Anda di halaman 1dari 34

KEGIATAN BELAJAR 1 : ILMU DALAM ISLAM

CAPAIAN & SUB CAPAIAN PEMBELAJARAN

A. Capaian Pembelajaran
Setelah mempelajari keseluruhan materi pada kegiatan belajar 1 modul 1,
diharapkan mahasiswa dapat menganalisis ilmu dalam Islam

B. Sub Capaian Pembelajaran


Setelah mempelajari keseluruhan materi pada kegiatan belajar 1 modul 1,
mahasiswa diharapkan dapat:
a. Menganalisis hakikat ilmu dalam Islam
b. Menganalisis sumber ilmu dalam Islam
c. Menganalisis klasifikasi ilmu dalam khazanah intelektual Islam
C. Pokok-pokok materi
a. Hakikat Ilmu dalam Islam

b. Sumber Ilmu dalam Islam

c. klasifikasi ilmu dalam khazanah intelektual Islam

1
Uraian Materi
Saudara-saudara sekalian, pada bagian ini dibahas tiga materi
pokok tentang ilmu dalam Islam. Pada bagian pertama akan dibahas
tentang hakikat ilmu dalam Islam. Pada bagian kedua akan dibahas
tentang sumber ilmu dalam Islam. Pada bagian ketiga akan dibahas
tentang Klasifikasi Ilmu dalam Khazanah Intelektual Islam. Kepada
Saudara, diharapkan dapat membaca dan menganalisis materi
kegiatan belajar 1 ini dengan sebaik-baiknya agar capaian
pembelajaran yang diharapkan dapat dicapai secara optimal.

1. Hakikat Ilmu dalam Islam


a. Pengertian ilmu
Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Arab ‘alima, ya’lamu,
‘ilman yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam Bahasa
Inggris, istilah ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari Bahasa Latin
scienta dari bentuk kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan
mengetahui. Kata ilmu ini pada akhirnya mengalami penyempitan makna,
karena tidak semua yang dipelajari dan diketahui disebut ilmu. Secara
istilah ilmu adalah rangkaian aktivitas rasional yang dilaksanakan dengan
prosedur ilmiah dan metodologi tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kata 'ilm (ilmu pengetahuan) menurut al-Ghazali adalah bentuk
kata yang ambigu (musytarak: mempunyai banyak arti) yang meliputi
penglihatan dan perasaan. ilmu pengetahuan adalah mengetahui (al-
ma'rifah). Maka ilmu pengetahuan adalah ilustrasi akal (tashwîr) yang
valid tentang hakikat sesuatu, yang terlepas dari unsur aksiden dengan
segala
dimensi, kualitas, kuantitas, substansi dan zatnya. Ilustrasi akal tersebut
meliputi segala aktivitas jiwa dalam memperoleh dan memproduksi

2
pengetahuan. Jadi kata tashwîr ini meliputi pengetahuan aksiomatis (‘ilmal-

3
dlarûriy), pengetahuan intelektual (‘ilm al-kasbiy) dan pengetahuan
intuitif (‘ilm al-ladunniy). Adapun pengetahuan hishshiyyah (indrawi)
tidak termasuk dalam definisi ini karena tashwîrnya belum terlepas dari
materi.
Definisi di atas menunjukkan luasnya obyek ilmu pengetahuan
dalam Islam. Ia mencakup alam kasat mata (‘alam al-mulki wa al-
syahâdah) dan alam metafisika (‘alam al-malakût wa al-jabarût). Dari sini
terlihat begitu luasnya wilayah kajian dalam epistemologi Islam yang
tidak hanya bekerja
pada tataran empiris-fenomenologi tetapi menusuk sampai pada wilayah
transendental. Wilayah-wilayah itu tidak pernah dipandang sebagai
sesuatu yang terpisah karena pada hakikatnya ia adalah satu yakni

wilayah ketuhanan (hadlrah Rubûbiyyah).


b. Perbedaan Ilmu dan Pengetahuan
Ilmu dibedakan dengan pengetahuan. Pengetahuan lebih bersifat
umum. Ia merupakan hasil tahu manusia terhadap sesuatu yang belum
teruji secara ilmiah. Menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan pada
hakikatnya merupakan segenap apa yang diketahui tentang objek
tertentu, termasuk di dalamnya ilmu. Jadi, ilmu merupakan bagian dari
pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai
pengetahuan lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu
membatasi diri pada pengkajian objek yang berada dalam lingkup
pengalaman manusia, sedangkan agama menjelajah daerah yang bersifat
transendental yang berada di luar pengalaman manusia.
Di sini terlihat bahwa betapa pun pengetahuan lebih luas tetapi
ilmu lebih utama. Bisa dikatakan bahwa semulia-mulianya pengetahuan
adalah ilmu. Hanya saja kemuliaan ilmu di sini ditentukan hanya dengan
standar empiris rasional saja. Keterlibatan wahyu tidak menjadi referensi
dalam menakar kebenarannya. Tentu akan berbeda ketika pemikir

4
muslim melihat persoalan ilmu dalam pandangan Islam.

