaprabhāwa ikā?
Takarin sang prabhu makayaçekā ring wwang kadi kita wiku; çināpanta
pwa sira, tātan yogya ulahta. Sangkṣepanyānaku, akon aku mājare sang
prabhu, yatanyan sirāu marā ngke, nyā mamalakwāntaçāpa, haywa tan
māsih i sira!’’
Mangkana ling bhagawān Samīti, mawarah ry anak nira. Hana
ta çiṣya nira sang Aghoramuka ngaran ira, ya ta kinon ira mājara ri
mahārāja Parīkṣit ri çāpa sang Çṛnggī. Ndān merang ta sang prabhu
malakwāntaçāpa, tuhun rumakṣāwak nira juga sira. Hana ta prāsāda
atiçaya ruhurnya, kadi parwata rûpanya subaddha, yatikā tinulak

153
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

tālānatur deçā, dudû tang brāhmaṇa siddhimantra mwang walyan


wiṣāpaha, kapwa yatna umariwṛteng prāsāda. Mahārāja haneng jěro
sira. Těke pwa ng diwasa kapitu ng wenya, lumāmpah ta bhagawān
Kāçyapāhyun tumulunge sang Parīkṣit, dudū Kāçyapa bapa sang Garuḍa,
Kāçyapa len sangke sira. Sira ta wruh ring mantroṣadha sarpabiṣa,
aparan prayojana nirān mangoṣadhanane sang prabhu, yatanyān wehana
mās maṇi rājayogya. Sěděng haneng hawan sira, rikā ta sira sinantwa de
ning nāga Takṣaka, lingnya: dwijo bhūtwā wayo’tigaḥ, měnggěp kadi
brāhmaṇa rūpanya:
’’Kwa bhawāṁs twarito yāti.’’ Mangkana lingnya:
’’Ndi ta paran mpungku matang yang agyāgyān těkap rahadyan
sanghulun lumaku, muwah aparan ikang prayojana?’’
Mangkana ling nikang nāga Takṣaka. Sumahur bhagawān
Kāçyapa:
’’Nṛpaṁ Kurukulotpannam. Sira mahārāja Parīkṣit sira parana
mami mangke, sahutěn ing nāga Takṣaka rakwa karěngwan irān měne,
sira ta tambanana sādhya mami, apan wěka-wěka sang Kuru sira,
wangça ning manghuripakěn sarwadharma.’’
’’Sojar mpungku, nghulun iki si Takṣaka ngarangku ring rāt, kinon
de sang Çṛnggī sumahuta ri sang Parīkṣit; aparan ikang oṣadhānta yan
huwus i těkā ning patinya de ni nghulun?’’
Mojar bhagawān Kāçyapa: ’’Ai kamung nāga Takṣaka! Nāhan
tang wṛkṣa waringin paripûrṇa sambandhanya; hana pwa wwang
sěděng amadung kayu ikang pinanekuya ri wit nikang waṇdira, ya tikā
gěsěngana těkapuyu, aku tumambanana ring mantroṣadha sarpabiṣa,
pangawruhanta ri mantrangku çakti.’’
Maluy ikang nāga ri jātinya, sinahutnya tang waṇdirawṛkṣa, mijil
tang agniwiṣa sangke tutuknya, gěsěng tang waṇdirawṛkṣa bhasmībhûta
těka ning amanek lāwan wadungnya. Tan ucapakna sahana ning pāng
ning waṇḍira mwang ronya, paḍa bhasmī, dadi hawu. Ya tenimpěnakěn
de sang ṛṣi Kāçyapa, minantra nira ta ya waidya sarpawiṣoṣadha,
tikang paweh sang hyang Brahmā ri sira. Hanih ikang wiṣa, muwah ta
ya paripûrṇa ikang wṛkṣa waṇḍira, lāwan ikang wwang amanek lāwan
wadungnya, tan hana kawikāranya. Āçcarya tāmběk nikang nāga Takṣaka
mulati çakti bhagawān Kāçyapa. Matang yan maněmbah tikang nāga
Takṣaka akon maluya sira, maweh mās maṇik upacāra. Maluy ta sira
bhagawān Kāçyapa, agirang tāmběk ikang Takṣaka de sang ṛṣi maluy.
Lumāmpah ikang Takṣaka mareng Hāstinapura. Angrěngö ta yang sang
prabhu tělas prayatna, umunggw ing jěro prāsāda, rinakṣa de ning taṇḍa-
mantrī nira makabehan, paḍāmawa sarwasaṅjata, tan wāktan sang wiku
widdhimantra ring sarpabiṣa Māngěn-angěn ikang nāga Takṣaka ri

154
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

prayatna sang prabhu ri Hāstina, amet upāya ikang Takṣaka, kāraṇanyān


těka ring sthāna sang prabhu kiněmit ing taṇda-mantrī saha bala, yatna
kumuliling i prāsāda ri sor. Huwus ta yomangěn-angěn sûkṣma ning
upāya ikang nāga Takṣaka, matěmahan ta ya brāhmaṇarûpadhara,
uměngěp mamawa jambuphala pawwatnya ring çrī mahārāja; atiçaya
halěp niking phala pawwat nikā, amanusa kahiḍěpanya; tan sangçaya
sang prabhu ri těkā nikang Takṣaka dwijarûpa. Atěhěr mawwat phala
nikang jambu; tinarima de çrī maharājā. Kunang kacaritan ikanang
amawa phala ning jambu sānak ikang nāga Takṣaka, tumutur sakeng
pātāla, ikang Takṣaka munggw ing sungut ing jambu. Ikang brāhmaṇa
mamawa jambu ri huwus ing jambu kawwat, mangunyakěn wedaçānti,
mangastungkārājaya-jaya mantra, sinwāgatan wineh dakṣiṇa. I tělas
ning wedaçānti kinon ta ya muliheng patapanya de sang prabhu Parīkṣit.
Tuwi sandhyākāla těka tunggang parwata pwa sang hyang Rawi. Ojar
ta sireng balādhika, tumanākěn yan huwus sang hyang Āditya sumurup.
Hatur ing mantrī wāhu tumunggang parwata. Huwus luput hiḍěp ira,
angalap ta sira darçana sasiki, pawwat nikang tapaswarûpadhara,
tarpahīngan mara kahyunhyun, harṣa twas ira çrī maharājā. Hana hulěr
ikang darçana, mālit ahirěng, abāng matanya mělělö katon de nira,
kawatěk ikā kasampayan ira. Ya tikā ginuyu-guyu mojar i patih ira, ndan
niyata panindra nira ring krimi larapan ing pati nirān těkā, ling nira:
’’Singgih çāpa krimi sang ṛṣi; nāhan si nāga Takṣaka, mungguh
rikang darçanaphala, ya tiki sumahuta mātyani kami.’’
’’Nāhan mangkanāngěn-angěn mahārāja Parīkṣit, kadi pinituturan
ikang krimi; maluy ta ya ri jātinya nāga Takṣaka, sunahutnya ta gulû
mahārāja Parīkṣit, atěhěr bhasmībhûta ta awak nira madadi hawu.
Měsat ikang Takṣaka mareng antarāla, mulih ta yeng nāgaloka. I pějah
mahārāja Parīkṣit, akrak ta panangis ikang sakaḍatwan. Hinaturan ta
sira sandhyāçoca saha widhiwidhāna, linikulikuran. Ri sakatambayanya
rinatwakěn tānak ira sang Janamejaya. Raresira, kunang tāpan
kinahanan ing çīla rūpasampanna, kinahanan ing guṇa lāwan kaçaktin.
Sangçayātuha pwa sira, wruh ring inggitaceṣṭyākāra. Matang yang ling
nikang taṇḍa rakryan makabehan:
’’Yogyābhiṣekan sang Janamejaya çinantyan de dang hyang
aṣṭaseni, mwang sang brāhmaṇa purohita wedapāraga.’’
Wineh sira mastrya anak sang Kāçirāja, tanpahingan ing guṇa
hayu ning rūpa, makangaran sang Bhāmuṣṭimān wararājakanyā. Sira ta
sinomahde haji sang magawe yajṅa sarpa.’’
Mangkana ling sang brāhmaṇa, hinaywan de ning mantrī nira
kabeh, an sira makastrī putrī sang Kāçirāja. Winarang ta sira rikāla ning
çubhadiwasa. Samangkana ta kāla sang Jaratkāru mahas amet strī nira,

155
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

parěng lāwan pawiwāhan haji Janamejaya. Malawas ta sang prabhu


siniwi, swastha tang rāt de nira, dharmmeṣṭa buddhi sirān janānurāga.
(Juynboll, 1906: 48-53; Zoetmulder, 1958: 92-97; Widyatmanta, 1968:
68-74).

(Ada seorang raja bernama Parīkṣit, putra Sang Abimanyu dengan


Sang Uttarī. Ia menjadi murid Bagawan Kṛṣa dan telah putus akan bermacam-
macam Weda. Bathara Kṛṣṇa sangatlah kasih kepadanya, karena ketika terkena
panah Sang Açwatthāma sewaktu masih ada di dalam kandungan Sang Uttarī,
ia dihidupkan olehnya. Ketika ia lahir, diberkahi supaya hidup dan diasuh oleh
Mahārāja Yudhiṣṭhira. Ia kemudian ditunjuk untuk menggantikan sebagai raja di
Hāstinapura sewaktu para Pāṇḍawa pergi masuk ke hutan lagi (Prasthānikaparwa).
Mahārāja Parīkṣit menjadi raja selama 60 tahun. Ia seperti halnya raja Pāṇdu
gemar berburu. Ketika ia berburu dan mengejar seekor kijang, ia merasa lelah dan
akan minum air. Pada waktu itu Mahārāja Parīkṣit bertemu dengan Bhagawān
Samīti sedang minum buih anak sapi. Ketika Mahārāja Parīkṣit bertanya tentang
kemana perginya kijang buruannya, Sang Ṛṣi tidak menjawabnya karena sedang
bertapa mbisu. Mahārāja Parīkṣit yang marah karena pertanyaannya tidak dijawab
oleh Sang Ṛṣi kemudian memungut bangkai ular hitam dengan pucuk panahnya,
lalu dikalungkan pada leher Sang Ṛṣi. Namun Sang Ṛṣi diam saja. Sesudah itu
Mahārāja Parīkṣit pulang ke istana.
Putra Bhagawān Samīti dengan seekor lembu yang bernama Sang Çṛnggī
(bertanduk), ia sudah mencapai puncak tapanya, sehingga mampu masuk ke
kadewatān setiap waktu untuk menghadap Bhaṭāra Brahmā. Tabiat Sang Çṛnggī
sangat pemarah. Ia kemudian diberitahu oleh Sang Kṛṣa bahwa ia hendaknya
tidak congkak dan mabuk akan ilmu yang dimilikinya. Ia hendaknya memiliki
kesabaran seperti halnya ayahnya yaitu Bhagawān Samīti. Dikatakan oleh Sang
Kṛṣa bahwa ayahnya dikalungi bangkai ular hitam oleh Mahārāja Parīkṣit. Tetapi
ayahnya tidaklah marah. Kesabaran ayahnya itulah hendaknya ditiru oleh Sang
Çṛnggī. Maksud Sang Kṛṣa yang sebenarnya hanya bergurau tersebut ternyata
malah menimbulkan kemarahan bagi Sang Çṛnggī. Karena itu ia kemudian
mengutuk pada Mahārāja Parīkṣit agar supaya dalam waktu tujuh hari Mahārāja
Parīkṣit digigit oleh Naga Takṣaka. Sewaktu Sang Çṛnggī pulang, ia masih
melihat bangkai ular yang mulai membusuk di leher ayahnya. Dengan menangis
Sang Çṛnggī menyatakan bahwa ia telah mengutuk Mahārāja Parīkṣit agar dalam
waktu tujuh hari ia digigit Naga Takṣaka sebagai balasan atas perbuatannya
mengalungi leher ayahnya yang tanpa dosa dengan bangkai ular. Akan tetapi Sang
Ṛṣi justru sangat menyesalkan kutukan yang diucapkan Sang Çṛnggī putranya
itu. Ia menyatakan bahwa ia dan putranya dapat bertapa brata dengan tenang
sehingga mencapai kesempurnaan mantranya itu juga atas jasa Mahārāja Parīkṣit
yang melindungi seluruh wilayah kerajaannya, termasuk pertapaannya. Karena
itu ia akan memberitahu Mahārāja Parīkṣit agar datang ke pertapaannya untuk

156
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

mengakhiri kutuk tersebut. Sang Ṛṣi kemudian menyuruh muridnya yang bernama
Aghoramuka ke Kerajaan untuk memberitahukan kepada Mahārāja Parīkṣit
akan kutukan Sang Çṛnggī dan memohon agar Baginda datang ke pertapaannya
untuk mengakhiri kutuk tersebut. Akan tetapi, Mahārāja Parīkṣit merasa malu
apabila minta berakhirnya kutuk tersebut. Karena itu hanya penjagaan diri saja
yang dilakukannya. Mahārāja Parīkṣit kemudian berdiam di sebuah menara yang
sangat tinggi yang dibentengi di empat arahnya serta dijaga oleh para Brahmana
yang sempurna mantranya dan dukun-dukun ahli tentang bisa (naga). Semuanya
dengan hati-hati melindungi menara tersebut. Pada hari yang ketujuh Bhagawān
Kāçyapa (bukan ayah Sang Garuda) pergi ke istana bermaksud memberi
pertolongan kepada Mahārāja Parīkṣit. Adapun maksudnya mengobati Sang
Mahārāja supaya ia dianugerahi emas dan manikam. Di tengah jalan ia berjumpa
dengan Naga Takṣaka dan ditanya tentang tujuan perjalanannya. Dengan jujur
Bhagawān Kāçyapa menyatakan bahwa ia akan menghadap Mahārāja Parīkṣit
untuk membantu menyembuhkan Mahārāja dari gigitan Naga Takṣaka. Takṣaka
pun kemudian menyatakan bahwa dialah yang akan menggigit Mahārāja Parīkṣit,
dan ia ingin mengetahui kesaktian mantra Bhagawān Kāçyapa.
Ada pohon beringin yang sangat rimbun dan ada seorang yang sedang
memotong kayu, oleh Bhagawān Kāçyapa disuruh Naga Takṣaka menggigitnya
dengan bisa apinya. Pohon beringin pun terbakar, demikian pula orang yang
memanjat beserta kapaknya pun terbakar menjadi abu. Abu tersebut kemudian
dikumpulkan oleh Bhagawān Kāçyapa dan dimantrainya dengan penawar bisa
ular anugerah Sang Hyang Brahmā kepadanya. Pohon beringin pun sempurna
seperti sediakala, demikian pula orang yang memanjat beserta kapaknya. Naga
Takṣaka yang khawatir menyaksikan kesaktian Bhagawān Kāçyapa akhirnya
menyuruh Sang Bhagawān untuk pulang saja dengan diberi emas dan manikam.
Naga Takṣaka selanjutnya pergi ke Hāstinapura dan menyaksikan perlindungan
yang sangat ketat beserta para Brahmana yang sempurna mantranya di dalam
melindungi menara tempat tinggal Sang Maharaja. Naga Takṣaka kemudian
menyamar sebagai ulat jambu yang dibawa oleh saudara Naga Takṣaka yang
menyamar sebagai seorang brahmana yang berpura-pura membawa buah
jambu tersebut untuk dihaturkan kepada Sri Mahārāja. Sang Mahārāja yang
tidak merasa khawatir atas kedatangan Sang Brahmana itupun menerima buah
jambu tersebut. Setelah Sang Brahmana pulang ke pertapaannya dan pada
saat matahari sudah terbenam Sang Mahārāja yang merasa telah terlepas dari
bahaya kemudian mengambil jambu tersebut. Sang Mahārāja melihat seekor
ulat jambu hitam berkilauan matanya tampak membelalak, merah warnanya.
Kemudian terluncurlah ucapan penghinaannya bahwa apakah ulat tersebut
sebagai penyebab kematiannya. Demikian ejekan Mahārāja Parīkṣit, ulat tersebut
seolah-olah mendapat perintah untuk kembali kepada wujud aslinya yaitu Naga
Takṣaka. Leher Mahārāja Parīkṣit digigitnya sehingga seluruh tubuhnya menjadi
abu. Takṣaka pun kemudian melayang ke angkasa pulang ke tempat para naga.

157
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Sementara itu di Kerajaan Hāstinapura seluruh istana menjadi gempar atas


mangkatnya Mahārāja Parīkṣit. Pada keesokan harinya Sang Janamejaya yang
masih kanak-kanak dirajakan. Sang Janamejaya sekalipun masih kanak-kanak
memiliki rupa yang tampan, mempunyai kesusilaan, kepandaian, serta kesaktian.
Penobatan Sang Janamejaya tersebut diberkahi oleh, dhang hyang, pendeta, para
brahmana, purohita, dan para ahli weda. Setelah dewasa Sang Janamejaya diserahi
permaisuri, putra Raja Kāçi yang cantik parasnya bernama Bhāmuṣṭimān. Sang
Janamejayalah yang kemudian melangsungkan korban ular) (Widyatmanta, 1968:
68-74).

C. Pertentangan TakṢaka dan Uttangka


Korban ular yang dilangsungkan oleh Mahārāja Janamejaya selain
disebabkan oleh kutuk Kadrū terhadap para nāga, anaknya, seperti telah
diuraikan di atas juga disebabkan oleh dendam Uttangka (murid Sang Weda)
kepada Tatṣaka. Di dalam Ādiparwa dikemukakan bahwa pada waktu Uttangka
berguru kepada Sang Weda maka ia terus diberi ilmu weda tanpa dimintai upah.
Hal ini disebabkan karena keinginan Sang Weda sendiri bahwa kalau kelak ia
mempunyai murid, segala mantra yang dimilikinya akan diberikan begitu saja
tanpa minta upah atau pun ujian kesetiaannya. Akan tetapi Sang Uttangka sangat
memaksanya agar ia dimintai upah oleh Sang Guru. Sang Weda yang menjadi
marah kemudian menyuruh Uttangka supaya minta kepada istrinya, bahwa
segala yang dikehendaki oleh istri gurunya harus dikerjakannya. Istri Sang
Weda yang dahulu pernah kecewa karena perintahnya kepada Uttangka supaya
melangsungkan korban kelahiran dahulu, ingin mengetahui kebenaran kata-kata
Uttangka. Katanya kepada Uttangka:

”Anaku sang Uttangka, hana sira ratu mahārāja Poṣya ngaran ira, sang
prabhu ring Ayodhyānagari. Hana ta strī nira sang Sawitrī ngaran ira; sira
mabuṣaṇāditya kuṇḍala, manikottama ning sarwaratna. Ikang kuṇḍala
sarikā ta kahyun i nghulun, apan çuci maṇīkang ratna. Hingananta těkā
ngke irikang caturdiwasa, patang wěngi kawěkas. Yatikā kahyunku yan
tuhu gurubhakti.” (Juynboll, 1906: 16; Widyatmanta, 1968: 22-23).

(:′′Anakku Sang Uttangka, ada seorang raja bernama Maharaja Posya,


yaitu raja di negeri Ayodhya. Adapun permaisurinya bernama Sang
Sawitri, berperhiasan anting-anting matahari, permata utama dari segala
jenis permata lainnya. Anting-anting itulah yang saya kehendaki, sebab
dari permata suci. Jangka waktumu sampai tempat ini lagi hanya empat
hari empat malam. Itulah keinginanku jika engkau berbakti kepada
guru′′.) (Widyatmanta, 1968: 18).

158
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Sang Uttangka menjadi sedih hatinya karena membayangkan kesukaran di


dalam memperoleh anting-anting matahari itu, apalagi ia harus sampai di kerajaan
Ayodhyā selama empat hari, padahal sangatlah jauhnya. Meskipun demikian tiada
terhalang baktinya kepada Sang Guru, ia pun berangkat juga mencari anting-
anting itu. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan seorang menunggang lembu
yang menyatakan bahwa kalau ia ingin sampai di Ayodhyā dengan segera, maka
ia diminta memakan kotoran dan meminum air kencingnya. Setelah kotoran
lembu itu dimakan dan air kencing diminumnya, maka ringanlah badan Sang
Uttangka sehingga ia segera sampai di negeri Ayodhyā. Oleh Mahārāja Poṣya
ia diijinkan untuk menemui istrinya dan meminta anting-anting matahari seperti
yang diminta istri Sang Weda (guru Uttangka). Sang Sāwitrī pun mengabulkannya
dan berpesan agar menjaga baik-baik anting tersebut karena seekor naga
Takṣaka dahulu pernah berharap akan sinar anting-anting matahari itu. Di dalam
perjalanannya, sewaktu Uttangka kepanasan dan ingin mandi menyegarkan
tubuh, anting-antingnya diletakkan di tanah dan terlihatlah oleh Takṣaka yang
segera mengambilnya. Uttangka meminta anting-anting tersebut dikembalikan
tetapi Takṣaka menolaknya. Kemudian tampaklah oleh Uttangka dua orang putri
sedang menenun, benang yang ditenunnya berwarna hitam dan putih. Terlihat
pula enam orang anak yang memutar jantra dwadaça arāh yang berjari-jari 12
buah. Kemudian terlihatlah oleh Sang Uttangka seorang yang menuntun kuda.
Karena itu, ia menanyakan akan kepergian naga Takṣaka. Penuntun kuda tersebut
menyatakan bahwa kalau ia menginginkan anting-anting matahari itu kembali
maka Sang Uttangka disuruhnya untuk meniup pantat kuda tersebut supaya keluar
asap dari mukanya untuk dihembuskan ke dalam lubang tempat Takṣaka masuk.
Sang Uttangka kemudian meniup pantat kuda itu, maka keluarlah api dari segala
indranya dengan asap yang terus-menerus memenuhi tempat naga. Naga Takṣaka
pun ribut kemudian datang mengembalikan anting-anting matahari kepada
Sang Takṣaka seraya meminta maaf. Sesampainya di pertapaan, anting-anting
matahari itu pun segera dipersembahkan kepada istri gurunya. Sang Uttangka
pun menceritakan tentang perjalanannya ke Ayodhyā untuk meminta anting-
anting matahari kepada Dewi Sāwitrī, permaisuri Mahārāja Poṣya. Sang Weda
memberitahukan bahwa lembu yang dijumpainya di perjalanannya sebenarnya
adalah Airāwana, yang menunggangnya adalah Sang Hyang Indra. Kotoran yang
dimakan dan air kencing yang diminum oleh Sang Uttangka itu sesungguhnya
adalah Amṛta. Dua orang perempuan yang tampak oleh Sang Uttangka sebenarnya
adalah Sang Dhāta dan Widhātā. Lawé (benang) yang ditenunnya berwarna putih
dan hitam itu sebenarnya adalah waktu siang dan malam. Enam orang anak itu
adalah enam waktu, jantra dengan dua belas jari-jari yang diputarnya itu adalah
tahun. Adapun yang menuntun kuda adalah Sang Pāñcajanya, sedang kuda itu
sendiri adalah Sang Hyang Agni. Pendek kata semua dewa kasihan kepada Sang
Uttangka karena baktinya kepada Sang Guru.

159
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Sekalipun anting-anting matahari itu sudah kembali dan dipersembahkan


kepada istri gurunya, namun Uttangka tetap menaruh dendam kepada Tatṣaka.
Oleh karena itu pada suatu ketika ia menghadap Mahārāja Janamejaya untuk
memberitahukan bahwa ayahanda baginda, Mahārāja Parīkṣit mangkat karena
digigit Tatṣaka. Selanjutnya Uttangka mendorong Mahārāja Janamejaya
untuk melangsungkan korban ular sebagai hukuman kepada Tatṣaka. Karena
sebagai seorang wiku tidak diperkenankan menghukum, akan tetapi menjadi
kewajiban seorang ksatria (Mahārāja Janamejaya) untuk menghukum orang yang
semestinya patut mendapat hukuman (Juynboll, 1906: 54; Zoetmulder, 1958:
103; Widyatmanta, 1968: 21-25). Maharaja Janamejaya kemudian menanyakan
kebenaran perkataan Uttangka kepada para mentrinya dan mereka semua
membenarkannya. Karena itu Mahārāja Janamejaya lalu memerintahkan untuk
melangsungkan korban ular menurut perintah Sang Uttangka.

D. Lahirnya Āstīka, Pembebasan Kepunahan Para Naga


Di dalam Ādiparwa peranan tokoh Āstīka sebagai pembebas kepunahan
para naga sangat besar. Di dalam Ādiparwa kelahiran Āstīka tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:

Hana ta sira brāhmaṇa, sang Jaratkāru ngaran ira, matang yan


Jaratkāru ling ning haji, jarātikṣayam ity āhuḥ, jarat ngaran ing kṣaya,
kāruṇikasya tad bhayaṃ, karuṇyabuddhi, çaraṇa ri sĕḍĕng ing katakut,
tĕkaning katatakutnyāçarīra, yogya ta katakutana, apan makaswabhāwa
kṣaya.
Mengĕt pwa sira, an mangkana janma ning çarīra, Jaratkārur iti
smṛtaḥ, matang yan sang Jaratkāru nāma nira, mawĕḍi ri kasangsāran
ing janma. Ya ta warakulotpannaḥ, wĕkā ning wiku warabrata sira,
sang wiku santoṣa mālap wȋja kasawus, mwang ikang huwus kasingsal
ing hawan, yatikā pinet inasĕhan ira. Akweh pwa ya wĕkasan, irikā ta
yan liniwĕt nika, tatkāla pinakacaru ri bhaṭāra, mwang paweh nireng
tamuy. Mangkana brata ning kawitan ira, kumawaçākĕn apriya, tan
kĕneng strȋ, kewala tapa ginöng nira, inajar nira, kalaran magawe tapa.
I sĕḍĕng mahārāja Parȋkṣit maburuburu, ikā ta kāraṇa nirān çināpa de
bhagawān Çṛngi panganĕn de ning nāga Takṣaka. Samangkana ta sang
Jaratkāru magawe tapa. Huwus pwa sira siddhi mantra, mahas ta sireng
sarwaloka, tĕkā ring asing sakaharĕp pinaran ira mwang lumaku tīrtha.
Kalunghālunghā ta laku nira, kawawa sireng Āyatanasthāna, ikang loka
pāntaraning swarga lawan naraka, kahanan ikang pitara mangapekṣa
kāraṇāntara, an pangguha swarganaraka. Ya tikā kahaliwatan de sang
Jaratkāru, haneng Āyatanasthāna.
Hana ta pitara ginantung ring pĕtung sawulih kinabehan ira,
katon tang muka tumumpĕk, tinalyan suku nira, ri sor nira jurang ajĕro

160
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

tĕkeng narakaloka, ikang inĕnahakĕn tinalyan ira. Yan tikĕl ikang pĕtung
pagantungan ira, hana ta tikus sawiji tamolah i kuwung nikang pĕtung
ri pinggir ing jurang, pratidina manigit wuku nikang wīraṇastamba.
Ya ta katon de sang Jaratkāru, marabas ta ya luh nirān tumon iriya,
makanimitta kāruṇya ning citta, syuh drawa hati nira de nira sang
anungsang gumantung i tungtung ning pĕtung tinalyan suku nira; mogha
sang Jaratkāru ināweṣa sang pitara, tāpasarûpa, kadi weṣa ning wiku,
majaṭādhara, mawalkala, ndātan sayogya sira manghiḍĕpa sangsāra
kṛtasangsāra nirāhāra sākṣāt rwan gumantung kakingan dening
lahrû, mahayunan tĕkap ing hangin madĕrĕs, tarpamangan sadākāla.
Anmangkana lwir sang pitara.
’’Ke bhawanto ’walambante wīraṇastambam āçritāḥ?’’
Ling sang Jaratkāru: ’’Aparan ta rahadyan sanghulun kabeh,
ginantung ri pĕtung sawulih, meh tikĕla deni panigit ing tikus, ikang
jurang ri soraya tan kinawruhan jĕro nika. Ya tikāngde larāngĕrĕsi
manah ni nghulun, moghāwĕlas ahyun tumulunge kita, tāpasaḥ kṛta
balena, nghulun kĕtā magawe tapa sangka raray, amahakĕn tanggung ni
tapa ni nghulun, sasar pakṣa nikā, de ni wĕlasku umulati kasangsāranta.
Yan pira kari paweha phala ni tapa ni nghulun, yatanyan kita muliheng
swarga maryānghiḍĕpa sangsāra? Athawā saparpatan yan satĕngah
kunang paweha mami samārgantāmanggiha ng swarga juga.’’
Nāhan ta ling sang Jaratkāru, karĕngö ta ujar nira de ning pitara.
Sumahur ta sira, mahatīs kadi sinirām ning amṛta manah nira: ’’Tapawrata
karma wayam. Sanghulun tinananta ya kawarah krama ni nghulun kabeh,
umarambham kṛtam karma santānam prekṣayetrato, kunang tāpan
pĕgat wangça mami. Nahan ta hetu mami apĕgat sangkeng pitṛloka,
magantungan pĕtung sawulih, kāngkĕn tibeng narakaloka; tatwa nikang
pĕtung sawulih, hana wangça mami sasiki, Jaratkāru ngaranya, ndān
mokṣa wih ta ya, mahyun luputeng sarwajanmabandhana, tātanpastrȋ,
ya çukla brahmacārī. Yatikā māwakangku, ikang wȋraṇastamba,
mapan ikang brata samādhi .... ri sang gṛhasthāçrama. Yadin pĕgata ni
wangçanya ikang kapungguh, phalanya nanā, witan ikang suka kagawe
de mami, makādi niyama warabrata. Yatikā wartamāna mangke ri tan
pawangça mami, naraḥ duṣkṛtino yathā, tātan hana pahi mami lawan
ikang agawe pāpakarma, si manghiḍĕp sangsāra. Kunang yan kita
tuhwāsih ikang wiku Jaratkāru ngaranya pintakāsihi ta ya kon mānaka,
yatanyan kami muliha mareng pitṛloka. Ya winarahakĕn ta kami yan
panghiḍĕp sangsāra, yatanyan wĕlasāmbĕknya!’’
Mangkana ling sang pitara, mangkin marabas luh sang
Jaratkāru, kadi hiniris twas nirān tumon i sang bapa manghiḍĕp
duḥkāntara: ’’Nghulun iki sang Jaratkāru ngaranku, ikang wangçanta
lobha ring tapa, mahyun ing kabrahmacaryan; winaling ni nghulun tan

161
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

mangke ya jugāwasānanta, āpan paripûrṇa ikang brata ginawayakĕn


sadākāla. Hanan pwa mārganta muliheng swarga, tan sangçayan
rahadyan sanghulun kabeh, marya nghulun brahmacarya, ametānakbi
pānaka ni nghulun. Kunang kaharĕp i nghulun strȋ, ikang sanāma paḍa
lāwan ngaran i nghulun, yatanyan tan pratibandha pakurĕn i nghulun.
Yapwan huwus nghulun pakānak, muwaha ta nghulun gumawayakna ng
kabrahmacaryan. Pahalĕbā tāmbĕk rahadyan sanghulun kabeh!’’
Mangkana ling sang Jaratkāru, lumāmpah ta sirāmeta strī
sanāma nira. Kāla nirāu mahas mamet strȋ, sĕḍĕng mahāraja Janamejaya
hañar mastrī, makastrī sang Bhāmuṣṭimān. Samangkana ta kāla nirāu
mahas. Tĕlas kāhasan ikang daçadeça, ndātan polah sira strȋ sanāma
nira. Ndātar wruh ri naya nira māngĕn-angĕn ing deya de sang bapa
hĕntasa sangkeng sangsāra. Manusup ta sireng çûnyāraṇya, anangis
sumāmbe sarwadewatā, sarwabhûta, ling nira:
’’Yāni bhūtāni santīha, janggamāni sthīrāṇi ca, ai sakweh ta
sarwabhūta, sthāwara janggama pinakāwakta, nghulun sang Jaratkāru
ngarangku, brāhmaṇa mahyun mastrī; wehĕn ta nghulun strī sanāma ni
nghulun mangaran Jaratkāru, yan sayogya pānaka ni nghulun, yatanyan
swargā kawitangku.’’
Nāhan tangis sang Jaratkāru, ya tikā karĕngö de nikang nāga
kabeh. I sĕḍĕngayān hārohara kinon de sang Bāsuki ameta brāhmaṇa
mangaran Jaratkāru yatanyan mānaka brāhmaṇa mangaran Jaratkāru,
tarimanānāri nirāri nira nāginī mangaran Jaratkāru, yatanyan mānaka
brāhmaṇāngluputana sangkeng yajña sarpa. Mangkanābhiprāya sang
Bāsuki, karěngö pwa tangis sang Jaratkāru denya. Magirang ta ya,
mājar i sang Bāsuki mangundange sang Jaratkāru tarimananāri nira,
labdhamanohara tāmběk sang Jaratkāru; matang yan mantuk ikā
sang Bāsuki, ḍātěng sira ri pātāla. Winarang ta sira de sang Bāsuki,
pināṇigrahaṇa ta sira saha widhiwidhāna. Sěḍěng nirālunggw ing
çayana, mojar ta sang Jaratkāru ring sira strī:
”Samaya ni nghulun lāwan kita, haywa ta kita mujarakěn tan
menak i kami, nguniweh gumawayakna ng ulah tanyogya! Yapwan
kagaway ikā denta, aryakna ni nghulun kita.”
Mangkana ling sang Jaratkāru ring sira strī, akurěn ta sira. Pira
kunang lawas nirākurěn, kaworan ta sang Nāginī Jaratkāru; katon ta cihna
ning garbhinī de sang swāmi. Aminta ta sira tungguněn aturū, dalihan irān
tinggalakna sira strī. Amalaku sira sinanghulu ring sira strī, ling nira:
”Sanghuluntāku maturū.” Yatna sang strī sumanghulu ri sang
swāmi. Ardha sowe pwa sirāturū, kawěnangan sandhyakālā, tatkāla ni
pamūjā nireng lagi. Māngěn-angěn ta sang Nāginī Jaratkāru, ling nira:
”Sore kāla sang hyang mangke, sěḍěng sira mpu brāhmaṇa
magaway āsthāpanasewana mpu ngkulun; yogya wunguněn pituturana

162
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

tatkāla ni gawe nireng lagi, apan yan angantya patanghya nira, wiṣama
ta sirāgalaka, āpan wědi nirān sepa kāla ning pūjā, nityakarma nireng
bhaṭāra hiḍěp nira.” Winungu nira ta sang swāmi:
”Om mpungku mahābrāhmaṇa, atanghya ta rahadyan
sanghulun! Sandhyākāla mangke mpu ngkulun, pagawayan sanghulun
nityakarma. Nāhan tang kěmbang umaḍang saha gandhākṣata.”
Mangkana ling nirāněhěr musapi muka sang swāmi, matanghi ta
sang Jaratkāru; krodha sumirat söng ning locana, mabāng wadana nira,
sangke göng ni gělěng nira. Ling nira:
”Dhik duṣṭanāginī! atyanta sampenyu kamung nāginī pinakastrī,
wěnanguyu mawara ri paturū ni nghulun. Ayukto maryādaḥ strīnām,
tanyogya maryāda ning strī kadi kamu. Tasmāt aryakna ko dengku
mangke.”
Nāhan ta wuwus nirātehěr tuminggal i sang strī. Yatna ta sang
nāginī, malayū měkul suku sang swāmi:
”Oṁ mpungku, kṣamākna ta maněh rahadyan sanghulun! Tan
sangkeng awamāna ni nghulun, yan pamungu ri rahadyan sanghulun.
Kewalāmengěti rahadyan sanghulun ri pamūjāntāngkěn sandhyā. Salah
pwa ya, matang yan paněmbah pinakanghulun. Yan yogya maluya ...
mpu ḍang hyang! Yan huwus pinakanghulun mānak, ikang lumuputakna
kaḍang ni nghulun, ring yajña sarpa, samangka ta rahadyan sanghulun
gumawaya tapa muwah.”
Nāhan ta ling sang nāginī upaminta kāsih. Sumahur sang
Jaratkāru: ”Atyanta kěnoh ning ulah sang nāginī, mengět kita ri kapūjā
sang hyang těkap ni nghulun, tatkāla ning sandhyākāla. Kuněng tamatan
wěnangkw angowahi ri ujar ni nghulun, ikang tuminggalakna kita. Tatan
adwā sojar ing kadi kami. Kunang kaharěpteku, haywa ta kita sangçaya!
Asti, hana ikānakta. Yatikomaritrāṇana kita dlāha, ri těkā ning yajña
sarpa. Pahalěbā ta manahta!”
Atěhěr lunghā ta sang Jaratkāru, tan wěnang sinayutan sira.
Kāri ta sang nāginī; mājar i sang Bāsuki, an lunghā sang swāmi.
Mājarakěn sawuwus ira sang Jaratkāru, mwang mājar i hana ning isi ni
wětěng nira. Harṣa ta sang Bāsuki ruměngö. Alawas pwekang kāla, mijil
ta rare laki-laki paripūrṇāwayawa. Inaranan ta sang Āstīka, āpan ”asti”
ling sang bapa ngūni. Pinahayu pwa de sang Bāsuki, sinangaskāra kadi
pasangaskāra ning brāhmaṇaparikrama, iniwö inupawīta. Ri wijil sang
Āstīka, samangkana ta sang pitara gumantung i tungtung ing pětung,
měsat mulih mareng pitṛoka, mukti phala ni tapa nira ngūni, makādīkang
warabrata. Matuha pwa sang Āstīka, wěnang mangadhyāya weda. Wineh
ta sira mangajya sarwaçāstra, umāmpil ing Bhṛgupakṣa sira. Mangkana
kacaritan sang Āstīka. Sira ta nimitta ning nāga Takṣaka luput ing
sarpayajña mahārāja Janamejaya.” (Juynboll, 1906: 24-29; Zoetmulder,

163
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

1958: 104-106; Widyatmanta, 1968: 33-40).


