Anda di halaman 1dari 8

TAUHID SEBAGAI DASAR PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Muhammad Hajiji Fatah


Fakultas Ushuluddin dan Adab
UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten
haijijfatah17@gmail.com

Abstract

The idea that Tawheed as a concept containing fundamental values that must be used as a
paradigm of Islamic science is a philosophical theological necessity. This is because
monotheism as an Islamic world view is the basis or foundation of Islamic building.
Therefore, science and technology must be built on the correct foundation of the monotheistic
world view.
As a basis for praxis-operational. In general, the relationship of tawhid with science and
technology can be seen based on the view of the tauhid ideology that underlies the
relationship between the two, there are three paradigms. Secular paradigm. the socialist
paradigm, the Islamic paradigm, which is a paradigm that views religion as the basis and
regulator of life. And God is knowledge about the universe as one of the effects of divine
creative action. Knowledge of the relationship between God and the world, between creator
and creation, or between Divine principles and cosmic manifestations, is the most
fundamental basis for the unity between science and spiritual knowledge.

Abstrak

Pemikiran bahwa Tauhîd sebagai konsep yang berisikan nilai-nilai fundamental yang harus
dijadikan paradigma sains Islam merupakan kebutuhan teologis filosofis. Sebab tauhid
sebagai pandangan dunia Islam menjadi dasar atau fundamen bangunan Islam. Oleh karena
itu, sains dan teknologi harus dibangun di atas landasan yang benar dari pandangan dunia
tauhid.
sebagai basis praksis-operasional.Hubungan tauhid dengan sains dan teknologi secara garis
besar dapat dilihat berdasarkan tinjauan ideology tauhid yang mendasari hubungan keduanya,
ada tiga paradigma. Paradigma sekuler. paradigma sosialis, Paradigma Islam, yaitu
paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Dan Tuhan
adalah pengetahuan tantang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif  ilahi.
Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara pencipta dan ciptaan, atau
antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling fundamental dari
kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual.

Keyword : Tauhid, Ilmu Pengetahuan

PENDAHULUAN

Islam yang memiliki pondasi berupa tauhid (mengesakan Tuhan) dan ilmu pengetahuan
adalah dua hal yang seharusnya tidak boleh dipisahkan oleh umat Muhammad. Islam
adalah agama yang akan membawa manusia menuju akhir yang baik dari perjalanan
seorang manusia. Sedangkan ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mengeksplore,
menggali kekayaan yang tersembunyi di bumi ini.
Para pemikir islam, telah mengambil sikap untuk memadukan antara islam dan ilmu
pengetahuan, yang diantara tujuannya adalah mengislamkan ilmu pengetahuan moderen
dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains pasti alam
dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan Islam. Setiap disiplin
harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan prinsip-prinsip Islam dalam
metodologinya.

Gagasan untuk memadukan islam dengan ilmu pengetahuan telah tertuangkan secara
sistematis dalam sebuah proyek besar yang disebut sebagai “Islamisasi Ilmu
Pengetahuan”. Islamisasi ilmu pengetahuan (islamization of knowledge) merupakan
sebuah ide atau gagasan yang muncul pada sekitar awal tahun 80-an. Ide atau gagasan ini
pertama kali dicetuskan oleh Syed Naquib al-Attas dan dipopulerkan oleh Ismail R. al-
Faruqi.

Dalam pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam islamisasi ilmu


pengetahuan, dia mengemukakan ide islamisasi ilmunya berlandaskan pada esensi tauhid
yang memiliki makna bahwa ilmu pengetahuan harus mempunyai kebenarannya.[1] Al-
Faruqi menggariskan beberapa prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka
pemikiran metodologi dan cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:

1. Keesaan Allah.
2. Kesatuan alam semesta.
3. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
4. Kesatuan hidup.
5. Kesatuan umat manusia.

