Direktorat Kesenian
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
2017
Para Anak Mengganggu Men Brayut -
I Gusti Nyoman Lempad
Cetakan pertama Desember 2017
60 halaman, 21 x 29,7 cm
ISBN 978-602-5635-02-1
© Direktorat Kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan &
I Made Susanta Dwitanaya, 2017
Direktorat Kesenian
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Komplek Kemendikbud Gedung E Lantai 9
Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
Tlp. 021-572 55 49 | 021-572 55 34
Pengarah
Hilmar Farid
Penanggung Jawab
Restu Gunawan
Koordinator
Hendro Wiyanto & Rahmat Arham
Penyunting Isi
Hendro Wiyanto
Pemeriksa Aksara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Rahmat Arham Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
Penata Letak dan Perancang Sampul 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
Meicy Sitorus mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sekretariat Ketentuan Pidana
Kuat Prihatin Pasal 72
Sri Kuwati 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Ike Rofiqoh Fazri Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
Arsih Wijaya paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
Dindawati Fatimah pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Sampul 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
I Gusti Nyoman Lempad, Para Anak Mengganggu umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
Men Brayut, 1930, tinta cina dan tempera di atas kertas, dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
24 x 33 cm. paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan
Dalam sebuah artikel dari tahun 1937, Ki Hadjar Dewantara menulis: “Kesenian adalah sebagian dari
kebudajaan, jang timbul dan tumbuhnya amat berhubungan dengan djiwa perasaan manusia. Karena
itu lebih dalam tertanamnja kesenian itu di dalam djiwa daripada kebudajaan lainnja.” Ia memandang
kesenian sebagai ekspresi budaya yang paling dalam karena kesenian berakar pada hati sanubari
manusia, pada alam rasa dan kehendak. Melalui kesenian lah semangat kebangsaan dan kesadaran untuk
bangun dan berdiri di atas kaki sendiri terejawantah dari dalam jiwa tiap-tiap orang.
Kesenian, termasuk di dalamnya seni rupa, memegang peranan penting dalam rangkaian usaha
pendidikan karakter bangsa. Gagasan dasar pendidikan karakter ini dewasa ini telah diwujudkan dalam
gerakan revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Revolusi mental adalah suatu
pengubahan mendasar pada seluruh aspek kepribadian manusia Indonesia. Yang diubah dalam revolusi
mental seyogianya bukan hanya aspek lahiriah dari kepribadian (perilaku), melainkan jauh lebih dalam
lagi: cara orang mengalami sesuatu dan bersikap terhadapnya. Revolusi mental mensyaratkan adanya
perubahan mendasar pada semesta imajinasi setiap anggota bangsa Indonesia. Ia harus menyentuh akar-
akar kultural dari tiap-tiap warga negara. Tepat di sinilah seni rupa berperan.
Seni rupa menghadirkan kontak imajinatif dengan kenyataan sekitar. Dalam seni rupa, dunia dihadirkan
dari sudut pandang yang kerap kali terlewat oleh rutinitas hidup. Seni rupa memberi makna pada apa
yang sehari-hari dilalui begitu saja. Dengan begitu, lewat seni rupa, dunia hadir secara baru di dalam
imajinasi khalayak. Seni rupa, pada akhirnya, dapat mengubah cara orang mengalami sesuatu dan,
oleh karenanya, mampu mengubah pula cara orang mengambil sikap terhadap kenyataan. Realitas
kebangsaan yang sudah menjadi bagian dari rutinitas hidup orang Indonesia dapat dihadirkan kembali
sebagai pergulatan budaya yang intens. Dengan cara itulah seni rupa menyegarkan kembali wawasan
kebangsaan kita.
Seri buku Pusaka Seni Rupa ini disusun agar pembacanya, para siswa Sekolah Menengah Atas, dapat
mengakses kembali semangat kebangsaan yang terkandung dalam karya-karya utama yang menandai
kelahiran seni rupa modern di Indonesia. Dalam karya-karya Affandi, S.Sudjojono, Hendra Gunawan,
Kartono Yudhokusumo, I Gusti Nyoman Lempad dan Anak Agung Gede Sobrat, kita dapat menggagas
kembali keluasan semesta budaya yang ikut punya andil dalam terciptanya kebudayaan Indonesia
merdeka.
Lewat seri buku ini, saya berharap para siswa Sekolah Menengah Atas dapat menikmati kekayaan
khazanah seni rupa modern Indonesia buah karya para maestro kita. Saya mengharapkan juga kesediaan
para guru untuk memanfaatkan seri buku ini untuk memperkaya wawasan seni para siswa dan
mempertebal semangat kebangsaannya.
Hilmar Farid
iii
Pengantar Direktur Kesenian
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-
2019, khususnya Nawacita Butir 8 dan 9, telah menetapkan arah bagi usaha pemerintah untuk
“melakukan revolusi karakter bangsa” dan “memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia”. Sehubungan dengan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
mencanangkan program Penguatan Pendidikan Karakter.
Yang dimaksud dengan Pusaka Seni Rupa ialah penyiapan, penerbitan, dan pendistribusian seri buku
seni rupa sebagai bahan bacaan untuk mengembangkan pendidikan karakter berbasis pembelajaran
sejarah seni rupa nasional bagi siswa tingkat Sekolah Menengah Atas di Tanah Air. Seri buku ini akan
berupa enam buku tentang enam karya seni rupa Indonesia pada paruh pertama abad ke-20 (periode
1900-1945) yang dianggap menjadi tonggak-tonggak penting dalam sejarah seni rupa modern di
Indonesia.
Atas pertimbangan itulah Direktorat Kesenian memfasilitasi penelitian dan penulisan keenam buku
dalam seri Pusaka Seni Rupa ini. Dalam rangka menjalankan kegiatan tersebut, Direktorat Kesenian
telah membentuk tim yang terdiri dari para penulis muda di bidang seni rupa dengan harapan hasil
tulisan mereka dapat dengan mudah diakses oleh sasaran pembaca seri buku ini, yaitu para siswa
Sekolah Menengah Atas.
Seri Pusaka Seni Rupa ini diharapkan dapat ikut mendorong usaha penguatan pendidikan karakter.
Dengan membaca latar belakang terciptanya karya seni, diharapkan para siswa dapat menggali nilai-
nilai yang terpendam dalam praktik berkesenian pada seniman modern Indonesia.
Selain itu, seri buku ini diharapkan dapat menyumbang pula pada pengayaan wacana seputar seni rupa
sehingga mendorong peningkatan mutu karya para perupa Indonesia di masa kini.
Akhirul kalam, melalui penerbitan buku ini, kami berharap dapat memberikan wawasan kesenirupaan
sebagai modal awal bagi para siswa Sekolah Menengah Atas sehingga mereka dapat mengapresiasi
kekayaan khazanah seni rupa modern di Indonesia dan cita-cita serta kepribadian yang terkandung di
dalamnya, khususnya dalam rangka memperteguh kebhinnekaan dalam bingkai persatuan nasional.
Direktur Kesenian
Restu Gunawan
iv
Pusaka Seni Rupa Indonesia dan Kebhinekaan Budaya Kita
Penulisan seri buku Pusaka Seni Rupa ini adalah realisasi dari program Pendidikan Karakter Berbasis
Kebudayaan yang inisiatifnya datang dari Direktorat Jenderal Kebudayaan sejak akhir tahun lalu. Buku
ini ditulis untuk para siswa Sekolah Menengah Atas. Tujuannya adalah memperkenalkan dan meluaskan
cakrawala mereka terhadap khazanah seni rupa modern Indonesia.