5
Ilmu dan pengetahuan adalah dua hal yang memiliki keterkaitan
satu sama lain, di mana ilmu membentuk intelegensia, yang melahirkannya

skill atau keterampilan yang bisa memenuhi tuntutan kebutuhan sehari-


hari. Sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas keilmuan yang
kemudian melahirkan tingkah laku kehidupan manusia.

c. Hakikat Ilmu Pengetahuan


Ilmu pengetahuan dalam Islam bukan merupakan sesuatu di luar af’al
Allah, sehingga tidak ada pengetahuan yang tidak diurai dari sumber yang
satu itu. Seluruh jenis pengetahuan makhluk adalah setitik air dari
samudera pengetahuan Allah. Ketika al-Ghazali menjelaskan tentang tiga

dimensi pengenalan (ma'rifah) manusia kepada Allah dari sudut perbuatan-


Nya (al-af'al), sifat (al-sifat) dan dzat-Nya (al-dzat), ia mengatakan bahwa
seluruh pengetahuan manusia (dalam bentuk science) itu diambil dari
samudera al-af'al. Yakni representasi perbuatan Allah yang begitu luas
terbentang ke penjuru semesta yang tak terarungi. Suatu kawasan
pengetahuan yang jika seluruh lautan di dunia ini dijadikan tinta untuk
menuliskan kalimat-kalimatNya, niscaya ia akan habis sebelum kalimat
itu tuntas dituturkan.
2. Sumber Ilmu dalam Islam
a. Perdebatan Sumber Ilmu
Dalam epistemologi modern, sumber pengetahuan dibedakan atas
empat hal yaitu: empiris, rasionalitas, intuisi dan otoritas. Namun demikian
Jujun mengatakan bahwa pada dasarnya, hanya ada dua cara pokok bagi
manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Pertama,
mendasarkan pada rasio (rasionalisme). Kedua, mendasarinya pada
pengalaman (empirisme). Di samping kedua sumber tersebut masih ada
satu cara lagi yang disinyalir sebagai jenis pengetahuan yang datang
dengan tiba-tiba yaitu intuisi. Dalam bahasa lain A. C. Ewing mengatakan

6
bahwa ada dua jenis teori tentang pengetahuan yaitu a priori dan empirikal.
Dua teori pengetahuan itu dengan sengit telah diperdebatkan oleh para
filosof pada abad ke-17 dan 18 yang pada akhirnya melahirkan dua aliran
besar dalam epistemologi yaitu rasionalisme dan empirisme.
Sebagai agama yang rasional, Islam tentu mengakui adanya
keempat sumber pengetahuan yang diakui oleh epistemologi modern.
Maka dalam Islam pengetahuan empiris, rasional, intuitif dan otoritatif
diabsahkan sebagai sumber pengetahuan. Sumber-sumber pengetahuan
tersebut itu dipandang sebagai sesuatu yang berkaitan. Tidak seperti
empirisme yang menafikan pengetahuan rasional, atau rasionalisme yang
menafikan pengetahuan empiris
Guna melacak lebih jauh tentang pemikiran tersebut berikut akan
dikaji pemikiran para filosof muslim seperti al-Farabi, Ibnu Sina dan al-
Ghazali yang berkaitan dengan sumber-sumber pengetahuan dalam
bingkai pengetahuan empiris, rasional, dan intuitif.
b. Ragam Sumber Pengetahuan
1) Pengetahuan Empiris
Yang dimaksud pengetahuan empiris yaitu pengetahuan yang
didapatkan melalui pengalaman inderawi dan akal mengolah bahan-
bahan yang diperoleh dari pengalaman dengan cara induksi.
Jhon lock, bapak empirisme Britana, mengemukakan teori tabula
rasa (sejenis buku catatan kosong). Maksudnya ialah bahwa manusia
pada mulanya kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi
jiwa yang kosong itu, lantas ia memiliki pengetahuan. David Hume, salah
satu tokoh empirisme mengatakan bahwa manusia tidak membawa
pengetahuan bawaan dalam hidupnya. Sumber pengetahuan adalah
pengamatan. Pengamatan memberikan dua hal, kesan-kesan dan
pengertian-pengertian atau ide-ide. Dengan kata lain, empirisme

7
menjadikan pengalaman inderawi sebagai sumber pengetahuan. Sesuatu
yang tidak diamati dengan indra bukanlah pengetahuan yang benar.
Islam mengakui adanya empiris sebagai sumber pengetahuan
tetapi ia bukan satu-satunya dan dalam batas-batas tertentu. Al-Ghazali
misalnya, selalu membagi alam dalam dua kategori besar yaitu alam al-
mulki wa al- syahâdah (semesta) dan alam al-malakût wal-Jabarût
(metafisika). Adapun
yang menjadi obyek bagi pengetahuan empiris adalah alam semesta.
Alam ini oleh al-Ghazali dalam konsep metafisikanya diletakkan sebagai
wujud terendah.
Menurut al-Farabi, Ibnu Sina dan al-Ghazali pengetahuan empiris

ini merupakan hasil dari aktivitas jiwa sensitif (al-nafs al-hayawâniyah) yang
dalam batas-batas tertentu juga dimiliki oleh binatang Jiwa sensitif
selanjutnya dibagi menjadi dua yaitu: daya tangkap dari luar (persepsi
dan daya tangkap dari dalam otak. Adapun daya tangkap dari luar itu
kesemuanya terdapat pada panca indra yang masing-masing indra
bertugas menangkap informasi yang khusus. Jadi yang mencerap informasi
empiris itu sesungguhnya bukanlah organ fisik akan tetapi jiwa sensitif.
Informasi dari indra tersebut selanjutnya dikirim ke daya tangkap
dari dalam yang terdiri atas lima bagian yaitu: al-hish al-musytarak, al-
khayâliyyah, al-wahmiyyah, al-dzâkirah, dan al-mutakahayyilah. Informasi dari
indra itu untuk kali pertamanya diterima oleh al-hish al-musytarak (common
sense) kemudian disimpan di dalam al-khayâliyyah (representasi) dan
selanjutnya al-wahmiyyah (estimasi) membuat abstraksi, mengambil makna
dari obyek tertentu.
Jadi ketika seseorang melihat harimau, otomatis al-wahmiyyah
akan mengatakan bahwa ia adalah musuh yang harus dihindari. Makna
musuh yang harus dihindari ini dicerap secara khusus dari harimau
tertentu yang terlihat. Hal ini berarti abstraksi tersebut masih bersifat

