Anda di halaman 1dari 104

KEGIATAN BELAJAR 1 :

ILMU DALAM ISLAM

CAPAIAN & SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

A. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari keseluruhan materi pada kegiatan belajar 1 modul 1,
diharapkan mahasiswa dapat menganalisis ilmu dalam Islam

B. Sub Capaian Pembelajaran


Setelah mempelajari keseluruhan materi pada kegiatan belajar 1 modul 1,
mahasiswa diharapkan dapat:
a. Menganalisis hakikat ilmu dalam Islam
b. Menganalisis sumber ilmu dalam Islam
c. Menganalisis klasifikasi ilmu dalam khazanah intelektual Islam
C. Pokok-pokok materi
a. Hakikat Ilmu dalam Islam

b. Sumber Ilmu dalam Islam

c. klasifikasi ilmu dalam khazanah intelektual Islam

1
Uraian Materi
Saudara-saudara sekalian, pada bagian ini dibahas tiga materi
pokok tentang ilmu dalam Islam. Pada bagian pertama akan dibahas
tentang hakikat ilmu dalam Islam. Pada bagian kedua akan dibahas
tentang sumber ilmu dalam Islam. Pada bagian ketiga akan dibahas
tentang Klasifikasi Ilmu dalam Khazanah Intelektual Islam. Kepada
Saudara, diharapkan dapat membaca dan menganalisis materi
kegiatan belajar 1 ini dengan sebaik-baiknya agar capaian
pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai secara optimal.

1. Hakikat Ilmu dalam Islam


a. Pengertian ilmu
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Arab ‘alima, ya’lamu,
‘ilman yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam Bahasa
Inggris, istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari Bahasa Latin
scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan
mengetahui. Kata ilmu ini pada akhirnya mengalami penyempitan makna,
karena tidak semua yang dipelajari dan diketahui disebut ilmu. Secara
istilah ilmu adalah rangkaian aktivitas rasional yang dilaksanakan dengan
prosedur ilmiah dan metodologi tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kata 'ilm (ilmu pengetahuan) menurut al-Ghazali adalah bentuk
kata yang ambigu (musytarak: mempunyai banyak arti) yang meliputi
penglihatan dan perasaan. ilmu pengetahuan adalah mengetahui (al-
ma'rifah). Maka ilmu pengetahuan adalah ilustrasi akal (tashwîr) yang valid
tentang hakikat sesuatu, yang terlepas dari unsur aksiden dengan segala
dimensi, kualitas, kuantitas, substansi dan zatnya. Ilustrasi akal tersebut
meliputi segala aktivitas jiwa dalam memperoleh dan memproduksi
pengetahuan. Jadi kata tashwîr ini meliputi pengetahuan aksiomatis (‘ilmal-

2
dlarûriy), pengetahuan intelektual (‘ilm al-kasbiy) dan pengetahuan intuitif
(‘ilm al-ladunniy). Adapun pengetahuan hishshiyyah (indrawi) tidak
termasuk dalam definisi ini karena tashwîrnya belum terlepas dari materi.
Definisi di atas menunjukkan luasnya obyek ilmu pengetahuan
dalam Islam. Ia mencakup alam kasat mata (‘alam al-mulki wa al-syahâdah)
dan alam metafisika (‘alam al-malakût wa al-jabarût). Dari sini terlihat begitu
luasnya wilayah kajian dalam epistemologi Islam yang tidak hanya bekerja
pada tataran empiris-fenomenologi tetapi menusuk sampai pada wilayah
transendental. Wilayah-wilayah itu tidak pernah dipandang sebagai
sesuatu yang terpisah karena pada hakikatnya ia adalah satu yakni wilayah
ketuhanan (hadlrah Rubûbiyyah).
b. Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan
Ilmu dibedakan dengan pengetahuan. Pengetahuan lebih bersifat
umum. Ia merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu yang belum
teruji secara ilmiah. Menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan pada
hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek tertentu,
termasuk di dalamnya ilmu. Jadi, ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai
pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu
membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup
pengalaman manusia, sedangkan agama menjelajah daerah yang bersifat
transendental yang berada di luar pengalaman manusia.
Di sini terlihat bahwa betapa pun pengetahuan lebih luas tetapi ilmu
lebih utama. Bisa dikatakan bahwa semulia-mulianya pengetahuan adalah
ilmu. Hanya saja kemuliaan ilmu di sini ditentukan hanya dengan standar
empiris rasional saja. Keterlibatan wahyu tidak menjadi referensi dalam
menakar kebenarannya. Tentu akan berbeda ketika pemikir muslim
melihat persoalan ilmu dalam pandangan Islam.

3
Ilmu dan pengetahuan adalah dua hal yang memiliki keterkaitan
satu sama lain, di mana ilmu membentuk intelegensia, yang melahirkannya
skill atau keterampilan yang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan sehari-
hari. Sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang
kemudian melahirkan tingkah laku kehidupan manusia.

c. Hakikat Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan dalam Islam bukan merupakan sesuatu di luar af’al
Allah, sehingga tidak ada pengetahuan yang tidak diurai dari sumber yang
satu itu. Seluruh jenis pengetahuan makhluk adalah setitik air dari
samudera pengetahuan Allah. Ketika al-Ghazali menjelaskan tentang tiga
dimensi pengenalan (ma'rifah) manusia kepada Allah dari sudut perbuatan-
Nya (al-af'al), sifat (al-sifat) dan dzat-Nya (al-dzat), ia mengatakan bahwa
seluruh pengetahuan manusia (dalam bentuk science) itu diambil dari
samudera al-af'al. Yakni representasi perbuatan Allah yang begitu luas
terbentang ke penjuru semesta yang tak terarungi. Suatu kawasan
pengetahuan yang jika seluruh lautan di dunia ini dijadikan tinta untuk
menuliskan kalimat-kalimatNya, niscaya ia akan habis sebelum kalimat itu
tuntas dituturkan.
2. Sumber Ilmu dalam Islam
a. Perdebatan Sumber Ilmu
Dalam epistemologi modern, sumber pengetahuan dibedakan atas
empat hal yaitu: empiris, rasionalitas, intuisi dan otoritas. Namun demikian
Jujun mengatakan bahwa pada dasarnya, hanya ada dua cara pokok bagi
manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama,
mendasarkan pada rasio (rasionalisme). Kedua, mendasarinya pada
pengalaman (empirisme). Di samping kedua sumber tersebut masih ada
satu cara lagi yang disinyalir sebagai jenis pengetahuan yang datang
dengan tiba-tiba yaitu intuisi. Dalam bahasa lain A. C. Ewing mengatakan

4
bahwa ada dua jenis teori tentang pengetahuan yaitu a priori dan empirikal.
Dua teori pengetahuan itu dengan sengit telah diperdebatkan oleh para
filosof pada abad ke-17 dan 18 yang pada akhirnya melahirkan dua aliran
besar dalam epistemologi yaitu rasionalisme dan empirisme.
Sebagai agama yang rasional, Islam tentu mengakui adanya
keempat sumber pengetahuan yang diakui oleh epistemologi modern.
Maka dalam Islam pengetahuan empiris, rasional, intuitif dan otoritatif
diabsahkan sebagai sumber pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan
tersebut itu dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan. Tidak seperti
empirisme yang menafikan pengetahuan rasional, atau rasionalisme yang
menafikan pengetahuan empiris
Guna melacak lebih jauh tentang pemikiran tersebut berikut akan
dikaji pemikiran para filosof muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan al-
Ghazali yang berkaitan dengan sumber-sumber pengetahuan dalam
bingkai pengetahuan empiris, rasional, dan intuitif.
b. Ragam Sumber Pengetahuan
1) Pengetahuan Empiris
Yang dimaksud pengetahuan empiris yaitu pengetahuan yang
didapatkan melalui pengalaman inderawi dan akal mengolah bahan-bahan
yang diperoleh dari pengalaman dengan cara induksi.
Jhon lock, bapak empirisme Britana, mengemukakan teori tabula
rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia pada
mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa
yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. David Hume, salah satu
tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah
pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, kesan-kesan dan
pengertian-pengertian atau ide-ide. Dengan kata lain, empirisme

5
menjadikan pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan. Sesuatu
yang tidak diamati dengan indra bukanlah pengetahuan yang benar.
Islam mengakui adanya empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi
ia bukan satu-satunya dan dalam batas-batas tertentu. Al-Ghazali misalnya,
selalu membagi alam dalam dua kategori besar yaitu alam al-mulki wa al-
syahâdah (semesta) dan alam al-malakût wal-Jabarût (metafisika). Adapun
yang menjadi obyek bagi pengetahuan empiris adalah alam semesta. Alam
ini oleh al-Ghazali dalam konsep metafisikanya diletakkan sebagai wujud
terendah.
Menurut al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali pengetahuan empiris
ini merupakan hasil dari aktivitas jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) yang
dalam batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatang Jiwa sensitif
selanjutnya dibagi menjadi dua yaitu: daya tangkap dari luar (persepsi dan
daya tangkap dari dalam otak. Adapun daya tangkap dari luar itu
kesemuanya terdapat pada panca indra yang masing-masing indra
bertugas menangkap informasi yang khusus. Jadi yang mencerap informasi
empiris itu sesungguhnya bukanlah organ fisik akan tetapi jiwa sensitif.
Informasi dari indra tersebut selanjutnya dikirim ke daya tangkap
dari dalam yang terdiri atas lima bagian yaitu: al-hish al-musytarak, al-
khayâliyyah, al-wahmiyyah, al-dzâkirah, dan al-mutakahayyilah. Informasi dari
indra itu untuk kali pertamanya diterima oleh al-hish al-musytarak (common
sense) kemudian disimpan di dalam al-khayâliyyah (representasi) dan
selanjutnya al-wahmiyyah (estimasi) membuat abstraksi, mengambil makna
dari obyek tertentu.
Jadi ketika seseorang melihat harimau, otomatis al-wahmiyyah akan
mengatakan bahwa ia adalah musuh yang harus dihindari. Makna musuh
yang harus dihindari ini dicerap secara khusus dari harimau tertentu yang
terlihat. Hal ini berarti abstraksi tersebut masih bersifat partikular. Makna
yang ditangkap oleh al-wahmiyyah itu selanjutnya dikirim keal-dzâkirah

6
(reproduksi) atau al-hâfidhah (penghafal) untuk disimpan. Berbagai bentuk
dan informasi yang ditangkap di atas akhirnya dirangkaikan atau dipisah-
pisahkan -sesuai kebutuhan- sehingga mendapatkan kesimpulan yang baru
oleh daya yang tertinggi dan terakhir yang disebutal-mutakhayyilah
(interpretasi).
Kelima daya tangkap pengetahuan dari batin tersebut bertempat di
otak. Karena seluruh daya ini menggunakan organ fisik maka al-Ghazali
menyebutnya sebagai daya jasmani (qiwâ jasmaniyyah) yang bekerja secara
reflektif alami
2) Pengetahuan Rasional
Descartes, bapak rasionalisme continental, berusaha menemukan
suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya memakai
metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan seseorang. Ia
yakin bahwa semua kebenaran itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran
tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal
yang tidak dapat diragukan.
Akal mengatur data-data yang dikirim oleh indra, mengolahnya dan
menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar. Dalam
penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional atau ide-ide universal.
Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat
universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda konkret. Selain
menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahan yang dikirim indra, akal juga
mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indra, yaitu
pengetahuan yang bersifat abstrak. Seperti pengetahuan tentang
hukum/aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk. Hukum ini ada
dan logis tetapi tidak empiris.
Penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan menjadi
sandaran sumber ini di mana akal harus memenuhi syarat-syarat yang
digunakan dalam seluruh metode ilmiah. Jadi menurut aliran

7
Rasionalisme, pengetahuan hanya dapat ditemukan dalam dan dengan
bantuan akal (rasio). Dengan cara ini, maka proses pengetahuan manusia
adalah dengan mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan
partikular dari prinsip-prinsip umum, atau dengan kata lain bahwa
pengetahuan manusia harus mulai dari aksioma-aksioma yang telah
terbukti dengan sendirinya, dan dari situ ditarik teorema-teorema
sedemikian rupa sehingga kebenaran aksioma menjadi kebenaran teorema.
Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa kemampuan akal
manusialah yang dapat digunakan untuk dapat menarik kesimpulan dari
prinsip-prinsip umum tertentu dalam benaknya. Oleh karenanya, logika
silogisme menjadi sangat penting dalam menggunakan metode ini.
Berbeda dengan kaum rasionalis yang begitu fanatik pada akal,
Islam menerima akal sebagai sumber pengetahuan dalam batas-batas
tertentu, seperti halnya empiris. Dalam Misykah al-Anwâr, al-Ghazali
menjelaskan bahwa proses pencapaian pengetahuan itu ada lima tahapan.
Dua di antaranya berada dalam wilayah pengetahuan empiris yaitu al-rûh
al-hisâs dan al-khayâliy, sedangkan tiga bagian berikutnya yang menjadi
bagian dari jiwa rasional adalah al-rûh al-aqliy,al-rûh al-fikriy yang keduanya
berada dalam kawasan wilayah pengetahuan rasional dan al-rûh al-qudsiy
al-nabawiy yang berada dalam wilayah pengetahuan intuitif.
Daya rasional (al-rûh al-aqliy) adalah substansi manusia yang hanya
ada pada manusia dewasa, tidak pada anak, terlebih pada binatang. Daya
ini menyerap makna-makna di luar indra dan imajinasi. Adapun jangkauan
penerapannya adalah pengetahuan-pengetahuan dlarûriy (aksiomatis) dan
universal. Eksistensinya sebagai pencerap makna-makna itu dalam bahasa
metafora al-Qur'an adalah pelita (mishbâh)
Al-Ghazali membagi jiwa rasional itu kedalam dua bagian besar
yaitu: akal praktis (al-'amilah) dan akal teoritis (al-'âlimah). Kedua akal
tersebut bukanlah dua hal yang benar-benar terpisah, akan tetapi lebih

8
merupakan dua sisi dari substansi yang sama. Sisi yang menghadap ke
bawah adalah akal praktis sedangkan yang menghadap ke atas adalah akal
teoretis.
Akal praktis berfungsi untuk menggerakkan tubuh melalui daya-
daya jiwa sensitif (al-rûh al-hayawâniyyah) sesuai tuntutan pengetahuan
yang telah dicapai oleh akal teoritis. Ia juga merupakan saluran yang
menyampaikan gagasan-gagasan akal teoretis kepada daya penggerak (al-
muharrikah) sekaligus merangsangnya menjadi aktual. Oleh karena itu,
menurut al-Ghazali akal praktis ini harus mampu menguasai daya-daya
yang ada di bawahnya untuk mencapai akhlak mulia. Jika akal praktis ini
berhubungan dengan akal teoretis maka hubungan tersebut akan
menghasilkan pengetahuan moral, seperti dusta adalah buruk, adil adalah
baik dan lain-lain.
Jika akal praktis berfungsi untuk menyempurnakan penampilan
lahir manusia maka akal teoretis lebih berfungsi untuk menyempurnakan
substansinya yang bersifat immaterial dan ghaib. Akal kedua ini
berhubungan dengan pengetahuan yang abstrak dan universal. Ia
mempunyai empat tingkatan evolutif yaitu: al-'aql al-hayulaniy, al-'aql bi al-
malakah, al-'aql bi al-fi'il dan al-'aql al-mustafad.
a. Al-'Aql al-Hayulaniy (Akal Material).
Pada fase ini akal masih berupa potensi karenanya ia merupakan
tingkatan terendah dari dinamika intelektual manusia. Kondisi akal pada
tahap ini diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak
kecil yang belum dapat menulis. Potensi menulis itu ada tapi belum aktual.
b. Al-'Aql bi al-Malakah (Akal Habitual).
Akal ini disebut juga al-'aqlbi al-mumkin karena pada fase ini akal
telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis (al-'ulûm
al-dlarûriyyat) secara reflektif. Pengetahuan ini disebut sebagai

9
pengetahuan rasional pertama (al-ma'qûlah al-ûlâ). Dalam al-Qisthâs al-
Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al-'aql (insting akal).
c. Al-'Aql bi al-Fi'il (Akal Aktual).
Pada fase ketiga ini akal telah bisa menggunakan pengetahuan
pertama sebagai premis mayor dalam silogisme untuk memperoleh
pengetahuan rasional kedua (al-ma'qûlah al-tsâniyah). Pengetahuan pertama
sebagai modal dan pengetahuan kedua sebagai hasil pemikiran. Kegiatan
berpikir pada fase ini bukan semata-mata merupakan aktivitas akal murni
tetapi juga menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada pada jiwa sensitif.
Jadi informasi dari al-mutakhayyilah yang berfungsi untuk menyusun dan
atau memisahkan pengetahuan diambil kesimpulannya oleh akal tersebut.
Kegiatan berpikir pada tahap ini merupakan kegiatan bersama antara al-
mutakhayyilah dengan akal.
d. Al-Aql al-Mustafâd (Akal Perolehan).
Akal pada tingkatan ini telah mempunyai pengetahuan-
pengetahuan secara aktual dan menyadari kesadarannya secara faktual.
Berbeda dengan aktivitas berpikir sebelumnya di mana akal secara aktif
menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru dengan menggunakan
informasi pada tahapan sebelumnya; pada tahap ini akal hanya bersifat
pasif. Pengetahuan-pengetahuan itu telah hadir dengan sendirinya tanpa
memerlukan kegiatan berpikir. Oleh karena itu ia disebut dengan al-
mustafâd (perolehan). Akal ini juga sering disebut dengan al-aql al-qudsiy
(akal suci) Pengetahuan tersebut merupakan limpahan dari akal yang
selamanya aktual yaitu Akal Aktif. Dalam Mi'yâr al-'Ilm al-Ghazali
mengatakan bahwa Akal Aktif itu adalah malaikat yang bertugas untuk
memberi pengetahuan kepada manusia.
3) Pengetahuan Intuitif (Ladunni)
Jika disimak penuturan al-Ghazali dalam kitab-kitab filsafatnya terutama
Ma'ârij al-Quds terlihat bahwa dinamika akal dalam gerakan klimaks

10
sangat mengagumkan. Gerakan rasional dari alam wujud terendah hingga
menusuk ke alam ghaib. Pada tingkat akal mustafâd aktivitas berpikir
sangat berbeda dengan tahap sebelumnya. Pada tingkat ini akal justru
secara pasif menerima pengetahuan langsung dari Akal Aktif tanpa melalui
proses belajar. Dalam Misykât al-Anwâr tingkatan tersebut dinamakan al-
rûh al-quds al-nabawiy yang menempati puncak dari kebenderangan dan
kejernihan yang bertugas untuk menyulut daya-daya (ruh) di bawahnya.
Dalam bahasa metafora al-Qur`an adalah "minyak".
Menarik untuk dikaji bagaimana al-Ghazali membandingkan derajat
seorang ilmuwan dengan wali. Ilmuwan itu hanya diibaratkan kanak-
kanak (al-thifl) dan wali itu adalah remaja (al-tamyîz). Seperti tidak tahunya
kanak-kanak tentang kondisi remaja, seperti itulah tidak tahunya
intelektual terhadap pengetahuan para wali. Penjelasan ini menunjukkan
bahwa dalam ajaran Islam, kualitas pengetahuan intuitif itu lebih utama
jika dibanding dengan pengetahuan rasional.
Apa yang dimaksud dengan intuisi dalam Islam sangat berbeda
dengan wacana Barat, baik di bidang psikologi maupun filsafat. Intuisi di
Barat merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dari intelektual dan
masih dalam kawasan rasional. Intuisi dipahami oleh ilmuwan dan filosof
Barat sebagai bentuk pemunculan ide-ide terpendam di bawah sadar. Oleh
karena itu Iqbal mengatakan: "In fact, intuition, as Bergson rightly says, is only
a higher kind of intellect." (intuisi sebagaimana dimaksud oleh Bergson,
hanyalah salah satu jenis kemampuan nalar tinggi). (Iqbal: 19981). Di dalam
wacana Islam, intuisi merupakan bentuk pencapaian ilmu hudluriy yang
didapatkan seseorang dengan cara pasif baik itu secara langsung dari Allah
atau melalui perantara. Perantara di sini dapat berupa malaikat (Akal
Aktif), bisa juga melalui Lauh Mahfuzh (Jiwa Universal) ataupun al-Qalam
atau Nur Muhammad (Akal Universal). Adapun pengaktifan jiwa manusia

11
yang disulut oleh syetan tidak termasuk dalam definisi intuisi yang
dikehendaki di dalam bahasan ini.
3. Klasifikasi Ilmu dalam Khazanah Intelektual Islam
Dalam tradisi ilmiah Islam, klasifikasi ilmu termasuk yang menjadi
perhatian serius di kalangan intelektual Islam. Klasifikasi ilmu menjadi
bagian dari bukti kegemilangan pencapaian karya intelektual muslim
pada masa kejayaan Islam dan sekaligus penghargaannya yang tinggi
terhadap ilmu. Perkembangan klasifikasi ilmu di dunia Islam
dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles.
Secara umum, Aristoteles membagi ilmu kepada dua bagian pokok,
yang kemudian melahirkan sejumlah cabang lainnya: Pertama, ilmu
teoretis. Jenis ilmu ini semata pengetahuan, yang terbagi pada tiga
bagian: 1) ilmu metafisika/ filsafat/ ketuhanan (teologi) yaitu jenis ilmu
yang membahas tentang wujud mutlak. 2) ilmu matematika, yakni
pembahasan tentang wujud dari sudut ia adalah ukuran dan jumlah; 3)
ilmu fisika, yakni pembahasan tentang wujud dari perspektif yang
dapat diindera dan bergerak. Kedua, ilmu praktis. Tujuannya adalah
pengetahuan untuk mengatur perbuatan manusia yang terbagi kepada
empat bagian: 1) ilmu akhlak; 2) ilmu pengaturan rumah; 3) ilmu politik;
dan 4) ilmu seni dan puisi. Adapun logika tidak termasuk dalam
pembagian ini karena objeknya adalah pemikiran. Ia adalah instrumen
untuk semua ilmu.
Model klasifikasi ilmu Aristoteles ini kemudian banyak diadopsi
dan dikembangkan oleh para ilmuwan muslim seperti al-Farabi dan
Ibnu Sina dengan tambahan beberapa modifikasi tertentu. Sejumlah
karya ilmuwan muslim terkait klasifikasi ilmu telah dilahirkan.
Beberapa karya yang menonjol yaitu: Ihsha al ‘Ulum karya al Farabi (w.
339 H), Rasa’il Ikhwan Ash Shafa wa Khilan al Wafa (pertengahan abad
ke-4 Hijriyah), Mafatih al ‘Ulum karya al Khawarizmi (w 387 H), al

12
Fihrist karya Ibnu an Nadim (w. 437 H), Risalah Aqsam al ‘Ulum al
‘Aqliyyah karya Ibnu Sina (w 428 H), Risalah al Maratib al ‘Ulum karya
Ibnu Hazm (w. 456), Risalah al Maratib al ‘Ulum oleh Ibnu Hazm (w.
456 H), Thabaqat al ‘Ulum karya Al Abiyuri (w. 504 H), al Muqaddimah
karya Ibnu Khaldun (w. 808 H), Miftah as Sa’adah wa Mishbah as
Siyadah fi Mawdhu’at al Ilm karya Thasy Kubri Zadah (w. 968 H), Kasyf
azh Zhunun ‘an Asami al Kutub wa al Funun karya Haji Khalifah (w.
1068 H), Kasysyaf Isthilahat al ‘Ulum karya at Tahanuri (w. 1158 H), dan
Abjad al ‘Ulum Shadiq bin Hasan al Qanuji.
1. Klasifikasi Ilmu Al-Farabi
Dalam pandangan al-Farabi, klasifikasi ilmu tergambar pada
skema berikut ini:
UMUM SUB 1 SUB 2 SUB 3 SUB 4
ILMU Kalam
AGAMA Fiqh
Kaidah Bahasa Arab
ILMU Teoritis Metafisika Ontologi; Wujud Non Fisik dan
FILSAFAT tidak dalam Fisik; dan Prinsip-
Prinsip Demonstrasi
Matematika Bilangan; Geometri; Optik;
Astronomi; Musik; Ukuran; dan
Mekanika
Fisika Fisika Dasar; Benda Fisik
Sederhana; Kejadian dan
Kehancuran; Benda fisik dari
Unsur-unsur; Aksiden dan
Pengaruhnya; Minerologi; Botani;
Zoologi: Hewan dan Manusia
Ilmu Alat Logika Kategori;
Hermeneutika;
Qiyas;
Demonstrasi;
Topika; Sofistika;
Retorika; Puitik
Bahasa Kata Tunggal,
Kata Tersusun,
Kaidah Kata
Tunggal; Kaidah
Kata Tersusun,

