DIA PERGI
Affandi
Direktorat Kesenian
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
2017
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi - Affandi
Cetakan pertama Desember 2017
75 halaman, 21 x 29,7 cm
ISBN 978-602-5635-03-8
© Direktorat Kesenian Direktorat Jenderal Kebudayaan &
Irham Nur Anshari, 2017
Direktorat Kesenian
Direktorat Jenderal Kebudayaan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia
Komplek Kemendikbud Gedung E Lantai 9
Jl. Jend. Sudirman, Senayan, Jakarta 10270
Tlp. 021-572 55 49 | 021-572 55 34
Pengarah
Hilmar Farid
Penanggung Jawab
Restu Gunawan
Koordinator
Hendro Wiyanto & Rahmat Arham
Penyunting Isi
Hendro Wiyanto
Tidak untuk diperjualbelikan
Penyunting Bahasa
Annayu Maharani
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
Pemeriksa Aksara Lingkup Hak Cipta
Rahmat Arham Pasal 2
1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk
Penata Letak dan Perancang Sampul mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan
Meicy Sitorus dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan Pidana
Sekretariat Pasal 72
Kuat Prihatin 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Sri Kuwati Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing
Ike Rofiqoh Fazri paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau
Arsih Wijaya pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00
Dindawati Fatimah (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada
Sampul umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana
Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi, 1944, dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda
cat air di atas kertas, 40,5 x 56 cm. paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Sambutan Direktur Jenderal Kebudayaan
Dalam sebuah artikel dari tahun 1937, Ki Hadjar Dewantara menulis: “Kesenian adalah sebagian dari
kebudajaan, jang timbul dan tumbuhnya amat berhubungan dengan djiwa perasaan manusia. Karena
itu lebih dalam tertanamnja kesenian itu di dalam djiwa daripada kebudajaan lainnja.” Ia memandang
kesenian sebagai ekspresi budaya yang paling dalam karena kesenian berakar pada hati sanubari
manusia, pada alam rasa dan kehendak. Melalui kesenian lah semangat kebangsaan dan kesadaran untuk
bangun dan berdiri di atas kaki sendiri terejawantah dari dalam jiwa tiap-tiap orang.
Kesenian, termasuk di dalamnya seni rupa, memegang peranan penting dalam rangkaian usaha
pendidikan karakter bangsa. Gagasan dasar pendidikan karakter ini dewasa ini telah diwujudkan dalam
gerakan revolusi mental yang dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo. Revolusi mental adalah suatu
pengubahan mendasar pada seluruh aspek kepribadian manusia Indonesia. Yang diubah dalam revolusi
mental seyogianya bukan hanya aspek lahiriah dari kepribadian (perilaku), melainkan jauh lebih dalam
lagi: cara orang mengalami sesuatu dan bersikap terhadapnya. Revolusi mental mensyaratkan adanya
perubahan mendasar pada semesta imajinasi setiap anggota bangsa Indonesia. Ia harus menyentuh akar-
akar kultural dari tiap-tiap warga negara. Tepat di sinilah seni rupa berperan.
Seni rupa menghadirkan kontak imajinatif dengan kenyataan sekitar. Dalam seni rupa, dunia dihadirkan
dari sudut pandang yang kerap kali terlewat oleh rutinitas hidup. Seni rupa memberi makna pada apa
yang sehari-hari dilalui begitu saja. Dengan begitu, lewat seni rupa, dunia hadir secara baru di dalam
imajinasi khalayak. Seni rupa, pada akhirnya, dapat mengubah cara orang mengalami sesuatu dan,
oleh karenanya, mampu mengubah pula cara orang mengambil sikap terhadap kenyataan. Realitas
kebangsaan yang sudah menjadi bagian dari rutinitas hidup orang Indonesia dapat dihadirkan kembali
sebagai pergulatan budaya yang intens. Dengan cara itulah seni rupa menyegarkan kembali wawasan
kebangsaan kita.
Seri buku Pusaka Seni Rupa ini disusun agar pembacanya, para siswa Sekolah Menengah Atas, dapat
mengakses kembali semangat kebangsaan yang terkandung dalam karya-karya utama yang menandai
kelahiran seni rupa modern di Indonesia. Dalam karya-karya Affandi, S.Sudjojono, Hendra Gunawan,
Kartono Yudhokusumo, I Gusti Nyoman Lempad dan Anak Agung Gede Sobrat, kita dapat menggagas
kembali keluasan semesta budaya yang ikut punya andil dalam terciptanya kebudayaan Indonesia
merdeka.
Lewat seri buku ini, saya berharap para siswa Sekolah Menengah Atas dapat menikmati kekayaan
khazanah seni rupa modern Indonesia buah karya para maestro kita. Saya mengharapkan juga kesediaan
para guru untuk memanfaatkan seri buku ini untuk memperkaya wawasan seni para siswa dan
mempertebal semangat kebangsaannya.
