Anda di halaman 1dari 5

C.

Islam dan Ilmu Pengetahuan

1. Kedudukan Ilmu dalam Islam


Ilmu memiliki kedudukan terpenting dalam agama Islam karena ilmu
memiliki beberapa manfaat dan keutamaan bagi setiap manusia yang mencari
dan mempelajarinya. Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah yang
sempurna daripada mahluk ciptaan Allah Swt yang lain. Karena manusia selain
di bekali dengan hawa nafsu dalam penciptaanya tetapi juga dianugerahi akal
pikiran oleh Allah SWT untuk menyeimbangi hawa nafsu tersebut. Dewasa
inilah yang membedakan manusia dengan mahluk ciptaan Allah SWT yang
lainnya.
Karena dianugerahi Allah Swt dengan pemberian akal manusia itu,
manusia bisa meningkatkan derajatnya dimata Allah Swt jika akal pikiran
tersebut digunakan dalam beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. karena akal
merupakan pusat untuk berpikir dan untuk menambah dan mengembangkan
ilmu pengetahuan yang sebelumnya belum pernah diketahui oleh manusia.
Agama Islam sangat memuliakan serta mengarahkan kerja akal manusia
untuk menuntunnya ke jalan yang benar supaya manusia dapat menjadi
manusia yang insan kamil, dalam artian dapat menyeimbangkan urusan dunia
dan akhirat demi mencapai kebahagiaan dunia maupun akhirat. Karena pada
dasarnya akal merupakan pengetahuan manusia dan menjadikan manusia dapat
membedakan perkara yang baik ataupun buruk serta dapat membimbing
kepada akidah keberagamaannya. Agama islam sangat mendukung untuk
pengembangan akal pikiran seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi
sekarang ini, juga mendukung agar setiap muslim dan muslimah untuk
menekankan pemikirannya kepada ilmu sains.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Jatsiyah ayat 3-5
Artinya “Sesungguhnya pada langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-
tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman. Dan pada
penciptaan kamudan pada binatang-binatang melata yang bertebaran (di muka
bumi) terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk kaum yang meyakini. Dan
pada pergantian malam dan siang dan hujan yang diturunkan Allah dari langit
lalu dihidupkan-Nya dengan air hujan itu bumi sesudah matinya; dan pada
perkisaran angin terdapat pula tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
berakal.
2. Kedudukan Akal dan Wahyu
Al-quran juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan
mengadakan pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya piker
manusia menjangkau wilayah fisik dari masalah-masalah yang relatif,
sedangkan qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap makna-makna yang
bersifat metafisik dan mutlak. Oleh karenanya, dalam hubungan dengan upaya
memahami islam, akal memiliki kedudukan dan fungsi yang lain yaitu sebagai
berikut :
a. Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui
kebenaran yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana
keduanya adalah sumber utama ajaran islam.
b. Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia
untuk mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian al-
Qur’an dan Sunnah Rosul.
c. Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan
nsemangat al-Qur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam
mengatasi dan memecahkan persoalan umat manusia dalam bentuk
ijtihat.
d. Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Quran dan
Sunnah dalamkaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah,
untuk mengelola danmemakmurkan bumi seisinya.
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah
relatif dan tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan
penyempurnaan terus-menerus.
Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu
langsunng (al-Qur’an) ataupun wahyu yang tidak langsung (al-Sunnah), kedua-
duanya memiliki fungsi dan kedudukan yang sama meski tingkat akurasinya
berbeda karena disebabkan oleh proses pembukuan dan pembakuannya. Kalau
al-Qur’an langsung ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan di
masa awal islam, hanya beberapa waktu setelah Rosul Allah wafat (masa
Khalifah Abu Bakar), sedangkan al-hadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada
abat kedua hijrah (masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz), oleh karena itu fungsi
dan kedudukan wahyu dalam memahami Islam adalah :
 Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh
pemahaman dan pengamalan ajaran Islam harus dirujukan kepada al-
Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dipahami bahwa
pemahaman dan penngamalan ajaran Islam tanpa merujuk pada al-
quran dan al-sunnah adalah omong kosong.
 Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan difungsikan bila
akal difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk
memahami islam (wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar
hasil pemahamannya benar dan pengamalannya pun menjadi benar.
Akal tidak boleh menyimpang dari prinsip etik yang diajarkan oleh
wahyu.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap
indera penglihatan manusia. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan
wahyu-Nya untuk membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam
keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia
melampaui batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan
tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat
dibandingkan struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki fungsi
sebagai alat untuk memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan
petunjuk dan pedoman kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk
memahami dan menjabarkan secara praktis. Manusian diciptakan oleh tuhan
dengan tujuan yang jelas, yakni sebagai hamba Allah dan khalifah Allah, dan
untuk mencapai tujuan tersebut manusia dibekali akal dan wahyu.
3. Korelasi Ilmu Agama dan Ilmu Umum
Imam al-Ghazali merupakan salah satu tokoh agama yang sangat terkenal
dikalangan orang islam. Selain tokah agama, beliau juga terkenal ahli dalam
berbagai ilmu. Baik ilmu tasawuf, filsafat dan logika. Kemampuannya dalam
membungkus keilmuannya dengan syari’at agama menjadikannya mendapat
gelar terhormat hujjayul islam. Dengan berbagai kemampuan dan keilmuannya,
beliau menuangkan pemikiran dan pandangannya berbentuk karya-karya
diberbagai cabang keilmuan. Dalam dunia tasawuf, terdapat salah satu karya
monumentalnya yang sekarang dijadikan rujukan dan dikajidi berbaga studi
keislaman. Buku yang dinamakan Ihya’ Ulumuddin itu telah dicetak beberapa
kali. Dalam bidang ushul fiqih, beliau menulis buku yang diberi judul Al-
Mustashfa. Tidak hanya berhenti pada cabang itu, dalam dunia filsafat pun
beliau menulis buku yang sangat terkenal dikalangan filsof muslim pada masa
setelahnya yaitu Tahafat al-Falasifah.
Dalam kitabnya Minhajul Abidin, Al-Ghazali mengatakan ilmu adalah
imamnya amal dan amal adalah makmumnya. Ilmu adalah pemimpin dan
pengamalan adalah pengikutnya. Ilmu ibarat permata yang harus digali dan
terus dicari oleh semua orang.1 Dari segi akal, ilmu merupakan keutamaan
yang harus dimiliki dan diraih oleh manusia demi mendekatkan diri kepada
tuhannya. Orang yang berilmu, ilmunya akan mengantarkannya menuju jalan
kebenaran dan kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Al-Ghazali membagi ilmu menjadi ilmu terpuji dan ilmu tercela. Ilmu
terpuji adalah ilmu yang dapat mengantarkan seseorang kepada kebenaran. dan
kebahagiaan di sisi tuhan. Ilmu fiqih, tauhid, dan ilmu agma-agamayang

