Anda di halaman 1dari 78

DIA DATANG, DIA MENUNGGU,

DIA PERGI
Affandi

Irham Nur Anshari

Direktorat Kesenian
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
2017
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi - Affandi
Cetakan pertama Desember 2017
75 halaman, 21 x 29,7 cm
ISBN 978-602-5635-03-8
© Direktorat Kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan &
Irham Nur Anshari, 2017

Direktorat Kesenian
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Komplek Kemendikbud Gedung E Lantai 9
Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
Tlp. 021-572 55 49 | 021-572 55 34

Pengarah
Hilmar Farid

Penanggung Jawab
Restu Gunawan

Penulis dan Periset


Irham Nur Anshari

Koordinator
Hendro Wiyanto & Rahmat Arham

Penyunting Isi
Hendro Wiyanto
Tidak untuk diperjualbelikan
Penyunting Bahasa
Annayu Maharani
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Pemeriksa Aksara Lingkup Hak Cipta
Rahmat Arham Pasal 2
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
Penata Letak dan Perancang Sampul mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
Meicy Sitorus dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Sekretariat Pasal 72
Kuat Prihatin 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Sri Kuwati Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
Ike Rofiqoh Fazri paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
Arsih Wijaya pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
Dindawati Fatimah (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
Sampul umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi, 1944, dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
cat air di atas kertas, 40,5 x 56 cm. paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan

Dalam sebuah artikel dari tahun 1937, Ki Hadjar Dewantara menulis: “Kesenian adalah sebagian dari
kebudajaan, jang timbul dan tumbuhnya amat berhubungan dengan djiwa perasaan manusia. Karena
itu lebih dalam tertanamnja kesenian itu di dalam djiwa daripada kebudajaan lainnja.” Ia memandang
kesenian sebagai ekspresi budaya yang paling dalam karena kesenian berakar pada hati sanubari
manusia, pada alam rasa dan kehendak. Melalui kesenian lah semangat kebangsaan dan kesadaran untuk
bangun dan berdiri di atas kaki sendiri terejawantah dari dalam jiwa tiap-tiap orang.

Kesenian, termasuk di dalamnya seni rupa, memegang peranan penting dalam rangkaian usaha
pendidikan karakter bangsa. Gagasan dasar pendidikan karakter ini dewasa ini telah diwujudkan dalam
gerakan revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Revolusi mental adalah suatu
pengubahan mendasar pada seluruh aspek kepribadian manusia Indonesia. Yang diubah dalam revolusi
mental seyogianya bukan hanya aspek lahiriah dari kepribadian (perilaku), melainkan jauh lebih dalam
lagi: cara orang mengalami sesuatu dan bersikap terhadapnya. Revolusi mental mensyaratkan adanya
perubahan mendasar pada semesta imajinasi setiap anggota bangsa Indonesia. Ia harus menyentuh akar-
akar kultural dari tiap-tiap warga negara. Tepat di sinilah seni rupa berperan.

Seni rupa menghadirkan kontak imajinatif dengan kenyataan sekitar. Dalam seni rupa, dunia dihadirkan
dari sudut pandang yang kerap kali terlewat oleh rutinitas hidup. Seni rupa memberi makna pada apa
yang sehari-hari dilalui begitu saja. Dengan begitu, lewat seni rupa, dunia hadir secara baru di dalam
imajinasi khalayak. Seni rupa, pada akhirnya, dapat mengubah cara orang mengalami sesuatu dan,
oleh karenanya, mampu mengubah pula cara orang mengambil sikap terhadap kenyataan. Realitas
kebangsaan yang sudah menjadi bagian dari rutinitas hidup orang Indonesia dapat dihadirkan kembali
sebagai pergulatan budaya yang intens. Dengan cara itulah seni rupa menyegarkan kembali wawasan
kebangsaan kita.

Seri buku Pusaka Seni Rupa ini disusun agar pembacanya, para siswa Sekolah Menengah Atas, dapat
mengakses kembali semangat kebangsaan yang terkandung dalam karya-karya utama yang menandai
kelahiran seni rupa modern di Indonesia. Dalam karya-karya Affandi, S.Sudjojono, Hendra Gunawan,
Kartono Yudhokusumo, I Gusti Nyoman Lempad dan Anak Agung Gede Sobrat, kita dapat menggagas
kembali keluasan semesta budaya yang ikut punya andil dalam terciptanya kebudayaan Indonesia
merdeka.

Lewat seri buku ini, saya berharap para siswa Sekolah Menengah Atas dapat menikmati kekayaan
khazanah seni rupa modern Indonesia buah karya para maestro kita. Saya mengharapkan juga kesediaan
para guru untuk memanfaatkan seri buku ini untuk memperkaya wawasan seni para siswa dan
mempertebal semangat kebangsaannya.

Direktur Jenderal Kebudayaan

Hilmar Farid

iii
Pengantar Direktur Kesenian

Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-
2019, khususnya Nawacita Butir 8 dan 9, telah menetapkan arah bagi usaha pemerintah untuk
“melakukan revolusi karakter bangsa” dan “memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia”. Sehubungan dengan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
mencanangkan program Penguatan Pendidikan Karakter.

Menindaklanjuti program tersebut, Direktorat Jenderal Kebudayaan telah menyelenggarakan diskusi


terpumpun bertajuk “Lokakarya Penyusunan Kebijakan Pendidikan Karakter Berbasis Kebudayaan”
pada tanggal 14-16 Desember 2016. Diskusi terpumpun tersebut menghasilkan beberapa rekomendasi
dan salah satunya adalah kegiatan Pusaka Seni Rupa.

Yang dimaksud dengan Pusaka Seni Rupa ialah penyiapan, penerbitan, dan pendistribusian seri buku
seni rupa sebagai bahan bacaan untuk mengembangkan pendidikan karakter berbasis pembelajaran
sejarah seni rupa nasional bagi siswa tingkat Sekolah Menengah Atas di Tanah Air. Seri buku ini akan
berupa enam buku tentang enam karya seni rupa Indonesia pada paruh pertama abad ke-20 (periode
1900-1945) yang dianggap menjadi tonggak-tonggak penting dalam sejarah seni rupa modern di
Indonesia.

Atas pertimbangan itulah Direktorat Kesenian memfasilitasi penelitian dan penulisan keenam buku
dalam seri Pusaka Seni Rupa ini. Dalam rangka menjalankan kegiatan tersebut, Direktorat Kesenian
telah membentuk tim yang terdiri dari para penulis muda di bidang seni rupa dengan harapan hasil
tulisan mereka dapat dengan mudah diakses oleh sasaran pembaca seri buku ini, yaitu para siswa
Sekolah Menengah Atas.

Seri Pusaka Seni Rupa ini diharapkan dapat ikut mendorong usaha penguatan pendidikan karakter.
Dengan membaca latar belakang terciptanya karya seni, diharapkan para siswa dapat menggali nilai-
nilai yang terpendam dalam praktik berkesenian pada seniman modern Indonesia.

Selain itu, seri buku ini diharapkan dapat menyumbang pula pada pengayaan wacana seputar seni rupa
sehingga mendorong peningkatan mutu karya para perupa Indonesia di masa kini.

Akhirul kalam, melalui penerbitan buku ini, kami berharap dapat memberikan wawasan kesenirupaan
sebagai modal awal bagi para siswa Sekolah Menengah Atas sehingga mereka dapat mengapresiasi
kekayaan khazanah seni rupa modern di Indonesia dan cita-cita serta kepribadian yang terkandung di
dalamnya, khususnya dalam rangka memperteguh kebhinnekaan dalam bingkai persatuan nasional.

Direktur Kesenian

Restu Gunawan

iv
Pusaka Seni Rupa Indonesia dan Kebhinekaan Budaya Kita

Penulisan seri buku Pusaka Seni Rupa ini adalah realisasi dari program Pendidikan Karakter Berbasis
Kebudayaan yang inisiatifnya datang dari Direktorat Jenderal Kebudayaan sejak akhir tahun lalu. Buku
ini ditulis untuk para siswa Sekolah Menengah Atas. Tujuannya adalah memperkenalkan dan meluaskan
cakrawala mereka terhadap khazanah seni rupa modern Indonesia.

Meluaskan cakrawala melalui karya seni rupa berarti menajamkan kepekaan akan segi-segi visual
(artistik), pengalaman keindahan (estetik), serta pengetahuan mengenai sumber-sumber inspirasi para
seniman. Inspirasi seniman bisa lahir dari pandangan pribadi, lingkungan sosial, perubahan masyarakat,
cita-cita politik, legenda, mitos, sejarah, tradisi, khayal atau fantasi, dan seterusnya. Pengetahuan
tentunya tidak hanya berkembang dari wawasan teoritis atau keilmuan, tapi juga karena kedekatan,
kecintaan, empati, dan segi-segi afeksi lainnya. Meningkatnya apresiasi seni diharapkan berkembang
bersama kemampuan menyerap hal-hal yang tersirat pada karya seni untuk memetik nilai-nilai
kehidupan di dalamnya.

Seri buku ini terdiri dari enam jilid. Masing-masing buku membahas satu karya–kali ini ragam seni
lukis—dari seorang seniman. Pertimbangan memilih seniman adalah ketokohan serta kontribusi mereka
pada awal perkembangan seni rupa modern di Indonesia, paruh pertama abad ke-20. Di masa itu seni
rupa Indonesia menempuh cara pengungkapan yang baru dalam hal tema, gaya, selera keindahan,
dan posisi seniman dalam masyarakat. Mereka sadar sepenuhnya akan kekuatan dan kemerdekaan
individu, semangat kebangsaan, seraya mengolah berbagai pengaruh seni dari luar. Para seniman ini
mempraktikkan seni rupa yang disebut “modern”, yang bukan kelanjutan dari tradisi seni sebelumnya.

Enam seniman yang karyanya dipilih untuk seri buku ini tidak dapat dipisahkan dari kisah
perkembangan awal seni rupa modern di Indonesia, yang berpusat di Jawa dan di Bali. Tentu saja
ada perbedaan langgam dan jenis kemodernan yang berkembang di dua tempat itu. Di Jawa seniman
modern akan mengatakan bahwa seni terlepas dari semua ikatan tradisi dan norma moral yang lama.
Ada pun di Bali, pandangan seni yang baru tidak sepenuhnya menanggalkan bentuk-bentuk artistik dan
tradisi masyarakat yang berlaku.

Seri Pusaka Seni Rupa ini menghadirkan enam karya dari enam tokoh seniman, yaitu:

1. Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi, 1944, karya Affandi Kusuma (1907-1990).
2. Cap Go Meh, 1940, karya S. Sudjojono (1913-1986).
3. Pengantin Revolusi, 1955, karya Hendra Gunawan (1918-1983).
4. Melukis di Taman, 1952 , karya Kartono Yudokusumo (1924-1957).
5. Para Anak Mengganggu Men Brayut, 1930-an, karya I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978).
6. Tarian Barong Landung, 1934, karya Anak Agung Gede Sobrat (1912-1957).

Tiap karya ditulis oleh seorang penulis. Para penulis ini berlatar pendidikan seni rupa dan
berpengalaman menulis di bidangnya. Diharapkan penulisan karya-karya para tokoh seniman ini
mampu mendorong para siswa meluaskan cakrawala seni dan kebudayaan mereka. Melalui seni rupa,
kita merawat dan mengembangkan kebhinekaan budaya kita.

Selamat membaca.

Koordinator Pusaka Seni Rupa


Hendro Wiyanto

v
Daftar Isi

ii Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan

iv Pengantar Direktur Kesenian

v Pusaka Seni Rupa Indonesia dan


Kebhinekaan Budaya Kita

007 Bab 1 - Kisah Sang Tekenaar

024 Bab 2 - Affandi dan Seni Rupa Indonesia

036 Bab 3 - Menjadi Seniman Dunia

048 Bab 4 - Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi

062 Bab 5 - Penutup

068 Daftar Pustaka

070 Daftar Gambar

vi
Kisah Sang Tekenaar

i.
Foto masa kecil Affandi (tengah) dan
kakaknya Moh. Sabur (kanan).

007
Affandi

Bab 1
Kisah Sang Tekenaar

Mimpi adalah kunci! Begitulah ungkapan yang seringkali kita


dengar. Kesannya mudah untuk bermimpi, tapi sejauh mana kita
bisa tekun dalam bermimpi?

Kita dapat melihat bahwa menekuni mimpi adalah sebuah kunci


awal mencapai keberhasilan dari kisah awal hidup Affandi. Mimpi
Affandi mungkin bukanlah impian yang aneh di zaman sekarang.
Tapi pada saat itu, mungkin hanya satu dari seribu anak muda yang
mempunyai cita-cita seperti itu. Setidaknya sejak beranjak remaja,
Affandi telah menanam tekadnya dalam-dalam. Cita-citanya
menjadi seorang pelukis atau tukang gambar, yang pada masa itu
disebut tekenaar. Apa saja tantangan yang dihadapi Affandi untuk
meraih mimpinya?

Semuanya dimulai pada 1907 di Cirebon, Jawa Barat. Seorang anak


dari pasangan Raden Kusuma dan istrinya, Ladjem, lahir dengan
nama lengkap Baharudin Affandi Kusuma. Dialah Affandi, anak
kelima dari tujuh bersaudara. Wabah penyakit cacar menyerang i
keluarga Affandi ketika ia masih kanak-kanak. Satu persatu
saudara kandung Affandi meninggal. Beruntunglah Affandi dan
dua kakaknya, Moh. Sabur dan Abubukar, selamat dari penyakit
tersebut. Meski demikian, wajahnya dipenuhi bekas cacar.

