Anda di halaman 1dari 62

PARA ANAK

MENGGANGGU MEN BRAYUT


I Gusti Nyoman Lempad

I Made Susanta Dwitanaya

Direktorat Kesenian
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
2017
Para Anak Mengganggu Men Brayut -
I Gusti Nyoman Lempad
Cetakan pertama Desember 2017
60 halaman, 21 x 29,7 cm
ISBN 978-602-5635-02-1
© Direktorat Kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan &
I Made Susanta Dwitanaya, 2017

Direktorat Kesenian
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Komplek Kemendikbud Gedung E Lantai 9
Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
Tlp. 021-572 55 49 | 021-572 55 34

Pengarah
Hilmar Farid

Penanggung Jawab
Restu Gunawan

Penulis dan Periset


I Made Susanta Dwitanaya

Koordinator
Hendro Wiyanto & Rahmat Arham

Penyunting Isi
Hendro Wiyanto

Penyunting Bahasa Tidak untuk diperjualbelikan


Annayu Maharani

Pemeriksa Aksara Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Rahmat Arham Lingkup Hak Cipta
Pasal 2
Penata Letak dan Perancang Sampul 1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
Meicy Sitorus mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sekretariat Ketentuan Pidana
Kuat Prihatin Pasal 72
Sri Kuwati 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Ike Rofiqoh Fazri Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
Arsih Wijaya paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
Dindawati Fatimah pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Sampul 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
I Gusti Nyoman Lempad, Para Anak Mengganggu umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
Men Brayut, 1930, tinta cina dan tempera di atas kertas, dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
24 x 33 cm. paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan

Dalam sebuah artikel dari tahun 1937, Ki Hadjar Dewantara menulis: “Kesenian adalah sebagian dari
kebudajaan, jang timbul dan tumbuhnya amat berhubungan dengan djiwa perasaan manusia. Karena
itu lebih dalam tertanamnja kesenian itu di dalam djiwa daripada kebudajaan lainnja.” Ia memandang
kesenian sebagai ekspresi budaya yang paling dalam karena kesenian berakar pada hati sanubari
manusia, pada alam rasa dan kehendak. Melalui kesenian lah semangat kebangsaan dan kesadaran untuk
bangun dan berdiri di atas kaki sendiri terejawantah dari dalam jiwa tiap-tiap orang.

Kesenian, termasuk di dalamnya seni rupa, memegang peranan penting dalam rangkaian usaha
pendidikan karakter bangsa. Gagasan dasar pendidikan karakter ini dewasa ini telah diwujudkan dalam
gerakan revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Revolusi mental adalah suatu
pengubahan mendasar pada seluruh aspek kepribadian manusia Indonesia. Yang diubah dalam revolusi
mental seyogianya bukan hanya aspek lahiriah dari kepribadian (perilaku), melainkan jauh lebih dalam
lagi: cara orang mengalami sesuatu dan bersikap terhadapnya. Revolusi mental mensyaratkan adanya
perubahan mendasar pada semesta imajinasi setiap anggota bangsa Indonesia. Ia harus menyentuh akar-
akar kultural dari tiap-tiap warga negara. Tepat di sinilah seni rupa berperan.

Seni rupa menghadirkan kontak imajinatif dengan kenyataan sekitar. Dalam seni rupa, dunia dihadirkan
dari sudut pandang yang kerap kali terlewat oleh rutinitas hidup. Seni rupa memberi makna pada apa
yang sehari-hari dilalui begitu saja. Dengan begitu, lewat seni rupa, dunia hadir secara baru di dalam
imajinasi khalayak. Seni rupa, pada akhirnya, dapat mengubah cara orang mengalami sesuatu dan,
oleh karenanya, mampu mengubah pula cara orang mengambil sikap terhadap kenyataan. Realitas
kebangsaan yang sudah menjadi bagian dari rutinitas hidup orang Indonesia dapat dihadirkan kembali
sebagai pergulatan budaya yang intens. Dengan cara itulah seni rupa menyegarkan kembali wawasan
kebangsaan kita.

Seri buku Pusaka Seni Rupa ini disusun agar pembacanya, para siswa Sekolah Menengah Atas, dapat
mengakses kembali semangat kebangsaan yang terkandung dalam karya-karya utama yang menandai
kelahiran seni rupa modern di Indonesia. Dalam karya-karya Affandi, S.Sudjojono, Hendra Gunawan,
Kartono Yudhokusumo, I Gusti Nyoman Lempad dan Anak Agung Gede Sobrat, kita dapat menggagas
kembali keluasan semesta budaya yang ikut punya andil dalam terciptanya kebudayaan Indonesia
merdeka.

Lewat seri buku ini, saya berharap para siswa Sekolah Menengah Atas dapat menikmati kekayaan
khazanah seni rupa modern Indonesia buah karya para maestro kita. Saya mengharapkan juga kesediaan
para guru untuk memanfaatkan seri buku ini untuk memperkaya wawasan seni para siswa dan
mempertebal semangat kebangsaannya.

Direktur Jenderal Kebudayaan

Hilmar Farid

iii
Pengantar Direktur Kesenian

Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-
2019, khususnya Nawacita Butir 8 dan 9, telah menetapkan arah bagi usaha pemerintah untuk
“melakukan revolusi karakter bangsa” dan “memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia”. Sehubungan dengan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
mencanangkan program Penguatan Pendidikan Karakter.

Menindaklanjuti program tersebut, Direktorat Jenderal Kebudayaan telah menyelenggarakan diskusi


terpumpun bertajuk “Lokakarya Penyusunan Kebijakan Pendidikan Karakter Berbasis Kebudayaan”
pada tanggal 14-16 Desember 2016. Diskusi terpumpun tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi
dan salah satunya adalah kegiatan Pusaka Seni Rupa.

Yang dimaksud dengan Pusaka Seni Rupa ialah penyiapan, penerbitan, dan pendistribusian seri buku
seni rupa sebagai bahan bacaan untuk mengembangkan pendidikan karakter berbasis pembelajaran
sejarah seni rupa nasional bagi siswa tingkat Sekolah Menengah Atas di Tanah Air. Seri buku ini akan
berupa enam buku tentang enam karya seni rupa Indonesia pada paruh pertama abad ke-20 (periode
1900-1945) yang dianggap menjadi tonggak-tonggak penting dalam sejarah seni rupa modern di
Indonesia.

Atas pertimbangan itulah Direktorat Kesenian memfasilitasi penelitian dan penulisan keenam buku
dalam seri Pusaka Seni Rupa ini. Dalam rangka menjalankan kegiatan tersebut, Direktorat Kesenian
telah membentuk tim yang terdiri dari para penulis muda di bidang seni rupa dengan harapan hasil
tulisan mereka dapat dengan mudah diakses oleh sasaran pembaca seri buku ini, yaitu para siswa
Sekolah Menengah Atas.

Seri Pusaka Seni Rupa ini diharapkan dapat ikut mendorong usaha penguatan pendidikan karakter.
Dengan membaca latar belakang terciptanya karya seni, diharapkan para siswa dapat menggali nilai-
nilai yang terpendam dalam praktik berkesenian pada seniman modern Indonesia.

Selain itu, seri buku ini diharapkan dapat menyumbang pula pada pengayaan wacana seputar seni rupa
sehingga mendorong peningkatan mutu karya para perupa Indonesia di masa kini.

Akhirul kalam, melalui penerbitan buku ini, kami berharap dapat memberikan wawasan kesenirupaan
sebagai modal awal bagi para siswa Sekolah Menengah Atas sehingga mereka dapat mengapresiasi
kekayaan khazanah seni rupa modern di Indonesia dan cita-cita serta kepribadian yang terkandung di
dalamnya, khususnya dalam rangka memperteguh kebhinnekaan dalam bingkai persatuan nasional.

Direktur Kesenian

Restu Gunawan

iv
Pusaka Seni Rupa Indonesia dan Kebhinekaan Budaya Kita

Penulisan seri buku Pusaka Seni Rupa ini adalah realisasi dari program Pendidikan Karakter Berbasis
Kebudayaan yang inisiatifnya datang dari Direktorat Jenderal Kebudayaan sejak akhir tahun lalu. Buku
ini ditulis untuk para siswa Sekolah Menengah Atas. Tujuannya adalah memperkenalkan dan meluaskan
cakrawala mereka terhadap khazanah seni rupa modern Indonesia.

Meluaskan cakrawala melalui karya seni rupa berarti menajamkan kepekaan akan segi-segi visual
(artistik), pengalaman keindahan (estetik), serta pengetahuan mengenai sumber-sumber inspirasi para
seniman. Inspirasi seniman bisa lahir dari pandangan pribadi, lingkungan sosial, perubahan masyarakat,
cita-cita politik, legenda, mitos, sejarah, tradisi, khayal atau fantasi, dan seterusnya. Pengetahuan
tentunya tidak hanya berkembang dari wawasan teoritis atau keilmuan, tapi juga karena kedekatan,
kecintaan, empati, dan segi-segi afeksi lainnya. Meningkatnya apresiasi seni diharapkan berkembang
bersama kemampuan menyerap hal-hal yang tersirat pada karya seni untuk memetik nilai-nilai
kehidupan di dalamnya.

Seri buku ini terdiri dari enam jilid. Masing-masing buku membahas satu karya–kali ini ragam seni
lukis—dari seorang seniman. Pertimbangan memilih seniman adalah ketokohan serta kontribusi mereka
pada awal perkembangan seni rupa modern di Indonesia, paruh pertama abad ke-20. Di masa itu seni
rupa Indonesia menempuh cara pengungkapan yang baru dalam hal tema, gaya, selera keindahan,
dan posisi seniman dalam masyarakat. Mereka sadar sepenuhnya akan kekuatan dan kemerdekaan
individu, semangat kebangsaan, seraya mengolah berbagai pengaruh seni dari luar. Para seniman ini
mempraktikkan seni rupa yang disebut “modern”, yang bukan kelanjutan dari tradisi seni sebelumnya.

Enam seniman yang karyanya dipilih untuk seri buku ini tidak dapat dipisahkan dari kisah
perkembangan awal seni rupa modern di Indonesia, yang berpusat di Jawa dan di Bali. Tentu saja
ada perbedaan langgam dan jenis kemodernan yang berkembang di dua tempat itu. Di Jawa seniman
modern akan mengatakan bahwa seni terlepas dari semua ikatan tradisi dan norma moral yang lama.
Ada pun di Bali, pandangan seni yang baru tidak sepenuhnya menanggalkan bentuk-bentuk artistik dan
tradisi masyarakat yang berlaku.

Seri Pusaka Seni Rupa ini menghadirkan enam karya dari enam tokoh seniman, yaitu:

1. Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi, 1944, karya Affandi Kusuma (1907-1990).
2. Cap Go Meh, 1940, karya S. Sudjojono (1913-1986).
3. Pengantin Revolusi, 1955, karya Hendra Gunawan (1918-1983).
4. Melukis di Taman, 1952 , karya Kartono Yudokusumo (1924-1957).
5. Para Anak Mengganggu Men Brayut, 1930-an, karya I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978).
6. Tarian Barong Landung, 1934, karya Anak Agung Gede Sobrat (1912-1957).

Tiap karya ditulis oleh seorang penulis. Para penulis ini berlatar pendidikan seni rupa dan
berpengalaman menulis di bidangnya. Diharapkan penulisan karya-karya para tokoh seniman ini
mampu mendorong para siswa meluaskan cakrawala seni dan kebudayaan mereka. Melalui seni rupa,
kita merawat dan mengembangkan kebhinekaan budaya kita.

Selamat membaca.

Koordinator Pusaka Seni Rupa


Hendro Wiyanto

v
Daftar Isi

ii Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan

iv Pengantar Direktur Kesenian

v Pusaka Seni Rupa Indonesia dan


Kebhinekaan Budaya Kita

007 Bab 1 - Seni Rupa Bali dalam Bentang Sejarah

012 Bab 2 - Pita Maha: Tonggak Awal Seni Rupa Modern


di Bali

016 Bab 3 - Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

032 Bab 4 - Tema-Tema Lukisan Lempad

042 Bab 5 - Para Anak Mengganggu Men Brayut

056 Daftar Pustaka

057 Daftar Gambar

vi
Seni Rupa Bali dalam Bentang Sejarah

i.
Situs Goa Gajah, Desa Bedulu, Kecamatan
Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Bali.
Satu monumen peninggalan pada masa Bali
Kuno yang juga ditemukan arca dan relief.