(Adalah seorang brahmana bernama Jaratkāru, sebabnya
bernama Jaratkāru, kata cerita jarātikṣayam ity āhuḥ, jarat berarti
keruntuhan, kāruṇikasya tad bhayaṃ, berbudi belas kasihan, selalu
memberi pertolongan kepada orang yang sedang takut, ia sendiri
berbadan menakutkan, sepantasnya ditakuti karena berwatak panglebur
(menghancurkan). Ingatlah ia akan penjelmaan atas dirinya, Jaratkārur
iti smṛtaḥ. Oleh karena itu bernama Jaratkāru, takutlah ia akan
kesengsaraan hidup. Ya ta warakulotpannaḥ, ia putra seorang wiku
terpilih atas ketetapan budinya, dengan rajinnya mengambil butir-butiran
padi yang tersebar maupun yang terletak di jalan, itulah yang dipungut
dan dicucinya. Kalau sudah banyak ditanaknya (dimasaknya) dan
dipergunakan sebagai korban para Dewa, juga dihidangkan kepada tamu.
Demikian ketetapan budi leluhurnya, tiada kelekatan cinta asmara, tidak
memikirkan istri, melainkan bertapa sajalah yang dipentingkan, yang
diajarkannya kesusahan orang bertapa. Ketika Sang Mahārāja Parȋkṣit
berburu yang menyebabkan dikutuk oleh Bhagawan Çṛngi, supaya digigit
Naga Takṣaka, pada waktu itulah Sang Jaratkāru bertapa. Sesudah ia tamat
akan segala mantra, ia diperbolehkan memasuki segala tempat, sampailah
pada tempat-tempat yang dikehendakinya dan berziarah.
Makin jauhlah perginya, sampai pada suatu tempat,
Āyatanasthāna namanya, yaitu tempat di antara sorga dan neraka,
dimana leluhurnya menunggu, adakah ia naik ke sorga ataukah masuk ke
neraka. Āyatanasthāna pada waktu itu dilaluinya. Leluhurnya kedapatan
tergantung pada sebuah buluh (bambu) petung, mukanya tertelungkup,
kakinya diikat, sedang di bawahnya sebuah jurang dalam, jalan ke neraka,
orang akan tepat masuk ke dalamnya, kalau buluh tempaat bergantung itu
putus. Seekor tikus tinggal di dalam buluh di tepi jurang itu, setiap hari
mengerat buku batang buluh.
Hal yang demikian itu terlihat oleh Sang Jaratkāru, berlinang-
linang air matanya, menyebabkan timbul belas kasihannya, hancur
luluh hatinya karena leluhurnya tergantung terbalik di buluh dan diikat
kakinya itu; kemudian Sang Jaratkāru kerasukan (didekati) leluhurnya,
tapasarupa, berpakaian sebagai seorang pertapa,berambut tebal,
berpakaian kulit kayu. Tidak sepantasnya ia menyaksikan kesengsaraan
yang dideritanya,tidak makan, bagaikan sehelai daun yang bergantung,
kering karena musim kemarau, bergantungan tertiup angin, tiada makan
selamanya, demikianlah keadaan leluhurnya.
: ’’Ke bhawanto ’walambante wīraṇastambam āçritāḥ?’’. Seru
Sang Jaratkāru: ’’Apakah sebabnya Tuanku sekalian bergantung di buluh
yang hampir putus oleh gigitan tikus, sedang di bawahnya jurang yang tiada
terduga dalamnya? Perbuatan itulah yang menyebabkan sakit hati hamba,

164
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

kasihan hamba melihat dan hamba akan menolong, tāpasaḥ kṛta balena,
bukankah hamba sudah bertapa sejak kecil, bukankah yang demikian ini
tidak menganggap benar akan tapa hamba sebagai tanggungan, berdosalah
itu, karena hamba melihat kesengsaraan Tuanku. Bila akan memberi
penghargaan akan tapa hamba, supaya Tuan hamba pulang ke sorga untuk
tidak mengetahui kesengsaraan? Atau hamba serahkan seperempat atau
separuhnya saja untuk dapat Tuanku pulang ke sorga’’. Demikian seru Sang
Jaratkāru, terdengarlah oleh leluhurnya. Menjawablah ia, hatinya menjadi
segar bagaikan disiram dengan amṛta, jawabnya: ’’Tapawrata karma
wayam, saya ini engkau tanyai, saya akan katakan keadaan saya semuanya,
umarambham kṛtam karma santānam prekṣayetrato, karena keturunan
kami ini putus. Itulah sebabnya saya pisah dari dunia leluhur, bergantungan
di buluh petung ini, seakan-akan sudah masuk neraka, nyatanya sebatang
buluh saja. Ada seorang keturunan saya bernama Jaratkāru, ia muksa (pergi)
untuk ingin melepaskan ikatan kesengsaraan orang, ia tiada beristri, karena
menjadi seorang brahmacari sejak masih kecil. Itulah yang menyebabkan
saya berada di buluh ini, karena bertapa samadinya .... kepada asrama sang
pertapa. Jikalau putus keturunannya, tiadalah ada buah dari tapanya, karena
pada mulanya senanglah saya, lebih-lebih memilih bratanya. Demikian
yang baru terjadi sekarang, akan ketidak ada keturunan saya, naraḥ
duṣkṛtino yathā, tak ada bedanya saya dengan seorang yang menjalankan
perbuatan hina, seorang yang sudah semestinya mendapat sengsara. Kalau
kiranya engkau belas kasihan kepaada saya, pintalah kasihnya Sang Wiku
Jaratkāru supaya suka berketurunan, supaya saya dapat pulang ke tempat
para leluhur. Katakanlah bahwa saya menderita sengsara, supaya belas
kasihan jugalah ia’’.
Demikianlah kata leluhur itu, maka berlinang-linanglah air mata
Sang Jaratkāru bagaikan tersayat hatinya melihat leluhurnya menderita
susah, kemudian katanya: ’’Saya inilah yang bernama Jaratkāru, seorang
keturunanmu yang gemar tapa, bertekad menjadi brahmacari, kiranya
tiada sekarang juga penderitaanmu berakhir, sebab selalu sempurnalah
tapa yang berlangsung. Adapun kalau itu menjadi jalanmu untuk kembali
ke sorga, janganlah kamu semua khawatir, saya akan menghentikan
kebrahmacarian saya, mencari anak istri. Adapun yang saya kehendaki
istri yang namanya sama dengan nama saya, supaya tiada bertentangan
dalam perkawinan saya. Kalau saya sudah beranak akan menjadi
brahmacari lagi, senangkanlah hatimu”.
Demikianlah kata Sang Jaratkāru, pergilah ia mencari istri yang
senama dengan dia. Pada waktu itu Mahāraja Janamejaya masih mempelai
baru, mengambil permaisuri Sang Bhāmuṣṭimān. Pada waktu itulah ia
Sang Jaratkāru) pergi, semua penjuru sudah dimasukinya, tetapi tiada
didapat istri yang senama dengan dia, tiada tahu apa yang akan dikerjakan,

165
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

maka mencari pertolongan kepada bapaknya supaya dapat menghindarkan


dirinya dari sengsara. Masuklah ia ke hutan sunyi, menangislah ia mengeluh
kepada segala Dewa, kepada semua makhluk, serunya: ’’Yāni bhūtāni
santīha, janggamāni sthīrāṇi ca. Hai segala makhluk, termasuk makhluk
yang tidak bergerak, saya ini Jaratkāru, seorang brahmana ingin beristri,
berilah saya istri yang senama dengan saya Jaratkāru, biarlah saya beranak,
supaya leluhur saya pulang ke sorga’’.
Demikianlah tangis Sang Jaratkāru, terdengarlah oleh para
Naga. Dalam waktu keributan, disuruhnyalah oleh Sang Bāsuki mencari
brahmana yang bernama Jaratkāru tadi, supaya mempunyai anak, akan
diberi adiknya yang bernama Nāginī dan diberi nama Jaratkāru, supaya
beranakkan seorang brahmana yang akan menghindarkan dirinya dari
korban ular. Demikianlah maksud Sang Basuki, ketika mendengar tangis
Sang Jaratkāru.
Senanglah hati para Naga, (mereka) mengatakan kepada
Sang Bāsuki akan memanggil Sang Jaratkāru untuk diberi adiknya.
Gembiralah Sang Jaratkāru karenanya, Naga Bāsuki pun pulang ke patala.
Dikawinkanlah oleh Sang Bāsuki, ditemukan dengan bermacam-macam
upacara. Waktu ia sedang berada di balai-balai, berkatalah Sang Jaratkāru
kepada istrinya, katanya: ’’Perjanjian yang kubuat terhadapmu, janganlah
engkau mengatakan sesuatu yang tidak mengenakkan perasaan, demikian
pula berbuat yang tidak senonoh. Kalau hal itu kau perbuat, engkau akan
kutinggalkan’’. Demikianlah kata Sang Jaratkāru kepada istrinya, lalu
mereka pun hidup bersama. Tiada terkatakan lamanya, terlihatlah ada
tanda-tanda bahwa istrinya hamil. Pada suatu ketika Sang Jaratkāru akan
tidur, minta ditunggui istrinya, karena dikiranya akan ditinggalkan, maka
kepalanya minta dipangku oleh istrinya. : ’’Pangkulah aku selama tidur’’.
Dengan hati-hati istrinya memangku suaminya. Agak lamalah kiranya
sampai waktu senja, waktu pemujaan seperti pada waktu yang sudah-
sudah.
Sang Nāginī Jaratkāru berkata dalam hatinya: ’’Sekarang sudah
petang, waktunya para brahmana menjanjikan korban, Tuanku, baiknya
kiranya dibangunkan, mengingatkan pekerjaan sebagai biasa, karena
kalau menanti sampai Tuanku bangun, takutlah kalau Tuanku marah,
karena akan terlambat waktu pemujaan, dikiranya selalu berbuat demikian
terhadap Batara’’. Maka lalu dibangunkanlah suaminya: ’’O, Tuanku
brahmana besar, bangunlah Tuanku. Sekarang sudah waktu senja, apakah
pekerjaan kami. Inilah bunga yang sudah menantikan dengan bau-bauan
harumnya’’. Demikianlah katanya sambil menyeka muka suaminya.
Bangunlah Sang Jaratkāru dengan marah, bersinar matanya, merah
mukanya karena marahnya. Serunya: ’’Hai Nāginī (Jaratkāru) jahanam!
Sangatlah penghinaanmu sebagai istri, engkau berani mengganggu

166
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

tidurku!’. Ayukto maryādaḥ strīnām. Tidak selayaknya tingkah laku istri


seperti tingkahmu itu. Sekarang engkau akan kutinggalkan’’. Demikianlah
katanya, lalu memandang kepada istrinya. Nāginī mengikutinya, lari lalu
memeluk kaki suaminya.
: ’’O, Tuanku, Ampunilah hamba Tuanku ini. Tidak karena
hinaan hamba membangunkan Tuanku. Tetapi hanya memperingatkan
Tuanku akan waktu pemujaan setiap hari (waktu) senja. Salahlah
kiranya, karena itu hamba menyembah (minta ampun) Tuanku. Baik
kiranya Tuanku kembali ....! Kalau hamba sudah mempunyai anak yang
akan menghindarkan keluarga hamba dari korban ular, sejak itulah
Tuanku boleh bertapa kembali’’. Demikianlah kata Nāginī minta belas
kasihan. Jawab Sang Jaratkāru: ’’Alangkah baiknya perbuatanmu Nāginī,
memperingatkan pekerjaan kepadaku pada waktu senja. Akan tetapi sama
sekali aku tidak dapat mencabut perkataanku untuk meninggalkan engkau.
Tidak mangkir janjilah perkataan seperti aku ini. Akan kehendakmu ini
janganlah engkau khawatir. Asti, anakmu sudah ada. Itulah yang akan
melindungimu kelak pada waktu korban ular. Senangkanlah hatimu!’’.
Sang Jaratkāru lalu meninggalkannya, tidak dapat dirintangi
lagi. Sang Nāginī ditinggalkan, ia lalu mengatakan kepada Sang Bāsuki
tentang kepergian suaminya. Ia mengatakan segala perkataan Sang
Jaratkāru tentang isi kandungannya, yang menyebabkan kegembiraan
Sang Bāsuki. Lamalah waktu berselang, lahirlah seorang bayi laki-laki,
sempurna keadaan badannya, diberinya nama Sang Āstīka, karena ’’asti’’
kata bapanya dahulu. Disambutnyalah oleh Sang Bāsuki akan anak
itu, diberkahi sebagaimana cara seorang brahmana, dipeliharanya dan
diberinya inupawīta (tali brahmana). Ketika Sang Āstīka lahir, pada ketika
jualah leluhur yang bergantungan tersebut lepas dan melayang kembali
ke sorga, mengenyam hasil tapanya dahulu, demikian pula atas tekadnya
yang sudah terpilih. Sang Āstīka pun menjadi tualah, dapat mempelajari
Weda. Diberinya segala macam ilmu mengikuti (langkah) Sang Bhṛgu.
Demikianlah cerita Sang Āstīka. Ia yang menyebabkan Naga Takṣaka
terhindar dari korban ular yang dilangsungkan Mahāraja Janamejaya
(Juynboll, 1906: 24-29; Zoetmulder, 1958: 104-106; Widyatmanta, 1968:
33-40; Padija, 1973: 51-52).

E. Prosesi Sarpayajña Mahārāja Janamejaya


Di dalam Ādiparwa dikemukakan bahwa setelah Uttangka menghadap
Mahārāja Janamejaya untuk memberitahukan bahwa ayah baginda (Mahārāja
Parīkṣit) mangkat karena digigit Takṣaka, maka Mahārāja Janamejaya kemudian
memerintahkan untuk mengumpulkan para Brahmana yang terkemuka, termasuk
Bagawan Kāçyapa yang sempurna mantranya. Bagawan Kāçyapa dahulu pernah
datang ke Hāstinapura untuk membantu Mahārāja Parīkṣit dari ancaman Tatṣaka.

167
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Namun setelah Tatṣaka mengetahui kesempurnaan mantranya, maka ia kemudian


diminta pulang dengan diberi emas manikam dan sebagainya (Juynboll, 1906: 52;
Zoetmulder, 1958: 95-96; Widyatmanta, 1968; 71-72).
Mahārāja Janamejaya kemudian memerintahkan para brahmana untuk
melangsungkan upacara korban ular dengan membuat tungku korban seluas 2
yojana (tonggak/ pal) yang diukur oleh Sang Brahmana serta dimantrai dengan
mantra sakti. Adapun para bhagawān yang ikut serta pada upacara korban tersebut
antara lain adalah Bhagawān Caṇdabhārgawa, anak Bhyawanasthīrahotar yang
membaca Ṛgweda; Bhagawān Koça menyanyikan Sāmaweda; Bhagawān
Janmanikuṇda membaca Atharwaweda; Bhagawān Jyotisinggalāmbāyu membaca
Yajurweda. Adapun pemimpin umum upacara pengorbanan tersebut adalah
Bhagawān Byāsa bersama para muridnya (Juynboll, 1906: 54-55; Zoetmulder,
1958: 107; Widyatmanta, 1968; 76-77; Tedjowirawan, 2004: 12).
Namun dalam korban ular tersebut tanda-tanda ketidaksempurnaan
upacara mulai tampak. Pertama, Brahmana yang mengukur tungku pengorbanan
itu sudah diberitahu oleh suara dari angkasa bahwa kelak korban ular Mahārāja
Jayamejaya akan mendapat rintangan dari seorang Brahmana (aněmwa ng
wighna brāhmana yajña dlāha) (Juynboll, 1906: 54-55; Zoetmulder, 1958:
107; Widyatmanta, 1968: 39). Kedua, adalah perkataan Sang Jaratkāru sebelum
meninggalkan Nāginī Jaratkāru: ”Āstī, hana ikānakta. Yatikomaritrānana kita
dlāha, ri těkāning yajña sarpa. Pahalěbā ta manahta.” (Juynboll, 1906: 28;
Zoetmulder, 1958: 105; Widyatmanta, 1968: 39).
Lukisan suasana korban ular yang sangat mencekam tersebut dilukiskan
sebagai berikut:

Prānanya tan wruh ring dayanya, hanan pawilĕtan lāwan rowangnya,


hanan kasungsang, hanan pangadĕg hanānwam, hanāntuha, tan wandya
pĕjah tumĕmpuh ring Sang Hyang Agni, dumilah mangarab-arab, kadi
sinyukan mināk, de ni wuduk ing nāga upasamudaya. Ndā tanpa samidha
ta kuņda wĕkasan, awak nikang kuņda juga samidhāwak ning nāga
kāngkĕn kayu manibeng agni muntab. Matang yan mangkwāngde jwalita
ning apuy dumilah, asangit ambönya tĕkang nāgaloka. Kumĕtĕr ta Sang
Takṣaka, kawĕnĕsan tan wrin dayanya, mayogan ikī çariranya, kadi
dinudut sinundungakĕn. (Juynboll, 1906: 55; Widyatmanta, 1968: 77).

(Tidak tahu yang akan mereka perbuat. Ada yang berbelitan dengan
temannya, ada yang terbalik, ada yang berdiri, ada yang muda, ada yang
tua, tiada urung mati jatuh ke dalam api yang selalu menyala-nyala bagaikan
disiram dengan minyak karena lemak para naga. Tungku korban tak
memerlukan lagi kayu bakar, tetapi badan para nagalah sebagai kayu yang
jatuh ke dalam api yang menyala-nyala. Oleh karena itu sekarang nyala api
semakin menjadi-jadi, baunya sangit sampai di tempat naga (Nāgaloka).

168
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Gemetarlah Sang Takṣaka, pucat pasi tak berdaya, bergeraklah badannya


seperti ditarik-tarik dan didorong-dorong) (Widyatmanta, 1969: 77).

Nāga Takṣaka yang menjadi sasaran utama korban api tersebut lalu pergi
minta perlindungan pada Hyang Indra. Akan tetapi karena semakin diperhebatnya
mantra para Brahmana maka badan Hyang Indra sendiri seperti ditarik-tarik,
karena naga Takṣaka memegang tepi pakaiannya kuat-kuat. Hyang Indra yang
takut jangan-jangan dirinya sendiri masuk ke dalam tungku api korban itu segera
meninggalkan Sang Takṣaka. Takṣaka pun melayang di angkasa dalam ketakutan
yang sangat, badannya lemas, teriakannya keras bagaikan guntur (kadi gĕrĕh
çabdanya mangohan).
Pada saat-saat itulah Āstīka diminta oleh Sang Hyang Basuki untuk
menghadap Mahārāja Janamejaya untuk mengakhiri korban ular tersebut.
Dengan memuji-muji dan merayu tentang kesempurnaan korban ular tersebut
serta keutamaan Mahārāja Janamejaya maka Baginda terkena hatinya dan akan
mengabulkan semua permohonan Āstīka. Āstīka pun menggunakan kesempatan
tersebut untuk mohon dihentikannya korban api tersebut karena ia sangat kasihan
melihat saudara-saudaranya.
Di dalam Ādiparwa permohonan Āstīka kepada Mahārāja Janamejaya
agar Sarpayajña (Sarpasattra) tersebut dihentikan dapat dilihat pada kutipan
berikut:

Sājñā haji, atyanta paripūrṇa nikang yajña çrī mahārāja, sākṣāt somasya
yajno’pi. Sākṣāt yajña sang hyang Soma, Baruṇasya yajnah, kadi
yajña sang hyang Baruṇa samanya waneh, těkwan sang pinakasadāsya
nikang yajña, bhagawān Kṛṣṇa Dwaipāyana, pinakatasik ning Weda
sira, tan hanāmaḍani wruh nireng haji. Kunang çrī mahārāja Kṛṣṇa
sarwaguṇopetaḥ, sākṣāt bhaṭāra Kṛṣṇa kita, kinahanan ing sarwaguṇa.
”Rāmo yathāstraçāstrawit, bhaṭāra Rāma paḍanta waneh, wruh ta
mangaji sarwāstra.
”Duṣprekṣaṇīyaṁç ça Bhagīrathopamaṁ balaṁ. Sākṣāt mahārāja
Bhagīratha kapawitranta, tātan wěnang tininghalan. Sangkṣepanya,
mahārāja juga wiçwāṣa ning stuti kabeh.”
An-mangkana ling sang Āstīka, kākarṣaṇa ta manah mahārāja
Janamejaya, mogha sira matwang ri sira, ling nira:
”Nāyaṁ bālaḥ sthawiro yaṁ mato me mahāmuni.”
”Ike sang brāhmaṇa měnggěp wāla, tātan rare sira, atuhā ri
hiḍěp ni nghulun, apan de nirānguccāraṇa wedamantra, mwang
sarwamantraçāstrajna ta sira, māsih ta nghulun i sira, mahyun
kami mawehana anugraha sakahyuna nira.” (Juynboll, 1906: 56-57;
Zoetmulder, 1958: 108-109; Widyatmanta, 1968: 78-79)

169
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

(”Daulat tuanku, korban Sri Mahārāja ini sangat sempurna, bagaikan


korban yang diselenggarakan oleh Sang Hyang Soma, bagaikan korban
yang diselenggarakan Sang Hyang Baruṇa, apalagi dalam korban itu ada
juga Bhagawān Kṛṣṇa (Kṛṣṇa Dvaīpayana Vyāsa) yang memiliki segala
macam ilmu, sama keadaannya dengan Bathara Rāma yang ahli dalam
ilmu senjata. Kesucian tuanku bagaikan Mahārāja Bhagīratha tiada dapat
dilihat. Pendek kata hanya Mahārājalah yang menguasai segala macam
pujian.”
Demikianlah kata Sang Āstīka. Hati Mahārāja tertarik kemudian berkata
dengan hormatnya: ”Ini seorang Brahmana yang berganti rupa sebagai
kanak-kanak. Sebenarnya bukan kanak-kanak lagi, tetapi pada hemat saya
sudah tua. Karena ucapannya dalam mantra Weda dan segala macam ilmu
mantra olehnya, saya menaruh kasih kepadanya. Saya akan menganugerahi
apa saja yang dikehendakinya.” (Widyatmanta, 1968: 78-79).

Bagawan Caṇdabhārgawa tidak enak hatinya kalau-kalau korbannya


terhenti, karena ia ingat akan adanya Brahmana yang akan merintangi korbannya.
Karena itu mantranya lalu diperhebat supaya mencari naga yang namanya
Takṣaka sampai ke surga. Pada saat naga Takṣaka melayang di angkasa dalam
ketakutan yang amat sangat, maka tepat sejauh sebatang tombak jaraknya tubuh
naga Takṣaka dari tungku api korban tersebut, Mahārāja Janamejaya mengabulkan
permohonan Āstīka. Takṣaka yang luput dari maut itu pun segera melesat pergi
kembali ke angkasa (Juynboll, 1906: 55-58; Zoetmulder, 1983: 82; Widyatmanta,
1968: 77-81).
Setelah sarpayajña tersebut dihentikan, maka Mahārāja Janamejaya
menganugrahi harta benda kepada Āstīka. Āstīka pun kemudian minta diri untuk
pulang ke Nagaloka. Di sana ia disambut oleh para naga, semua menjemputnya,
demikian pula Sang Bāsuki. Sang Āstīka kemudian disuruh mengajukan
permintaan anugrah kepada mereka. Kata Sang Āstīka:

”Sāyaṁ-prātar ye prasannātmarūpā, loke wiprā mānawā ye pare ’pi,


dharmākhyānaṃ ye paṭeyur mamedam, teṣām yuṣman naiva kiṃcid
bhayam syāt.” (Juynboll, 1906: 58; Zoetmulder, 1958: 111; Widyatmanta,
1968: 81)

Adapun anugerah yang diminta Āstīka kepada para naga adalah bahwa
kalau ada seorang yang selalu menceritakan cerita ini (Āstīka) janganlah para
naga mengancam keselamatan jiwa orang tersebut.
Meskipun upacara korban ular sudah selesai, tetapi ular naga yang mati
terbakar api itu tak terbilang jumlahnya. Hal ini tampak pada kutipan berikut:

170
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Tan wĕnang winilang kweh nikang nāga māti tumibeng kuṇda,


mewwiwu payutārwuda sangkhyānya.
Kunang pinakādinya: wĕka ning Takṣaka, wĕka ning Airāwata, wĕka ning
Korawya, wĕka ning Dhṛtarāṣtra, kapwa kabeh mahāçakti. Yojanasya
tu wistārāh.
Hana sayojana dawā ny awakny, hana rwang yojana dawā ny awaknya
waneh. Saptacīrṣās triçīrṣāçcu. Hana pitu hulunya, waneh tĕlu hulunya
pançaçīrsās tathāpare. Hana lima hulunya waneh. Çatasahasraçah pāta.
Ỹatikā tumibā saka sātus, saka sewu, matang yan tan kawĕnang winilang
kwehnya (Juynboll, 1906: 59; Widyatmanta, 1968: 81-82).

Dari kutipan di atas menggambarkan bahwa jumlah nāga yang mati tak
terbilang banyaknya, beribu-ribu, beberapa wurda jumlahnya. Mereka adalah
anak-anak Takṣaka, Airawata, Korawya, Dhṛtrāstra, semua sangat sakti. Ada yang
panjangnya 1 yojana, 2 yojana, ada yang berkepala 7, ada yang berkepala 3 atau
berkepala 5. Ada yang 100 ekor jatuh bersama-sama, ada yang 1000 ekor jatuh
bersama-sama, karenanya tidaklah terhitung (Juynboll, 1906: 59; Widyatmanta,
1968: 81-82).

F. Mangkatnya Prabu Parikesit (Darmasarana) dalam Sěrat Darmasarana


Di dalam Sĕrat Darmasarana dikemukakan bahwa setelah Prabu Dipayana
memerintahkan pasukannya untuk membantu Prabu Satyaka (Raja Dwarawati)
dari serbuan Prabu Kismaka, putra mendiang Prabu Boma Narakaswara (Raja
Tarajutiksna), Prabu Dipayana bermaksud membuat pagrogolan untuk berburu.
Di sana Baginda kemudian meninggalkan pagrogolan secara diam-diam dengan
maksud memohon kesaktian dari dewa. Dalam perjalanannya, Prabu Dipayana
berjumpa dan meruwat Rĕsi Ardhawalika kembali menjadi Sang Hyang Basuki.
Sang Hyang Basuki kemudian memberikan pelajaran penawar bisa ular, ilmu
untuk menguasai binatang melata, dan memberikan gelar Prabu Yudhiswara.
Prabu Dipayana kemudian bertemu dan meruwat Rĕsi Mrĕgapati kembali menjadi
Sang Hyang Gana yang kemudian memberikan pelajaran ilmu untuk menguasai
berbagai binatang serta memberinya gelar Prabu Mahabrata. Selanjutnya, Prabu
Dipayana bertemu dan meruwat burung garuda menjadi Sang Hyang Sambo
yang kemudian mengajarkan cara menguasai bangsa burung serta memberinya
gelar Prabu Darmasarana. Sesampainya di hutan Bramaniyara, di kerajaan
Gilingwesi Prabu Dipayana berjumpa dan meruwat taksaka (ular) penjelmaan
Dewi Swanyana sewaktu mau menelan Prabu Praswapati (Raja Gilingwesi).
Dewi Swanyana kemudian memberikan pelajaran mengenai olah asmara, antara
lain: asmaragama, asmaranala, asmaratantra, asmaratura, asmaranadha, dan
asmaraturida. Sesampainya di Bengawan Lowaya, Prabu Dipayana dibawa seekor
buaya menghadap Bathara Sindungkara, putra Sang Hyang Ganggastana. Bathara
Sindungkara memperingatkan Baginda bahwa dalam perjalanannya nanti akan

171
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

menemui bahaya. Bathara Sindungkara kemudian mengajarkan cara menguasai


berbagai binatang air. Di dalam pengembaraan mencari ilmu itu, Prabu Dipayana
berjumpa dengan para putri, yaitu 1) Dewi Sritatayi, putri Prabu Praswapati (Raja
Gilingwesi); 2) Dewi Niyata, putri Prabu Sayakesthi (Raja Mukabumi); 3) Ken
Satapa, putri Begawan Sidhiwacana; dan 4) Endang Sikandhi, putri Begawan
Sukandha.
Pada waktu itu, sepeninggal Prabu Dipayana, kerajaan Ngastina diserbu
Prabu Niradhakawaca, raja Ima-Imantaka. Prabu Niradhakawaca adalah anak
Prabu Niladatikawaca, cucu Prabu Niwatakawaca. Dalam pertempuran yang
sangat dahsyat, dengan licik Prabu Niradhakawaca berhasil memperdaya
dan membunuh Bagawan Baladewa. Sang Hyang Narada kemudian turun
untuk memberitahukan dan memerintahkan Prabu Dipayana untuk meminta
bantuan kepada Rĕsi Gurundaya di Gunung Nirma untuk mengalahkan Prabu
Niradhakawaca. Rĕsi Gurundaya kemudian mengeluarkan Bĕsi Adnyana dari
dadanya dan besi itu kemudian kembali sambil membawa Bĕsi Aji yang keluar
dari pucuk lidah Prabu Niradhakawaca. Karena kekuatannya telah berkurang
maka Prabu Dipayana akhirnya dapat menghancurkan Prabu Niradhakawaca dan
pasukannya.
Tidak berapa lama kemudian Prabu Dipayana melangsungkan perkawinan
dengan Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi Satapa, Dewi Sikandhi dan Dewi
Grendi. Selanjutnya Dewi Sritatayi diubah namanya menjadi Dewi Gentang;
Dewi Niyata menjadi Dewi Impun; Dewi Satapa menjadi Dewi Tapen; Dewi
Sikandhi menjadi Dewi Puyengan; serta Dewi Grendi menjadi Dewi Dangan.
Pada suatu ketika, para istri Prabu Dipayana itu melahirkan putra. Dewi Gentang
berputra Dewi Tamioyi; Dewi Impun berputra Dewi Yodi; Dewi Tapen berputra
Raden Yudayana; Dewi Puyengan berputra Raden Ramayana sedangkan Dewi
Dangan berputra Raden Ramaprawa.
Setelah Raden Yudayana dewasa, Prabu Dipayana memerintahkannya
untuk mengembara guna berguru mencari ilmu. Sepeninggal Raden Yudayana,
keempat adiknya, yaitu Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata,
dan Raden Warabasata, menyusul kakaknya itu, tetapi mereka berselisih jalan.
Dalam perjalanan ke Gunung Manikmaya, Raden Yudayana tersesat di
jalan. Sesampainya di hutan Tibrasara, Raden Yudayana berjumpa dan meruwat
seekor harimau dan seekor naga penjelmaan Sang Hyang Kamajaya dan Dewi
Ratih. Sang Hyang Kamajaya kemudian menganugerahkan panah Sarotama serta
mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan dan jaya kawijayan. Selanjutnya, Raden
Yudayana menolong Dewi Gendrawati, putri Prabu Gandaprawa (raja Gandara)
yang diculik oleh Swagotara, putra Srubisana. Raden Yudayana kemudian pergi ke
Gunung Manikmaya dan berguru kepada Resi Sidhikara. Di sana ia mendapatkan
pelajaran ilmu jaya kawijayan, guna kasantikan, dan ilmu kesempurnaan.
Perjalanan Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan
Raden Warabasata pun tersesat. Mereka sampai di pertapaan Gunung Sadhara

172
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

dan bermaksud mau berguru kepada Dhang Hyang Suwela. Dhang Hyang
Suwela baru bersedia menjadi guru mereka setelah putra Ngastina itu membunuh
Resi Sidhikara di Gunung Manikmaya. Keempat putra Ngastina pun segera ke
Manikmaya sambil mengamuk dan membunuh para murid Resi Sidhikara. Raden
Yudayana segera menjumpai dan menyadarkan keempat adiknya itu bahwa mereka
telah diperdaya musuh. Rĕsi Sidhikara pun kemudian mengajarkan berbagai
ilmu kepada keempat adik Raden Yudayana. Setelah selesai, mereka bermaksud
menuntut balas dengan menyerbu Gunung Sadhara sehingga banyak siswa Dhang
Hyang Suwela terbunuh. Sewaktu Dhang Hyang Suwela mau melarikan diri dari
tangan Resi Sidhikara, ia tewas terkena panah Sarotama yang dilepaskan Raden
Yudayana. Kemudian Raden Yudayana bersama adik-adiknya serta Resi Sidhikara
pulang kembali ke Ngastina.
Pada suatu ketika, Prabu Dipayana mengawinkan Raden Yudayana
dengan Dewi Gendrawati. Empat puluh hari dari perkawinan mereka Dewi
Gendrawati melahirkan putra bernama Raden Gendrayana. Sewaktu menimang-
nimang cucunya itu, Prabu Gandaprawa menyatakan bahwa Raden Gendrayana
adalah penjelmaan Trimurti, yakni keturunan Prabu Brahmaniyuta (Prabu
Brahmanaraja), putra Sang Hyang Brahma (Raja Gilingwesi); keturunan Raden
Srigati (Prabu Sri Mahapunggung), putra Sang Hyang Wisnu (Raja Purwacarita),
dan keturunan Raden Srinanda (Prabu Basurata) putra Sang Hyang Wisnu (raja
Wirata). Prabu Gandaprawa kemudian meriwayatkan leluhurnya sampai lahirnya
Raden Gendrayana. Prabu Dipayana pun memerintahkan Empu Kawiswara untuk
membacakan riwayat hidup leluhurnya berdasarkan kitab Jitapsara yang menjadi
pegangan raja. Adapun riwayat tersebut dimulai dari Raden Kaniyasa (Rĕsi
Manumanasa), Resi Sakutrem, Bathara Sakri, Resi Parasara, Bagawan Abyasa,
Prabu Pandhudewanata, dan para Pandhawa. Diceritakan pula kisah perselisihan
Resi Parasara dengan Prabu Santanu (raja Ngastina) sampai diserahkannya
kerajaan Ngastina kepada Resi Parasara. Resi Parasara kemudian menyerahkan
kerajaan Ngastina kepada Begawan Abyasa sampai akhirnya kerajaan Ngastina
diwariskan kepada Prabu Dipayana. Prabu Dipayana kemudian berputra Raden
Yudayana, dan Raden Yudayana kemudian berputra Raden Gendrayana.
Pada suatu ketika, Resi Gurunadi menghadap Prabu Dipayana dan
melaporkan bahwa istrinya Dewi Nawangsasi bermaksud muksa. Maksud Dewi
Nawangsasi itu tidak dapat dicegah, bahkan ia pun menceritakan kemegahan serta
kemuliaan surga kepada Baginda. Ia bermaksud ikut menari bersama para bidadari
lainnya dalam pesta pora di kadewatan. Dewi Utari tergiur untuk mengikuti
keinginan Dewi Nawangsasi agar ia segera berkumpul dengan suaminya Arya
Abimanyu dan Siti Sundari. Akhirnya, Prabu Dipayana, Resi Gurunadi dan Resi
Gurundaya bersama istri-istri mereka bermaksud muksa bersama-sama.
Di dalam Sěrat Darmasarana, keinginan Dewi Nawangsasi untuk muksa
yang kemudian diikuti oleh Dewi Utari, Prabu Dipayana, Resi Gurunadi dan Resi
Gurundaya bersama istri-istrinya, seperti dikemukakan di atas dapat dilihat pada

173
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

kutipan berikut:

Dèwi Nawangsasi lajěng umatur ring nata malih sarya karya samudana
amrih suka pirěnanipun Prabu Dipayana miwah Dèwi Utari. Aturipun:
”Dhuh pukulun ing sayěktosipun atur kawula ing paduka saking kumacèlu
kula umarěk ing rama paduka tuwin éyang-éyang paduka sadaya. Ing
taun punika sami sinéwaka para déwa, bathara, jawata wontěn ing
swarga, sarta sakalangkung sami mukti wibawanipun saksat Sang Hyang
Suksmakawěkas, lěnggah ing ngamparan kancana tinatur rěngga ing nawa
rětna, anjěněngi para déwa ingkang sami lénggotbawa.” Prabu Dipayana
amangsuli kayungyun arsa uninga ing tandhanipun. Dèwi Nawangsasi
matur sandika. Nuntěn Prabu Dipayana ingaturan tuměnga ing akasa, Sang
Nata tan lěnggana, lajěng tuměnga. Yata kawasaning widadari dènnya
karya pamangsuling tingal sami sanalika datan kawistara. Kala samantěn
Prabu Dipayana sarěng tuměnga ing ngawiyat lajěng uninga dhatěng
ingkang éyang-éyang miwah ingkang rama, sami pinarak ing ngamparan
kancana, pinatik ing sosotya mulya ingayap para déwa, katingal kadi
satataning arsa suka-suka wontěn ing swarga, tuwin ingkang ibu Dèwi
Utari miwah ingkang wontěn ing ngarsa nata inggih sami tumut tuměnga
aningali ing ngawiyat. Sadaya sami angungun asmu suka, dènira para
luluhuripun sami kapanggih mulya. Ing ngriku Dèwi Utari sarěng uninga
dhatěng ingkang raka Sang Arya Abimanyu katingal lěnggah ngamparan
kancana sarimbit lawan Dèwi Siti Sundari, těmah karanta-ranta dadya
mundhut lilah dhatěng ingkang putra yèn arsa tumut muksa dhatěng
Sang Dèwi Nawangsasi. Prabu Dipayana sangsaya ribět ing galihipun,
dènnya lagya angamběngi karsanipun Dèwi Nawangsasi dèrèng kandhěg
ing mangké kawěwahan ingkang ibu dawuh arsa muksa, marma sangsaya
sangět ing sungkawanipun. Rèhning ajrih angamběngana ing karsanipun
ingkang ibu, dangu-dangu pinupus papasthèning Déwa, malah lajěng
apirěmbagan kaliyan Rěsi Gurunadi miwah Rěsi Gurundaya, yèn Sang Nata
tumutur kamuksaning ibu. Sang Rěsi kalih matur nuhun badhé andhèrèk
muksa pisan. Yata Patih Dwara, Patih Danurwédha (Danurwénda) sami
matur amamběngi ing karsa nata, ananging sampun botěn kénging, nuhun
lilah badhé andhèrèk muksa, botěn kalilan. Kyana patih kakalih langkung
ajrih těmah tumungkul sarya karuna. (Sěrat Darmasarana hal. 273-275;
Sěrat Darmasarana II hal. 34-35)

(Dewi Nawangsasi kemudian berkata lagi kepada raja dengan manis agar
membuat senang Prabu Dipayana serta Dewi Utari. Katanya:” Duh Pukulun
(Tuanku) sesungguhnya kata hamba kepada Paduka itu hanya ingin sekali
hamba untuk menghadap ayahanda Paduka serta eyang-eyang Tuanku.
Pada tahun ini semua para Dewa, Batara, Jawata pada menghadap di sorga,

174
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

serta semua hidup dengan senang, bagaikan Sang Hyang Suksmakawekas,


duduk di singgasana kencana yang diukir dengan intan permata,
menyaksikan para Dewa yang pada menari”. Prabu Dipayana menjawab
bahwa Baginda tertarik ingin melihat tanda-tandanya. Dewi Nawangsasi
menjawab bersedia. Kemudian Prabu Dipayana dimohon memandang ke
angkasa, Sang Raja tidak menolak, kemudian memandang ke angkasa.
Karena kekuasaan bidadari di dalam membalikkan mata (penglihatan)
sehingga tidak kelihatan (karena cepatnya). Pada waktu itu ketika Prabu
Dipayana memandang ke angkasa, kemudian melihat eyang-eyang serta
ayahandanya, semua duduk di singgasana kencana, yang diukir oleh emas
permata, dihadap para Dewa, terlihat seperti persiapan akan bersenang-
senang di sorga. Dewi Utari dan yang sedang di hadapan raja pun ikut
memandang ke angkasa. Semuanya heran bercampur senang, karena
leluhurnya menemui kebahagiaan. Pada waktu itu Dewi Utari setelah
melihat suaminya, yaitu Sang Arya Abimanyu duduk di singgasana emas
berdampingan dengan Dewi Siti Sundari, mengakibatkan sedih hatinya
sehingga minta ijin kepada putranya (Prabu Dipayana) bahwa ia ingin
mengikuti Dewi Nawangsasi untuk muksa. Prabu Dipayana semakin
susah hatinya, sebab baru saja menahan keinginan Dewi Nawangsasi
(untuk muksa) belum selesai, sekarang ditambah ibundanya pun ingin
muksa, karena itu semakin sedih hatinya. Oleh karena takut menghalangi
keinginan ibundanya, lama-kelamaan berserah diri kala hal itu sudah
menjadi kepastian (takdir dari) Dewa. Prabu Dipayana bahkan kemudian
berbincang-bincang dengan Resi Gurunadi dan Resi Gurundaya, bahwa
Sang Nata akan mengikuti ibundanya untuk muksa. Kedua Resi pun
mohon diijinkan menyertai Baginda untuk muksa sekalian. Pada waktu
itu Patih Dwara dan Patih Danurwedha (Danurwenda) berkata menahan
kehendak Raja, akan tetapi sudah tidak dapat dihalangi, kedua (Patih)
itu bermaksud ikut muksa, tidak diijinkan. Kedua Patih itu sangat takut
akhirnya menundukkan kepala seraya menangis).