13
Memperbaiki
Tulisan,
Memperbaiki
Bacaan, dan
Menyusun Syair
Praktis Politik
Etika

2. Klasifikasi Ilmu Ikhwan Al-Shafa


Dalam pandangan Ikhwan Al-Shafa, klasifikasi ilmu tergambar
pada skema berikut ini:
KATEGORI SUB 1 SUB 2 & PENJELASAN
UMUM
Ilmu Adab Syariat: pengetahuan yang didapat melalui jiwa
dan akal secara mendalam
Syariat Pengetahuan yang mulia: Pengetahuan yang
diserahkan kepada para Nabi berupa wahyu
Filsafat Matematika Logika Fisika Metafisika (ilahiyyah)

3. Klasifikasi Ilmu Ibnu Sina


Dalam pandangan Ibnu Sina, klasifikasi ilmu tergambar pada
skema berikut ini:
KATEGORI UMUM SUB 1 SUB 2 PENJELASAN
Ilmu Hikmah Ilmu Fisika
Teoritis
Murni
Matematika
Ketuhanan 1) Pengamatan tentang
pengetahuan pengertian
umum semua maujudat;
2) pengamatan tentang
pokok-pokok dan dasar-
dasar seperti ilmu fisika,
matematika, dan logika;
3) pengamatan tentang
penetapan adanya Yang
Maha Benar (al Haq)
pertama dan
pengesaanNya;

14
4) pengamatan tentang
penetapan inti-inti
kerohanian (malaikat);
5) pengamatan tentang
pendayagunaan inti-inti
dari benda-benda langit
dan bumi terhadap inti-
inti kerohanian tersebut;
6) Pengetahuan tentang
cara turunnya wahyu;
7) Pengetahuan
pertemuan di akhirat (al
ma’ad), yakni membahas
tentang keadaan hari
berbangkit seperti
kebahagiaan dan
kesengsaraan rohani
yang dapat diketahui
melalui akal dan
kebahagiaan dan
kesengsaraan rohani
yang dapat diketahui
melalui syara’.
Ilmu Ilmu Akhlak
Praktis Ilmu Pengurusan Rumah
Ilmu Politik

4. Klasifikasi Ilmu Ibnu Haytham


Dalam pandangan Ibnu Haytham, klasifikasi ilmu tergambar
pada skema berikut ini:
UMUM SUB 1 SUB 2 SUB 3 SUB 4
AL- Teori Matematika Geometri Geodesi,
HIKMAH Aritmatika Akunting,
Music Algebra,
astronomi Faraid,
Optik,
Timbangan
,
Geometric,
Mesin

15
Ilmu Alam Yang bersifat
fisik, objek yang
tampak yang
mampu
diketahui
melalui indra
Metafisika Sifat alam Sifat
Manusia
Ketuhanan
Praktik Individu Kesehatan
Moral/Akhlak

Kelompok Keluaraga
Admnistrasi
pemerintahan
Politik Hukum
Hukuman

5. Klasifikasi Ilmu Al Ghazali


Dalam pandangan al-Ghazali, klasifikasi ilmu tergambar pada
skema berikut ini:

UMUM SUB 1 SUB 2 SUB 3 KETERA


NGAN
ILMU Fardhu ‘Ain Mukasyafah (esoterik) makna Kasyf
yang kenabian,
berkenaan makna
dengan wahyu,
I’tiqad, malaikat,
Amal, mizan, sirat,
Larangan permusuha
n setan
dengan
malaikat,
dst

16
Fardhu Ilmu- Usul (pokok) ilmu tafsir, Berkenaan
Kifayah ilmu Furu’ (cabang) hadith, fiqh, dengan
yang agama Muqaddimah usul al-fiqh, industri,
dipelajari (prasarana) dan lain-lain seperti
secukupnya Mutammimat pertanian,
(Pelengkap) tekstil,
desain
busana

Non yang berasal Kedokteran,


Agama dari hasil aritmatika,
penalaran akal politik,
manusia, logika,
pengalaman, bahasa
dan percobaan

6. Klasifikasi Ilmu Ibn Khaldun


UMUM SUB 1 SUB 2
Naqliyah hikmah dan Alqur’an dan ilmu
(berdasarkan falsafah Alqur’an, Tafsir,
otoritas atau ilmu hadis dan ilmu
tradisional) hadis, ilmu hukum,
ushul fiqh, dan fiqh,
teologi, ilmu tasawuf
dan bahasa
Aqliyah Logika, Ilmu Logika, fisika,
(berdasarkan akal Alam, kedokteran,
atau dalil Metafisika, pertanian, ilmu sihir,
rasional) Matenatika ilmu ghaib, kimia,
kuantitas (ukur,
bidang, ruang),
musik, ilmu
hitungan
(matematika),
astronomi

17
7. Klasifikasi Ilmu Konferensi Internasional Islamabad
Berdasarakan hasil Konferensi Internasional Islamabad, klasifikasi
ilmu tergambar dalam skema berikut ini:
KLASIFIKASI CABANG-CABANG ILMU
ILMU
Ilmu-ilmu Al Qur’an: Studi dan penafsirannya
tentang yang Hadis/ Sunnah Nabi
kekal abadi Sirah (biografi) Nabi, para sahabat dan tabi’in
Keesaan Allah (tauhid)
Prinsip-prinsip ilmu Hukum
Bahasa Arab al Qur’an
Ilmu-ilmu tambahan/ penunjang metafisika
Islam, perbandingan agama, dan kebudayaan
Islam
Ilmu-ilmu Seni Imajinatif: seni arsitektur dan seni-seni
perolehan Islam lainnya, bahasa dan sastra
Ilmu-ilmu intelektual: ilmu-ilmu sosial
(teoretis), filsafat, pendidikan, ekonomi,
politik, sejarah, kebudayaan islam, teori-teori
Islam tentang politik, ekonomi, sosial, ilmu
budaya, sosiologi, linguistik, psikologi,
antropologi
Ilmu-ilmu fisika (teoretis): filsafat ilmu
pengetahuan, fisika, matematika, statistik,
kimia, ilmu biologi, astronomi, ilmu-ilmu
tentang angkasa luar
Ilmu-ilmu terapan: rekayasa dan teknologi
(sipil dan mesin), ilmu kedokteran, ilmu
pertanian, dan kehutanan
Ilmu-ilmu praktis: perdagangan, ilmu
administrasi, administrasi bisnis, administrasi
Negara, ilmu-ilmu perpustakaan, ekonomi
rumah tangga, ilmu-ilmu komunikasi

8. Klasifikasi Ilmu Kuntowijoyo


Menurut Kuntowijoyo, klasifikasi ilmu tergambar seperti dalam
skema berikut ini:
KLASIFIKASI CABANG ILMU
ILMU

18
Kawniyah ilmu-ilmu alam,
nomothetic
Qauliyyah ilmu-ilmu
Alquran,
theological
Nafsiyah ilmu-ilmu
kemanusiaan,
hermeneutical

9. Klasifikasi Ilmu Amin Abdullah


Menurut Amin Abdullah, klasifikasi ilmu tergambar
sebagaimana skema berikut ini:
KLASIFIKASI LEVEL 1 KLASIFIKASI LEVEL 2
Alquran dan Sunnah
ilmu-ilmu Ushuluddin Kalam, Falsafah, Tasawuf,
Hadits, Tarikh, Fiqh, Tafsir,
dan Lughah
pengetahuan teoritik Sociology, Hermeneutics,
Philology, Semiotics, Ethics,
Phenomenology, Psychology,
Philosophy, History,
Anthropology, dan
Archeology
pengetahuan aplikatif Isu-isu Religious Pluralism,
Sciences and Technology,
Economics, Human Rights,
Politics/Civil Society, Cultural
Studies, Gender Issues,
Environmental Issues, dan
International Law

10. Klasifikasi Ilmu Imam Suprayogo


Menurut Imam Suprayogo, klasifikasi ilmu tergambar
sebagaimana skema berikut ini:
KLASIFIKASI KLASIFIKASI KLASIFIKASI
LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3
Fardhu ‘Ain Akar B. Indonesia, B.
Arab, B. Inggris,
Filsafat, Ilmu-Ilmu

19
Alam, Ilmu Sosial
dan Pancasila
Batang Kajian yang
bersumber pada
Al Quran dan
Hadist
Fardlu Kifayah Dahan, Ranting Jenis fakultas yang
dan Daun dipilih
Buah Bangunan ilmu
yang integratif
antara ilmu umum
dan agama yaitu
iman amal sholeh
dan akhlakul
karimah

D. Contoh Soal HOTS Materi KB

Ada empat (4) tipe soal HOTS bentuk pilihan ganda (PG), yaitu tipe:
1) Pilihan Ganda Biasa, 2) Pilihan Ganda Komplek, 3) Pilihan Ganda
Kasuistik, dan 4) Pilihan Ganda Asosiatif. Pada KB1 diberikan contoh soal
PG tipe 1; pada KB2 diberikan contoh soal PG tipe 2; pada KB3 diberikan
contoh soal PG tipe 3; dan pada KB4 diberikan contoh soal PG tipe 4. Tujuan
diberikannya contoh soal ini adalah agar mahasiswa dapat mempelajari
dan mampu membuat soal HOTS bentuk Pilihan Ganda dengan berbagai
tipe.

Berikut sajian contoh soal pada modul ini sebagai bahan latihan
saudara dalam menganalisis pertanyaan dan jawaban, serta sebagai contoh
pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh dosen pengampu.

Contoh soal Hots tipe 1:

Perhatikan pengertian kata 'ilm (ilmu pengetahuan) menurut al-Ghazali di


bawah ini:

20
Kata 'ilm (ilmu pengetahuan) adalah bentuk kata yang ambigu (musytarak:
mempunyai banyak arti) yang meliputi penglihatan dan perasaan. Ilmu
pengetahuan adalah mengetahui (al-ma'rifah). Ilmu pengetahuan adalah
ilustrasi akal (tashwîr) yang valid tentang hakikat sesuatu, yang terlepas
dari unsur aksiden dengan segala dimensi, kualitas, kuantitas, substansi
dan zatnya. Ilustrasi akal tersebut meliputi segala aktivitas jiwa dalam
memperoleh dan memproduksi pengetahuan. Jadi kata tashwîr ini meliputi
pengetahuan aksiomatis (‘ilmal-dlarûriy), pengetahuan intelektual (‘ilm al-
kasbiy) dan pengetahuan intuitif (‘ilm al-ladunniy).
Jika dikaitkan dengan obyek ilmu pengetahuan dalam Islam, maka hal ini
mengandung makna:

A. Luasnya obyek ilmu pengetahuan dalam Islam yang mencakup alam


kasat mata (‘alam al-mulki wa al-syahâdah) dan alam metafisika (‘alam
al-malakût wa al-jabarût).
B. Terbatasnya wilayah kajian dalam epistemologi Islam yang hanya
bekerja pada tataran empiris-fenomenologis tidak menusuk sampai
pada wilayah transendental.
C. Wilayah-wilayah ilmu dalam Islam itu dipandang sebagai sesuatu
yang terpisah karena pada hakikatnya berbeda wilayah ketuhanan
(hadlrah Rubûbiyyah) dengan kealaman.
D. Sederhananya obyek ilmu pengetahuan dalam Islam yang hanya
mencakup alam kasat mata (‘alam al-mulki wa al-syahâdah) dan tidak
meliputi alam metafisika (‘alam al-malakût wa al-jabarût)
E. Wilayah-wilayah ilmu dalam Islam itu dipandang sebagai sesuatu
yang rumit karena mengkaji wilayah kedalaman dan wilayah
ketuhanan (hadlrah Rubûbiyyah) secara utuh

Kunci Jawaban: A

E. Tindak Lanjut Belajar

21
Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat
melakukan beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di
antaranya sebagai berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS


Program PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam
proses pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir
modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan
petunjuk dalam LMS program PPG.
4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas
yang ada di LMS.

22
Glosarium
a. Pengetahuan: hasil tahu manusia terhadap sesuatu yang belum
teruji secara ilmiah
b. Ilmu pengetahuan: ilustrasi akal yang valid tentang hakikat
sesuatu, yang terlepas dari unsur aksiden dengan segala dimensi,
kualitas, kuantitas, substansi dan zatnya.

c. Pengetahuan rasional: Pengetahuan yang didapatkan melalui


olah pikir dengan pendekatan deduktif di mana akal mengatur
data-data yang dikirim oleh indra, mengolahnya dan
menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar

d. Pengetahuan empiris: Pengetahuan yang didapatkan melalui


pengalaman indrawi dan akal mengolah bahan-bahan yang
diperoleh dari pengalaman dengan cara induksi

e. Pengetahuan indrawi: pengetahuan yang didapatkan melalui


pengamatan yang memberikan kesan-kesan dan pengertian-
pengertian atau ide-ide

f. Pengetahuan intuisi: pengetahuan yang didapatkan melalui


salah satu jenis kemampuan nalar tinggi dengan bentuk
pemunculan ide-ide terpendam di bawah sadar

g. Pengetahuan otoritatif: Pengetahuan yang langsung bersumber


dari wahyu

23
Daftar Pustaka
Abu Hamid al-Ghazali. Ihya’ ’Ulumiddin. terjemahan oleh Zuhri
Mohammad. Semarang: CV. Asy Syifa’. 2011.
Abu Hamid al-Ghazali. al-Risâlah al-Ladunniyah, Terj. Masyhur
Abadi dan Husain Aziz, Surabaya: Pustaka Progressif,
2002.
Abd al-Majid an-Najjar, “Klasifikasi Ilmu-Ilmu Dalam Pemikiran
Islam Antara Pandangan Konvensional Dan Pandangan
Orisinal,” in Metodologi Islam Dan Ilmu-Ilmu Tingkah
Laku Serta Pendidikan, ed. Ath Thayyib Zainal Abidin
(Jakarta: Media Dakwah, tt
M. Amin Abdullah, Islamic studies dalam paradigma integrasi-
interkoneksi: sebuah antologi, Yogyakarta: SUKA Press,
2007
Hasan Basri, Filsafat Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2013
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Dâr al-Fikr, 1989
Imam Suprayogo dan Rasmianto. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam:
Refleksi Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN. Malang: UIN
Malang Press, 2008
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemology, Metodologi Dan
Etika, Jakarta: Teraju, 2004
Muhammad Zainal Abidin & Muhamad Sabirin, Dinamikan
Kebijakan Pembidangan Ilmu pada Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia, Banjarmasin,
Antasari Press, 2019
Muhammad Zainal Abidin, “Konsep Ilmu Dalam Islam: Tinjauan
Terhadap Makna, Hakikat, dan Sumber-Sumber Ilmu
Dalam Islam,” Jurnal Ilmu Ushuluddin 10, no. 1, 2011

24
Muhammad Zainal Abidin, “Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman
Integralistik: Studi Pemikiran Kuntowijoyo,” Jurnal Ilmu
Ushuluddin 13, no. 2, 2014
Nanat Fatah Natsir, Implementasi Paradigma Wahyu Memanud
Ilmu pada Pembidangan Ilmu-ilmu Keislaman, Lokakarya
Konsorsium Bidang Ilmu
Salminawati, Basis Ontologis Klasifikasi Ilmu Dalam Perspektif
Islam (Studi Tentang Pemikiran Al-Farabi, Al-Ghazali, Dan
Ibnu Khaldun), 2012
Sayuthi, Jalaluddin Ibn Abi Bakar, al- Jami’ al-Shaghir, Juz I Cet. I;
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990.
Suwito. “Pembidangan Ilmu Agama Islam dan Kaitannya Dengan
Pengembangan PTAI,” 2019. http://repository.uinjkt.ac.id/
dspace/handle/123456789/47385

25
KEGIATAN BELAJAR 2 :

KONSEP DAN RUANG LINGKUP


KEILMUAN PAI

CAPAIAN & SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

A. Capaian Pembelajaran

Saudara mahasiswa, setelah mempelajari keseluruhan materi pada kegiatan


belajar 2 modul 1, diharapkan dapat menganalisis konsep dan ruang lingkup
keilmuan Pendidikan Agama Islam
B. Sub Capaian Pembelajaran

Saudara mahasiswa, setelah mempelajari keseluruhan materi pada kegiatan


belajar 2 modul 1,

a. Menganalisis konsep keilmuan Pendidikan Agama Islam

b. Menganalisis tujuan Pendidikan Agama Islam

c. Menganalisis ruang lingkup keilmuan Pendidikan Agama Islam

d. Menganalisis tingkat kompetensi dan lingkup materi setiap elemen PAI


C. Pokok-pokok Materi

1. Konsep Keilmuan Pendidikan Agama Islam

a. Hakikat Pendidikan Agama Islam

b. Sumber Ajaran Agama Islam

c. Inti Ajaran Agama Islam


2. Tujuan Pendidikan Agama Islam
3. Ruang Lingkup Keilmuan Pendidikan Agama Islam
4. Tingkat kompetensi dan lingkup materi setiap elemen PAI

26
D. Uraian Materi

1. Konsep Keilmuan PAI

a. Hakikat Pendidikan Agama Islam


Pendidikan Agama (Islam, Pen.) berarti usaha-usaha secara sistematis dan
pragmatis dalam membantu peserta didik agar hidup sesuai dengan ajaran Islam
(Zuhairini, dkk., 1983:27). Pendidikan Agama Islam adalah suatu sistem pendidikan
yang membimbing peserta didik pada perkembangan jiwa dan raganya yang
berideologi pada ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadist. Al-Qur’an, al-Hadits, dan
ayat-ayat kauniyah menjadi landasan bagi pengembangan bidang ilmu Pendidikan
Agama Islam. Sehingga jika diidentifikasi, definisi di atas mengisyaratkan bahwa ada
tiga dimensi besar pada bidang ilmu pendidikan agama Islam, yaitu aspek dasar
ajaran Islam (wahyu dan alam), aspek pokok-pokok ajaran Islam (iman, Islam, dan
ihsan), dan aspek pendidikan Islam (Sejarah Pendidikan Islam, Filsafat Pendidikan
Islam, Ilmu Pendidikan Islam, Psikologi Pendidikan Islam, Sosiologi Pendidikan
Islam, Antropologi Pendidikan Islam, Manajemen Pendidikan Islam). Ketiganya akan
dibahas di bawah ini:
b. Sumber Ajaran Islam
Islam adalah syariat Allah yang diturunkan kepada umat manusia agar mereka
beribadah kepada-Nya di muka bumi. Pelaksanaan syariat ini menuntut adanya
pendidikan manusia, sehingga dia pantas memikul amanah dan menjalankan
khilafah. Pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan Agama Islam. Syariat Islam
hanya dapat dilaksanakan dengan mendidik diri, generasi dan masyarakat supaya
beriman dan tunduk kepada Allah semata serta selalu mengingat-Nya.
Pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang dapat
melaksanakan Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Ini berarti sumber-
sumber Islam dan pendidikan Islam itu adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasul
(Abdurrahman an-Nahlawi, 1992:41-48). Di dalam al-Qur’an, al-Hadits dan ayat-ayat
kauniyah ditegaskan tentang fitrah manusia beragama (al-Rum:30 dan Hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Muslim), signifikansi pendidikan Agama bagi manusia

27
(misalnya: Q.S. al-Tahrim: 6 tentang tanggung jawab pendidikan dalam keluarga;
Q.S. al-‘Alaq: 1-5 tentang kewajiban belajar)), dan komponen-komponen pendidikan
Islam (misalnya: Q.S. al-Nahl:125 tentang metode pendidikan; Q.S. Luqman ayat 13-
15 tentang materi pendidikan, pendidik dan peserta didik; dan Q.S. al-Dzariyat: 56
dan al-Baqarah: 30 tentang tujuan pendidikan). Kebanyakan ayat al-Qur’an
menyatakan, bahwa ilmu itu bersumber dari Allah. Yang dimaksud dengan ilmu di
sini adalah ilmu syari’at maupun ilmu al-Din yang dipelajari oleh manusia melalui
wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada para Rasulnya (Abdul Fatah Jalal,
1988:150). Di dalam al-Qur’an dan Hadits ditegaskan bahwa melaksanakan
pendidikan agama (Islam) merupakan perintah dari Allah dan merupakan ibadah
kepada-Nya (Zuhairini, dkk., 1983:23).

c. Pokok-pokok (Inti) Ajaran Islam


Bidang ilmu Pendidikan Agama Islam mengandung inti ajaran agama Islam,
yaitu iman, Islam dan ihsan. Hal ini secara eksplisit disabdakan oleh Rasulullah saw.
dalam hadits berikut ini:

‫تَ يَ ْوٍ ِ َْ ََلَ ََ َعلَْي نَا‬ ِ ِ ِ ِ ‫ ب ي نَما ََْنن جلُو‬: ‫ال‬ ِ


َ ََ ََ َّ‫صلَّى هللاُ َعلَْيه ََ َسل‬
َ ‫س عْن َد َر ُس ْول هللا‬
ٌ ْ ُ ُ َ َْ َ َ‫َع ْن ُع َمَر َرض َي هللاُ َعْنهُ أَيْضاً ق‬
ِ ِ‫س ِ ََل تلن‬ ِ ِ ِ َّ ‫ الَ يُرى َعلَْي ِه أَثَر‬،‫َّع ِر‬ ِ ِ ِ ‫اض تلثِي‬ ِ
‫َّب‬ َ َ‫ َح ََّّت َجل‬،‫ ََالَ يَ ْعرفُهُ منَّا أَ َح ٌد‬،‫تلس َفر‬ ُ َ ْ ‫اب َشديْ ُد َس َوتد تلش‬َ ِ َ‫َر ُج ٌل َشديْ ُد بَي‬
َ َ‫ض ََ َكفَّْي ِه َعلَى فَ ِخ َذيْ ِه ََق‬
َ ‫ فَ َق‬،ٍَِ‫ ََي ُُمَ َّمد أَ ْخِ ِْبِِن َع ِن تْ ِإل ْسال‬:‫ال‬
‫ال‬ ِ ِ
َ ََََ ‫َسنَ َد ُرْكبَتَ ْيه ِ ََل ُرْكبَ تَ ْيه‬
ْ ‫صلى هللا عليه َسلَ فَأ‬

ََ‫تلَّكا‬ َ َّ ََ ‫ تْ ِإل ِسالَ ٍُ أَ ْن تَ ْش َه َد أَ ْن الَ ِلَهَ ِالَّ هللاُ ََأ ََّن ُُمَ َّم ًدت َر ُس ْو ُل هللاِ ََتُِقْي‬: َ‫َر ُس ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه َسل‬
َّ ِِْْ ُ‫تلَّالََ ََت‬