Hilmar Farid
iii
Pengantar Direktur Kesenian
Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-
2019, khususnya Nawacita Butir 8 dan 9, telah menetapkan arah bagi usaha pemerintah untuk
“melakukan revolusi karakter bangsa” dan “memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial
Indonesia”. Sehubungan dengan itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
mencanangkan program Penguatan Pendidikan Karakter.
Yang dimaksud dengan Pusaka Seni Rupa ialah penyiapan, penerbitan, dan pendistribusian seri buku
seni rupa sebagai bahan bacaan untuk mengembangkan pendidikan karakter berbasis pembelajaran
sejarah seni rupa nasional bagi siswa tingkat Sekolah Menengah Atas di Tanah Air. Seri buku ini akan
berupa enam buku tentang enam karya seni rupa Indonesia pada paruh pertama abad ke-20 (periode
1900-1945) yang dianggap menjadi tonggak-tonggak penting dalam sejarah seni rupa modern di
Indonesia.
Atas pertimbangan itulah Direktorat Kesenian memfasilitasi penelitian dan penulisan keenam buku
dalam seri Pusaka Seni Rupa ini. Dalam rangka menjalankan kegiatan tersebut, Direktorat Kesenian
telah membentuk tim yang terdiri dari para penulis muda di bidang seni rupa dengan harapan hasil
tulisan mereka dapat dengan mudah diakses oleh sasaran pembaca seri buku ini, yaitu para siswa
Sekolah Menengah Atas.
Seri Pusaka Seni Rupa ini diharapkan dapat ikut mendorong usaha penguatan pendidikan karakter.
Dengan membaca latar belakang terciptanya karya seni, diharapkan para siswa dapat menggali nilai-
nilai yang terpendam dalam praktik berkesenian pada seniman modern Indonesia.
Selain itu, seri buku ini diharapkan dapat menyumbang pula pada pengayaan wacana seputar seni rupa
sehingga mendorong peningkatan mutu karya para perupa Indonesia di masa kini.
Akhirul kalam, melalui penerbitan buku ini, kami berharap dapat memberikan wawasan kesenirupaan
sebagai modal awal bagi para siswa Sekolah Menengah Atas sehingga mereka dapat mengapresiasi
kekayaan khazanah seni rupa modern di Indonesia dan cita-cita serta kepribadian yang terkandung di
dalamnya, khususnya dalam rangka memperteguh kebhinnekaan dalam bingkai persatuan nasional.
Direktur Kesenian
Restu Gunawan
iv
Pusaka Seni Rupa Indonesia dan Kebhinekaan Budaya Kita
Penulisan seri buku Pusaka Seni Rupa ini adalah realisasi dari program Pendidikan Karakter Berbasis
Kebudayaan yang inisiatifnya datang dari Direktorat Jenderal Kebudayaan sejak akhir tahun lalu. Buku
ini ditulis untuk para siswa Sekolah Menengah Atas. Tujuannya adalah memperkenalkan dan meluaskan
cakrawala mereka terhadap khazanah seni rupa modern Indonesia.
Meluaskan cakrawala melalui karya seni rupa berarti menajamkan kepekaan akan segi-segi visual
(artistik), pengalaman keindahan (estetik), serta pengetahuan mengenai sumber-sumber inspirasi para
seniman. Inspirasi seniman bisa lahir dari pandangan pribadi, lingkungan sosial, perubahan masyarakat,
cita-cita politik, legenda, mitos, sejarah, tradisi, khayal atau fantasi, dan seterusnya. Pengetahuan
tentunya tidak hanya berkembang dari wawasan teoritis atau keilmuan, tapi juga karena kedekatan,
kecintaan, empati, dan segi-segi afeksi lainnya. Meningkatnya apresiasi seni diharapkan berkembang
bersama kemampuan menyerap hal-hal yang tersirat pada karya seni untuk memetik nilai-nilai
kehidupan di dalamnya.
Seri buku ini terdiri dari enam jilid. Masing-masing buku membahas satu karya–kali ini ragam seni
lukis—dari seorang seniman. Pertimbangan memilih seniman adalah ketokohan serta kontribusi mereka
pada awal perkembangan seni rupa modern di Indonesia, paruh pertama abad ke-20. Di masa itu seni
rupa Indonesia menempuh cara pengungkapan yang baru dalam hal tema, gaya, selera keindahan,
dan posisi seniman dalam masyarakat. Mereka sadar sepenuhnya akan kekuatan dan kemerdekaan
individu, semangat kebangsaan, seraya mengolah berbagai pengaruh seni dari luar. Para seniman ini
mempraktikkan seni rupa yang disebut “modern”, yang bukan kelanjutan dari tradisi seni sebelumnya.
