Anda di halaman 1dari 122

Dra. Hj. Latifah Ratnawati, M.Hum.

TASAWUF KONTEKSTUAL
Kajian Hermeneutik Cerpen-Cerpen Danarto

Penerbit Dramata
Palembang
2011
Kutipan Pidana
Pasal 72 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak sebagaimana dimaksud dalam


pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit
Rp1.000.000 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada


umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda Rp500.000.000 (lima ratus juta rupiah).

Desain Sampul:

Layout:

Penyunting: Muhammad Azhari

Penulis: Dra. Hj. Latifah Ratnawati, M.Hum.

TASAWUF KONTEKSTUAL
Kajian Hermeneutika Cerpen-Cerpen Danarto

Penerbit Dramata, Palembang

ISBN xxx-xxx-xxxx-xx-x

110 halaman + iii

Dicetak di
Isi di luar tanggung jawab percetakan
Kata Pengantar

Isu mengenai adanya kesadaran baru dalam kesusastraan Indonesia, yaitu


kesadaran spiritualitas yang biasa dikenal dengan istilah sufisme atau tasawuf, terdengar
sejak awal tahun tujuh puluhan. Karya sastra yang bermuatan tasawuf itu pun banyak
dihasilkan oleh sastrawan Indonesia, salah satunya adalah Danarto. Akan tetapi,
penelitian tentang karya-karya yang bermuatan tasawuf itu belum banyak dilakukan.
Oleh sebab itu, penulis tertarik meneliti unsur ketasawufan, khususnya perilaku
ketasawufan dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto ini.
Banyak kesulitan yang penulis hadapi dalam penelitian ini karena terbatasnya
pengetahuan. Setelah melalui berbagai kesulitan dan mendapat bantuan dari berbagai
pihak, alhamdulillah tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu,
penulis mengucapkan syukur ke hadirat Allah swt. yang telah memeberikan nikmat ini.
Dalam kesempatan ini pula, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Muhammad Luthfi yang telah membimbing penulis dengan kesungguhan dan
ketelitian, walaupun dalam kondisi kesehatan yang belum begitu prima;
2. Prof. Dr. Achadiati Ikram, Ketua Program Studi Ilmu Susastra, ketika tesis ini
masih dalam bentuk rancangan, dan Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Ketua
Program Studi Ilmu Susastra Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, ketika tesis ini diujikan yang telah memberikan berbagai
kemudahan;
3. Dr. Lilawati Kurnia, Sekretaris Program Studi Ilmu Susastra, Bidang Ilmu
Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra Universitas Indonesia;
4. Dr. Ahmad Dahana, Dekan Fakultas Sastra, Universitas Indonesia;
5. Prof. Dr. H. Zainal Ridho Djakfar, Rektor Universitas Sriwijaya, yang telah
memberikan izin belajar di Program Pascasarjana (S2) ini;
6. Dr. H. M. Djahir Basir, M. Pd., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sriwijaya, yang memeberikan kemudahan dalam menempuh
pendidikan S2 ini;
7. Pimpinan Proyek Pengembangan Guru Sekolah Menengah (PGSM), Departemen
Pendididkan Nasional, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, yang telah meberi
beasiswa selama penulis menempuh pendidikan S2 di Program Studi Ilmu
Susastra, Bidang Ilmu Pengetahuan Budaya, Fakultas Sastra, Universitas
Indonesia;
8. Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono, Dr. Muhammad Luthfi, Prof. Dr. Achadiati
Ikram, Dr. Andriani Lucia Hilman, dan Dr. Parwatri Wahjono, yang telah menguji
penulis dengan situasi menyenangkan dan sekaligus memberikan masukan yang
berharga;
9. Para penulis senior di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sriwijaya, yang banyak
memberikan dorongan kepada penulis, dan
10. Teman-teman di Kajian Tasawuf Positif IIMA yang bersedia berbincang
mengenai taswuf dan meminjamkan sejumlah makalah dan jurnal sufi.
Ucapan terima kasih ini juga penulis sampaikan kepada semua pihak yang
telah membantu dan tidak mungkin disebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh
sebab itu, kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan tesis ini pada masa
yang akan dating sangat diharapkan. Akhirya, penulis berharap semoga penelitian
ini bermanfaat bagi kita semua dan mendapat rida-Nya.

Depok, 28 Oktober 2000

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Cerpen dan Sastra Sufistik
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Manfaat Penelitian
1.5 Sumber Data
1.6 Landasan Teori
1.7 Metodologi Penelitian
1.8 Sistematikan Penulisan

BAB II PERILAKU SUFISTIK TOKOH DALAM KUMPULAN CERPEN GERGASI


KARYA DANARTO
2.1 Pendahuluan
2.2 Perilaku Sufistik Tokoh
2.2.1 Sabar Dilandasi Cinta: Representasi Sufi Rabiah al-Adawiyah
1) Sinopsis Cerpen “Rembulan di Dasar Kolam”
2) Perilaku Sufistik
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik
2.2.2 Rela dan Syukur Demi Menggapai Rida Allah
1) Sinopsis Cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”
2) Perilaku Sufistik
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik
2.2.3 Rela dan Zuhud Memberikan Ketenangan Hidup
1) Sinopsis Cerpen “Bulan Sepotong Semangka”
2) Perilaku Sufistik
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik
2.2.4 Kezuhudan Memerangi Kejahatan Menegakkan Moral Keilahian
1) Sinopsis Cerpen “Dinding Ayah”
2) Perilaku Sufistik
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik
2.2.5 Cinta Berbuah Ketaatan yang Tinggi Hanya kepada-Nya
1) Sinopsis Cerpen “Dinding Waktu”
2) Perilaku Sufistik
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik
2.2.6 Kepemimpinan Dilandasi Cinta Berbuah Kebijakan Berpihak pada Rakyat
1) Sinopsis Cerpen “Gaharu”
2) Perilaku Sufistik
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik
2.2.7 Isar dan Futuwah Sarana Amar Makruf Nahi Munkar Seniman
1) Sinopsis Cerpen “Balairung”
2) Perilaku Sufistik
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik
2.2.8 Cinta Mengubah Kekuatan Negatif Menjadi Positif
1) Sinopsis Cerpen “Semak Belukar”
2) Perilaku Sufistik
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik
2.2.9 Cinta dan Pengabdian kepada Sesama, Sarana Pengabdian kepada Allah
1) Sinopsis Cerpen “Gandasturi”
2) Perilaku Sufistik
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik

BAB III SIKAP IMPLIED AUTHOR TERHADAP PERILAKU SUFISTIK


3.1 Pendahuluan
3.2 Tasawuf Klasik dan Tasawuf Modern
3.3 Pandangan Implied Author tentang Tasawuf
3.4 Implied Author tentang Perilaku Sufistik

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN:
Lampiran 1 Rekapitulasi Perilaku Sufistik Tokoh
Lampiran 2 Glosari
Lampiran 3 Ayat dan Terjemahan Quran yang Dikutip
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Cerpen dan Sastra Sufistik

Cerita pendek merupakan karya prosa imajiner yang menceritakan berbagai masalah
kehidupan manusia dan interaksinya dengan sesamanya dan lingkungannya. Kehidupan
yang ditampilkan itu merupakan hasil dialog, kontemplasi, dan reaksi pengarang terhadap
kehidupan dan lingkungan yang ada di sekitarnya itu. Bahkan, Wellek (1989:135)
memandang bahwa karya sastra, termasuk cerpen tentu saja, dapat dianggap sebagai
dokumen sejarah pemikiran dan filsafat. Karenanya, sejarah sastra dapat dianggap sejajar
dan mencerminkan sejarah pemikiran.
Pada tahun 1970-an muncul karya-karya sastra yang berwawasan estetika dan
kesaadaran baru dalam sastra Indonesia. Abdul Hadi WM, dalam wawancara dengan
wartawan Minggu Pagi, 31 Oktober 1987 memandang bahwa karya-karya sastra yang
ditulis pada tahun 1970-an itu memiliki benang merah yang jelas dalam wawasan
estetika, pandangan hidup, daerah penjelajahan, dan kesadaran zaman yang didominasi
rasionalisme, nasionalisme, dan teknologi. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa karya
sastra yang dijumpai antihero, menggarap arus kesadaran dalam pelakunya, tidak
mempedulikan alur, dan mengembalikan realitas sastra kepada realitas imajiner. Dunia
transenden digarap kembali sehingga muncul karya-karya sufistik atau ketasawufan
dengan penghayatan baru.
Di dalam kesusastraan Melayu, sastra tasawuf sudah dirintis oleh Hamzah Fansuri
dan Samsuddin Pasai pada abad ke-16 di Aceh, yang dipengaruhi ajaran Wahdat al-
Wujud Ibnu Arabi dari sastra Arab. Ajaran ini cenderung Pantheistis dan menemukan
bumi suburnya di dalam sastra sufi Jawa (Simuh, 1994:14). Abdul Hadi WM (1995:12)
menganggap Hamzah Fansuri sebagai peletak dasar puitika dan estetia Melayu yang
mantap dan kukuh. Pengaruhnya masih terlihat sampai abad ke-20, khususnya dalam
karya-karya penyair Angkatan Pujangga Baru. Bahkan, pengaruh itu juga terlihat pada
sastrawan Angkatan 70-an, seperti Danarto.
Cerpen-cerpen Danarto, dikatakan Hadi (1999:23) sebagai karya yang memiliki
kecenderungan sufistik. Dikatakannya demikian, karena pengalaman yang dipaparkannya
merupakan pengalaman transendental seperti ekstase, kerinduan, dan persatuan mistikal
dengan Yang Transendental. Sumber ilham karya sufistik ini adalah tasawuf dan karya
penulis sufi. Sebagaimana sastra sufi, sastra sufistik juga sering menggunakan sistem
pencitraan dan perlambangan khas sastra sufi, terkadang juga menggunakan perlambang
ciptaan sastrawannya sendiri.
Sastra sufitik menurutnya dapat disebut juga sebagai sastra transendental. HB Jassin
(1991:38) mengistilahkan karya seperti ini dengan mistisisme. Maksudnya, karya itu
menjelmakan perasaan kedekatan dengan wujud keilahian; atau kebenaran Yang Paling
Akhir, persatuan dengan Yang Mahatinggi. Pengarang, dalam hal ini, melukiskan
pengalamannya dalam mencari dan merasakan napas ketuhanan dan keabadian.
Sastra sufistik ini berbeda dari sastra sufi. Sastra sufi, selain ditulis oleh para sufi,
isinya berupa doktrin atau ajaran tasawuf. Tema sastra sufi, di samping masalah cinta
Ilahi, makrifat, tauhid, dan persatuan dengan kehendak Tuhan, juga kaya akan tema sosial
dan moral. Dalam hal pengucapan, para sufi biasanya menggunakan sistem pencitraan
dan perlambangan khas sastra sufi (Hadi, 1993:8—9). Sementara Nicholson (1978:98)
berpendapat bahwa sastra tasawuf dalam hal-hal tertentu bersifat figuratif, karena dengan
cara itulah para sufi dapat menyembunyikan atau merahasiakan ajarannya yang
sebenarnya hanya boleh diketahui oleh dirinya sendiri. Selain itu, dengan citra itu mereka
dapat menuangkan pengalaman kerohaniannya. Lambang yang digunakan bermacam-
macam, baik lambang yang umum seperti mabuk anggur, kekasih laut, burung, perahu,
dan cermin, maupun lambang yang sesuai dengan pengarangnya. Isinya berupa masalah-
masalah ketasawufan sehingga karya ini bersifat ideologis. Oleh sebab itu, sastra tasawuf
ini diguakan sebagai wadah menuangkan ajaran tasawuf atau ideologi kaum sufi.
Menurut pandangan Simuh (1992:6) sastra sufi lahir dari kebutuhan untuk
menyebarkan ajaran tasawuf sehingga sebagian ajaran tasawuf itu diungkapkan melalui
karya sastra.
Pemerhati sastra menaruh perhatian besar terhadap karya-karya Danarto. Hal ini
terlihat dari beberapa karyanya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa asing.
Misalnya saja, Godlob diterjemahkan oleh Harry Aveling ke dalam bahasa Inggris
dengan judul Abacadabra. Kumpulan cerpennya Berhala mendapat penghargaan dari
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa tahun 1990. Teeuw (1998:199),
menempatkan Danarto sebagai pengarang Indonesia mutakhir yan paling berhasil dalam
pembaharuan terhadap prosa Indonesia, khususnya dalam hal teknik fiksi, di samping
dalam hal isinya. Bahkan, Burton Raffel dalam The Asian Wall Street Journal, 28
Februari 1980 menulis, “Mungkin yang paling menarik adalah eksperimentalis Danarto.
Cerpen-cerpennya mempesona dan melebihi cerpen-cerpen terbaik di Eropa maupun
Amerika dewasa ini” (Danarto, 1982:kulit belakang).
Sampai tahun 1993, ada empat buku kumpulan cerpen yang ditulis Danarto. Keempat
buku kumpulan cerpen itu adalah Godlob (1975), Adam Ma’rifat (1982), Berhala (1987),
dan Gergasi (1993). Danarto juga menulis catatan harian berjudul Orang Jawa Naik Haji
dan diterbitkan tahun 1983. Pada tahun 1986, ada dua buah kumpulan esai
diterbitkannya, yaitu Gerak-gerik Allah dan Begitu Ya Begitu tapi Mbok Jangan Begitu.
Pada tahun 1999, ia menerbitkan novel perdananya berjudul Asmaraloka. Selain itu,
masih banyak karyanya yang tersebar di berbagai surat kabar dan majalah, seperti
Republika, Kompas, Horison, dan Zaman, baik yang berbentuk puisi, esai, maupun
cerpen.
Kumpulan cerpen Gergasi, yang merupakan objek penelitian ini, memuat tiga belas
cerpen, yaitu (1) “Rembulan di Dasar Kolam”, (2) “Allah Berkenan Mengejawantah
Lusa”, (3) “Bulan Sepotong Semangka”, (4) Dinding Ayah”, (5) Dinding Waktu”, (6)
Matahari Mabuk”, (7) “Gaharu”, (8) “Bulan Melahap Madu”, (9) “Menu”, (10) “Semak
Belukar”, (11) “Kolam Merah”, dan (12) “Gandasturi”.
Ada perbedaan tajam antara kumpulan cerpen Godlob dan Adam Ma’rifat dengan
Berhala dan Gergasi. Perbedaan itu, setidaknya, dapat dilihat dari tokoh dan peristiwa
yang dikemukakan. Pada Godlob dan Adam Ma’rifat, sebagian besar tokohnya
merupakan tokoh yang sulit dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Demikian juga halnya
dengan peristiwa yang dikemukakan. Tampaknya, kenyataan dalam karya sastra betul-
betul dikembalikan pengarang kepada kenyataan yang imajiner.
Dalam Berhala dan Gergasi kesan seperti ini tidak begitu tampak. Setidaknya, tokoh
dan peristiwa yang dikemukakan pengarangnya banyak berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari, tetapi kesan taklogis tetap terasa juga. Dalam cerpen “Anakmu Bukanlah
Anakmu, Ujar Gibran” (Danarto, 1996:63—78), misalnya, ditokohi Niken, seorang
mahasiswa berotak cerdas, aktivis pembela kebenaran dan keadilan, pejuang rakyat kecil,
dianggap pemerintah Orde Baru sebagai pemberontak, sehingga akhir cerita ia diculik.
Realistik, aktual, dan kontekstual. Akan tetapi, kesan taklogis tetap juga ada, karena
cerita ini diwarnai peristiwa atau kejadian-kejadian yang luar biasa dan tidak masuk akal
yang dialami tokoh. Perilaku sufistik ada juga dalam cerpen ini, yaitu makam cinta.
Tampaknya dalam cerpen ini, Danarto mengambil peristiwa sehari-hari yang aktual, lalu
mengomentarinya dan menghubungkannya dengan dunia transendental, dunia tasawuf.
Peristiwa lain yang juga terungkap dalam cerpen Berhala ini adalah korupsi, pencurian
mayat, penembakan misterius, gali, dan gejala paranormal. Oleh sebab itu, Kayam
(1996:xiv-xx) memandang Danarto telah meninggalkan dunia sonya ruri, yang tidak riil
tetapi tidak sepenuhnya abstrak. Walaupun demikian, ia tidak sepenuhnya
meninggalkannya.
Warna baru yang ditampilkan Danarto dalam cerpen Berhala dan Gergasi ini adalah
pemakaian bahasa yang lugas dan alur cerita yang lebih linier.
Apa yang tampak pada Berhala, berlanjut pada kumpulan cerpen berikutnya, yaitu
Gergasi. Cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” (Danarto, 1996:1—14), misalnya, berkisah
tentang seorang istri yang selalu dimarahi dan dituduh suaminya memata-matainya.
Setelah diselidiki salah seorang anaknya, yaitu Bagas, ternyata si Ibu berhasil menguasai
ruang dan waktu. Di mobil ibunya, Bagas menemukan puisi berjudul “Doa Rabiah dari
Basrah”. Ia pun berkesimpulan bahwa ibunya berhasil memiliki kemampuan itu karena
mempelajari puisi Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang terkenal itu.
Tokoh dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” ini adalah tokoh yang biasa
dijumai di dalam kehidupan sehari-hari. Peristiwa yang dikisahkan pun biasa, seorang
suami yang memiliki istri simpanan, tetapi kesan taklogis terasa juga. Tokoh Ibu dalam
cerpen ini dikisahkan memiliki kemampuan menguasai ruang dan waktu, salah satu
kemampuan yang dimiliki oleh seorang sufi.
Cerpen lain dari Gergasi ini yang juga memperlihatkan muatan tasawuf adalah “Allah
Berkenan Mengejawantah Lusa” (Danarto, 1996:15—23). Kelompok pohonan, yang
dianggap masyarakat sedang bermusyawarah, telah menyedot perhatian masyarakat
untuk menyaksikannya. Hal ini menjadikan tempat yang semula sepi menjadi ramai dan
sekaligus membuka peluang usaha bagi penduduk sekitar tempat itu. Setelah waktu yang
ditentukan tiba, yaitu sesudah waktu ashar, pohon-pohon itu meneriakkan ketiadaannya.
Yang ada hanyalah Yang Mutlak (Allah). Penyatuan diri makhluk dengan Khalik
mengakhiri cerita ini.
Cerpen berjudul “Dinding Ayah” (Danarto, 1996:40—58) jika dilihat sekilas tidak
memperlihatkan perilaku sufistik di dalamnya. Akan tetapi, bila dicermati, muatan
tasawuf itu ada. Tahapannya memang belum sampai pada penyatuan makhluk dengan
Tuhan, tetapi baru pada kezuhudan, yaitu menghindarkan diri dari segala sesuatu yang
haram. Cerpen ini mengisahkan kehidupan seorang pengusaha kaya yang sangat
berambisi menguasai semua sektor perdagangan dari yang paling kecil sampai yang
paling besar. Hal ini menimbulkan kecemasan, bukan saja dari para pesaingnya, tetapi
juga bagi anak-istrinya sendiri. Oleh sebab itu, ada beberapa orang, anaknya sendiri
merasa tidak berbahagia menyaksikan kekayaan usahawan itu, bahkan mereka tidak mau
menikmatinya karena memandang bahwa semua itu diperoleh dengan cara yang tidak
halal.
Peristiwa-peristiwa yang diceritakan Danarto dalam kumpulan cerpen berjudul
Gergasi ini amat kontekstual dan aktual. Walaupun demikian, peristiwa-peristiwa ini
dihadirkannya dengan menghubungkannya dengan dunia transendental, dunia tasawuf.
Dengan demikian, dimensi soasial dan transendental benar-benar disatukannya.
Bagi Danarto, karya seni memang merupakan alat untuk menerima dan memberi
enlightment (Tjitro Subroto, 1986:8). Maksudnya, melalui karyanya, ia dapat
memberikan pencerahan kepada pembacanya. Dalam wawancara dengan Abdul Hadi
W.M di harian Berita Buana, 14 Agustus 1984, Danarto mengemukakan bahwa kata-kata
yang digunakannya merupakan sarana bagi penglihatan batinnya. Dengan kata-kata, ia
harus mampu menjadikan yang abstrak berdaging, dan yang ‘tersirat’ menyebabkan
pencerahan. Semua itu hanya dapat dicapai dengan kekuatan kesadaran ‘bumi yang
berenang di langit’. Kecerahan ini diperoleh pengarang karena ia terus-menerus
melakukan hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga ia mencapai persatuan rahasia
(unio mystica) dengan-Nya (Hadi, 1999:17).
Tampaknya, Danarto mendahului menjawab tantangan Syukur (1999:vi), yaitu agar
di abad XXI tasawuf lebih bersifat pragmatik, empirik, dan fungsional. Tasawuf
hendaknya mempunyai tanggung jawab yang nyata antara yang bersifat spiritual,
psikologi, politik, moral intelektual, sosial, dan ekonomi. Dengan sendirinya, tasawuf
tidak eksklusif melainkan inklusif di dalam aspek kehidupan. Ini antara lain segi menarik
dari kumpulan cerpen Gergasi ini untuk diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini.
Penelitian terhadap cerpen-cerpen Danarto banyak dilakukan. Di antaranya dilakukan
oleh Siti Sundari Tjitrosubono dan kawan-kawan (1985) dan Th, Sri Rahayu Prihatmi
(1989). Tjitrosubono meneliti struktur cerpen-cerpen Danarto yang ditulis dalam kurun
waktu tahun 1967—1977. Sementara Prihatmi meneliti cerpen-cerpen dalam kedua
kumpulan cerpen Danarto, yaitu Godlob dan Adam Ma’rifat. Penelitian ini antara lain
menyimpulkan bahwa kedua kumpulan cerpen yang diteliti itu tergolong cerpen yang
nonrealis, yang menghadirkan dunia nyata dan dunia tidak nyata sekaligus melalui
pertemuan terhadap unsur-unsur strukturnya, yaitu alur, tokoh, dan latarnya.
Penelitian terhadap sufi dan sastra sufstik juga banyak dilakukan, baik terhadap karya
sastra Melayu, karya sastra Jawa, maupun karya sastra Indonesia modern. Di antaranya
P.J Zoetmulder (1990), Purwadaksi (1992), Vladimir I. Braginsky (1993), Abdul Hadi
W.M. (1995), Simuh (1995), dan Ahmad Badrun (1994). Zoetmulder meneliti ajaran
mistik yang terdapat dalam karya sastra Jawa. Sementara, Purwadaksi menyunting dan
mengkaji teks Ratib Saman dan Hikayat Syekh Muhammad Saman. Braginsky meneliti
sistem citra dan system simbolisme dalam puisi-puisi karya Hamzah Fansuri. Hadi W.M.
juga meneliti karya Hamzah Fansuri berjudul Zinat al-Wahidin. Simuh, sebagaimana
Zoetmulder, meneliti ajaran mistik yang terdapat di dalam sastra suluk Jawa, sementara
Badrun meneliti tasawuf yang terdapat di dalam tiga buah puisi karya Abdul Hadi W.M
berjudul “Meditasi”, “Dari Tawangmangu” dan “Tuhan, Kita Begitu Dekat”. Penelitian
mengenai perilaku ketasawufan pada tahap tarikat yang terdapat dalam kumpulan cerpen
Gergasi karya Danarto belum dilakukan.

1.2 Rumusan Masalah


Pada bagian sebelumnya dikemukaan bahwa karya-karya Danarto, termasuk
kumpulan cerpen Gergasi mengandung perilaku sufistik. Perilaku sufistik ini dilihat dari
jalan pikiran, tindakan, perbuatan, dan dialog antartokoh. Selain itu, untuk melihat sikap
implied author terhadap perilaku sufistik, penelitian ini juga memerhatikan sudut
pandang yang digunakan pengarang dan nadanya. Secara lebih rinci, rumusan masalah
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Perilaku aufistik pada makam apakah yang terdapat di dalam kumpulan cerpen
Gergasi ini dan apa yang melatarbelakangi para tokohnya melakukan perilaku
sufistik itu?
2. Bagaimanakah sikap implied author terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan
cerpen Gergasi ini?

1.3 Tujuan Penelitian


Bedasarkan rumusan masalah yang dikemukakan, penelitian ini bertujuan sebagai
berikut.
1. Merumuskan perilaku sufistik yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Gergasi
karya Danarto dan latar belakang para tokohnya melakukan perilaku sufistik itu.
2. Merumuskan sikap implied author terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan
cerpen Gergasi.

1.4 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi sastra itu sendiri
maupun bagi hal-hal di luar sastra, seperti di dalam kehidupan masyarakat. Pengguanaan
teori hermeneutik dalam penelitian ini diharapkan dapat menambah model aplikasi teori
sastra terhadap karya sastra. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam rangka
memperkaya pemaknaan terhadap karya sastra, dalam hal ini terhadap karya Danarto.
Karena karya sastra merupakan cermin kondisi sosial budaya masyarakat dan
memuat tanggapan evaluatif pengarang terhadap kondisi itu, setidaknya penelitian ini
menujukkan sejumlah masalah yamg ada dalam kehidupan itu. Dari dunia alternatif yang
ditawarkan pengarang, diharapkan penelitian ini dapat membantu mengatasi masalah
yang ada di dalam kehidupan itu.

1.5 Sumber Data


Dari ketiga belas cerpen yang terdapat di dalam Gergasi ini, dipilih sembilan
cerpen yang dijadikan sumber penelitian ini. Pemilihan terhadap kesembilan cerpen ini
didasarkan atas pertimbangan bahwa kesembilan cerpen ini memiliki perilaku sufistik.
Kesembilan cerpen itu adalah: (1) ”Rembulan di Dasar Kolam”, (2) Allah Berkenan
Mengejawantah Lusa”, (3) “Bulan Sepotong Semangka”, (4) “Dinding Ayah”, (5)
“Dinding Waktu”, (6) “Gaharu”, (7) “Balairung”, (8) “Semak Belukar”, dan (9)
“Gandasturi”.

1.6 Landasan Teori


Landasan teori yang dipakai dalam rangka menjawab masalah yang dikemukakan
dalam penelitian ini adalah teori hermeneutika. Kata hermeneutika secara etimologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata hermeneuin yang berarti ‘menafsirkan’. Kata
ini berhubungan dengan kata benda hermeneia yang berarti ‘penafsiran’ atau
‘interpretasi’. Kedua kata ini berkaitan dengan nama dewa pada mitologi Yunani, yaitu
Hermes. Dewa ini bertugas menyampaikan pesan Dewa Yupiter kepada manusia. Ia
menerjemahkan pesan-pesan dari dewa di Gunung Olympus ke dalam bahasa yang dapat
dipahami oleh manusia. Oleh sebab itu, hermeneutika pada akhirnya diartikan sebagai
‘proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti (Palmer dalam
Sumaryono, 1993:23—24).
Semula hermeneutika hanya mencurahkan perhatian pada pembacaan dan
penafsiran teks-teks keagamaan, seperti Alkitab. Akan tetapi, pada abad ke-19 bidang
cakupannya diperluas sehingga meliputi semua karya (Eagleton, 1988:73). Kaitannya
dengan studi sastra adalah berdasarkan kenyataan bahwa teks-teks yang ditulis pada
masa lampau terus ada dan dibaca, sementara penulisnya dan kaitan historisnya yang
menghasilkan karya-karya itu sudah tidak ada. Pembacaan teks-teks seperti ini menjadi
tak terpisahkan dari penafsiran (Newton, 1994:52).
Schleimacher dianggap sebagai pendiri hermeneutika modern karena ia
memperluas makna hermeneutika melampaui batas-batas keagamaan sehingga
hermeneutika diharapkan dapat diterapkan untuk menafsirkan teks-teks yang bersifat
lebih umum. Menurut pendapatnya, pemahaman memiliki dua aspek pokok, yaitu yang
bersifat gramatikal dan bersifat kejiwaan. Maksudnya, setiap pengucapan, baik lisan
maupun tertulis, haruslah merupakan bagian dari sistem kebahasaan. Oleh karena itu,
pengucapan tidak akan dapat meiliki pengetahuan mengenai struktur tersebut, di lain
pihak, pengucapan itu juga merupakan hasil manusia dan harus dipahami dalam
hubungannya dengan kehidupan orang-orang yang mengucapkannya. Prinsip yang
menjadi rekonstruksi bidang bahasa dan kejiwaan ini diistilahkannya dengan lingkaran
hermeneutik (Newton, 1994:52 dan Kaelan, 1990:187).
Bertolk dari pendapat Schleimacher inilah E.D. Hirsch mengembangkan
pendapatnya. Menurutnya, makna keseluruhan karya adalah penafsiran sebagaimana
yang dimaksud pengarangnya. Dalam menafsirkan sebuah karya, secara keseluruhan
karya itu boleh disatukan kembali dengan apa yang diketahui tentang pengarang itu dan
konteks historisnya (Newton, 1994:62 dan Eagleton, 1988:74). Dalam identitas arti teks
dengan maksud penulisnya ini dapat dicapai penafsiran teks yang ilmiah sehingga dapat
dibuktikan. Pembuktiannya memang tidak dilakukan secara eksperimental, seperti dalam
ilmu-ilmu eksakta, melainkan perlu melalui proses pendekatan kebenaran yang
berangsur-angsur, dan yang akhirnya berdasarkan prinsip probabilitas. Menurutnya,
validitas merupakan kesimpulan yang objektif mengenai probabilitas yang nisbi. Jadi,
dalam interpretasi teks tidak dapat dibuktikan bahwa hanya sebuah interpretasi yang
mutlak, dan seluruhnya benar dan absah. Walaupun demikian, pencapaian terhadap
kebenaran interpretasi itu tidak boleh diabaikan. Identifikasi arti karya sastra dengan
maksud penulis akan memberi jaminan bagi pemberian penafsiran setepat mungkin
(Newton, 1994:58 dan Teuw, 1984:175).
Dalam upaya interpretasi ini, Hirsch (Newton, 1994:59 dan Teuw, 1984:176)
membedakan meaning (arti) dan significance (makna). Meaning (arti) merupakan suatu
determinat, genah, niat penulis seperti terkandung dan terjelma dalam tulisannya, dan itu
merupakan hal yang dapat diteliti dan dipastikan secara objektif. Di sisi lain, significance
(makna) menurutnya adalah hubungan antara arti dan seorang atau sesuatu di luar teks,
antara arti dan pembaca dalam situasinya yang khas pada masa tertentu. Ia mengakui
bahwa makna itu adalah sesuatu yang variabel, terus berubah, tetapi menyamakan arti
dan makna berarti meniadakan perbedaan antara pemahaman dan kritik.
Dengan memerhatikan tokoh, sudut pandang pengarang, dan nada yang ada dalam
cerpen Gergasi ini, akan terlihat sikap dan perilaku sufistik para tokohnya. Selain dari itu,
pendeskripsian mengenai perilaku sufistik ini juga mencerminkan sikap implied author
terhadap tasawuf, dalam hal ini, perilaku sufistik.
Menurut Both (1961:66—67) implied author adalah jiwa pengarang masuk dalam
karya-karyanya. Kadang-kadang implied author dapat dilihat melalui komentar eksplisit
narator dan melalui penggunaan teknik akuan, kadang-kadang pula disamakan dengan
gaya atau teknik dalam sebuah karya. Yang jelas bahwa implied author itu terlihat dari
keseluruhan (struktur) karya yang di dalamnya pengarang tidak pernah netral terhadap
suatu nilai. Ia mempunyai nilai yang dianut dan menjadi komitmennya. Situasi
pengarang terhadap karya sastra dan terhadap pembaca bersifat ambivalen. Maksudnya,
pengarang berada di luar situasi karya sastra, tetapi sekaligus merupakan bagian dari
karya itu. Dalam implied author ini, Juhl dan Teeuw (1984:180) mengatakan,
memasukkan pengarang ke dalam karya fiksi, kritik sastra akan menghasilkan sintesis
yang luhur; kita diberi ilusi bahwa kehadiran pengarang dan fungsi komunikasi sastra
telah dirukunkan dengan dunia rekaan yang memenuhi tuntutan akan kemurnian mutlak.
Penelitian terhadap cerpen-cerpen karya Danarto dalam Gergasi ini memerlukan
pengetahuan mengenai tasawuf, baik tasawuf Islam, maupun mistik Jawa. Ada beberapa
pendapat mengenai asal kata tasawuf ini. Dalam Syukur (1999:9—10) dikemukakan
bahwa kata sufi berasal dari kata suf ‘bulu domba’, safa ’bersih’, dan saf ‘barisan’. Yang
berpendapat bahwa sufi itu berasal dari kata suf ‘bulu domba’ mengaitkannya dengan
pakaian yang sering dikenakan para sufi, yaitu wool kasar yang terbuat dari bulu domba.
Pakaian itu merupakan wujud kesederhanaan atau sebagai perotes sosial terhadap
kemewahan masyarakat ketika itu. Yang berpendapat bahwa kata sufi berasal dari kata
safa ‘bersih’ dan saf ‘barisan’ mengaitkannya dengan kebersihan hati para sufi itu
sehingga mereka diharapkan berada pada barisan pertama di sisi Allah Swt.
Schimmel (1986:1—2) menggunaan istilah tasawuf dengan mistik Islam. Kata
mistik itu sendiri secara etimologis berasal dari kata bahasa Yunani myein ‘menutup
mata’. Dalam kata mistik itu terkandung makna ‘misterius’ yang tidak dapat dicapai
dengan cara-cara biasa atau dengan cara intelektual. Mistik juga disebut sebagai “arus
kerohanian yang mengalir dalam semua agama”. Dalam pengertiannya yang paling luas,
kata mistik itu didefinisikan sebagai kesadaran terhadap Kenyataan Tunggal, yang
mungkin disebut sebagai kearifan, cahaya, cinta, nihil. Nicholson (1987:3) berpendapat
bahwa walaupun kata mistik dan tasawuf itu berpadanan, istilah tasawuf mengandung
konotasi religius dan luhur serta menggambarkan kebersahajaan. Oleh karena itu,
menurutnya, hanya istilah tasawuf yang dapat digunakan untuk mistik bagi penganut
ajaran Islam. Abu Muhammad al-Jurairi berpendapat bahwa tasawuf adalah membina
kebiasaan-kebasaan baik serta menjaga hati dan kalbu dari berbagai keinginan dan hasrat
hawa nafsu (Valiuddin, 1997:37).
Basyuni dalam Syukur (1999:11—16) mendefinisikan tasawuf ke dalam tiga
tahap. Tahap pertama, al-bidayah (pemula). Pada tahap ini secara naluri manusia mulai
menyadari bahwa di balik dirinya ada Realitas Mutlak. Oleh karena itu, muncul dorongan
dalam dirinya untuk mendekati-Nya. Hal ini disebut kesadaran tasawuf. Tahap kedua, al-
mujahadah (perjuangan keras). Kesadaran ini muncul karena manusia menyadari ada
jarak antara dirinya dan Realitas Mutlak itu. Jarak itu bukan saja jarak fisik, tetapi juga
jarak rohani yang penuh tantangan dan hambatan sehngga diperlukan kesungguhan dan
perjuangan keras untuk dapat menempuh jarak itu. Caranya, adalah dengan menciptakan
kondisi tertentu untuk mendekatkan diri kepada Realitas Mutlak itu. Tahap ini disebut
sebagai tahap perjuangan tasawuf. Tahap ketiga, al-maazaqat, bermakna seorang sufi
telah lulus mengatasi hambatan dalam mendekati Realitas Mutlak sehingga ia dapat
berkomunikasi dan berada dekat sekali dengan-Nya serta merasakan kenikmatan spiritual
yang didambakan. Tahap ini lebih menitikberatkan pada rasa serta kesatuan dengan Yang
Mutlak.
Tasawuf pada dasarnya adalah ajaran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan
sehingga seseorang itu dapat melihat-Nya dengan mata hati, bahkan ruhnya dapat
menyatu dengan ruh Tuhan (Nasution, 1978:83). Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa
ada dua hal yang mendasari tasawuf. Pertama, Tuhan bersifat ruhani sehingga yang dapat
mendekati-Nya adalah ruh, bukan jasmani. Kedua, Tuhan Mahasuci, sehingga yang dapat
mendekati-Nya adalah ruh yang suci pula.
Sementara itu, Hasan dalam Simuh (1999:25) mengemukakan bahwa tujuan
seseorang mengamalkan tasawuf adalah untuk sampai kepada zat al-Haq atau Mutlaq,
yaitu Tuhan dan dapat bersatu dengan-Nya, atau disebut dengan makrifat.
Di dalam tasawuf, untuk sampai pada makrifat itu, ada beberapa tahap yang harus
ditempuh. Al-Ghazali (dalam Simuh, 1999:102—104) mengemukakan agar sebelum
mempelajari dan mengamalkan ajaran tasawuf, seseorang itu harus memilik pengertian
yang cukup tentang pokok-pokok ajaran syariat serta menjalankannya dengan penuh
kesadaran dan ketaatan. Sesudah itu, barulah ditingkatkan pada ajaran tasawuf secara
urut dan tertib agar pengalaman dan keyakinan agamanya semakin mantap.
Konsep Al-Ghazali tentang tasawuf ini secara singkat dapat dilihat dari skema
berikut.

