Sebenarnya wahyu dan akal adalah memiliki peran yang sama pentingnya
sebagai pendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan
bagi manusia sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akherat.
Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy, kata ini berarti suara, disamping
itu juga menurut Harun Nasution al-Wahyu, mengandung arti bisikan, isyarat,
tulisan dan kitab. Al-wahyu selanjutnya mengandung arti pemberitahuan
secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata tersebut lebih dikenal
dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi”. Jadi kata wahyu
mengandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar
diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Wahyu
Allah tersebut telah terangkum dalam kitab yaitu Alquran, dan Alquran inilah
sebagai pedoman hidup manusia yang banyak berisi tentang dorongan untuk
berbuat baik sesama manusia dan alam sekitar. Sedangkan akal secara
terminolgi terambil dari kata aqala yang berarti al-hijr yaitu “menahan”, dan
al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Seterunya
diterangkan pula oleh Ibn Munzir bahwa al-‘aqal mengandung arti
kebijaksanaan dalam bahasa Arab disebut al-Nuha yakni lawan dari lemah
pikiran, lebih lanjut dijelaskan Ibn Munzir, ‘aqal mengandung arti
memahami. Sementara Akal dalam arti aslinya menurut Harun Nasution
adalah mengikat dan menahan, dan akal itu selanjutnya dijelaskan oleh Harun
Nasutin, bukanlah otak, tapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
senada dengan Harun, akal menurut Amin Syukur, ialah pengetahuan tentang
hakikat segala keadaan, oleh karena itu akal itu ibarat sifat-sifat ilmu yang
tempatnya di hati. Jadi akal bukanlah hanya sekedar kemampuan berpikir
secara rasional tanp pertimbangan hati nurani, tapi akal menurut defenisi
diatas merupakan ikatan dari kemampuan berpikir rasional dan ketajaman hati
nurani, keduanya berjalan seimbang, sehingga menghasilkan kebijaksanaan
yang diharapkan, jika tidak berfungsi salah satunya, maka akan melahirkan
kebijakan yang kurang memadai bahkan subyektif. Bagaimanapun Akal
merupakan potensi yang hanya dimiliki manusia, tidak makhluk lain, dengan
akal manusia dapat mengenal dan mengusai makhluk lain yang ada
disekitarnya.
Kedua hal diatas antara wahyu dan akal sama-sama memiliki peran yang
besar dalam mendorong manusia untuk berilmu, betapa tidak, banyak ayat
Alquran yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya
mempergunakan akalnya dan banyak berpikir, seperti ungkapan apala
ta’qilun, apala tatafakarun dan apala yanzhuru. kata-kata yang mengandung
arti berpikir, selain dari kata akal, terdapat banyak dalam Alquran seperti
dabbara (merenungkan), faqiha (mengerti), nazara (melihat secara abstrak),
tafakkara (berpikir). Selain itu terdapat pula sebutan yang menggambarkan
sifat berpikir seorang muslim seperti ulul al-bab, ulul abshar (orang yang
melihat dengan akalnya) dan ulul ilm (orang yang mengetahui). Selanjutnya
kata ayat dalam Alquran erat kaitannya dengan berpikir. Arti asli ayat ialah
tanda yang menunjukkan pada sesuatu yang terletak tetapi tidak kelihatan
dibelakangnya, untuk mengetahuinya manusia harus memperhatikan tanda itu
dengan menggunakan akalnya.
Jadi peran wahyu disini yang pasti adalah disamping mendorong kerja
akal juga mengarahkan kerja akal agar tidak terpengaruh oleh hawa yang
dibawa oleh setan, karena banyak produk akal namun tidak membawa
kebaikan, hal itu disebabkan akal yang terpengaruh oleh hawa nafsu dan
kepentingan pribadi, sementara akal yang terpengaruh oleh wahyu, akan
berjalan sesuai dengan koridor yang ditetapkan, sehingga ia berjalan lurus.
Memang akal dapat menentukan baik buruk suatu perbuatan, namun kadang
baik buruk yang ditetapkan akal cenderung memiliki bias kepada kepentingan
pribadi, atau kelompok, dan biasanya baik buruk hasil dari akal itu tidak
konstan, ia bersifat relatif. Oleh karena itu stabilitas baik buruk itu harus
ditetapkan oleh wahyu.
Peran ilmu yang kedua, sebagai alat pengelola sumber daya Alam, karena
alam ini diciptakan oleh Allah untuk manusia, maka manusia berhak untuk
mengelolanya dengan baik, agar pengelolaanya berhasil dengan baik,
diperlukan perangkat atau alat berupa ilmu. Dalam mengeksploitasi alam ini
manusia harus mengenal norma-norma yang telah ditetapkan oleh Allah yang
kita sebut sunnatullah. Ketika manusia mengeksploitasi sumber daya alam,
manusia haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Memberi tempat yang wajar kepada makhluk hidup lainnya, dan juga
sesama manusia di bumi (Q.S: 17:20).
Rasa ingin tahu yang bersifat ilmiah dan penyelidikan ilmiah yang sistimatis
merupakan ciri yang menonjol dalam peradaban Islam, hal ini tidak
mengherankan karena Islam adalah sebuah agama yang rasional, tapi bukan
agama yang rasionalistik. Menurut Ziaudin sardar, Islam telah mengembangkan
sebuah kesadaran yang tinggi mengenai kedudukan akal sebagai inti dalam tradisi
agama, dan dalam mempertahankan sikap terhadap ilmu pengetahuan, Islam tidak
hanya menghargai dan menyuruh belajar, tapi juga memberikan metode
pengamatan yang rasional. Oleh karena itu Islam tidak hanya melahirkan ilmuan-
ilmuan besar, tapi juga menciptakan tradisi intelektual.
