Anda di halaman 1dari 167

1.

Gatholoco praptanipun, ing Cepekan pondhok santri, langkung sukaning


wardaya, aningali para murid, samya sanget kurmatira, dhumateng Sang
Gurunadi.

Kedatangan Gatholoco, dipondok pesantren Cepekan, sangat suka didalam hati,


begitu melihat para murid,sangat patuh menghormati, kepada Sang Gurunadi
(Guru Kehidupan).

2. Nulya minggah langgar gupuh, sesalaman genti-genti, riwusnya samya


salaman, para murid nilakrami, wilujeng rawuh paduka, Gatholoco anauri.

Segera naik keataslanggar, bersalaman berganti-ganti, selesai bersalaman,


seluruh murid menanyakankabar, keselamatan atas kedatangan (Gatholoco),
Gatholoco menjawab.

3. Iyasaking pandongamu, ingsun ginanjar basuki, sasuwene ingsun tilar, sira


kabehanak murid, apa padha kawarasan, santri murid awot sari.

Atas doa kalian semua, aku dianugerahi keselamatan, selama aku tinggal pergi,
kalian semua anak muridku,apakah selamat juga, seluruh santri menjawab
mengiyakan.

4. Pangestu brekah pukulun, palimarmaning Hyang Widdhi, sadaya kawilujengan,


maksih langgeng kados lami, Gatholoco angandika, Kapriye wulangku nguni.

Atas restu dan berkah paduka, sehingga anugerahHyang Widdhi, membuat kami
semua disini selamat sejahtera, tetap tidak berubahseperti dulu, Gatholoco
berkata, Bagaimana dengan yang aku ajarkan dulu?

5. Apasira isih emut, sokur lamun ora lali, aturnya maksih kemutan, Kawula
sanget kapengin, nuwun mugi kasambungan, lajengipun kados pundi.

Apakah kalian semua masih mengingatnya? Sukurlah jika tidak lupa. Semua
menjawab masih ingat, Kami bahkan ingin, agar ditambah wejangan, wejangan
selanjutnya bagaimanakah?

6. Gatholoco alon muwus, Panjalukmu sun turuti, sireku aywa sumelang, uga
bakal sun sambungi, lah mara padha rungokna, manira tutur saiki.

Gatholoco pelan menjawab, Permintaan kalian akan aku turuti, jangan khawatir,
akan aku tambah wejanganku, nah sekarang dengarkanlah, aku hendak
memberikan wejangan.

7. Nugrahaning Buddhi iku, saurana Tri Prakawis, Cipta Ning kang kaping pisan,
Panggraita kaping kalih, Sang Panyipta kaping tiga, Kanugrahaning Roh kuwi.

Anugerah Buddhi(Kesadaran), ada tiga macam, Cipta Ning (Pikiran menjadi


hening) yang pertama, Panggraita (Perasaan murni) yang kedua, Sang Panyipta
(Yang Mencipta) ketiga (maksudnya siapa saja yang Kesadarannya meningkat,
maka dapat ditandai dengan tiga hal, Pikiran liar menjadi hening, Perasaan
menjadi murni dan Kesadaran hanya akan menjadi perwujudan Sang Pencipta
yang murni, tidak neko-neko, tidakcemas, tidak khawatir hanya menjadi
perwujudan Kesadaran murni Sang Pencipta/Tuhan: Damar Shashangka),
Anugerah Roh itu.

8. Sauranaiku Telu, ana dene ingkang dhingin, Urip Tan Kalawan Nyawa, ingkang
kaping kalih kuwi, Ora Angen-Angen liyan, Allah Kewala kaping tri.

Ada tiga juga, yangpertama, Hidup tanpa nyawa (maksudnya hidup tanpa
kehidupan selayaknya makhluk biasa. Makhluk biasa hidup ditandai dengan
adanya nafas, yang telah mendapat anugerah kembalinya kemurnian Roh, maka
dia telah hidup tanpa nafas, hidup tanpa darah, hidup tanpa detak jantung,
hidup tanpa pergerakan paru-paru, dll.Nafas, pergerakan paru-paru, detak
jantung, mengalirnya darah, adalah tanda-tanda makhluk BERNYAWA, namun
siapa saja yang telah murni Roh-nya, maka dia telah HIDUP TANPA
MEMBUTUHKAN SARANA-SARANA PENUNJANG ITU SEMUA, dan bisa disebut
TELAH HIDUP TANPA NYAWA : Damar Shashangka), yang kedua, tak ada yang
disadarinya lagi, kecuali hanya ALLAH saja dan yang ketiga.

9. Tan ana woworanipun, ingkang Wahdatilwujudi, Nugrahan Sakarat pira,


saurana Tri prakawis, kang dhingin Adhepanira, Idhep ingkang kaping kalih.

Tak bisa dibedakan lagi, yang disebut Wahdatulwujud (Kesatuan Wujud ~ Wujud
Allah dan wujud Roh telah melebur jadi satu : Damar Shashangka), Anugerah
Sekarat ada tiga, yang pertama Arah Hadapmu (Adhep), Pikiran yang bulat
(Idhep) yang kedua.

10. Madhep ingkang kaping telu, lamun sira den takoni, Nugrahaning Iman pira,
saurana TriPrakawis, Sokur ingkang kaping pisan, Tawakal ingkang ping kalih.

Niat yang mantap (Madhep) yang ketiga (maksudnya manusia bisa dikatakan
mendapatkan anugerah disaat kematian jika saat itu tiba Arah Hadap jiwa hanya
satu kepada SUMBER ABADI,Pikiran hanya bulat kuat kepada SUMBER ABADI,
dan Niat hanya satu terarah kepada SUMBER ABADI ~ Adhep, Idhep, Madhep,
jika tidak maka dia akan kembali jatuh kedunia, akan terlahirkan kembali karena
pikirnnya dipenuhi keduniawian : DamarShashangka), Anugerah Iman, ada tiga
macam, Bersyukur yang pertama, Tawakkal (Pasrah) yang kedua.

11. Sabar ingkang kaping telu, pira Nugrahaning Tokid, saurana Dwi Prakara,
krana Tetep ingkang dhingin, Wadi kaping kalihira, Nugrahan Makrifat Jati.

Sabar yang ketiga (manusiabisa disebut mendapatkan anugerah keimanan jika


sudah mampu bersikap Sukur, Pasrah dan Sabar : Damar Shashangka), Anugerah
Tokid (Tauhid), ada dua macam, Krana Tetep (Tetap Tunggal Adanya) yang
pertama, dan Wadi (Rahasia) yang kedua (maksudnya manusia bisa disebut
mendapat anugerah akan Tauhid jika memahami bahwa semua ini TETAP DALAM
SATU KESATUAN TAK TERPISAHKAN dan memahami RAHASIA BAHWA TIADA
YANG LAIN SELAIN TUHAN DISELURUH ALAM INI : Damar Shashangka), Anugerah
Makrifat Sejati.

12. Sira sumaura gupuh, iku namun saprakawis, Ana Ing Kahananira, Anenggih
Karsa:Rasaning, Rasa Wisesa Prayoga, Martabate Kramat kuwi.

Jawablah dengan cepat, hanya ada satu macam, Berada Pada Keberadaan-Nya,
dan kehendak makhluk, menjadi rasa sejati yang berwenang dalam kemurnian
sempurna, Martabat/Tingkatan/Uraian Kramat (Karomah/Kemuliaan) itu.

13. Mangretine ana Telu, Karem Apngal Para Mukmin, Para Wali Karem Sipat, aKarem Dzat Para Nabi, lire Karem Ing Dzatullah, ya sok ana asihaning.

Sungguh ada tiga tingkat, Lebur dalam Apngal (Af-'al : Perbuatan/Aktifitas Tuhan)
bagi para mukmin, bagi para Wali lebur dalam Sipat (Sifat : Watak Tuhan),
sedangkan para Nabi lebur kedalam Dzat ( Dzat : Keberadaan Sejati Tuhan). Yang
dimaksud dengan lebur kedalam Dzatullah (Dzat Allah), senantiasa dalam KASIHNYA.

14. Ingkang Karem Sipat iku, uga ana gumletheking, lire Karem Apngalullah, mila
ana obah osik, yen sebit paningalira, ening kabuka sayekti.

Yang lebur dalam Sifat, senantiasa dalam KEDAMAIANNYA, yang lebur dalam
Apngalullah (Af-'alullah :Perbuatan Allah), seluruh diam dan geraknya untuk
Allah, jika tajam kesadarannya, dan hening kekotoran batinnya, akan mampu
membuka rahasia sejati.

15. Ing Sipat Jalal puniku, Jamal Kamal Kahar nenggih, dumadine imanira, sakbul
gumletheking ati, dadine oleh sampurna, sampurnaning gesang nenggih.

Membuka kesejatian Jalal (YangAgung), Jamal (Yang Cantik) Kamal (Yang


Sempurna) dan Kahar (Yang Kuasa), akan menjadi iman kalian yang nyata
(keyakinan yang benar-benar telah menyaksikan sendiri), menjadikan Kedamaian
jiwa, memperoleh kesempurnaan, kesempurnaan hidup yang sesungguhnya.

16. Martabate Nyawa iku, lamun sira den takoni, kathahe namung satunggal, iya
iku Roh Ilapi, mung sawiji marganira, tegese Urip puniki.

Martabat/Tingkatan/UraianNyawa (Hidup), jika kalian ditanya, jawabannya hanya


ada satu, yaitu Roh Idhofi (Ruh Yang Menguatkan), hanya satu keberaadaannya,
sesungguhnya (Roh Idhofi) itu tak lain adalah HIDUP ini.

17. Ora nana Urip telu, ingkang mesthi mung sawiji, lamun sira tinakonan, endi
Allah ing saiki, iku nuli saurana, sapa ingkang ngucap kuwi.

Tak ada HIDUP bercabang tiga, hanya ada satu, jika kamu ditanya, dimanakah
Allah sekarang? Jawablah, Siapakah yang berani bertanya tadi?

18. Aja ta sireku umyung, yen sira dudu Hyang Widdhi, yektine ingkang den
ucap, kang ngucap tan liyan Widdhi, nanging kudu kawruhanana, ing Panarima
sayekti.

Janganlah kamu bingung (hai yang bertanya), JIKA DIRIMU BUKAN PERWUJUDAN
HYANG WIDDHI/ALLAH (LANTAS SIAPAKAH DIRIMU), SESUNGGUHNYA APA YANG
KAMU UCAPKAN, BERIKUT YANG MENGUCAPKAN TAK LAIN SEMUA ADALAH
HYANG WIDDHI ITU SENDIRI. Akan tetapi harus benar-benarkamu sadari sendiri
hal itu, dengan segala pemahaman total yang ada pada dirimu.

19. Ana ingkang Nrima iku, Kaya Toya lawan Siti, lawan ingkang Kaya Udan, apa
dene Kaya Wesi, kalawan Kaya Samudra, ingkang Kaya Lemah Warih.

Pemahaman total itu,bagaikan Air dan Tanah, dan juga bagaikan Hujan, bagaikan
Besi pula, juga bagaikan Samudera. Yang dimaksud bagai Tanah dan Air.

20. Den Rumesep tegesipun, Ora Pegat Kang Rohani, tegese kang Kaya Udan,
Datan PegatTingalneki, ana maneh Kaja Tosan, Sakarsanira Mrentahi.

Resapilah segala pemahaman itu, tiada putus jiwamu (siang malam) meresapi
tentang kesatuan wujud itu, yang dimaksud bagaikan Hujan, tak terputus
melihat segala isi dunia adalah wujud-Nya (bagaikan rintik hujan yang sambung
menyambung tiada putusnya), dan yang dimaksud bagaikan Besi, sekehendak
yang membuat.

21. Ginaweya arit wedhung, pethel wadhung kudi urik, Ora Owah Sipatira, Isih
bae Wujudneki, ingkang upama Samudra, Pituduh ingkang prayogi.

Hendak dibuat jadi celurit linggis, palu kampak senjata, Tapi tidak terpengaruh
sifat besinya, tetap berwujud besi (begitu juga walau berwujud bermacammacam, jangan terkecoh bahwa semua itu hanya perwujudan dari Tuhan
semata), yang bagaikan Samudera, telah mendapatkan kesadaran yang
sesungguhnya.

22. Puniku mesthine antuk, ing ujar sakecap tuwin, ing laku satindak lawan,
ameneng sagokan nenggih, lamun wis Kaya Samudra, Ora Owah Tingalneki.

Telah menyadari, bahwa setiap ucapan, setiap langkah, diam dan gerak, semua
bagaikan Samudera (dengan ombaknya ~ tak terpisahkan mana Tuhan mana
Hamba), Tiada lagi Goyah Kesadarannya.

23. Sira andulu dinulu, ora nana tingal kalih, ora nana ucap tiga, dadi sampurna
salating, weruh paraning sembahyang, weruh paraning ngabekti.

Yang melihat (Hamba) dan Yang Dilihat (Gusti), tiada lagi dua, tiada lagi ucapan
bercabang tiga, inilah kesempurnaan shalat, tahu arah menyembah, tahu arah
berbakti yang sesungguhnya.

24. Nyata bener ora kusut, lan weruh paraning osik, weruh paraning neng-ira,
weruh paraning miyarsi, weruh paraning pangucap, weruh paran ngadeg linggih.

Nyata berdiam dalam Benar yang tanpa kesalahan, tahu asal gerak hati, tahu
asal diamnya hati, tahu asal pendengaran, tahu asal pengucapan, tahu asal
berdiri dan duduk kita siapa yang menggerakkan.

25. Lan weruh paraning turu, weruh paranira tangi, weruh paraning memangan,
weruh paran nginum warih, weruh paran ambebuwang, weruh paran sene
nenggih.

Tahu asal tidur, tahu asal jaga, tahu asal makan, tahu asal minum, tahu asal
membuang kotoran, tahu asal membuang air seni.

26. Weruh parang seneng nepsu, weruh paraning prihatin, weruh paran ngidul
ngetan, mangalor mangulon kuwi, weruh paraning mangandhap, weruh paraning
manginggil.

Tahu asal kesenangan dan nafsu, tahu asal jiwa yang penuh kekuatan menahan
hawa nafsu, tahu tempat selatan dan timur, utara barat sesungguhnya, tahu
arah bawah, tahu arah atas yang sesungguhnya.

27. Weruh paran tengah iku, weruh paranira pinggir, weruh paraning palastra,
weruh paranira urip, weruh kabeh kang gumelar, kang gumreget kang kumelip.

Tahu arah tengah, tahu arah pinggir, tahu tujuan kematian, tahu tujuan hidup,
tahu segala hal yang mewujud, yang bergerak dan yang berkelip-kelip ini semua.

28. Tan samar weruh sadarum, anane samita iki, sira kabeh poma-poma,
anakingsun para murid, sireku aywa sembrana, weruha rasaning tulis.

Tiada samar lagi mengetahui semuanya, semua wejanganku ini, wahai kalian
semua ingat-ingatlah,oh anak muridku, jangan sampai ceroboh, harus
memahami inti sari tulisan.

29. Dene sira yen wis weruh, kekerana ingkang werit, aywa umyung pagerana,
aywa sembarangan kuwi, nganggo duga kira-kira, aywa dumeh bisa angling.

Jikalau kalian sekarang sudah memahami, jagalah benar-benar, jangan gampang


diucapkan dan pagarilah,jangan sembarangan diucapkan, harus memakai kirakira dan tempat yang sesuai, jangan hanya asal bisa bicara.

30. Lan maneh aywa kawetu, mring wong ahli sarak nenggih, yen maido temah
kopar, karana rerasan iki, ora amicara sarak, amung Sajatining Ilmi.

Dan lagi kalau bisa jangan sampai terdengar, kepada ahli Sarak (Syari'at), jika
berbantahan dengan merekaakan sia-sia, sebab wejangan ini, tidak lagi
membahas sarak (syari'at), akan tetapi membahas Sejatinya Ilmu.

31. Ingkang renteng ingkang racut, tan ana kaetang malih, caritane soal ika,
padha anggitening batin, dadi wijange sadaya, sira ingkang ahli buddhi.

Yang tertata dan yang terjaga, tak ada lagi yang perlu diwejangkan, tentang hal
ini semua, masukkan dalam batinmu masing-masing, sehingga kamu bisa
membuktikannya sendiri, wahai kalian ahli Buddhi (Ahli Kesadaran)!
(Selesai)

1. Jayengsastra mpaning llungid (carik), sirik agng jnnging wanudya, luput


barangreh wurine, wruh ing wkasanipun, teja panjang kang ngmu warih
(kluwung),sinjang agming priya (bbd), kang kdah sinawung, pawestri kathah
rubdnya,taji sawung (jalu) ganda pangusaping lathi (lnga krawang),
kaluputekawangwang.

Mahir dalam tulis menulisdan memegang rahasia (CARIK), 'si-RIK' (Larangan)


besar bagi seorang wanita,tidak memikirkan hasil akhirnya, tidak
memperhitungkan untung ruginya (hanyamemperturutkan kesenangan atau
foya-foya), cahaya panjang yang mengandung air(KLUWUNG/PELANGI), sinjang
(kmben) yang dipakai pria (BBD), yang harus 'sina-WUNG'(Diingat), seorang
wanita banyak 'ru-BED' (batasan secara kodrati), taji(senjata) milik ayam (JALU)
bau yang diusapkan dilidah (Lnga KRAWANG), batasankodrati itu jelas 'kawangWANG' (terlihat).

2. Putran-dhnta(pratima) ron aglar ing siti (uwuh), plm agung kang galak
gandanya (kuweni),ewuh aya pratikle, wanita tindak dudu, kuda mijil ing
Tamansari (Kalisahak),piring siti (pinggan) upama, dadyan dhewekipun, angrusak
badan priyanggan, saritala (malam) dhadhaking ron (talutuh) sun wastani,
nalutuh alam dunya.

Boneka indah (PRATIMA)daun yang berguguran menumpuk ditanah


(UWUH/SAMPAH), mangga besar yang kerasbaunya (KWENI), 'e-WUH' (susah)
'PRA-tikele' (pemikirannya), bagi wanita yang telah melakukan kesalahan(karena
sebuah kesalahan yang dilakukan seorang wanita sangat dipandang tidakpatut
dalam tatanan masyarakat), Kuda disebuah taman sari (KALISAHAK), piringdari
tanah (PINGGAN) seandainya, maka jadilah wanita tersebut, 'angruSAK'(merusak) badan 'priyang-GAN'(diri sendiri), sari tala (MALAM yang

dibuatmembathik) kotoran daun (TLUTUH/GETAH) aku katakan yang demikian


itu, akanmenjadi 'nalu-TUH' (jatuh kehormatannya) 'al-AM' (dialam) dunia.

3. Kismarmpu (lbu) atmaja Jumiril (Umarmaya), marma estri tan kalbu wca,
Nata Prabuing Tasmitn (Gniyara), kaca kang tanpa ancur (ram), gawe eram
ingkangningali, pants yen piniyara, talatahing laut (muwara), ing tekad
angayawara,jamang wastra (tpi) ojating wong awwarti (kaloka), ntpi ing
saloka.

Tanah yang hancur(LEBU/DEBU) putra Raja Jumiril (UMARMAYA), ' MARMA' (Oleh
karenanya) seorangwanita yang buruk tidak akan jadi pilihan, Raja diraja
dinegara Tasmiten(GENIYARA), kaca yang tidak tajam (RAM), membuat 'e-RAM'
(kagum) bagi yangmelihatnya, sungguh patut untuk diambil istri (wanita yang
tidndak-tanduknyasenantiasa waspada), wilayah tengah lautan
(MUWARA/MUARA), membuat lelaki yangmelihat dalam hati jadi 'ngaya-WARA'
(tidak karu-karuan karena sangat memikat),hiasan kemben (TEPI) suara orang
yang memberikan kabar (KALOKA/BERKUMANDANG),sungguh seorang wanita
yang 'nete-PI' (mematuhi) 'salo-KA' (SLOKA/ sastrasuci).

4. Gingsiringwulan purnama siddhi (grahana), bbayi sah kang saking tuntunan


(puput),graitann sauntase, ingkang tumibeng luput, tambang palwa (wlah)
ingsun wastani,parikan jnu tawa (tungkul), pan aja katungkul, ing solah kang
tanpa karya, mnyankuning (wlirang) kang toya saking jasmani (kringt),
engta kawirangan.

Hilangnya bulan purnama(GRAHANA/GERHANA), bayi yang telah lepas dari


tangan (PUPUT/mulai bisaberjalan), 'GRA-itanen' (renungkanlah) seluruhnya, apa
saja yang akan membuatkamu jatuh pada 'lu-PUT' (kesalahan), tambang perahu
(WELAH) aku sebut, syairjenu tawa (TUNGKUL), jangan sampai 'ketung-KUL'
(lalai), pada 'so-LAH'(perbuatan) yang sia-sia, kemenyan berwarna kuning
(WELIRANG/BELERANG) air yangkeluar dari badan (KRINGET/KERINGAT), 'e-NGETa' (Ingat-ingatlah) akan 'kawi-RANG-an'(malu).

5. Ing NgajrakPapatih Nata Jin (Sannasil), pulas langking kang kinarya sastra
(mangsi),keksi-eksi wkasane, tanpa asil ing laku, smbahyange janma minta sih
(salathajat), katrapaning manusa (dhndha), dhndhaning Hyang Agung, tanpa
kajatingpanyipta, yasa ranu (bale kambang) Narendra Bojanagari (Suryawisesa),
kumambanging wisesa.

Patih Jin di negaraNgajerak (SANNASIL), cairan hitam yang bisa dibuat menulis
sastra (MANGSI/TINTA),'kek-SI ek-SI' (terlihat jelas) juga akhirnya, tiada 'a-SIL'
(hasilnya/sia-sia)bagi diri sendiri, sembahyang manusia meminta anugerah
(SALAT KAJAT/HAJAT),hukuman uang bagi manusia (DHENDHA/DENDA),
'DHENDHA' (Hukuman) Hyang Agung,tiada 'ka-JAT' (diingini/dikehendaki) akan
nyata datang, membuat tempatditengah danau (BALE KAMBANG) Raja
Bojanegara (SURYAWISESA) 'kumam-BANG'(terkatung-katung) ditengah 'wi-SESA'
(Kuasa : maksudnya Kuasa Tuhan yangmenjatuhkan hukuman)

6. Janmawirya (mukti) salendro jroning pring (suling), dipun eling-eling wong


ngagsang,aja manggung mukti bae, dhuh babo jamang wakul (wngku), skar
pandhan mawurkasilir (pudhak), najan tdhaking Nata, sajagad winngku, barat
gung mrataweng wrksa(prahara), jarot pisang (srat) ana mlarat ana sugih, wus
kaprah alam dunya.

Manusia yang berkecukupan(MUKTI/KAYA) senandung didalam bilah bambu


(SULING/SERULING), harus di-'Eling-Eling'(diingat) manusia hidup, jangan hanya
mengejar 'MUKTI' (kekayaan) saja, duh ibumahkota tempat nasi (WENGKU),
bunga pandhan yang beterbangan jika tertiup(PUDHAK), walaupun 'te-DHAK'
(keturunan) bangsawan, seluruh dunia 'wineng-KU'(dimiliki), angin besar
merobohkan pepohonan (PRAHARA), serat pada buah pisang(SERAT) ada yang
mela-RAT ada yang kaya, sudah 'ka-PRA-h' (lumrah) dialam duniaini.

7. PutriMandura (Sumbadra) kang nyamang kudi (karah), najan trahing janma


sudra papa,lamun bcik pamarahe, Aji Nata Salyeku (Candrabhirawa), putr alit
ginantang nginggil(prkutut), patut sira anggowa, candhongna ing kalbu, Wiku

Raja ing Kusniya(Bawadiman), Sarkap putra (Samardikaran) den gmi simpn


wwadi, ywa kongsikasamaran.

Putri dari negara Mandura(SUMBADRA), mahkota kampak (KARAH), walaupun


keturunan orang 'SU-DRA' papa,jika baik 'pama-RAH-e' (kelakuannya), Aji
(kesaktian) Raja Salya(CANDRABHIRAWA), burung puter kecil yang ditaruh diatas
(burung PREKUTUT), 'pa-TUT'(layak) dijadikan tauladan, 'CAN-dhongna' (ikatkan)
dalam hatimu, Raja Wiku dinegara Kusniya (BAWADIMAN), putra Sarkap
(SAMARDIKARAN) harus bisa menyimpan 'we-WADI'(rahasia rumah tangga),
jangan sampai 'kasama-RAN' (terlena).

8. Tawonagung kang atala siti (tutur), wikan nugraha wulang akherat (swarga),
yen siranggotutur kiye, nyuwargakkn bapa biyung, nyarambahi mring kaki nini,
salawase raharja,mitra karuh lulut, yen kna godhaning setan, sapu gamping
(usar) garwa HyangGuru Pramesthi (Bathari Durga), durgama karya sasar.

Tawon besar yang berumahdidalam tanah (TUTUR), anugerah dari Yang Maha
Berwenang diakherat(SWARGA/SURGA), jikalau kalian pakai 'TUTUR'(Nasehat) ini,
bakal 'nyu-WARGA-aken' (membuat surga) bagi ayah dan ibu, bahkan kepada
kakek dan nenekkalian, selamanya sejahtera, seluruh teman segan, tapi
manakala tergoda setan,sapu batu kapur (USAR) istri Hyang Guru Pramesthi
(BATHARI DURGA), 'DURGA-ma'(membuat halangan) hingga akhirnya 'sa-SAR'
(sesat).

9. Widenggalng (yuyu) Kumbayana siwi (Aswatama), tgse estri ayu utama,


pratandha sratpangrmbe (pengt), cipta tyas tan kawtu (graita), kang wus
lpas graitalantip, nget-engt ing kawignyan, pangumbaring puyuh (jajah),
anjajah saruningbadan, jala panjang (krakad) suluke wayang kalithik (sndon),
yen kaldon ingtekad.

Mainan gangsing yang adadipematang (YUYU) putra Kumbayana (ASWATAMA),


seorang wanita harus 'a-YU u-TAMA'(cantik lahir batin), surat pangrembe (surat
berisi peringatan/PENGET), katahati yang belum keluar (GRAITA), yaitu
merekalah yang sudah mampu 'GRAITA'(berfikir) dewasa, 'NGET e-NGET'

(senantiasa mengingat) kepada keutamaan, arealterbang burung puyuh yang


dilepaskan (JAJAH), 'an-JAJAH' (memenuhi) seluruhbadan (lahir batin), jala ikan
yang panjang (KRAKAD) suluk/nyanyian jeda padapertunjukan wayang klithik
(SENDON), jika 'kale-DON' (terlena) pada 'te-KAD' (kehendak~ maksudnya watak
yang buruk akan menjajah lahir batin jika terlena tekadnya)

10. Knthangrambat (katela) gancaring wong ngringgit (lakon), ttuladha estri


kang utama,kang prayoga llakone, singa lit munggeng kasur (kucing), kenya
putri Kartangari(Susilawati), yen tan susileng priya, pan kuciweng smu,
dkunging sabda tanaga(taklim), gugur parlu (batal) nora batal ing wwadi,
wong taklim sapadanya.

Tanaman kentang yangmerambat (KETELA) jalan cerita orang yang memainkan


wayang (LAKON), akanmenjadi 'TE-tu-LA-dha' (suri tauladan) seorang wanita
yang utama, yang baik 'le-LAKON-e'(perbuatannya), singa kecil yang suka tidur
di kasur (KUCING), seorang permausuriraja Kertanegari (SUSILAWATI), jikalau
tidak 'SUSI-leng' (menghormati) suami,akan membuat 'KUCI-weng' (kecewa),
luruhnya tenaga suara (TAKLIM/SALAM HORMAT),gugurnya yang fardlu' (BATAL)
jika tidak 'BATAL' (gugur) menyimpan rahasia,semua orang akan 'TAKLIM'
(menaruh hormat) kepadanya.

11. RtnaDewi matur awot sari, saking dhawuh piwulang paduka, muhung nuwun
pangestune,mugi-mugi jinurung, badan kula bangkit nglampahi, Gatholoco
ngandika, dhuh sirawong ayu, ayune ayu tmnan, aywa kaget ingsun lilanana
pamit, saiki ingsunlunga.

Retna Dewi berkata "Hendakmenjalani, segala nasehat dan petunjuk paduka,


mohon restu, agar semogamendapat tambahan kekuatan, bagi saya untuk kuat
menjalani", Gatholoco berkata,"Dhuh kalian semua yang cantik, benar-benar
cantik lahir batin, jangan terkejutaku relakan pamit sekarang, aku hendak pergi."

12. Kranaprlu kangn arsa tilik, anak murid ing pondhok Cpkan, besuk bali
mrenemaneh, sira keri rahayu, Gatholoco mangkat pribadi, ing marga tan
winarna,kacarita sampun, dumugi pondhok Cpkan, para murid dupi miyat
ingkang prapti,sukeng tyas kanthi kurmat.

Karena ada keperluankangen dan hendak menjenguk, anak muridku yang ada di
pondok Cepekan, kelak akuakan pulang lagi kemari, tinggallah dengan selamat."
Gatholoco berangkatsendirian, dijalan tidak diceritakan, sudah sampai, di pondok
Cepekan, paramurid begitu melihat siapa yang datang, gembira hati dan
memberikan hormat.

29.Kabeh ingkang sipat gsang, kang ana ing dunya iki, Pangucape Pirang Kcap,
mangka Leklu iku Klimis, Gatholoco miyarsi, reka-reka tan sumurup, malenggong
palingukan, gedheg-gedheg angucemil, Rara Bawuk gumujng alatah-latah.

Semua manusia yang hidup, yang ada didunia ini, berapakah banyak ucapan
yang keluar dari mulut mereka? Sedangkan Leklu pasti Klimis, Gatholoco
mendengar, pura-pura tidak memahami, terlolong celingukan, menggelengkan
kepala kebingungan, Rara Bawuk tertawa terbahak-bahak.

30.Sarwi kplok bokongira, angencpi ngisin-ngisin, Sira maneh yen bisaa,


anjawab cangkriman mami, dhapurmu anjjinggis, kaya antu lara nglu,
Gatholoco angucap, Mbuh bnr mbuh luput iki, sun badhenn dhiajng
cangkrimanira.

Sembari menepuk pantatnya, mencibir dan mengolok-olok, Mana mungkin kamu


bisa, menjawab teka-tekiku, wujudmu saja jelek sekali, mirip hantu sakit kepala,
Gatholoco berkata, Entah benar entah salah, akan aku jawab diajeng teka-tekimu
ini.

31.Ucape kang sipat gsang, kang ana ing dunya iki, Pan Amung Salikur Kcap,
nora kurang nora luwih, dene sastra kang muni, pan iya amung salikur, kabeh
ucaping jalma, kang ana ing dunya iki, Leklu Klimis iya iku tegesira.

Ucapan yang keluar dari mulut manusia yang hidup, yang ada disunia ini, hanya
ada Duapuluh satu macam, tidak lebih dan tidak kurang, sedangkan seluruh
catatan tentang mereka, juga hanya terdiri dari Dua puluh satu buah, itulah
jumlah ucapan manusia, yang hidup didunia ini, Leklu Klimis itu artinya. (Maksud
Gatholoco, seperti yang pernah diterangkannya pada bagian tiga, pupuh
Dandanggula II, pada (syair) 29, bahwasanya seluruh manusia didunia ini
berjumlah Duapuluh Satu. Maksudnya, Angka Dua melambangkan mereka yang
masih terjerat dualitas duniawi (suka-duka, sedih-senang, kaya-miskin dll),
sedangkan angka Satu melambangkan mereka yang telah mampu lepas dari
jeratan dualitas duniawi. Maka begitu pula ucapan yang keluar dari mulut
mereka, pastinya juga cuma ada Dua puluh satu buah. Angka Dua
melambangkan ucapan mereka yang masih terjerak dualitas, dan angka Satu
melambangkan ucapan mereka yang telah lepas dari jeratan dualitas. : Damar
Shashangka)

32.Tlek neng Alu lsungan, yen Dickl ykti Amis, salawase durung ana, tlek
ingkang mambu wangi, Rara Bawuk miyarsi, yen kajawab soalipun, rumasa
katiwasan, ora wurung dirabeni, sntot mundur sumingkir smu kisinan.

TeLEK neng aLU lesungan, yen di ceKeLI yekti aMIS (Tahi yang ada di alat
penumbuk padi, manakala dipegang pasti berbau amis), selamanya belum ada,
tahi yang berbau wangi, Rara Bawuk mendengar, dan menyadari teka-tekinya
telah terjawab, merasa kalah dan pasrah, sudah pasti akan dinikahi (oleh
Gatholoco), seketika undur menyingkir sembari malu. (LEKLU KLIMIS ~ teLEK
neng Alu lesungan yen diceKeLI yekti Amis (Tahi yang ada dialat penumbuk padi,
manakala dipegang pasti berbau amis, maksudnya sesuai dengan yang pernah
diwejangkan Gatholoco pada bagian 12, pupuh Kinanthi VI, pada (syair) 35-38.
Disana diterangkan tentang Martabating Pamanggih (Uraian tentang etika
tingkah laku) yang terdiri dari lima hal, yaitu : 1. Kletheking Ati (Kekotoran Hati),
2. Katepeking Lampah : Suara Langkah/degup ketidak tenangan, 3. Panjriting
Tangis : Jerit Tangis/ketidak puasan, adalah lambang ketidak murnian diri yang
seharusnya sangat memalukan bagi manusia yang sadar. Ketidak murnian ini
ada didalam diri yang berputar-putar bagai awan panas menggelora. 4.
Kethuking Nutu adalah Ucapan yang keluar dari orang yang sadar yang bisa
menetralisir segala hal-hal negative yang bergelayut didalam diri, sehingga
ucapan yang keluar terdengar positif dan indah, bagai suara orang menumbuk
padi yang merdu. Dan jika hal ini bisa dibiasakan, maka diri kita nyata telah
menjadi 5. Cleret Ngantih : Perwujudan Pelangi atau Jamalullah : Kecantikan Allah
bagi sesama. Tahi yang ada dialat penumbuk padi, adalah lambang dari
kekotoran batin. Dalam menumbuk padi, pasti terdengar suara, ini lambang dari
ucapan yang keluar. Jika alat menumbuknya sudah kotor, maka suara yang

keluar juga akan kotor. Itu maksud simbolisasi TAHI YANG ADA DIALAT
PENUMBUK PADI, MANAKALA DIPEGANG PASTI BERBAU AMIS : Damar
Shashangka).

33.Angucap Ingsun wus kalah, saprentahmu sun lakoni, gantya Dewi Bleweh
mapan, lnggah nja bantah ilmi, Sang Dewi Bleweh angling, Badhenn
cangkrimaningsun, Isine alam dunya, kabeh Ana Pirang Warni, lawan Pira Rasane
lamun Pinangan.

Berkata Aku sudah kalah, apapun keinginanmu aku jalankan, kini ganti Dewi
Bleweh maju kemuka, duduk hendak berbantahan ilmu, Sang Dewi Bleweh
berkata, Jawablah teka-tekiku ini, Berapakah jumlah isi alam dunia ini? Dan
berapakah jumlah rasa seluruh isi alam dunia ini jika dimakan?

34.Sun andulu Wujudira, adge Wolung Prakawis, Pikukuhe Raga Tunggal, Sipat
Papat Keblat Kalih, Patblas Ingkang Keri, Kang Loro Tutup-tinutup, samya Manjr
Bandera, Kkalih pating karingkih, lan badhenn, mangrtine dadi paran.

Aku menatap Wujudmu, terlihat Delapan Macam, Mewujud dalam Satu Raga,
Mempunyai Empat Keblat (mata angin) dan, ditambah Empat Belas macam yang
sangat penting, Yang Dua sangat dirahasiakan, Karena keduanya tempat
mengibarkan Bendera, Keduanya sangat sensitif, nah tebaklah, bagaimana
maksudnya?

35.Gatholoco duk miyarsa, reka-reka tan mangrti, mung dhlg-dhlg kewala,


Dewi Bleweh ngisin-isin, lenggak-lenggok nudingi, malerok sarwi gumuyu, Sira
masa bisaa, ambatang cangkriman mami, wong dhapurmu saru kiwa irng
mangkak.

Gatholoco begitu mendengarnya, pura-pura tak mengerti, hanya terdiam saja,


Dewi Bleweh mengolok-olok, melenggak-lenggokkan kepala dan menuding,
menatap dengan tatapan menghina serta tertawa, Mana mungkin kamu bisa,

menjawab teka-tekiku, wujudmu saja memalukan cacat hitam jelek bagai kain
yang warnanya luntur.

36.Gatholoco saurira, Mngko sun pikire dhisik, bismillah mbadhe cangkriman,


cangkrimane gndhuk kuwi, Isine Dunya Amung Sanga Kathahipun, ingkang
kinarya ngetang, angkane mung Sangang Iji, ora nana ingkang luwih saking
sanga.

Gatholoco menjawab, Sabarlah aku tengah berfikir, bismillah menjawab tekateki, teka-teki gadis ini, Isi dunia hanya ada sembilan buah jumlahnya, sebab
jelas angka yang dibuat untuk menghitung, Cuma ada sembilan buah, tidak ada
angka yang melebihi dari angka sembilan.

37.Sawuse jangkp sadasa, bali marang siji maning, iku tandhane mung sanga,
isine dunya iki, kabeh mung sanga kuwi, Kahanane Rupa iku, yktine Nem
Prakara, wijange sawiji-wiji, Ireng Biru Putih Kuning Ijo Abang.

Manakala jumlah sudah genap sepuluh, maka angkanya akan kembali ke angka
satu lagi, itu bukti bahwa seluruh dunia ini, hanya berjumlah sembilan buah,
semua hanya sembilan jumlahnya, Keberadan wujud itu, hanya ada Enam
Macam, uraiannya satu persatu adalah, Hitam Biru Putih Kuning Hijau Merah.

38.Liya iku ora nana, rupa ingkang manca warni, iku Padha Ngmu Rasa, dene
kabeh kang binukti, ing alam dunya iki, Rasane Mung Ana Wolu, Lgi Gurih
kalawan, Pait Gtir Pdhs Asin, Spt Kcut ganpe wolung prakara.

Selain daripada warna itu tidak ada lagi, semua yang berwarna warni adalah
campuran dari keenam warna dasar tersebut, seluruh Wujud memiliki Rasa,
buktinya, didunia ini, Rasa hanya ada Delapan, Manis Gurih serta, Pahit Getir
Pedas Asin, Sepat Kecut jumlah totalnya ada Delapan.

39.Adu Bokong tgsira, gnah lamun Asu Ganjing, padha adu bokongira,
Ngadg Suku Wolung Iji, Keblatira Kkalih, Madhp Ngalor lawan Ngidul, Sipate
iku Papat, Matanira Patang Iji, lawangane Bolongan Ana Patblas.

Beradu pantat maksudnya, jelas adalah Anjing yang tengah Kawin, mereka akan
beradu pantat (Menyindir isi dunia yang suka bentrok karena keyakinan. Selaras
dengan pepatah Jawa REBUT BALUNG TANPA ISI (Berebut tulang tanpa guna ~
merebutkan sesuatu yang kosong tak berisi. Yang suka bentrok karena keyakinan
berbeda, Gatholoco mengatakan bagaikan Anjing Kawin, ribut melulu), berkaki
empat tapi berjumlah delapan buah (karena ada dua ekor anjing ~ maksudnya
walau memiliki Kesadaran, Perasaan, Pikiran dan Memori yang sama, tapi seolah
mereka yang sedang bentrok memiliki Kesadaran, Perasaan, Pikiran dan Memori
lain dan berbeda karena masing-masing sudah terdoktrin sedemikian kuatnya.)
Arah mata angin hanya dua, hanya Utara atau Selatan ( Maksudnya, walau
sebenarnya arah mata angin itu ada empat, bahkan bisa dikatakan delapan,
bahkan sembilan jika dihitung arah tengah, bahkan sebelas jika mau dihitung
arah bawah ditambah arah atas, namun bagi mereka yang punya doktrin fanatis
semacam itu, arah mata angin bagi mereka hanya dua saja, utara atau selatan.
Kafir atau non kafir. Golonganku atau diluar golonganku : Damar Shashangka),
padahal mereka sama-sama memiliki Empat Belas Lobang kehidupan yang tiada
beda.

40.Cangkm Irung miwah Karna, Silite kalawan Prji, gung-gunge kabeh Patblas,
kang Tutup-tinutup sami, Panjine Dakar Prji, pating krngih ndmipun, dene
Umbul Pultan, Bandera Buntute Kalih, ting Jalnthir lir Bandera Karo pisah.

(Satu lobang) Mulut (Dua lobang) Hidung serta (Dua lobang) Telinga, (Satu
lobang) Kemaluan dan (Satu lobang) Anus, total jumlahnya Empat Belas
(ditambah Kesadaran, Pikiran, Perasaan, Memori dan yang Keempat Belas adalah
Ruh/Atma : Damar Shashangka). Yang senantiasa Dirahasiakan, adalah Kemaluan
dan Anus, sangat sensitif memabukkan, sedangkan maksud Bendera dikibarkan,
adalah sama dengan sebuah tiang bendera yang dipasangi dua macam bendera
sekaligus, sehingga berkelebat tidak karuan kekanan dan kekiri manakala
terhembus angin. (maksudnya adalah, pada masa dulu, jika tengah menantang
perang atau menyatakan kalah perang, diisyaratkan dengan mengibarkan
bendera merah atau putih. Ini adalah isyarat menyampaikan maksud/hasrat
untuk berperang atau menyerah kalah. Jika kemaluan dilambangkan tempat
mengibarkan bendera, artinya kemaluan adalah tempat mengibarkan hasrat
sexual, mengibarkan hasrat keinginan untuk bersetubuh dan bersenggama.
Gatholoco menambahkan, kemaluan itu ibarat tiang untuk mengibarkan bukan
hanya satu buah bendera hasrat, tapi dua buah, karena hasrat sexual manusia

kadang sangat tidak karu-karuan berkelebat tak tentu arah bagai dua buah
bendera yang dikibarkan sekaligus dalam satu tiang dan terkena angin dalam
saat bersamaan. : Damar Shashangka)

41.Apa bnr apa ora, mangkono pambatang mami, mara age wangsulana, Dewi
Bleweh duk miyarsi, kajawab soalneki, sakalangkung gtun ngungun, nggarjita
jroning nala, pinasthi kalawan takdir, awakingsun kinanti wong kaya sira.

Apakah benar atau salah, begitulah jawaban dariku, nyatakanlah sekarang, Dewi
Bleweh begitu mendengar, bahwasanya telah terjawab teka-tekinya, seketika
kecewa bercampur heran, berkata didalam hati, sudah menjadi takdir hidupnya,
harus Kinanthi (Digandeng ~ maksudnya diperistri, selain itu juga menyatakan
secara tersirat bahwa pupuh selanjutnya adalah Pupuh Kinanthi : Damar
Shashangka) oleh manusa jelek seperti dia.

PUPUH IX

Kinanti

1.Dewi Bleweh nulya mundur, sarwi awacana manis, Ingsun wus rumasa kalah,
sakarpmu sun-lakoni, manira manut kewala, ora sumja nylaki.

Dewi Bleweh lantas undur, sembari berkata manis, Diriku mengaku kalah,
sekehendak hatimu akan aku turuti, aku akan menueut saja, tidak akan
membantah lagi.

2.Namung kantun kusuma yu, Rtna Dewi Lupitwati, mapan lnggah arsa
bantah, Gatholoco nabda aris, Sireku keri priyangga, mbane kalawan cantrik.

Tinggal sang bunga yang canti, Retna Dewi Lupitwati, segera mempersiapkan diri
hendak berbantahan, Gatholoco berkata, Hanya tinggal kamu seorang, emban
dan cantrikmu.

3.Kalah bantah padha mundur, sira Dewi Lupitwati, apa nutut apa berani, sabuddhi-mu sun kmbari, Rtna Dewi angandika, Apa saujarmu kuwi.

Telah kalah dan mundur, kamu Dewi Lupitwati, apakah mampu apakah mundur,
sampai dimana kesadaranmu akan aku imbangi, Retna Dewi berkata, Apa yang
kamu ucapkan?

4.Yen sira ngarani tluk, yktine tluk wak mami, yen sira ngarani bangga,
sabnre ingsun wani, mung iki cangkrimaning-wang, kathahe tlung prakawis.

Jika kamu mengatakan aku telah tunduk, benar aku hampir kamu tundukkan,
tapi jika kamu mengatakan apakah aku berani, sungguh aku masih bernai, hanya
ini teka-teki dariku, jumlahnya tiga macam.

5.Badhenn ingkang dumunung, tgse Wong Laki Rabi, lan tgse Wadon
Lanang, tegese Sajodho kuwi, Gatholoco saurira, Ora susah nganggo mikir.

Jawablah dengan tepat, apa maksud dari Pernikahan, dan apa maksud Wanita
dan Lelaki, apa maksud Jodoh itu? Gatholoco menjawab, Tidak usah berfikir
diriku.

