Anda di halaman 1dari 7

Filsafat Islam

Umat manusia sekarang terjepit di antara dua ideologi dunia yang paling besar, sosialisme dan
kapitalisme. Keduanya hendak memimpin dunia, tetapi modernitas yang dilakukan ternyata kandas, tidak
mampu menjawab persoalan-persoalan sejarah, bahkan tidak menemukan sesuatu yang sebenernya dicari.
Poinnya bagaimana seorang itu bisa mengetahui dan menelusuri letak islam di antara dua ideologi besar ini,
Islam dewasa ini sedang menghadapi tantangan untuk menjadi alternatif ketiga. Media komunikasi yang paling
artikulatif kini adalah pemikir-pemikir islam. Jawaban akan tantangan ini sesungguhnya ada erat kaitannya
dengan pola pikir manusia terhadap kehidupan itu sendiri. Adanya pola pikir manusia itu sendiri membuat
manusia terus mencari dan mencari tentang makna sebuah kebenaran, tuhan, dan segala sesuatu yang terjadi
di alam semesta ini.

Berabad silam para nabi dan rosul secara tidak langsung sudah mengajarkan kepada umatnya
mengenai konsep dan pola berpikir tentang mencari kebenaran yang manusia modern sekarang itu
menyebutnya ilmu filsafat.

Filsafat islam menurut Ibrahim Madkur adalah pemikiran yang lahir dalam dunia islam untuk menjawab
tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat. Seperti yang
diakui oleh banyak kalangan bahwa pemikiran filsafat yunani telah membuat perkembangan filsafat islam
menjadi sangat berkembang dan maju. Namun tidak tepat jika filsafat islam lahir dari filsafat yunani melainkan
filsafat islam lahir dari ide, gagasan , pemikiran islam yang berasal dari budaya, tradisi dan kitab suci umat
islam.

Faktor Munculnya Filsafat Islam

a. Faktor dorongan Ajaran Islam

Untuk membuktikan adanya Allah, Islam menghendaki agar umatnya memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi. Dan penciptaan tersebut tentu ada yang menciptakannya. Pemikiran demikian itu kemudian
menimbulkan keinginan untuk menyelidiki dengan pemikiran filsafat.

Para ahli mengakui bahwa bangsa Arab pada abad 8-12 peradabannya maju karena dua hal: pertama,
karena pengaruh sinar al-Qur’an yang memberi semangat terhadap kegiatan keilmuan, kedua, karena interaksi
dengan bangsa asing (Yunani), sehingga ilmu pengetahuan atau filsafat mereka dapat diserap, serta terjadinya
akulturasi budaya antar mereka. Dapat disimpulkan bahwa adat dan budaya antara islam dan yunani sangat
jauh berbeda.
Agama Islam selalu menyeru dan mendorong umatnya untuk senantiasa mencari dan menggali ilmu.
Oleh karena itu ilmuwan pun mendapatkan perlakuan yang lebih dari Islam, yang berupa kehormatan dan
kemuliaan. al-Qur’an dan as-Sunnah mengajak kaum muslimin untuk mencari dan mengembangkan ilmu serta
menempatkan mereka pada posisi yang luhur

Beberapa ayat petama yang diwahyukan Muhammad s.a.w. menandakan pentingnya membaca,
menulis dan belajar-mengajar. Allah menyeru:

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Sebagian ahli tafsir berpendapat, seperti Al-Razi, bahwa yang dimaksud dengan “iqra” dalam ayat
pertama itu berarti “belajar” dan “iqra” yang kedua berarti “mengajar”. Atau yang pertama berarti “bacalah
dalam shalatmu” dan yang kedua berarti “bacalah di luar shalatmu”

Zamakhsyari berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan “qalam” adalah “tulisan”. Karena tanpa
tulisan semua ilmu tidak dapat dikodifikasikan, seandainya tidak ada tulisan maka tidaklah tegak persoalan
agama dan dunia.