Dibawah pengaruh Islam, sain tumbuh subur dan mempuyai bentuk yang
unik, keunikannya tidak hanya dalam metode, tapi juga dalam epistimologi.
Lebih jauh dijelaskan oleh Sardar, epistimologi Islam mengandung konsep yang
holistik mengenai pengetahuan, dalam konsep tersebut tidak terdapat pemisahan
antara pengetahuan denga nilai, bila dikaitkan dengan fungsi sosial.
Berbicara mengenai permulaan lahirnya ilmu pengetahuan dikalangan umat
Islam. David Pingree menjelaskan, banyak pernyataan yang tidak masuk akal
telah dikemukan mengenai awal ilmu pengetahuan Islam oleh para ahli sejarah,
yang tidak punya waktu atau ambisi untuk menggali sumber-sumber asli, tapi
sudah puas dengan meneruskan tradisi histografis yang telah dimulai di Spanyol
pada abad 12, bahkan al-Nadim menurut C.A. Qadir telah mengklasifikasikan
pengetahuan Arab, dan memasukkan ilmu pengetahuan ke dalam katagori ‘ulum
al-Awail (ilmu-ilmu purba), dengan demikian mengaburkan asal usul ilmu
pengetahuan Islam dan memberi kesan seolah-seolah ilmu pengetahuan Islam itu
lahir setelah bangsa Arab dapat membaca karya para pemikir dari zaman purba.
Menurut C.A. Qadir, hal ini tidak benar dan tidak sesuai dengan faktanya, seperti
yang dikatakan diatas. Umat Islam maju dalam ilmu pengetahuan karena dilhami
oleh sekian banyak ayat dalam Alquran, yang mempersilahkan orang Islam untuk
mengamati alam sekitar, serta dorongan dari rasul untuk mencari ilmu.
Gerakan pengembangan keilmuan Islam terjadi pada permulaan ketika Islam
mulai mengembangkan sayap. Hasymi mengemukakan, terdapat tiga bidang
keilmuan Islam yaitu, dinniyah, tarikh, dan falsafah.
1. ilmu-ilmu dinniyah itu antara lain tafsir, Al-Hadist, fiqh dan akhlak. Gerakan
pengembangan ilmu-ilmu Dinniyah (agama) ini didorong oleh rasa kengin-
tahuan dan kebutuhan umat Islam untuk mengkaji dan memahami sumber
ajaran Islam yaitu Alquran dengan cara menafsirkan, menggali hukum, dan
tata bahasa. Pengembang keilmuan Islam bidang dinniyah ini dimulai sejak
zaman rasul.
2. Gerakan tarikh, artinya gerakan pengembangan ilmu dalam bidang sejarah,
yaitu pengumpulan dan pembahasan data-data sejarah, kisah- kisah dan
riwayat hidup. Pada masa permulaan Islam memang belum disusun kitab-kitab
sejarah, tapi pengumpulan dan pembenaran data sejarah menjadi dasar yang
penting bagi pengarang seperti Ibn Ishak. Gerakan pengembangan ilmu
sejarah di motivasi oleh keyakinan para khalifah untuk mengetahu riwayat
raja-raja bangsa lain, sistem organisasi dan politiknya.
3. Gerakan filasafat yaitu gerakan ilmu dalam bidang mantiq, kimia, kedokteran
(tibbi). Pengembangan ilmu ini belum begitu luas, tapi setelah Islam
berkembang pesat, dan berhasil menaklukkan daerah- daerah lain, sain Islam
terus berkembang.
Pengembangan sain Islam, tidak saja ilmu-ilmu yang membahas telaah agama,
tapi juga berkembang pada sain-sain modern. Perkembangan sain Islam diawali
dengan penaklukkan daerah-daerah sekitar jazirah Arab selama abad awal Islam
(mua’wiyah dan Abasyiah). Kondisi ini membawa mereka kepada hubungan yang
dekat dengan peradaban besar dunia. Diantara daerah-daerah taklukan Islam
terbentang dari Timur sampai Barat, antara lain Yunani, Aleksanderia, Mesir,
India, Cina dan Spanyol. Sebelum penulis menjelaskan penyebaran sain-sain
modern di kalangan muslim, penulis ingin menjelaskan lebih dahulu potensi-
potensi daerah yang telah dicapai sebelum ditaklukkan oleh kaum muslim.
Ditinjau dari teori komposisi ilmu pengetahuan, warisan kebudayaan Mesir Purba
(sejak 5000 tahun SM), India purba (sejak 4000 tahun SM), Tiongkok (sejak 2000
tahun SM), Persia (sejak 1000 tahun SM), serta Yunani (sejak 500 tahun SM),
semuanya itu belum disebut ilmu, karena kebudayaan mereka hanya
menghasilkan timbunan-timbunan pengetahuan yang berdasarkan pengamatan,
dan perenungan, tapi belum menghasilkan metode ilmiah yang sistimatis, seperti
dalam teori ilmu pengetahuan. Pengetahuan mereka masih bercampur baur
dengan tahayul, kepercyaaan dan filsafat, yang berpikir spekulatif.