6.Prakara cangkriman iku, tegese Wong Laki Rabi, ingkang aran Wadon Lanang,
ingsun uga wus mangrti, mung remeh gampang kewala, rungokna pambatang
mami.

Untuk menjawab teka-teki ini, arti dari Pernikahan, yang dimaksud Wanita dan
Lelaki, aku sudah memahami dari dulu, hal yang remeh belaka, dengarkan
jawaban dariku.

7.Tgse Wong Lanang iku, Ala kang tmnan kuwi, iya iku ananingwang, rupane
Ala ngluwihi, Wadon iku tgsira, gnah Panggonane Wadi.

Arti dari LA-nang (Lelaki) itu, adalah ciptaan yang sangat a-LA (Buruk),
dilambangkan dengan wujudku ini, seperti wujudku inilah wujud lelaki itu, WAdon (Wanita) itu adalah tempat WA-di (Rahasia). (Maksud Gatholoco, lelaki atau
Lanang, adalah sebuah ciptaan yang buruk. Karena makhluk yang bernama lelaki
diliputi oleh watak keras dan egoisme. Dilambangkan secara nyata dengan rupa
Gatholoco sendiri. Seperti itulah sebenarnya makhluk yang dinamakan lelaki.
Sedangkan wanita atau Wadon adalah makhluk yang diliputi dengan kerahasiaan
dan ketidak jelasan, terlalu mempergunakan perasaan. Walau terlihat lembut,
tapi sama juga jeleknya dengan keegoisan seorang laki-laki. Yang satu egois
secara keras, yang satu egois secara lembut : Damar Shashangka)

8.Wadine Wong Wadon iku, Wujude Wujudmu kuwi, sabnre Luwih Ala, dunung
sarta asalneki, acampur kalawan priya, tuduhna kang ala iki.

Rahasia wanita itu, wujudnya seperti wujudmu itu (cantik), akan tetapi tetap juga
buruk sebenarnya, asal dan keberadaanya sekarang ini, jika bercampur
(bertemu/menikah) antara lelaki, maka akan terlihat keburukan ini semua.

9.Mula Rabi aranipun, Wong Lanang Amngku Estri, rahab ngrahabi sadaya, kang
ala lawan kang bcik, mula lanang aranira, aja nglendhot marang estri.

Maka dinamakan RA-BI (Nikah), Lelaki menikahi Wanita, saling RA-hab ngraha-BI
(saling ber-interaksi) dari semua watak yang ada, baik watak yang buruk
maupun watak yang jelek, dan bisa dikatakan Jodoh manakala lelaki, tidak
memaksakan kehendaknya kepada wanita (maksudnya saling mengingatkan
untuk mengikis watak dasar yang buruk dari kedua makhluk ciptaan ini : Damar
Shashangka)

10.Mung iku pambatangingsun, apa bnr apa sisip, Lupitwati aturira, Pukulun
ppundhen mami, saestu lrs sadaya, marmane amba samangkin.

Hanya itu jawaban dariku, apakah benar atau salah? Lupitwati menjawab, Duh
yang mulia sesembahan hamba, sungguh benar semua, oleh karenanya hamba
sekarang.

11.Nrimah kawon sampun tluk, sumanggng karsa nglampahi, muhung asrah


jiwa raga, tan pisan nja gumingsir, ing dunya prapteng dlahan, ttp mantp
lair batin.

Menerima kalah dan tunduk, bersedia menjalani, memasrahkan jiwa raga, tidak
akan tergoyahkan lagi, mulai dunia hingga mati, akan mantap lahir batin.

12.Gatholoco sukeng kalbu, gumujng sarwi mangsuli, Tuturira sun tarima, lan
maneh wiwit saiki, sireku kabeh kewala, ttp dadi garwa-mami.

Gatholoco gembira dalam hati, tertawa sembari berkata, Aku terima janjimu, dan
mulai dari sekarang, kalian semuanya, akan ku ambil sebagai istriku.

13.Mulane sira sadarum, kudu manut gurulaki, sabarang parentahingwang, abot


entheng aywa nampik, lamun nampik siya-siya, tan wurung sida bilahi.

Oleh karenanya kalian semua, harus menurut kepada suami, semua yang
diperintahkan, berat maupun ringan jangan membantah, manakala membantah,
akan mendapatkan kecemaran.

14.Wus lumrah wong lanang iku, wajibe mngkoni rabi, sanajan rupane ala,
nanging pants den ajeni, sinmbah mring garwanira, krana aran gurulaki.

Sudah lumrah seorang lelaki, harus menikah, walaupun buruk rupa, akan tetapi
sebagai seorang suami patut dihargai, dipatuhi oleh istrinya, oleh karenanya
disebut Gurulaki (Seorang suami dalam tradisi Jawa disebut Gurulaki. Artinya
selain Guru umum yang pernah atau telah memberikan pelajaran ilmu
pengetahuan maupun spiritual kepada seorang wanita, sang suami-pun wajib
pula disebut guru baginya jika dia kelak sudah menikah : Damar Shashangka).

15.Solah tingkah murih patut, satiti angati-ati, tan kna kanthi smbrana, yen
smbrana ora bcik, sanajan lunga sadhela, kudu pamit marang mami.

Harus belajar beretika, berhati-hati, tidak boleh seenaknya, jika seenaknya itu
tidak baik, walaupun keluar rumah sebentar, harus memberitahu kepada suami.

16.Kajaba kang kadi iku, rungokna pitutur mami, amurih salamtira, aywa karm
karya srik, den sabar aywa brangasan, ngajenana mring ssami.

Selain daripada itu, dengarkan nasehatku, agar diri kalian mendapatkan


keselamatan, jangan suka membuat kebencian, belajarlah sabar dan jangan
berangasan, hargailah semua manusia.

17.Upama sira katmu, marang pamitranmu yayi, kalamun sira micara, kudu
ingkang sarwa manis, dimene rna kang myarsa, aywa nganti den ewani.

Manakala diri kalian bertemu, dengan sanabat-sahabatmu duh adikku semua,


jika berbicara, harus yang sopan dan manis, agar senang yang
mendengarkannya, jangan sampai mengucapkan kata-kata yang membuat
kecewa orang lain.

18.Yen sira micara saru, utawa dhmn ngrasani, mring alane liyan janma,
saykti akeh kang sngit, datan snng malah ewa, sinbut wong kurang buddhi.

Jika kalian berkata tidak sopan, atau suka bergunjing, membicarakan kejelekan
orang lain, bakalan banyak yang membenci, tidak ada yang menyukai kalian,
kalian akan disebut manusia kurang budi (kesadaran).

19.Upamane ana tamu, den enggal sira nmoni, kang sreseh nuli bagekna,
linggihane ingkang rsik, sireku kang lmbah manah, sokur bisa nyugatani.

Jikalau ada tamu datang, bersegeralah menemui, yang sopan dan sambutlah,
berikan tempat duduk yang bersih, harus sabar dan merendahkan diri, sukursukur jika bisa memberikan hidangan.

20.Sanajan tan bisa nyuguh, nanging sumeh ulat manis, tmbunge grapyak
sumanak, rumakt sajak ngrspi, supaya tamune suka, snng ora glis mulih.

Walaupun tidak mampu memberikan suguhan, akan tetapi jika sopan dan
berwajah manis, ucapannya bersahabat dan menyenangkan, tidak mengambil
jarak dan menyenangkan hati, (lakukanlah itu) agar sang tamu bergembira, dan
betah.

21.Yen sira smu marngut, kang mradayoh yekti wdi, kinira kalamun ladak,
utawa kinira dir, den arani ora lumrah, datan kurmat mring ssami.

Jikalau dirimu berwajah judes, yang bertamu akan takut, dikira kalian sombong,
atau dikira pemarah, akan dikatakan wanita tidak lumrah, tidak bisa
menghormati sesama.

22.Watak andhap asor iku, wkasane nmu bcik, raharja sugih tpungan,
kineringan mring ssami, linulutan pawong mitra, akeh ingkang trsna asih.

Watak merendahkan diri itu, akan menemukan kebaikan, tentram dan kaya
teman, dihormati oleh sesama, dihargai oleh teman-teman semua, akan banyak
yang menyayangi.

23.Kang garwa samya tumungkul, sadaya matur wot sari, Dhuh pukulun
kasinggihan, wulangipun gurulaki, saliring dhawuh paduka, saykti kawula
pundhi.

Seluruh istri (Gatholoco) menunduk, semua berkata hendak menjalani, Duh yang
mulia, nasehat dari seorang Gurulaki (suami), segala yang telah terucapkan,
sungguh kami semua akan menjalani.

24.Gatholoco alon muwus, Rehning sira wus ngantpi, darma saking


karsaningwang, kepengin arsa udani, pratandhane kang sanyata, apa bnr sira
estri.

Gatholoco pelan berkata, Dikarenakan kalian semua sudah mantap, setia bakti
karena kehendak kalian sendiri sekarang aku ingin, hendak melihat, bukti nyata,
apakah benar-benar kalian semua ini seorang wanita?

25.Samengko mrih gnahipun, manira arsa nontoni, mring prenah ttngerira,


wujude ingkang sajati, sireku pada lukara, supaya ctha kaeksi.

Sekarang agar nyata, aku hendak melihat dengan mata kepalaku sendiri, kepada
tempat tanda seorang wanita, wujudnya yang sesungguhnya, kalian semua
bukalah busana kalian, agar jelas terlihat.

26.Para garwa alon matur, Dhuh pukulun kadi pundi, dene paring dhawuh lukar,
kawula lumuh nglampahi, krana saking botn limrah, nalar saru tan prayogi.

Seluruh istri pelan berkata, Duh yang mulia bagaimana maksudnya? Memberikan
perintah agar kami telanjang, kami malu menjalani, karena tidak lumrah hal itu
dilakukan, sangat saru dan tidak baik.

27.Gatholoco asru bndu, Tuturmu padha ngantpi, mantp lair batinira, mituhu
mring gurulaki, kaya paran ing samangkya, tan miturut prentah mami.

Gatholoco berkata, Bukankah kalian tadis udah mantap, lahir hingga batin,
menuruti perintah Gurulaki, sekarang bagaimana, kok membantah perintahku?

28.Lamun rewel datan manut, sireku bakal bilahi, sidane nmu cilaka, katiban
gitik panjalin, wong siji kaping limalas, lan maneh sun spatani.

Jika rewel tidak menurut, kalian bakal cemar, mendapatkan kecelakaan, tertimpa
pukulan penjalin, setiap orang lima belas kali, dan akan aku kutuk nanti.

29.Ananging yen padha manut, nurut marang karp mami, sawuse lukar busana,
nuli marang tilam sari, awakingsun pijtana, supaya ksle mari.

Akan tetapi manakala semua menurut, menuruti keinginanku, setelah


bertelanjang bulat, seterusnya menuju ke peraduan, pijitlah diriku ini, agar hilang
rasa lelah yang kurasakan.

30.Para garwa samya manut, tyas ajrih den supatani, sadaya lukar busana,
Gatholoco dhuk umeksi, gumujng alatah-latah, sarwi ngingkrang munggeng
kursi.

Seluruh istri menuruti, dalam hati takut kalau dikutuk, semua membuka
busananya, Gatholoco begitu melihat, tertawa terbahak-bakak, sembari duduk
diatas kursi.

31.Mangkana denira muwus, Saiki katon sajati, wus ctha nyata wanita, tngre
wadon kaeksi, warna-warna datan padha, ana gdh ana cilik.

Beginilah dia berkata kemudian, Sekarang sudah terlihat yang sesungguhnya,


benar-benar jelas kalian seorang wanita, bentuk kewanitaan kalian sudah
terlihat, beraneka bentuknya tidak sama, ada yang besar ada pula yang kecil.

32.Rehning ctha wus kadulu, wujudnya sawiji-wiji, akarya rnaning driya, ing
samngko sun lilani, kabeh padha tutupana, ngagma busana maning.

Karena aku sudah melihatnya, bentuk satu persatu milik kalian, membuat diriku
senang, sekarang aku mengijinkan, tutupilah lagi, pakailah busana kalian
kembali.

33.Yen sireku arsa wruh, marang sajatining laki, duwekingsun tingalana, becike
apa saiki, utawa mngko kewala, sakarpmu sun turuti.

Jikalau kalian ingin melihat, kepada bentuk milikku, lihatlah kemari, sekarang
juga, atau nanti, terserah kalian.

34.Lamun sira ngajak ngadu, duwekmu lan duwek mami, manira manut sakarsa,
glm bae ingsun wani, sira ngajak kaping pira, manira saguh ngladeni.

Jika kalian semua mengajak untuk mengadu, milik kalian semua dengan milikku,
aku akan menuruti, aku berani walau kalian semua mengajak berapa kali, aku
sanggup melayani.

35.Rtna Dewi alon matur, Pukulun ppundhen mami, prakawis nalar punika,
amba tan kapengin uning, dhumatng wujuding priya, nuwun gunging
pangaksami.

Retna Dewi pelan berkata, yang mulia sesembahan hamba, masalah itu, kami
tidak ingin melihat, kepada bentuk barang milik lelaki, kami memohon maaf.

36.Kang awit pamanggih ulun, kirang prlu angingali, kawula datan mntala, lan
malih botn prayogi, pramilane botn susah, paduka paring udani.

Sebab menurut kami, kurang perlu untuk melihat hal itu, kami sangat malu, dan
lagi tidak baik, oleh karenanya tidak usah saja, jika yang mulia hendak
menunjukkannya.

37.Gatholoco alon muwus, Dhuh wong ayu mrak ati, sumeh smune prasaja,
susileng solah rspati, wangsalan iki rungokna, wulang mring sira wong manis.

Gatholoco pelan berkata, Duh cantik yang menawan hati, yang manis dan sangat
sopan, yang beretika dan menyenangkan hati, pantun ini dengarkanlah, ini
wejanganku kepada kalian semua.

PUPUH VII

Gambuh

1. Anak murid sireku, kabeh padha keriya rahayu, lilanana saiki manira pamit,
Gatholoco mangkat gupuh, lumampah ijen kemawon.
Wahai semua anak muridku, semoga keselamatan ada padamu saat aku tinggal,
sekarang relakanlah aku pamit, Gatholoco segera berangkat, berjalan pergi
sendirian saja.

2. Midr-midr nglantur, sjanira angupaya mungsuh, sagung pondhok guru


santri den lurugi, binantah ing kawruhipun, yen kalah dipun pepoyok.

Berkeliling kemana-mana, niatnya hendak mencari musuh berdebat, seluruh


pondhok pesantren didatangi, diajak berdebat tentang ilmu sejati, jika kalah
diperolok-olok olehnya.

3. Ana ingkang gumuyu, kapok kawus santri kang tan urus, wus dilalah karsaning
Kang Maha Luwih, Gatholoco tyas kalimput, mngku takabur ing batos.

Ada yang ditertawakan, mentertawakan para santri yang kalah debat, sudah
menjadi kehendak Yang Maha Lebih, Gatholoco hatinya terliputi, perasaan
takabbur (sombong).

4. Pangrasanira iku, sapa mnang padon karo aku, padu kawruh ingsun punjul
sasami, marmane manggih ssiku, kasiku dening Hyang Manon.
Menurut anggapan dirinya, siapa yang bakal menang berdebat denganku, jika
berdebat aku lebih unggul dari semua manusia, oleh karenanya mendapatkan
balak, mendapatkan balak dari Hyang Manon (Tuhan)

5. Kang sipat samar iku, Gatholoco tan rumasa luput, yen andulu ingkang bangsa
lair batin, kaelokaning Hyang Agung, karya lakon langkung elok.

Yang Bersifat Maha Samar, tapi Gatholoco tidak merasa salah, senantiasa
merasa benar akan segala pemahamannya tentang ilmu lahir dan bathin,
kebesaran Hyang Agung (Tuhan), membuat jalan hidup Gatholoco semakin
mengherankan.

6. Gatholoco andarung, lampahipun trus minggah gunung, Endragiri wastanira


ingkang wukir, sadaya santri ing gunung, binantah kawruhnya kawon.
Langkah Gatholoco semakin jauh, berjalan terus mendaki sebuah gunung,
Endragiri nama gunung tersebut, seluruh santri yang tinggal disana, berdebat
dengannya dan kalah.

7. Jjanggan para Wiku, Rsi Buyut Wasi lan Manguyu, den lurugi bantah kawruh
sarak ilmi, ingkang kawon den gguyu, Gatholoco asru moyok.
Jejanggan dan Para Wiku (Bhikku), Resi Buyut Wasi dan Manguyu, semua
didatangi diajak berbantah ilmu sejati, yang kalah ditertawakan, oleh Gatholoco
tanpa segan-segan lagi.

(Cantrik, Cethi, Cekel, Jejanggan, Buyut, Wasi, Manguyu dan Resi adalah istilah
tingkatan siswa dalam pendidikan spiritual di sebuah Padhepokan Jawa jaman
Kabuddhan/Shiwa Buddha. Kedudukan tertinggi adalah Resi atau Wiku/Bhikku.
Sekarang, sebutan Cantrik dipakai oleh Padhepokan Islam untuk menamai
siswa nya yang belajar, yaitu Santri. Sedangkan istilah Padhepokan sendiri
diubah menjadi Pe-Santri-an/Pesantren)

8. Solah tingkah kumlungkung, ngrengkel nakal rmn nyrekal digung, watak


edir ilmu sarak den pabni, mila saya camahipun, ya ta gnti winiraos.

Kelakuannya telah berlebihan, ulet nakal suka menyangkal diagungkan, terjerat


kesombongan semua aturan syariat dikritik, sehingga jatuhlah kesadarannya,
lantas kemudian diceritakan.

9. Ing Endragiri gunung, wontn endhang gentur tapanipun, apparab Rtna


Dewi Lupitwati, sadaya punggawanipun, samya estri maksih anom.
Tersebutlah di Gunung Endragiri, berdiam seorang wanita pertapa, bergelar
Retna Dewi Lupitwati (Lupit : barang untuk menjepit, Wati : wanita ~ barang
milik wanita yang fungsinya untuk menjepit), semua muridnya, terdiri dari gadisgadis belia.

10. Satunggal wastanipun, apparab Dewi Mlnuk Gmbuk, nama Dewi Dudul
Mndut kang satunggil, mrak ati dhasar ayu, cantrik kalih ugi wadon.

Yang seorang bernama, Dewi Mlenuk Gembuk (Mlenuk : Barang kecil yang
menonjol dan montok, Gembuk : empuk ~ barang kecil yang menonjol montok
dan empuk), yang lain bernama Dewi Dudul Mendut (Dudul : Disogok, Mendut :
Terayun ~ yang disogok bisa terayun-ayun), sangat cantik memikat hati,
keduanya perempuan semua.

11. Satunggal namanipun, akkasih Dewi Rara Bawuk, kang satunggal Dewi
Bleweh kang wwangi, grapyak sumeh kaduk cucut, neng ngarsa gusti tan adoh.
Yang lain bernama, Dewi Rara Bawuk (Rara : Gadis belia, Bawuk : Vagina ~
vagina gadis belia), dan yang lainnya bernama Dewi Bleweh (Bleweh : Berlobang
dan berlendir), semuanya sangat gembira dan rukun hidup bersama, saat itu
mereka tengah berada didekat gurunya.

12. Sang Rtna dhepokipun, yeku dhepok ing Cmarajamus, pratapane ing guwa
Seluman writ, angkr sinngkr barukut, botn smbarangan uwong.
Nama dari Padhepokan Sang Retna (Dewi Lupitwati), adalah Padepokan
Cemarajamus, tempat tapanya berada di gua siluman yang gelap, angker
rahasia dan tersembunyi, tidak sembarang manusia.

13. Bangkit uningen ngriku, yen tan antuk lilane Sang Ayu, dene lamun wus
kparng den ideni, kaiden ingkang amngku, sinome guwa katongton.
Boleh melihat tempat tersebut, jikalau tidak mendapatkan ijin Sang Ayu (Dewi
Lupitwati), namun bila sudah diijinkan, diperbolehkan oleh yang punya, sinomnya gua bisa dilihat. (Sinom ~ bisa berarti muda bisa berarti rambut tipis
dipelipis. Jika sebuah gua rahasia mempunyai sinom/rambut tipis, maka bisa
anda tebak sendiri apa maksudnya. Selain itu, menandakan pupuh selanjutnya
adalah pupuh Sinom. Beginilah sastra kuno Jawa, ambiguitas-nya sangat indah
sekali.)

PUPUH VIII

Sinom

1. Ingkang samnya neng asrama, Rtna Dewi Lupitwati, lagya sakeca ngandikan,
lawan cthi emban cantrik, kaget dupi umeksi, dhumatng wau kang rawuh,
sajuga janma priya, lnggah sandhing para estri, Mlnuk Gmbuk sigra nabda
attannya.
Yang tengah ada didalam asrama, Retna Dewi Lupitwati, tengah menikmati
perbincangan, dengan Cethi Emban dan Cantrik-nya (maksudnya semua
muridnya), terkejut semua begitu melihat, kepada seseorang yang tiba-tiba
datang, nyata seorang lelaki, langsung duduk didekat para wanita, Mlenuk
Gembuk segera bertanya.

2. Lah sira iku wong apa, wani malbeng Endragiri, rupamu ala tur kiwa,
pinangkanira ing ngndi, lan sapa kang wwangi, angakuwa mumpung durung,
cilaka siya-siya, apa tan kulak pawarti, lamun kene larangan katkan priya.

Kamu itu manusia apa? Berani masuk ke Endragiri tanpa permisi. Wajahmu jelek
dan buruk, darimanakah asalmu? Siapakah namamu? Jawablah sebelum, dirimu
sia-sia celaka, apakah tidak pernah mendengar kabar, jika tempat ini tempat
larangan bagi lelaki?

3. Gatholoco tansah nyawang, botn pisan amangsuli, mndongong kendl


kewala, lir bisu mung clumak-clumik, malah angiwi-iwi, lingak-linguk kukur-kukur,
dereng purun cantnan, nudingi mring cantrik estri, dangu-dangu sumaur
ngucap mangkana.

Gatholoco hanya terpaku melihat (wanita-wanita cantik tersebut), tak sepatah


katapun jawaban keluar dari mulutnya, termangu-mangu diam, bagai orang bisu
hanya bibirnya berdecak-decak kagum, lantas bukannya menjawab tapi malah
mencibir, duduk seenaknya dan menggaruk-garuk, tidak mau buka suara, namun
kemudian dia menunjuk kepada Mlenuk Gembuk, dan menjawab begini.

4. Sun iki janma utama, nyata yen lanang sajati, kkasih Barang Panglusan, lan
aran Barang Kinisik, ttlu jnng mami, ananging ingkang misuwur, manca pat
manca lima, tanapi manca nagari, Gatholoco puniku aran manira.

Aku ini manusia utama, nyata seorang lelaki sejati, namaku Barang Panglusan,
nama lainku Barang Kinisik, ada tiga namaku, yang sangat dikenal, diseluruh
empat penjuru mata angin bahkan lima penjuru mata angin, hingga ke
mancanegara, Gatholoco itu namaku.

5. Omahku ing tngah jagad, pinangkane saking wuri, nuruti sjaning karsa,
pramilane prapteng ngriki, prlu arsa pinangggih, marang sireku wong ayu, dhuh
mirah pujaningwang, lamun condhong sun rabeni, Mlnuk Gmbuk muringmuring asru sabda.
Rumahku dipusat semesta, aku datang dari belakang (tiba-tiba ada maksudnya
~ tidak ada yang menciptakan), menuruti kehendak, sehingga aku sampai juga
disini, perlu untuk bertemu, dengan dirimu duh cantik, duh berlian merah
pujaanku, jika mau aku nikahi dirimu, Mlenuk Gembuk marah-marah dan
berbicara keras.

6. Gumndhung si asu ala, lancang pangucap kumaki, dksura tindak smbrana,


adol bagus marang mami, ingsun tan pisan sudi, andlng marang dhapurmu,
bcik sira minggata, aja katon aneng ngriki, eman-eman panggonan den ambah
sira.

Gila kamu anjing jelek, lancang ucapanmu dan sombong, seenaknya dan
sembrono, menawarkan kebaikan kepadaku, diriku sekali-kali tak sudi, melihat
wujudmu, lebih baik minggatlah, jangan terlihat disini, sayang tempat seindah ini
kamu jejaki.

7. Wangsulane gmang lunga, malah sira mirah nuli, nurutana karsaningwang,


dhuh wong ayu sun rabeni, mangsuli manas ati, wuwuse saya dalurung, si anjing
kna sibat, tan kna ginawe becik, Mara age tutugna dak kpruk bata.

Gatholoco (menjawab) enggan pergi, malah jika mau, dirimu turutilah


kehendakku, duh cantik aku akan menikahimu, (Mlenuk Gembuk) menjawab
dengan kata-kata memanaskan hati, namun ucapaan (Gatholoco) semakin
keterlaluan, si anjing dicaci maki, karena tidak bisa diberi sopan santun,
Lanjutkan ucapanmu kalau ingin aku pukul dengan batu bata (kata Mlenuk
Gembuk)!

8. Gatholoco saurira, wideng galng (yuyu) dhuh maskwari, wong ayu bok aja
duka, kuwuk mangsa kolang-kaling (luwak), ron kang kinarya kikir (rmplas),
wlasana awakingsun, parikan jnang sela (apu), apurann sisip mami, jalak pita
(kapodhang) sun cadhang dadiya garwa.

Gatholoco menjawab (tapi dengan berpantun wangsalan ~ wangsalan adalah


pantun teka-teki kata khas Jawa), wideng (atau gangsing, yaitu mainan kuno
berbentuk bulat dan dimainkan dengan dihentakkan ditanah hingga berputar)
yang ada di selokan sawah (binatang YUYU) duh intan adikku, wong a-YU
(cantik) janganlah marah, kuwuk (kerang laut) yang suka makan buah kolangkaling (binatang LUWAK), daun yang dibuat untuk menghaluskan sesuatu
(REMPELAS), we-LAS- ana (kasihanilah) a-WAK ingsun (diriku ini), tersebutlah
bubur dari batu (APU ~ Kapur Sirih), APU-ranen (maafkanlah) kelancanganku,
burung Jalak berwarna kuning (burung KEPODHANG) aku ca-DHANG (harap)
berkenanlah menjadi istriku.

9. Baita kandhg samudra (labuh), lara wirang sun labuhi, terong alit
dhdhompolan (ranti), bok iya nganti sawarsi, bibis kulineng tasik (undur-undur),
saykti tan nja mundur, isih cuwa atiku pan durung lga.

Perahu berhenti diatas samudera (ber-LABUH), walaupun harus malu aku


LABUH-i (Jalani), buah terong kecil bergerombol (buah RANTI), walaupun nganTI (hingga) setahun, burung bibis yang suka bermain dipasir (binatang UNDURUNDUR), sungguh-sungguh aku tak akan mun-DUR, masih akan kecewa hatiku
dan belum akan lega (jika belum terlaksana keinginanku).

10. Lan maneh ngong ngrungu warta, gustimu Sang Lupitwati, misuwur lamun
waskitha, pintr mring sabarang ilmi, tan ana kang ngungkuli, sarta wus
jumnng Wiku, lamun kapara nyata, manira arsa nandhingi, bantah kawruh
sakarsane ilmu apa.

Dan lagi aku mendengar kabar berita, gusti-mu Sang Lupitwati, sangat terkenal
waskitha, menguasai segala ilmu, tak ada yang mampu mengunggulinya, serta
sudah mencapai taraf Wiku/Bhikku, jika memang benar demikian, aku hendak
menandingi, mengajak debat ilmu sejati sekehendak dia ilmu yang mana.

11. Mlnuk Gmbuk saurira, Badhenn cangkriman mami, lan soale


gustiningwang, Rtna Dewi Lupitwati, soale mban cantrik, yen sira ngrti
sadarum, najan rupamu ala, gustiku Sang Lupitwati, apa dene para cthi
cantrikira.

Mlenuk Gembuk menjawab, Tebaklah teka-tekiku, serta teka-teki gustiku, Retna


Dewi Lupitwati, serta teka-teki seluruh emban dan cantrik beliau, jika dirimu
mampu menjawab, walau buruk rupamu, gustiku Sang Lupitwati, berikut seluruh
cethi dan cantrik beliau.

12. Msthine nurut kewala, kabeh glm anglakoni, Gatholoco alon mojar, Apa
tmn tan nyidrani, upamane ngapusi, apa sira wani tanggung, yen sira ora
dora, sun jawabe ing samangkin, lah ucapna cangkrimane kaya apa.
Pasti akan menuruti kehendakmu, semua akan mau menjalani sebagai istrimu,
Gatholoco pelan berkata, Benarkah tidak ingkar janji? Jika nanti ingkar, apakah
kamu mau bertangggung jawab? Jika kamu tidak berbohong, akan aku jawab
segera semua teka-teki kalian, segera ucapkanlah teka-tekinya seperti apa.

13. Mlnuk Gmbuk alon mojar, Ana wit agung siji, pang papat godhonge rolas,
kmbange tanpa winilis, wohe amung kkalih, mung sawiji trubusipun, mubng
wolu pangira, puniku ingkang sawiji, pan ana dene ingkang salah satunggal.

Mlenuk Gembuk pelan berkata, Tersebutlah sebuah pohon besar, berdahan


empat dan berdaun dua belas, bunganya tak terhitung, buahnya hanya dua biji,
hanya satu akarnya, tapi tumbuh bercabang delapan, itu teka-teki pertama,
sedangkan teka-teki lainnya adalah.

14. Ingsun ningali maesa, kathahe amung kkalih, nanging tlu sirahira,
badhenn cangkriman kuwi, Gatholoco miyarsi, reka-reka tan sumurup,
malenggong palingukan, kcap-kcap kthip-kthip, Mlnuk Gmbuk gumujng
alatah-latah.

Aku melihat kerbau, berjumlah dua ekor, akan tetapi mempunyai kepala tiga
buah, jawablah teka-teki ini, Gatholoco mendengarkan, pura-pura tidak paham,
terbengong-bengong celingukan, bibirnya komat-kamit dan matanya ketap-ketip,
Mlenuk Gembuk tertawa terbahak-bahak.

15. Kowe maneh yen bisaa, ambatang cangkriman iki, dhapurmu ala tur kiwa,
Gatholoco anauri, Mngko dhisik pinikir, supaya bisa katmu, mara padha
rungokna, wong kabeh aneng ngriki, sun badhene bnr luput saksenana.

Mana mungkin kamu bisa memahami, bahkan menjawab teka-teki ini, rupamu
buruk dan cacat, Gatholoco berkata, Sabar aku tengah berfikir, agar menemukan
jawabannya, sekarang dengarkanlah, semua yang ada disini, aku akan menebak
teka-teki itu salah maupun benar saksikanlah.

16. Ananging kalamun salah, aja padha ngisin-isin, bismillah mbadhe


cangkriman, cangkrimane wong mrak ati, wit agung mung sawiji, iku jagad
tgsipun, pang papat iku keblat, godhong rolas iku sasi, trubus siji pang wolu
iku warsa.

Jika nanti salah, jangan mengolok-olok, bismillah hendak menjawab teka-teki,


teka-teki dari manusia yang memikat hati, sebatang pohon besar, itu lambang
dari dunia, dahan empat itu lambang dari arah mata angin, daun dua belas itu
lambang bulan, akar satu bercabang delapan lambang tahun (tahun hakekatnya
terulang satu kali, tapi dinamakan berbeda-beda setiap tahun hingga berjumlah
delapan tahun yang disebut satu windu ~ tahun alip, ehe, jimawal, je, dal, be ,
wawu, jimakir ~ lantas berputar ke tahun alip lagi)

17. Kmbang tanpa wilang lintang, minangka woh loro kuwi, anane surya
rmbulan, lan maneh ingkang sawiji, sira niku ningali, kbo loro ndhase tlu, iku
wus dadi lumrah, kbo alam dunya iki, lanang wadon ktl wulu sirahira.

Bunga yang tak terhitung adalah lambang bintang, sedangkan buahnya hanya
dua itu tak lain adalah matahari dan rembulan, sedangkan teka-teki satunya lagi,
kamu melihat kerbau, dua ekor berkepala tiga, itu sudah lumrah didunia, kerbau
yang ada di dunia ini, kepala ketiga adalah kepala yang juga ditumbuhi bulu.
(jika dua ekor kerbau jantan dan betina ada dalam satu tempat, maka kepala
mereka jika dihitung ada tiga, yang satunya adalah kepala penis kerbau jantan
yang ditumbuhi bulu).

18. Gatholoco alon ngucap, Apa bnr apa sisip, mangkono pambatangingwang,
mring cangkriman iki, Mlnuk Gmbuk miyarsi, wus kabatang soalipun, rumasa
yen kasoran, sedhot mundur sarwi nglirik, alon ngucap saiki narima kalah.

Gatholoco pelan berkata, Apakah benar atau salah, begitulah jawabanku, untuk
menjawab teka-teki ini, Mlenuk Gembuk mendengar, sudah terjawab tekatekinya, merasa terkalahkan, seketika mundur sembari melirik, dan berkata
sekarang mengaku kalah.

19. Dudul Mndut sigra mapan, mesam-mesm angesmi, wus ayun-ayunan


lnggah, Gatholoco nulya angling, Soal apa sireki, sun badhene cangkrimanmu,
Dudul Mndut angucap, Mangkene cangkriman mami, mara age badhenn
ingkang pratela.

Dudul Mendut segera maju, tersenyum-senyum memikat, sudah berhadaphadapan dengan Gatholoco, Gatholoco lantas berkata, Teka-teki apa darimu,
akan aku jawab juga, Dudul Mendut berkata, Beginilah teka-teki dariku, segera
tebaklah dengan benar.

20. Ing ngndi prnahe Iman, ing ngndi prnahe Buddhi, ing ngndi prnahe
Kuwat, apa Kang Luwih Pait, lan Ingkang Luwih Manis, Luwih Atos saking watu,
apa kang Luwih Jmbar ngungkuli jmbaring bumi, apa ingkang Luwih Dhuwur
saking wiyat.

Dimanakah kedudukan Iman? Dimanakah kedudukan Buddhi? Dimanakah


kedudukan Kuat? Apa yang Lebih Pahit dari semua yang pahit? Apa yang Lebih
Manis dari semua yang manis? Apa yang Lebih Keras dari batu? Apa yang Lebih
Luas melebihi luasnya bumi? Dan Lebih Tinggi dari langit?

21. Apa ingkang Luwih Panas, ngungkuli panasing gni, Luwih Adhm saking
toya, Luwih Ptng saking wngi, ndi aran Ningali, lan ndi Kang Luwih Dhuwur,
ndi Kang Luwih Andhap, apa ingkang Luwih Glis, akeh ndi Wong Gsang karo
Wong Pjah.

Apa yang Lebih Panas, melebihi panasnya api? Yang Lebih Dingin dari air? Lebih
gelap dari malam? Mana yang Melihat? Dan mana Yang Lebih Tinggi? Dan mana
Yang Lebih Rendah? Apa yang Lebih Cepat? Banyak mana manusia Hidup dan
manusia Mati?

22. Wong Sugih lawan Wong Nistha, Wong Jalu lawan Wong Estri, Wong Kapir
lawan Wong Islam, mara badhenn saiki, Gatholoco nauri, Prnahe Iman puniku,
aneng Jantung nggonira, ing Utk prnahe Buddhi, Otot Balung prnah
panggonane Kuwat.

(Banyak mana) yang Kaya dan yang Miskin, yang Laki-laki dan yang Wanita,
yang Kafir dan yang Islam, segera jawablah sekarang. Gatholoco menjawab,
Kedudukan Iman (Keyakinan) ada di Jantung, di Otak kedudukan Buddhi, Otot
dan Tulang tempat kedudukan Kekuatan.

23. Prnahe Wirang ing Mata, Ing Dunya Kang Luwih Pait, batine wong malarat,
dene Ingkang Luwih Manis, batine wong kang sugih, lamun Wong Kang Luwih
Lumuh, Kang Blilu tan wruh Sastra, ingkang aran Aningali, iku Janma Ingkang
Wruh Ilmuning Allah.

Tempat Malu ada di Mata, tempat yang Lebih Pahit adalah di Dunia, menurut
mereka yang melarat, sedangkan yang Lebih Manis, menurut mereka yang kaya,
yang Lebih Bebal, adalah mereka yang bodoh tak memahami sastra suci, yang
disebut Melihat, adalah manusia yang memahami ilmu Allah.

24. Ing ngndi Kang Luwih Prak, Ing Dunya Kang Luwih Glis, ingkang Luwih
Bungahira, iku Marmaning Hyang Widdhi, kang Amba Luwih bumi, ykti
Pandlng puniku, Landhp Luwih Kang braja, iku Nalare Wong Lantip, Ingkang
Adhm Luwih toya Ati Sabar.

Dimanakan yang Lebih Dekat (kebahagiaan dan kesengsaraan ~ dualitas), di


dunia ini juga yang Lebih Cepat, yang Lebih Bergembira (dan yang Lebih
Sengsara), itu semua kehendak Hyang Widdhi, yang Luas melebihi bumi, adalah
Penglihatan ini, yang Tajam melebihi besi, adalah Kesadaran manusia yang
sudah terjaga, yang Dingin melebihi air adalah Hati yang Sabar.

25. Luwih Atos saking sela, Atine Wong Dhangkal pikir, Atine Wong Kang
Brangasan, Panase Ngungkuli gni, Wong Jalu lan Wong Estri, ykti akeh
Wadonipun, sanajan wujud lanang, tan wruh tegese estri, kna uga sinbut
sasat wanita.

Lebih Keras dari batu, adalah Hati manusia yang Kesadarannya sempit, Hati
manusia yang penuh keinginan, panasnya melebihi Panas Api, Laki-laki dan
Wanita, jelas banyak Wanita-nya, walau berwujud laki-laki, jika tidak memahami
makna wanita sejati, bisa disebut juga wanita.

26. Wong Urip lan Wong Palastra, tmne akeh kang Mati, sanajan wujude
Gsang, kalamun wong tanpa Buddhi, iku prasasat Mati, Wong Sugih lan Wong
Nistheku, msti akeh kang Nistha, sanajan Sugih mas picis, lamun bodho tanpa
Buddhi tanpa nalar.

Yang Hidup dan yang Mati, sungguh lebih banyak yang Mati, walau terlihat hidup,
namun jika tanpa Buddhi (Kesadaran), sungguh dia Mati, yang Kaya dan yang
Melarat, banyak yang Melarat, walau kaya harta benda, manakala bodoh tanpa
Kesadaran dan tanpa kecerdasan.

27. Kna sinbut Wong Nistha, tan duwe pakarti benjing, kalamun ing
rahmatullah, Wong Islam lawan Wong Kapir, Islam Kapir mung lair, yen tan ana
anggitipun, mnawa datan wikan, pranatanira Agami, ttp Kapir yktine janma
punika.

Bisa disebut manusia Melarat, tidak memiliki aktifitas lebih, untuk memahami
kasih Allah, yang Islam dan yang Kafir, Islam dan Kafir hanya bisa dibedakan,
manakala tidak mampu membangun Kesadaran, manakala tidak memahami,
intisari Agama, tetap Kafir manusia yang seperti itu.

28. Wong iku nyata pintran, tan kna den mjanani, Dudul Mndut mundur
sigra, sarwi awacana aris, Wus bnr ora sisip, saikine ingsun tluk, Rara Bawuk
gya mapan, mangkana denira angling, Ndika-bdhek Gus Nganten cangkriman
kula.

Orang ini memang pintar, tak bisa dikalahkan, Dudul Mendut segera undur,
sembari berkata pelan, Benar jawabanmu, sekarang aku mengaku kalah, Rara
Bawuk segera maju, begini katanya, Sekarang tebaklah teka-tekiku manusia
Bagus.

41. Gatholoco sukeng galih, angandika mring sakabat, Sanak-sanakingsun


kabeh, yen sira arsa raharja, poma-poma elinga, aywa tiru lir gurumu, anggpe
sawnang-wnang.

Gatholoco gembira dalam hati, berkata kepada seluruh sahabat (murid), Wahai
saudaraku semua, apabila dirimu ingin mendapat ketentraman, ingat-ingatlah
kata-kataku, jangan meniru tingkah laku gurumu (Kyai Hassan Bashori),
sewenang-wenang kepada sesama.

42. Kang mangkono ora bcik, ngina-ina mring sasama, umat iku padha bae,
pintr bodho bcik ala, bja lawan cilaka, wong kuli tani priyantun, lanang wadon
ora beda.

Tingkah yang demikian tidaklah patut, menghina sesama manusia, seluruh umat
itu sama, pintar bodoh tampan buruk, yang beruntung dan yang sengsara, kuli
petani priyayi (bangsawan), lelaki maupun perempuan tiada beda.

43. Wus pinsthi mring Hyang Widdhi, tan kna ingowahana, papsthene dhewedhewe, mulane bcik narima, aywa katungkul sira, urip iku bakal lampus, aneng
dunya ngelingana.

Sudah menjadi ketetapan Hyang Widdhi, tak bisa dirubah, takdir dari setiap
makhluk, oleh karenanya terimalah, jangan terus merasa tidak puas, hidup ini
pasti bakal mati, hidup didunia selalu ingat.

44. Aja jubriya lan kibir, sumngah nggunggung sarira, open dahwen panastene,
karm dora pitnahan, jail silib melikan, angapusi agal alus, anggluweh dhmn
sikara.

Jangan Jubriya (Riya : Suka pamer) dan Kibir (Takabbur : Sombong), senantiasa
menganggap diri yang paling unggul, suka mencampuri urusan orang suka sirik
dan gampang tersinggung, suka berbohong dan memfitnah, jahil suka selintutan

dan gampang mengingini milik orang lain, suka menipu baik secara kasar
maupun halus, seenaknya dan suka bertengkar.

45. Aja pisan ladak dir, watak angkuh nguja hawa, aja warg mangan sare,
nglakonana sawatara, ingkang sabar tawakal, ingkang sumeh aja nepsu, ngajeni
marang sasama.

Jangan sesekali berlebihan, angkuh dan suka menuruti keinginan badani, jangan
suka banyak makan dan banyak tidur, jalanilah secukupnya, sabarlah dan
tawakallah, yang ramah dan jangan jadi pemarah, hargailah sesama manusia.

46. Aja sira gawe srik, aja sira gawe gla, aja gawe wdi kaget, iku aran najis
karam, nyandhang mangan ingkang sah, iku lakune wong ilmu, tan kna kanthi
smbrana.

Jangan membuat sakit hati sesame, jangan membuat kecewa sesame, jangan
suka menakut-nakuti dan mengagetkan sesame, semua itu najis dan haram yang
sesungguhnya! Itulah sesungguhnya yang disebut memakai pakaian dan
memakan makanan sah (halal), dan itu pula jalan yang harus ditempuh oleh
pelaku spiritual, tidak bisa dibuat sembarangan.

PUPUH VI

Kinanti

1. Kudu ingkang nrimeng pandum, sumarah karsaning Widdhi, manusa darma


kewala, saikine sun takoni, apa mantp trusing driya, ngaku bapa marang mami.

Harus menerima kepada ketentuan hidup (karma yang kita terima), pasrah
kepada Hyang Widdhi, manusia sekedar menjalani, sekarang aku hendak
bertanya, apakah kalian benar-benar telah mantap lahir batin, mengakui aku
sebagai bapa kalian?

2. Lamun sira wus tuwajuh, gugunn pitutur iki, nanging sira aja samar, tan kna
maido ilmi, yen maido kna cndhak, uripe kamulyanneki.

Jika memang telah mantap lahir batin, ikutilah nasehatku ini, akan tetapi
janganlah gampang meremehkan ilmu orang, jika gampang meremehkan ilmu
orang maka akan mendapat kesempitan, sempit kemuliaan diri.

3. Kabeh sira anakingsun, badhenn pasemon iki, Lamun bngi ana apa, Yen
awan ingkang ngbki, Apa ingkang ora nana, Satuhune iya ndi.

Semua anak-anakku, jawablah perlambang yang aku uraikan ini, Ada apakah
ditengah keheningan malam? Apakah yang meliputi terangnya siang hari?
Apakah sesuatu yang tidak ada itu ? Sesungguhnya dimanakah (yang ada
ditengah keheningan malam, yang meliputi terangnya siang dan yang tidak
ada tersebut?)

4. Doh tanpa wangn iku, Cdhak tan senggolan iki, Yen adoh katon gumawang,
Yen cdhak datan kaeksi, Lamun isi ana apa, Yen suwung luwih mratani.

Sangatlah jauh tanpa batasan pasti, Sangatlah dekat namun tak bersentuhan,
Jikalau jauh terlihat berpendar, Jikalau dekat tiada terlihat, Jika diumpamakan
sebuah isi sesuatu apakah itu? Jika diumpamakan kosong lebih dari
kekosongan dan meliputi semuanya.

5. Lmbut tan kna jinumput, Agal tan kna tinapsir, Ingkang amba langkung
rupak, Kang ciyut wiyar nglangkungi, Bumbung wungwang isi apa, Sapa neng
ngarpmu kuwi.

