Anda di halaman 1dari 26

7

Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG ILMU YANG BERKEMBANG DI PULAU
JAWA

Di Nusantara tercinta ini, Pulau Jawa merupakan salah satu pulau


di antara ribuan pulau yang tersebar di nusantara. Dilihat dari berbagai
segi, pulau jawa memiliki kelebihan dibandingkan dengan pulau-pulau
yang lain, sehingga dinamika masyarakat penduduknya lebih dinamis dan
sangat kompleks. Kelebihan Pulau Jawa tersebut dilatarbelakangi oleh tiga
hal utama, yakni historis, geografis, dan demografis.
Secara historis kerajaan-kerajaan besar-kecil tersebar di Pulau
Jawa, silih berganti dari abad ke abad, sehingga meninggalkan sejumlah
warisan dalam berbagai bentuk, baik yang berwujud benda maupun non-
benda. Demikian juga dengan penjajah, perhatian mereka baik secara
politis maupun ekonomis berfokus ke Pulau Jawa. Secara geografis, Pulau
Jawa memiliki sejumlah gunung berapi yang aktif dan sering
menumpahkan laharnya, sehingga menyebabkan tanahnya subur dan
sangat baik untuk bercocok tanam. Oleh karena itu, banyak penduduk
yang bermukim di sini.
Maka, berdasarkan kedua latar belakang di atas, penduduk Pulau
Jawa relatif lebih banyak dibandingkan pulau-pulau yang lain. Berikutnya,
bebagai aspek kehidupan pun berkembang di sini, termasuk
perkembangan ilmu pengetahuan. Karena di samping memiliki jumlah
penduduk yang sangat banyak, bermacam-macam ilmu pun tumbuh dan
berkembang dengan pesat sampai saat ini, baik yang bersifat akademik
ilmiah, maupun yang bersifat religius dan mistis. Dari hasil telaah kami, di
Pulau Jawa ini terdapat berbagai sumber ilmu yang bernilai tinggi, namun
semakin lama semakin terlupakan karena kalah populer oleh ilmu-ilmu
pengetahuan modern yang datang dari berbagai penjuru dunia, terutama
8
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

dari Barat. Sebagai bahan perandingan, berikut kami kemukakan sumber


ilmu yang telah berkembang sejak ratusan tahun yang lalu, yakni Wirid
Hidayat Jati warisan para Wali, Kidoeng Kaislaman (Buahna Iman Islam),
dan Tutungkusan Karuhun Sunda.

2.1 Wirid Hidayat Jati


Wirid Hidayat Jati ini kami kutip dari buku karangan Raden Ngabehi
Ronggowarsito, seorang pujangga besar di keraton Surakarta yang diakui
kehebatannya, terutama oleh masyarakat Jawa. Pesan dari penulisnya,
untuk memahami buku ini pembaca harus sudah membekali diri dengan
pengetahuan Al Quran dan Al Hadits agar tidak salah mengerti. Kami
berpendapat, para praktisi ilmu dan mahasiswa penting untuk mengkaji ini
dalam upaya mengembangkan wawasan keilmuan dari berbagai dimensi.
Hidayat Jati ini pada dasarnya merupakan petunjuk sejati yang
menjelaskan kedudukan ilmu ma’rifat yang lahir dari ajaran para Wali di
tanah Jawa. Sepeninggal Kanjeng Susuhunan di Ampeldenta (Sunan
Ampel), mereka bermaksud menjabarkan wiridan yang merupakan inti
dari ajaran ilmu kesempurnaan masing-masing.
Semula, para wali hanya mengajarkan ilmu masing-masing, seperti
yang dikemukakan oleh R.Ng. Ronggowarsito (1997:7):
Yang pertama: bersangkutan pada zaman awal berdirinya Negeri
Demak para wali yang mau memberikan ajarannya hanya ada
delapan:
1. Kanjeng Susuhunan di Giri Kedhaton ; ajarannya berupa ilham
adanya Zat
2. Kanjeng Susuhunan di Tandhes: ajarannya uraian mengenai
wahana zat
3. Kanjeng Susuhunan di Majagung: ajarannya mengenai gelaran
keadaan zat
4. Kanjeng Susuhunan di Benang: ajarannya mengenai pembuka
tata mahligai di dalam Baetulmakmur
5. Kanjeng Susuhunan di Tembayat: atas perkenan dan ijin
Kanjeng Sunan Kalijaga menyampaikan wejangan mengenai
pembka tata mahligai di dalam Baitul Mukaram
9
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

6. Kanjeng Susuhunan di Kalinyamat: ajarannya mengenai


pembuka tata mahligai di dalam Baitulmukadas
7. Kanjeng Susuhunan di Gunungjati: ajarannya yaitu penetap
kesentosaan iman
8. Kanjeng Susuhunan di Kajenar: memberikan ajaran tentang
sasahidan atau persaksian.

Kemudian, pada zaman Mataram, Kanjeng Sultan Agung


Anyakrakusumah, ke delapan ajaran itu hendak dihimpunnya dengan
segenap perabotannya agar dapat meliputi maknanya semua. Ilmu-ilmu di
atas dijabarkan menjadi satu ajaran saja. Setelah semua para ahli ilmu
sepakat, Kanjeng Sultan memerintahkan kepada para ahli yang menguasai
ilmu untuk menyampaikan wejangan demikian.
Mengenai ajaran yang sudah dihimpun menjadi satu itu, isinya
sama berasal dari kutipan-kutipan dari semacam kitab-kitab tasawuf.
Perkembangan selanjutnya, karena banyaknya guru yang mengajarkan
ilmu di atas ada juga yang hanya mengajarkan ilmu perabotannya saja,
bahkan ada yang hanya mengajarkan imju ma’rifat saja, ilmu gaib saja,
ilmu talek saja (ilmu yang menjabarkan keajaiban). Sehingga apa yang
sudah dihimpun menjadi satu, akhirnya terpisah-pisah lagi. Selanjutnya
diperdalam lagi oleh Kyageng Muhammad Sirullah di Kedungkol, dan pada
tahun 1779 Ronggosogoto wargosinuta mendapat ilham dari Tuhan Yang
Maha Suci untuk menata kembali ilmu-ilmu ma’rifat serta menyampaikan
tujuan dan maksud ajarannya sekaligus, mengikuti wejangan delapan
macam yang dikumpulkan menjadi satu, dengan rincian sebagai berikut:
Pertama, wejangan dari Kanjeng Susuhunan di Giri Kedaton,
wejangan ini disebut ilham atau bisikkan adanya zat, karena oleh yang
menyampaikannya dibisikan di telinga kiri yang menjelaskan wahyu Tuhan
yang Maha Suci kepada Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, dengan
terjemahan sebagai berikut:
”Sajatine ora ana apa-apa; awit duk maksih awang-uwung durung
ana sawiji-wiji; kang ana dhingin iku ingsun, ora ana Pangeran
10
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Nanging Ingsun; sajatine Kang Maha Suci anglimputi ing Sifat


Ingsun; anartani ing asman-Ingsun, amratandhani ing apngal
Ingsun” (Sesungguhnya tidak ada apa pun: sebab ketika masih
berupa angkasa belum ada satu pun; yang ada mula-mula adalah
Aku, Tiada Tuhan selain Aku; sesungguhnya Yang Mahasuci
meliputi sifat-Ku, menyertai Nama-Ku, menunjukkan kepada
perbuatan-Ku).