‫َخِ ِْبِِن‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫َّ ِدقُه‬


ْ ‫ فَأ‬:‫ال‬
ِ
َ ُ‫ فَ َعجْب نَا لَهُ يَ ْسأَلُهُ ََي‬،‫ت‬
َ ْ‫ص َدق‬ َ َ‫ت ِلَْي ِه َسبِْيالً ق‬
َ : ‫ال‬ َ ‫تستَطَ ْع‬
ِ ‫ضا َن َََتُ َّج تلْب ي‬
ْ ‫ت ِن‬
َ َْ َ َ ‫َّ ْوٍَ َرَم‬
ُ َ‫ََت‬
‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫ت‬ ِ ٍِ‫ أَ ْن تُ ِْْمن ِِبهللِ َمالَئِ َكتِ ِه َُكتبِ ِه َرسلِ ِه َتلْي و‬: ‫ال‬
َ َ‫تآلخ ِر ََتُ ِْْم َن ِِبلْ َق َد ِر َخ ِْيو ِهِ ََ َش ِرو ِهَِ ق‬ ِ َ‫ع ِن تْ ِإلْْي‬
َ ْ‫ص َدق‬
َ ‫ال‬ ْ َ َ ُ َُ ُ َ ََ َ َ َ‫ان ق‬ َ

َ َ‫ ق‬،‫اع ِة‬
:‫ال‬ َّ ‫َخِ ِْبِِن َع ِن‬
َ ‫تلس‬ َ َ‫َّك تَ َرتو ِهُ فَِإ ْن ََلْ تَ ُك ْن تَ َرتو ِهُ فَِإنَّهُ يََر َتك َ ق‬
ْ ‫ فَأ‬:‫ال‬ َ ‫ أَ ْن تَ ْعبُ َد هللاَ َكأَن‬:‫ال‬ ِ ‫َخِِبِِن ع ِن تْ ِإلحس‬
َ َ‫ ق‬،‫ان‬ َْ َ ْ ْ ‫فَأ‬

َ‫ال أَ ْن تَلِ َد تْأل ََمةُ َربَّتَ َها ََأَ ْن تَ َرى ت َُْْفا َ تلْ ُعَرت َ تلْ َعالَة‬
َ َ‫ ق‬،‫َخِ ِْبِِن َع ْن أ ََم َار ِتِتَا‬ َ َ‫تلسائِ ِلَ ق‬
ْ ‫ال فَأ‬ َّ ‫َما تلْ َم ْس َُْْ ُل َعْن َها ِِب َْعلَ ََ ِم َن‬

28
ِ َّ ‫ َي عمر أَتَ ْد ِري م ِن‬: ‫ال‬ ِ ْ‫ ُُثَّ تنْطَلَق فَ لَبِث‬،‫ان‬ ِ
ِ ‫َّاء ي تَطَاَلُو َن ِِف تْلب ْن ي‬
ُ ‫تلسائ ِل ق قُ ْل‬
ُ‫ هللاُ َََر ُس ْولُه‬: ‫ت‬ َ َ َ ُ َ َ َ‫ ُُثَّ ق‬،‫ت َمليًّا‬
ُ َ َُ ْ َ َ ‫ِر َعاءَ تلش‬
]َ‫ال فَِإنَّهُ ِج ِِْبيْ ُل أَتَا ُك َْ يُ َعلِ ُم ُك َْ ِديْنَ ُك َْ َ [رَتو ِه مسل‬
َ َ‫أ َْعلَ ََ َ ق‬
Artinya: “Dari Umar radhiallahuanhu juga dia berkata : Ketika kami duduk-duduk di sisi
Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam suatu hari tiba-tiba datanglah seorang laki-
laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak
tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun di antara
kami yang mengenalnya. Hingga kemudian dia duduk di hadapan Nabi lalu
menempelkan kedua lututnya kepada kepada lututnya (Rasulullah
Shallallahu’alaihi wasallam) seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku
tentang Islam ?”, maka bersabdalah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam: “Islam
adalah engkau bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang disembah) selain Allah,
dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau mendirikan shalat,
menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika mampu“, kemudian dia
berkata: “Anda benar“. Kami semua heran, dia yang bertanya dia pula
yang membenarkan. Kemudian dia bertanya lagi: “ Beritahukan aku tentang
Iman“. Lalu beliau bersabda: “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya dan hari akhir dan engkau beriman kepada
takdir yang baik maupun yang buruk“, kemudian dia berkata: “Anda
benar“. Kemudian dia berkata lagi: “ Beritahukan aku tentang ihsan“. Lalu beliau
bersabda: “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau
melihatnya, jika engkau tidak melihatnya maka Dia melihat engkau” . Kemudian
dia berkata: “Beritahukan aku tentang hari kiamat (kapan kejadiannya)”. Beliau
bersabda: “Yang ditanya tidak lebih tahu dari yang bertanya“. Dia
berkata: “Beritahukan aku tentang tanda-tandanya“, beliau bersabda: “Jika
seorang hamba melahirkan tuannya dan jika engkau melihat seorang bertelanjang
kaki dan dada, miskin dan penggembala domba, (kemudian) berlomba-lomba
meninggikan bangunannya“, kemudian orang itu berlalu dan aku berdiam
sebentar. Kemudian beliau (Rasulullah) bertanya: “Tahukah engkau siapa yang
bertanya ?”. aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui“. Beliau
bersabda: “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan
agama kalian “. (Riwayat Muslim)
Di akhir hadits tersebut dinyatakan oleh Rasulullah SAW, bahwa
Jibril telah datang mengajarkan agama kalian. Oleh karena itu hadits
tersebut di antaranya menunjukkan pilar-pilar agama (arkan al-din), yaitu
Islam, Iman, dan Ihsan (Syahrizal Afandi: 2019). Dalam memahami tujuan
dan ruang lingkup Pendidikan Agama Islam (PAI) dapat digambarkan
dalam skema berikut ini.

29
Hadits di atas merupakan hadits yang sangat dalam maknanya, karena di
dalamnya terdapat pokok-pokok ajaran Islam, yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Hadits ini
pun mengandung makna yang sangat agung karena berasal dari dua makhluk Allah
yang terpercaya, yaitu: Amiinus samaa’ (kepercayaan makhluk di langit/Jibril) dan
Amiinul Ardh (kepercayaan makhluk di bumi/Rasulullah).
Iman, Islam dan ihsan sebagai pokok ajaran Islam, kemudian dikenal dengan
rukun agama (Islam). Hal ini ditunjukkan oleh sabda Rasulullah di akhir hadits di
atas, “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan ‘agama’ kalian“.
Berdasarkan hadits di atas, inti dari bidang ilmu pendidikan agama Islam adalah
penjabaran tentang Iman, Islam dan Ihsan, dilengkapi dengan realitas sejarah
pengamalannya yang dikenal dengan sejarah peradaban Islam. Jika diidentifikasi,
ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi aspek-aspek sebagai berikut:
30
a. Al-Qur’an dan Hadits
b. Aqidah
c. Akhlak
d. Fiqih
e. Sejarah Peradaban Islam
Pendidikan Agama Islam merupakan bidang ilmu yang dikembangkan dari
pokok agama Islam (al-Qur’an dan Hadis, aqidah, akhlak, fiqih) pada tataran ide, dan
sejarah peradaban Islam, pada tataran aktual.
Pendidikan Agama Islam menekankan keseimbangan, keselarasan, dan
keserasian antara hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan
sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri dan hubungan manusia
dengan alam sekitarnya. Sosok yang diharapkan dari proses pendidikan Islam adalah
sosok mukmin, muslim dan muhsin.
Oleh karena itu, dalam panduan PAI sekolah dinyatakan bahwa Pendidikan
Agama Islam (PAI) adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan
keterampilan serta membentuk sikap, dan kepribadian peserta didik dalam
mengamalkan ajaran agama Islam. Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan yang
berlandaskan pada akidah yang berisi tentang keesaan Allah Swt sebagai sumber
utama nilai-nilai kehidupan bagi manusia dan alam semesta. Sumber lainnya adalah
akhlak yang merupakan manifestasi dari akidah, yang sekaligus merupakan landasan
pengembangan nilai-nilai karakter bangsa Indonesia.
Dengan demikian, Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan yang ditujukan
untuk dapat menyerasikan, menyelaraskan dan menyeimbangkan antara iman, Islam,
dan ihsan yang diwujudkan dalam:
a. Hubungan manusia dengan Allah Swt.
Membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Allah
Swt. serta berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.
b. Hubungan manusia dengan diri sendiri
Menghargai, menghormati dan mengembangkan potensi diri yang
berlandaskan pada
nilai-nilai keimanan dan ketakwaan.

31
c. Hubungan manusia dengan sesama
Menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antar umat
beragama serta menumbuhkembangkan akhlak mulia dan budi pekerti
luhur.
d. Hubungan manusia dengan lingkungan alam.
Penyesuaian mental keislaman terhadap lingkungan fisik dan sosial.
Pendidikan Agama Islam merupakan bidang ilmu yang dikembangkan dari materi
pokok pendidikan agama Islam (al-Qur’an dan Hadis, aqidah, akhlak, fiqih dan
sejarah peradaban Islam). Jika digambarkan dalam teori bandul pendulum, maka
akan tampak seperti di bawah ini:

Pokok Ajaran Islam:


Iman, Islam, Ihsan

Qur'an Hadits Aqidah Akhlak Fiqh SPI

Gambar 1: Aspek-aspek Ajaran Islam (diadaptasi dari masterplan KK-WMI


UIN SGD Bandung)

Ditinjau dari segi muatan pendidikannya, PAI merupakan bidang ilmu pokok
yang menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan bidang ilmu lain
yang bertujuan untuk pengembangan moral dan kepribadian peserta didik. Maka,
semua bidang ilmu yang memiliki tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan
tujuan yang ingin dicapai oleh bidang ilmu PAI.
Diberikannya bidang ilmu PAI bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang
beriman dan bertakwa kepada Allah Swt., berbudi pekerti yang luhur (berakhlak
yang mulia), dan memiliki pengetahuan yang cukup tentang Islam, terutama sumber
ajaran dan sendi-sendi Islam lainnya, sehingga dapat dijadikan bekal untuk
mempelajari berbagai bidang ilmu atau bidang ilmu tanpa harus terbawa oleh
pengaruh-pengaruh negatif yang mungkin ditimbulkan oleh ilmu dan bidang ilmu
tersebut. PAI adalah bidang ilmu yang tidak hanya mengantarkan peserta didik dapat

32
menguasai berbagai kajian keislaman, tetapi PAI lebih menekankan bagaimana
peserta didik mampu menguasai kajian keislaman tersebut sekaligus dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian, PAI tidak hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi
yang lebih penting adalah pada aspek afektif dan psikomotornya. Secara umum
bidang ilmu PAI didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada dua sumber
pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw., juga melalui
metode ijtihad (dalil aqli), para ulama dapat mengembangkannya dengan lebih rinci
dan mendetail dalam kajian fiqih dan hasil-hasil ijtihad lainnya.
Tujuan akhir dari bidang ilmu PAI adalah terbentuknya peserta didik yang
memiliki akhlak yang mulia (budi pekerti yang luhur), yang merupakan misi utama
diutusnya Nabi Muhammad saw. di dunia. Hal ini tidak berarti bahwa pendidikan
Islam tidak memperhatikan pendidikan jasmani, akal, ilmu, ataupun segi-segi praktis
lainnya, tetapi maksudnya adalah bahwa pendidikan Islam memperhatikan segi-segi
pendidikan akhlak seperti juga segi-segi lainnya. (Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia Nomor Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah Pedoman Bidang ilmu Agama dan Pembelajaran
Tematik Terpadu Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah).
d. Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dibangun oleh empat bidang ilmu, yaitu Sejarah Pendidikan Islam,
Filsafat Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan Islam, dan Manajemen Pendidikan Islam
(A. Tafsir). Sejarah Pendidikan Islam memberikan kajian best practices tentang
peristiwa dan fakta pendidikan Islam sejak zaman Rasulullah saw. hingga sekarang
untuk dijadikan ibrah (pelajaran) dan contoh/model bagi pendidikan masa kini.
Filsafat Pendidikan Islam memberikan kajian filosofis tentang hakikat pendidikan
Islam untuk dijadikan dasar filosofis bagi teori dan praktik pendidikan Islam. Ilmu
Pendidikan Islam memberikan kajian tentang teori-teori pendidikan Islam yang dapat
dijadikan pedoman dalam praktik pendidikan Islam. Sementara manajemen
pendidikan Islam memberikan pola pengaturan pelaksanaan pendidikan Islam yang
sesuai dengan dasar-dasar ajaran Islam.
Oleh karena itu, jika diilustrasikan, dimensi Pendidikan Agama Islam dapat

33
digambarkan melalui grafik berikut.

Dasar Ajaran
Islam

Keterangan:

Posisi/kedudukan
Kompetensi Pendidikan
Agama Islam seseorang
berada pada titik (7, 9,5).
Pokok
Dasar ajaran Islam, Pokok
Ajaran Ajaran Islam, dan Pendidikan
Islam Islam masing-masing berada
pada skala 7,9,dan 5 pada
Pedagogi
Islam sistem skala 10

Gambar 2. Model sistem koordinat Kompetensi Pendidikan Agama Islam


(diadaptasi dari Chaerul, 2012:93)

2. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Berdasarkan skema di atas tujuan Pendidikan Agama Islam adalah


menjadikan peserta didik untuk menjadi muslim, mukmin, dan muhsin. Muslim
adalah, orang yang berislam, yaitu yang bersaksi bahwa tidak ada Ilah (Tuhan yang
disembah) selain Allah, dan bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah, engkau
mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji jika
mampu“. Mukmin adalah orang yang beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-
Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir dan beriman kepada takdir yang
baik maupun yang buruk“. Muhsin adalah orang yang berihsan, yaitu yang
beribadah kepada Allah seakan-akan ia melihat-Nya (Allah}, jika ia tidak melihat-
Nya (Allah), maka Dia (Allah) melihat nya” .

34
Di samping itu, untuk menjelaskan ciri-ciri orang beragama dengan predikat
muslim, mukmin, dan muhsin tersebut dapat ditelusuri dari isyarat ayat-ayat al-
Quran. Ihsan adalah keadaan tertinggi sebagai perpaduan dari Islam dan iman (Al-
Ghazali, Muhammad: 1991). Oleh karena itu keberagamaan yang utama adalah
mewujudkan predikat muhsin sebagai hasil perpaduan antara predikat muslim
dan mukmin (Islam + iman = ihsan). Dan ini merupakan tujuan Pendidikan Agama
Islam.
Tujuan pendidikan Agama Islam ini bersinergi dengan rumusan tujuan
pendidikan Islam yang dikemukakan oleh beberapa ahli pendidikan Islam.
Abdurrahman Saleh Abdullah dalam bukunya ”Educational Theory a Qur’anic Outlook”
menyatakan bahwa pendidikan Islam bertujuan”untuk membentuk kepribadian
sebagai khalifah Allah SWT. atau sekurang-kurangnya mempersiapkan kepada jalan
yang mengacu kepada tujuan akhir. Tujuan utama khalifah Allah adalah beriman
kepada Allah dan tunduk serta patuh secara total kepada-Nya.
Ibnu Khaldun merumuskan tujuan Pendidikan Agama Islam ke dalam dua
bagian, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Athiyyah al-Abrasi. Pertama, tujuan yang
berorientasi akhirat, yaitu membentuk hamba-hamba Allah yang dapat
melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada Allah. Kedua, Tujuan yang berorientasi
dunia, yaitu membentuk manusia-manusia yang mampu menghadapi segala bentuk
kehidupan yang lebih layak dan bermanfaat bagi orang lain. Demikian halnya, al-
Ghazali mengatakan bahwa tujuan Pendidikan Agama Islam yang hendak dicapai
juga ada dua hal. Pertama, kesempurnaan manusia yang puncaknya dekat dengan
Allah. Kedua, kesempatan manusia yang puncaknya kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Kesempurnaan yang dimaksud adalah keseimbangan dan keserasian antara
beberapa hal antara lain: (1) Kekuatan ilmu, yaitu dengan ilmu akan mudah
membedakan antara kebenaran dengan kebohongan atau kejahatan dalam perkataan
dan perbuatan. Bilamana kekuatan ilmu ini sudah sempurna maka lahirlah
kebijaksanaan; (2) Kekuatan Ghadab (marah) yaitu apabila ghadab terkendali serta
terarah; dan (3) Kekuatan syahwat (keinginan) yaitu apabila diarahkan berdasarkan
petunjuk akal dan syara’ (agama )

Penjabaran mengenai tujuan pendidikan agama Islam sebagaimana

35
dikemukakan oleh para ahli di atas, dapat ditempuh melalui tiga pilar agama,
yaitu Islam, Iman dan Ihsan, sehingga pendidikan agama Islam bertujuan untuk
menjadikan peserta didik sebagai sosok manusia yang memiliki profil dengan
predikat muslim, mukmin dan muhsin.

Secara umum, Pendidikan Agama Islam bertujuan untuk meningkatkan


keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman peserta didik tentang
agama Islam, sehingga menjadi manusia muslim yang beriman dan bertaqwa
kepada Allah SWT, serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Dari uraian di atas terkait dengan tujuan Pendidikan Agama Islam, dapat
diketahui bahwa secara garis besar antara tujuan pendidikan dengan tujuan
Pendidikan Agama Islam mengerucut ke arah yang sama. Kalaupun tujuan
pendidikan secara umum adalah mengembangkan seluruh potensi diri agar
mampu melaksanakan tugas hidup, permasalahan hidup dan tujuan kehidupan,
maka tujuan Pendidikan Agama Islam adalah mengarahkan kepada hal-hal
tersebut untuk dilaksanakan sesuai dengan ajaran Islam. Meningkatkan keimanan
seseorang kepada Allah sehingga akan melaksanakan sesuatu yang diperintahkan
oleh Allah dan menjauhi sesuatu yang menjadi larangan- Nya. Melaksanakan
moralitas Islami yang diteladani dari tingkah laku kehidupan Rasulullah SAW.
Jadi tujuan Pendidikan Agama Islam selain berorientasi kepada kehidupan
akhirat juga berorientasi kepada kehidupan dunia yaitu membentuk manusia-
manusia yang mampu menghadapi segala bentuk kehidupan yang lebih layak
dan bermanfaat bagi makhluk yang lain. Kemampuan berbuat yang terbaik dan
bermanfaat bagi makhluk lain adalah wujud dari ihsan dalam berislam dan
beriman. Demikian pula keberagamaan dengan pilar Islam, iman dan ihsan
merupakan perwujudan bangunan ketakwaan.

3. Ruang Lingkup Keilmuan Pendidikan Agama Islam

Ruang lingkup materi pendidikan agama Islam pada SD, SMP, SMA, SMK
dikembangkan dari arkan al-din dalam rangka mencapai tujuan menjadikan

36
manusia yang berislam (muslim), beriman (mukmin) dan berihsan (muhsin)
sebagaimana pada gambar di atas disiplin ilmu yang mengembangkan materi
Islam adalah ilmu syari’ah (hukum syara’). Pembahasan ilmu syari’ah ini
dilakukan melalui pemahaman (al-fiqh) yang lebih dikenal sebagai ilmu Fiqih.
Dengan demikian belajar Fiqih pada utamanya adalah belajar hukum syari’at
untuk melalui jalan kepasrahan dan kepatuhan kepada ketentuan Allah SWT.

Ilmu Aqidah atau dikenal juga sebagai ilmu ushuluddin merupakan disiplin
ilmu yang membahas tentang dasar-dasar keimanan. Dengan demikian tujuan
utama mempelajari materi akidah adalah untuk mencapai keimanan yang
sempurna. Ilmu yang membahas tentang materi-materi yang dapat mencapai ihsan
adalah ilmu akhlak. Dengan demikian tujuan utama mempelajari materi-materi
akhlak adalah untuk mencapai derajat ihsan, yaitu kesadaran tentang semua
perilaku yang diawasi oleh Allah SWT.

Sebagai dasar utama keberagamaan (Islam, iman dan ihsan) adalah al- Quran
dan al- Hadits. Kebudayaan Islam merupakan wujud konkret dari perwujudan
keberagamaan dalam peradaban. Dengan mempelajari Sejarah Peradaban Islam
idealnya merupakan upaya memperoleh ‘ibrah (pelajaran) mengenai akibat dari
ketaatan dan penolakan terhadap ketentuan Allah SWT, mengenai Islam, iman, dan
ihsan.

Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam tersebut meliputi keserasian,


keselarasan, dan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT.,
hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan dirinya
sendiri, dan hubungan manusia dengan makhluk lain (lingkungannya). Ruang
lingkup tersebut merupakan perpaduan yang saling melengkapi satu dengan
yang lainnya. Apabila dilihat dari segi pembahasannya maka ruang lingkup
keilmuan Pendidikan Agama Islam yang umum dilaksanakan di sekolah adalah
sebagai berikut.

a. Al-Quran

Al-Quran meliputi membaca al-Quran dan mengerti arti kandungan


yang terdapat di setiap ayat-ayat al-Quran. Dalam praktiknya hanya

37
ayat-ayat tertentu yang dimasukkan dalam materi Pendidikan Agama
Islam yang disesuaikan dengan tingkat pendidikannya.

b. Hadits

Hadits meliputi materi tentang ajaran agama Islam yang bersumber


pada sunnah Rasulullah SAW. sehingga siswa mengetahui dan
mengerti tentang ajaran agama Islam dan melaksanakannya dalam
kehidupan sehari-hari.

c. Keimanan (Aqidah)

Keimanan meliputi tentang aspek kepercayaan, dalam hal ini tentunya


kepercayaan menurut ajaran Islam, inti dari pengajaran ini adalah
tentang rukun Iman.

d. Perilaku/etika (Akhlak)

Akhlak mengarah pada pembentukan jiwa, cara bersikap individu


pada kehidupannya, esensinya, yaitu berakhlak baik.

e. Hukum syari’at (Fiqh)

Fiqih meliputi segala bentuk ibadah dan tata cara pelaksanaannya


sesuai dengan hukum Islam yang bersumber pada al-Quran, sunnah,
dan dalil-dalil syar'i yang lain, yang mengantarkan seseorang mampu
melaksanakan ibadah dengan baik dan benar sesuai dengan hukum
yang berlaku. Ia pun mengerti segala bentuk ibadah dan memahami
arti dan tujuan pelaksanaan ibadah.

f. Sejarah Peradaban Islam

Sejarah Peradaban Islam meliputi tentang pertumbuhan dan


perkembangan agama Islam dari awal sampai zaman sekarang
sehingga siswa dapat mengenal dan mencintai Agama Islam.

4. Tingkat Kompetensi dan Lingkup Materi setiap Elemen Keilmuan


Pendidikan Agama Islam

38
Adapun tingkat kompetensi dan lingkup materi PAI di sekolah adalah sebagai
tercantum dalam standar kompetensi, kompetensi inti dan kompetensi dasar
berikut ini:
1) Kompetensi lulusan SD/MI/SDLB/Paket A
Lulusan SD/MI/SDLB/Paket A memiliki sikap, pengetahuan, dan
keterampilan sebagai berikut.

SD/MI/SDLB/Paket A

Dimensi Kualifikasi Kemampuan

Sikap Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang


beriman, berakhlak mulia, berilmu, percaya diri, dan
bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam di lingkungan
rumah, sekolah, dan tempat bermain.

Pengetahuan Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual


berdasarkan rasaingin tahunya tentang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di
lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.

Keterampilan Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang


produktif dan kreatif dalam ranah abstrak dan
konkret sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.

39
2) Kompetensi lulusan SMP/MTs/SMPLB/Paket B
Lulusan SMP/MTs/SMPLB/Paket B memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampilan
sebagai berikut.

SMP/MTs/SMPLB/Paket B

Dimensi Kualifikasi Kemampuan

Sikap Memiliki perilaku yang mencerminkan


sikap orang beriman, berakhlak mulia,
berilmu, percaya diri, dan bertanggung
jawab dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam dalam
jangkauan pergaulan dan keberadaannya.
Pengetahuan Memiliki pengetahuan faktual, konseptual,
dan prosedural dalam ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan budaya dengan
wawasan kemanusiaan, kebangsaan,
kenegaraan, dan peradaban terkait
fenomena dan kejadian yang tampak mata.

