Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Islam yang memiliki pondasi berupa tauhid (mengesakan Tuhan) dan ilmu pengetahuan
adalah dua hal yang seharusnya tidak boleh dipisahkan oleh umat Muhammad. Islam adalah
agama yang akan membawa manusia menuju akhir yang baik dari perjalanan seorang manusia.
Sedangkan ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mengeksplore, menggali kekayaan yang
tersembunyi di bumi ini.Para pemikir islam, telah mengambil sikap untuk memadukan antara
islam dan ilmu pengetahuan, yang diantara tujuannya adalah mengislamkan ilmu pengetahuan
modern dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam
dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin harus
dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam
metodologinya.
Gagasan untuk memadukan islam dengan ilmu pengetahuan telah tertuangkan secara
sistematis dalam sebuah proyek besar yang disebut sebagai “Islamisasi Ilmu Pengetahuan”.
Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) merupakan sebuah ide atau gagasan
yang muncul pada sekitar awal tahun 80-an. Ide atau gagasan ini pertama kali dicetuskan oleh
Syed Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail R. al-Faruqi. Dalam pandangan al-Faruqi
berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide
islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu
pengetahuan harus mempunyai kebenarannya.Al-Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam
pandangan Islam sebagai kerangkapemikiran metodologi dan cara hidup Islam.
Prinsip-prinsip tersebut ialah:
Keesaan Allah.
1. Kesatuan alam semesta.
2. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
3. Kesatuan hidup.
4. Kesatuan umat manusia.

B. RUMUSAN MASALAH
1.Hubungan Tauhid Dengan Ilmu Pengetahuan?
2.Menjelaskan Konsep Tauhid Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan? 
3.Menjelaskan peran ilmu tauhid dalam ilmu yang lain? 

C. Tujuan Penulisan 
     Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui, mempelajari, dan menambah
wawasan tentang ilmu tauhid sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu
kami akan membahas sedikit demi sedikit memberikan ilmu ini dalam makalah islam dan ilmu
pengetahuan. 

1
BAB 11
PEMBAHASAAN

A. Hubungan Tauhid Dengan Ilmu Pengetahuan


Dari segi unsur-unsur kebudayaan, agama merupakan universal cultural, yang artinya
terdapat di setiap daerah kebudayaan dimana saja masyarakat dan kebudayaan itu berada. Salah
satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi akan lenyap
dengan sendirinya. Dengan kata lain, setiap kebudayaan memiliki fungsi. Konsekuensinya, setiap
yang tidak berfungsi akan hilang atau sirna.Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan
tangguh menyatakan eksistensinya,berarti ia mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan
fungsi di masyarakat.(Djamari, 1993:79)
Menurut istilah Agama Islam, Tauhid itu ialah “Keyakinan tentang satu atau Esa-Nya
Tuhan”, dan segala fikiran dan teori berikut dalil-dalilnya yang menjurus kepada kesimpulan
bahwa Tuhan itu satu disebut ilmu Tauhid. Di dalamnya termasuk soalsoal kepercayaan dalam
Agama Islam.
Menurut kaidah atau definisi para ahli, Ilmu Tauhid itu, ialah:

‫ت ْال َعقَا ِئ ِدالدِّي ْنيَِّ ِةبِا َأْل ِدلَّ ِة ْاليَقِي ْنيَِّ ِة‬ ُ ‫ع َْل ٌم يب َُْح‬.
ِ ‫ث فِ ْي ِه ع َْن اثِبَْا‬
Artinya: “Ilmu yang membahas segala kepercayaan keagamaan dengan
menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan”.

Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah mengesakan
Tuhan dan cegahan melakukan tindakan syirik. Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang tidak
dapat dipisahkan, meskipun antara yang satu dengan yang lainnya sangat berbeda. Dalam Al-
Qur’an (Q.S Al-Ikhlas [112]: 1-4). Tauhid mendorong manusia untuk menguasai dan
memanfaatkan alam karena sudah ditundukkan untuk manusia, perintah mengesakan Tuhan
dibarengi dengan cegahan mempersekutukan Tuhan, jika manusia mempersekutukan tuhan
berarti ia dikuasai oleh alam, padahal manusia adalah yang harus menguasai bumi karena bumi
telah ditundukkan oleh Allah.Pengetahuan dalam pandangan Islam sebenarnya hanya satu.
Untuk kepentingan pendidikan, pengetahuan yang satu itu harus diklasifikasikan; klasifikasi
garis besar ialah: pengetahuan yang diwahyukan dan pengetahuan yang diperoleh.Ilmu
pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu adalah teori. Maka isi
ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan; ilmu pendidikan Islam merupakan
kumpulan teori tentang pendidikan berdasarkab ajaranIslam.
Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram tunduk
kepada alam. Menguasai alam, berarti menguasai hukum alam, dan dari hukum alami ini, ilmu
pengetahuan dan teknologi dikembangkan. Sebaliknya, syirik berarti tunduk kepada alam
(manusia dikuasai oleh alam). Dimana akan melahirkanm kebodohan, kemiskinan, dan
keterbelakangan. Jadi, terdapat hubungan timbale balik antara tauhid dengan dorongan
pengembangan ilmu pengetahuan, juga ada hubungan timbal balik antara syirik dengan
kebodohan.Tauhid sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak pada terbentuknya
geneologinya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa Tuhan adalah
pengetahuan tantang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif ilậhi. Pengetahuan
tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara pencipta dan ciptaan,
atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling fundamental dari
kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual. Berilmu pengetahuan menurut Islam lalu sama
dan sebangun maknanya dengan: menyatakan ketertundukan pada tauhid dan elaborasi
pemahaman secara sainstifik terhadap dimensi-dimensi kosmik alam semesta. Itulah sebabnya
Alqur’ankemudian berperan sebagai sumber inteleketualitas dan spiritualitas Islam. Alqur’an

2
berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual,tetapi bagi semua
jenis pengetahuan. Alqur’an sebagai kalam Allah merupakan sumber utama inspirasi pandangan
Muslim tentang keterpaduan sains dan pengetahuan spiritual.Gagasan keterpaduan ini bahkan
merupakan konsekuensi dari gagasan keterpaduan semua jenis pengetahuan.Selanjutnya,
bagaimana antara tauhid dan ilmu pengetahuan berkorelasi sehingga membentuk pondasi agama
islam yang kuat, akan kami paparkan pada penjelasanpenjelasan berikutnya;

1. Keesaan Tuhan Dan Kesatupaduan Kebenaran


Mengakui Ketuhanan Tuhan dan keesaan berarti mengakui kebenaran dan kesatu paduannya.
Keesaan Tuhan dan kesatupaduan kebenaran tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan
aspek-aspek dari satu realitas yang sama. Ini akan menjadi jelas jika kita ingat bahwa kebenaran
adalah satu sifat dari pernyataan tauhid,yaitu bahwa Tuhan itu Esa. Sebab, jika kebenaran itu
tidak satu, maka pernyataan “Tuhan itu Esa” akan bisa dibenarkan, dan pernyataan “sesuatu
benda dan kekuatan lain adalah (juga) Tuhan”. Dengan mengatakan bahwa kebenaran itu satu,
dengan sendirinya menegaskan bahwa Tuhan itu satu, dan tidak ada tuhan lain selain Tuhan,
yang merupakan gabungan dari penafian dan penegasan yang dinyatakan oleh syahadah.La ilaha
illa Allah, tidak ada Tuhan selain Allah.

Sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip:


1. Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas;
2. Kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki;
3. ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan / atau yang bertentangan.

Prinsip yang pertama meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam, karena prinsip ini
menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik.Penyimpangan dari
realitas, atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah cukup untuk membatalkan
sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika pribadi atau sosial, atau pernyataan
tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum Muslim dari opini, yakni dari tindakan membuat
pernyataan yang tak teruji dan tidak dikonfirmasikan, mengenai pengetahuan. Pernyataan yang
tidak dikonfirmasi, menurut al- Qur’an, adalah zhann, atau pengetahuan yang menipu, dan
dilarang oleh Tuhan. Sekecil apa pun obyeknya. Seorang Muslim dapat didefinisikan sebagai
orang yang tidak menyatakan apa-apa kecuali kebenaran, yang tidak mengemukakan apaapa
kecuali kebenaran, sekalipun dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.Menyembunyikan,
mencampurkan kebenaran dengan kesesatan, menilai kebenaran lebih rendah dari kepentingan
sendiri atau kepentingan sanak kerabat dalam Islam sangat dibenci dan juga dikutuk. Prinsip
kedua, yaitu tidak ada kontradiksi yang hakiki, melindunginya dari kontradiksi di satu pihak, dan
dari paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari rasionalisme. Tanpa itu, n.kik ada
jalan untuk lepas dari skeptisisme; sebab suatu kontradiksi yang hakiki mengandung arti bahwa
kebenaran dari masing-masing unsur kontradiksi tidak akan pernah dapat diketahui.Prinsip
ketiga, Tauhid sebagai sebuah kesatuan kebenaran, yaitu keterbukaan terhadap bukti baru dan /
atau yang bertentangan, melindungi kaum muslim dari literalisme, fanatisme dan konservatisme
yang mengakibatkan kemandegan.