Patih Dwara kemudian menyarankan Prabu Dipayana bahwa sebelum


muksa hendaknya meneladani para leluhur (Pandawa) untuk melakukan perjalanan
keliling keluar kerajaan seraya mengkaji makna ajaran Sastrajéndra Hayuningrat.
Hal itu perlu dilakukan agar Prabu Dipayana di dalam mencapai muksa bisa tepat.
Saran Patih Dwara tersebut tersurat di dalam Sěrat Darmasarana seperti dalam
kutipan berikut:

Patih Dwara matur ing nata: ”Dhuh pukulun, mugi kauningana ing
jěng padukéndra. Kala éyang-éyang paduka ing nguni, dumugi éyang
paduka nata Pandhawa, punika saběn badhé muksa mawi miděr-miděr
dhatěng sajawining nagari, sinambi araraosan salwiring Sastrajéndra

175
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Hayuningrat, kaliyan sarana miminta ing saangsal-angsalipun, kadaměla


mumulèning kamuksanipun. Sampun kala kina pisan saběn badhé muksa
makatěn lalampahanipun. Manawi kasambadan ing karsa paduka
prayogi angluluri lampahing luluhur ingkang sampun minulya pukulun.
Watěkipun botěn dhawah sangsaya ing dělahan, ananging tědhak paduka
miděr-miděr punika mugi karsaa anamur kimawon, sampun běkta para
wanudya supados gancanga ing lampah.” Yata Prabu Dipayana dupi
amiyarsa aturing Patih Dwara ingkang makatěn wau dahat panuju ing
galih. (Sěrat Darmasarana hal. 281-282; Sěrat Darmasarana II hal. 38)

(Patih Dwara berkata kepada Raja:” Duh Pukulun (Tuanku), hendaknya


diketahui oleh Paduka Raja. Ketika eyang-eyang Paduka dahulu, sampai
eyang Paduka Raja Pandawa, setiap akan muksa itu dengan (sarana)
berjalan berkeliling ke luar kerajaan, seraya memperbincngkan semua
isi Sastrajendra Hayuningrat, dengan sarana meminta sedapat-dapatnya,
yang dipakainya sebagai sarana menghormati leluhur untuk (bekal)
muksanya. Sudah sejak dahulu setiap akan muksa demikian itu jalannya.
Apabila terjadi seperti yang diharapkan dengan kehendak Paduka,
sebaiknya melestarikan perjalanan (suci para) leluhur yang sudah bahagia
(sejahtera) Tuanku. Watak (sifatnya akan) tidak jatuh sengsara di alam
baka (akherat), akan tetapi di dalam berjalan keliling tersebut Tuanku
hendaknya dilakukan dengan menyamar saja, jangan membawa serta
para wanita supaya cepatlah di dalam perjalanan. Pada waktu itu, setelah
Prabu Dipayapana mendengar kata-kata Patih Dwara yang demikian itu,
Baginda sangat setuju di dalam hati).

Prabu Dipayana kemudian mengangkat Raden Yudayana menjadi raja


di Ngastina untuk menggantikan kedudukannya. Prabu Dipayana kemudian
mengajarkan ilmu tentang tata pemerintahan negara kepada Prabu Yudayana,
Patih Dwara, dan Patih Danurwedha. Ajaran Prabu Dipayana tersebut meliputi (a)
Panca Pratama ‘ilmu keutamaan’ seorang raja yaitu 1) Mulat. 2) Lila, 3) Miluta,
4) Malimarma, dan 5) Palimarma dan (b) Panca Guna sebagai bekal mengabdi
yang mencakup 1) Rumĕksa, 2) Rumanti, 3) Rumasuk, 4) Rumĕsĕp/ Rumakĕt, dan
5) Rumangsa.
Setelah perlengkapan upacara untuk muksa siap, Prabu Dipayana
memerintahkan Patih Dwara dan Patih Danurwedha agar memberitahukan
kepada rakyat Ngastina bahwa mereka yang merasa telah disakiti dan dilukai
oleh Baginda berhak membalas. Di dalam Sěrat Darmasarana hal itu diuraikan
sebagai berikut:

Mangkana pangandikanipun Prabu Dipayana: ”Hé Kakang Dwara


lan Kakang Danurwédha, rèhning ingsun wus piněsthi těkaning yaman

176
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

kawěkasaningsun kaya-kaya wus tan bisa bali bamban manèh, dadi


ingsun karsa andhawuhaké kautamaningsun supaya aywa maksih tinggal
cacading pocapan. Payo kakang sira lawan sakawulaningsun gung
alit ing Ngastina kabèh, sapa kang wus ingsun pilara sarana gěgěbug
sarta ingsun pilara ing sabda, apa déné kang padha ingsun pialani
ing salawas-lawasé, iku ing saměngko padha ingsun lilani malěsa
marang ingsun aywana kang wigah-wigih, nadyan yèn ana kang ingsun
tatoni iya pada amalěsa anatoni, aywa ana kang sandéya awit wus
dadya karsaningsun pribadi.” Patih Dwara miwah Patih Danurwédha
sakancanipun langkung angungun dènnya miyarsa pangandika nata
ingkang makatěn wau. Dangu-dangu sami angaturakěn pějah gěsang
rèhning botěn angsal běběnduning nata ingkang tanpa karana. ”Nadyan
makatěna pukulun, saèstunipun inggih sami botěn pisan-pisan yèn
cipta anggarantěs saměndhang, botěn langkung salamènipun amung
sami nědya suka sumungkěm kéwala.” Prabu Dipayana dawuh měksa-
měksa. Aturipun Sang Nayakawaktra: ”Dhuh pukulun, manawi makatěn
ingkang dados karsa paduka inggih sandika. Ananging rèhning sampun
kapěngkěr babasanipun angintěn dèrèng kinantěn, punika wawalěsipun
inggih kènděl kimawon wontěn ing babatosan kimawon, dados sami
pakantukipun.” Prabu Dipayana panuju ing karsa. Yata wontěn
cobaning Hyang Suksmakawěkas, anyoba kasantosaning nata linuwih.
Jlěg wontěn tatsaka tanpa sangkan marěk ing ngabyantara nata tingkah
kadya anoraga mamrih sinabdan. Prabu Yudayana lawan sagunging
wadyabala langkung kagyat miré, dupi arsa pinarwasa, sang Tatsaka
matur angrěrěpa: ”Dhuh dhuh sang Kismara nata, kang satuhu mangka
pandam pangaubaning jagad wiryawan, mugi sampun nangsojèng ulun
kula dédé kalamurka, botěn sědya badhé sikara budi, amung kědah
badhé mangastuti ingkang muksanipun rama paduka naréndra kéwala.”
Prabu Yudayana kènděl sawadyanipun. Prabu Yudayana langkung
ngungun dènnya miyarsa wuwusipun sang Daksakéndra dadya asru
pangandikanipun maring putra: ”Dhuh dhuh yoganingsun kaki prabu,
aywa sira padha amisésa maring tatsaka, hèh hèh titah ingsun kang
basa uni, dapur tatsaka, apa sira déné rukrami amurang tingkah tanpa
subasita, aparipaksa asumiwi maringsun, yèn ana karsaa wigati payo
matura aja taha-taha.” Aturipun sang tatsaka: ”Dhuh pukulun sang
amběg sadu digdaya paramarta ing kaswasih sarta kang waskitha
sarèhing dumadi, sarèhipun kula adrěng sumiwi ing ngarsa paduka
naréndra punika, kawula dédé sarpa sok sarpaa, mugi kauningana yèn
kawula punika těbih-těbih taksih trahing Sang Hyang Anantaboga, wasta
kula saking pasěbutaning tiyang sami winastan Taksakaraja kémawon.
Déné ingkang dados gěpahing pasowan kula punika pukulun, sarěng
kula amiyarsa dhawuh kautaman paduka, singa kang sinikara kalilang

177
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

malěs anyikara, singa ingkang pinisakit, punika ingkang ndadosakěn


manah kawula, saupami kawula angèstokna dhawuh paduka ingkang
makatěn wau kados pundi pětanipun, kaliyan botěn pisan-pisan gadhaha
cipta ingkang samantěn. Papa cintraka ingkang kawula lampahi pějah
punapa ingkang kawula panggih dèntěn ingkang dados karananipun
atur kawula punika aming ugi kawuningana kémawon pukulun, manawi
sampun kauningan sampun prasasat sampun atur pamalěs kula, makatěn
purwanipun nguni. Sang Hyang Basuki mindha pandhita, martapèng
wontěn wukir Agra, panjěněngan paduka nandukakěn duduka ngagěm
kita bhujangga gěgělang sarpa, jujuluk Rěsi Ardawalika, nuntěn paduka
binuncang ing déwa jěngkar saking pagrogolan, dupi rawuh wukir Agra
panjěněngan paduka nandukakěn běběndu, Rěsi Ardawalika wau lajěng
ginoco ing wangkingan těmah sirna dalah sawarnining sarpa sadaya
dados malih wangsul Sang Hyang Basuki malih. Sasampuning paring
piwulang dhatěng padukéndra, Sang Hyang Basuki lajěng muksa dhatěng
ing kahywanganipun dèntěn sarpa ingkang dados bibinggělipun sang
Rěsi Ardawalika kala rumiyin punika sajatosipun inggih kawula pukulun,
malah nalika těmpuhing katga paduka dhatěng sang Rěsi Ardawalika
ngantos mbarabat pěthit kawula kalampahan pugut pucukipun sakědhik
sapriki taksih bubuntungan kémawon pukulun, ananging botěn pisan-
pisan dados pamanah kawula, malah kawula badhé atur prayoginipun
dhatěng panjěněngan paduka. Dèntěn marginipun kawula sagěd mulya
mantuk kahananing kalanggěngan kawula saking panjěněnganipun ing
paduka.” Ing ngriku Prabu Dipayana èngět ing galih, nulya ngandika
èsmu ngrěrěpa, sang Prabu Dipayana: ”Hèh mitraningsun Taksaka
Raja, sira aminta aksamanira rèhning nguni ingsun katambuhan nguni
iya iku éling-éling yèn amběging taruna těmah tan wruh ing subasita,
saliring kawruh ingkang utama marma ing měngko ingsun minta aksama,
awit saka pangrasaningsun iya iku prasasat wus minta lara ing sira,
yèn mangkana prayoga, malěsa ingsun aywa rangu-rangu, marga wis
tanpa rěrégong, rangu-rangu lawan aywa sandéya, rèhning wus dadya
karsaningsun pribadi.” Mangkana sang Taksaka Raja dahat lěnggana,
nanging piněksa-pěksa dadya matur nyagahi: ”Dhuh pukulun, Kanjěng
Déwaji kang waskitha dumunung ing pramana, manawi makatěn kang
dadya karsa paduka inggih kawula sandika nglampahi karsa napa
ingkang pinasthi karsané déwa, ananging rèhning amung kabarabat
pucukipun pěthit sakědhik dados kawula kalilana andilat pucukipun
darijining pada paduka dados satimbangan kémawon pukulun, manawi
pangraosing manah kawula bangsa manungsa punika ingkang mangka
pakuwatanipun ing angga amung sukunipun, dèntěn manawi bangsaning
sarpa ingkang mangka pakuwatan wontěn ing pěthitipun, mila atur
kawula wau ugi sampun titimbangan kémawon pukulun.” Prabu

178
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Dipayana langkung suka, sang Taksaka Raja lajěng dhinawuhan majěng


andilat darijining pada, matur sandika sigra mangsah mangarsa. Ing
ngriku Prabu Dipayana dupi sampun kadilat déning sang Taksaka Raja,
sanalika lajěng anyipta pangracuting angga, anggělarakěn pangrakiting
dumugi saking sarira tunggal-tunggaling jati wisésa, waskitha tanpa
sasamar marang sasmitaning ngona purbaning urip, ingkang garwa
titiga miwah ingkang ibu sigra cinipta sarěng muksa sami sanalika. Sang
Taksaka lajěng sirna tanpa karana. Ing ngriku Rěsi Gurundaya tuwin Rěsi
Gurunadi lan Rětna Nawangwulan dupi uninga yèn sang nata sampun
uninga yèn muksa, gugup samaptaning karya sigra amuntu karsa musthi
kamuksanipun, botěn dangu lajěng muksa pisan. Ing ngawiyat wontěn
swara juměgur ngèběgi jagad tanda sampurnaning kamuksan. Kala
samantěn taksih salěběting mangsa Sétra. Yata wau Prabu Yudayana
tanapi para nayaka ing Ngastina sadaya sarěng miyarsa swaraning
ngawiyat juměgur ngèběgi buwana, cipta ingkang rama lan kang ibu
sampun sami muksa, sang nata langkung sungkawa ing ndriya dahat
karanta-ranta, těmah amijil kang waspa, sruning tikbra mita wiragé,
sigra lumuntur saking palěnggahanipun mèh supé purwa duksina. Patih
Dwara lan Patih Danurwédha sakancanipun para punggawa sarěng
uninga sang nata lumuntur saking dhampar kancana énggal samya
arompa sarywa karuna gumuruh sarta biněkta kondur dhatěng pancaniti
liněnggahakěn dhampar malih. Patih Dwara taksih ngingimur, murwèng
sabda pangrapu basa. Dupi lipur sawatawis katon tandhaning katarima
kamuksané nata linuwih, prapta punang warsa sěkar adrěs mawa ganda
arum amrik angambar kadi angěngimur sang kataman kung amrih
lipuring dhuhkita, sak panangkilan srěng sak sirěping warsa sěkar. Prabu
Yudayana ngandika dhatěng Patih Dwara tuwin Patih Danurwédha:
”Hèh uwa patih kalih pisan, yèn mangkana kamuksané rama aji dudu
kamuksané pribadi, tětěpé saka wisayané sarpa déné tanpa karana.”
(Sěrat Darmasarana hal. 309-313; Sěrat Darmasarana II hal. 51-54).

(Demikianlah sabda Prabu Dipayana: ′′Hai kakang Dwara dan kakang


Danurwedha, karena saya sudah ditakdirkan sampai pada zaman
terakhir (kematian) saya, sepertinya sudah tak dapat kembali memulai
lagi, karena itu saya hendak mengungkapkan keutamaan saya, supaya
kekurangan (keburukan) saya jangan ada yang tertinggal (sehingga)
menjadi pembicaraan. Mari kakang engkau dan seluruh rakyat saya, yang
besar maupun yang kecil di Ngastina semua, siapa yang sudah saya sakiti
dengan pukulan serta sakiti lewat kata-kata, apalagi yang sudah saya
(perlakukan) dengan jahat (saya celakakan) selama-lamanya, sekarang
kini semua saya ijinkan untuk membalas kepada saya, jangan ada yang
ragu-ragu, meskipun jika ada yang saya lukai, ya boleh bersama-sama

179
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

membalas melukai, jangan ada yang khawatir (ragu-ragu), karena itu sudah
menjadi kehendak saya pribadi′′. Patih Dwara dan Patih Danurwedha
dan kawan-kawannya (penggawa) sangat heran karena mendengar
sabda Raja yang demikian itu. Lama-kelamaan keduanya menyerahkan
hidup matinya sebab tidak memperoleh kemurkaan Raja yang tanpa
sebab. : ′′Meskipun demikian Pukulun, sesungguhnya semuanya tidak
sekali-kali memiliki pikiran pilu sedikitpun, tidak lain selamanya
semua hanya akan senang berbakti”. Prabu Dipayana memerintahkan
dengan memaksa-maksa (untuk membalas). Sang Nayakawaktra (Patih)
berkata: ′′Duh Pukulun, apabila memang demikian yang menjadi
kehendak Paduka, baiklah. Akan tetapi karena sudah kejadian dahulu
peribahasanya “mengira belum tentu”, pembalasannya itu ya diam saja,
ada di dalam hati saja, karena itu sama-sama mendapatkan (adil) ′′.
Prabu Dipayana setuju (pendapat) itu. Pada waktu itu ada cobaan dari
Hyang Suksmakawekas, untuk mencoba kesentosaan Raja yang utama.
Tiba-tiba ada ular tanpa diketahui datangnya menghadap di hadapan
Raja, sikapnya seperti menghormat agar disapa. Prabu Dipayana dan
semua bala tentara sangat terkejut (dan) menyisih, ketika akan dipaksa
(diserang), Sang Taksaka berkata meminta belas kasihan: ′′Duh-duh Sang
Kismara Nata, yang sungguh menjadi pedoman (pegangan) perlindungan
seisi jagad, hendaknya jangan menduga saya bukan binatang jahat,
tidak bermaksud akan berpikiran berbuat lalim (aniaya), hanya ingin
sekali menyembah memuji muksanya ayahanda Paduka Raja saja. Prabu
Yudayana bersama bala tentaranya berhenti (menahan diri). Prabu
Dipayana sangat heran sewaktu mendengar kata-kata Sang Raja Ular
tersebut sehingga sabdanya keras kepada putranya (Prabu Yudayana):
′′Duh-duh anakku kaki prabu, jangan kamu menyiksa pada ular tersebut,
hai rakyatku yang dapat berbicara, yang berwujud ular, apakah sebabnya
engkau dengan perilaku salah tanpa tata krama, memaksakan diri
menghadap kepadaku, jika ada keperluan penting ayolah katakan jangan
ragu-ragu.′′ Kata Sang Ular (Naga): ′′Duh Pukulun yang berwatak suci,
sakti, pengampun dan berbelas kasih serta yang waskitha terhadap semua
makhluk, Alasan hamba sangat ingin menghadap ke hadapan Paduka
Raja ini, hamba bukan ular biasa, hendaknya diketahui bahwa hamba ini
meskipun jauh masih keturunan Sang Hyang Anantaboga, nama hamba
dari sebutan yang diberikan orang-orang adalah Taksaka Raja. Adapun
yang menjadi keinginan hamba yang terburu-buru menghadap Pukulun,
karena hamba mendengar sabda (perintah) keutamaan Paduka, bahwa
siapapun yang dianiaya boleh membalas menganiaya, siapa yang disakiti
boleh membalas menyakiti, hal inilah yang menjadikan hati hamba,
apabila hamba menuruti perintah karena sabda Paduka yang demikian
itu bagaimana perwujudannya (pelaksanaannya), dan lagi hamba tidak

180
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

sekali-kali punya pikiran yang demikian itu. Papa kesengsaraan apa yang
akan hamba jalani, kematian apa yang akan hamba temui, adapun yang
menjadi sebab hamba berkata demikian itu hanya untuk diketahui oleh
Paduka saja. Apabila sudah diketahui sudah seperti hamba membalas,
demikianlah pada permulaannya dahulu. Sang Hyang Basuki menyamar
sebagai pendeta, bertapa di Gunung Agra, Paduka Raja menjadi marah
karena Pendeta mengenakan mahkota dan gelang tangan berupa ular,
dengan menamakan diri Resi Ardhawalika, kemudian Paduka seperti
dibuang Dewa meninggalkan pagrogolan, sesampainya di Gunung
Agra, Paduka marah, Resi Ardhawalika tersebut kemudian Paduka tikam
pinggangnya sehingga tewas, selanjutnya segala ular kembali berwujud
Sang Hyang Basuki. Setelah memberi pelajaran kepada Paduka Raja,
Sang Hyang Basuki kemudian lenyap kembali ke kahyangan, adapun ular
yang menjadi gelang kaki Resi Ardhawalika dahulu sebenarnya hamba
Pukulun, bahkan ketika ditikam dengan keris Paduka kepada Sang Resi
Ardhawalika sampai merembet (menyerempet) pethit (ekor) hamba,
seketika terpotong sedikit pucuknya, sampai sekarang masih terpotong
Pukulun. Akan tetapi sama sekali tidak menjadi pemikiran hamba, bahkan
hamba akan memberikan saran yang baik kepada Paduka tuanku. Dari
jalannya (sebabnya), hamba dapat bahagia kembali ke keadaan kematian
hamba dari Paduka.′′

Pada waktu itu Prabu Dipayana teringat dalam hatinya, kemudian berkata
seraya meminta belas kasih, kata Prabu Dipayana: ′′Hai saudaraku,
Taksaka Raja, saya meminta maaf karena dahulu saya tidak tahu.
Karena sebagai watak orang muda, sehingga tidak mengetahui sopan
santun, segala pengetahuan tentang keutamaan, karena itu saya minta
maaf, karena menurut perasaan saya sepertinya saya sudah membuat
kamu sakit, karena itu sebaiknya engkau membalas kepada saya jangan
ragu-ragu, karena sudah tidak ada lagi rintangan, dan jangan khawatir,
karena hal itu sudah menjadi kehendakku sendiri.′′ Pada waktu itu
Sang Taksaka Raja tidak mau (membalas), akan tetapi dipaksa-paksa,
akhirnya menuruti: ′′Duh Pukulun Kanjeng Dewaji yang waskitha atas
letak penglihatan, kalau demikian yang menjadi kehendak Paduka hamba
akan melaksanakan apa yang ditakdirkan (dipastikan) oleh dewa, akan
tetapi karena hanya terserempet pucuk pethit saya sedikit jadi hamba
mohon ijin untuk menjilat pucuk jemari kaki Paduka, sehingga sebanding
Pukulun. Menurut perasaan hamba bangsa manusia itu yang menjadi
kekuatan tubuhnya ya hanya pada kakinya, sedangkan bagi bangsa ular
yang menjadi kekuatan ada di pethitnya, karena itu kata hamba tadi sudah
sebanding Pukulun.′′

181
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Prabu Dipayana sangat gembira, kemudian Sang Taksaka Raja disuruh


maju untuk menjilat jemari kaki, mengatakan kesediaannya segera
maju ke hadapan Raja. Pada waktu itu Prabu Dipayana setelah dijilat
oleh Sang Taksaka Raja, seketika kemudian menyatukan pikiran untuk
muksa (anyipta pangracuting angga, anggělarakěn pangrakiting
dumugi saking sarira tunggal-tunggaling jati wisésa, waskitha tanpa
sasamar marang sasmitaning ngona purbaning urip), ketiga istrinya
serta ibundanya segera diajak untuk seketika muksa bersama-sama.
Sang Taksaka Raja kemudian lenyap tanpa bekas. Pada waktu itu
Resi Gurundaya dan Resi Gurunadi serta Retna Nawangwulan setelah
mengetahui bahwa Sang Raja sudah muksa dengan gugup ia pun
menyiapkan diri dan tidak lama kemudian muksa. Di angkasa terdengar
suara yang meledak memenuhi jagat menandakan sempurnanya muksa
mereka. Pada waktu itu masih termasuk mangsa Sétra (musim Setra).
Pada waktu itu Prabu Yudayana dan para penggawa di Ngastina setelah
mendengar suara yang meledak di angkasa memenuhi dunia, mereka
sudah mengira bahwa ayahanda dan ibundanya sekalian sudah muksa,
Sang Raja sangat sedih di dalam hati sangat susah, sehingga akhirnya
menitikkan air mata. Karena kesedihannya, maka tubuhnya jatuh dari
singgasananya dan pingsan. Patih Dwara dan Patih Danurwendha
serta segenap para penggawa setelah mengetahui Sang Raja jatuh dari
singgasana kencana segera menangis serta mengangkat Sang Raja (untuk
didudukkan kembali) di singgasana. Patih Dwara masih menghibur hati
dengan perkataan yang menghibur. Setelah hatinya terlipur sementara,
terlihatlah tanda-tanda diterimanya muksa raja yang utama, turunlah
hujan bunga dengan deras disertai bau harum semerbak seperti menghibur
mereka yang sedang dilanda duka, semua yang menghadap terhibur
seiring berhentinya hujan bunga. Prabu Yudayana berkata kepada Patih
Dwara dan Patih Danurwendha: ′′Hai uwa patih sekalian, jika demikian
muksanya ayahanda raja bukan muksanya pribadi, tetapi tetap dari bisa
ular karena tanpa sebab.′′

Dari kutipan di atas dikemukakan bahwa pada waktu Prabu Dipayana


mengumpulkan semua pejabatnya yang berkedudukan tinggi maupun rendah
serta para rakyatnya semua, pada waktu itulah Taksaka Raja menghadap. Taksaka
Raja melaporkan bahwa dia dahulu telah terluka oleh keris Prabu Dipayana
sewaktu Baginda menikam Resi Ardhawalika, penjelmaan Sang Hyang Basuki.
Prabu Dipayana kemudian memaksa Taksaka Raja agar membalasnya. Akhirnya,
Taksaka Raja hanya menjilat ibu jari kaki Baginda yang bersamaan telah merasuk
sukma. Prabu Dipayana muksa seraya membawa serta ketiga istrinya serta
ibundanya (Dewi Utari). Pada waktu Prabu Dipayana tersebut muksa seiring
dengan lenyapnya Taksaka Raja yang memang menginginkan kembali ke surga

182
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

bersamaan dengan Baginda. Resi Gurunadi dan Resi Gurundaya bersama istri
mereka pun segera menyusul Baginda muksa. Pada waktu itulah terdengar
ledakan yang dahsyat memenuhi angkasa disertai hujan bunga semerbak wangi
menandai peristiwa tersebut. Prabu Yudayana sangat berduka dan menduga bahwa
Taksaka Rajalah yang menyebabkan ayahandanya mangkat. Tidak berapa lama
kemudian turunlah hujan bunga yang harum semerbak wangi dari langit seakan
seperti menghibur kesedihan Prabu Yudayana yang ditinggalkan. Hujan bunga
tersebut sekaligus untuk menandai diterimanya kemuksaan Prabu Dipayana
beserta keluarga

G. Sarpayajña dalam Sěrat Yudayana


Sĕrat Yudayana adalah satu di antara 70 karya R.Ng. Ranggawarsita yang
cukup panjang (286 halaman). Sĕrat Yudayana ini merupakan bagian dari Sĕrat
Mahadharma serta termasuk dalam Sĕrat Pustakaraja Purwa. Paling tidak ada 29
pokok cerita yang menurut R.Ng. Ranggawarsita dan berlangsung selama kurang
lebih 26 tahun menurut perhitungan Suryasangkala atau kurang lebih 26 tahun
menurut perhitungan Candrasangkala. Dalam Sĕrat Yudayana dikemukakan
bahwa peristiwa di atas terjadi pada tahun Ananda terhitung tahun Suryasangkala
773 dengan ditandai Sangkalan berbunyi Gunaning-rĕsi-kasapta atau tahun
Candrasangkala 797 dengan ditandai sangkalan berbunyi Swara-trus-prawata.
Adapun akhir cerita dikemukakan terjadi pada tahun Prasutpadi, terhitung tahun
Suryasangkala 799 dengan Sangkalan berbunyi Gatraning-muka-gora, atau
terhitung tahun Candrasangkala 823 dengan Sangkalan berbunyi Wedha-paksa-
madyaning-langit.
Adapun Sarpayajña dalam Sĕrat Yudayana terletak pada bagian awal,
yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
Dalam tahun Ananda, terhitung tahun Suryasangkala 773, dengan ditandai
sangkala berbunyi Gunaning-rĕsi-kasapta, atau tahun Candrasangkala 797,
dengan ditandai tahun Sangkalan berbunyi Swara-trus-prawata, Prabu Yudayana
raja Ngastina sangat bersedih hati. Kesedihan Prabu Yudayana yang juga bergelar
Prabu Paridarma itu disebabkan oleh mangkatnya ayahandanya, yakni Prabu
Dipayana karena digigit sang Taksaka Raja. Patih Dwara dan Patih Danurwedha
telah berusaha menghibur raja, tetapi Prabu Yudayana tetap bermuram durja.
Beberapa lama Prabu Yudayana tetap tidak mengadakan persidangan,
sehingga suasana kerajaan Ngastina diliputi kesedihan. Tata pemerintahan
dilakukan oleh Patih Dwara dan Patih Danurwedha.
Pada suatu ketika, Prabu Yudayana memerintahkan pada Patih Dwara
untuk memberi kabar atas mangkatnya Prabu Dipayana kepada pamandanya,
Resi Sidhikara di padepokan “pertapaan” di Gunung Manikmaya. Patih Dwara
mengutus Arya Supadma, putranya berangkat ke Gunung Manikmaya. Kedatangan
Arya Supadma disambut Resi Sidhikara dengan kesedihan hati yang mendalam.
Akan tetapi, Resi Sidhikara belum bisa datang ke Ngastina karena sakit yang

183
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

dideritanya pun belum juga sembuh. Selanjutnya Arya Supadma melaporkan


hasil lawatannya kepada ayahnya. Patih Dwara bergembira, bahwa Resi Sidhikara
masih selamat tetapi ia bersedih hati karena penyakit yang diderita Sang Resi
belum sembuh benar.
Diceritakan pula bahwa pada masa Jita, tepatnya hari Rĕspati Manis
“Kamis Legi”, Prabu Yudayana memerintahkan Patih Dwara dan Patih
Danurwedha mempersiapkan pasukannya untuk menumpas para naga. Prabu
Dipayana (Prabu Parikesit) mangkat karena menurutnya digigit Taksaka Raja.
Oleh karena itu semua naga harus dimusnahkan dari muka bumi. Patih Dwara dan
Patih Danurwedha tidak sependapat dengan pendirian raja. Sebab menurutnya
tidak semua naga jahat. Akan tetapi usaha Patih Dwara dan Patih Danurwedha
dalam mencoba mencegah keinginan raja ternyata tidak berhasil. Dengan berat
hati terpaksa kedua patih tersebut mempersiapkan pasukannya mengiring rajanya
ke daerah Taksakasila. Pasukan Ngastina berangkat dengan bersenjatakan parasu,
kunta, alugora, cacap, lembing, nanggala, candrasa, gada, dan gandhi. Di samping
itu para pendeta dan para empu pun mengiringi raja untuk menawarkan kesaktian
naga.
Sesampainya di Taksakasila, pasukan Ngastina menyerang tempat tinggal
Taksaka Raja. Banyak naga besar maupun ular kecil yang mati. Akan tetapi
ternyata Taksaka Raja telah muksa bersamaan dengan muksanya Prabu Dipayana.
Di dalam Sěrat Darmasarana II dan di dalam Sěrat Yudayana persiapan
Prabu Yudayana untuk mengadakan penyerbuan ke tempat-tempat yang diduga
menjadi kediaman para naga serta pelukisan penumpasan para naga yang
mengerikan di Taksakasila tersebut tampak pada kutipan berikut:

Sarěng dintěn Rěspati Manis (Kamis Lěgi) Prabu Yudayana


siniwaka munggèng ing pancaniti, pěpak sagung ingkang sumiwèng
ngabyantara nata botěn éwah kados saban-saban, sri narapati dhawuh
dhatěng patih kalih pisan yèn arsa nyirnakaké sakathahing sawěr
sadaya awit sampun ginalih muksanipun ingkang rama mawi jalaran
cinakot sarpa ingkang wasta Raja Taksaka, dadya ing mangké Prabu
Yudayana karsa malěs ukum dhatěng sakathahing taksaka sadaya. Patih
Dwara miwah Patih Danurwédha samya matur bobolèh kathah-kathah
amamběngi supados sampun ngantos kalajěng-lajěngakěn děduka
sawarnining sawěr awit suwuripun langkung saru, panjěněnganipun nata
agung binathara karsa numpěs dhatěng taksaka ndadak aměngsahan
kaliyan gěgrěmětan, punika manawi těměna měměngsahan, mangka pun
sawěr botěn wontěn panonjokipun sěrat panantang, dados punika asalah
daměl pukulun, luhung panjěněngan paduka tulusa olah kawibawan
mangun kridhaning mamanis kémawon, punika langkung prayogi ing
suwuripun manawi panjěněnganipun nata taruna rěměn olah kawibawan
sanadyan balanipun tanpa sangsaya tulus siněmbah ing para raja-raja,

184
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

manawi kalajěnga karsa anyirnakakěn sakathahing sawěr punika punapa


pakantukipun saking atur panuwun kawula pukulun, salěmbat-lěmbating
toya taksih lěmbat manahing taksaka kathah abot manawi wontěn ingkang
mbandakalani, těka botěn timbang těměn kaliyan kasusahanipun.” Prabu
Yudayana botěn anggalih dhatěng aturipun Patih Dwara kang makatěn
wau, malah radi rěngu kawistarèng nétya. Patih Dwara suměrěp
sěmunipun sang nata yèn botěn rěna, dadya winangsulan umatur malih
karywa mamalar prana amrih rěnaning nata. ”Dhuh pukulun Kangjěng
Déwaji, manawi kados makatěn ingkang dados karsa paduka luhung
minděnga salah satunggal ingkang dosa kémawon rumiyin, manawi
sampun sirna wadya balanipun sang Taksaka Raja nguni sayěkti gampil
kémawon panumpěsé kang kathah-kathah jěr sampun uninga raosipun
anirěp wisaning sarpa.” Prabu Yudayana langkung sukaning ndriya lajěng
ndangu kithaning sang Taksaka Raja: ”Srapat-srapat kawula rumiyin
samirěng kawula saking wiraosipun tiyang kina-kina Prabu Raja Taksaka
punika kithanipun Taksakasila, cělak ing Wukir Sèwu tanah pasisir kidul,
ing ngriku kadhatonipun sawěr agěng-agěng.” Prabu Yudayana langkung
suka, Patih Dwara, Patih Danurwédha sigra dhinawuhan kinèn saměkta
kados tingkahing ngayuda miwah dhinawuh ananggěnah ingkang kantun
něngga nagari ingkang badhé umiring panataha ingkang sami prayogi.
Patih matur sandika lajěng bibaran. Prabu Yudayana lajěng kondur
ngadhaton. Patih Dwara lan Patih Danurwédha sami mantuk sowang-
sowangan, lajěng kasaput ing dalu. Sang Hyang Candra gumanti botěn
kacariyosakěn ing ratri, saénjingipun malih Patih Dwara miwah Patih
Danurwédha lajěng sami amamatah para punggawa, ingkang tuwa
dinawuhan umiring dhatěng Taksakasila lawan ngrarakit sikěping
ngayuda miwah gagaman ingkang kathah sawarnining gěbug, kadosta
ingkang warni pukul tuwin babanděm para sukanta, alugora, cacap,
lěmbing, parasu, kunta, candrasa, lugora, kalacandra, bindaga, lagandi
sapanunggilanipun ingkang botěn ucul saking asta, utawi para pandhita
miwah para ěmpu sami dhinawuhan umiring sadaya badhé ingaběn
kagunanipun lawan sarpa ing Taksakasila sarta sampun ananggěnah
wadya ingkang kantun těngga pura ing pungkur miwah pinatah-patah
ingkang piněksa sowang-sowang. Kala samantěn botěn kawursita,
antawis lamènipun anggènipun tata-tata, dupi pěndhak dintěnipun malih
sampun saměkta sadaya. Prabu Yudayana budhal gumuruh. Kacariyos
tingkahipun wadya bala ing Ngastina anggung anasak wana angosak-
asik ing jujurang, saběn kapěthuk taksaka agěng alit lajěng pinějahan.
Wangkéning sarpa těmahan saěnggèn-ěnggèn ambělasah tanpa étungan,
kakajěnganing wanadri bosah-basih awit ingkang sandi-sandi kaobrak-
abrik déning wadya bala Ngastina. Mangkana botěn kacariyosakěn
ing marga sampun dumugi ing Taksakasila, sigra sami ngrabasèng

185
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

kayanganipun Sang Hyang Raja Taksaka, ratunipun sampun muksa


kaliyan Prabu Dipayana ing Ngastina nguni, dadya ing mangké kantun
wadyabalanipun kémawon miwah pangagěnging Taksaka Naga ing
Taksakasila, wontěn agěnging sawiting tal, wontěn satirisipun pucang
sawit mèh saběngkokan kěmbangan langkung kathah, sarěng tiněmpuh
ing wadya bala Ngastina sagunging taksaka ing Taksakasila samya
kagègèran, lajěng wontěn ingkang němpuh purun, lajěng ngamuk wadya
bala Ngastina, parandosipun sagunging taksaka ing Taksakasila tanpa
ngundili. Kacariyos sakathahing taksaka ing Taksakasila tigang dintěn
tumpěs sadaya kadya katapis sirna tan mangga sirna amung kantun
sawěr alit-alit samya lumajěng sarsaran ngungsi gěsang dhatěng wana
wukir tuwin ing guwa jurang tělaga sělaning ara-ara. Kala samantěn
sirnaning taksaka Prabu Yudayana sawadya balanipun langkung suka
lajěng dawuh tata-tata yèn sri naréndra arsa kondur tumuntěn. Patih
Dwara lajěng andhawuhakěn kaliyan Patih Danurwédha lan para
wadya sadaya matur sandika. (Sěrat Darmasarana II, hal. 57-59; Sěrat
Yudayana, hal. 4-8).