007
I Gusti Nyoman Lempad

Bab 1
Seni Rupa Bali dalam Bentang Sejarah

Seni Rupa Bali dari Masa Prasejarah sampai serta berangka tahun 818 Saka (896 M). Dalam
Bali Kuno Bahasa Bali, undagi merujuk pada profesi yang
terkait dengan arsitektur tradisional maupun
Sebuah temuan arkeologi berupa nekara aktivitas pertukangan, seperti pembuat perahu dan
ditemukan di tempat suci umat Hindu di Bali, sebagainya.
tepatnya Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng,
Gianyar, Bali. Nekara yang masih disimpan di Istilah undagi juga tertulis di sebuah prasasti
Desa Pejeng ini adalah nekara terbesar di Asia berangka tahun 994 Saka (1072 M) yang
Tenggara. Selain menunjukkan capaian peradaban ditemukan di Desa Batuan, Sukawati, Gianyar.
manusia Indonesia dalam hal teknologi cetak Istilah lain juga tertulis di prasasti yang dibuat
logam, khususnya material perunggu, nekara pada masa pemerintahan raja Darmawangsa
tersebut juga menunjukkan bagaimana seni rupa Wardhana Marakata (1022 M – 1025 M) ini,
pada masa prasejarah di Bali. Berbagai ornamen seperti citrakara yang bisa dipadankan dengan
yang ada dalam nekara tersebut bukan semata “juru gambar” dan sulvika dengan “juru patung”.
berhenti sebagai hiasan, tapi juga mengandung
nilai-nilai simbolik tertentu. Selanjutnya, dalam Prasasti Pandak Gede pada
masa Raja Anak Wungsu terdapat istilah aringgit
Bali kemudian memasuki masa sejarah yang yang dipadankan dengan “wayang” sekarang.
dimulai kira-kira abad 8 M dengan ditemukannya Prasasti dari logam ini juga dilengkapi ukiran
tablet tanah liat di Pejeng yang berisi mantra- berbentuk wayang dengan sosok Dewa Smara
mantra agama Buddha. Periode ini disebut masa dan Dewi Ratih (dewa-dewi asmara dalam
Bali Kuno, sebelum ekspansi kerajaan Majapahit kepercayaan Hindu Bali). Prasasti ini berangka
ke Bali pada abad 14 M, di mana terdapat banyak tahun 1071 M. Relief wayang juga terdapat pada
peninggalan arkeologis dari kerajaan-kerajaan peninggalan arkeologis lainnya, seperti di sangku
berupa karya seni rupa berwujud arca, relief, dan sudamala atau tempat air suci di Pura Pusering
candi. Peninggalan-peninggalannya tersebar Jagat, Desa Pejeng. Ukiran dan relief wayang
di daerah Pejeng, Tampaksiring, Bedulu, dan memperlihatkan bahwa penggambaran tokoh-
sekitarnya, terutama di kawasan aliran Sungai tokoh dalam kisah pewayangan sudah ada sejak
Pakerisan dan Petanu. Bentuknya adalah relief Yeh masa Bali Kuno.
Pulu, Situs Goa Gajah, Pura Kebo Edan, Candi
Tebing Gunung Kawi, Candi Tebing di Pura Selain terdapat istilah profesi di bidang seni rupa,
Pengukur Ukuran, dan sebagainya di sumber tertulis lain juga terdapat seorang nama
tokoh yang ahli dalam membuat arca ataupun
Sama seperti zaman prasejarah, terlihat bagaimana monumen di masa itu. Namanya ada di balik arca
peninggalan arca, relief, dan candi di masa Bali sejoli di Pura Puncak Penulisan yang berangka
Kuno juga menunjukkan capaian masyarakat tahun Saka 933 (1011 M) dan Prasasti Kesihan
Bali dalam bidang seni rupa. Perkembangan seni berangka tahun Saka 945 (1023 M). Di kedua
rupa pada masa Bali Kuno tentu saja tidak lepas sumber tertulis itu tertatah nama Mpu Bga Anata.
dari peran para seniman di masa itu. Beberapa Ia ternyata adalah juru pahat yang membuat arca
prasasti menyebutkan sejumlah istilah tentang dan prasasti tersebut.
profesi yang berhubungan dengan seni rupa.
Menurut arkeolog asal Belanda bernama R. Pemerintahan Raja Udayana meninggalkan seni
Goris pada 1954, terdapat istilah undagi di dalam arca, arsitektur, dan petirtaan (pemandian suci).
Prasasti Bebetin yang memakai Bahasa Bali Kuno Hal ini dapat dilihat di situs petirtaan di Goa

008
Seni Rupa Bali dalam Bentang Sejarah

i.
Salah satu adegan di relief Yeh Pulu,
Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatu,
Kabupaten Gianyar, Bali.

009
I Gusti Nyoman Lempad

Gajah, Bedulu, Gianyar yang berada di sekitar


Sungai Petanu. Di area situs ini ditemukan
berbagai peninggalan arkeologi, baik berupa relief
di dinding goa maupun arca-arca perwujudan
dewa-dewi ajaran Hindu dan Buddha. Salah
satunya adalah adanya temuan Arca Hariti
yang menggambarkan sosok Hariti sang dewi
pelindung anak-anak dalam ajaran Buddha. Sosok
Hariti ini yang kemudian dalam cerita rakyat
Bali berkembang menjadi Men Brayut, seorang
perempuan dengan banyak anak.

Tidak begitu jauh dari Goa Gajah, di Desa


Bedulu juga terdapat peninggalan arkeologi
berupa relief sepanjang 25 meter bernama
Relief Yeh Pulu. Selain menunjukkan capaian
seni relief pada masa Bali Kuno secara tematik,
relief ini menggambarkan kehidupan keseharian i
masyarakat Bali pada masa itu, salah satunya
adegan berburu di hutan. Dari penjelasan di atas
dapat disimpulkan bagaimana karya seni rupa Bali i.
sesungguhnya sudah dimulai sejak era Bali Kuno. Karya Nang Ramis dari Kamasan
Klungkung tahun 1678.
Masuknya Pengaruh Majapahit ke Bali dan
Berkembangnya Seni Lukis Wayang

Masuknya pengaruh Majapahit ke Bali dimulai


pada abad ke-14 M. Hal ini ditandai dengan
hadirnya pusat kerajaan di Samprangan,
Gianyar lalu berpindah ke Gelgel dan kemudian
Klungkung. Inilah babak sejarah yang menarik
terkait dengan perkembangan seni rupa di Bali.
Pada era ini istilah sangging mulai dikenal,
melengkapi istilah undagi yang muncul pada
era sebelumnya. Sangging mengacu pada profesi
pelukis, pemahat, dan pematung. Selain itu, pada
era ini perkembangan seni lukis wayang Kamasan
mulai berkembang di Klungkung, terutama saat
pemerintahan Raja Dalem Waturengong.

Ada beberapa pendapat mengenai asal muasal


gaya lukis Kamasan. Berdasarkan tema dan bentuk
seni lukisnya, wayang Kamasan merupakan
perkembangan dari seni gambar Prasi. Prasi
adalah seni melukis wayang di atas daun lontar.
Pendapat lain menyebutkan bahwa seni lukis
wayang Kamasan berasal dari wayang kulit, dilihat
dari tampilan visual wayang Kamasan yang sangat
mirip dengan tampilan wayang kulit. Hal ini juga
diperkuat di dalam Babad Dalem, sebuah catatan
sejarah yang berpadu dengan mitos dan legenda
dan menelusuri kerajaan-kerajaan di Bali kembali
ke akar Jawa yang dipengaruhi Majapahit. Dalam

010
Seni Rupa Bali dalam Bentang Sejarah

secarik teks Babad Dalem, dikisahkan bahwa Raja Sri Dalem Semara Kepakisan dari
Kerajaan Gelgel pernah pergi ke Majapahit dan pulangnya membawa beberapa pusaka
dari sana. Salah satunya adalah keropak (kotak penyimpan wayang) yang berisi wayang
kulit. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa wayang yang dibawa dari Majapahit,
Jawa Timur inilah yang kemudian menginspirasi para sangging (pelukis) di Kamasan
dalam menghadirkan karya lukisan wayang.

Perkembangan seni lukis wayang Kamasan berikutnya terjadi di abad 17 pada masa
pemerintahan Raja Dewa Agung Jambe, di samping terjadi perpindahan pusat
pemerintahan dari Gelgel ke Klungkung. Ketika itu wayang Kamasan dilukis antara
lain pada kain penghias pura (kain Ider–Ider, Langse, dan Wastra) dan papan parba
(papan kayu yang dilukis atau diukir dan diletakkan di atas bale atau ranjang).
Tintanya pun menggunakan pewarna alam, seperti tanah pere (untuk warna cokelat),
gincu Cina (merah), tulang daging babi (putih), dan getah manggis (kuning).
Keterkaitan antara perkembangan seni lukis wayang gaya Kamasan dengan Puri
Keraton di Klungkung sangatlah erat. Hal ini bisa dilihat dari peninggalan bangunan
di Taman Kertagosa yang merupakan peninggalan era Kerajaan Klungkung. Di langit-
langit bangunan Kertagosa terdapat banyak lukisan wayang Kamasan.

Seni lukis wayang yang berasal dari Kamasan, Klungkung ini kemudian berkembang
ke berbagai daerah di Bali. Oleh karena itulah seni lukis ini disebut “Wayang
Kamasan”. Hal ini terjadi karena pada masa kerajaan di Bali, Klungkung adalah
pusat atau kerajaan tertinggi di Bali. Selain di Klungkung, seni lukis wayang juga
berkembang di beberapa wilayah di Bali seperti di Kerambitan, Buleleng, Karangasem,
dan Gianyar. Perkembangan seni lukis pada masa kerajaan Bali sejak abad ke 14 M
sampai akhir abad ke 19 M tak lepas dari peran dan kiprah para sangging dan undagi.

Peran sentral seorang sangging dalam kebudayaan masyarakat Bali adalah sebuah
bentuk ngayah (pengabdian). Pengabdian yang dimaksud adalah pengabdian
undagi dan sangging kepada puri (keraton raja) dan pura (agama). Sistem sosial
yang komunal—secara bersama—di dalam masyarakat Bali menjadikan sangging
dan undagi sebagai profesi yang terhormat. Sebab, perannya sangat penting dalam
kehidupan sosial masyarakat Bali yang kental dengan ritual-ritual Hindu.

Posisi sangging maupun undagi dalam masyarakat Bali dimaknai sebagai bagian dari
swadharma (kewajiban), yakni bentuk ngayah ring desa lan puri (pengabdian kepada
masyarakat dan keraton) serta ngayah ring ida bentara (pengabdian kepada kehidupan
religi). Pandangan inilah yang melandasi konsep kesenian para seniman tradisional
Bali, termasuk Lempad yang akan menjadi fokus pembahasan buku ini.

Lempad lahir dan tumbuh di dalam ruang kultural masyarakat Bali yang memaknai
kesenian sebagai bentuk pengabdian kepada ruang sosial. Yang menarik pada sosok
Lempad adalah posisi dirinya sebagai seniman yang tumbuh dengan konsep kesenian
di dalam ruang kultural Bali, dan kemudian bertemu dengan pandangan kesenian
Barat yang dibawa oleh seniman Eropa yang datang ke Bali pada masa kolonial.
Lempad adalah generasi seniman Bali awal yang merasakan bagaimana kesenian yang
selama ini dilandasi oleh pandangan komunal. Bahwa seni adalah bagian dari ritual,
kemudian berhadapan dengan pemahaman baru soal seni dalam pandangan modern
(Barat) yang bersifat personal, di mana terjadi pemisahan antara seni dengan ritual
keagamaan.

