Anda di halaman 1dari 31

BAB V

ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN


A. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Ilmu sudah menjadi kata bahasa Indonesia sehari-hari, padahal kata ilmu itu
diambil dari kata Arab yaitu dari kata jadian alima-ya`lamu menjadi ilmun. Alima
sebagai kata kerja yang berarti “mengetahui”. Selanjutnya menurut Quraish
shihab, kata ilmu dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Alquran.
Selanjutnya kata Quraish, ilmu dari segi bahasa berarti “kejelasan” dari segala
yang terbentuk dari akar katanya mempunyai kejelasan. Jadi ilmu adalah
pengetahuan yang jelas tentang segala sesuatu, sekalipun demikian kata ini
berbeda dengan ‘arafa (mengetahui), ‘arif (yang mengetahui) dan ma’rifah
(pengetahuan). Dalam Alquran Allah tidak dinamakan ‘arif, tetapi ‘alim yang
berkata kerja ya’lamu (dia mengetahui), dan biasanya Alquran menggunakan kata
tersebut untuk Allah yang mengetahui hal-hal ghaib, tersembunyi dan rahasia.
Perhatikan objek pengetahuan berikut yang dinisbahkan kepada Allah : ya’lamu
ma yusirrun (mengetahui apa yang mereka rahasiakan), ya’lamu ma fi al-arham
(mengetahui yang berada di rahim), ya’lamu ma fi anfusikum (mengetahui yang
berada dalam dirimu), ya’lamu ma fi al-samawaat wa fi al-ardhi (mengetahui
yang ada di langit dan bumi), ya’lamu ma fi khaainat al-‘ayun wa ma tukhfi ash-
shudur (mengetahui kedipan mata dan yang disembunyikan dalam dada).
Demikian juga ilmu yang disandarkan kepada manusia juga mengandung makna
kejelasan. Jadi ilmu itu secara lughawi adalah mengetahui sesuatu secara dalam,
hingga menjadi jelas.
Kata ilmu jika diterjemahkan dalam bahasa asing disebut dengan “science”.
Menurut Virginia dalam The New Webster Dictionary English Langguage, bahwa
science berasal dari bahasa Latin “scire” yang artinya juga mengetahui. Jadi
science sebagaimana yang ditafsirkan oleh Virginia adalah sekumpulan
pengetahuan yang telah tersusun secara sistimatis. Sebenarnya apakah perbedaan
antara ilmu dan pengetahuan? Menurut Poeradisastra, ilmu merupakan salah satu
dari sekian pengetahuan, dan kadang disebut dengan pengetahuan ilmiah
(scientific knowledge). Pengetahuan disini adalah sekumpulan fakta yang saling
berhubungan satu sama lain mengenai suatu hal tertentu, misalnya mengenai
jamu-jamuan, sejarah dan sebagainya. Dan pengetahuan tersebut telah
disistimatiskan, artinya telah tersusun rapi, jelas batasannya, cara kerjanya dan
tujuannya. Selanjutnya pengetahuan itu muncul menurut Roderick M. Chisholm,
tidak lepas dari sikap skeptis terhadap fenomena. Formulasi sikap skeptis ini
tertuang dalam bentuk pertanyaan, apa yang aku tahu? bagaimana aku
membedakan benda-benda tersebut?
Dari keterangan antara ilmu dan pengetahuan, jika disatukan dalam
pemahaman, bahwa ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang telah dibuktikan
kebenarannya, teori-teori ilmiah dengan cara yang ketat dari fakta- fakta
pengalaman yang diperoleh lewat observasi dan eksperimen, dan telah terbukti
secara obyektif. Senada dengan keterangan tersebut menurut Endang Saifudin
Anshari, ilmu pengetahuan adalah sekumpulan pengetahuan yang mempunyai
sistem dan metode tertentu. Jadi dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan
menunjukkan kepada serangkaian aktifitas manusia yang memiliki tujuan, dan
tentunya berhubungan dengan kesadaran, dan dari segi titik pandang internal dan
sistimatis. Selanjutnya The Liang Gie menjelaskan ilmu pengetahuan
mengandung tiga hal yaitu proses, prosedur dan produk. Ilmu bila
diperbandingkan sebagai suatu proses, maka ia menunjukkan pada penelitian
ilmiah, bila diperbandingkan sebagai prosedur, maka ia mengacu pada metode
ilmiah, bila diperbandingkan sebagai produk, maka ia menunjukkan sebagai
pengetahuan ilmiah. Pengetahuan disebut ilmiah menurut Archi J. Bahm, harus
memenuhi enam komponen yaitu, problem, attitude, methode, activity,
conclution, dan effectc.
Ilmu pengetahuan memiliki ciri tersendiri, Van Nelsen menjelaskan ciri-ciri
tersebut pertama, ilmu pengetahuan secara metodis harus mencapai suatu
keseluruhan yang logis dan koheren, kedua, harus tanpa doktrin, sebab ilmu
berkaitan dengan tanggung jawab. Ketiga, ilmu pengetahuan harus universal.
Universalitas bisa mencakup seluruh dunia atau terbatas menurut tempat, yang
penting universalitas harus ada agar menjadi penting secara historis. Keempat,
ilmu pengetahuan harus obyektif, dan tidak dicampur adukkan dengan hal-hal
yang subyektif, kelima, ilmu pengetahuan harus memenuhi tuntutan inter-
subyektif, sehingga dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang sejenis.
Keenam, harus dapat dikomunikasikan, artinya harus terbuka bagi siapa saja yang
ingin menguasainya. Ketujuh harus progresif dalam arti selalu mengandung
pertanyaan yang mendorong munculnya problem baru. Kedelapan, ilmu
pengetahuan harus memeiliki sikap kritis dalam sikap ilmiah. Kesembilan, ilmu
harus dapat digunakan.
B. Kedudukan Wahyu, Akal, dan Ilmu Pengetahuan dalam Pandangan Islam

Sebenarnya wahyu dan akal adalah memiliki peran yang sama pentingnya
sebagai pendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan
bagi manusia sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akherat.

Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy, kata ini berarti suara, disamping
itu juga menurut Harun Nasution al-Wahyu, mengandung arti bisikan, isyarat,
tulisan dan kitab. Al-wahyu selanjutnya mengandung arti pemberitahuan
secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi kata tersebut lebih dikenal
dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi”. Jadi kata wahyu
mengandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihan-Nya agar
diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Wahyu
Allah tersebut telah terangkum dalam kitab yaitu Alquran, dan Alquran inilah
sebagai pedoman hidup manusia yang banyak berisi tentang dorongan untuk
berbuat baik sesama manusia dan alam sekitar. Sedangkan akal secara
terminolgi terambil dari kata aqala yang berarti al-hijr yaitu “menahan”, dan
al-‘aqil ialah orang yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Seterunya
diterangkan pula oleh Ibn Munzir bahwa al-‘aqal mengandung arti
kebijaksanaan dalam bahasa Arab disebut al-Nuha yakni lawan dari lemah
pikiran, lebih lanjut dijelaskan Ibn Munzir, ‘aqal mengandung arti
memahami. Sementara Akal dalam arti aslinya menurut Harun Nasution
adalah mengikat dan menahan, dan akal itu selanjutnya dijelaskan oleh Harun
Nasutin, bukanlah otak, tapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
senada dengan Harun, akal menurut Amin Syukur, ialah pengetahuan tentang
hakikat segala keadaan, oleh karena itu akal itu ibarat sifat-sifat ilmu yang
tempatnya di hati. Jadi akal bukanlah hanya sekedar kemampuan berpikir
secara rasional tanp pertimbangan hati nurani, tapi akal menurut defenisi
diatas merupakan ikatan dari kemampuan berpikir rasional dan ketajaman hati
nurani, keduanya berjalan seimbang, sehingga menghasilkan kebijaksanaan
yang diharapkan, jika tidak berfungsi salah satunya, maka akan melahirkan
kebijakan yang kurang memadai bahkan subyektif. Bagaimanapun Akal
merupakan potensi yang hanya dimiliki manusia, tidak makhluk lain, dengan
akal manusia dapat mengenal dan mengusai makhluk lain yang ada
disekitarnya.

Kedua hal diatas antara wahyu dan akal sama-sama memiliki peran yang
besar dalam mendorong manusia untuk berilmu, betapa tidak, banyak ayat
Alquran yang menganjurkan dan mendorong manusia supaya
mempergunakan akalnya dan banyak berpikir, seperti ungkapan apala
ta’qilun, apala tatafakarun dan apala yanzhuru. kata-kata yang mengandung
arti berpikir, selain dari kata akal, terdapat banyak dalam Alquran seperti
dabbara (merenungkan), faqiha (mengerti), nazara (melihat secara abstrak),
tafakkara (berpikir). Selain itu terdapat pula sebutan yang menggambarkan
sifat berpikir seorang muslim seperti ulul al-bab, ulul abshar (orang yang
melihat dengan akalnya) dan ulul ilm (orang yang mengetahui). Selanjutnya
kata ayat dalam Alquran erat kaitannya dengan berpikir. Arti asli ayat ialah
tanda yang menunjukkan pada sesuatu yang terletak tetapi tidak kelihatan
dibelakangnya, untuk mengetahuinya manusia harus memperhatikan tanda itu
dengan menggunakan akalnya.

Jadi peran wahyu disini yang pasti adalah disamping mendorong kerja
akal juga mengarahkan kerja akal agar tidak terpengaruh oleh hawa yang
dibawa oleh setan, karena banyak produk akal namun tidak membawa
kebaikan, hal itu disebabkan akal yang terpengaruh oleh hawa nafsu dan
kepentingan pribadi, sementara akal yang terpengaruh oleh wahyu, akan
berjalan sesuai dengan koridor yang ditetapkan, sehingga ia berjalan lurus.
Memang akal dapat menentukan baik buruk suatu perbuatan, namun kadang
baik buruk yang ditetapkan akal cenderung memiliki bias kepada kepentingan
pribadi, atau kelompok, dan biasanya baik buruk hasil dari akal itu tidak
konstan, ia bersifat relatif. Oleh karena itu stabilitas baik buruk itu harus
ditetapkan oleh wahyu.