Pada saat anak-anak Affandi gemar menonton wayang kulit dan


wayang golek. Affandi pun memiliki satu tokoh idola. Tidak
seperti anak-anak lain yang mengidolakan tokoh wayang yang
gagah perkasa seperti Bima, Arjuna, atau Gatotkaca, Affandi malah
mengidolakan tokoh Sukrasana. Sukrasana bukanlah pahlawan
yang umum diidolakan anak-anak seusia Affandi. Ia adalah putra
Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar dengan permaisuri
Dewi Darini yang berwujud raksasa kerdil. Ketika ditanya mengapa
mengidolakan Sukrasana, Affandi mengaku karena Sukrasana
berwajah jelek seperti dirinya, namun memiliki hati yang baik.

Kegemaran Affandi menonton wayang berlanjut pada


kesenangannya dalam menggambar wayang. Affandi kecil sangat
pandai menggambarkan tokoh-tokoh wayang yang ia perhatikan
ketika duduk di belakang dalang. Pada usia 7 tahun ia sudah bisa ii
menggambar dengan menggunakan ingatannya terhadap lebih
dari 100 sosok wayang kulit. Ayah Affandi yang bekerja sebagai
mantri ukur dan juru gambar peta tanah di pabrik gula Cirebon
pada awalnya tidak suka kalau Affandi terlalu banyak membuang
waktunya untuk menggambar wayang. Menurut ayahnya, Affandi
lebih baik tekun mempelajari pelajaran sekolah. Jika dimarahi

008
Kisah Sang Tekenaar

ayahnya, Affandi seringkali bersembunyi di tempat yang sepi. Ayah


Affandi pun lama-kelamaan mulai melihat bakat Affandi dalam
menggambar. Setelah Affandi pulang sekolah, ayahnya mulai
bertanya tentang corat-coret apa yang sudah dibuatnya. Kesenangan
Affandi terhadap wayang kulit dapat dibilang sangat mempengaruhi
gaya melukisnya. Garis dalam lukisan-lukisan Affandi cenderung
tidak lurus dan tegas, tetapi bergelung-gelung seperti wayang kulit.

Belajar Menggambar Sendiri

Affandi menempuh pendidikannya tidak hanya di satu kota. Pada


umur 11 tahun, Affandi masuk sekolah di Hollandsch-Inlandsche
School (HIS) di Indramayu, Jawa Barat. Meskipun Affandi
tidak begitu pandai dalam pelajaran, ia berhasil menyelesaikan
pendidikannya tepat waktu. Pada 1925, ketika Affandi berumur 18
tahun, ia melanjutkan sekolah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs iii
(MULO) di Bandung, Jawa Barat. Ayah Affandi meninggal pada
1928 ketika ia berusia 21 tahun dan duduk di kelas tiga MULO.
Biaya hidup dan sekolah Affandi sejak saat itu kemudian menjadi
tanggungan kakak pertamanya, Ir. Moh. Sabur. Pada tahun itu juga
Affandi berhasil menyelesaikan pendidikannya di MULO.

Atas saran kakaknya, Affandi melanjutkan pendidikannya di


Algemene Middlebare School (AMS) bagian B, ilmu pengetahuan
alam, di Jakarta (saat itu masih bernama Batavia). Moh. Sabur yang
saat itu telah menjadi insinyur yang membiayai sekolah Affandi
dan berharap Affandi dapat lulus memperoleh gelar setingkat
sarjana. Saat belajar di Jakarta-lah Affandi mulai merasa bahwa
bantuan kakaknya adalah hal yang sia-sia. Affandi makin senang
menggambar sendiri dengan pensil, konte (pensil berbahan dasar
bubuk grafit), dan arang. Ia belajar tanpa guru, hanya dengan iv
membaca buku dan melihat pameran. Affandi seorang diri
mempelajari garis, bentuk, warna, serta komposisi.

Selama belajar di Jakarta, Affandi tinggal di rumah seorang guru


HIS bernama Yudhokusumo. Anak dari Yudhokusumo, yaitu
Kartono Yudhokusumo (1924-1957), di kemudian hari juga menjadi i.
pelukis ternama. Yudhokusumo juga mempunyai anak angkat yaitu Wayang kulit dengan karakter Sukrasana.
S. Sudjojono (1913-1986) yang di kemudian hari juga menjadi salah ii.
satu pelukis ternama. Di rumah Yudhokusumo tersebut, Affandi Affandi, Beladjar Menggambar Sendiri, 1942.
sering menggambar potret-potret yang kemudian digantung di iii.
kamarnya. Kegemaran Affandi menggantungkan lukisan potret Potret pelukis Yudhokusumo.
menarik perhatian Sudjojono saat itu. Sudjojono terkejut melihat iv.
lukisan potret laki-laki tua yang tergantung di dinding ruang makan Pelukis S. Sudjojono saat muda.

009
Affandi

010
Kisah Sang Tekenaar

ii iii

keluarga Yudhokusumo. Sudjojono merasa lukisan tersebut sangat


bagus.

Affandi saat remaja sudah berkeinginan untuk masuk ke sebuah


sekolah menggambar di Negeri Belanda. Keinginan tersebut
mendapat tantangan dari Ir. Moh. Sabur yang menginginkan
Affandi untuk segera lulus dan melanjutkan studinya ke Technische
Hogechool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung)
agar menjadi insinyur. Kekecewaan Affandi tampaknya berdampak
pada pendidikannya di sekolah. Affandi saat itu justru semakin giat
belajar melukis sendiri dan mengabaikan pelajarannya di sekolah
sehingga dia tidak lulus dalam ujian akhir AMS. Affandi menolak
himbauan kakaknya untuk mengulang satu tahun di sekolah lagi. Ia i.
justru memilih berhenti sekolah dan memilih memantapkan cita- Affandi, Bapak S. Sudjojono, 1939, pastel
citanya menjadi tekenaar. di atas kertas, 63 x 50 cm.
ii.
Affandi, Self Portrait, 1938, pastel
di atas kertas, 63 x 45 cm.
iii.
Affandi, Moeder, 1938, cat minyak
di atas papan kayu, 42 x 32,5 cm.

011
Affandi

012
Kisah Sang Tekenaar

013
Affandi

Maryati dan Kartika

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di Jakarta,


Affandi kemudian mengajar di HIS Met de
Qur’an (Sekolah Dasar yang didirikan organisasi
Muhammadiyah pada masa penjajahan Belanda).
Di sekolah ini Affandi diserahi tugas sebagai
guru PBH (Pemberantas Buta Huruf ) yang
mengajarkan membaca dan menulis huruf Latin.
Sekolah diadakan pada malam hari sehingga
pada siang hari Affandi dapat berlatih melukis.
Sebagai seorang bujangan, gaji mengajar di HIS
cukup memadai. Saat menjadi guru inilah Affandi
bertemu dengan Maryati, yang saat itu adalah
salah satu muridnya.

Hubungan Affandi dengan Maryati yang lebih


muda sekitar 10 tahun mendapat tantangan dari
orang tua sang gadis. Affandi yang saat itu tidak
lulus AMS dipandang tidak memiliki masa depan
cerah. Meski demikian, Affandi bukanlah pemuda
yang mudah putus asa. Pada 1933 Affandi resmi
menikah dengan Maryati. Sejak berkeluarga,
kebutuhan finansial Affandi meningkat. Gaji
menjadi guru dirasa tidak lagi cukup. Saat itu
ia mendapat tawaran untuk menjadi pegawai
pemerintah dengan gaji yang jauh dari sekedar
mencukupi kebutuhan hidup. Menariknya,
Maryati justru tidak rela Affandi mengorbankan
mimpi Affandi untuk menjadi pelukis dengan
menjadi pegawai.
ii
Affandi dan Maryati pindah ke Bandung untuk
mengatasi keadaan ekonomi. Affandi bekerja
sebagai tukang cat untuk papan nama toko dan
pintu serta menggambar reklame film bioskop.
Sebagai tukang cat, Affandi juga suka membawa
pulang cat sisa untuk melukis. Pada malam hari, i.
Affandi bekerja sebagai portir bioskop Elita di Affandi, The Mother & Her Daughter, 1947,
Alun-Alun Bandung. Affandi merasa senang cat minyak di atas kanvas, 100 x 140 cm.
bekerja di sana karena dapat melukis sekaligus ii.
menonton film. Agar tetap fokus melukis, Affandi Affandi, My Wife, 1938, pastel di atas kertas,
mendisiplinkan waktu kerjanya. Ia memutuskan 66 x 50 cm.
untuk bekerja hanya di tanggal 1–10 di tiap bulan. iii.
Uang penghasilannya diserahkan kepada Maryati. Affandi, My Wife, Maryati, 1939,
Kemudian pada tanggal 11 sampai penghujung cat minyak di atas kanvas, 29 x 24 cm.
bulan merupakan waktu di mana Affandi fokus iv.
berlatih melukis. Sistem ini terbukti berhasil Bioskop Elita tempo dulu.
menjaga kelangsungan keluarga Affandi. Pada v.
1934 lahir seorang bocah perempuan mungil buah Affandi, Kartika Tidur, 1936,
hati Affandi yang dinamakan Kartika. pastel di atas kertas.
vi.
Affandi, Kartika Tidur, 1938.

014
Kisah Sang Tekenaar

iii iv

v vi

015
Affandi

i ii

i.
Affandi, My Family, 1938,
pastel di atas kertas, 69 x 50 cm.
ii.
Affandi, Potret Met Dochter (potret
bersama anak), 1939, cat minyak
di atas kanvas, 33 x 30 cm.
iii.
Affandi, Family of Sudarso, 1948, cat minyak
di atas kanvas & goni, 61,5 x 191 cm.
iv.
Foto Gang Wangsareja saat ini.

016
Kisah Sang Tekenaar

iii

Gang Wangsareja

Salah satu kerabat penting Affandi adalah Sudarso (1914-2006),


yang di kemudian hari sama-sama berkembang menjadi pelukis
penting Indonesia. Kisah Affandi bertemu Sudarso bermula sejak
Kartika masih kecil. Saat itu Affandi berlangganan susu untuk
anaknya. Si pengantar susu tersebut tak lain adalah Sudarso. Ketika
mengantar susu, Sudarso terbiasa berdiri lama di luar pintu untuk
memperhatikan Affandi melukis. Begitu asyiknya, sampai Sudarso
lupa untuk mengantar susu. Pada saat itulah Sudarso bertanya
apakah ia bisa belajar menggambar pada Affandi. Affandi pun
memberikan sisa-sisa catnya. Beberapa hari kemudian, Sudarso
datang membawa lukisan yang digambarnya menggunakan sisa-sisa
cat Affandi. Sejak itu, Affandi menyemangati Sudarso dan menjadi
sahabatnya dalam melukis.

iv Selain Sudarso, seseorang lain yang datang kepada Affandi untuk


melukis adalah Hendra Gunawan (1918-1983), yang kemudian
hari menjadi salah satu pelukis maestro Indonesia. Affandi, Sudarso,
dan Hendra sama-sama belajar melukis di tempat tinggal mereka
di Gang Wangsareja, Bandung. Hubungan mereka tidak seperti
guru dan murid, tapi kawan seprofesi. Di rumah tersebut tinggal
juga seorang pelukis bernama Turkandi. Pada waktu itu Sukarno,
yang kelak menjadi presiden pertama Indonesia, sering mendatangi
Turkandi. Sukarno minta dibuatkan karikatur untuk dimuat di
majalah Fikiran Ra'jat. Nama lain yang pernah disebut sebagai
bagian dari Gang Wangsareja adalah Wahdi, Barli, dan Abedy.

Kelompok yang terdiri dari Affandi, Sudarso, Hendra, Wahdi,


dan Barli ini seringkali disebut sebagai Kelompok Lima Bandung.
Menurut penuturan Barli, yang selanjutnya menempuh pendidikan
di Amsterdam, Belanda, Kelompok Lima Bandung berprinsip
bahwa lukisan haruslah menggambarkan situasi dan keadaan
secara seadanya tanpa diperindah. Mereka juga mengkritik lukisan
pemandangan yang pada masa itu cenderung dibuat di rumah
sang pelukis. Pelukis hendaknya hadir langsung di tengah-tengah

017
Affandi

situasi, menghayati bentuk dan lingkungan secara


langsung. Perlu diperhatikan kembali bahwa bisa
jadi antara Affandi dan rekan-rekannya hanya
merupakan kawan akrab yang sering melukis
bersama. Misalnya, Wahdi yang pernah belajar
melukis pada pelukis Abdullah Suriosubroto, ayah
pelukis terkenal Basuki Abdullah, bisa dianggap
sudah jadi pelukis. Affandi sendiri masih belajar
melukis dan banyak bekerja di bioskop.

Pada 1930an setiap tahunnya diselenggarakan


Pekan Raya (Jaarbeurs) di Kebon Raja, Bandung.
Para pelukis Gang Wangsareja bersama-
sama mengirimkan lukisan mereka untuk
dipamerkan dengan harapan ada yang terjual.
Affandi mengikutsertakan empat buah lukisan.
Ternyata salah satu lukisan dibeli oleh seseorang
bernama Sjafe’i Soemardja. Soemardja saat itu
adalah lulusan Rijksinstituut tot Opleiding van
Tekenleraren dan pemegang middlebare akte
atau ijasah pengajar seni gambar. Di kemudian
hari, Soemardja merupakan seorang perintis
pendidikan seni rupa di Bandung atau yang kita
kenal dengan Fakultas Seni Rupa dan Desain
ITB.

Karena rasa penasaran, Affandi kemudian


menemui pembeli lukisannya tersebut untuk
menanyakan alasan kenapa lukisan tersebut
dipilih. Soemardja pun mengaku bahwa bukan
karena lukisan itu lebih baik dari yang lain, tapi
lukisan itu dibeli karena di dalamnya ia melihat
masa depan. Soemardja pun berpesan agar Affandi
terus melukis, jangan berhenti, dan jangan putus i
asa. Soemardja nampaknya merupakan salah
satu orang penting jika kita melihat karya-karya
Affandi saat itu. Sejak bertemu Soemardja,
Affandi pun disarankan untuk belajar aliran
naturalisme terlebih dahulu sebelum aliran yang
lain.