1
Lihat : Minhajul Abidin, trj. Abd. Hiyadh ( surabaya : Mutiara Ilmu, 1995) hlm.16.
lainnya dikategorikan dalam kategori ini. Ilmu tercela adalah ilmu yang
menyebabkan berbagai kerusakan baik kerusakan individual maupun
kerusakan social. Sihir, manta, ramalan dan sebagainya masuk dalam kategori
ini. Dalam mempelajari ilmu Astronomi (perbintangan), hendaklah dibatasi
dengan pembahasan dan pendalaman dalam mencari suatu arahadan mencari
kiblat. dalam ilmu kimia hendalaklah dibatasi dengan ilmu kedokteran
secukupnya.2
Hubungan antara ilmu dan agama adalah pandangan yang telah lama
dikemukakan oleh para ulama, filosof dan teolog. Masalah ini telah
diungkapkan dari sudut pandang yang berbeda-beda dalam teologi dan filsafat
ilmu-ilmu sosial dan filsafat ilmu. Sebagai Hujjatul Islam, al-Ghazali tidak
mentabukan adanya hubungan antara ilmu dan agama. Dalam kitabnya
Mukhtashar ihya’Ulumuddin, beliau berkata “iman itu telanjang pakainnya
adalah takwa perhiasannya adalah rasa malu dan buahnya adalah ilmu. “Ilmu
dan ibadah adalah dua mata rantai yang saling terkait, pada dasarnya segala
sesuatu yang kita lihat, kita kita dengar, kita rasakan dan kita pelajari adalah
hanya untuk ilmu dan ibadah. Bagi al-Ghazali, ilmu dan agama sangat terikat
dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Dalam mendiskripsikan hubungan
keduanya, beliau menggunakan logikanya dengan mencoba memahami sebuah
pohon. Pada sebuah pohon, ilmu merupakan pohonnya dan agama merupakan
buahnya. Maka jika kita beragama dan beribadah sesuai tuntutannya tanpa
dibekali ilmu, ilmu tersebut akan lenyap bagaikan debu ditiup angin. Buah pun
tidak akan dapat diraih. Sebaliknya, ketika pohon itu hanya mampu memberi
daun dan tidak bisa menghasilkan sebuah buah maka eksistensi pohon itu
menjadi kurang sempurna.3

2
al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumiuddin (Bairut : Muassasah al-Kutubas-Tsaqafiah,
1990) trj. Irwan Kurniawan (Bandung : Mizan, 1997), hlm. 32.
3
Minhajul Abidin, trj. Abd. Hiyadh (surabaya : Mutiara Ilmu, 1995) hlm. 17.

Anda mungkin juga menyukai