Disusun Oleh :
BANDUNG
2022
KERANGKA BERPIKIR ALIRAN-ALIRAN ILMU KALAM
Perbedaan metode berfikir secara garis besar dapat dikategorikan menjadi dua
macam, yaitu kerangka berfikir rasional dan metode berfikir tradisional:
1. Aliran Antroposentris;
Aliran anroposentris menganggap bahwa hakikat realitas transenden bersifat
intrakosmos dan impersonal. Ia berhubungan erat dengan masyarakat kosmos.
Baik yang natural maupun yang supranatural dalam arti unsur-unsurnya.
Anshari menganggap manusia yang berpandangan antroposentris sebagai sufi
adalah mereka yang berpandangan mistis dan statis. Padahal manusia
antroposentris sangat dinamis karena menganggap realitas transenden yang
bersifat intrakosmos dan impersonal datang kepada manusia dalam bentuk daya
sejak manusia lahir. Daya itu berupa potensi yang menjadikannya mampu
membedakan mana yang baik dan mana yang jahat. Manusia yang memilih
kebaikan akan memperoleh keuntungan melimpah (surga), sedangkan manusia
yang memilih kejahatan, ia akan memeroleh kerugian melimpah pula (neraka).
Dengan dayanya, manusia mempunyai kebebasan mutlak tanpa campur tangan
realitas transenden. Aliran teologi yang termasuk adalah Qadariah, Mu’tazilah
dan Syi’ah.
2. Teolog Teosentris;
Aliran teosentris menganggap daya menjadi potensi perbuatan baik atau jahat
manusia bisa datang sewaktu-waktu dari Tuhan. Oleh sebab itu, ada kalanya
manusia mampu melaksanakan sesuatu perbuatan tatkala ada daya yang datang
kepadanya. Sebaliknya ia mampu melaksanakan suatu perbuatan apapun tatkala
ia ada daya yang datang kepadanya. Dengan perantara daya, Tuhan selalu campur
tangan. Bahkan bisa dikatakan manusia tidak ada daya sama sekali terhadap
segala perbuatannya. Aliran teologi yang tergolong dalam kategori ini adalah
Jabbariyah.
3. Aliran Konvergensi atau Sintesis;
Aliran ini berkeyakinan bahwa hakikat daya manusia merupakan proses kerja
sama antar daya yang transendental (Tuhan) dalam bentuk kebijaksanaan dan
daya temporal (manusia) dalam bentuk teknis. Dampaknya, ketika daya manusia
tidak berpartisipasi dalam proses peristiwa yang terjadi pada dirinya, daya yang
transendental yang memproses suatu peristiwa yang terjadi pada dirinya. Oleh
karena itu, ia tidak memperoleh pahala atau siksaan dari Tuhan. Sebaliknya,
ketika terjadi suatu peristiwa pada dirinya, sementara ia sendiri telah berusaha
melakukannya, maka pada dasarnya kerja sama harmonis antara daya
transendental dan daya temporal. Konsekuensinya, manusia akan memperoleh
pahala atau siksaan dari Tuhan, sebanyak andil temporalnya dalam
mengaktualkan peristiwa tertentu. Aliran teologi yang dapat dimasukkan ke
kategori ini adalah Asy’ariyah.
4. Aliran Nihilis
Aliran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas transendental hanyalah ilusi.
Aliran ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi
Tuhan kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam
suatu masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan diri
manusia sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang
terburuk. Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang
merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.
Semua aliran teologi dalam Islam, baik Asy’ariyah, Maturidiyah, apalagi
Mu’tazilah sama mempergunakan akal dalam menyelesailkan persoalan-
persoalan teologi yang timbul di kalangan umat Islam. Perbedaan yang terdapat
antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat kekuasaan yang diberikan
kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang
kuat, Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang
lemah.
Semua aliran juga berpegang kepada wahyu. Dalam hal ini, perbedaan yang
terdapat antara aliran-aliran itu hanyalah perbedaan dalam interpretasi mengenai
teks ayat-ayat al-Qur’an dan Hadis. Perbedaan interpretasi inilah yang
sebenarnya menimbulkan aliran-aliran yang berlainan itu. Hal ini juga tidak
ubahnya sebagai hal yang terdapat dalam bidang hukum Islam atau Fiqih. Disana
juga, perbedaan interpretasilah yang melahirkan mazhab-mazhab seperti yang
dikenal sekarang, yaitu mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafi’i dan
mazhab Hambali.