Lewat buku-buku sekolah, Affandi lebih


menyukai karya-karya beraliran ekspresionisme
dan impresionisme ketimbang aliran naturalistik.
Beberapa karya dari pelukis ekspresionisme dan
impresionisme Eropa seperti Vincent van Gogh,
Paul Gauguin, dan Henri de Toulouse-Lautrec
yang terdapat dalam buku pelajaran dianggap
menarik oleh Affandi saat itu. Ekspresionisme
adalah kecenderungan seorang seniman untuk
menggambar ulang objek atau peristiwa dengan ii
efek-efek emosional sang seniman. Sementara,
impresionisme adalah sebuah aliran yang berusaha

018
Kisah Sang Tekenaar

menampilkan kesan-kesan pencahayaan yang


kuat dengan penekanan pada tampilan warna dan
bukan bentuk. Sedangkan naturalisme adalah
usaha menampilkan objek sesuai dengan apa yang
terlihat dan tempat yang alami.

Jika berkunjung ke Museum Affandi di


Yogyakarta, kita dapat menyaksikan beberapa
lukisan tertua Affandi yang masih tersimpan
bertanda tahun 1936. Dalam periode ini, Affandi
terlihat berusaha mematangkan kemampuan
melukis naturalisnya. Salah satu buktinya terlihat
pada lukisan berjudul Punggung Model. Lukisan
tersebut menujukkan bagaimana Affandi dengan
seksama melukis seorang model perempuan dari
belakang. Garis-garis dalam lukisan tersebut
menunjukkan bagaimana Affandi dengan teliti
berusaha membuat gambar tubuh sang model
serupa betul dengan yang ia pandang. Dalam
karya berjudul Self Potrait, kita bisa menyaksikan
bagaimana Affandi melukis wajahnya senyata iv
mungkin, menyerupai foto.

i.
Suasana Pasar Jaarbeurs,
Bandung tempo dulu.
ii.
Patung Sjafe’i Soemardja di depan Galeri
Soemardja, Insititut Teknologi Bandung.
iii.
Van Gogh, Self-Portrait, 1887, cat minyak
di atas papan, 41 x 32,5 cm.
iv.
Toulouse-Lautrec, At the Moulin Rouge,
1890, cat minyak di atas kanvas,
115 x 150 cm.

019
Affandi

i.
Affandi, Punggung Model, 1936, pastel
di atas kertas, 69,5 x 52,5 cm.
ii.
Affandi, Self Portrait, 1940, cat minyak
di atas kanvas, 36 x 30 cm.
iii.
ii Affandi, Topeng Bali, 1942.

020
Kisah Sang Tekenaar

Belajar di Bali

Pada 1940 Affandi sekeluarga pindah ke Bali untuk belajar melukis.


Bali menarik perhatian Affandi karena ia mendengar banyak cerita
tentang pelukis-pelukis di sana. Selain itu juga, saat itu biaya hidup
di Bali jauh lebih murah daripada Bandung. Pada waktu itu belum
umum seorang pelukis dari Jawa untuk tinggal di Bali, kecuali
pelukis Eropa seperti Adrien-Jean Le Mayeur (1880-1958) dari
Belgia atau Rudolf Bonnet (1895-1978) dari Belanda. Affandi saat
itu pergi ke Bali melalui pertolongan istri seorang regent (bupati)
Bandung. Affandi mengenal istri regent tersebut lantaran ia sering
memesan gambar bunga pada Affandi. Melalui koneksi istri regent,
Affandi diterima baik di Bali oleh Raja Gianyar bernama Anak
Agung Gede Agung. Affandi lantas diarahkan untuk belajar di
Ubud kepada Tjokorda Gde Agung Soekawati.

Di Ubud, Tjokorda Gde Agung Soekawati meminjamkan salah


satu rumahnya untuk ditempati Affandi dan keluarganya. Sebagai
balas jasa, Affandi pun memberikan kursus Bahasa Inggris kepada
para pemuda di Ubud. Saat itu Ubud adalah pusat bermukimnya iii
pemahat dan pelukis Bali sehingga banyak didatangi turis asing.
Pada 1936 misalnya, Rudolf Bonnet dan Tjokorda Gde Agung
Soekawati bersama seniman lain Walter Spies (1895-1942) serta
I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978) mendirikan kelompok Pita
Maha yang sangat berpengaruh dalam sejarah seni lukis Bali. Selain
memberikan kursus tersebut, Affandi menghabiskan waktunya di
Bali untuk belajar melukis. Ia pun banyak menemui tema-tema yang
menarik perhatiannya, seperti penari Bali dan aktivitas sabung ayam.

Affandi belajar melukis di Bali kurang lebih sekitar dua tahun dan
sempat diselingi pindah ke Surabaya untuk mengobati Maryati
yang sakit. Hal yang paling terlihat dari Affandi belajar di Bali
adalah lukisan-lukisannya yang mulai meninggalkan naturalisme
yang telah khatam dikuasainya untuk lanjut ke ekspresionisme dan
impresionisme, sebuah aliran yang memang disukainya sejak dulu.
Menurut Affandi, naturalisme itu gampang, “Artinya gampang itu,
selama melukisnya tidak merem masa tidak tercapai.” Sementara,
mengenai alasan mengapa ia memilih ekspresionisme, ia mengaku,
“Saya kepingin melukis di belakangnya motif (objek) itu. Misalnya
seorang sakit, orangnya kurus kering, menderita, saya melebihkan
kurusnya, supaya perasaan menderitanya lebih kena.” Pada masa
ini, langkah Affandi yang tekun mulai terlihat. Ia memulai jalan
hidupnya sebagai seorang tekenaar!

021
Affandi

i.
Affandi, Potret Diri, 1942.

022
Kisah Sang Tekenaar

“Saya kepingin melukis di


belakangnya motif (objek)
itu. Misalnya seorang
sakit, orangnya kurus
kering, menderita, saya
melebihkan kurusnya,
supaya perasaan
menderitanya lebih kena.”

023
Affandi

Bab 2
Affandi dan Seni Rupa Indonesia

Masa kependudukan Jepang (1942-1945) seringkali disebut sebagai


yang paling kelam dalam sejarah Indonesia. Namun di balik itu
ada hal-hal yang dapat dipetik sisi positifnya. Di zaman Jepang
inilah Affandi mulai mendapatkan banyak kesempatan untuk
melukis tanpa terbebani masalah ekonomi. Affandi bahkan mulai
mematangkan praktik berkaryanya dan menjalin banyak ikatan
dengan seniman-seniman lain. Secara tidak langsung suasana di
masa itu membawa Affandi menjadi bagian penting dari tonggak
awal seni rupa Indonesia.

Pameran Tunggal Pertama


i
Jepang datang ke Indonesia pada Maret 1942. Di tengah kedatangan
Jepang ini, Affandi meninggalkan Bali dengan membawa tas ransel
dan beberapa gulung lukisan hasil karyanya. Di Jakarta, Affandi
bersama seniman-seniman lain seperti Sudjojono, Dullah, Henk
Ngantung, Basuki Abdullah, Kartono Yudhokusumo, Chairil Anwar,
dan Usmar Ismail bergabung dengan POETERA (Poesat Tenaga
Rakyat). POETERA merupakan organisasi bentukan Jepang yang
dipimpin oleh Empat Serangkai: Ir. Sukarno, M. Hatta, Ki Hajar
Dewantoro, dan K.H. Mas Mansyur. Saat itu, Affandi sangat
senang bekerja di POETERA sebab kebutuhan bahan-bahan dan
alat lukis sudah disediakan. Ia dan keluarganya pun mendapatkan
tempat tinggal rumah yang mewah baginya saat itu di Menteng,
Jakarta Pusat. POETERA pun sering mengadakan pameran lukisan
seniman Indonesia secara bergiliran sehingga nama-nama seniman
di dalamnya dikenal umum melalui resensi di berbagai surat kabar. ii

Pameran seni rupa berlangsung lebih sering di masa penjajahan


Jepang dibanding pada era penjajahan Belanda. Pameran lukisan
pertama pada zaman penjajahan Jepang berlangsung di rakutenchi
(pasar malam) selama kurang lebih dua minggu. Dalam pameran itu,
jumlah pengunjung yang datang bisa beratus-ratus sampai beribu-
ribu tiap malamnya. Pameran lainnya diselenggarakan di suatu i.
gedung di Jalan Gambir Barat (sekarang Jalan Medan Merdeka Foto Organisasi POETERA.
Barat, dekat Monas). Nama Affandi tercatat dalam pameran ii.
ini bersama seniman Indonesia ternama lain, seperti Sudjojono, Affandi, Di Dalam Rumah, 1941, cat minyak
Kartono Yudhokusumo, Basuki Abdullah, Henk Ngantung, dan di atas kanvas, 40,5 x 56 cm.
lain-lain. Pameran-pameran selanjutnya selalu menarik perhatian, iii.
baik dari kalangan pemerintah, masyarakat umum, dan media massa. Affandi, Di Dalam Kamar (interior), 1942,
cat minyak di atas papan kayu, 45 x 46 cm.
Di gedung Keimin Bunka Shidosho (organisasi pusat kebudayaan iv.
bentukan pemerintah kolonial Jepang), beberapa kali diselenggarkan Affandi, Ibuku, 1941, cat minyak
pameran besar yang selalu memberikan penghargaan pada karya- di atas kanvas, 41,5 x 32 cm.

024
Affandi dan Seni Rupa Indonesia

karya seniman terbaik. Pada pameran Keimin


Bunka Shidosho yang ketiga, karya Affandi
mendapatkan penghargaan bersama tiga karya
seniman lain. Salah satu surat kabar saat itu,
Asia Raya, menyebut karya Affandi yang
memenangkan penghargaan ini berjudul Kamar
Saya. Kemungkinan besar, karya bertajuk Kamar
Saya yang memenangkan penghargaan itu adalah
karya Affandi yang sama, yang kini menjadi
koleksi Museum Affandi dengan judul berbeda,
yakni Di dalam Kamar.

Selain kegiatan yang diprakarsai Keimin Bunka


Shidoso, POETERA juga menyelenggarakan
pameran kelompok maupun tunggal para
senimannya. Dalam sebuah pameran bersama
yang berlangsung di Jalan Sunda sekitar bulan
Agustus 1943, tema yang diangkat adalah iii
karya-karya naturalisme atau realisme. Affandi
menyumbangkan karya berjudul Ibuku.

Pameran tunggal pertama Affandi diselenggarakan


Juni 1943 di Gedung POETERA. Dalam
pameran tersebut, Affandi banyak memamerkan
karya-karya di Bali yang menunjukkan transisi
dari gaya realisme ke impresionisme. Sudjojono,
ketua seksi seni rupa POETERA, mencatat dalam
pameran itu bahwa ketika Affandi melukis, ia
hanya menginterpretasikan maksud hatinya tanpa
memikirkan lagi bagaimana secara teknis harus
dibuat. Terlihat bahwa teknik, bagi Affandi, bukan
menjadi persoalan. “Hanya rasa yang dihambur-
hamburkannya melalui tangan sebebas-bebasnya,”
tulis Sudjojono.

Menurut rekannya, Dullah (1919-1996), pada


saat itu lukisan Affandi tampak jelas dengan
garis-garis panjang. Gaya ini Affandi kembangkan
saat belajar di Bali. Basuki Abdullah (1915-
1993), salah satu pelukis POETERA yang telah
menempuh pendidikan di Belanda, mengatakan iv
bahwa Affandi saat itu telah layak dianggap
sebagai pelukis impresionis-realis yang karyanya
mampu menimbulkan kemegahan di hati. Meski

025
Affandi

demikian, Basuki Abdullah mengkritik dengan


mengatakan bahwa Affandi terlalu tergesa-gesa
bekerjanya, seolah-olah ia takut ketinggalan kapal
yang akan membawanya kembali dari pulau Bali.
Tidak hanya dalam bentuk lukisan, pada tahun itu
Affandi juga membuat karya berbentuk patung.
Salah satunya adalah karya patung berjudul
Affandi & Kartika yang menunjukkan dirinya
beserta sang anak.

Pada 1944 POETERA dibubarkan karena


dianggap kurang menunjukkan dukungan
pada Pemerintahan Jepang. Dibentuklah
Jawa Hokokai sebagai organisasi pengganti
POETERA. Di tahun yang sama, Bala Tentara
Jepang menganjurkan kepada para seniman yang
tergabung ke dalam Jawa Hokokai mengadakan
pameran sebagai bagian dari propaganda. Para
seniman diminta melukis romusha (tenaga kerja
paksa) dengan berbadan tegap, sehat, dan tampak
gagah perkasa. Affandi tidak mau membohongi
hatinya sendiri karena kenyataannya para tenaga
kerja romusha justru berbadan kurus-kering,
berpakaian compang-camping, bahkan banyak
yang sudah telanjang. Banyak pula yang meninggal
karena kelaparan, kelelahan, dan menderita
malaria. Affandi akhirnya membuat sebuah karya i
yang melukiskan romusha secara apa adanya. Karya
tersebut kemudian disita pemerintah Jepang
sebab dianggap membahayakan bagi propaganda.
Ada dua versi tentang karya ini. Pertama, sebuah
lukisan berjudul Romusha. Kedua, bukan lukisan
namun patung yang berjudul sama, Romusha. Tapi,
menurut Kartika, putri Affandi, karya itu berjudul
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi.

026
Affandi dan Seni Rupa Indonesia

iii

ii

i.
Replika patung Affandi & Kartika,
1943, perunggu.
ii.
Affandi, Gembel Berewokan, 1944.
iii.
Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi, 1944, cat air di atas kertas,
40,5 x 56 cm.

027
Affandi

ii

i.
Foto Affandi sedang melukis dengan
tube-tube cat di sekitarnya.
ii.
Tampak hasil cat pelototan dari samping.
iii.
iii Foto Suhardjono mendampingi
Affandi melukis.

