Anda di halaman 1dari 16

RASIONALISME: Antara Akal dan Wahyu

MAKALAH
untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat

Disusun Oleh:
SHINDY PAULINA
NIM: 201610230311054
PSIKOLOGI A

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG


2016

Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah,
rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat memenuhi kewajiban sebagai
anak didik untuk menyelesaikan tugas Mata Kuliah Filsafat yaitu membuat
makalah yang membahas tentang RASIONALISME: Antara Akal dan Wahyu.
Tujuan dari pembuatan makalah ini tentunya untuk menyelesaikan tugas
yang telah diberikan Bapak Haeri Fadli selaku dosen Filsafat kepada penulis.
Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Namun,
penulis menyadari keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan informasi yang
dimiliki menjadi suatu kekurangan dalam penyusunan makalah ini. Oleh karena
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari dosen, teman-teman
penulis ataupun para pembaca yang harapannya dapat membangun kearah
penyempurnaan penyusunan makalah agar lebih baik lagi.

Malang, 4 November 2016

Penulis

Daftar Isi
Kata pengantar ............................................................................................i
Daftar Isi......................................................................................................ii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................... 1
BAB II. PEMBAHASAN
A.
B.
C.
D.
E.

Pengertian Rasionalisme..................................................................... 2
Pengertian Akal.................................................................................. 3
Pengertian Wahyu............................................................................... 4
Akal dan Wahyu Dalam Pemikiran Tokoh Islam............................... 4
Rasionalisme Dalam Filsafat Islam.................................................... 6

BAB III. PENUTUP


A. Kesimpulan......................................................................................... 12
Daftar Pustaka.............................................................................................. 13

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat adalah studi tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran
manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar dengan
menggunakan logika. Filsafat adalah pandangan hidup seseorang atau sekelompok
orang yang merupakan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan.
Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap seseorang yang sadar dan dewasa dalam
memikirkan segala sesuatu secara mendalam dan ingin melihat dari segi yang luas
dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Dalam filsafat modern lahir aliran-aliran filsafat baru yang lebih
mengedepankan pemikiran mengenai akal, dimana hal-hal gaib atau supranatural
mulai dianggap sebagai hal yang tidak sesuai nalar. Salah satu aliran filsafat
tersebut ialah rasionalisme.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Rasionalisme?
2. Apa yang dimaksud dengan Akal?
3. Apa yang dimaksud dengan wahyu?
4. Bagaimana akal dan wahyu dalam pemikiran tokoh islam?
5. Bagimana rasionalisme dalam filsafat islam?

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rasionalisme
Rasional berasal dari kata rasio yang berasal dari kata Latin yaitu ratio
padanan kata Yunani logos dengan arti akal, budi, pikiran. Pemikiran yang
hanya menggunakan dan mendasarkan diri pada rasio, muncul di Yunani Kuno
untuk pertama kalinya pada abad ke-6 SM.
Rasio, dalam pendidikan erat hubungannya dengan daya pikir, penalaran
dan akal budi. Sesuai dengan pemakaian bahasa masa kini, rasio tanpa dibedakan
dari penalaran adalah kemampuan mental manusia yang bukan kemampuan daya
tanggap panca indera.
Pemikiran rasional adalah pemikiran yang merupakan usaha manusia
rasional dalam rangka melepaskan diri dari mitos. Dalam pengertian ini mitos
dilawankan dengan logos(akal budi, rasio). Maka dapat dikatakan bahwa mitos itu
adalah keirasionalan atau takhyul atau khayalan, pendeknya sesuatu yang tak
berada dalam kontrol kesadaran dan rasio manusia.
Rasionalisme adalah aliran, anggapan, atau teori filsafat yang menjunjung
tinggi hasil pemikiran manusia tanpa memperdulikan pengalaman pribadi, fakta
dan data empiris. Berdasarkan teori ini dapat dinyatakan bahwa pengetahuan
manusia terbentuk dan terjadi dari akal atau rasio. Dalam hal ini, sumbangan yang
dihasilkan oleh akal lebih menentukan dari pada sumbangan yang diberikan
indera. Bahkan lebih jauh lagi kadang-kadang para penganut rasionalisme
beranggapan bahwa pengetahuan manusia tergantung pada strukur bawaan (ide,
kategori). Artinya konsep-konsep yang diperoleh pikiran manusia sejak ia
dilahirkan di dunia, biarpun hanya sebagai bakat atau kemungkinan.
Dasar rasionalisme berasal dari Rene Descartes atau Cartesius (1596-1650),
yang juga disebut Bapak Filsafat Modern. Lahirnya pemikiran rasional pada
Descartes dimulai dengan keragu-raguan yang menyeluruh, Descartes ingin
mencapai kepastian yang tidak tergoyahkan. Dari kepastian yang tahan dari segala