Mesir Purba telah menghasilkan limas (Piramida) yang hebat, dan sistem
pengairan yang baik serta ilmu perbintangan (astronomi). Tapi ilmu bintang
mereka masih tercampur aduk dengan ilmu peramalan (astrologi). Ahli-ahli
pengetahuan mereka adalah pendeta-pendeta yang tak mengenal batas antara
logika, tahayul dan kepercayaan, yakni penyembahan terhadap tritunggal (Apis-
Isis-Osiris). Tiongkok purba lebih maju lagi dari Mesir, tapi pengetahuan mereka
masih bercorak kudus atau sakral yaitu pemberian dari Thian dan tidak
berdasarkan obyektif, dan empirik, dalam cara berpikir mereka juga masih
berdasarkan firasat dan renungan. India dengan kecenderungan semedinya,
dengan maksud menunggalnya manusia dengan dewata (monisme) dan
pantheisme (hadirnya dewata dalam segala yang ada). Agama Hindu menyembah
lebih dari 24.000 dewa yang tercakup dalam Tritunggal, yaitu Brahma, Syiwa dan
Wisnu. Warisan positif dari India terhadap Islam antara lain, tata bahasa sankrit.
Islam mengambil dari India yakni masalah angka dan pengertian nol, dan
penggunaan ilmu pasti dalam ilmu bintang, dan sedikit ilmu ramu-meramu obat
dan racun. Persia juga banyak berjasa dalam mewariskan keahliannya dalam
teknik membuat tembikar, sedangkan Yunani-Rumawi mewarisi filsafat
Anthroposentrik (manusia berada pada pusat segalanya), mereka lebih banyak
berlawanan dengan kecenderungan Mesir Purba, India dan Tiongkok. Orang
Yunani ternyata lebih rasionalistik
Penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat, pertama tidak lepas dari
peran bangsa Syiria. Syria waktu itu sebagai tempat bertemunya dua adi kuasa
dunia, yaitu Roma dan Persia. Melalui umat Kristen Syiria yang terdiri dari sekte
Nestorian dan Monofisit, ilmu Yunani seperti kedokteran, filsafat, matematika,
astronomi, dan teknologi tersebar ke wilayah persia dan Arab (dunia muslim).
Kedua sekte ini menyebarkan pengetahuan Yunani melalui sekolah-sekolah
mereka, walaupun tujuan sekolah tersebut adalah untuk menyebarkan
pengetahuan Injil, namun pengetahuan modern terutama kedokteran tidak dapat
diabaikan. Menurut Mehdi Nekosten kedua kaum ini (Nestorian dan Monofisit)
dikucilkan oleh gereja induk, karena perbedaan doktrinal, dan mereka dipaksa
untuk pindah ke wilayah yang lebih bersahabat yakni Persia dan Arab. Perbedaan
doktrinal kedua sekte Kristen ini adalah sangat prinsipil. Sekte Monofisit
berpendirian, bahwa hanya ada satu kodrat dalam diri Yesus Kristus, sementara
Nestorian berpendirian bahwa Kristus terdiri dari dua pribadi, pribadi ketuhanan
dan kemanusiaan.
Persentuhan muslim dengan budaya lain menjadikan kaum muslim maju
dalam sain modern. Perkembangan ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan
yang terjadi pada masa pemerintaah Abasyiah. Perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam diawali melalui aktivitas penerjemahan terhadap buku-buku
pengetahuan Yunani. Pekerjaan penerjemaham ini diawali pada masa khalifah
Harun Al-Rasyid (786-809 M) tetapi kerja penerjemahan secara serius baru
dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mun (813-833 M). Khalifah ini kemudian
mendirikan lembaga khusus yang disebut Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah
menurut Philip
K. Hitty yang merujuk pada Ibnu Nadhim dalam al-Fihris bahwa ia didirikan
oleh Ma’mun tahun 830M/215 H, sebagai wujud ketertarikannya pada rasionalitas
dan pengakuannya atas kebersamaan jalan antara sosialitas dan ajaran agama. Bait
al-Hikmah didirikan merupakan perpaduan bentuk kelembagaan/institusi
akademi, perpustakaan dan biro penerjemahan.
Sejak aktivitas penerjemahan telah dilembagakan, maka terjadi penerjemahan
besar-besaran. Aktifitas penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad ke-9 dan
sebagian abad ke 10. Terjemahan pertama dikerjakan dari bahasa Syiria, karena
sebagian besar karya Yunani telah diterjemahkan kebahasa Suryani, untuk
kepentingan umat Kristen yang berbicara bahasa Suryani. Keuntungan bagi para
penerjema adalah kerena bahasa Suryani masih serumpun dengan bahasa Arab
dan banyak kaum muslim yang pandai berbahasa Suryani. Lebih lanjut Mahdi
Nekosten menjelaskan, bahwa prosedur penerjemahan memiliki beberapa tahap
pertama, materi secara langsung diterjemahkan dari bahasa Yunani ke Bahasa
Arab, kedua, materi diterjemahkan ke bahasa Syiria, kemudian ke bahasa Arab,
ketiga, materi diterjemahkan dari bahasa India ke bahasa Pahlevi, kemudian ke
bahsa Syiria, dan selanjutnya ke bahasa Arab. Ada juga materi yang pada
dasarnya adalah ulasan dari karya Yunani dan Persia yang kemudian
dikembangkan pada masa pra-Islam, setelah melalui tahapan yang panjang
sampai menjelang akhir abad 9 sementara pada awal abad 10, kaum muslim mulai
lebih mandiri berkreatifitas dalam pengembagan ilmu pengetahuan.