028
Affandi dan Seni Rupa Indonesia

Teknik Pelototan

Masa penjajahan Jepang penting dicatat sebagai masa di mana


Affandi memulai teknik melukis khas dirinya, yakni teknik
pelototan. Teknik itu kebetulan ia temukan ketika sedang membuat
lukisan besar keluarga. Saat sedang melukis tersebut, hasrat
melukisnya meluap-luap. Ia mencari pensil atau kuas kecil untuk
membuat garis, tetapi pensil tidak ditemukan. Karena tidak ada
waktu untuk mencari pensil, sementara gemuruh hatinya tidak
ingin terputus, Affandi mengambil tube cat yang berbentuk seperti
pasta gigi tersebut, lantas dipelototkan (ditekan hingga keluar
isinya) ke kanvas. Sejak saat itu ia mulai melukis dengan sesekali
menggabungkan kuas dan teknik pelototan. Lama-kelamaan ia
merasa bahwa teknik pelototan itu lebih memuaskan karena bisa
cepat mengikuti rangsangan emosi di dalam dirinya.

Tentu saja Affandi dapat melukis lebih cepat dengan teknik


pelototan daripada sebelumnya. Ia tidak perlu mengaduk-aduk cat
dan mencari-cari kuas yang cocok. Namun, butuh waktu setidaknya
tujuh tahun sampai Affandi akhirnya bisa mengembangkan teknik “Bahwasanya kalau
itu. Pertama, karena Affandi saat itu masih dalam peralihan dari
teknik naturalisme atau realisme. Dengan teknik pelototan, tidak saya melukis saya
mudah membuat garis dan warna dengan tingkat ketegasan natural.
Garis-garis hasil pelototan tidak mudah dikontrol panjang dan mengeluarkan isi hati.
pendeknya. Juga, tanpa campuran minyak, warna dari tube cat
menjadi terlalu tegas untuk melukiskan warna natural. Kedua, teknik Emosi habis, saya capek,
pelototan menghabiskan cat lebih cepat. Keadaan ekonomi Affandi
yang payah di penghujung era penjajahan Jepang membuat ia harus saya berhenti.”
menunda eksplorasi teknik ini.

Perlu dicatat bahwa dalam perkembangan karirnya, sekitar 1960an


Affandi mulai sepenuhnya meninggalkan kuas. Tidak hanya
mengandalkan pelototan cat di tube, ia juga aktif mengoles kuas
dengan tangannya. Namun, Affandi ternyata selalu merasa kalah
cepat oleh emosinya. Pada perkembangannya, Affandi dibantu
melukis oleh supir sekaligus asistennya yang bernama Suhardjono.
Saat melukis, Suhardjono menjadi orang yang bertugas menyiapkan
tube-tube cat. Affandi tinggal berteriak warna apa yang ia hendaki
dan lantas Suhardjono memberikan tube cat ke tangan Affandi.
Mengenai teknik melukisnya ini, Affandi sempat menuturkan,
“Bahwasanya kalau saya melukis saya mengeluarkan isi hati. Emosi
habis, saya capek, saya berhenti.” Bisa dibayangkan bagaimana
teknik melukis Affandi yang menggebu-gebu menjadi tontonan
yang menarik. Tidak heran bila Affandi melukis di tempat umum,
orang-orang akan berdiri menonton di sekelilingnya.

029
Affandi

Ketika rekan-rekannya mengantar Chairil ke


pemakaman, Affandi buru-buru pulang untuk
menyelesaikan lukisannya. Affandi takut ia tak
akan lagi menemukan “ke-Chairil-annya” jika
emosi melukis lukisan itu ditunda.

030
Affandi dan Seni Rupa Indonesia

Setelah Kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, bendera merah putih


berkibar di muka kantor Jawa Hokokai. Kantor Jawa Hokokai
beralih fungsi menjadi tempat berkumpulnya seniman, sastra, musik,
dan lain-lain. Pada saat itu Affandi diserahi tugas oleh Sukarno
melalui Sudjojono untuk membuat poster. Affandi meminta Dullah
untuk menjadi modelnya. Poster tersebut dilukis di atas kertas putih
berukuran 80 x 100 cm serta digambar dengan cat tube berwarna
hitam dan merah yang diencerkan dengan bensin. Atas bantuan
penyair Chairil Anwar (1922-1949), poster diberikan teks berbunyi,
“Boeng Ajo Boeng” (Bung, Ayo Bung) untuk semakin menggugah
semangat perjuangan.

Ada kisah menarik mengenai hubungan Affandi dan Chairil Anwar.


Penyair ini menganggap Affandi sebagai “bapak” karena kagum
atas sifat kesenimannya. Ia pernah menulis sajak khusus berjudul ii
Kepada Pelukis Affandi. Kekaguman Chairil terasa betul dalam dua
baris kalimat yang berbunyi, “berilah aku tempat di menara tinggi,
di mana kau sendiri meninggi.” Pada suatu hari Chairil meminta
agar Affandi melukisnya. Biasanya Affandi menyelesaikan lukisan
dalam waktu dua jam. Namun saat itu, dua jam telah berlalu dan
lukisannya belum selesai. Lukisan tersebut akhirnya terbengkalai
sampai Chairil meninggal pada 1949. Ketika rekan-rekannya
mengantar Chairil ke pemakaman, Affandi buru-buru pulang
untuk menyelesaikan lukisannya. Affandi takut ia tak akan lagi
menemukan “ke-Chairil-annya” jika emosi melukis lukisan itu
ditunda.

Pada Januari 1946 pusat pemerintahan pindah ke Yogyakarta. Para


seniman, termasuk Affandi, ikut pindah. Bersama Sudarso dan
Hendra, Affandi lantas mendirikan organisasi Seniman Masyarakat,
yang pada akhirnya melebur dengan Seniman Indonesia Muda.
Setahun setelahnya Affandi keluar dari Seniman Indonesia Muda
dan mendirikan kelompok Pelukis Rakyat dengan Kusnadi, iii
Hendra, Sudarso dan kawan-kawan lain di bagian depan Museum
Sonobudoyo. Pada masa itu lukisan Affandi sedikit demi sedikit
mulai dilirik pembeli. Pembelinya tidak hanya orang Indonesia,
tetapi seperti yang diungkapkan Affandi, “orang kulit putih”.

i.
Affandi, Chairil Anwar, 1951, cat minyak
di atas kanvas, 79 x 96 cm.
ii.
Poster Boeng, Ajo Boeng.
iii.
Foto buku puisi Chairil Anwar.

031
Affandi

Banyak seniman Indonesia yang mengungsi


ketika Agresi Militer Belanda I dan II. Affandi
bersama keluarga mengungsi ke Jakarta. Dalam
perjalanannya, mereka sempat ditahan sekitar satu
bulan di Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa
Tengah oleh Belanda. Sesampai di Jakarta, Affandi
berkumpul kembali bersama beberapa teman lama
di garasi Taman Siswa, Jalan Garuda, Jakarta. Pada
waktu itu Affandi sempat membuat organisasi
baru, yaitu Gabungan Pelukis Indonesia. Selain
melukis, Affandi saat itu juga memberikan
pelajaran menggambar kepada siswa-siswa di
Taman Siswa.

Setelah perang mempertahankan kemerdekaan


ini selesai, Presiden Sukarno meminta para
pelukis untuk melukis para pahlawan bangsa.
Affandi kebagian melukis tokoh bernama H.O.S.
Tjokroaminoto. Semua lukisan para pahlawan
dipajang di Gedung Agung, Jogja. Suatu hari
presiden mendapatkan kunjungan dari Tentara
Sekutu yang salah satunya bernama Sen Gupta.
Melihat lukisan Affandi, Sen Gupta pun meminta
bertemu Affandi. Begitu bertemu Affandi,
Sen Gupta menawarkan Affandi untuk belajar
melukis di India.

Inilah awal dari momen penting Affandi karena


hijrahnya ke India selama beberapa tahun (1949-
1951) kelak membuka kemungkinan baru atas
perjalanannya sebagai seniman. Affandi diterima
i belajar seni lukis di Akademi Seni Visva-Bharati,
Santiniketan, India. Tapi, ia dianggap sebagai
seniman yang sudah jadi oleh para pengajar di
akademi itu. Seluruh beasiswanya selama dua
tahun diserahkan kepadanya untuk berkeliling
India dan melukis di negeri tersebut. Perjalanan ke
India adalah jembatan utama bagi Affandi untuk
melangkah lebih jauh sebagai seniman dunia.

ii

032
Affandi dan Seni Rupa Indonesia

iv iii

i.
Affandi, Relief Prambanan, 1945, tinta cina
di atas kertas.
ii.
Affandi, Relief Prambanan II, 1946,
tinta cina di atas kertas.
iii.
Affandi, Mata-Mata Musuh
(A Capture Spy), 1947, cat minyak
di atas kanvas, 103,5 x 97 cm.
iv.
Affandi, Antri Beras, 1948, tinta cina v
di atas kertas, 27,3 x 34,5 cm.
v.
Affandi, Main Domino di Garasi
Taman Siswa, 1949, tinta cina di atas kertas,
31 x 38 cm.

033
Affandi

i ii

i.
Affandi, Belajar Anatomi Duduk Telanjang,
1948.
ii.
Affandi, Belajar Anatomi Sendiri, 1948,
tinta cina di atas kertas.
iii.
Affandi, HOS Tjokroaminoto, 1947,
cat minyak di atas kanvas, 103 x 85 cm.

034
Affandi dan Seni Rupa Indonesia

iii

035
Affandi

Bab 3
Menjadi Seniman Dunia

Setelah proklamasi kemerdekaan tak bisa


dipungkiri nama Affandi menjadi salah satu
nama penting dalam jajaran nama-nama pelukis
Indonesia kala itu. Namun, karir Affandi saat itu
hanyalah tonggak awal dari fase karir lain yang
lebih melambungkan namanya, yakni karir dalam
dunia seni internasional. Pada 1947 Affandi
mendapat beasiswa dari pemerintah India untuk
belajar seni lukis selama dua tahun di Akademi
Seni Visva-Bharati di Shantiniketan, Benggala
Barat. Beasiswa tersebut merupakan inisiatif Sen
Gupta, salah satu Tentara Sekutu, yang disetujui i
Presiden Sukarno. Akademi Seni Visva-Bharati
didirikan oleh pujangga India, Rabindranath
Tagore yang terkenal itu.

Affandi merasa cocok dan kerasan dengan


Akademi Seni Visva-Bharati atas konsep
pendidikannya yang nonformal dan nonakademis,
serta menekankan spontanitas dan eksplorasi.
Affandi menyambut dengan gembira tawaran
tersebut. Sayangnya, keberangkatan Affandi
tertunda dua tahun karena adanya Agresi Militer
Belanda. Baru pada 1949, akhirnya Affandi
bersama istrinya, Maryati, dan anaknya, Kartika,
menumpang kapal untuk berangkat ke India.

ii

036
Menjadi Seniman Dunia

iv iii

Keliling India

Program kuliah Akademi Seni Visva-Bharati yang begitu bebas


dan orisinal, yang membuatnya termasyhur di seluruh dunia,
dianggap Affandi sebagai tempat penggalian baru daripada tempat
belajar melukis. Ketika sampai di sekolah tersebut, seorang guru
mengatakan bahwa, “Affandi sudah jadi”. Affandi bahkan sudah
dianggap sebagai seniman yang diharapkan justru bisa mengajar
di sana. Sementara bagi Maryati dan Kartika, pengalaman di
Shantiniketan, Benggala Barat sangat mereka senangi. Pada waktu
itulah Kartika mulai tertarik untuk benar-benar menggambar.

Akademi Seni Visva-Bharati memang tempat yang cocok bagi


seniman seperti Affandi, yang sangat percaya kepada pernyataan
artistik yang spontan serta kepekaan terhadap alam sekitar. Akan
tetapi, karena pada waktu itu Affandi sudah sampai pada tahap
di mana proses penjiwaannya sebagai pelukis dan seniman sudah i.
matang, Affandi memilih menghabiskan uang beasiswa untuk Foto Affandi, Kartika, dan Maryati.
melakukan perjalanan keliling India bersama Maryati dan Kartika. ii.
Jiwanya yang gelisah terus mencari. Ia lebih banyak bermukim Affandi, Kapal ke India, 1949, tinta cina
di India untuk mematangkan lukisannya. Direguknya kehidupan di atas kertas, 35,3 x 24 cm.
yang ia jumpai di India, terutama di daerah sekitar Calcutta. Para iii.
gelandangan, kamp-kamp pengungsi, pasar rumah-rumah penduduk Affandi, Kapal, 1949, tinta cina
di pedesaan, serta pemandangan bagian kota yang kumuh menjadi di atas kertas, 24,3 x 35,4 cm.
objek lukisannya. Affandi juga mengadakan beberapa kali pameran iv.
lukisan di India. Affandi, Santiniketan India, 1949,
tinta cina di atas kertas.

037
Affandi

ii

i.
Affandi, Pemandangan Jalan Raya di India,
1950.
ii.
Affandi, Pengungsi India, 1960, tinta cina
di atas kertas.
iii.
Affandi, Rumah di India, 1950, tinta cina
di atas kertas.
iv.
Pameran Lukisan Affandi di India
tahun 1950.
v.
Affandi, Potret Diri dan Tujuh Matahari di
India (Matahari-Matahari Kejam), 1950,
cat minyak di atas kanvas.
iii

038
Menjadi Seniman Dunia

Salah satu lukisan Affandi yang terkemuka adalah


lukisan berjudul Potret Diri dan Tujuh Matahari
di India (1950). Affandi melukis karya itu di India
ketika matahari sedang panas-panasnya. Sengatan
panas matahari di India itu menyebabkan ia
sering sakit, merasa lesu, dan marah kepada
matahari yang selalu dianggapnya sebagai simbol
kehidupan. Kemarahannya itu diluapkan dengan
menggambar dirinya yang kurus karena sakit
“didampingi” matahari yang tak tanggung-
tanggung berjumlah tujuh buah.