Sementara itu peran ilmu bagi manusia pertama, sebagai alat


pengembangan daya pikir. Disini ilmu tidak dilihat sebagai produk yang siap
di konsumsi. Oleh karena itu untuk pengertian ilmu sebagai kata benda lebih
tepat diganti dengan istilah keilmuan sebagai kata kerja yang mencerminkan
aktivitas dan kegiatan berpikir yang dinamis dan tidak statis. Ditinjau dari
segi ini maka setiap kegiatan dalam mencari pengetahuan tentang apapun,
selama hal itu terbatas pada objek empiris, dan pengetahuan itu diperoleh
dengan menggunakan metode keilmuan adalah sah untuk disebut keilmuan,
asalkan dalam proses pengakajian masalah tersebut, dia memenuhi
persyaratan yang telah digariskan. Sebaliknya tidak semua yang diasosiasikan
dengan eksistensi ilmu adalah keilmuan. Seorang sarjana misalnya yang
mempunyai profesi bidang ilmu tertentu belum tentu mendekati masalah ilmu
secara keilmuan. Hakikat keilmuan tidak ditentukan oleh titel, profesi atau
kedudukan, tapi ditentukan oleh cara berpikir yang dilakukan menurut
persyaratan keilmuan. Disinilah urgensinya ilmu sebagai alat untuk
pengembangan daya pikir manusia, karena berpikir keilmuan bukanlah
berpikir biasa, tetapi berpikir yang teratur, yang disiplin, yang bermetode dan
bersisitem, dimana setiap idea dan konsep yang sedang dipikirkan tidak
dibiarkan berkelana tanpa arah. Berpikir keilmuan selalu terarah kepada suatu
tujuan yaitu pengetahuan.

Pembiasaan cara berpikir keilmuan merupakan cara yang terbaik untuk


mempertajam ratio (daya nalar). Cara berpikir seseorang yang terdidik dalam
berpikir ilmiah adalah sangat berbeda dengan cara berpikir orang- orang yang
tidak atau belum pernah sama sekali terlatih untuk itu, dengan kata lain
berpikir keilmuan menghendaki latihan. Pembiasaan berpikir seperti itu
sangat relevan dengan anjuran Alquran dalam berbagai variasinya, dalam
Q.S: Al-Hasyar: 2 Allah berfirman, … Maka ambillah (kejadian) itu untuk
menjadi I’tibar, hai orang-orang yang mempunyai pandangan. (ulil abshar).
Selanjutnya Allah berfirman dalam Q.S: Shad: 29, ini adalah sebuah kitab
yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang
yang mempunyai pikiran (ulil al-bab). Dalam ayat lain Q.S: Al-Baqarah: 242,
demikianlah Allah menerangkan kepadamu ayat-ayatNya, supaya kamu
memahaminya (memikirkannya). Q.S: Al-Zariat 20-21, Dan di bumi itu
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin, dan
juga pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tiada memperhatikan.
Mengambil i’tibar, tadabbar, berakal, memandang dengan hati (bashir) dan
seterusnya adalah kata-kata yag digunakan oleh Alquran untuk merangsang
manusia agar senantiasa rajin membiasakan dirinya berpikir secara keilmuan,
dan secara teratur.

Peran ilmu yang kedua, sebagai alat pengelola sumber daya Alam, karena
alam ini diciptakan oleh Allah untuk manusia, maka manusia berhak untuk
mengelolanya dengan baik, agar pengelolaanya berhasil dengan baik,
diperlukan perangkat atau alat berupa ilmu. Dalam mengeksploitasi alam ini
manusia harus mengenal norma-norma yang telah ditetapkan oleh Allah yang
kita sebut sunnatullah. Ketika manusia mengeksploitasi sumber daya alam,
manusia haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:

1. Memberi tempat yang wajar kepada makhluk hidup lainnya, dan juga
sesama manusia di bumi (Q.S: 17:20).

2. tidak berlebihan atau rakus (Q.S:7:31).

3. memelihara keseimbangan takaran yang telah ditentukan Allah (Q.S:


15:19), (Q.S: 55:7-8).

4. menggunakan akal (yang menghasilkan ilmu untuk manfaat) dan rasa


(yang mencerminkan keindahan, seni) yang bertujuan membawa manusia
kepada tauhid, sebagai prinsip azas Islam.
5. bersyukur (Q.S: 30:46), (Q.S:31:31), Q.S: 42: 32). Demikian hal-hal yang
perlu diperhatikan oleh seorang yang ingin mengelola alam ini, kalau
tidak alam ini akan hancur binasa, dan yang akan merasakan kerugian
tersebut adalah manusia itu sendiri.

C. Kewajiban Menuntut Ilmu Pengetahuan

Dalam Alquran surat Al-Alaq 1-5 berisi perintah “membaca”. Membaca


sebagai sarana mencari ilmu. Menurut Nurcholis Madjid, membaca adalah
kegiatan manusia yang paling produktif, sebab dalam membaca orang dapat
melakukan penjelajahan bebas kemana-mana ke daerah ilmu pengetahuan yang
belum dikenal. Dalam ayat lain Allah memberikan motivasi yang sangat tinggi,
agar kaum muslim menuntut ilmu seperti dalam Q.S: Al-Mujadalah: 11, Allah
berjanji akan mengangkat derajat orang yang berilmu. Motivasi ini juga datang
dari rasul, bahwa beliau langsung mewajibkan menuntut ilmu, menuntut ilmu
sebagai kewajiban bagi kaum muslimin dan muslimat dalam hadsit lain, Barang
siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan jalannya
ke surga. Karena menuntut ilmu dinyatakan wajib, maka kaum musliminpun
menjalankannya sebagai ibadah. Mengapa menuntut ilmu menjadi suatu
kewajiban? melalui pertanyaan ini, orang mulai mencari keutamaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia.
Dalam kenyataan sejarah perkembangan Islam, proses belajar mengajar yang
berlangsung dalam sejarah peradaban Islam telah menimbulkan perkembangan
ilmu, baik yang lama maupun yang baru, dalam berbagai cabangnya. Ilmu telah
menjadi pendorong perubahan dan perkembangan masyarakat. Hal itu terjadi
karena ilmu telah menjadi suatu kebudayaan. Dan sebagai kebudayaan, ilmu
mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam masyarakat kaum muslim
masa lalu. Dalam sejarah sekitar abad ke 7-11 Masehi, Islam mengalami
kejayaan dalam berbagai bidang ilmu. Menurut Nourrouzzaman, pusat
perkembangan kebudayaan dan peradaban dunia Islam ketika itu berada di
Bagdad, Cardova, dan Cairo. Ketiga kota ini merupakan ibu kota wilayah
khalifah muslim. Bagdad ibu kota Dinasti Abasyiah, Cardova ibu kota Dinasti
Umayah, dan Cairo, ibu kota Dinasti fartimiyah.
Sebagai kesimpulan, bahwa Alquran sendiri menyatakan bahwa manusia
diberi kemampuan untuk menjangkau pengetahuan, dan menganjurkan kepada
manusia untuk melihat keseluruh horizon makro- kosmos, dan kedalam diri
manusia sendiri atau horizon mikro-kosmos, agar manusia memiliki pengetahuan
demi kesejahteraan manusia itu sendiri dan alam sekitar (Q.S: Fushilat:53).
D. Sekilas Sejarah Pertumbuhan Keilmuan Dalam Islam

Rasa ingin tahu yang bersifat ilmiah dan penyelidikan ilmiah yang sistimatis
merupakan ciri yang menonjol dalam peradaban Islam, hal ini tidak
mengherankan karena Islam adalah sebuah agama yang rasional, tapi bukan
agama yang rasionalistik. Menurut Ziaudin sardar, Islam telah mengembangkan
sebuah kesadaran yang tinggi mengenai kedudukan akal sebagai inti dalam tradisi
agama, dan dalam mempertahankan sikap terhadap ilmu pengetahuan, Islam tidak
hanya menghargai dan menyuruh belajar, tapi juga memberikan metode
pengamatan yang rasional. Oleh karena itu Islam tidak hanya melahirkan ilmuan-
ilmuan besar, tapi juga menciptakan tradisi intelektual.