Pada awalnya sebagian penerjemahan dilakukan kata-perkata, sehingga agak
sulit dimengerti, bahkan ada kata yang sulit dicari padanannya, maka bahasa
aslinya dialihkan apa adanya. Selanjutnya dijelaskan oleh Franz Rosenthal, bahwa
ada dua metode penerjemahan, pertama, penerjemah (translator) mempelajari
tiap-tiap kata dari bahasa Yunani dan maknanya, kemudian memilih padananya
dalam bahsa Arab, selanjutnya diterjemahkan. Metode ini amat sulit, karena
kesulitan menemukan padanan antara kata Arab dengan Yunani, begitupula
tatabahasanya. Kedua, penerjemah memahami seluruh kalimat, kemudian
mengekspresikannya dalam bahasa Arab yang maknanya identik dengan teks
aslinya. Metode ini tidak memahami kata perkata, tapi kalimat per- kalimat atau
mungkin perpragraf.
Para penerjemah yang datang kemudian, menyalin dan menyempurnakanya.
Dalam usaha penerjemahan ini menurut Nourouzaman yang merujuk pada Philip
K. Hitty, bahwa mereka tidak hanya sekedar menerjemahkan, akan tetapi juga
memasukkan buah pikiran mereka, dengan cara demikian, maka buku-buku plato,
Aristoteles, Galen dan Ptolemeus yang sulit difahami menurut aslinya, menjadi
jelas, selain itu mereka juga mengkaji hasil-hasil temuan dan kajian asli mereka
sendiri. Manuskrif pertama yang diterjemahkan adalah naskah-naskah yang
mengandung minat praktis bangsa Arab berupa buku-buku kedoteran, Astronomi,
Matematika dan kimia. Penerjemahan ilmu kedokteran karena dilatarbelakangi
ketika umat Islam menduduki Iraq, orang-orang Arab telah mendapatkan
pelayanan medis, menurut Sayyed Hossein Nasr, penerjemahan bidang
kedokteran berawal ketika khalifah Mansur menderita penyakit “dispepsia”, ia
meminta bantuan para dokter Jundishapur, ketika itu pusat medis dan rumah sakit
dikepalai oleh Jirjis Bakhtyishui, karena keberhasilan Jirjis menyembuhkan
penyakit Khalifah, maka merupakan awal pengalihan medis Jundishaphur ke
Bagdad. Sedangkan penerjemahan ilmu Astronomi, menurut Nasim Butt, karena
Astronomi erat kaitannya dengan praktek ibadah dan teknik perhitungan waktu
shalat, dan saat penentuan jadwal puasa. Karya Astronomi diambil dari tulisan
astronomi Yunani yaitu Ptolemeus. Sedangkan penerjemahan ilmu matematika
terhjadi sekitar abad ke 4 H/10 M, para penerjemah yang menonjol abad tersebut
seperti Tsabit bin Qurrah, ia menerjemahkan “kerucut” karya Apollonius dan
beberapa naskah Archimedes dan pengantar Aritmatika. Penerjemahan ilmu
matematika tersebur dilakukan karena ilmu ini berfungsi untuk menyelesaikan
persoalan kehidupan sehari-hari seperti perhitungan zakat, dan warisan.
Dalam keterangan yang lebih rinci, Nekosten mencoba merinci para
penerjemah dan hasil karyanya yang masih tersimpan di berbagai perpustakaan
belahan dunia. Angka dalam kurung menunjukkan jumlah buku terjemahan.
Mereka adalah Ishak bin Hunain (11), Gasta Ibn Luka (7), Hubaisy ibn Husein al-
Asani (5), Isa ibn Yahya (2), Hajjaj ibn Yusuf ibn Metran (2), Sabit ibn Qurra al-
Harrani (15), Abu Ustman Sai’d ibn Ya’qub al-Dimsyiq (19), Istifhan ibn Basil
(1), Astats (2), Abdul Masih ibn Abdullah al-Hams al-Na’im (ibn Na’im) (2), Abu
Basyar Mala Ibn Yunus al-Ghana’I (3), Abu Zakariyah Yahya ibn ‘Ada (1), Ibn
Zara (1), Nadif al-Ghas al-Rumi (1), Ibn Wah-Syiyijat al-Kaldani (2), Hilal al-
Himsi (1), Tadars al-Sanghal (al-Tasteri) (1), Ibrahim ibn Abdullah al- Nasrani
al-Katib (2), Ishaq ibn Abi al-Hasan ibn Ibrahim (1), Sirjis (sirgilis) Ibn Hulya
(elia) al-Rum dan lain-lain.
C. Topik diskusi
Setelah saudara mempelajari pada topik pertemuan kali ini silakah diskusikan
mengapa manusia diwajibkan menuntut ilmu dan carikalah salah satu hadits anjuran
menuntut ilmu.
PERTEMUAN KE 10
A. Pengantar
Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillahirobil alamin. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
sehingga kita dapat bertemu lagi pada perkulihan kali ini.