2. Kebenaran Wahyu Dan Akal


Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi saling
berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun,kepercayaan terhadap
agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari Allah dan akal juga
merupakanpemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran. Syarat-syarat
kesatuan kebenaran menurut al-Faruqi yaitu: pertama,kesatuan kebenaran tidak boleh
bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan firman dari Allah yang pasti cocok dengan

3
realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh
ada pertentangan, prinsip ini bersifat mutlak. Dan ketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak
terbatas dan tidak ada akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan
sifat yang terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.

3. Menuju Interelasi Ilmu dalam Islam


Sebenarnya manusia tidaklah memiliki pengetahuan sama sekali, yang memiliki hanyalah
Allah. Ketika Allah menggelarkan al-Qur’an dan Alam semesta di hadapan manusia, maka
manusia dengan sendirinya ditutut untuk mendapatkan pengetahuan tentang-Nya. Sehingga,
ketika seseorang akan melakukan pembacaan, penelitian, dan menemukan sebuah hukum atau
teori, semua itu dilakukan atas dasar lillahi ta’ala. Baginya, segala kegiatan keilmuan yang
dilakukan atas nama Allah yang telah menciptkan manusia dan telah mengajar manusia segala
sesuatu (QS. Al-Alaq : 1, 2,dan 5).Bagi illmuan Muslim, semestinya tidak mendasarkan kegiatan
ilmiahnya semata-mata bersifat kognitif dan skill an sich, melainkan kesemuanya dilakukan atas
dasar niat dan motivasi intrinsiknya yang keluar dari hati nurani (conscience) yang paling dalam
untuk memenuhi aturan-aturan Allah. Sehingga atara science dan con-science merupakan satu
kesatuan dan totalitas yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. (QS. Ali Imran : 79). Ketika
mengembangkan dan menggali konsep teoritis dan praksis,semestinya tidak hanya berhenti pada
the fact tetapi juga the fact behind the fact, pada saat mengemukakan makna ruhani atau
metafisika pada setiap pernyataan fisika.Prinsip Tauhidiiyah ini, tidak memisahkan ilmu
pengetahuan dengan nilai-nilai moral religius. Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu
kesatuan mutlak. Ilmu dan aktivitas keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia
kepada Tuhan.Tidak ada batas antara ilmu dan amal, tidak ada hijab antara ilmu dengan iman.
Implikasinya, seorang berilmu pengetahuan memiliki komitmen terhadap Tuhannya,sekaligus
menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan-Nya. Sehingga ia tumbuh sebagai insan
yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan berbudi, yakin sepenuhnya akan
kemurahan Tuhan yang tidak terbatas, keadilan-Nya yang tidak ada tandingannya, dan hidup
dalam harmoni dengan alam.Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah
makhluq spritual, yangmengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang memiliki
kekuasaan tidak terbatas untuk mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas
Tuhan, yang mampu menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya disetiap saat, dalam ketakjuban
pada keindahan, kedahsyatan dan keharmonisan alam semesta, yang mendasarkan setiap
aktivitasnya pada sinaran “nama-nama” Tuhan. Pemahaman interelasi antara Tuhan, manusia,
dan alam semesta, menjadi sebuah kesadaran mutlak bagi pendidikan dalam mengembangkan
ilmu pengetahuan.Prinsip ini mirip dengan sebutan Chalen E. Westate sebagai “Spritual
Welness”, yang diartikan sebagai suatu perwujudan pribadi yang tercermin dalam keterbukaan
terhadap dimensi kehidupan lainnya. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa ada empat dimensi
“Spritual Welness” ini, (1), Meaning of Life, yaitu berkemampuan mewujudkan dirinya secara
bermakna dalam setiap dimensi hidup secara terpadu danutuh. (2), Intrinsik Value, yaitu
memiliki nilai-nilai intrinsik sebagai perpaduan berprilaku. (3) Trancendence, yakni
berkemampuan untuk mentransendensikan atau melakukan hubungan dengan dimensi yang lebih
luas dan luhur. Dan (4), Community of Shared Values and Support, adalah berkemampuan dalam
melakukan hubungan kemasyarakatan dengan dukungan nilai-nilai bersama.