Pengetahuan syariat Melaksanakan syariat Syariat dengan


yang memadai disertai dan tasawuf keyakianan dan budi
dasar ilmu Al-Quran luhur ditambah ilmu
dan hadis laduniyah

Dari konsep ini, akhirnya berkembang rumusan tiga tahap di dalam tasawuf, yaitu
syariat, tarikat, kemudian, hakikat, dan makrifat. Pembagian tasawuf yang terdiri dari
tiga tahap ini sama dengan yang dikemukakan Schimmel (1986:101),hanya saja tahap
ketiga hanya hakikat, bukan hakikat dan makrifat seperti yang dikemukakan oleh Imam
Gazali. Penelitian ini lebih menitikberatkan pada tahap tarikat.
Qutbaddin al-Ibadi dalam Schimmel (1986:101) mengemukakan, tarikat adalah
“jalan” yang harus ditempuh oleh para sufi, dan digambarkan sebagai jalan yang
berpangkal dari syariat. Jalan utamanya, disebut syari’ dan anak jalannya disebut tariq.
Pengalaman tasawuf tidak mungkin dapat dicapai bila perintah syariat tidak ditaatai
terlebih dahulu secara seksama. Tariq ini merupakam jalan yang lebih sempit dan lebih
sulit dijalani oleh si pejalan (salik) dalam pengembaraan (suluk). Pengembaranaannya ini
melalui berbagai persinggahan (makam) sehingga cepat atau lambat akhirnya ia mencapai
tujuannya, yaitu tauhid sempurna; pengakuan berdasarkan pengalaman bahwa Tuhan
adalah Satu.
Antara sufi yang satu dengan sufi yang lain, tidak jarang memperlihatkan
perbedaan kecil, dalam hal makam-makam yang ditempuhnya, karena ini bersifat
personal. Misalnya saja, Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi, menempuh makam: tobat—
zuhud—sabar—kefakiran—kerendahan hati—tawakal—kerelaaan--cinta—makrifat.
Sementara itu, Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi menempuh: tobat—wara—zuhud—kefakiran—
sabar—tawakal—kerelaan hati (Nasution, 1973:60—62). Sufi wanita, Rabiah al-
Adawiyah, dalam mencapai makrifat ini menempuh: tobat—zuhud—sabar—syukur—
wara—rida—mahababah (cinta) (Asfari, 1998:78). Sementara, Al-Ghazali, yang ingin
mengembalikan tasawuf ke ajaran Quran dan Hadis, menempuh makam tobat—sabar—
zuhud—kefakiran—tawakal—makrifat—cinta—rida (Syukur, 1999:49).
Schimmel (1986:112—147) mengemukakan secara umum bahwa makam-makam
itu urutannya adalah: tobat—warak—zuhud—tawakal—kemiskinan—sabar—syukur—
rela—ketakutan—harapan—cinta—makrifat.
Kecuali Al-Ghazali, umumnya para sufi tidak merasa puas sampai di makam
makrifat saja. Oleh sebab itu, mereka terus berusaha agar lebih dekat lagi dengan Tuhan.
Bahkan, mereka ingin mengadakan persatuan dengan Tuhan. Istilah sufinya adalah
ittihad. Sebelum seseorang sampai pada pengalaman ittihad ini, ia harus mengalami fana
dan baka dahulu. Jika hampir mengalami ittihad itu, dari mulutnya keluar ungkapan-
ungkapan teopatis atau syatahat. Ungkapan teopati yang dikeluarkan oleh Abu Yazid al-
Bustami, misalnya saja, “Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan kecuali Aku,
maka sembahlah Aku”. Ungkapan itu dikemukakan oleh Abu Yazid ketika ia mengalami
penyatuan diri dengan Tuhan. Oleh sebab itu, ungkapan ini dapat diinterpretasikan bahwa
Abu Yazid tidak mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, tetapi ia mengucapkan kata
Tuhan lewat bibirnya. Al-Hallaj juga adalah seorang sufi yang mengalami penyatuan
dengan Tuhan. Ia menamai penmgalamannya dengan al-hulul. Ungkapan teopatis yang
keluar dari mulutnya ketika ia mengalami peristiwa itu adalah Ana al-Haq (Aku adalah
Yang Mahabenar). Ibnu Arabi juga mengalami penyatuan dengan Tuhan ini. Ia
membawa ajaran Wahdat al-Wujud, yang memandang bahwa alam sebagai makhluk
merupakan penampakan diri (tajalli) dari Tuhan (Syukur, 1999:55—59).
Mistik Jawa menekankan pada pencapaian insan kamil (manusia sempurna) yang
dapat mencapai penyatuan dengan Tuhan (Manunggaling Kawula Gusti) karena
penghayatan spiritualnya. Ajaran ini hampir menjadi ajaran pokok dalam kepustakaan
Islam kejawen. Ajaran mistik dalam kepustakaan Islam kejawen ini bersifat sinkretisme.
Maksudnya, ajaran itu dipadukan dengan tradisi Jawa yang telah lama menerima
pengaruh ajaran Hindu-Buddha. Di samping itu, mistik Jawa ini bersumber juga dari
sikap para sastrawan dan bangsawan Jawa pada masa itu (Simuh, 1999:262—263).
Dalam penyatuan diri dengan Tuhan, pada saat ekstasis, mistik Jawa tidak
memperlihatkan Pantheisme. Hal ini dapat dilihat dari ketiga sumber, yaitu kitab Bonang,
bagian pertama suluk Ngasmara dan serat Centini, terutama bagian teks Mijil
(Zoetmulder, 1991:96—113). Ketiga teks ini mengindikasikan bahwa penyatuan diri
dengan Tuhan pada saat ekstasis, ketunggalan dan transendensi Tuhan dijaga dengan
baik, Sang Pencipta tidak tenggelam atau berbaur dengan ciptaan-Nya. Dalam hal fana,
terdapat kesamaan konsepnya dengan Al-Hallaj (syatahat). Tentang Adanya Tuhan dan
adanya makhluk memperlihatkan kesamaan konsep dengan Al-Ghazali, yaitu adanya
Tuhan sebagai en a sepengada dan Adanya tidak tergantung pada Yang Lain, sedangkan
adanya makhluk sebagai en ab lio adanya semata-mata tergantung pada Yang Lain.
Tuhan mencipta karena keagungan dan kemandirian-nya serta agar dihormati, dipandang,
dan dicintai.
Dalam proses penciptaan semesta mistik Jawa bersifat monisme. Proses ini
dikenal dengan istilah emanasi yang melalui tujuh martabat. Walaupun demikian,
persamaan yang sempuna antara Tuhan dengan ciptaan-Nya juga tidak diakui. Hal ini
distilahkan dengan tunggal tan tunggal ‘satu tetapi tidak satu’, karena emanasi
menyebabkan terjadinya perubahan. Emanasi Ada dalam bermacam bentuk ini tidak
boleh dipandang sebagai bentuk yang hakiki, melainkan hanya wujud semu. Teori
emanasi ini terdiri dari tujuh martabat. Ketujuh martabat ini adalah (1) Ahadiyah. Pada
tahap ini Zat Mutlak atau hakikat ketuhanan belum menganal individuasi dan belum ada
ide-ide. Martabat ini disebut juga martabat tersembunyi. (2) Martabat Wahda yang
merupakan awal pemancaran. Pada tahap ini hakikat ketuhanan mulai berindividuasi
dalam bentuk Nur Muhammad yang tersembunyi dalam rahasia Tuhan. (3) Martabat
Wahidiyah atau individuasi kedua. Pada tahap ini semua ide sudah mantap dalam
pengetahuan Tuhan. Adanya hakikat yang keluar (‘ayan kharija) sejalan dengan yang ada
dalam pengetahuan (‘ayan sabita). Dengan demikian, zat-Nya dan sifat-sifat-Nya
menjadi tampak. Ketiga martabat ini disebut martabat batiniah atau lingkungan Ilahi
sedangkan keempat martabat berikutnya disebut martabat lahiriah. Martabat lahiriah
terdiri dari martabat arwah, missal, ajsam, dan insan kamil. Keempat martabat ini
menampilkan ‘ayan sabita’ (Dandang Gula, dalam Zoetmulder, 1991:116—127).
Ketujuh teori emanasi dalam mistik Jawa memeperlihatkan perbedaan kecil
dengan teori emanasi atau tajali yang dikemukakan Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri
merumuskannya dalam lima martabat saja, yaitu (1) la ta’ayyun atau tidak nyata. Pada
tahap ini Allah tidak dapat dijangkau oleh siapa pun dan pengetahuan apa pun. (2)
Ta’ayyun atau nyata, yang terdiri dari empat macam, yaitu ta’ayyun awal atau kenyataan
pada tahap pertama, ta’ayyyun tsani (kenyataan pada tahap kedua), ta’ayyun tsalits
(kenyataan pada tahap ketiga), dan ta’ayyun rabi’ dan khamis (kenyataan pada tahap
keempat dan kelima). Pada ta’ayyun awal, dengan adanya ilmu atau pengetahuan, maka
Tuhan itu Alim (Mahatahu) dan Maklum (Yang Diketahui). Karena Allah Wujud atau
Ada, maka Dialah Yang Mengadakan atau Yang Ada. Karena Nur atau cahaya, maka
Dialah Yang Menerangkan dengan Cahaya-Nya dan Yang Diterangkan oleh Cahaya-Nya.
Pada ta’ayyun sani ialah maklum. Kenyataan menjadi Yang Dikenal atau Yang
Diketahui. Pengetahuan Tuhan Yang Dikenal disebut a’yan sabitah (esensi segala
sesuatu) atau suwari al-ilmiyah (bentuk yang dikenal), atau haqiqat al-asyya’ (hakikat
segala sesuatu di alam semesta), atau ruh idafi (ruh yang terpaut). Ta’ayyun tsalits berupa
ruh manusia dan makhluk-makhluk lain. Ta’ayyun rabi’ dan khamis berupa penciptaan
jasmani alam semesta dan makhluk-makhluk lain, termasuk manusia (Fansuri dalam
Hadi, 1995:84—91).
Ada beberapa ajaran mistik Jawa yang berbeda dari tasawuf Islam. Misalnya,
Tuhan bersifat antropomorphis. Maksudnya, Tuhan digambarkan memiliki sifat sebagai
manusia, begitu juga sebaliknya, manusia dilukiskan memiliki sifat-sifat sebagai Tuhan.
Mengenai hal ini, Zoetmulder (1991:215—216) cenderung berpendapat bahwa ajaran
Atman dalam agama Hindulah yang lebih mendominasi daripada tasawuf Islam. Bahkan,
ada juga sekte mistik Jawa yang amat radikal menentang Islam dalam mencapai
Manunggaling Kawula Gusti (Zoetmulder, 1991:278—283). Dalam mencapai
Manunggaling Kawula Gusti, mereka menghina praktik syariat; ada yang bertingkah laku
sebagai orang gila, bahkan bergaul bebas antara pria dan wanita, karena mereka
menganggap bahwa perbedaan kedua jenis kelamin itu tidak ada.
1.7 Metodologi Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-kualitatif, dalam arti bahwa
penelitian ini mendeskripsikan perilaku sufistik, khususnya dalam tahap tarikat, yang
terdapat di dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto dan latar belakang tokohnya
melakukan perilaku sufistik itu, serta mendeskripsikan sikap implied author terhadap
perilaku sufistik.
Dengan menggunakan teori hermeneutika, dapat diungkapkan perilaku sufistik
yang dilakukan oleh para tokoh cerpen-cerpen yang dianalisis. Tokoh ini tidak hanya
terbatas pada tokoh utama, tetapi dapat juga tokoh bawahan selagi tokoh itu
memperlihatkan perilaku sufistik. Selain itu, penelitian ini juga memerhatikan sudut
pandang pengarang dan nada dalam teks cerpen. Perilaku sufistik ini dirumuskan baik
melalui konteks bahasa maupun konteks kejiwaan atau dengan menggunakan lingkaran
hermeneutika Schleimacher (Newton, 1994:52 dan Kaelan, 1980:187). Selain itu, juga
menggunakan pendekatan meaning (arti) dan pendekatan significance (makna). Hal ini
sesuai dengan pendapat Hirsch (Newton, 1994:59 dan Teuw, 1984:176). Ini dilakukan
untuk memperdalam penafsiran terhadap teks cerpen yang diteliti.
Berdasarkan perilaku sufistik, khususnya pada tahap tarikat, yang terdapat dalam
kumpulan cerpen Gergasi ini, dapat disimpulkan sikap Danarto sebagai implied author
terhadap tasawuf, dalam hal ini perilaku sufistik pada tahap tarikat. Dengan demikian,
penelitian ini akan sampai pada pembahasan mengenai bagaimana cerpen-cerpen Danarto
dalam Gergasi ini menyikapi perilaku sufistik.

1.8 Sistematika Penulisan


Hasil peneltian ini disusun menjadi empat bab. Bab pertama merupakan
pendahuluan, yang berisi cerpen dan sastra sufistik, masalah, tujuan penelitian, sumber
data, ladasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi
analisis mengenai perilaku sufistik yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Gergasi,
yang dilakukan oleh para tokohnya dan deskripsi mengenai latar belakang pengalaman
perilaku sufistik yang dilakukan oleh para tokoh. Bab ketiga, membicarakan sikap
Danarto sebagai implied author terhadap perilaku sufistik dalam kumpulan cerpen ini.
Bab keempat berupa kesimpulan dan implikasi penelitian yang dilakukan.
BAB II
PERILAKU SUFISTIK TOKOH
DALAM KUMPULAN CERPEN GERGASI KARYA DANARTO

2.1 Pendahuluan
Pembahasan mengenai perilaku sufistik tokoh yang terdapat dalam kumpulan
cerpen Gergasi karya Danarto ini dilakukan per cerpen. Sebelum analisis dilakukan,
disajikan sinopsis ceritanya. Perilaku sufistik ini dikaitkan dengan makam-makam yang
terdapat di dalam tahap tarikat. Analisis mengenai perilaku sufistik tokoh ini dikaitkan
pula dengan hal yang melatarbelakangi perilaku sufistik itu dilakukan para tokoh.
Berdasakan analisis yang dilakukan terhadap perilaku sufistik tokoh dalam
kumpulan cerepen Gergasi karya Danarto ini, tampak bahwa perilaku sufistik yang
dijumpai adalah perilaku makam sabar dalam “Rembulan di Dasar Kolam” dan
“Balairung”; rela dalam “Bulan Sepotong Semangka”, “Allah Berkenan Mengejawantah,
Lusa”, dan “Gandasturi”; syukur dalam “Allah Berkenan mengejawantah Lusa”; tawakal
dalam “Bulan Sepotong Semangka”, “Gaharu”, dan “Gandasturi”; zuhud dalam “Bulan
Sepotong Semangka”, “Dinding Ayah”, Balairung”, “Semak Belukar”, dan “Gandasturi”;
cinta dalam “Rembulan di Dasar Kolam”, “Dinding Waktu”, “Gaharu”, dan “Semak
Belukar”; fana dalam “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”, “Dinding Waktu”, dan
“Gandasturi”, baka dalam “Dinding Waktu”. Ada juga tokoh yang mencapai predikat
insan kamil, yaitu pada cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”. Analisis yang
dilakukan sedapat mungkin dikembalikan kepada judul setiap cerpen, kecuali jika judul
itu telah tereksplisit dalam cerita. Secara lebih rinci, perilaku sufistik dimaksud terlihat
dari uraian berikut.

2.2 Perilaku Sufistik Tokoh


2.2.1 Sabar Dilandasi Cinta: Representasi Sufi Rabiah al-Adawiyah
1) Sinopsis Cerpen “Rembulan di Dasar Kolam”
Tokoh Ibu adalah seseorang yang memiliki figur ideal seorang ibu, seperti sabar,
rajin, menyayangi anak-anak dan suaminya, dan pandai mengurus rumah tangganya.
Akan tetapi, ia selalu dibentak oleh suaminya, karena dianggap suaminya selalu memata-
matainya. Walaupun demikian, Ibu tidak pernah menanggapinya, apalagi membela diri.
Peristiwa ini terjadi berulang-ulang sehingga salah seorang anaknya, Bagas,
mengetahuinya. Hal ini menimbulkan keingintahuan si anak tentang kebenaran tuduhan
itu. Diam-diam, ia mengikuti perjalanan ibunya. Di sebuah museum, ia melihat ayahnya
berjalan dengan seorang wanita asing, sementara ibunya ada juga di tempat itu, tetapi
sikapnya jauh dari memata-matai. Ibunya asyik mengamati relief yang digelar di museum
itu. Ayah yang sempat melihat keberadaan Ibu di tempat itu merasa bersalah sehingga ia
cepat-cepat meninggalkan tempat itu.
Mobil Bagas lebih dulu sampai di rumah mereka, tetapi ia kembali terkejut tiba-
tiba ibunya muncul dari dalam rumah sementara ia sendiri baru memasuki rumah.
Kejadian ini kembali menimbulkan keingintahuan si anak. Ketika ibunya pergi ke
Surabaya, Bagas memeriksa mobil ibunya. Tidak ada yang istimemewa yang
dijumpainya. Di antaranya, ia menemukan puisi “Doa Rabiah dari Basrah” lalu
membacanya. Ia juga menemukan beberapa kaset pengajian Alquran. Tiba-tiba ia
mendengar suara ibunya sehingga ia cepat-cepat masuk ke rumah. Kembali ia terkejut
karena ia melihat ibunya keluar dari kamarnya sehingga ia menanyakan kepulangan
ibunya yang tiba-tiba itu. Tetapi, ibunya menjawab sambil masuk ke kamarnya bahwa
masih ia masih berada di Surabaya. Bagas yang diliputi keheranan memasuki kamar
ibunya, tetapi ibunya tidak ada di kamar itu.
Ketiga peristiwa aneh yang dialami Bagas itu menyadarkannya akan
keluarbiasaan ibunya, yaitu memiliki kemampuan menguasai ruang dan waktu. Ia yakin
bahwa ibunya mengetahui segala perbuatan ayahnya. Akhirnya, ia juga merasakan
keanehan yang terjadi dalam dirinya, setelah ia membaca kembali puisi “Doa Rabiah
Barda dari Basrah”.

2) Perilaku Sufistik
Perilaku sufistik tokoh yang tedapat dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam”
itu tampak dlakukan oleh tokoh Ibu. Peilaku sufistik yang dilakukan itu berkaitan dengan
makam sabar, dan cinta. Dari judul cerpen ini, dapat dilihat kaitannya dengan tasawuf,
yaitu mengenai tajalli, bahwa wujud alam ini hanya merupakan representasi atau
bayang-bayang dari wujud Allah (Syukur, 1999:55—59). Dalam cerpen ini, rembulan
yang terlihat di dasar kolam bukanlah rembulan yang sesungguhnya, melainkan
representasi atau bayang-bayang dari rembulan yang sesungguhnya. Demikian juga
halnya dengan tokoh Ibu dalam cerpen ini hanya menggambarkan representasi atau
bayang-bayang seorang sufi wanita yang terkenal, yaitu Rabiah al-Adawiyah.
Representasi ini jelas terlihat dari perilaku tokoh Ibu dalam menyikapi segala sesuatu
yang ada di lingkungannya, terutama suami dan anak-anaknya.
Kesabaran (sabr) merupakan tonggak penting daam tarikat. Al-Qusyayri
sebagaimana dikutip Smith (1997:67) mengatakan pentingnya kesabaran ini bagaikan
pentingnya sebuah kepala bagi tubuh. Dalam Ensiklopedi Islam (1996:125) dikemukakan
bahwa sabar adalah “Konsekuen dan konsisten melaksanakan semua perintah Allah Swt.
dan menjauhi segala laragannya, tahan uji menghadapi kesulitan dan cobaan, tabah
menunggu datangnya pertolongan Allah Swt. dan tabah menerima segala konsekuensi
kesabaran tersebut”. Kesabaran tokoh Ibu terlihat ketika ia menghadapi tuduhan
suaminya bahwa ia telah memata-matainya. Konflik yang terdi di awal cerita ini,
ditanggapi oleh tokoh utama, Ibu, dengan sikap membisu. Ia diam saja menghadapi
tuduhan itu, dan tidak pula berkeinginan membela diri. Hal ini dituturkan oleh tokoh aku,
sebagai tokoh bawahan berikut.

“KAMU MEMATA-MATAI SAYA!” TERDENGAR BENTAKAN


AYAH. Suara kemarahan itu merangkum seisi kamar tidur. Saya seperti
melihat cermin dan peralatan kecantikan, syukuras bunga dengan gloxinia,
dan gelas air putih yang disediakan sejak malam hari, ikut memaklumi
sambil mengantar kesenyapan. Adakah yang lebih baik dari kesenyapan
bagi suara ayah yang seringkali saya bayangkan menggetarkan kelambu itu.
Ibu, ya suara Ibu, saya menunggu suara Ibu. Saya yang kebetulan
melewati kamar itu, mendengar suara ayah lalu bersijingkat merapatkan
tubuh ke pintu untuk bisa sebanyak dan sejelas mungkin menangkap suara-
suara. Sesaat saya tunggu suara Ibu, tak juga suara itu terdengar. Tak juga
desahan pun. Hanya geseran sepatu ayah yang pada lantai yang menapak
mendekati jendela. Lalu terdengar gemerisik kertas perak bungkus rokok
yang dibuka. Geretan tas bergetar dan bunyi gemeretak rokok keretek yang
disedot.
Pada puncak kemarahan ayah, pada pucak keterdesakan Ibu, hanya
kesenyapan yang biasa menerima semuanya dengan sebaik-baiknya. Ibu
hanya berpihak pada kesenyapan, agaknya tak pernah terlintas untuk
memberikan alasan apa pun walaupun sejumput (Danarto, 1996:1).
Walaupun konflik ini berlanjut dalam bentuk tuduhan serupa dari tokoh ayah, Ibu
tetap pada sikapnya. Hal ini juga dituturkan tokoh aku dari kutipan berikut.

Seminggu kemudian itulah saya mendengar kembali suara ayah dari balik
kamar tidur itu, dan tak pernah terdengar suara Ibu, walaupun sekadar
gesekan ingsutan duduknya. Lama saya menunggu di dapur sampai
keduanya keluar (Danarto, 1996:3).

Dengan menggunakan sudut pandang “akuan”, kutipan di atas memperlihatkan


nada yang bersikap empati terhadap tokoh Ibu, yang merupakan tokoh utama cerpen ini.
Kesabaran yang dilakukan tokoh Ibu ini meliputi tiga tahap kesabaran sebagaimana
diklasifikasian oleh Abu Thalib (dikutip Smith, 1997:67). Pertama, menghentikan
keluhan; kedua merasa puas dengan apa yang telah ditentukan oleh Allah; dan ketiga,
menerima dan menyenangi semua yang telah ditentukan oleh Allah kepada hamba-Nya.
Kesabaran tokoh Ibu juga tampak ketika ia menghadapi kelima anaknya. Ibu
selalu menjawab semua pertanyaan anaknya dengan sabar. Penuturan narrator pada
kutipan berikut memperlihatkan hal itu.
Wangi, si bungsu, memang bintang meja makan. Dia—begitu manis—
menguasai pembicaraan di meja makan. Semua makanan, satu per satu
ditanyakan namanya, dan Ibu dengan penuh kesabaran memberikan
jawabannya (Danarto, 1996:4).

Tampaknya, perilaku sabar tokoh Ibu dilandasi oleh cinta. Cinta dipandang sebagai
makam tertinggi dari perjalanan tarikat (Smith, 1997:101). Ensiklopedi Islam
mendefinisikan makam cinta ini dengan patuh kepada-Nya, membenci setiap sikap yang
melawan kepada-Nya, menyerahkan diri sepenuhnya, dan mengosongkan diri dari segala-
galanya kecuali Allah swt. yang dicintai (1996:125). Dari makam cinta ini serang sufi
akan langsung meraih makrifat sehingga ia akan mampu menyingkap keindahan Allah
dan menyatu dengan-Nya.
Rabiah al-Adawiyah dipandang sebagai sufi yang mengajarkan cinta tanpa pamrih
kepada Allah, suatu konsep baru di kalangan para sufi pada masanya. Bahkan, Attar
(dikutip Smith, 1997:113) menceritakan bahwa Rabiah ketika ditanya tentang cintanya
kepada Allah menjawab, “Cintaku kepada Allah tidak menyisakan ruang di dalam hatiku
untuk membenci setan sekalipun”. Cinta Rabiah yang utuh kepada Allah ini
menyebabkan ia tidak memiliki rasa benci kepada makhluk lain, sekalipun makhluk itu
adalah setan yang jelas-jelas merupakan musuh manusia (Surat Taha:117). Tokoh Ibu
dalam cerpen ini tampaknya merupakan representasi tokoh sufi wanita dari Basrah itu
karena cintanya yang utuh kepada suaminya, menyebabkan ia tidak mempunyai rasa
benci kepada suaminya itu, walaupun suaminya jelas-jelas mengkhianati cintanya.
Di dalam konsep tasawuf cinta tidak terbatas pada cinta kepada Allah, tetapi juga
cinta keada semua makhluk. Cinta kepada sesama makhluk ini merupkan sarana untuk
mencintai Allah. Surat at-Taubah:24 memang memandang bahwa cinta yang paling
tinggi adalah cinta kepada Allah, disusul cinta kepada rasul, dan cinta berjuang di jalan
Allah. Cinta berikutnya barulah buah cinta kepada sesama makhluk. Rasa cinta suami-
istri memang diciptakan Allah, karena Allah ingin memperlihatkan tanda-tanda
kebesaran-Nya kepada manusia (Surat ar-Rum:21).
Dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam” ini tampak bahwa tokoh Ibu
mengamalkan perilaku sufistik sampai kepada makam cinta, yang merupakan makam
tertinggi dalam tarikat. Di dalam karya-karya hagiografi (cerita tentang para sufi), sering
dijumpai pembicaraan mengenai firasa (kearifan seorang yang beriman) kardiognosia
(membaca batin) yang dimiliki seorang sufi. Seorang sufi itu melihat dengan penerangan
Tuhan (Schimmel, 1986:209) sehingga tidak mengherankan bila ia mampu membaca apa
yang terdapat di dalam hati seseorang. Bahkan ada beberapa sufi yang mengatakan
bahwa ia dapat melihat seseorang masuk surga atau masuk neraka. Selain itu, seorang
sufi juga dapat menghilang dari pandangan, menjadi sama sekali tidak terlihat dan
mempraktikkan buriz, eksteioisasi, yaitu ia dapat hadir pada beberapa tempat yang
berbeda pada saat yang sama.
Karya-karya hagiografi ini tampaknya mengilhami pengarang dalam menulis
cerpennya ini. Tokoh Ibu diceritakan memiliki kemampuan luar biasa di antaranya adalah
hadir di beberapa tempat dalam waktu yang sama. Hal ini dapat dilihat dari penutuan
narator sebagai berikut.
Saya sampai di rumah lebih dahulu daripada Ibu. Saya beranjak dari teras
ke dalam ruang ketika mobil Ibu memasuki pekarangan dan langsung ke
garasi.
“Astaga!” pekik saya tiba-tiba ketika mendadak beratatapan dengan
Ibu yang muncul dari kamarnya sambil menenteng buku perpustakaan
museumnya itu, padahal saya mendengar pintu mobil baru saja ditutup
kembali.
“Bagas!” sergah Ibu, “Kamu kok seperti bertemu macan! Bengong
dan merah padam.”
“Mendadak saya tidak enak badan, Bu”, sahut saya sambil
menghindar.
Saya memang gemetar. Barangkali saya tak kuat menyaksikan
kejadian itu. Saya tak bias mengerti bagaimana mungkin Ibu secepat itu
turun dari mobil lalu menutup pintunya dan tiba-tiba saja sudah muncul dari
dalam kamarnya, padahal antara garasi dan kamar Ibu akan melewati saya
yang sedang masuk kamar tamu dari teras (Danarto, 1996:9).

Kemampuan tokoh Ibu hadir di beberapa tempat juga disaksikan oleh Bagas
ketika ia memeriksa mobil ibunya. Ia menemukan dan membaca beberapa tulisan yang
ada di dalam mobil itu. Kelancangannya ini dilandasi keingintahuan mengenai kejadian
luar biasa yang dilihatnya dari perilaku ibunya itu. Kita lihat kutipan berikut ini.
Saya ingin tahu juga apa yang sedang berubah dalam mobil Ibu.
Sementara sopir di luar mencucinya, saya melongok-longok ke dalam. Tidak
ada yang menarik. Beberapa buku, majalah, kertas-kertas, balpoin, dan
sejumlah katalog. Apakah sahabat-sahabat Ibu ini dapat memeberikan
keterangan kepada saya. Saya balik lembaran fotokopi tulisan yang lepas-
lepas itu. Saya baca dengan acuh tak acuh sebuah puisi “Doa Rabiah dari
Basrah”. Belum selesai saya letakkan kembali kertas itu. Agak ogah-ogahan
saya membalik-balik sejumlah kaset pengajian Al-Quran.
Lalu saya kembali ke jok belakang. Sambil bersandar saya baca
kembali puisi itu.
………………………………………………………………………..
Terdengar Ibu dari dalam rumah, buru-buru saya keluar dari mobil.
Ini suatu hal yang tidak mungkin. Ibu saat ini sedang berada di Surabaya.
Kecuali oleh satu hal yang sangat darurat, Ibu selalu punya jadwal yang
tepat. Saya bergegas ke rumah. Saya kaget ketika Ibu tiba-tiba muncul dari
dalam kamarnya, seperti peristiwa dulu.
“Lho! Ibu ternyata sudah datang,” seru saya. “Lebih cepat dari yang
direncanakan.”
“Tidak,” sahut Ibu. “Sebenarnya Ibu saat ini masih di Surabaya.”
“Saya tidak mengerti maksud Ibu.”
Lalu Ibu kembali masuk ke kamarnya. Saya penasaran menungu di
luar. Setelah satu jam tak muncul, pelan-pelan saya memasuki kamarnya.
Mlompong. Kamar itu kosong.
“Ibu!” teriak saya dengan gemetar. Jendela kelihatan tetap terkunci.
Pintu yang menembus ke kamar lain juga terkunci. Ibu telah lenyap tak
berbekas. Pasti wajah saya nampak bengong dan merah padam. Lalu saya ke
dapur. Pembantu asyik memasak. Saya segan untuk menanyakan tentang
kedatangan Ibu tadi… (Danarto, 1996:12—13).

Kedua peristiwa yang dialami Bagas itu memperlihatkan kemampuan luar biasa
yang dimiliki Ibu dan sekaligus memperlihatkan nada yang penuh kecurigaan terhadap
tokoh Ibu itu. Kemampuan serupa ini merupakan kemampuan yang lazim dimiliki oleh
para sufi yang telah mencapai makrifat. Tokoh Bagas, yang semula menyikapi
kemampuan luar biasa ibunya dengan penuh curiga, akhirnya memiliki sikap kagum dan
bangga terhadap ibunya itu. Di lain pihak, ia menampakkan sikap sinis terhadap
perlakuan ayahnya terhadap ibunya itu. Hal ini dituturkan tokoh Aku (Bagas) seperti
terlihat dari kutipan berikut ini.
Serta merta saya merasakan keagungan Ibu, seorang perempuan
yang mampu menegakkan rumah tangganya begitu tegar dalam kehalusan
seorang istri yang begitu mengerti akan hasrat-hasrat yang mendadak, yang
tidak dapat dimengerti. Ini semua saya rasa berkat kemampuan menguasai
ruang dan waktu itu. Diam-diam Ibu telah menguasai suatu ilmu yang sudah
ditinggalkan orang. Suatu kekuatan anugerah yang tidak dapat diminta
maupun ditolak. Saya rasa ilmu itu datang dengan sendirinya ketika
seseorang lupa untuk memedulikannya.
Saya tidak percaya Ibu tidak mengetahui percintaan Ayah dengan
perempuan lain. Roh Ibu pasti sudah mengendus-endus gerak-gerik ayah…
(Danarto, 1996:13).

Walaupun demikian, kemampuan yang dimiliki Ibu itu bukanlah semata-mata hal
‘keadaan’ yaitu sesuatu yang turun dari Tuhan ke dalam hati manusia, tanpa dapat ditolak
kedatangannanya atau dicegah kepergiannya; atau dengan kata lain hal adalah anugerah
dari Allah (Schimel, 1986:102), seperti yang diduga tokoh Aku, melainkan merupakan
makam, yaitu suatu yang berlangsung terus yang dicapai oleh manusia berkat usahanya
yang selalu mendekatkan diri kepada Allah. Dengan usaha itulah seorang sufi dapat
mencapai suatu taraf tertentu dalam perjalanan spiritualnya. Dengan demikian, makam
merupakan kategori tindakan.
Beberapa tindakan yang dilakukan Ibu dalam upaya mencapai makam makrifat,
seperti terdapat pada uraian sebelum ini, yaitu melakukan makam sabar dan cinta. Usaha
lain yang juga tampak dilakukan Ibu adalah mempelajari ajaran tasawuf, yang
dimetaforkan oleh puisi “Doa Rabiah dari Basrah”. Selain itu, Ibu juga mempelajari Al-
Quran yang disimbolkan dengan adanya kaset pengajian Al-Quran. Kedua hal ini
dijumpai tokoh aku di dalam mobil Ibu. Akan halnya dengan keanehan yang dialami
Bagas setelah ia membaca pusisi “Doa Rabiah dari Basrah”, memang digolongkan
sebagai hal, karena itu semata-mata merupakan anugerah Allah, sementara ia sendiri
tidak pernah menginginkannya atau berupaya mencapai kemampuan itu. Hal aneh
dimaksud dapat dilihat dari penuturan narator melalui tokoh saya yang memperlihatkan
nada kagumnya terhadap ibunya berikut ini.
…Sambil membaca kembali puisi “Doa Rabiah dari Basrah”, saya makin
memuja Ibu dan merasa bangga dilahirkan dari rahimnya.
“Bagi-bagi dong”, surat pacarnya!” seru Madu yang begitu saja
muncul dari jok depan. Bukan main kaget saya sambil secepatnya
menyembunyikan puisi karya Rabiah al-Awaliyah itu.
“Mas terlalu, deh” masak jalan-jalan di fakultas Madu nggak mau
nemuin adiknya. Lagian diem aja waktu ditegur. Sampai beberapa teman
Madu ngirain mas sedang kesambet,” tutur Madu nerocos.
“Masya Allah!” seru saya, “Madu! Seharian saya cuma di rumah
saja. Sejengkal pun tak beranjak keluar dari pekarangan.”
Sementara Madu menertawakan saya yang dianggapnya bercanda,
saya merasa sesuatu keanehan sedang menyelinap di hati sanubari saya.
Mungkinkah saya sedang menyusul kemampuan Ibu lewat puisi Rabiah ini?
(Danarto, 1996:14)

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik


Dari uraian perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Rembulan
di Dasar Kolam” ini, terlihat bahwa tokoh Ibu melakukan perilaku sufistik itu,
dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk menciptakan keharmonisan keluarganya
sehingga ia mampu mengatasi segala masalah yang sedang bergejolak di dalam
kehidupan keluarganya, yang memang sedang bermasalah.
Dengan modal kesabaran, yang merupakan salah satu makam dalam tarikat, tokoh
Ibu mampu menegakkan keutuhan rumah tangganya, yang menunjukkan adanya gejala
akan terpecah karena suaminya berpaling kepada perempuan lain. Ia tidak menaggapi
tuduhan suaminya atas dirinya dengan balik menuduh suaminya telah mengkhianatinya.
Ia menyikapi tuduhan suaminya itu dengan diam walaupun sesungguhnya ia mengetahui
segala perbuatan suaminya.
Selain itu, makam cinta, yang merupakan makam tertinggi dalam tahap tarikat,
yang dilakukan oleh tokoh Ibu lebih menentukan dalam upayanya menegakkan keutuhan
rumah tangganya itu. Dadanya yang penuh rasa cinta kepada suaminya itu tidak
menyisakan sedikit pun kebencian kepada sang suami, walaupun sang suami telah
mengkhianatinya. Melalui tasawuf, ternayata bahwa tokoh Ibu mampu mengatasi
masalah yang terjadi di dalam kehidupannya, terutama kehidupan rumah tangganya.

