Anda di halaman 1dari 8

Nama : Imamah Fida’i

NIM : 181310020

Jurusan : AFI/IV

Mata Kuliah : Ilmu Kalam Nusantara

Dosen : Dr. Moh. Hudaeri, M.Ag

Lembar Jawaban UAS

1. - Pola pikir Hamzah Fansuri banyak dipengaruhi oleh Ibn Arabi dalam paham menurut
Hamzah Fansuri antara lain: Allah adalah zat yang mutlak dan qadim karena Dia (Allah)
sebagai pencipta, dan bahwa Allah itu bersifat Imanen juga tidak bertempat, Hakikat
wujud, wujud itu hanya kelihatan banyak tetapi hakikatnya hanyalah satu, semua benda
yang ada sebenarnya gambaran dari wujud yang hakiki, Manusia, manusia merupakan
tingkat terakhir dari penjelmaan, tingkat yang paling penting, penjelmaan yang paling
penuh dan sempurna. Manusia adalah pancaran langsung dari Dzat yang mutlak.
Kemudian menurut Hamzah Fansuri adanya kesatuan antara manusia dan Allah.

- Menurut Nurudin ar-raniri Pandangan tentang Tuhan, ia berupaya menyatuhkan paham


mutakllimin dengan para sufi yang diwakili oleh Ibn Arabi, ia berpendapat bahwa pada
hakikatnya alam ini tidak ada, yang ada hanyalah wujud Allah Yang Maha Esa. Jadi
alam ini bias dikatakan bersatu dan juga bias berberda dengan Allah. Tentang Alam, ia
menolak pandangan Ibn Arabi tentang peciptaan alam melalui teori Al-Faidh (emanasi),
menurutnya Allah menciptakan alam dari Tajalli Allah. Tentang Manusia, ia
berpandangan bahwa manusia merupakan mahkluk Allah yang paling sempurna.
Tentang Wujudiyyah, ia berpendapat bahwa wahdat al-wujud dapat membawa pada
kekafiran, karena jika benar Tuhan dan manusia hakikatnya satu, maka dapat dikatakan
bahwa Tuhan adalah manusia dan manusia adalah Tuhan. Tentang Syariat dan Hakikat,
menurutnya pemisah antara syari‟at dan hakikat merupakan sesuatu yang tidak benar,
tidak ada jalan menuju Allah kecuali melalui syariat yang merupakan pokok dari cabang
Islam.
2. - Harun mengatakan; “Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena
akalnyalah maka manusia mempunyai kesanggupan untuk melakukan kesanggupan
untuk menaklukan kekuatan makhluk laindi sekitarnya. Bertambah tiggi akal manusia
bertambah tinggi kesanggupannya untuk mengalahkan makhluk lain. Bertambah lemah
kekuatan akal manusia, bertambah mudah kesanggupan menghadapi keuatan-kekuatan
lain tersebut.”

Wahyu menurut Harus Nasution adalah sebagai penolong akal untuk mengetahui alam
akhirat dan keadaan hidup manusia nanti. Wahyu juga memberikan kepada akal
bagaimana kesenangan dan kesengsaraan dan bentuk perhitungan yang akan
dihadapinyadisana. Sungguhpun semua itu sukar untuk dipahami oleh akal, akan tetapi
menurut Harun akal bisa menerima adanya hal-hal tersebut. Lebih lanjut Harun
mengatakan bahwa Wahyu sebagi pemberi informasi kepada akal dalam mengatur
masyarakat atas dasar prinsip-prinsip yang sudah diwahyukan, dalam mendidik manusia
agar hidup dengan damai dengan sesamanya. Harun menambahkan bahwa dalam bidang
filsafat maupun ilmu kalam dan ilmu fiqh akal tidak pernah membatalkan wahyu.
Bagaimanapun juga, akal harus tunduk terhadap wahyu, sementara wahyu tetap selalu
dianggap benar. Bagi Haru, akal digunakan hanya digunakan untuk memahami teks
wahyu dan bukan untuk menentang keberadaan wahyu. Lebih lanjut ia mengatakan,
bahwa antara akal dan wahyu sebenarnya tidak bertentangan, yang menjadi pertentangan
sebenarnya adalah hasil penafsiran dari teks wahyu yang dilakukan oleh salah satu ulama
dengan penafsiran teks dan wahyu dari ulama lain.