4
B. Konsep Tauhid Dalam Membangun Ilmu Pengetahuan
1. Iman Sebagai Landasan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan dalam Islam merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan
Muslim, khusunya agama yang sangat menghargai Ilmu pengetahuan. Dalam konsep Ilmu
Pengetahuan, Islam menjadikan Iman sebagai dasar utama yang melandasai ilmu, karenanya
kaum Muslim diwajikan beriman dan beramal dengan ilmu. Jika ilmunya salah maka iman dan
amalnya juga akan salah. Al-Faruqi menjelaskan bahwa iman dalam Islam tidaklah sama dengan
iman yang terdapat pada agama-agama selainnya, karena iman Islam adalah kebenaran yang
diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah mempercayai apa saja.
Kebenaran-kebenaran atau proposisi-proposisi dari iman bukanlah misteri-misteri, hal-hal yang
sulit dipahami, tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan
rasional.Mengapa iman dijadikan landasan ilmu pengetahuan? karena iman mengandung
pernyataan syahadah yang mencakup kebenaran tauhid, dan adapun kaitannya dengan ilmu
sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an bagaimana tingginya derajat orang-orang berilmu
sehingga disejajarkan kedudukan mereka dengan malaikat, karena dengan ilmunya, mereka
mampu memahami “tidak ada Tuhan selain Allah”.

Al-Faruqi menyimpulkan bahwa iman bukanlah semata-mata suatu kategori etika, karena
sesungguhnya iman merupakan kategori kognitif yang memiliki hubungan dengan pengetahuan
dengan kebenaran dan prosisi-prosisinya. Dan karena sifat dari kandungan proposisionalnya
sama dengan sifat dari prinsip pertama logika dan pengetahuan, metafisika, etika dan estetika,
maka dengan sendirinya dalam diri subyek ia bertindak sebagai cahaya yang menyinari
sesuatu.Seperti yang dipaparkan oleh al-Ghazali, iman adalah suatu visi yang menempatkan
semua data dan fakta dalam perspektif yang sesuai dan perlu bagi pemahaman yang benar atas
mereka.

Maka tauhid dalam perspektif epistemologi al-Faruqi memiliki kelebihan bahwa konsep
tersebut menolak sikap skeptisisme yang telah menjadi prinsip dominan dikalangan terpelajar
dan menjalar dikalangan orang awam. Bahkan melahirkan emperisme yang memunculkan
magisterium dalam kewenangan mengajarkan kebenaran. Dalam hal mana kebenaran yang dicari
melalui jalan empiris dengan konfirmasi ultimatenya lewat pengamatan inderawi dapat
dipatahkan oleh sebuah keyakinan. Tauhid harus dijadikan dalam bentuk keyakinan (faith) yang
dapat menepis semua keraguan dalam kehidupan ini.Hal yang lebih urgen dari pemikiran itu
bahwa al-Faruqi menempatkan konsep dasar tauhid sebagai dasar bagi penafsiran rasional atas
semua fenomena alam semesta sebagai prinsip utama dari akal yang tidak berada pada tataran
non-rasional. Karena prinsip ini bahwa pengakuan Allah sebagai kebenaran (alHaq) itu ada dan
bahwa Dia itu Esa merupakan kebenaran yang dapat diketahui sebagai pernyataan yang dapat
diuji kebenaran serta dapat diketahui oleh manusia. Hal terpenting lainnya bahwa prinsip
epistemologi tauhid dijadikan sebagai kesatupaduan kebenaran dalam menempatkan tesis yang
berseberangan dengan pemahaman yang membutuhkan pengkajian ulang. Karenanya tauhid
menuntut kita untuk mengelaboras pemahan terhadap wahyu sesuai dengan bukti akumulatif
yang diketahui oleh akal pikiran.

2. Sumber Ilmu Pengetahuan

Disamping iman yang dijadikan sebagai dasar keilmuan, Islam menjadikan Wahyu sebagai
sumber utama ilmu. Sebagaimana wahyu pertama (Qs. Al-‘Alaq: 1-5),“Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal
darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan
perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” Dalam

5
menafsirkan kelima ayat di atas, Ibn Katsir menyoroti pentingnya ilmu bagi manusia. Serta
memberikan tekanan pada pembacaan sebagai wahana penting dalam usaha keilmuan, dan
pengukuhan kedudukan Allah ‘azza wajalla sebagai sumber tertinggi ilmu pengetahuan
manusia.Selain itu ayat tersebut memilki arti khusus sebagai epistemologi yang secara mendalam
membahas proses yang terlihat dalam usaha manusia untuk memperoleh ilmu.Oleh karena itu,
penjelasan mengenai sumber-sumber ilmu dalam Islam ditekankan kepada kalam Allah yang
berupa Kitab Suci al-Qur’an. Kedua, Nabi atau Rasulullah Sallallahu ‘Alaihiwasallam sebagai
penerima wahyu, dan merujuk pada Hadits. Al-Faruqi menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan
pesan Ilahi yang suci sehingga kebenarannya terjaga disamping wahyu Islam yang
menggambarkan dirinya sebagai risalah “Al-Din atau agama definitif” dan menunjukkan gagasan
utamanya yaitu Tauhid.

