Anda di halaman 1dari 8

Akal dan Wahyu

Disusun untuk memenuhi tugas Pengantar Ilmu Kalam

Dosen Pengampu: Dr. Didin Komarudin, M. Ag

Disusun Oleh:

Ahadiyat Hariri 1211010007

Arif Rahman Hakim 1211010014

Daffa Putra Pratama 1211010021

PROGRAM STUDI S-1 AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG

Jl. A.H. Nasution No.105, Cibiru, Bandung 40614


ABSTRAK

Pembahasan akal dan wahyu adalah bagian terpenting dari teologi Islam, yaitu tentang
mengenal Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang jahat. Pembahasan ini ternyata menjadi
perdebatan panjang antar ulama dari zaman klasik hingga saat ini. Harun Nasution beridrologi
bahwa suatu agama akan mendapatkan kembali vitalitas dan kemampuannya untuk menghadapi
tantangan zaman sekarang, baik memberikan tempat yang terhormat bagi wahyu maupun akal
manusia. Hari ini, banyak Muslim mencoba membatasi kerja akal, sementara menerima wahyu
sebagai satu-satunya kebenaran. Akal adalah karunia dari Tuhan, ini adalah alasan untuk
membedakan manusia dari hewan dan makhluk Tuhan lainnya.

Kata Kunci: Akal dan Wahyu, Pemikiran Harun Nasution, Fungsi Akal dan Wahyu

A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna yang memiliki banyak
kelebihan dibandingkan makhluk ciptaan lainnya. Satu hal yang membuat manusia lebih baik
dari makhluk lain adalah ia dapat berpikir dengan akalnya, karena Allah telah memberikan
manusia alasan mengapa ia dapat memilih, menimbang, dan memutuskan cara berpikir. Islam
sangat mendukung posisi akal.

Dengan akal manusia, kita dapat memahami Al- Qur'an sebagai wahyu yang diturunkan
oleh Nabi Muhammad. Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, persoalan yang dihadapi
umat Islam pada tahun itu menjadi semakin kompleks. Isu-isu yang muncul seperti isu agama,
yakni banyaknya umat Islam yang kembali ke kemusyrikan, politik, sosial budaya dan
kemunduran Islam hingga saat ini. Dasar dan tugas akal adalah menafsirkan apa yang ada
dalam wahyu dengan menggunakan akal untuk memahaminya. untuk panggilan dan
pembaruannya, yaitu untuk membebaskan semangat taqlid. Jelas bahwa peran akal sangat
penting dalam memahami agama atau apa yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, tetapi di
sisi lain akal memiliki batas-batasnya.

Maka dari situlah, akal dan wahyu menjadi pembahasan yang cukup menarik di kalangan
ulama, khususnya di Indonesia. Banyak umat Islam yang tidak memahami akal dan wahyu
dalam Islam, oleh karena itu penulis disini ingin mengkaji pendapat tokoh Harun Nasution
tersebut. yaitu pendekatan akal dan wahyu. Dalam dialog tersebut, refleksi Harun Nasution
tentang akal dan wahyu, fungsi dan hubungan akal dan wahyu, akan memperoleh pemahaman
pengetahuan yang komprehensif tentang akal dan wahyu dalam sikap yang cenderung
memahami diri sendiri.

B. Pembahasan
1. Akal dan Wahyu menurut Harun Nasution

Harun Nasution dilahirkan di Pematang Siantar (Sumatera Utara) pada tanggal 23


September 1919. Ia dilahirkan dari keluarga ulama. Ayahnya bernama Abdul Jabbar Ahmad.
Ia menempuh pendidikan tingginya di Universitas Al-Azhar di Mesir, Universitas Amerika
di Mesir dan Mc. Gill di Kanada. Ia adalah tokoh penting dalam mengembangkan konsep
islam rasional dan memainkan peranan penting dalam jaringan intelektual di Indonesia
terkait perkembangan konsep pemikiran Islam di bidang ilmu kalam.

Harun Nasution adalah seorang penganut aliran Teologi rasional muktazilah yang
memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mengubah tradisi pemikiran keislaman di
Indonesia. Salah satu fokus Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu. Ia
menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya
tidak bertentangan. Wahyu dan akal merupakan dua entitas yang sebenarnya tidak perlu
dipertentangkan secara diametral. Wahyu sebagai tuntunan Ilahi diturunkan tidak lain untuk
membimbing entitas akal menuju jalan yang benar sesuai aturan Tuhan. Di sisi lain, akal
diciptakan Tuhan menjadi Tolak ukur dalam mendefinisikan baik dan buruk.

Menurut Harun Nasution akal berasal dari kata aqala yang artinya mengikat dan
menahan. Arti asli dari aqala adalah mengerti, memahami dan berpikir. Dan wahyu berasal
dari kata al-wahy, yang artinya suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga
mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan. Wahyu itu adalah firman yang tertulis dalam Al-
Qur'an. Al-Qur'anlah yang memberikan penjelasan tentang bagaimana Allah berkomunikasi
dengan para nabi-Nya. Harun Nasution dalam bukunya Akal dan Wahyu dalam Islam,
menjelaskan bahwa Islam berkembang secara historis pada tahun tidak hanya sebagai agama
tetapi juga sebagai budaya. Akal memegang peranan penting tidak hanya dalam bidang
budaya, tetapi juga dalam bidang keagamaan.

Di aliran-aliran teologi Islam, terdapat kontroversi yang signifikan atas pertanyaan akal
dan wahyu, terutama antara Mu 'tazilah, Asyariah dan Maturudiyah. Pertanyaannya adalah
kapasitas akal dan fungsi wahyu tentang keberadaan Tuhan serta tentang kebaikan dan
kejahatan.
Harun Nasution menjelaskan bahwa kaum Mu'tazilah adalah aliran teologi yang
mengutamakan penggunaan akal daripada wahyu sehingga kelompok ini dikenal juga
dengan nama kaum rasionalisme Islam dengan akal manusia dapat mengetahui adanya
Tuhan mengetahui baik dan buruk lakukan kebaikan dan menghindari kejahatan secara garis
besar meskipun wahyu belum sampai kepadanya.

Kaum Asy'ariyah berbeda dari kaum mu'tazilah aliran asy'ariah ini memberi porsi yang
lebih besar kepada Wahyu ketimbang akal menurut aliran ini segala kewajiban manusia
hanya dapat diketahui dengan wahyu.

Kaum Maturidiyah secara umum maturidiyah sama dengan asy'ariah kedua aliran
pemikiran kalam ini sedikit berbeda dalam hal penempatan kedudukan akal dan wahyu
secara umum kalangan maturidiyah berpendapat bahwa akal dapat mengetahui baik dan
buruk, mengetahui Tuhan, dan berterima kasih kepada Tuhan.

2. Hubungan Antara Akal dan Wahyu

Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal dan wahyu
dalam Islam. Harun Nasution menjelaskan bahwa hubungan akal dan wahyu seringkali
menimbulkan pertanyaan, namun keduanya sama sekali tidak bertentangan. Akal memiliki
kedudukan tertinggi di dalam Al-Qur'an. Pada pemikiran Islam, baik dalam bidang filsafat,
ilmu kalam atau bahkan ilmu fiqih. Akal masih tetap tunduk pada wahyu. Akal digunakan
untuk memahami wahyu dan bukan untuk menentangnya.

Akal dan wahyu merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. tetapi dengan wahyu
ilahi dalam kehidupan sekarang ini, membuat kesuksesan materi dan kaya akan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dan itu tidak terlepas dari wahyu Allah SWT agar manusia
tidak lepas kendali akhir-akhir ini. Untuk itu setinggi apapun manusia harus menyadari
bahwa ada yang lebih besar darinya yaitu Allah SWT, dalam agama pada umumnya ada
ajaran yang mutlak benar dan tidak berubah. Pemahaman seperti itu dipengaruhi oleh sikap
mental dan perilaku pemeluk agama ini. Akibatnya, komunitas agama tidak mudah
menerima perubahan dan cenderung mempertahankan tradisi dominan. Dari sini muncul
hipotesis bahwa agama menentang perubahan dan menghambat kemajuan suatu masyarakat.
3. Fungsi Akal dan Wahyu

Akal manusia merupakan anugrah dari Allah Swt yang tidak dapat dibandingkan dengan
manusia. Dengan otaknya, manusia dapat berpikir dan berhubungan dengan apa yang terjadi
di lingkungan alam. juga dapat membedakan antara manusia dengan makhluk lain yang juga
ada di muka bumi ini. Dengan akal, manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk, dan ia dapat membedakan apa yang berbahaya dan apa yang disukainya.

Dengan akal, orang dapat mencoba mengatasi kesulitan apa pun yang mereka hadapi,
membuat rencana dalam hidup mereka, melakukan penelitian dan penelitian untuk akhirnya
membuat orang menjadi makhluk hidup, makhluk transenden di bumi ini.

Karena akal manusia dapat diakui sebagai khalifah di muka bumi, dari sini dapat
dirasakan betapa besar hikmah yang telah dilimpahkan kepada manusia, padahal kita tahu
bahwa hikmah tersebut melimpahkan kepada manusia. Manusia juga memiliki beberapa
keterbatasan karena ada hal-hal yang tidak dapat diperoleh. dijawab dengan akal, misalnya
mengenai hal-hal gaib seperti akhirat, hari kiamat dan lain-lain.

Wahyu menurut Harun Nasution sebagai penolong akal untuk mengetahui akhirat dan
kondisi kehidupan manusia di masa depan. Wahyu juga memberikan akal untuk kesenangan
dan kesulitan yang akan dialaminya nanti. mungkin semua itu sukar dipahami oleh akal,
namun menurut Harun Nasution akal bisa menerima semua itu.

Harun Nasution menambahkan wahyu ini sebagai pemberi informasi kepada akal dalam
pengaturan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip pada wahyu. Dengan mendidik manusia
untuk hidup rukun satu sama lain dan dengan membukakan rahasia cinta yaitu hidup damai
dalam bermasyarakat. Wahyu juga membawa syari'at yang mendorong manusia untuk
menunaikan kewajiban seperti kejujuran, berbuat baik dan lain-lain.
C. Kesimpulan

Akal berasal dari kata aqala yang artinya mengikat dan menahan. Arti asli dari aqala
adalah mengerti, memahami dan berpikir. Dan wahyu berasal dari kata al-wahy, yang
artinya suara, api dan kecepatan. Disamping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat,
tulisan. Wahyu itu adalah firman yang tertulis dalam Al-Qur'an. Al-Qur'anlah yang
memberikan penjelasan tentang bagaimana Allah berkomunikasi dengan para nabi-Nya.
Akal masih tetap tunduk pada wahyu. Akal digunakan untuk memahami wahyu dan bukan
untuk menentangnya. Dengan akal, orang dapat mencoba mengatasi kesulitan apa pun yang
mereka hadapi, membuat rencana dalam hidup mereka, melakukan penelitian dan penelitian
untuk akhirnya membuat orang menjadi makhluk hidup, makhluk transenden di bumi ini.
Wahyu menurut Harun Nasution sebagai penolong akal untuk mengetahui akhirat dan
kondisi kehidupan manusia di masa depan.
D. Daftar Pustaka

Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, 1986

Jamaluddin dan Shabri Shaleh Anwar, ILMU KALAM Khazanah Intelektual Pemikiran dalam

Islam. Indragiri. Com, Tembilahan, 2020.

Harun Nasution, Teologi Islam (Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan), Jakarta: UI

Press, 1986.

M., Afrizal. 2006. Ibn Rusyd : Tujuh Perdebatan Utama dalam Teologi Islam,

Jakarta, Erlangga, 2016.

Abu Yazid, Islam Moderat. Erlangga. Jakarta, 2014.

Anda mungkin juga menyukai