Keterampilan Memiliki kemampuan pikir dan tindak


yang efektif dan kreatif dalam ranah
abstrak dan konkret sesuai dengan yang
dipelajari disekolah dan sumber lain
sejenis.

3) Kompetensi lulusan SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket C


Lulusan SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket C memiliki sikap,
pengetahuan, dan keterampilan sebagai berikut.

SMA/MA/SMK/MAK/SMALB/Paket C

Dimensi Kualifikasi Kemampuan

Sikap Memiliki perilaku yang mencerminkan


sikap orang beriman, berakhlak mulia,
berilmu, percaya diri, dan bertanggung
jawab dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam serta
dalam menempatkan diri sebagai

40
cerminan bangsa dalam pergaulan dunia.

Pengetahuan Memiliki pengetahuan faktual,


konseptual, prosedural, dan metakognitif
dalam ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan budaya dengan wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan,
dan peradaban terkait penyebab serta
dampak fenomena dan kejadian.
Keterampilan Memiliki kemampuan pikir dan tindak
yang efektif dan kreatif dalam ranah
abstrak dan konkret sebagai
pengembangan dari yang dipelajari di
sekolah secara mandiri.

Kompetensi inti dirancang seiring dengan meningkatnya usia peserta didik


pada kelas tertentu. Melalui kompetensi inti, integrasi vertikal berbagai kompetensi
dasar pada kelas yang berbeda dapat dijaga.
Rumusan kompetensi inti menggunakan notasi sebagai berikut:
a. Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk kompetensi inti sikap spiritual;
b. Kompetensi Inti-2 (KI-2) untuk kompetensi inti sikap sosial;
c. Kompetensi Inti-3 (KI-3) untuk kompetensi inti pengetahuan; dan
d. Kompetensi Inti-4 (KI-4) untuk kompetensi inti keterampilan.

1) Kompetensi inti Pendidikan Agama Islam dan budi pekerti SD/MI


a. KELAS: I
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan,
dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai
berikut, yaitu siswa mampu:
KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP
SPIRITUAL) SOSIAL)
1. Menerima dan 2. Menunjukkan perilaku jujur,
menjalankan ajaran agama disiplin, tanggung jawab, santun,
yang dianutnya peduli, dan percaya diri dalam

41
berinteraksi dengan keluarga,
teman, dan guru

KOMPETENSI INTI 3 KOMPETENSI INTI 4


(PENGETAHUAN) (KETERAMPILAN)

3. Memahami pengetahuan 4. Menyajikan pengetahuan faktual


faktual dengan cara dalam Bahasa yang jelas dan
mengamati [mendengar, logis, dalam karya yang estetis,
melihat, membaca] dan dalam gerakan yang
menanya berdasarkan rasa mencerminkan anak sehat, dan
ingin tahu tentang dirinya, dalam tindakan yang
makhluk ciptaan Tuhan mencerminkan perilaku anak
dan kegiatannya, dan beriman dan berakhlak mulia
benda-benda yang
dijumpainya di rumah dan
di sekolah

b. KELAS: II
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan,
dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut,
yaitu siswa mampu:
KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2(SIKAP SOSIAL)
SPIRITUAL)
Menerima dan menjalankan ajaran agama Menunjukkan perilaku jujur, disiplin,
yang dianutnya tanggung jawab, santun, peduli, dan
percaya diri dalam berinteraksi dengan
keluarga, teman,dan guru
KOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN) KOMPETENSI INTI 4
(KETERAMPILAN)
Memahami pengetahuan faktual dengan Menyajikan pengetahuan faktual dalam
cara mengamati [mendengar, melihat, bahasa yang jelas dan logis, dalam karya
membaca] dan menanya berdasarkan rasa yang estetis, dalam gerakan yang
ingin tahu tentang dirinya, makhluk mencerminkan anak sehat, dan dalam
ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan tindakan yang mencerminkan perilaku
benda-benda yang dijumpainya di rumah anak beriman dan berakhlak mulia
dan di sekolah

c. KELAS: III

42
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan,
dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut,
yaitu siswa mampu:
KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP SOSIAL)
SPIRITUAL)
Menerima, menjalankan, dan menghargai Menunjukkan perilaku jujur, disiplin,
ajaran agama yang dianutnya tanggung jawab, santun, peduli, dan
percaya diri dalam berinteraksi dengan
keluarga, teman, guru, dan tetangganya
KOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN) KOMPETENSI INTI 4
(KETERAMPILAN)
Memahami pengetahuan faktual dengan 4. Menyajikan pengetahuan faktual
cara mengamati [mendengar, melihat, dalam Bahasa yang jelas, sistematis dan
membaca] dan menanya berdasarkan rasa logis, dalam karya yang estetis, dalam
ingin tahu tentang dirinya, makhluk gerakan yang mencerminkan anak sehat,
ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan dan dalam tindakan yang mencerminkan
benda-benda yang dijumpainya di perilaku anak beriman dan berakhlak
rumah, di sekolah dan tempat bermain mulia

d. KELAS: IV
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan
Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut, yaitu
siswa mampu:
KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP SOSIAL)
SPIRITUAL)
Menerima, menjalankan, dan menghargai Menunjukkan perilaku jujur, disiplin,
ajaran agama yang dianutnya tanggungjawab, santun, peduli, dan
percaya diri dalam berinteraksi dengan
keluarga, teman, guru, dan tetangganya
KOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN) KOMPETENSI INTI 4
(KETERAMPILAN)
Memahami pengetahuan faktual dengan Menyajikan pengetahuan faktual dalam
cara mengamati dan menanya Bahasa yang jelas, sistematis danlogis,
berdasarkan rasa ingin tahu tentang dalam karya yang estetis, dalam gerakan
dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan yang mencerminkan anak sehat, dan
kegiatannya, Dan benda-benda yang dalam tindakan yang mencerminkan
dijumpainya di rumah, di sekolah dan perilaku anak beriman dan berakhlak
tempat bermain mulia

43
e. KELAS: V
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan,
dan Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut, yaitu
siswa mampu:

KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP SOSIAL)


SPIRITUAL)
Menerima, menjalankan, dan menghargai Menunjukkan perilaku jujur, disiplin,
ajaran agama yang dianutnya tanggung jawab, santun, peduli, dan
percaya diri dalam berinteraksi dengan
keluarga, teman, guru, dan tetangganya
serta cinta tanah air

KOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN) KOMPETENSI INTI 4


(KETERAMPILAN)
Memahami pengetahuan faktual dan Menyajikan pengetahuan faktual dan
konseptual dengan cara mengamati, konseptual dalam Bahasa yang jelas,
menanya, dan mencoba berdasarkan rasa sistematis dan logis, dalam karya yang
ingin tahu tentang dirinya, makhluk estetis, dalam gerakan yang
ciptaan Tuhan dan kegiatannya, dan mencerminkan anak sehat, dan dalam
benda-benda yang dijumpainya di tindakan yang mencerminkan perilaku
rumah, di sekolah dan tempat bermain anak beriman dan berakhlak mulia

f. KELAS: VI
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan
Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut, yaitu siswa mampu:
KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP
SPIRITUAL) SOSIAL)
1. Menerima, menjalankan, dan 2. Menunjukkan perilaku jujur,
menghargai ajaran agama yang disiplin, tanggung jawab, santun,
dianutnya peduli, dan percaya diri dalam
berinteraksi dengan keluarga,
teman, guru, dan tetangganya serta
cinta tanah air
KOMPETENSI INTI 3 KOMPETENSI INTI 4
(PENGETAHUAN) (KETERAMPILAN)

44
3. Memahami pengetahuan faktual dan 4. Menyajikan pengetahuan faktual
konseptual dengan cara mengamati, dan konseptual dalam Bahasa yang
menanya dan mencoba berdasarkan jelas, sistematis dan logis, dalam
rasa ingin tahu tentang dirinya, karya yang estetis, dalam gerakan
makhluk ciptaan Tuhan dan yang mencerminkan anak sehat, dan
kegiatannya, dan benda-benda yang dalam tindakan yang mencerminkan
dijumpainya di rumah, di sekolah perilaku anak beriman dan
dan tempat bermain berakhlak mulia

2) Kompetensi inti Pendidikan Agama Islam dan budi pekerti SMP/MTs


a. KELAS: VII
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan
Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut, yaitu siswa mampu:
KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP SOSIAL)
SPIRITUAL)
Menghargai dan menghayati ajaran Menunjukkan perilaku jujur, disiplin,
agama yang dianutnya tanggungjawab, peduli (toleran, gotong
royong), santun, percaya diri dalam
berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan social dan alam dalam
jangkauan pergaulan dan keberadaannya

KOMPETENSI INTI 3 KOMPETENSI INTI 4


(PENGETAHUAN) (KETERAMPILAN)
Memahami pengetahuan (faktual, Mencoba, mengolah, dan menyaji dalam
konseptual, dan prosedural) ranah konkret (menggunakan, mengurai,
berdasarkan rasa ingin tahunya tentang merangkai, memodifikasi, dan membuat)
ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan ranah abstrak (menulis, membaca,
budaya terkait fenomena dan kejadian menghitung, menggambar, dan
tampak mata mengarang) sesuai dengan yang
dipelajari di sekolah dan sumber lain
yang sama dalam sudut pandang/teori

b. KELAS: VIII
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan
Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut, yaitu siswa mampu:
KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP
SPIRITUAL) SOSIAL)

45
1. Menghargai dan menghayati ajaran 2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin,
agama yang dianutnya tanggung jawab, peduli (toleran,
gotong royong), santun, percaya diri
dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam
dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaannya

KOMPETENSI INTI 3 KOMPETENSI INTI 4


(PENGETAHUAN) (KETERAMPILAN)
3. Memahami dan menerapkan 4. Mengolah, menyaji, dan menalar
pengetahuan (faktual, konseptual, dalam ranah konkret (menggunakan,
dan prosedural) berdasarkan rasa mengurai, merangkai, memodifikasi,
ingin tahunya tentang ilmu dan membuat) dan ranah abstrak
pengetahuan, teknologi, seni, budaya (menulis, membaca, menghitung,
terkait fenomena dan kejadian menggambar, dan mengarang) sesuai
tampak mata dengan yang dipelajari di sekolah
dan sumber lain yang sama dalam
sudut pandang/teori

c. KELAS: IX
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan
Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut, yaitu siswa mampu:

KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP


SPIRITUAL) SOSIAL)
1. Menghargai dan menghayati ajaran 2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin,
agama yang dianutnya tanggung jawab, peduli (toleran,
gotong royong), santun, percaya diri
dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam
dalam jangkauan pergaulan dan
keberadaannya

KOMPETENSI INTI 3 KOMPETENSI INTI 4


(PENGETAHUAN) (KETERAMPILAN)
3. Memahami dan menerapkan 4. Mengolah, menyaji, dan menalar
pengetahuan (faktual, konseptual, dalam ranah konkret (menggunakan,
dan prosedural) berdasarkan rasa mengurai, merangkai, memodifikasi,
ingin tahunya tentang ilmu dan membuat) dan ranah abstrak
pengetahuan, teknologi, seni, budaya (menulis, membaca, menghitung,
terkait fenomena dan kejadian menggambar, dan mengarang) sesuai
tampak mata dengan yang dipelajari di sekolah dan
sumber lain yang sama dalam sudut
pandang/teori

46
3) Kompetensi inti Pendidikan Agama Islam dan budI pekerti SMA/MA/ SMK/MAK
a. KELAS:X
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan
Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut, yaitu siswa mampu:

KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP SPIRITUAL) KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP SOSIAL)


Menghayati dan mengamalkan ajaran agama Menunjukkan perilaku jujur,
yang dianutnya disiplin, bertanggungjawab, peduli
(gotong royong, kerjasama,
toleran, damai), santun, responsif,
dan proaktif sebagai bagian dari
solusi atas berbagai permasalahan
dalam berinteraksi secara efektif
dengan lingkungan sosial dan alam
serta menempatkan diri sebagai
cerminan bangsa dalam pergaulan
dunia

KOMPETENSI INTI 3 (PENGETAHUAN) KOMPETENSI INTI 4 (KETERAMPILAN)

Memahami, menerapkan, dan menganalisis Mengolah, menalar, dan menyaji


pengetahuan faktual, konseptual, prosedural, dalam ranah konkret dan ranah
dan metakognitif berdasarkan rasa ingin abstrak terkait dengan
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, pengembangan dari yang
seni, budaya, dan humaniora dengan wawasan dipelajarinya di sekolah secara
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan mandiri, dan mampu menggunakan
peradaban terkait penyebab fenomena dan metoda sesuai kaidah keilmuan
kejadian, serta menerapkan pengetahuan,
prosedural pada bidang kajian yang spesifik
sesuai dengan bakat dan minatnya untuk
memecahkan masalah

b. KELAS: XI
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan ,dan
Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut, yaitu siswa mampu:

KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP


SPIRITUAL) SOSIAL)

47
1. Menghayati dan mengamalkan 2. Menunjukkan perilaku jujur, disiplin,
ajaran agama yang dianutnya bertanggungjawab, peduli
(gotongroyong, kerjasama, toleran,
damai), santun, responsif, dan
proaktif sebagai bagian dari solusi
atas berbagai permasalahan dalam
berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta
menempatkan diri sebagai cerminan
bangsa dalam pergaulan dunia

KOMPETENSI INTI 3 KOMPETENSI INTI 4


(PENGETAHUAN) (KETERAMPILAN)
3. Memahami, menerapkan, 4. Mengolah, menalar, dan menyaji
menganalisis pengetahuan faktual, dalam ranah konkret dan ranah
konseptual, prosedural berdasarkan abstrak terkait dengan pengembangan
rasa ingin tahunya tentang ilmu dari yang dipelajarinya di sekolah
pengetahuan, teknologi, seni, secara mandiri, dan mampu
budaya, dan humaniora dengan menggunakan metoda sesuai kaidah
wawasan kemanusiaan, kebangsaan, keilmuan
kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian,
serta menerapkan pengetahuan
procedural pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan
masalah

c. KELAS: XII
Kompetensi Sikap Spiritual, Kompetensi Sikap Sosial, Kompetensi Pengetahuan, dan
Kompetensi Keterampilan secara keseluruhan dirumuskan sebagai berikut, yaitu siswa mampu:

KOMPETENSI INTI 1 (SIKAP KOMPETENSI INTI 2 (SIKAP


SPIRITUAL) SOSIAL)
1. Menghayati dan mengamalkan 2. Menunjukkan perilaku jujur,
ajaran agama yang dianutnya disiplin, bertanggungjawab, peduli
(gotong royong, kerjasama, toleran,
damai), santun, responsif, dan
proaktif sebagai bagian dari solusi
atas berbagai permasalahan dalam
berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta
menempatkan diri sebagai cerminan
bangsa dalam pergaulan dunia

48
KOMPETENSI INTI 3 KOMPETENSI INTI 4
(PENGETAHUAN) (KETERAMPILAN)
3. memahami, menerapkan, 4. Mengolah, menalar, menyaji, dan
menganalisis dan mengevaluasi mencipta dalam ranah konkret dan
pengetahuan faktual, konseptual, ranah abstrak terkait dengan
prosedural, dan metakognitif pengembangan dari yang
berdasarkan rasa ingin tahunya dipelajarinya di sekolah secara
tentang ilmu pengetahuan, mandiri serta bertindak secara
teknologi, seni, budaya, dan efektif dan kreatif, dan mampu
humaniora dengan wawasan menggunakan metoda sesuai
kemanusiaan, kebangsaan, dengan kaidah keilmuan
kenegaraan, dan peradaban terkait
penyebab fenomena dan kejadian,
serta menerapkan pengetahuan
procedural pada bidang kajian yang
spesifik sesuai dengan bakat dan
minatnya untuk memecahkan
masalah

E. Contoh Soal HOTS Materi KB

Ada empat (4) tipe soal HOTS bentuk pilihan ganda (PG), yaitu tipe: 1) Pilihan
Ganda Biasa, 2) Pilihan Ganda Komplek, 3) Pilihan Ganda Kasuistik, dan 4) Pilihan
Ganda Asosiatif. Pada KB1 diberikan contoh soal PG tipe 1; pada KB2 diberikan
contoh soal PG tipe 2; pada KB3 diberikan contoh soal PG tipe 3; dan pada KB4
diberikan contoh soal PG tipe 4. Tujuan diberikannya contoh soal ini adalah agar
mahasiswa dapat mempelajari dan mampu membuat soal HOTS bentuk Pilihan
Ganda dengan berbagai tipe.

Setelah menganalisis uraian materi, apakah saudara sudah dapat menguasai


capaian pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat mengukur penguasaan
saudara, dapat mengisi soal yang berkaitan dengan kegiatan belajar ini. Berikut sajian
contoh soal pada modul ini sebagai bahan latihan saudara dalam menganalisis
pertanyaan dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan
dibuat oleh dosen pengampu.

Contoh Soal Hots Tipe 2 (Pilihan Ganda Kompleks):


Berikut tiga dimensi besar bidang ilmu Pendidikan Agama Islam:

49
A. Aspek dasar ajaran Islam

1. Al-Qur’an
2. Al-Hadis
3. Ijtihad
B. Aspek inti pokok ajaran Islam

1. Iman
2. Islam
3. Ihsan
C. Aspek pendidikan Islam

1. Sejarah Pendidikan Islam


2. Filsafat Pendidikan Islam
3. Ilmu Pendidikan Islam
4. Manajemen Pendidikan Islam
Secara terminologis, Pendidikan Agama Islam merupakan suatu sistem pendidikan
yang membimbing peserta didik melalui prinsip dan metode yang didasarkan pada
al-Qur’an dan hadis sehingga terwujud menjadi hamba Allah yang Mukmin, Muslim
dan Muhsin. Definisi terminologis ini, mengandung dimensi pada nomor
sebagaimana ditegaskan di atas yaitu ....
A. A (1), A (2), B (1), B (2), B (3), C (2), dan C (3)
B. A (1), A (3), B (1), B (3), C (1), C (2), dan C (4)
C. A (2), A (3), B (1), B (3), C (1), C (2), dan C (3)
D. A (2), A (3), B (2), B (3), C (1), C (2), dan C (3)
E. A (3), A (2), B (1), B (2), B (3), C (2), dan C (3)
Kunci Jawaban: A

F. Tindak Lanjut Belajar


Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat melakukan
beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di antaranya sebagai
berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS Program PPG.
Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!

50
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses
pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di
bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan
pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS program
PPG.
4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas yang ada
di LMS.

51
Glosarium
a. Pendidikan Agama Islam: suatu sistem pendidikan yang membimbing
peserta didik pada perkembangan jiwa dan raganya yang berideologi pada
ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan hadist.
b. Iman: percaya dengan cara membenarkan sesuatu dalam hati, kemudian
diucapkan oleh lisan, dan dikerjakan dengan amal perbuatan
c. Islam: bersyahadat bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan rasulNya,
mendirikan sholat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan mengerjakan
haji bila mampu
d. Ihsan: berbakti dan mengabdikan diri kepada Allah SWT dengan dilandasi
dengan kesadaran dan keikhlasan

52
Daftar Pustaka
Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam, Bandung, Dipenogoro, 1988
Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsi-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam
Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, Bandung: Dipenogoro, 1992
Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-
Naisaburi, Shahih Muslim, Semarang, Maktabah Usaha Keluarga, t.th.
Al-Ghazaly, Muhammad, al-Janib al-‘Athify min al-Islam (Kairo: Syirkah Nahdoh
Mishr, 1991
Al-Qur’an al-Karim
Chaerul. Rochman. Prosiding Islam dan Alam Melayu: Penerapan Nilai Islam Pada
Pembelajaran Fisika. Universiti Malaysia Kuala Lumpur: 2012
Tim penyusun, Draft Masterplan Konsorsium Keilmuan Wahyu Memandu Ilmu
(Kk-Wmi) Uin Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2015-2025
http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=754
Nanat Fatah Natsir, dkk., Ed., Konsorsium Bidang Ilmu UIN SGD Bandung,
Pandangan Keilmuan UIN Wahyu Memandu Ilmu, Bandung, Gunung Djati
Press, 2008
Nanat Fatah Natsir, dkk., Ed., Konsorsium Bidang Ilmu UIN SGD Bandung,
Pengembangan Pendidikan Tinggi dalam Perspektif Wahyu Memandu Ilmu,
Bandung, Gunung Djati Press, 2006
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
22Tahun 2014 tentang Kurikulum 2013 Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
Pedoman Bidang ilmu Agama dan Pembelajaran Tematik Terpadu Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah
Prentice, A.E. “Introduction” dalam Information Science – The Interdisciplinary
Context. (ed. J. M. Pemberton dan A.E. Prentice). New York : Neal-Schuman
Publishers. 1990.
Syahrizal Afandi, “Kajian Hadist Jibril dalam Perspektif Pendidikan; Kajian Materi
Pembelajaran dan Metode Pembelajaran,” Jurnal Penelitian Keislaman 15, 1,
2019

53
Tim Penyusun, Draft Masterplan KK-WMI UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2016
Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama dilengkapi dengan Sistim Modul
dan Permainan Simulasi, Surabaya, Usaha Nasional, 1983

54
KEGIATAN BELAJAR 3
POLA PIKIR DAN KARAKTERISTIK
KEILMUAN PAI

CAPAIAN & SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

A. Capaian Pembelajaran
Saudara mahasiswa, setelah mempelajari keseluruhan materi pada
kegiatan belajar 3 modul 1, diharapkan dapat menganalisis pola pikir dan
karakteristik keilmuan PAI
B. Sub Capaian Pembelajaran
Saudara mahasiswa, setelah mempelajari keseluruhan materi pada
kegiatan belajar 3 modul 1, diharapkan dapat:
1. Al-Qur’an Hadis
a. Menganalisis Pengertian al-Qur’an Hadis
b. Menganalisis pola pikir keilmuan dan karakteristik al-Qur’an dan
Hadis
2. Aqidah Akhlak
a. Menganalisis Pengertian Aqidah Akhlak
b. Menganalisis pola pikir keilmuan dan karakteristik Aqidah Akhlak
3. Fiqh
a. Menganalisis Pengertian Fiqh
b. Menganalisis pola pikir keilmuan dan karakteristik Fiqh
4. Sejarah Peradaban Islam
a. Menganalisis Pengertian Sejarah Peradaban Islam
b. Menganalisis pola pikir keilmuan dan karakteristik Sejarah
Peradaban Islam

55
C. Pokok Materi
1. Al-Qur’an Hadis
a. Pengertian al-Qur’an Hadis
b. Pola pikir keilmuan dan karakteristik al-Qur’an dan Hadis
2. Aqidah Akhlak
a. Pengertian Aqidah Akhlak
b. Pola pikir keilmuan dan karakteristik Aqidah Akhlak
3. Fiqh
a. Pengertian Fiqh
b. Pola pikir keilmuan dan karakteristik Fiqh
4. Sejarah Peradaban Islam
a. Pengertian Sejarah Peradaban Islam
b. Pola pikir keilmuan dan karakteristik Sejarah Peradaban Islam

D. Uraian Materi
Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki pola pikir dan karakteristik
sebagai berikut:
1. Al-Qur’an Hadis
a. Pengertian al-Qur’an dan Hadis
a. Pengertian al-Qur’an
Al-Qur’an adalah wahyu Allah sebagai petunjuk bagi umat Islam dalam
berbagai segi kehidupan, baik dalam berakidah, beribadah, maupun
berakhlak, agar selamat di dunia dan akhirat. Secara etimologis, al-Qur’an
memiliki dua pengertian yang berbeda. Pertama, kata al-Qur’an merupakan
mashdar dari kata ‫ قرأ يقرأ‬yang artinya membaca. Dengan arti ini, kata al-Qur’an
menunjukkan kepada sesuatu yang dibaca. Kedua, kata al-Qur’an sebagai
mashdar dari kata ‫ قرأ يقرأ‬yang bermakna kumpulan. Dengan makna ini, kata
al-Qur’an menunjukkan arti sekumpulan yang dibaca. Kedua pengertian
tersebut sebagaimana ditunjukkan dalam ayat al-Qur’an:

]71 -71 :‫[القيامة‬ ٗ‫اِ َّن َعلَْي نَا َجَْ َعهٗ َوقُ ْراٰنَهٗ فَاِ َذا قَ َرأْنٰهُ فَاتَّبِ ْع قُ ْراٰنَه‬

56
Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan membacakannya.
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu (Q.S. Al-
Qiyamah, 75: 17-18)
Secara terminologis, al-Qur’an adalah:
ِ ‫اح‬
‫ف‬ ِ ُ‫م اَلْم ْع ِج ِز اَلْمتَ عبَّ ُد بِتِ ََلوتِِه اَلْمْن ُقو ُل ِِبلتَّواتُِر اَلْمكْت‬.‫َك ََلم هللاِ املنَ َّزُل َعلَى نَبِيِ ِه ُُمَ َّم ٍد ص‬
ِ ‫وب ِِف اَلْمص‬
َ َ َ َ َ َ َُ ُ ِّ ُ ُ
ِ ‫ورةٍ الن‬
‫َّاس‬ ِِِ ٍ ِ ِ
َ ‫م ْن اََّول ُس ْوَرة اَلْ َفاِتَة ا ََل ُس‬
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad. Lafadz-lafadznya
mengandung mukjizat, membacanya merupakan ibadah, diturunkan secara
mutawattir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah sampai pada
surat An-Naas”
a) Pengertian Hadis
Pengertian Hadis dapat ditelusuri dari pendapat para pakar ilmu Hadis.
Menurut para pakar ilmu Hadis, Hadis mempunyai beberapa persamaan kata
(sinonim/murâdif), yaitu Sunah, Khabar, dan Atsar. Secara etimologi. Kata
‚Hadis‛ (Hadîts) berarti ‫الجدة‬/‫( الجديد‬al-Jdîd/al-jiddah= baru), atau ‫( الخبر والكالم‬al-
khabar = berita, dan pembicaraan/perkataan). Sebagaimana dalam QS. Al-
Dhuha/93: 11

ْ ‫ك فَ َح ِِّد‬
‫ث‬ ِ ِ
َ ِِّ‫َوأ ََّما بِن ْع َمة َرب‬
Dan terhadap nikmat Rabbmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya
(dengan bersyukur). (QS. 93:11)
Secara terminologi, banyak para ahli Hadis (muhadditsîn) memberikan definisi
di antaranya Mahmud al-Thahân mengemukakan :

‫َّب صلى هللا عليه وسلم َس َواءٌ كاَ َن قَ ْوالً أ َْو فِ ْعَلً أ َْو تَ ْق ِريْ ًرا‬
ِ ِ ِ َ ‫َم‬
ِّ ‫اجاءَ َعن الن‬
Sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan dan atau
persetujuan
Definisi tersebut menyatakan bahwa, hadis merupakan berita yang datang dari
Nabi saw. dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan, maupun
sikap persetujuan. Definisi ini juga menunjukkan tentang tiga macam Hadis,
yaitu perkataan, perbuatan, dan persetujuan (taqrir).