Selain itu Ia menegaskan bahwa al-Qur’an merupakan pusat gagasan mengenai wujud Ilahiah
yang Esa, Mutlak, Transenden, Pencipta, dan Penyebab Penilai segalanya. Maka Relevansinya
dengan ciptaan dikelilingi prinsip-prinsip metodologis yang mengatur tanggapan manusia
terhadap Tuhan, sebagaimana ringkasan berikut ini;

a. Rasionalisme atau penundukan segenap pengetahuan, termasuk pengetahuan agama


terhadap ketentuan akal, penolakan mitos, paradoks, sikap-sikap yang sangat
bertentangan, persetujuan tanpa protes terhadap hujah dan bukti, keterbukaan terhadap
bukti baru dan kesiapan mengubah pengeatahuan dan sikap berdasarkan tuntutan bukti
baru.
b. Humanisme, atau doktrin yang mencakup lima hal; Pertama, manusia dilahirkan tidak
berdosa. Kedua, manusia bebas menentukan nasibnya sendiri. Ketiga, manusia sama di
hadapan Allah. Keempat, manusia pada hakikatnya manusia mampu menilai kebenaran
dan kepaksaan. Kelima, manusia bertanggungjawab atas prbuatannya.
c. Penegasan dunia dan kehidupan atau doktrin bahwa Allah menciptakan kehidupan
untuk menjalaninya, mengembangkannya dan memeliharanya untuk mewujudkan dalam
realisasi diri insani dalam pengetahuan dalam takwa dan ihsan (kesalehan dan kebaikan).
d. Sosietisme, atau doktrin bahwa nilai kosmis manusia terletak dalam keanggotaannya dan
sumbangannya kepada masyarakat manusia.

Dari beberapa prinsip-prinsip metodelogis tersebut, dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an


mencakup lembaga Islam yang meliputi semua bidang aktivitas manusia, aktivitas keagamaan
dan etika, politik dan ekonomi, budaya dan pendidikan, pengadilan dan militer, dan lain
sebagainya. Hal tersebut menandakan bahwa al-Qur’an merukan sumber segala ilmu
pengetahuan dalam peradaban Islam.

Disamping itu, al-Qur’an memerintahkan kaum Muslim untuk mematuhi Nabi dan
menyamakan kepatuhannya kepada Allah.Karena Rasulullah sebagai penerima wahyu, dalam hal
ini merujuk kepada Hadits, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah Sallallahu
‘Alaihi wasallam, baik ucapan, perbuatan, maupun ketetapan yang berhubungan dengan hukum
atau ketentuan-ketentuan Allah Subhanahu wata’ala yang diisyaratkan kepada manusia.
Sehingga dalam pembahasan Hadits atau Sunnah sebagai sumber kedua dalam ilmu
pengetahuan, alFaruqi menyebutkan dua hal dalam membedakan hal-hal yang berasal dari
keNabian serta misinya dan hal-hal yang berasal dari kemanusiaanya. Pertama, diterima sebagai
normatif tanpa ragu-ragu. Kedua, bila tidak ada bukti yang bertentangan, diperlakukan sebagai
sesuatu yang khas dari Nabi sebagai gembala, pedagang, petani, suami, jenderal, negarawan,
paramedis, dan seterusnya. Ditinjau dari perbedaan antara dua hal tersebut, yang pertama
mengandung hal-hal yang menimbulkan hukum dan kewajiban (sunah hukmiyah), dan yang
kedua mengandung hal-hal yang tidak (sunnah ghair hukmyah).

6
Maka dalam wahyu pertama, Allah Subhanahu wata’ala sudah menegaskan bahwasannya
ilmu itu bersumber dari-Nya. Dialah yang mengajarkan kepada manusia apa yang semula tidak
diketauhinya sebagaimana dalam ayat-ayat yang menegaskannya.Ini berarti bahwa setiap yang
berasal dari Allah tertuang dalam al-Qur’an ataupun Sunnah merupakan ilmu dalam Islam
berlaku.

3. Dimensi Tauhid dalam Membetuk Esensi Peradaban Manusia Berilmu

Selain mengetahui landasan dan sumber ilmu, perlu juga memahami dimensi dan prisnsip-
prinsip Tauhid. Karena sifat dari pernyataan tauhid mengakui akan kebenaran sebagaimana
pernyataan syahadah, La ilaha illa Allah, tidak ada Tuhan selain Allah.Dalam rangka
membangun peradaban manusia berilmu yang beresensi tauhid, al-Faruqi menekankan dua
dimensi penting dalam tauhid, yaitu dimensi metodelogis dan dimensi kontentual.

