Anda di halaman 1dari 59

PUISI SUFI "JALALUDIN RUMI"

Azhari Tarmizi 04.37 4 Comments

TANGGA MENUJU KE SURGA

Indera duniawi adalah tangga menuju ke dunia ini; indera religi adalah tangga menuju ke Surga.
Mintalah kesejahteraan indera itu dari tabib; mintalah kesejahteraan indera ini dari dari kekasih
Tuhan.
Jalan spiritual adalah menghancurkan tubuh dan, setelah itu, memperbaikinya demi
kemakmuran:
Hancurkan rumah itu demi harta keemasan, dan dengan harta itu pula bangunlah rumah yang
lebih baik daripada yang sebelumnya;
Bendunglah air dan bersihkanlah dasar sungai, kemudian biarkanlah air minum mengalir ke
dalamnya;
Torehlah kulit dan cabutlah duri, kemudian biarkan kulit segar tumbuh menutupi luka;
Runtuhkanlah dan rebutlah benteng dari orang kafir, kemudian bangunlah di atasnya ratusan
menara dan kubu pertahanan.
Kadang kala tindakan Tuhan nampak seperti ini, kadang kala justru sebaliknya: agama (yang
benar) tak lain hanyalah kebingungan.
(Yang kumaksudkan) bukan orang yang bingung sehingga memalingkan punggung kepada-Nya;
bukan itu, melainkan orang yang bingung dan tenggelam serta mabuk karena Sang Kekasih.
Sementara wajah orang lain hanya menghadap dirinya sendiri, wajahnya menghadap Sang
Kekasih.
Tataplah wajah setiap orang dengan seksama, perhatikan baik-baik: mungkin dengan melayani
(para Sufi) engkau akan mengetahui wajah (Orang Suci).
Karena setan sering berwajah Adam, jangan ulurkan tanganmu ke sembarang tangan;
Karena pemburu unggas yang bersiul memikat burung dia telah bertekad untuk menangkap,
Siapa yang mendengar siulnya dan turun dari udara ’kan menemukan dirinya telah terjerat,
Begitulah caranya orang keji mencuri bahasa para darwis untuk memikat dan menipu si lugu.
Perbuatan orang-orang suci itu seperti cahaya dan panas; perbuatan orang-orang jahat itu tipu
muslihat dan tak tahu malu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 303

Lihat Selengkapnya : Paket Tour Lombok

SUFI SEJATI

Apa yang membuat orang jadi Sufi? Kesucian hati;


Bukan gamis kumal dan berahi liar
Mereka yang terikat dunia yang jahat mencuri namanya.
Di tengah tumpukan sampah dia (Sufi sejati) dapat melihat intisarinya:
Tentram dalam derita, girang dalam sengsara.
Hantu-hantu pengawal, yang menjaga dengan pentungan
Dan tirai perlindungan pintu gerbang isatan Keindahan,
Akan memberinya jalan, dan tanpa takut ia melangkah,
Sambil memperlihatkan panah San Raja, ia pun masuk ke dalam.

Puisi Oleh: Jalaludiin Rumi, Mas. V, 358

NYANYIAN SERULING BAMBU

Dengarkan nyanyi sangsai Seruling Bambu


Mendesah selalu, sejak direnggut
Dari rumpun rimbunnya dulu, alunan
Lagu pedih dan cinta membara.

“Rahasia nyanyianku, meski dekat,


Tak seorang pun bisa mendengar dan melihat
Oh, andai ada teman tahu isyarat
Mendekap segenap jiwanya dengan jiwaku!

Ini nyala Cinta yang membakarku,


Ini anggur Cinta mengilhamiku.
Sudilah pahami betapa para pencinta terluka,
Dengar, dengarkanlah rintihan Seruling!”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I

MUSIK KENANGAN

Dikisahkan, seruling dan kecapi yang menawan telinga kita


Nadanya berasal dari perputaran angkasa;
Namun Iman, yang melampaui lompatan spekulasi,
Dapat mengerti merdunya setiap suara yang tak serasi.

Kami, yang bagian dari Adam, bersamanya mendengarkan


Nyanyian para Malaikat dan Muqarrabin.
Meski tumpul dan menyedihakan, ingatan kami
Masih menyimpan gema alunan nada surgawi.

Oh, musik adalah hidangan bagi para pencinta,


Musik ’kan melambungkan jiwa ke dunia Sana.
Bara berpijar, api abadi pun kian berkobar:
Sembari menikmati dengan suka-ria kami pun dengar.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas IV. 733

Lihat Selengkapnya : Paket Tour Lombok

CINTA DALAM KETIADAAN

Betapa tak ’kan sedih aku, bagai malam, tanpa hari-Nya serta keindahan wajah hari terang-Nya?
Rasa pahit-Nya terasa manis bagi jiwaku: semoga hatiku menjadi korban bagi Kekasih yang
membuat pilu hatiku!
Aku sedih dan tersiksa karena Cinta demi kebahagiaan Rajaku yang tiada bandingnya.
Titk air mata demi Dia adalah mutiara, meski orang menyangka sekedar air mata.
Kukeluhkan jiwa dari jiwaku, namun sebenarnya aku tidak mengeluh: aku cuma berkisah.
Hatiku bilang teriksa oleh-Nya, dan kutertawakan seluruh dalihnya.
Perlakukanlah aku dengan benar, O Yang Maha Benar, O Engkaulah Mimbar Agung, dan akulah
ambang pintu-Mu!
Di manakah sebenarnya ambang pintu dan mimbar itu? Di manakah sang Kekasih, di manakah
“kita” dan “aku”?
O Engkau, Jiwa yang bebas dari “kita” dan “aku”, O Engkaulah hakekat ruh lelaki dan wanita.
Ketika lelaki dan wanita menjadi satu, Engkau-lah Yang Satu itu; ketika bagian-bagian musnah,
Engkau-lah Kesatuan itu.
Engkau ciptakan ”aku” dan ”kita” supaya memainkan puji-pujian bersama diri-Mu,
Hingga seluruh ”aku” dan ”engkau” dapat menjadi satu jiwa serta akhirnya lebur dalam sang
Kekasih.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas I. 1776

Lihat Selengkapnya : Paket Tour Lombok

”PERKAWINAN”

Betapa bahagia saat kita duduk di istana, kau dan aku,


Dua sosok dan dua tubuh namun hanya satu jiwa, kau dan aku.
Harum semak dan senandung burung ’kan menebarkan pesona
Pada saat kita memasuki taman, kau dan aku.
Bintang-bintang nan beredar sengaja menatap kita lama-lama:
Bagi mereka kita ’kan jadi bulan, kau dan aku.
Kau dan aku, yang tak terpisahkan lagi, ’kan menyatu dalam kenikmatan puncak,
Bercanda ria serta bebas dari percakapan dungu, kau dan aku.
Burung-burung yang terbang di langit ’kan menatap iri
Karena kita tertawa riang gembira, kau dan aku.
Sungguh ajaib, kau dan aku, duduk di sudut yang sama di sini,
Pada saat yang sama berada di Irak da khurasan, kau dan aku.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, S P, XXXVIII

DUKACITA KEMATIAN

Pangeran umat manusia (Muhammad) sungguh mengatakan bahwa tak seorang pun yang
meninggalkan dunia ini
Merasa sedih dan menyesal karena telah mati; sebaliknya, dia bahkan sangat menyesal karena
telah kehilangan kesempatan,
Seraya berkata pada dirinya, ”Mengapa tak kujadikan kematian sebagai tujuanku – kematian
sebagai gudang menyimpan segala keberuntungan dan kekayaan,
Dan mengapa, karena tampak ganda, aku tambatkan hidupku pada bayang-bayang yang mudah
lenyap dalam sekejap?”
Dukacita kematian tiada hubungannya dengan ajal, karena mereka asyik dengan wujud
keberadaan yang menggejala
Dan tak pernah memandang seluruh buih ini bergerak dan hidup karena Sang Lautan.
Bila Sang Lautan telah menepiskan buih ke pantai, pergilah ke kuburan dan lihatlah mereka!
Tanyakan kepada mereka, ”Di manakah arus gelombangmu kini?” dan dengarlah jawaban bisu
mereka, ”Tanyakan kepada Sang Lautan, bukan kepada kami”.
Bagaimana buih dapat melayang tanpa ombak? Bagaimana debu terbang ke puncak tanpa angin?
Bila kaulihat debu, lihatlah pula Sang Angin; bila kau lihat buih, lihat pula Sang Samudra
Tenaga Penciptan.
Mari, perhatikanlah, karena pernglihatan batinlah satu-satunya yang paling berguna dalam
dirimu: selebihnya adalah keping-keping lemak dan daging, pakaian dan pembungkus (tulang
dan nadi).
Leburkanlah seluruh tubuhmu ke dalam Penglihatan Batin: lihat, lihat, lihatlah!
Sekilas hanya sampai pada satu dua depa jalan; pandangan cermat akan alam duniawi dan
spiritual menyampaikan kita pada Wajah Sang Raja.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 1450

TETAP INGKAR

Apabila ada yang mengatakan kepada janin di rahim, ”Di luar sana ada sebuah dunia yang
teratur,
Sebuah bumi yang menyenangkan, penuh kesenagan dan makanan, luas dan lebar;
Gunung, lautan, dan daratan, kebun buah-buahan mewangi, sawah dan ladang terbetang,
Langitanya sangat tinggi dan berbinar, sinar mentari dan cahaya bulan serta tak terkira
banyaknya bintang;
Keajaibannya tak terlukiskan: mengapa kau tetap tinggal, mereguk darah, di dalam penjara yang
kotor lagi penuh penderitaan ini?
Janin itu, sebagaimana layaknya, tentua akan berpaling tak percaya sama sekali; karena yang
buta tak memiliki imajinasi.
Maka, di dunia ini, ketika orang suci menceritakan ada sebuah dunia tanpa bau dan warna,
Tak seorang pun di antara orang-orang kasar yang mau mendengarkannya: hawa nafsu adalah
sebuah rintangan yang kuat dan perkasa –
Begitupun dengan hasrat janin akan darah yang memberinya makanan di tempat yang hina
Merintanginya menyaksikan dunia luar, selama ia tak mengetahui makanan selain darah semata.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 53

BELENGGU KEBERADAAN

Dari-Mu air surut ini berasal dan dariku mengalir; Selanjutnya, O Yang Maha Agung, lautanku
tenang.
Kini, dari sumber yang sama darimana kesengsaraan ini Engkau datangkan kepadaku,
kirimkanlah pula kesenagan nan penuh kasih-sayang!
O Engkau yang penderitaannya membuat pria lemah bak wanita, tunjukkanlah kepadaku jalan
yang satu itu, jangan biarkan aku tersesat mengikuti sepuluh jalan!
Aku seperti seekor unta yang letih: pelana kemauan-bebas telah membuat punggungku terasa
memar
Dilantak berat keranjang-keranjang yang sebentar merosot ke sisi sini sebentar ke sisi sana.
Biarkan beban yang tak seimbang ini lepas, supaya aku dapat memamah rerumputan di Padang
Rahmat-Mu.
Bagai sebutir debu di udara, ratusan ribu tahun aku melayang tak tentu arah tanpa mauku.
Jika aku telah melupakan waktu dan keadaan itu, perpindahan dalam tidur ’kan mengingatkan
aku lagi pada kenangan.
Pada malam hari aku ’kan melarikan diri dari palang cabang empat ini menuju padang
penggembalaan ruh.
Dari tidur sang perawat, kuhisap susu hari-hari laluku, O Tuan.
Seluruh makhluk melarikan diri dari kemauan-bebas dan keberadaan-diri mereka menuju ke diri
mereka yang tak sadar.
Di atas diri sendiri mereka letakkan anggur kehinaan dan nyanyian supaya dapat bebas sesaat
dari kesadaran diri mereka
Semua tahu, keberadaan adalah sebuah perangkap, sedangkan keinginan dan pikiran serta
kenangan itu neraka.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 210

”SEBUAH TIDUR DAN KETERLENAAN”

Seseorang yang tinggal bertahun-tahun di suatu kota, setelah ia tertidur segera,


Melihat kota lain yang penuh kebaikan dan keburukan, serta kotanya sendiri hilang dari
pikirannya.
Ia tak pernah berkata pada dirinya, ”Ini sebuah kota baru: aku adalah seorang asing di sini”;
Sebaliknya, ia membayangkan selalu tinggal di kota ini, dilahirkan dan dibesarkan di sini.
Apakah mengherankan apabila, kemudian, jiwa tak ingat lagi akan kampung halamannya dan
tanah kelahiran,
Karena ia lelap saat di dunia ini, bagai sebuah bintang diselimuti awan?-
Apalagi saat ia melangkahkan kaki di berbagai kota dan debu yang menutupi penglihatannya
berlum tersapu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 3628

RUH ORANG-ORANG SUCI

Ada air mengalir turun dari Surga


Membersihkan dunia dosa berkat rahmat Tuhan.
Lantas, setelah seluruh persediaannya habis, kebajikannya pun sirna,
Legam kena polusi dari yang bukan dirinya, segera
Kembali ia ke Sumber segala kesucian;
Setelah segar mandi, kembali ia ke bumi menyapu agi,
Menyeret jubah keluhuran cemerlang suci.

Air ini adalah Ruh Orang-orang suci,


Yang senantiasa memberi, sampai akhirnya papa,
Balsem Tuhan kepada jiwa yang menderita, kemudian kembali
Kepada Dia yang mencipta cahaya Surga paling murni.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 200

PUTRA CAHAYA

Di balik jubah bintang ada Bintang-bintang yang tak berapi dan tak menakutkan,
Mereka beredar di Langit lain, bukan di tujuh langit yang dikenal kita semua,
Mereka tetap ada dalam radiasi Cahaya Tuhan, tidak saling berhubungan maupun berpisah satu
sama lain.
Siapa pun yang memperoleh keberuntungan dari Bintang-bintang ini, jiwanya ’kan tetap mampu
menghalau dan menghabiskan orang-orang yang tak beriman.
Tuhan memercikkan Cahaya-Nya atas semua jiwa manusia, namun hanya orang yang
dikaruniailah yang menyingsingkan lengan bajunya ’tuk menerimanya;
Dan, setelah memperoleh karunia cahaya itu, mereka memalingkan wajahnya dari segala kecuali
Tuhan.
Begitulah yang berasal dari laut kembali ke laut: ia kembali ke tempat dari mana ia datang-
Dari gunung arus air deras mengalir, dari tubuh kita jiwa pun bergerak karena ilham cinta.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas.I 754.2

CINTA, SANG PENERANG

Perih Cinta inilah yang membuka tabir hasrat pencinta:


Tiada penyakit yang dapat menyamai dukacita hati ini.
Cinta adalah sebuah penyakit karena berpisah, isyarat
Dan astrolabium rahasia-rahasia Ilahi.
Apakah dari jamur langit ataupun jamur bumi,
Cintalah yang membimbing kita ke Sana pada akhirnya.
Akal ’kan sia-sia bahkan menggelepar ’tuk menerangkan Cinta,
Bagai keledai dalam lumpur: Cinta adalah sang penerang Cinta itu sendiri.
Bukankah matahari yang menyatakan dirinya matahari?
Perhatikanlah ia! Seluruh bukit yang kau cari ada di sana.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 109

CINTA WANITA

Jika secara lahir isterimu yang kauatur, maka secara batin engkaulah yang diatur isterimu yang
kaudambakan itu
Inilah ciri khas Manusia: pada jenis binatang lain cinta kurang terdapat, dan itu menunjukkan
rendahnya derajat mereka.
Nabi bersabda bahwa wanita mengungguli orang bijak, sedangkan laki-laki yang sesat
mengunggulinya; karena pada mereka kebuasan bintang tetap melekat.
Cinta dan kelembutan adalah sifat manusia, amarah dan gairah nafsu adalah sifat binatang.
Wanita adalah seberkas sinar Tuhan: dia bukan kekasih duniawi. Dia berdaya cipta: engkau
boleh mengatakan dia bukan ciptaan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 2431

KEINDAHAN ILAHI

Para raja menjilat bumi tempat pekan raya terjadi,


Karena Tuhan telah bercampur dalam bumi yang berdebu
Seteguk Keindahan tercecap dari cawan pilihan-Nya.
Inilah dia, cinta terkasih – bukan bibir tanah liat ini –
Yang kauciumi dengan ratusan kenikmatan,
Lalu bayangkan, apa yang mesti terjadi bila dirimu suci!
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 372

”KEPADA-MU AKU MENGHADAP”

O Kau yang menghibur jiwaku di kala duka


O kau harta ruhku di kala pahitnya maut datang mencengkam!
Yang khayalan tak sanggup menduga, dan pengertian tak sampai menyaksikan,
Mengunjungi jiwaku dari-Mu; maka kepada-Mu aku menghadapkan doaku.
Dengan keagungan-Mu ke kehidupan abadi kutetapkan tatapan mesraku,
Kecuali, O Raja, bila kemegahan duniawi menyesatkanku.
Pertolongan dia yang membawa kabar gembira dari-Mu,
Meski tanpa panggilan-Mu, bagi telingaku lebih merdu daripada lagu-lagu.
Walau Karunia yang tak pernah berhenti 'kan menawarkan kerajaan,
Walau Harta benda yang Tersembunyi di hadapanku ’kan diletakkan,
Aku akan bersujud dengan seluruh jiwaku, 'kan kuletakkan wajahku pada debu
Aku akan berseru, "Dari semuanya ini, cinta dari yang Satu itulah yang kudambakan!"

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, S P, VI

KEBENARAN DALAM

Ada sebuah taman indah, penuh pohon dan buah-buahan


Serta anggur dan kerindangan hijau rerumputan. Di sana seorang Sufi
Duduk, mata terpejam, kepalanya terkulai di atas lututnya,
Tenggelam dalam tafakur yang dalam.
”Mengapa,” tanya orang lain, ”anda tak memperhatikan
Tanda-tanda Tuhan Yang Maha Pengasih ini dipertunjukkan
Di sekelilingmu, yang Dia tawarkan untuk direnungkan?”
”Tanda-tanda itu,” sahutnya, ”kulihat di dalam;
Di luar tak lain kecuali simbol dari Tanda-tanda.”