011
I Gusti Nyoman Lempad

Bab 2
Pita Maha: Tonggak Awal Seni Rupa Modern di Bali

Pada 10 November 1936 digelar sebuah pameran dari luar negeri. Kelompok Pita Maha mewadahi
para seniman Bali berjudul Pita Maha di interaksi antara seniman Bali dengan seniman luar
Bataviasche Kunstkring, Jakarta. Pameran ini negeri, di mana menumbuhkan kesadaran baru
diikuti oleh pelukis dan pematung dari beberapa kepada seniman-seniman lokal. Karya-karya yang
daerah di Bali, antara lain Ida Bagus Njana, Ida mulai dikenal dan dikoleksi oleh para kolektor
Bagus Putu Mas, I Grembuang , Ida Bagus Ketut mancanegara menjadi hal yang baru bagi seniman
Bawa (Desa Mas, Ubud); Ida Bagus Nyoman Bali ketika itu. Sedikit demi sedikit mereka
Rinteg, Dewa Kompiang Kintun, I Reneh, I menyadari bahwa ternyata aktivitas berkesenian
Tomblos, Ida Bagus Djatasura, Dewa Kompiang juga mengandung nilai ekonomi karena ada
Kandel, Ida Bagus Tiba (Desa Batuan, Sukawati); keuntungan finansial yang bisa didapatkan di
I Gusti Nyoman Lempad, Ida Bagus Made, I dalamnya. Walaupun demikian, hal tersebut tak
Pundut, I Sandeh, Ida Bagus Made Kembeng, lantas membuat seniman Bali meninggalkan
Ida Bagus Nioman, Gusti Ketut Kobot, Anak sepenuhnya pemahaman akan kesenian sebagai
Agung Sobrat (Kota Ubud); Gusti Gede Raka sarana pengabdian kepada keraton maupun
(Desa Peliatan, Ubud); Ida Bagus Nadera, Gusti keagamaan. Mereka tetap dapat memilah dan
Dokar, Ida Bagus Nyoman Gede (Desa Bedulu, menjalankan praktik kesenian mereka untuk
Blahbatu); I Gusti Made Deblog (Denpasar), masyarakat adat (bersifat komunal) sembari
A.A. Putu Raka, Ida Bagus Rai Pidada, Ida Bagus menjalankan profesi sebagai seniman (bersifat
Pugeh (Sanur); Ida Bagus Nyoman Rai Griya dan individual).
I Pungkur (Sibang Kaja, Badung); dan Ida Bagus
Gelgel, I Dogol, dan Nang Seken (Kamasan Kehadiran Pita Maha juga berpengaruh pada
Klungkung). perubahan visual dan tematik karya-karya
seniman Bali. Penggambaran manusia atau
Seri pameran Pita Maha rutin digelar di hewan yang lebih anatomis (memperhatikan
Bataviasche Kunstkring dan Bandoengsche struktur bentuk), realis (memperhatikan ketepatan
Kunstkring pada 1937, 1938, 1939, 1941, dan terhadap kenyataan), dan bervolume (bertumpu
1946. Pemerintah Belanda sendiri pernah pada kedalaman ruang) adalah perubahan
mempromosikan seni rupa Indonesia—termasuk visual yang terlihat dari karya-karya seniman
Bali—ke Amerika dalam pameran bertajuk Pita Maha. Hasil karya-karya kelompok yang
Indonesian Art: A Loan Exhibition from the Royal berpusat di Ubud ini tampak berbeda dengan
Indies Institute di New York (1948) dan Chicago gaya lukisan Kamasan yang cenderung lebih
(1949). dekoratif, yang bersifat datar, pipih, dan tanpa
volume. Di samping itu, karya-karya seniman
Dalam sebuah pengantar pameran yang ditulis Bali yang sebelumnya banyak menghadirkan tema
oleh J.Kats, tercatat bagaimana Pita Maha pewayangan ataupun cerita rakyat mulai beralih ke
terbentuk. Kelompok ini diprakarsai oleh adik tema keseharian.
Raja Bali kala itu, yaitu Tjokorda Gde Agung
Soekawati bersama I Gusti Nyoman Lempad, Kehadiran tema keseharian di dalam perjalanan
Rudolf Bonnet (seniman Belanda), dan Walter seni rupa Bali sebetulnya sudah muncul sebelum
Spies (seniman Jerman). lahirnya Pita Maha, misalnya terlihat dari
peninggalan relief Yeh Pulu pada masa Bali
Sejak Pita Maha berdiri dan gencar melakukan Kuno seperti yang sudah disinggung di bab
pameran-pameran, karya-karya seniman Bali sebelumnya. Atau karya seniman-seniman
mulai dikenal dan dikoleksi oleh para kolektor Brahmana di Tampaksiring yang dilihat Bonnet

012
Pita Maha: Tonggak Awal Seni Rupa Modern di Bali

i.
I Gusti Nyoman Lempad dan
anggota Pita Maha.

013
I Gusti Nyoman Lempad

ketika mengunjungi tempat ini pada 1929. perubahan di dalam segi estetis terhadap perkembangan seni lukis
Mereka menggambar tentang Ngaben dan Bali era Pita Maha.
persiapan upacara. Namun, perkembangan tema
keseharian secara masif terjadi ketika berdirinya Menurut kurator seni Wayan Sriyoga Parta, gaya lukis Pita Maha
Pita Maha. Sejak adanya Pita Maha, banyak yang modern—dengan kehadiran wujud realis—sebenarnya
seniman Bali, khususnya yang bermukim di Ubud, berkaitan dengan konsep dasar seni tradisional Bali yang bersumber
mengembangkan gaya lukisan yang cenderung dari spirit Hindu Bali. Hindu Bali adalah praktik agama Hindu
realis dengan tema keseharian. Oleh beberapa oleh masyarakat Bali dengan penggabungan kepercayaan Hindu dan
kalangan, kecenderungan visual ini kerap disebut kepercayaan asli di Bali. Dalam konsep dasar tersebut, ada semacam
sebagai lukisan gaya Pita Maha atau gaya Ubud. keinginan untuk menampakkan sesuatu yang abstrak dan imajiner
ke dalam wujud nyata. Hal ini dapat dilihat dari patung dewa-dewa,
Di tengah berkembangnya seni lukis gaya Pita Barong, serta Rangda sebagai wujud representatif spirit Hindu
Maha atau Gaya Ubud ini hadirlah sosok Bali. Wujud-wujud yang disakralkan oleh masyarakat Bali tersebut
I Gusti Nyoman Lempad yang cukup menarik adalah usaha merealisasikan sesuatu yang abstrak dari nilai-nilai
perhatian sebab ia hadir dengan karya yang sedikit ajaran Hindu Bali. Wujud-wujud tersebut mengandung sekumpulan
berbeda dari arus utama gaya Pita Maha. Dalam makna simbolis. Itulah kecenderungan realisme dalam seni rupa
karya-karyanya, Lempad menghadirkan tema tradisional Bali yang berbeda dari realisme seni rupa di Barat, di
keseharian masyarakat Bali dengan figur yang mana berdasar pada kaidah mimesis Aristoteles (meniru dari alam).
anatomis, sesuai dengan kecenderungan sebagian
besar seniman Pita Maha kala itu. Namun bila Patung dan arca dalam seni rupa Bali berperan sebagai jalan atau
dilihat lebih seksama, beberapa figur di dalam perantara bagi pemahaman tentang konsep Hindu Bali. Dalam
karya-karya Lempad, terutama yang bertema konteks ini realitas tidak mengandung konsep material (yang fisik
pewayangan, terlihat jelas adanya pengaruh visual dan terlihat), melainkan relasi terhadap konsep abstrak dan imajiner.
sebelum era Pita Maha, semacam gaya lukisan Konsep realisme dalam seni rupa tradisional Bali inilah yang
wayang Kamasan. tampaknya masih melandasi konsep berkarya para seniman Bali era
Pita Maha. Realisme yang dihasilkan dari persentuhan seniman Bali
Lempad menghadirkan karya-karya yang sebagian dengan seniman Barat di kelompok Pita Maha bukan pada bentuk
besar berwarna hitam putih dengan ketegasan formal dan bahasa rupanya saja, sebab narasi dan nilai-nilai tradisi
garis dan menyisakan bidang kosong di latar masih menjadi hal yang terkandung di dalam karya.
belakang karyanya. Sesekali ia menerapkan
teknik sigar mangsi yang banyak diterapkan untuk Aktivitas kelompok Pita Maha mulai terhenti setelah Walter
pewarnaan lukisan-lukisan wayang Kamasan. Spies meninggal pada 1942 dan Rudolf Bonnet ditangkap dan
Teknik sigar mangsi adalah teknik gradasi yang diasingkan oleh Jepang. Namun, setelah kemerdekaan, tepatnya
dibuat bertahap, dari terang ke gelap maupun dari 1946, Bonet kembali lagi ke Ubud dan sepakat bekerja sama dengan
satu warna ke warna lain. Tapi, Lempad tidak sahabatnya, Tjokorda Gde Agung Soekawati selaku Raja Ubud,
menerapkan teknik sigar mangsi seperti yang biasa untuk mendirikan sebuah museum di Ubud. Museum ini bernama
dilakukan dalam pewarnaan wayang Kamasan. Museum Puri Lukisan dan masih buka sampai sekarang. Lempad
Ia justru mencampurkan air ke dalam tinta cina sendiri adalah arsitek Museum Puri Lukisan. Pembangunannya
sebagai material utama. Oleh karena itu, teknik ini dimulai pada 1953 dan selesai pada 1956. Museum ini diresmikan
juga disebut teknik pelapisan tinta cina. Gradasi oleh Mohammad Yamin, yang ketika itu menjabat sebagai Menteri
warna di karya-karya Lempad dihadirkan dengan Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953-1955). Setelah
cara menumpuk secara bertahap, lapis demi lapis berdiri museum Puri Lukisan, kreativitas pelukis di seputaran Ubud
sehingga bagian yang paling sering tertimpa tinta semakin dinamis. Saat Pita Maha vakum pada 1956, Lempad
akan menjadi bagian yang paling gelap. menjadi sosok yang berkontribusi dalam pendirian Golongan
Pelukis Ubud, sebuah kelompok yang menghimpun para seniman
Penerapan teknik sigar mangsi untuk muda setelah era Pita Maha. Lempad adalah pembina kelompok
menghadirkan gradasi warna (dalam gelap-terang) tersebut.
inilah yang membuat karya-karya Gusti Nyoman
Lempad secara visual menjadi berbeda dengan
karya-karya para seniman Bali di kelompok Pita
Maha. Walau, karya-karya Lempad secara tema
maupun anatomi figur menunjukkan terjadi

014
Pita Maha: Tonggak Awal Seni Rupa Modern di Bali

ii

i.
Walter Spies (1895-1942).
ii.
Rudolf Bonnet (1895-1978).

015
I Gusti Nyoman Lempad

016
i
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

Bab 3
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

Masa Kanak-Kanak Lempad di Desa Bedulu

I Gusti Nyoman Lempad lahir di Dusun Lebah, Desa Bedulu,


Blahbatuh, Gianyar sekitar tahun 1862. Lempad adalah bungsu
dari tujuh orang bersaudara dengan dua ibu. Ayahnya adalah Gusti
Mayukan atau juga dikenal dengan nama Gusti Sedahan. Sedahan
adalah istilah jabatan dalam sistem subak atau sistem pengairan di
Bali. Gusti Mayukan menikah dua kali. Istri pertamanya melahirkan
empat anak. Anak pertama dan kedua meninggal dunia saat masih
kanak-kanak sehingga tersisa dua anak saja dari istri pertama.
Mereka adalah I Gusti Nyoman Togog dan I Gusti Ketut Gewar.
Selanjutnya, istri kedua melahirkan tiga orang anak. Anak pertama
juga meninggal dunia saat remaja sehingga menyisakan dua anak
lagi, yakni Gusti Lempod dan I Gusti Nyoman Lempad.

Selain berprofesi sebagai sedahan, Gusti Mayukan adalah seorang


sangging, undagi, dan balian. Sangging—seperti yang telah
disinggung di bab sebelumnya—adalah istilah dalam bahasa Bali
yang artinya perupa (pelukis, pengukir, atau pematung), undagi
adalah arsitek bangunan tradisional Bali, sedangkan balian adalah
ahli pengobatan tradisional Bali atau dukun. Berbagai profesi
yang digeluti Gusti Mayukan membuat ia dan keluarga besarnya,
termasuk Lempad, menduduki posisi sosial yang cukup terpandang
di masyarakat desa mereka di Bedulu. Sebagai seorang sangging dan
undagi, Mayukan tentu saja sangat mumpuni dalam seni rupa dan ii
arsitektur tradisional. Tidak hanya mahir dari segi praktik, Mayukan
juga dikenal sangat fasih dan ahli dalam memahami ilmu arsitektur
Bali yang terkandung di kitab-kitab tradisional Bali, misalnya kitab
lontar yang ditulis dengan aksara Bali.

Kitab Bali yang khusus membahas dunia undagi adalah kitab


Asta Kosala Kosali dan kitab Asta Bumi. Meski terhitung sebagai
kitab agama, dua kitab ini juga berisi tata aturan kehidupan sosial,
terutama tentang bangunan rumah dan pura. Ada pula kitab Aji
Janantaka yang membahas berbagai jenis kayu dan peruntukkannya
dalam membuat bangunan-bangunan Bali. Sebagai seorang
balian, ayah Lempad menguasai seluk-beluk ilmu pengobatan
yang ada dalam kitab Usada (kitab tentang ilmu pengobatan)
serta aji kawisesan atau kadyatmikan (ilmu magis dan mistisisme
Bali). Berbagai keahlian yang dikuasai Gusti Mayukan diturunkan i.
secara langsung pada anak–anaknya, khususnya Lempad. Lempad I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978).
kemudian menunjukkan minat dan bakat yang besar pada dunia ii.
sangging dan undagi. Sosok I Gusti Mayukan,
ayah I Gusti Nyoman Lempad.

