Anda di halaman 1dari 33

Filsafat Islam

merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara
filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali
kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya
dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih
'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan, dalam arti bukan berarti sudah
usang dan tidak dbahas lagi, namun filsuf islam lebih memusatkan perhatiannya kepada manusia dan
alam, karena sebagaimana kita ketahui, pembahasan Tuhan hanya menjadi sebuah pembahasan yang
tak pernah ada finalnya.

Dari segi bahasa, Filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu gabungan dari kata Philo yang artinya
cinta, dan Sofia yang artinya kebijaksanaan, atau pengetahuan yang mendalam. Jadi dilihat dari akar
katanya, filsafat berarti ingin tahu dengan mendalam atau cinta terhadap kebijaksanaan.

Adapun makna filsafat menurut terminologi adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal,
untuk mengetahui hakekat segala sesuatu yang ada, seperti hakekat alam, hakekat manusia, hakekat
masyarakat, hakekat ilmu, hakekat pendidikan dan seterusnya. Dengan demikian maka muncullah
apa yang disebut filsafat alam, filsafat manusia, filsafat ilmu dan sebagainya.

dalam pada itu perlu juga dijelaskan tentang ciri-ciri berfikir yang filosofis. Yaitu harus bersifat
sistematis, maksudnya fikiran tersebut harus lurus, tidak melompat-lompat sehingga kesimpulan
yang dihasilkan oleh pemikiran tersebut benar-benar dapat dimengerti. Kedua harus bersifat radikal,
maksudnya harus sampai ke akar-akarnya sehingga tidak ada lagi yang tersisa untuk dipikirkan.
Ketiga harus bersifat universal yaitu menyelurug, melihat hakekat sesuatu dari hubungannya dengan
yang lain dan tidak dibatasi untuk kurun waktu tertentu.

Adapun pengertian Islam dari segi bahasa adalah selamat sentausa, berserah diri, patuh, tunduk dan
taat. seseorang yang bersikap demikian disebut Muslim, yaitu orang yang telah menyatakan dirinya
taat, menyerahkan diri, patuh dan tunduk kepada Allah azza wa jalla.

Islam menurut terminologi adalah Agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan oleh Alloh kepada
manusia melalui nabi Muhammad sebagai Rasul Allah.

dari pengertian-pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Filsafat Islam adalah
berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hekekat segala sesuatu berdasarkan ajaran
Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi kepada Al Qur’an, mencari
jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.

Jadi ciri utama filsafat Islam adalah berfikir tentang segala sesuatu, dapat berfikir teratur, tidak cepat
puas dalam penemuan sesuatu,selalu bertanya dan saling menghargai pendapt orang lain.

Filsafat adalah induknya segala ilmu, sebagai induk segala ilmu, maka filsafat mempengaruhi ilmu-
ilmu lainnya, seperti ilmu fiqih, ilmu kalam, tafsir dan sebagainya. Berbicara mengenai hukum fiqih,
maka fiqih sendiri bengandung arti mengerti dan memahami. Untuk memahami diperlukan pikiran
dan penggunaan akal. Selain itu fiqih juga memakai ijtihad yang pada intinya adalah pemakaian akal
untuk dalil-dalil yang bersifat dzonniy dan terhadap kasus-kasus hukum yang tidak jelas atau sama
sekali tidak ada dasarnya baik dalam Al Qur’an maupun Al Hadits.
Demikian juga untuk menafsirkan Al Qur’an, menjelaskan hubungan manusia dengan Allah dalam
ilmu Tasawwuf, menjelaskan kandungan hadits, banyak sekali digunakan pemikiran. Dengan
demikian filsafat sangat besar pengaruhnya terhadap ilmu pengetahuan.

Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander Yang Agung membawa bukan hanya
kaum militer tetapi juga kaum sipil. Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke
luar Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah yang
dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang Yunani yang dibawanya,
dengan penduduk setempat. Dengan jalan demikian berkembanglah falsafat dan ilmu
pengetahuan Yunani di Timur Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti
Iskandariah (dari nama Aleksander) di Mesir, Antakia di Suria, Selopsia serta
Jundisyapur di Irak dan Baktra (sekarang Balkh) di Iran.

Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah Islam ke daerah-daerah tersebut
terjadi peperangan antara kekuatan Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta
Irak, dan kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya kekuatan Islam
dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Tetapi penduduknya, sesuai
dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang
Islam hanya menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para sahabat
untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka semula terutama yang menganut agama
Nasrani dan Yahudi.

Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak senang dengan kekuasaan Islam
dan oleh karena itu ingin menjatuhkan Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan
memajukan argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari Yunani. Dari
pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa serangan itu tidak dapat ditangkis
kecuali dengan memakai argumen-argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari filsafat dan
ilmu pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran Yunani mereka
jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Dengan demikian timbullah di panggung sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori
kaum Mu'tazilah. Ciri-ciri dari teologi rasional ini ialah:

1. Kedudukan akal tinggi di dalamnya, sehingga mereka


tidak mau tunduk kepada arti harfiah dari teks wahyu
yang tidak sejalan dengan pemikiran filosofis dan
ilmiah. Mereka tinggalkan arti harfiah teks dan ambil
arti majazinya, dengan lain kata mereka tinggalkan
arti tersurat dari nash wahyu dan mengambil arti
tersiratnya. Mereka dikenal banyak memakai ta'wil
dalam memahami wahyu.

2. Akal menunjukkan kekuatan manusia, maka akal yang


kuat menggambarkan manusia yang kuat, yaitu manusia
dewasa. Manusia dewasa, berlainan dengan anak kecil,
mampu berdiri sendiri, mempunyai kebebasan dalam
kemauan serta perbuatan, dan mampu berfikir secara
mendalam. Karena itu aliran ini menganut faham
qadariah, yang di Barat dikenal dengan istilah
free-will and free-act, yang membawa kepada konsep
manusia yang penuh dinamika, baik dalam perbuatan
maupun pemikiran.

3. Pemikiran filosofis mereka membawa kepada penekanan


konsep Tuhan Yang Maha Adil. Maka keadilan Tuhanlah
yang menjadi titik tolak pemikiran teologi mereka.
Keadilan Tuhan membawa mereka selanjutnya kepada
keyakinan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, dalam
al-Qur'an disebut Sunnatullah, yang mengatur
perjalanan apa yang ada di alam ini. Alam ini berjalan
menurut peraturan tertentu, dan peraturan itu perlu
dicari untuk kepentingan hidup manusia di dunia ini.

Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan kedudukan akal yang tinggi,
kebebasan manusia dalam berfikir serta berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang
membawa pada perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa antara abad
ke VIII dan ke XIII M.

Filsuf besar pertama yang dikenal adalah al-Kindi, (796-873M) satu-satunya filsuf Arab dalam
Islam. Ia dengan tegas mengatakan bahwa antara filsafat dan agama tak ada pertentangan.
Filsafat ia artikan sebagai pembahasan tentang yang benar (al-bahs'an al-haqq). Agama dalam pada
itu juga menjelaskan yang benar. Maka kedua-duanya membahas yang benar. Selanjutnya filsafat
dalam pembahasannya memakai akal dan agama, dan dalam penjelasan tentang yang benar juga
memakai argumen-argumen rasional.

Menurut pemikiran filsafat kalau ada yang benar maka mesti ada "Yang Benar Pertama" (al-Haqq
al-Awwal). Yang Benar Pertama itu dalam penjelasan Al-Kindi adalah Tuhan. Filsafat dengan
demikian membahas soal Tuhan dan agama. Filsafat yang termulia dalam pendapat Al-Kindi adalah
filsafat ketuhanan atau teologi. Mempelajari teologi adalah wajib dalam Islam. Karena
itu mempelajari filsafat, dan berfalsafat tidaklah haram dan tidak dilarang, tetapi wajib.

Dengan filsafat "al-Haqq al-Awwal"nya, al-Kindi, berusaha memurnikan keesaan Tuhan dari arti
banyak. Al-haqiqah atau kebenaran, menurut pendapatnya, adalah sesuainya apa yang ada
di dalam akal dengan apa yang ada diluarnya, yaitu sesuainya konsep dalam akal dengan benda
bersangkutan yang berada di luar akal. Benda-benda yang ada di luar akal merupakan juz'iat
(kekhususan, particulars). Yang penting bagi filsafat bukanlah benda-benda atau juz'iat itu sendiri,
tetapi yang penting adalah hakikat dari juz'iat itu sendiri. Hakikat yang ada
dalam benda-benda itu disebut kulliat (keumuman, universals). Tiap-tiap benda mempunyai
hakikat sebagai juz'i (haqiqah jaz'iah) yang disebut aniah dan hakikat sebagai kulli,
(haqiqah kulliah) yang disebut mahiah, yaitu hakikat yang bersifat universal dalam bentuk jenis.

Memurnikan tauhid memang masalah penting dalam teologi dan filsafat Islam. Dalam hal ini al-
Farabi (870-950 M) member konsep yang lebih murni lagi. Dalam pemikirannya, kalau Tuhan,
Pencipta alam semesta, berhubungan langsung dengan ciptaannya yang tak dapat dihitung
banyaknya itu, di dalam diri Tuhan terdapat arti banyak. Zat, yang di dalam diriNya terdapat arti
banyak, tidaklah sebenarnya esa. Yang Maha Esa, agar menjadi esa, hanya berhubungan dengan
yang esa.

Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi (al-faid, pancaran) dari al-Farabi.
Yang Maha Esa berfikir tentang diriNya yang esa, dan pemikiran merupakan daya atau energi.
Karena pemikiran Tuhan tentang diriNya merupakan daya yang dahsyat, maka daya itu
menciptakan sesuatu. Yang diciptakan pemikiran Tuhan tentang diriNya itu adalah Akal I.
Jadi, Yang Maha Esa menciptakan yang esa.

Dalam diri yang esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti
banyak. Obyek pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal II dan
pemikirannya tentang dirinya menghasilkan Langit Pertama. Akal
II juga mempunyai obyek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III dan
pemikirannya tentang dirinya sendiri menghasilkan Alam
Bintang. Begitulah Akal selanjutnya berfikir tentang Tuhan dan
menghasilkan Akal dan berpikir tentang dirinya sendiri dan
menghasilkan planet-planet. Dengan demikian diperolehlah
gambaran berikut:

Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.


Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.
Akal X menghasilkan hanya Bumi.

Pemikiran Akal X tidak cukup kuat lagi untuk menghasilkan


Akal.

Demikianlah gambaran alam dalam astronomi yang diketahui di


zaman Aristoteles dan zaman al-Farabi, yaitu alam yang terdiri
atas sepuluh falak. Pemikiran Akal X tentang Tuhan tidak lagi
menghasilkan Akal, karena tidak ada lagi planet yang akan
diurusnya. Memang tiap-tiap Akal itu mengurus planet yang
diwujudkannya. Akal dalam pendapat filsuf Islam adalah
malaikat.

Begitulah Tuhan menciptakan alam semesta dalam falsafat


emanasi al-Farabi. Tuhan tidak langsung menciptakan yang
banyak ini, tetapi melalui Akal I yang esa, dan Akal I melalui
Akal II, Akal II melalui Akal III dan demikianlah seterusnya
sampai ke penciptaan Bumi melalui Akal X.