Apakah segala keindahan di dunia ini? Bayang-bayang,


Laqksana pantulan dahan bergoyang di permukaan air mengalir,
Dari taman abadi yang membentang
Tak pernah layu di dalam hati Manusia-manusia Sempurna.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 388

PARA SUFI MENGETAHUI


Karena hanya Ma’rifah satu-satunya tunggangan Mu’min sejati, dia mengetahui dengan pasti,
dari siapa pun dia harus mendengarkan Ma’rifah,
Dan ketika dia saling berhadapan dengannya, mana mungkin ada keraguan? Bagaiman mungkin
dia akan salah?
Jika kau bilang pada orang yang kehausan – “Ini segelas air: minumlah!”-
Mungkinkah dia menjawab? – “Itu kan cuma ucapan kosong: jangan ganggu aku, O pembual,
enyahlah.”
Atau andaikan seorang ibu berseru kepada bayinya, “Dengar aku ini ibumu: anakku!”-
Mungkinkah ia berkata? - “Tunjukkan dulu buktinya, supaya aku nikmat menetek susumu.”
Bila penglihatan batin telah bersemayam di lubuk hati seseorang, wajah dan suara nabi jadi
mu’jizat yang nyata.
Bila nabi berseru dari luar, jiwa orang itu akan luluh memuja dari dalam,
Karena takkan pernah di dunia ini telinga jiwa mendengar seruan yang sama seperti yang
didengarnya.
Seruan yang sangat mempesona itu terdengar oleh jiwa yang menyendiri –seruan Tuhan,
“Lihatlah, Aku dekat.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 3591

Lihat Selengkapnya : Paket Tour Lombok

TIDUR TERHADAP DUNIA

Setiap malam Kau bebaskan ruh kami dari jerat tubuh dan Kau hapus seluruh kenangan dari
ingatan.
Setiap Malam ruh kami bebas dari sangkar ini, selesailah sudah segala pertemuan, bincang-
bincang dan kisah.
Di malam hari para tahanan melupakan penjaranya, di malam hari para pembesar pun melupakan
kekuasaannya.
Tiada duka, pertimbangan untung maupun rugi, gagasan orang ini ataupun orang lain.
Demikianlah keadaan orang Sufi, sekalipun dia tak lagi tidur: Tuhan berfirman, “(Kau tentu
mengira mereka itu bangun) padahal mereka itu tidur.”
Dia tertidur, siang dan malam, terhadap urusan-urusan dunia ini, bagai sebuah pena di tangan
Tuhan.
Tuhan telah memperlihatkan sebagian keadaannya, sedangkan orang yang kasar pun oleh tidur
dapat terbuai:
Ruh mereka masuk ke Hutan Belantara yang kata tak sanggup mengucap, kata-kata, jiwa dan
tubuh mereka istirahat.
Hingga dengan sebuah siulan Kau panggil mereka kembali ke jeratnya, membawa mereka
kembali ke keadilan dan pengadilan.
Di saat fajar, seperti Israfil, Dia memanggil mereka kembali dari Sana ke dunia rupa.
Ruh-ruh yang tak berbentuk Dia tawan sekali lagi dan menjadikan setiap tubuh sarat ( dengan
amal baik dan buruk).
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 388

ORANG-ORANG MU’MIN SATU JIWA

Orang-orang Mu’min itu banyak, namun Iman itu hanya satu; tubuh mereka itu beraneka-ragam,
namun jiwa mereka hanya satu.
Selain pengertian dan jiwa yang juga dimiliki sapi dan keledai, Manusia memiliki akal pikiran
dan jiwa lain.
Lagi pula, pada diri pemilik nafas Ilahi, ada jiwa lain yang lain dari jiwa manusia.
Jiwa bintang tak memiliki kesatuan: jangan pula mencari kesatuan dari ruh halus itu.
Jika pemiliknya memakan roti, tetangganya tak merasa kenyang; tetangganya pun tak merasa
terbebani, jika dia memikul beban;
Bahkan senang atas kematian tetangganya dan mati lantaran iri melihat tetangganya sejahtera.
Jiwa serigala dan anjing bercerai-berai; jiwa Singa-singa Tuhan berpadu menjadi satu.
Jiwa yang kubicarakan tentu saja jiwa mereka yang banyak, karena Jiwa yang tunggal itu ratusan
kali banyaknya kalau dihubungkan dengan badan.
Sama seperti tunggalnya cahaya matahari di langit menjadi ratusan kali banyaknya bila
menyentuh haaman rumah yang disinarinya;
Namun apabila kaupindahkan dinding-dinding, seluruh cahaya yang berpendar itu satu dan sama
juga.
Apabila rumah jasmani tak memiliki fondasi yang tersisa, Orang-orang Mu’min tetap satu jiwa.

Puisi Oleh: Jalaludiin Rumi, Mas. IV, 408

ORANG YANG BERPALING KETIKA BERJALAN KE NERAKA

Malaikat pelindung, yang biasanya berjalan tak kelihatan di muka dan di belakangnya, kini
kelihatan seperti polisi.
Mereka menyeret, memukulnya dengan tongkat sambi membentak, ”Pergi kau, O anjing, ke
kandangmu!”
Dia berpaling ke Hadirat Yang Maha Suci: air matanya bercucuran bagai hujan musim gugur.
Selain harapan-apa lagi yang dia miliki?
Maka dari Tuhan di kerajaan Cahaya datanglah titah-"Katakan kepadanya: ’iniah imbalan bagi
orang yang tak pernah berbuat kebajikan,
Kau telah melihat catatan hitam dosa-dosamu. Apa lagi yang kauinginkan? Mengapa kau tetap
tinggal di situ dalam kesia-siaan?”
Dia menjawab, ” Tuhan, Engkau lebih mengetahui, aku ratusan kali lebih buruk daripada yang
telah Engkau nyatakan;
Namun di balik upaya dan tindakanku, di balik kebaikan dan kejahatanku, serta di balik iman
dan kufurku,
Bahkan di balik hidupku yang lurus maupun menyimpang-sungguh kumohon akan Kasih-
Sayang-Mu.
Kembali kupalingkan diriku pada Karunia suci, tak kuperhatikan seluruh amal diriku.
Engkau memberiku wujud sebagai jubah kehormatanku: aku selalu menyandarkan diri pada
kasih-sayang itu.”
Ketika dia mengakui semua dosanya, Tuhn berfirman kepada Malaikat, ”Bawa dia kembali,
karena dia tidak pernah kehilangan harapan pada-Ku.
Sebagai seorang yang mempedulikan kesia-siaan, Aku akan membebaskannya dan
menghapuskan seluruh pelanggarannya.
Aku akan menyalakan api Rahmat yang setidak-tidaknya perciknya saja dapat menghabiskan
seluruh dosa dan beban serta kemauan bebasnya.
Aku akan meletakkan api di rumah Manusia dan membuat duri-durinya bagai kuntum bunga-
bunga mawar.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 1815

TEMPAYAN SPIRITUAL

Kebenaranmu tersmbunyi dalam dusta, laksana rasa mentega dalam dadihnya.


Dustamu adalah tubuh yang fana ini; kebenaranmu adalah ruh Ilahiah.
Bertahun-tahun dadihlah yang tinggal dalam pandangan, sementara menteganya hilang bagai tak
pernah ada,
Sampai Tuhan mengirim Utusan, seorang Hamba pilihan, untuk menggoncang dadih dalam
tempayan-
Menggoncangkannya dengan metode dan ketrampilan, serta mengajariku bahwa diriku yang
sebenarnya tersembunyi.
Dadih telah basi: jagalah, jangan biarkan ia mengalir sampai kau sadap mentega daripadanya.
Ubahlah ia secara terampil, sampai ia dapat mengungkapkan rahasianya.
Kefanaan tubuh adalah bukti keabadian ruh: berkeliarannya pemabuk yang bersuka-ria
membuktikan adanya pembawa cawan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 3030

PENGIKUT BUTA

Beo yang tengah memandang cermin melihat


Dirinya, namun bukan gurunya yang sembunyi di belakang,
Dan belajar percakapan Manusia, seraya mengira
Burung sejenisnya tengah berbicara dengannya.

Begitulah murit yang mementingkan diri


Tak melihat apa-apa dalam diri Syaikh kecuali dirinya sendiri.
Akal Universal memang fasih bicara
Di belakang cermin pelajaran Syaikh-
Ruh yang merupakan rahasia Manusia-
Tak dapat dilihatnya. Kata-kata ditiru, dihafal
Itu saja. Jadi beolah dia yang tak punya sahabat akrab!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 1430

BURUNG-BURUNG SULAIMAN

Kefasihan burung-burung istana hanyalah gema: di manakah percakapan burung-burung


Sulaiman?
Bagaimana engkau akan mengenal pekik mereka, sementara engkau tak pernah melihat Sulaiman
walau hanya selintas?
Jauh di seberang Timur dan Barat, terbentang sayap-sayap burung yang lagunya menggetarkan
hati para pendengarnya:
Dari ’Arsy Tuhan ke bumi dan sebaiknya ia terbang dalam kemuliaan dan keagungan.
Burung yang terbang tanpa Sulaiman ini hanyalah seekor kelelawar yang jatuh cinta kepada
kegelapan.
Dekatkan dirimu pada Sulaiman, O kelelawar hina, jangan biarkan dirimu selamanya dalam
kegelapan.
Terbanglah ke arah itu hanya satu elo, dan seperti elo yang engkau inginkan menjadi norma
ukuran.
Sekalipun dengan pincang dan tertatih-tatih berjalan ke arah itu engkau akan dibebaskan dari
kepincangan dan ketertatihan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 3758

HAWA NAFSU

Hawa nafsumu adalah induk segala berhala: berhala jasmani adalah ular, namun berhala ruhani
adalah naga.
Adalah mudah menghancurkan sebuah berhala, sangat mudah; namun menganggap gampang
menaklukkan nafsu adalah bodoh, bodoh sekali.
O anakku, jika kau ingin mengetahui bentuk-bentuk nafsu, bacalah uraian tentang Neraka dengan
tujuh pintunya.
Tiap saat hawa nafsu melahirkan tipu muslihat; dan dalam tiap tipu muslihat tenggelamlah
ratusan Fir’aun dan bala tentaranya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 772


PESONA KEMATIAN

Siapa yang menganggap kematian sangat mempesona adalah laksana Yusuf memberikan jiwanya
demi tebusan; siapa yang menganggapnya bagai serigala akan berpaling dari penyelamatan.
Setiap kematian seseorang itu sesuai dengan sifat dirinya, anakku: bagi musuh Tuhan ia adalah
musuh, bagi sahabat Tuhan ia adalah sahabat
Di mata orang Turkoman cermin itu terang; di mata orang Etiopia ia gelap bagai orang Etiopia.
Ketakutanmu terhadap maut sesungguhnya adalah ketakutanmu terhadap dirimu sendiri: lihatlah
apa yang sedang kau larikan dari dirimu!
Itu adalah keburukan wajahmu sendiri, bukan wajah maut: rumu bagai pohon, dan maut laksana
dedaunan.
Ia tumbuh darimu, apakah ia menjadi baik atau buruk: semua pikiranmu yang tersembunyi,
curang atau wajar, lahir dari dirimu sendiri.
Jika engkau dilukai duri-duri engkaulah penanamnya; jika engkau berpakaian satin dan sutera,
engkau sendirilah pemintalnya.
Ketahuilah bahwa perbuatan itu tak sama dengan hasilnya; sebuah pelayanan tak selalu sama
dengan upahnya.
Gaji pekerja tidak sama dengan kerjanya: yang terakhir adalah aksiden, sedang yang pertama
adalah substansi.
Yang terakhir adalah usaha dan kerja-keras serta keringat, yang pertama adalah perak dan emas
serta bahan makanan.
Jika pemuja nampak bersujud atau berlutut di sini, di alam baka ’kan menjadi Taman Doa
Bahagia.
Jika pujian-pujian kepadaTuhan terucap dari mulutnya. Tuan Sang Fajar mengubahnya menjadi
buah Surga.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 3438

DOA BUAT AKHLAK UTAMA

Marilah kita memohon pertolongan Tuhan untuk mengendalikan diri (adab) kita: orang yang tak
mengendalikan diri akan dijauhkan dari karunia Sang Tuan.
Orang yang tak berdisiplin tak hanya merusak diri sendiri: dia menyebabkan seluruh dunia
terbakar.
Kemurungan dan penderitaan apapun yang menimpa dirimu adalah akibat ketidaksopanan dan
keangkuhanmu.
Orang yang akhlaknya tidak sopan di jalan Sahabat adalah sesorang perampok yang menyamun
manusia: dia bukanlah manusia.
Karena disiplin Langit dipenuhi cahaya, akibat disiplin para Malaikat menjadi bersih dan suci.
Karena ketidaksopanan matahari mengalami gerhana, dan keangkuhan menyebabkan 'Azazil
terdepak dari pintu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 78


BERSAHABAT DENGAN ORANG-ORANG SUCI

Tuhan memarahi Musa, berfirman, ”O kau yang telah melihat terbitnya bulan dari dadamu,
Kau yang telah Aku terangi dengan Cahaya-Ku! Aku adalah Tuhan, Aku sakit, kau tak datang
menjenguk.
Musa menjawab, ”O Tuhan Yang Maha Tinggi, Engkau bebas dari cacat. Rahasia apakah ini?
Jelaskan, O Tuan!”
Tuhan berfirman lagi kepadaya, ”Mengapa kau tak ramah bertanya tentang Aku ketika Aku
sakit?”
Dia menjawab, ”O Tuan, Engkau tak pernah sakit. Aku tak paham: ungkapkan makna kata-kata-
Mu itu.”
Tuhan berfirman, ”Ya; seorang hamba-Ku yang tersayang dan terpilih jatuh sakit. Aku-lah dia.
Ingatlah baik-baik:
Kelemahannya adalah kelemahan-Ku, sakitnya adalah sakit-Ku.”
Siapa yang pernah duduk bersama Tuhan, biarkanlah dia duduk di hadapan Orang-orang Suci.
Jika engkau terpisah dari Mereka, engkau dalam kebinasaan, karena engkau hanya bagian tanpa
keseluruhannya.
Siapapun yang di putuskan oleh Setan dari persahabatan mulia itu, takkan tertolong dan bakal
binasa.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 2156

ORANG YANG MELARIKAN DIRI DARI IZRAIL

Suatu pagi, datang pada Nabi Sulaiman yang berada di gedung pengadilan
Seorang bangsawan, lari tergopoh-gopoh,
Wajahnya pucat karena sedih, kedua bibirnya membiru.
”Sakitkah, engkau, Khwajah?” tanya Sang Raja.
Dia menjawab:
”Ah, waktu Izrail melemparkan pandangan
Kepadaku, ia penuh amarah dan kebencian.” ”Wahai pelindung hidupku,
Aku mohon kepadamu, perintahkanlah Angin membawaku langsung ke India: semoga, setelah
sampai di sana, hambamu akan selamat jiwanya dari Kematian.”

Betapa banyak orang yang melarikan diri dari kedarwisan


Jatuh ke dalam rahang serakah dan harapan yang sia-sia!
Ketakutanmu kepada kedarwisan itulah yang membuat orang malang tadi berteror,
Keserakahan dan ambisi adalah India-mu.
Nabi Sulaiman memerintahkan Angin cepat membawanya
Melintasi lautan menuju pedalaman India.
Esok harinya, ketika Sang Raja berada di sidang umum,
Dia bertanya kepada Izrail, ”Mengapa engkau memandang
Dengan sangat marah kepada orang Muslim itu
Yang rumahnya tidak lagi tahu di mana dia?” Bukan, bukan marah,”
Jawab Izrail, ”Ketika aku memandangnya;
Namun melihatnya pergi, aku terperangah heran.
Karena Tuhan telah menyuruhku mencabut nyawanya pada hari itu,
Di India. Di sana dengan penuh keheranan aku menanti.
Aku kira, bahkan jika ia punya seratus sayap
Tetaplah terlalu jauh baginya untuk terbang ke India.”

Pertimbangkanlah segala sesuatu di dunia dengan hukuman yang sama ini


Dan bukalah matamu serta lihatlah! Dari siapakah
Kita akan segera melarikan diri? Dari diri kita sendiri? Mustahil!
Lantas, dari Tuhan? Oh, sungguh kejahatan yang sia-sia dan sangat menyedihkan!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 956

”DATANGLAH DENGAN SUKA HATI”

Setiap pengembara buta, yang berbudi atau jahat, Tuhan memaksanya pergi, dikelilingi rantai,
menuju ke Hadapan-Nya.
Semuanya berjalan dengan rasa malas sepanjang Jalan ini, kecuali hanya mereka yang diberitahu
rahasia-rahasia tindakan Ilahi.
Perintah ”Datanglah engkau dengan terpaksa” ditujukan kepada pengikut yang buta; "Datanglah
dengan suka hati" diperuntukkan bagi orang yang dibentuk oleh kebenaran.
Adapun yang pertama, seperti seorang bayi, mencintai Jururawat hanya demi susu, yang lainnya
mempersembahkan hatinya kepada Tuhan Yang Maha Lembut.
”Bayi” tidak mengetahui kecantikan-Nya: ia tidak menginginkan dari-Nya kecuali susu semata;
Pencinta Jururawat yang sesungguhnya tidak mementingkan diri, tulus-ikhlas dalam kesetiaan
yang murni.
Apakah pencari Tuhan itu mencintai-Nya demi sesuatu selain-Nya atau tidak, agar selalu dapat
bagian dari kebaikan-Nya,
Atau mencintai Tuhan demi Diri-Nya, sia-sia berada di samping-Nya, agar tidak dipisahkan dari-
Nya.
Dalam kedua hal itu pencarian maupun hasrat itu berasal dari Sumber tadi: hati ini dijadikan
tawanan oleh Sang Hati yang sangat mempesona.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III,4581

IMAN DAN AMAL

Tuhan telah memasang tangga di hadapan kita: kita harus mendakinya, setahap demi setahap.
Engkau memiliki kaki: mengapa dibiarkan lumpuh? Engkau punya tangan: mengapa jari-jarinya
tak kau pergunakan untuk menggenggam?
Kebebasan-kehendak adalah upaya untuk bersyukur kepada Tuhan atas Karunia-Nya;
kepasasrahanmu berarti mencampakkan Karunia itu.
Bersyukur karena mampu bertindak bebas akan menambah kemampuanmu bersyukur kepada-
Nya. Kaum Jabariyah merenggut apa yang Tuhan telah anugerahkan.
Para perampok itu berada di tengah perjalanan: jangan tidur sampai engkau melihat gapura dan
pintu gerbang!
Apabila engkau bertawakkal kepada Tuhan, bertawakkallah kepada-Nya dengan amalmu!
Sebarkanlah benih, kemudian serahkanlah kepada Yang Maha Kuasa!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 929

”TIADA RAHBANIYYAH DALAM ISLAM”

”O Burung Merak, jangan kaucabik bulu-blumu, kecuali hanya menghentikan hatimu dari
kebanggaan karenanya: adanya musuh itu sangat diperlukan untuk mengibarkan Perang Suci.
Tiada mungkin ada upaya menahan diri kalau nafsu tak ada: tiada musuh, apa gunanya
keberanian?
Dengarlah, jangan mengebiri dirimu, jangan jadi rahib: Kesucian tergantung pada adanya nafsu.
Perintah Tuhan, ’Makanlah kamu’ adalah untuk memikat selera; lantas, ’Janganlah berlebih-
lebihan’: itu adalah kesederhanaan.
Tanpa rasa pedih menolak keinginan diri bukanlah protasis; karenanya apodosis tidak akan
mengikuti.
Betapa mengagumkannya protasis itu alangkah menggembirakannya apodosis itu-suatu imbalan
jasa yang memikat hati serta meningkatkan kehidpan ruh!”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 574

JANGAN BEPERGIAN SEORANG DIRI

Dalam agama kita bepergian diakui sebagai peperangan dan bahaya; dalam agama Yesus ia
berarti mengasingkan diri ke gua dan pegunungan.
Sunnah adalah jalan paling aman, dan masyarakat yang beriman adalah sebaik-baiknya teman
seperjalanan.
Jalan menuju Tuhan itu penuh rintangan dan kepedihan: bukan jalan bagi orang yang seperti
perempuan.
Di atas jalan ini jiwa manusia diuji dengan ketakutan, sebab sebuah ayakan dipergunakan untuk
menyaring sekam padi.
Jika engkau bepergian seorang diri, kuakui bahwa engkau mungkin dapat menghindari serigala;
akan tetapi engkau tidak akan merasakan kecergasan ruhani.
Orang bodoh, meskipun tidak sopan, dianjurkan dan diperkuat, O darwis, oleh teman-teman
seperjuangan.
Alangkah banyak tongkat dan gada yang akan menimpa ketika ia melintasi gurun pasir tanpa
teman!
Ini berkata kepadamu dengan mutlak, ”Perhatikanlah baik-baik! Jangan berpergian seorang diri
kecuali kalau engkau seorang yang bodoh!”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 494

BULU-BULU YANG INDAH

”Haruskah aku mencabutnya,” keluh burung merak,


”Bulu-bulu yang indah mempesona yang hanya menggoda kebanggaanku ini.”