57
1) Hadis perkataan yang disebut dengan Hadis Qawlî, misalnya sabda
Rasulullah SAW :
ِ ‫لص‬
، ‫اِل ِة‬ ِ ‫ِبألع‬ ِ ِ َِّ ‫رسول‬
َّ ‫مال ا‬ ْ ‫ « ِبدروا‬:‫وسلَّم قال‬
َ ‫صلِّى هللاُ َعلَْيه‬
َ ‫اَّلل‬ َ ‫اَّلل عنه أن‬
َّ ‫َع ْن أيب هريرة رضي‬
ِ ِ ِ
، ً‫صبح كافرا‬
ُ ُ‫ وُُيسي ُم ْؤمناً وي‬، ً‫الرج ُل ُمؤمناً وُيُْسي كافرا‬
ُ ‫صبح‬ُ ُ‫َت كقطَ ِع اللَّ ِيل الْ ُمظْل ِم ي‬
ٌَ ‫فستكو ُن ف‬
ٍ ‫ يبيع دينه َبعَر‬.
ُّ ‫ض من‬
‫الدنْيا» رواه مسلم‬

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah


shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Bersegeralah engkau sekalian
untuk melakukan amalan-amalan yang baik sebelum datangnya
bermacam-macam fitnah yang diumpamakan sebagai potongan-
potongan dari malam yang gelap gulita.” Di pagi hari seorang itu menjadi
orang mukmin dan di sore hari menjadi orang kafir, ada lagi yang di sore
hari masih sebagai seorang mukmin, tetapi pada pagi hari telah menjadi
seorang kafir. Orang itu menjual agamanya dengan harta dari
keduniaan” (Riwayat Muslim).
2) Hadis perkataan, disebut Hadis Fi`lî misalnya wudhu dan shalatnya
beliau, haji, perang dan lain-lain
3) Hadis persetujuan, disebut Hadis Taqrîrî , yaitu suatu perbuatan atau
perkataan di antara para sahabat yang disetujui Nabi. Misalnya, Nabi
diam ketika melihat bahwa bibi Ibn Abbas menyuguhi beliau dalam
satu nampan berisikan minyak samin, mentega, dan daging binatang
dhabb (semacam biawak tetapi bukan biawak). Beliau makan
sebagian dari mentega dan minyak samin itu dan tidak mengambil
daging binatang Dhabb karena jijik. Seandainya haram tentunya
daging tersebut tidak disuguhkan kepada beliau. (HR. al-Bukhari)
Di antara ulama ada yang memasukkan pada definisi Hadits Sifat
(Washfî), Sejarah (Tarîkhî) dan Cita-cita (Hammî) Rasul. Hadis sifat (Washfî),
baik sifat fisik (khalqîyah) maupun sifat perangai (khuluqîyah). Sifat fisik seperti
tinggi badan Nabi yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek kulit Nabi
putih kemerah-merahan bagaikan warna bunga mawar, berambut keriting,

58
dan lain-lain. Sedang sifat perangai mencakup akhlak beliau, misalnya sayang
terhadap fakir miskin dan lain-lain.
Sejarah hidup Rasul juga masuk ke dalam Hadis baik sebelum menjadi
Rasul maupun setelahnya. Menurut pendapat yang kuat/râjih jika setelah
menjadi Rasul wajarlah dimasukkan sebagai Sunnah atau Hadis tetapi sejarah
yang terjadi sebelum menjadi Rasul, belumlah dimasukkan Sunah kecuali jika
diulang kembali atau dikatakan kembali setelah menjadi Rasul. Para ulama
Syafi`îyah juga memasukkan bagian dari Sunnah apa yang dicita-citakan Rasul
saw. (Sunnah Hammîyah) sekalipun baru rencana dan belum dilakukannya,
karena beliau tidak merencanakan sesuatu kecuali yang benar dan dicintai
dalam agama, dituntut dalam syari`at Islam, dan beliau diutus untuk
menjelaskan syari`at Islam. Seperti cita-cita beliau berpuasa hari tanggal 9
Muharram, rencana beliau perintah para sahabat mengambil kayu untuk
membakar rumah orang-orang munafik yang tidak berjama’ah shalat Isya dan
lain-lain. Sekalipun ini baru merupakan cita-cita, tetapi telah diucapkan beliau
itu Hadis qawlî yang pasti benarnya dan alasan beliau belum
mengamalkannya jelas, yakni berpulang ke rahmat Allah.
b. Pola pikir keilmuan al-Qur’an dan Hadis
1) Disiplin ilmu al-Qur’an
Dalam memahami pengertian Ulum al-Qur’an, perlu ditelaah dari sisi
makna idhafahnya dan makna istilahnya. Dari segi makna idhafahnya berarti
segala yang berkaitan dengan al-Qur’an. Segala ilmu yang bersandar kepada
al-Qur’an termasuk ke dalam ulum al-Qur’an seperti ilmu tafsir, ilmu qira’at,
ilmu Rasm al-Qur’an, ilmu I’jaz al- Qur’an, ilmuu Asbab al-Nuzul, ilmu
nasikh wa al-mansukh, Ilmu I’rab al-Qur’an, ilmu Gharib al-Qur’an, Ulum al-
Din, Ilmu Lughah dan lain-lain, karena ilmu-ilmu itu merupakan sarana
untuk memahami al-Qur’an (Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy :
2014).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, makna Ulum al-Qur’an
ialah ilmu-ilmu yang berkaitan dengan kajian al-Qur’an seperti ilmu tata cara
membaca Al Qur’an, ilmu sejarah turunnya al-Qur’an, ilmu tartib al-Kitabah

59
dan tartib al-Tilawah (urutan penulisan), ilmu sejarah penghimpunan al-
Qur’an dari masa nabi Muhammad saw sehingga masa ‘Usman bin ‘Affan.
Dengan kita mempelajari Ulum al-Qur’an kita dapat memahami dan
mengenal al-Qur’an dengan keseluruhan.
a) Disiplin Ilmu Hadis
Pengertian Ilmu Hadis adalah ilmu yang membahas tentang Hadis, baik
dari segi periwayatan, maupun dari segi matan (teks) Hadis. Ada dua bagian
dari asal muasal Hadits, narasi dan pengetahuan, dan ucapan-ucapannya
telah bertentangan dalam definisinya, dan definisi tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
1) Ilmu Hadis riwayah, yaitu ilmu yang mempelajari Hadis dari sisi
mata rantai periwayatan Hadis, apakah para perawinya tsiqah,
dhabit, dan adil. Apakah periwayatan muttashil (sampai kepada
Rasul) atau terputus (munqathi). Ilmu Hadis riwayat merupakan
ilmu yang membahas tentang cara-cara penukilan Hadis dari
Rasulullah SAW. Dengan demikian objek kajian ilmu riwayah
adalah: 1) cara periwayatan dari seorang perawi kepada perawi lain,
dan 2) cara pemeliharaan Hadis dalam bentuk penghafalan,
penulisan, dan pembukuannya. Dengan memperhatikan cara
periwayatan dan pemeliharaannya ini maka suatu Hadis akan
dinilai bersambung kepada Rasul atau tidak.
2) Ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu yang mempelajari Hadis ditinjau
dari segi teks (matan). Apakah teksnya bertentangan dengan
Alquran, nalar, ijma, dan Hadis yang lebih kuat darinya, dan apakah
teks tersebut mengandung inklusi, koreksi, atau penambahan, atau
pengurangan beberapa frase? Jika kita ambil contoh Hadis: ( ‫إنما األعمال‬
‫ )بالنيات‬maka mengetahui rantai periwayatan dari satu perawi ke yang
lain adalah soal ilmu Hadits, sedangkan mengetahui Hadis dalam
arti tidak bertentangan dengan Alquran, akal, atau ijma, dan itu
konsisten dengan semua Hadis, dan konsistensi dengan asalnya,
maka hal ini merupakan kajian ilmu Hadis dirayah.

60
b) Pola pikir keilmuan dan Karakteristik Al-Qur’an dan Hadis
Dengan memperhatikan penjelasan tentang definisi, ruang lingkup dan
disiplin keilmuan pada al-Qur’an dan Hadis, maka dapat diketahui pola pikir
yang dibangun dalam keilmuan al-Qur’an dan Hadis tersebut. Pola pikir
keilmuan al-Qur’an dan Hadis berkaitan dengan pola pikir untuk memahami
pesan wahyu Allah SWT untuk dapat menjadi pedoman dalam kehidupan
umat Islam.
Dalam keilmuan al-Qur’an dibangun pola pikir tentang cara pembacaan
yang tepat atas teks-teks al-Qur’an, dan berbagai pola pikir tentang cara
memahami isi ayat-ayat al-Qur’an, baik yang ada dalam al-Qur’an itu sendiri,
maupun perhatian terhadap hal-hal yang ada di sekitar al-Qur’an, seperti
sebab-sebab turun ayat, muhkamat dan mutasyabihat, serta hukum-hukum
membacanya.
Pola pikir keilmuan dalam disiplin ilmu Hadis dibangun untuk
memahami pesan Hadis secara benar, baik dengan memperhatikan cara
periwayatan (riwayah) maupun memperhatikan teks (pesan) Hadis. Dengan
pola pikir tersebut dalam memahami Hadis perlu diperhatikan dua hal.
Pertama apakah suatu Hadis diperoleh dari periwayatan yang benar-benar
sampai kepada sumber aslinya yaitu Rasulullah SAW, atau terputus karena
ada berbagai pertimbangan perawinya. Kedua perlu diperhatikan pesan pada
matan (teks) Hadis, apakah bersesuaian atau terdapat pertentangan, misalnya
dengan al-Qur’an, Hadits lain, ijma, bahkan dengan penalaran? Berdasarkan
pola pikir dengan memperhatikan kedua pertimbangan tersebut, maka suatu
Hadis dapat ditentukan derajat keotentikannya sehingga menentukan derajat
kepastian suatu Hadis untuk dapat dijadikan suatu sumber hukum.
Konsentrasi ilmu hadis tujuannya untuk memeriksa kualitas sanad
periwayatan untuk memastikan kesahihannya. Ilmu hadis tujuannya untuk
memeriksa kualitas sanad periwayatan untuk memastikan kesahihannya.
Ilmu hadits khususnya ilmu naqd (kritik) sanad hadits untuk memeriksa
kualitas sanad periwayatan, untuk memastikan kesahihannya saja. Ilmu
hadits akan menjawab pertanyaan seputar ini, apa benar perkataan itu datang

61
dari mulut Rasulullah SAW? Apa benar perbuatan itu dikerjakan oleh
Rasulullah SAW? Jawabannya sebatas ya dan tidak, bukan wajib atau tidak
wajib. Misalnya, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW beristinja' pakai batu”.
Peranan ilmu hadits adalah memastikan kebenaran dan validitas informasi
tersebut.

2. Aqidah Akhlak
a. Pengertian Aqidah Akhlak
1) Pengertian Aqidah
Aqidah berkaitan dengan prinsip kepercayaan yang akan mengantarkan
peserta didik dalam mengenal dan meyakini Allah, para malaikat, kitab-kitab
Allah, Para Nabi dan Rasul, serta memahami konsep tentang hari akhir serta
qadlāʾ dan qadar. Keimanan inilah yang kemudian menjadi landasan dalam
melakukan amal shaleh, berakhlak mulia dan taat hukum.
Secara bahasa, Aqidah diambil dari kata al‘aqdu yang merupakan bentuk
infinitif (masdar) dari kata ‘aqoda ya’qidu yang berarti mengikat sesuatu. Aqidah
merupakan “amalun qolbiyun” atau keyakinan dalam hati tentang sesuatu dan
dia membenarkan hal tersebut. Aqidah mengikat hati seseorang dengan yang
diyakininya sebagai Tuhan yang Maha Esa yang ada yang wajib disembah yang
merupakan pencipta dan pengatur alam semesta beserta isinya. Ikatan yang kuat
tanpa ada keraguan sedikitpun.
Sedangkan secara istilah aqidah adalah sesuatu yang pertama kali harus
diimani dengan yakin oleh seorang mukmin dengan keyakinan yang pasti, ridho
dan menerima sepenuh hati serta merasa tenang dengan keyakinannya tersebut.
Atau secara sederhana akidah Islam adalah iman kepada Allah, malaikat Allah,
Kitab-kitab Allah, Rasul-rasul Allah, Hari akhir serta qada’ dan qadar, yang
kemudian dikenal dengan rukun Iman.
Menurut Yusuf Qardhawi Aqidah adalah suatu kepercayaan yang meresap ke
dalam hati dengan penuh keyakinan, tidak bercampur syak dan keraguan serta
menjadi alat kontrol bagi tingkah laku dan perbuatan sehari-hari. Jika kata
Aqidah diikuti dengan kata Islam, maka berarti ikatan keyakinan yang

62
berdasarkan ajaran Islam. Hal tersebut sama dengan kata iman (keyakinan) yang
terpatri kuat dalam hati seseorang muslim.
Aqidah Islam mengandung arti ketundukan hati yang melahirkan dan
merefleksikan, kepatuhan, kerelaan dan keikhlasan dalam menjalankan perintah
Allah swt. Oleh sebab itu seseorang yang ber- Aqidah Islamiyah yang benar
adalah seseorang yang keterkaitan antara hati, ucapan dan perbuatannya secara
kuat dan padu terhadap ajaran Islam sehingga melahirkan akhlak yang terpuji
baik terhadap Allah atau terhadap sesama makhluk.
2) Pengertian Akhlak
Akhlak merupakan perilaku yang menjadi buah dari ilmu dan keimanan.
Akhlak akan menjadi mahkota yang mewarnai keseluruhan elemen dalam PAI.
Ilmu akhlak mengantarkan peserta didik dalam memahami pentingnya akhlak
mulia pribadi dan akhlak sosial, dan dalam membedakan antara perilaku baik
(maḥmūdah) dan tercela (madzmūmah).
Dengan memahami perbedaan ini, peserta didik bisa menyadari pentingnya
menjauhkan diri dari perilaku tercela dan mendisiplinkan diri dengan perilaku
mulia dalam kehidupan sehari-hari baik dalam konteks pribadi maupun
sosialnya. Peserta didik juga akan memahami pentingnya melatih (riyadlah),
disiplin (tahdhīb) dan upaya sungguh-sungguh dalam mengendalikan diri
(mujāhadah).
Dengan akhlak, peserta didik menyadari bahwa landasan dari perilakunya,
baik untuk Tuhan, dirinya sendiri, sesama manusia dan alam sekitarnya adalah
cinta (mahabbah). Pendidikan Akhlak juga mengarahkan mereka untuk
menghormati dan menghargai sesama manusia sehingga tidak ada kebencian
atau prasangka buruk atas perbedaan agama atau ras yang ada. Aspek atau
elemen akhlak ini harus menjadi mahkota yang masuk pada semua topik bahasan
pada mata pelajaran PAI, akhlak harus menghiasi keseluruhan konten dan
menjadi buah dari pelajaran PAI.
Menurut bahasa kata Akhlak dalam bahasa Arab merupakan jamak’ dari
‫خلق‬/khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, sopan santun atau
tabiat. Kata tersebut mengandung segi persesuaian dengan perkataan ‫خلق‬/khalqun

63
berarti kejadian, yang juga erat hubungannya dengan ‫خالق‬/khaliq yang berarti
pencipta, demikian pula ‫مخلوق‬/makhluqun yang berarti yang diciptakan. Rumusan
pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan
baik antara khaliq dengan makhluk (Mushtofa, Akhlak Tasawuf, 2008: 11).
Pengertian akhlak menurut istilah, dapat dipahami dari beberapa pendapat
yang dikemukakan oleh para ulama. Ibnu Miskawih mendefinisikan akhlak
sebagai berikut:

‫اخللق حال للنفس داعية هلا إَل أفعاهلا من غری فكر وال روية‬
“Akhlak adalah kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu berpikir
dan pertimbangan lagi” (Ibn. Miskawaih, Thadzib al-Akhlaq, 1985; 25)
Kondisi jiwa seseorang dalam definisi Ibn Miskawaih di atas merupakan
kondisi jiwa yang sudah terbiasa melakukan tindakan-tindakan tertentu,
sehingga tindakan-tindakan tersebut seakan sudah mendarah daging, mereka
akan melakukannya secara spontan ketika mendapatkan stimulus tertentu.
Al-Ghazali merumuskan makna akhlak sebagai berikut:

‫اج ٍة إِ ََل فِ ْك ٍر‬ ِ ِ َ ‫ص ِدر ْاألَفْ ع‬


َ ‫ال بسهولة َو يُ ْس ٍر م ْن َغ ِْری َح‬
ِ ِ ‫اخللق عبارة عن هيئة ِِف النَّ ْف‬
َ ُ ْ ُ‫س َراس َخة َعنْها ت‬
ٍ‫ورِويَّة‬
َُ
“Akhlak ialah gambaran keadaan jiwa berupa sifat-sifat yang sudah mendarah daging
yang mendorong dilakukannya perbuatan-perbuatan dengan mudah lagi gampang
tanpa berfikir panjang” (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubu’ al-Muhlikat, 2005;
890)
Gambaran sifat-sifat jiwa yang sudah terlatih dan juga sudah mendarah
daging yang dapat menjadi sumber inspirasi dan mendorong tindakan-
tindakan yang bersifat spontan. Tindakan-tindakan seperti inilah yang dapat
dikategorikan sebagai akhlak. Apabila suatu perbuatan dilakukan dengan
mempertimbangkan dahulu, apa untung ruginya bagi si pelaku perbuatan
tersebut, maka belum dikatakan sebagai akhlak.
Ahmad Amin sebagai ahli Ilmu Akhlak modern, dalam bukunya Kitab
al-Akhlaq, menegaskan bahwa pada dasarnya akhlak adalah kehendak yang

64
dibiasakan, bukan perbuatan yang tidak ada kehendaknya. Seperti bernafas,
denyut jantung, kedipan mata dan lain-lain (Ahmad Amin, Kitab al-Akhlaq,
2012; 10). Akhlak merupakan perbuatan yang mudah dilakukan karena telah
didik dengan membiasakannya dalam kehidupan sehari-hari. Perbuatan
akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan melalui ikhtiar.
Pelakunya mengetahui baik atau buruk dari perbuatan yang dilakukannya.
Karena perbuatan akhlak juga termasuk perbuatan yang kelak akan
dipertanggung-jawabkan di hadapan Allah Swt.
Selain tiga tokoh ahli dalam bidang akhlak tersebut di atas sebenarnya
masih banyak, tetapi pada dasarnya sama bahwa akhlak unsurnya terdiri dari
perbuatan sadar (ada iradah dan ikhtiar) yang didorong oleh sifat-sifat yang
sudah terbiasa sehingga seakan-akan spontan dan terkesan tidak usah
dipikirkan sebelumnya.
Merujuk kepada tiga rukun agama yang meliputi Islam, iman, dan
ihsan, maka akhlak adalah natijah dari Islam dan iman. Hal ini sesuai dengan
pesan yang ada pada hadits Nabi Muhammad Saw, yang menyatakan bahwa:
ِ ‫إََِّّنَا بعِثْت ألَُتِِّم م َكا ِرم األَخ‬
‫َلق‬ ْ َ ََ ُ ُ
Artinya: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan
akhlak.” (HR Al-Baihaqi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Pesan hadits ini menunjukkan tentang pentingnya akhlak dalam beragama,
sehingga Rasulullah SAW. memiliki tugas utama menyempurnakan akhlak.
Hadits ini menunjukkan keseluruhan agama adalah akhlak, sebagai
pengejawantahan dari keislaman dan keimanan. Di sini kita penting untuk
memahami kaitan antara akidah dengan akhlak.
Dengan memperhatikan beberapa definisi akhlak menurut istilah yang
dikemukakan beberapa ahli di atas, tampak bahwa akhlak adalah perilaku
yang menggambarkan keadaan jiwa. Inilah yang menarik untuk menemukan
keterkaitan antara Aqidah dengan akhlak. Aqidah merupakan kekuatan
jiwanya sedangkan akhlak merupakan wujud perilaku dari kekuatan jiwa
tersebut. Dengan demikian secara mudah kita dapat menemukan keterkaitan

65
antara aqidah dan akhlak adalah akidah dapat mewujudkan akhlak, atau
dalam kata lain akhlak harus didasari oleh akidah; akidah harus
merefleksikan akhlak.