Dan tentang penciptaan alam, al-Qur’an menjelaskan bahwa Malaikat pun diperintahkan untuk sujud
kepada Adam setelah Adam diajarkan nama-nama dalam QS. Al-Baqarah : 31-32

31. Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian
mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

32. Mereka menjawab: "Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah
Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana"
b. Faktor Perpecahan di Kalangan Umat Islam (intern)

Setelah khalifah Islam yang ketiga, Usman bin Affan terbunuh, terjadi perpecahan dan pertentangan di
kalangan umat Islam. Perpecahan dan pertentagan tersebut pada mulanya adalah karena persoalan politik.
Tetapi kemudian meluas ke bidang agama dan bidang-bidang lain. Untuk membela dan mempertahankan
pendapat-pendapat mereka serta untuk menyerang pendapat lawan-lawannya, mereka berusaha
menggunakan logika dan khazanah ilmu pengetahuan di masa lalu, terutama logika Yunani dan Persia, sampai
akhirnya mereka dapat berkenalan dan mendalami pemikiran-pemikiran yang berasal dari kedua negeri
tersebut. Kemudian mereka membentuk filsafat sendiri, yang dikenal dengan nama filsafat Islam.

c. Faktor Dakwah Islam

Islam menghendaki agar umatnya mewartakan ajaran Islam kepada sesama manusia. Agar orang-orang
yang diajak masuk Islam itu dapat menerima Islam secara rasional, maka ajaran Islam harus disampaikan
kepada mereka dengan dalil-dalil yang rasional pula. Untuk keperluan itu diperlukan filsafat.

d. Faktor Menghadapi Tantangan Zaman (ekstern)

Zaman selalu berkembang, dan Islam adalah agama yang menyesuaikan dengan segala perkembangan.
Tetapi hal itu bergantung kepada pemahaman umatnya. Karena itu setiap zaman berkembang, menghendaki
pula perkembangan pemikiran umat Islam terhadap agamanya. Pengembangan pemikiran tersebut
berlangsung di dalam filsafat.

e. Faktor Pengaruh Kebudayaan lain

Setelah daerah kekuasaan meluas ke berbagai wilayah, umat Islam berjumpa dengan bermacam-
macam kebudayaan. Mereka menjadi tertarik, lalu mempelajarinya dan akhirnya terjadi sentuhan budaya
diantara mereka. Hal ini banyak sekali ditemukan dalam beberapa teori filsafat Islam, misalnya “teori emanasi”
dari Al-Farabi.

Periode Perkembangan Filsafat Islam


Periodisasi dalam filsafat islam menurut Jamaludin dan Usman Said dalam bukunya yang berjudul
“Filsafat Pendidikan Islam” konsep dan perkembangan mengemukakan perkembangan periodisasi filsafat
pendidikan islam adalah sebagai berikut :

1. Periode Awal Perkembangan Islam


Pemikiran mengenai filsafat islam pada periode ini merupakan perwujudan dari kandungan ayat-ayat
al- quran dan al-hadis yang keseluruhanya membentuk kerangka ideologi islam.

2. Periode Klasik

Mencakup rentang masa pasca pemerintahan Khulafa al- Rasyidun hingga masa imperialis barat
rentang waktu tersebut meliputi awal kekuasaan Bani Ummayah zaman keemasan islam dan kemunduran
kekuasaan islam secara politis hingga abad ke-19.

3. Periode modern

Periode modern merujuk kepada pembagian periodisasi sejarah islam, Periode ini ditandai dengan
dikuasainya Bani Abbas dan Bani Ummayah secara politik dan dilumpuhkan oleh imperialis barat. Puncak dari
filsafat pendidikan islam periode modern terangkum dalam Konferensi Pendidikan Islam Sedunia di Makkah
tahun 1977.