Dalam makalah kali ini, yang ingin dibahas oleh penulis terkait hal tersebut bukan pada
tataran praktis apa-apa saja yang perlu dilakukan dalam merealisasikan proyek besar
tersebut, namun lebih pada mengungkapkan konsep dasar yang melandasinya, yaitu
korelasi antara tauhid dengan ilmu pengetahuan, yang akan bermuara pada pernyataan
“Keesaan Tuhan dan Kesatupaduan Kebenaran Ilmu Pengetahuan”[2], atau dengan kata
lain, penulis menitikberatkan pemaparan dalam makalah ini pada nomer ketiga dari lima
prinsip dasar ilmu pengetahuan, yaitu prinsip “Kesatuan kebenaran dan kesatuan
pengetahuan”.

PEMBAHASAN

Definisi

Tak diragukan lagi bahwa intisari islam adalah tauhid, sebuah komitmen yang
menegaskan bahwa Allah itu Esa, pencipta mutlak lagi utama, Tuhan semesta alam.
Menurut Ismail Raji al-Faruqi, tauhid ini adalah pengikat bagian-bagian islam, yang
menjadikan semua bagian-bagian islam sebagai suatu badan yang integral dan organis
yang kita sebut sebagai peradaban.1

Secara sederhana, tauhid adalah keyakinan dan kesaksian bahwa “tak ada Tuhan
kecuali Allah”. Penafian ini, yang sangat ringkas, memberikan makna sangat kaya dan
agung dalam keseluruhan Islam. Kadang-kadang seluruh kebudayaan, seluruh
Ismail Raji al-Faruqi & Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam; Menjelajah Peradaban
1

khazanah Gemilang, Terj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1998, cet, ke-1), hal. 109
peradaban, atau seluruh sejarah terpadatkan dalam satu kalimat. Inilah kasus dalam
kalimat atau syahadat (kesaksian) Islam. Semua keanekaragaman, kekayaan dan
sejarah, kebudayaan dan pengetahuan, kearifan dan peradaban Islam terpadatkan
dalam kalimat pendek ”Lâ ilâha illallah”.

Sementara ilmu, oleh Imam al-Mahalli didefinisikan sebagai “pengetahuan tentang


sesuatu sebagaimana hakikatnya”.2 Beliau mencontohkan ilmu ini seperti pengetahuan
seseorang yang mendefinisikan manusia sebagai “hayawân an-nâthiq” (hewan
berakal). Dari pengertian tersebut, bisa kita pahami bahwa yang disebut sebagai ilmu
dalam Islam ialah pengetahuan tentang sesuatu menurut hakikatnya, atau dalam istilah
mantiq, ialah pengetahuan yang berasal dari “natijah” tepat dari “muqaddimah
kubra” (premis mayor) dan “muqaddimah shughra” (premis minor) yang sama-sama
tepat pula. Adapun yang dijadikan sebagai alat untuk menganalisa ketepatan
pengetahuan tersebut ialah akal yang sehat. Lebih lanjut, dalam ilmu manthiq
disebutkan bahwa sebuah pengetahuan dapat dikategorikan sebagai “ilmu” ialah
ketika diiringi dengan sebuah keyakinan.3

HUBUNGAN TAUHID DENGAN ILMU PENGETAHUAN

Dari segi unsur-unsur kebudayaan, agama merupakan universal cultural, yang artinya
terdapat di setiap daerah kebudayaan dimana saja masyarakat dan kebudayaan itu
berada. Salah satu prinsip teori fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang
tidak berfungsi akan lenyap dengan sendirinya. Dengan kata lain, setiap kebudayaan
memiliki fungsi. Konsekuensinya, setiap yang tidak berfungsi akan hilang atau sirna.
Karena sejak dulu hingga sekarang agama dengan tangguh menyatakan eksistensinya,
berarti ia mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsi di masyarakat. 4
(Djamari, 1993:79)