Tuhan tidak langsung berhubungan dengan yang banyak, tetapi


melalui Akal atau malaikat. Dalam diri Tuhan tidak terdapat
arti banyak, dan inilah tauhid yang murni dalam pendapat
al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf Islam yang menganut
paham emanasi.

Alam dalam filsafat Islam diciptakan bukan dari tiada atau


nihil, tetapi dari materi asal yaitu api, udara, air dan
tanah. Dalam pendapat falsafat dari nihil tak dapat diciptakan
sesuatu. Sesuatu mesti diciptakan dari suatu yang telah ada.
Maka materi asal timbul bukan dari tiada, tetapi dari sesuatu
yang dipancarkan pemikiran Tuhan.

Karena Tuhan berfikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula,


apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim,
dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain
kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang
empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari
sinilah timbul pengertian alam qadim, yang dikritik
al-Ghazali.

Selain kemahaesaan Tuhan, yang dibahas filosof-filosof Islam ada pula soal jiwa manusia yang
dalam falsafat Islam disebut al-nafs. Falsafat yang terbaik mengenai ini adalah pemikiran yang
diberikan Ibn Sina (980 -1037 M). Sama dengan AI-Farabi ia membagi jiwa kepada tiga bagian:
1. Jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya makan, tumbuh dan berkembang biak.
2. Jiwa binatang yang mempunyai daya gerak, pindah dari satu tempat ke tempat, dan daya
menangkap dengan pancaindra, yang terbagi dua: (a) Indra luar, yaitu pendengaran, penglihatan,
rasa dan raba. Dan (b) Indra da1am yang berada di otak dan terdiri dari:
i. Indra bersama yang menerima kesan-kesan yang diperoleh pancaindra. 
ii. Indra penggambar yang melepaskan gambar-gambar dari materi. 
iii. Indra pereka yang mengatur gambar-gambar ini. 
iv. Indra penganggap yang menangkap arti-arti yang terlindung dalam gambar-gambar tersebut. 
v. Indra pengingat yangmenyimpan arti-arti itu.
3. Jiwa manusia, yang mempunyai hanya satu daya, yaitu berfikir yang disebut akal. Akal
terbagi dua: 
a. Akal praktis, yang menerima arti-arti yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada
dalam jiwa binatang. 
b. Akal teoritis, yang menangkap arti-arti murni, yang tak pernah ada dalam materi seperti Tuhan,
roh dan malaikat.

