BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG ILMU YANG BERKEMBANG DI PULAU
JAWA
Pesan terakhir dari penulis buku Wirid Hidayat Jati ini, dalam
mencari sasmita/firasat gaib seperti riwayat para ahli ilmu, agar mencapai
martabat seperti yang diungkapkan di atas, lakukanlah hal-hal sebagai
berikut:
1. Rajin suci bersungguh-sungguh, untuk menjauhkan
durgandana, artinya bau yang tidak enak.
2. Mengurangi makan minum, untuk peleburan raga di kemudian
hari
3. Mencegah tidur syahwat, untuk pelepasan jiwa kelak di
kemudian hari
4. Mengurangi nafsu perkataan, untuk menghilangkan rahsa di
kemudian hari
A. Alam Ahadiat
A
B Alam B G G. Alam
Wachdat Insan
Kamil
A S M A
C. Alam C F F. Alam
Beureum
Hideung
Wahidiat Koneng Misal
Bodas
ALAM BARJAH
E E. Alam
Ajsam
A F ‘A L
Seuneu
Boemi
Angin
Arwah
A. Alam Ahadiat
Alam ini menunjukkan DAT laesa kamitslihi, yaitu dat yang tidak
ada perumpamaannya. Dikatakan demikian karena saking Sucinya,
dalam arti bersih tanpa sifat apa pun dengan, disertai dengan ungkapan
bila haefin bila makanin, sehingga Maha Suci yang tidak bisa
diumpamakan baik warna maupun tempat dan lainnya.
B. Alam Wachdat
Menjelaskan martabat yang Maha Suci bahwa pada alam ini Dat
Laesa Kamitslihi menjadi Dat Sifat, perwujudannya terang benderang yang
disebut JOHAR AWAL, Johar berarti cahaya, Awal berarti awal atau yang
mula-mula. Jadi, inilah yang mula-mula ada, sebelum ada bumi, sebelum
ada langit, sebelum ada manusia dan yang lainnya. Inilah yang dimaksud
dengan Hakekat Muhammad, karena dalam keterangan yang lain
dinyatakan bahwa yang pertamakali diciptakan Allah adalah Muhammad,
berupa NUR (cahaya), yakni cahaya dari Yang Maha Suci. Menurut para
Wali, bersatunya antara Dat dan Sifat merupakan Sajatining Sahadat,
karena di sini hakekat Allah dan Muhammad menyatu.
C. Alam Wahidiat
Menjelaskan martabat Asma Suci, proses kejadiannya dari Johar
Awal keluar empat cahaya, dalam buku tersebut pada halaman 30
dikemukakan bahwa keempat cahaya itu adalah :
1. Naroen tjahja Beureum ( Api cahya Merah)
2. Hawaoen tjahja Konéng (Angin cahya Kuning)
3. Maoen tjahja Bodas (Air cahya Putih)
4. Toeroeboen tjahja Hideung (Tanah cahya Hitam)
21
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II
D. Alam Arwah
Menjelaskan martabatnya Af’al yang Maha Suci. Af’al berarti
pekerjaan, jadi yang dimaksud adalah bagaimana Yang Maha Suci
bekerja menciptakan alam semesta ini. Penulis buku Kidoeng Kaislaman,
mencoba mengajak kita menggunakan logika dalam memahami ini.
Apabila Johar Awal diibaratkan energi Listrik, dan Nur Muhammad
diibaratkan kaca dengan empat warna (merah, kuning, putih, dan hitam),
maka ketika kaca tersebut disorot oleh Johar Awal keluarlah bayangan
sebagai berikut:
1. Dari cahya merah menjadi api alam dunia
2. Dari cahya kuning menjadi angin alam dunia
22
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II
E. Alam Adjsam
Di sini menjelaskan martabat manusia setelah jagat ini berdiri.
Dalam buku Kidoeng Kaislaman halaman 32 dikemukakan bahwa ”Goesti
Noe Maha Sutji bade ngersakeun deui midamel Adam Madjadji, terus
nimbalan ka Malaikat, miwarang toeroen ka alam Doenja, koedoe nyokot
atji seuneu, atji angin, atji tjai, atji boemi”. Proses selanjutnya, setelah
keempat atji tersebut tersedia Atji boemi dijadikan kulit dan bulu Adam,
Atji seuneu dijadikan darah dan daging Adam, Atji Tjai dijadikan urat dan
tulang Adam, Atji Angin dijadikan otot dan sungsum Adam. Dengan
kekuasaan Allah, menjelmalah serangkaian ruruf yang terdiri atas Mim,
hé, mim, dan dal yang menjadi kata Muhammad. Mim awal Muhammad
dilambangkan dengan kepala, He Muhammad dilambangkan dengan dada,
Mim akhir Muhammad dilambangkan dengan Pusar, dan Dal Muhammad
dilambangkan dengan kaki.