017
I Gusti Nyoman Lempad

Proses belajar inilah yang menempa Lempad Lempad di Ubud dan Terasahnya Bakat Sang Seniman
hingga menjadi seniman besar kelak, di mana
ia mengenal dunia sangging dan undagi melalui Sesampainya di Ubud, Lempad dan keluarga diterima dengan baik
praktik langsung. Gusti Mayukan adalah ayahanda oleh penguasa Kerajaan Ubud yang saat itu tengah membutuhkan
sekaligus guru Lempad. Masa kanak-kanak banyak sangging dan undagi untuk membangun istana. Raja Ubud,
Lempad ditandai dengan terjadinya persaingan yang ketika itu bernama Dalem Sukawati, kemudian memberikan
antar kerajaan kecil di Bali. Ketika Lempad sebidang tanah di sebelah timur puri Kerajaan Ubud. Di Ubud
berusia 10 tahun, warga Desa Pejeng, sebuah inilah Lempad memiliki ruang dan kesempatan untuk semakin
desa di sebelah utara Desa Bedulu, terkena mengasah kemampuan dirinya sebagai seorang sangging dan
grubug (penyakit). Dalam pandangan masyarakat undagi. Di bawah bimbingan Gusti Mayukan, Lempad muda mulai
tradisional Bali, grubug disebabkan karena menguasai seluk-beluk dunia kesenian. Selain di bawah bimbingan
gangguan ilmu hitam. Masyarakat Bali percaya langsung dari sang ayah, Lempad juga diminta oleh Dalem
bahwa dibutuhkan benda sakral sebagai simbol Sukawati untuk belajar kepada para undagi dan Brahmana yang ada
kekuatan positif untuk menetralisir pengaruh di lingkungan Puri Ubud.
buruk dari ilmu hitam si penyebab grubug. Maka,
mereka meminta pertolongan Gusti Mayukan Semakin hari Kerajaan Ubud semakin kuat secara politis. Wilayah
untuk membuat Barong (figur pemimpin pasukan kekuasaannya meluas sampai ke berbagai wilayah di sekitarnya.
kebaikan yang berkaki empat dengan kepala Pada masa itu pembangunan puri terus berlangsung dan Lempad
singa) dan Rangda (ratu para penyihir jahat) semakin mendapatkan kepercayaan sebagai parekan (abdi kerajaan)
sebagai simbol untuk melindungi desa dari grubug. yang khusus membidangi urusan sangging dan undagi kerajaan.
Lempad kecil terlibat membantu sang ayah dalam Setelah berusia 20 tahunan lebih, Lempad menikah dengan I Gusti
membuat simbol-simbol suci berupa Barong dan Nyoman Dapet. Tanggal pernikahan Lempad tidak diketahui secara
Rangda itu. pasti, tapi ia ingat bahwa pernikahannya terjadi sebelum Gunung
Krakatau meletus pada 1883. Mereka kedua tidak mendapat
Keterlibatan Gusti Mayukan dan Lempad dalam keturunan sehingga atas saran Dapet, Lempad diminta untuk
pembuatan Barong di Desa Pejeng menyebabkan mempersunting adik Dapet sendiri, I Gusti Rai Tindih, sebagai
kesalahpahaman dari beberapa orang di tempat istri kedua Lempad. Dari perkawinan itu lahirlah tujuh anak, yakni
tinggalnya, yakni di Desa Bedulu. Saat itu Desa I Gusti Putu Sumeng, I Gusti Made Sumung, I Gusti Nyoman
Bedulu adalah bagian dari Kerajaan Blahbatuh Galungan, I Gusti Ketut Engsek, I Gusti Putu Oka, I Gusti Made
yang sedang mengalami hubungan kurang Kerti, dan seorang lagi yang meninggal dunia pada saat usia anak
harmonis dengan Kerajaan Pejeng. Muncullah anak.
prasangka bahwa keluarga Lempad berkhianat
dengan memihak ke Kerajaan Pejeng yang saat itu
adalah seteru dari Kerajaan Blahbatuh. Hukuman
atas tuduhan pengkhianatan jatuh kepada mereka.
Untuk menghindarinya, keluarga ini melarikan
diri dari wilayah kerajaan Blahbatuh menuju
kerajaan Ubud atas saran dari seorang sahabat.
Kerajaan Ubud ketika itu tengah membangun
istananya.

i.
Sosok Raja Ubud.
ii.
I Gusti Nyoman Lempad dan
Gusti Rai Tindih.

018
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

iii

019
I Gusti Nyoman Lempad

020
iii
i

ii

iv
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

Demikianlah Lempad memasuki fase hidup berumah tangga.


Lempad juga menurunkan bakat seninya kepada anak dan cucunya.
Salah satu anaknya, I Gusti Made Sumung (alm.), berperan penting
dalam memasarkan karya-karya Lempad kelak. Sumung menguasai
bahasa asing dengan baik sehingga ia dapat berkomunikasi dengan
calon pembeli karya-karya Lempad, terutama orang Eropa yang
datang ke Ubud. Ada juga I Gusti Putu Oka, anak perempuan
Lempad yang juga kerap mendampingi dan membantu sang ayah
melukis. Salah satu cucu Lempad yang merupakan anak Gusti
Made Sumung, I Gusti Nyoman Sudara, memiliki bakat yang
menonjol dalam bidang seni rupa. Sudara didorong Lempad untuk
melanjutkan profesi sangging dan undagi yang digelutinya. Sejak
kecil Sudara sudah mengikuti dan melihat bagaimana keseharian
Lempad dan bagaimana ia berkarya. Lempad berupaya menurunkan
pengetahuan sangging dan undagi kepada anak cucunya.

Cara Lempad dalam mendidik anak cucunya masih dapat kita


lihat di rumahnya di Banjar Taman, Ubud. Di rumah ini terdapat
bangunan-bangunan pelinggih (altar pemujaan) di merajan (kuil
keluarga), di mana banyak ornamen pada bangunan tersebut yang
sengaja tidak diselesaikan Lempad. Hal ini merupakan cara Lempad
mendidik keturunannya untuk langsung mencoba dan belajar
menyelesaikan ornamen tersebut. Sistem pembelajaran dengan v
model seperti ini tidak hanya dilakukan Lempad pada anak cucunya,
tapi terlihat juga pada sebagian besar sangging dan undagi lainnya di
Bali.

Sebagai seorang undagi dan sangging, Lempad telah melahirkan


banyak karya arsitektur, patung, relief sampai bade (sarana
pengusungan jenazah saat upacara Ngaben). Salah satu karya
Lempad yang menarik adalah Patung Leluhur yang ia dedikasikan
untuk para leluhurnya. Patung yang terbuat dari batu padas putih
itu disimpan di merajan Lempad di Bedulu. Patung Leluhur menjadi
menarik karena Lempad menghadirkan karya yang tak lazim
dihadirkan dalam tradisi pematungan di Bali, yakni patung berobjek
leluhur. Dalam tradisi masyarakat Bali, sosok leluhur sangat jarang i.
dibuat patungnya dan dijadikan sarana pemujaan di pura keluarga. I Gusti Nyoman Lempad bersama anak
Sebenarnya, dalam sejarah kebudayaan Bali tradisi pengarcaan lelakinya Gusti Sumung, menantunya,
tokoh atau figur tertentu pernah dilakukan pada masa Bali Kuno, di dan cucu-cucunya.
mana ditemukan beberapa arca perwujudan raja-raja di situs-situs ii.
bersejarah di Bali. Setelah era Bali Kuno, tradisi pengarcaan seorang Pohon Keluarga Lempad karya Gusti
tokoh raja ataupun leluhur yang telah meninggal sangat jarang Nyoman Sudara.
dilakukan. iii.
Salah satu bangunan Pura Pengastulan
di Bedulu yang merupakan karya
I Gusti Nyoman Lempad.
iv.
Salah satu bagian ornamen berupa kepala
naga yang sengaja tak diselesaikan
I Gusti Nyoman Lempad.
v.
Arca yang didedikasikan I Gusti Nyoman
Lempad untuk para leluhurnya.

021
I Gusti Nyoman Lempad

Dalam ritual Ngaben serta Meligia (upacara setelah Ngaben),


perwujudan leluhur dibuat sangat simbolik dalam bentuk sesajen.
Simbol sesajen ini dapat ditemukan di dalam upacara Ngelinggihan
Dewa Hyang, salah satu prosesi pokok Meligia, sebagai tahapan
pembersihan roh leluhur agar naik tingkat menjadi dewa. Bentuknya
adalah janur yang dilengkapi hiasan. Maka, pemakaian patung
sebagai simbol leluhur sangat jarang ditemui dalam tradisi Bali.
Apa yang Lempad lakukan dengan membuat Patung Leluhur adalah
bentuk lompatan kreativitas di dalam ruang religi dan tradisi.
Lempad menghadirkan sesuatu yang tak lazim dalam tradisi yang
berkembang di lingkungannya. Yang menarik pula dicermati adalah
daya imajinasi Lempad dalam menghadirkan sosok leluhurnya yang
telah meninggal.

Selain patung-patung yang ada merajan, Lempad juga merancang


bangunan serta membuat beberapa patung di Pura Taman Saraswati.
Pura ini dibangun oleh Raja Ubud pada 1948 sebagai rasa syukur
dan penghormatan kepada Dewi Saraswati, dewi pengetahuan dan
kesenian dalam kepercayaan Hindu Bali. Lempad membuat sebuah
patung yang merupakan perwujudan dari Jero Gede Mecaling, sosok
penguasa Laut Selatan Bali yang diyakini sebagai sosok sungsungan
atau pujaan para balian (sebutan untuk dukun di Bali). Lempad juga
merancang dan mengawasi pembangunan ukiran pada pelinggih
padmasana atau tempat sembahyang dan menaruh sesajen di pura
sebagai penghormatan terhadap Dewa Siwa (dewa tertinggi dalam
i kepercayaan Hindu Bali). Tak hanya di Pura Taman Saraswati,
Lempad juga banyak merancang komponen-komponen bangunan
pura, termasuk ukiran dan patungnya, yang berada di sekitar Ubud,
Bedulu—kampung halamannya—dan beberapa bagian kerajaan
di Gianyar. Lempad juga membuat topeng, Barong, bade (menara
pengusung jenazah dalam upacara Ngaben) dan petulangan (boneka
berbentuk binatang lembu, singa, dll. dalam upacara Ngaben).

i.
Patung Ratu Gede Mecaling karya I Gusti
Nyoman Lempad di Pura Taman Kemuda
Saraswati, Ubud, Bali.
ii.
Karya I Gusti Nyoman Lempad berupa
pintu Gerbang pura di kampung
halamannya di Bedulu, Bali.
iii.
Sketsa pintu gerbang pura.
iv.
Relief Sutasoma karya I Gusti Nyoman
Lempad di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Bali.
v.
Miniatur bade (menara pengusung jenazah)
karya I Gusti Nyoman Lempad.
vi.
Bade dalam sebuah upacara ngaben di Bali.

022
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

ii iii

iv v vi

023
I Gusti Nyoman Lempad

ii

i.
I Gusti Nyoman Lempad sedang membuat
Naga Banda (boneka naga yang dipakai saat
upacara Ngaben).
iii ii.
I Gusti Nyoman Lempad sedang membuat
topeng barong.
iii.
Topeng barong karya I Gusti Nyoman
Lempad yang belum selesai.
iv.
Beberapa karya I Gusti Nyoman Lempad
berupa karya tatahan di atas kertas.
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu
cucu I Gusti Nyoman Lempad,
Gusti Sutedja.

024
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

iv

Di samping itu, Lempad menghasilkan karya-karya ornamen berupa


tatahan di kertas ataupun di kulit. Karya yang dikerjakan dengan
teknik macal (istilah Bali untuk menatah) ini sekilas seperti teknik
pembuatan wayang kulit. Tapi, karya tersebut tidak diperuntukkan
sebagai wayang kulit yang bisa dimainkan oleh dalang. Menurut
Gusti Suteja, salah satu cucu Lempad, karya tersebut dirancang oleh
Lempad untuk hiasan saka (tiang penyangga bangunan Bali).

025
I Gusti Nyoman Lempad

Lempad juga membuat karya berupa sketsa-sketsa di atas kertas


tentang ornamen atau ukiran pada bangunan tradisional Bali.
Yang menarik dari beberapa sketsa tersebut adalah adanya upaya
Lempad untuk mengembangkan bentuk ornamen baru yang belum
pernah ada dan dikenal masyarakat Bali. Ornamen umum yang
di-stilisasi (digayakan) dari bentuk binatang tertentu di Bali antara
lain burung, gajah, boma (muka raksasa), dan sebagainya. Ornamen-
ornamen tersebut oleh Lempad dikembangkan dengan menciptakan
ragam bentuk yang lain, misalnya dengan membuat desain gambar
ornamen yang diolah dari bentuk binatang tikus.

Beberapa contoh di atas menunjukkan Lempad adalah sosok


seniman dengan kreativitas yang terus bergerak. Lempad mencoba
untuk mengembangkan karya tradisional yang cenderung terikat
dengan pakem. Aneka ragam obyek tradisi yang sudah ada digubah
Lempad bukan menjadi bentuk warisan yang beku. Ia berani
berkreativitas mengembangkan bentuk-bentuk baru sehingga
menjadikan tradisi sebagai sesuatu yang dinamis dan terus bergerak.
Sikap dan laku kreativitas inilah yang merupakan warisan yang i.
berharga dari seorang Lempad. Desain ornamen inovatif I Gusti Nyoman
Lempad berupa stilasi bentuk tikus.
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu
cucu I Gusti Nyoman Lempad,
Gusti Sutedja.

026
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

Interaksi Lempad dengan Seniman Barat

Bali menjadi wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia


Belanda setelah Perang Puputan antara beberapa kerajaan Bali
melawan Belanda (1846-1849). Bali dengan segala keunikan
budayanya dirancang dan dikembangkan menjadi daerah tujuan
pariwisata oleh pemerintah kolonial. Dengan berbagai program
dan promosi wisata ke luar negeri, Bali akhirnya semakin dikenal
di dunia internasional dan membuat banyak wisatawan luar negeri
tertarik mengunjungi Bali.

