Anda di halaman 1dari 8

Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab III 33

BAB III

KESIMPULAN

3.1 Temuan
Berdasarkan kajian dari ketiga sumber sebagaimana yang telah
dikemukakan pada bab terdahulu, kami menemukan beberapa hal yang
menarik untuk ditelaah lebih lanjut agar dapat dicari jawabannya,
sekaligus dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan dalam rangka
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia. Temuan tersebut
terdiri atas dua jenis, yakni temuan dalam literatur dan temuan empiris.

a. Temuan dari Literatur


1) Pada umumnya, Umat Islam Indonesia merasa bangga atas
perjuangan para wali yang telah berjasa menyebarkan Islam di
Nusantara. Tetapi ironis, ajaran para wali yang sesungguhnya
dianggap ”aneh” dan bertolakbelakang dengan ajaran Islam yang
berkembang akhir-akhir ini. Terkesan bahwa umat Islam merasa
cukup dengan ilmu yang telah dimilikinya, hanya beberapa gelintir
saja yang berusaha meningkatkan pengetahuannya kepada jenjang
yang lebih tinggi.

2) Dasar Negara yang menjadi sumber hukum di Indonesia adalah


Pancasila, dalam Pancasila terdapat sila Ketuhanan Yang Maha Esa,
yang berarti bangsa Indonesia sangat menghargai nilai-nlai
keagamaan, termasuk agama Islam. Tetapi dalam praktek, baik
sistem pendidikan, sistem politik, sistem ekonomi, maupun sistem
hukum lebih banyak mengadopsi kaidah-kaidah Barat daripada
kaidah Islam sehingga perilaku umat Islam yang terbentuk tidak
mencerminkan kepribadian Muslim yang utuh (maaf).
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab III 34

b. Temuan Empiris
1) Penulis menyadari bahwa membangun karakter bangsa/umat
bukan pekerjaan mudah, karena hanya Nabi Muhammad saw saja
yang memiliki prestasi luar biasa dalam merubah karakter suatu
umat dari semula diliputi kegelapan sampai mampu keluar menuju
kepada keadaan terang benderang (Ila dlulumati ila nuur). Tetapi,
apabila kehadiran sejumlah pesantren dengan ribuan santrinya,
puluhan perguruan tinggi dengan ribuan mahasiswa muslimnya,
ratusan majlis ta’lim dengan ribuan mustami’ dan kehadiran
sejumlah da’i dengan berbagai keahliannya yang belum mampu
mewarnai karakter umat berarti masih ada yang kurang. Di mana
letak kekurangannya? Justru ini permasalahan yang harus
dipecahkan bersama.
2) Hasil wawancara dengan seorang sesepuh Sunda, kami
menemukan informasi bahwa di tatar Sunda terdapat falsafah yang
erat kaitannya dengan kualitas Sumber Daya Manusia. Falsafah
tersebut berkaitan dengan proses alami yang akan ditemukan oleh
setiap orang, hanya saja ada yang mengetahui dan menyadari ada
juga yang tidak mengetahui, tidak menyadari, tidak mau tahu, dan
tidak mau sadar, ada juga yang tidak tahu diri karena dirinya tidak
tahu. Yang dimaksud adalah falsafah ”Ngaco, ngaca, ngaci ”.
Bagaimana implementasinya dalam kehidupan? Inilah yang harus
dijawab oleh setiap insan yang mau berpikir.