2.2.2 Rela dan Syukur Demi Menggapai Rida Allah


1) Sinopsis Cerpen “Allah Berkenan Mengejawantah, Lusa”
Sekelompok pohonan berdiri melingkari laki-laki yang mengumpulkan mereka.
Tujuan laki-laki mengumpulkan pepohonan itu adalah untuk menyampaikan pesan Allah
bahwa Allah akan menampakkan diri lusa (hari Jumat) sebelum waktu Ashar. Pepohonan
itu amat gembira menerima berita itu dan mereka ramai memperbincangkannya. Tiba-
tiba salah satu pohon itu bertanya tentang laki-laki pembawa berita itu dan dari mana ia
mendapatkan berita itu. Laki-laki itu menjawab bahwa ia menerima berita itu dari Allah
sendiri melalui gunung, yang bergerak menyebabkan segala kehancuran dan dia sendiri
pingsan. Pepohonan itu terkesima sehingga suasana menjadi hening. Mereka menjadi
terharu setelah mendengar penjelasan laki-laki itu bahwa hanya kepada pohon-pohon saja
Allah berkenan menampakkan diri sedangkan kepada makhluk lainnya tidak.
Sementara pepohonan tenggelam dalam keharuan, laki-laki itu pergi ke sebuah
kedai yang tidak jauh dari tempat itu. Pemilik kedai itu tiba-tiba terjaga ketika laki-laki
itu memasuki kedainya. Ia lalu berteriak bahwa ia harus berbelanja lebih banyak
keesokan harinya karena tempat itu ramai dikunjungi orang.
Ketika hari yang ditentukan tiba, pagi-pagi sekali orang-orang berdatangan ke
tempat itu untuk melihat pohon bermusyawarah. Orang-orang yang berjualan pun
menjadi banyak dan dagangan mereka laris. Mereka benar-benar menikmati totonan
pohon yang mereka anggap bermusyawarah itu. Laki-laki itu heran melihat keadaan itu
tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu, bahkan mendekati pohon itu menjelang waktu yang
dijanjikan pun ia tidak ia mau karena takut menyalahi pesan Allah. Ia pun tidur dan baru
terjaga karena mendengar percakapan antarpohon tentang ketepatan janji Allah karena
saat itu waktu Ashar telah lewat, sementara laki-laki itu puas sebab ia telah mematuhi
perintah Allah. Ia juga menyaksikan kebahagiaan seluruh makhluk di tempat itu.
Pepohonan itu pun tiba-tiba meneriakkan ketiadaannya. Mereka terus berkembang hingga
seratus kali lebih tinggi dan lebih besar dari bentuk semulanya, sementara orang-orang
yang menyaksikannya panik dan jatuh pingsan.

2) Perilaku Sufistik
Tokoh yang memperlihatkan perilaku sufistik dalam cerpen “Allah Berkenan
Mengejawantah, Lusa” ini adalah laki-laki pembawa berita dan pohon-pohon.
Tampaknya, kisah tentang Nabi Musa yang ingin melihat Allah mengilhami pengarang
dalam menulis cerpen ini. Dikatakan demikian, karena kisah yang dialami tokoh laki-laki
pembawa berita itu memiliki kesamaan dengan kisah yang dialami Nabi Musa seperti
terdapat dalam Quran Surat al-A’raf:143 berikut ini.
Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang
telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya,
berkatalah Musa, “Ya, Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku
dapat melihat-Mu”. Tuhan berfirman, “kamu sekali-sekali tidak akan
sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di
tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala
Tuhannya menampakkan diri kepada gunug itu, dijadikan-Nya gunung itu
hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar
kembali, ia berkata, “Mahasuci engkau, aku bertobat kepada-Mu dan aku
orang yang pertama-tama beriman”.

Ada beberapa hal lagi yang dapat memperkuat bahwa tokoh laki-laki pembawa
berita itu adalah insan kamil, yaitu kemampuannya dapat berkomunikasi dengan makhluk
lain, dalam hal ini pohon. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.

Karena pohon-pohon itu begitu ributnya, kuping laki-lai itu lebih


menangkap keramaian pasar malam, daripada suatu pemicaraan tentang
akan hadirnya Allah. Laki-laki itu mengacungkan tangannya. Pohon-pohon
itu mengerti, lalu mengatup mulutnya.
“Dari mana Anda tahu bahwa Allah berkenan akan
mengejawantah?” Tanya sebatang pohon.
“Saya diberi tahu,” jawab laki-laki itu.
“Siapa yang memeberi tahu Anda?”
“Allah sendiri.”
“Dari mana Anda tahu bahwa itu Allah sendiri?”
“Saya menduganya.”
“Anda ini siapa sampai-sampai Allah turun tangan sendiri memberi
tahu Anda?”
“Saya orang biasa.”
“Mengapa Allah tidak mengutus malaikat-Nya untuk memberi tahu
Anda?”
“Itulah saya tidak tahu.” (Danarto, 1996:16—17).

Kutipan berikut ini, yang merupakan penuturan narator, juga memperlihatkan


kemampuan tokoh laki-laki pembawa berita itu berkomunikasi dengan makhluk lain itu.

POHON-POHON ITU LALU BERANJAK SETELAH


DIPANGGILNYA. Tanpa merasa menghujam tanah, pohon-pohon itu
begitu mulus menghampirinya, dengan akar-akar berjuntaian, terseret,
sambil mencengkeram gumpalan-gumpalan ranah. Serta–merta burung-
burung, belalang, kadal, ular, semut-semut, kupu-kupu beterbangan dan
berlarian meninggalakan pohon-pohon yang berjalan, bergoyang-goyang
itu. Awan gemawan terpana. Laki-laki yang memandangi pohon-pohon itu
berdiri tegak di tengah tanah datar itu. Ia nampak tenang. Sebagai seorang
yang tahu segala, laki-laki itu nampak biasa bergaul dengan segala jenis
makhluk, termasuk tanaman-tanaman.
Pohon-pohon itu melingkari laki-laki tadi. Menancapkan kembali
akar-akarnya, menghujam ke dalam, mencengkeram. Seolah memanggil
teman sejawatnya di warung kopi, laki-laki itu tersenyum menyambut
mereka. Dalam ruang kira-kira seluas 5m x5m laki-laki itu kelihatan akrab
dengan pohon-pohon itu (Danarto, 1996:15).

Dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan” serbatahu, kutipan di


atas memperlihatkan nada yang bersikap akrab pohon-pohon yang semula curiga
terhadap laki-laki pembawa berita itu. Ada beberapa perilaku sufistik dalam tarikat yang
terlihat dari tokoh-tokoh laki-laki pembawa berita ini, yaitu makam syukur dan rela.
Kedua makam ini memeiliki hubungan yang erat. Menurut Attar (dikutip Schimmel,
1986:130) kesyukuran dalam makna yang sedalam-dalamnya adalah keinsafan akan
kearifan takdir Ilahi. Rasa syukur kepada Tuhan mengajarkan kepada manusia agar
dengan mata hati ia melihat hikmah yag terselubung dari sebuah musibah. Di sisi lain,
rela merupakan kegembiraan hati dalam pahitnya takdir (Zunnun dikutip Schimmel,
1986:131). Kesyukuran itu sendiri terdiri dari tiga tingkat, yaitu kesyukuran karena
pemberian, kesyukuran karena tidak diberi, dan kesyukuran karena dapat merasa
bersyukur (Schimmel, 1986:129). Perilaku ketasawufan kedua makam ini terlihat dari
sikap tokoh laki-laki pembawa berita yang rela menerima ketentuan Allah bahwa hanya
pohon yang berhak melihat pengejawantahan Allah sedangkan makhluk lain tidak boleh,
termasuk dirinya sendiri. Sikap ini juga mencerminkan kesyukurannya. Kesyukuran yang
dilakukan oleh tokoh laki-laki pembawa berita ini, bukanlah kesyukuran pada tahap
rendah, yaitu karena mendapat nikmat. Kesyukurannya merupakan kesyukuran tingkat
menengah dan tingkat tinggi, yaitu kesyukuran karena tidak diberi nikmat dan bersyukur
karena dapat merasa bersyukur.
Tokoh laki-laki pembawa berita sengaja tidur sesudah waktu zuhur. Hal itu
dilakukannya semata-mata karena sikap patuhnya terhadap pesan Allah, yaitu hanya
pohon yang berhak menyaksikan pengejawantahan Allah itu. Setelah waktu ashar, ia
terjaga dan melihat keanehan terjadi. Hal ini memperlihatkan nada simpati dan penuh
kagum narator terhadap perilaku laki-laki pembawa berita itu. Penuturan narator itu
adalah:

Jika ada orang yang paling heran, ialah laki-laki yang membawa
pesan Allah itu. Dengan hadirnya orang-orang kota itu, pesan Allah bakal
terganggu. Begitu laki-laki itu berpikir. Perlukah ia mengusir orang-orang
itu sebelum ashar? Laki-laki itu lalu bersolat mohon petunjuk. Ternyata
petunjuk itu tak diberikan. Kemudian laki-laki itu beranjak dan berjalan
menuju tempat pohon bersmusyawarah itu bersama bondongan orang yang
baru datang. Tidak. Ia tidak akan menyalahi pesan Allah. Ia hadir di tempat
itu, tetapi ia tidur, supaya ia tidak menyaksikan pengejawantahan Allah.
Sementara waktu menjelang ashar makin mendekat (Danarto, 1996:21—22).
……………………………………………………………………………
Laki-laki itu mengusap kedua matanya. Ia merasa lega karena telah
mematuhi perintah Allah. Ia memandang berkeliling. Ia merasakan
kebahagiaan orang-orang, binatang-binatang, pohon-pohon, benda-benda.
Bahkan ia melihat rantang yang berjingktak-jingkrak (Danarto, 1996:22—
23).
………………………………………………………………………………
Laki-laki itu bangkit dengan kaget. Ia sasksikan pohon-pohon
bermusyawarah itu berteriak bersahut-sahutan sambil merentang-rentangkan
cabang-cabangnya ke angkasa: “Saya tidak ada!” (Danarto, 1996:23).

Kerelaan dan kesyukuran tokoh laki-laki pembawa berita dalam cerpen ini
menyebabkan kerelaan Tuhan pula terhadapnya. Ketika pengejawantahan Allah terjadi,
laki-laki pembawa berita tidak diperkenankan Allah menyaksikan pengjawantahan-Nya.
Sementara, orang-orang kota yang berdatangan ke tempat itu pingsan melihat peristiwa
itu. Hal ini terlihat dari dialog para pohon dan penuturan narator berikut.
“Jangan-jangan Allah telah mengejawantah. Hanya saja kita tidak melihat-
Nya,” kata pohon kembar.
“Tetapi tunggu dulu,” seru pohon bulat, “Saya merasa, saya merasa, saya
merasa tidak ada.”
“He!” teriak pohon lengkung. “Saya juga merasa tidak ada!”
Laki-laki itu bangkit dengan kaget. Ia saksikan pohon-pohon
bermusyawarah itu berteriak bersahut-sahutan sambil merentang-rentangkan
cabang-cabangnya ke angkasa: “Saya tidak ada!”
Laksana menyedot pupuk langsung dari Lauhul Mahfud, batang-batang
pohon itu berkembang, berkembang, dan berkembang. Membesar,
membesar, dan membesar. Pohon itu menjadi seratus kali lebih besar, lebih
tinggi, dan lebih rimbun. Menyaksikan pohon-pohon raksasa ini, orang-
orang yang sedang piknik itu panik dan jatuh pingsan (Danarto, 1996:23).

Tokoh lain yang juga memperlihatkan perilaku ketasawufan adalah pohon-pohon.


Dalam cerpen ini, pohon dapat diinterpretasikan sebagai bagian dari makhluk ciptaan
Tuhan dari kelompok tumbuh-tumbuhan. Kalau demikian, pohon itu sendiri merupakan
tajalli dan emanasi Allah. Selain itu, pohon pohon juga dapat diinterpretasikan sebagai
manusia yang patuh dan selalu bertasbih kepada Allah, sekaligus juga merupakan metafor
manusia yang menderita karena pengeksplorasian yang berlebihan terhadap kehidupan
mereka, sementara nasib dan kelangsungan hidup mereka tidak diperhatikan.
Perilaku ketasawufan pohon-pohon ini sudah mencapai fana (peleburan). Dalam
Ensiklopedi Islam (1996:286) dikemukakan bahwa fana merupakan suatu kondisi yang
dialami oleh seorang sufi yang merasakan bahwa ia kehilangan kemanusiaannya dan
tenggelam dalam keesaan Tuhan. Fana itu sendiri ada beberapa macam. Abdul Hamid
bin Muhammad Ali Quds (dikutip Purwadaksi, 1992:14—17) mengemukakan bahwa
fana itu ada sembilan jenis. Salah satu di antaranya adalah fana al-Istilam, yaitu fana
yang dirasakan seorang sufi ketika wujud Allah memengaruhi wujud dirinya sehingga ia
tidak merasakan lagi keberadaan dirinya, Ia merasakan bahwa semua yang berwujud ini
lenyap, yang dirasakannya hanyalah wujud Allah. Jenis fana al-Istilam ini dirasakan oleh
pohon-pohon sebagaimana terlihat dari dialog antarpohon berikut.
“Tetapi tunggu dulu,” seru pohon bulat, “Saya merasa, saya merasa,
saya merasa tidak ada.”
“He!” teriak pohon lengkung. “Saya juga merasa tidak ada!”
Laki-laki itu bangkit dengan kaget. Ia saksikan pohon-pohon
bermusyawarah itu berteriak bersahut-sahutan sambil merentang-rentangkan
cabang-cabngnya ke angkasa: “Saya tidak ada!”
Laksana menyedot pupuk langsung dari Lauhul Mahfud, batang-batang
pohon itu berkembang, berkembang, dan berkembang. Membesar,
membesar, dan membesar. Pohon itu menjadi seratus kali lebih besar, lebih
tinggi, dan lebih rimbun. Menyaksikan pohon-pohon raksasa ini, orang-
orang syang sedang piknik itu panik dan jatuh pingsan (Danarto, 1996:23).

Pohon yang merupakan makhluk Allah, merupakan makhluk yang selalu bertasbih
kepada Allah. “Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. Dan tak ada satu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi
kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun
lagi Maha Pengampun” (al-Isra’:44). Selain itu, di dalam konsep tasawuf, alam semesta,
termasuk pohon tentu saja, merupakan tajalli atau penampakan Allah. Peristiwa tajalli ini
memakan waktu yang panjang, melalui beberapa martabat, misalnya, Hamzah Fansuri
mengelompokannya ke dalam lima martabat. Menurutnya, penciptaan manusia yang
dapat diinderai terjadi pada martabat kelima. Dalam rangka Tuhan menampakkan diri-
Nya, Dia bertajalli pada diri manusia dengan sifat asma-Nya, sehingga wujud manusia itu
menjadi “pakaian Tuhan” di dalam syahadah ini (Hadi, 1995:84—91).
Pohon dalam cerpen ini dapat diinterpretasikan sebagai metafor manusia yang
patuh bahkan mencintai Allah. Bagi manusia yang mencintai Allah, khususnya para salik
(pengembara) pencari Allah, pertemuan dengan Allah merupakan tujuan mereka sehingga
hal ini menimbulkan kebahagiaan yang dinanti-nanti. Hal ini tampak dari penuturan
narator berikut ini.

Pohon-pohon itu tiba-tiba diam. Apakah mereka lalu berpikir?


Mereka berikut cabang, ranting, dan seluruh daunnya, menjadi tegak lurus.
Patung-patung hijau, patung-patung yang tumbuh. Perupa mana yang
sanggup menemukan kebaruan ini? Apakah pohon-pohon itu mendadak
tersihir? Apakah sedang berzikir? Apakah mereka sedang mensyukuri
nikmat Allah? Air mata berlelehan. Kelihatannya mereka sedang menikmati
keharuan (Danarto, 1996:19).

Kutipan di atas juga memperlihatkan nada yang bersikap simpati narator melalui
sudut pandang ”diaan” serbatahu terhadap kepatuhan dan kesyukuran yang diperlihatkan
pohon-pohon itu. Selain merupakan metafor manusia yang dicintai Allah, pohon itu juga
merupakan metafor kelompok masyarakat yang terpinggir. Hal ini terlihat dari penuturan
narator melalui jalan pikiran tokoh laki-laki pembawa berita berikut ini. “Apakah Allah
menyaksikan keadaan pohon-pohon di bumi makin berkurang? Begitu gumam laki-laki
itu mencoba menduga ke arah mana gerak-gerik Allah tertuju” (Danarto, 1996:20).
Sekalipun tersisih, mereka tetap sabar menghadapi masalah mereka, bahkan mereka
selalu berzikir kepada Allah. Oleh sebab itu, Alah membalas kerelaaan mereka dengan
kerelaan-Nya juga.

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik


Dari pembahasan mengenai perilaku sufistik tokoh dalam cerepen “Allah
Berkenan Mengejawantah, Lusa” ini terlihat bahwa perilaku sufistik itu dilakukan para
tokoh dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memeperoleh kerelaan Allah. Tokoh laki-
laki pembawa berita, yang mencapai tahap insan kamil, berperilaku sufistik semata-mata
hanya karena Allah. Ia tidak mengharapkan dampak perilaku sufistik semata-mata berupa
kekeramatan atau kemampuan supranatural lainnya. Kesyukuran dan kerelaan yang
dilakukannya terutama kepada Allah, yang semula dijanjikan Allah hanya untuk pohon-
pohon.
Pohon-pohon, baik dalam pengertian denotasi maupun dalam pengertian konotasi,
yang sampai pada makam fana melakukan perilaku sufistik juga semata-mata untuk
mencari kerelaan Allah, bukan untuk mencari kekeramatan dari perilaku mereka itu.

2.2.3 Rela dan Zuhud Memberikan Ketenangan Hidup


1) Sinopsis Cerpen “Bulan Sepotong Semangka”
Seorang pengusaha sukses, kepala rumah tangga yang berhasil dan selalu
memuaskan hati keluarganya dengan memenuhi kebutuhan materi mereka, tiba-tiba
memutuskan untuk bertapa berendam di sebuah sungai di kaki Gunung Lawu, setelah
melampiaskan kemarahannya dengan menembaki bath tubnya hinga hancur berkeping-
keping. Ia melakukan itu karena mengetahui bahwa putri bungsunya, Nari dinyatakan
hamil, bath tub itulah yang dianggap sebagai perantara kehamilannya. Sementara Nari,
yang merasa tidak pernah disentuh oleh laki-laki itu, menerima kehamilan itu dengan
pasrah sehingga menolak menggugurkannya atau melahirkan di luar negeri. Dokter dan
kiayi yang mereka tanyai tentang hal itu yakin bahwa ada kejadian luar biasa.
Sejak kepergian ayahnya, Nari mengasingkan diri di kamar, tanpa makan dan
minum. Tak seorang pun di antara keluarganya mampu melunakkan hatinya untuk keluar
dari kamar itu, walaupun berbagai upaya telah mereka lakukan. Nari pun melahirkan di
kamarnya. Peristiwa ini menjadikan seluruh keluarganya ingin sekali menengoknya tetapi
Nari tetap membisu. Usaha menjebol dinding dan plafon kamarnya juga sia-sia, bahkan
alat yang mereka gunakan rusak. Nari membesarkan dan mendidik anaknya sendiri di
kamarnya itu sampai perguruan tinggi.

2) Perilaku Sufistik
Tokoh yang memperlihatkan perilaku Sufistik dalam cerpen “Bulan Sepotong
Semangka” ini adalah Nari. Nari yang merupakan tokoh utama dalam cerpen ini, hamil di
luar kebiasaan yang terjadi. Menurut diagnosis dokter, ia hamil karena menggunakan
bath tub ayahnya ketika mandi. Diduga bath tub itulah yang menjadi perantara
kehamilannya. Peristiwa yang dialami Nari ini mengingatkan pada kejadian yang dialami
Maryam, ibunda Nabi Isa As, dalam arti bahwa kehamilan Nari tidak disebabkan oleh
hubungan intim dengan laki-laki. Tampaknya, pengarang menulis cerpen ini diilhami
peristiwa itu.
Di dalam Surat Maryam:16—36 dikisahkan bahwa Maryam hamil tidak
berdasarkan hukum alam yang semestinya. Ia hamil atas kehendak Allah. Melalui
Malaikat Jibril, Allah meniupkan roh-Nya sehinga hamillah Maryam. Ia pergi menyepi
membawa kehamilannya itu ke suatu tempat dan Allah menyiapkan sungai di bawah
tempatnya dan pohon kurma yang telah berbuah yang siap dimakan dengan hanya
menggoyangkan pohon itu. Jibril menyarankan agar Maryam membisu ketika anaknya
telah lahir dan membawa anak itu kepada kaumnya. Allah memperlihatkan kebesaran-
Nya Bayi Isa dapat berbicara dan menyataan bahwa dirinya adalah seorang nabi dan
diberi alkitab. Allah juga akan menjadikan ia seorang yang berbakti kepada ibunya dan
tidak sombong, ia juga diperintahkan Allah untuk mendirikan salat dan membayar zakat.
Ia juaga berdoa agar kesejahteraan dilimpahkan kepadanya, baik pada waktu ia
dilahirkan, dimatikan, maupun ketika dibangkitkan.
Di dalam cerpen “Bulan Sepotong Semangka” ini. Nari mengasingkan diri di
kamarnya sendiri sehingga ia melahirkan bahkan membesarkan dan mendidik anaknya
sendiri tanpa makan dan minum. Perilaku sufistik yang dilakukan oleh tokoh Nari ini
berkaitan dengan makam rela, tawakal, dan zuhud.
Ibnu ‘Ata’ (dikutip Syukur, 1997:147) mengemukakan bahwa rela adalah
ketenangan kalbu pada pilihan Allah kepada hamba, bahwa dia memilihkan untuknya
yang paling utama. Dia rela kepada pilihan itu dan tidak ada kebenciannya terhadap
pilihan Allah. Kerelaan Nari atas pilihan atau ketentuan Allah ini terlihat ketika ia
dinayatakan hamil. Walaupun semula ia heran dan takut, akhirnya ia menerima kenyataan
ini dengan rela. Hal ini terlihat dari penuturan narator berikut.
... Setengah berbisik Nari menyorongkan mulutnya: “Saya hamil.”
Hamil? Apa salahnya dengan hamil? Lalu saya baru sadar bahwa Nari
belum menikah. Bahkan dia mengaku belum punya pacar. Setelah berkali-
kali saya mendesak, dia mengatakan bahwa ini suatu peristiwa yang ajaib.
Ajaib? Ajaib bagaimana?
“Bagaimana mungkin saya bisa hamil, sedang disentuh laki-laki pun
tidak,” kata Nari menerawang jauh. Ia tidak menjadi sedih karenanya. Ia
termangu-mangu, setelah mendengar kepastian seorang dokter bahwa dia
positif hamil. Keheranannya ia lepaskan ke cakrawala, memantulkan
pertanyaan-pertanyaan, ketakutan, dan juga ketakjuban (Danarto, 1996:30).

Oleh sebab itu, ketika orang tuanya menyarankan agar ia menggugurkan


kandunganya ia menolaknya, karena ia tidak ingin menjadi pembunuh. Konflik yang
terjadi antara Nari dan orang tuanya ini menyebabkan Nari memutuskan untuk
mengasingkan diri di kamarnya. Ia menerima ketentuan Allah untuk dirinya dengan rela
dan tidak ada kebenciannya terhadap ketentuan Allah itu. Karena ayanhnya
mengasingkan diri bertapa di sebuah sungai di lereng Gunung Lawu, Ibunya mengancam
akan bunuh diri bila anak-anaknya yang lain yang sudah berkeluarga tidak mau serumah
dengannya untuk menjagai Nari. Saudara-saudaranya yang ada yang jauh dari rumah, ada
juga yang menangis meraung-raung. Bahkan, keponakannya jatuh sakit.
Nari yang mengasingkan diri di kamarnya mencemaskan seluruh keluarganya,
mengingat ia telah satu bulan mengurung diri di kamar tanpa sesuatu yang dimakannya.
Berbagai upaya dilakukan oleh keluarganya untuk membujuknya keluar dari kamarnya
tetapi upaya itu sia-sia. Usaha kekerasan pun ternayata gagal mengeluarkan Nari dari
kamarnya. Hal ini terlihat dari penuturan narator, yang semula menggunakan sudut
pandang “akuan” saya, tiba-tiba menggunakan kami, yang mewakili keluarganya berikut.
Nari aganya telah berubah jadi karang yang buta dan tuli dan bisu.
Kami hanya mendengar suara ketipak-ketipak sandal yang berjalan dari
kamar tidur ke kamar mandi. Suara air yang diguyurkan. Suara lembaran
buku yang dibalik-balik. Suara sisir yang digunakan . Atau suara batuknya.
Kami kalang kabut ketika sadar bahwa sudah satu bulan Nari mengunci
diri dalam kamarnya. Bagaimana dia makan selama ini? Mas Bam dengan
marah mencoba menghancurkan jendela yang juga selalu tertutup itu.
Seorang tukang las mencoba menjebol pintu. Tapi semua itu sia-sia.
Sepertinya kami mendengar pintu dan jendela itu tertawa melecehkan usaha
kami. Rasanya Nari dibungkus oleh suatu kekuaan di luar batas angan-
angan. Suatu kekuatan yang tak terbayangkan oleh siapa pun. Bagaimana
keadaan bayinya ? (Danarto, 1996:34).

Kutipan ini secara eksplisit memperlihatkan nada sinis narator terhadap para
tokoh yang mencoba menggunakan segala upaya untuk mencapai tujuannya. Selain itu,
kutipan di atas juga memperlihatkan bahwa segala sesuatu terletak di tangan Allah Swt.
dan berlaku atas ketentuan-Nya. Tidak seorang pun dapat berbuat dan menghasilkan
sesuatu tanpa seizing dan kehendak Allah Swt. Hal ini menunjukkan bahwa Nari juga
telah mencapai makam tawakal. Keyakinan utama yang mendasari tawakal adalah
keyakinan sepenuhnya akan kekuasaan dan kemahabesaran Allah Swt. Di dalam batin
seseorang yang bertawakal tertanam iman yang kuat bahwa segala sesuatu terletak di
tangan Allah Swt., baik berupa hal-hal yang memberi manfaat atau mudarat,
menggembirakan atau menyedihkan. Sekalipun seluruh makhluk berusaha memberikan
sesuatu yang bermanfaat kepada seseorang mereka, tidak akan dapat melakukannya
kecuali dengan izin Allah Swt. Begitu juga sebaliknya, sekalipun orang-orang berkumpul
untuk memudaratkan seseorang, mereka tidak akan dapat melakukannya, kecuali dengan
izin-Nya (Ensiklopedi Islam, 1996:97—98).
Kebertawakalan Nari kepada Allah menjadikan ia yakin sekali bahwa Allah akan
menyediakan jalan keluar bagi keyakinannya itu sehingga ia mampu bertahan hidup
bersama kehamilannya, walaupun tanpa makanan dari keluarganya. Bahkan dengan
kondisinya seperti itu, ia juga mampu melahirkan sendiri anaknya sekaligus menjadi guru
bagi anaknya. Sikap dan keadaan Nari ini terlihat dari penuturan narator berikut.
… Namun keteguhannya untuk tetap diam dan mematung di kamar,
dengan perut yang semakin membesar (dengan perut yang semakin
membesar?) tanpa makan apa-apa (tanpa makan apa-apa?) tentu
merupakan cerita tersendiri tentang sesuatu daya tahan yang pasti
mencengangkan para dokter.
Pada suatu subuh di hari Jumat, tiba-tiba terdengar cenger (!),
tangis bayi dari dalam kamar Nari. Saya meloncat dari pembaringan
saya di depan tv lalu menelengkan telinga ke pintunya. Tangis bayi itu
makin jelas. Nari sudah babaran, sudah melahirkan. Mendengar
tangisnya yang keras agaknya bayinya laki-laki yang dilahirkannya.
Buru-buru saya membangunkan ibu, lalu dengan sedikit berlari saya
pulang ke rumah untuk membangunkan istri. Lalu mengangkat telepon
membangunkan Mas Bam, Mbak Fit, dan Fir. Tanpa tersasa sembilan
bulan lebih telah dilalui Nari sendirian. Bagaimana mungkin dia
menolong dirinya sendiri dalam keadaan melahirkan. Nari tak punya
pengetahuan apa-apa tentang melahirkan bayi, merawat bayi, dan
membesarkan bayi, betapa ini semua merupakan peristiwa yang berada
di luar dugaan kami (Danarto, 1996:35—36).
……………………………………………………………………………
Seperti hari ini, ketika cucu itu, anak Nari, laki-laki, seperti yang
kami dengar suaranya dari dalam kamar, Bim namanya, seperti yang
kami dengar jika ibunya memanggil, telah berulang tahun ke-20. Ibunya
bertindak sebagai gurunya dan dosennya dalam berbagai mata pelajaran,
telah memberinya pendidikan yang sebagus-bagusnya. Sekolah Bim
lancar. Bim kini duduk di tingkat dua Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,
di universitas kamar keabadiannya itu (Danarto, 1996:39).

Kutipan di atas memperlihatkan nada simpati narator terhadap tokoh utama cerita
ini, yaitu Nari. Makam lain yang tampak dilakukan tokoh Nari adalah zuhud.
Pembicaraan mengenai zuhud dapat dilihat dari dua sisi, yaitu zuhud yang merupakan
bagian integral dari tasawuf; jadi merupakan makam, dan zuhud sebagai moral Islam dan
pergerakan protes. Sebagai makam, Abd al-Hakim Hasan (dikutip Syukur, 1997:2)
mengemukakan bahwa zuhud adalah berpaling dari dunia dan menghadapkan diri untuk
beribadah, melatih dan mendidik jiwa, dan memerangi kesenangannya dengan berhalwat,
berkelana, puasa, mengurangi makan, dan memperbanyak zikir,.
Dalam kaitannya sebagai moral Islam dan gerakan protes, zuhud dapat diartikan
sebagai sikap hidup yang seharusnya dilakukan oleh setiap muslim di dalam kehidupan.
Dunia bukan tujuan hidup melainkan merupakan sarana untuk mencapai kerelaan Allah.
Kedua pengertian zuhud ini, tampaknya dilakukan oleh Nari, tokoh utama crpen
“Bulan Sepotong Semangka”. Kemengasingan diri Nari ke kamarnya dapat
diinterpretasikan sebagai zuhud dalam pengertian makam. Ia mengasingkan diri karena
menjauhi dunia atau kehidupan keluarganya yang bergelimang harta dan kemewahan
serta cenderung mengunakan harta untuk hal yang mubazir. Ia ingin melatih dan
mendidik dirinya memerangi kesenangan dan kemewahan yang dimiliki oleh keluarganya
itu dengan jalan mengasingkan dirinya dan melakukan tafakur untuk memperoleh
pemurnian diri. Di samping itu, ia juga ingin merenungi kehamilannya yang di luar
hukum alam itu. Kemewahan hidup keluarga Nari ini terlihat dari kutipan berikut.

Dan perkembangan keluarga kami pun sangat marak. Seperti yang


dikehendaki ayah, kami bergerak menuju berbagai penjuru. Bagi ayah hanya
ada satu kebahagiaan, yaitu jika kami memperoleh kepuasan. Begitulah,
ibu—orang-orang begitu tahu kebutuhan anak-anaknya—menghimpun
kami, persis kele-katu yang melihat petromaks, kami pun berbondong-
bondong mendatanginya. Pesta taman itu diakhiri dengan diceburkannya
kami dalam pakaian lengkap berjas berdasi satu per satu oleh ayah ke kolam
renang di belakang rumah.
“Kamu pikir kamu sudah dipercaya membangun jalan layang!” sembur
ayah sambil menyodok Mas Bam dalam setelan biru dengan dasi biru pula.
Byur! Sorak-sorai dan tepuk tangan tamu pun berderai.
“Kamu pikir kamu yang tercantik di antara sarjana fisika?” sembur
ayah ambil menyodok Mbak Fit dalam setelan krem dan dasi cokelat. Byur!
Sorak-sorai dan tepuk tangan para tamu pun pecah.
“Kamu pikir kamu satu-satunya geolog yang gampang jatuh cinta?”
sembur ayah ambil menyodok saya dalam setelan abu-abu. Byur! Sorak-
sorai dan tepuk tangan para tamu pun meledak. Lalu menyusul Fir, adik
saya yang mewarisi bakat dagang ayah, dalam setelan hiatm-hitam dengan
dasi merah, diceburkan.
Yang terakhir adalah si Nari, si bungsu yang cantik, 20 tahun, yang
dimajakan ayah ibu maupun kakak-kakaknya. Apa komentar ayah ketika
menceburkannya, sudah tidak kedengaran lagi karena sorak-sorai para tamu.
Inilah kami, kelima anak yang dibesarkan dengan kebebasan penuh. Yang
mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya dan disiplin tangguh atas
kesadaran sendiri. Siapa yang dapat melebihi kebahagiaan kami, ketika
semua tamu mengelilingi kolam renang, bersorak, bertepuk, berkomentar
(Danarto, 1996:28—29).

Kutipan di atas memperlihatkan nada mengejek atau menertawakan ketololan


orang-orang kaya yang hidup bergelimang harta dan kemewahan serta gaya hidup
hedonistik. Nari, yang memutuskan mengasingkan diri di kamarnya bersama
kehamilannya itu, ternyata dapat mengatasi segala masalah hidupnya, termasuk berhasil
mendidik anaknya sendiri di kamarnya itu.
Selain itu, kezuhudan yang dilakukan Nari itu, dapat dikatan sebagai moral (akhlak)
Islam, dan gerakan protes, yaitu sikap hidup yang dilakukan oleh seorang muslim dalam
menatap dunia yang fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana untuk beribadah kepada
Allah dan mencari kerelaan-Nya. Zuhud dalam pengertian ini bertujuan untuk menghiasi
diri dengan sifat-sifat yang terpuji. Pelakunya sendiri menyadari bahwa cinta yang
berlebihan kepada dunia merupakan pangkal keburukan. Bahkan Al-Quran menerangkan
bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan.
Kebanggaan dan kesenanan materi ini hanyalah kesenangan yang menipu (Surat al-
Hadid:20).
Nari yang mengasingkan diri di kamarnya itu merupakan simbol sikapnya
menjauhi kehidupan mewah, kebanggaan ayahnya terhadap keberhasilannya dalam hal
anak-anaknya dan prestasi, baik yang dicapainya maupun yang diacapai anak-anaknya.
Kamar tempat Nari mengasingkam diri itu dapat diinterpretasikan sebagai suatu tempat
yang tersendiri dan terpisah dari keluarganya, dan ketidakberhasilan keuarganya
membuka pakas pintu kamar itu dapat diinterpretasikan sebagai ketidakberhasilan pihak
keluarganya mengajaknya kembali pada kehidupan mewah itu. Begitu juga upaya-upaya
untuk mengajak Nari kembali pada kehidupan mewah, tetapi Nari tetap pada
pendiriannya membuat jarak anatara dirinya dengan kehidupan mewah itu. Lihat saja
kutipan berikut.
Hampir setiap hari kamar Nari menjadi pusat tatapan mata kami. Mas
Bam dan istrinya biasa mengintip lewat lubang bawah pintu yang
memanjang itu. Sinar listrik mempertegas lubang itu. Mbak Fit dan
suaminya lebih suka berduet nyanyi di bawah jendelaya yang berkisi-kisi
itu. Semua anak-anak dimintanya bermain di kebun bawah jendela, supaya
derai tawa dan celoteh mereka melemahkan hati Nari. Saya yang paling
dekat dengannya, lebih suka memanggil-manggilnya. Mengingatkannya
saat-saat yang paling menggembirakan ketika berenang di kolam, atau
rebutan pizza. Saya juga bercanda dengan istri dan anak-anak di depan
pintunya. Sedang ibu paling getol menulis surat yang dimasukkannya lewat
bawah pintu. Kami tidak tahu apakah surat itu dibacanya (Danarto,
1996:34—35)
Tampaknya, semua usaha yang dilakukan saudara-saudara Nari bersama istri dan
anak-anak mereka, untuk mengajak Nari kembali pada kehidupan yag penuh kemewahan
dan kegembiraan, memperlihatkan nada penentangan mereka terhadap sikap yang
diambil Nari. Walaupun demikian, semua itu tidak mampu menggoyahkan pendirian
Nari. Bahkan ia juga tidak menanggapi ajakan ibunya yang dilakukannya melalui surat-
suratnya yang dikirimkannya. Nari betul-betul memperlihatkan kemantapan hatinya
dalam mengambil keputusannya membuat jarak dengan kehidupan mewah itu. Kutipan
berikut, yang menggunakan sudut pandang “diaan”, juga memperlihatkan kemantapan
hati Nari dalam hal membuat jarak dengan kehidupan mewah itu.
Kamar Nari letaknya di sisi ruang duduk, tempat kami nonton TV.
Juga bersebelahan dengan ruang makan. Segala kegiatan di situ, dari
ketawa dan celoteh kami atas acara TV, sampai keletak-keletik bunyi
kegiatan di meja makan, pasti didengar Nari. Dia pasti meresapinya.
Namun, ketangguhannya untuk tetap diam dan mematung di kamar,
dengan perut yang semakin membesar (dengan perut yang semakin
membesar?) tanpa makan apa-apa (tanpa makan apa-apa?), tentu
merupakan cerita tersendiri tentang suatu daya tahan yang pasti
mencengangkan para dokter (Danarto, 1996:35—36).

Pesta yang diselenggarakan keluarga Nari, baik pada hari ulang tahun anaknya
maupun hari ulang tahunnya, juga tidak mampu membawa Nari kembali pada kehidupan
mewah yang ditawarkan itu. Semua usaha yang dilakuakn oleh keluarga Nari ini
memperlihatkan sikap mereka yang menentang sikap yang diambil Nari.
Kehamilan Nari dalam cerita ini dapat diinterpretasikan sebagai suatu gejala
munculnya generasi baru yang membawakan warna baru di dalam kehidupan keluarga
mereka. Hal ini tampak dari kesadaran tokoh aku (Rik) berikut ini.

Ketika ibu tampak terhuyung itulah, saya baru sadar bahwa hari-hari
keluarga kami bertambah senja. Tutup buku satu per satu barangkali sudah
diberi tanda, untuk ucapan selamat datang bagi generasi berikutnya. Cara
ibu memegang pena untuk menyurati cucunya. Cara beliau bertelekan di
lengan kursi, meraba pintu tertutup kamar anaknya, sebuah sentuhan pada
keabadian. Lebih langgeng dari hasrat-hasratnya (Danarto, 1996:38—39).