Akan hal kehebatan bakat itu, baiklah orang bodoh berjaga-jaga:


Mabuk pada umpan, namun tak pernah melihat perangkap.
Gunakan seluruh kekuatan dan kecakapanmu untuk takut kepada Tuhan,
Tiada kutukan yang sangat berbisa selain kebebasan-kehendak.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 648

PEMBURU HARTA KARUN

Dia telah tertawan dalam doa ini ketika sebuah Suara yang datang dari Langit, menyapa,
”Engkau memang disuruh menyiapkan anak panah pada busurnya; namun siapakah yang
menyuruhmu melepaskannya dengan sekuat tenaga?
Kesombongan-dirilah yang mendorongmu ’tuk merentangkan busur tinggi-tinggi dan
memamerkan ketrampilanmu dalam seni panah-memanah.
Engkau memang harus mempersiapkan anak panah di busur, namun janganlah kau tarik busur
sekuat tenaga.
Di mana anak panah itu jatuh, gali dan temukanlah! Jangan kau andalkan kekuatan, burulah harta
karun itu dengan permohonan yang lembut menyedihkan.”
Yang hakiki itu lebih dekat daripada urat leher, dan engkau membidikkan anak panah pemikiran
terlalu jauh dari sasaran
Filosof membunuh dirinya dengan pemikiran. Biarkanlah dia terus berlari: membelakangi harta
karun.
Sebagian besar yang ditakdirkan masuk Surga adalah orang-orang bodoh, sehingga mereka
menjauhkan diri dari kerancuan filsafat.
Jika orang pandai senang dengan rencana, orang sederhana bersemayam nyaman, bagai bayi, di
haribaan Sang Perencana.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 2347


JALAN TASAWUF

Sumbatlah telinga nafsumu, yang bagai kapas menutupi


Kesadaranmu dan membuat tuli telinga batinmu.
Jadilah dirimu tanpa telinga, tanpa rasa, tanpa pemikiran,
Dan dengarkanlah seruan Tuhan, ”Kembalilah!”
Atas perjalanan lahir, kata dan tindakan kita,
Di atas langitlah perjalanan batin kita
Tubuh berjalan di atas jalannya yang berdebu
Ruh berjalan, bagaikan Yesus, di atas lautan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 566

ORANG YANG SELALU RAGU

Filosof yang mengingkari Erangan Tiang adalah orang asing dalam pandangan para wali.
Dia mengatakan, pengaruh kesedihanlah yang membuat pikiran orang dipenuhi khayalan.
Sebaliknya, khayalan kosong ini tak lain merupakan pantulan dari kejahatan dan keingkarannya
sendiri.
Dia menyangkal adanya Setan, namun pada saat yang sama dia tengah dikuasai setan.
Apabila engkau tak dapat melihat Setan, lihatlah dirimu sendiri! Tanpa kerakusan setan takkan
ada otot membiru di dahi.
Siapapun yang merasa ragu dihatinya adalah seorang filosof yang tersembunyi.
Mungkin keyakinannya tegas, namun pada suatu saat nada filosofisnya akan menghitamkan
wajahnya bagi orang-orang yang melihatnya.
Waspadalah, wahai orang-orang yang beriman! Nada seperti itu mungkin ada di dalam dirimu: di
dalam dirimu ada dunia yang tak terhitung banyaknya.
Di dalam dirimu terdapat tujuh puluh dua glongan: celakalah jika suatu hari merka
menampakkan kepalanya!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 3280

KEBURUKAN DI DALAM DIRI KITA

Seekor Singa bergaul dengan seekor Kelinci: mereka berlari bersama ke perigi dan melihat ke
dalamnya.
Sang Singa melihat bayangan diri: di permukaan air tampaklah muka seekor Singa dan seekor
Kelinci yang gemuk di sampingnya.
Begitu ia melihat musuhnya maka ia segera meninggalkan kelinci dan meloncat ke dalam perigi.
Ia jatuh ke dalam lubang yang telah ia gali sendiri: ketidakadilannyalah yang menerkem
kepalanya sendiri.
O Pembaca, betapa banyak keburukan yang engkau lihat pada orang lain itu tak lain adalah
sifatmu sendiri yang terpantul pada diri mereka!
Semua yang nampak pada mereka adalah dirimu-kemunafikan, ketidakadilan, dan
keangkuhanmu.
Engkau tak mampu melihat jelas keburukan dalam dirimu, kalau tidak begitu engkau akan
membenci dirimu sendiri dengan seluruh jiwamu.
Seperti Singa yang menerkam bayangannya sendiri dalam air, engkau hanya menganiaya dirimu
sendiri, O orang dungu.
Jika engkau telah mencapai dasar perigi sifat-sifatmu sendiri, maka engkau bakal mengetahui
kejahatan pun ada di dalam dirimu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1306

HIRARKI PARA WALI

Pada setiap zaman setelah Nabi Muhammad muncullah seorang Wali sebagai wakilnya: umat
manusia diuji sampai Hari Kebangkitan.
Siapa yang berbudi baik akan selamat, siapa yang berhati lemah akan patah.
Wali itu, jadi imam yang hidup, muncul di setiap masa, apakah dia keturunan ’Umar atau ’Ali.
Dia adalah orang yang diberikan petunjuk Tuhan (Mahdi) dan Petunjuk (Hadi): dia tersembunyi
maupun duduk di depanmu.
Dia laksana Cahaya Nabi, dan Akal Universal adalah Jibrilnya: wali yang lebih rendah menerima
cahaya darinya, seperti sebuah pelita.
Tingkat wali yang berada di bawah ”pelita” ini laksana ceruk-pelita: Cahaya bertingkat-tingakat.
Karena Cahaya Tuhan Memiliki tujuh ratus tabir: anggaplah tabir-tabir Cahaya itu sebagai
tingkat yang banyak.
Di belakang setiap tabir tinggallah segolongan wali tertentu: Tabir-tabir ini mendaki tingkat demi
tingkat sampai ke Imam.
Cahaya bagi kehidupan paling atas adalah menyakitkan dan tak tertahankan bagi yang di bawah;
Namun tingkat demi tingkat kesilauannya berkurang; dan setelah melintasi tujuh ratus tabir dia
menjadi Lautan.
Api adalah baik bagi besi dan emas – bagaimana ia akan baik bagi kuinci dan apel?
Apel dan kuinci hanya sedikit keras: tidak seperti besi, mereka hanya membutuhkan panas suam;
Tapi bagi api yang mudah menyerap kobaran api dari lidah naga, panas suam itu terlalu lunak
Apakah besi? Rasa malu-diri Darwis: di bawah martil dan api dia merekah dan bahagia.
Dia adalah bendaharawan api, yang selalu berhubungan langsung dengannya: dia berjalan lurus
menuju hati api.
Oleh karena itu dialah Hati dunia, karena hatilah tubuh melakukan fungsinya yang sebenarnya.
Hati setiap orang laksana tubuh dalam hubungannya dengan Hati semesta Wali.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 815


PETUNJUK SPIRITUAL

Nabi bersabda kepada ’Ali: "Wahai 'Ali, engkau adalah pahlawan yang gagah-berani, engkau
adalah Singa Tuhan,
Namun jangan sandarkan dirimu pada keberanian: masuklah ke dalam naungan pohon-Palem
harapan.
Masuklah ke dalam naungan (pelindung) Orang Bijak yang tak seorang pun dapat
menghentikannya.
Bayangannya di atas bumi ini bagai Pegunungan Qaf, ruhnya bagaikan Simurgh yang
membumbung tinggi di angkasa.
Meski kupanjatkan pujiannya sampai Hari Kebangkitan, janganlah mencari tujuan kepadanya.
Matahari Ilahi menyelubungi diri-Nya dalam Manusia: fahamilah rahasia ini, dan Tuhan benar-
benar mengetahui apa itu kebenaran.
Wahai, ’Ali, di balik semua amal pengabdian di Jalan adalah bayangan Hamba Tuhan.
Apabila orang lain mencari keselamatan dengan menunaikan kewajiban-kewajiban agama,
Pergilah kau, carilah perlindungan dalam naungan Orang Bijak yang melawan musuh di dalam
dirimu.”
Setelah diterima oleh Pir, persembahkanlah dirimu kepadanya: tunduklah, seperti Musa, kepada
wewenang Khidir.
Apapun yang mungkin Khidir perintahkan kepadamu, embanlah dengan sabar, agar ia jangan
berkata: ”Pergilah, di sini kita berpisah.”
Meskipun dia menenggelamkan perahu, diamlah! Sekalipun dia membunuh seorang anak, jangan
renggut rambutmu!
Tuhan telah melukiskan tangannya sebagai tangan-Nya sendiri, karena Dia telah berfirman,
”Tangan Tuhan di atas tangan mereka.”
”Tangan Tuhan” ini membunuh muridnya, kemudian membawanya masuk menuju kehidupan
kekal-abadi.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 2950

HIKMAH KESENGSARAAN

Lihatlah buncis dalam periuk, betapa ia meloncat-loncat elama menjadi sasaran api.
Ketika direbus, ia selalu timbul ke permukaan, merintih terus-menerus tiada henti,
”Mengapa engkau letakkan api di bawahku? Engkau membeliku: Mengapa kini kau siksa aku
seperti ini?
Sang isteri memukulnya dnegan penyedok. ”Sekarang,” katanya, ”Jadi benar-benar matanglah
kau dan jangan meloncat lari dari yang menyalakan api.
Aku merebusmu, namun bukan karena kau membangkitkan kebencian-ku; sebaliknya, inilah
yang membuatmu menjadi lebih lezat
Dan menjadi gizi serta bercampur dengan jiwa yang hidup: kesengsaraan bukanlah penghinaan.
Ketika engkau masih hijau dan segar, engkau minum air di dalam kebun: air minum itu demi api
ini.
Kasih Tuhan itu lebih dahulu daripada permukaan-Nya, tujuannya bahwa dengan kasih-Nya
engkau dapat menderita kesengsaraan.
Kasih-Nya yang mendahului permukaan-Nya itu supaya sumber penghidupan, yang ada, dapat
dihasilkan;
Bahkan kemudian Tuhan Yang Maha Agung membenarkannya, berfirman, ’Sekarang engkau
telah tercuci bersih dan keluarlah dari sungai.’
Teruslah, wahai buncis, teruslah dalam kesengsaraan sampai wujud ataupun diri tak tersisa
padamu lagi.
Jika engkau telah terputus dari taman bumi, engkau akan menjadi makanan dalam mulut dan
masuklah ke kehidupan.
Jadilah gizi, energi, dan pikiran! Engkau menjadi air bersusu: Kini jadilah singa hutan!
Awalnya engkau tumbuh dari Sifat-sifat Tuhan: kembalilah kepada Sifat-Sifat-Nya!
Engkau menjadi bagian dari awan, matahari dan bintang-bintang: Engkau ’kan menjadi jiwa,
perbuatan, perkataan, dan pikiran.
Kehidupan binatang muncul dari kematian tetumbuhan: maka perintah, ’bunuhlah aku, wahai
teman setia,’ adalah benar.
Lantaran kemenangan menanti setelah mati, kata-kata, ’Lihatlah, karena dibunuh aku hidup,’
adalah benar.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 4159

”RUH MENOLONG KELEMAHAN KITA”

Kebaikan yang engkau tegakkan, bagaimanapun juga,


Ketidaksempurnaannya akan selalu tersembunyi darimu;
Karena bila keburukan ditampakkan nyata, jiwamu yang membenci
Akan berpaling dan terbang dari kutub ke kutub terjauh.
Maka, ketika engkau tinggalkan suatu perbuatan dosa
Itu karena Tuhan menunjukimu bagaimana menghindarinya.
Wahai Tuhan Yang Maha Agung, yang kepada-Nya penyamaran akan sia-sia belaka,
Janganlah sembunyikan keburukan kami, biarkan kami melihatnya jelas!
Namun tutuplah kelemahan hasrat baik kami,
Agar kami tidak kehilangan semangat, bimbang dan kehabisan waktu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 1332

KEAJAIBAN YANG TAK TERLIHAT

Rahasia keajaiban-keajaiban dan keagungan-keagungan yang melimpah dari Pir ’kan mengubah
hati murid;
Karena di dalam diri para wali tak terkira banyaknya kebangkitan ruhani, yang sekurang-
kurangnya ialah semua yang dekat dengannya menjadi mabuk kepayang kepada Tuhan.
Apabila keajaiban yang jelas, seperti Nabi membelah bulan, menimbulkan pengaruh langsung
pada jiwa,
Itu disebabkan jiwa disentuh Sang Pembikin pengaruh lewat jalur yang tersembunyi.
Dampak keajaiban-kajaiban bagi benda-benda mati hanyalah asesori: tujuan sebenarnya tak
dapat dilihat.
Alangkah unggulnya roti yang terbuat tanpa adonan – meja hidangan ’Isa al-Masih dari Langit,
buah-buahan Maryam yang tak pernah dikenal di kebun buah-buahan!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 1300

TIADA KEBERHASILAN TANPA USAHA

Ketika kauletakkan muatan di atas palka kapal, usahamu itu tanpa jaminan,
Karena engkau tak tahu apakah engkau bakal tenggelam atau sampai tujuan.
Jika engkau berkata, ”aku takkan berlayar sampai aku yakin akan nasibku,” maka engkau takkan
berniaga: lantas rahasia kedua nasib ini takkan pernah terungkap.
Saudagar yang penakut takkan meraih untung meupun rugi; bahkan sesungguhnya ia merugi:
orang harus mengambil api agar dapat cahaya.
Karena seluruh kejadian berjalan di atas harapan, maka hanya Imanlah tujuan terbaik harapan,
karena dengan Iman memperoleh keselamatan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 3083

PAHALA KEBAJIKAN

Pada Pertemuan Pengadilan orang-orang Mu’min akan berkata, ”Wahai Malaikat, bukankah
Neraka itu jalan umum
Yang dilalui orang-orang mu’min dan kafir? Namun kami tak melihat asap maupun api dalam
perjalanan kami.”
Maka Malaikat menjawab: ”Kebun yang terlihat ketika kalian lalui
Sebenarnya itulah Neraka, namun bagi kalian tampaknya bagai kebun hijau yang indah.
Karena kalian berjuang melawan nafsu dan memadamkan kobaran berahi demi Tuhan,
Maka ia menjadi hijau dengan kesucian dan menerangi jalan keselamatan;
Karena kalian mengubah bara kemarahan menjadi kelembutan, dan kebodohan yang kelam
menjadi pengetahuan yang terang;
Karena kalian membuat jiwa yang berapi-api (nafsu) menjadi kebun buah-buahan di mana
burung Bulbul selalu memanjatkan doa dan pujian –
Maka bagi kalian api Neraka berubah menjadi tumbuh-tumbuhan hijau, bunga-bunga mawar,
dan kekayaan tanpa akhir.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 2554

PANDANGAN WALI TENTANG KEABADIAN

Apa yang kaulihat di dalam cermin yang cemerlang – Pir melihatnya lebih jelas dibandingkan
yang tampak pada batu besi yang kasar.
Para Pir adalah mereka yang ruhnya berada dalam Lautan Kasih Ilahi sebelum dunia ini ada.
Mereka hidup bertahun-tahun sebelum tubuh tercipta; mereka telah mengetam gandum sebelum
ditabur.
Sebelum bentuk dicetak, mereka telah mendapat ruh; sebelum lautan dibuat, mereka telah
menguntai mutiara.
Ruh telah melihat anggur di dalam buah anggur, ruh telah melihat sesuatu yang ada dalam yang
tak ada –
Keterbatasan sebagai ketakterbatasan, emas cetakan sebelum adanya tambang.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 167

HATI-HATILAH MELUKAI WALI

Hati-hatilah! Wahai kalian yang menikam seorang yang sepi-ing-pamrih dengan pedang,
sesungguhnya kalian tenggelam menikam dirimu sendiri.
Karena seorang sepi-ing-pamrih itu telah wafat dan selamat; dia menetap dalam keselamatan
selama-lamanya.
Wujudnya telah hilang, dia menjadi sebuah cermin: tak ada yang tampak padanya kecuali
bayangan wajah orang lain.
Jika engkau, meludahinya, engkau meludahi dirimu sendiri; jika engkau memukul cermin,
engkau memukul dirimu sendiri;
Dan apabila engkau melihat wajah buruk di cermin, itulah wajahmu; dan jika engkau melihat
’Isa dan Maryam, itulah dirimu.
Dia bukan ini atau itu; dia suci dan bebas dari diri: dia menampilkan bayanganmu di hadapanmu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 2138

HAKIM YANG ADIL

Dia adalah utusan Tuhan dan bayangan dari hukum-Nya, cermin yang memperlihatkan ihwal
kebenaran setiap penuntut dan terdakwa;
Karena dia memberikan hukuman atas nama orang yang bersalah; bukan karena amarah,
keuntungan maupun kehormatan.
Dia yang memukul dan membunuh demi kepentingannya sendiri haruskah kena tanggung jawab;
dia yang memukul dan membunuh demi kepentingan Tuhan adalah kebal.
Jika ayah memukul anaknya yang tidak melaksanakan kewajibannya dan si anak mati, maka
sang ayah harus membayar darah yang ter-curah,
Karena dia memukulnya demi kepentingan sendiri: seorang anak harus berbakti kepada ayahnya.
Namun jika seorang murit dicambuk lantas mati: gurunya tidak kena hukuman;
Karena bukan tugas sang anak mengabdi pada gurunya; maka dalam menghukum murid dia
tidak memperoleh keuntungan apa-apa.
Guru adalah wakil Tuhan; dan peraturan yang sama juga berlaku untuk setiap wakil.
Penggallah kepalamu sendiri! Apapun yang engkau lakukan tanpa pamrih, itulah makna dan
’bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar.'
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 1512

KATA-KATA YANG BAIK

Ibu selalu mencari anaknya: yang asas mengejar turunannya.