Dibawah pengaruh Islam, sain tumbuh subur dan mempuyai bentuk yang
unik, keunikannya tidak hanya dalam metode, tapi juga dalam epistimologi.
Lebih jauh dijelaskan oleh Sardar, epistimologi Islam mengandung konsep yang
holistik mengenai pengetahuan, dalam konsep tersebut tidak terdapat pemisahan
antara pengetahuan denga nilai, bila dikaitkan dengan fungsi sosial.
Berbicara mengenai permulaan lahirnya ilmu pengetahuan dikalangan umat
Islam. David Pingree menjelaskan, banyak pernyataan yang tidak masuk akal
telah dikemukan mengenai awal ilmu pengetahuan Islam oleh para ahli sejarah,
yang tidak punya waktu atau ambisi untuk menggali sumber-sumber asli, tapi
sudah puas dengan meneruskan tradisi histografis yang telah dimulai di Spanyol
pada abad 12, bahkan al-Nadim menurut C.A. Qadir telah mengklasifikasikan
pengetahuan Arab, dan memasukkan ilmu pengetahuan ke dalam katagori ‘ulum
al-Awail (ilmu-ilmu purba), dengan demikian mengaburkan asal usul ilmu
pengetahuan Islam dan memberi kesan seolah-seolah ilmu pengetahuan Islam itu
lahir setelah bangsa Arab dapat membaca karya para pemikir dari zaman purba.
Menurut C.A. Qadir, hal ini tidak benar dan tidak sesuai dengan faktanya, seperti
yang dikatakan diatas. Umat Islam maju dalam ilmu pengetahuan karena dilhami
oleh sekian banyak ayat dalam Alquran, yang mempersilahkan orang Islam untuk
mengamati alam sekitar, serta dorongan dari rasul untuk mencari ilmu.
Gerakan pengembangan keilmuan Islam terjadi pada permulaan ketika Islam
mulai mengembangkan sayap. Hasymi mengemukakan, terdapat tiga bidang
keilmuan Islam yaitu, dinniyah, tarikh, dan falsafah.
1. ilmu-ilmu dinniyah itu antara lain tafsir, Al-Hadist, fiqh dan akhlak. Gerakan
pengembangan ilmu-ilmu Dinniyah (agama) ini didorong oleh rasa kengin-
tahuan dan kebutuhan umat Islam untuk mengkaji dan memahami sumber
ajaran Islam yaitu Alquran dengan cara menafsirkan, menggali hukum, dan
tata bahasa. Pengembang keilmuan Islam bidang dinniyah ini dimulai sejak
zaman rasul.
2. Gerakan tarikh, artinya gerakan pengembangan ilmu dalam bidang sejarah,
yaitu pengumpulan dan pembahasan data-data sejarah, kisah- kisah dan
riwayat hidup. Pada masa permulaan Islam memang belum disusun kitab-kitab
sejarah, tapi pengumpulan dan pembenaran data sejarah menjadi dasar yang
penting bagi pengarang seperti Ibn Ishak. Gerakan pengembangan ilmu
sejarah di motivasi oleh keyakinan para khalifah untuk mengetahu riwayat
raja-raja bangsa lain, sistem organisasi dan politiknya.
3. Gerakan filasafat yaitu gerakan ilmu dalam bidang mantiq, kimia, kedokteran
(tibbi). Pengembangan ilmu ini belum begitu luas, tapi setelah Islam
berkembang pesat, dan berhasil menaklukkan daerah- daerah lain, sain Islam
terus berkembang.
Pengembangan sain Islam, tidak saja ilmu-ilmu yang membahas telaah agama,
tapi juga berkembang pada sain-sain modern. Perkembangan sain Islam diawali
dengan penaklukkan daerah-daerah sekitar jazirah Arab selama abad awal Islam
(mua’wiyah dan Abasyiah). Kondisi ini membawa mereka kepada hubungan yang
dekat dengan peradaban besar dunia. Diantara daerah-daerah taklukan Islam
terbentang dari Timur sampai Barat, antara lain Yunani, Aleksanderia, Mesir,
India, Cina dan Spanyol. Sebelum penulis menjelaskan penyebaran sain-sain
modern di kalangan muslim, penulis ingin menjelaskan lebih dahulu potensi-
potensi daerah yang telah dicapai sebelum ditaklukkan oleh kaum muslim.
Ditinjau dari teori komposisi ilmu pengetahuan, warisan kebudayaan Mesir Purba
(sejak 5000 tahun SM), India purba (sejak 4000 tahun SM), Tiongkok (sejak 2000
tahun SM), Persia (sejak 1000 tahun SM), serta Yunani (sejak 500 tahun SM),
semuanya itu belum disebut ilmu, karena kebudayaan mereka hanya
menghasilkan timbunan-timbunan pengetahuan yang berdasarkan pengamatan,
dan perenungan, tapi belum menghasilkan metode ilmiah yang sistimatis, seperti
dalam teori ilmu pengetahuan. Pengetahuan mereka masih bercampur baur
dengan tahayul, kepercyaaan dan filsafat, yang berpikir spekulatif.
Mesir Purba telah menghasilkan limas (Piramida) yang hebat, dan sistem
pengairan yang baik serta ilmu perbintangan (astronomi). Tapi ilmu bintang
mereka masih tercampur aduk dengan ilmu peramalan (astrologi). Ahli-ahli
pengetahuan mereka adalah pendeta-pendeta yang tak mengenal batas antara
logika, tahayul dan kepercayaan, yakni penyembahan terhadap tritunggal (Apis-
Isis-Osiris). Tiongkok purba lebih maju lagi dari Mesir, tapi pengetahuan mereka
masih bercorak kudus atau sakral yaitu pemberian dari Thian dan tidak
berdasarkan obyektif, dan empirik, dalam cara berpikir mereka juga masih
berdasarkan firasat dan renungan. India dengan kecenderungan semedinya,
dengan maksud menunggalnya manusia dengan dewata (monisme) dan
pantheisme (hadirnya dewata dalam segala yang ada). Agama Hindu menyembah
lebih dari 24.000 dewa yang tercakup dalam Tritunggal, yaitu Brahma, Syiwa dan
Wisnu. Warisan positif dari India terhadap Islam antara lain, tata bahasa sankrit.
Islam mengambil dari India yakni masalah angka dan pengertian nol, dan
penggunaan ilmu pasti dalam ilmu bintang, dan sedikit ilmu ramu-meramu obat
dan racun. Persia juga banyak berjasa dalam mewariskan keahliannya dalam
teknik membuat tembikar, sedangkan Yunani-Rumawi mewarisi filsafat
Anthroposentrik (manusia berada pada pusat segalanya), mereka lebih banyak
berlawanan dengan kecenderungan Mesir Purba, India dan Tiongkok. Orang
Yunani ternyata lebih rasionalistik
Penyebaran kebudayaan Yunani ke Timur dan Barat, pertama tidak lepas dari
peran bangsa Syiria. Syria waktu itu sebagai tempat bertemunya dua adi kuasa
dunia, yaitu Roma dan Persia. Melalui umat Kristen Syiria yang terdiri dari sekte
Nestorian dan Monofisit, ilmu Yunani seperti kedokteran, filsafat, matematika,
astronomi, dan teknologi tersebar ke wilayah persia dan Arab (dunia muslim).
Kedua sekte ini menyebarkan pengetahuan Yunani melalui sekolah-sekolah
mereka, walaupun tujuan sekolah tersebut adalah untuk menyebarkan
pengetahuan Injil, namun pengetahuan modern terutama kedokteran tidak dapat
diabaikan. Menurut Mehdi Nekosten kedua kaum ini (Nestorian dan Monofisit)
