Anda di halaman 1dari 11

KAJIAN ISLAM DAN IPTEKS TENTANG AKAL WAHYU DAN ILMU

A. Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sempurna yang diciptakan oleh Allah SWT.
Manusia memiliki banyak kelebihan jika dibandingkan dengan makhluk ciptaan
Allah SWT yang lainnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-
Qur’an Surat At-Tin ayat ke-4 yang artinya:
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-
baiknya”
Salah satu kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada manusia adalah akal.
Akal membuat manusia dapat berpikir untuk memilih, mempertimbangkan dan
menentukan segala sesuatu yang dijalaninya termasuk menentukan jalan
pikirannya. Dengan akal yang dimiliki oleh manusia, maka manusia dapat
memahami Al-Qur’an sebagai wahyu yang diturunkan melalui Nabi Muhammad
SAW dan menelaah kembali sejarah Islam dari masa ke masa. Maka dari itu, akal
sangat dijunjung tinggi kedudukannya dalam Agama Islam.
Di dalam Islam, akal dan wahyu merupakan jalan untuk memperoleh
pengetahuan. Akal merupakan anugrah yang diberikan oleh Allah SWT yang
membuat manusia memiliki kemampuan untuk berpikir, memahami,
merenungkan, dan memutuskan. Selain itu, akal juga yang membedakan manusia
dengan makhluk yang lainnya karena makhluk ciptaan Allah yang lain tidak
memiliki akal. Sedangkan wahyu adalah penyampaian firman Allah SWT kepada
orang yang menjadi pilihannya untuk diteruskan kepada umat manusia sebagai
pegangan dan panduan hidupnya agar dalam perjalanannya senantiasa pada jalur
yang benar (Nasution, 1986).
Saat ini, ilmu atau sains dijadikan sebagai bentuk cita, karsa, maupun karya
manusia yang senantiasa berupaya untuk mengintegrasikan berbagai macam
bentuk informasi yang telah ditemukan manusia melakui akal budinya. Pada
dasarnya, perkembangan ilmu pengetahuan akan mengantarkan kita pada
ditemukannya berbagai macam ide yang merupakan sebuah cikal bakal dari
bentuk kreasi akal budi manusia (Wasehudin, 2018). Interpretasi akal atas wahyu
leboh dominan akan bersifat subjektif sedangkan jika interpretasi wahyu atas
wahyu akan bersifat objektif. Maka dari itu, sumber pengetahuan dan petunjuk
kebenaran yang didasarkan atas wahyu bersifat absolut dan mutlak. Sebaliknya,
yang didasarkan atas akal bersifat relatif dan nisbi.
B. Pengertian Akal dan Wahyu dalam Islam
Salah satu unsur penting yang ada pada manusia adalah akal (Aql). Kata akal
berasal dari bahasa Arab al’-aql yang terdapat dalam Al-Qur’an dalam bentuk
kata kerja ‘aqaluh (1 ayat), ta’qilun (24 ayat), na’qil (1 ayat), ya’qiluha (1 ayat)
dan ya’qilun (22 ayat) (Muniroh, 2018). Berdasarkan penggunaan kata ‘aql dalam
berbagai susunan ayat di dalam Al-Qur’an, dapat dijelaskan beberapa
pengguanaannya, diantaranya sebagai berikut:
1. Digunakan untuk memikirkan dalil-dalil dan dasar keimanan
2. Digunakan untuk memikirkan dan memahami alam semesta dan hukum-
hukumnya
3. Dihubungkkan dengan pemahaman terhadap peringataan dan wahyu Allah
4. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap proses sejarah keberadaban umat
manusia
5. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap kekuasaan Allah
6. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap hukum-hukum yang berkaitan
dengan moral
7. Dihubungkan dengan pemahaman terhadap makna ibadah
Dari penggunaan kata ‘aql di dalam ayat-ayat Al-Qur’an, ‘aql digunakan
untuk memahami berbagai objek yang riil maupun abstrak dan bersifat empiris
sensual sampai empiris transendental. ‘aql digunakan untuk memikirkan hal-hal
yang konkrit seperti sejarah manusia, hukum-hukum alah dan juga digunakan
untuk memikirkan hal yang abstrak seperti kehidupan di akhirat, proses
menghidupkan orang yang telah mati, kebenaran ibadah, wahyu, dan lain-lain
(Makhrus, 2009).