Meluaskan cakrawala melalui karya seni rupa berarti menajamkan kepekaan akan segi-segi visual
(artistik), pengalaman keindahan (estetik), serta pengetahuan mengenai sumber-sumber inspirasi para
seniman. Inspirasi seniman bisa lahir dari pandangan pribadi, lingkungan sosial, perubahan masyarakat,
cita-cita politik, legenda, mitos, sejarah, tradisi, khayal atau fantasi, dan seterusnya. Pengetahuan
tentunya tidak hanya berkembang dari wawasan teoritis atau keilmuan, tapi juga karena kedekatan,
kecintaan, empati, dan segi-segi afeksi lainnya. Meningkatnya apresiasi seni diharapkan berkembang
bersama kemampuan menyerap hal-hal yang tersirat pada karya seni untuk memetik nilai-nilai
kehidupan di dalamnya.
Seri buku ini terdiri dari enam jilid. Masing-masing buku membahas satu karya–kali ini ragam seni
lukis—dari seorang seniman. Pertimbangan memilih seniman adalah ketokohan serta kontribusi mereka
pada awal perkembangan seni rupa modern di Indonesia, paruh pertama abad ke-20. Di masa itu seni
rupa Indonesia menempuh cara pengungkapan yang baru dalam hal tema, gaya, selera keindahan,
dan posisi seniman dalam masyarakat. Mereka sadar sepenuhnya akan kekuatan dan kemerdekaan
individu, semangat kebangsaan, seraya mengolah berbagai pengaruh seni dari luar. Para seniman ini
mempraktikkan seni rupa yang disebut “modern”, yang bukan kelanjutan dari tradisi seni sebelumnya.
Enam seniman yang karyanya dipilih untuk seri buku ini tidak dapat dipisahkan dari kisah
perkembangan awal seni rupa modern di Indonesia, yang berpusat di Jawa dan di Bali. Tentu saja
ada perbedaan langgam dan jenis kemodernan yang berkembang di dua tempat itu. Di Jawa seniman
modern akan mengatakan bahwa seni terlepas dari semua ikatan tradisi dan norma moral yang lama.
Ada pun di Bali, pandangan seni yang baru tidak sepenuhnya menanggalkan bentuk-bentuk artistik dan
tradisi masyarakat yang berlaku.
Seri Pusaka Seni Rupa ini menghadirkan enam karya dari enam tokoh seniman, yaitu:
1. Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi, 1944, karya Affandi Kusuma (1907-1990).
2. Cap Go Meh, 1940, karya S. Sudjojono (1913-1986).
3. Pengantin Revolusi, 1955, karya Hendra Gunawan (1918-1983).
4. Melukis di Taman, 1952 , karya Kartono Yudokusumo (1924-1957).
5. Para Anak Mengganggu Men Brayut, 1930-an, karya I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978).
6. Tarian Barong Landung, 1934, karya Anak Agung Gede Sobrat (1912-1957).
Tiap karya ditulis oleh seorang penulis. Para penulis ini berlatar pendidikan seni rupa dan
berpengalaman menulis di bidangnya. Diharapkan penulisan karya-karya para tokoh seniman ini
mampu mendorong para siswa meluaskan cakrawala seni dan kebudayaan mereka. Melalui seni rupa,
kita merawat dan mengembangkan kebhinekaan budaya kita.
Selamat membaca.
v
Daftar Isi
vi
Seni Rupa Bali dalam Bentang Sejarah
i.
Situs Goa Gajah, Desa Bedulu, Kecamatan
Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Bali.
Satu monumen peninggalan pada masa Bali
Kuno yang juga ditemukan arca dan relief.
007
I Gusti Nyoman Lempad
Bab 1
Seni Rupa Bali dalam Bentang Sejarah
Seni Rupa Bali dari Masa Prasejarah sampai serta berangka tahun 818 Saka (896 M). Dalam
Bali Kuno Bahasa Bali, undagi merujuk pada profesi yang
terkait dengan arsitektur tradisional maupun
Sebuah temuan arkeologi berupa nekara aktivitas pertukangan, seperti pembuat perahu dan
ditemukan di tempat suci umat Hindu di Bali, sebagainya.
tepatnya Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng,
Gianyar, Bali. Nekara yang masih disimpan di Istilah undagi juga tertulis di sebuah prasasti
Desa Pejeng ini adalah nekara terbesar di Asia berangka tahun 994 Saka (1072 M) yang
Tenggara. Selain menunjukkan capaian peradaban ditemukan di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar.
manusia Indonesia dalam hal teknologi cetak Istilah lain juga tertulis di prasasti yang dibuat
logam, khususnya material perunggu, nekara pada masa pemerintahan raja Darmawangsa
tersebut juga menunjukkan bagaimana seni rupa Wardhana Marakata (1022 M – 1025 M) ini,
pada masa prasejarah di Bali. Berbagai ornamen seperti citrakara yang bisa dipadankan dengan
yang ada dalam nekara tersebut bukan semata “juru gambar” dan sulvika dengan “juru patung”.
berhenti sebagai hiasan, tapi juga mengandung
nilai-nilai simbolik tertentu. Selanjutnya, dalam Prasasti Pandak Gede pada
masa Raja Anak Wungsu terdapat istilah aringgit
Bali kemudian memasuki masa sejarah yang yang dipadankan dengan “wayang” sekarang.
dimulai kira-kira abad 8 M dengan ditemukannya Prasasti dari logam ini juga dilengkapi ukiran
tablet tanah liat di Pejeng yang berisi mantra- berbentuk wayang dengan sosok Dewa Smara
mantra agama Buddha. Periode ini disebut masa dan Dewi Ratih (dewa-dewi asmara dalam
Bali Kuno, sebelum ekspansi kerajaan Majapahit kepercayaan Hindu Bali). Prasasti ini berangka
ke Bali pada abad 14 M, di mana terdapat banyak tahun 1071 M. Relief wayang juga terdapat pada
peninggalan arkeologis dari kerajaan-kerajaan peninggalan arkeologis lainnya, seperti di sangku
berupa karya seni rupa berwujud arca, relief, dan sudamala atau tempat air suci di Pura Pusering
candi. Peninggalan-peninggalannya tersebar Jagat, Desa Pejeng. Ukiran dan relief wayang
di daerah Pejeng, Tampaksiring, Bedulu, dan memperlihatkan bahwa penggambaran tokoh-
sekitarnya, terutama di kawasan aliran Sungai tokoh dalam kisah pewayangan sudah ada sejak
Pakerisan dan Petanu. Bentuknya adalah relief Yeh masa Bali Kuno.
Pulu, Situs Goa Gajah, Pura Kebo Edan, Candi
Tebing Gunung Kawi, Candi Tebing di Pura Selain terdapat istilah profesi di bidang seni rupa,
Pengukur Ukuran, dan sebagainya di sumber tertulis lain juga terdapat seorang nama
tokoh yang ahli dalam membuat arca ataupun
Sama seperti zaman prasejarah, terlihat bagaimana monumen di masa itu. Namanya ada di balik arca
peninggalan arca, relief, dan candi di masa Bali sejoli di Pura Puncak Penulisan yang berangka
Kuno juga menunjukkan capaian masyarakat tahun Saka 933 (1011 M) dan Prasasti Kesihan
Bali dalam bidang seni rupa. Perkembangan seni berangka tahun Saka 945 (1023 M). Di kedua
rupa pada masa Bali Kuno tentu saja tidak lepas sumber tertulis itu tertatah nama Mpu Bga Anata.
dari peran para seniman di masa itu. Beberapa Ia ternyata adalah juru pahat yang membuat arca
prasasti menyebutkan sejumlah istilah tentang dan prasasti tersebut.
profesi yang berhubungan dengan seni rupa.