Enam seniman yang karyanya dipilih untuk seri buku ini tidak dapat dipisahkan dari kisah
perkembangan awal seni rupa modern di Indonesia, yang berpusat di Jawa dan di Bali. Tentu saja
ada perbedaan langgam dan jenis kemodernan yang berkembang di dua tempat itu. Di Jawa seniman
modern akan mengatakan bahwa seni terlepas dari semua ikatan tradisi dan norma moral yang lama.
Ada pun di Bali, pandangan seni yang baru tidak sepenuhnya menanggalkan bentuk-bentuk artistik dan
tradisi masyarakat yang berlaku.
Seri Pusaka Seni Rupa ini menghadirkan enam karya dari enam tokoh seniman, yaitu:
1. Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi, 1944, karya Affandi Kusuma (1907-1990).
2. Cap Go Meh, 1940, karya S. Sudjojono (1913-1986).
3. Pengantin Revolusi, 1955, karya Hendra Gunawan (1918-1983).
4. Melukis di Taman, 1952 , karya Kartono Yudokusumo (1924-1957).
5. Para Anak Mengganggu Men Brayut, 1930-an, karya I Gusti Nyoman Lempad (1862-1978).
6. Tarian Barong Landung, 1934, karya Anak Agung Gede Sobrat (1912-1957).
Tiap karya ditulis oleh seorang penulis. Para penulis ini berlatar pendidikan seni rupa dan
berpengalaman menulis di bidangnya. Diharapkan penulisan karya-karya para tokoh seniman ini
mampu mendorong para siswa meluaskan cakrawala seni dan kebudayaan mereka. Melalui seni rupa,
kita merawat dan mengembangkan kebhinekaan budaya kita.
Selamat membaca.
v
Daftar Isi
vi
Kisah Sang Tekenaar
i.
Foto masa kecil Affandi (tengah) dan
kakaknya Moh. Sabur (kanan).
007
Affandi
Bab 1
Kisah Sang Tekenaar
008
Kisah Sang Tekenaar
009
Affandi
010
Kisah Sang Tekenaar
ii iii
011
Affandi
012
Kisah Sang Tekenaar
013
Affandi
014
Kisah Sang Tekenaar
iii iv
v vi
015
Affandi
i ii
i.
Affandi, My Family, 1938,
pastel di atas kertas, 69 x 50 cm.
ii.
Affandi, Potret Met Dochter (potret
bersama anak), 1939, cat minyak
di atas kanvas, 33 x 30 cm.
iii.
Affandi, Family of Sudarso, 1948, cat minyak
di atas kanvas & goni, 61,5 x 191 cm.
iv.
Foto Gang Wangsareja saat ini.
016
Kisah Sang Tekenaar
iii
Gang Wangsareja
017
Affandi
018
Kisah Sang Tekenaar
i.
Suasana Pasar Jaarbeurs,
Bandung tempo dulu.
ii.
Patung Sjafe’i Soemardja di depan Galeri
Soemardja, Insititut Teknologi Bandung.
iii.
Van Gogh, Self-Portrait, 1887, cat minyak
di atas papan, 41 x 32,5 cm.
iv.
Toulouse-Lautrec, At the Moulin Rouge,
1890, cat minyak di atas kanvas,
115 x 150 cm.
019
Affandi
i.
Affandi, Punggung Model, 1936, pastel
di atas kertas, 69,5 x 52,5 cm.
ii.
Affandi, Self Portrait, 1940, cat minyak
di atas kanvas, 36 x 30 cm.
iii.
ii Affandi, Topeng Bali, 1942.
020
Kisah Sang Tekenaar
Belajar di Bali
Affandi belajar melukis di Bali kurang lebih sekitar dua tahun dan
sempat diselingi pindah ke Surabaya untuk mengobati Maryati
yang sakit. Hal yang paling terlihat dari Affandi belajar di Bali
adalah lukisan-lukisannya yang mulai meninggalkan naturalisme
yang telah khatam dikuasainya untuk lanjut ke ekspresionisme dan
impresionisme, sebuah aliran yang memang disukainya sejak dulu.
Menurut Affandi, naturalisme itu gampang, “Artinya gampang itu,
selama melukisnya tidak merem masa tidak tercapai.” Sementara,
mengenai alasan mengapa ia memilih ekspresionisme, ia mengaku,
“Saya kepingin melukis di belakangnya motif (objek) itu. Misalnya
seorang sakit, orangnya kurus kering, menderita, saya melebihkan
kurusnya, supaya perasaan menderitanya lebih kena.” Pada masa
ini, langkah Affandi yang tekun mulai terlihat. Ia memulai jalan
hidupnya sebagai seorang tekenaar!