3.2 Jawaban
Setelah direnungkan terdapat jawaban sementara yang diajukan.
Dikatakan sementara karena hanya sebatas pendapat pribadi yang belum
diperkuat dengan data dan fakta hasil penelitian yang lebih akurat. Di
samping itu, persoalan yang muncul dipengaruhi banyak sebab, sehingga
jawababnya pun tentu bervariasi juga.
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab III 35

a. Jawaban untuk temuan literatur


1) Dilihat dari sejarah perkembangannya memamg logis, karena
Ajaran para Wali yang digelar sekitar 1779 M, kemudian sekitar
tahun 1900-an ajaran para wali tersebut mulai sulit didapat.
Misalnya, seperti yang dituturkan oleh penulis Kidoeng Kaislaman,
saat itu sulit sekali mencari jejak ajaran para wali. Yang mereka
ketahui ajaran wali terdapat di Cirebon, tetapi di Cirebon sendiri
tidak mudah mendapatkan hal itu. Kemudian diperoleh warta,
bahwa kelak di akhir akan ditemukan di Cirebon Girang, lalu
seseorang mencari ke sana, tetapi juga tidak diperoleh. Ternyata,
yang dimaksud Cirebon Girang bukan dalam arti yang
sesungguhnya, tetapi di hulu sungai yang airnya mengalir ke
Cirebon, maka ditemukanlah di tatar Priangan, (Kami menduga
tempat itu adalah Garut). Benar, di sana terdapat Ki Ajar Padang
Sokadana, setelah beliau mangkat (tahun 1930), seseorang yang
bernama R Asep Martawijaya menulis Layang Moeslimin Moeslimat
jilid I s.d III ditambah dengan kitab-kitab yang lain. Keberanian
para ilmuwan waktu itu dianggap ngamurah-mareh ilmu, karena
ilmu wali diajarkan sedemikian terbuka bahkan bukunya dicetak
dan dipublikasikan. Hal ini berarti, terdapat sejenis tabir yang
memisahkan dunia ilmu dengan dunia nyata, sehingga setelah
seabad lebih wejangan para wali itu tenggelam, ketika ditemukan
tahun 1900-an dianggap aneh. Demikian pula pasca tahun 1900-an,
misalnya hari ini, buku Kidoeng Kaislaman (buahna Iman Islam)
pun termasuk buku langka. Maka ajaran para wali tersebut semakin
bersifat eksklusif, daya tariknya dikalahkan oleh ilmu yang bersifat
populer kontemporer. Belum lagi kendala budaya seperti adanya
kata pamali yang sering menjadi penghambat saat memperdalam
suatu ilmu pengetahuan.
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab III 36

2) Penyebabnya, mengapa teori-teori hasil pemikiran cendekiawan


muslim kurang populer di kalangan akademisi Muslim Indonesia?
Salah satu penyebanya adalah dalam buku-buku teori pendidikan,
psikologi, filsafat, politik, tata negara, dan sosiologi baik yang
digunakan di sekolah umum maupun sekolah agama banyak
memunculkan teori Barat. Padahal cendekiawan muslim banyak
menghasilkan teori tentang berbagai hal, misalnya seperti Al Farabi
yang mengemukakan indikator negeri yang bodoh, dari kelima
indikator tsb. salah satunya adalah ”Negeri anarkis (jam’iah), yaitu
negeri yang setiap penduduknya ingin merdeka melakukan
keinginan masing-masing” (Sudarsono, 2004:119). Dari sisi lain,
dalam pengamalan ajaran Islam, banyak yang terjebak oleh
upacara-upacara ritual tanpa memahami makna yang sebenarnya,
sehingga tidak mencerminkan perilaku orang yang beriman pada
tata kahidupan nyata. Individu yang soleh banyak, tetapi kesalehan
sosial belum tercipta. Hal lain yang menjadi penyebab belum
terciptanya masyarakat Islami adalah pemahaman umat terhadap
Islam baru sampai pada tahap awal, tidak berlanjut kepada upaya
memperoleh manisnya buah dari iman dan Islam. Jika diibaratkan
orang memakan pisang, ia merasakan kulitnya terasa manis, lalu ia
berhenti di sana, hanya memakan kulit pisang itu. Padahal ada
yang lebih manis, yakni buahnya, tetapi belum ditemukan. Dengan
demikian, kapan bangsa Indonesia akan menemukan jatidirinya
yang hakiki? Apabila dalam mencari jatidiri tersebut menggunakan
piranti milik orang lain yang belum tentu seratus persen cocok
dengan kondisi dan keyakinan kita? Jika terus-menerus demikian,
tenggelamnya hasil pemikiran para cendekiawan Muslim bukan
salah orang lain (Barat), tetapi salah kita sendiri, karena kita tidak
mau tahu tentang hal itu.
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab III 37