Menurut istilah Agama Islam, Tauhid itu ialah “Keyakinan tentang satu atau Esa-Nya
Tuhan”, dan segala fikiran dan teori berikut dalil-dalilnya yang menjurus kepada
kesimpulan bahwa Tuhan itu satu disebut ilmu Tauhid. Di dalamnya termasuk soal-
soal kepercayaan dalam Agama Islam. Menurut kaidah atau definisi para ahli, Ilmu
Tauhid itu, ialah:
.ِ‫ات الْعَقَاِئدِالدِّيْنِيَّةِبِاَأْلدِلَّةِ الْي َ ِقيْنِيَّة‬
ِ َ ‫َن اِثْب‬
ْ ‫ث فِيْهِ ع‬
ُ ‫ح‬ ٌ ْ ‫عَل‬
َ ْ ‫م يُب‬
Artinya: “Ilmu yang membahas segala kepercayaan keagamaan dengan
menggunakan dalil-dalil yang meyakinkan”.

Perintah yang sangat mendasar yang terdapat dalam ajaran Islam adalah mengesakan
Tuhan dan cegahan melakukan tindakan syirik. Tauhid dan syirik adalah dua sisi yang
tidak dapat dipisahkan, meskipun antara yang satu dengan yang lainnya sangat
berbeda. Dalam Al-Qur’an (Q.S Al-Ikhlas [112]: 1-4).
Tauhid mendorong manusia untuk menguasai dan memanfaatkan alam karena sudah
ditundukkan untuk manusia, perintah mengesakan Tuhan dibarengi dengan cegahan
mempersekutukan Tuhan, jika manusia mempersekutukan tuhan berarti ia dikuasai

2
Jalaluddin al-Mahalli, Syarh al-Waraqât (Surabaya : Al-Hidayah, tt), hal. 5
3
Nur al-Ibrahimy, ‘Ilmu al-Manthiq, hal. 7
4
Atang Abd.Hakim. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.h.14-15
oleh alam, padahal manusia adalah yang harus menguasai bumi karena bumi telah
ditundukkan oleh Allah.5
Pengetahuan dalam pandangan Islam sebenarnya hanya satu. Untuk kepentingan
pendidikan, pengetahuan yang satu itu harus diklasifikasikan; klasifikasi garis besar
ialah: pengetahuan yang diwahyukan dan pengetahuan yang diperoleh.
Ilmu pendidikan Islam adalah ilmu pendidikan yang berdasarkan Islam. Isi ilmu
adalah teori. Maka isi ilmu pendidikan adalah teori-teori tentang pendidikan; ilmu
pendidikan Islam merupakan kumpulan teori tentang pendidikan berdasarkab ajaran
Islam.6
Konsekuensi dari tauhid adalah bahwa manusia harus menguasai alam dan haram
tunduk kepada alam. Menguasai alam, berarti menguasai hukum alam, dan dari
hukum alami ini, ilmu pengetahuan dan teknologi dikembangkan. Sebaliknya, syirik
berarti tunduk kepada alam (manusia dikuasai oleh alam). Dimana akan melahirkan
kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Jadi, terdapat hubungan timbale balik
antara tauhid dengan dorongan pengembangan ilmu pengetahuan, juga ada hubungan
timbal balik antara syirik dengan kebodohan.

Tauhid sebagai landasan pijak pengembangan sains dapat dilacak pada terbentuknya
geneologinya konsepsi tentang Tuhan dalam pengertian yang spesifik. Bahwa Tuhan
adalah pengetahuan tantang alam semesta sebagai salah satu efek tindak kreatif ilậhi.
Pengetahuan tentang hubungan antara Tuhan dan dunia, antara pencipta dan ciptaan,
atau antara prinsip Ilahi dengan manifestasi kosmik, merupakan basis paling
fundamental dari kesatuan antara sains dan pengetahuan spiritual.7

Berilmu pengetahuan menurut Islam lalu sama dan sebangun maknanya dengan:
menyatakan ketertundukan pada tauhid dan elaborasi pemahaman secara sainstifik
terhadap dimensi-dimensi kosmik alam semesta. Itulah sebabnya Alqur’ankemudian
berperan sebagai sumber inteleketualitas dan spiritualitas Islam.8

Alqur’an berfungsi sebagai basis bukan hanya bagi agama dan pengetahuan spiritual,
tetapi bagi semua jenis pengetahuan. Alqur’an sebagai kalam Allah merupakan
sumber utama inspirasi pandangan Muslim tentang keterpaduan sains dan
pengetahuan spiritual.30Gagasan keterpaduan ini bahkan merupakan konsekuensi dari
gagasan keterpaduan semua jenis pengetahuan.