021
Affandi
i.
Affandi, Potret Diri, 1942.
022
Kisah Sang Tekenaar
023
Affandi
Bab 2
Affandi dan Seni Rupa Indonesia
024
Affandi dan Seni Rupa Indonesia
025
Affandi
026
Affandi dan Seni Rupa Indonesia
iii
ii
i.
Replika patung Affandi & Kartika,
1943, perunggu.
ii.
Affandi, Gembel Berewokan, 1944.
iii.
Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi, 1944, cat air di atas kertas,
40,5 x 56 cm.
027
Affandi
ii
i.
Foto Affandi sedang melukis dengan
tube-tube cat di sekitarnya.
ii.
Tampak hasil cat pelototan dari samping.
iii.
iii Foto Suhardjono mendampingi
Affandi melukis.
028
Affandi dan Seni Rupa Indonesia
Teknik Pelototan
029
Affandi
030
Affandi dan Seni Rupa Indonesia
i.
Affandi, Chairil Anwar, 1951, cat minyak
di atas kanvas, 79 x 96 cm.
ii.
Poster Boeng, Ajo Boeng.
iii.
Foto buku puisi Chairil Anwar.
031
Affandi
ii
032
Affandi dan Seni Rupa Indonesia
iv iii
i.
Affandi, Relief Prambanan, 1945, tinta cina
di atas kertas.
ii.
Affandi, Relief Prambanan II, 1946,
tinta cina di atas kertas.
iii.
Affandi, Mata-Mata Musuh
(A Capture Spy), 1947, cat minyak
di atas kanvas, 103,5 x 97 cm.
iv.
Affandi, Antri Beras, 1948, tinta cina v
di atas kertas, 27,3 x 34,5 cm.
v.
Affandi, Main Domino di Garasi
Taman Siswa, 1949, tinta cina di atas kertas,
31 x 38 cm.
033
Affandi
i ii
i.
Affandi, Belajar Anatomi Duduk Telanjang,
1948.
ii.
Affandi, Belajar Anatomi Sendiri, 1948,
tinta cina di atas kertas.
iii.
Affandi, HOS Tjokroaminoto, 1947,
cat minyak di atas kanvas, 103 x 85 cm.
034
Affandi dan Seni Rupa Indonesia
iii
035
Affandi
Bab 3
Menjadi Seniman Dunia
ii
036
Menjadi Seniman Dunia
iv iii
Keliling India
037
Affandi
ii
i.
Affandi, Pemandangan Jalan Raya di India,
1950.
ii.
Affandi, Pengungsi India, 1960, tinta cina
di atas kertas.
iii.
Affandi, Rumah di India, 1950, tinta cina
di atas kertas.
iv.
Pameran Lukisan Affandi di India
tahun 1950.
v.
Affandi, Potret Diri dan Tujuh Matahari di
India (Matahari-Matahari Kejam), 1950,
cat minyak di atas kanvas.
iii
038
Menjadi Seniman Dunia
039
Affandi
Pujian dan Penghargaan di Eropa Seorang kritikus seni terhormat lain bernama
Eric Newton yang saat itu tengah meninjau
Pada 1951 keluarga Affandi melanjutkan serangkaian pameran pelukis ekspresionis
petualangan dan pengembaraan mereka ke di sekitar London menyimpulkan bahwa
Eropa. Kota pertama yang mereka tuju adalah ekspresionisme jelas adalah “semua kemarahan”
London, di mana calon menantu Affandi, Sapto saat ini. Newton mendefinisikan seorang pelukis
Hudoyo, belajar dan melukis di sana. Di ibu ekspresionis sebagai “pria yang mengekspresikan
kota Inggris itulah Kartika kemudian menikah perasaan mereka”. Dia menulis banyak
dengan Sapto Hudoyo. Dari Inggris, atas tentang Affandi dalam sebuah artikel, di mana
undangan Sticussa (Stichting voor Culturele menyebutkan bahwa Affandi adalah seorang
Samenwerking), organisasi untuk kerjasama seniman Jawa namun tradisi Indonesianya tampak
kebudayaan Belanda, Affandi dan istrinya samar. Ia belajar sendiri secara autodidak, lebih
pergi ke negeri Belanda. Selanjutnya, Affandi liar daripada Kokoschka, dan sama berhasratnya
mengembara ke Belgia, Perancis, dan Italia untuk dengan Van Gogh. Ia melukis dengan ceroboh.
melukis dan mengadakan berbagai pameran. Ia siap melukis apa pun yang menggerakkannya.