8
partikular. Makna
yang ditangkap oleh al-wahmiyyah itu selanjutnya dikirim keal-dzâkirah

9
(reproduksi) atau al-hâfidhah (penghafal) untuk disimpan. Berbagai bentuk
dan informasi yang ditangkap di atas akhirnya dirangkaikan atau dipisah-
pisahkan -sesuai kebutuhan- sehingga mendapatkan kesimpulan yang baru
oleh daya yang tertinggi dan terakhir yang disebutal-mutakhayyilah
(interpretasi).
Kelima daya tangkap pengetahuan dari batin tersebut bertempat di
otak. Karena seluruh daya ini menggunakan organ fisik maka al-Ghazali
menyebutnya sebagai daya jasmani (qiwâ jasmaniyyah) yang bekerja secara
reflektif alami
2) Pengetahuan Rasional
Descartes, bapak rasionalisme continental, berusaha menemukan
suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan yang darinya memakai
metode deduktif dapat disimpulkan semua pengetahuan seseorang. Ia
yakin bahwa semua kebenaran itu ada dan bahwa kebenaran-kebenaran
tersebut dikenal dengan cahaya yang terang dari akal budi sebagai hal-hal
yang tidak dapat diragukan.
Akal mengatur data-data yang dikirim oleh indra, mengolahnya
dan menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar. Dalam
penyusunan ini akal menggunakan konsep rasional atau ide-ide universal.
Konsep tersebut mempunyai wujud dalam alam nyata dan bersifat
universal dan merupakan abstraksi dari benda-benda konkret. Selain
menghasilkan pengetahuan dari bahan-bahan yang dikirim indra, akal juga
mampu menghasilkan pengetahuan tanpa melalui indra, yaitu
pengetahuan yang bersifat abstrak. Seperti pengetahuan tentang
hukum/aturan yang menanam jeruk selalu berbuah jeruk. Hukum ini ada
dan logis tetapi tidak empiris.
Penggunaan rasio dalam memperoleh pengetahuan menjadi
sandaran sumber ini di mana akal harus memenuhi syarat-syarat yang
digunakan dalam seluruh metode ilmiah. Jadi menurut aliran

7
Rasionalisme, pengetahuan hanya dapat ditemukan dalam dan dengan
bantuan akal (rasio). Dengan cara ini, maka proses pengetahuan manusia
adalah dengan mendeduksikan, menurunkan, pengetahuan-pengetahuan
partikular dari prinsip-prinsip umum, atau dengan kata lain bahwa
pengetahuan manusia harus mulai dari aksioma-aksioma yang telah
terbukti dengan sendirinya, dan dari situ ditarik teorema-teorema
sedemikian rupa sehingga kebenaran aksioma menjadi kebenaran teorema.
Penjelasan ini memberikan gambaran bahwa kemampuan akal
manusialah yang dapat digunakan untuk dapat menarik kesimpulan dari
prinsip-prinsip umum tertentu dalam benaknya. Oleh karenanya, logika
silogisme menjadi sangat penting dalam menggunakan metode ini.
Berbeda dengan kaum rasionalis yang begitu fanatik pada akal,
Islam menerima akal sebagai sumber pengetahuan dalam batas-batas
tertentu, seperti halnya empiris. Dalam Misykah al-Anwâr, al-Ghazali
menjelaskan bahwa proses pencapaian pengetahuan itu ada lima
tahapan. Dua di antaranya berada dalam wilayah pengetahuan empiris
yaitu al-rûh
al-hisâs dan al-khayâliy, sedangkan tiga bagian berikutnya yang menjadi
bagian dari jiwa rasional adalah al-rûh al-aqliy,al-rûh al-fikriy yang keduanya
berada dalam kawasan wilayah pengetahuan rasional dan al-rûh al-qudsiy
al-nabawiy yang berada dalam wilayah pengetahuan intuitif.
Daya rasional (al-rûh al-aqliy) adalah substansi manusia yang
hanya ada pada manusia dewasa, tidak pada anak, terlebih pada binatang.
Daya ini menyerap makna-makna di luar indra dan imajinasi. Adapun
jangkauan penerapannya adalah pengetahuan-pengetahuan dlarûriy
(aksiomatis) dan universal. Eksistensinya sebagai pencerap makna-makna
itu dalam bahasa metafora al-Qur'an adalah pelita (mishbâh)
Al-Ghazali membagi jiwa rasional itu kedalam dua bagian besar
yaitu: akal praktis (al-'amilah) dan akal teoritis (al-'âlimah). Kedua akal