macam kesangsian dapat diperoleh dan ditentukan kriteria pengetahuan, yakni


jelas dan terpilah-pilah.
B. Pengertian Akal
Akal berasal kata Arab, al-aql (yang dalam bentuk kata benda (isim) tidak
ditemui dalam Alquran. Alquran hanya membawa bentuk kata kerjanya (fiil)
yang diulang sebanyak 49 kali. Kata al-aql menurut bahasa berarti mengikat dan
menahan, seperti mengikat unta dengan pengikat, dan menahan lidah dari
berbicara.
Selanjutnya al- aql juga mengandung arti kalbu, dan kata aqala
mengandung arti memahami. Al Jurjani mengemukakan pengertian akal sebagai
berikut, akal ialah subtansi jiwa yang dicptakan Allah SWT yang berhubungan
dengan badan manusia. Akal juga berarti cahaya (Annur) dalam hati untuk
mengetahui kebenaran dan kebatilan.
Ada pula yang mengartikan akal dengan subtansi yang murni dari materi
yang hubungannya dengan badan dalam bentuk mengatur dan mengendalikan.
Menurut pendapat lain, akal ialah suatu kekuatan bagi jiwa berfikir. Karena jelas
bahwa kekuatan berfikir berbeda dengan jiwa berfikir, sebab pelaku perbuatan
sebenarnya adalah jiwa sedang akal adalah alat bagi jiwa sebagaimana pisau alat
bagi tukang potong. Adapula yang menyamakan arti al aql, an nafs, dan al zihn.
Dinamakan al aql karena ia bisa menangkap (almudrikah), dinamakan an nafs
karena ia pengendali (mutasarrifah), dan dinamakan al zihn karena ia siap untuk
menangkap sesuatu (mustaiddat l al idrak).
Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan, bahwa akal merupakan subtansi
sangat penting yang terdapat dalam diri manusia, dan sebagai cahaya (nur) dalam
hati yang berguna untuk mengetahui kebenaran dan kebatilan, mengatur dan
mengendalikan jasmani. Akal adalah alat bagi jiwa, dimana besar kecilnya
peranan akal dalam sistem teologi suatu aliran sangat menentukan dinamis atau
tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran Islam.

C. Pengertian Wahyu
Wahyu secara etimologis, mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan dan
kitab. Wahyu juga mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan terjadi
dengan cepat. Menurut pengertian bahasa, wahyu ialah memberitahukan sesuatu
dengan cara yang samar dan tepat. Sedangkan menurut pengertian agama, wahyu
adalah pemberitahuan Tuhan kepada nabi-Nya tentang hukum-hukum Tuhan,
berita-berita dan cerita-cerita dengan cara yang samar, tetapi meyakinkan kepada
Nabi atau Rasul yang bersangkutan, bahwa apa yang diterimanya adalah benarbenar dari Allah sendiri. Kata wahyu lebih populer dikenal dalam pengertian apa
yang diwahyukan Allah kepada para Nabi. Secara konseptual, wahyu menunjukan
kepada nama-nama yang lebih dikenal seperti Al-kitab, Risalah, Al-Quran dan
Balagh.
Dengan demikian wahyu berarti penyampaian kalam Allah kepada Nabi
pilihan-Nya untuk disampaikan kepada manusia sebagai pedoman hidup. Dalam
islam wahyu yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul dalam
Al-Quran.
D. Akal dan Wahyu Dalam Pemikiran Tokoh Islam
Akal, sebagai daya pikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk
sampai kepada

Tuhan. Sedangkan wahyu sebagai pengkabaran dari alam

metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan


dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap-Nya. Persoalan yang kemudian
timbul dalam pembahasan ilmu kalam yaitu sampai dimanakah kemampuan akal
manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? dan sampai
dimanakah besarnya fungsi wahyu kedalam kedua hal tersebut?
Persoalan kemampuan akal dan fungsi wahyu ini dihubungkan dengan dua
masalah pokok yaitu:
1. Tentang mengetahui Tuhan, yang melahirkan dua masalah, yaitu
mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan.