Sangat halus hingga tak bisa dijumput (dijumput ~ diambil dengan dua jari
dengan sangat hati-hati karena sangat kecilnya), Sangat nyata tapi tak bisa
dinyatakan, Sangat lebar namun juga sempit, Sangat sempit tapi lebarnya
melebihi semua yang lebar, Sitengah bilah bambu apa isi-nya? Bahkan
dihadapanmu sekarang (siapakah Dia?)

6. Yen lanang tan nduwe jalu, Yen wadon tan duwe blik, Iya kene iya kana, Iya
ngarp iya buri, Iya kering iya kanan, Iya ngandhap iya nginggil.

Jika lelaki tapi tak memililiki kelamin laki-laki, Jika perempuan tak memiliki
kelamin perempuan, Ada disini dan ada disana, Ada di depan juga ada
dibelakang, Ada dikiri juga ada dikanan, Ada di bawah juga ada diatas.

7. Baitane ngmot laut, Kuda ngrap pandhgan nnggih, Tapaking kuntul


ngalayang, Pambarp adhine ragil, si Wlut ngleng ing parang, Kodhok ngmuli
lengneki.

Perahu memuat seluruh samudera, Kuda berlari kencang ditempat


pemberhentiannya (banyak yang salah tulis dalam setiap primbon ungkapan ini,
yaitu KUDA NGRAP ING PANDNGAN, padahal yang benar KUDA NGRAP ING
PANDHGAN (Kuda berlari kencang ditempat pemberhentiannya/kandangnya.
PANDHGAN ~ TEMPAT BERHENTI = GDHOGAN), Jejaknya burung bangau yang
tengah terbang melayang, Yang sulung juga yang bungsu, Belut mempunyai
rumah didalam batu cadas, Katak menyelimuti rumahnya sendiri.

8. Wong bisu asru calathu, Jago kluruk jro ndogneki, Wong picak amilang lintang,
Wong cebol anggayuh langit, Wong lumpuh ngidri jagad, Aneng ngndi susuh
angin.

Orang bisu tapi keras suaranya, Ayam jago berkokok didalam telurnya, Manusia
buta menghitung bintang dilangit, Manusia cebol menggapai langit, Manusia
lumpuh berkeliling dunia, Dimanakah kediaman angin?

9. Aneng ngndi wohing banyu, Myang atine kangkung kuwi, Golek gni nggawa
diyan, wong ngangsu pikulan warih, Kampuh putih tumpal pthak, Kampuh irng
tumpal langking.

Dimanakah inti air, Dimanakah pusatnya tumbuhan kangkung, Mencari api


membawa pelita, Mencari air memikul air, Kemben putih tertutup warna putih,
Kemben hitam tertutup warna hitam.

10. Tumbar isi tompo iku, Randhu alas angrambati, mring uwit smbukan ika,
Sagara kang tanpa tpi, Rambut irng dadi pthak, ingkang pthak saking
ngndi.

Biji ketumbar berisi wadhahnya, Pohon randhu hutan merambat, kepada


tumbuhan simbukan (simbukan adalah jenis tumbuhan rambat, tapi malah
dirambati pohon randhu hutan), Lautan yang tak bertepi, Rambut hitam berubah
putih, warna putih darimana datangnya?

11. Irnge mring ngndi iku, Kalawan kang diyan mati, urube mring ngndi ika,
golekana kang pinanggih, yen tan wruh siya-siya, durung sampurna kang ilmi.

Dan kemanakah hilangnya warna hitam tadi? Dan lagi jika pelita padam,
kemanakah perginya nyala api? Carilah hingga ketemu, manakala tidak bisa
mengetahui akan sia-sia, tidak sempurna ilmu kalian.

12. Ingkang sarah munggeng laut, gagak kuntul saba sami, duk mencok si kuntul
ika, si gagak ana ing ngndi, gagak iku nulya tka, si kuntul mibr mring ngndi.
Benda padat memenuhi samudera, burung gagak dan burung bangau ikut
datang, manakala bangau bertengger diatas benda padat, burung gagak tiada
kelihatan, manakala burung gagak yang datang, burung bangau terbang
kemana? (Benda padat ~ Jasad materi. Samudera ~ Dunia materi. Burung gagak
~ Suksma Sariira/Nafs. Burung Bangau ~ Atma Sariira/Ruh)

13. Prayoga kudu sumurup, kabeh sira anak mami, pralambang iku rasakna,
kang katmu padha jati, sajatining rasa ika, rasa jroning jalanidi.
Oleh karenanya harus bisa memahami, wahai kalian semua anak-anakku,
seluruh perlambang ilmu sejati ini renungkanlah, jika bisa memahami akan
menemukan kesejatian, sejatinya rasa, rasa sejati didalam samudera (hidup).

14. Sasmitann ingkang wimbuh, kawruhana ucap iki, kalawan pangrungunira,


sarta paningalmu ugi, tan ana ucap dwi ika, dadi solah tingkahneki.
Segala rahasia akan cepat tersingkapkan, benar-benar perhatikan ucapanku ini,
dengan sepenuh pendengaran, serta sepenuh penglihatan kamu, tiada lagi
kebenaran kedua yang menjadi sifatnya (sifat kebenaran sejati itu tunggal, tak
mendua).

15. Ora sak tan srik iku, tan tsbehmu Dzatullahi, kang krasa yen datan
mangan, den krasa yen minum nnggih, smbahyanga den karasa, den krasa
Dzatullah kuwi.
Jangan ragu jangan bimbang, bahkan pujianmu itu Dzatullah, rasakan benarbenar saat kamu tengah kelaparan (tak makan ~ ditengah penderitaan), juga
rasakan benar-benar saat kamu meminum air (saat gembira), ditengah
bersembahyang-pun rasakanlah, rasakanlah bahwa semua ini Perwujudan
Dzatullah!

16. Kang wus sawural Allahu, iku aran Salat Daim, ana maneh ingaranan,
Martabate Kasdu kuwi, lawan Takrul Takyin ika, mangrtine Kasdu kuwi.

Yang sudah mampu melihat semua ini adalah Allah, itu yang dinamakan Sholat
Daim (Daiman ~ Abadi/Tak terputus/Tak terbatas oleh waktu), ada lagi yang
disebut martabat/uraian/tingkatan tentang Kasdu, dan Takrul serta Takyin, yang
disebut Kasdu adalah.

17. Pikarpe niyat iku, ciptane ingkang dumadi, dene Takrul tgsira,
pamkasing niyat nnggih, dumadine panggraita, mangrteni ingkang Takyin.
Maksud/fokus dari niyat, kesadaran yang menjadi pegangan, sedangkan Takrul
artinya, akhir dari niyat tersebut, tercapainya kesadaran sejati, sedangkan
Takyin.

18. Iku nyata yen satuhu, wasesane niyat kuwi, dumadine ingkang cipta, cthane
iku saykti, ingkang Kasdu kuwi Iman, ingkang Takrul iku Tohid.

Sungguh-sungguh melihat bukti, kuasa dari niyat, tercapainya puncak


kesadaran, sesungguhnya, yang disebut Kasdu adalah Iman (Keyakinan), yang
disebut Takrul adalah Tokid (Tauhid ~ Kesatuan Tunggal).

19. Kang Takyin Makrifat iku, kang Iman yen ana kuwi, ing niyat ingkang
gumlethak, ykti iku ora serik, tansah ningali ing Allah, kang Tohid nnge myang
osik.

Yang disebut Takyin adalah Marifat (Menyaksikan Kesejatian), iman yang ada,
harus dibuat niyat penuh kepasrahan, hilangkan segala kebimbangan, hanya
melihat kepada Allah semata, Tauhid adalah menyadari Kesatuan gerak dan diam
(makhluk dengan gerak dan diam Tuhan).

20. Gletheke paningal iku, pamyarsa pangucapneki, nyata angn-angnira,


ingkang ngglethakakn Widdhi, myarsa ngucapkn psthinya, Allah tangala
ngimbuhi.
Menyadari dengan penuh kesadaran bahwa semua penglihatan ini, pendengaran
ini berikut pengucapan ini, serta seluruh gerak pikiran-pikiran ini, semua adalah
perwujudan Hyang Widdhi, mendengar hingga berkata, Allah yang
menggerakkannya.

21. Dadi aja sak srik iku, tingalira mring Hyang Widdhi, ana dene kang Makrifat,
iku nnge lawan mosik, annggih paningalira, pangrungu pangucapneki.
Jangan ragu-ragu lagi, fokuskan kesadaran bahwa semua ini adalah Hyang
Widdhi, sedangkan Marifat, diam serta gerak kalian, penglihatan, pendengaran
pengucapan.

22. Dadi lan ing dhewekipun, tgse iku saykti, Bila tsbeh lire ika, tan loro
kahanan-neki, apan mung Allah kewala, ingkang mosik mnng kuwi.
Wujud dan kepribadian kalian, sesungguhnya nyata adalah, Bila tesbeh (billa
tasbih : tak ada yang dipuji lagi), sesunguhnya tak ada dua, hanya Allah saja,
yang diam dan bergerak ini.

23. Pamiyarsa lan pandulu, nyatane kahanan iki, poma aja srik lan sak, sasmita
sariraneki, kang den ucap ingkang ngucap, tan liya Kang Maha Suci.

(Berikut) pendengaran dan penglihatan kita semua, sangat nyata keadaann ini
semua (adalah perwujudan Allah semata)! Jangan ragu dan bimbang lagi, akan
rahasia dirimu, apa yang kamu ucapkan dan yang mengucapkan, tak lain adalah
Yang Maha Suci itu sendiri!

24. Kudu ingkang awas emut, ora nana liya maning, lamun sira tinakonan, apa
pangajape Widdhi, mangkene wangsulanira, Pangawruhingsun mring Widdhi.

Senantiasa waspada dan ingat dalam kesadaran, bahwasanya tiada lain lagi
(semua ini kecuali Allah). Apabila kamu ditanya Apa yang Hyang Widdhi
kehendaki darimu? Jawablah, Menyadari Hyang Widdhi itu sendiri.

25. Kawimbuhan ilmunipun, Pangeran Kang Maha Suci, ana maneh soalira, apa
ingkang den arani, sakcap sarta satindhak, mnng mung sagokan kuwi.

Sehingga tercurahkan ilmu, (Kesejatian akan hakikat) Tuhan Yang Maha Suci, ada
lagi pertanyaan, siapakah yang, Mengucap dan Melangkah, Berdiam dan
Bergerak ini semua?

26. Nulya saurana gupuh, ujar sakcap puniki, kang ngucap nnggih Hyang
Suksma, kang mlaku satindhak Widdhi, kang mnng sagokan ika, ingkang wus
angel nggoleki.

Jawablah, Yang Mengucap, adalah Hyang Suksma (Tuhan), yang Melangkah


adalah Hyang Widdhi (Tuhan), yang Berdiam dan Bergerak, adalah Dia Yang Sulit
Dicari.

27. Hyang Suksma ya dhirinipun, sarta lamun den takoni, pira Martabating
Tingal, saurana tri prakawis, Tasnip ingkang kaping pisan, Insan Kamil kaping
kalih.

Tak lain adalah Hyang Suksma sendiri, manakala ditanya, berapakah


Martabat/tingkatan/uraian Penglihatan (Ruh)? Jawablah tiga perkara, Tasnip
(Tasnif : Penilaian) yang pertama, Insan Kamil (Insanulkamil : Manusia Sempurna)
yang kedua.

28. Kadil Kapri kaping tlu, Tasnip: Idhp tgsneki, Insan Kamil: Kang Sampurna,
iku kaya Roh Ilapi, utawa Tasnip smunya, tingal luluh sampurnaning.

Kadil Kapri (Khadil : Mengecewakan, Qafri : Gurun, gurun yang


mengecewakan~maksudnya penglihatan yang palsu) yang ketiga, Tasnip (Tasnif)
artinya Idhep (Penilaian Kesadaran untuk melihat), Insan Kamil adalah
(penglihatan) Yang Sempurna, sudah menjadi Ruh ilapi (Ruh Idhofi : Ruh
penambah kesempurnaan), atau Tasnip maksudnya, penglihatan telah luluh
sempurna (kepada Yang Dilihat).

29. Wahyu iku tgsipun, ingkang paningale sidik, iku ttp wahyunira,
pramilane samya wajib, den wninga prabedanya, anggenira aningali.
(Mendapat) wahyu (penglihatan sejati) maksudnya, bagi mereka yang
penglihatan Ruh-nya jernih, maka disebut tetap mendapatkan wahyu, oleh
karenanya wajib bagi kalian, mengetahui perbedaan (penglihatan Ruh diatas),
disaat kalian hendak melihat Kesejatian.

30. Mring Nabi Wali Mukminu, Nabi ttp tingalneki, dene para mundur ika, ing
tingale Wali Mukmin, pira Martabating Lampah, wangsulana dwi prakawis.

Perbedaan (penglihatan) Nabi Wali maupun Para Mukmin, bagi yang sudah
mencapai tingkat ke-Nabi-an akan stabil penglihatannya, sedangkan dibawah
tingkatan itu masih labil, yaitu penglihatan Wali dan Mukmin, berapakah

martabat/tingkatan/uraian dari Lelaku (Riyadloh/Sadhana/Pencarian spiritualitas)


itu? Jawablah ada dua perkara.

31. Dhingin kaya gni iku, kaping kalih kaya angin, smune kang kaya brama,
pnt panase pribadi, tgse sira mrih enggal, panrima kasuwen dening.

Yang pertama bagaikan api, yang kedua bagaikan angin, yang dimaksud
bagaikan api, mencari inti panasnya diri pribadi (berjuang membasmi panasnya
kegelapan batin), dengan cara tersebut akan membuat diri kalian cepat,
mencapai tingkat kepasrahan.

32. Ingkang angin tgsipun, pnt tan kna pinurih, tgse wus ora pisan,
susah angulati malih, pira Martabating Badan, saurana tri prakawis.

Bagaikan angin maksudnya mencari sesuatu yang Tak dapat dicari, dimana
Yang tak tak dapat dicari tersebut sesungguhnya sekali-sekali, tidak perlu dicari
jauh-jauh, berapakah martabat/tingkatan/uraian tentang Badan?

33. Wondene ingkang rumuhun, kaya tanggal ping Pat nnggih, ping dwi kaya
tanggal Sanga, tanggal ping Patbelas ping tri, tgse tanggal kaping Pat, tulis lair
tulis batin.

Yang pertama-tama, bagaikan bulan muncul ditanggal Empat (memakai


perhitungan sonar system), yang kedua bagaikan bulan muncul ditanggal
Sembilan, yang ketiga bagaikan bulan yang muncul ditanggal Empat belas,
maksud bagaikan bulan tanggal empat ( tangal empat jawa atau perhitungan
kalender menggunakan sonar system, bulan tidak akan kelihatan) berarti lahir
batin masih nampak tersirat (masih benar-benar tenggelam pada material dunia,
masih diliputi kegelapan illusi)

34. Kaya tanggal Sanga iku, luluh sirna tgsneki, kahananira Pangeran, tanggal
ping Patbelas kuwi, dene sasjane sama, kaya Kang Ndadekkn nnggih.

Yang dimaksud bagaikan tanggal Sembilan (tanggal Sembilan jawa atau


menggunakan perhitungan kalender sonar system, bulan mulai muncul walau
berbentuk sabit), yang material mulai luluh dan sirna oleh karena, keberadaan
Tuhan (mulai nyata), bagaikan tanggal Empat belas (tanggal Empat belas jawa
atau menggunakan perhitungan kalender sonar system), seluruh kehendak telah
sama, manunggal sama dengan Yang Menciptakan Alam! (Illusi telah tersingkap,
bagaikan Bulan Purnama. Tuhan telah mewujud nyata!)

35. Wus tumka wangnipun, tkane kawula kuwi, ora nja yen dadiya, dadi
Gusti kang saykti, nanging ykti dadi uga, pira Martabat Pamanggih.
Sudah mencapai tingkatan tertinggi, keberadaan Kawula (hamba), tak disengaja
telah menjadi, keberadaan Gusti Yang Sejati, dan benar-benar terjadi, berapakah
martabat/tingkatan/uraian dari Etika Tingkah Laku.

36. Saurana lima iku, kang dhingin Klthking ati, ingkang kaping kalihira,
Katpking lampah nnggih, Panjriting tangis ping tiga, Kthuk nutu ping pat
nnggih.

Jawablah terdiri dari lima perkara, yang pertama bagaikan Kegelapan hati, yang
kedua bagaikan Suara langkah kaki, yang ketiga bagaikan Jerit tangis, yang
keempat bagaikan Suara ketukan orang menumbuk padi (jaman dahulu untuk
memisahkan padi dengan kulitnya, harus ditumbuk disebuah tempat yang
namanya Lesung. Menumbuk padi dalam istilah orang Jawa disebut Nutu. Disaat
aktifitas menumbuk padi ini, suara ketukannya akan terdengar indah berirama.
Apalagi jika yang melakukan aktifitas lebih dari satu orang. Suara yang terdengar
sangat khas. Suara ketukan menumbuk padi ini dikenal dengan sebutan gamelan
Lesung.)

37. Cleret Ngantih ping limeku, dene Panjriting wong nangis, lawan Klthking
wardaya, myang Tpking wong lumaris, tuhune iku pangucap, martanipun akir
kadi.
Dan bagaikan Pelangi yang kelima, maksud dari Jerit tangis, dan juga Kekotoran
hati, serta Suara langkah kaki, sesungguhnya adalah lambang dari kegelisahan
batin yang tak terucapkan, jika mampu menyadari hal ini maka pada akhirnya.

38. Kaya Kapilaku iku, ing tekade kang wus tampi, Calereting Ngantih ika, lir
Sipat Jamalullahi, Kethuking nutu upama, wdale pangucapneki.
(Harus dijadikan) Kaya Kapilaku (Haya alkafiilah : Untuk memastikan rasa malu
~ maksudnya segala kekotoran hati, jerit tangis/ketidak terimaan dan suara
langkah kaki/degub gemuruh ketidak tenangan adalah hal-hal yang patut
dijadikan obyek perasaan malu bagi yang ingin meningkatkan kejernihan diri.
Kekotoran hati, Jerit Tangis/ketidak puasan dan Suara Langkah Kaki/degup
ketidak tenangan adalah rintangan mencapai tingkat kesucian, seharusnya kita
malu jika tetap memelihara hal-hal semacam itu), itulah ketetapan diri bagi yang
hendak belajar berserah total, Pelangi maksudnya, bagaikan sifat Jamalullah
(Jamil : Cantik ~ Jamalullah : Kecantikan Allah), Suara ketukan orang menumbuk
padi, lambang dari Ucapan yang telah keluar.

(Maksudnya, tiga perlambang awal, 1. Kletheking Ati : Kekotoran Hati, 2.


Katepeking Lampah : Suara Langkah/degup ketidak tenangan, 3. Panjriting
Tangis : Jerit Tangis/ketidak puasan, adalah lambang ketidak murnian diri yang
seharusnya sangat memalukan bagi manusia yang sadar. Ketidak murnian ini
ada didalam diri yang berputar-putar bagai awan panas menggelora. Lambang
ke empat yaitu Kethuking Nutu adalah Ucapan yang keluar dari orang yang sadar
yang bisa menetralisir segala hal-hal negative yang bergelayut didalam diri,
sehingga ucapan yang keluar terdengar positif dan indah, bagai suara orang
menumbuk padi yang merdu. Dan jika hal ini bisa dibiasakan, maka diri kita
nyata telah menjadi perwujudan Pelangi atau Jamalullah : Kecantikan Allah bagi
sesama).

39. Nyata ora mamang iku, ora susah angulati, Hyang Agung Kang Maha Mulya,
kang ngucap iku Allahi, poma aja pindho karya, puniku ingkang sajati.

Nyata tidak diragukan lagi, tidak usah susah-susah mencari, Hyang Agung Yang
Maha Mulia, karena ucapan positif yang keluar dari manusia yang sadar
semacam itu adalah ucapan Allah, jangan meragukan lagi, inilah yang
sesungguhnya!

40. Martabate bumi iku, saurana tri prakawis, Dzating Roh Ilapi ika, kaping
pindho Roh Jasmani, kaping tlu Tanpa Prenah, Tanpa Tuduh Tanpa Yekti.

Martabat/tingkatan/uraian dari bumi (maksudnya bumi adalah manusia ini),


jawablah tiga perkara, yang pertama Dzat Roh Ilapi (Dzat dari Ruh Yang
Menguatkan, maksudnya perwujudan dari Ruh Yang Menguatkan, tak lain adalah
Nafs/Suksma Sariira. Nafs atau Suksma Sariira adalah perwujudan Atma juga
sesungguhnya.) Yang kedua Roh Jasmani (Maksudnya adalah Jasad/Sthula Sariira,
disini diistilahkan sebagai Ruhul Jasmani) dan yang ketiga Tanpa Tempat, Tanpa
Arah dan Tanpa Ada (Maksudnya Ruh/Atma).

41. Kang aran Muhammad iku, kang Kakiki kang Majaji, iku nuli saurana, kang
aran Muhammad Nabi, dene kang Kakiki iku, iya Dzatullah Ilapi.

Yang disebut Muhammad itu, apakah Kakiki (Hakiki : Intisari Gaib) atau yang
Majaji (Maujudi : yang berwujud nyata), maka jawablah, yang dinamakan
Muhammad itu adalah nama seorang Nabi, tapi hakekatnya yang disebut
Muhammad itu, tak lain adalah Dzatullah Ilapi (Dzatullahi Al-idhofi : Dzat Allah
Yang Menambah Kekuatan bagi semesta atau Energi Illahi).

42. Nabi Muhammad puniku, annggih ingkang Majaji, Dzatullah Jasadi ika, kang
Kakiki kang Majaji, loro-loroning atunggal, nyatane yen sira kuwi.

Nabi Muhammad itu, adalah yang berwujud sebagai manusia (ditanah arab),
perwujudan Dzatullah, sedangkan Muhammad yang Hakiki dan Maujud, keduaduanya adalah tunggal juga, semuanya ada didiri kalian (seluruh makhluk).

(Maksudnya Muhammad itu sesungguhnya adalah nama dari cahaya Allah, yaitu
Nur Muhammad (Nur : Cahaya, Muhammad : Terpuji). Inilah inti sari setiap
makhluk. Hakikat setiap makhluk. Secara hakikat dia melampaui segalanya,
secara wujud nyata, berwujud seluruh material semesta termasuk jasad fisik
manusia. Maka benarlah jika kita ini disebut perwujudan Nur Muhammad. Karena
Nur Muhammad itu tak lain adalah Allah juga. Dan Ruh kita ini disebut Rasul
Muhammad (Rasul : Utusan, Muhammad : Terpuji), percikan dari Allah juga. Oleh
karenanya Allah, (Nur) Muhammad dan Rasul (Muhammad) adalah satu kesatuan
tunggal, dalam Ajaran Syeh Siti Jenar maupun Sunan Kalijaga, sering hanya
disebut ALLAH, MUHAMMAD, RASUL saja. Ada lagi yang disebut Muhammad,
yaitu seorang Nabi yang pernah hidup ditanah Arab dan yang mengajarkan
agama Islam)

43. Ingkang Tanpa Prnah iku, lawan Tanpa Tuduh kuwi, ing Kakekate Dzatullah,
tan liya psthi sireki, krana sajatine sira, poma aja pindho kardi.

(Kalianlah) perwujudan Yang Tanpa Tempat, Yang Tanpa Arah, kalian adalah
perwujudan kesejatian Dzatullah, tiada lain kalian semua ini, itulah
sesungguhnya kalian, jangan ragu-ragu lagi.

44. Martabat Nugrahan iku, lamun sira den takoni, pira nugrahaning Sadat,
saurana tri prakawis, iku ingkang ping sapisan, Ngningake Iman-neki.

Martabat/tingkatan/uraian Anugerah itu, manakala kalian ditanya, ada berapa


Anugerah Sahadat, jawablah tiga macam, yang pertama Menjernihkan Iman.

45. Ping dwi Ngeningken Tyasipun, ana dene kang kaping tri, Nglampahake
Panggaotan, Nugrahaning Salat nnggih, saurana tri prakara, Mgat Karsa
ingkang dhingin.

Yang kedua Menjernihkan Hati/Kesadaran, dan yang ketiga


Menjalankan/mempraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. (Sahadat adalah
kesaksian diri, dimana sahadat sejati adalah Tiada Yang Lain di Alam ini kecuali
Allah, dan Ruh-ku ini adalah Utusan Allah. Kesaksian ini harus diimplementasikan

kedalam kehidupan sehari-hari, dengan jalan, pertama Menjernihkan Keyakinan


bahwasanya semua makhluk ini adalah perwujudan Allah dan utusan Allah, maka
semua tiada beda, kedua menjernihkan Kesadaran, dimana kita harus benarbenar melihat aku adalah kamu kamu adalah aku, tak ada beda dan yang ketiga
harus benar-benar dipraktekkan didalam kehidupan sehari-hari dengan jalan
menebarkan Kasih tiada henti. Jika bisa melaksanakan hal ini, jelas bisa disebut
Mendapat Anugerah dari memahami Sahadat Sejati), Anugerah Shalat sekarang
jika ada yang bertanya, jawablah tiga macam, Mengontrol keinginan duniawi
yang pertama.

46. Tinggal Cipta kalihipun, Amadhp ingkang kaping tri, Nugrahaning Takbir
pira, saurana tri prakawis, dhingin Kawruh dwi Kawruhnya, Jatining Wruh kaping
tri.

Meningalkan segala Kesadaran rendah yang kedua, dan yang ketiga Mantap lahir
batin, Anugerah Takbir (Mengagungkan Allah) ada berapakah, jawablah tiga
macam, pertama Pengetahuan yang kedua Yang Mengetahui, Yang ketiga
Hakikat Yang Hendak Diketahui. (Maksudnya, manusia bisa disebut menerima
Anugerah dalam memahami Cara Pengagungan Allah jika bisa menyadari
Pengetahuan yang benar, memahami hakikat dirinya sebagai Yang Mencari Tahu,
dan yang ketiga memahami siapa hakikat Yang Hendak Diketahui itu)

47. Pituturku durung rampung, nanging iku bae dhisik, krana ingsun arsa lunga,
ora lawas ingsun bali, mrene maneh mulang sira, dimene imbuh mangrti.

Wejanganku belum selesai, akan tetapi ini dulu, sebab aku hendak pergi, tidak
akan lama aku akan kembali, kembali ke sini untuk mengajar kalian lagi, agar
semakin bertambah kesadaran kalian.

PUPUH V

Asmaradana

1.Rehning sira wis ngakoni, benjang lamun sira pjah, rasakna badanmu kuwe,
kalawan cahyamu gsang, obah-osiking manah, anggawa lapal Suksmamu,
munggah mring suwarga loka.

Karena kamu sudah mengakui, kelak manakala kamu meninggal, Rasa badanmu
(Sthula Sariira/Jasad), berikut Cahaya Hidup (Atma Sariira/Ruh), serta segala
sensasi pikiranmu, terbawa pula Suksma (Suksma Sariira/Nafs)mu, naik ke
Surga.

2.Sang Ijaril ingkang ngirid, sowan ngarsane Hyang Suksma, yen mangkono sira
kuwe, ora ngamungna neng dunya, olehmu dadi bangsat, aneng akherat dadi
pandung, anggawa dudu duweknya.

Sang (Malaikat) Izrail yang mengiringi, menghadap kepada Hyang Suksma


(Tuhan Maha Gaib), jika memang begitu dirimu, tidak hanya didunia saja, dirimu
menjadi maling, diakherat-pun kamu menjadi maling, karena mengakui
menghadapkan sesuatu yang bukan milikmu (tapi kamu akui sebagai hak milik).
(Maksudnya makhluk ini semua adalah nihil alias tidak ada. Karena semua ini
adalah perwujudan Tuhan. Lantas jika merasa memiliki personalitas terpisah
dengan Tuhan, bukankah itu illusi? Seseorang yang mengaku memiliki
personalitas sendiri yang terpisah dengan Tuhan, mengklaim punya asset
pribadi, berarti sama saja dengan seorang maling, yang mengklaim sesuatu
yang bukan miliknya. Dan lagi bagaimana bisa meng-klaim jika diri-nya itu
sendiri tidak ada?)

3.Sira aneng dunya iki, kadunungan barang glap, ora tuku ora nyileh, sira
anggo sabn dina, ing mangka aneng akherat, anggawa dudu duwekmu, dunyakherat dadi bangsat.

Didunia ini dirimu, ketempatan barang gelap, tidak beli tidak pinjam, kamu pakai
tiap hari, sedangkan diakherat nanti, tetep kamu merasa memiliki yang bukan
milikmu, dunia akherat kamu maling!

4.Tanpa gawe jungkar-jungkir, nmbah salat madhep keblat, clumak-clumik


kumcape, angapalake alip lam, tgse iku lapal, angawruhana asalmu, urip
prapteng kailangan.

Tak ada guna jumpalitan (dalam sembahyang), mendirikan shalat menghadap


kiblat, komat-kamit bibirnya, menghafalkan alif lam (maksudnya doa-doa),
sesungguhnya makna dari ayat-ayat yang kamu baca (itulah yang harus kamu
resapi, bukan hanya sehedar dihafal dan dibaca), karena dari ayat-ayat tersebut
kamu akan mengetahui asal, dan tujuan hidup-mu.

5.Sireku kaliru tampi, ngawruhi asale wayah, subuh luhur myang asare, mahrib
lawan bakda isak, saykti tanpa guna, sipat urip duwe irung, padha wruh
marang wayah.

Dirimu salah mengerti, sangat-sangat mematuhi waktu-waktu shalat, mulai


subuh dzuhur hingga ashar, maghrib dan isya, sungguh tanpa guna, selayaknya
hidup memiliki hidung (maksudnya kepekaan Kesadaran), untuk memahami
makna shalat.

6.Yen mangkono sira kuwi, mung mangeran marang wayah, tan mangeran
Ingkang Gawe, lamun bngi sarta awan, pijr ktungkul wayah, ora mikir mring
awakmu, urip prapteng kailangan.

Jikalau demikian dirimu (yang hanya sekedar mematuhi waktu shalat dan tidak
memahami makna dari shalat itu sendiri), hanya ber-tuhan-kan saat-saat shalat
semata, tidak ber-Tuhan-kan yang membuat waktu, siang dan malam hanya,
berfokus mematuhi waktu-waktu shalat semata, tidak meniti ke dalam diri, untuk
memahami asal kehidupan dan tujuannya.

7.Rasane badanmu kuwi, kagungane Rasulullah, cahyane uripmu kuwe,


kagunganira Pangeran, obah-osiking manah, Muhammad kang nggawa iku,
duwekmu amung pangrasa.

Rasa badanmu itu (Sthula Sariira/Jasad), milik/perwujudan Rasulullah


(maksudnya Ruh atau Atma), Cahaya hidup (Atma Sariira/Ruh)-mu itu,
milik/perwujudan Pangeran (Tuhan/Brahman/Allah), segala gerak-gerik batinmu
(maksudnya Suksma Sariira/Nafs), Muhammad yang menggenggam (Muhammad
maksudnya juga Ruh atau Atma), milikmu hanya Perasaan memiliki/Illusi saja!

(Jika Jasad ini milik/perwujudan Rasulullah (Ruh), Ruh milik/perwujudan Allah,


Nafs milik/perwujudan Muhammad (maksudnya Ruh juga), sedangkan Allah,
Muhammad dan Rasul itu tak lain adalah Allah juga, lantas apa yang hendak kita
anggap sebagai personalitas makhluk jikalau semua ini adalah PERWUJUDAN
ALLAH? Hanya Illusi saja yang menjadi milik para makhluk. ILLUSI MERASA
DIRINYA ADALAH ENTITAS YANG TERPISAH DENGAN SEMESTA BAHKAN DENGAN
TUHAN ITU SENDIRI!)

8.Mangka sira gawa kuwi, ora sira ulihna, balekna marang Kang Duwe, yen sira
maksih anggawa, titipan tri prakara, apa sira ora lampus, Kyai Guru duk miyarsa.

Sedangkan apa yang kamu akui itu (bahwa memiliki personalitas tersendiri
dengan Tuhan), tetap juga tidak kamu kembalikan (maksudnya tetap berKesadaran seperti itu), kepada Dia Yang Memiliki, jika kamu masih juga
memegang (maksudnya tetap tidak mau membuka Kesadaran) dan masih juga
mengaku memiliki Triprakara (Tiga Unsur ~ Ruh/Atma, Nafs/Suksma dan
Jasad/Sthula) sendiri, akan abadikah dirimu kelak? Kyai Guru begitu mendengar
(semua yang diuraikan Gatholoco).

9.Kethune binanting siti, muring-muring ngucap sora, Mring ngndi nggonku


ngulihke, ingsun tan rumasa nylang, titipan tri prakara, Gatholoco gya gumuyu,
Sira urip tanpa mata.

(Kyai Guru) seketika membanting kethu (kopiah)-nya ke tanah! Marah-marah dan


berkata kasar, Kemana aku mau mengembalikan!! Aku tidak merasa telah
meminjam, titipan Triprakara tadi, Gatholoco tertawa geli (mendapati yang diajak
dialog tidak memahami maksudnya namun malah marah-marah), Kamu
memang hidup tanpa mata (maksudnya Kesadarannya buta)!

10.Upama Padhanging Rawi, asalira saking Surya, sirna kalawan Srngenge,


kalamun Padhange Wulan, asale saking Rembulan, sirnane kalawan Santun, bali
maneh asalira.

Seandainya Cahaya Matahari, yang berasal dari Surya, akan terserap musnah
hilang kedalam Matahari kembali, seandainya Cahaya Rembulan, yang berasal
dari Rembulan, akan terserap musna hilang kedalam Rembulan, kembali
keasalnya lagi!

11.Kasan Bsari nauri, Krana ngapa Rasanira, lan Cahyamu Urip kuwe, myang
obah-osiking manah, tan sira ulihna, marang Kang Kagungan iku, Gatholoco
asru nyntak.

Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata, Lantas sekarang mengapa Rasa


Badanmu (Jasad/Sthula Sariira), beserta Cahaya Hidup (Ruh/Atma Sariira)-mu,
berikut Gerak batin (Nafs/Suksma Sariira)-mu, tidak kamu kembalikan
(maksudnya masih terlihat nyata dan belum musnah) kepada Yang Mempunyai ?
Gatholoco keras membentak.

12.Ingsun iki ora wani, ngulihake durung masa, yen tan ana pamundhute, ingsun
wdi bok kinira, anampik sihireng Hyang, manawa nmu ssiku, sireku kaliru
tampa.

Aku tidak berani, memusnahkan ini semua karena belum saatnya, jika tanpa ada
permintaan (dari Yang Mempunyai Perwujudan), aku takut nanti dianggap,
menolak kasih Hyang (Tuhan), dan akan mendapatkan balak, sungguh kamu
yang sebenarnya tidak paham! (Tidak paham akan maksud Gatholoco akan
makna Mengembalikan seperti yang telah diuraikannya diatas).

13.Kang kasbut kitab mami, pan saking Nabi Muhammad, Kyai Guru pangucape,
Salat witri iku iya, salat sakobrira, Gatholoco alon muwus, sireku kaliru tampa.

Menurut Kitab-ku, yang berasal dari Nabi Muhammad, Kyai Guru berkata lagi,
Shalat witir adalah, shalat yang tidak terikat waktu (maksud Kyai Hassan Bashori
ada juga shalat yang tidak harus berfokus pada waktu, yaitu shalat witir. Jadi
salah jika Gatholoco menganggap dirinya terlau mengagung-agungkan waktu),
Gatholoco menjawab, Sekali lagi dirimu tidak paham!

14.Yen mangkono sira kuwi, dudu umat Rasulullah, dene sira ngestokake,
sarengate Nabi lima, ndi panmbahira, mring Nabi Muhammad iku, Kyai Guru
saurira.

Bahkan lagi dirimu, bukanlah ummat Rasulullah, karena dirimu meyakini, dan
mengikuti tingkah laku lima Nabi, mana shalat yang kamu jadikan untuk
mengingat-ingat akan keagungan, dari Nabi Muhammad? (Ada keyakinan
beberapa aliran agama Islam, bahwasanya shalat Subuh itu meniru Nabi Adam,
manakala diturunkan di dunia, belum tahu mana arah mata angin, lantas ketika
matahari terbit, Nabi Adam bersujud syukur karena tahu mana arah Timur.
Lantas shalat Dzuhur, meniru Nabi Nuh, shalat Ashar meniru Nabi Ibrahim, shalat
Maghrib, meniru Nabi Musa dan Shalat Isya, meniru Nabi Isa, dan rupanya
keyakinan inilah yang dianut oleh Kyai Hassan Bashori, lawan debat Gatholoco),
Kyai Guru menjawab.

15.Smbahingsun salat witri, iya ing samasa-masa, Gatholoco pamuwuse, Sira


iku santri blasar, mangka Nabi Muhammad, ttela Nabi Panutup, tunggule nabi
sadaya.

Untuk mengingat Nabi Muhammad adalah shalat Witir, tidak terikat waktu!
Gatholoco berkata, Kamu santri tersesat, padahal Nabi Muhammad, jelas-jelas
Nabi Penutup, penutup seluruh Nabi.

16.Parentahe ora sisip, wus kapacak aneng kitab, ingkang salah sira dhewe,
kinen sujud kaping lima, rina wngi mangkana, esuk-esuk wayah Subuh, sujud
tumrap maring Adam.

Setiap perintahnya tidak keliru, sudah jelas didalam semua kitab, yang salah
memaknai adalah dirimu sendiri, diperintahkan sujud lima kali sehari, siang dan
malam, pada saat pagi hari waktu Subuh, sujud kepada Adam.

17.Iku dudu Adam Nabi, adam suwung sujudana, kang suwung langgng anane,
marmanira sinujudan, dene luwih kuwasa, ngilangake ptng iku, kagnten
padhanging surya.

Sesungguhnya bukan Adam Nabi, Adam berarti Kosong dan sujudlah, kepada
Yang Maha Kosong dan Yang Abadi Ada-Nya (tersebut), oleh sebab mengapa
wajib untuk bersujud, karena Yang Maha Kosong sungguh berkuasa,
menghilangkan kegelapan, dan menggantikannya dengan terang. (Maksudnya
Yang Maha Kosong mampu memberikan terang kepada Kesadaran semua
makhluk dan mampu mengusir semua kegelapan batin).

18.Panase saya ngluwihi, saking kuwasaning Allah, surya iku darma bae, sakehe
manusa dunya, samya susah sadaya, krana saking panasipun, Nabi Muhammad
parentah.

Menjelang tengah hari (maksudnya dalam pengembaraan Ruh didunia fana)


panasnya sangat-sangat menyiksa (maksudnya dualitas dunawi sangat
membelenggu Ruh), karena kuasa Allah, Matahari hanya sarana semata
(maksudnya dualitas hanya sarana menggembleng Kesadaran Ruh saja), seluruh
manusia/makhluk didunia, sangat menderita (terombang-ambing dualitas dunia),
karena sangat-sangat panasnya, Nabi Muhammad memerintahkan.

19.Marang umatira sami, supaya padha sujuda, marang Kang Murbeng alame,
tatkala patang rakangat, kabeh padha nuwuna, mring sudane panas iku, lan
sudane dosanira.

Kepada seluruh ummatnya, agar ditengah hari bersujud, kepada Yang Menguasai
Alam (Dualitas), sebanyak empat rakaat, seluruh ummat diperintahkan untuk

memohon, agar mengurangi panas (penderitaan) duniawi, berikut memohon


agar dilebur segala dosa-dosa (seluruh karma buruk)-nya.

20.Lan padha nuwuna maning, linanggngna kaluhuran, kaya luhure srngenge,


pramilane lama-lama, tumurun saya andhap, daya asrp panasipun, wong akeh
ngarani Ngasar.

Dan juga agar memohon, tetap mendapat keluhuran (Tingginya Kesadaran),


bagaikan luhur (tinggi)-nya matahari kala tengah hari, lantas sedikit demi sedikit,
matahari turun semakin rendah, panasnya mulai berkurang (lambang
penderitaan berganti dengan kesenangan), semua orang menamakan waktu
Ashar.

21.Nabi Muhammad ningali, parentah mring umatira, supayane sujud maneh,


sarta padha nnuwuna, langgng ananing Suksma, lan padha nuwuna iku,
linanggngna kaluhuran.

Nabi Muhammad melihat, lantas memerintahkan kepada ummatnya, agar


kembali bersujud, dan agar memohon, kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha
Gaib), agar tetap langgeng (Ketinggian Kesadarannya walau penderitaan tengah
berganti dengan kegembiraan).

22.Pangeran Kang Maha Luwih, angganjar ing asorira, linanggngna kamulyane,


dadine bisa kalakyan, tumurun saya andhap, mulane ngaranan surup, sira padha
sumurupa.

Tuhan Yang Maha Kuasa, mampu menganugerahkan kemuliaan dan kehinaan


(Kesadaran), semoga senantiasa langgeng kemuliaan Kesadaran, agar bisa
selamat sampai tujuan (Moksha/Jannatun Firdaus), semakin turun matahari,
dinamakan surup (sore), karena maksudnya sumurupa (ketahuilah)!

23.Kuwasanira Hyang Widdhi, bisa gawe ptng padhang, gawe unggul lan
asore, kang padhang tgse gsang, kang ptng iku pjah, Nabi Muhammad
andulu, parentah mring umatira.

Akan kekuasaan Hyang Widdhi, yang mampu membuat gelap dan terang,
mampu membuat tinggi dan rendah, yang terang maksudnya Hidup, yang
gelap maksudnya Mati, (Manusia disebut Hidup manakala telah mencapai
Terang Sejati, dan manusia disebut Mati manakala masih terikat jerat duniawi
dan lahir berulang-ulang di alam fisik ini), Nabi Muhammad melihat, lantas
kembali memerintahkan kepada ummatnya.

24.Den purih sujuda maning, marang Ingkang Murbeng alam, dene luwih
kuwasane, bisa gawe ptng padhang, lan gawe pjah gsang, bilahi asor lan
unggul, lama-lama kang baskara.

Agar kembali bersujud, kepada Yang Menguasai Alam (Dualitas), karena kuasaNya, mampu membuat gelap dan terang, membuat mati dan hidup, hina dan
mulia (Dualitas duniawi), lama-lama matahari.

25.Jagade datan kaeksi, ptnge saya katara, amratani jagad kabeh, manusane
alam dunya, rumasa kasusahan, krana saking ptngipun, amarga suruping
surya.

Dunia tak terlihat, kegelapan semakin merebak, merata diseluruh jagad, seluruh
makhluk, merasa sedih, disebabkan karena kegelapan tersebut, gelap karena
hilangnya matahari. (Lambang dari kegelapan Kesadaran karena pengaruh
dualitas duniawi).

26.Sagunge umat nuruti, nnuwun marang Pangeran, kanthi nangis panuwune,


mulane ngaranan Ngisa, tegese Anangisa, marang Ingkang Murbeng Luhur,
Nnuwun supaya padhang.

Seluruh ummat menurut, memohon kepada Tuhan, dengan isak tangis, makanya
(bagi orang Jawa) menyebut waktu shalat sehabis mahgrib adalah Ngisa, karena
saat kegelapan Kesadaran adalah saat untuk Anangisa (Menangislah), kepada
Yang Menguasai Keluhuran (Ketinggian), memohon supaya agar tetap diberikan
terang (Kesadaran).

27.Kagnten padhanging sasi, sakehe manusa suka, uninga wulan cahyane,


padhang sarta ora panas, cacade mung pisahan, mulane ingaran santun, santun
warna sabn dina.

Terang yang digantikan oleh terangnya Rembulan (maksudnya dalam kegelapan


Kesadaran, terang yang reduppun sudah cukup daripada gelap gulita tanpa
cahaya Kesadaran), seluruh makhluk bisa sedikit bersuka cita, melihat Rembulan
dan cahayanya, walau terang tiada panas, walaupun tidak stabil, makanya
disebut santun (Berubah), karena cahaya Rembulan (cahaya Kesadaran yang
redup ditengah kegelapan), berubah-rubah setiap hari. (Tidak stabil).

(Rembulan disebut juga Santun yang artinya Berubah-rubah/Tidak stabil oleh


orang Jawa, maksudnya Rembulan dilambangkan sebagai Kesadaran yang redup.
Dan Kesadaran yang redup sangat tidak stabil).

28.Tgse sasi samya sih, Kyai Guru aris mojar, kitab apa pathokane, Gatholoco
angandika, Barulkalbi arannya, mangrtine Barul: Laut, dene Kalbi iku Manah.

Arti Sasi (padanan kata Rembulan/Santun) adalah SA-mya SI-h (Semua Kasih
~ maksudnya walaupun ditengah kegelapan sekalipun, tetaplah menebarkan
Kasih. Walaupun ditengah Kesadaran redup karena pengaruh penderitaan
duniawi, tetaplah mengedepankan Kasih), Kyai Guru pelan bertanya, Dari Kitab
apa semua yang kamu uraikan tadi? Gatholoco menjawab, (Kitab) Barulkalbi
(Bahri Al-Qalbi), Bahri artinya Samudera, sedangkan Qalbi artinya
Hati/Kesadaran.