Pertama, dimensi metodelogis yang meliputi tiga prinsip utama, yakni unitas, rasionalisme dan
toleransi. Ketiga prinsip inilah yang menentukan bentuk peradaban Islam;

a. Prinsip Unitas (Kesatuan), bahwa suatu peradaban akan terbangun jika segenap unsur-
unsur peradaban tersebut disatukan, diintegrasikan dan diseleraskan menjadi bangunan
yang utuh. Sebaliknya jika unsur-unsur tersebut tidak menyatu, maka yang terbentuk
adalah campuran unsur yang tidak teratur. Sehingga kesatuan merupakan hal yang
mendasar dalam pembentukan peradaban.
b. Prinsip Rasionalisme, bahwa sebagai prinsip metodelogis, rasionalisme merupakan unsur
pembentuk esensi peradaban Islam. Prinsip ini terdiri dari tiga hukum. Pertama, hukum
rejeki (penolakan) bahwa tidak semua ide sesuai dengan realitas. Kedua, menyangkut
persoalan terakhir (ultimate contradictories). Ketiga, keterbukaan terhadap bukti yang
berlawanan.
c. Prinsip Toleransi, yang merupakan sikap menerima terhadap realitas yang ada atau
tengah terjadi. Maka toleransi relevan dengan prinsip-prinsip epistemologis, relevan
dengan prinsip etika, yang menerima kondisi yang dikehendaki atau tidak dikehendaki.
Sebenarnya toleransi disini merupakan pengakuan bahwa Tuhan tidak akan
meninggalkan umat-Nya tanpa terlebih dahulu mengirim RasulNya di antara mereka,
untuk mengajar bahwa “tidak Tuhan selain Allah”, serta mengajar guna mengabdi
kepada-Nya. Toleransi berfungsi sebagai peringatan kepada umat manusia untuk
melakukan perlawanan terhadap kejahatan dan faktor-faktor penyebabnya. Dalam
perjumpaan antar agama, toleransi juga merubah konfrontasi dan kondemnasi
(pengutukan) terhadap agama lain dalam suatu forum kajian yang kooperatif.

Kedua, dimensi kontentual (isi), bahwa tauhid sebagai esensi perdaban Islam mendasari isi
peradaban Islam itu sendiri, dalam kaitan ini tauhid memiliki fungsi sebagai prinsip utama dalam
epistemologi, di antaranya adalah;

a. Tauhid Sebagai Prinsip Pertama Metafisika


Bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah berarti berpendapat bahwa Dia Pencipta
Yang mewujudkan segalanya. Dialah sebab utama setiap kejadian, dan tujuan akhir
segala yang ada, bahwa Dialah yang Pertama dan Terakhir. Bersaksi dengan kebebasan
dan keyakinan secara sadar memahami isinya, berarti menyadari bahwa segala di sekitar
kita, baik benda atau kejadian, semua yang terjadi di bidang alam, sosial atau psikis
adalah tindakan Tuhan, pelaksanaan dari satu atau lebih tujuan-Nya. Ketika tercipta
realisasi seperti itu menjadi hakikat kedua manusia yang tak dapat dipisahkan darinya
selama terjaga. Sehingga manusia mengikuti inisiatif Tuhan dalam alam yang berarti
melaksanakan ilmu alam.Mengamati inisiatif Ilahiah dalam diri seseorang atau dalam