Tokoh-tokoh Filsafat Islam setelah masa Khulafa al- Rasyidun :

 AI KINDI

Al-Kindi, nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn Shabbah ibn Imran ibn Ismail Al-
Ash’ats ibn Qais Al-Kindi merupakan sebuah filosof islam yang pertama. Al – Kindi lahir di Kufah. Nama Al-Kindi
dinisbahkan kepada suku leluhurnya. Al-Kindi merupakan anak yang dibesarkan oleh Ayahnya Ishaq ibn
Shabbah yang menjabat sebagai gubernur pada masa Khalifah Al-Mahdsi (775-785 M), Al-Hadi (785-876 M),
dan Harun Al-Rasyid (786-909 M).

Pemikirannya :

1) Pemikiran Al-Kindi Tentang Metafisika


Menurut Al-Kindi Tuhan tidak memiliki hakikat dalam arti aniah atau mahiah. Menurutnya
Tuhan bukanlah sesuatu yang bisa dirasakan dan dilihat oleh indera Manusia. Menurut Al – Kindi
Tuhan tidaklah tersusun dari sebuah materi maupun bentuk. Tuhan pun juga tidak memiliki aspek
mahiah. Karena Tuhan tidak merupakan genus atau spesies. Tuhan hanya ada satu, dan tidak ada
yang serupa lagi dengan Tuhan

2) Pemikiran Al-Kindi Tentang Jiwa dan Akal


Menurut Al-Kindi, jiwa tidaklah tersusun, namun memiliki arti yang penting, sempurna, dan mulia.
Hubungannya berasal dari Tuhan dan manusia, sama halnya dengan hubungan cahaya dengan
matahari. Karena yang sifatnya spiritual dan Ilahi, maka jiwa berbeda dengan tubuh yang memiliki
bukti fisik.Jiwa sifatnya kekal dan tidak bisa hancur bersamaan dengan hancurnya badan. Akal
adalah sebagai pengetahuan yang mengontrol proses pembentukan pengetahuan melalui bantuan
pengalaman inderawi, bagi Al-Kindi ini merupakan potensi yang sudah ada di dalam jiwa dan
bergerak dari potensialitas ke aktualitas

 AL - FARABI

Al – Farabi, Nama Lengkap Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh al Farabi,
Lahir di kota Wesij pada tahun 872 M, Selisih satu tahun setelah wafatnya Al – Kindi yang merupakan Filosof
Islam pertama. Ayahnya merupakan kelahiran dari Iran dan menikah dengan Wanita asal Turki, dan kemudian
menjadi perwira tentara Turki.

Pemikirannya :

1) Pemikiran Al – Farabi tentang Metafisika

Pemikiran Al-Farabi tentang Metafisika ini seperti para filosof lainnya, membahas tentang
Ketuhanan. Al – Farabi membahas tentang Ilmu Ketuhanan dam membagi Ilmu Ketuhanan
menjadi 3 bagian, yaitu :

1. Membahas semua wujud dan hal – hal yang sudah terjadi padanya sebagai wujud
2. Membahas prinsip Burhan dalam ilmu teori Juz’iyat
3. Membahas semua wujud yang bukan berupa benda, lalu kemudian melakukan perbandingan
dengan Ilmu di point pertama dan point ke dua.