Jika air tertahan dalam sebuah tangki, angin ’kan menghirupnya; karena angin adalah ruh yang
asasi, kuat dan bebas.
Angin membebaskan air dan menghembuskannya jauh ke sumbernya, sedikit demi sedikit,
sehingga engkau tak dapat melihatnya;
Dan jiwa kita bagaikan nafas puji-pujian yang menyelinap, sedikit demi sedikit, pergi dari
penjara dunia ini.
Harumnya kata-kata baik kita terbang menuju kepada-Nya, ke mana pun terbangnya Dia Maha
Mengetahui.
Nafas kita membumbung tinggi bersama kata-kata pilihan, sebagai kado dari kita, menuju tempat
yang kekal;
Kemudian datanglah pahala atas puji-pujian kita, beripat ganda, dari Tuhan Yang Maha
Penyayang.
Lantas Dia menyuruh kita mencari kata-kata baik lebih banyak lagi, agar hamba-Nya mendapat
Kasih-Sayang-Nya lebih banyak pula.
Sesungguhnya sumber kebahagiaan dalam doa adalah Cinta Ilahi yang tanpa henti membawa
jiwa ke rumahnya kembali.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 878

Lihat Selengkapnya : Paket Tour Lombok

”AKU DI SINI”

Suatu malam seorang berseru ”Allah!” berulang-kali hingga bibirnya menjadi manis oleh puji-
pujian bagi-Nya.
Setan berkata, ”Hai kau yang banyak berkata-kata, mana jawaban ’Aku di sini’ (labbayka) atas
semua seruan ’Allah’ ini?
Tak satu pun jawaban yang datang dari ’Arsy: berapa lama kau akan berkata ’Allah’ dengan
wajah suram?
Ia pun patah hati dan berbaring tidur: dalam mimpi dia melihat Nabi Khidir di antara dedaunan,
Yang berkata, ”Dengar, engkau telah berhenti memuji Tuhan: mengapa engkau sesali zikirmu
kepada-Nya?”
Dia menjawab, ”Karena tak datang jawaban ’Aku di sini’: aku takut diriku dijauhi dari Pintu-
Nya.”
Nabi Khidir menyahut, ”Justru sebaliknya; Tuhan berfirman: Sesungguhnya ’Allah’ dalam
zikirmu adalah ”Aku di sini’-Ku, dan sesungguhnya permohonan dan duka
Dan semangatmu adalah utusan-Ku kepadamu. Ketakutan dan cintamu adalah jerat untuk
menangkap Karunia-Ku:
Di balik setiap ’O Tuhan’-Mu selalu ada ”Aku di sini’ dari-Ku.”
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 189

JIWA SHALAT

Jalaluddin ditanya, ”Adakah jalan yang lebih dekat menuju Tuhan daripada Shalat?” ”Tidak,” dia
menjawab; ”namun shalat itu bukan hanya bentuknya saja. Shalat itu ada permulaan dan
ujungnya, sepertinya semua yang berbentuk dan bertubuh dan yang melibatkan ucapan dan
suara; tapi jiwa itu bebas dan tak terbatas. Para Nabi telah memperlihatkan hakekat shalat yang
sesungguhnya. ...Shalat adalah ketenggelaman dan ketidaksadaran jiwa, sehingga seluruh
bentuk-bentuknya tinggal di permukaan. Shalat itu, bahkan Jibril, yang merupakan ruh Suci tak
dapat ruang. Orang dapat bekerja, siapa yang shalat seperti ini dikecualikan dari kewajiban
agama, karena dia kehilangan kesadaran. Tenggelam dalam Kesatuan Ilahi itu adalah jiwa
shalat.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Fihi ma fihi, 15

KEKASIH YANG BERKATA ”AKU”

Seseorang mengetuk pintu kekasihnya: ”Siapa di situ?” tanya sang kekasih.


Dia menjawab, ”Aku.” ”Pergilah seru kekasihnya, ”ini terlalu cepat: di atas mejaku tiada tempat
yang masih mentah.”
Bagaimana yang mentah dapat dimasak kalau bukan dalam api ketiadaan? Apa lagi yang dapat
melepaskannya dari kemunafikan?
Dengan sedih dia pun pergi, dan sepanjang tahun hatinya terbakar oleh api perpisahan;
Maka datanglah ia kembali mondar-mandir di samping rumah kekasihnya.
Dia mengetuk pintu dengan ratusan kecemasan dan harapan, kuatir kalau kata-kata tak pantas
bakal terucap dari bibirnya.
”Siapa di situ?” seru sang Kekasih. Dia menjawab, ”Engkau, wahai pesona seluruh hati!”
”Kini,” sapa sang kekasih, ”karena engkau adalah aku, masuklah; tiada ruang untuk dua aku
dalam ruangan ini.
Dua ujung benang bukanlah untuk selubang jarum: karena engkau adalah satu, masuklah ke
lubang itu.”
Inilah benang yang memasuki lubang itu: unta takkan diterima masuk lubang jarum itu.
Bagaimana unta dapat diperkecil kecuali dengan gunting zuhud?
Tapi itu, wahai pembaca, memerlukan Tangan Tuhan, yang merupakan Pembuat dan Pencipta
setiap kemustahilan.
Yang bukan-wujud pun, meski lebih mati dibandingkan yang mati harus mendengarkan ketika
Dia menitahkannya mewujud.
Bacalah ayat, ”Setiap waktu Dia dalam kesibukan”: janganlah menganggap-Nya menganggur
dan lamban.
Setidak-tidaknya, kegiatan-Nya tiap hari, mengirimkan tiga pasukan:
Sepasukan sulbi para ayah menuju para ibu, supaya benih dapat berkembang di dalam
kandungan;
Sepasukan dari kandungan menuju Bumi, agaar dunia terisi dengan lelaki dan perempuan;
Sepasukan dari Bumi menuju kawasan di balik kematian, sehingga setiap orang dapat melihat
indahnya segala amal baiknya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 3056

TUHAN DI ATAS PUJIAN

Jika sinar Yang Maha Bijak menyambar tanah dan lempung


Mau menerima benih, Bumi menepati janjinya;
Di musim semi seluruh simpanan ia keluarkan kembali,
Begitulah ajaran Keadilan abadi.

Wahai Engkau yang Rahmat-Mu mengajari gumpalan yang tak berakal.


Yang kemurkaan-Mu membutakan hati dan penglihatan batin,
Pujianku bukan memuji-Mu, O Tuhan Yang Mahakuasa;
Karena pujian itu wujud, dan mewujud itu dosa.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 508

PENGETAHUAN ADALAH KEKUATAN

Pengetahuan adalah materai Kerajaan Nabi Sulaiman: seluruh dunia adalah bentuknya, dan
pengetahuan adalah jiwanya.
Karena hikmah ini, makhluk-makhluk yang hidup di lautan, di berbukitan, dan di daratan tak
berdaya di hadapan Manusia.
Macan dan singa takut terhadapnya; buaya sungai yang besar pun gemetar.
Peri dan jin mencari tempat perlindungan terhadapnya, masing-masing bersembunyi di tempat
persembunyian.
Manusia mempunyai banyak musuh rahasia: orang yang waspada adalah orang yang bijak.
Ada banyak makhluk tersembunyi, yang jahat dan yang baik: setiap saat serangan mereka
mendarat di lubuk.
Tusukan ilham malaikat dan godaan setan datang ribuan, bukan hanya satu.
Tunggulah sampai pancainderamu diubah, sehingga engkau dapat melihat kehadiran makhluk
yang gaib ini
Dan lihat siapa yang kata-katanya telang engkau tolak serta siapa yang telah engkau jadikan
panutanmu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1030

NAMA KITA YANG SEBENARNYA


Pernahkah kau dengar nama dari segala sesuatu dari Yang Mengetahui?: Dengarlah makna
rahasia ’Dia mengajarkan kepadanya Nama-nama.'
Bagi kita, nama segala sesuatu adalah bentuk lahirnya; bagi Sang Pencipta, ia adalah hakekat
batinnya.
Dalam pandangan Musa nama tongkatnya adalah ”tongkat’; dalam pandangan Tuhan namanya
”naga”.
Di dunia ini nama ’Umar adalah ”pemuja berhala”, namun di alam baka ia adalah ”mukmin yang
sesungguhnya”.
Di hadapan Tuhan, pendek kata, segala yang merupakan tujuan kita adalah nama kita yang
sebenarnya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1238

Lihat Selengkapnya : Paket Tour Lombok

PENGETAHUAN LANGSUNG

Mari, ketahuilah bahwa indera dan imajinasi serta pengertianmu bagaikan batang bambu yang
ditunggangi anak-anak.
Pengetahuan spiritual manusia membumbungkannya ke atas; pengetahuan inderawi manusia
adalah sebuah beban.
Tuhsan telah berfirman, ’Seperti keledai yang membawa kitab-kitab’: betapa berat pengetahuan
yang tak diilhami oleh-Nya;
Namun apabila engkau membawanya bukan untuk kepentingan diri sendiri, maka beban itu akan
terangkat dan kau akan merasa bahagia.
Bagaimana engkau bisa bebas tanpa anggur-Nya, wahai engkau yang puas dengan tanda-Nya?
Apa yang lahir dari sifat dan nama? Khayalan; namun khayalan hanya menunjukkan jalan
menuju kebenaran.
Tahukah kau nama tanpa hakekat? Atau pernahkah kau memetik mawar dari M.A.W.A.R.?
Engkau telah menyebutkan nama itu: pergi, carilah sesuatu yang diberi nama, Bulan itu di langit,
bukan dalam air.
Sudilah engkau pergi ke balik nama dan huruf, sucikanlah dirimu sepenuhnya,
Dan saksikan dalam lubuk hatimu sendiri seluruh pengetahuan para Nabi, tanpa buku, tanpa
belajar, tanpa pengajar.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 3445

TRADISI DAN INTUISI

Telinga adalah perantara, mata adalah pencinta yang menyatu dengan sang kekasih; mata adalah
karunia nyata, sedangkan telinga hanya memiliki kata-kata yang menjanjikannya.
Dalam mendengar ada perubahan sifat; dalam melihat, ada perubahan hakekat.
Jika pengetahuanmu tentang api ditentukan oleh kata-kata semata, coba matangkan dengan api!
Tiada kepastian intuitif sampai engkau terbakar, jika kau hasratkan kepastian itu duduklah dalam
api!
Apabila telinga semakin peka, ia bakal menjadi mata; apabila sebaliknya, kata-kata terperangkap
dan tak dapat mencapai hakekat.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 858

PERASAAN DAN FIKIRAN

Zaid dipukul keras dari belakang. Baru saja ia mau membalas,


Yang memukulnya berteriak, ”Biarkanlah aku bertanya dahulu: pertama jawablah, sudah itu
pukullah aku.
Aku memukul kudukmu, dan terdengar bunyi tamparan. Sekarang aku bertanya ramah kepadamu

’Apakah suara itu disebabkan oleh tanganku atau oleh lehermu. O kebanggan bangsawan?”
Zaid menjawab, ”Rasa sakit yang kuderita membuatku tiada waktu untuk memikirkan masalah
ini.
Pikirkan sendiri: oranng yang merasa kesakitan tidak dapat memikirkan masalah seperti ini.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 1380                 

CINTA DAN TAKUT

Sang Sufi bermi’raj ke ’Arsy dalam sekejap; sang zahid membutuhkan waktu sebulan untuk
sehari perjalanan.
Meskipun, bagi sang zahid, sehari bernilai besar sekali, namun bagaimana satu harinya bisa sama
dengan ’lima puluh ribu tahun’?
Dalam kehidupan sang Sufi, setiap hari berarti lima puluh ribu tahun di dunia ini.
Cintra (Mahabbah), dan juga gairah cinta ('isyq), adalah sifat Tuhan; takut adalah sifat hamba
nafsu dan birahi.
Cinta memiliki lima ratus sayap; dan setiap sayap membentang dari atas surga di langit tertinggi
sampai di bawah bumi.
Sang zahid yang ketakutan berlari dengan kaki; para pencinta Tuhan terbang lebih cepat daripada
kilat.
Semoga Rahmat Tuhan membebaskanmu dari pengembaraan ini! Tak ada yang sampai kecuali
rajawali yang setialah yang menemukan jalan menuju Sang Raja.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 2180

PENDAKIAN JIWA

Aku mati sebagai mineral dan menjadi tumbuhan,


Aku mati sebagai tumbuhan dan muncul sebagai hewan,
Aku mati sebagai hewan dan aku menjadi Insan.
Mengapa aku mesti takut? Bilakah aku menjadi rendah karena kematian?
Namun sekali lagi aku akan mati sebagai Insan, untuk membumbung
Bersama para Malaikat yang direstui; bahkan dari tingkat malaikat pun
Aku harus wafat: Segala akan binasa kecuali Tuhan.
Ketika jiwa malaikatku telah kukorbankan,
Aku akan menjadi sesuatu yang tak pernah terperikan oleh pikiran.
Oh, biarkanlah aku tiada! Karena Ketiadaan
Membisikkan nada dalam telinga. ”Sesungguhnya kepada-Nya-lah kita kembali.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 3901

JALAN PENYANGKALAN

Di hadapan orang Turki yang mabuk, penyanyi pengembara mulai menyanyikan Perjanjian di
alam keabadian antara Tuhan dengan Jiwa.
”Aku tak tahu apakah Engkau bulan atau berhala, aku tak tahu apa yang Engkau kehendaki
dariku,
Aku tak tahu apa yang harus kulakukan untuk-MU, apakah aku akan terus diam atau
menyatakan-Mu dalam kata-kata.
Sungguh mengagumkan bahwa Engkau Dekat denganku; namun di mana aku dan di mana
Engkau, aku tak tahu.”
Dengan cara inilah dia membuka bibirnya, hanya untuk menyanyikan ”Aku tak tahu, aku tak
tahu.”
Akhirnya orang Turki itu meloncat marah dan mengancamnya dengan sebatang tongkat besi.
”Bodoh benar kau!” ia berteriak, ”Katakan kepadaku sesuatu yang kau ketahui, dan jika kau tak
tahu, jangan asal bicara.”
”Apa tujuan ocehanku ini?” sahut penyanyi pengembara, ”maksudku gaib;
Sampai engkau menyangkal semua yang lain, penegasan Tuhan lari darimu: aku menyangkal
supaya engkau dapat menemukan jalan penegasan.
Kumainkan nada sangkalan: jika engkau mati, kematian yang akan memperlihatkan rahasia –
Bukan kematian yang membawamu ke kegelapan liang kubur, tetapi dengan kematian engkau
berubah dan masuk ke dalam Cahaya!
O Amir, gunakanlah tongkat itu untuk memukul dirimu: hancurkanlah egoisme sampai lumat!”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 703

RUH ALAM SEMESTA

Alangkah luasnya dunia rahasia menggelinding,


Lautan Pikiran yang mengelilingi melingkar!
Bagai mangkuk yang di atasnya tubuh kita mengapung cepat,
Hanya untuk memenuhi, tenggelam, dan akhirnya hilang
Tanpa percik gelembung dari Lautan yang melambungkan ke atas.

Ruh yang tidak dapat engkau lihat, ia datang sangat dekat.


Rasakanlah Kehadirannya! Jangan jadi kendi
Penuh air, namun bibirnya kering kerontang;
Atau seperti penunggang kuda tanpa peduli jauh menunggang,
Namun tak pernah melihat kuda yang di bawah pahanya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1109

SUMBER KEHIDUPAN

Salinan-salinan yang buram keluar dari Surga,


Lukisan-lukisan duniawi yang pucat dicipta ’tuk binasa,
Duka apa ini meski keindahanmu jadi hancur
Namun yang memberi tetap selamanya bertahan?

Oh, jangan sakiti hatimu dengan derita yang sia-sia:


Seluruh percakapan yang tinggi memikat telinga yang terpukau,
Segala pemandangan tersepuh emas, semua tindakan berani cemerlang
Akan hilang – musnah, meski tak seperti yang kita takutkan.

Selama mata air kehidupan terus tercurah,


Tiap aliran yang kecil meng-alir penuh ke induknya.
Karena baik aliran maupun sumber dapat selamanya mengalir,
Alangkah bodohnya ketakutanmu, betapa keluh kesahmu sia-sia!

Apakah sumber ini, inginkan engkau mengetahui benar-benar?


Jiwa yang menyebabkan segala sesuatu diciptakan.
Pasti sungai-sungai takkan berhenti mengalir
Sampai terbungkam sumber-sumber keabadian.

Selamat berpisah, dan dengan pikiran tenang


Minumlah lagi dan lagi: biarlah yang lainnya suka menganggap
Mungkin dapat menemukan saluran yang kering,
Atau mengukur aliran yang tak dapat diukur.

Dunia yang hina ini diberikan kepadamu untuk sementara.


Tersedia sebuah tangga yang dengannya engkau dapat bercita-cita;
Dan langkah pertamamu, berjuang untuk terus mendaki,
Dari mineral ke tumbuhan; lalu ke tingkat yang lebih tinggi

Ke kehidupan hewan; lantas, Manusia


Berpengetahuan, berakal, dan beriman. O sungguh tujuan yang sangat mengagumkan!
Tubuh ini, dari remah-remah debulah ia mulai berasal
Betapa indahnya terbentuk segala kesempurnaan!

Namun perjalananmu belum berhenti sampai di sini: engkau akan menjadi


Malaikat yang bijak dan tempat tinggalmu di Surga.
Teruslah berusaha, akhirnya terjunlah ke dalam Samudera yang luas, sehingga
Tetesmu yang sedikit membuat lautan-lautan meluap tujuh kali tujuh lipat.

”Putera Tuhan!” Tidak, tinggalkanlah kata yang tak dapat disebutkan itu;
Katakanlah, ”Tuhan adalah Yang Maha Esa, Yang Maha Suci, Kebenaran yang satu.”
Apakah meski bingkai dirimu akan menjadi layu, tua, dan mati,
Jika jiwa tetap segar muda dan abadi?