29.Ati kang kaya jaladri, tanpa wats jero jmbar, lan maneh akeh isine, Kasan
Bsari ttannya, sira ora smbahyang, Gatholoco aris muwus, smbahyang
langgng tan pgat.

Hati/Kesadaran yang luas seluas Samudera, tiada batas tiada terukur dalam dan
luasnya, dan sangat-sangat banyak terkadung isi mutiara, Kasan Besari (Hassan
Bashori) bertanya, Kamu menjalankan shalat? Gatholoco pelan menjawab,
Shalatku langgeng tiada terputus.

30.Sujud-mami sujud eling, keblatku tngahing jagad, barng napasku sujude,


napasku mtu mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, mtu saking utkingsung,
smbahyangku mring Hyang Suksma.

Sujud-ku Sujud Ingat (Maksudnya Kesadaran yang terus stabil), Kiblat-ku Pusat
Semesta (Maksudnya focus penyembahan adalah Inti Dunia dan Inti Makhluk, tak
lain adalah Brahman/Tuhan), Sujud-ku diiringi dengan Nafas (Maksudnya
Kesadaran ini saat Ruh terikat badan materi, sangat terkait dengan nafas.
Pengendalian nafas mampu mengendalikan Kesadaran juga. Nafas dan
Kesadaran, saat badan materi masih membelenggu Ruh, tidak bisa dipisahkan),
Nafas-ku keluar dari ubun-ubun (Nafas yang dikendalikan seolah bukan keluar
masuk dari hidung lagi, tapi seolah-olah keluar masuk dari ubhun-ubun, menyatu
dengan Kesadaran), shalatku menghadap kepada Tuhan, keluar dari otakku
(Shalat yang terus menerus dilaksanakan keluar dari Kesadaran), shalatku
menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib).

31.Ingkang mtu lesan-mami, smbahyang mring Rasulullah, kang mtu irungku


kiye, ingkang Dzat pratandhanira, iku taline gsang, kabeh saking napasingsun,
sbutku Allahu Allah.

Pujian yang keluar dari lidahku, pujian kepada Rasulullah (Ruh), sama dengan
pujian yang keluar dari hidungku (nafas) ini, sesungguhnya semua perwujudan
Dzat (Hidup/Tuhan), nafas adalah pengikat Hidup (selama ada nafas, selama itu
pula Hidup/Tuhan/Dzat masih ada didalam badan materi), bisa dilihat dari
adanya nafas, pujian nafasku berbunyi Allahu Allah.

32.Sira padha ora ngrti, Rasulullah sabatira, iku durung linairke, lintang wulan
lawan surya, alam dunya wus ana, ykti tuwa suryanipun, iku kang kitab Ambiya.

Kalian semua tidak mengetahui, Rasulullah (maksudnya Nabi Muhammad)


panutan kalian, saat belum dilahirkan, seandainya diibaratkan dengan bintang
rembulan dan matahari, beserta bumi ini, jelaslah lebih tua matahari, hal ini
tercatat dalam Kitab Anbiya.

33.Kang tinitahake dhingin, dening Hyang Cahya Muhammad, iku lawan


sakabate, nanging wujud Roh samya, neng jroning Lintang Johar, mangka
Lintang Johar iku, wawadhahe Roh sadaya.

(Sebelum Nabi Muhammad lahir) yang ada dahulu, adalah Hyang Cahya
Muhammad (Nur Muhammad ~ Cahaya Terpuji/Cahaya Perwujudan Tuhan
pertama kali yang merupakan cikal-bakal semesta raya ~ Purusha dalam istilah
Weda), beserta seluruh para sahabatnya (maksudnya seluruh Atma-Atma
semua), akan tetapi masih berwujud Ruh, berada didalam kandungan Lintang
Johar (Lintang ~ Bintang, Johar/Jauhar ~ Mutiara, maksudnya juga Nur
Muhammad tersebut), ketahuilah Lintang Johar itu, sumber segala Ruh makhluk.

34.Babonira saking Urip, dadi saking Nur Muhammad, lintang rmbulan


srngenge, ora liya asalira, pan saking Nur Muhammad, mangka Lintang Johar
iku, dadi pusre Muhammad.

(Nur Muhammad atau Lintang Johar) adalah perwujudan Hidup (Allah), semesta
raya ini berasal dari Nur Muhammad, bintang rembulan matahari, tiada lain
sumbernya dari sana, berasal dari Nur Muhammad, sedangkan Lintang Johar,
ibarat pusar (tempat keluarnya) seluruh semesta.

35.Yen sira maido mami, dadi nampikakn sira, mring Kuran ssbutane, Kasan
Beari miyarsa, rumaos kaungkulan, mangkana denira muwus, Wis Gatholoco
minggata.

Jikalau kamu membantahku, sungguh sama saja kamu menolak, kepada ajaran
Al-Quran, Kasan Besari (Hassan Bashori) mendengarnya, merasa kalah,
beginilah dia akhirnya berkata, Sudah Gatholoco minggatlah kamu dari sini!

36.Gatoloco anauri, sun linggih langgare Allah, kabnran panggonane, iki aneng
tngah jagad, ingsun snng kapenak, linggih langgar karo udut, ngnteni
prentahing Allah.

Gatholoco menjawab, Aku duduk di musholla Allah, sangat nyaman tempatnya,


aku merasa dipusat semesta, aku merasa nyaman, duduk didalam musholla
sembari menghisap candu (spiritualitas), sembari menunggu perintah Allah.

37.Sakala Kasan Bsari, sidhakep kendl kewala, puwara alon wuwuse, wus dadi
prastyaningwang, kalamun bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira wajib
mengkonana.

Seketika Kasan Besari (Hassan Bashori), bersendekap sembari diam, lantas


terdengar suaranya, Sudah menjadi janjiku, jikalau aku kalah berdebat, maka
semua ini akan menjadi milikmu, dirimu wajib memilikinya.

38.Ingsun rila lair batin, langgar wisma barang-barang, pasrah sah duwekmu
kabeh, santri murid ing Cpkan, ingkang snng ngawula, mara sira anggguru,
wulangn ilmu utama.

Aku rela lahir batin, musholla rumah berikut seluruh perabotan, aku berikan
kepadamu semua, para santri murid Cepekan, jika memang hendak tetap
berguru, silakah berguru kepadamu, ajarilah ajaran utama.

39.Para Kyai mitra mami, ingsun sumarah kewala, apa kang dadi karsane, manira
saiki uga, nja lunga llana, kabeh keriya rahayu, Kasan Bsari gya mangkat.

Para Kyai sahabatku semua, aku sudah pasrah, apa yang menjadi kehendak-Nya,
diriku sekarang juga, hendak berkelana, semoga yang aku tinggalkan disini
mendapat keselamatan, Kasan Besari (Hassan Bashori) segera berangkat.

40.Nalangsa rumasa isin, saparan kalunta-lunta, katiwang-tiwang lampahe,


ingkang kantun ing Cpkan, Gatholoco sineba, para murid tigang atus, andr
samya munggeng ngarsa.

Sangat-sangat malu, terlunta-lunta dalam perjalanan, sedih dalam


pengembaraan, yang ditinggalkan di Cepekan, Gatholoco dihadap, seluruh murid
sebanyak tiga ratus orang, bersila rapi berada dihadapan.

NB :

URIP ~ KANG NGURIPI ~ KANG GAWE URIP

PARAMASHIWA ~ SADASHIWA ~ ATMA

BRAHMAN ~ PURUSHA ~ ATMAN

ALLAH ~ (NUR) MUHAMMAD ~ RASUL (MUHAMMAD)

ALLAH BAPA ~ ALLAH PUTRA ~ ROH KUDUS

Mohon direnungkan.....

8. Para santri tutup grana, wontn ingkang ngalih denira linggih, Kasan Bsari
amuwus, Sira jnngmu sapa, wangsulane Gatholoco araningsun, Kasan Bsari
ttanya, Apa kang sira-sangklit.
Seluruh santri menutup hidung, bahkan ada yang pindah tempat duduk
(menjauh), (Kyai) Kasan Bsari (Hassan Bashori) bertanya, Siapa namamu?
Menjawab yang ditanya Gatholoco namaku, (Kyai) Kasan Bsari (Hassan Bashori)
kembali bertanya, Apa yang kamu selipkan dipinggang (itu)?

49. Sumaur iki watangan, watangane cipta pikir kang ning, ana dene
pntholipun, iki arane cupak, prlu kanggo mapak kawruh ingkang luput, obate
candu lan bakal, ron awar-awar kinardi.
Menjawab (Gatholoco) Ini lambang dari batang, batang kesadaran yang jernih,
sedangkan bulatannya, namanya CUPAK, lambang dari pucuk kesadaran yang
berguna untuk MAPAK (MEMOTONG) kesadaran yang salah (rendah), ramuan
yang terdiri dari candu dan, calon daun awar-awar (daun awar-awar sangat
gatal).

50. Dadi arang ingkang tawar, yen kacampuh obat kalawan mimis, ora wurung
kna bndu, mimis glintiran madat, yen wus awas patitise damar murub, lesane
pucuking ilat, snthile napas kang lungid.
Jarang manusia yang tawar, menikmati candu yang sudah dibuat bagai mimis
(mimis adalah peluru kuno, berwujud bulatan. Candu yang sudah dibuat bagai
mimis maksudnya dibentuk bulatan siap untuk dinikmat), jika tidak kuat hidup
bagai terkena kutuk (disudutkan dan dihakimi oleh manusia-manusia yang
rendah kesadarannya), jika sudah dinikmati akan awas kesadaran ini kepada
Damar Murub (Pelita Yang Menyala, maksudnya Cahaya Kebenaran Sejati),
lesannya puncak lidah (ini bahasa simbolik, maksudnya suara yang sejati untuk
mencari Tuhan adalah puncak Rasa. Lidah symbol Rasa. Puncak Lidah berarti
Puncak Rasa. Suara sejati dari puncak rasa untuk mencari Tuhan berarti suara
yang tak terbahasakan, melampaui segala suara, melampaui segala bahasa.
Itulah suara Ruh), yang menggetarkan (suara tersebut) adalah Nafas Yang
Misterius (Maksudnya Dia Yang Hidup Tanpa Nafas, Brahman, Sumber Semesta).

51. Cthute aran Dzatullah, rasa awor ngumpul dadi sawiji, manjing marang
cthutipun, rumasuk jroning badan, sumarambah kulit daging balung sungsum,
tyasingsun padhang nrawang, ora kewran kabeh pikir.

Tempat hisapnya lambang Dzatullah (Dzat Allah, Inti Allah), (Puncak) Rasa
bercampur dan menyatu menjadi satu, manunggal kedalam Tempat hisap
(Dzatullah), menjadi satu kesatuan dalam satu badan, menyatu pada kulit daging
tulang dan sumsum, Kesadaran-pun terang benerang, tak ada lagi illusi.

Pada (Syair) 49-51, maksudnya adalah sebagai berikut : Pipa hisap yang dibawa
Gatholoco adalah lambang Kesadaran (Buddhi), hiasan bulatan pada batang pipa
adalah lambng Awasnya Kesadaran untuk memilah mana yang patut dipakai
demi peningkatan Kesadaran itu sendiri atau tidak (Wiweka), Candu yang
dicampur bakal daun Awar-Awar, lambang begitu memabukkannya spiritualitas
itu bila seorang manusia telah menyelaminya. Tapi jarang yang sanggup
bertahan, karena spiritualitas menuntut keteguhan dan kekuatan yang luar
biasa. Godaan dari dalam diri maupun penghakiman dari manusia lain, sangat
sukar untuk dilampaui. Namun jika telah merasakan mabuk spiritual, maka
kecenderungan Kesadaran akan terus lekat pada Damar Murub atau Cahaya
Kebenaran Sejati.

Kompas spiritualitas, bukan teks-teks kitab suci, tapi LESANE PUCUKING ILAT.
LESAN berguna untuk mengeluarkan suara, PUCUKING ILAT (PUNCAK LIDAH)
adalah symbol Puncak Rasa. Puncak Rasa adalah ATMA/RUH.

SUARA DARI PUNCAK RASA berarti SUARA RUH. Inilah Radar sejati penuntun kita
dijalan spiritualitas. Karena SENTHILE NAPAS KANG LUNGID (Yang menggetarkan
suara itu adalah NAPAS YANG MAHA GAIB). Jelas sudah, yang membuat SUARA
RUH itu tak lain adalah DIA YANG HIDUP TANPA NAFAS atau BRAHMAN itu sendiri.

Pangkal pipa ditempat penghisapan adalah lambing Dzatullah (Dzat Allah, Inti
Brahman), Puncak Rasa (Ruh/Atma) apabila telah menyatu dengan Pangkal pipa
(Brahman), maka menyatulah dalam satu kesatuan Wujud.

Disaat itulah semua illusi akan lenyap dan KESADARAN TOTAL PARIPURNA telah
kita capai lagi.

52. Kasan Bsari ngandika, Sira wani mapaki kawruh mami, nganggo sira wani
nglbur, mring sarak Rasulullah, apa sira nampik urip dhmn lampus, ora wdi
manjing nraka, ora melik munggah swargi.
(Kyai) Kasan Besari (Hassan Bashori) berkata, Kamu bernai menantang ilmuku,
dengan mencoba melebur, segala syariat Rasulullah, apa kamu menolak hidup

dan pilih mati? Tidak takutkah kamu masuk neraka? Tidak inginkah kamu naik
surga?

53. Gatholoco alon ngucap, Kaya apa bisane nampik milih, wus pinsthi mring
Hyang Agung, sakehing kasusahan, iku dadi duweke marang wong lampus, dene
sakehing kamulyan, dadi duweke wong urip.
Gatholoco pelan menjawab, Bagaimana bisa aku mau menolak (kehidupan)?
Sudah menjadi kehendak Hyang Agung, (ketahuilah sesungguhnya apa yang
dimaksud hidup dan mati itu), segala kesedihan dan kesusahan (lahir berulangulang didunia) itulah yang disebut kematian, sedangkan segala kemuliaan
(lepas dari rantai kelahiran dan kematian), itulah yang disebut kehidupan.

54. Yen wong urip iku susah, mtu saking takdirira pribadi, ingkang gawe susah
iku, dene Kang Maha Mulya, sipat murah puniku kagunganipun, nanging kabeh
sipat samar, ora keno tinon lair.
Pun sesungguhnya jika manusia yang hidup didunia ini terus dilanda kesusahan,
sesungguhnya itu juga karena hasil perbuatan pribadinya sendiri (karmaphala),
itulah yang membuat kesedihan, sedangkan Yang Maha Mulia, sifat KASIH itulah
sifat-Nya, akan tetapi semua tersamarkan, tak bisa dilihat oleh mata lahir.
(Maksudnya mata lahir adalah tak bisa disadari oleh mereka yang mata
kesadarannya belum melek, belum terbuka!)

55. Sira ingkang tanpa nalar, endah-endah ingkang sira rasani, suwarga naraka
iku, mangka katon wus ctha, sapa-sapa ingkang mulya uripipun, iku ingkang
manjing swarga, sapa mlarat manjing gni.
Dirimu yang tak punya nalar, muluk-muluk yang kamu bicarakan, Surga dan
Neraka itu, sesungguhnya telah terlihat nyata, siapa saja yang mulia hidupnya
didunia ini, dialah yang masuk Surga, siapa yang melarat dialah yang masuk api.

56. Ya iku manjing naraka, Kyai Kasan Bsari amangsuli, Suwarga naraka iku,
besuk aneng akerat, Gatholoco sumaur sarwi gumuyu, Lamun besuk ora nana,
anane namung saiki.
Yaitu masuk (api) Neraka, Kyai Kasan Bsari (Hassan Bashori) menjawab, Surga
dan Neraka itu, (adanya) tergelar besok diakherat! Gatholoco menjawab sembari
tertawa, Kelak tidak ada, yang ada sekarang ini!

57. Kyai Guru saurira, Nyata nakal rmbuge janma iki, maido marang Hyang
Agung, lan sarak Rasulullah, pancen wajib pinatenan dimen lampus, lamun
maksih awet gsang akarya spining masjid.
Kyai Guru (Hassan Bashori) berkata, Benar-benar kurang ajar ucapan manusia
ini, menghujat Hyang Agung, dan syariat Rasulullah, wajib dibunuh agar
mampus, jika masih awet hidup, akan membuat semua masjid sepi.

58. Gatholoco alon ngucap, Ora susah sira mateni mami, nganggo gaman
tumbak dhuwung, saiki ingsun pjah, Kyai Kasan Bsari asru sumaur, Iku lagi
tatanira, wong mati cangkme criwis.
Gatholoco pelan menjawab, Tidak perlu repot membunuhku, dengan senjata
tombak atau keris, saat inipun aku sudah mati, Kyai Kasan Bsari (Hassan
Bashori) keras membentak, Dasar tak tahu diri, mati kok mulutnya ceriwis!

59. Awake wutuh lir rca, Gatholoco alon dennya nauri, Yen patine kewan iku,
nganti gograge badan, mati aking ya iku patining kayu, yen ilang patining setan,
ingkang kaya awak-mami.
Dan badanmu masih tegak bagai arca, Gatholoco pelan menjawab, Hewan
disebut mati, jika tubuhnya hancur lebur, tumbuhan disebut mati jika sudah
kering, jika setan mati hilang tak diketahui jejaknya, tapi kematian manusia
sesungguhnya.

60. Ora mujud ora ilang, mangka iku ingsun uga wus mati, kang mati iku
npsuku, mulane kabeh salah, ingkang urip budi pikir nalar jujur, pisahe raga lan
nyawa, kinarya tundhaning lair.
Tidak bisa dilihat secara fisik juga tidak hilang (wujud) manusianya, ketahuilah
sesungguhnya aku ini sudah mati, yang mati nafsuku, makanya aku mampu
melihat kesalahan kalian, yang hidup adalah Budi (Buddhi:Kesadaran) dan
menyisakan pikiran dan nalar yang jujur, terpisahnya Raga dan Nyawa, (itu
bukan kematian) itu hanya proses menuju kelahiran kembali.

61. Iku ingkang aran Sadat, pisahira Kawula lawan Gusti, lunga pisah tgsipun,
dadi Roh Rasulullah, yen wis pisah Ragane lan Suksma iku, Rasa Pangrasa lan
Cahya, panggonane ana ngndi.
Itulah yang disebut Sahadat (Kesaksian) yang sesungguhnya (Dalam kondisi
seperti ini, dimana kita telah mampu terpisah dari Badan Fana dan murni
menjadi Badan Sejati, disaat seperti inilah kita akan mengetahui apa itu makna
Sahadat yang Sejati), pisahnya Kawula (Hamba : Badan Maya/Fana yang berasal

dari alam) dengan Gusti (Tuhan: Badan Sejati/Brahman yang berwujud Atma
yang selama ini terjebak Maya), murni menjadi Roh Rasulullah (Roh Utusan
Allah/Atma yang suci kembali), manakala telah berpisah Raga/Badan Fisik dan
Suksma/Badan Halus, Rasa berikut Perasaan (maksudnya juga Suksma/Badan
Halus) dan Cahaya (maksudnya Atma atau Badan Sejati), lantas kemanakah
perginya semua itu?
62. Kyai Guru saurira, Bnr ingsun luluh awor lan siti, Rasa lan Pangrasa iku,
kalawan Cahya Gsang, pan kagawa iya marang Suksmanipun, kabeh munggah
mring suwarga, Sang Ijrail ingkang ngirid.
Kyai Guru (Hassan Bashori), Yang benar aku (Badan Fana) hancur menjadi tanah,
sedangkan Rasa berikut Perasaan (Badan Halus) beserta Cahaya Hidup (Badan
Sejati), dibawa oleh (Hyang) Suksma (Tuhan), semua naik ke Surga, Sang
(Malaikat) Ijrail yang mengiringi.

63. Lamun Suksmane wong Islam, kang ntpi salat limang prakawis, sarta akeh
pujinipun, rina wngi tan owah, antpi jakat salat pasanipun, pitrah ing dina
riyaya, yen katrima ing Hyang Widdhi.
Jika Badan Halus orang Islam, yang menjalani shalat lima waktu, serta banyak
beribadah, siang malam tiada goyah, memenuhi zakat shalat dan puasa, zakat
fitrah menjelang hari raya, jika diterima oleh Hyang Widdhi.

64. Kaunggahaken suwarga, krana manut parentahe Jng Nabi, kabeh oleholehingsun, kang wus kasbut sarak, yen Suksmane wong kapir ingkang tan
manut, dhawuhe Jng Rasulullah, pinanjingakn yumani.
Akan naik ke Surga, karena menuruti perintah (Kang)jng Nabi, yaitu semua
yang aku jalani ini yang disebut syariat, tapi Badan Halus manusia kafir yang
tidak menuruti, perintah (Kang)jng Rasulullah, dimasukkan tempat siksaan
(Neraka).

65. Awit mukir mring Panutan, yen wong kapir dadi satruning Widdhi, Gatholoco
asru muwus, dene Ingkang Kuwasa, nganggo nyatru marang wong kapir
sadarum, lamun sira tan pracaya, maring kudrating Hyang Widdhi.
Sebab telah melawan Panutan, manusia kafir itu menjadi musuh (Hyang) Widdhi,
Gatholoco keras berkata, Sangat konyol jika Yang Maha Kuasa, memusuhi
manusia kafir, kamu nyata tidak mempercayai, kepada Kekuasaan (Kasih) Hyang
Widdhi.

66. Maido kuwasaning Hyang, dennya karya warnane umat Nabi, anane kapir
punika, sapa kang gawe kopar, lawan maneh ingkang karya uripipun, akarya bja
cilaka, tan liya Hyang Maha Suci.
Kamulah sesungguhnya yang menghujat Hyang (Widdhi)! Membagi-bagi
manusia menjadi umat Nabi (dan yang bukan umat Nabi), adanya sebutan kafir
itu, siapa yang membuat? Lantas pula siapa yang menciptakan mereka, yang
memberikan kemuliaan dan celaka, tiada lain juga Hyang Maha Suci.

67. Upama Allah duweya, satru kapir murtad marang Hyang Widdhi, bcik
sadurunge wujud, tinitah aneng dunya, dadi ora duwe satru ing Hyang Agung,
yen mngkono Allahira, iku ora duwe budi.
Jikalau Allah mempunyai, musuh yang disebut kafir yang katanya murtad kepada
Hyang Widdhi, sebaiknya Dia tidak usah menciptakan, dan mentitahkan (orang
kafir) hidup didunia, sehingga Hyang Agung (tidak repot-repot) mempunyai
musuh (yang membuat Dia marah-marah), jikalau memang demikian Allah-mu,
tidak mempunyai Budi (Buddhi :Kesadaran)!

68. Dhmn karya kasusahan, adu-adu wong Islam lawan kapir, beda kalawan
Allahku, mpki ing aguna, anuruti sakarepe umatipun, ora ana kapir Islam,
beda-beda kang agami.
Hanya membuat pekerjaan tak berguna, mengadu orang Islam dengan orang
kafir, berbeda dengan Allah-ku, penuh kebijaksanaan, memberikan kebebasan
bagi manusia, tiada yang disebut kafir dan Islam, manusia diberi kebebasan
memeluk agama!

69. Tgse aran agama, panggonane ngabkti mring Hyang Widdhi, ing sasbutsbutipun, waton trus kewala, tanpa salin agamane langgng trus, sapa kang
salin agama, anampik agama lami.
Yang dinamakan agama itu, sekedar wadah yang mengatur tata cara untuk
menyembah Hyang Widdhi, apapun sebutan (nama agama maupun menyebut
Tuhan)-nya, asal terus memantapkan diri dalam satu jalan, tiada bersalin agama
dan terus mantap (pasti akan diterima), (ketahuilah) sesungguhnya siapa yang
berpindah agama, menolak agama lama (yang sudah ditetapkan Hyang Widdhi
bagi dia).

70. Iku kapir aranira, krana nampik papsthene Hyang Widdhi, agamamu iku
kupur, nampik leluhurira, sasat nampik papsthenira Hyang Agung, panybutmu
siya-siya, anbut namaning Widdhi.

Itulah manusia kafir, karena menolak kepastian Hyang Widdhi, dirimu itu kufur,
menolak (agama) leluhur, jelas menolak kepastian Hyang Agung (yang telah
menetapkan bahwa agama leluhur Jawa adalah agama yang pas bagi orang
Jawa), doamu seolah sia-sia, saat kamu menyebut nama (Hyang) Widdhi (dengan
bahasa asing)

71. Sira iku bisa kandha, lamun kapir Suksmane manjing gni, Suksmane wong
Islam iku, kabeh manjing suwarga, apa sira wis tau nglakoni lampus, wruh
suwarga naraka, panggonane aneng ngndi.
Dan lagi kamu bisa mengatakan, apabila manusia kafir Badan Halusnya masuk
kedalam api (Neraka), (sedangkan) Badan Halus manusia Islam, semua naik
Surga, apakah kamu sudah pernah mati, sehingga tahu Surga dan Neraka?
Dimanakah tempatnya?

72. Kasan Bsari angucap, kang kasbut sajroning kitab mami, Gatholoco sru
gumuyu, sira santri kparat, ngandl marang daluwang mangsi bukumu, nurun
bukune wong sabrang, dudu tinggalan naluri.
(Kyai) Kasan Bsari (Hassan Bashori) menjawab, Itulah yang disebutkan dalam
kitab! Gatholoco tertawa keras. Kamu santri bodoh, mempercayai begitu saja
kepada kertas dan tulisan yang kamu sebut kitab, kitab yang kamu sadur begitu
saja dari kitab milik orang seberang, bukan (kitab suci) yang sudah melekat
semenjak dulu (dalam dirimu).

73. Buku tmbung cara Arab, tan ngopeni buku saking naluri, sayktine
kabisanmu, mung kitab sembarangan, sira gawa oleh-oleh lamun lampus, katur
marang Gusti Allah, bali ingkang duwe maning.
Kitab yang berbahasa Arab (saja yang kamu agungkan), tidak mempelajari kitab
(suci) yang sesungguhnya (yaitu Suara Ruh/Nurani), sesungguhnya wawasanmu,
kamu peroleh dari kitab sembarangan, (segala kesadaran dangkalmu hasil
mempelajari kitab Arab) kamu bawa sebagai oleh-oleh saat kamu mati kelak,
kamu haturkan (kesadaran semacam itu) kepada Gisti Allah, kepada yang
mempunyai.

74. Bakale apa katrima, krana iku kagungane pribadi, sakehe puji dikirmu, kabeh
pangucapira, iku uga kagunganira Hyang Agung, mangka sira aturna, bali
marang kang ndarbeni.
(Kesadaran) semacam itu mana mungkin diterima? Karena semua ini adalah
milik-Nya, seluruh puji dan dzikir-mu, seluruh ucapanmu, itu semua milik Hyang
Agung, tapi kamu malah bermaksud mengembalikan, kepada yang mempunyai

(maksudnya pemahaman merasa terpisah dengan Tuhan, terpisah dengan


Sumber Semesta dan merasa bahwa manusia ini eksis sendiri, bukan wujud
Tuhan, adalah pemahaman konyol menurut Gatholoco. Manusia itu nisbi,
manusia itu tidak ada, semua ini adalah wujud Tuhan. Lantas jika ada yang
meyakini, tubuh fisik ini milik kita yang dipinjamkan oleh Tuhan, dan nanti akan
kita kembalikan kepada-Nya, pemahaman semacam itu masih kurang tepat
menurut Gatholoco. Tidak ada pihak yang meminjamkan atau yang dipinjami.
Yang ada hanyalah TUHAN. Yang meminjamkan dan yang dipinjami, hanyalah
illusi. Illusi dari hasil mempelajari kitab-kitab seberang tersebut)

75. Apa ora nmu dosa, iku kabeh kagungane Hyang Widdhi, kpriye olehmu
matur, Kyai Guru saurnya, Sira iku maido kitabing Rasul, Gatholoco alon ngucap,
Tan pisan maido mami.
Sangat berdosa dirimu, karena ini semua adalah wujud Hyang Widdhi,
bagaimana kamu hendak menghaturkan (kembali), Kyai Guru menjawab, Kamu
menghina kitab Rasul, Gatholoco pelan menjawab, Bukan sekali ini aku
menghina.

76. Sawuse sira tumingal, mring unine buku daluwang mangsi, landhatn
kanyatahanmu, rasane saking sastra, sarta maneh sira iku mau ngaku, besuk
lamun sira pjah, anggawa sanguning brangti.
(Dengarkan) setelah dirimu membaca, segala yang tercantum dalam kertas
bertuliskan tinta yang kamu sebut kitab suci itu, nyatakan dalam dirimu sendiri
(jangan hanya meyakini secara buta), intisari dari sastra (ayat) yang sudah kamu
pelajari. Dan lagi kamu tadi mengaku, kelak jika kamu meninggal, kamu
membawa oleh-oleh yang sangat kamu cintai. (cinta dalam bahasa Jawa adalah
BRANGTA/BRANGTI atau ASMARADANA. Menyiratkan pupuh selanjutnya adalah
pupuh ASMARADANA)

1. Kacarita ing Cpkan, pondhok agng panggenan santri ngaji, punika sampun
misuwur, kawntar manca praja, wontn Kyai pinunjul jumnng Guru, alim
jamhur tanpa sama, kang nama Kasan Bsari.
Diceritakan di Cpkan, pondok (pesantren) besar tempat para santri belajar
mengaji, sudah terkenal, tersohor keluar daerah, terdapat seorang Kyai
berkedudukan sebagai Guru, sangat alim tersohor tiada tandingan, yang
bernama Kasan Bsari (Hassan Bashori).

2. Kajuwara yen ulama, mila unggul ginuron para santri, muridipun tigang atus,
ing wanci bakda isak, wus salat neng langgar ngaji sadarum, Kyai Guru arsa
mulang, kitab Pkih miwah Tapsir.
Unggul diantara para ulama, maka banyak didatangi para santri, muridnya
berjumlah tiga ratus orang, dikala bakda isya, selesai bersembahyang diLanggar (Musholla), Kyai Guru hendak mengajar, kitab Pkih (Fiqih) dan Tapsir
(Tafsir Al-Quran).

3. Undha usuk warna-warna, wontn santri ingkang lagya niteni, makna lapal
Kuran-ipun, ngasil-ingasil ika, samya taken-tinaken mring kancanipun, wontn
ingkang sampun paham, ngapalakn kitab Sitin.
Tingkah para santri bermacam-macam, ada yang tengah serius memperhatikan,
makna lapal Kuran (lafadz Al-Quran), apa yang dapat mereka pahami, beberapa
orang tengah saling tanya dengan temannya, ada yang sudah paham (ada yang
belum), lantas menghafalkan Kitab Sittin.

4. Tanapi sagunging kitab, sasnnge santri sawiji-wiji, santri ingkang sampun


putus, ing makna lapal Kuran, mncil mncul madoni mring Kyai Guru,
maknanira lapal Kuran, angambil sagunging misil.
Serta beberapa Kitab lagi, sesuai keinginan para santri sendiri-sendiri, santri
yang sudah berhasil, menghafal makna lapal Kuran (lafadz Al-Quran), segera
mencoba mendebat Kyai Guru, untuk semakin memahami maknanya, mencari
arti yang sesungguhnya.

5. Ingkang sampun kinawuhan, kang sawneh ana santri pradondi, ing lapal
makna puniku, udrg paben grjgan, santri kalih mara mrak marang Guru, gya
kasaru tamu prapta, Abdul Jabar Ahmad Ngarip.
Makna yang bisa mereka tangkap, ada juga beberapa santri yang tengah
bertengkar, mengenai sedikit makna yang berhasil mereka mengerti, bertengkar
rame saling ngotot, dua orang santri mendekat kehadapan (Sang) Guru,
berbarengan dengan kedatangan para tamu, Abdul Jabar Ahmad Ngarip (Arif).

6. Miwah Kyai Abdul Manap, sabat nnm datan pisah tut wuri, sinauran
salamipun, kang ngaji tutub kitab, tamu wau nulya minggah nglanggar gupuh,
apan samya ssalaman, jawat tangan gnti-gnti.
Berikut Kyai Abdul Manap (Manaf), enam sahabat terlihat mengikut dibelakang,
telah dijawab salam yang mereka ucapkan, seluruh yang tengah mengaji segera
menutup kitab (masing-masing), para tamu naik keatas Langggar (Musholla)
segera, sebentar kemudian saling bersalaman, mempertemukan tangan dengan
tangan berganti-gantian.

7. Sawustru ssalaman, sampun warata sadaya para santri, munggeng langgar


tata lungguh, Kasan Bsari mojar, Dene gati kados wontn karsanipun, pukul
pintn mangkatira, saking pondhok Rjasari.
Setelah bersalaman, merata kepada seluruh santri, masing-masing para tamu
segera bersila, (Kyai) Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata, Sepertinya ada hal
yang sangat penting, pukul berapa tadi berangkat, dari pondhok (pesantren)
Rjasari?

8. Angling Kyai Abdul Jabar, Bakda subuh mangkat wanci byar enjing, milahipun
ngantos dalu, kdangon wontn marga, mandhg bantah kawon mngsah tiyang
kupur, Gatholoco namanira, dhapure mbotn mjaji.
Menjawab Kyai Abdul Jabar, Selepas Subuh tepat pagi menjelang (kami)
berangkat, tiba disini hingga malam, (sebab) terlalu lama, berhenti dijalan
berbantahan ilmu dengan manusia Kupur (Kufur) dan (kami) kalah, Gatholoco
namanya, orangnya sangat jelek.

9. Punika setan katingal, anak Blis ambgta wadhung linggis, pan kinarya
ngrusak ngrmuk, ing sarak Rasulullah , ingkang lrs dipun wadhung lmah
putung, yen pokah rbah binubrah, agami den obrak-abrik.
Orang ini adalah Setan yang mewujud, anak Iblis yang tengah membawa pedang
dan linggis, yang hendak dipergunakan untuk merusak dan meremukkan,
syariat Rasulullah, yang sudah lurus hendak ditebas dengan pedang, yang
sudah benar hendak dirusak, agama diobrak-abrik!

10. Sadaya sarak tinrak, morak-marik sirik den orak-arik, amung nekad gasruh
rusuh, jinawab mung sakcap, gulagpan kula tan bangkit sumaur, sagung
karam rinampasan, ambubrah sarak lan sirik.

Seluruh syariat (peraturan) diterjang, kacau balau larangan dijungkir-balikkan,


niatnya memang hendak membikin rusuh, satu ucapan dari mulutnya, membikin
hamba gelagepan tak bisa menjawab, segala yang haram dipakainya, membuat
bubrah syariat (peraturan) dan larangannya!

11. Wungkul akal mokal nakal, sangt ngrengkel ngungkil nyrekal mthakil,
sakeh kawruh kabarubuh, sagung pasal kasingsal, dalil-dalil katail ing misilipun,
kula mapan mung kasoran, kula nyingkring botn mlangkring.

Sangat pintar dan cerdik, sangat alot tajam (kritis) seenaknya dan semaunya,
seluruh ilmu kami tertindih (oleh ilmu)nya, seluruh jawaban (kami) tiada
berguna, dalil-dalil (kami) mentah maknanya (dihadapan dia), kami semua
menerima kalah, kami kejarpun tak mampu kami memegang (ilmu)nya.

12. Panggah bantah mksa kalah, boten btah isin den iwi-iwi, sakeh padu dipun
buru, sakeh jawab tan mnang, salin pisuh botn pasah saya rusuh, malah
munggah ngarah sirah, lir maling nja anjiling.
Memaksakan terus berdebat tetap juga kami kalah, (kami) tak bisa menahan
malu manakala dicemooh, segala debat mampu dijawabnya, segala bantahan
kami tiada menang, hingga kami maki-pun tetap saja kami kalah, malahan
semakin lancang menginjak kepala, bagai maling yang kurang ajar (kepada
pemilik barang yang dimalinginya).

13. Kula tansah kaungkulan, pijr kojur botn sagd ngungkuli, kula suwun mring
Hyang Agung, salami-kula gsang, sampun ngantos kpranggul tiyang kayeku,
yen kapthuk kula nyimpang, jejera kula sumingkir.
Kami selalu diunggulinya, senantiasa kalah tak dapat mengungguli, kami
meminta kepada Hyang Agung (Tuhan), semoga selama hidup, jangan sampai
bertemu lagi dengan manusia seperti itu, apabila berpapasan kami akan
menghindar, jika bersebelahan kami akan menyingkir!

14. Manah kula sampun jinja, krana saking kapok den iwi-iwi, Kasan Bsari duk
ngrungu, mring nalar kang mangkana, sanalika dennya ngontor asru bndu, jaja
bang mawinga-winga, muring-muring waja gathik.
Hati kami sudah enggan, sebab kapok terus dicemooh, (Kyai) Kasan Bsari
(Hassan Bashori) manakala mendengarnya, akan kelakuan manusia semacam
itu, seketika murka, dada bergemuruh wajah memerah, marah-marah gigi
bergemeletukan!

15. Netra andik angatirah, Kyai Kasan Bsari ngucap bngis, Patut kang kaya
dhapurmu, santri remeh kewala, bnr sira mantholos ndhasmu gundhul, buntu
buntt tanpa nalar, mung jakat kang sira-incih.
Mata melotot tajam, Kyai Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata kasar, Pantas
jika seperti kalian (kalah), para santri bodoh, memang benar kepala kalian
pelontos gundhul, tapi otak kalian buntu tanpa kepintaran, hanya Jakat (Zakat
Fitrah) semata yang kalian ketahui!

16. Durung patut ginuronan, guru bodho kawruhmu mung sanyari, ora liya
kabisanmu, marani anggr wisma, kang ginawa kasang wadhah karag skul,
bisane Ndonga Kabula, ngaji kulhu lamyakunil.
Belum pantas digurui (oleh para murid), guru bodoh ilmumu hanya sejengkal jari,
tiada lain yang kalian bisa, keluar masuk rumah, sembari membawa bakul nasi
(maksudnya untuk memimpin acara tahlilan atau selamatan saja dan pulangpulang membawa makanan dari acara tersebut), bisanya hanya membaca Doa
Kabula (Doa Qabul : Doa agar niat tuan rumah yang mengadakan acara tahlilan
atau selamatan terlaksana), hanya bisa membaca Kulhu lamyakunil (Kulhu Allahu
Ahad, Allahu Shomaddst. Maksudnya, doa yang umum diketahui semua
orang!)

17. Ora padha kaya ingwang, marma gun-DHUL kasun-DHUL ing agami, mila puTIH surbaningsun, ti-TIH te-TEH micara, kalah iki msti ngambil saking biku, mila
kthu taranca-NGAN, panja-LIN ingkang kinardi.

Tidak seperti aku, gun-DUL kepalaku karena sun-DHUL (menggapai langit) ilmu
agamaku! Pu-TIH sorbanku, karena mulutku ti-TIH te-THE (jelas dan lugas)

menyampaikan ilmu, memakai kethu (kopiah/songkok model kuno) berbentuk


tranca-NGAN (bersusun indah) terbuat dari jalinan pnja-LIN
.
18. Keri-NGAN santri ulama, ora kewran kawruhku saLIN-saLIN, nrawang putus
ngisor dhuwur, mila klambi kba-YAK, bisa mi-YAK marang kawruh agal alus,
sabuk poleng MANCA WARNA, kawruh ingsun WARNI-WARNI.
(Karena aku) Keri-NGAN (Terkenal) diantara para santri dan ulama, bahkan tidak
hanya itu ilmuku bisa sa-LIN sa-LIN (Berganti-ganti karena saking banyaknya
ilmu), jelas dan terang mulai hal yang rendah hingga yang tinggi, aku memakai
busana kba-YAK (kebayak model untuk pakaian santri), karena aku bisa miYAK (membuka) rahasia ilmu yang kasar dan ilmu yang halus (maksudnya dari
ilmu yang tergampang hingga ilmu yang tersulit), berikat pinggang model Poleng
(berbelang-belang) BERANEKA WARNA, karena ilmu-ku pun ber-WARNA-WARNI

19. Ilmu Jawa Landa Cina, Turki Koja Hindhu Bnggala Kling, kabeh iku wus
kacakup, sun-simpn aneng kasang, kawruh Arab awit timur nganti lamur,
kawruh Jawa tan kuciwa, dhasar ingsun bangsa Jawi.
Ilmu Jawa Belanda China, Turki Koja Hindhu Bnggala Kling, semua sudah aku
kuasai, aku simpan dalam penyimpanan yang rapi, ilmu Arab aku kuasai
semenjak muda hingga mataku mulai kabur, ilmu Jawa-pun tak mengecewakan,
karena dasarnya aku memang orang Jawa!

20. Mila bbd sarung amba, omber jmbar ngungkuli ingkang dakik, kabeh ilmu
ingsun wruh, nganggo ts-BEH sanyata, ka-BEH kawruh ingkang luwih saking
alus, ora nana bisa mada, amadani marang mami.
Makanya aku memakai sarung yang lebar, karena ilmuku lebar dan luas melebihi
semua orang yang ahli ilmu, segala ilmu aku ketahui, akupun memegang tasBEH (tasbih), karena ka-BEH (semua) ilmu yang terhalus sekalipun (aku
kuasai), tak ada yang bisa menghina, mencemooh kepada diriku.

21. Mulane nganggo gam-PARAN, sa-PARAN-ku angungkuli sasami, mulane CIS


tkningsun, kum-CIS nora cidra, anrawang jaba jero ngisor dhuwur, upamane
ingsun kalah, mungsuh janma tanpa budi.

Oleh karenanya pula aku memakai gam-PARAN (terompah), (karena) sa-PARANku (dimanapun diriku) akan melebihi sesama, oleh karenanya CIS (tongkat)
tongkatku (Cis itu padanan kata Tongkat), kum-CIS (berani) tak akan mundur,
ku ketahui segala hal mulai bagian luar dalam bawah hingga atas, seumpama
aku sampai kalah, melawan manusia tanpa Budi (Buddhi ; Kesadaran).

22. Sayktine ingsun wirang, golekana saiki ana ngndi, si Gatholoco wong
kumprung, ingsun arsa uninga, mring warnane janma ingkang kurang urus,
Ahmad Ngarip ujarira, Duk wau sapungkur mami.
Aku akan sangat-sangat malu, carilah sekarang dimana, si Gatholoco manusia
tidak tahu aturan itu, aku ingin melihat, (bagaimana) wujud manusia yang
kurang ajar tersebut, Ahmad Ngarip (Arif) menjawab, Sepeninggal kami tadi.

23. Tut wingking lampah kawula, kintn-kintn dalu punika ugi, nyipng wontn
kitha Pungkur, Kasan Bsari ngucap, Lamun mrene sun jewere kupingipun,
mungsuh janma ngrusak sarak, kalah lambene sun juwing.
Sepertinya berjalan mengikuti langkah kami, kira-kira malam ini juga, tengah
bermalam di kota Pungkur, (Kyai) Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata, Jika ada
disini akan aku jewer telinganya! Berdebat dengan manusia perusak syariat
seperti dia, jika nanti sampai dia kalah akan aku cincang mulutnya!

24. Sun karya pangewan-ewan, Duk samana dupi sampun byar enjing, wanci
bakda salat subuh, prentah mring santri tiga, Golekana Gatholoco den katmu,
tkakna mring ngarsaningwang, Santri tiga gya lumaris.

Benar-benar aku berjanji, Bersamaan dengan datangnya pagi, seusai shalat


subuh, (Kyai Hassan Bashori) memberikan perintah kepada ketiga santri, Carilah
Gatholoco hingga ketemu, bawa kehadapanku, Ketiga santri segera berangkat.

25. Datan winarna ing marga, santri tiga lampahnya sampun prapti, ing
pacandhon kutha Pungkur, nulya manjing ngpakan, santri tiga pramana samya
andulu, ing pacandhon wonten janma, ndhek cilik bokong canthik.
Tidak diceritakan dalam perjalanan, ketiga santri akhirnya sampai, ditempat
madat kota Pungkur, langsung masuk ke-tempat madat tersebut, ketiga santri

awas melihat-lihat, didalam tempat madat terdapat manusia, (berpostur) pendek


pantat tepos.

26. Tinakenan namanira, gya sumaur Yen sira takon mami, Gatholoco
araningsun, santri tiga tuturnya, Katimbalan sireku mring ngarsanipun, Guruning
santri Cpkan, Kiyai Kasan Bsari.
Manakala ditanya siapa namanya, segera dijawab Jika kalian bertanya siapa
namaku, Gatholoco namaku, Ketiga santri berujar, Kamu dipanggil untuk
menghadap, Guru para santri di (pondok pesantren) Cpkan, Kyai Kasan Bsari
(Hassan Bashori).

27. Kinen sareng lampah kula, Gatholoco maleleng ngiwi-iwi, gela-gelo manggutmanggut, nanging kendl kewala, cangkmipun macucu boten sumaur, nulya
nmbang ura-ura, larase mung anggr muni.
Menghadap bersama dengan kami sekarang, Gatholoco acuh sembari mencibir,
mempermainkan kepala manggut-manggut, akan tetapi tak bersuara, mulutnya
dimonyongkan tak ada jawaban, lantas menyanyikan tembang, iramanya asal
bunyi.