2) Pemikiran Al – Farabi Tentang Jiwa

Pemikiran Al – Farabi tentang Jiwa ini di pengaruhi oleh filsafat Plato, Arestoteles, dan Plotinus.
Yang berpendapat jiwa sifatnya rohani, bukan matahari, dan terwujud setelah dibentuknya badan
dan jiwa tidak akan berpindah-pindah dari suatu badan ke badan yang lain. Ketika jasadnya telah
binasa namun tidak dengan jiwanya. Jiwa manusia disebut dengan al-nafs al-nathinqah, karena jiwa
manusia awalnya berasal dari alam Ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalaq, yang berarti
jasad memiliki bentuk dan bergerak. Jadi Jiwa akan dimasukkan ke dalam jasad jika jasadnya sudah
siap.
Jiwa sifatnya abadi, Al – Farabi membagi jiwa menjadi dua bagian, yaitu Jiwa Khalidah dan Jiwa
Fana. Jiwa Khalidah merupakan Jiwa Fadilah, jiwa yang mengetahui kebaikan dan perbuatan baik,
dan juga melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa ini pun tidak akan hancur bersamaan dengan
hancurnya jasad atau badan, yang temasuk kelompok ini merupakan salah satu jiwa yang telah
berada di tingkat akal mustafad. Sedangkan Jiwa Fana merupakan jiwa Jahiliyah, yang dimana jiwa
ini tidak mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi, jiwa ini
akan hancur bersamaan dengan hancurnya jasad atau badan. Namun, jiwa yang mengetahui
tentang kesenangan namun menolaknya, jiwa itu tidak akan hancur dan kekal, namun kekal disini
adalah dalam artian kesengsaraan.

 IBNU SINA

Ibnu Sina, Nama lengkapnya ialah Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibn Abdillah Ibn Sina. Beliau lahir
pada tahun 980 M di Asfshana, dekat dengan Bukhara. Orang tuanya merupakan pegawai tinggi pada
zaman pemerintahan Dinasti Saman. . Ketika di Bukhara ia dibesarkan dan juga mempelajari falsafah
kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam. Ketika dia mulai menginjak umur usia sepuluh tahun ia banyak
mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal seluruh isi Al – Qur’an

Pemikirannya :

1) Pemikirannya tentang Jiwa


Pemikiran Ibnu Siwa tentang jiwa ialah jiwa merupakan sebuah unit tersendiri dan memiliki wujud
terlepas dari jasad. Jiwa manusia akan tercipta jika sudah ada wadahnya atau jasad yang cocok dan
siap menerima jiwa dan terlahir di dunia ini. Jiwa manusia tidak memiliki fungsi fisik, jiwa manusia
hanya memiliki fungsi sebagai mengisi wadahnya dan bertugas untuk berfikir, dan wadahnya lah
yang membantu jiwa pula untuk berfikir

2) Pemikirannya tentang Wujud


Menurut Ibnu Sina, wujud merupakan sifat yang paling pnting dan mempunyai kedudukan
segalanya daripada sifat yang lain. Dia berpendapat, walaupun merupakan essensinya sendiri,
dalam paham Ibnu Sina esensi terdapat di dalam akal, dan wujud terdapat di luar akal. Wujud yang
membuat setiap essensi mempunyai kenyataan di luar akal. Tanpa adanya wujud, essensi tidak
akan besar artinya. Maka wujud lebih penting sifatnya.
Referensi

Aryati, A. (2015). FILSAFAT DI DUNIA TIMUR: PEMIKIRAN AL-KINDI DAN AL-FARABI. El-Afkar: Jurnal Pemikiran
Keislaman dan Tafsir Hadis, 4(1), 49-60.

Hanafi, Ahmad, MA, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1986

Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973

Mustafa, Ahmad,Akhlak Tasawuf. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010.

Nasution, harun, Prof., Dr., Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya, Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia, 1996

Wahid, Ali Abdul Wafi, al-Madīnah al-Fadhīlah li al-Farabi, Kairo: Nahdhoh Mishri, tt.

Zaprulkhan, Filsafat Islam: Sebuah kajian Tematik, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014

Dr. Madjid , Nurcholis, 1996, SEJARAH FILSAFAT ISLAM, Jakarta Pusat, PUSTAKA JAYA.

Nama Kelompok

1. Arif Wahyu Wiguna (180104170001)


2. Fajar Sidiq Baehaqqi (180104180008)
3. Khanida Diyana Sika (180104180018)
4. Michael Leonard Armand Zuhri (180104180009)

Anda mungkin juga menyukai