2. Tentang baik dan jahat, yang melahirkan dua masalah juga, yaitu
mengetahui baik dan jahat dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik
dan meninggalkan perbuatan jahat.
Dari keempat masalah cabang tersebut, terjadi polemik dikalangan aliran
kalam: manakah dari keempat masalah itu yang diperoleh melalui akal dan
manakah yang diperoleh melalui wahyu. Menurut Mutazilah, sebagaimana
dikemukakan para tokohnya, segala pengetahuan dapat diperoleh dengan
perantaraan akal. Kewajiban-kewajiban dapat diperoleh dengan pemikiran yang
mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turun
wahyu adalah wajib. Baik dan jahat diketahui oleh akal, demikian pula
mengerjakan yang wajib dan menjauhi yang buruk wajib pula.
Menurut Al-Syahrastani, kaum Mutazilah sependapat bahwa kewajiban
mengetahui Tuhan dan berterima kasih pada-Nya, kewajiban mengerjakan yang
baik dan menjauhi perbuatan buruk dapat diketahui oleh akal. Sebelum
mengetahui bahwa sesuatu itu wajib, tentu orang harus terlebih dahulu
mengetahui hakikat hal itu. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima
kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbutan buruk,
orang harus lebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk.
Sebelum mengetahui hal-hal itu, orang tentu tidak dapat menentukan sikap
terhadapnya.
Mengenai baik dan buruk, Abdul Jabbar mengatakan bahwa akal tidak dapat
dapat mengetahui semua yang baik. Akal hanya mengetahui kewajiban-kewajiban
dalam garis besarnya saja. Akal tidak sanggup mengetahui perinciannya, baik
mengenai hidup manusia di akhirat nanti maupun di dunia. Jelaslah menurut
Mutazilah, tidak semua yang baik dapat diketahui oleh akal. Untuk mengetahui
hal

itu

diperlukan

wahyu. Wahyu

dengan

demikian

menyempurnakan

pengetahuan akal tentang baik dan buruk. Selanjutnya wahyu bagi Mutazilah,
berfungsi memberi penjelasan tentang perincian pahala dan siksa di akhirat.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keempat masalah pokok itu
dalam pandangan kaum Mutazilah dapat diketahui oleh akal dan wahyu berfungsi

hanya sebagai konfirmasi dan informasi. Atau dengan kata lain fungsi wahyu
hanya kecil. Pemikiran teologi ini sejalan dengan teologi Muhammad Abduh.
Menurut AsyAriyah sebagaimana dikatakan Al-Asyari sendiri, segala
kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tidak dapat membuat
sesuatu menjadi wajib dan tidak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik
dan menjauhi yang buruk itu wajib bagi manusia. Menurutnya, memang betul akal
dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajibkan orang mengetahui
Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan wahyu pulalah, dapat diketahui
bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh pahala dan yang tidak patuh
akan mendapat siksa. Dengan demikian, akal menurut Asyari, dapat mengetahui
Tuhan tetapi tidak mampu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban manusia dan
karena itulah diperlukan wahyu.
E. Filsafat Rasionalisme Dalam Filsafat Islam
Islam sebagai agama yang banyak menyuruh penganutnya mempergunakan
akal pikiran sudah dapat dipastikan sangat memerlukan pendektan filosofis dalam
memahami

ajaran

agamanya.

Pendekatan

filosofis

yang

cocok

dalam

mempergunakan akal pikiran adalah pendekatan rasional.


Pemikiran filosifis masuk ke dalam Islam melalui filsafat Yunani yang
dijumoai ahli-ahli pikir Islam di Suria, Mesopotamia, Persia dan Mesir.
Kebudayan falsafat Yunani datang ke daerah-daerah itu dengan ekspansi
Alexander Agung pada abad ke-IV sebelum Kristen. Filsafat ini mulai
berkembang dengan pesat pada masa Khalifah al-Mamun (813 833 M), putra
Harun al-Rasyid.
Dalam sejarah filsafat Islam terdapat perkembangan tentang istilah
rasionalisme. Rasionalisme Islam adalah suatu fenomena penggunaan akal sebagai
sumber pengetahuan. Dalam filsafat Barat, rasionalisme adalah aliran secara
independen berdiri sebagai tesa terhadapat perkembangan filsafat. Akan tetapi
dalam filsafat Islam, rasionalisme dipahami semata-mata dari sudut penggunaan
akal dalam epistemologi.