Hal ini tampaknya juga diperlihatkan oleh judul cerpen ini, yaitu “Bulan Sepotong
Semangka” yang dapat diinterpretasikan sebagai suatu yang baru muncul, masih muda,
masih dalam tahap perkembangan dan akan terus berkembang hingga mencapai
kesempurnaan.

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik


Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen
“Bulan Sepotong Semangka” ini terlihat bahwa tokoh Nari melakukan perilaku sufistik
itu dilatari oleh kehidupan mewah yang dijalani oleh keluarganya yang cenderung
hedonistik. Ia merasakan bahwa segala kemewahan ang dirasakannya itu tidak
memberikan ketenangan dalam hidupnya. Oleh sebab itu, ia memutuskan sikap untuk
mengambil jarak dengan kehidupan yang cenderung hedonistik itu.
Dengan bermodalkan kerelaan, ia juga mampu menjalani kehidupannya bahkan
menikmatinya. Begitu juga halnya dengan kezuhudan yang dilakukannya, menjadikan ia
hidup lebih tenang bersama anaknya dengan segala kesederhanaan.

2.2.4 Kezuhudan Memerangi Kejahatan Menegakkan Moral Keilahian


1) Sinopsis Cerpen “Dinding Ayah”
Tokoh ayah adalah seorang pengusaha sukses yang menangani segala jenis usaha
dari usaha paling kecil sampai yang paling besar. Pada suatu hari, tokoh ayah
mengkhawatirkan keluarganya karena ia terdengar melakukan pertarungan seru di dapur.
Berbagai usaha dilakukan oleh para bodyguard ayahnya untuk membuka pintu dapur
tetapi sisa-sia. Dari dalam dapur anaknya terdengar suara mendesis yang disertai bau
busuk yang luar biasa. Menyusul terbukalah dapur itu sehingga memperlihatkan suasana
porak-poranda dan semua yang ada di dapur itu hancur seperti telah terjadi perang. Tokoh
ayah muncul dengan wajah yang cerah, tanpa memerhatikan anak istri yang
mecemaskannya. Sebelum kejadian itu, tokoh ayah juga pernah melakukan hal yang di
luar kebiasaan manusia, yaitu menghabiskan tar buatan istrinya sekaligus dengan
piringnya.
Kedua peristiwa yang dilakukan tokoh ayah itu menimbulkan keheranan di hati anak
istrinya sehingga membicarakannya dengan psikolog. Analisis psikolog itu adalah bahwa
tokoh ayah akan menjadi musuh terbesar planet ini. Tokoh aku, yang merupakan tokoh
utama cerpen ini, tidak dapat membayangkan bahwa ayahnya akan menjadi seperti itu
karena sepanjang yang diketahuinya ayah adalah orang yang baik. Sementara kakaknya,
Mas Pramana, bersama istri dan ketiga anaknya, bersikap menjauhi keluarga karena
memandang bahwa harta orang tuanya itu lelucon belaka. Demikian juga Mbak Asti
bersama suaminya dan ketujuh anaknya sejak menikah telah memisahkan diri dengan
orang tuanya.
Rekan-rekan bisnis tokoh ayah memandang ayah sebagai tong sampah karena
kebiasaannya yang selalu mencaplok bisnis orang lain yang memperlihatkan prospek
baik. Diam-diam keluarganya sendiri bertindak sebagai penyelamat para pengusaha yang
hampir jatuh ke perangkap tokoh ayah.
Pada sebuah jamuan piknik yang diselenggarakan tokoh ayah untuk teman-teman
anak-anaknya di sebuah kawasan hutan buah-buahan miliknya, terjadi hal aneh. Ketika
rombongan akan pulang, tiba-tiba tujuh mahasiswi teman tokoh aku yang ikut piknik
menghilang bersama ayah. Pencarian pun dilakukan. Tokoh aku bersama bodyguard dan
teman-temannya memasuki hutan. Tiba-tiba mereka menemukan ketujuh teman mereka
yang hilang itu dengan tubuh tercerai berai seperti dimangsa binatang buas. Tokoh aku
bersama bodyguard-nya terus mencari pemangsa teman-temannya itu dengan tidak
menghiraukan dirinya lagi menembus hutan dan menyeberangi lautan. Bertahun-tahun
pencarian itu dilakukan hingga suatu hari terjadi gempa yang menewaskan kedua
bodyguard dengan tubuh tercerai berai tergantung di atas pohon diikuti suara mendesis
dan bau yang sangat busuk, yang mengingatkan tokoh aku pada suara mendesis dan bau
busuk yang pernah terjadi di dapurnya. Ia sadar bahwa musuh yang harus diburunya
adalah ayahnya sendiri.

2) Perilaku Sufistik
Perilaku sufistik yang tampak di dalam cerpen “Dindig Ayah” ini dilakukan oleh
tokoh Mas Pramana, Mbak Asti, dan tokoh utama aku. Perilaku sufistik yang tampak
dilakukan oleh ketiga tokoh ini adalah zuhud.
Ibnu Taimiyah (dikutip Al-Jauziyah, 2000:148) mengemukakan bahwa zuhud
artinya meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat. Kezuhudan
yang dilakukan oleh Mas Pramana bermula dari konflik yang ada dalam batinnya tentang
kehalalan uang yang datang berlimpah kepada keluarga ayahnya. Ia menganggap bahwa
semua itu merupakan lelucon atau permainan sehingga ia selalu bersikap sinis terhadap
kekayaan orang tuanya itu. Hal ini terlihat dari penuturan narator dengan sudut pandang
“diaan” berikut ini.
Sebagai kakak kedua, Mas Pramana tidak menunjukkan
perhatiannya kepada orang tua yang milyarder. Sejauh ini sikapnya justru
menjauhi keluarga. Ia dengan keras melindungi Mbak Mari dan tiga orang
anaknya dari kepentingan-kepentingan keluarga. Kami, tiap orang, yang
selalu kebanjiran uang puluhan juta rupiah setiap bulannya, ini bagi Mas
Pramana merupakan “lelucon tersendiri”. Sungguh saya tidak tahu jalan
pikirannya. Segala yang keluar masuk saku kami dianggapnya loelucon. Ia
selalu melengos ketika melihat kekayaan keluarga yang melimpah ruah itu,
yang kelihatannya ia hanya ingin mengatakan bahwa semua harta itu haram.
Ia bersumpah sedikit pun tak hendak kecipratan (Danarto, 1996:46).

Pendapat Mas Pramana yang mengatakan bahwa harta keluarga ayahnya yang
melimpah itu merupakan “lelucon”, dapat diinterpretasikan bahwa harta yang diperoleh
dengan cara tidak halal itu merupakan permainan atau kesenangan yang menyesatkan
(Surat Al-Hadid:20). Oleh sebab itu, ia bersumpah akan melindungi dirinya dan anak
istrinya dari memakan harta yang haram itu.
Kezuhudan yang dilakukan Mas Pramana ini, menurut Imam Ahmad ibn Hambal
(dikutip Al-Jauziyah, 2000:148) dapat dilakukan sebagai zuhudnya orang awam, yaitu
sikap hidup yang meninggalkan segala sesuatru yang haram. Demikian juga dengan
kezuhudan yang dilakukan suami Mbak Asti. Sejak pengantin baru, ia bersikap
memisahkan diri dari rumah mertuanya yang kaya raya itu. Zuhud yang dilakukan oleh
kedua tokoh ini bukanlah zuhud yang ekstrem sebagaimana yang pernah dilakukan oleh
para arif yang telah mencapai makrifat, yaitu meninggalkan apa saja yang memalingkan
diri dari Allah Swt.
Aku, tokoh utama cerpen ini, juga memperlihatkan perilaku zuhud itu. Akan tetapi,
kezuhudan yang dilakukan itu cenderung pada buah atau hasil zuhud. Al-Ghazali
(1997:153—155) mengemukakan bahwa buah zuhud itu adalah isar dan futuwwah. Isar
merupakan sikap kedermawanan tertinggi, karena ia merupakan pengerahan harta tanpa
mengharapkan balasan atau tendensi tertentu. Tendensinya semata-mata adalah ingin
berakhlak sebagaimana akhlak Allah Swt, yaitu memanifestasikan sifat-sifat dan asma
Allah dalam dirinya. Futuwwah adalah perilaku mengesampingkan angan-angan pada
dirinya, harta, dan anak-anakanya. Seluruhnya diserahkan kepada yang memililiki
keseluruhan hidup, yaitu Allah. Al-fatiy (pelaku futuwwah) selalu berprasangka baik
kepada sesama makhluk. Jika makhluk berperilaku bertentangan dengan syariat, ia
mengaitkan dosanya dengan setan, bukan dengan makhluk itu. Semua kejahatan itu
dikembalikannya kepada Allah, di samping tetap mengubah kemunkaran itu dengan
tangannya, dan jika tidak mampu dengan hatinya. Dengan demikian, futuwwah menuntut
keksatriaan dalam memerangi kemunkaran.
Buah atau hasil zuhud yang tampak dilakukan oleh tokoh aku adalah futuwwah.
Sebetulnya, futuwwah ini tidak hanya dilakukan oleh tokoh aku tetapi juga dilakukan
oleh seluruh keluarga tokoh ayah. Mereka melakukan hal itu dengan cara sembunyi-
sembunyi, tanpa diketahui oleh tokoh ayah. Hal ini mereka lakukan sebagai sikap
penentangan mereka terhadap perbuatan tokoh ayah. Hal ini terlihat pada narasi berikut.
Ayah yang berpikir bebas, melakukan tindakan-tindakan bebas, juga
penuh kekerasan. Siapa saja yang tidak tunduk, ayah lalu menindaknya
dengan tangan besi. Dan tidak ada seorang pun yang tidak bertekuk lulut.
Bagi kemi sekeluarga, itu semua tak ada harganya. Kami sudah sangat
berbahagia dengan cara-cara yang paling sederhana. Sehingga kami
menyabot sendiri semua usaha ayah yang penuh penindasan terhadap
usahawan lain. Untung sekali ayah tidak merasa ada musuh dalam selimut.
Ibu, sebagai musuh di dalam selimut, tidak jarang menyelamatkan
orang-orang yang hampir masuk ke dalam mulut ayah. Tentu saja ayah
terheran-heran melihat calon-calon korbannya berloncatan melarikan diri
dan selamat (Danarto, 1996:49—50).

Perilaku futuwwah yang dilakukan oleh anak istri tokoh ayah ini dilakukan secara
diam-diam. Lain halnya dengan perilaku futuwwah yang dilakukan oleh tokoh saya.
Sikap tokoh saya, yang pada bagian awal cerita lebih berpihak kepada ayahnya, setelah ia
mengetahui puncak kemunkaran yang telah dilakukan ayahnya yaitu menewaskan
ketujuh orang teman dan kedua bodyguard-nya, merusak kelestarian hutan, dan menguras
kekayaan yang terpendam di perut bumi, sikapnya berubah memerangi ayahnya itu.
Perilaku yang dilakukannya dengan segenap jiwa dan raganya, dengan tidak
memedulikan ibu dan sasudara-saudaranya, bahkan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat
dari penuturan narator dengan sudut pandang pengarang “akuan” sebagai tokoh utama
berikut.
Saya sudah tidak peduli lagi seperti apa rupa binatang buas yang telah
mencabik-cabik jadi serpihan kedua bodyguard saya; hanya ada satu
sasaran pasti kini: saya harus membunuh ayah. Saya mengejar suara
mendesis dan bau busuk itu ke mana larinya. Saya harus mengejar dengan
sepotong kayu yang membara. Saya mengejarnya sepanjang hari, sepanjang
malam. Saya mengejarnya berminggu-minggu, berbulan-bulan, bertahun-
tahun. Berpuluh-puluh tahun. Saya tidak dapat membayangkan bentuk
binatang itu. Larinya menimbulkan gempa di muka bumi dan di langit.
Semua daerah yang dilaluinya terjadi kerusakan hebat: porak-poranda
batang-batang pohon itu bertumbangan. Seketika hutan menjadi gundul,
disusul kebakaran hutan yang meluas hingga asapnya menyundul langit.
Saya mengejarnya beratus-ratus tahun. Saya mengejarnya sendirian.
Lebih mirip fosil daripada batang tubuh yang hidup, betapa rapuh sudah
tulang-tulang ini, namun saya masih tetap teguh menodong Sang Waktu
untuk memberi kesempatan meringkus binatang itu. Ratusan tahun sudah
saya lewati bersama pohon-pohon dan suara-suara. Bersahabat dengan gelap
yang begitu setia meneduhi dan menyelimuti. Sekali sekali saya kangen ibu.
Juga Mbak Tuti dan Mas Indra, Mas Pramana dan Mbak Mari, Bung David
dan Mbak Asti. Rasanya saya melihat kelebatnya Ting-Ting dan Bom-Bom
di antara pohon-pohon di antara pohon-pohon. Tapi saya sadar bahwa
orang-orang yang saya cintai itu, sudah lama lewat, sudah menyatu bersama
keabadian puluhan tahun yang lalu. Generasi baru mereka tentu susul-
menyusul menggantikannya. Cucu, cicit, canggah, wareng, udeg-udeg
siwur, mahacucu muncul dan lenyap menyemarakkan zaman Tapi saya
sendirian di sini, menggapai-gapai kekekalan (Danarto, 1996:56—57).

Tokoh ayah yang menjelma menjadi makhluk yang bersuara mendesis dan
berbau sangat busuk, dapat diinterpretasikan sebagai lambang nafsu. Jadi, ia
merupakan metafor penguasa atau pengusaha yang dikendalikan oleh nafsu atau
pengusaha yang serakah. Dikatakan demikian, karena perilaku tokoh yang
memang menampakkan perilaku orang yang dikendalikan nafsunya sehingga ia
menjadi serakah dan kejam. Kutipan berikut akan memperlihatkan hal itu.

Di kalangan bisnis ayah dianggap serakah. Yang membuat saya merasa


marah besar adalah julukan yang diberikan kepada ayah oleh saingan bisnisnya,
sungguh keterlaluan: tong sampah. Gosip ini sudah merambah dari kalangan atas
hingga paling bawah. Ayah memang biasa dengan sigap menggunakan
kesempatan sekecil-kecilnya untuk mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya.
Celakanya ayah sudah terpikat oleh kesuksesan orang lain di lahan yang sama.
Kemudahterpikatan ayah inilah menyebabkan orang lain menderita. Bagaimana
tdak. Jika ayah terpikat akan kesuksesan pembaudidayaan ikan baronang,
misalnya, beliau mengambil saja lahan milik orang itu. Tentu saja ini sama
dengan membunuhnya. Dan yang paling ndesit, sangat kampungan—meminjam
olok-olok Srimulat—ayah juga sangat rakus mengganyang bisnis kere sekalipun.
Misalnya warung-warung di tenda kaki lima, beliau sampai hati mencaploknya.
Ini milyarder macam apa? (Danarto, 1996:46—47).

Kutipan berikut lebih mempertegas keserakahan dan kekejaman ayah dan sekaligus
memperlihatkan nada yang bersikap menghina tokoh ayah.

“Saya akan mengejarnya terus!”


“Anda tidak mungkin mampu menangkapnya,” tukas kepala suku.”
Binatang itu sudah kami kenal sejak ribuan tahun yang lalu. Goyangan
tubuhnya sedikit saja, dapat menimbulkan kebakaran hutan yang apinya
menyala-nyala selama bertahun-tahun. Binatang itu kerakusannya selangit.
Ia tidak nggaglak kayu, tetapi juga menelan rotan, emas, perak, timah, besi,
tembaga, garam, intan, batu bara, mutiara, uranium, beras, gula, sayuran,
udang, dan semua yang mendatangkan kenikmatan (Danarto, 1996:58—59).

Di samping perilaku tokoh ayah menyiratkan nafsu atau keserakahan, di kalangan


para sufi masa awal, nafsu memang sering dilambangkan dengan binatang-binatang
seperti anjing hitam, rubah, tikus, onta yang bandel, dan ular. Ada juga yang
melambangkan nafsu dengan Firaun, seorang raja yang hanya mementingkan dirinya
sendiri. Semantara, keserakahan sering dilambangkan sebagai seeokor naga (Schimmel,
1986:115—117). Dalam cerpen “Dinding Ayah” ini nafsu dan keserakahan itu
dilambangkan dengan binatang mendesis (ular) yang menimbulkan bau yang amat busuk.
Jadi, tokoh ayah dalam cerpen ini, tampaknya merupakan metafor dari penguasa atau
pengusaha yang dikendalikan nafsunya sehingga ia tidak segan-segan mematikan usaha
orang lain untuk memajukan usahanya, mengeksploatasi alam tanpa memperhitungkan
keseimbangannya sehingga menimbulkan malapetaka, bahkan membunuh siapa saja yang
dianggapnya akan membahayakan keberlangsungan keserakahannya. Nafsu yang dimiliki
tokoh ayah ini disebut Al-Ghazali (1997:48) sebagai nafsu amarah karena pemiliknya
menyerah pada tantangan nafsu bahkan menuruti syahwat dan ajakan setan.
Tokoh aku dalam cerpen “Dinding Ayah” ini, secara konotatif dapa dikatakan
sebagai simbol kesadaran baru atau generasi baru, yang berusaha memerangi penguasa
atau pengusaha yang serakah itu. Yang dilakukannya bukan hanya berpaling dari
keburukan itu, melainkan berperan aktif dalam menumpas kejahatan itu. Dalam dunia
tasawuf, perilaku seperti ini disebut makam zuhud. Pengejaran tokoh aku terhadap tokoh
ayah sampai beratus-ratus tahun tetapi belum juga berhasil membunuhnya, secara
konotatif dapat diinterpretasikan bahwa upaya menumpas keserakahan atau kejahatan itu
dilakukannya terus-menerus, sepanjang masa, dan dengan sungguh-sungguh, selama
keserakahan atau kejahatan iru belum dapat dikalahkan.
Ramalan psikolog yang dihubungi keluarga pengusaha kaya raya ini, ketika tokoh
ayah seperti bertempur di dapur, bahwa tokoh ayah akan menjadi musuh besar planet ini
ternayata benar. Musuh utama tokoh ayah dalam cerpen ini tampaknya adalah nili-nilai
atau moral keilahian.
Kata dinding pada judul “Dinding Ayah” pada cerpen ini, agaknya melukiskan
seseorang yang sudah terhijab, sudah terdinding hatinya untuk melihat nilai-nilai moral
keilahian sehingga perilakunya dikendalikan oleh nafsu yang ada dalam dirinya.

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik


Berdasarkan uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam
cerpen “Dinding Ayah” ini, terlihat bahwa para tokohnya melakukan perilaku
ketasawufan itu dilatarbelakangi oleh sikap protes mereka terhadap pemerolehan harta
dengan jalan yang tidak benar dan upaya mereka membentengi diri dari dosa. Mereka
menyadarai bahwa harta yang diperoleh dengan cara seperi itu tidak halal sehingga harus
dhindari. Perilaku seperti ini, zuhud orang awam, tampak dialkuakn oleh Mas Pramana
dan Mbak Asti bersama suaminya.
Tindakan anak-istri tokoh ayah yang secara diam-diam memusuhi tokoh ayah
(futuwwah), yang merupakan buah atau hasil zuhud, juga merupakan protes terhadap
keserakahan dan kekejaman yang dilakukan tokoh ayah. Mata batin mereka mampu
melihat nilai-nilai moral keilahian sehingga mereka lebih berpihak kepada orang lain,
yang menjadi korban tokoh ayah, daripada berpihak kepada suami dan ayah mereka
sendiri.
Perilaku tokoh aku yang secara terang-terangan menyatakan perang dengan
ayahnya (futuwwah) juga dilakukan sebagai protes terhadap keserakahan dan kejahatan
yang dilakukan ayahnya. Protes yang dilakukan tokoh aku ini dilakukan dengan segenap
jiwa dan raganya, dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian, perilaku, ketasawufan
yang dilakukan para tokoh dalam cerpen “Dinding Ayah” ini, bukan bertujuan untuk
mencapai makrifat kepada Allah atau mengharapkan kekeramatan, melainkan untuk
meningkatkan kualitas spiritual dalam rangka pengamalan nilai-nilai moral keilahian.

2.2.5 Cinta Berbuah Ketaatan yang Tinggi Hanya kepada-Nya


1) Sinopsis Cerpen “Dinding Waktu”
Tokoh saya tiba-tiba dikejutkan oleh pertanyaan mengenai kepuasannya
menyaksikan perang. Suara itu ternyata adalah susara batu tempat dia berlindung. Para
wartawan perang memanfaatkan peristiwa itu dengan sebaik-baiknya. Mereka
mewawancarai batu itu, yang ternyata adalah ibu dari tujuh puluh orang anak yang
semuanya gugur dalam perang yang telah berlangsung selama seribu tahun itu. Di puncak
kesedihannya, ibu itu ingin menjelma menjadi batu, maka jadilah ia batu. Ia merasa lebih
baik dengan keadaannya itu karena baginya suasana, ruang, dan waktu telah musnah.
Mendengar cerita itu, para wartawan itu ramai-ramai ingin dijadikan batu. Ketika
ibu itu berkata “jadilah”, para wartawan itu pun menjadi batu semua. Para penonton
memprotes ibu batu itu dengan mengatakan bahwa ia memusnahkan tubuhnya supaya
mudah menuju kekekalan, untuk mejadi pemenang abadi.
2) Perilaku Sufistik
Perilaku sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Dinding Waktu” ini tampak
dilakukan oleh batu, yang semula adalah seorang ibu. Perilaku ketasawufan tokoh batu
ini tampaknya telah mencapai makam cinta, yang disepakati sebagian sufi sebagai makam
tertinggi. Ada beberapa pendapat yang dikemukakan para sufi tentang cinta ini.
Nurbakhsh (1993:4) mengemukakan bahwa cinta sufi merupakan cinta transendental.
Cinta ini tidak tergantung pada situasi dan kondisi apakah yang dicinta akan memberikan
kebahagiaan atau kemurkaan atau hukuman. Bagi sufi, hukuman dan keramahan Yang
Dincinta sama saja. Ia tetap taat pada Yang Dicinta. Al-Gazali (dikutip Schimmel,
1986:139—140) mengemukakan bahwa cinta para sufi adalah cinta yang menyucikan.
Cinta ini, ibarat pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit;
buahnya menampakkan dirinya di hati, di lidah, dan di anggota badan. Buah itu adalah
ketaatan akan perintah Tuhan, dan kenangan terus-menerus kepada kekasih yang
memenuhi hati dan melimpah ke lidah.
Kecintaan tokoh batu ini terlihat dari ketaatannya akan perintah Tuhan berupa
pemberian diri dan hartanya kepada Allah (Surat at-Taubah:111). Tokoh batu, yang
semula adalah seorang ibu, telah merelakan miliknya yang amat berharga, yaitu anak-
anaknya sendiri, bahkan dalam jumlah yang amat banyak, yaitu tujuh puluh orang untuk
terjun dalam peperangan yang merupakan salah satu hal yang diperintahkan Tuhan.
Perang yang diwajibkan itu adalah dalam rangka berbuat kebajikan, bukan berbuat
kemunkaran atau permusuhan (Surat an-Nahl:90). Ia menerima dengan ikhlas anaknya
satu demi satu gugur dalam pertempuran itu. Hal ini dapat dilihat dari dialog antara tokoh
batu dan para wartawan peliput perang berikut.
“Sesungguhnya saya seorang ibu…,” jawab batu itu.
“Seorang ibu yang batu?” potong seorang wartawan. Kamera-kamera
makin sibuk mencari posisi yang paling baik untuk pengambilan gambar.
“Saya seorang ibu dari tujuh puluh anak. Laki-laki lima puluh dan
perempuan dua puluh. Semuanya sudah musnah dalam peperangan seribu tahun
ini. Yang laki-laki gugur satu per satu sebagai pejuang. Yang perempuan gugur
sebagai perawat, satu per satu di garis depan.” (Danarto, 1996:62).

Tokoh ibu yang semula selalu gembira setiap kali melepas kepergian anaknya
berperang, ketika melihat kenyataan bahwa anaknya gugur, ia merasakan kesedihan juga.
Kesedihan tokoh ibu diungkapkannya seperti kutipan berikut ini.
“Bagaimana datangnya keputusan Ibu untuk menjelma batu?”
“Kesediahan susul-menyusul dengan penderitaan. Saya tak mungkin dapat
menanggungkan penderitaan atas musnahnya puluhan anak saya. Pada puncak
kesedihan dan derasnya air mata lalu saya menginginkan menjelma batu. Maka
jadilah saya batu.” (Danarto, 1996:62).

Dengan berubahnya wujud tokoh Ibu (Batu) menjadi seonggok batu, ia merasa
lebih baik. Inilah pengakuan tokoh ibu kepada wartawan yang mewawancarainya.
“Tadinya saya pikir juga demikian. Seorang ibu biasa mengawani anak-
anaknya ke medan perang dengan gembira. Tapi ketika anak-anaknya
tertelungkup di lumpur dan tidak bangun-bangun, kesedihan itu benar-benar ada.
Hanya dengan menjelma batu, saya menjadi beku terhadap apa saja yang pernah
saya kenal. Senjata apa saja sekarang ini sudah tak mampu lagi membuat saya
jatuh sedih. Suasana, ruang, waktu sudah musnah. Semuanya menjadi tidak ada.”
(Danarto, 1996:63).

Tokoh ibu merasa bahagia setelah berubah wujud menjadi batu. Sejak itu, ia tak
pernah lagi merasakan kesedihan, bahkan suasana, ruang, dan waktu yang membatasi
kehidupannya menjadi tidak ada. Ia juga mampu melupakan segala yang pernah menjadi
miliknya.
Tokoh ibu dalam cerpen “Dinding Waktu” ini, dapat diinterpretasikan sebagai
seorang hamba yang lebur dalam cinta kepada Tuhan (fana). Hal ini diibaratkan oleh
Syah Waliullah (dikutip Schimmel, 1986:139) bagaikan sebongkah es yang dimasukkan
ke dalam periuk di atas api, bongkahan es itu akan mencair, menjadi panas, mendidih,
dan akhirnya menguap bagai uap air, yaitu bentuk paling dekat dengan sifat panas yang
terkandung dalam cinta Ilahi.
Cinta tokoh batu ini kepada Allah sebelumnya diungkapkan dalam bentuk sikap
patuh yang tinggi kepada Allah. Dengan kepatuhannya itu, ia merelakan kesenangan,
kebanggaan, kenikmatan duniawi, kekayaan, dan segala yang dimilikinya untuk berbakti
kepada Allah. Dalam cerpen ini, pengorbanan tokoh batu itu disimbolkan dengan anak-
anaknya sebanyak tujuh puluh orang gugur sebagai pahlawan dalam peperangan.
Kepatuhannya ini, dalam pengertian sufi (Schimmel, 1986:140) mewujud dalam
penyerahan diri sepenuhnya menerima kehendak Sang Kekasih baik dalam bentuk
keramahan, maupun kemarahan. Cintanya tidak berkurang karena kekejaman dan tidak
bertambah karena keramahan. Bagi pecinta, sakit dan maut disambut gembira, asalkan
Kekasih yang memerintahkannya.
Dalam konsep tasawuf, kematian berarti leburnya sifat-sifat individual,
tersingkapnya penutup yang memisahkan Kekasih yang Khalik dan pecinta yang
makhluk. Al-Ghazali (dikutip Schimmel, 1986:140) mengatakan bahwa tidak ada
kebaikan dalam cinta tanpa kematian. Kematian diartikan sebagai pelepasan sifat-sifat
pribadi seseorang. Di kalangan para sufi hal ini dikenal dengan istilah mati sebelum mati,
yang memungkinkan mereka memikirkan dampak hilangnya sifat-sifat rendah yang
mengakibatkan kebangkitan spiritual pada waktu masih hidup di dunia. Istilah ini juga
dikemukakan oleh Hamzah Fansuri (dikutip Zoetmulder, 1990:206). Di dalam mistik
Jawa, hal ini dikenal dengan istilah mati sajro ning urip (mati di tengah-tengah
kehidupan), yang diartikan sebagai penyiksaan badan, dengan mengekang hawa nafsu
dan menjauhkan diri dari kenikmatan, serta melakukan kebajikan (Zoetmulder,
1990:205).
Perubahan wujud tokoh ibu menjadi batu dalam cerpen “Dinding Waktu” ini,
tampaknya mengacu pada istilah mati sebelum mati, dalam konsep tasawuf. Hal ini
tampak dari pengakuan tokoh batu ketika diwawancarai para wartawan seperti kutipan
berikut.
…. Hanya dengan menjelma batu, saya jadi beku terhadap apa saja yang
pernah saya kenal. Senjata apa saja sekarang ini sudah tidak mampu lagi membuat
saya jatuh sedih. Suasana, ruang, waktu, sudah musnah. Semuanya menjadi tidak
ada (Danarto, 1996:63).

Dengan leburnya pecinta, dalam hal ini tokoh batu, ke dalam cinta Ilahi,
menjadikan ia tidak pernah lagi memikirkan penderitaan. Keadaan seperti ini
diungkapkan oleh Hujwiri sebagaimana dikutip Schimmel (1986:136) berikut ini.
Adalah kebiasaan Tuhan untuk selalu menampakkan diri kepada hati
orang yang mencintainya, agar supaya kebahagiaan yang ditimbulkannya
menguatkan mereka untuk menahan segala penderitaan; lalu mereka berkata
dalam doa: Bagi kami semua siksaan lebih diinginkan daripada bila kami tertutup
dari Engkau. Jika keindahan-Mu terungkap di hati kami, penderitaan tidak kami
pikirkan.

Peperangan dalam cerpen “Dinding Waktu” ini dapat diinterpretasikan sebagai


kehidupan di dunia ini yang penuh dengan benturan atau pertarungan antara kebaikan dan
keburukan, kejujuran dan kecurangan, kebahagiaan dan kesedihan, hak dan kewajiban.
Tokoh aku telah memenangkan peperangan itu dengan mengubah wujudnya menjadi batu
atau mati sebelum mati, walaupun ia diprotes oleh para penikmat kehidupan. Para
penikmat kehidupan itu dalam cerpen ini dimetaforkan dengan para penonton perang. Hal
ini memperlihatkan nada penentangan para penonton perang itu terhadap sikap tokoh
batu. Protes para penonton perang itu dapat dilihat dari kutipan berikut.
“Ibu batu itu tidak sportif!” Teriak salah satu penonton.
“Dia harus dikenai kartu merah!”
“Dia penonton berbahaya. Dia memusnahkan tubuhnya supaya mudah
menuju kekekalan, untuk menjadi pemenang abadi,” teriak yang lain.
Kami berlarian terus meninggalkan batu-batu itu, diantara gelegar dan
desingan (Danarto, 1996:63).

Keadaan atau peristiwa leburnya sang pencipta atau makhluk dengan yang
dicintainya atau Khalik, dalam tasawuf diistilahkan dengan fana (Schimmel, 1986:134).
Fana ini selalu diikuti oleh baka, yaitu ‘kelestarian, tinggal di dalam Tuhan’. Maksudnya
pecinta yang telah mencapai fana itu merasakan kelestariannya di dalam Tuhan. Bila
diperhatikan kutipan di atas, tampaknya tokoh batu telah mencapai fana dan baka ini.
Dikatakan demikian, karena ia telah mencapai peleburan diri itu dengan Tuhan melalui
cintanya kepada Tuhan yang menyebabkan ia melepaskan sifat-sifat pribadi dan
kebahagiaannya, untuk mengantarkannya kepda kekasihnya (Tuhan). Dalam cerpen ini
dilambangkan dengan ibu itu menjadi batu. Fana ini juga diikuti oleh baka. Hal ini
diperlihatkan oleh kutipan di atas.
Selain itu, perubahan wujud Ibu menjadi batu dalam cerpen “Dinding Waktu” ini
dapat diinterpretasikan sebagai kematian lahiriah. Di dalam tradisi sufi, kematian lahiriah
atau kematian yang sesungguhnya juga merupakan tujuan tersendiri. Mengenai hal ini ,
al-Ghazali (dikutip Schimmel, 1986:140—141) mengemukakan, “Pencinta yang sudah
belajar menerima kematian sebagai jembatan kepada yang dicintai seharusnya
menyerahkan nyawanya dengan senyum seperti bunga mawar”. Itulah sebabnya, al-
Hallaj, salah seorang sufi penganut paham wahdat al-wujud, menari-nari dengan tangan
terbelenggu ketika dibawa untuk menjalani hukuman mati.
Tokoh batu yang merasa lebih bahagia dengan perubahan wujudnya itu dapat juga
diartikan sebagai kematian lahiriah ini. Dengan kematian itu, ia merasa lebih bahagia
karena telah berjumpa dengan Tuhan. Tampaknya, judul cerpen ini menggambarkan
bagaimana seorang yang telah mencapai fana dan baka atau orang mati sebelum mati,
atau orang mati fisik itu merasakan bahwa ia tidak lagi merasakan jarak dan waktu yang
membatasinya.
3) Latar Belakang Perilaku Sufistik
Berdasarkan uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam
cerpen “Dinding Waktu” ini, terlihat bahwa tokoh ibu yang akhirnya berubah menjadi
batu, melakukan perilaku sufistik adalah karena cintanya kepada Tuhan. Kecintaannya ini
diwujudkan dalam bentuk ketaatan atau kepatuhannya yang tinggi kepada Tuhan. Ia telah
mengaorbankan segala kesenangan, kebanggaan, kebahagiaan, dan miliknya untuk
berbakti kepada Allah. Dalam cerpen ini, segala kebahagiaan dan kesenangan itu
dilambangkan dengan gugurnya ketujuh puluh orang anaknya di medan perang yang
berlangsung selama seribu tahun. Ketaatan atau kepatuhannya yang tinggi ini akhirnya
membawanya pada kepasrahan menerima segala ketentuan yang diberikan Allah
kepadanya, baik ketentuan itu berupa kebahagiaan atau penderitaan. Semua itu tidak
menyebabkan kecintaannya kepada Tuhan bertambah atau berkurang. Akhirnya leburlah
tokoh batu dalam cintanya kepada Tuhan, sehingga ia telah menanggalkan
keindividualannya menuju keilahian. Hal ini dalam tasawuf diistilahkan dengan mati
sebelum mati. Dalam cerpen ini dilambangkan dengan perubahan wujud tokoh Ibu
menjadi batu. Peristiwa ini dapat diinterpretasikan sebagai kematian lahiriah, karena
kematian lahiriah juga adalah hal yang membahagiakan para sufi karena mereka akan
bertemu dengan kekasihnya. Baik dalam pengertian mati sebelum mati, maupun dalam
pengertian mati lahiriah, ternyata bahwa keduanya menjadikan tokoh batu merasakan
kebahagiaanya. Dengan demikian, hal yang melatarbelakangi tokoh batu melakukan
perilaku ketasawufan dalam cerpen ini adalah cintanya kepada Allah, sehingga ia
merelakan segala yang dimilikinya untuk mengabdi kepada yang dicintainya. Karena
cintanya kepada Allah itulah yang mengantarkannya pada tahap fana dan baka.

2.2.6 Kepemimpinan Dilandasi Cinta Berbuah Kebijakan Berpihak pada Rakyat


1) Sinopsis Cerpen “Gaharu”
Pangeran Muda bersama para ulama pendampingnya, menyaksikan atrasksi
kesenian yang digelar oleh sekelompok katak, di sebuah taman yang indah. Pangeran
Muda hampir bahagia karena ia mendengar seakan-akan nyanyian itu menyebut-nyebut
namanya dan ia juga seperti melihat nyanyian itu. Ia berterima kasih atas penghormatan
itu dan penghormatan lainya dari mahluk yang lain. Para penonton menyaksikan
pertunjukkan itu penuh khidmat, sehingga mereka hampir lupa bahwa pendukung
pementasan seni itu adalah binatang-binatang yang sering diusir dari kolam. Mereka
betul-betul menikmati atraksi itu.
Kerajaan itu selalu membicarakan hal-hal yang sedang dihadapi rakyatnya dan
memberi fatwa untuk menghadapi masalah itu. Fatwa ini juga diterima oleh negara-
negara tetangga karena fatwa itu selalu dilandasi oleh kearifan dan kasih sayang
Pangeran. Oleh sebab itu, sang Pangeran menjadi incaran negara-negara lain untuk
memimpin negara mereka. Walaupun kerajaan Pangeran itu tidak memiliki angkatan
perang, mereka selalu selamat dari serbuan angkatan perang negara yang mengincarnya
itu.
Ketika Pangeran tiba-tiba lenyap, timbul keinginan angkatan perang negara-
negara tetangga untuk ikut mencari Pangeran kerajaan itu. Kalaulah semasa ada
Pangeran, rakyat kerajaan itu patuh untuk tidak balas menyerang setiap kali ada serbuan
negara asing, ketika Pangeran tidak ada lagi mereka tidak bisa mengendalikan diri.
Mereka menyerang tanpa senjata sehingga pasukan perang negara asing itu menyingkir
dengan malu. Di lain pihak, semenjak kepergian Pangeran, seluruh rakyat dan pada
ulama kerajaan itu tidak bergairah lagi. Semua sektor kehidupan merosot, termasuk moral
rakyatnya.
Pencarian Pangeran, yang diduga diculik ke dalam hutan, terus dilakukan
sehingga hutan menjadi porak-poranda dan rongsokan senjata perang berserakan. Timbul
inisiatif pohon besar di hutan balik menyerang negara asing itu. Melalui angin dan izin
Tuhan, dikirimnyalah seikat ilalang ke negara yang paling mengincar Pangeran, sehingga
semua angkatan perang dan baju tentara negara itu ditumbuhi ilalang. Dengan demikian,
negara itu terkalahkan. Pasukan ilalang itu setelah kembali ke kerajaan mendapat tugas
mencari Pangeran. Sementara para ulama merasa sedih dan meninggalkan istana.
Tinggallah kerajaan itu tanpa pemimpin.