28. Piyik anak manuk Dara, Pdhet iku jarene anak sapi, Cmpe cilik anak
Wdhus, Gudel anak Maesa, Kirik cilik iku jare anak Asu, Belo kpl anak jaran,
Gnjik cilik anak Babi.
Anak burung Dara (Merpati) namanya Piyik, anak Sapi namanya Pdhet, anak
Wdhus (Kambing) namanya Cmpe, anak Maesa (Kerbau) namanya Gudel, anak
Asu (Anjing) namanya Kirik, anak Jaran (Kuda) namanya Blo, anak Babi
namanya Gnjik.

29. Skar Pucang jare Mayang, skar Mlathi jarene skar Mlathi, kmbang
Gdhang jare Jantung, yen kmbang Klapa Manggar, dhuh lae dhuh kmbang
Mnur kmbang Mnur, kmbang Pacar kmbang Pacar, kmbang Sruni
kmbang Sruni.
Kmbang pohon Pucang namanya Mayang, kmbang pohon Melathi katanya
kmbang Melathi, kmbang Gdhang (Pisang) namanya Jantung, kalau kmbang

Klapa (Kelapa) namanya Manggar, aduh aduh kmbang Mnur kmbang Mnur,
kmbang Pacar kmbang Pacar, kmbang Sruni kmbang Sruni.

30. Santri murid kang dinuta, samya eram sadaya tyasnya gli, kapingkl-pingkl
gumuyu, wacana jroning driya, apa baya pancen duwe lara gmblung, dene pijr
ura-ura, bcik kudu diasori.
Para murid santri yang diutus, keheranan melihat tingkah Gatholoco dan geli,
terpingkal-pingkal ketawa, membatin dalam hati, apa memang memiliki sakit
gila, ditanya kok malah bernyanyi tidak karuan nadanya, lebih baik diambil
hatinya agar menurut.

31. Murid tiga angrrpa, sanjang malih sarana ngarih-arih, ingarah mung murih
purun, Mangga tumuntn mangkat, mring Cpkan manggihana Kyai Guru,
manawi den arsa-arsa, kedangon kula ngntosi.
Ketiga murid memohon, kembali meminta dengan mengharap-harap, agar
supaya bersedia, Mohon bersedia menghadap, ke (pondok pesantren) Cpkan
bertemu Kyai Guru, siapa tahu sudah ditungggu-tunggu, kami kelamaan menanti
jawaban (anda).

32. Gatholoco klewa-klewa, sarwi ngucap Apa sira tan uning, ingsun iki lagya
ewuh, lan bangt ktagihan, lamun sira paripaksa ngundang mring sun, kthumu
bae sun-slang, prlu kanggo gadhen dhingin.
Acuh tak acuh Gatholoco, sembari berkata Apa kalian tak melihat, aku ini sedang
kebingungan, dan sangat ketagihan, apabila kalian memaksa aku, kthu (kopiah)
kalian saja aku pinjam, perlunya untuk aku gadaikan.

33. Candu rong timbang kewala, nanging jangji sira tbus pribadi, mngko yen
wus mndm ingsun, tumuli mangkat mrana, lamun sira ora lila kthu iku,
ingsun wgah lunga-lunga, moh nmoni Kyai Kaji.
Aku tukarkan candu sebanyak dua timbangan saja, akan tetapi harus berjanji
kalian yang menebus sendiri nanti, jika aku sudah mabuk, baru berangkat
kesana, apabila kalian tidak rela meminjamkan kthu (kopiah) kalian, aku tidak
sudi pergi, menemui Kyai Kaji (Kyai Haji).

34. Santri tiga duk miyarsa, rrmbugan lawan rowange sami, lamun ora sinung
kthu, saykti tan lumampah, ora wurung Kyai Guru mngko bndu, upama
ingsun wenehna, luwih bcik den turuti.
Mendengar hal itu maka ketiga santri, saling berembug, apabila tidak diberikan
kthu, pasti tak mau beranjak pergi, ujung-ujungnya nanti Kyai Guru akan marah,
lebih baik di berikan dan lebih baik dituruti.

35. Santri duta kang satunggal, amangsuli mangkana dennya angling, wus ttela
nalar kojur, iku padha kewala, kthu mami uga anyar oleh tuku, lawase satngah
wulan, rgane srupiyah putih.
Salah seorang santri, menjawab beginilah katanya, Sudah terlanjur memang
nasib kita, semua sama saja, kthu-ku juga masih baru beli, setengah bulan yang
lalu, harganya satu rupiah perak.

36. Kang satunggal tumut ngucap, ora beda anyare kthu mami, lagi nganggo
patang taun, mangka utang pitung wang, bayar nicil setheng setheng sabn
esuk, sun-lowongi durung sah, isih kurang limang kthip.
Yang seorang berkata, Sama juga milikku juga masih baru, ku pakai empat
tahun, padahal aku berhutang 7 Wang, menyicil 1 Setheng tiap pagi, belum juga
lunas. Masih kurang 5 Kthip. (Nilai 12 Wang sama dengan 1 Rupiah. Nilai 1
Setheng sama dengan 1/2Sen. Nilai 1 Kthip sama dengan 5 Sen, sedangkan
nilai 1 Sen sama dengan Seperseratus rupiah.)

37. Najan camah awakingwang, waton oleh alme guru mami, santri tiga samya
muwus, niki kthu kawula, tampenana Gus Nganten sampeyan pundhut,
gadhekna kula sumangga, sakmana dipun tampeni.
Walau harus rugi, asal dapat pujian Guru, Ketiga santri lantas sepakat, Ini kthu
kami, terimalah manusia bagus, silakan digadaikan, Segeralah diterima.

38. Wusnya kthu tinampenan, santri duta malah den iwi-iwi, ngisin-isin sarwi
muwus, Sireku ngntenana, kthu tiga dipun gantosakn candu, rong timbang
cinukit ngingkrang, sinrt bantalan dingklik.

Setelah kthu diterima, para santri utusan malah diejek, diperpermalukan


sembari berkata, Kalian semua tunggulah. Tiga kethu ditukar candu, sebanyak
dua timbangan segera diungkit, lantas dihisap (oleh Gatholoco) sembari
berbantalkan kursi kecil.

39. Wus tuwuk panyrtira, bdudane nulya dipun sangklit, Gatholoco gya
lumaku, den iring santri tiga, sadangune lumampah urut dalanggung, ngupaya
snnging driya, rrpen sinawung gndhing.
Setelah puas menghisap (candu), pipa pun lantas ditaruh dipinggang, Gatholoco
segera berjalan diiringi ketiga santri, sepanjang jalan, mencari senangnya hati,
dengan bernyanyi dan menembang.

40. Bismillah sun-ura-ura, sun-wangsalan Ptis apyun (CANDU) upami, ana kthu
dadi CANDU, candu dadi glngan, Patek tungkak (BUBUL) glngane dadi kBUL, kbule mrasuk mring badan, sumrambah dadi nygri.
Bismillah aku hendak bernyanyi, bersyair wangsalan (kata-kata yang vocal-nya
berupa sandi) Ptis apyun (CANDU) seumpama, ada kthu (kopiah) menjadi
CANDU, candu menjadi gelintiran, Patek (penyakit kulit) di telapak kaki
(BUBUL) gelintiran menjadi ke-BUL (Asap), asapnya merasuk badan, menyebar
membuat segar.

41. Jnang sobrah (AGR-AGR) Ancur kaca (RASA), Balung tipis munggeng
pucuk dariji (KUKU), s-GR dadi ro-SA mla-KU, nanging ingkang kelangan,
paribasan Sabt kuda (CMTHI) ms-THI gtun, aranira Tirta maya (WISUHAN),
mi-SUH-mi-SUH jroning batin.
Bubur sobrah (AGER-AGER) Ancur (bubuk) dari pecahan kaca (RASA), Tulang
kecil berada diujung jemari (KUKU) se-GER (Segar) jadi ro-SA (Kuat) luma-KU
(berjalan), akan tetapi yang kehilangan, bagaikan Alat pemukul untuk kuda
(CEMETHI) mes-THI (Pasti) merasa sayang, disebut Air berwarna (WISUHAN/AIR
PEMBASUH), mi-SUH mi-SUH (Memaki-maki) didalam hati.

42. Dhuh bakul Sotya kncana (PARA), Sela ingkang kinarya ngasah lading
(WUNGKAL), mani-RA bakal katmu Guru santri Cpkan, Paksi alit kang dadya
sasmiteng tamu (PRNJAK), Pthel panjang tanpa sangkal (TATAH), nja nga-JAK
ban-TAH ilmi.

Wahai Penjual perhiasan (PARA), Batu yang dipakai untuk menajamkan besi
(UNGKAL). mani-RA (Aku) ba-KAL (Hendak) bertemu dengan Guru para santri
di Cpkan, Burung mungil yang sering dipakai pertanda jika hendak ada tamu
datang (burung PRNJAK), Palu panjang (TATAH), hendak menga-JAK ban-TAH
ilmu.

43. Kadhal gung wismeng bangawan (BAJUL), Jambu ingkang isi lir mirah edi
(DLIMA), sanajan guru pinun-JUL, alim jamhur ula-MA, Wadhung pari (ANI-ANI)
ingsun uga wa-NI mungsuh, mrica kcut dedompolan (WUNI), sagndhinge sun
lade-NI.
Kadal bertubuh besar yang tinggal disungai (BAJUL/Buaya), Buah jambu yang
bijinya bagai batu mirah (DLIMA/Delima), walaupun Guru pinun-JUL (Terkenal),
alim pandai dan berstatus ula-MA, Cangkul padi (ANI-ANI) aku tetap waNI(Berani), Merica bergerombol yang rasanya kecut (WUNI), apa yang diminta
akan aku lade-NI (Layani).

44. Dumugi pondhok Cpkan, kacarita ing pondhok para santri, miwah sagung
para guru, mulat kang lagya prapta, maksih wontn plataran ngandhap wit jruk,
Kyai Abdul Jabar ngucap, mring Kyai Kasan Bsari.
Sesampainya di pondok (pesantren) Cpkan, tampaklah para santri, berikut
para guru, melihat siapa yang baru datang, masih berada di pelataran tepat
dibawah pohon jeruk, Kyai Abdul Jabar berkata, kepada Kyai Kasan Bsari
(Hassan Bashori).

45. Tiyang makaten punika, najis mkruh tan pants minggah mriki, Kasan
Bsari sumaur, najan mkruh najisa, nanging iku tkane saking karpmu, bcik
kinen munggah langgar, dimene tumuli linggih.
Manusia seperti itu, najis tak pantas naik ke (atas musholla) ini, (Kyai) Kasan
Bsari (Hassan Bashori) menjawab, Walaupun najis, akan tetapi yang
menyebabkan dia hadir disini juga kamu, lebih baik suruh naik ke Langgar
(Musholla), agar supaya bisa duduk.

46. Rgd ora dadi ngapa, yen wus lunga tilase disirami, Kasan Bsari gya
dhawuh, Uwong ala lungguha, kono bae ing jrambah lor wetan iku, Gatholoco
sigra minggah, marang langgar mapan linggih.

Kotor-pun tak menjadi masalah, manakala sudah pergi nanti bekas dimana dia
duduk disiram dengan air, (Kyai)Kasan Bsari (Hassan Bashori) berkata, Manusia
jelek duduklah, disitu saja diteras (mushola) sebelah timur laut, Gatholoco
segera naik, ke atas Langgar (Musholla) dan duduk.

47. Sendheyan prnah lor wetan, bdudane maksih dipun sangklit, nulya nitik
karya latu, ngakp rokok tgsan, tgsane sadriji kbule mabul, mratani
sajroning langgar, ambtipun sngak sangit.
Duduk disebelah timur laut dan bersandar, pipa masih di selipkan dipinggang,
lantas menyalakan api, rokok candu disulut, rokok candu sebesar jemari tangan
asapnya menyebar, merata memenuhi Langgar (Musholla), baunya sngak (tidak
enak) sangit (bau barang terbakar).
38.Guru tiga duk miyarsa, sru nyntak sarwi nudingi, Gatholoco sira gila,
Gatholoco anauri, Ingsun gila saykti, yen wruh kaya dhapurmu, wdi bok
katularan, ora duwe mata kuping, kawruhira amung jakat lawan pitrah.

Ketiga Guru begitu mendengarnya, keras membentak sembari menuding,


Gatholoco kamu gila! Gatholoco menjawab, Aku memang gila, jika bertemu
orang sepertimu, aku takut ketularan, tidak memiliki mata dan telinga,
pengetahuan kalian hanya melulu berkisar tentang jakat pitrah (zakat fitrah)
saja.

39.Kyai Guru tiga pisan, tyasnya runtik anauri, Nyata sira anak Jalang, Gatholoco
amangsuli, Iku bnr tan sisip, bapa biyung kaki buyut, kabeh kna ing pjah,
lamun wis tumkeng jangji, ykti mulih mring asale padha Ilang.

Ketiga Guru semua, dengan hati panas menyahuti, Nyata kamu anak Jalang!
Gatholoco menjawab seenaknya, Ucapanmu benar tidak keliru, bapak ibu kakek
dan buyut-ku, semua terkena mati, jika sudah sampai pada saatnya mati, pasti
pulang keasalnya semua meng-Hilang! (Inilah sikap bijak seorang yang
tercerahkan. Manakala dia dihina, maka dia akan merespon dan memaknai
hinaan itu dengan makna positif. Gatholoco di caci sebagai anak Jalang, tapi
Gatholoco seolah tak mendengar kata Jalang tapi malah mendengar kata Hilang.
Contohlah sikap seperti ini.)

40.Kiraku manawa sira, mtu saking rca wsi, dene wujud tanpa nyawa, sira ora
duwe budi, Kyai Guru nauri, samya misuh Truk biyangmu, Gatholoco angucap,
Iku bangt trima-mami, krana sira tlu pisan misuh mring wang.

Kukira mungkin kalian, lahir dari arca besi, berwujud tapi tanpa nyawa, karena
terlihat kalian tidak mempunyai budi (buddhi : kesadaran), Kyai Guru menjawab,
dengan mengumpat Turuk biyang-mu (Dasar terlahir dari Vagina)! Gatholoco
berkata, Sangat berterima kasih aku, karena kalian bertiga mengumpati aku (dan
ibuku).

41.Sira nuduhake biyang, ingsun iki tan udani, duk lair saking wadonan, amung
ingkang sun-gugoni, wong tangga kanan kering, bapa biyang ingkang ngaku,
nganakake maring wang, iku ingkang sun-sungkmi, nanging batin ingsun ora
wani sumpah.

Kalian telah berani menunjukkan darimana Aku telah terlahirkan, akan tetapi Aku
sendiri tidak yakin pasti, apakah benar aku terlahirkan dari vagina, hanya yang
Aku jadikan pegangan, kesaksian tetangga kiri kanan, berikut bapak dan ibu
yang mengakui, telah memperanakkan Aku, keduanya Aku junjung tinggi, akan
tetapi didalam hati sesungguhnya Aku tidak berani bersumpah (telah terlahir
dari sebuah vagina!)

42.Iya iku bapa biyang, ingkang wruh lair-mami, saikine sira bisa, nuduhake
biyang-mami, wismane ana ngndi, lawan sapa aranipun, amba-ciyute pira,
duweke wong tuwa-mami, yen tau wruh iku ujar amblasar.

(Mungkin) hanya bapak dan ibu-ku, yang mengetahui dengan pasti darimana Aku
terlahirkan, akan tetapi sekarang kalian (yang baru bertemu denganku saat ini
saja), telah berani menyatakan bahwa Aku terlahir dari vagina ibu, jika memang
benar kalian tahu pasti, dimanakah rumah ibu-Ku, lantas siapakah namanya,
serta seberapa ukuran, milik (vagina) ibu-Ku? Jika tidak bisa menjawab nyata
kalian telah bersaksi palsu!

43.Krana ingsun nora wikan, wujude Ingsun saiki, mujud dhewe tanpa lawan,
Allah ora karya mami, anane raga-mami, gaweyanira Hyang Agung, duk aneng
alam dunya, ana satngahing bumi, lawan sira kala karya raganira.

(Ketahuilah) sesungguhnya Aku tidak ragu bahwa, wujud(Atma)-Ku ini, berwujud


dengan sendirinya (bukan dilahirkan oleh vagina) dan tiada tandingan, Allah
tidak menciptakan Aku (Maksudnya Allah saja tidak menciptakan Atma atau Ruh:
Atma atau Ruh tidak diciptakan, tidak ada yang menciptakan Atma atau Ruh.
Atma dan Ruh adalah percikan-Nya), (sedangkan) adanya Raga(Tubuh Fisik)-Ku,
(memang) buatan Hyang Agung (Maksudnya Hyang Agung/Allah hanya
menciptakan Raga atau Tubuh Fisik semata), (diciptakan) saat ada di alam dunia,
ada ditengah-tengah bumi, manakala membuat raga kalian (Maksudnya dicipta
ditengah ruang dan waktu relatif semesta raya).

44.Sawindu lawan sawarsa, rolas wulan pitung ari, pndhak pasar ratri siyang,
sajam sawidak mnit, ora kurang tan luwih, wukune mung tlung puluh,
raganingsun duk daya, sarta wus wani nyampahi, wruhaningsun sanajan saiki
uga.

Sawindu (siklus delapan tahunan) serta Setahun, Dua belas bulan Tujuh hari,
Pndhak Spasar (siklus hari dalam jumlah lima : Kliwon, Lgi, Pahing, Pon dan
Wage) Malam dan Siang, Satu jam Enam puluh menit, tak lebih dan tak kurang
dari itu, Wuku-nya hanya tiga puluh (Wuku adalah perhitungan siklus tujuh
harian/seminggu. Ada tiga puluh Wuku. Setiap Wuku berumur tujuh hari. Total
tiga puluh Wuku memakan waktu 210 hari), (Didalam ukuran ruang dan waktu
relatif duniawi seperti contoh diatas) Raga(Tubuh Fisik)-Ku memiliki bentuk
(maksudnya tercipta), serta sudah berani menghina (maksudnya juga tercipta
Tubuh Halus/Suksma Sariira yang menyelimuti kesadaran Atma sehingga
berubah menjadi sosok makhluk yang tidak murni), ketahuilah hal ini sekarang
juga.

45.Badanku kna ing rusak, urip-mami wangawuhi, saobah-osiking badan,


Rasulullah andandani, krana ingsun kkasih, kinarya Pangeraningsun, marang
sagunging sipat, nggsangakn saliring tunggil, iya Ingsun iya Allah ya
Muhammad.

Badanku bisa rusak, (akan tetapi) Hidup (Atma)-ku abadi, seluruh keberadaan
tubuh ini, Rasulullah (Atma/Ruh)-lah yang menghiasi, karena Aku
(Hidup/Atma/Ruh/Rasulullah
) adalah kekasih(-Nya), dianggap sebagai Tempat untuk Mengabdi (bagi Tubuh
Fisik/Sthula Sariira dan Tubuh Halus/Suksma Sariira), Tempat untuk Mengabdi
bagi seluruh sipat (maksudnya segala sifat yang baik maupun yang buruk dari
Suksma Sariira), menghidupi segalanya dalam satu kesatuan, (sesungguhnya)
Aku (Ruh/Atma) adalah juga Allah adalah juga Muhammad.

46.Guru tiga asru mojar, Sira wani angakoni, tunggal wujud lan Pangeran, apa
kuwasamu kuwi, Gatholoco nauri, Ngawruhi dadine lbur, kalawan pparngan,
karsane Kang Maha Suci, ingsun dhewe tan kuwasa apa-apa.

Ketiga Guru keras berkata, Kamu berani mengakui, satu kesatuan wujud dengan
Tuhan, apa kekuasaanmu? Gatholoco menjawab, Menyadari menjadi dan
leburnya (maksudnya menyadari sepenuhnya sepanjang kelahiran dan kematian
saat terlahirkan sebagai Gatholoco saja), dengan ijin, dan kehendak Yang Maha
Suci, aku sendiri tak berkuasa apa-apa. (Maksud Gatholoco, dalam kondisi Atma
masih terikat oleh Suksma Sariira/Tubuh Halus dan Sthula Sariira/Tubuh Fisik,
Atma hanya mampu mengetahui kelahiran dan kematiannya dalam satu siklus
kehidupannya ini saja, sedangkan diluar itu, Atma belum mampu menyadari).

47.Ragengsun wujuding Suksma, angawruhi ing Hyang Widdhi, tumindak


karsanira Hyang, aweh mosik liya mami, Muhammad kang nduweni, pangucap
paningalingsun, pangganda pamiyarsa, dene lesan lawan dhiri, kabeh iku
kagungane Rasulullah.

Ragaku adalah wujud Suksma (kata Suksma disini yang dimaksud adalah Hyang
Suksma, yang artinya Tuhan. Bukan Suksma Sariira/Tubuh Halus), jelas-jelas
adalah Hyang Widdhi yang terlihat, mampu eksis atas kehendak Hyang (Widdhi)
sendiri, mampu pula beraktifitas (atas kehendak-Nya juga), Muhammad
(Atma/Ruh juga adalah wujud Hyang Widdhi) yang memiliki, pengucapan
penglihatanku, penciuman dan pendengaranku, lesan dan pribadi ini, semua itu
milik Rasulullah (Atma/Ruh). (Maksudnya baik Raga/Sthula Sariira hingga Atma
dalam bahasa Gatholoco adalah Muhammad atau Rasulullah- semua adalah
perwujudan Hyang Suksma atau Hyang Widdhi atau Tuhan. Atma ini tiada beda
dengan Hyang Widdhi. Maka tepatlah jika dinyatakan, seluruh pengucapan,

penglihatan, penciuman, pendengaran dan sebagainya sesungguhnya adalah


milik Atma.)

48.Ingsun ora apa-apa, mung pangrasa duwek-mami, iku yen ana sihing Hyang,
yen tan ana sihing Widdhi, duwekingsun mung spi, basa spi iku suwung, tan
ana apa-apa, lir ingsun duk durung dadi, ttp suwung ora wruh siji apa.

Aku ini tidak memiliki apa-apa, hanya perasaan (merasa memiliki) saja yang
menjadi miliku, itu saja jika mendapatkan kasih dari Hyang (Widdhi), jika tak
mendapatkan kasih (Hyang) Widdhi, milikku hanyalah spi, arti kata spi adalah
kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan aku saat belum menjadi, tetap kosong tak
mengetahui apa-apa. (Maksudnya wujud manusia ini sesungguhnya adalah
perwujudan Tuhan juga. Manusia itu tidak ada. Yang ada hanya perasaan
merasa ada dan memiliki pribadi yang terpisah dengan Tuhan. Jika illusi merasa
ada dan merasa memiliki pribadi yang terpisah dengan Tuhan ini tersingkap,
maka yang ada hanyalah KOSONG. KOSONG itulah KEABADIAN DAN
KEBAHAGIAAN MILIK KITA DULU. KOSONG ITULAH TUHAN!)

49.Abdul Jabar nulya mojar, Sira iku angakoni, wujudmu wujuding Suksma, ing
mangka ragamu kuwi, kna rusak bilahi, ora langgng sira wutuh, Gatholoco
angucap, Ingkang rusak iku bumi, kalimputan wujud-mami lan Pangeran.

Abdul Jabar lantas berkata, Kamu mengakui, wujudmu adalah wujud (Hyang)
Suksma, padahal ragamu itu, bisa terkena rusak dan celaka, tidak utuh abadi
selamanya, Gatholoco berkata, Yang bisa rusak itu badan yang berasal dari bumi
(kata bumi hanya mewakili segala unsur alam semesta), yang terselimuti wujudKu (Atma) dan Tuhan (Brahman).

50.Ingsun Ingkang Maha Mulya, tan kna rusak bilahi, ingkang langgng swarga
mulya, Kyai Guru anauri, Yen mangkono sireki, wruh psthine Hyang Agung,
kang durung kalampahan, Gatholoco anauri, Wruh pisan psthine mring
raganingwang.

Aku Yang Maha Mulia, tak bisa rusak dan celaka, yang langgeng dan
sesungguhnya surga mulia (Jannatun Firdaus, Moksha, Nirwana, Kerajaan Allah)
itu sendiri, Kyai Guru menyahut, Jikalau demikian kamu ini, mengetahui takdir
Hyang Agung yang belum terjadi? Gatholoco menjawab, Bahkan aku bisa
membuat takdir yang bakal terjadi pada diriku.

51.Ingsun psthi awakingwang, wayah iki dina iki, jjagongan lawan sira,
mngko gawe psthi maning, kang durung den lakoni, kanggone mngko lan
besuk, supaya aja salah, dadi ora kurang luwih, lamun salah ngrusak buku sastra
angka.

Telah aku tetapkan sendiri, pada saat ini hari ini, duduk bertemu dengan kalian
semua, nanti aku akan membuat takdir lagi, yang belum terjadi, untuk hari esok
dan kelak, harus hati-hati dalam membuatnya, sehingga tidak kurang dan tidak
lebih (tetap dalam keseimbangan), jika salah bisa merusak kitab sastra angka.
(Gatholoco sebenarnya hendak menjelaskan tentang hukum sebab akibat,
dimana takdir itu yang membuat adalah kita sendiri)

52.Kalawan ngrusak gulungan, iku bangt wdi-mami, wdi manawa dinukan,


marang ingkang juru-tulis, mulane ngati-ati, gawe psthi aja kliru, Kyai Guru
angucap, Kang durung sira lakoni, bja sarta cilakamu besuk apa.

Jika sampai merusak gulungan kitab (maksudnya melakukan perbuatan buruk


sehingga merangkai takdir buruk pula bagi diri kita), itu sangat kutakutkan, takut
jika sampai dimarahi, oleh juru tulis (maksudnya alam semesta, yang merekam
dan mencatat segala perbuatan dan aktifitas kita), makanya aku hati-hati,
membuat takdir jangan sampai keliru, Kyai Guru berkata, Yang belum kamu
jalani, untung dan celakamu besok bagaimana?

53.Aneng ngndi kuburira, Gatholoco anauri, Kuburan wus ingsun-gawa, sabn


dina urip-mami, kalawan ngudanni, ning sawats umuringsun, kalamun park
ajal, sajroning rolas dina mami, lagya milih jam sarta wayahira.

Dimanakah kuburmu? Gatholoco menjawab, Kuburku telah aku bawa, setiap saat
dalam kehidupanku, serta aku tahu, pada batas usiaku, jika sudah dekat ajal,
dalam dua belas hari, baru memilih jam dan saatnya. (Gatholoco berkata benar.
Manusia yang kesadarannya tinggi, mampu memilih hari, jam dan saat
kematiannya sendiri!)

54.Yen gawe psthi samangkya, papsthene awak-mami, bokmanawa luwih


kurang, susah anggoleki psthi, bcike sabn lawan ari, anggawe papsthen iku,
manut snnging driya, dadi ora kurang luwih, ora angel ora cidra ing smaya.

Membuat takdir itu, takdir untuk diriku sendiri, sangat sulit membuat yang
seimbang (maksudnya membuat takdir yang menghasilkan keseimbangan
sehingga menunjang lepas dari dualitas duniawi), sangat sulit mencari takdir
(yang menunjang pelampauan dualitas tersebut), lebih baik setiap hari, dalam
membuat takdir, dibuat dalam keadaan pikiran yang bahagia (pikiran positif),
sehingga hasilnya kelak tidak akan lebih dan kurang (seimbang), tidak membuat
kesukaran (dalam proses evolusi Atma) dan tidak membuat ingkar janji
(mengingkari tujuan hidup yang sejati yaitu menyatu dengan SUMBER ABADI
SEMESTA).

55.Kyai Abdul Jabar ngucap, Psthine marang Hyang Widdhi, ingkang durung
kalampahan, Gatholoco anauri, Iku psthening Widdhi, dudu psthi saking
ingsun, Allahku sabn dina, anggawe papsthen mami, anuruti marang kabeh
karsaningwang.

Kyai Abdul Jabar berkata, (Bagaimana dengan) ketetapan Hyang Widdhi, yang
belum terlaksana, Gatholoco menyahut, Itu ketetapan (Hyang) Widdhi, bukan
ketetapan dari-(Atma)ku, Allah-ku setiap hari, membuat ketetapan bagiku,
menuruti kepada semua kehendak-ku. (Disini jelas harus dibedakan, mana takdir
yang dibuat oleh manusia untuk dirinya sendiri melalui pikiran, perkataan dan
perbuatannya, dengan takdir jalannya siklus semesta raya. Jelas, takdir bagi diri
sendiri kitalah yang membuat, tapi takdir jalannya siklus semesta raya, manusia
tidak bisa membuatnya.)

56.Guru tiga sarng ngucap, Gatholoco sira iki, nyata kasurupan setan,
Gatholoco anauri, Bnr pan ora sisip, kala ingsun dereng wujud, ana ing alam
samar, tumka ing jaman mangkin, setaningsun durung pisah saking raga.

Ketiga Guru sama-sama berkata, Gatholoco kamu ini, nyata-nyata kesurupan


setan! Gatholoco menjawab, Benar memang tidak salah, saat aku belum lahir,
didalam alam yang samar, hingga pada jaman aku lahir (kembali sekarang),
setanku belum bisa aku pisahkan dari diriku!

57.Basa setan iku seta, asaling bibit sakalir, wujudingsun duk ing kuna, punika
asale putih, lamun durung mangrti, iya iku asal ingsun, purwa saking sudarma,
tumka kalamullahi, sayktine ingsun asal Kama Pthak.

Setan itu berasal dari (air) putih (sperma), bibit semua manusia, wujudnya
pertama kali, berwarna putih, maka ketahuilah, itulah asal-ku, berasal dari orang
tua laki-laki, hingga aku harus lebur (moksa, maka setan akan tetap ada didalam
diriku), sesungguhnya aku (Tubuh fisik ini beserta setannya) berasal dari Kama
Pthak (sperma berwarna putih)!

58.Mnk Guru tlu sira, Kama Irng ingkang dadi, dene buntt tanpa nalar,
Abdul Manap duk miyarsi, mojar mring Ahmad Ngarip, Abdul Jabar Yen sarujuk,
wong iki pinatenan, lamun maksih awet urip, ora wurung ngrusak sarak
Rasulullah.

Akan tetapi kalian ketiga Guru, Kama Irng (sperma hitam) asal kalian (sperma
yang berisi roh-roh terikat) sehingga bodoh tanpa nalar! Abdul Manap (Abdul
Manaf) begitu mendengar, berkata kepada Ahmad Ngarip (Ahmad Arif), serta
kepada Abdul Jabar Jika kalian setuju, kita bunuh saja orang ini! Jika masih tetap
hidup, tidak urung akan merusak syariat Rasulullah!

59.Iku wong mbubrah agama, akarya spining masjid. Gatholoco asru ngucap,
Den enggal nyuduk mring mami, sapisan nyuduk jisim, pindho bathang sira
suduk, ya ingsun utang apa, arsa mateni mring mami, saurira Mung lga
rasaning driya.

Orang ini merusak agama, bakal membuat sepinya masjid, Gatholoco keras
berkata, Segeralah tusuk Aku, pertama kamu hanya akan mampu menusuk
tubuh fana ini saja, kedua kamu hanya akan mampu menusuk bangkai (tidak
bakalan kalian mampu menusuk yang namanya Aku)! Berhutang apakah Aku
pada kalian? Sehingga kalian hendak membunuh Aku? (sesungguhnya kalianlah
yang telah banyak berhutang pada-Ku)! Terdengar jawaban, Agar puas rasa hati
kami!

60.Krana sira ngrusak sarak, Gatholoco anauri, sarak tan kna rinusak, pinsthi
dening Hyang Widdhi, , , ..,
iku ttp aran janma ngrusak sarak.

Karena kamu telah merusak syariat! Gatholoco menyahuti, Syariat (hukum


yang sesungguhnya alias hukum alam) tidak bisa dirusak! Sudah ditetapkan
demikian oleh Hyang Widdhi, (belum saatnya saya terjemahkan.),
Itulah sesungguhnya yang dinamakan manusia perusak syariat!!

61.Dene bangsane agama, sasnngne wong ngaurip, sanajan agama Cina,


lamun trus lair batin, ykti katrima ugi, Guru tlu agamamu, iku agama kopar,
agamaku ingkang suci, iya iku kang aran Agama Rasa.

Semua agama, terserah kepada pribadi masing-masing, walaupun agama


berasal dari Cina, apabila mantap lahir batin, pasti diterima (oleh Tuhan), agama
kalian, itu agama sombong, agamaku yang suci, inilah yang disebut Agama
Rasa.

62.Tgse Agama Rasa, nuruti rasaning ati, rasaning badan lan lesan, iku kabeh
sun-turuti, rasaning lgi gurih, pdhs asin spt kcut, pait gtir sadaya, sira
agama punapi, saurira Agamaku Rasulullah.

Maksud dari Agama Rasa, mengamati rasa hati, rasa badan dan rasa lidah, itu
semua aku amati, rasa manis gurih, pedas asin sepat kecut, pahit dan getir

semuanya (Gatholoco tengah menguraikan meditasi Vipassana, yaitu melatih


Kesadaran agar senantiasa awas dengan segala gejolak pikiran dan segala
sensasi tubuh), sedangkan kalian agama apakah, Mereka menjawab Agamaku
agama Rasulullah!

63.Gatholoco asru ngucap, Patut sira tanpa budi, aran ra punika raras, sul usul
raras kang spi, sul asal tgsneki, mulane sireku kumprung, Guru tiga miyarsa,
sigra kesah tanpa pamit, sakancane garundlan urut marga.

Gatholoco keras menyahuti, Pantas kalian tanpa buddhi (kesadaran), tidak bisa
mengamati rasa diri, mengamati asal usul rasa yang sepi (dari segala rasa),
makanya kalian bingung, Mendengar kata-kata itu ketiga Guru, segera pergi
tanpa pamit, seluruh yang bersama mereka menggerutu sepanjang jalan.

64.Sangt dennya nguman-uman, Ahmad Ngarip muwus aris, Abdul Jabar Abdul
Manap, salawasku urip iki, aja pisan pisan panggih, kalawan wong ora urus,
manusa tan wruh tata, jroning ngimpi ingsun sngit, yen kapthuk sun mingkar
tan sudi panggya.

Sangat-sangat sakit hati, Ahmad Ngarip (Ahad Arif) berkata pelan, Abdul Jabar
Abdul Manap (Abdul Manaf), selama hidupku ini, jangan sekali-kali lagi bertemu
lagi, dengan orang yang tidak benar, manusia yang tidak mengetahui etika
(seperti Gatholoco), bahkan didalam mimpi sekalipun, jika bertemu aku akan
menghindar tidak sudi bertemu!

65.Gatholoco kang tinilar, aneng ngisoring waringin, rumasa yen mnang


bantah, mangkana osiking galih, bangt kpati-pati, angkul sameng tumuwuh,
Sun-kira luwih manah, pangawruhe Guru santri, dene iku isih bodho kurang nalar.

Gatholoco yang ditinggal, dibawah pohon beringin, merasa jika telah menang
dalam berdebat, begini kata hatinya, Sangat-sangat prihatin aku, betapa banyak
manusia yang tidak sadar seperti kul (keong), aku kira sangat luas, wawasan
Guru para sanri (tadi), ternyata masih bodoh kurang nalar.

66.Durung padha durung timbang, yen tinandhing kawruh-mami, durung nganti


ingsun-glar, kawruhku kang luwih edi, prandene anglangani, kalah tan bisa
samaur, yen mangkono sun-kira, ingkang muruk tanpa budi, iku nyata setan
ingkang menda janma.

Sangat-sangat tidak seimbang, apabila diukur dengan wawasan-ku, belum juga


aku wedarkan, pengetahuanku yang lebih unggul, tapi pada kenyataannya, kalah
tak bisa menjawab, jika demikian kesimpulanku, siapa saja yang mengajarkan
ilmu tanpa buddhi (kesadaran), itu nyata-nyata setan yang menjelma sebagai
manusia.

67.Lamun wulange manusa, msthine pada mangrti, mring duga lawan


prayoga, aywa karm karya srik, mulane kudu eling, eling marang Ingkang
Asung, asung urip kamulyan, upayann den kapanggih, yen pinanggih padhang
trang sagung nalar.

Jika benar-benar manusia, pastilah akan memahami, akan baik dan buruk, tidak
suka gampang menghakimi sesama, oleh karenanya harus ingat, ingat kepada
yang Maha Pemberi, yang memberikan kemuliaan hidup, carilah (Dia) hingga
ketemu, jika telah ketemu akan terang benerang kesadaran ini.

68.Yen padhang tgse gsang, lamun ptng iku mati, janma ingkang duwe
nalar, aran manusa sujati yen luwih wus ngarani, agal myang alus cinakup, tan
kaya Guru tiga, bodhone kpati-pati, cupt kawruh ptng nalar maknanira.

Terang itu hidup, sedangkan gelap itu mati, manusia yang mempunyai
kesadaran, itulah manusia sejati, manusia yang unggul, melampaui yang kasar
dan halus (dualitas duniawi), tidak seperti ketiga Guru tadi, sangat-sangat
bodoh, sempit wawasan gelap kesadarannya.

69.Gatholoco gya lumampah, ttmbangan urut margi, kbo bang kagok (sapi)
upama, sapi-san maning pinanggih, bibis alit ing tasik (undur-undur), ora mundur bantah kawruh, plm gung mawa ganda (kuweni), kawuk ingkang menda
warni (slira), bcik ingsun ngnte-ni lan ura-ura.

Gatholoco segera beranjak, melantunkan tembang sepanjang jalan, Kerbau


berwarna merah keputihan (SAPI maksudnya), SAPI-san (sekali lagi) bertemu,
binatang bibis yang hidup diatas pasir (binatang UNDUR-UNDUR), tidak akan
mun-DUR jika harus berdebat lagi, mangga besar dengan baunya yang harum
(mangga KWENI), binatang kawuk yang berganti rupa (binatang SLIRA), lebih
baik aku ngente-NI (menanti) sembari u-RA-u-RA (berdendang).

70.Gude rambat (kara) puspa krsna (tlasih), mani-ra pan i-sih wani, witing
pari (dami) enthong palwa (wlah), ora nja ka-lah ma-mi, araning wisma paksi
(susuh), mung-suh sira guru pngung, parikan ulr kambang (lintah), ingsun
snng ban-tah ilmi, wlut wisa (ula) tininggal atiku g-la.

Tumbuhan Gude yang merambat (tumbuhan KARA) daun hitam (daun TLASIH),
mani-RA (diriku) sungguh ma-SIH berani, batang padi (DAMI) centhong perahu
(dayung atau WLAH), tidak akan ka-LAH ma-MI (diriku), nama rumah burung
(SUSUH), bermu-SUH-an dengan kalian guru bodoh, ulat yang mengambang
diair (LINTAH), aku sangat suka berban-TAH-an ilmu, belut yang berbisa (ular
atau ULA) ditinggal hatiku g-LA (kecewa).

71.Mendhung pthak (mega) kunir pita (tmu), muga-muga tmu maning, tpi
wastra rinumpaka (kmadha), banjur pa-dha maring ngndi, kayu rineka janmi
(golek), apa golek guru jamhur, sarkara munggeng tala (madu), arsa den a-du
lan mami, wadhung rma (cukur) malah so-kur yen mangkana.

Mendung berwarna putih (MEGA) kunyit merah (TMU), semo-GA bert-MU lagi,
pinggir kemben yang dirias (KMADHA), lantas pa-DHA (sama) kemana semua?
Kayu yang dibuat seperti wujud manusia (GOLEKAN), apa mau GOLEK (mencari)
Guru terkenal? Cairan manis diatas pohon (MADU), hendak di-ADU dengan aku,
cangkulnya rambut (alat CUKUR) malah syu-KUR jika memang begitu.

72.Jangkrik gung wismeng kbonan (gangsir), manira ora guming-sir, bbasan


putrane menda (cmpe), sakar-pe sun-ladeni, jamang wakul (wngku) upami,
angajak apa sire-ku, duh lae putr wisma (dara), nganggo si-ra mjanani,
knthang rambat (katela) sanajan rupaku a-la.

Jangkrik bertubuh besar berumah dikebun (binatang GANGSIR), diriku tidak akan
guming-SIR (mundur), anak kambing (CMPE), sakare-PE (semaunya) aku
layani, mahkota tempat nasi (WNGKU), mau mengajak apa sire-KU (dirimu),
burung Puter yang suka dipelihara (burung merpati atau DARA), sehingga si-RA
(kamu) menghinaku, buah kentang yang merambat (KTELA) walaupun wajahku
a-LA (jelek).

73.Mnyawak kang sabeng toya (slira), praka-ra mung bantah ilmi, wulu
bauning kukila (lar), kabeh na-lar sun tan wdi, saykti pintr mami, tinimbang
lan sira guru, kaca tumraping netra (tsmak), ora ja-mak mejanani, mulwa
rngka (srikaya) yen sira luru sara-ya.

Biawak yang suka di-air (binatang SLIRA), perka-RA tentang berdebat ilmu, bulu
punggungnya burung (LAR), segala na-LAR (pengetahuan) aku tidak takut,
pasti lebih pintar aku, daripada kalian para guru, kaca untuk mata (kaca mata
atau TSMAK), ora ja-MAK (tidak lumrah, sudah melampaui batas) penghinaan
kalian, buah nangka yang gampang terbelah (buah SRIKAYA), jika kalian mencari
sara-YA (cara).

74.Kmadhuh rujit godhongnya (rawe), aywa suwe sun-anteni, guru ngndi


srayanira, najan jamhur luwih wasis, ingsun wani nandhingi, angayoni bantah
kawruh, masa ingsun mundura, yeku karsane Hyang Widdhi, raganingsun
yktine darma kewala.

Daun kemadhuh bergerigi (RAWE), jangan su-WE (lama) aku nantikan, guru
mana yang kamu andalkan, walaupun tersohor dan pintar, aku berani
menandingi, melayani berbantah ilmu, tidak akan aku mundur, karena ini semua
kehendak Hyang Widdhi, diriku hanya sekedar menjalani.

75.Gatholoco sukeng driya, rrpen alon lumaris, miling-miling mung priyangga,


dumugi patopan mampir, manjing mring bambon linggih, ngambil klelet kang
kinandhut, saglindhing dipun untal, ngrasuk badan anygri, kraos gatl astane
ngukur sarira

Gatholoco suka dihati, berdendang sembari berjalan pelan, hanya sendirian saja,
sampai disebuah tempat lantas mampir, masuk kedalam tempat madat dan
duduk, mengambil candu yang di bawa, segelintir langsung dimakan, merasuk
badan menyegarkan, terasa gatal tangannya menggaruk tubuh.

2.

Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) 17-18 :

Santri padha ambk lintah, ora duwe mata kuping, anggre amis kewala, cinucup
nganti malnthing, ora ngrti yen gtih, gandane amis tur arus, kinira
madumangsa, yen wus warg mangan gtih, amalngkr tan mtu nganti
sawarsa.

Santri yang berperilaku seperti lintah, tidak memiliki mata dan telinga, asalkan
mencium bau amis, dihisap hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau
itu darah, baunya amis dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika sudah
kenyang meminum darah, meringkuk tak keluar-keluar lagi hingga setahun.

Wkasan kaliru tampa, tan wruh tmah ndurakani, manut kitab mngkapmngkap, manut dalil tanpa misil, amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa
nikmating ilat, lan rasane langn rsmi, rasanira ing kawruh ora rinasa.

Pada akhirnya salah terima, tidak memahami inti sari malah berbuat dosa tanpa
disadari, menuruti kata-kata kitab begitu saja, menuruti dalil tanpa tahu makna
sesungguhnya, hanya dibuat untuk memperoleh keuntungan duniawi, tersilap
dengan keduniawian, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa lidah, dibuat untuk
memenuhi nikmatnya rasa bersenggama, makna sejati ilmu tidak dirasakan.

Gatholoco tajam mengingatkan, bahwasanya manusia-manusia yang terjebak


keberagamaan kulit seperti yang tengah berdialog dengannya, tak ubahnya
bagaikan Lintah semata. Yang tak memiliki mata dan tak memiliki telinga.
Pekerjaan mereka hanya menghisap darah sesama. Pekerjaan mereka hanya
membuat harmonisasi kehidupan timpang.

Mereka mengira, dengan menghisap darah, mereka telah melakukan sebuah


pekerjaan besar dan benar dimata Tuhan! Mereka mengira telah menghisap
madu yang manis. Mengira telah melakukan sebuah pekerjaan agung yang
sudah sepatutnya, walau harus menumpahkan darah!

Begitu telah kenyang menumpahkan darah, mereka akan puas dan tiada lagi
tergerak untuk menelaah, apakah yang sudah dilakukan ini memang benar
dimata Tuhan? (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 17)

Mereka telah membuat dosa tanpa disadari. Menelan mentah-mentah kata-kata


kitab suci tanpa dikupas lagi. Menuruti segala dalil tanpa mendalami inti sarinya.
Padahal SUARA NURANI mereka terus berontak untuk mengabarkan arti dan
makna yang sesungguhnya!