Tema-tema lukisannya antara lain pemandangan Gambarnya kuat, lukisannya bervariasi. Dia adalah
kota Eropa, profil manusia Eropa—terutama contoh sempurna dari seorang ekspresionis.
wajah masyarakatnya—kafe-kafe dan restoran,
serta Menara Eiffel. Tema-tema ini mengundang Pada 1954 Affandi berpartisipasi di Venice
berbagai diskusi dan kritik yang sangat positif. Biennial, bienal (pagelaran seni dua tahunan)
tertua dalam sejarah. Venice Biennial yang
Meskipun sebelumnya telah ada beberapa artikel didirikan pada 1895 saat itu menampilkan lebih
media bahwa Affandi tinggal di India, catatan dari 600 seniman dari tiga puluh dua negara, yang
awal mengenai Affandi di Eropa justru langsung dipamerkan di delapan puluh galeri yang tersebar
bisa ditemui dalam tulisan kritikus dan sejarawan di antara 20 paviliun. Pagelaran itu merupakan
seni yang sangat terkenal. John Berger, salah satu tonggak penting lantaran Affandi pada saat
orang paling penting dalam sejarah dan kritik seni itu dipilih oleh juri sebagai salah satu peraih
di Eropa abad 20, pada Mei 1952 menulis di penghargaan.
New Statesman bahwa banyak orang memberi label
kepada karya Affandi sebagai karya ekspresionis.
Mereka berargumentasi dengan menunjukkan
kesamaan karya Affandi dengan karya seniman
dunia, seperti Van Gogh. Namun, itu adalah
pandangan yang sangat dangkal. Menurut Berger,
karya Affandi berbeda jenisnya dari hampir
semua karya yang diproduksi di Eropa. Alasannya
adalah karena karya Affandi menunjukkan jalan
keluar dari jalan buntu yang sekarang dihadapi di
Paris, New York dan London, yaitu jalan keluar
dari pandangan yang mengkotak-kotakkan seni
berdasarkan aliran-aliran tertentu.
040
Menjadi Seniman Dunia
ii
iv
iii
041
Affandi
042
Menjadi Seniman Dunia
Gambarnya kuat,
lukisannya bervariasi.
Dia adalah contoh
sempurna dari seorang
ekspresionis.”
i.
Artikel kritikus ternama John Berger
tentang Affandi.
ii.
Foto Affandi di luar negeri.
043
Affandi
Affandi di Amerika
044
Menjadi Seniman Dunia
045
Affandi
i ii iii
046
Menjadi Seniman Dunia
i.
Affandi di pintu pesawat.
ii.
Affandi, Wisdom from the East, 1967,
Fresco Mural.
iii.
Affandi, Kartika, Sapto Hudoyo, dan
Jean Charlot saat pembuatan mural
Wisdom from the East di Hawaii.
iv.
Foto Affandi melukis menara Eiffel.
v.
Affandi, Eiffel Tower, 1977.
047
Affandi
i.
Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi, 1944, cat air di atas kertas,
40,5 x 56 cm.
048
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
Bab 4
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
Sejak menjadi bagian dalam kancah seni rupa dan Yoshioka yang duduk di dalam juri, bersama-
dunia, nama Affandi telah menjadi salah satu sama kami, kagum atas kebagusan hasil seni
nama pelukis paling dikenal di Indonesia. Meski ini, tetapi mereka sendiri harus tunduk pada
demikian, tidak banyak orang bisa menyebutkan politik militer pada waktu itu. Kita tidak berdaya.
satu judul karya Affandi. Biasanya, jika disuruh Bagaimanapun saya mempertahankannya, kita
menyebutkan salah satu lukisan Affandi, orang kalah stem. Tiga Pengemis Affandi adalah suatu
akan menyebutkan karya dengan penjelasan apa gambaran neraka masyarakat Indonesia. … Jepang
objeknya atau teknik penggambarannya. Misalnya, tidak tahan melihatnya. Untung lukisan ini tidak
sangat sering kita mendengar orang menyebut disuruh bakar, dan kita tidak kehilangan benda
karya Affandi dengan frasa, “yang corat-coret seni yang tinggi ini.”
gambar wajah” atau “yang gambar adu ayam jago”,
dan sebagainya. Pengemis, Potret Orang Melarat
Affandi adalah seniman yang tertarik pada objek Ketika memandang Dia datang, Dia Menunggu,
berupa orang atau benda yang hidup. Sangat Dia Pergi, hal pertama yang cenderung menjadi
jarang ia melukis benda mati, seperti candi, fokus adalah objek pengemis. Jika memandang
misalnya. Affandi selalu melukis objek nyata di sekilas, yang terlihat mungkin hanya seorang
depannya. Ia tidak bisa melukis dengan angan- pengemis yang berada di tengah. Jika dipandang
angan belaka. Hal itu konsisten dilakukannya sejak lebih lama, akan tampak dua sosok pengemis lain
awal sampai akhir karirnya. Affandi bukan pelukis di kanan dan kiri sosok yang pertama. Pengemis
yang tenang-tenang melukis di dalam sanggar. yang di tengah ini memang menjadi tampak lebih
Ia senantiasa harus langsung terjun ke tempat jelas karena adanya warna yang terang di sekitar
yang hendak dilukisnya. Dalam beberapa kasus, ia mukanya. Lepas dari pertimbangan mengenai tiga
mengundang beberapa orang yang dilihatnya di sosok pengemis tersebut—apakah merupakan
jalanan ke rumah atau sanggarnya untuk dijadikan orang yang sama atau berbeda-beda, satu hal yang
model. Di antara ribuan karyanya, salah satu pasti adalah lukisan itu memotret pengemis.