Selanjutnya, bagaimana antara tauhid dan ilmu pengetahuan berkorelasi sehingga


membentuk pondasi agama islam yang kuat, akan kami paparkan pada penjelasan-
penjelasan berikutnya.

Keesaan Tuhan Dan Kesatupaduan Kebenaran

Mengakui Ketuhanan Tuhan dan keesaan berarti mengakui kebenaran dan


kesatupaduannya. Keesaan Tuhan dan kesatupaduan kebenaran tidak dapat

5
Atang Abd.Hakim,. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.h.16
6
Ahmad Tafsir.1994.Ilmu Pendidikan Dalam Prespektif Islam.Bandung:PT Remaja Rosdakarya.h.8-
12
7
Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic
Science, terj. Yuliani Liputo dengan Judul“Tauhid dan Sains: Esensi tentang Sejarh dan Filsafat Sains
Islam”[Cet. II; Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995], h. 74
8
Achmad Al-Baiquni, Alqur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, h. 9.
dipisahkan. Keduanya merupakan aspek-aspek dari satu realitas yang sama. Ini akan
menjadi jelas jika kita ingat bahwa kebenaran adalah satu sifat dari pernyataan tauhid,
yaitu bahwa Tuhan itu Esa. Sebab, jika kebenaran itu tidak satu, maka pernyataan
“Tuhan itu Esa” akan bisa dibenarkan, dan pernyataan “sesuatu benda dan kekuatan
lain adalah (juga) Tuhan”. Dengan mengatakan bahwa kebenaran itu satu, dengan
sendirinya menegaskan bahwa Tuhan itu satu, dan tidak ada tuhan lain selain Tuhan,
yang merupakan gabungan dari penafian dan penegasan yang dinyatakan oleh
syahadah.La ilaha illa Allah, tidak ada Tuhan selain Allah.

Sebagai prinsip metodologi, tauhid terdiri dari tiga prinsip:

1. Pertama, penolakan terhadap segala sesuatu yang tidak berkaitan dengan realitas;
2. Kedua, penolakan kontradiksi-kontradiksi hakiki;
3. ketiga, keterbukaan bagi bukti yang baru dan / atau yang bertentangan.

Prinsip yang pertama meniadakan dusta dan penipuan dalam Islam, karena prinsip ini
menjadikan segala sesuatu dalam agama terbuka untuk diselidiki dan dikritik.
Penyimpangan dari realitas, atau kegagalan untuk mengkaitkan diri dengannya, sudah
cukup untuk membatalkan sesuatu item dalam Islam, apakah itu hukum, prinsip etika
pribadi atau sosial, atau pernyataan tentang dunia. Prinsip ini melindungi kaum
Muslim dari opini, yakni dari tindakan membuat pernyataan yang tak teruji dan tidak
dikonfirmasikan, mengenai pengetahuan. Pernyataan yang tidak dikonfirmasi,
menurut al- Qur’an, adalah zhann, atau pengetahuan yang menipu, dan dilarang oleh
Tuhan. Sekecil apa pun obyeknya. Seorang Muslim dapat didefinisikan sebagai orang
yang tidak menyatakan apa-apa kecuali kebenaran, yang tidak mengemukakan apa-
apa kecuali kebenaran, sekalipun dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri.
Menyembunyikan, mencampurkan kebenaran dengan kesesatan, menilai kebenaran
lebih rendah dari kepentingan sendiri atau kepentingan sanak kerabat dalam Islam
sangat dibenci dan juga dikutuk.