2) Perilaku Sufistik
Perilaku Sufistik tokoh yang terdapat di dalam cerpen “Gaharu” ini tampak
dilakukan oleh tokoh Pangeran Muda. Perilaku sufistik yang dilakukan itu berhubungan
dengan makam cinta, yang merupakan makam tertinggi dalam tarikat. Oleh sebab itu,
jika seseorang telah mencapai makam ini, tentu saja ia telah melampaui makam-makam
sebelumnya seperti tobat, sabar, zuhud, wara, dan tawakal. Demikian juga halnya
Pangeran Muda dalam cerpen ini. Karena ia telah mencapai makam cintai, tentu saja ia
telah melampaui makam-makam sebelumnya.
Cinta dan kasih sayang yang dilakukan oleh Pangeran Muda tampak dari
perilakunya yang penuh kasih sayang kepada rakyatnya. Bahkan, Pangeran Muda juga
memperlakukan makhluk lainnya dengan kasih sayangnya. Hal ini terlihat dari penuturan
narrator dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan” serbatahu berikut, yang
sekaligus memperlihatkan nada simpati kepada Pangeran.
…. Taman yang indah itu ada dengan sendirinya, sebagai ungkapan terima
kasih alam kepada Pangeran Muda yang selalu menebarkan kasih sayang kepada
rakyatnya. Pohon-pohonnya menghasilkan buah-buah lezat, pohon yang tahu
berterima kasih, yang sering mendapatkan perawatan langsung dari tangan
Pangeran sendiri (Danarto, 1996:85).

Cinta dan kasih sayang Pangeran sangat mewarnai kepemimpinannya. Ia selalu


tanggap menghadapi segala masalah yang sedang berkembang di lingkungan
kerajaannya. Oleh sebab itu, setiap kali ada masalah yang sedang berkembang, para
ulama selalu mendiskusikannya dan hasilnya berupa fatwa yang amat berguna bukan saja
bagi rakyat kerajaan itu, tetapi juga bagi rakyat negara-negara tetangganya. Mereka
menerima fatwa itu dengan senang hati karena pemerintahan kerajaan itu dilandasi kasih
sayang Pangeran Muda. Keadaan ini terlihat dari kutipan berikut.
Sehabis menyaksikan peristiwa yang unik atau penting, maupun peristiwa-
peristiwa yang hanya berdasarkan laporan rakyat, biasanya para ulama lalu
bertemu untuk berbincang-bincang kalau-kalau ada hal yang dapat didiskusikan.
Sering dari pertemuan itu lalu diumumkan suatu fatwa yang menyangkut
kepentingan orang banyak berdasarkan peristiwa yang baru dialami. Itulah tugas
alim ulama, dan fatwa itu menjangkau ke negara-negara lain. Mereka dapat
menerima fatwa itu dengan senang hati, mengingat kerajaan Pangeran Muda
merupakan kerajaan belas kasih yang pemerintahannya berdasarkan kasih sayang.
Pangeran hidup sendirian, sehingga ia lebih mirip pertapa daripada seorang raja.
Ia dipanggil Pangeran, itulah nama sebutannya, tak lebih dan tak kurang. Kerajaan
tak memiliki angkatan perang (Danarto, 1996:88).

Kutipan di atas juga memperlihatkan nada simpati terhadap tindakan yang


dilakukan tokoh Pangeran. Kepemimpinan Pangeran yang berlandaskan kasih sayang ini
akhirnya menyebar ke negara-negara lain. Itulah sebabnya kerajaan Pangeran yang tidak
memiliki angkatan perang itu selalu diserbu oleh angkatan perang negara lain. Mereka
ingin meculik Pangeran untuk memimpin negara mereka. Walaupun demikian, mereka
selalu gagal karena sebelum memasuki balairung mereka berhadapan dengan angkatan
perang lain yang juga menginginkan Pangeran. Kedua bala tentara itu sama-sama
musnah.
Sikap Pangeran yang demikian, dilandasi oleh makam tawakal, dalam arti
berserah diri secara total kepada Allah (Ensiklopedi Islam, 1994:125). Al-Ghazali
(1998:142) mengemukakan bahwa keadaan spiritual yang tumbuh dari sikap tawakal ini
adalah “ketenangan dan penyandaran kalbu kepada Allah Swt.” Bahkan para sufi,
misalnya saja Zunnun, (dikutip Schimmel, 1986:121) menggambarkan tawakal sebagai
“kepastian sepenuhnya”. Maksudnya, Tuhan dalam kemutlakan-Nya adalah satu-satunya
pelaku; karena itu manusia harus sepenuhnya mengandalkan Dia. Atau dengan kata lain,
kekuatan Ilahi mencakup segalanya dan manusia percaya penuh kepada kekuatan-Nya.
Tampaknya, gambaran tawakal inilah yang melandasi sikap Pangeran yang tidak
memerlukan angkatan perang. Ia yakin sepenuhnya bahwa Tuhan adalah satu-satunya
pelaku sehingga ia sepenuhnya mengandalkan kekuatan-Nya itu. Berkali-kali
kerajaannya diserbu pasukan negara lain, tetapi kerjaannya selalu menang tanpa
perlawanan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
Karena itulah kerajaan sering diserang oleh negara-negara tetangga.
Mereka tidak ingin menjajah atau merampok, tetapi hanya menginginkan
Pangeran. Setiap kali pasukan musuh memasuki balairung kerajaan untuk
menangkap Pangeran, pasukan musuh yang lain juga sedang mencari Pangeran,
menyerangnya. Pertempuran terjadi di balairung itu. Sampyuh. Kedua pasukan itu
mati semua. Tak seorang pun selamat dan meloloskan diri. Begitulah, kejadian itu
selalu berulang kembali. Atau secara diam-diam, suatu pasukan khusus yang
terdiri dari tiga atau lima orang, menyelinap masuk ke kerajaan. Tujuan mereka
sama. Tetapi pasukan istimewa ini tetap tidak mampu menemukan Pangeran.
Entah Pangeran bersembunyi di mana (Danarto, 1996:88—89).

Ketawakalan dalam cerpen “Gaharu” ini juga tampak dilakukan oleh pohon-
pohon dan ilalang yang ada di hutan. Ketawakalan ini tampak setelah mereka
merencanakan penyerangan balik terhadap negara-negara penyerang yang telah
memporak-porandakan kelestarian hutan. Yang ditugasi melakukan penyerangan itu
adalah ilalang, bukan gajah atau harimau. Hal ini dilakukan mengingat gajah atau
harimau mudah tertembak, sedangkan ilalang tidak. Dialog antara pohon dan ilalang
berikut ini memperlihatkan hal itu.
Ketika pagi belum terang tanah, seikat ilalang dicabut oleh sebatang pohon
besar dari tanah tempat tumbuhnya. Pohon dan ilalang yang lain terpana.
“Jika Tuhan mungkin mengizinkan, jadilah kamu, sahabatku, mengemban
tugas yang sebenarnya musykil untuk dapat dikerjakan, melawan bala tentara yang
gemar menyerang negeri kita,” bisik pohon besar kepada seikat ilalang itu.
“Jika Tuhan memang mengizinkan, doamu dikabulkan, sahabatku, jadilah
aku senjata yang mengalahkan mereka,” balas seikat ilalang itu.
Pohon dan ilalang yang lain terpana. Udara pagi menghantarkan
kesejukan. Sinar matahari mulai membuka kabut. Pohon-pohon mulai
menghadiahkan bayang (Danarto, 1996:93).
Kutipan di atas juga memperlihatkan nada simpati dan kagum narator terhadap
ketawakalan yang dilakukan oleh makhluk tumbuhan ini. Usaha yang disertai
ketawakalan ini mendatangkan hasil yang memuaskan. Melalui perantaraan angin,
ilalang itu tiba di negeri yang paling mengincar Pangeran. Mereka tumbuh dengan amat
subur sehingga negeri itu dipenuhi ilalang bagaikan kota yang tidak berpenghuni. Mereka
juga tumbuh di semua peralatan perang milik negeri itu. Bahkan, mereka menumbuhi
pakaian para tentaranya sehingga negeri itu dapat ditaklukkan. Negeri-negeri lain pun
ditaklukkan dengan cara seperti ini. Dengan demikian, kemenangan ada di pihak kerajaan
Pangeran. Hal ini juga memperlihatkan nada simpati narator terhadap ketawakalan yang
dilakukan pohon dan para ilalang itu.
Tampaknya ketawakalan yang dilakukan oleh Pangeran dan yang dilakukan oleh
para pohon dan ilalang memperlihatkan perbedaan. Ketawakalan yang dilakukan oleh
Pangeran merupakan ketawakalan yang tergolong keras sebagaimana yang diseringkali
dipraktikkan oleh sufi pada masa awal. Tawakal dimaknai sebagai meyakini tauhid. Di
satu sisi, takut, dianggap menggantungkan diri pada sesuatu makhluk, berarti syirik khafi
‘mempersekutukan Tuhan secara tersembunyi’. Dalam psikologi sufi, tawakal merupakan
salah satu kebenaran asasi. Apabila setiap perasaan dan pikiran ditujukan kepada Tuhan
dalam ketulusan yang sempurna tanpa pamrih tambahan, tak ada manusia atau binatang
yang dapat melukai sufi. Dengan demikian, tawakal menghasilkan ketentraman batin
yang sempurna (Schimmel, 1986:123).
Dalam cerpen “Gaharu” ini, Pangeran mempraktikkan ketawakalan yang
tergolong keras. Ia yakin sekali bahwa Allah akan melindunginya, rakyatnya, dan
kerajaannya sehingga ia tidak memerlukan angkatan perang. Ketawakalannya itu
menjadikan tidak satu pun negara yang menginginkannya berhasil menangkapnya.
Mereka musnah sesama mereka sebelum sempat memasuki gerbang istana.
Ketawakalan yang dipraktikkan oleh pohon-pohon dan ilalang merupakan
ketawakalan yang sering dipraktikkan oleh sufi moderat. Ketawakalan ini lebih sesuai
dengan hadis Nabi Muhammad Saw. ketika beliau menasihati seorang Badui berikut.
“Pertama-tama ikatlah dulu lutut ontamu, kemudian percayakanlah kepada Tuhan”
(Dikutip Schimmel, 1986:123). Dengan demikian, sebelum menyerahkan kepada Allah,
manusia hendaklah melakukan usaha terlebih dahulu. Dalam hubungannya dengan cerpen
“Gaharu” ini, pohon melakukan usaha berupa pengutusan bala tentara ilalang berikut.
Pohon-pohon besar lalu menyatukan rasa, memusatkan pikiran,
mengerahkan tenaga untuk menghimpun angin. Setelah setiap sayap angin dapat
dikumpulkan, lalu ditaruh di sebuah palung yang menganga di angkasa. Begitu
sudah cukup kekuatannya, pohon-pohon besar itu lalu berputar-putar
menghembuskan angin dari palung ke arah seikat ilalang itu hingga terbuncang
jauh, sangat jauh, menuju negera-negara yang akan diserangnya. Seikat ilalang itu
melayang dengan kecepatan penuh sebagai diterbangkan angin Nabi Sulaiman.
Melewati gundukan-gundukan awan yang merupakan patung-patung angkasa
yang selalu berubah bentuknya yang terpancang tak habis-habisnya, seikat ilalang
itu merasakan adanya suatu tanah yang subur, ingin rasanya tumbuh dan
mengembang di situ. Tapi angin memberi tahu bahwa gumpalan awan adalah
sejenis gumpalan angin yang tak terpegang oleh siapa pun. Seikat ilalang itu
akhirnya jatuh dalam kawasan salah satu negera yang sangat mengincar
Pangerannya (Danarto, 1996:94).

Usaha pengerahan bala tentara ilalang ini disertai penyerahan kepada izin Allah.
Baik pohon maupun ilalang, berserah kepada kekuasaan dan izin Allah. Hal ini terlihat
dari dialog pohon besar dan ilalang berikut yang menampakkan nada simpati dan kagum
terhadap pohon dan ilalang.
“Jika Tuhan mungkin mengizinkan, jadilah kamu, sahabatku, mengemban
tugas yang sebenarnya musykil untuk dapat dikerjakan, melawan bala tentara yang
gemar menyerang negeri kita,” bisik pohon besar kepada seikat ilalang itu.
“Jika Tuhan memang mengizinkan, doamu dikabulkan, sahabatku, jadilah
aku senjata yang mengalahkan mereka,” balas seikat ilalang itu (Danarto,
1996:91).

Baik pohon maupun ilalang dalam cerpen “Gaharu” ini tidak hanya
mengandalkan ketawakalan semata atau mengandalkan usaha semata, melainkan
menggabungkan kedua usaha itu. Ketawakalan secamam ini juga mendapat balasan dari
Allah berupa keberhasilan mereka mengalahkan negara yang sering menyerang mereka,
walaupun keadaan mereka tidak mendukung.
Tokoh Pangeran dalam cerpen “Gaharu” ini mengingatkan orang pada kisah sufi
masa silam, yaitu Ibrahim bin Adham. Sufi satu ini sering disamakan dengan Budha,
dalam hal keduanya sama-sama seorang raja yang hidup penuh dengan kegemerlapan,
lalu meninggalkannya. Salah satu versi cerita Ibrahim bin Adham dikemukakan
Goldziher (dikutip Syukur, 1997:73) seperti berikut.
Suatu ketika para penjaga istana Ibrahim bin Adham mendengar suara gaduh dan
gemuruh di atas atap istana. Ternyata mereka sedang mencari ontanya yang hilang. Para
penjaga istana itu membawa mereka ke hadapan Ibrahim. Ketika mereka ditanya Ibrahim
tentang kemungkinan terjadinya onta lari ke atas atap, mereka menjawab bahwa mereka
sekedar mengikuti apa yang dilakukan Ibrahim, yaitu berusaha mencari atau bertemu
Allah dengan cara duduk di singgasana. “Adakah orang yang seperti itu bisa
mendekatkan diri kepada Allah?” pencari onta itu balik bertanya. Sejak peristiwa itu,
Ibrahim lari dari istananya dan tidak ada seorang pun yang melihatnya kembali.
Versi lain mengisahkan bahwa pada suatu hari Ibrahim bin Adham berburu ke
hutan. Ketika ia mengejar seekor rusa, tiba-tiba ia terpisah dari teman-temannya. Sewaktu
kijang itu dekat dengannya, hati nuraninya bertanya, “Adakah untuk ini kau diciptakan di
alam ini?” Pertanyaan ini menyadarkannya sehingga ia bertobat dan hidup menyendiri. Ia
akhirnya mencari makan dari tangannya sendiri.
Dari kedua jalan cerita itu, tampak adanya kemiripan jalan hidup yang ditempuh
Pangeran Muda dengan Ibrahim bin Adham. Kelenyapan Pangeran yang tiba-tiba itu
terjadi tidak lama setelah ia menyaksikan atraksi seni yang disajikan oleh para katak.
Pementasan seni itu dilakukan oleh para katak sebagai ungkapan terima kasih mereka
terhadap kebijaksanaan Pangeran dalam memimpin kerajaannya. Pangeran beserta para
ulama yang mendampinginya betul-betul menikmati sajian itu sehingga mereka tidak
ingat bahwa katak-katak yang sedang mengucapkan terima kasih kepada mereka itu
adalah katak-katak yang sering mereka usir dari kolam. Pangeran bahkan seakan
mendengar para kata itu memujinya. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.
Gerombolan katak yang jumlahnya lebih dari seribu itu lalu
mendengungkan nyanyiannya, nyaring, dengan bentuk yang kelihatan bulat.
Nyanyian itu mirip dengan bunyi-bunyian perkusi, sambung-menyambung, saling
meloncat-loncat, saling tubruk, lalu menyambar satu-satu. Satu suara yang jernih,
orisinil, dan memikat. Air kolam seperti merekam nyanyian itu, lalu
menyiarkannya ke angkasa, melintasi bulan dan mengembalikanya ke permukaan
bumi. Dan gaung nyanyian itu seperti mengembang di atas permukaan kolam.
Pangeran itu menjulurkan tangannya ke arah kolam seakan-akan mau meraba
tebaran gaung nyanyian itu.
“Sepertinya saya melihat nyanyian itu,” gumamnya. Ia tampak tenang.
Hampir-hampir bahagia. Tampak pada raut mukanya rasa berterima kasih yang
dalam. Selama ini ada saja makhluk-makhluk dari berbagai jenis yang
memberikan apa-apa yang mereka anggap baik bagi Pangeran, sebagai
kekaguman dan penghormatan. Gerombolan burung, gerombolan kera, tak kurang
dari mencericit, menceroak, seperti suara-suara mereka di kebun binatang,
memberikan warna berbeda yang kesemuanya itu mengagumkan.
Pangeran Muda dan para ulama itu mengikuti jalannya pementasan para
katak dengan penuh khidmat. Mereka hampir-hampir tidak melihat bahwa yang
dihadapi adalah segerombolan binatang yang sering diusir dari kolam. Pada
puncak pergelaran itu, seluruh katak itu berloncatan kian kemari, menganga
mengatup mulutnya.
king
kong kong
k k k
kung kong i kung kong i kung kong i
king n n n
kong kong g kong kong g g kong
n n n
u u u
k k k
o o o
n n n
g king king king
n a n a n a
o n o n o n
kung kung kung
kong ki ng kang
kang kung kong kung
kung kong king kang kong
king kung kang king
kong
u n
n i
kang kung
(Danarto, 1996:86—87).
Tampaknya, atraksi kesenian yang disajikan para katak itu menimbulkan konflik
batin di hati Pangeran, yang akhirnya menyadarkan ia, sebagaimana sadarnya Ibrahim bin
Adham. Pangeran sadar akan kebesaran jiwa para katak, walaupun sering diusir dari
kolam istana, mereka tetap mengabdi kepada sang Pangeran dengan nyanyian pujian
kepadanya. Pujian itu juga datang dari para makhluk lainya. Menurut Ibrahim bin Adham
(dikutip Syukur, 1997:79) pujian merupakan salah satu sebab tertutupnya hati nurani
seseorang. Semua itu membawa Pangeran pada renungan tentang keadaannya yang hidup
serba gemerlapan, sedang makhluk di sekelilingnya ada yang menderita, bahkan
penderitaan itu disebabkan oleh kebijakannya, misalnya terusirnya para katak.
Konvigurasi para katak sewaktu menyanyi juga ikut menyadarkannya.
Konvifurasi itu, tampak seperti terdiri dari dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian
bawah. Bagian atas, seperti bentuk binatang sedakan bagian bawahnya tampak seperti
bentuk mahkota. Bentuk mahkota yang berada di bawah bentuk binatang dapat dimaknai
sebagai keadaan yang dialami oleh Pangeran. Sesungguhnya kehidupannya yang penuh
kekuasaan dan kegemarlapan itu tidak lebih baik daripada kehidupan para katak,
walaupun tersisih dapat menikmati dan merasakan syukur yang dalam kepada rajanya.
Renungan-renungan inilah tampaknya yang menyebabkan kesadaran spiritualnya
sehingga akhirnya ia meninggalkan istananya dengan segala kemewahannya itu.
Tokoh Pangeran yang akhirnya meninggalkan segala kemewahan hidupnya
sebagai raja itu, di dalam dunia tasawuf diistilahkan dengan zuhud. Perlakukan para sufi
tidak sama terhadap kezuhudan ini. Akan tetapi, para sufi sama-sama menekankan
pentingnya makam zuhud ini. Kezuhudan yang ditempuh Pangeran ini, tampaknya
dilandasi anggapan seperti yang dikemukakan oleh sufi, Hasan al-Basri, (dalam
Ensiklopedi Islam, 1994:125) agar memperlakukan dunia sebagai jembatan untuk dilalui,
jangan membangun apa-apa di atasnya. Menurutnya dunia ini hendaknya dijauhi karena
ia bagaikan ular, lembut bila dielus dengan tangan, tetapi racunnya mematikan.
Menghadapi dunia hendaklah berhati-hati kerena ia penuh kebohongan dan kepalsuan.
Sebagian sufi, terutama sufi klasik, menganggap bahwa dunia dan segala kehidupan
materinya merupakan sumber kemaksiatan dan penyebab terjadinya perbuatan-perbuatan
yang mendatangkan dosa. Dengan demikian, ia menjadi penghalang untuk sampai kepada
Allah.
Tokoh Pangeran dalam cerpern “Gaharu” ini dapat juga diinterpretasikan sebagai
sosok pemimpin yang melandasi kepemimpinannya dengan kasih sayang (cinta).
Kepemimpinannya yang dilandasi rasa cinta dan kasih sayang ini menjadikan segala
kebijakan yang diambil oleh sang pemimpin selalu berorientasi pada kepentingan rakyat
banyak, bukan berorientasi pada kepentingan dirinya sendiri. Oleh sebab itu, setiap
kebijakan yang dikeluarkan oleh para pemimpin itu akan diterima dengan senang hati,
bukan saja oleh rakyatnya tetapi juga oleh masyarakat dunia atau internasional. Hal ini
tergambar dari penuturan narator dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan”
berikut.
…. Dan fatwa itu menjangkau ke negara-negara lain. Mereka dapat
menerima fatwa itu dengan senang hati mengingat kerajaan Pangeran merupakan
kerajaan belas kasih, yang pemerintahannya berdasarkan kebijaksanaan kasih
sayang. Pangeran hidup sendirian, sehingga ia lebih mirip pertapa daripada
seorang raja. Ia dipanggil Pangeran, itulah nama sebutannya, tak lebih dan tak
kurang (Danarto, 1996:88).

Kutipan di atas mermperlihatkan nada simpati narator kepada Pangeran. Selain


itu, kepemimpinan yang dilandasi rasa cinta dan kasih sayang dalam cerpen “Gaharu” ini
tampak mendatangkan kebahagiaan bagi seluruh rakyat dan rasa syukur kepada
pemimpinnya. Hal ini menjadikan pemimpin itu lebih dihormati dan disayangi rakyatnya.
Ungkapan terima kasih para rakyat ini dimetaforkan dengan atraksi seni dari para katak
dan suara makhluk-makhluk lainnya, serperti kera dan para burung.
Lebih jauh lagi, tokoh Pangeran dalam cerpen “Gaharu” ini dapat
diinterpretasikan sebagai nilai-nilai keilahian itu sendiri. Nilai keilahian dimaksud adalah
nilai-nilai sebagaimana yang terdapat di dalam nama-nama Allah. Hal ini tampak dari
perubahan sudut pandang pengarang “diaan” sebagai observer, menjadi sudut pandang
akuan (jamak) yaitu kami berkut.
Degup jantung hutan itu seperti kedengaran sampai istana, o, rimba yang
mendekap Pangeran, menyibaklah, kembalikan ia kepada kami. Atau kami bakal
terpanggang senyap oleh lebat daunmu, tanpa tahu jalan, tanpa ada yang bisa
ditanyai.
Setiap cabang, ranting, memiliki rahasianya sendiri yang harus ditebak
dengan cara-cara yang khusus, daun yang gugur menorehkan tinta di Lauhul
Mahfud, dan tiap tetes hujan disertai satu malaikat. Pangeran maafkan kami jika
menghilangmu karena kemarahanmu melihat sepak terjang kami. Di manakah
bisa kami temui jika memang engkau bersembunyi bukan karena maumu.
Berserulah, supaya gaung suaramu dapat kami tangkap (Danarto, 1996:91).

Kutipan di atas juga memperlihatkan nada penyesalan terhadap lenyapnya


Pangeran. Nilai-nilai keilahian yang tampak dalam cerpen “Gaharu” ini adalah ar-
Rahman (Maha Pengasih) dan ar-Rahim (Maha Penyayang). Selama kedua nilai ini
melandasi kehidupan di dunia ini, segala penghuni alam hidup dalam keseimbangan dan
penuh kasih sayang serta rasa syukur. Di dalam cerpen ini, hal ini terlihat dari
keseimbangan kasih antara pohon dan Pangeran. Pohon-pohon yang telah dirawat oleh
Pangeran dengan kasih sayang, memberikan buah-buahnya yang lezat sebagai ungkapan
terima kasih atas kasih sayang yang telah diberikan Pangeran kepada mereka (Danarto,
1996:85). Mahluk yang lain pun, seperti burung-burung dan para kera juga merasakan
kasih sayang Pangeran dengan pernyataan syukur mereka berupa suara mereka yang
memberikan keindahan di kerajaan itu (Danarto, 1996:86). Begitu juga halnya dengan
rakyat kerjaan itu. Mereka selalu menerima segala kebijakan yang diambil oleh Pangeran
dengan senang hati karena kebijakan itu selalu berpihak pada kepentingan meraka.
Kebijakan ini dilandasi rasa kasih dan sayang Pangeran terhadap rakyatnya. Karena
kebijakan bersifat universal, maka ia diterima juga oleh negara-negara tetangga kerajaan
itu (Danarto, 1996:88). Bahkan, nilai-nilai kasih sayang itu mampu menghindarkan
kekuatan-kekuatan musuh yang datang dari luar. Mereka semuanya musnah tanpa
perlawanan dari pihak Pangeran (Danarto, 1996:88—89).
Akan tetapi, ketika nilai-nilai keilahian itu lenyap, tidak dijadikan sebagai
pedoman di dalam kehidupan, segala tatanan kehidupan di kerajaan itu pun menjadi tidak
seimbang. Ketidakseimbangan ini terlihat dari kutipan berikut.
Kerajaan yang ditinggalkan Pangeran itu jadi tidak memikat. Rakyatnya
tidak bergairah lagi mencari nafkah. Para ulamanya dirundung kesedihan.
Perdagangan merosot. Saling pengertian antar manusia menjadi susut. Moral jadi
barang yang disamarkan. Tanah pertanian menjadi tak terurus. Perindustrian
macet. Keluarga-keluarga saling bertengkar. Ini semua mengakibatkan seluruh
sektor kehidupan jadi kehilangan pegangan. Alam sepertinya juga tak membatu.
Pangeran yang diperkirakan diculik ke hutan, rasanya pohon-pohon bertambah
lebat. Binatang-binatang yang hidup di dalamnya jadi ganas, yang menyebabkan
tak seorang pun berani merambah ke dalam hutan. Sekali lagi inilah kesempatan
bagi negara tetangga untuk menangkap Pangeran – yang menurut undang-undang
mereka sendiri secara sah Pangeran diburu oleh siapa pun itu – menurut
keyakinan siapa pun – sangat berguna bagi negara yang memilikinya, karena jiwa
Pangeran mampu mengayomi negara dan bangsa (Danarto, 1996:91).

Kutipan di atas juga memperlihatkan nada simpati penutur cerita kepada


Pangeran. Pencarian terhadap Pangeran yang hilang, yang tidak hanya dilakukan oleh
rakyatnya sendiri tetapi juga dilakukan oleh angkatan perang negara lain, merupakan
metafor pencarian manusia terhadap nilai-nilai keilahian itu. Akan tetapi, cara yang
mereka lakukan bahkan menjauhkan mereka dari nilai-nilai keilahian, bahkan mereka
telah menghancurkan nilai-nilai itu, seperti marusak alam. Hal ini, tampaknya
mengakibatkan pencarian itu tidak kunjung bertemu.
Judul cerpen ini, yaitu “Gaharu” tampaknya, dapat diinterpretasikan bahwa sarana
untuk mendekatkan diri dengan Tuhan itu tidak lain adalah melakukan tindakan yang
mengandung nilai-nilai keilahian. Dikatakan demikian, karena baik di dalam tradisi Jawa
maupun di dalam tradisi Melayu, gaharu digunakan sebagai sarana untuk berhubungan
dengan kekuatan gaib atau supranatural.

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik


Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen
“Gaharu” ini, terlihat bahwa ada perbedaan latar belakang tokoh Pangeran melakukan
perilaku sufistik. Ketika ia masih menjadi Pangeran di kerajaannya, tampaknya ia
melakukan perilaku sufistik pada makam cinta dan tawakal, akhirnya ia melakukan
kezuhudan dengan meninggalkan istananya.
Makam cinta yang dilakukan Pangeran terwujud dalam bentuk cinta dan kasih
sayangnya kepada segenap rakyat dan semua makhluk yang ada di kerajaanya. Oleh
sebab itu, semua kebijakan yang diambilnya selalu berorientasi pada kepentingan rakyat.
Hal ini pula yang akhirnya menyebabkan ia menjadi incaran negera-negara tetangganya.
Tampaknya, ini semua dilakukan oleh Pangeran dilatarbelakangi kepercayaan bahwa
jabatan merupakan amanah Allah dan oleh sebab itu, ia harus menjalankan amanah itu
dengan sebaik-baiknya, antara lain ia harus berakhlak sebagaimana akhlak Allah, yaitu
dengan memanifestasikan sifat-sifat Allah. Dalam tasawuf hal ini dikenal dengan istilah
at-Tasybih (Rakhmat, 1991:1). Perilaku Pangeran ini ternyata menjadikan ia dicintai oleh
rakyatnya dan segenap mahluk yang ada di kerajaanya itu.
Ketawakalan yang dilakukan Pangeran, tampaknya dilatarbelakangi oleh
keyakinan yang kuat akan kemahakuasaan Allah. Ia yakin bahwa bila Allah menghendaki
sesuatu, tidak ada seorang pun yang dapat menghalanginya. Demikian juga sebaliknya,
jika Allah tidak menghendaki sesuatu, usaha apa pun yang dilakukan oleh manusia akan
sia-sia saja. Hal itulah yang melandasi kebijakannya yang tidak memiliki angkatan
perang untuk melindungi dirinya dan kerjaannya. Walaupun berkali-kali diserang
angkatan perang negara lain, kerajaannya tetap selamat dan ia juga terhindar dari
penculikan. Dengan demikian, ia berhasil menyelamatkan kerajaannya dari ancaman
bahaya.
Tampaknya, kezuhudan yang dilakukan Pangeran, dilatarbelakangi oleh
kesadaran yang muncul dalam dirinya, bahwa jabatan dan kehidupan yang penuh dengan
kemewahan tidak mungkin dapat mendekatkan dirinya kepada Allah. Oleh sebab itu, ia
meninggalkan kerajaanya dan pergi entah ke mana. Kepergian Pangeran ini tampaknya
menimbulkan kemerosotan kehidupan di kerajaannya, baik secara lahir maupun batin.
Ketawakalan yang dilakukan oleh pohon-pohon besar dan para ilalang,
tampaknya juga dilandasi oleh iman yang kuat akan kemahakuasaan Allah. Dengan sikap
seperti ini, mereka dapat menaklukkan semua negara yang sering menyerang mereka itu.

2.2.7 Isar dan Futuwah Sarana Amar Makruf Nahi Munkar Seniman
1) Sinopsis Cerpen “Balairung”
Ki Ageng Tjiptowiro, seorang dalang terkenal, tiba-tiba ditahan oleh CPM atas
perintah Bupati tanpa diketahui sebabnya. Peristiwa penahanan ini dianggap isteri Pak
Dalang sebagai suatu penghinaan, karena selain tidak berdasarkan prosedur, juga yang
diperintahkan membawa Pak Dalang ke kantor CPM itu adalah keponakan Pak Dalang
sendiri. Oleh sebab itu, ia memaki-maki Bupati ketika ia menjenguk suaminya itu.
Walaupun demikian, Pak Dalang menerima perintah itu dengan rela.
Ketika suatu malam Pak Dalang diinterogasi Bupati, terjadi perdebatan sengit di
antara keduanya. Bupati menganggap Pak Dalang telah menghina Prabu Kresna
melakukan korupsi lewat dialog yang dituturkan oleh Petruk pada pergelaran wayang
pada malam Minggu sebelumnya. Pada malam itu Petruk mengatakan bahwa korupsi
Prabu Kresna paling besar karena ia memegang dua jabatan. Jadi, sebagai raja, ia
melakukan korupsi dan sebagai Batara ia juga melakukan korupsi. Sementara Pak Dalang
mengatakan bahwa Prabu Kresna sendiri tidak tersinggung dengan kata-kata Petruk,
bahkan sang Prabu tertawa terbahak-bahak.
Selama berada dalam tahanan, Pak Dalang tidak pernah mengeluh. Bahkan, ia
merasa risih karena selalu mendapat perlakuan baik dan suguhan makanan dari para PM
itu. Ia akhirnya merencanakan mengadakan pergelaran wayang di kompleks asrama PM
itu. Hasil penjualan tiketnya akan digunakan untuk memperbaiki asrama itu. Hal ini
kembali menyebabkan Pak Bupati marah karena menurutnya seorang tahanan tidak boleh
mendalang. Larangan ini dikemukakannya karena dalang dapat menyebarkan ajaran yang
melawan pemerintah. Sejak peristiwa itu, Bupati asyik mendengarkan rekaman
pergelaran wayang Pak Dalang, sementara Pak Dalang terus mendalang, sehingga
pekerjaan Pak Bupati tak habis-habisnya.

2) Perilaku Sufistik
Perilaku sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Balairung” ini tampak dilakukan
oleh tokoh Pak Dalang. Perilaku sufistik yang tampak dilakukan oleh tokoh Dalang ini
adalah makam rela, sabar, dan zuhud. Al-Harits (dikutip al-Gazali, 1998:147)
mengemukakan bahwa kerelaan adalah “ketenangan kalbu terhadap ketetapan yang
berlaku”. Kerelaan tokoh Dalang ini tampak ketika ia dijemput keponakannya yang CPM
ke tempat tahanan di asrama CPM itu, atas perintah Pak Bupati. Ini menunjukkan betapa
besar marah Pak Bupati, begitu anggapan orang. Sebagai dalang mumpuni, ia tidak
bertanya ini-itu tentang penahanan dirinya. Seperti cara jalannya yang lenggang
kangkung, Pak Dalang kalem saja menapaki lorong asrama CPM itu sambil menjawab
sapaan para PM dan melempar senyum, menjabat tangan, batuk-batuk sedikit, kemudian
masuk dan rebahan di kamar tahanan dengan enaknya (Danarto, 1996:141).
Kerelaan Pak Dalang juga terlihat ketika ia menerima kedatangan keponakannya
yang membawa surat perintah penahanan terhadap dirinya. Ia bahkan menasihati
keponakannya itu dengan mengingatkan tugas dilematis yang diemban Arjuna ketika
menghadapi perang Bharatayudha. Hal ini terlihat dari dialog Pak Dalang dengan
keponakannya berikut.
“Hamba lebih baik dikirim ke medan perang daripada harus mengemban
tugas ini, Pak De” tutur keponakannya kepadanya, ketika prajurit muda itu sudah
dipersilahkan duduk.
“Ananda sudah sering nonton saya mendalang, tentu dapat sedikit-sedikit
mengambil suri tauladan dari para ksatria,” kata Pak Dalang.
“Betul, Pak De.”
“Nah, Nak Mas tentu tidak ragu dalam melaksanakan tugas yang
dibebankan ke pundak Nak Mas,”
“Nah, apalagi yang Nak Mas tunggu?”
“Hamba,” kata keponakannya terbata. “Sungguh berat untuk
mengatakannya, apalagi melaksanakan tugas ini.”
“Apakah tugasmu seberat Arjuna di medan Bharatayudha?”
“O, begitu. Baiklah, katakan saja kalau sangat ringan, lalu limpahkan ke
pundak saya jika berat,”
“Baik, Pak De. Hamba mohon beribu-ribu maaf sebelumnya. Hamba
ditugaskan menjemput dan mengatar Pak De ke asrama CPM,”
“Cuma itu?”
“Hanya itu, Pak De.”
“Oke, Nak Mas. Kita berangkat,”
“Lho, Pak De kok tidak bertanya kenapa?”
“Memang kenapa?”
“Kenapa Pak De tidak bertanya?”
“Kenapa Nak Mas bertanya seperti itu?”
Keponakannya bengong. Pak Dalang menyat dari kursi lalu melangkah ke
pintu ketika keponakannya berkata:
“Mohon maaf, Pak De perlu membawa pakaian dan perlengkapan mandi”
“Baiklah.” (Danarto, 1996:141—142).

Perilaku sufistik yang ditunjukkan Pak Dalang dalam cerpen ini adalah
kesabaran. Kesabaran merupakan tonggak penting dalam tasawuf (Schimmel,
1986:129). Kesabaran merupakan sikap yang tetap tenang walaupun didera oleh cobaan-
cobaan atau musibah. Kesabaran yang dilakukan Pak Dalang ini terlihat ketika ia
menghadapi kemarahan isterinya kepada Pak Bupati ketika menjenguk dirinya di tempat
tahanan. Hal ini terlihat dari kutipan berikut.
…. Dengan sesenggukan Bu Dalang memberi komentar betapa Pak Bupati
mau ngenyek, mengejek, suaminya dengan cara memerintahkan keponakannya
untuk menjemput suaminya. Ini piasu bermata dua, kata Bu Dalang selanjutnya,
dan sama tajamnya. Satu menikam Pak Dalang dan satunya menikam
keponakannya….
…. Pak Dalang mencoba menurunkan suara Bu Dalang, tapi tak berhasil.
Malahan Bu Dalang tambah berkobar-kobar dengan menuduh Pak Bupati
sewenang-wenang. Mengapa tidak diadakan penyelidikan dulu, apa kesalahan
suaminya. Jika sudah ketahuan Pak Dalang bersalah, baru dikenakan tahanan. Itu
pun belum tentu harus ditahan di CPM. Boro-boro ditanya, eee, ini langsung
comot saja, seperti menyiduk garong. Ke mana itu sopan santun…. (Danarto,
1996:143).