7
masyarakat berarti mempelajari ilmu kemanusiaan dan ilmu-ilmu sosial. Jadi Tauhid
berarti penafian kekuatan lain yang berlaku dalam alam luar kekuatan Tuhan, yang
inisiatif abadi-Nya merupakan hukum-hukum alam yang tak berubah.344 Dan sisi lain,
hal ini sama saja menafikan setiap inisiatif dalam alam dari kekuatan selain yang melekat
pada alam, seperti magis, sihir, ruh dan gagasan dari berbagai campur tangan semena-
mena oleh perantara ke dalam proses alam. Karena itu Tauhid merupakan penghujatan
bidang alam atas sekularisasi mereka, sehingga Tauhid merupakan lawan dari takhayul
ataupun mitos.
b. Tauhid Sebagai Prinsip Pertama Etika
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan Maha Esa menciptakan manusia dalam bentuk terbaik
utuk menyembah dan mengabdi kepada-Nya. Tauhid juga menegaskan bahwa tujuan ini
termasuk kekhalifahan manusia di muka bumi dengan membebaninya (taklif) tanpa
batasan karena kewajibannya mencakup seluruh alam semesta. Berkat ini, manusia
mengemban kosmis dibawah naungan Ilahiah yang mendorong kepada moral. Hal
tersebutlah yang membedakan antara humanisme Islam dengan humanisme yang lainnya,
seperti peradaban Yunani yang mengembangkan humanisme dengan berlandaskan pada
naturalisme yang berlebihan sehingga mereka menedawakan manusia bahkan tidak
tersinggung ketika dewa-dewanya digambarkan sebagai penipu bahkan pezina.
Maka dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama karena dibangun penuh di
atasnya, karena Islam tidak mengenal pasangan kata yang bertentangan seperti “religius
sekular” karena Islam berprinsip pada keEsaan Tuhan, kesatuan kebenaran dan
kesatupaduan kehidupan dan ini hanya terdapat dalam humanisme tauhid yang asli yang
memberikan penghormatan kepada manusia sebagai manusia dan makhluk tanpa
mendewakannya ataupun menghinanya. Dan Humanisme Tauhid itu sendirilah yang
mendefinisikan nilai manusia dari sisi kebajikannya dan memulai penilaiannya dengan
positif karena karunia fitri yang dianugerahkan Tuhan serta mendefinisikan kebajikan dan
ideal kehidupan manusia dari sisi kandungan alamiah itu sendiri, sehingga menjadi
penegasan kehidupan humanismenya maupun moralnya.
c. Tauhid Sebagai Prinsip Pertama Aksiologi
Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah menciptakan umat manusia agar manusia
dapat membuktikan diri bernilai secara moral melalui perbuatannya. Selain itu Tauhid
menegsakan bahwa Tuhan menempatkan manusia di muka bumi agar manusia
mendiaminya sebagai ladang untuk bekerja keras serta menikmati kebaikan
keindahannya untuk memakmurkan bumi dan dirinya. Penegasan yang sedemikian rupa
inilah yang melahirkan unsur-unsur pembentuk peradaban, dan juga kekuatan sosial yang
diperlukan bagi pertumbuhan dan kemajuan. Namun Tauhid tidak menerima kerahiban,
isolasi, penafian dunia dan asketisisme,karena Islam menyeimbangkan dan
mendisiplinkan pencapaian manusia yang mampu mewujudkan nilai-nilai secara
harmonis, dengan sistem prioritas yang tepat, bukan dengan nafsu dan fanatisme.
Maka moralitas merupakan jaminan penegasan dunia yang menjamin dalam
melahirkan perdaban seimbang, permanen dalam memperbaiki diri. Sehingga jelas sudah
bahwa peradaban sejati tak lain adalah penegasan yang nilai-nilainya tidak bertentangan
dengan kehidupan dan dunia, dengan waktu dan sejarah dengan akal. Moralitas ini hanya
diberikan oleh Tauhid di antara sekian banyak ideologi yang dikenal manusia.
d. Tauhid Sebagai Prinsip Pertama Estetika
Dalam hal ini, Tauhid berarti menyingkirkan Tuhan dari segenap bidang alam, karena
segala yang diciptakan adalah makhluk, nontransenden, tunduk kepada hukum ruang dan
waktu.351 Tauhid menegaskan bahwa tak ada yang menyeruapai-Nya. jelas secara
definisi Dia tak tergambarkan, karena Tuhan bukanlah lembaga estetis apapun yang
mungkin. Yang dimaksud dengan pemahaman estetis adalah pengalaman indrawi akan

8
intisari apriori dan metanatural yang bertindak sebagai prinsip normatif objek yang
dilihat. Dan sejauh ini, seni adalah anggapan untuk menemukan dalam alam apa yang
bukan dari alam. Namun, apa yang dimaksudkan dari alam itu adalah transenden yang
memiliki kualitas Ilahiah dalam kedudukan tersebut. Sehingga keindahan seni apapun
yang diapresiasikan manusia itu normatif, itulah sebabnya manusia menyukai keindahan
yang ditentukan oleh keindahan.

C. Peran Tauhid Dalam Integrasi Ilmu 

1. Tauhid Mengintegrasikan Aspek Ontologi (Sumber Ilmu) 


Sumber-sumber yang berasal dari Allah SWT itu berupa ayat Al-Qur’an (wahyu) merupakan
ayat Allah, ayat kauniyah (hujum-hukum yang ada di jagat raya), ayat insaniah (hukum-
hukum) yang ada di masyarakat, akal pikiran, dan hati nurani. 
2. Tauhid Mengintegrasikan Aspek Epistemologi 
Tauhid juga menyatukan aspek metode atau langkah-langkah dalam penelitian ilmu
pengetahuan.