Aliran-aliran dalam Islam banyak yang menentang falsafat Yunani. Lain


halnya dengan kaum Mutazilah yang lebih tertarik dengan falsafat Yunani. Para
pemuda kau Mutazilah banyak membaca buku-buku filsafat Yunani dan
pengaruhnya dapat dilihat dalam pemikiran teologi mereka. Disamping kaum
Mutazilah segera pula muncul filsuf-filsuf Islam yang terkenal.
Sebagaimana filsafat Barat, dalam tradisi filsafat Islam terdapat fenomena
perkembangan pemikiran. Setidaknya ada tiga macam teori pengetahuan yang
biasa disebut-sebut. Pertama, pengetahuan rasional (Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
Bajjah, hingga Ibnu Rusyd dan lain-lain). Kedua, pengetahuan inderawi (terbatas
kepada klasifikasi sumber perolehan, sumber pengetahuan), tetapi ada filsuf
muslim yang mengembangkan teori ini sebagimana empirisme di Barat. Ketiga,
pengetahuan Kasyf yang diperoleh lewat ilham.
Pertama, yang membicarakan akal secara sistematis adalah filosof al-Farabi,
yang terkenal sebagai penterjemah sekaligus sebagai komentator ulung terhadap
filsafat Yunani. Setelah melakukan penerangan yang mendalam, al-Farabi
berusaha menghubungka filsafat Plato dan filsafat Aristoteles. Mengenai filsafat ia
berkeyakina bahwa filsafat Aristoteles dan Plato dapat disatukan dan untuk ini ia
menulis sebuah risalah tentang persaaan antara Plato dan Aristoteles.
Dalam filsafat rasional, akal menurut al-Farabi mempunyai tiga tingkatan,
al-haylani (potensial) bi al-fil (aktual) dan al-Mustafad (adeptus, aquired).
Sedang dalam falsafat emanasi, Harun Nasution menerangkan bahwa al-Farabi
mencoba men-jelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu. Tuhan
bersifat Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha
Sempurna dan tidak berhajat apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan
bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Maha Satu? Menurut
al-Farabi alam terjadi dengan cara emanasi.
Tuhan sebagai akal, berfikir tentang dirinya (Zatnya), dan dari pemikiran ini
timbul suatu maujud lain, maka keluarlah akal pertama, akal kedua, akal ketiga
hingga akal kesepuluh. Semua berhubungan dengan pemikiran tentang Tuhan.
Akal yang me-mancar dari Tuhan membawa alam-alam materi berupa benda-

benda langit (planet-planet) dan kesepuluh mewujudkan bumi dan materi yang
pertama menjadi dasar alam. Akal kesepuluh ini dalam konsep al-Farabi juga
disebut akal faal (akal aktif) atau wahidusuwar (pemberi bentuk dalam tempatnya
jibriel). Akal inilah yang merupakan sebab-sebab adanya jiwa di bumi dan di
dalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Bahkan Harun
Nasution menyatakan bahwa, Hubungan akal manusia dengan akal aktif sama
dengan hubungan mata dengan matahari. Mata melihat karena ia menerima
cahaya dari matahari, akal manusia dapat menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk
karena mendapat cahaya dari akal aktif.
Al-Farabi