Selain kedatangan wisatawan, ada pula seniman Barat yang datang


karena tertarik untuk melihat dan mempelajari lebih jauh tentang
kebudayaan Bali. Di antaranya adalah Walter Spies dan Rudolf
Bonnet. Mereka adalah seniman Barat yang sering berinteraksi
dengan para seniman di Bali kala itu, termasuk dengan Lempad.

Walter Spies adalah pelukis berkebangsaan Jerman. Spies


berkunjung ke Puri Ubud pada April 1925. Ia kembali lagi dan
memutuskan untuk menetap di Bali pada 1927. Awalnya ia tinggal
di lingkungan Puri Ubud sehingga berdekatan dengan rumah
Lempad yang terletak tak jauh dari sana. H.I.R Hinzler, seorang
professor Kajian Asia Tenggara Universitas Leiden, Belanda, dalam
salah satu tulisannya menjelaskan bagaimana awalnya Lempad
mulai melukis di atas medium kertas akibat perkenalannya dengan
Walter Spies. Data ini didapatkan Hinzler berdasarkan penuturan
dari Gusti Made Sumung, putra Lempad.

Berikut adalah ringkasan cerita dari Sumung yang ditulis Hinzler.


Suatu hari ketika Spies mengunjungi rumah Lempad, Spies
mendengar ada suara kerumunan orang di luar yang sedang
melewati tanah kremasi. Ia lalu berlari ke arah datangnya suara
untuk melihat apa yang sedang terjadi. Ketika Spies kembali ke
rumah Lempad, ia mulai membuat beberapa sketsa di atas kertas
dari apa yang telah dilihatnya. Atas rasa penasaran, Lempad
bertanya apa yang sedang Spies lakukan. Lempad sangat tertarik
dengan cara Spies menggunakan kertas dan meminta izin untuk
mencobanya sendiri. Spies pun terkesan dengan keindahan yang
luar biasa dari gambar pertama Lempad dan mendorongnya untuk
membuat lebih banyak setiap kali mereka bertemu.
Spies-lah yang memperkenalkan Lempad tentang kertas sebagai
medium gambar atau lukis. Berdasarkan cerita tersebut, dapat dilihat
bahwa Spies tidak mengajarkan langsung praktik menggambar ala
kesenian Barat kepada Lempad. Lempad melukis dengan cara Bali
dengan ciri khas seperti tahapan ngorten (membuat sketsa), nyawi
(memberikan kontur), dan nyigar (pemberian gradasi warna dari
terang ke gelap).

Karya-karya Lempad secara visual masih memperlihatkan jejak seni


lukis Wayang Kamasan, namun yang ditonjolkan adalah kekuatan
garis yang cenderung hitam putih. Tema-tema karyanya pun tak
lagi terbatas pada wayang, namun memasukkan tema keseharian.
Unsur bentuk pada karya-karya Lempad mulai memperlihatkan

027
I Gusti Nyoman Lempad

kecenderungan anatomis jika dibandingkan adalah proyek ambisius pemerintah kolonial yang
dengan karya lukisan Kamasan yang lebih membuat paviliun Hindia Belanda di ajang Paris
dekoratif. Selain itu, karya Lempad juga tak Colonial Exposition pada 1931. Di sana, pelukis
seperti karya pelukis gaya Ubud lain yang penuh Ida Bagus Made Kembeng (1897-1952) mendapat
sesak dengan objek. Ia justru menghadirkan diplôme de médaille d’argent atau penghargaan
bidang kosong sebagai latar belakang. Inilah ciri medali perak.
khas karya-karya Lempad yang membuatnya
tampak berbeda dengan pelukis seangkatanya. Berikutnya, pemerintah Belanda, melalui sosok
pelukis Rudolf Bonnet, menggelar pameran rutin
Selain soal medium kertas dan tema keseharian, seni rupa Bali. Pameran yang dilaksanakan antara
interaksi Lempad dengan Spies dan Rudolf lain Balische Kunst (Seni Rupa Bali) di Batavia
Bonnet—seniman Barat yang datang ke Bali Centrum (sekarang: Jakarta Pusat) pada 1934 dan
pada 1929—menumbuhkan cara pandang baru pameran Pita Maha di Bataviasche Kunstkring
kepada Lempad dan para seniman Bali di masa pada 1936.
itu. Sebelumnya, mereka membuat karya dengan
berlandaskan semangat ngayah (kewajiban dan Melalui Pita Maha, karya-karya para seniman
pengabdian kepada masyarakat dan agama). Bali yang telah bersentuhan dengan pengaruh
Seiring interaksi seniman Bali dengan pelukis gaya seniman asing yang datang ke pulau ini jelas
Barat, yang juga memperkenalkan karya-karya makin dikenal di luar Bali, bahkan dunia. Di Bali,
mereka kepada para pelancong di Bali, mereka kelompok ini tidak hanya mempunyai anggota di
menemukan hal baru, yakni membuat karya juga Gianyar, namun juga di Denpasar dan Klungkung.
dapat menghasilkan pendapatan. Atau dengan Para seniman yang tergabung dalam Pita Maha
kata lain, timbul kesadaran tentang profesi dan dapat dikategorikan menjadi tujuh kelompok:
posisi sebagai seniman individu dan profesional
menurut pemahaman modern. 1. Kelompok Padang Tegal, dengan ketua Anak
Agung Gede Sobrat
Bisa dikatakan bahwa Lempad dan seniman 2. Kelompok Pengosekan, dengan ketua I Gusti
seangkatannya adalah para seniman Bali generasi Ketut Kobot
awal yang mulai bersinggungan dengan konsep 3. Kelompok Mas, dengan ketua I Ketut Roja
modern yang dibawa Barat. Jika sebelumnya 4. Kelompok Batuan, dengan ketua I Made Jata
karya-karya seni hasil karya seniman Bali bersifat 5. Kelompok Celuk, dengan ketua I Riyok
anonim (tanpa pencantuman nama), sejak era 6. Kelompok Denpasar, dengan ketua I Gusti
Lempad persoalan pencantuman nama atau Made Deblog
identitas seniman di dalam karya seni mulai 7. Kelompok Klungkung, dengan ketua Pan
muncul. Pencantuman nama di karya-karya (Nang) Seken.
Lempad banyak dilakukan oleh I Gusti Made
Sumung, putra Lempad. Sumung-lah yang Pita Maha memberikan kontribusi besar bagi
mencantumkan nama “Lempad” dengan aksara perkembangan seni rupa Bali selanjutnya.
Bali, mengingat Lempad tidak bisa membaca dan Seniman Bali mulai terinspirasi karya-karya Spies
menulis. dan Bonnet, yang kemudian mereka padukan
dengan gaya pewayangan Kamasan sampai
Pameran-pameran yang menghadirkan para melahirkan mazhab Pita Maha: karya-karya yang
seniman Bali ke luar pulau Bali, bahkan ke lebih realistik dengan tema kehidupan sehari-
luar negeri mulai gencar dilakukan setelah Bali hari serta komposisi yang padat, semua terisi,
menjadi daerah pemerintahan kolonial dan penuh dan sesak, sedikit ruang kosong. Lempad
masuknya pelukis Barat ke Bali. Semakin pesatnya lantas menjadi pengecualian. Ia terkenal berani
pemasaran karya-karya seniman Bali didukung membuat obyek atau figur dalam satu komposisi
oleh adanya permintaan terhadap karya-karya cerita dengan karakter garis yang tegas. Bidang
tersebut dari berbagai negara di Eropa. Hal ini tak ruangnya juga tidak padat seperti seniman
lepas dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda Bali lainnya. Inilah letak ciri khasnya, di mana
yang begitu gencar membuat program promosi Lempad menjadi sosok seniman yang mampu
seni dan budaya Bali. Salah satu contohnya menghadirkan karakter visualnya sendiri.

028
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

Melalui Pita Maha, karya-karya para


seniman Bali yang telah bersentuhan
dengan pengaruh gaya seniman asing yang
datang ke pulau ini jelas makin dikenal
di luar Bali, bahkan dunia.

029
I Gusti Nyoman Lempad

Ciri Khas Lukisan Lempad Berpulangnya Lempad dan


Kehadiran Penerus Lempad Kini
Kekuatan karya-karya Lempad terletak pada karakter garisnya
yang terlihat mengalir, seolah-olah dibuat dalam satu tarikan tanpa I Gusti Nyoman Lempad meninggal pada usia
terputus. Hal ini tidak lazim ditemukan pada lukisan tradisional 112 tahun, tepatnya 15 April 1978. Di usianya
Bali pada masa itu, terutama gaya Ubud, yang cenderung tak yang demikian panjang itu, ia telah melewati
membiarkan adanya bidang kosong. Lempad membuat karyanya banyak hal dalam hidupnya. Lempad merupakan
tampak berbeda dengan karya seniman Bali lainnya dengan sosok seniman yang hidup di tiga zaman: zaman
membiarkan latar belakang lukisannya kosong begitu saja. kerajaan, kolonial, dan kemerdekaan. Ia juga
Kepiawaian Lempad dalam menerapkan teknik sigar mangsi sosok yang teramat total mencurahkan hidupnya
atau teknik khusus dalam seni lukis Bali, yang menghadirkan pada kesenian, selaku seorang undagi, sangging,
gradasi warna secara berlapis dan bertahap, menghasilkan nuansa dan pelukis Bali generasi awal yang bersentuhan
monokromatik, hitam-putih yang magis. dengan dunia seni rupa Barat.

Pada beberapa karya Lempad terlihat adanya citraan yang unik, Lempad mewariskan nilai tentang dedikasi kuat
yakni kemunculan figur-figur bertubuh kurus dan panjang. Apa atas pilihan hidupnya sebagai seniman. Ia juga
yang dilakukan Lempad ini tentu mengundang tanda tanya tentang mewariskan nilai-nilai pendidikan yang luar
latar belakang apa yang mempengaruhi dirinya ketika melakukan biasa dalam karya-karyanya, yang berharga untuk
pemanjangan anatomi. Kita bisa menilik ini lebih lanjut melalui dipelajari generasi berikutnya. Selain itu, Lempad
karya-karya seni (tradisional) sebelumnya, misalnya pada bentuk juga menurunkan ilmunya kepada beberapa
penggambaran ornamen Cili di lamak. Cili adalah salah satu keturunannya. Sebagian cucu dan cicitnya kini
ornamen khas Bali yang berbentuk perwujudan Dewi Sri sedangkan tetap melanjutkan profesinya sebagai undagi dan
lamak adalah kain untuk menghias pintu altar pura. Terlihat sangging.
bagaimana ornamen Cili digambarkan dengan bentuk tangan
menjuntai hingga mendekati ujung kaki. Atau, kita bisa meniliknya
dari karya yang lebih personal, misalnya patung-patung buatan
Ida Bagus Nyana yang memperlihatkan pemanjangan anatomi
sebagai responnya terhadap karakter material kayu. Lantas, apakah
Lempad terpengaruh dari gaya ornamen Cili di lamak ataukah ada
keterkaitan antara karya Lempad dengan karya patung Ida Bagus
Nyana?

Menurut keterangan almarhum I Gusti Sumung, anak Lempad


sekaligus manajer yang memasarkan karya-karyanya, hadirnya
pemanjangan anatomi tersebut berkaitan dengan perubahan fisik
Lempad yang tidak lagi tegap seperti pada masa mudanya dulu,
melainkan kurus dan tinggi. Jika mengacu pada keterangan Sumung
ini, maka sebenarnya karya-karya Lempad yang menghadirkan
pemanjangan anatomi adalah sebuah gambaran tentang kondisi fisik
dirinya.

i.
Sketsa wajah Bima yang dibuat I Gusti
Nyoman Lempad beberapa tahun sebelum
ia meninggal.
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu
cucu I Gusti Nyoman Lempad,
Gusti Sutedja.

030
Perjalanan Hidup I Gusti Nyoman Lempad

Lempad merupakan sosok seniman yang hidup di


tiga zaman: zaman kerajaan, kolonial, dan kemerdekaan.

031
I Gusti Nyoman Lempad

032
Tema-Tema Lukisan Lempad

033
I Gusti Nyoman Lempad

Bab 4
Tema-Tema Lukisan Lempad

1. Cerita Pewayangan Mahabarata

Mahabarata adalah sebuah epos atau kisah kepahlawanan yang


menceritakan perang saudara sesama anggota keluarga dalam
kerajaan bangsa Kuru di India antara Pandawa dan Korawa. Kisah
Mahabarata sangat akrab dengan masyarakat Indonesia, terutama di
Jawa dan Bali. Dalam dunia kesenian, misalnya, banyak karya seni
pertunjukan maupun seni rupa yang mengambil cerita dari bagian-
bagian kisah Mahabarata. Lempad adalah salah satu seniman yang
kerap menghadirkan kisah Mahabarata dalam karya-karyanya.

Karya di halaman sebelumnya adalah salah satu karya Lempad


yang berasal dari kisah Mahabarata, yang mengisahkan gugurnya
Abimanyu selaku putra Arjuna di dalam peperangan antara
Pandawa dan Korawa.