Saudara mahasiswa yang saya banggakan, saat ini kita sudah menginjak pada
pertemuan sesi kesepuluh. Semoga kita senantiasa dalam kondisi sehat, sehingga
mampu menuntaskan pertemuan sesi ini. Setelah mengikuti pembelajaran ini
mahasiswa diharapkan dapat memahami materi mengenai faktor pendukung
berkembangnya keilmuan islam berikut dibawah ini materi saya lampirkan mohon
dipelajari dengan benar.
B. MATERI
BAB V
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
D. Faktor Pendukung Berkembangnya Keilmuan Islam
Sebagai makhluk yang termulia, dengan penciptaan manusia yang disertai
berbagai potensi, membuat manusia menjadi makhluk berbudaya dalam interaksinya
dengan lingkungan. Dalam interaksi manusia dengan lingkungan, manusia
membutuhkan agama. Agama menurut Komarudin Hidayat, diwahyukan kepada
manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri, dengan bimbingan agama diharapkan
manusia mendapat pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidupnya dan
membangun peradabannya.
Terbukti sejak abad ke I H/7 M sampai abad 4 H/10 M pusat perkembangan
kebudayaan dan peradaban dunia berada di Bagdad, Cardova dan Kairo. Di kota
inilah para cendikiawan datang untuk belajar atau berkonsultasi. Ketiga kota ini
merupakan ibu kota wilayah- wilayah/khilafah muslim. Bagdad ibu kota Dinasti
Abasyiah, Cardova ibukota Dinasti Umayyah, sedangkan Kairo ibukota Dinasti
Fatimiyah.
Berhasilnya pencapaian kegemilangan kebudayaan, khususnya ilmu pengetahuan,
disebabkan oleh dua faktor, pertama, faktor internal yaitu faktor-faktor yang terdapat
dalam nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri yang mampu memotivasi pencarian ilmu
pengetahuan. Dalam kerangka tersebut, mungkin relevan bila berani memahami
bahwa hal pertama yang diharuskan dalam ajaran Islam (selain mempercayai
kekuasaan Tuhan) yang dibawa oleh Rasul dalam menuju kebudayaan yang tinggi
adalah tuntutan “membaca”. Secara statistik kemampuan membaca adalah salah satu
faktor dalam memajukan bangsa. Membaca sebagaimna diuraikan oleh Nurcholis
Madjis diatas, adalah kegiatan manusia yang paling produktif, sebab dalam membaca,
orang dapat melakukan penjelajahan bebas kemana-mana ke daerah ilmu pengetahuan
yang belum dikenal.
Perintah membaca pada wahyu pertama merupakan bukti bahwa Alquran sangat
menekankan pentingnya mengamati alam, dan merenungkanya, disamping itu
Alquran juga menekankan kepada kaum muslimin untuk menerangkan hukum alam.
Alquran memberi contoh yang diambil dari ayat-ayat kosmologi, fisika dan biologi.
Dalam Alquran terdapat 750 ayat yang memotivasi untuk menelaah alam,
menyelediki dengan akal untuk memperoleh pengetahuan. Secara faktual menurut
Ahmad Muhammad soliman, Alquran berisi dasar-dasar ilmu pengetahuan, tapi
Alquran bukan buku ilmu pengetahuan, dan perlu difahami bahwa Alquran bagi
manusia hanya sebagai petunjuk sepanjang perjalanan hidup yang menuju jalan lurus.
Para sejarawan sepakat bahwa Islam berada dibelakang perkembangan sain dan
peradaban muslim. Dua sumber utama yaitu Alquran dan Al-Hadist sangat
menakjubkan, betapa banyak penekanan terhadap ilmu yang dijumpai dalam kedua
sumber tersebut, dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada orang yang
berilmu. Motivasi spirit ini mampu menciptakan atmosfir yang baik, dan
berkompetisi dalam menuntut ilmu. Dalam Q.S: Al-Zumar: 9, Allah berfirman,
katakan apakah sama antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak
mengetahui. Dalam Al-Hadist rasul bersabda, mencari ilmu adalah suatu kewajiban
bagi kaum muslimin dan muslimat. Carilah ilmu mulai dari buaian hingga liang
lahat.
Dorongan internal tersebut, melahirkan semangat pengembangan intelektual
kaum muslim yang makin tinggi dan meluas, seiring dengan perluasan wilayah
teritorial yang dikuasai oleh umat Islam, sebagai konsekwensinya terjadi persentuhan
dengan budaya luar. Dengan demikian persentuhan dengan budaya asing menjadi
faktor kedua yaitu faktor eksternal bagi pengembangan sain Islam klasik.
Persentuhan budaya tersebut telah berlangsung sejak masa Umayyah, namun baru
mencapai puncaknya pada masa Abasyiah.
Senada dengan pernyataan diatas, Sayyed Hosein Nasr yang dikutip oleh
Azyumardi Azra, menyatakan bahwa ilmu Islam muncul dari perkawinan antara
semangat yang terbit dari wahyu Alqurani dengan ilmu- ilmu yang ada dari berbagai
peradaban, yang diwarisi Islam yang telah diubah bentuk melalui kekuatan
rohaniahnya menjadi suatu substansi baru, yang berbeda dan sekaligus melanjutkan
apa yang telah ada sebelumnya. Sifat internasional dan kosmopolitansi wahyu Islam
(yang bersumber dari karakter universal wahyu Islam dan tercermin dalam
penyebaran geografis Islam) membuat Islam mampu menciptakan ilmu pertama yang
bersifat internasional dalam sejarah muslim.