Tepat dua tahun Affandi berada di India, datang


telegram singkat dari Presiden Sukarno yang
berisi, “Affandi segera pulang”. Namun, Affandi
sama sekali tidak menggubrisnya. Affandi
sungguh-sungguh bertekad untuk tak kembali iv
ke Indonesia. Kepada istri dan anaknya, Affandi
menantang untuk menyebrang ke Eropa. Salah
satu alasan Affandi adalah ia ingin melihat secara
langsung lukisan Van Gogh yang kerap dikatakan
mirip dengan lukisannya.

039
Affandi

Pujian dan Penghargaan di Eropa Seorang kritikus seni terhormat lain bernama
Eric Newton yang saat itu tengah meninjau
Pada 1951 keluarga Affandi melanjutkan serangkaian pameran pelukis ekspresionis
petualangan dan pengembaraan mereka ke di sekitar London menyimpulkan bahwa
Eropa. Kota pertama yang mereka tuju adalah ekspresionisme jelas adalah “semua kemarahan”
London, di mana calon menantu Affandi, Sapto saat ini. Newton mendefinisikan seorang pelukis
Hudoyo, belajar dan melukis di sana. Di ibu ekspresionis sebagai “pria yang mengekspresikan
kota Inggris itulah Kartika kemudian menikah perasaan mereka”. Dia menulis banyak
dengan Sapto Hudoyo. Dari Inggris, atas tentang Affandi dalam sebuah artikel, di mana
undangan Sticussa (Stichting voor Culturele menyebutkan bahwa Affandi adalah seorang
Samenwerking), organisasi untuk kerjasama seniman Jawa namun tradisi Indonesianya tampak
kebudayaan Belanda, Affandi dan istrinya samar. Ia belajar sendiri secara autodidak, lebih
pergi ke negeri Belanda. Selanjutnya, Affandi liar daripada Kokoschka, dan sama berhasratnya
mengembara ke Belgia, Perancis, dan Italia untuk dengan Van Gogh. Ia melukis dengan ceroboh.
melukis dan mengadakan berbagai pameran. Ia siap melukis apa pun yang menggerakkannya.
Tema-tema lukisannya antara lain pemandangan Gambarnya kuat, lukisannya bervariasi. Dia adalah
kota Eropa, profil manusia Eropa—terutama contoh sempurna dari seorang ekspresionis.
wajah masyarakatnya—kafe-kafe dan restoran,
serta Menara Eiffel. Tema-tema ini mengundang Pada 1954 Affandi berpartisipasi di Venice
berbagai diskusi dan kritik yang sangat positif. Biennial, bienal (pagelaran seni dua tahunan)
tertua dalam sejarah. Venice Biennial yang
Meskipun sebelumnya telah ada beberapa artikel didirikan pada 1895 saat itu menampilkan lebih
media bahwa Affandi tinggal di India, catatan dari 600 seniman dari tiga puluh dua negara, yang
awal mengenai Affandi di Eropa justru langsung dipamerkan di delapan puluh galeri yang tersebar
bisa ditemui dalam tulisan kritikus dan sejarawan di antara 20 paviliun. Pagelaran itu merupakan
seni yang sangat terkenal. John Berger, salah satu tonggak penting lantaran Affandi pada saat
orang paling penting dalam sejarah dan kritik seni itu dipilih oleh juri sebagai salah satu peraih
di Eropa abad 20, pada Mei 1952 menulis di penghargaan.
New Statesman bahwa banyak orang memberi label
kepada karya Affandi sebagai karya ekspresionis.
Mereka berargumentasi dengan menunjukkan
kesamaan karya Affandi dengan karya seniman
dunia, seperti Van Gogh. Namun, itu adalah
pandangan yang sangat dangkal. Menurut Berger,
karya Affandi berbeda jenisnya dari hampir
semua karya yang diproduksi di Eropa. Alasannya
adalah karena karya Affandi menunjukkan jalan
keluar dari jalan buntu yang sekarang dihadapi di
Paris, New York dan London, yaitu jalan keluar
dari pandangan yang mengkotak-kotakkan seni
berdasarkan aliran-aliran tertentu.

Karya Affandi dapat disebut sebagai “karya i.


aksi” (disajikan tanpa pigura) sehingga terasa Affandi, Gadis Eropa, 1952, cat minyak
tidak terpisah oleh lingkungan di sekitarnya. di atas kanvas, 88 x 56,5 cm.
Emosi kekerasan, kemarahan, perseteruan, dan ii.
kelembutan bisa kita rasakan langsung di dalam Affandi, Roma, 1953.
kanvasnya. Pemandang lukisan Affandi tidak akan iii.
merasa bahwa semua emosi itu telah disaring Affandi, Kafe di Paris dengan Pemain Gitar,
oleh pelukisnya (sang subjek), tetapi oleh aksinya. 1953.
Kekhasan inilah yang membuat lukisan Affandi iv.
dapat disebut memiliki gaya ekspresionisme atau Affandi, Kapal Venesia, 1954, tinta cina
emosionalisme. di atas kertas, 51 x 40 cm.

040
Menjadi Seniman Dunia

ii

iv

iii

041
Affandi

042
Menjadi Seniman Dunia

“Affandi adalah seorang


seniman Jawa namun
tradisi Indonesianya
tampak samar. Ia
belajar sendiri secara
autodidak, lebih liar
daripada Kokoschka,
dan sama berhasratnya
dengan Van Gogh. Ia
melukis dengan ceroboh.
Ia siap melukis apa pun
yang menggerakkannya. ii

Gambarnya kuat,
lukisannya bervariasi.
Dia adalah contoh
sempurna dari seorang
ekspresionis.”

i.
Artikel kritikus ternama John Berger
tentang Affandi.
ii.
Foto Affandi di luar negeri.

043
Affandi

Affandi di Amerika

Karya Affandi pertama kali dipamerkan di


Amerika pada awal 1950an. Affandi sendiri secara
resmi (lewat undangan) mengunjungi Amerika
Serikat sebanyak empat kali, tiga kalinya antara
1957-1967 dan yang keempat kalinya pada 1984.
Di samping itu, ia juga melakukan kunjungan
personal. Pada kunjungan pertama dan kedua,
Affandi adalah tamu Departemen Luar Negeri,
sebagai mahasiswa pendidikan seni dan sebagai
profesor tamu di Ohio State University. Pada
kunjungan ketiga kalinya, ia berkunjung sebagai
Spesialis Senior di University of Hawaii di
Manoa. Sementara keempat kalinya, ia mewakili
Indonesia dalam pameran seni dan kerajinan i
tangan di Houston, Texas.

Perhatian pertama publik Amerika terhadap


karya Affandi adalah ketika beberapa lukisannya
dipamerkan di New York pada 1952. Aline
B. Louchheim dari New York Times menulis
sebuah laporan singkat yang terbit 2 Maret 1952
dengan subjudul, Dari Timur Jauh, di mana dia
menyebutkan sebuah pameran dengan karya
baru yang belum pernah dilihat sebelumnya di
Amerika Serikat: seni kontemporer dari Indonesia.
Di tahun yang sama, Affandi berpameran dalam
sebuah acara kelompok dengan sesama seniman
Indonesia. Tahun 1952 bisa dibilang merupakan
tahun penting dalam karir internasional Affandi ii
di mana karyanya juga dipamerkan di Belgia,
London, dan São Paolo. Di tahun berikutnya
karyanya tampil di Paris dan Roma.

Sebuah artikel majalah Time pada Januari 1953


mengenalkan Affandi ke publik yang lebih luas
daripada sebelumnya, tak hanya di Amerika, tapi
juga pembaca Eropa. Dalam laporan dari sebuah
pameran di Palais des Beaux-Arts di Belgia,
penulis memulai dengan sebuah pernyataan
berwibawa, “Salah satu hal tersulit yang bisa
dilakukan seniman baru akhir-akhir ini adalah
meyakinkan kritikus Eropa bahwa gayanya adalah
1) baru dan 2) layak dimiliki. Pelukis Jawa berusia
42 tahun bernama Affandi dapat memenuhi syarat
untuk kedua hal tersebut.” Pameran di Belgia iii
tersebut menampilkan seni sejarah dan modern
Indonesia, dengan Affandi yang memamerkan
48 lukisan. Penulis Time kemudian mengutip
nama John Berger, “Dia tidak pernah mengambil
pelajaran seni formal dalam hidupnya, tapi setelah
pameran besar pertamanya di London enam bulan

044
Menjadi Seniman Dunia

yang lalu, John Berger dari New Statesman dengan


tegas memanggilnya ‘pelukis jenius’.”

Juga disinggung dalam artikel majalah Time


bahwa Affandi telah mengembangkan gaya
lukisan dengan tangan, “Affandi tidak pernah
belajar menggunakan palet, tidak suka sikat.
Sebagai gantinya, dia meremas cat ke ibu jarinya,
lalu mengoleskannya di kanvas. Dia akan sering
menghabiskan satu minggu mempelajari sebuah
topik, tapi proses melukisnya sebenarnya jarang
memakan waktu lebih lama dari 90 menit yang
berapi-api. ‘Setelah sekitar satu jam,’ katanya, ‘saya
biasanya merasakan emosi saya menurun. Lebih
baik menghentikannya. Lukisan itu selesai.’”

Selain di Amerika Utara, Affandi juga


berpartisipasi di Amerika Selatan, tepatnya
dalam São Paolo Biennial kedua yang dibuka
Desember 1953. Hal ini adalah tahun bersejarah
bagi seni rupa Indonesia modern karena pertama
kalinya seniman Indonesia berpartisipasi di
acara biennale internasional, dan tiga seniman
dari Indonesia (Affandi, Kusnadi, dan Sholihin)
terbang langsung. Sayangnya, arsip mengenai
partisipasi ini tidak tercatat jelas. São Paolo
Biennial Foundation sendiri setidaknya mencatat
partisipasi Affandi di ajang São Paolo Biennial
kesepuluh (1969), 16 tahun berikutnya dengan
lima karya: Bistro di Paris, Pemandangan di Kota iv
Meksiko, Salju di Atas Ohio, Berdiri Telanjang, dan
Badut Bali.

Meski karyanya telah mendapat perhatian di


Amerika Serikat, Affandi datang mengunjungi
Amerika sendiri untuk pertama kalinya pada 1957.
Affandi menerima dana dari Departemen Luar
Negeri Amerika untuk belajar pendidikan seni
di Amerika. Affandi belajar metode pendidikan
seni di University of Ohio selama empat bulan
serta mengadakan pameran di San Francisco
dan di Galeri Rumah Dunia di New York Press i.
Club, sekitar 1957 atau 1958. Selama lima tahun Affandi, Times Square, New York, 1958,
kemudian, Affandi tampaknya berada di Amerika cat minyak di atas kanvas, 64 x 76 cm.
Serikat sembari bolak-balik tinggal di negara lain, ii.
termasuk di Indonesia. Pada 1962 Affandi kembali Affandi, Bay Bridge, 1958, cat minyak
ke Amerika Serikat sebagai Profesor Kehormatan di atas kanvas, 56 x 71 cm.
Seni Lukis di Ohio State University di Columbus, iii.
Ohio. Affandi, Charles River, Boston, 1958,
cat minyak di atas kanvas, 61 x 76 cm.
iv.
Katalog Pameran Modern Indonesian
Paintings tahun 1952.

045
Affandi

i ii iii

“Affandi tidak pernah belajar menggunakan palet,


tidak suka sikat. Sebagai gantinya, dia meremas cat
ke ibu jarinya, lalu mengoleskannya di kanvas. Dia
akan sering menghabiskan satu minggu mempelajari
sebuah topik, tapi proses melukisnya sebenarnya
jarang memakan waktu lebih lama dari 90 menit
yang berapi-api.”
–Majalah TIME

046
Menjadi Seniman Dunia

Dapat dikatakan bahwa Affandi telah mencapai


puncak karirnya di perpindahan dekade ‘50an ke
‘60an. Ia membuktikan dirinya sebagai seseorang
yang konsisten menekuni praktiknya sebagai
seniman. Ia juga membuktikan konsistensinya
untuk menjadikan praktik berkesenian sebagai
praktik kemanusiaan. Pada suatu saat, Affandi
diundang ceramah di Université Paris-Sorbonne.
Dalam ceramah berjudul Affandi oleh Affandi,
ia menggarisbawahi satu sikap kesenimannya,
“Kesenian saya tidak berpangkal dari keindahan,
tetapi dari kemanusiaan.” Hal tersebut iv
menunjukkan bahwa bukanlah lukisan indah yang
penting bagi Affandi, namun bagaimana sebagai
seniman, ia dapat mengekspresikan karya dengan
tema-tema kemanusiaannya. Sebuah pandangan
dari seorang humanis.

i.
Affandi di pintu pesawat.
ii.
Affandi, Wisdom from the East, 1967,
Fresco Mural.
iii.
Affandi, Kartika, Sapto Hudoyo, dan
Jean Charlot saat pembuatan mural
Wisdom from the East di Hawaii.
iv.
Foto Affandi melukis menara Eiffel.
v.
Affandi, Eiffel Tower, 1977.

047
Affandi

i.
Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi, 1944, cat air di atas kertas,
40,5 x 56 cm.