Ramayana

Ramayana adalah kitab yang menceritakan tentang kisah hidup Sri


Rama sebagai penjelmaan Dewa Wisnu yang turun ke dunia untuk
melawan raja raksasa Rahwana yang angkara murka atau bengis
dan tamak. Sama halnya dengan Mahabarata, kisah Ramayana
juga banyak hadir pada karya-karya Lempad. Salah satunya adalah
karyanya yang berjudul Rama Memanah Kijang Emas. Karya ini
mengisahkan tentang Rama yang memanah seekor kijang bertanduk
emas di dalam hutan. Kijang tersebut adalah jelmaan dari raksasa
Marica yang sengaja ditugaskan oleh Rahwana untuk menjelma
menjadi seekor kijang untuk menarik perhatian Sita.

Sutasoma

Sutasoma adalah kitab gubahan Mpu Tantular yang menceritakan


perjalanan hidup Sutasoma, seorang penganut aliran Buddha
Mahayana. Sutasoma adalah putra mahkota penerus kerajaan
Hastina, namun setelah dinobatkan menjadi raja, ia merasa tidak
nyaman dengan suasana istana yang penuh kemewahan, sementara i.
masyarakat yang berada di luar istana masih hidup menderita. I Gusti Nyoman Lempad, Abimanyu Gugur,
Sutasoma lalu memutuskan untuk pergi keluar istana tanpa 1930an, tinta cina dan tempera
sepengetahuan keluarga kerajaan. Ia mengembara ke desa-desa dan di atas kertas, 22 x 33 cm.
ke hutan-hutan sampai suatu ketika, ia mendapatkan pencerahan Koleksi Museum Neka, Bali.
dari sang Buddha. ii.
I Gusti Nyoman Lempad, Rama Memanah
Kijang Emas, 1956, tinta cina di atas kertas,
26 x 33,5 cm. Koleksi Museum Neka, Bali.

034
Tema-Tema Lukisan Lempad

ii

035
I Gusti Nyoman Lempad

Penggalan peristiwa di dalam kitab Sutasoma dapat kita lihat pada


beberapa karya Lempad, seperti karya sketsanya berjudul Sutasoma
dan Para Muridnya Berjumpa Para Petapa. Lempad menampilkan
adegan Sutasoma dan para muridnya—Gajah Waktra (raksasa
berkepala gajah), naga, dan harimau—bertemu dengan para pertapa
saat mereka mengembara di dalam hutan. Karya Lempad ini masih
dalam format ortenan, yaitu tahapan membuat sketsa dalam proses
melukis tradisi Bali sebelum masuk ke tahap cawi (membuat kontur
garis dengan tinta), serta membuat detail ornamen pada bagian
aksesori karakter wayang dalam lukisan. Lempad memang banyak
meninggalkan warisan karya dalam format ortenan atau sketsa
seperti yang terlihat di Sutasoma dan Para Muridnya Berjumpa Para
Petapa. i.
I Gusti Nyoman Lempad, Sutasoma dan
Para Muridnya Berjumpa Para Petapa,
1960an, pensil di atas kertas, 25 x 35 cm.
Koleksi pribadi.
ii.
I Gusti Nyoman Lempad,
Kisah Bhagawan Darswami, 1950an,
tinta cina di atas kertas, 25 x 35 cm.
Koleksi pribadi.

036
Tema-Tema Lukisan Lempad

ii

2. Cerita Rakyat

Selain tema-tema pewayangan, Lempad juga menghadirkan cerita rakyat (folklore) yang berkembang di
masyarakat Bali. Ada beberapa jenis tema cerita rakyat yang dihadirkan Lempad dalam karya- karyanya,
antara lain:

Tantri (Fabel)

Tantri adalah kisah yang memuat kehidupan binatang layaknya kehidupan manusia. Tantri identik
dengan fabel. Tantri adalah sebuah kidung yang menampilkan rangkaian cerita dalam cerita. Yakni kisah
tentang seorang perempuan bijaksana bernama Ni Diah Tantri yang menuturkan banyak cerita tentang
kehidupan binatang pada raja negeri Patali.

Kisah Bhagawan Darswami merupakan karya Lempad yang mengambil satu bagian adegan dalam kisah
Tantri, yakni kisah Bhagawan Darswami yang menyelamatkan tiga ekor binatang, yakni harimau, buaya,
dan kera yang tengah terjebak di dalam sumur. Di karya ini Lempad melukiskan adegan setelah ketiga
binatang itu berhasil ditarik dari dalam sumur oleh sang Begawan, yang ditandai dengan penggambaran
sosok kera membawa seutas tali yang dipakai sang Begawan untuk menarik ketiga binatang tersebut ke
atas permukaan sumur.

037
I Gusti Nyoman Lempad

Cupak Gerantang

Cupak Gerantang adalah cerita rakyat Bali tentang dua orang kakak
beradik bernama Cupak dan Gerantang. Dua orang bersaudara
ini memiliki tabiat yang berbeda. Cupak sosok yang licik, pemalas,
arogan, dan sangat rakus sedangkan sang adik, Grantang, memiliki
sifat yang baik hati, sopan, dan bijaksana.

Karya Cupak Gerantang menceritakan sosok Cupak yang sedang


merayu seorang putri bernama Raden Galuh setelah Cupak berhasil
memenangkan sayembara karena berhasil membebaskan Raden
Galuh dari sekapan raksasa Menaru. Sebenarnya, dalam sayembara
tersebut Gerantang-lah yang berhasil menyelamatkan sang putri
dari sekapan Menaru. Namun, Cupak,dengan tipu muslihatnya,
seolah-olah berhasil memenangkan sayembara dan membunuh i.
Menaru serta membebaskan sang putri. Cupak dengan keji malah I Gusti Nyoman Lempad, Cupak Gerantang,
mencelakai adiknya itu dengan tipu muslihat agar dirinya yang 1950an, tinta cina di atas kertas, 25 x 35 cm.
seolah–olah memenangkan sayembara dan mendapatkan Raden Koleksi pribadi.
Galuh sebagai istri. ii.
Beberapa Karya I Gusti Nyoman Lempad
yang bertemakan Brayut.
Koleksi Museum Neka, Bali.

038
Tema-Tema Lukisan Lempad

ii

Keluarga Brayut

Keluarga Brayut mengisahkan kehidupan keluarga petani yang


miskin dengan banyak anak. Keluarga yang terdiri dari Men Brayut
dan Pan Brayut ini pada awalnya sangat disibukkan dengan urusan
mengurus anak-anak mereka. Sampai pada suatu ketika, setelah
bertengkar dengan istrinya, Pan Brayut meninggalkan rumah
dan berguru kepada seorang pendeta Buddha bernama Pangeran
Jembong. Ia dinasehati tentang nilai-nilai kehidupan, terutama soal
welas asih. Pan Brayut pun mendapat pencerahan dan kemudian
kembali lagi kepada Men Brayut, mengasuh anak mereka dengan
penuh suka cita dan kasih sayang. Setelah dewasa, anak-anak mereka
bertumbuh menjadi orang-orang yang berilmu dan keluarga ini pun
hidup bahagia. Pan Brayut dan Men Brayut lalu memutuskan untuk
pergi bertapa ke hutan. Beberapa bagian dari kisah keluarga Brayut
ini dibuat Lempad ke dalam beberapa karya dengan medium kertas.

039
I Gusti Nyoman Lempad

040
Tema-Tema Lukisan Lempad

3. Kehidupan Sehari Hari

Karya Lempad yang bertema kehidupan sehari-


hari meliputi berbagai macam aktivitas masyarakat
Bali, seperti menari, bekerja di sawah, suasana
di pasar, dan sebagainya. Interaksi Lempad
dengan para pelukis Barat dan berdirinya Pita
Maha di Ubud menyebabkan munculnya tema-
tema keseharian di dalam lukisannya. Ketika itu
interaksi seniman Bali dengan para pelukis Barat,
termasuk Lempad, membuka perluasan tema
dalam karya-karya seniman Bali yang sebelumnya
banyak mengambil kisah dari cerita pewayangan,
legenda, maupun cerita rakyat. Karya-karya
pelukis Barat seperti Walter Spies dan Rudolf
Bonnet, yang saat datang ke Bali banyak
mengangkat tema tentang suasana alam pedesaan
dan keseharian masyarakat Bali, tampaknya
dilihat oleh para seniman Bali, tak terkecuali
Lempad. Mereka pun mengikuti tema-tema
tersebut namun tetap menerapkan teknik dan
cara melukis ala seniman Bali. Jika kita lihat lebih
dalam, terjadi hubungan timbal balik yang saling
mempengaruhi antara seniman Barat dan seniman
Bali di masa itu: bukan hanya seniman Bali saja
yang terpengaruh dengan tema keseharian yang
ditampilkan pelukis Barat, namun juga seniman
Barat yang terpengaruh dengan realitas alam dan
budaya Bali.

i.
Beberapa karya Lempad yang
menghadirkan tema keseharian
masyarakat Bali.
Koleksi Museum Neka, Bali.

041
I Gusti Nyoman Lempad

042
Para Anak Mengganggu Men Brayut

043
I Gusti Nyoman Lempad

Bab 5
Para Anak Mengganggu Men Brayut

Men Brayut: Kisah Perempuan dengan Banyak Anak

Lihatlah karya Para Anak Mengganggu Men Brayut. Seorang


perempuan paruh baya dengan rambut terurai tampak duduk
memangku dan menyusui dua bayi. Ia adalah ibu dari dua bayi
yang tengah digendongnya dan juga tujuh anak lain yang berada
di sekelilingnya. Dialah Men Brayut, istri dari Pan Brayut yang
merupakan keluarga petani miskin dalam cerita rakyat Bali yang
digambarkan hidup dalam kemiskinan ditambah beban untuk
membesarkan anak-anak mereka. Dalam tradisi Bali, men adalah
sebutan bagi perempuan yang sudah bersuami dan memiliki anak,
sedangkan pan adalah sebutan bagi lelaki yang sudah beristri dan
memiliki anak.

Satu anak perempuan Men Brayut yang paling besar berdiri di balik
punggung Men Brayut. Ia asyik mencari kutu di rambut ibunya yang
kusut terurai. Di samping kirinya, bersandar sang adik perempuan
di bahu kiri sang ibu sembari mengelus kepala adik bayinya yang
tengah menyusu di pangkuan sebelah kiri Men Brayut. Adiknya,
bocah lelaki berkepala gundul di tengah, ikut membantu kakaknya,
si anak perempuan yang mencari kutu. Di samping bocah lelaki ini,
ada bocah lelaki lain di samping bocah lelaki gundul ini. Tangan
kirinya memegang batang padi dan tangan kanannya memasukkan
biji padi ke dalam mulutnya. Mungkin, Men Brayut tidak sempat
memasak nasi karena kesibukannya mengurus anak-anaknya yang
masih bayi sehingga anaknya yang lain harus memakan padi mentah
untuk mengganjal perut.

Terlihat jantra (alat pintal benang tradisional Bali) berbentuk


roda pedati yang tergeletak di depan Men Brayut. Benang yang
baru separuh terpintal dengan gulungan kapas yang berserakan
menandakan aktivitas memintal yang belum selesai. Di samping
kanan jantra, tergeletak sebuah bligo—bagian dari alat tenun
tradisional Bali yang berfungsi untuk merangkai benang yang sudah
terpintal menjadi lembaran kain, di mana helai demi helai benang
harus dimasukkan satu per satu ke alat tersebut dengan susunan
tertentu agar terbentuk suatu pola dalam lembaran kain.