Disamping akibat interaksi dengan peradaban luar Islam, juga didukung oleh
kiprah para khalifah muslim, dan ternyata para khalifah Abasyiah ikut mendukung
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dengan mendanai proyek
penerjemahan dan pengiriman team pencari naskah-naskah di wilayah yang diduga
menyimpan ilmu-ilmu yang amat berharga.
Motivasi para khalifah Abasyiah mengembangkan sain Islam disebabkan
kecintaan mereka terhadap ilmu, khalifah al-Mansur misalnya, telah memerintahkan
penerjemahan terhadap naskah-naskah Yunani mengenai Filsafat, dan ia memberi
upah yang sangat besar kepada penerjemah. Selanjutnya kemajuan ilmu pengetahuan
diteruskan oleh khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M), pada masa pemerintahanya
tidak banyak karya mengenai Astronomi yang diterjemahkan, satu diantaranya
“siddhanta” (sebuah risalah India) yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim
al-Fazari (w. 806 M). Pada tahap berikutnya pengembangan keilmuan Islam
diteruskan oleh khalifah al-Ma’mun (813-833 M), karya terbesarnya ialah mendirikan
Bait al-Hikmah yang awalnya berfungsi sebagai lembaga penerjemahan, kemudian
dikembangkan menjadi perpustakaan, dan obsevatorium. Kesemuanya dibawah
pengawasan khalifah. Ditambahkan pula bahwa perkembangan keilmuan Islam
disebabkan kebutuhaan kaum muslim akan ilmu itu sendiri demi meningkatkan
kualitas ibadah.
F. Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Dalam pandangan Islam, menuntut ilmu menjadi suatu kewajiaban. Secara garis
besar ulama membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu agama dan umum.
Sebelum membicarakan pembagian ilmu, terlebih dahulu penulis menjelaskan
karakteristik ilmu menurut pandangan Alquran dan al- Hadist, pertama, ilmu
pengetahuan bersumber dari Tuhan, karena Dialah yang mengajarkan manusia segala
sesuatu, sehingga ia mengetahuai (Q.S:96:5). Sebagai bukti bahwa seluruh
pengetahuan baik yang pasti maupun sosial bersumber dari Tuhan, dapat dilihat dari
proses pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan adalah hasil dari pengamatan terhadap
alam dan pertemuan dari tiap-tiap zat yang ada di alam, dan ilmu pengetahuan itu
adalah hasil persambungan qadar yang telah ditetapkan oleh Allah pada tiap-tiap
benda.
Karakteristik kedua, adalah penekannya terhadap kebenaran (al-Haq), dan
kepastian (al-yaqin), sebagai antitetis dari kesalahan (al-Bathil), keraguan (al-
Syak),dan dugaan (al-Zhann), sebagaimana firman Allah Q.S 10: 36, Dan kebanyakan
mereka (orang kristen) tidak mengikuti kecuali persangkaan saja, sesungguhnya
prasangka tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran, diayat lain Allah juga
berfirman Q.S 4: 157, Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang
(yesus disalib) benar-benar penuh dengan keraguan (syak) tanpa pengetahuan yang
pasti,karena sebenarnya mereka tidak membunuhnya.
Ketiga, ilmu pengetahuan menurt katagori Alquran bersifat holistik atau utuh.
Dalam konteks ini berarti, persoalan-persoalan epistimologi harus selalu diakaitkan
dengan etika dan spiritualitas. Ruang lingkup persoalan epistimologisnya meluas,
baik dari wilayah keagamaan maupun wilayah sekuler, karena pandangan Islam tidak
mengakui adanya perbedaan mendasar antara wilayah-wilayah ini dalam kehidupan
nyata. Wujud Tuhan yang Esa sebagai sumber semua pengetahuan secara langsung
meliputi kesatuan dan integritas semua sumber dan tujuan epistimologi. Alquran
mendorong manusia untuk melakukan perjalanan di bumi untuk mempelajari nasib
pereadaban sebelumnya, hal ini membentuk kajian sejarah, arkeologi, perbandingan
agama, sosiologi dan sebagainya secara utuh. Masing-masing cabang pengetahuan
tersebut tidak berarti bahwa disiplin-disiplin itu sama, atau tidak ada prioritas diantara
mereka. Sebagai perbandingan, urat dan anggota tubuh manusia membentuk bagian
badan mansia. Tapi kaitannya sangat dekat, sesuai dengan fungsinya bagi wujud
manusia. Mereka tidak sama dalam kedudukan dan kepentingannya.
Keempat, hubungan pengetahuan dengan perbuatan secara logis, pengetahuan
harus diikuti dengan perbuatan yang baik. ini bukan hanya karena taqwa kepada
Allah atau takut kepada-Nya , tapi juga perbuatan baik secara individual dan sosial,
karena perbuatan baik tersebut termasuk dalam ruang lingkup ‘alim. Istilah alim itu
sendiri adalah kata benda yang bukan hanya berarti orang yang memiliki sifat
pengetahuan, tapi dalam bentuk gramtisnya berarti orang yang bertindak sesuai
dengan pengetahuannya.
Kelima, pengetahan sebagaimana diuraikan dalam Alquran, bukan hanya
menguraikan persoalan-persoalan intelektual dan kognitif, tetapi juga menyangkut
aspek-aspek spiritual dan praktis persoalan manusia.