8
tersebut bukanlah dua hal yang benar-benar terpisah, akan tetapi lebih

9
merupakan dua sisi dari substansi yang sama. Sisi yang menghadap ke
bawah adalah akal praktis sedangkan yang menghadap ke atas adalah
akal teoretis.
Akal praktis berfungsi untuk menggerakkan tubuh melalui daya-
daya jiwa sensitif (al-rûh al-hayawâniyyah) sesuai tuntutan pengetahuan
yang telah dicapai oleh akal teoritis. Ia juga merupakan saluran yang
menyampaikan gagasan-gagasan akal teoretis kepada daya penggerak (al-
muharrikah) sekaligus merangsangnya menjadi aktual. Oleh karena itu,
menurut al-Ghazali akal praktis ini harus mampu menguasai daya-daya
yang ada di bawahnya untuk mencapai akhlak mulia. Jika akal praktis ini
berhubungan dengan akal teoretis maka hubungan tersebut akan
menghasilkan pengetahuan moral, seperti dusta adalah buruk, adil adalah
baik dan lain-lain.
Jika akal praktis berfungsi untuk menyempurnakan penampilan
lahir manusia maka akal teoretis lebih berfungsi untuk menyempurnakan
substansinya yang bersifat immaterial dan ghaib. Akal kedua ini
berhubungan dengan pengetahuan yang abstrak dan universal. Ia

mempunyai empat tingkatan evolutif yaitu: al-'aql al-hayulaniy, al-'aql bi

al-
malakah, al-'aql bi al-fi'il dan al-'aql al-mustafad.
a. Al-'Aql al-Hayulaniy (Akal Material).
Pada fase ini akal masih berupa potensi karenanya ia merupakan
tingkatan terendah dari dinamika intelektual manusia. Kondisi akal pada
tahap ini diumpamakan seperti adanya kemampuan menulis pada anak
kecil yang belum dapat menulis. Potensi menulis itu ada tapi belum
aktual.
b. Al-'Aql bi al-Malakah (Akal Habitual).
Akal ini disebut juga al-'aqlbi al-mumkin karena pada fase ini akal
telah dimungkinkan untuk mengetahui pengetahuan aksiomatis (al-'ulûm

1
al-dlarûriyyat) secara reflektif. Pengetahuan ini disebut sebagai

1
pengetahuan rasional pertama (al-ma'qûlah al-ûlâ). Dalam al-Qisthâs al-
Mustaqîm akal ini disebut dengan gharîzah al-'aql (insting akal).
c. Al-'Aql bi al-Fi'il (Akal Aktual).
Pada fase ketiga ini akal telah bisa menggunakan pengetahuan
pertama sebagai premis mayor dalam silogisme untuk memperoleh
pengetahuan rasional kedua (al-ma'qûlah al-tsâniyah). Pengetahuan pertama
sebagai modal dan pengetahuan kedua sebagai hasil pemikiran. Kegiatan
berpikir pada fase ini bukan semata-mata merupakan aktivitas akal
murni tetapi juga menggunakan daya al-mutakhayyilah yang ada pada jiwa
sensitif.
Jadi informasi dari al-mutakhayyilah yang berfungsi untuk menyusun dan
atau memisahkan pengetahuan diambil kesimpulannya oleh akal
tersebut. Kegiatan berpikir pada tahap ini merupakan kegiatan bersama
antara al- mutakhayyilah dengan akal.
d. Al-Aql al-Mustafâd (Akal Perolehan).
Akal pada tingkatan ini telah mempunyai pengetahuan-
pengetahuan secara aktual dan menyadari kesadarannya secara faktual.
Berbeda dengan aktivitas berpikir sebelumnya di mana akal secara aktif
menciptakan bentuk-bentuk pengetahuan baru dengan menggunakan
informasi pada tahapan sebelumnya; pada tahap ini akal hanya bersifat
pasif. Pengetahuan-pengetahuan itu telah hadir dengan sendirinya tanpa

memerlukan kegiatan berpikir. Oleh karena itu ia disebut dengan al-


mustafâd (perolehan). Akal ini juga sering disebut dengan al-aql al-qudsiy
(akal suci) Pengetahuan tersebut merupakan limpahan dari akal yang
selamanya aktual yaitu Akal Aktif. Dalam Mi'yâr al-'Ilm al-Ghazali
mengatakan bahwa Akal Aktif itu adalah malaikat yang bertugas untuk
memberi pengetahuan kepada manusia.
3) Pengetahuan Intuitif (Ladunni)
Jika disimak penuturan al-Ghazali dalam kitab-kitab filsafatnya terutama

1
Ma'ârij al-Quds terlihat bahwa dinamika akal dalam gerakan klimaks

1
sangat mengagumkan. Gerakan rasional dari alam wujud terendah hingga
menusuk ke alam ghaib. Pada tingkat akal mustafâd aktivitas berpikir
sangat berbeda dengan tahap sebelumnya. Pada tingkat ini akal justru
secara pasif menerima pengetahuan langsung dari Akal Aktif tanpa
melalui proses belajar. Dalam Misykât al-Anwâr tingkatan tersebut
dinamakan al- rûh al-quds al-nabawiy yang menempati puncak dari
kebenderangan dan
kejernihan yang bertugas untuk menyulut daya-daya (ruh) di bawahnya.
Dalam bahasa metafora al-Qur`an adalah "minyak".
Menarik untuk dikaji bagaimana al-Ghazali membandingkan
derajat seorang ilmuwan dengan wali. Ilmuwan itu hanya diibaratkan

kanak- kanak (al-thifl) dan wali itu adalah remaja (al-tamyîz). Seperti tidak
tahunya kanak-kanak tentang kondisi remaja, seperti itulah tidak tahunya
intelektual terhadap pengetahuan para wali. Penjelasan ini menunjukkan
bahwa dalam ajaran Islam, kualitas pengetahuan intuitif itu lebih utama
jika dibanding dengan pengetahuan rasional.
Apa yang dimaksud dengan intuisi dalam Islam sangat berbeda
dengan wacana Barat, baik di bidang psikologi maupun filsafat. Intuisi di
Barat merupakan bentuk perkembangan lebih lanjut dari intelektual dan
masih dalam kawasan rasional. Intuisi dipahami oleh ilmuwan dan filosof
Barat sebagai bentuk pemunculan ide-ide terpendam di bawah sadar. Oleh

karena itu Iqbal mengatakan: "In fact, intuition, as Bergson rightly says, is only
a higher kind of intellect." (intuisi sebagaimana dimaksud oleh Bergson,
hanyalah salah satu jenis kemampuan nalar tinggi). (Iqbal: 19981). Di dalam

wacana Islam, intuisi merupakan bentuk pencapaian ilmu hudluriy yang


didapatkan seseorang dengan cara pasif baik itu secara langsung dari
Allah atau melalui perantara. Perantara di sini dapat berupa malaikat
(Akal Aktif), bisa juga melalui Lauh Mahfuzh (Jiwa Universal) ataupun al-
Qalam atau Nur Muhammad (Akal Universal). Adapun pengaktifan jiwa