selanjutnya

menyatakan

bahwa

manusia

memperoleh

pengetahuan tentang sesuatu melalui daya-daya yang ada dalam jiwa. Daya-daya
itu adalah daya berfikir, daya mengkhayal, dan daya mengindra. Secara spesifik
bagi al-Farabi yang terpenting dari daya-daya tersebut adalah daya berfikir, daya
ini menduduki tempat paling tinggi, sekaligus berperan sebagai pemimpin dalam
proses mengetahui. Daya berfikir sendiri dibagi menjadi tiga: akal potensial, akal
aktual dan akan mustafad.
Ibnu Sina sebagai murid al-Farabi tampil lebih jelas dan terang dalam soal
pengetahuan manusia. Dalam analisis simbolis mengenai surat an-Nur :
Di antara kemampuan-kemampuan intelektual menyangkut kebutuhan untuk
mentransendensi substansinya dari akal potensial ke akal aktual adalah sebagai
kemampuan reseptivitas karena hal-hal yang bisa terpahami sebagai akal material,
ini adalah cahaya-cahaya. Selanjutnya kemampuan akal ketika wujud-wujud
terpahami primer muncul di dalamnya. Munculnya wujud-wujud primer ini
merupakan landasan yang di atasnya wujud-wujudnya skunder bisa didapatkan.
Proses perolehan ini melalui kontemplasi yang disebut pohon Zaitun, jika pikiran
tidak cukup tajam, atau dengan dugaan disebut dalam bahan bakar (minyak dari
pohon zaitun), jika pemikiran-pemikiran benar-benar cerdik, bagaimanapun yang
disebut akal kabitual sama tranparannya dengan kaca illahi, seolah minyaknya
menyala sendiri tanpa disentuh api.

Kemudian datang kepada akal itu suatu kekuatan dan kesem-purnaan.


Kesempurnaan ini sangat penting bagi kemampuan untuk menyerap hal-hal yang
terpahami dalam suatu aksi sehingga pikiran dapat menyerap selama tergambar
dalam pikiran. Inilah cahaya di atas cahaya. Kemanapun tanpa perlu melakukan
penyidikan, ia mampu menyerap wujud-wujud terpahami yang sebelumnya telah
diperoleh dan yang seolah terlupakan sekarang terpersepsi, inilah kemampuan
pikiran sebagaimana lampu dinyalakan.
Agama yang menyebabkan pikiran beranjak (sebagaimana nyala api) dari
akal material ke aksi yang tuntas adalah akal aktif, ini adalah api. Ibnu Sina
berusaha membebaskan pikiran dari segala aktivitas dan menisbatkan semua
operasi intelektual kepada akal aktif yang terpisah tersebut, dengan menyebutkan
akal terpisah itu sebagai api.
Dalam pandangan Ibnu Rusyd akal aktif atau agent intelect adalah penyebab
segala sesuatu yang dapat dipahamkan dengan terang, yang paling berbahaya bagi
manusia (intellectnya) adalah apa yang diperolehnya yaitu kemampuan untuk
mengetahui. Adalah perlu bagi intelect material mengetahui intellect yang
terpisah, oleh karena itu mengetahui secara potensial dan potensialitas seperti itu
harus berada dalam alam semestinya.
Kerja akal bagi Ibnu Rusyd adalah menyerap gagasan konsep yang bersifat
universal dan yang hakiki. Akal memiliki tiga kerja dasar; mengabstraksi,
mengkombinasikan, dan menilai. Kalau kita menyerap suatu gagasan yang
bersifat universal, kita mengabstraksinya dari materi, sebagaimana titik dan garis.
Tetapi akal tidak hanya mengabstraksikan pengertian-pengertian dari materi, juga
mengkombinasikan pengertian-pengertian tersebut dinyatakan secara aksiologis
benar atau salah. Kerja yang pertama disebut sebagai proses pencerahan
(intelligere) yang kedua disebut sebagai pembenaran (credulitas). Jadi bagi Ibnu
Rusyd kerangka secara keseluruhan kerja akal adalah sebagai berikut:
3. Manusia mendapatkan di dalam akal satu gagasan atau maksud tunggal
sebagai proses abstraksi.
4. Mengkombinasikan dua pengertian atau lebih untuk mendapatkan konsep
seperti konsep manusia yang terdiri atas hewanial dan rasionalitas, genus