dikucilkan oleh gereja induk, karena perbedaan doktrinal, dan mereka dipaksa
untuk pindah ke wilayah yang lebih bersahabat yakni Persia dan Arab. Perbedaan
doktrinal kedua sekte Kristen ini adalah sangat prinsipil. Sekte Monofisit
berpendirian, bahwa hanya ada satu kodrat dalam diri Yesus Kristus, sementara
Nestorian berpendirian bahwa Kristus terdiri dari dua pribadi, pribadi ketuhanan
dan kemanusiaan.
Persentuhan muslim dengan budaya lain menjadikan kaum muslim maju
dalam sain modern. Perkembangan ilmu pengetahuan mengalami masa keemasan
yang terjadi pada masa pemerintaah Abasyiah. Perkembangan ilmu pengetahuan
dalam Islam diawali melalui aktivitas penerjemahan terhadap buku-buku
pengetahuan Yunani. Pekerjaan penerjemaham ini diawali pada masa khalifah
Harun Al-Rasyid (786-809 M) tetapi kerja penerjemahan secara serius baru
dimulai pada masa pemerintahan al-Ma’mun (813-833 M). Khalifah ini kemudian
mendirikan lembaga khusus yang disebut Bait al-Hikmah. Bait al-Hikmah
menurut Philip
K. Hitty yang merujuk pada Ibnu Nadhim dalam al-Fihris bahwa ia didirikan
oleh Ma’mun tahun 830M/215 H, sebagai wujud ketertarikannya pada rasionalitas
dan pengakuannya atas kebersamaan jalan antara sosialitas dan ajaran agama. Bait
al-Hikmah didirikan merupakan perpaduan bentuk kelembagaan/institusi
akademi, perpustakaan dan biro penerjemahan.
Sejak aktivitas penerjemahan telah dilembagakan, maka terjadi penerjemahan
besar-besaran. Aktifitas penerjemahan terus berlangsung sepanjang abad ke-9 dan
sebagian abad ke 10. Terjemahan pertama dikerjakan dari bahasa Syiria, karena
sebagian besar karya Yunani telah diterjemahkan kebahasa Suryani, untuk
kepentingan umat Kristen yang berbicara bahasa Suryani. Keuntungan bagi para
penerjema adalah kerena bahasa Suryani masih serumpun dengan bahasa Arab
dan banyak kaum muslim yang pandai berbahasa Suryani. Lebih lanjut Mahdi
Nekosten menjelaskan, bahwa prosedur penerjemahan memiliki beberapa tahap
pertama, materi secara langsung diterjemahkan dari bahasa Yunani ke Bahasa
Arab, kedua, materi diterjemahkan ke bahasa Syiria, kemudian ke bahasa Arab,
ketiga, materi diterjemahkan dari bahasa India ke bahasa Pahlevi, kemudian ke
bahsa Syiria, dan selanjutnya ke bahasa Arab. Ada juga materi yang pada
dasarnya adalah ulasan dari karya Yunani dan Persia yang kemudian
dikembangkan pada masa pra-Islam, setelah melalui tahapan yang panjang
sampai menjelang akhir abad 9 sementara pada awal abad 10, kaum muslim mulai
lebih mandiri berkreatifitas dalam pengembagan ilmu pengetahuan.
Pada awalnya sebagian penerjemahan dilakukan kata-perkata, sehingga agak
sulit dimengerti, bahkan ada kata yang sulit dicari padanannya, maka bahasa
aslinya dialihkan apa adanya. Selanjutnya dijelaskan oleh Franz Rosenthal, bahwa
ada dua metode penerjemahan, pertama, penerjemah (translator) mempelajari
tiap-tiap kata dari bahasa Yunani dan maknanya, kemudian memilih padananya
dalam bahsa Arab, selanjutnya diterjemahkan. Metode ini amat sulit, karena
kesulitan menemukan padanan antara kata Arab dengan Yunani, begitupula
tatabahasanya. Kedua, penerjemah memahami seluruh kalimat, kemudian
mengekspresikannya dalam bahasa Arab yang maknanya identik dengan teks
aslinya. Metode ini tidak memahami kata perkata, tapi kalimat per- kalimat atau
mungkin perpragraf.
Para penerjemah yang datang kemudian, menyalin dan menyempurnakanya.
Dalam usaha penerjemahan ini menurut Nourouzaman yang merujuk pada Philip
K. Hitty, bahwa mereka tidak hanya sekedar menerjemahkan, akan tetapi juga
memasukkan buah pikiran mereka, dengan cara demikian, maka buku-buku plato,
Aristoteles, Galen dan Ptolemeus yang sulit difahami menurut aslinya, menjadi
jelas, selain itu mereka juga mengkaji hasil-hasil temuan dan kajian asli mereka
sendiri. Manuskrif pertama yang diterjemahkan adalah naskah-naskah yang
mengandung minat praktis bangsa Arab berupa buku-buku kedoteran, Astronomi,
Matematika dan kimia. Penerjemahan ilmu kedokteran karena dilatarbelakangi
ketika umat Islam menduduki Iraq, orang-orang Arab telah mendapatkan
pelayanan medis, menurut Sayyed Hossein Nasr, penerjemahan bidang
kedokteran berawal ketika khalifah Mansur menderita penyakit “dispepsia”, ia
meminta bantuan para dokter Jundishapur, ketika itu pusat medis dan rumah sakit
dikepalai oleh Jirjis Bakhtyishui, karena keberhasilan Jirjis menyembuhkan
penyakit Khalifah, maka merupakan awal pengalihan medis Jundishaphur ke
Bagdad. Sedangkan penerjemahan ilmu Astronomi, menurut Nasim Butt, karena
Astronomi erat kaitannya dengan praktek ibadah dan teknik perhitungan waktu
shalat, dan saat penentuan jadwal puasa. Karya Astronomi diambil dari tulisan
astronomi Yunani yaitu Ptolemeus. Sedangkan penerjemahan ilmu matematika
terhjadi sekitar abad ke 4 H/10 M, para penerjemah yang menonjol abad tersebut
seperti Tsabit bin Qurrah, ia menerjemahkan “kerucut” karya Apollonius dan
beberapa naskah Archimedes dan pengantar Aritmatika. Penerjemahan ilmu
matematika tersebur dilakukan karena ilmu ini berfungsi untuk menyelesaikan
persoalan kehidupan sehari-hari seperti perhitungan zakat, dan warisan.
Dalam keterangan yang lebih rinci, Nekosten mencoba merinci para
penerjemah dan hasil karyanya yang masih tersimpan di berbagai perpustakaan
belahan dunia. Angka dalam kurung menunjukkan jumlah buku terjemahan.
Mereka adalah Ishak bin Hunain (11), Gasta Ibn Luka (7), Hubaisy ibn Husein al-
Asani (5), Isa ibn Yahya (2), Hajjaj ibn Yusuf ibn Metran (2), Sabit ibn Qurra al-
Harrani (15), Abu Ustman Sai’d ibn Ya’qub al-Dimsyiq (19), Istifhan ibn Basil
(1), Astats (2), Abdul Masih ibn Abdullah al-Hams al-Na’im (ibn Na’im) (2), Abu
Basyar Mala Ibn Yunus al-Ghana’I (3), Abu Zakariyah Yahya ibn ‘Ada (1), Ibn
Zara (1), Nadif al-Ghas al-Rumi (1), Ibn Wah-Syiyijat al-Kaldani (2), Hilal al-
Himsi (1), Tadars al-Sanghal (al-Tasteri) (1), Ibrahim ibn Abdullah al- Nasrani
al-Katib (2), Ishaq ibn Abi al-Hasan ibn Ibrahim (1), Sirjis (sirgilis) Ibn Hulya
(elia) al-Rum dan lain-lain.
C. Topik diskusi
Setelah saudara mempelajari pada topik pertemuan kali ini silakah diskusikan
mengapa manusia diwajibkan menuntut ilmu dan carikalah salah satu hadits anjuran
menuntut ilmu.