Dengan menggunakan sudut pandang “diaan” serba tahu, kutipan di atas


memperlihatkan nada sinis isteri Pak Dalang terhadap Pak Bupati yang melakukan
tindakan yang menyalahi prosedur. Kesabaran Pak Dalang ini bukan saja dalam
menghadapi kemarahan isterinya atas tindakan Bupati, tetapi juga terlihat ketika ia
dituduh Bupati menghina Prabu Kresna, saat Bupati menginterogasinya di dalam tahanan.
Untuk memperkuat tuduhan itu, Bupati memperdengarkan kaset rekaman pergelaran
wayang itu. Salah satu bagian pementasan itu membicarakan korupsi seperti terlihat dari
dialog antartokoh berikut.
“Korupsi adalah minuman yang bikin ketagihan,” ujar Prabu Kresna
sambil menyunggingkan senyuman yang khas. “Tidaklah penting kaya atau
miskin, punya tahta atau rakyat jelata, seseorang akan melakukannya karena ia
ketagihan. Sudah nyandu.”
“Jika demikian halnya, kita yang hadir di sini juga bisa melakukannya,”
kata Prabu Puntadewa.
“Mengapa tidak, Yayi Prabu,” sahut Prabu Kresna.
“Saya belum pernah melakukannya. Dan tak akan pernah melakukannya,”
ujar Bima dengan suaranya yang besar dan mantap.
“Barangkali saya sering melakukannya,” kata Arjuna.
“Seingat saya, sedikit-sedikit saya pernah melakukannya,” kata Nakula
dan Sadewa bersamaan.
“Saya tidak tahu, apakah saya pernah beberapa kali atau berkali-kali
mengerjakan korupsi,” kata Udawa.
“Wah, banyak dan panjang sekali korupsi Patih Udawa,” tukas Petruk.
“Bersungai-sungai korupsinya, waduh-waduh, jangan-jangan sepanjang sungai
yang terpanjang di jagad ini.”
Semua yang hadir tertawa mendengar komentar Petruk. Hanya Setyaki
lalu menjewer kuping Petruk. Yang dijewer menjerit sesaat lalu tertawa. Setyaki
adalah seorang ksatria yang dianggap berkemampuan Bima namun berbadan
kecil, sehingga disebut Bima Kunting. Kresna yang masih tertawa-tawa bertanya
kepada Petruk.
“Bagaimana dengan Petruk sendiri? Pernah kamu korupsi, Truk?”
“Sungguh mati baru kali ini hamba mendengar perkataan korupsi, Yang
Mulia. Andai hamba dulu-dulu sudah kenal perkataan itu, hii, amit-amit jabang
bayi, hamba tentu sering jatuh pingsan karena ketakutan.” Kembali Kresna
tertawa sambil berkata, “Yang paling menarik dari Petruk selalu saja
kesombongannya,”
“Cuma sayang kantongnya kosong,” sela Bima.
“Mbok diisi,” tukas Petruk cepat. “Tahu kantong kosong, kok dibiarkan.
Cepat diisi dong, daripada uang Yang Mulia mubazir.” (Danarto, 1996:146—
147).

Kutipan di atas memperlihatkan nada sinis narator terhadap perbuatan korupsi


yang telah “membudaya” di kalangan para pejabat. Oleh sebab itu, Bupati menganggap
dialog itu merupakan penghinaan terhadap raja. Bahkan, pada bagian lain menurut
Bupati, penghinaan itu sudah keterlaluan. Bagian itu adalah dialog antartokoh berikut.
“Tapi ngomong-ngomong perkara korupsi,” kata Petruk, “Yang paling
banyak korupsinya pasti Yang Mulia Prabu Kresna.”
Medengar omongan Petruk itu semua yang hadir tertawa, keculi Semar.
Ayah Petruk ini kelihatan bersungut-sungut sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Selama ini Semar memang sudah tobat melihat kelakukan anak
keduanya ini.
“Lho kok kamu tahu?” kata Prabu Kresna sambil masih terbahak.
“Jelas dong. Petruk kan serba tahu,” kata Petruk.
“Buktikan,” kata Kresna menahan geli.
“Pertama: korupsinya seorang raja, kedua: korupsinya seorang betara,”
kata Petruk. “Salahnya sendiri, punya titel kok dua.”
Sri Prabu Batara Kresna bertambah terbahak-bahak mendengar ocehan
Petruk ini dan Prabu Puntadewa yang biasnya cuma tersenyum, kali ini ikut
tertawa seru.
“Jelas,” sambung Petruk. “Korupsinya Yang Maha Mulia Prabu Batara
Kresna tidak lagi tingkat kakap. Tapi sudah tingkat dewa-dewa.” (Danarto,
1996:148).

Bupati menganggap bahwa dialog yang dikemukakan Petruk itu merupakan


pikiran-pikiran jahat dan menggelisahkan masyarakat. Karena Pak Dalang yang
mendorong Petruk mengeluarkan kata itu, maka ia harus bertanggung jawab dan harus
ditahan. Untuk membela dirinya, Pak Dalang mengatakan bahwa Prabu Kresna sendiri
tidak marah dengan kata-kata Petruk itu, beliau malah tertawa. Petruk, yang sengaja
didatangkan dari rumah Pak Dalang, juga membela diri dengan alasan serupa. Oleh sebab
itu, Bupati tidak dapat menahan amarahnya sehingga ia melemparkan wayang Petruk ke
lantai dan menginjak-injaknya. Hal ini memperlihatkan nada mengejek narator terhadap
para pejabat yang melakukan tindakan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketika
untuk kedua kalinya Bupati itu menginjak-injak wayang Petruk, Pak Dalang dengan sabar
memungut wayang itu lalu membersihkannya sambil mengatakan:
“Biarlah Petruk bersandar di sini, Pak Bupati,” kata Pak Dalang. “Jika
ingin ngobrol, silahkan. Tapi Petruk harap dilihat saja. Dipegang jangan. Saya
khawatir Pak Bupati akan menyobek-nyobeknya. Wayang Petruk ini sudah tak
ternilai harganya,” (Danarto, 1996:156).

Dialog di atas juga memperlihatkan nada ejekan terhadap tindakan sewenang-


wenang yang dilakukan oleh Bupati. Interogasi yang dilakukan oleh Pak Bupati tidak
membicarakan sampai kapan penahanan itu dilakukan. Ironisnya, Pak Dalang tetap tabah
dan tidak mengeluh sambil selalu mengerjakan shalat dan berzikir di dalam tahanannya.
Hal ini juga memperlihatkan nada mengejek narator secara halus terhadap ketidakpastian
hukum dan penyalahgunaan kekuasaan oleh para pejabat. Kesabaran yang dilakukan oleh
Pak Dalang ini dapat digolongkan sebagai sabir, yaitu orang yang sabar dalam kesusahan
(Schimmel, 1986:129).
Perilaku sufistik lain yang tampak dilakukan Pak dalang dalam cepen “Balairung”
ini adalah kezuhudan. Kezuhudan yang dilakuakan Pak Dalang ini berupa hidup disiplin,
pribadi yang keras dan menjauhkan diri dari kesenangan pribadi (Nasr dikutip Syukur,
1997:119). Hal ini terlihat dari perilaku Pak Dalang yang mengerjakan shalat di atas
sajadahnya yang sudah bulukan walaupun ia memiliki sajadah lain yang baru (Danarto,
1996:156). Kezuhudan ini terlihat juga dari penolakan Pak Dalang terhadap pemberian
makanan dan keperluan hidup lainnya dari para petugas tempat tahanannya. Ia lebih
senang memakan makanan yang sederhana (Danarto, 1996:157).
Kezuhudan yang merupakan makam, memiliki dua akhlak utama, yaitu (1) isar
atau altruism yaitu mengutamakan orang lain, dan (2) futuwwah yaitu kekesatriaan (al-
Gazali, 1998:137). Kedua akhlak ini tampak dilakukan Pak Dalang dalam cerpen ini. Isar
atau altruism tampak dari perilaku Pak Dalang yang melakukan kedermawaan yang
tinggi dan tidak mengharapkan balasan. Tujuannya tidak lain hanyalah ingin berakhlak
sebagaimana akhlak Allah Swt. Sikapnya yang mengutamakan orang lain itu berupa
gagasannya untuk memperbaiki asrama CPM yang menurutnya tidak layak huni. Dana
perbaikan asrama itu rencananya diperoleh dari pergelaran wayang yang
diselenggarakannya di dalam komplek CPM itu, yang ternyata meraih sukses besar.
Untuk mempertahankan kesuksesan pergelaran wayangnya, Pak Dalang sengaja
menyajikan lakon-lakon menarik dan jarang digelar sebelumnya. Dengan demikian, ia
berhasil mempertahankan ketertiban penonton pada pergelaran wayangnya itu. Hal ini
dilakukan Pak Dalang dilandasi rasa kasih sayangnya kepada sesama makhluk Allah. Ia
merasa bahagia jika dapat membahagiakan orang lain, sehingga ia berfikir bagaimana
memberikan manfaat kepada orang lain. Ia mengutamakan memuliakan orang lain
daripada memikirkan kemuliaannya (al-Gazali, 1998:164). Walaupun demikian, tujuan
mulia yang diinginkan Pak Dalang mendapat hambatan dari Bupati. Ia melarang Pak
Dalang untuk mendalang dengan dalih bahwa dalang selalu menyebarkan ajaran yang
melawan pemerintah. Oleh sebab itu, ia menyuruh Pak Kolonel untuk melarang Pak
Dalang mendalang. Karena Pak Kolonel tidak menemukan ajaran yang menentang
pemerintah dalam pagelaran wayang itu, ia tidak melarang Pak Dalang. Sementara itu,
Pak Bupati tenggelam dalam pekerjaannya meneliti kaset rekaman pagelaran wayang Pak
Dalang.
Futuwah (kekesatriaan) yang dilakukan Pak Dalang adalah tindakannya yang
melakukan kritik terhadap para penguasa atau pejabat yang koruptor. Dalam hal ini, Pak
Dalang tidak berjuang dengan fisiknya melainkan berjuang dengan lidahnya (nonfisik).
Di dalam hadis juga dikemukakan bahwa perjuangan melawan keburukan itu tidak
semata dengan fisik tetapi juga dapat dilakukan dengan lisan (kata-kata), bahkan juga
dapat dilakukan dengan hati (di dalam hatinya, orang menolak keburukan itu).
Perjuangan Pak Dalang dengan kata-kata ini terlihat dari kritik terhadap korupsi yang
dilakukan Prabu Kresna melalui dialog yang diucapkan Petruk.
Baik dalam sufi Jawa, maupun dalam sastra sufi Persia dan Melayu, simbol
wayang dan dalang biasa digunakan. Biasanya, dalang melambangkan Yang Maha
Pencipta, sementara wayang melambangkan manusia atau makhluk yang diatur oleh
dalang atau Yang Maha Pencipta (Hadi W.M., 1999:149—145). Di dalam cerpen
“Balairung” ini, tampaknya dalang bukanlah lambing Yang Maha Pencipta, melainkan
dapat diinterpretasikan sebagai seniman, terutama pemimpin pergelaran seni. Selain itu,
dapat juga diinterpretasikan sebagai media berkesenian. Demikian juga halnya dengan
wayang Petruk tidak dapat diinterpretasikan sebagai manusia atau makhluk secara umum,
melainkan merupakan komunitas seniman atau sastrawan yang kritis dalam berekspresi.
Kehidupan yang berada di bawah kebudayaan “dekaden”, yaitu kebudayaan yang
tidak mengacuhkan nilai kerohanian, menjadikan manusia terlalu mengejar dunia dan
nilai-nilai kebendaan. Kondisi ini menimbulkan berbagai krisis di dalam kehidupan,
seperti krisis sosial, krisis kemanusiaan, krisis kejiwaan, dan krisis kebudayaan. Kasim
Ahmad (dalam Hadi, W.M. , 1999:204) mengemukakan bahwa sastrawan memiliki peran
yang penting dalam menghadapi kondisi ini. Peran itu adalah mengemukakan kritik
mereka terhadap krisis-krisis itu dan mencari jawabannya. Lebih jauh Kuntowijoyo
(dalam Hadi, 2000:186—187) mengemukakan bahwa peran sastrawan pada masa modern
ini adalah melakukan humanisasi. Tugas humanisasi ini tersirat dalam amanah amar
makruf, liberasi (pembebasan, khususnya dari segala bentuk kezaliman), dan
transendensi, yaitu penjabaran dari amanah nahi munkar dan beriman kepada Allah.
Peran ini tampaknya dilakukan oleh Pak Dalang dalam menghadapi krisis sosial yang
terjadi di lingkungannya. Ia mengeritik korupsi yang dilakukan para pejabat bahkan ia
mengidentikkan jabatan dengan korupsi. Dengan demikian, semakin tinggi jabatan
seseorang semakin besar peluangnya untuk melakukan korupsi. Hal ini terlihat dari
ucapan dalang lewat wayang Petruk berikut.
“Tapi ngomong-ngomong perkara korupsi,” kata Petruk, “Yang banyak
korupsinya pasti Yang Mulia Prabu Kresna.”
………………………………………………………………………………
“Buktikan,” kata Prabu Kresna sambil menahan geli.
“Pertama: korupsinya seorang raja. Kedua: korupsinya seorang batara,”
kata Petruk. “Salahnya sendiri, punya titel kok dua.”
………………………………………………………………………………
“Jelas,” sambung Petruk. “Korupsinya Yang Maha Mulia Prabu Batara
Kresna tidak lagi tingkat kakap. Tapi sudah tingkat dewa-dewa.” (Danarto,
1996:148).

Kutipan di atas juga memperlihatkan nada mengejek narator terhadap “budaya”


korupsi yang sedang berkembang. Oleh sebab itu, Pak Dalang menganggap bahwa dialog
yang diucapkan oleh wayang Petruk itu merupakan dialog-dialog yang cemerlang. Akan
tetapi, Bupati menganggapnya sebagai dialog-dialog yang tidak pantas karena penuh
dengan ketidaksopanan. Dialog-dialog serupa itu dipandangnya keluar dari pikiran jahat
yang dapat mggelisahkan masyarakat. Atas dasar itulah, ia memasukkan Pak Dalang ke
dalam tahanan karena ialah yang mendorong Petruk mengucapkan dialog itu.
Tokoh Petruk dapat diinterpretasikan sebagai seniman yang kritis dalam
berekspresi. Baginya, dalam berkarya, ia harus mengungkapkan kebenaran. Ia tidak
mempedulikan apakah penikmatnya akan marah atau tertawa. Hal ini menimbulkan
kemarahan Bupati tidak dapat ditahannya lagi. Dialog berikut memperlihatkan hal itu.
“Begitu, ya? Apakah kamu tidak senang kalau semua orang tertawa
mendengar lelucon-leluconmu?”
“Saya tidak peduli.”
“Bohong! Kamu sangat peduli.”
Petruk merasa terhina dan ia berang: “Bagi saya tidaklah penting, orang
mau tertawa atau mau marah. Pokoknya saya berkoar!”.
“Ooo, jadi kamu bisa juga marah, ya.”
Petruk makin berang: “Sedikit pun saya tidak peduli, apakah ia raja atau
gembel.”
“Aneh sekali. Petruk ternyata suka marah-marah.”
Lalu Pak Bupati menginjak-injak lagi wayang Petruk itu hingga jadi kotor.
Pak Dalang menyat dari dipan, memungut wayang Petruk itu dan
membersihkannya. Disandarkannya wayang itu didinding (Danarto, 1996:155—
156).

Di dalam cerita wayang, tokoh Kresna adalah pemimpin spiritual yang moralis.
Ajarannya selalu memiliki nilai moral yang tinggi seperti menghindari nafsu pribadi dan
kebenaran, selalu ikhlas atau tidak mengharapkan pamrih, mengutamakan kesucian budi
dan mengekang nafsu. Bahkan ia dipandang sebagai nabi yang diutus untuk memperbaiki
moral atau memerangi adarma (Sastronaryatmo, 1987:15—29). Selain itu, Kresna juga
dianggap sebagai titisan Dewa Wisnu selaku pemelihara alam (ensiklopedi Wayang
Indonesia, 1999:228). Tampaknya, dalam cerpen “Balairung” ini, Kresna didekonstruksi
oleh pengarang sehingga ia merupakan raja dan pemimpin spiritual yang koruptor. Tokoh
Kresna ini dapat diinterpretasikan sebagai pemimpin, pejabat, penguasa, yang paling
disegani, melakukan korupsi. Akan tetapi, di tengah publik ia berlagak bersih. Hal ini
terlihat dari dialog antartokoh berikut.
“Korupsi adalah minuman yang bikin ketagihan,” ujar Prabu Kresna
sambil menyunggingkan senyumannya yang khas. “Tidaklah penting kaya atau
miskin, punya tahta atau rakyat jelata, seseorang akan melakukannya hanya
karena ia ketagihan. Sudah nyandu.”
“Jika demikian halnya kita yang hadir di sini juga bisa melakukannya,”
kata Prabu Puntadewa.
“Mengapa tidak, Yayi Prabu,” sahut Kresna (Danarto, 1996:146).

Pak Bupati, tampaknya dapat diinterpretasikan sebagai penguasa di suatu wilayah


yang menganggap bahwa dirinyalah yang berkuasa. Ia tidak dapat melihat kebenaran
sebagai kebenaran melainkan sebagai pikiran-pikiran jahat yang menggelisahkan
masyarakat. Dengan mengatasnamakan ketentraman masyarakat, ia menyikapi kontrol
sosial sebagai sikap permusuhan sehingga pelakunya harus “diamankan”. Kecurigaannya
terhadap Pak Dalang akan menyebarkan pikiran-pikiran jahat, menyebabkan ia semakin
tidak dapat melihat kebenaran. Hal ini terlihat ketika Pak Dalang menyelenggarakan
pagelaran wayang di kompleks Asrama CPM dalam rangka menghimpun dana bagi
perbaikan kompleks yang tidak layak huni itu. Akan tetapi, Pak Bupati tetap
mencuriagainya, sehingga ia membuat aturan sendiri bahwa seorang tahanan dilarang
mendalang. Hal ini terlihat dari dialog antartokoh berikut.
“Ini apa-apaan Pak Dalang!” teriak Pak Bupati.
“Apa maksud Pak Bupati?” sahut Ki Ageng sambil bangun dari tiduran di
kamar tahanannya, sedang mulutnya mencengkeram pipanya.
“Orang tahanan tidak diperkenankan mendalang,” kata Pak Bupati.
“Kenapa Pak Bupati baru memberi tahu sekarang setelah saya empat kali
mendalang,”
“Kolonel seharusnya memberi tahu Pak Dalang,”
“Jangan-jangan Kolonel juga tidak tahu,”
“Mustahil,”
“Lagian, ide menyelenggarakan pagelaran ini datang dari saya,”
“Lalu untuk apa uang pemasukannya?”
“Untuk membangun kompleks,”
“Seenaknya saja,”
Lalu Pak Bupati menemui Kolonel pimpinan kompleks.
“Kolonel” kata Pak Bupati, “Anda tahu bahwa seorang tahanan tak boleh
mendalang,”
“Saya baru tahu sekarang,” kata Kolonel. “Saya pikir seorang tahanan
boleh berbuat apa saja, asal berguna bagi sesama. Di sini ada yang melukis,
bercocok tanam, mengajar pencak,”
“Tetapi mendalang terlarang,”
“Apa sebabnya, Pak Bupati?”
“Kolonel kok lupa sih, bahwa dalang bisa menyebarkan ajaran yang
melawan pemerintah. Itulah sebabnya Ki Ageng saya tahan,”
“Tetapi selama mendalang empat kali berturut-turut, tidak ada ajaran yang
melawan itu yang ia sebarkan kepada para penonton,”
“Belum tentu. Saya akan meneliti rekamannya,” (Danarto, 1996:160—
161).

Kutipan di atas kembali memperlihatkan nada sinis narator terhadap penguasa


yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya. Kecurigaan Pak Bupati
terhadap Pak Dalang akan menyebarkan ajaran yang menyesatkan, akhirnya menjadikan
waktunya tersita untuk meneliti kaset-kaset pagelaran wayang Pak Dalang. Sikap Bupati
ini dapat dikatakan sebagai tindakan menjilat pimpinan, atau bahkan ia merasa sebagai
objek yang dilakukan Pak Dalang.

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik


Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen
“Balairung” ini, terlihat bahwa tokoh Pak Dalang melakukan perilaku sufistik
dilatarbelakangi oleh kejahatan yang terjadi di sekitarnya. Ia melakukan protes sosial
terhadap kejahatan itu. Protes sosial yang dilakukannya ini terutama sekali yang berkaitan
dengan makam zuhud. Dalam hal ini, ia melakukan isar dan futuwwah, yang merupakan
akhlak di dalam zuhud. Isar (mengutamakan orang lain) dilakukannya dengan
menghimpun dana bagi perbaikan asrama CPM yang tidak layak huni dengan mendalang,
sedangkan futuwwah (keksatriaan) dilakukannya dengan berjuang secara nonfisik dalam
memerangi keburukan, dalam hal ini korupsi.
Kerelaan dan kesabaran yang dilakukan oleh Pak Dalang semata-mata untuk
mencapai ridho Allah. Ia rela dan sabar menerima apa saja takdir yang diberikan Allah
kepadanya, tidak peduli takdir itu merupakan penderitaan. Dengan melakukan perilaku
sufistik ini, Pak Dalang dapat mengatasi masalah yang dihadapinya dan memberikan
kemanfaatan bagi orang lain.

2.2.8 Cinta Mengubah Kekuatan Negatif Menjadi Positif


1) Sinopsis Cerpen “Semak Belukar”
Semut-semut yang berasal dari semak belukar di belakang rumah tokoh aku
sering mengesalkan keluarganya karena semut-semut itu sering berkeliaran di dapur
mereka dan menggerogoti apa saja yang ada di sana. Akan tetapi, sejak kakeknya selalu
memberi semut-semut itu makanan dan bergaul dengan semut-semut itu, gangguan itu
tidak terjadi lagi. Keakraban kakek dengan para semut itu selalu diceritakan kakek
kepada tokoh aku. Kebahagiaan kakek bersama semut-semut itu menimbulkan
kebahagiaan pula bagi seluruh keluarganya. Bahkan akhrinya, tokoh aku merasakan
perubaha perasaan. Ia merasakan kakeknya itu adalah ayahnya dan sebaliknya, ayahnya
dirasakannya seperti kakeknya, sehingga ia selalu menyapa kakeknya dengan ayah dan
menyapa ayahnya dengan kakek.
Kawasan semak belukar itu pada suatu hari menjadi pusat perhatian karena dari
lubang yang ada di sana, pasukan semut menggotong mayat yang berseragam tentara
yang berbeda-beda sehingga tempat itu penuh tumpukan mayat. Dari ketua RT dan RW
sampai aparat keamanan, petugas kesehatan, dan para wartawan disibukkan oleh
peristiwa itu. Kakek mendadak menjadi pusat perhatian para wartawan. Akan tetapi,
kakek tidak dapat menjelaskan dengan pasti mengenai hubungan dan saling
pengertiannya dengan para semut itu.
Peristiwa penemuan mayat-mayat di belakang rumah tokoh aku ini
mengakibatkan perasaan bosan keluarganya. Tokoh aku bermaksud menumpang di
rumah teman sekelasnya. Akan tetapi, ketika ia hampir mendekati rumah itu, ia
terperosok ke dalam lubang dan tersedot ke dalamnya lalu pingsan. Ketika siuman ia
tegeletak di atas pasir dengan situasi gelap. Di tempat ini tokoh aku menyaksikan
pertempuran sengit antarbala tentara Timur Tengah. Tentara-tentara yang gugur itu
diangkuti oleh pasukan semut, sehingga tahulah ia asal mayat-mayat yang keluar dari
lubang di belakang rumahnya itu. Di antara mayat itu, ia juga melihat para cavers dan
kakeknya yang juga digotong oleh pasukan semut itu.
Melalui seutas tali, tokoh aku akhirnya menemukan jalan keluar dan mencul di
belakang rumahnya. Akan tetapi, segala yang ada di rumah itu telah berubah menjadi
serba modern. Lubang tempat ia baru saja keluar berubah menjadi tempat pengecoran
patung perunggu. Patung-patung itu ditempatkan di sebuah plaza yang amat indah. Di
antara patung-patung itu, ada patung kakeknya, para cavers, dan pasukan semut.

2) Perilaku Sufistik
Perilaku Sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Semak Belukar” ini tampak
dilakukan oleh tokoh kakek dan tokoh aku. Perilaku sufistik tokoh kakek berupa makam
cinta yang dianggap sebagai makam tertinggi. Kecintaan yang dilakukan oleh kakek ini
bukanlah cinta yang mutlak terhadap Allah, melainkan cinta terhadap sesama makhluk
Allah, dalam hal ini semut. Nurbakhsh (1993:4) menyebutkan cinta seperti ini sebagai
cinta persahabatan yang dilandasi oleh kesepakatan sosial. Kecintaan tokoh kakek
terhadap sesama makhluk ini dalam tasawuf dipandang merupakan sarana untuk
mencintai Allah. Bahkan, dalam hadis Bukhari dan Muslim (dalam al-Ghazali, 29—31)
dikemukakan, Nabi Saw. bersabda bahwa menyayangi binatang dapat menyebabkan
seseorang masuk surga, sebaliknya seseorang dapat masuk neraka karena menganiaya
binatang. Cinta kakek yang tulus kepada semut-semut itu, bermula dari konflik yang
terjadi antara semut-semut yang sering mengganggu dapur tokoh aku dengan ibunya.
Dalam situasi ini kakek datang memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada para
semut itu, yang mendatangkan manfaat timbal balik. Kakek menjadi lebih sehat dan
cekatan, dan para semut itu menjadi jinak dan lebih gemuk. Kecintaan kakek kepada
semut-semut itu dinyatakannya dengan selalu memberi mereka makanan yang cukup dan
perhatian yang luar biasa, termasuk mendoakan meraka. Dengan demikian, terjalinlah
hubungan yang akrab di antara meraka. Hal ini dapat dilihat dari penuturan narator
dengan menggunakan sudut pandang pengarang “diaan” berikut.
Ibu tentu saja marah-marah dan mengancam ingin membasmi kawasan
semak belukar itu, tapi kakek turun tangan sambil memberi wejangan. Makanan
yang boleh dikata berlebihan di rumah kami, itulah yang menarik serangga itu
untuk berbondong-bondong mendatanginya. Lagian memberi makan serangga –
tidak cuma binatang-binatang besar – perlu pula digalakkan. Mereka juga bagian
dari kita, punya hak atas apa yang kita miliki. Panjang lebar kakek “berpidato”,
begitu fasih dan jernih hingga kami terpana tak bisa memberi tanggapan apa-apa.
Sejak itulah kakek lalu banyak main ke semak belukar itu, memberi
makan seluruh serangga. Ribuan serangga berhimpun mengitari kakek yang
menebar-nebar beras atau jagung yang lantas mereka sergap (Danarto,
1996:164—165).
…………………………………………………………………………
Semak belukar itu akhirnya merupakan bagian hidup kakek, yang
memberikan semangat dan kesegaran baru. Tiap paginya, dalam shalat subuhnya,
kakek tak lupa menyelipkan doa – begitu katanya – bagi semut-semut itu. Dan
setelah sarapan, punya kebiasaan baru dengan menengok kawasan belukar itu
sambil menebar-nebar beras atau jagung maupun roti tawar sisa. Acara ini
menjadi istimewa karena tidak saja mampu menguras perhatian tetapi juga
memberikan kesehatan yang jauh lebih memadai bagi kakek. Encok beliau sedikit
demi sedikit berkurang, seolah digerogoti oleh sahabat-sahabatnya itu, di samping
juga kakek menjadi cekatan terhadap segala kegiatan (Danarto, 1996:165—166).

Kutiapan di atas juga memperlihatkan nada simpati narator terhadap perilaku


kakek yang telah memberikan perhatian dan kasih sayangnya terhadap para semut itu.
Tokoh kakek dalam cerpen “Semak Belukar” ini, selain memperlihatkan perilaku sufistik
pada makam cinta, juga melakukan kezuhudan. Kezuhudan yang dilakukan kakek dalam
cerpen ini tampaknya, dapat digolongkan pada akhlak isar (mendahulukan kepentingan
orang lain). Isar yang dilakukan kakek ini tidak saja berupa kemurahan hatinya memberi
makan para semut sahabatnya, yang tergolong pada kedermawanan orang awam, tetapi
juga kedermawanan dengan perbuatan. Dengan demikian, isar yang dilakukan tokoh
kakek dapat digolongkan pada kedermawanan orang yang khusus (al-Ghazali, 1998:153).
Isar tokoh kakek dengan perbuatan ini, terlihat ketika sebuah lubang dari semak belukar
di belakang rumahnya keluar para semut sahabanya, dengan menggotong mayat tentara.
Kakek juga turun tangan dan memperlakukan jenazah itu dengan hati-hati. Hal ini terlihat
dari penuturan narator dengan menggunakan sudut pandang pengarang “akuan” berikut,
yang memperlihatkan nada simpati terhadap perilaku kakek.
Saya lihat dari lubang yang menganga, beribu-ribu semut sahabat kakek
itu menggaet jenazah-jenazah tentara itu keluar dan menyeretnya pelan-pelan
hingga tubuh-tubuh itu seolah melayang-layang. Semut-semut itu rupanya tidak
peduli bahwa sepak kerjanya itu disimak oleh mata-mata manusia yang terkagum-
kagum sambil berdiri mematung. Tustel dan kamera video tak kelihatan berhenti
bekerja mengincar terus kesibukan gerombolan semut itu.
Begitu satu tubuh dapat diseret keluar, lalu menyusul tubuh yang lain.
Begitu susul-menyusul tak habis-habisnya. Semut-semut itu – barangkali saja
jutaan jumlahnya – seperti tak lelah-lelahnya sejak kemarin siang bekerja. Di
mana kakek? Kakek ternyata sekarang menjadi mandor, mengatur para pemuda
kampung kami yang menggotong tubuh-tubuh itu dan harus meletakkannya
dengan pantas. Sementara itu, para perawat mengangkat tubuh-tubuh itu ke mobil
ambulan dan membawa ke rumah sakit. Bu Dokter memeriksa satu per satu tubuh
itu, barangkali saja masih ada yang bernafas. Tetapi ternyata tak seorang pun yang
masih hidup. Melihat tampangnya, jenazah-jenazah itu adalah tentara Timur
Tengah dan tentara kulit putih (Danarto, 1996:171—172).

Kakek juga mengkoordinasi pengumpulan jenazah ini siang-malam, tak mengenal


lelah, sementara orang lain ada yang jatuh sakit, tetapi kakek bersama pasukan semutnya
tetap tegar (Danarto, 1996:175). Hal ini juga memperlihatkan nada simpati tokoh aku
terhadap kakeknya itu.
Tokoh aku dalam cerpen ini memperlihatkan perilaku sufistik juga. Perilaku itu,
semula dinyatakannya dengan sikap simpatinya terhadap perilaku kakeknya, tetapi lama-
kelamaan ia merasa kedekatan pada kakeknya itu sehingga ia merasa bahwa kakeknya itu
adalah ayahnya. Sebaliknya, ia merasa bahwa ayahnya adalah kakeknya. Perubahan ini
dapat diinterpretasikan sebagai perubahan pandangan yang dimiliki oleh tokoh aku, ia
seakan-akan mewarisi perilaku kakeknya itu. Dalam tasawuf, keadaan seperti ini dikenal
dengan istilah hal, yaitu sesuatu yang datang dari Tuhan ke dalam hati seseorang, tanpa ia
mampu menolaknya bila ia datang atau menariknya bila ia pergi, dengan ikhtiarnya
sendiri. Dengan demikian, hal merupakan anugerah atau karunia yang diberikan Tuhan
kepada hamba-hamba-Nya dan yang tidak bertalian dengan penyiksaan diri di bagian
yang berikutnya (Nasr, 2000:91).
Hal lain yang juga diterima oleh tokoh aku adalah keajaiban yang dialaminya
ketika ia terperosok ke dalam lubang, sewaktu akan menumpang di rumah temannya.
Melalui kekuatan yang aneh, ia tersedot masuk ke dalam lubang itu dan mengalami
perjalanan spiritual yang panjang. Ia menyaksikan pertempuran sengit antartentara Timur
Tengah, melihat pasukan semut yang menggotong tentara yang gugur ke permukaan,
yaitu lubang di kawasan semak belukar di belakang rumahnya. Hal ini terlihat dari
penuturan tokoh aku berikut.
“Allah, Allah, Allah,” dzikir saya berkepanjangan sambil merangkak terus
dan menyebar-nyebarkan pasir ke depan, ke kiri, ke kanan, untuk menggertak apa
saja yang mungkin menghadang (Danarto, 1996:178).
………………………………………………………………………..
Sekujur tubuh rasanya dipompa dengan darah sepenuh-penuhnya, kulit
mengokohkannya, dan menggelembunglah badan ini menjadi ringan, sebagai
pelembungan, pelan-pelan terangkat dari tanah berpasir yang empuk itu, lama-
lama meninggi sampai suatu batas yang entah, sementara mata tetap saya
katupkan serapat mungkin. Mendadak ini tubuh terantuk dinding gua, sebagai
terantuknya pelembungan pada dinding atau pepohonan, ia menghindar pelan,
lalu menyusuri dinding itu agaknya, untuk terus membubung ke atas (Danarto,
1996:179).
……………………………………………………………………….
Saya membelokkan tubuh di suatu tikungan dan sinar-sinar menghambur
garang membuat mata silau. Dentuman dan ledakan menggelegar. Rentetan
tembakan. Desingan gencar di kanan, di kiri, di atas. Dinding-dinding berantakan
menghantam tubuh saya. Wajah saya tertutup siraman pasir. Rentetan tembakan,
Masya Allah. Di hadapan saya tergelar perang padang pasir yang dahsyat
(Danarto, 1996:180).
………………………………………………………………………
Tentara-tentara yang gugur itu serta-merta diangkut oleh jutaan semut
yang kemudia saya ketahui adalah sahabat-sahabat kakek itu, ke sana, ke
permukaan bumi, muncul di semak belukar belakang rumah kami itu. Allahu
Akbar (Danarto, 1996:181).