Dalam kaitannya dengan ilmu kalam, ilmu Tasawuf mempunyai fungsi sebagai
berikut:
Khawarij berasal dari kata kharaja, artinya keluar. Nama Khawarij disematkan
kepada kaum yang menyatakan keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib setelah
peristiwa tahkim/arbitrase.
Menurut Basri dkk, Khawarij disebut juga haruriyyah, berasal dari kata harura
yang merupakan nama sebuah desa didekat kota Kufah, Irak. Di desa tersebut
pada masa itu sejumlah sekitar 12.000 orang yang memisahkan diri dari
Ali bin Abi Thalib, berkumpul.
Khawarij adalah kelompok yang keluar dari golongan Ali bin Abi Thalib setelah
peristiwa tahkim. Khawarij disebut juga dengan al-muhakkimah, almariqah,
syurah dan al-haruriyyah. Mayoritas pengikut Khawarij adalah orang-orang Arab
pegunungan yang memiliki ketulusan dalam beragama, namun berpikiran
dangkal dan jauh dari ilmu agama, mereka memahami lafadz secara tekstual,
bersikap zuhud pada dunia, berani menghadapi resiko kematian atas hal-hal yang
tidak prinsip, fanatik berlebihan sebagai akibat dari pola pikir picik. Kondisi
tersebut kemudian melahirkan faham takfir.
Term Murji’ah berasal dari term bahasa Arab yaitu “al-irja’”, yang
bermakna; pertama, “al-ta’khir” yang artinya pengakhiran atau penundaan,
kedua, “i‘ta al-raja’” yang artinya memberi pengharapan. Penggunaan kata
murji’ah sebagai suatu kelompok atau sekte sebagaimana ditunjukkan pada
makna yang pertama itu benar dan sesuai. Sebab, dalam paham sekte ini,
mengakhirkan amal dari pada niat dan aqidah. Adapun dengan makna yang kedua
juga tepat.
Murji’ah adalah kaum yang berpendapat, kemaksiatan tidak akan
membahayakan iman, sebagaimana ketaatan tidak akan berfaedah bagi orang
kafir.
Menurut al-Syahristani, Murji’ah adalah suatu kelompok yang berbicara
tentang iman dan amal (hubungan iman dan amal), tetapi mereka ada kesamaan
dengan Khawarij. pada beberapa hal dalam persoalan imamah (kepemimpinan).
Pokok ajaran dari Murji’ah diantaranya: orang yang berbuat dosa besar tetap
mukmin selama ia telah beriman, dan bila meninggal dunia dalam keadaan
berdosa, maka segala ketentuannya tergantung Allah di akhirat kelak. Perbuatan
kemaksiatan tidak berdampak apa pun terhadap orang bila telah beriman.
Sekte Murji’ah ekstrim yaitu al-Jahamiyyah, al-Shalihiyyah, alYunusiyyah, al-
Ubaidiyyah dan al-Gassaniyyah.
1. Doktrin Ekstrem
Menurut pendapatnya bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan
perbuatan yang timbul dari kemauannya, melainkan perbuatan yang dipaksakan
atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukan
terjadi atas kehendaknya sendiri, melainkan karena qadha dan qadar Tuhan yang
menghendaki demikian. Golongan ini memahami manusia tidak mempunyai
kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya,
tetapi terikat kepada kehendak mutlak Tuhan. Perbuatan-perbuatan diciptakan
Tuhan di dalam diri manusia, tak obahnya dengan gerakan yang diciptakan dalam
benda-benda mati. Oleh karena itu manusia dikatakan “berbuat” bukan dalam arti
sebenarnya, melainkan dalam arti majazi atau kiasan, tak obahnya sebagaimana
disebut air mengalir, batu bergerak, matahari terbit, dan sebagainya. Segala
perbuatan manusia merupakan perbuatan yang dipaksakan atas dirinya, termasuk
di dalam perbuatan-perbuatan seperti mengerjakan kewajiban, menerima pahala,
dan siksa. Singkatnya, manusia tidaklah punya andil dalam perbuatannya.
Manusia tidak obahnya bagaikan wayang yang dikendalikan oleh dalangnya.
Pemuka Jabariah ekstrem adalah: Jahm bin Shafwan dan Ja’d bin Dirham.