Akal praktis memusatkan perhatian kepada alam materi, sedang akal teoritis kepada alam metafisik.
Dalam diri manusia terdapat tiga macam jiwa ini, dan jelas bahwa yang terpenting diantaranya adalah
jiwa berfikir manusia yang disebut akal itu. Akal praktis, kalau terpengaruh oleh materi, tidak
meneruskan arti-arti, yang diterimanya dari indra pengingat dalam jiwa binatang, ke akal teoritis.
Tetapi kalau ia teruskan akal teoritis akan berkembang dengan baik. 
Akal teoritis mempunyai empat tingkatan : 
I. Akal potensial dalam arti akal yang mempunyai potensi untuk rnenangkap arti-arti murni. 
2. Akal bakat, yang telah mulai dapat rnenangkap arti-arti murni. 
3. Akal aktual, yang telah mudah dan lebih banyak rnenangkap arti- arti murni. 
4. Akal perolehan yang telah sernpurna kesanggupannya menangkap arti-arti murni. 
Akal tingkat keempat inilah yang tertinggi dan memiliki filosof-filosof. Akal inilah yang dapat
menangkap arti-arti murni yang dipancarkan Tuhan melalui Akal X ke Bumi. 
Sifat seseorang banyak bergantung pada jiwa mana dari tiga yang tersebut di atas berpengaruh pada
dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang yang berpengaruh, orang itu dekat menyerupai
binatang. Tetapi jika jiwa manusia yang berpengaruh terhadap dirinya maka ia dekat menyerupai
malaikat. Dan dalam hal ini akal praktis mempunyai malaikat. Akal inilah yang mengontrol badan
manusia, sehingga hawa nafsu yang terdapat di dalamnya tidak menjadi halangan bagi akal praktis
untuk membawa manusia kepada kesempurnaan. 
Setelah tubuh manusia mati, yang akan tinggal menghadapi perhitungan di depan Tuhan adalah jiwa
manusia. Jiwa tumbuh-tumbuhan dan jiwa binatang akan lenyap dengan hancurnya tubuh kembali
menjadi tanah. 
Jiwa manusia mempunyai wujud tersendiri, yang diciptakan Tuhan setiap ada janin yang siap untuk
menerima jiwa. Jiwa berhajat kepada badan manusia, karena otaklah, sebagaimana dilihat di atas,
yang pada mulanya menolong akal untuk menangkap arti-arti. Makin banyak arti yang diteruskan
otak kepadanya makin kuat daya akal untuk menangkap arti-arti murni. Kalau akal sudah sampai
kepada kesempurnaan, jiwa tak berhajat lagi pada badan, bahkan badan bisa menjadi penghalang
baginya dalam menangkap arti-arti murni. 
Jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang lenyap dengan matinya tubuh karena keduanya hanya
mempunyai fungsi-fungsi fisik seperti dijelaskan sebelumnya, Kedua jiwa ini, karena telah
rnemperoleh balasan di dunia ini tidak akan dihidupkan kembali di akhirat. Jiwa manusia, berlainan
dengan kedua jiwa di atas, fungsinya tidak berkaitan dengan yang bersifat fisik tetapi yang bersifat
abstrak dan rohani. Karena itu balasan yang akan diterimanya bukan di dunia, tetapi di akhirat. Kalau
jiwa tumbuh-tumbuhan dan binatang tidak kekal, jiwa manusia adalah kekal. Jika ia telah mencapai
kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan ia akan mengalami kebahagiaan di akhirat. Tetapi
kalau ia berpisah dari badan dalam keadaan belum sempurna ia akan mengalami kesengsaraan kelak. 
Dari faham bahwa jiwa manusialah yang akan menghadapi perhitungan kelak timbul faham tidak
adanya pembangkitan jasmani yang juga dikritik al-Ghazali. 
Demikianlah beberapa aspek penting dari falsafat Islam. Pemurnian konsep tauhid membawa al-
Kindi kepada pemikiran Tuhan tidak mempunyai hakikat dan tak dapat diberi sifat jenis (al-jins) serta
diferensia (al-fasl). Sebagai seorang Mu'tazilah al-Kindi juga tidak percaya pada adanya sifat-sifat
Tuhan; yang ada hanyalah semata-mata zat. 
Pemurnian itu membawa Al-Farabi pula kepada falsafat emanasi yang di dalamnya terkandung
pemikiran alam qadim, tak bermula dalam zaman dan baqin, tak mempunyai akhir dalam zaman.
Karena Tuhan dalam falsafat emanasi tak boleh berhubungan langsung dengan yang banyak dan
hanya berfikir tentang diriNya Yang Maha Esa, timbul pendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui
juz'iat, yaitu perincian yang ada dalam alam ini. Tuhan mengetahui hanya yang bersifat universal.
Karena akal I, II dan seterusnyalah yang mengatur planet-planet maka Akal I, II dan seterusnya itulah
yang mengetahui juz'iat atau kekhususan yang terjadi di alam ini. Karena inti manusia adalah jiwa
berfikir untuk memperoleh kesempurnaan, pembangkitan jasmani tak ada. Sebagai orang yang
banyak berkecimpung dalam bidang sains para filosof percaya pula kepada tidak berubahnya hukum
alam. 
Inilah sepuluh dari duapuluh kritikan yang dimajukan al-Ghazali (1058-1111 M) terhadap pemikiran
para filosof lslam. tiga, diantara sepuluh itu, menurut al-Ghazali membawa mereka kepada
kekufuran, yaitu : 
1. Alam qadim dalam arti tak bermula dalam zaman 
2. Pembangkitan jasmani tak ada 
3. Tuhan tidak rnengetahui perincian yang terjadi di alam. 
Konsep alam qadim membawa kepada kekufuran, dalam pendapat al-Ghazali, karena qadim dalam
falsafat berarti sesuatu yang wujudnya tidak mempunyai permulaan dalam zaman, yaitu tidak pernah
tidak ada di zaman lampau. Dan ini berarti tidak diciptakan. Yang tidak diciptakan adalah Tuhan.
Maka syahadat dalam teologi Islam adalah : la qadima, illallah, tidak ada yang qadim selain Allah.
Kalau alam qadim, maka alam adalah pula Tuhan dan terdapatlah dua Tuhan. Ini membawa kepada
faham syirk atau politeisme, dosa besar yang dalam al-Qur'an disebut tak dapat diampuni Tuhan.
Tidak diciptakan bisa pula berarti tidak perlu adanya Pencipta yaitu Tuhan. Ini membawa pula
kepada ateisme. Politeisme dan ateisme jelas bertentangan sekali dengan ajaran dasar Islam tauhid,
yang sebagaimana dilihat di atas para filosof mengusahakan Islam memberikan arti semurni-
murninya. Inilah yang mendorong al-Ghazali untuk mencap kafir filosof yang percaya bahwa alam
ini qadim.
Mengenai masalah kedua, pembangkitan jasmani tak ada, sedangkan teks ayat-ayat dalam al-Qur'an
menggambarkan adanya pembangkitan jasmani itu. Umpamanya ayat 78/9 dari surat Yasin "Siapa
yang menghidupkan tulang-tulang yang telah rapuh ini? Katakanlah: Yang menghidupkan adalah
Yang Menciptakannya pertama kali". Maka pengkafiran di sini berdasar atas berlawanannya falsafat
tidak adanya pembangkitan jasmani dengan teks al-Qur'an, yang adalah wahyu dari Tuhan. 
Pengkafiran tentang masalah ketiga, Tuhan tidak mengetahui perincian yang ada di alam, juga
didasarkan atas keadaan falsafat itu, berlawanan dengan teks ayat dalam al-Qur'an. Sebagai umpama
dapat disebut ayat 59 dari surat Al-An'am: Tiada daun yang jatuh yang tidak diketahui-Nya. 
Pengkafiran Al-Ghazali ini membuat orang di dunia lslam bagian timur dengan Baghdad sebagai
pusat pemikiran, menjauhi falsafat. Apalagi di samping pengkafiran itu al-Ghazali mengeluarkan
pendapat bahwa jalan sebenarnya untuk mencapai hakikat bukanlah falsafat tetapi tasawuf. Dalam
pada itu sebelum zaman Al-Ghazali telah muncul teologi baru yang menentang teologi rasional
Mu'tazilah. Teologi baru itu dibawa oleh al-Asy'ari (873-935), yang pada mulanya adalah salah satu
tokoh teologi rasional. Oleh sebab-sebab yang belum begitu jelas ia meninggalkan faham
Mu'tazilahnya dan menimbulkan, sebagai lawan dari teologi Mu'tazilah, teologi baru yang kemudian
dikenal dengan nama teologi al-Asy'ari. 
Sebagai lawan dari teologi rasional Mu'tazilah, teologi Asy'ari bercorak tradisional. Corak
tradisionalnya dilihat dari hal-hal berikut :
1. Dalam teologi ini akal mempunyai kedudukan rendah, sehingga kaum Asy'ari banyak terikat
kepada arti lafzi dari teks wahyu. Mereka tidak mengambil arti tersurat dari wahyu untuk
menyesuaikannya dengan pemikiran ilmiah dan falsafi.
2. Karena akal lemah, manusia dalam teologi ini merupakan manusia lemah dekat menyerupai anak
yang belum dewasa, yang belum bisa berdiri sendiri, tetapi masih banyak bergantung pada orang lain
untuk membantunya dalam hidupnya. Teologi ini mengajarkan faham jabariah atau fatalisme, yaitu
percaya kepada kada dan kadar Tuhan. Manusia di sini bersikap statis.
3. Pemikiran teologi al-Asy'ari bertitik tolak dari faham kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan alam
ini diatur Tuhan menurut kehendak mutlakNya dan bukan menurut peraturan yang dibuatnya. Karena
itu hukum alam dalam teologi ini tak terdapat; yang ada ialah kebiasaan alam. Dengan demikian bagi
mereka api tidak sesuai dengan hukum alam, selamanya membakar , tetapi biasanya membakar sesuai
dengan kehendak mutlak Tuhan.
Jelas teologi tradisional al-Asy'ari ini tidak mendorong pada berkembangnya pemikiran ilmiah dan
filosofis, sebagaimana halnya dengan teologi rasional Mu'taziiah. Sesudah al-Ghazali, teologi
tradisional inilah yang berkembang di dunia Islam bagian Timur. Tidak mengherankan kalau sesudah
zaman al-Ghazali ilmu dan falsafat tak berkembang lagi di Baghdad sebagaimana sebelumnya di
zaman Mu'tazilah dan filosof-filosof Islam.
Di dunia Islam bagian Barat, yaitu di Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya, pemikiran filosofis
masih berkembang sesudah serangan a1-Ghazali tersebut, Ibn Bajjah (1082-1138) dalam bukunya
Risalah al- Wida' kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa bukanlah akal tetapi al-
dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan malahan menghidupkan pendapat
Mu'tazilah, bahwa akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah
keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta
kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik dan mejauhi perbuatan jahat. Dalam hal-hal ini wahyu
datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu pulau, jauh dari masyarakat
manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu dari Tuhan,
seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina. Tapi Ibn Rusydlah (1126-1198
M) yang mengarang buku Tahufut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali yang
ia uraikan dalam Tahafut al-Falasijah.
Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak mempunyai permulaan dalam zaman, konsep
AI-Ghazali bahwa alam hadis, alam mempunyai permulaan dalam zaman, menurut Ibn Rusyd
mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan,
dengan kata lain, di ketika itu berada dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau
nihil. 
Konsep serupa ini, kata Ibn Rusyd, tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an. Didalam al-Qur'an
digambarkan bahwa sebelum alam diciptakan Tuhan, telah ada sesuatu di sampingNya. Ayat 7 dari
surat Hud umpamanya mengatakan, Dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari
dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan menciptakan langit dan bumi telah ada di samping
Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula, Kemudian la pun naik ke langit sewaktu ia masih
merupakan uap.
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan air serta uap adalah satu. Selanjutnya ayat 30 dari
surat al-Anbia' mengatakan pula, Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat ' bahwa langit
dan bumi (pada mulanya) adalah satu dan kemudian Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup
dari air. 
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan bumi pada mulanya berasal dari unsur yang satu dan
kemudian menjadi dua benda yang berlainan.
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn Rusyd menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan
Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak sesuai dengan
kandungan al-Qur'an. Yang sesuai dengan kandungan al-Qur'an sebenarnya adalah konsep al-Farabi,
Ibn Sina dan filosof-filosof lain. Di samping itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata Ibn Rusyd,
menggambarkan penciptaan bukan dari "tiada", seperti yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada",
seperti yang dikatakan filosof-filosof. Ayat 12 dari surat al-Mu'minun, menjelaskan, Kami ciptakan
manusia dari inti sari, tanah. Manusia di dalam al-Qur'an diciptakan bukan dari "tiada" tetapi dari
sesuatu yang "ada", yaitu intisari tanah seperti disebut, oleh ayat di atas. Falsafat memang tidak
menerima konsep.
penciptaan dari tiada (creatio ex nihilo). "Tiada", kata Ibn Rusyd tidak bisa berobah menjadi "ada",
yang terjadi ialah "ada" berobah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam
bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan menjadi "ada" dalam bentuk bumi. Demikian pula
langit. Dan yang qadim adalah materi asal. Adapun langit dan bumi susunannya adalah baru (hadis ).
Qadimnya alam, menurut penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau ateisme,
karena qadim dalam pemikiran falsafat bukan hanya berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga
berarti sesuatu yang diciptakan dalam keadaan terus menerus, mulai dari zaman tak bermula di masa
lampau sampai ke zaman tak berakhir di masa mendatang. Jadi Tuhan qadim berarti Tuhan tidak
diciptakan, tetapi adalah pencipta dan alam qadim berarti alam diciptakan dalam keadaan terus
menerus dari zaman tak bermula ke zaman tak berakhir . Dengan demikian sungguhpun alam qadim,
alam bukan Tuhan, tetapi adalah ciptaan Tuhan.
Bahwa alam yang terus menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan
juga oleh al-Qur'an. Ayat 47/8 dari surat Ibrahim menyebut: 
Jangan1ah Sangka bahwa Allah akan menyalahi janji bagi rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa dan Maha Pemberi balasan di hari bumi ditukar dengan bumi yang lain dan ( demikian pula)
langit.
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya di hari kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini
dengan bumi yang lain dan demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang lain.
Konsep ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur
susunannya dan menjadi materi asat api, udara, air dan tanah kembali dari keempat unsur ini Tuhan
akan menciptakan bumi dan langit yang lain lagi. Bumi dan langit ini akan hancur pula, dan dari
materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit yang lain dan demikianlah seterusnya tanpa
kesudahan. Jadi pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah
sesuai dengan kandungan al-Qur'an.
Dengan demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filosof dalam
falsafat mereka tentang qadimnya alam. 
Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan pihak al-Ghazali sama-sama memberi
tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan
bukanlah pendapat filosof dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filosof dengan pendapat al-Ghazali.
Mengenai masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd
menjelaskan bahwa para filosof tak pernah mengatakan demikian. Menurut mereka Tuhan
mengetahui perinciannya; yang mereka persoalkan ialah bagaimana Tuhan mengetahui perincian itu.
Perincian berbentuk materi dan materi dapat ditangkap pancaindra, sedang Tuhan bersifat immateri
dan tak mempunyai pancaindra.
Dalam hal pembangkitan jasmani, Ibn Rusyd menulis dalam Tahafut al-Tahafut bahwa filosof-filosof
Islam tak menyebut hal itu. Dalam pada itu ia melihat adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-
Ghazali. Di dalam Tahafut al-Falasifah ia menulis bahwa dalam Islam tidak ada orang yang
berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain ia mengatakan, menurut
kaum sufi, yang ada nanti ialah pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.
Dengan demikian al-Ghazali juga tak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan kaum filosof
dalam pemikiran tentang tidak tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan tidak adanya
pembangkitan jasmani. Ini bukanlah pendapat filosof, dan kelihatannya adalah kesimpulan yang
ditarik al-Ghazali dari filsafat mereka. 
Dalam pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana filosof-filosof Islam lain, menegaskan bahwa antara agama
dan falsafat tidak ada pertentangan, karena keduanya membicarakan kebenaran, dan kebenaran tak
berlawanan dengan kebenaran. Kalau penelitian akal bertentangan dengan teks wahyu dalam al-
Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti ta'wil ada1ah meninggalkan arti lafzi untuk
pergi ke arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan arti tersurat dan mengambil arti tersirat. Tetapi
arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
Antara falsafat dan agama Ibn Rusyd mengadakan harmoni. Dan dalam harmoni ini aka1 mempunyai
kedudukan tinggi. Pengharmonian aka1 dan wahyu ini sampai ke Eropa dan di sana dikenal dengan
averroisme. Sa1ah satu ajaran averroisme ia1ah kebenaran ganda, yang mengatakan bahwa pendapat
falsafat benar sungguhpun menurut agama sa1ah. Agama mempunyai kebenarannya sendiri. Dan
averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasiona1 dan ilmiah di Eropa. 
Tak lama sesudah zaman Ibn Rusyd umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan
kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya tingga1 di sekitar Granada di tangan Banu Nasr. Pada tahun
1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand dari Castilia.
Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulaah pemikiran rasional dan ilmiah
dari dunia Islam bagian barat. 
Di dunia Islam bagian timur, kecuali di ka1angan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat
al-Ghazali bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari pada ja1an
falsafat, terus berkembang. Hilanglah pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah dari dunia Islam sunni
sehingga datang abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang pemikiran,
falsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode berfikir
Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan oleh
pemikir-pemikir pembaruan seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan,dan lain-
lain. 
II. Objek Filsafat Islam
Telah disebutkan bahwa objek filsafat adalah menelaah hakikat tentang Tuhan, tentang
manusia dan tentang segala realitas yang nampak di hadapan manusia. Ada beberapa
persoalan
yang biasa dikedepankan dalam mencari objek filsafat meskipun akhirnya tidak akan lepas
dari
ketiga hal itu, yaitu:
y
D ari apakah benda-benda dapat berubah menjadi lainnya, seperti perubahan oksigen dan
hidrogen menjadi air?
y
Apakah jaman itu yang menjadi ukuran gerakan dan ukuran wujud semua perkara?
y
Apakah bedanya makhluk hidup dengan makhluk yang tidak hidup?
y
Apakah ciri-ciri khas makhluk hidup itu?
y
Apa jiwa itu? Jika jiwa itu ada, apakah jiwa manusia itu abadi atau musnah?
Persoalan- persoalan tersebut membentuk ilmu fisika, kemudian ilmu yang lebih umum
adalah ilmu metafisika. Yaitu, ilmu yang membahas tentang wujud umum, tentang sebab
wujud,
dan tentang sifat zat yang mengadakan.
Kemudian kita dapat membuat obyek pembahasan lagi, yaitu pengetahuan atau pengenalan
itu sendiri, cara-cara dan syarat-syarat kebenaran atau salahnya, dan dari sini maka
keluarlah
ilmu logika (ilmu mantiq) yang tidak ada kemiripannya dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian
kita
melihat kepada akhlak dan apa yang seharusnya diperbuat oleh perorangan, keluarga dan
masyarakat, yang berbeda tingkatan ilmu. Sosiologi lebih menekankan kepada pengertian
tentang gejala-gejala kemasyarakatan dan hubungannya, tanpa meneliti apa yang seharusnya
terjadi.D ari uraian ini, filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan
pada
umumnya.
D engan demikian filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni
pengetahuan
terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha
untuk
menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta
fungsi-
fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam
proses
pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola
pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada
kebenaran ajaran ialah Islam.
IV. Ciri Khas Filsafat Islam
1. Sebagai filsafat religius- spiritual
D ikatakan filsafat religius, karena filsafat Islamtumbuh di jantung Islam, dan tokoh-
tokohnya dididik dengan ajaran- ajaran Islam, ataupun semangat Islam dan hidup dengan
suasana Islam.
Topik- topik yang terkandung dalam filsafat Islam bersifat religius, bermula dengan meng-
esakan Tuhan dan menganalisa secara universal kemudian menggambarkan Allah Yang
Maha
Agungadalah bersifat abstrak dan suci, dimana keesaan mutlak dan kesempurnaan total
bagi-
Nya. Karena, Ia adalah pencipta, menciptakan alam sejak azali, mengatur dan menatanya.
Filsafat religius ini sangat memberikan perhatian kepada jiwa karena dalam jiwa manusia
terdapat Nur dan Ilahi. Filosof Islam berpendapat bahwa ruh merupakan sumber kehidupan
gerak, dan sebagai saran kebahagiaan.
2. Sebagai filsafat rasional
Filsafat rasional sangat bertumpu pada akal dalam menafsirkan problematika ketuhanan,
manusia, dan alam. Karena akal merupakan sesuatu pertama yang diciptakan Allah. Terdpat
dua
tugas akal, pertama bertugas mengendalikan badan dan tingkah laku. Kedua, menerima
pandangan- pandangan inderawi.
Pada kenyataannya para filosof Islam memiliki kecenderungan rasional sejalan dengan
Mu¶tazilah yang mengagungkan akal. Mereka sepakat bahwa dengan akal manusia mampu
membedakan baik dan buruk, bahkan sebelum ada ketentuan agama. Mereka menerapkan
kebebasan berkehendak dan kemerdekaan manusia untuk berbuat. Mereka mengartikan
teks-
teks agama yang tidak sejalan dengan logika.D an untuk mewujudkan itu, mereka
mengadakan
berbagai jenis majelis dan diskusi.
3. Filsafat sinkretis
Adalah filsafat yang memadukan pemikiran atau pendapat antara filosof. Sebagaimana
bangsa Arab yang sebagian besar telah dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani dalam
filosofi
mereka setelah menaklukkan Laut Tengah. Mereka tidak hanya mempelajari bahkan
menterjemahkan dialog dan buku atau karya dari Plato dan Aristoteles. Kedua tokoh inilah
yang
mempengaruhi banyak aliran Islam. Perpaduan ini mempunyai makna penting dalam
sejarah
filsafat Islam, karena ia merupakan titik awal yang melandasi para filosof selanjutnya.
4. Filsafat yang berhubungan kuat dengan ilmu pengetahuan
Filsafat Islam berhubungan kuat dengan ilmu pengetahuan. Karena, dalam kajian filosof
terdapat ilmu pengetahuan dan problematika saintis, dan sebaliknya dalam kajian saintis
terdapat
prinsip dan teori filosofis. Mereka memberikan pemecahan atas masalah fisika, contoh buku
al-
syifa, ensiklopedi filsafat Arab terbesar, karena buku ini berisi logika, fisika, matematika,
dan
metafisika.
Para filosof Islam adalah ilmuwan, diantara mereka ada ilmuwan yang menonjol. Misalnya,
Al- Kindi adalah seorang ilmuwan sebelum menjadi filosof. Ia mengkaji masalah- masalh
sistematis dan fisis.. kemudian, Al- Farabi mempunyai kajian tentang ilmu ukur dan
mekanika.
Sedangkan, Ibnu Sina merupakan ahli kedokteran.
V. Perpindahan Filsafat Islam ke Barat
Perpindahan filsafat Islam ke Barat merupakan sebuah peradaban yang berpindah melalui
kontak dan akulturasi dengan jalan hijrah, peperangan, atau penaklukan. Namun, bagian
terpenting dari yang menyebabkan perpindahan ini adalah :
1. Kontak pribadi
Akibat dari penaklukan Persia, Syam, dan Mesir, orang Kristen Timur dan kaum Muslimin
saling mengadakan kontak. Mereka saling membagi hidup dan menerapkan toleransi
beragama
dalam aktivitas ilmiah, dan dalam peradaban kaum Muslimin. D iantara mereka ada sebagai
dokter, pakar kimia, matematika, dan astronomi.
Sedangkan akibat dari peperangan Salib, memberikan terciptanya kontak langsungantara
orang Kristen Barat dengan kaum Muslimin, yang berlangsung sekitar satu abad atau lebih
(1096- 1204). Kontak ini berpengaruh langsung pada politik, militer, dan sosial.
Namun, ada hubungan yang lebih kuat dan dalam, yaitu kontak antara orang Kristen Barat
dengan kaum Muslimin di Andalusia dan Sisilia, karena mereka mengirimkan sejumla
utusan
untuk menuntut ilmu, khususnya matematika, falak, dan kedokteran.
Orang Yahudi tidak lebih kecil perannya diandingkan dengan pihak Kristen dalam kontak
dengan kaum Muslimin. Mereka hidup bersama kaum Muslimin di Timur dan Barat.
Mereka
dapat menjaga kepercayaan yang diberikan oleh kaum Muslimin. Mereka mempelajari
bahasa
Arab, mempelajari dan menjadi pakar dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan Islam.
Yahudi merupakan salah satu factor dominan bagi penyebaran Islam di Barat. Mereka
menyebarkannya melalui kontak dengan Kristen Barat, atau melalui buku- buku mereka
yang
diterjemahkan kedalam bahasa Latin. Mereka juga menyebarkannya dengan cara
membekali
Barat dengan buku dan sumber- sumber Islam, dengan cara mengambil bagian dalam
penerjemahan yangmana sedang memuncak pada abad pertengahan. Oleh karena itu,
mereka
menjadi benang merah antara Islam dengan Kristen. Bahasa Ibrani meghubungkan bahasa
Arab
dengan bahasa Latin.
2. Penerjemahan
Terjemah merupakan cara terbaik untuk menghubungkan peradaban satu dengan yang
lainnya. Bangsa Arab menekuni terjemahan sekitar tiga abad. Mereka menerjemahkan
buku-
buku dari bahasa Persia, India, Suryani, dan Ibrani.
Toledo dan Palermo merupakan pusat terbesar bagi penerjemahan pada abad ke 12 dan 13.
Toledo merupakan pusat pertama, tempat dikumpulkannya sejumlah sumber- sumber
bahasa
Arab, hal ini berkat orang- orang Yahudi dan hubungan mereka dengan kedua belah pihak.
Sedangkan di Palermo, ibu kota Sisilia, terjadi aktivitas gerakan penerjemahan pada abad
ke- 13,
dibawah perlindungan Raja Frederick II yang ingin menyebarluaskan filsafat Yunani dan
ilmu-
ilmu penegetahuan Islam. Palermo mampu menerjemahkan karangan Arab terbaik, dimana
Ibnu
Rusyd adalah tokoh ternamanya.