048
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi

Bab 4
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi

Sejak menjadi bagian dalam kancah seni rupa dan Yoshioka yang duduk di dalam juri, bersama-
dunia, nama Affandi telah menjadi salah satu sama kami, kagum atas kebagusan hasil seni
nama pelukis paling dikenal di Indonesia. Meski ini, tetapi mereka sendiri harus tunduk pada
demikian, tidak banyak orang bisa menyebutkan politik militer pada waktu itu. Kita tidak berdaya.
satu judul karya Affandi. Biasanya, jika disuruh Bagaimanapun saya mempertahankannya, kita
menyebutkan salah satu lukisan Affandi, orang kalah stem. Tiga Pengemis Affandi adalah suatu
akan menyebutkan karya dengan penjelasan apa gambaran neraka masyarakat Indonesia. … Jepang
objeknya atau teknik penggambarannya. Misalnya, tidak tahan melihatnya. Untung lukisan ini tidak
sangat sering kita mendengar orang menyebut disuruh bakar, dan kita tidak kehilangan benda
karya Affandi dengan frasa, “yang corat-coret seni yang tinggi ini.”
gambar wajah” atau “yang gambar adu ayam jago”,
dan sebagainya. Pengemis, Potret Orang Melarat

Affandi adalah seniman yang tertarik pada objek Ketika memandang Dia datang, Dia Menunggu,
berupa orang atau benda yang hidup. Sangat Dia Pergi, hal pertama yang cenderung menjadi
jarang ia melukis benda mati, seperti candi, fokus adalah objek pengemis. Jika memandang
misalnya. Affandi selalu melukis objek nyata di sekilas, yang terlihat mungkin hanya seorang
depannya. Ia tidak bisa melukis dengan angan- pengemis yang berada di tengah. Jika dipandang
angan belaka. Hal itu konsisten dilakukannya sejak lebih lama, akan tampak dua sosok pengemis lain
awal sampai akhir karirnya. Affandi bukan pelukis di kanan dan kiri sosok yang pertama. Pengemis
yang tenang-tenang melukis di dalam sanggar. yang di tengah ini memang menjadi tampak lebih
Ia senantiasa harus langsung terjun ke tempat jelas karena adanya warna yang terang di sekitar
yang hendak dilukisnya. Dalam beberapa kasus, ia mukanya. Lepas dari pertimbangan mengenai tiga
mengundang beberapa orang yang dilihatnya di sosok pengemis tersebut—apakah merupakan
jalanan ke rumah atau sanggarnya untuk dijadikan orang yang sama atau berbeda-beda, satu hal yang
model. Di antara ribuan karyanya, salah satu pasti adalah lukisan itu memotret pengemis.
mahakarya Affandi adalah lukisan berjudul
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi. Mungkin, mudah menemukan lukisan tentang
seorang pengemis hari ini. Oleh karena itu,
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi dibuat perlu dicatat bahwa Dia Datang, Dia Menunggu,
Affandi saat bergabung dengan organisasi Dia Pergi dibuat pada 1944. Ketika itu tidak
bentukan pemerintah kolonial Jepang, Jawa mudah menemukan potret dari golongan orang
Hokokai sebagai pengganti POETERA. Suatu miskin, baik dalam lukisan ataupun foto. Dalam
ketika, pemerintah Jepang menginginkan perkembangan awal seni lukis di Indonesia
seniman-seniman Jawa Hokokai untuk sebelum 1900, hanya kaum bangsawan yang
menyelenggarakan pameran hasil karya mereka. terekam dalam lukisan-lukisan potret. Hal ini
S. Sudjojono yang ketika itu bergabung dengan tentunya dikarenakan hanya kaum bangsawan
Keimin Bunka Shidoso pernah mengisahkan yang mampu membayar seniman untuk dilukis.
perihal lukisan ini: Lihat misalnya karya-karya Raden Saleh (1811-
1880) yang dicatat sebagai pelukis pertama di
“(…) Pada waktu inilah lahir lukisan akuarelnya Indonesia. Tentu menjadi pertanyaan mengapa
Tiga Pengemis. Akuarel ini betul top! Tapi, Affandi seolah berkebalikan 180 derajat dengan
waktu lukisan ini hendak dieksposisikan, ditolak. menjadikan pengemis sebagai model lukisannya.
Pelukis-pelukis Jepang seperti Yamamoto, Kono,

049
Affandi

Pemandangan tentang kehidupan rakyat jelata


memang merupakan objek kesukaan Affandi. Ia
melukis gelandangan, pedagang di pasar, orang-
orang yang sedang mengantri beras, dan lain-
lain. Dalam sebuah percakapan dengan asisten
sekaligus supirnya, Suhardjono, Affandi pernah
mengutarakan, “Saya ini kalau menggambar
orang melarat senangnya bukan main dan begitu
gampang mengerjakan. Beda kalau menggambar
orang cantik, susah sekali.” Ada aspek penderitaan
kaum miskin yang nampaknya sangat menarik
perhatian Affandi. Terkait hal ini, pada suatu
hari Affandi pernah diberitahu anaknya, Kartika,
bahwa ada seseorang yang terkapar di tepi jalan.
Ketika melihatnya, Affandi justru tidak tertarik
karena orang tersebut ternyata sudah meninggal.
Bagi Affandi, orang yang sudah meninggal justru
sudah tidak lagi menderita. Orang menderita itu
adalah orang yang masih hidup tapi keadaannya
penuh kekurangan.

Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi dilukis


Affandi ketika Indonesia sedang berada dalam
i masa pendudukan Jepang (1942-1945). Selama
masa ini rakyat Indonesia hidup sangat menderita.
Para petani misalnya, dipaksa untuk menyetorkan
sebagian hasil panen kepada pemerintah Jepang.
Penderitaan rakyat inilah yang tampaknya menjadi
perhatian utama Affandi untuk diungkapkan
dan direnungkan melalui lukisan-lukisannya.
Menghubungkannya ke dalam konteks penjajahan
Jepang, karya Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi dapat dikatakan sebagai saksi
penderitaan rakyat di masa itu yang berusaha
disembunyikan.

Dalam perkembangan karirnya, pengemis


merupakan kaum yang mendapat perhatian
khusus bagi Affandi. Pengemis, dalam berbagai
pose muncul dalam lukisan Affandi, misalnya
yang tertuang dalam Pengemis Duduk (1972)
dan Pengemis Tidur (1974). Affandi tidak hanya
merekam pengemis di sekitar ia tinggal, tapi
juga kerap melukis pengemis di berbagai tempat
yang ia kunjungi, seperti yang dapat kita lihat
dalam Pengemis dari Tanjung Cirebon (1985) dan
Pengemis di Museum (1985).

Kita dapat mengetahui bahwa Dia Datang, Dia


Menunggu, Dia Pergi dibuat di Jakarta pada
1944 dari catatan pendamping karya. Model di
dalam karya itu adalah seorang pengemis yang
ii sehari-hari berjalan menuju rumah Affandi.

050
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi

iv

iii

i.
Foto lukisan Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi dalam sebuah pameran di India
tahun 1950.
ii.
Raden Saleh, Portrait of Herman Willem
Daendels, 1838.
iii.
Affandi, Gembel Berewokan, 1944.
iv.
Affandi, Antri Beras di RK Gendingan, 1948,
tinta cina di atas kertas, 27,3 x 34,5 cm.

051
Affandi

“Saya ini kalau


menggambar
orang melarat
senangnya
bukan main dan
begitu gampang
mengerjakan.
Beda kalau
menggambar
orang cantik,
i susah sekali.”

ii

052
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi

Pengemis tersebut selalu berhenti di depan rumah


Affandi, berdiri dan membuka topinya. Sebelum
memberikan uang, Affandi selalu mengajak
ngobrol pengemis tersebut. Setelah mengamati
beberapa minggu, Affandi kemudian mendapatkan
ide untuk membuat lukisan. Pengemis tersebut
lantas diundang untuk tinggal selama tiga
hari di rumahnya. Tiga hari itu agaknya lebih
banyak dihabiskan Affandi untuk mengobservasi
si pengemis karena Affandi biasanya hanya
menghabiskan waktu melukis tidak lebih dari dua
jam.

Affandi juga mencatat pengalamannya selama


melukis sang pengemis. Sebelum tidur, ia banyak
mengobrol dengan sang pengemis tentang
kehidupan. Tidak disebutkan siapa nama
dan umur sang pengemis. Namun, berdasar
tongkatnya, kemungkinan sang pengemis
berusia senja, jauh lebih tua dibanding Affandi
yang berusia sekitar 37 tahun saat itu. Dalam
iii catatan Affandi, tiga tahun kemudian dia tidak
sengaja bertemu dengan sang pengemis ketika
sedang mengemis di pasar. Pengemis tersebut
mengundang Affandi ke rumahnya. Meski tidak
dapat menyanggupi undangan sang pengemis,
Affandi merasa terharu atas kebaikan hati sang
pengemis dan ternyata ia telah mempunyai rumah
sendiri.

i.
Affandi, Pengemis Duduk, 1972.
ii.
iv Affandi, Pengemis Tidur, 1974.
iii.
Affandi, Pengemis dari Tanjung Cirebon,
1985, cat minyak di atas kanvas,
146 x 113 cm.
iv.
Affandi, Pengemis di Museum, 1985.

053
Affandi

054
i
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi

Lukisan Sekuens

Ketika memandang Dia Datang, Dia Menunggu,


Dia Pergi secara lebih seksama, akan muncul
di kepala kita sebuah pertanyaan, “Apakah itu
merupakan satu sosok pengemis atau tiga orang
pengemis?” Dengan memperhatikan detail tiap
pengemis, akan muncul jawaban bahwa lukisan
tersebut menggambarkan seorang pengemis dalam
tiga pose. Tiga sosok pengemis dalam lukisan
tersebut beratribut sama, yaitu topi dan tongkat.
Pakaian yang dikenakan serupa, yakni baju ii
berlengan pendek dan celana pendek. Dalam pose
pertama di sisi kiri lukisan, sang pengemis berdiri
memegang tongkat dengan topi terpakai di kepala. i.
Dalam pose kedua di sisi tengah lukisan, sang Foto catatan lukisan
pengemis menadahkan topinya seolah meminta Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi.
uang ke arah pemandang lukisan. Dalam pose i.
ketiga, sang pengemis terlihat berjalan menjauh Detil bentuk tangan tiga pose pengemis
dengan topi kembali di atas kepalanya. dalam karya Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi.
Sulit memastikan tiga sosok tersebut sebagai satu
orang dengan mengamati wajah sang pengemis.
Hal ini dikarenakan pada sosok pertama, wajah
tergambar agak samar seolah tertutup bayangan
di balik topinya. Sedangkan pada sosok ketiga,
pengemis telah berbalik badan sehingga yang
tampak jelas hanya jambangnya. Justru, bagian
yang terlihat serupa dari tiga tubuh sosok itu
adalah postur tangan yang tidak berubah meski
pose pengemis sendirilah yang berubah. Ini
memberikan aura bahwa lukisan tersebut pada
dasarnya menggambarkan seorang pelukis yang
sedang bergerak dalam tiga pose.

Jika kita menyepakati tiga sosok tersebut


merupakan satu pengemis yang sama, kita dapat
menyebut lukisan tersebut sebagai gambar atau
lukisan sekuens. Lukisan sekuens adalah lukisan
yang di dalamnya menggambarkan kisah suatu
objek yang digambar beberapa kali seolah objek
tersebut bergerak. Dalam sejarahnya, gambar
sekuens telah muncul sejak ribuan tahun yang lalu,
misalnya yang terlihat dalam bejana tembikar dari
7000 tahun silam. Dalam bejana tersebut, terlihat
gambar beberapa kambing. Alih-alih melihat itu
sebagai gambar kambing-kambing, kita dapat
menyimpulkan bahwa itu adalah gambar yang
menunjukkan gerakan seekor kambing. Dalam
sejarah seni rupa, lukisan sekuens yang terkenal
adalah karya Paradise yang merekam kisah Adam
dan Hawa di Taman Firdaus dalam beberapa
gerakan.

055
Affandi

Mengapa Affandi tertarik melukis seorang


pengemis yang melakukan tiga gerakan? Ada
banyak hal yang mungkin mempengaruhi Affandi.
Pertama, tentu saja pengaruh dari pertunjukkan
wayang yang sejak kecil disenangi Affandi. Jika
kita menyaksikan wayang, kita akan melihat
bagaimana setiap wayang akan digerakkan oleh
sang dalang. Gerakan-gerakan itu memberikan
cerita tersendiri. Kedua, pengaruh film. Ingat
bahwa di tahun-tahun sebelumnya, Affandi
bekerja sebagai penggambar reklame film di
bioskop. Ia memanfaatkan profesi tersebut dengan
menonton film secara gratis. Affandi mencoba
mengolah jajaran gambar diam yang disatukan
sehingga memberikan efek gerak. Teknik ini
banyak ditemukan dalam film animasi stop motion.

i Kita nyaris tidak menemukan lukisan sekuens jika


membandingkannya dengan karya-karya Affandi
yang lain. Namun, pada 1960 Affandi membuat
lukisan sekuens dalam karya berjudul Ibu Marah.
Dalam gambar itu, tampak jelas ada dua sosok
ibu yang seolah bergerak maju mendekati Affandi
yang ada di sisi kiri gambar. Jika kita tengok secara
seksama, kita akan melihat tidak hanya dua kaki
kiri yang ada, melainkan tiga kaki kiri dalam
gambar. Ibu Marah menggambarkan bagaimana
Affandi seolah kesulitan memotret gerak ibunya
yang cepat. Affandi juga sempat membuat karya
potret diri yang memuat tiga figur dirinya dalam
satu karya. Karya berjudul Three Moods ini seolah
merekam tiga gerakan dalam satu bingkai, tapi
bukan gerakan fisik, melainkan gerakan emosional.

ii

056
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi

iii

i.
Bejana tembikar di Shar-i Sokhta, iv
3000 SM.
ii.
Lucas Cranach the Elder, Paradise, 1530.
iii.
Affandi, Ibu Marah, 1960.
iv.
Affandi, Three Moods, 1966,
cat minyak di atas kanvas, 106 x 183 cm.

057
Affandi

Cat Air di Atas Sembilan Kertas

Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi dibuat dengan cat air
di atas kertas berukuran 56 x 40,5 cm. Jika mengamati lukisan
tersebut secara langsung, kita dapat mengetahui bagaimana kertas
yang digunakan Affandi bukanlah sebuah kertas utuh. Kertas
yang digunakannya merupakan gabungan sembilan kertas yang
disambungnya dengan lem. Tindakan penyambungan kertas
tersebut dapat kita kaitkan saat lukisan ini dibuat, di mana ketika
itu kondisi finansial Affandi masih kurang baik sehingga membeli
kertas berukuran besar dan alat lukis pun susah.