- Dalam ranah pemikiran Islam (baca; Ilmu Kalam), perbuatan manusia


diinterpretasikan oleh dua aliran yang paradoks. Pertama, ada yang memandangnya
sebagai kehendak bebas manusia. Bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu adalah
diciptakan manusia sendiri. Manusialah yang berkehendak. Apa yang dia inginkan,
dia bisa lakukan. Sebaliknya, yang tidak diinginkan, dia bisa saja untuk tidak
melakukannya. Kedua, begi kelompok ini perbuatan manusia itu bukan diciptakan
oleh manusia. Melainkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Bagi kelompok ini,
manusia tidak bias berbuat apa-apa, manusia tidak memiliki kekuatan untuk
melakukan perbuatan. Manusia hanyalah dikendalikan Allah subhanahu wa ta’ala.
Aliran pertama ini, dalam pemikiran Islam dikenal dengan sebutan Qadariyah.
Sementara yang kedua disebut Jabariyah.

kata Harun Nasution, memandang lemah manusia. Karenanya, al-Asy’ari lebih


dekat kepada paham Jabariyah. Manusia dalam kelamahannya banyak bergantung
kepada kehendak dan kekuasaan Tuhan. Untuk menggambarkan hubungan
perbuatan manusia dengan kewamauan dan kekuasan mutlak Tuhan, al-Asy’ari
memakai kata al-Kasb (acquisition, perolehan).

Dalam kitabnya al-Maqalat, sebagaimana dikutip Harun Nasution, Arti al-kasb


menurut al-Asy’ari, ialah bahwa sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang
diciptakan dan dengan demikian menjadi perolehan atau kasb bagi orang yang
dengan dayanya perbuatan itu timbul. Di kitabnya yang lain, al-Luma, al-Asy’ari
juga memberi penjelasan yang sama. Arti yang sebenarnya dari al-Kasb ialah
bahwa sesuatu timbul dari al-Muktasib (acquirer, yang memperoleh) dengan
perantaraan daya yang diciptakan.

Tentang teori al-Asy’ari di atas, Harun Nasution memberi komentar. Menurutnya,


term-term “diciptakan” dan “memperoleh” mengandung arti kompromi antara
kelemahan manusia, diperbandingkan dengan kekuasaan mutlak Tuhan, dan
pertanggungjawaban manusia atas perbuatan-perbuatannya. Kata-kata timbul dari
yang memperoleh membayangkan kepasifan dan kelemahan manusia. Kasb atau
perolehan mengandung arti keaktifan dan dengan demikian tangggung jawab
manusia atas perbuatannya. Tetapi keterangan bahwa kasb itu adalah ciptaan
Tuhan, menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif
dalam perbuatan-perbuatannya.

3. Harun Nasution. dikenal sebagai pemikir rasional Indonesia, yang mengklaim


dirinya sebagai neo-Mu’tazilah. Klaim ini membawa kepada pengakuan lain bahwa ia
merupakan pengikut yang absah dari gerakan pembaruan Abad Pertengahan Mu’tazilah.
Klaimnya ini dia buktikan dengan thesis doktronya di McGill University, Montreal,
Canada, tahun 1968 dengan judul The Place of Reason in Abduh’s Thology, Its Impact on
his Theological System and Views.  Disertasi ini kemudian diterbitkan menjadi buku
dengan judul Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), cet. I, 1987). Harun mengkritik bahwa runtuhnya
teknologi dan ekonomi dunia Muslim sebagiannya disebabkan karena mereka menganut
paham teologi Asy’ariyyah. Karena dalam pandangan Harun, teologi Asy’ariyyah adalah
fatalistik.