1
manusia

1
yang disulut oleh syetan tidak termasuk dalam definisi intuisi yang
dikehendaki di dalam bahasan ini.
3. Klasifikasi Ilmu dalam Khazanah Intelektual Islam
Dalam tradisi ilmiah Islam, klasifikasi ilmu termasuk yang menjadi
perhatian serius di kalangan intelektual Islam. Klasifikasi ilmu
menjadi bagian dari bukti kegemilangan pencapaian karya intelektual
muslim pada masa kejayaan Islam dan sekaligus penghargaannya
yang tinggi terhadap ilmu. Perkembangan klasifikasi ilmu di dunia
Islam dipengaruhi oleh pemikiran Aristoteles.
Secara umum, Aristoteles membagi ilmu kepada dua bagian pokok,
yang kemudian melahirkan sejumlah cabang lainnya: Pertama, ilmu
teoretis. Jenis ilmu ini semata pengetahuan, yang terbagi pada tiga
bagian: 1) ilmu metafisika/ filsafat/ ketuhanan (teologi) yaitu jenis ilmu
yang membahas tentang wujud mutlak. 2) ilmu matematika, yakni
pembahasan tentang wujud dari sudut ia adalah ukuran dan jumlah;
3) ilmu fisika, yakni pembahasan tentang wujud dari perspektif yang
dapat diindera dan bergerak. Kedua, ilmu praktis. Tujuannya adalah
pengetahuan untuk mengatur perbuatan manusia yang terbagi kepada
empat bagian: 1) ilmu akhlak; 2) ilmu pengaturan rumah; 3) ilmu politik;
dan 4) ilmu seni dan puisi. Adapun logika tidak termasuk dalam
pembagian ini karena objeknya adalah pemikiran. Ia adalah instrumen
untuk semua ilmu.
Model klasifikasi ilmu Aristoteles ini kemudian banyak diadopsi
dan dikembangkan oleh para ilmuwan muslim seperti al-Farabi dan
Ibnu Sina dengan tambahan beberapa modifikasi tertentu. Sejumlah
karya ilmuwan muslim terkait klasifikasi ilmu telah dilahirkan.
Beberapa karya yang menonjol yaitu: Ihsha al ‘Ulum karya al Farabi
(w. 339 H), Rasa’il Ikhwan Ash Shafa wa Khilan al Wafa (pertengahan
abad

1
ke-4 Hijriyah), Mafatih al ‘Ulum karya al Khawarizmi (w 387 H), al

1
Fihrist karya Ibnu an Nadim (w. 437 H), Risalah Aqsam al ‘Ulum al
‘Aqliyyah karya Ibnu Sina (w 428 H), Risalah al Maratib al ‘Ulum karya
Ibnu Hazm (w. 456), Risalah al Maratib al ‘Ulum oleh Ibnu Hazm (w.
456 H), Thabaqat al ‘Ulum karya Al Abiyuri (w. 504 H), al
Muqaddimah karya Ibnu Khaldun (w. 808 H), Miftah as Sa’adah wa
Mishbah as Siyadah fi Mawdhu’at al Ilm karya Thasy Kubri Zadah (w.
968 H), Kasyf azh Zhunun ‘an Asami al Kutub wa al Funun karya Haji
Khalifah (w. 1068 H), Kasysyaf Isthilahat al ‘Ulum karya at Tahanuri (w.
1158 H), dan Abjad al ‘Ulum Shadiq bin Hasan al Qanuji.
1. Klasifikasi Ilmu Al-Farabi
Dalam pandangan al-Farabi, klasifikasi ilmu tergambar pada
skema berikut ini:
UMUM SUB 1 SUB 2 SUB 3 SUB 4
ILMU Kalam
AGAMA Fiqh
Kaidah Bahasa Arab
ILMU Teoritis Metafisika Ontologi; Wujud Non Fisik dan
FILSAFAT tidak dalam Fisik; dan Prinsip-
Prinsip Demonstrasi
Matematika Bilangan; Geometri; Optik;
Astronomi; Musik; Ukuran; dan
Mekanika
Fisika Fisika Dasar; Benda Fisik
Sederhana; Kejadian dan
Kehancuran; Benda fisik dari
Unsur-unsur; Aksiden dan
Pengaruhnya; Minerologi; Botani;
Zoologi: Hewan dan Manusia
Ilmu Alat Logika Kategori;
Hermeneutika;
Qiyas;
Demonstrasi;
Topika; Sofistika;
Retorika; Puitik
Bahasa Kata Tunggal,
Kata Tersusun,
Kaidah Kata
Tunggal; Kaidah
Kata Tersusun,