Jangankan melakukan aktivitas menenun kain yang menuntut


konsentrasi tinggi itu, kedua tangan Men Brayut saja penuh i.
untuk memangku dua orang anak yang harus disusuinya sekaligus. I Gusti Nyoman Lempad, Para Anak
Belum lagi ia harus terganggu dengan polah dua anak lelakinya Mengganggu Men Brayut, 1930, tinta cina
yang sedang berkelahi di sebelah kirinya. Sementara, anak lelaki dan tempera di atas kertas, 24 x 33 cm.
sulungnya dengan raut wajah murung berdiri di samping kanan Koleksi Museum Neka, Bali

044
Para Anak Mengganggu Men Brayut

Men Brayut dan membawa selembar kain untuk Para Anak Sedang Menganggu Men Brayut
diperbaiki. Ia tampak tak sabar menunggu sang menunjukkan suatu komposisi yang simetris.
ibu selesai menyusui adiknya yang masih bayi. Lempad seolah-olah membagi tiga bagian bidang
pada gambarnya. Sosok Men Brayut yang sedang
Begitulah gambaran kesibukan Men Brayut memangku dua anaknya serta figur anak gadis
yang coba dihadirkan Lempad di Para Anak yang tengah berdiri mencari kutu membentuk
Mengganggu Men Brayut yang berwarna hitam bidang vertikal keatas. Adegan tersebut menjadi
putih di atas kertas tersebut. Tampak penghayatan pengisi bagian tengah bidang gambar sekaligus
Lempad yang mendalam di karya ini ketika menjadi tempat bagi tokoh pusat di gambar ini,
melukiskan kesibukan Men Brayut dalam yakni sosok Men Brayut. Dua anak lelaki yang
menjalankan tugasnya sebagai seorang ibu rumah sedang berkelahi mengisi bidang gambar sebelah
tangga. Ia harus mengurus begitu banyak anak kanan. Sementara, bidang gambar sebelah kiri diisi
sekaligus menjalankan aktivitas membantu sang oleh adegan anak sulung Men Brayut yang sedang
suami dengan bekerja menenun kain. Adegan berdiri memegang kain.
kesibukan Men Brayut sebagai ibu dari banyak
anak serta aktivitasnya sebagai perempuan Bali Penempatan berbagai figur digambar ini
pada masa lampau—posisinya sebagai istri, ibu menciptakan konfigurasi objek yang berbentuk
rumah tangga, penenun kain, sekaligus bagian segitiga ke atas, menjadikan bidang bagian
penting dalam ritual keagamaan—tampak sangat tengah tampak paling tinggi dibanding bidang
detail dihadirkan Lempad melalui objek-objek bagian kiri dan kanan. Kepekaan Lempad
dalam gambarnya. Ekspresi wajah serta gestur dalam menghadirkan komposisi yang dibangun
tubuh masing-masing tokoh yang dilukiskan dari konfigurasi figur yang tampak simetris ini
Lempad di Para Anak Mengganggu Men Brayut kemungkinan dipengaruhi oleh latar belakang
mampu menghadirkan suasana hiruk pikuk Lempad sebagai seorang undagi. Ia terbiasa
seorang ibu dalam mengurus begitu banyak menghadirkan pepalihan (pembagian ruang) secara
anak. Di samping itu, Lempad juga sangat detail simetris, baik sisi kiri dan kanan yang terpusat di
dalam menggambarkan suasana khas kehidupan tengah.
masyarakat Bali pada 1930an, periode di mana
gambar ini dibuat. Aktivitas perempuan Bali Pembagian tiga bidang ini agaknya dipengaruhi
menenun dan mencari kutu adalah potret oleh konsep Tri Angga ataupun Tri Mandala,
kehidupan khas masyarakat Bali. Aktivitas yakni pembagian ruang menjadi tiga bagian
tersebut masih bisa kita cari, misalnya dengan dalam kosmologi Bali yang berpengaruh pada
membuka arsip-arsip foto tentang Bali pada konsep dasar arsitektur Bali. Pembagian ruang
1930an. semacam ini lazim ditemui di bangunan rumah
maupun tempat-tempat suci. Kita dapat melihat
Gambar berukuran 24 x 33 cm tersebut dibuat dan merasakan cara Lempad menghadirkan karya
dengan medium tinta cina dan tempera di atas yang tidak lepas dari konsep kerja arsitektur
kertas. Karya ini merupakan koleksi Museum tradisional Bali (tiga dimensi) yang terbawa ke
Neka dan tersimpan di dalam sebuah ruangan dalam proses kreatifnya berbentuk gambar (dua
khusus, terpisah dari bangunan yang lain dan dimensi).
diberi nama Paviliun Lempad sebagai bentuk
penghormatan atas kesenimanan Lempad. Selain Unsur garis menjadi unsur yang khas dalam
gambar ini, masih ada 22 karya Lempad lagi yang semua karya Lempad, termasuk Para Anak
terpajang di dinding ruangan ini. Mengganggu Men Brayut. Kemampuan Lempad

045
I Gusti Nyoman Lempad

Menghadirkan garis yang rapi dan tegas tanpa


memperlihatkan tumpukan tinta cina, ketika
menyambungkan antar garis dengan memakai
pena iyip (batang ijuk) yang diruncingkan, tentu
saja membutuhkan ketelatenan dan keahlian yang
mumpuni.

046
Para Anak Mengganggu Men Brayut

dalam menghadirkan garis dengan satu tarikan garis tanpa terputus


adalah kemampuan yang paling mengagumkan dari seniman ini.
Menghadirkan garis yang rapi dan tegas tanpa memperlihatkan
tumpukan tinta cina, ketika menyambungkan antar garis dengan
memakai pena iyip (batang ijuk) yang diruncingkan, tentu saja
membutuhkan ketelatenan dan keahlian yang mumpuni. Inilah
karakteristik yang paling menonjol dari Lempad, di mana kekuatan
garis menjadi tahapan yang paling penting dan menentukan hasil
akhir karyanya. Kekuatan garis ini semakin terlihat dengan Lempad
yang tidak menambahkan unsur warna pada karya-karyanya.

Beberapa karya Lempad cenderung menerapkan teknik sigar mangsi


(gradasi gelap-terang) dengan menggunakan tinta cina batangan
yang diencerkan dengan air. Lapisan-lapisan gradasi dimulai dengan
menyapukan tinta cina ke air, sebagai pengencer, secara berlapis.
Kesan terang ke gelap tidak dihasilkan dengan mencampurkan tinta,
namun didapat dari tumpukan antara sapuan tinta tahap pertama
dengan sapuan tinta di atasnya, secara bertahap, begitu seterusnya.
Penerapan teknik sigar mangsi membuat karya-karya lukisan
Lempad tampak berbeda dengan kecenderungan pelukis gaya Ubud
atau pelukis gaya Batuan lainnya yang memakai teknik abur (dussel),
yang menghadirkan gradasi dengan cara menggosok ujung garis
sebagai aksen lebur.

Selain kecenderungan garis yang kuat serta penerapan teknik


sigar mangsi, yang juga khas pada Lempad adalah karya-karyanya
yang menghadirkan latar belakang lukisan yang kosong. Latar ini
menciptakan kesan ruang yang khas jika dibandingkan dengan
karya-karya pelukis gaya Ubud maupun gaya Batuan yang
cenderung tidak menyisakan bidang kosong. Setiap bidang akan
diisi penuh dengan figur manusia, binatang ataupun tumbuh
tumbuhan sehingga tampak sesak dan berjejal.

Kisah di Balik Karya

Kisah Keluarga Brayut adalah cerita rakyat yang berkembang di


kalangan mayarakat Bali dan dituturkan secara turun temurun.
Kisah ini sangat mengakar dalam masyarakat Bali, bahkan arca
Men Brayut dan Pan Brayut (Pak Brayut) di beberapa pura di
Bali dihormati sebagai simbol kesuburan sehingga menjadi sarana
pemujaan ketika ada pasangan suami-istri di Bali yang tak kunjung
memiliki keturunan, misalnya. Terdapat pula pelinggih (altar
pemujaan khusus) untuk menghormati dan memuliakan sosok
Men Brayut dan Pan Brayut ini, salah satunya adalah pelinggih
Men Brayut di Situs Goa Gajah, Bedulu, yang mana merupakan
kampung halaman Lempad.

Menurut W.F Stutterheim dan Roelof Goris, arkeolog Belanda,


sosok Men Brayut identik dengan sosok Dewi Hariti dalam
kepercayaan Buddha. Di Bali, peninggalan arkeologis berupa arca
perwujudan sosok Dewi Hariti ini bisa dilihat di Candi Dasa,
Karangasem. Arca Dewi Hariti dan pelinggih dibangun pada masa
pemerintahan Raja Sri Jayapangus di Bali sekitar abad ke-12 M.

047
I Gusti Nyoman Lempad

Arca Hariti juga terdapat di situs arkeologis Goa Gajah, Desa


Bedulu. Arca ini berdampingan dengan arca lain seperti arca
Ganesha dan arca Tri Lingga. Arca Hariti digambarkan dengan
payudara yang besar dan memakai kain panjang sampai sebatas mata
kaki dengan hiasan yang ramai. Arca yang dikelilingi enam anak ini
memperlihatkan gestur tangan kanan yang wara mudra atau tangan
pemberi anugrah.

Menurut legenda yang berkembang di India, Hariti adalah adik


yaksa (raksasa) Saptagiri. Sebagai pelindung daerah Rajagriha, ia
bernama Abhiriti. Hariti atau Abhiriti bersuami Pancika, anak
Pancala yaksa pelindung daerah Gandhara. Dari pasangan tersebut
lahir 500 anak dan yang paling disayangnya adalah anaknya
yang paling bungsu bernama Priyangkara. Abhiriti sangat suka
memangsa anak-anak, sehingga ia diberi gelar Hariti. Kebuasan
Hariti menyebabkan rasa takut rakyat Rajagriha. Mereka minta
pertolongan Sang Buddha untuk menyelamatkan anak-anak
mereka dari kebuasan Hariti. Sang Buddha kemudian membawa
Priyangkara. Ketika Hariti pulang ke rumahnya ia tidak menemukan
Priyangkara. Hariti putus asa, ia pun minta pertolongan Sang
Buddha untuk memperoleh kembali anaknya. Sang Buddha
mempertanyakan perasaan Hariti yang bersedih karena kehilangan
salah satu dari 500 anaknya. Padahal ia adalah makhluk tanpa belas
kasihan yang memakan anak anak di Rajagriha. Sejak saat itu Hariti
menyadari kebodohannya dan bersedia mengikuti ajaran Sang
Buddha.

Kisah Men Brayut dan Pan Brayut dalam masyarakat Bali terdapat
dalam sebuah lontar Geguritan atau macapat (bentuk puisi
Jawa tradisonal). Lontar ini merupakan salah satu koleksi Pusat
Dokumentasi Dinas Kebudayaan Pemprov Bali dengan kode
“ivd.1399/14”. Dalam lontar tersebut, dikisahkan tentang kehidupan
Pan Brayut dan Men Brayut sebagai keluarga petani miskin dengan
18 orang anak. Kehidupan keluarga ini sangat disibukkan dengan
aktivitas mereka, yakni mengurusi 18 anak dan menjalankan
pekerjaan mereka masing-masing. Pan Brayut sibuk bekerja di
sawah sedangkan Men Brayut juga ikut membantu suaminya
bekerja dan menjalankan profesi sebagai penenun, sebuah profesi
umum bagi perempuan Bali di masa itu.

Suatu ketika dalam perayaan Hari Raya Galungan, Pan Brayut dan
Men Brayut sibuk mempersiapkan upacara dengan membuat sesajen
dan membuat hidangan dari babi. Adegan dalam cerita ini dilukis
Lempad dalam karya Pan Brayut dan Men Brayut Menyiapkan
Sesajen.

Setelah upacara selesai, segala jenis sesajen berupa olahan daging


babi dan buah-buahan sesuai tradisi dapat dimakan oleh semua
anggota keluarga sebagai wujud syukur. Men Brayut lalu pergi ke i.
dapur dan melahap makanan itu karena terlalu lapar setelah sibuk I Gusti Nyoman Lempad, Pan Brayut dan
mempersiapkan upacara, bekerja membantu suaminya di sawah, dan Men Brayut Mempersiapkan Sesajen, 1930,
mengurus urusan rumah tangga dan anak-anaknya yang berjumlah tinta cina dan tempera di atas kertas,
18 orang. 24 x 33 cm. Koleksi Museum Neka, Bali.

048
Para Anak Mengganggu Men Brayut

049
I Gusti Nyoman Lempad

Karena terlalu asik menikmati makanan di dapur, tanpa


sepengetahuan Men Brayut anak-anaknya terbangun dan menangis
karena tidak melihat ibu mereka. Di saat yang bersamaan, datanglah
Pan Brayut dari sawah dan mendapati anak-anak mereka menangis
di halaman rumah sedangkan Men Brayut sedang asyik menyantap
makanan di dapur tanpa memedulikan tangisan mereka. Pan Brayut
lalu marah kepada Men Brayut yang dianggap telah mengabaikan
anak-anaknya, sementara Men Brayut asik menyantap hidangan di
dapur. Terjadilah pertengkaran antara suami dan istri tersebut.

i.
I Gusti Nyoman Lempad, Men Brayut
Makan Sesajen, 1930, tinta cina dan tempera
di atas kertas, 24 x 33 cm.
Koleksi Museum Neka, Bali.
ii.
I Gusti Nyoman Lempad, Pan Brayut
Marah Terhadap Men Brayut, 1930,
tinta cina dan tempera di atas kertas,
24 x 33 cm. Koleksi Museum Neka, Bali.

050
Para Anak Mengganggu Men Brayut

ii

Karena kesal dan merasa kehidupan rumah tangga mereka menjadi


kacau akibat adanya banyak anak, Pan Brayut lalu pergi menemui
guru spiritualnya bernama Pangeran Jembong, seorang pendeta
beragama Buddha. Pan Brayut mendapatkan petuah tentang
sikap welas asih, bagaimana seharusnya menjalankan kehidupan
rumah tangga. Kehidupan rumah tangga membutuhkan sikap
saling mengerti dan kewajiban merawat anak dengan kasih sayang,
walaupun dalam keadaan keluarga yang dilanda kemiskinan.

