Anda di halaman 1dari 7

AJARAN ISLAM KEJAWEN: Wisikan Ananing Dat

"Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iku
Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun. Sajatining Dat Kang Amaha Suci anglimputi ing Sipatingsun,
anartani ing Asmaningsun, amratandhani ing Apngalingsun. (Sesungguhnya tiada apa pun, sebab ketika
masih dalam awang uwung [suwung], belumlah ada apa pun. Yang ada terdahulu adalah Ingsun [Aku],
tiada Pangeran [Tuhan] selain Ingsun. Sesungguhnya Dzat Yang Mahasuci meliputi Sifat Ingsun,
menyertai Asma Ingsun, menandai Afal Ingsun)."

Wejangan di atas, Wisikan Ananing Dat (Petunjuk Adanya Dzat), merupakan benih Ngelmu Makripat
(Ilmu Makrifat), hasil kiyas (qiyas) dari kadis (hadis), sabda Kangjng Nabi Mukamad kepada Sayidina
Ngali ketika beliau menunjukkan adanya Dzat; juga hasil kiyas dari firman Tuhan Yang Mahasuci,
dibisikkan di telinga kiri, seperti di bawah ini:

"Sajatine ora ana apa-apa, awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji, kang ana dhingin iku
Ingsun, ora ana Pangeran anging Ingsun. (Sesungguhnya tiada apa pun, sebab ketika masih dalam awang
uwung [suwung], belumlah ada apa pun. Yang ada terdahulu adalah Ingsun [Aku], tiada Pangeran
[Tuhan] selain Ingsun)."

Siapakah yang berkata-kata di sini? Tak lain adalah Tuhan sendiri. Dengan sesungguh-sungguhnya Dia
menyatakan bahwa tiada apa pun selain diri-Nya. Semesta ini sejatinya kosong belaka. Semesta ini
sejatinya awang uwung belaka. Dan yang ada hanya Diri-Nya. Setiap bentuk kehidupan yang seolah-olah
ada, seolah-olah terpisah dari keberadaan-Nya, tak lain hanya merupakan manifestasi-Nya. Dan
kalaupun segala manifestasi-Nya dianggap ada, maka keberadaan awal adalah Dia. Dalam wejangan di
atas, Dia menyebut diri-Nya dengan kata ganti orang pertama: Ingsun (Aku). Dan selanjutnya jika segala
manifestasi-Nya dianggap sebagai ciptaan-Nya, maka Dia pun menyebut: tiada Tuhan selain Ingsun.
Tuhan berarti majikan. Tuhan tak lain adalah Tuan. Makna yang sama dengan kata Pangeran dalam teks
wejangan yang asli. Pangeran bermakna tempat untuk ngenger. Ngenger bermakna menghamba.
Pangengeran atau Pangeran: tempat untuk menghamba. Sama persis dengan makna Tuhan. Siapa yang
menghamba atau menjadi hamba? Tak lain adalah segala manifestasi-Nya.

Ingsun (Aku) seolah-olah menunjuk pada Pribadi Purba yang awal dan menjadi sumber segala-galanya.
Sesungguhnya, jika Ingsun dimaknai sebagai pribadi, jelas itu tidak tepat. Pribadi berarti sebuah
perwujudan yang eksis dan berdiri terpisah dari pribadi lain. Sebuah pribadi akan memiliki
kecenderungan-kecenderungan khusus yang kita sebut sifat. Sebuah pribadi pasti membutuhkan nama
khusus untuk membedakan-Nya dengan pribadi lain. Dan sebuah pribadi tentunya memiliki aktivitas
tertentu yang menandakan bahwa pribadi itu eksis. Padahal, Ingsun di sini sekadar kata tunjuk kepada
sesuatu yang tidak bisa digambarkan, yang melampaui segala-galanya dan adalah segala-galanya.
Ingsun tidak bisa serta-merta dikatakan menunjuk objek tertentu yang terpisah dari mereka yang
menunjuk. Bagaimana bisa dikatakan sebagai objek jika sesuatu tersebut juga subjek itu sendiri? Dia
adalah objek yang ditunjuk, Dia juga subjek yang menunjuk, dan Dia melampaui objek sekaligus subjek.