Keenam, hubungan pengetahuan dengan perbuatan. Berdasarkan pembahasan
sebelumnya tentang hubungan pengetahuan dengan petunjuk, kesalehan dan
keimanan, maka penekannya pada tanggung jawab sarjana untuk bertindak sesuai
dengan kemaslahatan umat. Dimensi etis ini terdapat pada sturktur kata ‘alim. Kata
‘alim bukan hanya isim fa’il yang menunjukkan kesementaraan, kefanaan atau
tindakan aksidental suatu wujud, tetapi untuk menunjukkan kata sifat atau substansi
yang mengekspresikan tindakan yang terus menerus. Oleh karena itu ‘alim dapat
dikatakan untuk menunjuk seseorang yang bertindak secara terencana dan bermuatan
kebaikan. Secara silogistik dapat disimpulkan bahwa pengetahuan (melalui iman)
juga menjadi sebab positif bagi amal shaleh. Pengetahuan harus menghasilkan
keyakinan, sedangkan iman akan menghasilakan perbuatan baik (amal shaleh), karena
itu pengetahuan juga menghasilkan amal shaleh. Amal shaleh secara singkat dapat
didefenisikan sebagai semua tindakan yang timbul dari dan sesuai dengan pandangan
dunia Islam, semua meliputi kewajiban ibdah ritual dan kewajiban keagamaan yang
lain, juga semua usaha penting individu melalui garis moral, spirtual, intelektual atau
sosial ekonomi.
G. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Klasifikasi ilmu pengetahuan dalam Islam telah dimulai pada masa pemerintahan
bani Umayyah. Menurut A. Hasyimi, pada masa Umayyah ilmu terbagi, pertama, al-
adab al-al-Hadist (ilmu-ilmu baru), ilmu ini terbagi dua pula yaitu: 1) al-ulum al-
Islam seperti Alquran Al-Hadist, Fiqh dan jugrafiyah (geografi); 2) al-Ulmu al-
Dakhili seperti, ilmu kedokteran, filsafat, ilmu eksekta. Kedua al-Adab al-Qadimah
(ilmu-ilmu konvensional) yaitu ilmu yang telah ada sejak zaman Jahiliyah dan
khulafa Rasyidin, seperti, ilmu lughah (bahasa), syair, khitabah dan amstal.
Sedangkan zaman Abasyiah klasifikasi ilmu mengalami perkembangan, pertama,
kelompok ilmu naqli yang mencakup ilmu tafsir, tasauf, hukum islam, ilmu lughah
(nahwu, sharaf, bayan, badi’ dan balaghah), kedua kelompok ilmu aqli, meliputi
filsafat, astronomi, bahasa, kedokteran, eksekta, seni (pahat, sulam dan ukir), farmasi,
kimia, tarikh dan geografi.
Pengklasifikasian ilmu dalam Islam mengalami perkembangan. Diantara filosof
muslim yang peduli terhadap masalah klasifikasi ilmu ini seperti al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina, al-Ghazali, Qutub al-Din al-Syirazi, Ibn Khaldun dan Mulla Sadra. Menurut
Sayyed Husein Nasr, klasifikasi ilmu yang dilakukan oleh mereka merupakan suatu
usaha untuk menjelaskan hierarki ilmu dan mengharmonisasikan hubungan antara
akal dan wahyu, atau antara agama dan ilmu. Dari beberapa filosof diatas hanya akan
dipilih empat tokoh yaitu al-Farabi, al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi dan Ibn
Khaldun.
1. Lafal sederhana
2. Lafal tersusun
3. Kaidah-kaidah yang mengatur lafal sederhana
4. Kaidah yang mengatur lafal tersusun
5. Penulisan yang benar
6. Kaidah yang mengatur pembacaan yang benar
7. Kaidah Puisi
B. Logika dibagi delapan bagian
1. Kaidah-kaidah yang mengatur pengetahuan-pengetahuan atau gagasan-
gagasan dan lafal- lafal sederhana yang menyatakan pengetahuan-
pengetahuan ini, sesuai dengan Categories karya Aristoteles
2. Kaidah-kaidah yang mengatur pernyataan atau proposisi-proposisi sederhana
yang tersusun dari dua atau lebih pengetahuan sederhana; dan lafal tersusun,
sesuai dengan kitab on Interpretation karya Aristoteles
3. Kaidah-kaidah silogisme yang umum bagi lima silogisme : demonstratif,
dialektis, sofistis, retoris, dan puitis, sesuai dengan naskah Prior Analytics
karya Aristoteles
4. Kaidah-kaidah bukti demonstratif dan kaidah yang khusus mengatur seni
filosofik, bersesuaian dengan naskah Posterior Analytics karya Aristoteles
5. Alat-alat bantu untuk menemukan bukti-bukti dialektika, pertanyaan dan
jawaban serta kaidah-kaidah yang mengatur seni dialektika, sesuai dengan
kitab Topics Aristoteles
6. Kaidah-kaidah yang mengatur masalah-masalah seperti memalingkan
manusia dari kebenaran kepada kesalahan/ kesesatan dan menjerumuskan
manusia ke dalam penipuan, sesuai dengan On Sophistic Refutation karya
Aristoteles
7. Seni retorika, ini berhubungan dengan kaidah-kaidah yang dapat menguji
dan mengevaluasi pertanyaan retoris, sesuai dengan Rhetoric karya
Aritoteles.