MASA DEPAN FILSAFAT ISLAM:

antara cita dan fakta*)

Oleh Mulyadhi Kartanegara

Pengantar

Kata “filsafat Islam” telah lama kita dengar, tetapi apa itu maknanya, lingkup, dan

pandangannya, sepertinya masih harus kita diskusikan. Oleh karena itu dalam paper ini saya

ingin mendiskusikan beberapa topik penting, yaitu: (1) Apa itu filsafat Islam? (2) Peran

filsafat Islam dalam Dunia Modern, (3) Filsafat Islam di Indonesia, dan terakhir (4)

Menyongsong Masa Depan Filsafat Islam. Dengan ini diharapkan pemahamanan kita tentang

filsafat Islam dari sudut cita dan fakta bisa menjadi lebih baik dan bermakna.

1. Apa itu Filsafat Islam?

a. Adakah yang disebut Filsafat Islam?

Dalam buku saya yang berjudul Gerbang Kearifan, saya mendiskusikan beberapa pandangan

sarjana tentang istilah filsafat Islam. Ada yang megatakan bahwa Islam tidak pernah dan

bisa memiliki filsafat yang independen. Adapun filsafat yang dikembangkan oleh para filosof

Muslim adalah pada dasarnya filsafat Yunani, bukan filsafat Islam. Ada lagi yang

mengatakan bahwa nama yang tepat untuk itu adalah filsafat Muslim, karena yang terjadi

adalah filsafat Yunani yang kemudian dipelajari dan dikembangkan oleh para filosof Muslim.

Ada lagi yang mengatakan bahwa nama yang lebih tepat adalah filsafat Arab, dengan alasan

bahwa bahasa yang digunakan dalam karya-karya filosofis mereka adalah bahasa Arab,

sekalipun para penulisnya banyak berasal dari Persia, dan namanama lainnya seperti filsafat

dalam dunia Islam.

Adapun saya sendiri cenderung pada sebutan filsafat Islam (Islamic philosophy), dengan

setidaknya 3 alasan. Pertama: Ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam
telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syari’ah, yang

menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya Pandangan tauhid dan syari’ah ini,

sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai

dengan ajaran pokok Islam tersebut (tawhid) dan pandangan syari’ah yang bersandar pada

ajaran tauhid. Oleh karena itu ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para

filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam

tersebut, sehingga disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof

Muslim.

Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adealah pemerhati flsafat asing yang

kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalanya, maka

tanpa ragu-ragu mereka mengeritiknya secara mendasar. Misalnya, sekalipun Ibn Sina sering

dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengertik pandangan

Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan

menggantikannnya dengan yang lebih baik.

Beberapa tokoh lainnya seperti Suhrawardi, Umar b. Sahlan al-Sawi dan Ibn Taymiyyah,

juga mengeriktik sistem logika Aristotetles. Sementara al-‘Amiri mengeritik dengan pedas

pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan

Islam.

Ketiga, adalah adanya perkembangan yang unik dalam filsafat islam, akibat dari interaksi

antara Islam, sebagai agama, dan filsafat Yunani. Akibatnya para filosof Muslim telah

mengembangkan beberapa isu filsfat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof

Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dsb.

b. Lingkup Filsafat Islam

Berbeda dengan lingkup filsafat modern, filsafat Islam, sebagaimana yang telah

dikembangkan para filosof agungnya, meliputi bidang-bidang yang sangat luas, seperti
logika, fisika, matematika dan metafisika yang berada di puncaknya. Seorang filosof tidak

akan dikatakan filosof, kalau tidak menguasai seluruh cabang-cabang filosofis yang luas ini.

Paper ini disajikan pada acara Ulang tahun Paramadina yang ke XX, di Jakaarta, pada tanggal 23

November 20062

Ketika Ibn Sina menulis al-Syifa’, yang dipandang sebagai karya utama filsafatnya, ia tidak

hanya menulis tentang metafisika, tetapi juga tentang logika, matematika dan fisika. Dan

ia menulisnya sedeikian lengkap pada setiap bidang tersebut, sehingga kita misalnya

memiliki beberapa jilid tentang logika, meliputi pengantar, kategori, analitika priora,

analitika posteriora, topika, dialektika, retorika, sopistika dan poetika. Sedangkan untuk

matematika, ia menulis beberapa jilid meliputi, aritmatika, geometri, astronomi dan

musik. Untuk fisika, ia juga menulis beberapa jilid yang meliputi bidang kosmologi, seperti

tentang langit, meteorologi, kejadian dan khancuran yang menandai semua benda fisik,

tentang batu-batuan (minerologi), tumbuh-tumbuhan (botani), hewan (zoologi), anatomi,

farmakologi, kedokteran dan psikologi. Dan sebagai puncaknya ia menulis tentang

metafisika (al-‘ilm al-ilahi) yang meliputi bidang ketuhanan, malaikat dan akal-akal, dan

hubungan mereka dengan dunia fisik yang dibahas dalam bidang fisika.