Betapa membingungkannya sesuatu yang disebut Ingsun itu. Oleh karenanya muncul ungkapan dalam
bahasa Jawa: Samubarang kang ana kuwi dudu (Segala sesuatu yang mengada/eksis itu bukan Dia).
Bahkan yang mengada di dalam pikiran kita pun bukan Dia. Ketika kita membayangkan sesosok pribadi
yang penuh kuasa, itu bukanlah Dia. Ketika kita membayangkan sesuatu yang bukan pribadi dan
merupakan sumber dari segala sumber kehidupan, itu pun bukan Dia. Lantas ungkapan apa yang tepat
untuk sekadar menunjuk Dia? Tidak ada ungkapan yang tepat. Mungkin ungkapan yang bisa sedikit
menunjuk kepada Dia adalah Tan kna kinaya ngapa (Tidak bisa disamakan dengan apa pun). Kayatun
bila rukin, kadirun bila alatin (Hidup tanpa Ruh, Berkuasa tanpa alat). Jika demikian, bagaimana mungkin
kita bisa mengenal-Nya? Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Arab yang tepat untuk menggambarkan
bagaimana cara untuk mengenal-Nya:

"Man ngarapa napsahu, pakad ngarapa Rabahu. (Siapa saja yang mengetahui pribadinya, maka pasti ia
mengetahui Tuhannya)."

Ya, Dia yang tan kna kinaya ngapa itu tak jauh dari diri kita ini. Siapa saja yang benar-benar tahu tentang
apa atau siapa sebenarnya pribadinya sendiri, maka dia akan tahu tentang apa atau siapa Tuhan yang
sesungguhnya. Tahu dalam artian menyadari, bukan tahu dalam artian mengetahui dengan akal
pikiran. Tahu dalam artian mengalami, bukan tahu dalam artian mengetahui secara riil, baik lewat
pengalaman lahiriah maupun batiniah. Menyadari dan mengalami sendiri tentang apa dan siapa Tuhan.
Menyadari dan mengalami sendiri tentang apa dan siapa sesungguhnya yang disebut Tuhan. Tuhan ada
di balik pribadi manusia. Tuhan adalah generator tunggal pribadi manusia. Tuhan melampaui semua
keadaan yang lahir dan yang batin. Tanda keberadaan-Nya yang bisa dilihat sebagai bukti nyata adalah
Hidup. Tuhan adalah Hidup kita ini. Hidup sesungguhnya adalah Tuhan. Orang Jawa menyebut Hidup
dengan kata Urip atau Hurip.

Sang Urip (Sang Hidup), yang tan kna kinaya ngapa, memiliki tiga tingkatan perwujudan. Tiga tingkat
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Urip (Hidup): Keadaan Dat-Nya. Yang Absolut dan Abadi. Yang tidak terkena perubahan apa pun. Yang
merupakan sumber segala kehidupan. Yang merupakan asal dan tujuan kehidupan atau Sangkan
Paraning Dumadi.

2. Kang Gawe Urip (Yang Membuat Hidup): Roh Kudus atau Ruh Suci, Ruh Manusia, yang mampu
menghidupi manusia. Ruh adalah percikan dari Hidup.

3. Kang Nguripi (Yang Menghidupi): Roh Ilapi/Ruh Idlafi. Idlafi berarti bersandar. Ruh Idlafi berarti Ruh
yang telah bersandar karena telah lemah kesadarannya. Ruh Idlafi adalah Ruh yang menghidupi
Napsu/Nafs manusia. Napsu adalah keberadaan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, Napsu yang telah
dihidupi oleh Roh Ilapi disebut Suksma/Jiwa.

Urip, Kang Gawe Urip, dan Kang Nguripi sesungguhnya adalah tunggal juga. Dengan demikian Dat, Roh
Kudus, dan Roh Ilapi sesungguhnya tak terpisahkan.

Namun demikian, demi memudahkan manusia untuk mengenal-Nya, maka bukanlah suatu kesalahan
jika lantas Dia diwujudkan seolah-olah sebagai sesosok yang berkepribadian. Tentu saja ini sekadar untuk
mempermudah, dan tentu saja bukan berarti Tuhan adalah sesosok pribadi. Sebagaimana anak kecil
yang baru belajar berhitung, maka pada awalnya sang anak mutlak memerlukan alat bantu berupa
batang-batang lidi atau semacamnya. Berangkat dari pemahaman ini, Tuhan lantas ditunjuk sebagai
suatu Pribadi Purba atau Dzat Mutlak yang Wajibul Wujud atau Yang Wajib Keberadaan-Nya. Dzat Mutlak
ini lantas diberi Watak-Watak (Sifat) khusus yang Cantik serta Nama-Nama (Asma) khusus yang Perkasa,
dan segala apa yang tergelar di dalam semesta dilekatkan sebagai Perbuatan-Nya (Afal) yang ajaib dan
sempurna. Lahirlah konsep Dat (Dzat), Sipat (Sifat), Asma (Asma) dan Apngal (Afal). Berlanjut lagi lahir
konsep Jalal, Jamal, Kahar (Qahhar), Kamal. Yang Agung (Jalal) adalah Dat-Nya. Yang Cantik (Jamal)
adalah Sipat-Nya. Yang Perkasa (Kahar) adalah Asma-Nya dan yang Sempurna (Kamal) adalah Apngal-
Nya.