Menurut arkeolog asal Belanda bernama R. Pemerintahan Raja Udayana meninggalkan seni
Goris pada 1954, terdapat istilah undagi di dalam arca, arsitektur, dan petirtaan (pemandian suci).
Prasasti Bebetin yang memakai Bahasa Bali Kuno Hal ini dapat dilihat di situs petirtaan di Goa
008
Seni Rupa Bali dalam Bentang Sejarah
i.
Salah satu adegan di relief Yeh Pulu,
Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu,
Kabupaten Gianyar, Bali.
009
I Gusti Nyoman Lempad
010
Seni Rupa Bali dalam Bentang Sejarah
secarik teks Babad Dalem, dikisahkan bahwa Raja Sri Dalem Semara Kepakisan dari
Kerajaan Gelgel pernah pergi ke Majapahit dan pulangnya membawa beberapa pusaka
dari sana. Salah satunya adalah keropak (kotak penyimpan wayang) yang berisi wayang
kulit. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa wayang yang dibawa dari Majapahit,
Jawa Timur inilah yang kemudian menginspirasi para sangging (pelukis) di Kamasan
dalam menghadirkan karya lukisan wayang.
Perkembangan seni lukis wayang Kamasan berikutnya terjadi di abad 17 pada masa
pemerintahan Raja Dewa Agung Jambe, di samping terjadi perpindahan pusat
pemerintahan dari Gelgel ke Klungkung. Ketika itu wayang Kamasan dilukis antara
lain pada kain penghias pura (kain Ider–Ider, Langse, dan Wastra) dan papan parba
(papan kayu yang dilukis atau diukir dan diletakkan di atas bale atau ranjang).
Tintanya pun menggunakan pewarna alam, seperti tanah pere (untuk warna cokelat),
gincu Cina (merah), tulang daging babi (putih), dan getah manggis (kuning).
Keterkaitan antara perkembangan seni lukis wayang gaya Kamasan dengan Puri
Keraton di Klungkung sangatlah erat. Hal ini bisa dilihat dari peninggalan bangunan
di Taman Kertagosa yang merupakan peninggalan era Kerajaan Klungkung. Di langit-
langit bangunan Kertagosa terdapat banyak lukisan wayang Kamasan.
Seni lukis wayang yang berasal dari Kamasan, Klungkung ini kemudian berkembang
ke berbagai daerah di Bali. Oleh karena itulah seni lukis ini disebut “Wayang
Kamasan”. Hal ini terjadi karena pada masa kerajaan di Bali, Klungkung adalah
pusat atau kerajaan tertinggi di Bali. Selain di Klungkung, seni lukis wayang juga
berkembang di beberapa wilayah di Bali seperti di Kerambitan, Buleleng, Karangasem,
dan Gianyar. Perkembangan seni lukis pada masa kerajaan Bali sejak abad ke 14 M
sampai akhir abad ke 19 M tak lepas dari peran dan kiprah para sangging dan undagi.
Peran sentral seorang sangging dalam kebudayaan masyarakat Bali adalah sebuah
bentuk ngayah (pengabdian). Pengabdian yang dimaksud adalah pengabdian
undagi dan sangging kepada puri (keraton raja) dan pura (agama). Sistem sosial
yang komunal—secara bersama—di dalam masyarakat Bali menjadikan sangging
dan undagi sebagai profesi yang terhormat. Sebab, perannya sangat penting dalam
kehidupan sosial masyarakat Bali yang kental dengan ritual-ritual Hindu.
Posisi sangging maupun undagi dalam masyarakat Bali dimaknai sebagai bagian dari
swadharma (kewajiban), yakni bentuk ngayah ring desa lan puri (pengabdian kepada
masyarakat dan keraton) serta ngayah ring ida bentara (pengabdian kepada kehidupan
religi). Pandangan inilah yang melandasi konsep kesenian para seniman tradisional
Bali, termasuk Lempad yang akan menjadi fokus pembahasan buku ini.
Lempad lahir dan tumbuh di dalam ruang kultural masyarakat Bali yang memaknai
kesenian sebagai bentuk pengabdian kepada ruang sosial. Yang menarik pada sosok
Lempad adalah posisi dirinya sebagai seniman yang tumbuh dengan konsep kesenian
di dalam ruang kultural Bali, dan kemudian bertemu dengan pandangan kesenian
Barat yang dibawa oleh seniman Eropa yang datang ke Bali pada masa kolonial.
Lempad adalah generasi seniman Bali awal yang merasakan bagaimana kesenian yang
selama ini dilandasi oleh pandangan komunal. Bahwa seni adalah bagian dari ritual,
kemudian berhadapan dengan pemahaman baru soal seni dalam pandangan modern
(Barat) yang bersifat personal, di mana terjadi pemisahan antara seni dengan ritual
keagamaan.
011
I Gusti Nyoman Lempad
Bab 2
Pita Maha: Tonggak Awal Seni Rupa Modern di Bali
Pada 10 November 1936 digelar sebuah pameran dari luar negeri. Kelompok Pita Maha mewadahi
para seniman Bali berjudul Pita Maha di interaksi antara seniman Bali dengan seniman luar
Bataviasche Kunstkring, Jakarta. Pameran ini negeri, di mana menumbuhkan kesadaran baru
diikuti oleh pelukis dan pematung dari beberapa kepada seniman-seniman lokal. Karya-karya yang
daerah di Bali, antara lain Ida Bagus Njana, Ida mulai dikenal dan dikoleksi oleh para kolektor
Bagus Putu Mas, I Grembuang , Ida Bagus Ketut mancanegara menjadi hal yang baru bagi seniman
Bawa (Desa Mas, Ubud); Ida Bagus Nyoman Bali ketika itu. Sedikit demi sedikit mereka
Rinteg, Dewa Kompiang Kintun, I Reneh, I menyadari bahwa ternyata aktivitas berkesenian
Tomblos, Ida Bagus Djatasura, Dewa Kompiang juga mengandung nilai ekonomi karena ada
Kandel, Ida Bagus Tiba (Desa Batuan, Sukawati); keuntungan finansial yang bisa didapatkan di
I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made, I dalamnya. Walaupun demikian, hal tersebut tak
Pundut, I Sandeh, Ida Bagus Made Kembeng, lantas membuat seniman Bali meninggalkan
Ida Bagus Nioman, Gusti Ketut Kobot, Anak sepenuhnya pemahaman akan kesenian sebagai
Agung Sobrat (Kota Ubud); Gusti Gede Raka sarana pengabdian kepada keraton maupun
(Desa Peliatan, Ubud); Ida Bagus Nadera, Gusti keagamaan. Mereka tetap dapat memilah dan
Dokar, Ida Bagus Nyoman Gede (Desa Bedulu, menjalankan praktik kesenian mereka untuk
Blahbatu); I Gusti Made Deblog (Denpasar), masyarakat adat (bersifat komunal) sembari
A.A. Putu Raka, Ida Bagus Rai Pidada, Ida Bagus menjalankan profesi sebagai seniman (bersifat
Pugeh (Sanur); Ida Bagus Nyoman Rai Griya dan individual).