Kedua, wejangan oleh Kanjeng Susuhunan di Tandhes, dinamakan


uraian wahana Zat, oleh penjabarannya disampaikan urutan-urutan
terjadinya Zat, Sifat, dan wahananya sebagaimana dijelaskan pada dalil
ilmu yang kedua, kutipan dari kitab Dakaikalkhakaik (hakikatnya hakikat,
kebenaran yang benar). Di sini dijelaskan wahyu yang diterima oleh
Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah, dengan terjemahan sbb:
”Sajatine ingsun Dat Kang Amurba Amisesa kang kawasa
anitahaken sawiji-wiji, dadi padha sanalika, sampurna saka ing
kodrat-Ingsun, Ing kono wus kanyatan pratandhaning Apngal-
Ingsun kang minangka bebukaning Iradat-Ingsun. Kang dhingin
Ingsun anitahaken hayu aran Sajaratul yakin tumuwuh ing
sajroning alam ngadammakdum ajali abadi. Nuli cahya aran Nur
Muhammad, Nuli kaca aran Kandhi, Nuli sesotya aran Darah, Nuli
dhindhing jalal aran Kijab. Iku kang minangka warananing Kalarat-
Ingsun”.(Sesungguhnya Aku Zat Yang Maha Kuasa, yang berkuasa
menciptakan segala sesuatunya, menjadikan seketika, sempurna
atas Kodrat-Ku. Di situlah kenyataan menunjukkan af’al-Ku
(perbuatan-Ku) yang merupakan pembuka Iradat-Ku. Yang
pertama Aku menciptakan hayyu bernama Sajaratulyakin, tumbuh
di dalam alam adam makdum ajali abadi. Kemudian cahaya
bernama Nur Muhammad, Lalu kaca bernama Mirhatulkayai.
Kemudian nyawa bernama roh illafi. Kemudian dinding agung
bernama Kijab. Itu yang merupakan dinding kehadirat-Ku).

Ketiga, wejangan oleh Kanjeng Susuhunan di Majagung, yang


dinamakan gelar keadaan zat, sebab oleh pemberi wejangan dijabarkan
tentang kenyataan unsur-unsur zat, sifat, yakni ketika Tuhan Yang Maha
Suci hendak mewujudkan sifatnya. Penjabaran keadaan tersebut terdapat
dalam kitab ketiga, kutipan dari kitab Bayan humirat mufakat dengan
Kitab Bayan Alif. Dalam kitab tersebut dijelaskan wahyu Tuhan Yang Maha
11
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Suci kepada Kanjeng Nabi Muhammad Rasulullah yang terjemahannya


sebagai berikut:
Sajatine manungsa iku rahsaningsun Lan Ingsun iki rahsaning
manungsa. Karana ingsun anitahaken Adam, asal saka anasir
patang prakara ; 1 bumi, 2 geni, 3 angin, 4 banyu. Iku kang dadi
kawujudaning Sipatingsun. Ing kono ingsun panjingi mudah limang
prakara; 1. Nur, 2. Rahsa, 3 Roh, 4 Napsu, 5 Budi. Iya iku
minangka warananing Wajahingsun Kang Maha
Suci”(Sesungguhnya manusia itu adalah rahasia-Ku. Dan Aku ini
rahasia manusia. Sebab Aku menciptakan Adam berasal dari unsur
empat hal: 1. Bumi, 2. Api, 3. Angin, 4. Air, itu yang merupakan
wujud sifat-sifat-Ku. Di situ Aku memasukkan Zat mahluk lima hal :
1. Nur, 2. Rahasia, 3. Roh, 4. Nafsu, 5. Budi, itu semua merupakan
dinding wajah-Ku Yang Maha Suci).

Keempat, wejangan oleh Kanjeng Susuhunan di Benang, yang


dinamakan kebenaran atau bukti adanya Tuhan Yang Maha Luhur. Yaitu
pembuka tata mahligai di dalam Baitulmakmur. Oleh pemberi wejangan
dibukakan kodrat irodat Tuhan Yang Maha Suci yang hendak
mendudukkan mahligai Zat sebagai baitullah di dalam kepala manusia.
Dalam kitab Insan Kamil dikemukakan tentang wahyu Tuhan Yang Maha
Suci kepada Nabi Muhammad Rasulullah, pada ayat pertama yang
terjemahannya sbb:
”Sajatine ingsun anata malige ana sajroning Betalmakmur, iku
omah enggonineng Parameyaningsun, jumeneng ana sirahing
Adam. Kang ana sajroning sirahiku dimak, yaiku utek, kang ana
antraning utek iku manik, sajroning manik iku budi, sajroning budi
iku napsu, sajroning napsu iku suksma, sajroning suksma iku rahsa,
sajroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran, nanging Ingsun Dat
Kang nglimputi ing kahanan jati”(Sesungguhnya Aku menata
mahligai ada di dalam baitul makmur, itu adalah rumah tempat
kesenangan-Ku, ada di dalam kepala Adam. Yang ada di dalam
kepala itu dimak atau otak; yang ada di antara otak itu adalah
manik; di dalam manik ada budi, di dalam budi ada nafsu; di dalam
nafsu ada suksma, di dalam suksma ada rahasia; di dalam rahasia
itulah Aku; tiada Tuhan selain Aku Zat Yang menguasai keadaan
yang sesungguhnya).
12
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Kelima, oleh Kanjeng Susuhunan di Muria, wejangan ini merupakan


pembuka tata mahligai di dalam baitul mukaram. Oleh sebab itu,
wejangannya merupakan pembuka kodrat irodat Tuhan Yang Maha Suci
yang hendak mendudukkan mahligainya di dalam dada manusia. Hal ini
terdapat dalam kitab yang kelima, yakni kitab Insan Kamil yang
menjelaskan wahyu Tuhan Yang Maha Suci kepada Nabi Muhammad
Rasulllah, ayat kedua terjemahannya sebagai berikut:
”Sajatine Ingsun anata malige ana sajroning Betalmukaram, iku
omah enggoning Lalaranganingsun, jumeneng ana ing dhadhaning
Adam. Kang ana ing sajroning dhadha iku ati, kang ana ing
antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning
budi iku jinem, yaiku angen-angen, ajroning angen-angen iku
suksma, sajroning suksma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun.
Ora ana Pangeran, Anging Ingsun Dat Kang anglimputi ing kahanan
jati” (Sesungguhnya Aku menata mahligai ada di dalam
Baitulmukaram, itulah rumah tempat larangan-Ku, berada di dalam
dada Adam. Yang ada di dalam dada itulah hati, yang ada di antara
hati itu jantung, di dalam jantung ada budi; di dalam budi ada
ketegangan yakni angan-angan, di dalam angan-angan ada
suksma, di dalam suksma itu rahasia, di dalam rahasia itu Aku.
Tiada Tuhan selain Aku yang menguasai seluruh keadaan yang
sebenarnya).