Dalam tulisannya “The Mu’tazila and Rational Philosophy”, Harun menyatakan,


“The doctrines of dynamism, human freedom and accountability, rationalism and
naturalism taught by the Mu’tazila contributed significantly to the development of
philosophy and the religious and secular sciences during the Classical Period of Islamic
civilization.” (Lihat, Harun Nasution, “The Mu’tazila and Rational Philosophy”, dalam
Richard C. Martin, Mark R. Woodward, and Dwi S. Atmaja, Defenders of Reason in
Islam: Mutazilism from Medieval School to Modern Symbol (Oxford: Oneworld, 1997),
hlm. 191-192).

Dalam tulisannya di atas, Harun mengklaim bahwa kontribusi Mu’tazilah dalam


peradaban Islam klasik begitu signifikan, utamanya pada perkembangan filsafat, agama
dan ilmu-ilmu sekular (alam). Klaim Harun tentu saja ini sangat berlebihan. Seolah-olah
tidak ada kontribusi dari pemikir dan intelektual lain, khususnya para ulama kalangan
Ahl al-Sunnah wa al-Jamāʻah. Padahal, kontribusi pemikiran yang sangat fenomenal
sampai hari ini bukan milik Mu’tazilah, tetapi milik Ahl al-Sunnah wa al-Jamā’ah. Harun
mungkin lupa di Baghdad Mu’tazilah juga tidak memberikan kontribusi apa-apa di abad
ke-5.

Di dalam Ilmu Kalam Harun Nasution mengungkapkan beberapa pendapat diantaranya:


peranan akal, pembaharuan teologi, dan hubungan akal dan wahyu, untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

1.     Peranan Akal
         Besar kecilnya peranan akal dalam sistem teologi suaatu kaum sangat berpengaruh
pada dinamis atau tidaknya pemahaman seseorang tentang ajaran agama islam. Menurut
Harun Nasution hal ini dikarenakan di dalam Al-Qur’an lebih banyak ayat yang
bersifat dzanni (dugaan) dibandingkan dengan ayat yang bersifat qhat’i (pasti). Oleh
karena itu diperlukan akal untuk menafsirkan ayat-ayat yang masih bersifat dugaan atau
belum jelas tersebut akan tetapi tidak juga merubah ayat-ayat yang sudah jelas.

         Harun Nasution sangat menghargai peranan akal beliau berpendapat demikian:

“Akal melambangkan kekuatan manusia. Karena akallah, manusia mempunyai


kesangupan untuk menaklukkan kekuatan mahluk lain disekitarnya. Bertambah tinggi
akal manusia, bertambah tinggilah kesangupannya menghadapi kekuatan-kekuatan lain
tersebut”

          Tema islam agama rasional kuat bergema dalam tulisan-tulisan Harun Nasution,
terutama dalam buku Akal dan Wahyu dalam islam, Teologi Islam: Aliran-aliran, Analisa
Perbandingan, dan Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Muhammad Abduh.

          Dalam rangka menghormati penggunaan akal itulah Harun Nasution 


menginginkan agar umat islam melakukan ijtihad dan menjauhi taklid, suatu ide yang
sudah sering di kumandangkan kaum moderenis sebelumnya.

2.     Pembaharuan Teologi

         Pembaharuan teologi Harun Nasution pada dasarnya dibangun di atas asumsi bahwa
keterbelakangan dan kemunduran umat islam disebabkan oleh “adanya kesalahan” dalam
teologi mereka. Teologi umat islam masa kini yang cenderung fatalistic, irasional, pre-
determinisme serta pasrah terhadap nasib telah membawa umat islam kedalam
kesengsaraan dan keterbelakangan. Dengan demikian, jika hendak mengubah nasib umat
islam, menurut Harun Nasution perlu diadakan perubahan teologi menuju teologi yang
berwatak rasional, serta mandiri.