I Pungkur (Sibang Kaja, Badung); dan Ida Bagus
Gelgel, I Dogol, dan Nang Seken (Kamasan Kehadiran Pita Maha juga berpengaruh pada
Klungkung). perubahan visual dan tematik karya-karya
seniman Bali. Penggambaran manusia atau
Seri pameran Pita Maha rutin digelar di hewan yang lebih anatomis (memperhatikan
Bataviasche Kunstkring dan Bandoengsche struktur bentuk), realis (memperhatikan ketepatan
Kunstkring pada 1937, 1938, 1939, 1941, dan terhadap kenyataan), dan bervolume (bertumpu
1946. Pemerintah Belanda sendiri pernah pada kedalaman ruang) adalah perubahan
mempromosikan seni rupa Indonesia—termasuk visual yang terlihat dari karya-karya seniman
Bali—ke Amerika dalam pameran bertajuk Pita Maha. Hasil karya-karya kelompok yang
Indonesian Art: A Loan Exhibition from the Royal berpusat di Ubud ini tampak berbeda dengan
Indies Institute di New York (1948) dan Chicago gaya lukisan Kamasan yang cenderung lebih
(1949). dekoratif, yang bersifat datar, pipih, dan tanpa
volume. Di samping itu, karya-karya seniman
Dalam sebuah pengantar pameran yang ditulis Bali yang sebelumnya banyak menghadirkan tema
oleh J.Kats, tercatat bagaimana Pita Maha pewayangan ataupun cerita rakyat mulai beralih ke
terbentuk. Kelompok ini diprakarsai oleh adik tema keseharian.
Raja Bali kala itu, yaitu Tjokorda Gde Agung
Soekawati bersama I Gusti Nyoman Lempad, Kehadiran tema keseharian di dalam perjalanan
Rudolf Bonnet (seniman Belanda), dan Walter seni rupa Bali sebetulnya sudah muncul sebelum
Spies (seniman Jerman). lahirnya Pita Maha, misalnya terlihat dari
peninggalan relief Yeh Pulu pada masa Bali
Sejak Pita Maha berdiri dan gencar melakukan Kuno seperti yang sudah disinggung di bab
pameran-pameran, karya-karya seniman Bali sebelumnya. Atau karya seniman-seniman
mulai dikenal dan dikoleksi oleh para kolektor Brahmana di Tampaksiring yang dilihat Bonnet
012
Pita Maha: Tonggak Awal Seni Rupa Modern di Bali
i.
I Gusti Nyoman Lempad dan
anggota Pita Maha.
013
I Gusti Nyoman Lempad
ketika mengunjungi tempat ini pada 1929. perubahan di dalam segi estetis terhadap perkembangan seni lukis
Mereka menggambar tentang Ngaben dan Bali era Pita Maha.
persiapan upacara. Namun, perkembangan tema
keseharian secara masif terjadi ketika berdirinya Menurut kurator seni Wayan Sriyoga Parta, gaya lukis Pita Maha
Pita Maha. Sejak adanya Pita Maha, banyak yang modern—dengan kehadiran wujud realis—sebenarnya
seniman Bali, khususnya yang bermukim di Ubud, berkaitan dengan konsep dasar seni tradisional Bali yang bersumber
mengembangkan gaya lukisan yang cenderung dari spirit Hindu Bali. Hindu Bali adalah praktik agama Hindu
realis dengan tema keseharian. Oleh beberapa oleh masyarakat Bali dengan penggabungan kepercayaan Hindu dan
kalangan, kecenderungan visual ini kerap disebut kepercayaan asli di Bali. Dalam konsep dasar tersebut, ada semacam
sebagai lukisan gaya Pita Maha atau gaya Ubud. keinginan untuk menampakkan sesuatu yang abstrak dan imajiner
ke dalam wujud nyata. Hal ini dapat dilihat dari patung dewa-dewa,
Di tengah berkembangnya seni lukis gaya Pita Barong, serta Rangda sebagai wujud representatif spirit Hindu
Maha atau Gaya Ubud ini hadirlah sosok Bali. Wujud-wujud yang disakralkan oleh masyarakat Bali tersebut
I Gusti Nyoman Lempad yang cukup menarik adalah usaha merealisasikan sesuatu yang abstrak dari nilai-nilai
perhatian sebab ia hadir dengan karya yang sedikit ajaran Hindu Bali. Wujud-wujud tersebut mengandung sekumpulan
berbeda dari arus utama gaya Pita Maha. Dalam makna simbolis. Itulah kecenderungan realisme dalam seni rupa
karya-karyanya, Lempad menghadirkan tema tradisional Bali yang berbeda dari realisme seni rupa di Barat, di
keseharian masyarakat Bali dengan figur yang mana berdasar pada kaidah mimesis Aristoteles (meniru dari alam).
anatomis, sesuai dengan kecenderungan sebagian
besar seniman Pita Maha kala itu. Namun bila Patung dan arca dalam seni rupa Bali berperan sebagai jalan atau
dilihat lebih seksama, beberapa figur di dalam perantara bagi pemahaman tentang konsep Hindu Bali. Dalam
karya-karya Lempad, terutama yang bertema konteks ini realitas tidak mengandung konsep material (yang fisik
pewayangan, terlihat jelas adanya pengaruh visual dan terlihat), melainkan relasi terhadap konsep abstrak dan imajiner.
sebelum era Pita Maha, semacam gaya lukisan Konsep realisme dalam seni rupa tradisional Bali inilah yang
wayang Kamasan. tampaknya masih melandasi konsep berkarya para seniman Bali era
Pita Maha. Realisme yang dihasilkan dari persentuhan seniman Bali
Lempad menghadirkan karya-karya yang sebagian dengan seniman Barat di kelompok Pita Maha bukan pada bentuk
besar berwarna hitam putih dengan ketegasan formal dan bahasa rupanya saja, sebab narasi dan nilai-nilai tradisi
garis dan menyisakan bidang kosong di latar masih menjadi hal yang terkandung di dalam karya.
belakang karyanya. Sesekali ia menerapkan
teknik sigar mangsi yang banyak diterapkan untuk Aktivitas kelompok Pita Maha mulai terhenti setelah Walter
pewarnaan lukisan-lukisan wayang Kamasan. Spies meninggal pada 1942 dan Rudolf Bonnet ditangkap dan
Teknik sigar mangsi adalah teknik gradasi yang diasingkan oleh Jepang. Namun, setelah kemerdekaan, tepatnya
dibuat bertahap, dari terang ke gelap maupun dari 1946, Bonet kembali lagi ke Ubud dan sepakat bekerja sama dengan
satu warna ke warna lain. Tapi, Lempad tidak sahabatnya, Tjokorda Gde Agung Soekawati selaku Raja Ubud,
menerapkan teknik sigar mangsi seperti yang biasa untuk mendirikan sebuah museum di Ubud. Museum ini bernama
dilakukan dalam pewarnaan wayang Kamasan. Museum Puri Lukisan dan masih buka sampai sekarang. Lempad
Ia justru mencampurkan air ke dalam tinta cina sendiri adalah arsitek Museum Puri Lukisan. Pembangunannya
sebagai material utama. Oleh karena itu, teknik ini dimulai pada 1953 dan selesai pada 1956. Museum ini diresmikan
juga disebut teknik pelapisan tinta cina. Gradasi oleh Mohammad Yamin, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri
warna di karya-karya Lempad dihadirkan dengan Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953-1955). Setelah
cara menumpuk secara bertahap, lapis demi lapis berdiri museum Puri Lukisan, kreativitas pelukis di seputaran Ubud
sehingga bagian yang paling sering tertimpa tinta semakin dinamis. Saat Pita Maha vakum pada 1956, Lempad
akan menjadi bagian yang paling gelap. menjadi sosok yang berkontribusi dalam pendirian Golongan
Pelukis Ubud, sebuah kelompok yang menghimpun para seniman
Penerapan teknik sigar mangsi untuk muda setelah era Pita Maha. Lempad adalah pembina kelompok
menghadirkan gradasi warna (dalam gelap-terang) tersebut.