Wejangan berlanjut seperti di bawah ini:

"Sajatining Dat Kang Amaha Suci anglimputi ing Sipatingsun, anartani ing Asmaningsun, amratandhani
ing Apngalingsun. (Sesungguhnya Dzat Yang Mahasuci meliputi Sifat Ingsun, menyertai Asma Ingsun,
menandai Afal Ingsun)."
Di sini seolah-olah ada dua oknum yang dinyatakan. Pertama Sang Ingsun (Sang Aku), kedua Dat Kang
Amaha Suci (Dzat Yang Mahasuci). Sebenarnya tidaklah demikian. Ingsun hanya menyatakan bahwa Dzat-
Nya sendiri Yang Suci, Yang Mahasuci; hakikat-Nya sendiri yang sedemikian suci, yang tak dapat dikenali
dengan apa pun, yang luput dari segala noda kemenjadian; luput dari noda kepribadian; luput dari noda
perwujudan. Jika harus diwujudkan, maka Dia harus dijadikan sebuah kepribadian demi sekadar untuk
mengenali-Nya. Lalu Dia akan diberi Sifat-Sifat, diberi Asma-Asma, dan dilekatkan dengan segala Afal.
Bagaimana mungkin Dia yang tak terbayangkan, yang melampaui segala-galanya, memiliki Sifat, Asma,
dan Afal layaknya makhluk fana?

Sifat adalah karakter. Sifat adalah watak. Sifat adalah ciri sebuah kepribadian. Dia sesungguhnya
melampaui segala sifat. Toh demikian, jikalau Dia harus diberi Sifat, maka Sifat-Nya tetap terliputi oleh
Kemahasucian Dzat-Nya yang tak tergambarkan. Itu berarti, ungkapan anglimputi ing Sipatingsun sama
artinya dengan ungkapan Sifat-Sifat-Nya tak terbayangkan.

Adapun sifat-sifat yang sudah disepakati melekat pada Dzat-Nya disebut Sipat Rongpuluh (Sifat Dua
Puluh), yaitu:

1. Wujud: Ada. Adanya Dzat-Nya bukan karena ada yang mengadakan. Dia Ada dengan Dzat-Nya sendiri.

2. Kidam: Dahulu. Dzat-Nya ada sebelum semuanya mengada.

3. Baka: Langgeng. Dzat-Nya langgeng, kekal tanpa berkesudahan.

4. Mukalapatu Lilkawadis: Berbeda dengan segala yang mengada.

5. Kiyamuhu Binapsihi: Berdiri dengan Diri-Nya sendiri, tanpa memerlukan apa pun untuk bisa membuat
Dzat-Nya berdiri.

6. Wakdaniyah: Tunggal. Tiada kuasa lain lagi selain Dzat-Nya.

7. Kudrat: Berkuasa atas segala sesuatu.

8. Iradat: Berkehendak, tanpa ada yang menghalangi.

9. Ngilmu: Mengetahui segala sesuatu.

10. Kayat: Hidup. Dzat-Nya adalah Hidup. Hidup adalah Dzat-Nya.

11. Samak: Mendengar tanpa batas.


12. Basor: Melihat tanpa penghalang

13. Kalam: Bicara atau bersuara dengan segala suara.

14. Kadiran: Berkuasa penuh.

15. Muridan: Berkehendak penuh.

16. Ngaliman: Tahu dengan sepenuhnya akan segala sesuatu.

17. Kayan: Hidup sebenar-benarnya.

18. Samingan: Mendengar segalanya dengan sepenuhnya.

19. Basiran: Melihat segala sesuatu dengan sepenuhnya.

20. Mutakaliman: Berbicara dan bersuara senyata-nyatanya

Namun demikian, Sajatining Dat Kang Amaha Suci anglimputi ing Sipatingsun, Dzat-Nya yang tak
tergambarkan meliputi Sifat-Nya. Dan sekali lagi itu berarti: Sesungguhnya Sifat-Nya yang sejati tak
tergambarkan, apalagi hanya dengan dua puluh Sifat saja.