8. Seni puisi, sesuai dengan Poetics karya Aristoteles
1. Tidak ada rasa pamrih, artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai
pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan pamrih,
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuan mampu
mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi, misalnya hipotesis,
metodologi.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-
alat indera serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasarkan pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan
merasa pasti bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai
kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan.
6. Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis (akhlaq) yang selalu berkehendak untuk
mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih
khsus untuk pembangunan bangsa.
Dalam kaitan antara ilmu, etika, iman dan amal shaleh maka poin terakhir ini
atau bagian keenam ini amat penting untk dimiliki oleh seluruh ilmuan, karena
manusia sebagai makhluk Tuhan berada bersama-sama dengan alam dan berada
dialam itu. Manusia akan menemukan pribadinya dan membudayakan dirinya
bilamana manusia hidup dalam hubungannya dengan alamnya. Manusia yang
merupakan bagian alam tidak hanya merupakan bagian yang terlepas darinya.
Manusia senantiasa berintegrasi dengan alam. Sesuai dengan martabatnya maka
manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa menjadi pusat dari alam.
Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara manusia dengan alam ada hubungan
yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu maka manusia harus senantiasa
menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat mutlak pula.
Kewajian ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia biasa lebih-
lebih bagi seorang ilmuaan.
Keterangan bahwa seorang ilmuan harus memiliki moral atau etika, telah ada
dalam Alquran. Dalam wahyu pertama, ditemukan informasi tentang pemamfaatan
ilmu melalui iqra’ bismi rabbika, titk tekan ayat ini, adalah sebagai motivasi
pencarian ilmu, kemudian tujuan akhir dari suatu ilmu haruslah karena Allah.
Syaikh Abdul Halim Mahmud seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab,
memahami iqra’bismi rabbika adalah demi kemaslahatan makhluk. Bukan kah
Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan justru makhluk yang membutuhakn Allah.
Selanjutnya semboyan ilmu untuk ilmu tidak dikenal dan dibenarkan oleh Islam.
Apapun ilmunya, materi pembahasannya harus bismi rabbika, sehingga ilmu yang
dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti sebagian pendapat sebagian ahli,
sebagai bebas nilai, harus diberi identittas rabbani oleh ilmuan muslim. Nilai yang
tercakup dalam ilmu tersebut disebut etika.
Etika dalam ilmu tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling mendukung
kesejahteraan manusia. Manusia apabila dikuasai oleh ilmu dan tidak menghiasi
ilmu dengan etika atau akhlak, maka ia cendrung menjadi angkuh, bahkan ilmunya
dipergunakan untuk merusak alam, dan mungkin untuk menghancurkan sesama
manusia. Oleh karena itu ilmuan muslim harus menghindari cara berpikir tentang
bidang ilmu yang tidak ada manfaatnya, apalagi tidak menghasilakan kemaslahatan
umat, karena rasul sering berdoa, “wahai Tuhanku, aku berlindung kepadaMu dari
ilmu yang tidak bermanfaat”. Ilmu yang tidak bermanfaat, mana kala ilmu tersebut
tidak meningkatkan iman, dan prilaku shaleh. Satu contoh ilmu yang tidak
meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan adalah teori evolusi yang dipopulerkan
oleh Darwin, bahwa manusia berasal dari kera. Teori ini berusaha memutuskan
hubungan manusia dengan Tuhan, dimana manusia tidak mengenal Tuhan. Teori
ini adalah teori yang etheisme.
Lebih lanjut dijelaskan pula dalam konsep filasafat Islam yang diurai oleh
Toshihiko Izutsu, bahwa ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan dan
pegembangan ayat-ayat Allah, dan ayat Allah merupakan eksistensi kebesarannya
dan manusia diwajibkan untuk berfikir tentang ayat Allah itu, untuk tujuan yang
tidak bertentangan dengan ajarannya, tidak untuk merusak dan melahirkan
kerusakan dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan menipa diri
manusia itu sendiri. Oleh karena itu kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam
hukum ilmu atau konsep teoritik tidak boleh jatuh dibawah kekuasaan hawa nafsu
karena akibatnya dapat merusak alam, sebagaimana firman Allah Q.S 23: 71.
Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah
langit dan bumi dan apa-apa yang ada didalamnya, bahkan Kami telah datangkan
kepada mereka peringatan tetapi mereka berpaling.
J. Topik diskusi
Setelah mengikuti perkuliahan pada sesi kali untuke memperdalam pemahaman
saudara jelaskan dan diskusikan apa makan ilmu pengetahuan dalam islam.
Terimakasih
PERTEMUAN KE 11
A. Pengantar
Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillahirobil alamin. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
sehingga kita dapat bertemu lagi pada perkulihan kali ini.
Saudara mahasiswa yang saya banggakan, saat ini kita sudah menginjak pada
pertemuan sesi ke sebelas. Semoga kita senantiasa dalam kondisi sehat, sehingga
mampu menuntaskan pertemuan sesi ini. Setelah mengikuti pembelajaran ini
mahasiswa diharapkan dapat memahami materi mengenai Ahlaq dalam Islam berikut
dibawah ini materi saya lampirkan mohon dipelajari dengan benar.
B. MATERI
BAB VI
AKHLAQ DALAM ISLAM
A. Konsep Akhlaq
1. Pengertian Akhlaq
Kata akhlaq (Bahasa Arab) secara etimologis adalah bentuk jamak dari
khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari
kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta),
makhluq (yang diciptakan) dan khalqun (penciptaan).