1
Memperbaiki
Tulisan,
Memperbaiki
Bacaan, dan
Menyusun Syair
Praktis Politik
Etika

2. Klasifikasi Ilmu Ikhwan Al-Shafa


Dalam pandangan Ikhwan Al-Shafa, klasifikasi ilmu tergambar
pada skema berikut ini:
KATEGORI SUB 1 SUB 2 & PENJELASAN
UMUM
Ilmu Adab Syariat: pengetahuan yang didapat melalui jiwa
dan akal secara mendalam
Syariat Pengetahuan yang mulia: Pengetahuan yang
diserahkan kepada para Nabi berupa wahyu
Filsafat Matematika Logika Fisika Metafisika (ilahiyyah)

3. Klasifikasi Ilmu Ibnu Sina


Dalam pandangan Ibnu Sina, klasifikasi ilmu tergambar pada
skema berikut ini:
KATEGORI UMUM SUB 1 SUB 2 PENJELASAN
Ilmu Hikmah Ilmu Fisika
Teoritis
Murni
Matematika
Ketuhanan 1) Pengamatan tentang
pengetahuan pengertian
umum semua maujudat;
2) pengamatan tentang
pokok-pokok dan dasar-
dasar seperti ilmu fisika,
matematika, dan logika;
3) pengamatan tentang
penetapan adanya Yang
Maha Benar (al Haq)
pertama dan
pengesaanNya;

1
4) pengamatan tentang
penetapan inti-inti
kerohanian (malaikat);
5) pengamatan tentang
pendayagunaan inti-inti
dari benda-benda langit
dan bumi terhadap inti-
inti kerohanian tersebut;
6) Pengetahuan tentang
cara turunnya wahyu;
7) Pengetahuan
pertemuan di akhirat (al
ma’ad), yakni membahas
tentang keadaan hari
berbangkit seperti
kebahagiaan dan
kesengsaraan rohani
yang dapat diketahui
melalui akal dan
kebahagiaan dan
kesengsaraan rohani
yang dapat diketahui
melalui syara’.
Ilmu Ilmu Akhlak
Praktis Ilmu Pengurusan Rumah
Ilmu Politik

4. Klasifikasi Ilmu Ibnu Haytham


Dalam pandangan Ibnu Haytham, klasifikasi ilmu tergambar
pada skema berikut ini:
UMUM SUB 1 SUB 2 SUB 3 SUB 4
AL- Teori Matematika Geometri Geodesi,
HIKMAH Aritmatika Akunting,
Music Algebra,
astronomi Faraid,
Optik,
Timbangan
,
Geometric,
Mesin

2
Ilmu Alam Yang bersifat
fisik, objek yang
tampak yang
mampu
diketahui
melalui indra
Metafisika Sifat alam Sifat
Manusia
Ketuhanan
Praktik Individu Kesehatan
Moral/Akhlak

Kelompok Keluaraga
Admnistrasi
pemerintahan
Politik Hukum
Hukuman

5. Klasifikasi Ilmu Al Ghazali


Dalam pandangan al-Ghazali, klasifikasi ilmu tergambar pada
skema berikut ini:

UMUM SUB 1 SUB 2 SUB 3 KETERA


NGAN
ILMU Fardhu ‘Ain Mukasyafah (esoterik) makna Kasyf
yang kenabian,
berkenaan makna
dengan wahyu,
I’tiqad, malaikat,
Amal, mizan, sirat,
Larangan permusuha
n setan
dengan
malaikat,
dst

2
Fardhu Ilmu- Usul (pokok) ilmu tafsir, Berkenaan
Kifayah ilmu Furu’ (cabang) hadith, fiqh, dengan
yang agama Muqaddimah usul al-fiqh, industri,
dipelajari (prasarana) dan lain-lain seperti
secukupnya Mutammimat pertanian,
(Pelengkap) tekstil,
desain
busana

Non yang berasal Kedokteran,


Agama dari hasil aritmatika,
penalaran akal politik,
manusia, logika,
pengalaman, bahasa
dan percobaan

6. Klasifikasi Ilmu Ibn Khaldun


UMUM SUB 1 SUB 2
Naqliyah hikmah dan Alqur’an dan ilmu
(berdasarkan falsafah Alqur’an, Tafsir,
otoritas atau ilmu hadis dan ilmu
tradisional) hadis, ilmu hukum,
ushul fiqh, dan fiqh,
teologi, ilmu tasawuf
dan bahasa
Aqliyah Logika, Ilmu Logika, fisika,
(berdasarkan akal Alam, kedokteran,
atau dalil Metafisika, pertanian, ilmu sihir,
rasional) Matenatika ilmu ghaib, kimia,
kuantitas (ukur,
bidang, ruang),
musik, ilmu
hitungan
(matematika),
astronomi

2
7. Klasifikasi Ilmu Konferensi Internasional Islamabad
Berdasarakan hasil Konferensi Internasional Islamabad, klasifikasi
ilmu tergambar dalam skema berikut ini:
KLASIFIKASI CABANG-CABANG ILMU
ILMU
Ilmu-ilmu Al Qur’an: Studi dan penafsirannya
tentang yang Hadis/ Sunnah Nabi
kekal abadi Sirah (biografi) Nabi, para sahabat dan tabi’in
Keesaan Allah (tauhid)
Prinsip-prinsip ilmu Hukum
Bahasa Arab al Qur’an
Ilmu-ilmu tambahan/ penunjang metafisika
Islam, perbandingan agama, dan kebudayaan
Islam
Ilmu-ilmu Seni Imajinatif: seni arsitektur dan seni-seni
perolehan Islam lainnya, bahasa dan sastra
Ilmu-ilmu intelektual: ilmu-ilmu sosial
(teoretis), filsafat, pendidikan, ekonomi,
politik, sejarah, kebudayaan islam, teori-teori
Islam tentang politik, ekonomi, sosial, ilmu
budaya, sosiologi, linguistik, psikologi,
antropologi
Ilmu-ilmu fisika (teoretis): filsafat ilmu
pengetahuan, fisika, matematika, statistik,
kimia, ilmu biologi, astronomi, ilmu-ilmu
tentang angkasa luar
Ilmu-ilmu terapan: rekayasa dan teknologi
(sipil dan mesin), ilmu kedokteran, ilmu
pertanian, dan kehutanan
Ilmu-ilmu praktis: perdagangan, ilmu
administrasi, administrasi bisnis,
administrasi Negara, ilmu-ilmu
perpustakaan, ekonomi rumah tangga, ilmu-
ilmu komunikasi