Meskipun para naga di Taksakasila sudah hampir semuanya ditumpas


oleh Prabu Yudayana dan pasukannya, akan tetapi Baginda tetap belum merasa
puas dan terus melanjutkan penyerbuan-penyerbuan yang diduga menjadi tempat
kediaman para naga. Selanjutnya dikemukakan pula bahwa pada masa Sitra
tahun Ananda, hari Soma Manis “Senin Legi” Prabu Yudayana melanjutkan
penumpasan naga ke hutan Lagra. Penumpasan naga di hutan Lagra itu berhasil
dengan baik, banyak naga mati. Di dalam Sěrat Darmasarana II maupun di dalam
Sěrat Yudayana, pelukisan penyerbuan Prabu Yudayana dan pasukan Ngastina
terhadap keberadaan para naga (ular) di hutan Lagra tersebut dapat dilihat pada
kutipan berikut:

Yata sarěng antawis tigang wulan amarěngi mangsa Sitra taksih


salěběting tahun Ananda, nuju ing dintěn Soma énjang Prabu Yudayana
karsa miyos siniwaka munggèng pancaniti. Patih Dwara lan Patih
Danurwédha miwah para nayaka sami sumiwèng ngabyantara naréndra,
sadaya para wadya gung alit sinang andhèr sadaya botěn éwah kadya
saban-saban. Prabu Yudayana lajěng dhawuh maring Patih Dwara
miwah Patih Danurwédha yèn arsa numpěs sagung taksaka malih sarta
dinangu tanah kang kathah sawěripun malih. Aturipun Patih Dwara
lan Patih Danurwédha: ”Dhuh pukulun Kanjěng Déwaji kawarti tanah
Lagra, wana Malawapati punika ingkang kathah taksakanipun langkung
agěng-agěng, ananging sarpa rucah kéwala botěn wontěn ingkang
ngratoni kados ing Taksakasila ing nguni.” Prabu Yudayana langkung

186
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

suka lajěng dhawuh kinèn samakta malih nuntěn badhé tédhak wana
Lagra, déné kang dadya gagamaning yuda lawan taksaka aja nganti
kekurangan apa déné para ěmpu para pandhita lawan wadyaningsun
para punggawa kabèh aywa kurang pangati-ati kaya kang wus kalakon.
Patih Dwara lan Patih Danurwédha matur sandika lajěng bibaran.
Prabu Yudanaya kondur angadhaton, pangéndra mantri kakalih
sakancanipun para punggawa mantri sami mantuk sowang-sowangan.
Sarěng énjingipun para punggawa mantri sampun sami kapatah déning
Patih Dwara lan patih Danurwédha miwah matah para rěsi pandhita
kalawan para ěmpu ingkang badhé umiring dhatěng wana Lagra sarta
ananggěnah wadya ingkang kantun těngga praja ing pungkur. Botěn
kacariyosakěn ing tingkahing siyaga utawi antawising laminipun dènnya
ngrukti pirantosipun, sasampunipun samapta kramaning lumampah
Prabu Yudayana budhal saha bala gumuruh samarga-marga agung
amějahi taksaka, gung alit saurutipun ing wana utawi ing jujurang
miwah ing wukir-wukir, para sarpa sami kasangsaya těmah tutumpěsan
miwah para pandhita těmah angěmpakakěn mantra kagunan panyirěping
taksaka, ananging botěn kacariyosakěn tingkahipun, dènnya aměmějahi
taksaka ing samarga-marga, sarěng dumugi ing wana Ladra lajěng
ngobrak-abrik saisining wana, sato-sato sami asarsaran ngungsi
wana miwah jujurang wukir-wukir ajrih parěk lawan wadya bala ing
Ngastina, ananging sagunging sato sami kinèndělakěn kémawon amung
para taksaka ingkang winisésa těmah lěbur tutumpěsan datan mangga
sésa Prabu Yudayana aningali sirnaning taksaka salěběting wana Lagra
langkung sukaning galih, lajěng andhawuhakěn kinèn sami angiras
amběbědhag sato wana. Patih Dwara sakancanipun matur sandika
lajěng gěntos atumandang ambubujěng sato wana, ananging botěn
patos angsal kathah awit sampun sami bibar ngungsi těbih saking wana
ing Lagra. (Sěrat Darmasarana II hal. 59-60; Sěrat Yudayana hal. 8-10)

Meskipun dalam penyerbuan ke Taksakasila maupun di hutan Lagra Prabu


Dipayana dan pasukannya berhasil menumpas para naga (ular) yang tak terbilang
banyaknya, namun kemarahan Prabu Yudayana masih belum reda. Baginda masih
akan melanjutkan menyerbu ke tempat-tempat lain yang diperkirakan menjadi
kediaman para naga.
Dikemukakan di dalam Sěrat Darmasarana II maupun Sěrat Yudayana
bagian awal bahwa pada tahun Rakcaka, terhitung tahun Suryasangkala 774,
dengan ditandai sangkalan berbunyi Wahana-turangga-gora, atau tahun
Candrasangkala 798, dengan sangkalan Bujangga-rudraka-sapta, pada masa
Kartika, hari Respati “Kamis” Prabu Yudayana mengadakan persidangan, ia
bermaksud melanjutkan pemusnahan naga ke tempat para naga lainnya. Dari
informasi yang diperoleh, hutan Gadamadana dekat Tebrasara, sebelah barat laut

187
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Gunung Candramuka sampai ke selatan Candrageni banyak dihuni naga. Dahulu


diceritakan, bahwa hutan Tebrasara adalah merupakan pertapaan Sang Resi
Jambawan, ayah Retna Jembawati permaisuri Prabu Dwarawati (Prabu Kresna).
Retna Jembawawati berputra Raden Samba dan Siti Sundari yang kelak kemudian
hari diperistri Arya Abimanyu.
Sesampainya di Gadamadana, maka penumpasan naga pun dilakukan,
Prabu Yudayana sangat senang menyaksikan banyak naga yang mati. Meskipun
demikian, Prabu Yudayana masih belum merasa puas hatinya dan tetap bermaksud
memusnahkan para naga dari muka bumi.
Di dalam Sěrat Darmasarana II maupun Sěrat Yudayana pelukisan
penyerbuan Prabu Yudayana dan pasukannya ke hutan Gadamadana tersebut
dilukiskan sebagai berikut:

Prabu Yudayana langkung suka pangandikanipun: ”Hèh uwa


Dwara, yèn mangkana kapasang yoga těměn lamun ingsun tědhak
Gadamadana ngiras pantěs ngupakara patilasaning luluhur, mbok
manawa anjurungi kang dadya karsaningsun anumpěs sakathahing
taksaka kaběh. Sang nayaka kalih mangayubagya karsa nata, ananging
jumurungipun patih kalih botěn saking suka bingahipun amung saking
ajrih kémawon awit karsanipun sri naréndra adrěng botěn kénging
pinamběngan lumuh-lumuh ing atur, amriyoga dados amung ngèli
karsanipun ing ratu kémawon marma supé pangrèhing karaharjan.
Sawusya mangkana Prabu Yudayana dhawuh malih dhatěng Patih Dwara
miwah Patih Danurwédha kinèn sami saměkta ing ngayuda malih yèn
sang nata karsa tědhak dhatěng wana Gadamadana. Patih Dwara lan
Patih Danurwédha sami matur sandika lajěng bibaran. Prabu Yudayana
kondur ngadhaton, risang mantri wisésa kalih mantuk sowang-sowang.
Botěn kawursita samaktané wadya bala, kala samantěn Prabu Yudayana
lan sagunging para punggawa sigra budhal saha bala gumuruh, samarga-
marga tansah měmějahi taksaka, tumpěs tapis bangké saěnggèn-ěnggèn
datan pa wilangan. Botěn kawursita ing ngěnu sampun prapta wana
ing Gadamadana lajěng ngosak-asik wana, salěběting jurang, saběn
kapanggih taksaka gung alit pinějahan pinarěbut bala ing Ngastina, tělas
sirna sadaya. Kala samantěn botěn cinariyosakěn tumpěsé taksaka ing
Gadamadana miwah wana Tikbrasara tuwin Wukir Candramuka. Natèng
Ngastina langkung suka sigra budhal nglurug dhatěng Candragěni
mangidul, botěn dangu dhatěng Wukir Candragěni lajěng ngobrak-abrik
wana miwah jurang pèrèng sakiwa těngěnipun sadaya sami bosah-
basèh kaambah déning wadya bala Ngastina ingkang sami marwasa
sarpa, sasampuning makatěn Prabu Yudayana wangsul malih mangalèr
sawadya balanipun dhatěng wana Gadamadana. Prabu Yudayana lajěng
dawuh dhatěng Patih Dwara kinèn ngupakara tilas-tilasan patapan ing

188
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Gadamadana kapulihakěn wawangunipun kadi ing nguni-uni miwah


patapanipun ingkang éyang buyut Sang Arya Dananjaya, nalika wontěn
wana ing Tikbrasara Patih Dwara lan Patih Danurwédha sami matur
sandika lajěng sami tumandang sakancanipun, kala samantěn ing
Gadamadana ing wana Tikbrasara sami ginatra padhěkahan langkung
asri lajěng sinungan tiyang, sinung tiyang kawan sémah, ingkang
mangka bubuyutipun satunggal wasta Buyut Gomda, sarta kaparingan
sakrěnaning tětanèn warni-warni. (Sěrat Darmasarana II hal. 61-63;
Sěrat Yudayana hal. 11-14)

Meskipun penyerbuan ke hutan Gadamadana, Tikbrasara di lereng


Gunung Candramuka (Merbabu) maupun Gunung Candrageni (Merapi) telah
mengakibatkan banyak ular (naga) yang besar dan kecil mati, akan tetapi Prabu
Yudayana masih belum merasa puas dan bermaksud meneruskan penumpasan
para naga ke tempat-tempat lainnya.
Lebih jauh dikemukakan, bahwa dalam tahun Pinggala, terhitung
tahun Suryasangkala 775, dengan Sangkalan Yaksa-sapta-kaswara, atau tahun
Candrasangkala 799, dengan Sangkalan Wiwara-trus-prawata, pada masa
Manggasri, hari Soma Kasih, Prabu Yudayana mengadakan persidangan. Dalam
persidangan tersebut, baginda menerima laporan, bahwa di sebelah selatan
Gunung Mahendra tempat tinggal raja siluman naga bernama Naga Raja Sarana.
Kesaktian Naga Raja Sarana hampir menyerupai dewa dan ia memang kekasih
dewa karena kemuliaannya. Prabu Yudayana bermaksud menyerang kerajaan Naga
Raja Sarana, tetapi Patih Dwara dan Patih Danurwedha berusaha mencegahnya.
Raja Ngastina yang sedang kalap itu menjadi murka dan memerintahkan kedua
patihnya untuk mempersiapkan pasukannya ke Gunung Mahendra.
Sesampainya di sebelah selatan Gunung Mahendra, pasukan Ngastina
menyerang para naga. Para naga bermaksud melawan serbuan itu, akan tetapi
dimusnahkan. Dalam pemusnahan naga tersebut, Prabu Yudayana terpisah dari
pasukannya. Tiba-tiba ia melihat seekor ular kencana yang demikian memikat
hatinya. Raja berusaha menangkapnya dan dalam pengejaran itu ia semakin
jauh dari pengawal. Tiba-tiba Prabu Yudayana melihat sebuah kerajaan terbuat
dari emas. Baginda pun menyadari, bahwa dirinya telah tergoda serta terjerat
dalam pengaruh dunia siluman. Ular kencana itu kemudian berubah menjadi
gadis yang sangat cantik jelita. Baginda terpesona dan tetap mengikuti gadis
muda tersebut. Tidak lama kemudian gadis itu menghilang dan raja terhalang
pintu. Dengan hati yang gundah raja Ngastina itu mendendangkan kidung Sekar
Naga Kusuma. Kidung itu pernah pula didendangkan oleh Prabu Salya dalam
usahanya menghibur permaisurinya Dewi Setyawati yang gundah hatinya karena
kedatangan Arya Nakula dan Arya Sahadewa.
Tidak lama kemudian, Prabu Yudayana disambut oleh seorang yang
berkain indah serta diiringi para pengawal. Baginda menghormat dan menduga

189
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

bahwa lelaki tersebut penguasa kerajaan itu. Dengan terus terang Prabu Yudayana
mengatakan, bahwa ia sampai di kerajaan itu karena mengejar seorang putri
yang menghilang ke dalam istana. Lelaki itu menyatakan bahwa dia adalah ayah
gadis yang dikejar raja. Prabu Yudayana dipersilakan memasuki istana serta
dipertemukan dengan Retna Naga Sarini. Ternyata sang putri pun jatuh hati pada
Baginda. Oleh sebab itu Prabu Yudayana dikawinkan dengan Dewi Sarini.
Prabu Yudayana hidup berbahagia bersama istrinya Dewi Sarini.
Akan tetapi, setelah tiga bulan berselang menurutnya, ia teringat kepada para
pengawalnya yang dahulu ditinggalkannya di tengah hutan. Oleh sebab itu
ia bermaksud mencari dan kembali ke kerajaan Ngastina. Kemudian Prabu
Yudayana menyampaikan keinginannya itu kepada istri serta mertuanya. Mertua
raja mengatakan bahwa ia sebenarnya adalah Naga Raja Sarana penguasa kerajaan
siluman di daerah Gunung Mahendra. Prabu Yudayana sangat terkejut mendengar
pengakuan itu. Kedatangan Prabu Yudayana ke kerajaan siluman memang
dikehendaki Naga Raja Sarana. Raja Ngastina itu dinilai telah melanggar hukum.
Seharusnya sebagai seorang raja yang besar akan menjaga dan melindungi rakyat
serta semua yang berdiam di wilayahnya, bukan justru menghancurkan mereka
yang belum pasti melakukan kesalahan, seperti yang diperbuat raja terhadap
para naga. Para naga, seperti juga manusia terdiri atas dua golongan, yakni
ada golongan naga yang jahat dan golongan naga yang baik. Oleh karena itu,
pemusnahan atas naga tidak boleh secara membabi buta. Toh dalam kenyataannya,
bahwa naga jahat Taksaka Raja telah muksa. Karenanya, penumpasan para naga
tidak selayaknya dilanjutkan. Sebagai pelindung naga golongan baik, maka
Naga Raja Sarana tidak rela apabila anak buahnya dibinasakan. Oleh karena itu,
jika Prabu Yudayana terus melakukan penumpasan naga harus melawan Naga
Raja Sarana dahulu. Kemudian Naga Raja Sarana memperlihatkan kesaktiannya
dengan bertriwikrama sambil menantang bertanding mengadu kesaktian Prabu
Yudayana. Prabu Yudayana sangat takjub menyaksikan kesaktian Naga Raja
Sarana. Dengan penyesalannya yang mendalam, Prabu Yudayana memohon maaf
kepada mertuanya serta berjanji untuk menghentikan penumpasan para naga. Di
dalam Sěrat Darmasarana II maupun di dalam Sěrat Yudayana, Nagaraja Sarana
ketika mengingatkan Prabu Yudayana akan tindakannya yang tidak bijaksana serta
peringatannya sewaktu menyadarkan kembali Prabu Yudayana untuk kembali ke
jalan yang utama, seperti dikemukakan di atas dapat dilihat pada kutipan berikut:

Wangsulanipun marasěpuh nata: ”Dhuh susuhunaning


jagat raya, nggèr manawi makatěn ingkang dados karsa paduka,
pun bapa langkung jumurung, anggèr, kalayan botěn susah paduka
wangsul mariki malih, yèn ta wangsula saking pundi margènipun,
sanadyan kasědyaa saking praja yèn botěn saking sědya kula, mangsa
sagěda dumugi mriki. Déné paduka sampun sandéya nilar padukanta
garwa nini putri, bénjing kémawon yèn rayi paduka ngraos oněng,

190
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

saèstu pun bapa ngaturi panjěněngan paduka malih. Kalih déné pun
bapa samangké walèh dhatěng panjěněngan paduka, sajatosipun
paduka punika ngambah jaman walikan. Milanipun kalampahan
dumugi ngriki, dhasar kula ingkang ngaturi panjěněngan paduka
sarta kapasang yoga dados mantu kula, saèstu botěn mawi subasita
anggèn kula badhé ngaturi pémut dhatěng jěng paduka, rèhning
panjěněnganipun anggèr ratu binathara anyakrawati, aměngku
jagat raya, těka badhé nglanturakěn karsa ingkang botěn prayogi,
dados sangět pangowěl kula, dhatěng panjěněngan paduka, liripun
pěpéling kula makatěn anggèr, punapa wontěn panjěněnganipun
nata binathara karsa ngrisak wěwěngkonipun piyambak, mangka
ingkang sami kagěm para nata ing kina-kina babasan nguripakěn
tiyang kapidana ing pati, hambungahakěn wong kasusahan, paring
těkěn tiyang kalunyon, paring tědha tiyang kaluwèn, paring minum
tiyang kasatan, makatěn ingkang sampun kalampahan ing nguni-uni,
punapa botěn awoning awon kados pamběganipun Prabu Duryudana
ing Ngastina nguni, kawarti kadangipun satus sami amběg angkara
murka sadaya, prandosipun taksih anindakakěn papakěming aměngku
praja, ingkang nglampahakěn dadana dhěndha, punika wajibing
nata binathara. Ingkang makatěn punika, saèstunipun ingkang
botěn kasamaran ingkang dhatěng kahawoning tiyang saé, mangka
panjěněngan paduka punika kula wawas saking těbihan, botěn
pisan-pisan anglabětana pamběgan ingkang kados makatěn wau,
kadosta panjěněngan paduka karsa anumpěsi sakathahing taksaka,
punika saking pangraos kula botěn prayogi, mangka sésaning jagat
punika botěn městhi sami amběg murka sadaya, saèstunipun wontěn
ingkang awon sédiyanipun, wontěn ingkang saé ciptanipun, sami
minta harjaning jaman. Samantěn ugi bangsa manungsa inggih
botěn sanès pamběganipun kadosta bangsa kula taksaka, ingkang
kalěpatan dhatěng paduka, amung satunggal Sang Nagaraja Taksaka
ing Taksakasila piyambak, dumèh kadaměl jalaran kamuksanipun
rama paduka nguni, punapa panjěněngan anumutakěn ingkang
tan dosa, ingkang saupami wontěn bangsa manungsa nandang
dosa pějah satunggal, punapa inggih manungsa pinějahan sadaya.
Manawi botěn makatěn běbasan pilih asih těmbungipun. Ing
salěrěsipun anggèr, sanajan katumut-tumutna dosanipun Sang Raja
Taksaka nguni inggih namung Taksakasila kémawon, sědhěngan
makatěna patraping pangadilan, těka botěn prayogi, awit botěn
wontěn pidana rarambatan, yèn botěn sami ngawaki pribadi, utawi
ingkang angraosakěn kang dados sarana, ingkang saupami, wontěn
ratuning taksaka ingkang langkung sura sěkti, mandraguna tur

191
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

botěn dosa, punapa sagěd paduka numpěs. Sajatosipun anggèr kula


punika inggih ratunipun ing taksaka, ananging sampun saéngga
jawata, mila kawasa ngadhaton ing jaman walikan. Putri wau inggih
taksaka nami Naga Sarini, ananging karsaning déwa kadaměl awarni
naga kancana. Suwawi anggèr yèn paduka badhé numpěs pun bapa,
sumangga kacobiya.” Yata Sang Nagaraja Sarana, sasampunipun
makatěn lajěng mědal dhatěng panataran, botěn antawis dangu lajěng
- jlěg - awarni sajatining nagaraja taksaka, nulya anguwuh-uwuh
dhatěng Prabu Yudayana, kinèn angayonana kasěktènipun, kacariyos
tiwikramanipun Sang Nagaraja Sarana, yèn nuju kakarsana saisining
jagad triloka, sampun wontěn ing astanipun sadaya. Sirah wontěn
saluhuring Suralaya, angsaranipun wontěn sangandhaping bumi,
swaranipun angèběki triloka. Yata wau Prabu Yudayana, dupi aningali
kasěktèning marasěpuh kados makatěn wau langkung ngungun èsmu
ajrih lajěng handharodhog, pangungunipun déné sacumbana lawan
taksaka èstri. Ajrihipun sang nata, bokmanawi sang marasěpuh supé
sayěktos, botěn wandé aněmahi sirna, milanipun Prabu Yudayana
énggal anguwuh-uwuh èsmu nalangsa, miminta pangaksama, ing
ngriku Sang Nagaraja Sarana, dupi amiyarsa panguwuhipun Prabu
Yudayana, langkung wělas, lajěng mancala warna manungsa malih,
wangsul dados panggènanipun. Wauta Prabu Yudayana sruning ajrih
sigra anungkěmi pangkoning marasěpuh sarya karuna sěsambat
aminta gěsang, Sang Nagaraja Sarana asih wělas dhatěng mantu,
saksana cinandak ingaturan lěnggah malih. Pramudiyèng Ngastina
sampun lěnggah dhampar, sasampunipun makatěn sang marasěpuh
amuwus: ”Dhuh anggèr, dèrèng pantěs pinidana yèn děrěng kantěnan
dosanipun, marma dèn éca kémawon ing panggalih paduka, mila
kalawau kula tiwikrama amung kawuningana kasěktènipun bapa, yèn
sampun makatěn ing karsa paduka, mugi kamantunana anggènipun
numpěs sakathahing taksaka, sampun kalajěng-lajěngakěn, saèstu
botěn prayogi kadadosanipun, déné pěpéling kula malih anggèr, mugi
kauningana samukawis kridhanipun praja punika, manawi ratunipun
jatmika, saèstu jěnjěm prajanipun, manawi sang nata amběg
angkara cipta, sayěkti karisakan wawěngkonipun, ingkang kaping
kalihipun anggèr manawi panjěněngan paduka amběg samahita,
dipunrěrěm angupaboga ing wadya balanipun, tětěping mirahna
ganjaran watěkipun botěn daměl cělaning pun manahing wadya
manawi sang nata kěkěr ing arta, angagěma darmaita. Těgěsipun
bangkit amiluta ing sabda, watěkipun botěn daměl cuwaning wadya
bala ... (Sěrat Darmasarana II hal. 67-69; Sěrat Yudayana hal. 22-27).

Beberapa waktu kemudian, Prabu Yudayana menyatakan

192
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

keinginannya untuk kembali ke kerajaan. Naga Raja Sarana memberi


anugerah Musthika Kumara yang mempunyai daya penangkal bisa naga.
Kemudian pandangan Prabu Yudayana dibalik kembali ke dalam dunia
nyata. Baginda sangat terharu menyaksikan para pasukannya yang sedang
kebingungan mencari dirinya kemana ia pergi. Kemudian Prabu Yudayana
mengajak Patih Dwara, Patih Danurwedha serta pasukannya kembali ke
kerajaan.

H. Perbandingan Mangkatnya Maharaja ParīkṢit dalam Ādiparwa dengan


Prabu Parikesit dalam SĚrat Darmasarana
Di dalam menuju perbandingan dalam Ādiparwa dengan Sěrat
Darmasarana, terlebih dahulu perlu dilakukan analisis intertekstualitas antara
keduanya. Seperti yang dikemukakan pada Bab I bahwa intertekstualitas pada
prinsipnya adalah bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar
belakang teks-teks lain. Tidak ada sebuah teks yang benar-benar mandiri tanpa
adanya teks-teks lain sebagai contoh dalam penciptaannya (Teeuw, 1984: 145).
Dalam pengertian ini adanya contoh, teladan dan kerangka bukan harus diikuti
sepenuhnya dalam penciptaan teks baru tanpa adanya suatu penyimpangan. Sebab
penyimpangan dan transformasi dari model teks yang sudah ada itu memainkan
peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan sesuatu
yang disimpangi serta pemahaman atas teks baru memerlukan latar belakang
pengetahuan tentang teks-teks yang mendahuluinya (Teeuw, 1984: 146). Julia
Kristeva mengatakan pula bahwa hakikat intertekstualitas adalah adanya atau
kehadiran suatu teks pada suatu teks lainnya (Umar Junus, 1985: 87). Di sini
kehadiran teks diperlukan pula adanya proses pemahaman dan pemaknaan serta
beberapa interpretasi yang dilekatkan padanya (Umar Junus, 1985: 88). Kehadiran
suatu teks dalam suatu teks lain sedikit banyak akan memberikan warna tertentu
kepada teks itu.
Apabila dicermati secara seksama di dalam penciptaan Sěrat
Darmasarana dapat dipastikan adanya kehadiran teks Ādiparwa. Apalagi apabila
kita sependapat dengan pemikiran Sri Mulyana (1989), bahwa Sěrat Pustakaraja
adalah Mahābhārata versi Indonesia (Jawa). Ādiparwa adalah bagian pertama
dari Mahābhārata, sedangkan Sěrat Darmasarana adalah bagian dari Sěrat
Pustakaraja. Oleh sebab itu tidak menutup kemungkinan bahwa antara Ādiparwa
memiliki relevansi dengan Sěrat Darmasarana. Dalam konteks ini apabila
ditelusuri serta dilacak secara mendalam memang Sěrat Darmasarana memiliki
kaitan yang sangat erat dengan Ādiparwa.
Sebelum persoalan mangkatnya Mahārāja Parīkṣit (Parikesit) dalam
Ādiparwa dengan Sěrat Darmasarana tersebut diperbandingkan, maka akan
diperbicangkan dahulu naratif yang terdapat di dalam kedua teks tersebut. Di

193
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

dalam Ādiparwa naratif Mahārāja Parīkṣit adalah hanya sebagian kecil saja dari
naratif Ādiparwa yang sangat luas. Sebab naratif dalam Ādiparwa dimulai dari
cerita mengenai Bhagawān Çonaka (Śonaka) membuat korban di hutan Nemiṣa
sampai cerita Sang Hyang Agni membakar hutan Khāṇḍawa. Adapun cerita-cerita
penting yang terdapat dalam Ādiparwa dapat dipaparkan sebagai berikut:
1) Bhagawān Çonaka (Śonaka) membuat korban di hutan Nemiṣa
2) Ugraҫrawā menceritakan Mahārāja Janamejaya membuat korban di
Kurukṣetra
3) Cerita Posya
4) Bhagāwān Çonaka menanyakan silsilah leluhurnya kepada Ugraҫrawā
5) Cerita Āstīka, lahirnya Nāga, Garuḍa dan terkeburnya lautan Arṇawa
6) Cerita Garuḍa
7) Para Nāga berunding
8) Mahārāja Parīkṣit
9) Banyaknya Nāga yang mati
10) Cerita raja Basuparicāra
11) Cerita Bhagawān Parāҫara
12) Para dewa menjelma menjadi manusia
13) Cerita Mahārāja Duҫwānta
14) Keturunan Sang Hyang Soma
15) Keturunan Pūru
16) Cerita Mahārāja Çāntanu
17) Cerita penjelmaan Sang Hyang Yama
18) Cerita Dhṛṣṭarāstra, Pāṇḍu dan Widura
19) Cerita Korawa lahir
20) Pāṇḍawa lahir
21) Pāṇḍawa dan Korawa dalam asuhan Bhīṣma
22) Cerita Dhang Hyang Kṛpa
23) Cerita Droṇa
24) Kesengsaraan para Pāṇḍawa
25) Sayembara Dropadi
26) Penjelmaan Bathara Indra
27) Pāṇḍawa memperoleh kerajaan
28) Para Pāṇḍawa di Indraprastha
29) Arjuna diam di hutan
30) Perkawinan Arjuna dengan Subhadrā
31) Abhimanyu lahir
32) Sang Hyang Agni membakar hutan Khāṇḍawa
(Padija, 1973: 42-116)

Dengan demikian di dalam Ādiparwa tokoh Parīkṣit hanya diuraikan


secara singkat dari keseluruhan cerita di dalam Ādiparwa (lihat Juynboll, 1906:

194
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

48-53; Zoetmulder, 1958: 92-97; Siman Widyatmanta, 1968: 68-74). Teks


naratif Mahārāja Parīkṣit di dalam Ādiparwa yang terdiri atas enam halaman
tersebut lewat inovasi, adaptasi, resepsi yang dilakukan oleh pujangga R. Ng.
Ranggawarsita telah berubah menjadi teks yang sangat panjang seperti tampak
pada Sěrat Darmasarana. Teks Sěrat Darmasarana seperti telah dikemukakan
di depan terdiri atas 316 halaman ditambah 49 halaman (Sěrat Darmasarana
II) yang juga sudah masuk ke dalam Sěrat Yudayana di halaman 1-49. Dengan
demikian secara kuantitas teks Sěrat Darmasarana yang juga mengambil tokoh
utama Prabu Parikesit (Darmasarana) jauh lebih panjang dibandingkan dengan
teks Ādiparwa yang memuat naratif Parīkṣit.
Sejalan dengan panjangnya teks Sěrat Darmasarana maka penampilan
penokohan Prabu Parikesit maupun berbagai peristiwa yang melatarbelakanginya
juga jauh lebih kompleks daripada penokohan Mahārāja Parīkṣit di dalam
Ādiparwa. Dilihat dari keterlibatan penokohannya pun Sěrat Darmasarana
melibatkan 450an tokoh dengan tokoh utama selain Prabu Darmasarana (Parikesit)
juga melibatkan tokoh-tokoh penting antara lain: Dewi Uttari, Patih Dwara, Patih
Danurwedha, Bagawan Baladewa, Raden Yudayana, Raden Gendrayana, Prabu
Satyaki, Taksaka Raja, Sang Hyang Basuki, Sang Hyang Gana, Sang Hyang
Sambo, Prabu Sayakesti, Prabu Kismaka, Prabu Niradhakawaca, Dhang Hyang
Suwela, Resi Sidhikara, Resi Gurunadi, Resi Gurundaya, maupun kelima istri
Prabu Darmasarana. Tokoh-tokoh tersebut adalah sebagian kecil dari tokoh-tokoh
yang terdapat dalam Sěrat Darmasarana. Sedangkan tokoh penting di dalam teks
disekitar naratif Mahārāja Parīkṣit (dalam Ādiparwa) yang patut untuk disebutkan
selain Mahārāja Parīkṣit adalah Takṣaka, Bhagawān Samīti, Bhagawān Kāҫyapa,
Çṛnggī, Bhagawān Kṛṣa, Aghoramuka, Janamejaya dan para pendeta serta mentri
yang tidak disebutkan nama-namanya.
Dalam hal mangkatnya Mahārāja Parīkṣit di dalam Ādiparwa seperti
telah diuraikan di dalam Bab VI.2 yaitu karena Mahārāja Parīkṣit digigit Takṣaka
atas perintah Sang Çṛnggī, putra Bhagawān Samīti yang sebelumnya telah
menjatuhkan kutukannya kepada Sang Mahārāja. Adapun mangkatnya Prabu
Dipayana (Darmasarana, Parikesit) di dalam Sěrat Darmasarana seperti diuraikan
pada bab VI.6 adalah memang Prabu Dipayana bermaksud muksa, bukan digigit
oleh Taksaka Raja. Tetapi memang pada waktu itu Taksaka Raja menjilat ujung
ibujari kaki Prabu Dipayana atas perintahnya, yang pada waktu itu dipakainya
untuk merasuk sukma. Pada pihak lain, Taksaka Raja pun sewaktu menjilat
ibujari kaki Prabu Dipayana dalam rangka sebagai sarana ia kembali ke surga.
Dengan demikian muksanya Prabu Dipayana bersamaan dengan Taksaka Raja.
Di samping itu, jika di dalam Ādiparwa Mahārāja Parīkṣit mangkat tanpa diikuti
istri-istrinya, sebaliknya muksa Prabu Dipayana di dalam Sěrat Darmasarana
membawa sekalian istri-istrinya, Dewi Uttari, yang kemudian diikuti oleh Resi
Gurunadi dan Resi Gurundaya bersama istri-istri mereka.

195
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Dilihat dari karakternya, maka dapat dikatakan bahwa Mahārāja Parīkṣit


di dalam menghadapi kutukan Sang Çṛnggī, Baginda menampakkan diri sebagai
Mahārāja yang tinggi hati, malu untuk merendahkan diri, dan lebih mengandalkan
kekuatan pasukannya untuk menjaganya dan mengandalkan kesaktian mantra
penolak bisa naga dari para brahmana yang melindunginya. Padahal sebenarnya
kutuk Sang Çṛnggī tersebut dapat diakhiri sehingga Mahārāja Parīkṣit luput dari
maut apabila beliau datang ke tempat Bhagawān Samīti (ayah Sang Çṛnggī),
namun Baginda malu melakukannya. Di dalam menghadapi Naga Takṣaka, yang
menyamar sebagai ulat kecil yang berada di buah jambu yang dipersembahkan
oleh seorang brahmana (saudara Takṣaka) maka Mahārāja Parīkṣit tidak hati-hati
dan lengah. Mahārāja Parīkṣit yang merasa bahwa kutuk Sang Çṛnggī sudah lewat
tersebut mengucapkan kata-kata hinaan, ejekan bahkan mentertawakan ulat kecil
tersebut sehingga seperti diperintah untuk kembali kepada wujud aslinya sebagai
Takṣaka yang kemudian menggigit leher Sang Mahārāja sehingga terbakar
menjadi abu.
Sebaliknya di dalam Sěrat Darmasarana seperti diuraikan pada Bab
VI.6 di atas bahwa Prabu Dipayana menunjukkan keluhuran hatinya, keutamaan
budinya ketika menjelang Baginda muksa. Hal itu ditunjukkannya sewaktu
Baginda mengumpulkan seluruh rakyatnya dan Baginda menyatakan bahwa
siapapun yang pernah disakiti secara fisik dan disakiti secara psikis pada waktu itu
boleh membalasnya. Akan tetapi tak satupun rakyat kerajaan Ngastina yang mau
melakukannya karena bakti cintanya kepada Baginda. Sampai akhirnya datanglah
cobaan dewa untuk menguji keteguhan dan keutamaan Baginda dengan datangnya
Taksaka Raja. Pada waktu itu Prabu Yudayana dan pasukannya akan membunuh
Taksaka Raja tersebut, akan tetapi Prabu Dipayana justru mencegahnya dan
menyambutnya dengan ramah. Pada waktu itu Taksaka Raja berkata terus terang
bahwa ia pernah terluka petitnya oleh keris Baginda sewaktu menjadi binggěl
’gelang kaki’ Resi Ardhawalika (penjelmaan Sang Hyang Basuki). Baginda
kemudian mempersilahkan Taksaka Raja untuk menggigitnya sebagai balasannya,
tetapi seperti dikemukakan di atas, Taksaka Raja hanya menjilat ibujari kaki
Baginda yang dipakainya sebagai sarana muksa.

I. Perbandingan Sarpaajña dalam Ādiparwa dengan Sěrat Yudayana


Berdasarkan uraian dalam naratif Sarpayajña dalam Ādiparwa seperti
dikemukakan pada Bab VI.5 maupun Sarpayajña dalam Sěrat Yudayana yang
dikemukakan pada Bab VI.7 maka perbandingan Sarpayajña dalam kedua teks
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Di dalam Ādiparwa yang melangsungkan Sarpayajña atau Sarpa Satra
(korban api ular) adalah Mahārāja Janamejaya di Hāstinapura (putra
Mahārāja Parīkṣit). Di dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana yang
melangsungkan Sarpayajña adalah Prabu Yudayana di Ngastina (putra Prabu
Dipayana atau Prabu Parikesit). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

196
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Mahārāja Janamejaya dapat disamakan dengan Prabu Yudayana (karena


keduanya dikatakan sesama putra Mahārāja Parīkṣit). Dapat dikatakan pula
bahwa Prabu Yudayana merepresentasikan Mahārāja Janamejaya (dalam
Ādiparwa).
2. Di dalam Ādiparwa terjadinya Sarpayajña disebabkan pertama kutuk Kadrū
kepada para naga anaknya (termasuk Takṣaka) karena semula mereka menolak
perintah ibunya untuk memerciki dengan bisa ekor kuda Uçcaihçrawā agar
berwarna hitam (kṛṣṇacāmara). Penolakan itu disebabkan karena para naga
menganggap bahwa perintah ibunya itu tidak pantas, tetapi ibunya sudah
terlanjur bertaruh dengan Winatā tentang warna kuda Uçcaihçrawā. Akhirnya
para naga memerciki ekor kuda Uçcaihçrawā dengan bisa sehingga berwarna
hitam dan Winatā kalah bertaruh dengan Kadrū. Akibatnya Winatā dijadikan
budak Kadrū, sampai akhirnya anaknya, Garuḍa membebaskannya (Juynboll,
1906: 45; Zoetmulder, 1958: 91; Widyatmanta, 1968: 53-63). Kedua, dendam
Uttangka kepada Takṣaka karena ia pernah diganggunya sewaktu ia pulang
dari Ayodya sambil membawa anting-anting matahari yang dimintanya dari
Sāwitrī (permaisuri Maharaja Posya). Anting-anting matahari tersebut akan
dipersembahkan oleh Uttangka kepada istri gurunya. Sewaktu Uttangka
mandi menyegarkan tubuh, Takṣaka yang sangat menginginkan sinar anting-
anting matahari tersebut mengambilnya. Dengan susah payah dan atas
bantuan Sang Hyang Indra dan Sang Hyang Agni (yang menjelma sebagai
kuda), maka Takṣaka dipaksa menyerahkan kembali anting-anting matahari
tersebut. Sekalipun anting-anting matahari itu sudah kembali tetapi Uttangka
menaruh dendam kepada Takṣaka, sehingga pada suatu ketika ia menghadap
Mahārāja Janamejaya untuk memberitahukan bahwa ayahanda Baginda, yaitu
Mahārāja Parīkṣit mangkat karena digigit Takṣaka. Selanjutnya Uttangka
meminta Mahārāja Janamejaya untuk melangsungkan korban ular sebagai
hukuman kepada Takṣaka (Juynboll, 1906: 54; Zoetmulder, 1958: 103;
Widyatmanta, 1968: 21-25). Mahārāja Janamejaya kemudian menanyakan
kebenaran perkataan Uttangka kepada para mentrinya dan mereka semua
membenarkannya. Karena itu Mahārāja Janamejaya kemudian memerintahkan
untuk melangsungkan korban ular menurut permintaan Uttangka.
Di dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana dikemukakan bahwa
Sarpayajña yang dilangsungkan oleh Prabu Yudayana tersebut disebabkan
karena dendam dan kemarahan Prabu Yudayana terhadap Taksaka Raja.
Sebenarnya Prabu Dipayana (Parikesit) tersebut muksa bersama istri-istrinya
bukan disebabkan karena digigit Taksaka Raja. Ketika Taksaka Raja menjilat
ujung ibujari kaki Prabu Dipayana maka bersamaan itu pula Prabu Dipayana
merapalkan mantra kemuksaan. Sementara itu tindakan Taksaka Raja
sewaktu menjilat ujung ibujari kaki Baginda pun dipergunakannya sebagai
sarana muksa kembali ke surga. Dengan demikian sebenarnya Taksaka Raja
pun muksa bersama-sama dengan Prabu Dipayana. Akan tetapi hal ini tidak

197
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

diketahui oleh Prabu Yudayana sehingga menimbulkan kemarahan yang tak


terhingga untuk menumpas semua ular di manapun.
3. Di dalam Ādiparwa dikemukakan tentang kisah Brahmana Jaratkāru yang
sempurna mantranya. Tetapi ia sangat bersedih hati ketika menyaksikan
leluhurnya tergantung terbalik pada sebatang bambu yang dikerati tikus.
Terlebih lagi di bawahnya terlihat jurang yang curam, jalan menuju ke
neraka. Hal ini disebabkan karena keturunan leluhur tersebut yaitu Jaratkāru
menjadi seorang Brahmacari sehingga tidak mempunyai istri dan keturunan.
Karena kasihan kepada leluhurnya tersebut, akhirnya Jaratkāru bersedia
beristri dengan wanita yang senama dengan dia yaitu Jaratkāru. Jaratkāru
akhirnya dikawinkan dengan Nāginī Jaratkāru, adik Sang Hyang Bāsuki.
Dari perkawinan Jaratkāru dengan Nāginī Jaratkāru lahirlah Āstīka. Dengan
kelahiran Āstīka tersebut maka para leluhur (pitara) Jaratkāru yang tergantung
pada seutas tali dapat melayang kembali ke surga mengenyam hasil tapanya
dahulu. Bagi keluarga Naga kelahiran Āstīka adalah untuk membebaskan
mereka dari kepunahan akibat korban ular Mahārāja Janamejaya (Juynboll,
1906: 28; Zoetmulder, 1958: 105; Widyatmanta, 1968: 39). Di dalam Sěrat
Darmasarana II maupun Sěrat Yudayana tidak terdapat naratif tentang
Brahmana Jaratkāru, Nāginī Jaratkāru maupun putranya Āstīka. Hanya di
dalam Sěrat Yudayana muncul tokoh Dewi Sarini, putri Naga Raja Sarana
(pelindung para naga) yang tinggal di Gunung Mahendra.
4. Di dalam Ādiparwa upacara korban ular tersebut didukung oleh para
bhagawān, brahmana, antara lain adalah: Bhagawān Caṇdabhārgawa, anak
Bhyawanasthīrahotar yang membaca Ṛgweda; Bhagawān Koça menyanyikan
Sāmaweda; Bhagawān Janmanikuṇda membaca Atharwaweda; Bhagawān
Jyotisinggalāmbāyu membaca Yajurweda. Adapun pemimpin umum upacara
pengorbanan tersebut adalah Bhagawān Byāsa bersama para muridnya
(Juynboll, 1906: 54-55; Zoetmulder, 1958: 107; Widyatmanta, 1968; 76-77;
Tedjowirawan, 2004: 12). Adapun di dalam Sěrat Yudayana, Patih Dwara
dan Patih Danurwedha sebenarnya tidak sependapat dengan keinginan Prabu
Yudayana untuk melakukan Sarpayajña, sebab menurutnya tidak semua naga
jahat. Akan tetapi Patih Dwara dan Patih Danurwedha tidak kuasa untuk
mencegah keinginan rajanya, sehingga dengan berat hati mereka mengiringi
Prabu Yudayana dan pasukannya di dalam melakukan penyerbuan ke tempat-
tempat yang diduga dihuni para naga.
5. Di dalam Ādiparwa bahwa prosesi Sarpayajña tersebut dilakukan dengan
cara membuat tungku korban seluas 2 yojana (tonggak, pal) yang diukur oleh
Sang Brahmana serta dimantrai dengan mantra sakti. Akan tetapi, ketika para
Brahmana mengukur tungku pengorbanan tersebut, mereka sudah diberitahu
oleh suara dari angkasa bahwa kelak korban ular Mahārāja Janamejaya
akan mendapat rintangan dari seorang brahmana (Juynboll, 1906: 54-55;
Zoetmulder, 1958: 107; Widyatmanta, 1968; 76-77; Tedjowirawan, 2004:

198
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

12). Adapun di dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana Sarpayajña


tersebut dilakukan dengan cara menyerbu ke tempat-tempat yang diduga dihuni
para naga, seperti dikemukakan di atas. Adapun tempat-tempat yang diserbu
oleh Prabu Yudayana dan pasukan Ngastina antara lain adalah: a) Taksakasila,
tempat kediaman Taksaka Raja, b) Hutan Lagra, c) Hutan Gadamadana dekat
Tebrasara, sebelah barat Gunung Candramuka (Merbabu), sebelah selatan
Gunung Candrageni (Merapi), d) Gunung Mahendra sebelah selatan, tempat
tinggal Naga Siluman (Naga Raja Sarana). Di dalam penyerbuan tersebut
pasukan Ngastina bersenjatakan parasu, kunta, alugara, cacap, lěmbing,
nanggala, candrasa, gada, dan gandhi. Penyerbuan tersebut juga diikuti
oleh para pendeta dan para mpu yang dimaksudkannya untuk menawarkan
kesaktian naga. Daerah Taksakasila, tempat kediaman Taksaka Raja rupanya
diambil dari Ādiparwa yaitu Tatsīla, sebuah kerajaan yang ditaklukkan oleh
Maharaja Janamejaya.
6. Baik di dalam Ādiparwa maupun dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat
Yudayana dijelaskan bahwa para naga yang mati tidak terhingga jumlahnya.
Di dalam Ādiparwa seperti dikemukakan di atas, pelukisan para naga
yang tersedot kemudian jatuh ke dalam tungku korban api tersebut sangat
mengerikan. Bahkan Dewa Indra, yang melindungi sahabatnya Taksaka pun
tak kuasa bertahan karena ia pun takut jangan-jangan tertarik oleh kesaktian
mantra para brahmana dan jatuh ke dalam tungku api korban. Jenis-jenis
para naga pun bermacam-macam. Ada yang berleher tiga, berleher lima,
atau berleher tujuh. Di dalam Sěrat Darmasarana II maupun Sěrat Yudayana
penumpasan yang dilakukan Prabu Yudayana dan pasukannya pun sangat
mengerikan, akan tetapi tidaklah sedahsyat dan mencekam seperti pelukisan
Sarpayajña di dalam Ādiparwa.
7. Baik di dalam Ādiparwa maupun Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana
maka Sarpayajña tersebut tidak sempurna. Di dalam Ādiparwa, Sarpayajña itu
dihentikan karena Āstīka diminta oleh Sang Hyang Basuki untuk menghadap
Maharaja Janamejaya untuk mengakhiri korban ular tersebut. Dengan memuji-
muji dan merayu tentang kesempurnaan korban ular tersebut serta keutamaan
Maharaja Janamejaya maka Baginda terkena hatinya dan akan mengabulkan
semua permohonan Āstīka. Āstīka pun menggunakan kesempatan tersebut
untuk mohon dihentikannya korban api tersebut karena ia sangat kasihan
melihat saudara-saudaranya. Tepat sejauh sebatang tombak jaraknya
tubuh nāga Takṣaka dari tungku api korban maka Maharaja Janamejaya
mengabulkan permohonan Āstīka. Takṣaka yang luput dari maut itu pun
segera melesat pergi kembali ke angkasa (Juynboll, 1906: 55-58; Zoetmulder,
1983: 82; Widyatmanta, 1968: 77-81). Di dalam Sěrat Darmasarana II dan
Sěrat Yudayana berakhirnya penyerbuan ke tempat-tempat tinggal para naga
tersebut disebabkan karena Prabu Yudayana tergiur oleh kecantikan Naga
Dewi Sarini serta ketidakmampuannya melawan kesaktian Naga Raja Sarana,

199
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

pelindung naga golongan baik. Apabila di dalam Ādiparwa Takṣaka luput


dari maut, padahal tinggal sebatang tombak jaraknya dari tungku api korban,
sebaliknya di dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana, Taksaka Raja
yang juga menjadi sasaran utama Sarpayajña tersebut tidak ditemui. Hal ini
tidak dimengerti oleh Prabu Yudayana karena sebenarnya Taksaka Raja sudah
kembali ke surga bersamaan waktunya dengan muksanya Prabu Dipayana.
8. Di dalam Ādiparwa tidak dijelaskan kapan waktu dilangsungkannya
Sarpayajña oleh Mahārāja Janamejaya. Hanya dijelaskan bahwa upacara
Sarpayajña tersebut dilakukan setelah Mahārāja Janamejaya melangsungkan
pernikahannya dengan Dewi Bhāmuṣṭimān. Di dalam Sěrat Darmasarana
II dan Sěrat Yudayana dijelaskan pada waktu itu Prabu Yudayana juga
sudah memiliki permaisuri yaitu Dewi Gendrawati. Adapun Sarpayajña
tersebut dilakukan Prabu Yudayana pada tahun: 1) Tahun Ananda, terhitung
tahun Suryasangkala 773, dengan ditandai sangkala berbunyi Gunaning-
rĕsi-kasapta, atau tahun Candrasangkala 797, dengan ditandai tahun
Sangkalan berbunyi Swara-trus-prawata, 2) Tahun Rakcaka, terhitung tahun
Suryasangkala 774, dengan ditandai sangkalan berbunyi Wahana-turangga-
gora, atau tahun Candrasangkala 798, dengan sangkalan Bujangga-rudraka-
sapta, pada masa Kartika, hari Rěspati “Kamis”, 3) Tahun Pinggala, terhitung
tahun Suryasangkala 775, dengan Sangkalan Yaksa-sapta-kaswara, atau
tahun Candrasangkala 799, dengan Sangkalan Wiwara-trus-prawata, pada
masa Manggasri, hari Soma Kasih.