Prinsip kedua, yaitu tidak ada kontradiksi yang hakiki, melindunginya dari kontradiksi
di satu pihak, dan dari paradoks di lain pihak. Prinsip ini merupakan esensi dari
rasionalisme. Tanpa itu, n.kik ada jalan untuk lepas dari skeptisisme; sebab suatu
kontradiksi yang hakiki mengandung arti bahwa kebenaran dari masing-masing unsur
kontradiksi tidak akan pernah dapat diketahui.

Prinsip ketiga, Tauhid sebagai sebuah kesatuan kebenaran, yaitu keterbukaan terhadap
bukti baru dan / atau yang bertentangan, melindungi kaum muslim dari literalisme,
fanatisme dan konservatisme yang mengakibatkan kemandegan.

Kebenaran Wahyu Dan Akal

Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak bertentangan tetapi
saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi. Karena bagaimanapun,
kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu merupakan pemberian dari
Allah dan akal juga merupakan pemberian dari Allah yang diciptakan untuk mencari
kebenaran. Syarat-syarat kesatuan kebenaran menurut al-Faruqi yaitu: pertama,
kesatuan kebenaran tidak boleh bertentangan dengan realitas sebab wahyu merupakan
firman dari Allah yang pasti cocok dengan realitas. Kedua, kesatuan kebenaran yang
dirumuskan, antara wahyu dan kebenaran tidak boleh ada pertentangan, prinsip ini
bersifat mutlak. Dan ketiga, kesatuan kebenaran sifatnya tidak terbatas dan tidak ada
akhir. Karena pola dari Allah tidak terhingga, oleh karena itu diperlukan sifat yang
terbuka terhadap segala sesuatu yang baru.9

Menuju Interelasi Ilmu dalam Islam

Sebenarnya manusia tidaklah memiliki pengetahuan sama sekali, yang memiliki


hanyalah Allah. Ketika Allah menggelarkan al-Qur’an dan Alam semesta di hadapan
manusia, maka manusia dengan sendirinya ditutut untuk mendapatkan pengetahuan
tentang-Nya. Sehingga, ketika seseorang akan melakukan pembacaan, penelitian, dan
menemukan sebuah hukum atau teori, semua itu dilakukan atas dasar lillahi ta’ala.
Baginya, segala kegiatan keilmuan yang dilakukan atas nama Allah yang telah
menciptkan manusia dan telah mengajar manusia segala sesuatu (QS. Al-Alaq : 1, 2,
dan 5).

Bagi illmuan Muslim, semestinya tidak mendasarkan kegiatan ilmiahnya semata-mata


bersifat kognitif dan skill an sich, melainkan kesemuanya dilakukan atas dasar niat
dan motivasi intrinsiknya yang keluar dari hati nurani (conscience) yang paling dalam
untuk memenuhi aturan-aturan Allah. Sehingga atara science dan con-science
merupakan satu kesatuan dan totalitas yang bermuara pada jiwa rabbaniyyat. (QS. Ali
Imran : 79). Ketika mengembangkan dan menggali konsep teoritis dan praksis,
semestinya tidak hanya berhenti pada the fact tetapi juga the fact behind the fact, pada
saat mengemukakan makna ruhani atau metafisika pada setiap pernyataan fisika.

Prinsip Tauhidiiyah ini, tidak memisahkan ilmu pengetahuan dengan nilai-nilai moral
religius. Antara ilmu dan etika, kesemuanya adalah satu kesatuan mutlak. Ilmu dan
aktivitas keilmuan merupkan manifestasi dari pengabdian manusia kepada Tuhan.
Tidak ada batas antara ilmu dan amal, tidak ada hijab antara ilmu dengan iman.

Implikasinya, seorang berilmu pengetahuan memiliki komitmen terhadap Tuhannya,


sekaligus menerima sepenuh hati hukum moral yang diberikan-Nya. Sehingga ia
tumbuh sebagai insan yang mencintai perdamaian, dapat hidup selaras, stabil dan
berbudi, yakin sepenuhnya akan kemurahan Tuhan yang tidak terbatas, keadilan-Nya
yang tidak ada tandingannya, dan hidup dalam harmoni dengan alam.