Dengan bantuan tali yang ditemukannya, tokoh aku merambat ke atas dengan
susah payah. Tiba-tiba ia tersedot ke atas sehingga muncul di semak belukar di belakang
rumahnya. Akan tetapi, rumahnya telah berubah serba modern dan semua penghuninya
tidak dikenalnya. Ketika ia kembali ke belakang rumahnya, tempat itu pun menjadi
tempat pengecoran patung perunggu. Patung-patung itu dipajang di sebuah plaza yang
amat indah. Ia melihat patung kakeknya, para cavers, dan semut-semut sahabat kakeknya
terpajang di tempat itu (Danarto, 1996:184—186).
Peristiwa yang dialami tokoh aku, tampaknya memiliki kemiripan dengan
pengalaman yang dialami oleh tujuh pemuda saleh penghuni goa (kahfi) sebagaimana
dikemukakan dalan Surat al-Kahfi:9—26. Kisah tujuh pemuda saleh ini dipandang
sebagai kisah waqiiyyah (benar-benar terjadi), karena tekanan raja Dikyanus (Decius)
yang memerintah tahun 249—251 memaksa mereka memeluk agama Nasrani. Ketujuh
pemuda saleh itu mendapat ilham dari Allah untuk mengasingkan diri di sebuah goa, di
gunung Naikhayus, tidak jauh dari kota Uspus (Antolia Selatan). Di dalam goa itu,
mereka ditidurkan Allah selama 309 tahun. Ketika mereka terjaga, zaman telah berubah,
antara lain uang yang mereka miliki ternyata tidak laku lagi dibelanjakan sehingga
mereka dituduh penipu lalu ditangkap. Mereka akhirnya menceritakan kejadian yang
mereka alami. Ternyata raja Decius telah meninggal ratusan tahun sebelumnya dan yang
sedang memerintah pada masa itu adalah raja Theodosius yang beriman kepada Allah
(Ensiklopedi Islam, 1994:225).
Ketika tokoh aku kembali muncul di belakang rumahnya, semua yang ada di
tempat itu sudah berubah. Arsitektur rumah dan seluruh perabot rumahnya sudah berubah
menjadi ultra modern. Penghuni rumah itu tidak lagi dikenalnya dan tidak pula
mengenalnya. Tempat di belakang rumahnya, yang ketika ditinggalnya penuh kesibukan
orang-orang mengakat jenazah, berubah menjadi kesibukan orang-orang mengangkat
patung-patung perunggu yang akan dipasang di taman-taman dan plaza-plaza. Di antara
patung yang diangkut itu adalah patung kakeknya, para semut sahabat kakeknya, dan para
cavers. Jalan-jalan yang dilaluinya menuju plaza amat mulus dan luas, sedangkan ketika
ia meninggalkannya, jalan itu berlubang-lubang dan tanpa trotoar. Plaza ultra modern itu
sendiri, ketika ditinggalkannya adalah kawasan semak belukar tempat ia mencari
kembang kering bersama teman-temannya untuk dijual sebagai penambah uang saku
(Danarto, 1996:186).
Semut-semut ganas yang akhirnya menjadi sahabat tokoh kakek yang menghuni
semak belukar dalam cerpen “Semak Belukar” ini, tampaknya dapat diinterpretasikan
sebagai orang-orang miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka kecuali
mencuri. Tidak ada orang yang mau memperhatikan hidup mereka. Ketika ibu tokoh aku
marah-marah atas perlakuan semut-semut, yang memakan semua makanan dan
menghabisi semua perabotan yang ada di dapurnya, ia mengancam akan membasi
kawasan tempat tinggal semut-semut itu (Danarto, 1996:163—164), ketika itu tokoh
kakek dengan murah hati mengulurkan tangan, membantu mereka. Ia mengatakan
“Lagian memberi makan serangga – tidak cuma binatang-binatang besar – perlu pula
digalakkan. Mereka juga bagian dari kita, punya hak atas apa yang kita miliki” (Danarto,
1996:165). Ucapan tokoh kakek, tampaknya disitir dari al-Quran Surat az-Zariyat:19.
Sejak kakek mau menyisihkan sebagian yang dimilikinya untuk para semut itu, ia
tampak lebih sehat dan lebih gesit daripada sebelumnya. Sejak itu pula, hubungan antara
kakek dan semut-semut itu terjalin dengan baik; semut-semut itu tidak lagi
memperlihatkan keganasannya, bahkan mereka akhirnya membatu kakek melakukan
pekerjaan yang amat besar, yaitu mengangkat jenazah para tentara yang gugur di medan
perang (Danarto, 1996:165—174). Dengan demikian, tokoh kakek berhasil
mengendalikan nafsu buruk yang terdapat di dalam diri manusia, sehingga nafsu itu dapat
diarahkan ke hal-hal yang positif. Hal ini sekaligus memperlihatkan nada simpati narator
terhadap perilaku tokoh kakek. Mengubah nafsu buruk menjadi hal-hal positif seperti
yang dilakukan kakek ini merupakan salah satu tugas yang harus dilakukan oleh para
penempuh jalan sufi (Schimmel, 1998:116—117).
Perubahan dalam diri aku, yaitu perubahan perasaan tentang kakek dan ayahnya,
tampaknya tidak cukup diinterpretasikan sebagai kedekatan hubungan secara fisik antara
tokoh aku dan kakeknya. Perubahan perasaan ini tampaknya menandakan adanya gejala
penjembatanan jurang kesadaran spiritual pada masa modern ini. Tokoh aku merupakan
kelompok usia muda yang menaruh perhatian terhadap dunia tasawuf, yang sebelumnya
diminati oleh generasi-generasi terdahulu (kakek). Dengan demikian, tokoh aku dapat
dikatakan sebagai lambang munculnya kesadaran kelompok intelektual muda terhadap
kehidupan spiritual atau tasawuf (Nasr, 2000:xi).

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik


Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen
“Semak Belukar” ini, terlihat bahwa tokoh kakek melakukan perilaku sufistik itu
dilatarbelakangi oleh rasa cintanya kepada sesama makhluk Allah. Rasa cinta kepada
makhluk Allah ini merupakan sarana untuk mencintai Allah. Cinta kakek terhadap
sesama makhluk Allah ini berupa cinta kepada semut-semut atau dapat diinterpretasikan
sebagai masyarakat miskin yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka selain
dari mencuri. Cinta kakek kepada mereka juga terwujud dalam bentuk isar
(mengutamakan kepentingan orang lain), baik dalam bentuk harta maupun dalam bentuk
perbuatan yang merupakan akhlak makam zuhud. Kedua perilaku sufistik kakek ini
ternyata mampu memberikan kemanfaatan yang timbal balik. Di satu sisi kakek menjadi
lebih sehat dan lebih gesit daripada sebelumnya, di sisi lain para semut itu berubah
menjadi jinak, bahkan menjadi sahabat setia kakek. Kakek dan para semut itu dapat
menjalin kerja sama yang baik ketika mereka menghadapi masalah, yaitu mengakat para
jenazah tentara yang gugur. Dengan demikian, perilaku sufistik yang dilakukan kakek
mampu mengubah nafsu-nafsu yang buruk menjadi kekuatan yang positif sehingga dapat
mengatasi masalah yang ada.
Tokoh aku, yang baru memiliki kesadaran terhadap tasawuf, mengalami hal
sehingga ia merasakan sebagian rahmat Allah kepda para sufi, yaitu memperoleh
pengetahuan langsung dari Allah. Hal ini dialaminya ketika ia tersedot ke dalam lubang
sehingga terbukalah rahasia mengenai asal-usul jenazah yang muncul di belakang
rumahnya itu. Ia juga mengalami keajaiban berupa kelamaan perjalanan spiritual
sehingga ketika ia kembali ke dunia nyata, segala sesuatuanya telah jauh berubah.
Dengan demikian, baik tokoh aku apalagi tokoh kakek, melakukan perilaku sufistik tidak
bertujuan untuk memperoleh kekuatan luar biasa bagi dirinya, bukan juga untuk
menyatukan diri kepada Allah. Mereka melakukan perilaku sufistik itu didorong oleh
keinginan untuk lebih berperanserta dalam menghadapi dan memecahkan segala masalah
yang berkembang di tengah kehidupan masyarakat.

2.2.9 Cinta dan Pengabdian kepada Sesama, Sarana Pengabdian kepada Allah
1) Sinopsis Cerpen “Gandasturi”
Ibu tokoh saya, yang dijatuhi hukuman selama dua tahun karena dituduh
mengurangi jatah pemberian obat kepada pasien di sebuah rumah sakit tempat ia bekerja,
tiba-tiba kabur dari tempat tahanan setelah mendekam di dalamnya selama empat puluh
hari. Kejadian ini menimbulkan misteri, baik bagi petugas maupun bagi anak-anak tokoh
ibu karena kunci selnya tetap terkunci. Pencarian yang dilakukan di rumahnya dan di
rumah-rumah saudaranya sia-sia. Ibu tidak ditemukan.
Ada beberapa hal aneh yang dilakukan ibu selama ia di sel, yaitu ia tidak mau
berbicara kepada siapa pun dan tidak makan atau minum apa pun. Hal ini menyebabkan
teman-teman satu selnya ketakutan dan mengusulkan agar ia dipisahkan dari mereka.
Walaupun ibu sendirian di selnya, keadaannya juga tidak berubah. Sehari sebelum ia
lenyap dari penjara, keadaanya tak ubahnya seperti patung.
Baru dua minggu Ibu ditahan, suaminya meninggal sehingga tokoh saya, sebagai
anak tertua menggantikan kedudukan kedua orang tuanya. Ia berdagang kue gandasturi
yang dibuatnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Ketika tokoh aku
dan adik-adiknya masih merasakan keheranan atas misteri kaburnya ibunya dari penjara,
tersiar kabar tentang beberapa jenis obat yang ditarik dari peredaran karena berbahaya.
Salah satu jenis obat yang ditarik itu adalah obat yang tidak diberikan ibu kepada pasien
di rumah sakit tempat ia bekerja. Tokoh saya amat gembira, seakan-akan ia memperoleh
pembenaran terhadap perbuatan ibunya.
Ketika tokoh aku bersama adik-adiknya berkunjung ke kuburan ayahnya, ada
kuburan baru di sisi kubur ayahnya itu. Nama ibunya tertulis di nisan kuburan itu. Hal ini
menimbulkan kesedihan baru bagi tokoh aku beserta keempat orang adik-adiknya yang
masih mengharapkan kehadiran ibu mereka.

2) Perilaku Sufistik
Perilaku sufistik yang terdapat di dalam cerpen “Gandasturi” ini tampak
dilakukan oleh tokoh saya dan tokoh ibu. Perilaku sufistik yang dilakukan oleh tokoh aku
berkaitan dengan makam tawakal, yaitu berserah diri secara total kepada Allah Swt.
Ketawakalan dilandasi oleh keyakinan bahwa Allah Swt. tegak dengan zat-Nya dan
menegakkan zat yang lain. Hal ini akan membuahkan ketenangan di dalam diri orang
yang melakukannya (Al-Gazali, 1998:142).
Ketawakalan yang dilakukan oleh tokoh saya ini bukanlah ketawakalan yang
berlebih-lebihan sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kaum sufi klasik yang keras
sehingga menyebabkan seseorang menjadi pasif, melainkan ketawakalan seperti yang
disarankan Nabi Muhammad Saw. kepada seorang Badui agar ia mengikat lutut ontanya
dulu baru berserah diri kepada Allah (Schimmel, 1986:123—124). Tokoh saya yang
ditinggalkan ayahnya untuk selamanya, setelah ibunya ditahan di penjara, harus
menggantikan kedudukan kedua orang tuanya itu dalam menghidupi dan membimbing
keemapt orang adiknya. Usaha yang dilakukannya adalah menjual kue gandasturi
buatannya sendiri. Hal ini terlihat dari penuturan narator dengan menggunakan sudut
pandang “akuan” berikut, yang juga memperlihatkan nada simpati narator terhadap usaha
tokoh saya dan saudara-saudaranya.
Ibu dikenakan hukuman dua tahun, dan ketika baru di dalam penjara dua
minggu, ayah seorang pegawai negeri meninggal kena serangan jantung. Praktis
seluruh tanggung jawab keluarga berpindah ke pundak saya seorang jebolan
SMA, yang belum bekerja. Dengan empat adik-adik kecil, Sri (kelas satu SMP),
Ton (kelas enam SD), dan si kembar Pipin dan Nining (masih TK), saya putuskan
jualan kue untuk menyambung hidup. Sri dan Ton, yang tak mungkin
melanjutkan sekolahnya, dengan saya bergantian berbelanja, membuat dan
menggoreng kuenya. Dari kue gandasturi yang terbuat dari kacang hijau dan gula
merah, dibentuk bundar kecil yang dilapisi terigu, lalu digoreng inilah napas kami
sehari-harinya.
Warung gandasturi kami buka jam 6 pagi dengan harapan anak-anak
sekolah pada sarapan kue ini. Lumayan juga, sasaran kami mengena, ada saja
yang beli. Termasuk bapak-bapak. Ada yang membeli untuk dimakan sambil jalan
ke kantor. Begitu habis, kami menggoreng lagi. Terus-menerus. Sampai waktu
Ashar masuk, biasanya, alhamdulilallah, warung kami tutup. Setelah shalat, saya
tidur siang untuk dua jam. Sedang Sri dan Ton menyiapkan kue setelah Isya,
sambil terkantuk-kantuk (Danarto, 1996:220—221).

Tokoh Ibu dalam cerpen “Gandasturi” ini juga tampak melakukan perilaku
sufistik. Perilaku sufistik yang dilakukan tokoh Ibu ini berkaitan dengan makam zuhud,
yaitu menginggalkan dunia dan menjauhkan diri dari kehidupan kebendaan (Ensiklopedi
Islam, 1994:125). Kezuhudan yang dilakukan oleh tokoh Ibu ini berupa menghindari
makan, minum, dan berbicara selama empat puluh hari. Dalam kaitannya dengan lapar,
sufi terkenal Rumi, mengatakan “Lapar adalah makanan Tuhan; dengan lapar ia
menggerakkan tubuh orang yang benar.” Al-Balkhi mengatakan “Keadaan lapar terus-
menerus selama empat puluh hari dapat mengubah kegelapan hari menjadi cahaya,”
(Schimmel, 1986:119). Dalam kaitannya dengan diam (kontemplasi), tarikat moderat
Naqsabandiyah dan tarikat moderat lainnya mengatakan bahwa orang-orang yang benar-
benar berpuasa adalah orang yang membebaskan pikirannya dari makanan yang berupa
usul-usul setan sehingga pikiran kotor tidak akan masuk ke dalam pikiran meraka;
tidurnya orang seperti itu adalah kebaktian, setiap mereka berjalan, berlalu, dan diam
merupakan pengagungan terhadap Tuhan dan napas mereka adalah pujian kepada Tuhan
(Schimmel, 1986:121). Perilaku kezududan tokoh Ibu ini terlihat dari tuturan narator
melalui tokoh saya berikut.
… ibu masuk penjara dan kami selalu menengoknya dengan kiriman
makan atau buah-buahan sekedarnya. Namun, di luar dugaan, ibu tak pernah
makan kiriman itu. Juga jatah makan penjara tak pernah disentuhnya. Kami dan
para penjaga penjara sungguh tak bisa mengeri apa mau ibu. Apakah ibu sedang
melancarkan mogok makan?
Sering ibu diinterogasi. Tapi sungguh tak bergeming, jangankan ngobrol
dengan sesama orang penjara, menjawab pertanyaan para interogator pun tidak.
Diam, ya, diam, itulah dilakukan ibu dalam penjara. Apakah diam merupakan
tameng ibu? Sampai datang waktu ibu ditempatkan di satu sel sendirian. Apa
sebenarnya yang sedang dipikirkan ibu, tentu hanya ibu sendiri yang tahu. Jika
saya lihat ketika kami mengengok selnya, ibu kelihatan terbebani pikiran berat
yang harus segera dipecahkan. Kepada kami pun ibu tak mau berbincang-bincang,
sampai membuat si kembar, Pipin dan Nining menangis. Selalu setiap kali
menengok, si kembar menangis (Danarto, 1996:223—224).

Setelah empat puluh hari, tokoh Ibu dipenjara dengan keadaan menolak makan,
minum, dan berkomunikasi, keesokan harinya ibu diberitakan melarikan diri dari penjara.
Akan tetapi, cara ibu melarikan diri tidak dapat dijelaskan oleh teori apa pun karena
gembok selnya tetap terkunci. Hal ini disadari tokoh saya seperti kutiapan berikut.
“Kelihatannya memang ada sesuatu yang dirahasiakan,” sahut saya sambil
menyeruput kopi di meja kamar tidur tempat ibu biasa menaruh kain-kain
jahitannya. “Kelihatannya mereka juga tidak habis mengerti. Tetapi
ketidakmengertian itu tidak pernah mereka kemukakan.” (Danarto, 1996:226).

Baru satu hari tokoh Ibu dinyatakan melarikan diri, tersebar berita di surat kabar
mengenai obat yang dilarang beredar karena berbahaya. Berita ini menggembirakan
tokoh aku karena ia memperolah pembenaran bagi tindakan ibunya. Ia juga yakin bahwa
ibunya juga mengetahui berita di koran itu.
Perilaku sufistik lain yang tampak dilakukan oleh tokoh Ibu berkaitan dengan
makam rela (rida), yaitu menerima kada dan kadar Allah Swt. serta mengeluarkan rasa
benci sehingga yang tinggal hanyalah rasa senang, tidak meminta imbalan atas amal
ibadahnya dan lebih dari itu merasa senang jika ditimpa musibah sebagaimana senangnya
ia ketika menerima nikmat (Ensiklopedi Islam, 1994:125). Kerelaan tokoh Ibu dalam
cerpen ini terlihat dari sikapnya dengan gaji Rp100.000,00 per bulan. Ia tetap
menjalankan tugasnya, melayani pasien dengan sabar tanpa membeda-bedakan siapa
pasiennya. Ia juga menerima keadaan suaminya dengan gaji hanya Rp125.000,00 dengan
lima orang anak. Kerelaan tokoh Ibu ini juga tampak ketika ia diadili kerena tuduhan
menggelapkan obat. Tudingan dan tuduhan jaksa diterimanya dengan diam dan
menangis. Hal ini terlihat dari penuturan tokoh saya seperti dikutipkan berikut.
Kemarahan dan belas kasihan, jalin-menjalin dilontarkan para pengunjung
kepada ibu yang tenang, kadang terlalu tenang, seperti suatu persiapan untuk
menerima risiko yang sudah sewajarnya diterima, yang dipersiapkan jauh hari
yang tentu bisa menimpa siapa pun. Seorang pengunjung meneriaki ibu. Air mata
saya mengalir menyaksikan ibu yang tak berdaya, sekalipun punya pembela,
sekalipun anak lelakinya hadir di dekatnya. Juga para saksi sangat memberatkan
ibu. Mereka dapat bercerita yang memperngaruhi hukim maupun pengunjung
tentang cara-cara ibu melakukan pencurian, yang kedengaran keterlaluan
(Danarto, 1996:222).

Kutipan di atas memperlihatkan nada simpati narator melalui tokoh saya terhadap
tokoh Ibu yang tidak mau membela diri, sekaligus menampakkan nada antipasti terhadap
petugas pengadilan yang telah menuduh tokoh Ibu tanpa bukti yang kuat. Perilaku tokoh
Ibu dalam cerpen “Gandasturi” ini tampak memperlihatkan kesamaan dengan perilaku
Khidr, seorang guru spiritual yang mendapat rahmat dari Allah berupa pengetahuan
langsung dari Allah, ketika ia mendampingi perjalanan spiritual Nabi Musa (Surat al-
Kahfi:64—82). Khidr diceritakan melakukan perbuatan yang zalim, yaitu membocori
perahu dan membunuh seorang anak. Hal ini menyebabkan Nabi Musa memprotes
perbuatannya, walaupun sebelumnya ia telah berjanji tidak akan bertanya mengenai
perbuatan Khidr. Ia juga mendirikan dinding yang hampir roboh yang juga mengundang
protes Nabi Musa karena ia dapat mengambil upah dari perbuatannya itu. Ketika mereka
akan berpisah, barulah Khidr mengemukakan latar belakang perbuatannya itu. Perahu
yang dibocorinya itu milik nelayan miskin. Karena ada raja zalim yang akan merampas
perhunya jika ia melaut, maka dibocorinyalah perahu itu, sehingga ia akan terhindar dari
perbuatan itu. Ayah dan ibu anak yang dibunuhnya itu adalah seorang yang saleh.
Dikhawatirkan, anak itu akan menyebabkan kekafiran bagi orang tuanya sehingga ia
membunuhnya. Allah akan menggantinya dengan anak yang lebih baik dari itu. Di tempat
dinding yang didirikan itu tersimpan harta anak yatim yang orang tuanya saleh sehingga
ia memperbaiknya jangan sampai roboh. Orang tuanya ingin agar harta itu dapat dikelola
anak itu setelah ia dewasa.
Tokoh Ibu yang dituduh menggelapkan obat di rumah sakit tempat ia bekerja,
tampaknya mengetahui bahwa obat itu berbahaya jika diberikan kepada pasien. Ia juga
tampaknya tidak mengambil obat itu untuk dijual demi mencukupi kebutuhan hidupnya.
Hal ini dituturkan narator melalui tokoh saya seperti berikut.
… pikiran saya berputar-putar sekitar ibu, apa benar ibu telah melakukan
pencurian selama satu tahun di tempat pekerjaannya. Ibu, yang jujur itu, telah
melakukan pencurian? Ibu yang mengabdikan diri untuk melayani orang-orang
sakit selama 15 tahun dengan penuh kesabaran, tanpa membeda-bedakan siapa
pun, telah melakukan pencurian? Dari tiga kapsul sehari yang seharusnya
disajikan kepada pasien untuk pagi, siang, dan sore diantara kapsul dan obat yang
lain, ibu mengantungi tambahan penghasilan yang tetap juga belum mencukupi
untuk menghidupi lima orang anak, mengingat gaji ibu hanya seratus ribu rupiah
sebulan dalam pengabdiannya selama 15 tahun, biarpun ditambah gaji ayah
sekitar seratus dua puluh lima ribu rupiah (Danarto, 1996:222).

Kutiapan di atas juga memperlihatkan nada simpati tokoh saya terhadap tokoh
Ibu. Jawaban atas perbuatan ibu yang tidak memberikan obat-obat itu kepada pasien
terungkap setelah ia diketahui melarikan diri dari tahanan. Hal ini terlihat dari penuturan
tokoh saya seperti kutipan berikut, yang memperlihatkan sikap puasnya terhadap berita
itu karena ia merasakan kebenaran perbuatan ibunya.
Esoknya surat kabar-surat kabar memberitakan tentang ratusan obat yang
ditarik dari peredaran karena bahaya. Di antaranya termasuk obat yang dicuri ibu.
Obat-obat itu sudah lama dikonsumsi begitu bebasnya oleh seluruh lapisan
masyarkat. Mendengar hal ini hati saya menggelegak. Saya tidak tahu kenapa.
Apakah saya sedang mencari pembenaran untuk kelakukan ibu itu. Entahalah,
seandainya saya bisa bertemu ibu dalam waktu dekat ini. Ah, tapi saya rasa ibu
juga sudah mendengar berita itu (Danarto, 1996:227).

Tindakan tokoh Ibu yang menolak makan, minum, dan berbicara selama empat
puluh hari di penjara dapat diinterpretrasikan sebagai tindakan spiritual dalam rangka
mendekatkan diri kepada Tuahan sehingga ia mencapai fana, yaitu fana at-tams (sirna).
Sufi yang mengalami fana at-tams ini sifat-sifat jasmaniahnya lenyap sama sekali. Ia
tidak pernah makan tetapi tidak merasakan lapar, tidak pernah minum tetapi tidak
merasakan haus, tidak tidur tetapi tidak merakan kantuk. Walaupun demikian, semua itu
dilakukannya dengan tidak mencelakan dirinya (Quds dikutip Purwadaksi, 1992:14—17).
Sikap tokoh Ibu ketika di pengadilan, tampaknya merupakan kesengajaan karena
kehidupan di alam modern ini, pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman spiritual
tidak dapat diterima. Pengetahuan seperti ini di dalam dunia tasawuf dikenal dengan ilmu
laduni, yaitu ilmu yang langsung diberikan Allah kepada hamba-Nya yang dikehendaki-
Nya (Armstrong, 1998:113). Hanya pengetahuan yang diperoleh secara empiriklah yang
diakui.
Peristiwa lenyapnya tokoh Ibu dari penjara, yang akhirnya diketahui meninggal
dan dikuburkan di sisi kubur suaminya, dapat diinterpretrasikan sebagai berpisahnya ibu
dari kehidupan dunia, termasuk kehidupan anak-anaknya, menuju kehidupan spiritual
secara total. Peristiwa ini bersamaan waktunya dengan trebukanya latar belakang
perbuatannya yang tidak memberikan sejumlah obat tertentu kepada pasien di rumah
sakit tempat ia bekerja. Selain itu, lenyapnya tokoh Ibu dari penjara dengan misterius,
tampaknya dapat pula diinterpretasikan sebagai pelenyapan saksi yang dapat
memberatkan kesalahan seseorang dalam tindakan kejahatan, dalam hal ini pemberian
obat yang ternyata dapat membahayakan pemakainya. Dengan pelenyapan saksi itu,
kejahatan itu tidak dapat diungkap. Dengan demikian, kematian tokoh Ibu itu dapat
diinterpretasikan sebagai kematian secara fisik.

3) Latar Belakang Perilaku Sufistik


Dari uraian mengenai perilaku sufistik yang dilakukan para tokoh dalam cerpen
“Gandasaturi” ini, terlihat bahwa tokoh saya melakukan perilaku sufistik bukanlah untuk
menyatukan diri dengan Tuhan atau memperoleh kemampuan yang luar biasa, melainkan
didorong oleh kesadarannya untuk mengemban amanah. Amanah dimaksud adalah
tanggung jawab dalam kedudukan sebagai anak tertua. Dengan tidak adanya kedua orang
tuannya, ialah yang menggantikan kedudukan mereka. Kesadaran ini dilandasi oleh rasa
kasih dan sayangnya terhadap keempat orang adiknya. Pengabdinya kepada keluarganya
ini merupakan sarana untuk mengabdi kepada Allah.
Tokoh Ibu melakukan perilaku sufistik juga dilaratbelakangi oleh keinginan untuk
meningkatkan pengabdiannya kepada sesama makhluk sebagai sarana pengabdiannya
kepada Allah. Oleh sebab itu, ia tidak mempersoalkan berapa besar gaji yang
diterimanya. Akan tetapi, setelah dunia di sekitanya tidak dapat mengerti tentang
kebernaran yang dilakukannya, ia mengambil jarak dengan dunia yang ada di luar dirinya
itu. Penolakkannya untuk makan. Minum, dan berbicara dilakukannya untuk lebih
mendekatkan diri kepada Allah sehingga ia sampai pada makam fana. Oleh sebab itu, ia
tidak merasakan kemudaratan dari perbuatannya itu sampai ia dinyatakan hilang dan
akhinya diketahui meninggal.
BAB III
SIKAP IMPLIED AUTHOR TERHADAP PRILAKU SUFISTIK

3.1 Pendahuluan
Dalam bab ini akan dipaparkan sikap implied author terhadap prilaku sufistik.
Sikap ini diangkat dari uraian tentang prilaku dan sikap sufistik tokoh yang terdapat
dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto yang terdapat dalam bab sebelum ini.
Secara garis besar, prilaku dan sikap sufistik tokoh dalam kumpulan cerpen
Gergasi ini adalah sebagai berikut.
Ada tokoh yang berprilaku dan bersikap menerima dengan sabar dan rela setiap
peristiwa yang menimpa dirinya (rumah tangganya), walaupun peristiwa itu tidak
menguntungkannya. Ada juga tokoh yang bersikap rela menerima kondisi yang ada di
luar rumahnya (pekerjaan dan pengadilan). Hal ini disebabkan oleh loyalitasnya yang
tinggi dan ketidakberdayaannya membuktikan kebenaran yang diyakininya.
Ada juga tokoh yang berprilaku dan bersikap menerima segala peristiwa yang
menimpanya dengan rela dan tabah. Semua itu dilakukannya karena kesalehan dan
kepatuhannya kepada Tuhan.
Ada juga tokoh yang kritis dalam menyikapi kondisi yang ada di sekitarnya
(rumah tangga). Hal ini dilakukan para tokoh karena mereka mengaggap bahwa kondisi
yang ada itu tidak sesuai dengan aturan-aturan agama. Sikap kritis mereka itu ada yang
hanya terbatas pada sikap menjauhi kondisi itu. Akan tetapi, ada juga yang berupaya
memerangi kondisi itu dengan berbagai cara, baik dengan hartanya, dengan gagasannya,
dengan tenaganya, dan dengan kemampuannya. Bahkan, ada juga yang berupaya
memerangi kondisi itu dengan segenap jiwa dan raganya, dan tanpa mengenal lelah.
Selain itu, ada juga tokoh yang kritis terhadap kondisi pemerintahan yang korupsi
dan para pemimpin yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadinya.
Sikap dan perilaku kritis ini berupa kritik terhadap pemerintahan yang tidak amanah itu
dan memberi kemanfaatan bagi sesama manusia.
Ada perilaku dan sikap pemimpin yang ideal, yang memimpin penuh kasih
sayang, sehingga ia tidak saja disayangi oleh rakyatnya, tetapi juga sangat diinginkan
oleh rakyat negara lainnya.
Ada tokoh yang kritis terhadap kesenjangan ekonomi yang terjadi di
lingkungannya. Sikap dan prilaku kritis itu berupa sikapnya yang penuh perhatian dan
merelakan yang dimilikinya untuk kepentingan para miskin.
Ada tokoh yang bersikap menyerahkan segala masalah yang ada secara total
kepada Tuhan tetapi ada juga yang menyerahkannya kepada Tuhan setelah melakukan
usaha. Bahkan ada juga tokoh yang bersikap menentang kehendak Tuhan itu. Dengan
demikian, dalam kumpulan cerpen Gergasi karya Danarto ini dijumpai juga sikap yang
ambivalen.
Berdasarkan uraian mengenai prikalu dan sikap sufistik tokoh dalam kumpulan
cerpen karya Danarto ini, dapat disimpulkan tentang sikap implied author terhadap
tasawuf itu. Dalam hal ini, implied author melandasinya dengan pandangan tasawuf, baik
tasawuf klasik maupun tasawuf modrn. Oleh sebab itu, berikut ini akan dikemukakan
kedua jenis tasawuf itu.
3.2 Tasawuf Klasik dan Tasawuf Modern
Aktifitas tasawuf dari satu masa ke masa yang lain sering memperlihatkan
perbedaan. Bahkan antara sufi yang satu dengan sufi yang lain dalam satu masa pun
kadang-kadang memperlihatkan adanya perbedaan itu. Hal ini dipandang biasa seperti
dikemukakan Imam Junaid sebagaimana dikutip Siraj (2000:46) bahwa seorang sufi itu
ibarat air. Ia tidak mempunyai warna tertentu sehigga warnya tergantung pada tempatnya.
Bila air itu ditempatkan dalam bejana merah, ia akan tampak merah, dan bila ia berada di
dalam bejana hijau ia pun akan tampak hijau pula. Ia akan selalu menyesuaikan diri pada
zamannya.
Akhir-akhir ini sering disebut ada tasawuf modern yang dipertentangkan dengan
tasawuf klasik. Tasawuf klasik lebih banyak menekankan dimensi theo filosofis,
membicarakan masalah ketuhanan dan menyatu dengan-Nya. Tasawuf jenis ini jarang
sekali membicarakan bagaimana membina moral umat. Para sufi cenderung menarik diri
dari kramaian dunia dan menjauhi kekuasaan. Oleh sebab itu, tasawuf klasik ini sering
diidentikkan dengan pelarian dari dunia kasat mata ke dunia spiritual. Para sufi menjadi
individu yang egois, lari dari dunia yang penuh kebengisan dan kezaliman
(Syukur,1997:108-110). Sikap para sufi seperti ini merupakan sikap protes mereka
terhadap kenyataan sejarah pada masanya berupa ketidakpuasan terhadap praktik Islam
yang cenderung formalisme dan legalisme, serta munculnya ketimpangan politik, moral,
dan ekonomi di kalangan umat Islam, khusunya di kalangan penguasa. Protes yang
dilakukan para sufi ini dapat juga dikatakan sebagai tanggung jawab sosial
(Syukur,1997:111).
Beberapa sufi yang dapat dikatakan dari kelompok tasawuf klasik ini antara lain
adalah Ibrahim bin Adham, Rabiah al-adawiyah, Hasan al-Basri, Abu Zar al-Gifari,
Abdul Qodir Jailani, dan Ibn Atailah (Syukur, 1997:105—111).
Istilah tasawuf modrn di Indonesia digunankan oleh Hamka untuk judul bukunya
yang membicarakan masalah tasawuf, yaitu Taswuf Modern (1987). Tasawuf modern ini
sering juga disebut dengan noe-sufisme (Syukur, 1997:139). Ada juga yang menyebutnya
dengan tasawuf positif (Madjid,1998:1) dan ada juga yang menyebutnya sebagai akhlak
atau etika Islam (Rahman, 1987:167). Al-Jauziyah dalam bukunya Madarijus Salikin:
Pendakian Menuju Allah (2000), menyebutnya sebagai penjabaran konkrit iyyaka
na’budu wa iyyaka nastain hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu
kami memohon pertolongan, yang merupakan ayat kelima surat al-Fatihah.
Tasawuf modern merupakan tasawuf yang terintergaerasi di dalam kehidupan
sehingga tidak eksklusif. Tasawuf modern ini mengambil rujukannya dari Quran dan
hadis Nabi Muhammad Saw., serta kehidupan Nabi Muhammad Saw. itu sendiri.
Al-Quran tidak melarang umatnya menikmati dunia, Quran membolehkan
memakai perhiasan yang baik, dan memakan makanan bergizi. Yang dilarang adalah
yang berlebih-lebihan (surat al-A’raf:31). Semua kesenangan ini memang disediakan bagi
umat yang beriman di akhirat kelak (surat al-A’raf:32). Quran juga mengajarkan umat
agar menjalani kehidupan di dunia ini secara wajar dan proporsional, jangan sampai
mengejar dunia tetapi melupakan akhirat, atau sebaliknya mengejar akhirat dengan
mengabaikan kehidupan di dunia ini, dan jangan sampai melupakan Allah Swt. (surat al-
Munafiqun:9); Quran memang melarang umat jangan sampai tergantung kepada materi
sehingga menjadikan mereka amat bersedih jika hartanya lepas dari tangannya dan amat
bergembira terhadap harta yang diperolehnya (surat al-Hadid:23). Di dalam kehidupan,
manusia diperintahkan untuk bekerja keras sebagai bekal di dunia ini (surat al-
Jumu’ah:10) dan hasilnya diperuntukkan bagi kehidupan akhirat, tanpa melupakan
porsinya di dunia ini (surat al-Qashash:77). Harta yang lebih diinfakkan ke jalan Allah,
kedudukan yang diraih dipakai sebagai sarana pengabdian kepada Allah. Harta tidak saja
dipandang sebagai aset ekonomi tetapi difungsikan sebagai aset sosial dan aset Ilahiyah.
Dengan demikian, akan tercipta keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Menurut al-Quran kedudukan manusia di muka buni ini adalah sebagai hamba
Allah (surat az-Zariyat:56) dan sebagai khalifah-Nya (surat al-Baqarah:30 dan surat
Shad:26). Sebagai hamba Allah, manusai wajib beribadah kepada-Nya dalam arti seluas-
luasnya. Dalam arti sempit, manusia harus melaksanakan ibadah seseuai dengan aturan
agama yang telah ditetapkan. Dalam arti luas, manusia diwajibkan melakukan amal saleh
dengan niat yang iklas hanya untuk mengharap rida-Nya.
Seorang khlaifah yang bertugas di bumi seharusnya memiliki kualifikasi tertentu
dalam mengemban tugas mulia itu. Kualifikasi yang dimaksud antara lain adalah (1)
memiliki kemampuan intelektual, (2) memiliki kreativitas tinggi, (3) memiliki
kemampuan melakuakan pengembangan diri dan berkmunikasi, (4) memiliki kemampuan
teknis, dan (5) memiliki kesanggupan meneladani Tuhan (Syukur,1997:172-175).
Nabi Muhammad Saw. dalam menjalani kehidupannya memperlihatkan perilaku
sufi yang ideal. Jalan sufi yang dibangunnya bukanlah jalan berbalik untuk membangun
mahligai di langit, tetapi jalan turun dari kesadaran langit untuk memenangkan
perjuangan di bumi (Syukur, 1997:143).
Kehidupan Nabi Muhammad Saw. beserta para sahabatnya merupakan
pengejawantahan Quran. Meraka aktif menggeluti kehidupan dunia dalam rangka menuju
kehidupan akhirat. Mereka tidak mengisolasi diri dan tidak eksklusif terhadap dunia.
Nabi Muhammad juga terkenal hidup sederhana, bahkan cenderung miskin, tetapi
kedermawanannya luar biasa. Ibadahnya kepad Allah juga amat kuat, walaupun ia
dijamin Allah masuk surga. Beliau tidak memisahkan kehidupan dunia dan akhirat,
bahkan bagi beliau “dunia ini merupakan ladang akhirat “. Intergritas kehidupan Nabi
Muhammad Saw. dan para sahabatnya ini dapat dilihat dari aktivitas mereka di dunia. Di
samping sebagai kepala rumah tangga, beliau juga aktif dalam lapangan sosial, politik
ekonomi, perang, dan sebagainya. Akhlak beliau pun teladan bagi semua umatnya
(Syukur,1997:17-30). Dari segi akhalak, Nabi Muahammad Saw. sendiri dalam salah satu
hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim (dalam Idrus, 1996:11) mengatakan,
“Saya diutus adalah untuk memperbaiki dan menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Itulah sebabnya, Nurbakhsh dalam jurnal Sufi (1993:4) mengemukakan bahwa
ajaran utama dalam tasawuf ada dua hal. Pertama, merupakan pesan sosial etika
mengajarajan agar para sufi menjadi manusia mulia, berprikemanusiaan, menyayangi,
dan melayani sesama makhluk. Kedua, merupakan pesan psikologis dan berhubungan
dengan batin, yang mengajarkan para sufi untu meyakini, mencari, dan memandang
Tuhan sebagai realitas Mutlak. Pesan ini memfokuskan pada ajaran kesatuan dalam
semua ciptaan atau makhluk.