J. Sěrat Darmasarana sebagai Resepsi Ādiparwa, Mosalaparwa dan


Prasthānikaparwa
Dalam Bab I (landasan teori) telah dikemukakan bahwa menurut Teeuw
teks adalah ’dokumen bahasa’ yang tersedia untuk dibaca oleh pembaca (Teeuw,
1986: 16). Dalam teori sastra khususnya strukturalisme terdapat pandangan
bahwa teks karya sastra adalah sesuatu yang konstan dan mantap serta mempunyai
struktur yang utuh dan bulat (Teeuw, 1988: 250-252). Dalam kenyataan sejarah
teks, nampak bahwa teks manapun juga cenderung berubah dan tidak stabil
wujudnya sepanjang masa. Teks memang memiliki kemantapan tertentu dan
perlu dibaca serta ditafsirkan menurut keutuhan strukturnya dan kebulatan makna
intrinsiknya. Namun demikian berkat sifat dan potensinya teks juga terbuka untuk
perubahan berkat pembacaan dan penafsiran dari pihak pembaca. Dalam rangka
resepsi atau sambutan pembaca perubahan teks itu dapat dilihat dalam berbagai
bentuk, khususnya dalam penyalinan, penyaduran dan penerjemahan (Teeuw,
1988: 214; Wiryamartana, 1990: 9-10). Dalam transformasi teks dapatlah
dikenali tanggapan penciptanya atas teks yang dibacanya terdahulu. Jadi dalam
penelitian yang berpusat pada teks ini, pembaca bukanlah pembaca aktual, seperti
dalam resepsi yang bersifat eksperimental, melainkan pembaca yang ada dibalik
teks yang diciptakannya (Teeuw, 1988: 208-210; Wiryamartana, 1990: 10). Oleh

200
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

karena itu dalam penelitian ini tanggapan pembaca dimengerti sebagai sisi lain dari
perubahan atau penciptaan teks. Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam pengamatan
itu terlibatlah peranan peneliti sebagai pembaca dan penafsir teks. Dalam rangka
resepsi sastra peneliti merupakan mata terakhir dalam rantai sejarah, yang ikut
dalam proses penilaian selaku pembaca (Teeuw, 1988: 200).
Apabila dicermati secara seksama di dalam Mahābhārata Sanskerta
maupun Mahābhārata Jawa Kuna dengan bagian-bagian parwanya maka apabila
diperbandingkan dengan Sĕrat Pustakaraja beserta kontruksi teksnya, dapatlah
dipahami apabila Sri Mulyana menyatakan bahwa Sĕrat Pustakaraja adalah
Mahābhārata versi Indonesia (Jawa). Sudah barang tentu di dalam mengadaptasi,
menginovasi, mentransformasikan Mahābhārata Jawa Kuna tersebut penulis
Sĕrat Pustakaraja yaitu R. Ng. Ranggawarsita sengaja menyesuaikan dengan
alam pikiran Jawa dan maksud tujuan penulisannya.
Di dalam Ādiparwa sendiri disamping terdapatnya Sarpayajña yang
dilakukan Mahārāja Janamejaya maka isi cerita di dalamnya sangat kompleks,
kurang lebih 32 topik seperti dikemukakan pada Bab VI.8. Dari ke 32 topik di atas
maka di dalam Sĕrat Pustakaraja R. Ng. Ranggawarsita menanggapi (meresepsi)
ke dalam 21 topik yang kemudian di dalam pewayangan dikenal 21 lakon. Ke
21 lakon pewayangan yang bersumberkan Ādiparwa tersebut yaitu: 1) Lakon
Angruna-Angruni; 2) Lakon Sakri Lair; 3) Lakon Sakri Rabi; 4) Lakon Palasara
Lair; 5) Lakon Palasara Rabi; 6) Lakon Abiyasa Maděg Ratu; 7) Lakon Pandhu
Lair; 8) Lakon Narasoma; 9) Lakon Bima Bungkus; 10) Lakon Bambang Sucitra;
11) Lakon Pandhu Mékrat; 12) Lakon Kumbayana; 13) Lakon Balé Sagala-gala;
14) Lakon Pandhawa Babad; 15) Lakon Karna Maling; 16) Lakon Jayadrata
Rabi; 17) Lakon Sayěmbara Gandamana; 18) Lakon Parta Krama; 19) Lakon
Gathutkaca Lair; 20) Lakon Angkawijaya Lair; 21) Lakon Parikěsit Grogol (Padija,
1973: 118-137). Teks-teks naratif dari tokoh-tokoh di atas yang di dalam Ādiparwa
diuraikan secara singkat tersebut di dalam teks Jawa Baru diresepsi menjadi teks
yang cukup panjang dan kemudian dijadikan sebagai sumber lakon wayang seperti
dikemukakan di atas. Di dalam Sĕrat Darmasarana sendiri, lakon wayang yang
sangat jelas dapat ditelusuri adalah lakon Parikěsit Grogol.
Apabila dicermati secara seksama dalam subbab-subbab pada bab VI
seperti telah dikemukakan di atas, maka nampaklah bahwa Sĕrat Darmasarana
adalah sebagian resepsi, sambutan, tanggapan pujangga R. Ng. Ranggawarsita atas
Ādiparwa, Mosalaparwa dan melanjutkan naratif di dalam Prasthānikaparwa.
Bukti-bukti ini dapat dikemukakan diantaranya sebagai berikut:
Di dalam Ādiparwa, struktur naratif Mahārāja Parīkṣit digigit Takṣaka dan
prosesi Sarpayajña yang dilakukan oleh Mahārāja Janamejaya yang dikemukakan
secara singkat ternyata di dalam Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana
dikemukakan secara panjang lebar oleh R. Ng. Ranggawarsita. Kalau di dalam
naratif Mahārāja Parīkṣit maupun prosesi Sarpayajña Mahārāja Janamejaya
hanya ditampilkan beberapa tokoh saja, akan tetapi di dalam Sĕrat Darmasarana

201
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

tokoh-tokoh yang ditampilkan sangat banyak, sekitar 435 tokoh. Dalam kuantitas
teksnya pun seperti telah dikemukakan di atas Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat
Darmasarana II mencapai tidak kurang dari 367 halaman, jauh lebih banyak
dibandingkan yang ditemukan di dalam Ādiparwa.
Jika dilihat dari perbandingan mangkatnya Mahārāja Parīkṣit karena
digigit Takṣaka seperti diuraikan pada Bab VI.8, maka hasil tanggapan pembaca
R. Ng. Ranggawarsita adalah muksanya Prabu Parikesit bukannya digigit oleh
Taksaka, melainkan hanya dijilat ujung ibujari kakinya oleh Taksaka Raja, yang
bersama-sama menggunakan sarana tersebut untuk muksa. Kalau di dalam
Ādiparwa mangkatnya Mahārāja Parīkṣit hanya sendirian, maka di dalam
Sěrat Darmasarana dijelaskan bahwa beliau muksa karena ingin mengiringi
ibundanya yaitu Dewi Utari yang ingin segera berkumpul dengan suaminya, Arya
Abimanyu. Jika di dalam Ādiparwa ketika Mahārāja Parīkṣit tersebut mangkat,
pada waktu itu Janamejaya masih kanak-kanak, maka dalam Sěrat Darmasarana
dikemukakan sewaktu Prabu Parikesit muksa, Prabu Yudayana sudah dewasa dan
sudah menduduki tahta menggantikan ayahandanya.
Di dalam Ādiparwa prosesi Sarpayajña yang dilakukan oleh Mahārāja
Janamejaya seperti diuraikan pada Bab VI.5, maka memperoleh tanggapan dari
R. Ng. Ranggawarsita berupa Sarpayajña yang dilakukan oleh Prabu Yudayana
seperti diuraikan pada Bab VI.7. Tanggapan R. Ng. Ranggawarsita atas peristiwa
tersebut dilakukan dengan latar belakang dan cara yang berbeda dibandingkan
yang terdapat di dalam Ādiparwa, sebab kalau di dalam Ādiparwa, Sarpayajña
yang dilakukan dengan cara membuat tungku api korban, sedangkan di dalam Sěrat
Darmasarana II dan Sěrat Yudayana, Sarpayajña tersebut dilakukan dengan cara
melakukan penyerbuan ke tempat-tempat yang diduga dihuni oleh banyak naga
(ular). Berakhirnya Sarpayajña di kedua teks tersebut juga dikemukakan berbeda.
Apabila di dalam Ādiparwa, Sarpayajña tersebut dihentikan oleh Mahārāja
Janamejaya karena hormatnya dan kasihnya kepada Brahmana Āstīka, maka di
dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana penghentian Sarpayajña tersebut
dihentikan Prabu Yudayana karena dia tergiur oleh kecantikan naga kencana, Dewi
Sarini, serta ketidakmampuannya melawan mertuanya, Naga Raja Sarana. Di
sini juga terdapat perbedaan, kalau di dalam Ādiparwa disebutkan bahwa Āstīka
adalah brahmana laki-laki (mijil ta raré laki-laki paripūrṇāwayawa. Inaranan ta
sang Āstīka, āpan ”asti” ling sang bapa ngūni), sedangkan Dewi Sarini jelas
seorang putri naga. Meskipun demikian persamaan keduanya menampakkan diri
sebagai keluarga naga.
Dilihat dari sudut penokohannya juga, di dalam Sěrat Darmasarana
tampil tokoh pembantu yang peranannya juga sangat penting, misalnya Bagawan
Baladewa dan Satyaki. Tanggapan dan sambutan yang dikemukakan R. Ng.
Ranggawarsita atas kedua tokoh tersebut ternyata menunjukkan perbedaan yang
sangat besar apabila dibandingkan dengan penampilan mereka dalam Mahābhārata
khususnya dalam Mosalaparwa (Parwa ke-16 dalam Mahābhārata).

202
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Tanggapan R. Ng. Ranggawarsita atas Bagawan Baladewa adalah bahwa


pada waktu itu Bagawan Baladewa sudah tua renta, tetapi masih memiliki
berbagai macam kesaktian. Di samping itu, Bagawan Baladewa menunjukkan
sosok yang bertanggung jawab serta rela berkorban demi kepentingan negara
(Ngastina). Hal itu ditunjukkan bahwa sewaktu kerajaan Ngastina diserbu Prabu
Niradhakawaca dari Ima-imantaka, Bagawan Baladewa turut serta menahan
serangan musuh. Dengan senjata sakti Nanggala, segala kesaktian Prabu
Niradhakawaca dapat dipunahkan. Prabu Niradhakawaca kemudian dengan licik
memperdaya Bagawan Baladewa dengan menyamar sebagai Arya Dyastara untuk
meminjam Nanggala dengan dalih untuk mengusir musuh. Karena belas kasihnya
kepada Arya Dyastara (cucunya), maka senjata Nanggala miliknya diberikan.
Setelah Bagawan Baladewa menyadari kelengahannya bahwa dirinya diperdaya
musuhnya, ia berupaya merebut kembali senjatanya. Prabu Niradhakawaca
kemudian mencipta angin ribut bercampur kabut. Bagawan Baladewa yang sudah
berusia lanjut itu tidak tahan, tubuhnya menggigil kedinginan, akhirnya gugur
dan muksa. Peristiwa itu menimbulkan huru-hara, guruh bergemuruh, halilintar
meledak menyambar-nyambar. Dari langit para dewa menghujaninya dengan
bunga harum semerbak menyebar wangi. Peristiwa gugurnya Bagawan Baladewa
serta sambutan dan penghormatan para dewa yang luar biasa di atas sekaligus
menunjukkan pula ketinggian kedudukan serta keutamaan Bagawan Baladewa.
Gugurnya Bagawan Baladewa dalam Sĕrat Darmasarana tersebut
sangat berbeda apabila dibandingkan dengan kembalinya Baladewa (Rama)
di dalam Mosalaparwa (bagian ke 16 Mahābhārata). Di dalam Mosalaparwa
dikemukakan:

Katon ta sang Baladewa sumaṇḍeng wit ning kayu magawe yogadhāraṇā.


Umijil tang nāga sake tutuk nira, aputih warnanya abāng tutuknya,
sinungsung de ning nāga kabeh, Takṣaka Kumuda Suṇḍarīka Hrāda
Durmukha prawṛddhi (?) makādi sang Baruṇa, manungsung ring
pādyārghācamanīya, wěkasan lunghā mulih ring pātāla. An mangkana
lwir sang Baladewa, hārohara tāmběk bhaṭāra Kṛṣṇa (Zoetmulder,
1958: 116).

Dari kutipan di atas dapat dikemukakan bahwa setelah keluarga Wrishni


dan Andhaka (Andhakasa dalam tradisi Bali) musnah karena saling bunuh, Rama
(Baladewa) dan Kresna (Wasudewa, Kesawa) mempersiapkan diri kembali ke
surga. Namun, terlebih dahulu Kresna (Krishna) menghadap ayahandanya untuk
memohon diri serta menitipkan para istrinya (16.000) untuk sementara sampai
Dhananjaya (Arjuna) datang menjaganya. Sesampainya kembali ke tempat
Baladewa, Kresna masih dapat menyaksikan Baladewa duduk bersandar di tempat
semula serta terserap ke dalam yoga yang sangat dalam. Kemudian dari dalam
rongga mulutnya keluar seekor ular yang luar biasa. Kulitnya putih cemerlang,

203
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

kepalanya beribu-ribu, dan bertubuh sebesar gunung. Mata naga yang dahsyat
tersebut merah menyala-nyala. Sewaktu bergerak menuju lautan maka dewa laut,
para naga, dan dewa-dewa sungai menyambutnya. Mereka yang menyambut roh
suci Baladewa di antaranya adalah Karkotaka, Wasuki, Takshaka, Prithusrawa,
Waruna, Kunjara, Misri, Sankha, Kumuda, Pundarika, roh suci Dhristarashtra,
Hrada, Kratha, Sitikantha, Chakramanda, Atishanda, naga-naga utama bergelar
Durmukha dan Amwarisha. Mereka mempersembahkan Arghya, air pencuci kaki
dan upacara-upacara lain serta memuja naga dahsyat tersebut (Nila, 1979: 13-14;
Zoetmulder, 1958: 116).
Peristiwa mangkatnya Baladewa yang menakjubkan di dalam
Mosalaparwa di atas sekaligus menunjukkan ketinggian kedudukan serta
keutamaan Baladewa sebagai penjelmaan roh suci naga yang luar biasa. Peristiwa
gugurnya Bagawan Baladewa serta sambutan dan penghormatan para dewa
yang luar biasa di dalam Sĕrat Darmasarana tidaklah sedahsyat serta seagung
pelukisan kembalinya roh suci Baladewa (Rama) seperti yang dipaparkan dalam
Mosalaparwa. Namun, di dalam Mosalaparwa tidak ditemukan bukti-bukti
yang cukup kuat untuk mengatakan keterlibatan Baladewa dalam pemerintahan
Parīkṣit. Apabila dalam Mosalaparwa dikemukakan bahwa Baladewa lebih
dahulu muksa dibandingkan dengan Kresna (Krishna) dan para Pandhawa, maka
dalam Sĕrat Darmasarana sebaliknya. Bagawan Baladewa mangkat (muksa)
jauh lebih kemudian dibandingkan dengan Kresna maupun para Pandhawa.
Dalam Mahābhārata, gugurnya Satyaki pun terdapat dalam Mosalaparwa.
Dikemukakan di dalamnya bahwa Samba, Sarana, dan kelompok kesatria bangsa
Wrishni (Wresni) mencoba mengelabuhi para Brahmana dengan pertanyaan yang
bersifat menghina. Mereka mengarak Samba yang menyamar sebagai wanita
hamil ke hadapan para Brahmana dan memintanya menebak secara tepat apa yang
akan dilahirkan dari kandungannya itu. Para Brahmana menjadi sangat marah
dan keluarlah kutukannya yang sangat dahsyat bahwa Samba akan melahirkan
sebuah tongkat besi (bom) yang akan meledak menghancurkan bangsa-bangsa
Wrishni dan Andhakasa (Nila, 1979: 7-8; Zoetmulder; 1958: 112). Pada saat
gejala-gejala yang menunjukkan kehancuran bangsa-bangsa Wrishni dan Yadawa
semakin menghebat, maka rakyat Wrishni pun semakin liar, semuanya dikuasai
nafsu. Mereka berani meminum minuman keras dan bermabuk-mabukan di
hadapan Kresna (Kṛṣṇa). Dalam keadaan mabuk, Yuyudhana menertawakan dan
menghina Kritawarman (Kartamarma) atas perbuatan rendahnya membunuh
putra-putra Draupadi serta Dhrishtadyumna maupun Sikhandin (Srikandi) yang
sedang tidur. Kritawarman pun membalas hinaan itu dengan mencela kecurangan
Satyaki sewaktu membunuh Bhurisrawa yang tidak lagi bersenjata, yang telah
meninggalkan medan pertempuran dan sedang duduk mengatur nafas untuk
memulihkan tenaga. Satyaki menjadi sangat marah, sehingga menerjang dan
memenggal kepala Kritawarman di hadapan Kresna. Ketika melihat itu, para
Bhoja dan Andhakasa pun menjadi marah dan menerjang Satyaki dari segala

204
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

jurusan. Putra Rukmini segera membantu Satyaki. Mereka bertempur bahu-


membahu dengan gagahnya melawan para penyerbu, sampai akhirnya keduanya
tewas di hadapan Kresna sendiri (Nila, 1979: 11-12; Zoetmulder, 1958: 115-
116). Di dalam Mosalaparwa percekcokan antara Yuyudhāna dengan Sang
Kṛtawarmā yang mengakibatkan pertempuran di antara keluarga mereka sehingga
menyebabkan gugurnya Satyaki dapat dilihat pada kutipan berikut:

An mangkana wuwus sang Yuyudhāna, agirang ta sang


Pradyumna wākcapala, atěhěr manudingi sang Kṛtawarmā. Umalěs
ta sang Kṛtawarmā tumudingi sang Yuyudhāna: ’’Ai kong anak ning
Satyaka, wruh tāku ri tattwanyu ngūni. Ardha sor polahta (n) tugěl bāhu
sang Bhūriśrawā de sang Arjuna ring yuddhakāla, apan so milu lumūda
sarika. Hana pwa wīra matī wwang huwus mati sarika.’’
Mangkana wuwus sang Kṛtawarmā riněngö de sang Kṛṣṇa, krodha sira
ardhārěngu tinghal nira. Umasö ta sang Sātyaki, něhěr mojar i dewī
Satyabhāmā mwah umatuturakěn artha nikang Syamantaka, an sang
Kṛtawarmā mūlanya kālap de sang Śatadhanya. Manangis ta sang
Satyabhāmā kapituturěn ri pati nira ng bapa sang Satrājit pinaribhawa
de sang Satadhanya ri kulěm. Ya ta matang nyan ....(?) ri bhaṭāra Kṛṣṇa.
Tumon pwa ri galaka sang Kṛtawarmā, mangaděg ta sang Sātyaki
mojar i dewī Satyabhāmā: ’’Harah dewi Satyabhāmā, t ahuwusan kita
dīnāśālarānangis. Haywa ta kita kapituturěn ri pati ni bapanta Satrājit
pinaribhawa ring kulěm de ning pāpāśwatthāmā. Tan raka rahadyan
sanghulun, nghulun juga matyana ng duṣṭa sahāya ning Aśwatthāmā.
Bho bhoh panglampwa ta ko doṣanyu mějahi sang Pañcakumāra
Śikhaṇḍī Dhṛṣṭadyumna sěḍěng irāturū kāla ning kulěm. Panglampu ta
ko wěkas ning uripmu ike yuh hara.’’
Mangkana ling sang Sātyaki, inuhutan ta sira de bhaṭāra Kṛṣṇa mwang
sang Babhru, tan anggā sira. Sāhasa tinugěl ta gulū sang Kṛtawarmā,
pěgat tan pasāra. Krodha ta sang Wṛṣṇyandhaka kabeh, mapulihakěn
sang Kṛtawarmā, lāghawa n parěng umasö mangambuli sang Sātyaki.
Sang Yuyudhāna ta sira pinugutan uniṣṭabhojana mwang sang Satyaka.
Sakrodha ta sang Pradyumna sāhasānulunga ndatan wěnang kinabehan
de sang Wṛṣṇyandhakabhoja. Ri wěkasan pějah sang Yuyudhāna
mwang sang bapa sang Satyaka i samīpbhaṭāra Kṛṣṇa. Krodha ta
sang Pradyumna, sang Sāmba, sang Ania ruddha Cārudeṣṇadi śūra
pramukha, parěng mapulihakěn sang Sātyaki. Tar kawěnang sinapihan
de bhaṭāra Kṛṣṇa, apan sěḍěng kapasukan ing kālabahnisanghāra ...
(Zoetmulder, 1958: 115-116).

(Mendengar ucapan Yuyudhāna itu Pradyumna, pahlawan kereta yang


perkasa itu bertepuk tangan tanda setuju. Tetapi Kṛtawarmā yang merasa

205
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

terhina itu tanpa memperdulikan lagi kebesaran nama Sātyaki bangkit


berdiri serata menuding dengan telunjuk tangan kiri dan membentak:
′′Kamu menganggap dirimu sebagai ksatria besar, tetapi kamu telah
membunuh secara kejam Bhūriśrawā yang tidak bersenjata, yang telah
meninggalkan medan pertempuran dan sedang duduk mengatur nafas
untuk memulihkan tenaga.′′ Mendengar ucapannya ini Kesawa (Kṛṣṇa)
mengutuk dan memandang Kṛtawarmā dengan sorot mata sangat tajam
karena marah. Pada saat itu Sātyaki juga melaporkan ke hadapan Kṛṣṇa
bahwa Kṛtawarmā itu telah merampas permata Syamantaka dari tangan
Satrājit. Mendengar laporan ini, Satyabhāmā menangis tersedu-sedu di
atas pangkuan Kṛṣṇa sambil mencurahkan kesebalan hatinya terhadap
perbuatan Kṛtawarmā. Sātyaki berdiri tegak dan berkata: ′′Aku bersumpah
demi kebenaran, bahwa aku akan mengirim penjahat ini dalam keadaan
jaga, untuk menyusul putra-putra Draupadi (Pañcakumāra) yang telah
dibunuhnya. Juga untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya ke
hadapan Dhṛṣṭadyumna dan Śikhaṇḍī. Mereka itu semua telah dibunuh
oleh penjahat ini ketika sedang tidur. Pembunuhan itu dilakukan atas
bantuan Aśwatthāmā putra Mahaguru Drona. Baiklah wahai ibunda
suri, usia Kṛtawarmā segera akan berakhir.′′ Selesai mengucapkan kata-
kata itu, Sātyaki lalu menerjang dan memenggal kepala Kṛtawarmā.
Marahlah keluarga Sang Wṛṣṇyandhaka. Semua membela Sang
Kṛtawarmā. Semua maju serempak menyerang Sātyaki. Sang Yuyudhāna
melanjutkan serangan-serangannya membantu Sātyaki. Marahlah Sang
Pradyumna untuk menolong Sātyaki yang sedang diserang keluarga
Wṛṣṇyandhaka. Akhirnya tewaslah Sang Yuyudhāna dan ayahnya Sang
Sātyaki di hadapan Kṛṣṇa. Marahlah Sang Pradyumna, Sang Sāmba,
Sang Ania ruddha Cārudeṣṇadi yang pemberani, semuanya membela
Sang Sātyaki. Bhaṭāra Kṛṣṇa tidak kuasa untuk melerai, sebab semuanya
sudah dirasuki nafsu angkara ... (Nila, 1979: 11-12).

Apabila gugurnya Satyaki dalam kitab Mosalaparwa dan Sĕrat



Darmasarana diperbandingkan, ternyata terdapat perbedaan yang jauh. Di
dalam Sĕrat Darmasarana dikemukakan bahwa Prabu Satyaki (raja Lesanpura)
datang ke Dwarawati untuk membantu Prabu Satyaka yang diserbu Prabu
Kismaka putra mendiang Prabu Bomanarakaswara, raja di Tarajutiksna. Dalam
pertempuran yang dahsyat melawan Prabu Kismaka, Prabu Satyaki sampyuh
’mati bersama-sama’. Oleh karena itu Prabu Satyaki bukan gugur karena
keroyokan para Bhoja dan Andhakasa (Mosalaparwa), melainkan ia gugur
sampyuh dalam pertempurannya melawan Prabu Kismaka raja Tarajutiksna
(Sĕrat Darmasarana hal. 6), dan bukan pula di Prabasa (Mosalaparwa),
melainkan di Dwarawati (Sĕrat Darmasarana). Di samping itu, kalau di
dalam Mosalaparwa gugurnya Satyaki lebih dahulu daripada Kresna dan para

206
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Pandawa, dalam Sĕrat Darmasarana gugurnya Satyaki jauh lebih kemudian


dibandingkan Kresna maupun para Pandawa.
Hal yang menarik perhatian adalah resepsi dan sambutan R. Ng.
Ranggawarsita atas Prasthānikaparwa. Dikemukakan di dalam Prasthānikaparwa
bahwa menjelang muksa maka para Pāṇḍawa melakukan persiapan-persiapan,
diantaranya berziarah atau mengunjungi tempat-tempat suci sambil melakukan
yoga. Di dalam Sěrat Darmasarana rupanya hal ini mengilhami Patih Dwara
untuk menyarankan kepada Prabu Dipayana (Parikesit) untuk meneladani jalan
leluhurnya (para Pandawa) menjelang muksa. Dengan cara juga berjalan keluar
wilayah kerajaannya seraya memperbincangkan ilmu-ilmu kesempurnaan agar
supaya di dalam muksanya kelak dapat tepat mencapai surga. Hal ini tersurat
dalam dialog antara Patih Dwara dengan Prabu Dipayana seperti dipaparkan pada
Bab VI.6. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa dalam resepsinya Sěrat
Darmasarana dimaksudkannya sebagai kelanjutan dari Prasthānikaparwa.
Hal yang menarik perhatian juga adalah munculnya Prabu Niradhakawaca
raja di Ima-imantaka yang dikatakan sebagai cucu Prabu Niwatakawaca.
Tampilnya tokoh Prabu Niradhakawaca ini mengingatkan kita pada Kakawin
Arjunawiwāha gubahan Mpu Kanwa pada masa pemerintahan Airlangga.
Permusuhan yang timbul antara Arjuna melawan Niwatakacawa di dalam
Kakawin Arjunawiwāha tersebut rupanya berlanjut kepada cucu-cucu mereka
yaitu Prabu Niradhakawaca dan Prabu Dipayana (Parikesit). Kesaktian dahsyat
yang dimiliki Prabu Niradhakawaca yang berupa Běsi Aji yang berada di pangkal
lidahnya tersebut mengingatkan kita pada kesaktian serupa yang dimiliki Prabu
Niwatakawaca. Dalam hal ini tampilnya Prabu Niradhakawaca di atas secara
sengaja rupanya untuk memberi kesan kepahlawanan Prabu Dipayana sebagai
penguasa kerajaan Ngastina.
Dari uraian yang dipaparkan di atas sekali lagi dapat dikatakan bahwa
Sĕrat Darmasarana adalah sebagai resepsi sebagian Ādiparwa, Mosalaparwa
dan Prasthānikaparwa.

207
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Bab VI
Genealogi dalam Sĕrat Darmasarana

Di dalam bab ini dikemukakan lima subbab, yaitu: 1) Genealogi sebagai


Legitimasi Kekuasaan, 2) Genealogi (Silsilah) Nenek Moyang Raja-raja Mataram
Susunan Brandes, 3) Genealogi dalam Sěrat Darmasarana, 4) Persesuaian Sěrat
Pranitiradya dengan Ramalan Jayabaya, 5) Mitisisasi dan Historisasi dalam
Tradisi Historiografi Jawa. Adapun kelima subbab tersebut dapat dipaparkan
sebagai berikut:

A. Genealogi sebagai Legitimasi Kekuasaan


Genealogi (genealogy) adalah garis keturunan manusia dalam
hubungan keluarga sedarah. Kedudukan nenek moyang melalui kerangka
genealogis dipandang sangat penting dalam budaya Jawa. Naratif yang
berupa genealogi dapat membantu melegitimasi kekuasaan seorang
raja. Jika dipahami dari sudut kekerabatan, maka genealogi sebenarnya
merupakan perwujudan dari pemujaan nenek moyang, yang mempunyai
peran penting dalam tradisi kehidupan ritual orang Jawa. Dengan
pemujaan nenek moyang, maka akan diperoleh kedamaian hidup dan
kesejahteraan darinya, karena nenek moyang memberi perlindungan
kepada keturunannya. Keberadaan nenek moyang melengkapi dan
juga memperlihatkan kekuasaan raja, sehingga boleh dikatakan bahwa
nenek moyang menjadi pasangan raja. Pasangan raja dan nenek moyang
sebenarnya menunjukkan keadaan yang tersembunyi dari terpusatnya
kekuasaan. Pandangan yang ideal tentang kekuatan sebagai potensi,
memandang bahwa pemusatan yang dimanifestasikan dalam hirarki
individu-individu yang disatukan secara sengaja memperlihatkan
kepatuhannya pada raja yang menjadi pelindung (Keeler dalam
Widyaseputra, 2001: 49-50).
Dalam historiografi Jawa seperti dalam Sěrat Paramayoga, Sěrat
Pustakaraja, Babad Tanah Jawi, Sěrat Kandhaning Ringgit Purwa, Sěrat
Purwakandha maupun Sujarah Ngarbiyu lan Tanah Jawi, ditunjukkan
adanya garis genealogi raja-raja Jawa. Raja-raja Jawa tersebut dimulai
dari Nabi Adam, para Dewa Hindu, raja-raja pasca Parikesit, raja-raja
Majapahit, raja-raja Demak dan Pajang, raja-raja Mataram hingga raja-
raja Surakarta dan Yogyakarta yang sering disebut dengan Sajarah
Pangiwa lan Paněngěn (Widyaseputra, 2012: 91-92). Garis genealogi itu
dalam tradisi Kapujanggan Surakarta, terutama pujangga istana R. Ng.
Ranggawarsita dibagi menjadi tiga kurun waktu. Pertama, Nabi Adam
sampai dengan Parikesit dimasukkan dalam kurun waktu Purwa dan

208
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

pustakanya disebut Sěrat Pustakaraja Purwa yang benar-benar dibuat R.


Ng. Ranggawarsita. Kedua, raja-raja pasca Parikesit sampai dengan raja-
raja Majapahit dimasukkan dalam kurun waktu Madya dan pustakanya
disebut Sěrat Pustakaraja Madya yang disunting oleh orang-orang lain
setelah wafatnya Ranggawarsita (Mohamed, 1995: 217; Widyaseputra,
2012: 91). Kedua kurun waktu itu direncanakan untuk dilanjutkan
penulisannya dengan kurun waktu yang ketiga, yaitu Wasana, yakni
raja-raja dari periode akhir sebelum kedatangan Islam dan pustakanya
disebut Sěrat Pustakaraja Wasana (Drewes, 1974: 256; Pigeaud, 1926:
21; Widyaseputra, 2012: 91-92).
Tidak dapat dipungkiri bahwa silsilah memainkan peran
yang sangat penting dalam historiografi Jawa, khususnya historiografi
yang berasal dari dalam tradisi besar kraton-kraton Jawa: Kasunanan
Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Pura Mangkunegaran, dan Pura
Pakualaman, karena di dalam silsilah itu dijumpai kehadiran nenek
moyang (pitāmaha), yang berasal dari Sajarah Pangiwa lan Paněngěn
(Widyaseputra, 2008: 211; 2012: 94-95).

B. Genealogi (Silsilah) Nenek Moyang Raja-Raja Mataram Susunan


Brandes
Di dalam Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana, tokoh Prabu
Dipayana, Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana menduduki posisi sentral.
Ketiganya termasuk dalam genealogi (silsilah) nenek moyang raja-raja Mataram
yang disusun oleh Brandes. Genealogi susunan Brandes tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:

1. Adam 28. Pancadriya


2. Sis 29. Anglingdriya
3. Nurcahya 30. Suwalacala
4. Nurrasa 31. Mahapunggung
5. Wenang 32. Kandiawan
6. Tunggal 33. Resi Gentayu
7. Guru 34. Lembu Amiluhur
8. Brama 35. Panji
9. Bramani 36. Kuda-Lalean
10. Tritrusta 37. Banjaran-Sari
11. Parikenan 38. Munding-Sari
12. Manumanasa 39. Munding-Wangi
13. Sakutrem 40. Pamekas
14. Sakri 41. Susuruh

209
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

15. Palasara 42. Prabu Anom


16. Abiasa 43. Adaningkung
17. Pandu 44. Ayam-Wuruk
18. Arjuna 45. Lembu-Amisani
19. Abimanyu 46. Bra-Tanjung
20. Parikesit 47. Bra-Wijaya
21. Udayana 48. Bondan-Kejawen
22. Gendrayana 49. Gentas-Pendawa
23. Jayabaya 50. Gede-Sela
24. Jayamijaya 51. Gede-Ngenis
25. Jayamisena 52. Pamanahan
26. Kusumawicitra 53. Senapati
27. Citrasoma 54. dst. (Berg,1974:133)

Genealogi nenek moyang raja-raja Mataram yang menyerupai susunan


Brandes di atas juga dikemukakan oleh Sri Mulyono. Sri Mulyono menamakan
genealogi susunannya itu sebagai Silsilah Wayang Menurut Babad. Ia pun
menempatkan tokoh Prabu Yudayaka (Arya Prabu Bambang Sudarsana) di
antara Prabu Yudayana dengan Prabu Gendrayana (Sri Mulyono, 1989: 237-
238). Apabila mempertimbangkan genealogi Prabu Dipayana, Prabu Yudayana,
Prabu Gendrayana seperti diuraikan pula dalam Sĕrat Darmasarana di atas, maka
tokoh-tokoh dalam Sĕrat Darmasarana tersebut dapat didudukkan pada posisi
nomor 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21 dan 22, yaitu mulai Manumanasa,
kemudian Sakutrem, Sakri, Palasara, Abiyasa, Pandu, Arjuna, Abimanyu,
Parikesit, Udayana dan Gendrayana. Bahkan, seandainya mempertimbangkan
Sĕrat Yudayana dan sejumlah teks Pustakaraja Madya seperti: Sĕrat Buddhayana,
Sĕrat Gĕndrayana (Prabu Gĕndrayana), Sĕrat Sariwahana, Sĕrat Purusangkara,
Sĕrat Mayangkara, Sĕrat Partakaraja, Sĕrat Ajidarma, Sĕrat Ajipamasa, Sĕrat
Witaradya, Sĕrat Purwanyana, Sĕrat Bandawasa, Sĕrat Déwatacĕngkar, Sĕrat
Widayaka, dan Sĕrat Danèswara maka tokoh-tokohnya berlanjut menduduki
posisi 23 sampai dengan 29. Jadi secara keseluruhan mulai dari Manumanasa
sampai Anglingdriya. Setelah melihat kenyataan di atas, maka pencipataan Sĕrat
Darmasarana, Sĕrat Yudayana, dan teks-teks Pustakaraja Madya adalah dalam
rangka ikut memperkuat genealogi nenek moyang raja-raja Mataram.

