NIM : 181310020
Jurusan : AFI/IV
1. - Pola pikir Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh Ibn Arabi dalam paham menurut
Hamzah Fansuri antara lain: Allah adalah zat yang mutlak dan qadim karena Dia (Allah)
sebagai pencipta, dan bahwa Allah itu bersifat Imanen juga tidak bertempat, Hakikat
wujud, wujud itu hanya kelihatan banyak tetapi hakikatnya hanyalah satu, semua benda
yang ada sebenarnya gambaran dari wujud yang hakiki, Manusia, manusia merupakan
tingkat terakhir dari penjelmaan, tingkat yang paling penting, penjelmaan yang paling
penuh dan sempurna. Manusia adalah pancaran langsung dari Dzat yang mutlak.
Kemudian menurut Hamzah Fansuri adanya kesatuan antara manusia dan Allah.
Wahyu menurut Harus Nasution adalah sebagai penolong akal untuk mengetahui alam
akhirat dan keadaan hidup manusia nanti. Wahyu juga memberikan kepada akal
bagaimana kesenangan dan kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan
dihadapinyadisana. Sungguhpun semua itu sukar untuk dipahami oleh akal, akan tetapi
menurut Harun akal bisa menerima adanya hal-hal tersebut. Lebih lanjut Harun
mengatakan bahwa Wahyu sebagi pemberi informasi kepada akal dalam mengatur
masyarakat atas dasar prinsip-prinsip yang sudah diwahyukan, dalam mendidik manusia
agar hidup dengan damai dengan sesamanya. Harun menambahkan bahwa dalam bidang
filsafat maupun ilmu kalam dan ilmu fiqh akal tidak pernah membatalkan wahyu.
Bagaimanapun juga, akal harus tunduk terhadap wahyu, sementara wahyu tetap selalu
dianggap benar. Bagi Haru, akal digunakan hanya digunakan untuk memahami teks
wahyu dan bukan untuk menentang keberadaan wahyu. Lebih lanjut ia mengatakan,
bahwa antara akal dan wahyu sebenarnya tidak bertentangan, yang menjadi pertentangan
sebenarnya adalah hasil penafsiran dari teks wahyu yang dilakukan oleh salah satu ulama
dengan penafsiran teks dan wahyu dari ulama lain.
1. Peranan Akal
Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suaatu kaum sangat berpengaruh
pada dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran agama islam. Menurut
Harun Nasution hal ini dikarenakan di dalam Al-Qur’an lebih banyak ayat yang
bersifat dzanni (dugaan) dibandingkan dengan ayat yang bersifat qhat’i (pasti). Oleh
karena itu diperlukan akal untuk menafsirkan ayat-ayat yang masih bersifat dugaan atau
belum jelas tersebut akan tetapi tidak juga merubah ayat-ayat yang sudah jelas.
Harun Nasution sangat menghargai peranan akal beliau berpendapat demikian:
Tema islam agama rasional kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution,
terutama dalam buku Akal dan Wahyu dalam islam, Teologi Islam: Aliran-aliran, Analisa
Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muhammad Abduh.
2. Pembaharuan Teologi
Pembaharuan teologi Harun Nasution pada dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa
keterbelakangan dan kemunduran umat islam disebabkan oleh “adanya kesalahan” dalam
teologi mereka. Teologi umat islam masa kini yang cenderung fatalistic, irasional, pre-
determinisme serta pasrah terhadap nasib telah membawa umat islam kedalam
kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat
islam, menurut Harun Nasution perlu diadakan perubahan teologi menuju teologi yang
berwatak rasional, serta mandiri.
Penilain yang kedua ditunjukkan Al-Banjari atas firqah Kharijiyah atau Khawarij
yang kemudian terpecah menjadi 12 firqah kecil. Ada beberapa ajaran atau keyakinan
Khawarij yang dikaji Al-banjari dalam kitab Tuhfah al-Raghibin. Diantaranya adalah
kebiasaan kaum Khawarij mengkafirkan orang Islam yang mengerjakan dosa besar. Yang
dimaksud mengkafirkan orang yang berdosa besar itu tidak hanya yang meninggalkan
shalat dan zakat, tetapi juga yang terlibat dal peristiwa ttahkim (aritbase). Keyakinan
seperti itu jelas bertentangan dengan paham Al-Qur’an dan Hadis seperti yang dipahami
Al-Banjari.