Kesadaran mereka tentang spiritualitas, tak lebih sebatas pencapaian


Kenikmatan Keduniawian semata. Kenikmatan yang konon juga ada di Surga
sana. Kenikmatan yang mirip dan serupa dengan Kenikmatan Dunia. Benarkah
itu semua? Jika memang demikian, mengapa harus berlama-lama menunggu
nanti, toh sekarang Kenikmatan serupa juga ada disini. Sudah nyata dan didepan
mata malah. Lantas mengapa harus menunggu sesuatu yang masih dijanjikan
nanti jika memang esensinya serupa dan itu-itu juga? (Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair) : 18)

Kesadaran Spiritual-kah yang semacam ini? Jesus Kristus, Rabiah Al Adawiyyah,


Jallaluddin Rumi, Al-Junaid, Ibnu Al-Araby, Ibnu Manshur Al-Hallaj, Abu Yazid AlBistami, Hamzah Fanshuri, Syeh Siti Jenar dan seluruh manusia illahi semacam
mereka malah dipangkas habis manakala meneriakkan kebenaran sebuah
makna hakiki.

Berbeda dengan manusia illahi yang turun ditanah India, keberadaan mereka
masih mendapat sambutan hangat hingga kini. Adakah yang berbeda dari
pesan-pesan mereka? Tidak ada! Yang berbeda adalah medan dan tempat
dimana mereka turun.

Terpujilah manusia-manusia illahi yang berani meneriakkan kebenaran dimedan


yang penuh dengan manusia-manusia berkesadaran rendah! Sembah sujud saya
kepada manusia-manusia illahi yang semacam ini!

3.

Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) 27 :

Guru tiga saurira, Katrima pamuji-mami, Gatholoco asru nyntak, Pujimu pujining
Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen
mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang glap.

Ketiga Guru menjawab, Karena diterima doa kami, Gatholoco keras membentak,
Bahkan doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk
mengakui! Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau
demikian kalian adalah maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan
milik kalian (namun kalian akui sebagai milik sendiri)!

Sekali lagi Gatholoco hendak menghancurkan dinding kesadaran sempit dari


mereka yang tengah diajaknya berdialog. Gatholoco tengah memberikan letupan
bagi peningkatan kesadaran mereka. Gatholoco hendak membangun kesadaran

baru, bahwasanya semua yang ada didalam semesta ini tak ada yang lain selain
MANIFESTASI HYANG WIDDHI atau BRAHMAN! atau ALLAH!

PURUSHA adalah MANIFESTASI PERTAMA dari BRAHMAN manakala BRAHMAN


tengah berkehendak untuk melakukan sebuah LILAA atau PERMAINAN ILLAHINYA. BRAHMAN YANG MELAMPAUI SEGALANYA, YANG TANPA PRIBADI.
MEMPERSEMPIT DIRI-NYA DALAM KONDISI SUPER PERSONALITY. INILAH
PURUSHA!

Bersamaan dengan proses ini, muncullah BAYANGAN BRAHMAN yang lantas


dikenal dengan nama PRAKRTI. Inilah CIKAL BAKAL SELURUH UNSUR MATERIAL
YANG ADA DI SEMESTA RAYA.

Dari PURUSHA memerciklah ATMA-ATMA atau RUH-RUH yang tiada terhitung.

Lantas, manakah yang bukan BRAHMAN atau ALLAH?

Manusia-manusia yang merasa dirinya berbeda dengan BRAHMAN, dengan


TUHAN. Manusia-manusia yang merasa memiliki pribadi sendiri yang terpisah
dengan Kepribadian Tuhan, SESUNGGUHNYA MEREKA ADALAH PENCURI. Begitu
Gatholoco menyatakan!

PENCURI? Yap! Karena mereka mengklaim memiliki pribadi sendiri yang terpisah
dengan Kepribadian Tuhan. Mereka tengah bermain-main dengan illusi! Dalam
keyakinan mereka, pribadi mereka ini diciptakan oleh Tuhan. Mereka meyakini,
Tuhan menciptakan mereka. Dan mereka berbeda dengan Sang Pencipta. Mereka
punya hak pribadi. Memiliki asset sendiri. Walau menurut mereka, asset yang
mereka miliki tersebut adalah pinjaman dari Tuhan.

Gatholoco menegaskan, diri kita semua ini, mulai dari ATMA SARIIRA (RUH),
SUKSMA SARIIRA (NAFS), STHULA SARIIRA (JASAD) termasuk seluruh piranti
indrawi (mata, telinga, hidung,dsb), berikut fungsi-fungsi inderawi (penglihatan,
pendengaran, ucapan, dsb) adalah MANIFESTASI TUHAN! Bukan sesuatu yang
terpisah dari-Nya. Ini semua bukan milik otonom seorang makhluk ciptaan yang
disebut manusia. Jika manusia mengklaim ini mataku, ini telingaku, ini
badanku, ini penglihatanku, ini pendengaranku, ini ucapanku dsb, jelas mereka
telah melakukan KLAIM PALSU! DAN ORANG YANG MENGAKUI SESUATU YANG
BUKAN MILIKNYA, JELAS ADALAH SEORANG PENCURI!

Bagaimana dia bisa mengakui ini milik saya, jika sosok saya itu sendiri
sesungguhnya tidak ada? Jika sosok saya itu sendiri sebenarnya adalah bagian
Tuhan juga? Terngiangkah anda dengan kata-kata Sidharta Buddha Gautama
tentang Annata (Tanpa Aku/Tanpa Saya/Kosong) ?

Dalam Pupuh III, Sinom, Syair 27 diatas bagian akhir, Gatholoco berkata keras :

..Gatholoco asru nyntak, Pujimu pujining Widdhi, sira ora nduweni,


marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah, yen mangkono sira maling, waniwani kadunungan barang glap. (,Gatholoco keras membentak,
Bahkan doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk
mengakui! Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau
demikian kalian adalah maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan
milik kalian (namun kalian akui sebagai milik sendiri)!

Coba renungkan sekali lagi!

4.

Pupuh III, Sinom, Pada (Syair ) 29-31 ;

Sakehing reh lakonana, yen tan manut Sun gitiki, jalaran sira wus salah,
kajdhgan sira maling, lah iku duwek Mami, sira anggo tanpa urus, saikine
balekna, ilange duk Jaman Gaib, Ingsun simpn ana satngahing jagad.

Segala perintah-Ku laksanakan, jika tak menurut pasti Ku dera, sebab kalian
telah salah, patut dipersalahkan karena maling, itu semua milik-Ku, kalian pakai

dengan tidak benar, sekarang kembalikan, dulu hilang dikala Jaman Gaib, Aku
simpan di tengah-tengah jagad.

Saksine si Wujud Makna, cirine rina lan wngi, Ingsun rbut tanpa ana, saiki
lagya pinanggih, sira ingkang nyimpni, santri padha tanpa urus, yen sira tan
ngulungna, sun lapurake pulisi, ora wurung munggah ing rad pngadilan.

Saksinya adalah si Wujud Makna (Wujud dari segala inti sari makna kitab suci),
bukti (dari keteledoran kalian memakai barang-Ku dengan tidak benar) telah
dicatat oleh siang dan malam, Aku cari-cari tak ketemu, sekarang tengah Aku
jumpai, ternyata kalian yang menyimpannya, para santri yang tidak benar! Jika
tidak kalian kembalikan, Aku laporkan polisi (hukum alam), tak urung akan naik
perkara dipengadilan (semesta)!

Msthi sira kokum pksa, yen wngi turu ning buwi, lamun rina nambut karya,
sabn bngi den kandhangi, beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh,
sadurunge tumindak, ingkang daya sja-mami, agal alus kasar lmbut ingsun
nalar.

Pasti akan menerima hukuman, jika malam tidur didalam penjara (terkurung
dalam kegelapan batin sehingga gelisah), jika siang kerja paksa (sengsara
ditengah panasnya dualitas duniawi), tiap malam dikandangkan (terus terjerat
dalam kegelapan batin), berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum
bertindak, untuk memenuhi keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan
terlebih dahulu.

Illusi manusia layak dihancurkan. Walaupun illusi itu juga Manifestasi Brahman,
tapi jelas, segala macam illusi, kebodohan (awidya), ketidak murnian,
keangkuhan, keserakahan dan semua yang menelikung KESADARAN SEJATI
ATMA, adalah Manifestari Brahman dalam level rendah.

Semua ketidak murnian muncul dari PRAKRTI. Dan PRAKRTI hanyalah BAYANGAN
BRAHMAN. DAN SEBUAH BAYANGAN, BUKANLAH YANG SEJATI. SEBUAH
BAYANGAN HANYALAH ILLUSI (MAYA)!.

Sekali lagi saya tegaskan, SEGALA MACAM KETIDAK MURNIAN ADALAH BERASAL
DARI PRAKRTI. DAN PRAKRTI ADALAH MANIFESTASI BRAHMAN DALAM LEVEL
BAWAH! JADI JANGAN HANTAM RATA DENGAN MENYATAKAN BAIK DAN BURUK ITU
SEIMBANG! HITAM DAN PUTIH ITU SELEVEL! TIDAK!

BAIK DAN BURUK, HITAM DAN PUTIH MEMANG SAMA-SAMA PERWUJUDAN


BRAHMAN, MEMANG ADA DALAM SATU KESATUAN TUNGGAL. TAPI DALAM
JENJANG YANG BERBEDA!

Dalam Bhagawad Gita, jelas Shrii Krishna menyatakan :

Sifat-sifat Illahi (Daiva Sampad) adalah jalan KELEPASAN (MOKSHA), sedangkan


sifat-sifat Jahat (Asura Sampad) adalah jalan menuju KETERIKATAN (LAHIR
BERULANG-ULANG DIDALAM ALAM MATERIAL). Janganlah bersedih, oh Pandhawa
(Putra Pandhu/ Arjuna), dirimu (karena buah karma masa lalumu), terlahir dalam
sifat-sifat Illahi! (Bhagawad Gita : 16 : 5)

Jika BAIK dan BURUK, HITAM dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK SADARAN itu
sama, lantas mengapa anda mempelajari KESUCIAN jika toh dalam kondisi
KOTOR -pun anda sama saja dalam kondisi BERSIH? Jika BAIK dan BURUK, HITAM
dan PUTIH, KESADARAN dan KETIDAK SADARAN itu sama, lantas mengapa sosok
semacam SHIWA, KRISHNA, RSI VYAASA, SIDHARTA BUDDHA GAUTAMA, JESUS,
SYEH SITI JENAR, GATHOLOCO dan Manusia-Manusia Illahi lainnya harus
berteriak-teriak untuk membebaskan KESADARAN KITA dari jerat KETIDAK
MURNIAN SEBUAH ILLUSI (MAYA) ?

Jangan bermain-main dengan kata-kata. Anda akan terjebak sendiri. Pada


ujungnya, anda sendiri yang akan kebingungan untuk menentukan sikap dalam
menyikapi realita kehidupan ini!

ATMA telah terjebak dalam BAYANGAN BRAHMAN ! KETERJEBAKAN PADA ILLUSI


(MAYA) BRAHMAN inilah yang memunculkan adanya kehidupan material. Selama
keterjebakan ini terus terjadi, maka ATMA akan terus tergerus proses kehidupan
material! Dia akan lahir dan mati, lahir dan mati, lahir dan mati, tanpa ada
kesudahan! Jika ATMA bisa membebaskan diri dari BAYANGAN BRAHMAN, maka
ATMA akan MENYATU DENGAN INTI BRAHMAN ITU SENDIRI! ATMA tidak perlu
terlahirkan kedunia material kembali! Inilah MOKSHA. Inilah NIRWANA. Inilah
KERAJAAN ALLAH. Inilah JANNATUN FIRDAUS!

Dalam syair 29, Pupuh III diatas, Gatholoco sengaja berkata dengan
MEMPERGUNAKAN KESADARAN TERTINGGINYA! Jika mereka-mereka yang tengah
diajaknya berdialog tetap meyakini keterpisahan pribadinya dengan Kepribadian
Brahman, berarti mereka tidak mengikuti PERINTAH ATAU PETUNJUK SEJATI
BRAHMAN yang tertuang dalam intisari seluruh Kitab Suci! Jika illusi mereka
tetap sulit disingkap, maka terpaksa HUKUM ALAM yang akan bekerja! Ini yang
dimaksud ucapan Gatholoco dengan : ..yen tan manut Sun gitiki,.(.jika
tidak menurut pasti Ku dera). Karena selain telah berillusi memiliki asset badan
sendiri, mereka juga telah mempergunakan seluruh barang klaim palsu
tersebut dijalan ketidak murnian! Oleh karenanya, hilangkanlah illusi kalian.
Hilangkanlah anggapan bahwa kalian itu berbeda dengan DIA! Kembalikan
seluruh barang pengakuan itu kepada yang punya! Kembalikan KESADARAN
kalian dari mengklaim memiliki asset sendiri menjadi SEMUA INI ADALAH
BRAHMAN SEMATA!

Dalam syair 31, Pupuh III bagian terakhir, Gatholoco menurunkan kembali
KESADARAN-NYA : ..beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh,
sadurunge tumindak, ingkang daya sja-mami, agal alus kasar lmbut ingsun
nalar. (berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum bertindak, untuk
memenuhi keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan terlebih dahulu.)

1. Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 7-13

Yen mungguh pamtkingwang, Balencong tuwa pribadi, sanajan Klir pinasang,


gamlan wus miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih ptng nggenipun,
saykti durung bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake sawiji-wijining Wayang.

Menurut aku, Balencong itu lebih tua, walaupun Klir (Layar) telah dipasang,
gamelan sudah ditata, Dalang dan para niyaga (penabuh gamlan beserta
sindhen-nya) sudah duduk, akan tetapi jika masih gelap tempatnya, pasti tidak
bisa, Dalang memilah dan memilih, untuk menceritakan cerita satu-persatu dari
tiap jenis wayang.

Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira Ringgit, margane isih ptngan,
ora kna den tingali, yen Balencong wus urip, kanthar-kanthar katon murub,
Klire kawistara, ing ngandhap miwah ing nginggil, kanan kering Pandhawa
miwah Kurawa.

Yang menonton tak akan bisa melihat, kepada wujud setiap jenis Wayang, karena
masih gelap gulita, tidak bisa dilihat mata, manakala Balencong sudah
dinyalakan, menyala-nyala terlihat terang, Klir (Layar) akan tampak, dimana
arah bawah dan arah atas, dimana kanan dan dimana kiri serta mana Pandhawa
mana Kurawa.

Ki Dhalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gdhe cilikira,
tumrap marang siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinats pangucap-ipun, awit
pituduhira, Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong kang luwih tuwa.

Ki Dalang duduk dibawah pelita, mampu memilah dan memilih, menimbang


besar kecilnya, terhadap setiap jenis, dari perwatakan tiap Wayang, sehingga
mampu menyesuaikan ucapannya (dengan tiap karakter wayang kulit), sebab
mendapat petunjuk, dari Balencong yang menerangi, oleh karenanya Balencong
yang lebih tua.

Dene unining gamlan, Wayange kang den gamli, Dhalange mung darma
ngucap, si Wayang kang darbe uni, prayoga gdhe cilik, manut marang
Dhalangipun, sinigg gangsa ika, Kaki Dhalang masesani, nanging darma ngucap
molahake Wayang.

Sedangkan bunyi gamlan, mengiringi gerakan Wayang, Dalang hanya sekedar


mengucapkan, dari suara tiap jenis Wayang, sedang tinggi atau rendah, menurut
kehendak Dalang, berhentinya gamlan, Ki Dalang yang berkuasa, akan tetapi
sesungguhnya Dalang hanya sekedar mengucapkan dan menggerakkan Wayang
sesuai dengan kisah yang telah ditentukan.

Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Spi, basa Spi Tanpa Ana, anane
ginlar ykti, langgng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpa reh
tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe Wayang ucape Ki Dhalang.

Kisah yang dikehendaki oleh orang yang mengundang, yang dinamakan Kyai
Spi, kata Spi berarti Tidak Ada, akan tetapi Keberadaan-Nya sesungguhnya
tergelar, langgeng tak berubah, tak bisa berkurang dan tak bisa ditambah, tanpa
kehendak tanpa sifat, akan tetapi ada yang lebih berkuasa, diatas gerakan
Wayang dan ucapan Ki Dalang.

Ingkang msthi nglakonana, ingkang ala ingkang bcik, kang nonton mung
ingkang nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi
suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, ttp suwung ora ana siji
apa.

Yang membuat semua bisa bergerak, bergerak melakukan perbuatan jelek


maupun baik, dari yang melihat hingga yang mengundang, yaitu Kyai Urip (Kyai
Hidup), manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa,
bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun
juga.

Basa Klir iku Raga, Wayange Suksma Sujati, Dhalange Rasul Muhammad,
Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, Cahyane Urip puniku, nyrambahi
badanira, jaba jro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba.

Layar itu sesungguhnya adalah Raga ini, Wayang sesungguhnya Suksma Sejati,
Dalang sesungguhnya Rasul Muhammad, Balencong adalah Percikan Hidup,
bagaikan Hyang Widdhi sendiri, Cahaya Hidup tersebut, merata didalam
tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud
Allah Yang Kuasa.

Gatholoco melontarkan teka-teki kepada ketiga orang Kyai Guru. Diantara empat
hal ini, manakah yang lebih tua? WAYANG, DALANG, KLIR (Layar)atau
BALENCONG? (Pelita yang dinyalakan sepanjang malam hingga pagi, khusus
untuk mengiringi sebuah pertunjukan Wayang Kulit ). (Pupuh III, Sinom, Pada
(Syair) : 1)

Ahmad Ngarip (Arif) menjawab, bahwa KLIR (Layar) jelas paling tua sendiri.
Karena sebelum sebuah pertunjukan Wayang kulit dimulai, KLIR (Layar) harus
terpasang lebih dahulu. KLIR (Layar) akan dibentangkan segera sebelum
semuanya siap sedia. KLIR (Layar) mutlak harus ada terlebih dulu sebelum
seluruh WAYANG ditata berjajar bahkan sebelum satu persatu karakter WAYANG
dimainkan. Harus ada sebelum gamlan dibunyikan. Harus ada sebelum DALANG
duduk menuturkan kisah yang hendak dibawakan. Bahkan KLIR (Layar) juga
ada lebih dahulu sebelum BALENCONG dinyalakan. Oleh karenanya, KLIR
(Layar) pantas dinyatakan sebagai yang paling tua. Begitu pendapat Ahmad
Ngarip (Arif). (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 1-2)

Lain lagi pendapat dari Abdul Jabar. Menurut dia, DALANG-lah yang pantas
dianggap sebagai yang paling tua. Karena, baik KLIR (Layar), BALENCONG
berikut pula seluruh piranti perlengkapan untuk sebuah pertunjukkan Wayang
Kulit, bahkan WAYANG-nya itu sendiri-pun, yang berkuasa menata, mengatur
juga menjalankan, adalah SANG DALANG. Oleh karenanya, DALANG patut
dianggap lebih tua dari yang lain! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 2-3)

Abdul Manap (Manaf) memiliki jawaban sendiri. Dia menganggap WAYANG-lah


yang pantas dianggap tua. Karena bagaimanapun juga, dalam sebuah pagelaran
Wayang Kulit, dimanapun tempatnya dan kapan saja waktu pertunjukkan
tersebut digelar, yang disebut-sebut orang banyak pastilah Pagelaran WAYANG.
Bukan Pagelaran DALANG, atau Pagelaran KLIR (Layar) apalagi Pagelaran
BALENCONG! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 4-6)

Gatholoco menyalahkan semua jawaban dari ketiga Kyai Guru. Dia menyatakan
BALENCONG-lah yang paling tua. Tanpa adanya BALENCONG, tak akan dapat
terlihat seluruh piranti pertunjukan yang sudah tersedia. Tanpa adanya
BALENCONG, keberadaan KLIR (Layar), WAYANG bahkan SANG DALANG sendiri,
tidak akan dapat diketahui karena semua dalam kondisi gelap gulita.

Gatholoco menyatakan lagi, bahwasanya yang dimaksudkannya dengan KLIR


(LAYAR) tak lain adalah RAGA atau STHULA SARIIRA atau JASAD MANUSIA
Sedangkan WAYANG tak lain adalah SUKSMA SEJATI atau SUKSMA SARIIRA atau
NAFS MANUSIA. SANG DALANG adalah perumpamaan dari ATMA SARIIRA atau
RUH. Dalam bahasa Gatholoco ATMA SARIIRA atau RUH disebut RASUL
MUHAMMAD ( UTUSAN YANG TERPUJI).

BALENCONG tak lain adalah simbol PURUSHA. Simbol dari MANIFESTASI ILLAHI
PERTAMA yang berkehendak meng-ada-kan seluruh ciptaan ini. Dari PURUSHAlah KEHENDAK PENCIPTAAN MULA PERTAMA TERGELAR. Dari PURUSHA-lah
seluruh MANIFESTASI ILLAHI KEDUA atau ATMA atau RUH terpancarkan kedalam
BAYANGAN ILLAHI (PRAKRTI, ALAM) . Dan dari KEHENDAK PURUSHA-lah PRAKRTI
terus mengembang menciptakan ciptaan-ciptaan baru

BALENCONG-lah yang memberikan TERANG kepada DALANG. Dan DALANG


memberikan KESADARAN kepada WAYANG. Sedangkan KLIR (LAYAR) hanya
sekedar menjadi wahana terjadinya seluruh cerita yang dikisahkan.

PURUSHA-lah yang memberikan KESADARAN kepada ATMA SARIIRA atau RUH.


ATMA SARIIRA atau RUH yang memberikan KESADARAN kepada SUKSMA SARIIRA
atau NAFS. Sedangkan STHULA SARIIRA atau JASAD, hanya sekedar menjadi
tempat ter-realisasi-nya seluruh aktifitas tersebut.

BALENCONG (PURUSHA) adalah PERCIKAN DARI SANG HIDUP atau BRAHMAN.


BALENCONG (PURUSHA) adalah juga DUPLICATE dari SANG HYANG WIDDHI atau
BRAHMAN (Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi : Balencong adalah
Percikan Hidup, bagaikan Hyang Widdhi sendiri)!

Sedangkan GAMLAN dan PARA NIYAGA (PENABUH GAMLAN) berikut PARA


PENONTON ibarat OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI yang akan selalu terus
menghanyutkan tingkah polah WAYANG (SUKSMA SARIIRA). Tergantung
KESADARAN SANG DALANG (ATMA SARIIRA) untuk memutuskan, apakah WAYANG
(SUKSMA SARIIRA) yang ada dalam genggaman tangannya akan terus
terpengaruh dan terlarut oleh BUNYI GAMLAN (OBYEK-OBYEK KENIKMATAN
DUNIAWI) dan TEPUK SORAK PENONTON sehingga lupa memfokuskan diri kearah
USAINYA PERTUNJUKAN KEHIDUPAN. Ataukah KESADARAN SANG DALANG (ATMA
SARIIRA) akan mengolah pertunjukan secara apik dan tepat waktu sehingga
segera USAI PULA SELURUH PERTUNJUKAN KEHIDUPAN yang tengah
dikisahkannya.

Jika ATMA SARIIRA TELAH BANGKIT KESADARANNYA, segera Dia akan berusaha
merampungkan KISAH KEHIDUPANNYA SECARA APIK. Jika ATMA SARIIRA TIADA
KUNJUNG BANGKIT KESADARANNYA, maka KISAH KEHIDUPANNYA AKAN MENJADI
PANJANG DAN TAK KUNJUNG USAI! ATMA SARIIRA YANG TIDAK SADAR-SADAR,
akan terus asyik memainkan SUKSMA SARIIRA dan terus terlarut dalam
GELIMANG OBYEK-OBYEK KENIKMATAN DUNIAWI! ATMA SARIIRA yang semacam
ini akan terus TERJERAT DALAM PROSES KELAHIRAN DAN KEMATIAN YANG
BERULANG-ULANG TANPA BERKESUDAHAN! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) : 10)

ATMA SARIIRA sendiri terpaksa akan masih terikat oleh HUKUM ALAM. Sebuah
HUKUM SEMESTA yang absolute. Sebuah HUKUM PENUH KENISCAYAAN yang
mengatur seluruh jalannya cerita kehidupan ini. Sebuah HUKUM SEBAB-AKIBATAKSI-REAKSI. HUKUM KARMAPHALA. Selama ATMA SARIIRA masih terjerat OBYEKOBYEK KENIKMATAN DUNIAWI, TERJERAT DUALITAS DUNIAWI, selama itu pula
ATMA SARIIRA masih akan terkena HUKUM SEBAB AKIBAT!

Gatholo mengumpamakan, bahwa DALANG -pun harus tunduk kepada ORANG


YANG MENGUNDANG. YAITU ORANG YANG PUNYA HAJAT. APA KISAH YANG
DIMINTA, ITU JUGA YANG HARUS DIMAINKAN. Dalam bahasa Gatholoco, ORANG
YANG PUNYA HAJAT disebut KYAI SPI.

KYAI SPI tak lain adalah ALAM SEMESTA! Tak lain adalah PRAKRTI, BAYANGAN
BRAHMAN! ALAM SEMESTA -lah yang mengarahkan jalannya cerita nasib
manusia. ALAM SEMESTA -lah yang menumbuhkan BUAH KARMA. WALAUPUN
SESUNGGUHNYA, NASIB SETIAP MANUSIA ITU YANG MERANGKAI DAN
MENGUNTAINYA TAK LAIN ADALAH MANUSIANYA ITU SENDIRI. ALAM SEMESTA
HANYA SEKEDAR MEREKAM DAN MENUMBUHKANNYA SEMATA!

ALAM SEMESTA sesungguhnya TANPA KESADARAN. ALAM SEMSETA ibarat sebuah


MESIN SUPER CANGGIH yang terus bekerja merekam seluruh aktifitas manusia.
Aktifitas yang BAIK maupun yang BURUK. Dan pada ujungnya, menumbuhkan
buah aktifitas tersebut dalam bentuk rangkaian TAKDIR bagi manusia itu sendiri!
Oleh karenanya Gatholoco menggambarkan bahwasanya KYAI SPI itu seolah
TIDAK ADA (Maksudnya SEOLAH TIDAK MELAKUKAN AKTIFITAS MEREKAM DAN
MENUMBUHKAN BUAH KARMA). AKAN TETAPI KEBERADAANYA TERGELAR NYATA
(Maksudnya ALAM SEMESTA INI NYATA BEKERJA MEREKAM DAN MENUMBUHKAN
BUAH KARMA)! SESUNGGUHNYA DIA-PUN LANGGENG JUGA, DIA TAK BERUBAH,
TAK BISA DITAMBAH DAN TAK BISA DIKURANGI. DIA TANPA KEHENDAK SENDIRI
DAN TAK MEMILIKI KESADARAN SENDIRI. ALAM SEMESTA HANYALAH BAYANGAN
BRAHMAN!

Diatas itu semua, ada yang lebih berkuasa. Gatholoco menyebutnya KYAI URIP
atau HIDUP! KYAI URIP tak lain adalah BRAHMAN YANG MUTLAK! SUMBER ABADI
KEHIDUPAN SEMESTA RAYA! INTI SEJATI SELURUH MAKHLUK! ASAL DAN TUJUAN
SELURUH MAKHLUK! SUMBER MAHA ENERGI YANG TANPA PRIBADI! YANG
MELAMPAUI SEGALANYA! YANG BERADA DIMANA-MANA! YANG ADALAH
SEGALANYA! KEBERADAAN, KESADARAN, KEBAHAGIAAN SEJATI! KESEIMBANGAN
MURNI! YANG ADALAH KEMUTLAKAN ABSOLUT!

DAN SEJATINYA, KLIR (STHULA SARIIRA), WAYANG (SUKSMA SARIIRA), DALANG


(ATMA SARIIRA), YANG MENONTON BERIKUT YANG MENABUH GAMLAN (OBYEKOBYEK KENIKMATAN DUNIAWI), KYAI SPI (ALAM SEMESTA/PRAKRTI BERIKUT
HUKUM KARMAPHALA-NYA) DAN BALENCONG (PURUSHA), SEMUANYA ADALAH
MANIFESTASI KYAI URIP (BRAHMAN) ITU SENDIRI! (Pupuh III, Sinom, Pada (Syair) :
5-6)

Gatholoco sesungguhnya hendak mengajarkan RAHASIA ILMU SEJATI kepada


mereka-mereka yang masih juga terjerat konsep keber-agama-an kulit! Merekamereka yang terbiasa membedakan mana SAKRAL dan mana PROFAN
berlebihan! Mereka-mereka yang berputar-putar pada keyakinan bahwa TUHAN
tercerabut dari MANUSIA. Keyakinan bahwa TUHAN dan MANUSIA adalah dua
sosok pribadi berbeda. Yang satu dilangit nan jauh disana, yang satu berdiam
dibumi dengan kenelangsaan sebagai budak yang siap dimainkan dan diatur-atur
sekehendak hati oleh Dia yang ada diatas langit itu! Budak yang setiap saat bisa
diangkat derajatnya ataupun diperhinakan tanpa ada alasan yang jelas! Budak
yang harus terus taat dan manut nurut. Budak yang akan diiming-imingi Surga
jika patuh dan akan diancam dengan siksaan Neraka jika tidak patuh! Konsep keTuhan-an yang sangat membelenggu dan tradisional (walau diklaim paling
modern) semacam ini, dikritik secara berani oleh seorang filsuf Eksistensialisme,
Friedrich W. Nietzsche dalam karyanya ZARATUSTRA, bahwa SOSOK TUHAN YANG
SEMACAM INILAH PENGHALANG MANUSIA MENCAPAI TINGKATAN UEBERMENCH
atau Manusia Agung. Sosok Tuhan semacam ini, menurut Nietzsche SUDAH
MATI ! Lantang dia meneriakkan GOTT IST TOT (TUHAN TELAH MATI) !

Nietzsche berteriak beberapa puluh tahun lalu tentang UEBERMENCH. Gatholoco


berteriak empat ratus tahun lalu tentang LANANG SUJATI. Syeh Siti Jenar
berteriak enam ratus tahun lalu tentang INGSUN PANGERAN SEJATI, JATINING
PANGERAN MULYA. Sidharta Gautama berteriak dua ribu lima ratus tahun yang
lalu tentang BUDDHA dan Rsi Wyaasa berteriak lima ribu tahun yang lalu dalam
Brahmasutra tentang AHAM BRAHMASMI. Teriakan mereka tiada beda walaupun
masa kehidupan mereka terpaut rentang waktu yang jauh! Tapi mengapa masih
juga tidak ada yang mendengar? Mengapa darah masih saja terus tumpah?

Gatholoco hendak mengajarkan kepada mereka-mereka yang terus menerus


tercekam ketakutaan tak beralasan (Phobia) akan KUASA TANDINGAN TUHAN
YANG BERNAMA IBLIS. Sehingga sering disibukkan dengan pemilahan INI DARI
TUHAN, INI DARI IBLIS. INI AJARAN TUHAN, INI AJARAN IBLIS. INI SURGA TUHAN,
INI SURGA IBLIS. INI UMAT TUHAN, INI UMAT IBLIS, bahkan membedakan INI
AGAMA TUHAN, INI AGAMA IBLIS. (Walau diperhalus dengan ungkapan INI AGAMA
LANGIT DAN INI AGAMA BUMI)!

KETAHUILAH! TIDAK ADA AJARAN DARI IBLIS, YANG ADA ADALAH AJARAN YANG
BERASAL DARI EGOISME DAN KESERAKAHAN MANUSIA! ITULAH AJARAN SESAT
DAN MENYESATKAN!

Gatholoco hendak mengajarkan bahwa seluruh semesta ini BERASAL DARI YANG
SATU. BAHKAN BUKAN HANYA ITU SAJA, GATHOLOCO HENDAK MENGAJARKAN
PULA BAHWA SESUNGGUHNYA SELURUH SEMESTA INI BERIKUT MAKHLUK YANG
BERKERIAPAN DIDALAMNYA ADALAH SATU KESATUAN YANG TAK TERPISAHKAN!
TAT TWAM ASI (ENGKAU ADALAH AKU JUGA)! TUNGGAL ADANYA!

Hal ini ditegaskan dalam syair ke-13 diatas.

Cahyane Urip puniku, nyrambahi badanira, jaba jro ngandhap nginggil, Wujudira
Wujude Allah Kang Murba. (Cahaya Hidup tersebut, merata didalam tubuhmu,
diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud Allah Yang
Kuasa.)!

TAK HARUS ADA SEKUMPULAN SPESIES MAKHLUK HIDUP YANG PATUT DIMUSUHI!
TUHAN TAK PERNAH MENGAJARKAN PERMUSUHAN DAN KEBENCIAN KEPADA
MAKHLUK LAIN! TUHAN HANYA MENGAJARKAN KASIH! KASIH YANG TANPA
PANDANG BULU! BUKAN KASIH YANG PILIH-PILIH ALIAS PILIH KASIH!

Yang patut diwaspadai adalah SUKSMA SARIIRA ini. Karena didalam SUKSMA
SARIIRA ini, terdapat AHAMKARA (EMOSI NEGATIF), MANAH (PIKIRAN LIAR) dan
CITTA (MEMORI-MEMORI TRAUMATIK) . Namun ada pula yang dinamakan BUDDHI
(KESADARAN RELATIF). BUDDHI adalah KESADARAN ATMA yang tinggal sedikit
karena terbelenggu oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA. Perkuat BUDDHI ini,
agar tidak terpengaruh oleh AHAMKARA, MANAH DAN CITTA. Jadikan BUDDHI
sebagai pengendali ketiga unsur SUKSMA SARIIRA yang lain tersebut!

AHAMKARA, MANAH DAN CITTA, ITULAH SETAN YANG SESUNGGUHNYA!

Keempat unsur SUKSMA SARIIRA inilah sesungguhnya yang dimaksud oleh


leluhur Jawa jaman Shiwa Buddha dengan istilah SADULUR PAPAT KALIMA
PANCR (SAUDARA EMPAT KELIMA PUSAT), yaitu KAKANG KAWAH (BUDDHI), ADHI

ARI-ARI (MANAH), GTIH (AHAMKARA) dan PUSR (CITTA) . Sedangkan PANCR


(PUSAT) tak lain adalah ATMA SARIIRA kita!

Konsep ini dikembangkan dalam ajaran Islam Kejawen seiring keruntuhan


Majapahit, dengan mengambil kosa kata Arab, untuk menggantikan kosa kata
yang berbau Weda dan berbau Jawa asli, yaitu MUTMAINAH (untuk menggantikan
kosa kata KAKANG KAWAH/BUDDHI), SUFIYYAH (untuk menggantikan kosa kata
ADHI ARI-ARI/MANAH), AMARAH (untuk menggantikan kosa kata
GTIH/AHAMKARA) dan LUWWAMAH (untuk menggantikan kosa kata
PUSR/CITTA). Lantas dikenalah istilah NAPSU PATANG PRAKARA (PRIBADI EMPAT
MACAM).

Kosa kata Jawa masih tetap bertahan, tapi kosa kata Weda, sudah dikikis habis
dan tidak lagi dikenal oleh masyarakat Jawa pada umumnya hingga detik ini.

Pelampauan AHAMKARA, MANAH dan CITTA , mutlak diperlukan. Manakala sudah


mampu kita lampaui, BUDDHI akan bersinar terang! Begitu BUDDHI telah
termurnikan, maka KESADARAN akan meningkat pesat. Dan dalam proses
lompatan peningkatan KESADARAN ini, BUDDHI itu sendiri, KESADARAN RELATIF
itu sendiri, akan lenyap dalam ATMA SARIIRA . Dan ATMA SARIIRA akan
memperoleh kembali KESADARAN MURNI-NYA !

ATMA SARIIRA yang telah TERJAGA TOTAL ini, sebenarnya sudah bukan lagi bisa
disebut ATMA. ATMA SARIIRA yang sudah MELEK SEMPURNA ini, sesungguhnya
tak lain adalah BRAHMAN itu sendiri! SIDHARTA GAUTAMA, KRISHNA dan JESUS
sudah mengalaminya. Lantas mengapa anda mempermasalahkan jika ada yang
menyembah SIDHARTA, KRISHNA atau JESUS ?

Tinggal selangkah lagi. Manakala ATMA SARIIRA sudah lenyap dalam SAMUDERA
ENERGI PURNA , manunggal total dengan BRAHMAN , maka tiada lagi terbedakan
mana ATMA mana BRAHMAN. TUNGGAL ADANYA . Gatholoco menggambarkan :
..yen damare wus mati, kabeh iku dadi suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun
duk durung lair, ttp suwung ora ana siji apa. (manakala pelita telah padam,
semua jadi kosong, tidak ada apa-apa, bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum
terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun juga.)

Dan yang ada hanyalah YANG ADA itu sendiri. Tiada lagi ada yang lain!

Pupuh III

Sinom

(Kumpulan lagu III, berirama Sinom)

1.Gatholoco nulya ngucap, Dhalang Wayang lawan Klir, Balencong ndi kang
tuwa, badhenn cangkriman iki, yen sira nyata wasis, msthi wruh ingkang
spuh, Ahmad Ngarip ambatang, Klir kang tuwa pribadi, sadurunge ana
Dhalang miwah Wayang.

Gatholoco lantas berkata, Dalang Wayang dan Klir (Layar), serta Balencong
(pelita yang dinyalakan pada jaman dulu selama pertunjukan wayang kulit
digelar) mana yang lebih tua, jawablah teka-teki ini, apabila kalian nyata pandai,
pasti akan tahu mana yang lebih tua, Ahmad Ngarip (Ahmad Arif) menjawab,
Klir (Layar) yang lebih tua sendiri, sebelum adanya Dalang dan Wayang.

2.Balencong durung pinasang, Klir ingkang wujud dhingin, wus jumnng


keblat-papat, ngisor tngah lawan nginggil, mila tuwa pribadi, Abdul Jabar asru
muwus, Heh Ahmad Ngarip salah, pambatangmu iku sisip, panmuku tuwa
dhewe Kaki Dhalang.

Sebab sebelum Balencong dipasang, Klir (Layar)-lah yang ada dahulu, sebagai
perlambang empat penjuru mata angin, arah bawah tengah dan atas, makanya
lebih tua sendiri, Abdul Jabar berkata lantang, Hai Ahmad Ngarip (Ahmad Arif)
kamu salah, jawabanmu itu keliru, menurutku yang lebih tua adalah Ki Dalang.

3.Anane Klir lan Wayang, kang masang Balencong sami, Wayang gaweyane
Dhalang, mulane tuwa pribadi, tan ana kang madhani, anane Dhalang puniku,
ingkang karya lampahan, nyritakake ala bcik, asor unggul tan liya saking Ki
Dhalang.

Adanya Klir (Layar) dan Wayang, serta yang memasang Balencong, Wayang
buatan Dalang, makanya lebih tua sendiri, tiada yang menyamai, keberadaan
Dalang tersebut, bahkan yang menjalankan wayang, menceritakan hal yang
buruk dan baik, kalah dan menang tak lain adalah Ki Dalang.

4.Nulya Kyai Abdul Manap, nambungi wacana aris, Karo pisan iki salah, padha
uga durung ngrti, datan bisa mrantasi, tur remeh kewala iku, mung nalar luwih
gampang, ora susah nganggo mikir, sun ngarani tuwa dhewe Wayang-ira.

Lantas Kyai Abdul Manap (Abdul Manaf), menyahut dengan pelan, Jawaban kalian
berdua itu salah, sama-sama tidak memahami, tidak bisa menjelaskan, padahal
itu teka-teki yang remeh, gampang dijawab oleh akal, tidak perlu susah berfikir,
aku menjawab yang paling tua sendiri adalah Wayang-nya.

5.Upama wong nanggap Wayang, isih kurang tlung sasi, Dhalange pan durung
ana, panggonanane durung dadi, wus ngucap nanggap Ringgit, tutur mitra
karuhipun, sun arsa nanggap Wayang, ora ngucap nanggap Klir, ora ngucap
nanggap Balencong lan Dhalang.

Seumpama ada orang yang hendak mengundang hiburan Wayang kulit, masih
dalam jangka waktu tiga bulan sebelumnya, Dalang belum ada, tempat
pertunjukan belum dibuat, sudah diucapkan kemana-mana hendak mengundang
hiburan Wayang kulit, diberitahukan ke teman dan keluarga, bahwa aku hendak
mengundang hiburan Wayang kulit, tidak mengatakan hendak mengundang
hiburan Klir (Layar), tidak mengucapkan hendak mengundang hiburan
Balencong maupun mengundang hiburan Dalang.

6.Wus mupakat janma kathah, kang tinanggap apan Ringgit, durung paja-paja
gatra, wus muni ananggap Ringgit, mila tuwa pribadi, Gatholoco alon muwus,
Abdul Jabar Dul Manap, tanapi si Ahmad Ngarip, tlu pisan pambatange padha
salah.

Sudah sepakat semua orang, yang hendak diundang adalah hiburan Wayang
kulit, belum juga ada terlihat hadir, sudah dikabarkan hendak mengundang
hiburan Wayang kulit, makanya Wayang itu tua sendiri, Gatholoco pelan berkata,
Abdul Jabar (Ab)dul Manap (Abdul Manaf), apalagi si Ahmad Ngarip (Ahmad Arif),
jawaban kalian semua salah.

7.Yen mungguh pamtkingwang, Balencong tuwa pribadi, sanajan Klir


pinasang, gamlan wus miranti, Dhalang niyaga linggih, yen maksih ptng
nggenipun, saykti durung bisa, Dhalange anampik milih, nyritakake sawijiwijining Wayang.

Menurut aku, Balencong itu lebih tua, walaupun Klir (Layar) telah dipasang,
gamelan sudah ditata, Dalang dan para niyaga (penabuh gamlan beserta
sindhen-nya) sudah duduk, akan tetapi jika masih gelap tempatnya, pasti tidak

bisa, Dalang memilah dan memilih, untuk menceritakan cerita satu-persatu dari
tiap jenis wayang.

8.Kang nonton tan ana wikan, marang warnanira Ringgit, margane isih ptngan,
ora kna den tingali, yen Balencong wus urip, kanthar-kanthar katon murub,
Klire kawistara, ing ngandhap miwah ing nginggil, kanan kering Pandhawa
miwah Kurawa.

Yang menonton tak akan bisa melihat, kepada wujud setiap jenis Wayang, karena
masih gelap gulita, tidak bisa dilihat mata, manakala Balencong sudah
dinyalakan, menyala-nyala terlihat terang, Klir (Layar) akan tampak, dimana
arah bawah dan arah atas, dimana kanan dan dimana kiri serta mana Pandhawa
mana Kurawa.

9.Ki Dhalang neng ngisor damar, bisa nampik lawan milih, nimbang gdhe
cilikira, tumrap marang siji-siji, watake kabeh Ringgit, pinats pangucap-ipun,
awit pituduhira, Balencong ingkang madhangi, pramilane Balencong kang luwih
tuwa.

Ki Dalang duduk dibawah pelita, mampu memilah dan memilih, menimbang


besar kecilnya, terhadap setiap jenis, dari perwatakan tiap Wayang, sehingga
mampu menyesuaikan ucapannya (dengan tiap karakter wayang kulit), sebab
mendapat petunjuk, dari Balencong yang menerangi, oleh karenanya Balencong
yang lebih tua.

10.Dene unining gamlan, Wayange kang den gamli, Dhalange mung darma
ngucap, si Wayang kang darbe uni, prayoga gdhe cilik, manut marang
Dhalangipun, sinigg gangsa ika, Kaki Dhalang masesani, nanging darma ngucap
molahake Wayang.

Sedangkan bunyi gamlan, mengiringi gerakan Wayang, Dalang hanya sekedar


mengucapkan, dari suara tiap jenis Wayang, sedang tinggi atau rendah, menurut
kehendak Dalang, berhentinya gamlan, Ki Dalang yang berkuasa, akan tetapi
sesungguhnya Dalang hanya sekedar mengucapkan dan menggerakkan Wayang
sesuai dengan kisah yang telah ditentukan.

11.Parentahe ingkang nanggap, ingkang aran Kyai Spi, basa Spi Tanpa Ana,
anane ginlar ykti, langgng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh,
tanpa reh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe Wayang ucape Ki
Dhalang.

Kisah yang dikehendaki oleh orang yang mengundang, yang dinamakan Kyai
Spi, kata Spi berarti Tidak Ada, akan tetapi Keberadaan-Nya sesungguhnya
tergelar, langgeng tak berubah, tak bisa berkurang dan tak bisa ditambah, tanpa
kehendak tanpa sifat, akan tetapi ada yang lebih berkuasa, diatas gerakan
Wayang dan ucapan Ki Dalang.

12.Ingkang msthi nglakonana, ingkang ala ingkang bcik, kang nonton mung
ingkang nanggap, yeku aran Kyai Urip, yen damare wus mati, kabeh iku dadi
suwung, tan ana apa-apa, lir Ingsun duk durung lair, ttp suwung ora ana siji
apa.