Jika kita cermati goresan cat dalam Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi, kita bisa sepakat bagaimana lukisan ini secara teknik
menunjukkan peralihan penting dari Affandi, yakni dari gaya
naturalis ke ekspresionis. Sosok sang pengemis tidak digambar nyata
dan halus, melainkan penuh goresan dengan ketebalan tak menentu.
Bukan detail pakaian dan wajah yang kita dapat, melainkan kesan
kusam dan lusuh. Tanah dan pohon yang menjadi latar tidak
digambarkan jelas, tapi seakan melebur dengan sang pengemis.
Sepertinya, Affandi menggunakan teknik pelototannya ketika
melukis, namun jelas ia menggunakan pula kuas kecilnya untuk
memberikan goresan-goresan tegas. Fungsinya adalah membuat
detail mata dan jari sang pengemis. Yang menarik, Affandi dengan
seksama menggambar secara lurus ketiga tongkat sang pengemis,
sebuah garis lurus yang jarang kita temukan dalam karya-karya
Affandi.

Warna dominan Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi adalah


hitam, coklat kemerahan, oranye, hijau, dan kuning. Warna hitam
lebih banyak muncul dalam pakaian yang dikenakan sang pengemis.
Sementara warna coklat kemerahan dan oranye digunakan untuk
mewarnai tanah tempat sang pengemis menapak. Warna hijau
muncul secara samar sebagai gambaran pohon-pohon yang menjadi
latar belakang. Sedangkan warna kuning menunjukkan suasana
siang hari di mana lukisan ini dibuat. Menarik bagaimana Affandi
membiarkan warna cerah kekuningan hanya di sekitar kepala sosok
pengemis yang di tengah. Affandi seperti memberikan cahaya
khusus pada sosok pengemis tersebut, memancing perhatian
pemandang bahwa lukisan ini adalah tentang pengemis yang sedang
“menunggu”, sebuah kisah tentang penantian.

058
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi

i.
Detil wajah tiga pose pengemis dalam karya
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi.

059
Affandi

Simbol Kehidupan

Dalam membaca karya Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi,


Affandi seolah bicara lebih dari sekadar tentang pengemis atau
kondisi kemiskinan. Kata-kata “dia datang, dia menunggu, dia pergi”
yang sekilas senada dengan slogan Veni, vidi, vici (Saya datang, saya
melihat, saya menang) seolah dipinjam Affandi untuk menunjukkan
betapa megahnya sosok sang pengemis di mata Affandi. Penggunaan
judul tersebut memperlihatkan adanya elemen puitik yang tertanam
dalam karya ini daripada sekedar sebuah potret realitas. Sekilas,
judul karya Affandi mengingatkan pada mahakarya masterpiece
seniman Perancis, Paul Gauguin, yang memang dikagumi Affandi.
Mahakarya Gauguin berjudul Where Do We Come From? What Are
ii We? Where Are We Going?

Seperti karya Gauguin yang menyiratkan pertanyaan tentang


kehidupan, karya Affandi tersebut dapat kita maknai lebih jauh
jika kita hubungkan dengan siklus kehidupan. Tiga pose pengemis
tersebut—yang datang, menunggu, dan pergi—masing-masing
menyiratkan fase manusia di dunia. Kelahiran dan kematian
punya ruang tunggu bernama kehidupan. Hidup hanyalah kondisi
sementara. Peribahasa Jawa juga punya ungkapan serupa: “urip mung
mampir ngombe” atau “hidup hanyalah menumpang minum.”

Banyak orang berpendapat lukisan Affandi sarat akan simbol-


simbol kehidupan. Seperti yang dikatakan Affandi sendiri bahwa
matahari, tangan, dan kaki adalah kesatuan dinamika. Lambang
matahari adalah kehidupan, tangan adalah lambang kerja, dan kaki
melambangkan kemajuan. Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi bukan sekadar memperlihatkan keterampilan teknik
iii melukis Affandi, namun yang terpenting adalah mencerminkan
pandangan sang pelukis mengenai alam, filosofi, dan makna
kehidupan.

060
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi

Tiga pose pengemis tersebut—yang datang,


menunggu, dan pergi—masing-masing
menyiratkan fase manusia di dunia.

iv

i.
Paul Gauguin, Where do we come from?
What are we? Where are we going?, 1898.
ii.
Foto Affandi dan sketsa simbol tangan, kaki,
matahari tahun 1975.
iii.
Affandi, Kaki-Kaki, 1950, tinta cina
di atas kertas.
iv.
Affandi, Potret Diri Hampir Terbenam, 1985.

061
Affandi

Bab 5
Penutup

Jika berkunjung ke Kota Yogyakarta melalui Jalan Lingkar Luar


Utara, kita akan menemukan sebuah monumen dengan patung
kepala Affandi di ujung sebuah jalan besar. Jalan yang awalnya
bernama Jl. Gejayan itu sejak 2007 telah berubah nama menjadi
Jl. Affandi untuk menghormati betapa pentingnya warisan
karya maupun pengetahuan yang diwariskan oleh sang seniman.
Menelusuri Jl. Affandi dan sedikit berbelok ke Jl. Solo, kita dapat
menemui sebuah bangunan besar di tepi Sungai Gajahwong.
Bangunan itu tak lain adalah Museum Affandi. Museum tersebut
menyimpan berbagai karya Affandi, termasuk mahakarya Dia
Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi yang telah berusia lebih dari 70
tahun.

Saat buku ini ditulis, lukisan Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
sedang dalam proses restorasi. Restorasi lukisan adalah proses untuk
memperbaiki lukisan tua agar kondisinya bisa tampak menyerupai
kondisi asli lukisan ketika dibuat. Proses restorasi Dia Datang,
Dia Menunggu, Dia Pergi dimulai dari melepas kertas-kertas
yang ada di balik lukisan. Rupanya, Affandi menempelkan kertas
tambahan demi memperkuat sambungan antar sembilan kertas di
mana ia melukis di atas medium ini. Menariknya, di dalam kertas
yang ada di balik lukisan terdapat gambar yang kemungkinan
merupakan hasil gambar Affandi pada masa-masa awal karirnya.
Proses restorasi berikutnya adalah menambal beberapa sobekan
dengan kertas khusus yang memiliki kualitas baik. Kertas tambalan
sengaja dibuat berbeda dengan kertas asli lukisan agar kita tetap
memahami bahwa lukisan tersebut telah melalui proses restorasi. i

Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi secara teknik menunjukkan


peralihan penting Affandi setelah mematangkan teknik melukis
naturalismenya yang ia pelajari sesuai dengan arahan Sjafe’i
Soemardja. Penggambaran tiga sosok pengemis di dalamnya—yang
tampak seperti hanya ada satu sosok saja— menunjukkan bagaimana
kemampuan Affandi dalam memahami objek yang dilukisnya
secara mendalam. Hal ini merupakan ciri khas Affandi yang lebih
banyak menghabiskan waktu untuk memahami apa yang ia akan
lukis daripada melukisnya sendiri. Dalam hal ini, proses melukis i.
merupakan bagian yang penting selain hasil dari lukisan itu sendiri. Foto tugu Affandi di ujung Jl. Affandi,
Karya ini menunjukkan bagaimana Affandi mengembangkan Yogyakarta.
lukisan ekspresionismenya, dengan sebelumnya mematangkan ii.
teknik naturalisme selepas belajar di Bali. Hal ini terlihat jelas dari Foto galeri di Museum Affandi.
goresan-goresan pakaian sang pengemis dan latar tanah serta pohon iii.
di belakangnya yang membawa kita pada perasaan kusam dan lusuh Foto lukisan Dia Datang, Dia Menunggu,
serta penderitaan sang objek. Dia Pergi saat direstorasi.

062
Penutup

Dibuat pada masa penjajahan Jepang, Dia Datang,


Dia Menunggu, Dia Pergi menunjukkan puncak
kemanusiaan Affandi dalam memotret objek-
objek yang dia sebut sebagai “orang melarat”.
Tema-tema kemanusiaan bisa kita telusuri sejak
Affandi berkelompok di Gang Wangsareja, yang
kemudian terus menerus menjadi perhatiannya.
Dalam sebuah film dokumenter mengenai Affandi
yang berjudul Hungry to Paint (Lapar untuk
Melukis, 1982), sang pelukis menggarisbawahi
soal sikap berkaryanya. Affandi membandingkan
dirinya dengan pelukis ternama dunia, Pablo
Picasso (1881-1973). Bagi Affandi, Picasso adalah
contoh seniman yang melukis dengan otak yang
cerdas. Affandi merasa dia tidak bisa melukis
dengan otak karena dia bahkan SMA saja tidak
lulus. Tapi, Affandi melukis dengan perasaannya.
Hal ini istimewa baginya karena banyak sekolah
mengajarkan agar otak menjadi cerdas, tetapi tidak ii
ada sekolah yang melatih kepekaan perasaan.

“Saya yakin saya memiliki perasaan yang lebih


baik dibanding otak yang cerdas. Sejujurnya
saya berharap ada sekolah di mana kamu bisa
mengembangkan perasaanmu. Sayangnya tidak
ada sekolah seperti ini, semua sekolah hanya
mengembangkan pikiran.”

Affandi telah meraih berbagai penghargaan


untuk berbagai kontribusinya dalam dunia seni.
Pada 1969 Affandi menerima Anugerah Seni
dan Medali Emas dari Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia. Selain itu, ia
telah ditetapkan sebagai Anggota Kehormatan
seumur hidup Akademi Jakarta. Pada Agustus iii
1974 Affandi diberi gelar Doctor Honoris Causa
(Doktor Kehormatan) dari National University
of Singapore. Tidak cukup sampai di situ, dua
penghargaan internasional bergengsi diterima
Affandi saat berusia 70 tahun. Penghargaan itu
yakni Nobel Perdamaian Internasional dari Dag
Hammarskjöld Foundation dan gelar Grand
Maestro di Italia. Di tahun yang sama Affandi
juga mendapatkan undangan kehormatan untuk

063
Affandi

i ii

iii iv

064
Penutup

“Saya yakin saya


memiliki perasaan yang
lebih baik dibanding otak
yang cerdas. Sejujurnya
saya berharap ada
sekolah di mana kamu
bisa mengembangkan
perasaanmu. Sayangnya
tidak ada sekolah seperti v

ini, semua sekolah


hanya mengembangkan
pikiran.”

i.
Detil kertas penambal lukisan Affandi
yang sedang direstorasi.
ii.
Foto gambar di balik lukisan
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi.
iii.
Piagam penghargaan
Doctor Honoris Causa.
iv.
Foto Affandi saat mendapatkan
penghargaan dari Presiden Suharto.
v.
Foto Affandi masa tua.

065
Affandi

berkunjung ke Arab dari Raja Arab. Bersama Maryati, ia memenuhi


undangan tersebut sembari menunaikan ibadah haji.

Judul karya Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi menyiratkan


adanya gagasan implisit yang sering diabaikan ketika orang menilai
karya Affandi. Judul dengan kata-kata yang puitis, “dia datang, dia
menunggu, dia pergi” dapat dibaca sebagai simbolisme gagasan
hidup yang dipikirkan Affandi kala itu. Gagasan hidup di mana
kita hidup hanya sementara, terlahir untuk menghabiskan waktu
menunggu saat-saat kepergian. Affandi berpulang pada 23 Mei
1990 dan dimakamkan di Museum Affandi. Maryati yang berpulang
satu tahun kemudian, setia dimakamkan di samping Affandi. Garis
keturunan Affandi diteruskan oleh keluarga Kartika serta keluarga
dari istri kedua Affandi, Rubiyem, yang dinikahinya pada 1957.

Hidup selama lebih dari 80 tahun, sang maestro tidak “menunggu”


kepergiannya sia-sia. Affandi meninggalkan karya yang tak
terhitung lagi jumlahnya. Lukisan Affandi tersebar di berbagai
penjuru dunia, antara lain Tagore Museum dan Madras Museum i.
di India, Tropenmuseum di Belanda, Museum of Modern Art Foto makam Affandi.
of Brussel di Belgia, serta The Italian Institute of the Far and ii.
Middle East di Italia. Karya-karya ini adalah hasil perjuangannya Affandi, Potret Diri, 1970.
yang tekun dan penuh semangat. Sebuah perjuangan yang layak iii.
diteruskan oleh generasi muda para seniman di Indonesia maupun Affandi, Potret Diri, 1974.
dunia. iv.
Affandi, Potret Diri Menghisap Pipa, 1977,
cat minyak di atas kanvas, 125 x 99 cm.

066
Penutup

ii iii

iv

067
“Kesenian saya tidak
berpangkal dari
keindahan, tetapi dari
kemanusiaan.”

–Affandi

068
Daftar Pustaka

Daftar Bacaan

Apin, Mochtar & M. Arsath Rois. 1986. Corat-coret Affandi 1944-1952. Bandung: Penerbit Angkasa

Rosidi, Ajip. 1979. Pelukis Affandi. Jakarta: Pustaka Jaya.

Rosidi, Ajip, Zaini, Sudarmadji. 1978. Affandi 70 tahun. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Sidik, Fadjar. 1975. Wawancara Fadjar Sidik dengan Pelukis Affandi 1975. Yogyakarta: ASRI

Suhatno. 1985. DR. H. Affandi: Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Depdikbud.

Sumichan, Raka & Umar Kayam. 1987. Affandi. Jakarta: Yayasan Bina Lestari Budaya.

Sumichan, Sardjana. 2007. Affandi I - III. Jakarta: Yayasan Bina Lestari Budaya.