inilah yang membuat karya-karya Gusti Nyoman
Lempad secara visual menjadi berbeda dengan
karya-karya para seniman Bali di kelompok Pita
Maha. Walau, karya-karya Lempad secara tema
maupun anatomi figur menunjukkan terjadi
014
Pita Maha: Tonggak Awal Seni Rupa Modern di Bali
ii
i.
Walter Spies (1895-1942).
ii.
Rudolf Bonnet (1895-1978).
015
I Gusti Nyoman Lempad
016
i
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad
Bab 3
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad
017
I Gusti Nyoman Lempad
Proses belajar inilah yang menempa Lempad Lempad di Ubud dan Terasahnya Bakat Sang Seniman
hingga menjadi seniman besar kelak, di mana
ia mengenal dunia sangging dan undagi melalui Sesampainya di Ubud, Lempad dan keluarga diterima dengan baik
praktik langsung. Gusti Mayukan adalah ayahanda oleh penguasa Kerajaan Ubud yang saat itu tengah membutuhkan
sekaligus guru Lempad. Masa kanak-kanak banyak sangging dan undagi untuk membangun istana. Raja Ubud,
Lempad ditandai dengan terjadinya persaingan yang ketika itu bernama Dalem Sukawati, kemudian memberikan
antar kerajaan kecil di Bali. Ketika Lempad sebidang tanah di sebelah timur puri Kerajaan Ubud. Di Ubud
berusia 10 tahun, warga Desa Pejeng, sebuah inilah Lempad memiliki ruang dan kesempatan untuk semakin
desa di sebelah utara Desa Bedulu, terkena mengasah kemampuan dirinya sebagai seorang sangging dan
grubug (penyakit). Dalam pandangan masyarakat undagi. Di bawah bimbingan Gusti Mayukan, Lempad muda mulai
tradisional Bali, grubug disebabkan karena menguasai seluk-beluk dunia kesenian. Selain di bawah bimbingan
gangguan ilmu hitam. Masyarakat Bali percaya langsung dari sang ayah, Lempad juga diminta oleh Dalem
bahwa dibutuhkan benda sakral sebagai simbol Sukawati untuk belajar kepada para undagi dan Brahmana yang ada
kekuatan positif untuk menetralisir pengaruh di lingkungan Puri Ubud.
buruk dari ilmu hitam si penyebab grubug. Maka,
mereka meminta pertolongan Gusti Mayukan Semakin hari Kerajaan Ubud semakin kuat secara politis. Wilayah
untuk membuat Barong (figur pemimpin pasukan kekuasaannya meluas sampai ke berbagai wilayah di sekitarnya.
kebaikan yang berkaki empat dengan kepala Pada masa itu pembangunan puri terus berlangsung dan Lempad
singa) dan Rangda (ratu para penyihir jahat) semakin mendapatkan kepercayaan sebagai parekan (abdi kerajaan)
sebagai simbol untuk melindungi desa dari grubug. yang khusus membidangi urusan sangging dan undagi kerajaan.
Lempad kecil terlibat membantu sang ayah dalam Setelah berusia 20 tahunan lebih, Lempad menikah dengan I Gusti
membuat simbol-simbol suci berupa Barong dan Nyoman Dapet. Tanggal pernikahan Lempad tidak diketahui secara
Rangda itu. pasti, tapi ia ingat bahwa pernikahannya terjadi sebelum Gunung
Krakatau meletus pada 1883. Mereka kedua tidak mendapat
Keterlibatan Gusti Mayukan dan Lempad dalam keturunan sehingga atas saran Dapet, Lempad diminta untuk
pembuatan Barong di Desa Pejeng menyebabkan mempersunting adik Dapet sendiri, I Gusti Rai Tindih, sebagai
kesalahpahaman dari beberapa orang di tempat istri kedua Lempad. Dari perkawinan itu lahirlah tujuh anak, yakni
tinggalnya, yakni di Desa Bedulu. Saat itu Desa I Gusti Putu Sumeng, I Gusti Made Sumung, I Gusti Nyoman
Bedulu adalah bagian dari Kerajaan Blahbatuh Galungan, I Gusti Ketut Engsek, I Gusti Putu Oka, I Gusti Made
yang sedang mengalami hubungan kurang Kerti, dan seorang lagi yang meninggal dunia pada saat usia anak
harmonis dengan Kerajaan Pejeng. Muncullah anak.
prasangka bahwa keluarga Lempad berkhianat
dengan memihak ke Kerajaan Pejeng yang saat itu
adalah seteru dari Kerajaan Blahbatuh. Hukuman
atas tuduhan pengkhianatan jatuh kepada mereka.
Untuk menghindarinya, keluarga ini melarikan
diri dari wilayah kerajaan Blahbatuh menuju
kerajaan Ubud atas saran dari seorang sahabat.
Kerajaan Ubud ketika itu tengah membangun
istananya.
i.
Sosok Raja Ubud.
ii.
I Gusti Nyoman Lempad dan
Gusti Rai Tindih.
018
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad
iii
019
I Gusti Nyoman Lempad
020
iii
i
ii
iv
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad
021
I Gusti Nyoman Lempad
i.
Patung Ratu Gede Mecaling karya I Gusti
Nyoman Lempad di Pura Taman Kemuda
Saraswati, Ubud, Bali.
ii.
Karya I Gusti Nyoman Lempad berupa
pintu Gerbang pura di kampung
halamannya di Bedulu, Bali.
iii.
Sketsa pintu gerbang pura.
iv.
Relief Sutasoma karya I Gusti Nyoman
Lempad di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Bali.
v.
Miniatur bade (menara pengusung jenazah)
karya I Gusti Nyoman Lempad.
vi.
Bade dalam sebuah upacara ngaben di Bali.
022
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad
ii iii
iv v vi
023
I Gusti Nyoman Lempad
ii
i.
I Gusti Nyoman Lempad sedang membuat
Naga Banda (boneka naga yang dipakai saat
upacara Ngaben).
iii ii.
I Gusti Nyoman Lempad sedang membuat
topeng barong.
iii.
Topeng barong karya I Gusti Nyoman
Lempad yang belum selesai.
iv.
Beberapa karya I Gusti Nyoman Lempad
berupa karya tatahan di atas kertas.
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu
cucu I Gusti Nyoman Lempad,
Gusti Sutedja.