Pembicaraan tentang lingkup filsafat Islam ini perlu dikemukakan, berhubung banyaknya

kesalahpahaman terhadapnya, sehingga filsafat Islam dipahami hanya sejauh ia meliputi

bidang-bidang metafisik. Kebanyakan kita hanya tahu Ibn Sina sebagai filosof, dan hanya

mempelajari doktrin dan metode filsafatnya. Sedangkan Ibn Sina sebagai ahli kedokteran,

ahli fisika, atau dengan kata lain sebagai saintis dan metode-metode ilmiah yang

digunakanaanaya sama sekali luput dari perhatian kita. Jarang sekali, kalau tidak dikatakan

tidak ada, sarjana filsafat Islam di negeri ini yang pernah meneliti teori-teorinya tentang

fisika, psikologi, atau geometri, astronomi dan musiknya. Tidak juga kedokterannya yang
sangat dikenal di dunia Barat berkat karya agungnya al-Qanun fi al-Thibb. Hal ini terjadi,

menurut hemat penulis, karena selama ini filsafat hanya dipahami sebagai disiplin ilmu

yang mempelajari hal-hal yang bersifat metafisik, sehingga fisika, matematika, seolah

dipandang bukan sebagai disiplin ilmu-ilmu filsafat.

c. Pandangan Filsafat yang Holistik

Satu hal lagi yang perlu didiskusikan dalam mengenal filsafat Islam ini adalah pandangannya

yang bersifat integral-holistik.Integrasi ini, sebagaimana yang telah saya jelaskan dalam

karya saya yang lain Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik, terjadi pada berbagai

bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Filsafat Islam

mengakui, sebagai sumber ilmu, bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi

rasional dan pengalaman mistik. Dengan kata lain menjadikan indera, akal dan hati sebagai

sumber-sumber ilmu yang sah. Akibatnya terjadilah integrasi di bidang klasifikasi ilmu

antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam divisinya. Demikian juga

integrasi terjadi di bidang metodoogi dan penjelasan ilmiah. Karena itu filsafat Islam tidak

hanya mengakui metode observasi, sebagai metode ilmiah, sebagaimana yang dipahami

secara eksklusif dalam sains modern, tetapi juga metode burhani, untuk meneliti entitasentitas yang
bersifat abstrak, ‘irfani, untuk melakukan persepsi spiritual dengan

menyaksikan (musyahadah) secara langsung entitas-entitas rohani, yang hanya bisa

dianalisa lewat akal, dan terakhir bayani, yaitu sebuah metode untuk memahami teks-teks

suci, seperti al-Qur’an dan Hadits. Oleh karena itu, filsafat Islam mengakui kebasahan

observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan juga wahyu sebagai sumbersumber yang
sah dan penting bagi ilmu.

Hal ini penting dikemukakan, mengingat selama ini banyak orang yang setelah menjadi

ilmuwan, lalu menolak filsafat dan tasawuf sebagai tidak bermakna. Atau ada juga yang

telah merasa menjadi filosof, lalu menyangkal keabsahan tasawuf, dengan alasan bahwa

tasawuf bersifat irrasional. Atau ada juga yang telah merasa menjadi Sufi lalu menganggap
tak penting filsafat dan sains. Dalam pandangan filsafat Islam yang holistik, ketiga bidang

tersebut diakui sebagai bidang yang sah, yang tidak perlu dipertentangkan apa lagi ditolak,

karena ketiganya merupakan tiga aspek dari sebuah kebenaran yang sama. Sangat mungkin

bahwa ada seorang yang sekaligus saintis, filosof dan Sufi, karena sekalipun indera, akal

dan hati bisa dibedakan, tetapi ketiganya terintegrasi dalam sebuah pribadi. Namun,

seandainya kita tidak bisa menjadi sekaligus ketiganya, seyogyanya kita tidak perlu

menolak keabsahan dari masing-masing bidang tersebut, karena dalam filsafat Islam ketiga

unsur tersebut dipandang sama realnya.

2. Peran Filsafat Islam dalam Dunia Modern

a. Menjawab Tantangan Kontemporer 3

Pada saat ini, dalam pandangan saya, umat Islam telah dilanda berbagai persoalah ilmiah

filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Berbagai

teori ilmiah, dari berbagai bidang, fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah, atas nama

metode ilmiah, menyerang fondasi-fondasi kepercayaan agama. Tuhan tidak dipandang

perlu lagi dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Misalnya bagi Laplace (w. 1827),

kehadiran Tuhan dalam pandangan ilmiah hanyalah menempati posisi hipotesa.Dan ia

mengatakan, sekarang saintis tidak memerlukan lagi hipotetsa tersebut, karena alam telah

bisa dijelaskan secara ilmiah tanpa harus merujuk kepada Tuhan. Baginya, bukan Tuhan

yang telah bertanggung jawab atas keteraturan alam, tetapi adalah hukukm alam itu

sendiri. Jadi Tuhan telah diberhentikan sebagai pemelihara dan pengatur alam.

Demikian juga dalam bidang biologi, Tuhan tidak lagi dipandang sebagai pencipta hewanhewan,
karena menurut Darwin (w. 1881), munculnya spesies-spesies hewan adalah karena

mekanisme alam sendiri, yang ia sebut sebagai seleksi alamiah (natural selection).

Menurutnya hewan-hewan harus bertransmutasi sendiri agar ia dapat tetap survive, dan

tidak ada kaitannya dengan Tuhan. Ia pernah berkata, “kerang harus menciptakan

engselnya sendiri, kalau ia mau survive, dan tidak karena campur tangan sebuah agen yang

cerdas di luar dirinya. Oleh karena itu dalam pandangan Darwin, Tuhan telah berhenti
menjadi pencipta hewan.

Dalam bidang psikologi, Freud (w. 1941) telah memandang Tuhan sebagai ilusi. Baginya

bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusialah yang menciptakan Tuhan.

Tuhan, sebagai konsep, muncul dalam pikiran manusia ketika ia tidak sanggup lagi

menghadapi tantangan eksternalnya, serti bencana alam dll., maupun tantangan

internalnya, ketergantungan psikologis pada figur yang lebih dominan. Sedangkan Emil

Durkheim, menyatakan bahwa apa yang kita sebut Tuhan, ternyata adalah Masyarakat itu

sendiri yang telah dipersonifikasikan dari nilai-nilai sosial yang ada. Dengan demikian

jelaslah bahwa, dalam pandangan sains modern Tuhan tidak memiliki tempat yang spesial,

bahkan lama kelamaan dihapus dari wacana ilmiah.

Tantangan yang lain juga terjadi di bidang lain seperti bidang spiritual, ekonomi, rkologi

dll. Tentu saja tantangan seperti ini tidak boleh kita biarkan tanpa kritik, atau respons

kritis dan kreatif yang dapat dengan baik menjawab tantangan-tantangan tersebut secara

rasional dan elegan, dan tidak semata-mata bersifat dogmatis dan otoriter. Dan di sinilah

saya melihat bahwa filsafat Islam bisa berperan sangat aktif dan signifikan.

b. Filsafat sebagai Pendukung Agama

Berbeda dengan yang dikonsepsikan al-Ghazali, di mana filsafat dipandang sebagai lawan

bagi agama, saya melihat filsafat bisa kita jadikan sebagai mitra atau pendukung bagi

agama. Dalam keadaan di mana agama mendapat serangan yang gencar dari sains dan

filsafat modern, filsafat Islam bisa bertindak sebagai pembela atau tameng bagi agama,

dengan cara menjawab serangan sains dan filsafat modern terhadap agama secara filosofis

dan rasional. Karena menurut hemat saya tantangan ilmiah-filosofis harus dijawab juga

secara ilmiah-filosofis dan bukan semata-mata secara dogmatis. Dengan keyakinan bahwa

Islam adalah agama yang menempatkan akal pada posisi yang terhormat, saya yakin bahwa

Islam, pada dasarnya bisa dijelaskan secara rasional dan logis.

Selama ini filsafat dicurigai sebagai disiplin ilmu yang dapat mengancam agama. Ya,
memang betul. Apaalagi filsafat yang selama ini kita pelajari bukanlah filsafat Islam,

melainkan filsafat Barat yang telah lama tercerabut dari akar-akar metafisiknya. Tetapi

kalau kita betul-betul mempelajari filsafat Islam dan mengarahkannya secara benar, maka

filsafat Islam juga adalag sangat potensial untuk menjadi mitra filsafat atau bahwan

pendukung agama. Di sini filsafat bisa bertindak sebagai benteng yang melindungi agama

dari berbagai ancaman dan serangan ilmiah-filosofis seperti yang saya deskrisikan di atas.

Serangan terhadap eksistensi Tuhan, misalnya dapat dijawab dengan berbagai argumen

adanya Tuhan yang telah banyak dikemukakan oleh para filosof Muslim, dari al-Kindi, Ibn

Sina, Ibn Rusyd dll., seperti yang telah saya jelaskan antara lain dalam buku saya

Menembus Batas Waktu. Serangan terhadap wahyu bisa dijawab oleh berbagai teori

pewahyuan yang telah dikemukakan oleh banyak pemikir Muslim dari al-Ghazali, al-Farabi,

Ibn Sina, Ibn Taymiyyah, Ibn Rusyd, Mulla Shadra dll. 4

Demikian juga serangan terhadap validitas pengalaman mistik dan religius, juga telah

dijawab secara mendalam oleh Muhammad Iqbal dalam bukunya Reconstruction of

Religiuous Thought in Islam dan Mehdi Ha’iri Yazdi dalam bukunya The Principle of

Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. Dalam kedua karya ini, Iqbal

dan Yazdi telah mencoba menjelaskan secara filosofis tentang realitas pengalaman religius

dan mistik, dan berusaha menjadikan pengalaman mistik sebagai salah satu sumber ilmu

yang sah. Tentu saja masih banyak hal yang dapat dilakukan filsafat Islam untuk mendukung

agama, yang tidak pada tempatnya untuk dijelaskan secara rinci di sini.

3. Filsafat Islam di Indonesia

a. Masa Lalu

Filsafat Islam belum begitu dikenal di Indonesia, karena memang filsfat Islam baru

diperkenalkan ke publik pada tahun 70-an oleh almarhum Prof. Dr. Harun Nasution dalam

bukunya yang terkenal Falsafah & Mistisime dalam Islam, yang diterbitkan Bulan Bintang

pada tahun 1973. Dalam buku ini pak Harun telah memperkenalkan 6 filosof Muslim yang
terkenal yaitu al-Kindi, al-Razi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn Rusyd, setelah sebelumnya ia

membicarakan tentang “Kontak Pertama antara Islam dan ilmu pengetahuan serta falsafah

Yunani.” Dalam buku ini pak Harun dengan singkat tetapi esensial memperkenalkan biografi

dan ajaran para filosof Muslim tersebut, sehingga para mahasiswa Muslim, khususnya

mahasiswa IAIN di seluruh Indonesia, telah menyadari keberadaan filsafat Islam yang

sebelumnya hampir tidak pernah diperkenalkan kepada mereka. Dan dengan dijadikannya

buku tersebut sebagai buku wajib, maka pak Harun boleh dikata telah berhasil

memperkenalkan filsafat Islam di Indonesia ini.