C. Genealogi dalam Sěrat Darmasarana


Di dalam Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana maupun teks-teks
Pustakaraja Madya menempatkan genealogi (silsilah) memegang peranan
yang sangat penting. Genealogi yang dikemukakan di dalamnya bukan hanya
genealogi yang bersangkutan dengan tokoh utamanya, seperti Prabu Dipayana
(Parikesit), Prabu Yudayana, maupun Prabu Gendrayana, tetapi juga tampak pada
pemaparan genealogi para tokoh pembantunya. Genealogi (silsilah) dalam Sěrat
210
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Darmasarana yang dapat dikemukakan dalam pembahasan ini adalah sebagai


berikut:
1. Genealogi Prabu Dipayana (Parikesit), Prabu Yudayana, dan Prabu
Gendrayana.
2. Genealogi Manumanasa sampai Anglingdriya.
3. Genealogi Dewi Sritatayi dan Dewi Niyata.
4. Genealogi Bagawan Sidhiwacana.
5. Genealogi Bagawan Sukandha.
6. Genealogi Resi Gurundaya dan Resi Gurunadi.
7. Genealogi Prabu Gandaprawa (Gandara).
8. Genealogi Sang Wiku Mudra.

Adapun kedelapan genealogi di atas dapat dikemukakan sebagai berikut:

Genealogi I
Dipayana (Parikesit), Yudayana dan Gendrayana

Manumanasa

Sakutrem

Sakri

Palasara

Abiasa (Abiyasa)

Pandu

Arjuna

Abimanyu

Parikesit

Udayana (Yudayana)

Gendrayana

Dari genealogi (silsilah) di atas dapat dikatakan bahwa Resi Manumanasa


berputra Resi Sakutrem. Resi Sakutrem berputra Resi (Bathara) Sakri. Resi
Sakri berputra Bagawan Palasara. Bagawan Palasara berputra Bagawan Abiasa

211
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

(Abiyasa). Bagawan Abiasa berputra Prabu Pandu (Pandu Dewanata). Prabu


Pandu berputra Raden Arjuna. Raden Arjuna berputra Raden Abimanyu. Raden
Abimanyu berputra Prabu Parikesit. Prabu Parikesit berputra Prabu Yudayana.
Prabu Yudayana berputra Prabu Gendrayana. Dengan demikian nenek moyang
(pitāmaha) keluarga Pandawa yang dijadikan pilar dalam silsilah tersebut adalah
Raden Arjuna.
Genealogi II
Manumanasa sampai Anglingdriya

Manumanasa

Sakutrem

Sakri

Palasara

Abiasa

Pandu

Arjuna

Abimanyu

Parikesit

Udayana

Gendrayana

Jayabaya

Jayamijaya

Jayamisena

Kusumawicitra

Citrasoma

212
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Pancadriya

Anglingdriya

Dari genealogi II yaitu dari Resi Manumanasa sampai Prabu Anglingdriya,


maka dapat dikatakan bahwa setelah Prabu Yudayana berputra Prabu Gendrayana,
maka Prabu Gendrayana berputra Prabu Jayabaya (Jayapurusa). Prabu Jayabaya
berputra Prabu Jayamijaya (Jayaamijaya). Prabu Jayaamijaya berputra Prabu
Jayamisena. Prabu Jayamisena berputra Prabu Kusumawicitra (Ajipamasa, Sri
Kiswara). Prabu Kusumawicitra berputra Prabu Citrasoma. Prabu Citrasoma
berputra Prabu Pancadriya dan Prabu Pancadriya berputra Prabu Anglingdriya.

Genealogi III
Dewi Sritatayi dan Dewi Niyata


Dari genealogi III di atas dapat dikatakan bahwa Bagawan Selaraja dari
Medhang Surukan memiliki dua orang putra yaitu Wasi Jalasengara dari Medhang
Wangi – Medhang Surukan dan Puthut Sarodaka dari Medhang Sari – Medhang
Surukan. Wasi Jalasengara kemudian kawin dengan Endang Suki dan melahirkan
Prabu Praswapati di Gilingwesi. Dalam perkawinannya dengan Dewi Srini Prabu
Praswapati memiliki dua orang putra yaitu Dewi Sritatayi dan Raden Sri Prawata.
Dewi Sritatayi kemudian kawin dengan Prabu Dipayana dan melahirkan Dewi
Tamioyi. Sementara itu dalam perkawinannya dengan Endang Suksakati, Puthut
Sarodaka berputra Prabu Sayakesthi di Purwacarita yang kemudian pindah ke

213
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Muka Bumi. Prabu Sayakesthi kemudian kawin dengan Dewi Rarasati dan
melahirkan Dewi Niyata. Dewi Niyata kemudian kawin dengan Prabu Dipayana
dan melahirkan Dewi Yodi. Dengan demikian sebenarnya antara Dewi Sritatayi
dengan Dewi Niyata masih tergolong saudara karena sama-sama keturunan dari
Bagawan Selaraja di Medhang Surukan.

Genealogi IV
Bagawan Sidhiwacana

214
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Dari genealogi IV di atas, dapat dikemukakan bahwa Sang Hyang


Pancaresi berputra Bathara Surenggana. Bathara Surenggana berputra Bathara
Panyarikan. Bathara Panyarikan kemudian berputra dua yaitu Dewi Pujawati dan
Bathara Piyarcana. Dewi Pujawati kawin dengan Bathara Brama dan berputra
dua orang yaitu Raden Siwandana (Bathara Bramanasidhi) dan Raden Sarsihawa
(Bathara Bramanajati). Adapun Bathara Priyarcana berputra Bathara Piyangkara.
Bathara Piyangkara berputra tiga yaitu Bathara Sadhaskara, Bathara Sadhabakti
dan Bathara Sadhasatya. Bathara Sadhaskara berputra Bathara Widyuta. Bathara
Widyuta berputra Bathara Widyutmaka. Bathara Widyutmaka kemudian berputra
Bagawan Ulupuy dan Bagawan Parupuy. Bagawan Ulupuy berputra Bagawan
Amraba dan Bagawan Kamura. Bagawan Parupuy berputra tiga yaitu Dhang
Hyang Dhangascarya yang menurunkan para puruhita, Bathara Bramanacari
yang menurunkan para brahmana dan Empu Jangga yang menurunkan para kawi.
Bagawan Amraba kemudian berputra Bagawan Sutiksna dan Bagawan Kanwa.
Bagawan Kamura berputra Bagawan Sagotra dan Bagawan Saligotra. Bagawan
Sutiksna berputra Ken Suki dan Ken Sukskati. Bagawan Kanwa berputra Endang
Ulupuy yang kemudian kawin dengan Dananjaya dan melahirkan Bambang
Irawan. Bagawan Sagotra berputra Rawan yang gugur dalam perang Baratayuda.
Adapun Bagawan Saligotra berputra Bagawan Sidasadya dan Bagawan Sidawakya.
Bagawan Sidasadya berputra Bagawan Sidhiwacana. Bagawan Sidawakya
berputra Endang Panuhun. Bagawan Sidhiwacana kemudian dikawinkan dengan
Endang Panuhun dan melahirkan tiga putra yaitu Ken Suyati yang kawin dengan
Patih Dwara, Ken Satapa yang kawin dengan Prabu Dipayana dan Resi Sidhikara
yang kawin dengan Endang Drawasi.

215
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Dari genealogi V di atas dapat diuraikan bahwa Sang Hyang Wrahaspati


berputra empat, yaitu Sang Hyang Wedhasasa, Sang Hyang Wedhasati, Bathara
Godhadarma dan Dewi Darmastuti yang kemudian kawin dengan Sri Maharaja
Kano di Purwacarita. Sang Hyang Wedhasasa berputra Sang Hyang Wedhadaki.
Bathara Godhadarma berputra Bathara Darma Niskala. Bathara Darma Niskala
berputra Bathara Darma Drasthi. Bathara Darma Drasthi berputra tiga, yaitu
Bathara Abisandya, Bathara Abiyuda dan Bathara Baniyara. Bathara Abisandya
berputra Bathara Sandi Niskala. Bathara Abiyuda berputra Bathara Abirastha.
Bathara Sandi Niskala berputra empat, yaitu Bathara Yukawama, Bathara
Batikala, Bathara Palipuita dan Bathara Purtanawa. Bathara Yukawama berputra
Anggaskara, sedangkan Bathara Batikala berputra Dewi Sulaksmi. Anggaskara
dan Dewi Sulaksmi dikawinkan dan berputra dua, yaitu Dhang Hyang Nagapaya
dan Dhang Hyang Nagasara. Dhang Hyang Nagapaya berputra dua, yaitu Bagawan
Bagaspati dan Bagawan Bagaskara. Bagawan Bagaspati berputra Dewi Satyawati
yang kemudian kawin dengan Prabu Salya di Mandaraka. Bagawan Bagaskara
berputra dua, yaitu Dewi Tapayati dan Bagawan Abisata. Dewi Tapayati kawin
dengan Kanapadha dan kemudian berputra Arya Karta Wiyoga. Bagawan Abisata
berputra Bagawan Andrapati. Bagawan Andrapati berputra Bagawan Sukandha.
Dalam perkawinannya dengan Dewi Nawangsasi, Bagawan Sukandha berputra
Endang Sikandhi (Dewi Puyengan) yang kemudian kawin dengan Prabu Dipayana.
Dari perkawinan tersebut melahirkan Raden Ramayana dan Raden Prawasata.
Raden Ramayana menikah dengan Dewi Supadmi, sedangkan Raden Prawasata
menikah dengan Dewi Satyawati (putri Patih Danurwedha). Sementara itu Dewi

216
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Nawangsasi yang kemudian juga kawin dengan Resi Gurunadi melahirkan Dewi
Maera yang kemudian menikah dengan Patih Danurwedha.

Dari genealogi VI di atas, dapat dikemukakan bahwa Sang Hyang Brama


berputra Bathara Brama Sawama yang kemudian menikah dengan Dewi Drawiyani
dan melahirkan Bathara Agniwarna. Bathara Agniwarna berputra dua yaitu Resi
Wakiswara dan Dewi Wakiswari yang kemudian kawin dengan Prabu Banupati
di Wiratha. Resi Wakiswara berputra Resi Suwendhawaka. Resi Suwendhawaka
berputra empat yaitu Resi Martyukundha, Dewi Kundhamani, Resi Martyuhara
dan Resi Martyujiwa. Dewi Kundhamani kawin dengan Bagawan Sindara di
Ngandong Wilis – Medhangkamulan. Resi Martyujiwa berputra dua yaitu Resi
Nadi Sayara dan Resi Windu Sayara. Resi Nadi Sayara berputra Resi Wakistira.

217
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Resi Wakistira berputra Resi Sapraharayogi. Resi Sapraharayogi berputra


dua yaitu Resi Manikara dan Resi Windunadya. Resi Manikara berputra Dewi
Manohara yang kawin dengan Dananjaya. Adapun Resi Windunadya berputra dua
yaitu Resi Gurunadi dan Resi Gurundaya. Resi Gurunadi menikah dengan Dewi
Nawangsasi dan melahirkan Dewi Maera yang kemudian kawin dengan Patih
Danurwedha. Resi Gurundaya berputra dua, yaitu Grendiya dan Dewi Grendi
(Dewi Dangan) yang kemudian kawin dengan Prabu Dipayana. Dari perkawinan
dengan Prabu Dipayana, Dewi Grendi berputra dua, yaitu Raden Ramaprawa dan
Raden Warabasata. Raden Ramaprawa kawin dengan Dewi Widhawati, sedangkan
Raden Warabasata kawin dengan Dewi Sukesthi (putri Arya Kestu).

Genealogi VII
Prabu Gandaprawa (Gandara)

Dari genealogi VII di atas, dapat dikemukakan bahwa Prabu Kisrawa


menikah dengan Dewi Gandariya dan melahirkan tiga orang putra yaitu Prabu
Anggandara, Dewi Anggandari dan Patih Adipati Sangkuni. Dewi Anggandari
kawin dengan Prabu Drestarastra di Ngastina dan melahirkan para Kurawa.
Adapun Patih Adipati Sangkuni berputra Prabu Kesthisura. Prabu Kesthisura
kawin dengan Dewi Atyanti dan melahirkan Prabu Kestawaka. Prabu Kestawaka
berputra Prabu Gandaprawa. Prabu Gandraprawa berputra Dewi Gendrawati.
Dewi Gendrawati kawin dengan Prabu Yudayana dan berputra Prabu Gendrayana.
Prabu Gendrayana kawin dengan Dewi Padmawati dan melahirkan Prabu
Jayapurusa (Jayabaya).

218
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Genealogi VIII

Dari genealogi VIII di atas, dapat diuraikan bahwa Bathara Widyutmaka


berputra dua yaitu Bagawan Ulupuy dan Bagawan Parupuy. Bagawan Ulupuy
berputra dua, yaitu Bagawan Amraba dan Bagawan Kamura. Adapun Bagawan
Parupuy berputra tiga orang yaitu Dhang Hyang Dhangascarya yang menurunkan
para puruhita, Brahmanacari yang menurunkan para brahmana dan Empu Jangga

219
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

yang menurunkan para kawi. Dhang Hyang Dhangascarya berputra dua yaitu
Sang Wiku Purusa Tunggal di Aswata dan Dhang Hyang Antagajalu. Sang Wiku
Purusa Tunggal berputra Sang Wiku Kumbala Guru. Sang Wiku Kumbala Guru
berputra Sang Wiku Mudra. Sang Wiku Mudra kawin dengan Endang Mastura
dan melahirkan Endang Drawasi. Endang Drawasi kawin dengan Resi Sidhikara
melahirkan Dewi Sadu. Dewi Sadu kawin dengan Prabu Yudayana melahirkan
Arya Prabu Bambang Sudarsana (Prabu Yudayaka). Arya Prabu Bambang
Sudarsana kawin dengan Dewi Padmasari dan melahirkan Prabu Sariwahana.
Prabu Sariwahana (Yawastina) berputra empat yaitu Prabu Ajidarma (Yawastina),
Prabu Purusangkara (Yawastina), Raden Jayakirana dan Raden Jayakusuma. Prabu
Purusangkara kawin dengan Dewi Pramesthi (putri Prabu Jayabaya) dan berputra
Prabu Anglingdarma. Prabu Anglingdarma berputra Prabu Anglingkusuma. Prabu
Anglingkusuma berputra Prabu Gandakusuma.

D. Persesuaian Sěrat Pranitiradya dengan Ramalan Jayabaya


Sebenarnya sebelum R. Ng. Ranggawarsita menyusun Sĕrat Pustakaraja
yang meliputi baik Sĕrat Pustakaraja Purwa dan Sĕrat Pustakaraja Purwara,
terlebih dahulu ia menyusun Sĕrat Paramayoga dan Sĕrat Jitapsara yang berisikan
cerita sejarah, yang dalam istilah Jawa disebut Babad. Dalam kedua kitab tersebut,
R.Ng. Ranggawarsita menyusun sinkretis yang mempertemukan cerita mitologi
silsilah dewa-dewa Hindu dengan riwayat nabi-nabi dalam Islam (Simuh, 1988:
61). Dalam hal ini, dewa-dewa Hindu digambarkan seperti halnya manusia yang
mengadakan hubungan kawin-mawin dan beranak yang keturunannya akhirnya
menjadi cikal bakal raja-raja Jawa. Dalam zaman Islam timbul usaha memperkuat
wibawa raja-raja Jawa, dengan menyusun sĕrat babad untuk menggambarkan
bahwa raja-raja Jawa adalah keturunan campuran dari nabi Adam dan dewa-dewa
Hindu (Simuh, 1988: 61). Usaha untuk mempertemukan mitologi dewa-dewa
Hindu dengan riwayat nabi Adam dalam Islam, selain tampak pada Sĕrat Kandha
zaman Kartasura (Simuh, 1988: 61; Poerbatjaraka, 1957: 140-148), juga terdapat
dalam Babad Tanah Jawi (1912).
Menarik pula apabila diperhatikan sumber lain, misalnya Sĕrat
Pranitiradya, yang berisikan keterangan raja-raja yang bertahta disesuaikan
dengan pembagian zaman di dalam Ramalan Jayabaya (Andjar Any, 1979: 91).
Apabila mendasarkan diri pada Sĕrat Pranitiradya dan Ramalan Jayabaya, maka
usia Pulau Jawa sampai Kiamat Kobra itu 2100 tahun (Suryasangkala/ tahun
matahari) atau selama 2163 (Candrasangkala/ tahun rembulan), yang dibagi
menjadi tiga zaman besar (Trikali). Setiap zaman besar dibagi menjadi tujuh
zaman kecil (Saptama Kala) yang masing-masing berusia 100 tahun, yang bisa
diuraikan sebagai berikut:
1. Zaman Kali Swara, meliputi: a) Zaman Kala Kukila, b) Zaman Kala Budha, c)
Zaman Kala Brawa, d) Zaman Kala Tirta, e) Zaman Kala Rwabara, f) Zaman
Kala Rwabawa, dan g) Zaman Kala Purwa.

220
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

2. Zaman Kali Yoga meliputi: a) Zaman Kala Brata, b) Zaman Kala Dwara,
c) Zaman Kala Dwapara, d) Zaman Kala Praniti, e) Zaman Kala Tetaka, f)
Zaman Kala Wisesa, dan g) Zaman Kala Wisaya.
3. Zaman Kali Sangara meliputi: a) Zaman Kala Jangga, b) Zaman Kala Sakti,
c) Zaman Kala Jaya, d) Zaman Kala Bendu, e) Zaman Kala Suba, f) Zaman
Kala Sumbaga, g) Zaman Kala Surata.
(Andjar Any, 1979: 81)
Dalam Sĕrat Darmasarana, para tokoh yang menduduki posisi penting
adalah Prabu Parikesit (Dipayana) dan Prabu Yudayana, sedangkan Raden
Gendrayana masih kanak-kanak. Baru kemudian dalam Sĕrat Yudayana, Sĕrat
Budhayana atau pun juga dalam Sĕrat Gĕndrayana peranan Prabu Gendrayana
sangat menonjol. Apabila ketiga tokoh tersebut disesuaikan (disejajarkan) dengan
pembagian zaman beserta para raja yang memerintah berdasarkan uraian di
dalam Sĕrat Pranitiradya tersebut, ketiganya sama-sama memerintah di kerajaan
Ngastina pada zaman Kala Brata (zaman pertama dari Zaman Kali Yoga), kecuali
Prabu Gendrayana yang selain memerintah di Ngastina pada Zaman Kala Dwara
(801-900). Adapun secara lengkap para raja di kerajaan Ngastina pada zaman itu
dapat diperinci sebagai berikut:
Zaman Kala Brata:
 Tahun 705 rajanya Prabu Suyudana, bertahta 29 tahun
 Tahun 734 rajanya Prabu Yudhistira, bertahta 5 tahun
 Tahun 739 rajanya Prabu Parikesit (Dipayana), bertahta 37 tahun
 Tahun 772 rajanya Prabu Yudayana, bertahta 15 tahun.
 Tahun 785 rajanya Prabu Gendrayana. Setelah tahun ke 800, pindah
ke Mamenang, bertahta seluruhnya 20 tahun.
(Andjar Any, 1979: 93-94).
Dalam Sĕrat Budhayana, Sĕrat Gĕndrayana (Prabu Gĕndrayana)
diceritakan, bahwa Arya Prabu Bambang Sudarsana ditunjuk dewa menggantikan
kedudukan Prabu Gendrayana di Ngastina. Ia mulai memerintah tahun 814 dan
sudah masuk pada zaman Kala Dwara. Oleh karena itu, seperti dikemukakan
di depan, maka Prabu Gendrayana memerintah dalam dua zaman, yakni zaman
Kala Brata dan Kala Dwara. Mengingat setiap zaman kecil berusia 100 tahun.
Zaman Kala Brata mulai tahun 701-800 dan zaman Kala Dwara mulai tahun
801-900.
Dari uraian di atas, maka banyak raja Jawa yang memerintah dalam
periode Mataram (kuna) dikesampingkan, misalnya: Rakai Panunggalan (780 M
- 800 M), Rakai Warak (800 M - 819 M), Rakai Garung (819 M - 838 M), Rakai
Pikatan (850 M - 856 M), dan Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (856 M - 886 M)
(Sri Mulyono, 1989: 297). Pada masa itulah, menurut Sĕrat Pranitiradya, justru
masa pemerintahan raja-raja di Ngastina, antara lain Prabu Suyudana (705 S/ 783
M), Prabu Yudhistira (734 S/ 812 M), Prabu Parikesit (Dipayana) (739 S/ 817
M), Prabu Yudayana (772 S/ 850 M), dan Prabu Gendrayana (785 S/ 863 M).

221
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Demikian pula seandainya para raja dalam Sĕrat Darmasarana, Sĕrat Yudayana,
sejumlah teks Pustakaraja Madya, maupun Sĕrat Pranitiradya disejajarkan
dengan para raja berdasarkan hasil penelitian sejarah Jawa berpendidikan Barat,
maka akan timbul berbagai macam ketidaksesuaian (anakronisme).
Berbagai ketidaksesuaian (kejanggalan) penulisan sejarah Jawa bangsa
pribumi (R. Ng. Ranggawarsita) di atas, haruslah dilihat dari kapasitasnya
sebagai seorang pujangga serta tugas-tugas yang diembannya. Ia memang bukan
bermaksud menulis sejarah Jawa berdasarkan kriteria penulisan sejarah Jawa
berpendidikan Barat. Penulisan Sĕrat Darmasarana, Sĕrat Yudayana dan teks-
teks Pustakaraja Madya sudah barang tentu tidak terlepas dari maksud penulisan
Sĕrat Pustakaraja Purwa, sebab sĕrat-sĕrat tersebut merupakan bagian darinya.
Apalagi rupanya salah satu maksud penulisan Sĕrat Pustakaraja Purwa karya
pujangga R. Ng. Ranggawarsita tersebut adalah “suatu penulisan baru” mengenai
sumber-sumber cerita wayang (penulisan cerita Mahābhārata versi Indonesia)
yang salah satu maksud tujuannya adalah untuk mendidik anak cucu dengan
mengajarkan sejarah kepahlawanan leluhurnya. Selain itu, yang terpenting
dari segala uraian atau karya-karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita adalah
menempatkan “Jatining Panĕmbah”, yaitu memberikan penerangan bahwa dewa-
dewa (para jawata) yang diartikan nenek moyang orang Jawa itu bukanlah Tuhan
Yang Maha Esa dan Maha Kuasa, tetapi hanya sebagai titah biasa (Sri Mulyono,
1989: 202).
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dalam kaitannya dengan
Sĕrat Pustakaraja, Sĕrat Darmasarana, Sĕrat Yudayana dan teks-teks Pustakaraja
Madya (sumber Wayang Madya) lainnya ikut mengisi kekosongan “sejarah Jawa”
yang sebelum periode kerajaan Mataram Kuna terasa kabur (gelap). Dari “sejarah
Jawa” yang ditulisnya, R.Ng. Ranggawarsita bermaksud ikut mendudukkan
para dewa, para Pandawa serta raja-raja Kediri, Singasari dan Majapahit sebagai
leluhur para raja Mataram.

E. Mitisasi dan Historisasi dalam Tradisi Historiografi Jawa


Di dalam teks-teks Pustakaraja Madya dapat dikatakan bahwa Prabu
Dipayana (Parikesit) adalah keturunan kedua Arjuna, Yudayana keturunan ketiga,
sedangkan Gendrayana keturunan keempat dari Arjuna. Di sinilah dijumpai
pengertian rangkaian nenek moyang dari Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana
khususnya dan Sěrat Pustakaraja Madya pada umumnya. Peranan nenek moyang
dalam tradisi historiografi Jawa memegang peranan yang sangat penting. Karena
dalam tradisi Jawa baik yang berasal dari lingkungan tradisi besar maupun
lingkungan tradisi kecil, boleh dikatakan hidup bersama dengan nenek moyang
(pitāmaha), sehingga tidak mustahil apabila dalam perjalanan hidupnya dikenal
sejumlah upacara ritual yang berkaitan langsung dengan nenek moyang, seperti
misalnya upacara Śrāddha (Widyaseputra, 2008: 211-212; 2012: 95-96). Di
antara upacara Śrāddha yang agung pernah dilaksanakan pada masa kerajaan

222
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Majapahit (1362 M), sebagaimana terekam dalam Kakawin Nāgarakṛtāgama dan


Kakawin Banawa Sěkar, dalam rangka menghormati Tribhuana (Rāja Patni), yang
meninggal 12 tahun sebelumnya. Upacara Śrāddha tersebut diselenggarakan oleh
Śṛī Mahārāja Hayam Wuruk dan Śṛī Mahārāja Kṛṭabhūmi (Pigeaud dan Robson
dalam Widyaseputra, 2008: 212; 2012: 96). Adapun maksud diselenggarakannya
upacara Śrāddha adalah menjamin kesejahteraan pemerintahan cucunya (Hayam
Wuruk) dibawah perlindungan Ilahinya (Zoetmulder, 1983: 442-443; lihat pula
Berg, 1974: 14-15 dan 40-41; ). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa peranan
nenek moyang menjadi sangat penting karena mereka menjadi bagian dari realitas
kehidupan. Suatu hal yang sangat wajar bahwa anggota keluarga menerima
petunjuk-petunjuk dan nasehat-nasehat dari nenek moyang melalui mimpi dan
visi-visi yang harus diikuti, seakan-akan nenek moyang itu masih hidup. Oleh
karena itulah nenek moyang seringkali disebut sebagai ’’yang hidup sekalipun
telah wafat’’ (Widyaseputra, 2008: 212-213; 2012: 96).
Petunjuk-petunjuk dari nenek moyang tersebut, misalnya tampak dalam
Sěrat Lampahan Jayapurusa karya besar Sri Mangkunegara IV. Di dalamnya
diuraikan bahwa ketika Prabu Sariwahana menerima tanda-tanda buruk lewat
mimpinya bahwa kerajaan Yawastina akan tertimpa bencana-bencana yang
dahsyat (mengerikan), maka ayahandanya yaitu Arya Prabu Bambang Sudarsana
(Yudayaka), yang telah wafat, memberikan petunjuk-petunjuk yang harus
dilakukan oleh putranya (Prabu Sariwahana) agar kerajaan Yawastina terhindar
dari bencana tersebut.
Dari contoh di atas dapatlah dipahami bahwa nenek moyang dan
keturunannya mempunyai hubungan timbal balik, saling keterikatan. Nenek
moyang juga bergantung pada yang masih hidup. Ketika nenek moyang diingat
dengan diberi perhatian melalui upacara Śrāddha, maka mereka benar-benar ada
sebagai nenek moyang. Tanpa yang masih hidup, nenek moyang tidak akan pernah
ada (Triebel, Mbiti, Uchenu, Ela dalam Widyaseputra, 2008: 213; 2012: 96).
Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana serta teks-teks Pustakaraja
Madya (Wayang Madya) adalah bagian dari Sěrat Pustakaraja yang disusun
oleh R. Ng. Ranggawarsita pada masa pemerintahan Sunan Paku Buwana IV-
IX serta Sri Mangkunegara IV (1853-1881 M). Tokoh-tokoh utama dalam Sěrat
Darmasarana, Sěrat Yudayana, Sěrat Buddhayana dan Sěrat Gĕndrayana,
seperti Prabu Dipayana (Parikesit), Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana, Prabu
Jayabhaya (Jayapurusa) dan Prabu Kusumawicitra (dalam Sĕrat Ajipamasa)
mempunyai hubungan yang timbal balik dan saling ketergantungan dengan
Sunan Paku Buwana IV-IX (di Kraton Surakarta) maupun Sri Mangkunegara IV
(di Pura Mangkunegaran). Melalui pujangga istana R. Ng. Ranggawarsita, maka
kelima raja tersebut yakni Prabu Dipayana, Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana,
Prabu Jayabhaya dan Prabu Kusumawicitra (Ajipamasa) dapat menjadi tokoh
historis, karena mereka didudukkan oleh Sunan Paku Buwana (terutama VII)
dan Sri Mangkunegara IV sebagai nenek moyang, sehingga mereka sungguh-

223
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

sungguh hadir di Kraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran. Sementara itu


berkat Prabu Dipayana, Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana (Gandayana), Prabu
Jayabhaya serta Prabu Kusumawicitra, maka Sri Sunan Paku Buwana IV-IX serta
Sri Mangkunegara IV masuk ke dalam dunia kerajawian, yang secara konseptual
terdapat dalam Vīracārita Mahābhārata. Di dalam tradisi Jawa, Arjuna selalu
didudukkan sebagai nenek moyang dalam sejumlah babad dan kraton-kraton
Jawa yang mengemban tugas kerajawian baik sebagai bhūpati maupun sebagai
cakravartin (Gonda dalam Widyaseputra, 2008: 213; 2012: 97). Dalam konteks
relasi timbal balik dan saling ketergantungan satu sama lain antara Sunan Paku
Buwana IV-IX maupun Sri Mangkunegara IV dengan Prabu Dipayana, Prabu
Yudayana, Prabu Gendrayana, Prabu Jayabhaya dan Prabu Kusumawicitra beserta
para pendahulunya, dapat dimengerti dengan nyata adanya proses mitisisasi dan
historisasi dalam tradisi historiografi Jawa, khususnya yang secara konseptual
tertuang dalam Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana.
Dari uraian di atas, sekali lagi dapat ditekankan bahwa genealogi-
genealogi (silsilah) yang terdapat di dalam Sěrat Darmasarana khususnya adalah
dalam rangka ikut memperkuat genealogi raja-raja Jawa sebagaimana juga tersurat
di dalam teks-teks historiografi Jawa lainnya.

'

224
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Bab VII
Ringkasan dan Kesimpulan

A. Ringkasan

1. Di antara 70 buah karya R. Ng. Ranggawarsita, Sěrat Pustakaraja merupakan


karyanya yang terbesar dan teristimewa. Sěrat Pustakaraja terbagi menjadi 2
yaitu: Sěrat Pustakaraja Purwa dan Sěrat Pustakaraja Puwara, atau meliputi
Sěrat Pustakaraja Purwa, Sěrat Pustakaraja Madya, Sěrat Pustakaraja
Antara, dan Sěrat Pustakaraja Wasana.
2. Sěrat Pustakaraja Purwa meliputi:
a. Sĕrat Maha Parwa, terdiri atas: a. Sĕrat Purwa Pada; b. Sĕrat Sabaloka.
b. Sĕrat Maha Déwa, terdiri atas: a. Sĕrat Déwa Buddha; b. Sĕrat Dewa
Raja.
c. Sĕrat Maha Rĕsi, terdiri atas: a. Sĕrat Rĕsi Kala; b. Sĕrat Buddha Krĕsna.
d. Sĕrat Maha Raja, terdiri atas: a. Sĕrat Raja Kanwa; b. Sĕrat Palindria; c.
Sĕrat Silacala; d. Sĕrat Sumanantaka.
e. Sĕrat Maharata, terdiri atas: a. Sĕrat Dyitayana; b. Sĕrat Tritarata; c.
Sĕrat Sindhula; d. Sĕrat Rukmawati; e. Sĕrat Sri Sadana.
f. Sĕrat Maha Tantra, terdiri atas: a. Sĕrat Sri Kala; b. Sĕrat Raja Watara;
c. Sĕrat Cita Kaprawa; d. Sĕrat Ariawanda; e. Sĕrat Para Patra.
g. Sĕrat Maha Putra, terdiri atas: a. Sĕrat Mahandya Purwa; b. Sĕrat
Suktinawyasa; c. Sĕrat Darma Sagara; d. Sĕrat Gorawangsa; e. Sĕrat
Kumbayana; f. Sĕrat Wandha Laksana; g. Sĕrat Darma Mukta; h. Sĕrat
Drĕta Nagara.
h. Sĕrat Maha Dharma, terdiri atas: a. Sĕrat Kuramaka; b. Sĕrat Smara
Dahana; c. Sĕrat Ambaralaya; d. Sĕrat Kridha Krĕsna; e. Sĕrat Kunjana
Karna; f. Sĕrat Kunjana Krĕsna; g. Sĕrat Partayagnya; h. Sĕrat Manik
Harja Purwaka; i. Sĕrat Sapanti Parta; j. Sĕrat Dĕwa Ruci; k. Sĕrat
Parta Wiwaha/Mintaraga; Sĕrat Yudanaraga; m. Sĕrat Purobaya; n. Sĕrat
Bomantara; o. Sĕrat Bomantaka; p. Sĕrat Bratayuda; q. Sĕrat Kirimataya;
r. Sĕrat Darmasarana; s. Sĕrat Yudayana.

Sĕrat Pustakaraja Puwara meliputi:


a. Sĕrat Maha Parma, terdiri atas: a. Sĕrat Budhayana; b. Sĕrat Sariwahana;
c. Sĕrat Purusangkara; d. Sĕrat Partakaraja; e. Sĕrat Ajidarma; f. Sĕrat
Ajipamasa.
b. Sĕrat Maharaka, terdiri atas: a. Sĕrat Witaradya; b. Sĕrat Purwanyana; c.
Sĕrat Bandawasa; d. Sĕrat Déwatacèngkar.
c. Sĕrat Maha Prana, terdiri atas: a. Sĕrat Widhayaka; b. Sĕrat Danèswara;
c. Sĕrat Jayalĕngkara; d. Sĕrat Darmakusuma; e. Sĕrat Catur Pandaka.

225
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

d. Sĕrat Maha Krama, terdiri atas: a. Sĕrat Surya Wisésa; b. Sĕrat Raja
Sundha; c. Sĕrat Madu Sudhana; d. Sĕrat Panca Prabanggana.
e. Sĕrat Maha Kara, terdiri atas: a. Sĕrat Mundhingsari; b. Sĕrat Raja
Purwaka; c. Sĕrat Maha Kara.
f. Sĕrat Maha Para.
3. Dalam mitologinya Sěrat Pustakaraja Purwa mulai disusun adalah ketika Sang
Hyang Naradha dan Bathara Panyarikan datang ke Daha (Kediri, Menang)
menjumpai Prabu Jayabhaya dan memerintahkan Sang Raja untuk menceritakan
semua peristiwa di bumi Jawa. Kitab tersebut nantinya disesuaikan dengan
catatan para dewa, yang kemudian dicocokkan lagi dengan isi kitab Jitapsara
susunan Bagawan Palasara menurut petunjuk Dewi Rukmawati, putri Sang
Hyang Anantaboga. Adapun Sěrat Pustakaraja Puwara disusun oleh mpu-
mpu di kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Brawijaya IV yang
berisi raja-raja di Mamenang sampai Prabu Brawijaya V. Sěrat Pustakaraja
Puwara kemudian disusun oleh Mpu Artati pada tahun 1398 (Suryasangkala)
atau tahun 1440 (Candrasangkala). Penyelesaian penulisan Sěrat Pustakaraja
Puwara tersebut dilakukan di Bali karena setelah kerajaan Majapahit runtuh
maka Mpu Artati melarikan diri ke Bali dan mengabdi kepada Prabu Dewa
Ketut.
4. Sěrat Pustakaraja khususnya Sěrat Pustakaraja Purwa adalah hasil saduran
kembali cerita Mahābhārata (Jawa Kuna) dengan berbagai adaptasi dan
inovasi. Sěrat Pustakaraja Purwa seringkali dikatakan sebagai suatu
penulisan baru mengenai sumber-sumber cerita wayang. Sěrat Pustakaraja
adalah kitab pedoman bagi seorang Raja (pakĕmipun panjĕnĕngan Nata).
Pustakaraja dapat pula diartikan ’Rajanya Kitab’, karena menjadi kitab yang
terkemuka dan menjadi induk segala kitab cerita Jawa (Sěrat Raja, amargi
dados tĕtunggul tuwin dados baboning sěrat cariyos Jawi).
5. Wayang Madya adalah salah satu jenis pertunjukan wayang yang diciptakan
oleh Sri Mangkunegara IV berdasarkan Sěrat Pustakaraja Madya dan Sěrat
Witaradya karya R. Ng. Ranggawarsita. Bentuk Wayang Madya adalah
paduan antara Wayang Kulit (Purwa) dengan Wayang Gĕdhog. Bagian atas
sampai tengah mengambil bentuk Wayang Purwa sedangkan bagian tengah ke
bawah mengambil bentuk Wayang Gĕdhog. Sumber Wayang Madya menjadi
jembatan yang menghubungkan antara sumber Wayang Purwa dan sumber
Wayang Gĕdhog. Jika Wayang Purwa mengambil cerita dewa-dewa sampai
keluarga Pandawa dan Wayang Gĕdhog mengambil cerita Panji dari Jenggala
dengan putri Kediri (Candrakirana), maka Wayang Madya mengambil cerita
para cucu Pandawa sampai menjelang Panji. Jadi cerita sejak peristiwa
wafatnya Prabu Yudayana sampai masa Prabu Jayalengkara naik tahta tahun
785 Ç – 1.052 Ç (863 M – 1.130 M).
6. Sumber lakon Wayang Madya dapat diambil dari teks-teks Wayang Madya
yang meliputi: 1) Sěrat Darmasarana, 2) Sěrat Yudayana, 3) Sěrat Budhayana,

226
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

4) Sěrat Sariwahana, 5) Sěrat Purusangkara (Sěrat Mayangkara), 6) Sěrat


Partakaraja, 7) Sěrat Ajidarma, 8) Sěrat Ajipamasa, 9) Sěrat Witaradya, 10)
Sěrat Purwanyana, 11) Sěrat Bandawasa, 12) Sěrat Déwatacĕngkar, 13) Sěrat
Widhayaka, dan 14) Sěrat Danèswara. Di samping itu juga dapat ditelusuri dari
sěrat-sěrat yang merupakan versi dan variasi dari teks-teks Wayang Madya
di atas yang cukup banyak jumlahnya seperti dapat dilihat dalam katalogus
susunan Nancy K. Florida Vol. I – IV (1981), Nikolaus Girardet (1983), dan
T.E. Behrend Jilid VI (1989).
7. Sěrat Darmasarana dapat lebih dipahami apabila dihubungkan dengan:
1) Sěrat Yudayana, 2) Sěrat Budhayana, 3) Sěrat Sariwahana, 4) Sěrat
Purusangkara (Sěrat Mayangkara), 5) Sěrat Partakaraja, 6) Sěrat Ajidarma,
7) Sěrat Ajipamasa, 8) Sěrat Witaradya, 9) Sěrat Purwanyana, 10) Sěrat
Bandawasa, 11) Sěrat Déwatacĕngkar, 12) Sěrat Widhayaka, dan 13) Sěrat
Danèswara. Demikian pula sebaliknya pemahaman Sěrat Darmasarana akan
membantu pemahaman atas sěrat-sěrat (teks-teks) di atas, karena teks-teks di
atas merupakan kelanjutan dari Sěrat Darmasarana.
8. Ada persamaan beberapa tokoh dalam teks-teks Wayang Madya dengan raja-
raja Jawa. Misalnya: Prabu Yudayana dalam Sěrat Darmasarana dan Sěrat
Yudayana dapat disamakan atau merepresentasikan Mahārāja Janamejaya
dalam tradisi Mahābhārata (India), dan dapat pula disamakan dengan
Udayana, ayah Airlangga dalam tradisi Bali. Tokoh Prabu Gendrayana
dalam Sěrat Darmasarana, Sěrat Yudayana, Sěrat Budhayana, Sěrat Prabu
Gĕndrayana dapat disamakan atau merepresentasikan Airlangga. Adapun
tokoh Prabu Jayapurusa (Jayabhaya) dalam Sěrat Budhayana, Sěrat Prabu
Gĕndrayana, Sěrat Sariwahana, Sěrat Ajidarma, Sěrat Purusangkara
dan Sěrat Mayangkara dapat disamakan atau merepresentasikan Prabu
Jayabaya, raja Kediri. Dalam hal ini ada usaha dari R. Ng. Ranggawarsita
untuk menghubungkan antara tradisi Mahābhārata (India), tradisi Bali dan
tradisi Jawa. Apalagi sudah dikemukakan bahwa penyelesaian penulisan Sěrat
Pustakaraja Puwara yang dilakukan oleh Mpu Artati berada di Bali dibawah
lindungan Prabu Dewa Ketut.
9. Di dalam teks-teks Wayang Madya dikemukakan bahwa pujangga-pujangga
(mpu-mpu) yang menggubah di antaranya adalah: Mpu Tapawangkeng,
Mpu Kalangwan, Mpu Mandara, Mpu Sindungkara, Mpu Saddha, Mpu
Wisana, Mpu Udaka, Mpu Wilasaya, Mpu Windudaka, Mpu Madura, dan
Mpu Madukara. Apabila kita mencoba berimajinasi dengan mengkaitkan dan
menggabungkan arti nama-nama beberapa pujangga di atas secara etimologis
maka dapat diperoleh pengertian baru yakni ’’Seorang yang kuat dalam tapa,
yang gemar berolah keindahan, yang (bertempat tinggal) di daerah air (mata
air) (di kaki) gunung (Merapi, Merbabu). Daerah yang dimaksud di atas
sudah jelas menunjuk daerah Pengging, Banyudana, Bayalali. Memang daerah
Pengging tersebut banyak terdapat mata air dan pemandian serta terletak di kaki