024
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad
iv
025
I Gusti Nyoman Lempad
026
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad
027
I Gusti Nyoman Lempad
kecenderungan anatomis jika dibandingkan adalah proyek ambisius pemerintah kolonial yang
dengan karya lukisan Kamasan yang lebih membuat paviliun Hindia Belanda di ajang Paris
dekoratif. Selain itu, karya Lempad juga tak Colonial Exposition pada 1931. Di sana, pelukis
seperti karya pelukis gaya Ubud lain yang penuh Ida Bagus Made Kembeng (1897-1952) mendapat
sesak dengan objek. Ia justru menghadirkan diplôme de médaille d’argent atau penghargaan
bidang kosong sebagai latar belakang. Inilah ciri medali perak.
khas karya-karya Lempad yang membuatnya
tampak berbeda dengan pelukis seangkatanya. Berikutnya, pemerintah Belanda, melalui sosok
pelukis Rudolf Bonnet, menggelar pameran rutin
Selain soal medium kertas dan tema keseharian, seni rupa Bali. Pameran yang dilaksanakan antara
interaksi Lempad dengan Spies dan Rudolf lain Balische Kunst (Seni Rupa Bali) di Batavia
Bonnet—seniman Barat yang datang ke Bali Centrum (sekarang: Jakarta Pusat) pada 1934 dan
pada 1929—menumbuhkan cara pandang baru pameran Pita Maha di Bataviasche Kunstkring
kepada Lempad dan para seniman Bali di masa pada 1936.
itu. Sebelumnya, mereka membuat karya dengan
berlandaskan semangat ngayah (kewajiban dan Melalui Pita Maha, karya-karya para seniman
pengabdian kepada masyarakat dan agama). Bali yang telah bersentuhan dengan pengaruh
Seiring interaksi seniman Bali dengan pelukis gaya seniman asing yang datang ke pulau ini jelas
Barat, yang juga memperkenalkan karya-karya makin dikenal di luar Bali, bahkan dunia. Di Bali,
mereka kepada para pelancong di Bali, mereka kelompok ini tidak hanya mempunyai anggota di
menemukan hal baru, yakni membuat karya juga Gianyar, namun juga di Denpasar dan Klungkung.
dapat menghasilkan pendapatan. Atau dengan Para seniman yang tergabung dalam Pita Maha
kata lain, timbul kesadaran tentang profesi dan dapat dikategorikan menjadi tujuh kelompok:
posisi sebagai seniman individu dan profesional
menurut pemahaman modern. 1. Kelompok Padang Tegal, dengan ketua Anak
Agung Gede Sobrat
Bisa dikatakan bahwa Lempad dan seniman 2. Kelompok Pengosekan, dengan ketua I Gusti
seangkatannya adalah para seniman Bali generasi Ketut Kobot
awal yang mulai bersinggungan dengan konsep 3. Kelompok Mas, dengan ketua I Ketut Roja
modern yang dibawa Barat. Jika sebelumnya 4. Kelompok Batuan, dengan ketua I Made Jata
karya-karya seni hasil karya seniman Bali bersifat 5. Kelompok Celuk, dengan ketua I Riyok
anonim (tanpa pencantuman nama), sejak era 6. Kelompok Denpasar, dengan ketua I Gusti
Lempad persoalan pencantuman nama atau Made Deblog
identitas seniman di dalam karya seni mulai 7. Kelompok Klungkung, dengan ketua Pan
muncul. Pencantuman nama di karya-karya (Nang) Seken.
Lempad banyak dilakukan oleh I Gusti Made
Sumung, putra Lempad. Sumung-lah yang Pita Maha memberikan kontribusi besar bagi
mencantumkan nama “Lempad” dengan aksara perkembangan seni rupa Bali selanjutnya.
Bali, mengingat Lempad tidak bisa membaca dan Seniman Bali mulai terinspirasi karya-karya Spies
menulis. dan Bonnet, yang kemudian mereka padukan
dengan gaya pewayangan Kamasan sampai
Pameran-pameran yang menghadirkan para melahirkan mazhab Pita Maha: karya-karya yang
seniman Bali ke luar pulau Bali, bahkan ke lebih realistik dengan tema kehidupan sehari-
luar negeri mulai gencar dilakukan setelah Bali hari serta komposisi yang padat, semua terisi,
menjadi daerah pemerintahan kolonial dan penuh dan sesak, sedikit ruang kosong. Lempad
masuknya pelukis Barat ke Bali. Semakin pesatnya lantas menjadi pengecualian. Ia terkenal berani
pemasaran karya-karya seniman Bali didukung membuat obyek atau figur dalam satu komposisi
oleh adanya permintaan terhadap karya-karya cerita dengan karakter garis yang tegas. Bidang
tersebut dari berbagai negara di Eropa. Hal ini tak ruangnya juga tidak padat seperti seniman
lepas dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda Bali lainnya. Inilah letak ciri khasnya, di mana
yang begitu gencar membuat program promosi Lempad menjadi sosok seniman yang mampu
seni dan budaya Bali. Salah satu contohnya menghadirkan karakter visualnya sendiri.
028
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad
029
I Gusti Nyoman Lempad
Pada beberapa karya Lempad terlihat adanya citraan yang unik, Lempad mewariskan nilai tentang dedikasi kuat
yakni kemunculan figur-figur bertubuh kurus dan panjang. Apa atas pilihan hidupnya sebagai seniman. Ia juga
yang dilakukan Lempad ini tentu mengundang tanda tanya tentang mewariskan nilai-nilai pendidikan yang luar
latar belakang apa yang mempengaruhi dirinya ketika melakukan biasa dalam karya-karyanya, yang berharga untuk
pemanjangan anatomi. Kita bisa menilik ini lebih lanjut melalui dipelajari generasi berikutnya. Selain itu, Lempad
karya-karya seni (tradisional) sebelumnya, misalnya pada bentuk juga menurunkan ilmunya kepada beberapa
penggambaran ornamen Cili di lamak. Cili adalah salah satu keturunannya. Sebagian cucu dan cicitnya kini
ornamen khas Bali yang berbentuk perwujudan Dewi Sri sedangkan tetap melanjutkan profesinya sebagai undagi dan
lamak adalah kain untuk menghias pintu altar pura. Terlihat sangging.
bagaimana ornamen Cili digambarkan dengan bentuk tangan
menjuntai hingga mendekati ujung kaki. Atau, kita bisa meniliknya
dari karya yang lebih personal, misalnya patung-patung buatan
Ida Bagus Nyana yang memperlihatkan pemanjangan anatomi
sebagai responnya terhadap karakter material kayu. Lantas, apakah
Lempad terpengaruh dari gaya ornamen Cili di lamak ataukah ada
keterkaitan antara karya Lempad dengan karya patung Ida Bagus
Nyana?
i.
Sketsa wajah Bima yang dibuat I Gusti
Nyoman Lempad beberapa tahun sebelum
ia meninggal.
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu
cucu I Gusti Nyoman Lempad,
Gusti Sutedja.
030
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad
031
I Gusti Nyoman Lempad
032
Tema-Tema Lukisan Lempad
033
I Gusti Nyoman Lempad
Bab 4
Tema-Tema Lukisan Lempad
Ramayana
Sutasoma
034
Tema-Tema Lukisan Lempad
ii
035
I Gusti Nyoman Lempad
036
Tema-Tema Lukisan Lempad
ii
2. Cerita Rakyat
Selain tema-tema pewayangan, Lempad juga menghadirkan cerita rakyat (folklore) yang berkembang di
masyarakat Bali. Ada beberapa jenis tema cerita rakyat yang dihadirkan Lempad dalam karya- karyanya,
antara lain:
Tantri (Fabel)
Tantri adalah kisah yang memuat kehidupan binatang layaknya kehidupan manusia. Tantri identik
dengan fabel. Tantri adalah sebuah kidung yang menampilkan rangkaian cerita dalam cerita. Yakni kisah
tentang seorang perempuan bijaksana bernama Ni Diah Tantri yang menuturkan banyak cerita tentang
kehidupan binatang pada raja negeri Patali.