Tetapi karena buku ini merupakan satu-satunya buku yang digunakan dalam matakuliah

filsafat Islam selama puluhan tahun, maka timbul kesan yang keliru bahwa seakan filsafat

Islam hanya menghasilkan 6 orang filosof sebagaimana yang diperkenalkan oleh Pak Harun

di atas. Untunglah pada tahun 1987 Pustaka Jaya telah menerbitkan sebuah buku

terjemahan yang bagus dan komprehensif tentang filsafat Islam karangan Majid Fakhry yang

berjudul Sejarah Filsafat Islam, yang diterjemahkan oleh saya sendiri, sehingga dengan

demikian sadarlah kita bahwa filsafat Islam telah melahirkan bukan hanya 6 filosof,

sebagaimana yang telah diperkenalkan oleh Pak harun, tetapi puluhan bahkan mungkin

ratusan para filosof yang tidak kalah hebatnya daripada filosof-filosof yang telah

diperkenalkan sebelumnya. Buku ini menjelaskan filsafat Islam dari sudut historis, yang

meliputi paparan tentang perkembangan filsafat sebelum Islam, pada masa awal Islam,

masa pertengahan dan masa modern. Dan buku ini telah menikmati posisi yang penting di

universitas-universitas Islam, sebagai buku daras yang tak ada duanya pada saat itu.

Mahasiswa Muslim sangat diuntungkan dengan kehadiran karya terjemahan ini, karena ia

telah banyak mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut lingkup,

rentangan waktu, ajaran dll. Dengan buku ini pula kita menjadi sadar bahwa ternyata

filsafat Islam tidak berhenti pada Ibn Rusyd sebagaimana dikesankan setelah membaca buku

pak harun, tetapi terus hidup dan berlangsung hingga saat ini.
b. Masa Kini

Yang saya maksud dengan masa kini, adalah kurang lebih periode sepuluh tahun terkahir

dari sekarang. Pada saat ini kita telah menikmati banyak informasi tentang filsafat Islam.

Diterjemahkannya buku yang diedit oleh M.M. Syarif yang berjudul, History of Muslim

Philosophy secara parsial ke dalam bahasa Indonesia telah memperkaya khazanah filsafat

Islam di Indonesia. Tetapi tambahan informasi yang sangat signifikan terjedi setelah

penerbit Mizan menerjemahkan karya besar dalam sejarah filsafat Islam yang diedit oleh

Nasr dan Oliver Leaman, yang berjudul A History of Islamic Philosophy ke dalam bahasa

Indonesia, dengan judul Ensiklopedia Filsafat Islam (dua jilid). Berbagai karya filosofis yang

lebih spesifik (misalnya yang membahas tentang pemikiran para filosof tertentu) juga telah

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, seperti The Philosophy of Mulla Sadra yang

ditulis oleh Fazlur Rahman, yang membahas beberapa aspek dari pemikiran Mulla Shadra,

atau Knowledge and Illumination, karangan Hussein Ziai, yang membicarakan secara khusus

filsafat iluminasi Suhrawardi. Namun sejauh ini, informasi ini lebih bersandar pada

terjemahan dari karya asing, dan bukan karangan sarjana Muslim Indonesia sendiri. Sedikit

sekali karya filsafat Islam yang ditulis oleh para penulis negeri ini. Ada misalnya buku 5

tentang Suhrawardi yang ditulis oleh sdr Amroeni, khususnya kritik Suhrawardi terhadap

filsafat peripatetik,atau yang ditulis oleh M. Iqbal tentang Ibn Rusyd, sebagai bapak

rasionalisme. Namun tulisan-tulisan tersebut masih bersifat studi tokoh, dan pada dasarnya

diadaptasi dari sebuah tesis atau disertasi. Tidak banyak penulis Muslim Indonesia yang

menulis buku pengantar terhadap filsafat Islam yang bersifat independen, kecuali pak

Haidar Bagir dengan Buku Saku Filsafat Islam-nya, dan saya sendiri dengan Gerbang

Kearifan-nya.

4. Menyongsong Masa Depan

a. Rekonstruksi Filsafat Islam

Kita pada dasarnya tidak tahu persis apa yang akan terjadi pada filsafat Islam di masa
depan. Tetapi kita bisa menyongsongnya dengan melakukan beberapa kegiatan yang

konstruktif bagi masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Tetapi terus terang saja saya

merasa sedih demi memikirkan betapa sedikitnya usaha-usaha dari para sarjana Muslim di

negeri ini untuk mempersiapkan masa depan filsafat Islam yang lebih baik. Banyak sarjanasarjana
terbaik Muslim, justru lebih tertarik pada filsafat Barat daripada filsafat Islam

sendiri. Nah keadaan inilah yang kemudian mendorong saya untuk menulis beberapa karya

filsafat, bukan saja agar filsafat Islam lebih dikenal, tetapi juga sebagai upaya

merekonstruksi filsafat Islam agar lebih relevan dengan konteks dan tuntutan masa kini.

Nah dalam rangka mengkonstruksi pemikiran filosofis inilah maka saya mencoba untuk

menulis beberapa karya, seperti yang akan saya uraikan berikut ini.

1). Remapping Filsafat Islam

Tidak banyaknya buku pengantar filsafat Islam telah menyebabkan banyak ketidakjelasan

tentang aspek-aspek apa saja yang diliput dalam filsafat Islam. Oleh karena itu saya merasa

terdorong untuk memetakan kembali (remapping) filsafat Islam, dan untuk itu saya menulis

sebuah buku pengantar filsafat Islam yang berjudul Gerbang Kearifan. Buku kecil ini

dimaksudkan untuk memperkenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya. Sering buku

pengantar filsafat Islam bersifat monolitik, dalam arti hanya membahas satu aspek tertentu

saja dari filsafat Islam, misalnya alirannya saja, sejarahnya saja, atau tokoh-tokohnya saja.

Tidak banyak buku pengantar yang mencoba mengenalkan beberapa aspek filsafat Islam

sekaligus. Nah, karena itu saya mencoba dalam karya kecil ini memperkenalkan filsafat

Islam dalam berbagai aspeknya, seperti aliran-aliran filsafat yang telah dikembangkan di

dunia Islam, seperti Peripatetik, Illuminasionis, Irfani dan Hikmah Muta’aliyyah. Selain

aliran-aliran, karya ini juga mencoba mediskusikan beberapa topik penting dalam filsafat

seperti tentang Tuhan, alam dan manusia. Digambarkan di sini berbagai konsep filosofis

tentang Tuhan, seperti Tuhan sebagai Sebab Pertama, sebagai Wajib al-Wujud, sebagai

Cahaya dan juga sebagai Wujud Murni. Kemudian beberapa pertanyaan kritis diajukan

berkaitan dengan filsafat alam, misalnya, apakah alam dicipta atas kehendak Tuhan atau
keniscayaan logis? Apakah alam abadi atau dicipta dalam waktu? Apakah alam telah

ditentukan secara deterministik atau berkembang secara evolutif? Dan apakah alam diatur

secara langsung oleh Tuhan atau didelegasikan kepada sebab sekunder? Adapun tentang

manusia, maka dibahas di sini manusia sebagai mikrokosmos, manusia sebagai tujuan akhir

penciptaan, manusia sebagai theomorfis dan juga disinggung tentang manusia dan

kebebasan memilihnya.

Selain aspek historis (dalam bentuk aliran-aliran) dan tema-tema utama, Gerbang Kearifan

juga membahas tentang hubungan filsafat dan disiplin ilmu lainnya. Misalnya dijelaskan di

dalamnya, bagaimana hubungan antara filsafat dan sains, filsafat dan agama, serta

hubungan filsafat dan mistisime atau tasawuf. Dan terkahir buku ini juga membicarakan

tentang ladang-ladang potensial yang bisa digarap untuk kajian masa depan filsafat Islam.

Ladang-ladang potensial tersebut antara lain, (1) studi biografis, yang memperkenalkan

ribuan ilmuan-filosof Muslim, (2) studi gnomologis, yang mencoba membahas berbagai karya

hikmah yang pernah dibuat oleh para filosof Muslim, (3) sains Islam, yang sangat penting

dikaji ulang tetapi yang sangat terabaikan, (4) filsafat perenial, yang membahas pemikiran

dari berbagai pemikir Muslim perenial yang umumnya berasal dari Eropa, yang telah banyak

menghasilkan karya-karya besar, dan terakhir (5) filsafat paska-Ibn Rusyd, yang akan

membicarakan perkembangan filsafat Islam setelah masa Ibn Rusyd hingga saat ini. Dengan

demikian jelas, bahwa Gerbang Kearifan berusaha untuk memetakan kembali seluruh hasil

pemikiran filsafat Islam dalam suatu kesatuan yang padu. 6

2) Rekonstruksi Epistemologis

Problem lain yang dihadapi filsafat Islam pada saat ini adalah tidak jelasnya pada

kebanyakan pembaca filsafat Islam di negeri ini tentang bangunan epistemologi Islam.

Banyak kesimpang-siuran yang terjadi dan ketidak-jelasan yang dapat ditemukan di bidang

yang satu ini. Saya sampai pada kesimpulan bahwa sebuah karya yang khusus di bidang ini

untuk merekonstruksi bangunan epistemologi Islam perlu ditulis. Inilah yang mendorong
saya kemudian untuk menulis sebuah karya epistemologi yang berjudul Menyibak Tirai

Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Dalam karya yang terbit pada tahun 2003 ini saya

mencoba untuk merekonstruksi epistemologi Islam dalam 14 bab. Menurut saya adalah

penting untuk pertama-tama mengerti betul apa yang disebut ilmu dalam tradisi Islam dan

bedanya dengan sains. Ilmu dibedakan dengan sains terutama dalam lingkupnya. Sementara

sains modern membatasi lingkupnya hanya pada bidang-bidang fisik-empiris, ilmu dalam

tradisi ilmiah Islam meliputi bukan hanya bidang fisik tetapi juga bidang matematik dan

bahkan metafisik.

Isu lain yang perlu mendapat perhatian juga berkaitan dengan objek ilmu dan metode

ilmiah. Dalam filsafat ilmu modern, objek-objek ilmu dibatasi hanya pada objek-objek fisik,

sedangkan dalam tradisi ilmiah Islam, objek ilmu tidak pernah dibatasi hanya pada objekobjek fisik,
tetapi melebar pada objek-objek matematik dan metafisik. Namun sebelum

berbicata tentang objek-objek non-fisik, maka terlebih dahulu perlu didiskusikan tentang

status ontologis objek-objek non-fisik tersebut, mengingat banyak orang-orang modern yang

merasa ragu akan keberadaan dan realitas mereka. Bagi para filosof Muslim, semua objekobjek ilmu,
baik yang fisik maupun yang non-fisik adalah real, dalam arti nyata dan

memiliki status ontologis yang fundamental. Namun justru karena objek ilmu itu berbedabeda dalam
sifat dasarnya, maka kita juga harus menemukan beberapa metode ilmiah yang

berbeda agar cocok dengan jenis dn sifat dasar objeknya. Observasi tentu sja sangat

berguna untuk meneliti objek-objek yang bersifat fisik tetapi untuk objek-objek yang

bersifat non-fisik maka kita perlu menggunakan metode lain, seperti burhani dan ‘irfani.

Demikian juga untuk memhami naskah-naskah suci, seperti al-Qur’an dan hadits diperlukan

metode lain, yang biasa disebut metode bayani.