dan defferentis dan ini membentuk essensi sesuatu. Dengan demikian


tinggal membentuk definisi.
5. Karena konsep tidak benar atau tidak salah, bila dibenarkan atau
disangkal dalam suatu proposisi maka manusia mempunyai penilaian.
Datanglah filosof berikutnya yang berbicara tentang akal secara lebih
menarik. Ibnu Khaldun mencoba menerangkan proses kerja akal dengan berfikir.
Berfikir dalam pandangannya adalah proses penerjmahan bayang-bayang di balik
perasaan dan aplikasi akal untuk membuat analisa dan sintesis. Kesanggupan
manusia terhadap segala sesuatu yang ada di luar alam semesta. Dengan tatanan
yang berubah-ubah dengan maksud supaya ia mengadakan seleksi kemampuan
diri. Bentuk pemikiran semacaram itu kebanyakan berupa persepsi-persepsi.
Inilah yang disebut akal pembeda yang membantu manusia dengan idea-idea dan
perilaku yang dibutuhkan dalam pengenalan. Kedua, ialah kemampuan akal
manusia untuk memikirkan melakukan apresiasi-apresiasi terhadap pengalaman
manusia yang dicapai satu persatu sehingga dapat menjadikan manfaat baginya.
Inilah yang disebut sebagai akal eksperimental. Ketiga, pengetahuan manusia
yang dilengkapi dengan pengetahuan hipotesis mengenai sesuatu yang menyertainya. Inilah akal spekulatif yang merupakan persepsi dan apersepsi tasawuf
dan tasdiq, yang tersusun dalam tatanan khusus, sehingga membentuk
pengalaman lain yang berkembang mencapai pengetahuan intelektual murni
sebagai tingkat yang sempurna dalam realitasnya.
Adapun dalam kemampuan akal, Ibnu Khaldun mengatakan sebagai berikut,
Akal adalah timbangan emas, yang hasilnya adalah pasti dan dapat dipercaya,
tetapi mempergunakan akal untuk menimbang tentang ke-Esa-an Allah, atau
hidup di akhirat atau hakikat sifat-sifat Tuhan di luar jangkauan akal maka sama
saja dengan menimbang gunung, tetapi tidak berarti timbangan itu tidak dapat
dipercaya. Pendapat tersebut adalah suatu apresiasi terhadap penggunaan akal
secara proporsional. Karena dalam al-Quran sendiri ter-dapat ayat yang terang
dan sembunyi sebagai refleksi pemikiran manusia.
Dalam tradisi pemikiran Islam atau filsafat Islam sendiri terdapat
kecenderungan menggunakan rasio sebagaimana filosuf al-Farabi hingga Ibnu

Rusyd, hal tersebut sebagai penganut filsafat Yunani dengan teori-teori akalnya
dan pengetahuan yang bersifat rasional. Dan pemikiran-pemikiran para filosuf
Islam ini adalah sebagai bukti perkembangan dari kemajuan para filosuf muslim
terhadap filsafat rasional dalam Islam yang sering kita sebut Filsafat Islam.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Rasionalisme merupakan aliran falsafah yang berpandangan bahwa dasar
dan sumber pengetahuan, atau secara umum falsafah, adalah akal atau rasio.
Adalah akal, yang bisa dijadikan dasar sekaligus sumber pengetahuan, sehingga
berhasil memperoleh pengetahuan yang tetap dan pasti, serta absolut dan
universal.
Dalam ajaran islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai,
bukan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi juga
dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan islam sendiri. Pemakaian akal
dalam islam diperintahkan oleh Al-Quran sendiri. Bukanlah tidak ada dasarnya
kalau ada penulis-penulis, baik dikalangan islam sendiri aupun dikalangan non
islam, yang berpendapat bahwa islam adalah agama rasional. Ada pula penulispenulis yang menyebut rasionalisme islam. Disamping itu ada pula yang
memberi predikat pada pemikir-pemikir.
Dalam hal ini perlu ditegaskan bahwa pemakaian kata rasional, rasionalisme
dan rasionalis dalam islam harus dilepaskan dari arti kata sebenarnya, yaitu
percaya kepada rasio semata-mata dan tak mengindahkan wahyu. Dalam
pemikiran islam seperti yang telah dilihat dari uraian diatas baik dibidang filsafat
dan ilmu kalam akal tidak pernah membatalkan wahyu akal tetap tunduk kepada
teks wahyu.

DAFTAR PUSTAKA
Rusliana, Iu. 2015. Filsafat Ilmu. Bandung: PT Refika Aditama
Sastrahidyat, Ika Rochdjatun. 2009. Membangun Etos Kerja & Logika Berpikir
Islami. Malang: UIN Malang Press
Ibyariy, Ibrahim Al. 1998. Pengenalan Sejarah Al-Quran. Jakarta: CV Rajawali
http://surgaditelapakibu.blogspot.co.id/2011/05/akal-dan-wahyu.html
http://miftahuddin86.blogspot.co.id/2011/02/bab-ii-rasionalisme-dalampendidikan.html
https://dyna99roufa.wordpress.com/2012/06/29/akal-wahyu-dalam-al-quran/

Anda mungkin juga menyukai