4. Penilaian KH Arsyad Al-Banjari tentang Firqoh Aqidah


Dalam upayanya menyelamatkan umat Islam dari berbagai firqah yang sesat, Al-
Banjari memberikan penilain atas beberapa ajaran firqah akidah dan firqah tawawuf yang
berkembang di masyarakat.
Penilaian pertama ditujukan firqah Rafidhiyah yang menurut Al-Banjari terpecah
menjadi 12 firqah kecil. Dalam Tuhfah al-Raghibin,Al-Banjari menilai beberapa ajaran
atau keyakinan yang dianut oleh firqah Rafidhiyah. Di antara yang dinilainya adalah
sebagai berikut:
1) keyakinan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Nabi Allah, dan malaikat Jibril keliru
membawa wahyu kepada Nabi Muhammad saw,kemudian Al-Banjari menyatakan bahwa
keyakinan seperti itu dapat membawa kepada kekufuran
2) keyakinan adanya hulul dan tanasukh (reinkarnasi);
3) keyakinan bahwa Tuhan berjisim seperti jasad para nabi dan imam mereka.

Ajaran-ajaran Rafidhiyah seperti ini kebanyakan diajarkan oleh kelompok Syi’ah


ghulat (ekstrem) yang ditentang oleh Syi’ah Itsna ‘Asyari. Dalam penilaian Al-
Banjari,kaum Rafidhiyah merupakan sejahat-jahat ahli bid’ah,bahkan mereka boleh
dibunuh. Hal ini harus dipahami sebagai upaya Al-Banjari membentengi atau menjaga
masyarakat Banjar sebagai objek dakwahnya supaya tidak terpengaruh oleh paham
Rafidhiyah. Karena, menurut Al-Banjari keyakinan kaum Rafidhiyah jelas dapat merusak
paham Ahl al-Sunnah wa al-Jam’ah.

Penilain yang kedua ditunjukkan Al-Banjari atas firqah Kharijiyah atau Khawarij
yang kemudian terpecah menjadi 12 firqah kecil. Ada beberapa ajaran atau keyakinan
Khawarij yang dikaji Al-banjari dalam kitab Tuhfah al-Raghibin. Diantaranya adalah
kebiasaan kaum Khawarij mengkafirkan orang Islam yang mengerjakan dosa besar. Yang
dimaksud mengkafirkan orang yang berdosa besar itu tidak hanya yang meninggalkan
shalat dan zakat, tetapi juga yang terlibat dal peristiwa ttahkim (aritbase). Keyakinan
seperti itu jelas bertentangan dengan paham Al-Qur’an dan Hadis seperti yang dipahami
Al-Banjari.

Penilaian yang ketiga diarahkan kepada firqah Jabariyah yang terpecah menjadi 12 sekte
kecil. Kitab Tuhfah al-Raghibin, ada beberapa penilain Al-Banjari terhadap ajaran firqah
Jabariyah, di antara nya yaitu: (1) keyakiyanan kaum jabariyah bahwa segala perbuatan
manusia, baik amal kebajikan seperti imam dan amal saleh maupun kejahatan seperti
kufur dan maksiat, semata-mata dari Allah; (2) keyakinan mereka bahwa manusia tidak
mempunyai daya dan usaha dalam segala perbuatan sebab manusia bagaikan benang
yang tergantung lalu ditiup angina ke kanan dan ke kiri. Keyakinan Jabariyah seperti itu,
menurut Al-Banjari bertentangan dengan Al-Qur’an dan ijma ulama. Jelas disini bahwa
Al-Banjari,tidak sependapat dengan paham Jabariyah yang memandang bahwa semua
perbuatan itu diciptakan dan dilakukan atas iradah (kehendak) dan qudrah (kuasa) Allah.
Keyakinan seperti ini dinilai oleh Al-Banjari dapat membawa pada kekufuran karena ia
dapat menimbulkan perbuatan jahat seperti berzina dan mencuri dengan
mengatasnamakan iradah dan qudrah Allah swt.