Akal juga memiliki arti sebagai daya berfikir yang ada pada diri manusia.
Menurut Al-Ghazali, akal memiliki beberapa pengertian yaitu sebagai potensi
yang membedakan manusia dari binatang dan menjadikan manusia mampu
menerima berbagai pengetahuan teoritis. Kedua, pengetahuan yang diperoleh
manusia berdasarkan pengalaman yang dilaluinya dan akan memperhalus
budinya. Ketiga, akal merupakan kekuatan insting yang menjadikan seseorang
mengetahui dampak semua persoalan yang dihadapinya sehingga dapat
mengendalikan hawa nafsunya (Shihab, 2001)
Adapun wahyu memiliki arti sebagai sabda Tuhan yang mengandung ajaran,
petunjuk, dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan
hidupnya baik di dunia maupun di akhirat yang sudah tertulis di dalam Al-Qur’an.
Telah digambarkan dalam konsep wahyu terkandung pengertian adanya
komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateri dan manusia yang bersifat materi.
Sebagai telah disebut wahyu yang disampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad
Saw, melalui Jibril mengambil bentuk Al-Qur‟an. Alqur‟an mengandung sabda,
firman, dan wahyu, sebagai yang disebut dalam satu ayat di atas, diturunkan
dalam bentuk berbahasa Arab (Nasution, 1986).
Kata wahyu berasal dari bahasa Arab al-wahy, yang berarti suara, api,
kecepatan, bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Menurut ilmu bahasa wahyu
berarti isyarat yang cepat denga tangan dan sesuatu isyarat yang dilakukan
bukan dengan tangan. Menurut istilah kata wahyu mengandung arti
pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Wahyu juga berarti
nama bagi sesuatu yang dituangkan dengan cepat dari Allah ke
dalam12dada Nabi-nabi-Nya, sebagaimana digunakan juga untuk lafadz
Alquran. Kemudian kata wahyu lebih dikenal dalam arti “apa yang
disampaikan Allah kepada para Nabi (Harahap & Nasution, 2003).
Wahyu Allah yang diturunkan kepada utusan-Nya khususnya kepada Nabi
Muhammad SAW pada garis besarnya berisi: aqidah, prinsip-prinsip keimanan
yang perlu diyakini oleh setiap mu’min; hukum-hukum syari’at yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan manusia dengan alamnya;
akhlak, tuntunan budi pekerti luhur; ilmu pengetahuan; sejarah tentang umat-umat
terdahulu sebagai pelajaran; informasinya tentang hal-hal yang akan terjadi pada
masa yang akan datang (Ya'qub, 1991).
Sementara mengenai turunnya wahyu terjadi dengan tiga cara, yakni, melalui
jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, dari belakang tabir sebagai yang
terjadi dengan Nabi Musa, dan melalui utusan yang dikirim dalam bentuk
malaikat. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa konsep wahyu mengandung
pengertian adanya komunikasi antara Tuhan, yang bersifat imateri dan manusia
bersifat materi dan hal ini pun diakui oleh filsafat dan mitisisme dalam Islam
(Nasution, 2009).
C. Kedudukan Akal dan Wahyu dalam Islam
Akal memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam. Kedudukannya yang
tinggi bukan hanya dalam soal-soal keduniaan saja tetapi juga dalam soal-soal
keagamaan sendiri. Penghargaan tinggi terhadap akal ini sejalan pula dengan
ajaran Islam lainnya yang erat hubungannya dengan akal, yaitu menuntut ilmu.
Akal adalah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, dan hanya
manusialah satu-satunya mahkluk yang dianugrahi Tuhan kekuatan akal,
karena itu ia menjadi mulia. Akal mempunyai daya yang kuat yang mengetahui
adanya Tuhan dan kehidupan.