Selain isu-isu di atas, filsafat Islam juga, menurut saya, perlu mendiskusikan tentang

realitas pengalaman mistik atau religius, karena sikap skeptik dari banyak kalangan

ilmuwan dan filosof modern terhadapnya. Kita harus bisa menunjukkan secara rasional,

bahwa pengalaman religus (mistik atau kenabian) adalah real, sama realnya dengan

pengalaman indrawi. Dan karena itu bisa untuk dijadikan sebagai sumber yang sah bagi
ilmu, sebagaimana pengalaman indrawi. Selain pengalaman mistik, kita juga perlu

mendiskusikan realitas pewahyuan dan menjelaskan secara rasional kemungkinan

pewahyuan seperti yang dialami oleh para Nabi.

Persoalan lain yang perlu dicermati adalah soal objektivitas ilmu. Sementara ini banyak

kalangan percaya bahwa sains telah mencapai tingkat objektivitas yang demikian tinggi,

sehingga bisa berlaku universal dan bebas nilai. Tetapi peneltian yang cermat,

menunjukkan bahwa objektivitas absolut tidak mungkin bisa dicapai, dan ini terjadi karena

hasil penelitian ilmiah sesungguhnya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman,

kecenderungan bahkan ideologi dan kepercayaan dari ilmuwan-ilmuwan itu sendiri. Seorang

astronom Barat sepeerti Laplace memiliki pemahaman yang sangat berbeda tentang alam

dari astronom Muslim, seperti al-Biruni. Bahkan ketika Darwin dan Rumi percaya kepada

evolusi, namun dalam memberikan keterangan tentang apa yang menyebabkan atau

bertanggung jawab atas terjadinya evolusi tersebut sangat berbeda. Oleh karena itu maka

menurut saya perlu dirumuskan bagaimana pandangan keilmuan yang cocok dengan ajaran

fundamental Islam, sehingga diperoleh kemajuan ilmiah, tetapi tidak bertentangan dengan

kepercayaan agama.

3). Integrasi Ilmu

Hal lain yang perlu dikonstruksi ulang adalah soal integrasi ilmu. Dikotomi yang terjadi

antara ilmu-ilmu agama, di sati pihak, dan ilmu-ilmu umum, di pihak lain telah 7

menimbulkan berbagai masalah keilmuan yang merugikan. Terjadinya penolakan terhadap

keabsahan ilmiah dari keduaanya seringkali terjadi. Oleh karena itu perlu sekali dicari jalan

untuk menjembatani dan mengintegrasikan berbagai aspek keilmuan tersebut dalam suatu

pandangan yang holistik-integral. Untuk menjawab tantangan inilah, maka kemudian saya

mencoba merumuskan integrasi ilmu ini dalam karya saya yang lain yang berjudul Integrasi

Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Maka berbagai aspek integrasi ilmu terus ditelusuri dan

diteliti. Dari penelitian ini maka dirmuskan bahwa sumber dari segala integrasi ilmu ini
tidak lain daripada konsep tawhid, yang merupakan ajaran yang paling fundamental dalam

Islam. Adapun integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum terletak pada kenyataan bahwa

objek dari kedua jenis ilmu tersebut adalah sama, yakni sama-sama sebagai ayat Allah.

Ilmu-ilmu agama telah menjadikan al-Qur’an sebagai objek utama penelitiannya, sedangkan

ilmu-ilmu umum telah menjadikan alam sebagai objek utama, Baik al-Qur’an maupun alam

dipandang dalam tradisi ilmiah Islam sebagai ayat-ayat Allah, hanya saja yang pertama ayat

qawliyyah sedangkan yang kedua kawniyyah. Persoalan sebenarnya timbul ketika ilmu-ilmu

umum berhenti memandang alam sebagai ayat Allah, sementara ilmu-ilmu agama masih

memandang al-Qur’an sebagai ayat Allah. Menurut hemat saya kalau saja kita bisa

memandang alam sebagai ayat Allah dalam penelitian ilmiah kita, maka konflik antara

agama dan sains bisa dihindarkan.

Selain menemukan titik temu antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum, perlu juga

dirumuskan ulang integrasi di berbagai bidang keilmuan, seperti integrasi objek-objek ilmu,

integrasi bidang ilmu, sumber ilmu, dan metode ilmiah, dll..Dalam soal integrasi objek

ilmu, epistemologi Islam tidak membatasi objek ilmu hanya pada objek-objek fisik, tetapi

juga objek-objek non-fisik, dan ini tentu saja didasarkan pada keyakinan para ilmuwan

Muslim pada realitas atau status ontologis dari objek-objek tersebut, baik yang fisik

maupun non-fisik. Dengan diakuinya objek-objek fisik dan non-fisik tersebut, maka mudah

untuk membayangkan adanya integrasi di bidang-bidang atau cabang-cabang ilmu yang

berbeda sifat-sifatnya. Maka dalam karya ini saya menunjukkan adanya integrasi antara

ilmu-ilmi fisika, yang meliputi minerologi, botani, zoologi, anatomi, kedokteran dan

psikologi, ilmu-ilmu matematika, yang meliputi aritmatika, geometri, aljabar, optik, musik

dan astronomi, dan ilmu-ilmu metafisik, yang meliputi, ontologi, teologi, kosmologi,

antropologi dan eskatologi.

Selain pada objek dan bidang ilmu, integrasi juga perlu dirumuskan dalam kaitannya dengan

sumber ilmu. Dalam epistemologi Islam, sumber ilmu tidak dibatasi hanya pada persepsi
inderawi, tetapi juga meliputi penalaran rasional dan persepsi atau pengalaman intuitif,

dan sekaligus juga wahyu. Sumber-sumber yang berbeda ini, sekalipun dapat dibedakan

satu sama lain, tetapi tidak dipandang secara terpisah-pisah melainkan dibingkai dalam

sebuah bangunan yang holistik. Sumber-sumber yang berbeda ini dipandang sama-sama

sahnya sebagai sumber ilmu, sehingga epistemologi Islam memiliki sumber ilmu yang lebih

kaya ketimbang epistemologi Barat yang hanya menerima persepsi indrawi sebagai sumber

yang sah bagi ilmu. Namun integrasi di bidang sumber-sumber ilmu, ini juga harus diikuti

oleh integrasi di bidang metode ilmiah. Adanya objek-objek ilmu yang berbeda sifat

dasarnya, menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Muslim berusaha membangun berbagai metode

ilmiah yang berbeda-beda. Karena metode observasi yang biasa digunakan untuk objekobjek fisik,
tentu saja tidak bisa digunakan untuk meneliti objek-objek akal yang bersifat

abstrak atau immaterial. Tentu untuk itu perlu dicari metode lain yang tepat untuknya.

Dengan demikian maka dalam Integrasi Ilmu ini saya mencoba mendiskusikan sekurangnya

empat macam metode ilmiah yang pernah digunakan oleh para ilmuwan Muslim, yaitu

tajribi (metode eksperimen), burhani (metode logika demonstratif), ‘irfani (metode

intuitif) dan bayani (metode hermeneutik, yang digunakan untuk memahami naskah suci).

b. Reaktualisasi Tradisi Filsafat Islam

1) Membangun Tradisi Ilmiah Baru

Upaya rekonstruksi filsafat Islam seperti yang saya lakukan dalam karya-karya di atas,

tentunya telah memberi sumbangan yang cukup berarti kepada wacana filosofis Islam di

Indonesia. Namun wacana saja, saya anggap tidak akan betul-betul signifikan bagi

perkembangan filsafat di negeri ini. Upaya-upaya yang lebih real dan kongkrit harus terus 8

dilakukan, agar kehadiran dan perkembangan filsafat Islam semakin terasa. Ada setidaknya

dua upaya yang telah saya lakukan: (1) membangun tradisi ilmiah Islam, dan (2) mendirikan

pusat kajian dan informasifilsafat Islam.

Marilah kita mulai dengan yang pertama. Kemajuan yang berati dari ilmu pengetahuan

nampaknya tidak akan betul-betul tercapai sampai suatu bangsa memiliki tradisi ilmiahnya.
Barat maju dalam ilmu dan memberi banyak sumbangan kepada peradaban dunia karena ia

memiliki tradisi ilmiah yang agung. Demikian juga para ilmuwan Muslim pada masa lalu

telah terbukti secara historis meraih prestasi ilmiah yang sangat gemilang dan memberikan

sumbangan yang sangat signifikan kepada peradaban dunia, karena mereka memiliki sebuah

tradisi ilmiah yang mapan dan karakteristik yang berbeda dengan tradisi ilmiah Barat.

Dengan demikian saya sampai pada kesimpulan bahwa tanpa dimilikinya sebuah tradisi

ilmiah tertentu, maka bangsa kita tidak akan mencapai prestasi yang gemilang dalam hal

kemajuan ilmu. Oleh karena itu, upaya yang sungguh-sungguh perlu dilakukan untuk

membangun sebuah tradisi ilmiah tertentu di negeri ini.

Namun untuk mampu mendirikan sebuah tradisi ilmiah yang didambakan tidaklah mudah,

dan kita membutuhkan sebuah model ideal untuk kita tiru. Untuk keperluan itulah maka

saya mencoba, dalam buku saya yang lain Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam, untuk

memberi gambaran yang gamblang tentang bagaimana sebuah tradisi ilmiah dibangun.

Tradisi ilmiah Islam saya pilih sebagai model ideal untuk membangun tradisi ilmiah, karena

pertama tradisi ini lebih cocok kita kembangkan di negeri ini yang berpenduduk mayoritas

Muslim. Kedua karena tradisi ilmiah Barat telah lama diperkenalkan di sini, dan kita

membutuhkan sebuah tradisi ilmiah yang baru sebagai alternatif.

Dalam buku Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam ini saya mencoba memotret tradisi ilmiah

Islam dengan gamblang dengan maksud mencari tahu apa rahasia sukses para ilmuwan

Muslim pada masa kejayaannya, untuk kemudian kita tiru, sehingga terbangunlah sebuah

tradisi ilmiah yang didambakan. Buku ini mencoba menjawab beberapa pertanyaan penting,

yaitu (1) faktor-faktor apa yang telah mendorong pesatnya ilmu pengetahuan di masa

kejayaan Islam? (2) Lembaga-lembaga pendidikan yang bagaimana yang telah bertanggung

jawab atas munculnya ratusan ilmuwan Muslim yang agung di berbagai bidang, dan (3) apa

sistempendidikan yang diterapkan di sana? Selain tiga pertanyaan di atas adalah lagi tiga

pertanyaan yang tidak kalah fundamentalnya yaitu (4) kegiatan-kegiatan ilmiah apa saja
yang telah dilakukan para ilmuwan Muslim sehingga mereka telah melahirkan ratusan ribu

karya ilmiah di berbagai bidang? (5) riser-riset ilmiah yang bagaimana yang mereka lakukan

sehingga mereka berhasil mengembangkan berbagai disiplin ilmiah, baik yang berkenaan

dengan ilmu-ilmu agama (naqliyyah) maupun umum (‘aqliyyah) dan terakhir (6) metodemetode
ilmiah apa saja yang mereka gunakan dalam mempelajarai dan menganalisa

berbagai objek ilmu yang berbeda-beda jenis dan sifat dasarnya?

