Anda di halaman 1dari 6

10 TOKOH YANG BERBICARA TENTANG TEOLOGI DI INDONESIA

Dosen Pengampu : Moh ZAKARIA, M.S.i

Disusun Oleh :

KELAS : 1G

MUHAMMAD HANDRI (2202601747)

PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM HAMZANWADI PANCOR

TAHUN AKADEMIK 2023


1. Harun Nasution

Harun Nasution adalah seorang tokoh pemikir ilmu kalam/teologi di mana


beliau memilki beberapa pemikiran-pemikiran terkait dengan masalah ini, di
antaranya yaitu: beliau pernah menulis bahwa Akal Melambangkan Kekuatan
Manusia, hal ini mengartikan bahwa dengan akal lah manusia dapat melakukan
berbagai aktivitas yang berkaitan dengan keperluan hidupnya. Dengan akal
manusia dapat mengalahkan makhluk lain, dan bertambah tingginya akal
manusia maka bertambah tinggi pula kesanggupannya untuk mengalahkan
makhluk lain. Bertambah lemah kekuatan akal manusia, bertambah lemah
pulalah kesanggupannya untuk menghadapi kekuatan-kekuatan lain tersebut.

Beliau juga berpendapat bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat Islam


Indonesia (juga di mana saja) adalah disebabkan “ada yang salah” dalam
teologi mereka, maka dari itu beliau memiliki pemikiran tentang pembaharuan
teologi. Beliaupun berpendapat bahwa ada hubungan antara akal dan wahyu.
Akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam Al-Qur’an, orang yang beriman
tidak perlu menerima bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya. Wahyu
bahkan tidak menjelaskan semua permasalahan keagamaan.

2. H.M. Rasyidi

Corak pemikiran teologi M. Rasyidi dilihat dalam bidang akal danwahyu,


kebebasan manusia dan kekuasaan mutlak Tuhan. Dalam bidang akal dan
wahyu M. Rasyidi berpendapat bahwa akal tidak memiliki kemampuan untuk
menafsirkan wahyu. Dalam bidang kebebasan manusia M. Rasyidi berpendapat
bahwa manusia memilikikebebasan, akan tetapi kebebasan manusia diperoleh
atas kehendakTuhan. Artinya kebebasan manusia dikendalikan oleh Tuhan.

Dalam hal kekuasaan mutlak Tuhan, menurut M. Rasyidi bahwa kekuasaan


Tuhan bersifat absolut. Tuhan memiliki kekuasaan dan kehendak mutlak
terhadap perbuatan manusia dan segala sesuatu yang terjadi dialam
semesta.Dengan demikian corak Pemikiran Rasyidi dalam pemikiran Islam di
indonesia secara teologis bercorak tradisional yang cenderung pada teologi
Asy’ariyah. Dengan menggunakan epistemologi teks wahyu sebagai pedoman
dalam menyelesaikan segala persoalan dan kemaslahatan umat. Akal hanyalah
sebagai alat untuk memperkuat teks wahyu dengan argumen-argumen raional.
3. K.H. Hasyim Asy’ari

Pemikiran teologi K.H. Hasyim Asy’ari sejalan dengan formulasi Asy’ariyah


dan al-Maturidiyah. Formulasi ini berusaha menjembatani antara kelompok
yang meyakini atas kebebasan berkehendak (Qadariyah) dan golongan yang
menyerahkan dirinya pada Tuhan (Jabariyah atau fatalism).

4. K.H Ahmad Dahlan

K.H Ahmad Dahlan salah satu sosok ulama yang karismatik. Sang pembawa
teologi kemajuan yang mendobrak segala tradisi dan pola pikir umat islam
yang jumud dan sempit. Ia berhasil membawa Islam ke arah yang elegan dan
berkemajuan. Selain dikenal dengan sebutan Kiai al-Ma’un, ia juga dijuluki
dengan Kiai al-‘Ashr. Selama ini, hanya teologi Al-Ma’un yang dikaji dan
diterapkan dalam Muhammadiyah, tapi sedikit sekali yang membincangkan
tentang teologi al-‘Ashr.