Berdasarkan sifat dan cara kerjanya, penelitian dibagi lima macam; 


 Penelitian bayani atau ijtihadi. Yaitu penelitian yang ditujukan untuk menggali ajaran
atau hukum-hukum yang terdapat di dalam Al-Qur’an tentang berbagai kehidupan. 
 Penelitian ijbari atau tashkhiri yang dilakukan dengan mengobservasi dan menggali
rahasia yang terkandung dalam alam jagat raya, agar diketahui hukum-hukum, khasiat,
dan hikmahnya guna disusun menjadi ilmu pengetahuan. 
 Penelitian burhani adalah penelitian terhadap manusia dalam berbagai aspeknya.
Misalnya meneliti perilaku transaksi jual beli, tukar-menukar barang dan jasa, yang
menghasilkan ilmu ekonomi; meneliti gejala-gejala jiwa yang di hubungkan dengan
potensi batin yang dimilikinya yang menghasilkan ilmu psikologi, dan seterusnya. 
 Penelitian jadali adalah penelitian terhadap segala sesuatu dari segi hakikat, konsep atau
jiwanya yang dilakukan dengan menggunakan akal pikiran (logika) yang dilakukan
secara mendalam, radikal, universal, sistematis, dan spekulatif, yakni menerawang hingga
batas yang tidak dapat dijangkau lagi. Seperti Tuhan yang menghasilkan filsafat
ketuhanan atau teologi; tentang manusia yang menghasilkan ilmu jiwa; tentang baik
buruk yang menghasilkan etika dan seterusnya. 
 Penelitian irfani, yaitu penelitian yang menggunakan hati nurani (al-qadl) dan mata batin
(al-fu’ad atau al-af’idah) dengan cara dibersihkan melalui taubat, sabar, ikhlas, tawakal,
muraqabah, muhabbah, dan liqa illah. Dengan cara demikian, hatinya menjadi bersih dan
kemudian Allah SWT memberikan cahaya kepada orang tersebut. 

3. Tauhid Mengintegrasikan Aspek Aksiologi 


 Iman erat hubungannya dengan aman, damai, sejahtera, dan terpercaya. Ilmu yang
dihasilkan melalui berbagai riset serta dengan menggunakan segala potensi yang
diberikan oleh Allah, yaitu potensi panca indra dan akal untuk meneliti fenomena alam,
fenomena sosial dan hakikat, serta ditambah dengan menggunakan hati nurani, pada
hakikatnya menggunakan fasilitas Tuhan. Oleh karena itu, hasil penelitian dalam
berbagai ilmu itu harus diabadikan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah dan
mendekatkan diri kepada manusia. 

9
BAB 111

PENUTUP

A. Kesimpulan 
     Dalam struktur ajaran islam tauhid menempati posisi utama yang sangat strategis. Tauhid
mendasari seluruh bangunan ajaran islam baik pada aspek akidah, ibadah, akhlak, maupun
muamalah. 
    Tauhid dalam islam bukanlah tauhid yang dogmatif atau pasif. Yakni bahwa dengan mengakui
atau mengimani keesaan Allah SWT, manusia akan terjamin keselamatan dan kebahagiaan
hidupnya di dunia dan akhirat. Tauhid dalam islam adalah tauhid yang transformatif dan
dinamis, yaitu tauhid yang menjadi energi yang dahsyat bagi timbulnya berbagai kegiatan yang
membawa kebaikan bagi kehidupan manusia. 
    Dengan ajaran tauhid, dapat diketahui bahwa Allah SWT adalah Tuhan yang “Maha Aktif dan
Maha Kreatif”. Yakni menciptakan berbagai hal yang berguna bagi kehidupan manusia. Dengan
demikian, tauhid dapat digunakan sebagai dasar integrasi ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
peradaban dalam islam. 

10
DAFTAR PUSTAKA

Poeradisastra, SI. Sumbangan Islam kepada Ilmu & Peradaban Modern. Cet. II. Jakarta: LP3M,
1986. 
Khallaf, Abd al- Wahhab. ‘Ilmu Ushul al-Fiqh. Cet. IX. Jakarta: al-Majelis al-‘Ala al-
Indonesiyyu lid Da’wah al-Islamiyah, 1396 H/ 1096 M. 
Zakaria, A. Pokok-pokok Ilmu Tauhid. Garut: IBN AZKA Press, 2008. 
Muthahhari, Murtadha. Manusia dan Alam Semesta. Jakarta: PT. Lentera basritama, 2002. 

11

Anda mungkin juga menyukai