Kisah Bhagawan Darswami merupakan karya Lempad yang mengambil satu bagian adegan dalam kisah
Tantri, yakni kisah Bhagawan Darswami yang menyelamatkan tiga ekor binatang, yakni harimau, buaya,
dan kera yang tengah terjebak di dalam sumur. Di karya ini Lempad melukiskan adegan setelah ketiga
binatang itu berhasil ditarik dari dalam sumur oleh sang Begawan, yang ditandai dengan penggambaran
sosok kera membawa seutas tali yang dipakai sang Begawan untuk menarik ketiga binatang tersebut ke
atas permukaan sumur.
037
I Gusti Nyoman Lempad
Cupak Gerantang
Cupak Gerantang adalah cerita rakyat Bali tentang dua orang kakak
beradik bernama Cupak dan Gerantang. Dua orang bersaudara
ini memiliki tabiat yang berbeda. Cupak sosok yang licik, pemalas,
arogan, dan sangat rakus sedangkan sang adik, Grantang, memiliki
sifat yang baik hati, sopan, dan bijaksana.
038
Tema-Tema Lukisan Lempad
ii
Keluarga Brayut
039
I Gusti Nyoman Lempad
040
Tema-Tema Lukisan Lempad
i.
Beberapa karya Lempad yang
menghadirkan tema keseharian
masyarakat Bali.
Koleksi Museum Neka, Bali.
041
I Gusti Nyoman Lempad
042
Para Anak Mengganggu Men Brayut
043
I Gusti Nyoman Lempad
Bab 5
Para Anak Mengganggu Men Brayut
Satu anak perempuan Men Brayut yang paling besar berdiri di balik
punggung Men Brayut. Ia asyik mencari kutu di rambut ibunya yang
kusut terurai. Di samping kirinya, bersandar sang adik perempuan
di bahu kiri sang ibu sembari mengelus kepala adik bayinya yang
tengah menyusu di pangkuan sebelah kiri Men Brayut. Adiknya,
bocah lelaki berkepala gundul di tengah, ikut membantu kakaknya,
si anak perempuan yang mencari kutu. Di samping bocah lelaki ini,
ada bocah lelaki lain di samping bocah lelaki gundul ini. Tangan
kirinya memegang batang padi dan tangan kanannya memasukkan
biji padi ke dalam mulutnya. Mungkin, Men Brayut tidak sempat
memasak nasi karena kesibukannya mengurus anak-anaknya yang
masih bayi sehingga anaknya yang lain harus memakan padi mentah
untuk mengganjal perut.
044
Para Anak Mengganggu Men Brayut
Men Brayut dan membawa selembar kain untuk Para Anak Sedang Menganggu Men Brayut
diperbaiki. Ia tampak tak sabar menunggu sang menunjukkan suatu komposisi yang simetris.
ibu selesai menyusui adiknya yang masih bayi. Lempad seolah-olah membagi tiga bagian bidang
pada gambarnya. Sosok Men Brayut yang sedang
Begitulah gambaran kesibukan Men Brayut memangku dua anaknya serta figur anak gadis
yang coba dihadirkan Lempad di Para Anak yang tengah berdiri mencari kutu membentuk
Mengganggu Men Brayut yang berwarna hitam bidang vertikal keatas. Adegan tersebut menjadi
putih di atas kertas tersebut. Tampak penghayatan pengisi bagian tengah bidang gambar sekaligus
Lempad yang mendalam di karya ini ketika menjadi tempat bagi tokoh pusat di gambar ini,
melukiskan kesibukan Men Brayut dalam yakni sosok Men Brayut. Dua anak lelaki yang
menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu rumah sedang berkelahi mengisi bidang gambar sebelah
tangga. Ia harus mengurus begitu banyak anak kanan. Sementara, bidang gambar sebelah kiri diisi
sekaligus menjalankan aktivitas membantu sang oleh adegan anak sulung Men Brayut yang sedang
suami dengan bekerja menenun kain. Adegan berdiri memegang kain.
kesibukan Men Brayut sebagai ibu dari banyak
anak serta aktivitasnya sebagai perempuan Bali Penempatan berbagai figur digambar ini
pada masa lampau—posisinya sebagai istri, ibu menciptakan konfigurasi objek yang berbentuk
rumah tangga, penenun kain, sekaligus bagian segitiga ke atas, menjadikan bidang bagian
penting dalam ritual keagamaan—tampak sangat tengah tampak paling tinggi dibanding bidang
detail dihadirkan Lempad melalui objek-objek bagian kiri dan kanan. Kepekaan Lempad
dalam gambarnya. Ekspresi wajah serta gestur dalam menghadirkan komposisi yang dibangun
tubuh masing-masing tokoh yang dilukiskan dari konfigurasi figur yang tampak simetris ini
Lempad di Para Anak Mengganggu Men Brayut kemungkinan dipengaruhi oleh latar belakang
mampu menghadirkan suasana hiruk pikuk Lempad sebagai seorang undagi. Ia terbiasa
seorang ibu dalam mengurus begitu banyak menghadirkan pepalihan (pembagian ruang) secara
anak. Di samping itu, Lempad juga sangat detail simetris, baik sisi kiri dan kanan yang terpusat di
dalam menggambarkan suasana khas kehidupan tengah.
masyarakat Bali pada 1930an, periode di mana
gambar ini dibuat. Aktivitas perempuan Bali Pembagian tiga bidang ini agaknya dipengaruhi
menenun dan mencari kutu adalah potret oleh konsep Tri Angga ataupun Tri Mandala,
kehidupan khas masyarakat Bali. Aktivitas yakni pembagian ruang menjadi tiga bagian
tersebut masih bisa kita cari, misalnya dengan dalam kosmologi Bali yang berpengaruh pada
membuka arsip-arsip foto tentang Bali pada konsep dasar arsitektur Bali. Pembagian ruang
1930an. semacam ini lazim ditemui di bangunan rumah
maupun tempat-tempat suci. Kita dapat melihat
Gambar berukuran 24 x 33 cm tersebut dibuat dan merasakan cara Lempad menghadirkan karya
dengan medium tinta cina dan tempera di atas yang tidak lepas dari konsep kerja arsitektur
kertas. Karya ini merupakan koleksi Museum tradisional Bali (tiga dimensi) yang terbawa ke
Neka dan tersimpan di dalam sebuah ruangan dalam proses kreatifnya berbentuk gambar (dua
khusus, terpisah dari bangunan yang lain dan dimensi).
diberi nama Paviliun Lempad sebagai bentuk
penghormatan atas kesenimanan Lempad. Selain Unsur garis menjadi unsur yang khas dalam
gambar ini, masih ada 22 karya Lempad lagi yang semua karya Lempad, termasuk Para Anak
terpajang di dinding ruangan ini. Mengganggu Men Brayut. Kemampuan Lempad
045
I Gusti Nyoman Lempad
046
Para Anak Mengganggu Men Brayut
047
I Gusti Nyoman Lempad
Kisah Men Brayut dan Pan Brayut dalam masyarakat Bali terdapat
dalam sebuah lontar Geguritan atau macapat (bentuk puisi
Jawa tradisonal). Lontar ini merupakan salah satu koleksi Pusat
Dokumentasi Dinas Kebudayaan Pemprov Bali dengan kode
“ivd.1399/14”. Dalam lontar tersebut, dikisahkan tentang kehidupan
Pan Brayut dan Men Brayut sebagai keluarga petani miskin dengan
18 orang anak. Kehidupan keluarga ini sangat disibukkan dengan
aktivitas mereka, yakni mengurusi 18 anak dan menjalankan
pekerjaan mereka masing-masing. Pan Brayut sibuk bekerja di
sawah sedangkan Men Brayut juga ikut membantu suaminya
bekerja dan menjalankan profesi sebagai penenun, sebuah profesi
umum bagi perempuan Bali di masa itu.