2. Doktrin Moderat
Jabariah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia,
baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai bagian
di dalamnya, tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk
mewujudkan perbuatannya.inilah yang dimaksud dengan kasab (ecquistion).
Menurut paham kasab, manusia tidak majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti
wayang yang terkendali di tangan dalang dan tidak pula menjadi pencipta
perbuatan, tetapi manusia memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.
Pemuka Jabariah moderat ialah: Al-Najjar dan Adh-Dhirar.
Qadariyah berasal dari bahasa Arab, yaitu kata qadara ( درJJ )قyang artinya
kemampuan ( )استطاعdan kekuatan ()قوي. Nama Qadariyah berasal dari pengertian
bahwa manusia mempunyai qudrah atau kemampuan untuk melakukan
kehendaknya, Dalam istilah Inggrisnya, paham ini dikenal dengan nama free will
dan free act. Kelompok Qadariyah juga percaya kepada taqdir. Akan tetapi taqdir
bagi mereka bukanlah bermakna “nasib” melainkan bermakna kemampuan,
kekuatan, atau kekuasaan.
Faham takdir dalam pandangan Qadariyah adalah ketentuan Allah yang
diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta seluruh isinya yang dalam istilah Al-
qur’an adalah sunatullah , yaitu hukum-hukum Tuhan yang diciptakan-NYA,
dan hukum-hukum itu berlaku untuk alam semesta beserta isinya. Alam semesta
beserta segala isinya tentulah berjalan menurut sunnatullah yang telah ditetapkan
oleh Allah. Sunnatullah menunjukkan perjalanan sebab akibat. Manusia mampu
mengetahui dan membuat rencana untuk melaksanakan pilihan dalam hidupnya.
Bahkan manusia harus mampu menguak rahasia sunnatullah yang amat banyak
dan rumit itu. Apalagi sesuai dengan yang dinyatakan oleh Allah sendiri bahwa
sunnatullah itu tidaklah akan pernah berubah.
MU’TAZILAH
Mu’tazilah berasal dari kata “I’tizal” yang artinya memisahkan diri. Mu’tazilah
adalah salah satu aliran pemikiran dalam islam yang banyak terpengaruh dengan
filsafat barat sehingga berkecenderungan menggunakan rasio sebagai dasar
argumentasi. Aliran Mu’tazilah mucul kira-kira pada permulaan abad pertama
Hijriyah, di kota Basrah (Irak).
Mu’tazilah ini diberikan oleh orang dari luar mu’tazilah karena pendiriannya
wasihil bin atha’ tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya, Asan al-
basihiri. Dalam perkembangan selanjutnya, nama ini kemudian disetujui oleh
pengikut mu’tazilah dan digunakan sebagai nama dari aliran teologi mereka.
Menurut Almas’udi, sebutan Mu’tazilah berasal dari pendapat mereka yang
mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan mukmin, juga bukan
kafir, tetapi mengambil posisi diantara keduanya (Almanzilah bainal
manzilatain).
Sedangkan Menurut Ahmad Amin, sebutan Mu’tazilah sudah ada kurang lebih
100 tahun sebelum terjadinya perselisihan pendapat antara Wasil bin Atha
dengan Hasan Basri di mesjid Basrah. . Golongan yang disebut Mu’tazilah pada
waktu itu adalah mereka yang tidak ikut melibatkan diri dalam pertikaian.
Golongan yang tidak ikut pertikaian itu mengatan,”Kebenaran tidak mesti berada
pada salah satu pihak yang bertikai, melainkan kedua-duanya bisa salah,
sekurangkurangnya tidak jelas siapa yang benar. Sedangkan agama hanya
memerintahkan memerangi orang-orang yang menyeleweng. kalau kedua
golongan menyeleweng, maka kami harus menjauhkan diri (I’tazalna).
Al-Adl (Keadilan)
Bagi Mu’tazilah paham ini mereka munculkan karena ingin mensucika perbuatan
Tuhan dari persamaannya dengan perbuatan makhluk. Hanya tuhan yang berbuat
adil seadil-adilnya.Tuhan tidak mungkin berbuat zalim.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat buruk)
Mengenai hal ini kaum Mu’tazilah berpendapat sama dengan pendapat golongan-
golongan umat Islam lainnya. Kalaupun ada perbedaan hanya dari segi
pelaksanaannya, apakah seruan untuk berbuat baik dan larangan berbuat buruk
itu dilakukan dengan lunak atau dengan kekerasan.