mahakarya Affandi adalah lukisan berjudul
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi. Mungkin, mudah menemukan lukisan tentang
seorang pengemis hari ini. Oleh karena itu,
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi dibuat perlu dicatat bahwa Dia Datang, Dia Menunggu,
Affandi saat bergabung dengan organisasi Dia Pergi dibuat pada 1944. Ketika itu tidak
bentukan pemerintah kolonial Jepang, Jawa mudah menemukan potret dari golongan orang
Hokokai sebagai pengganti POETERA. Suatu miskin, baik dalam lukisan ataupun foto. Dalam
ketika, pemerintah Jepang menginginkan perkembangan awal seni lukis di Indonesia
seniman-seniman Jawa Hokokai untuk sebelum 1900, hanya kaum bangsawan yang
menyelenggarakan pameran hasil karya mereka. terekam dalam lukisan-lukisan potret. Hal ini
S. Sudjojono yang ketika itu bergabung dengan tentunya dikarenakan hanya kaum bangsawan
Keimin Bunka Shidoso pernah mengisahkan yang mampu membayar seniman untuk dilukis.
perihal lukisan ini: Lihat misalnya karya-karya Raden Saleh (1811-
1880) yang dicatat sebagai pelukis pertama di
“(…) Pada waktu inilah lahir lukisan akuarelnya Indonesia. Tentu menjadi pertanyaan mengapa
Tiga Pengemis. Akuarel ini betul top! Tapi, Affandi seolah berkebalikan 180 derajat dengan
waktu lukisan ini hendak dieksposisikan, ditolak. menjadikan pengemis sebagai model lukisannya.
Pelukis-pelukis Jepang seperti Yamamoto, Kono,
049
Affandi
050
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
iv
iii
i.
Foto lukisan Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi dalam sebuah pameran di India
tahun 1950.
ii.
Raden Saleh, Portrait of Herman Willem
Daendels, 1838.
iii.
Affandi, Gembel Berewokan, 1944.
iv.
Affandi, Antri Beras di RK Gendingan, 1948,
tinta cina di atas kertas, 27,3 x 34,5 cm.
051
Affandi
ii
052
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
i.
Affandi, Pengemis Duduk, 1972.
ii.
iv Affandi, Pengemis Tidur, 1974.
iii.
Affandi, Pengemis dari Tanjung Cirebon,
1985, cat minyak di atas kanvas,
146 x 113 cm.
iv.
Affandi, Pengemis di Museum, 1985.
053
Affandi
054
i
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
Lukisan Sekuens
055
Affandi
ii
056
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
iii
i.
Bejana tembikar di Shar-i Sokhta, iv
3000 SM.
ii.
Lucas Cranach the Elder, Paradise, 1530.
iii.
Affandi, Ibu Marah, 1960.
iv.
Affandi, Three Moods, 1966,
cat minyak di atas kanvas, 106 x 183 cm.
057
Affandi
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi dibuat dengan cat air
di atas kertas berukuran 56 x 40,5 cm. Jika mengamati lukisan
tersebut secara langsung, kita dapat mengetahui bagaimana kertas
yang digunakan Affandi bukanlah sebuah kertas utuh. Kertas
yang digunakannya merupakan gabungan sembilan kertas yang
disambungnya dengan lem. Tindakan penyambungan kertas
tersebut dapat kita kaitkan saat lukisan ini dibuat, di mana ketika
itu kondisi finansial Affandi masih kurang baik sehingga membeli
kertas berukuran besar dan alat lukis pun susah.
Jika kita cermati goresan cat dalam Dia Datang, Dia Menunggu,
Dia Pergi, kita bisa sepakat bagaimana lukisan ini secara teknik
menunjukkan peralihan penting dari Affandi, yakni dari gaya
naturalis ke ekspresionis. Sosok sang pengemis tidak digambar nyata
dan halus, melainkan penuh goresan dengan ketebalan tak menentu.
Bukan detail pakaian dan wajah yang kita dapat, melainkan kesan
kusam dan lusuh. Tanah dan pohon yang menjadi latar tidak
digambarkan jelas, tapi seakan melebur dengan sang pengemis.