Suatu ketika dalam perayaan Hari Raya Galungan, Pan Brayut dan
Men Brayut sibuk mempersiapkan upacara dengan membuat sesajen
dan membuat hidangan dari babi. Adegan dalam cerita ini dilukis
Lempad dalam karya Pan Brayut dan Men Brayut Menyiapkan
Sesajen.
048
Para Anak Mengganggu Men Brayut
049
I Gusti Nyoman Lempad
i.
I Gusti Nyoman Lempad, Men Brayut
Makan Sesajen, 1930, tinta cina dan tempera
di atas kertas, 24 x 33 cm.
Koleksi Museum Neka, Bali.
ii.
I Gusti Nyoman Lempad, Pan Brayut
Marah Terhadap Men Brayut, 1930,
tinta cina dan tempera di atas kertas,
24 x 33 cm. Koleksi Museum Neka, Bali.
050
Para Anak Mengganggu Men Brayut
ii
051
I Gusti Nyoman Lempad
052
Para Anak Mengganggu Men Brayut
Setelah Pan Brayut mendapat petuah dari Pangeran Jembong, ia lalu bertapa di bawah
pohon di area kuburan. Di sana ia mendapatkan penyempurnaan pengetahuan dan
spiritualitas. Setelah kegiatan bertapanya selesai, Pan Brayut pulang kembali ke rumah
dan bertemu dengan istrinya. Ia pun meminta maaf atas segala kekeliruannya terhadap
Men Brayut. Akhirnya Pan Brayut bersama Men Brayut menata kembali kehidupan
rumah tangga mereka. Keduanya tampak sangat sayang dan membekali anak anak
mereka dengan berbagai ilmu pengetahuan yang didapat Pan Brayut dari hasil
bergurunya kepada Pangeran Jembong.
Di tengah keterbatasan hidup sebagai petani, Pan Brayut dan Men Brayut akhirnya
bisa mendidik dan membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Anak-anak mereka
kemudian tumbuh dewasa dan membantu orang tua bekerja di sawah sehingga
hasil sawah lebih berlimpah. Kehidupan perekonomian keluarga Brayut berangsur-
angsur membaik dan mereka pun hidup sejahtera. Setelah kedelapan belas anak-anak
Keluarga Brayut berumah tangga, Pan Brayut dan Men Brayut akhirnya memutuskan
untuk mengabdikan hidup mereka pada dunia spiritual. Keduanya meninggalkan
anak-anak mereka yang telah sukses dengan keluarganya masing masing untuk pergi
ke hutan dan menarik diri dari kehidupan duniawi. Anak-anaknya melepas kepergian
ayah dan ibu mereka dengan suka cita menuju sebuah hutan. Di sana Pan Brayut dan
Men Brayut membangun sebuah tempat pertapaan dan beralih menjadi rohaniawan.
i.
I Gusti Nyoman Lempad, Pangeran Jembong
Memberkati Pan Brayut, 1930, tinta cina
di atas kertas, 24 x 33 cm.
Koleksi Museum Neka.
053
I Gusti Nyoman Lempad
054
Para Anak Mengganggu Men Brayut
055
Daftar Pustaka
Gaspar, Ana, dkk. 2014. Lempad: A Timeless Balinese Master. Pictures Publishers, Art Books.
Vickers, Adrian, dkk. 2016. Lempad of Bali: The Illuminating Line. Ubud: Yayasan Titian Bali.
Setiawan, I Ketut. 2012. Raja Udayana di Bali, 989-1011. Denpasar: Udayana University Press.
Triguna, IB Yudha (Penyunting). 2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Denpasar: Program Magister Ilmu Agama
dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.
Parta, I Wayan Seriyoga. 2015. Seni Rupa Bali Sebagai Aset Pusaka Budaya. Gianyar: Dinas Kebudayaan
Kabupaten Gianyar Bali
Parta, I Wayan Seriyoga. 2014. Lempad for the World. Ubud: Dewangga House of Lempad Ubud
Parta, I Wayan Seriyoga. 2010. Modernisasi dan Transformasi Seni Lukis Bali pada Karya I Gusti Nyoman Lempad,
Edisi September-Desember 2010. Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta
056
Daftar Gambar
057
Miniatur bade (menara pengusung jenazah) karya Halaman 035
I Gusti Nyoman Lempad. I Gusti Nyoman Lempad, Rama Memanah Kijang
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. Emas, 1956, tinta cina di atas kertas, 26 x 33,5 cm.
Koleksi Museum Neka, Bali.
Bade dalam sebuah upacara ngaben di Bali. Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master.
Halaman 036
Halaman 024 I Gusti Nyoman Lempad, Sutasoma dan
I Gusti Nyoman Lempad sedang membuat Para Muridnya Berjumpa Para Petapa, 1960an,
Naga Banda (boneka naga yang dipakai saat pensil di atas kertas, 25 x 35 cm. Koleksi pribadi.
upacara Ngaben). Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master.
Halaman 037
I Gusti Nyoman Lempad sedang membuat I Gusti Nyoman Lempad, Kisah Bhagawan
topeng barong. Darswami, 1950an, tinta cina di atas kertas,
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. 25 x 35 cm. Koleksi pribadi.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Topeng barong karya I Gusti Nyoman Lempad
yang belum selesai. Halaman 038
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. I Gusti Nyoman Lempad, Cupak Gerantang,
1950an, tinta cina di atas kertas, 25 x 35 cm.
Halaman 025 Koleksi pribadi.
Beberapa karya I Gusti Nyoman Lempad berupa Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
karya tatahan di atas kertas.
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu cucu Halaman 039
I Gusti Nyoman Lempad, Gusti Sutedja. Beberapa Karya I Gusti Nyoman Lempad yang
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya. bertemakan Brayut. Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Halaman 026
Desain ornamen inovatif I Gusti Nyoman Halaman 040
Lempad berupa stilasi bentuk tikus. Beberapa karya Lempad yang menghadirkan tema
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu cucu keseharian masyarakat Bali.
I Gusti Nyoman Lempad, Gusti Sutedja. Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya. Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
058
Halaman 050
I Gusti Nyoman Lempad, Men Brayut Makan
Sesajen, 1930, tinta cina dan tempera di atas kertas,
24 x 33 cm. Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Halaman 051
I Gusti Nyoman Lempad, Pan Brayut Marah
Terhadap Men Brayut, 1930, tinta cina dan
tempera di atas kertas, 24 x 33 cm.
Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Halaman 052-053
I Gusti Nyoman Lempad, Pangeran Jembong
Memberkati Pan Brayut, 1930, tinta cina di atas
kertas, 24 x 33 cm.
Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
059
I Made Susanta Dwitanaya
060