PERTEMUAN KE 10

A. Pengantar
Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillahirobil alamin. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
sehingga kita dapat bertemu lagi pada perkulihan kali ini.
Saudara mahasiswa yang saya banggakan, saat ini kita sudah menginjak pada
pertemuan sesi kesepuluh. Semoga kita senantiasa dalam kondisi sehat, sehingga
mampu menuntaskan pertemuan sesi ini. Setelah mengikuti pembelajaran ini
mahasiswa diharapkan dapat memahami materi mengenai faktor pendukung
berkembangnya keilmuan islam berikut dibawah ini materi saya lampirkan mohon
dipelajari dengan benar.
B. MATERI
BAB V
ISLAM DAN ILMU PENGETAHUAN
D. Faktor Pendukung Berkembangnya Keilmuan Islam
Sebagai makhluk yang termulia, dengan penciptaan manusia yang disertai
berbagai potensi, membuat manusia menjadi makhluk berbudaya dalam interaksinya
dengan lingkungan. Dalam interaksi manusia dengan lingkungan, manusia
membutuhkan agama. Agama menurut Komarudin Hidayat, diwahyukan kepada
manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri, dengan bimbingan agama diharapkan
manusia mendapat pegangan yang pasti dan benar dalam menjalani hidupnya dan
membangun peradabannya.
Terbukti sejak abad ke I H/7 M sampai abad 4 H/10 M pusat perkembangan
kebudayaan dan peradaban dunia berada di Bagdad, Cardova dan Kairo. Di kota
inilah para cendikiawan datang untuk belajar atau berkonsultasi. Ketiga kota ini
merupakan ibu kota wilayah- wilayah/khilafah muslim. Bagdad ibu kota Dinasti
Abasyiah, Cardova ibukota Dinasti Umayyah, sedangkan Kairo ibukota Dinasti
Fatimiyah.
Berhasilnya pencapaian kegemilangan kebudayaan, khususnya ilmu pengetahuan,
disebabkan oleh dua faktor, pertama, faktor internal yaitu faktor-faktor yang terdapat
dalam nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri yang mampu memotivasi pencarian ilmu
pengetahuan. Dalam kerangka tersebut, mungkin relevan bila berani memahami
bahwa hal pertama yang diharuskan dalam ajaran Islam (selain mempercayai
kekuasaan Tuhan) yang dibawa oleh Rasul dalam menuju kebudayaan yang tinggi
adalah tuntutan “membaca”. Secara statistik kemampuan membaca adalah salah satu
faktor dalam memajukan bangsa. Membaca sebagaimna diuraikan oleh Nurcholis
Madjis diatas, adalah kegiatan manusia yang paling produktif, sebab dalam membaca,
orang dapat melakukan penjelajahan bebas kemana-mana ke daerah ilmu pengetahuan
yang belum dikenal.
Perintah membaca pada wahyu pertama merupakan bukti bahwa Alquran sangat
menekankan pentingnya mengamati alam, dan merenungkanya, disamping itu
Alquran juga menekankan kepada kaum muslimin untuk menerangkan hukum alam.
Alquran memberi contoh yang diambil dari ayat-ayat kosmologi, fisika dan biologi.
Dalam Alquran terdapat 750 ayat yang memotivasi untuk menelaah alam,
menyelediki dengan akal untuk memperoleh pengetahuan. Secara faktual menurut
Ahmad Muhammad soliman, Alquran berisi dasar-dasar ilmu pengetahuan, tapi
Alquran bukan buku ilmu pengetahuan, dan perlu difahami bahwa Alquran bagi
manusia hanya sebagai petunjuk sepanjang perjalanan hidup yang menuju jalan lurus.
Para sejarawan sepakat bahwa Islam berada dibelakang perkembangan sain dan
peradaban muslim. Dua sumber utama yaitu Alquran dan Al-Hadist sangat
menakjubkan, betapa banyak penekanan terhadap ilmu yang dijumpai dalam kedua
sumber tersebut, dan penghormatan yang setinggi-tingginya kepada orang yang
berilmu. Motivasi spirit ini mampu menciptakan atmosfir yang baik, dan
berkompetisi dalam menuntut ilmu. Dalam Q.S: Al-Zumar: 9, Allah berfirman,
katakan apakah sama antara orang yang mengetahui dengan orang yang tidak
mengetahui. Dalam Al-Hadist rasul bersabda, mencari ilmu adalah suatu kewajiban
bagi kaum muslimin dan muslimat. Carilah ilmu mulai dari buaian hingga liang
lahat.
Dorongan internal tersebut, melahirkan semangat pengembangan intelektual
kaum muslim yang makin tinggi dan meluas, seiring dengan perluasan wilayah
teritorial yang dikuasai oleh umat Islam, sebagai konsekwensinya terjadi persentuhan
dengan budaya luar. Dengan demikian persentuhan dengan budaya asing menjadi
faktor kedua yaitu faktor eksternal bagi pengembangan sain Islam klasik.
Persentuhan budaya tersebut telah berlangsung sejak masa Umayyah, namun baru
mencapai puncaknya pada masa Abasyiah.
Senada dengan pernyataan diatas, Sayyed Hosein Nasr yang dikutip oleh
Azyumardi Azra, menyatakan bahwa ilmu Islam muncul dari perkawinan antara
semangat yang terbit dari wahyu Alqurani dengan ilmu- ilmu yang ada dari berbagai
peradaban, yang diwarisi Islam yang telah diubah bentuk melalui kekuatan
rohaniahnya menjadi suatu substansi baru, yang berbeda dan sekaligus melanjutkan
apa yang telah ada sebelumnya. Sifat internasional dan kosmopolitansi wahyu Islam
(yang bersumber dari karakter universal wahyu Islam dan tercermin dalam
penyebaran geografis Islam) membuat Islam mampu menciptakan ilmu pertama yang
bersifat internasional dalam sejarah muslim.
Disamping akibat interaksi dengan peradaban luar Islam, juga didukung oleh
kiprah para khalifah muslim, dan ternyata para khalifah Abasyiah ikut mendukung
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam, dengan mendanai proyek
penerjemahan dan pengiriman team pencari naskah-naskah di wilayah yang diduga
menyimpan ilmu-ilmu yang amat berharga.
Motivasi para khalifah Abasyiah mengembangkan sain Islam disebabkan
kecintaan mereka terhadap ilmu, khalifah al-Mansur misalnya, telah memerintahkan
penerjemahan terhadap naskah-naskah Yunani mengenai Filsafat, dan ia memberi
upah yang sangat besar kepada penerjemah. Selanjutnya kemajuan ilmu pengetahuan
diteruskan oleh khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M), pada masa pemerintahanya
tidak banyak karya mengenai Astronomi yang diterjemahkan, satu diantaranya
“siddhanta” (sebuah risalah India) yang diterjemahkan oleh Muhammad Ibn Ibrahim
al-Fazari (w. 806 M). Pada tahap berikutnya pengembangan keilmuan Islam
diteruskan oleh khalifah al-Ma’mun (813-833 M), karya terbesarnya ialah mendirikan
Bait al-Hikmah yang awalnya berfungsi sebagai lembaga penerjemahan, kemudian
dikembangkan menjadi perpustakaan, dan obsevatorium. Kesemuanya dibawah
pengawasan khalifah. Ditambahkan pula bahwa perkembangan keilmuan Islam
disebabkan kebutuhaan kaum muslim akan ilmu itu sendiri demi meningkatkan
kualitas ibadah.
F. Karakteristik Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Dalam pandangan Islam, menuntut ilmu menjadi suatu kewajiaban. Secara garis
besar ulama membagi ilmu menjadi dua bagian, yaitu ilmu agama dan umum.
Sebelum membicarakan pembagian ilmu, terlebih dahulu penulis menjelaskan
karakteristik ilmu menurut pandangan Alquran dan al- Hadist, pertama, ilmu
pengetahuan bersumber dari Tuhan, karena Dialah yang mengajarkan manusia segala
sesuatu, sehingga ia mengetahuai (Q.S:96:5). Sebagai bukti bahwa seluruh
pengetahuan baik yang pasti maupun sosial bersumber dari Tuhan, dapat dilihat dari
proses pengetahuan, sebab ilmu pengetahuan adalah hasil dari pengamatan terhadap
alam dan pertemuan dari tiap-tiap zat yang ada di alam, dan ilmu pengetahuan itu
adalah hasil persambungan qadar yang telah ditetapkan oleh Allah pada tiap-tiap
benda.
Karakteristik kedua, adalah penekannya terhadap kebenaran (al-Haq), dan
kepastian (al-yaqin), sebagai antitetis dari kesalahan (al-Bathil), keraguan (al-
Syak),dan dugaan (al-Zhann), sebagaimana firman Allah Q.S 10: 36, Dan kebanyakan
mereka (orang kristen) tidak mengikuti kecuali persangkaan saja, sesungguhnya
prasangka tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran, diayat lain Allah juga
berfirman Q.S 4: 157, Dan sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang
(yesus disalib) benar-benar penuh dengan keraguan (syak) tanpa pengetahuan yang
pasti,karena sebenarnya mereka tidak membunuhnya.
Ketiga, ilmu pengetahuan menurt katagori Alquran bersifat holistik atau utuh.
Dalam konteks ini berarti, persoalan-persoalan epistimologi harus selalu diakaitkan
dengan etika dan spiritualitas. Ruang lingkup persoalan epistimologisnya meluas,
baik dari wilayah keagamaan maupun wilayah sekuler, karena pandangan Islam tidak
mengakui adanya perbedaan mendasar antara wilayah-wilayah ini dalam kehidupan
nyata. Wujud Tuhan yang Esa sebagai sumber semua pengetahuan secara langsung
meliputi kesatuan dan integritas semua sumber dan tujuan epistimologi. Alquran
mendorong manusia untuk melakukan perjalanan di bumi untuk mempelajari nasib
pereadaban sebelumnya, hal ini membentuk kajian sejarah, arkeologi, perbandingan
agama, sosiologi dan sebagainya secara utuh. Masing-masing cabang pengetahuan
tersebut tidak berarti bahwa disiplin-disiplin itu sama, atau tidak ada prioritas diantara
mereka. Sebagai perbandingan, urat dan anggota tubuh manusia membentuk bagian
badan mansia. Tapi kaitannya sangat dekat, sesuai dengan fungsinya bagi wujud
manusia. Mereka tidak sama dalam kedudukan dan kepentingannya.
Keempat, hubungan pengetahuan dengan perbuatan secara logis, pengetahuan
harus diikuti dengan perbuatan yang baik. ini bukan hanya karena taqwa kepada
Allah atau takut kepada-Nya , tapi juga perbuatan baik secara individual dan sosial,
karena perbuatan baik tersebut termasuk dalam ruang lingkup ‘alim. Istilah alim itu
sendiri adalah kata benda yang bukan hanya berarti orang yang memiliki sifat
pengetahuan, tapi dalam bentuk gramtisnya berarti orang yang bertindak sesuai
dengan pengetahuannya.
Kelima, pengetahan sebagaimana diuraikan dalam Alquran, bukan hanya
menguraikan persoalan-persoalan intelektual dan kognitif, tetapi juga menyangkut
aspek-aspek spiritual dan praktis persoalan manusia.
Keenam, hubungan pengetahuan dengan perbuatan. Berdasarkan pembahasan
sebelumnya tentang hubungan pengetahuan dengan petunjuk, kesalehan dan
keimanan, maka penekannya pada tanggung jawab sarjana untuk bertindak sesuai
dengan kemaslahatan umat. Dimensi etis ini terdapat pada sturktur kata ‘alim. Kata
‘alim bukan hanya isim fa’il yang menunjukkan kesementaraan, kefanaan atau
tindakan aksidental suatu wujud, tetapi untuk menunjukkan kata sifat atau substansi
yang mengekspresikan tindakan yang terus menerus. Oleh karena itu ‘alim dapat
dikatakan untuk menunjuk seseorang yang bertindak secara terencana dan bermuatan
kebaikan. Secara silogistik dapat disimpulkan bahwa pengetahuan (melalui iman)
juga menjadi sebab positif bagi amal shaleh. Pengetahuan harus menghasilkan
keyakinan, sedangkan iman akan menghasilakan perbuatan baik (amal shaleh), karena
itu pengetahuan juga menghasilkan amal shaleh. Amal shaleh secara singkat dapat
didefenisikan sebagai semua tindakan yang timbul dari dan sesuai dengan pandangan
dunia Islam, semua meliputi kewajiban ibdah ritual dan kewajiban keagamaan yang
lain, juga semua usaha penting individu melalui garis moral, spirtual, intelektual atau
sosial ekonomi.
G. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan dalam Islam
Klasifikasi ilmu pengetahuan dalam Islam telah dimulai pada masa pemerintahan
bani Umayyah. Menurut A. Hasyimi, pada masa Umayyah ilmu terbagi, pertama, al-
adab al-al-Hadist (ilmu-ilmu baru), ilmu ini terbagi dua pula yaitu: 1) al-ulum al-
Islam seperti Alquran Al-Hadist, Fiqh dan jugrafiyah (geografi); 2) al-Ulmu al-
Dakhili seperti, ilmu kedokteran, filsafat, ilmu eksekta. Kedua al-Adab al-Qadimah
(ilmu-ilmu konvensional) yaitu ilmu yang telah ada sejak zaman Jahiliyah dan
khulafa Rasyidin, seperti, ilmu lughah (bahasa), syair, khitabah dan amstal.
Sedangkan zaman Abasyiah klasifikasi ilmu mengalami perkembangan, pertama,
kelompok ilmu naqli yang mencakup ilmu tafsir, tasauf, hukum islam, ilmu lughah
(nahwu, sharaf, bayan, badi’ dan balaghah), kedua kelompok ilmu aqli, meliputi
filsafat, astronomi, bahasa, kedokteran, eksekta, seni (pahat, sulam dan ukir), farmasi,
kimia, tarikh dan geografi.
Pengklasifikasian ilmu dalam Islam mengalami perkembangan. Diantara filosof
muslim yang peduli terhadap masalah klasifikasi ilmu ini seperti al-Kindi, al-Farabi,
Ibn Sina, al-Ghazali, Qutub al-Din al-Syirazi, Ibn Khaldun dan Mulla Sadra. Menurut
Sayyed Husein Nasr, klasifikasi ilmu yang dilakukan oleh mereka merupakan suatu
usaha untuk menjelaskan hierarki ilmu dan mengharmonisasikan hubungan antara
akal dan wahyu, atau antara agama dan ilmu. Dari beberapa filosof diatas hanya akan
dipilih empat tokoh yaitu al-Farabi, al-Ghazali, Quthb al-Din al-Syirazi dan Ibn
Khaldun.