8. Klasifikasi Ilmu Kuntowijoyo


Menurut Kuntowijoyo, klasifikasi ilmu tergambar seperti dalam
skema berikut ini:
KLASIFIKASI CABANG ILMU
ILMU

2
Kawniyah ilmu-ilmu alam,
nomothetic
Qauliyyah ilmu-ilmu
Alquran,
theological
Nafsiyah ilmu-ilmu
kemanusiaan,
hermeneutical

9. Klasifikasi Ilmu Amin Abdullah


Menurut Amin Abdullah, klasifikasi ilmu tergambar
sebagaimana skema berikut ini:
KLASIFIKASI LEVEL 1 KLASIFIKASI LEVEL 2
Alquran dan Sunnah
ilmu-ilmu Ushuluddin Kalam, Falsafah, Tasawuf,
Hadits, Tarikh, Fiqh, Tafsir,
dan Lughah
pengetahuan teoritik Sociology, Hermeneutics,
Philology, Semiotics, Ethics,
Phenomenology, Psychology,
Philosophy, History,
Anthropology, dan
Archeology
pengetahuan aplikatif Isu-isu Religious Pluralism,
Sciences and Technology,
Economics, Human Rights,
Politics/Civil Society, Cultural
Studies, Gender Issues,
Environmental Issues, dan
International Law

10. Klasifikasi Ilmu Imam Suprayogo


Menurut Imam Suprayogo, klasifikasi ilmu tergambar
sebagaimana skema berikut ini:
KLASIFIKASI KLASIFIKASI KLASIFIKASI
LEVEL 1 LEVEL 2 LEVEL 3
Fardhu ‘Ain Akar B. Indonesia, B.
Arab, B. Inggris,
Filsafat, Ilmu-Ilmu

2
Alam, Ilmu Sosial
dan Pancasila
Batang Kajian yang
bersumber pada
Al Quran dan
Hadist
Fardlu Kifayah Dahan, Ranting Jenis fakultas yang
dan Daun dipilih
Buah Bangunan ilmu
yang integratif
antara ilmu umum
dan agama yaitu
iman amal sholeh
dan akhlakul
karimah

D. Contoh Soal HOTS Materi KB

Ada empat (4) tipe soal HOTS bentuk pilihan ganda (PG), yaitu tipe:
1) Pilihan Ganda Biasa, 2) Pilihan Ganda Komplek, 3) Pilihan Ganda
Kasuistik, dan 4) Pilihan Ganda Asosiatif. Pada KB1 diberikan contoh soal
PG tipe 1; pada KB2 diberikan contoh soal PG tipe 2; pada KB3 diberikan
contoh soal PG tipe 3; dan pada KB4 diberikan contoh soal PG tipe 4. Tujuan
diberikannya contoh soal ini adalah agar mahasiswa dapat mempelajari
dan mampu membuat soal HOTS bentuk Pilihan Ganda dengan berbagai
tipe.

Berikut sajian contoh soal pada modul ini sebagai bahan latihan
saudara dalam menganalisis pertanyaan dan jawaban, serta sebagai contoh
pembuatan soal tes formatif yang akan dibuat oleh dosen pengampu.

Contoh soal Hots tipe 1:

Perhatikan pengertian kata 'ilm (ilmu pengetahuan) menurut al-Ghazali di


bawah ini:

2
Kata 'ilm (ilmu pengetahuan) adalah bentuk kata yang ambigu
(musytarak: mempunyai banyak arti) yang meliputi penglihatan dan
perasaan. Ilmu pengetahuan adalah mengetahui (al-ma'rifah). Ilmu
pengetahuan adalah ilustrasi akal (tashwîr) yang valid tentang hakikat
sesuatu, yang terlepas
dari unsur aksiden dengan segala dimensi, kualitas, kuantitas, substansi
dan zatnya. Ilustrasi akal tersebut meliputi segala aktivitas jiwa dalam

memperoleh dan memproduksi pengetahuan. Jadi kata tashwîr ini


meliputi
pengetahuan aksiomatis (‘ilmal-dlarûriy), pengetahuan intelektual (‘ilm al-
kasbiy) dan pengetahuan intuitif (‘ilm al-ladunniy).
Jika dikaitkan dengan obyek ilmu pengetahuan dalam Islam, maka hal ini
mengandung makna:

A. Luasnya obyek ilmu pengetahuan dalam Islam yang mencakup


alam kasat mata (‘alam al-mulki wa al-syahâdah) dan alam metafisika
(‘alam al-malakût wa al-jabarût).
B. Terbatasnya wilayah kajian dalam epistemologi Islam yang hanya
bekerja pada tataran empiris-fenomenologis tidak menusuk
sampai pada wilayah transendental.
C. Wilayah-wilayah ilmu dalam Islam itu dipandang sebagai sesuatu
yang terpisah karena pada hakikatnya berbeda wilayah ketuhanan

(hadlrah Rubûbiyyah) dengan kealaman.