Tetapi wujud Adam tersebut belum bisa bergerak, hanya tergolek
tanpa daya. Kemudian diberi empat lubang, yakni mata, telinga, hidung,
dan mulut. Selanjutnya keempat lubang tersebut disorot lagi oleh Nur
Muhammad, maka wujud Adam yang diebut juga Jagat Sagir sekarang
bisa bergerak (hidup), dengan demikian manusia itu hidup sareatnya
karena ada cahya (Nur). Apabila cahya tersebut ditarik lagi oleh Allah,
jasad tersebut (Jagat Sagir) akan cepat rusak bahkan membusuk dan
kembali ke material asalnya (asal cai jadi cai, asal seuneu jadi seuneu,
asal angin jadi angin, asal taneuh jadi taneuh). Demikian juga halnya
dengan Jagat Kabir apabila cahyanya ditarik oleh Allah, maka Jagat
23
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II
F. Alam Misal
Menjelaskan martabat manusia yang sudah ma’rifat kepada Allah,
dan mengetahui asal wujud dirinya. Manusia demikian berarti ilmunya
sudah sampai kepada tarap Asal, sifat asalnya cahya merah, kuning,
putih, dan hitam, yang berarti pula sudah mengetahui ke mana ia akan
kembali. Maka kelak apabila ia maninggal (maot) akan masuk surga, yang
di dalamnya terdapat kenikmatan yang sulit dibayangkan karena tidak ada
perumpamaannya dan kekal abadi.
Secara harfiah, kata mipit dan ngala pada ungkapan Mipit kudu
amit dan Ngala kudu ménta berarti mengambil, memetik, mengutip, atau
memungut. Dalam arti luas, mengandung makna bahwa apabila kita akan
mengambil harta milik orang lain harus seizin pemiliknya. Barangsiapa
yang berani melanggar kaidah tersebut, tentu akan memperoleh sejumlah
akibat yang merugikan. Antara lain mendapat gelar pencuri, perampok,
koruptor, atau istilah lainnya yang bersifat negatif. Selain itu akan
mempengaruhi kesucian jiwanya. Dengan kata lain, apabila ungkapan
mipit kudu amit dan ngala kudu ménta ini dilanggar, seseorang akan
kehilangan kesempatan untuk memiliki hati (jiwa) yang suci. Hati yang
tidak suci berarti kotor, hati yang kotor akan lupa menggunakan akal dan
pikirannya, sehingga akan menurunkan derajat kemanusiaan, bahkan
mungkin lebih rendah dari derajat binatang.
Bagi orang yang memiliki kaidah ati suci tuang halal, akan diikuti
oleh sikap tegas dan lugas dalam proses pengambilan keputusan. Sikap
tersebut adalah ngadék sacékna nilas saplasna. Secara harfiah, ngadék
berarti memotong, misalnya memotong kayu dengan menggunakan golok
atau sejenisnya. Artinya sama dengan nilas, akan tetapi ada sedikit
perbedaan dalam prosesnya. Ngadék dilakukan berulang-ulang,
sedangkan nilas sekali tebas benda yang dipotong itu putus. Dalam arti
luas, memotong kayu menggunakan alat yang tepat terhadap sasaran
yang tepat pula. Makna yang terkandung di dalamnya adalah sikap tegas
dalam pengambilan keputusan. Berarti bahwa keputusan yang diambil
telah dipikirkan terlebih dahulu dengan matang, sehingga tidak
mendatangkan keraguan dan siap menerima apa pun akibatnya.
Bandingkan dengan ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk
meninggalkan keragu-raguan, dan dianjurkan pula untuk selalu
bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukan. Nabi bersabda
:“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, kerjakanlah apa-apa
yang tidak meragukan kamu” (HR Tirmidzi). Bahkan lebih jauh lagi, umat
Islam wajib percaya akan datangnya hari kiamat, karena setiap individu
akan diminta pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama
menjalani hidup di dunia.
dan meragukan. Sikap yang tidak menentu dan penuh dengan keragu-
raguan merupakan awal dari suatu kehancuran. Apalagi jika dilaksanakan
dengan tidak amanah.
Namun, sikap tegas saja tidak cukup. Masih ada kata bijak sebagai
lanjutan dari kata-kata sebelumnya. Sikap tegas dalam mengambil
keputusan tidak berarti apa-apa tanpa diikuti oleh sikap yang konsisten
dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, diikuti oleh kata-kata
selanjutnya, yakni ulah lanca-linci luncat mulang. Yang dimaksud dengan
ulah lanca-linci luncat mulang adalah tidak boleh plin-plan, tidak memiliki
sikap mendua, melainkan tetap teguh terhadap satu keputusan. Ngomong
soré teu kapaké isuk adalah salah satu ciri orang yang suka lanca linci
luncat mulang, pemikiran dan sikapnya bolak-balik tidak keruan yang
membuat orang lain menjadi bingung. Apabila sikap seperti ini dimiliki
oleh seorang pemimpin besar, maka ribuan orang akan dirugikan, baik
langsung maupun tidak langsung. Orang seperti ini tidak akan mampu
menepati janji dengan baik, bahkan cenderung berhianat dan
mementingkan diri sendiri. Dalam berkelompok atau berorganisasi, orang
dengan tipe ini akan menjerumuskan kawan sendiri. Oleh karena itu,
leluhur Sunda mengajarkan agar ulah lanca-linci luncat mulang, tetapi
harus tigin kana jangji, satia kana ucap sebagai salah satu indikator dari
seorang satria pinunjul (SDM yang bermutu). Kiwari (sekarang), banyak
orang yang mendambakan pigur pemimpin dari kalangan Satria pinunjul
tersebut, tetapi karena masih misterius, orang menyebutnya Satria
Piningit.