Akal dapat sampai kepada pengetahuan yang lebih tinggi. Manusia
melalui akalnya dapat mengetahui bahwa berterima kasih kepada Tuhan adalah
wajib, bahwa kebajikan adalah dasar kebahagiaan dan kejahatan dasar
kesengsaraan di akhirat. Sedangkan penciptaan, ayat, intuisi dan wahyu
merupakan hubungan dari atas ke bawah, dari Tuhan ke alam, maka akallah yang
membentuk hubungan sebaliknya, hubungan dari bawah ke atas, dari alam ke
Tuhan. Karena dari seluruh mahkluk Tuhan hanya manusialah yang
memiliki akal, hanya manusialah yang dapat mengadakan hubungan makhluk
Khalik, hubungan dari alam ke Tuhan. Dengan demikian hanya manusialah yang
mempunyai hubungan dua arah dengan Allah, yaitu dalam bentuk wahyu yang
turun dari Tuhan ke alam dari dalam bentuk pemikiran akal yang naik dari alam
ke Tuhan.
Di dalam Islam, akal dan wahyu tidak bisa ada pertentangan. Akal harus
percaya dengan semua yang dibawa oleh wahyu. Jika wahyu membawa sesuatu
yang pada lahirnya terlihat bertentangan bagi akal, maka wajib bagi akal untuk
meyakini bahwa apa yang dimaksud bukanlah arti harfiah, akal mempunyai
kebebasan memberi interpretasi kepada wahyu atau menyerahkan maksud yang
sebenarnya dari wahyu bersangkutan kepada Allah. Keharusan manusia
mempergunakan akalnya, bukanlah hanya merupakan ilham yang terdapat
dalam dirinya, tetapi juga adalah ajaran Al-Qur’an. Al-Qur’an memerintahkan
kita untuk berfikir dan mempergunakan akal serta melarang kita memakai sikap
taklid. Al-Qur’an tidak semata-mata memberi perintah-perintah, tetapi
mendorong manusia berfikir (Nasution, 1987).
Akal memiliki nilai yang penting dan tinggi di dalam Islam. Salah satu ayat
menerangkan bahwa Allah SWT menyampaikan kalam-Nya kepada orang-orang
yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syariat-
Nya. Dalam Q.S. Shaad: 43 Allah SWT berfirman, yang artinya:
“Dan kami anugerahi dia (dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan
(Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula sebagai rohmat dari
kami dan pelajaran bagi prang-orang yang mempunyai fikiran”
Adapun wahyu sebagai dasar dan pokok ajaran Islam. Semua pemahaman dan
pengalaman ajaran Islam harus merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah. Selain itu,
wahyu memiliki peran sebagai landasan etik yang difungsikan untuk memahami.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera
penglihatan manusia. Oleh karena itu, Allah SWT menurunkan wahyu-Nya untuk
membimbing manusia agar tidak tersesat.

D. Akal dan Wahyu dalam Perspektif Penciptaan


Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk menyembah Allah SWT.
Pengertian penghambaan kepada Allah tidak bisa diartikan secara sempit dengan
hanya membayangkan aspek ritual seperti yang tercermin dalam sholat saja.
Menyembah memiliki arti bahwa manusia diwajibkan untuk tunduk kepada
hukum-hukum Allah dalam menjalankan berbagai aspek kehidupan di muka bumi
baik yang menyangkut hubungan vertikal maupun horizontal. Selain itu, manusia
memiliki tugas yang diberikan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka
bumi sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya pada Al-
Qur’an surat Al-Baqarah ayat 29-30.
Untuk melaksanakan tugasnya sebagai khalifah, manusia telah diberi
anugerah oleh Allah yaitu ilmu pengetahuan dan kebebasan dalam memilih.
Untuk dapat menerima kedua hadiah tersebut, manusa dilengkapi dengan akal dan
wahyu yang diturunkan kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW.
Kesatuan umat manusia dan alam semesta akan terjaga jika manusia sebagai
khalifah dapat menjalankan tugasnya dengan baik dengan menggunakan akal
yang telah diberikan oleh Allah dan wahyu sebagai petunjuk untuk menjalankan
kehidupan (Santoso, 2013).