Keenam, oleh Kanjeng Susuhunan Kaliyamat, dinamakan


kebenaran adanya Tuhan Yang Maha Suci, yakni pembuka tata mahligai di
dalam Baitulmukadas, oleh pemejangannya membuka kodrat irodat Tuhan
Yang Maha Suci yang mendirikan mahligai Zat, sebagai Baitullah ditata di
dalam penis manusia. Inilah sesungguhnya juga menjadi petunjuk
keadaan bukti satu-satunya, menandakan hadirat Zat Yang Maha Mulia,
duduk tidak boleh berubah dari keadaanny yang sebenarnya. Di dalam
kitab Insan Kamil ayat ketiga dikemukakan, yang terjemahannya sebagai
berikut:
Sajatine Ingsun nata malige ana sajroning Betulmukadas, iku omah
enggoning Pasuceningsun, jumeneng ana ing kontholing Adam,
kang ana sajroning konthol iku pringsilan, kang ana ing antaraning
pringsilan iku nutpah, yaiku mani sajroning mani iku madi,
13
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning


manikem iku rahsa, sajeroning rahsa iku Ingsun, ora ana Pangeran
angin Ingsun Dat kang ngimputi ing kahanan jati, jumeneng
sajroning nukat gaib, tumurun dadi johar awal, ing kono
wahananing alam akadiyat, wahdat, wakidiyat, alam arwah, alam
misal, alam ajesam, alam insan kamil, dadining manungsa
sampurna yaiku sajatining sipat ingsun. (Sesungguhnya Aku
menata mahligai ada di dalam baitulmukadas, itulah rumah tempat
bersuci-Ku, ada di dalam kelamin Adam; yang ada di dalam penis
itu pelir, di antara buah pelir itu nutfah, yakni air mani di dalam
mani itu madi, di dalam madi itu wadi/rahasia, di dalam wadi ada
manikam. Di dalam manikam ada rahasia, di dalam rahasia itulah
Aku; Tiada Tuhan selain Aku Zat yang menguasai keadaan yang
sejati, ada di dalam nukat gaib, turun menjadi johar awal, di sana
sebagai wahana alam akadiyat, wahdat, alam arwah, alam misal,
alam ajesam, alam insan kamil, terjadinya manusia sempurna yakni
sejatinya sifat-Ku)

Ketujuh, oleh Kanjeng Susuhunan di Gunungjati, yang merupakan


penetap kesentosaan iman, dimulai dengan membaca sahadat oleh karena
wejangannya memberikan ilham yang merupakan penguat keyakinan kita
untuk melaksanakan kebenaran hidup kita sendiri. Setelah membaca
sahadat dilanjutkan dengan menuju i’tikad mencontoh sari cita sasmita
yang berasal dari Kanjeng Nabi Muhammad yang disampaikan kepada
Sayidina Ali yang terjemahannya :
Ingsun anekseni satuhune ora ana Pangeran anging Ingsun lan
anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan-utusan Ingsun.
(Aku bersaksi tiada Tuhan selain Aku dan bersaksi Aku
sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku).
Menurut Buku Wirid Hidayat Jati (halaman 35-36) penjelasan dari
sahadat di atas adalah sebagai berikut:
”Yang dinamakan Tuhan itu adalah Zat hidup kita sendiri, sebab
sesungguhnya segenap asya itu dihukum nafi semuanya. Maksud
asya : tunggal, hanya satu. Arti nafi : tidak ada. Maka disebut tidak
ada Tuhan, isbatnya yakin hanya zat hidup kita sendiri arti isbat;
Tetap. Jadi tetapnya yang menyebut dengan yang disebut Tuhan
itu tidak ada lainnya. Makna tunggal tanpa batas hanya selisih lahir
dan batin saja.
14
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Yang dinamakan Muhammad itu adalah sifat cahaya kita. Maka


dikatakan utusan, karena menjadi pegangan rahasia Zat. Tampak di
dalam mata, seperti yang disebutkan dalam dalil Al Quran demikian
terjemahannya : ”Sesungguhnya akan datang kepadamu, utusan
Zat yang keluar dari dirimu sendiri yang Maha mulia, yang akan
memberikan apa yang kau inginkan, bila yakin tentu akan
mendapatkan ampunan dari Tuhan”.

Kedelapan, oleh Kanjeng Susuhunan di Kajenar, disebut wejangan


Sasahidan/Persaksian. Dari ajaran ini diminta untuk bersaksi kepada
wahana keluarga kita. Yaitu adanya makhluk yang ada di alam dunia,
seperti bumi, langit, rembulan, bintang, api, angin, air, dan lain
sebagainya. Menurut wejangan ini, bersaksilah bahwa kita sekarang sudah
bersedia mengakui menjadi Zat Tuhan Yang Maha Suci. Menjadi sifat Allah
Yang sejati. Hal ini mencontoh dari cipta sasmita Kanjeng Nabi
Muhammad Rasulullah yang disampaikan kepada Sayidina Ali,
terjemahannya sebagai berikut:
Ingsun anekseni ing Dat Ingsun dhewe,
Satuhune ora ana Pangeran, anging Ingsun,
Lan anekseni Ingsun satuhune Muhammad iku utusan ingsun,
Iya sajatine kang aran Allah iku badan-Ingsun,
Rasul iku rahsaningsun,
Muhammad iku rahsaningsun,
Iya Ingsun kang Urip tan kena ing pati,
Iya Ingsun kang eling tan kena ing lali
Iya Ingsun kang langgeng ora kena gingsir ing kaanan jati
Iya Ingsun kang waskitha, ora kasamaran ing sawiji-wiji
Iya Ingsun kang amurba amisesa, kang kawasa wicaksana,
Ora kekurangan ing pangerti,
Byar sampurna padhang tarawangan,
Ora karasa katon apa-apa,
Amung Ingsun kang anglimputi ing alam kabeh kalawan kodrat
Ingsun.
(Aku bersaksi kepada Zat-Ku sendiri,
Sesungguhnya tidak ada Tuhan kecuali Aku,
Dan Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku,
Sesungguhnya yang bernama Allah itu adalah Badan-Ku,
Rasul adalah rahasia-Ku,
Muhammad itu cahaya-Ku,
15
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Iya Aku yang hidup tidak kenal mati


Iya Aku yang ingat tak kenal lupa
Iya Aku yang abadi tidak kenal perubahan keadaan sejati
Iya Aku yang waspada, tidak samar keoada masing-masing,
Iya Aku yang perkasa, yang kuasa bijaksana, tidak kekurangan
pengertian
Byar, teranglah seketika, Tidak terasa apa-apa, Tidak ada tampak
apa-apa, Hanya Aku, yang melingkupi di semua alam dengan
kodrat-Ku.

Pesan terakhir dari penulis buku Wirid Hidayat Jati ini, dalam
mencari sasmita/firasat gaib seperti riwayat para ahli ilmu, agar mencapai
martabat seperti yang diungkapkan di atas, lakukanlah hal-hal sebagai
berikut:
1. Rajin suci bersungguh-sungguh, untuk menjauhkan
durgandana, artinya bau yang tidak enak.
2. Mengurangi makan minum, untuk peleburan raga di kemudian
hari
3. Mencegah tidur syahwat, untuk pelepasan jiwa kelak di
kemudian hari
4. Mengurangi nafsu perkataan, untuk menghilangkan rahsa di
kemudian hari

Apabila sudah ilang rahsa/rahasianya, kabar sampai di akhirat kelak


akan datang berupa cahaya gilang gemilang tanpa bayang-bayang atas
keadaan kita yang sejati. Kita masuk ke dalam kategori Insan Kamil, yang
dapat kembali kepada Allah sesuai dengan ungkapan ”Innalilahi wa inna
ilaihi roji’uun”, sehingga berada dalam keadaan sampuraning sampurna.
Penulis buku Wirid Hidayat Jati, dan juga kami kelompok ini belum
merasakan sendiri apa yang digambarkan dalam uraian di atas, jadi segala
sesuatunya kami serahkan kepada pikiran masing-masing. Wallahu alam.