Dan, kalaupun Dzat-Nya harus diberi Asma (Nama), maka Dzat-Nya Yang Mahasuci senantiasa menyertai
Asma-Nya: anartani ing Asmaningsun. Itu pun berarti Asma yang telah dilekatkan kepada Dzat-Nya tetap
tak tergambarkan. Adapun Asma-Asma yang sudah disepakati dilekatkan kepada Dzat-Nya berjumlah 99,
disebut dengan Asmaul Husna:

Ar-Rakman (Kasih), Ar-Rakim (Sayang), Al-Malik (Merajai), Al-Kudus (Suci), As-Salam (Selamat), Al-
Mukmin (Pelimpah Keamanan), Al-Muhaimin (Mengawasi), Al-Ajis (Dapat Mengalahkan), Al-Jabar
(Perkasa), Al-Mutakabir (Mempunyai Kebesaran), Al-Kalik (Pencipta), Al-Bari (Melepaskan), Al-Musawir
(Pembentuk), Al-Gapar (Pengampun), Al-Kahar (Pemaksa), Al-Wahab (Penganugerah), Ar-Rajak (Pemberi
Rezeki), Al-Patah (Pembuka), Al-Ngalim (Mengetahui), Al-Kabit (Pengekang), Al-Basit (Pelimpah Nikmat),
Al-Kapit (Perendah Derajat), Ar-Rapik (Peninggi Derajat), Al-Mungis (Memuliakan), Al-Mudil (Penghina),
As-Samik (Pendengar), Al-Basir (Pelihat), Al-Hakam (Mengadili), Al-Adil (Adil), Al-Latip (Lembut), Al-Kobir
(Waspada), Al-Halim (Penyabar), Al-Adim (Agung), Al-Gapur (Pengampun), As-Sakur (Bersyukur), Al-Ngali
(Tinggi), Al-Kabir (Besar), Al-Hapid (Pemelihara), Al-Mukit (Memberi Makan), Al-Hasib (Penghitung), Al-
Jalil (Mempunyai Kebesaran), Al-Karim (Mulia), Ar-Rakib (Mengawasi), Al-Mujib (Pengabul), Al-Wasik
(Luas), Al-Hakim (Bijaksana), Al-Wadud (Penyayang), Al-Majid (Mulia), Al-Bangis (Pembangkit Semula), As
Sahit-(Penyaksi), Al-Hak (Benar), Al-Wakil (Mengurusi), Al-Kawiyu (Kuat), Al-Matin (Kokoh), Al-Waliyu
(Melindungi), Al-Hamid (Terpuji), Al-Muhsi (Penghitung), Al-Mubdi (Memulai), Al-Mungid
(Mengembalikan), Al-Muhyi (Menghidupkan), Al-Mumit (Mematikan), Al-Kayu (Hidup), Al-Kayumu
(Berdiri Sendiri), Al-Wajid (Penemu), Al-Majid (Mulia), Al-Wakid (Tunggal), Al-Akad (Tunggal), As-Samad
(Menjadi Tumpuan), Al-Kadir (Berupaya), Al-Muktadir (Berkuasa), Al-Mukadim (Pendahulu), Al-Muakir
(Pengakhir), Al-Awal-(Pertama), Al-Akir (Akhir), Al-Lahir (Lahir), Al-Batin (Batin), Al-Wali (Menguasai), Al-
Mutangali (Tinggi serta Mulia), Al-Bar (Kebaikan), At-Tawab (Menerima Tobat), Al-Muntakim (Memberi
Hukuman), Al-Apuwu (Pengampun), Ar-Raup (Pengasih serta Penyayang), Malikul Mulki (Pemilik
Kerajaan), Dul Jalali wal Ikram (Mempunyai Keagungan dan Kemuliaan), Al-Muksit (Pemberi Keadilan), Al-
Jamik (Pengumpul), Al-Ganiyu (Kaya), Al-Mugni (Pemberi Kekayaan), Al-Mani (Pencegah), Ad-Dar
(Mendatangkan Bahaya), An-Napi (Pemberi Manfaat), An Nur (Cahaya), Al-Hadi (Pemberi Pertunjuk), Al-
Badi (Pencipta Yang Tiada Bandingan), Al-Baki (Kekal), Al-Waris (Pewaris), Ar-Rasid (Pandai), As-Sabur
(Penyabar).