E. Pengetahuan dan Pentingnya Penguasaan Ilmu
Penguasaan ilmu pengetahuan sangat dibutuhkan untuk menghadapi
perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Kaum muslimin
diharapkan dapat menguasai berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu teknik,
kedokteran, pertanian, ekonomi, dan lain-lain. Cukup banyak ayat dalam Al-
Qur’an yang mengisyaratkan manusia untuk menguasai ilmu pengetahuan bahkan
dalam ayat yang pertama kali turun yaitu Surat Al-‘Alaq ayat 1-5. Sedangkan
pada ayat-ayat yang lain, terdapat penjelasan agar manusia memikirkan tentang
penciptaan bumi dan langit serta apa yang ada diantara keduanya. Hal ini dapat
dilakukan dengan baik hanya dengan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK). Maka dari itu, jelas bagi manusia untuk dapat menggunakan akal untuk
selalu memahami wahyu mengenai ajaran Islam baik yang ada di dalam Al-Quran
maupun sunnah.
Kehidupan kaum muslimin dapat mencapai kejayaan dengan menggunakan
ilmu. Banyak ayat dalam Al-Quran yang menyebutkan bahwa orang yang
memiliki ilmu akan diangkat derajatnya sebagaimana firman Allah SWT yang
artinya:
“Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu dalam berbagai
derajat” (Q.S. Al-Mujadilah: 11)
Dalam beberapa ayat al-Qur’an ditekankan pula betapa jauhnya perbedaan
antara orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu pengetahuan. Karena
itulah al-Qur’an menekankan bahwa bahkan di kala umat Islam sedang
menghadapi kondisi perang pun, kewajiban mendalami ilmu pengetahuan tidak
boleh diabaikan. Dalam al-Qur’an secara eksplisit dikatakan bahwa tidak
semestinya semua umat Islam pergi turut berperang; sebagian dari mereka mesti
tetap menekuni kegiatan pendalaman ilmu pengetahuan, sementara sebagian dari
saudaranya yang lain melaksanakan peperangan (Shihab, 1998)
F. Epistemologi Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Etos dan Kode Etik Keilmuan
Untuk mengetahui epistemologi ilmu pengetahuan dalam Islam, terdapat dua
hal yang harus dipahami, yaitu:
1. Apa saja yang dapat diketahui manusia
Dalam pandangan epistemologi Islam, apa saja yang dapat diketahui
manusia tidak hanya terbatas pada objek fisik yang dapat diamati secara
indrawi, tetapi juga objek non fisik, non material atau metafisik seperti
aksioma matematika, konsep mental dan realitas imajinal dan spiritual.
2. Cara manusia mengetahui objek ilmu
Di dalam Islam, cara untuk mengetahui objek ilmu dilakukan dengan
metode-metode logis atau demonstratif dan metode intutif untuk objek yang
bersifat non fisik, non material atau metafisik. Metode observasi digunakan
dengan menggunakan indera sedangkan metode logis/demonstratif digunakan
dengan menggunakan akal.
Posisi akal dan wahyu dalam perspektif perkembangan ilmu dapat dilihat
secara umum sebagai sumber pengetahuan dan metode keilmuan. Sedangkan
secara khusus akal dan wahyu berperan sebagai sumber etos keilmuan dan kode
etik keilmuan.
Etos keilmuan terlihat pada penyadaran etid bahwa Allah SWT sebagai Tuhan
yang maha pemurah dan memberikan ilmu pengetahuan melalui wahyu-Nya. Di
dalam ayat dan doa Nabi Muhammad SAW terdapat pernyataan yang
mengandung anjuran bahkan terdapat perintah keilmuan yang berkembang
menjadi etos keilmuan. Beberapa pernyataan tersebut antara lain:
a) Mencari ilmu adalah wajib bagi setiap muslim
b) Carilah ilmu sejak lahir sampai masuk ke liang lahat
c) Carilah ilmu walau sampai ke negeri Cina
d) Ilmu pengetahuan itu milik orang muslim, maka seseorang yang menempuh
jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalannya ke Surga
e) Para ilmuwan adalah pewaris tugas para Nabi
Selanjutnya mengenai kode etik keilmuan tertuang dalam 10 nilai yang
disampaikan di dalam sebuah seminar internasional tentang Pengatahuan dan
Nilai di Stockholm, Swedia tahun 1981 mengenai pengembangan ilmu. Nilai
yang terkandung dalam kode etik keilmuan tersebut diantaranya adalah:
a) Tauhid (keesaan atau kesatuan). Tauhid adalah nilai yang paling mendasar
yang memiliki makna keesaan Tuhan. Makna yang bersifat teologis ini meluas
pada semua ciptaan-Nya menjadi kesatuan manusia dengan segala yang ada
pada dirinya, kesatuan manusia dengan alam, kesatuan pengetahuan dengan
nilai, kesatuan sunatullah yang diwahyukan dan tidak diwahyukan
b) Khilafah. Allah memberikan tugas kepada manusia agar menjadi khalifah di
muka bumi sehingga manusia dapat bertanggung jawab kepada Allah,
termasuk dalam mengembangkan dan menerapkan ilmu pengetahuan.