2.2 Kidoeng Kaislaman (Buah Iman Islam)


Menurut keterangan dalam buku yang penulis temukan, untuk
memahami Kidoeng Kaislaman ini tidak sederhana, karena terlebih dahulu
harus membaca buku-buku sebelumnya yang disebut Layang Moeslimin
16
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Moeslimat jilid I s.d IV. Namun sayangnya kami belum menemukan,


sehingga yang dijadikan bahan kajian hanya buku Kidoeng Kaislaman ini.
Dalam buku tersebut dikemukakan secara sistematis mulai dari
uraian tentang Ma’rifat kepada Allah sampai dengan Hakékat Alam
Toejoeh. Pada awal pembahasan dikemukakan bahwa ”Awalloe dinni
Ma’rifat toellahi ta’ala” yang artinya dalam bahasa Sunda ”Awal-awalna
agama éta koedoe nyaho heula ka Allah ta’ala”. Dalam buku tersebut
dijelaskan bahwa manusia harus mengetahui kepada Allah agar amal
ibadah yang dilakukan diterima oleh Allah. Amal ibadah seseorang harus
didasari ilmu, apabila tidak, manfaatnya hanya untuk dunia saja.
Penjelasan lebih lanjut dari kata ma’rifat kepada Allah memberi
arah kepada manusia agar dalam beribadah tidak cukup hanya
mengetahui syarat dan rukun semata, melainkan harus dibarengi dengan
mengetahui kepada Allah dan Rosulnya, yang akan berguna sebagai
tempat atau gudang untuk menyimpan atau mengumpulkan amal ibadah
manusia. Sebagai ilustrasi, jika kita mengumpul-ngumpul peralatan seperti
kursi, lemari, meja, dan perabot rumah tangga lainnya, walaupun bagus
dan harganya mahal tidak akan dirasakan kenyamanan dari semua itu jika
kita tidak memiliki rumah untuk menyimpan barang-barang itu. Apakah
akan dibiarkan berserakan di pekarangan? Sehingga akan kepanasan dan
kehujanan, yang lama kelamaan akan rusak bahkan mungkin hancur.
Apabila demikian adanya, tentu tidak jadi merasakan nikmatnya dari
kepemilikan barang-barang itu.
Apalagi jika kita punya tekad bahwa amal ibadah yang dilakukan
untuk kepentingan akherat, maka ma’rifat kepada Allah semakin wajib.
Karena akhirat merupakan tempat kembali bagi umat manusia. Apabila
kita tidak tahu jalan ke arah itu, pada saat sakaratul maut tidak akan
melihat apa-apa, dan di akhirat juga tetap buta, sehingga hanya
kegelapan yang dirasakan. Jika demikian, kepada siapa meminta
17
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

pertolongan? Mau disimpan di mana apa yang sudah dikumpulkan di


dunya dengan susah payah itu?
Kelanjutan dari kewajiban ma’rifat kepada Allah, agar kita
mengetahui jalan yang akan ditempuh kelak, kita harus berikhtiar sejak
sekarang atau ”ditiung saméméh hujan”, harus bisa paéh samémeh paéh,
jika tidak bisa paéh sajeroning hiroep tidak akan tahu jalan ke akhirat.
Pandangan ini erat kaitannya dengan dalil ”Innalilahi wa inna ilaihi
roji’uun”
Pada halaman 24 dikemukakan ”Roejatoellahi ta’ala fie Doenja
bi’aenil qolbi” (Ningali hakekatna Allah ta’ala ti Doenya koe awasna Ati),
artinya oleh hakekatnya Rosululloh. Sesungguhnya manusia tidak ada
yang sanggup untuk melihat Allah, karena manusia hanya dipakai tempat
oleh Rosululloh untuk melihat Allah. Bagi wujud manusia yang telah
dipakai tempat melihatnya Rosul kepada Allah, maka ia bisa bercerita
bahwa ia mengetahui kepada Allah. Jadi, manusia itu dibawa mengetahui
oleh nikmatnya Rosul. Maka apabila merasa bahwa dirinya selalu
bersama-sama dengan sesuatu yang suci, insya Allah i’tikad dan perilaku
sehari-hari juga akan suci, setan-setan tidak ada yang berani mendekat.
Berkaitan dengan pandangan tersebut, penulis buku berpesan kepada
pembaca sebagai berikut :
Koe sabab éta poma-poma pisan doeloer-doeloer anoe geus boga
djalan Ma’rifatna, tékad djeung lakoe anoe goréng téh kudu di
djaga bener-bener, oelah darapon njaho baé, tapi kudu djeung
dibarengan koe lakoena djeung tékadna anoe hadé, sabab lamoen
oerang ngalakonan pagawéan ma’siat ngalanggar hoekoem Sara,
tangtoe oerang gantjang di bendonna koe Maha Soetji. Béda deui
djeung anoe tatjan njaho..” (Oleh karena itu, hendaknya berhati-
hati sekali, bagi sodara-sodara yang telah memiliki jalan
ma’rifatnya, i’tikad dan perilaku yang buruk harus benar-benar
dijaga (dijauhi), jangan asal mengetahui saja, tetapi harus
dibarengi dengan perilaku dan i’tikadnya yang baik, sebab jika kita
melakukan suatu pekerjaan maksiat dengan melanggar hukum
syara’, tentu kita cepat sekali mendapat murka Tuhan Yang Maha
Suci. Berbeda dengan orang yang belum mengetahui).
18
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Apalagi bagi manusia yang sudah mengetahui kepada Allah, kita


harus ingat perjanjian Goeroe Moersid bahwa ”Ibadah babarengan, doraka
pipisahan”. Selanjutnya, yang menarik dari buku Kidoeng Kaislaman ini
adanya pembahasan tentang Martabat Alam Toejoe yang mengemukakan
tentang konsep Alam Kabir dan Alam Sagir, para ahli filsafat Yunani
menyebutnya dengan istilah makro cosmos dan mikro cosmos.
Pada zaman Yunani Kuno, ketika pemikiran filsafat belum
berkembang karena terbelenggu oleh mitos, pemikiran alam semesta
sangat terbatas. Kalau pun ada, argumentasi masih bersifat spekulatif,
sehingga belum ada yang memberikan keterangan rinci tentang kejadian
alam semesta. Ada juga para filsuf yang menduga-diduga bahwa asal
mula alam semesta ini adalah air, to apeiron, api, angin, dan sebagainya
(Hadiwijono,1980). Tetapi di samping tidak menyeluruh, juga tidak
dijelaskan keterkaitannya dengan manusia. Pada buku ini, asal mula alam
semesta dibahas melalui Martabat Alam Toejoe, yang dikait-kaitkan
dengan nama Allah, Muhammad, dan Adam. Berikut kami kutip informasi
awal tentang hal itu:

AJEUNA NERANGKEUN MARTABAT


ALAM TOEJOE
(Nganggo roetjatan engangna ketjap)

1. Alam Ahadiat Hoeroep Al Allah


2. Alam Wachdiat Hoeroep lah
3. Alam Wahidiat Hoeroep Moe
4. Alam Arwah Hoeroep ham Moehammad
5. Alam Adjsam Hoeroep mad
6. Alam Misal Hoeroep A Adam
7. Alam Insan Kamil Hoeroep dam

Untuk lebih jelasnya, berikut dikemukakan ilustrasi tentang


keterkaitan di antara ketujuh alam tersebut, yang dapat dijadikan acuan
dalam memahami alam semesta dan proses penciptaannya.
19
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

A. Alam Ahadiat
A

B Alam B G G. Alam
Wachdat Insan
Kamil

A S M A
C. Alam C F F. Alam
Beureum

Hideung
Wahidiat Koneng Misal

Bodas

ALAM BARJAH

E E. Alam
Ajsam

A F ‘A L
Seuneu

Boemi
Angin

D. Alam Arwah D D D D. Alam


cai

Arwah

Keterkaitan antara ketujuh alam di atas, merupakan rangkaian


peristiwa agung yang menggambarkan “Inna lllahi wa inna ilaihi roji’uun”.
Rangkaian dari huruf A, B, C, dan D merupakan skema “Inna lillaahi ”
(Sesungguhnya semua berasal dari Allah), sedangkan rangkaian dari
20
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

hurup D, E, F, dan G merupakan skema “wa inna ilaihi rooji’uun (dan


sesunggunya kepada Allah kita semua akan kembali). Penjelasan dari
rangkaian gambar di atas adalah sebagai berikut:

A. Alam Ahadiat
Alam ini menunjukkan DAT laesa kamitslihi, yaitu dat yang tidak
ada perumpamaannya. Dikatakan demikian karena saking Sucinya,
dalam arti bersih tanpa sifat apa pun dengan, disertai dengan ungkapan
bila haefin bila makanin, sehingga Maha Suci yang tidak bisa
diumpamakan baik warna maupun tempat dan lainnya.

B. Alam Wachdat
Menjelaskan martabat yang Maha Suci bahwa pada alam ini Dat
Laesa Kamitslihi menjadi Dat Sifat, perwujudannya terang benderang yang
disebut JOHAR AWAL, Johar berarti cahaya, Awal berarti awal atau yang
mula-mula. Jadi, inilah yang mula-mula ada, sebelum ada bumi, sebelum
ada langit, sebelum ada manusia dan yang lainnya. Inilah yang dimaksud
dengan Hakekat Muhammad, karena dalam keterangan yang lain
dinyatakan bahwa yang pertamakali diciptakan Allah adalah Muhammad,
berupa NUR (cahaya), yakni cahaya dari Yang Maha Suci. Menurut para
Wali, bersatunya antara Dat dan Sifat merupakan Sajatining Sahadat,
karena di sini hakekat Allah dan Muhammad menyatu.

C. Alam Wahidiat
Menjelaskan martabat Asma Suci, proses kejadiannya dari Johar
Awal keluar empat cahaya, dalam buku tersebut pada halaman 30
dikemukakan bahwa keempat cahaya itu adalah :
1. Naroen tjahja Beureum ( Api cahya Merah)
2. Hawaoen tjahja Konéng (Angin cahya Kuning)
3. Maoen tjahja Bodas (Air cahya Putih)
4. Toeroeboen tjahja Hideung (Tanah cahya Hitam)
21
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Keempat cahaya tersebut dinamakan Nur Muhammad, sedangkan


Muhammadnya sendiri Johar Awal tadi. Cahya empat macam ini disebut
hakekat Adam, yakni Asma yang Maha Suci. Keempat asma tersebut,
mengandung hakekat perwujudan nama Allah, dalam Buku Kidoeng
Kaislaman dijelaskan sebagai berikut:
Tjahja noe beureum djadi Hakékat lapad Alip
Tjahja noe Koneng djadi Hakékat lapad Lam awal
Tjahja noe Bodas djadi Hakékat lapad Lam ahir
Tjahja noe Hideung djadi Hakékat lapad hé
Djohar Awal djadi Hakekat lapad Tasdjid
Sareatnya jadilah lapad Allah (‫)ا‬, yang menjadikan bibit tujuh
bumi tujuh langit beserta seluruh isinya, bahkan manusia pun dari
keempat cahya tersebut. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan keyakinan
atau keagamaan, bilangan empat dan lima ini sangat dominan. Istilah
dulur nu opat kalima pancer pun, yang dikenal di kalangan cendekiawan
Sunda Buhun berasal dari sini. Penulis buku ini mengaitkan juga keempat
cahya tersebut dengan jumlah Rukun Islam lima perkara, solat wajib lima
waktu, Khulafaur Rosidin, Imam Madhab, dan gerak pokok dalam solat.

D. Alam Arwah
Menjelaskan martabatnya Af’al yang Maha Suci. Af’al berarti
pekerjaan, jadi yang dimaksud adalah bagaimana Yang Maha Suci
bekerja menciptakan alam semesta ini. Penulis buku Kidoeng Kaislaman,
mencoba mengajak kita menggunakan logika dalam memahami ini.
Apabila Johar Awal diibaratkan energi Listrik, dan Nur Muhammad
diibaratkan kaca dengan empat warna (merah, kuning, putih, dan hitam),
maka ketika kaca tersebut disorot oleh Johar Awal keluarlah bayangan
sebagai berikut:
1. Dari cahya merah menjadi api alam dunia
2. Dari cahya kuning menjadi angin alam dunia
22
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

3. Dari cahya putih menjadi air alam dunia


4. Dari cahya hitam menjadi tanah alam dunia
Keempat unsur utama tersebut, atas kekuasaan dan kehendak
Allah yang Maha Suci, jadilah Jagat Kabir. Dengan demikian, alam
semesta ini kejadian dari Nur Muhammad.

E. Alam Adjsam
Di sini menjelaskan martabat manusia setelah jagat ini berdiri.
Dalam buku Kidoeng Kaislaman halaman 32 dikemukakan bahwa ”Goesti
Noe Maha Sutji bade ngersakeun deui midamel Adam Madjadji, terus
nimbalan ka Malaikat, miwarang toeroen ka alam Doenja, koedoe nyokot
atji seuneu, atji angin, atji tjai, atji boemi”. Proses selanjutnya, setelah
keempat atji tersebut tersedia Atji boemi dijadikan kulit dan bulu Adam,
Atji seuneu dijadikan darah dan daging Adam, Atji Tjai dijadikan urat dan
tulang Adam, Atji Angin dijadikan otot dan sungsum Adam. Dengan
kekuasaan Allah, menjelmalah serangkaian ruruf yang terdiri atas Mim,
hé, mim, dan dal yang menjadi kata Muhammad. Mim awal Muhammad
dilambangkan dengan kepala, He Muhammad dilambangkan dengan dada,
Mim akhir Muhammad dilambangkan dengan Pusar, dan Dal Muhammad
dilambangkan dengan kaki.
Tetapi wujud Adam tersebut belum bisa bergerak, hanya tergolek
tanpa daya. Kemudian diberi empat lubang, yakni mata, telinga, hidung,
dan mulut. Selanjutnya keempat lubang tersebut disorot lagi oleh Nur
Muhammad, maka wujud Adam yang diebut juga Jagat Sagir sekarang
bisa bergerak (hidup), dengan demikian manusia itu hidup sareatnya
karena ada cahya (Nur). Apabila cahya tersebut ditarik lagi oleh Allah,
jasad tersebut (Jagat Sagir) akan cepat rusak bahkan membusuk dan
kembali ke material asalnya (asal cai jadi cai, asal seuneu jadi seuneu,
asal angin jadi angin, asal taneuh jadi taneuh). Demikian juga halnya
dengan Jagat Kabir apabila cahyanya ditarik oleh Allah, maka Jagat
23
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Tersebut akan rusak, sehingga yang tertinggal adalah : Bumi tinggal