D. Sederhananya obyek ilmu pengetahuan dalam Islam yang hanya
mencakup alam kasat mata (‘alam al-mulki wa al-syahâdah) dan tidak
meliputi alam metafisika (‘alam al-malakût wa al-jabarût)
E. Wilayah-wilayah ilmu dalam Islam itu dipandang sebagai sesuatu
yang rumit karena mengkaji wilayah kedalaman dan wilayah

ketuhanan (hadlrah Rubûbiyyah) secara utuh

2
Kunci Jawaban: A

E. Tindak Lanjut Belajar

2
Untuk meningkatkan kemampuan analisis, Saudara dapat
melakukan beberapa aktivitas tindak lanjut dari kegiatan belajar ini, di
antaranya sebagai berikut:

1. Simaklah sumber belajar dalam bentuk video/artikel pada LMS


Program PPG. Kemudian lakukan analisis berdasarka konten!
2. Kaitkan konten video/artikel dengan nilai-nilai moderasi dalam
proses pembelajarannya di sekolah/madrasah!
3. Ikuti tes akhir modul dan cermati hasil tesnya. Bila hasil tes akhir
modul di bawah standar minimum ketuntasan (70), maka Saudara
melakukan pembelajaran remedial dengan memperhatikan
petunjuk dalam LMS program PPG.
4. Aktifitas tindak lanjut lebih detail, silahkan mengikuti tagihan
tugas yang ada di LMS.

2
Glosarium
a. Pengetahuan: hasil tahu manusia terhadap sesuatu yang belum
teruji secara ilmiah
b. Ilmu pengetahuan: ilustrasi akal yang valid tentang hakikat
sesuatu, yang terlepas dari unsur aksiden dengan segala dimensi,
kualitas, kuantitas, substansi dan zatnya.

c. Pengetahuan rasional: Pengetahuan yang didapatkan melalui


olah pikir dengan pendekatan deduktif di mana akal mengatur
data-data yang dikirim oleh indra, mengolahnya dan
menyusunnya hingga menjadi pengetahuan yang benar

d. Pengetahuan empiris: Pengetahuan yang didapatkan


melalui pengalaman indrawi dan akal mengolah bahan-
bahan yang diperoleh dari pengalaman dengan cara induksi

e. Pengetahuan indrawi: pengetahuan yang didapatkan melalui


pengamatan yang memberikan kesan-kesan dan pengertian-
pengertian atau ide-ide

f. Pengetahuan intuisi: pengetahuan yang didapatkan melalui


salah satu jenis kemampuan nalar tinggi dengan bentuk
pemunculan ide-ide terpendam di bawah sadar

g. Pengetahuan otoritatif: Pengetahuan yang langsung


bersumber dari wahyu

2
Daftar Pustaka
Abu Hamid al-Ghazali. Ihya’ ’Ulumiddin. terjemahan oleh Zuhri
Mohammad. Semarang: CV. Asy Syifa’. 2011.
Abu Hamid al-Ghazali. al-Risâlah al-Ladunniyah, Terj. Masyhur
Abadi dan Husain Aziz, Surabaya: Pustaka Progressif,
2002.
Abd al-Majid an-Najjar, “Klasifikasi Ilmu-Ilmu Dalam Pemikiran
Islam Antara Pandangan Konvensional Dan Pandangan
Orisinal,” in Metodologi Islam Dan Ilmu-Ilmu Tingkah
Laku Serta Pendidikan, ed. Ath Thayyib Zainal Abidin
(Jakarta: Media Dakwah, tt
M. Amin Abdullah, Islamic studies dalam paradigma integrasi-
interkoneksi: sebuah antologi, Yogyakarta: SUKA Press,
2007
Hasan Basri, Filsafat Islam, Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan
Islam Kementerian Agama Republik Indonesia, 2013
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Beirut: Dâ r al-Fikr, 1989
Imam Suprayogo dan Rasmianto. Perubahan Pendidikan Tinggi Islam:
Refleksi Perubahan IAIN/STAIN menjadi UIN. Malang: UIN
Malang Press, 2008
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemology, Metodologi Dan
Etika, Jakarta: Teraju, 2004
Muhammad Zainal Abidin & Muhamad Sabirin, Dinamikan
Kebijakan Pembidangan Ilmu pada Perguruan Tinggi
Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia, Banjarmasin,
Antasari Press, 2019
Muhammad Zainal Abidin, “Konsep Ilmu Dalam Islam: Tinjauan
Terhadap Makna, Hakikat, dan Sumber-Sumber Ilmu
Dalam Islam,” Jurnal Ilmu Ushuluddin 10, no. 1, 2011

3
Muhammad Zainal Abidin, “Filsafat Ilmu-Ilmu Keislaman
Integralistik: Studi Pemikiran Kuntowijoyo,” Jurnal Ilmu
Ushuluddin 13, no. 2, 2014
Nanat Fatah Natsir, Implementasi Paradigma Wahyu Memanud
Ilmu pada Pembidangan Ilmu-ilmu Keislaman, Lokakarya
Konsorsium Bidang Ilmu
Salminawati, Basis Ontologis Klasifikasi Ilmu Dalam Perspektif
Islam (Studi Tentang Pemikiran Al-Farabi, Al-Ghazali, Dan
Ibnu Khaldun), 2012
Sayuthi, Jalaluddin Ibn Abi Bakar, al- Jami’ al-Shaghir, Juz I Cet. I;
Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990.
Suwito. “Pembidangan Ilmu Agama Islam dan Kaitannya Dengan
Pengembangan PTAI,” 2019. http://repository.uinjkt.ac.id/
dspace/handle/123456789/47385

Anda mungkin juga menyukai