c) Ibadah. Kehidupan manusia bertujuan untuk terus mengabdi dan patuh kepada
Allah termasuk di dalamnya semua kegiatan spiritual, sosial, ekonomi, politik,
dan sebagainya yang memiliki tujuan luhur untuk mencari ridha Allah SWT.
d) Ilmu bersumber dari wahyu dan non wahyu
e) Halal merupakan semua ilmu dan kegiatan yang bermanfaat bagi induvidu,
masyarakat dan lingkungan
f) Haram merupakan semua ilmu dan kegiatan yang merusak manusia dan
lingkungannya baik secara fisik, intelektual, maupun spiritual
g) Adil. Ilmu dikembangkan untuk mewujudkan persamaan universal, kebebasan
individu, martabat sosial dan nilai yang lain
h) Zhulm (penindasan)
i) Istishlah (kepentingan umum). Ilmu bertujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan peradaban muslim
j) Dhiya (pemborosan atau kesia-siaan)
G. Penutup
Salah satu kelebihan yang diberikan Allah SWT kepada manusia adalah akal.
Akal membuat manusia dapat berpikir untuk memilih, mempertimbangkan dan
menentukan segala sesuatu yang dijalaninya termasuk menentukan jalan
pikirannya. Akal memiliki arti sebagai daya berfikir yang ada pada diri manusia.
Adapun wahyu sebagai dasar dan pokok ajaran Islam. Semua pemahaman dan
pengalaman ajaran Islam harus merujuk pada Al-Qur’an dan sunnah. Di dalam
Islam, akal dan wahyu merupakan jalan untuk memperoleh pengetahuan. Akal
harus percaya dengan semua yang dibawa oleh wahyu. Jika wahyu membawa
sesuatu yang pada lahirnya terlihat bertentangan bagi akal, maka wajib bagi akal
untuk meyakini bahwa apa yang dimaksud bukanlah arti harfiah, akal mempunyai
kebebasan memberi interpretasi kepada wahyu atau menyerahkan maksud yang
sebenarnya dari wahyu bersangkutan kepada Allah. Posisi akal dan wahyu dalam
perspektif perkembangan ilmu dapat dilihat secara umum sebagai sumber
pengetahuan dan metode keilmuan. Sedangkan secara khusus akal dan wahyu
berperan sebagai sumber etos keilmuan dan kode etik keilmuan.

DAFTAR PUSTAKA
Harahap, S., & Nasution, H. B. (2003). Ensiklopedia Akidah Islam. Jakarta: Kencana
Prenanda Media Group.
Makhrus. (2009). Berpikir Dengan "Jantung" (Studi Terhadap Relasi ‘Aql dan Qalb
dalam Alquran). Skripsi: Semarang: Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo.
Muniroh, B. (2018). AKAL DAN WAHYU (Studi Komparatif antara Pemikiran
Imam al-Ghazali dan Harun Nasution). Aqlina: Jurnal Filsafat dan Teologi
Islam, 41-71.
Nasution, H. (1986). Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI Press.
Nasution, H. (1987). Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu'tazilah. Jakarta :
UI Press.
Nasution, H. (2009). Teologi Islam. Jakarta: Universitas Indonesia.
Santoso, F. (2013). Studi Islam 3. Surakarta: LPIK Uiversitas Muhammadiyah
Surakarta.
Shihab, Q. (1998). Wawasan Al-Qur'an. Bandung: Mizan.
Shihab, Q. (2001). Logika Agama. Jakarta: Lentera Hati.
Wasehudin. (2018). Akal dalam Perspektif Pendidikan Islam (Telaah Reflektif
Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Ayat-Ayat Al-Qur'an). Al-Qalam, Vol.
35, No. 2.
Ya'qub, H. (1991). Filsafat Agama. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.

Anda mungkin juga menyukai