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, SP, XII

TUJUAN PENCIPTAAN

Hikmah Tuhan menciptakan dunia supaya segala sesuatu yang ada dalam pengetahuan-Nya
menjadi tersingkap.
Tuhan menimbulkan di atas dunia rasa sakit ketika melahirkan agar apa yang Dia ketahui
menjadi terungkap.
Engkau tak dapat sejenak pun berdiam diri, engkau tak dapat istirah sampai berbagai hal yang
baik atau buruk keluar dari dirimu.
Semua hasrat untuk berbuat ini ditakdirkan agar akhirnya kesadaran batinmu jelas tampak.
Bagaimana yang nyata, yaitu tubuh, dapat diam jika benang, yakni pikiran, menariknya?
Dunia ini dan dunia sana tak henti-hentinya melahirkan: setiap sebab adalah ibu, akibatnya
adalah sang anak.
Jika akibat lahir, ia pun menjadi sebab dan melahirkan berbagai akibat yang menakjubkan.
Sebab-sebab ini adalah generasi-generasi, namun ia membutuhkan suatu penglihatan yang sangat
tajam untuk melihat mata rantainya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 994

TAKDIR ILAHI

Adakah pelukis yang melukis sebuah lukisan indah demi lukisan itu sendiri?
Tidak, tujuannya ialah untuk menyenangkan anak-anak atau mengingatkan kembali teman-teman
yang telah lama berpisah kepada kenangan terhadap mereka yang mencintainya.
Adakah pembuat tembikar yang membuat kendi demi kendi itu sendiri dan bukan karena
mengharapkan air?
Adakah kaligrafer yang menulis demi tulisan semata dan bukan demi kepentingan pembacanya?
Ini seperti langkah dalam catur, anakku: hasil dari setiap langkah dirasakan pada langkah
selanjutnya.
Dengan memahami sebab di balik sebab, satu setelah lainnya, engkau mencapai kemenangan dan
mensekak-mati.
Orang yang jiwanya bebal tidak tahu bagaimana maju: dia berbuat berdasarkan keyakinan serta
melangkah secara buta.
Keyakinan buta, jika engkau ikut bertempur, adalah sia-sia seperti keyakinan penjudi atas
keberuntungannya.
Apabila rintangan di muka dan di belakang terangkat, maka mata akan menembus dan membaca
lembaran Yang Tak Terlihat.
Orang yang waskita ini melihat ke belakang ke asal keberadaannya – dia melihat para Malaikat
mendebat Yang Maha Kuasa ketika hendak menjadikan Ayah kita (Adam) sebagai wakil-Nya,
Dan, sambil mengarahkan matanya ke masa depan, dia melihat segala sesuatu yang akan terjadi
hingga Hari Pengadilan.
Setiap orang melihat sesuatu yang tak terlihat menurut kadar cahayanya.
Semakin sering ia menggosok cermin hatinya, semakin jelaslah ia melihat segala.
Kesucian ruhani terlimpah dari Karunia Ilahi; keberhasilan dalam menggosoknya juga
merupakan Anugerah-Nya.
Usaha dan doa tergantung pada cita-cita: Manusia tiada memperoleh selain apa yang telah
diusahakannya.
Tuhan sendiri adalah Pemberi aspirasi: orang yang kasar takkan bercita-cita menjadi Raja;
Namun takdir Tuhan tentang nasib tertentu bagi seseorang tidak merintanginya untuk
berkemauan dan mengambil pilihan.
Ketika kesulitan datang, orang yang bernasib sial akan berpaling dari Tuhan, sementara orang
yang diberkahi akan mendekat kepada-Nya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 2881

PENYEBAB

Tuhan telah menetapkan aturan, sebab-akibat, dan cara-cara demi semua yang mencari-Nya di
bawah langit yang biru ini.
Hampir segala hal berjalan menurut aturan itu, namun adakalanya Kekuatan-Nya
menghancurkan aturan itu.
Dia menetapkan berbagai aturan dan kebiasaan: Dia menciptakan keajaiban yang nyata
(mu’jizat) yang menyimpang dari kebiasaan.
Wahai engkau yang terjerat sebab-akibat, jangan bayangkan bahwa Penyebab itu telah mati!
Penyebab mewujudkan apa pun yang Dia kehendaki, Kemahakuasaan-Nya dapat
menghancurkan seluruh sebab-akibat;
Namun umumnya, Dia melaksanakan Kehendak-Nya lewat jalan sebab-akibat, supaya para
pencari dapat mencapai apa yang diinginkan.
Apabila tiada sebab, bagaimana pencari bisa meneruskan perjalanan? Dia mesti meninggalkan
jejak yang tampak di atas jalan yang dilalui.
Sebab-akibat adalah film bagi mata, namun tidak setiap mata mampu merenungkan perbuatan-
Nya.
Dibutuhkan penglihatan yang tajam untuk mencapai yang ada di balik sebab dan melepaskan
seluruh film,
Sehingga dapat tampak Penyebab dalam dunia tanpa ruang dan terlihatlah seluruh usaha dan
perbuatan kita hanyalah air-liur.
Segala sesuatu yang baik ataupun yang buruk itu datang dari Penyebab: sebab-akibat dan cara-
cara, O tuan, adalah bukan apa-apa.
Melainkan hantu yang tampak di atas jalan raya Sang Raja agar kekuasaan-ketidaktahuan dapat
bertahan untuk sementara waktu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 1543

PABRIK TUHAN

Pekerja itu tersembunyi di dalam ruang kerja: masuklah ke ruang kerja dan lihatlah Dia!
Lantaran pekerjaan telah menenun cadar pada Pekerja, engkau tidak dapat melihat-Nya di luar
pekerjaan-Nya.
Pekerja tinggal di dalam ruang kerja: tak seorang pun yang tinggal di luar menyadari-Nya.
Maka, masuklah ke ruang kerja Ketiadaan, agar engkau dapat merenungkan Pekerja dan
sekaligus pekerjaan-Nya.
Fir’aun mengabdi diri pada kehidupan material; maka dia buta terhadap ruang kerja Tuhan.
Dan ingin mengubah serta menghindari apa yang telah ditentukan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 759

DUNIA WAKTU

Setiap saat engkau mati dan kembali. ”Dunia ini hanya sekejab,” sabda Nabi.
Pikiran kita adalah anak panah yang dibidikkan oleh-Nya: Bagaimana ia akan tetap tinggal di
udara? Ia akan kembali lagi kepada Tuhan.
Setiap saat dunia diperbaharui kembali, dan kita tidak menyadari perubahannya yang tak pernah
berhenti.
Hidup pun senantiasa mengalir baru, meski dalam tubuh tampak kemiripan bentuk yang
berkesinambungan.
Karena cepatnya ia tampak berkesinambungan, bagai kembang api yang engkau putar dengan
tangan.
Waktu dan masa adalah gejala yang dihasilkan oleh cepatnya Tindakan Tuhan,
Bagaikan puntung berapi yang cekatan diputar menimbulkan ilusi lingkaran api panjang.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1142

HAKEKAT DAN PENAMPAKAN

Cahayalah yang membuat warna dapat dilihat: di malam hari


Merah, hijau, dan coklat muda hilang dari pandanganmu.
Maka lewat kegelapan engkau pun mengenal cahaya:
Segala yang tersembunyi, oleh kebalikannya dapat tampak.
Karena tak ada kebalikan bagi Tuhan, Dia, melihat segala, menyangkal
Diri-Nya selalu bagi penglihatan yang nisbi.
Dari rimbun yang gelap bagai singa bercahaya,
Tubuh dari Jiwa yang tak tampak meloncat ke dalam cahaya.
Ketika gelombang pikiran dari Laut Hikmah yang dalam
Muncul, ucapan dan suara dipakai untuk mengungkapkan dirinya
Mengalir indah berkilauan,
Kemudian turun dan bercampur dengan gelombang yang jatuh.
Begitu segala yang indah binasa, untuk diperindah kembali
Oleh keindahan Yang Maha Esa, asal dari segala yang indah,

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1121

TUHAN DI DUNIA

Dunia itu beku, namanya jamad (tidak berjiwa): jamid berarti ”beku”, O tuan.
Tunggulah sampai terbitnya matahari Kebangkitan, sehingga engkau dapat menyaksikan gerakan
tubuh dunia.
Karena Tuhan menciptakan Manusia dari debu, maka sebaiknya engkau kenali sifat sejati setiap
partikel alam semesta,
Yang dari satu sisi mereka tampak mati, dari sisi lainnya mereka hidup: di sini diam, di Sana
berbicara.
Jika Dia menurunkan mereka ke dunia kita, tongkat Nabi Musa menjadi seekor naga dalam
pandangan kita,
Gunung-gunung bertasbih bersama Nabi Dawud, besi jadi bagai lilin di tangannya;
Angin menjadi kendaraan bagi Sulaiman, laut pun paham apa yang Tuhan titahkan pada Musa.
Rembulan mematuhi isyarat yang diberikan Muhammad, api unggun (Namrud) menjadi taman
mawar bagi Ibrahim.
Mereka semua berseru, “Kami mendengar dan melihat serta mematuhi, meskipun bagi kalian,
orang yang belum mengetahui, kami adalah benda mati.
Mendakilah dari dunia benda ke dunia ruh, dengarkan suara keras dari alam semesta;
Maka engkau akan mengetahui bahwa Tuhan diagungkan oleh segala benda mati: kesangsian
yang dibuat para penafsir palsu tidak akan memperdayakanmu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 1008

CINTA: LAUTAN TAK BERTEPI

Cinta adalah lautan tak bertepi, langit hanyalah serpihan buih belaka.
Ketahuilah langit berputar karena gelombang Cinta: andai tak ada Cinta, dunia akan membeku.
Bila bukan karena Cinta, bagaimana sesuatu yang organik berubah menjadi tumbuhan?
Bagaimana tumbuhan akan mengorbankan diri demi memperoleh ruh (hewani)?
Bagaimana ruh (hewani) akan mengorbankan diri demi nafas (Ruh) yang menghamili Maryam?
Semua itu akan menjadi beku dan kaku bagai salju, tidak dapat terbang serta mencari padang
ilalang bagai belalang.
Setiap atom jatuh cinta pada Yang Maha Sempurna dan naik ke atas laksana tunas.
Cita-cita mereka yang tak terdengar, sesungguhnya, adalah lagu pujian Keagungan pada Tuhan.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 3853

CINTA ALAM SEMESTA

Sesungguhnya, tak pernah pencinta mencari tanpa dicari pula oleh kekasihnya.
Apabila kilat cinta telah membakar hati yang ini, ketahuilah bahwa di hati yang itu pun cinta
telah bersemayam penuh gelora.
Apabila cinta Tuhan telah membara di relung hatimu, pastilah Dia telah mencintaimu.
Tiadalah suara tepukan terdengar hanya dari sebelah tangan. Hikmah Tuhan dalam takdir dan
hukum yang menjadikan kita saling mencinta.
Oleh karena itulah setiap bagian dari dunia diberi pasangan.
Di mata orang bijak, Langit adalah laki-laki dan Bumi permpuan; Bumi memupuk seluruh yang
telah Langit turunkan.
Apabila Bumi kekurangan Panas, Langit mengirimkannya; jika ia kehilangan embun dan
kesegaran, Langit memulihkannya.
Langit berkeliling, laksana seorang suami yang mencari nafkah demi isterinya;
Sedangkan Bumi sibuk mengurus rumah tangganya: ia merawat yang lahir dan menyusui apa
yang telah ia lahirkan.
Pandanglah Bumi dan Langit sebagai makhluk yang dikaruniai kecerdasan, karena mereka
melakukan pekerjaan makhluk yang berakal-pikiran.
Jikalau pasangan ini tidak merasakanlebahagiaan dari satu dengan yang lainnya, mengapa
mereka melangkah bersama laksana sepasang kekasih yang saling mencinta?
Tanpa Bumi, bagaimana bunga dan pepohonan akan tumbuh? Lalu, air dan panas Langit akan
menghasilkan apa?
Karena Tuhan meletakkan gairah dalam diri pria dan wanita lewat persatuannya dunia
terselamatkan,
Maka Dia menanamkan gairah ke dalam setiap jenis makhluk demi jenis makhluk yang lain.
Secara lahir Siang dan Malam saling bertentangan: namun keduanya saling membantu demi satu
tujuan.
Masing-masing saling mencinta demi kesempurnaan pekerjaan mereka yang saling
membutuhkan.
Tanpa Malam, watak Manusia takkan menerima penghasilan, sehingga takkan ada Siang guna
dibelanjakan.
Jiwa berkata kepada tubuh, “Pengasinganku lebih pahit daripadamu: aku adalah penghuni
Surga.”
Tubuh menginginkan tumbuh-tumbuhan hijau dan siraman air, karena ia berasal daripadanya;
Jiwa menginginkan Kehidupan dan Tuhan Yang Maha Hidup, karena ia berasal dari jiwa Yang
Tak Terhingga.
Hasrat jiwa adalah pendakian dan keagungan; hasrat tubuh adalah harta dan kepuasan;
Dan Yang Maha Luhur itu menginginkan dan mencintai jiwa: perhatikan ayat “Dia mencintai
mereka dan mereka pun mencintai-Nya.”
Pokonya ialah bila seseorang mencari, jiwa yang dicarinya pun menginginkannya;
Namun kalau gairah pencinta membuatnya kurus-kering, maka gairah dari yang dicinta akan
membuatnya indah dan semakin mem-pesona.
Cinta, yang membuat pipi sang kekasih semakin merekah, memakan jiwa sang pencinta.
Ambar mencintai jerami kelihatanyya tak menghasratkan apa-apa, sementara jerami berjuang
untuk dapat melangkah maju di jalan yang panjang.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 4393

MANUSIA MAKROKOSMOS

Dari jiwa-jiwa suci seterang bintang penyempurnaan selalu diberikan kepada bintang-bintang di
langit.
Dari luar tampaknya kita diatur oleh bintang-bintang itu, padahal batin kitalah yang menjadi
pengatur langit.
Oleh karena itu, sementara dari wujud engkau adalah mikrokosmos, pada hakekatnya engkau
makrokosmos.
Tampaknya ranting itu sumber buah; padahal ranting itu tumbuh demi buah.
Jikalau bukan karena mengharap buah, mengapa tukang kebun menanam pohon?
Maka pada dasarnya pohon itu lahir dari buah, meski tampaknya ia dihasilkan oleh pohon.
Karena itu Muhammad bersabda, “Adam dan seluruh Nabi berbaris di belakangku di bawah
benderaku.”
Ketika Tuan dari setiap adat dan pengetahuan itu mengungkapkan pepatah, “Kami adalah yang
terakhir dan terkemuka:”
Yakni, meskipun tampaknya aku lahir dari Adam, namun sesungguhnya akulah leluhur dari
setiap nenek-moyang.
Karena para Malaikat sujud kepadanya demi aku, dan dia naik ke Langit Ketujuh karenaku,
Maka Bapak Adam itu sesungguhnya lahir dariku: pohon itu lahir dari buah.
Ide, adalah yang pertama, datang terakhir ke dunia kenyataan, pada hakekatnya ide itulah yang
kekal-abadi.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 510

MANUSIA SEMPURNA

Sang Qutb adalah singa: berburu adalah urusannya; yang lainnya hanya memakan sisanya.
Sejauh yang engkau mampu, usahakanlah untuk mengenyangkannya, sehingga dia dapat
memperoleh kekuatan serta memburu binatang-binatang yang buas.
Apabila dia sakit, orang-orang menderita kelaparan: semua makanan berasal dari tangan sang
Akal.
Seluruh pengalaman spiritual hanyalah sisa-sisanya. Ingatlah ini, apabila engkau menginginkan
mangsa.
Dia bagaikan sang Akal, sedangkan mereka laksana anggota-anggota tubuhnya; tata-kerja tubuh
itu tergantung pada sang Akal.
Kelemahannya terdapat pada tubuh, bukan pada jiwa; kelemahan terletak pada Bahtera, bukan
pada Nuh.
Sang Qutb berputar mengedari dirinya, sementara di sekelilingnya berputarlah seluruh Benda
Angkasa.
Berilah bantuan untuk memperbaiki bahtera jasmaniahnya: jadilah pelayannya yang terkasih dan
hambanya yang setia.
Pada hakekatnya bantuanmu adalah suatu kebajikan bagimu, bukan baginya: Tuhan telah
berfirman, “Jika engkau menolong Allah, niscaya engkau akan ditolong.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 2339

SAKSI TUHAN

Tuhan tidaklah mencipta di bumi atau di langit yang tinggi sesuatu yang lebih gaib daripada ruh
manusia.
Dia telah menyingkapkan rahasia segala sesuatu, baik yang basah maupun yang kering, namun
Dia menutup rahasia ruh: “ia termasuk urusan Tuhan-ku.”
Karena penglihatan Saksi yang mulia melihat ruh itu, maka sia-sialah tetap bersembunyi
daripadanya.
Tuhan disebut “Yang Maha Adil”, dan Saksi itu milik-Nya: Saksi yang adil itu adalah mata Sang
Kekasih.
Sasaran Pandangan Tuhan di kedua dunia adalah kesucian hati: tatapan Sang Raja tertuju pada
orang yang terkasih.
Rahasia cinta-kasih-Nya yang beramain-main dengan kekasih-Nya adalah sumber dari seluruh
tabir yang telah Dia ciptakan.
Oleh karena itu Tuhan kita Yang Maha Pengasih berfirman kepada Nabi pada malam mi’raj:
“Kalau bukan karena engkau niscaya tidaklah Kuciptakan alam.”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 2877

MEDIATOR

Nabi bersabda, “Tuhan tidaklah memandang ke tubuh-tubuhmu: oleh karena itu dalam upayamu
carilah si empunya Hati.”
Adalah karena Anugerah-Nya Tuhan memandangmu, bukan karena sujudmu dalam shalat
maupun karena zakat.
Karena engkau menganggap semua hati seperti hatimu menjadi Hati, engkau meninggalkan
pencarian akan mereka yang memilikinya-
Hati yang bila tujuh ratus Langit memasukinya, akan hilanglah mereka dan tersembunyi dari
penglihatan.
Janganlah menyebut pecahan-pecahan hati sebagai ”Hati” ini: janganlah mencari Abu Bakr
dalam diri Sabzawar!
Si empunya Hati adalah sebuah cermin bermuka enam; melaluinya Tuhan melihat segala sesuatu
dari enam arah.
Apabila Tuhan menolak seseorang, adalah demi dia; dan apabila Dia menerima seseorang,
adalah atas namanya.
Tuhan meletakkan Rahmat-Nya di atas telapak tangannya, dan telapak tangannya
menyalurkannya ke seluruh tujuan Rahmat Tuhan.
Keutuhan Rahmat Semesta di atas telapak tangannya adalah lengkap, mutlak, dan sempurna.
Wahai orang yang kaya, apabila engkau mengajukan seratus karung emas kepada Tuhan, Dia
akan berfirman, “Bawalah Hati sebagai kado bagi gerbang pintu-Ku:
Berilah Aku Hati yang menjadi Kutub dunia dan Jiwa dari jiwanya jiwa Adam!”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 869

ASKETISME DAN MA’RIFAH

Ahli ma’rifah adalah jiwa agama dan kesalehan; ma’rifah adalaha hasil dari berlalunya
asketisme.
Asketisme adalah pekerjaan menabur benih; ma’rifah adalah pertumbuhan dan hasil panenan
benih.
Ahli ma’rifah adalah perintah untuk berbuat benar dan kebenaran itu sendiri; dialah pengungkap
rahasia-rahasia dan juga rahasia terungkap.
Dia adalah Sang Raja kita hari ini dan esok; sekam adalah hamba untuk benihnya yang baik.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 2090

“MATILAH SEBELUM MATI”

Sang Nabi bersabda, “Wahai pencari rahasia-rahasia, hendaklah engkau melihat orang mati yang
hidup,
Yang berjalan-jalan di atas bumi, seperti orang yang masih hidup; namun ruhnya bertempat
tinggal di Surga,
Karena dia telah dipindahkan sebelum mati dan tidak akan dipindahkan ketika dia mati-
Suatu rahasia di luar pemerian, hanya dimengerti oleh orang yang sedang sekarat-
Apabila ada orang yang ingin melihat orang mati yang masih kelihatan berjalan di atas bumi,
Biarkanlah dia melihat Abu Bakr, yang saleh, yang karena kebajikannya menjadi seorang saksi
yang benar bagi Tuhan menjadi Pangeran kebangkitan.”
Muhammad lahir dua kali di dunia ini: dia mati terhadap semua yang terkadang tiada dan ada:
dialah ratusan kebangktan kembali di sini dan kini
Sering mereka bertanya kepadanya, “Berapa jauhkah jalan menuju Kebangkitan?”
Dan dia akan menjawab dengan kefasihan bisu, “Adakah seseorang yang bertanya bahwa akulah
Kebangkitan itu?”
Jadilah Kebangkitan dan lihatlah juga: menjadi adalah syarat mutlak untuk melihat hakekat
segala sesuatu.
Apakah ia terang atau gelap, sebelum engkau menjadi ia engkau tak akan pernah mengetahuinya
secara sempurna.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 742

KEMATIAN DAN MAKAM MISTIK


Makammu bukanlah diperindah oleh batu, kayu dan plesteran;
Bukan itu, melainkan dengan menggali makam untuk dirimu sendiri dalam kesucian ruhani dan
menguburkan egoisme dirimu di dalam egoisme-Nya
Dan menjadi debu-Nya dan terkubur dalam cinta-Nya, sehingga Nafas-Nya dapat memenuhi dan
menghidupimu.
Sebuah makam dan kubah menara kecil tidaklah menyenangkan bagi para pengikut Yang Maha
Besar.
Sekarang lihatlah orang hidup yang berkain satin: apakah jubahnya yang indah itu menuntun
pengertiannya terhadap segala sesuatu?
Jiwanya tersiksa, kalajengking deritanya berdiam di dalam hatinya yang benar-benar pedih.
Lahirnya, penuh dengan tanda jasa dan hiasan; nemun batinnya mengerang, menjadi mangsa
berbagai pikirannya yang pahit;
Dan lihatlah, orang lain, yang berjubah tua lagi kumal, pikiran-pikirannya manis bagai tebu,
kata-katanya bagai gula!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 130