Yang membuat semua bisa bergerak, bergerak melakukan perbuatan jelek


maupun baik, dari yang melihat hingga yang mengundang, yaitu Kyai Urip (Kyai
Hidup), manakala pelita telah padam, semua jadi kosong, tidak ada apa-apa,
bagaikan Ingsun (Aku) ketika belum terlahirkan, tetap kosong tidak ada apapun
juga.

13.Basa Klir iku Raga, Wayange Suksma Sujati, Dhalange Rasul Muhammad,
Balencong Wahyune Urip, iku upama Widdhi, Cahyane Urip puniku, nyrambahi
badanira, jaba jro ngandhap nginggil, Wujudira Wujude Allah Kang Murba.

Layar itu sesungguhnya adalah Raga ini, Wayang sesungguhnya Suksma Sejati,
Dalang sesungguhnya Rasul Muhammad, Balencong adalah Percikan Hidup,
bagaikan Hyang Widdhi sendiri, Cahaya Hidup tersebut, merata didalam
tubuhmu, diluar didalam diatas dan dibawah, Wujudmu tak lain adalah Wujud
Allah Yang Kuasa.

14.Yen Wayang mari tinanggap, Wayange kalawan Klir, sinimpn sajroning


kothak, Balencong pisah lan Klir, Dhalang pisah lan Ringgit, marang ngndi
paranipun, sirnane Blencong Wayang, upayann den kpanggih, yen tan wruh
sira urip kaya rca.

Jikalau pertunjukan Wayang telah selesai, Wayang beserta Klir (Layar), disimpan
didalam kotak, Balencong berpisah dengan Klir (Layar), Dalang berpisah
dengan Wayang, kemanakan perginya, sirnanya Balencong dan Wayang? Carilah
hingga ketemu, apabila tidak mengetahui hal itu hidupmu bagaikan arca batu
semata.

15.Benjang yen sira palastra, urip-mu ana ing ngndi, saikine sira gsang, patimu ana ing ngndi, uripmu bakal mati, pati nggawa urip iku, ing ngndi kuburira,
sira-gawa wira-wiri, tuduhna dununge panggonanira.

Kelak jika kalian meninggal dunia, hidup-mu berada dimana? Saat ini kalian
hidup, mati-mu berada dimana? Hidup-mu bakal menemui mati, mati akan
membawa pergi hidup-mu, dimanakah kematian itu berada? Sesungguhnya telah
kalian bawa kesana-kemari, tunjukanlah tempat kediamannya.

16.Guru tiga duk miyarsa, anyntak sarwi macicil, Rmbug gunm ujarira, iku
ora lumrah janmi, Gatholoco nauri, Dhasar sun-karpkn iku, aja lumrah wong
kathah, ngungkulana mring sasami, ora trima duwe kawruh kaya sira.

Begitu mendengarnya ketiga Guru, membentak sembari melotot, Apa yang telah
kamu katakan, tidak lumrah diucapkan manusia! Gatholoco menjawab, Memang
aku sengaja demikian, jangan sampai lumrah seperti manusia kebanyakan,
sebaiknya mengungguli pengetahuan sesama, aku tidak akan terima jika hanya
memiliki pengetahuan seperti pengetahuan kalian!

17.Santri padha ambk lintah, ora duwe mata kuping, anggre amis kewala,
cinucup nganti malnthing, ora ngrti yen gtih, gandane amis tur arus, kinira
madumangsa, yen wus warg mangan gtih, amalngkr tan mtu nganti
sawarsa.

Santri yang berperilaku seperti lintah, tidak memiliki mata dan telinga, asalkan
mencium bau amis, dihisap hingga perutnya menggelembung, tidak tahu kalau
itu darah, baunya amis dan arus (padanan kata amis), dikira madu, jika sudah
kenyang meminum darah, meringkuk tak keluar-keluar lagi hingga setahun.

18.Wkasan kaliru tampa, tan wruh tmah ndurakani, manut kitab mngkapmngkap, manut dalil tanpa misil, amung ginawe kasil, sinisil ing rasanipun, rasa
nikmating ilat, lan rasane langn rsmi, rasanira ing kawruh ora rinasa.

Pada akhirnya salah terima, tidak memahami inti sari malah berbuat dosa tanpa
disadari, menuruti kata-kata kitab begitu saja, menuruti dalil tanpa tahu makna
sesungguhnya, hanya dibuat untuk memperoleh keuntungan duniawi, tersilap
dengan keduniawian, dibuat untuk memenuhi nikmatnya rasa lidah, dibuat untuk
memenuhi nikmatnya rasa bersenggama, makna sejati ilmu tidak dirasakan.

19.Ttp urip tanpa mata, matamu mata soca pring, matamu tanpa paedah,
matamu tan migunani, Kyai Guru mangsuli, muring-muring asru muwus, Apa sira
tan wikan, mring mataku loro iki, Gatholoco sinaur Sireku bja.

Kalian hidup tak memiliki mata! Matamu mata batang bambu! Matamu tak
bermanfaat! Matamu tak berguna! Kyai Guru menjawab, marah-marah
membentak keras, Apa kamu buta! Tidak melihat jikalau kami punya mata!
Gatholoco menjawab, kalian sangat beruntung!

20.Dene padha duwe mata, loro-loro guru siji, apa sira wani sumpah, yen duwe
mata kkalih, Guru tiga nauri, Dhasar sayktine ingsun, ttela duwe mata, ttp
loro mata-mami, Gatholoco gumujng sarwi anyntak.

Mempunyai biji mata, setiap orang dari kalian memiliki dua buah, apakah kalian
berani bersumpah, benar-benar memiliki dua buah mata? Ketiga Guru menjawab,
Benar-benar kami, nyata-nyata memiliki mata, berjumlah dua buah, Gatholoco
tertawa sambil membentak.

21.Sireku wani gumampang, saykti balak bilahi, ngaku dudu matanira, sunlapurkn pulisi, msthine den taleni, angaku loro matamu, yen nyata matanira,
konn gilir gnti-gnti, prentahana siji mlek siji nendra.

Kalian sangat berani menggampangkan sumpah, sungguh akan menuai balak


dan celaka, mengaku memiliki mata yang jelas-jelas bukan mata kalian,
sebenarnya bisa dilaporkan ke polisi (maksud Gatholoco adalah hukum alam
semesta), pasti akan diikat tangan kalian, sebab mengaku memiliki dua buah
mata, kalau memang benar demikian, coba suruh bergantian, perintahkan yang
satu jaga dan yang satu tidur.

22.Dadi salawasmu gsang, ora kna dimalingi, Guru tiga samya ngucap, ndi
ana mata gilir, Gatholoco nauri, Tandhane nyata matamu, sira wnang masesa,
saprentahmu den turuti, yen tan manut ykti dudu matanira.

Sehingga selama kamu hidup, tidak bisa kecolongan oleh maling, Ketiga Guru
berkata, Mana ada mata bergiliran? Gatholoco menjawab, Jika memang benar itu
mata kalian, pastilah kalian berwenang menguasai, bisa diperintahkan sesuai
keinginanmu, apabila tidak menurut nyata bukan mata kalian.

23.Guru tiga samya mojar, Aku wani sumpah ykti, awit cilik prapteng tuwa, tan
pisah lan rai-mami, Gatholoco mangsuli, Dene sira wani ngaku, matamu ora
pisah, mata olehmu ing ngndi, apa tuku apa gawe apa nylang.

Ketiga Guru berujar, Aku berani bersumpah, semenjak kecil hingga tua, tidak
pernah terpisah dengan wajah kami, Gatholoco menjawab, Berani sekali kalian
mengaku, bahwa mata kalian tidak pernah berpisah, mata dapat dari mana?
Apakah beli apakah membuat sendiri ataukah meminjam?

24.Apa sira winewehan, iya sapa kang menehi, kalawan saksine sapa, dina apa
aneng ngndi, Guru tiga miyarsi, dhlg-dhlg datan muwus, wasana samya
ngucap, Gaweyane bapa bibi, Gatholoco gumuyu alatah-latah.

Apakah kalian diberi? Lantas siapakah yang memberi? Dan lagi siapakah
saksinya saat kalian diberi? Hari apa dimanakah tempatnya dan kapan waktu
saat kalian diberi? Ketiga Guru mendengar akan hal itu, terbengong-bengong
tanpa bisa menjawab, pada akhirnya berkatalah mereka, Buatan Bapak dan Ibu,
Gatholoco tertawa terbahak-bahak.

25.Kiraku wong tuwanira, loro pisan padha mukir, karone ora rumasa, gawe irung
mata kuping, lanang wadon mung sami, ngrasakake nikmatipun, iku daya
jalaran, wujude ragamu kuwi, ora nja gawe rambut kuping mata.

Aku yakin orang tua kalian, keduanya akan menolak (bila dikatakan telah
membuat mata), kedua-duanya tidak pernah merasa, telah membuat hidung
mata dan telinga, laki-laki dan perempuan hanyalah, sekedar menikmati
nikmatnya (bersenggama) semata, (persetubuhan) mereka hanya sekedar
lantaran, terwujudnya raga kalian, mereka tidak sengaja membuat rambut
telinga dan mata.

26.Guru tiga nulya mojar, Allah Ingkang Maha Suci, ingkang karya raganingwang.
Gatholoco anauri, Prnah apa sireki, kalawan Kang Maha Luhur, dene ta
pinaringan, mata loro kanan-kering, tlu pisan pinaringan grana lesan.

Ketiga Guru lantas berkata, Allah Yang Maha Suci, yang telah membuat raga
kami, Gatholoco menyahuti, Punya hubungan apa kalian, dengan Yang Maha
Luhur? Sehingga kalian diberikan, kedua bola mata kanan dan kiri, yang ketiga
bahkan diberikan hidung dan lesan.

27.Guru tiga saurira, Katrima pamuji-mami, Gatholoco asru nyntak, Pujimu


pujining Widdhi, sira ora nduweni, marang pangucap sadarum, iku ucaping Allah,
yen mangkono sira maling, wani-wani kadunungan barang glap.

Ketiga Guru menjawab, Karena diterima doa kami, Gatholoco keras membentak,
Bahkan doamu-pun adalah milik (Hyang) Widdhi! Kalian tidak punya hak untuk
mengakui! Karena pengucapan kalian itu semua, itu ucapan Allah! Jikalau
demikian kalian adalah maling! Telah berani ketempatan barang yang bukan
milik kalian (namun kalian akui sebagai milik sendiri)!

28.Yen tan bisa ndunungna, kajdhgan ingkang dhiri, msthine dadi sakitan,
ora kna sira mukir, mloke wus pinanggih, tka ngndi asalipun, yen asale tan
wikan, matanira loro kuwi, ora kna angukuhi matanira.

Jika tidak bisa menunjukkan asalnya dari mana, diri kalian patut dipersalahkan,
pasti akan menjadi pesakitan, kalian tidak bisa memungkiri lagi, jelas-jelas telah
nyata (kalian maling)! (Sekali lagi) darimanakah asalnya? Jika asalnya tidak tahu,
asal mula pertama mata kalian, maka tidaklah pantas jika mengakuinya sebagai
mata sendiri!

29.Sakehing reh lakonana, yen tan manut Sun gitiki, jalaran sira wus salah,
kajdhgan sira maling, lah iku duwek Mami, sira anggo tanpa urus, saikine
balekna, ilange duk Jaman Gaib, Ingsun simpn ana satngahing jagad.

Segala perintah-Ku laksanakan, jika tak menurut pasti Ku dera, sebab kalian
telah salah, patut dipersalahkan karena maling, itu semua milik-Ku, kalian pakai
dengan tidak benar, sekarang kembalikan, dulu hilang dikala Jaman Gaib, Aku
simpan di tengah-tengah jagad.

30.Saksine si Wujud Makna, cirine rina lan wngi, Ingsun rbut tanpa ana, saiki
lagya pinanggih, sira ingkang nyimpni, santri padha tanpa urus, yen sira tan
ngulungna, sun lapurake pulisi, ora wurung munggah ing rad pngadilan.

Saksinya adalah si Wujud Makna (Wujud dari segala inti sari makna kitab suci),
bukti (dari keteledoran kalian memakai barang-Ku dengan tidak benar) telah
dicatat oleh siang dan malam, Aku cari-cari tak ketemu, sekarang tengah Aku
jumpai, ternyata kalian yang menyimpannya, para santri yang tidak benar! Jika
tidak kalian kembalikan, Aku laporkan polisi (hukum alam), tak urung akan di
naik perkara dipengadilan (semesta)!

31.Msthi sira kokum pksa, yen wngi turu ning buwi, lamun rina nambut karya,
sabn bngi den kandhangi, beda kalawan mami, salawase ngong tumuwuh,
sadurunge tumindak, ingkang daya sja-mami, agal alus kasar lmbut ingsun
nalar.

Pasti akan menerima hukuman, jika malam tidur didalam penjara (terkurung
dalam kegelapan batin sehingga gelisah), jika siang kerja paksa (sengsara
ditengah panasnya dualitas duniawi), tiap malam dikandangkan (terus terjerat
dalam kegelapan batin), berbeda dengan aku, selama aku hidup, sebelum
bertindak, untuk memenuhi keinginanku, kasar maupun halus pasti aku pikirkan
terlebih dahulu.

32.Murih aja dadi salah, Ahmad Ngarip anauri, Gunman karo wong edan,
Gatholoco amangsuli, Edanku awit cilik, kongsi mangke prapteng umur, ingsun
tan bisa waras, sabn dina owah gingsir, nampik milih panganan kang enakenak.

Agar jangan sampai salah langkah, Ahmad Ngarip (Ahmad Arif) menjawab,
Berbicara dengan orang gila! Gatholoco menyahut, Gilaku memang semenjak
kecil, hingga saat usiaku tua, aku tidak bisa sembuh, setiap hari pikiranku tidak
waras, menolak makanan yang enak-enak.

33.Panganggo kang sarwa endah, ingsun edan urut margi, nurut margane
kamulyan, Abdul Jabar muring-muring, astu sumaur bngis, Rmbugan lan asu
buntung, Gatholoco angucap, Bnr olehmu ngarani, sakrabatku bapa kaki buyut
canggah.

(Menolak) busana yang indah-indah, aku gila disepanjang jalan, gila dijalan
kemuliaan! Abdul Jabar marah-marah, lantas berkata bengis, Berbicara dengan
anjing buntung! Gatholoco berkata, Memang benar apa yang kamu tuduhkan,
seluruh keluargaku mulai bapak-ku kakek-ku buyut (ayahnya kakek)-ku sampai
canggah (kakeknya kakek)-ku.

34.Dhasare buntung sadaya, tan ana buntut sawiji, basa Asu makna Asal,
Buntung iku wus ngarani, ingsun jinising janmi, ora buntut lir awakmu, balik sira
wong apa, sira gundhul anjdhindhil, apa Landa apa Koja apa Cina.

Memang buntung semua, tidak ada ekornya, Asu artinya Asal, arti Buntung
sudah kalian ketahui (maksud Gatholoco dia memang berasal dari makhluk yang
tanpa ekor), aku ini manusia, tidak berekor seperti kalian, sebaliknya kalian itu
orang apa? Kepala kalian gundul licin, apakah orang Belanda apakah Koja apakah
Cina.

35.Apa sira wong Benggala, Guru tiga anauri, Ingsun iki bangsa Jawa,
Muhammad agama-mami, Gatholoco nauri, Sira wong kapir satuhu, Kristn
agamanira, lamun sira bangsa Jawi, dene sira tan nbut Dewa Bathara.

Apakah kalian orang Benggala (maksudnya India), Ketiga Guru menjawab, Kami
ini orang Jawa, (ajaran) Nabi Muhammad agama kami! Gatholoco menjawab,
Kalian manusia Penentang sesungguhnya, seperti halnya orang Kristen (dalam
pandangan kalian, begitu juga pandanganku terhadap kalian)! Jika memang
kalian orang Jawa, mengapa tidak menyebut (Nama Tuhan dengan sebutan)
Dewa Bathara?

36.Agama Rasul Muhammad, agamane wong ing Arbi, sira nbut liya bangsa,
tgse sinipat kapir, tan sbutmu pribadi, anggawe rusak uripmu, mulane tanah
Jawa, kabawah mring liya jinis, krana rusak agamane kuna-kuna.

Agama Rasul(lullah) Muhammad, sesungguhnya adalah agama suci bagi orang


Arab! Kalian mengikuti bangsa lain (dan mengingkari agama suci yang
diperuntukkan bagi kalian ditanah Jawa)! Oleh karenanya pantas juga disebut
Penentang! Tidak mengingat kepada kepribadian sendiri, membuat rusaknya

kehidupan (di Jawa), oleh karenanya tanah Jawa, dijajah terus menerus oleh
bangsa lain, karena telah rusak agama yang lama!

37.Wiwit biyen jaman purwa, Pajajaran Majapahit, wong Jawa agama Buda,
jaman Dmak iku salin, nbut Rasulullahi, sbute wong Arab iku, saiki sira tular,
anilar agama lami, tgsira iku Kristn bangsa Arab.

Semenjak awal (di tanah Jawa) dulu, (saat jaman) Pajajaran Majapahit, orang
Jawa ber-agama Buda (Shiwa Buddha), semenjak jaman Dmak lantas berganti,
mengikuti ajaran Rasulullah, (yang sesungguhnya adalah) ajaran suci bagi orang
Arab, sekarang kalian terus mengikuti pula, meninggalkan agama lama, artinya
kalian itu Kristen dari Arab (maksudnya, jika mengikuti pola pikir manusiamanusia Jawa pasca keruntuhan Majapahit semacam orang yang tengah
berdialog dengan Gatholoco saat itu, yang menganggap manusia-manusia Jawa
lain yang beragama Kristen adalah manusia penentang, maka dengan pola pikir
yang sama, Gatholoco bisa juga menganggap manusia-manusia Jawa pasca
keruntuhan Majapahit semacam orang yang tengah berdialog dengan Gatholoco,
pantas juga dianggap Penentang oleh orang Jawa yang beragama Shiwa Buda.
Gatholoco hanya sekedar membalikkan logika berfikir mereka saja. Pada
gilirannya, jikalau mereka tersinggung dianggap sosok manusia-manusia
Penentang, maka begitu juga perasaan orang Kristen dan orang Shiwa Buddha
manakala dianggap Penentang oleh mereka. Sebuah bentuk keegoisan yang
tidak mereka sadari!)

Ada beberapa Pada (Syair) yang terdapat pada Pupuh II, Dandanggula, yang
harus diulas. Seperti dibawah ini :

1. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 19 :

Ingsun ngaku wong Lanang Sujati, basa Lanang Sujati tmnan, wadiku apa
dhapure, Sujati tgsipun, ingSUn urip tan nJA maTI, Guru tiga angucap,
Dhapurmu lir antu, sajge tan kambon toya, Gatholoco macucu nulya mangsuli,
Ewuh kinarya siram.

Aku mengaku sebagai Lanang Sujati (Lelaki Sejati), arti dari Lanang Sujati (Lelaki
Sejati) sesungguhnya adalah, aku disebut LANANG karena memahami Rahasia
Mulia barang (penis)-ku, sedangkan SUJATI (Sejati) artinya ingSUn urip tan nJA
ma TI (Aku Yang Hidup Tak Dapat Mati Selamanya). Ketiga Guru berkata,
Rupamu seperti hantu, tak pernah tersentuh air, Gatholoco cemberut lantas
menjawab, Aku bingung hendak mandi dengan apa.

Gatholoco menyadari bahwa siapapun yang meningkat Kesadarannya, berhak


menyandang predikat sebagai Lanang Sujati (Lelaki Sejati) atau Wadon Sujati
(Wanita Sejati). Pada Pada (Syair) diatas, arti kata Lanang Sujati diuraikan oleh
Gatholoco. Siapapun Lelaki yang memahami Kemuliaan Proses Penciptaan
melalui Penis (Gathel)-nya, sebuah proses vital yang menjadi mata rantai sebuah
perjalanan panjang evolusi jiwa, proses yang mampu menarik kembali Atma
atau Ruh dari ranah kematian menuju kehidupan kembali atau Reinkarnasi
(dalam istilah Sanskerta disebut PUNARBHAWA : Kelahiran Kembali, atau
PUNARJANMA : Manusia Yang Kembali hidup dari ranah kematian), proses
berkesinambungan untuk menjadi penyebab bangkitnya Atma atau Ruh agar
kembali berjuang ditengah samudera kehidupan demi untuk melanjutkan
peningkatan kembali KESADARAN mereka melalui tempaan badai dualitas
duniawi (suka-duka, kaya-miskin, sakit-sehat, dll), maka siapapun mereka, kalau
Lelaki berhak menyandang predikat LANANG. Kalau Wanita berhak menyandang
predikat WADON! Selama anda belum memahami kemuliaan dan pentingnya
proses ini, maka sesungguhnya anda belumlah pantas disebut LANANG atau
WADON. Anda hanyalah sekedar spesies makhluk hidup yang melakukan sebuah
aktifitas sexual tanpa kesadaran. Anda belumlah MANUSIA.

Kata SUJATI, Gatholoco mengartikan ingSUn urip tan neJA maTI yang artinya
Aku Yang Hidup Tak Dapat Mati. Siapakah itu? INGSUN (AHAM/AKU). Siapakah
INGSUN (AHAM/AKU) tersebut? Tak lain adalah Atma atau Ruh kita!

Atma atau Ruh tidak diciptakan oleh siapapun! Atma atau Ruh adalah Percikan
Brahman dalam definisi Weda atau Tiupan/Hembusan Nafas Allah dalam definisi
Al-Quran atau Pencitraan/Duplicate Allah dalam definisi Injil dan Taurat!

Atma dan Ruh adalah bagian langsung dari BRAHMAN, dari ALLAH, dari BAPA itu
sendiri! Tidak ada yang menciptakan Ruh atau Atma. Yang diciptakan adalah
Badan Halus (Suksma Sariira/Nafs) dan Badan Kasar (Sthula Sariira/Jasad)!
Sadarkah anda sekarang? Telitilah dengan seksama kitab suci anda, adakah
firman yang menyatakan Ruh itu diciptakan?
LANANG SUJATI artinya, Manusia yang memahami kemuliaan proses penciptaan
melalui penis/vagina-nya, yang merupakan lantaran untuk kelahiran kembali
para Atma atau Ruh!

2. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 20 :

Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun adus
gnine, jro badan isi latu, yen rsika sun gosok siti, asline saking lmah, sun dusana lesus, badanku sumbr maruta, tuduhna kinarya adus punapi, ujarnya Guru
tiga.

Jikalau aku harus mandi menggunakan air, tubuhku sudah penuh dengan unsur
air, jikalau harus mandi menggunakan api, didalam badan penuh unsur api,
jikalau harus membersihkan diri dengan menggunakan tanah, sudah jelas daging
ini berasal dari tanah, aku mandi menggunakan angin leysus, badanku sumber
dari angin, beritahu kepadaku apa yang harus aku pakai untuk mandi? Ketiga
Guru menjawab.

Ini adalah jawaban yang merupakan kritik kepada para agamawan yang
terlampau mementingkan syariat. Mereka-mereka yang terpaku pada tata lahir
dan procedural belaka. Begitu sudah tunai, mereka merasa sudah cukup dan

sempurna! Gatholoco menyengaja memberikan gambaran, bahwa AIR tidaklah


cukup untuk mensucikan diri secara menyeluruh. AIR hanya mampu
menggelontor kotoran LAHIR semata! Maka Gatholoco menyatakan, apa yang
hendak aku gunakan untuk men-sucikan diri ini? Jikalau memakai AIR, bukankah
JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA ini berasal dari unsur AIR. Jikalau memakai API,
bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA ini juga berasal dari unsur API. Pun
jikalau memakai ANGIN, bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA inipun
berasal dari unsur ANGIN? Begitu juga jika hendak disucikan dengan TANAH,
bukankah JASAD FISIK atau STHULA SARIIRA inipun berasal dari unsur TANAH?

Keempat Unsur yang disebutkan Gatholoco, umum dipahami sebagai empat


pembentuk JASAD FISIK manusia. Empat unsur Alam yang sangat vital, yaitu
TANAH/LOGAM (PRTIWI), AIR (APAH), API/CAHAYA (TEJA) dan ANGIN (WAYU) .

Namun sesungguhnya ada satu unsur lagi yang juga sangat vital membentuk
JASAD FISIK manusia, yaitu RUANG (AKASHA). Tanpa ada RUANG, maka tidak
akan ada celah dan rongga dalam susunan anatomi JASAD FISIK. Sesungguhnya
unsur RUANG menempati bagian yang penting. Dan RUANG menurut Weda,
masih juga dikategorikan sebuah MATERI! Masih merupakan BENDA FISIK! Para
saintis modern telah pula mulai melakukan pengujian untuk membuktikan
hipotesa bahwa RUANG masih juga merupakan MATERI.

Semesta ini terus mengembang. Terus membentuk ciptaan-ciptaan baru.


Kemanakah segala benda ciptaan itu mengembang kalau tidak menuju RUANG.
Berarti, begitu Semesta ini mengembang, maka akan terus tercipta RUANG baru!

Jauh-jauh hari, sebelum manusia modern bisa membuktikan bahwa semesta ini
terus mengembang, dalam Weda telah disebutkan secara jelas tanpa harus
ditafsir-tafsirkan lagi :

Semoga Brahman, yang bagaikan laba-laba dengan jejaringnya yang terus


keluar dari dalam diri-Nya, yang dihasilkan oleh PRADHANA/PRAKRTI-Nya,
sehingga terus tercipta Alam Semesta ini, berkenan memberikan berkah kepada
kami, sehingga kami dapat kembali menyatu dengan-Nya.
(Swetaswatara Upanishad:6:10)

Namun teori yang menyatakan bahwa RUANG termasuk dalam unsur vital
pembentuk JASAD FISIK, tidak begitu bisa dipahami oleh masyarakat Jawa
setelah ajaran Shiwa Buddha meninggalkan Pulau Jawa. Sampai detik ini,
masyarakat Jawa sudah terbiasa meyakini hanya ada empat unsur vital
pembentuk JASAD FISIK manusia yaitu, TANAH/LOGAM (Sanskerta : PRTIWI, Jawa :
BUMI), AIR (Sanskerta : APAH, Jawa : BANYU), API/CAHAYA (Sanskerta : TEJA, Jawa
: GENI), UDARA (Sanskerta WAYU, Jawa : ANGIN). Sedangkan RUANG (AKASHA),
terlupakan.

Masyarakat Bali masih bisa memahami. Mereka mengenalnya dengan istilah


PANCA MAHA BHUTA (LIMA MAHA UNSUR MAKHLUK)!

Dan Gatholoco, tidak menyinggung tentang unsur RUANG karena dia tengah
berdialog dengan masyarakat Jawa pasca Majapahit runtuh! Bahkan mereka
yang tengah berdialog dengan Gatholoco ini, hanya mengenal keyakinan bahwa
manusia tercipta dari AIR dan TANAH saja!

3. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 21 :

Asal banyu ykti adus warih, dimen suci iku badanira, Gatholoco sru saure, Sira
santri tan urus, yen suciya sarana warih, sun kungkum sangang wulan, ora kulak
kawruh, satmne bae iya, ingsun adus Tirta Tekad Suci ning, ing tyas datan
kaworan.

Tubuhmu berasal dari cairan (sperma) sudah layak jika mandi menggunakan air,
agar suci dirimu itu, Gatholoco lantang menjawab, Kalian santri bodoh! Jikalau
bisa suci karena mandi dengan air, aku akan berendam selama sembilan bulan
saja, tidak perlu mencari ilmu (Ke-Tuhan-an), ketahuilah bahwa sesungguhnya,
aku telah mandi Air Tekad Suci yang Jernih, yaitu jernihnya hati tanpa dikotori
oleh.

AIR masih juga dianggap sebagai sarana mutlak sebagai alat pensuci. Gatholoco
tertawa dan menjawab dengan cerdas. Jikalau memang hanya dengan memakai
AIR aku bisa menjadi suci, bukankah lebih baik aku berendam selama sembilan
bulan saja, tidak perlu mencari ilmu Ke-Tuhan-an? Pensuci yang sesungguhnya,
tak lain adalah TIRTA TEKAD SUCI NING (AIR TEKAD SUCI JERNIH) . Sebuah AIR
ABSTRAK YANG KELUAR DARI TEKAD UNTUK MENSUCIKAN DAN MENJERNIHKAN
SEGALA KEKOTORAN BATIN MANUSIA! ITULAH AIR YANG BISA MENGGELONTOR
SELURUH KEKOTORAN BATIN!

4. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 28 :

Gatholoco anauri malih, Yen mangkono isih lumrah janma, ora kinaot arane, beda
kalawan Ingsun, kabeh iki isining bumi, sakurbing akasa, dadi darbek-Ingsun,
kang anyar sarwa gumbyar, Sun kon nganggo marang sanak-sanak mami,
Ngong trima nganggo ala.

Gatholoco menyahuti lagi, Jikalau begitu jelas kalian hanya manusia lumrah,
bukan manusia pilihan namanya, berbeda dengan-Ku, sesungguhnya semua
yang ada dibumi, dan yang ada dibawah langit, adalah milik-Ku, yang baru dan
gemerlap, sengaja Aku berikan kepada saudara-saudaraku (semua makhluk
hidup), Aku rela memakai yang jelek-jelek saja.

Atma adalah Percikan Brahman. Semesta ini adalah materi baru yang tercipta
dari proses Persempitan ke-Mutlak-an Brahman.

Atma adalah percikan. Semesta adalah ciptaan. Atma tak berawal dan berakhir.
Langgeng abadi. Semesta ini mempunyai awal dan akhir. Tiada abadi. Makanya
Semesta ini disebut pula sebagai ALAM MAYA!

Jika Atma dan Brahman itu sesungguhnya adalah SATU KESATUAN TUNGGAL,
maka seluruh benda ciptaan ini sesungguhnya adalah milik Sang Atma juga.

Manakala dalam kenyataannya, kini Sang Atma kadangkala tidak mampu


menikmati apa yang sesungguhnya merupakan milik-nya sendiri diseluruh
Semesta raya ini, hal itu dikarenakan Sang Atma tengah terikat oleh Buah
Karma-nya! Buah Karma yang dibuat-nya dan harus dinikmati-nya sendiri! Jika
Sang Atma telah lepas dari jeratan Buah Karma, maka Sang Atma akan kembali
memperoleh KESADARAN PURNA-NYA, KESADARAN MUTLAK-NYA. Sang Atma
akan mampu merengkuh kembali segala milik-nya tanpa harus dibatasi lagi oleh
takdir. Takdir yang sesungguhnya dia buat sendiri tanpa disadari!

Seluruh PEMIKIRAN (MANASIKA) Sang Atma, seluruh UCAPAN (WACIKA) Sang


Atma, seluruh TINDAKAN (KAYIKA) Sang Atma, sesungguhnya adalah aktifitas
pembuatan sebuah takdir bagi diri Sang Atma sendiri. Jika seluruh PEMIKIRAN,
UCAPAN dan PERBUATAN Sang Atma cenderung positif, Sang Atma
sesungguhnya telah menguntai takdir positif bagi diri-nya. Jika seluruh
PEMIKIRAN, UCAPAN dan PERBUATAN Sang Atma cenderung negatif,
sesungguhnya Sang Atma telah menguntai takdir negatif pula bagi diri-nya
sendiri. Takdir bukan dibuat oleh Tuhan dari atas langit sana! Tidak ada Malaikat
yang bertugas mencatat takdir anda! Yang ada, seluruh aktifitas anda yang
keluar dari PEMIKIRAN, UCAPAN dan PERBUATAN, secara otomatis terekam oleh
PRAKRTI! Terekam oleh ALAM! Dan Alam yang akan menumbuhkan buahnya,
BAIK maupun BURUK, tergantung apa yang anda tanam! MALAIKAT ITU TAK LAIN
ADALAH ALAM ITU SENDIRI! Sadari itu!

Dan buah perbuatan anda (Karmaphala ; Karma : Perbuatan, Phala : Buah) tidak
bisa tidak, harus kembali kepada anda! Siapa yang menanam akan memetik!
Siapa yang menabur angin akan menui badai! Tidak ada orang yang akan
menggantikan! Dalam ungkapan Al-Quran sangat indah dinyatakan : SETIAP
ORANG AKAN MEMIKUL DOSANYA SENDIRI! WALAUPUN ITU SEKECIL DZARROH
(DEBU)!

Dan jika Sang Atma telah mampu terlepas dari ikatan samsara, terlepas dari
lingkaran penanaman dan penuaian hasil aktifitas yang terus menerus tiada
henti tersebut, sesungguhnya Sang Atma akan kembali memiliki segala apa yang
ada di seluruh semesta raya ini!

Inilah maksud Gatholoco! Dan manusia-manusia semacam Gatholoco,


sesungguhnya telah mampu memenuhi segala apa yang dikehendakinya.
Namun apalah arti dunia bagi manusia-manusia semacam dia! Karena
KESADARAN PURNA yang telah dicapainya, tidak bisa dibandingkan dengan
seluruh kenikmatan dan gemerlapnya duniawi! KESADARAN PURNA lebih
GEMERLAP DAN NIKMAT daripada segala macam gemerlap dan kenikmatan
duniawi yang gampang menguap bagai embun di pagi hari!

5. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 29 :

Apan Ingsun trima nganggo iki, ppanganan ingkang enak-enak, kang lgi gurih
rasane, pdhs asin sadarum, Sun kon mangan mring sagung janmi, ingkang
sinipat gsang, dene Ingsun amung, ngawruhi sadina-dina, Sun tulisi sastrane
salikur iji, Sun simpn jroning manah.

Cukuplah Aku memakan yang ini saja, segala makanan yang enak-enak, yang
manis gurih rasanya, pedas dan asin semuanya, Aku berikan untuk dimakan oleh
seluruh manusia, dan semua makhluk yang bersifat hidup, sedangkan Aku
hanyalah, meneliti setiap hari, Ku catat dalam sebuah sastra sebanyak Duapuluh
Satu buah (angka Dua melambangkan mereka yang masih terikat Dualitas
duniawi, angka Satu melambangkan mereka yang telah lepas dari Dualitas
duniawi. Manusia yang Kesadarannya tinggi, mampu meneliti dan mengamati
kedua jenis tingkatan kesadaran para manusia tersebut. Inilah makna Sastra
Salikur Iji atau Sastra Duapuluh Satu yang dimaksud Gatholoco), dan Aku simpan
didalam hati.

Manusia yang telah mencapai KESADARAN PURNA, maka KASIH yang ada
didalam dirinya meluap-luap bagai gelombang samudera! Dia akan terus
mendaur ulang segala unsur-unsur ekstrim Alam yang hendak mengacaukan kestabil-an semesta sebagai tempat yang masih harus ada.

Tempat yang masih harus ada sebagai media ber-evolusi bagi Atma-Atma yang
masih belum mencapai KESADARAN PURNA!

Manusia-manusia yang telah mencapai KESADARAN PURNA, selain terus


membantu proses ke-stabil-an semesta, kadang pula mereka akan
membimbing Atma-Atma lain, memandu secukupnya, dengan tidak
meninggalkan kemandirian dari mereka yang tengah di bimbing! Nabi Khidir,
Babaji Maha Avatar, Semar, dll adalah contoh-contoh dari sosok manusiamanusia suci pembimbing ini!

Mereka akan mengamati, mana saja para Atma yang mulai mampu lepas dari
Dualitas Duniawi, dilambangkan dengan angka SATU, dan mana saja para Atma
yang masih saja terus terikat dalam Dualitas Duniawi, dan dilambangkan dengan
angka DUA.

Inilah makna ucapan Gathoooco yang selalu mengamati seluruh Atma, dicatat
dalam Sastra yang disebut SASTRA SALIKUR IJI atau SASTRA DUA PULUH SATU.
DUA melambangkan mereka-mereka yang masih terikat Dualitas Duniawi dan
belum saatnya mendapat bimbingan dari Manusia-Manusia Berkesadaran Purna.
SATU melambangkan mereka-mereka yang mulai bisa lepas dari Dualitas
Duniawi dan sudah saatnya dibimbing oleh Manusia-Manusia Berkesadaran
Purna seperti Gatholoco!

6. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 30 :

Ingsun dhewe mangan sabn ari, Ingsun milih ingkang luwih panas, sarta
ingkang pait dhewe, najise dadi gunung, kabeh gunung ingkang ka-eksi, mulane
kang bawana, padha mtu kukus, tumuse gni Sun pangan, ingkang dadi padhas
watu lawan curi, klelet ingkang sun pangan.

Yang Ku-makan setiap hari, Ku-pilih yang sangat panas, dan yang terlampau
pahit (maksudnya semua unsur-unsur negatif Alam yang terlalu ekstrim), kotoran
(batin)-Ku menjadi gunung, seluruh gunung yang terlihat, (maksudnya, semua
unsur negatif yang terlalu ekstrim dari Alam, mampu didaur ulang menjadi unsur
yang lebih positif melalui olah batin dari manusia-manusia yang berkesadaran
tinggi. Dilambangkan dengan keberadaan sebuah gunung yang menyimpan api
menakutkan, namun lava dari gunung berapi, sangat bermanfaat menyuburkan
tanah, sehingga tanaman apapun akan gampang tumbuh disekeliling gunung
berapi. Jelasnya, dari sesuatu yang menakutkan semacam gunung berapi,
mampu didaur ulang menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi manusia.
Begitu pula proses daur ulang yang secara tidak disadari telah dilakukan oleh
manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam Gatholoco kepada semua unsur
negatif alam yang terlalu ekstrim), apa sebabnya dunia diliputi asap saja
(maksudnya, banyak unsur api terlampau ekstrim yang sesungguhnya
melingkupi dunia ini, namun berkat manusia-manusia yang penuh kesadaran
semacam Gatholoco, secara tidak sengaja, mereka-mereka ini menyerap unsur
api yang terlalu ekstrim tersebut dan didaur ulang menjadi unsur api positif yang
lebih bermanfaat. Jika tidak ada manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam
Gatholoco, dapat dipastikan, meteor-meteor raksasa dan hal-hal ekstrim lainnya,
akan menghantam dan mengacaukan bumi tanpa ada penghalang lagi!
Sadarilah ini!), sebab api telah Aku makan, kotoran (batin)-Ku menjadi batu
cadas (seperti halnya dipilihnya Gunung sebagai sebuah perumpamaan proses
pendaur ulang-an unsur ektrim Alam agar menjadi lebih bermanfaat, Batu
Cadas dipilih pula karena identik dengan kekokohan, sesuatu yang kokoh kuat.
Maksudnya jelas, unsur ekstrim alam, bisa diubah menjadi sesuatu yang stabil
demi keberlangsungan semesta sebagai tempat berevolusi. Berterima kasihlah
kepada manusia-manusia berkesadaran tinggi seperti Gatholoco!) Aku cukup
memakan candu ini. (maksudnya candu spiritualitas)

Uraian diatas saya kira sudah cukup jelas. Dengan penambahan sedikit. Sosoksosok Manusia Berkesadaran Tinggi seperti Gatholoco, hingga detik ini, dan
sampai nanti jika Para Atma masih banyak yang belum terseberangkan dari
lautan Dualitas Duniawi, akan selalu ada dan hadir! Walau jumlah mereka akan
berkurang dan bertambah, sesuai dengan siklus perputaran Jaman (Yuga). Dalam
Jaman Kali Yuga ini, mereka akan semakin berkurang. Banyak dari merekamereka yang akan MELEBUR DENGAN SUMBER ABADI SEMESTA! Pada Jaman
Satya Yuga kelak, jumlah mereka akan bertambah. Jumlah mereka bertambah
karena banyak para Atma-Atma baru dari Jaman Kali Yuga yang meningkat
KESADARANNYA!

Manusia-Manusia Suci seperti mereka bukanlah monopoli agama tertentu!


Karena mereka telah lepas dari Dualitas Duniawi.

Status agama Aatau B, adalah status DUNIAWI! Bagaimana bisa mereka


membimbing kita melepaskan diri dari ikatan Dualitas Duniawi jikalau mereka
sendiri masih terikat dengan status keduniawian?

SESUNGGUHNYA MEREKA-MEREKA TELAH TERLEPAS DARI SEGALA MACAM


STATUS, ATRIBUT DAN TETEK BENGEK BENDERA DUNIAWI! JANGAN MENJADI
BODOH DENGAN MEMPERCAYAI SEBUAH KEYAKINAN BAHWA MANUSIA YANG
TELAH MENCAPAI KESEMPURNAAN SEPERTI GATHOLOCO MASIH JUGA MENJADI
MILIK AGAMA A ATAU B!

PARA MANUSIA ILLAHI SEMACAM GATHOLOCO AKAN TERTAWA MELIHAT


KEKONYOLAN KEYAKINAN SEMACAM ITU!

7. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 31 :

Sadurunge Ingsun ngising najis, gunung iku ykti durung ana, benjang bakal
sirna maneh, lamun Ingsun wus mantun, ngising tai mtu tka silit, titenana
kewala, iki tutur-Ingsun, Guru tiga duk miyarsa, gya micara astane sarwi nudingi,
Layak kuru tan pakra.

Sebelum Aku membuang kotoran (batin), seluruh gunung belumlah tercipta


(maksudnya, dunia tidak akan stabil sebagai tempat yang sesuai bagi proses
evolusi jiwa jika tidak ada manusia-manusia berkesadaran tinggi yang mampu
mendaur ulang unsur-unsur ekstrim Alam seperti Gatholoco), kelak akan sirna
kembali, jika Aku sudah tidak lagi, membuang kotoran lewat dubur, nyatakanlah
kelak, apa yang Aku katakan ini. (maksudnya jika manusia-manusia yang
berkesadaran tinggi hilang dari muka bumi, dapat dipastikan kiamat dunia akan
tercipta!). Ketiga Guru begitu mendengar, segera berkata sembari menuding,
Makanya kurus kering tidak lumrah manusia (tubuhmu).

Gatholoco hanya sekedar menegaskan, bahwa tanpa adanya Manusia-Manusia


Berkesadaran Tinggi, Manusia-Manusia Illahi, yaitu Manusia-Manusia yang
Merupakan Perwujudan Illahi, kestabilan semesta tidak akan tercipta. Jika Para
Sadhu (Manusia Sempurna) seperti mereka mulai berkurang, maka dapat
dipastikan, kekacauan semesta akan tercipta. Dan pada puncak chaos yang
sedemikian, maka akan lahirlah seorang Buddha (Yang Tersadarkan) , seorang
Awatara (Perwujudan Illahi) , seorang Mesias (Juru Selamat) , seorang Nabi
(Manusia pilihan Tuhan) , yang akan kembali menstabilkan semesta diakhir
Jaman Kali Yuga kelak!

Dalam Hindhuisme, Kalki Awatara kelak akan turun untuk menghancurkan Asura
Kali dan mengakhiri Jaman Kali Yuga menuju ke Jaman Satya Yuga kembali.
Dalam Buddhisme, Buddha Maitreya kelak akan turun manakala Dhamma sudah
terlupakan! Dalam Kristianisme, Jesus akan turun untuk menghancurkan Lucifer
dan mengakhiri dunia lama menuju dunia baru. Saat itulah Armagedon tengah
tercipta! Dalam keyakinan Islam, Nabi Isa a.s. kelak akan turun untuk
menghancurkan Dajjal!
Kalki, Maitreya, Jesus, Isa, apakah mereka pribadi yang beda? Mengapa masih
ngotot menunjukkan keyakinannya sendiri yang paling benar? Sampai dibelabelain menumpahkan darah segala?

Sadarlah saudaraku!

8. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 32 :

Gatholoco sigra anauri, Mila ingsun kurune kalintang, krana nurut mring karsane,
Gusti Jng Nabi Rasul, sabn ari ingsun turuti, tindak mnyang ngpaken, awan
sore esuk, mundhut candhu lawan madat, dipun dhahar kalawan dipun obongi,
Allah kang paring wikan.

Gatholoco segera menjawab, Tubuhku kurus disebabkan, karena menuruti


perintah, Gusti (Kang)jng Nabi Rasul(lullah), setiap hari aku turuti, bertandang
ke tempat madat, siang sore pagi, mengambil candu dan madat, dimakan
langsung maupun dibakar lalu dihisap, Allah yang memberikan ijin. (Maksudnya
Kangjng Nabi Rasul dalam kesadaran Gatholoco, bukanlah Nabi Muhammad,
melainkan Ruh-nya sendiri, Atma-nya sendiri. Suara Atma, suara Ruh, yang
sering diistilahkan dengan SUARA NURANI, memerintahkan manusia-manusia
seperti Gatholoco untuk terus mabuk spiritual, agar terus ke-Candu-an dengan
Ke-Illahi-an. Dan Allah-pun me-ridloi!)

Ruh ini, Atma ini, adalah Utusan, adalah Rasul yang sesungguhnya! Sebejat
apapun manusia, searogan apapun manusia, sekejam dan sejahat apapun
manusia, se-psikopat apapun manusia, pasti masih memiliki rasa bersalah! Dan
rasa bersalah itu berasal dari SUARA RUH KITA! INILAH YANG SERING
DIISTILAHKAN DENGAN SUARA HATI NURANI!