Kalau diperhatikan, yang disebut Asma tak lain adalah Sifat juga. Ini semakin menjelaskan bahwa
sebenarnya Dzat-Nya tak terjelaskan.

Kemudian, tertulis dalam wejangan ungkapan amratandhani ing Apngalingsun (memberikan tanda
kepada Afal Ingsun). Dzat-Nya yang tak terkirakan, tak tergambarkan, dan tak terbayangkan,
memberikan tanda yang nyata kepada segala perbuatan-Nya yang ajaib, menakjubkan, dan
mengagumkan. Semesta dengan segala bentuk makhluk hidup di dalamnya, yang tak terkirakan
keberadaannya, yang tak terbayangkan jumlahnya, merupakan tanda nyata dari kehadiran Dzat-Nya yang
tak terpikirkan.

Bisa juga dijabarkan demikian: Sajatining Dat Kang Amaha Suci anglimputi ing Sipatingsun, sesungguhnya
Dzat Yang Mahasuci meliputi Sifat Ingsun. Lantas Sifat anartani ing Asmaningsun, menyertai Asma
Ingsun. Selanjutnya, Asma amratandhani ing Apngalingsun, menandai Afal Ingsun.

Dzat Yang Mahasuci, yang tak tergambarkan, meliputi Sifat-Nya. Dengan demikian, Sifat-Nya pun tak
tergambarkan. Sifat-Nya lantas menyertai segala Asma-Nya, sehingga Asma-Nya pun tak tergambarkan.
Asma-Nya menandai semua Afal-Nya, sehingga Afal-Nya pun tak tergambarkan. Dan Afal-Nya
merupakan tanda keberadaan-Nya.

Dzat yang meliputi Sifat bagaikan madu dengan manisnya, tak terpisahkan. Sifat yang menyertai Asma
bagaikan matahari dengan sinarnya, tidak terbedakan. Asma yang menandai Afal bagaikan yang
bercermin dengan bayangannya di dalam cermin. Bagaimanapun tingkah yang bercermin, bayangannya
akan mengikuti juga. Afal yang menjadi bukti nyata dari Dzat bagaikan samudra dengan ombaknya.
Ombak tak bisa dipisahkan dari samudra. Dan itu berarti Dzat-Nya tetap tak tergambarkan walau telah
diberi Sifat, dilekati Asma, dan telah nyata segala Afal-Nya.

***

(Dari kitab INDUK ILMU KEJAWEN: Wirid Hidayat Jati)

--------------------

Wirid Hidayat Jati adalah kitab babon bagi para penganut Islam Kejawen. Kumpulan ajaran rahasia para
wali di tanah Jawa yang pernah diwejangkan kepada santri-santri khusus pada abad 15 dan 16. Tercatat
ada 8 wali yang membabarnya secara bersamaan pada masa-masa itu. Pada abad 16 Kanjeng Sunan
Kalijaga merangkum seluruh ajarannya, kemudian Raden Ngabehi Ranggawarsita menuliskannya kembali
pada pertengahan abad 19. Melalui Raden Ngabehi Ranggawarsitalah Wirid Hidayat Jati dikenal secara
luas dan menjadi rujukan utama para penganut Islam Kejawen.

Kitab ini membahas Ilmu Makrifat Jawa, Sedulur Papat Lima Pancer; Sangkan Paraning Dumadi;
Manunggaling Kawula-Gusti; Syahadat Sejati; Nur Muhammad; Ilmu Kasampurnan; Pangruwatan;
Perjalanan di Alam Kematian; Tumimbal Lahir; Maklumat Jati; Wirid dan Kidung Keselamatan; Laku, Doa,
dan Meditasi Kejawen; Upacara dan Selamatan Kejawen.

Kitab ini menggunakan dua bahasa (bahasa Jawa dan bahasa Indonesia terjemahannya), disertai
penjelasan dan ulasan. Harga: Rp60 ribu (Harga asli: Rp75 ribu). CARA PEMESANAN: tulis nama dan
alamat ke inbox atau SMS/WA ke: 081287654445.

Penerjemah dan Pengulas: Damar Shashangka

SC | 14 x 21 cm | 480 hlm.

Anda mungkin juga menyukai