KESATUAN RUH

Jika mawar telah layu dan taman bunga pun telah musnah, kemanakah kita akan mencari
harumnya mawar? Dalam air-mawar.
Karena Tuhan tak dapat dilihat, maka Dia mengutus para Nabi sebagai khalifah-Nya.
Janganlah menyalahkan aku! Adalah salah untuk beranggapan bahwa khalifah dan Dia yang
mengutusnya adalah dua.
Bagi pemuja bentuk mereka adalah dua; apabila engkau melepaskan diri dari kesadaran bentuk,
mereka adalah Satu.
Selama engkau perhatikan bentuk, kegandaaanlah yang engkau lihat: pandanglah, bukan pada
mata, namun pada cahaya yang memancar dari keduanya.
Engkau takkan dapat membedakan cahaya dari sepuluh lampu yang dinyalakan secara serentak,
sejauh engkau hadapkan wajahmu pada cahaya semata.
Dalam hal ruhani tiada pemilihan, tiada bilangan, tiada kesaling-sendirian.
Betapa indahnya kesatuan Sahabat dengan para sahabat-Nya! Kejarlah ruh itu dan dekaplah
dalam dadamu.
Permalukanlah sikap yang suka memberontak sampai ia punah: temukanlah harta benda Yang
Maha Esa!
Singkatnya, dulu kita dan segala sesuatu adalah satu esensi: kita adalah gumpalan bersih seperti
air.
Ketika Cahaya yang mempesona mengambil bentuk, ia menjadi bermacam-macam, laksana
bayang-bayang bentuk benteng.
Bongkarlah benteng gelap itu, sehingga seluruh perbedaan akan hilang dari tengah-tengah bentuk
yang banyak.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 672


DUNIA KHAYALAN

O Engkaulah yang menjawab doa tak terucap, yang setiap saat melimpahkan kepada hati ratusan
karunia.
Engkaulah yang menggoreskan huruf-huruf tulisan: bebatuan di sini menjadi lembut bagai lilin
demi cintanya.
Engkaulah yang menulis nun-nya alis, shad-nya mata, dan jim-nya telinga sebagai sebuah
gangguan bagi pikiran-pikiran dan pengertian kita.
Karena huruf-huruf-Nya itu akal diciptakan untuk menyusun tumpukan halusnya kebingungan:
tulislah. O penulis indah yang teladan!
Tak henti-hentinya Engkau ciptakan bentuk-bentuk khayalan yang indah di atas halaman
Ketiadaan.
Di atas lembaran khayalan Engkau goreskan huruf-huruf yang membingungkan-mata, raut muka,
pipi, dan tahi lalat.
Aku mabuk oleh gairah Ketiadaan, bukan oleh keberadaan, karena Sang Kekasih dari dunia
Ketiadaan lebih setia.
Tataplah betapa gemarnya orang gila pada garis-garis gelap yang digoreskan tanpa jari-jemari.
Setiap orang tergila-gila karena khayalan dan demi harta menggali yang terpendam di sudut-
sudut.
Seseorang pergi ke gereja untuk menunaikan kewajiban agama; yang lain karena hasrat yang
kuat untuk menabur benih;
Seseorang kehilangan jiwanya dalam doa setan; sedangkan yang lainnya di atas bintang-
bintanglah meletakkan kaki.
Bagi penglihatan mata tampaklah segala macam gerak di dunia luar timbul dari khayalan-
khayalan di dalam pikiran.
Karena sasaran dari pencarian jiwa itu tersembunyi, maka setiap orang mencarinya pada arah
yang berbeda, seperti para musafir yang mencari kiblat di tengah kegelapan.
Pada saat fajar tiba, ketika Ka’bah terlihat, mereka menemukan siapa yang telah kehilangan
jalan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 309

DAYA TARIK CINTA

Cinta dan khayalan menciptakan ribuan bentuk indah seperti Yusuf; sesungguhnya mereka
adalah ahli sihir yang lebih mahir daripada Harut dan Marut.
Di depan matamu mereka menghidupkan bayangan Sang Kekasih; engkau terpesona dan
mengungkapkan seluruh rahasiamu kepadanya.
Bagai seorang ibu, di depan kuburan anaknya yang baru meninggal dunia,
Berbicara kepadanya benar-benar dan sungguh-sungguh; karena dilanda dukacita, ia
membayangkan tanahnya menjadi hidup.
Dan di dalam hatinya percaya sang anak mendengarkannya. Lihatlah, daya tarik itu disebabkan
oleh Cinta!
Dengan mesra dan penuh air mata, berulang kali dengan bijak ia letakkan bibirnya, di atas tanah
segar makam anaknya.
Sebegitu rupa, seakan selama hidup sang anak tersayang, tidak pernah ia menciumnya.
Namun cinta kepada yang mati takkan bertahan lama: ketika hari-hari berkabungnya telah
berlalu, kobaran dukacitanya pun lenyap.
Cinta membawa pergi pesonanya: apinya pun hilang, hanya tinggal abunya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 3260

GEJALA: JEMBATAN MENUJU HAKEKAT

Seorang kristen mengakui dosa-dosanya selama setahun di hadapan pendetanya – zina,


pendendam, dan kemunafikan –
Supaya pendeta itu mau mengampuninya, karena dia memandang pengampunan dosa dari
pendeta merupakan pengampunan dari Tuhan.
Sang pendeta tak mempunyai pengetahuan yang nyata tentang dosa dan pengampunan; namun
cinta dan iman adalah pemikat yang sangat kuat pesonanya.
Di saat ketidakhadiran Cinta terciptalah berbagai bentuk khayalan; di saat kehadiran Yang Maha
Esa, Tanpa Bentuk Dia mengungkapkan diri-Nya,
Berfirman, ”Aku-lah sumber asli ketenangan dan kemabukan: keindahan segala bentuk adalah
pantulan dari-Ku.
Kini, karena engkau telah sering menatap pantulan-Ku, engkau mampu menatap Esensi Suci-
Ku.”
Begitu orang Kristen itu merasakan adanya renggutan dari Atas, akan adanya pendeta pun dia tak
sadar.
Di saat itu dia sangat mengharapkan pengampunan dosa-dosanya dari Tuhan Yang Maha
Pengasih di balik tabir.
Apabila air-mancur memancar dari sebuah batu, batu itu pun menghilang di dalam air-mancur.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 3257 dan 3277

POHON-PIR ILUSI

Pohon-pir inilah sumber egoisme dan keberadaan-diri yang membuat mata berkedip dan kabur.
Apabila engkau turun, Wahai pendaki, pikiranmu, kata-katamu, dan penglihatanmu tak lagi
menjadi serba salah.
Karena kerendahan hati yang engkau perlihatkan pada waktu turun, Tuhan memberkahimu
dengan pandangan yang benar.
Engkau akan melihat pohon-pir ini menjadi pohon keberuntungan, cabang-cabangnya mencapai
Langit ketujuh.
Kemudian naiklah lagi ke pohon yang telah diubah oleh Kasih-sayang Tuhan.
Kini ia bercahaya laksana Semak-belukar terbakar : ia berseru, ”Lihatlah, Aku adalah Tuhan!”
Di bawah naungannya seluruh keinginanmu akan terpenuhi: demikianlah Alkimia Ilahi.
Kepribadian dan leberadaanmu kini milikmu yang sah, karena di situlah engkau melihat sifat-
sifat Yang Maha Kuasa.
Pohon yang bengkok akan menjadi lurus, wahyu Ilahi: akarnya dalam tanah, cabang-cabangnya
menjulang ke angkasa.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 3562

KESADARAN KOSMIK

Anggur yang meragi adalah pengemis yang meminta ragi kita; Langit yang berputar adalah
pengemis yang memohon kesadaran kita.
Anggur mabuk karena kita, bukan kita yang mabuk olehnya: tubuh menjadi ada karena kita,
bukan kita ada karenanya.
Kita laksana lebah, dan tubuh laksana sarang madunya: kita telah membentuk tubuh, sel demi
sel, seperti lilin.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1811

RUH SEMESTA TERSINGKAP PADA PARA NABI DAN WALI

Setiap saat perampok Keindahan muncul dalam bentuk yang berbeda, memperkosa jiwa dan
menghilang.
Setiap saat Tuhan Yang Tercinta memakai busana baru, terkadang tampak tua, terkadang tampak
muda.
Kini Dia menyelam ke dalam hati jasad yang terbuat dari tanah liat - Ruh menyelam bagai
penyelam.
Segera, muncul dari adonan tanah liat yang telah usai dibentuk dan dipanggang, Dia tampak di
dunia.
Dia menjadi Nabi Nuh, dan masuk ke Bahtera ketika karena doa-Nya dunia banjir.
Dia menjadi Ibrahim dan tampak di tengah-tengah kobaran api, yang demi diri-Nya berbunga
mawar.
Sesaat Dia mengembara mengelilingi dunia untuk menyenangkan diri-Nya;
Kemudian dia muncul sebagai ‘Isa dan naik ke Surga dan mengagungkan Tuhan.
Ringkasnya, adalah Dia yang datang dan pergi di setiap generasi yang engkau ketahui,
Hingga akhirnya Dia tampak dalam bentuk seorang Arab dan memperoleh kerajaan dunia.
Tidak ada perpindahan, tiada yang dipindahkan. Pemenang hati-hati yang tercinta itu.
Menjadi sembilan pedang di tangan ‘Ali dan tampil sebagai Pembunuh sang waktu.
Bukan, bukan! Dia jualah yang berseru dalam tubuh manusia, “Ana al-Haqq.”
Orang yang memanjat tiang gantungan itu bukanlah Manshur, seperti yang dibayangkan orang
bodoh.
Rumi tidak pernah dan tidak akan mengucapkan kata-kata pengingkaran: jangan sangsikan dia!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, Tab. 199

NORMA PARA PEMBAWA WAHYU ILAHI


Kekekalan Kehendak dan Taqdir Tuhan, Yang Maha Pengampun, untuk mengungkapkan dan
menyatakan diri-Nya.
Menimbulkan lawannya, karena jika tidak takkan ada yang dapat dipertunjukkan; dan tidak ada
yang berlawanan dengan Sang Raja yang tiada bandingan.
Oleh karena itu Dia mengangkat raja muda yang hatinya menjadi cermin bagi Kedaulatan-Nya,
Dan memberkahinya dengan kesucian yang tak terhingga, serta kemudian meletakkan lapisan
hitam logam tipis di hadapannya.
Dia membuat dua panji, putih dan hitam: yang satu adalah Adam, lainnya adalah Iblis.
Di antara kedua panglima yang kuat ini timbul pertempuran dan perselisihan, maka terjadilah apa
yang telah ditakdirkan.
Demikian selanjutnya muncul Abel, dan Kain menjadi lawan terhadap kesucian cahayanya.
Maka, dari tahun ke tahun dan dari generasi ke generasi kedua panji itu muncul dalam
pertentangan,
Sampai datangnya Nabi Muhammad, yang berjuang keras melawan Abu Jahl, pangeran dari
pasukan ketidakadilan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 2151

RAHASIA KEBURUKAN

Baik Musa maupun Fir’aun adalah Pemuja Yang Maha Benar, sekalipun tampaknya yang
pertama menemukan jalan dan yang lainnya kehilangan.
Di siang hari Musa berseru kepada Tuhan: di tengah malam Fir’aun mulai merintih.
Katanya, “O Tuhan, belenggu apakah yang ada di leherku ini? Seandainya tak ada belenggu,
siapa yang akan berkata ‘aku adalah aku’?
Dengan takdir itu Engaku membuat Musa bercahaya dengan takdir yang sama Engkau membuat
aku gelap.
Kami berdua adalah sesama hamba yang mengabdi kepada-Mu; namun kapak-Mu membelah
cabang-cabang lunak di dalam rimba-Mu.
Cabang-cabang tak berdaya terhadap kapak; yang satu benar-benar tercangkok kuat, lainnya
dibiarkan tak terawat.
Aku memohon kepada-Mu, dengan kekuatan kapak-Mu, untuk melimpahkan rahmat dan
meluruskan kebengkokanku.”
Sekali lagi Fir’aun berkata kepada dirinya sendiri dalam keheranan, “Bukankah aku beribadah
sepanjang malam?
Dalam hatiku aku ini bagai orang yang rendah hati dan patuh: Bagaimana aku tampak begitu
berubah ketika bertemu Musa?
Apabila ketidakberwarnaan menjadi tawanan warna, Musa menjadi musuh bagi Musa.
Apabila engkau mencapai ketidakberwarnaan dari mana engkau berasal, Muda dan Fir’aun
menjadi damai di tempat yang sama.
Jika engkau memintaku untuk menjelaskan rahasia ini, aku akan menjawab bahwa dunia yang
berwarna tak dapat lepas dari adanya pertentangan.
Adalah keajaiban bahwa yang berwarna keluar dari yang-tak-berwarna: Bagaimana yang
berwarna muncul untuk berperang melawan yang-tak-berwarna?
Ataukah itu bukan peperangan yang sesungguhnya? Apakah demi tujuan Ilahi – suatu kecerdikan
seperti perselisihan pedagang keledai?
Ataukah bukan ini dan bukan itu? Apakah hanya kebingungan semata? Harta karun harus dicari,
dan kebingungan adalah reruntuhan yang didalamnya terkubur harta itu.
Apa yang engkau bayangkan menjadi harta karun – konsepsi seperti itu menyebabkan engkau
kehilangan harta karun yang sebenarnya.
Khayalan-khayalan dan opini-opini itu laksana masa perkembangan: harta karun tak ditemukan
pada tempat-tempat perkembangan.
Pada masa perkembangan terdapat keberadaan dan sifat-sifat yang berlawanan: Ketiadaan
menolak setiap sesuatu yang ada.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 2447

SENIMAN YANG SEMPURNA

Dia-lah sumber keburukan, seperti yang engkau katakan,


Namun keburukan itu didak melukai-Nya. Keburukan itu untuk
Mengungkapkan kesempurnaan-Nya. Dengarlah
Sebuah ibarat. Seniman angkasa melukis
Bentuk-bentuk yang indah dan buruk: dalam sebuah lukisan
Wanita-wanita tercantik di negeri Mesir
Menatap Yusuf yang muda dengan penuh gairah cinta;
Dan lihatlah, pemandangan lain pada saat yang sama,
Api-Neraka dan Iblis beserta pekerjaannya yang tersembunyi:
Keduanya adalah karya Tuhan, yang diciptakan demi tujuan baik.
Untuk menunjukkan Kesempurnaan Hikmah-Nya dan mengacaukan
Para peragu yang mengingkari Kekuasaan-Nya.
Bila Dia tidak membuat keburukan, Dia akan tampak kurang terampil:
Dengan Muslim sejati, supaya keduanya dapat memberi kesaksian
Kepada-Nya, dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Kuasa.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 2535

HIKMAH KETIDAKSEMPURNAAN

Ketidaksempurnaan dan kerusakan, yang terlihat di mana pun,


Semuanya adalah cerminan keindahan.
Pengatur tulang, di manakah dia dapat mencoba keterampilannya
Kalau bukan pada persendian yang patah? Penjahit di mana?
Tentunya, bukan pada busana siap yang indah potongannya.
Bila tiada tembaga kasar di tempat peleburan,
Bagaimana ahli kimia dapat mempertunjukkan keahliannya?

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 3201


NISBINYA KEBURUKAN

Di dunia ini tiada keburukan yang mutlak: keburukan itu nisbi. Sadarilah kenyataan ini.
Di dunia Waktu sesuatu pastilah menjadi pijakan bagi seseorang dan belenggu bagi yang lainnya.
Bagi seseorang merupakan pijakan, bagi lainnya merupakan belenggu; bagi seseorang
merupakan racun, bagi lainnya merupakan manis dan bermanfaat laksana gula.
Bisa ular merupakan kehidupan bagi ular, namun maut bagi manusia; lautan merupakan sumber
kehidupan bagi binatang laut, namun bagi makhluk daratan merupakan luka yang mematikan.
Zayd, meski orangnya sama, bisa jadi setan bagi seseorang dan menjadi Malaikat bagi lainnya:
Bila engkau ingin ia baik padamu, maka pandanglah ia dengan pandangan seorang pencinta.
Janganlah kau pandang Yang Maha Indah dengan matamu sendiri: melihat Yang Dicari itu
dengan mata sang pencari.
Sebaliknya, pinjamlah pandangan dari Dia: pandanglah wajah-Nya dengan mata-Nya.
Tuhan berfirman, ”Barangsiapa telah menjadi milik-Ku, Aku menjadi miliknya: Aku adalah
matanya, tangannya dan hatinya.”
Semua yang dibenci menjadi yang dicintai manakala ia membawamu pada Sang Kekasih-mu.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 65

KEBAIKAN DALAM SEGALA SESUATU YANG BURUK

Orang-orang yang bodoh salah mengambil uang logam palsu karena tampak seperti asli.
Bila di dunia tidak ada mata uang logam asli yang sah, bagaimana para pemalsu dapat
mengedarkan uang palsu.
Kepalsuan tidak ada artinya jika tak ada kebenaran,
Yang membuatnya sedap dipandang. Adalah cinta kebenaran
Yang memikat manusia ’tuk berbuat salah. Biarkan racun dicampur
Gula, mereka akan menjejalkannya ke dalam mulutnya.
Oh, janganlah berteriak bahwa seluruh syahadat adalah sia-sia! Berbagai aroma
Sedikit saja bau kebenaran mereka miliki, selanjutnya mereka takkan terpedaya.
Jangan berseru, ”Alangkah sangat fantastis!”
Di dunia ini tiada khayalan yang sama sekali tak benar
Di tengah-tengah kerumunan Darwis, tersembunyilah
Seorang fakir sejati. Carilah dengan teliti dan engkau akan menemukannya!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 2928

KEKUATAN YANG TAK TERLIHAT

Kami ini laksana seruling, seluruh musik kami adalah milik-Mu;


Kami adalah gunung yang selalu bertasbih hanya kepada-Mu;
Buah catur yang Engkau susun dalam barisan
Dan digerakkan untuk kalah atau menang;
Singa-singa terhias tinggi pada bendera terbentang-
Angin-Mu yang tak terlihat menyapu kami melewati dunia.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 599