051
I Gusti Nyoman Lempad

052
Para Anak Mengganggu Men Brayut

Setelah Pan Brayut mendapat petuah dari Pangeran Jembong, ia lalu bertapa di bawah
pohon di area kuburan. Di sana ia mendapatkan penyempurnaan pengetahuan dan
spiritualitas. Setelah kegiatan bertapanya selesai, Pan Brayut pulang kembali ke rumah
dan bertemu dengan istrinya. Ia pun meminta maaf atas segala kekeliruannya terhadap
Men Brayut. Akhirnya Pan Brayut bersama Men Brayut menata kembali kehidupan
rumah tangga mereka. Keduanya tampak sangat sayang dan membekali anak anak
mereka dengan berbagai ilmu pengetahuan yang didapat Pan Brayut dari hasil
bergurunya kepada Pangeran Jembong.

Di tengah keterbatasan hidup sebagai petani, Pan Brayut dan Men Brayut akhirnya
bisa mendidik dan membesarkan anak-anak mereka dengan baik. Anak-anak mereka
kemudian tumbuh dewasa dan membantu orang tua bekerja di sawah sehingga
hasil sawah lebih berlimpah. Kehidupan perekonomian keluarga Brayut berangsur-
angsur membaik dan mereka pun hidup sejahtera. Setelah kedelapan belas anak-anak
Keluarga Brayut berumah tangga, Pan Brayut dan Men Brayut akhirnya memutuskan
untuk mengabdikan hidup mereka pada dunia spiritual. Keduanya meninggalkan
anak-anak mereka yang telah sukses dengan keluarganya masing masing untuk pergi
ke hutan dan menarik diri dari kehidupan duniawi. Anak-anaknya melepas kepergian
ayah dan ibu mereka dengan suka cita menuju sebuah hutan. Di sana Pan Brayut dan
Men Brayut membangun sebuah tempat pertapaan dan beralih menjadi rohaniawan.

i.
I Gusti Nyoman Lempad, Pangeran Jembong
Memberkati Pan Brayut, 1930, tinta cina
di atas kertas, 24 x 33 cm.
Koleksi Museum Neka.

053
I Gusti Nyoman Lempad

Kisah Keluarga Brayut dan Kehidupan Masyarakat Bali

Kisah Keluarga Brayut di atas menggambarkan keseharian


masyarakat Bali pada masa lalu yang lekat dengan kultur agraris
atau pertanian. Kisah keluarga ini juga mengandung nilai-nilai
luhur dalam kehidupan. Anak Brayut yang berjumlah 18 adalah
simbol dari 18 wianjana (huruf konsonan), dalam aksara Bali yakni
A, Na, Ca, Ra , Ka , Da, Ta, Sa, Wa, La, Ma, Ga, Ba, Nga, Pa, Ja,
Ya, Nya. Dapat disimpulkan bagaimana keluarga Brayut ternyata
menggambarkan ajaran Catur Asrama, yakni empat tahapan hidup
manusia dalam ajaran Hindu Bali.

Yang pertama adalah brahmacari (tahap menuntut ilmu, belajar


berbagai hal dalam kehidupan). Simbolisasi brahmacari terletak pada
anak yang berjumlah 18 dan bagaimana Pan Brayut dan Men Brayut
mengajarkan mereka sehingga kelak menjadi anak yang sukses
dan berbakti kepada orangtua. Kedua adalah grahasta (tahapan
masa berumah tangga) yang disimbolkan dengan kehidupan Pan
Brayut dan Men Brayut dalam membina rumah tangga mereka
membesarkan 18 anak. Ketiga adalah tahapan wanaprasta (tahap
memasuki hidup rohani dengan mulai menarik diri secara perlahan
dari urusan duniawi). Terakhir adalah masa bhiksuka (tahap
penyerahan hidup sepenuhnya pada kegiatan rohani). Simbol
tahapan wanaprasta dan bhiksuka adalah keputusan Pan Brayut dan
Men Brayut untuk meninggalkan anak-anaknya yang telah hidup
berumah tangga, masing masing pergi membangun pertapaan di
hutan sebagai bentuk penyerahan hidup untuk kegiatan rohani.

Demikianlah kisah tentang Keluarga Brayut yang dilukiskan dalam


beberapa adegan dalam karya Lempad, salah satunya Para Anak
Menggangu Men Brayut. Dalam proses mengerjakan karya seri
Keluarga Brayut ini, Lempad tentu saja telah fasih memahami cerita
dan makna-makna simbolik yang terkandung di dalamnya karena
Lempad kerap berdiskusi dengan seorang dalang yang membahas
lakon-lakon, baik diambil dari cerita pewayangan maupun cerita
rakyat. Kebiasaan ini membuat Lempad memiliki kepekaan dalam
melukiskan penggambaran suasana dan sosok-sosok Keluarga
Brayut di karyanya. Penggambaran Lempad yang detail dan sesuai
dengan kehidupan masyarakat Bali membuat kita seolah diajak
melihat kehidupan sosial dan budaya masyarakat Bali di masa
lampau.

Kita dapat melihat bagaimana Lempad mendedikasikan sepenuhnya


hidupnya untuk kesenian lewat karya-karyanya dan perjalanan
hidupnya. Lempad mewariskan banyak hal kepada kita, yakni nilai-
nilai pendidikan, kebudayaan, dan kehidupan itu sendiri.

054
Para Anak Mengganggu Men Brayut

Penggambaran Lempad yang


detail dan sesuai dengan
kehidupan masyarakat Bali
membuat kita seolah diajak
melihat kehidupan sosial dan
budaya masyarakat Bali di masa
lampau.

055
Daftar Pustaka

Gaspar, Ana, dkk. 2014. Lempad: A Timeless Balinese Master. Pictures Publishers, Art Books.

Vickers, Adrian, dkk. 2016. Lempad of Bali: The Illuminating Line. Ubud: Yayasan Titian Bali.

Setiawan, I Ketut. 2012. Raja Udayana di Bali, 989-1011. Denpasar: Udayana University Press.

Triguna, IB Yudha (Penyunting). 2003. Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Denpasar: Program Magister Ilmu Agama
dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia.

Parta, I Wayan Seriyoga. 2015. Seni Rupa Bali Sebagai Aset Pusaka Budaya. Gianyar: Dinas Kebudayaan
Kabupaten Gianyar Bali

Parta, I Wayan Seriyoga. 2014. Lempad for the World. Ubud: Dewangga House of Lempad Ubud

Parta, I Wayan Seriyoga. 2010. Modernisasi dan Transformasi Seni Lukis Bali pada Karya I Gusti Nyoman Lempad,
Edisi September-Desember 2010. Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Seni Indonesia Yogyakarta

Katalog pameran Pita Maha di Bataviasche Kunstkring 10 September 1936

056
Daftar Gambar

Halaman 007 I Gusti Nyoman Lempad dan Gusti Rai Tindih.


Situs Goa Gajah, Desa Bedulu, Kecamatan Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master.
Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Bali.
Satu monumen peninggalan pada masa Bali Kuno Halaman 020
yang juga ditemukan arca dan relief. I Gusti Nyoman Lempad bersama anak lelakinya
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya. Gusti Sumung, menantunya, dan cucu-cucunya.
Sumber: www.kebudayaan.kemdikbud.go.id.
Halaman 009
Salah satu adegan di relief Yeh Pulu, Desa Bedulu, Pohon Keluarga Lempad karya
Kecamatan Blahbatu, Kabupaten Gianyar, Bali. Gusti Nyoman Sudara.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya. Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master.

Halaman 010 Salah satu bangunan Pura Pengastulan di Bedulu


Karya Nang Ramis dari Kamasan Klungkung yang merupakan karya I Gusti Nyoman Lempad.
tahun 1678. Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Sumber: Buku Museum Puri Lukisan.
Salah satu bagian ornamen berupa kepala naga
Halaman 013 yang sengaja tak diselesaikan I Gusti Nyoman
I Gusti Nyoman Lempad dan anggota Pita Maha. Lempad.
Sumber: arsip keluarga I Gusti Nyoman Lempad. Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.

Halaman 015 Halaman 021


Walter Spies (1895-1942). Arca yang didedikasikan I Gusti Nyoman
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. Lempad untuk para leluhurnya.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Rudolf Bonnet (1895-1978).
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. Halaman 022
Patung Ratu Gede Mecaling karya I Gusti
Halaman 016 Nyoman Lempad di Pura Taman Kemuda
I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978). Saraswati, Ubud, Bali.
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master.

Halaman 017 Halaman 022


Sosok I Gusti Mayukan, Karya I Gusti Nyoman Lempad berupa pintu
ayah I Gusti Nyoman Lempad. Gerbang pura di kampung halamannya di
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. Bedulu, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Halaman 019
Sosok Raja Ubud. Sketsa pintu gerbang pura.
Sumber: Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master.
Buku Lempad of Bali: The Iluminating Line.
Relief Sutasoma karya I Gusti Nyoman Lempad
di Pura Samuan Tiga, Bedulu, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.

057
Miniatur bade (menara pengusung jenazah) karya Halaman 035
I Gusti Nyoman Lempad. I Gusti Nyoman Lempad, Rama Memanah Kijang
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. Emas, 1956, tinta cina di atas kertas, 26 x 33,5 cm.
Koleksi Museum Neka, Bali.
Bade dalam sebuah upacara ngaben di Bali. Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master.
Halaman 036
Halaman 024 I Gusti Nyoman Lempad, Sutasoma dan
I Gusti Nyoman Lempad sedang membuat Para Muridnya Berjumpa Para Petapa, 1960an,
Naga Banda (boneka naga yang dipakai saat pensil di atas kertas, 25 x 35 cm. Koleksi pribadi.
upacara Ngaben). Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master.
Halaman 037
I Gusti Nyoman Lempad sedang membuat I Gusti Nyoman Lempad, Kisah Bhagawan
topeng barong. Darswami, 1950an, tinta cina di atas kertas,
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. 25 x 35 cm. Koleksi pribadi.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Topeng barong karya I Gusti Nyoman Lempad
yang belum selesai. Halaman 038
Sumber: Buku Lempad, a Timeless Balinese Master. I Gusti Nyoman Lempad, Cupak Gerantang,
1950an, tinta cina di atas kertas, 25 x 35 cm.
Halaman 025 Koleksi pribadi.
Beberapa karya I Gusti Nyoman Lempad berupa Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
karya tatahan di atas kertas.
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu cucu Halaman 039
I Gusti Nyoman Lempad, Gusti Sutedja. Beberapa Karya I Gusti Nyoman Lempad yang
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya. bertemakan Brayut. Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.
Halaman 026
Desain ornamen inovatif I Gusti Nyoman Halaman 040
Lempad berupa stilasi bentuk tikus. Beberapa karya Lempad yang menghadirkan tema
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu cucu keseharian masyarakat Bali.
I Gusti Nyoman Lempad, Gusti Sutedja. Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya. Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.

Halaman 031 Halaman 042-043


Sketsa wajah Bima yang dibuat I Gusti Nyoman I Gusti Nyoman Lempad, Para Anak Mengganggu
Lempad beberapa tahun sebelum ia meninggal. Men Brayut, 1930, tinta cina dan tempera
Koleksi Dewangga Galeri milik salah satu cucu di atas kertas, 24 x 33 cm.
I Gusti Nyoman Lempad, Gusti Sutedja. Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya. Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.

Halaman 032-033 Halaman 048-049


I Gusti Nyoman Lempad, Abimanyu Gugur, I Gusti Nyoman Lempad, Pan Brayut dan
1930an, tinta cina dan tempera di atas kertas, Men Brayut Mempersiapkan Sesajen, 1930, tinta
22 x 33 cm. Koleksi Museum Neka, Bali. cina dan tempera di atas kertas, 24 x 33 cm.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya. Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.

058
Halaman 050
I Gusti Nyoman Lempad, Men Brayut Makan
Sesajen, 1930, tinta cina dan tempera di atas kertas,
24 x 33 cm. Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.

Halaman 051
I Gusti Nyoman Lempad, Pan Brayut Marah
Terhadap Men Brayut, 1930, tinta cina dan
tempera di atas kertas, 24 x 33 cm.
Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.

Halaman 052-053
I Gusti Nyoman Lempad, Pangeran Jembong
Memberkati Pan Brayut, 1930, tinta cina di atas
kertas, 24 x 33 cm.
Koleksi Museum Neka, Bali.
Dokumentasi oleh I Made Susanta Dwitanaya.

059
I Made Susanta Dwitanaya

Lahir di Banjar Penaka, Tampaksiring, Gianyar Bali


pada 22 Juli 1987. Menyelesaikan pendidikan di
Jurusan Pendidikan Seni Rupa Undiksha Singaraja
Bali (2005 – 2010). Sedang menempuh studi S2 di
Program Studi Penelitian dan Evaluasi Pendidikan,
Program Pasca Sarjana di kampus yang sama.
Mengikuti lokakarya penulisan kritik seni rupa dan
kurator muda tahun 2012 dan 2014 di ruangrupa.
Tahun 2014 bersama Wayan Sriyoga Parta dan
Dewa Gede Purwita mendirikan Gurat Institute
sebuah lembaga riset Independen yang berfokus pada
penelitian seni rupa dan budaya visual di Bali. Tahun
2015 bersama 15 perupa muda Bali mendirikan Bali
Emerging Artist sebuah wadah bersama para perupa
muda Bali.

060

Anda mungkin juga menyukai