3.3 Pandangan Implied Author tentang Tasawuf


Pandangan tasawuf dipakai implied author untuk menyoroti masalah sosial,
ekonomi, politik, kebudayaan, dan keagamaan. Secara eksplisit, dijumpai sejumlah nama
tokoh spiritual, yaitu Rabiah al-Adawiyah, Nabi Musa, Maryam, Ibrahim bin Adham,
para pemuda gua (Ashabul Kahfi), dan Khidr. Tokoh sufi wanita Rabiah al-Adawiyah
dalam teks cerpen dijadikan sebagai referen untuk tokoh seorang istri yang amat
bijaksana dalam mengurus rumah tangganya, dan memiliki cinta yang tulus kepada
suaminya sehingga di dadanya tidak ada sedebu kebencian pun kepada suaminya yang
melakukan perselingkuhan dengan wanita lain. Dengan demikian, ia dapat menjaga
keharmonisan rumah tangganya dengan sikap dan perilakunya itu.
Tokoh Nabi Musa dalam teks cerpen dijadikan referen secara tidak langsung
untuk tokoh laki-laki pembawa berita yang memiliki sifat patuh kepada Allah, rela
menerima keputusan yang ditetapkan Allah, dapat berkomunikasi secara langsung dengan
Tuhan, serta dapat berkomunikasi dengan makhluk lain. Sifatnya yang seperti itu
mengakibatkan Allah pun meridainya.
Tokoh Maryam dalam teks cerpen dijadikan sebagai referen untuk tokoh Nari,
yang suci dan mengalami kehamilam tanpa disentuh laki-laki. Ia mengasingkan diri
bersama kehamilannya hingga anaknya lahir. Bahkan, ia membesarkan dan mendidik
anaknya sendiri dalam pengasingannya itu.
Tokoh spiritual Ibrahim bin Adham, dijadikan sebagai referen untuk tokoh
pangeran yang memiliki sifat-sifat penuh kasih sayang dalam memimpin kerajaannya,
sehingga ia amat dicintai, bukan saja oleh rakyatnya tetapi juga oleh rakyat negara
tetangganya. Akhirnya, tokoh ini meninggalkan istana dan jabatannya itu untuk mencari
rida Allah.
Tokoh para pemuda dalam gua dijadikan sebagai referen untuk tokoh saya yang
mengalami perjalanan spiritual yang lama, sehingga ketika ia kembali ke dunia faktual,
segala sesuatu yang ada telah berubah menjadi serba modern.
Tokoh spiritual Khidr dijadikan sebagai referen untuk tokoh ibu yang memiliki
sifat rela, sabar, dan berdedikasi tinggi dalam pekerjaan. Ia melakukan tindakan yang
dipandang mencelakai orang lain sehingga ia dihukum. Padahal, ia melakukan hal itu
dilandasi ilmu laduni yang dimikinya.
Pandangan tasawauf implied author juga terlihat dari adanya kemampuan luar
biasa (kekeramatan) yang dimiliki tokoh. Kekeramatan ini dimilki tokoh karena
kesalehan dan kedekatannya dengan Tuhan. Ada juga tokoh yang memiliki atau
mengalami pengalaman luar biasa ini semata-mata karena anugerah Allah.
Dalam teks cerpen Danarto yang diteliti ini, kemampuan luar biasa, yang
merupakan kemampuan para sufi, digunakan implied author untuk membela atau
memenangkan tokoh dalam menghadapi masalahnya, memperkuat keyakinan yang
dimiliki tokoh, dan menimbulkan simpati tokoh lain. Dengan demikian, kemampuan luar
biasa ini digunkan implied author untuk memberikan nilai lebih kepada tokoh yang
menggeluti tasawuf.
Pandangan ketasawufan implied author cenderung pada pandangan ketasawufan
tasawuf modern. Hal ini terlihat dari integritas tokoh dalam kehidupan. Dengan demikian,
menurut pandangan implied author seorang penempuh jalan spiritual, seorang sufi di
zaman modern ini, tidak perlu mengeksklusifkan diri. Ia harus aktif di dalam kehidupan
dan berperan serta dalam meghadapi masalah yang ada di dalam kehidupan ini. Ia harus
betul-betul dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi ini untuk
memakmurkan bumi ini dengan tetap mendekatkan diri kepada Allah.

3.4 Pandangan Implied Author tentang Perilaku Sufistik


Sikap rela menerima ketentuan yang datang dari Tuhan merupakan sikap yang
tidak dapat ditawar dalam kehidupan. Sikap ini diperlukan baik dalam upaya memperoleh
kepuasan hidup di dunia ini, maupun dalam upaya mencapai keridaan Allah.
Implied author menyadari adanya ketimpangan-ketimpangan di dalam kehidupan
ini yang menimbulkan ketidakadilan. Oleh sebab itu, ia mengagumi sikap rela itu dan
sekaligis berpandangan bahwa sikap itu harus dibiasakan. Dengan sinis implied author
menertawakan orang-orang yang berusaha menolak ketentuan yang diberikan Tuhan
kepadanya.
Sikap bersyukur kepada Allah merupakan sikap yang penting sekali bagi manusia.
Sikap ini harus diperlihatkan bukan saja ketika mendapat nikmat Allah, tetapi juga ketika
merasakan hal yang tidak menyenangkan. Implied author menyadari bahwa hal yang
tidak disukai itu sering sekali dijumpai dalam kehidupan sehingga melupakan manusia
untuk bersyukur. Oleh sebab itu, ia bersimpati kepada orang yang tetap bersyukur
walaupun tidak mendapat nikmat Allah.
Prilaku kezuhudan dipandang sikap yang amat diperlukan dalam kehidupan.
Sikap ini tdak saja diperlukan untuk menghindari hal-hal yang haram, tetapi juga
menghindari hal-hal yang halal tetapi digunakan secara berlebihan-lebihan. Bahkan,
kezuhudan dipandang sebagai cara yang efektiif untuk lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Implied author menyadari bahwa pemerolehan harta secara haram sering dijumpai
dalam kehidupan. Begitu juga halnya dengan penggunaan harta yang halal secara
berlebihan dengan sikap hidup yang hedonistik melanda kehidupan masyarakat
menengah ke atas. Semua ini dipandang sebagai penghalang untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Oleh sebab itu, ia bersimpati dan mendukung orang yang melakukan
kezuhudan itu, baik kezuhudan yang terintegerasi dalam kehidupan maupun kezuhudan
yang eksklusif terhadap kehidupan. Implied author juga bersimpati juga mendukung isar
dan futuwwah yang merupakan akhlak zuhud. Kedua perilaku ini dapat menjadikan harta
bukan saja sebagai aset ekonomi tetapi juga sebagai aset sosial dan aset keilahian. Kedua
perilaku itu dipandang sebagai cara yang efektif untuk memerangi keburukan. Dengan
sinis implied author menertawakan ketololan orang-orang yang bersikap hidup hedonistik
dan orang-orang yang memperoleh harta dengan cara yang tidak halal. Ia juga
berpandangan bahwa kezuhudan dan perjuangan memerangi keburukan itu perlu
dilanjutkan. Walaupun demikian, ada juga sikap yang menentang perilaku kezuhudan ini,
akan tetapi penentangan ini tidak berasal dari tokoh utama.
Sikap tawakal, baik tawakal yang disertai dengan usaha maupun tawakal secara
total kepada Allah merupakan hal yang tidak dapat ditawar dalam kehidupan di dunia ini.
Ketawakalan ini dipandang sebagai puncak tauhid, karena Allah adalah satu-satunya
pelaku. Dengan ketawakalan, manusia dapat keluar dari masalah yang dihadapinya dan
dapat mewujudkan keingannanya.
Implied author menyadari bahwa di dalam kehidupan sekarang ini, manusia lebih
mengandalkan kekuatan dirinya dan kekuatan lain sealain dari kekuatan Allah. Oleh
sebab itu, ia bersikap simpati dan bangga terhadap manusia yang melakukan segala
usahanya yang disertai oleh sikap tawakal. Sebaliknya, ia menertawakan orang yang
memaksakan diri melawan kehendak Allah. Selain itu, ada juga sikap yang menentang
ketawakalan ini, akan tetapi sikap menentang ini tidak bersal dari tokoh utama. Selain itu,
terdapat juga pandangan bahwa ketawakalan ini perlu terus dibiasakan di dalam
kehidupan.
Cinta, baik cinta kepad Allah, kepada sesama manusia, maupun kepada makhluk
lain, amat diperlukan dalam kehidupan ini. Kecintaan ini dipandang sebagai dasar untuk
menciptakn kehidupan yang harmonis dan menciptakan cinta itu sendiri. Selain itu, cinta
merupakan sarana untuk meleburkan diri dengan Tuhan, sehingga ia mampu menyerap
sifat-sifat dan asma tuhan ke dalam dirinya. Implied author menyadari bahwa kehidupan
ini dipenuhi ketimpangan, yang antara lain berupa pengabaian terhadap cinta itu. Hal ini
menimbulakan ketidakadialan, penyalahgunaan kekuasan, dan perbuatan buruk lainnya.
Oleh sebab itu, ia bersimpati terhadap orang yang melandasi segala perbuatannya dengan
rasa cinta, baik perilaku cinta yang terintegerasi dalam kehidupan maupun yang
tereksklusif dari kehidupan. Sebaliknya, implied author bersikap sinis terhadap orang
yang mempermainkan cinta, bahkan tidak memiliki rasa cinta. Ia juga berpandangan
bahwa perilaku dan rasa cinta ini perlu terus ditebarkan, baik cinta terhadap Tuhan,
maupun terhadap sesama makhluk. Akan tetapi, ada juga sikap yang menentang perilaku
cinta ini, walaupun tidak berasal dari tokoh utama.
Fana dipandang sebagai situasi yang sangat didambakan oleh setiap sufi. Akan
tetapi, untuk mencapai situasi ini diperlukan kesalehan yang kuat disertai latihan yang
panjang. Seorang sufi yang berhasi mencapai fana ini, dapat merasakan kebahagiaan
yang luar biasa karena ia merasa dekat sekali dengan Tuhan. Keadaan ini selalu diikuti
oleh baka sehingga kebersamaan dengan Tuhan itu berlangsung lebih lama.
Implied author menyadari bahwa di dalam kehidupan di alam modern ini, orang-
orang yang menggeluti dunia tasawuf tergolong langka, sementara kesadaran untuk
mematuhi norma-norma agama menipis. Oleh sebab itu, ia bersimpati dan bangga
terhadap orang yang menggeluti dunia tasawuf, apalagi berhasil sampai ke makam fana
dan baka ini.
Hal dipandang sebagai anugerah yang diberikan Allah kepada hamba-Nya yang
dikehendaki-Nya. Di dalam kehidupan sehari-hari hal ini jarang sekali dijumpai.
Berdasarkan pandangan itu, implied author beranggapan bahwa orang yang mengalami
hal, tentulah orang yang dikendaki Allah. Oleh sebab itu, ia bersikap simpati kepada
orang yang menerima hal itu.
Insan Kamil merupakan manusai yang peripurna, tipe manusai ideal yang sangat
didambakan. Insan kamil dapat menyerap sfat-sifat dan asma Allah ke dalam dirinya,
sehingga tingkah lakunya selalu mencerminkan akhlak Allah. Tipe manusia seperti ini
amat diperlukan dalam mengemban amanah Allah melestariakan bumi ini. Implied
author menyadari bahwa manusia ideal, manusia yang paripurna seperti ini sulit sekali
dijumpai. Oleh sebab itu, ia bersimpati dan mengagumi manusia yang tergolong
paripurna ini. Ia juga berpandangan bahwa perilaku manusia paripurna ini seharusnya
dikikuti.
Dari uraian mengenal sikap implied author terhadap perilaku sufistik ini dapat
disimpulkan bahawa terdapat sikap ambivalen terhadap perilaku sufistik ini. Di satu sisi
ia bersimpati dan bangga terhadap orang yang melakukan perilaku sufistik. Di sisi lain ia
menentang perilaku sufistik itu. Akan tetapi, keberpihakannya tertuju kepada orang yang
melakukan perilaku sufistik, sehingga orang yang melakukan perilaku sufistik itu selalu
dimenangkan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasrkan uraian yang terdapat dalam bab-bab sebelumnya, yaitu bab II bab III
mengenal prilaku sufistik tokoh dan latar belakang tokoh melakukan prilaku sufistik itu,
serta sikap implied author cerpen-cerpen Gergasi terhadap perilaku sufistik, dapat
disimpulkan sebagai berikut.
Pertama, ada sepuluh perilaku sufistik yang dijumpai dalam kesembilan cerpen
yang diteliti dalam penelitian ini. Kesepuluh perilaku sufistik itu merupakan perilaku
pada makam-makam sabar, zuhud, isar, futuwwah, rela, syukur, tawakal, cinta, fana, dan
baka. Ada juga tokoh yang mengalami hal, dan ada juga yang mencapai predikat insan
kamil.
Kedua, perilaku sufistik yang paling banyak dijumpai, yang tampak dilakukan
para tokoh adalah zuhud (6), disusul oleh tawakal (5), rela (4), futuwwah, cinta, dan fana
(3), isar dan sabar (2), syukur, hal, baka, dan insan kamil (1).
Ketiga, kezuhudan yang dilakuakn oleh para tokoh terlihat beragam. Ada
kezuhudan dalam arti meninggalkan hal yang haram, seperti tampak dalam cerpen
“Dindning Ayah”, ada juga dalam pengertian menghindari hal-hal yang halal tetapi
berlebih-lebihan (pemborosan), seperti tampak dalam cerpen “Bulan Sepotong
Semangka” ada juga yang memang memalingkan diri dari keduniaan sehingga ia
mengeksklusifkan diri, seperti tampak pada cerpen “Gaharu” dan “Gandasturi”. Ada juga
perilaku kezuhudan yang merupakan hasil atau akhlak zuhud, yaitu isar (kedermawanan
yang tinggi) dan futuwwah (keksatriaan). Perilaku isar (kedermawanan yang tinggi)
tampaknya dijumpai dalam cerpen “Semak Belukar” dan “Balairung”, sedangkan
perilaku futuwwah (keksatriaan) tampaknya dijumpai dalam cerpen “Dinding Ayah”,
“Balairung”, dan “Semak Belukar”.
Keempat, kezuhudan yang dilakuakn oleh para tokoh ini, tampaknya sesuai
dengan konteks kehidupan yaitu masyarakat yang dikusai oleh keserakahan sehingga
dalam menjalankan usaha atau menjalankan kekuasaan, para pengusaha atau pengusaha
itu mengabaikan nilai-nilai moral. Kezuhudan yang mereka lakukan ini selain sebagai
proses sosial, juga merupakan keterlibatan langsung dalam memerangi kejahatan.
Kelima, ketasawufan yang dilakuakn para tokoh beragam. Ada ketasawufan yang
merupakan penyerahan secara total terhadap kekuasan Allah, seperti dalam cerpen
“Bulan Sepotong Semangka”, “Gaharu”, dan “Gandasturi”. Ada pula ketawakalan yang
dilakuakan setelah usaha baru penyerahan kepada Tuhan itu dilakukan. Ketawakalan
jenis ini tampak dijumpai dalam cerpen “Gaharu” dan “Gandasturi”. Baik ketawakalan
secara total maupun ketawakalan yang dilakukan dengan disertai usaha, tampaknya
berhasil membawa pelakunya pada kehidupan yang tenang.
Keenam, kerelaan yang dilakukan para tokoh dijumpai dalam cerpen “Allah
Berkenan Mengejawantah. Lusa “ dan “Bulan Sepotong Semangka”. Kerelaan yang
tampak dilakukan oleh tokoh pada kedua cerpen ini adalah kerelaan dalam menerima
yang tidak menyenangkan. Kerelaan yang dilakukan oleh kedua tokoh dalam kedua
cerpen ini dilandasi oleh keyakinan yang kuat akan kekuasaan Tuhan.
Ketujuh, perilaku makam cinta dijumpai dalam cerpen “Rembulan di Dasar
Kolam”, “Diinding Waktu”, dan “Semak Belukar”. Perilaku cinta yang ditampakkan oleh
ketiga cerpen ini berbeda. Baik dalam cerpen “Rembulan di Dasar Kolam“ maupun
dalam cerpen “Semak Belukar”, kecintaan yang dilakukan para tokohnya adalah
kecintaan kepada sesama makhluk, dalam hal ini kecintaan terhadap suami dan terhadap
semut. Kecintaan yang diberikan kepada sesama makhluk ini dipandang sebagai sarana
untuk mencintai dan dicintai Tuhan. Kecintaan yang dijumpai dalam cerpen “Dinding
Waktu”, adalah cinta yang transendental, cinta yang mutlak kepada Tuhan. Baik
kecintaan terhadap sesama makhluk maupun kecintaan terhadap Tuhan secara mutlak,
selain mendatangkan kebahagiaan timbal-balik dan kedamaian, juga mampu mengatasi
masalah sosial yang ada di masyarakat.
Kedelapan, prilaku makam fana dijumpai dalam cerpen “Allah Berkenan
Mengejahwantah. Lusa”, “Dinding Waktu”, dan “Gandasturi”. Fana yang dialami oleh
ketiga tokoh dalam ketiga cerpen ini merupakan anugerah Allah kepada mereka atas
ketulusan cinta mereka kepada Allah.
Kesembilan, perilaku kesabaran tampak dalam cerpen “Rembulan di Dasar
Kolam” dan “Balairung”. Kesabaran yang dilakukan oleh kedua tokoh dalam kedua
cerpen ini tampak ketika mereka menghadapi tuduhan yang datang kepada mereka yang
tidak beralasan. Dengan kesabaran ini para tokoh mampu berpikiran jernih dan mengatasi
masalah mereka dengan lebih baik.
Kesepuluh, perilaku syukur dijumpai dalam cerpen “Allah Berkenan
Mengejawantah. Lusa”. Kesyukuran dalam cerpen ini berupa kesyukuran walaupun tidak
mendapat anugerah Tuhan. Kesyukuran ini mendatangkan keridaan Allah kepada
pelakunya.
Kesebeas, perilaku makam baka’ dijumpai dalam cerpen “Dinding Waktu”.
Pengalaman baka’ ini dialami tokoh setelah ia mencapai fana sehingga merasakan
kebahagiaan dalam keberadaan dengan Tuhan. Anugerah pada berupa hal dijumpai
dalam cerpen “Semak Belukar”. Hal ini dialami tokoh berupa perjalanan spiritual yang
panjang dan lama. Tokoh yang mencapai predikat insan kamil sijumpai dalam cerpen
“Allah Berkenan Mengejawantah. Lusa”. Hal ini terlihat dari perilakuya yang
menampakkan cahaya keilahian.
Kedua belas, ada perilaku tokoh yang menerima saja segala peristiwa dan kondisi
yang menimpanya atau yang ada di sekitarnya. Akan tetapi, ada juga tokoh yang
berprilaku dan bersikap kritis terhadap peristiwa atau konsisi itu. Semua itu disebabkan
oleh pandangan sufistik yang dianut oleh implied author.
Ketiga belas, pandangan tasawuf implied author secara eksplisit terlihat dari
pemanfaatan nama-nama tokoh spiritual, seperti Rabiah al-Adawiyah, Nabi Musa,
Maryam, Ibrahim bin Adham, Pemuda Kahfi, dan Khidr. Nama-nama ini dalam teks
cerpen dijadikan sebagai referen untuk tokoh yang memiliki sifat dan pengalaman yang
hampir sama dengan tokoh spiritual dimaksud. Selain itu, pandangan tasawuf implied
author terlihat juga dari pemanfaatan kemampuan luar biasa (kekeramatan) yang lazim
dimiliki para sufi. Kekeramatan ini dalam teks cerpennya dijadikan sebagai referen untuk
kemampuan luar biasa yang dimiliki para tokohnya. Pandangan tasawuf implied author
cenderung pada pandangan tasawuf modern. Hal ini mengindikasikan pandangannya
bahwa seorang sufi pada zaman modern ini harus berperan aktif dalam kehidupan dalam
rangka mengemban amanah menjadi khalifah Allah memakmurkan bumi ini.
Keempat belas, semua perilaku sufistik yang dilakuakn para tokoh dipandang
implied Author memang perlu dilakuakn dalam upaya menyikapi dan memecahkan
masalah kehidupan. Oleh sebab itu, ia bersikap simpati dan bangga terhadap pelaku
sufistik itu. Sebaliknya, ia bersikap sinis, mengejek, bahakan mentertawakan orang-orang
yang melakukan perbuatan yang menyimpang dari norma-norma agama. Walaupun
implies author menyadari bahwa perilku sufistik itu sulit dilakukan, ia memandang
bahwa perilaku itu harus dilakukan dan harus diteruskan sepanjang ketimpangan dan
kejahatan di dalam kehidupan ini masih ada. Ada juga sikap implied author yang
menentang perilaku sufistik, akan tetapi sikap ini tidak berasal dari tokoh utama.
Keberpihakkannya tetap terlihat pada sikap simpati dan bangga terhadap perilaku
sufistik.
4,2 Saran
Berdasarkan rumusan kesimpulan di atas., penelitian ini menyarankan hal-hal
berikut.
Pertama, ajaran moral yang dijumpai dalam cerpen-cerpen karya Danarto ini
tinggi. Oleh sebab itu, sosialisasi karya sastra seperti ini amat diperlukan untuk mengatasi
keadaan sebagian masyarakat yang hampir-hampir meninggalkan ajaran moral itu.
Sosialisasai yang paling mungkin adalah lewat pengajaran sastra di dekolah-sekolah,
dengan cara natara lain membaha cerpen-cerpen karya Danarto ini.
Kedua, sejalan dengan fungsi sastra yang dikemukakan oleh Horace adalah dulce
dan utile ‘memberikan kesenangan dan kemanfatan’, mengindikasikan bahwa penelitian
mengenai penggalian kemanfaatan yang terdapat di dalam kary sastra menjadi sama
pentingnya dengan penelitian terhadap segi intrinsik sastra itu, sehingga penelitian
terhadap penggalian kemanfatan karya sastra perlu digalakkan.
Ketiga, penelitian ini memerlukan penelitian lanjutan, misalnya beruap sistem
kekuasan yang terdapat di dalam cerpen-cerpen Danarto itu. Penelitian lanjutan itu, dapat
juga berupa penelitian serupa ini terhadapa karya pengarang-pengarang lain yang
memperlihatkan unsur ketasawufan.
Lampiran
Lampiran 3

Ayat dan terjemahan Quran yang dikutip


Surat al-Baqarah:30

30. Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
Surat al-A’raf:31—32

(31) Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid,
makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

(32) Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah
dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang
beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat."
Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.
Surat al-Araf:143

(143) Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah
Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: "Ya
Tuhanku, tampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu." Tuhan
berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu, maka
jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku." Tatkala
Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh
dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata: "Mahasuci
Engkau, aku bertobat kepada-Mu dan aku orang yang pertama-tama beriman."
Surat at-Taubah:24

(24) Katakanlah "Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum


keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri
kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada
Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah
mendatangkan keputusan-Nya." Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang fasik.
Surat at-Taubah:111

(111) Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka
dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah; lalu mereka
membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat,
Injil dan Al Quran. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?
Maka bergembiralah dengan jual-beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah
kemenangan yang besar.
Surat-an-Nahl:90

(90) Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
Surat al-Isra’:44

(44) Langit yang tujuh, bumi, dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah.
Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian
tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha
Pengampun.
Surat al-Kahfi: 9—26
(9) Apakah kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai
raqim itu), mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengherankan?

(10) (Ingatlah) tatkala para pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua, lalu
mereka berdoa: "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan
sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)."

(11) Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu,

(12) Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara
kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal
(dalam gua itu).

(13) Kami kisahkan kepadamu (Muhammad) cerita ini dengan benar. Sesungguhnya
mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah
pula untuk mereka petunjuk.

(14) Dan Kami meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri, lalu mereka pun
berkata, "Tuhan kami adalah Tuhan seluruh langit dan bumi; kami sekali-kali tidak
menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan
perkataan yang amat jauh dari kebenaran."

(15) Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah).
Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan
mereka)? Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah?

(16) Dan apabila kamu meninggalkan mereka dan apa yang mereka sembah selain Allah,
maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu, niscaya Tuhanmu akan melimpahkan
sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang berguna bagimu dalam
urusan kamu.
(17) Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah
kanan, dan bila matahari terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka
berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda
(kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang
mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan
mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

(18) Dan kamu mengira mereka itu bangun, padahal mereka tidur; dan kami balik-
balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua
lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentulah kamu akan
berpaling dari mereka dengan melarikan diri dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi oleh
ketakutan terhadap mereka.

(19) Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara
mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu
berada (di sini)?" Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari."
Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di
sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa
uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka
hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut
dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorang pun.

(20) Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya mereka akan
melempar kamu dengan batu, atau memaksamu kembali kepada agama mereka, dan jika
demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya."

(21) Dan demikian (pula) Kami mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar
manusia itu mengetahui, bahwa janji Allah itu benar, dan bahwa kedatangan hari kiamat
tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka,
orang-orang itu berkata: "Dirikan sebuah bangunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka
lebih mengetahui tentang mereka." Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka
berkata: "Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya."

(22) Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mereka) adalah tiga orang yang
keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: "(jumlah mereka) adalah lima
orang yang keenam adalah anjingnya", sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan
(yang lain lagi) mengatakan: "(jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah
anjingnya." Katakanlah: "Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang
yang mengetahui (bilangan) mereka kecuali sedikit." Karena itu, janganlah kamu
(Muhammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan
kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemuda itu) kepada seorang pun di antara
mereka.

(23) Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya aku akan
mengerjakan ini besok pagi,

(24) kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah". Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu
lupa dan katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang
lebih dekat kebenarannya daripada ini."

(25) Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun
(lagi).

(26) Katakanlah: "Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka tinggal (di gua);
kepunyaan-Nyalah semua yang tersembunyi di langit dan di bumi. Alangkah terang
penglihatan-Nya dan alangkah tajam pendengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun
bagi mereka selain dari pada-Nya; dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-
Nya dalam menetapkan keputusan."
Surat al-Kahfi:64—82
(64) Musa berkata, "Itulah (tempat) yang kita cari." Lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula.

(65) Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang
telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan
kepadanya ilmu dari sisi Kami.

(66) Musa berkata kepada Khidhr: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu
mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan
kepadamu?"

(67) Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama
aku.

(68) Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

(69) Musa berkata, "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan
aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusan pun."

(70) Dia berkata, "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku
tentang sesuatu apa pun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu."

(71) Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhr
melubanginya. Musa berkata, "Mengapa kamu melubangi perahu itu akibatnya kamu
menenggelamkan penumpangnya? Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan
yang besar.”

(72) Dia (Khidhr) berkata, "Bukankah aku telah berkata, "Sesungguhnya kamu sekali-kali
tidak akan sabar bersama denganku."
(73) Musa berkata, "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah
kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku."

(74) Maka berjalanlah keduanya hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak,
maka Khidhr membunuhnya. Musa berkata, "Mengapa kamu membunuh jiwa yang
bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan
suatu yang mungkar."

(75) Khidhr berkata "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu
tidak akan dapat sabar bersamaku?"

(76) Musa berkata, "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka
janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup
memberikan uzur padaku."

(77) Maka keduanya berjalan hingga tatkala keduanya sampai pada penduduk suatu
negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu
tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding
rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau
kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu."

78. Khidhr berkata, "Inilah perpisahan antara aku denganmu; kelak akan kuberitahukan
kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

(79) Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan
aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang
merampas tiap-tiap bahtera.

(80) Dan adapun anak itu maka kedua orang tuanya adalah orang-orang miskin, dan kami
khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan
kekafiran.
(81) Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak
lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya
(kepada ibu-bapaknya).

82. Adapun dinding rumah itu adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di
bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang
yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar mereka sampai kepada kedewasaannya
dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku
melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-
perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya."
Surat Maryam:16—40

(16) Dan ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al-Quran, yaitu ketika ia menjauhkan
diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah Timur,

(17) maka ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus
roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang
sempurna.

(18) Maryam berkata, "Sesungguhnya aku berlindung daripadamu kepada Tuhan Yang
Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa."

(19) Ia (jibril) berkata: "Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk
memberimu seorang anak laki-laki yang suci."

(20) Maryam berkata, "Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak
pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezina!"

(21) Jibril berkata, "Demikianlah Tuhanmu berfirman, "Hal itu adalah mudah bagi-Ku;
dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari
Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan."
(22) Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu
ke tempat yang jauh.

(23) Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal pohon
kurma, dia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi
barang yang tidak berarti, lagi dilupakan."

(24) Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, "Janganlah kamu bersedih hati,
sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu.

(25) Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan
menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,

(26) maka makan, minum, dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang
manusia, maka katakanlah, "Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan
Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia pun pada
hari ini."

(27) Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya.
Kaumnya berkata, "Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang
amat mungkar.

(28) Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan
ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina",

(29) maka Maryam menunjuk kepada anaknya. Mereka berkata, "Bagaimana kami akan
berbicara dengan anak kecil yang masih di dalam ayunan?"

(30) Berkata Isa, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil)
dan Dia menjadikan aku seorang nabi,
(31) dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;

(32) dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong
lagi celaka.

(33) Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada
hari aku meninggal, dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali."

(34) Itulah Isa putra Maryam, yang mengatakan perkataan yang benar, yang mereka
berbantah-bantahan tentang kebenarannya.

(35) Tidak layak bagi Allah mempunyai anak, Maha Suci Dia. Apabila Dia telah
menetapkan sesuatu, maka Dia hanya berkata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia.

36) Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia oleh kamu
sekalian. Ini adalah jalan yang lurus.

(37) Maka berselisihlah golongan-golongan (yang ada) di antara mereka. Maka


kecelakaanlah bagi orang-orang kafir pada waktu menyaksikan hari yang besar.

(38) Alangkah terangnya pendengaran mereka dan alangkah tajamnya penglihatan


mereka pada hari mereka datang kepada Kami. Tetapi orang-orang yang zalim pada hari
ini (di dunia) berada dalam kesesatan yang nyata.

(39) Dan berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan, (yaitu) ketika segala perkara
telah diputus. Dan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak (pula) beriman.

(40) Sesungguhnya Kami mewarisi bumi dan semua orang-orang yang ada di atasnya,
dan hanya kepada Kamilah mereka dikembalikan.
Surat Taha:117

(117) Maka Kami berkata, "Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu
dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari
surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka.
Surat al-Qasas:77

(77) Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan)
negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi
dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Surat ar-Rum:21

(21) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.
Surat Sad:26

(26) Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka
bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.
Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan.
Surat-az-Zariyat:19

(19) Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang
miskin yang tidak mendapat bagian.
Surat-az-Zariyat:56
(56) Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.
Surat al-Haddid:20

(20) Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu
yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan
tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan
para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari
Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang
menipu.
Surat al-Haddid:23

(23) (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa
yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang
diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi
membanggakan diri,
Surat al-Jumu’ah:10

(10) Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Surat al-Munafiqun:9

(9) Hai orang-orang yang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah
orang-orang yang merugi.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali, Abu Hamid. 1995. Raudhah: Taman Jiwa Kaum Suufi. Diterjemahkan oleh
Muhammad Luqman Hakiem. Surabaya: Risalah Gusti.

Al-Ghazali, Abu Hamid. 1998. Pilar-Pilar Rohani Islam. Diterjemhkan oleh Irwan
Kurniawan. Jakarta: Lentera.

Al-Ghazali, Abu Hamid, Tanpa tahun. Keutamaan Cinta & Kasih Sayang. Bandung: Bintang
Pelajar

Al-Jauziyah, Ibnu Qoyyim. 2000. Madarijus Salikin: Pendakian Menuju Allah.


Diterjemahkan oleh Kuthur Suhardi. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Al-Quran dan Terjemahannya. 1990. Diterjemahkan oleh Soenarjo, R.H.A.dkk. Madinah:


Mujamma Al-Malik Fahd Li Thiba’at Al-Mush_haf Asy-Sayaruf.

Amstrong, Amatullah. 1998. Khazanah Istilah Sufi: Kunci Memasuki Dunia Tasawuf.
Diterjemhkan oleh M.S. Nasrullah dan Ahmad Baiquni. Bandung: Mizan.

Asfari M.S. dan Otto Sukatno CR. 1998. Mahabbah cinta Rabi’ah al-Adawiyah. Yogyakarta:
Bentang Budaya.

Badrun, Ahmad. 1994. “Makna Tiga Sajak Ketasawufan Abdul Hadi W.M”. Tesis S2 Jakarta:
Program Studi Ilmu budaya, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Booth, Wayne C. 1991. The Rethoric of Fiction. Chicago & London: The University of
Chicago Press.

Braginsky, V.I. 1993. Tasawuf dan Sastra Melayu: Kajian dan Teks-Teks. Jakarta: RUL.

“Cakrawala”, dalam Minggu Pagi. Nomor 29, 31 Oktober 1987.

Danarto. 1987. Godlob. Cetakan ketiga. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti

Danarto. 1982. Adam Ma’rifat. Jakarta: Balai Pustaka

Danarto. 1996. Berhala. Cetakan kelima. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Danarto. 1996. Gergasi. Cetakan kedua. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Egleton, Terry. 1988. Teori kesusastraan: Suatu Pengenalan. Diterjemahkan oleh


Muhammad H. Saleh. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian
Pendidikan Malaysia.

Eneste, Pamusuk (ed). 1983. Cerpen Indonesia Mutakhir. Jakarta: Gramedia.

Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid I. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid II. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid III. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid IV. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid V. Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve.

Ensiklopedi Wayang Indonesia. 1999. Jakarta: Senawangi, PT Sukamindo Pritama.

Hadi W.M., Abdul. 1991. Sastra Sufi: Sebuah Antalogi. Cetakan kedua. Jakarta: Pustaka
Firdaus.

Hadi W.M., Abdul. 1995. HamzahFansuri: Risallah Tasawuf dan Puisi-Puisinya. Bandung:
Bentang Budaya.

Hadi W.M., Abdul. 1999. Kembali ke Akar Kembali ke Sumber: Esei-Esei Sastra Profetik
dan Sufistik. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Harun, Ramli dkk.1985. Kamus Istilah Tasawuf. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa.

Kaelan. 1990. Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma.

Jassin, H.B 1991. Tifa Penyair dan Daerahnya. Cetakan Kedelapan. Jakarta: CV Haji
Masugung.

Madjid, Nurcholish. 1998. Tasawuf Positif dan Kekuasaan Politik: Pengantar Kajian
Tasawuf Positif: Alternatif Spritualitas bagi Dunia Modern. Jakarta: Indonesia
Islamic Media Network (IIMAN).

Nasr, Sayyid Husein. 2000. Tasauf dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Nasution, Harun. 1973. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Nicholson, Reynold A. 1987. Tasawuf: Menguak Cinta Ilahiyah. Diterjemahkan oleh Nashir
Budiman. Jakarta: Rajawali Press.

Newton, K.M. 1990. Menafsirkan Teks: Pengantar Kritis kepada Teori dan Praktek
Penafsiran Sastra. Diterjemahkan oleh Soelista. Semarang: IKIP Semarang Press.

Nurbakhsh, Javad. 1993. “Suvi Love” dalam Sufi: A Journal of Sufism. Issue 20. London,
Khaniqahi Nimatullahi Publications.

Nurbakhsh, Javad. 1993. “Two Principle Messages of Sufism” dalam Sufi: A Journal of
Sufism. Issue 18. London: Khaniqahi Nimatullahi Publication.

Prihatmi, Th. Sri Rahayu. 1989. Fantasi dalam Kedua Kumpulan Cerpen Danarto. Dialig
Anatara Dunia Nyata dan Tidak Nyata. Jakarta: Balai Pustaka.
Purwadaksi, Ahmad. 1992. “Ratib Saman dan Hikayat Syekh Muhammad Saman: Suntingan
Naskah dan Kajian Isi Teks”. Disertasi. Jakarta: Program Studi ilmu Budaya.
Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.

Rahman, Fazlur. 1984. Membuka Pintu Ijtihad. Diterjemahkan oleh Anas Mahuidin.
Bandung: Pustaka.

Rakhmat, Jalaluddin. 1999. “Allah dan Perwujudan jalal dan jamal” dalam Pengantar Kajian
Tasawuf Positif: Alternatif Spritualitas bagi Dunia Modern. Jakarta: Indonesia
Islamic Media Network (IIMAN).

Sastroyatmo, Mulyono (Pengalih bahasa). 1987. Kresna – Arjuna Bawarasa Mangunsalaga.


Departemen Pendidikan dan Kebudayaan: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia
dan Daerah.

Schmmel, Annemarie. 1986. Dimensi Mistik dalam Islam. Diterjemahkan oleh Sapardi Djoko
Damono, dkk. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Simuh. 1999. Sufisme Jawa: Transformasi Tasawuf ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bintang
Budaya.

______. 1992. “Mistik Islam dalam Karya Sastra Daerah”. Makalah pada Seminar Nasional
Sastra dan Filsafat tanggal 29-30 Januari 1992 di fakultas Sastra, Universitas
Indonesia, Depok.

Siraj, Said Aqiel. 2000. “Relevansi Tasawuf pada Era Global” dalam Sufi Menuju Jalan Ilahi.
Nomor 3, Juli 2000.

Smith, Margaret. 1999. Rabi’ah: Pergulatan Spritual Perempuan. Diterjemahkan oleh


Jamilah Baraja. Surabaya: Risalah Gusti.

Sumarsono, E. 1993. Hermeneutika, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.

Syukur, M. Amin. 1999. Menggugat Tasawuf: Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial Abad 21.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Syukur, M. Amin.1997. Zuhud di Abad Modern. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Teuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.

Teuw, A.1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.

Tjitrosubono, Siti Sundari dkk. 1985. Memahami Cerpen-cerpen Danarto. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Valiuddin. Mir. 1997. Zikir & Kontemplasi dalam Tasawuf. Diterjemahkan oleh M.S.
Nasrulloh. Bandung Hidayah.

Wellwk, Rene dan Austin Warren, 1989. Teori Kesusastraan. Diindonesiakan oleh Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia.
Zoetmulder, P. J. 1991. Menunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam
Sastra Suluk Jawa. Diterjemahkan oleh Dick Hartoko. Cetakan Kedua. Jakarta:
Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai