Anda di halaman 1dari 4

Pokok-pokok Pemikiran Kalam Harun Nasution

a. Peranan akal
Bukankah secara kebetulan bila Harun Nasution memilih problematika akal
dalam sistem Muhammad Abduh sebagai bahan kajian disertasinya di Universitas
McGill, Montreal, Kanada. Besar kecilnya peranan dalam sistem teologi suatu
aliran sangat menentukan dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang
ajaran islam. Berkenaan dengan akal ini, Harun Nasution menulis demikian, “Akal
melambangkan kekuatan manusia. Karena dengan akal, manusia mempunyai
kesanggupan untuk menaklukkan kekuatan makhluk lain disekitarnya. Bertambah
tinggi akal manusia, bertambah tinggilah kesanggupannya menghadapi kekuatan-
kekuatan lain tersebut.”
Tema islam agama rasional dan dinamis sangat kuat bergema dalam tulisan-
tulisan Harun Nasution, terutama dalam buku Akal dan Wahyu dalam islam,Teologi
Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan
Teologi Raasional Muhammad Abduh.
Dalam ajaran islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai,
bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja,tetapi juga
dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan islam sendiri. Pemakaian akal
dalam islam diperintahkan Al-Qur’an sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya kalau
ada penulis-penulis, baik dikalangan islam sendiri maupun dikalangan non-islam,
yang berpendapat bahwa islam adalah agama rasional.
b. Pembaharuan teologi
Pembaharuan teologi, yang menjadi predikat Harun Nasution, pada
dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa keterbelakangan dan kemunduran umat
islam adalah disebabkan “ada yang salah” dalam teologi mereka. Pandangan ini
serupa dengan pandangan kaum modernis lain pendahulunya yang memandang
perlu untuk kembali kepada teologi islam yang sejati. Retorika ini mengandung
pengertian bahwa umat islam dengan teologi fatalistik, irasional, pre-determinisme
serta penyerahan nasib telah membawa nasib mereka menuju kesengsaraan dan
keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat islam,
menurut Harun Nasution, umat islam hendaklah mengubah teologi mereka menuju
teologi yang berwatak free-will, rasional, serta mandiri. Tidak heran jika teori
modernisasi ini selanjutnya menemukan teologi dalam khasanah islam klasik
sendiri yakni teologi mu”tazilah.
c. Hubungan akal dan wahyu
Salah satu fokus pemikiran Harun Nasution adalah hubungan antara akal
dan wahyu. Ia menjelaskan bahwa hubungan wahyu dan akal memang
menimbulkan pertanyaan, tetapi keduanya tidak bertentangan. Akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam al-qur”an. Orang yang beriman tidak perlu menerima
bahwa wahyu sudah mengandung segala-galanya . wahyu bahkan tidak
menjelaskan semua permasalahan keagamaan.
Dalam pemikiran islam, baik dibidang filsafat dan ilmu kalam, apalagi
dibidang ilmu fiqih, akal tidak pernah membatalkan wahyu. Akal tetap tetap tunduk
kepada teks wahyu. Teks wahyu tetap dianggap benar. Akal dipakai untuk
memahami teks wahyu dan tidak untuk menentang wahyu. Akal hanya memberi
interpretasi terhadap teks wahyu dengan kecenderungan dan kesanggupan pemberi
interpretai. Yang dipertentangkan dalam sejarah pemikiran islam sebenarnya bukan
akal dengan wahyu, tetapi penafsiran tertentu dari teks wahyu dengan penafsiran
lain dari teks wahyu iti juga. Jadi, yang bertentangan sebenarnya dalam islam
adalah pendapat akal ulama tertentu dengan pendapat akal ulama lain.
d. Baik dan buruk menurut pertimbangan akal
Aliran muktazilah menetapkan bahwa baik dan buruk terdapat pada tiap-tiap
perbuatan. Misalnya, didalam dusta mengandung keburukan-keburukan, sedangkan
jujur mengandung unsur-unsur kebaikan. Kesimpulannya, perintah-perintah dan
larangan-larangan sifat-sifat perbuatan yang dilarang atau diperintah. Akal hanya
mengetahui sifat-sifat tetrsebut, bukan menciptakannya, hanya saja diantara
perbuatan itu ada yang segera diketahui baikatau buruknya tanpa pemikiran
panjang, ada juga perbuatan yang diketahui sifat baik atau buruknya melalui
pemikian panjang.
Golongan muktazilah mengatakan bahwa akal menjadi ukuran norma akhlak
sebelum datangnya syariat. Karena akal dapat membedakan sesuatu yang baik dan
sesuatu yang buruk. Segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal
dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemiiran-pemikiran yang
mendalam. Jadi menurut kaum muktazilah kedua masalah pokok tersebut dapat
diketahui oleh akal.
Sementara aliran Asy’ariyah , Al-Asy’ari sendiri menolak sebagian pendapat
kaum muktazilah. Menurut pendapatkan, segala kewajiban manusia hanya dapat
diketahui melalui wahyu. Menurut Asy-Syahrastani, ahli sunah yaitu kaum
Asy’ariyah mereka berpendapat bahwa kewajiban-kewajiban diketahui dengan
wahyu dan pengetahuan diperoleh dengan akal. Bagi Al-Maturidi, akal dapat
mengetahui tiga persoalan pokok, sedangkan kewajiban berbuat baik dan menjauhi
perbuatan buruk dapat diketahui hanya melalui wahyu. Pendapatnya di terima oleh
pengikutnya di Samarkand. Namun para pengikutnya di bukhara memiliki sedikit
perbedaan tentang persoalan kewajiban mengenai tuhan.
Adapun fungsi wahyu menurut beberapa aliran dijelaskan sebagai berikut
1. Asy’ariyah
Menurutnya, fungsi wahyu besar sekali peranannya karena wahyu
menentukan segalanya, salah satu fungsinya ialah memberi tuntunan
kepada manusia untuk mengatur hidupnya di dunia.
2. Muktazilah
Menurutnya, fungsi wahyu disini ialah penjelasan tentang perincian
hukuman dan upah yang akan diterima manusia di akhirat.
3. Asy-Syahrastani
Menurut pendapatnya, fungsi wahyu ialah mengingatkan manusia akan
kelalaian mereka dan memperpendek jalan untuk mengetahui tuhan.
4. Maturidiyah
Menurut pendapat mereka, fungsi wahyu ialah mengetahui tuhan dan
kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhkan yang jahat.
Sementara menurut harun nasution adalah bertambah besar fungsi yang diberikan
pada wahyu oleh suatu aliran, bertambah kecil daya akal dalam aliran itu. Oleh
karena itu di dalam sistem teologi yang memberikan daya terbesar pada akal dan
fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang mempunyai kekuasaan dan
kemedekaan, tetapi dalam sistem teologi yang memberikan daya terkecil pada akal
dan fungsi terbesar pada wahyu, manusia dipandang lemah dan tidak merdeka. Akal
dn wahyu sebagai sumber pengetahuan manusia, dapat dijelaskan bahwa: akal
adalah untuk memperoleh pengetahuan, dengan memakai kesan-kesan yang
diperoleh pancaindra sebagai bahan pemikiran untuk sampai pada kesimpulan-
kesimpulan.
Mengenai pemakaian akal, aliran muktazilah memberikan daya yang besar pada
akal, aliran matudiriyah samarkand memberikan daya kurang besar dari muktazilah,
tetapi lebih besar daripada maturuduyah bukhara. Sementara itu aliran asy’ariah
memberikan daya terkecil pada akal. Menurut kaum muktazilah, tidak semua yang
baik dan tidak semua yang diburuk diketahui oleh akal. Untuk mengetahui hal itu
akal memerlukan pertolongan wahyu. Oleh karena itu abdul jabbar membagi
perbuatan menjadi beberapa bagian yaitu:
a. Munakir aqliyah (perbuatan yang dicela akal) contoh : tidak adil dan berbuat
durta.
b. Munakir syar’iyah (perbuatan yang dicela oleh syariat dan wahyu) seperti,
mencuri, berzina, minum minuman keras.
Dengan demikian menurut kaum muktazilah wahyu mempunyai dua fungsi yaitu
konfirmasi dan informasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ananda, D. R. (2013, Juni 07 ). ILMU KALAM MASA KINI: HARUN NASUTION, DAN ISMAIL
FARUQI. Retrieved from Pemburu Jejak: http://rizkyel-
guaje.blogspot.com/2013/06/ilmu-kalam-masa-kini-harun-nasution-dan.html

Anwar, R. d. (2001). Ilmu Kalam. Bandung : CV. Pustaka Setia.

Karim, U. (2018). Pemikiran Kalam Harun Nasution. Retrieved from Academia Edu:
https://www.academia.edu/18141426/PEMIKIRAN_KALAM_HARUN_NASUTION

Maslani, R. S. (2018). Ilmu Kalam. Bandung: CV ARMICO.

Anda mungkin juga menyukai