Anda di halaman 1dari 2

MulaJati DiriLontar

Untuk Apa Merasa Benar?

25/05/2012 02:27

Merasa benar itu tidak benar. Menyalahkan pun justru salah. Sunan Kalijaga mengatakan," Janganlah
merasa bisa, namun bisalah merasa." Kearifan lokal inilah yang menumbuhkan hati tawadlu, rendah hati
kepada sesama dan rendah diri kepada Allah, sehingga tidak perlu merasa paling benar sendiri.

Lagipula, Allah tidak pernah mengisyaratkan agar manusia berlomba-lomba berbuat benar. Yang Tuhan
serukan adalah manusia agar berlomba-lomba berbuat baik, fastabiqul khairat, sebagaimana tercantum
dalam Q.S. Al Baqarah ayat 148. Masih menurut ayat ini pula, Dia menegaskan,"Dan bagi tiap-tiap umat
ada kiblatnya sendiri yang ia menghadap kepadanya."

Tidak ada monopoli kebenaran dalam beragama. Seruan shalat Subuh, yang disampaikan melalui adzan,
juga menyebutkan ash-shaalatu khairun min an-nauum, shalat itu lebih baik daripada tidur. Karena
itulah, tidak ada paksaan dalam beragama, dalam memasuki agama Islam, sesuai Q.S. Al Baqarah ayat
256. Allah menarik garis tegas antara siapa yang benar dan siapa yang sesat, namun tak memerintahkan
untuk saling merasa benar dan menyalahkan.

Tuhan yang bersumpah demi masa, membukakan jalan keberuntungan kepada hamba-hambaNya, yang
jika mereka menempuh jalan itu maka tidak akan merugi, yaitu jalan berwasiat tentang kebenaran,
sesuai Q.S. Al Ashr ayat 3. Jadi, kebenaran bukanlah untuk dipaksakan, melainkan untuk diwasiatkan,
atau dinasihatkan dengan cara yang baik, halus, dan damai.

Bagaimana pun, membenarkan tidaklah dengan cara menyalahkan. Membenarkan adalah dengan cara
membenarkan. Menyalahkan hanya akan mengeraskan hati yang jika terus-menerus diperlakukan
demikian maka hati akan mengerak. Apalagi jika disertai dengan menyudutkan dan mencari cela orang
lain. Membenarkan akan melembutkan hati, apalagi jika dengan suri tauladan dan kata-kata yang baik
dan bijaksana.
Lebih arif lagi, jika wasiat mengenai kebenaran ini disertai dengan wasiat mengenai kesabaran, wa tawaa
shaubil haqqi wa tawaa shaubi 's-sabr, Q.S. Al Ashr ayat 3. Menasihati diri sendiri dan orang lain tentang
betapa hanya Allah yang Maha Benar dan KebenaranNya yang mutlak benar, sedangkan manusia adalah
tempat salah dan dosa. Jika pun berusaha mencapai kebenaran, maka kebenaran itu bersifat relatif. Lalu,
menasihati agar setiap orang bersabar atas keadaan dirinya masing-masing.

Jika saling salin raga salin rupa satu dengan yang lain, niscaya tidak ada yang kuat. Si fulan tak akan
berdaya jika disabda menjadi si fulana, begitu pun sebaliknya: si fulana tak akan sanggup hidup sebagai si
fulan. Kejernihan berpikir dan kebeningan hati untuk mawasdiri menjadi kunci untuk menerima keadaan
yang dialami, dan cerdas untuk bersyukur. Berterimakasih kepada Allah dan memujiNya adalah cara
terbaik untuk tidak merasa benar dan modal paling mumpuni untuk berbuat baik.

Lagipula, buat apalah merasa lebih benar daripada yang lain? Apakah kau sangka definisi dari Jalan Yang
Lurus adalah Jalan Yang Benar? Sejenak marilah membaca ulang Q.S. Al Fatihah ayat 6-7. Kita
memohon,"Ihdina 's-shiraathal mustaqiim, duhai Tuhan tunjukkanlah kepada kami Jalan yang Lurus."
Apakah Jalan yang Lurus itu? Yaitu,"Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat."

Ya. Jalan Yang Lurus adalah Jalan Yang Nikmat, yang atas dasar kenikmatan dari Allah yang tiada terbilang
itu, kita bersyukur. Kita tidak lagi mendustai nikmat itu dengan menyangkalnya, tidak pula mendzalimi
nikmat itu dengan tidak membaginya kepada sesama. Untuk apalah merasa benar? Justru dengan
merasa salah, kita bisa bergegas meminta maaf kepada sesama dan memohon ampunanNya. Berulang-
ulang Allah dalam Q.S Ar Rahmaan menegur,"Nikmat dari Tuhanmu yang mana yang kau dustakan?"

Candra Malik, pengasuh Pesantren Asy Syahadah, Segoro Gunung, di lereng Gunung Lawu.

< Kembali

View Full Site

2012 candramalik.com, All Rights Reserved.

by Solowebcenter

Anda mungkin juga menyukai