b. Jawaban atas temuan Empiris


1) Apabila melihat situasi dan kondisi umat saat ini, penulis melihat
adanya potensi positif yang luar biasa baiknya. Kita lihat, pada saat
terjadi bencana, bantuan dalam berbagai bentuk mengalir spontan
tanpa henti, melebihi kemampuan pemerintah. Secara historis,
sekitar tahun 1900 pada umumnya kaum pria berambut panjang
dan digelung (sanggul), Tetapi suatu saat, tanpa ada yang
memerintah, semua guyub ramai-ramai menggunduli kepalanya
gara-gara banyak kutu dan lisa. Kata yang empunya cerita,
kejadian itu semula di Bandung, kemudian menyebar ke desa-desa.
Setelah dirasakan betapa nyamannya berambut pendek apalagi
gundul, terasa segar, bersih, dan tidak repot. Konon, hal itu
merupakan ilustrasi alam bahwa manusia sudah mulai
mendambakan kebersihan lahir dan batin, dalam arti haus akan
ajaran agama yang sekiranya membawa kepada kesucian jiwa dan
raga. Lalu, mengapa sekarang demikian sangar? Apa yang menjadi
penyebab?
2) Ngaco, ngaca, ngaci adalah tiga kata dalam bahasa Sunda. Pada
tahap awal kehidupan seseorang kebanyakan ngaco. Ngaco sama
artinya dengan hidup tanpa memperdulikan aturan, atau karena
belum tahu aturan. Maka, baik ucapan maupun tindakannya semau
gue. Tahap selanjutnya adalah Ngaca, sama artinya dengan
bercermin, dalam arti mawas diri atau introspeksi. Dalam
prakteknya, jika seseorang sudah masuk pada tahapan ini, apa
yang pernah dilakukan akan direnungkan, dilihat maknanya, dilihat
mana yang benar mana yang salah. Disadari juga, perilaku salah
akibatnya ini, perilaku baik akibatnya ini, sehingga kelak akan
semakin berhati-hati karena telah mengetahui kesalahan sendiri.
Sama seperti bercermin, akan melihat noda di dalam dirinya,
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab III 38

sehingga tidak ingin noda itu bertambah. Pada tahap akhir adalah
ngaci, sama artinya dengan proses memilih sesuatu dipilih intinya
saja, dalam arti hal-hal lain yang tidak berguna akan
dikesampingkan. Dalam prakteknya, baik ucapan maupun
perbuatan, dipilih yang baik dan benar, sehingga akan bermanfaat
bagi dirinya. Pada tahap ini, seseorang tidak akan melakukan
sesuatu yang tidak berguna, dan tidak akan memakan makanan
yang tidak jelas kehalalannya. Yang dipilih adalah saripatinya saja
(sunda : Aci). Namun perlu diketahui bahwa, perubahan tahapan ini
tidak berbanding lurus dengan tambahnya usia, dalam arti bisa saja
usianya sudah tua renta tetapi keadaannya masih pada tarap
ngaco saja.

3.3 Pemecahan Masalah


Untuk memecahkan permasalahan yang ditemukan sebagaimana
diungkapkan di atas, kunci utamanya terletak pada keilmuan. Dengan kata
lain, untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, baik melalui
aspek pendidikan, kesehatan, maupun daya beli (ekonomi), harus dimulai
dengan meletakkan dasar utama pada ilmu yang benar dan relevan
dengan keyakinan agama yang dianut.
Dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia,
seyogyanya memberdayakan potensi yang ada di Indonesia.
Menggunakan sumbar daya lain bukan tidak boleh, tetapi hendaknya
proporsional, jangan sampai terjadi seperti pepatah Sunda yang
menyatakan ”Jati kasilih ku Junti; Ngawur kasintu, nyieuhkeun hayam”.
Dalam arti, ilmu, pengetahuan, teknologi, dan budaya asing dibanggakan
dan digunakan, sedangkan milik sendiri dianggap kuno dan dilupakan.
Yang telah jelas ada di-adanya dan diketahui keberadaannya justru
dikesampingkan, yang belum diketahui tidak digali bahkan dibiarkan dicuri
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab III 39