Masih terngiangkah anda semua dengan teriakan Jesus bahwa Dia datang bukan
dengan hukum Taurat Musa, tapi Dia datang dengan Hukum Roh? Apakah itu?
Tak lain adalah HUKUM YANG BERASAL DARI SUARA ROH. SUARA HATI NURANI!

Masih ingatkah anda sabda Bhagawan Manu melalui Bhagawan Bregu yang
menyatakan bahwa ATMANASTUTI (SUARA ATMA) adalah Hukum tertinggi,
bahkan melebihi Weda sekalipun?

Lantas mengapakah anda memaksakan memberlakukan sebuah Hukum jika


NURANI anda sendiri memberontak karenanya? Nurani anda adalah KEJUJURAN
MURNI. Anda bisa menipu orang lain. Anda bisa menang berpekara dengan
orang lain walau sebenarnya anda dipihak yang salah. Namun dalam
kesendirian, pasti akan terdengar suara Ruh anda yang mengatakan bahwasanya
sesungguhnya akulah yang salah. Ada sesal, ada kasihan dan ada rasa bersalah!
Walaupun rasa itu kadang dengan mahirnya kita tepiskan melalui pembenaranpembenaran dari Pikiran liar kita! Jika kita terbiasa menepis SUARA RUH, SUARA
NURANI, anda akan menjadi orang MUNAFIK SEJATI! Manusia bisa membohongi
manusia lain, tapi sesungguhnya tidak ada manusia yang bisa membohongi
DIRINYA SENDIRI!

Dengan meditasi, volume SUARA NURANI ini akan semakin keras terdengar!
Dengan membiasakan sikap KASIH kepada sesama, volume SUARA RUH ini-pun
akan semakin nyaring! Dan dengan membiasakan mengikuti SUARA ini, dapat
dipastikan anda telah berada dijalan yang benar!

Suara tersebut sebenarnya adalah SUARA ANDA YANG SEJATI. YAITU ANDA YANG
LEPAS DARI KUNGKUNGAN KESADARAN RELATIF, PIKIRAN RELATIF, PERASAAN
RELATIF DAN MEMORY RELATIF ANDA!

Sadarilah, selama ini anda hidup dengan Kesadaran, Pikiran, Perasaan dan
Memory Relatif anda. Anda belum hidup dalam ROH!

Jesus Kristus, focus membahas tentang hal ini! Anda selama ini tengah hidup
dalam DAGING!! Dan anda sesungguhnya bukanlah DAGING! Anda adalah ROH!
Siapa yang mengikuti kemauan DAGING, dia akan hidup ditengah orang-orang
mati! Yaitu kegelapan kesengsaraan duniawi. Terikat proses kelahiran dan
kematian yang tiada henti. Dunia yang penuh gemeretak-nya gigi karena
kesedihan! Dunia dibawah KUASA GELAP IBLIS yang tak lain sesungguhnya
adalah KUASA DUALITAS DARI PRAKRTI! Siapa yang HIDUP DALAM ROH, dia patut
bersuka cita. Karena pembebasan akhir menuju KEDIAMAN BAPA, yaitu
KERAJAAN ALLAH, telah nyata! Inilah maksud Sang Mesias!

Weda jauh-jauh hari telah menegaskan bahwa ANDA SESUNGGUHNYA BUKANLAH


KESADARAN RELATIF ITU, ANDA BUKANLAH PIKIRAN, ANDA BUKANLAH
PERASAAN, ANDA BUKANLAH MEMORY, ANDA BUKANLAH TUBUH FISIK ITU. ANDA
ADALAH ATMA!

Dan Gatholoco membahasakan bahwa Ruh-kita ini-lah, Atma-kita inilah Sang


Utusan! Dan Sang Utusan memerintahkan dia untuk terus menikmati candu
spiritualitas!
18. Rehning ingsun tan dadi priyayi, mung jnngku jnng Wadi Mulya, supaya
turunku tmbe, dadi priyayi agung, Abdul Jabar angucap bngis, Dhapurmu kaya
luwak, nganggo sira ngaku, lamun Sujatine Lanang, Gatholoco gumujng alon
nauri, Ucapku nora salah.

Walaupun aku bukan priyayi (bangsawan), akan tetapi namaku adalah Rahasia
Mulia, supaya kelak para keturunanku, akan menjadi priyayi (bangsawan) besar
(maksud Gatholoco, bangsawan spiritualitas), Abdul Jabar berkata bengis,

Rupamu saja seperti Luwak (binatang sejenis musang yang berwujud jelek)!
Bisa-bisanya mengaku, sebagai Sujatine Lanang (Sejatinya Lelaki), Gatholoco
tertawa dan menjawab pelan, Ucapanku tidak salah.

19. Ingsun ngaku wong Lanang Sujati, basa Lanang Sujati tmnan, wadiku apa
dhapure, Sujati tgsipun, ingSUn urip tan nJA maTI, Guru tiga angucap,
Dhapurmu lir antu, sajge tan kambon toya, Gatholoco macucu nulya mangsuli,
Ewuh kinarya siram.

Aku mengaku sebagai Lanang Sujati (Lelaki Sejati), arti dari Lanang Sujati (Lelaki
Sejati) sesungguhnya adalah, aku disebut LANANG karena memahami Rahasia
Mulia barang (penis)-ku, sedangkan SUJATI (Sejati) artinya ingSUn urip tan nJA
ma TI (Aku Yang Hidup Tak Dapat Mati Selamanya). Ketiga Guru berkata,
Rupamu seperti hantu, tak pernah tersentuh air, Gatholoco cemberut lantas
menjawab, Aku bingung hendak mandi dengan apa.

20. Upamane ingsun adus warih, badaningsun wus kaisen toya, kalamun adus
gnine, jro badan isi latu, yen rsika sun gosok siti, asline saking lmah, sun dusana lesus, badanku sumbr maruta, tuduhna kinarya adus punapi, ujarnya Guru
tiga.

Jikalau aku harus mandi menggunakan air, tubuhku sudah penuh dengan unsur
air, jikalau harus mandi menggunakan api, didalam badan penuh unsur api,
jikalau harus membersihkan diri dengan menggunakan tanah, sudah jelas daging
ini berasal dari tanah, aku mandi menggunakan angin leysus, badanku sumber
dari angin, beritahu kepadaku apa yang harus aku pakai untuk mandi? Ketiga
Guru menjawab.

21. Asal banyu ykti adus warih, dimen suci iku badanira, Gatholoco sru saure,
Sira santri tan urus, yen suciya sarana warih, sun kungkum sangang wulan, ora
kulak kawruh, satmne bae iya, ingsun adus Tirta Tekad Suci ning, ing tyas
datan kaworan.

Tubuhmu berasal dari cairan (sperma) sudah layak jika mandi menggunakan air,
agar suci dirimu itu, Gatholoco lantang menjawab, Kalian santri bodoh! Jikalau
bisa suci karena mandi dengan air, aku akan berendam selama sembilan bulan
saja, tidak perlu mencari ilmu (Ke-Tuhan-an), ketahuilah bahwa sesungguhnya,
aku telah mandi Air Tekad Suci yang Jernih, yaitu jernihnya hati tanpa dikotori
oleh.

22. Bangsa salah kang kalbu ciri, iya iku adusing manusa, ingkang sabnrbnre, Kyai Guru sumaur, Wong dhapure lir kirik gring, sapa ingkang pracaya,
nduwe pikir jujur, sira iku ingsun duga, ora nduwe batal karam mkruh najis,
wruhmu amung halal.

Segala macam perbuatan yang salah, itulah mandi yang sesungguhnya bagi
manusia, mandi yang sebenar-benarnya mandi, Kyai Guru menyahut, Rupamu
saja seperti kirik gring (anjing penyakitan), siapa yang bakalan mempercayai,
jika kamu memiliki kejujuran? Jika tak salah dugaanku, kamu pasti tidak
mengenal peraturan tentang batal haram makruh najis, yang kamu ketahui
hanya halal saja.

23. Najan arak iwak celeng babi, anggr doyan msthi sira pangan, ora wedi
durakane, Gatholoco sumaur, Iku bnr tan nganggo sisip, kaya pambatangira,
najan iwak asu, sun titik asale purwa, lamun bcik tan dadi sriking janmi, najan
babi celenga.

Walaupun arak daging celeng dan babi, asal kamu doyan pasti kamu makan,
tidak takut dosa, Gatholoco menyahut, Benarlah dan tidak salah, semua
dugaanmu kepadaku itu, walaupun daging anjing, aku teliti asal usulnya,
manakala diperoleh dengan jalan yang tidak menyakiti sesama manusia,
begitupun juga walau daging babi dan celeng.

24. Ngingu dhewe awit saking cilik, sapa ingkang wani nggugat mring wang,
halal-e ngungkuli cmpe, sanajan iwak wdhus, yen asale srana tan bcik, karam

lir iwak sona, najan babi iku, tinilik kawitanira, yen purwane ngingu dhewe awit
gnjik, luwih saking maenda.

Apabila didapat dari hasil beternak sendiri (bukan hasil curian), siapa yang
bakalan berani melarangku (untuk memakannya)? Halal-nya melebihi daging
kambing, walaupun daging kambing, jika diperoleh dengan jalan tidak baik, itu
haram melebihi daging anjing, telitilah asal usulnya, jika daging tersebut berasal
dari binatang yang kita pelihara sendiri semenjak kecilnya, halal-nya melebihi
kambing!

25. Najan wdhus nanging nggonmu maling, luwih babi iku karam-ira, najan
mangan iwak celeng, lamun asale jujur, mburu dhewe marang wanadri, dudu
celeng colongan, halal-e kalangkung, sanajan iwak maesa, yen colongan luwih
karam saking babi, ujarnya Guru tiga.

Walaupun kambing namun hasil dari mencuri, melebihi babi itu haram-nya,
walaupun memakan daging celeng, tapi jika diperoleh dengan cara yang jujur,
berburu sendiri dihutan, bukan celeng curian, halal-nya luar biasa, walaupun
daging kerbau, namun hasil curian lebih haram dari babi, Ketiga Guru berkata.

26. Luwih halal padune si Blis, pants tmn uripmu cilaka, kamlaratan
salawase, tan duwe bras pantun, sandhangane pating saluwir, kabeh amoh
gombalan, sajge tumuwuh, ora tau mangan enak, ora tau ngrasakake lgi gurih,
kuru tan darbe wisma.

Memang halal menurut Iblis! Pantas jika hidupmu celaka, melarat selamanya, tak
memiliki makanan cukup, busana-pun compang camping, semua hanya gombal
lusuh, selama hidup, tak pernah memakan makanan enak, tidak pernah
menikmati rasa manis dan gurih, makanya kurus kering dan tak memiliki rumah.

27. Gatholoco ngucap anauri, Ingkang sugih sandhang lawan pangan, pirang
kthi momohane, kalawan pirang tumpuk, najis ingkang sira simpni, Guru tiga
duk myarsa, gumuyu angguguk, Sandhangan ingkang wus rusak, awor lmah
najisku kang tibeng bumi, kabeh wus awor kisma.

Gatholoco menjawab, Yang kaya akan busana dan makanan, berapa peti jumlah
busananya, berapa tumpuk persediaan makanannya, itu najis jika cuma kamu
simpan sendiri, Ketiga Guru begitu mendengar, seketika tertawa geli, Pakaian
yang sudah kotor dan jelek, kami jadikan satu ditanah bersama kotoranku,
semua sudah kubuang menjadi satu ke tanah! (Lantas mana yang disebut najis
dalam hal semua pakaian yg kumiliki?)

28. Gatholoco anauri malih, Yen mangkono isih lumrah janma, ora kinaot arane,
beda kalawan Ingsun, kabeh iki isining bumi, sakurbing akasa, dadi darbekIngsun, kang anyar sarwa gumbyar, Sun kon nganggo marang sanak-sanak
mami, Ngong trima nganggo ala.

Gatholoco menyahuti lagi, Jikalau begitu jelas kalian hanya manusia lumrah,
bukan manusia pilihan namanya, berbeda dengan-Ku, sesungguhnya semua
yang ada dibumi, dan yang ada dibawah langit, adalah milik-Ku, yang baru dan
gemerlap, sengaja Aku berikan kepada saudara-saudaraku (semua makhluk
hidup), Aku rela memakai yang jelek-jelek saja.

29. Apan Ingsun trima nganggo iki, ppanganan ingkang enak-enak, kang lgi
gurih rasane, pdhs asin sadarum, Sun kon mangan mring sagung janmi,
ingkang sinipat gsang, dene Ingsun amung, ngawruhi sadina-dina, Sun tulisi
sastrane salikur iji, Sun simpn jroning manah.

Cukuplah Aku memakan yang ini saja, segala makanan yang enak-enak, yang
manis gurih rasanya, pedas dan asin semuanya, Aku berikan untuk dimakan oleh
seluruh manusia, dan semua makhluk yang bersifat hidup, sedangkan Aku
hanyalah, meneliti setiap hari, Ku catat dalam sebuah sastra sebanyak Duapuluh
Satu buah (angka Dua melambangkan mereka yang masih terikat Dualitas
duniawi, angka Satu melambangkan mereka yang telah lepas dari Dualitas
duniawi. Manusia yang Kesadarannya tinggi, mampu meneliti dan mengamati
kedua jenis tingkatan kesadaran para manusia tersebut. Inilah makna Sastra
Salikur Iji atau Sastra Duapuluh Satu yang dimaksud Gatholoco), dan Aku simpan
didalam hati.

30. Ingsun dhewe mangan sabn ari, Ingsun milih ingkang luwih panas, sarta
ingkang pait dhewe, najise dadi gunung, kabeh gunung ingkang ka-eksi, mulane
kang bawana, padha mtu kukus, tumuse gni Sun pangan, ingkang dadi padhas
watu lawan curi, klelet ingkang sun pangan.

Yang Ku-makan setiap hari, Ku-pilih yang sangat panas, dan yang terlampau
pahit (maksudnya semua unsur-unsur negatif Alam yang terlalu ekstrim), kotoran
(batin)-Ku menjadi gunung, seluruh gunung yang terlihat, (maksudnya, semua
unsur negatif yang terlalu ekstrim dari Alam, mampu didaur ulang menjadi unsur
yang lebih positif melalui olah batin dari manusia-manusia yang berkesadaran
tinggi. Dilambangkan dengan keberadaan sebuah gunung yang menyimpan api
menakutkan, namun lava dari gunung berapi, sangat bermanfaat menyuburkan
tanah, sehingga tanaman apapun akan gampang tumbuh disekeliling gunung
berapi. Jelasnya, dari sesuatu yang menakutkan semacam gunung berapi,
mampu didaur ulang menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat bagi manusia.
Begitu pula proses daur ulang yang secara tidak disadari telah dilakukan oleh
manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam Gatholoco kepada semua unsur
negatif alam yang terlalu ekstrim), apa sebabnya dunia diliputi asap saja
(maksudnya, banyak unsur api terlampau ekstrim yang sesungguhnya
melingkupi dunia ini, namun berkat manusia-manusia yang penuh kesadaran
semacam Gatholoco, secara tidak sengaja, mereka-mereka ini menyerap unsur
api yang terlalu ekstrim tersebut dan didaur ulang menjadi unsur api positif yang
lebih bermanfaat. Jika tidak ada manusia-manusia berkesadaran tinggi semacam
Gatholoco, dapat dipastikan, meteor-meteor raksasa dan hal-hal ekstrim lainnya,
akan menghantam dan mengacaukan bumi tanpa ada penghalang lagi!
Sadarilah ini!), sebab api telah Aku makan, kotoran (batin)-Ku menjadi batu
cadas (seperti halnya dipilihnya Gunung sebagai sebuah perumpamaan proses
pendaur ulang-an unsur ektrim Alam agar menjadi lebih bermanfaat, Batu
Cadas dipilih pula karena identik dengan kekokohan, sesuatu yang kokoh kuat.
Maksudnya jelas, unsur ekstrim alam, bisa diubah menjadi sesuatu yang stabil
demi keberlangsungan semesta sebagai tempat berevolusi. Berterima kasihlah
kepada manusia-manusia berkesadaran tinggi seperti Gatholoco!) Aku cukup
memakan candu ini. (maksudnya candu spiritualitas)

31. Sadurunge Ingsun ngising najis, gunung iku ykti durung ana, benjang bakal
sirna maneh, lamun Ingsun wus mantun, ngising tai mtu tka silit, titenana
kewala, iki tutur-Ingsun, Guru tiga duk miyarsa, gya micara astane sarwi nudingi,
Layak kuru tan pakra.

Sebelum Aku membuang kotoran (batin), seluruh gunung belumlah tercipta


(maksudnya, dunia tidak akan stabil sebagai tempat yang sesuai bagi proses
evolusi jiwa jika tidak ada manusia-manusia berkesadaran tinggi yang mampu
mendaur ulang unsur-unsur ekstrim Alam seperti Gatholoco), kelak akan sirna
kembali, jika Aku sudah tidak lagi, membuang kotoran lewat dubur, nyatakanlah
kelak, apa yang Aku katakan ini. (maksudnya jika manusia-manusia yang
berkesadaran tinggi hilang dari muka bumi, dapat dipastikan kiamat dunia akan
tercipta!). Ketiga Guru begitu mendengar, segera berkata sembari menuding,
Makanya kurus kering tidak lumrah manusia (tubuhmu).

32. Gatholoco sigra anauri, Mila ingsun kurune kalintang, krana nurut mring
karsane, Gusti Jng Nabi Rasul, sabn ari ingsun turuti, tindak mnyang
ngpaken, awan sore esuk, mundhut candhu lawan madat, dipun dhahar
kalawan dipun obongi, Allah kang paring wikan.

Gatholoco segera menjawab, Tubuhku kurus disebabkan, karena menuruti


perintah, Gusti (Kang)jng Nabi Rasul(lullah), setiap hari aku turuti, bertandang
ke tempat madat, siang sore pagi, mengambil candu dan madat, dimakan
langsung maupun dibakar lalu dihisap, Allah yang memberikan ijin. (Maksudnya
Kangjng Nabi Rasul dalam kesadaran Gatholoco, bukanlah Nabi Muhammad,
melainkan Ruh-nya sendiri, Atma-nya sendiri. Suara Atma, suara Ruh, yang
sering diistilahkan dengan SUARA NURANI, memerintahkan manusia-manusia
seperti Gatholoco untuk terus mabuk spiritual, agar terus ke-Candu-an dengan
Ke-Illahi-an. Dan Allah-pun me-ridloi!)

33. Kangjng Rasul yen tan den turuti, muring-muring bangt nggone duka, sarta
bangt paniksane, ingsun tan bisa turu, Guru tiga samya nauri, Mung lagi
tatanira, Kangjng Nabi Rasul, karsa tindak mring ngpaken, Kangjng Rasul
ppundhene wong sabumi, aneng nagara Mekah.

Kangjng Rasul(lullah) manakala tidak ditaati perintahnya, marah-marah sangat


berang, dan kejam menyiksa, membuat aku tak bisa tidur. (Maksud Gatholoco,
jika SUARA NURANI-nya yang berasal dari Ruh-nya sendiri, dari Atma-nya sendiri
tidak dia dengarkan, dampaknya akan terjadi konflik batin yang berujung pada
ketidaknyamanan diri, keresahan diri, sehingga membuat dia tidak bisa tidur!)
Ketiga Guru segera menjawab, Ucapan tidak pantas, mengatakan Kangjng Nabi
Rasul(lullah), mengutus agar bertandang ketempat madat! Kangjng

Rasul(lullah) adalah sosok yang diagungkan oleh seluruh manusia, berada di


negara Makkah!

34. Gatholoco anauri aris, Rasul Mkah ingkang sira smbah, ora nana ing
wujude, wus seda sewu taun, panggonane ing tanah Arbi, llakon pitung wulan,
tur kadhangan laut, mung kari kubur kewala, sira smbah jungkar-jungkir sabn
ari, apa bisa tumka.

Gatholoco menjawab pelan, Rasul yang ada di Mekkah yang kamu agungkan,
sudah tidak ada lagi wujudnya (Telah mencapai Kesempurnaan), sudah
meninggal seribu tahun yang lalu, makamnya di tanah Arab, perjalanan selama
tujuh bulan untuk kesana, harus menyeberangi lautan, sekarang hanya tinggal
kuburannya saja, kamu agungkan setiap hari sembari berjungkir balik, tidak
mungkin beliau menemuimu? (Nabi Muhammad telah mencapai Kesempurnaan.
Sebelum mencapai tingkat ini, beliau telah meninggalkan PETUNJUK bagi para
pengikutnya, yaitu Al-Quran dan Hadist demi pegangan sebagai acuan
peningkatan Kesadaran mereka. Dari kedua petunjuk ini, para pengikut beliau
harus mampu meneladani, mengamalkan dan HARUS MANDIRI! SEKALI LAGI,
HARUS MANDIRI! KESADARAN TIDAK BISA DIBUAT OLEH ORANG LAIN! MAKA NABI
MUHAMMAD TIDAK AKAN MUNGKIN TERUS HADIR MEMBERIKAN PETUNJUK,
KARENA APA YANG TELAH BELIAU TINGGALKAN SUDAH CUKUP! BERSIKAPLAH
DEWASA! JANGAN KAYAK ANAK KECIL YANG TERUS MEREPOTKAN ORANG TUA!
MANDIRILAH! ITU MAKSUD GATHOLOCO! )

35. Smbahira dadi tanpa kardi, luwih siya marang raganira, tan nmbah Rasule
dhewe, siya marang uripmu, nmbah Rasul jabaning dhiri, kabeh sabangsanira,
iku nora urus, nbut Allah siya-siya, pating brngok Allah ora kober guling,
kabrbgn suwara.

Pujianmu tiada guna, menyusahkan diri sendiri, tak mengagungkan Rasul


(Utusan) sendiri ( Rasul sendiri, maksudnya adalah Atma, Ruh, Percikan Tuhan
yang merupakan inti sari setiap makhluk! Ruh kita, Atma kita inilah UTUSAN
YANG SESUNGGUHNYA), menyia-nyiakan hidupmu, mengagungkan Rasul diluar
diri, semua orang yang sepertimu, tidak memahami yang sebenarnya (Disini
sebenarnya sebuah rahasia Sahadat Sejati telah diuraikan oleh Gatholoco,
YAITU.-maaf saya belum berani menguraikan disini), menyebut nama Allah dengan sia-sia, teriak-teriak
membuat Allah tidak sempat tidur, terganggu suara kalian yang sangat berisik

(Ungkapan keprihatinan untuk mengkritik kebiasaan mukmin awam yang suka


beribadah disertai rasa pamer, riya. Ibadah tidak perlu ditunjuk-tunjukkan.
Lakukan diam-diam. Tidak usah berteriak-teriak! Itu maksud Gatholoco!)

36. Rasulullah seda sewu warsi, sira bngok saking wisma-nira, bok kongsi
modot gulune, masa bisa karungu, tiwas ksl tur tanpa kasil, Guru tiga
angucap, Ujare cocotmu, layak msum ora lumrah, anyampahi ppundhene
wong sabumi, Gatholoco manabda.

Rasulullah telah meninggal seribu tahun yang lalu, kamu teriaki dari rumahmu
(dengan harapan ditemui oleh beliau), walaupun sampai melar lehermu, tidak
akan berkenan hadir menemuimu? Hanya melelahkan diri sendiri tiada guna
( maksud Gatholoco hanya melelahkan diri sendiri dan tiada guna jika memuji
nama beliau dengan harapan agar ditemui dan mendapat tuntunan. Al-Quran
dan Hadist, itu sudah cukup beliau berikan bagi acuan peningkatan Kesadaran
para pengikut beliau!), Ketiga Guru berkata, Ucapan yang keluar dari cocot
(bacot)-mu, adalah ucapan orang bingung dan tidak sopan, menghina
sesembahan manusia se-dunia! Gatholoco berkata.

37. Bnr msum saking susah mami, kadunungan barang ingkang glap, awit
cilik tkeng mangke, kewuhan jawab-ingsun, yen konangan ingkang darbeni,
supaya bisa luwar, ingsun njaluk rmbug, kapriye bisane jawab, aywa nganti
kna ukum awak mami, Guru tiga miyarsa.

Memang benar aku bingung disebabkan karena keprihatinanku, karena


ketempatan barang yang bukan punyaku, semenjak aku kecil hingga sekarang
ini, sulit aku memberikan jawaban, manakala nanti ditanya oleh yang punya,
agar aku mampu terlepas dari masalah ini, bisakah aku meminta pendapat
kalian, bagaimanakah jawabanku, jangan sampai aku terkena hukuman, Ketiga
Guru begitu mendengar ucapan itu.

38. Asru ngucap Nyata sira maling, ora pants rembugan lan ingwang, sira iku
wong munapek, duraka ing Hyang Agung, lamun ingsun glm mulangi,
pakartine dursila, mring panjawabipun, ora wurung katularan, najan ingsun
datan anglakoni maling, yen glm mulangana.

Keras berkata Ternyata kamu maling! Tidak pantas meminta pendapat kami!
Kamu orang munafik! Berdosa kepada Hyang Agung! Jika kami sampai bersedia
memberikan pendapat, tidak urung bakal ketularan (dosanya)! Walaupun kami
tidak ikut mencuri, manakala bersedia memberikan pendapat.

39. Nalar bangsat paturane maling, ykti dadi melu kna siksa, Gatholoco
pamuwuse, Yen sireku tan purun, amulangi mring jawab maling, payo padha
cangkriman, nanging pamintengsun, badhenn ingkang sanyata, lamun sira tlu
pisan tan mangrti, guru tanpa paedah.

Sama saja menyetujui perbuatan bangsat seorang maling! Pasti akan ikut
terkena siksa! Gatholoco berkata, Apabila kalian tidak bersedia, memberikan
pemecahan masalah yang dihadapi seorang maling, baiklah mari kita bermain
teka-teki, akan tetapi permintaanku, jawablah sungguh-sungguh, jika kalian
bertiga tidak mampu menjawab, nyata kalian adalah Guru yang tiada guna!

40. Kyai Guru samya anauri, Mara age saiki pasalna, cangkrimane kaya priye,
manira arsa ngrungu, yen wus ngrungu saykti bangkit, masa bakal luputa,
ucapna den gupuh, angajak cangkriman apa, sun batange dimen padha den
skseni, santri murid nom noman.

Para Kyai Guru menyetujui, Baiklah sekarang berikan, teka-teki yang seperti apa,
kami akan mendengarkan, manakala sudah mendengar pasti akan paham, dan
tidak mungkin salah menjawab, cepat ucapkan, mengajak bermain teka-teki
yang seperti apa? Akan kami jawab dengan disaksikan, para murid santri yang
masih muda-muda (kata muda dlm bahasa Jawa adalah Anom, menandakan
syair berikutnya harus dilagukan dengan irama Sinom).

Sebelum melanjutkan ke-Pada (Syair) berikutnya (akan saya posting pada


catatan bagian tiga), maka perlulah kiranya kita ulas beberapa Pada (Syair) yang
telah saya posting pada catatan bagian pertama. Beberapa Pada (Syair) penting
yang patut diulas agar tidak menimbulkan kesalah pemahaman adalah sebagai
berikut :

1. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 9 :

Dudu anak manusa saykti, anak Blis Setan Brkasakan, turune Mmdi Wewe,
Gatholoco duk ngrungu, den wastani yen anak Blis, langkung sakit manahnya,
nanging tan kawtu, ngungkapi gembolanira, kleletipun sajbug sigra ingambil,
den untal babar pisan.

Bukan anak manusia sesungguhnya, akan tetapi anak Iblis Setan Brkasakan
(makhluk yang tidak karu-karuan hidupnya), keturunan Mmdi (makhluk yang
menakutkan) atau Wewe (Jin perempuan yang berwujud jelek), Gatholoco
mendengar akan hal itu, disebut sebagai anak Iblis, sangat-sangat sakit hatinya,
akan tetapi didiamkan saja, membuka gembolannya kembali, diambilnya candu
sekepal, dimakan sekaligus semuanya.

Penulis Gatholoco tampaknya mengambil pola pikir dari ajaran Shiwa Tantrayana
yang sangat populer ditanah Jawa pada masa lampau. Dalam kitab Mahanirvana
Tantra jelas disebutkan sebagai berikut :

Pautvaa pitvaa punah pitvaa yaavat patati bhuutale, Punarutyaaya dyai potvaa
punarjanma ga vidhate.

Minum, teruslah minum hingga kamu terjerembab ke tanah. Lantas berdirilah


kembali dan minum lagi hingga sesudah itu kamu akan terbebas dari
punarjanma (kelahiran kembali) dan mencapai kesempurnaan (Moksha).

Maksud dari sutra ini, tak lain adalah meminum minuman spiritual, bukan
minuman berwujud fisik yang mengandung alkhohol. Seseorang yang terus
meminum anggur spiritualitas hingga jatuh bangun, dan tetap tidak jera untuk
terus mereguknya, maka hanya dengan jalan seperti itu, dapat dipastikan,
Kesadaran akan tertempa, terbangun dan terasah.

Meminum anggur spiritualitas sehingga mabuk, atau dalam syair diatas


digambarkan memakan CANDU SPIRITUALITAS, sehingga terikat betul dengan
Ke-Illahi-an, sehingga KECANDUAN betul dengan Kesempurnaan, adalah
prasyarat mutlak bagi siapa saja yang ingin menggapai Kesadaran Purna.

2. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 11 :

Abdul Jabar ngucap mring Mad Ngarip, Lah ta mara age takonana, apa kang den
untal kuwe, lan sapa aranipun, sarta maneh wismane ngndi, apa panggotanira,
ing sadinanipun, lan apa tan adus toya, salawase dene awake mbasisik, janma
iku sun kira.

Abdul Jabar berkata kepada (Ah)mad Ngarip (Ahmad Arif), Segeralah kamu
tanyai, apa yang dimakannya barusan, dan siapa namanya, dan lagi rumahnya
dimana, apa pekerjaannya, pekerjaan sehari-harinya, dan apakah tidak pernah
mandi, sehingga kulitnya bersisik, manusia ini aku kira.

Masyarakat awan atau dalam istilah Tassawuf Islam disebut Mukmin Am


(seringkali ditulis dengan logat Mukmin Ngam dalam setiap sastra Jawa klasik)
atau Walaka dalam istilah Shiwa Buddha, sudah barang tentu akan keheran
melihat tingkah laku manusia-manusia aneh yang kecanduan spiritualitas seperti
Gatholoco. Mereka akan bertanya-tanya, apa yang di-makan-nya? Apa yang
di-telan-nya sehingga demikian gila-nya itu orang? Fenomena ini digambarkan
secara konotatif dalam adegan diatas. Dimana sosok manusia Gatholoco
menelan candu didepan para agamawan sehingga membuat keheranan mereka.

Manusia Gatholoco akan membuat logika spiritual orang awam terjungkirbalikkan, bahkan mereka yang mengaku agamawan sekalipun akan dibuat
kalang-kabut olehnya. Manusia Gatholoco sangat unik karena benar-benar
mabuk oleh candu Illahi. Siapapun yang mabuk candu Illahi, maka
Kesadarannnya akan terayun kesegala arah bagai Palu Illahi yang tanpa ampun
akan menggedor sekat-sekat sempit pemahaman awam tentang syariat.
Fenomena yang dialami oleh manusia Gatholoco, akan sulit dipahami oleh
mereka yang tidak mau menikmati candu yang sama.

3. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 13 :

Lah ta sapa aranira ykti, sarta maneh ngndi wismanira, kang tinannya lon
saure, Gatholoco aranku, ingsun janma Lanang Sujati, omahku tngah jagad,
Guru tiga ngrungu, sarng denya latah-latah, Bdhes buset aran nora lumrah
janmi, jnngmu iku karam.

Siapakah namamu sesungguhnya? Dan lagi dimanakah rumahmu? Yang ditanya


menjawab pelan, Gatholoco namaku, aku manusia Lanang Sujati ( Lelaki Sejati ),
rumahku ditengah-tengah jagad, Ketiga Guru mendengar, bersamaan mereka
tertawa terbahak-bahak, Monyet! Busyet! Nama tidak umum dipakai manusia,
namamu saja itu sudah haram!

Manusia Gatholoco akan menyatakan dirinya sebagai Lanang Sujati (Hal ini akan
diuraikan dalam syair ke-18 pada bagian tiga) yang bertempat tinggal di
TENGAH-TENGAH DUNIA. Tengah-tengah dunia menyiratkan bahwa DIA TIDAK
DITIMUR TIDAK DIBARAT TIDAK DIUTARA TIDAK DISELATAN TIDAK PULA DI ATAS,
DITENGAH ATAU DIBAWAH. SEMUA ARAH ADALAH TEMPATNYA.

Dualitas duniawi, senang-sedih, panas-dingin, tinggi-rendah, nikmat-sakit, hidupmati dan sebagainya akan menyeret manusia awam kearah salah satu kutubnya. Namun bagi manusia Gatholoco, dia telah mampu berpijak ditengah-tengah
keduanya. Berpijak dalam keadaan seimbang total! Manusia Gatholoco telah
melampaui dualitas duniawi!

Manusia Gatholoco tidak condong ke kanan maupun kekiri. Manusia Gatholoco


telah melampaui dualitas duniawi (Rwabhineda) sehingga tepatlah jika dikatakan
KEDUDUKAN DIA BERADA DITENGAH-TENGAH JAGAD atau DUNIA!

4. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 14 :

Gatholoco ngucap tannya aris, Dene sira padha latah-latah, anggguyu apa
kuwe, Kyai Guru sumaur, Krana saking tyasingsun gli, gumun mring jnngira,
Gatholoco muwus, Ing mangka jnng utama, Gatho iku tgse Sirah Kang Wadi,
Loco Pranti Gosokan.

Gatholoco tenang bertanya, Kenapa kalian terbahak-bahak? Mentertawai


apakah? Kyai Guru menjawab, Hatiku sangat geli, heran kepada namamu,
Gatholoco berkata, Padahal itu adalah nama utama, Gatho itu artinya Kepala
Yang Dirahasiakan ( Gathel : Penis ), Loco artinya Dikocok.

Inilah pernyataan Gatholoco yang sangat vulgar tentang arti namanya. Gatho
atau GATHEL (maaf) dalam bahasa Jawa berarti PENIS, sedangkan LOCO artinya
KOCOK. Gatholoco tak lebih berarti KOCOKAN DARI PENIS. Dan akibat dari
aktifitas KOCOKAN ini, pada ujungnya memuncak pada fenomena
TERPANCARNYA CAIRAN SPERMA. Arti nama Gatholoco sangatlah tabu jika hal ini
dikaitkan dengan etika masyarakat pada umumnya. Namun bagaimana-pun
juga, manusia yang terdiri dari tiga bentukan badan (sarira) sesuai dengan
mantra-mantra yang ada dalam ATMOPANISHAD, yaitu Badan Fisik atau STHULA
SARIIRA, Badan Halus atau SUKSMA SARIIRA dan Badan Sejati atau ATMA
SARIIRA, semua memang tercipta dari fenomena PANCARAN ini.

Dalam istilah Tassawuf Islam, Badan Fisik (STHULA) disebut JASAD dan dalam
istilah Islam Kejawen, disebut DHINDHING JALAL ARAN KIJAB (Dinding Agung
Yang Disebut Hijab ; Penghalang/Tabir/Tirai).

Sedangkan Badan Halus (SUKSMA) dalam istilah Tassawuf Islam disebut NAFS
(Pribadi/personil) dan dalam Islam Kejawen disebutROH ILAPI (Ruh Idlafi),
DAMAR ARAN KANDHIL (Pelita bernama Kandil) dan SESOTYA ARAN DARAH
(Cahaya bernama Darah)

Badan Sejati (ATMA) dalam istilah Tassawuf Islam disebut RUH dan dalam Islam
Kejawen disebut KAYU SAJARATUL YAKIN (Hayyu Syajaratul Yaqin ; Hidup Sebagai
Pohon/Akar Keyakinan Utama) , NUR MUHAMMAD (Cahaya Terpuji) dan KACA
ARAN MIRATULKAYAI (Cermin bernama Miratul Haya; Mirah = Cermin, Haya =
Malu) atau cukup disebut KANG NGURIPI (Yang membuat manusia hidup).

Dalam istilah Kristiani, Badan Fisik (STHULA) dan Badan Halus (SUKSMA) ,
keduanya di sebut tataran DAGING. Dan Badan Sejati (ATMA) disebut ROH
KUDUS!

Dalam tataran materi (Skala), proses terbentuknya Badan Fisik dan Badan Halus
tidak bisa lepas dari fenomena TERPANCARNYA SPERMA KEDALAM RAHIM
SEBAGAI PUNCAK DARI SEBUAH AKTIFITAS SEXUAL. Tak jauh beda pula pada
tataran Immateri (Niskala), terciptanya Atma dan seluruh semesta ini tak lepas

pula dari fenomena dahsyat PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA


KEPADA APA YANG DINAMAKAN PRAKRTI.

BRAHMAN yang mutlak atau PARAMASHIWA, yaitu SUMBER SEGALA SUMBER


HIDUP INI atau HIDUP itu sendiri (Tassawuf Islam menyebutnya ALLAH, Kejawen
menyebutnya URIP yang artinya adalah Hidup, Kristiani menyebutnya ALLAH
BAPA), Yang Melampaui Segalanya, Mengatasi Segalanya, Tidak diketahui apa
sesungguhnya Dia, Mengatasi segala pribadi, Sempurna, Yang Murni dan
sebagainya, pada suatu saat, berkehendak mempersempit ke-Mutlak-an-Nya.

Proses ini dinamakan DOSHA atau KESALAHAN. Sebuah DOSHA yang memang
disengaja oleh-Nya. BRAHMAN atau PARAMASHIWA yang mempersempit keMutlak-an-Nya ini lantas mengenakan sifat MAHA. MAHA ADA, MAHA KUASA,
MAHA AGUNG, MAHA SUCI dan sebagainya. Dia lantas dikenal dengan nama
PURUSHA yang artinya YANG BERKEHENDAK atau SADASHIWA (Tassawuf Islam
menyebutnya NURUN ALA NUURIN yang artinya Cahaya Diatas Cahaya.
Kejawen menyebutnya KANG GAWE URIP yang artinya Yang Menyebabkan
adanya kehidupan material. Kristiani menyebutnya ALLAH PUTRA).

Bersamaan proses mempersempit ke-Mutlak-an-Nya tersebut, tercipta bayangan


BRAHMAN atau PARAMASHIWA yang disebut PRAKRTI. PRAKRTI inilah cikal-bakal
bahan materi seluruh alam semesta. (PRA : Sebelum, KRTI : Membuat). PRAKRTI
mengandung unsur negatif dan positif semesta, PRAKRTI inilah yang
sesungguhnya dalam tradisi agama timur tengah disebut PENGHULU MALAIKAT
dan IBLIS itu sendiri!

Bahan-bahan positif dari PRAKRTI yang kelak membentuk Badan Halus dan
Badan Kasar manusia dengan unsur positif-nya, inilah yang disimbolkan sebagai
MALAIKAT YANG MENJAGA MANUSIA. Sedangkan bahan-bahan negatif PRAKRTI
yang kelak membentuk Badan Halus dan Badan Kasar manusia dengan unsur
negatif-nya, inilah yang disimbolkan sebagai SETAN-SETAN YANG MENGGODA
MANUSIA!

UNSUR POSITIF ALAM DIDALAM PRAKRTI ITULAH PARA PENGHULU MALAIKAT!


UNSUR NEGATIF ALAM DIDALAM PRAKRTI ITULAH IBLIS.

SEGALA HAL YANG TERDAPAT DALAM BADAN HALUS DAN BADAN KASAR ANDA
YANG MENUNJANG KEARAH KEBENARAN, ITULAH MALAIKAT PENDAMPING ANDA!
SEGALA HAL YANG TERDAPAT DALAM BADAN HALUS MAUPUN BADAN KASAR

ANDA YANG SENANTIASA MENGGANGGU ANDA BERJALAN DIJALAN KEBENARAN,


ITULAH ANAK-ANAK IBLIS YANG DISEBUT SETAN! BUKALAH KESADARAN ANDA
SAAT INI JUGA!

MALAIKAT tercipta dari CAHAYA. IBLIS tercipta dari API. CAHAYA dan API tidak bisa
dipisahkan! Mengapa masih juga anda tidak mengerti dengan simbolisasi seperti
ini?

Akibat PANCARAN ENERGI DARI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA PRAKRTI,


maka terperciklah tak terhitung ATMA-ATMA sebagai percikan PURUSHA. Bagai
API dengan PERCIKANNYA. Bagai AIR dengan TETESANNYA.

Bahkan dari proses PANCARAN ENERGI ini, tercipta pula bahan-bahan material
alam semesta sebagai bakal wadah bagi Atma-Atma.

Dari PURUSHAatau SADASHIWA terciptalah ATMA-ATMA, dan dari bahan-bahan


material akibat PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU SADASHIWA KEPADA PRAKRTI
terciptalah kelak Badan Halus (SUKSMA) dan Badan Fisik (STHULA).

PRAKRTI HANYA SEKEDAR SEBAGAI TEMPAT PENAMPUNGAN SEMUA ITU. PRAKRTI


IBARAT RAHIM SEMESTA!

Dan semua proses ini tak lain berawal dari PANCARAN ENERGI PURUSHA ATAU
SADASHIWA KEPADA PRAKRTI.

Dan proses ini diulang kembali, dalam bentuk aktifitas badaniah antara laki-laki
dan wanita yang dinamakan sexualitas. Dimana penis makhluk jantan harus
dikocok didalam vagina makhluk wanita (Gatholoco) agar memancarlah sperma
yang penuh dengan berjuta-juta bibit kehidupan (Atma) kedalam rahim.

Proses sexualitas, adalah proses pematangan agar Atma benar-benar dibungkus


oleh Badan Halus (Suksma) dan Badan Fisik (Sthula) didalam kandungan seorang
wanita selama rentang waktu sembilan bulan sepuluh hari.

Nama Gatholoco sangat tabu, tapi dari Gatholoco-lah seluruh kehidupan tercipta.
Maka sesungguhnya benar apa yang dikatakan Gatholoco, bahwa nama yang
dipakainya adalah nama Rahasia Yang Mulia.

5. Pupuh II, Dandanggula, Pada (Syair) 15 :

Marma kabeh padha sun lilani, sakarsane ngundang marang ingwang, ykti sun
sauri bae, ttlu araningsun, kang sawiji Barang Kinisik, siji Barang Panglusan,
nanging kang misuwur, manca pat manca llima, iya iku Gatholoco aran mami,
prasaja tandha priya.

Maka aku rela jika kalian semua, mau memanggil aku apa, pasti aku akan terima,
tiga namaku, yang pertama Barang Kinisik ( Barang yang sering digosokgosokkan kepada lobang), satunya lagi Barang Panglusan (Barang yang sering
dihaluskan dengan cara dikeluar masukkan), akan tetapi yang terkenal, di empat
penjuru angin bahkan di-lima penjuru angin, ialah Gatholoco, tanda seorang pria
sejati.

Nama lain GATHOLOCO adalah BARANG KINISIK (Benda yang digosok-gosokkan


didalam lobang) dan satunya lagi BARANG PANGLUSAN (Benda yang dihaluskan
dengan cara dikeluar masukkan). Maknanya tiada beda, tak lain adalah PENIS
YANG DIKOCOK.

KESADARAN MANUSIA GATHOLOCO MAMPU MEMAHAMI, bahwasanya cikal bakal


kehidupan manusia dan beberapa makhluk yang mulai berkembang
Kesadaranya, HARUS MELALUI PROSES PANCARAN SPERMA KEDALAM RAHIM.

Lebih tinggi dari itu, KESADARAN MANUSIA GATHOLOCO JUGA MEMAHAMI, bahwa
SELURUH SEMESTA RAYA INI TERCIPTA JUGA AKIBAT PANCARAN ENERGI PURUSHA
ATAU SADASHIWA KEDALAM KANDUNGAN PRAKRTI!

Proses ini adalah sebuah proses yang SAKRAL dan SUCI. Jadi sangat-sangat tidak
patut jika aktifitas sexual hanya dipergunakan untuk sekedar mengejar sensasi
kenikmatan belaka!

Manusia-manusia Gatholoco hanya akan MENGKOCOK PENIS MEREKA KEDALAM


LIANG VAGINA sekedar untuk memberikan jalan bagi kelahiran kembali para
Atma yang hendak melanjutkan proses evolusinya dialam manusia.

Manusia-manusia yang bukan manusia Gatholoco hanya akan melakukan


PENGKOCOKAN PENIS MEREKA KEDALAM VAGINA sekedar untuk menikmati
sensasi kenikmatannya belaka!

Laki-laki yang memahami hal ini, patut disebut PRIA SEJATI. Begitu juga wanita
yang memahami akan hal ini, sepatutnya juga disebut WANITA SEJATI.

ITULAH BEDA MANUSIA GATHOLOCO DAN YANG BUKAN MANUSIA GATHOLOCO!


SEMOGA ANDA SEMUA MEMAHAMI MAKSUD PENULIS GATHOLOCO DAN TIDAK
SALAH MENGERTI KARENANYA!

Anda mungkin juga menyukai