1. Klasifikasi menurut al-Farabi


Al-Farabi mengemukakan klasifikasi ilmu dan perinciannya sebagai berikut:

A. Ilmu Bahasa, terbagi menjadi tujuh sub bagian :

1. Lafal sederhana
2. Lafal tersusun
3. Kaidah-kaidah yang mengatur lafal sederhana
4. Kaidah yang mengatur lafal tersusun
5. Penulisan yang benar
6. Kaidah yang mengatur pembacaan yang benar
7. Kaidah Puisi
B. Logika dibagi delapan bagian
1. Kaidah-kaidah yang mengatur pengetahuan-pengetahuan atau gagasan-
gagasan dan lafal- lafal sederhana yang menyatakan pengetahuan-
pengetahuan ini, sesuai dengan Categories karya Aristoteles
2. Kaidah-kaidah yang mengatur pernyataan atau proposisi-proposisi sederhana
yang tersusun dari dua atau lebih pengetahuan sederhana; dan lafal tersusun,
sesuai dengan kitab on Interpretation karya Aristoteles
3. Kaidah-kaidah silogisme yang umum bagi lima silogisme : demonstratif,
dialektis, sofistis, retoris, dan puitis, sesuai dengan naskah Prior Analytics
karya Aristoteles
4. Kaidah-kaidah bukti demonstratif dan kaidah yang khusus mengatur seni
filosofik, bersesuaian dengan naskah Posterior Analytics karya Aristoteles
5. Alat-alat bantu untuk menemukan bukti-bukti dialektika, pertanyaan dan
jawaban serta kaidah-kaidah yang mengatur seni dialektika, sesuai dengan
kitab Topics Aristoteles
6. Kaidah-kaidah yang mengatur masalah-masalah seperti memalingkan
manusia dari kebenaran kepada kesalahan/ kesesatan dan menjerumuskan
manusia ke dalam penipuan, sesuai dengan On Sophistic Refutation karya
Aristoteles
7. Seni retorika, ini berhubungan dengan kaidah-kaidah yang dapat menguji
dan mengevaluasi pertanyaan retoris, sesuai dengan Rhetoric karya
Aritoteles.
8. Seni puisi, sesuai dengan Poetics karya Aristoteles

C. Sain Persiapan meliputi :


1. Aritmatika: praktis dan teoritis
2. Geometri: praktis dan teoritis
3. Optika, terbagi menjadi :
- apa yang diamati dengan sinar lurus
- apa yang diamati dengan sinar lainnya
4. Sain tentang langit : Astrologi dan Gerak dan sosok benda-benda langit
5. Musik: praktis dan teoritis
6. Ilmu tentang timbangan
7. Ilmu membuat alat-alat (pembuatan mesin-mesin dan instrumen
sederhana untuk digunakan dalam berbagai seni dan sain seperti
astronomi dan music.
D. Fisikan (sain kealaman) terbagi delapan :
1. Ilmu tentang prinsip-prinsip yang mendasari benda-benda alam
2. Ilmu tentang sifat dan ciri elemen, dan prinsip yang mengatur kombinasi
elemen menjadi benada.
3. Ilmu tentang pembentukan dan kerusakan benda
4. Ilmu tentang reaksi yang terjadi pada elemen-elemen dalam membentuk
ikatan
5. Ilmu tentang benda-benda ikatan yang terbentuk dari empat elemen dan
sifat-sifatnya
6. Ilmu mineral
7. Ilmu tumbuh-tumbuhan
8. Ilmu hewan, termasuk manusia
E. Metafisika
1. Ilmu tentang hakikat benda
2. Ilmu tentang prinsip-prinsip sain khusus dan sain pengamatan
Ilmu tentang benda non jasadi, kualitas dan cirinya, yang akhirnya menuju
kepada ilmu tentang kebenaran, yaitu mengenai Allah, yang salah satu nama-
Nya ialah al-Haq
F. Ilmu Kemasyarakatan
1. Jurisprudensi
2. Retorik
2. Klasifikasi menurut al-Ghazali
Al-Ghazali merumuskan klasifikasi ilmu dalam empat sistem :
a. Pembagian ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis. Bagian teoritis menjadikan
keadaan wujud diketahui sebagaimana adanya, sedangkan bagian praktis
berkenaan dengan tindakan-tindakan manusia bertujuan mencari aktivitas
manusia yang kondusif bagi kesejahteraan manusia dalam kehidupan ini dan
kehidupan nanti.
b. Pembagian ilmu menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan
pengetahuan yang dicapai (hushuli). Pengetahuan yang dihadirkan bersifat
langsung, suprarasional, intuitif, dan kontemplatif yang sering disebut ilmu
laduny dan ilmu al-mukasyafah (pengetahuan tentang penyingkapan misteri
ilahi). Pengetahuan yang dicapai atau pengetahuan perolehan bersifat tak
langsung, rasional, logis dan diskursif. Kedudukan ilmu pengetahuan hudhuri
lebih tinggi dari pengetahuan perolehan.
c. Pembagian atas ilmu-ilmu religius (syaria’ah) dan intelektual (‘aqliyah). Ilmu
religius adalah ilmu yang diperoleh dari nabi dan tidak hadir pada mereka
melalui rasio atau pancaindera. Ilmu religius ini sinonim dengan ilmu yang
ditransmisikan. Sedangkan ilmu intelektual adalah bagian ilmu yang diperoleh
melalui intelek manusia semata. Rincian ilmu ini identik dengan ilmu-ilmu
filosofis dalam klasifikasi al-Farabi.
d. Pembagian ilmu menjadi ilmu fardhu’ian dan fardu kifayah. Istilah fardu ain
merujuk pada kewajiban agama yang mengikat setiap individu muslim, sedang
fardu kifayah merujuk pada perintah Allah yang bersifat mengikat bagi
komunitas muslim.
3. Klasifikasi menurut Ibn Khaldun
Klasifikasi ilmu menurut ibn Khaldun yang secara garis besar dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu ilmu ‘aqli (tabiat manusia mencari kebenaran dengan
pikirnya) dan ilmu naqli (syari’ah yang berasal dari Allah yakni Alquran dan
Sunnah). Kedua golongan ilmu tersebut dapat dirinci sebagai berikut :
a. Ilmu Aqli, yang dimaksud ilmu aqli ialah filsafat dan hikmat, yang terdiri dari
empat cabang yaitu :
1) Logika (ilmu mantiq)
2) Ilmu alam (tabi’iy)
3) Ilmu ketuhanan (ilahiyat)
4) Ilmu yang terdiri dari empat cabang yang saling berkaitan yaitu ilmu ukur
(handasah), ilmu hitung, ilmu musik, dan ilmu falak.
b. Ilmu Naqli, yang dimaksud ialah ilmu yang datang dari Allah dan rasulNya
tanpa melalui akal, yakni al-Alquran dan Al-Hadist. Kecuali pembahasan
cabang-cabangnya tetap menggunakan akal. Adapun cabang-cabang ilmu ialah :
1) Ulum al-Alquran (tafsir dan Qiraatya)
2) Ulum al-Al-Hadist
3) Ilmu al-Fikh
4) Ilmu al-Kalam
5) Tasauf
Disamping cabang-cabangilmu tersebut Ibn Khaldun
juga menyebutkan beberapa ilmu yang dipelajari oleh umat pada masa itu:
a. Ilmu yang berkaitan dengan masalah gaib yaitu mimpi dan ilmu sihir
b. Ilmu yang berkaitan dengan kehidupan praktis seperti ilmu pengobatan,
ilmu kedokteran, dan ilmu pertanian
c. Ilmu bahasa, khususnya bahasa Arab.
Dalam kaitannya dengan kegunaan dan fungsi ilmu, Ibn Khaldun
membedakanya menjadi ilmu pokok (tujuan) dan ilmu alat. Untuk
mempelajari ilmu alat seperti bahasa dan logika jangan sampai
menghabiskan waktu karena ilmu pokok jauh lebih penting dan
memerlukan waktu pendalaman lebih lama.