b. Pola pikir keilmuan dan karakteristik Aqidah Akhlak


Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa akidah merupakan keyakinan, sehingga
tidak lagi ada keraguan pada seseorang. Dalam hal keimanan berarti bagaimana
seseorang meyakini seyakin-yakinnya sehingga membenarkan dalam hati,
mengucapkan dalam lisan dan mengamalkannya dengan anggota tubuh.
Para ulama telah mengembangkan berbagai ilmu keimanan ini sebagai ilmu
akidah. Dalam kata lain, ilmu akidah adalah ilmu tentang keimanan.
Pengembangan keilmuan tersebut diperkuat dengan menggunakan dalil naqli
dan dalil aqlil. Dalil naqli merupakan dalil-dalil yang bersumber dari wahyu yang
digunakan untuk bukti-bukti yang membenarkan tentang sesuatu yang patut
diimani. Dalil aqli merupakan dalil untuk bukti-bukti yang membenarkan
tentang sesuatu yang mesti diimani berdasarkan penalaran yang masuk akal.
Ibu Miskawaih menjelaskan bahwa di dalam jiwa seseorang itu terdapat tiga
kekuatan (al-quwwah) yang sangat penting dalam membentuk akhlak manusia.
Sementara Imam Al-Ghazali menyebutkan sebagai Ummahat al-Akhlaq wa
Ushuluha dengan ditambahkan satu kekuatan (al-quwwah) sehingga genap
menjadi empat kekuatan (alquwwah) (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-
Muhlikat, 2005; 936).
Pertama, Quwwah al-Ilmi akan menjadi sumber kebaikan kalau sudah
menuntun dengan mudah untuk membedakan yang benar dan yang salah dalam
keyakinan, yang baik dan yang buruk dalam perbuatan serta yang jujur dan yang
bohong dalam berkata-kata. Atau dengan kata lain ilmunya sudah menjadi
hikmah. Kedua, Quwwah al-Ghadhab, akan menjadi baik apabila dapat
dikendalikan oleh akal yang sehat dan syariat, sehingga menghasilkan sifat
(syaja’ah) yang menjadi sumber berbagai akhlak yang baik. Apabila tidak
mengikuti tuntunan akal dan syariat condong pada hal yang berlebih, maka

66
dinamakan tahawwur (nekad). Tetapi bila condong pada sifat lemah dan
pengurangan, maka dinamakan jubn (takut yang berlebihan).
Ketiga, Quwwah asy-Syahwah, akan menjadi baik apabila dapat terdidik
oleh akal dan syariat, maka ia akan menghasilkan sifat ‘iffah yang menjadi sumber
dari berbagai akhlak yang mulia, seperti malu, sabar, qanaah, wara, zuhud dan lain-
lain. Sebaliknya kalau tidak disinergikan dengan akal dan syariat, maka apabila
condong pada hal yang berlebihan disebut syarh (rakus) dan sebaliknya bila
condong pada hal dikurang-kurangi disebut jumud (tidak ada kemajuan).
Singkatnya siapa yang dapat memosisikan diri di tengah dengan lurus (‘itidal)
dalam empat dasar akhlak di atas, maka akhlaknya akan menjadi baik semuanya.
Keempat, Quwwah al-‘Adl, sebuah kekuatan penyeimbang dari ketiga kekuatan jiwa
sebelumnya (Al-Ghazali, Ihya Ulum ad-Din/Rubuu’ al-Muhlikat, 2005; 935). Keempat
akhlak ini, yakni hikmah, syaja’ah, ‘iffah dan adl adalah sumber pokok
keutamaan dan akhlak yang lainnya adalah berupa cabang-cabangnya.
Ilmu akhlak ialah ilmu untuk menetapkan segala perbuatan manusia. Baik
atau buruknya, benar atau salahnya, sah atau batal, semua itu ditetapkan dengan
mempergunakan ilmu akhlak sebagai petunjuknya.
Ahmad Amin lebih mempertegas lagi dalam kitabnya Al-Akhlak dengan
menyatakan:
‫ و يشرح الغاية التى ينبغي أن يقصدها ما‬،‫علم يوضح معنى الخ ْي و الشر و يبين معاملة الناس بعضهم بعضا‬
.‫فى أعمالهم و يبين السبيل لعمل ما ينبغي‬
Artinya:
“ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, dan menerangkan apa yang harus
diperbuat oleh sebagian manusia terhadap sesamanya dan menjelaskan tujuan yang
hendak dicapai oleh manusia dan perbuatan mereka dan menunjukkan yang lurus
yang harus diperbuat”.
Jadi, menurut definisi tersebut ilmu akhlak itu mengandung unsur-unsur
sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian baik dan buruk,
2. Menerangkan apa yang seharusnya dilakukan seseorang serta
bagaimana cara kita bersikap terhadap sesama,

67
3. Menjelaskan mana yang patut kita perbuat, dan
4. Menunjukkan mana jalan lurus yang harus dilalui.
Berdasarkan beberapa bahasan yang berkaitan dengan ilmu akhlak, maka
dapat dipahami bahwa objek (lapangan/sasaran) pembahasan ilmu akhlak
itu ialah tindakan-tindakan seseorang yang dapat diberikan nilai
baik/buruknya, yaitu perkataan dan perbuatan yang termasuk dalam
kategori perbuatan akhlak. Dalam hubungan ini, Ahmad Amin mengatakan
bahwa “etika itu menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian
menetapkan hukum baik atau buruk”. J.H. Muirhead menyebutkan bahwa
pokok pembahasan (subject matter) etika adalah penyelidikan tentang tingkah
laku dan sifat manusia. Muhammad Al-Ghazali mengatakan bahwa daerah
pembahasan ilmu akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, baik
sebagai individu (perseorangan) maupun kelompok (masyarakat).
Untuk jelasnya, bahwa perbuatan-perbuatan manusia itu dapat dibagi
dalam tiga macam perbuatan. Dari yang tiga ini ada yang masuk perbuatan
akhlak dan ada yang tidak masuk perbuatan akhlak.
a. Perbuatan yang dikehendaki atau disadari, pada waktu dia berbuat
dan disengaja. Jelas, perbuatan ini adalah perbuatan akhlak, bisa baik
atau buruk, tergantung pada sifat perbuatannya.
b. Perbuatan yang tidak dilakukan tidak dikehendaki, sadar atau tidak
sadar di waktu dia berbuat, tetapi perbuatan itu di luar
kemampuannya dan dia tidak bisa mencegahnya. Perbuatan
demikian bukan perbuatan akhlak. Perbuatan ini ada dua macam:
1) Reflex action, al-a’maalu-mun’akiyah
Umpamanya, seseorang keluar dari tempat gelap ke tempat
terang, matanya berkedip-kedip. Perbuatan berkedip-kedip ini
tidak ada hukumnya, walaupun dia berhadap-hadapan dengan
seseorang yang seakan-akan dikedipi. Atau seseorang karena
digigit nyamuk, dia menamparkan pada yang digigit nyamuk
tersebut.
2) Automatic action, al-a’maalul’aliyah

68
Model ini seperti halnya degup jantung, denyut urat nadi dan
sebagainya.
Perbuatan-perbuatan reflex actions dan automatic actions adalah
perbuatan di luar kemampuan seseorang, sehingga tidak termasuk
perbuatan akhlak.
c. Perbuatan yang samar-samar, tengah-tengah, mutasyabihat.
Yang dimaksud samar-samar/tengah-tengah, mungkin suatu
perbuatan dapat dimasukkan perbuatan akhlak tapi bisa juga tidak.
Pada lahirnya bukan perbuatan akhlak, tapi mungkin perbuatan
tersebut termasuk perbuatan akhlak, sehingga berlaku hukum akhlak
baginya, yaitu bahwa perbuatan itu baik atau buruk. Perbuatan-
perbuatan yang termasuk samar-samar, umpamanya lupa, khilaf,
dipaksa, perbuatan di waktu tidur dan sebagainya. Terhadap
perbuatan-perbuatan tersebut ada hadis-hadis rasul yang
menerangkan bahwa perbuatan-perbuatan lupa, khilaf, dipaksa,
perbuatan di waktu tidur dan sebagainya, tidak termasuk perbuatan
akhlak.
Selanjutnya, dalam menetapkan suatu perbuatan yang muncul dengan
kehendak dan disengaja hingga dapat dinilai baik apa buruk ada
beberapa syarat yang perlu diperhatikan: (1) situasi dalam keadaan
bebas, sehingga tindakan dilakukan dengan sengaja dan (2) pelaku tahu
apa yang dilakukan, yakni mengenai nilai baik buruknya. Oleh sebab
itu, suatu perbuatan dapat dikatakan baik buruknya manakala
memenuhi syarat-syarat di atas. Kesengajaan merupakan dasar
penilaian terhadap tindakan seseorang. Dalam Islam, faktor
kesengajaan merupakan penentu dalam penetapan nilai tingkah
laku/tindakan seseorang.
Dalam hal ini para ahli etika menyimpulkan bahwa perbuatan
lupa dan khilaf dan sebagainya ada dua macam:

69
a) Apabila perbuatan itu sudah dapat diketahui akibatnya atau patut
diketahui akibat-akibatnya, atau bisa juga diikhtiarkan untuk terjadi
atau tidak terjadinya.
b) Apabila perbuatan ini tidak kita ketahui sama sekali dan di luar
kemampuan manusia, walaupun sudah diikhtiarkan sebelumya, tapi
toh terjadi juga, perbuatan demikian disebut ta’adzury (diluar
kemampuan manusia). Perbuatan demikian tidak termasuk
perbuatan akhlak.
Akhlak yang diberi penekanan cukup besar dalam agama Islam tentu
memiliki tujuan yang ingin dicapai di antara tujuan dari akhlak adalah:
a) Menjadikan manusia memiliki derajat tinggi dan sempurna
b) Akhlak menjadikan manusia senantiasa menghiasi diri dengan
akhlakul karimah dalam berhubungan dengan sesamanya dan
berhubungan dengan Allah.
c) Sesungguhnya dengan akhlak pula yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya.
d) Dengan akhlak yang baik menjadikan manusia bahagia di dunia dan
beruntung di akhirat.
e) Dengan akhlak yang baik maka keberlangsungan umat manusia akan
tetap terjaga.
f) Akhlak yang baik menjadikan Iman seorang mukmin menjadi
sempurna.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa akidah dan akhlak memiliki kaitan
yang erat, dan demikian pula memiliki pola pikir keilmuan yang sudah
banyak dikembangkan oleh para ulama. Para guru di sekolah dapat
mengambangkan pembelajaran Aqidah akhlak sejalan dengan struktur
dan pola pikir keilmuan aqidah akhlak yang sudah dikembangkan oleh
para ulama.

3. Fiqh
a. Pengertian Fiqh

70
Fiqih berasal dari bahasa Arab “faqqoha yufaqqihu fiqhan” yang memiliki
arti mengetahui, mengerti, memahami, dan mendalami ajaran agama. Fiqih
adalah ilmu tentang hukum syara yang bersifat praktis yang diperoleh
melalui dalil yang terperinci. Imam ad-Dimyathi mengartikan Fiqh adalah:

‫معرفة األحكام الشرعية اليت طريقها االجتهاد‬


Artinya: "(Fiqh) adalah pengetahuan hukum-hukum Syar’i (yang cara
mengetahui) adalah dengan metode ijtihad".
Berdasarkan definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Fiqh adalah
pengetahuan mengenai hukum-hukum syari'at yang memerlukan proses
ijtihad untuk mengetahuinya. Sehingga bisa dikatakan bahwa Fiqh
merupakan produk ijtihad ulama.
Fiqh merupakan sistem atau seperangkat aturan yang berkaitan
dengan perbuatan manusia dewasa (mukallaf) yang mencakup ritual atau
hubungan dengan Allah SWT (Hablum-Minallah), sesama manusia (Hablum-
Minan-Nas) dan dengan makhluk lainnya (Hablum-Ma’al Ghairi). Fiqh
mengulas berbagai pemahaman yang benar mengenai tata cara
pelaksanaan dan ketentuan hukum dalam Islam serta implementasinya
dalam ibadah dan muʿāmalah yang benar dan baik dalam kehidupan sehari-
hari.
Secara substansial mata pelajaran Fiqih memiliki kontribusi dalam
memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempraktekkan dan
menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai
perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan
manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama
manusia, makhluk lainnya maupun lingkungannya. Materi Fiqih meliputi
pokok hukum Islam dan tata cara pelaksanaannya untuk diaplikasikan
dalam kehidupan sehingga menjadi muslim yang selalu taat menjalankan
syariat Islam secara kaaffah (sempurna).

b. Pola Pikir Keilmuan dan karakteristik Fiqh

71
Menurut Arif Shaifudin, pada hakikatnya ilmu Fiqh meliputi hal-hal
sebagai berikut: (1) Fiqih adalah ilmu tentang hukum syara'; (2) Fiqih
membicarakan 'amaliyah furû'iyyah mukallaf; (3) pengetahuan tentang
hukum syara' didasarkan pada dalil terperinci; (4) Fiqh itu digali dan
ditemukan melalui ijtihad.
Berdasarkan rumusan tersebut, Fiqh dapat disebut sebagi ilmu,
meskipun ada yang berpendapat bahwa Fiqh tidaklah bisa disebut dengan
ilmu. Hal ini dikarenakan ada yang mensyaratkan bahwa ilmu itu harus
bersifat koheren, sistematis, dapat diukur, dan dapat dibuktikan. Bahkan
ada pula yang mensyaratkan bahwa ilmu itu harus empiris dan memiliki
nilai kepastian. Sedangkan Fiqh adalah sesuatu yang dicapai oleh fuqoha
melalui ijtihad yang bersifat dzonniy, di mana ilmu haruslah tidak bersifat
dzonniy. Namun demikian, karena dzon dalam fiqh itu dipandang cukup
kuat, maka ia mendekati ilmu. Apalagi ukuran ilmu pada masa-masa itu
belumlah sedetail dan serumit saat ini. Jadi dengan demikian ilmu Fiqih
bisa dipandang sebagai ilmu yang berdiri sendiri.
Pola pikir Fiqh dapat dikatakan sebagai berikut :
a. Fiqh dikembangkan dari ajaran pokok (dasar) yang terdapat dalam
agama Islam. Karena itu Fiqh merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari ajaran Islam.
b. Dari segi muatan pendidikannya, Fiqh menjadi satu komponen
yang tidak dapat dipisahkan dengan elemen PAI lain yang
memiliki tujuan pembentukan moral kepribadian peserta didik
yang baik.
c. Tujuan diberikannya elemen Fiqh adalah terbentuknya peserta
didik yang beriman dan bertakwa kepada Allah swt., berbudi
pekerti luhur (berakhlak mulia), memiliki pengetahuan yang
cukup tentang Islam terutama sumber-sumber ajaran dan sendi-
sendi lainnya, sehingga dapat dijadikan bekal untuk mempelajari
berbagai bidang ilmu tanpa harus terbawa oleh pengaruh negatif
yang mungkin ditimbulkan oleh ilmu tersebut.

72
d. Fiqh tidak hanya agar menguasai ilmu keislaman tetapi juga harus
memiliki kemampuan untuk mengamalkan ajaran Islam dalam
keseharian.
e. Prinsip dasar Fiqh didasarkan pada tiga kerangka dasar yaitu
Aqidah (penjabaran dari konsep iman), syariah (penjabaran dari
konsep Islam), dan akhlak (penjabaran dari konsep ihsan). Cara
kerjanya adalah dengan menggali hukum dari sumbernya (al-
Qur’an dan al-Hadist) kemudian kalau tidak ada maka akan
dilakukan ijtihad.
f. Dilihat dari aspek tujuan, Fiqh bersifat integratif, yaitu menyangkut
potensi intelektual (kognitif), potensi moral kepribadian (afektif)
dan potensi keterampilan mekanik (psikomotorik).
g. Karakteristik yang dimiliki elemen Fiqh sangat kompleks,
komprehensif dan memerlukan pengetahuan lintas sektor.
Konsentrasi ilmu Fiqh bertujuan menggali Al Quran dan hadits
serta sumber hukum lainnya untuk disimpulkan (di-istinbath) menjadi
produk hukum. Hasil produk hukum fiqih itu ada lima yang dasar,
yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Konsentrasi Ilmu
fiqih tujuan akhirnya menjadi produk hukum. Misalnya, diriwayatkan
bahwa Rasulullah SAW beristinja' pakai batu. Peranan ilmu fiqih
adalah menentukan fatwa hukumnya, apakah jadi wajib, jadi sunnah
atau jadi mubah. Informasi hadis yang sudah valid itu diproses,
dianalisis, dicermati, termasuk juga dikomparasikan dengan sekian
banyak informasi lain. Seperti informasi dari hadits serupa, Alquran,
ijma, qiyas, mashalil mursalah, istihab, istihsan, qaul shahabi, amalu ahlil
madinah, 'urf, saddudz-dzari'ah, dan lainnya.
Ilmu fiqih akan menghasilkan perbaikan dalam kehidupan dunia
dan akhirat setiap hamba. Dengan ilmu tersebut, seorang hamba akan
memperoleh petunjuk menuju jalan yang lurus, sehingga ilmu tersebut
bermuara pada kemenangan dan kebahagiaan, di mana seorang hamba
dapat menegakkan segala yang menjadi kewajibannya.

73
5. SPI
a. Pengertian Sejarah Peradaban Islam
Secara etimologi, kata sejarah berasal dari bahasa Arab “syajaratun”,
artinya pohon. Dalam dunia Barat, sejarah disebut histoire (Perancis),
geschiedenis (Belanda), dan history (Inggris), berasal dari bahasa Yunani, istoria
yang berarti ilmu. Menurut definisi yang umum, kata history berarti “masa
lampau umat manusia”. Dalam bahasa Jerman disebut geschichte, berasal dari
kata geschehen yang berarti terjadi. Sedangkan dalam bahasa Arab disebut
tarikh, berasal dari akar kata ta’rikh dan taurikh yang berarti pemberitahuan
tentang waktu dan kadang kala kata tarikhus syai’i menunjukkan arti pada
tujuan dan masa berakhirnya suatu peristiwa.
Secara terminologi, makna sejarah dapat ditelaah melalui pendapat
beberapa ahli. Ibnu Khaldun mendefinisikan, sejarah adalah catatan tentang
masyarakat umat manusia atau peradaban dunia; tentang perubahan-
perubahan yang terjadi pada watak masyarakat, seperti keliaran, keramah-
tamahan, dan solidaritas golongan; tentang revolusi pemberontakan oleh
segolongan rakyat melawan golongan yang lain dengan akibat timbulnya
kerajaan-kerajaan dan negara-negara, dengan tingkat bermacam-macam;
tentang bermacam-macam kegiatan dan kedudukan orang, baik untuk
mencapai penghidupannya, maupun dalam bermacam-macam cabang ilmu
pengetahuan dan pertukaran; dan pada umumnya, tentang segala perubahan
yang terjadi dalam masyarakat karena watak masyarakat itu sendiri. Sidi
Gazalba menyatakan, sejarah adalah gambaran masa lalu tentang manusia dan
sekitarnya sebagai makhluk sosial, yang disusun secara ilmiah dan lengkap,
meliputi urutan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang
memberi pengertian dan pemahaman tentang apa yang telah berlalu itu.
Dari dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa sejarah adalah
gambaran tentang peristiwa-peristiwa masa lampau yang dialami oleh
manusia, disusun secara ilmiah, meliputi urutan waktu, diberi tafsiran dan
analisa kritis, sehingga mudah dimengerti dan dipahami.

74
Kata peradaban dan kebudayaan dalam bahasa Indonesia sering
dipahami sama artinya. Namun, dalam bahasa Inggris terdapat pengertian
yang berbeda dari kedua kata tersebut; yaitu civilization untuk peradaban dan
culture untuk kebudayaan. Dalam bahasa Arab pun terdapat perbedaan, yaitu
kata tsaqofah (kebudayaan), kata hadlarah (kemajuan), dan kata tamaddun
(peradaban).
Badri Yatim mengatakan, kata “Peradaban Islam” merupakan terjemahan
dari kata al-Hadharah al-Islamiyyah (bahasa Arab) yang sering diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia dengan “Kebudayaan Islam”. Secara terminologis,
pengertian kebudayaan dapat ditelaah dari beberapa ahli. Selo Soemardjan
dan Soelaiman Soemardi menjelaskan bahwa kebudayaan adalah semua hasil
karya, rasa, dan cipta masyarakat. Karya masyarakat menghasilkan teknologi
dan kebudayaan kebendaan (material culture) yang diperlukan oleh manusia
untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat
digunakan untuk keperluan masyarakat. Badri Yatim mengemukakan bahwa
kebudayaan merupakan hasil dari peradaban. Syeikh Taqiyuddin anNabhani
mengungkapkan bahwa kebudayaan muncul dari suatu peradaban
(sekumpulan persepsi tentang kehidupan) tertentu. Peradaban tersebut
muncul dari suatu Aqidah tertentu yang khas.
Sementara kata Islam bermakna agama samawi (langit) yang diturunkan
oleh Allah SWT. melalui utusan-Nya, Muhammad saw., yang ajaran-
ajarannya terdapat dalam kitab suci al-Qur’an dan sunah dalam bentuk
perintah-perintah, larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk
kebaikan manusia, baik di dunia maupun di akhirat
Setelah memahami pengertian sejarah, peradaban, dan Islam, kini dapat
dirumuskan bahwa pengertian Sejarah Peradaban Islam adalah segala
peristiwa yang dialami manusia pada masa lalu sebagai manifestasi atau
penjelmaan kegiatan muslim yang didasari ajaran Islam. Dengan demikian,
peristiwa-peristiwa yang dialami umat Islam sejak lahirnya agama Islam
sampai sekarang merupakan kajian Sejarah Peradaban Islam.

75
a. Pola Pikir Keilmuan dan Karakteristik Sejarah Peradaban Islam
Sebagaimana dikemukakan di atas, sejarah peradaban Islam membahas
berbagai peristiwa masa lalu yang memiliki makna yang besar bagi
kehidupan manusia. “Belajarlah dari sejarah”, demikian kata-kata mutiara
yang dapat mengingatkan kita makna sejarah. Bahkan Presiden Pertama RI
Sukarno telah menitipkan sesuatu yang sangat. berharga berupa “Jasmerah”
sebagai akronim dari “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”. Sejarah
memiliki nilai dan arti penting yang bermanfaat bagi kehidupan umat
manusia. Hal tersebut dikarenakan sejarah menyimpan atau mengandung
kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme dan melahirkan nilai-nilai
baru bagi perkembangan kehidupan manusia. Pentingnya memahami sejarah
peradaban Islam tidak semata-mata untuk mengetahui tanggal, bulan, tahun,
dan abad suatu peristiwa peradaban Islam di masa lampau. Namun juga
memahami realitas muslim untuk mengetahui suatu peristiwa peradaban
Islam. Oleh karena itu, pola pikir sejarah adalah mengambil pelajaran (ibrah)
dari fakta dan peristiwa yang terjadi di masa lalu untuk dijadikan dasar
dalam memperbaiki masa depan.
Ilmu Sejarah mengajarkan seseorang memahami bagaimana sesuatu
berubah dari waktu ke waktu, mempelajari pola dan nilai yang terkandung
di dalamnya. Ilmu sejarah mengajak memahami bahwa sejarah mempunyai
peran besar dalam membentuk kondisi saat ini.

E. Contoh Soal HOTS Materi KB


Ada empat (4) tipe soal HOTS bentuk pilihan ganda (PG), yaitu tipe: 1)
Pilihan Ganda Biasa, 2) Pilihan Ganda Komplek, 3) Pilihan Ganda Kasuistik,
dan 4) Pilihan Ganda Asosiatif. Pada KB1 diberikan contoh soal PG tipe 1; pada
KB2 diberikan contoh soal PG tipe 2; pada KB3 diberikan contoh soal PG tipe
3; dan pada KB4 diberikan contoh soal PG tipe 4. Tujuan diberikannya contoh
soal ini adalah agar mahasiswa dapat mempelajari dan mampu membuat soal
HOTS bentuk Pilihan Ganda dengan berbagai tipe.