Sepertinya, Affandi menggunakan teknik pelototannya ketika
melukis, namun jelas ia menggunakan pula kuas kecilnya untuk
memberikan goresan-goresan tegas. Fungsinya adalah membuat
detail mata dan jari sang pengemis. Yang menarik, Affandi dengan
seksama menggambar secara lurus ketiga tongkat sang pengemis,
sebuah garis lurus yang jarang kita temukan dalam karya-karya
Affandi.
058
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
i.
Detil wajah tiga pose pengemis dalam karya
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi.
059
Affandi
Simbol Kehidupan
060
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
iv
i.
Paul Gauguin, Where do we come from?
What are we? Where are we going?, 1898.
ii.
Foto Affandi dan sketsa simbol tangan, kaki,
matahari tahun 1975.
iii.
Affandi, Kaki-Kaki, 1950, tinta cina
di atas kertas.
iv.
Affandi, Potret Diri Hampir Terbenam, 1985.
061
Affandi
Bab 5
Penutup
Saat buku ini ditulis, lukisan Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi
sedang dalam proses restorasi. Restorasi lukisan adalah proses untuk
memperbaiki lukisan tua agar kondisinya bisa tampak menyerupai
kondisi asli lukisan ketika dibuat. Proses restorasi Dia Datang,
Dia Menunggu, Dia Pergi dimulai dari melepas kertas-kertas
yang ada di balik lukisan. Rupanya, Affandi menempelkan kertas
tambahan demi memperkuat sambungan antar sembilan kertas di
mana ia melukis di atas medium ini. Menariknya, di dalam kertas
yang ada di balik lukisan terdapat gambar yang kemungkinan
merupakan hasil gambar Affandi pada masa-masa awal karirnya.
Proses restorasi berikutnya adalah menambal beberapa sobekan
dengan kertas khusus yang memiliki kualitas baik. Kertas tambalan
sengaja dibuat berbeda dengan kertas asli lukisan agar kita tetap
memahami bahwa lukisan tersebut telah melalui proses restorasi. i
062
Penutup
063
Affandi
i ii
iii iv
064
Penutup
i.
Detil kertas penambal lukisan Affandi
yang sedang direstorasi.
ii.
Foto gambar di balik lukisan
Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi.
iii.
Piagam penghargaan
Doctor Honoris Causa.
iv.
Foto Affandi saat mendapatkan
penghargaan dari Presiden Suharto.
v.
Foto Affandi masa tua.
065
Affandi
066
Penutup
ii iii
iv
067
“Kesenian saya tidak
berpangkal dari
keindahan, tetapi dari
kemanusiaan.”
–Affandi
068
Daftar Pustaka
Daftar Bacaan
Apin, Mochtar & M. Arsath Rois. 1986. Corat-coret Affandi 1944-1952. Bandung: Penerbit Angkasa
Rosidi, Ajip, Zaini, Sudarmadji. 1978. Affandi 70 tahun. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.
Sidik, Fadjar. 1975. Wawancara Fadjar Sidik dengan Pelukis Affandi 1975. Yogyakarta: ASRI
Sumichan, Raka & Umar Kayam. 1987. Affandi. Jakarta: Yayasan Bina Lestari Budaya.
Sumichan, Sardjana. 2007. Affandi I - III. Jakarta: Yayasan Bina Lestari Budaya.
Wiyanto, Hendro & Hari Budiono. 2014. Dia datang, dia lapar, dia pergi: Kenangan Pak Djon, Sopir dan Asisten Pribadi,
tentang Pelukis Affandi (1907-1990). Yogyakarta: Agung Tobing.
Adiyati, Siti. 1987. Potret Affandi dan Tujuh Matahari. Kompas, 1 Maret 1987.
Kusumo, Sardono W. 1987. Affandi dan Dewa Halilintar. Kompas, 1 Maret 1987.
Moeljanto, DS. 1991. Seniman, Bung Karno dan Perang Kemerdekaan. Suara Pembaruan, 27 Agustus 1991.
Purnama, Hadi. 1987. Kelompok Lima Bandung: berada di Pinggir Panggung Sejarah Seni Rupa Modern Indonesia.
Kompas, 5 Juli 1987.
Sudarmaji. 1980. Seni Lukis Indonesia di Masa Jepang. Kompas, 14 April 1980.
Supangkat, Jim. 1986. Affandi dibiarkan dalam Kabut. Tempo, 7 Maret 1986.
Yustiono. 1988. Tempat Affandi dalam Perkembangan Seni Rupa Indonesia dan Dunia. Kompas, 10 Januari 1988.