Penilaian yang ketiga diarahkan kepada firqah Jabariyah yang terpecah menjadi 12 sekte
kecil. Kitab Tuhfah al-Raghibin, ada beberapa penilain Al-Banjari terhadap ajaran firqah
Jabariyah, di antara nya yaitu: (1) keyakiyanan kaum jabariyah bahwa segala perbuatan
manusia, baik amal kebajikan seperti imam dan amal saleh maupun kejahatan seperti
kufur dan maksiat, semata-mata dari Allah; (2) keyakinan mereka bahwa manusia tidak
mempunyai daya dan usaha dalam segala perbuatan sebab manusia bagaikan benang
yang tergantung lalu ditiup angina ke kanan dan ke kiri. Keyakinan Jabariyah seperti itu,
menurut Al-Banjari bertentangan dengan Al-Qur’an dan ijma ulama. Jelas disini bahwa
Al-Banjari,tidak sependapat dengan paham Jabariyah yang memandang bahwa semua
perbuatan itu diciptakan dan dilakukan atas iradah (kehendak) dan qudrah (kuasa) Allah.
Keyakinan seperti ini dinilai oleh Al-Banjari dapat membawa pada kekufuran karena ia
dapat menimbulkan perbuatan jahat seperti berzina dan mencuri dengan
mengatasnamakan iradah dan qudrah Allah swt.
Menurut Nawawi, posisi wahyu lebih tinggi ketimbang akal manusia, meskipun
keduanya berasal dari Tuhan. Tidak semua hal mampu ditangkap oleh daya akal manusia,
oleh karenanya Tuhan mengutus para Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada
manusia. Dalam masalah akidah, ada pembahasan yang tidak bisa dijangkau oleh akal,
seperti masalah sam’iyyah, oleh karenanya manusia mendapatkan informasi itu melalui
wahyu. Hal itu menunjukan keterbatasan akal, dengan arti akal tidak mampu menjangkau
segala sesuatu dengan bebas dan mutlak
Dalam masalah mengetahui Tuhan, menurut nawawi akal mampu untuk mengetahui
Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tanpa perantara wahyu. Akan tetapi, mengenai nama Tuhan
yaitu “Allah” dan juga nama-nama-Nya yang baik (asmâ’ al-husnâ’) tidak bisa diketahui
kecuali dari perantara wahyu yang dibawa oleh seorang Rasul. Kemudian kewajiban
mengetahui Tuhan, perintah dan larangan Tuhan, menurut Nawawi adalah dapat
diketahui melalui wahyu bukan oleh akal. Nampaknya dalam pemahaman Syekh Nawawi
tentang wahyu dan akal lebih berat kepada pemikiran Asy’ariyyah ketimbang
Mâturîdiyyah. Meskipun dalam masalah akidah, Nawawi menyerukan untuk mengikuti
dua mazhab, Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah.
- Iman
Syekh Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan iman adalah engkau
membenarkan dalam hati terhadap wujud Allah dan sifat-sifat-Nya yang wajib, juga
tentang melihat Allah di akhirat bagi seorang mukmin, membenarkan malaikat-malaikat
Allah, dan meyakini bahwa mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan-Nya,
membenarkan para Rasul-rasul-Nya, juga membenarkan sesuatu yang mereka sampaikan
itu datang dari Allah, membenarkan adanya hari akhir dan kebangkitan, juga takdir Allah
yang baik dan yang buruk.. Dari semua cakupan iman yang dijelaskan Nawawi di atas,
ada hal yang mendasar dari iman itu sendiri, yaitu “Al-Tasdîq” (membenarkan dalam
hati). Menurutnya pokok iman adalah pembenaran dalam hati, maka tidak sah imannya
seseorang yang imannya disertai dengan keraguan (skeptis) di dalam hati tentang hal-hal
yang telah disebutkan di atas. Karena bagi Nawawi meragukan hal-hal itu bisa
mengantarkan seseorang terhadap kemurtadan dalam akidah, Oleh karenanya, tasdîq
adalah hal yang paling pokok dan mendasar dalam iman.
- Perbuatan
Menurut Nawawi manusia tidaklah bebas dalam berbuat sesuatu, bahkan ia mengatakan
bahwa, manusia sama sekali tidak bisa membuat bekas atau dampak dari perbuatannya,
karena yang menentukan hasil akhir dari perbuatan manusia bukanlah dirinya melainkan
Allah. Bagi Nawawi pengaruh kasab bagi manusia sangatlah kecil perannya dalam
mewujudkan hasil dari perbutan itu, sebaliknya pengaruh kuasa mutlak Tuhan yang justru
lebih menentukan hasil dari semua perbuatan manusia. Oleh karena itu, semua perbuatan
manusia adalah makhluk dan diciptakan Tuhan. Bagi seorang Muslim wajib meyakini
bahwa Tuhanlah yang infirâd dalam membuat atsar (bekas) dari setiap perbuatan manusia