227
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Gunung Merapi dan Merbabu. Di balik penamaan pujangga-pujangga di atas


yakni Tapawangkeng, Kalangwan, Mandara, Sindungkara, Udaka, Wilasaya,
Windudaka, Madura, Madukara kiranya adalah dalam rangka memitoskan,
mengangkat serta menempatkan daerah Pengging seolah-olah sebagai pusat
tata pemerintahan atas tanah Jawa sesudah Kediri, meskipun dalam kenyataan
sejarahnya tidaklah demikian. Hal ini dilakukan oleh R. Ng. Ranggawarsita
sebagai tanda bukti bakti cintanya pada leluhurnya antara lain yakni: Pangeran
Handayaningrat dan Sultan Hadiwijaya (Mas Karebet, Jaka Tingkir) yang
berasal dari Pengging maupun kakeknya yakni R. Ng. Yasadipura I dan R. Ng.
Yasadipura II yang dimakamkan pula di Pengging.
10. Nama (judul) Darmasarana dalam sěrat ini diangkat dari peristiwa peruwatan
Prabu Dipayana terhadap Sang Hyang Sambo dalam perwujudannya sebagai
burung garuda. Penamaan Darmasarana kemungkinan disebabkan peranan
Prabu Dipayana yang menonjol sebagai sarana, wahana atau jalan kebaikan
(keutamaan) kembali.
11. Tema atau pokok pikiran yang menduduki tempat utama dalam Sěrat
Darmasarana adalah bahwa darma (kebaikan) adalah sarana, alat atau jalan
mencapai keutamaan. Dengan berbuat darma seseorang akan memperoleh
darma (kebaikan) yang berlipat ganda. Perilaku serta perbuatan-perbuatan
darma (dharma) Prabu Dipayana (Parikesit) dapat dijadikan teladan (cermin)
bagi manusia (masyarakat pembaca) untuk melakukan perbuatan serupa
dalam mencapai kemuliaan dan kesempurnaan hidupnya. Hal itu sengaja
dikemukakan pujangga pencipta sěrat tersebut, sebab ia merasa memiliki
kewajiban dan tanggung jawab moral untuk ikut serta membentuk kepribadian
yang utama, baik terhadap raja, bangsawan maupun rakyat, sesuai dengan
konsepsi Jawa.
12. Tema lain Sěrat Darmasarana yang tersirat (dalam hubungannya dengan Sěrat
Pustakaraja) adalah bahwa pujangga penciptanya (R. Ng. Ranggawarsita)
bermaksud mengisi kekosongan ’sejarah Jawa’, yang sebelum periode
kerajaan Mataram Kuna terasa kabur (gelap). Di samping itu, pujangga
R. Ng. Ranggawarsita bermaksud membuat (menulis) genealogi yang
menghubungkan jaman Purwa (dewa-dewa sampai Pandawa) dengan jaman
Jenggala (Panji). Dari ’sejarah Jawa’ yang ditulisnya, R. Ng. Ranggawarsita
bermaksud pula mendudukkan para dewa dan Pandawa sebagai leluhur
(nenek moyang) para raja Mataram sebagaimana dikemukakan oleh pujangga-
pujangga Jawa sebelumnya.
13. Secara fisik Prabu Dipayana adalah seorang raja yang tampan lagi sakti,
sehingga banyak dirindukan dan diimpikan gadis-gadis. Di samping itu, Prabu
Dipayana pemberani, tidak mengenal takut. Secara psikis, Prabu Dipayana
memiliki watak yang bertanggung jawab akan keselamatan dan kesejahteraan
rakyatnya. Ia pun mau mawas diri akan segala kekurangannya dan mempunyai
kemauan untuk meningkatkan diri, baik dalam hal kesaktian maupun ilmu

228
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

pengetahuan. Meskipun demikian, sebagai seorang raja muda ia memiliki


sifat yang tergesa-gesa, tidak sabar dalam bertindak, mudah tersinggung,
marah, ringan tangan, sombong, angkuh, tinggi hati, suka memandang rendah
derajat orang lain, tidak mudah terbujuk dan tergoda, tetapi ia pun kemudian
juga mudah berubah pikiran karena perasaan belas kasihnya. Sifat tersebut
berubah sejalan bertambahnya usia. Prabu Dipayana semakin memiliki
tanggung jawab, adil bijaksana, pengasih, pemaaf, pengampun, pemurah, tahu
balas budi, toleran dan berjiwa (batinnya) matang.
14. Prabu Yudayana adalah seorang raja yang tampan, sakti dan berani. Ia pun
memiliki watak patuh (taat) pada perintah orangtua, gemar mengembara, haus
ilmu pengetahuan dan kesaktian, senang menolong orang lain yang dalam
kesusahan, pengasih, bertanggung jawab pada rakyatnya, jujur, terus terang,
dan polos. Di samping itu adakalanya ia pun mudah percaya laporan palsu,
mudah tergoda (terpikat) wanita cantik, mudah tersinggung dan marah, kurang
teliti dan hati-hati serta kurang adil dan bijaksana dalam mengendalikan tata
pemerintahannya.
15. Patih Dwara digambarkan sebagai seorang patih yang tampan, berani lagi sakti.
Selain itu ia pun dilukiskan sebagai patih yang setia bakti pada raja, patuh
pada perintah, bertanggung jawab, senang memberikan pertolongan, rendah
hati, utama, luhur budi, adil lagi bijaksana, berpandangan luas, menguasai
berbagai ilmu pengetahuan dan ilmu kesempurnaan (kebatinan) dan ia pun
kekasih dewa. Karena setelah muksa, Patih Dwara menjadi Bathara Dwara.
16. Perwatakan Patih Danurwedha hampir sama dengan perwatakan Patih
Dwara. Ia pun seorang patih yang setia dan bakti pada raja, patuh pada
perintah, bertanggung jawab, luhur budi, adil lagi bijaksana, berpandangan
luas, menguasai berbagai ilmu pengetahuan terutama ilmu kesempurnaan
(kebatinan).
17. Bagawan Baladewa secara fisik dilukiskan sudah tua renta. Sekalipun demikian
ia dilukiskan pula sebagai seorang yang pemberani, sakti, berwibawa, jujur,
setia, bertanggung jawab serta rela berkorban demi kepentingan negara
(Ngastina), meskipun adakalanya terkesan kurang bijaksana dan mudah
diperdaya.
18. Raden Ramayana, Raden Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden Warabasata
secara fisik digambarkan berwajah tampan, air mukanya bercahaya, sehingga
membuat takjub mereka yang melihat. Di samping itu, mereka pun memiliki
watak senang mengembara untuk mencari ilmu pengetahuan dan kesatian,
pemberani, tidak mengenal rasa takut, jujur, polos, rela berkorban demi
kepentingan negara dan konsekuen. Meskipun demikian karena kemudaannya
mereka kurang pengalaman dalam pengembaraannya sehingga mereka mudah
pula ditipu dan diperdaya.
19. Dewi Utari mempunyai watak dan sifat halus, wingit ’susah, sedih’, penyabar,
terbuka, pengasih, penyayang, setia bakti pada suami serta rela berkorban.

229
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

20. Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Ken Satapa, Endhang Sikandhi, dan Dewi
Grendi, secara fisik digambarkan sebagai wanita-wanita yang berparas cantik
jelita. Kecuali Ken Satapa yang sebelum diruwat Sang Hyang Narada berparas
buruk. Di samping itu, mereka memiliki watak yang keras dalam menggapai
cita-cita (untuk menjadi istri Prabu Dipayana). Mereka pun berwatak rela
berkorban, cinta, setia serta bakti pada suami, sehingga Prabu Dipayana pun
sangat mencintai mereka.
21. Prabu Kismaka digambarkan sebagai seorang raja yang pemberani (tidak kenal
takut) dan sangat sakti. Ia pun memiliki watak yang setia dan bakti kepada
orangtua, meskipun terkesan berlebihan.
22. Prabu Niradhakawaca memiliki sifat dan watak yang hampir sama dengan
Prabu Kismaka. Ia pun seorang raja yang pemberani dan sakti. Di samping itu
ia berwatak keras, setia, cinta bakti pada orangtua, tetapi terhadap musuhnya
ia licik. Oleh karena itu kematiannya pun diperdaya pula sebagai buah
perbuatannya.
23. Prabu (Arya) Satyaki secara fisik badannya kecil berisi, pandangannya tajam
menembus dan menakutkan, kepalan tangannya sangat kuat dan sanggup
memecahkan kepala musuhnya. Prabu Satyaki adalah prajurit yang pilih
tanding semasa mudanya. Ia senang menyepi dan bertapa guna mendapatkan
kesaktian. Ia pun memiliki watak adil, jujur, pemberani, keras dan nekad.
24. Dhang Hyang Suwela adalah pendeta yang sangat sakti, menguasai berbagai
macam mantra serta dapat menjelma menjadi berbagai bentuk. Ia pun seorang
pendeta yang licik, penuh tipu daya lagi pendendam. Meskipun demikian
terhadap murid-muridnya ia memiliki rasa tanggung jawab untuk melindungi.
25. Taksaka Raja adalah raja naga kekasih dewa. Ia memiliki watak jujur, senang
berterus terang, tetapi kurang memiliki wawasan luas serta perhitungan yang
matang terhadap akibat perbuatannya. Dalam Ādiparwa, terdapat tokoh
Takṣaka yang memiliki kedudukan tinggi di antara para naga, selain itu ia pun
bersahabatkan dengan Hyang Indra. Tokoh Takṣaka digambarkan memiliki sifat
dan watak yang tidak baik. Ia cerdik (licik), senang mengganggu kepentingan
orang lain, penurut, sekalipun harus berbuat jahat.
26. Dewi Gendrawati secara fisik digambarkan sebagai wanita yang cantik jelita,
akan tetapi secara psikis ia memiliki sifat dan watak yang kurang baik. Ia
kurang menaruh hormat pada orangtua, kurang hati-hati dalam berbicara
dan bertindak, kurang teliti dalam melihat persoalan, kurang mendengarkan
nasihat-nasihat baik orang lain, tergesa-gesa dalam memutuskan masalah
tanpa pertimbangan baik atau buruk, senang membuat keributan serta senang
membuat laporan palsu. Meskipun demikan setelah sifat dan watak Dewi
Gendrawati berubah baik sejalan dengan bertambahnya usia, serta karena doa
pada brahmana dan para pendeta, maka disaat wafatnya Dewi Gendrawati
ditandai dengan tanda-tanda kemuliaan.
27. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Yudayana adalah hubungan antara

230
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

ayah dan anak. Prabu Yudayana adalah putra Prabu Dipayana yang lahir
dari Dewi Tapen (Ken Satapa). Hubungan Prabu Dipayana dengan Patih
Dwara dan Patih Danurwedha adalah hubungan sesama saudara. Di samping
itu juga hubungan antara atasan dan bawahan (antara raja dengan kedua
patihnya) serta hubungan antara sesama saudara ipar. Hubungan Prabu
Dipayana dengan Bagawan Baladewa adalah hubungan antara cucu dengan
kakeknya, sebab Raden Arjuna (Dananjana) adalah saudara sepupu Bagawan
Baladewa. Hubungan Prabu Dipayana dengan Raden Ramayana, Raden
Ramaprawa, Raden Prawasata, dan Raden Warabasata adalah hubungan
antara ayah dengan putra-putranya. Raden Ramayana dan Raden Prawasata
adalah putra Prabu Dipayana dengan Dewi Puyengan (Endhang Sikandhi),
sedangkan Raden Ramaprawa dan Raden Warabasata adalah putra Prabu
Dipayana dengan Dewi Dangan (Dewi Grendi).
28. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Utari adalah hubungan antara anak
dengan ibundanya. Prabu Dipayana adalah putra Raden (Arya) Abimanyu
dengan Dewi Utari. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Sritatayi, Dewi
Niyata, Ken Satapa, Endhang Sikandhi dan Dewi Grendi adalah hubungan
antara suami dengan istrinya. Setelah menjadi istri Prabu Dipayana mereka
diubah namanya. Dewi Sritatayi menjadi Dewi Gentang, Dewi Niyata menjadi
Dewi Impun, Ken Satapa menjadi Dewi Tapen, Endhang Sikandhi menjadi
Dewi Puyengan dan Dewi Grendi menjadi Dewi Dangan.
29. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Kismaka adalah musuh, sebab
Prabu Kismaka menyerbu ke Dwarawati yang pada waktu itu diperintah
Prabu Satyaka, kerabat Prabu Dipayana. Hubungan Prabu Dipayana dengan
Prabu Niradhakawaca adalah musuh. Oleh karena raja Ima-imantaka tersebut
menyerbu kerajaan Ngastina sewaktu Prabu Dipayana bercengkrama ke hutan
Palasara. Prabu Niradhakawaca berhasil membunuh banyak kerabat istana
Ngastina, tetapi ia pun akhirnya dihancurkan Prabu Dipayana.
30. Hubungan Prabu Dipayana dengan Prabu Satyaki adalah hubungan antara
cucu dengan kakeknya. Prabu Satyaki adalah saudara sepupu Raden Arjuna,
kakek Prabu Dipayana. Sekalipun demikian, hubungan langsung keduanya,
baik dalam Sěrat Darmasarana maupun dalam Ādiparwa kurang tampak.
31. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dhang Hyang Suwela adalah musuh.
Permusuhan keduanya tersebut timbul karena Prabu Dipayana membela
Bagawan Sidhiwacana (mertuanya) maupun Resi Sidhikara (saudara iparnya)
yang bermusuhan melawan Dhang Hyang Suwela. Hubungan Prabu Dipayana
dengan Taksaka Raja adalah bahwa Taksaka Raja pernah secara tidak sengaja
terluka oleh keris Prabu Dipayana. Baik Prabu Dipayana maupun Taksaka
Raja saling memanfaatkan hubungan keduanya sebagai sarana muksa, karena
keduanya muksa bersamaan. Berbeda dengan hubungan Mahārāja Parīkṣit
dengan Takṣaka yang dikemukakan dalam Ādiparwa. Dalam Ādiparwa,

231
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

pertentangan keduanya sangat tajam, sebab Takṣakalah yang menggigit


Parīkṣit atas perintah Sang Çṛnggī hingga mangkat.
32. Hubungan Prabu Dipayana dengan Dewi Gendrawati adalah hubungan antara
mertua dengan menantunya, sebab Dewi Gendrawati kawin dengan Prabu
Yudayana (putra Prabu Dipayana).
33. Dalam Sěrat Darmasarana jika dipandang dari segi kualitas plotnya maka
tergolong karya sastra yang beralur longgar, sebab jalinan peristiwa satu dengan
peristiwa lain nampak tidak erat berkaitan. Seandainya segi kuantitas plot
diterapkan, maka dapat dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana memiliki alur
tunggal, karena pusat pengisahan dan pembicaraan ada pada diri tokoh sentral,
yakni Prabu Dipayana atau Prabu Parikesit. Meskipun ada cerita mengenai
Raden Yudayana (putra Prabu Dipayana) yang cukup menonjol serta banyak
sekali terdapat cerita-cerita yang terangkat ke dalam Sěrat Darmasarana ini,
namun pada hakikatnya semua cerita tersebut kembali berpusat pada Prabu
Dipayana sebagai tokoh utamanya. Berdasarkan rentetan peristiwa yang
terjalin, maka alur atau plot Sěrat Darmasarana tergolong plot campuran,
karena di dalamnya terdapat perpaduan antara alur lurus dengan alur sorot
balik (flashback). Berdasarkan pemecahan penyelesaian akhir cerita, dapat
dikatakan bahwa Sěrat Darmasarana mempergunakan plot terbuka, karena
pada akhir cerita karya sastra tersebut menampakkan bahwa pengarangnya
belum memberikan penyelesaian akhir terhadap sejumlah persoalan. Adanya
plot terbuka tersebut mungkin pujangga R. Ng. Ranggawarsita menawarkan
pemecahan akhir cerita itu kepada para pembaca sebagai penyambut karya
sastra. Akan tetapi sebenarnya kalau dicermati secara cermat tampilnya plot
terbuka itu sebagai penanda akan adanya suatu cerita sesudahnya. Hal itu jelas
sekali terlihat karena setelah Sěrat Darmasarana selesai ditulis maka tampil
Sěrat Yudayana yang merupakan kelanjutan dari Sěrat Darmasarana.
34. Setting/ lokasi kejadian dalam Sěrat Darmasarana ini bukan hanya berkisar
dari kerajaan yang satu ke kerajaan yang lain. Karena selain setting yang
berkisar di istana, maka setting juga bergerak atau menunjuk ke tempat-
tempat lain. Misalnya: di padepokan atau pertapaan-pertapaan, hutan, gunung
maupun sungai atau bengawan. Selain itu setting bukan hanya ada dalam dunia
nyata tetapi juga menunjuk pada dunia gaib, misalnya: alam surga, alam dunia
siluman. Setting yang menunjukkan istana atau kerajaan misalnya: kerajaan
Ngastina, Dwarawati, Tarajutiksna, Lesanpura, Ima-imantaka, Madura,
Gilingwesi, Muka Bumi, Purwacarita, Wiratha, Gandara, Taksakasila. Setting
yang menunjukkan padepokan atau pertapaan, misalnya: Pertapaan Tirta
Awarna di Gunung Manikmaya, Pertapaan Goa Siluman, Pertapaan Gunung
Nirma, Pertapaan Gunung Aswata, Pertapaan Gunung Pulagra. Setting yang
menunjukkan hutan misalnya: hutan Palasara, hutan Citura di kaki Gunung
Cingkara, hutan Pringgadarya, hutan Tibrasara. Setting yang menunjukkan
sungai atau bengawan misalnya: bengawan Lowaya.

232
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

35. Metode cerita yang dipakai dalam Sěrat Darmasarana ini menggunakan
metode cerita orang ketiga atau dalang. Di sini R. Ng. Ranggawarsita
sebagai pengarang sěrat tersebut seolah-olah tahu isi hati para tokoh yang
ditampilkannya. Pengarang dapat lebih bebas mengemukakan dan menguraikan
jalinan cerita beserta sifat-sifat para tokohnya tanpa berusaha untuk memihak
salah satu tokohnya.
36. Motif yang terdapat dalam Sěrat Darmasarana meliputi: wangsit ’ilham’,
mimpi, cinta dan perkawinan, peperangan, pusaka bertuah, penyamaran,
peruwatan.
a. Motif wangsit ’ilham’ diperoleh Prabu Dipayana sewaktu kerajaan
Ngastina akan diserbu Prabu Niradhakawaca dari Ima-imantaka maupun
ketika kerajaan Ngastina akan tertimpa wabah penyakit. Wangsit yang
diperoleh Prabu Dipayana lainnya adalah agar Raja memohon bantuan
Resi Gurundaya untuk mengalahkan Prabu Niradhakawaca. Wangsit
lainnya diperoleh seekor sam-sam ’rusa’ bahwa mereka akan teruwat di
Ngastina. Di samping itu wangsit juga diperoleh Resi Sidhikara tentang
jodohnya yakni Endang Drawasi.
b. Motif mimpi terutama diperoleh oleh Dewi Niyata dan Endang Sikandhi
bahwa keduanya nanti bersuamikan Prabu Dipayana.
c. Motif cinta dan perkawinan tercermin dalam kisah cinta antara Prabu
Dipayana dengan kelima istrinya yaitu Dewi Sritatayi, Dewi Niyata, Dewi
Sikandhi, Dewi Satapa, dan Dewi Grendi. Motif cinta dan perkawinan
yang menonjol selanjutnya ialah antara Raden Yudayana dengan Dewi
Gendrawati, Patih Dwara dengan Ken Suyati, Resi Sidhikara dengan
Endang Drawasi.
d. Motif peperangan tampak pada peperangan antara Prabu Dipayana
melawan Sarabisa (utusan Prabu Sayakesthi), Prabu Dipayana melawan
Prabu Sayakesthi (Buyut Medhangprawa), Prabu Dipayana melawan
Srubisana, Prabu Dipayana melawan Bagawan Sukandha, Prabu Dipayana
melawan Prabu Niradhakawaca. Motif peperangan lainnya tampak pada
peperangan kerajaan Dwarawati melawan Tarajutiksna, peperangan
kerajaan Ngastina melawan kerajaan Ima-imantaka, peperangan
Srubisana melawan Bagawan Sukandha, peperangan Resi Sidhikara yang
dibantu Raden Yudayana dan keempat saudaranya melawan Dang Hyang
Suwela dan para muridnya.
e. Motif pusaka bertuah tampak pada arca Dewi Durga dan Sang Hyang
Girinata, Cundamani (yang diberikan kepada Prabu Dipayana), Nanggala
(milik Bagawan Baladewa), Sarotama (yang diterima Raden Yudayana),
Bĕsi Adnyana (milik Resi Gurundaya) dan Bĕsi Aji (milik Prabu
Niradhakawaca), Musthika Kumara (yang diterima Prabu Yudayana dari
Naga Raja Sarana).

233
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

f. Motif penyamaran tampak pada Ken Suyati sebagai Prabu Dipayana,


Prabu Dipayana sebagai Raden Suwarna, Patih Dwara sebagai Raden
Cara, Sang Hyang Basuki sebagai Resi Ardhawalika, Sang Hyang Gana
sebagai Resi Mregapati, Prabu Sayakesthi sebagai Buyut Medhangprawa
dan Sang Hyang Udipati sebagai Arpasa.
g. Motif peruwatan tampak pada peruwatan yang dilakukan Prabu Dipayana
terhadap: 1) Resi Ardhawalika (Sang Hyang Basuki); 2) Resi Mregapati
(Sang Hyang Gana); 3) Burung Garuda (Sang Hyang Sambo); 4) Seekor
Taksaka (Dewi Swanyana); 5) Ketiga sam-sam ’rusa’ (Resi Gurunadi,
Dewi Nawangsasi dan Dewi Maera); 6) Ketiga arca (Kaehanala bersama
istri serta Milak).
37. Teks naratif Mahārāja Parīkṣit di dalam Ādiparwa yang terdiri atas enam
halaman tersebut lewat inovasi, adaptasi, resepsi yang dilakukan oleh pujangga
R. Ng. Ranggawarsita telah berubah menjadi teks yang sangat panjang di dalam
Sěrat Darmasarana. Sejalan dengan panjangnya teks Sěrat Darmasarana
maka penampilan penokohan Prabu Parikesit (Dipayana) maupun berbagai
peristiwa yang melatarbelakanginya juga jauh lebih kompleks daripada
penokohan Mahārāja Parīkṣit di dalam Ādiparwa. Dilihat dari keterlibatan
penokohannya, Sěrat Darmasarana melibatkan 450an tokoh, jauh berbeda
dibandingkan dengan penokohan di dalam teks naratif Mahārāja Parīkṣit di
dalam Ādiparwa yang hanya menyebutkan misalnya Takṣaka, Bhagawān
Samīti, Bhagawān Kāҫyapa, Çṛnggī, Bhagawān Kṛṣa, Aghoramuka, Mahārāja
Janamejaya, dan para pendeta serta para mentri yang tidak disebutkan nama-
namanya.
38. Dalam hal mangkatnya Mahārāja Parīkṣit di dalam Ādiparwa karena digigit
Takṣaka atas perintah Sang Çṛnggī, putra Bhagawān Samīti yang sebelumnya
telah menjatuhkan kutukannya kepada Mahārāja Parīkṣit. Di dalam Sěrat
Darmasarana mangkatnya Prabu Parikesit atau Dipayana karena Sang Raja
memang bermaksud muksa bersamaan waktunya sewaktu Sang Raja dijilat
ujung ibujari kakinya oleh Taksaka Raja. Pada saat itu pula Taksaka Raja juga
menggunakan kesempatan itu untuk muksa. Di dalam Ādiparwa Mahārāja
Parīkṣit mangkat tanpa diikuti istri-istrinya, sebaliknya muksa Prabu Dipayana
di dalam Sěrat Darmasarana membawa sekalian istri-istrinya yang kemudian
diikuti oleh ibundanya yaitu Dewi Utari dan Resi Gurunadi, Resi Gurundaya
bersama istri-istri mereka.
39. Di dalam Ādiparwa Mahārāja Parīkṣit didalam menghadapi kutukan
Sang Çṛnggī menampakkan diri sebagai Mahārāja yang tinggi hati, malu
merendahkan diri, dan lebih mengandalkan kekuatan pasukannya untuk
menjaganya. Sebaliknya di dalam Sěrat Darmasarana Prabu Dipayana
menunjukkan keluhuran hatinya, keutamaan budinya ketika menjelang muksa.
Baginda justru mengumpulkan seluruh rakyatnya dan menyatakan bahwa
siapapun yang pernah disakiti secara fisik dan disakiti secara psikis pada waktu

234
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

itu boleh membalasnya. Sampai pada akhirnya datanglah Taksaka Raja yang
menyatakan terus terang bahwa ia pernah terluka pethitnya oleh keris Baginda
sewaktu menjadi binggĕl ’gelang kaki’ Resi Ardhawalika (penjelmaan Sang
Hyang Basuki). Baginda kemudian mempersilahkan Taksaka Raja untuk
menggigitnya sebagai balasannya, namun setelah dipaksa Taksaka Raja hanya
menjilat ibujari kaki Baginda yang dipakainya sebagai sarana muksa.
40. Di dalam Ādiparwa yang melangsungkan Sarpayajña atau Sarpa Satra (korban
api ular) adalah Mahārāja Janamejaya di Hāstinapura. Sarpayajña tersebut
disebabkan pertama, kutuk Kadrū kepada para naga anaknya (termasuk
Takṣaka) karena semula menolak perintah ibunya untuk memerciki dengan
bisa ekor kuda Uçcaihçrawā agar berwarna hitam (kṛṣṇacāmara). Kedua,
dendam Uttangka kepada Takṣaka karena ia pernah diganggunya sewaktu
pulang dari Ayodya sambil membawa anting-anting matahari yang dimintanya
dari Sāwitrī (permaisuri Mahārāja Posya). Di dalam Sěrat Darmasarana II
dan Sěrat Yudayana yang melangsungkan Sarpayajña adalah Prabu Yudayana
di Ngastina (putra Prabu Parikesit), yang disebabkan karena dendam dan
kemarahan Prabu Yudayana terhadap Taksaka Raja yang diduganya sebagai
sebab ayahandanya (Prabu Parikesit) mangkat.
41. Di dalam Ādiparwa diuraikan mengenai perkawinan Jaratkāru dengan
Nāginī Jaratkāru sampai lahirnya Āstīka. Kelahiran Āstīka tersebut untuk
membebaskan para leluhur Jaratkāru yang sangat menderita karena tergantung
pada seutas tali yang menuju ke neraka, namun bagi keluarga naga, kelahiran
Āstīka adalah untuk membebaskan mereka dari kepunahan akibat korban api
ular Mahārāja Janamejaya. Di dalam Sěrat Darmasarana II maupun Sěrat
Yudayana tidak terdapat naratif tentang Brahmana Jaratkāru, Nāginī Jaratkāru,
maupun putranya, Āstīka. Hanya di dalam Sěrat Yudayana muncul tokoh
Dewi Sarini, putri Naga Raja Sarana (pelindung para naga) yang tinggal di
Gunung Mahendra.
42. Di dalam Ādiparwa prosesi Sarpayajña dengan cara membuat tungku korban
seluas 2 yojana yang diukur oleh Sang Brahmana serta dimantrai dengan mantra
sakti. Adapun di dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana Sarpayajña
tersebut dilakukan dengan cara menyerbu ke tempat-tempat yang diduga
dihuni para naga, misalnya: Taksakasila, hutan Lagra, hutan Gadamadana,
di sekitar Gunung Candrageni (Merapi) dan Gunung Mahendra (Lawu). Di
dalam Ādiparwa maupun dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana
sama-sama dijelaskan bahwa para naga yang mati tidak terhingga jumlahnya.
Hanya di dalam Ādiparwa Sarpayajña tersebut jauh lebih mencekam dan
mengerikan. Berbagai macam jenis para naga yang berbelitan dengan saudara-
saudaranya secara bersama-sama tersedot masuk ke dalam tungku api korban.
Di dalam Ādiparwa maupun Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana maka
Sarpayajña tersebut tidak sempurna. Di dalam Ādiparwa Sarpayajña itu
dihentikan karena permintaan Āstīka kepada Mahārāja Janamejaya. Adapun di

235
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

dalam Sěrat Darmasarana II dan Sěrat Yudayana berakhirnya penyerbuan ke


tempat-tempat tinggal para naga tersebut disebabkan karena Prabu Yudayana
tergiur oleh kecantikan Naga Dewi Sarini serta ketidakmampuannya melawan
kesaktian Naga Raja Sarana, pelindung naga golongan baik.
43. Sěrat Darmasarana untuk sebagian sebagai resepsi, sambutan, tanggapan
pujangga R. Ng. Ranggawarsita atas Ādiparwa, Mosalaparwa, dan melanjutkan
naratif di dalam Prasthānikaparwa.
44. Genealogi (silsilah) memainkan peran yang sangat penting dalam historiografi
Jawa, khususnya historiografi yang berasal dari dalam tradisi besar
kraton-kraton Jawa: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Pura
Mangkunegaran dan Pura Pakualaman, karena di dalam silsilah itu dijumpai
kehadiran nenek moyang (pitāmaha), yang berasal dari Sajarah Pangiwa lan
Panĕngĕn.
45. Dengan mencermati genealogi susunan Brandes, maka para tokoh yang tampil
di dalam Sěrat Darmasarana dan Sěrat Yudayana dapat didudukkan pada
posisi nomor 12 sampai 22, yaitu mulai dari Manumanasa, kemudian Sakutrem,
Sakri, Palasara, Abyasa, Pandu, Arjuna, Abimanyu, Parikesit, Yudayana
(Udayana) dan Gendrayana. Bahkan seandainya mempertimbangkan sejumlah
teks Pustakaraja Madya seperti Sěrat Budhayana, Sěrat Gěndrayana, Sěrat
Sariwahana, Sěrat Purusangkara, Sěrat Mayangkara, Sěrat Partakaraja,
Sěrat Ajidarma, Sěrat Ajipamasa, Sěrat Witaradya, Sěrat Purwanyana, Sěrat
Bandawasa, Sěrat Déwatacĕngkar, Sěrat Widayaka, dan Sěrat Danèswara
maka tokoh-tokohnya berlanjut menduduki posisi 23 sampai dengan 29.
Jadi secara keseluruhan mulai dari Manumanasa sampai Anglingdriya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penciptaan Sěrat Darmasarana,
Sěrat Yudayana dan teks-teks Pustakaraja Madya adalah dalam rangka ikut
memperkuat genealogi nenek moyang raja-raja Mataram.
46. Genealogi (silsilah) dalam Sěrat Darmasarana di antaranya: 1) Genealogi
Prabu Dipayana (Parikesit), Prabu Yudayana, dan Prabu Gendrayana; 2)
Genealogi Manumanasa sampai Anglingdriya; 3) Genealogi Dewi Sritatayi
dan Dewi Niyata; 4) Genealogi Bagawan Sidhiwacana; 5) Genealogi Bagawan
Sukandha; 6) Genealogi Resi Gurundaya dan Resi Gurunadi; 7) Genealogi
Prabu Gandaprawa (Gandara); dan 8) Genealogi Sang Wiku Mudra.
47. Tokoh-tokoh utama dalam teks-teks Pustakaraja Madya seperti misalnya:
Prabu Dipayana, Prabu Yudayana, Prabu Gendrayana, Prabu Jayabaya, Prabu
Kusumawicitra (Ajipamasa), mempunyai hubungan timbal balik dan saling
ketergantungan dengan Sunan Paku Buwana IV – IX (di Kraton Surakarta)
maupun Sri Mangkunegara IV (di Pura Mangkunegaran). Melalui pujangga
istana R. Ng. Ranggawarsita, maka kelima raja tersebut dapat menjadi tokoh
historis karena mereka didudukkan oleh Sunan Paku Buwana (terutama
Sunan Paku Buwana VII) dan Sri Mangkunegara IV sebagai nenek moyang,
sehingga mereka sungguh-sungguh hadir di Kraton Kasunanan dan Pura

236
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Mangkunegaran. Sebaliknya berkat Prabu Dipayana, Prabu Yudayana, Prabu


Gendrayana (Gandayana), Prabu Jayabaya serta Prabu Kusumawicitra,
maka Sri Sunan Paku Buwana IV-IX serta Sri Mangkunegara IV masuk ke
dalam dunia kerajawian, yang secara konseptual terdapat dalam Vīracārita
Mahābhārata. Dalam konteks relasi timbal balik dan saling ketergantungan
satu sama lain, dari tokoh-tokoh di atas dapatlah dimengerti adanya proses
mitisisasi dan historisasi dalam tradisi historiografi Jawa, khususnya yang
secara konseptual tertuang dalam Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana.

B. Kesimpulan
Sejak penelitian dan penerbitan bagian-bagian Mahābhārata dalam
kesastraan Jawa Kuna oleh A.A. Fokker, H.H. Juynboll, Hazeu, H. Kern,
Gunning, Gonda, RM. Ng. Poerbatjaraka serta P.J. Zoetmulder, maka penelitian
Mahābhārata Jawa Kuna semakin menyusut. Demikian pula sejak RM. Ng.
Poerbatjaraka, C.C. Berg, Th. G. Pigeaud, J. Kats maupun Slamet Mulyono,
maka penelitian yang serius terhadap Sĕrat Pustakaraja semakin sedikit. Karena
itu katalogus susunan Nancy K. Florida yang berjudul Javanese Language
Manuscripts of Surakarta, Central Java: A Preliminary Descriptive Catalogue
Vol. I-IV (1981) yang di dalamnya membicarakan Sĕrat Pustakaraja dan bagian-
bagian dari sĕrat tersebut menjadi sangat penting.
Penelitian atau studi tentang Mahābhārata Sanskerta dan Mahābhārata
dalam kesastraan Jawa Kuna serta pelacakan jejak-jejaknya ke dalam Sĕrat
Pustakaraja dapat dikatakan hampir tidak ada lagi. Penelitian dalam kawasan
ini terjadi kekosongan seperti yang dikemukakan Ign. Kuntara Wiryamartana,
S.J. Padahal studi di kawasan ini (Sĕrat Pustakaraja) memberikan lapangan
yang sangat luas bagi ilmuwan-ilmuwan Jawa untuk mengadakan penelitian
diantaranya dari sisi religi, mitologi, pedagogi, psikologi, hukum, kepemimpinan,
lingkungan hidup maupun sistem pertanian dan lain sebagainya.
Bagian-bagian yang terdapat di dalam Sĕrat Pustakaraja banyak yang
merupakan hasil resepsi, adaptasi, inovasi, transformasi dari Mahābhārata dalam
kesastraan Jawa Kuna. Teks-teks dalam Sĕrat Pustakaraja tersebut misalnya
kelompok Sĕrat Maha Tantra, terdiri atas: a. Sĕrat Sri Kala; b. Sĕrat Raja Watara;
c. Sĕrat Cita Kaprawa; d. Sĕrat Ariawanda; e. Sĕrat Para Patra, kelompok Sĕrat
Maha Putra, terdiri atas: a. Sĕrat Mahandya Purwa; b. Sĕrat Suktinawyasa; c.
Sĕrat Darma Sagara; d. Sĕrat Gorawangsa; e. Sĕrat Kumbayana; f. Sĕrat Wandha
Laksana; g. Sĕrat Darma Mukta; h. Sĕrat Drĕta Nagara maupun kelompok Sĕrat
Maha Dharma, terdiri atas: a. Sĕrat Kuramaka; b. Sĕrat Smara Dahana; c. Sĕrat
Ambaralaya; d. Sĕrat Kridha Krĕsna; e. Sĕrat Kunjana Karna; f. Sĕrat Kunjana
Krĕsna; g. Sĕrat Partayagnya; h. Sĕrat Manik Harja Purwaka; i. Sĕrat Sapanti
Parta; j. Sĕrat Dĕwa Ruci; k. Sĕrat Parta Wiwaha/Mintaraga; Sĕrat Yudanaraga;
m. Sĕrat Purobaya; n. Sĕrat Bomantara; o. Sĕrat Bomantaka; p. Sĕrat Bratayuda;

237
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

q. Sĕrat Kirimataya; r. Sĕrat Darmasarana; s. Sĕrat Yudayana.