H. Sebab-sebab Kemunduran Sain dalam Islam


Berbicara masalah kemunduran keilmuan Islam atau sain Islam adalah gejala
yang sama alamiahnya dengan pertumbuhan. Kemunduran keilmuan Islam atau sain
Islam tidak boleh secara umum dianggap sebagai berkurangnya jumlah pengetahuan
dalam hal mutu karya dan pencapaian sian, dalam produktivitas sain, dan dalam
prekuensi kemunculan sumbangan orisinil dalam sain. Pada masa itu terjadi
penurunan yang bertahap, dalam hal intensitas produksi karya bermutu maupun
kemunculan ilmuan-ilmuan yang berbobot. Menurut Aydin Sayili yang tampak dalam
kemunduran tersebut pada semangat melakukan kerja sain, dan perhatian terhadap
sain.
Kapan sebenarnya secara pasti awal mula kemunduran sain Islam? Sebagian
sejarawan sains menganggap bahwa kepeloporan Islam dalam sain berlangsung
sekitar abad ke 8 M dan abad ke12 M saja. Namun menurut Ahmad Y. al-Hassan,
berpendapat lain, bahwa sementara sains Islam berada dalam puncak kejayaannya
pada masa kekhalifahan selama empat abad tersebut, sains Islam juga muncul ke
permukaan pada sekitar abad ke 13 M dan ke 16 M, khususnya di Negara-negara
Islam bagian Timur. Pada kesempatan ini tidak mungkin menjelaskan berbagai
keberhasilan Islam di bidang sains meluas hingga pertengahan abad ke 16 M. hanya
saja sekedar ilustrasi, disini akan diungkap beberapa keberhasilan dalam kasus
obsevatorium dalam Islam antara abad ke 13 M dan abad 16 M.
Obsevatorium sebagai suatu lembaga sains yang terorganisasi dan spesifik berdiri
pertama kali di dunia Islam. Obsevatorium Maragha didirikan pada paruh kedua abad
ke-13 M. Obsevatorium ini berdiri pada tahun 1259 M dan terus beroperasi hingga
sekitar 1304 M sebuah perpustakaan yang --- menurut laporan--- memiliki 400.000
ribu buku berdiri bersama obsevatorium itu. Banyak ilmuan terkenal bekerja bersama-
sama pada obsevatorium tersebut, sebut saja Nashir al-Din al-Tusi, ia adalah salah
seorang ilmuan terkemuka yang juga termasuk tim Quthb al-Din al-Syirazi, Mu’ayid
al-Din al-Urdi, Muhyi al-Din al-Maghribi dan lain-lain. Obsevatorium ini bukan
hanya sebuah lembaga riset dalam bidang astronomi, melainkan juga sebuah akademi
ilmiah. Pada abad ke-15 M, kontinuitas pembangunan obsevatorium terus belanjut.
Sebuah obsevatorium yang lebih maju dari yang ada di Maragha di bangun di
Samarkand oleh pangeran Ulugh Begh yang sadar akan arti pentingnya.
Obsevatorium ini rampung pada 1420 M, dan kemudian beroperasi selama 30 tahun
dibawah petronase Ulugh Begh yang menggantikan tahta ayahnya pada 1477 M.
disamping Ulugh Begh yang juga seorang ilmuan, juga ada ilmuan lain dalam
obsevatorium tersebut yang ahli dalam bidang astronomi dan matematika.
Obsevatorium penting terakhir dibangun di Istambul pada 1577 M selama masa
kekuasaan Sultan Murad III (1547-1595 M). Taqi al-Din Muhammad Ibn Ma’ruf al-
Rasyid al-Dimasqi adalah pendiri sekaligus pemimpin obsevatorium, ia seorang ahli
dalam bidang astronomi, matematika, dan sekaligus insinyur mesin. Selama abad
selanjutnya, sesudah 1450 M, perekonomian dan kekuasaan dari hampir seluruh
wilayah Islampun mulai melemah dan karya ilmiahpun mulai kehilangan
momentumnya. Mungkin disinilah awal mula kemunduran sain Islam.
Ketika orang berbicara tentang kemunduran keilmuan Islam, maka secara umum
sikap ilmuan akan merujuk pada al-Asy’ari dan al-Ghazali, karena mereka pernah
mengharamkan filsafat yang menurut mereka telah menyimpang dari konsep teologi.
Untuk menelusuri sebab-sebab kemunduran sain Islam ada baiknya kita
membandingkan beberapa hal antara Islam dan Eropa pada abad pertengahan yang
sama-sama masyarakat teosentris. Pada abad ini perujukan agama dengan ilmu
Yunani adalah hal yang teramat penting bagi kemajuan sain. Eropa berhasil
mencapainya, namun Islam gagal, hal itu sebagai akibat di Eropa teologi dipandang
sebagai ratu seluruh sain, sementara filsafat sebagai pelayan agama. Keadaaan ini
membawa akibat yang meluas. Sementara di Eropa para pendeta merasa perlu
mempelajari ilmu Yunani, dan hasilnya dari kalangan itu lahir ilmuan. Sementara
dalam Islam otoritas keagamaan dari kaum teolog justru mencoba memperlemah
semangat pengkajian filsafat dan sain yang kemudian hanya dilakukan oleh
perorangan dan independen. Padahal dalam Islam kaum teolog adalah kelompok yang
paling berpendidikan, sehingga mereka sebenarnya orang-orang yang memiliki
persiapan terbaik untuk melakukan pengkajian sain dan filsafat, mereka memiliki
gairah untuk mengembangkan ilmunya, dan mereka memiliki waktu senggang yang
lebih bila dibandingkan dengan masyarakat lain, yang akhirnya mereka adalah
pemimpin intelektual yang berkewajiban mendidik masyarakat.
Disamping perbedaan pandangan masalah teologi antara Islam dan Eropa, dalam
teori sain juga berbeda. Dalam tradisi Kristen, sain berfungsi sebagai pelayan agama,
sementara kaum muslim sejak abad kesebelas, telah menerima pembagian ilmu
menjadi dua yaitu ilmu-ilmu Arab atau Islam dan ilmu-ilmu kuno, yang dimaksud
ilmu kuno (awa’il) secara harfiah “ilmu orang terdahulu” maksudnya ilmu-ilmu
Yunani. Dua cabang utama ilmu yang pertama (ilmu Arab atau Islam) adalah ilmu-
ilmu yang berhubungan dengan Bahasa Arab dan agama, sementara yang belakangan
mencakup ilmu filsafat. Pada masa awal perkembangan ilmu-ilmu tersebut, para
pemikir muslim mengajukan beragam klasifikasi ilmu, namun pembagian besar
menjadi dua kelompok ilmu yang sama sekali terpisah tersebut benar- benar telah
tertanam dalam benak kaum muslim. Istilah ilmu rasional dan ilmu dari wahyu, juga
digunakan untuk menekan perbedaan metodologi kedua kelompok itu, karena
sementara ilmu awa’il adalah hasil pikiran manusia, ilmu-ilmu Islam didasarkan pada
wahyu, yakni ilmu tersebut berasal dari agama Islam. Pembagian ilmu menjadi dua
kelompok secara alamiah juga menyiratkan perbedaan nilai. Ilmu Islam disebut ilmu
terpuji sementara ilmu awa’il terkadang disebut ilmu yang tercela. Bahkan dalam
hukum ada pernayataan ulama bahwa menuntut ilmu agama itu wajib sementara ilmu
rasional atau awa’il itu fardu kifayah.
Pandangan kaum muslim terhadap kedua ilmu tersebut membuat muslim
berlomba menuntut dan mengajarkan ilmu agama, sementara ilmu umum
ditinggalkan. Hal itu terlihat peran madrasah (yaitu sekolah tinggi atau semacam
universitas) pada abad ke 13, bahwa madrasah itu semata- mata ditujukan untuk
mengembangkan dan menyebarkan ilmu-ilmu Islam, sementara ilmu awa’l tidak
dimasukkan dalam kurikulum madrasah. Akibat tidak dimasukanya ilmu awa’il atau
ilmu filsafat, maka penyebaran ilmu awa’il bergantung pada usaha belajar
perorangan. Di Eropa situasinya berbeda sama sekali, pengharaman Aristoteles mulai
berakhir pada pertengahan abad ketiga belas, dan sejak saat itu Aritoteles mulai
memperoleh posisi kuat dalam pengajaran di Universitas. Kemerosotan pamor ilmu
awa’il diperparah oleh sikap para teolog yang mencela ilmu awa’il, padahal ketika
akhir abad kedelapan atau awal abad kesembilan, ilmuan muslim amat bergairah
mempelajari ilmu-ilmu awa’il dan sisa-sisa filsafat Yunani, tak ada benturan yang
serius dengan sentimen keagamaa, sebaliknya ilmu awa’il tampak menarik bagi
mereka karena kegunaannya, dan filsafat dipandang sebagai memiliki unsur-unsur
yang dapat berguna untuk merumuskan dan mendefenisikan peinsip-prinsip iman dan
membantu menampilkan data-data agama dalam pola suatu bangunan pemikiran
rasional, sehingga Islam mengalami kejayaan dalam bidang keilmuan. Sebab lain
kemunduran keilmuan Islam, sebagaimana dikupas oleh Ibn Khaldun dalam bukunya
Muqaddimah, bahwa sain meningkat seiring dengan meningkatnya kemakmuran dan
besarnya peradaban suatu wilayah. Teori Ibn Khaldun dapat kita lihat buktiya setelah
mengetahui kondisi-kondisi di Bagdad, Kordova, al-Qayrawan, al-Bashirah dan al-
Kufah. Ketika kota ini menjadi banyak penduduknya dan makmur pada abad pertama
Islam dan peradaban berdiri tegak didalamnya, maka pusat sain pun tumbuh dan
melimpah, tetapi ketika kemakmuran kota ini dan peradabannya mulai menurun, dan
ketika populasinya mulai menyebar, maka permadani itu--- berikut segala sesuatu
yang berada diatasnya—pun terbalik sama sekali. Sain dan pendidikan pun hilang
darinya serta berpindah tangan. Gagasan Ibn Khaldun diulangi lagi oleh sarjana
modern lain, seperti Bernal dalam bukunya Science in History, menyatakan bahwa
priode-priode tumbuh suburnya sain ternyata sejalan dengan aktivitas perekonomian
dan kemajuan teknis.
Kemunduran ilmu pengetahuan dalam Islam terlihat pula pada mandeknya
perkembangan ilmu pengetahuan dalam masyarakat muslim. Membicarakan masalah
kemandekan ilmu pengetahuan, Komarudin Hidayat punya catatan kecil, menurutnya,
perkembangan ilmu pengetahuan dalam Islam memang seperti terputus dalam sejarah.
Karena segala ilmu dalam Islam tampaknya bermuara pada tokoh, moral, dan
penjagaan ritual. Ilmu Psikologi misalnya, muaranya dalam Islam adalah menjaga
moral, namun selanjutnya menjadi ritual. Jadi orang Islam baru bicara psikologi yang
dikaitkan dengan penyakit hati, tujuannya agar tidak menghalangi manusia dan
masyarakat dengan Tuhan. Mengapa ilmu pengetahuan dalam masyarakat muslim
tidak berkembang pesat setelah masa keemasan? pertama, karena daya ijtihadiyah
umat telah terpasung. Umat Islam cukup puas dengan penemuan ilmuan muslim
klasik, sehingga daya inovasi tidak berkembang. Kalau ada masalah umat kembali
pada kitab-kitab kuno. Kemudian yang menarik yang terjadi dalam umat Islam,
mereka sangat bangga jika mampu membaca kitab-kitab kuno, dan terkesan tidak
ingin merubah sedikitpun apa yang menjadi penemuan ulama klasik. Sikap ini
akhirnya menutup daya kritis, bahkan muncul sikap fanatisme tokoh. Kedua, ilmu
dalam Islam mandeg karena fokus kebutuhannya untuk ritual, sehingga
perkembangan ilmu yang ada dianggap cukup sejajar dengan ibadah. Contohya ilmu
falak, hanya untuk menentukan waktu arah shalat dan sebagainya. Penemuan baru di
bidang ilmu Astronomi seperti kompas juga hanya berguna untuk mencari arah kiblat,
setelah itu selesai.
Dalam sejarah Islam kita dapat melihat Ibn Sina yang berbicara ilmu kedokteran
dan tidak terkait sama sekali dengan pembicaraan tentang Tuhan. Tetapi semangat ibn
Sina sampai sekarang tidak membekas, karena dalam pandangan orang Islam, ilmu
bukan suatu kajian ilmu, tapi untuk tujuan ritual. Maka ketika sakit, argumen yang
dikedepankan adalah bahwa orang sakit harus sabar, itu cobaan dan taqdir, sehingga
ilmu kedokteran tidak dikembangkan sebagai kemajuan ilmu, tapi malah sebagai
pemenuhan faham. Ilmu kedokteran saat ini tidak dikembangkan secara profesional,
akibatnya kita menghadapi kenyataan ekspor ilmu kedoteran dari Barat. Dunia Islam
akhirnya hanya sebagai konsumen belaka, dan ilmu kedoteran Islam jauh tertinggal,
yang muncul kemudian bukan etos untuk kembali menguasai ilmu pengetahuan
modern, tapi justru menyibukkan diri mencari hukumnya, seperti kloning pada
manusia itu haram atau boleh, transplantasi itu haram atau halal, dan sebagainya,
tidak heran kalau yang berkembang lebih menonjol adalah fiqh.
I. Kaitan Ilmu, Etika, Iman dan Amal Shaleh
Ilmu bukanlah merupakan pengetahuan yang datang begitu saja sebagai barang
yang sudah jadi dan datang dari dunia khayalan. Akan tetapi ilmu merupakan suatu
cara berpikir yang demikian jelimet dan mendalam tentang sesuatu objek yang khas
dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang
berupa pengetahuan yang handal. Handal dalam arti sistem dan struktur ilmu dapat
dipertanggung jawabkan secara terbuka untuk diuji oleh siapapun.