Wiyanto, Hendro & Hari Budiono. 2014. Dia datang, dia lapar, dia pergi: Kenangan Pak Djon, Sopir dan Asisten Pribadi,
tentang Pelukis Affandi (1907-1990). Yogyakarta: Agung Tobing.

Artikel Media Massa

Adiyati, Siti. 1987. Potret Affandi dan Tujuh Matahari. Kompas, 1 Maret 1987.

Kusumo, Sardono W. 1987. Affandi dan Dewa Halilintar. Kompas, 1 Maret 1987.

Moeljanto, DS. 1991. Seniman, Bung Karno dan Perang Kemerdekaan. Suara Pembaruan, 27 Agustus 1991.

Purnama, Hadi. 1987. Kelompok Lima Bandung: berada di Pinggir Panggung Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia.
Kompas, 5 Juli 1987.

Sudarmaji. 1980. Seni Lukis Indonesia di Masa Jepang. Kompas, 14 April 1980.

Supangkat, Jim. 1986. Affandi dibiarkan dalam Kabut. Tempo, 7 Maret 1986.

Yustiono. 1988. Tempat Affandi dalam Perkembangan Seni Rupa Indonesia dan Dunia. Kompas, 10 Januari 1988.

069
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

Tim Pusaka Seni Rupa (Hendro Wiyanto selaku koordinator dan


penyunting; Rahmat Arham selaku koordinator; Chabib Duta
Hapsoro, Gesyada Siregar, I Made Susanta, Danuh Tyas Pradipta,
dan I Wayan Adnyana, selaku rekan sesama penulis, Annayu
Maharani selaku penyunting bahasa, Meicy Sitorus selaku penata
letak dan perancang sampul).

Direktorat Jenderal Kebudayaan (Hilmar Farid, Martin Suryajaya,


Mirwan Andan), khususnya Direktorat Kesenian (Restu Gunawan,
Kuat Prihatin, Sri Kuwati, Fitri, dan seluruh staf Subdit Program,
Evaluasi, dan Dokumentasi).

Saiful Bachri (asisten riset).

M. Alzaki T. (fotografer).

Museum Affandi, Yogyakarta (Dra. Selarti Venetsia Saraswati,


Pretty Dwi Yossusanti ST, dan seluruh staf ).

IVAA (Indonesia Visual Art Archive), Yogyakarta.

Study on art practices.

Departemen Ilmu Komunikasi, FISIPOL, UGM.

070
Daftar Gambar

Halaman 007 Halaman 015


Foto masa kecil Affandi (tengah) dan kakaknya Affandi, My Wife, Maryati, 1939, cat minyak
Moh. Sabur (kanan). di atas kanvas, 29 x 24 cm.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

Halaman 008 Bioskop Elita tempo dulu.


Wayang kulit dengan karakter Sukrasana. Sumber: www.infobdg.com.
Sumber: www.wayang.wordpress.com.
Affandi, Kartika Tidur, 1936, pastel di atas kertas.
Affandi, Beladjar Menggambar Sendiri, 1942. Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Affandi, Kartika Tidur, 1938.
Halaman 009 Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Potret pelukis Yudhokusumo.
Sumber: S. Sudjojono, Cerita Tentang Saya dan Halaman 016
Orang-orang Sekitar Saya, Penerbit KPG Jakarta, Affandi, My Family, 1938, pastel di atas kertas,
2017. 69 x 50 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Pelukis S. Sudjojono saat muda.
Sumber: arsip IVAA. Affandi, Potret Met Dochter (potret bersama anak),
1939, cat minyak di atas kanvas, 33 x 30 cm.
Halaman 010 Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Affandi, Bapak S. Sudjojono, 1939, pastel
di atas kertas, 63 x 50 cm. Halaman 017
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. Affandi, Family of Sudarso, 1948, cat minyak
di atas kanvas & goni, 61,5 x 191 cm.
Halaman 011 Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Affandi, Self Portrait, 1938, pastel di atas kertas,
63 x 45 cm. Foto Gang Wangsareja saat ini.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. Sumber: Dokumentasi Chabib Duta Hapsoro.

Affandi, Moeder, 1938, cat minyak Halaman 018


di atas papan kayu, 42 x 32,5 cm. Suasana Pasar Jaarbeurs, Bandung tempo dulu.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. Sumber: Wikimedia Commons.

Halaman 012-013 Patung Sjafe’i Soemardja di depan


Affandi, The Mother & Her Daughter, 1947, Galeri Soemardja, Insititut Teknologi Bandung.
cat minyak di atas kanvas, 100 x 140 cm. Sumber: www.galerisoemardja.fsrd.itb.ac.id.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Halaman 019
Halaman 014 Van Gogh, Self-Portrait, 1887, cat minyak
Affandi, My Wife, 1938, pastel di atas kertas, di atas papan, 41 x 32,5 cm.
66 x 50 cm. Sumber: Wikipedia.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

071
Toulouse-Lautrec, At the Moulin Rouge, 1890, Halaman 028
cat minyak di atas kanvas, 115 x 150 cm. Foto Affandi sedang melukis dengan tube-tube cat
Sumber: Wikipedia. di sekitarnya.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Halaman 020
Affandi, Punggung Model, 1936, pastel Tampak hasil cat pelototan dari samping.
di atas kertas, 69,5 x 52,5 cm. Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Foto Suhardjono mendampingi Affandi melukis.
Affandi, Self Portrait, 1940, cat minyak Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
di atas kanvas, 36 x 30 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. Halaman 030
Affandi, Chairil Anwar, 1951, cat minyak
Halaman 021 di atas kanvas, 79 x 96 cm.
Affandi, Topeng Bali, 1942. Sumber:
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Sardjana Sumichan, Affandi Volume 2, Bina Lestari
Budaya Foundation, Jakarta - Singapore
Halaman 022 Art Museum, Singapore, 2007.
Affandi, Potret Diri, 1942.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Halaman 031
Poster Boeng, Ajo Boeng.
Halaman 024 Sumber: www.dgi.or.id.
Foto Organisasi POETERA.
Sumber: www.duniazu.blogspot.co.id. Foto buku puisi Chairil Anwar.
Sumber: detik.com.
Affandi, Di Dalam Rumah, 1941, cat minyak
di atas kanvas, 40,5 x 56 cm. Halaman 032
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Affandi, Relief Prambanan, 1945, tinta cina
di atas kertas.
Halaman 025 Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Affandi, Di Dalam Kamar (interior), 1942,
cat minyak di atas papan kayu, 45 x 46 cm. Affandi, Relief Prambanan II, 1946, tinta cina
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. di atas kertas.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Affandi, Ibuku, 1941, cat minyak di atas kanvas,
41,5 x 32 cm. Halaman 033
Sumber: www.arsip.galeri-nasional.or.id. Affandi, Mata-Mata Musuh (A Capture Spy), 1947,
cat minyak di atas kanvas, 103,5 x 97 cm.
Halaman 026 Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Replika patung Affandi & Kartika, 1943,
perunggu. Affandi, Antri Beras, 1948, tinta cina di atas kertas,
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. 27,3 x 34,5 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Halaman 027
Affandi, Gembel Berewokan, 1944. Affandi, Main Domino di Garasi Taman Siswa,
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. 1949, tinta cina di atas kertas, 31 x 38 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi,
1944, cat air di atas kertas, 40,5 x 56 cm. Halaman 034
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Affandi, Belajar Anatomi Duduk Telanjang, 1948.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

072
Affandi, Belajar Anatomi Sendiri, 1948, tinta cina Halaman 041
di atas kertas. Affandi, Gadis Eropa, 1952, cat minyak
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. di atas kanvas, 88 x 56,5 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Halaman 035
Affandi, HOS Tjokroaminoto, 1947, cat minyak Affandi, Roma, 1953.
di atas kanvas, 103 x 85 cm. Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Sumber:
Sardjana Sumichan, Affandi Volume 2, Bina Lestari Affandi, Kafe di Paris dengan Pemain Gitar, 1953.
Budaya Foundation, Jakarta - Singapore Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Art Museum, Singapore, 2007.
Affandi, Kapal Venesia, 1954, tinta cina
Halaman 036 di atas kertas, 51 x 40 cm.
Foto Affandi, Kartika, dan Maryati. Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Halaman 042
Affandi, Kapal ke India, 1949, tinta cina Artikel kritikus ternama John Berger tentang
di atas kertas, 35,3 x 24 cm. Affandi.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. Sumber: arsip IVAA.

Halaman 037 Halaman 043


Affandi, Kapal, 1949, tinta cina di atas kertas, Foto Affandi di luar negeri.
24,3 x 35,4 cm. Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Halaman 044
Affandi, Santiniketan India, 1949, tinta cina Affandi, Times Square, New York, 1958,
di atas kertas. cat minyak di atas kanvas, 64 x 76 cm.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Sumber: Affandi I - III.

Halaman 038 Affandi, Bay Bridge, 1958, cat minyak


Affandi, Pemandangan Jalan Raya di India, 1950. di atas kanvas, 56 x 71 cm.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Sumber: Affandi I - III.

Affandi, Pengungsi India, 1960, tinta cina Affandi, Charles River, Boston; 1958,
di atas kertas. cat minyak di atas kanvas, 61 x 76 cm.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Sumber: Affandi I - III.

Affandi, Rumah di India, 1950, tinta cina Halaman 045


di atas kertas. Katalog Pameran Modern Indonesian Paintings
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. tahun 1952.
Sumber: Arsip IVAA.
Halaman 039
Pameran Lukisan Affandi di India tahun 1950. Halaman 046
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Affandi di pintu pesawat.
Sumber: Affandi I - III.
Affandi, Potret Diri dan Tujuh Matahari di India
(Matahari-Matahari Kejam), 1950, cat minyak Affandi, Wisdom from the East, 1967,
di atas kanvas. Fresco Mural.
Sumber: Museum Affandi. Sumber: Wikipedia.

073
Affandi, Kartika, Sapto Hudoyo, dan Halaman 054
Jean Charlot saat pembuatan mural Foto catatan lukisan Dia Datang, Dia Menunggu,
Wisdom from the East di Hawaii. Dia Pergi.
Sumber: Affandi I - III. Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

Halaman 047 Halaman 055


Foto Affandi melukis menara Eiffel. Detil bentuk tangan tiga pose pengemis dalam
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. karya Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Affandi, Eiffel Tower, 1977. Diubah untuk keperluan ilustrasi lukisan.
Sumber: Ade Tanesia, The Stories of Affandi,
Museum Affandi & Agung Tobing, Yogyakarta, Halaman 056
2012. Bejana tembikar di Shar-i Sokhta, 3000 SM.
Sumber: Wikipedia.
Halaman 048
Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi, Lucas Cranach the Elder, Paradise, 1530.
1944, cat air di atas kertas, 40,5 x 56 cm. Sumber: Wikipedia.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Halaman 057
Halaman 050 Affandi, Ibu Marah, 1960.
Foto lukisan Dia Datang, Dia Menunggu, Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Dia Pergi dalam sebuah pameran di India tahun
1950. Affandi, Three Moods, 1966, cat minyak
Sumber: Ade Tanesia, The Stories of Affandi, di atas kanvas, 106 x 183 cm.
Museum Affandi & Agung Tobing, Yogyakarta, Sumber: Affandi I-III.
2012.
Halaman 058-059
Raden Saleh, Portrait of Herman Willem Daendels, Detil wajah tiga pose pengemis dalam karya Dia
1838. Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi.
Sumber: Wikipedia. Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Diubah untuk keperluan ilustrasi lukisan.
Halaman 051
Affandi, Gembel Berewokan, 1944. Halaman 060
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Paul Gauguin, Where do we come from? What are
we? Where are we going?, 1898.
Affandi, Antri Beras di RK Gendingan, 1948, Sumber: Wikipedia.
tinta cina di atas kertas, 27,3 x 34,5 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. Foto Affandi dan sketsa simbol tangan, kaki,
matahari tahun 1975.
Halaman 052 Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Affandi, Pengemis Duduk, 1972.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Affandi, Kaki-Kaki, 1950, tinta cina di atas kertas.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Affandi, Pengemis Tidur, 1974.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Halaman 61
Affandi, Potret Diri Hampir Terbenam, 1985.
Halaman 053 Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Affandi, Pengemis dari Tanjung Cirebon, 1985,
cat minyak di atas kanvas, 146 x 113 cm. Halaman 62
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Foto tugu Affandi di ujung Jl. Affandi, Yogyakarta.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Affandi, Pengemis di Museum, 1985.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

074
Halaman 63
Foto galeri di Museum Affandi.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.

Foto lukisan Dia Datang, Dia Menunggu,


Dia Pergi saat direstorasi.
Sumber: Dokumentasi Irham N.A.

Halaman 64
Detil kertas penambal lukisan Affandi yang
sedang direstorasi.
Sumber: Dokumentasi Irham N.A.

Foto gambar di balik lukisan Dia Datang,


Dia Menunggu, Dia Pergi.
Sumber: Dokumentasi Irham N.A.

Piagam penghargaan Doctor Honoris Causa.


Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.

Foto Affandi saat mendapatkan penghargaan dari


Presiden Suharto.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

Halaman 65
Foto Affandi masa tua.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

Halaman 66
Foto makam Affandi.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.

Halaman 67
Affandi, Potret Diri, 1970.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

Affandi, Potret Diri, 1974.


Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

Affandi, Potret Diri Menghisap Pipa, 1977,


cat minyak di atas kanvas, 125 x 99 cm.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.

075
Irham Nur Anshari

Irham Nur Anshari merupakan staf pengajar di


Departemen Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada
(UGM). Ia menyelesaikan studi sarjana di Ilmu
Komunikasi UGM dan studi master di Kajian
Budaya dan Media UGM. Ia tercatat sebagai
Pembina Unit Seni Rupa UGM. Saat ini ia juga
aktif sebagai peneliti di lembaga riset Study on
Art Practices dan editor Biennale Jogja. Tulisannya
telah dipublikasikan di berbagai jurnal, katalog,
dan majalah.

076

Anda mungkin juga menyukai