Dari upaya menjawab pertanyaan-pertanyaan ini maka kita kemudian menjadi tahu apa

yang menjadi kunci sukses mereka. Pertama, faktor-faktor yang mendorong pesatnya ilmu

pengetahuan pada masa itu adalah (1) dorongan religius di mana agama Islam sangat

menekankan pentingnya bagi umat Islam untuk menuntut ilmu, dengan menjadikannya

sebagai kewajiban agama. (2) apresiasi masyarakat yang sangat tinggi terhadap ilmu,

ilmuwan dan buku, dan (3) patronasi yang sangat besar dan tulus dari para penguasa dan

pengusaha terhadap perkembangan ilmu. Sebuah bangsa yang tidak lagi mempedulikan

kewajiban agama dalam menuntut ilmu, tidak adanya apresiasi yang tinggi terhadap ilmu

dan tidak ada pengayoman yang serius terhadap dari para penguasa dan pengusaha

terhadap ilmu, maka di sana sulit dibayangkan ilmu pengetahuan akan mendapat kemajuan.

Selanjutnya tentang lembaga pendidikan yang di bangun pada masa itu, kita jadi mengenal

dua jenis lembaga pendidikan. Pertama lembaga pendidikan formal dan yang kedua

informal. Perdidikan formal berupa madrasah (colleges) yang didirikan para penguasa untuk

mengajarkan ilmu-ilmu agama. Sedangkan lembaga-lembaga informal meliputi banyak

jenis: akademi, perpustakaan, rumah sakit, observatorium, dan zawiyyah. Melalui lembagalembaga
informal ini maka disiplin-disiplin ilmu umum telah dikembangkan dengan baik. 9

Tentang sistem pendidikan, para ilmuwan Muslim telah mengembangkan metode

pengajaran yang khusus, yang sangat berpengaruh pada pesatnya perkembangan ilmu, yaitu

menyalin buku, menghafal dan metode debat yang sangat merangsang daya kritis sang

murid. Bebarapa poin penting yang saya diskusikan antara lain, motivasi mencari ilmu,

yaitu untuk mencari kebenaran, dan bukan sekedar untuk mendapatkan pekerjaan seperti
yang berlaku di negeri ini, menyusun klasifikasi ilmu, sehingga tahu peta ilmu dan saling

hubungan antara bidang, dan kurikulum, yaitu materi-materi apa saja yang harus dipelajari

oleh seorang murid.

Adapun tentang kegiatan ilmiah apa saja yang mereka lakukan, kita kemudian mengenal

beberapa kegiatan ilmiah yang esensial bagi setiap tradisi ilmiah, yaitu memburu

manuskrip, menerjemahkan, membuat komentar atas karya-karya orang-orang terdahulu,

menulis karya-karya orisinal yang bukan saja ekstensif tetapi juga sangan intensif, menyalin

dan mendistribusi buku, rihlah dan khalwat, sebuah upaya untuk mengeksplorasi dunia fisik

dan dunia batin, seminar dan diskusi ilmiah baik yang diselenggarakan di lingkungan istana

atau di tempat kediaman seorang sarjana, melakukan kritik baik yang bersifat ilmiah

(agama maupun umum), sosial dan politik dn terakhir eksperimen-eksperimen yang

menyebabkan ilmuwan-ilmuwan Muslim dipandang sebagai perintis metode eksperiman

dalam kegiatan ilmiah mereka.

Tentang riset-riset ilmiah yang para ilmuwan Muslim lakukan, kita terperangah akan luasnya

bidang yang mereka tekuni. Penelitian atau riset yang mereka lakukan ternyata tidak hanya

ada bidang-bidang ilmu keagamaan sebegaimana yang dikesankan selama ini, tetapi juga

bidang-bidang ilmu rasional yang melipun ilmu-ilmu fisika, matematika dan metafisika.

Ribuan karya telah mereka hasilkan dari penelitian tersebut. Terakhir, berkenaan dengan

metode-metode ilmiah yang mereka gunakan dalam peneliian-penelitian ilmiah mereka.

Dari sini kita tahu bahwa mereka telah menggunakan berbagai metode yang berbeda, sesuai

dengan bidang dan objek yang ditelitinya. Maka setidaknya empat metode telah

teridentifikasa, yaitu, seperti telah disinggung, metode tajribi, burhani, ‘irfani dan bayani.

2) CIPSI dan Masa Depan Filsafat Islam: Implementasi

Selain upaya membangun sebuah tradisi ilmiah, seperti yang dibicarakan di atas, gerakan

yang lebih kongkrit masih perlu dilakukan untuk mengembangkan filsafat Islam di Negeri

ini. Oleh karena itu, saya dan kawan-kawan bertekad mendirikan sebuah lembaga yang bisa
mengaktualkan tradisi ilmiah di atas sebagai implementasi dari citia-cita membangun

sebuah tradisi ilmiah Islam di Indonesia. Oleh karena itulah pada bulan Juli yang lalu, kami

mendirikan Pusat Kajian dan Informasi Filsafat Islam atau Center for Islamic-Philosophical

Studies and Information (CIPSI). Sesuai dengan namanya, maka CIPSI bergerak pada dua

divisi, pertama divisi kajian dan kedua divisi informasi. Divisi kajian meliputi

penerjemahan, kajian dan diskusi, penelitian dan pengajaran. Sedangkan divisi informasi

meliputi database, perpustakaan dan penerbitan.

Sampai saat ini CIPSI baru melakukan beberapa kegiatan ilmiah yang belum seberapa, dan

belum bisa menggarap semua kegitan kedua divisi di atas. Beberapa kegiatan yang telah

dilakukan antara lain (1) mengkoleksi buku-buku klasik, (2) mendata biografi dan karyakarya para
filosof/ilmuwan Muslim (3) menerjemahkan karya-karya terebut dan (4)

menyelenggarakan beberapa kajian/diskusi baik intern maupun ekstern.

(1) Koleksi karya-karya ilmiah.CIPSI berusaha untuk menghidupkan kembali tradisi ilmiah

Islam, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para ilmuwan Muslim. Salah satunya

adalah mengkoleksi karya-karya kasik. Seperti ilmuwan-ilmuwan masa lalu berusaha keras

untuk melakukan pemburuan manusikrip, maka CIPSI juga berusaha untuk menghimpun atau

mengoleksi sebanyak mungkin karya ilmiah yang telah dihasilkan para ilmuwan Muslim dari

masa klasik, abad tengah dan modern. Hingga saat ini CIPSI telah menghimpun sebanyak

110 judul (140 jilid/280 copies) dari karya filosofis bererapa filosof terkenal, dari al-Kindi

hingga Muhammad Taqi Misbah Yazdi. (list karya tersebut dapat dilihat dalam slide

terpisah). Dengan ini maka CIPSI turut melestarikan karya-karya besar

filsafat/mistik/teologis yang sulit sekali diperoleh dan terancam punah kalau tidak ada

usaha-usaha sadar dan terencana untuk melestarikannya. 10

(2) Proyek Pernerjemahan Serial. Menyadari bahwa orang-orang Indonesia tidak bisa secara

umum diharapkan dapat mengerti bahasa Arab dengan baik, maka merupakan suatu

keharusan, dalam rangka mengembangkan filsafat Islam di negeri ini, untuk

menerjemahkan karya-karya utama tersebut ke dalam bahasa Indonesia. Sampai saat ini
CIPSI baru berusaha menerjemahkan sebuah karya inseklopidia dari Ikhwan al-Shafa’ yang

berjudul Rasa’il Ikhwan al-Shafa’. Karya ini memiliki 4 jilid rata-rata 400 halaman, dan

diterjemahkan oleh empat orang penerjemah yang masing-masing menerjemahkan satu

jilid. Jilid pertama dari karya ini membahas tentang matematik (aritmatik, geometri, musik

dan astronomi), dan juga logika. Jilid kedua membahas tentang fisika (meliputi topik

materi dan bentuk, ruang, waktu dan gerak), juga tentang minerologi, botani,, zoologi, dan

astronomi. Jilid ketiga, berkenaan dengan psikologi, dan keempat berkenaan dengan

agama. Hingga saat ini penerjemahan telah mencapai sekitar 40 %. Adapun karya lain yang

tengah dipersiapkan untuk penerjemahan berikutnya adalah al-Shifa karya Ibn Sina, yang

meliputi semua cabang ilmu dan memiliki 10 jilid. Dipilihnya karya-karya yang bersifat

ensiklopedis ini dimaksudkan sebagai contoh yang kongkrit dari model sains Islam

sebagaimana yang telah dikembangkan oleh para ilmuwan Muslim dulu bagi orang-orang

modern.

(3) Database Biografis dan Bibliografis. Selain kegiatan di atas CIPSI juga telah membuat

database berkenaan dengan nama-mana para filosof/ilmuwan Muslim, biografi dan karyakarya
filosofis mereka. Dari pendataan ini, maka hingga saat ini CIPSI telah memiliki daftar

sebanyak 800 orang filosof/ilmuwan, dan memiliki daftar karya filosofis sebanyak lebih dari

2000 karya filsfat dalam berbagai cabang ilmu. Tapi jumlah ini itupun baru diidentifikasi

dari 40 filosof, padahal kita memiliki sekitar 800 filosof, sehingga seiring dengan waktu,

kita sangat potensial untuk memperpanjang daftar karya ini hingga mencapai puluhan atau

ratusan ribu karya. Dan karya-karya inilah yang akan kami usahakan mengoleksinya sehingga

CIPSI diperkirakan akan mengoleksi puluhan atau bahwa ratusan ribu karya filsafat Islam di

perpustakaannya.

(3) Kegiatan berikutnya adalah menyelenggarakan kajian-kajian/diskusi/seminar baik yang

bersifat intern maupun ekstern. Untuk kajian intern CIPSI menyelenggarakan kajian-kajian

intensif tentang beberapa isu yang hangat dan relevan dengan perkembangan zaman

seminggu sekali. Sementara ini materi kajian intern diambil dari buku saya yang segera
akan terbit Nalar Perenial: sebuah Respons terhadap Modernitas. Berbagai isu kontemporer

didiskusikan, seperti tentang Islamisasi Ilmu, masyarakat madani, posisi wanita, tentang

evolusi, pengaruh mistisisme atas fisika baru dan tentang etika lingkungan. Diskusi ini

dimaksudkan sebagai upaya untuk menjawab tantangan-tangan kontemporer dari perspektif

filsfat Islam. Adapun kajian ekstern, telah dilakukann di Mesjid Baitul Ihsan B.I. dengan

tema Reaktualisasi Tradisi Ilmiah Islam. Seminar ini dimungkinkan berkat kerjasama CIPSI

dengan BI. Seminar enam kali pertemuan ini disemarakkan oleh pemikir-pemikir terkemuka

negeri ini yang menjadi pembanding saya dalam setiap pertemuannya. Beberapa seminar

juga telah direncanakan dan kerjasama dengan lembaga lain juga telah digalang.

Selain kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan di atas, CIPSI juga telah memetakan bebrapa

lahan potensial untuk penelitian-pemelitian intensif filsafat Islam di Indonesia di masa

depan. Dan itu akan meliputi peneltian di bidang biografis, gnomologis, sains Islam, filsafat

perenial dan filsafat Islam paska Ibn Rusyd. Diharapkan dengan kegiatan-kegiatan ini CIPSI

akan memberi sumbangan yang signifikan dan menentukan bagi perkembangan dan masa

depan filsafat Islam di negeri ini. Semoga.

Pondok Petir 23 November 2006

Anda mungkin juga menyukai