Dengan demikian, selain makhluq rasional, manusia adalah makhluq spritual, yang
mengapresiasikan “titah” Tuhan sebagai khalifah fil ardl, yang memiliki kekuasaan
tidak terbatas untuk mengontrol dan mengatur alam semesta berdasarkan otoritas
Tuhan, yang mampu menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya disetiap saat, dalam
ketakjuban pada keindahan, kedahsyatan dan keharmonisan alam semesta, yang
mendasarkan setiap aktivitasnya pada sinaran “nama-nama” Tuhan. Pemahaman
interelasi antara Tuhan, manusia, dan alam semesta, menjadi sebuah kesadaran mutlak
bagi pendidikan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Prinsip ini mirip dengan sebutan Chalen E. Westate sebagai “Spritual Welness”, yang
diartikan sebagai suatu perwujudan pribadi yang tercermin dalam keterbukaan
terhadap dimensi kehidupan lainnya. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa ada empat
dimensi “Spritual Welness” ini, (1), Meaning of Life, yaitu berkemampuan untuk
9
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Al-munqidz min al-
Dhalal (Damaskus : University Press, 1956), hal. 40-41
mewujudkan dirinya secara bermakna dalam setiap dimensi hidup secara terpadu dan
utuh. (2), Intrinsik Value, yaitu memiliki nilai-nilai intrinsik sebagai perpaduan
berprilaku. (3) Trancendence, yakni berkemampuan untuk mentransendensikan atau
melakukan hubungan dengan dimensi yang lebih luas dan luhur. Dan (4), Community
of Shared Values and Support, adalah berkemampuan dalam melakukan hubungan
kemasyarakatan dengan dukungan nilai-nilai bersama.

KESIMPULAN

1. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan -yang merupakan prinsip ketiga dari
lima prinsip proyek Islamisasi Ilmu pengetahuan- adalah pijakan dasar dari konsep
Keesaan Tuhan dan Kesatupaduan Kebenaran Ilmu Pengetahuan”
2. Iman dalam Islam merupakan sebuah keyakinan yang membuat kebenaran iman sama
kukuhnya dengan kesaksian inderawi, bahkan lebih. Ini sangat berbeda dengan
“iman” kristen, dan beda pula dengan filsafat skeptisisme
3. Keesaan Tuhan dan Kebersatupaduan Kebenaran ialah penegasan akan keesaan
Tuhan dan tunggalnya kebenaran yang berimplikasi pada pernyataan bahwa Tuhan itu
satu, dan tidak ada Tuhan selain-Nya.
4. Antara kebenaran wahyu dan kebenaran akal tidak ada saling bertentangan, bahkan
saling melengkapi.

 
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan terjemahannya.

___________ & Al-Faruqi, Lois Lamya, Atlas Budaya Islam; Menjelajah Peradaban
khazanah Gemilang, Terj. Ilyas Hasan (Bandung : Mizan, 1998, cet, ke-1)

Al-Faruqi, Ismail Raji, Tauhid, Terj. Rahmani Astuti (Bandung : Pustaka, 1988, cet. ke-1)

Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, Ihya Ulum al-Dîn
(Beirut : Dar al-kutub al-‘Ilmiyyah, 2004)

Al-Mahalli,Jalaluddin, Syarh al-Waraqât (Surabaya : Al-Hidayah, tt)

Nur al-Ibrahimy, Muhammad, ‘Ilmu al-Manthiq (Surabaya : Maktabah Sa’d bin Nashir
Nabhan, tt)

Atang Abd.Hakim. 2009. Metodologi Studi Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Osman Bakar, Tawhid and Science: Essays on the History and Philosophy of Islamic
Science, terj. Yuliani Liputo dengan Judul“Tauhid dan Sains: Esensi tentang Sejarh dan
Filsafat Sains Islam”[Cet. II; Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995]

Achmad Al-Baiquni, Alqur’an, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.

Anda mungkin juga menyukai