069
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
M. Alzaki T. (fotografer).
070
Daftar Gambar
071
Toulouse-Lautrec, At the Moulin Rouge, 1890, Halaman 028
cat minyak di atas kanvas, 115 x 150 cm. Foto Affandi sedang melukis dengan tube-tube cat
Sumber: Wikipedia. di sekitarnya.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Halaman 020
Affandi, Punggung Model, 1936, pastel Tampak hasil cat pelototan dari samping.
di atas kertas, 69,5 x 52,5 cm. Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Foto Suhardjono mendampingi Affandi melukis.
Affandi, Self Portrait, 1940, cat minyak Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
di atas kanvas, 36 x 30 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. Halaman 030
Affandi, Chairil Anwar, 1951, cat minyak
Halaman 021 di atas kanvas, 79 x 96 cm.
Affandi, Topeng Bali, 1942. Sumber:
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Sardjana Sumichan, Affandi Volume 2, Bina Lestari
Budaya Foundation, Jakarta - Singapore
Halaman 022 Art Museum, Singapore, 2007.
Affandi, Potret Diri, 1942.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Halaman 031
Poster Boeng, Ajo Boeng.
Halaman 024 Sumber: www.dgi.or.id.
Foto Organisasi POETERA.
Sumber: www.duniazu.blogspot.co.id. Foto buku puisi Chairil Anwar.
Sumber: detik.com.
Affandi, Di Dalam Rumah, 1941, cat minyak
di atas kanvas, 40,5 x 56 cm. Halaman 032
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Affandi, Relief Prambanan, 1945, tinta cina
di atas kertas.
Halaman 025 Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Affandi, Di Dalam Kamar (interior), 1942,
cat minyak di atas papan kayu, 45 x 46 cm. Affandi, Relief Prambanan II, 1946, tinta cina
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. di atas kertas.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Affandi, Ibuku, 1941, cat minyak di atas kanvas,
41,5 x 32 cm. Halaman 033
Sumber: www.arsip.galeri-nasional.or.id. Affandi, Mata-Mata Musuh (A Capture Spy), 1947,
cat minyak di atas kanvas, 103,5 x 97 cm.
Halaman 026 Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Replika patung Affandi & Kartika, 1943,
perunggu. Affandi, Antri Beras, 1948, tinta cina di atas kertas,
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. 27,3 x 34,5 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Halaman 027
Affandi, Gembel Berewokan, 1944. Affandi, Main Domino di Garasi Taman Siswa,
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. 1949, tinta cina di atas kertas, 31 x 38 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Affandi, Dia Datang, Dia Menunggu, Dia Pergi,
1944, cat air di atas kertas, 40,5 x 56 cm. Halaman 034
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Affandi, Belajar Anatomi Duduk Telanjang, 1948.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
072
Affandi, Belajar Anatomi Sendiri, 1948, tinta cina Halaman 041
di atas kertas. Affandi, Gadis Eropa, 1952, cat minyak
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. di atas kanvas, 88 x 56,5 cm.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Halaman 035
Affandi, HOS Tjokroaminoto, 1947, cat minyak Affandi, Roma, 1953.
di atas kanvas, 103 x 85 cm. Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Sumber:
Sardjana Sumichan, Affandi Volume 2, Bina Lestari Affandi, Kafe di Paris dengan Pemain Gitar, 1953.
Budaya Foundation, Jakarta - Singapore Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Art Museum, Singapore, 2007.
Affandi, Kapal Venesia, 1954, tinta cina
Halaman 036 di atas kertas, 51 x 40 cm.
Foto Affandi, Kartika, dan Maryati. Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Halaman 042
Affandi, Kapal ke India, 1949, tinta cina Artikel kritikus ternama John Berger tentang
di atas kertas, 35,3 x 24 cm. Affandi.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T. Sumber: arsip IVAA.
Affandi, Pengungsi India, 1960, tinta cina Affandi, Charles River, Boston; 1958,
di atas kertas. cat minyak di atas kanvas, 61 x 76 cm.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta. Sumber: Affandi I - III.
073
Affandi, Kartika, Sapto Hudoyo, dan Halaman 054
Jean Charlot saat pembuatan mural Foto catatan lukisan Dia Datang, Dia Menunggu,
Wisdom from the East di Hawaii. Dia Pergi.
Sumber: Affandi I - III. Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
074
Halaman 63
Foto galeri di Museum Affandi.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Halaman 64
Detil kertas penambal lukisan Affandi yang
sedang direstorasi.
Sumber: Dokumentasi Irham N.A.
Halaman 65
Foto Affandi masa tua.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
Halaman 66
Foto makam Affandi.
Sumber: Dokumentasi Muhammad Alzaki T.
Halaman 67
Affandi, Potret Diri, 1970.
Sumber: Museum Affandi, Yogyakarta.
075
Irham Nur Anshari
076