Apabila ditelusuri teks-teks bagian Sĕrat Pustakaraja di atas dapat
dikaitkan dengan bagian-bagian parwa Mahābhārata dalam kesastraan Jawa
Kuna misalnya: 1. Ādiparwa, 2. Sabhāparwa, 3. Āraṇyakaparwa (Wanaparwa), 4.
Wirāṭaparwa, 5. Udyogaparwa, 6. Bhīsmaparwa, 7. Droṇaparwa, 8. Karṇaparwa,
9. Ҫalyaparwa, 10. Gadāparwa, 11. Mosalaparwa, 12. Prasthānīkaparwa dan 13.
Swargārohaṇaparwa, bahkan juga ke dalam Kakawin Arjunawiwaha, Kakawin
Bhāratayuddha dan Kakawin Bhomakāwya.
Sĕrat Darmasarana dan Sĕrat Yudayana merupakan pintu masuk ke
dalam genealogi (silsilah) raja-raja Jawa. Kedua karya ini ikut mendudukkan raja-
raja Jawa sebagai keturunan tokoh-tokoh utama dalam Vīracārita Mahābhārata,
misalnya Vyāsa (Dvaīpayana Vyāsa), Pāṇḍu, Arjuna, Abimanyu, Parīkṣit maupun
Janamejaya (Yudayana, dalam tradisi Jawa).
Di samping itu yang lebih penting dari Sĕrat Pustakaraja adalah kandungan
isinya yang memuat berbagai macam ajaran yang dapat dijadikan pegangan bagi
kehidupan masyarakat Jawa. Dalam hal ini kita beruntung bahwa ajaran-ajaran
di dalam Sĕrat Paramayoga dan Sĕrat Pustakaraja sudah dikumpulkan dan
disusun oleh R. Ng. Karyarujita dan ditulis oleh Ranasubaya ke dalam kitabnya
yang berjudul Sĕrat Paramayoga: Sĕrat Kalĕmpaking Piwulang. Ajaran-ajaran
yang dikemukakan dalam kitab tersebut antara lain adalah: 1) Nasihat-nasihat
agar tidak bersedih hati; 2) Nasihat-nasihat untuk mendapatkan kebahagiaan;
3) Rajah Kalacakra untuk penolak bala; 4) Tapabrata dan kesaktian; 5) Teka-
teki (tebak-tebakan); 6) Meminta makanan; 7) Perjodohan; 8) Pusaka-pusaka
kerajaan yang beralih tempatnya; 9) Peruwatan; 10) Ramalan akan mendapatkan
penghinaan; 11) Kutukan; 12) Kesempurnaan budi; 13) Arti dan tafsir mimpi;
14) Khasiat sêsotya (permata) jadian; 15) Mencegah berjangkitnya hama-hama
yang menyerang tanaman; 16) Sakit panas; 17) Tata pemerintahan negara; 18)
Penolak wabah; 19) Bekal mengabdi; 20) Memberantas kejahatan, kedustaan
dan kenistaan; 21) Watak wirutama dan berbudi luhur; 22) Rasa kenikmatan
dalam bersenggama; 23) Menanggulangi wabah; 24) Mendirikan kerajaan;
25) Hakikat kehidupan manusia; 26) Kewajiban golongan – bangsa ketujuh
(7); 27) Puter puja; 28) Makanan (baksana), pakaian (busana), tempat tinggal
(sasana); 29) Tata tertib penggunaan uang; 30) Pendidikan; 31) Melacak jejak
pencuri (detektif); 32) Kemuksaan; 33) Keutamaan wanita; 34) Awet muda; 35)
Ahli waris. Sesungguhnya Sĕrat Pustakaraja adalah karya agung yang menjadi
puncak dari karya-karya pujangga R. Ng. Ranggawarsita, yang oleh masyarakat
Jawa dianggap sebagai ′′Pujangga Penutup′′. Karena itu penelitian terhadap Sĕrat
Darmasarana maupun Sĕrat Yudayana boleh dikatakan sebuah penelitian yang
kecil dari penelitian besar yang mungkin dapat dilakukan atas Sĕrat Pustakaraja.

238
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Daftar Pustaka

Abrams, M.H. 1976. The Mirror and the Lamp: Romantic Theory and the Critical
Tradition. New York: Oxford University Press.
Ali, Lukman (ed.) 1967. Bahasa dan Kesusastraan Indonesia sebagai Cermin
Manusia Indonesia Baru. Jakarta: Gunung Agung.
Andri Astanto. 2011. Kresna-Arjuna Bawarasa Karya Mangunsalaga (Analisis
Struktural dan Amanat) (Skripsi Sarjana). Yogyakarta: Jurusan Sastra
Nusantara, Prodi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada.
Any, Andjar. 1979. Rahasia Ramalan Jayabaya Ranggawarsita & Sabdapalon.
Semarang: Aneka.
_______. 1980. Raden Ngabehi Ranggawarsita Apa yang Terjadi? Semarang:
Aneka.
Bale Pustaka. 1939. Babad Tanah Jawi Jilid I. Betawi Sentrem, Bale Pustaka.
Behrend, T.E., dkk. 1989. Katalogus Naskah-naskah Museum Sonobudoyo.
Yogyakarta: The Ford Foundation.
_______. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I Museum.
Sonobudaya Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.
Berg, C.C. 1974. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bharata.
Brandes, J.L.A. 1920. Pararaton (Ken Arok) Of Het Boek der koningen van
Tumapĕl en van Majapahit uitgegeven en toegelicht Tweede druk bewerkt
door N.J. Krom. VBG. 62.
Brandon, James R. (ed.). 1970. On Thrones of Gold: Three Javanese Shadow
Plays. Cambridge, Massachusetts, Harvard University Press.
Culler, Jonathan. 1977. Structuralist Poetics: Structuralism, Linguistics and the
Study of Literature. London and Henley, Routledge and Kegan Paul.
_______. 1981. The Persuit of Sign, Semiotics, Literature, Deconstruction.
London, Routledge and Kegan Paul.
______. 1980. ‘’Jejer Kalenggahaning Pujangga Ing Kasusastran Jawi’’
(Makalah). Yogyakarta.
Drewes, G.W.J. 1974. ‘’Ranggawarsita, the Pustakaraja Madya and the Wayang
Madya’’ dalam Oriens Extremus. Wiesbaden, Kommissionsverlag
Harrassowitz.
_______. 1975. The Romance of King Anglingdarma in Javanese Literature. The
Hague, Nederland, Martinus Nijhoff.
Faruk, H.T. 1982. Strukturalisme dalam Sosiologi Kesusastraan. Yogyakarta:
KMSI Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM.
Florida, Nancy K. 1981. Javanese Language Manuscripts of Surakarta, Central
Java: A Preliminary Descriptive Catalogue Vol. I-IV. Ithaca, New York,
Cornell University.

239
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Forster, E.M. 1971. Aspects of the Novel. Victoria: Pinguin Book Australia Ltd.
Gericke, J.F.C. en T. Roorda. 1901. Javaansch – Nederlandsche Hanwoordenboek,
2 Jilid. Leiden, Johannes Muller, E.J. Brill.
Girardet, Nikolaus. 1983. Descriptive Catalogue of The Javanese Manuscripts
and Printed Books in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta.
Wiesbaden, Franz Steiner Verlag GMBH.
Groenendael, Victoria M. Clara van. 1987. Wayang Theatre in Indonesia and
Annotated Bibliography. Leiden, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-
en Volkenkunde.
Hadimadja, Aoh K. 1978. Seni Mengarang. Jakarta: Pustaka Jaya.
Hadisuparto, Soepardi (Pengalih Huruf). 2007. Sĕrat Prabu Gĕndrayana II (46
B). Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Hardjowirogo. 1982. Sejarah Wayang Purwa. Jakarta: Balai Pustaka.
Harsja W. Bachtiar. 1973. ’’Pendidikan Calon-calon Ahli Sastra Daerah dan
Pertumbuhan Kebudayaan Nasional’’ (Makalah). Yogyakarta: Lembaga
Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional.
Hawkes, Terence. 1977. Structuralism and Semiotics. London: Methun.
Holt, Claire. 1967. Art in Indonesia: Continuities and Change. Ithaca, New York,
Cornell University Press.
Juynboll, H.H. 1906. Ādiparwa Oudjavaansch Prozageschrift Uitgegeven’S
Gravenhage, Martinus Nijhoff.
_______. 1923. Oudjavaansch-Nederlandsch-Woordenlijst. Leiden: E.J. Brill.
Kamadjaja. 1964. Zaman Edan. Jogjakarta: U.P. Indonesia.
Karyarujita, R.Ng. 1981. Sĕrat Paramayoga: Sĕrat Kalĕmpaking Piwulang, Alih
Aksara dan Alih Bahasa oleh Moelyono Sastronaryatmo. Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah Depdikbud.
Kats, J. 1924. ’’Wayang Madya’’ dalam Poesaka Djawi II. Java-Instituut.
Kriswanto, Agung dan Komari. 2008. Udayana (Editor: Nindyo Noegraha),
Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
Lubis, Mochtar. 1960. Tehnik Mengarang. Djakarta: Balai Pustaka.
Luxemburg, J. van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra, terjemahan Dick Hartoko.
Jakarta: Gramedia.
Macdonell, Arthur Anthony. 1979. A Practical Sanskrit Dictionary With
Transliteration, Accentuation and Etymological Analysis Throughout.
Oxford University Press.
Mangkunegara IV. 1914. Lampahan Jayapurusa.
Mangunsalaga, Mulyono Sastronaryatmo dan Sudibya Z. Hadisutjipto. 1987.
Kresna-Arjuna Bawarasa. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah Depdikbud.
Mantra, Ida Bagus. 1970. Bhagāwadgīta. Denpasar: Parisada Hindu Dharma
Pusat.

240
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Margapranata, R. Ng., Sastrawaluya, R. dan Yasapuraya, R. Ng. 1986. Tus Pajang:


Penget lan Lampahanipun Swargi R. Ng. Jasadipura I. Jakarta: Proyek
Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah, Depdikbud.
Mihardja, Achdiat K. 1977. Polemik Kebudayaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Minkowski, C. 1989. “Janamejaya’s Sastra and Ritual Structure”, Journal of the
American Oriental Society.
Mulyono, Sri. 1989. Wayang: Asal-usul, Filsafat dan Masa Depannya, Cetakan
III. Jakarta: Haji Masagung.
Nila, Ketut. 1979. Mausala, Mahaprasthanika, Swargarohanika Parwa. Denpasar:
Dharma Bhakti.
Oemarjati, Boen S. 1962. Roman Atheis, Sebuah Pembitjaraan. Djakarta: Gunung
Agung.
Padija, M. 1973. Perkembangan Cerita Wayang yang Bersumberkan Kitab
Adiparwa Dalam Kesusastraan Jawa (Tesis). Jogjakarta: Fakultas Sastra
dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada.
Padmapuspito, Asia. 1980. Analisis Struktural Novel-novel Jawa. Yogyakarta:
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Yogyakarta.
Padmosoekotjo, S. 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa Jilid 2. Jogjakarta:
Hien Hoo Sing.
Panitia Penelitian Ranggawarsita. 1972. K.R.T. Ranggawarsita sebagai Pujangga
dan Sastrawan. Surakarta: PPP-IKIP.
Pigeaud, T.H. 1938. Javaansch-Nederlandsch Handwoordenboek. Groningen:
B. Wolters’ Uitgever-Maatschappij.
_______. 1967. Literature of Java Vol. I. The Hague, Martinus Nijhoff.
Poedjosoedarmo, Soepomo, dkk. 1982. Tingkat Tutur Bahasa Jawa. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Poerbatjaraka, R. M. Ng. dan Tardjan Hadidjaja. 1957. Kepustakaan Djawa. Kolff
Djakarta: Djambatan.
Poerwadarminta, W. J. S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia, J.B. Wolters
Uitgevers Maatschappij n.v.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1979. Penelitian Bahasa Puisi Sastra Indonesia
Moderen. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_______. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradopo, Sri Widati, dkk. 1982. Perbandingan Tehnik Penokohan antara Prosa
Jawa dan Prosa Indonesia Sebelum Perang. Yogyakarta: Proyek
Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Prawiroatmojo, S. 1981. Bausastra Jawa-Indonesia 2 Jilid. Jakarta: Gunung
Agung.
Ranggawarsita, R. Ng. 1908. Witaradya. Surakarta: Albert Rusche.

241
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

_______. 1910. Hadji Pamoso Jilid I-X. Soerakarta: Albert Rusche.


_______. 1924. Serat Mayangkara. Solo: Boekhandel M. Tanojo.
_______. 1939. Sĕrat Pustakaraja Purwa Jilid I – IX, Cetakan Keempat. Djokdja:
Boekhandel En Drukerij Kolf Buning.
_______. 1979. Serat Witaradya I & II. Alih Aksara dan Ringkasan oleh Sudibya,
Z.H., Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
_______. 1993. Sĕrat Ajipamasa, Disalin oleh Soetomo W.E., dkk. Semarang:
Yayasan Studi Bahasa Jawa ”Kanthil”.
_______. 1994. Sĕrat Pustakaraja Purwa Jilid III, Alih Aksara Kamajaya.
Surakarta dan Yogyakarta: Yayasan ”Mangadeg” dan Yayasan ”Centhini”.
Robson, S. O. 1978. ’’Pengkajian Sastra-sastra Tradisional Indonesia’’ dalam
Bahasa dan Sastra Th. IV No. 6. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Santosa, Soewito. 1970. Babad Tanah Jawi (Galuh-Mataram). Surabaya: Citra
Jaya.
Sarumpaet, Riris K. 1977. ’’Istilah Drama & Teater’’ dalam Bahasa dan Sastra
Th. IV No. 6. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Depdikbud.
Sayid, R. M. 1981. Ringkasan Sejarah Wayang. Jakarta Pusat: Pradnya Paramita.
Shastri, Pandit, N.D. 1963. Sedjarah Bali Dwipa Jilid I. Denpasar: Bhuvana
Saraswati.
Slamet Mulyana. 1979. Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:
Bhratara.
Soedarsono. 1984. Wayang Wong, The State Ritual Dance Drama in the Court of
Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Soetjipto, Soemarso Pontjo, K.R.T. (Pengalih Huruf). 2007. Sĕrat Prabu
Gĕndrayana I (46 A). Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran
Surakarta.
Stanton, Robert. 1965. An Introduction to Fiction. New York: Holt, Rinehart and
Winston Inc.
Suarsa, Made. 1987. ‘’Analisis Struktural Unsur Penokohan Drama Domba-
domba Revolusi Karya B. Soelarto’’ (Makalah). Yogyakarta: Fakultas
Pasca Sarjana UGM.
Subalidinata, R.S., dkk. 1985. Sejarah dan Perkembangan Cerita Murwakala dan
Ruwatan dari Sumber-sumber Sastra Jawa. Yogyakarta: Proyek Penelitian
dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi), Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan.
Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Sumardjo, Jakob. 1981. Segi Sosiologis Novel-novel Indonesia. Jakarta: Pustaka
Prima.
Sumarsih. 1979. Wawasan Serat Sri Tanjung (Skripsi Sarjana Muda). Yogyakarta:
Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas
Gadjah Mada.

242
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

_______. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.


Supardi, Imam. 1961. Ki Padmosusastro. Surabaya: Penyebar Semangat.
Sutrisno, Sulastin. 1981. Relevansi Studi Filologi. Yogyakarta: Liberty.
_______. 1983. Hikayat Hang Tuah Analisa Struktur dan Fungsi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Suwandono, dkk. Tanpa tahun. Ensiklopedi Wayang Purwa I (Compendium).
Jakarta: Proyek Pembinaan Kesenian Direktorat Pembinaan Kesenian
Ditjen Kebudayaan Departemen P & K.
Swelengrebel, J.L. 1936. Korawasrama. Een Oud Javaansch Proza Geschriff,
Uitgegeven, Vertaald en Toegelicht. Sanpoort: N.V.Uitgeverij,
v.h.C.A.Mees.
Tedjowirawan, Anung. 1983. “Persejajaran Pola Telangkai Cinta dalam Kakawin
Wṛttasañcaya dan Serat Ajipamasa” dalam Berita Nasional Edisi Senin
Kliwon, 13 Juni 1983. Yogyakarta.
_______. 1985. Analisis Struktural Serat Purusangkara, Satu Kajian pada
Karya Sastra R. Ng. Ranggawarsita. Yogyakarta: Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
_______. 1986. Serat Mayangkara Karya R. Ng. Ranggawarsita: Sajian Teks-
Terjemahan-Pembahasan. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
_______. 1986. Serat Yudayana Karya R. Ng. Ranggawarsita, Sebuah Sisi
Sumber Penulisan Pentas Seni Lakon Wayang Madya. Yogyakarta:
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
_______. 1988. ’’Serat Yudayana Karya R. Ng. Ranggawarsita (Titik Kaitannya
dengan Adiparwa dan Serat Purusangkara)’’ dalam Badrawada Edisi 15.
Yogyakarta: KMSN, Fakultas Sastra UGM.
_______. 1989. ’’Strukturalisme Semiotik Teks Sumber Wayang Madya karya R.
Ng. Ranggawarsita’’ (Makalah). Jakarta: The Toyota Foundation.
_______. 1990. Wayang Madya (Sepintas Sorotan Secara Sejarah, Pengembangan
dan Simbolisasi Beberapa Tokohnya). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM.
_______. 1995. Teks-teks Sumber Wayang Madya: Relasi, Konstruksi dan
Persamaan Beberapa Tokohnya dengan Raja-raja Jawa dalam Humaniora
II/1995. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
_______. 2001. Jayabaya di Dalam Teks-teks Pustakaraja Madya Karya R. Ng.
Ranggawarsita. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada.
_______. 2001. ”Unsur-unsur Ajaran Pemimpin Negara dan Abdi Negara di dalam
Teks-teks Pustakaraja Madya karya R. Ng. Ranggawarsita, Relevansinya
dengan Kepemimpinan Masa Sekarang” dalam Humaniora, Volume
XIII, No. 2/2001. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah
Mada.
_______. 2003. ”Perjalanan Spiritual Ronggowarsito” dalam Panjimas Edisi
Oktober 2003. Jakarta.

243
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

_______. 2004. ”Persejajaran Unsur-Unsur Autochton dalam Cerita Panji Angreni


dengan Cerita Pantun Mundinglaya Di Kusuma” dalam Humaniora Vol.
XVI No. 3 Oktober Tahun 2004, Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada.
_______. 2005. Lokasamgraha dalam Visi Ranggawarsita: Sebuah Kebijakan
Lokal tentang Ekologi seperti Digambarkan dalam Sěrat Ajipamasa dan
Sěrat Witaradya (Penelitian bersama Manu Jayaatmaja Widyaseputra).
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
_______. 2006. ”Genealogi dalam rangka Penciptaan Serat Darmasarana karya R.
Ng. Ranggawarsita” dalam Humaniora, Volume XVIII No. 2 Tahun 2006.
Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
_______. 2007. Balarāma sebagai Bhūmipāla dalam Sĕrat Darmasarana karya
Pujangga R. Ng. Ranggawarsita (Disampaikan pada Sarasehan Wayang
Kulit di Pusat Kebudayaan ”Koesnadi Harjosumantri” Universitas
Gadjah Mada, 27 Oktober 2007).
_______. 2008. “Dari Gendrayana ke Bambang Sudarsana (Sebuah Suksesi
Kepemimpinan di Ngastina menurut Teks-teks Pustakaraja Madya
Karya Pujangga R.Ng. Ranggawarsita” dalam Procedings Seminar
Internasional Aktualisasi Teks-teks Ranggawarsitan dalam Konteks 100
Tahun Kebangkitan Nasional dalam rangka Dies ke 62 Fakultas Ilmu
Budaya UGM 16 Mei 2008.. Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara, Prodi
Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
_______. 2009. “Mitos Sekitar Penciptaan Teks Ramalan Jayabaya: Sabdapalon
Nayagenggong” dalam Proceding Seminar Internasional Sabdapalon
Nayagenggong dalam Naskah Nusantara. Jakarta: Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia.
_______. 2009. Menelusuri Kebesaran Pujangga R. Ng. Ranggawarsita Melalui
Karya-karya Ciptaannya (Sebuah Bunga Rampai I). Yogyakarta: Unit
Penerbitan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
_______. 2010. “Ajisaka sebagai Dewasisya di dalam Serat Ajidarma-Ajinirmala
karya Pujangga R. Ng. Ranggawarsita (Peranannya dalam Kolonisasi
Pulau Jawa)” dalam Jumantara (Jurnal Manuskrip Nusantara), Volume I
Nomor 1 Tahun 2010. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.
_______. 2010. “Analisis Intertekstualitas Tokoh Anoman dalam Hikayat Sri
Rama dengan Beberapa Karya Sastra Jawa” dalam Badrawada (Jurnal
Ilmiah Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara) Nomor 2 September
2010. Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara, Prodi Sastra Jawa, Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
_______. 2010. “Legenda Etiologis Banyuwangi dalam Serat Ajipamasa (Kajian
Historis Komparatif)” dalam Procedings Seminar Internasional Tiga
Serangkai UKM-UGM-UNS pada 27-28 September 2010. Bangi: Institut
Alam & Tamadun Melayu, University Kebangsaan Malaysia.

244
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

_______. 2010. Unsur-unsur Autochton dalam Cerita Panji Kudanarawangsa


Karya R.Ng.Ranggawarsita (Analisis Struktural Antropologi Rassers)
(Makalah Seminar Internasional Budaya Panji yang diselenggarakan
Yayasan Malang Kembali Inggil di Gedung Perustakaan Umum Malang
pada bulan Mei 2010).
_______. 2011. ”Menelusuri Jejak Cerita Rama dalam Serat Pustakaraja karya
Pujangga R. Ng. Ranggawarsita” dalam Jumantara (Jurnal Manuskrip
Nusantara) dalam Proses Penerbitan. Jakarta: Perpustakaan Nasional
RI.
_______. 2011. Legenda Etiologis Banyuwangi dalam Sĕrat Ajipamasa (Kajian
Historis Komparatif). Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara, Prodi Sastra
Jawa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
_______. 2011. Sĕrat Pustakaraja sebagai Sumber Pembentukan Karakter
bagi Pemimpin Negara dan Aparatur Negara pada Masa Sekarang.
Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara, Prodi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu
Budaya, Universitas Gadjah Mada.
_______. 2012. Dampak Karya Sastra R. Ng. Ranggawarsita terhadap Situasi
Perpolitikan di Indonesia (Makalah) pada Seminar Nasional ”Pengaruh
Karya Sastra R. Ng. Ranggawarsita terhadap Ipoleksosbud” yang
diselenggarakan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret Surakarta bekerjasama dengan Karya Sinema Nusantara dan
Pemkot Surakarta di Loji Gandrung (Rumah Dinas Walikota Solo) pada
tanggal 1 Maret 2012).
Teeuw, A. 1983. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia.
_______. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra Cetakan II.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Uhlenbeck, E. M. 1964. A Critical Survey of Studies on the Languages of Java
and Madura. The Hague, Nederland, S-Gravenhage, Martinus Nijhoff.
Umar, Junus. 1985. Resepsi Sastra (Sebuah Pengantar). Jakarta: Gramedia.
Victoria L. Rippere. 1970. ‘’Toward and Antropology of Literature’’ dalam
Structuralism, Jacques Ehrmann (ed), New York, Anchor Books
Doubleday & Company, Inc. Garden City.
Widyatmanta, Siman. 1968. Adiparwa I-II. Yogyakarta: Spring.
Widyaseputra, Manu Jayaatmaja. 1996. “Mahābhārata Puranyati” dalam
Pemasyarakatan Cerita Wayang yang bersumber Kitab Mahābhārata.
Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
_______. 1998. “Persebaran Rāmāyaṇa di Asia Tenggara” dalam Ramayana,
Pengembangan dan Masa Depannya. Yogyakarta: Lembaga Studi Jawa
dan Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa, FPBS IKIP Yogyakarta.
_______. 2000. Teks dan Konteks di Mahendragiri: Interpretasi Tentang Korava
sebagai Siswa Rama Parasu dalam Koravasrama. Yogyakarta: Fakultas
Sastra Universitas Gadjah Mada.

245
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

_______. 2001. Sěrat Purwakandha dari Kraton Yogyakarta: Jembatan antara


Masa Lalu dan Masa Mendatang dalam rangka Mempertahankan
Identitas Bangsa (Makalah) dalam Proseding Kongres Bahasa Jawa III
Yogyakarta 2001 di Ambarrukmo Palace Hotel pada tanggal 15-20 Juli
2001. Yogyakarta: Panitia Kongres Bahasa Jawa III.
_______. 2001. “Relevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami
Pentas Wayang Kulit dalam Masyarakat Jawa Masa Kini: Sebuah Kasus
tentang Lakon Pandhu Swarga” dalam Humaniora, Volume XIII, No.
2/2001. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
_______. 2008. “Bhāṣa dan Māyā dari Mamenang: Kusumawicitra dalam
Perspektif Historis dan Mitis Tradisi Pura Mangkunegaran Tahun 1853-
1881” dalam Procedings Seminar Internasional Aktualisasi Teks-teks
Ranggawarsitan dalam Konteks 100 Tahun Kebangkitan Nasional
dalam rangka Dies ke 62 Fakultas Ilmu Budaya UGM 16 Mei 2008.
Yogyakarta: Jurusan Sastra Nusantara, Prodi Sastra Jawa, Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Gadjah Mada. Jakarta: Karya Unipress.
_______. 2009. “Vidyāraṇyaka: Nuṣāntara Sebagai Lapangan Studi Filologi
dan Filsafat” (Makalah) dalam Seminar Nasional Filsafat Nusantara di
Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Fakultas Filsafat
Universitas Gadjah Mada.
_______. 2010. “Saŋkathā: Sěrat Purwakandha sebagai Babad Kraton Yogyakarta
Masa Haměngkubuwana V” dalam Procedings Seminar Internasional
Tiga Serangkai UKM-UGM-UNS pada 27-28 September 2010. Bangi:
Institut Alam & Tamadun Melayu, University Kebangsaan Malaysia.
_______. 2012. Kusumawicitra: Arjunanandana di Pura Maŋkuněgaran
menurut Sěrat Ajipamasa (Makalah) pada Seminar Nasional “Pengaruh
Karya Sastra R. Ng. Ranggawarsita terhadap Ipoleksosbud” yang
diselenggarakan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret Surakarta bekerjasama dengan Karya Sinema Nusantara dan
Pemkot Surakarta di Loji Gandrung (Rumah Dinas Walikota Solo) pada
tanggal 1 Maret 2012).
Winter, C. F. 1880. Kawi-Javaansch Woordenboek. Batavia: ‘sLand’s-Drukkerjij.
Winter, C. F. dan Ranggawarsita, R. Ng. 1988. Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Wiryamartana S.J.; I. Kuntara. 1980. ”Bebuka Serat Pustaka Raja Sebagai
Dasar Pemahaman Seluruh Kitab” (Makalah Seminar dan Diskusi
Memperingati Pujangga Besar Ronggowarsito pada 3 Januari 1980).
Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
_______. 1990. Arjunawiwāha: Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan
dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1966. Theory of Literature. New York: Harcourt
Brace World Inc.

246
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Wiryamartana, S. J., I. Kuntara. 1980. ’’Bebuka: Serat Pustakaraja sebagai


Dasar Pemahaman Seluruh Kitab’’ (Makalah). Seminar dan Diskusi
Ranggawarsita, Jakarta, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Wirjosuparto, Sutjipto. 1966. Kakawin Bharata-Yuddha. Djakarta: Bhratara.
Wojowasito, S. 1977. Kamus Kawi (Jawa-Kuna) - Indonesia. Malang: Pengarang.
Yudoyono, Bambang. 1984. Sang Prabu Sri Adji Djojobojo 1135-1157. Jakarta:
Karya Unipress.
Yunus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Yusuf, Achmad, dkk. 1985. Pameran Wayang Madya Koleksi Museum Sonobudoyo
Yogyakarta (Brosur). Yogyakarta: Depdikbud Ditjen Kebudayaan
Museum Sonobudoyo.
Zoetmulder, P. J. Tanpa tahun. Kawi dan Kekawian. Yayasan Fonda Universitit
Negeri Gadjah Mada.
_______. 1958. Sěkar Sěmawur, Bunga Rampai Bahasa Jawa Kuna I. Djakarta:
Obor.
_______. 1983. Kalangwan, Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang, terjemahan
Dick Hartaka. Jakarta: Djambatan.
Zoetmulder, P.J. bekerjasama S.O. Robson. 1995. Kamus Jawa Kuna Indonesia
(terjemahan Darusuprapta dan Sumarti Suprayitna). Jakarta: Gramedia
Pustakatama.

Naskah
Sěrat Ajipamasa
Naskah B 6a. Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran.
Naskah PBA 248. Yogyakarta: Museum Sanabudaya.
Naskah Br 577 dan K. B. G. 93. Jakarta: Museum Nasional.
Sěrat Budhayana
Naskah 154 B. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Sěrat Darmasarana
Naskah 152 A. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Sěrat Gěndrayana
Naskah 157. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Sĕrat Prabu Gĕndrayana I
Naskah 46 A. Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Sĕrat Prabu Gĕndrayana II
Naskah 46 B. Surakarta: Reksapustaka, Pura Mangkunegaran Surakarta.
Sěrat Purusangkara
Naskah 155. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Sěrat Sariwahana
Naskah 154 G. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Naskah Hs. Th. P. NR. 344. Jakarta: Biro Naskah Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.

247
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Sěrat Yudayana
Naskah 153. Surakarta: Museum Radyapustaka.
Naskah Hs. Th. P. NR. 268. Jakarta: Biro Naskah Fakultas Sastra
Universitas Indonesia.

248
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

Indeks

A
Ādiparwa 6, 8, 9, 11, 14, 16, 42, 47, 117, 128, 129, 162, 164, 170, 172, 179,
181, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 219, 242, 244, 246,
247, 248, 250, 253, 261
Āstīka 6, 42, 129, 162, 172, 175, 179, 181, 182, 206, 210, 211, 214, 247, 248,
261

B
Bagawan Baladewa 5, 59, 62, 63, 77, 78, 96, 97, 98, 109, 110, 111, 114, 124,
125, 126, 133, 135, 136, 139, 142, 143, 148, 149, 156, 157, 158, 184,
207, 214, 215, 216, 241, 243, 246, 261
Bagawan Sidhiwacana 60, 61, 62, 63, 64, 73, 77, 104, 105, 106, 114, 124, 127,
128, 131, 134, 135, 136, 137, 141, 142, 144, 148, 150, 153, 154, 159,
223, 226, 227, 244, 249, 261
Bhagawān Kāҫyapa 162, 207, 246, 261
Bhagawān Kṛṣa 207, 247, 261
Bhagawān Samīti 168, 207, 246, 247, 261
Bhagawān Waiҫampāyana 9, 261
Bhagawān Ҫonaka 8, 261

C
Çṛnggī 164, 165, 166, 168, 207, 244, 247, 261

D
Dewi Dangan (Dewi Grendi) 99, 125, 243, 261
Dewi Durga 156, 157, 246, 261
Dewi Grendi 6, 62, 63, 77, 99, 103, 104, 106, 107, 125, 126, 136, 143, 148,
152, 184, 230, 242, 243, 245, 261
Dewi Niyata 6, 61, 63, 77, 78, 79, 104, 105, 107, 125, 126, 141, 143, 144, 148,
151, 152, 155, 183, 184, 223, 225, 226, 242, 243, 245, 249, 261
Dewi Puyengan (Endhang Sikandhi) 125, 243, 261
Dewi Sarini 42, 201, 210, 211, 214, 248, 261
Dewi Satapa 61, 63, 142, 143, 148, 152, 153, 154, 184, 245, 261
Dewi Sikandhi 63, 98, 107, 136, 143, 148, 152, 153, 156, 184, 245, 261
Dewi Sritatayi 6, 61, 63, 77, 78, 104, 105, 107, 125, 126, 135, 141, 143, 144,
148, 152, 183, 184, 223, 225, 226, 242, 243, 245, 249, 261
Dewi Utari 6, 11, 62, 68, 69, 70, 77, 78, 102, 103, 107, 125, 135, 136, 139, 142,
143, 146, 148, 185, 186, 187, 194, 214, 242, 243, 247, 261
Dhang Hyang Suwela 64, 65, 66, 77, 78, 86, 89, 90, 92, 93, 94, 99, 100, 114,
115, 116, 117, 119, 125, 127, 128, 136, 137, 144, 145, 150, 154, 156, 157,
158, 159, 184, 207, 242, 244, 261

249
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Dwarawati 28, 59, 63, 64, 69, 91, 108, 112, 114, 126, 127, 133, 139, 140, 155,
183, 199, 218, 243, 245, 246, 261

E
Endang Drawasi 227, 232, 245, 246, 262
Endhang Sikandhi 61, 63, 77, 78, 79, 104, 106, 107, 124, 125, 126, 136, 142,
151, 242, 243, 261, 262

G
Gandara 44, 65, 66, 88, 89, 90, 118, 119, 120, 121, 129, 137, 138, 144, 145,
154, 184, 223, 230, 245, 249, 262
Garuda 60, 71, 79, 82, 110, 134, 183, 240, 262
Gilingwesi 23, 24, 25, 60, 61, 62, 67, 82, 104, 129, 134, 135, 136, 138, 141,
143, 145, 152, 156, 161, 183, 185, 225, 245, 262
Gunung Candrageni 31, 201, 211, 248, 262
Gunung Mahendra 22, 31, 90, 158, 201, 202, 210, 211, 248, 262

H
Hāstinapura 125, 127, 164, 166, 168, 169, 179, 208, 247, 262
hutan Gadamadana 199, 200, 201, 248, 262
hutan Lagra 198, 199, 248, 262
hutan Palasara 59, 60, 62, 71, 80, 91, 93, 94, 97, 109, 124, 126, 133, 134, 135,
142, 143, 149, 243, 245, 262

I
Ima-imantaka 62, 97, 109, 124, 126, 135, 142, 149, 156, 215, 219, 243, 245,
246, 262
istana Ngastina 65, 92, 100, 101, 117, 122, 127, 128, 137, 243, 262

J
Jaratkāru 129, 163, 167, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 209, 210,
247, 248, 262, 263

K
Kadrū 6, 117, 162, 163, 170, 208, 209, 247, 262
Ken Satapa 6, 61, 77, 78, 83, 84, 104, 105, 106, 107, 123, 124, 125, 126, 142,
183, 227, 242, 243, 262
Kerajaan Ngastina 60, 62, 67, 97, 101, 104, 107, 109, 119, 124, 133, 134, 135,
136, 138, 140, 142, 143, 262
Kṛṣṇa 8, 11, 70, 164, 168, 181, 215, 216, 217, 218, 262
Kṛṣṇa Dvaīpayana Vyāsa 8, 181, 262
kuda Uçcaihçrawā 162, 163, 208, 247, 262

250
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

L
Lesanpura 59, 63, 65, 108, 112, 126, 127, 133, 137, 140, 144, 218, 245, 262

M
Madura 32, 33, 46, 49, 58, 59, 65, 140, 239, 240, 245, 258, 262
Mahābhārata 8, 9, 10, 13, 16, 41, 43, 47, 96, 98, 113, 117, 127, 205, 213, 214,
215, 216, 234, 236, 238, 239, 249, 250, 258, 262
Māhāraja Janamejaya 8, 9, 262
Mahārāja Posya 247, 262
Muka Bumi 226, 245, 262

N
Naga Raja Sarana 42, 90, 117, 158, 201, 202, 204, 210, 211, 214, 246, 248, 263
Nāginī Jaratkāru 174, 178, 180, 210, 247, 248, 263

P
Pāṇḍawa 8, 9, 10, 72, 131, 160, 168, 206, 219, 263
Parīkṣit 6, 8, 9, 11, 70, 125, 127, 128, 129, 162, 164, 165, 166, 167, 168, 169,
171, 179, 205, 206, 207, 208, 209, 213, 214, 216, 244, 246, 247, 250, 263
Patih Danurwedha 5, 53, 59, 60, 62, 63, 64, 66, 69, 77, 78, 86, 87, 91, 94, 95,
100, 101, 102, 108, 114, 119, 121, 124, 126, 127, 128, 133, 134, 135, 136,
137, 138, 139, 140, 142, 144, 147, 149, 155, 187, 188, 191, 195, 196,
201, 204, 207, 210, 228, 229, 230, 241, 243, 263
Patih Dwara 5, 44, 53, 59, 60, 61, 62, 63, 65, 66, 67, 68, 69, 77, 78, 84, 86, 87,
90, 91, 92, 93, 94, 95, 100, 101, 105, 115, 116, 119, 123, 124, 128, 133,
134, 135, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 144, 145, 147, 149, 151, 152, 153,
154, 155, 156, 157, 159, 186, 187, 188, 191, 194, 195, 196, 197, 198,
199, 200, 201, 204, 207, 210, 219, 227, 241, 243, 246, 263
Prabu (Arya) Satyaki 112, 242, 263
Prabu Dipayana 5, 12, 41, 42, 47, 53, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69,
70, 71, 72, 73, 74, 75, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89,
91, 92, 93, 94, 95, 97, 98, 99, 100, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 112,
114, 117, 119, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 131, 132, 133, 134, 135,
136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149,
151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 183, 184, 185,
186, 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 199, 207,
208, 209, 212, 219, 221, 222, 223, 226, 227, 228, 230, 234, 235, 236,
240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 249, 263
Prabu Kismaka 6, 59, 77, 78, 107, 108, 109, 113, 126, 127, 133, 139, 140, 147,
155, 183, 207, 218, 242, 243, 263
Prabu Niradhakawaca 6, 62, 63, 77, 78, 79, 97, 107, 109, 110, 111, 112, 124,
126, 135, 136, 142, 143, 147, 149, 153, 156, 158, 183, 184, 207, 215,
219, 242, 243, 245, 246, 263

251
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

Prabu Satyaka 59, 63, 64, 108, 126, 133, 139, 140, 147, 155, 183, 218, 243, 263
Prabu Yudayana 5, 13, 30, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 53, 69, 72, 75, 77, 78, 87,
88, 90, 91, 92, 93, 94, 99, 100, 101, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 121,
123, 128, 129, 132, 139, 147, 157, 158, 159, 188, 189, 191, 192, 194,
195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 208, 209, 210, 211, 212,
214, 221, 222, 223, 224, 225, 230, 232, 233, 234, 235, 236, 239, 241,
243, 244, 246, 247, 248, 249, 263
Purwacarita 23, 24, 25, 40, 67, 75, 129, 138, 145, 185, 226, 228, 245, 263

R
Raden Arjuna 28, 123, 124, 127, 224, 243, 244, 263
Raden (Arya) Abimanyu 243, 263
Raden Prawasata 65, 66, 77, 98, 99, 100, 102, 114, 115, 125, 137, 138, 144,
145, 147, 184, 228, 241, 243, 263
Raden Ramaprawa 6, 63, 65, 66, 77, 98, 99, 100, 102, 114, 115, 125, 137, 138,
144, 145, 147, 155, 184, 230, 241, 243, 264
Raden Warabasata 6, 65, 66, 77, 98, 99, 100, 102, 114, 115, 125, 137, 138, 144,
145, 147, 184, 230, 241, 243, 264
Resi Gurundaya 62, 63, 68, 69, 77, 95, 99, 103, 104, 106, 107, 112, 125, 126,
135, 136, 138, 139, 143, 146, 148, 149, 153, 158, 185, 187, 194, 207,
223, 230, 245, 246, 247, 249, 264
Resi Sidhikara 64, 66, 77, 86, 88, 89, 90, 99, 100, 114, 115, 116, 119, 120, 121,
122, 127, 128, 136, 137, 144, 145, 148, 150, 152, 154, 156, 184, 185,
195, 207, 227, 232, 244, 245, 246, 264

S
Sang Hyang Girinata 43, 45, 60, 61, 63, 73, 77, 80, 83, 134, 136, 140, 142, 143,
147, 149, 153, 156, 157, 159, 246, 264
Sang Hyang Sambo 60, 71, 72, 73, 77, 82, 134, 141, 148, 160, 161, 183, 207,
240, 246, 264
Sang Ugraҫrawā 8, 9, 264
Sarpayajña 6, 162, 181, 195, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 247, 248, 264

T
Takṣaka 6, 8, 9, 42, 117, 118, 128, 129, 162, 165, 166, 167, 168, 169, 171, 172,
175, 176, 179, 180, 181, 182, 183, 207, 208, 209, 211, 213, 214, 215, 242,
244, 246, 247, 264
Taksaka Raja 6, 42, 69, 74, 77, 78, 86, 87, 90, 117, 118, 123, 128, 129, 133,
139, 146, 190, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 202, 207, 208, 209, 210, 211,
212, 214, 242, 244, 247, 264
Taksakasila 117, 128, 146, 196, 197, 198, 199, 203, 210, 211, 245, 248, 264
Tarajutiksna 59, 107, 113, 126, 127, 133, 139, 140, 155, 183, 218, 245, 246, 264

252
Karya Pujangga R.ng. Ranggawarsita di Abad XIX: Analisis Struktur-Resepsi-Genealogi

U
Uttangka 6, 162, 170, 171, 172, 179, 209, 247, 264

W
Wiratha 24, 25, 27, 102, 103, 129, 229, 245, 264

253
– Sĕrat Pustakaraja Purwa: Sĕrat Darmasarana –

254
Penerbit
PERPUSNAS PRESS
Jl. Salemba Raya No. 28A Jakarta
hp://press.perpusnas.go.id

Anda mungkin juga menyukai