Pengetahuan ilmiah adalah pengtahuan yang didalamnya memiliki karakterisik


kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka. Hal itu merupakan suatu keharusan bagi
seorang ilmuan, namun masalah yang paling mendasar yang dihadapi ilmuan setelah
ia membangun suatu bangunan yang kokoh dan kuat adalah masalah kegunaan ilmu
bagi kehidupan manusia. memang tak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa
manusia kearah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi dapatkah ilmu yang kokoh
dan kuat tersebut menjadi penyelamat mansia. Disinilah letak tanggung jawab seorang
ilmuan, moral dan akhlak amat diperlukan. Oleh karenanya penting bagi para ilmuan
memiliki sikap ilmiah.

Sikap ilmiah yang harus dimiliki para ilmuan antara lain :

1. Tidak ada rasa pamrih, artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai
pengetahuan ilmiah yang obyektif dengan menghilangkan pamrih,
2. Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang tujuannya agar para ilmuan mampu
mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi, misalnya hipotesis,
metodologi.
3. Adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-
alat indera serta budi (mind).
4. Adanya sikap yang berdasarkan pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan
merasa pasti bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai
kepastian.
5. Adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuan harus tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan.
6. Seorang ilmuan harus memiliki sikap etis (akhlaq) yang selalu berkehendak untuk
mengembangkan ilmu untuk kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih
khsus untuk pembangunan bangsa.
Dalam kaitan antara ilmu, etika, iman dan amal shaleh maka poin terakhir ini
atau bagian keenam ini amat penting untk dimiliki oleh seluruh ilmuan, karena
manusia sebagai makhluk Tuhan berada bersama-sama dengan alam dan berada
dialam itu. Manusia akan menemukan pribadinya dan membudayakan dirinya
bilamana manusia hidup dalam hubungannya dengan alamnya. Manusia yang
merupakan bagian alam tidak hanya merupakan bagian yang terlepas darinya.
Manusia senantiasa berintegrasi dengan alam. Sesuai dengan martabatnya maka
manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa menjadi pusat dari alam.
Dengan demikian, tampaklah bahwa diantara manusia dengan alam ada hubungan
yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu maka manusia harus senantiasa
menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat mutlak pula.
Kewajian ini merupakan kewajiban moral tidak saja sebagai manusia biasa lebih-
lebih bagi seorang ilmuaan.
Keterangan bahwa seorang ilmuan harus memiliki moral atau etika, telah ada
dalam Alquran. Dalam wahyu pertama, ditemukan informasi tentang pemamfaatan
ilmu melalui iqra’ bismi rabbika, titk tekan ayat ini, adalah sebagai motivasi
pencarian ilmu, kemudian tujuan akhir dari suatu ilmu haruslah karena Allah.
Syaikh Abdul Halim Mahmud seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab,
memahami iqra’bismi rabbika adalah demi kemaslahatan makhluk. Bukan kah
Allah tidak membutuhkan sesuatu, dan justru makhluk yang membutuhakn Allah.
Selanjutnya semboyan ilmu untuk ilmu tidak dikenal dan dibenarkan oleh Islam.
Apapun ilmunya, materi pembahasannya harus bismi rabbika, sehingga ilmu yang
dalam kenyataannya dewasa ini mengikuti sebagian pendapat sebagian ahli,
sebagai bebas nilai, harus diberi identittas rabbani oleh ilmuan muslim. Nilai yang
tercakup dalam ilmu tersebut disebut etika.
Etika dalam ilmu tidak dapat dipisahkan, karena keduanya saling mendukung
kesejahteraan manusia. Manusia apabila dikuasai oleh ilmu dan tidak menghiasi
ilmu dengan etika atau akhlak, maka ia cendrung menjadi angkuh, bahkan ilmunya
dipergunakan untuk merusak alam, dan mungkin untuk menghancurkan sesama
manusia. Oleh karena itu ilmuan muslim harus menghindari cara berpikir tentang
bidang ilmu yang tidak ada manfaatnya, apalagi tidak menghasilakan kemaslahatan
umat, karena rasul sering berdoa, “wahai Tuhanku, aku berlindung kepadaMu dari
ilmu yang tidak bermanfaat”. Ilmu yang tidak bermanfaat, mana kala ilmu tersebut
tidak meningkatkan iman, dan prilaku shaleh. Satu contoh ilmu yang tidak
meningkatkan kepercayaan kepada Tuhan adalah teori evolusi yang dipopulerkan
oleh Darwin, bahwa manusia berasal dari kera. Teori ini berusaha memutuskan
hubungan manusia dengan Tuhan, dimana manusia tidak mengenal Tuhan. Teori
ini adalah teori yang etheisme.
Lebih lanjut dijelaskan pula dalam konsep filasafat Islam yang diurai oleh
Toshihiko Izutsu, bahwa ilmu pada hakekatnya merupakan perpanjangan dan
pegembangan ayat-ayat Allah, dan ayat Allah merupakan eksistensi kebesarannya
dan manusia diwajibkan untuk berfikir tentang ayat Allah itu, untuk tujuan yang
tidak bertentangan dengan ajarannya, tidak untuk merusak dan melahirkan
kerusakan dalam kehidupan bersama, karena akibat buruknya akan menipa diri
manusia itu sendiri. Oleh karena itu kebenaran yang dibangun oleh ilmu dalam
hukum ilmu atau konsep teoritik tidak boleh jatuh dibawah kekuasaan hawa nafsu
karena akibatnya dapat merusak alam, sebagaimana firman Allah Q.S 23: 71.
Kalau sekiranya kebenaran itu mengikuti hawa nafsu mereka, niscaya binasalah
langit dan bumi dan apa-apa yang ada didalamnya, bahkan Kami telah datangkan
kepada mereka peringatan tetapi mereka berpaling.
J. Topik diskusi
Setelah mengikuti perkuliahan pada sesi kali untuke memperdalam pemahaman
saudara jelaskan dan diskusikan apa makan ilmu pengetahuan dalam islam.
Terimakasih

PERTEMUAN KE 11

A. Pengantar
Assalamualaikum wr wb
Alhamdulillahirobil alamin. Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT,
sehingga kita dapat bertemu lagi pada perkulihan kali ini.
Saudara mahasiswa yang saya banggakan, saat ini kita sudah menginjak pada
pertemuan sesi ke sebelas. Semoga kita senantiasa dalam kondisi sehat, sehingga
mampu menuntaskan pertemuan sesi ini. Setelah mengikuti pembelajaran ini
mahasiswa diharapkan dapat memahami materi mengenai Ahlaq dalam Islam berikut
dibawah ini materi saya lampirkan mohon dipelajari dengan benar.
B. MATERI
BAB VI
AKHLAQ DALAM ISLAM
A. Konsep Akhlaq
1. Pengertian Akhlaq
Kata akhlaq (Bahasa Arab) secara etimologis adalah bentuk jamak dari
khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Berakar dari
kata khalaqa yang berarti menciptakan. Seakar dengan kata Khaliq (Pencipta),
makhluq (yang diciptakan) dan khalqun (penciptaan).

Anda mungkin juga menyukai