gelapnya; Api tinggal panasnya ; Air tinggal dinginnya; dan Angin tinggal
hawanya. Inilah embriyo yang akan menjadikan apa yang dinamakan
neraka.
Pertanyaannya, siapa yang akan tinggal dalam keadaan yang
demikian (neraka)? Jawabannya adalah bagi Iblis dan kawan-kawannya,
termasuk manusia yang tidak bisa kembali ke asalnya, dalam arti tidak
tahu jalan untuk pulang kepada Allah, tidak memenuhi kaidah ”wa inna
ilaihi roji’uun”.
Kembali ke masalah Adam, proses kejadian manusia selanjutnya
dilihat dari segi bahan baku sama saja, dalam arti berasal dari saripati
bumi (tanah), api, air, dan angin. Tentu saja prosesnya panjang sejalan
dengan sunatulloh yang mengatur tentang siklus alam dengan segala
aspeknya. Dengan gambaran bahwa di muka bumi terdapat bermacam-
macam tumbuhan dan binatang, hidup dan kehidupannya ditopang oleh
empat unsur tadi. Misalnya padi, ia tumbuh di tanah, tetapi tanah yang
mengandung air, setelah tumbuh dan berdaun, kehidupannya yang
normal memerlukan sinar matahari dan hembusan angin. Dengan air dan
tanah bisa saja tumbuh, tapi lihat apabila daun tanpa disinari matahari
atau tanpa udara, kehidupannya tidak sempurna. Kenyataan di lapangan,
petani akan sangat kecewa jika tanaman padinya ”kahieuman” karena
tidak berbuah dengan baik. Ini membuktikan bahwa keempat unsur
tersebut sangat penting dalam pertumbuhan tanaman.
Tahapan selanjutnya, tanaman dan binatang menjadi makanan
sehari-hari bagi manusia, makanan yang dimakan oleh manusia akan
dirubah melalui metabolisme tubuh menjadi sel darah merah, dari sel
darah merah diambil saripatinya, sehingga menjadi air mani (sperma),
dalam sperma itulah terdapat benih yang akan menjadi manusia baru.
Dengan demikian, manusia tidak akan memiliki sperma apabila tidak
24
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

makan dan minum. Sementara tanaman lama tumbuh di tanah, lama


memerlukan air, lama ditiup angin, dan lama terkena sinar matahari,
dalam arti keempat unsur tersebut semuanya akan masuk ke dalam diri
manusia, dan melahirkan manusia baru atas kehendak Allah.
Terdapat satu hal yang harus juga diketahui, bahwa tanaman dan
binatang saripatinya akan menyatu dengan manusia melalui proses makan
minum. Oleh karena itu, kembalinya mereka kepada sang Maha Pencipta
adalah melalui manusia. Suatu saat, apabila manusia ditarik cahyanya
(nur) maka apabila roh bumi, roh api, roh air, dan roh angin tidak dibawa
ke jalan Allah, maka mereka akan berubah. Bumi menjadi neraka
kegelapan, api menjadi neraka panas, air menjadi neraka dingin, dan
angin menjadi neraka yang menyengat nyawa manusia. Dengan kata lain,
Allah tidak akan menyiksa manusia, yang menyiksa adalah amal perbuatan
manusia itu sendiri karena tidak beriman dan tidak mengikuti jalan Allah.

F. Alam Misal
Menjelaskan martabat manusia yang sudah ma’rifat kepada Allah,
dan mengetahui asal wujud dirinya. Manusia demikian berarti ilmunya
sudah sampai kepada tarap Asal, sifat asalnya cahya merah, kuning,
putih, dan hitam, yang berarti pula sudah mengetahui ke mana ia akan
kembali. Maka kelak apabila ia maninggal (maot) akan masuk surga, yang
di dalamnya terdapat kenikmatan yang sulit dibayangkan karena tidak ada
perumpamaannya dan kekal abadi.

G. Alam Insan Kamil


Pada alam ini dijelaskan martabat manusia yang mendekati kepada
kesempurnaan. Bagi manusia yang telah mengetahui Johar Awal,
mengetahui sifatnya Allah, maka ia telah mencapai derajat Insan Kamil,
yakni manusia yang sempurna, nanti pada saat ia meninggal dunia
(maot), akan memperoleh martabat kamil mukamil dalam atau
25
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Sampurnaning Sampurna. Habis rasanya, habis jasmaninya, kembali


menjadi Dat Laésa Kamistlihi lagi seperti tadi sebelum ia turun ke dunia
fana. Ini yang dimaksud wa inna ilaihi roji’uun yang sesungguhnya.

2.3 Tutungkusan Karuhun Sunda


Secara historis diduga bahwa terdapat berbagai metode yang
digunakan para leluhur dalam mewariskan nilai-nilai pendidikan kepada
generasi penerus, antara lain melalui karya seni, baik seni sastra maupun
bentuk seni lainnya. Misalnya dalam bentuk pupuh Pucung berikut ini
“Utamana jalma kudu réa batur, keur silih tulungan, silih titipkeun nya diri,
budi akal lantaran ti pada jalma”. Melalui karya seni tersebut, secara tidak
langsung para leluhur memberikan nasihat abadi kepada penerus bangsa.
Apabila direnungkan, di dalam karya tersebut terkandung nilai-nilai
budaya tinggi, yakni pesan-pesan moral dan modal sosial yang sangat
berharga dalam membangun masyarakat yang sepi paling towong
rampog, karena nuansa masyarakat diwarnai dengan semangat gotong
royong dan kasih sayang.
Di samping itu, masih banyak kata-kata bijak yang mengandung
makna filosofis yang sangat luas dan mendalam. Namun, untuk
memfokuskan pembahasan ini, penulis mencoba mengangkat beberapa
penggal ungkapan untuk direnungkan. Kata-kata bijak tersebut adalah
Mipit kudu amit; Ngala kudu ménta; Ati suci tuang halal; Ngadék
sacékna nilas saplasna; Ulah lanca-linci luncat mulang; Ulah udar tina tali
gadang; dan Ulah sok ngalétak ciduh.

Bagi masyarakat Jawa Barat khususnya, ungkapan-ungkapan


tersebut rasanya tidak asing lagi. Tetapi dalam penafsirannya akan
berbeda-beda, bahkan mungkin ada yang menganggap sebagai
ungkapan biasa tanpa makna, sehingga tidak tertarik untuk mengkaji dan
26
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

merenungkan hal itu. Maka, penulis mencoba akan membedah penggalan-


penggalan budaya tersebut menggunakan pendekatan Filsafat Ilmu .