TANGGUNG JAWAB MORAL

Apabila kita membidikkan anak panah, perbuatan itu bukanlah milik kita: kita hanyalah laksana
busur, yang melepaskan anak panah itu adalah Tuhan.
Hal ini bukan paksaan (jabr): ini adalah kekuasaan (jabbari) yang dinyatakan untuk membuat
kita rendah hati.
Kerendahan-hati kita merupakan bukti keterpaksaan, namun perasaan salah kita adalah bukti
Kebebasan-kehendak.
Apabila kita tidak bebas, mengapa perasaan bersalah itu memalukan? Mengapa timbul rasa sedih
dan bersalah serta malu?
Mengapa para guru marah kepada para muridnya? Mengapa pikiran-pikiran berubah dan
membuat resolusi-resolusi baru?
Engkau dapat membuktikan bahwa para penuntut Kebebasan-kehendak itu mengingkari Paksaan
Tuhan, yang tersembunyi bagai bulan di balik awan;
Namun ada sebuah jawaban yang baik untuk itu: dengar, tinggalkan kekufuran, dan pegang erat-
erat Iman!
Ketika engkau jatuh sakit dan menderita kesakitan, kesadaranmu tergugah, engkau dilanda
penyesalan yang dalam dan memohon kepada Tuhan untuk mengampuni dosa-dosamu.
Ketika kotornya dosamu diperlihatkan kepadamu, engkau memutuskan untuk kembali ke jalan
yang benar;
Engkau berjanji dan bersumpah bahwa mulai kini engkau memilih gerak perbuatanmu adalah
kepatuhan.
Maka, catatlah prinsip ini, O pencari: kesengsaraan dan penderitaan membuat seseorang sadar
akan Tuhan; dan semakin sadar, semakin besar gairahnya.
Apabila engkau sadar akan adanya Paksaan Tuhan, mengapa engkau tak berputus asa? Di
manakah bukti dari perasaanmu yang memikat dirimu terasa terbebani?
Bagaimana seseorang akan menggembirakan orang yang terbelenggu rantai?
Apakah tingkah-laku seorang tawanan sama seperti seorang yang bebas?
Apapun yang rasanya ingin kau perbuat, pastilah kau sangat tahu bahwa engkau dapat
melakukannya.
Namun dalam hal perbuatan-perbuatan yang tidak engkau kehendak, engkau telah menjadi
seorang Jabbariyah, engkau berseru, ”Ini adalah Takdir Tuhan.”
Para Nabi adalah kaum Jabbariah sejauh yang berkenaan dengan amal keakheratannya, para kafir
adalah Jabbariah berkenaan dengan ihwal keakheratan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 616

”APAPUN YANG TUHAN KEHENDAKI PASTI TERJADI”


Hal itu bukanlah berarti bahwa engkau boleh bermalas-malas dalam mengabdi Tuhan;
sebaliknya, itu adalah rangsangan agar engkau menggerakkan segala daya untuk taat.
Seandainya engkau mengetahui bahwa keinginan menteri polan merupakan hukum dan
kemurahan hatinya tak terhingga,
Apakah engkau akan merayunya dengan penuh semangat, ataukah akan melarikan diri dari dia
dan dari istananya?
Demikian pula sabda Nabi, ”pena telah kering,” jika engkau terjemahkan dengan benar,
merupakan suatu penggilan agar mengerjakan perbuatan yang paling bermanfaat.
Apabila engkau berbuat ketidakadilan, engkau akan dikutuk, Pena telah kering untuk itu. Apabila
engkau berbuat keadilan, engkau akan memetik buahnya yang menyenangkan, Pena telaha
kering untuk itu.
Adakah kemungkinan yang disebabkan oleh Takdir di alam kekekalan Tuhan akan berfirman,
seperti seorang menteri yang telah diberhentikan dari jabatan,
”Urusan telah lepas dari tangan-Ku: adalah sia-sia untuk mendekati-Ku dengan permohonan?”
Tidak, jika timbanganmu melebihi yang lainnya seberat atom pun, maka atom itu akan
berpengaruh pada neraca Tuhan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 3111

TAKDIR DAN KEBEBASAN KEHENDAK

Seorang Muslim menyeru seorang Magi untuk beriman kepada nabi. Dia menjawab, ”Saya akan
beriman, apabila Tuhan menghendaki.”
”Tuhan menghendakinya,” sahut seorang Muslim, ”namun hawa nafsumu dan Setan yang jahat
selalu menyeretmu pada kekafiran dan hawa-nafsu.”
”Baiklah,” dia menjawab, ”apabila mereka itu lebih kuat, haruskah saya tidak mengikuti mereka
yang secara langsung menyeretku?
Engkau katakan bahwa Tuhan menghendakiku untuk menganut Islam: apa gunanya Kehendak
Tuhan bila Dia tidak mengabulkan?
Menurutmu, Hawa-nafsu dan Setan telah berhasil melaksanakan keinginan mereka, sedangkan
Tujuan Tuhan Yang Maha Esa Agung telah gagal dan berantakan.
Subhanallah! Apapun yang Dia kehendaki pasti terjadi. Dialah pengatur alam semesta.
Tanpa Perintah-Nya tiada sesuatu apapun di dalam Kerajaan-Nya yang akan bertambah banyak
walau seujung rambut pun.
Kerajaan adalah milik-Nya, Perintah adalah milik-Nya: bahwa Setan-setan-Nya adalah anjing-
anjing yang paling hina di depan pintu-Nya.”
”Sudah tentu”, sahut orang Muslim, ”kita mempunyai kekuatan tertentu untuk memilih: engkau
tak bisa mengingkari adanya bukti-bukti yang jelas tentang perasaan batin itu.
Ada suatu kekuatan untuk memilih dalam hal ketidakadilan dan perbuatan yang salah: itulah
yang kumaksudkan ketika saya berbicara tentang Nafsu dan Setan.
Naluri untuk memilih itu tersembunyi dalam jiwa dan muncul ketika obyek yang diinginkan
tampil dalam perbuatan.
Ketika Iblis menunjukkan suatu sasaran keinginan, maka kekuatan yang terlelap itu bangkit dan
bergerak kepadannya,
Sementara itu, di pihak lain, Malaikat meletakkan di hadapanmu obyek-obyek keinginan yang
baik serta menanamkannya ke dalam hatimu,
Supaya kekuatan untuk menentang kejahatan dan memilih kebaikan dapat dirangsang.”
Menurut pertimbangan akal yang sehat, ajaran paksaan (jabr) itu lebih buruk daripada ajaran
kebebasan-kehendak (qadar), karena seorang Jabbariyah itu mengingkari kesadarannya sendiri.
Sedangkan ajaran kebebasan kehendak tidak mengingkari hal itu, ia mengingkari perbuatan
Yang Maha Kuasa: ia berkata, ”Ada asap, namun tiada api.”
Seorang Jabbariyah jelas melihat api: membakar pakaiannya, dan seperti orang yang skeptis dia
menganggap api itu tidak ada.
”Apabila hanya Tuhan semata yang memiliki kekuatan untuk memilih, mengapa engkau marah
kepada pencuri yang mencuri milikmu?
Bahkan binatang pun mengenal perasaan batin ini: unta yang dipukul keras, akan menyerang
pengendaranya; kemarahannya tidaklah ditujukan kepada pecutnya.
Seluruh kandungan Al-Qur’an berisi perintah dan larangan serta ancaman hukuman, apakah ini
semua ditujukan kepada bebatuan dan kerikil-kerikil?
Engkau telah melepaskan kemungkinan ketidakmampuan Tuhan, namun engkau menyebut-Nya
benar-benar tidak tahu dan dungu.
Ajaran Kebebasan-kehendak tidaklah berarti ketidakmampuan Tuhan; dan jika memang
demikian, kebodohan itu lebih buruk daripada ketidakmampuan.
Kekuatan memilih Tuhan yang Universallah yang telah menimbulkan kekuatan diri kita
mewujud: Kekuatan-Nya laksana penunggang kuda yang tersembunyi oleh debu yang
diterbangkannya;
Namun pengawasannya terhadap perbuatan dari kebebasan-kehendak tidaklah menghilangkan
kualitas bebasnya.
Nyatalah bahwa Kehendak Tuhan itu dilaksanakan dalam suatu cara sempurna, sekalipun tanpa
dihubungkan dengan paksaan (jabr) dan tanggung-jawab karena pengabaian perintah-perintah-
Nya.
Engkau katakan bahwa kekafiranmu itu dikehendaki oleh-Nya; namun ketahuilah bahwa hal itu
juga dikehendaki oleh dirimu sendiri.
Berusaha keraslah untuk memperoleh ilham dari cawan cinta Tuhan: sehingga engkau tak
mementingkan diri sendiri dan tanpa kehendak.
Sehingga seluruh kehendak akan menjadi milik Anggur itu, dan engkau akan menjadi pemaaf
yang sesungguhnya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 2912

ANGGUR CINTA

Dia datang, bak Rembulan yang tak pernah terlihat di langit, baik dalam jaga maupun dalam
mimpi,
Bermahkota api abadi yang tak pernah mati.
Lihatlah, Wahai Paduka, dari cawan anggur cinta-Mu, jiwaku berenang
Meninggalkan kerangka raga lempungku.
Kala pertama Pemberi buah anggur tiba, hatiku nan tengah kesepian menjadi mendapat mitra,
Anggur membakar dadaku dan seluruh pembuluhku kian sarat dengan darah;
Namun ketika citra-Nya memikat seluruh pandanganku, suara pun merendah:
”Sungguh indah, O Anggur nan perkasa dan Piala nan tiada tara!”
Tangan kuat cinta merenggut dari atas hingga ke dasar tempat yang diselubungi kegelapan
Yang celah-celahnya enggan meraih sinar keemasan.
Hatiku, jika lautan Cinta tiba-tiba memasuki pandangannya,
Melompatlah segera ke dalam, serta ”Temukan aku sekarang juga!”
Sebab, bila matahari bergerak, awan pun mengikutinya dari belakang,
Semua hati menyertaimu, O Matahari Tabriz!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, S P, VII

TEKA-TEKI TUHAN

Siapa saja yang kebingungan dan kesulitan, Tuhan telah membisikkan sebuah teka-teki ke dalam
telinganya,
Sehingga dia mungkin menjebaknya dalam dua kesangsian pikiran- ”Akan atau tidakkah
kulaksanakan apa yang telah Dia ceritakan kepadaku?”
Dengan Takdir Tuhan salah satu dari kedua pilihan itu akan memiringkan pertimbangan, dan dia
menyetujuinya.
Kalau pikiranmu tak terganggu, jangan kau sumbat pendengaran ruhanimu dengan kapas
mentah.
Agar engkau dapat memahami teka-teki-Ny serta membaca tanda-tanda baik yang samar maupun
yang jelas nyata.
Lalu turunlah wahyu pada pendengaranmu. Apakah wahyu itu? Sebuah suara yang tak
tertangkap oleh tanggapan pancaindera.
Kata ”paksaan” (jabr) membuat diriku tak sabar demi Sang Cinta: hanya orang yang
mencintailah yang tak terbelenggu oleh paksaan.
Inilah hubungan akrab dengan Tuhan, bukan paksaan: cahaya dari bulan, bukan sebongkah
awan:
Atau, apabila ia paksaan, bukanlah paksaan biasa: ia bukanlah paksaan yang didesak oleh
keinginan-diri, yang mendorong kita ke dosa.
Wahai anakku, hanya mereka yang mata-hatinya telah dibukakan oleh Tuhan-lah yang
mengetahui arti paksaan yang sebenarnya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 1456

APOLOGI IBLIS

Pada mulanya aku adalah Malaikat, yang dengan sepenuh jiwa kutempuh Jalan kepatuhan untuk
mengabdi kepada Tuhan.
Bagaimana bisa panggilan pertama dilupakan? Bagaimana bisa cinta pertama hilang dari hati
seorang hamba?
Bukankah kekuasaan Karunia-Nya yang melindungiku? Bukankah Dia yang menciptakan diriku
dari ketiadaan?
Siapakah yang memberiku susu di masa pertumbuhanku? Siapakah yang menggerakkan
ayunanku? Adalah Dia.
Sifat yang mengalir bersama susu itu- dapatkah ia selalu dibuang?
Rahmat, Keagungan, dan Kemurahan hati adalah hakekat substansi dari mata-uang-Nya,
Kemurkaan-Nya hanyalah setitik noda campurannya.
Tak kupandang kemurkaan-Nya, yang merupakan sebab sementara: aku selalu memandang
kelestarian Kasih-sayang-Nya yang harus dicontoh.
Ketahuilah bahwa kecemburuan adalah sebab penolakanku untuk membungkukkan diri di
hadapan Adam; namun kecemburuan itu juga lahir dari cinta kepada Tuhan, bukan dari
ketidakpatuhan.
Setiap rasa cemburu lahir dari cinta, karena takut kalau-kalau yang lainnya menjadi pacar sang
kekasih.
Mempertimbangkan rasa cemburu adalah akibat yang tak dapat dielakkan dari adanya rasa cinta,
sebagaimana kata ”Hidup!” yang mengikuti bersin.
Karena tiada gerakan kecuali hanya papan-catur-Nya dan Dia memintaku untuk bermain, adakah
yang lain yang dapat kumainkan?
Kumainkan satu peranan yang ada di sana dan membuatku terkutuk.
Sekalipun dalam kesengsaraan kurasakan karunia-Nya: aku tersesat oleh-Nya, tersesat oleh-Nya,
tersesat oleh-Nya!”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 2617

CINTA DAN LOGIKA

Belajarlah dari Ayahmu! Dia yang, tidak membanggakan-diri secara pura-pura,


Dengan air-mata kepedihan dosa-dosanya.
Inginkah engkau, kemudian, tetap berpura-pura tidak leluasa
Dan memanjat pohon Takdir? –
Laksana Iblis beserta anak cucunya yang tak disukai,
Dalam menyanggah dan melawan Ilahi.
Berkah mendahului pengetahuan: apakah perlu bukti?
Dari logika Setan, bahkan dari cinta Adam.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 1389

SATU CAHAYA KEBENARAN

Lampu-lampu itu berbeda, namun Cahaya itu sama: ia datang dari Atas.
Apabila engkau terus memandangi lampu, engkau akan bingung: karena akan muncul
penampakan jumlah dan keragaman.
Tetapkanlah pandanganu pada Cahaya, dan engkau akan terlepas dari dualisme yang melekat
pada tubuh yang terbatas.
Wahai engkau yang merupakan inti keberadaan, pertentangan diantara orang Muslim, Zoroaster
dan Yahudi itu tergantung pada pendirian.
Beberapa orang India membawa seekor gajah, untuk mereka pertunjukan di kegelapan arena.
Karena melihatnya dengan mata tidak mungkin, maka setiap orang merabanya dengan telapak
tangannya.
Tangan seseorang menyentuh belalainya: dia berkata, ”Binatang ini seperti pipa-air.”
Yang lain meraba telinganya: baginya makhluk ini tampak seperti sebuah kipas.
Yang lain memegang kakinya dan melukiskan gajah itu seperti bentuk sebuah pilar.
Yang lain mengusap punggungnya. ”Sesungguhnya,” katanya, ”gajah ini menyerupai sebuah
singgasana.”
Setelah masing-masing memegang lilin, perbedaan pun hilang dari percakapan mereka.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 1259

DUABELAS AJARAN INJIL

Sang musuh agama ’Isa menyusun duabelas Kitab Injil, masing-masing dari awal hingga akhir
saling bertentangan.
Dalam kitab yang satu dia menjadikan asketisme dan puasa sebagai sumber penyesalan dan
syarat keselamatan.
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Asketisme adalah sia-sia di Jalan ini tiada keselamatan kecuali
hanya melalui kasih-sayang.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Baik pengekangan nafsumu maupun kasih-sayangmu
menyatakan bahwa engkau menghubungkan kedua aktivitasmu ini dengan-Nya, Dia-lah Tujuan
dari ibadahmu.
Selain tawakal dan pasrah sepenuhnya kepada Tuhan dalam kesengsaraan maupun kegembiraan,
semuanya adalah kebohongan dan perangkap belaka.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Engkau harus berbakti kepada Tuhan; gagasan tawakal
kepada-Nya adalah mencurigakan.
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Perintah-perintah dan larangan-larangan Tuhan itu bukan
untuk dilaksanakan, melainkan hanya untuk menunjukkan ketidakmampuan kita untuk
memenuhinya,
Sehingga kita dapat mengenal kelemahan kita dan mengakui kekuatan Yang Maha Kuasa.
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Jangan pikirkan kelemahanmu: memikirkannya merupakan
suatu perbuatan yang tidak berterima kasih. Hati-hatilah!
Pandanglah kekuatanmu dan ketahuilah bahwa Dia Yang Maha Mutlak yang memberikannya
kepadamu.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Lupakanlah keduanya: apapun yang mencakup pencerapan
pancaindera adalah berhala.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”jangan padamkan kemampuan pencerapan pancaindera: ia
dapat menerangi jalan menuju perenungan yang paling dalam.
Apabila engkau terlalu cepat membuang sensasi dan fantasi, kau akan memadamkan lampu
penyatuan di tengah malam.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Padamkanlah ia – jangan takut – agar engkau dapat ribuan kali
lipat penglihatan sebagai gantinya;
Karena dengan memadamkannya, cahaya ruhmu bertambah tak terhingga: dengan
mengorbankan kepentinganmu sendiri Layla (Kekasih)-mu menjadi Majnun (pencinta)-mu.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Carilah seorang guru untuk mengajarimu: di antara berbagai
sifat yang berasal dari leluhur engkau tidak akan menemukan pengetahuan melihat ke masa
depan.”
Setiap golongan agama hanya meramalakan tujuan sebagaimana diri mereka memahaminya:
akibatnya mereka jatuh menjadi tawanan ketakutan.
Untuk meramalkan tujuan tidaklah semudah menyilangkan kedua belah tangan: bila tidak,
bagaimana bisa terdapat banyak ajaran yang berbeda?
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Jadilah manusia, jangan menjadi hamba manusia! Ambillah
jalanmu sendiri, jangan sibuk mengembara mencari seorang guru!”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Semua bentuk yang bermacam-macam itu hanya satu:
siapapun yang melihatnya ganda adalah orang-orang yang matanya rusak.”
Dalam kitab lainnya dia berkata: ”Bagaimana seratus bisa menjadi satu? Dia yang beranggapan
begitu sesungguhnya gila.”
Orang yang tidak paham akan kesucian ’Isa: dia bukanlah yang dikaruniai lautan kimia dari tong
’Isa,
Yang daripadanya pakaian dari seratus celupan akan muncul sederhana dan satu warna
sebagaimana cahaya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 463

DOA SEORANG PENGGEMBALA

Musa berjumpa dengan seorang penggembala di tengah jalan, yang tengah berteriak, ”Wahai
Tuhan yang memutuskan sebagaimana yang Engakau kehendaki,
Di manakah Engkau, supaya aku dapat mengabdi kepada-Mu dan menjahit sepatu-Mu dan
menyisir rambut-Mu?
Agar aku dapat mencuci pakaian-Mu dan membunuh kutu-kutuMu dan menyediakan susu untuk-
Mu, O pujaanku.
Supaya aku dapat mencium tangan-Mu yang mungil dan mencuci kaki-Mu yang kecil dan
membersihkan kamar-Mu yang mungil di saat tidur.”
Mendengar kata-kata dungu ini, Musa berseru, ”Hai, kepada siapakah engkau berteriak?
Ocehan apa ini! Fitnah dan ngawur! Sumbatlah mulutmu dengan kapas!
Sesungguhnya persahabatan dari seorang yang bodoh itu permusuhan: Tuhan Yang Maha Luhur
tidak menghendaki pelayanan seperti itu.”
Pengembala itu menyobek pakaiannya, menghela nafasnya, lalu melanjutkan perjalanan menuju
ke hutan belantara.
Kemudian turunlah wahyu kepada Musa: ”Engkau telah memisahkan hamba-ku dari-ku.”
Apakah engkau diutus sebagai seorang Nabi untuk menyatukan, atau untuk memisahkan?
Aku telah memberikan kepada setiap orang gaya pemujaan yang khusus, Aku telah melimpahkan
pada setiap manusia bentuk pengungkapan yang khas.
Ungkapan Hindustan adalah yang terbaik bagi orang Hindustan; bahasa Sind adalah yang terbaik
bagi masyarakat Sind.
Aku tidak memandang pada lidah dan ucapan, Aku memandang pada ruh dan perasaan batin.
Aku memandang ke hati untuk mengetahui apakah ia rendah, walau kata-kata yang terucap tidak
rendah.
Cukup dengan ucapan-ucapan dan kesombongan serta kiasan-kiasan! Aku ingin terbakar,
terbakar dan terbiasa dengan keterbakaran!
Nyalakanlah bara cinta di dalam jiwamu, biarkanlah seluruh pikiran dan ungkapan.
Wahai Musa, mereka yang paham ketentuan-ketentuan adalah satu macam, mereka yang jiwanya
terbakar adalah macam yang lain.”
Agama cinta lepas dari segala agama. Para pencinta Tuhan tidak mempunyai agama melainkan
Tuhan itu sendiri.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 1720

MARAH KEPADA ORANG-ORANG FANATIK

Dengan cara inilah seorang Yahudi menceritakan mimpinya. Oh, banyak orang Yahudi yang
akhirnya patut dipuji.
Jangan menolak orang kafir, karena dapat diharapkan kelak dia mati sebagai seorang Muslim.
Pengetahuan apakah yang engkau miliki tentang akhir hayatnya, sehingga engkau mengambil
sikap untuk memalingkan wajahmu dari dia?