Walaupun eksplorasi dan elaborasi gagasan Kiai Dahlan lebih banyak dalam
pemikiran Al-Ma’un, dan juga teologi Al-ma’un lebih dulu dari al-‘Ashr. Akan
.tetapi, dalam teologi al-‘Ashr banyak juga mengandung nilai-nilai atau hikmah
positif yang masih bisa diterapkan. Al-Ma’un biasa dikenal dengan ideologi
liberasi, yaitu gerakan untuk membebaskan umat dari keterbelakangan,
kebodohan, dan ketidakberdayaan. Karena itu Muhammadiyah sejak lama telah
melakukan pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan, mengentaskan
kemiskinan, dan menjadikan umat lebih berdaya. Sedangkan teologi al-‘Asr
sendiri menyangkut hubungan dengan Allah (hablum minallah), mengajarkan
agar umat Islam menjadi Muslim sejati yang berakidah Islam secara kaffah,
dan menjadikan manusia makhluk yang ber-insan kamil, sebagaimana yang
didambakan dalam Al-Qur’an. Istilah tauhid menurut Kiai Dahlan ialah iman,
merujuk pada kalimat Al-Qur’an “wa shaddaqa bi al-husnâ,” artinya adalah
orang yang percaya dengan sungguh-sungguh perbedaan antara keutamaan dan
kenistaan. Juga percaya bahwa dirinya, alam semesta, semuanya ada yang
mencipta dan memelihara. Yang dimana puncak dari tauhid/iman tersebut
berdampak pada amal shaleh. Sebaliknya, amal shaleh baik disebabkan oleh
iman yang baik pula.

5. Nurkholis Madjid

Tauhid dalam pemikiran Nurcholish, merupakan sentral dan dari konsep itu ia
transformasikan dalam bentuk pemikiran yang lebih praktis dan aplikatif dalam
kehidupan sosial umat Islam.
Kalimat tauhid (‫ه االهللا‬HH‫ )الال‬mengandung dua ungkapan : peniadaaan (nafyu;
negation) dan pengukuhan (itsbat; affirmation), yakni “tiada tuhan selain
tuhan”. Perkataan “tidak ada tuhan” (dengan “t” kecil) adalah peniadaan , dan
perkataan “melainkan Tuhan” (dengan “T” besar) adalah pengukuhan. Pada
yang pertama, berarti pembebasan manusia dari objek-objek palsu dan
mitologis, yaitu sikap menuhankan kepada selain Allah, maka setelah
kebebasan itu diperoleh, harus diisi dengan kepercayaan yang benar, yakni
ketundukan manusia kepada Tuhan atau Allah.

6. K.H. Siradjuddin Abbas

dalam pemikiran teologi Islam K.H. Siradjuddin Abbas memangdiketahui suatu


tipologi teologi tradisional, tradisional yang paralel denganpemikiran teologi
klasik al-Asy’ariyah (Ahl al-Sunnah wa’l-Jamā’ah). Mereka Sama-sama
menekankan segala suatu serba Tuhan, serba wahyu dan sangat sedikit
menggunakan akal pikiran hal ini ditambah lagi dengan sikap merekayang
menepatkan Tuhan sebagai berkuasa mutlak semutlak-mutlaknya,berbuat
sehendak-Nya. Dengan demikian, teologi K.H. Siradjuddin Abbas yangparalel
dengan teologi klasik al-Asy’ariyah ini nampak kuat berpegang padawahyu dan
bercorak teosentris, dan segalanya bermula dan memusat padaTuhan. Baik atau
buruk semua ditentukan oleh Tuhan. Dengan demikianmemang beralasaan
kalau teologi K.H. Siradjuddin Abbas dikategorikan sebagaiyang
berkarakteristik tradisional, dan kurang sejalan dengan pemikiran modern,yang
bersifat proges.

pemikiran teologi Islam K.H. Siradjuddin Abbas yang bercoraktradisional


kurang aktual dan konstektual untuk keperluan realitas sosialkontemporer bila
yang diharapkan dari pemikiran tersebut adalah sebuah Pemikiran yang
bersifat konseptual aplikatif tetapi secara wacana ‘klasik’ pemikiran teologi
Islam K.H. Siradjuddin Abbas dapat ditempatkan sebagai wacanapemikiran
yang konseptual dengan realitas sosial pada zamanya

7. Prof. Amal

Tentang apa itu Ilmu Kalām, Prof. Amal mendefinisikannya dengan mengutip
sekian banyak pandangan ulama dan expert dalam Ilmu Kalām. Beliau
mengutip Imam al-Baydhāwī dan Imam ‘Adhuddīn al-Ījī: “Ilmu Kalām adalah
ilmu yang (dengannya) dapat meneguhkan keyakinan agama di hadapan orang
lain (selain Muslim) dengan cara menyampaikan hujjah (bantahan rasional) dan
menolak berbagai keraguan.”
Jadi, Kalām menurut para ulama dan Prof. Amal adalah ilmu alat: pengetahuan
yang memuat how to ‘menguatkan keyakinan internal dan membantah
serangan eksternal’. Poin inilah yang berulang-ulang disampaikan oleh Prof.
Amal di dalam kelas: “Ilmu Kalām itu li barhanat ‘alā haqīqati’l-Islam
(meneguhkan kebenaran Islam) wa radd al-syubuhāt (membantah berbagai
upaya musuh dalam meragukan kebenaran Islam).

8. Muhammad Natsir

pandangan Natsir secara rinci tentang tema-tema kajian teologi, melainkan


hanya mengangkat sekelumit mengenai sistem teologi yang dianutnya yang
pada dasarnya dapat dilihat pada pandangannya tentang hubungan antara
wahyu dan akal pikiran serta sikap beliau dalam menghadapi persoalan
kehendak mutlak Tuhan dan kebebasan manusia.

Dalam karyanya, Islam dan Akal Merdeka. Muhammad Natsir mengawali


dengan mengangkat beberapa ayat al-Qur’an yang menunjukkan betapa Islam
menghargai peranan akal pikiran manusia. Natsir mengutip surah Al-Waqi’ah
ayat 58-72, yang antara lain menunjukkan perintah Allah memperhatikan dan
memikirkan tumbuh-tumbuhan yang hidup, api yang menyala, air hujan yang
turun dari langit, demikian pula keterangan dari ayat-ayat lain yang menyuruh
memikirkan tentang hewan-hewan, bumi yang terhampar, langit yang
ditinggikan, gunung yang tegak, awan dan mendung yang bergerak beriringan,
dan disuruh mengambil konklusi tentang kebesaran dan kekuasaan Tuhan.

9. Gus Dur

“Penelitian ini menemukan bahwa perkembangan konteks sosio-kultural


masyarakat akan melahirkan pemikiran teologi Islam yang berbeda-beda,
walaupun ini bukan hanya salah satu alasan. Dan dalam penelitian ini penulis
menemukan bahwa Gus Dur memiliki pandangan teologi Islam yang sesuai
konteks masyarakat Indonesia, yaitu pandangannya tentang pluralisme dan
pribumisasi Islam. Islam di Indonesia menurut Gus Dur adalah Islam yang
khas, Islam yang memiliki budaya tersendiri yang berbeda dan tidak dapat
dipaksakan mengikuti konteks masyarakat di mana Islam dilahirkan. Antara
Islam dan varian-varian lokalitas di Indonesia dapat hidup berdampingan
secara damai, dan masyarakat akan hidup dalam tatanan yang lebih tentram
apabila nilai-nilai Islam dapat diaplikasikan tanpa merusak tata hubungan
dengan masyarakat lain yang berbeda secara keyakinan, suku, ras dan strata
sosial, sehingga teologi kontekstual Gus Dur lebih diarahkan untuk berbicara
masalah HAM (Hak Asasi Manusia) dan pembelaan terhadap kaum minoritas.”

10. Abdul Halim


corak kalam Abdul Halim dapat dimasukkan ke dalam corak pemikiran kalam
rasional dengan ciri-ciri: menempatkan akal pada posisi yang tinggi dengan
tanpa mengabaikan peranan wahyu, kebebasan manusia dalam melakukan
kemauan dan perbuatan, percaya kepada sunnatullah dan kausalitas, dan
menempatkan kedinamisan manusia dalam bersikap dan berpikir.

Anda mungkin juga menyukai