76
Berikut sajian contoh soal pada modul ini sebagai bahan latihan saudara
dalam menganalisis pertanyaan dan jawaban, serta sebagai contoh pembuatan
soal tes formatif yang akan dibuat oleh dosen pengampu.

Contoh Soal Hots Tipe 3 (Pilihan Ganda Kkasuistik):


Aisyah dan Cristina adalah dua sahabat yang kerap belajar bersama. Ketika
mereka sedang belajar, tiba-tiba adzan berkumandang. Seketika Cristina yang
seorang non muslim langsung mengingatkan Aisyah untuk melaksanakan
shalat. Sikap dan tindakan Christina tersebut merupakan aktualisasi akhlak
terpuji toleransi, karena…
A. Merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa
B. Merupakan perbuatan yang gampang dan mudah
C. Merupakan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran
D. Merupakan perbuatan tanpa memerlukan pertimbangan
E. Merupakan perbuatan sebagai manifestasi jiwa seseorang
Kunci Jawaban: E

F. Tindak Lanjut Belajar


Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat melakukan
beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di antaranya sebagai
berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS Program PPG.
Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam proses
pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir modul di
bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara melakukan
pembelajaran remedial dengan memperhatikan petunjuk dalam LMS program
PPG.
4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas yang ada
di LMS.

77
GLOSARIUM
a. Al-Qur’an: Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad.
Lafadz-lafadznya mengandung mukjizat, membacanya merupakan ibadah,
diturunkan secara mutawattir, dan ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat
Al-Fatihah sampai pada surat An-Naas
b. Hadis: Sesuatu yang datang dari Nabi baik berupa perkataan atau
perbuatan dan atau persetujuan
c. Aqidah: keyakinan dalam hati tentang sesuatu dan dia membenarkan hal
tersebut
d. Akhlak: kondisi jiwa yang mendorong tindakan-tindakan tanpa perlu
berpikir dan pertimbangan lagi
e. Fiqh: pengetahuan hukum-hukum Syar’i (yang cara mengetahui) adalah
dengan metode ijtihad
f. Sejarah peradaban Islam: gambaran tentang peristiwa-peristiwa masa
lampau yang dialami oleh manusia, disusun secara ilmiah, meliputi
urutan waktu, diberi tafsiran dan analisa kritis, sehingga mudah
dimengerti dan dipahami.

78
DAFTAR PUSTAKA
Abu Hamid al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, Juz III, Mesir : Isa Bab al-
Halaby, tt.
Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran Ilmu untuk Memahami Wahyu,
Rosda, Bandung: 2016
Ahmad Amin, Kitabal al-Akhlaq, (Mesir: Daral-Kutub al-Mishriyah,
cet. III,. t.t)
Ahmad Musthafa al Maraghi, Tafsir al-Maraghi Jilid III, Semarang,
Toha Putra,1993
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, RajaGrafindo Persada, 2010
Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak Fii al-Tarbiyah, Beirut : Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 1985
Kemeng RI, Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16
Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada
Sekolah, 2010
Mustofa., Akhlak Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia, 2014.
Teungku. Muhammad Hasbi al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an
(‘Ulum al-Qur’an) Membahas Ilmu-Ilmu Menafsirkan Al-Qur’an,
Pustaka Rizki Putra, Semarang : 2014

79
KEGIATAN BELAJAR 4:
PENGEMBANGAN KURIKULUM PAI
DI SEKOLAH

CAPAIAN & SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

Capaian Pembelajaran
Saudara mahasiswa, setelah mempelajari keseluruhan materi pada
kegiatan belajar 4 modul 1, diharapkan dapat menganalisis pengembangan
Kurikulum Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah

Sub Capaian Pembelajaran


Saudara mahasiswa, setelah mempelajari keseluruhan materi pada
kegiatan belajar 4 modul 1, diharapkan dapat:
1. Menganalisis Tantangan Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah
2. Menganalisis Landasan Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah
3. Menganalisis Aspek Pengembangan Kurikulum PAI di sekolah
4. Menganalisis Pendekatan Multidisipliner sebagai alternatif
Pengembangan PAI
Pokok-pokok Materi
a. Tantangan Pengebangan Kurikulum PAI di Sekolah
b. Landasan Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah
c. Aspek Pengembangan Kurikulum PAI di sekolah
d. Pendekatan Multidisipliner sebagai Alternatif Pengembangan PAI

80
Uraian Materi
Saudara-saudara sekalian, pada bahan kegiatan belaja keempat ini akan
dibahas tiga materi pokok tentang Pengembangan Kurikulum Pendidikan
Agama Islam (PAI) di Sekolah. Pada bagian pertama akan dibahas tentang
tantangan pengembangan Kurilukum PAI di Sekolah. Pada bagian kedua
akan dibahas tentang Landasan pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah.
Pada bagian ketiga akan dibahas Aspek pengembangan Kurikulum PAI di
Sekolah. Pada bagian keempat akan dibahas Pendekatan Multidisipliner
sebagai alternatif Pengembangan PAI. Kepada saudara, diharapkan untuk
dapat membaca dan memahami materi kegiatan belajar dengan sebaik-
baiknya baik agar tujuan pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai
secara optimal.
1. Tantangan Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah
Pendidikan Agama Islam sangat dibutuhkan bagi umat Islam, agar
dapat memahami secara benar ajaran Islam sebagai agama yang sempurna
(kamil), kesempurnaan ajaran Islam yang dipelajari secara integral (kaffah)
diharapkan dapat meningkatkan kualitas umat Islam dalam keseluruhan
aspek kehidupanya. Agar ajaran Islam dapat dipelajari secara efektif dan
efisien, maka perlu dikembangkan kurikulum pendidikan agama Islam
sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman.
Selain adanya ketentuan legal-formal yang mengharuskan adanya
perubahan dan penyempurnaan kurikulum, masyarakat Indonesia dan
masyarakat dunia mengalami perubahan yang sangat cepat dan dalam
dimensi yang beragam terkait dengan kehidupan individual, masyarakat,
bangsa, dan umat manusia. Fenomena globalisasi yang membuka batas-
batas fisik (teritorial) negara dan bangsa dipertajam dan dipercepat oleh
kemajuan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi.
Kemajuan ilmu pengetahuan memperkuat dampak globalisasi dan
kemajuan teknologi tersebut. Perubahan yang terjadi dalam dua dasawarsa

81
terakhir mengalahkan kecepatan dan dimensi perubahan yang terjadi
dalam kehidupan manusia di abad-abad sebelumnya. Perubahan tersebut
telah menjangkau kehidupan manusia dari tingkat global, nasional, dan
regional serta dari kehidupan sebagai umat manusia, warga negara,
anggota masyarakat dan pribadi. Perubahan dan penyempurnaan tersebut
menjadi penting seiring dengan kontinuitas segala kemungkinan yang
terjadi berkaitan dengan perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni budaya pada tataran lokal, nasional, regional, dan global
di masa depan.
Jenlink (1995) mengungkapkan bahwa “the future will be dramatically
different from the present, and it is already calling us into preparation for major
changes being brought to life by foces of change that will requireus to transcend
current mindsets of the world wek now….” masa depan akan berbeda secara
dramatis dari masa sekarang, dan itu akan menuntut untuk dipersiapkan
antisipasi terjadinya perubahan penting pada kehidupan. Dengan
terjadinya perubahan tersebut diperlukan usaha untuk mengalihkan pola
pikir dalam menatap tentang dunia yang begitu cepat mengalami
perubahan hingga saat ini dan yang akan datang. Pendidikan yang dalam
hal ini kurikulum sebagai the heart of education (Klein, 1992) harus
mempersiapkan generasi bangsa yang mampu hidup dan berperan aktif
dalam kehidupan lokal, nasional, dan internasional yang mengalami
perubahan dengan cepat tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Oliva
(1982), kurikulum perlu memperhatikan perubahan yang terjadi di
masyarakat, ilmu pengetahuan, kepemimpinan, dan politik. Perubahan
yang dikemukakan di atas memberikan landasan kuat bagi pengembangan
suatu kurikulum PAI di lingkungan sekolah.
Perubahan yang demikian cepat dan masif tersebut meniscayakan
adanya penyempurnaan kurikulum sebagai respons terhadap perubahan
tersebut. Disebut niscaya karena perubahan yang terjadi harus direspons

82
untuk menjadikan Pendidikan Agama Islam tetap up to date, mampu
merespons tantangan zaman. Tidak hanya itu, penyempurnaan kurikulum
Pendidikan Agama Islam harus diorientasikan pada upaya-upaya
perbaikan yang berkesinambungan (continuous improvement) sehingga
Pendidikan Agama Islam memberikan dampak bagi kehidupan siswa di
sekolah.
Dengan adanya dokumen kurikulum Pendidikan Agama Islam ini,
Kementerian Agama telah berupaya untuk mentransformasikan pemikiran
yang menjembatani segala sesuatu yang telah ada saat ini (what It is) dengan
segala sesuatu yang seharusnya ada di (what should be next) dalam suatu
rancangan kurikulum yang fungsional dan aktual dalam kehidupan.
Sesuai dengan arah kebijakan dan penugasan secara khusus,
selanjutnya Direktorat Jenderal Pendidikan Islam menjabarkan aspek yang
berkenaan dengan pengembangan kurikulum dan penguatan pelaksanaan
kurikulum satuan pendidikan dengan melakukan rekonseptualisasi ide
kurikulum, desain kurikulum, implementasi kurikulum, dan evaluasi
kurikulum.
Rekonseptualisasi ide kurikulum merupakan penataan ulang
pemikiran teoritik kurikulum berbasis kompetensi. Teori mengenai
kompetensi dan kurikulum berbasis kompetensi diarahkan kepada pikiran
pokok bahwa konten kurikulum adalah kompetensi, dan kompetensi
diartikan sebagai kemampuan melakukan sesuatu (ability to perform)
berdasarkan sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Hal tersebut
terumuskan dalam Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD).
Ketetapan yang tercantum dalam Rencana Strategis Kementerian
Agama memperlihatkan arah yang jelas bahwa kurikulum baru yang
dikembangkan perlu memperdulikan aspek-aspek potensi manusia yang
terkait dengan domain sikap untuk pengembangan soft-skills yang

83
seimbang dengan hard-skills, seiring dengan ruh Pendidikan Agama Islam
itu sendiri.
Desain pengembangan kurikulum baru harus didasarkan pada
pengertian bahwa kurikulum adalah suatu pola pendidikan yang utuh
untuk jenjang pendidikan tertentu. Desain ini menempatkan mata
pelajaran PAI sebagai organisasi konten kurikulum yang terbuka dan
saling mempengaruhi. Desain kurikulum yang akan digunakan untuk
mengembangkan kurikulum baru harus mampu mengaitkan antar konten
kurikulum baik yang bersifat horizontal maupun vertikal.
Selanjutnya dalam pengembangan kurikulum keseluruhan dimensi
kurikulum, yaitu ide, desain, implementasi dan evaluasi kurikulum,
direncanakan dalam satu kesatuan. Hal inilah sebenarnya yang menjadi inti
dari pengembangan kurikulum (curriculum development).
Pengembangan kurikulum perlu dilakukan karena adanya berbagai
tantangan yang dihadapi, baik tantangan internal maupun tantangan
eksternal. Di samping itu, dalam menghadapi tuntutan perkembangan
zaman, perlu adanya penyempurnaan pola pikir dan penguatan tata kelola
kurikulum serta pendalaman dan perluasan materi. Selain itu yang tidak
kalah pentingnya adalah perlunya penguatan proses pembelajaran dan
penyesuaian beban belajar agar dapat menjamin kesesuaian antara apa
yang diinginkan dengan apa yang dihasilkan.

2. Landasan Pengembangan Kurikulum PAI 2013

a. Landasan Filosofis

Landasan filosofis dalam pengembangan kurikulum menentukan kualitas


peserta didik yang akan dicapai kurikulum, sumber dan isi dari kurikulum,
proses pembelajaran, posisi peserta didik, penilaian hasil belajar, hubungan
peserta didik dengan masyarakat dan lingkungan alam di sekitarnya.

84
Kurikulum PAI 2013 dikembangkan dengan landasan filosofis yang
memberikan dasar bagi pengembangan seluruh potensi peserta didik
menjadi manusia Indonesia berkualitas yang tercantum dalam tujuan
pendidikan nasional.
Pada dasarnya tidak ada satupun filosofi pendidikan yang dapat
digunakan secara spesifik untuk pengembangan kurikulum yang dapat
menghasilkan manusia yang berkualitas. Berdasarkan hal tersebut,
Kurikulum PAI 2013 dikembangkan menggunakan filosofi sebagai berikut:
1) Pendidikan berakar pada budaya bangsa untuk membangun
kehidupan bangsa masa kini dan masa mendatang. Pandangan ini
menjadikan Kurikulum PAI 2013 dikembangkan berdasarkan
budaya bangsa Indonesia yang beragam, diarahkan untuk
membangun kehidupan masa kini, dan untuk membangun dasar
bagi kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan.
Mempersiapkan peserta didik untuk kehidupan masa depan selalu
menjadi kepedulian kurikulum. Hal ini mengandung makna bahwa
kurikulum adalah rancangan pendidikan untuk mempersiapkan
kehidupan generasi muda bangsa. Dengan demikian, tugas
mempersiapkan generasi muda bangsa menjadi tugas utama suatu
kurikulum. Untuk mempersiapkan kehidupan masa kini dan masa
depan peserta didik, Kurikulum PAI 2013 mengembangkan
pengalaman belajar yang memberikan kesempatan luas bagi peserta
didik untuk menguasai kompetensi yang diperlukan bagi kehidupan
di masa kini dan masa depan, dan pada waktu bersamaan tetap
mengembangkan kemampuan mereka sebagai pewaris budaya
bangsa dan orang yang peduli terhadap permasalahan masyarakat
dan bangsa masa kini.
2) Peserta didik adalah pewaris budaya bangsa yang kreatif. Menurut
pandangan filosofi ini, prestasi bangsa di berbagai bidang kehidupan

85
di masa lampau adalah sesuatu yang harus termuat dalam isi
kurikulum untuk dipelajari peserta didik. Proses pendidikan adalah
suatu proses yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensi dirinya menjadi kemampuan berpikir
rasional dan kecemerlangan akademik dengan memberikan makna
terhadap apa yang dilihat, didengar, dibaca, dipelajari dari warisan
budaya berdasarkan makna yang ditentukan oleh lensa budayanya
dan sesuai dengan tingkat kematangan psikologis serta kematangan
fisik peserta didik. Selain mengembangkan kemampuan berpikir
rasional dan cemerlang dalam akademik, Kurikulum PAI 2013
memposisikan keunggulan budaya tersebut dipelajari untuk
menimbulkan rasa bangga, diaplikasikan dan dimanifestasikan dalam
kehidupan pribadi, dalam interaksi sosial di masyarakat sekitarnya,
dan dalam kehidupan berbangsa masa kini.
3) Pendidikan ditujukan untuk mengembangkan kecerdasan intelektual
dan kecemerlangan akademik melalui pendidikan disiplin ilmu.
Filosofi ini menentukan bahwa isi kurikulum adalah disiplin ilmu dan
pembelajaran adalah pembelajaran disiplin ilmu (essentialism). Filosofi
ini mewajibkan kurikulum memiliki nama mata pelajaran yang sama
dengan nama disiplin ilmu, selalu bertujuan untuk mengembangkan
kemampuan intelektual dan kecemerlangan akademik.
4) Pendidikan untuk membangun kehidupan masa kini dan masa depan
yang lebih baik dari masa lalu dengan berbagai kemampuan
intelektual, kemampuan berkomunikasi, sikap sosial, kepedulian, dan
berpartisipasi untuk membangun kehidupan masyarakat dan bangsa
yang lebih baik (experimentalism and social reconstructionism). Dengan
filosofi ini, Kurikulum PAI 2013 bermaksud untuk mengembangkan
potensi peserta didik menjadi kemampuan dalam berpikir reflektif

86
bagi penyelesaian masalah sosial di masyarakat, dan untuk
membangun kehidupan masyarakat demokratis yang lebih baik.
Dengan demikian, Kurikulum PAI 2013 menggunakan filosofi
sebagaimana di atas dalam mengembangkan kehidupan individu peserta
didik dalam beragama, seni, kreativitas, berkomunikasi, nilai dan berbagai
dimensi inteligensi yang sesuai dengan diri seorang peserta didik dan
diperlukan masyarakat, bangsa dan umat manusia.

b. Landasan Teoritis

Kurikulum PAI 2013 dikembangkan atas teori “pendidikan


berdasarkan standar” (standard based education), dan teori kurikulum
berbasis kompetensi (competency-based curriculum). Pendidikan berdasarkan
standar menetapkan adanya standar nasional sebagai kualitas minimal
warganegara yang dirinci menjadi standar isi, standar proses, standar
kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan
standar penilaian pendidikan. Kurikulum berbasis kompetensi dirancang
untuk memberikan pengalaman belajar seluas luasnya bagi peserta didik
dalam mengembangkan kemampuan untuk bersikap, berpengetahuan,
berketerampilan, dan bertindak.
Kurikulum PAI 2013 menganut: (1) pembelanjaan yang dilakukan
guru (taught curriculum) dalam bentuk proses yang dikembangkan berupa
kegiatan pembelajaran di sekolah, kelas, dan masyarakat; dan (2)
pengalaman belajar langsung peserta didik (learned-curriculum) sesuai
dengan latar belakang, karakteristik, dan kemampuan awal peserta didik.
Pengalaman belajar langsung individual peserta didik menjadi hasil belajar
bagi dirinya, sedangkan hasil belajar seluruh peserta didik menjadi hasil
kurikulum.

c. Landasan Yuridis

87
Landasan yuridis Kurikulum PAI 2013 adalah:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional;
3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional, beserta segala ketentuan
yang dituangkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional; dan
4) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan.

3. Arah Pengembangan Kurikulum PAI di Sekolah


Pembahasan tentang pengembangan kurikulum Pendidikan Agama
Islam, harus berangkat dari identifikasi berbagai isu-isu penting yang
berkenaan dengan substansi PAI. Hal ini dimaksudkan agar pembahasan
tentang pengembangan kurikulum PAI nantinya dapat tepat sasaran. Jika
dianalisis secara mendalam eksistensi PAI tampak memiliki background
yang sangat substantif, baik dari tataran ideologis-filosofis hingga ke
tataran praktis metodologis. Lebih lanjut, kajian arah pengembangan
kurikulum PAI ini dapat dipilah ke dalam Pengembangan PAI aspek
Ideologis-Filosofis PAI, Pengembangan PAI aspek Budaya Sekolah,
Pengembangan PAI aspek Kurikuler.

a. Pengembangan aspek Ideologis-Filosofis PAI

Pendidikan Agama Islam sesungguhnya menghadapi permasalahan


yang sangat serius dalam tataran filosofis, karena wacana pengetahuan dan

88
teknologi saat ini berjalan tanpa kendali agama. Maka pengetahuan dan
teknologi tak jarang berkembang menjadi problematika yang sedikit
banyak menyulitkan penganut agama itu sendiri dalam hal ini Muslim.
Rene Descartes, filosof rasionalisme, pioneer peradaban modern, menolak
segala yang disebut sebagai kebenaran yang tidak rasional, tidak bisa
diverifikasi. Jika ini yang melandasi science dan teknologi maka secara pasti
agama akan tersisihkan untuk tidak disebut terbuang. Realitas ini mungkin
tidak menjadi masalah bagi Barat yang memang membatasi peran agama
dan iptek, namun bagaimana dengan kita sebagai Muslim?
Pendidikan Agama Islam secara ideal diharapkan mampu
menjawab deskralisasi dan eksternalisasi dinamika science dan teknologi
dari titik esensial transenden. Proses desakralisasi dan eksternalisasi ini
terjadi sejak awal transformasi science dan teknologi dari intelektual dan
filosof Muslim kepada intelektual dan filosof Barat di Eropa, dengan
menggunting nilai-nilai religiusitas sebagai akibat permusuhan intelektual
dan gereja.
Dalam hal ini Sayed Husein Nasr, sebagaimana dikutip oleh Dr. C.
A. Qadir (1991), menegaskan bahwa: “Pengetahuan dalam visi Islam
mempunyai hubungan yang mendalam dengan realitas yang pokok dan
primordial yang merupakan Yang Kudus dan sumber dari segala yang
kudus. Hanya saja ketika pemikiran Avicena (Ibn Sina) (980-1037 M) dan
Averoes (Ibn Rusyd) (1126-1198 M) memasuki Eropa dan memberi inspirasi
dan dorongan, karya-karya mereka diperkenalkan dalam keadaan sudah
dipotong-potong sehingga kehilangan kandungan-kandungan
spiritualnya. Sebagai akibatnya pengetahuan hampir sepenuhnya
mengalami eksternalisasi dan desakralisasi, terutama di kalangan umat
manusia yang sudah mengalami perubahan karena proses modernisasi.
Sehingga menjadi wajar jika tidak kita temukan lagi kata Tuhan
kecuali hanya sekedar nama, dalam wacana science dan teknologi tersebut.

89
Maka menjadi sangat bisa dipahami jika pendidikan ini berdampak pada
kegersangan pada aspek religiusitas. Celakanya hari ini kita tidak lagi bisa
beranjak dari sekedar “taqlid” terhadap dinamika science dan teknologi dari
Barat tersebut. Inilah tantangan yang bersifat idiologis filosofis yang harus
diselesaikan oleh Pendidikan Agama Islam.
Tantangan tersebut dicoba dijawab dengan kiat islamisasi science
sebagaimana digagas oleh Ismail Raji Alfaruqi, Nasr, Najib al-Attas, Osman
Bakar dll. Semangat islamisasi science berangkat dari upaya untuk
mengintegrasi kembali nilai-nilai religiusitas Islam dalam wacana science
dan teknologi.
Memang benar bahwa dalam wacana Islam dikenal dualisme
disiplin ilmu pengetahuan yakni ilmu agama (ilmu syar’iy) dan ilmu umum
(ilmu ghair syar’iy). Al-Ghazali misalnya dalam Ihya` ‘Ulum al-Din dan Al-
Risalah al-Ladunniyah dengan jelas memaparkan strukturalisasi/
klasifikasi yang didasarkan pada dualisme tersebut. Namun demikian
dualisme itu dipilih tidak karena pilihan filosofis lebih karena kebutuhan
praktis. Dualisme merupakan kemestian untuk mempermudah penyajian
dan pemahaman wacana pada peserta didik. Secara hakiki tampaknya
tidak dikenal adanya pemisahan ilmu agama dan umum itu. Al-Ghazali
dalam hal ini menegaskan bahwa:
‫واكثر العلوم الشرعية عقلية عند عالمها واكثر العلوم العقلية شرعية عند عارفها‬
(Mayoritas ilmu agama itu rasional bagi mereka yang mengerti, dan
mayoritas ilmu umum itu agamis (syar’iyyah) bagi yang mengetahui).
Demikianlah dalam perspektif Islam, semua bidang ilmu
pengetahuan kecuali ilmu-ilmu berbahya seperti ilmu sihir yang
merugikan dan ilmu astrologi yang menyesatkan memiliki kaitan yang
niscaya dengan Allah sebagai wajib al-wujud yang menjadi sebab pertama
dan utama bagi segala sesuatu (maujudat).

90
Kesadaran bahwa segala ilmu pengetahuan adalah dari Allah dan
semestinya diabdikan untuk Allah itu akan sangat membantu dalam
pembentukan suasana yang Islami di sebuah institusi pendidikan. Kondisi
tersebut pada gilirannya akan dapat berpengaruh langsung dalam
pembentukan kepribadian peserta didik yang berwawasan luas dengan
kesadaran religiusitas yang tinggi.