Menurut seorang sepuh yang pernah ngobrol dengan penulis,


ungkapan-ungkapan tersebut sarat dengan nilai-nilai moral dan
mengandung setumpuk pesan bagi generasi penerus bangsa untuk dikaji
dan direnungkan. Pada saat beliau menuturkan pendapatnya, tampak
serius dan penuh harap, agar estafet pesan moral tersebut sampai kepada
kita dan generasi selanjutnya. Semoga melalui tulisan ini secercah cahya
mampu menerangi jiwa yang redup, bahkan mungkin telah gelap gulita
terkubur tumpukan sejumlah persoalan hidup yang rumit melebihi
rumitnya benang kusut yang tak berujungpangkal.

Secara harfiah, kata mipit dan ngala pada ungkapan Mipit kudu
amit dan Ngala kudu ménta berarti mengambil, memetik, mengutip, atau
memungut. Dalam arti luas, mengandung makna bahwa apabila kita akan
mengambil harta milik orang lain harus seizin pemiliknya. Barangsiapa
yang berani melanggar kaidah tersebut, tentu akan memperoleh sejumlah
akibat yang merugikan. Antara lain mendapat gelar pencuri, perampok,
koruptor, atau istilah lainnya yang bersifat negatif. Selain itu akan
mempengaruhi kesucian jiwanya. Dengan kata lain, apabila ungkapan
mipit kudu amit dan ngala kudu ménta ini dilanggar, seseorang akan
kehilangan kesempatan untuk memiliki hati (jiwa) yang suci. Hati yang
tidak suci berarti kotor, hati yang kotor akan lupa menggunakan akal dan
pikirannya, sehingga akan menurunkan derajat kemanusiaan, bahkan
mungkin lebih rendah dari derajat binatang.

Dalam prakteknya, pemahaman terhadap ungkapan ini tercermin


dalam sikap sehari-hari. Bagi seseorang yang mematuhi kaidah ini, tidak
akan berani mengambil harta orang lain tanpa izin. Jangankan dalam
jumlah besar, setetes air pun ia tidak akan meminumnya. Misalnya, pada
saat terjadi hujan lebat, di mana kolam milik tetangga airnya tumpah ke
27
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

selokan dan ikannya berhamburan. Ia tidak berani menangkap ikan dan


memakannya, ia tidak sampai hati menikmati lezatnya daging ikan
sementara pemiliknya menangis sedih. Betapa indahnya dunia yang fana
ini, apabila dipenuhi oleh orang-orang yang senantiasa menjaga kesucian
jiwanya, dengan tidak mengambil harta orang lain tanpa izin. Pepatah
Sunda mengatakan sepi paling towong rampog, nagara aman
kertaraharja akan tercipta dan maraknya kisah tentang para koruptor
tidak akan terdengar lagi.

Kondisi yang diungkapkan di atas, terkait erat dengan kata bijak


selanjutnya, yakni ati suci tuang halal. Makna yang terkandung dalam
ungkapan tersebut adalah pentingnya menjaga hati dari i’tikad buruk.
Sifat-sifat hasud, iri, dengki, dendam, dan sifat-sifat lainnya yang akan
mengotori jiwa harus dihindari. Sebaliknya, sifat-sifat terpuji seperti
pemaaf, pengasih, penyayang, sabar, jujur, saling mencintai, dan
senantiasa bersyukur atas nikmat yang dianugerahkan Allah SWT akan
selalu menghiasi jiwanya.

Orang-orang yang memiliki sifat terpuji, jiwanya akan bersih dan


terbebas dari sifat perusak. Sifat dan sikap yang terpuji tersebut akan
tercermin dalam pergaulan sehari-hari, termasuk di dalam memilih
makanan. Dengan maksud untuk menjaga kesucian jiwa, maka makanan
pun akan selalu dipilih yang baik dan halal serta menjauhi makanan yang
haram. Senada dengan firman Allah dalam Al Quran “Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi….”(QS Al Baqarah:169). Sinar terang dari sifat-sifat terpuji ini akan
menerangi kehidupan sepanjang masa dan membawa kedamaian
terhadap seluruh alam (bandingkan dengan konsep Islam tentang
rahmatan lil ‘alamiin). Orang-orang yang menganut kaidah ati suci tuang
halal, tidak akan berani merusak alam sekehendak hatinya, bahkan ia
akan berusaha untuk memelihara, melindungi, melestarikan, mengolah,
28
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

dan memanfaatkan alam semesta sebagai sarana kebajikan. Hal ini


sejalan dengan ajaran Islam yang melarang manusia untuk membuat
kerusakan di muka bumi, karena manusia mendapat amanah yang cukup
berat dari sang Maha Pencipta, yakni sebagai Kholifah dan ‘Abdullah.
I’tikad untuk selalu memakan makanan yang halal, akan menghindarkan
tatanan kehidupan manusia dari keserakahan, ketamakan, kekerasan,
ketidakadilan, dan kekacauan.

Manusia yang memiliki hati yang suci dan senantiasa memakan


makanan yang halal, derajatnya akan selalu meningkat ke arah
kesempurnaan hidup. Konsep insan kamil, bahkan mungkin kamil mukamil
akan menjadi tujuan utama, demi meraih ridho Allah. Dalam hal ini, coba
kita kaitkan dengan salah satu hikmah puasa yang merupakan salah satu
ibadah umat Islam. Bagi seorang muslim yang meyakini akan arti ibadah
puasa, meyakini pula akan dampak positif yang akan diterimanya. Dengan
puasa, seseorang akan meningkat harkat dan derajat kehidupannya, tidak
sekedar termasuk orang-orang yang beriman (mu’min), melainkan akan
meraih juga gelar mutaqiin. Tentang hal ini, Allah telah memberikan
ilustrasi yang sangat jelas bagi orang-orang yang mau berpikir dan
menggunakan akalnya untuk memikirkan ayat-ayat Allah yang tersirat di
alam semesta. Misalnya tentang seekor ulat yang semula menjijikkan,
ditakuti, serakah, dan tak pernah pergi jauh dari batang pohon mampu
berubah wujud dengan derajat yang lebih tinggi setelah menjalani puasa
yang sungguh-sungguh. Ketika menjalani hidup sebagai ulat, ia tak
pernah berhenti makan (rakus dan serakah), fisiknya ditakuti karena
bertampang seram. Tetapi setelah puasa, wujudnya berubah menjadi
kupu-kupu yang indah dan disenangi banyak orang. Kemampuannya luar
biasa, dapat terbang tinggi sekehendak hatinya. Ketika makan tidak
serakah seperti dulu, tetapi hanya menghisap sari bunga yang manis
tanpa merusak bunga yang bersangkutan. Bahkan membawa berkah
29
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

dengan terjadinya proses penyerbukan yang bermanpaat bagi mahluk


lainnya. Makanan yang halal dan yang haram telah jelas perbedaannya,
namun diantara keduanya ada juga yang samar-samar sebagaimana
sabda Nabi yang menyatakan bahwa “Sesungguhnya sesuatu yang halal
itu jelas dan yang haram itu jelas, dan di antara keduanya ada perkara
yang samar” (HR Bukhari dan Muslim).