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 2450

PERTENTANGAN AGAMA

Ketujuh-puluh golongan ini akan bertahan sampai Hari Kebangkitan tiba: percakapan dan alasan
dari orang bid’ah tidak akan gagal.
Banyaknya kunci atas harta benda adalah bukti ketinggian nilainya.
Panjangnya jalan yang berliku-liku, bertebing dan berjurang, serta banyak penyamun yang
menghadangnya, adalah petunjuk akan besarnya tujuan perjalanan.
Setiap ajaran yang palsu menyerupai sebuah jalan pegunungan, bertebing curam, dan
berpenyamun.
Beriman secara buta adalah berada dalam suatu dilema, karena para pemuka berdiri tegak pada
salah satu sisinya: tiap-tiap kelompok bangga dengan caranya sendiri.
Hanya Cinta yang dapat mengakhiri pertentangan, hanya Cinta menjadi penyelamat apabila
engkau berteriak meminta tolong terhadap perbedaan pendapat mereka.
Orang yang fasih bicara akan terperangah oleh Cinta: tak berani bertengkar.
Pencinta takut untuk membantah, supaya mutiara mistik jangan sampai jatuh menetes dari
mulutnya.
Seolah-olah seekor burung yang sangat indah hinggap bertengger di atas kepalamu, lantas
jiwamu gemetar takut ia akan terbang.
Engkau tak berani bergerak ataupun bernafas, engkau menahan batuk, supaya burung itu tidak
terbang;
Dan apabila ada yang bicara, engkau akan meletakkan jari di depan bibirmu, berarti, ”Hush!”
Cinta adalah seperti burung itu: membuatmu diam: meletakkan penutup di atas ketel yang sedang
menggelegak.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. V, 3221

DOKTRIN TENTANG DIAM

Jika berita datang dari wajah Syamsuddin, matahari di Langit Keempat menyembunyikan diri
karena malu.
Sejak namanya hadir ke dalam hidupku, harus aku sampaikan isyarat karunianya itu.
Jiwaku merenggut jubahku: ia menangkap parfum gamisnya Yusuf.
Ia berkata: ”Demi persahabatan kita yang telah bertahun-tahun, ceritakanlah salah satu dari
kegembiraan yang luar biasa,
Agar bumi dan langit dapat tertawa dengan gembira, supaya akal dan ruh serta penglihatan dapat
meningkat seratus kali.”
Aku berkata: ”Janganlah meletakkan tugas kepadaku, karena aku telah hilang dari diriku (fana);
kepandaianku tumpul, aku tak tahu bagaimana memuji.
Adalah tak pantas, apabila seseorang yang belum kembali ke kesadaran memaksakan diri untuk
berperan sebagai pembual.
Bagaimana aku dapat – tanpa sadar – melukiskan Sang Teman yang tanpa tolak bandingnya itu?
Penggambaran tentang luka hati yang sepi ini sebaiknya kutunda hingga lain waktu,”
Ia menyahut: ”Berilah aku makanan, karena aku lapar, dan cepatlah, karena waktu (waqt) adalah
sebilah pedang yang tajam.
Sufi adalah anak sang ’waktu’ (ibnul-waqt), Wahai teman: bukan cara kebiasaannya untuk
berkata besok.
Maka, apakah engkau bukan seorang Sufi? Apa yang ada di tangan jadi habis berkurang karena
tertundanya pembayaran?
Aku berkata kepadanya: ”Lebih baik rahasia Teman tetap tersamar: dengarkanlah karena ia
termasuk dalam isi cerita.
Lebih baik rahasia para pencinta diceritakan (secara alegoris) dalam pembicaraan orang lain.”
Ia berseru: ”Ceritakanlah dengan jelas dan terus terang tanpa kebohongan: jangan membuatku
menunggu, O orang yang lalai!
Angkatlah selubung dan bicaralah terus terang. Aku tak berpakaian ketika tidur bersama Yang
Maha Terpuji.”
Aku berkata: ”Apabila Dia harus telanjang dalam pandanganmu, takkan tahan dada dan
pinggangmu.
Mintalah, tapi mintalah secara wajar: sehelai jerami takkan dapat menyangga sebuah gunung.
Jika Matahari, yang menyebabkan dunia ini bersinar, lebih dekat sedikit saja, semua yang ada
akan terbakar.
Janganlah mencari kesulitan dan kerusuhan serta pertumpahan darah: janganlah bicara lagi
tentang Matahari dari Tabriz!”

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. I, 123

TAK TAHU
Lihatlah, karena aku tak tahu tentang diriku, dengan nama Tuhan apa yang harus kuperbuat kini?
Aku tidak menyembah Salib ataupun Sabit; aku bukan seorang Gabar maupun seorang Yahudi.
Rumahku bukan di Timur ataupun di Barat, bukan di daratan maupun di lautan; aku tak
bersanak-keluarga dengan Malaikat ataupun jembalang.
Aku bukan ditempa dari api ataupun busa, aku dibentuk bukan dari debu maupun embun.
Aku lahir bukan di Cina yang jauh, bukan di Bulgaria bukan di Saqsin.
Bukan di India, yang bersungai lima, bukan di Irak ataupun di Khurasan aku tumbuh dewasa.
Bukan di dunia ini atau di dunia sana Aku tinggal, bukan di Surga atau di Neraka;
Bukan dari Firdaus ataupun Ridwan aku jatuh, bukan pula dari Adam aku bernenek-moyang.
Di suatu tempat yang ada di balik tempat, di suatu bidang tanpa jejak dan hayang,
Jiwa dan tubuh yang meninggi aku tinggal di dalam jiwa Kekasihku Yang Maha Esa!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, SP, XXXI

SAAT BERSATU

Aku tak sama dengan Sang Raja – bahkan jauh berbeda – meskipun kuperoleh cahaya dari sinar-
Nya.
Keserbasamaan bukanlah dalam hal bentuk dan esensi: air menjadi serba-sama dengan tanah
dalam tetumbuhan.
Karena jenisku bukan jenis Rajaku, egoku musnah (fana') demi Ego-Nya.
Egoku musnah, Dia sajalah yang tinggal: aku mengepul seperti debu di bawah kaki kuda-Nya.
Kepribadian-diri menjadi debu: hanya bekasnya tampak pada cap kaki-Nya di atas debu.
Jadilah debu di bawah kaki-Nya demi cap-kaki itu dan jadilah laksana mahkota di atas kepala
Sang Kaisar!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. II, 1170

ABADINYA KEHIDUPAN

Seluruh kemampuan manusia tidaklah permanen: seluruhnya akan musnah pada hari
Kebangkitan.
Namun cahaya kesadaran dan seluruh ruh nenek moyang kita bukanlah sirna semuanya, laksana
rerumputan.
Mereka yang telah meninggal dunia bukanlah tidak-ada: mereka terendam dalam Sifat-sifat Ilahi.
Seluruh sifatnya terhisap ke dalam Sifat-sifat Ilahi, sama seperti hilangnya bintang-bintang oleh
hadirnya matahari.
Jika engkau menanyakan sumber dari Al-Qur'an, bacalah ayat, ”Setiap mereka semuanya akan
dikumpulkan lagi ke Hadapan Kami (muhdarun).
Orang yang disebut dengan kata muhdarun bukanlah tidak-ada. Renungkanlah, sehingga engkau
dapat memperoleh pengetahuan yang pasti tentang abadinya kehidupan ruh.
Ruh yang terhalang dari kehidupan abadi berada dalam kesengsaraan; ruh yang senantiasa
bersatu dengan Tuhan terbebas dari berbagai rintangan.
Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 431

APAKAH KEPRIBADIAN ITU BERLANJUT?

Tiada darwis di dunia; dan seandainya ada, darwis itu sesungguhnya tidak-ada.
Dia ada menurut kelangsungan esensinya, namun sifat-sifatnya padam karena Sifat-sifat Ilahi.
Seperti cahaya lilin di hadapan matahari, nyatanya ia tidak-ada, meskipun ia ada menurut
hitungan resmi.
Esensi api itu tetap ada sejauh bila engkau menaruh kapas di atasnya, kapas itu akan dilahapnya.
Namun pada kenyataannya ia tidak-ada: ia tidak memberimu cahaya, karena mentari telah
memudarkannya.
Apabila satu ons cuka dilarutkan ke dalam seratus muk gula, Rasa asam itu tiada ketika engkau
mencicipi gula, meskipun ia ada sebagai kelebihan ketika engkau menimbangnya.
Di hadapan seekor singa, kijang menjadi tak sadarkan diri: kehadirannya hanyalah sebuah tabir
bagi singa itu.
Analogi-analogi yang dilukiskan manusia tidak ada sempurna mengenai perbuatan Tuhan adalah
laksana emosi cinta, mereka bukannya tidak sopan.
Perasaan pencinta terlontar tanpa rasa malu, dia berterus terang kepada Sang Raja.
Dia tampak kurang sopan, karena tuntutan cintanya melibatkan persamaan hak dengan Sang
Kekasih;
Tapi lihatlah lebih dalam: apa yang dia tuntut? Baik dia maupun tuntutannya tidak berarti apa-
apa di hadapan Sultan itu.
Mata Zaydun (Zayd mati): kalau Zayd adalah pelaku (subyek, menurut tata bahasa),
sesungguhnya dia bukanlah pelaku, karena dia mati.
Dia adalah pelaku hanya menurut ungkapan tata bahasa; sebaliknya dialah orang yang dikenai
pekerjaan, dan maut adalah pembunuhnya.
Kemampuan apakah yang masih tersisa pada orang yang telah ditaklukkan sampai segala sifat
seorang pelaku hilang dari dirinya?

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 3669

JIWA DUNIA

Aku telah berkeliling sebentar bersama sembilan Ayah di setiap Langit.


Aku telah beredar bertahun-tahun dnegan bintang-bintang dalam tanda-tanda mereka.
Aku tak terlihat sebentar, aku telah tinggal bersama-Nya. Aku telah berada di dalam Kerajaan
dari ”atau lebih dekat lagi,” aku melihat apa yang pernah kulihat.
Aku menerima makanan dari Tuhan, seperti seorang bayi di dalam kandungan:
Aku telah lahir berulang-kali, manusia lahir hanya sekali.
Berbusana dalam sebuah mantel jasmani, aku menyibukkan diri dengan urusan-urusan duniawi,
Dan sering sudah kurobek mantel dengan tanganku sendiri. Kulewatkan malam bersama para
asketis di dalam biara, Aku telah tidur bersama orang-orang kafir di depan berhala-berhala dalam
biara,
Akulah kepedihan dari si pencemburu, akulah nyeri dari si sakit. Akulah awan dan hujan: aku
telah terkena hujan di tengah padang rumput.
O darwis! Pada garmisku tak pernah menempel debu kematian, Telah kuhimpun kekayaan
mawar di taman keabadian. Aku bukanlah dari air maupun api, aku bukanlah dari angin liar.
Aku bukanlah dari lempung yang dibentuk: kutertawakan mereka semua.
O anak, aku bukan Syams-i Tabriz, aku adalah Cahaya murni. Jika engkau melihatku, hati-
hatilah! Jangan ceritakan kepada siapapun apa yang telah engkau lihat!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Diwan, SP, 331

PENDEWAAN DIRI

Apabila seekor lebah tercelup dalam madu, seluruh anggota tubuh-nya terserap oleh keadaan
yang sama, dan ia tidak dapat bergerak. Demikian pula istilah istighraq (terserap dalam Tuhan)
digunakan untuk seseorang yang tidak mempunyai kesadaran atau inisiatif ataupun sendiri.
Setiap tindakannya bukan miliknya. Apabila ia masih meronta dalam air, atau apabila ia berseru,
”Oh, aku tenggelam,” ia tidak bisa di-katakan berada dalam keadaan terserap. Inilah yang
diisyaratkan oleh kata-kata Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan). Orang menganggap itu adalah
pernyataan yang sombong, padahal adalah benar-benar sombong pernyataan yang menyatakan
Ana al-’abd (Aku adalah hamba Tuhan); dan ”Ana al-Haqq” (Aku adalah Tuhan) adalah sebuah
ungkapan kerendahan hati yang sangat dalam. Orang yan menyatakan Ana al-’abd (Aku adalah
hamba Tuhan) menegaskan adanya dua wujud, wujudnya sendiri dan wujud Tuhan, sedangkan
dia yang menyatakan Ana al-Haqq (Aku adalah Tuhan) membuat dirinya bukan-wujud dan
menyerahkan dirinya seraya berseru ”Aku adalah Tuhan,” yakni ”Aku tiada, Dia-lah segalanya:
tiada wujud kecuali wujud Tuhan. Inilah ke-rendahan hati dan penghinaan diri yang berlebihan.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Fihi ma Fihi, 49

MANUSIA-ILAHI

Memuji dan memuliakannya adalah mengagungkan Tuhan: buah Ilahi tumbuh dari hakekat dasar
baki ini.
Apel tumbuh dari keranjang ini dengan berbagai kehalusan ragam: bukanlah keburukan jika
engkau menyebutnya dengan nama ”pohon”.
Sebutlah keranjang ini ”Pohon-Apel”, karena di antara keduanya ada perpaduan tersembunyi.
Anggaplah keranjang ini Pohon keberuntungan dan duduklah dengan tenang di bawah
naungannya.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. VI, 3204

PENDAKIAN RUHANI

Apabila engkau ikut serta dalam barisan mereka yang mengadakan Pendakian, ketiadaan akan
membawamu ke atas bagaikan Buraq.
Itu bukanlah seperti naiknya makhluk hidup ke bulan; bukan, melainkan seperti naiknya pohon
tebu ke gula.
Itu bukanlah seperti naiknya asap ke langit; bukan itu, melainkan seperti naiknya embrio ke
rasionalitas.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 552

PERKEMBANGAN MANUSIA

Mula-mula dia muncul dalam alam benda-mati;


Kemudian masuk ke dunia tumbuh-tumbuhan dan hidup
Bertahun-tahun sebagai tetumbuhan, tak ingat lagi akan
Apa yang telah dia alami, lalu melangkah maju
Ke kehidupan hewan, dan sekali lagi
Tak ingat akan kehidupan tetumbuhan itu.
Kecuali ketika dirinya tergerak senang,
Pada tetumbuhan di musim bunga-binga berkembang indah.
Seperti bayi-bayi yang mencari puting susu dan tak tahu mengapa.
Sekali lagi Sang Pencipta Yang Maha Bijaksana sebagaimana engkau ketahui
Memindahkannya dari alam hewani
Ke tingkat Manusia; demikianlah dari satu alam ke alam lainnya dia
Bergerak, ia mendai pandai,
Cerdik dan bijak, sebagaimana dia kini.
Tak terkenang lagi akan keadaan sebelumnya,
Dan dari jiwanya yang sekarang pun dia akan diubah pula.
Sekalipun dia tertidur, Tuhan tidak akan membiarkannya,
Dalam kelalaiannya ini. Ketika terjaga, dia
Akan tertawa mengingat mimpi-mimpi yang menyusahkannya,
Serta terheran-heran betapa bahagi kehidupannya.
Dia dapat melupakan dan tak merasakan bahwa seluruh
Kesusahan dan kesengsaraan itu akibat dari tidur
Dan tipu-muslihat serta ilusi yang sia-sia. Maka dunia ini
Akan tampak abadi, meskipun itu hanyalah mimpi orang yang tertidur;
Yang, ketika Hari yang telah ditetapkan tiba, akan melarikan diri
Dari bayang-bayang gelap yang menghantuinya,
Dan berpaling sambil mentertawakan momok kesedihannya
Ketika dia melihat tempat tinggalnya yang abadi-lestari.

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. IV, 3637

”MASAKLAH SEMUANYA”

Karena engkau tak mampu mengemban Cahaya yang terbuka, minumlah kata-kata Hikmah,
karena cahayanya terselubung.
Hingga akhirnya engkau mampu menerima Cahaya, dan melihat apa yang kini tersembunyi
tanpa kerudung.
Serta melintasi langit laksana sebuah bintang; bukan, perjalanan mutlak, tanpa angkasa.
Demikianlah engkau menjadi ada dari ketiadaan. Bagaimana engkau datang? Engkau datang
secara tak sadar.
Jalan kedatanganmu tak engkau ingat, namun aku ingin memberimu sebuah tanda.
Biarkanlah pikiranmu pergi, kemudian waspadalah! Tutuplah telingamu, kemudian dengar!
Tidak, sebaiknya aku tak bercerita, karena engkau masih mentah; engkau masih dalam musim
semimu, engkau tak dapat melihat musim panas.
Dunia ini laksana pohon: kita adalah laksana buah yang setengah matang melekat padanya.
Buah-buah yang masih mentah melekat erat pada cabang pohon, karena untuk Istana mereka
belumlah pantas;
Namun ketika mereka ranum dan menjadi manis serta lezat – maka, mereka akan kehilangan
cabang.
Sama seperti kerajaan duniawi yang akan kehilangan kelezatannya bagi mereka yang mulutnnya
telah menjadi manis oleh kebahagiaan yang tiada terkira.
Ada yang tetap tak terkisah, namun Ruh Qudus akan menceritakan kepadamu tanpa aku sebagai
perantara.
Bukan, engkau akan menceritakannya kepada telingamu sendiri – bukan aku ataupun orang lain,
Wahai engkau yang bersatu denganku –
Seperti, ketika engkau tertidur, engkau pergi dari hadapan dirimu ke hadapan dirimu
Dan mendengar dari dirimu bahwa apa yang engkau pikirkan diceritakan secara rahasia
kepadamu oleh seseorang dalam mimpi.
Wahai teman yang baik, engkau bukanlah ”engkau” semata: engkau adalah langit dan lautan
yang dalam.
Kekuasaan ”Engkau”-mu yang maha luas adalah lautan yang di dalamnya ribuan ”engkau”
tenggelam.
Janganlah berbicara, hingga engkau dapat mendengar dari Sang Pembicara apa yang tak dapat
diucapkan atau dibayangkan.
Janganlah berbicara, sehingga Ruh mau bercakap padamu: dalam bahtera Nabi Nuh berhentilah
berenang!

Puisi Oleh: Jalaluddin Rumi, Mas. III, 1286                 


Lihat Selengkapnya : Paket Tour Lombok                                        
 

Anda mungkin juga menyukai