5. – Akal dan Wahyu

Menurut Nawawi, posisi wahyu lebih tinggi ketimbang akal manusia, meskipun
keduanya berasal dari Tuhan. Tidak semua hal mampu ditangkap oleh daya akal manusia,
oleh karenanya Tuhan mengutus para Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada
manusia. Dalam masalah akidah, ada pembahasan yang tidak bisa dijangkau oleh akal,
seperti masalah sam’iyyah, oleh karenanya manusia mendapatkan informasi itu melalui
wahyu. Hal itu menunjukan keterbatasan akal, dengan arti akal tidak mampu menjangkau
segala sesuatu dengan bebas dan mutlak

Dalam masalah mengetahui Tuhan, menurut nawawi akal mampu untuk mengetahui
Tuhan dan sifat-sifat-Nya, tanpa perantara wahyu. Akan tetapi, mengenai nama Tuhan
yaitu “Allah” dan juga nama-nama-Nya yang baik (asmâ’ al-husnâ’) tidak bisa diketahui
kecuali dari perantara wahyu yang dibawa oleh seorang Rasul. Kemudian kewajiban
mengetahui Tuhan, perintah dan larangan Tuhan, menurut Nawawi adalah dapat
diketahui melalui wahyu bukan oleh akal. Nampaknya dalam pemahaman Syekh Nawawi
tentang wahyu dan akal lebih berat kepada pemikiran Asy’ariyyah ketimbang
Mâturîdiyyah. Meskipun dalam masalah akidah, Nawawi menyerukan untuk mengikuti
dua mazhab, Asy’ariyyah dan Mâturîdiyyah.

- Iman
Syekh Nawawi mengatakan bahwa yang dimaksud dengan iman adalah engkau
membenarkan dalam hati terhadap wujud Allah dan sifat-sifat-Nya yang wajib, juga
tentang melihat Allah di akhirat bagi seorang mukmin, membenarkan malaikat-malaikat
Allah, dan meyakini bahwa mereka adalah hamba-hamba yang dimuliakan-Nya,
membenarkan para Rasul-rasul-Nya, juga membenarkan sesuatu yang mereka sampaikan
itu datang dari Allah, membenarkan adanya hari akhir dan kebangkitan, juga takdir Allah
yang baik dan yang buruk.. Dari semua cakupan iman yang dijelaskan Nawawi di atas,
ada hal yang mendasar dari iman itu sendiri, yaitu “Al-Tasdîq” (membenarkan dalam
hati). Menurutnya pokok iman adalah pembenaran dalam hati, maka tidak sah imannya
seseorang yang imannya disertai dengan keraguan (skeptis) di dalam hati tentang hal-hal
yang telah disebutkan di atas. Karena bagi Nawawi meragukan hal-hal itu bisa
mengantarkan seseorang terhadap kemurtadan dalam akidah, Oleh karenanya, tasdîq
adalah hal yang paling pokok dan mendasar dalam iman.

- Perbuatan

Menurut Nawawi manusia tidaklah bebas dalam berbuat sesuatu, bahkan ia mengatakan
bahwa, manusia sama sekali tidak bisa membuat bekas atau dampak dari perbuatannya,
karena yang menentukan hasil akhir dari perbuatan manusia bukanlah dirinya melainkan
Allah. Bagi Nawawi pengaruh kasab bagi manusia sangatlah kecil perannya dalam
mewujudkan hasil dari perbutan itu, sebaliknya pengaruh kuasa mutlak Tuhan yang justru
lebih menentukan hasil dari semua perbuatan manusia. Oleh karena itu, semua perbuatan
manusia adalah makhluk dan diciptakan Tuhan. Bagi seorang Muslim wajib meyakini
bahwa Tuhanlah yang infirâd dalam membuat atsar (bekas) dari setiap perbuatan manusia

Anda mungkin juga menyukai