2) Pengembangan PAI Aspek Budaya Religius Sekolah

Jauh panggang dari api, jika kita mengharapkan terwujudnya


kepribadian yang Islami dengan tanpa didukung oleh suasana sekolah
yang kondusif. Selama Pendidikan Agama Islam hanya dianggap sebagai
pelengkap, terlebih jika paradigma dualisme disiplin ilmu mendominasi
secara buta, maka jadilah guru Agama Islam seperti berteriak di tengah
padang pasir. Capek dan melelahkan, dengan hasil yang tidak akan pernah
menyentuh tataran afektif. Bagaimana mungkin bisa berhasil guru Agama
Islam dalam membiasakan peserta didik menutup aurat, misalnya,
sementara guru lain untuk pembinanaan jasmaninya mengharuskan
membukanya? Bagaimana mungkin keyakinan itu terbentuk jika ketika
guru Agama Islam menjelaskan segala sesuatu dari Allah, sedang biologi
mengajarkan teori Darwin secara sekuler? Guru agama serius menegaskan
bahwa segala sesuatu itu berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya
sebagai sunnatullah, sementara para saintis hanya memaknai fenomena itu
sebatas hukum alam (natureal of law).
Berdasarkan konsep di atas, masalah penciptaan kondisi yang
kondusif ini mutlak diperlukan sebelum berbicara tentang pembelajaran
PAI. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kontradiksi nilai yang terjadi
di sekolah tersebut. Jika ini terjadi maka akan secara serius dapat
mengakibatkan splite personality, sebuah pribadi yang pecah, ambivalent.
Sekolah dituntut untuk menyediakan kondisi kondusif (Islami) jika benar-

91
benar menginginkan pendidikan Agama Islam maksimal di lembaga
tersebut. Sebagai konsekuensinya sekolah semestinya terus berupaya
menciptakan suasana yang religius serta menyediakan sarana ibadah
secara memadai. Harus dibiasakan bertegur sapa dengan salam, berjabat
tangan, menghormati guru, menghargai dan mencintai kawan, kalau
mungkin diadakan sholat berjamaah, shalat Jum'at. Yang lebih penting dari
itu semua, sekolah harus dapat menyatukan visi dan misi iptek-imtaq itu
pada segala unsur pendukung pendidikan di sekolah itu, baik pada tenaga
edukatif, karyawan, maupun peserta pendidikan di institusi tersebut.
Tentu saja jika sekolah telah berbenah dengan menyediakan suana
yang kondusif bagi internalisasi nilai-nilai agama, dua dari tripusat
pendidikan lainnya yang merupakan kategori pendidikan luar sekolah,
yaitu keluarga dan masyarakat diharapkan juga dapat mengimbangi. Akan
sangat janggal jika guru Agama Islam mengajarkan pada peserta didiknya
untuk membiasakan sholat shubuh, sementara orang tuanya biasa bangun
pukul 06.00 WIB. Akan sangat kesulitan bagi guru agama untuk
menjadikan peserta didiknya lancar membaca al-Qur’an dengan fasih dan
benar tajwid-nya, tanpa dukungan keluarga dan masyarakat. Dalam hal ini
akan sangat baik jika dapat ditunjang dengan pembelajaran al-Qur’an
secara intensif baik di rumah seperti privat jika orang tua tidak sanggup
mengerjakannya sendiri atau di masyarakat dengan bentuk pendidikan
diniyahnya.
Jika kondisi dan suasana kondusif seperti di atas bisa diwujudkan,
maka pendidikan Agama Islam sebgai pioneer transfer ilmu agama dan
pembentukan nilai tidak punya alasan lagi untuk memaksimalisasikan
pendidikan agamanya.

92
3) Pengembangan Aspek Kompetensi PAI
Jika pemikiran taksonomi Bloom dicermati dari sudut wacana Islam,
maka tampak ada hal sangat penting yang harus dipertimbangkan. Dalam
wacana Bloom terlihat bahwa manusia terdiri atas aspek jasmani dan
rohani, di mana tampilan jasmaniah dilihat melalui aspek psikomotorik
dan tampilan ruhani diamati dari aspek kognitif dan afektif. Pada dasarnya
dalam wacana Islam, manusia juga dipersepsi terdiri atas aspek jasmani
dan ruhani. Tampilan jasmani akan dapat juga terlihat dari ranah
psikomotorik. Sedangkan tampilan ruhani semestinya dapat terlihat dari
‘ranah’ al-Aql, al-Nafs dan al-Qalb. Masalahnya adalah apakah semua
fenomena ranah al-‘Aql sepenuhnya dapat disamakan dengan ranah
kognitif? Apakah dapat dibenarkan bahwa afektif itu disamakan dengan al-
nafs dan al-qalb? Jika tidak, sampai batas-batas mana taksonomi Bloom
dipakai? Tentu saja hal ini membutuhkan kajian lebih lanjut secara serius.
Untuk melihat lebih jelasnya perbedaan wacana tentang kualitas
jiwa di bawah ini ditampilkan skematisasi daya manusia secara sederhana
antara perspektif Bloom dengan pemikir Muslim.
Gb.1 Skematisasi manusia dalam perspektif Bloom
Manusia Jasmani Psikomotorik
Ruhani Kognitif
Afektif
Gb.2 Skematisasi manusia dalam perspektif Islam
Manusia Jasmani Psikomotorik
Ruhani Akal (al-Aql) ---- Kognitif
Nafsu (al-Nafs)
Afektif (?)
Hati (al-Qalb)
Yang membuat praktisi pendidikan Islam lebih mengenal pola
Bloom, dari pada pola kualitas jiwa yang telah ada dalam wacana Islam
adalah karena ranah atau daya-daya jiwa dalam pemikiran Muslim

93
tersebut mengalami stagnasi. Hingga kini tampaknya tidak ada pemikir
pendidikan Islam yang mencoba mem-break down dalam kata-kata
operasional. Praktisi terjebak dalam rutinitas yang membuat mereka tidak
terlalu berfikir banyak tentang ada tidaknya fakultas jiwa yang tidak
tergarap dengan pengambilan pola Bloom itu.
Dalam kondisi seperti ini yang terpenting untuk segera disadari dan
selanjutnya diharapkan menjadi landasan dalam proses pembelajaran kita
adalah adanya sebuah kesadaran bahwa pola Bloom saja tidak mewadahi
untuk membentuk peserta didik yang sarat nilai. Perlu disadari juga bahwa
dalam wacana Islam terutama filsafat dan tasawuf dinamika akal (kognitif)
itu tidak hanya sampai pada batas analisis saja. Tetapi, menurut al-Farabi
kemampuan akal itu bisa sampai pada level mustafad (acquired intellect),
dimana akal dimungkinkan dapat berhubungan dengan malaikat (akal
sepuluh). Sehingga dapat mencapai pengetahuan intuitif. Bahkan al-
Ghazali menegaskan bahwa banyak membaca sehingga dapat membuat
abstraksi dan menemukan kesimpulan-kesimpulan universal adalah
bagian dari metode untuk mencapai ilmu ladunniy.
Mengenai ranah al-Nafs, haruslah disadari sepenuhnya bahwa nature
nafsu itu adalah senantiasa menyeru kepada perbuatan buruk. Allah dalam
al-Qur’an menyatakan:
‫وما ابرئ نفسي ان النفس ال مارة باالسؤ اال ما رحم ربي ان ربي غفور رحيم‬
(Dan aku tidak (sanggup) membebaskan diriku (dari kesalahan) karena
sesungguhnya nafsu itu senantisa menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang
dirahmati oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang). Qs. Yusuf (12): 53.
Dinamika nafsu dalam wacana Islam bergerak dari titik negatif
untuk diusahakan sekuat mungkin ke arah positif. Secara sederhana
graduasi itu dipilah menjadi tiga bagian nafsu ammarah bi al-su`, lawwamah,
dan nafsu muthma’innah. Jika nafsu nafsu ammarah bi al-su` senantiasa

94
menyeru pada keburukan, maka nafsu lawwamah (nafsu yang mencerca)
berada dalam posisi transisi antar buruk dan baik. Seseorang yang dalam
posisi ini ingin berada selalu dalam kebaikan namun ia tidak kuasa
menghalau nafsu itu saat berkuasa. Oleh karena itu ia akan mencerca
dirinya sendiri selepas melaksanakan keburukan itu. Sedangkan nafsu
muthma’innah adalah nafsu yang telah tenteram, konsisten dalam
kebenaran.
Secara lebih rinci dinamika nafsu tersebut oleh para pemikir Muslim
dirinci secara hirarkis sebagai berikut: nafsu ammarah (ila Allah), lawwamah
(li Allah), mulhamah (‘ala Allah), radliyah (fiy Allah), mardliyah (‘an Allah), dan
terakhir adalah nafsu kamilah (bi Allah).
Jika proses pembelajaran itu ingin berhasil dalam penanaman nilai-
nilai religiusitas hendaknya diantisipasi dan terus dikendalikan kondisi
nafsu peserta didik. Karena keberanian kita untuk menganggap remeh
masalah ini dapat berakibat fatal pada perilaku mereka. Siapa pun mereka,
dalam perspektif ini semua akan bergerak dari nafsu yang cenderung
negatif, maka selayaknya guru mencari cara untuk mengatasinya. Tawuran
pelajar yang tak jarang berakhir dengan kematian, misalnya, adalah akibat
gagalnya pengendalian nafsu amarah.
Adapun al-Qalb adalah ranah yang paling ‘halus’ paling dalam yang
memiliki fungsi untuk mengadakan kontak spiritual dengan Yang
Transenden. Jika nafsu berhubungan dengan hal-hal yang bersifat materi,
dan akal berhubungan dengan masalah logika dan fenomena, maka hati
berhubungan dengan dunia spiritual. Kalau nafsu memiliki nature negatif,
akal memiliki nature netral, maka hati memiliki nature positif. Karena hati
adalah tempat hidayah Allah. Hati inilah yang dapat menyerap melalui
dzauq- segenap realitas metafisika melalui proses tadzakkur dan tafakkur.
Oleh karenanya al-Ghazali menjelaskan bahwa cara lain untuk
mendapatkan ilmu ladunniy adalah dengan riyadlah dan tafakkur. Hal ini

95
dimungkinkan dalam Islam karena ilmu dalam perspektif Islam terbagi
atas dua bentuk yakni ilmu empiris-rasional (ilm kasbiy) dan ilmu yang
datang langsung dari Allah (ilm ladunniy).
Syekh Waqi’ juga telah menjawab keluhan Imam Syafi'i tentang
berkurangnya daya ingatan itu dengan syair sebagai berikut:
‫فان العلم نور من اله ونور هللا ال ىهدع لعا ي‬
(Karena sesungguhnya ilmu itu adalah ‘cahaya’ dan ‘Cahaya Allah’ tidak
akan menerangi para pendosa).

Dalam pandangan Islam proses pembelajaran haruslah dapat


mengolah, mereka daya sedemikian rupa sehingga nafsu dapat dikuasai
oleh akal dengan pertimbangan hati. Kondisi pribadi yang harmonis itu
digambarkan al-Ghazali, secara metaforis sebagai berikut:
Jiwa itu laksana sebuah negeri. Wilayahnya adalah dua tangan, kaki
dan seluruh anggota tubuh lainnya. Nafsu seksual (syahwat) adalah
tuannya dan nafsu agresi (ghadlab) adalah penjaganya (polisi). Al-Qalb
adalah raja dan al-Aql adalah perdana menterinya. Sang raja memerintah
mereka semua hingga kokoh kekuasaan dan posisinya. Karena tuan tanah
atas wilayah negeri itu adalah syahwat yang memiliki karakter pendusta,
suka mementingkan hal yang remeh, dan berperilaku rendah. Penjaganya
adalah ghadab yang selalu berbuat jahat, pembunuh dan sekaligus pencuri.
Jika sang raja membiarkan situasi negara ditangan mereka (nafsu seks dan
agresi), maka negara akan hancur dan bangkrut. Merupakan suatu
keharusan bagi sang raja untuk senantiasa bermusyawarah dengan
perdana menteri dan menjadikan tuan tanah dan polisi itu ditangan
perdana menteri. Jika hal ini dapat diwujudkan, niscaya akan kokohlah
kekuasaan dan makmurlah negeri. Demikian juga hati, harus selalu
bermusyawarah dengan akal dan menjadikan nafsu syahwat dan ghadlab di
bawah kendali perintah akal. Sehingga mantap kondisi jiwa dan mampu
mencapai sebab kebahagiaan dari ma’rifat al-hadlrah al-ilahiyyah. Namun

96
bila akal diletakkan di bawah kekuasaan agresi dan seks, maka hancurlah
jiwanya. Sedangkan hatinya akan bersedih di akhirat nanti.
Dari pemaparan di atas hendaklah menjadi pertimbangkan pendidik
dalam proses pembelajaran yang seharusnya mempertimbangkan secara
serius akan adanya keharmonisan tata ruhaniyah dari peserta didik. Hanya
dengan meletakkan hati sebagai raja dan akal sebagai pemegang kendali
segala keinginan seksual dan agresivitas sajalah, seorang peserta didik itu
akan menjadi baik dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya baik secara
prestasi kognitif semata.
Perlu disadari juga bahwa pendidikan Agama Islam sebagaimana
naturenya harus lebih diarahkan untuk sampai pada pada proses
internalisasi nilai menjadi sikap dan kepribadian peserta didik. Walaupun
kita sadari sepenuhnya bahwa proses internalisasi itu haruslah didahului
oleh proses transfer of knowledge, transfer of competences. Sebagaimana
dirasakan bersama bahwa kecenderungan pendidikan Agama Islam hari
ini dominan kognitif.
Bahkan tak jarang ditemui bentuk-bentuk perilaku peserta didik
yang bertentangan dengan teoritis yang mereka kuasai. Seperti telah
dijelaskan di atas, bahwa pengajaran agama terus dilaksanakan, akan tetapi
tawuran jalan terus. Ini adalah akibat terlantarnya fakultas al-nafs dan al-
qalb dalam proses pembelajaran PAI khususnya. Ketika kualitas
keberagamaan peserta didik hanya diukur dari seberapa mampu dia
menghafal apa yang diberikan oleh guru. Yang terjadi adalah
pendangkalan dari realitas beragama itu sendiri. Maka harus dicarikan
solusi untuk membuat pola pengajaran yang terintegratif, yang mampu
menampilkan agama dalam tataran teoritis (kognitif) hingga tataran
implementatif (afektif).

97
d. Pendekatan Multidisipliner sebagai Alternatif Pengembangan
PAI

Masalah terpenting yang ada dalam pembahasan kurikulum


menyangkut masalah kondisi kurikulum itu sendiri yang sudah semestinya
diadakan inovasi atau bahkan reformasi secara berkala guna disesuaikan
dengan dinamika wacana dan masanya. Seperti adanya keluhan akan sarat
beban yang tentunya harus dikaji ulang secara serius, apakah memang
sarat beban atau bahkan terlalu ringan? Analisis terhadap kurikulum PAI
tentu dengan tetap mengedepankan pentingnya pertimbangan faktor
psikologis siswa, esensial dan fungsional dalam menentukan scope, dan
sequence, dengan segenap keterbatasan yang ada.
Dari sudut pendekatan tampak jelas bahwa kurikulum PAI selama
ini cenderung hanya menggunakan pendekatan yang dominan rasional.
Problematika kurikulum ini sangat krusial karena inilah aturan main yang
harus diterapkan dalam proses pendidikan. Maka jika platformnya
bermasalah tentu akan sangat kesulitan dalam implementasi proses belajar-
mengajarnya. Masalah yang terkait dengan kurikulum tersebut haruslah
diselesaikan dengan pembahasan serius tentangnya yang dihadiri oleh
para pakar dengan tetap memperhatikan praktisi dan “pasar”.
Hal yang juga sangat utopis adalah harapan kita untuk
menanamkan secara tuntas nilai-nilai Agama Islam hanya dengan empat
jam tatap muka setiap minggunya. Maka sebaiknya standarisasi
internalisasi nilai religiusitas itu terpaksa harus dikaji ulang jika jam
pengajaran PAI tidak bisa lagi ditambah. PAI dengan kondisi yang
demikian mungkin hanya mampu memenuhi kompetensi dasar Agama
Islam saja. Gejala semacam ini tampaknya telah disadari dan tengah
dibenahi oleh para ahli kurikulum yang ada.

98
Pendekatan yang dibutuhkan dalam mengkaji bidang ilmu
Pendidikan Agama Islam sesuai dengan spirit keilmuan Islam yang holistik
dan universal, adalah pendekatan multidisipliner, yaitu penggabungan
beberapa disiplin untuk bersama-sama mengatasi masalah tertentu
(Prentice, 1990). Pendekatan multidisipliner (multidisciplinary approach)
ialah pendekatan dalam pemecahan suatu masalah dengan menggunakan
tinjauan berbagai sudut pandang banyak ilmu yang relevan. Ilmu-ilmu
yang relevan digunakan bisa dalam rumpun Ilmu-Ilmu Kealaman (IIK),
rumpun Ilmu Ilmu Sosial (IIS), atau rumpun Ilmu Ilmu Humaniora (IIH)
secara alternatif.
Penggunaan ilmu-ilmu dalam pemecahan suatu masalah melalui
pendekatan ini dengan tegas tersurat dikemukakan dalam suatu
pembahasan atau uraian termasuk dalam setiap urain sub-sub uraiannya
bila pembahasan atau uraian itu terdiri atas sub-sub uraian, disertai
kontribusinya masing masing secara tegas bagi pencarian jalan keluar dari
masalah yang dihadapi. Ciri pokok atau kata kunci dari pendekatan
multidisipliner ini adalah multi (banyak ilmu dalam rumpun ilmu yang
sama). upaya untuk memadukan berbagai disiplin keilmuan dengan
memposisikan satu disiplin sebagai pendekatan dan lainnya sebagai
sasaran kajian. Melalui pendekatan, maka ilmu pengetahuan akan
berkembang dengan cepat karena dimungkinkan tumbuhnya disiplin-
disiplin baru yang merupakan gabungan antara dua ilmu pengetahuan.
Inilah yang secara umum disebut sebagai multi-disciplinarity (multi-
disiplin). (http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=754)
Sebagaimana dikemukakan di kegiatan belajar sebelumnya bahwa
bidang ilmu Pendidikan Agama Islam terdiri dari tiga dimensi besar, yaitu
aspek dasar ajaran Islam (wahyu dan alam), aspek pokok-pokok ajaran
Islam (iman, islam, dan ihsan), dan aspek pendidikan Islam (Sejarah
Pendidikan Islam, Filsafat Pendidikan Islam, Ilmu Pendidikan Islam,

99
Psikologi Pendidikan Islam, Sosiologi Pendidikan Islam, Antropologi
Pendidikan Islam, Manajemen Pendidikan Islam). Penerapan paradigma
multidisipliner dalam mengkaji Pendidikan Agama Islam berarti
bagaimana pendidikan Agama Islam dikaji oleh berbagai sudut pandang
keilmuan tersebut. PAI merupakan bidang ilmu pokok yang menjadi satu
komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan bidang ilmu lain yang
bertujuan untuk pengembangan moral dan kepribadian peserta didik.
Maka, semua bidang ilmu yang memiliki tujuan tersebut harus seiring dan
sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai oleh bidang ilmu PAI.

A. Contoh Soal HOTS Materi KB

Ada empat (4) tipe soal HOTS bentuk pilihan ganda (PG), yaitu tipe:
1) Pilihan Ganda Biasa, 2) Pilihan Ganda Komplek, 3) Pilihan Ganda
Kasuistik, dan 4) Pilihan Ganda Asosiatif. Pada KB1 diberikan contoh soal
PG tipe 1; pada KB2 diberikan contoh soal PG tipe 2; pada KB3 diberikan
contoh soal PG tipe 3; dan pada KB4 diberikan contoh soal PG tipe 4. Tujuan
diberikannya contoh soal ini adalah agar mahasiswa dapat mempelajari
dan mampu membuat soal HOTS bentuk Pilihan Ganda dengan berbagai
tipe.

Setelah menganalisis uraian materi, apakah saudara sudah dapat


menguasai capaian pembelajaran pada kegiatan belajar ini? Agar dapat
mengukur penguasaan saudara, dapat mengisi soal yang berkaitan dengan
kegiatan belajar ini. Berikut sajian contoh soal pada modul ini sebagai
bahan latihan saudara dalam menganalisis pertayaan dan jawaban, serta
sebagai contoh pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh dosen
pengampu.

Contoh soal Hots tipe 4 (Tipe Pilihan Ganda Asosiatif):

100
Krisis akhlak yang merebak pada generasi bangsa ini dipicu oleh lemahnya
keimanan, rendahnya kesadaran nilai, dan terbatasnya pemahaman
mereka tentang nilai-nilai akhlak dalam hidup dan kehidupan. Maraknya
kasus tawuran pada siswa-siswi sekolah dasar dan menengah. Terjadinya
pelecehan seksual antara siswa dan siswi di sekolah tertentu. Tidak
terelakannya beberapa perilaku tidak terpuji lainnya yang dilakukan
pemuda dan pemudi di masyarakat. Krisis akhlak ini dapat dicegah
melalui…
A. Pengembangan Keilmuan Pendidikan Agama Islam dengan
pendekatan multidisipliner, ranah PAI dan aspek filosofis
B. Pengembangan Keilmuan Pendidikan Agama Islam pada aspek budaya
religius sekolah, aspek ideologis dan multidisipliner
C. Pengembangan Keilmuan Pendidikan Agama Islam pada ranah PAI,
budaya religius sekolah dan interdisipliner
D. Pengembangan Keilmuan Pendidikan Agama Islam pada aspek
ideologis filosofis, ranah PAI, budaya religius sekolah, dan
interdisipliner
Kunci Jawaban: E

B. Tindak Lanjut Belajar


Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat
melakukan beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di
antaranya sebagai berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS


Program PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam
proses pembelajarannya di sekolah/madrasah!

101
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir
modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan
petunjuk dalam LMS program PPG.
4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan tugas
yang ada di LMS.

102
GLOSARIUM
1) Kurikulum: seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu
2) Budaya religius: Sekumpulan nilai-nilai agama yang melandasi
perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan symbol-simbol yang di
praktikan oleh kepala sekolah, guru, petugas administrasi, peserta
didik dan masyarakat sekolah
3) Landasan Filosofis: pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk
mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum
yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia
yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara
4) Landasan yuridis: seperangkat konsep peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku untuk menjadi titik tolak atau acuan
(bersifat material, dan bersifat konseptual) dalam rangka praktek
pendidikan dan studi pendidikan
5) Landasan teoretis: sebuah konsep dengan pernyataan yang tertata
rapi dan sistematis memiliki variabel dalam penelitian
karena landasan teori menjadi landasan yang kuat dalam penelitian
yang akan dilakukan

103
Daftar Pustaka
Abu Hamid al-Ghazali. Ihya’ ’Ulumiddin. terjemahan oleh Zuhri
Mohammad. Semarang: CV. Asy Syifa’. 2011.

Abu Hamid al-Ghazali. al-Risâlah al-Ladunniyah, Terj. Masyhur Abadi dan


Husain Aziz, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.

Abu Hamid al-Ghazali. Ihya’ ’Ulumiddin. terjemahan oleh Zuhri


Mohammad. Semarang: CV. Asy Syifa’. 2011.

Abu Hamid al-Ghazali. al-Risâlah al-Ladunniyah, Terj. Masyhur Abadi dan


Husain Aziz, Surabaya: Pustaka Progressif, 2002.

C.A. Qodir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor,
Jakarta, 1991.

C.A. Qodir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam, Yayasan Obor,
Jakarta, 1991
http://nursyam.uinsby.ac.id/?p=754
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 20 Tahun 2016
Tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan
Menengah
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 21 Tahun 2016
tentang Standar Isi Pendidikan Dasar dan Menengah

104

Anda mungkin juga menyukai