orang. Jika suatu saat, wejangan para wali dan ilmu-ilmu yang pernah
jaya di tanah Jawa diklaim menjadi miliki orang asing, apa yang bisa
dibanggakan oleh kita? Sedangkan gaya mereka, misalnya sistem
demokrasi, telah dirasakan dengan jelas pahit getirnya oleh bangsa
Indonesia.
Dengan demikian, pemecahan berbagai persoalan apa pun, kembali
kepada dasar utama, yakni kesadaran atas harga diri, jatidiri, dan
nasionalisme yang tinggi di samping kesadaran sebagai umat beragama
yang harus taat dan patuh terhadap aturan agama yang dianut. Produk
impor, apa pun bentuknya, jadikan sebagai pembanding dan pelengkap,
jangan dijadikan hal pokok.

3.4 Intisari dan Makna Isi Makalah


Pembentukan moral bangsa diawali dengan pembangunan manusia
seutuhnya dengan cara meningkatkan kualitas individu berdasarkan ajaran
agama Islam. Inti dari ajaran Islam seperti yang diajarkan para wali dalam
Wirid Hidayat Jati, Kidoeng Kaislaman, dan Tutungkusan Karuhun Sunda,
pada dasarnya pembentukan watak yang ideal, martabat yang luhur,
akhlak yang mulia, dan Insan Kamil Mukamil.
Baik ajaran para wali, dan penjabarannya yang lebih detail oleh
para ahli ilmu pada generasi selanjutnya, dan kata-kata bijak warisan para
leluhur Ki Sunda tersebut masih hidup dalam masyarakat. Sayangnya,
baru sekedar pemanis kata tanpa makna. Hal ini tidak mengherankan,
karena mudah diucapkan tetapi sulit untuk diamalkan, apalagi jika tidak
memahami makna yang terkandung di dalamnya. Padahal apabila
dianalisis secara komparatif, nilai-nilai tersebut sejalan dengan ajaran
Islam yang dianut sebagian besar penduduk Indonesia.

Dewasa ini, mutu SDM yang kita dambakan adalah SDM yang
memiliki kemampuan sesuai dengan bidang keahliannya (skill) dan
Kajian Filsafat Ilmu, 2009, Bab III 40

memiliki sikap yang merupakan kristalisasi dari nilai-nilai moral serta


berakar pada budaya bangsa. Dengan mengkaji, memahami, dan
mengamalkan nilai-nilai tersebut diharapkan mampu mendorong
terwujudnya manusia Indonesia yang bermutu, agar mampu bersaing
dengan bangsa-bangsa lain tanpa kehilangan jatidiri bangsa.

Wallahu alam

DAFTAR PUSTAKA

Endju. 1930. Kidoeng Kaislaman (Buahna Iman Islam), Bandoeng: Winkel


Masjoe.

Hadiwijono, Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat 1, Yogyakarta:


Kanisius.

Mahasin, Aswab. 1996. Ruh Islam dalam Budaya Bangsa. Jakarta :


Yayasan Festival Istiqlal.

R. Ng. Ronggowarsito. 1997. Wirid Hidayat Jati, Semarang: Dahara Prize .

Sudarsono, 2004. Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta.

Hasil wawancara ringan dengan sesepuh Sumedang, antara lain : Bapak


Eep, Darmaraja, Sumedang; Bapak Rd. Bulqini (alm); Bapak Rd. Karyadi
(alm), dan Bapak Djamhir Sumawilaga (alm). Sebelum mereka dipanggil
Allah SWT.

Anda mungkin juga menyukai