Bagi orang yang memiliki kaidah ati suci tuang halal, akan diikuti
oleh sikap tegas dan lugas dalam proses pengambilan keputusan. Sikap
tersebut adalah ngadék sacékna nilas saplasna. Secara harfiah, ngadék
berarti memotong, misalnya memotong kayu dengan menggunakan golok
atau sejenisnya. Artinya sama dengan nilas, akan tetapi ada sedikit
perbedaan dalam prosesnya. Ngadék dilakukan berulang-ulang,
sedangkan nilas sekali tebas benda yang dipotong itu putus. Dalam arti
luas, memotong kayu menggunakan alat yang tepat terhadap sasaran
yang tepat pula. Makna yang terkandung di dalamnya adalah sikap tegas
dalam pengambilan keputusan. Berarti bahwa keputusan yang diambil
telah dipikirkan terlebih dahulu dengan matang, sehingga tidak
mendatangkan keraguan dan siap menerima apa pun akibatnya.
Bandingkan dengan ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk
meninggalkan keragu-raguan, dan dianjurkan pula untuk selalu
bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukan. Nabi bersabda
:“Tinggalkanlah apa-apa yang meragukan kamu, kerjakanlah apa-apa
yang tidak meragukan kamu” (HR Tirmidzi). Bahkan lebih jauh lagi, umat
Islam wajib percaya akan datangnya hari kiamat, karena setiap individu
akan diminta pertanggungjawaban atas amal perbuatannya selama
menjalani hidup di dunia.

Proses pengambilan keputusan yang lugas dan tegas, bukan hanya


penting bagi para pemimpin dan pemegang kekuasaan, melainkan penting
juga bagi semua orang, agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang samar
30
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

dan meragukan. Sikap yang tidak menentu dan penuh dengan keragu-
raguan merupakan awal dari suatu kehancuran. Apalagi jika dilaksanakan
dengan tidak amanah.

Namun, sikap tegas saja tidak cukup. Masih ada kata bijak sebagai
lanjutan dari kata-kata sebelumnya. Sikap tegas dalam mengambil
keputusan tidak berarti apa-apa tanpa diikuti oleh sikap yang konsisten
dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu, diikuti oleh kata-kata
selanjutnya, yakni ulah lanca-linci luncat mulang. Yang dimaksud dengan
ulah lanca-linci luncat mulang adalah tidak boleh plin-plan, tidak memiliki
sikap mendua, melainkan tetap teguh terhadap satu keputusan. Ngomong
soré teu kapaké isuk adalah salah satu ciri orang yang suka lanca linci
luncat mulang, pemikiran dan sikapnya bolak-balik tidak keruan yang
membuat orang lain menjadi bingung. Apabila sikap seperti ini dimiliki
oleh seorang pemimpin besar, maka ribuan orang akan dirugikan, baik
langsung maupun tidak langsung. Orang seperti ini tidak akan mampu
menepati janji dengan baik, bahkan cenderung berhianat dan
mementingkan diri sendiri. Dalam berkelompok atau berorganisasi, orang
dengan tipe ini akan menjerumuskan kawan sendiri. Oleh karena itu,
leluhur Sunda mengajarkan agar ulah lanca-linci luncat mulang, tetapi
harus tigin kana jangji, satia kana ucap sebagai salah satu indikator dari
seorang satria pinunjul (SDM yang bermutu). Kiwari (sekarang), banyak
orang yang mendambakan pigur pemimpin dari kalangan Satria pinunjul
tersebut, tetapi karena masih misterius, orang menyebutnya Satria
Piningit.

Kata-kata bijak selanjutnya, yang merupakan bagian tak


terpisahkan dari kata-kata lainnya adalah ulah udar tina tali gadang. Udar
artinya lepas, tali gadang pengertiannya sama dengan ikatan (tali
pengikat). Dalam arti luas mengandung makna bahwa kita harus
memegang teguh semua komitmen yang telah disepakati bersama dalam
31
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

menjaga kesatuan dan persatuan. Selain itu, mengandung makna agar


senantiasa taat dan patuh terhadap peraturan/perundang-undangan
(hukum) yang berlaku. Baik yang bersumber dari agama, hukum positif,
hukum adat, maupun etika dan sumber lainnya. Dengan demikian,
seseorang yang memahami arti ungkapan ulah udar tina tali gadang,
dalam menjalani hidup dan kehidupannya akan senantiasa taat terhadap
hukum. Sabda Nabi menyatakan bahwa “Ketaatan hanyalah untuk yang
baik” (HR Bukhari).

Kata-kata bijak selanjutnya adalah ulah sok ngaletak ciduh. Secara


harfiah mengandung arti jangan menjilat ludah sendiri, namun tentu saja
bukan dalam arti yang sesungguhnya (hanya kiasan). Yang dimaksud
adalah jangan mengambil/menarik kembali apa-apa yang telah
dikeluarkan, diucapkan, atau diberikan kepada orang lain. Implikasinya,
sebelum mengucapkan / memberikan / menyerahkan / menyampaikan
sesuatu hendaknya dipikirkan terlebih dahulu secara matang. Pepatah
lain yang mendukung ungkapan ini adalah ulah leuir pikir hawara biwir.
Apalagi berkenaan dengan kebijakan publik, salah dalam mengambil
keputusan, tidak konsisten, dan terlalu cepat merubah atau mencabut
suatu kebijakan akan berdampak luas terhadap berbagai aspek kehidupan
masyarakat. Dengan demikian, dilihat dari segi manajemen tindakan yang
diharapkan tersebut membutuhkan perencanaan (planning) yang matang.

Berdasarkan kajian terhadap warisan para leluhur tersebut, nilai-


nilai budaya yang terkandung di dalamnya dapat dipergunakan untuk
memperkaya khasanah pengetahuan di bidang manajemen, khususnya
berkaitan dengan etika, karena masalah-masalah etika sangat erat
kaitannya dengan nilai-nilai moral. Pentingnya etika, tidak hanya dalam
manajemen sumber daya manusia, dalam manajemen lain pun tetap
diperlukan, demikian pula dalam manajemen bisnis.
32
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab II

Oleh karena itu, dalam merancang sebuah sistem manajemen, para


pakar dan semua pihak yang terlibat, sudah saatnya memikirkan
bagaimana caranya agar nilai-nilai moral ini diintegrasikan ke dalam
sistem sehingga dapat mewarnai sistem yang bersangkutan. Adapun
sumber nilai-nilai moral, dapat diambil dari berbagai sumber, antara lain
dari ajaran agama, hukum (misalnya dari Pancasila), filsafat, ilmu,
pengetahuan, dan budaya.

Penulis berasumsi dan berharap, proses manajemen yang diwarnai


dengan nilai-nilai moral tersebut akan mendorong terciptanya masyarakat
yang “ayem tengtrem kertaraharja, sepi paling towong rampog, sepiing
pamrih raméing gawé, gemah ripah loh jinawi, répéh rapih, henteu ripuh
jeung ropoh”, serta senantiasa berada dalam lindungan Allah SWT.
Maknanya, kurang lebih sepadan dengan ungkapan “Baldatun toyyibatun
wa robbun ghofuur”.

Anda mungkin juga menyukai